KEBIJAKAN GANDUM/TERIGU : HARUS MAMPU MENUMBUHKEMBANGKAN INDUSTRI PANGAN DALAM NEGERI M. Husein Sawit Biro Kerjasama Internasional dan Hubungan Antar Lembaga, BULOG Jl. Jend. Gator Subroto Kav. 49 Jakarta Selatan 12550
PENDAHULUAN Gandum sesungguhnya bukan makanan pokok masyarakat Indonesia, namun selama beberapa tahun terakhir perannya semakin penting. Masyarakat Indonesia tidak menanam gandum, karena kondisi lingkungan fisik di Indonesia memang tidak cocok untuk tanaman sub-tropis itu. Perubahan peran itu tidak terlepas dari berbagai kebijakan pemerintah sehingga telah berpengaruh terhadap keputusan konsumen atau tingkat konsumsi terigu, serta pesatnya perkembangan industri penggilingan gandum,. Dampaknya bisa negatif, sebagian juga dapat berdampak positif. Peralihan pola konsumsi kelompok berpendapatan bawah dan menengah begitu cepat ke makanan yang berasal dari gandum, terutama mi instan dan roti, telah mendorong peningkatan impor gandum atau tepung terigu, serta berkurangnya permintaan pangan yang berasal dari sumberdaya dalam negeri. Cepatnya pertumbuhan permintaan terhadap makanan berasal dari terigu untuk kelompok tersebut tidaklah lazim di negara-negara Asia. Umumnya yang terjadi adalah laju peningkatan permintaan terigu dan tingginya tingkat konsumsi terigu per kapita untuk kelompok berpendapatan tinggi, seperti yang terjadi di banyak negara Asia seperti Jepang, Korea Selatan, Taiwan dan Malaysia1. Indonesia telah menjadi negara importir gandum ke-6 terbesar di dunia setelah Brazil, Mesir, Iran, Jepang dan Algeria. Impor biji gandum terus meningkat, dimana pada tahun 1997/98 hanya sekitar 3,7 juta ton, tetapi tahun 2000/01menjadi 4,1 juta ton. United State Departement of Agriculture (USDA) meramalkan impor gandum Indonesia sebesar 4 juta ton untuk tahun 2001/2 (Tabel 1). Pada tahun 2002, impor gandum telah mencapai angka US$ 1.2 billion2, satu-satunya bahan makanan atau urutan ke enam diantara 10 produk impor yang semuanya adalah bukan pangan seperti bahan kimia, mesin industri, otomotif, mesin khusus, biji besi, tekstil, plastik dan lain lain. 1
Husein Sawit, M (2002), “Kemandirian Pangan Kian Jauh”, harian Bisnis Indonesia, 13 Juni 2 Seperti yang dikutip dari the Fourth Trade Policy Review of Indonesia, disampaikan oleh DELRI di WTO Geneva, 27 dan 30 June 2003. Kebijakan Gandum/Terigu: Harus Mampu Menumbuhkembangkan Industri Pangan Dalam Negeri M. Husein Sawit
57
Tabel 1. World Wheat Trade: 2000/01 – 2001/02 (000 tons) 2000/01 Ekspor Argentina Australia Kanada India Kazakastan Siria Turki Uni Eropa Uni Eropa Timur USA Lainnya Total dunia Impor Algeria Brazil Mesir Indonesia Iran Irak Jepang Korea Selatan Meksiko Maroko Philipina Uni Eropa Negara lain Unaccoutned Other countries-2 Total dunia
%
2001/02 (8-Feb.-02)
%
11.396 16.682 17.351 2.357 3.668 0 1.601 15.225 2.298 27.845 4.984 103.407
11 16 17 2 4 0 2 15 2 27 5 100
11.000 18.500 16.000 2.500 3.000 300 500 11.500 4.700 27.500 12.040 107.540
10 17 15 2 3 0 0 11 4 26 11 100
5.600 7.518 6.050 4.068 6.245 3.300 5.911 3.127 3.066 3.600 3.050 3.159 13.116 874 34.723 103.407
5 7 6 4 6 3 6 3 3 3 3 3 13 1 34 100
4.500 6.500 5.800 4.000 6.500 3.300 5.800 4.300 3.200 2.800 3.300 6.500 13.560 1.290 36.190 107.540
4 6 5 4 6 3 5 4 3 3 3 6 13 1 34 100
Notes: Other Countries-2 adalah import less then 3 MMT (2000/01), less then 2.8 MMT (2001/02) Sumber : USDA. Grain: World Markets and Trade (March 2002).
Pada saat ini diperkirakan konsumsi terigu sekitar 15 kg/kapita/tahun atau sekitar 12 persen dari konsumsi per kapita beras, meningkat dari 3 kg/kapita tahun 1969 yang pada waktu itu, hanya 5 persen dari konsumsi beras per kapita. Tingkat konsumsi terigu meningkat sekitar 500 persen selama 30 tahun terakhir. Pada saat sekarang, 4 buah pabrik tepung terigu menguasai hampir 90 persen pangsa pasar terigu di Indonesia, dan terbesar adalah Bogasari yang menguasai Analisis Kebijakan Pertanian. Volume 1 No. 2, Juni 2003 :
58
sekitar 65 persen3. Industri penggilingan gandum dan pasar terigu di Indonesia lebih mencirikan pasar oligopoli daripada pasar persaingan. Kesemuanya itu tidak lepas dari kebijakan pemerintah Orde Baru, yang sebagiannya masih dilanjutkan oleh pemerintah sekarang, terutama memurahkan harga tepung terigu. Kebijakan ini telah memperlemah berbagai upaya untuk mendorong berkembangnya diversifikasi konsumsi pangan di luar beras yang berasal dari sumberdaya dalam negeri. Tujuan makalah ini adalah untuk: (1) menganalisa perubahan kebijakan impor serta industri pengolahan gandum, dan (2) merancang bagaimana mengerem laju impor gandum. KEBIJAKAN TERIGU ORDE BARU Terigu mulai diperkenalkan secara intensif sejak awal pemerintahan Order Baru dalam rangka kebijakan stabilisasi harga pangan dan stabilisasi ekonomi. Pada waktu itu, Indonesia kesulitan devisa dan volume beras yang perdagang di pasar dunia amat tipis, sehingga Indonesia perlu menghindari ketergantungan yang terlalu banyak pada beras impor yang harganya tidak stabil dan ketersediaannya terbatas di pasar dunia. Indonesia lebih baik mengimpor terigu atau gandum untuk mencapai tujuan stabilisasi, karena harga gandum relatif stabil, volume yang diperdagangkan cukup banyak, serta beras dan terigu erat substitusinya4. Amerika Serikat (AS) amat berperan dalam mendorong kebijakan ini. AS memberikan secara cumacuma (grant) dan hutang lunak untuk impor terigu melalui PL480, Indonesia memang kesulitan valuta asing. Magiera5 melaporkan bahwa pembelian komersial gandum meningkat dari 11 persen antara 1968/69-1972/73 menjadi 76 persen periode 1973/74-1977/78. Akhir 1960an, AS memberikan dana konsensi untuk beli gandum dari AS (program PL 481 Title I) dengan bunga amat ringan, dalam rangka membantu pemerintah Orde Baru yang pro AS. Pada periode 1968/69 dan 1972/73, total ekspor AS ke Indonesia rata-rata 344 ribu ton/tahun atau 61 persen pangsa pasar di Indonesia. Pengapalan gandum melalui PL 480 rata-rata 325 ribu ton/tahun, hampir semuanya dijual secara konsensi. Pada periode 1968/69-1972/73, total impor tepung gandum mencapai 3,3 juta ton (equivalent biji gandum), 89 persen diantaranya adalah merupakan dana konsensi (Tabel 2). Pada awal 1970an dibangunlah 3 pabrik pengolahan biji 3
APTINDO melaporkan bahwa disamping Bogasari pemegang pangsa pasar terbesar, juga Berdikari (10%), Sriboga (6%), Pangan Mas (6%), dan impor (14%), seperti dimuat di Kompas tgl 2 April 2002. 4 Lihat Timmer, P.C (1971), “Wheat Flour Consumption in Indonesia”, BIES, VII (1) 5 Magiera, S.L (1981), “The Role of Wheat in the Indonesian Food Sector”, BIES, XVII (3) Kebijakan Gandum/Terigu: Harus Mampu Menumbuhkembangkan Industri Pangan Dalam Negeri M. Husein Sawit
59
gandum, sejak itu impor gandum berkembang pesat. Dalam periode 1973/741977/78, total impor gandum mencapai 4,6 juta ton, hanya 24 persen berupa konsensi atau menurun drastis apabila dibandingkan dengan periode sebelumnya. Impor sebelumnya hampir seluruhnya berupa tepung terigu, tetapi setelah pabrik tersebut dibangun, maka impor biji gandum meningkat tajam, sehingga persentase dana konsensi berkurang. Tabel 2. Bantuan Pangan Gandum (000 ton, equivalent biji gandum) Tahun 1965/66-1967/68 1968/69-1972/73 1973/74-1977/78 1979/80
Impor 477 3.276 4.605 1.195
Konsensi 126 2.911 1.083 153
% Konsensi 26 89 24 13
Keterangan : Angka konversi 1 kg biji gandum = 0,72 tepung terigu Sumber : Magiera (1981), Table 2.
Dalam waktu yang sama, AS mengirim beberapa pakar pangannya ke Indonesia untuk mempengaruhi para pengambil keputusan di lembaga pemerintah. Mereka mampu menyakinkan para tehnokrat Indonesia dengan berbagai argumentasi ilmiah, termasuk perhitungan angka elastisitas silang antara beras dan terigu sehingga terbukti bagaimana eratnya substitusi terigu terhadap beras, elastisitas permintaan dan pendapatan terigu yang elastis. Walau awalnya, masyarakat sulit sekali menerima makanan yang berasal dari terigu, kampanye terus diperluas dan diintensifkan bertahun-tahun. Pada waktu itu, terigu dijual dengan harga murah, sekitar 50 persen lebih rendah dari harga internasional, tentu pemerintah mensubsidinya. Ini juga salah satu penyebab cepatnya dorongan substitusi beras ke gandum, disamping tentunya meningkatnya pendapatan per kapita dan tingginya harga beras. Bulog diberi hak monopoli impor gandum oleh pemerintah serta menggilingkannya ke Bogasari secara bagi hasil. Hasil giling berupa tepung terigu dijual oleh Bulog melalui agen-agennya. Pemerintah menyubsidi gandum yang cukup tinggi melalui subsidi impor dan penyaluran. Pada tahun 1976/77, subsidi riil mencapai Rp 3 Milyar, meningkat menjadi Rp 17 Milyar tahun 1978/79. Lembaga penelitian INDEF pernah mengungkapkan bahwa pemerintah telah mensubsidi produsen mi instan (PT Bogasari) sebesar Rp 760 milyar setiap tahun, berdasarkan data tahun 1994. Dalam tahun 1970an, pertumbuhan impor gandum mencapai 17 persen/tahun, suatu angka yang cukup besar. Pada tahun 1990-1996, laju impor terigu sekitar 12 persen/tahun. Pertumbuhan impor gandum sedikit direm dalam tahun 1980an, seiring dengan kemampuan peningkatan produksi beras dalam negeri serta penurunan subsidi gandum. Namun laju impor gandum melonjak lagi setelah tahun 1998, sejak pemerintah meliberalisai pasar gandum dan tepung terigu.
Analisis Kebijakan Pertanian. Volume 1 No. 2, Juni 2003 :
60
KEBIJAKAN LIBERALISASI Pada tahun 1998, semua bentuk subsidi dan pembatasan impor dihapus termasuk pembebasan impor biji gandum atau tepung terigu, yang sebelumnya dimonopoli Pemerintah/Bulog, berdasarkan letter of intend (LOI) yang disepakati dengan IMF (International Monetary Fund). Untuk itu, pemerintah mengeluarkan Kepres no.45 Nopember 1998. Bea masuk untuk gandum ditetapkan hanya 5 persen, kemudian kebijakan ini dicabut sejak Maret 2002 atau 0 persen sehingga Indonesia menjadi salah negara yang paling liberal dalam bidang gandum dibandingkan dengan negara-negara Asia lain yang bukan penghasil terigu seperti Thailand, Filipina, Srilanka atau Malaysia. Pada tahun 2000 misalnya, Thailand, Filipina dan Srilanka menetapkan tariff bea masuk masing-masing sebesar 40 persen, 7 persen dan 25 persen. Malaysia menetapkan lisensi khusus untuk impor gandum. Kebijakan tarif tinggi masih umum dan tetap diterapkan sampai kini di berbagai negara bukan penghasil gandum. Akhir-akhir ini semakin kuat tuntutan oleh para asosiasi APTI agar dikenakan BMAD (Bea Basuk Anti Dumping) untuk tepung terigu, karena disinyalir harga tepung terigu yang dijual di Indonesia amat murah, sehingga telah mengancam industri pengolahan gandum dalam negeri. Salah seorang ketua APTI yang juga dirut PT Bogasari, Welirang mendesak pemerintah untuk membatasi impor tepung terigu, bukan gandum. Tampaknya, pemerintah belum memutuskannya, walau desakannya semakin kuat, kecuali yang telah diputuskan bahwa tepung gandum dimasukkan pada jalur merah yaitu diperiksa secara ketat di Bea Cukai. Semua ini sesungguhnya, kekuatiran Bogasari agar tetap dominan menguasai pasar tepung terigu dalam negeri, monopoli ini dialihkan dari Pemerintah/Bulog ke swasta, contoh lain yang keliru dari resep IMF. Eviandaru dkk6 melaporkan bahwa produsen mi instan yang menguasai 10 persen pangsa pasar keluar dari anggota GAPMMI (Gabungan Pengusaha Makanan dan Minuman Indonesia) dan mendirikan asosiasi baru APIPI (Asosiasi Pengusaha Industri Pangan Indonesia), untuk memperjuangkan aspirasi pengusaha yang relatif kecil, termasuk di dalamnya ketidak setujuan pembatasan impor tepung terigu. Akhirnya, pada awal April 2003, Pemerintah memutuskan untuk menerapkan kembali bea masuk tepung terigu sebesar 5 persen. Meningkatnya impor pangan, pada situasi pasar pangan dunia yang semakin mengarah ke pasar oligopoli, yaitu dikuasai oleh sedikit negara terutama negara maju seperti Amerika Serikat, Kanada, Australia, Uni Eropa, Selandia Baru, akan berdampak buruk kepada kemandirian Indonesia dalam bidang pangan. Amerika Serikat adalah negara eksportir gandum terbesar di dunia. Pada tahun 6
Evandaru dkk (2001). Lihat juga Ruky, Ine S (2001), “Deregulasi dan Dampaknya Terhadap Persaingan: Kasus Industri Kecil dan Menengah Berbasis Tepung Terigu”, bahan seminar di LPEM-UI
Kebijakan Gandum/Terigu: Harus Mampu Menumbuhkembangkan Industri Pangan Dalam Negeri M. Husein Sawit
61
2000/01 misalnya, negara ini menguasai 27 persen pangsa ekspor, sedangkan Kanada dan Australia masing-masing hanya 17 persen dan 16 persen (Tabel 1). Indonesia telah menjadi pasar gandum penting Amerika Serikat, juga Kanada dan Australia. Embargo pangan sering dipakai oleh negara-negara maju untuk menekan negara yang tidak tunduk pada keinginan politiknya. Kalau hal ini terjadi, maka ketahanan pangan Indonesia menjadi amat rapuh. Konsumsi Terigu dan Makanan berasal dari Terigu Pada saat sekarang, tingkat konsumsi terigu dan makanan berasal dari terigu terbanyak dikonsumsi oleh kelompok berpendapatan tinggi, 40 sampai 60 kali lebih tinggi dibandingkan dengan kelompok berpendapatan terendah, tidak saja tepung terigu, tetapi juga mi instan, mi lainnya, roti tawar atau roti manis (Tabel 3). Tingkat konsumsi gandum juga didorong oleh urbanisasi dan meningkatnya pekerja wanita. Eviandaru dkk7 mensitir data dari majalah Asian Week (25 Mei 2001) bahwa Indonesia telah menjadi negara ke dua terbesar di dunia setelah Cina dalam tingkat konsumsi mi instan. Tingkat konsumsi mi instan masyarakat Indonesia telah mencapai 8,9 milyar bungkus per tahun, bandingkan dengan Thailand dan Filipina, masing-masing hanya 1,5 dan 1,4 milyar bungkus/ tahun. Penelitian di 4 kota di Jawa8 terungkap bahwa mi instan telah menjadi makanan siap saji yang populer, 64 persen responden mengaku sebagai makanan mendadak, 32 persen sebagai makanan selingan, dan hanya 4 persen sebagai makanan pokok sehari-hari (Tabel 4). Sebagian besar mi instan dihasilkan oleh industri besar, terbesar adalah Indofood Sukses Makmur yang menguasai 85-90 persen dari total produksi mi instan dalam negeri, dan dominan menguasai pasar dalam negeri. Diperkirakan ada 50 merek dagang mi instan, mampu berproduksi 8,2 milyar bungkus pada tahun 2000. Bergeser menu makanan pada kelompok berpendapatan menengah dan rendah, beralih begitu cepat ke terigu atau makanan berasal dari terigu tentu telah mengurangi pangan yang berasal dari produksi dalam negeri seperti ketelah pohon, ketela rambat, sagu, atau jagung. Hal ini sebagai akibat dari kekeliruan kebijakan gandum Indonesia. Pola yang lazim terjadi di belahan negara Asia lain adalah pergeseran konsumsi ke terigu amat lambat terjadi pada kelompok berpendapatan rendah dan menengah. Sebaliknya di Indonesia, laju peningkatan konsumsi terigu hampir sama antar berbagai kelompok pendapatan, walau tingkat konsumsi per kapita golongan berpendapatan tinggi adalah lebih besar.
7
8
Eviandaru, M; Indriaswati DS; R. Pratiwi; S.Sulistyanti; Wiganti RA; Arimbi; dan KE.Washburn (2001), Perempuan Postkolonial dan Identitas Komoditi Global, Penerbit Kanisius: Yogyakarta. Eviandaru dkk (2001)
Analisis Kebijakan Pertanian. Volume 1 No. 2, Juni 2003 :
62
Kebijakan Gandum/Terigu: Harus Mampu Menumbuhkembangkan Industri Pangan Dalam Negeri M. Husein Sawit
63
Tabel 4. Penggunaan dan Penyajian Mi Instan Kegunaan
Tambahan menu lainnya Sayuran/ bumbu Telur/ lainnya daging dll. 30 91 (19) (58)
Total
Selingan
n %
Apa adanya 37 (23)
Makanan pokok sehari-hari
n %
4 (22)
1 (6)
13 (72)
18 (4)
Makanan mendadak
n %
89 (28)
70 (22)
156 (50)
315 (64)
Total
n %
130 (27)
101 (21)
260 (53)
491 (100)
158 (32)
Keterangan: responden berada di 4 kota di Jawa (Bogor, Solo, Semarang dan Yogya) Sumber: Eviandaru dkk. (2001), Tabel 3 (hal.77).
SKENARIO PEMBATASAN IMPOR Sensus Pertanian BPS (1993) mencatat bahwa petani pangan (padi/palawija) diperkirakan mencapai 17 juta rumah tangga (49% dari jumlah rumah tangga pertanian), yang pada tahun 2000 meningkat menjadi 23 juta rumah tangga (45% dari total rumah tangga di Indonesia). Sebagian besar penduduk perdesaan bekerja sebagai petani pangan, terutama padi. Data terakhir terungkap bahwa sekitar 35,5 juta rumah tangga terlibat dalam 4 komoditas pangan utama Indonesia yaitu beras, jagung, kedelai dan tebu/gula atau mengambil pangsa 68 persen dari total 52 juta rumah tangga di Indonesia. Murahnya harga terigu dan berkembangnya industri pengolahan terigu, serta perlindungan berlebih buat mereka, telah berdampak buruk terhadap petani pangan. Padahal Indonesia memahami bahwa industri terigu adalah food loose industry, hampir semua bahan bakunya berasal dari impor. Industri tipe ini adalah industri yang amat rapuh. Krisis ekonomi yang menghantam Indonesia selama ini antara lain sebagai akibat dari kebijakan industri sejenis itu. Akankah Indonesia terus mengandalkan pangan impor dan food loose industry? Para petani pangan dan kemandirian pangan Indonesia hanya mungkin dapat diselamatkan, kalau Indonesia mampu mengelola impor gandum secara tepat dan tidak memberi perlindungan terhadap industri pengolahan terigu dan mi instan. Kebijakan penerapan bea masuk beras, akan berdampak pada peningkatan permintaan impor gandum, karena eratnya substitusi antara ke dua jenis makanan ini. Semakin efektifnya penerapan bea masuk beras akan membuat harga beras dalam negeri menjadi tinggi, akan mendorong impor gandum atau tepung terigu. Diramalkan apabila Indonesia mampu meningkatkan bea masuk beras dari Rp Analisis Kebijakan Pertanian. Volume 1 No. 2, Juni 2003 :
64
430/kg naik misalnya Rp 750/kg atau meningkat 74 persen, maka tambahan impor gandum menjadi 1,7 juta ton. Perhitungan ini dengan asumsi bahwa bea masuk gandum 0 persen, elastisitas silang 0,6. Berbagai skenario tambahan impor gandum akibat penerapan bea masuk beras diperlihatkan dalam Tabel 5. Apabila bea masuk beras ditetapkan Rp 700/kg, maka besarnya tambahan impor biji gandum menjadi 1,4 juta ton. Tabel 5. Skenario Bea Masuk Beras dan Dampakya Terhadap Impor Gandum Uraian Bea masuk lama Bea masuk baru (berbagai tingkatan) 1. Alternatif I 2. Alternatif II 3. Alternatif III Keterangan: 1)
Rp/kg 430
% kenaikan
Tambahan impor biji gandum (ton)
700 750 800
63 74 86
1.427 1.691 1.955
Dihitung berdasarkan rata-rata forecasting impor gandum 2001 dan 2002 yi sebesar 3.787.000 ton, angka elastisitas silang beras terhadap gandum ditaksir 0,6.
Oleh karena itu, disarankan agar bea masuk untuk gandum diberlakukan juga, paling tidak separo dari tingkat bea masuk untuk beras. Apabila bea masuk beras ditetapkan Rp 400/kg, mungkin tepat bila bea masuk gandum atau tepung terigu sekitar Rp 200/kg9. Dengan cara ini diharapkan dapat membendung impor gandum yang terlalu berlebih dan harga gandum akan tinggi, sehingga akan mengerem laju konsumsi tepung terigu, dan masyarakat akan beralih ke pangan produksi dalam negeri yang lebih murah seperti ubi-ubian, jagung, atau sagu. Pada giliran berikutnya, petani pangan Indonesia akan punya insentif yang layak untuk berproduksi dan memenuhi permintaan tersebut. Apabila ini bisa dilakukan, maka diversifikasi pangan ke makanan yang berasal dari sumberdaya dalam negeri akan lebih mudah diujudkan. PENUTUP Kemandirian pangan diartikan sebagai usaha menyediakan minimum pangan per kapita dari hasil produksi dalam negeri untuk menghindari ketergantungan yang mungkin tidak mampu diperoleh melalui impor at any cost. 9
Tingkat BM untuk terigu/gandum yang di bound di WTO hanya 9 pesen AV, ini juga menjadi pembatas Indonesia bila menerapkan bea masuk melebihi tingkat yang di bound. Padahal diketahui harga gandum di dumping di pasar internasional, karena besarnya bantuan domestik dan ekspor subsidi yang dilakukan sejumlah negara seperti Uni Eropa, Amerika Serikat, dll.
Kebijakan Gandum/Terigu: Harus Mampu Menumbuhkembangkan Industri Pangan Dalam Negeri M. Husein Sawit
65
Konsep pendirian pangan tidak perlu berarti autarki, tetap memberi peluang kemungkinan perdagangan luar negeri. Tetapi buat Indonesia juga menghadapi persoalan serius karena beban hutang luar negeri. Hampir tidak mungkin kemandirian pangan dapat diujudkan buat negara yang berpenduduk banyak seperti Indonesia, dan hutang luar negerinya mencapai 169 persen di atas GDP (tertinggi di dunia), serta hutang luar negeri per kapita telah mencapai US$ 750, bandingkan dengan pendapatan per kapita sekitar US$ 650 (2000). Valuta asing yang diperoleh dengan susah payah dari hasil ekspor akan ludes untuk melunasi hutang luar negeri, secara teoritis tidak tersisa untuk impor pangan. Kalau demikian halnya, dimana letaknya kemandirian pangan kita? Sebaiknya Indonesia membangun industri pangan yang sebagian besar bahan bakunya berasal dari produksi dalam negeri, bukan food lose industri pangan. Hampir tidak mungkin kemiskinan dan ketahanan pangan dapat diatasi dengan bergantung sebagian besar dari pangan impor. Indonesia harus mampu membangun sektor pangan dan industri pangan dalam negeri yang kokoh, dan jauhi impor pangan yang berlebih, tidak hanya gandum, tetapi juga beras, jagung, kedelai, daging, susu dan lainnya. Oleh karena itu, produksi pangan yang bersumber dari sumberdaya dalam negeri menjadi amat penting dalam upaya memperkuat kemandirian pangan. Mengelola impor gandum dan tepung terigu, khususnya penetapan bea masuk yang wajar adalah salah satu cara mengatasi persoalan di atas. Dalam waktu yang bersamaan, teknologi pemanfaatan tepung ubi, beras dan lain-lain harus pula mampu dikembangkan, guna merebut kebutuhan konsumen yang terus meningkat.
Analisis Kebijakan Pertanian. Volume 1 No. 2, Juni 2003 :
66
Tabel 3. Konsumsi Rata-rata Beras dan Makanan dari Terigu, Dirinci Menurut Kelas Pengeluaran, 1999 Pengeluaran (Rp) per Kapita/Bulan
<40.000 40.000-59.999 60.000-79.999 80.000-99.999 100.000-149.999 150.000-199.999 200.000-299.999 400.000-499.999 >500.000 Rata-rata
Beras Beras (kg) Tepung (kg)
53.092 81.952 98.020 105.872 111.228 109.252 101.972 90.480 85.280 103.324
Sumber : Susenas 1999, BPS.
0.260 0.156 0.156 0.156 0.208 0.260 0.312 0.364 0.468 0.208
Tepung (kg)
0.052 0.104 0.260 0.364 0.676 1.144 1.716 1.976 2.548 0.728
Mi basah (kg)
Mi instan (80 gr)
Terigu Roti tawar bks kecil
0.000 0.052 0.052 0.052 0.156 0.208 0.260 0.260 0.260 0.156
0.728 2.704 5.824 8.880 17.004 29.588 39.624 56.212 59.904 18.668
0.104 0.260 0.520 0.676 1.248 2.132 3.692 8.164 15.080 1.716
Roti manis (buah) 10.400 28.080 5.148 7.592 11.284 16.172 20.904 24.908 37.024 11.336
Biskuit/ makanan kecil (ons) 0.520 1.040 1.404 2.028 3.432 5.200 7.436 10.972 20.332 3.796
Makanan kecil basah (jumlah) 6.656 14.976 23.660 31.200 42.068 52.416 54.288 62.868 72.176 38.636