VOLUME
5 No. 1 Mei 2013 1
Peran Radio Komunitas dalam Menumbuhkembangkan Civic Community Oleh: Rochmad Effendy Korespondensi :
[email protected], 081252750962 Dosen Ilmu Komunikasi Universitas Merdeka Malang. Ketertarikan penelitian bidang kehumasan, radio komunitas dan lingkungan hidup.
Abstract Community radio is a unique communication media whose initial establishment, operational management as well as its programming is solely carried out by and for the betterment of community member residing at remote areas. It is participatory media in a sense that it provides public sphere through which horizontal communication among participants take place. As such, it is seen as a fertile soil for developing a civic community whose member has keen interest in discussing common problem on equal position which bind them together through association to collectively engage in civic virtues. This requires that its initial establishment, operational management follows the regulatory basis and its ideal principles. Unfortunately, Mustika management knew nothing of those principles leading its daily broadcasting similar to that of private radio. Key word : community radio, management radio, medium participant Abstrak Radio komunitas pada dasarnya media komunikasi yang unik dilihat dari bagaimana awal berdirinya, manajemen operasional serta pemrograman, dimana semat a -mata dilakukan oleh dan untuk kemajuan anggota masyarakat dilingkungan radio tersebut. Radio komunitas a dalah media yang partisipatif dalam arti bahwa ia menyediakan ruang publik melalui komunikasi horizontal antar peserta berlangsung. Dengan demikian, hal ini dilihat sebagai tanah yang subur untuk mengembangkan komunitas sipil yang anggota memiliki minat dalam membahas masalah umum pada posisi yang sama yang mengikat mereka bersama-sama melalui asosiasi secara kolektif terlibat dalam nilai-nilai sipil. Hal ini mensyaratkan bahwa awal berdirinya, manajemen operasional mengikuti dasar peraturan dan prinsip prinsip ideal. Sayangnya, manajemen Mustika lebih menyerupai prinsip prinsip penyiaran harian mirip dengan radio swasta.
Kata kunci: Radio Komunitas, Manajemen Radio, media partisipatif
JURNAL
2 KOMUNIKATOR
Pendahuluan Radio komunitas lahir seiring dengan semangat kebebasan berpendapat sebagai buah era reformasi. Radio komunitas selalu identik dengan gerakan demokratisasi komunikasi partisipatoris orang desa, kaum terpinggirkan. Kalangan marjinal yang seringkali tersisihkan dalam proses social politik nasional merasa perlu untuk mendapatkan akses terhadap media komunikasi untuk memberdayakan diri mereka lewat pemanfaatan teknologi radio . Lewat media radio yang murah ini, mereka secara implicit ingin mendeklarikan ‟perlawanan‟ terhadap hegemoni radio, televisi, dan media massa pada umumnya cenderung hanya lebih mengutamakan keuntungan bisnisnya ketimbang memiliki misi pendidikan dan pemberdayaan masyarakat. Selain itu juga, media massa lebih banyak menomorsatukan peristiwa-peristiwa berskala besar dan konfliktual ketimbang potret sosial kemasyarakatan dan realita kehidupan mereka. Kalaupun ada informasi tentang mereka, hal ini seringkali bias elit ekonomi kapitalis media massa dan telah terdistorsi oleh kepentingan ekonomi politik elit pengelola media massa arus utama. Ketidakadilan dan ketidakmerataan penyebaran informasi dengan dipinggirkannya peristiwa-peristiwa lokal dalam media massa ini dalam jangka panjang bisa mengancam kehidupan demokrasi. Meminggirkan peristiwa-peristiwa lokal pada saat yang sama adalah menyumbat aspirasi mereka. Berita perdesaan menjadi terpinggirkan. Orang desa kemudian tidak mengenali kehidupan mereka sendiri karena lebih banyak menonton dan mendengar hal-hal yang di luar diri mereka melalui media TV dan radio. Dari sini kemudian lahirlah radio komunitas, sebuah media perjuangan hak masyarakat untuk menentukan sendiri informasi apa yang dibutuhkan dan diinginkannya. Bagi masyarakat akar rumput, menurut Ahmad Nasir & Sri Aryani (2003:59) rakom bisa menjadi pemegang mandat hak masyarakat untuk mengetahui dan memberitahukan informasi. Hal ini karena mereka telah mampu memiliki media mereka sendiri yang tidak lagi dikontrol oleh berbagai kepentingan di luar komunitas. Media ini dapat digunakan secara nyata untuk membantu komunitas memenuhi kebutuhan, memahami permasalahan serta mendiskusikan bersama masalah tersebut untuk dicarikan penyelesaiannya. Pengakuan hukum terhadap keberadaan radio komunitas merupakan awal dimulainya demoktratisasi sistem penyiaran nasional setelah tiga dekade lebih domain tersebut didominasi oleh pengusaha dan penguasa untuk melanggengkan kepentingan mereka. Kepemilikan media penyiaran yang sebelumnya hanya dikuasai segelintir elit kekuasaan sekarang telah menyebar merata dan beragam
VOLUME
5 No. 1 Mei 2013 3
(diversity of media ownership). Demikian juga dengan isi media penyiaran yang dulu ditentukan oleh kepentingan ekonomi politik pusat kekuasaan saat ini pun telah beragam (diversity of content). Berbeda dengan era otoriter Orde Baru, saat ini masyarakat dapat menggagas secara bersama-sama pendirian stasiun radio lantas mengelolanya serta ikut serta menyelenggarakan program siaran demi memenuhi kebutuhan warga setempat. Tidak sama dengan media massa arus utama yang menggunakan teknologi canggih, tenaga profesional, bertempat di kota utama dengan wilayah jangkauan siaran nasional , bertujuan komersial dengan program siaran yang ngepop, radio komunitas memanfaatkan teknologi sederhana, tenaga amatir, berada di pedesaan dan daerah terpencil dengan jangkauan wilayah siaran terbatas tapi bertujuan memberdayakan warga komunitasnya lewat program siaran yang substantif. Tercapainya tujuan ideal radio komunitas akan ditentukan oleh pemahaman warga komunitas tentang esensi, filosofi serta aspek regulasi radio komunitas. Kalau tidak demikian, maka akan muncul radio komunitas dengan semangat dan jiwa pengelolaan radio swasta yang bertolak belakang dengan ruh radio komunitas yang dikelola dari, oleh dan untuk melayani kepentingan masyarakat. Berdasar paparan diatas, masalah penelitian ini dapat dirumuskan sebagai berikut : 1.
Bagaimana pemahaman para pengelola radio Mustika FM tentang filosofi dan aspek legal penyiaran komunitas?
2.
Bagaimana praktek operasional siaran radio komunitas Mustika FM?
3.
Bagaimana peran radio Mustika FM dalam rangka ikut mendorong dan mengembangkan semangat civic community khususnya di kalangan warga Ketawang serta kalangan anggota Fans Club Mustika FM?
Untuk mendapatkan pengertian LPK ada baiknya dipaparkan terlebih dahulu, definisi dari kata komunitas. Komunitas berasal dari kata community yang berarti menurut Horton & Hunt dalam Ram dan Sobari (1999:129) seperti dikutip Atie Rahmawatie (2007:72) adalah (1) sekelompok orang yang hidup dalam (2) suatu wilayah tertentu yang memiliki (3) pembagian kerja yang berfungsi khusus dan saling tergantung (interdependent), serta (4) memiliki sistm social budaya yang mengatur kegiatan warga, (5) yang memiliki kesadaran akan kesatuan dan perasaan memiliki, serta (6) mampu bertindak secara kolektif dengan cara yang teratur. Dengan demikian komunitas, menurut Agus Sudibyo (2004:235) dapat diartikan tiga pengertian. Pertama, komunitas yang terbentuk berdasarkan batasan-batasan geografis. Kedua, komunitas berdasarkan atas kesamaan identitas (sense of identity).
JURNAL
4 KOMUNIKATOR
Ketiga, komunitas yang terbentuk berdasarkan pada kesamaan minat, kepedulian, dan kepentingan. Komunitas tersebut terbentuk karena adanya perasaan saling memiliki dan memerlukan antar semua warga (community sentiment). Menurut Mac Iver & Charles H.Page seperti dikutip Atie Rahmawatie (2007:73) ada tiga unsur yang mampu membentuk perasaan komunitas tersebut: a.
Perasaan altruisme ; mengutamakan kepentingan pihak lain daripada diri sendiri: perasaan individu yang diselaraskan dengan perasaan kelompoknya sehingga mereka merasakan kelompoknya sebagai bagian dari struktur sosial.
b.
Perasaan sepenanggungan; setiap individu sadar akan peranannya dalam kelompok.
c.
Perasaan saling memerlukan ; individu yang bergabung dalam masyarakat setempat merasakan dirinya bergantung kepada komunitasnya, baik kebutuhan fisik maupun psikologis.
Adanya perasaan kebersamaan yang muncul pada masing-masing anggota sehingga mereka merasa nyaman untuk hidup berdampingan dengan warga yang lain. Hal karena lewat keanggotaan dalam komunitas inilah semua kebutuhannya baik fisik maupun psikis dapat terpenuhi. Ini adalah salah satu tujuan utama dibangunnya komunitas. Tujuan lainnya menurut Rubin & Rubin dalam Atie Rahmawatie (2007: 74) adalah : a. Memperbaiki kualitas hidup anggota komunitas lewat resolusi dan berbagi masalah b. c.
Mengurangi ketidakadilan sosial seperti ras, etnik, jender dll. Melatih dan menyebarluaskan nilai-nilai demokrasi sebagai proses menuju keberhasilan pembangunan komunitas.
d.
Memberi kesempatan kepada orang-orang untuk meningkatkan potensi mereka sebagai individu. Menciptakan kebersamaan dalam komunitas sehingga anggota merasa mantap hidup dalam komunitas tersebut.
e.
Berkaitan dengan media komunitas Fred Johnson dalam situs (www.benton. org) mendefinisikan sebagai “media created to allow individuals to tell the stories and have the conversations necessary for their own self-directed development as citizens” (Howley, 2005; Jankowski, 2003; Rennie, 2006).(media komunitas sebagai media yang diciptakan untuk memberikan peluang kepada individu agar mampu menyampaikan cerita mereka serta menyebarluaskan perbincangan mereka yang diperlukan untuk
VOLUME
5 No. 1 Mei 2013 5
mengembangkan diri mereka sebagai warga) . Sementara itu, International Association of Media and Communication Research (IAMCR) seperti dikutip Kanamaya (2007:6-7) memahami media komunitas sebagai “media that originates, circulates, resonates from the sphere of civil society .. This is the field of media communication that exists outside the state and the market, yet which may interact with both,” (media yang lahir, menyebarluas dari wilayah masyarakat sipil... Ranah media komunikasi ini berada di luar ranah Negara dan pasar tapi bisa berinteraksi dengan keduanya). Sementara itu Howley seperti dikutip Kanayama menj elaskan media komunitas adalah “grassroots or locally oriented media access initiatives predicated on a profound sense of dissatisfaction with main stream media form and content dedicated to the principles of free expression and participatory democracy, and committed to enhancing community relations and promoting community solidarity.” (inisiatif akses media kalangan akar rumput atau yang diorientasikan untuk kepentingan local yang didasarkan atas rasa ketidakpuasan terhadap bentuk dan isi media arus utama yang didedikasikan atas prinsip-prinsip kebebasan berpendapat, dan demokrasi partisipatoris yang maksudkan untuk meningkatkan hubungan dan solidaritas anggota komunitas). Masih berkaitan dengan pengertian media komunitas, Committee on Media and Culture European Union 2004-2009 mendefinisikannya sebagai : “media that are non -profit and accountable to the community that they seek to serve. They are open to participation in the creation of content by members of the community. As such, they are a distinct group within the media sector alongside commercial and public media”. (Media yang tidak berorientasi keuntungan dan bertanggungjawab kepada komunitas; ia terbuka terhadap partisipasi anggota komunitas dalam menciptakan isi. Makanya, media ini merupakan kelompok tersendiri dari jenis media komersial dan media public). “Community Media (CM) are addressed to specific target groups. They have a clearlydefined task, which is carried out in line with their content. Social benefit for a community is a primary concern”. (media yang ditujukan kepada kelompok sasaran khusus, memiliki sebuah tugas khusus sesuai dengan isi dengan kemanfaatan sosial sebagai tujuan utama pendiriannya). “CM create cohesion, give identity, promote common interests and preserve cultural and linguistic diversity”. (media komunitas menciptakan kohesi, memberi identitas, meningkatkan tujuan kebersamaan dan memelihara keberagaman kultur dan bahasa). “CM are generally run by committed, creative citizens with a strong social conscience, and contribute to the goal of improving citizens’ media literacy through their direct involvement in the creation and distribution of content”. (media komunitas biasanya dijalankan
JURNAL
6 KOMUNIKATOR
oleh warga kreatif dan memiliki komitmen serta kesadaran sosial tinggi serta menyumbangkan dalam meningkatkan kemampuan warga dalam kecerdasan mengkonsumsi isi media lewat keterlibatan mereka dalam menciptakan dan mendistrbusikan isi media) Untuk mendapatkan gambaran menyeluruh tentang radio komunitas ada baiknya akan dipaparkan beberapa definisi dari berbagai sumber: “Lembaga penyiaran yang berbentuk badan hukum Indonesia, didirikan oleh komunitas tertentu, bersifat independen, dan tidak komersial, dengan daya pancar rendah, luas jangkauan wilayah terbatas, serta untuk melayani kepentingan komunitasnya. Lembaga ini diselenggarakan : 1. tidak untuk mencari laba atau keuntungan atau tidak merupakan bagian perusahaan yang mencari keuntungan semata; dan 2. untuk mendidik dan memajukan masyarakat dalam mencapai kesejahteraan, dengan melaksanakan program acara yang meliputi budaya, pendidikan, dan informasi yang menggambarkan identitas bangsa. 3. tidak mewakili organisasi atau lembaga asing serta bukan komunitas internasional; 4. tidak terkait dengan organisasi terlarang; dan 5. didirikan atas biaya yang diperoleh dari kontribusi komunitas tertentu dan menjadi milik komunitas tersebut 6. dapat memperoleh sumber pembiayaan dari sumbangan, hibah, sponsor, dan sumber lain yang sah dan tidak mengikat 7. dilarang menerima bantuan dana awal mendirikan dan dana operasional dari pihak asing 8. dilarang melakukan siaran iklan dan/atau siaran komersial lainnya, kecuali iklan layanan masyarakat 9. tidak untuk kepentingan propaganda bagi kelompok atau golongan tertentu”. (Undang-Undang Penyiaran No 32 Tahun 2002). ”Suatu stasiun radio yang dioperasikan di suatu lingkungan atau wilayah atau daerah tertentu, yang diperuntukkan khusus bagi warga setempat, yang berisikan acara dengan ciri utama informasi daerah (local content) setempat diolah dan dikelola oleh warga setempat. Lingkungan atau wilayah yang dimaksud bisa didasarkan atas faktor geografisnya (bisa dalam kategori teritori kota, desa, wilayah atau kepulauan). Tetapi, bisa juga berdasarkan kumpulan dari masyarakat tertentu tetapi dengan tujuan yang sama dan karenanya tidak perlu dengan persyaratan harus tinggal disuatu wilayah geografis tertentu” . Louie N Tabing dalam Hinca Pandjaitan (2000: 34) ”Community radio responds to the needs of the community it serves, contributing to its development within progressive perspective in favour of social change. Community radio strives to to democratize communication through community participation in different forms
VOLUME
5 No. 1 Mei 2013 7
in accordance with its specific social context.” (World Association of Community Broadcaster (AMARC) 1998. “A community radio is characterized by its ownership and programming and the community it is authorized to serve. It is owned and controlled by a non profit organization whose structure provide for membership, management, operation and programming primarily by member of community at large. Its programming should be based on community access and participation and should reflect the special interest and needs of the listenership it is licenced to serve”. Independent Radio and Television of Ireland. 1998. “Community broadcasting is a non profit service that is owned and managed by a particular community, usually through a trust, foundation, or association. Its aim is to serve and benefit that community. Moreover, it relies and must rely mainly on the resource of community. It is in effect, a form of public service broadcasting but serve a community rather than a whole nation. The key difference is that while the commercial dan public service model both treat listeners as object, to captured for advertisers or to be improved or informed , community radio aspires to treat it listeners as subjects and participants. “ (Estrada and Fraser : 2001: 3-4) “A community radio is one that is operated in the community, for the community, about community and by community.” (Louie Tabing : 2002: 11) Dari beberapa definisi di atas, Louie Tabing (2002:11) memaparkan karateristik utama radio komunitas adalah sebagai berikut: 1. Melayani kepentingan komunitas yang jelas identitasnya; 2. Mendorong berlangsungnya demokrasi partisipatoris; 3. Memberikan peluang kepada warga untuk berkomunikasi dan ikut serta dalam pembuatan program, manajemen dan pemilikan lembaga penyiaran; 4. Menggunakan teknologi yang murah dan sederhana yang tidak mengakibatkan ketergantungan terhadap sumber-sumber lain; 5. Didorong oleh semangat kebersamaan dan kemaslahatan komunitas, bukan oleh pertimbangan ekonomi; memperlancar terjadinya penyelesaian masalah. Dari watak utama radio komunitas ini, Louie Tabing lantas mendeskripsikan beberapa prinsip yang mesti diterapkan dalam sebuah radio komunitas. Prinsipprinsip ini mencakup : a. Akses terhadap fasilitas penyiaran merupakan langkah awal menuju demokratiasi sistem komunikasi. Warga memiliki akses tidak hanya terhadap produk media tapi juga fasilitas media. Saluran umpan balik selalu terbuka dan interaksi yang intensif antara produsen dengan konsumen pesan selalu terjaga.
JURNAL
8 KOMUNIKATOR
b. Partisipasi dalam produksi dan manajemen lembaga penyiaran merupakan konsekwensi logis dari adanya kemudahan dalam mengakses media penyiaran. Partisipasi warga dalam radio komunitas dibuka lebar pada semuan level – mulai dari perencanaan, pelaksanaan hingga evaluasi program. Partisipasi warga mencakup proses pembuatan keputusan termasuk keputusan tentang isi, durasi, jadwal program acara. Warga atau perwakilan warga juga peran dalam manajemen dan keuangan programa radio. c.
Swa-kelola/pengelolaan sendiri semua fasilitas komunikasi akibat dari adanya keterlibatan warga. Ketika warga komunitas telah mendapatkan pengalaman yang diperlukan dan memperoleh ketrampilan yang dipersyaratkan, maka tidak ada alasan untuk menghalangi mereka untuk mengelola dan memiliki radio komunitas.
d.
Mandat komunitas merupakan akibat yang tak terhindarkan dari proses demokratisasi system komunikasi. Mandat ini mencakup tidak hanya aspek manajemen tapi juga kepemilikan sekaligus.
e.
Akuntabilitas publik merupakan akibat lanjutan dari adanya peluang warga untuk mengelola, mengawasi kinerja radio komunitas.
Berdasar paparan diatas, radio komunitas merujuk kepada stasiun penyiaran radio yang didirikan oleh dan untuk komunitas tertentu. Radio ini bersifat tidak komersial dengan daya pancar rendah yang muatannya sebagian besar tentang dinamika dan kebutuhan komunitas itu sendiri. Karakter dasar dari lembaga penyiaran komunitas, menurut Agus Sudibyo (2004;235) adalah hubungan langsung yang intensif antara lembaga penyiaran dengan warga komunitasnya. Juga, adanya partisipasi warga dalam perencanaan program, produksi dan pembiayaan, dan dalam mengevaluasi kinerja lembaga penyiaran. Untuk itu, perlu dibentuk sebuah forum untuk mewadahi partisipasi ini atau biasa disebut local consultative forum (LCF) untuk membahas segala sesuatu yang berkaitan dengan kehidupan komunitas. Forum yang menempatkan warga sebagai pelaku utama kegiatan komunikasi akan mampu memberdayakan warga komunitas. Hal ini bisa dilakukan dengan mempermudah akses informasi yang cukup bagi masyarakat dari berbagai sumber serta mendapatkan kesempatan untuk mendiskusikannya. Forum ini juga bisa memberikan kesempatan kepada warga untuk mengasah ketrampilan bermedia yang sangat penting dalam rangka menangai masalah lokal. Untuk itu, pengelolaan sebuah radio komunitas di Amerika biasanya dipercayakan kepada Community Radio Council (CRC) atau Dewan Radio Komunitas yang keanggotaannya mencakup semua
VOLUME
5 No. 1 Mei 2013 9
ragam anggota komunitas. Mereka dipilih berdasarkan integritas moral, dan keterlibatan aktif dalam urusan komunitas, serta komtimen kuat pemberdayaan komunitas. Fungsi utama dewan ini adalah salah satunya memaparkan arah dan kebijakan stasiun radio serta membuat keputusan penting lainnya. Berdasar paparan diatas dapat ditarik simpulan adanya perbedaan penting antara radio komunitas dengan radio utama dilihat dari berbagai hal seperti letak daerah, tujuan, pemilikan, manajemen, jam siaran, staf penyiar, transmitter, fasiliitas, sumber dana, partisipasi masyarakat, dan bentuk dan manfaat. Hal seperti tergambar dalam table di bawah ini. Tabel 1 : Perbedaan Radio Komunitas dan Media Arus Utama Hal
Radio komunitas
Letak daerah Terpencil/pulau kecil Tujuan
Radio Utama Kota Utama Kota Besar Jumlah Populasi besar Keuntungan Keuntungan Politik (Apa yang baik bagi pemilik)
Pemilikan
Pengembangan Pendidikan (Apa yang baik bagi suatu komunitas) Komunitas
Manajemen
Badan Komunitas Media
Kapitalis/Pengusaha Politikus Sekolah dan Badan Keagamaan Direktur
Jam Siaran
Pendek
Ekstensif
Staf Penyiar
Sukarela (biasanya tidak dibayar)
Profesional (yang dibayar)
Transmitter
Kekuatan rendah (20 -100 watts)
1 Kw - 5 Kw
Fasilitas
Amat biasa
Sumber Dana Partisipasi Masyarakat Bentuk dan manfaat
Bantuan dari komunitas Pendonor Subsidi Tinggi
Amat memuaskan Iklan
Demokrasi
Minimal Terpaku pada usaha dan kepentingan politik.
Sumber : Hinca P (2000: 36)
Dari paparan diatas dapat disimpulkan bahwa radio komunitas, menurut Effendi Gazali, et al (2004: 131) adalah lembaga penyiaran yang memberikan pengakuan secara signifikan terhadap peran dan evaluasi oleh anggota komunitasnya melalui sebuah lembaga supervisi yang khusus didirikan untuk tujuan tersebut, dimaksudkan untuk melayani satu komunitas tertentu saja, dan karenanya memiliki daerah jangkauan yang terbatas. Dengan demikian nampak jelas bahwa unsur penting dalam
JURNAL
10 KOMUNIKATOR
pendirian radio komunitas adalah legitimasi dari sebagian besar warga komunitas. Kalau dukungan ini tidak ada maka dapat ditafsirkan bahwa pendirian radio ini adalah keinginan sekelompok orang yang mengatasnamakan komunitas tertentu. Untuk mendapatkan mandat warga komunitas dapat ditempuh beberapa tahap mulai dari sosialisasi yang diikuti dengan eksplorasi wacana, penilaian kebutuhan (needs assessment), perencanaan bersama (Efendi Gazali :2004:135). Pada tahap ini bisa dirancang pembentukan Lembaga Supervisi Penyiaran Komunitas yang komposisi keanggotaannya terdiri dari perwakilan dari beragam unsur-unsur yang terdapat di dalam daerah wilayah jangkaun penyiaran komunitas yang bersangkutan. Robert Putnam seperti dikutip Louise K dalam situs www.moya.bus.miami. edu memaparkan konsep komunitas kewargaan (civic community) dengan menj elaskan perbedaan kinerja pemerintahan Itali bagian utara dengan selatan. Ia menyatakan : “Beberapa wilayah Itali terdapat kelompok paduan suara,, pecinta sepak bola dan peminat burung. Sebagian besar warga di wilayah tersebut gemar membaca surat kabar tentang permasalahan di daerah mereka. Mereka tertarik memperhatikan isu-isu publik. Mereka mempercayai pemerintahan daerah mereka . Mereka cenderung berkompromi dengan lawan politik mereka. Mereka menjunjung tinggi nilai solidaritas, aktivitas social kemasyarakatan, kerjasama dan kejujuran. Sementara pada wilayah yang lain diliputi oleh sikap yang sebaliknya; tidak tertarik pada urusan-urusan publik, rendah kehidupan kewargaannya. Kehidupan publik ditata lebih hirarkis daripada horisontal. Mereka menyakini bahwa kehidupan publik lebih merupakan tanggungjawab orang lain daripada permasalahan bersama. Partispasi politik dipicu oleh ketergantungan orang pada kultus individu atau kerakusan pribadi bukan didorong oleh tujuan bersama. Keterlibatan masyarakat dalam kegiatan sosial dan budaya buruk.Tidak heran kalau pemerintahan demokratis tidak lebih efektif daripada di daerah yang masyarakatnya bergairah kehidupan kewargaannya”. Putnam menyatakan bahwa terdapat tiga faktor yang membantu bertumbuhkembangnya sikap kewargaan (civic attitudes) dalam sebuah masyarakat termasuk perasaan kepuasan hidup, mempercayai pihak lain dan pemerintah, rasa lebih sejahtera dengan nilai kehidupan politik daripada dengan kehidupan politik berbasis patron-client, serta dukungan terhadap persamaan politik. Tiga hal tersebut menurut Putnam adalah gairah untuk menjunjung tinggi hidup bersama (the vibrancy of associational life), kebiasaan membaca surat kabar (newspaper readership), dan kehadiaran menggunakan hak suara pada pemilu dan refrendum (voter turnout in both general elections and referenda). Sikap seperti ini diyakini sebagai prasyarat bagi berfungsinya demokrasi. Arti penting kehidupan bersama (associational life) dalam kehidupan berdemokrasi telah lama diakui. Ini bisa dilihat ketika warga berkumpul
VOLUME
5 No. 1 Mei 2013 11
bersama untuk mencapai tujuan mereka baik dalam bentuk kelompok paduan suara, menyelenggarakan turnamen sepak bola, mengadakan kerja bakti membersihkan jalan raya, maka mereka sebenarnya telah belajar sesuatu diluar musik, seni dan olah raga. Mereka sedang belajar mempercayai warga yang lain. Ini merupakan sebuah nilai strategis dalam demokrasi representatif. Dengan demikian, warga mendapatkan sebuah perasaan puas (a feeling of efficacy) ; mereka belajar bahwa mereka bisa melakukan dan bekerja sama untuk menggapai tujuan bersama sama seperti yang dikerjakan oleh para kelompok kepentingan dan partai politik yang telah mampu mempengaruhi kehidupan publik. Hal ini mengingat ketrampilan berorganisasi dan berkomunikasi yang mereka kembangkan dalam lingkup kelompok sosial mereka juga bisa dimanfaatkan dalam ranah politik untuk mendesakkan kepentingan mereka kepada para pemimpin politik. Selanjutnya, hubungan dengan sesama warga dan para elit yang terjadi dalam asosiasi sosial mereka memberikan sebuah peluang kepada indivdu untuk mendiskusikan masalah-masalah publik Jenis jaringan komunikasi horisontal dengan warga ini akan membantu para pejabat politik untuk belajar memahami aspirasi para konstituen serta menindaklanjutinya. Dengan demikian, warga percaya bahwa pemerintah akan bekerja memenuhi kepentingan mereka yang selanjutnya mereka akan lebih merasa sejahtera dengan pemerintahan mereka. Nilai penting dari membaca koran bagi lancarnya roda demokrasi juga telah diakui. Berkaitan dengan hal ini, Tocqueville mengatakan, „hanya koran yang mampu meletakkan pikiran yang sama secara serempak di hadapan ribuan pembaca. Makanya, kehidupan demokrasi sebuah masyarakat akan sulit terlaksana tanpa kebiasaan membaca surat kabar oleh warga.” Semakin banyak pembaca koran semakin luas pengetahuan mereka tentang informasi berkaitan dengan permasalahan publik lantas memperbincangkan hal tersebut serta menyampaikan aspirasi mereka kepada para pejabat pemerintah. Masyarakat seperti ini akan merasa lebih sejahtera sebab para pemimpin selalu berusaha memahami aspirasi warga. Selain bergabung dengan asosiasi sosial dan kebiasaan membaca surat kabar, masyarakat dalam kehidupan kewargaan hendaknya memiliki keinginan kuat untuk terlibat secara nyata dan terbuka dalam kegiatan politik seperti pemilu. Menggunakan hak suara adalah salah satu mekanisme utama bagi warga untuk menyuarakan pilihan politik mereka terhadap kandidat pemimpin mereka. Ketika warga aktif berpartisipasi dalam pemilu mereka merasa puas dengan tindakan yang diambil para pemimpin yang mereka pilih. Menggunakan hak suara dalam referendum memberikan sebuah peluang khusus bagi warga untuk menyampaikan
JURNAL
12 KOMUNIKATOR
pendapat mereka tentang isu-isu yang mendesak. Putnam menyatakan, „dorongan utama dalam menggunakan hak pilih dalam referendum adalah keprihatinan terhadap permasalahan publik.” Demokrasi hanya akan berlangsung ketika warga mau mengungkapkan pendapat mereka tentang permasalahan politik yang sedang terjadi. Derajat kepuasan warga yang meningkat terhadap pemerintah hanya akan terjadi dalam masyarakat yang memiliki kesadaran menggunakan hak suara mereka. Dalam sebuah komunitas kewargaan, warga diasumsikan saling mengenal satu dengan yang lain lewat kerjasama dalam kelompok-kelompok sosial sukarela, membaca surat kabar untuk mencari tahu permasalahan yang sedang terjadi dalam lingkup masyarakatnya serta menyatakan pendapat mereka secara terbuka baik dalam pemilu maupun referendum. Muara akhir tindakan ini adalah warga menyakini bahwa warga yang lain dapat dipercaya dan roda pemerintahan berjalan efektif. Sebaliknya, dalam masyarakat yang tidak memiliki tradisi kewargaan yang baik, warga tidak belajar bagaimana menjalin kerjasama dengan pihak lain dalam bentuk keikutsertaan mereka dalam asosiasi sosial sukarela, tidak tertarik untuk memahami perkembangan masalah sekitar mereka, lebih menyandarkan hubungan patronase daripada menggunakan hak pilih dalam pemilu maupun referendum. Mereka cenderung tidak percaya satu dengan yang lain dan tidak peduli dengan aktivitas pemerintahan. Perdebatan tentang nilai-nilai ideal terutama nilai-nilai kewargaan (civic virtue) dalam politik telah lama berlangsung. Nilai kebebasan hanya dapat dipelihara, menurut Machiavelli, kalau para pemimpin dan warga bersedia mengutamakan kepentingan bersama, bukan kepentingan kepentingan masing-masing; bukan kesejahteraan individu tapi kebaikan bersama. Machiavelli memandang manusia sebagai mahluk yang ambisius dan serba curiga ; ia tidak akan berbuat baik kecuali kalau memerlukannya. Mekanisme hukum, kelembagaan, pendidikan dan system keagamaan, menurutnya, merupakan cara untuk bagaimana menanamkan kebaikan bersama/nilai-nilai kewargaan kepada warga masyarakat. Namun penekanan pada sosok individu ini akan menjurus kepada individualisme yang membahayakan semangat kebersamaan warga sebab mereka bisa saja menjadi terisolir dari satu dengan yang lainnya. Meski demikian, manusia juga dibekali sebagai mahluk social, bisa dipercaya, dan bekerjasama. Ridley (1996:249) menyatakan bahwa manusia juga memiliki kecenderungan untuk belajar bagaimana menjalin kerjasama, membedakan mana yang jujur dan curang, memiliki komitmen untuk berbuat jujur demi mendapatkan nama baik serta untuk saling berbagi informasi dan barang. Singkat kata, secara naluri
VOLUME
5 No. 1 Mei 2013 13
manusia telah dibekali dengan tatanan social. Salah satu kajian penting tentang nilainilai politik telah diprakarsai oleh Robert D. Putnam dan koleganya yang dirangkum dalam buku Making Democracy Work (1993: 83-120). Kajian mereka dipusatkan pada hubungan antara modernitas ekonomi dengan kinerja institusi politik. Terdapat korelasi positif antara kinerja lembaga politik dengan kehidupan kewargaan (civic community). Civic community lantas dikategorikan menjadi : a) Keterlibatan dalam urusan kewargaan (Civic Engagement) yang ditandai dengan partisipasi aktif dalam permasalah publik; tertarik pada isu-isu publik, mendiskusikannya serta aktif berpartispasi dalam kegiatan komunitas. Lebih lanjut Putnam menjelas : “tidak semua kegiatan politik dapat menyumbangkan kepada kebaikan bersama. Mengutamakan kepentingan bersama dengan mengorbankan kepentingan sendiri adalah esensi dari nilai-nilai kewargaan (civic virtue). b) Kesetaraan politik (political equality) ; memiliki kesamaan hak dan kewajiban, interaksi warga didasarkan relasi horizontal yang mempertukarkan dan penuh jalinan kerjasama, bukan pada hubungan vertikal yang didasarkan pada ketergantungan dan otoritas. Warga saling berinteraksi dalam kedudukan yang setara bukan sebagai patron-client. Kesetaraan kedudukan yang memungkinkan warga untuk saling mempertukarkan dan terlibat dalam mengelola kehidupan bersama mereka inilah yang disebut sebagai civic community. c) Solidaritas, kepercayaan dan toleransi: Kehidupan kewargaan diwarnai dengan saling membantu, percaya satu terhadap yang lain meski mereka berbeda pendapat. Meski demikian, tidak berarti bahwa kehidupan mereka bebas dari konflik. Tapi pertentangan ini dapat diselesaikan sebab mereka dapat berdialog, saling menghormati satu dengan yang lain dan mengakui bahwa mereka saling tergantung satu dengan yang lain. d) Asosiasi : struktur sosial dari kerjasama: Putnam (1993: 89) menyatakan bahwa norma-norma dan nilai-nilai kewargaan civic community dikelola dan ditegakkan lewat praktek-praktek dan struktur social tertentu. Dengan melibatkan diri dalam kehidupan bersama warga akan mampu mengasah ketrampilan bekerjasama, rasa tanggungjawab bersama untuk mencapai tujuan-tujuan kolektif serta sarana untuk terlibat dalam aktivitas politik yang lebih luas. Ketika sebuah pandangan disampaikan dalam sebuah asosiasi, pandangan akan menjadi lebih jelas dan konkrit bentuknya. Hal ini menuntut dukungan warga lain lantas menggiring satu dengan yang lain terlibat untuk mencapai tujuan bersama tersebut. Dengan demikian, asosiasi ini mempersatukan energi pemikiran
JURNAL
14 KOMUNIKATOR
yang berbeda dan mengarahkannya menuju tujuan yang jelas. Maka muncullah sebuah jalinan dari asosiasi sekunder yang kian menguat dan mengakibatkan terbentuknya kerjasama social yang efektif. Bagaimana terlibat dalam kehidupan kewargaan, The Center for Information and esearch on Civic Learning & Engagement (CIRCLE) dalam situs www. utextension.utk.edu mengemukakan membagi menjadi empat indicator yakni kewargaan, keterlibatan dalam pemilihan umum, tindakan politik dan kepedulian. Indikator civic community meliputi : 1. 2.
Menyelesaikan masalah komunitas : bekerjasama secara informal dengan satu orang atau beberapa orang untuk menyelesaikan permasalahan komunitas Sering menjadi sukarelawan dalam organisasi social: keterlibatan dalam kegiatan organisasi social seperti lingkungan hidup, kegiatan santunan social dll.
3.
Aktif menjadi anggota asosiasi atau kelompok; menjadi anggota dan aktif berperan serta dalam asosiasi baik lokal maupun nasional
4.
Partisipasi dalam kegiatan penggalangan dana publik lewat kegiatan olah raga seperti lari, berjalan, bersepeda. Ini tidak mencakup aktivitas memberikan dana atau mensponsori sebuah kegiatan.
5.
Ikut serta dalam pembangkitan dana untuk amal; membantu menggalang dana untuk amal sosial
6.
Menggunakan hak pilih pada saat pemilihan baik pada tingkat lokal maupun nasional
7.
Mempersuasi orang lain dengan berbicara dengan mereka ketika ada pemilu serta menyatakan alasan kenapa memilih satu partai atau kandidat tertentu
8.
Memeragakan stiker atau lambang politik tertentu baik untuk kandidat, atau organisasi politik Kampanye menggalang dana untuk kandidat atau partai tertentu
9.
10. Membantu secara sukarela kandidat atau organisasi politik tertentu Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif sebab pendekatan ini bertujuan untuk menangani hal-hal bersifat khusus, dengan sampel kecil. Adapun paradigma penelitian yang digunakan adalah konstruktivis sebab paradigma mampu menggambarkan/ memantulkan apa yang menjadi perhatian dan keinginan dari subyek penelitian. Sasaran penelitian ini adalah pengelola Radio Komunitas Mustika FM sebanyak 2 orang yang mencakup Direktur Bapak Sutadi, SH dan Kepala
VOLUME
5 No. 1 Mei 2013 15
Studio Wahyudi serta 1 orang pendengar Bapak Moch Sanusi dan 2 anggota Fans Club Mustika yakni Bapak Abdur Rohim dan Yulianto. Data penelitian ini akan dikumpulkan dengan studi literatur dan dokumen, wawancara mendalam dengan para subjek penelitian dan observasi terhadap kinerja lembaga penyiaran komunitas Mustika FM. Disamping itu, untuk mendukung data penelitian, akan dilakukan penelusuran terhadap berbagai data relevan yang lain seperti website internet, surat kabar dan majalah serta dokumen-dokumen negara yang relevan.
Pembahasan Pengetahuan dan pemahaman pengelola radio dan warga masyarakat tentang filosofi dan aspek perundangan rakom masih buruk. Ketidaktahuan dan keabaikan mereka tentang hal ini menjadi kendala bagi operasional sebuah radio komunitas. Sehingga fungsi dan peran strategis rakom dalam menggairahkan komunitas kewargaan dengan sendirinya akan terhalangi perwujudannya. Pemahaman ini ibarat ‟ruh‟ yang menjiwai dan menyemangati dan menjiwai mulai dari proses mendirikan radio, mengelola program siaran, menata kelembagaan dan struktur organisasi radio, serta mengarahkan tentang kedudukan warga dalam manajemen operasional dan penyelenggaraan program siaran. Pandangan visioner tentang rakom ini pula yang selanjutnya akan memandu operasional keseharian serta keberlangsungan stasiun radio. Singkat kata, semangat mendirikan rakom adalah kebersamaan antar sesama warga masyarakat, memberdayakan anggota masyarakat lewat kebebasan berpendapat dan mendapatkan akses informasi yang mereka perlukan, serta mendorong kemajuan bersama warga masyarakat dengan berbagai ragam latar belakang sosial ekonomi mereka. Rakom dengan demikian tidak bisa didirikan hanya oleh segelintir warga dengan mengatasnamakan semua warga komunitas tanpa ada dukungan nyata dari seluruh komponen warga komunitas. Agar menguat rasa memiliki warga terhadap keberadaan radkom, maka sebelum mendirikannya harus ditempuh empat langkah yaitu : Pertama, menjajaki inisiatif pendirian rakom. Kemudian, mencari dukungan dan menyamakan pandangan. Tahap ini merupakan inti dari pengembangan radio komunitas karena akan menentukan: apakah radio ini milik segelintir orang (para inisiator) saja, atau milik komunitas tersebut. Jadi, gagasan pengembangan radio komunitas perlu disosialisasikan untuk mendapat dukungan. Sosialisasi pengembangan rakom juga perlu dilakukan dengan simpul-simpul masyarakat, tokoh, dan kalangan berpengaruh yang diharapkan mendukung. Tetapi, lebih
JURNAL
16 KOMUNIKATOR
penting adalah mensosialisasikan kepada masyarakat umum agar rakom menjadi milik bersama: sejak awal sudah membangun pengertian bahwa rakom merupakan kegiatan dari, untuk, dan oleh masyarakat. Yang perlu ditekankan adalah manfaat keberadaan rakom tersebut bagi kemajuan desa. Ketiga, menyusun kelembagaan rakom. Di sini tim inisiator dapat menyelenggarakan sebuah pertemuan masyarakat yang disebut „perencanaan radio komunitas‟. Berbagai elemen masyarakat dapat diundang: Pemerintahn Desa, BPD, organisasi/lembaga masyarakat, individu/tokoh. Bisa juga diminta kehadiran wakil-wakil masyarakat per-dusun/kampung. Pertemuan ini dimaksudkan untuk merumuskan bersama-sama „cita-cita‟ rakom melalui proses partisipatif. Kemudian dilanjutkan dengan menyusun struktur organisasi radio. Pada tahap ini harus ditekankan bahwa paling tidak harus ada 2 badan yang penting sebagai pengelola rakom, yaitu: Dewan Penyiaran Komunitas (DPK) yang merupakan perwakilan warga komunitas dan merupakan forum pertangggungjawaban para pengelola program rakom; Badan Penyelenggara Penyiaran Komunitas (BPPK) yang merupakan tim kerja radio komunitas atau organ/tim yang menyelenggarakan siaran radio komunitas. Keempat, membentuk badan hukum radkom dan perijinan. Badan hukum rakom disebut Lembaga Penyiaran Komunitas (LPK), baik berbentuk perkumpulan maupun koperasi. Sedangkan perijinannya dilakukan melalui Komisi Penyiaran Indonesia Daerah (KPID) sampai ke Menteri Komunikasi dan Informatika (Menkominfo). Persyaratan administrasi perijinan rakom antara lain: dokumen visi, misi, struktur organisasi (susunan dan nama pengurus), akta notaris, tanda tangan 250 orang anggota masyarakat, sumber dana, program siaran, rencana kerja, teknis penyiaran, dll. Dalam kenyataannya, proses pendirian rakom Mustika FM lebih bersifat elitis dan personal bukan merupakan sebuah proses komunal. Bapak Sutadi yang memiliki usaha Koperasi Simpan Usaha Mulya Jaya (yang berlokasi disamping rumah beliau) dan perusahaan PJTKI merasa tertarik untuk ekspansi bisnis penyiaran, meski tidak memiliki latar belakang ketrampilan penyiaran dan keilmuan keradioan. Hal ini kemudian ditambah dengan keluh kesah dari dua orang mantan penyiar rakom yakni Bagus dan Chiko Pribadi. Mendengar keluhan mereka, Sutadi tergerak untuk menyalurkan ketrampilan penyiaran mereka dengan mendirikan stasiun radio. Berkat koneksi dengan Bapak Jonathan, beliau selalu berkonsultasi dengan pengusaha radio Kalimaya Baskara FM di Kota Malang tentang teknis pendirian radio, terutama perangkat siaran. Atas saran dari Jonathan dan setelah menghitung
VOLUME
5 No. 1 Mei 2013 17
keuangan, akhirnya semua perangkat siaran mulai dari komputer, mixer dengan 12 channel, transmitter dll dibeli. Proses perijinan pendirianpun mulai diurus, yakni berupa dua surat keterangan dan surat rekomendasi: Surat Keterangan Peruntukan Penggunaan Tanah berkaitan dengan Tata Ruang Kota Gondanglegi dari Dinas Pemukiman Kab Malang ; dan untuk memperoleh dan Surat Rekomendasi dari Komando Operasi TNI AU II Lanud Abdurrahman Saleh yang menyatakan bahwa tower pemancar yang akan dibangun tidak mengganggu keselamatan penerbangan. Semua proses ini dilakukan awal tahun 2004. Untuk keperluan tersebut telah dikeluarkan uang tidak lebih dari Rp 10.000.000,- (Sepuluh Juta Rupiah). Ini belum termasuk sewa lahan pendirian tower dan pembangunan studio sebab keduanya masih berada dalam lahan milik Sutadi. Angka tersebut belum termasuk biaya jasa teknisi untuk pemasangan dan pemeliharaan tower. Fasilitas peralatan siaran dan ruang studio berukuran 7m x 6m untuk ukuran sebuah radio komunitas dapat dikatakan sangat mewah. Ketidaktahuan tentang esensi dan aturan perundangan rakom memang harus dibayar mahal baik secara ekonomi maupun sosial bukan saja oleh Sutadi tapi juga masyarakat sekitar dan pendengar setia Mustika FM. Mungkin saja semangat awalnya adalah rakom karena berkeinginan untuk meneruskan ketrampilan dua orang mantan penyiar rakom. Pertanyaannya adalah bagaimana memulai mendirikan rakom serta apa karakterisik utama serta filosofi rakom dibanding dengan jenis penyiaran yang lain? Menurutnya rakom tak ubahnya dengan jenis radio lain, Kalimaya Baskara misalnya yang kebetulan beliau kenal akrab dengan sang pemilik radio swasta tersebut. Tidak heran, kalau semua proses dari belanja peralatan hingga mengurus perijinan dilakoninya sendiri tanpa bantuan dari pihak lain. Sutadi menjadi single fighter (pejuang tunggal) yang mengurus semua aspek pendirian sendiri. Tidak hanya itu, beliau rela menggunakan lahan tanahnya untuk pendirian tower dan membangun studio radio. Perjuangan yang menyita banyak waktu, enerji dan uang yang ia lakoni sendiri ini jelas memiliki tujuan jangka panjang berupa imbalan (reward) ekonomi dan sosial. Proses pendirian rakom Mustika FM yang elitis dan personal jelas tidak seusai dengan esensi dan filosofi rakom yang memang diririkan dari, oleh dan untuk komunitas. Rakom biasanya memiliki karakterisitik sbagai berikut : a. Pengakuan nyata tentang kedudukan warga sebagai pelaku utama penyiaran. b.
Partisipasi nyata masyarakat tidak hanya dalam proses penyelenggaraan penyiaraan tapi juga dalam proses pelaksanaan pengelolaan siaran tapi juga dalam pengawasan pelaksanaan penyiaran dengan menjadi anggota Dewan
JURNAL
18 KOMUNIKATOR
Radio Komunitas. c.
Dukungan nyata dan kepemilikan warga : keberadaan rakom harus mendapatkan dukungan moril dan material dari warga masyarakat sehingga mereka betul merasa memiliki radio tersebut.
d.
Manaj emen swadaya radio baik dalam programming dan pengelolaan dan operasional harian oleh warga masyarakat.
e.
Kredibilitas dan kemandirian editorial lewat komitmen penuh untuk sematamata memenuhi kebutuhan warga masyarakat yang dilayani.
Mahalnya ketidaktahuan yang harus dibayar di sini adalah proses perijinan. Untuk memporoleh ijin penyiaran, Sutadi harus berurusan dengan TNI AU dan Dinas Pemukiman yang sebenarnya tidak ada kaitannya secara langsung dengan masalah penyiaran. Hal itupun lebih terkait dengan surat keterangan dan rekomendasi ketimbang ijin penyelengaraan penyiaran. Masalah penyiaran menurut perundangan memang terkait dengan soal penggunaan gelombang frekuensi elektromagnetik. Penyelenggaraan penyiaran makanya, akan selalu terkait dengan UU No 36 Tahun 1999 Tentang Telekomunikasi yang mengatur penggunaan spektrum radio dan orbit satelit. Meski demikian, hanya satu lembaga yang memiliki kewenangan tunggal dalam bidang penyiaran yakni Komisi Penyiaran Indonesia. Lembaga negara independen ini dibentuk atas amanat Undang-Undang No 32 Tahun 2002 Tentang Penyiaran. Sesuai dengan ketentang UU tersebut, maka KPI dan KPID yang diberi kewenangan untuk memproses pengajuan ijin penyelenggaraan penyiaran. Nah, soal penetapan memperoleh ijin penyiaran akan diputuskan oleh KPI dengan kerjasama dengan Dirjen Pos dan Telekomunikasi Departemen Komunikasi dan Informatika. Andaikan saja ada usaha mencari tahu tentang lembaga yang berwenang memproses ijin penyelenggaraan penyiaran, Sutadi tidak akan bersusah payah untuk berurusan dengan TNI Angkatan Udara. Pemahaman tentang esensi dan filosofi rakom merupakan langkah awal penting yang akan menentukan jatidiri sebuah radio ; apakah ia akan menjadi benar-benar rakom atau rakom yang bersemangatkan radio swasta yang memang lebih mengutamakan meraup keuntungan bisnis. Hal ini karena ketidakpahaman soal esensi dan filosofi rakom tersebut akan berimbas kepada proses memperoleh ijin penyiaran yang tidak benar. Hal tersebut juga akan berakibat pada proses manajemen dan penyelenggaraan siaran yang bertentangan dengan prinsipprinsip penyelenggaran penyiaran komunitas sebagaimana lazim dipraktekkan. Kalau demikian adanya, maka hal tersebut juga akan bertentangan dengan aturan
VOLUME
5 No. 1 Mei 2013 19
perudangan yang berlaku. Yang lebih penting lagi adalah harga sosial yang amat mahal yang harus dibayar oleh pendengar dan warga masyarakat sekitar; yakni hilangnya sebuah ruang publik (public sphere) yang memungkinkan mereka bertemu memperbincangkan permasalahan mereka sendiri lantas berusaha untuk memahami dan menyelesaikan masalah tersebut dari perspektif mereka sendiri. Lewat ruang inilah, warga masyarakat memperoleh kesempatan belajar memberdayakan diri mereka sendiri; lantas membangun sebuah tatanan masyarakat sipil (civil society) yang mampu berfungsi untuk melakukan proses tawar menawar politik dengan pemerintahan lokal demi menjamin kesejahteraan mereka. Dalam prakteknya, yang terjadi justru sebaliknya. Tindakan manajemen radio seolah bertindak sendiri untuk memenuhi kepentingannya sendiri tanpa mengindahkan kebutuhan dan kepentingan dari warga masyarakat dan pendengar sebagai stakeholder utamanya. Karakteristik utama radio komunitas Mustika belum mewujud nyata dalam operasional keseharian. Hal ini bisa dilihat dari beberapa hal : Pertama, isi program siaran yang sebagian besar berorientasi pada hiburan dengan memutar lagu-lagu sesuai keinginan pendengar. Program siaran tersebut cenderung popular dan tidak substantif sama sebanding dengan mata siaran yang terdapat dalam radio swasta. Tidak ada mata acara jurnalistik yang menambah wawasan dan mencerdaskan pendengar. Padahal desakan untuk menayangkan program pemberitaan ini beberapa kali disampaikan oleh baik pendengar dan aparat pemerintah. Namun program siaran jurnalistik yang dicita-citakan inipun tidak kunjugn terwujud dengan dalih tidak ada sumber daya manusia yang mumpuni untuk bidang ini. Proses membuat mata acara siaran tersebut lebih ditentukan oleh keinginan dan perasaan sepihak manajemen radio. Kedua, struktur kelembagaan dan manajemen studio; Meski telah dilakukan perubahan struktur organisasi radio dengan menambahkan struktur baru yakni Dewan Pengawas yang terdiri dari Muspika Kecamatan Gondanglegi dan Penasehat yang dijabat Kepala Desa Ketawang. Tapi keterlibatan para aparat negara dan pemerintah Gondanglegi yang terdiri dari Komandan Rayon Militer, Kepala Kepolisian Sektor, Camat dan Kepala Desa justru akan menjauhkan Mustika FM dari semangat komunitas. Sebab mereka bukan anggota komunitas. Seharusnya warga sekitar terutama tokoh masyarakat dan beberapa anggota Fans Club yang ditokohkan yang seharusnya mengisi posisi tersebut. Ketiga, tidak ada partisipasi warga baik dalam manajemen dan penyelenggaraan penyiaran. Direktur masih menangani kerja lain termasuk marketing dan produksi iklan. Ini karena semangat mengelolanya adalah meraup keuntungan bukan
JURNAL
20 KOMUNIKATOR
melibatkan warga dan memberikan mereka peluang untuk belajar mengelola dan menyelenggarakan siaran. Mekanisme rekrutmen tenaga penyiar telah ditetapkan bahwa calon harus berusia belia yang menutup kesempatan kaum tua untuk berpartisipasi belajar mengembangkan bakat penyiarannya. Partisipasi mereka hanya sebatas menjadi anggota Fans Club yang fungsi dan perannya juga tidak signifikan terhadap manajemen radio. Keempat, dana operasional siaran bersumber dari pendapatan iklan dan kocek pribadi manajemen radio. Model pengelolaan rakom berbeda dengan mengelola sebuah perusahaan radio swasta. Rakom dilarang menerima iklan spot komersial. Yang justru harus dikembangkan adalah iklan layanan masyarakat yang salah satu cara mensiasatinya adalah dengan mendorong para pemasang iklan atau perusahaan di sekitar untuk mensponsori iklan layanan masyarakat atau dengan menjadi sponsor utama untuk mata acara siaran tertentu. Hal ini mengingat fungsi utama rakom adalah mengedepankan layanan publik. Dan fungsi mulia ini sulit dikompromikan dengan motif meraup keuntungan ekonomi. Kelima, dukungan nyata dan kepemilikan warga : keberadaan rakom harus mendapatkan dukungan moril dan material dari warga masyarakat sehingga mereka betul merasa memiliki radio tersebut. Dukungan ini harus diperoleh mulai pada saat penggasan rencana pendirian hingga saat operasional keseharian penyelenggaraan penyiaran. Nah, akan menjadi masalah besar ketika seluruh aset Radio Mustika hanya dimilik Bapak Sutady. Tidak heran, suasana keseharian radio ini terlihat kurang merakyat sebab mereka merasa bahwa radio ini bukan milik mereka. Hal ini kemudian diperburuk dengan kenyataan bahwa mereka tidak diberi peluang untuk terlibat dalam mengelola maupun ikut serta dalam bersiaran. Rakom Mustika, makanya, menjadi pihak asing di tengah komunitasnya sendiri yang seharusnya dilayani kebutuhan dan asipirasinya. Apalagi program siaran yang disiarkan tidak substansif dan kreatif yang seringkali tidak terkait langsung dengan kebutuhan mereka sehingga semakin menghilang fungsi-fungsi sosial rakom ini. Peran rakom Mustika untuk menggiatkan kehidupan kewargaan (civic community) tidak bisa berlangsung maksimal. Hal ini karena prinsip-prinsip penyelenggaraan rakom belum terwujud secara nyata baik pada tahapan pendirian hingga operasional penyelenggaraan penyiaran. Label komunitas pada kenyataannya hanya sekedar nama yang diberikan secara sepihak oleh manajemen radio. Penamaan ini bukan karena disengaja tapi akibat ketidaktahuan manajemen berkaitan dengan esensi, filosofi serta aspek perundangan radio komunitas. Nama tersebut diberikan menurut manajemen mengingat lokasi pendirian yang berada di wilayah pedesaan.
VOLUME
5 No. 1 Mei 2013 21
Bagi mereka juga rakom tidak berbeda dengan radio-radio swasta yang lain baik dalam pembuatan program maupun dalam hal manajemen. Data yang terkumpul menunjukkan bahwa Bapak Sutadi baru menyadari kalau radio yang ia dirikan telah melenceng jauh dari prinsip-prinsip esensial dan legal dari radio komunitas. Untuk itu, telah dilakukan perubahan struktur dalam organisasi Mustika dengan membuat struktur Dewan Pengawas yang terdiri dari Musyawarah Pimpinan Kecamanta Gondanglegi serta Penasehat yang diduduki oleh Kepala Desa Ketawang. Meski demikian perubahan struktur ini tidak serta merta menjadikannya radio komunitas yang sebenarnya. Ketidaktahuan pendiri tentang esensi, filosofi dan aspek perundangan radio komunitas tidak hanya berakibat pada salah kelola operasional rakom. Mismanaj emen rakom ini selanjutnya berdampak pada hilangnya fungsi ruang publik esensial yang sebenarnya bisa dimainkan Mustika FM. Komunitas kewargaan yang mencakup empat aspek ; keterlibatan dalam urusan kewargaan, kesetaraan politik, Solidaritas, kepercayaan dan toleransi, serta asosiasi juga sulit bertumbuh kembang secara substansial. Meski demikian, Mustika FM sebagai media massa masih bisa menjalankan fungsi ruang publik tapi tidak substansial. Dengan kata, meski tidak dikelola ala manajemen radio komunitas, Mustika FM masih mampu menjadi ruang publik sebagian besar para pendengarnya. Kehidupan kewargaan terutama berkaitan dengan solidaritas, kepercayaan dan toleransi serta asosiasi masih bisa berkembang pada sebagian besar pendengar Mustika FM. Solidaritas dan asosiasi ini dapat bertumbuhkembang lewat terbentuknya Fans Club atas fasilitasi dari manajemen Mustika FM. Aspek solidaritas dan kepercayaan ini secara alami terbentuk lewat program siaran yang didominasi oleh interaksi telpon antara penyiar dengan pendengar dan berakhir dengan permintaan memutar lagi tertentu sekaligus kepada siapa lagu tersebut diperuntukkan. Interaksi telpon yang dilakukan pendengar ke studio tentunya dimaksudkan bukan sekedar meminta pemutaran lagi. Kalau ini yang menjadi tujuan utama, tentu sang penelpon tidak perlu mengeluarkan energi dan pulsa untuk menelpon ke studio. Baginya, cukup membeli kaset atau menyalinnya dari kawan, lantas mendengarkannya sepuas hati di ruang pribadinya. Nah, tentu ada kenikmatan psikologis lain yang dirasakan penelpon saat berinteraksi ke studio meski hal ini tidak mudah ia memperolehnya; menelpon lantas diterima dan dapat on air. Ia harus berkali-kali menelpon sebab banyak pendengar yang juga memiliki keinginan yang sama. Ia akan mendapatkan kepuasan psikologis saat suaranya di diudarakan, berkomunikasi dengan penyiar idolanya, menyampaikan salam kepada
JURNAL
22 KOMUNIKATOR
sesama pendengar serta menerima ucapan salam dari kawan yang lain. Dalam interaksi telpon tersebut, penyiar menyapa pendengar dan terjadi komunikasi hangat antara kedua belah pihak yang dilanjutkan dengan saling menyapa dan berkirim salam dari penelpon kepada pendengar lain. Pada saat yang bersamaan, penyiar lewat pesawat telpon mapun SMS di studio menyampaikan kepada penelpon kalau ada titipan salam dari pendengar X. Sang penelponpun menyampaikan salam balik kepada pengirim salam dan demikian seterusnya. Tidak heran, kalau dalam satu kali telpon interaktif yang diudarakan terdapat 4 sampai 5 kali kiriman salam dari pendengar tergantung derajat popularitas sang penelpon. Semakin terkenal sang penelpon di kalangan pendengar semakin banyak pula kiriman salam yang akan ia terima. Apalagi obrolan akrab di udara antara penyiar dengan penelpon bisa mengambil hingga 5 menit lamanya. Suasana ini tampak pada acara Gencar Ndut yang disiarkan setiap hari mulai pukul 22:00-24:00 kecuali hari Minggu dan Sabtu. Hal yang sama juga berlaku pada mata acara siaran yang lain. Suasana siaran udara yang nampak hangat, akrab dan sedikit menggoda inilah yang membuat sebagian besar pendengar yang seringkali menggunakan nama samaran ketika di udara untuk bertemu secara tatap muka alias ‟kopi darat‟. Acara ‟kopi darat‟ ini kemudian digelar selama tiga jam pada setiap hari Sabtu mulai pukul 18:00-21:00 dengan nama program siaran ”Karaoke Live”. Di sini selain bertemu secara tatap muka, para pendengar yang ingin bertemu juga diajak untuk berkaraoke yang juga disiarkan secara langsung.
Penutup Dari paparan diatas dapat disimpulkan beberapa poin sebagai berikut, Pertama, pemahaman manajemen Radio Mustika FM tentang esensi, filosofi dan aspek perundangan tentang radio komunitas buruk. Ketidaktahuan mereka bukan disengaja tapi akibat belum meratanya proses sosialisasi perundangan nasional. Kerugian sosial politik besar akhirnya harus di derita masyarakat akibat hilangnya ruang publik yang seharusnya mampu memberdayakan mereka sebagai kaum yang terpinggirkan. Ini terj adi dengan direduksinya Mustika FM menj adi sekedar perangkat meraup keuntungan ekonomi manajemen ketimbang sarana mencerdaskan dan memberdayakan warga masyarakat . Kedua, ketidaktahuan mereka tentang esensi, filosofi radio komunitas ini juga berdampak langsung terhadap kinerja operasional penyiaran Mustika FM yang sangat jauh dari memenuhi kepentingan publik. Radio komunitas yang seharusnya media yang dikelola oleh, dari dan untuk warga komunitas beralih menjadi media yang dikelola oleh, dari dan untuk kepentingan manajemen. Tidak ada partisipasi
VOLUME
5 No. 1 Mei 2013 23
warga baik dalam manajemen maupun pengelolaan program siaran. Demikian juga, tidak rasa memiliki radio sebab Mustika semenjak didirikan hingga operasional didominasi oleh satu orang pemilik modal. Hal yang sama juga berlaku untuk mata siaran yang ditayangkan tidak dapat melayani kepentingan semua warga komunitas. Program tersebut cenderung ngepop, tidak substantif yang berfungsi untuk mencerahkan warga komunitas. Ketiga, kehidupan kewargaan (civic community) yang mendorong warga untuk terlibat aktif dalam urusan bersama, persamaan politik, solidaritas, dan asosiasi tidak dapat berkembang dengan maksimal dan substansial. Dari keempat aspek tersebut, hanya unsur solidaritas dan asosiasi yang dapat berkembang meski perkembangan tidak berkelanjutan dan tidak substantif sebab menyangkut permasalahan remeh temeh (trivialities). Kalau ada pendampingan dan pembinaan oleh akademisi, lembaga swadaya masyarakat, dan pemerintah, maka rakom dapat memainkan peran strategisnya dalam menumbuhkembangkan tatanan komunitas kewargaan sehingga mampu mendorong proses demokratisasi desa dalam rangka memberdayakan mereka menuju kesejahteraan bersama warga komunitas. Singkat kata, terdapat korelasi positif antara pengembangan dan penguatan civic communities dengan akses terhadap teknologi komunikasi dalam hal ini teknologi radio penyiaran yang murah dan mudah diakses oleh segenap warga komunitas. Dari simpulan tersebut dapat disampaikan beberapa saran sebagai berikut, Pertama, mengintensifkan sosialisasi tentang esensi dan praktek radio komunitas lewat jalinan kerjasama antara masyarakat kampus, pemerintah baik daerah mapun pusat dan Lembaga Swadaya Masyarakat kepada tidak hanya kepada pegiat rakom tapi juga warga masyarakat luas. Penekanan dalam hal ini harus diberikan kepada aspek „software‟ (pelatihan, pembinaan, pendampingan tentang esensi dan filosofi serta pengelolaan rakom) ketimbang „hardware’ rakom. Kedua, mendorong pemerintah baik daerah maupun pusat untuk memberikan perhatian khusus terhadap keberadaan rakom dalam upaya pembangunan masyarakat di pedesaaan lewat bantuan teknis maupun fasilitas dalam aspek regulasi ijin penyelenggaraan penyiaran serta perangkat teknologi informasi dan komunikasi bagi radio komunitas. Sebab rakom memegang peran strategis dalam membentuk masyarakat sipil terutama pada masyarakat pedesaan lewat penguatan modal sosial masyarakat dan penumbuhkembangan komunitas kewargaan (civic communities) aan. Hal ini mengingat bahwa kaum marginal banyak tinggal di daerah terpencil yang jauh dari hingar bingar pembangunan nasional yang seringkali masuk daerah blank spot area (area tak tersentuh perkembangan teknologi informasi dan komunikasi).
JURNAL
24 KOMUNIKATOR
Daftar Pustaka Aryani, Sri & Ahmad Nasir (2003). Radio Komunitas Itu Sarat Kepentingan Komunitas, dalam Gazali, Effendi, Menayang, Victor et.al (ed)., (2003), Konstruksi Sosial Dunia Penyiaran: Plus Acuan Tentang Penyiaran Publik dan Komunitas. Jakarta, Departemen Ilmu Komunikasi FISIP, Universitas Indonesia Ahmad Natsir dkk.[ed] (2007). Media Rakyat: Mengorganisasi Diri Melalui Informasi. Yogyakarta, Combine Resource Institute bekerjasama dengan Ford Foundation. Birowo, Mario Antonius (2008). Community Radio Movement in Indonesia: A Case Study of Jaringan Radio Komunitas Yogyakarta (Yogyakarta Community Radio Networks), diunduh dari www.mediaasiaconference.humanities.curtin.edu.au/pdf/ Mario%20Antonius%20Birowo.pdf pada tanggal 28-7-08) Croteau, David & Hoynes, William (2001). The Business Of Media: Corporate Media and The Public Interest. California, Pine Forge Press Estrada, Restrepo Sonia & Fraser, Colin (2001). Community Radio Handbook. UNESCO Gazali, Effendi, Menayang, Victor et.al [ed] (2003). Konstruksi Sosial Dunia Penyiaran: Plus Acuan Tentang Penyiaran Publik dan Komunitas. Jakarta, Departemen Ilmu Komunikasi FISIP, Universitas Indonesia. Hidayat, N. Dedy, Fundamentalisme Pasar dan Konstruksi Sosial Industri Penyiaran: Kerangka Teori Mengamati Pertarungan di Sektor Penyiaran, dalam Gazali, Effendi, Menayang, Victor et.al [ed]., (2003), Konstruksi Sosial Dunia Penyiaran: Plus Acuan Tentang Penyiaran Publik dan Komunitas. Jakarta, Departemen Ilmu Komunikasi FISIP, Universitas Indonesia, Jakarta. Ibrahim, Subandi Idi (2004). Dari Nalar Keterasingan Menuju Nalar Pencerahan: Ruang Publik dan Komunikasi Dalam Pandangan Soedjatmoko. Yogyakarta, Jalasutra Jonathans, Errol (2006). Socrates di Radio: Esai-Esai Jagad Keradioan. Yogyakarta, Gong Plus Jonathans, Errol, Jurnalistik Radio, dalam Mirza, S Layla (2000). Politik dan Radio : Buku Pegangan Bagi Jurnalis Radio. Jakarta, Friedrich-Naumann-Stiftung Johnson, Fred (2008). What’s Going On In Community Media, Benton Foundation, diunduh dari www.newstips.org/pdf/CMReport-6.pdf (tanggal 14-07-08) Kanamaya, Tomoko, Community Ties and Revitalization : The Role o Community Radio in Japan, Keio Communication Review, No 29, 2007 diunduh dari www.mediacom.
VOLUME
5 No. 1 Mei 2013 25
keio.ac.jp/publication/pdf2007/pdf/Tomoko%20KANAYAMA.pdf (tanggal 29-07-08) Masduki (2003). Radio Siaran Dan Demokratisasi. Yogyakarta, Jendela Masduki (2004). Menjadi Broadcaster Profesional. Yogyakarta, Pustaka Populer LKIS Masduki (2007). Radio Komunitas: Belajar Dari Lapangan. Jakarta, Bank Dunia Kantor Perwakilan Jakarta. McQuail, Dennis (2000). Mass Communication Theory. London, Sage Publication McQuail, Dennis, (1992. Media Performace: Mass Communication and The Public Interest. London, Sage Publication McChesney, Robert W (2000). Rich Media, Poor Democracy: Communication in Dubious Politics. New York, The New Press Mufid, Muhammad (2005). Komunikasi & Regulasi Penyiaran. Jakarta, Prenada Media Mufid, Khoirul (20060 Manajemen Kelembagaan Radio Komunitas Mustika FM Ketawang Gondanglegi Kab Malang, Skripsi Mahasiswa Jurusan Ilmu Komunikasi FISIP Universitas Merdeka Malang. Mulyana Dedy (2003). Metode Penelitian Kualitatif: Paradigma Baru Ilmu Komunikasi dan Ilmu Sosial lainnya. Bandung, Remaja Rosdakarya Mirza, S, Layla [ed] (2004). Radio & Pemilu 2004. Jakarta, Friedrich-NaumannStiftung Nugroho, Garin (2004). Seni Merayu Massa. Jakarta, Penerbit Buku Kompas Pandjaitan, Hinca IP & Cahaya DR Sinaga [ed] (2000). Prosiding Seminar Penyiaran 2000 Aspek Regulasi & Kebijakan. Jakarta, Media Law Department Internews Indonesia & Pengurus Pusat Persatuan Radio Siaran Swasta Nasional Indonesia Putnam, R. D. (1993) Making Democracy Work. Civic Traditions in Modern Italy. Princeton, Princeton University Press Rahmawati, Atie (2007). Radio Komunitas : Eskalasi Demokratisasi Komunikasi. Bandung, Simbiosa Rekatama Media Rachman , Zulfikar Mochamad (2007). Panduan Untuk Fasilitator Infomobilisasi: Mengembangkan Media Komunikasi Berbasis Masyarakat. Jakarta, Tim Partnerships for e-Prosperity for the Poor (Pe-PP) Bappenas – UNDP Senjaja, S. Djuarsa dan Ashadi Siregar (2001). Kumpulan Makalah Seminar Televisi Publik, Yogyakarta: UGM, dalam Wuryanta, Wenats, AG. Eka, Penyiaran Publik dan Public Sphere, http://ekawenats.blogspot.com/2006/04/penyiaran-publikdan-public-sphere.html (21-4-06)
JURNAL
26 KOMUNIKATOR
Sudibyo, Agus (2004), Ekonomi Politik Media Penyiaran. Yogyakarta, LKIS Sudibyo, Agus (2001), Politik Media dan Pertarungan Wacana. Yogyakarta, LKIS Smith, M. K. (2001) „Community‟ in the encyclopedia of informal education, http: / /www. infed.org/community/community.htm. (10-02-07) Smith, M. K. (2001) „ Smith, M. K. (2001) „Community‟ in the encyclopedia of informal education, „ in the encyclopedia of informal education, http://www.infed.org/association/civic community.htm (10-02-07) Schmich, Louise K. Davidson, Searching For the Origins of Civic Community In Central Europe: Evidence From Eastern And Western Germany, diunduh dari www. moya.bus.miami.edu/~ldavidson-schmi/demo.pdf (tanggal 26-07-08) Penulis anonim, (tidak ada tahun), Ringkasan Hasil Studi/Kajian Pengembangan Media Komunitas, dalam situs www.bappenas.go.id/.../&view=50/media_komunitas. pdf (15-01-07) Tabing, Louie (2002), How To Do Radio Community: A Primer for Community Radio Operators, United Nations Educational, Scientific and Cultural Organization UNESCO, Asia-Pacific Bureau For Communication and Information, New Delhi, India, pada situs http://www.unesco.org/webworld.radio community. pdf Van Vuuren, Catharina Cornelia Maria (2004). Community Participation in Australian Community Broadcasting: A Comparative Study of Rural, Regional and Remote Radio, Unpublished Dissertation in fulfillment of the requirement of the Degree of Philosophy School of Art Media, and Culture Faculty of Arts Griffith Unversty Komite Budaya dan Pendidikan Parlemen Eropa 2004-2009. On Measures to Support Alternative Media in Europe In Order to Guarantee a Pluralistic Media Environment and Cultural Diversity KEPUTUSAN KOMISI PENYIARAN INDONESIA NOMOR : 41 /SK/ KPI/08/2005 Tentang Panduan Prosedur Administratif Permohonan Izin Penyelenggaraan Penyiaran Bagi Lembaga Penyiaran Jasa Penyiaran Radio dan Jasa Penyiaran Televisi Zakiyyah, Sofiatus (2008). Peran Radio Komunitas dalam Mengembangkan Apresiasi Budaya Lokal : Studi Kasus di Radio Komunitas SMEAMU FM Kepanjen Kab Malang, Skripsi Mahasiswa Jurusan Ilmu Komunikasi FISIP Universitas Merdeka Malang