TERAPI METADON DAN HUBUNGANNYA DENGAN INTENSITAS KECEMASAN DAN TINGKAT DEPRESI PASIEN NARKOBA PUSKESMAS TEBET JAKARTA
Oleh : ACHMAD FIRDAUS NIM : 105070002219
Skripsi diajukan untuk memenuhi sebagian persyaratan dalam memperoleh gelar Sarjana Psikologi
FAKULTAS PSIKOLOGI UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA 1431 H/2010 M
TERAPI METADON DAN HUBUNGANNYA DENGAN INTENSITAS KECEMASAN DAN TINGKAT DEPRESI PASIEN NARKOBA PUSKESMAS TEBET JAKARTA
Skripsi Diajukan kepada Fakultas Psikologi untuk memenuhi syarat-syarat memperoleh gelar Sarjana Psikologi
Oleh : ACHMAD FIRDAUS NIM : 105070002219
Di Bawah Bimbingan
Pembimbing I
Pembimbing II
Bambang Suryadi, Ph.D NIP. 250 326 891
Rena Latifa, M.Psi NIP. 150 408 704
FAKULTAS PSIKOLOGI UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA 1431 H/2010 M
PENGESAHAN PANITIA UJIAN Skripsi yang berjudul TERAPI METADON DAN HUBUNGANNYA DENGAN INTENSITAS KECEMASAN DAN TINGKAT DEPRESI PASIEN NARKOBA PUSKESMAS TEBET JAKARTA telah diujikan dalam sidang munaqasyah Fakultas Psikologi Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta pada tanggal 21 Januari 2010. Skripsi ini telah diterima sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Psikologi. Jakarta, 27 Januari 2010
Sidang Munaqasyah Dekan/ Ketua Merangkap Anggota
Pembantu Dekan/ Sekretaris Merangkap Anggota
Jahja Umar, Ph.D NIP. 130 885 522
Dra. Fadhilah Suralaga, M.Si NIP. 19561223 198303 2001 Anggota :
Penguji I
Penguji II
Neneng Tati Sumiati, M.Si, Psi NIP. 150 300 679
Bambang Suryadi, Ph.D NIP. 250 326 891
Pembimbing I
Pembimbing II
Bambang Suryadi, Ph.D NIP. 250 326 891
Rena Latifa, M.Psi NIP. 150 408 704
“Dengan Ilmu Kita Dapat Membuka Jendela Dunia”
Persembahan buat : H. Muhammad Yusuf dan Hj. Mas’ah, Orang tua tercinta
ABSTRAK ( A ) Fakultas Psikologi ( B ) 2009 Desember ( C ) Achmad Firdaus ( D ) Terapi Metadon dan Hubungannya Dengan Intensitas Kecemasan dan Tingkat Depresi Pasien Narkoba di Puskesmas Tebet Jakarta ( E ) 83 Halaman + Lampiran ( F ) Terapi metadon merupakan suatu bentuk terapi pemberian obat metadon yang ditujukan kepada pasien ketergantungan opioida, sebagai bentuk pengalihan dari sifat ketergantungannya terhadap zat tersebut. Metadon secara klinis memiliki efek samping terhadap fungsi psikologis. Terlihat semakin banyaknya pasien narkoba yang menggunakan Program Rumatan Terapi Metadon (PRTM), semakin pentingnya untuk dilakukan penelitian tentang kemungkinan terjadinya dampak psikopatologis, terutama kecemasan dan depresi, dikarenakan penelitian mengenai faktor-faktor yang berkaitan tentang kemungkinan terjadinya gangguan mental pada pasien narkoba yang menggunakan terapi metadon masih sangat minim. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui hubungan penggunaan terapi metadon dengan intensitas kecemasan dan tingkat depresi pasien narkoba. Penelitian ini bersifat kuantitatif. Angket diberikan pada pasien narkoba yang menggunakan terapi metadon di Puskesmas Tebet Jakarta dengan menggunakan MINI ICD-10. 35 pasien dengan rerata umur 20 – 29 tahun. 94,3% diantaranya lakilaki, 65,7% memiliki pendidikan setingkat SMA. Dari hasil penelitian, 29% didiagnosis mengalami gangguan anxietas menyeluruh, 26% gangguan panik, 26% episode depresif, 14% distimia, 11% gangguan obsesif kompulsif, dan 6% agorafobia. Hasil analisis data, menunjukkan adanya hubungan yang signifikan antara penggunaan terapi metadon dengan intensitas kecemasan dan tingkat depresi pasien narkoba (p < 0,05). Dapat disimpulkan bahwa adanya hubungan antara penggunaan terapi metadon dengan intesitas kecemasan dan tingkat depresi pasien narkoba dan ditemukan juga adanya pengaruh yang signifikan antara responden yang menggunakan terapi metadon dalam jangka waktu yang sebentar dengan responden yang menggunakan terapi metadon dalam jangka waktu yang lama, dan juga antara responden dengan penggunaan dosis yang rendah dengan dosis yang tinggi, sekalipun responden yang menggunakan sampai pada waktu yang lama dan sampai dengan dosis yang tinggi, mengalami gangguan kecemasan atau depresi dalam jumlah yang kecil. Untuk itu
masih harus dicarikan alternatif lain dalam upaya penatalaksanaan atau penanganan bagi para pecandu. (G) Bahan Bacaan Kata kunci
: 10 Buku, 3 Jurnal, 15 Buku Online : Kecemasan, Depresi, Terapi Metadon
ABSTRACT ( A ) Faculty of Psychology ( B ) 2009 December ( C ) Achmad Firdaus ( D ) Metadhone Therapy and Correlation With Intensity of Anxiety and Depression Levels Patient Drug in the Health Center Tebet Jakarta ( E ) 83 Page + Enclosure ( F ) Methadone therapy is a form of drug delivery methadone therapy directed toward patients opioida dependence, as a form of diversion from the nature of substance dependence. Methadone are clinically have side effects on psychological functioning. Looks more and more patients using the drug methadone therapy Weak Program (PRTM), the more important to do research on the possibility of psychopathological effects, particularly anxiety and depression, because research on factors related to the possibility of mental disorders in patients using the drug methadone therapy is still very minimal. The purpose of this study is to see how much the intensity of anxiety and depression levels of patients who use the drug methadone therapy. This research is quantitative. Questionnaire given to patients who use the drug methadone therapy at the health center Tebet Jakarta by using ICD-10 MINI. 35 patients were interviewed with the average age of 20 to 29 years. 94.3% of them male, 65.7% had high school level education. From the results of research, 29% diagnosed with generalized anxiety disorders, 26% panic disorder, 26% depressive episode, 14% distimia, 11% obsessive compulsive disorder, and 6% agorafobia. The results of data analysis, suggesting a significant relationship between the use of methadone therapy with the intensity of anxiety and depression levels of drug patients (p <0.05). Can be concluded that the relationship between the use of methadone treatment with the intensity of anxiety and depression levels of drug patients and found also a significant influence among respondents who use methadone therapy within a minute with respondents who use methadone therapy in the long run, and also between the respondents with the use of low doses with high doses, although respondents who use until the time long and up to high doses, have anxiety disorders or depression in
small amounts. For that still need to look for other alternatives in order management or treatment for addicts. ( G ) Materials Reading Key words
: 10 Books, 3 Journals, 15 Books Online : Anxiety, Depression, Metadhone Therapy
KATA PENGANTAR Puji syukur kehadirat Allah SWT atas segala karunia-Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini sebagai karya tulis ilmiah mahasiswa program strata satu. Tema dipilih adalah Terapi Metadon dan Hubungannya Dengan Intensitas Kecemasan dan Tingkat Depresi Pasien Narkoba yang penelitiannya dilaksanakan pada bulan Juli sampai bulan September di Puskesmas Tebet Jakarta. Dalam proses penyusunan dan penyempurnaan skripsi ini, penulis mengucapkan terima kasih kepada pembimbing atas ketulusannya dalam membimbing, yaitu Bambang Suryadi, Ph.D. (Pembimbing I), Rena Latifa, M.Psi. (Pembimbing II), dan Jahya Umar, Ph.D (Dekan Fakultas Psikologi) yang telah banyak membantu penulis selama studi di Fakultas Psikologi UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Ucapan terima kasih kepada dr. Fadlinah (kepala penanggung jawab Program Rumatan Terapi Metadon) Puskesmas Tebet Jakarta, sekaligus kepada semua partisipan, yaitu Abang Hengky, Ridwan, Jery, Reza, Mukarom, Dziki, Mba’ Arum, dan semua teman-teman MUST (Metadon User Society Tebet). Ucapan terima kasih kepada Bapak Pungky (Yayasan Pelita Ilmu) dan Ka’ Lia (BNN) atas saran dan nasehatnya dalam setiap kesempatan diskusi. Terima kasih kepada teman-teman angkatan 2005, Dita, Hany, Mutia, Ary, Nisa, Hamdah, Wahyu, Lina, Nina, Ida, Rahmi, Qory, Dalla, Icha, Syifa, Yudi, Najib, Ady, Syafi’i, dan semua teman-teman yang tak terlupakan. Penulis menyampaikan penghargaan yang tulus kepada ayah ibu tercinta, H. Muhammad Jusuf dan Hj. Mas’ah serta Kakanda Maryam dan Mahdie, Safuroh dan Akmal, Rohmatulloh dan Sri Winarni, Sarkowi, dan Erniyati atas segala do’a dan kasih sayangnya. Semoga Allah SWT meridhoi hasil karya ilmiah ini menjadi bermanfaat.
Jakarta, Januari 2010
Achmad Firdaus
DAFTAR ISI Halaman Judul Halaman persetujuan Halaman pengesahan Motto Dedikasi Abstract Kata Pengantar Daftar Isi Daftar Tabel Daftar Gambar
i ii iii iv iv v ix x xiii xiv
BAB 1
PENDAHULUAN 1.1. Latar belakang masalah .......................................................... 1.2. Identifikasi masalah ………………………........................... 1.3. Pembatasan dan perumusan masalah ..................................... 1.3.1. Pembatasan masalah .................................................. 1.3.2. Perumusan masalah ................................................... 1.4. Tujuan dan manfaat penelitian ...........……………................ 1.4.1. Tujuan penelitian ....……………………................... 1.4.2. Manfaat penelitian ..……………………................... 1.5. Sistematika penulisan ............................................................
1-9 1 6 6 6 7 7 7 8 9
BAB 2
KAJIAN PUSTAKA 2.1. Gangguan depresif dan anxietas ....……………………........ 2.1.1. Gangguan depresif ……….……………………........ A. Jenis-jenis depresi ..................................................... B. Faktor-faktor penyebab gangguan depresif ............... 1. Episode depresif …….………………….............. 2. Distimia ................................................................ 2.1.2. Gangguan anxietas …..………………………........... A. Jenis-jenis gangguan anxietas ................................... B. Faktor-faktor penyebab gangguan anxietas .............. 1. Gangguan anxietas menyeluruh ……….............. 2. Gangguan panik ……..………………................. 3. Agorafobia ……………………………............... 4. Gangguan obsesif kompulsif……………............ 2.2. Terapi metadon …….……………………………………..... 2.2.1. Program layanan terapi ketergantungan NAPZA 2.2.2. Metadon …..…………………………………...........
10 - 62 10 10 11 12 15 19 22 23 24 29 33 35 38 42 42 47
A. B. C. D.
BAB 3
BAB 4
Dampak psikologis terapi metadon ........................... Farmakokinetik ……..…………………................... Farmakodinamik ………………….…….................. Penggunaan dosis metadon: Opioid-Pasien Pemula ………………….................. E. Penggunaan dosis metadon: Opioid-Pasien Toleran …….…………..................... 2.3. Kerangka berpikir …..…………………………………........ 2.4. Hipotesis ................................................................................
49 52 53
METODOLOGI PENELITIAN 3.1. Jenis penelitian …………………………………………...... 3.1.1. Pendekatan dan metode penelitian …........................ 3.1.2. Variabel penelitian dan definisi operasional Variable ………………………………..................... A. Independent Variabel (IV) ........................................ B. Dependent Variabel (DV) ......................................... 3.2. Pengambilan sampel .............................................................. 3.2.1. Populasi dan sampel .................................................. 3.2.2. Teknik pengambilan sampel ...................................... 3.3. Pengumpulan data .................................................................. 3.3.1. Instrumen ................................................................... 3.3.2. Hasil uji reliabilitas dan validitas MINI ICD-10........ 3.3.3. Teknik dan prosedur penelitian .…............................. 3.3.4. Teknik analisis data ....................................................
63 - 71 63 63
PRESENTASI DAN ANALISA DATA 4.1. Gambaran umum subjek penelitian ....................................... 4.1.1. Gambaran umum latar belakang responden pasien narkoba yang menggunakan terapi metadon 4.2. Presentasi data ....................................................................... 4.2.1. Frekuensi dan jenis gangguan mental pada responden 4.2.2. Uji hipotesis ............................................................... A. Hubungan antara lamanya terapi metadon dengan gangguan depresi ……............................................... B. Hubungan antara dosis penggunaan metadon dengan gangguan depresi ……............................................... C. Hubungan antara lamanya terapi metadon dengan gangguan kecemasan ................................................. D. Hubungan antara dosis penggunaan metadon dengan gangguan kecemasan ……………............................. 4.3. Pembahasan hasil pengujian hipotesis ....................................
72 - 79 72
55 56 57 62
63 63 63 65 65 65 65 65 67 70 71
72 74 74 76 76 77 77 78 79
BAB 5
KESIMPULAN, DISKUSI DAN SARAN 80 - 83 5.1. Kesimpulan .…………………………………………........... 80 5.2. Diskusi ....…………………………………………............... 81 5.3. Saran ...…………………………………………………....... 82
DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN
DAFTAR TABEL Tabel 2.1. 2.2. 2.3. 2.4. 2.5. 2.6. 2.7. 2.8.
Halaman
Kriteria diagnostik untuk episode depresif berat .........………........... Kriteria diagnostik untuk gangguan distimik .........……………….... Kriteria diagnostik untuk gangguan anxietas menyeluruh ................. Kriteria diagnostik untuk serangan panik ……………………........... Kriteria diagnostik untuk agorafobia ..............…………………….... Kriteria diagnostik untuk gangguan obsesif kompulsif ....………...... Perbandingan umur paruh metadon dan morpin ………..................... Efek klinis metadon dalam reseptor Mu (µ), Kappa (κ), dan Delta (δ) ......................……………………………………………..... 2.9. Contoh: Pemberian titrasi metadon Opioid-Pasien Pemula ................ 2.10. Perbandingan dosis obat EDR: Perubahan morpin ke metadon .......... 3.1. Hasil perbandingan uji reliabilitas MINI ICD-10 ............................... 4.1. Sebaran responden berdasarkan karakteristik sosial, ekonomi, dan demografi ...................................................................................... 4.2. Sebaran responden berdasarkan karakteristik jumlah gangguan mental ..................................................................................
16 20 30 34 36 39 52 54 56 57 70 73 75
DAFTAR GAMBAR Gambar 2.1.
Dampak psikologis terhadap penggunaan metadon ...........................
Halaman 61
BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar belakang masalah Akhir tahun 2000 terdata sekitar 3,5 juta orang penyalahguna Narkotika Psikotropika dan Zat Adikif (NAPZA) di Indonesia. Diindikasikan, besarnya jumlah ini disebabkan Indonesia bukan lagi sekedar daerah transit jalur perdagangan NAPZA, namun menjadi daerah tujuan perdagangan NAPZA (Tambunan dalam Mohan Siddiq Dharma, 2008).
Penelitian yang telah dilakukan oleh Badan Narkotika Nasional (BNN) menunjukkan bahwa satu setengah persen populasi penduduk Indonesia berarti 3,2 juta orang dengan kisaran 2,9 juta sampai 3,6 juta orang terlibat penyalahgunaan narkoba, lakilaki 79% dan perempuan 21% (BNN, 2007).
Khusus untuk pecandu, 75% pemakai ganja, 62% pemakai putaw/heroin, 57% pemakai shabu, 34% pemakai ekstasi dan 22% pemakai obat penenang (catatan: persentase tersebut menunjukkan para penyalahguna mengkonsumsi lebih dari satu jenis narkoba), selain itu 15 ribu orang tiap tahun meninggal karena narkoba (BNN, 2007).
Penyalahgunaan NAPZA mempunyai dimensi yang luas dan kompleks. Dari sekian banyak permasalahan yang ditimbulkan sebagai dampak penyalahgunaan NAPZA antara lain : 1. Merusak hubungan kekeluargaan. 2. Menurunkan kemampuan belajar dan produktivitas kerja secara drastis. 3. Perubahan perilaku menjadi antisosial. 4. Gangguan kesehatan (fisik dan mental). 5. Tindak kekerasan dan kriminalitas lainnya (Dadang Hawari dalam Mohan Siddiq Dharma, 2008).
Dadang Hawari (1991) menyatakan dalam penelitiannya tentang pemeriksaan klinis terhadap pasien penyalahgunaan zat di Rumah Sakit Ketergantungan Obat (RSKO) Jakarta bahwa 75 orang kasus penyalahgunaan zat diperoleh adanya hubungan yang bermakna antara penyalahgunaan zat dengan gangguan kepribadian antisosial, kecemasan, depresi, dan kondisi keluarga. Resiko relatif (estimated relative risk) penyalahgunaan zat terhadap gangguan kepribadian antisosial = 19,9%; kecemasan =13,8%; depresi = 18,8%; dan kondisi keluarga = 7,9%.
Brill (Dalam Dadang Hawari, 1991) menyatakan bahwa kecemasan dan depresi sering ditemukan pada penyalahguna zat. Penyalahgunaan zat yang mereka lakukan dimaksudkan untuk menutupi gangguan afektif tersebut.
Kaplan dan Sadock (1997) menyatakan bahwa gejala depresi sering ditemukan di antara orang-orang dengan penyalahgunaan zat atau ketergantungan zat. Kira-kira sepertiga sampai setengah dari semua orang yang melakukan penyalahgunaan opioid atau ketergantungan opioid.
Dalam hal ini, tingkatan layanan terapi ketergantungan NAPZA dalam upaya mendukung proses pemulihan cukup bervariasi, tergantung dari derajat keparahan dan seberapa intensif terapi diperlukan. Bentuk-bentuk terapi ketergantungan NAPZA antara lain adalah: Detoksifikasi dan Terapi Withdrawal, Terapi terhadap Kondisi Emergensi, Terapi Gangguan Diagnosis Ganda, Terapi Rawat Jalan (Ambulatory atau Out-Patient Treatment), Terapi Residensi (residential treatment), Terapi Pencegahan Relaps, Terapi Pasca Perawatan (after care), Terapi Substitusi (Substitution Therapy) (Dalam lampiran Keputusan Menteri Kesehatan, 2006).
Terapi substitusi terutama ditunjukkan kepada pasien ketergantungan opioida. Substitusi yang digunakan dapat bersifat methadone, buphrenorphine atau naltrexone. Methadone Maintenance Therapy (MMT), sering disebut Terapi Rumatan Metadone (TRM) yang paling umum dijalankan (Dalam lampiran Keputusan Menteri Kesehatan, 2006).
Metadon adalah suatu narkotik sintesis (suatu opioid) yang menggantikan heroin dan dapat digunakan per-oral. Obat ini diberikan pada pasien kecanduan untuk
menggantikan zat yang biasanya disalahgunakannya, dan obat ini menekan gejala putus zat (Kaplan & Sadock, 1997).
Pelaksanaan Program Terapi Rumatan Metadon (PRTM) di Jakarta telah berkembang pesat. Walau masih menghadapi banyak kendala, program terapi metadon makin banyak diminati pecandu guna menanggulangi ketergantungan narkoba sekaligus menekan risiko penularan HIV/AIDS akibat penggunaan jarum suntik secara bergantian dengan jumlah pasien yang terdaftar mencapai lebih dari 1.200 orang," ungkap Kepala Pelaksana Harian Komisi Penanggulangan AIDS Provinsi (KPAP) DKI Jakarta, Rohana Manggala (Kompas, 2008).
Terapi oral metadon merupakan salah satu pilihan bagi pecandu untuk meminimalkan risiko ketergantungan opioid dan menormalkan gaya hidup. Terapi metadon dapat membantu orang yang ketergantungan mencapai keadaan bebas obat dengan cara detoksifikasi dan mencapai tujuan akhir yakni meningkatnya status kesehatan dan produktivitas pasien. Sekaligus juga efektif menekan dampak buruk narkoba suntik yakni menurunkan prevalensi penularan HIV dan penyakit menular lainnya di kalangan pengguna jarum suntik (Kompas, 2008).
Menurut Dadang Hawari (1991) adanya hubungan yang bermakna antara penyalahgunaan zat dengan gangguan kepribadian antisosial, kecemasan, depresi, dan kondisi keluarga, ditambah dengan banyaknya permasalahan lain yang memiliki
dimensi yang luas dan kompleks, seperti merusak hubungan kekeluargaan, menurunkan kemampuan belajar dan produktivitas kerja secara drastis, ganguan kesehatan (fisik dan mental) dan tindak kekerasan dan kriminalitas lainnya.
Penggunaan metadon yang merupakan suatu narkotik sintesis (suatu opioid) kemungkinan terjadi efek samping yang berat baik fisik maupun psikis. Efek samping yang biasanya terjadi adalah konstipasi, kepala terasa ringan, pusing, mengantuk, pikiran tidak jernih, berkeringat, mual dan muntah. Bahaya utama karena kelebihan dosis adalah pernafasan. Jika dosis yang diberikan terlalu rendah gejala putus opiat dapat terjadi yang mengakibatkan gejala kram perut, lekas marah, dan punggung serta tulang sendi sakit. Dosis metadon yang terlalu tinggi dapat ditunjukkan oleh gejala seperti kantuk, tertidur, sesak napas dan manik mata mengecil (Soetomo, 2008).
Berdasarkan pemaparan di atas, ”apakah terdapat hubungan yang signifikan antara penggunaan terapi metadon pada pasien narkoba dengan dampak psikopatologis yang sama halnya dengan pemakaian opioid lainnya”, sehingga penting sekali untuk dijadikan pedoman atau sumber informasi sebagai penelitian baru yang akan dilakukan tentang kemungkinan terjadinya dampak psikopatologis, terutama intensitas kecemasan dan tingkat depresi bagi pasien narkoba yang menggunakan terapi metadon.
1.2. Identifikasi masalah a. Seberapa besar intensitas kecemasan dan tingkat depresi pasien narkoba yang menggunakan terapi metadon? b. Apakah ada hubungan yang signifikan antara penggunaan terapi metadon dengan intensitas kecemasan dan tingkat depresi pasien narkoba?
1.3. Pembatasan dan perumusan masalah 1.3.1. Pembatasan masalah Supaya pembahasan tidak meluas dan terarah, penulis memberikan batasan penelitian ini pada terapi metadon dan hubungannya dengan intensitas kecemasan dan tingkat depresi pasien narkoba merupakan fokus dari permasalahan yang akan diteliti dalam penelitian ini. 1. Kecemasan adalah suatu keadaan aprehensi atau keadaan khawatir yang mengeluhkan bahwa sesuatu yang buruk akan segera terjadi (Nevid, Rathus, & Greene, 2005). Intensitas kecemasan adalah keadaan tingkatan atau ukuran intensnya suatu keadaan aprehensi atau keadaan khawatir yang mengeluhkan bahwa sesuatu yang buruk akan segera terjadi. 2. Depresi adalah kondisi perasaan yang terus ada yang mewarnai kehidupan psikologis kita (Nevid, Rathus, & Greene, 2005).
Tingkat depresi adalah tinggi rendahnya kondisi perasaan yang terus ada yang mewarnai kehidupan psikologis kita. 3. Terapi metadon adalah suatu bentuk terapi pemberian obat metadon yang ditujukan kepada pasien ketergantungan opioida yang digunakan per-oral, sebagai bentuk pengalihan dari sifat ketergantungannya terhadap zat tersebut (Kaplan & Sadock, 1997). Dalam penelitian ini penggunaan terapi metadon dibatasi oleh lamanya terapi metadon dan dosis penggunaan metadon.
1.3.2. Perumusan masalah Apakah ada hubungan yang signifikan antara penggunaan terapi metadon dengan intensitas kecemasan dan tingkat depresi pasien narkoba di Puskesmas Tebet Jakarta.
1.4. Tujuan dan manfaat penelitian 1.4.1. Tujuan penelitian Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui hubungan antara penggunaan terapi metadon dengan intensitas kecemasan dan tingkat depresi pasien narkoba di Puskesmas Tebet Jakarta.
1.4.2. Manfaat penelitian Manfaat teoritis sebagai khasanah ilmu pengetahuan mengenai dampak penggunaan zat, sekaligus menjadi masukan yang berharga untuk penelitian lebih lanjut mengenai masalah yang serupa. Penelitian ini diharapkan dapat memberikan gambaran tentang hubungan penggunaan terapi metadon dengan intensitas kecemasan dan tingkat depresi pasien narkoba.
Manfaat praktis diharapkan dapat memberikan informasi bagi masyarakat agar memperoleh gambaran tentang hubungan penggunaan terapi metadon dengan intensitas kecemasan dan tingkat depresi pasien narkoba. Kemudian dapat bermanfaat bagi pasien narkoba yang menggunakan terapi metadon dan keluarga dengan anak ketergantungan zat yang menggunakan terapi metadon tentang gambaran psikopatologisnya untuk memudahkan penanganan yang membutuhkan berbagai bantuan dan pelayanan kesehatan mental. Sehingga apabila hasil akhir penelitian ini membuktikan bahwa penggunaan metadon memiliki efek samping yang minim, maka terapi ini dapat digunakan sebagai alternatif pengobatan narkoba. Bagi peneliti, penelitian ini memberikan gambaran yang jelas mengenai hubungan penggunaan terapi metadon dengan intensitas kecemasan dan tingkat depresi pasien narkoba.
1.5. Sistematika Penulisan Untuk memperolah gambaran secara menyeluruh mengenai penelitian ini, penulis menyusun secara sistematis dalam lima bab, dengan perincian sebagai berikut : BAB I : Pendahuluan meliputi : Latar Belakang Masalah, Identifikasi Masalah, Pembatasan dan Perumusan Masalah, Tujuan dan Manfaat Penelitian, Sistematika Penulisan. BAB II : Kajian Pustaka meliputi gangguan depresif dan anxietas, terapi metadon, kerangka berpikir, dan hipotesis. BAB III : Metodologi Penelitian meliputi Jenis penelitian yaitu pendekatan dan metode penelitian, variabel penelitian dan definisi operasional variabel, pengambilan sampel yaitu populasi dan sampel, teknik pengambilan sampel, pengumpulan data yaitu instrumen penelitian, Hasil uji reliabilitas dan validitas MINI ICD-10, teknik dan prosedur penelitian, dan teknik analisis data. BAB IV : Presentasi dan Analisis Data meliputi: gambaran umum subjek penelitian, presentasi data yaitu frekuensi dan jenis gangguan mental pada responden, uji hipotesis, dan pembahasan hasil pengujian hipotesis. BAB V : Kesimpulan, Saran dan Diskusi.
BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1. Gangguan depresif dan anxietas 2.1.1. Gangguan depresif Depresi adalah penyakit atau gangguan mental yang sering dijumpai. Penyakit ini menyerang siapa saja tanpa memandang usia, ras atau golongan, maupun jenis kelamin. Namun dalam kenyataannya depresi lebih banyak mengenai perempuan daripada laki-laki dengan rasio 1 : 2 (Faisal Idrus, 2007).
Depresi merupakan penyakit yang umum dengan morbiditas dan kematian besar. Sekitar 5% dari populasi mengalami depresi besar pada waktu tertentu, dimana lakilaki mengalami resiko seumur hidup 7-12%; dan perempuan 20-25% (Thomas L Schwenk, 2005).
Dari definisi di atas dapat disimpulkan bahwa depresi merupakan gangguan psikiatrik tersering yang dapat menyerang siapa saja, dimana depresi lebih banyak mengenai perempuan daripada laki-laki.
Depresi memiliki berbagai sebab munculnya gangguan psikiatrik tersebut, dimana tidak ada satupun mengetahui penyebab depresi. Sebaliknya, hal itu mungkin hasil dari kombinasi faktor genetik, biokimia, lingkungan, dan faktor-faktor psikologis (National Institute of Mental Health, 2008).
National Institute of Mental Health (2008) menjelaskan dalam suatu penelitiannya bahwa penyakit depresi berasal dari gangguan otak. Teknologi pencitraan otak, seperti Magnetic Resonance Imaging (MRI), telah menunjukkan bahwa otak orangorang yang depresi terlihat berbeda dibandingkan dengan orang tanpa depresi. Beberapa jenis depresi cenderung berasal dari faktor genetik. Namun, depresi dapat terjadi pada orang tanpa adanya sejarah dari keluarga yang depresi. Selain itu, trauma, kehilangan orang yang dicintai, hubungan yang sulit atau situasi stres dapat memicu episode depresif.
A. Jenis-jenis depresi Marta Stuart (2004) menguraikan tiga jenis utama dari depresi: 1. Episode depresi merupakan gejala yang mengganggu kemampuan untuk bekerja, belajar, tidur, makan, dan menikmati kegiatan yang menyenangkan. 2. Distimia adalah tipe depresi yang melibatkan jangka panjang gejala kronis, dimana individu tetap berfungsi dengan perasaan yang baik.
3. Gangguan bipolar juga dikenal sebagai penyakit manik depresif atau kelainan otak serius yang menyebabkan pergeseran dalam suasana hati, energi, dan fungsi. Gangguan ini biasanya muncul pada masa remaja atau awal masa dewasa, tetapi dalam beberapa kasus muncul di masa kanak-kanak.
B.
Faktor-faktor penyebab gangguan depresif
Dasar penyebab depresi yang pasti tidak diketahui, banyak usaha untuk mengetahui penyebab dari gangguan ini. Menurut Kaplan (Dalam Dunia Psikologi, 2009), Faktorfaktor yang dihubungkan dengan penyebab munculnya depresi dapat dibagi atas: faktor biologi, faktor genetik dan faktor psikososial. Dimana ketiga faktor tersebut juga dapat saling mempengaruhi satu dengan yang lainnya. a. Faktor biologi 1. Faktor neurotransmitter: Dari biogenik amin, norepinefrin dan serotonin merupakan dua neurotransmitter yang paling berperan dalam patofisiologi gangguan mood. a) Norepinefrin : hubungan yang dinyatakan oleh penelitian ilmiah dasar antara turunnya regulasi reseptor b-adrenergik dan respon antidepresan secara klinis memungkinkan indikasi peran sistem noradrenergik dalam depresi. Bukti-bukti lainnya yang juga melibatkan presinaptik reseptor adrenergik dalam depresi, sejak reseptor reseptor tersebut diaktifkan mengakibatkan penurunan jumlah norepinefrin yang dilepaskan. Presipnatik reseptor adrenergic juga berlokasi di neuron serotonergik dan mengatur jumlah
serotin yang dilepaskan, b) Serotonin : dengan diketahui banyaknya efek spesifik serotin reuptake inhibator (SSRI), contoh; fluoxetin dalam pengobatan depresi, menjadikan serotonin neurotransmitter biogenik amin yang paling sering dihubungkan dengan depresi, c) Dopamine: walaupun norepinefrin dan serotonin adalah biogenik amin. Dopamine juga sering berhubungan dengan patofisiologi depresi, d) Faktor neurokimia lainnya : GABA dan neuroaktif peptida (terutama vasopressin dan opiate endogen) telah dilibatkan dalam patofisiologi gangguan mood. 2. Faktor neuroendokrin: Hipothalamus adalah pusat regulasi neuroendokrin dan menerima rangsangan neuronal yang menggunakan neurotransmitter biogenic amin. Bermacam-macam disregulasi endokrin dijumpai pada pasien gangguan mood. 3) Faktor Neuroanatomi: Beberapa peneliti menyatakan hipotesisnya, bahwa gangguan mood melibatkan patologik dan sistem limbik, ganglia basalis dan hypothalamus. b. Faktor Genetik Data genetik menyatakan bahwa faktor yang signifikan dalam perkembangan gangguan mood adalah genetik. Pada penelitian anak kembar terhadap gangguan depresi berat, pada anak kembar monozigot adalah 50 %, sedangkan dizigot 10-25 %. c. Faktor Psikososial 1. Peristiwa kehidupan dan stress lingkungan : suatu pengamatan klinik menyatakan bahwa peristiwa atau kejadian dalam kehidupan yang penuh ketegangan sering mendahului episode gangguan mood. Satu teori menjelaskan bahwa stress yang
menyertai episode pertama akan menyebabkan perubahan fungsional neurotransmitter dan sistem pemberi tanda intra neuronal yang akhirnya perubahan tersebut menyebabkan seseorang mempunyai resiko yang tinggi untuk menderita gangguan mood selanjutnya. 2. Faktor kepribadian Premorbid : Tidak ada satu kepribadian atau bentuk kepribadian yang khusus sebagai predisposisi terhadap depresi. Semua orang dengan ciri kepribadian manapun dapat mengalami depresi, walaupun tipetipe kepribadian seperti oral dependen, obsesi kompulsif, histerik mempunyai risiko yang besar mengalami depresi dibandingkan dengan lainnya. 3. Faktor Psikoanalitik dan Psikodinamik : Freud (1917) menyatakan suatu hubungan antara kehilangan objek dan melankoli. Ia menyatakan bahwa kemarahan pasien depresi diarahkan kepada diri sendiri karena mengidentifikasikan terhadap objek yang hilang. Freud percaya bahwa introjeksi merupakan suatu cara ego untuk melepaskan diri terhadap objek yang hilang. E. Bibring menekankan pada kehilangan harga diri. Bibring mengatakan depresi sebagai suatu efek yang dapat melakukan sesuatu terhadap agresi yang diarahkan kedalam dirinya. Apabila pasien depresi menyadari bahwa mereka tidak hidup sesuai dengan yang dicita-citakannya, akan mengakibatkan mereka putus asa. 4. Ketidakberdayaan yang dipelajari: Didalam percobaan, dimana binatang secara berulang-ulang dihadapkan dengan kejutan listrik yang tidak dapat dihindarinya, binatang tersebut akhirnya menyerah dan tidak mencoba sama sekali untuk menghindari kejutan selanjutnya. Mereka belajar bahwa mereka tidak berdaya.
Pada penderita depresi, kita dapat menemukan hal yang sama dari keadaan ketidak berdayaan tersebut. 5. Teori Kognitif: Beck menunjukkan perhatian gangguan kognitif pada depresi Asikal H.S. dalam Tarigan (2003) Dia mengidentifikasikan 3 pola kognitif utama pada depresi yang disebut sebagai triad kognitif, yaitu : a) Pandangan negatif terhadap masa depan, b) Pandangan negatif terhadap diri sendiri, individu menganggap dirinya tak mampu, bodoh, pemalas, tidak berharga, c) Pandangan negatif terhadap pengalaman hidup. Meyer berpendapat bahwa depresi adalah reaksi seseorang terhadap pengalaman hidup.
Di bawah ini akan dijelaskan dua tipe utama gangguan depresif (episode depresif dan distimia), di luar gangguan bipolar atau gangguan manik depresif sebagai bentuk kajian utama penelitian.
1.
Episode depresif
Episode depresi merupakan gejala yang mengganggu kemampuan untuk bekerja, belajar, tidur, makan, dan menikmati kegiatan yang menyenangkan (Marta Stuart, 2004).
Hergueta dan Leqrubier (Dalam modul anxietas dan depresi Yayasan Depresi Indonesia, 2002) mendefinisikan Episode depresif sebagai gangguan psikiatrik yang
ditandai dengan suasana perasaan murung atau sedih, hilangnya minat atau kegembiraan, kelelahan (fatigue) atau berkurangnya energi. Setidaknya dua dari gejala-gejala ini diperlukan untuk mendiagnosis episode depresif: suasana perasaan murung atau sedih, hilangnya minat atau anhedonia, atau hilangnya energi yang secara umum tampak sebagai kelelahan (fatigue). Gejala-gejala ini sering kali bersamaan dengan gejala psikologik seperti perasaan bersalah dan ide-ide bunuh diri, dan gejala-gejala fisik seperti retardasi psikomotor atau agitasi dan gangguan nafsu makan atau tidur.
Dari definisi di atas dapat disimpulkan bahwa episode depresif merupakan gangguan yang dapat mengganggu segala aktivitas dalam kehidupan sehari-hari.
Seperti DSM-IV-TR menuliskan kriteria diagnostik untuk gangguan episode depresif berat (Lihat tabel 2.1). Tabel 2.1 Kriteria Untuk Episode Depresif Berat
A. Lima (atau lebih) gejala berikut telah ditemukan selama periode 2 minggu yang sama dan mewakili perubahan dari fungsi sebelumnya; sekurangnya satu dari gejala adalah salah satu dari (1) mood terdepresi atau (2) hilangnya minat atau kesenangan. Catatan: Jangan memasukkan gejala yang jelas karena suatu kondisi medis umum, atau waham atau halusinasi yang tidak sesuai dengan mood.
(1) Mood terdepresi hampir sepanjang hari, hampir setiap hari, seperti yang ditunjukkan oleh laporan subjektif (misalnya, merasa sedih atau kosong) atau pengamatan yang dilakukan orang lain (misalnya, tampak sedih). Catatan: pada anak-anak dan remaja, dapat berupa mood yang mudah tersinggung. (2) Hilangnya minat atau kesenangan secara jelas dalam semua, atau hampir semua, aktifitas sepanjang hari, hampir setiap hari (seperti yang ditunjukkan oleh keterangan subjektif atau pengamatan yang dilakukan orang lain). (3) Penurunan berat makan yang bermakna jika tidak melakukan diet atau penambahan berat badan (misalnya, perubahan berat badan lebih dari 5% dalam satu bulan), atau penurunan atau peningkatan nafsu makan hampir setiap hari. Catatan: pada anak-anak, pertimbangkan kegagalan untuk mencapai pertambahan berat badan yang diharapkan. (4) Insomnia atau hipersomnia hampir setiap hari. (5) Agitasi atau retardasi psikomotor hampir setiap hari (dapat dilihat oleh orang lain, tidak semata-mata perasaan subjektif adanya kegelisahan atau menjadi lamban). (6) Kelelahan atau hilangnya energi hampir setiap hari. (7) Perasaan tidak berharga atau rasa bersalah yang berlebihan atau tidak tepat (mungkin bersifat waham) hampir setiap hari (tidak semata-mata mencela diri sendiri atau menyalahkan karena sakit). (8) Hilangnya kemampuan untuk berpikir atau memusatkan perhatian, atau tidak dapat mengambil keputusan, hampir setiap hari (baik oleh keterangan subjektif atau seperti yang dilihat oleh orang lain). (9) Pikiran akan kematian yang rekuren (bukan hanya takut mati), ide bunuh diri yang rekuren tanpa rencana spesifik, atau usaha bunuh diri atau rencana khusus untuk melakukan bunuh diri. B. Gejala tidak memenuhi kriteria untuk episode campuran. C. Gejala menyebabkan penderitaan yang bermakna secara klinis atau gangguan dalam fungsi sosial, pekerjaan, atau fungsi penting lain.
D. Gejala bukan karena efek fisiologis langsung dari suatu zat (misalnya, obat yang disalahgunakan, suatu medikasi) atau suatu kondisi medis umum (misalnya, hipotiroidisme). E. Gejala tidak lebih baik diterangkan oleh dukacita, yaitu setelah kehilangan orang yang dicintai, gejala menetap lebih dari 2 bulan atau ditandai oleh gangguan fungsional yang jelas, preokupasi morbid dengan rasa tidak berharga, ide bunuh diri, gejala psikotik, atau retardasi psikomotor.
Tabel dari DSM-IV-TR, Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorders, Hak Cipta American Psychiatric Association, Washington, 2000.
Suatu mood depresi dan hilangnya minat atau kesenangan merupakan gejala utama dari depresi. Pasien mungkin mengatakan bahwa mereka merasa murung, putus asa, dalam kesedihan, atau tidak berguna. Bagi pasien mood depresi seringkali memiliki kualitas yang terpisah yang membedakannya dari emosi normal kesedihan atau dukacita. Pasien seringkali menggambarkan gejala depresi sebagai suatu rasa nyeri emosional yang menderita sekali. Pasien terdepresi kadang-kadang mengeluh tidak dapat menangis, suatu gejala yang menghilang saat mereka membaik (Kaplan & Sadock, 1997).
Kira-kira dua pertiga dari semua pasien terdepresi merenungkan bunuh diri, dan 1015% melakukan bunuh diri. Tetapi pasien terdepresi kadang-kadang tampak tidak menyadari depresinya dan tidak mengeluh suatu gangguan mood, walaupun mereka menunjukkan penarikan diri dari keluarga, teman, dan aktifitas yang sebelumnya menarik diri mereka (Kaplan & Sadock, 1997).
Banyak pasien terdepresi (97%) mengeluh adanya penurunan energi yang menyebabkan kesulitan dalam menyelesaikan tugas, sekolah dan pekerjaan, dan penurunan motivasi untuk mengambil proyek baru. Kira-kira 80% pasien mengeluh sulit tidur, khususnya terbangun pada dini hari (yaitu insomnia terminal) dan sering terbangun pada malam hari, selama dimana mereka mungkin merenungkan masalahnya (Kaplan & Sadock, 1997).
2.
Distimia
Marta stuart (2004) memberikan definisi distimia sebagai tipe depresi yang melibatkan jangka panjang gejala kronis, dimana individu tetap berfungsi dengan perasaan yang baik.
Hergueta dan Leqrubier (Dalam modul anxietas dan depresi Yayasan Depresi Indonesia, 2002) mendefinisikan distimia sebagai adanya suasana perasaan murung (depresif) yang bersifat kronik selama minimal 2 tahun dengan masa remisi tidak lebih lama dari 2 bulan. Suasana murung ini diikuti dengan gejala psikologis seperti putus asa dan gejala fisik seperti gangguan tidur.
Dari definisi di atas dapat disimpulkan bahwa episode depresif merupakan tipe ganggan psikiatrik yang ditandai dengan adanya suasana perasaan murung dalam jangka waktu yang panjang.
Seperti DSM-IV-TR menuliskan kriteria diagnostik untuk gangguan distimik (Lihat tabel 2.2). Tabel 2.2 Kriteria Diagnostik Untuk Gangguan Distimik
A. Mood terdepresi untuk sebagian besar hari, lebih banyak hari dibandingkan tidak, seperti yang ditunjukkan oleh keterangan subjektif atau pengamatan orang lain, selama kurangnya 2 tahun. Catatan: Pada anak-anak dan remaja, mood dapat mudah tersinggung (iritabel) dan lama harus sekurangnya 1 tahun. B. Adanya, saat terdepresi, dua (atau lebih) berikut: (1) Nafsu makan yang buruk atau makan berlebihan. (2) Insomnia atau hipersomnia. (3) Energi lemah atau lelah. (4) Harga diri yang rendah. (5) Konsentrasi buruk atau sulit mengambil keputusan. (6) Perasaan putus asa. C. Selama periode 2 tahun (1 tahun untuk anak-anak atau remaja) gangguan, orang tidak pernah tanpa gejala dalam kriteria A dan B selama lebih dari 2 bulan pada suatu waktu. D. Tidak pernah ada episode depresif berat selama 2 tahun pertama gangguan (1 tahun untuk anak-anak dan remaja); yaitu, gangguan tidak lebih baik diterangkan oleh gangguan depresif berat kronis, gangguan depresif berat, dalam remisi parsial. Catatan: Mungkin terdapat episode depresif berat sebelumnya asalkan terdapat remisi lengkap (tidak ada tanda atau gejala yang bermakna selama 2 bulan) sebelum perkembangan gangguan distimik. Di samping itu, setelah 2 tahun awal (1 tahun pada anak-anak) dari gangguan distimik, mungkin terdapat episode gangguan depresif berat yang menumpang, pada kasus tersebut, kedua diagnosis dapat diberikan jika memenuhi kriteria untuk episode depresif berat.
E. Tidak pernah terdapat episode manik, episode campuran, atau episode hipomanik, dan tidak pernah memenuhi kriteria untuk gangguan siklotimik. F. Gangguan tidak terjadi semata-mata selama perjalanan gangguan psikotik kronis, seperti skizofrenia atau gangguan delisional. G. Gejala tidak merupakan efek fisiologis langsung dari suatu zat (misalnya, obat yang disalahgunakan, suatu medikasi) atau suatu kondisi medis umum (misalnya, hipotiroidisme). H. Gejala menyebabkan penderitaan yang bermakna secara klinis atau gangguan dalam fungsi sosial, pekerjaan, atau fungsi penting lainnya. Sebutkan jika Onset awal: jika onset sebelum usia 21 tahun Onset lambat: jika onset pada usia 21 tahun atau lebih Sebutkan (untuk 2 tahun terakhir gangguan distimik) Dengan ciri atipikal
Tabel dari DSM-IV-TR, Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorders, Hak Cipta American Psychiatric Association, Washington, 2000.
Kaplan dan Sadock dalam bukunya “Synopsis of Psychiatry” (1997) mendefinisikan gangguan distimik adalah suatu gangguan kronis yang ditandai oleh adanya mood yang terdepresi (atau mudah marah pada anak-anak dan remaja) yang berlangsung hampir sepanjang hari dan ditemukan pada sebagian besar hari. Istilah “distimia,” yang berarti humor yang buruk (ill-humored), diperkenalkan di tahun 1980 dan diganti menjadi “gangguan distimik” di dalam DSM-IV.
Gangguan distimik merupakan gangguan yang sering ditemukan di antara populasi umum, yang mengenai 3-5% dari semua orang, yang mengenai antara setengah dan
sepertiga dari semua pasien klinik. Sekurangnya satu penelitian melaporkan prevalensi gangguan distimik di antara remaja yang muda adalah kira-kira 8% pada laki-laki dan 5% pada perempuan. Gangguan distimik adalah lebih sering pada wanita yang berusia kurang dari 64 tahun dibandingkan laki-laki pada setiap usia. Gangguan distimik juga lebih sering ditemukan di antara orang yang tidak menikah dan orang muda dan pada orang dengan penghasilan yang rendah. Selain itu, gangguan distimik seringkali ada bersama-sama dengan gangguan mental lain, khususnya gangguan depresif berat, gangguan kecemasan (khususnya gangguan panik), penyalahgunaan zat, dan kemungkinan gangguan kepribadian ambang (Kaplan & Sadock, 1997).
2.1.2. Gangguan anxietas Nevid, Rathus, dan Greene dalam bukunya “Abnormal Psychology in a Changing World” (2005) mendefinisikan anxietas sebagai suatu keadaan aprehensi atau keadaan khawatir yang mengeluhkan bahwa sesuatu yang buruk akan segera terjadi.
Anxietas merupakan pengalaman yang bersifat subjektif, tidak menyenagkan, tidak menentu, menakutkan dan mengkhawatirkan akan adanya kemungkinan bahaya atau ancaman bahaya, dan seringkali disertai oleh gejala-gejala atau reaksi fisik tertentu akibat peningkatan aktifitas otonomik (Faisal Idrus, 2006).
Dari definisi di atas dapat disimpulkan bahwa kecemasan adalah perasaan takut yang tidak menyenangkan dan apprehension, dan dapat menimbulkan beberapa keadaan psikopatologis sehingga mengalami apa yang disebut gangguan kecemasan atau anxiety disorder.
Untuk memahami kecemasan yang mempengaruhi beberapa area dari fungsi-fungsi individu, Acocella (Dalam Josetta Maria, 2003) mengatakan bahwa anxiety seharusnya melibatkan atau memiliki 3 komponen dasar, yaitu : 1. Adanya ungkapan yang subjektif (subjective reports) mengenai ketegangan, ketakutan dan tidak adanya harapan untuk dapat mengatasinya. 2. Respon-respon perilaku (behavioral responses), seperti menghindari situasi yang ditakuti, kerusakan pada fungsi bicara dan motorik, dan kerusakan tampilan untuk tugas-tugas kognitif yang kompleks. 3. Respon-respon fisiologis (physiological responses), termasuk ketegangan otot, peningkatan detak jantung dan tekanan darah, nafas yang cepat, mulut yang kering, nausea, diare dan dizziness.
A. Jenis-jenis gangguan anxietas Untuk dapat memahami anxiety disorder secara menyeluruh maka menurut Neale, et all (Dalam Josetta Maria, 2003) ada 6 kategori utama yang termasuk di dalamnya, yaitu terdiri dari:
1. Panic Disorder, yang umumnya diawali dengan panic attacks atau serangan panik berulang yang ditandai dengan adanya gejala fisiologis, seperti pusing, detak jantung yang cepat, gemetar, perasaan tercekik dan ketakutan ‘menjadi gila’ atau ‘mau mati’. 2. Generalized Anxiety Disorder dikarateristikan dengan kekhawatiran yang tidak dapat dikuasai dan menetap, biasanya terhadap hal-hal yang sepele/tidak utama. 3. Phobia yaitu perasan takut dan menghindar terhadap objek atau situasi yang realitanya atau kenyataannya tidak berbahaya. 4. Obssessive-compulsive disorder ditandai dengan adanya ide-ide dalam pikiran yang muncul secara berulang-ulang dan tidak terkendali, serta menimbulkan perilaku yang berulang atau adanya tindakan mental. 5. Posttraumatic stress disorder merupakan akibat dari pengalaman traumatik dari suatu kejadian disertai gejala peningkatan arousal dan dorongan kuat untuk menghindari stimulus yang berhubungan dengan trauma tersebut. 6. Acute stress disorder, gejalanya sama dengan posttraumatic stress disorder yang terjadi secara langsung dan bertahan selama 4 minggu atau kurang.
B. Faktor-faktor penyebab gangguan anxietas Upaya untuk menjelaskan penyebab dari munculnya anxiety disorder, Accocella (Dalam Josetta Maria, 2003) memaparkannya dari beberapa sudut pandang teori. Menurut para ahli psikodinamika, anxiety disorder bersumber pada neurosis, bukan
dipengaruhi oleh ancaman eksternal tetapi lebih dipengaruhi oleh keadaan internal individu : “Psychodynamic theorists view the anxiety disorder as neuroses resulting from uncounscious conflicts between id impulses and ego actions.”
Sebagaimana diketahui, Sigmund Freud sebagai bapak dari pendekatan psikodinamika mengatakan bahwa jiwa individu diibaratkan sebagai gunung es. Bagian yang muncul dipermukaan dari gunung es itu, bagian yang terkecil dari kejiwaan yagn disebut sebagai bagian kesadaran (uncounsciousness). Agak di bawah permukaan air adalah bagian yang disebut pra-kesadaran (subcounsciousness atau pre-counsciousness), dan bagian yang terbesar dari gunung es itu ada di bawah sekali dari permukaan air, dan ini merupakan alam ketidak-sadaran (uncounsciousness). Ketidak-sadaran ini berisi id, yaitu dorongan-dorongan primitif, belum dipengaruhi oleh kebudayaan atau peraturan-peraturan yang ada di lingkungan. Dorongandorongan ini ingin muncul ke permukaan/ke kesadaran, sedangkan tempat di atas sangat terbatas. Ego, yang menjadi pusat dari kesadaran, harus mengatur dorongandorongan mana yang boleh muncul dan mana yang tetap tinggal di ketidak-sadaran karena ketidak-sesuaiannya dengan superego, yaitu salah satu unit pribadi yang berisi norma-norma sosial atau peraturan-peraturan yang berlaku di lingkungan sekitar. Jika ternyata ego menjadi tidak cukup kuat menahan desakan atau dorongan ini maka terjadilah kelainan-kelainan atau gangguangangguan kejiwaan. Neurosis adalah salah satu gangguan kejiwaan yang muncul sebagai akibat dari ketidak-mampuan ego
menahan dorongan id. Acocella (Dalam Josetta Maria, 2003) menggambarkannya sebagai berikut : “The neurotic individual experiences conscious anxiety over these conflicts or keeps the anxiety at bay through rigid defense mechanism.”
Jadi, individu yang mengalami anxiety disorder, menurut pendekatan psikodinamika, berakar dari ketidak-mampuan egonya untuk mengatasi dorongan-dorongan yang muncul dari dalam dirinya sehingga ia akan mengembangkan mekanisme pertahanan diri. Mekanisme pertahanan diri ini sebenarnya upaya ego untuk menyalurkan dorongan dalam dirinya dan bisa tetap berhadapan dengan lingkungan. Tetapi jika mekanisme pertahanan diri ini dipergunakan secara secara kaku, terusmenerus dan berkepanjangan maka hal ini dapat menimbulkan perilaku yang tidak adaptif dan tidak realistis.
Para ahli dari aliran humanistik-eksistensial mengatakan bahwa konsep anxiety bukan hanya sekedar masalah yang bersifat individual, tetapi juga merupakan hasil konflik antara individu dengan masyarakat atau lingkungan sosialnya. Acocella (Dalam Josetta Maria, 2003) menjabarkannya sebagai berikut : “... they see anxiety not just as an individual problem but as the outcome of conflicts between the person’s self concept and society’s ideal.”
Jika individu melihat perbedaan yang sangat luas antara pandangannya tentang dirinya sendiri dengan yang diinginkannya maka akan muncul perasaan inadekuat dalam menghadapi tantangan di kehidupan ini, dan hal ini menghasilkan kecemasan
atau anxiety. Jadi, menurut pandangan humanist-eksistensialis, pusat kecemasan adalah konsep diri; yang terjadi sehubungan dengan adanya gap antara konsep diri yang sesungguhnya (real sefl) dengan diri yang diinginkan (ideal self). Hal ini muncul sehubungan dengan tidak adanya kesempatan bagi individu untuk mengaktualisasikan dirinya sehingga perkembangannya menjadi terhalang. Akibatnya, dalam menghadapi tantangan atau kendala dalam menjalani hari-hari dikehidupan selanjutnya, ia akan mengalami kesulitan untuk membentuk konsep diri yang positif. Setiap kita sebenarnya perlu mengembangkan suatu upaya untuk menjadi diri sendiri (authenticity), sedangkan individu yang neurotis atau yang mengalam anxiety disorder adalah individu yang gagal menjadi diri sendiri (inauthenticity) karena mereka mengembangkan konsep diri yang keliru/palsu (false self).
Sementara para ahli dari pendekatan behavioristik mengatakan bahwa kecemasan muncul karena terjadi kesalahan dalam belajar, bukan hasil dari konflik intrapsikis/unconsciousness conflict; individu belajar menjadi cemas. Hal ini digambarkan oleh Acocella (Dalam Josetta Maria, 2003) sebagai berikut : “... people may also learn to associate a neutral stimulus with the anxietyproducing stimulus and then be conditioned to habitually avoid that stimulus.”
Ada 2 tahapan belajar yang berlangsung dalam diri individu, yang menghasilkan kecemasan, yaitu :
1. Dalam pengalaman individu, beberapa stimulus netral, tidak berbahaya atau tidak menimbulkan kecemasan, dihubungan dengan stimulus yang menyakitkan (aversive) akan menimbulkan kecemasan (melalui respondent conditioning). 2. Individu yang menghindar dari stimulus yang sudah terkondisi, dan sejak penghindaran ini menghasilkan pembebasan/terlepas dari rasa cemas, maka respon menghindar ini akan menjadi kebiasaan (melalui operant conditioning).
Dari sudut pandang kognitif, anxiety disorder terjadi karena adanya kesalahan dalam mempersepsikan hal-hal yang menakutkan, yang oleh Acocella (Dalam Josetta Maria, 2003) dijabarkan sebagai berikut : “... people with anxiety disorder misperceive or misinterpret internal and external stimuli. Events and sensations that are not really threatening are interpreted as threatening, and anxiety result.”
Berdasarkan dari teori kognitif, masalah yang terjadi pada individu yang mengalami anxiety disorder adalah terjadinya kesalahan persepsi atau kesalahan interpretasi terhadap stimulus internal ataupun eksternal. Individu yang mengalami anxiety disorder akan melihat suatu hal yang tidak benar-benar mengancam sebagai sesuatu yang mengancam. Jika individu mengalami pengalaman sensasi dalam tubuh yang tidak biasa, lalu menginterpretasikannya sebagai sensasi yang bersifat catastropic, yaitu suatu gejala bahwa ia sedang mengalami sesuatu hal seperti serangan jantung, maka akan timbul rasa panik. Kegiatan interpretasi negatif terhadap sensasi tubuh
dapat menghasilkan panic attack yang kemudian dapat berkembang menjadi panic disorder.
Di bawah ini akan dijelaskan empat bentuk utama gangguan anxietas yang akan dijadikan sebagai kajian pustaka penelitian, diantaranya:
3.
Gangguan anxietas menyeluruh
Individu dengan gangguan generalized anxiety akan terus-menerus merasa khawatir tentang hal-hal yang kecil/sepele tetapi kekhawatiran ini berlebihan, tidak dapat dikontrol dan menyangkut beberapa aspek kehidupan. Acocella (Dalam Josetta Maria, 2003) mengatakan bahwa : “As the name suggest, the main feature of generalized anxiety disorder is a chronic state of diffuse anxiety. DSM IV defines the syndrome as exessive worry, over a period of at least six months, about several life circumstances. The most common areas of worry are family, money, work, and health (Rapee & Barlow, Dalam Josetta Maria, 2003).” Fitur utama dari gangguan kecemasan menyeluruh adalah suatu keadaan kronis yang menyebarkan kecemasan. DSM IV mendefinisikan sebagai khawatir yang berlebih, selama sekurang-kurangnya enam bulan, tentang kehidupan sehari-hari, yang paling umum adalah kekhawatiran keluarga, uang, kerja, dan kesehatan.
Hergueta dan Leqrubier (Dalam modul anxietas dan depresi Yayasan Depresi Indonesia, 2002) mendefinisikan gangguan anxietas menyeluruh sebagai anxietas
yang menyeluruh dan menetap, ketegangan dan kekuatiran berlebihan mengenai kejadian-kejadian yang lazim terhadap peristiwa-peristiwa hidup. Gangguan anxietas ini bersamaan dengan adanya suatu keadaan ketegangan fisik dan psikologis yang menetap. Gangguan anxietas menyeluruh adalah suatu bentuk anxietas kronik. Diagnosisnya mensyaratkan sejumlah gejala yang harus terdapat bersamaan minimal selama 6 bulan.
Seperti DSM-IV-TR menuliskan kriteria diagnostik untuk gangguan distimik (Lihat tabel 2.3). Tabel 2.3 Kriteria Diagnostik Untuk Gangguan Anxietas Menyeluruh
A. Kecemasan berlebihan dan keraguan (harapan penuh pengertian), terjadi lebih dari hari untuk sedikitnya 6 bulan, sekitar sejumlah peristiwa atau aktivitas (seperti pekerjaan atau pencapaian sekolah). B. Orang mengalami kesulitan untuk mengendalikan keraguan itu. C. Kecemasan dan keraguan dihubungkan dengan tiga (atau lebih dari enam gejala (dengan sedikitnya beberapa gejala menyajikan untuk masa lalu 6 bulan). catatan: hanya satu aitem diperlukan anak-anak. (1) Kegelisahan atau gelisah atau khawatir. (2) Menjadi dengan mudah dilelahkan. (3) Kesulitan konsentrasi atau pikiran yang kosong. (4) Sifat lekas marah.
(5) Ketegangan otot. (6) Gangguan tidur (kesukaran jatuh atau tinggal untuk tidur, atau tidur yang tak memuaskan atau resah). D. Fokus pada kecemasan dan keraguan tidaklah terbatas pada corak gangguan axis 1, e.g., kecemasan atau keraguan bukanlah suatu serangan panik (seperti gangguan panik), dipermalukan publik (seperti fobia sosial), dicemari (seperti gangguan kecemasan perpisahan), memperoleh berat/beban (seperti gangguan anorexia nervosa), mempunyai berbagai keluhan fisik (seperti gangguan somatisasi), atau mempunyai atau menikmati suatu penyakit serius (seperti di hipokondriasis), dan kecemasan dan keraguan tidak terjadi eksklusif selama gangguan stres pasca traumatik. E. Kecemasan, keraguan, atau gejala fisik menyebabkan penderitaan secara klinis atau perusakan di dalam sosial, pekerjaan, atau area lain yang berfungsi penting. F. Gangguan bukanlah dalam kaitan dengan fisiologis yang langsung untuk suatu unsur (e.g., hyperthyroidism) dan tidak terjadi eksklusif selama dalam suatu gangguan mood, suatu gangguan psikotik, atau suatu gangguan perkembangan pervasif.
Tabel dari DSM-IV-TR, Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorders, Hak Cipta American Psychiatric Association, Washington, 2000.
Nevid, Rathus, dan Greene dalam bukunya “Abnormal Psychology in a Changing World” (2005) mendefinisikan gangguan anxietas menyeluruh sebagai gangguan
anxietas yang ditandai oleh perasaan cemas yang persisten yang tidak dipicu oleh suatu objek, situasi, atau aktifitas yang spesifik, tetapi lebih merupakan apa yang disebut oleh Freud sebagai “mengambang bebas” (free floating). Orang dengan gangguan anxietas menyeluruh. Sanderson dan Barlow (Dalam Nevid, Rathus, & Greene, 2005) dalam penelitiannya mengemukakan bahwa 9 dari 10 orang dengan gangguan anxietas menyeluruh melaporkan kecemasan yang berlebihan bahkan mengenai hal-hal kecil.
APA (Dalam Nevid, Rathus, & Greene, 2005) memberikan ciri lain yang terkait adalah merasa tegang, khawatir atau waswas, mudah lelah, mempunyai kesulitan berkonsentrasi atau menemukannya bahwa pikirannya menjadi kosong, iritabilitas, ketegangan otot, dan adanya gangguan tidur, seperti sulit untuk tidur, untuk terus tidur, atau tidur yang gelisah dan tidak memuaskan.
Rapee (Dalam Nevid, Rathus, & Greene, 2005) mengemukakan bahwa gangguan anxietas menyeluruh cenderung merupakan suatu gangguan yang stabil, muncul pada pertengahan remaja sampai pertengahan umur 20-an tahun dan kemudian berlangsung sepanjang hidup.
Gangguan ini lebih sering dijumpai pada wanita dengan ratio 2:1, namun yang datang meminta pengobatan rationya kurang lebih sama atau 1:1 antara laki-laki dan wanita (Faisal Idrus, 2006).
4.
Gangguan panik
Hergueta dan Leqrubier (Dalam modul anxietas dan depresi Yayasan Depresi Indonesia, 2002) mendefinisikan karakteristik gangguan panik adalah serangan panik yang mendadak, berulang, sering kali timbul rasa takut mati, takut menjadi gila, takut terhadap hal yang tidak nyata, hilangnya pengendalian diri tanpa alasan yang jelas dan berbagai gejala fisik yang seringkali berat serta melibatkan system syaraf otonom (diare, palpitasi, nyeri dada, berkeringat banyak, dll).
Acocella (Dalam Josetta Maria, 2003) mengatakan bahwa individu disebut mengalami panic disorder jika ia secara berulang-ulang mengalami serangan panik (panic attacks) yang tidak diharapkan, dan keadaan ini menimbulkan masalah secara psikologis ataupun perilaku.
Dari definisi di atas dapat disimpulkan bahwa gangguan panik merupakan gangguan panik berulang yang ditandai dengan adanya gejala fisiologis, seperti pusing, detak jantung yang cepat, gemetar, perasaan tercekik dan ketakutan menjadi gila atau mau mati.
Seperti DSM-IV menuliskan kriteria diagnostik untuk serangan panik (Lihat tabel 2.4). Tabel 2.4 Kriteria Diagnostik Untuk Serangan Panik
Serangan panik mencakup suatu episode ketakutan yang intens atau perasaan tidak nyaman dimana sedikitnya empat dari ciri-ciri berikut ini tiba-tiba muncul dan mencapai puncaknya dalam jangka waktu 10 menit: A. Palpitasi jantung, jantung berdegup-degup, tachycardia (denyut jantung cepat). B. Berkeringat. C. Bergetar atau gemetar. D. Nafas pendek atau sensasi seperti terselubung sesuatu. E. Sensasi seperti tercekik. F. Sakit atau perasaan tak nyaman di dada. G. Perasaan mual atau tanda-tanda distress abdominal lainnya. H. Perasaan pusing, ketidakseimbangan, kepala enteng, atau seperti mau pingsan. I.
Perasaan aneh atau tidak riil tentang lingkungannya (derealisasi) atau perasaan asing tentang dirinya sendiri (depersonalisasi).
J. Perasaan takut kehilangan kendali atau akan menjadi gila. K. Takut akan mati. L. Mati rasa atau sensasi kesemutan. M. Merasa kedinginan atau kepanasan.
Tabel dari DSM-IV, Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorders, ed 4, Hak Cipta American Psychiatric Association, Washington, 2000.
Weissman, et.all (Dalam Nevid, Rathus, & Greene, 2005) mendeskripsikan serangan panik sebagai pengalaman paling buruk dalam hidup mereka. Serangan panik yang berulang kemungkinan menjadi sulit untuk dihadapi, sehingga penderitanya mempunyai keinginan untuk bunuh diri. Suatu studi kependudukan mengenai mereka yang menderita serangan panik menemukan bahwa 12% telah melakukan bunuh diri.
APA (Dalam Nevid, Rathus, & Greene, 2005) menjelaskan bahwa diperkirakan 1% sampai 4% dari populasi pernah mengalami gangguan panik pada suatu saat dalam hidup mereka. Gangguan panik biasanya dimulai pada akhir masa remaja sampai pertengahan 30-an tahun. Perempuan mempunyai kemungkinan dua kali lebih besar untuk mengembangkan gangguan panik.
5.
Agorafobia
Hergueta dan Leqrubier (Dalam modul anxietas dan depresi Yayasan Depresi Indonesia, 2002) mendefinisikan agorafobia adalah anxietas psikologik dan fisik serta serangan panik yang berulang pada situasi yang sulit untuk melarikan diri. Contoh: sendirian di luar rumah, bepergian sendiri, keramaian dan atau tempat-tempat umum dan bersamaan dengan itu sering kali menghindari situasi tersebut.
Agorafobia didefinisikan sebagai perasaan anxietas yang dapat berkembang menjadi serangan panik, jika penderita merasa dia berada dalam situasi atau tempat yang tak dapat dihindari atau sulit mendapat pertolongan jika dia menderita suatu serangan anxietas. Tempat yang paling sering disebut adalah transportasi publik, elevator, jembatan, terowongan, gua dan lain-lain.
Anxietas situasional seperti ini sering kali bersamaan dengan kebiasaan menghindar dan atau “counter phobic” (meyakinkan diri). Misalnya, agorafobia (takut akan keramaian): kebiasaan menghindar: menghindari toko yang besar, kebiasaan “counter phobic” pergi ke toko yang besar dengan teman yang dipercaya.
Seperti DSM-IV-TR menuliskan kriteria diagnostik untuk agorafobia (lihat tabel 2.5). Tabel 2.5 Kriteria Diagnostik Untuk Agorafobia
Catatan: Agorafobia bukanlah suatu gangguan. kode spesifik agorafobia terjadi: A. Kecemasan pada suatu tempat atau situasi, dimana sulit untuk mencari jalan keluar (atau mempermalukan) atau di mana bantuan tidak mungkin tersedia; menikmati suatu yang tak diduga atau panik yang dipengaruhi menyerang. Ketakutan Agoraphobic secara khas melibatkan karakteristik situasi yang meliputi berada di luar rumah sendiri; sedang berada dalam suatu kerumunan
atau berdiri satu baris; berada di suatu jembatan; dan bepergian dengan bus, kereta, mobil. Catatan: mempertimbangkan hasil diagnosis fobia spesifik jika penghindaran terbatas pada satu atau hanya sedikit situasi spesifik, atau phobic sosial jika penghindaran terbatas pada situasi sosial. B. Situasi dihindarkan (e.g., perjalanan terbatas) atau selain itu ditandai penderitaan atau dengan kecemasan suatu serangan panik atau gejala seperti panik, atau memerlukan kehadiran suatu rekan. C. Kecemasan atau penghindaran phobic tidaklah lebih baik dibukukan oleh gangguan mental lain, seperti fobia sosial (e.g., penghindaran membatasi pada situasi sosial oleh karena ketakutan kebingungan), fobia spesifik (e.g., penghindaran membatasi pada situasi tunggal seperti elevator), gangguan obsesif kompulsif (e.g., penghindaran kotoran salah seseorang dengan suatu obsesi tentang pencemaran), gangguan stres pasca traumatik (e.g., penghindaran rangsangan yang berhubungan dengan suatu alat penekan menjengkelkan), atau gangguan kecemasan perpisahan (e.g., penghindaran meninggalkan rumah atau keluarga).
Tabel dari DSM-IV-TR, Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorders, Hak Cipta American Psychiatric Association, Washington, 2000.
USDHHS (Dalam Nevid, Rathus, & Greene, 2005) menjelaskan bahwa agorafobia lebih umum terdapat pada perempuan daripada laki-laki. Sering kali bermula di akhir
masa remaja atau awal masa dewasa. Eaton, Dryman dan Weismann (Dalam Nevid, Rathus, & Greene, 2005) mengemukakan bahwa sekitar 60% dari orang Amerika dewasa pernah mengalami agorafobia pada suatu saat dalam hidup mereka. Agorafobia dapat terjadi bersamaan atau tidak bersamaan dengan gangguan panik yang menyertai. Pada gangguan panik dengan agorafobia, orang tersebut hidup dengan ketakutan akan terjadinya serangan yang berulang dan menghindari tempattempat umum di mana serangan telah terjadi atau mungkin terjadi. Karena serangan panik terjadi begitu saja, beberapa orang membatasi aktifitas mereka karena takut menjadikan diri mereka tontonan umum atau menemukan diri mereka dalam keadaan tanpa pertolongan. Orang-orang dengan agorafobia yang tidak mempunyai riwayat gangguan panik dapat mengalami sedikit simtom panik, seperti pusing yang menghalangi mereka untuk melangkah keluar dari tempat-tempat dimana mereka merasa aman dan tidak terancam. Mereka juga cenderung tergantung kepada orang lain untuk mendapatkan dukungan.
6.
Gangguan obsesif kompulsif
Hergueta dan Leqrubier (Dalam modul anxietas dan depresi Yayasan Depresi Indonesia, 2002) mendefinisikan obsesif kompulsif adalah anxietas yang muncul sebagai pikiran obsesif yang berulang dan atau tindakan kompulsif. Gangguan obsesif kompulsif ditandai dengan ide obsesif (atau obsesi) yang mempengaruhi penderita tanpa mampu mengendalikannya dan atau perilaku kompulsif yang tidak terkendali
(atau kompulsi). Ide atau kebiasaan ini tidak dipaksakan dari luar. Ini menyebabkan penderitaan dan menyita banyak waktu. Obsesi yang paling sering adalah obsesi merasa terkontaminasi atau terkotori. Kompulsi yang paling sering adalah memeriksa, merapikan dan mencuci. Gangguan obsesif kompulsif adalah gangguan anxietas yang paling serius, tetapi juga yang paling jarang dan sering kali berkaitan dengan depresi.
Seperti DSM-IV-TR menuliskan kriteria diagnostik untuk gangguan obsesif kompulsif (Lihat tabel 2.6). Tabel 2.6 Kriteria Diagnostik Untuk Gangguan Obsesif Kompulsif
A. Baik obsesi maupun kompulsi: Obsesi digambarkan dengan (1), (2), (3), dan (4): 1. Pemikiran gigih dan berulang, dorongan/gerakan hati, atau gambaran pengalaman, pada waktu beberapa sepanjang gangguan, tidak sesuai dan mengganggu dan yang menyebabkan kecemasan atau penderitaan. 2. Pemikiran, dorongan/gerakan hati, atau gambaran bukan sekedar keraguan berlebihan tentang permasalahan kehidupan yang riil. 3. Orang mencoba untuk mengabaikan atau menekan. seperti pemikiran, dorongan/gerakan hati, atau gambaran, atau untuk menetralkannya dengan beberapa pikiran atau tindakan lain . 4. Orang mengenali bahwa pemikiran obsesi, dorongan/gerakan hati, atau gambaran adalah suatu produk dari pikirannya yang tidak dikenakan dari luar.
Catatan: Agorafobia bukanlah suatu gangguan. kode spesifik agorafobia terjadi: Kompulsi digambarkan dengan (1) dan (2): 1. Perilaku berulang (e.g., mencuci tangan, memesan, mengecek) atau tindakan mental (e.g., berdoa, menghitung, mengulangi kata-kata dengan diam) yang dirasakan orang untuk melaksanakan sebagai jawaban atas suatu obsesi, atau menurut aturan yang harus diterapkan dengan teguh. 2. Perilaku atau tindakan mental diarahkan pada pencegahan atau mengurangi penderitaan atau beberapa pencegahan situasi atau peristiwa menyeramkan; bagaimanapun, perilaku atau tindakan mental ini tidak dihubungkan dalam cara yang realistis yang dirancang untuk menetralkan atau mencegah atau dengan jelas berlebihan. B. Beberapa poin menunjuk gangguan sepanjang keadaan, orang telah mengenali bahwa obsesi atau kompulsi adalah tidak beralasan atau berlebihan. Catatan: ini tidak berlaku bagi anak-anak. C. Obsesi atau penyebab kompulsi menandai penderitaan, atas waktu yang dignakannya (memakan lebih dari 1 jam dalam satu hari), atau dengan mantap bertentangan dengan orang normal (atau akademis) berfungsi, atau hubungan atau aktivitas sosial umum. D. Jika poros lain gangguan hadir, isi dari obsesi atau kompulsi tidaklah terbatas untuk itu (e.g., preokupasi dengan makanan di dalam gangguan makan; rambut yang menarik di hadapan trichotillomania; sedang melakukan penampilan di hadapan suatu gangguan dismorpik tubuh; preokupasi dengan obat di hadapan suatu gangguan penggnaan zat; preokupasi dengan menikmati suatu penyakit
serius di hadapan hypochondriasis; preokupasi dengan khayalan seksual di hadapan suatu paraphilia; atau perenungan bersalah di hadapan gangguan depresif mayor). F. Gangguan tidaklah berkaitan dengan efek fisiologis yang langsung dari suatu zat (e.g., penyalahgunaan zat, suatu pengobatan) atau suatu kondisi medis umum. Menetapkan jika: Dengan pengertian yang mendalam: jika, karena kebanyakan dari waktunya sepanjang peristiwa yang sekarang, orang tidak mengenali bahwa obsesi dan kompulsi adalah tidak beralasan atau berlebihan.
Tabel dari DSM-IV-TR, Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorders, Hak Cipta American Psychiatric Association, Washington, 2000.
Nevid, Rathus, dan Greene dalam bukunya “Abnormal Psychology in a Changing World” (2005) mendefinisikan gangguan obsesif kompulsif sebagai suatu obsesi dimana pikiran, ide, atau dorongan yang intrusif dan berulang yang sepertinya berada di luar kemampuan seseorang untuk mengendalikannya. Obsesi dapat menjadi sangat kuat dan persisten sehingga mengganggu kehidupan sehari-hari dan menimbulkan distres serta kecemasan yang signifikan. Suatu kompulsi adalah tingkah laku yang repetitif (seperti mencuci tangan atau memeriksa kunci pintu atau gembok) atau tindakan mental repetitif (seperti berdoa, mengulang-ulang kata-kata tertentu, atau menghitung) yang dirasakan oleh seseorang sebagai suatu keharusan atau dorongan yang harus dilakukan.
APA (Dalam Nevid, Rathus, & Greene, 2005) menjelaskan bahwa gangguan obsesif kompulsif dialami 2% sampai 3% masyarakat umum pada suatu saat dalam hidup mereka. Gangguan ini muncul sama seringnya pada laki-laki dan perempuan. Skoog dan Skoog mengemukakan penelitian di Swedia menemukan bahwa meskipun kebanyakan pasien gangguan obsesif kompulsif menunjukkan, banyak juga yang terus berlanjut mempunyai simtom gangguan ini sepanjang hidup mereka.
Dari pemaparan di atas tentang gangguan depresif dan anxietas, nantinya akan dilihat seberapa besar intensitas kecemasan dan tingkat depresi, khususnya pada pasien narkoba yang menggunakan terapi metadon yang akan dijadikan sebagai kajian pustaka penelitian ini.
2.2. Terapi metadon 2.2.1. Program layanan terapi ketergantungan NAPZA Pasien adalah seseorang yang menerima perawatan medis. Sering kali, pasien menderita penyakit atau cedera dan memerlukan bantuan dokter untuk memulihkannya (Wikipedia, 2009).
Narkoba adalah istilah yang merupakan singkatan dari narkotika, psikotropika dan bahan adiktif lain. Narkoba termasuk golongan bahan atau zat yang jika masuk ke
dalam tubuh akan mempengaruhi fungsi-fungsi yang dapat merusak tubuh terutama otak (BNN, 2007).
Selain "narkoba", istilah lain yang diperkenalkan khususnya oleh Departemen Kesehatan Republik Indonesia adalah NAPZA yang merupakan singkatan dari 'Narkotika, Psikotropika dan Zat Adiktif'. Semua istilah ini, baik "narkoba" atau NAPZA, mengacu pada sekelompok zat yang umumnya mempunyai resiko kecanduan bagi penggunanya (Wikipedia, 2009).
Berdasarkan pemaparan di atas, penulis memberikan definisi bahwa pasien narkoba adalah seseorang yang menerima perawatan medis dari sifat kecanduan atau ketergantungannya terhadap narkotika, psikotropika dan zat adiktif lain.
Fokus terapi ketergantungan NAPZA adalah menyediakan berbagai jenis pilihan, yang dapat mendukung proses pemulihan melalui berbagai ketrampilan yang diperlukan dan mencegah kekambuhan (relapse). Tingkatan layanan bervariasi, tergantung dari derajat keparahan dan seberapa intensif terapi diperlukan. Bentukbentuk terapi ketergantungan NAPZA (Dalam lampiran Keputusan Menteri Kesehatan, 2006) antara lain adalah: a. Detoksifikasi dan Terapi Withdrawal Detoksifikasi (sering disebut terapi detoks) adalah suatu bentuk terapi awal untuk mengatasi gejala-gejala lepas NAPZA (withdrawal state), yang terjadi sebagai
akibat penghentian penggunaan NAPZA. Detoks bukan terapi tunggal, namun hanya sebagai langkah pertama menuju program terapi jangka panjang (rehabilitasi, program terapi rumatan substitusi). Bila hanya dilakukan detoks kemungkinan relaps sangat besar. Variasi terapi detoks sangat luas, antara lain: ultra rapid detoxification (hanya 6 jam), home based detoxification, detoks rawat inap dan detoks rawat jalan. b. Terapi terhadap Kondisi Emergensi Pasien-pasien ketergantungan NAPZA sering menunjukkan perilaku yang mendatangkan kegawatan baik bagi dirinya maupun bagi orang sekitarnya. Keadaan overdose opioida dapat menyebabkan depresi pada susunan saraf pusat yang menyebabkan kematian. Kondisi paranoid, halusinasi, agresif dan agitasi akut memerlukan pertolongan profesional dengan segera. c. Terapi Gangguan Diagnosis Ganda Banyak pasien-pasien ketergantungan NAPZA yang bersama-sama juga menderita gangguan jiwa, seperti: skizofrenia, gangguan bipolar, gangguan kepribadian, anti sosial, depresi berat sampai suicide. Gangguan diagnosis ganda tersebut memerlukan terapi yang terintegrasi dengan terapi ketergantungan NAPZA. d. Terapi Rawat Jalan (Ambulatory atau Out-Patient Treatment) Terapi yang membebaskan pasien untuk tidak tinggal menginap di rumah sakit. Modifikasi terapi rawat jalan untuk pasien-pasien ketergantungan Napza sangat luas, seperti; terapi rawat jalan intensif, terapi rawat jalan seminggu sekali.
Terapi ini tidak restriktif dan sering memberikan hasil paling baik bagi orang yang telah bekerja dan yang memiliki lingkungan sosial dan keluarga yang stabil. Bentuk layanan ini dapat dilakukan dalam situasi dan kondisi layanan kesehatan formal ataupun dalam masyarakat dengan layanan-layanan yang meliputi; pendidikan kesehatan terkait penyalahgunaan NAPZA, pemberian terapi medis, konseling individu, konseling kelompok, konseling keluarga, psikoterapi, evaluasi psikologi dan evaluasi sosial serta program kelompok dukungan (support group) baik yang berdasarkan pada program 12 langkah, maupun program-program lain sesuai dengan kebutuhan pasien. e. Terapi Residensi (residential treatment) Bila detoks dan terapi rawat jalan berulang kali gagal, maka pasien perlu dipertimbangkan untuk mengikuti terapi rawat residensi (yang juga disebut dengan istilah rehabilitasi). Banyak metode yang digunakan dalam terapi residensi antara lain: Therapeutic Community, dan the 12-Step Recovery Program. Lamanya terapi umumnya 12-24 bulan yang terdiri dari beberapa tahap terapi. Sasaran utama dari terapi residensi adalah abstinentia atau sama sekali tidak menggunakan NAPZA (drug free). Dalam kedua program tersebut, umumnya mantan pengguna NAPZA (yang benar-benar telah bersih, recovering addict) diikutsertakan dalam kegiatan terapi disamping tenaga professional yang terlatih.
f. Terapi Pencegahan Relaps Angka relaps (kekambuhan) pada pasien ketergantungan NAPZA, khususnya pengguna opioida sangat tinggi. Guna mencegah berulangkalinya relaps, pasienpasien tersebut harus mendapatkan terapi pencegahan relaps. Beberapa bentuk terapi tersebut antara lain: Relapse Prevention Training (Marlatt), Cognitive Behavior Therapy (CBT) khususnya terhadap craving (Beck) dan the 12-Step Recovery Program. g. Terapi Pasca Perawatan (after care) Setelah melewati terapi rawat inap pasien sangat disarankan untuk dapat mengikuti terapi pasca perawatan. Hal ini merupakan bagian penting untuk dapat mendukung pasien tetap tidak menggunakan NAPZA. Beberapa komponen yang masuk dalam terapi pasca perawatan adalah konseling bagi pasien dan keluarga, psikoterapi, terapi perilaku, terapi kognitif, terapi perilaku dan kognitif, terapi dukungan, kelompok dukungan dan program 12 Langkah. h. Terapi Substitusi (Substitusion Therapy) Terapi substitusi terutama ditujukan kepada pasien ketergantungan opioida. Sasaran terapi, mengurangi perilaku kriminal, mencegah penularan HIV/AIDS, mempertahankan hidup yang produktif dan menghentikan kebiasaan penggunaan rutin NAPZA, khususnya opioida. Substitusi yang digunakan dapat bersifat methadone, buphrenorphine atau naltrexone. Methadone Maintance Therapy (MMT), sering disebut Terapi Rumatan Metadon (TRM) yang paling umum
dijalankan. Pasien yang mengikuti terapi substitusi tidak memerlukan hospitalisasi (rawat residensi) jangka panjang. Terapi ini akan berjalan dengan sangat efektif bila disertai dengan konsultasi dan intervensi perilaku.
Terapi substitusi terutama sekali ditunjukkan kepada pasien ketergantungan opioida. Methadone Maintance Therapy (MMT), yang sering disebut sebagai Terapi Rumatan Metadone (TRM) yang paling umum dijalankan sebagai bentuk terapi utama yang akan dijadikan kajian pustaka penelitian ini.
2.2.2. Metadon Program pengalihan yang paling diakui, dan telah berkali-kali diteliti secara mendalam adalah pemeliharaan metadon. Program rumatan atau pemeliharaan metadon yang berlangsung sedikitnya 6 bulan sampai 2 tahun atau lebih lama lagi (Dalam lampiran Keputusan Menteri Kesehatan, 2006).
Metadon dikembangkan di Jerman pada tahun 1945 sebagai obat penghilang rasa sakit dan pertama kali diuji coba di New York pada pertengahan tahun 1960-an untuk para pecandu narkoba yang tidak cocok dengan program perawatan berdasarkan pantang terhadap narkoba (Yakita, 2007).
Metadon termasuk dalam kelompok obat yang sama dengan heroin, kodein, dan morfin. Metadon adalah obat sintetis yang meredakan gejala putus obat yang biasanya dialami para pecandu. Ini bukan berarti metadon menyembuhkan adiksi terhadap opiat, karena saat menjalani program pemeliharaan metadon, klien pun secara fisik masih dalam ketergantungan terhadap opiat. Metadon dikenal luas di Australia dan Eropa sebagai perawatan untuk ketergantungan opiat (Yakita, 2007) dan resmi digunakan di Indonesia tahun 2003, bulan februari sebagai terapi bagi pecandu narkoba (Kompas, 2007).
Metadon adalah suatu narkotik sintesis (suatu opioid) yang menggantikan heroin dan dapat digunakan per-oral. Obat ini diberikan pada pasien kecanduan untuk menggantikan zat yang biasanya disalahgunakannya, dan obat ini menekan gejala putus zat. Gejala putus obat yang ditimbulkan oleh metadon tidak sekuat dari yang ditimbulkan oleh morfin atau heroin tetapi berlangsung lebih lama, dan timbulnya lebih lama. Kerja metadon adalah sedemikian sehingga 20 sampai 80 mg sehari adalah cukup untuk menstabilkan seorang pasien, walaupun dosis sampai 120 mg sehari telah digunakan. Metadon mempunyai lama kerja melebihi 24 jam, jadi dosis sekali sehari adalah adekuat. Pemeliharaan dengan metadon dilanjutkan sampai pasien dapat dihentikan dari metadon, yang sendirinya menyebabkan ketergantungan. Pasien didetoksifikasi dari metadon lebih mudah dibandingkan heroin, walaupun sindroma abstinesia yang mirip terjadi pada putus metadon (Kaplan & Sadock, 1997).
Metadon menyebabkan efek samping berupa perasaan ringan, pusing, kantuk, fungsi mental terganggu, berkeringat, pruritus, mual dan muntah. Efek samping ini lebih sering timbul pada pemberian oral daripada pemberian parenteral dan lebih sering timbul pada pasien berobat jalan. Kepekaan seseorang terhadap metadon dipengaruhi oleh faktor yang mempengaruhi kepekaan terhadap morfin, ditambah timbulnya adiksi jauh lebih kecil daripada bahaya adiksi morfin (Sulistia Gan Gunawan, 2007).
Pemeliharaan dengan metadon (metadhone maintenance) mempunyai beberapa keuntungan. Pertama, obat ini membebaskan seseorang dengan ketergantungan opioid dari heroin yang disuntikkan, dan dengan demikian menurunkan kemungkinan penyebaran HIV melalui penggunaan jarum yang terkontaminasi. Kedua, metadon menyebabkan euforia yang minimal dan jarang menyebabkan mengantuk atau depresi jika digunakan untuk jangka waktu yang lama. Ketiga, metadon memungkinkan pasien mengikuti pekerjaan yang bermanfaat, bukannya aktifitas kriminal. Kerugian utama adalah pasien tetap tergantung pada narkotik (Kaplan & Sadock, 1997).
A. Dampak psikologis terapi metadon Secara jelas memang masih belum diketahui dampak psikologis penggunaan terapi metadon, karena masih belum adanya penelitian yang mengkaji tentang gambaran atau dampak psikologis pasien narkoba yang menggunakan terapi metadon. Untuk itu, dikarenakan metadon masih dalam kelompok obat yang sama dengan heroin,
kodein, morfin dan jenis opioida lainnya, sehingga dibawah ini akan dijelaskan secara umum dampak psikologis akibat penggunaan atau ketergantungan narkotika jenis opioida, dalam hal ini metadon khususnya yang termasuk dalam kategori opioida (Hidup Sehat, 2008): 1. Selain ketergantungan fisik, terjadi juga ketergantungan mental. Ketergantungan mental ini lebih susah untuk dipulihkan daripada ketergantungan fisik. Ketergantungan yang dialami secara fisik akan lewat setelah gejala putus obat diatasi, tetapi setelah itu akan muncul ketergantungan mental, dalam bentuk yang dikenal dengan istilah ‘sugesti’. Orang seringkali menganggap bahwa sakaw dan sugesti adalah hal yang sama, ini adalah anggapan yang salah. Sakaw bersifat fisik, dan merupakan istilah lain untuk gejala putus obat, sedangkan sugesti adalah ketergantungan mental, berupa munculnya keinginan untuk kembali menggunakan narkoba. Sugesti ini tidak akan hilang saat tubuh sudah kembali berfungsi secara normal. Sugesti ini bisa digambarkan sebagai suara-suara yang menggema di dalam kepala seorang pecandu yang menyuruhnya untuk menggunakan narkoba. Sugesti seringkali menyebabkan terjadinya ‘perang’ dalam diri seorang pecandu, sehingga muncul suatu kecemasan, karena di satu sisi ada bagian dirinya yang sangat ingin menggunakan narkoba, sementara ada bagian lain dalam dirinya yang mencegahnya. Dampak mental yang lain adalah pikiran dan perilaku obsesif kompulsif, serta tindakan impulsif. Pikiran seorang pecandu menjadi terobsesi pada narkoba dan penggunaan narkoba. Narkoba adalah satu-satunya hal yang ada didalam
pikirannya. Ia akan menggunakan semua daya pikirannya untuk memikirkan cara yang tercepat untuk mendapatkan uang untuk membeli narkoba. Tetapi ia tidak pernah memikirkan dampak dari tindakan yang dilakukannya, seperti mencuri, berbohong, atau sharing needle karena perilakunya selalu impulsive, tanpa pernah dipikirkan terlebih dahulu. Ia juga selalu berpikir dan berperilaku kompulsif, dalam artian ia selalu mengulangi kesalahan-kesalahan yang sama. Misalnya, seorang pecandu yang sudah keluar dari sebuah tempat pemulihan sudah mengetahui bahwa ia tidak bisa mengendalikan penggunaan narkobanya, tetapi saat sugestinya muncul, ia akan berpikir bahwa mungkin sekarang ia sudah bisa mengendalikan penggunaannya, dan akhirnya kembali menggunakan narkoba. 2. Zat-zat jenis opioida dapat mengubah mood seseorang. Saat menggunakan zat tersebut, mood, perasaan, serta emosi seseorang ikut terpengaruh. Salah satu efek yang diciptakan oleh zat tersebut adalah perubahan mood. Narkoba dapat mengakibatkan ekstrimnya perasaan, mood atau emosi penggunanya. Jenis-jenis narkoba tertentu, terutama alkohol dan jenis-jenis narkotik yang termasuk dalam kelompok uppers seperti heroin, dan shabu-shabu, dapat memunculkan perilaku agresif yang berlebihan dari si pengguna, dan seringkali mengakibatkannya melakukan perilaku atau tindakan kekerasan. Terutama bila orang tersebut pada dasarnya memang orang yang emosional dan bertemperamen panas. Ini mengakibatkan tingginya domestic violence dan perilaku abusive dalam keluarga seorang zat tersebut. Karena pikiran yang terobsesi oleh narkoba dan
penggunaan narkoba, maka ia tidak akan takut untuk melakukan tindakan kekerasan terhadap orang-orang yang mencoba menghalaginya untuk menggunakan narkoba.
B.
Farmakokinetik
Oral metadon siap diserap dan sangat panjang tindakannya, dengan perbandingan, bioavailabilitasnya hampir 3 kali dari morfin dan umur-paruhnya adalah sekitar 10 kali lebih besar dari morfin (Lihat tabel 2.7). Tabel 2.7 Perbandingan Umur Paruh Metadon dan Morpin METADON Bioavailability Umur paruh
80% (79 ± 11.7%) 30 Jam. (30.4 ± 16.3) MORPIN
Bioavailability 30% (26 ± 13%) Umur paruh 3 Jam. (2.7 ± 1.2) Adaptasi dari: Gourlay et al., 1986, Dalam James D. Toombs, MD, 2008.
Eap, et al (Dalam James D. Toombs, MD, 2008) menyatakan bahwa metadon dengan sangat cepat menyebar ke tiap-tiap jaringan mencakup otak, saluran air atau usus, ginjal, hati, otot, dan paru-paru.
Beaver et. all (Dalam James D. Toombs, MD, 2008) mendefinisikan metadon sebagai obat penghilang sakit yang mempengaruhi secara khas dan mampu untuk bertahan aktif 4-6 jam, dimana lazimnya, ini akan meluas 8-12 jam dengan diulangi pemberian
dosis metadon. Oleh karena itu, 2 atau 3 dosis metadon sehari mampu untuk mengendalikan sakit secara adekuat. Beberapa pasien boleh memerlukan 4 dosis sehari-hari, terutama sekali bagi pasien yang lebih tua, hanya boleh memerlukan 1 dosis sehari.
Sawe (Dalam James D. Toombs, MD, 2008) menyatakan bahwa karena umur paruh yang panjang, tingkat plasma metadon mampu mencapai 10 hari untuk menstabilkan. Harus ada pertimbangan secara hati-hati antara tanpa rasa sakit yang tidak adekuat dalam kaitannya dengan dosis yang berlebihan sepanjang tahap titrasi. Pasien harus diberitahukan efek serangan metadon yang lambat dan peningkatan tanpa rasa sakit yang berangsur-angsur dari waktu ke waktu.
Metadon mengalami biotransformasi metabolis di dalam hati. Kedua-duanya antara metadon dan proses metabolis tersebut dikeluarkan melalui air seni dan kotoran sebagai hasil biotransformasi. Kurang dari 10% mengalami ekskresi dalam bentuk asli. Sebagian besar diekskresi bersama empedu (Sulistia Gan Gunawan, 2007).
C. Farmakodinamik Metadon mengikat pada reseptor opioid Mu (µ), Kappa (κ), dan Delta (δ), memproduksi tanpa rasa sakit seperti halnya efek samping opioid yang khas (Lihat tabel 2.8).
Tabel 2.8 Efek Klinis Metadon Dalam Reseptor Mu (µ), Kappa (κ), dan Delta (δ) Reseptor Mu (µ)
Efek Klinis Tanpa rasa sakit (Analgesia) Euforia Depresi pernapasan Ketergantungan fisik Penyempitan manik mata (Miosis) Daya gerak lambung berkurang Kappa (κ ) Tanpa rasa sakit (Analgesia) Penenang Depresi pernapasan Delta (δ) Analgesia Disforia Halusinasi Adaptasi dari: Warfield & Fausett, 2002. Dalam James D. Toombs, MD, 2008.
Metadon mempunyai potensi setara dengan morfin, secara klinis kemanjuran metadon meningkatkan dosis yang kronis (Davis & Walsh, 2001 dalam James D. Toombs, MD, 2008).
James D. Toombs, MD (2008) secara klinis menjelaskan bahwa besar atau seringnya perubahan dosis metadon pada umumnya penting setelah tahap titrasi awal. Hilangnya tanpa rasa sakit dari dosis yang stabil boleh mencerminkan penambahan pengobatan lain yang mempengaruhi metabolisme metadon dan serum sebagai akibat tingkat obat penghilang sakit.
Dalam susunan saraf pusat, efek analgetik 7,5-10 mg metadon sama kuat dengan efek 10 mg morfin. Dalam dosis tunggal, metadon tidak menimbulkan hipnosis sekuat
morfin. Setelah pemberian metadon berulang kali timbul efek sedasi yang jelas, mungkin karena adanya akumulasi. Dosis ekuianalgetik menimbulkan depresi napas yang sama kuat seperti morfin dan dapat bertahan lebih dari 24 jam setelah dosis tunggal. Seperti morfin, metadon menimbulkan hiperglikemia, hipotermia dan penglepasan ADH. Efek konstipasi metadon lebih lemah daripada morfin. Miosis yang ditimbulkan metadon lebih lama daripada miosis oleh morfin. Pada pecandu metadon timbul toleransi efek miosis yang cukup kuat. Obat ini merendahkan kepekaan tubuh terhadap CO2 sehingga timbul retensi CO2 yang dapat menimbulkan dilatasi pembuluh darah serebral dan kenaikan tekanan cairan serebrospinal (Sulistia Gan Gunawan, 2007).
D. Penggunaan dosis metadon: Opioid-Pasien Pemula Dengan metadon, aturan umumnya adalah “penggunaan awal yang sedikit dan perlahan-lahan”. untuk pasien yang tidak menggunaan opioid secara teratur, mahasiswa dari kedokteran dan ahli bedah Ontario mengusulkan dosis awal penggunaan adalah 2,5 mg per 8 jam. Hal ini menjadi dosis awal yang aman dan dapat digunakan, untuk pasien yang lemah dan lebih tua sebuah dosis awal yaitu 2,5 mg dalam sehari mungkin dibutuhkan. Meninjau kembali informasi produk (Metadon PI 2006) menganjurkan tidak lebih dari 2,5 sampai 10 mg setiap 8-10 jam, menetapkan kadar dengan perlahan untuk mempengaruhi. Hal ini sepenuhnya berlawanan dengan penggunaan yang lebih awal (The Earlier Package Insert),
dimana menyatakan bahwa penggunaan dosis sampai dengan 80 mg per hari adalah diizinkan, bagaimanapun, hal ini dapat menimbulkan resiko pada pasien itu sendiri (James D. Toombs, MD, 2008).
Petunjuk yang dapat digunakan untuk penggunaan metadon sangat kurang, jadi peningkatan penggunaan dapat didasarkan pada respon-respon pasien (Lihat tabel 2.9). kenaikan 2,5 mg per dosis per 5-7 hari telah disarankan dalam VA/DoD (Dalam James D. Toombs, MD, 2008) Petunjuk Penggunaan Klinis untuk Manajemen Terapi Opioid untuk Penyakit Kronis. Tabel 2.9 Contoh: Pemberian Titrasi Metadon Opioid-Pasien Pemula Wk 1 2 3 4 5 6
E.
Dosis 2.5 mg po BID 5 mg po BID 7.5 mg po BID 10 mg po BID 10 mg po TID 20 mg po BID (10 mg po QID)
Total Dosis/sehari 5 mg 10 mg 15 mg 20 mg 30 mg 40 mg
Penggunaan dosis metadon: Opioid-Pasien Toleran
Kebanyakan tabel equianalgesik menerbitkan untuk mengindikasikan penanggalan bahwa 15 mg dosis morfin kira-kira sama dengan 10 mg dosis metadon. Untuk dosis tunggal, hal ini mungkin terjadi: bagaimanapun, dengan dosis metadon berulang mungkin menjadi efek obat penghilang rasa sakit yang lebih baik (James D. Toombs, MD, 2008).
Dari pandangan retrospektif, sejumlah perbandingan telah dikembangkan (Lihat tabel 2.10). Pada masing-masing penelitian, rasio akhir dari equianalgesik, atau EDR, berhubungan dengan jumlah dosis opioid sebelum penukaran dengan metadon. Tabel 2.10 Perbandingan Dosis Obat EDR: Perubahan Morpin ke Metadon Dosis Metadon (mg/d) Morphine:Methadone EDR
<100 3:1
101-300 301-600 601-800 801-1000 >1001 5:1 10:1 12:1 15:1 20:1 Ayonrinde, 2000. Dalam James D. Toombs, MD, 2008.
Dalam contoh perhitungan pada halaman berikutnya, EDRs Ayonrinde telah digunakan. Rasio ini menyediakan pendekatan yang beralasan pada dosis yang lebih rendah dan cenderung menempatkan seseorang di level dosis yang lebih tinggi. sebagai contoh, 300 mg, 600 mg, dan 900 mg morfin masing-masing meramalkan 60 mg metadon. Bagaimanapun, rasio obat penghilang rasa sakit (EDR) adalah tidak tanpa kesalahan: rasio Ayonrinde meramalkan penggunaan 100 mg morfin seorang pasien membutuhkan sekitar 33 mg metadon, ketika seseorang menggunakan 110 mg morfin membutuhkan hanya 22 mg metadon (James D. Toombs, MD, 2008).
2.3. Kerangka berpikir Dasar dan kerangka teoritis yang digunakan dalam penelitian ini adalah bahwa terdapat dampak psikopatologis yang bermakna dalam penggunaan Narkotika Psikotropika dan Zat Adiktif (NAPZA). Dimana, anxietas dan depresif yang merupakan gangguan psikiatrik tersering, sering ditemukan pada penggunaan zat
(NAPZA), termasuk apakah terdapat dampak psikopatologis yang sama pada pasien narkoba yang menggunakan terapi metadon, yang masih termasuk ke dalam jenis opioida.
Kaplan dan Sadock (1997) menyatakan bahwa gejala depresi sering ditemukan di antara orang-orang dengan penyalahgunaan zat atau ketergantungan zat. Kira-kira sepertiga sampai setengah dari semua orang yang melakukan penyalahgunaan opioid atau ketergantungan opioid.
Brill (Dalam Dadang Hawari, 1991) menyatakan bahwa kecemasan dan depresi sering ditemukan pada penyalahguna zat. Penyalahgunaan zat yang mereka lakukan dimaksudkan untuk menutupi gangguan afektif tersebut.
Dalam hal ini, tingkatan layanan terapi ketergantungan NAPZA dalam upaya mendukung proses pemulihan cukup bervariasi, tergantung dari derajat keparahan dan seberapa intensif terapi diperlukan. Bentuk-bentuk terapi ketergantungan NAPZA antara lain adalah: Detoksifikasi dan Terapi Withdrawal, Terapi terhadap Kondisi Emergensi, Terapi Gangguan Diagnosis Ganda, Terapi Rawat Jalan (Ambulatory atau Out-Patient Treatment), Terapi Residensi (residential treatment), Terapi Pencegahan Relaps, Terapi Pasca Perawatan (after care), dan Terapi Substitusi (Substitution Therapy) (Dalam lampiran Keputusan Menteri Kesehatan, 2006).
Terapi substitusi terutama ditunjukkan kepada pasien ketergantungan opioida. Substitusi yang digunakan dapat bersifat methadone, buphrenorphine atau naltrexone. Methadone Maintance Therapy (MMT), sering disebut Terapi Rumatan Metadone (TRM) yang paling umum dijalankan (Dalam lampiran Keputusan Menteri Kesehatan, 2006).
Metadon adalah suatu narkotik sintesis (satu opioid) yang menggantikan heroin dan dapat digunakan peroral. Obat ini diberikan pada pasien kecanduan untuk menggantikan zat yang biasanya disalahgunakannya, dan obat ini menekan gejala putus zat (Kaplan & Sadock, 1997).
Terapi oral metadon merupakan salah satu pilihan bagi pecandu untuk meminimalkan risiko ketergantungan opioid dan menormalkan gaya hidup. Terapi metadon dapat membantu orang yang ketergantungan mencapai keadaan bebas obat dengan cara detoksifikasi dan mencapai tujuan akhir yakni meningkatnya status kesehatan dan produktivitas pasien (Kompas, 2008), sekalipun adanya kemungkinan akan terjadi efek samping yang berat baik fisik maupun psikis. Efek samping yang biasanya terjadi adalah konstipasi, kepala terasa ringan, pusing, mengantuk, pikiran tidak jernih, berkeringat, mual dan muntah. Bahaya utama karena kelebihan dosis adalah pernafasan. Jika dosis yang diberikan terlalu rendah gejala putus opiat dapat terjadi yang mengakibatkan gejala kram perut, lekas marah, dan punggung serta tulang sendi
sakit. Dosis metadon yang terlalu tinggi dapat ditunjukkan oleh gejala seperti kantuk, tertidur, sesak napas dan manik mata mengecil (Farmacia, 2008).
Berdasarkan pemaparan di atas dari gejala efek samping yang ada, memberikan pertanyaan ” apakah terdapat hubungan yang signifikan antara penggunaan terapi metadon pada pasien narkoba dengan dampak psikopatologis yang sama halnya dengan pemakaian opioid lainnya”, sehingga penting sekali untuk dijadikan pedoman atau sumber informasi sebagai penelitian baru yang akan dilakukan tentang kemungkinan terjadinya dampak psikopatologis, terutama intensitas kecemasan dan tingkat depresi bagi pasien narkoba yang menggunakan terapi metadon. (Skema teoritis dapat dilihat di bawah ini).
Dampak Psikologis Penyalahgunaan Narkoba - Kecemasan - Depresi (Brill dalam Dadang Hawari, 1991)
Ragam Terapi Narkoba - Detoksifikasi dan Terapi Withdrawal - Terapi terhadap Kondisi Emergensi - Terapi Gangguan Diagnosis Ganda - Terapi Rawat Jalan (Ambulatory atau Out-Patient Treatment) - Terapi Residensi (residential treatment) - Terapi Pencegahan Relaps - Terapi Pasca Perawatan (after care), - Terapi Substitusi (Substitution Therapy) (Dalam lampiran keputusan menteri kesehatan, 2006) Terapi Substitusi ⇒ Methadone Maintance Therapy (MMT) Efek positif ⇒ Membebaskan dari ketergantungan opioid dari heroin yang disuntikkan, euforia yang minimal, jarang menyebabkan mengantuk atau depresi jika digunakan untuk jangka waktu yang lama (Kaplan & Sadock, 1997). Efek samping ⇒ Konstipasi, kepala terasa ringan (fly), pusing, mengantuk, pikiran tidak jernih, berkeringat, mual dan muntah (Farmacia, 2008). Dosis berlebihan ⇒ Pernafasan, ditunjukkan oleh gejala seperti kantuk, tertidur, sesak napas dan manik mata mengecil (Farmacia, 2008).
Pasien narkoba yang menggunakan terapi metadon Anxietas ? Konstipasi, mual, pusing, berkeringat, pikiran tidak jernih dan sesak napas (Nevid, Rathus, & Greene, 2005).
Depresif ? Gangguan tidur, kesulitan berkonsentrasi atau berpikir Jernih (Nevid, Rathus, & Greene, 2005).
Gambar 2.1. Dampak psikologis terhadap penggunaan metadon.
2.4. Hipotesis H0 : Tidak ada hubungan yang signifikan antara penggunaan terapi metadon dengan intensitas kecemasan dan tingkat depresi pasien narkoba. H1 : Ada hubungan yang signifikan antara penggunaan terapi metadon dengan inensitas kecemasan dan tingkat depresi pasien narkoba.
BAB III METODOLOGI PENELITIAN 3.1. Jenis penelitian 3.1.1. Pendekatan dan metode penelitian Penelitian ini merupakan jenis kuantitatif, di mana data yang dihasilkan dari hasil penelitian adalah berwujud data kuantitatif, yakni data yang berbentuk bilangan.
Penelitian ini menggunakan desain penelitian analitik, yaitu penelitian yang bertujuan mencari hubungan antar variabel dengan melakukan analisis terhadap data yang dikumpulkan (Husein Alatas et.al, 1995).
3.1.2. Variabel penelitian dan definisi operasional variabel Dalam penelitian ini terdapat dua buah variabel, yaitu: a. Variabel bebas (Independent Variable), yaitu terapi metadon. b. Variabel terikat (Dependent Variable), yaitu intensitas kecemasan dan tingkat depresi.
Definisi operasional variabel : 1. Terapi metadon adalah suatu bentuk terapi pemberian obat metadon yang ditujukan kepada pasien ketergantungan opioida, sebagai bentuk pengalihan dari sifat ketergantungannya terhadap zat tersebut. 2. Intensitas kecemasan adalah keadaan tingkatan atau ukuran intensnya suatu kondisi emosi yang kurang menyenangkan, yang menimbulkan rasa kurang aman, tidak tentram dan perasaan terancam yang kapan saja dapat muncul karena adanya rangsangan dari luar. Aspek kecemasan ini akan diungkap dengan menggunakan The MiniInternational Neuropsychiatric Interview Version ICD-10 (MINI ICD-10) untuk menunjukkan keadaan tingkatan atau ukuran intensnya kecemasan. 3. Tingkat depresi adalah tinggi rendahnya suasana yang tidak menyenangkan, yang mengarah pada keputusasaan. Tingkat depresi ini akan diungkap dengan menggunakan The Mini-International Neuropsychiatric Interview Version ICD-10 (MINI ICD-10) untuk menunjukkan tinggi rendahnya suasana yang tidak menyenangkan, yang mengarah pada keputusasaan.
3.2. Pengambilan sampel 3.2.1. Populasi dan sampel Populasi adalah seluruh pasien narkoba pengguna heroin (opioid) yang menggunakan terapi metadon yang terdata di Puskesmas Kecamatan Tebet Jakarta yang berjumlah 35 pasien.
3.2.2. Teknik pengambilan sampel Dalam penelitian ini teknik pengambilan sampel dilakukan secara consecutive sampling yang termasuk dalam metode non probabilitas, yaitu penelitian dilakukan pada setiap pasien yang memenuhi kriteria penelitian yaitu pasien narkoba pengguna heroin (opioid) dan dimasukkan dalam penelitian. Dengan demikian jumlah sampel dalam penelitian ini adalah 35 pasien narkoba pengguna heroin (Sudigdo Sastroasmoro, 1995).
3.3. Pengumpulan data 3.3.1. Instrumen Dalam penelitian ini, peneliti menggunakan The Mini-International Neuropsychiatric Interview Version ICD-10 (MINI ICD-10) yaitu sebuah wawancara singkat struktur diagnostik, dikembangkan bersama oleh psychiatrists dan clinicians di Amerika
Serikat dan Eropa, untuk gangguan psikiatrik dalam DSM-IV dan ICD-10. Administrasi dengan waktu sekitar 15 menit, MINI ICD-10 dirancang untuk memenuhi kebutuhan yang singkat tapi akurat dalam wawancara psikiatris yang terstruktur untuk multicenter percobaan klinis dan studi epidemiologi (Sheehan & Lecrubier (et.al), 1998).
The Mini-International Neuropsychiatric Interview Version ICD-10 (MINI ICD-10) adalah wawancara singkat terstruktur yang dapat mendiagnosis 14 jenis gangguan jiwa diantaranya adalah Episode Depresif, Distimia, Episode Manik, Gangguan Panik, Agorafobia, Fobia Sosial, Gangguan Obsesif Kompulsif, Gangguan Anxietas Menyeluruh, Alkohol (ketergantungan/penyalahgunaan), Gangguan Psikotik, Anoreksia Nervosa, Bulimia, dan Kecenderungan Bunuh Diri (Sheehan dan Lecrubier Dalam modul anxietas dan depresi Yayasan Depresi Indonesia, 2002).
Dari banyaknya kriteria diagnostik gangguan jiwa diatas, penulis hanya mengambil sebagian kriteria diagnostik untuk jenis gangguan anxietas (Gangguan Panik, Agorafobia, Gangguan Obsesif Kompulsif, dan Gangguan Anxietas Menyeluruh) dan gangguan depresi (Episode Depresif dan Distimia) yang akan dijadikan sebagai kajian utama dalam penelitian ini, yakni untuk melihat seberapa besar intensitas kecemasan dan tingkat depresi pasien narkoba yang menggunakan terapi metadon.
Pengumpulan data meliputi data kuantitatif dalam bentuk data primer maupun sekunder. Akuisisi pengetahuan untuk mendapatkan data kuantitatif melalui wawancara terstruktur. Pedoman wawancara terstruktur mengacu pada model MINI ICD-10 yaitu suatu instrumen yang digunakan dalam riset maupun praktek klinis dan menghasilkan diagnosis menurut ICD-10 dan DSM-IV dan telah diterjemahkan ke dalam 33 bahasa termasuk untuk Indonesia oleh Yayasan Depresi Indonesia dengan memodifikasi modul yang disusun oleh Sheehan dan Lecrubier (Dalam modul anxietas dan depresi Yayasan Depresi Indonesia, 2002).
Data kuantitatif berupa data sekunder diperoleh dari kuesioner untuk mendapat data demografi pasien narkoba yang menggunakan terapi metadon, lamanya menggunakan terapi metadon, dosis penggunaan metadon dan dukungan sosial.
3.3.2. Hasil uji reliabilitas dan validitas MINI ICD-10 Tempei Otsubo (et.al) (2005) dalam Journal Psychiatry and clinical neurosciences “Reliability and Validity of Japanese version of the Mini-International Neuropsychiatric Interview” memberikan hasil reliabilitas dan validitas antara MINI versus SCID-P diagnosis dari penelitiannya terhadap 82 partisipan pasien dementia, retardasi mental, gangguan bahasa atau penyakit serius yang berhubungan dengan pengobatan dengan hasil nilai yang baik atau istimewa (> 0,75) untuk kategori gangguan mayor depresif, gangguan panik, agorafobia, gangguan obsesif kompulsif,
gangguan psikotik, dan ketergantungan alkohol, nilai (0,60 – 0,74) untuk kategori mania dan bulimia nervosa, dan nilai yang cukup reliabel / bisa diterima (0,45 – 0,59) untuk kategori distimia, gangguan kecemasan sosial, gangguan kecemasan menyeluruh, ketergantungan zat dan anorexia nervosa.
Hasil Interrater and test-retest reliabilities MINI dari penelitiannya terhadap 77 pasien partisipan dalam studi reliabilitas, memberikan hasil nilai yang istimewa untuk Interrater reliability test sebagai berikut: untuk kategori semua jenis gangguan mental (> 0,75), kecuali untuk gangguan distimia (0,74) dan gangguan kecemasan menyeluruh (0,72). Berdasarkan hasil retest MINI memberikan hasil nilai Kappa yang istimewa (> 0,75) untuk kategori jenis gangguan mayor depresif, gangguan panik, dan gangguan kecemasan menyeluruh, nilai (0,60 – 0,74) untuk kategori jenis gangguan agorafobia, gangguan obsesif kompulsif, gangguan psikotik, ketergantungan alkohol, anorexia nervosa, dan bulimia nervosa, dan untuk nilai (0,45 – 0,59) untuk kategori jenis gangguan distimia, mania, dan gangguan kecemasan sosial (Tempei Otsubo (et.al), 2005).
Dalam hal ini, peneliti juga melakukan uji reliabilitas dan validitas MINI ICD-10 yang memang belum pernah dilakukannya di Indonesia sampai sekarang ini dan membandingkannya dengan hasil uji reliabilitas dan validitas yang dilakukan negara lain.
Dalam menganalisis hasil uji reliabilitas dan validitas MINI ICD-10, peneliti menggunakan rumus koefisien korelasi pearson product moment untuk melihat hasil validitas dengan rumus (Saifuddin Azwar, 2007): ∑xy - (∑x)(∑y) / n Rxy = √[∑x² - (∑x)2/n][N ∑y²-(∑y)2/n] x dan y
= Skor masing-masing variabel
n
= Banyaknya subjek
Untuk melihat hasil reliabilitas, peneliti menggunakan rumus koefisien Alpha (α) yang dirumuskan sebagai berikut (Saifuddin Azwar, 2007): α = 2 [1 -
s1² + s2² ] sx²
s1² dan s2² sx²
= Varians skor belahan 1 dan belahan 2 = Varians skor tes
Dari penelitiannya terhadap 30 partisipan dalam studi reliabilitas, memberikan hasil nilai yang sangat reliabel untuk kategori agorafobia (0,91), gangguan panik (0,92) dan gangguan anxietas menyeluruh (0,94). Untuk kategori episode depresi (0,77) dan distimia (0,86). Dan nilai yang cukup reliabel untuk gangguan obsesif kompulsif (0,69).
Dibawah ini dijelaskan secara umum hasil perbandingan uji reliabilitas MINI ICD-10 dari tiga negara dalam versi English Version (Amerika Serikat), Japanese Version, dan Indonesia. Tabel 3.1 Hasil Perbandingan Uji Reliabiltas MINI ICD-10 Gangguan Mental
Indonesian Version
English Version (Amerika Serikat)1 0,84 0,52 0,67 0,76
Episode Depesif 0,77 Distimia 0,86 Agorafobia 0, 91 Gangguan Panik 0,92 Gangguan Obsesif 0,69 0,63 Kompulsif Gangguan anxietas 0,94 0,70 Menyeluruh 1 Mengutip dari Sheehan et.al (Dalam Tempei Otsubo (et.al), 2005). 2 Mengutip dari Tempei Otsubo (et.al), 2005.
Japanese Version2 0,85 0,56 0,83 0,92 0,80 0,52
3.3.3. Teknik dan prosedur penelitian Dalam penelitian ini peneliti dibantu oleh dokter pendamping yang bertanggung jawab dalam program terapi metadon di Puskesmas Kecamatan Tebet Jakarta. Tugas dokter pendamping adalah mendampingi peneliti selama pemeriksaan responden, menyaksikan, mengawasi, mengontrol, dan memverifikasi hasil-hasil pemeriksaan.
Teknik dan prosedur penelitian adalah sebagai berikut: a. Peneliti menerima responden dari dokter Puskesmas Kecamatan Tebet Jakarta.
b. Peneliti memberikan penjelasan dan motivasi tentang maksud dan tujuan pemeriksaan, agar responden selama pemeriksaan berlangsung memberikan keterangan dan jawaban yang sejujur-jujurnya. c. Peneliti secara langsung memberikan kuesioner kepada responden. Responden mengisi kuesioner di hadapan peneliti dan disaksikan oleh dokter Puskesmas Kecamatan Tebet Jakarta. d. Setelah kuesioner selesai diisi oleh responden, peneliti memeriksa kelengkapan kuesioner tersebut. e. Setelah pemeriksaan kelengkapan kuesioner selesai, peneliti melakukan wawancara terstruktur mengacu pada model MINI ICD-10 dengan didampingi dan disaksikan oleh dokter Puskesmas Kecamatan Tebet Jakarta. f. Status yang telah lengkap, diperiksa oleh dokter Puskesmas Kecamatan Tebet Jakarta.
3.3.4. Teknik analisis data Data yang telah dikumpul akan diolah secara manual dengan bantuan program software SPSS 15 dan analisa data akan dilaksanakan secara deskriptif menggunakan tabel frekuensi relatif yang disusun berdasarkan hasil yang didapat. Untuk hasil uji hipotesis akan diolah dengan menggunakan Chi-Square, dengan alasan karena data yang diperoleh merupakan data nominal.
BAB IV PRESENTASI DAN ANALISIS DATA 4.1. Gambaran umum subjek penelitian Penelitian ini dilakukan di Puskesmas Kecamatan Tebet Jakarta dengan jumlah responden 35 orang pasien narkoba yang menggunakan terapi metadon.
Deskripsi data ini memberikan gambaran penting mengenai keadaan psikopatologis pasien narkoba yang menggunakan terapi metadon yang berfungsi sebagai sumber informasi mengenai keadaan subyek pada aspek atau variabel yang diteliti yakni intensitas kecemasan dan tingkat depresi.
Berikut dipaparkan gambaran karakteristik responden pasien narkoba yang menggunakan terapi metadon.
4.1.1. Gambaran umum latar belakang responden pasien narkoba yang menggunakan terapi metadon Dibawah ini dijelaskan gambaran umum latar belakang responden berdasarkan karakteristik sosial, ekonomi, dan demografi dalam tabel berikut ini.
Tabel 4.1 Sebaran responden berdasarkan karakteristik sosial, ekonomi, dan demografi Variabel Jenis Kelamin 1. Laki-laki 2. Perempuan Umur 1. 20 – 29 tahun 2. 30 – 39 tahun 3. > 40 tahun Suku 1. Jawa 2. Sunda 3. Betawi 4. Padang 5. Batak Agama 1. Islam 2. Protestan 3. Katolik Pendidikan Terakhir 1. SD 2. SMP 3. SMA 4. Diploma 5. Sarjana Pekerjaan 1. Bekerja 2. Tidak bekerja Status Pernikahan 1. Menikah 2. Belum menikah
Jumlah
Persentase
33 2
94,3% 5,7%
16 14 5
45,7% 40% 14,3%
12 7 9 3 4
34,3% 20% 25,7% 8,6% 11,4%
29 5 1
82,8% 14,3% 2,9%
1 2 23 5 4
2,9% 5,7% 65,7% 14,3% 11,4%
24 11
68,6% 31,4%
19 16
54,3% 45,7%
Pada tabel diatas terlihat jenis kelamin yang terbanyak adalah laki-laki yaitu 33 orang (94,3%), mayoritas berumur 20 – 29 tahun sekitar 16 orang (45,7%) dengan tingkat pendidikan tertinggi adalah SMA yang berjumlah 23 orang (65,7%). Mereka pada umumnya bekerja sekitar 24 orang (68,6%) dengan status menikah yang berjumlah 19 orang (54,3%). Gambaran suku responden terbanyak adalah suku jawa yaitu 12
orang (34,3%). Agama responden yang terbanyak adalah Islam yaitu 29 orang (82,8%) sesuai dengan mayoritas agama di Indonesia.
4.2. Presentasi data 4.2.1. Frekuensi dan jenis gangguan mental pada responden Berdasarkan hasil penelitian, 14 orang mengalami gangguan kecemasan dan atau depresi (40%) dibandingkan dengan 21 orang yang tidak mengalami gangguan kecemasan ataupun depresi (60%).
Dari 14 responden yang mengalami gangguan kecemasan dan atau depresi, 2 responden mengalami gangguan mental tunggal (5,7%) dan 12 responden lainnya memiliki lebih dari satu gangguan mental (34,4%).
Sebaran gangguan mental yang dialami responden adalah episode depresif (26%), distimia (14%), gangguan anxietas menyeluruh (29%), gangguan panik (26%), agorafobia (6%), dan gangguan obsesif kompulsif (11%).
Hasil frekuensi dan jenis gangguan mental berdasarkan hasil penelitian diatas pada pasien narkoba yang menggunakan terapi metadon dapat dilihat pada tabel dan gambar dibawah ini.
Tabel 4.2 Sebaran Responden Berdasarkan Karakteristik Jumlah Gangguan Mental Variabel Jumlah Gangguan Mental 1. Ya 2. Tidak Jumlah Diagnosis Gangguan Mental 1. Diagnosis tunggal 2. Diagnosis ganda 3. Tanpa diagnosis Gangguan Mental 1. Episode depresif 2. Distimia 3. Gangguan anxietas menyeluruh 4. Gangguan panik 5. Agorafobia 6. Gangguan obsesif kompulsif
Jumlah
Persentase
14 21
40% 60%
2 12 21
5,7% 34,4% 60%
9 5 10
26% 14% 29%
9 2 4
26% 6% 11%
Pada tabel diatas terlihat hanya sebagian kecil responden mengalami gangguan kecemasan dan atau depresi sebanyak 14 orang (40%) dan kebanyakan responden tidak mengalami gangguan kecemasan ataupun depresi yang berjumlah 21 orang (60%). Berdasarkan jenis gangguan mental yang terbanyak di jumpai adalah gangguan anxietas menyeluruh yang berjumlah 10 orang (29%) dan paling sedikit adalah agorafobia yang berjumlah 2 orang (6%).
4.2.2. Uji Hipotesis Hipotesi dalam penelitian ini adalah sebagai berikut : H0 : Tidak ada hubungan yang signifikan antara penggunaan terapi metadon dengan intensitas kecemasan dan tingkat depresi pasien narkoba. H1 : Ada hubungan yang signifikan antara penggunaan terapi metadon dengan intensitas kecemasan dan tingkat depresi pasien narkoba.
Untuk menguji apakah terdapat hubungan antara penggunaan terapi metadon dengan intensitas kecemasan dan tingkat depresi pasien narkoba, peneliti menggunakan uji Chi-Square dengan bantuan program software SPSS 15. Berikut dibawah ini adalah hasil analisis uji Chi-Square berdasarkan karakteristik dari masing-masing variabel.
A. Hubungan antara lamanya terapi metadon dengan gangguan depresi
Depresi
Tidak Ya
Total
P Value
11-15 0 1 1
Lamanya Terapi Metadon 16-20 21-25 26-30 3 13 7 2 5 0 5 18 7
36-40 1 3 4
Total 24 11 35
0,015
Berdasarkan lamanya responden menggunakan terapi metadon, baik dalam rentangan waktu antara 11-15 bulan, 16-20 bulan, 21-25 bulan, 26-30 bulan, dan 36-40 bulan, membuktikan hasil uji statistik p < 0,05 artinya adanya hubungan yang signifikan antara penggunaan terapi metadon dengan gangguan depresi pasien narkoba,
sekalipun responden yang menggunakan terapi sampai jangka waktu yang lama, mengalami gangguan depresi dalam jumlah yang kecil.
B. Hubungan antara dosis penggunaan metadon dengan gangguan depresi
Depresi
Tidak Ya
Total
P Value
10-20 4 1 5
21-31 6 0 6
32-42 6 0 6
Dosis Penggunaan Metadon 43-53 54-64 65-75 76-86 87-97 2 3 1 1 1 0 1 2 3 2 2 4 3 4 3
98-109 0 1 1
120-130 0 1 1
0,003
Berdasarkan pada dosis penggunaan metadon, baik dalam takaran dosis antara 10-20 mg, 21-31 mg, 32-42 mg, 43-53 mg, dan seterusnya sampai pada takaran dosis 120130 mg, membuktikan hasil uji statistik p < 0,05 artinya adanya hubungan yang signifikan antara dosis penggunaan metadon dengan gangguan depresi pasien narkoba, sekalipun responden yang menggunakan sampai dosis yang tinggi, mengalami gangguan depresi dalam jumlah yang kecil.
C. Hubungan antara lamanya terapi metadon dengan gangguan kecemasan
Kecemasan
Tidak Ya
Total
P Value
0,002
11-15 0 1 1
Lamanya Terapi Metadon 16-20 21-25 26-30 2 12 7 3 6 0 5 18 7
36-40 1 3 4
Total 22 13 35
Total 24 11 35
Berdasarkan lamanya responden menggunakan terapi metadon, baik dalam rentangan waktu antara 11-15 bulan, 16-20 bulan, 21-25 bulan, 26-30 bulan, dan 36-40 bulan, membuktikan hasil uji statistik p < 0,05 artinya adanya hubungan yang signifikan antara penggunaan terapi metadon dengan gangguan kecemasan pasien narkoba, sekalipun responden yang menggunakan terapi sampai jangka waktu yang lama, mengalami gangguan depresi dalam jumlah yang kecil.
D. Hubungan antara dosis penggunaan metadon dengan gangguan kecemasan
Kecemasan
Tidak Ya
Total
P Value
10-20 5 1 7
21-31 5 0 5
32-42 5 1 6
Dosis Penggunaan Metadon 43-53 54-64 65-75 76-86 87-97 2 2 1 1 1 0 1 3 3 2 2 3 4 4 3
98-109 0 1 1
120-130 0 1 1
0,034
Berdasarkan pada dosis penggunaan metadon, baik dalam takaran dosis antara 10-20 mg, 21-31 mg, 32-42 mg, 43-53 mg, dan seterusnya sampai pada takaran dosis 120130 mg, membuktikan hasil uji statistik p < 0,05 artinya adanya hubungan yang signifikan antara dosis penggunaan metadon dengan gangguan kecemasan pasien narkoba, sekalipun responden yang menggunakan sampai dosis yang tinggi, mengalami gangguan kecemasan dalam jumlah yang kecil.
Total 22 13 35
4.3. Pembahasan hasil pengujian hipotesis Berdasarkan hasil analisis uji Chi-Square, penelitian ini menunjukkan bahwa adanya hubungan yang signifikan antara penggunaan terapi metadon dengan intensitas kecemasan dan tingkat depresi pasien narkoba dengan hasil uji statistik p < 0,05.
BAB V KESIMPULAN, DISKUSI DAN SARAN 5.1. Kesimpulan Penelitian ini merupakan penelitian analitik pada pasien narkoba yang menggunakan terapi metadon di Puskesmas Tebet Jakarta dengan tujuan untuk mengetahui hubungan antara penggunaan terapi metadon dengan intensitas kecemasan dan tingkat depresi.
Hasil uji Chi-Square menunjukkan adanya hubungan yang signifikan antara penggunaan terapi metadon dengan intensitas kecemasan dan tingkat depresi pasien narkoba dengan hasil uji statistik p < 0,05. Artinya ada hubungan positif antara penggunaan terapi metadon dengan munculnya tingkat kecemasan dan depresi.
5.2. Diskusi Tujuan utama penelitian ini adalah untuk mengetahui hubungan antara penggunaan terapi metadon dengan intensitas kecemasan dan tingkat depresi pasien narkoba. Berdasarkan hasil analisis peneliti, hasil penelitian ini menunjukkan adanya hubungan yang signifikan antara penggunaan terapi metadon dengan intensitas kecemasan dan tingkat depresi pasien narkoba, hal ini sesuai dengan apa yang telah
dijelaskan oleh Sulistia San Gunawan (2007) bahwa metadon menyebabkan efek samping berupa perasaan ringan, pusing, kantuk, sulit berkonsentrasi dan fungsi mental terganggu, dimana ciri-ciri ini lebih sering terjadi pada orang yang mengalami gangguan kecemasan. Kaplan dan Sadock (1997) menjelaskan juga bahwa gejala depresi sering ditemukan di antara orang-orang dengan penyalahgunaan zat atau ketergantungan zat. Kira-kira sepertiga sampai setengah dari semua orang yang melakukan penyalahgunaan opioid atau ketergantungan opioid, dalam hal ini metadon khususnya yang termasuk dalam kategori opioid. Untuk itu masih harus dicarikan alternatif lain dalam upaya penatalaksanaan atau penanganan bagi para pecandu.
Dari hasil uji Chi-Square menunjukkan adanya hubungan yang signifikan antara penggunaan terapi metadon dengan intensitas kecemasan dan tingkat depresi pasien narkoba, dengan hasil uji statistik p < 0,05. Ditemukan juga adanya pengaruh yang signifikan antara responden yang menggunakan terapi metadon dalam jangka waktu yang sebentar dengan responden yang menggunakan terapi metadon dalam jangka waktu yang lama, dan juga antara responden dengan penggunaan dosis yang rendah dengan dosis yang tinggi, sekalipun responden yang menggunakan sampai pada waktu yang lama dan sampai dengan dosis yang tinggi, mengalami gangguan kecemasan atau depresi dalam jumlah yang kecil.
Hasil yang diperoleh mengenai tingkat kecemasan dan depresi pasien narkoba yang menggunakan terapi metadon adalah hanya sebagian kecil responden mengalami gangguan kecemasan dan atau depresi sebanyak 14 orang (40%) dibandingkan dengan 21 orang yang tidak mengalami gangguan kecemasan atau depresi (60%).
Dari 14 responden yang mengalami gangguan kecemasan dan atau depresi, 2 responden mengalami gangguan mental tunggal (5,7%) dan 12 responden lainnya memiliki lebih dari satu gangguan mental (34,4%).
Sebaran gangguan mental yang terbanyak dijumpai adalah gangguan anxietas menyeluruh yang berjumlah 10 orang (29%) dan paling sedikit adalah agorafobia yang berjumlah 2 orang (6%).
5.3. Saran Saran yang diberikan dari hasil penelitian ini sebagai berikut : A. Saran Teoritis Disarankan kepada peneliti selanjutnya, agar penelitian berikutnya dapat meneliti gangguan mental lainnya dari kemungkinan apa yang terjadi pada penggunaan terapi metadon.
B. Saran Praktis 1. Penggunaan terapi metadon dapat dijadikan sebagai alternatif pilihan terakhir, sebab dari penelitian ini ditemukan bahwa ada hubungan antara penggunaan terapi metadon dengan intensitas kecemasan dan tingkat depresi. 2. Perlu adanya penambahan terapi psikologis (konseling individual) pada setiap pasien yang menggunakan terapi metadon. 3. Disarankan kepada psikiater atau perawat penerima terapi metadon untuk selalu memberikan perhatian dan pelayanan konseling atau penanganan yang membutuhkan berbagai bantuan dan pelayanan kesehatan mental terhadap keadaan psikologis pasien selama menggunakan terapi metadon.
DAFTAR PUSTAKA Buku : American Psychiatric Association. (2000). Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorders-IV-Text Revision. Washington DC: APA. Badan Narkotika Nasional. (2007). Advokasi Pencegahan Penyalahgunaan Narkoba. Jakarta: BNN RI. Dadang Hawari. (1991). Penyalahgunaan Narkotika dan Zat Adiktif. Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Husein Alatas (et.al). (1995). Desain Penelitian: Pandangan Umum. Dalam Sudigdo Sastroasmoro & Sofyan Ismael (ed). Dasar-Dasar Metodologi Penelitian Klinis (52-57). Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Kaplan, H. D., Sadock, B. J., & Grebb. J, A. Synopsis of Psychistry. Sinopsis Psikiatri: Ilmu Pengetahuan Perilaku Psikiatri Klinis. I Made Wiguna S (et.al) (Terj). 1997. Jakarta: Binarupa Aksara. Nevid, J. S., Rathus, S. A., & Greene, B. Abnormal Psychology in a Changing world. Psikologi Abnormal. Jeanette Murad (et.al) (Terj). 2005. Jakarta: Erlangga. Saifuddin Azwar, (2007). Reliabilitas dan Validitas. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Sudigdo Sastroasmoro. (1995). Pemilihan Subjek Penelitian. Dalam Sudigdo Sastroasmoro & Sofyan Ismael (ed). Dasar-Dasar Metodologi Penelitian Klinis (42-51). Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Sulistia Gan Gunawan. (2007). Farmakologi dan Terapi. Jakarta: Departemen Farmakologi dan Terapeutik Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Yayasan Depresi Indonesia. (2002). Anxietas dan Depresi. Jakarta: Departemen Kesehatan RI.
Jurnal : Faisal Idrus, (2007). Depresi Pada Penyakit Parkinson. Jurnal Cermin Dunia Kedokteran, vol. 34, nr. 3/156, 2007, 130-135. Sheehan & Lecrubier (et.al). (1998). The Mini-International Neuropsychiatric Interview (MINI): the development and validation of a structured diagnostic psychiatric interview for DSM-IV and ICD-10. The Journal of Clinical Psychiatry, vol.59, nr.20, 1998, 22-33. Tempei Otsubo (et.al). (2005). Reliability and Validity of Japanese version of the Mini-International Neuropsychiatric Interview. The Journal of Psychiatry and Clinical Neurosciences, vol.59, Maret 2005, 517-526. Buku Online : Dunia Psikologi, (2009). Apa saja Penyebab Depresi. Laporan Khusus. September 2009. http://duniapsikologi.com/2009/09/11/apa-saja-penyebab-depresi/ Faisal Idrus, (2006). Anxietas dan Hipertensi. http://www.akademik.unsri.ac.id /download/journal/files/medhas/AA-3%20CEMAS%28FaisalIdrus%29ok.pdf Hidup Sehat, (2008). Dampak Penggunaan Narkoba. Laporan Khusus. Juni 2008. http://hidupsehat.com/2008/06/08/dampak-penggunaan-narkoba/ James D. Toombs, MD. (2008). Oral Methadone Dosing for Chronic Pain a Practitioner’s Guide. Pain Treatment Topics, Special Report. Maret 2008. Available at:http://pain-topics.org/pdf/OralMethadoneDosing.pdf Josetta Maria (2003). Cemas: Normal atau Tidak Normal. http://library.usu.ac.id /download/fk/D0300172.pdf Kompas. (2008). Ribuan Pecandu Jakarta Jalani Terapi Metadon. Laporan Khusus. September 2008. http://www.kompas.com/read/xml/2008/09 /17/14473554/ribuan.pecandu.jakarta.jalani.terapi.metadon. Kompas. (2007). Subutex, Lebih Menguntungkan Dibanding Metadon. Laporan Khusus. Desember 2007. http://www.kompas.com/read/xml/ 2007/12/17/14473554/subutex.lebih.menguntungkan.dibanding.metadon
Lampiran Keputusan Menteri Kesehatan. (2006). Pedoman Pelaksanaan Pengurangan Dampak Buruk Narkotika, Psikotropika dan Zat Adiktif (NAPZA). Laporan Khusus. April 2009. http://www.depkes.go.id/downloads/Kepmenkes /NAPZA/lamp%20KMK%20Napza.doc Marta Stuart, (2004). Understanding Depression After Disaster. http://www.ag. arizona.edu/pubs/health/Depression.pdf Mohan Siddiq Dharma. (2008). Gambaran Penyalahgunaan NAPZA di kota Pekanbaru Periode 1 Januari - 31 Desember 2005. Laporan khusus. April 2008. http://yayanakhyar.wordpress.com/2008 /04/25/gambaran-penyalahgunaannapza-di-kota-pekanbaru-periode-1-januari-31-desember-2005/ National Institute of Mental Health. (2008). Depression. Available at: http://www. nimh.nih.gov/health/publications/Depression.pdf Soetomo, (2008). Terapi metadon Untuk Pecandu Heroin. Majalah Farmacia, Vol, 7, No. 10, Mei 2008. http://www.majalah-farmacia.com/rubrik/one_ news. asp?IDNews=785. Thomas L Schwenk, 2005). Depression: Guidelines for Clinical Care. http://cme.med. umich.edu/pdf/guideline/Depression04.pdf Wikipedia. (2009). Pasien & Narkoba. Laporan Khusus. April 2009. http://id.wikipedia.org/wiki/Pasien & http://id.wikipedia.org/wiki/Narkoba Yakita. (2007). Terapi Metadon. Laboran Khusus. Agustus 2007. http://www. yakita.or.id/terapi_metadon.htm
LAMPIRAN-LAMPIRAN
Lampiran 1
Pedoman wawancara Jakarta, September 2009
Kepada Yth. Partisipan di – Puskesmas Tebet Jakarta Dengan hormat, Perkenalkan saya Achmad Firdaus, mahasiswa Fakultas Psikologi Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta semester 8. Saat ini Saya sedang melaksanakan penelitian untuk penulisan skripsi berjudul : Terapi Metadon dan Hubungannya Dengan intensitas Kecemasan dan Tingkat Depresi Pasien Narkoba Puskesmas Tebet Jakarta (Proposal telampir). Adapun ijin penelitian Saya berdasarkan surat no. : 1753/-1.777.22 tanggal 5 Mei 2009. Terkait dengan judul penelitian tersebut, Saya bermaksud untuk melakukan wawancara dengan saudara sekalian. Sehubungan dengan hasil wawancara yang menyangkut kerahasiaan data saudara, Saya akan menjaganya dengan baik dan Saya gunakan hanya untuk kepentingan penulisan skripsi. Demikian surat permohonan sekaligus surat pernyataan ini Saya sampaikan. Besar harapan, semoga saudara dapat mengabulkannya. Salam hangat,
Achmad Firdaus
Alamat Kampus : UIN Syarif Hidayatullah Jakarta Jl. Kerta Mukti No. 5 Cirendeu Ciputat 15412 Telp. 021.7433060 Fax. 74714714
KUESIONER (Bagian Anamnesis Pemeriksaan Psikologis) Nomor responden
: ……………………………………………….
Nama responden
: ……………………………………………….
Tanggal
: ……………………………………………….
Pemeriksa
: ……………………………………………….
Catatan
: ……………………………………………….
PETUNJUK UMUM Jawablah pertanyaan-pertanyaan berikut ini dengan tenang dan tidak tergesa-gesa. Anda dapat menjawabnya dengan memberi tanda O (lingkaran) atau tanda V pada jawaban yang Anda anggap sesuai, atau dengan cara mengisinya, dan yang tidak sesuai dikosongkan. Anda dimohon menjawabnya dengan jujur, kerahasiaan Anda dijamin. Jika ada pertanyaan yang tidak jelas, silakan bertanya pada petugas.
DEMOGRAFI
1. Jenis kelamin Anda
L
P
2. Apakah agama Anda
………..
3. Berapa umur Anda sekarang ?
…….. Tahun.
4. Umur berapa Anda mulai masuk sekolah (SD) ?
…….. Tahun.
5. Umur berapa Anda berhenti sekolah
…….. Tahun.
6. Pendidikan / sekolah Anda terakhir: 6.1 SD
Kelas …….
6.2 SMP
Kelas …….
6.3 SMA
Kelas …….
6.4 Akademi / Perguruan tinggi
Tingkat ……
6.5 Lain-lain
………..
7. Apakah Anda masih duduk di bangku sekolah (beri tanda V): 7.1 Ya, masih sekolah secara teratur
………..
7.2 Ya, masih sekolah tetapi sering tidak masuk
………..
7.3 Tidak sekolah lagi, tetapi mengambil kursus / les
………..
7.4 Tidak sekolah lagi, tetapi bekerja
………..
7.5 Tidak sekolah lagi dan menganggur
………..
8. Kalau Anda bekerja, pekerjaan macam apa ?
………..
9. Kala Anda mengambil kursus atau les, kursus atau les apa ?
………..
10. Apakah pekerjaan orang tua (Ayah) anda ? (Pilih salah satu dan beri tanda (V): 10.1 Sekarang ini sedang tidak bekerja
………..
10.2 Sebagai wiraswasta / karyawan
………..
10.3 Sebagai pegawai negeri
………..
10.4 ABRI
………..
10.5 Lainnya
………..
11. Apakah pekerjaan orang tua (ibu) Anda ? (Pilih salah satu dan beri tanda tanda (V): 11.1 Tidak bekerja (sebagai Ibu rumah tangga)
………..
11.2 Sebagai wiraswasta / karyawan
………..
11.3 Sebagai pegawai negeri
………..
11.4 ABRI
………..
11.5 Lainnya
………..
12. Dalam tahun terakhir ini Anda tinggal di daerah mana ? 12.1 Kelurahan
………..
12.2 Kecamatan
………..
12.3 Kota
………..
13. Hingga Anda berumur 15 tahun dengan siapa Anda tinggal dan dibesarkan ? (Jawaban mungkin lebih dari satu, beri tanda V): 13.1 Ayah dan Ibu
………..
13.2 Hanya dengan Ibu saja
………..
13.3 Hanya dengan Ayah saja
………..
13.4 Kakek / Nenek
………..
13.5 Keluarga / Famili lain
………..
13.6 Tinggal di asrama
………..
13.7 Lainnya
………..
14. Sebelum Anda dibesarkan dan diasuh, Anda tinggal dimana. Di daerah pedesaan atau perkotaan ? 14.1 Di pedesaan (sebutkan)
………..
14.2 Di perkotaan (kota kecil)
………..
14.3 Di perkotaan (kota besar)
………..
15. Bagaimana kedudukan (status) Anda sekarang ? 15.1 Masih bujangan
………..
15.2 Kawin
………..
15.3 Pisah
………..
15.4 Cerai
………..
16. Apakah Anda mempunyai anak ? (beri tanda “O” lingkaran) Ya
Tidak
PENGGUNAAN METADON
17. Sudah berapa lamakah Anda menggunakan metadon atau mengikuti terapi metadon ?
…….. Bulan. …….. Tahun.
18. Berapakah biasanya takaran ukuran dosis Anda selama menggunakan terapi metadon ?
…….. Mg / perhari.
DUKUNGAN SOSIAL
19. Apakah adanya dukungan sosial dalam kehidupan sehari-hari (baik perhatian atau pemberian informasi lainnya) dari kedua orang tua atau saudara Anda ketika penggunaan atau terapi metadon ini sudah berjalan ? (beri tanda “O” lingkaran) Ya
Tidak
Pertanyaan 1-19 Bagian Anamnesis Pemeriksaan Psikologis oleh Achmad Firdaus, Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta. 2009.
MINI Mini International Neuropsychiatric Interview Version ICD-10
MINI Versi ICD-10 dirancang sebagai suatu wawancara terstruktur yang sangat singkat untuk mendiagnosis psikiatrik utama dari International Classification of Diseases (World Health Organization, 1993). Setelah suatu sesi pelatihan singkat, wawancara ini dapat digunakan oleh para klinisi, baik yang mengambil spesialisasi dalam bidang psikiatri maupun yang tidak.
Y. Lecrubier, E. Weiller, P. Amorim, T. Hergueta, L.I. Bonora, J.P. Lépine Inserm U302 – La Salpétrière Hospital – PARIS – FRANCE D. Sheehan, J. Janavs, E. Knapp, M. Sheehan, R. Baker, K.H. Sheehan University of South Florida - TAMPA - USA
All Rights reserved. No part of this document may be reproduced in any form, in whole or in part, without the prior written consent of the authors.
Hak cipta dilindungi undang-undang. Dilarang memperbanyak dokumen ini dalam bentuk apapun, seluruhnya maupun sebagian, tanpa izin tertulis dari pembuat.
Yayasan Depresi Indonesia V.1.3
Lecrubier & Sheehan et al. :MINI ICD-10 v. 5.0.0 (February 12, 1998)
PETUNJUK UMUM Wawancara: Untuk mempertahankan agar interview berlangsung sesingkat mungkin, informasikan kepada pasien bahwa anda akan melaksanakan suatu interview klinis yang tidak lazim, menanyakan kepadanya pertanyaan yang sangat spesifik perihal masalah psikologisnya dan mengharapkan jawaban ”ya” atau ”tidak”. Format umum: MINI dibagi menjadi beberapa modul yang diidentifikasi dengan huruf, yang masingmasing berkaitan dengan suatu kategori diagnostik. -
Pada awal setiap seksi diagnostik (kecuali untuk seksi gangguan psikotik), pertanyaan-pertanyaan skrining yang berhubungan dengan kriteria utama dari gangguan itu ditampilkan di dalam suatu kotak abu-abu.
-
Pada akhir setiap seksi, satu atau beberapa kotak diagnostik memungkinkan penetapan apakah diagnosis tersebut ada atau tidak ada.
Konvensi: •
Kalimat-kalimat yang dicetak dalam ”tipe huruf biasa” berhubungan dengan pertanyaan-pertanyaan yang harus dibaca secara keseluruhan kepada pasien untuk menstandarisasi penilaian kriteria diagnostik.
•
Kalimat-kalimat yang dicetak dalam ”huruf besar/kapital” adalah instruksi untuk klinikus/klinisi (tidak dibacakan kepada pasien), dan berhubungan dengan algoritme diagnostik.
•
Kalimat-kalimat yang dicetak dalam ”cetak tebal” mengindikasikan kerangka waktu untuk pemeriksaan sindrom tersebut. Klinikus diminta untuk membacanya sesering diperlukan. Hanya gejala yang dikemukakan selama periode waktu ini yang harus diperhatikan.
Yayasan Depresi Indonesia V.1.3
Lecrubier & Sheehan et al. :MINI ICD-10 v. 5.0.0 (February 12, 1998)
•
Jawaban-jawaban dengan tanda panah () mengindikasikan bahwa satu dari kriteria yang dibutuhkan untuk diagnosis yang dinilai tidak dicapai. Dalam kasus demikian, klinikus diminta untuk langsung ke akhir seksi dan melingkari semua jawaban ”tidak” di dalam kotak diagnostik yang bersangkutan.
•
Jika istilah dipisahkan oleh suatu ”garis miring” (/) pewawancara diminta untuk membaca hanya yang berkaitan dengan gejala yang dikemukakan oleh pasien sesuai dengan jawaban terhadap pertanyaan sebelumnya.
•
Kalimat di dalam (kurung) adalah contoh yang menguraikan gejala yang diperiksa.
Instruksi penilaian: •
Semua pertanyaan yang ditanyakan harus dinilai. Penilaian dilakukan di sebelah kanan setiap pertanyaan dengan melingkari jawaban yang sesuai.
•
Klinikus harus yakin bahwa setiap istilah dari pertanyaan telah dipahami oleh pasien (misalnya: kerangka waktu, frekuensi, keparahan, dan/atau alternatif).
•
Gejala yang lebih merupakan akibat dari suatu penyebab organik atau karena penggunaan zat jangan dimasukkan.
Berarti: PERGI KE KOTAK DIAGNOSTIK PADA MODUL, LINGKARI TIDAK PADA SEMUA ITEM DAN PINDAH KE MODUL BERIKUTNYA Yayasan Depresi Indonesia V.1.3
Lecrubier & Sheehan et al. :MINI ICD-10 v. 5.0.0 (February 12, 1998)
Untuk pertanyaan, saran, permintaan pelatihan, atau informasi tentang perbaruan MINI, silakan hubungi: David SHEEHAN University of South Florida Institute for Research in Psychiatry 3515 East Fletcher Avenue Tampa, FL 33613 USA
Yves LECRUBIER / Thierry HERGUETA Inserm U302 Hospital de la Pitie-Salpétrière 47, boulevard de l’Hospital F. 75651 PARIS FRANCE
Tel: +1 813 979 3500 Fax: +1 813 979 3511 e-mail:
[email protected]
Tel: +33 (0) 1 42 16 16 59 Fax: +33 (0) 1 45 85 28 00 e-mail:
[email protected]
Yayasan Depresi Indonesia d/a PT PARVICO BERSAUDARA Menara Kadin Indonesia Lt. 18 Jl. H. R. Rasuna Said Blok X-5 Kav. 2-3 Jakarta 12950 Indonesia Tel: +62 21 5790 3940 Fax: +62 21 5790 3941 e-mail:
[email protected]
Yayasan Depresi Indonesia V.1.3
Lecrubier & Sheehan et al. :MINI ICD-10 v. 5.0.0 (February 12, 1998)
Versi MINI ICD-10 Episode Depresif
Kerangka waktu: 2 minggu terakhir
Distimia
2 tahun terakhir
Agorafobia
Baru-baru ini
Gangguan Panik
Baru-baru ini
Gangguan Obsesif Komplsif
2 minggu terakhir
Gangguan Anxietas Menyeluruh
Yayasan Depresi Indonesia V.1.3
6 bulan terakhir
Lecrubier & Sheehan et al. :MINI ICD-10 v. 5.0.0 (February 12, 1998)
Yayasan Depresi Indonesia V.1.3 (Juli 2001)
A. EPISODE DEPRESIF
A1 Selama 2 minggu terakhir: a. Apakah anda secara terus menerus merasa sedih, depresif atau murung; hampir sepanjang hari, hampir setiap hari ? b. Apakah anda hampir sepanjang waktu kurang berminat terhadap banyak hal atau kurang bisa menikmati hal-hal yang biasanya anda nikmati ? c. Apakah anda merasa lelah atau tidak bertenaga, hampir sepanjang waktu ?
TIDAK
YA
TIDAK
YA
TIDAK
YA
JIKA KURANG DARI 2 YA PADA A1 STOP A2 Selama 2 minggu terakhir, ketika anda merasa sedih/depresif/tak berminat/lelah : a. Apakah nafsu makan anda berubah secara mencolok atau apakah berat badan anda meningkat atau menurun tanpa upaya yang disengaja ? TIDAK b. Apakah anda mengalami kesulitan tidur hampir setiap malam (kesulitan untuk mulai tidur, terbangun tengah malam atau terbangun lebih dini, tidur berlebihan) ? TIDAK c. Apakah anda berbicara atau bergerak lebih lambat daripada biasanya, gelisah, tidak tenang atau mengalami kesulitan untuk tetap diam ? TIDAK d. Apakah anda kehilangan kepercayaan diri, atau apakah anda merasa tak berharga atau bahkan lebih rendah daripada orang lain ? TIDAK e. Apakah anda merasa bersalah atau mempersalahkan diri sendiri ? TIDAK f. Apakah anda mengalami kesulitan berpikir atau berkonsentrasi, atau apakah anda mempunyai kesulitan untuk mengambil keputusan ? TIDAK g. Apakah anda berniat untuk menyakiti diri sendiri, ingin bunuh diri atau berharap bahwa anda mati ? TIDAK
YA
YA
YA
YA YA
YA YA
F TIDAK YA APAKAH 4 ITEM ATAU LEBIH SEJAK A1 DIBERI KODE YA ? 3 EPISODE DEPRESI 2
A3 JIKA PASIEN MEMENUHI KRITERIA UNTUK EPISODE DEPRESIF : a. Selama hidup anda, pernahkah anda selama 2 minggu atau lebih merasa depresi dan mengalami hal-hal yang baru kita bicarakan ? TIDAK YA b. Sebelum anda merasakan depresi ini, apakah anda merasa baik saja selama sekurangnya 2 bulan ?
APAKAH A3b DIBERI KODE YA ?
TIDAK F 3 3
YA
TIDAK
YA
GANGGUAN DEPRESI BERULANG
Lecrubier & Sheehan et al. :MINI ICD-10 v. 5.0.0 (February 12, 1998)
Yayasan Depresi Indonesia V.1.3 (Juli 2001)
B. DISTIMIA Jika pasien saat ini memenuhi kriteria untuk Gangguan Depresif Berulang, jangan menanyakan seksi ini, kecuali anda mempunyai alasan yang khusus.
B1 Apakah anda merasa sedih, murung atau tertekan sepanjang waktu selama 2 tahun terakhir ?
TIDAK
YA
B2 Apakah periode ini diselingi oleh perasaan baik-baik saja (tidak depresi) selama 2 bulan atau lebih ?
TIDAK
YA
TIDAK
YA
TIDAK
YA
TIDAK TIDAK TIDAK
YA YA YA
TIDAK TIDAK
YA YA
TIDAK
YA
TIDAK
YA
TIDAK
YA
TIDAK
YA
B3 Selama periode depresi sepanjang waktu ini : a. Apakah anda kehilangan energi ? b. Apakah anda kesulitan tidur (kesulitan untuk mulai tidur, bangun tengah malam atau bangun lebih dini) ? c. Apakah anda kehilangan kepercayaan diri, atau merasa tidak semampu biasanya ? d. Apakah anda sulit berkonsentrasi ? e. Apakah anda sering menangis ? f. Apakah minat anda berkurang atau kurang bisa menikmati hal-hal yang biasanya anda nikmati ? g. Apakah anda sering merasa putus asa ? h. Apakah anda sering merasa tidak mampu memikul tanggung jawab sehari-hari ? i. Apakah anda merasa bahwa hidup anda selalu buruk dan tidak akan membaik ? j. Apakah anda mengurangi aktivitas sosial anda; apakah anda cenderung untuk menarik diri ? k. Apakah anda menjadi lebih pendiam daripada sebelumnya ?
APAKAH ADA 3 ATAU LEBIH ITEM DARI B3 DIBERI KODE YA ?
F 3 4 . 1
TIDAK DISTIMIA
Lecrubier & Sheehan et al. :MINI ICD-10 v. 5.0.0 (February 12, 1998)
YA
Yayasan Depresi Indonesia V.1.3 (Juli 2001)
D. AGORAFOBIA
D1 Apakah anda merasa tidak nyaman di tempat atau situasi yang akan sulit atau memalukan jika meloloskan diri, atau pertolongan mungkin tidak akan diperoleh, seperti : a. Berada dalam kerumunan atau antrian, TIDAK YA b. Berada di tempat umum, TIDAK YA c. Berada seorang diri jauh dari rumah, TIDAK YA d. Bepergian dengan bis, kereta api atau mobil, TIDAK YA e. Atau dalam suasana lain (lift, ....) ? TIDAK YA JIKA JAWABAN YA KURANG DARI 2 PADA D1
STOP
D2 Apakah anda sangat takut terhadap tempat/situasi ini sehingga anda menghindarinya atau menghadapinya dengan ketegangan berat/hebat ?
TIDAK
YA
D3 Apakah anda pikir bahwa ketakutan ini tak beralasan atau berlebihan ?
TIDAK
YA
D4 Apakah ketakutan ini mengganggupekrjaan anda, kegiatan sehari-hari atau fungsi sosial, atau menimbulkan ketegangan hebat ?
TIDAK
YA
D5 Ketika anda berada dalam salah satu situasi di atas, apakah anda kadang-kadang : a. Merasa denyut jantung tak teratur, cepat atau berdebar keras ? b. Berkeringat ? c. Gemetar atau bergetar ? d. Merasa mulut kering ?
TIDAK TIDAK TIDAK TIDAK
YA YA YA YA
JIKA SEMUA DIBERI KODE TIDAK dari D5a sampai D5d e. f. g. h. i.
Mengalami kesulitan bernafas ? Merasa tercekik ? Merasa nyeri, tertekan atau tidak enak di dada ? Mengalami mual atau gangguan perut ? Kepala pusing, sempoyongan, melayang atau pingsan ?
TIDAK TIDAK TIDAK TIDAK TIDAK
STOP YA YA YA YA YA
j.
Merasa asing dengan sekeliling anda atau asing dengan bagian tubuh anda ? k. Takut bahwa anda akan menjadi gila, kehilangan kendali atau pingsan ? l. Takut bahwa anda akan mati ? m. Mengalami kilatan panas atau kedinginan ? n. Merasa kesemutan atau baal pada bagian tubuh anda ?
TIDAK
YA
TIDAK TIDAK TIDAK TIDAK
YA YA YA YA
APAKAH 2 ATAU LEBIH ITEM DARI D5 DIBERI KODE YA ?
F 4 TIDAK YA 0 AGORAFOBIA . 0
Lecrubier & Sheehan et al. :MINI ICD-10 v. 5.0.0 (February 12, 1998)
Yayasan Depresi Indonesia V.1.3 (Juli 2001)
E. GANGGUAN PANIK
E1 Apakah anda sering mendapat serangan mendadak merasa cemas, takut, tidak tenang atau tidak nyaman dalam suatu situasi yang orang lain tidak merasakan demikian ?
TIDAK
YA
E2 Apakah serangan tersebut datang secara tak terduga ?
TIDAK
YA
E3 Selama serangan terburuk yang bisa anda ingat, apakah anda : a. Merasa denyut jantung tak teratur, cepat atau berdebar keras ? TIDAK b. Berkeringat ? TIDAK c. Gemetar atau bergetar ? TIDAK d. Merasa mulut kering ? TIDAK
YA YA YA YA
JIKA SEMUA DIKODE TIDAK DARI E3A SAMPAI E3D e. f. g. h. i.
Kesulitan bernapas ? Merasa tercekik ? Merasa nyeri, tertekan atau tidak enak di dada ? Mengalami mual atau gangguan perut ? Kepala pusing, sempoyongan, melayang atau pingsan ? j. Merasa asing dengan sekeliling anda atau asing dengan bagian tubuh anda ? k. Takut bahwa anda akan menjadi gila, kehilangan kendali atau pingsan ? l. Takut bahwa anda akan mati ? m. Mengalami kilatan panas atau kedinginan ? n. Merasa kesemutan atau baal pada bagian tubuh anda ?
APAKAH 4 ATAU LEBIH ITEM DARI E3 DIBERI KODE YA ?
STOP TIDAK YA TIDAK YA TIDAK YA TIDAK YA TIDAK
YA
TIDAK
YA
TIDAK TIDAK TIDAK
YA YA YA
TIDAK
YA
F YA 4 TIDAK 1 GANGGUAN PANIK . 0
E4 JIKA PASIEN MENUNJUKKAN AGORAFOBIA (F40.0) : Anda mengatakan bahwa anda terutama tidak nyaman dalam situasi seperti (SITUASI YANG DISEBUTKAN DALAM D1). Apakah serangan yang baru saja kita uraikan terjadi hanya pada situasi tersebut ? TIDAK
APAKAH E4 DIBERI KODE YA ?
F 4 0 . 0 1
YA
TIDAK
YA
AGORAFOBIA dengan GANGGUAN PANIK
*Jika < AGORAFOBIA dengan GANGGUAN PANIK > (F40.01), DIAGNOSIS F40.0 dan F41.0 JANGAN DILAPOPRKAN Lecrubier & Sheehan et al. :MINI ICD-10 v. 5.0.0 (February 12, 1998)
Yayasan Depresi Indonesia V.1.3 (Juli 2001)
G. GANGGUAN OBSESIF KOMPULSIF
G1 Dalam 2 minggu terakhir, apakah anda diresahkan oleh pikiran, rangsangan atau bayangan berulang yang tidak anda sukai, memuakkan, tidak layak, mendesak atau menekan (misalnya ide bahwa diri anda kotor, atau ada kuman, atau menyakiti seseorang walaupun anda tidak menghendakinya) ? TIDAK
YA
(JANGAN MEMASUKKAN BEGITU SAJA KEKHAWATIRAN BERLEBIHAN PERIHAL MASALAH HIDUP YANG NYATA ATAU KEKHAWATIRAN YANG BERKAITAN DENGAN GANGGUAN LAIN). G2 Dalam 2 minggu terakhir, apakah anda melakukan sesuatu berulang-ulang tanpa mampu menahannya, seperti mencuci berlebihan, menghitung atau memeriksa sesuatu berulang-ulang ? TIDAK
YA STOP
JIKA G1 DAN G2 DIBERI KODE TIDAK
G3 Apakah anda berpendapat bahwa pikiran (atau perilaku) ini adalah hasil dari pikiran anda sendiri dan bukan berasal dari luar ?
TIDAK
YA
G4 Apakah anda berpendapat bahwa pikiran (atau perilaku) ini tidak beralasan, aneh, atau di luar kewajaran ?
TIDAK
YA
G5 Apakah pikiran itu tetap muncul walaupun anda mencoba untuk mengabaikan atau menghilangkannya ?
TIDAK
YA
G6 Apakah pikiran (dan/atau perilaku) ini menimbulkan ketegangan hebat atau sangat mengganggu kegiatan rutin, fungsi pekerjaan, kegiatan sosial biasa, atau pergaulan anda ? TIDAK
YA
APAKAH G6 DIBERI KODE YA ?
F 4 2
TIDAK
YA
GANGGUAN OBSESIF KOMPULSIF
Yayasan Depresi Indonesia V.1.3 (Juli 2001)
H. GANGGUAN ANXIETAS MENYELURUH Jangan mengeksplorasi seksi ini jika pasien memperlihatkan gangguan anxietas lain (F40.-;F41.0;F42)
H1 Apakah anda khawatir berlebihan atau cemas perihal 2 atau lebih masalah hidup sehari-hari (misalnya keuangan, kesehatan anak, nasib buruk) selama 6 bulan terakhir ? Lebih daripada orang lain ? Apakah kekhawatiran ini muncul hampir setiap hari ? (Atau apakah orang mengatakan kepada anda bahwa anda khawatir berlebihan ?) TIDAK
YA
H2 Selama periode ini, apakah anda sering : a. Merasa denyut jantung tak teratur, cepat atau berdebar keras ? b. Berkeringat ? c. Gemetar atau bergetar ? d. Merasa mulut kering ?
YA YA YA YA
JIKA SEMUA DIKODE TIDAK dari H2a sampai H2d e. f. g. h. i. j. k. l. m. n. o. p. q. r.
Mengalami kesulitan bernafas ? Merasa tercekik ? Merasa nyeri, tertekan atau tidak enak di dada ? Mengalami mual atau gangguan perut ? Kepala pusing, sempoyongan, melayang atau pingsan ? Merasa asing dengan sekeliling anda atau dengan bagian tubuh anda ? Takut bahwa anda akan menjadi gila, kehilangan kendali atau pingsan ? Takut bahwa anda akan mati ? Mengalami kilatan panas atau dingin ? Merasa kesemutan atau baal pada bagian tubuh anda ? Merasa sakit, nyeri otot, atau merasa tegang ? Merasa gelisah, tidak bisa santai ? Merasa tegang ? Merasa sulit menelan, atau kerongkongan tersumbat ?
TIDAK TIDAK TIDAK TIDAK
STOP TIDAK YA TIDAK YA TIDAK YA TIDAK YA TIDAK
YA
TIDAK
YA
TIDAK TIDAK TIDAK
YA YA YA
TIDAK TIDAK TIDAK TIDAK
YA YA YA YA
TIDAK
YA
s. t. u. v.
Mudah kaget/terkejut ? Sulit berkonsentrasi, atau merasa pikiran kosong ? Merasa mudah tersinggung ? Sulit tidur karena kekhawatiran anda ?
TIDAK TIDAK TIDAK TIDAK
APAKAH 4 ATAU LEBIH ITEM DARI H2 DIBERI KODE YA ?
YA YA YA YA
F YA 4 TIDAK 1 GANGGUAN ANXIETAS MENYELURUH . 1
Lecrubier & Sheehan et al. :MINI ICD-10 v. 5.0.0 (February 12, 1998)
Lampiran 2
Hasil uji Reliabilitas dan Validitas MINI ICD-10
Reliability Episode Depresi Warnings The space saver method is used. That is, the covariance matrix is not calculated or used in the analysis. Case Processing Summary N Cases
Valid
30
% 100,0
Excluded(a)
0 ,0 30 100,0 a Listwise deletion based on all variables in the procedure. Total
Reliability Statistics Cronbach's Alpha ,774
N of Items 10 Item Statistics
VAR00001 VAR00002 VAR00003 VAR00004 VAR00005 VAR00006 VAR00007 VAR00008 VAR00009 VAR00010
Mean 2,5333 2,4333 2,4667 2,8667 3,4000
Std. Deviation 2,99117 2,47307 3,01414 2,60944 3,00115
N
2,3667 1,4333 3,4667
2,57954 2,07918 3,38081
30 30 30
3,2000 ,6333
3,45812 1,88430
30 30
30 30 30 30 30
Item-Total Statistics
VAR00001 VAR00002 VAR00003
Scale Mean if Item Deleted 22,2667 22,3667
Scale Variance if Item Deleted 213,306 246,447
Corrected Item-Total Correlation ,391 ,049
Cronbach's Alpha if Item Deleted ,761 ,797
22,3333
189,816
,692
,717
21,9333 21,4000
217,720 181,972
,414 ,808
,758 ,699
22,4333 23,3667
202,875 239,895
,637 ,189
,730 ,780
21,3333 21,6000 24,1667
201,402 213,283 222,144
,454 ,308 ,546
,754 ,777 ,749
VAR00004 VAR00005 VAR00006 VAR00007 VAR00008 VAR00009 VAR00010
Scale Statistics Mean 24,8000
Variance 256,372
Std. Deviation 16,01163
N of Items 10
Reliability Distimia Warnings The space saver method is used. That is, the covariance matrix is not calculated or used in the analysis. Case Processing Summary N Cases
Valid
30
Excluded(a) Total
% 100,0
0 ,0 30 100,0 a Listwise deletion based on all variables in the procedure. Reliability Statistics Cronbach's Alpha ,861
N of Items 13
Item Statistics
VAR00001 VAR00002 VAR00003 VAR00004 VAR00005 VAR00006 VAR00007 VAR00008 VAR00009 VAR00010 VAR00011 VAR00012 VAR00013
Mean 2,2000 2,4333 2,7667
Std. Deviation 2,86958 3,12590 2,96745
N
3,6000 2,6333 2,4667
3,76554 2,76035 3,07081
30 30 30
1,5667
2,35889
30
1,9667 2,0000 1,2000 1,1333 2,7000 2,3000
2,10882 2,91252 1,78885 1,90703 3,18564 3,18564
30 30 30 30 30 30
30 30 30
Item-Total Statistics
VAR00001 VAR00002 VAR00003 VAR00004 VAR00005 VAR00006 VAR00007 VAR00008 VAR00009 VAR00010 VAR00011 VAR00012 VAR00013
Scale Mean if Item Deleted 26,7667 26,5333 26,2000
Scale Variance if Item Deleted 411,426 468,189 417,131
Corrected Item-Total Correlation ,727 ,194 ,646
Cronbach's Alpha if Item Deleted ,838 ,872 ,843
25,3667 26,3333 26,5000 27,4000 27,0000 26,9667
394,585 423,402 424,328 486,110 456,759 415,137
,638 ,645 ,557 ,121 ,477 ,679
,844 ,843 ,849 ,871 ,854 ,841
27,7667 27,8333
462,323 471,178
,503 ,355
,854 ,859
26,2667 26,6667
405,926 413,816
,687 ,619
,840 ,844
Scale Statistics Mean 28,9667
Variance 504,240
Std. Deviation 22,45529
N of Items 13
Reliability Agorafrobia Warnings The space saver method is used. That is, the covariance matrix is not calculated or used in the analysis. Case Processing Summary N
% 30 100,0 Excluded(a) 0 ,0 Total 30 100,0 a Listwise deletion based on all variables in the procedure. Cases
Valid
Reliability Statistics Cronbach's Alpha ,915
N of Items 22 Item Statistics Mean
VAR00001
Std. Deviation
N
3,2333 2,1667 2,3000 1,7333 1,9333 1,4000 2,3667 2,3000 3,6000 3,1667
3,26616 1,91335 2,91429 2,85190 2,58555 2,26822 3,83705 2,83026 3,51940 3,37418
30 30 30 30 30 30 30 30 30 30
1,8667 1,4000
2,59620 1,92264
30 30
,5667
1,45468
30
,3667 1,4000 ,7333
,92786 2,06113 1,76036
30 30 30
VAR00017 VAR00018 VAR00019 VAR00020
1,5667 1,4000
2,09570 1,94049
30 30
1,1333 ,8667
2,16131 1,81437
30 30
VAR00021 VAR00022
1,4000
2,15918
30
2,1667
2,35010
30
VAR00002 VAR00003 VAR00004 VAR00005 VAR00006 VAR00007 VAR00008 VAR00009 VAR00010 VAR00011 VAR00012 VAR00013 VAR00014 VAR00015 VAR00016
Item-Total Statistics
VAR00001 VAR00002 VAR00003 VAR00004 VAR00005 VAR00006 VAR00007 VAR00008 VAR00009 VAR00010 VAR00011 VAR00012 VAR00013 VAR00014 VAR00015 VAR00016 VAR00017 VAR00018 VAR00019 VAR00020 VAR00021 VAR00022
Scale Mean if Item Deleted 35,8333 36,9000 36,7667 37,3333 37,1333 37,6667 36,7000 36,7667 35,4667 35,9000 37,2000 37,6667 38,5000 38,7000 37,6667 38,3333 37,5000 37,6667 37,9333 38,2000 37,6667 36,9000
Scale Variance if Item Deleted 971,316 994,921 1019,013 943,195 1035,361 988,920 952,631 929,702 940,740 916,921 963,890 966,851 996,052 1025,597 985,747 976,368 993,914 1000,437 1021,237 1031,959 992,506 973,128
Corrected Item-Total Correlation ,453 ,627 ,251 ,701 ,193 ,562 ,451 ,791 ,561 ,714 ,642 ,867 ,828 ,803 ,651 ,861 ,574 ,570 ,350 ,334 ,566 ,652
Scale Statistics Mean 39,0667
Variance 1074,202
Std. Deviation 32,77503
N of Items 22
Cronbach's Alpha if Item Deleted ,914 ,910 ,918 ,907 ,918 ,911 ,916 ,905 ,912 ,907 ,909 ,906 ,908 ,911 ,909 ,907 ,911 ,911 ,915 ,915 ,911 ,909
Reliability Gangguan Panik Warnings The space saver method is used. That is, the covariance matrix is not calculated or used in the analysis. Case Processing Summary N Cases
Valid Excluded(a)
30
% 100,0
0
,0
Total
30 100,0 a Listwise deletion based on all variables in the procedure. Reliability Statistics Cronbach's Alpha ,922
N of Items 16 Item Statistics
VAR00001 VAR00002 VAR00003 VAR00004 VAR00005 VAR00006 VAR00007 VAR00008 VAR00009 VAR00010 VAR00011 VAR00012 VAR00013 VAR00014 VAR00015 VAR00016
Mean 3,2333 3,1333
Std. Deviation 3,05900 2,84948
N
2,2333 2,2333 1,4333 1,2333 ,5000
2,47307 2,94412 2,12835 1,59056 ,90019
30 30 30 30 30
,7333 1,2333 1,4000
1,63861 1,75545 2,02740
30 30 30
1,4333 1,4000 ,7667 ,8000
2,11209 1,81184 2,26949 1,91905
30 30 30 30
1,5000
1,87083
30
1,8000
2,13993
30
30 30
Item-Total Statistics
VAR00001 VAR00002 VAR00003 VAR00004 VAR00005 VAR00006 VAR00007 VAR00008 VAR00009 VAR00010 VAR00011 VAR00012 VAR00013 VAR00014 VAR00015 VAR00016
Scale Mean if Item Deleted 21,8333 21,9333 22,8333 22,8333 23,6333 23,8333 24,5667 24,3333 23,8333 23,6667 23,6333 23,6667 24,3000 24,2667 23,5667 23,2667
Scale Variance if Item Deleted 448,420 486,409 476,351 457,109 476,102 485,730 522,323 487,057 486,006 502,437 499,551 496,575 488,700 509,444 484,047 484,754
Corrected Item-Total Correlation ,721 ,451 ,636 ,678 ,759 ,897 ,681 ,849 ,802 ,491 ,499 ,635 ,571 ,439 ,773 ,656
Scale Statistics Mean 25,0667
Variance 551,168
Std. Deviation 23,47696
N of Items 16
Cronbach's Alpha if Item Deleted ,915 ,925 ,917 ,917 ,914 ,912 ,920 ,913 ,914 ,921 ,921 ,917 ,919 ,922 ,914 ,917
Reliability Obsesif Kompulsif Disorder Warnings The space saver method is used. That is, the covariance matrix is not calculated or used in the analysis. Case Processing Summary N Cases
Valid Excluded(a) Total
% 100,0 ,0
30 0
30 100,0 a Listwise deletion based on all variables in the procedure. Reliability Statistics Cronbach's Alpha ,693
N of Items 6 Item Statistics
VAR00001 VAR00002 VAR00003 VAR00004 VAR00005 VAR00006
Mean 1,9000
Std. Deviation 2,32453
N
2,1667 3,2667 2,1667
2,16689 3,08426 2,43655
30 30 30
2,2333 1,4667
2,69972 2,09652
30 30
30
Item-Total Statistics
VAR00001 VAR00002 VAR00003 VAR00004 VAR00005 VAR00006
Scale Mean if Item Deleted 11,3000 11,0333
Scale Variance if Item Deleted 61,803 64,240
Corrected Item-Total Correlation ,572 ,552
Cronbach's Alpha if Item Deleted ,606 ,617
9,9333 11,0333 10,9667 11,7333
73,306 76,516 50,378 63,375
,100 ,132 ,794 ,609
,777 ,739 ,507 ,602
Scale Statistics Mean 13,2000
Variance 88,097
Std. Deviation 9,38598
N of Items 6
Reliability Gangguan Anxietas Menyeluruh Warnings The space saver method is used. That is, the covariance matrix is not calculated or used in the analysis. Case Processing Summary N
% 30 100,0 Excluded(a) 0 ,0 Total 30 100,0 a Listwise deletion based on all variables in the procedure. Cases
Valid
Reliability Statistics Cronbach's Alpha ,942
N of Items 23 Item Statistics
VAR00001 VAR00002 VAR00003 VAR00004 VAR00005 VAR00006 VAR00007 VAR00008 VAR00009 VAR00010 VAR00011 VAR00012 VAR00013 VAR00014 VAR00015 VAR00016
Mean 2,3667 1,4667 1,4333 1,0667 ,7333 ,3000 ,5000
Std. Deviation 2,34128 2,25501 2,47307 1,98152 1,65952 ,70221 1,65571
N
1,3000 1,7333 1,6667 ,9667
1,76459 2,37709 2,63050 1,58622
30 30 30 30
,7667 1,0667
2,17641 2,13240
30 30
30 30 30 30 30 30 30
,6000
1,13259
30
1,3667 1,7333 2,5667
2,00832 2,30342 2,17641
30 30 30
VAR00018 VAR00019 VAR00020 VAR00021
1,4333 1,1333
2,31462 2,09652
30 30
1,3333 1,8333
1,74856 2,43655
30 30
VAR00022 VAR00023
2,2000
2,24990
30
2,0000
2,00000
30
VAR00017
Item-Total Statistics
VAR00001 VAR00002 VAR00003 VAR00004 VAR00005 VAR00006 VAR00007 VAR00008 VAR00009 VAR00010 VAR00011 VAR00012 VAR00013 VAR00014 VAR00015 VAR00016 VAR00017 VAR00018 VAR00019 VAR00020 VAR00021 VAR00022 VAR00023
Scale Mean if Item Deleted 29,2000 30,1000 30,1333 30,5000 30,8333 31,2667 31,0667 30,2667 29,8333 29,9000 30,6000 30,8000 30,5000 30,9667 30,2000 29,8333 29,0000 30,1333 30,4333 30,2333 29,7333 29,3667 29,5667
Scale Variance if Item Deleted 913,476 878,783 885,223 885,293 903,937 955,651 913,513 942,271 881,247 864,093 913,214 914,028 931,431 936,171 874,993 858,006 916,966 892,740 889,013 898,185 886,409 914,930 893,840
Corrected Item-Total Correlation ,454 ,743 ,624 ,797 ,766 ,622 ,668 ,349 ,682 ,725 ,703 ,489 ,362 ,659 ,876 ,888 ,466 ,615 ,718 ,782 ,626 ,464 ,713
Scale Statistics Mean 31,5667
Variance 983,151
Std. Deviation 31,35523
N of Items 23
Cronbach's Alpha if Item Deleted ,942 ,938 ,940 ,937 ,938 ,942 ,939 ,943 ,939 ,938 ,939 ,942 ,943 ,940 ,936 ,935 ,942 ,940 ,938 ,938 ,940 ,942 ,938
Lampiran 3
Hasil uji Chi-Square
Crosstabs Case Processing Summary Cases Valid Depresi * LTM Depresi * DPM
Missing
Total
N
Percent
N
Percent
N
Percent
35 35
100.0% 100.0%
0 0
.0% .0%
35 35
100.0% 100.0%
Depresi * KodeLamanyaTerapiMetadon Crosstabs Count
Tidak Ya
Depresi
KodeLamanyaTerapiMetadon 16-20 21-25 26-30 3 13 7 2 5 0 5 18 7
11-15 0 1 1
Total
36-40 1 3 4
Total 24 11 35
Chi-Square Tests Value
df
Asymp. Sig. (2-sided)
Pearson Chi-Square 52.894a 22 .015 Likelihood Ratio 31.049 22 .095 N of Valid Cases 35 a. 34 cells (94,4%) have expected count less than 5. The minimum expected count is ,03.
Depresi * KodeDosisPenggunaanMetadon Crosstabs Count
Depresi Total
Tidak Ya
10-20 4 1 5
21-31 6 0 6
KodeDosisPenggunaanMetadon 43-53 54-64 65-75 76-86 2 3 1 1 0 1 2 3 2 4 3 4
32-42 6 0 6
87-97 1 2 3
Chi-Square Tests Value Pearson Chi-Square Likelihood Ratio N of Valid Cases
df a
61.500 42.713 35
Asymp. Sig. (2-sided) 34 34
.003 .145
a. 54 cells (100,0%) have expected count less than 5. The minimum expected count is ,03.
98-109 0 1 1
120-130 0 1 1
Total 24 11 35
Crosstabs Case Processing Summary Cases Valid Kecemasan * LTM Kecemasan * DPM
Missing
Total
N
Percent
N
Percent
N
Percent
35 35
100.0% 100.0%
0 0
.0% .0%
35 35
100.0% 100.0%
Kecemasan * KodeLamanyaTerapiMetadon Crosstabs Count
Tidak Ya
Kecemasan
KodeLamanyaTerapiMetadon 16-20 21-25 26-30 2 12 7 3 6 0 5 18 7
11-15 0 1 1
Total
36-40 1 3 4
Total 22 13 35
Chi-Square Tests Value
df
45.586a 21.361 35
Pearson Chi-Square Likelihood Ratio N of Valid Cases
Asymp. Sig. (2-sided) 22 22
.002 .499
a. 34 cells (94,4%) have expected count less than 5. The minimum expected count is ,03.
Kecemasan * KodeDosisPenggunaanMetadon Crosstabs Count
Kecemasan Total
Tidak Ya
10-20 5 1 7
21-31 5 0 5
KodeDosisPenggunaanMetadon 43-53 54-64 65-75 76-86 2 2 1 1 0 1 3 3 2 3 4 4
32-42 5 1 6
87-97 1 2 3
Chi-Square Tests Value Pearson Chi-Square Likelihood Ratio N of Valid Cases
df a
50.523 27.393 35
Asymp. Sig. (2-sided) 34 34
.034 .782
a. 54 cells (100,0%) have expected count less than 5. The minimum expected count is ,03.
98-109 0 1 1
120-130 0 1 1
Total 22 13 35