DEWAN PERWAKILAN DAERAH REPUBLIK INDONESIA
KEPUTUSAN DEWAN PERWAKILAN DAERAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 32/DPD RI/II/2013-2014 TENTANG RANCANGAN UNDANG-UNDANG NOMOR 20 TAHUN 2003 TENTANG SISTEM PENDIDIKAN NASIONAL
JAKARTA 2013
1196
DEWAN PERWAKILAN DAERAH REPUBLIK INDONESIA
KEPUTUSAN DEWAN PERWAKILAN DAERAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 32/DPD RI/II/2013-2014 TENTANG RANCANGAN UNDANG-UNDANG TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 20 TAHUN 2003 TENTANG SISTEM PENDIDIKAN NASIONAL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA DEWAN PERWAKILAN DAERAH REPUBLIK INDONESIA, Menimbang
Mengingat
: a. bahwa Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 mengamanatkan Pemerintah mengusahakan dan menyelenggarakan satu sistem pendidikan nasional yang meningkatkan keimanan dan ketakwaan kepada Tuhan Yang Maha Esa serta akhlak mulia dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa yang diatur dengan undang-undang; b. bahwa Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2003 Nomor 78, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4301) belum sepenuhnya sesuai dengan amanat dan ketentuan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dalam mencerdaskan bangsa dan memajukan kebudayaan nasional; c. bahwa perubahan masyarakat yang amat mendasar dan menyeluruh sebagai akibat dari perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, mobilitas sosial, teknologi informasi dan komunikasi, dan lain-lain, memerlukan pendekatan baru dalam mengelola dan menyelenggarakan pendidikan; d. bahwa mengingat masalah pendidikan merupakan urusan wajib pemerintah daerah, Dewan Perwakilan Daerah Republik Indonesia sebagai representasi daerah telah melakukan kegiatan serta menyusun Rancangan Undang-Undang tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional; e. bahwa rancangan undang-undang sebagaimana dimaksud pada huruf d telah diputuskan dalam Sidang Paripurna Dewan Perwakilan Daerah Republik Indonesia sebagai Rancangan Undang-Undang dari Dewan Perwakilan Daerah Republik Indonesia untuk disampaikan kepada Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia dan kepada Presiden Republik Indonesia; f. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud pada huruf a, huruf b, huruf c, huruf d, dan huruf e perlu menetapkan Keputusan Dewan Perwakilan Daerah Republik Indonesia tentang Rancangan UndangUndang tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional; : 1. Pasal 20, Pasal 22D ayat (1), dan Pasal 31 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945; 2. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 27 Tahun 2009 tentang Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (Lembaran
1197
3.
4. 5.
6.
Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 123, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5043) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 82, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5234); Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2003 Nomor 78, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4301); Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 125, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4437); Peraturan Dewan Perwakilan Daerah Republik Indonesia Nomor 2 Tahun 2012 tentang Tata Tertib. Dengan Persetujuan Sidang Paripurna ke-8 Dewan Perwakilan Daerah Republik Indonesia Masa Sidang II Tahun Sidang 2013-2014 Tanggal 20 Desember 2013 MEMUTUSKAN:
Menetapkan
PERTAMA
KEDUA KETIGA
:
KEPUTUSAN DEWAN PERWAKILAN DAERAH REPUBLIK INDONESIA TENTANG RANCANGAN UNDANG-UNDANG TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 20 TAHUN 2003 TENTANG SISTEM PENDIDIKAN NASIONAL. : Rancangan Undang-Undang tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan Nasional disampaikan kepada Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia dan kepada Presiden Republik Indonesia sebagai rancangan undang-undang yang berasal dari Dewan Perwakilan Daerah Republik Indonesia. : Rancangan Undang-Undang sebagaimana dimaksud dalam Diktum PERTAMA, merupakan lampiran yang tidak terpisahkan dari Keputusan ini. : Keputusan ini mulai berlaku pada tanggal ditetapkan. Ditetapkan di Jakarta pada tanggal 20 Desember 2013 DEWAN PERWAKILAN DAERAH REPUBLIK INDONESIA PIMPINAN Ketua,
H. IRMAN GUSMAN, SE.,MBA
1198
Wakil Ketua,
Wakil Ketua,
GKR. HEMAS
DR. LAODE IDA
DEWAN PERWAKILAN DAERAH REPUBLIK INDONESIA
LAMPIRAN KEPUTUSAN DEWAN PERWAKILAN DAERAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 32/DPD RI/II/2013-2014 TENTANG RANCANGAN UNDANG-UNDANG TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 20 TAHUN 2003 TENTANG SISTEM PENDIDIKAN NASIONAL
JAKARTA 2013 1199
1200
DEWAN PERWAKILAN DAERAH REPUBLIK INDONESIA
RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR … TAHUN … TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 20 TAHUN 2003 TENTANG SISTEM PENDIDIKAN NASIONAL
Menimbang:
Mengingat:
DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, a. bahwa perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, mobilitas sosial, berpengaruh terhadap pencapaian tujuan dan cita-cita yang hendak dicapai dalam penyelenggaraan sistem pendidikan nasional sebagaimana dimanatkan dalam ketentuan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945; b. bahwa penyelenggaraan satu sistem pendidikan nasional belum sepenuhnya sesuai dengan amanat dan ketentuan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dalam rangka mencerdaskan bangsa dan memajukan kebudayaan nasional; c. bahwa dalam penyelenggaraan sistem pendidikan nasional yang didasarkan prinsip-prinsip dan ketentuan dalam Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional dihadapkan pada berbagai kelemahan yang menghambat pencapaian tujuan pendidikan nasional sehingga perlu diperbaharui sesuai dengan perkembangan zaman: e. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud pada huruf a, huruf b, dan huruf c, perlu membentuk Undang-Undang tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional; 1. Pasal 20, Pasal 22D ayat (1), dan Pasal 31 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945; 2. Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2003 Nomor 78, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4301); Dengan Persetujuan Bersama DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA dan PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA
Menetapkan:
MEMUTUSKAN: UNDANG-UNDANG TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 20 TAHUN 2003 TENTANG SISTEM PENDIDIKAN NASIONAL.
Pasal I Beberapa ketentuan dalam Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2003 Nomor 78, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4301) diubah sebagai berikut: 1. Ketentuan Pasal 1 angka 1, angka 2, angka 5, angka 6, angka14, angka 15, angka 17, angka 18, angka 19, angka 20, angka 22, angka 23, angka 24, dan angka 29 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:
1201
Pasal 1 Dalam Undang-Undang ini yang dimaksud dengan: 1. Pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta kecakapan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa, dan negara. 2. Pendidikan Nasional adalah pendidikan yang berdasarkan Pancasila dan UndangUndang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang berakar pada nilai-nilai agama dan kebudayaan nasional Indonesia yang berkembang sesuai dengan tuntutan perubahan zaman. 3. Sistem Pendidikan Nasional adalah keseluruhan komponen pendidikan yang saling terkait secara terpadu untuk mencapai tujuan pendidikan nasional. 4. Peserta Didik adalah anggota masyarakat yang berusaha mengembangkan potensi diri melalui pembelajaran yang tersedia pada jalur, jenjang, dan jenis pendidikan tertentu. 5. Tenaga Kependidikan adalah anggota masyarakat yang mengabdikan diri dan diangkat sesuai kemampuan yang dibutuhkan untuk menunjang pengelolaan dan penyelenggaraan pendidikan. 6. Pendidik adalah tenaga kependidikan yang berkualifikasi sebagai guru, dosen, konselor, pamong belajar, widyaiswara, tutor, instruktur, fasilitator, dan sebutan lain yang sesuai dengan kekhususannya, sertaberpartisipasi dalam penyelengaraan pendidikan. 7. Jalur Pendidikan adalah wahana yang dilalui peserta didik untuk mengembangkan potensi diri dalam suatu pendidikan yang sesuai dengan tujuan pendidikan. 8. Jenjang Pendidikan adalah tahapan pendidikan yang ditetapkan berdasarkan tingkat perkembangan peserta didik, tujuan yang akan dicapai, dan kemampuan yang dikembangkan. 9. Jenis Pendidikan adalah kelompok yang didasarkan pada kekhususan tujuan pendidikan suatu satuan pendidikan. 10. Satuan Pendidikan adalah kelompok layanan pendidikan yang menyelenggarakan pendidikan pada jalur formal, nonformal, dan informal pada setiap jenjang dan jenis pendidikan. 11. Pendidikan Formal adalah jalur pendidikan yang terstruktur dan berjenjang yang terdiri atas pendidikan dasar, pendidikan menengah, dan pendidikan tinggi. 12. Pendidikan Nonformal adalah jalur pendidikan di luar pendidikan formal yang dapat dilaksanakan secara terstruktur dan berjenjang. 13. Pendidikan Informal adalah jalur pendidikan keluarga dan lingkungan. 14. Pendidikan Anak Usia Dini adalah suatu upaya pembinaan yang ditujukan kepada anak sejak lahir sampai dengan usia enam tahun yang dilakukan melalui pemberian rangsangan pendidikan untuk membantu pertumbuhan dan perkembangan jasmani, rohani, dan kecerdasan agar anak memiliki kesiapan belajar memasuki pendidikan lebih lanjut. 15. Pendidikan Jarak Jauh adalah pendidikan yang peserta didiknya terpisah dari pendidik dengan pembelajaran yang didukung oleh berbagai sumber belajar melalui teknologi informasi dan komunikasi, serta media lain yang sesuai. 16. Pendidikan Berbasis Masyarakat adalah penyelenggaraan pendidikan berdasarkan kekhasan agama, sosial, budaya, aspirasi, dan potensi masyarakat sebagai perwujudan pendidikan dari, oleh, dan untuk masyarakat. 17. Standar Nasional Pendidikan adalah kriteria yang harus dipenuhi dalam pengelolaan dan penyelenggaraan sistem pendidikan di seluruh wilayah hukum Negara Kesatuan Republik Indonesia. 18. Wajib Belajar adalah program pendidikan untuk menguasai pengetahuan dasar, kecakapan dasar, dan kompetensi dasar yang harus dicapai melalui program pendidikan dasar yang harus diikuti oleh semua Warga Negara Indonesia dan dibiayai sepenuhnya oleh Pemerintah dan Pemerintah Daerah. 19. Kurikulum adalah pedoman penyelenggaraan kegiatan pembelajaran yang meliputi rencana, program, dan perangkat pengaturan mengenai tujuan, isi, bahan belajar, pendekatan pembelajaran, serta sistem evaluasi yang digunakan untuk mendukung pencapaian tujuan pendidikan yang telah ditetapkan. 20. Pembelajaran adalah proses interaksi antara peserta didik dan berbagai sumber belajar pada suatu lingkungan belajaryang sengaja diciptakan dan difasilitasi oleh pendidik. 21. Evaluasi Pendidikan adalah kegiatan yang sistematis dan teratur untuk menghasilkan informasi mengenai masukan, proses, keluaran, dan dampak pendidikan yang dapat digunakan untuk pengendalian, penjaminan, dan penetapan capaian mutu berbagai komponen pada setiap jalur, jenjang, dan jenis pendidikan sebagai bentuk akuntabilitas publik dalam pengelolaan dan penyelenggaraan pendidikan. 22. Akreditasi adalah kegiatan sistematis dan teratur yang dilakukan oleh instansi yang
1202
23. 24. 25. 26. 27. 28.
29. 30.
kompeten untuk melakukan penilaian serta menetapkan status kelayakan suatu program dan/atau satuan pendidikan berdasarkan standaryang telah ditetapkan. Sumber Daya Pendidikan adalah tenaga, dana, sarana prasarana, lingkungan, dan sumber lain yang dipergunakan untuk penyelenggaraan pendidikan. Dewan Pendidikan adalah lembaga mandiri yang beranggotakan berbagai unsur masyarakat yang berkepentingan terhadap pengelolaan dan penyelenggaraan pendidikan. Komite Sekolah/Madrasah adalah lembaga mandiri yang beranggotakan orang tua/wali peserta didik, komunitas sekolah, serta tokoh masyarakat yang membantu pengeloloaan dan penyelenggaraan satuan pendidikan dasar dan menengah. Warga Negara adalah Warga Negara Indonesia, baik yang tinggal di wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia maupun di luar wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia. Masyarakat adalah kelompok Warga Negara nonpemerintah yang mempunyai perhatian dan peranan dalam bidang pendidikan. Pemerintah Pusat, yang selanjutnya disebut Pemerintah, adalah Presiden Republik Indonesia yang memegang kekuasaan pemerintahan negara Republik Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Pemerintah Daerah adalah gubernur, bupati atau walikota, dan perangkat daerah sebagai unsur penyelenggara pemerintahan daerah. Menteri adalah menteri yang bertanggungjawab dalam bidang pendidikan nasional.
2. Ketentuan Pasal 3 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 3 (1) Pendidikan Nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa. (2) Pendidikan Nasional bertujuan bagi berkembangnya potensi peserta didik secara optimal agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, cinta tanah air, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab terhadap diri, masyarakat, dan negara-bangsanya. 3. Ketentuan ayat (2) Pasal 6 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 6 (1) Setiap Warga Negara yang berusia tujuh sampai dengan lima belas tahun wajib mengikuti pendidikan dasar. (2) Setiap Warga Negara dapat ikut serta dalam pengelolaan dan penyelenggaraan pendidikan. 4. Ketentuan ayat (2) Pasal 7 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 7 (1) Orang tua berhak untuk berperan serta dalam memilih satuan pendidikan dan memperoleh informasi tentang perkembangan pendidikan anaknya. (2) Orang tua dan keluarga wajib menyekolahkan anaknya yang telah memenuhi usia wajib belajar ke satuan pendidikan dasar untuk memperoleh pendidikan dasar. (3) Pelanggaran kewajiban sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dijatuhi sanksi administratif berupa teguran dan/atau peringatan oleh pemerintah daerah sesuai dengan lingkup kewenangannya. 5. Judul bagian keempat diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Bagian Keempat Tanggung Jawab Pemerintah dan Pemerintah Daerah 6. Ketentuan Pasal 10 dihapus. 7. Ketentuan ayat (1) Pasal 11 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 11 (1) Pemerintah bertanggungjawab mengarahkan, membimbing, membantu, dan mengawasi penyelenggaraan pendidikan nasional sesuai dengan peraturan perundang-undangan. (2) Pemerintah dan pemerintah daerah bertanggungjawab memberikan layanan dan kemudahan serta menjamin terselenggaranya pendidikan yang bermutu bagi setiap warga negara tanpa diskriminasi. (3) Pemerintah dan pemerintah daerah bertanggungjawab menjamin tersedianya dana
1203
guna terselenggaranya pendidikan bagi setiap warga negara yang berusia tujuh sampai dengan lima belas tahun. 8. Diantara Pasal 11 dan Pasal 12 disisipkan 1 (satu) pasal, yakni Pasal 11A sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 11A (1) Dalam penyelenggaraan Sistem Pendidikan Nasional dilakukan pembagian urusanpemerintahan dalam bidang pengelolaan dan penyelenggaraan pendidikan. (2) Pembagian urusan pemerintahan dalam bidang pendidikan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi: a. Pemerintah menetapkan kebijakan pendidikan nasional, standar pendidikan nasional, kurikulum nasional, dan pengendalian mutu serta memberikan dana perimbangan bagi pembiayaan penyelenggaraan pendidikan nasional. b. Pemerintah Provinsi melakukan pengadaan prasarana dan teknologi pendidikan, mengembangkan kurikulum yang menjadi tanggungjawab provinsi, melaksanakan pengelolaan dan pengembangan pendidik dan tenaga kependidikan. c. Pemerintah Kabupaten/Kota menyediakan pendanaan biaya operasional sekolah, pemeliharaan, dan perbaikan sarana pendidikanserta mengembangkan kurikulum kecakapan hidup daerah. (3) Ketentuan mengenai pembagian urusan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah. 9. Ketentuan ayat (1) huruf b, huruf c, dan huruf d Pasal 12 diubah dan ditambahkan 1 (satu) huruf yaitu huruf h sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 12 (1) Setiap peserta didik pada setiap satuan pendidikan berhak: a. mendapatkan pendidikan agama sesuai dengan agama yang dianutnya dan diajarkan oleh pendidik yang seagama; b. mendapatkan pelayanan pendidikan yang bermutu sesuai dengan bakat, minat, dan kemampuannya; c. mendapatkan beasiswa bagi yang berprestasi; d. mendapatkan biaya pendidikan bagi mereka yang orang tuanya tidak mampu membiayai pendidikan; e. memperoleh pendidikan dasar tanpa dipungut biaya; f. pindah ke program pendidikan pada jalur dan satuan pendidikan lain yang setara; g. menyelesaikan program pendidikan sesuai dengan kecepatan belajar masingmasing dan tidak menyimpang dari ketentuan batas waktu yang ditetapkan; dan h. mendapatkan bantuan pinjaman investasi, yang harus dikembalikan setelah bekerja, untuk memperoleh pendidikan yang sesuai dengan bakat dan minatnya. (2) Setiap peserta didik berkewajiban: a. menjaga norma-norma pendidikan untuk menjamin keberlangsungan proses dan keberhasilan pendidikan; dan b. ikut menanggung biaya penyelenggaraan pendidikan, kecuali bagi peserta didik yang dibebaskan dari kewajiban tersebut sesuai dengan peraturan perundangundangan. (3) Warga negara asing dapat menjadi peserta didik pada satuan pendidikan yang diselenggarakan dalam wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia. (4) Ketentuan mengenai hak dan kewajiban peserta didik sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah. 10. Ketentuan ayat (1) dan ayat (3) Pasal 17 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut. Pasal 17 (1) Pendidikan dasar diselenggarakan diselenggarakan untuk menyiapkan peserta didik agar dapat memiliki kemampuan belajar, mengembangkan kecakapan dasar, dan meletakkan landasan belajar sepanjang hayat. (2) Pendidikan dasar diselenggarakan pada satuan pendidikan yang berbentuk Sekolah Dasar (SD) dan Madrasah Ibtidaiyah (MI) atau bentuk lain yang sederajat serta Sekolah Menengah Pertama (SMP) dan Madrasah Tsanawiyah (MTs) atau bentuk lain yang sederajat. (3) Ketentuan mengenai pendidikan dasar sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) diatur lebih lanjut dengan undang-undang. 11. Ketentuan Pasal 18 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut. Pasal 18 (1) Pendidikan menengah diselenggarakan untuk menyiapkan peserta didik agar mampu mengembangkan kemampuan diri untuk belajar lebih lanjut.
1204
(2) Pendidikan menengah terdiri atas program pendidikan umum dan program pendidikan kejuruan yang diselenggarakan secara terintegrasi. (3) Penyelenggaraan terintegrasi sebagaimana dimaksud pada ayat (2), pada 2 (dua) tahun pertama para peserta didik mengambil program pendidikan umum dan pada tahun terakhir peserta didik yang secara didik berbakat dan yang secara vokasional berbakat diarahkan mengambil program kejuruan. (4) Pendidikan menengah diselenggarakan oleh satuan pendidikan yang berbentuk Sekolah Menengah Atas (SMA), Madrasah Aliyah (MA), atau bentuk lain yang sederajat. (5) Program pendidikan umum, sebagaimana dimaksud pada ayat (2), diselenggarakan pada bidang-bidang keilmuan tertentu bagi peserta didik yang memenuhi syarat untuk melanjutkan ke pendidikan tinggi jalur akademik. (6) Program pendidikan kejuruan sebagaimana dimaksudkan pada ayat (2) diselenggarakan pada bidang-bidang kecakapan yang dibutuhkan masyarakat bagi lulusan pendidikan dasar hingga diperoleh sertifikat kompetensi. (7) Program pendidikan kejuruan sebagaimana dimaksudkan pada ayat (6) diarahkan pada peningkatan kemampuan untuk bekerja, berusaha, dan melanjutkan ke pendidikan tinggi vokasi atau ke pendidikan tinggi akademik bagi yang memenuhi syarat. (8) Program pendidikan kejuruan sebagaimana dimaksudkan pada ayat (7) memuat paketpaket pilihan program pendidikan dan pelatihan kecakapan hidup yang dapat dibedakan menurut jenis kecakapan, tingkat kompetensi, dan lama program. (9) Sertifikat kompetensi sebagaimana dimaksud pada ayat (6) merupakan pengakuan terhadap pencapaian suatu tingkat kompetensi yang ditetapkan berdasarkan Kerangka Kualifikasi Nasional Indonesia (KKNI). (10) Ketentuan lebih lanjut mengenai pendidikan menengah diatur dengan undang-undang. 12. Ketentuan Pasal 19 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 19 (1) Pendidikan tinggi diselenggarakan untuk meningkatkan kemampuan peserta didik agar menguasai, mengembangkan, menemukan, dan mendayagunakan ilmu pengetahuan, teknologi, dan seni sehingga menjadi warga negara yang unggul, berdaya saing, dan bertanggungjawab terhadap masyarakat, bangsa, dan negara. (2) Pendidikan tinggi terdiri atas berbagai jenis pendidikan tinggi pada jalur akademik,jalur vokasi, dan jalur profesional. (3) Pendidikan tinggi jalur akademik mencakup pendidikan sarjana, magister, dan doktor. (4) Pendidikan tinggi jalur akademik tingkat sarjana diperuntukkan lulusan sekolah menengah program pendidikan umum, lulusan program pendidikan kejuruan yang memenuhi syarat, atau lulusan program yang berpengalaman kerja. (5) Pendidikan jalur vokasi mencakup program diploma I, diploma II, diploma III, dan diploma IV. (6) Pendidikan tinggi jalur profesional mencakup program pendidikan sarjana profesional dan pendidikan spesialis. (7) Ketentuan mengenai perguruan tinggi diatur lebih lanjut dengan undang-undang. 13. Ketentuan ayat (1), ayat (4),dan ayat (5) Pasal 28 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 28 (1) Pendidikan anak usia dini diselenggarakan untuk menanamkan semangat belajar, pengembangan kepribadian, kesehatan, dan kecerdasan peserta didik melalui kegiatan bermain sambil belajar. (2) Pendidikan anak usia dini dapat diselenggarakan melalui jalur pendidikan formal, nonformal, dan/atau informal. (3) Pendidikan anak usia dini pada jalur pendidikan formal berbentuk taman kanak-kanak (TK), raudatul athfal (RA), atau bentuk lain yang sejenis. (4) Pendidikan anak usia dini pada jalur pendidikan nonformal berbentuk kelompok bermain (KB), taman penitipan anak (TPA), atau bentuk lain yang sejenis. (5) Pendidikan anak usia dini pada jalur pendidikan informal berbentuk pendidikan keluarga atau pendidikan yang diselenggarakan dalam lingkungan masyarakat. (6) Ketentuan mengenai pendidikan anak usia dini sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), ayat (3), dan ayat (4) diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah. 14. Ketentuan ayat (4) dan ayat (5) Pasal 30 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 30 (1) Pendidikan keagamaan diselenggarakan oleh Pemerintah dan/atau kelompok masyarakat dari pemeluk agama sesuai dengan peraturan perundang-undangan. (2) Pendidikan keagamaan berfungsi mempersiapkan peserta didik menjadi anggota masyarakat yang memahami dan mengamalkan nilai-nilai ajaran agamanya dan/atau
1205
menjadi ahli ilmu agama. (3) Pendidikan keagamaan dapat diselenggarakan pada jalur pendidikan formal, nonformal, dan informal. (4) Pendidikan keagamaan berbentuk pendidikan diniyah, pesantren, pasraman, pabhaja samanera, seminari dan bentuk lain yang sejenis. (5) Ketentuan mengenai pendidikan keagamaan diatur lebih lanjut dengan undang-undang.
15. Di antara ayat (3) dan ayat (4) Pasal 34 disisipkan 1 (satu) ayat yaitu ayat (3a), sehingga Pasal 34 berbunyi sebagai berikut: Pasal 34 (1) Setiap warga negara yang berusia 6 (enam) tahun dapat mengikuti program wajib belajar. (2) Pemerintah dan Pemerintah Daerah menjamin terselenggaranya wajib belajar minimal pada jenjang pendidikan dasar tanpa memungut biaya. (3) Wajib belajar merupakan tanggung jawab negara yang diselenggarakan oleh satuanpendidikan Pemerintah dan Pemerintah Daerah (3a) Masyarakat dapat berpartisipasi dalam penyelenggaraan wajib belajar dan mendapat dukungan pembiayaan dari pemerintah dan pemerintah daerah sesuai dengan standar yang berlaku. (4) Ketentuan mengenai wajib belajar sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah. 16. Ketentuan ayat (1), ayat (2), ayat (3) dan ayat (4) Pasal 36 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 36 (1) Pengembangan kurikulum nasional dilakukan dengan menetapkan tujuan, memilih bahan ajar dan media pembelajaran, merancang model dan pendekatan pembelajaran, dan menentukan sistem evaluasi yang mengacu pada standar nasional pendidikan untuk mewujudkan tujuan pendidikan nasional. (2) Perubahan kurikulum nasional sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dilakukan apabila semua sumber daya pendidikan telah terpenuhi sesuai dengan standar yang ditetapkan. (3) Kurikulum pada semua jenjang dan jenis pendidikan dikembangkan dengan prinsip diversifikasi sesuai dengan kondisi satuan pendidikan, potensi daerah, bakat, minat dan kemampuan peserta didik. (4) Kurikulum disusun sesuai dengan jenjang pendidikan dalam kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia dengan memperhatikan: a. peningkatan keimanan, ketakwaan, dan akhlak mulia; b. peningkatan potensi, kecerdasan, dan minat peserta didik; c. peningkatan kesadaran lingkungan; d. tuntutan keragaman potensi daerah dan lingkungan; e. tuntutan pembangunan daerah dan nasional; f. tuntutan kebutuhan masyarakat dan dunia kerja; g. perkembangan ilmu pengetahuan, teknologi, dan seni; h. dinamika persaingan global; dan i. persatuan nasional dan nilai-nilai kebangsaan. (5) Ketentuan mengenai pengembangan kurikulum sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), ayat (3), dan ayat (4) diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah. 17. Ketentuan Pasal 37 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 37 (1) Kurikulum pendidikan dasar wajib memuat: a. program pendidikan agama yang diarahkan pada pemahaman dan pengamalan kitab suci, mendekatkan peserta didik pada tempat ibadah, dan penanaman kecintaan pada pemuka agamanya masing-masing; b. program pembentukan karakter bangsa yang mencakup Pancasila dan kewarganegaraan, bahasa Indonesia, pendidikan jasmani, dan olahraga yang dilaksanakan melalui pembelajaran, pembudayaan, dan pengembangan diri; c. program kemampuan dasar untuk belajar yang mencakup materi bahasa, literasi, dan numerasi dasar yang dilaksanakan secara sistematis melalui pelatihan membaca, menulis, menyimak, bertutur dan berhitung dengan menggunakan pendekatan terapan; d. program pengetahuan dasar yang mencakup ilmu pengetahuan, teknologi, dan seni yang dilaksanakan melalui kegiatan pembelajaran terintegrasi; dan e. program kecakapan hidup yang mencakup paket pelatihan kecakapan tingkat dasar yang terdiri atas paket wajibsesuai dengan kebijakan pembangunan daerah
1206
dan paket pilihan sesuai dengan bakat, minat, dan kemampuan siswa. (2) Kurikulum pendidikan menengah wajib memuat: a. program pendidikan agama yang diorientasikan pada pemahaman, penghayatan dan pengamalan kitab suci, pendekatan peserta didik pada tempat ibadah, dan penanaman kecintaan pada pemuka agamanya masing-masing. b. program pembentukan karakter bangsa yang meliputi Pancasila dan kewarganegaraan, bahasa Indonesia,pendidikan jasmani, dan olahragayang dilaksanakan melalui kegiatan kurikuler, pembudayaan, dan pengembangan diri; dan c. program kemampuan belajar lanjut yang meliputi literasi dan numerasi tingkat lanjut, bahasa Indonesia, bahasa Inggris, dan bahasa asing lain atau berbagai bentuk bahasa simbolik yang dituangkan kedalam kegiatan pemecahan masalah. (3) Program pendidikan umum pada sekolah menengah merupakan program pendidikan pra akademik yang memuat matematika, bahasa Inggris, dan pilihan konsentrasi ilmu pengetahuan alam, ilmu pengetahuan sosial, bahasa, serta seni dan budaya. (4) Program pendidikan kejuruan pada sekolah menengah memuat paket pendidikan vokasional dasar dan program pelatihan kecakapan tingkat lanjut yang dipilih oleh siswa sesuai dengan bakat, minat, dan kemampuannya hingga memperoleh sertifikat kompetensi yang berlandaskan pada kerangka kualifikasi Indonesia. (5) Kurikulum pendidikan tinggi wajib memuat: a. pendidikan agama; b. pendidikan Pancasila; c. kewarganegaraan; dan d. bahasa Indonesia. (6) Ketentuan mengenai kurikulum sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), ayat (3), ayat (4), dan ayat (5) diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah. 18. Ketentuan Pasal 39 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 39 (1) Pendidik bertugas sebagai tenaga profesional yang bertugas merencanakan dan melaksanakan pembelajaran, menilai hasil belajar, melakukan pembimbingan dan pelatihan, serta melakukan penelitian untuk memperbaiki mutu pembelajaran secara terus-menerus. (2) Pendidik memiliki otonomi dalam mengembangkan dirinya sehingga memiliki kebebasan, keterbukaan, dan komitmen untuk memperbaiki mutu kinerjanya. (3) Tenaga kependidikan bertugas melaksanakan administrasi, pengelolaan, pengembangan, pengawasan, dan pelayanan teknis untuk menunjang proses penyelenggaraan pendidikan pada suatu satuan pendidikan. (4) Pemerintah dan Pemerintah Daerah memfasilitasi pengembangan kualitas pendidik dan tenaga kependidikan untuk menunjang penyelenggaraan pendidikan pada satuan pendidikan. (5) Ketentuan mengenai pendidik dan tenaga kependidikan diatur lebih lanjut dengan undang-undang 19. Ketentuan Pasal 45 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 45 (1) Setiap satuan pendidikan formal dan nonformal menyediakan sarana dan prasarana yang memenuhi keperluan pendidikan sesuai dengan pertumbuhan dan perkembangan potensi fisik, kecerdasan intelektual, sosial, emosional, dan kejiwaan peserta didik. (2) Sarana satuan pendidikan formal sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi ruang kelas, ruang pimpinan satuan pendidikan, ruang pendidik, ruang tata usaha, ruang perpustakaan, ruang laboratorium, ruang bengkel kerja, ruang unit produksi, ruang kantin, intstalasi daya dan jasa, tempat berolah raga, tempat beribadah, tempat bermain, tempat berkreasi, dan ruang/tempat lain yang diperlukan untuk menunjang pembelajaran yang teratur dan berkelanjutan. (3) Sarana dan prasarana pendidikan formal bagi daerah yang berkebutuhan khusus seperti daerah tertinggal, terpencil, dan perbatasan, selain memiliki kelengkapan sarana sebagaiamana dimaksud pada ayat (2), perlu dilengkapi dengan penyediaan asrama pelajar dan rumah bagi pendidik dan tenaga kependidikan. (4) Ketentuan mengenai penyediaan sarana dan prasarana pendidikan pada semua satuan pendidikan diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah. 20. Ketentuan ayat (2) Pasal 47 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 47 (1) Sumber pendanaan pendidikan ditentukan berdasarkan prinsip keadilan, kecukupan,
1207
dan keberlanjutan. (2) Masyarakat dapat ikut serta dalam penghimpunan dana untuk penyelenggaraan pendidikan sesuai dengan peraturan perundang-undangan. (3) Ketentuan mengenai sumber pendanaan pendidikan sebagaimana diatur pada ayat (1) diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah. 21. Ketentuan Pasal 49 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 49 (1) Dana pendidikan dialokasikan paling sedikit dua puluh per seratus dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara, paling sedikit dua puluh per seratus dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah. (2) Alokasi dana pendidikan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak termasuk alokasi dana untuk gaji guru dan dosendan tidak termasuk alokasi dana untuk pendidikan kedinasan. (3) Gaji guru dan dosen yang diangkat oleh Pemerintah dan/atau pemerintah daerah dialokasikan dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara dan/atau dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah. (4) Dana pendidikan dari Pemerintah dan pemerintah daerah bagi satuan pendidikan diberikan dalam bentuk dana tahunan untuk memenuhi kebutuhan pengelolaan dan penyelenggaraan satuan pendidikan yang bermutu. (5) Ketentuan mengenai pengalokasian dana pendidikan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), ayat (3), dan ayat (4) diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah. 22. Diantara Pasal 49 dan Pasal 50 disisipkan 1 (satu) Pasal yaitu Pasal 49A sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 49A (1) Pembiayaan pendidikan merupakan besaran dana yang digunakan untuk mendukung pengelolaan, penyelenggaraan, dan pembangunan pendidikan dalam rangka mencapai suatu tingkat keluaran tertentu. (2) Besaran pembiayaan pendidikan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat diperkirakan melalui penjumlahan biaya pendidikan menurut jalur, jenjang, dan jenis pendidikan. (3) Perkiraan besaran biaya pada suatu jalur, jenis, atau jenjang pendidikan, sebagaimana dimaksudkan pada ayat (2), diperoleh dengan mengalikan jumlah peserta didik pada suatu jalur, jenis, dan jenjang pendidikan tertentu dengan besaran biaya satuan pendidikan pada jalur, jenis, dan jenjang pendidikan yang bersangkutan. (4) Besaran biaya satuan pendidikan, sebagaimana dimaksud pada ayat (3), ditetapkan dan dimutakhirkan oleh Pemerintah atau pemerintah daerah sesuai dengan urusannya berdasarkan hasil penelitian. (5) Anggaran pendidikan adalah besaran dana yang diperoleh berdasarkan titik temu antara biaya yang diperlukan dan dana yang dapat disediakan oleh pemerintah dan/ atau pemerintah daerah. (6) Pemerintah, pemerintah provinsi, dan pemerintah kabupaten/kota melaksanakan kerjasama pendanaan untuk membiayai pengelolaan dan penyelenggaraan pendidikan dengan besaran yang diatur lebih lanjut dalam peraturan pemerintah. 23. Ketentuan ayat (2), ayat (3), ayat (4), ayat (5), dan ayat (6) Pasal 50 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 50 (1) Pengelolaan sistem pendidikan nasional merupakan tanggung jawab Menteri. (2) Pemerintah menetapkan standar nasional pendidikan, mengevaluasi pencapaian standar nasional untuk menjamin mutu pendidikan, dan menyelenggarakan pendidikan karakter bangsa. (3) Pemerintah dan/atau pemerintah daerah mengembangkan kapasitas satuan pendidikan dasar, menengah, dan tinggi yang berstandar nasional untuk mencapai standar pendidikan yang lebih tinggi. (4) Pemerintah daerah provinsi mengelola pendidikan dasar, pendidikan menengah, dan pendidikan anak usia dini pada jalur formal dan nonformal dalam urusan yang berkaitan dengan penyediaan infrastruktur dan prasarana pendidikan, pengembangan kompetensi pendidik dan tenaga kependidikan, penyediaan bahan ajar, penyediaan sarana dan media belajar. (5) Pemerintah daerah propinsi melakukan koordinasi lintas kabupaten/kota di wilayah provinsinya dalam pengelolaan dan penyelenggaraan pendidikan. (6) Pemerintah kabupaten/kota mengelola pendidikan dasar dan menengah, pendidikan anak usia dini pada jalur pendidikan formal dan nonformal, serta satuan pendidikan berbasis keunggulan lokal dalam urusan yang berkenaan dengan biaya operasional, pemeliharaan, dan perbaikan sarana prasarana pendidikan.
1208
(7) Perguruan tinggi memiliki otonomi dalam menentukan kebijakan untuk pengelolaan dan penyelenggaraan pendidikan, penelitian, dan pengabdian masyarakat sesuai dengan peraturan perundang-undangan. (8) Ketentuan mengenai pengelolaan pendidikan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), ayat (3), ayat (4), ayat (5), dan ayat (6) diatur lebih lanjut dengan peraturan pemerintah. 24. Ketentuan Pasal 53 dihapus. 25. Ketentuan ayat (2) Pasal 56 diubah dan di antara ayat (2) dan ayat (3) disisipkan 1 (satu) ayat yaitu ayat (2a) sehingga Pasal 56 berbunyi sebagai berikut: Pasal 56 (1) Masyarakat berperan dalam peningkatan mutu pelayanan pendidikan yang meliputi perencanaan, pengawasan, dan evaluasi program pendidikan melalui dewan pendidikan dan komite sekolah/madrasah. (2) Dewan Pendidikan sebagai lembaga mandiri berperan memberikan pertimbangan, dukungan, dan pengawasan serta berperan sebagai penghubung antara pemerintah dan masyarakatdan sebagai mitra dalam pembuatan kebijakan bagi pemerintahan kabupaten/kota, pemerintahan provinsi, dan Pemerintah. (2a) Dewan Pendidikan sebagaiamana dimaksud pada ayat (2) terdiri atas dewan pendidikan di tingkat nasional, provinsi, dan kabupaten/kota. (3) Komite Sekolah/Madrasah sebagai lembaga mandiri berperan dalam memberikan pertimbangan, dukungan pengawasan, penghubung antara satuan pendidikan dan masyarakat, serta mitra dalam pembuatan kebijakan satuan pendidikan. (4) Ketentuan mengenai tugas dan fungsi serta pembentukan dewan pendidikan dan komite sekolah/madrasah sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), dan ayat (3), diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah. 26.
Ketentuan ayat (1) Pasal 61 diubah dan menambahkan 1 (satu) ayat, yakni ayat (1a) sehingga Pasal 61 berbunyi sebagai berikut: Pasal 61 (1a) Sertifikasi dilaksanakan untuk menetapkan status dan pengakuan keberhasilan belajar seseorang dalam mencapai tingkat kecakapan atau keahlian tertentu berdasarkan kerangka kualifikasi standar Indonesia yang diberikan dalam bentuk sertifikat. (1) Sertifikat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berbentuk ijazah dan sertifikat kompetensi. (2) Ijasah diberikan kepada peserta didik sebagai pengakuan terhadap prestasi belajar dan/atau penyelesaian suatu jenjang pendidikan setelah lulus ujian yang diselenggarakan oleh satuan pendidikan yang terakreditasi. (3) Sertifikat kompetensi diberikan oleh penyelenggara pendidikan dan lembaga pelatihan kepada peserta didik dan warga masyarakat sebagai pengakuan terhadap kompetensi untuk melakukan pekerjaan tertentu setelah lulus uji kompetensi yang diselenggarakan oleh satuan pendidikan yang terakreditasi atau lembaga sertifikasi. (4) Ketentuan mengenai sertifikasi sebagaiamana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), ayat (3),dan ayat (4) diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah.
27.
Ketentuan ayat (2) Pasal 65 diubah dan diantara ayat (2) dan ayat (3) disisipkan dua (dua) ayat, yakni ayat (2a) dan ayat (2b) sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 65 (1) Lembaga pendidikan asing yang terakreditasi atau yang diakui di negaranya dapat menyelenggarakan pendidikan di wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia sesuai dengan peraturan perundang-undangan. (2) Lembaga pendidikan asing hanya dapat menyelenggarakan pendidikan tingkat menengah dan pendidikan tinggi. (3) Lembaga pendidikan asing sebagaimana dimaksud pada ayat (2) wajib memberikan pendidikan agama, Pancasila, dan kewarganegaraan, serta bahasa Indonesia bagi peserta didik warga negara Indonesia. (4) Pendidikan agama sebagaimana dimakasud pada ayat (3) diajarkan sesuai dengan agama yang dianut peserta didik dan oleh pendidik yang seagama. (5) Penyelenggaraan pendidikan asing wajib bekerjasama dengan lembaga pendidikan di wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia dengan mengikutsertakan tenaga pendidik dan pengelola warga negara Indonesia. (6) Kegiatan pendidikan yang menggunakan sistem pendidikan negara lain yang diselenggarakan di wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia dilakukan sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
1209
(7) Ketentuan mengenai penyelenggaraan pendidikan asing sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), ayat (3), dan ayat (4) diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah. Pasal II Undang-Undang ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan. Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Undang-Undang ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia. Disahkan di Jakarta pada tanggal … PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, SUSILO BAMBANG YUDHOYONO Diundangkan di Jakarta pada tanggal … MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA REPUBLIK INDONESIA, AMIR SYAMSUDIN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN ... NOMOR ...
1210
PENJELASAN ATAS RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN ... TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 20 TAHUN 2003 TENTANG SISTEM PENDIDIKAN NASIONAL I. UMUM Dalam pembukaan UUD Tahun 1945 secara tegas dinyatakan bahwa salah satu tujuan dan ciata-cita dibentuknya negara adalah untuk mencerdaskan bangsa.Secara lebih jelas dalam batang tubuh UUD Tahun 1945 dinyatakan bahwa setiap warga negara berhak mendapatkan pendidikan dan memerintahkan agar pemerintah menyelenggarakan satu sistem pendiddikan nasional.Pendidikan pada hakikatnya juga merupakan pilar bangsa sebagai kunci dalam pembangunan sumber daya manusia (SDM) dalam mengisi pembangunan nasional sehingga sangat beraalasan apabila berbagai program pembangunan dalam bidang pendidikan terus mendapatkan perhatian.Hal itu dimaksudkan agar tujuan yang digariskan dalam konstitusidapat tercapai. Upaya mewujudkan tujuan dan perintah konstitusi tersebut telah dilakukan sejak kemerdekaan sampai era reformasi sekarang ini dan dari segi pengaturan telah dilahirkan berbagi undangundang dalam rangka menciptakan landasan konseptual dan yuridis dalam pelaksanaan pembangunan pendikan di Indonesia.Dalam kontekas pengembangan sistem pendidikan nasional yang komprehensif sesuai dengan semangat reformasi, telah dibentuk UndangUndang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan nasional (Sisdiknas).Sistem pendidikan nasional adalah keseluruhan komponen pendidikan yang saling terkait secara terpadu untuk mencapai tujuan pendidikan. Sampai saat ini kurang lebih telah sepuluh tahun (satu dasawarsa) Undang-Undang Sisdiknas dilahirkan, tetapi berbagai fakta yang terjadi dalam pengembangan dan penyelenggaraan sistem pendididkan nasional masih dihadapkan pada berbagai kendala dan hamabatan sehingga tujuan dan hasil yang ingin dicapai dari penyelenggraan sistem pendidikan nasional belum dapat diwujudkan. Dalam rangka mengakselarasi pencapaian penyelenggaraan sistem pendidikan nasional, perlu dilakukan perubahan untuk menyempurnakan landasan hukum yang sesuai dengan kebutuhan dan tantangan zaman yang berkembang sangat pesat.Selain itu, terdapat pula sejumlah kekosongan hukum akibat putusan Mahkamah Konstitusi yang membatalkan beberapa ketentuan dalam Undang-Undang Sisidiknas. Adapun materi perubahan mencakup pengertian pendidikan, hak dan kewajiban warga negara dalam penyelenggaraan Sisdiknas, kewjiban Pemerintah dan pemerintah daerah, hak peserta didik, pendidikan dasar, pendidikan menengah, pendidikan tinggi, pendidikan anak usia dini, pendidikan keagamaan, partisipasi masyarakat dalam program wajib belajar, pengembangan kurikulum, pendanaan pendidikan, partisipasi masyarakat dalam pendanaan pendidikan, dan dewan pendidikan. Berdasarkan pertimbangan tersebut, Undang-Undang tentang Sisidiknas perlu disempurnakan. II. PASAL DEMI PASAL
Pasal I Angka 1 Pasal 1 Cukup jelas. Angka 2 Pasal 3 Cukup jelas Angka 3 Pasal 6 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Cukup jelas. Angka 4
1211
Pasal 7 Cukup jelas. Angka 5 Cukup jelas Angka 6 Cukup jelas.
Angka 7 Pasal 11 Cukup jelas.
Angka 8 Pasal 11A Ayat (1) Cukup jelas Ayat (2) Cukup jelas Ayat (3) Huruf a Cukup jelas Huruf b Cukup jelas Huruf c Yang dimaksud dengan “kecakapan hidup daerah” adalah kemampuan praktis yang berorientasi pada potensi dan kebutuhan daerah. Ayat (4) Cukup jelas
Angka 9 Pasal 12 Cukup jelas.
Angka 10 Pasal 17 Cukup jelas.
Angka 11 Pasal 18 Cukup jelas. Angka 12 Pasal 19 Cukup jelas.
Angka 13 Pasal 28 Cukup jelas.
Angka 14 Pasal 30 Cukup jelas.
Angka 15 Pasal 34 Cukup jelas
Angka 16 Pasal 36 Cukup jelas.
Angka 17
1212
Pasal 37 Cukup jelas.
Angka 18 Pasal 39 Cukup jelas.
Angka 19 Pasal 47 Cukup jelas.
Angka 20 Pasal 45 Cukup jelas Angka 21 Pasal 49 Cukup jelas.
Angka 22 Pasal 49A Cukup jelas
Angka 23 Pasal 50 Cukup jelas.
Angka 24 Cukup jelas Angka 25 Pasal 56 Cukup jelas. Angka 26 Pasal 61 Cukup jelas.
Angka 27 Pasal 61 Cukup jelas.
Pasal II Cukup jelas. TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR …
1213
1214
NASKAH AKADEMIK PERUBAHAN UNDANG-UNDANG NOMOR 20 TAHUN 2003 TENTANG SISTEM PENDIDIKAN NASIONAL
Oleh: Tim Ahli Komite III
DEWAN PERWAKILAN DAERAH REPUBLIK INDONESIA JAKARTA, 2013 1215
1216
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Undang Undang Dasar (UUD) 1945 menempatkan pendidikan nasional pada posisi yang paling strategis dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Pendidikan memainkan peranan paling penting dalam mewujudkan empat misi penyelenggaraan Pemerintah Negara Republik Indonesia1 sebagaimana diamanatkan dalam Pembukaan UUD 1945, yaitu: (1) Melindungi segenap bangsa indonesia dan seluruh tumpah darah indonesia, (2) Memajukan kesejahteraan umum, (3) Mencerdaskan kehidupan bangsa, dan (4) Ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi, dan keadilan sosial. Lebih lanjut diamanatkan oleh Pasal 31 UUD 1945 bahwa di satu sisi pendidikan merupakan hak warga Negara dan di sisi lain merupakan kewajiban negara untuk memenuhinya. Semua misi dalam penyelenggaraan Negara sebagaimana tertuang dalam UUD 1945 hanya dapat dicapai jika benar-benar dimanifestasikan dalam ketentuan undang-undang sistem pendidikan nasional (UUSPN). Walaupun banyak kemajuan yang telah dicapai, pembangunan pendidikan nasional masih menghadapi tantangan besar, dalam mewujudkan keunggulan di era global, sesuai dengan misi keempat tersebut di atas. Pada tahun 2011 Human Development Index (HDI) memosisikan Indonesia pada peringkat 124, atau menurun dari 108 pada tahun 2005. Menurunnya peringkat HDI ini salah satunya disebabkan oleh indikator rata-rata lama belajar (RLS) penduduk usia 25 tahun ke atas yang masih rendah. Di samping itu, RLS Indonesia juga menurun dari 7,8 tahun menjadi 5,8 tahun sesuai dengan metode baru HDI. Namun, pada tahun 2012 HDI Indonesia mulai merangkak naik ke peringkat 1212 yang ditentukan lebih banyak oleh perbaikan indeks daya beli Indonesia secara konsisten dalam 3 tahun terakhir. Kondisi ini menunjukan bahwa indeks pendidikan dalam HDI yang cukup besar sudah mencapai titik jenuh dan tidak dapat mempengaruhi peningkatan HDI, jika pendidikan kurang mampu mamberikan andil terhadap peningkatan produktivitas, kemakmuran dan daya beli masyarakat. Dalam Global Competitive Index (GCI)3 peringkat Indonesia cukup baik, yaitu ke-44 dari 133 negara (2011) dengan kontribusi yang cukup signifikan dari pilar perluasan pendidikan. Namun, indikator pendidikan tinggi belum memberikan andil yang memadai terhadap kenaikan peringkat GCI, karena lemahnya indikator pendidikan tinggi kita terutama pada pilar ‘kesiapan teknologi’ dan ‘innovasi’. Peringkat GCI Indonesia semakin menurun dalam dua tahun berikutnya, yaitu peringkat ke-46 pada tahun 2012, dan peringkat ke-50 pada tahun 2013. Penurunan ini terjadi karena pendidikan tinggi Indonesia tetap rendah kemampuannya dalam mengembangkan kesiapan teknologi dan inovasi di berbagai bidang kehidupan. Hal ini ditunjukan dengan rendahnya dua indeks pada pilar perguuan tinggi –yaitu kesiapan teknologi & inovasi dengan indeks masing-masing hanya 3,6 pada tahun 2013. Oleh karena itu, kenaikan GCI Indonesia ke depan akan semakin sulit diwujudkan hanya dengan indeks perluasahn pendidikan dasar karena kontribusinya sudah sangat tinggi. Inderks persaingan global hanya mungkin ditingkatkan dengan memperkuat mutu dan keunggulan pendidikan tinggi dalam rangka memacu kesiapan teknologi dan inovasi. Pembangunan pendidikan nasional di masa depan perlu diarahkan pada terwujudnya empat misi penyelenggaraan pemerintahan Negara, terutama misi ketiga ‘mencerdaskan kehidupan bangsa’ dan misi keempat yang pada intinya adalah kemampuan untuk bersaing secara global. Untuk memacu daya saing global tersebut, Indonesia memerlukan legislasi sebagai landasan kebijakan untuk mendorong terwujudnya pendidikan nasional yang unggul dan bermutu. Pendidikan yang bermutu merupakan prasyarat mutlak untuk melahirkan pelaku-pelaku pembangunan yang mampu megisi kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial, dalam lingkup nasional dan global. Untuk itu, maka Indonesia memerlukan ketentuan hukum yang secara optimal dapat dijadikan pedoman bagi peningkatan kapasitas dan kualitas pendidikan secara nasional. Namun, harapan untuk mewujudkan sistem pendidikan nasional yang demikian masih menghadapai sejumlah kendala, khususnya yang berkitan dengan ketentuan Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional (UUSP) Nomor 20 Tahun 2003. Tidak sedikit dijumpai ketidakharmonisan yang cukup signifikan antara ketentuan UUSPN dengan cita-cita para pendiri Republik sebagaimana dituangkan dalam amanat UUD 1945. Pada tahun 2002, MPR telah melakukan amandemen keempat UUD 1945 dengan maksud untuk menegaskan kembali dengan memerinci
1
Prof. Dr. Sudijarto, MA. (2013) Pancasila Sebagai Filsafat Dasar dan Ideologi Negara Kebangsaan Indonesia dan Implikasinya Terhadap Penyelenggaraan Sistem Pendidikan Nasional., makalah disampaikan pada sarasehan, PPA GMNI. Jakarta. 2 UNDP (2013) “HUMAN DEVELOPMENT REPORT: The Rise of the South, Human Progress in a Divers World.” New York, United Nation Development Programme 3 Klaus Schwab (2013) “The Global Competitiveness report; Insight report 2012-2013” New York, World Economic Forum., Global Bencmarking Network
1217
dan menjelaskan amanat yang terkandung dalam pasal 31 UUD 1945, sehingga menjadi lebih jelas dan berkesesuaian dengan legislasi internasional Deklarasi HAM (1948), khususnya berkenaan dengan pendidikan dasar wajib dan bebas biaya. Secara substansial-yuridis, beberapa kondisi pasal-pasal UUSPN Nomor 20 Tahun 2003 telah mengalami perubahan baik melalui Putusan Mahkamah Konstitusi maupun karena lahirnya undang-undang lain yang berkaitan. Perubahan dan penyesuaian perlu dilakukan, misalnya, terhadap ketentuan Badan Hukum Pendidikan (BHP), pengertian alokasi anggaran pendidikan 20 persen, rintisan sekolah bertaraf internasional, Ujian Nasional, dan sebagainya. Beberapa penyesuaian ketentuan UUSPN juga diperlukan dalam kaitan dengan pendidik dan tenaga kependidikan serta perguruan tinggi sehubungan dengan berlakunya UU 14/2005 tentang Guru dan Dosen, dan UU No. 12/2012 tentang Pendidikan Tinggi. Di samping itu, berkembang pula berbagai kondisi obyektif dalam masyarakat yang menuntut perubahan dan penyesuaian ketentuan UUSPN No. 20/2003 sebagai legislasi pendidikan nasional, seperti pelaksanaan Ujian Nasional (UN), implementasi otonomi dan desentralisasi pendidikan pasca UU Nomor 32/2004 tentang Pemerintahan Daerah, implementasi UU Nomor 33/2004 tentang Perimbangan Keuangan Pusat-Daerah, PP Nomor 38/2007 tentang pembagian urusan pemerintahan pusat-daerah, dan dinamika kehidupan lainnya dalam masyarakat. Di samping itu, tidak sedikit pula konsep kebijakan pendidikan nasional yang melandasi suatu ketentuan UUSPN yang relatif tertinggal (obsolete) terhadap zaman yang berubah, seperti: konsep pendanaan pendidikan dasar, konsep beasiswa miskin, konsep muatan lokal, konsep sekolah menengah kejuruan, dan sejenisnya. B. Permasalahan Beberapa permasalahan mendasar muncul di berbagai bidang kehidupan, yang kemudian mendorong Dewan Perwakilan Daerah MPR Republik Indonesia (DPD MPR-RI) mengusulkan beberapa perubahan penting dalam UUSPN Nomor 20/2003. Berdasarkan Kerangka Acuan Rapat Dengar Pendapat (RDP) yang disusul dalam RDP Umum bersama Tim Ahli DPD berkaitan dengan Usulan Perubahan UUSPN Nomor 20 Tahun 2003, diperoleh gambaran awal perlunya perubahan UUSPN No. 20/2003, sebagaimana dituangkan ke dalam 11 (sebelas) butir Ruang Lingkup Usulan Perubahan UUSPN, sebagai berikut. (1) Dari aspek tujuan pendidikan bahwa semangat yang paling mendasar ketentuan UUSPN Nomor 20 Tahun 2003 menegaskan bahwa agar peserta didik dapat menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa serta berakhlak mulia (Pasal 3). Ketentuan ini tidak terakomodasi secara memadai dalam pasal-pasal lain dalam UUSPN tersebut, khususnya mengenai penguatan pendidikan agama pada jenis pendidikan umum serta masih terdapat dualisme pembinaan pendidikan agama antara Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) dan Kementerian Agama (Kemenag) yang seharusnya dapat diatasi di dalam UUSPN. (2) UUSPN Nomor 20 Tahun 2003 belum memiliki ketentuan yang bersifat sistemik dan komperhensif serta yang didasarkan pada landasan konseptual dan landasan yuridis yang kuat, berkaitan dengan hak seluruh warga Negara memperoleh pendidikan yang bermutu dan berkeadilan. Meskipun telah diatur dalam Pasal 12 UUSPN terkait hak peserta didik memperoleh biaya pendidikan bagi orangtua yang tidak mampu membiayai pendidikan, namun secara empiris belum berdampak. Namun, UUSPN belum berhasil mengatur pihak mana yang bertanggung jawab atas pemenuhan hak dimaksud, strategi apa yang digunakan untuk merealisasikan, serta sanksi apa bagi mereka yang tidak melaksanakan amanat tersebut. Perubahan UUSPN diperlukan untuk menjamin agar pemenuhan hakhak seluruh warga Negara (baik dari keluarga yang mampu maupun yang tidak) dapat dipastikan perwujudannya karena di dalam praktik, masih ditemukan kesukaran bagi warga Negara pada segmen masyarakat yang kurang beruntung, untuk mengakses pendidikan secara memadai. Sementara, hak mendapatkan pendidikan merupakan hak asasi manusia yang dijamin secara konstitusional di dalam UUD 1945 yang telah diamandemen pada tahun 2002, serta Deklarasi HAM tahun 1948. (3) Berkenaan dengan Badan Hukum Pendidikan (BHP), keputusan Mahkamah Konstitusi bernomor 11-14-21-126 dan 136/PUU/VII/2009 telah membatalkan UU Nomor 9 Tahun 2009 tentang Badan Hukum Pendidikan (UU-BHP) yang merupakan implementasi dari Pasal 53 UUSPN Nomor 20 Tahun 2003. Dengan pembatalan mengenai status Badan Hukum Pendidikan (BHP) maka dipastikan harus dilakukan perbaikan terhadap ketentuan Pasal 53 dalam UUSPN terkait dengan BHP, dengan tanpa mengurangi hakekat otonomi setiap satuan pendidikan untuk mengurus dan mengatur dirinya sendiri sebagaimana dikehendaki oleh peraturan perundangan lain yang mengatur desentralisasi dan otonomi pemerintahan di bidang pendidikan. (4) Ketentuan mengenai satuan pendidikan bertaraf internasional yang telah diatur dalam PP Nomor 17 Tahun 2010 tentang Pengelolaan dan Penyelenggaran Pendidikan sebagai turunan dari ketentuan dalam UUSPN No. 20/2003 pasal 50 ayat (3) kiranya perlu ditimbang penegasan pengaturannya secara komperehensif di dalam UUSPN. Secara khusus ketentuan yang terkait dengan pengembangan Rintisan Sekolah Bertaraf Internasional
1218
(5)
(6)
(7)
(8)
(9)
(RSBI) yang di satu sisi memiliki biaya yang besar dikenakan kepada peserta didik, dan di sisi lain secara empiris dalam implementasinya belum mampu mencapai kualitas yang optimal. Hal ini dapat menjadi materi muatan Perubahan UUSPN khususnya terkait dengan rambu-rambu apa yang harus diperhatikan dalam pembentukan satuan pendidikan bertaraf internasional atau merumuskan alternatif kebijakan atau strategi yang berbeda dalam membangun satuan pendidikan yang mampu mewakili bangsanya sendiri untuk bersaing secara internasional. Terdapat berbagai kritik tajam terkait dengan penyelenggaraan Ujian Nasional (UN), di antara kritik tersebut adalah: (a) secara mendasar penyelenggaraan UN tidak menghargai konsep kecerdasan ganda (multiple intelelegence) siswa, karena UN hanya mengukur capaian aspek kognitif dan mengabaikan aspek penting lainnya dalam berbagai dimensi kecerdasan sesorang; (b) penyelenggaraan UN cenderung melemahkan peran pendidik dan sekolah dalam menentukan kelulusan siswa; (c) penyelenggaraan UN yang belum berhasil memetakan mutu pendidikan sebagai salah satu tujuan UN. Meskipun angka kelulusan UN sangat tinggi (>99%) namun belum mampu menggambarkan keterkaitan fungsionalnya dengan capaian standar nasional pendidikan lainnya. Masih terdapat permasalahan faktual dalam penyelenggaraan UN yang disdebabkan oleh permasalahan secara yuridis. Oleh karena itu, perlu dilakukan penyempurnaan ketentuan UUSPN khususnya Pasal 58 ayat (2) untuk memastikan agar setiap satuan pendidikan dapat menyelenggarakan ujian akhir sekolah dan menentukan kelulusan. Sementara itu evaluasi mutu pendidikan secara nasional dapat dilaksanakan oleh Pemerintah atau pemerintah daerah dalam rangka memetakan pencapaian standar, serta memberikan umpan balik bagi penyempurnaan pengelolaan dan penyelenggaraan, pendidikan nasional. Terdapat kebutuhan untuk memahami adanya perubahan secara konseptual tentang Jalur, Jenjang, dan Jenis Pendidikan, sebagaimana diantur dalam Bab VI UUSPN Nomor 20/2003. Walaupun tidak perlu mengubah konsep dan definisi tentang jalur dan jenjang pendidikan, UUSPN perlu menekankan adanya perubahan fungsi dari suatu jenjang, jenis, atau jalur pendidikan untuk mancapai tujuan pendidikan tertentu. Di Indonesia, pergeseran telah terjadi, misalnya, secara konseptual SMP tidak berfungsi lagi sebagai pendidikan menengah tetapi sebagai pendidikan dasar. Pada beberapa Negara4 konsep pendidikan menengah bahkan tidak digunakan lagi, kelas 10-12 merupakan pendidikan kompulsori yang pada dasarnya adalah pendidikan dasar. Sehubungan dengan paska terbitnya UU Nomor 12 Tahun 2012 tentang Perguruan Tinggi, terutama yang terkait dengan substansi dan relevansinya, UUSPN perlu mempertegas jenis dan jenjang pendidikan, antara lain dengan membagi jenis dan strata pendidikan akademik dengan penekanan pada program-program keunggulan, serta jenis dan strata pendidikan professional yang terdiri atas program-program terapan menurut klasifikasi KKNI, mulai tingkat analis, profesional, magister spesialis, hingga doktor spesialis. Ketentuan Pasal 46 ayat (1) UUSPN mengenai pendanaan pendidikan menjadi tanggung jawab bersama antara pemerintah, pemerintah daerah dan masyarakat sementara secara konstitusional menurut Pasal 31, negaralah (dalam hal ini termasuk pemerintah) yang seharusnya berkewajiban untuk membiayai sepenuhnya pendidikan dasar. Terdapat kontradiksi baik antara ketentuan konstitusional dengan UUSPN, maupun antara pasal satu dengan pasal lainnya dalam UUSPN. Di samping itu, belum memadainya UUSPN dalam mengatur peran pemerintah daerah dalam pendidikan termasuk ketentuan-ketentuan yang eksplisit dan tegas yang meletakkan kewajiban pemerintah dan pemerintah daerah dalam membiayai pendidikan merupakan kendala yang sangat besar dalam mewujudkan pendidikan yang merata, berkeadilan dan bermutu sebagai prasyarat mendasar dalam mewujudkan sistem pendidikan nasional yang mampu bersaing dalam percaturan global. Terdapat persoalan karena belum dilakukannya pengaturan secara komperhensif dalam UUSPN, berkaitan dengan penyusunan kurikulum sehingga pengembangan kurikulum sekolah hingga sekarang masih menjadi masalah yang belum dapat diselesaikan secara tuntas. Secara konseptual, dalam ketentuan UUSPN Nomor 20/2003, kurikulum cenderung masih diartikan terlalu sempit, yaitu sebagai kumpulan mata pelajaran yang justru telah mengakibatkan menguatnya proses “mengajar” sekaligus melemahnya proses pembelajaran dalam penyelenggaraan pendidikan di sekolah. Untuk itu ketentuan UUSPN harus memastikan bahwa pengembangan kurikulum dilakukan secara demokratis dan menghargai otonomi daerah dan sekolah. Perlu juga dijamin bahwa penyusunan kurikulum terisolasi dari pengaruh politik partisan yang justru telah melemahkan nilai-nilai hakiki dan filosofi pendidikan itu sendiri. Oleh karena itu dibutuhkan pengaturan kurikulum dalam UUSPN yang dapat memacu terwujudnya pendidikan yang berkualitas dan relevan dengan kebutuhan warga Negara, masyarakat, dan bangsa Indonesia. UUSPN 20 Tahun 2003 belum memiliki ketentuan yang memadai secara konseptual
4 Sebagai bahan perbandingan, pendidikan kompulsori 14 tahun (TK hingga kelas 12) di Amerika Serikat dan Australia menunjukan adanya perubahan konsep tentang jenjang, jenis, dan jalur pendidikan yang dinamis dan mengikuti jaman yang berubah.
1219
berkenaan dengan pemerataan dan keadilan pendidikan. Dalam Pasal 5 UUSPN Nomor 20 Tahun 2003 “disebutkan” mengenai hak warga negara di daerah terpencil untuk memperoleh pendidikan layanan khusus (PLK). Namun Pasal 32 yang sejatinya dapat memperjelas pasal 5 juga belum menggambarkan keberpihakan Pemerintah terhadap anak-anak yang kurang beruntung, karena ketentuan pasal ini hanya memuat definisi pendidikan khusus (PK) dan PLK. Masalah yang sama juga dijumpai dalam ketentuan PP Nomor 32/2013 tentang pengelolaan dan penyelenggaraan pendidikan. Oleh karena itu, diperlukan pengaturan pada tingkatan undang-undang untuk menegaskan model pendidikan layanan khusus secara hakiki, siapa yang bertanggung jawab dalam pemenuhan pendidikan khusus termasuk pendanaannyam setrta bagaimana memastikan keterjaminan mutunya. (10) Dalam masyarakat terdapat sejumlah kritik tajam berkenaan dengan relevansi pendidikan dengan kebutuhan masyarakat dan lapangan kerja. Dunia industri dan usaha seringkali kesulitan dalam memperoleh lulusan pendidikan formal yang dapat memenuhi standar kompetensi yang benar-benar mererka butuhkan. Pendidikan kejuruan perlu dikonsepkan kembali dan diatur secara lebih komprehensif dan sistemik melalui suatu pengaturan yang memadai dalam UUSPN. Pendidikan kejuruan lebih dari hanya sekadar sekolah tetapi merupakan suatu sistem dan oleh karena itu, UUSPN perlu mengatur keterkaitan antarkomponnen sistem pendidikan kejuruan tersebut, mulai dari penetapan standar kompetensi sesuai dengan kerangka kualifikasi Indonesia (KKNI), mutu dan relevansi yang ditawarkan oleh berbagai jenis provider dalam masyarakat, serta pengembangan lembaga sertifikasi profesi dan kompetensi yang independen dan terpisah dari sistem persekolahan. (11) Terdapat cukup banyak persoalan yang perlu mendapat perhatian dalam melakukan penyelarasan dalam koridor revisi UUSPN, terutama berkaitan dengan koherensi dengan peraturan perundang-undangan lain, baik secara vertikal maupun horizontal. Ketentuan dalam UUSPN harus koheren dengan ketentuan UUD 1945, UU Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, PP 38/2007 Tentang Pembagian Urusan antar-tingkat Pemerintahan; UU Nomor 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan Pemerintah dan Pemerintah Daerah, UUPT (Perguruan Tinggi) Nomor 12 Tahun 2012, UUGD (Guru dan Dosen) Nomor 14 Tahun 2005, UU Nomor 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik, PP Nomor 32 Tahun 2013 tentang Standar Nasional Pendidikan, PP Nomor 48 Tahun 2008 tentang Pendanaan Pendidikan dan PP Nomor 17 Tahun 2010 tentang Pengelolaan dan Penyelenggaraan Pendidikan. C. Tujuan Penyusunan Naskah Akademik Revisi Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 dilakukan dengan tujuan untuk memperbaiki berbagai kelemahan dari Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 terkait dengan konsep kebijakan pendidikan, menindaklanuti putusan Mahkamah Konstitusi dan mengisi kekosongan hukum yang terjadi akibat adanya pembatalan berbagai ketentuan dan Undang-undang terkait. Disadari sepenuhnya praktek penyelenggaraan pendidikan yang berjalan selama ini masih mengalami kendala dan hambatan sehingga pencapaian tujuan pendidikan masih jauh dari harapan. Pada tingkat pelaksanaan di puasat maupun di daerah perlu kejelasan pengaturan agar tidak terjadi tumpang tindih kewenangan dan duplikasi program dan penganggaran yang pada akhirnya dapat mempengaruhi keberhasilan penyelenggaraan sistem pendidikan. D. Metodologi Revisi undang-undang ini dirancang sedemikian rupa agar bersifat problem-based, partisipatif, dan berbasis pada pemikiran yang secara akademik dan politik dapat diterima. Bersifat problem-based karena inisiatif dan dasar untuk melakukan revisi adalah masalah yang dihadapi baik oleh Pemerintah Pusat, daerah, para stakeholder dalam penyelenggara pendidikan. Berbagai masalah yang dihadapi dalam penyelenggaraan Sisdiknas, salah satu penyebab utamanya adalah ternyata bersumber dari ketidakjelasan dan kelemahan pengaturan dari Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 dan ketidakharmonisan antara Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 dengan peraturan perundangan lainnya. Berbagai masalah yang dihadapi oleh banyak pemangku kepentingan ini menjadi dasar dan mendorong upaya untuk merevisi Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sisdiknas. Metode partisipatori digunakan dalam keseluruhan proses revisi Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003. Didalam menentukan agenda revisi, yaitu menentukan hal apa dari UndangUndang Nomor 20 Tahun 2003 yang perlu direvisi, Tim Revisi melakukan serangkaian Focus Group Discussion (FGD) di berbagai daerah dengan multi-stakeholders. Selain metode diatas, penyusunan naskah akademik ini juga menggunakan beberapa pendekatan lain yaitu sebagai bderikut. (1) Yuridis normatif melalui studi pustaka untuk menelaah berbagai aspek yang terkait dengan Undang-undang Sistem Pendidikan Nasional (UU Ssisdiknas) baik yang berbentuk peraturan perundang-undangan maupun hasil kajin/penelitian dan referensi lainya yang berkaitan dengan Sisdiknas. (2) Yuridis empiris yang dilakukan dengan menelaah data primer yang dikumpulkan langsung dari berbagai hasil kunjungan lapangan yang berkaitan dengan penerapan UndangUndang Sisdiknas.
1220
(3) Analisis data dilakukan pendekatan analisis kebijakan publik. E. Sistimatika Naskah Akademik Naskah akademik perubahan Undasng-undang Sistem Pendidikan Nasional disusun berdasarkan sistimatika sebagai berikut: a. Bab I Pendahuluan Bab pendahuluan memuat latar belakang yang mencakup fakta-fakta penting yang menjadi dasar perlunya dilakukan revisi. Selain itu dalam bab ini juga dipaparkan identifikasi masalah berisi analisis permasalahan dan kelemahan UU Sisdiknas dan metode penyusunan mengacu pada metode penelitian hukum baik yuridis normatif atau yuridis empiris dan pendekatan partisipatoris. b. Bab II Kerangka Teori Bab ini memuat kajian teoritis Sisdiknas dan kajian prinisp-prinsip dalam penerapan Sisdiknas. Selain itu juga dipaparkan fakta-fakta empiris tentang praktik Sisdiknas baik konteks Indonesia maupun negara lain sebagai pembanding yang pada akhirnya dapat menunjukkan manfaat/implikasi penerapan sistem baru yang akan diterapkan. c. Bab III Evaluasi dan Analisis Peraturan Terkait Bab ini berisi kajian atas kondisi hukum yang ada dan keterkaitan Undang-Undang Sisdiknas dengan Undang-undang lain. Kajian ini bertujuan untuk menciptakan harmonisasi baik vertikal dengan Undang-Undang Dasar maupun horizontal dengan peraturan perundang-undangan lainya. d. Bab IV Landasan Filosofis, Sosiologis dan Yuridis Bab ini memuat tiga landasan dalam penyusunan yang mencakup landasan filosofis, sosiologis dan yuridis. Landasan filosofis merupakan pertimbangan atau alasan yang menggambarkan bahwa peraturan yang dibentuk mempertimbangkan pandangan hidup, kesadaran dan cita hukum yang meliputi suasana kebatinan serta falsafah bangsa Indonesia yang bersumber dari Pancasila dan Pembukaan Undang–Undang Dasar Negara Rebpublik Indonesia tahun 1945. Landasan siologis meupakan pertimbangan atau alasan yang mengambarkan bahwa peraturan yang dibentuk untuk memenuhi kebutuhan masyarakat dalam berbagai aspek. Landasan sosiologis menyangkut fakta erimpis mengenai masalah dan kebutuhan masyarakat dan Negara akan perubahan UU Sisdiknas. Landasan Yuridis berisi diskripsi bahwa pembentukan perubahan ini dalam rangka mengatasi permasalahan hukum atau mengisi kekosongan hukum dengan mempertimbangkan peraturan perundang-undangan yang ada. e. Bab V Jangkauan, Arah Pengaturan dan Ruang Lingkup Materi Muatan Bab ini berisi arah pengaturan dan pokok-pokok materi yang akan diatur dalam RUU dan akan menjadi pedoman dalam penyusunan norma yang akan dimuat dalam batang tubuh RUU. f. Bab VI Penutup Berisi kesimpulan dan saran terkait substansi pengaturan.
1221
BAB II KERANGKA TEORI PERUBAHAN UUSPN A. Kajian Teoretis 1. Memperkokoh Pembudayaan Bangsa Sistem Pendidikan Nasional dikelola dan diselengggarakan dengan memperhitungkan dua pilihan kepentingan yang saling menarik, yaitu memperkokoh kedaulatan negara dan memperkuat daya saing bangsa. Di satu pihak, pembangunan pendidikan nasional harus tetap berorientasi pada fungsi pembudayaan dalam rangka memperkuat nilai-nilai kebangsaan serta memperkokoh kedaulatan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI), dan di lain pihak, lebih diarahkan pada penguatan keunggulan daya saing bangsa dalam persaingan global. Indonesia tidak perlu memilih salah satu dari kedua fungsi tersebut, tetapi mencari titik keseimbangan yang dinamis dengan maksud untuk memperoleh keunggulan dalam era persaingan global, tetapi tetap berdiri kokoh sebagai bangsa yang berdaulat dan mampu mewujudkan empat misi penyelenggaraan pemerintah Negara Republik Indonesia yang dikemuakan terdahulu. Sebagai legislasi nasional pendidikan, UUSPN diharapkan dapat memfasilitasi kedua kepentingan tersebut secara seimbang. Ketentuan dalam UUSPN harus memungkinkan tumbuh-kembangnya nilai-nilai kebangsaan, baik melalui penyelenggaraan maupun pengelolaan sistem pendidikan nasional. Dalam waktu yang bersamaan, UUSPN juga harus mendorong mutu dan keunggulan, antara lain, dengan menggunakan atau setidaktidaknya melakukan bencmarking dengan standar-standar pendidikan yang setara dan digunakan di Negara maju. Perwujudan Ideologi Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945 (UUD-1945) adalah Negara kebangsaan, Negara demokratis, Negara kesejahteraan, Negara yang menjunjung tinggi HAM, serta Negara yang ber-Ketuhanan Yang Maha Esa. Pada saat proklamasi kemerdekaan, wujud Negara Pancasila tersebut barulah merupakan cita-cita, karena itu setiap penyelenggara pemerintahan/negara perlu berusaha mengemban misi mewujudkan bangsa yang cerdas yang maknanya adalah melakukan transformasi budaya tradisional menuju budaya modern, budaya feodal menuju budaya demokratis, serta budaya birokratis menuju budaya professional. Makna kecerdasan itu adalah masyarakat dan bangsa dengan kehidupan yang maju dan moderen. Sejumlah Negara yang kini menjadi Negara maju, terutama yang memiliki filosofi kenegaraan yang tertuang dalam konstitusinya dan yang mantap kehidupan politiknya adalah Negara yang sejak kemerdekaannya telah menempatkan pendidikan sebagai fondasi pembangunan Negara. Para Pendiri Republik merumuskan UUD 1945 dan menetapkan kewajiban pemerintah untuk mengusahakan dan menyelenggarakan satu sistem pendidikan nasional, sebagaimana tertuang dalam UUD-1945 pasal 31 ayat (2) sebelum amandemen, dan menjadi pasal 31 ayat (3) setelah amandemen. Masalahnya, pada era Orde Baru telah berkembang sebuah paradigma yang hakekatnya bertentangan dengan ideologi Pancasila dan Negara kesejahteraan. UUSPN No. 2/1089 menetapkan bahwa penyelenggaraan pendidikan adalah tanggung jawab bersama antara pemerintah, masyarakat dan orangtua. Sejak saat itulah, maka untuk mengikuti pendidikan dari SD sampai dengan Pendidikan Tinggi, harus membayar uang sekolah yang dikenal dengan Sumbangan Pembinaan Pendidikan (SPP), sumbangan Badan Pembantu Penyelenggaraan Pendidikan (sumbangan BP3), atau sebutan lain. Kenyataan tersebut telah mendorong MPR RI (1999-2004) melakukan amandemen pasal 31, untuk memperjelas makna yang tersirat pada pasal 31 UUD 1945 sebagaimana ditunjukkan pada Tabel 1. Amanat Pasal 31 mengenai kewajiban pemerintah untuk membiayai pendidikan dasar (ayat 2), kewajiban negara memprioritaskan anggaran pendidikan sekurang-kurangnya 20% dari APBN serta APBD untuk memenuhi kebutuhan penyelenggaraan pendidikan nasional (ayat 4), dan kewajiban pemerintah memajukan IPTEK (ayat5), pada hakekatnya semua ayat itu bertujuan untuk mewujudkan Indonesia sebagai Negara kesejahteraan. Di dalam Negara kesejahteraan, Negara mendanai sektor-sektor: Pendidikan; Kesehatan; Pertahanan Negara; Administerasi Negara; dan Infrastruktur dasar5, sedangkan sektor-sektor lain sisanya adalah sumber pendapatan Negara. Karena itu pada beberapa Negara di Eropa, terutama Jerman, Swedia dan Finlandia, pendidikan dari SD hingga program Doktor tidak dipungut biaya.
5 Dari Menteri Pendidikan Belanda pada saat penulis dan Prof. Dr. Harsya Bachtiar (Alm) pada TA 1996 berkunjung ke Negeri Belanda. Pada saat itu anggaran pendidikan Belanda 37% APBN.
1222
Tabel 1 Bunyi Pasal 31 UUD 1945, Sebelum dan Sesudah Amandemen 2002 Sebelum Sesudah Amandemen Amandemen A. Tiap-tiap warga negara 1. Setiap warga negara berhak mendapat pendidikan. berhak mendapat 2. Setiap warga negara wajib mengikuti pendidikan dasar dan pengajaran. pemerintah wajib membiayainya. B. P e m e r i n t a h 3. Pemerintah mengusahakan dan menyelenggarakan satu mengusahakan dan sistem pendidikan nasional, yang meningkatkan keimanan dan menyelenggarakan ketakwaan serta akhlak mulia dalam rangka mencerdaskan satu sistem pengajaran kehidupan bangsa, yang diatur dengan Undang-Undang. nasional, yang diatur dengan undang-undang. 4. Negara memprioritaskan anggaran pendidikan sekurangkurangnya dua puluh persen dari anggaran pendapatan dan belanja negara serta dari anggaran pendapatan dan belanja daerah untuk memenuhi kebutuhan penyelenggaraan pendidikan nasional.
5. Pemerintah memajukan ilmu pengetahuan dan teknologi
dengan menjunjung tinggi nilai-nilai agama dan persatuan bangsa untuk kemajuan peradaban serta kesejahteraan umat manusia.
Sebagai Negara kesejahteraan berdasarkan Pancasila, dan sesuai amanat pasal 31 UUD 1945, Pemerintah berkewajiban membiayai penyelenggaraan pendidikan nasional, khususnya pendidikan dasar. Yang cukup memprihatinkan adalah bahwa walaupun amandemen 2002 telah memperjelas maksud pasal 31, namun penyelenggara Negara dan Pemerintahan di Era Reformasi justru meneruskan paradigma Orde Baru, lihat rumusan pasal-pasal UUSPN No. 20/2003 pada Table 2. Ketentuan tersebut menunjukkan betapa UUSPN No. 20/2003 dalam pembiayaan pendidikan bertentangan dengan ketentuan pasal 31 ayat (2), ayat (3) dan ayat (4) UUD 1945. Tabel 2 Sebagian Pasal-pasal UUSPN N0.20/2003 Tidak Selaras dengan Amanat UUD 1945 Pasal, Ayat Pasal 34 (2) Pasal 34 (3) Pasal 46 (1) Pasal 6 (2) Pasal 7 (2) Pasal 12 (2) Pasal 49 (3)
Bunyi Ketentuan Pemerintah dan Pemerintah Daerah menjamin terselenggaranya wajib belajar minimal pada jenjang pendidikan dasar, tanpa memungut biaya. Wajib belajar merupakan tanggung jawab negara yang diselenggarakan oleh lembaga pendidikan Pemerintah, Pemerintah Daerah, dan masyarakat. “Pendanaan pendidikan menjadi tanggung jawab bersama antara Pemerintah, Pemerintah Daerah, dan Masyarakat” Setiap warga Negara bertanggung jawab terhadap keberlangsungan penyelenggaraan pendidikan” Orang tua dari anak usia wajib belajar, berkewajiban memberikan pendidikan dasar kepada anaknya” Setiap peserta didik berkewajiban: ikut menanggung biaya penyelenggaraan pendidikan, kecuali bagi peserta didik yang dibebaskan dari kewajiban tersebut sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku” dan Dana pendidikan dari pemerintah dan pemerintah daerah untuk satuan pendidikan diberikan dalam bentuk hibah sesuai peraturan perundang-undangan yang berlaku”.
Ketentuan UUD 1945 menunjukkan betapa tingginya komitmen Indonesia untuk melaksanakan deklarasi HAM,6 khususnya yang berkenaan dengan pendidikan dasar wajib (compulsory) dan bebas biaya (free). Namun, hingga sekarang penyelenggaraan pendidikan 6 United Nation Declaration of Human Right-UDHR (1948) lebih memperjelas ketentuan UUD 1945 pasal 31 ayat (1) (sebelum amandemen)”Tiap-tiap warga negara berhak mendapat pengajaran” (tanpa aturan bebas biaya) dengan pasal 28 UDHR “education should be free and compulsory at least at the basic educ ation level.” Namun komitmen Indonesia mulai tampak lebih jelas sejak amandemen UUD 1945 pada tahun 2002.
1223
dasar di Indonesia tidak dibiayai negara, tetapi diberikan bantuan (BOS) dan beasiswa miskin. UUSPN yang mengatur tidak dibiayainya penyelenggaraan pendidikan dasar sepenuhnya oleh Negara, tidak hanya bertentangan dengan pasal 31 ayat (2) UUD 1945, tetapi juga dengan ideologi Negara Pancasila. Diyakini bahwa tingginya loyalitas warga bangsa terhadap negara bangsanya antara lain ditentukan oleh kepedulian Pemerintah suatu negara kepada warga negaranya. Karena itu sudah sepatutnya jika setiap warga Negaranya merasakan kehadiran Negara yang membuat mereka dapat menjadi tenaga ahli (profesional), teknisi andal dan lainnya karena dibiayai negara. Oleh karena itu, tidaklah mengherankan jika, misalnya, kaum pekerja Jerman bersedia diperpanjang jam kerja dan dikurangi penghasilannya demi perbaikan ekonomi Jerman7 pada awal abad ke-21. Juga adalah wajar jika seorang Presiden Jerman Von Weisaker (1980-an) atas dasar himbauannya, dengan mudah dalam satu hari, Jerman dapat menghimpun dana untuk membantu kelaparan di Ethiopia sebanyak 150 juta US dolar. Di Amerika Serikat walaupun mulai pertengahan tahun 1980-an untuk memasuki Universitas Negeri sudah mulai membayar, wajib belajar 12 tahun tetap dibiayai sepenuhnya oleh Pemerintah (Federal, Negara Bagian, dan distrik), dan Pemerintah Federal tetap menyediakan dana 100 milyar US dollar untuk beasiswa bagi mahasiswa dari keluarga berpenghasilan rendah8. Pada tahun 2008,9 misalnya, besaran subsidi yang dikeluarkan US Departement of Education untuk perguruan tinggi, hanya 7,7% untuk institusi PT dan sisanya sebesar 92,3% adalah untuk subsidi biaya program: student grants (58,2%), student loans (32,1%), dan administrasi (2%). Model pembiayaan seperti ini merupakan salah satu faktor yang menentukan rasa kebangsaan, kebanggaan dan loyalitas dari warga suatu bangsa terhadap Negara-bangsanya. Begitu tingginya kebanggaan sebagai Bangsa Amerika, universitas-universitas negeri yang sebagian besar mendanai dirinya dan hanya sebagian kecil memperoleh subsidi pemerintah Federal, mereka tetap menamakan dirinya public university. Karena itulah kita dapat menyaksikan betapa bersatunya rakyat Amerika Serikat pada saat-saat mereka menghadapi krisis, baik Perang Dunia II, September 11, Huricane Katrina, dan sebagainya. Dalam UUD 1945, para pendiri Negara RI telah menegaskan perlunya mencerdaskan kehidupan bangsa, mengusahakan dan menyelenggarakan satu sistem pendidikan nasional, dan memajukan kebudayaan nasional Indonesia. Namun, disayangkan amanat UUD 1945 itu substansinya berbeda dengan UU No. 2/1989 dan UU No. 20/2003 tentang Sisdiknas, sebagaimana dikemukakan pada Tabel 2. Adalah juga keliru jika UUSPN tidak memuat rumusan tujuan pendidikan sebagai “upaya membangun bangsa,” seperti tampak pada pasal 3 tujuan pendidikan: “…bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab”. Contoh rumusan tersebut kurang jelas karena potensi peserta didik yang dinginkan itu justru lepas konteks, karena tidak jelas bertanggungjawab kepada bangsanya. Wawasan kebangsaan yang menjadi topik pembahasan dalam bagian ini tidak berarti menafikan wawasan yang bersifat global. Dalam pendidikan, wawasan kebangsaan dan wawasan global bukanlah bersifat “either/or” atau harus memilih salah satu, tetapi justru keduanya harus saling mengisi dan saling memupuk. Dalam wawasan kebangsaan, kebijakan Negara lebih dominan dipengaruhi oleh pendekatan politis, sedangkan dalam wawasan global suatu kebijakan pendidikan lebih banyak ditentukan oleh pendekatan rasional-konseptual karena kepentingannya bersifat universal. Namun kebijakan Negara bidang pendidikan tidak dapat memilih salah satu kedua pendekatan tersebut, tetapi menempatkan keduanya sebagai instrument yang sama pentingnya di dalam suatu keseimbangan yang dinamis dalam proses pengambilan keputusan atau penetapan kebijakan. 2. Memperkuat Daya Saing Bangsa Secara yuridis materil Indonesia kini dihadapkan pada tantangan yang sangat penting sehubungan dengan perubahan beberapa pasal dalam UUSPN No. 20/2003 atas putusan Mahkamah Konstitusi (MK), dan berlakunya undang-undang lain. Proses perubahan kebijakan Negara yang tercermin dalam pembatalan beberapa pasal UUSPN tersebut perlu ditindaklanjuti dengan melakukan kajian secara rasional, konsepstual dan obyektif dan berjangka panjang agar berkesesuaian dengan amanat UUD 1945. Perbaikan yang akan dilakukan terhadap ketentuan UUSPN No. 20/2003 tidak boleh terjebak pada kepentingan yang berorientasi pada politik partisan yang bersifat jangka pendek, fragmatis, dan situasional. Sebuah gerakan revolusioner yang mulai diamati sejak awal tahun 1990-an hingga 7 Germany’s Surprising Economy” dalam majalah The Economist, August 20, 2005, page 9. 8 “The Brains Business”, a Survey of Higher Education, dalam majalah The Economist, Sept., 10th – 16th 2005 9 Chris Edwards and Neal McCluskey (2009) “Higher Education Subsidies. In the US” C ato Institute ,1000 Massachusetts Avenue N.W.Washington D.C. 20001-5403. http://www.downsizinggovernment. org/ education/higher-education-subsidies
1224
sekarang oleh David Osborne & Ted Gaebler10 telah menginspirasi banyak Negara untuk mentransformasikan pengelolaan sektor-sektor publik dari pendekatan birokrasi menuju pendekatan profesional. Gerakan ini juga diamati dalam pengelolaan pendidikan pada beberapa negara maju, dengan menjadikan PT sebagai korporasi yang mandiri, otonom, berorientasi mutu dan memberikan layanan prima bagi stake holder-nya. Pendekatan pengelolaan pendidikan ini menganggap perguruan tinggi bukan sekadar bagian dari birokrasi tetapi sebuah korporasi yang profesional. Menurut Osborne, universitas-universitas papan atas dunia umumnya dikelola secara professional dalam suatu korporasi. Sebagai lembaga profesional mereka berupaya keras untuk mencapai keunggulan dan daya saing agar dapat bertahan hidup dan berkembang di arena persaingan. Sebaliknya, perguruan tinggi yang dikelola dalam lingkuingan birokrasi, kurang tertantang untuk mengejar keunggulan dan daya saing, karena dapat bertahan hidup dengan bergantung pada subsidi pemerintah. Namun, mencapai mutu dan keungulan tidaklah murah apalagi murah, dan institusi pendidikan memerlukan biaya yang sangat besar sehingga harus menetapkan SPP yang tinggi. Kondisi inilah yang ditengarai melahirkan gejala ketidakadilan dalam pelayanan pendidikan tinggi, karena hanya masyarakat yang mampu yang dapat mengakses pendidikan bermutu. Pandangan masyarakat ini berkembang karena adanya informasi yang menyesatkan bahwa korporasi PT menimbulkan ketidakadilan bahkan ada yang menilai sebagai ‘kastanisasi PT, dan oleh karena itu pandangan seperti ini perlu segera diluruskan. Sesungguhnya, korporatisasi pendidikan tidak dengan sendirinya mengejar keuntungan, tetapi diarahkan untuk mewujudkan mutu layanan yang profesional di dalam suatu persaingan sehat. Gerakan ini semakin berkembang dalam pengelolaan pendidikan tinggi di banyak Negara, terutama pada Negara-negara yang telah masuk ke dalam kelompok “emerging economies” di Asia termasuk Indonesia dan di Amerika terutama di Brazil dan Meksiko. Hal ini diamati oleh Wildavsky yang mengemukakan: “pengelolaan pendidikan tinggi mengalami perubahan mendasar menuju korporatisasi untuk menjangkau (to reach) dan menyiapkan (to prepare) mahasiswa agar memperoleh sukses dalam menjawab tantangan berbagai bentuk perubahan di dunia profesional, ekonomi, dan teknologi11 . Dalam implementasi korporatisasi pendidikan, Pemerintah sangat berperan dalam menciptakan sistem subsidi yang tepat sasaran sehingga akan dapat mewujudkan pelayanan yang lebih berkeadilan. Adalah naif jika anggaran yang hampir sebesar Rp. 40 Trilyun12 yang dialokasikan untuk pendidikan tinggi dianggap sebagai pemberian “lepas” tanpa berharap untuk kembali. Misi korporatisasi adalah mentransformasikan anggaran publik dari fungsinya sebagai subsidi menjadi penyertaan modal dalam rangka mencapai mutu pelayanan yang lebih tinggi. Transformasi pendanaan juga dilakukan dengan mempercil subsidi untuk institusi pt, dengan melahirkan pendanaan program bantuan bagi calon mahasiwa. Oleh karena itu, mengelola pendidikan secara korporat, tidak hanya meningkatkan efisiensi dalam alokasi anggaran publik, tetapi juga mengurangi penyimpangan, mewujudkan keadilan serta memacu keunggulan dan daya saing pendidikan. Korporatisasi pendidikan terlahir dan tumbuh subur dalam dunia professional, dan pemerintah berperan sebagai fasilitator daripada implementor. Kebijakan korporatisasi PT telah dilaksanakan oleh umumnya negara yang kini telah memiliki universitas papan atas dunia. Bergsten dan kawan-kawan13 menunjukkan beberapa Negara di Asia Timur seperti Korea Selatan, Hongkong, Taiwan, dan Malaysia yang mulai mengkorporasikan perguruan tinggi dan berhasil dalam memacu mereka agar masuk ke jajaran world class university. Ini mungkin sebuah pembelajaran berharga bagi Indonesia untuk memperoleh keunggulan daya saing perguruan tinggi dalam era persaingan dewasa ini. 3. Menggali Perspektif Pendidikan Karakter Bangsa14 Akhir-akhir ini banyak orang mulai gelisah terhadap perilaku kehidupan masyarakat bangsa 10
David Osborne and Ted Gaebler (1992) “Reinventing Government: How the
Entrepreneurial Spirit is transforming the Public Sector.” London, Addison-Wesley Publ. Co., 1992, 427 pages 11 Ben Wildavsky , Andrew Kelly, Kevin Carey (2011) “Reinventing Higher Education: The Promise of Innovation”. Publication, Date: April 19, 2011; ISBN-10: 1934742872; ISBN-13: 978-1934742877 12 Rencana Kegiatan dan Anggaran Kemeneterian/Lembaga, Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan, tahun anggaran 2013. 13 Fred Bersten, Bates Gill, Nicholas R. Lardy, and Derek Mitchell (2006) China: The Balance Sheet, What The World Needs to Know Now About the Emerging Superpower., New Yorh, Public Affair. 14 Prof. Dr. Imam Suprayogo (2012) Membangun Kharakter Bangsa Dalam Perspektif Pendidikan dan Agama” Bahan Diskusi di Universitas Negeri Surabaya, pada tanggal 24 September 2012
1225
ini. Para pemimpin bahkan oknum mantan menteri, jaksa, hakim, pimpinan BUMN, dan bahkan oknum anggota kepolisian yang ternyata banyak yang terlibat melakukan tindakan korupsi. Di dunia pendidikan yang seharusnya menjaga nilai-nilai moral, ternyata juga tidak sepi dari sorotan negatif. Terungkapnya penomena ijazah palsu, kecurangan ujian nasional, pemerkosaan murid oleh guru, plagiarisme karya ilmiah oleh seorang Doktor dan bahkan Guru Besar, itu semua adalah pertanda bahwa karakter bangsa ini sudah dianggap mengkhawatirkan. Lebih memprihatinkan lagi adalah terjadinya kenalakan remaja, penggunaan narkoba, seks bebas, video porno, bentrokan antarkelompok, dan lain-lain. Di kalangan orang tua juga terjadi peselingkuhan, perzinaan, perjudian, makelar kasus bahkan pembunuhan keji. Semua itu contoh keseharian kehidupan masyarakat yang kemudian telah mengusik banyak pihak, sehingga banyak yang merasa perlu mencari jalan keluar untuk memperbaiki kondisi karakter bangsa. Dalam sejarah kemanusiaan, dekadensi moral seperti itu sudah sering terjadi. Sejarah kemerosotan moral ternyata juga diabadikan dalam kitab suci. Sejarah kehidupan Namrud, Firáun, kaum ‘Ad dan Tsamud, dan termasuk kehidupan suku-suku atau kabilah-kabilah Arab sebelum nabi Muhammad SAW menjadi utusan Allah, juga menggambarkan tentang kemerosotan akhlak itu. Jika pada saat sekarang ini, terjadi penindasan terhadap orang-orang lemah, maka pada masyarakat Makkah dan juga Madinah sebelum Nabi Muhammad SAW hijrah juga terdapat praktik perbudakan. Bisa kita bayangkan, bagaimana moral masyarakat sedemikian lemah ketika itu, manusia diperdagangkan bagaikan binatang, hingga memerlukan pasar tersendiri. Harkat dan martabat orang menjadi jatuh serendah-rendahnya. Yang tampak di permukaan mungkin belum separah itu. Namun jika dicermati secara saksama, nilai-nilai kemanusiaan sudah mulai banyak yang terabaikan. Dalam soal keadilan saja misalnya, sudah sedemikian memprihatinkan. Sekelompok kecil masyarakat memiliki akses untuk mengembangkan ekonomi, sementara sebagian lainnya yang jumlahnya sedemikian besar, justru tidak mendapatkannya. Sebagai akibatnya, di tengah-tengah lautan kemiskinan terdapat beberapa gelintir orang kaya yang digambarkan sebagai pulau-pulau kecil. Di sini tampak ketidakadilan yang luar biasa yang terjadi di ranah hukum, politik, sosial dan lain-lain. Hampir seluruh kehidupan politik, dunia profesional, bahkan urusan agama diwarnai oleh suasana transaksional. Dalam kehidupan politik, seorang calon pejabat, mulai dari kepala desa, bupati, wali kota, gubernur, DPRD dan DPR tidak mungkin berhasil tanpa didukung oleh pendanaan yang kuat. Orang lebih mudah digerakkan dengan kekuatan finansial daripada dengan kekuatan moral, nilai-nilai, atau agama. Para ulama atau ilmuwan (termasuk kalau boleh disebut para guru) sebenarnya adalah pewaris para nabi. Disebutkan dalam suatu riwayat bahwa al ulama’ waratsatul anbiya’, atau bahwa para ulama adalah pewaris para nabi. Ulama adalah sebutan yang diberikan kepada orang-orang yang menyandang ilmu pengetahuan. Selama ini, guru, dosen dan guru besar di tengah-tengah masyarakat dikenal sebagai orang yang berilmu pengetahuan. Sebutan itu kiranya tidak salah, karena tidak akan ada seseorang yang tidak berilmu diangkat sebagai guru, apapun tingkatannya. Karena itu tidak salah sekiranya guru yang beriman disebut sebagai seorang ulama dan juga berperan sebagai pewaris tugas-tugas kenabian. Berbicara tentang karakter, sebenarnya harus menyangkut aspek-aspek manusia secara utuh. Manusia terdiri atas bagian-bagian yang semuanya tidak bisa dipisah-pisahkan antara satu dengan lainnya. Manusia terdiri atas jasad atau raga, pikiran, nafsu, dan hati. Manusia tidak sebagaimana binatang yang hanya terdiri atas dua komponen, yaitu jasad dan nafsu. Berbeda dengan binatang, makhluk yang disebut sebagai khalifah fil’ardh, selain terdiri atas raga dan nafsu, masih dilengkapi dengan pikiran dan hati. Berbekalkan kekuatan pikirannya, manusia bisa berpikir rasional, melakukan analisis, sintesis dan seterusnya hingga mendapatkan pengetahuan yang luas dan mendalam. Manusia juga memiliki piranti yang disebut nafsu yaitu keinginan yang jumlah dan jenisnya sedemikian banyak. Jika pikiran menjadikan orang cerdas, sehingga berhasil mengetahui mana yang baik dan yang buruk, yang bermanfaat dan yang tidak, yang menguntungkan dan merugikan, maka nafsu mendorong manusia untuk memenuhi keinginannya itu. Dalam literatur Islam terdapat berbagai jenis nafsu, mulai dari nafsu kebinatangan, nafsu perusak, nafsu untuk tetap hidup, hingga “nafsu berbuat baik dan mulia”. Nafsu sebenarnya tidak perlu dibunuh atau dihilangkan, melainkan harus dikendalikan. Orang yang tidak memiliki nafsu tidak akan sempurna. Manusia yang demikian tidak akan memiliki kekuatan penggerak pada dirinya. Seseorang yang tidak memiliki kemauan, cita-cita, hasrat, motivasi sebagai kekuatan penggerak dirinya, akan menjadi orang yang pasif dan lemah. Sebaliknya, orang yang memiliki nafsu terlalu besar dan beraneka ragam jenisnya dan tidak bisa dikendalikan, maka akan menjadi perusak di tengah-tengah masyarakat. Oleh karena itu, yang diperlukan adalah keseimbangan dan pengendalian terhadap nafsu itu. Kekuatan lain pada diri manusia adalah hati, atau dalam bahasa Arab disebut qalb. Dalam berbagai literatur Islam, qalb adalah kekuatan penentu dalam membangun perilaku, watak, karakter atau ahlaq mulia seseorang. Hati yang baik akan menghasilkan perilaku yang baik, dan begitu pula sebaliknya. Hati seseorang bisa sehat, sakit, dan bahkan mati. Rasulullah SAW bersabda “Ingatlah sesungguhnya di dalam tubuh manusia itu ada segumpal daging apabila ia
1226
baik maka baiklah seluruh (perilakunya)-nya dan jika ia rusak maka rusaklah seluruh (perilaku)nya. Ketahuilah, itulah yang dikatakan hati.” Hati sebagaimana anggota tubuh lainnya bisa berubah-ubah, suatu saat hati menjadi sakit dan bahkan mati. Demikian pula hati yang sakit, dan bahkan mati, seharusnya disehatkan atau dihidupkan kembali. Orang yang berhati sakit dan bahkan mati, maka perilakunya akan menjadi tidak normal. Orang yang sedang sakit hati dan apalagi hatinya mati, maka akibatnya pikiran, ucapan, dan tindakannya hanya diarahkan untuk memenuhi kepentingan diri sendiri. Orang yang hatinya sakit dan bahkan mati, maka justru menjadi senang jika orang lain susah, dan begitu sebaliknya susah tatkala orang lain senang dan beruntung. Hati menjadi sakit dan bahkan mati manakala mendapatkan perlakuan yang tidak semestinya. Seseorang yang diperlakukan secara tidak adil, teraniaya, dirugikan atau dikalahkan, dan seterusnya, maka akan menjadikan hatinya sakit. Kondisi hati seperti itu, akan melahirkan suasana hati yang tidak sehat, hingga melahirkan iri hati, dengki, marah, kecewa, frustrasi dan sebagainya. Orang seperti ini tidak akan mampu melihat sesuatu secara objektif. Dirinya sendiri merasa benar dan sebaliknya orang lain menjadi salah. Masyarakat yang dihuni oleh orangorang seperti itu akan melahirkan persaingan tidak sehat, permusuhan, konflik dan sejenisnya. Keadaan sebagaimana digambarkan itu manakala terjadi secara terus menerus akan membuahkan karakter masyarakat yang buruk. Orang akan menjadi pendendam, sakit hati, pemarah, hingga perusak, karena hatinya tidak mendapatkan iklim atau suasana yang menyehatkan. Itulah sebabnya, rasa keadilan harus ditegakkan di semua tatanan kehidupan ini. Sebab rasa tidak adil akan menjadikan rasa sakit hati dan selanjutnya akan berpengaruh pada perilaku orang dan bahkan masyarakat secara luas. Dengan demikian, kita harus menciptakan suasana dan lingkungan yang meyehatkan hati. Jika dalam konteks manajemen organisasi, maka dalam mengatur orang seharusnya selalu menggunakan pertimbangan hati yang sehat, sehingga diperoleh rasa keadilan, kejujuran, kebersamaan, dan akhirnya akan dihasilkan suasana ikhlas dan damai bagi semua pihak. Penggunaan hati dalam mengambil keputusan tidak berarti sama sekali mengabaikan akal. Dengan menyebut kata hati, maka secara otomatis sudah melibatkan akal atau rasio. Berbeda halnya jika hanya menggunakan akal, maka belum tentu suara hati didengarkan. Kerja akal atau rasio harus dibimbing oleh hati yang sehat. Akal yang selalu dibimbing oleh hati yang sehat, yaitu hati yang selalu mengacu pada petunjuk kitab suci, Beberapa tahun terakhir ini, bangsa Indonesia mengalami krisis yang luar biasa. Mulai dari terjadinya krisis moneter, kemudian disusul dengan krisis politik dan akhirnya krisis di berbagai bidang kehidupan lainnya. Berbagai gejolak sosial kemudian terjadi secara meluas dan terus menerus. Muncul konflik di mana-mana, mulai di ibu kota hingga di daerah-daerah. Perang suku terjadi akibat hal yang sangat sepele. Siapapun yang dianggap sebagai bagian dari penguasa dipandang salah, korup, dan menyimpang. Masyarakat menjadi mudah marah dan sulit dikendalikan. Keadaan seperti itu berlangsung lama dan bahkan hingga saat ini belum semuanya normal kembali. Bahkan akhir-akhir ini, munculnya berbagai kasus seperti penyimpangan bank, makelar kasus, peradilan yang tidak adil, pengemplangan pajak, dan seterusnya menjadikan suasana batin masyarakat menjadi terganggu dan tidak normal. Maka akibatnya muncul perilaku menyimpang sebagai akibat dari keadaan yang dianggap menyakitkan dan tidak adil tersebut. Itulah sebabnya masyarakat menjadi sedemikian mudah tersulut konflik, bertengkar dan merusak bahkan saling menghancurkan. Bangsa Indonesia yang dikenal santun, memiliki kesabaran tinggi, suka damai, berubah menjadi keras, intoleran, suka konflik dan seterusnya. Inilah sebenarnya harga yang harus dibayar dari reformasi yang bertujuan akan memperbaiki kehidupan bangsa dan negara selama ini. 4. Menata Kembali Pelayanan Pendidikan Nasional Pada tataran makro, pembangunan pendidikan nasional kini mulai memasuki tahap yang paling menentukan dalam rangka mewujudkan pelayanan pendidikan yang adil, bermutu, dan akuntabel. Kini Indonesia mulai diperhitungkan sebagai negara yang semakin berdaya saing di era global. Dalam 10 tahun terakhir (2002-2011) ekonomi Indonesia tumbuh secara konsisten bahkan dalam tiga tahun terakhir mengalami pertumbuhan tercepat ketiga dunia setelah China dan India, dan tercepat di Asia Tenggara. Dengan Gross Domestic Product 16 terbesar dunia, Indonesia mulai menunjukan dirinya sebagai salah satu kekuatan ekonomi dunia, yang kini masuk sebagai salah satu negara dalam kelompok G-20. Jika dapat memanfaatkan momentum bonus demografi dan memeliharaan pertumbuhan hingga 7%, maka Indonessia diprediksikan akan menjadi tujuh kekuatan ekonomi terbesar pada tahun 203015. Prediksi tersebut tentu bukanlah sebuah jaminan, tetapi sebuah peluang yang dapat dicapai jika Indonesia berhasil dalam pembangunan manusia (human development) melalui pemenuhan memenuhi dan perlindungan terhadap hak-hak dasar manusia, termasuk pendidikan, kesehatan, dan daya beli. Dalam kaitannya dengan pembangunan manusia di bidang pendidikan, UUD 1945 telah 15 Raoul Oberman, Richard Dobbs, Atif Budiman, Fraser Thompson, and Morten Rosse (2012) “The Archipelago Economy: Unleashing Indonesia’s Poteltials.” McKinsey Global Institute, Septekber 2012.
1227
mengamanatkan agar Pemerintah sebagai penyelenggara Negara dapat melaksanakan tiga tugas yang paling utama, sebagai berikut. (1) Mencerdaskan kehidupan bangsa (amanat Pembukaan UUD 1945) yang menugaskan Pemerintah untuk menyelenggarakan layanan pendidikan dasar yang bermutu dan berkeadilan; (2) Memenuhi hak warganegara untuk memperoleh pekerjaan dan penghidupan yang layak (Pasal 27 ayat (2) UUD 1945); landasan untuk menyelenggarakan pelayanan pendidikan teknik-kejuruan dan profesional, melalui semua jalur pendidikan, sesuai dengan kebutuhan masyarakat dan dunia kerja; serta (3) Memajukan ilmu pengetahuan dan teknologi dengan menjunjung tinggi nilai-nilai agama dan persatuan bangsa untuk kemajuan peradaban serta kesejahteraan umat manusia, seperti diamanatkan oleh UUD 1945, Pasal 31 ayat (5) sebagai landasan penyelengaraan layanan pendidikan tinggi dalam rangka penguasaan ilmu pengetahuan dan teknologi. Perwujudan amanat UUD 1945 dapat dilakukan oleh Pemerintah dengan memajukan dan melakukan perlindungan terhadap hak-hak dasar manusia atas pendidikan sebagaimana ditegaskan dalam pasal 28 Deklarasi HAM. Dewasa ini “model pembangunan berbasis hak16” merupakan pendekatan yang dianggap ampuh dalam pembangunan manusia. Berdasarkan model ini, pendidikan haruas dianggap sebagai hak dasar yang melekat pada setiap diri manusia yang harus dipenuhi dan dilindungi. Pemenuhan dan perlindungan hak-hak manusia atas pendidikan akan sangat menentukan terhadap keberhasilan dalam mengejar mutu dan keunggulan pendidikan suatu bangsa. Dalam rangka memenuhi dan melindungi hak-hak atas pendidikan bagi semua warga negara, maka tugas pokok pemerintah adalah memberikan pelayanan pendidikan yang merata, bermutu, dan berkeadilan. Pertama, Pemerintah bertugas memberikan layanan pendidikan dasar yang bermutu, merata, dan berkeadilan bagi seluruh warga negara. Pendidikan dasar bertujuan membentuk keimanan dan ketaqwaan, karakter dan akhlak mulia, serta pengetahuan dan kecakapan dasar atas dasar prinsip keadilan tanpa membedakan suku bangsa, golongan, jenis kelamin, letak geografis, serta latar belakang sosial-ekonomi. Keberhasilan layanan pendidikan dasar bukan hanya dalam ukuran banyaknya akses tetapi yang lebih penting adalah misinya dalam pembentukan kemampuan belajar sepanjang hayat yang berguna bagi pelaksanaan hak dan kewajiban lulusan pendidikan dasar sebagai warga negara yang baik dan bertanggungjawab (good and responsible citizens). Namun dalam kenyataan, pendidikan dasar sering diartikan hanya sebagai suatu ”kumpulan mata pelajaran” yang diajarkan melalui satuan pendidikan dasar. Kenyataan ini menunjukkan bahwa pendidikan dasar yang sejatinya membentuk karakter dan kemampuan dasar untuk belajar, hanya menjadi sekumpulan proses pengajaran teori dan hafalan yang juga diukur dengan tes hafalan. Jika keadaan ini terus dibiarkan, maka pendidikan dasar tidak akan pernah berfungsi sebagai fondasi yang kokoh untuk mewujudkan mutu pendidikan pada jenjang berikutnya dalam kerangka peningkatan kualitas manusia Indonesia. Kedua, Pemerintah berkewajiban menyelenggarakan layanan pendidikan persiapan kerja yang meliputi pendidikan teknik/kejuruan, pendidikan vokasi, pendidikan profesi, dan pendidikan spesialis (selanjutnya disebut pendidikan vokasi dan profesi) untuk menghasilkan pelaku-pelaku ekonomi yang produktif. Dalam kenyataan, penyelenggaraan pendidikan vokasi dan profesi justru terisolasi dengan kebutuhan nyata masyarakat dan lapangan kerja. Pendidikan vokasi dan profesi lebih dikendalikan oleh provider karena kurikulum, pembelajaran, dan sertifikasi sepenuhnya ditentukan oleh pemerintah atau penyedia layanan (supply driven), ketimbang oleh kebutuhan pasar. Akibatnya, program pendidikan vokasi dan profesi tidak lentur dan bersifat konstan walaupun kebutuhan lapangan kerja terus berubah. Inilah interpretasi terbaik terhadap data statistik yang menunjukan bahwa pendidikan teknik dan kejuruan melahirkan angka penganggur tertinggi17. Karakteristik pendidikan kejuruan tersebut justru berbanding terbalik dengan dunia usaha yang membutuhkan jenis-jenis kecakapan dan keahlian yang berubah, sebagai akibat dari perubahan teknologi. Kini Indonesia membutuhkan pendidikan vokasi dan profesi yang berorientasi terhadap kebutuhan pasar (market driven), yaitu menggunakan pendekatan integratif dari berbagai jenis pendidikan vokasi dan profesi, mulai dari sekolah kejuruan, kursus dan pelatihan kerja, pendidikan vokasi, pendidikan profesi, pendidikan spesialis, bahkan kegiatan berlajar mandiri perlu mulai difikirkan dalam agenda perubahan UUSPN No. 20/2003. Ketiga, Pemerintah juga bertugas menyelenggarakan layanan pendidikan tinggi melalui pembinaan perguruan tinggi yang unggul dan bermutu. Universitas yang unggul tidak hanya melahirkan lulusan yang cakap, professional, dan produktif, tetapi juga mampu bersaing dengan universitas untuk merebut pasar calon mahaiswa dan menghasilkan devisa negara. Namun, pengelolaan yang birokratis sering memanjakan PT dengan subsidi besar yang justru lebih merupakan ‘racun’ daripada ‘obat.” Dengan subsidi yang besar, PT merasa tidak perlu berjuang mencapai keunggulan dan menjaring mahasiswa terbaik dari dalam dan luar negeri. Pada 16 Ace Suryadi & Dasim Budimansyah (2010) Paradigma Pembangunan Pendidikan; Konsep, Teori dan Aplikasi dalam Analisis Kebijakan Publik bidang Pendidikan” Bandung Widya Aksara Press. 17 BPS (beberapa tahun) Perkembangan Angka Pengangguran Terbuka menujrut Jenis dan jenjang Pendidikan. Jakarta, BPS Survey Angkatan kerja Nasional tahun 2004-2012).
1228
tahun 2008, APBN untuk PT di atas 15 Trilyun rupiah yang cenderung menjadi semakin besar di kemudian hari, sehingga semakin berat pula beban Pemerintah mensubsidi perguruan tinggi18. Pada masa yang akan datang, besaran subsidi pemerintah akan semakin berat sehubungan dengan panjangnya antrian perguruqan tinggi swasta yang ingin dinegerikan. Namun, berapapun besarnya subsidi Pemerintah, tidak pernah cukup untuk mengejar daya saing PT apalagi di tingkat global. Beban Pemerintah untuk memberikan subsidi akan semakin berat di kemudian hari karena kemampuan APBN untuk pendidikan tinggi tidak tak terbatas. Pengelolaan perguruan tinggi melalui pendekatan birokrasi pemerintahan dalam kenyataan lebih menguntungkan segmen masyarakat yang mampu, sekaligus telah menafikan keadilan bagi segmen masyarakat yang kurang beruntung. Dengan subsidi Pemerintah yang besar lebih memungkinkan bagi PTN untuk menetapkan uang kuliah yang murah dengan mutu yang rata-rata lebih tinggi. Sebaliknya, PTS terpaksa harus menentapkan besaran uang kuliah yang jauh lebih mahal walaupun rata-ratanya mutu pendidikannya justru lebih rendah. Studi Pusat Pengujian Badan Penelitian dan Pengembangan Departemen Pendidikan Nasional, menunjukkan bahwa: ”...universitas negeri yang lebih bermutu dan lebih murah itu, justru menyerap lebih banyak mahasiswa dari segmen masyarakat yang rata-rata lebih kaya, dan sebaliknya, PTS yang lebih mahal justru lebih banyak menyerap mahasiswa yang berasal dari keluarga miskin19. Dengan kata lain, pengelolaan pendidikan tinggi di Indonesia cenderung telah menimbulkan pelayanan yang tidak adil; yaitu mensubsidi mahasiswa dari keluarga yang mampu, dan dalam waktu yang bersamaan ”memajaki”para mahasiwa yang berasal dari keluarga yang kurang mampu. Inilah sumber ketidakadilan bagi masyarakat miskin, yang menurut sejumlah penelitian, merupakan salah satu faktor yang paling kuat dalam memberikan efek terhadap rendahnya keunggulan dan daya saing perguruan tinggi dalam percaturan global. B. Kajian Empiris 1. Pendidikan Keimanan, Ketakwaan dan Ahlak Mulia Berangkat dari konsep “pendidikan karakter dengan pendekatan profetik20”, maka pendidikan keimanan, ketakwaan dan ahlak mulia dilakukan dengan mendekatkan peserta didik pada tiga hal penting, yaitu mereka didekatkan pada kitab suci, tempat ibadah, dan para pemuka atau para tokohnya yang dihormati. Cara itu sebenarnya tidak sulit dilakukan dan bahkan lebih terukur keberhasilannya. Pendidikan dengan pendekatan profetik manakala dianggap memiliki titik rawan, atau sulit dijalankan, maka kesulitan itu justru berada pada sumberdaya manusianya, yaitu terletak pada pimpinan lembaga pendidikan, pendidik dan sejenis lainnya. Pertama, mendekatkan para peserta didik pada kitab suci, kiranya tidak sulit dilakukan. Sebagai orang yang beragama, kiranya memang seharusnya memiliki kedekatan dengan kitab sucinya masing-masing. Wahyu di manapun selalu dipandang sebagai sumber kebenaran. Oleh karena itu, para pendidik seharusnya mengajarkannya dan tidak perlu menunggu kedatangannya, karena wahyu itu sebenarnya sudah lama datang, berupa kitab suci yang bisa didapatkan di mana-mana. Banyak orang tatkala mencari kebenaran, merasa masih perlu menunggu datangnya wahyu. Padahal sebenarnya, wahyu itu sendiri sudah disampaikan secara sempurna oleh Tuhan dalam rupa kitab suci agama masing-masing. Sebagai negara yang berlandaskan Pancasila, yang mengakui berbagai agama, maka tugas pendidik adalah mendekatkan peserta didiknya pada kitab sucinya masing-masing. Mereka yang beragama Islam diperkenalkan dengan al-Qurán; yang beragama Kristen dengan Injil, dan seterusnya. Demikian pula yang beragama Hindu dengan kitab Weda. Anak yang selalu dekat pada kitab suci —Islam misalnya dekat dengan al-Qur’an— maka pikiran, hati dan jiwanya akan terjaga dari ajaran kitab suci yang dipercayai kebenarannya itu. Kedua, mendekatkan para siswa pada tempat ibadah. Selama ini umat beragama telah melihat betapa pentingnya tempat ibadah sebagai wahana untuk membangun karakter, sehingga di mana-mana dibangun tempat ibadah. Sedemikian besar semangat masyarakat membangun sarana itu, sehingga memerlukan regulasi dari pemerintah. Sayangnya, semangat membangun tempat ibadah itu, tampaknya belum diikuti oleh kegiatan untuk memakmurkannya. Pada saat ini di sekolah-sekolah dan kampus-kampus telah dilengkapi dengan tempat ibadah. Maka sebagai bagian dari pendidikan karakter, para guru yang seharusnya bertindak sebagai uswah hasanah atau teladan yang baik, pada saat waktunya beribadah, semestinya segera menuju tempat ibadah untuk mengajak sekaligus memberikan teladan kepada para anak didiknya. Inilah cara mendekatkan mereka pada tempat ibadah. 18 Setjen Kemdiknas (2008) Daftar Isian Pelaksanaan Anggaran Ditjen Dikti Kemdiknas, Jakarta, Biro Perencanaan Kemdiknas. 19 Pusat Pengujian Balitbang (2004) Hasil Analisis Ujian Masuk Perguruan Tinggi, Jakarta Balitbang Kemdiknas. 20 Disarikan dari tulisan Prof. Dr. Imam Suprayogo (2013) “Pendidikan Karakter Melalui Pendekatan Profetik” Makalah disampaikan pada Pertemuan Forum Rektor Indonesia di Universitas Islam Sultan Agung, Semarang, pada tanggal 17-19 Januari 2013
1229
Ketiga, adalah mendekatkan para peserta didik kepada para ulama atau para ilmuwan yang ditokohkannya sehari-hari. Akhir-akhir ini ada pergeseran yang entah disadari atau tidak, bahwa para peserta didik yang seharusnya mengidolakan para ilmuwan, ulama, dan guru, tetapi ternyata justru mengidolakan pribadi lain yang tidak terlalu ada kaitannya dengan pendidikan. Para siswa lebih akrab dengan nama-nama artis favoritnya daripada para ilmuwan, dan bahkan guru atau pimpinan lembaga pendidikannya sendiri. Anak muda biasanya akan mengikuti perilaku siapa yang diidolakannya. Sehingga menjadi wajar, jika anak-anak bergaya penyanyi atau artis pada umumnya daripada berperilaku sebagaimana yang ditampakkan oleh pendidiknya sendiri. Terkait dengan pendidikan karakter ternyata di kalangan pesantren tampak lebih berhasil. Kyai dan santri yang selalu tinggal bersama-sama di pesantren, sehingga rupanya lebih berpeluang mengembangkan pendidikan secara lebih utuh dan menyeluruh. Para santri berhasil mengidolakan para kyai dan menjadikan mereka sebagai reference person dalam kehidupannya. Hanya sayang, dengan perubahan sosial politik yang sedemikian dahsyat, sendi-sendi pendidikan pesantren pun sedikit banyak pada akhir-akhir ini juga terpengaruh dengan lingkungan itu. Manakala para peserta didik di sekolah berhasil didekatkan pada tiga hal tersebut, yaitu dekat pada kitab suci, dekat pada tempat ibadah, dan dekat pada para cendekiawan dan pendidiknya maka kiranya akan berpengaruh pada keseluruhan pribadi peserta didik. Inilah kiranya pendidikan yang tidak saja mengembangkan aspek kognitif, yang selama ini dikritik oleh banyak kalangan, melainkan juga pendidikan yang meliputi aspek afektif dan psikomotorik sekaligus. Implementasi pendidikan karakter yang diperlukan adalah mengubah mindset bagi semua yang terlibat sebagai pendidik dan tenaga kependidikan dalam lembaga pendidikan yang bersangkutan. Pimpinan, dosen, dan guru harus mampu menjadi pelaksana pendidikan yang sebenarnya, sebagaimana para nabi atau rasul menjalankan tugas-tugasnya. Mereka harus sadar bahwa tatkala dirinya sebagai seorang guru atau pendidik, maka perannya tak ubahnya sebagaimana seorang rasul, yaitu sebagai uswah hasanah di mana saja berada. Agar tugas-tugas itu bisa ditunaikan secara maksimal, maka pimpinan lembaga pendidikan dan semua tenaga kependidikan seharusnya diberi kebebasan untuk mengaktualisasikan nilai-nilai yang dipandang benar dan luhur. Pendekatan formal sebagai seorang guru harus ditinggalkan. Pimpinan lembaga pendidikan dan tenaga pendidik dalam menjalankan tugasnya harus menunaikannya sebagaimana kehidupan di rumah tangga sendiri, bebas dalam melakukan peran-perannya agar para muridnya meraih kedewasaan secara utuh. Hal ini perlu ditekankan, karena selama ini terasa, pendidikan dijalankan secara birokratis sehingga mengakibatkan program-programnya berjalan secara kaku, formal, dan terbatas. Pimpinan lembaga pendidikan dan tenaga pendidik atau dosen harus diberi otoritas untuk menjalankan tugas-tugasnya secara luwes, fleksibel dan bahkan bebas. Tenaga pendidik dan pimpinan lembaga pendidikan, sebagaimana seorang nabi atau rasul dipercaya mampu menjalankan tugasnya secara mandiri. Pembatasan dan atau suasana birokratisasi pengajaran justru akan membelenggu ruang gerak pendidik, sehingga pendidikan hanya dijalankan secara formal yang berakibat terjadi formalitas atau kegiatan semu. Pendidikan tidak boleh dijalankan dengan pendekatan yang demikian itu. Dengan kebebasan atau otoritas pimpinan lembaga pendidikan dan para pendidik, maka diharapkan para pelaku pendidikan benar-benar berhasil menjadi usawah hasanah. Kehidupan ini tidak pernah bisa dirancang secara tepat. Kehidupan sehari-hari mengikuti geraknya sendiri, dan selalu adaptif terhadap tantangan yang sehari-hari yang muncul dan sebaliknya menghilang. Oleh karena itu, pendidik dan pimpinan lembaga pendidikan sehari-hari juga seharusnya melakukan adaptasi dengan perubahan lingkungan. Keputusan yang diambil oleh Pimpinan Lembaga Pendidikan dan pendidik harus dipandang sebagai pilihan terbaik, dan itulah yang seharusnya terjadi. Dengan cara itu maka tidak ada lagi kegiatan yang bersifat pura-pura atau semu. Pendidikan hendaknya dijalankan atas dasar tuntutan nurani para pengelola pendidikan. Para pendidik sebagai pewaris nabi, diharapkan memiliki sifat shiddiq, amanah, tabligh dan fathanah. Sifatsifat mulia seperti itulah yang sehari-hari dijadikan sebagai acuan berperilaku di hadapan para siswanya. Dengan sifat-sifat seperti itu, maka para siswa akan dengan secara otomatis akan mengidolakan dan kemudian meneladaninya. Para pimpinan lembaga pendidikan tidak semestinya diubah perannya hingga menjadi seorang pegawai dan apalagi buruh. Pendidik adalah guru atau pendidik professional. Perannya sebagai pendidik, dan apalagi sebagai pewaris nabi, maka kesejahteraan mereka tidak perlu diurus sendiri oleh yang bersangkutan, sehingga menjadikan para pendidik ramai-ramai memprotes kebijakan pemerintah. Protes yang dilakukan oleh para pendidik —jika itu perlu dilakukan— seharusnya diformat dalam bentuk yang sesuai dengan posisi mereka di tengahtengah masyarakat. Para pendidik harus memiliki mindset guru. Mereka adalah bagaikan sumber atau mata air yang selalu mengeluarkan air jernih untuk memberikan minuman kepada siapa saja. Selain itu, sebagai air yang bersih dan selalu mengalir akan menghilangkan semua kotoran yang terkena olehnya. Dengan pandangan seperti itu, maka pendidikan akan dijalankan secara ikhlas, sabar,
1230
penuh rasa syukur, tawakkal sebagaimana yang dijalankan oleh para nabi. Selain itu, yang perlu dibenahi adalah niat atau motivasi. Dalam pendekatan profetik, niat memiliki posisi yang amat strategis. Sekalipun, misalnya delapan standard pendidikan telah dipenuhi oleh lembaga pendidikan, manakala niat para pelaku penidikan tidak benar, maka hasil pendidikan juga tidak akan maksimal. Bahkan hasil pendidikan, sebenarnya lebih banyak tergantung pada niat itu. Niat yang benar akan menggerakkan seluruh komponen yang diperlukan untuk meraih tujuan yang diharapkan. Dalam hadits nabi dikatakan bahwa innamal a’malu binniyat. Bahwa sesungguhnya segala sesuatu tergantung pada niatnya. Oleh karena itu, dalam jangka pendek, terkait pendidikan karakter atau akhlak, ada dua hal yang seharusnya diperbaharui, yaitu mindset atau cara pandang tentang pendidikan dan niat sebagai dasar dalam menunaikan tugas-tugasnya sebagai pelaku kependidikan. Pendidikan harus dikembalikan pada watak aslinya, yaitu mengantarkan peserta didik menjadi anak bangsa meraih derajat unggul, baik dari aspek intelektualnya, spiritualnya, jiwa dan raganya, serta akhlaknya. Dengan demikian, pendidikan karakter bukan hanya terletak pada tanggung jawab guru agama atau guru Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan, melainkan merupakan tanggung jawab semua pihak yang terlibat dalam proses pendidikan. Selain itu, dalam pendidikan karakter, semua mata pelajaran, seperti biologi, kimia, fisika, matematika, sosiologi, psikologi, sejarah dan lain-lain, muaranya adalah untuk meningkatkan kesadaran akan eksistensi dirinya, Tuhan, dan makna atau arti kehidupannya secara keseluruhan. Dengan begitu maka diharapkan akan tumbuh keimanan yang selanjutnya membuahkan amal shalih, dan akhlak karimah atau karakter yang unggul. Sebagai catatan akhir, bahwa perilaku bangsa Indonesia yang tampak berubah sebagaimana yang dirasakan oleh banyak orang pada akhir-akhir ini, sebenarnya adalah sebuah akibat saja. Suasana ketidakadilan, jarak sosial yang semakin melebar, penyimpangan yang terjadi dimanamana, keinginan sukses dalam waktu singkat, dan suasana terlalu mencintai harta dan kekuasaan, akan melahirkan perilaku yang akan merugikan semua pihak. Maka untuk mengatasinya, harus harus ada perubahan. Dan, perubahan itu harus dimulai dari para pemimpinnya. Jika menggunakan pendekatan profetik, maka yang diperlukan adalah keteladanan atau uswah hasanah. 2. Makna Pendidikan sebagai Hak Semua Warga Negara Di samping memperkuat Negara kebangsaan, pendidikan adalah instrumen untuk semakin memperkokoh Negara kesejahteraan. Semakin hari semakin diyakini bahwa pendidikan adalah sebuah investasi yang menjanjikan bagi sebuah bangsa, lembaga, atau seseorang untuk memperoleh kehidupan yang lebih baik di masa depan. Pemerintah ataun lembaga tidak segansegan mengeluarkan anggaran sekalipun besar untuk pendidikan atau pelatihan bagi pegawai dengan harapan agar mencapai produktivitas dan kesejahteraan yang lebih tinggi. Seseorang juga tidajk ragu-ragu mengeluarkan dana cukup besar untuk menempuh suatu jenjang atau jenis pendidikan, dengan harapan untuk meningkatkan kualitas hidup yang lebih baik di kemudian hari. Tidak terkecuali pada Negara demokratis, kehadiran Negara dalam pengelolaan pendidikan nasional mutlak diperlukan walaupun tentu saja tidak selalu mampu memenuhi harapan semua warga negara. Oleh karena itu, kontribusi seseorang atau lembaga dalam membiayai pendidikan (khususnya pendidikan non-kompulsori) merupakan sebuah investasi untuk masa depan. Telah berkembang penafsiran yang berbeda-beda, terhadap amanat Pasal 31 (1) UUD 1945 (sebelum amandemen) “Tiap-tiap warga negara berhak mendapat pengajaran.” Salah satu tafsirannya adalah bahwa pemerintah harus menanggung sepenuhnya biaya semua jenis dan jenjang pendidikan. Tafsiran ini bukan hanya tidak realistis, tetapi juga sesungguhnya tidak perlu dalam keadaan kemampuan Negara yang masih terbatas. Tafsiran tersebut bahkan mungkin merupakan potensi pelanggaran terhadap karena UUD 1945. Amanat Konstitusi ini hanya menunjukkan, betapa penting hadirnya Negara agar menjamin terlaksananya pelayanan pendidikan yang bermutu bagi seluruh warga Negara. Namun tidak juga berarti bahwa Negara harus menanggung seluruh biaya semua jenjang pendidikan. Sejumlah Negara kebangsaan di Eropah telah membebaskan biaya seluruh jenjang pendidikan, namun Negara-negara lainnya semakin tertarik untuk menganut kebijakan korporatisasi pada pendidikan vokasi dan profesi dan pendidikan tinggi. Tujuan utamanya adalah untuk meningkatkan profesionalitas manajemen pendidikan, meningkatkan efisiensi pembiayaan, mengurangi penyimpangan, dan mempertinggi mutu pelayanan21. Deklarasi HAM (tahun 194822) membantu memperjelas amanat pasal 31 UUD 1945 dengan menegaskan bahwa: “(1) Setiap orang berhak atas pendidikan, dan pendidikan harus bebas biaya, setidaknya pada pendidikan dasar, yang harus bersifat free and compulsory; (2) pendidikan 21 Chris Edwards and Neal McCluskey (2009) “Downsizing Federal Government; Higher Education Subsidies in the US.” Cato Institute 1000 Massachusetts Avenue N.W. Washington D.C. 22 Universal Declaration of Human Right (UDHR) pasal 28, ditetapkan bahwa: “Setiap orang berhak atas pendidikan, dan pendidikan harus bebas biaya, setidaknya pada pendidikan dasar. Pendidikan dasar bersifat compulsory. Pendidikan teknik, kejuruan, profesi, dan pendidikan yang lebih tinggi harus dapat dimasuki (diikuti) oleh semua orang berdasarkan kemampuan masing-masing” (UDHR, 1948)
1231
teknik, kejuruan, profesi, dan pendidikan tinggi harus dapat dimasuki (diikuti) oleh semua orang berdasarkan kemampuan masing-masing.” Legislasi internasional ini pada intinya menegaskan pentingnya kehadiran Negara dalam pengelolaan dan penyelenggaraan pendidikan. Tujuannya adalah untuk melindungi dan memastikan pemenuhan hak-hak dasar bagi seluruh warga negara yang dilindungi oleh undang-undang, untuk memperoleh pelayanan pendidikan yang bermutu, merata, dan berkeadilan. Walaupun, pendidikan dikatakan sebagai salah satu di antara hak-hak dasar manusia yang diatur dalam legislasi nasional dan internasional, tidaklah dimaksudkan bahwa semua orang dapat dengan leluasa mengakses semua jenjang dan jenis pendidikan, apalagi dengan bebas biaya. Dalam Pasal 31 ayat (2) UUD 1945 (Amandemen) dan Deklarasi HAM (1948) hanya pendidikan dasar yang harus diakses oleh semua orang dengan bebas biaya. Tujuannya adalah agar tidak ada seorang anak-pun yang tertinggal, karena pendidikan dasar adalah hak asasi yang melekat pada setiap orang. Oleh karena itu, untuk memastikan tidak ada seorang anak-pun yang tertinggal, maka pendidikan dasar telah ditetapkan oleh hampir semua negara berpenghasilan menengah ke atas sebagai pendidikan wajib dan bebas biaya. Di atas pendidikan dasar adalah pendidikan vokasi dan profesi, serta pendidikan tinggi sebagai komponen pendidikan non-kompulsori dan tidak harus bebas biaya. Aksesnya mungkin saja bersifat universal tetapi harus menggunakan sistem merit. Pada satu pihak, Pemerintah harus memastikan bahwa semua orang dalam kelompok penduduk usia produktif memperoleh pendidikan vokasi dan profesi dalam rangka memenuhi amanat pasal 27 UUD 1945. Di lain pihak, Pemerintah juga bertugas untuk memastikan agar setiap orang --yang berbakat istimewa dan berprestasi luar biasa-- yang walaupun jumlahnya sedikit dapat mengakses pendidikan tinggi jalur akademik dan riset. Lulusan SMA yang tidak memenuhi syarat akademik disalurkan ke pendidikan tinggi vokasi atau strata profesional. Banyak negara yang meratifikasi legislasi internasional bidang pendidikan23, sebagian atau seluruhnya, ke dalam legislasi nasional. Setiap negara dapat mengatur pengelolaan dan pelayanan setiap komponen pendidikan berdasarkan sistem hukum nasional masing-masing. Komponen- komponen pendidikan tersebut, yaitu: (a) komponen pendidikan dasar wajib dan bebas biaya untuk menjamin terwujudnya akses bagi semua warga negara tanpa kecuali; (2) komponen pendidikan vokasi dan profesi yang dapat diakses oleh seluruh (calon) angkatan kerja sesuai dengan minat, bakat dan kemampuan masing-masing; dan (3) komponen pendidikan tinggi akademik dan riset dengan akses berbasis merit bagi mereka yang memiliki potensi keunggulan dalam penguasaan, pengembangan dan penemuan di berbagai bidang cabang ilmu pengetahuan, teknologi dan seni. 3. Komponen Dasar Sisdiknas Pemerintah telah menyusun kebijakan pendidikan nasional sesuai amanat konstitusi dan peraturan perundangan. Berdasarkan ideologi negara Pancasila, UUD 1945, dan Deklarasi HAM (1948) Indonesia menyelenggarakan pelayanan pada ketiga komponen pendidikan tersebut. Namun, Indonesia belum sepenuhnya meratifikasi semua prinsip yang tertuang dalam legislasi internasional, karena menghadapi beberapa kendala yang cukup mendasar. Beberapa isu dan permasalahan kebijakan pendidikan yang perlu mendapat perhatian dalam revisi UUSPN N0. 20/2003 adalah sebagai berikut. a. Komponen Pendidikan Kompulsori/Universal Harus diakui bahwa, sesungguhnya Indonesia belum pernah memiliki legislasi nasional pendidikan dasar wajib sejak proklamasi kemerdekaan 1945 hingga ditetapkannya UU No. 2/1989. Indonesia juga belum pernah memiliki legislasi pendidikan dasar wajib dan bebas biaya hingga amandemen ke-4 UUD-1945 tahun 2002. Selama itu pula, Indonesia mengalami kesulitan dalam mengemban misi perlindungan dan pemenuhan hak-hak dasar manusia bidang pendidikan sebagaimana ditetapkan dalam Deklarasi HAM (1948). Oleh karena belum sepenuhnya berhasil meratifikasi legeslasi internasional, maka adalah wajar jika Pemerintah masih menghadapi kendala yuridis dan empiris dalam menyelenggarakan pendidikan dasar bebas biaya, bahkan mungkin hingga sekarang. Amandemen UUD 1945 pada 2002 adalah langkah besar Indonesia untuk membuat koneksi antara UUD 1945, Deklarasi HAM, dan legislasi nasional. Amandemen dimaksudkan untuk mengurangi keraguan masyarakat dalam penafsiran pasal 31 ayat (1) UUD 1945 “Tiaptiap warga Negara berhak mendapat pengajaran,” dengan mengubahnya menjadi ayat (2): “Setiap warga negara wajib mengikuti pendidikan dasar dan pemerintah wajib membiayainya.” Amandemen UUD 1945 pada 2002 ini sekaligus menunjukan bahwa Indonesia telah meratifikasi ketentuan pendidikan wajib dan bebas biaya, sejalan dengan Deklarasi HAM dan Convention of the Right of the Child (CRC, 1948). Sehubungan legislasi internasional itu, Indonesia telah memilih tanggungjawab membiayai sepenuhnya pengelolaan dan penyelenggaraan pendidikan yang terbatas hanya pada jenjang pendidikan dasar. Berkaitan dengan Kendala yuridis, masih terdapat kurangnya konsistensi antara UUSPN No. 20/2003 dengan UUD 1945 sebagai manifestasi dari cita-cita berdirinya Negara Kesatuan 23 Di antara legislasi internasional bidang pendidikan yang paling relevan adalah UDHR (1948), Unesco Constitution (1945), dan Convention of the Right of the Child (1948)
1232
Republik Indonesia (NKRI). Dengan amandemen (2002) betapa Indonesia juga telah berusaha keras untuk memenuhi komitmen terhadap legislasi internasional khususnya “pendidikan dasar wajib dan bebas biaya” seperti tampak pada pasal 31 UUD 1945. Upaya tersebut lebih dioperasionalkan lagi dengan rumusan pasal 34 ayat (2) UUSPN No. 20/2003 yang berbunyi: ‘Pemerintah dan Pemerintah Daerah menjamin terselenggaranya wajib belajar minimal pada jenjang pendidikan dasar, tanpa memungut biaya’. Dengan rumusan legislasi nasional tersebut ditunjukkan kepada dunia bahwa Indonesia telah meratifikasi ‘free basic education’ sebagaimana telah dilakukan oleh negara-negara berpenghasilan menengah ke atas. UUSPN pasal 34 ayat (2) sesungguhnya dapat dijadikan sebagai landasan yuridis yang cukup kuat untuk kebijakan dan program pendidikan dasar wajib dan bebas biaya. Namun, misi yang terkandung pada ayat (2) ini justru dilemahkan oleh rumusan ayat (3): “Wajib belajar merupakan tanggungjawab negara yang diselenggarakan oleh lembaga pendidikan Pemerintah, Pemerintah Daerah, dan masyarakat.” Ketika perguruan swasta dapat menyelenggarakan pendidikan dasar, maka sebagian pendanaan masih dibebankan kepada masyarakat, dan oleh karena itu maka kebijakan “pendidikan dasar bebas biaya” berkurang eksistensinya. Selain oleh pasal 34 ayat (3), masih ada lima pasal UUSPN No. 20/2003 (lihat table 2) yang justru menjadi kendala yuridis bagi pendidikan dasar wajib dan bebas biaya. Di samping kendala yuridis, kendala empiris terhadap kebijakan ‘pendidikan dasar wajib dan bebas biaya’ ditunjukan oleh dampak perluasan pendidikan dasar yang dilakukan sejak awal 1980-an. Walaupun telah mencanangkan program wajib belajar pendidikan dasar 9 tahun pada tahun 1992/1993, Pemerintah belum memberlakukan pendidikan dasar bebas biaya. Sejak tahun 200624, Pemerintah melaksanakan program pendanaan massal berupa bantuan biaya operasional sekolah (BOS), beasiswa miskin, BOS Buku, dsb. Program itu semula bertujuan untuk membebaskan biaya pendidikan dasar dalam rangka mengemban amanat pasal 31 ayat (2) UUD 1945. Pada waktu pertama kali diberlakukan BOS dan beasiswa miskin, Pemerintah optimistis pendidikan dasar gratis dapat diwujudkan. Namun, BOS dan beasiswa miskin tidak mungkin membebaskan biaya, di antaranya karena penyelenggaraan SD dan SMP tidak sepenuhnya dibiayai Pemerintah sesuai amanat oleh Pasal 31 UUD 1945. Dalam kenyataan, masih besar proporsi jumlah keluarga, termasuk yang miskin, yang masih harus mendanai penyelenggaraan pendidikan dasar, hanya karena anak-anaknya tidak diterima di sekolah negeri dan terpaksa harus memilih sekolah swasta. Mewujudkan pemerataan akses pendidikan dasar tidak dapat dicapai hanya dengan upaya perluasan akses. Perluasaan akses yang dilaksanakan sejak tahun 1973 jenjang SD dan tahun 1989 di SMP, telah berhasil meningkatkan APM SD hingga mencapai > 96% dan APK–SMP hingga >90% pada tahun 201125. Namun, tingginya APK dan APM bukan berarti bahwa akses pendidikan itu merata. Sampai tahun 2009, masih dijumpai jurang yang masih cukup lebar antara akses pendidikan dasar bagi anak perkotaan dengan akses bagi anak daerah pedesaan. Depdiknas (2009) mengukur indeks pemerataan antara kota dan desa, dengan menghitung standar deviasi antara APM kabupaten dan APM kota (∂=24.00)26. Untuk menciptakan akses yang seimbang, diperlukan kebijakan pemerintah yang memihak anak-anak miskin dan/atau anakanak pedesaan. Jika Indonesia belajar dari pengalaman Amerika Serikat, kebijakan Equality of Educational Opportunity pada tahun 1966, di telah dilakukan melalui strategi penerapan subsidi yang jauh lebih besar bagi sekolah-sekolah kulit hitam yang umumnya di perkotaan27. Kebijakan Indonesia justru sebaliknya, karena besaran biaya satuan BOS untuk anak-anak sekolah di Kabupaten lebih kecil dibandingkan dengan untuk sekolah di perkotaan. Pencapaian akses pendidikan dasar yang merata juga belum menjamin terwujudnya keadilan dalam pelayanan pendidikan. Kebijakan yang berkeadilan memungkinkan siswa untuk dapat, dan memperoleh keberhasilan dalam, belajar yang sama antar-siswa walaupun berasal dari latar belakang keluarga yang berbeda. BOS adalah contoh yang menunjukan kebijakan yang tidak berkeadilan (unequitable), karena hanya memungkinkan anak-anak dari keluarga mampu, tetapi “mencegah” anak-anak miskin, untuk memperoleh pendidikan yang bermutu. Kebijakan ini menimbulkan diskriminasi terhadap peserta didik dari segmen masyarakat miskin tetapi tidak disadari oleh Pemerintah. Ppeserta didik dari keluarga mampu berpeluang lebih besar untuk mendapat pendidikan yang bermutu karena didukung juga oleh pendanaan dari keluarga. Ketidakadilan ini secara empiris dapat dibuktikan oleh studi Mansyur Ramli (2007),28 yang 24 Direktorat Pembinaan SMP (2007), Laporan Pelaksanaan BOS dan Beasiswa Miskin Tanhun Anggaran 2006, Jakarta Depdiknas. 25 Pusat Data dan Statistik Pendidikan (2012) “Indonesia; education Statistic in Brief” Jakarta, PDSP Sekretariat jenderal Kemdikbud. 26 Mengukur indeks pemerataan kesempatan belajar antara kota dan desa, Depdiknas menghitung standar deviasi antara APM kabupaten dan APM kota. 27 Ace Suryadi dan Dasim Budimansyah (2012) “Paradigma Pembangunan Pendidikan; Teori, Konsep dan Aplikasi dalam Analisis Kebijakan Publik bidang Pendidikan.” Bandung, Widya Aksara Press. 28 Pusat Penelitian Kebijakan (2007) “Dampak Bantuan Biaya Operasional Sekolah terhadap Pungutan Sekolah di SD dan SMP” Jakarta, Badan Penelitian dan Pengambangan Pendidikan,
1233
mengemukakan bahwa sebanyak 70,3% siswa pendidikan dasar telah terbebas dari pungutan sekolah, tetaspi mereka justru berisiko untuk memperoleh pendidikan yang kurang bermutu. Keadilan layanan pendidikan hanya dapat diwujudkan melalui kebijakan pendidikan dasar yang bebas biaya. Jika Pemerintah belum memberlakukan pendidikan dasar bebas biaya, maka anak-anak miskin kurang berpeluang untuk memperoleh layanan pendidikan yang bermutu, dan oleh karena itu pendidikan dasar yang bermutu lebih banyak didapatkan oleh mereka yang berasal dari keluarga dan masyarakat yang mampu. Jika sistem pendanaan massal menimbulkan ketidakadilan dalam layanan pendidikan, maka kelompok masyarakat miskin sulit untuk memperoleh pendidikan yang bermutu. Oleh karena keluarga miskin yang jauh lebih besar jumlahnya, maka kebijakan pendidikan yang tidak berkeadilan itulah yang justru telah berdampak paling kuat terhadap rendahnya rata-rata mutu pendidikan dalam agregat nasional. Berkaitan dengan konsep ‘pendidikan dasar wajib dan bebas biaya,’ setiap negara berbedabeda dalam durasi pendidikan dasarnya. Pada Tabel 3, Negara-negara di ASEAN secara umum pendidikan dasarnya selama 9 tahun, yaitu SD dan SMP. Walaupun Jepang dan Korea pendidikan dasarnya juga 9 tahun, namun rata-rata lama sekolah (RLS) telah mencapai hampir 12 tahun dan telah menerapkan tahap pendidikan menengah universal. Di samping itu, sebagian negara berpenghasilan rendah di Asia Selatan dan Afrika, dengan rata-rata angka partisipasi pendidikan dasar antara 50-70%, pada umumnya menyelenggarakan pendidikan dasar wajib dan bebas biaya selama 6 tahun. Oleh karena itu terdapat kecenderungan yang konsisten bahwa panjangnya durasi pendidikan dasar berbanding lurus dengan tingginya angka partisipasi pendidikan dasar di masing-masing negara. Tabel 3 Rerata Lama Sekolah (RLS), Durasi Pendidikan Dasar, dan GNI; Perbandingan antar-negara
COUNTRY Indonesia India Singapore Malaysia Philippines Japan Korea Rep. China Thailand
RLS 5,8 4,4 8,8 9,5 8,9 11,6 11,6 7,5 6,6
Durasi Dikdas 9 6 9 9 7 9 9 9 9
GNI (US$/ year) 3.716 3.468 52.569 13.685 3.478 32.295 28.230 7.476 7.694
Sumber data : Human Development Report 2011 UNDP; GNI=Gross National Income
Dalam tiga tahun terakhir, negara-negara berkembang telah terlibat dalam gerakan dunia yang dipelopori Bank Dunia29 menyiapkan kebijakan nasional pendidikan menengah universal (PMU). Berdasarkan sejumlah penelitian yang dilakukan oleh bank Dunia, akses yang universal terhadap pendidikan menengah secara konsisten telah mendorong peningkatan angka partisipasi pendidikan menengah, menurunkan kesuburan wanita, dan secara drastis memperlambat pertumbuhan penduduk dunia. Menuurut Cohen, penduduk dunia dalam delapan tahun (sejak tahun 2005) yang akan datang diperkirakan akan berkurang satu milyar jika PMU berhasil diimplemtasikan30. Indonesia termasuk ke dalam salah satu negara berkembang yang didorong untuk ikut serta dalam gerakan dunia tersebut. Sehubungan dengan itu maka mulai tahun 2013 Kemdikbud mulai merintis pelaksanaan pendididkan menengah universal (PMU)31. Mengingat Depdiknas RI. 29 Joel E. Cohen (2005) “Make secondary education a universal”, Working Paper of the Abby Rockefeller Mauzé Professor of Populations at the Rockefeller University, 1230 York Avenue, New York 10065, USA, and professor of populations at Columbia University in New York. Email: cohen@rockefeller. edu 30 Joel E. Cohen, David E. Bloom, Martin B. Malin, and Helen Anne Curry (2005) “Introduction; Universal Basic and Secondary Education” Working Paper of the Abby Rockefeller Mauzé Professor of Populations at the Rockefeller University, 1230 York Avenue, New York 10065, USA, and professor of populations at Columbia University in New York 31 Presentasi Mendikbud di hadapan Presiden RI, tanggal 3 Juni 2012 yang telah dituangkan ke dalam Rencana Aksi Pendidikan menengah Universal Ditjen Pendidikan menengah, kemdikbud.
1234
pentingnya kebijakan ini, dan oleh karena belum diatur oleh ketentuan perundangan, maka pendidikan menengah universal perlu menjadi salah satu isu kebijakan pendidikan yang diatur dalam ketentuan UUSPN. Sejarah pembangunan pendidikan telah mengalami pergeseran dalam durasi pendidikan dasar, mulai sekolah dasar 6 tahun, SD dan SMP 9 tahun, hingga 12 tahun. Walaupun Istilahnya ‘pendidikan menengah’ namun SMP esensinya adalah pendidikan dasar yang wajib diikuti oleh semua warga negara. Menurut Karabel & Halsey, pendidikan dasar adalah istilah lain dari pengetahuan dan kecakapan dasar yang paling esensial bagi semua orang agar dapat berpartisipasi secara aktif dan produktif dalam kehidupan masyarakat32. Konsisten dengan Karabel and Halsey, Lynch et’al33 menegaskan bahwa pendidikan dasar kompulsori adalah pendidikan umum yang bermuatan kebutuhan belajar yang paling mendasar bagi warga negara. Pendidikan kompulsori mungkin berupa satuan pendidikan dasar (SD atau SMP), dan mungkin juga berupa mata pelajaran kompulsori, seperti PKn, Bahasa Indonesia, sejarah nasional, dan literasi. Sebagai Negara yang memberlakukan pendidikan wajib dan bebas biaya selama 12 tahun, Amerika Serikat telah menjadikan K-12 sebagai pendidikan dasar dengan muatan ‘liberal arts’34. Telaahan di atas menunjukkan bahwa konsep pendidikan dasar telah bergeser secara signifikan baik pengertiannya, sasaran didiknya, maupun durasinya. Hingga sekarang, wajib belajar pendidikan dasar 9 tahun di Indonesia masih cukup ideal, dan pendidikan menengah lebih tepat dijadikan sebagai bagian dari program PMU. Kebijakan PMU di Indonesia diharapkan akan dapat membawa konsekuensi baik terhadap perubahan kriteria penerimaan siswa, maupun terhadap muatan kurikulumnya sebagai pendidikan umum. Jika PMU sudah dilaksanakan, maka Pemerintah perlu melakukan transformasi sekolah menengah kejuruan agar semakin sesuai dengan tujuan pendidikan menengah universal. Walaupun pendikdikan kejuruan masih diperlukan pada pada tingkat menengah, tetapi berupa sekolah yang berdiri sendiri, tetapi merupakan salah satu program sekolah menengah, yang menawarkan paket-paket program vokasional tingkat dasar dan bersifat massal, seperti literasi dasar, literasi ekonomi, kecakapan dasar, dan sejenisnya. b. Pendidikan Vokasi dan Profesi Salah satu misi penyelenggaraan pemerintahan negara RI, dalam Pembukaan UUD 1945, adalah ‘memajukan kesejahteraan umum,’ yang lebih dijelaskan oleh pasal 27 ayat (2) bahwa: ‘Tiap-tiap warganegara berhak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak’. Amanat ini adalah landasan untuk penyelenggaraan pendidikan vokasi dan profesi dalam rangka menghasilkan lulusan yang mampu bekerja atau berusaha secara produktif. Pendidikan vokasi dan profesi menawarkan program-program pendidikan dan pelatihan jenis-jenis kecakapan atau keahlian yang dibutuhkan oleh ”angkatan kerja” melalui berbagai jalur pendidikan. Angkatan kerja dapat diartikan sebagai penduduk usia produktif yang bekerja atau mencari pekerjaan, yang jumlahnya mencapai hampir 130 juta orang ditambah dengan calon angkatan kerja yang masih bersekolah35. Angkatan kerja terdiri dari penduduk usia produktif yang bekerja (pekerja) atau membutuhkan pekerjaan (pencari kerja). Untuk memperoleh penghidupan yang layak, para pekerja dan pencari kerja membutuhkan tambahan pengetahuan dan kecakapan yang dapat diperoleh dari pendidikan vokasi, pendidikan profesi, bahkan pendidikan sopwesialis untuk meningkatkan produktivitas mereka. Pendidikan vokasi terdiri dari program pendidikan diploma sebelum sarjana yang menyiapkan tenaga tingkat operator sampai teknisi. Pendidikan profesi terdiri dari program pendidikan sarjana (S1) profesional yang menyiapkan tenaga tingkat analis hingga manajer. Sedangkan pendidikan spesialis adalah pendidikan tingkat master atau doktor sebagai pekerja profesional hingga peneliti. Seluruh tingkat jabatan ini diatur oleh Kerangka Kualifikasi Indoensia (KKNI) yang dapat dipersiapan oleh berbagai jenis penyedia (provider), seperti: sekolah, kursus, pelatihan kerja, hingga universitas tingkat doktoral. Penyedia yang hingga kini memperoleh perhatian yang sangat besar adalah pendidikan kejuruan di bawah tingkat vokasi melalui sekolah menengbah kejuruan (SMK) dan pendidikan vokasi melalui politeknik atau sederjat. SMK dan politeknik sebagai pendidikan formal hanya dirancang untuk melayani peserta didik yang berusia 16 tahun lulusan SMP dan berusia 19 tahun lulusan SMA yang jumlahnya di bawah 3% dari jumlah angkatan kerja nasional seluruhnya. Oleh karena sasaran bukan angkatan kerja, maka perluasan SMK dan politeknik adalah kebijakan 32 Karabel & Halsey (1979) mengemukakan bahwa ‘liberal education’ atau ‘liberal arts’ memuat kebutuhan belajar yang paling mendasar bagi warga Negara untuk dapat berpartisipasi dalam kehiduoan bersama. Pada tingkatan dasar liberal arts adalah pendidikan yang intinya memuat literasi & numeracy yang dibutuhkan oleh semua warga Negara. 33 Blaich, Charles, Anne Bost, Ed Chan, and Richard Lynch. “Defining Liberal Arts Education.” Center of Inquiry in the Liberal Arts, 2004. 34 Neal McCluskey (2009) “Downsizing Federal Government; K-12 Education Subsidies in the US.” Cato Institute 1000 Massachusetts Avenue N.W. Washington D.C. 35 Badan Pusat Statistik (2012) Survey Angkatan kerja nasional , menunjukan bahwa angkatan kerja nasional berjumlah 113 pada tahun 2009, dan 120 juta orang berdasarkan SP-2010..
1235
yang mengandung kelemahan mendasar. Di samping memerlukan investasi yang mahal, kedua jenis pendidikan kejuruan ini cenderung lebih menghasilkan daripada mengatasi masalah pengangguran. Menurut Tabel 4, lulusan SMK dan politeknik adalah yang tertinggi angka penganggurannya. di antara semua jenjang pendidikan. Tabel 4 Perkembangan Angka Pengangguran Terbuka Nasional Menurut Pendidikan Tahun 2005-2009 Angka Pengangguran Terbuka (dalam %) No
PENDIDIKAN
2005
2006
2007
2008
2009
1
Tdk/blm pernah sekolah
5.37
3.22
1.72
1.85
1.05
2
Tdk/blm tamat SD
5.59
4.86
3.26
3.27
2.99
3
Sekolah Dasar
7.05
6.91
5.43
5.40
5.58
4
SMTP
14.15
12.94
10.73
9.39
9.38
5
SMTA Umum
20.40
18.08
16.57
14.31
12.36
6
SMTA Kejuruan
18.92
17.27
21.00
17.26
15.69
7
Akademi/diploma III
12.34
9.99
13.26
11.21
15.38
8
Universitas
11.64
10.40
13.61
12.59
12.94
Jumlah
11.24
10.28
9.11
8.39
8.14
Sumber: Sakernas (beberapa tahun), Badan Pusat Statistik. Pendidikan kejuruan akan dapat mengatasi pengangguran jika sasarannya tidak dibatasi hanya lulusan SMP dan lulusan SMA sebagai calon angkatan kerja, tetapi juga kelompok angkatan kerja tertentu yang beresiko mengangur. Untuk dapat melayani sasaran yang lebih luas, maka pendidikan kejuruan perlu dikonsepsikan secara lebih luas pula. Konsep belajar sepanjang hayat36 melihat pendidikan kejuruan sebagai semua tingkatan, jenis, jenjang, dan jalur pendidikan yang dapat melayani semua sasaran, seperti: pekerja, pencari kerja, pengusaha, dan penduduk usia sekolah. Dari perspektif life long learning, alangkah baik jika kebijakan perluasan SMK dilakukan selama ini diarahkan kembali menjadi perluasan pendidikan kejuruan. Tujuan utama pendidikan vokasi dan profesi ialah menghasilkan pekerja atau pengusaha sebagai pelaku-pelaku ekonomi produktif.37 Dalam kenyataannya, tidak semua lulusan dapat diserap oleh lapangan kerja dan akibatnya angka pengangguran terbuka masih cukup tinggi (8%) dan angka setengah penganggur masih pada kisaran angka 32%. Perluasan SMK dan Politeknik yang tidak seimbang dengan perluasan lapangan kerja sesuai dengan kompetensi yang dibutuhkan, bukanlah merupakan solusi untuk mengatasi pengangguran, tetapi justru menyumbang terhadap jumlah pengangguran terbuka nasional. Australia berpengalaman dalam mengatasi pengangguran terdidik dengan mengelola dan menyelenggarakan pendidikan kejuruan di dalam suatu sistem dengan komponen-komponen yang saling mendukung satu sama lain, mulai dari standar kualifikasi (AQF), lembaga sertifikasi profesi, penyedia layanan pendidikan vokasi dan profesi, dan kebijakan penerima kerja38. Para penerima kerja setiap waktu membutuhkan lulusan pendidikan yang dapat bekerja sesuai dengan jenis kecakapan, keahlian dan kompetensi yang paling dibutuhkan oleh para penerima kerja. Namun, keberhasilan pendidikan kejuruan lebih sering diukur dari perspektif penyedia layanan pendidikan (supply driven) seperti banyaknya lulusan penerima ijazah, banyaknya penerima sertifikat, tingginya nilai ujian, dan sejenisnya. Memang benar, belakangan mulai dilakukan uji kompetensi lulusan oleh SMK (sebagai supply) yang menghasilkan skor hasil ujian yang cukup baik. Namun, uji kompetensi yang dilakukan secara internal SMK belum dapat memperbaiki keadaan karena faktor supply masih berperan sangat dominan. Hasilnya akan berbeda, jika keberhasilan pendidikan vokasi dan profesi diukur berdasarkan perspektif penerima kerja (demand driven) miksalnya: serapan lapangan kerja, peningkatan produktivitas, peningkatan penghasilan pekerja, dan kepuasan stake holder. Pendidikan yang berorientasi terhadap kebutuhan (demand driven) dapat diwujudkan melalui pengembangan mekanisme koordinasi sistemik antara penyedia pendidikan (termasuk pemerintah), para pemegang kebijakan perekonomian, lembaga sertifikasi profesi terkait, dan para penerima kerja sebagai pelaku ekonomi sebagai pengguna. 36 Cathy Andrew, Cindy Howe, John Kane, Reese Mattison (2007) “Dynamic Korea; Education Policies and Reform” Group Project: EPS530Z-Spring 2007. 37 Kemdiknas, (2005) “Rencana Strategis Pembangunan Pendidikan Nasional 2005-2009., Jakarta Sekretariat Jenderal Kemdiknas 38 Australian Workforce and Productivity Agency (2013) “Future focus; 2013 National Workforce Development Strategy”. © Commonwealth of Australia 2013, ISBN 978-1-922218-51-3 (online pdf).
1236
Kajian Relevansi Lulusan yang dilakukan oleh Balitbang (2010)39, Sampai saat ini satuan pendidikan formal kejuruan lebih mengajarkan pengetahuan dan keterampilan kerja melalui mata-mata pelajaran yang rancang oleh pemerintah dan pengelola SMK atau politeknik sebagai provider. Penyelenggarannya dilakukan melalui pembelajaran yang diurutkan berdasarkan satuan waktu tahunan, semesteran, mingguan, dan jam pelajaran. Keberhasilan pendidikan lebih banyak ditentukan oleh waktu penyelesaian pengajaran dan tidak ditentukan oleh ketuntasan dalam penguasaan suatu kecakapan tertentu. Walaupun telah diselenggarakan uji kompetensi di sekolah, namun kompetensi yang dikukur dari lulusan SMK/poli lebih merupakan dampak pembelajaran kurikulum formal, ketimbang merupakan hasil dari suatu pelatihan khusus yang sistematis. Sekolah kejuruan umumnya mengalami kesulitan dalam memperkirakan jenis-jenis keterampilan atau kecakapan yang dibutuhkan oleh lapangan kerja. Jenis kecakapan yang dibutuhkan oleh industri dan perusahaan hampir tak terbatas jumlahnya. Kebutuhan pera penerima kerja juga berubah setiap waktu sehingga kecakapan seorang pekerja akan menjadi usang (obsolete) setiap terjadinya perubahan kebutuhan tersebut. Dan, faktor inilah yang umumnya menjadi penyebab menurunnya produktivitas pekerja. Di lain pihak, jumlah kecakapan yang terdapat dalam kurikulum SMK hanyalah sekitar 120 program studi yang sedikit sekali mengalami perubahan sejak 20-30 tahun sebelumnya. Pendidikan vokasi dan profesi dengan kurikulum yang kurang fleksibel tidak lebih dari seorang pemburu yang sedang mengarahkan tembakan terhadap sasaran yang terus bergerak. Jika kebutuhan terus berubah maka pengetahuan dan keterampilan yang dimiliki oleh lulusan sekolah juga akan lebih cepat usang jika mereka berhenti belajar. Kemampuan belajar sangat penting membantu seorang pekerja untuk belajar mengenai berbagai jenis kecakapan baru yang lebih sesuai dengan tuntutan kebutuhan yang selalu berubah. Oleh karena itu, pendidikan kejuruan dan vokasi bukanlah semata-mata memberikan keterampilan tetapi juga kemampuan belajar sepanjang hayat bagi lulusannya, agar dapat memutahirkan kecakapan sesuai dengan kebutuhan lapangan kerja yang berubah. Kurikulum sekolah kejuruan yang hanya memberikan keterampilan, perlu diperkaya dengan materi kurikulum dan pembelajaran matematik dan sains bagi peserta didik agar menjadi pekerja dan pengusaha dan pembelajar yang berhasil. Untuk itu, sekolah menengah perlu mengintegrasikan program pendidikan Umum (akademik) dan kejuruan/ Vokasi di dalam satu atap ’sekolah menengah’ dengan penjurusan mulai di kelas tiga. Ke depan, Pemerintah perlu melakukan perubahan secara konseptual terhadap kebijakan pendidikan vokasi dan profesi. Konsep ’sekolah kejuruan’ yang kini berupa satuan-satuan pendidikan yang terlepas satu sama lain, telah menghasilkan keterampilan yang juga terlepas dari kebutuhan lapangan kerja. Pendidikan kejuruan akan semakin sesuai dengan kebutuhan lapangan kerja, jika seluruh jenis satuan pendidikan kejuruan40 (formal, non-formal, dan informal) dibina dan dikembangkan sehingga dapat menjalankan fungsinya sebagai penyedia. Masingmasing penyedia diperlakukan sama oleh Pemerintah agar dapat berjalan secara independen dan bersaing secara sehat dengan menggunakan kesatuan standar (unified standard). Di antara sekian banyak jenis satuan pendidikan vokasi/profesi, maka SMK dan politeknik hanya merupakan bagian terkecil dari seluruh provider dan oleh karena itu program perluasan SMK semakin tidak relevan dan perlu dirubah menjadi program perluasan semua jenis pendidikan kejuruan yang benar-benar paling dibutuhkan oleh pasar kerja berdasarkan prinsip persaingan sehat antar provider. Berdasarkan uraian tersebut di atas, ketentuan dalam UUSPN harus memungkinkan terjadinya perubahan struktur pendidikan kejuruan nasional baik dari sisi cakupannya, substansinya, maupun pengelolanya. Dari sisi cakupannya, pendidikan kejuruan perlu menggunakan pendekatan multi-provider yang memungkinkan terjadinya “lalu-lintas’ peserta didik secara terbuka antar-jenis, antar-jenjang dan antar-jalur pendidikan. Dari sisi substansinya, kurikulum kurikulum pendidikan kejuruan tidak disusun oleh pemerintah tetapi dikendalikan oleh kebutuhan pasar sehingga para pelaku industri akan berperan penting dalam menentukan dan mengubah isi kurikulum. Pendidikan kejuruan harus dikelola dalam suatu mekanisme yang sistemik antara penyedia (provider), lembaga sertifikasi, dan dunia industri sebagai pengguna (users) yang berorientasi sepenuhnya terhadap kerangka kualifikasi nasional Indonesia (KKNI). c. Komponen Pendidikan Tinggi Dewasa in, pendidikan tinggi di Indonesia belum memiliki kapasitas yang memadai untuk mendorong keunggulan dan daya saing bangsa di era persaingan. Sampai sekarang ini, belum pernah ada perguruan tinggi (PT) Indonesia yang masuk ke dalam kategori paling tinggi 500 terbaik dunia. Hingga tahun 2013, hanya tiga PT yang termasuk dalam 100 terbaik pada tingkat Asia yaitu: Universitas Gajah Mada, Institut Teknologi Bandung dan Universitas Indonesia. Gejala 39 Ace Suryadi, dkk (2010) “Laporan Akhir Kajian Relevansi Pendidikan dengan Kebutuhan Lulusan, Masyarakat dan Lapangan Kertja”. Jakarta, Sekretariat Balitbang Kemdikbud. 40 Konsep multi-provider menunjukkan banyaknya jenis pendidikan kejuruan, mulai satuan pendidikan formal (SMK, Pendidikan Vokasi, Pendidikan profesi, hingga pendidikan spesialis setingkat doctor), satuan pendidikan non-formal kejuruan (kursus, pelatihan kerja, pendidikan kewirausahaan, dsb.), hingga pendidikan informal berupa belajar mandiri yang didukung oleh suatu sistem pengakuan.
1237
ini menunjukkan bahwa pembinaan keunggulan dan daya saing PT yang dilaksanakan oleh Pemerintah belum berdampak signifikan. Tampak juga pada perbandingan internasional Indeks Persaingan Global (IPG)41 Indonesia menurun dari peringkat ke-44 dari 134 negara (2011) ke peringkat ke-50 dari 144 negara (2013). Penurunan ini justru lebih ditentukan oleh rendahnya indeks pendidikan tinggi, yaitu: kesiapan teknologi (3.25) dan inovasi (3.71) dan bukan disebabkan oleh indeks pendidikan dasar. Indeks pendidikan tinggi yang rendah itu ditengarai disebabkan oleh adanya kelemahan konseptual yang mendasar dalam kebijakan dan pengelolaan pendidikan tinggi42. Di Indonesia, perguruan tinggi (khususnya PTN) dikelola di dalam lingkungan birokrasi pemerintahan (Ditjen Dikti). Perguruan tinggi mempunyai ketergantungan yang tinggi secara terus-menerus terhadap anggaran Pemerintah. Dengan kata lain, peningkatan daya saing PT dilakukan dengan menggunakan strategi, prosedur, dan akuntabilitas yang umum berlaku dalam dunia birokrasi pemerintah. Ini berbeda dengan strategi yang berlaku pada negara-negara yang telah berhasil menempatkan PT-nya pada peringkat papan atas dunia. Menurut Day and Newburger (2012)43, PT di negara-negara maju dikelola secara professional dengan menekankan pada manajemen perguruan tinggi yang otomom dengan sekecil mungkin intervensi birokrasi pemerintah. Sebagian perguruan tinggi, khususnya swasta atau perguruan tinggi pemerintah yang sudah ternama, seperti UC Berkeley di AS dan Woosong University di Korea Selatan, dikelola melalui pendekatan corporate higher education. Pendekatan ini menganggap bahwa perguruan tinggi adalah lembaga professional yang dikelola secara otonom dalam rangka mengejar mutu dan keunggulan melalui suatu persaingan sehat antarperguruan tinggi baik di dalam maupun di luar negeri. Di Indonesia, lahirnya kebijakan badan hukum pendidikan pada waktu penyusunan UUSPN No. 20/2003 telah diilhami oleh konsep korporatisasi perguruan tinggi tersebut. Implementasi kebijakan BHP tidak mulus karena basis anggaran pendidikan di Indonesia yang memang sangat rendah dibandingkan dengan Negara maju lainnuya. Akibatnya, PT-BHMN sebagai rintisan PTBHP justru membebani mahasiswa dengan menaikan SPP untuk mengimbangi berkurangnya subsidi pemerintah. Dengan kata lain, pengurangan subsidi pemerintah untuk PT-BHMN tidak dikompensasi dengan kenaikan anggaran untuk program bantuan mahasiswa, baik berupa beasiswa maupun program pinjaman investasi. Akibatnya, timbul kesan bahwa kebijakan PT-BHP itu justru telah menjadikan perguruan tinggi menjadi mahal dan tidak terjangkau oleh mahasiwa yang kurang mampu. Rintisan BHP melalui PT-BHMN juga dianggap upaya ‘kastanisasi perguruan tinggi’, diskriminatif, dan memberatkan mahasiswa yang kurang mampu. Kesan-kesan negatif terhadap kebijakan BHP mengalami eskalasi dalam masyarakat tetapi tidak diimbangi oleh upaya pemerintah menyebarluaskan pemahaman yang benar tentang kebijakan ini. Bagi PT yang dikelola secara profesional, kebijakan korporatisasi ini cukup ampuh terutama dalam memacu kemandirian (otonomi), meningkatkan efisiensi dalam pembiayaan, mencegah penyimpangan, serta mewujudkan keunggulan dan mutu universitas. Satuan-satuan pendidikan milik perguruan swasta yang dikelola oleh seorang pemimpin yang professional dapat mendorong beberapa pendidikan tinggi swasta (PTS) di Indonesia semakin bermutu dan dapat bersaing dengan PTN bahkan bersaing dengan untuk merebut pasar internasional . Hal ini setidak-tidaknya dapat diamati pada beberapa PTS di Indonesia, seperti Universitas Muhamadiyah Malang yang dapat menarik mahasiwa internasional lebih dari 300 orang dari 22 negara di dunia44 Oleh karena itu maka penerapan konsep korporatisasi dalam pengelolaan perguruan tinggi swasta dam program-program internasionalnya sebaiknya juga difasilitasi oleh pemerintah dan dilindungi oleh undang-undang. Konsekuensinya, kini Kemdikbud ditantang untuk melakukan studi dan telaahan secara ilmiah, netral dan obyektif apakah korporatisasi perguruan tinggi merupakan konsep yang ampuh untuk mewujudkan PT yang mandiri, unggul dan bermutu. Kajian yang sama juga perlu dilakukan untuk mengetahui dengan pasti, apakah “birokratisasi pendidikan tinggi” yang kini berlaku pada hampir semua PTN di Indonesia mampu menghasilkan devisa negara, atau setidak-tidaknya mampu memacu keunggulan dan daya saing mereka secara global? Sejumlah prinsip yang terkandung dalam konsep korporatisasi perguruan tinggi serta tahap-tahap implementasikannya, perlu diteliti secara sistematis sebelum dirumuskan menjadi kebijakan. Hal ini dimaksudkan untuk menghindari tersebarnya informasi yang menyesatkan mengenai suatu konsep kebijakan hanya karena belum difahaminya secara tuntas. 41 XAVIER SALA-I-MARTÍN, et.al (2013) “The Global Competitiveness Index 2012–2013: Strengthening Recovery by Raising Productivity” Geneva, Copyright © 2012 by the World Economic Forum 42 Raoul Oberman, et.al (2013) “The Archipelago Economy: Unleashing Indonesia’s Potentials” MCKinsey Global Institute. 43 Jennifer Cheeseman Day and Eric Newburger (2002) “The Big Payoff: Educational Attainment and Synthetic Estimates of Work-Life Earnings,” Special Studies, U.S. Bureau of the Census, July 2002. 44 “Universitas Mujamadiyah Malang: From Muhamadiyah for the Nation” Web Site Developed by University of Muhamadiyah Malang East Jawa, Latgest Updat: 15 Juni 2013. De
1238
Perlu difahami bahwa kebijakan korporatisasi bukanlah merupakan tujuan (ends), tetapi hanyalah merupakan kendaraan (means) untuk mewujudkan satuan pendidikan tinggi yang bermutu, dikelola professional, dan dapat bersaing secara global. Perguruan-perguruan tinggi semacam itulah yang diharapkan di kemudian hari akan mampu bersaing untuk merebut pasar (mahasiwa) dunia dan mendatangkan devisa negara45. Konsep kebijakan ini tidak perlu diatur lagi dalam UUSPN, karena sudah diatur dalam UUPT No. 12/2012 melalui konsep Badan Layanan Umum (BLU) dan Perguruan Tinggi Berbadan Hukum (PTN-bh)46, sebagai sebuah terobosan penting untuk memacu profesionalitas, kemandirian dan daya saing universitas-universitas di Indonesia dalam percaturan global. Namun, UUSPN perlu memuat ketentuan “payung” untuk memperkuat implementasi baik BLU maupun PTN-bh. Perlu juga difahami bahwa membangun pendidikan dengan korporatisasi tidak berarti menafikan fungsi sosial dalam pengelolaan perguruan tinggi. Pemerintah harus hadir dan memastikan, jumlah lulusan SMA yang memenuhi syarat dari keluarga miskin yang perlu mendapat bantuan agar memperoleh akses terhadap pendidikan tinggi. Pemerintah perlu menetapkan berbagai skema subsidi bantuan bagi calon mahasiswa miskin yang berbakat dan berprestasi luar biasa, misalnya melalui beasiswa, pinjaman investasi pendidikan, atau penyediaan lapangan kerja bagi mahasiswa. Anggaran pemerintah yang dalam era birokrasi sebelumnya dialokasikan untuk institusi PT, dalam era korporatisasi subsidi tersebut perlu dialihkan menjadi subsidi atau bantuan program untuk calon mahasiswa berprestasi luar biasa. Program seperti ini telah dilakukan dalam skema subsidi Pemerintah Federal Amerika Serikat dalam pembiayaan perguruan tinggi47. Dengan skema subsidi ini, lulusan SMA yang termiskin sekalipun akan dapat melanjutkan ke PT yang termahal. Alhasil, institusi PT akan semakin profesional, otonom, dan mampu mengelola program-program yang bermutu untuk bersaing dalam merebut pasar mahasiswa dari dalam dan luar negeri. Jadi, korporatisasi pendidikan tinggi yang dikatakan sebagai suatu bentuk “pengkastaan PT” dan hanya dapat diakses oleh kalangan mampu, adalah sebuah kekeliruan. Akhirnya, cita-cita untuk membangun pendidikan tinggi yang unggul dan dapat bersaing di dunia, sebaiknya dimulai dengan langkah konkret. Meski jalan untuk mencapai cita-cita itu masih panjang dan penuh dengan onak dan duri, konsep korporatisasi pendidikan tinggi di tanah air adalah sebuah pilihan kebijakan yang tepat walaupun banyak sekali tantangannya. 4. Isu-Isu Kebijakan Lainnya a. Pendidikan dan Persaingan Global Misi keempat yang terkandung pada Pembukaan UUD 1945 adalah “Ikut Melaksanakan Ketertiban Dunia Yang Berdasarkan Kemerdekaan, Perdamaian Abadi dan Keadilan Sosial.” Misi ini diperkuat lagi dengan amanat Pasal 31 ayat (5) yang pada intinya menegaskan bahwa Pemerintah bertugas ”...memajukan ilmu pengetahuan dan teknologi dengan menjunjung tinggi nilai-nilai agama dan persatuan bangsa untuk kemajuan peradaban serta kesejahteraan umat manusia”. Untuk merwujudkan misi ini, sistem pendidikan nasional bertugas untuk menyiapkan para pelaku pembangunan yang mampu menguasai, mengembangkan, dan mendayagunakan ilmu pengetahuan, teknologi dan seni di berbagai bidang. Sejarah pergaulan antar-bangsa di dunia menunjukan hanya bangsa yang kokoh, yang bersatu, maju dan demokratis yang dapat secara bermartabat aktif dan diperhitungkan dalam pergaulan antarbangsa di dunia48. Hal ini menunjukan, hanya bangsa yang mampu menguasai, mengembangkan dan mendayagunakan ilmu pengetahuan, teknologi dan seni yang mampu bersaing di dunia, serta dapat memberikan kontribusi yang signifikan terhadap kemaslahatan dunia. Pada abad ke-21 ini badan-badan dunia di berbagai bidang seperti PBB (Politik & HAM), WHO (Kesehatan), UNESCO (Pendidikan, Ilmu Pengetahuan dan Kebudayaan) WTO (Perdagangan), IMF (Keuangan), Bank Dunia (Pembangunan) dan lainnya, dikuasai oleh negara 45 Pada tahun 2011, Australia memperoleh devisa Negara dari industry pendidikan tinggi sebesar AUD 19 Billion yang meningkat dua kali lipat dari lima tahun sebelumnya, dan sebagai bagian terbesdar (70%) dari devisa Negara. 46 Walaupun sebenarnya ketentuan mengenai PTN-BH ini masih dalam proses persidangan di MK atas keberatan masyarakat terhadap klausul PTN-BH sebagai manifestasi dari BHP. 47 Edwards, Chris (2005) “Downsizing the federal government”., Copyright © 2005 by the Cato Institute.All rights reserved.Library of Congress Cataloging-in-Publication Data/Chris Edwards. Pada tahun 2011, dari subsidi Pemerintah Federal AS sebesar $US 30 Billion untuk perguruan tinggi, hanya 2% yang diberikan untuk institusi lembaga pt-nya, 0,6% untuk manajemen fee, dan sisanya adalah skema subsidi untuk mahasiswa, melalui dua jalur, yaitu: (1) jalur pemerintah berbentuk loan tanpa bunga dan scholarship untuk mahasiswa prestasi (need base) atau beasiswa miskin (right base); dan (2) jalur perbankan dalam bentuk loan berbunga rendah (concessional loan). Masing-masing sekitar 5-6 juta grants dan loan terdistribusi melaui dua jalur tersebut pada tahun 2011. Mahasiwa yang menerima loan akan diambil kembali oleh pemerintah melalui pajak penghasilan pada waktu mereka sudah bekerja. 48 Prof. Dr. Sudijarto, MA. (2013) Pancasila Sebagai Filsafat Dasar dan Ideologi Negara Kebangsaan Indonesia dan Implikasinya Terhadap Penyelenggaraan Sistem Pendidikan Nasional., Makalah disampaikan pada sarasehan, PPA GMNI. Jakarta.
1239
bangsa yang kokoh, yang maju dalam bidang ekonomi dan IPTEK49. Dalam kondisi bangsa yang secara internal sering dilanda konflik kepentingan antar golongan yang secara ekonomi jauh dari maju dan dari segi IPTEK bergantung kepada dunia luar akan sukar diperhitungkan dalam percaturan internasional bahkan sering dijadikan objek manuver politik internasional, termasuk dalam penyelesaian masalah domestik. UUSPN No. 20/2003 pasal 50 ayat (3) mengatur kewajiban Pemerintah dan/atau Pemerintah Daerah untuk menyelenggarakan satuan pendidikan pada semua jenjang pendidikan sekolah bertaraf internasional. Dilihat dari pendekatan berfikir manapun juga, tidak ada yang salah dengan ketentuan atau kebijakan yang tujuannya untuk mengejar mutu pendidikan yang dapat bersaing dengan pendidikan di negara maju. Oleh karena itu, adalah juga tidak keliru jika ada kebijakan Negara yang bertujuan untuk membangun sekolah unggulan pada tingkat global, sepanjang itu dapat dicapai dan bermanfaat dalam upaya mencerdaskan kehidupan bangsa sekaligus mewujudkan eksistensi bangsa dalam pentas global. Secara konstitusional, landasan dari rumusan pasal 50 ayat (3) UUSPN No. 20/2003 adalah misi ke-4 dari empat misi penyelenggaraan Negara sebagaimana terkandung dalam Pembukaan UUD 1945.50 Sesungguhnya tidak ada yang keliru dalam kebijakan atau tujuan yang tersirat dalam pasal 50 ayat (3). Yang mungkin dapat dikatakan sebuah kekeliruan adalah maksud dari pasal itu sendiri yang derajatnya terlalu tinggi dan tidak memerlukan aturan setingkat undang-undang. Ayat (3) mengenai strategi operasional dan target jumlah RSBI yang didirikan di setiap pemerintah daerah, lebih tepat jika diatur pada tingkat program pemerintah51. Namun, yang ber masalah bukan pada target jumlahnya, tetapi peranan birokrasi kabupaten/kota yang menunjuk RSBI dibarengi sejumlah fasilitas dan kemudahan. Tentu sulit untuk menolak anggapan bahwa, fasilitas kemudahan yang diberikan kepada RSBI tersebut, lebih berfungsi sebagai ‘racun’ daripada ‘obat’, yang justru telah menyebabkan RSBI itu terlena dan merasa tidak perlu berjuang keras untuk bersaing. Sekolah dengan mutu bersaing secara internasional kini mulai berkembang dan banyak jumlahnya meski tanpa campur tangan Pemerintah, yang hanya berfungsi sebagai fasilitator. Yang mungkin diperlukan adalah lembaga akreditasi mandiri yang dapat menguiji kelayakan sekolah dan mensertifikasinya sebagai sekolah unggulan internasional (SUI). Pemerintah juga dapat memfasilitasi sekolah-sekolah tersebut jika mereka ingin melakukan kemitraan dengan sekolah rujukan di luar negeri. Melalui strategui ini, upaya untuk memiliki sekolah unggulan internasional lebih terukur daripada melalui pendekatan RSBI. Pasal 50 ayat (3) tentang RSBI seyogyanya diperbaiki dengan tujuan menciptakan iklim persaingan sehat antar-sekolah untuk memberikan pelayanan terbaik, mengejar professionalitas, mencapai status resmi sebagai sekolah unggulan internasional. Sekolah unggulan internasional bukan hanya berfungsi sebagai substitusi impor, tetapi juga akan menjadi duta-duta bangsa untuk bersaing dan merebut calon siswa terbaik di pasar internasional. b. Pembiayaan dan pendanaan Pendidikan Rumusan ketentuan mengenai ‘anggaran pendidikan minimal 20% dari APBN/APBD’ terlalu abstrak, sulit difahami dan multitafsir. Rumusan pasal mengenai anggaran pendidikan yang dituangka ke dalam persentase terhadap APBN/D dapat menyesatkan, karena jumlah anggaram berbeda-beda baik karena perbedaan daerah, perbedaan tingkat pemerintahan, maupun perbedaan waktu. Persentase terhadap APBN/D dengan jumlah yang bervariasi antardaerah akan menimbulkan ketidakpastian dan mudah dimanipulasi. UUSPN perlu memuat ketentuan yang lebih konseptual, operasional, dan terukur. Pasal mengenai anggaran pendidikan dalam UUSPN sebaiknya tidak mengulangi atau mengutip rumusan pasal dalam UUD 1945, tetapi memuat ketentuan yang selangkah lebih teknis atau lebih operasional agar lebih mendidik dan “mengikat”. UUSPN hanya mengatur pendanaan (finance) tetapi tidak mengatur pembiayaan (cost) pendidikan. Pembiayaan adalah besaran dana yang dapat dibelanjakan untuk mendukung proses penyelenggaraan, pengelolaan, dan pembangunan pendidikan untuk mencapai suatu tingkat output tertentu. Pendanaan pendidikan adalah besaran dana atau sumber dana yang tersedia untuk membiayai pendidikan. Sedangkan anggaran pendidikan adalah besaran rupiah yang diperoleh dari titik temu antara biaya yang diperlukan dengan dana yang dapat disediakan. UUSPN Nomor 20/2003 yang telah mengatur pendanaan yang serba relatif, tetapi tidak mengatur pembiayaan, cenderung telah menimbulkan ketidakpastian dalam realisasinya. Dengan rumusan pasal 31 ayat (4) UUD 194552 yang sangat umum, UUSPN wajib memuat 49 Prof. Dr. Sudijarto, MA. Ib-id 50 Prof. Dr. Sudijarto, MA. (2013) Ib-id 51 Pasal 50 ayat (3) UUSPN No. 20/2003: “Pemerintah dan/atau Pemerintah Daerah menyelenggarakan sekurang-kurangnya satu satuan pendidikan pada semua jenjang pendidikan untuk dikembangkan menjadi satuan pendidikan yang bertaraf internasional.” 52 Negara memprioritaskan anggaran pendidikan sekurang-kurangnya dua puluh persen dari anggaran pendapatan dan belanja negara serta dari anggaran pendapatan dan belanja daerah untuk memenuhi kebutuhan penyelenggaraan pendidikan nasional
1240
ketentuan yang lebih teknis dan selangkah lebih jelas. Oleh karena itu, UUSPN perlu memuat ketentuan mengenai pembiayaan pendidikan dalam bentuk konsep dan formula yang mudah dijabarkan. Pembiayaan pendidikan nasional adalah besaran nominal atau jumlah uang yang dibelanjakan yang besarnya dapat diperkirakan melalui penjumlahan biaya pendidikan antarjenjang pendidikan. Perkiraan besaran biaya suatu jenjang pendidikan diperoleh dengan mengalikan antara jumlah peserta didik pada suatu jenjang atau jenis tertentu dengan besaran biaya satuan pendidikan (BSP53) pada jenjang atau jenis yang bersangkutan. Di samping pengertian, UUSPN juga perlu mengatur kebijakan atau pemihakan Negara yang dituangkan melalui ketentuan pendanaan pendidikan. Rumusan pasal 46 (2) UUSPN No. 20/2003 “Pemerintah dan Pemerintah Daerah bertanggung jawab menyediakan anggaran pendidikan sebagaimana diatur dalam pasal 31 (4) UUD 1945” adalah contoh pasal UUSPN yang hanya mengulangi bunyi pasal konstitusi tanpa memberikan ketentuan yang lebih jelas dan terukur. Seharusnya UUSPN mengatur lebih lanjut, apakah 20% itu dari seluruh APBN/D, atau APBN/D setelah dikurangi dengan dana perimbangan dan cicilan utang luar negeri. Karena ketiadaan ketentuan dalam UUSPN maka, Kemdikbud mengatur secara internal bahwa anggaran pendidikan itu adalah 20% dari belanja Pemerintah pusat, yang pada dasarnya tidak sejalan dengan amanat UUD 1945. Keberpihakan penyelenggara Pemerintahan terhadap anggaran pendidikan, sebagaimana diamanatkan dalam pasal 31 (2) UUD 1945, sangat tergantung kepada ketentuan yang ada dalam UUSPN sebagai legislasi nasional. Jika Presiden dan DPR telah memperlihatkan keberpihakan itu, maka upaya untuk memasukan unsur pendidikan kedinasan dan gaji guru kembali telah mengakibatkan besaran anggaran pendidikan jauh di bawah 20% dari APBN/D. Sebagai akibat masuknya kedua unsur tersebut, maka anggaran pendidikan sebesar Rp. 260 Trilyun (2012) harus dialokasikan bagi 14 Kementerian/lembaga, dan hanya menyisakan dana sekitar Rp 116 Trilyun atau 8,9% dari APBN (yaitu 5,4% Kemdikbud dan 3,5% Kemenag). Anggaran pendidikan sebesar 8,9% itu sebenarnya jauh lebih kecil relatif terhadap anggaran pendidikan pada tahun 1996/97 sebesar 13,9% dari APBN pada waktu itu. Rumusan pasal 31 (4) UUD 1945 yang berbunyi: ‘---anggaran pendidikan sekurangkurangnya 20% dari APBN/APBD’ juga bersifat multitafsir sehingga UUSPN perlu memuat ketentuan yang lebih menjelaskan atau mengoperasionalkan pasal tersebut. Dengan bunyi pasal seperti itu, anggaran pendidikan dapat ditafsirkan 60% dari APBN dan APBD. Oleh karena 80-90% APBD bersumber anggaran perimbangan, maka angaran pendidikan itu sebenarnya dapat mencapai hampir 60% dari APBN. Namun, dalam kenyataan justru sebaliknya,anggaran pendidikan itu tidak digunakan secara optimal karena adanya ‘tumpang-tindih’ dalam pendanaan program antar-tingkat pemerintahan. Program yang seharusnya didanai oleh APBN kenyataannya juga didanai oleh APBD, karena daerah otonom belum mampu menyusun kebijakan sendiri yang harus dibiayai oleh APBD-nya. Tumpang-tindih pendanaan bukan hanya disebabkan oleh rumusan yang kurang jelas, tetapi juga karena belum adanya ketentuan UUSPN mengenai patungan pendanaan pendidikan antartingkat pemerintahan. Oleh karena itu UUSPN perlu mengatur patungan pendanaan pendidikan sesuai dengan urusan yang menjadi tanggungjawabnya masing-masing. Besarnya kontribusi pusat, provinsi dan kabupaten/kota perlu diatur oleh ketentuan yang lebih rendah, tergantung pada kemampuan fiskal daerah masing-masing. Persentase BSP dapat diubah menjadi besaran rupiah yang harus ditanggung oleh suatu tingkat pemerintahan setelah dikalikan dengan jumlah peserta didik di daerahnya. Besaran rupiah yang menjadi beban pendanaan suatu tingkat pemerintahan digunakan sebagai dasar untuk mengusulkan anggaran pendidikan pada tingkat pemerintahan yang bersangkutan. Bantuan Operasi Sekolah dan beasiswa miskin adalah program pendanaan massal atau subsidi Pemerintah (pusat) untuk mendanai BOS di luar gaji, dengan besaran BSP persiswa jauh di bawah besaran kebutuhan yang sesungguhnya, dan langsung disalurkan ke sekolahsekolah. Program pendanaan seperti ini tidak dijumpai lagi di Negara-negara maju terutama yang memberlakukan free and compulsory basic education. Umumnya Negara tersebut memberlakukan patungan pendanaan antar-tingkat pemerintahan, seperti di AS yang diganbarkan oleh Neal McCluskey(2009),54 untuk mendanai biaya investasi, gaji guru, dan biaya operasional dibebankan kepada pemerintah Negara bagian, dengan patungan sekitar 50% dari BSP; pendanaan untuk 53 Menurut Abas Ghozali, Ph.D, MA. (2012) dalam studinya “Pembiayaan Pendidikan Nasional” BSP dapat di-update dalam waktu yang teratur melalui penelitian, dengan asumsi, semakin tinggi besaran BSP semakin mampu mendorong mutu pendidikan. Jika Indonesia ingin menyamai mutu pendidikan setingkat Malaysia, misalnya, maka BSP-nya disamakan dengan BSP di Malaysia, dan seterusnya. 54 Neal McCluskey (2009) “K-12 Education Subsidies in the US“. In the US” C ato Institute ,1000 Massachusetts Avenue N.W.Washington D.C. 20001-5403. http://www.downsizinggovernment.org/ education/higher-education-subsidies
1241
biaya perawatan dibebankan kepada pemerintah distrik dengan patungan sekitar 20% dari BSP; sedangkan pendanaan untuk kerjasama internasional, bantuan (grant & loan) untuk mahasiwa, dan pendidikan kebangsaan, dengan patungan sebesar 30% dari BSP, dibebankan kepada pemerintgah pusat. Contoh tersebut dapat juga dilakukan oleh Indonesia, dengan penyesuaian antara besarnya kemampuan pusat, propinsi dan kabupaten/kota dalam mendanai pengelolaan dan penyelenggaraan pendidikan. c. Kurikulum dan Ujian Nasional Kurikulum tertulis yang menggunakan pendekatan pembelajaran yang terlalu terstruktur disertai dengan kegiatan pembelajaran yang konvensional (rote learning) belum terbukti berhasil dalam peningkatan mutu pendidikan. Kurikulum yang demikian kurang mampu mengubah budaya mutu yang tercermin dari perilaku siswa, guru dan pengelola pendidikan dalam proses pendidikan dan pembelajaran. Oleh karena itu, UUSPN tidak perlu mengatur kurikulum satuan pendidikan dan pembelajaran yang terlalu ketat hingga memuat mata-mata pelajaran, tetapi cukup dengan memuat kurikulum dalam tataran filosofis dan konseptual disertai program-program pendidikan yang diharapkan berdampak terhadap perwujudan proses pendidikan dan pembelajaran yang berwawasan mutu. Wawasan mutu pendidikan dalam skala makro perlu dirubah dan diarahkan kembali kepada wawasan yang lebih mikro, yaitu satuan pendidikan. UUSPN diharapkan dapat merubah mindset para pemegang kebijakan, pengelola, peneliti, dan pelaksana pendidikan mengenai konsep mutu pendidikan yang lebih jelas, lebih berwawasan mikro, dan lebih berorientasi terhadap proses belajar yang menyenangkan. UUSPN perlu mengkonsepkan mutu pendidikan sebagai ’kemampuan setiap satuan pendidikan dalam mengelola sumber-sumberdaya pendidikan secara optimal untuk mendorong terwujudnya proses belajar optimal mungkin”55. Menurut konsep ini, mutu pendidikan diukur dari kapasitas lembaga pendidikan pada derivat yang paling mikro, yaitu sekolah, guru, bahkan siswa. Oleh karena itu pengukuran mutu pendidikan yang paling akurat adalah pada tingkatan paling mikro (siswa) yang hanya dapat dilakukan oleh sekolah sebagai derivat mikro di atasnya. Mutu pendidikan pada tingkat makro nasional hanya merupakan ukuran agregat dari derivat-derivat mikro yang tidak perlu diukur lagi oleh pemerintah. Untuk peningkatan mutu, UUSPN perlu mendorong satuan pendidikan agar menjadi institusi pendidikan yang otonom dan profesional yang mampu menciptakan susasana belajar yang menyenangkan sehingga mendorong siswa untuk belajar secara optimal. Oleh karena itu, tugas pemerintah adalah mengembangkan kemampuan sekolah agar dapat menyusun rencana kurikulum, proses pembelajaran, manajemen pembelajaran, manajemen pengelolaan, monitoring dan evaluasi mutu pendidikan. Untuk tumbuhnya kapasitas sekolah itu, maka pemerintah harus berfungsi sebagai fasilitator, misalnya melalui kebijakan, aturan, standar pendidikan, serta meningkatkan kapasitas daerah otonom. UUSPN juga mengatur ’sistem kurikulum tingkat nasional’ yang meliputi pemutakhiran standar-standar nasional, perbandingan standar pendidikan antar-negara, memutakhiran beban belajar minimal, mengembangkan industri perbukuan, dan kalender Pendidikan Nasional. Ketentuan UU 20/2003 mengenai kewenangn sekolah dalam menentukan kelulusan atas dasar penilalaian terhadap semua sisi perkembangan anak, sejak awal hingga akhir sekolah, adalah tepat. Pemerintah tidak perlu menguji siswa secara perorangan untuk menentukan kelulusannya, tetapi mengawasi dan mengaudit UAS yang diselenggarakan oleh sekolah. Pemerintah juga dapat melakukan evaluasi nasional terhadap mutu pendidikan dengan tujuan untuk mengukur efektivitas kebijakan dan pendanaan yang telah dilakukannya. Hasil evaluasi nasional merupakan bahan untuk nalisis dan pemetaan mutu pendidikan dan menjadikannya sebagai umpan balik untuk penyempurnaan kebijakan. Jika dilakukan terhadap siswa secara individual, evaluasi nasional tidak mengukur prestasi belajar, tetapi mengukur kemampuan belajar (inate ability) siswa sebagai ukuran mutu pendidikan pada tingkat makro. Evaluasi nasional mutu pendidikan menggunakan metode survey ilmiah yang dapat dilakukan oleh lembaga profesional yang ditugaskan oleh Pemerintah. Dewasa ini tanggungjawab pengembangan kurikulum sekolah hanya dibebankan pada pusat dan sekolah. Hingga sekarang, propinsi dan kabupaten/kota tidak dilibatkan dalam penyusunan kurikulum, walaupun merupakan daerah otonom yang seharusnya mempunyai kebijakan pendidikan di daeerahnya sendiri. Perlu dibuat ketentuan mengenai pembagian urusan penyusunan kurikulum antartingkat pemerintahan, dengan alternatif sebagai berikut. (1) Pusat bertanggjawab dalam merancang, menyediakan dan menyebarluaskan bahan ajar dan media belajar; menyelenggarakan; serta mengevaluasi kurikulum pendidikan kebangsaan, seperti PKn, Pendidikan Agama, Bhs Indonesia, dan Matematik sebagai bahasa ilmu. (2) Propinsi bertanggungjawab merancang, menyediakan, dan menyebarluaskan bahan ajar dan media belajar; menyelenggarakan; serta mengevaluasi kurikulum yang berkaitan dengan pendidikan saintek (IPA, IPS, teknologi, dsb). (3) Kabupaten/kota bertanggjawab merancang, menyediakan, dan menyebarluaskan bahan 55 Ace Suryadi, Ph.D. (1992) “Educational Policy and Planning: Improving the Quality of Primary School” A Government of Indonesia-USAID Project, Jakarta, Center for Informatics, Offiice of Research and Development, The Ministry of Education and Culture.
1242
ajar dan media belajar; menyelenggarakan; serta mengevaluasi kurikulum pendidikan yang berkaitan dengan pendidikan kecakapan hidup baik yang berbasis kebijakan daerah, maupun yang berbasis pilihan siswa secara perorangan. d. Mekanisme Sertifikasi Profesi Pendidik Studi dampak sertifikasi terhadap kualitas belajar siswa (201056) menemukan beberapa kesimpulan sebagai berikut. Dimilikinya sertifikat tidak menjaminan guru-guru akan menjadi lebih berkualitas dalam mengajar. Kompetensi guru, tidak berkorelasi searah dengan latar belakang pendidikan tetapi, akan berkembang manakala sekolah menjadi lingkungan yang kondusif untuk tumbuhnya iklim profesionalitas. Sertifikat pendidik tidak ditentukan oleh kompetensi guru yang diuji berdasarkan standar yang berlaku, tetapi lebih banyak diberikan kepada yang justru lebih rendah kompetensinya, lebih senior dan berpendidikan formal lebih tinggi. Sertifikasi juga belum berdampak signifikan terhadap peningkatan kualitas belajar siswa karena prestasi belajar siswa lebih ditentukan oleh faktor keluarga dan manajemen sekolah yang profesional. Konsisten dengan itu, Bank Dunia57 juga telah melakukan studi dampak sertifikasi terhadap kompetensi guru dan mutu pendidikan. Studi tersebut intinya menemukan tiga kesimpulan, yaitu: (1) tidak ada korelasi yang searah antara perolehan sertifikat pendidik dengan kompetensi guru; (2) sertifikasi pendidik tidak berdampak terhadap peningkatan kompetensi guru; dan (3) berapapun anggaran yang akan diinvestasikan oleh Pemerintah tidak akan berhasil dalam meningkatkan kinerja guru yang ada sekarang. Berkenaan dengan hasil penelitian tersebut, UUSPN perlu mengatur kembali status guru, apakah sebagai pegawai pemerintah atau sebagai pegawai sekolah. Jabatan professional guru tidak mungkin berhasil diwujudkan jika guru sepenuhnya menjadi pegawai Pemerintah (pusat atau daerah). Profesionaliasi pendidik akan berkembang secara lebih sehat jika guru menjadi pegawai tingkat sekolah, yang direkrut oleh sekolah, diperkerjakan oleh sekolah, dinilai dan dipromosikan sebagai profesi, dan digaji oleh sekolah. Namun, untuk menciptakan kondisi tersebut, sekolah harus memiliki kapasitas tertinggi dan dipimpin oleh seorang kepala sekolah yang profesional. Sekolah-sekolah yang telah teruji tingkat otonominya adalah mereka yang mampu mengelola pendidikan secara efisien dan berhak memperoleh dana dari Pemerintah dalam bentuk blockgrant, untuk melakukan tugas-tugas dan wewenang tersebut. Peningkatan kualitas profesi guru dengan mekanisme portofolio dalam sertifikasi guru atau pelatihan singkat sangat beresiko. UUSPN perlu mengatur kembali Sistem Sertifikasi pendidik dan tenaga kependidikan58 yang lebih mampu mempercepat peningkatan mutu guru dan kepala sekolah. Perlu dirancang tingkatan profesi pendidik berikut standar-standarnya. Merancang sistem pelatihan profesi guru dan kepala sekolah misalnya yang meliputi: Program Kualifikasi; Program Penguatan Profesi guru Berprestasi; Program Pelatihan Jabatan, program pendidikan dan pelatihan kepala sekolah, dsb. Sistem ini perlu diatur oleh peraturan pemerintah tersendiri berkaitan dengan penyelengara, substansi, dan penilainya. Perlu dirancang ulang sistem ujian profesi PTK yang terstandar dalam rangka promosi jabatan guru dan kepala sekolah dari suatu tingkat ke tingkat profesi yang lebih tinggi. Sistem ujian dapat dilaksanakan secara bertingkat mulai dari tingkat kabupaten hingga tingkat nasional, dengan provider yang bervariasi mulai dari LPTK yang memenuhi syarat, lembaga profesional swasta, waralaba lembaga profesional di luar negeri, dewan pendidikan yang memenuhi syarat, atau asosiasi profesi guru mata pelajaran. e. PNFI untuk Pendidikan Sepanjang Hayat Pembangunan pendidikan nonformal dan informal (PNFI) di masa depan perlu diarahkan pada pengembangan mekanisme untuk mendorong tumbuhnya kemampuan belajar sepanjang hayat bagi lulusannya. Kemampuan belajar sepanjang hayat akan tumbuh dan berkembang sebagai akibat dari berfungsinya berbagai institusi sosial yang mendorong setiap orang untuk belajar. Institusi sosial itu berupa satuan-satuan pendidikan formal atau pendidikan non-formal atau berbagai institusi lain yang memberikan pengakuan dan insentif terhadap pengetahuan, kecakapan dan keahlian yang digunakan seseorang dalam bekerja atau berusaha. Untuk tumbuhnya belajar sepanjang hayat, jalur pendidikan formal, non formal dan informal harus 56 Dasim Budimansyah dan Ace Suryadi (2010) “Kompetensi, Sertifikasi Guru, dan Kualitas Belajar Siswa Sekolah Dasar: Studi Tentang Efek Sertifikasi Dalam Kaitan Dengan Kompetensi Pendidik Dan Kualitas Belajar Siswa Sekolah Dasar., Bandung, LPPM UPI. 57 Mae Chu Chang (2012) Presentasi Hasil Penilaian terhadap Kinerja Sertifikasi Pendidikan di Indonesia., Bandung, Simposium Nasional yang diselenggarakan oleh Universitas Pendidikan Indonesia November 2012. 58 Sistem pelatihan profesi di Korea dirancang dalam tiga jenis program, yaitu: pertama; ‘Program Kualifikasi’ menawarkan pelatihan untuk promosi satu tingkat dari guru biasa ke tingkat I, ke tingkat II, dan ke Konselor, selama 30 hari atau 180 jam pelatihan; Kedua, ‘Program Pelatihan Jabatan’ menawarkan pelatihan untuk promosi menjadi wakil atau kepala sekolah bagi Guru Tingkat II atau konselor melalui peningkatan pengetahuan guru dalam pedagodi dan pengetahuan umum termasuk wawasan perkembangan teknologi; dan ketiga; bagi guru-guru yang berprestasi, disediakan program pelatihan untuk meningkatkan profesionalitas mereka; training tersebut dirancang selama 2 tahun baik di dalam maupun di luar negeri. Untuk mengembangkan dan menerapkan sistem keprofesian ini, Indonesia dapat belajar dari Korea.
1243
saling melengkapi dalam mendorong masyarakat untuk belajar dan memperoleh informasi yang bermanfaat bagi kehidupannya. Dalam dunia profesional, pengakuan yang berbentuk sertifikasi keahlian atau kecakapan digunakan sebagai dasar untuk rekrutment, promosi, dan peningkatan kesejahteraan para pekerja, pengusaha atau tenaga profesional. Pembangunan pendidikan sepanjang hayat menjadikan seseorang bebas untuk belajar dan memperoleh pengetahuan dan kecakapan sesuai dengan kebutuhan dirinya, pekerjaannya, dan masyarakatnya. Setelah melewati pendidikan dasar, setiap orang bebas untuk memilih jenis atau tingkat kecakapan yang ingin dipelajarinya, serta satuan atau jenis pendidikan yang menjadi tempat belajarnya. Satuan atau jenis pendidikan yang dipilih mungkin berbentuk sekolah kejuruan, lembaga kursus, lembaga pelatihan kerja, program studi atau mata kuliah tertentu pada perguruan tinggi, dan mungkin belajar mandiri (self study). Satuan pendidikan apapun yang mereka pilih, namun yang paling penting satuan pendidikan tersebut dapat membelajarkan seseorang hingga mencapai kecakapan tertinggi, diakui, dan digunakan untuk bekerja atau berusaha. UUSPN perlu memuat ketentuan mengenai peranan PNFI dalam menghidupkan berbagai institusi sosial yang dapat mendorong proses belajar sepanjang hayat bagi semua orang. Ketentuan UUSPN perlu dirumuskan sedemikian rupa agar seluruh kantor pendidikan dapat menerapkan beberapa strategi pembangunan PNFI, sebagai berikut. (1) Memperkaya dan mengembangkan berbagai standar kecakapan dalam berbagai bidang pekerjaan dan tingkatannya, dengan mengadopsi standar kecakapan atau keahlian dari Negara lain untuk mendorong penguatan daya saing pekerja professional Indonesia; (2) Mendorong berbagai institusi sosial agar berfungsi sebagai penyedia layanan pendidikan yang bermutu untuk melayani kebutuhan belajar masyarakat, sesuai dengan sistem sertifikasi profesi yang berlaku baik untuk bekerja maupun berusaha; (3) Mendorong perguruan tinggi agar menawarkan program mahasiswa paruh waktu agar PT berfungsi sebagai training provider bagi mahasiwa atau pekerja yang tidak ingin memperoleh gelar akademik, tetapi menambah kecakapan atau keahlian untuk promosi pekerjaannya. (4) Mendorong terbetuknya lembaga sertifikasi profesi (LSP) di berbagai bidang sesuai dengan standar yang telah ada, serta strategi untuk mengembangkan mekanisme pengakuan terhadap kecakapan atau keahlian yang telah dimiliki sesesorang. (5) Bekerjasama dengan Kementerian Ketenagakerjaan dan industri untuk menumbuhkan iklim ketenagakerjaan yang sehat dengan mewujudkan sistem merit dalam rekruitmen, promosi dan penggajian. f. Penguatan Otonomi Penyelenggaraan Pendidikan Dewasa ini berkembang aspirasi masyarakat yang menuntut penyesuaian legislasi nasional pendidikan. Setelah satu dasawarsa palaksanaan UUSPN No. 20/2003, ditengarai mulai terasa melemahnya semangat desentralisasi disertai menguatnya aspirasi sentralisasi pendidikan. Masalah ini sebagian disebabkan oleh ketentuan UUSPN yang kurang harmonis dengan ketentuan UU otonomi dan desentralisasi pemerintahan daerah. Hal ini disebabkan karena UUSPN telah lahir sebelum lahirnya Undang Undang Pemerintahan (UU-PD) No. 32/2004, dan Undang-Undang Perimbangan Keuangan Pusat-Daerah (UU-PKPD) No. 33/2004. Di samping itu, UUSPN cenderung permisif terhadap berbagai penyimpangan yang dilakukan terhadap ketentuan yang mengatur desentralisasi dan otonomi pendidikan, seperti terlalu besarnya dana dekonsentrasi, Dewan Pendidikan dan Komite Sekolah, Ujian Nasional, Penentuan Kelulusan Sekolah, dan sejenisnya. Pasal-pasal dalam UUSPN kurang peka terhadap prinsip-prinsip desentralisasi dan otonomi pendidikan yang diatur oleh Peraturan Pemerintah No. 38/2007 tentang “Pembagian Urusan Pemerintahan Pusat dan Daerah”. Beberapa situasi antara lain: pembagian urusan pendidikan antar-tingkat pemerintahan, Besaran belanja pemerintah dalam APBN, melemahnya kapasitas daerah, politisasi pendidikan daerah, tuntutan sentralisasi pengelolaan guru, serta ketergantungan daerah terhadap pemerintah pusat dalam penyusunan kebijakan dan pendanaan pendidikan, adalah sebagian dari gejala yang menunjukan ada permasalahan yang mendasar dalam UUSPN. Permasalahan mendasar itu adalah disorientasi yang kronis terhadap desentralisasi pengelolaan dan otonomi penyelenggaraan pendidikan sebagai ‘flagship’ pemerintahan era reformasi. Kebijakan desentralisasi dan otonomi pendidikan belum mampu mengurangi, tetapi justru semakin menambah ketergantungan daerah terhadap pusat. Ketergantungan itu bukan hanya dalam pendanaan, tetapi juga dalam kebijakan dan program pendidikan daerah otonom. Oleh karena kapasitas daerah yang belum memadai, sebagian besar kebijakan dan program pendidikan daerah justru menduplikasi kebijakan pusat, sehingga sulit dibedakan antara kebijakan pusat dan kebijakan daerah otonom. Tumpang tindih kebijakan dan program pendidikan antartingkat pemerintahan melahirkan rendahnya efisiensi dalam pembangunan pendidikan nasional. Akibat yang lebih buruk lagi adalah kurang pekanya aparat Daerah terhadap permasalahan dan isu kebijakan yang bersifat unik di daerahnya sendiri. Kekurangpekaan di antara aparat daerah terhadap permasalahan dan isu kebijakan atau program yang menjadi khas daerah dan didanai oleh APBD adalah kelemahan utama dalam implementasi desentralisasi pendidikan. Desentralisasi seharusnya memberikan peluang emas dalam upaya peningkatan kapasitas dalam perumusan kebijakan, penjabaran program, serta
1244
penguatan otonomi daerah. Namun dalam kenyataannya, desentralisasi justru telah semakin memperdalam ketergantungan daerah terhadap pusat, dan telah melahirkan berbagai gejala yang kurang menguntungkan, sebagai berikut. (1) Pengelolaan pendidikan yang semakin tidak efisien sebagai akibat dari kebijakan desentralisasi itu sendiri, sehingga akan lebih efisien jika dikelola secara sentralisasi. (2) Semakin rumitnya mewujudkan pendidikan yang bermutu karena terlalu besarnya anggaran pendidikan yang terdistribusi untuk kepentingan belanja administrasi ketimbang penyelenggaraan pelayanan pendidikan yang bermutu. (3) Banyak potensi kebijakan dan program pendidikan alternatif khusus daerah yang sesungguhnya penting tetapi tidak tersentuh dan tidak terdanai, karena kemampuan daerah yang masih rendah dalam pengambilan keputusan. (4) Semakin sulit mewujudkan program pelayanan pendidikan yang berkeadilan karena politisasi pendidikan di daerah yang terjadi dimana-mana dan sulit dikendalikan.. Untuk mewujudkan keadilan, biaya pelayanan pendidikan tidak mungkin seluruhnya dibebankan kepada APBN, tetapi juga dibebankan kepada APBD, sesuai dengan pembagian urusan pemerintahan yang diatur dalam PP 38 Tahun 2007. Namun, UUSPN No. 20/2003 belum mengatur lebih lanjut pembagian urusan pendidikan antara Pemerintah, provinsi dan kabutane/ kota, sehingga pendanaan untuk pelayanan pendidikan seolah-olah hanya menjadi beban APBN. Kekosongan aturan mengenai pembagian urusan pendidikan ini ditengarai telah menimbulkan gejala kurang terarahnya alokasi dan rendahnya efisiensi pendayagunaan anggaran di daerah. Keadilan akan terwujud jika anggaran pendidikan bermuara pada peserta didik, dan didayagunakan secara tepat untuk menghilangkan atau mengurangi hambatan belajar masingmasing. Dengan 80-90% proporsi APBD bersumber dari subsidi APBN (untuk gaji guru, investasi, rehabilitasi bangunan, dan biaya operasi sekolah) maka dapat dipastikan bahwa APBD untuk pendidikan belum didayagunakan secara efektif. Berdasarkan permasalahan yang disebutkan di atas, berikut ini dikemukakan sebuah alternatif kebijakan dalam pembagian urusan pendidikan antar-tingkat pemerintahan, dengan beberapa argumentasinya, sebagai berikut. Pertama, UUSPN perlu mengatur tugas pemerintah kabupaten/kota sebagai daerah otonom untuk mengelola satuan-satuan pendidikan yang menjadi urusan tingkat pemerintahan ini. Untuk pengelolaan dan penyelenggaraan pendidikan pada satuan pendidikan, pemerintah kabupaten/kota meningkatkan kapasitas sekolah untuk mengelola pembelajaran, merawat dan memelihara sumberdaya pendidikan, memfasilitasi pendidik dan tenaga kependidikan, serta menyelenggarakan manajemen berbasis sekolah (MBS). Konsekuensinya, pemerintahan kabupaten/kota harus memiliki kapasitas fiskal untuk membantu mendanai operasi, pemeliharaan dan perawatan sekolah, serta honor pendidik. Kapasitas fiskal ini dapat diwujudkan dengan desentralisasi fiskal yang secara bertahap kini dilakukan oleh Kemenkeu. Namun, sepanjang kemampuan fiskal masih belum memadai maka APBN dapat mensubsidi BOS sebagai penyerta terhadap urusan kabupaten/kota. Kedua, UUSPN perlu mengatur tanggungjawab pemerintah provinsi dalam penyediaan infrastruktur pendidikan, seperti bangunan sekolah59, laboratorium, perpustakaan, teknologi informasi dan komunikasi, buku dan prasarana belajar, pendidikan profesi guru. Propinsi adalah posisi tingkat Pemerintahan yang paling tepat untuk melaksanakan fungsi pendidikan, pelatihan dan pengembangan pendidik, termasuk sertifikasi profesi pendidik. Didukung oleh perghuruan tinggi yang ada di lingkungannya, propinsi dapat melaksanakan fungsi penelitian dan pengembangan pendidikan, termasuk penyusunan kurikulum sains dan teknologi. Untuk mendukung fungsi tersebut, pemerintah propinsi harus mempunyai kemampuan fiskal, dengan wewenang penuh dalam mengelola suatu sistem pajak, misalnya pajak penjualan atau cukai. Ketiga, UUSPN perlu mengatur bahwa urusan Pemerintah (Pusat) adalah memajukan dan memelihara mutu pendidikan nasional agar dapat bersaing secara global. Manajemen mutu pendidikan nasional secara langsung ditangani Pemerintah pusat, dalam posisi sebagai pemagang kebijakan nasional, standar, norma, serta pengendalian/penjaminan mutu secara nasional. Setiap pemerintah daerah bertanggungjawab dalam pengelolaan pendidikan di daerahnya, sebagai tugas baru yang sebelumnya tidak dimiliki. Oleh karena itu Pemerintah pusat wajib mengembangkan kapasitas daerah otonom. Dalam kerangka NKRI, Pemerintah pusat bertanggungjawab dalam menyelenggarakan memelihara kesatuan dan persatuan bangsa melalui pendidikan kebangsaan misalnya melalui Pendidikan Kewarganegaraan, Sejarah Nasional, Pendidikan Agama, dan Bahasa Indonesia. Dengan distribusi tanggungjawab seperti ini, bukan hanya tugas Pemerintah yang semakin berkurang, tetapi juga beban pendanaan pendidikan yang semakin kecil karena sebagian dipindahkan ke daerah. Dengan pendapatan yang sangat besar yang bersumber dari PPN, PPH, dan PNBP lainnya, Pemerintah tidak lagi dibebani oleh urusan pendidikan yang sangat teknis persekolahan, tetapi dapat berkonsentrasi untuk memfasilitasi pendidikan tinggi agar dapat bersaing secara global. 59 Pengadaan lahan dapat menjadi tanggungjawab kabupaten/kota karena memiliki akses yang lebih besar terhadap pengelolaan system pertanahan.
1245
BAB III EVALUASI DAN ANALISIS PERATURAN TERKAIT Evaluasi dan analisis peraturan perundang-undangan terkait berisi kajian atas kondisi hukum yang ada dan keterkaitan Undang-Undang Sisdiknas dengan Undang-undang lain. Hasil yang diharapkan dari kajian ini adalah adanya harmonisasi baik secara vertikal dalam hal ijni dengan Undang Uundang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD 1945) maupun secara horizontal yaitu dengan peraturan perundang-undangan lainnya. Beberapa peraturan perundang-undangan yang telah disinkronisasi dan diharmonisasi sehingga menghasilkan kajian evaluasi dan analisis berkaitan dengan rancangan undang-undang tentang Perubahan atas UUSPN Nomor 20 tahun 2003 adalah sebagai berikut. A. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD 1945) alinea keempat menyebutkan bahwa pembentukan pemerintahan negara Indonesia adalah untuk ‘’melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial’’. Tujuan nasional tersebut menjadi salah satu norma dasar yang harus diperhatikan dalam pembentukan peraturan perundang-undangan, dalam hal ini termasuk pengaturan mengenai sistem pendidikan nasional terutama yang berkaitan dengan tujuan Negara untuk mencerdaskan kehidupan bangsa. Ketentuan dalam Bab XIII pasal 31 UUD 1945 tentang Pendidikan dan Kebudayaan secara lengkap berbyunyi sebagai berikut. (1) Setiap warga Negara berhak mendapatkan pendidikan (2) Setiap warga negara wajib mengikuti pendidikan dasar dan pemerintah wajib membiayainya. (3) Pemerintah mengusahakan dan satu system pendidikan nasional yang meningkatkan keimanan dan ketakwaan, serta ahlak mulia dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa yang diatur dengan undang-undang. (4) Negara memprioritaskan anggaran pendidikan sekurang-kurangnya dua puluh persen dari anggaran pendapatan dan belanja Negara serta dari anggaran pendapatan dan belanja daerah untuk memenuhi kebutuhan penyelenggaraan pendidikan nasional. (5) Pemerintah memajukan ilmu pengetahuan dan teknologi dengan menjunjung tinggi nilai-nilai agama dan persatuan bangsa untuk kemajuan peradaban serta kesejahteraan umat manusia. Penegasan ketentuan dalam konstitusi tersebut secara gamblang menjamin setiap hak warga Negara untuk mendapatkan pendidikan. Bahkan untuk tingkat dasar, seluruh warga Negara wajib mengikutinya dan tanpa dipungut biaya. Sedangkan pemerintah dan pemerintah daerah wajib menyediakan anggaran untuk membiayai kebutuhan penyelenggraan pendidikan sekurang-kurangnya dua puluh persen dari APBN/D. Penyelenggaraan pendidikan dilakukan dalam satu sistem pendidikan nasional dengan tujuan agar dapat tercipta warga Negara yang beriman, bertakwa dan berahlak mulia serta memiliki kecerdasan. Perumusan dalam Pasal 31 UUD 1945 merupakan hasil mandemen UUD Tahun 1945, yang dilakukan pasca reformasi. Semangat yang terkandung adalah dapat mewujudkan tujuan dan cita-cita bangsa yang termaktub dalam pembukaan UUD 1945. Dengan demikian penyusunan RUU Perubahan harus mengacu pada ketentuan dalam UUD 1945 Pasal 31 secara menyeluruh sehingga norma-norma yang dirumuskan sejalan dan senafas dalam menjabarkan amanat yang sesuai dengan semangat dalam ketentuan konstitusi tersebut. B. Undang-Undang Guru dan Dosen Nomor 14 Tahun 2005 Undang-undang Guru dan Dosen (UUGD) Nomor 14 Tahun 2005 merupakan bagian (sub sistem) dari legislasi Sisdiknas sebagaimana diatur dalam UU Nomor 20 Tahun 2003. Secara tegas dalam Pasal 39 ayat 4 yang mengatur masalah pendidik dan diamanatkan agar ketentuan mengenai guru diatur dengan undang-undang. Dalam perkembangnya, proses legislasi untuk mengatur lebih lanjut masalah guru berkembang menjadi pengaturan terhadap guru dan dosen. Tampaknya, pembentuk undang-undang dengan sengaja memasukan dosen sebagai materi yang diatur setara dengan guru dalam suatu undang-undang, karena sejatinya guru dan dosen adalah profesi yang memliki kedekatan karena yang berbeda hanya jenjang pengajaranya yaitu guru pada tingkat pendidikan dasar dan menengah dan dosen pada tingkat pendidikan tinggi. Sebagaimana diatur oleh Pasal 2 ayat (1) UUGD Nomor 14 Tahun 2005, kedudukan guru adalah sebagai tenaga profesional pada jenjang pendidikan dasar, pendidikan menengah, dan pendidikan anak usia dini pada jalur pendidikan formal. Pengakuan kedudukan guru sebagai tenaga profesional dibuktikan dengan pemberian sertifikat pendidik. Demikian halnya kedudukan dosen dalam Pasal 3 ayat (1) sebagai tenaga profesional pada jenjang pendidikan tinggi yang dibuktikan dengan sertifikat pendidik. Baik guru maupun dosen sebagai tenaga professional berfungsi untuk meningkatkan martabat
1246
dan peran dosen sebagai agen pembelajaran serta pengembang ilmu pengetahuan. Selanjutnya ditegaskan dalam Pasal 6 UU 14 Tahun 2005 bahwa kedudukan guru dan dosen sebagai tenaga profesional bertujuan untuk melaksanakan sistem pendidikan nasional dan mewujudkan tujuan pendidikan nasional, yaitu berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, serta menjadi warga negara yang demokratis dan bertanggung jawab. Mengingat guru sebagai kunci keberhasilan pendidikan maka guru wajib memiliki kualifikasi akademik, kompetensi, sertifikat pendidik, sehat jasmani dan rohani, serta memiliki kemampuan untuk mewujudkan tujuan pendidikan nasional. Lingkup kompetensi dimaksud meliputi kompetensi pedagogik, kompetensi kepribadian, kompetensi sosial, dan kompetensi profesional yang diperoleh melalui pendidikan profesi. Dalam hal sertifikasi guru UUGD Nomor 14 Tahun 2005 menentukan Sertifikasi pendidik diselenggarakan oleh perguruan tinggi yang memiliki program pengadaan tenaga kependidikan yang terakreditasi dan ditetapkan oleh Pemerintah. Sertifikasi pendidik dilaksanakan secara objektif, transparan, dan akuntabel. Salah satu misi UU ini adalah meningkatkan kesejahteraan guru dan dosen karena itu bagi guru dalam melaksanakan tugas profesionalnya dijamin haknya untuk memperoleh penghasilan di atas kebutuhan hidup minimum dan jaminan kesejahteraan sosial. Dalam Pasal 15 UUGD Nomor 14 Tahun 2005 disebutkan bahwa oenghasilan di atas kebutuhan hidup minimum meliputi gaji pokok, tunjangan yang melekat pada gaji, serta penghasilan lain berupa tunjangan profesi, tunjangan fungsional, tunjangan khusus, dan maslahat tambahan yang terkait dengan tugasnya sebagai guru yang ditetapkan dengan prinsip penghargaan atas dasar prestasi. Salah satu hal penting yang diatur dalam UUGD dan merupakan terobosan adalah ketentuan Pasal 28 ayat (1) dan ayat (2) yang berkaitan dengan dimungkinkannya Guru yang diangkat oleh Pemerintah atau pemerintah daerah dapat dipindahtugaskan antarprovinsi, antarkabupaten/antarkota, antarkecamatan maupun antarsatuan pendidikan karena alasan kebutuhan satuan pendidikan dan/atau promosi. Guru yang diangkat oleh Pemerintah atau pemerintah daerah dapat mengajukan permohonan pindah tugas, baik antarprovinsi, antarkabupaten/antarkota, antarkecamatan maupun antarsatuan pendidikan sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Ketentuan ini merupakan jawaban atas permasalahan guru yang sejak era otonomi daerah menjadi terbatas hanya didaerahnya sendiri sehingga mengancam kehilangan wawasan kebangsaanya dan menguatnya lokalitas. Pengaturan guru dan dosen harus diperkuat kembali dalam revisi UUSPN karena komponen ini menentukan keberhasilan tercapainya tujuan pendidikan nasional. Berbagai kelemahan dalam pelaksanaan seperti efektifitas sertifikasi guru dan dasar hukum pembentukan undang-undang yang diperluas menjadi UUGD harus disinkronkan kembali. C. Undang-Undang Pendidikan Tinggi Nomor 12 tahun 2012 Undang-Undang Pendidikan Tinggi (UUPT) Nomor 12 Tahun 2012, merupakan salah satu turunan dari UUSPN Nomor 20/2003, karena pengaturan masalah Pendidikan Tinggi menurut UUSPN agar diatur lebih lanjut. Meskipun dalam amanat Pasal 24 ayat (3) UU Sisdiknas pengaturan PT didelegasikan dalam bentuk Peraturan Pemerintah (PP). Kendati demikian terdapat alasan yang kuat yaitu kelahiran UUPT dimaksudkan untuk mengisi keksosongan hukum akibat putusan Mahkamah Konstitusi yang membatalkan Undang-undang badan Hukum Pendidikan (UUBHP). Kelahiran UUPT menjadi jawaban atas tuntutan masyarakat agar Pendidikan Tinggi diselenggarakan dengan semangat dapat dijangkau oleh masyarakat, yang sebelumnya dilanda kehawatiran terjadinya komersialisasi pendidikan tinggi yang mengarah pada mahalnya biaya pendidikan tinggi. Hal ini ditegaskan dalam Pasal 3 huruf i UUPT juga disebutkan bahwa pengelolaan PT berdasarkan asas keterjangkauan, yang berarti pendidikan tinggi diselenggarakan dengan biaya yang ditanggung oleh oleh mahasiswa sesuai kemampuan ekonominya, orang tua dan pihak yang menanggung untuk menjamin warga negara yang memiliki potensi akademik memperoleh pendidikan tinggi tanpa hambatan ekonomi. Kemudian asas ini diperkuat dengan prinsip penyelenggaran PT dalam Pasal 6 huruf i, yang menekankan bahwa penyelenggaraan PT harus berpihak pada kelompok masyarakat kurang mampu secara ekonomi. Sejalan dengan semangat tersebut maka dalam Pasal 63 UUPT bahwa dalam pengelolaan perguruan tingi juga dilaksanakan berdasarkan prinsip akuntabilitas, transparansi, nirlaba, penjaminan mutu, efektifitas dan efesiensi. Prinsip nirlaba dimaksudkan bahwa dalam melaksanaakan kegiatan pendidikan tinggi tidak bertujuan mencari keuntungan semata, namun apabila dalam pengelolaan PT memperoleh laba (sisa hasil usaha) harus dimanfaatakan kembali untuk peningkatan kapasitas dan mutu pendidikan tinggi.
1247
Untuk menjaga agar dalam pendidikan tinggi tidak terjadi perbedaan pembiayaan yang terlalu mencolok maka diatur mengenai standar satuan biaya operasional setiap program studi dalam Pasal 88 UU PT, sebagai berikut. 1. Pemerintah menetapkan standar satuan biaya operasional pendidikan tinggi secara periodik dengan mempertimbangkan; a. capaian standar Nasional Pendidikan Tinggi; b. jenis program studi; dan c. indeks kemahalan wilayah. 2. Standar satuan biaya operasional sebagaiamana dimaksud pada ayat (1) menjadi dasar untuk mengalokasikan anggaran dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara untuk PTN. 3. Standar satuan biaya operasional sebagaiamana dimaksud pada ayat (1) digunakan sebagai dasar oleh PTN untuk menetapkan biaya yang ditanggung oleh mahasiswa. 4. Biaya yang ditanggung oleh mahasiswa sebagaiaman dimaksu pada ayat (3) harus disesuaiakan dengan kemampuan ekonomi mahasiswa, orang dan pihak lain yang membiayainya. 5. Ketentuan lebih lanjut mengenai standar satuan biaya operasioal Pendidikan Tinggi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dalam Peraturan Menteri. Berdasarkan ketentuan di atas maka sangat jelas misi penyelenggaraan pendidikan tinggi adalah mengutamakan terbukanya akses yang luas bagi kalangan masyarakat, terutama kalangan tidak mampu. Dalam hal pemberian otonomoi perguruan tinggi UndangUndang Nomor 12 Tahun 2012 juga memiliki perspektif yang lebih maju yaitu dilakukan dengan cara yang selektif berdasarkan evaluasi kinerja. Artinya ada penekanan dalam penyelenggaraan otonomi tidak serta merta, namun dipilih dengan melihat kemampuan dan capaian kinerjanya. Hal ini diatur dalam Pasal 65 sebagai berikut: (1) Penyelenggaraan otonomi perguruan tinggi sebagaiaman dimaksud pada Pasal 64 dapat diberikan secara selektif berdasarkan evaluasi kinerja oleh Menteri kepada PTN dengan menarpkan Pola Pengelolaan Keuangan Badan Layanan Umum atau dengan membentuk PTN badan hokum untuk menghasilkan pendidikan tinggi yang bermutu. (2) PTN dengan menarpkan Pola Pengelolaan Keuangan Badan Layanan Umum sebagaimana dimaksud pada ayat (1) memiliki tata kelola dan kewenangan pengelolaan sesuai dengan peraturan perundang-undangan. (3) PTN badan hukum sebagaimana dimaksud pada ayat (1) memiliki : (a) Kekayaan awal berupa kekayaan Negara yang dipisahkan kecuali tanah; (b) Tata kelola dan pengambilan keputusan secara mandiri; (c) Unit yang melaksanakan fungsi akuntabilitas dan transparansi; (d) Hak mengelola dana secara mandiri, transparans dan akuntabel; (e) Wewenang mengangkat dan memberhentikan sendiri dosen dan tenaga kependidikan; (f) Wewenang untuk mengembangkan badan usaha dan mengembangkan dana abadi;dan (g) Wewenang untuk membuka, menyelenggarakan dan menutup program studi. (4) Pemerintah memberikan penugasan kepada PTN badan hokum untuk menyelenggarakan pendidikan tinggi yang terjangkau oleh masyarakat. (5) Ketentuan mengenai penyelenggaraan otonomi perguruan tinggi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan sesuai dengan peraturan perundangundangan. Hal yang perlu digaris bawahi dalam penyelenggraan otonomi adalah bahwa ketentuan dalam UU PT ini membuka adanya bentuk badan hokum baru yaitu BLU (Badan Layamnan Umum). Hal ini berbeda sangat jauh dengan model badan hukum pendidikan (BHP) yang semula dimanatkan dalam UU Sisdiknas yang dalam pelaksanaannya telah dibatalkan oleh Mahkamah Konstitusi karena dinilai bertentangan dengan UUD 1945, sebab dalam implementasinya mengarah pada komersialisasi pendidikan tinggi sehingga mendorong mahalnya biaya pendidikan tinggi. Semangat dalam UUPT adalah mengembalikan peran negara dalam pembiayaan penyelenggaraan PT sehingga tetap dapat terjangkau oleh masyarkat, termasuk masyarakat yang tidak mampu. Hal ini merupakan jawaban terhadap putusan MK yang membatalkan UUBHP. D. Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah Undang-Undang Pemerintahanan Daerah (UUPD) Nomor 32 tahun 2004 memiliki keterkaitan yang erat dengan UUSPN. Sebagaimana diketahui sejak tahun 2004, terjadi perubahan mendasar dalam penyelenggaraan pemerintahan, yaitu dengan diberlakukannya otonomi daerah. Sebelumnya dalam penyelenggaraan pemerintahan dilaksanakan secara sentralisasi, dimana pusat memegang kendali dan melaksanakan urusan tersebut. Dengan adanya Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 maka kewenangan pemerintahan pusat tinggal
1248
hanya beberapa bidang saja, sebaliknya kewenangan Pemerintah daerah menjadi lebih banyak dalam menyelenggarakan urusan pemerintahan. Dalam Pasal 10 ayat (1) dinyatakan bahwa Pemerintahan daerah menyelenggarakan urusan pemerintahan yang menjadi kewenangannya, kecuali urusan pemerintahan yang oleh Undang-Undang ini ditentukan menjadi urusan Pemerintah. (2) Dalam menyelenggarakan urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (1 ), pemerintahan daerah menjalankan otonomi seluas-luasnya untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan berdasarkan asas otonomi dan tugas pembantuan. (3) Urusan pemerintahan yang menjadi urusan Pemerintah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi: a. politik luar negeri; b. pertahanan; c. keamanan; d. yustisi; e. moneter dan fiskal nasional; dan f. agama. Ketentuan ini menegaskan lingkup kewenangan pusat yang secara limitatif telah dibatasi pada 6 bidang tersebut. Selanjutnya ditegaskan dalam Pasal 10 ayat (4) ”Dalam menyelenggarakan urusan pemerintahan sebagaimana dimaksud pada ayat (3), Pemerintah menyelenggarakan sendiri atau dapat melimpahkan sebagian urusan pemerintahan kepada perangkat Pemerintah atau wakil Pemerintah di daerah atau dapat menugaskan kepada pemerintahan daerah dan/atau pemerintahan desa”. (5) Dalam urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan Pemerintah di luar urusan pemerintahan sebagaimana dimaksud pada ayat (3), Pemerintah dapat: a. menyelenggarakan sendiri sebagian urusan pemerintahan; b. melimpahkan sebagian urusan pemerintahan kepada Gubernur selaku wakil Pemerintah; atau c. menugaskan sebagian urusan kepada pemerintahan daerah dan/atau pemerintahan desa berdasarkan asas tugas pembantuan. Selanjutnya dalam Pasal 11 diatur bahwa ”Penyelenggaraan urusan pemerintahan dibagi berdasarkan kriteria eksternalitas, akuntabilitas, dan efisiensi dengan memperhatikan keserasian hubungan antar-susunan pemerintahan”. Penyelenggaraan urusan pemerintahan merupakan pelaksanaan, hubungan kewenangan antara Pemerintah dan pemerintahan daerah provinsi, kabupaten/ kota atau antarpemerintahan daerah yang saling terkait, tergantung, dan sinergis sebagai satu sistem pemerintahan. Urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan pemerintahan daerah, yang diselenggarakan berdasarkan kriteria di atas terdiri atas urusan wajib dan urusan pilihan. Lingkup Urusan wajib yang menjadi kewenangan pemerintahan daerah provinsi merupakan urusan dalam skala provinsi yang meliputi: a. perencanaan dan pengendalian pembangunan; b. perencanaan, pemanfaatan, dan pengawasan tata ruang; c. penyelenggaraan ketertiban umum dan ketenteraman masyarakat; d. penyediaan sarana dan prasarana umum; e. penanganan bidang kesehatan; f. penyelenggaraan pendidikan dan alokasi sumberdaya manusia potensial; g. penanggulangan masalah sosial lintas kabupaten/kota; h. pelayanan bidang ketenagakerjaan lintas kabupaten/kota; i. fasilitasi pengembangan koperasi, usaha kecil, dan menengah termasuk lintas kabupaten/kota; j. pengendalian lingkungan hidup; k. pelayaran pertanahan termasuk lintas kabupaten/kota; l. pelayanan kependudukan, dan catatan sipil; m. pelayanan administrasi umum pemerintahan; n. pelayanan administrasi penanaman modal termasuk lintas kabupaten/kota; o. penyelenggaraan pelayanan dasar lainnya yang belum dapat dilaksanakan oleh kabupaten/kota; dan p. urusan wajib lainnya yang diamanatkan oleh peraturan perundang-undangan. Sedangkan urusan pemerintahan provinsi yang bersifat pilihan meliputi urusan pemerintahan yang secara nyata ada dan berpotensi untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat sesuai dengan kondisi, kekhasan, dan potensi unggulan daerah yang bersangkutan. Adapun urusan wajib yang menjadi kewenangan pemerintahan daerah kabupaten/kota merupakan urusan yang berskala kabupaten/kota meliputi: a. perencanaan dan pengendalian pembangunan; b. perencanaan, pemanfaatan, dan pengawasan tata ruang; c. penyelenggaraan ketertiban umum dan ketenteraman masyarakat; d. penyediaan sarana dan prasarana umum; e. penanganan bidang kesehatan; f. penyelenggaraan pendidikan; g. penanggulangan masalah sosial; h. pelayanan bidang ketenagakerjaan; i. fasilitasi pengembangan koperasi, usaha kecil dan menengah; j. pengendalian lingkungan hidup; k. pelayanan pertanahan; l. pelayanan kependudukan, dan catatan sipil; m. pelayanan administrasi umum pemerintahan; n. pelayanan administrasi penanaman modal; o. penyelenggaraan pelayanan dasar lainnya; dan p. urusan wajib lainnya yang diamanatkan oleh peraturan perundang-undangan. Sedangkan Urusan pemerintahan kabupaten/kota yang bersifat pilihan meliputi urusan pemerintahan yang secara nyata ada dan berpotensi untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat sesuai dengan kondisi, kekhasan, dan potensi unggulan daerah yang bersangkutan. Dengan demikian berdasarkan Pasal 13 dan Pasal 14 UU Nomor 32 Tahun 2004. Secara tegas dinyatakan bahwa urusan pendidikan merupakan urusan wajib yang sepenuhnya menjadi kewenangan daerah baik pada tingkat provinsi maupun kabupaten kota. Hal ini haru menjadi sinkronisasi, sebab penyusunan UUSPN Nomor 20 Tahun 2003 dilakukan sebelum adanya Undang_undang Otonomi daerah, sehingga terdapat substansi yang memerlukan penyesuian. Di ataranya adalah perlunya perumusan secara tegas kewenangan Pemerintah daerah dalam bidang pendidikan dan bagaiamana hubungan dalam pelaksanaan tugas-tugas di bidang pendidikan sehinga dapat tercipta sinergi dan menghindari permasalahan yang menghambat dalam dalam bidang pendidikan. Semestinyta UUSPN Perubahan harus dapat berfungsi sebagai aturan yang bersifat
1249
sektoral dari peraturan perundangan tentang otonomi dan desentraliasi pemerintahan yang tidak mungkin memuat aturan-aturan teknis setiap sektor, misalnya berkaitan dengan pembagian urusan pendidikan antar-tingkat pemerintahan. Dengan kata lain, sistem pengelolaan nasional pendidikan harus tunduk terhadap rejim UUPD Nonor 32 Tahun 2004 serta aturan pendukungnya. Dalam rangka otonomi dan desentralisasi, pemerintah pusat, provinsi, kabupaten/kota, hingga satuan pendidikan harus dijadikan sebagai satuan-satuan unit pengelola pendidikan yang otonom yang berfungsi sebagai pemegang kebijakan dalam urusan dan tanggungjawab yang menurut aturan telah dibebankan kepadanya. UUSPN perlu memiliki pasal yang menjadi dasar untuk membentuk PP yang mengatur pembagian urusan dan tanggungjawab masing-masing tingkat pemerintahan dalam membantu memfasilitasi setiap satuan pendidikan (baik formal maupun non-formal) agar dapat menyelenggarakan pendidikan yang semakin merata, bermutu dan berkeadilan.
1250
BAB IV LANDASAN FILOSOFIS, SOSIOLOGIS DAN YURIDIS A. Landasan Filosofis Sesuai dengan Pembukaan UUD 1945 landasan filosofis bagi Negara Bangsa Indonesia adalah Pancasila. Atau dengan kata lain Pancasila adalah ideologi Negara Bangsa Indonesia. Berangkat dari landasan ideologi ini sesuai dengan pidato lahirnya Pancasila 1 Juni 1945, Negara Republik Indonesia adalah Negara Kebangsaan, Negara Demokrasi, Negara Kesejahteraan, Negara yang berperikemanusiaan, dan Negara yang berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Wujud Negara yang demikian “ideal” pada saat Proklamasi barulah merupakan citacita yang perlu diwujudkan. Karena itu Pembukaan UUD 1945 menegaskan empat misi penyelenggara Pemerintahan Negara yaitu: (1) Melindungi segenap Bangsa dan seluruh tumpah darah Indonesia; (2) Memajukan kesejahteraan umum; (3) Mencerdaskan kehidupan Bangsa; dan (4) Ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi, dan keadilan sosial. Keempat hal tersebut bukan hanya tujuan penyelenggaraan Pemerintahan Negara melainkan misi penyelanggaraan Pemerintahan Negara. Ini berarti bahwa setiap saat, dalam setiap periode atau tahapan penyelangara Pemerintahan Negara (Presiden, DPR, dan DPD) harus melaksanakan keempat misi tersebut agar tercapai tujuan membangun Bangsa, yaitu “terlindunginya segenap Bangsa dan seluruh tumpah darah Indonesia; majunya kesejahteraan umum; cerdasnya kehidupan Bangsa; dan aktifnya peranan Indonesia dalam menciptakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi, dan keadilan sosial”. Sebagai Negara kebangsaan dan Negara kesejahteraan tercapainya tujuan pembangunan Nasional akan tergantung dari terselenggaranya satu sistem Pendidikan Nasional yang bermutu. Terselenggaranya satu sistem Pendidikan Nasional yang bermutu perlu dirancang suatu UU yang dijadikan pedoman bagi dapat terselenggaranya suatu sistem pendidikan yang bermutu. UUSPN Nomor 20 tahun 2003 bila dibaca ketentuan-ketentuan yang terkait dengan filsafat pendidikan, tujuan dan fungsi Pendidikan Nasional hakekatnya selaras dengan amanat UUD 1945. Namun masih terdapat berbagai ketentuan yang bertentangan dengan UUD 1945, sehingga perlu disempurnakan untuk menjamin agar amanat konstitusi dapat diwujudkan sehingga pada gilirannya akan meningkatkan kemajuan bangsa dan kesejahteraan masyarakat. B. Landasan Sosiologis Fenomena sering terjadinya perkelahian pelajar, bentrok antar desa, bentrok antar suku dan agama, maraknya korupsi, tidak tegaknya hukum dan rendahnya rasa kebangsaan adalah wujud belum cerdasnya kehidupan bangsa seperti digariskan dalam Pembukaan UUD 1945. Seperti telah diulas terlebih dahulu “mencerdaskan kehidupan Bangsa” hakekatnya adalah upaya untuk mentransformasi kondisi sosial budaya masyarakat Indonesia yang tradisional yang penuh dengan primodialisme atau etnosentrisme dan feodalisme menjadi kehidupan masyarakat Bangsa yang modern dan demokratis. Suatu tatanan masyarakat yang oleh para Pendiri Republik, berangkat dari sejarah perkembangan peradaban modern (politik, sosial, budaya, dan iptek) hanya dapat diwujudkan melalui diselenggarakannya satu sistem pengajaran (persekolahan) Nasional. Karena itu UUD 1945, merupakan tidak banyak dari UU Dasar Negara yang menetapkan kewajiban Pemerintah “mengusahakan dan mengusahakan satu sistem pengajaran (pendidikan) Nasional”. Karena itu pada UUSPN Nomor20 tahun 2003 menetapkan fungsi pendidikan (pasal 3) “mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban Bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan Bangsa”. Walaupun UUSPN Nomor 20 tahun 2003 telah menetapkan fungsi Pendidikan Nasional seperti yang telah dikutip dan tujuan Pendidikan Nasional seperti berikut ini : “Berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan warga Negara yang demokratis serta bertanggung jawab”; Tetapi kondisi kehidupan masyarakat Negara belum menunjukkan suatu kehidupan Bangsa yang bermartabat kehidupannya. Pertanyaannya “apakah UUSPN Nomor 20 tahun 2003 belum memberikan pedoman bagi terselenggaranya proses pendidikan sebagai transformasi budaya?”. Pertanyaan ini mendorong perlu direvisinya UUSPN Nomor 20 tahun 2003 yang filosofinya, ketentuan tentang fungsi dan tujuan pendidikan telah demikian selaras dengan UUD 1945 agar memuat ketentuan-ketentuan yang dapat mengarahkan terselenggaranya sistem Pendidikan Nasional yang bermutu. C. Landasan Yuridis Dalam pembukaan UUD 1945 secara tegas dinyatakan bahwa salah satu tujuan dan ciata-cita dibentuknya Negara adalah untuk mencerdaskan bangsa. Selanjutnya secara lebih jelas dalam batang tubuh UUD 1945 dinyatakan bahwa setiap warga negara berhak mendapatkan pendidikan dan memerintahkan agar pemerintah menyelenggarakan satu system pendiddikan nasional. Upaya mewujudkan tujuan dan perintah konstitusi tersebut telah dilakukan sejak kemerdekaan sampai era reformasi sekarang ini, dan dari segi pengaturan telah dilahirkan berbagi undang-undang dalam rangka mencaiptakan landasan konseptual dan yuridis dalam pelaksanaan pembangunan pendikan di Indonesia.
1251
Dalam kontekas pengembangan system pendidikan nasional yang komprehensif sesuai semangat reformasi, telah dibentuk USPN Nomor 20 tahun 2003. Sistem pendidikan nasional adalah keseluruhan komponen pendidikan yang saling terkait secara terpadu untuk mencapai tujuan pendidikan. Secara konseptual, sistem pendidikan di Indonesia telah diatur dalam UUSPN. Dalam undang-undang ini telah diatur mengenai: dasar, fungsi, dan tujuan pendidikan, hak warga negara untuk memperoleh pendidikan, satuan, jalur dan jenis pendidikan, jenjang pendidikan, peserta didik, tenaga kependidikan, sumber daya pendidikan, pengelolaan, pengawasan, ketentuan lain-lain, ketentuan pidana dan ketentuan peralihan Selanjutnya pada bagian di atas dinyatakan bahwa filsafat pendidikan yang dianut (pasal 1 ayat 1), fungsi dan tujuan Pendidikan Nasional (pasal 4), hakekatnya telah serasi sehingga amanat Pembukaan UUD 1945 yang secara potensial bila dilaksanakan dan diupayakan ketercapaiannya agar dapat terwujud Pendidikan Nasional yang bermutu. Tetapi mengapa belum juga terwujud. Tidak lain karena secara teoretik dan empirik suatu pendidikan yang proses pembelajarannya bermutu, dan suatu proses pembelajaran agar bermutu bila didukung oleh sumber daya pendidikan (sarana prasarana seperti perpustakaan, laboratorium, ruang kerja Guru, ruang kerja Kepala Sekolah, dan tenaga pendidik yang profesional). Dikaitkan dengan ini yang tidak tegas ditentukan dalam UU No. 20 tahun 2003 ini adalah tanggung jawab Pemerintah dalam pembiayaan pendidikan. Demikian juga dengan hubungan tanggung jawab secara hirarkis antara Pemerintah Pusat, Pemerintah Provinsi, dan Pemerintah Kabupaten baik dalam hal pembiayaan, pelaksanaan kurikulum, dan ketenagaan. Yang menarik adalah walaupun UU 1945 pasal 31 ayat (2) menegaskan tanggung jawab Pemerintah membiayai penyelenggaraan wajib-belajar, tetapi UUSPN Nomor 20 tahun 2003 tidak menegaskan ketentuan tentang wajib belajar. Karena itu dalam pelaksanaannya UUSPN telah mengalami beberapa kali uji materi (digugat) di Mahkamah Konstitusi oleh berbagai kalangan masyarakat dan beberapa ketentuan dinyatakan berlaku atau dibatalkan. Hal ini menujukkan bahwa ketentuan dalam UUSPN telah dinyatakan oleh Mahkamah Konstitusi bertentangan dengan UUD 1945 antara lain berkaitan dengan tanggungjawab pemerintah dalam penyelenggaraan pendidikan, pembentukan Badan Hukum Pendidikan (BHP), pendanaan pendidikan, pembentukan sekolah bertaraf internasional (RSBI) dan beberapa ketentuan lainya yang menunjukkan secara yuridis Undang-undang ini perlu disempurnakan.
1252
BAB V JANGKAUAN, ARAH PENGATURAN DAN RUANG LINGKUP MATERI MUATAN Sesuai dengan permasalahan, kerangka konseptual, dan analisis kebijakan pendidikan dalam perspektif perubahan UUSPN, dikemukakan jangkauan, arah pengaturan, dan ruang lingkup yang dapat dilakukan dalam proses perubahan dan penyesuaian materi ketentuan UUSPN No. 20/2003, sebagai berikut. A. Manusia Beriman, Bertakwa, dan Berahlak Mulia Sekolah-sekolah belum berhasil dalam membentuk manusia yang beriman, bertakwa terhadap Tuhan YME, dan Berahlak mulia hanya karena dilakukan melalui pendekatan mata pelajaran. Proses pembelajaran agama dan PKn sebaiknya diarahkan pada proses pemahaman dan internalisasi nilai-nilai positif, serta penerapannya melalui kegiatan dan interaksi sosial di sekolah. Setiap sekolah didorong untuk dapat menyukseskan program pembentukan karakter dan ahlaq mulia melalui proses yang sistematis dan berkelanjutan dengan menggunakan pendekatan kultural dan instruksional. Oleh karena itu, UUSPN perlu memuat beberapa ketentuan sebagai berikut. (1) Pendekatan instrusional untuk mengembangkan nilai keimanan, ketakwaan dan akhlak yang terintegrasi dalam semua mata pelajaran; khusus untuk pendidikan agama dan pkn, upaya tersebut harus menjadi focus utama dengan menggunakan berbagai strategi pendidikan nilai untuk menghasilkan dampak pembelajaran (instructional effect) maupun dampak pengiring (nurturant effect). Sementara itu untuk mata pelajaran lain, yang secara formal memiliki misi utama selain pengembangan nilai, wajib dikembangkan kegiatan yang memiliki dampak pengiring berkembagnya nilai keimanan, ketakwaan dan ahlak mulia dalam diri peserta didik. (2) Pendekatan kultural dan pembudayaan untuk mendorong sekolah agar mengelola infrastruktur dan prasarana fisik sekolah yang memungkinkan terciptanya iklim sekolah dan suasana kehidupan keseharian pada satuan pendidikan yang dapat mengembangkan keimanan, ketaakwaan dan ahlak mulia; (3) Pengembangan diri melalui kegiatan ekstra kurikuler dalam rangka penguatan dan pembiasaan cara hidup yang didasari oleh keimanan, ketaqwaan dan akhlak mulia; (4) Pendekatan pendidikan keluarga untuk terjadinya proses penguatan dari orangtua serta tokoh-tokoh masyarakat terhadap perilaku keimanan, ketaqwaan, dan akhlak mulia yang dikembangkan di satuan pendidikan menjadi kebiasaan keseharian di rumah dan di lingkungan masyarakat. (5) Untuk menghindari dualisme dalam pendidikan agama, perlu suatu kesatuan standar (unified standard) antarkementerian terkait dengan pendidikan agama. B. Pelayanan Akses Pendidikan yang Adil dan Merata Pemerintah belum memusatkan perhatiannya pada perwujudan pelayanan pendidikan yang berkeadilan, karena pemerataan akses hingga sekarang belum dapat dicapai seluruhnya. Masih banyak anak-anak yang tidak terjangkau oleh pelayanan pendidikan, karena hambatan geografis, ekonomis, dan kultural. Dalam UUSPN no. 20/2003 tidak ada aturan yang jelas tentang pembagian urusan pendidikan antara pusat dan daerah, sehingga kebijakan, program dan pendanaan untuk perluasan akses hampir seluruhnya ditangani oleh pusat. Masalahnya program dan kebijakan terpusat hampir selalu kurang peka terhadap variasi permasalahan yang menyebabkan kurang terlayaninya anak-anak di daerah terpencil dan tak terjangkau. Sementara itu, dengan kemampuan fiskal yang terbatas, pemerintah daerah mengalami kesulitan untuk melayani masyarakat yang kurang beruntung, karena menelan biaya yang jauh lebih besar. Beberapa strategi perlu dilakukan untuk mewujudkan pelayanan pendidikan yang adil dan merata bagi semua segmen masyarakat, dan untuk menjamin implementasinya, maka beberapa strategi berikut perlu diatur melalui UUSPN. (1) Memberlakukan pendidikan dasar wajib dan bebas biaya sebagaimana diamanatkan oleh UUD 1945 pasal 31 ayat (2)); (2) Penyediaan bantuan program (hibah) bagi pemerintah desa yang melakukan inovasi dalam pelayanan pendidikan di daerah terpencil dan tak terjkangkau; (3) Menetapkan biaya satuan biaya operasi sekolah yang lebih besar bagi siswa sekolah di daerah terpencil dan tidak terjangkau; (4) Memberlakukan standar sarana-prasarana pendidikan dengan biaya satuan yang lebih tinggi. (5) Menetapkan insentif yang signifikan bagi pendidik dan tenaga kependidikan yang bertugas di daerah tertinggal, terdepan dan terluar (3T). C. Mengganti Ketentuan ‘BHP’ Sebagai akibat dihapuskannya peraturan perundangan tentang BHP, Indonesia ditantang untuk melakukan kajian secara ilmiah, netral dan obyektif apakah pendekatan korporatisasi perguruan tinggi benar-benar ampuh untuk mewujudkan PT yang mandiri, unggul dan bermutu. Dalam derajat tertentu, Indonesia masih perlu mengadaptasikan konsep korporatisasi perguruan
1253
tinggi ini dan menerapkannya secara selektif pada perguruan-perguruan tinggi yang memang sudah siap untuk bersaing dengan universitas dunia. Walaupun tidak “se-ekstrim” pengelolaan PT sebagai suatu industri, PT di Indonesia perlu mulai dikelola secara professional dan independen. Lahirnya konsep “BLU” dan “PTN-bh” dalam UUPT No. 12/2012 adalah salah satu kebijakan yang cukup moderat, pengelolaan PT tidak seekstrim liberalisasi pendidikan tinggi, tetapi juga tidak terlalu birokratis. Namun yang penting, dalam pengelolaan pendidikan tinggi, ketentuan UUSPN harus dirumuskan untuk mendorong PT di Indonesia agar semakin otonom dan professional serta mampu bersaing dengan universitas lain di dunia. D. Ketentuan Pengganti Sekolah Bertaraf Internasional Dihapuskannya RSBI dalam UUSPN No. 20/2003, tidak seharusnya menyurutkan upaya bangsa untuk mengembangkan sekolah-sekolah yang bermutu dan unggulan. Indonesia memerlukan banyak sekolah yang unggul dan bermutu, di samping sebagai substitusi impor, juga untuk menarik peserta didik dari Negara lain. Sekolah-sekolah dapat mengikuti uji kelayakan oleh institusi profesional yang terpercaya untuk ditetapkan sebagai sekolah unggul. Sekolah-sekolah bermutu yang telah diminati oleh pasar, apalagi pasar luar negeri, mempunyai kemungkinan tertinggi untuk terpilih sebagai sekolah unggulan. Sekolah unggul dikelola melalui manajemen berbasis sekolah, tidak hanya didukung oleh kepala sekolah dan guru-guru yang professional, tetapi juga memperoleh dukungan penuh dari stake-holder melalui Komite sekolah. Komite sekolah; sebagai pemberi pertimbangan, dukungan, pengawasan, dan mediator; dapat semakin difungsikan sebagai mitra sekolah dalam proses pengambilan keputusan. Dengan peran tersebut komite sekolah memiliki kemampuan yang lebih besar untuk menyerap aspirasi masyarakat sebagai salah satu strategi bagi sekolah untuk memperoleh dukungan dari stake-holder. E. Ketentuan Ujian Nasional dan Evaluasi Mutu Dalam pasal 61 ayat (2) UUSPN No. 20/2003 ditegas bahwa: ”ijazah diberikan kepada peserta didik sebagai pengakuan terhadap prestasi belajar dan/atau penyelesaian suatu jenjang pendidikan setelah lulus ujian yang diselenggarakan oleh satuann pendidikan yang terakreditasi.” Pasal ini secara tegas mengatur bahwa yang menyelenggarakan ujian dan menentukan kelulusan peserta didik adalah satuan pendidikan. Mengingat PP No. 19/2005, jo, PP No. 32/2013 yang dijadikan sebagai landasan hukum tetapi bertentangan pasal 61 di atas, maka penyelenggaran UN dan penentuan kelulusan oleh Pemerintah merupakan suatu bentuk pelanggaran terhadap UUSPN. Oleh karena pelanggaran yang dilakukan cukup lama dan tidak diberikan sanksi bagi pelanggarnya, maka ketentuan UUSPN tersebut menjadi tidak berwibawa. Untuk membangun kembali kewibawaan UUSPN berkaitan dengan UN, maka diperlukan penguatan terhadap ketentuan UUSPN, yaitu dengan menambahkan ketentuan pada pasal 58 (2) dan 61 (2) mengenai sanksi bagi siapapun yang melanggar ketentuan UUSPN. UUSPN telah mengatur wewenang Pemerintah, melakukan evaluasi mutu secara nasional untuk: memastikan ketercapaian standar nasional pendidikan; pemetaan mutu dan analisis kebijakan; serta umpan balik secara terus-menerus untuk perbaikan kualitas pendidik, sumbersumberdaya pendidikan, manajemen sekolah, pendekatan pembelajaran, dan sebagainya. Yang perlu diatur dalam UUSPN, adalah evaluasi pendidikan nasional oleh pemerintah, tetapi dengan menggunakan rambu-rambu sebagai berikut: (1) Evaluasi dilakukan sesuai keperluan, tidak mesti setiap tahun; (2) Evaluasi tidak dilakukan terhadap semua peserta didik tetapi menggunakan pendekatan riset ilmiah dan metoda sampling dalam rangka estimasi mutu yang dapat dipetakan secara secara nasional/provinsi/kabupatden/kota; (3) Evaluasi tidak mengukur prestasi belajar (achievement test) tetapi kecerdasan siswa (misalnya menggunakan SAT, Basic SAT, dsb.); (4) Evaluasi tidak selalu harus dilakukan oleh pemerintah tetapi dapat dialihdaya kepada institusi profesional bidang pengukuran mutu pendidikan; (5) Melakukan analisis hasil evaluasi untuk umpan balik dan perbaikan pengelolaan dan penyelenggaraan pendidikan. F. Menata Jalur, Jenis dan Jenjang Pendidikan secara Fungsional Dalam UUSPN perlu ada perubahan penekanan terhadap fungsi dari suatu jenjang, berkenaan dengan pencapaian tujuan pendidikan tertentu. Di Indonesia, pergeseran telah terjadi, misalnya, secara konseptual SMP tidak berfungsi lagi sebagai pendidikan menengah tetapi sebagai pendidikan dasar. Pada beberapa negara istilah pendidikan menengah bahkan tidak digunakan lagi, karena kelas 10-12 merupakan pendidikan kompulsori yang secara secara konseptual merupakan pendidikan dasar. Paska terbitnya UU No. 12/2012 tentang Perguruan Tinggi, terutama yang terkait dengan substansi dan relevansinya, UUSPN perlu mempertegas jenis dan jenjang pendidikan, antara lain dengan membagi jenis dan strata pendidikan akademik dengan penekanan pada program-program keunggulan, serta jenis dan strata pendidikan professional yang terdiri dari program-program terapan menurut klasifikasi KKNI, mulai tingkat analis, professional, magister spesialis, hingga doktor spesialis.
1254
Kini, Indonesia juga menganut kebijakan pendidikan menengah universal atau PMU60 tetapi tidak berarti SM akan menjadi pendidikan kompulsori, karena kebijakan ini tidak berimplikasi terhadap wajib belajar 12 tahun. Pendidikan wajib dan bebas biaya di Indonesia hanya sampai kelas 9 (SD dan SMP). Oleh karena aksesnya dibuka untuk semua warga Negara, maka SM juga secara konseptual berkarakteristik mirip dengan ‘pendidikan dasar’ tetapi tidak diwajibkan. Dengan kata lain, PMU menganut konsep ‘pendidikan umum’ (liberal arts) dengan misi utamanya adalah pendidikan literasi & numeracy tingkat lanjutan. Jika konsep ini dianut, maka pendidikan kejuruan seharusnya dilaksanakan satu jenjang di atas pendidikan kompulsori/universal. Jika di Indonesia masih menganut sekolah kejuruan tingkat menengah, maka pertimbangannya hanya empiris karena masih banyak lulusan pendidikan dasar yang tidak melanjutkan ke pendidikan menengah, dan memerlukan kecakapan hidup untuk bekerja pada tingkatan operator. Oleh karena itu, UUSPN perlu mengatur kembali jenjang dan jenis pendidikan dalam kerangja pendidikan menengah universal (PMU). Sekolah menengah (SM) tidak perlu dipisahkan antara SMA dan SMK, tetapi SM yang memuat program pendidikan umum (akademik), juga program pendidikan kejuruan. Pendidikan kejuruan dalam kerangka PMU seharusnya tidak berbentuk sekolah kejuruan yang sangat spesialis (seperti SMK), tetapi pendidikan kejuruan universal (dasar) yang bersifat lentur dan fleksibel mengikuti kebutuhan masyarakat dan lapangan kerja yang berubah. Program pendidikan kejuruan pada SM, tidak dapat berdiri sendiri, tetapi menjadi bagian yang integral dari suatu sistem pendidikan kejuruan (SPK). Sebagai suatu sistem, pendidikan kejuruan terdiri dari komponen-komponen: otoritasasi standar kompetensi menurut KKNI61; penyelenggara yang berganda (multi-providers)62; lembaga sertifikasi kompetensi dan profesi yang terpisah dari institusi sekolah; dan penerima kerja (users). G. Pendanaan Pendidikan Implementasi kebijakan desentralisasi dan otonomi pendidikan selama 12 tahun, belum menunjukan keberhasilan dalam melaksanakan pengembangan kapasitas Pemda maupun satuan pendidikan, sehingga belum memiliki kemampuan dalam menghasilkan kebijakan, mengelola dan menyelenggarakan pendidikan sendiri. Gejala banyaknya tumpang tindih dalam pendanaan pendidikan antara pusat-daerah, seperti: BOS, gaji guru, rehabilitasi bangunan, RKB/ USB, dan sejenisnya, bukan hanya menunjukan kurangnya efisiensi pengelolaan, kurangnya kapasitas, tetapi juga menunjukkan belum berhasilnya implementasi desentralisasi dan otonomi pendidikan. Kebijakan pendidikan pusat yang masih sangat dominan dan telah menimbulkan ketergantungan daerah secara terus-menerus terhadap dana perimbangan, menunjukkan bahwa alokasi dan transfer dana pendidikan pusat-daerah perlu ditata ulang. Sesuai dengan legislasi internasional (Unesco Constitution, 1945; Deklarasi HAM, 1948) pendidikan dasar adalah wajib dan bebas biaya. Sebagian besar negara di dunia sudah meratifikasinya. Namun sebelum amandemen ke-4 tahun 1999, Indonesia belum meratifikasi legislasi intgernasional tersebut sehingga belum memberlakukan sepenuhnya ‘pendidikan wajib dan bebas biaya’. Walaupun amandemen UUD 1945 telah sesuai dengan Deklarasi HAM dan ‘pendidikan dasar wajib’ sudah dilaksanakan, namun ‘pendidikan dasar bebas biaya’ belum terlaksana hingga sekarang. Hal ini disebabakan, antara lain karena: (1) Bunyi pasal UUSPN tidak eksplisit mengatur bahwa SD dan SMP adalah pendidikan kompulsori dan bebas biaya; (2) Pendidikan dasar bebas biaya masih terkendala oleh pasal-pasal UUSPN yang saling menegasikan satu sama lain, seperti: pasal 34 ayat (3); Pasal 46 (1); Pasal 6 (2); Pasal 7 (2); Pasal 12 (2); Pasal 49 (3) UUSPN yang pada dasarnya mengatur bahwa pendanaan pendidikan dasar bukan hanya diklakukan oleh pemerintah; dan (3) Pembiayaan untuk mengratiskan pendidikan dasar tidak mungkin diwujudkan tanpa memberikan otonomi sepenuhnya kepada Pemda kabupaten/kota, yang menurut PP 38/2007 sebagai pemegang urusan wajib persekolahan. (4) UUSPN belum harmonis dengan UU No. 33/2004 tentang Perimbangan Keuangan PusatDaerah yang mengharusnya adanya desentralisasi fiskal. Untuk mewujudkan pelayanan yang adil bagi ”semua anak bangsa” tidaklah mungkin anggaran pendidikan itu hanya dibebankan kepada APBN. Maka oleh karena itu, pembagian urusan pendidikan antar-tingkat pemerintahan harus jelas, kebijakan dan program mana yang dibiayai oleh Pemerintah, mana yang dibiayai oleh propinsi, mana yang dibiayai oleh kab/ kota, dan mana (jika ada) yang dibebankan kepada masyarakat. UUSPN belum mengatur pembagian tanggungjawab dalam menangani urusan pendidikan dan pendanaan antara-tingkat pemerintahan. Setiap tingkat mengalokasikan minial 20% anggaran pendidikan dari APBN atau 60 PMU menurut Menurut J. Cohen (2006) gerakan dunia yang dipelopori oleh bank dunia dalam universal secondary education. Menueut penelitian Cohen, keberhasilan PMU diperkikrakan akan mengurangi jumlah penduduk dunia secara drastic.. 61 Agar pekerja Indonesia dapat dipekerjakan secara global, maka KKNI perlu menggunakan standar okupasi/profesional yang berlaku secara internasional. 62 kursus-kursus kecakapan, akademi komunitas, pendidikan vokasi (diploma), politeknik, atau pendidikan strata/gelar profesional
1255
APBD-nya, dengan pola patungan (share) pendanaan yang kurang tegas. UUSPN perlu menetapkan rambu-rambu yang lebih efektif dan efisien dalam pembagian urusan dan tanggungjawab pengelolaan dan penyelenggaraan pendidikan. Di beberapa negara maju, mutu pelayanan semua satuan pendidikan adalah urusan semua tingkat pemerintahan, mamun pusat, provinsi dan kab/kota hanya bertanggungjawab mendanai komponen yang menjadi urusannya masing-masing sehingga dapat menghindari tumpang tindih dalam pendanaan. Pembagian urusan yang diusulkan, adalah sebagai berikut. (1) Pemerintah mendanai manajemen dan pengendalian mutu pendidikan secara nasional; pengembangan kurikulum, bahan ajar, dan kapasitas sekolah untuk penyelenggaraan program pendidikan kebangsaan; dan mengatur sistem subsidi untuk mewujudkan perimbangan dan keadilan berbasis hak (right base) dan berbasis kebutuhan (need base). (2) Provinsi mendanai pengadaan infrastruktur dan prasarana pendidikan; penyelenggaraan pendidikan profesi dan pelatihan guru; penyediaan gaji guru; pengembangan kurikulum, bahan ajar, dan mengembangkan kapasitas sekolah dalam penyelenggaraan program pembelajaran bidang kajian (mata pelajaran) saintek; penyediaan teknologi pendidikan; dan menyelenggarakan penjaminan mutu pendidikan tingkat propinsi. (3) Kabupaten/kota memfasilitasi penyelenggaraan pendidikan di sekolah, antara lain: menyediakan biaya operasional pembelajaran; penyediaan biaya pemeliharaan dan perawatan fasilitas pendidikan; pengembangan kurikulum, bahan ajar, dan kapasitas sekolah dalam penyelenggaraan program pendidikan kecakapan hidup (PKH) berbasis kebijakan daerah (wajib daerah); penyediaan honor kelebihan waktu mengajar/bekerja, dan penjaminan mutu pendidikan tingkat kab/kota. (4) Satuan pendidikan bertanggungjawab dalam: (1) mengelola penyediaan dan perawatan sumber-sumberdaya pendidikan secara optimal agar dapat mendukung proses pendidikan di sekolah baik secara kultural maupun instruksional; dan (2) menyelenggarakan proses pendidikan secara kultural dan instruksional mulai dari tingkatan satuan pendidikan, tingkatan program, sampai dengan tingkatan kegiatan. Sekolah bertugas mengembangkan kapasitasnya agar menjadi satuan pendidikan otonom yang dipimpin oleh kepala sekolah sebagai pemimpin professional dan dibantu oleh guru-guru professional di dalam suatu tim yang kuat. Satuan pendidikan yang telah mencapai status professionalitas tertinggi disertifikasi sebagai satuan pendidikan otonom (charter school)63 yang berwenang penuh untuk memperoleh “hibah” dari pusat, propinsi, kab/kota, dan sumber lain yang tidak mengikat untuk pengelolaan dan penyelenggaraan pendidikan dengan otonomi penuh. H. Pengaturan Kemampuan Fiskal Daerah Belum memadainya UU Sisdiknas dalam mengatur peran pemerintah daerah di dalam pendidikan, termasuk ketentuan-ketentuan yang eksplisit dan tegas meletakkan kewajiban pemerintah dan pemerintah daerah dalam membiayai pendidikan, adalah permasalahan mendasar yang berlum tertangani hingga sekatang. UUSPN perlu mengantipasi permasalahan tersebut dengan memuat ketentuan yang dapat mendorong peningkatan kemampuan fiskal pemerintah daerah. UUSPN 20/2003 disusun sebelum keluarnya UU 32/2004 tentang Pemerintahan Daerah, dan UU 33/2004 tentang perimbangan keunangan pusat-daerah, dan PP 38/2997 Urusan Wajib Pusat-Daerah, sehingga tidak mengherankan jika UUSPN kurang konsisten dengan, dan tidak peka terhadap, kebijakan desentralisasi dan otonomi daerah. Timbulnya permasalaha tersebut juga disebabkan oleh: (1) Desentralisasi dan otonomi pendidikan di Indonesia yang masih berbasis belanja (expenditure base autonomy) dan belum berbasis fiskal (fiscal base autonomy) sehingga kapasitas daerah dalam pengambilan keputusan menghadapi hambatan struktural; (2) Otonomi dan desentralisasi pengelolaan pendidikan daerah dan satuan pendidikan tidak berjalan karena keikutsertaan masyarakat melalui dewan pendidikan dan komite sekolah tidak terlaksana karena ketentuan mengenai Dewan Pendidikan dan komite Sekolah kurang jelas dalam UUSPN; (3) Penyusunan APBD yang tidak berbasis sepenuhnya terhadap kebijakan daerah karena program dan/atau anggaran dekon terlalu dominan dan tergantung kepada APBN ditambah dengan lambannya sentralisasi fiskal menyebabkan kesulitan dalam menaikan kemampuan fiskal daerah; (4) terlalu kecil atau tidak signfikannya peranan daerah dalam penyusunan dan pengendalian kurikulum dan/atau buku ajar yang mengakibatkan kurikulum cenderung sentralistik yang sama sekali sulit merubah perilaku guru dan sekolah sesuai dengan inovasi kurikulum. I. Pengaturan Mengenai Kurikulum Terdapat persoalan menyangkut penyusunan kurikulum yang diatur oleh UUSPN yang perlu dilakukan secara demokratis dengan menghargai otonomi sekolah dan daerah. Di lain pihak penyusunan kurikulum juga tidak steril terhadap pengaruh politik partisan yang menyebabkan orientasi pendidikan menjadi terlalu fragmatis. Hal-hal tersebut merupakan kendala yang cukup 63 Sekolah seperti ini pada beberapa Negara disebut sebagai charter school yang telah memenuhi syarat sebagai satuan pendidikan yang professional dan otonom.
1256
besar dalam upaya mewujudkan pendidikan yang bermutu untuk semua. Perubahan atas dasar ketentuan UU no.20/2003 telah menafikan peranan daerah, khususnya provinsi dan kabupaten/ kota sebagai pemegang urusan pendidikan, dalam menentukan isi kurikulum sesuai dengan kebijakan daerah ybs. Dalam era otonomi dan desentralisasi, isi kurikulum sekolah tidak dapat disusun seluruhnya oleh pusat, karena sebagian besar isi kurikulum perlu diadaptasikan dengan permasalahan dan kebutuhan lingkungan daerah dan satuan pendidikan yang sangat berragam. Hal ini akan sangat beresiko kurangnya relevansi pendidikan terhadap keadaan dan kebutuhan lingkungan, sehingga akan selalu kembali kepada dominasi materi kurikulum yang teoritis seperti pada waktu-waktu yang lalu. Oleh karena itu UUSPN ke depan perlu mengatur beberapa hal yang menyangkut pengembangan kurikulum, sebagai berikut. (1) Adanya pembagian peran dan tanggungjawab antara pusat, provinsi, kabupaten/kota, dan satuan pendidikan dalam mengembangkan kurikulum sesuai dengan kapasitas dan kepentingannya masing-masing. (2) Untuk memastikan bahwa penyusunan kurikulum benar-benar steril dari pengaruh politik, perlu dilakukan pengaturan setingkat undang-undang mengenai langkah-langkah generik dalam inovasi dan pengembangan kurikulum yang berbasis riset. (3) Pengesahan kurikulum tidak dilakukan oleh lembaga politik tetapi disyahkan (endorsed) oleh lembaga profesional yhang memiliki wewenang karena keahlainnya yang relevan. (4) Untuk memacu keunggulan dan daya saing, standar pendidikan harus bersifat universal, yang diadopsi dari standar yang digunakan di negara maju tetapi disyahkan (endorsed) oleh menteri sebagai penanggungjawab sisdiknas. (5) Standar pendidikan harus diremajakan setiap lima tahun sekali atas dasar capaian terukur dari setiap satuan standar pendidikan berdasarkan evaluasi mutu pendidikan, dasn dilakukan secara berkelanjutan. J. Ketentuan Mengenai Pemerataan Vs. Keadilan Pendidikan Ketentuan UUSPN Nomor 20/ 2003 belum mampu mendorong terwujudnya keadilan dala pelayanan pendidikan. Pasal 5 memujat ketentuan yang kurang tegas mengenai hak warga negara di daerah terpencil untuk memperoleh pendidikan layanan khusus. Ketetentuan Pasal 32 juga tidak tegas dan hanya memuat definisi pendidikan khusus dan pendidikan layanan khusus tanpa menegaskan model pendidikan layanan khusus secara prinsipil, siapa yang bertanggung jawab dalam pemenuhan layanan, pendanaannya, termasuk memastikan keterjaminan mutunya. Berdasarkan isu kebijakan tersebut, perlu ada perbaikan ketentuan UUSPN yang dapat mendorong terwujudnya pelayanan pendidikan yang tidak hanya merata tetapi juga berkeadilan. Perwujudan layanan pendidikan yang adil dan merata tidak mungkin dapat dicapai dengan mengandalkan kebijakan, program, dan pendanaan dari sumber APBN. Kebijakan daerah seperti ini harus didanai oleh APBD, sehingga semakin banyak kebijakan daerah yang perlu disusun, semakin besar APBD yang diperlukan, dan semakin tinggi tuntutan untuk percepatan implementasi kebijakan desentralisasi fiskal. Oleh karena itu UUSPN perlu mengatur hal-hal sebagai berikut. (1) UUSPN perlu mengatur setiap kabupaten/kota diberi keleluasaan untuk mengembangkan delivery system sendiri sesuai dengan keadaan dan permasalahan setiap daerah dan ditetapkan melalui kebijakan daerah ybs, untuk menjamin rasa keadilan dalam layanan pendidikan bagi penduduk daerah terpencil dan memerlukan layanan khusus, (2) UUSPN perlu mengatur kebijakan daerah bidang pendidikan khusus dan layanan khusus , baik kebijakan yang lebih operasional dari suatu kebijakan pusat, atau kebijakan yang bersifat unik sesuai dengan keadaan dan kebutuhan daerah ybs walaupun tidak ada kebijakan pusatnya. K. Pengangguran Lulusan Pendidikan Dalam kaitan dengan permasalahan pengangguran tenaga terdidik, UUSPN perlu memuat ketentuan yang mempertegas misi setiap jenjang atau satuan pendidikan. Pemisahan antarjalur: pendidikan formal, non-formal, dan informal yang terlalu tegas dalam menyelenggarakan pendidikan kejuruan atau pendidikan professional cukup berbahaya dan tidak perlu jika kita ingin memperoleh keluaran pendidikan yang cakap dan produktif. Salah satu caranya adalah dengan streamline ketentuan mengenai jenjang pendidikan serta fungsinya masing-masing, sebagai berikut. (1) SD dan SMP tetap merupakan pendidikan wajib (compulsory) dan sebagai pendidikan nonterminal yang tidak menyiapkan lulusan untuk bekerja tetapi menyiapkan lulusan untuk belajar lebih lanjut; (2) Pendidikan menengah mengintegrasikan program pendidikan umum (akademik) dan program pendidikan kejuruan di dalam satu atap, yaitu sekolah menengah. (3) Program pendidikan umum menyelenggarakan pendidikan pra-akademik bagi peserta didik yang berbakat dan berprestasinya memenuhi syarat. (4) Program pendidikan kejuruan menyediakan dan menyelenggarakan sejumlah paket program terstandar dan bersertifikat. Siswa dapat memilih paket-paket program tertentu berdasarkan minat terhadap jenis kecakapan, kemampuan dan tingkat kompetensi yang
1257
(5)
(6)
1258
akan dicapai, jumlah sks yang harus ditempuh, serta panjangnya program. Penyelenggara pendidikan teknik dan kejuruan bersifat “multi providers” yang bekerja berdasarkan standar kompetensi profesi, di antaranya berbentuk: kursus-kursus, pelatihan kerja, belajar mandiri, akademi komunitas, politeknik, serta perguruan tinggi strata profesiona; dan sejenisnya. Pendidikan tinggi juga dapat dibagi menjadi dua jenis program, yaitu program strata akademik dalam berbagai bidang ilmu pengetahuan, yang meliputi: program sarjana, magister dan doktoral; dan program strata professional yang menyelenggarakan satuan-satuan program pendidikan tingkat vokasi yang bersertifikat, profesi yang bersertifikat, serta spesialis pada tingkat S2 dan S3.
BAB VI P E N U T U P Berdasarkan kajian dalam seluruh bab-bab dalam naskah akademik ini sebelumnya, berikut ini dikemukakan beberapa kesimpulan, sebagai berikut. (1) Dalam kurun waktu kurang lebih sepuluh tahun (satu dasawarsa) sejak lahirnya undangundang Sisdiknas, menunjukan implementasi undang-undang Sisdiknas masih dihadapkan pada berbagai kendala dan hamabatan sehingga tujuan dan sasaran dalam penerapan Sisdiknas belum dapat diwujudkan. Hal ini dapat dilihat dari banyakanya gugatan dan penolakan terhadap pelaksanaan UU Sisdiknas oleh berbagai kalangan masyarakat dan pembatalan beberapa ketentuan dalam UU Sisdiknas oleh Mahkamah Konstitusi. (2) Penyusunan UU Sisdiknas yang dilakukan sebelum era otonomi daerah mengakibatkan adanya ketidaksinkronan dalam pengaturan dan pelaksanaan desentralisasi pendidikan yang berpotensi menghambat terwujudnya pelayanan pendidikan yang tidak hanya merata tetapi juga berkeadilan dengan dan sinergi anatara Pemerintah Pusat dengan Pemerintah daerah. (3) Sebagai suatu sistem legislasi dimana Undang-Undang Sisdiknas merupakan induk dari berbagai undang-undang yang dimanatkan untuk dibentuk sebagai pelaksanaan UU sisdiknas, dalam implementasinya telah terjadi pengembangan ketidakkonsistenan seperti lahirnnya Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2012 tentang Pendidikan Tinggi yang dalam amanat UU Sisdikas hanya diatur dengan Peraturan Pemerintah. (4) Berbagai kelemahan implementasi dan tindaklanjut pengaturan tersebut di atas menjadi landasan dan memperkuat urgensi untuk dilakukanya revisi Undang_undang Sisdiknas untuk menjamin terselnggranya pendidikan sebagai mana dimanatkan oleh konstitusi dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa.
1259
DAFTAR PUSTAKA Ben Wildavsky , Andrew Kelly, Kevin Carey (2011) “Reinventing Higher Education: The Promise of Innovation”. Publication, Date: April 19, 2011; ISBN-10: 1934742872; ISBN-13: 9781934742877 Chris Edwards and Neal McCluskey (2009) “Higher Education Subsidies. In the US” C ato Institute ,1000 Massachusetts Avenue N.W.Washington D.C. 20001-5403. http://www. downsizinggovernment.org/ education/higher-education-subsidies Dasim Budimansyah dan Ace Suryadi (2010) “Kompetensi, Sertifikasi Guru, dan Kualitas Belajar Siswa Sekolah Dasar: Studi Tentang Efek Sertifikasi Dalam Kaitan Dengan Kompetensi Pendidik Dan Kualitas Belajar Siswa Sekolah Dasar, Bandung, LPPM UPI. Fred Bersten, Bates Gill, Nicholas R. Lardy, and Derek Mitchell (2006) China: The Balance Sheet, What The World Needs to Know Now About the Emerging Superpower., New Yorh, Public Affair. Klaus Schwab (2013) “The Global Competitiveness report; Insight report 2012-2013” New York, World Economic Forum., Global Bencmarking Network Raoul Oberman, Richard Dobbs, Atif Budiman, Fraser Thompson, and Morten Rosse (2012) “The Archipelago Economy: Unleashing Indonesia’s Poteltials.” McKinsey Global Institute, Septekber 2012. Sudijarto (2013) “Pancasila Sebagai Filsafat Dasar dan Ideologi Negara Kebangsaan Indonesia dan Implikasinya Terhadap Penyelenggaraan Sistem Pendidikan Nasional”, makalah disampaikan pada sarasehan, PPA GMNI. Jakarta. UNDP (2013) “Human Development Report: The Rise of the South, Human Progress in a Divers World.” New York, United Nation Development Programme United Nation Declaration of Human Right-UDHR (1948) lebih memperjelas ketentuan UUD 1945 pasal 31 ayat (1) (sebelum amandemen)”Tiap-tiap warga negara berhak mendapat pengajaran” (tanpa aturan bebas biaya) dengan pasal 28 UDHR “education should be free and compulsory at least at the basic educ ation level.” Namun komitmen Indonesia mulai tampak lebih jelas sejak amandemen UUD 1945 pada tahun 2002. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2003 Nomor .., Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor …). Undang-Undang Nomor 32 Tahun 204 tentang Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor .., Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor …). Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2012 tentang Pendidikan Tinggi (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2012 Nomor …, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor …). Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2005 Guru dan Dosen (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2005 Nomor …, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor …).
1260