BAB I PENDAHULUAN
1.1.
Latar Belakang Masalah Penyelenggaraan pendidikan sebagaimana yang diamanatkan dalam
Undang-undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional diharapkan dapat mewujudkan proses berkembangnya kualitas pribadi peserta didik sebagai generasi penerus bangsa di masa depan, yang diyakini akan menjadi faktor determinan bagi tumbuh kembangnya bangsa dan negara Indonesia sepanjang jaman. Proses pendidikan yang baik bukan hanya menjadi tanggung jawab lembaga penyelenggara pendidikan semata, tetapi juga harus didukung perannya oleh masyarakat dan pemerintah yang dalam hal ini bertindak sebagai pemegang amanah tertinggi dari UUD 1945 untuk mencerdaskan bangsa Indonesia. Pendidikan nasional kita masih menghadapi berbagai macam persoalan. Persoalan itu memang tidak akan pernah selesai, karena lembaga pendidikan dan pembelajaran selalu berada di bawah tekanan kemajuan ilmu pengetahuan, teknologi dan kemajuan masyarakat. Salah satu persoalan pendidikan kita yang masih menonjol saat ini adalah adanya kurikulum yang silih berganti dan terlalu membebani siswa tanpa ada arah pengembangan yang betul – betul diimplementasikan sesuai dengan perubahan yang diinginkan pada kurikulum tersebut. Tidak bisa dipungkiri bahwa perubahan kurikulum selalu mengarah pada perbaikan sistem pendidikan.Perubahan tersebut dilakukankarena dianggap belum
sesuai dengan harapan yang diinginkan sehingga perlu adanya penyegaran kurikulum. Usaha tersebut mesti dilakukan demi menciptakan generasi masa depan berkarakter, yang memahami jati diri bangsanya dan menciptakan anak yang unggul mampu bersaing di dunia internasional. Di balik perubahan kurikulum harusnya evaluasi tentang keberhasilan setiap kurikulum lebih di kedepankan agar perubahan kurikulum tidak sia – sia begitu saja tetapi dapat memberikan perbaikan – perbaikan ke arah yang lebih baik bagi dunia pendidikan di Indonesia. Persaingan ilmu pengetahuan semakin gencar dilakukan oleh dunia internasional, sehingga Indonesia juga dituntut untuk dapat bersaing secara global demi mengangkat martabat bangsa. Oleh karena itu untuk menghadapi tantangan yang akan menimpa dunia pendidikan kita, ketegasan kurikulum dan implementasinya sangat dibutuhkan untuk membenahi kinerja pendidikan yang jauh tertinggal dengan Negara-negara maju di dunia. Dalam sejarah pendidikan di Indonesia sudah beberapa kali diadakan perubahan dan perbaikan kurikulum, yang paling dekat yaitu perubahan dari Kurukulum Berbasis Kompetensi (KBK) menjadi Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) dan kemudian Kurikulum 2013. Berdasarkan Peraturan Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan Nomor 59 Tahun 2014, proses pembelajaran menurut kurikulum 2013 adalah suatu proses pendidikan yang memberikan kesempatan bagi siswa agar dapat mengembangkan segala potensi yang mereka miliki menjadi kemampuan yang semakin lama semakin meningkat dilihat dari aspek sikap (afektif), pengetahuan (kognitif), dan keterampilan (psikomotorik).
Dalam penerapan kurikulum 2013 proses pembelajaran diarahkan kepada Standar Kompetensi Lulusan (SKL). SKL adalah kualitas minimal lulusan suatu jenjang atau satuan pendidikan yang digunakan sebagai pedoman penilaian dalam penentuan kelulusan peserta didik khususnya untuk mata pelajaran Bahasa Inggris.SKL
mencakup
Sikap
(attitude),
pengetahuan
(knowledge)
dan
keterampilan (skill). Kurikulum 2013 menggunakan pendekatan berbasis scientific, yaitu mendorong peserta didik agar mampu berfikir lebih baik dalam melakukan observasi,
bertanya,
bernalar
dan
mengakomonidasikan
dengan
obyek
pembelajaran secara langsung yakni, fenomena alam, sosial, seni dan budaya. Muzamiroh (2013: 116). Pada kurikulum 2013 guru bukan satu-satunya sumber belajar, peserta didik juga tidak hanya belajar di ruang kelas tetapi juga dilingkungan sekolah dan masyarakat. Dengan demikian, pada kurikulum 2013 guru – guru khususnya dalam mata pelajaran Bahasa Inggris harus dapat mengembangkan 5M yaitu Mengamati, Menanya, Mengumpulkan informasi/ eksperimen, Mengasosiasikan/ mengolah informasi dan Mengkomunikasikan pembelajaran Bahasa Inggris agar peserta didik aktif di dalam maupun diluar kelas. Sebagaimana yang diterapkan di SMA Negeri 3 Medan tentang kurikulum 2013 terhadap mata pelajaran Bahasa Inggris, guru Bahasa Inggris harus memiliki pengetahuan yang luas mengenai jenis-jenis belajar karena guru merupakan fasilitator dan mitra belajar bagi peserta didik. Guru Bahasa Inggris tidak hanya menyampaikan informasi kepada peserta didik, tetapi harus kreatif memberikan layanan dan kemudahan belajar (facilitate learning) kepada peserta didik agar
mereka dapat belajar dalam suasana yang menyenangkan, gembira, penuh semangat dan berani mengemukakan pendapat secara terbuka. Dengan demikian, peserta didik di SMA Negeri 3 Medan tidak saja memiliki jumlah pengetahuan dan kemampuan teknis yang memadai tetapi juga sikap dan karakter sebagai individu, anggota masyarakat, dan warga negara Indonesia yang multikultur. SMA Negeri (SMAN) 3 Medan, merupakan salah satu sekolah induk yang menerapkan kurikulum 2013 sejak tahun pelajaran 2013/2014 hingga saat ini dan dipercaya oleh pemerintah untuk menerapkan kurikulum 2013 terlebih dahulu, serta sebagai sekolah pendamping dalam pelaksanaan kurikulum 2013 bagi 9 SMA yang ada di Kota Medan. Namun, karena kurangnya sosialisasi tentang kurikulum 2013 dari pemerintah sehingga terjadi kelemahan dalam menerapkan pembelajaran Bahasa Inggris yakni, guru yang belum memahami dan kurang berpartisipasi dalam pengembangan kurikulum disebabkan beberapa hal yaitu kurang waktu, kurang kesesuaianpendapat baik dengan sesama guru maupun kepala sekolah. Kelemahan lainnya terjadi pada jumlah peserta didik yang mencapai 40 peserta didik dalam satu kelas, sarana pembelajaran yang kurang memadaidan guru yang kurang mengerti dalam meggunakan sarana pembelajaran yang ada di sekolah serta penilaian guru terhadap peserta didik pada di SMA Negeri 3 Medan. Dalam menerapkan pembelajaran scientific pada pembelajaran Bahasa Inggris diharapkan guru Bahasa Inggris mampu mengembangkan kurikulum 2013. Berdasarkan hal tersebut membuat penulis tertarik untuk melakukan penelitian dengan judul “Implementasi Peraturan Menteri Pendidikan Dan Kebudayaan Republik Indonesia No. 59 Tahun 2014 Tentang Kurikulum
2013 Sekolah Menengah Atas/Madrasah Aliyah (Studi Pada Sekolah Menengah Atas Negeri 3 Medan).
1.2.
Perumusan Masalah Berdasarkan uraian dari latar belakang masalah yang telah dikemukakan
diatas, maka rumusan masalah yang akan diteliti dalam penelitian ini yaitu : 1. Bagaimana Implementasi Peraturan Menteri Pendidikan Dan Kebudayaan Republik Indonesia No. 59 Tahun 2014 Tentang Kurikulum 2013 Sekolah Menengah Atas/Madrasah Aliyah di Sekolah Menengah Negeri 3 Medan.
1.3.
Tujuan Penelitian Adapun yang menjadi tujuan penelitian ini adalah sebagai berikut: 1. Untuk
mengetahui
bagaimana
pelaksanaan
kurikulum
2013
di
SMANegeri 3 Medan. 2. Untuk mengetahui bagaimana metode pembelajaran bidang studi Bahasa Inggrismenurut kurikulum 2013 di SMA Negeri 3 Medan.
1.4.
Manfaat Penelitian Adapun manfaat penelitian ini adalah sebagai berikut : 1.
Secara akademis. Penelitian ini diharapkan dapat memberikan kontribusi baik secara langsung maupun tidak bagi kepustakaan Departemen Ilmu Administrasi Negara dan bagi kalangan penulis lainnya yang tertarik untuk mengeksplorasi kembali kajian tentang implementasi kurikulum 2013
2.
Secara subyektif. Sebagai suatu sarana untuk melatih dan mengembangkan kemampuan berpikir ilmiah, sistematis dan metodologis penulis dalam menyusun berbagai kajian literature untuk menjadikan suatu wacana baru dalam memperkaya khazanah kepustakaan pendidikan.
3.
Secara praktis. Sebagai Dalam hal ini memberikan data dan informasi yang berguna bagi semua kalangan terutama bagi mereka yang secara serius mengamati kendala dalam pelaksanaan kurikulum 2013.
1.5.
Kerangka Teori Untukmemudahkan penelitian diperlukan pedoman dasar berpikir, yaitu
kerangka teori.Sebelum melakukan penelitian yang lebih lanjut, seorang peneliti perlu menyusun kerangka teori sebagai landasan berpikir untuk menggambarkan dari sudut mana peneliti menyoroti masalah yang telah dipilih. Teori adalah serangkaian asumsi, konsep dan kontrak definisi dan proporsi untuk menerangkan suatu fenomenal sosial secara sistematis dengan cara merumuskan hubungan antar konsep (Singarimbun, 2008:37).
I.5.1.Kebijakan Publik I.5.1.1.Pengertian Kebijakan Publik Menurut Parsons (dalam Wayne Parsons, 2005:3) kata “publik” berisi kegiatan aktivitas manusia yang dipandang perlu untuk diatur dan diintervensi oleh pemerintah atau aturan sosial, atau setidaknya oleh tindakan bersama. Publik itu dipandang sebagai suatu ruang atau domain dalam kehidupan yang bukan
privat atau murni milik individual, tetapi milik bersama atau milik umum. Sedangkan kata “kebijakan” menurut Heclo (dalam Wayne Parsons, 2005:14) adalah istilah yang banyak disepakati bersama. Dalam penggunaan yang umum, istilah kebijakan dianggap berlaku untuk sesuatu yang “lebih besar” ketimbang keputusan tertentu, tetapi “lebih kecil” ketimbang gerakan sosial. Jadi, kebijakan (policy) adalah suatu tindakan yang dilakukan dengan maksud untuk mencapai tujuan-tujuan tertentu. Heclo mengatakan bahwa ada perbedaan pendapat mengenai apakah kebijakan itu merupakan tindakan yang diniatkan (intended) atau tidak. Sebuah kebijakan mungkin saja merupakan sesuatu yang tidak disengaja, tetapi ia tetap dilaksanakan dalam implementasi atau praktik administrasi. Pengertian konsep publik dan kebijakan diatas, dapat disimpulkan bahwa kebijakan publik adalah tindakan maupun keputusan yang pemerintah lakukan atau tidak dengan tujuan untuk mengatur masyarakat di suatu wilayah. Ini sama seperti pendapat Thomas R. Dye (dalam Indiahono, 2009:17), yang menyatakan bahwa kebijakan publik adalah apapun yang dipilih oleh pemerintah untuk dilakukan dan tidak dilakukan. Maknanya adalah Dye hendak menyatakan bahwa apapun kegiatan pemerintah baik yang eksplisit maupun implisit merupakan kebijakan. Interpretasi dari kebijakan menurut Dye harus dimaknai dengan dua hal penting, yaitu: pertama, kebijakan haruslah dilakukan oleh badan pemerintah, dan kedua, kebijakan tersebut mengandung pilihan dilakukan atau tidak dilakukan oleh pemerintah. Selain Dye, James E. Anderson mendefenisikan kebijakan publik sebagai suatu arah tindakan yang mempunyai maksud yang ditetapkan oleh seorang aktor
atau sejumlah aktor dalam mengatasi suatu masalah atau suatu persoalan. Kebijakan publik dalam kerangka substantif adalah segala aktifitas yang dilakukan oleh pemerintah untuk memecahkan masalah publik yang dihadapi. Kebijakan publik haruslah diarahkan untuk memecahkan masalah publik untuk memenuhi kepentingan dan penyelenggaraan urusan-urusan publik. Menurut Charles O. Jones (dalam Tangkilisan, 2003:3) kebijakan publik terdiri dari komponen-komponen sebagai berikut: 1. Goals atau tujuan yang diinginkan, 2. Plans atau rancangan yang spesifik untuk mencapai tujuan, 3. Program yaitu upaya yang berwenang untuk mencapai tujuan, 4. Decision atau keputusan yaitu tindakan untuk menentukan tujuan, membuat rencana, melaksanakan dan mengevaluasi program, dan 5. Efect yaitu dampak dari program baik disengaja maupun tidak dan primer maupun sekunder.
I.5.1.2.Bentuk dan Macam Kebijakan Keputusan yang dihasilkan oleh aktor kebijakan tersebut diturunkan dalam berbagai bentuk variasi. Adapun bentuk-bentuk kebijakan tersebut adalah sebagai berikut : Bentuk kebijakan ditinjau berdasarkan pembuatnya: 1. Pusat: dibuat oleh pemerintah atau lembaga pemerintahan yang berkedudukan di pusat dan digunakan untuk mengatur seluruh warga negara dan wilayah Indonesia.
2. Daerah: dibuat oleh pemerintah atau lembaga pemerintahan yang berkedudukan di daerah dan digunakan untuk mengatur daerahnya masing-masing. Bentuk kebijakan ditinjau berdasarkan tujuannya: 1.
Law Order adalah Kebijakan mengenai hukum dan tatanan hukum. Adapun bentuk kebijakan ini umumnya berupa undang-undang atau peraturan-peraturan yang diumumkan oleh pemerintah.
2. Distributive Order adalah kebijakan yang bersifat mengarahkan penguasa dalam mendistribusikan sumber daya yang dimilikinya dalam rangka pencapaian tujuan yang diinginkan oleh negara. Misalnya perijinan usaha, kekuasaan kepada kepolisian, kejaksaan, dan lain-lain. 3.
Re-Distributive Order adalah kebijakan yang bersifat mengarahkan masyarakat
untuk
ikut
berpartisipasi
terhadap
pelaksanaan
tata
pemerintahan dalam rangka pencapaian tujuan negara secara umum. Bentuk kebijakan ini umumnya berupa kewajiban pembayaran pajak bagi warga negara. Bentuk kebijakan ditinjau berdasarkan wujud nyata nya: 1. Gerakan (contohnya): Gerakan Orang Tua Asuh (GNOTA), Gerakan Penghijauan. 2. Peraturan perundangan: Peraturan Walikota No 23 Tahun 2011 Tentang Perizinan Usaha Warung Internet. 3. Pidato atau pernyataan pejabat publik: Pidato Presiden 4. Program: Program KB 5. Proyek: Proyek Padat Karya
I.5.1.3.Proses Kebijakan Publik Dalam menyelesaikan masalah yang dihadapi oleh kebijakan publik, Dunn (Tangkilisan, 2003:7) mengemukakan bahwa ada beberapa tahap analisis yang harus dilakukan, yaitu: 1. Agenda setting: adalah proses pengumpulan isu-isu dan masalah publik yang mencuat ke permukaan melalui proses problem structuring. Menurut Dunn problem structuring memiliki empat fase yaitu: pencarian masalah, pendefenisian masalah, spesifikasi masalah, dan pengenalan masalah. Woll mengatakan bahwa suatu isu kebijakan dapat berkembang menjadi agenda kebijakan apabila memenuhi syarat sebagai berikut: a) Memiliki efek yang besar terhadap kepentingan masyarakat, b) Membuat analog dengan cara memancing dengan kebijakan publik yang pernah dilakukan, c) Isu tersebut mampu dikaitkan dengan simbol-simbol nasional atau politik yang ada, d) Terjadinya kegagalan pasar, dan e) Tersedianya teknologi atau dana untuk menyelesaikan masalah publik. 2. Policy formulation: adalah mekanisme proses untuk menyelesaikan masalah publik, dimana pada tahap ini para analis mulai menerapkan beberapa teknik untuk menentukan sebuah pilihan yang terbaik yang akan dijadikan kebijakan. Dalam menentukan kebijakan tersebut, aktor kebijakan dapat menggunakan analisis biaya dan manfaat dan analisis keputusan, dimana keputusan yang harus diambil tidak ditentukan dengan
informasi yang serba terbatas. Para aktor kebijakan tersebut harus mengidentifikasi kemungkinan kebijakan yang dapat digunakan melalui psoses
peramalan
(forecasting)untuk
memecahkan
masalah
yang
didalamnya terkandung konsekuensi dari setiap pilihan kebijakan yang akan dipilih. 3. Policy adoption: adalah penetapan keputusan yang sudah ditetapkan untuk menjadi solusi dari masalah publik tersebut. Tahap ini dilakukan setelah mendapatkan rekomendasi melalui langkah-langkah sebagai berikut: a) Mengidentifikasi alternatif kebijakan yang dilakukan pemerintah untuk merealisasikan masa depan yang diinginkan dan merupakan langkah terbaik dalam mencapai tujuan tertentu bagi kemajuan masyarakat luas. b) Pengidentifikasian kriteria-kriteria tertentu dan dipilih untuk menilai alternatif yang akan direkomendasikan. c) Mengevaluasi alternatif-alternatif tersebut dengan menggunakan kriteria yang relevan agar efek posisi alernatif lebih besar dari efek yang terjadi. 4. Policy implementation: adalah proses pelaksanaan kebijakan yang sudah ditetapkan tersebut oleh unit-unit eksekutor tertentu dengan memobilisasi sumber dana dan sumber daya lainnya dan pada tahap ini proses monitoring sudah dapat dilakukan. Tahapan implementasi kebijakan merupakan kegiatan yang berhubungan dengan apa yang terjadi setelah suatu kebijakan ditetapkan dengan menghasilkan output yang jelas dan dapat diukur.
5. Policy assessment atau penilaian kebijakan: pada tahap ini semua proses implementasi dinilai apakah sudah sesuai dengan rencana dalam program kebijakan dengan ukuran kriteria-kriteria yang telah ditentukan. Proses penilaian tersebut dapat dilakukan dengan dua cara, yaitu monitoring dan evaluasi. Monitoringdilakukan sewaktu proses pelaksanaan kebijakan masih berjalan dan bertujuan untuk melihat bagaimana program tersebut berjalan, biasanya dalam bentuk penelitian/ riset dan rekomendasi. dan evaluasi dilakukan setelah kebijakan tersebut telah selesai dilakukan. Evaluasi dilakukan terhadap program yang sudah selesai dan bertujuan untuk mengetahui bagaimana hasil dari program tersebut apakah mencapai sasaran.
I.5.2.Implementasi Kebijakan I.5.2.1.Pengertian Implementasi Kebijakan Implementasi kebijakan merupakan tahapan yang krusial dalam proses kebijakan publik. Jika suatu kebijakan telah ditetapkan, kebijakan tersebut tidak akan berhasil dan terwujud bilamana tidak diimplementasikan. Suatu program kebijakan harus diimplementasikan agar mempunyai dampak atau tujuan yang diinginkan. Implementasi kebijakan dalam arti luas dapat diartikan sebagai alat administrasi hukum dimana berbagai aktor, organisasi, prosedur dan teknik yang bekerja bersama-sama untuk menjalankan kebijakan guna meraih dampak atau tujuan yang diinginkan.Sementara itu, Van Meter dan Van Horn (dalam Winarno, 2002: 102) menyebutkan implementasi kebijakan sebagai tindakan-tindakan yang dilakukan oleh individu-individu (atau kelompok-kelompok) pemerintah maupun swasta yang diarahkan untuk mencapai tujuan-tujuan yang telah ditetapkan dalam
keputusan-keputusan kebijakan sebelumnya. Tindakan-tindakan ini mencakup usaha-usaha untuk mengubah keputusan-keputusan menjadi tindakan-tindakan operasional dalam kurun waktu tertentu maupun dalam rangka melanjutkan usahausaha untuk mencapai perubahan-perubahan yang besar dan kecil yang ditetapkan oleh keputusan-keputusan kebijakan. Jadi implementasi merupakan suatu proses dinamis yang melibatkan secara terus menerus usaha-usaha untuk mencari apa yang akan dan dapat dilakukan. Dengan demikian implementasi mengatur kegiatan-kegiatan yang mengarah pada penempatan suatu program pada tujuan kebijakan yang diinginkan. Menurut Jones (Tangkilisan, 2003:17) terdapat tiga kegiatan utama yang paling penting dalam implementasi, yaitu: 1. Penafsiran: yaitu kegiatan yang menerjemahkan makna program kedalam pengaturan yang dapat diterima dan dapat dijalankan. 2. Organisasi: merupakan unit atau wadah untuk menempatkan program kedalam tujuan kebijakan. 3. Penerapan: berhubungan dengan perlengkapan rutin bagi pelayanan, upah dan lainnya.
I.5.2.2.Model-Model Implementasi Kebijakan Untuk melihat bagaimana proses implementasi kebijakan itu berlangsung secara efektif, maka dapat dilihat dari berbagai model, yaitu: A. Model Van Meter dan Van Horn (1975) Teori ini beranjak dari suatu argumen bahwa perbedaan-perbedaan dalam proses implementasi akan dipengaruhi oleh sifat kebijakan yang akan dilaksanakan. Selanjutnya Van Meter dan Van Horn menawarkan suatu
pendekatan yang mencoba untuk menghubungkan antara isu kebijakan dengan implementasi dan suatu model konseptual yang menghubungkan kebijakan dengan kinerja kebijakan. Mereka menegaskan bahwa perubahan, kontrol dan kepatuhan bertindak merupakan konsep-konsep yang penting dalam prosedurprosedur implementasi. Dengan memanfaatkan konsep-konsep tersebut maka permasalahan yang perlu dikaji dalam hubungan ini adalah: a. Hambatan-hambatan apakah yang terjadi dalam mengenalkan perubahan dalam organisasi. b. Seberapa jauhkah tingkat efektifitas mekanisme-mekanisme kontrol pada setiap jenjang struktur, masalah ini menyangkut kekuasaan dari pihak yang paling rendah dalam organisasi yang bersangkutan. c. Seberapa pentingkah rasa keterikatan masing-masing orang dalam organisasi (masalah kepatuhan). Dari pandangan tersebut maka Van Meter dan Van Horn membuat tipologi kebijakan menurut: a. Jumlah masing-masing perubahan yang akan terjadi. b. Jangkauan atau lingkup kesepakatan terhadap tujuan diantara pihak-pihak yang terlibat dalam proses implementasi. Alasan dikemukakannya hal ini adalah bahwa proses implementasi itu akan dipengaruhi oleh dimensi-dimensi kebijakan semacam itu, dalam artian bahwa implementasi akan berhasil apabila perubahan yang dikehendaki relatif sedikit sementara kesepakatan terhadap tujuan terutama dari para implementor dolapangan relatif tinggi. Hal lain yang dikemukakan mereka bahwa yang
menghubungkan kebijakan dan kinerja dipisahkan oleh sejumlah variabel bebas yang saling berkaitan. Variabel bebas itu adalah: 1. Standar dan Sasaran Kebijakan Standar dan sasaran kebijakan harus jelas dan terukur sehingga dapat direalisasikan. Apabila standar dan sasaran kebijakan kabur, maka akan terjadi multi interpretasi dan mudah menimbulkan konflik diantara agen implementasi. 2. Sumber Daya Implementasi kebijakan perlu dukungan sumber daya, baik sumber daya manusia maupun sumber daya non manusia seperti dana yang digunakan untuk mendukung implementasi kebijakan. 3. Komunikasi dan Penguatan Aktivitas Dalam implementasi program perlu dukungan dan koordinasi dengan instansi lain agar tujuan kebijakan dapat tercapai. 4. Karakteristik Agen Pelaksana Karakteristik agen pelaksana mencakup struktur birokrasi, norma-norma, dan pola-pola hubungan yang terjadi dalam birokrasi, yang semua hal tersebut akan mempengaruhi implementasi suatu program. 5. Kondisi Sosial, Ekonomi dan Politik Variabel ini mencakup sumber daya ekonomi, lingkungan yang dapat mendukung keberhasilan implementasi kebijakan, sejauh mana kelompokkelompok kepentingan dapat memberikan dukungan bagi implementasi kebijakan, karaktersitik para partisipan yakni menolak atau mendukung, bagaimana sifat opini publik yang ada di lingkungan dan apakah elit politik mendukung implementasi kebijakan.
6. Disposisi Implementor Ini mencakup tiga hal, yakni: (a) respon implementor terhadap kebijakan yang akan dipengaruhi kemauannya untuk melaksanakan kebijakan, (b) kognisi, pemahaman para agen pelaksana terhadap kebijakan, dan (c) intensitas disposisi implementor, yakni preferensi nilai yang dimiliki oleh implementor.
B. Model Merilee S. Grindle (1980) Merilee
menyatakan
bahwa
keberhasilan
implementasi
kebijakan
ditentukan oleh derajat implementability dari kebijakan tersebut. Keunikan model Grindle terletak pada pemahaman yang komprehensif akan konteks kebijakan, khususnya yang menyangkut dengan implementor, penerima implementasi, dan arena konflik yang mungkin akan terjadi serta sumber daya yang akan diperlukan selama proses implementasi. Secara konsep dijelaskan bahwa model implementasi kebijakan yang dikemukakan Grindle menuturkan bahwa keberhasilan proses implementasi kebijakan sampai kepada tercapainya hasil tergantung kepada kegiatan program yang telah dirancang dan pembiayaan cukup, selain dipengaruhi oleh isi kebijakan dan konteks implementasinya. Isi kebijakan yang dimaksud meliputi: 1. Kepentingan yang terpenuhi oleh kebijakan (interest affected). 2. Jenis manfaat yang dihasilkan (tipe of benefit). 3. Derajat perubahan yang diinginkan (extent of change envisioned). 4. Kedudukan pembuat kebijakan (site of decision making). 5. Para pelaksana program (program emplementation). 6. Sumber daya yang dikerahkan (resources commited).
Sedangkan konteks implementasi yang dimaksud meliputi: 1. Kekuasaan (power). 2. Kepentingan strategi aktor yang terlibat (interest strategies of actors involved). 3. Karakteristik
lembaga
dan
penguasa
(institution
and
regime
characteristics). 4. Kepatuhan dan daya tanggap pelaksana (compliance and responsiveness).
C. Model Mazmanian dan Sabatier (1983) Model ini disebut sebagai model kerangka analisis implementasi. Mazmanian dan Sabatier mengklasifikasikan proses implementasi kebijakan kedalam tiga variabel, yaitu: 1. Karakteristik dari masalah (tractability of the problems) sering disebut dengan variabel independen. Indikatornya adalah: a. Tingkat kesulitan teknis dari masalah yang bersangkutan. b. Tingkat kemajemukan dari kelompok sasaran. c. Proporsi kelompok sasaran terhadap total populasi. d. Cakupan perubahan perilaku yang diharapkan. 2. Karakteristik kebijakan/ undang-undang (ability of statute to structure implementation) sering disebut dengan istilah variabel intervening, indikatornya adalah: a. Kejelasan isi kebijakan. b. Seberapa jauh kebijakan tersebut memiliki dukungan teoritis. c. Besarnya alokasi sumberdaya finansial terhadap kebijakan tersebut.
d. Seberapa besar adanya keterpautan dan dukungan antar berbagai institusi pelaksana. e. Kejelasan dan konsistensi aturan yang ada pada badan pelaksana. f. Tingkat komitmen aparat terhadap tujuan kebijakan. g. Seberapa luas akses kelompok-kelompok luar untuk berpartisipasi dalam implementasi kebijakan. 3. Variabel lingkungan (nonstatutory variables affecting implementation) sering disebut dengan istilah dependen. Indikatornya adalah: a. Kondisi sosial ekonomi masyarakat dan tingkat kemajuan teknologi. b. Dukungan publik terhadap sebuah kebijakan. c. Sikap dari kelompok pemilih (constituency groups). d. Tingkat komitmen dan keterampilan dari aparat dan implementor.
D. Model George C. Edward III (1980) George Edward III (dalam Winarno, 2002: 126) melihat implementasi kebijakan sebagai suatu proses yang dinamis, dimana terdapat banyak faktor yang saling berinteraksi dan mempengaruhi implementasi kebijakan. Faktor-faktor tersebut ditampilkan guna mengetahui bagaimana pengaruhnya terhadap implementasi kebijakan. Menurut George Edward III, dalam pendekatan studi implementasi harus dimulai dengan suatu pernyataan abstrak seperti yang dikemukakan sebagai berikut: a. Apakah yang menjadi prasyarat bagi implementasi kebijakan?
b. Apakah yang menjadi faktor penghambat utama bagi keberhasilan implementasi kebijakan? Guna menjawab pertanyaan tersebut, George Edward III mengajukan empat faktor yang berperan penting dalam keberhasilan implementasi, yaitu: 1. Komunikasi (communication). Implementasi kebijakan akan berjalan efektif apabila ukuran-ukuran dan tujuan-tujuan kebijakan dipahami oleh individu-individu yang bertanggungjawab dalam pencapaian tujuan kebijakan. Kejelasan ukuran dan tujuan kebijakan dengan demikian perlu dikomunikasikan secara tepat dengan para pelaksana. Konsistensi
atau
keseragaman
dari
ukuran
dasar
dan
tujuan
perlu
dikomunikasikan sehingga pelaku kebijakan mengetahui secara tepat apa yang menjadi isi, tujuan, kelompok sasaran kebijakan, sehingga pelaku kebijakan dapat menyiapkan hal-hal apa saja yang berhubungan dengan pelaksanaan kebijakan, agar proses implementasi kebijakan bisa berjalan secara efektif dan sesuai dengan tujuan kebijakan itu. Komunikasi dalam organisasi merupakan suatu proses yang amat kompleks dan rumit. Seseorang bisa menahannya hanya untuk kepentingan tertentu, atau menyebarluaskannya. Di samping itu sumber informasi yang berbeda juga akan melahirkan interpretasi yang berbeda pula. Agar implementasi berjalan efektif, siapa yang bertanggungjawab melaksanakan sebuah keputusan harus mengetahui apakah mereka dapat melakukannya.Sesungguhnya implementasi kebijakan harus diterima oleh semua personel dan harus mengerti secara jelas dan akurat mengenahi maksud dan tujuan kebijakan.
Jika para aktor pembuat kebijakan
telah melihat ketidakjelasan spesifikasi kebijakan sebenarnya mereka tidak
mengerti apa sesunguhnya yang akan diarahkan. Para implemetor kebijakan bingung dengan apa yang akan mereka lakukan sehingga jika dipaksakan tidak akan mendapatkan hasil yang optimal. Tidak cukupnya komunikasi kepada para implementor secara serius mempengaruhi implementasi kebijakan. Komunikasi implementasi mencakup beberapa hal yaitu: (a) transformasi informasi, (b) kejelasan informasi, dan (c) konsistensi informasi. 2. Sumber Daya (resource) Bukan hanya isi sebuah kebijakan saja yang dikomunikasi secara jelas, sumber daya juga harus tetap dipersiapkan untuk dapat melaksanakan implementasi kebijakan. Ketersediaan sumber daya dalam implementasi kebijakan memegang peranan penting, karena implementasi kebijakan tidak akan efektif bilamana saumber-sumber pendukungnya tidak memadai. Komponen sumberdaya ini meliputi jumlah staf, keahlian dari para pelaksana, informasi yang relevan dan cukup untuk mengimplementasikan kebijakan dan pemenuhan sumber-sumber terkait dalam pelaksanaan program, adanya kewenangan yang menjamin bahwa program dapat diarahkansebagaimana yang diharapkan, serta adanya fasilitasfasilitas pendukung yang dapat dipakai untuk melakukan kegiatan program seperti dana dan sarana prasarana. Sumberdaya manusia yang tidak memadahi (jumlah dan kemampuan) berakibat tidak dapat dilaksanakannya program secara sempurna karena mereka tidak bisa melakukan pengawasan dengan baik.Jika jumlah staf pelaksana kebijakan terbatas maka hal yang harus dilakukan meningkatkan skill/kemampuan para pelaksana untuk melakukan program.Untuk itu perlu adanya manajemen SDM yang baik agar dapat meningkatkan kinerja program.Ketidakmampuan
pelaksana program ini disebabkan karena kebijakan konservasi energi merupakan hal yang baru bagi mereka dimana dalam melaksanakan program ini membutuhkan kemampuan yang khusus, paling tidak mereka harus menguasai teknik-teknik
kelistrikan.Informasi
merupakan
sumberdaya
penting
bagi
pelaksanaan kebijakan. Ada dua bentuk informasi yaitu informasi mengenai bagaimana cara menyelesaikan kebijakan/program serta bagi pelaksana harus mengetahui tindakan apa yang harus dilakukan dan informasi tentang data pendukung kepetuhan kepada peraturan pemerintah dan undang-undang. Kenyataan dilapangan bahwa tingkat
pusat
tidak
tahu
dilapangan.Kekurangan kebijakan
memiliki
kebutuhan
yang
informasi/pengetahuan konsekuensi
langsung
diperlukan
para
bagaimana seperti
pelaksana
melaksanakan
pelaksana
tidak
bertanggungjawab, atau pelaksana tidak ada di tempat kerja sehingga menimbulkan
inefisien.Implementasi
kebijakan
membutuhkan
organisasi dan individu terhadap peraturan pemerintah yang ada.
kepatuhan
Sumberdaya
lain yang juga penting adalah kewenangan untuk menentukan bagaimana program dilakukan,
kewenangan
untuk
membelanjakan/mengatur
keuangan,
baik
penyediaan uang, pengadaan staf, maupun pengadaan supervisor. Fasilitas yang diperlukan untuk melaksanakan kebijakan/program harus terpenuhi seperti kantor, peralatan, serta dana yang mencukupi. Tanpa fasilitas ini mustahil program dapat berjalan. 3. Disposisi (sikap) Salah satu faktor yang mempengaruhi efektifitas implementasi kebijakan adalah sikap implementor. Jika implemetor setuju dengan bagian-bagian isi dari
kebijakan maka mereka akan melaksanakan dengan senang hati tetapi jika pandangan mereka berbeda dengan pembuat kebijakan maka proses implementasi akan mengalami banyak masalah.Ada tiga bentuk sikap/respon implementor terhadap kebijakan;kesadaran pelaksana, petunjuk/arahan pelaksana untuk merespon program kearah penerimaan atau penolakan, dan intensitas dari respon tersebut.Para pelaksana mungkin memahami maksud dan sasaran program namun seringkali mengalami kegagalan dalam melaksanakan program secara tepat karena mereka menolak tujuan yang ada didalamnya sehingga secara sembunyi mengalihkan dan menghindari implementasi program.Disamping itu dukungan para pejabat pelaksana sangat dibutuhkan dalam mencapai sasaran program. Dukungan dari pimpinan sangat mempengaruhi pelaksanaan program dapat mencapai tujuan secara efektif dan efisien. Wujud dari dukungan pimpinan ini adalah Menempatkan kebijakan menjadi prioritas program, penempatan pelaksana dengan orang-orang yang mendukung program, memperhatikan keseimbangan daerah, agama, suku, jenis kelamin dan karakteristik demografi yang lain. Disamping itu penyediaan dana yang cukup guna memberikan insentif bagi para pelaksana program agar mereka mendukung dan bekerjasecara total dalam melaksanakan kebijakan/program. 4. Struktur Birokrasi (bereaucratic structure) Membahas badan pelaksana suatu kebijakan, tidak dapat dilepaskan dari struktur birokrasi. Struktur birokrasi adalah karakteristik, norma-norma, dan polapola hubungan yang terjadi berulang-ulang dalam badan-badan eksekutif yang mempunyai hubungan baik potensial maupun nyata dengan apa yang mereka miliki dalam menjalankan kebijakan.
1.5.3.Kurikulum 2013 1.5.3.1. Pengertian Kurikulum Menurut Hilda Taba, Kurikulum adalah sebuah rancangan pembelajaran, yang disusun dengan mempertimbangkan berbagai hal mengenai proses pembelajaran serta perkembangan individu. Sedangkan Ronald C. Doll (1964:15) menjelaskan bahwa kurikulum merupakan keseluruhan pengalaman yang ditawarkan pada anak-anak peserta didik di bawah arahan dan bimbingan sekolah. Dr. Dede Rosyada, M.A. (2004:26) mengatakan bahwa kurikulum merupakan inti dari sebuah penyelenggaraan pendidikan. Murray Print. mendefinisikan Kurikum sebagai semua ruang pembelajaran terencana yang diberikan kepada siswa oleh lembaga pendidikan dan pengalaman yang dinikmati oleh siswa saat kurikulum itu terapkan. Kurikulum adalah sejumlah mata pelajaran yang harus ditempuh dan dipelajari oleh siswa untuk memperoleh sejumlah pengetahuan.Kurikulum adalah suatu program pendidikan yang disediakan untuk membelajarkan siswa.Dengan program itu, para siswa melakukan berbagai kegiatan belajar sehingga terjadi perubahan dan perkembangan tingkah laku siswa, sesuai dengan tujuan pendidikan dan pembelajaran. Dengan kata lain, sekolah menyediakan lingkungan bagi siswa yang memberikan kesempatan belajar.
1.5.3.2. Fungsi Kurikulum Kurikulum dalam pendidikan memiliki beberapa fungsi sebagai berikut:
1. Fungsi kurikulum dalam rangka mencapai tujuan pendidikan Fungsi kurikulum dalam pendidikan tidak lain merupakan alat untuk mencapai tujuan pendididkan. Dalam hal ini, alat untuk menempa manusia yang diharapkan sesuai dengan tujuan yang diharapkan. Pendidikan suatu bangsa dengan bangsa lain tidak akan sama karena setiap bangsa dan Negara mempunyai filsafat dan tujuan pendidikan tertentu yang dipengaruhi oleh berbagai segi, baik segi agama, idiologi, kebudayaan, maupun kebutuhan Negara itu sendiri. Dengan demikian, dinegara kita tidak sama dengan Negara-negara lain, untuk itu, maka: a. Kurikulum merupakan alat untuk mencapai tujuan pendidikan nasional, b. Kuriulum merupakan program yang harus dilaksanakan oleh guru dan murid dalam proses belajar mengajar, guna mencapai tujuan-tujuan itu, c. kurikulum merupakan pedoman guru dan siswa agar terlaksana proses belajar mengajar dengan baik dalam rangka mencapai tujuan pendidikan. 2. Fungsi Kurikulum Bagi Sekolah yang Bersangkutan Kurikulum Bagi Sekolah yang Bersangkutan mempunyai fungsi sebagai berikut: a. Sebagai alat mencapai tujuan pendidikan yang diinginkan b. Sebagai pedoman mengatur segala kegiatan sehari-hari di sekolah tersebut, fungsi ini meliputi: 1) Jenis program pendidikan yang harus dilaksanakan 2) Cara menyelenggarakan setiap jenis program pendidikan 3) Orang
yang
bertanggung
jawab
dan
melaksanakan
pendidikan. (http://id.wikipedia.org/wiki/Kurikulum).
program
1.5.3.3. Kurikulum 2013 Pada
tahun
ajaran
baru
2013/2014
pemerintah
menetapkan
diberlakukannya kurikulum baru yaitu Kurikulum 2013 menggantikan KTSP. Penyusunan Kurikulum 2013 adalah bagian dari melanjutkan pengembangan KBK yang telah dirintis pada tahun 2004 dengan mencakup kompetensi sikap, pengetahuan, dan keterampilan secara terpadu, sebagaimana amanat UU 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional pada penjelasan pasal 35, dimana kompetensi lulusan merupakan kualifikasi kemampuan lulusan yang mencakup sikap, pengetahuan, dan keterampilan sesuai dengan standar nasional yang telah disepakati (Sisdiknas, 2012). Penyusunan kurikulum 2013 juga menitikberatkan pada penyederhanaan, tematik-integratif mengacu pada kurikulum 2006 (KTSP). Dimana ada beberapa permasalahan di antaranya; 1. Konten kurikulum yang masih terlalu padat, ini ditunjukkan dengan banyaknya mata pelajaran dan banyak materi yang keluasan dan tingkat kesukarannya melampaui tingkat perkembangan usia anak; 2. Belum sepenuhnya berbasis kompetensi sesuai dengan tuntutan fungsi dan tujuan pendidikan nasional; 3. Bompetensi belum menggambarkan secara holistik domain sikap, keterampilan, dan pengetahuan; beberapa kompetensi yang dibutuhkan sesuai dengan perkembangan kebutuhan (misalnya pendidikan karakter,
metodologi pembelajaran aktif, keseimbangan soft skills dan hard skills, kewirausahaan) belum terakomodasi di dalam kurikulum; 4. Belum peka dan tanggap terhadap perubahan sosial yang terjadi pada tingkat lokal, nasional, maupun global; 5. Standar
proses
pembelajaran
belum
menggambarkan
urutan
pembelajaran yang rinci sehingga membuka peluang penafsiran yang beraneka ragam dan berujung pada pembelajaran yang berpusat pada guru; 6. standar penilaian belum mengarahkan pada penilaian berbasis kompetensi (proses dan hasil) dan belum secara tegas menuntut adanya remediasi secara berkala; dan 7. KTSP memerlukan dokumen kurikulum yang lebih rinci agar tidak menimbulkan multi tafsir. Dalam alasan-alasan tersebut ada faktor kompetensi masa depan, dimana lulusan harus mampu berkomunikasi, berpikir jernih dan kritis, mampu mempertimbangkan segi moral suatu permasalahan. Disini terlihat bahwa lulusan yang lahir dari penerapan kurikulum berbasis karakter ini dapat menjadi lulusan yang hebat dan mampu bersaing di dunia internasional jika kurikulum dijalankan dengan baik dan benar oleh semua pihak yang bersangkutan.
1.5.3.4. Proses Pembelajaran Kurikulum 2013 Proses pembelajaran Kurikulum 2013 terdiri atas pembelajaran intrakurikuler dan pembelajaran ekstra-kurikuler.
1. Pembelajaran intra kurikuler adalah proses pembelajaran yang berkenaan dengan matapelajaran dalam struktur kurikulum dan dilakukan di kelas, sekolah, dan masyarakat. Pembelajaran didasarkan pada prinsip berikut : a.
Proses pembelajaran intra-kurikuler Proses pembelajaran di SD/MI berdasarkan
tema
sedangkan
di
SMP/MTS,
SMA/MA,
danSMK/MAK berdasarkan Rencana Pelaksanaan Pembelajaran yang dikembangkan guru. b.
Proses pembelajaran didasarkan atas prinsip pembelajaran siswa aktif untuk menguasai Kompetensi Dasar dan Kompetensi Inti pada tingkat yang memuaskan (excepted).
2. Pembelajaran ekstra-kurikuler adalah kegiatan yang dilakukan untuk aktivitas yang dirancang sebagai kegiatan di luar kegiatan pembelajaran terjadwal secara rutin setiap minggu.Kegiatan ekstra-kurikuler terdiri atas kegiatan wajib dan pilihan.Pramuka adalah kegiatan ekstra-kurikuler wajib. Kegiatan ekstra-kurikuler adalah bagian yang tak terpisahkan dalam kurikulum.Kegiatan ekstra-kurikuler berfungsi untuk: a.
Mengembangkan minat peserta didik terhadap kegiatan tertentu yang tidak dapat dilaksanakan melalui pembelajaran kelas biasa.
b.
Mengembangkan
kemampuan
yang
terutama
berfokus
pada
kepemimpinan, hubungan sosial dan kemanusiaan, serta berbagai ketrampilan hidup. Kegiatan ekstra-kurikuler dilakukan di lingkungan: a. Sekolah
b. Masyarakat c. Alam Kegiatan ekstra-kurikuler wajib dinilai yang hasilnya digunakan sebagai unsur pendukung kegiatan intra-kurikuler. I.5.4. Implementasi Kurikulum 2013 Implementasi kurikulum adalah usaha bersama antara Pemerintah dengan pemerintah daerah propinsi dan pemerintah daerah kabupaten/kota. 1. Pemerintah bertanggung jawab dalam mempersiapkan guru dan kepala sekolah untuk melaksanakan kurikulum. 2. Pemerintah bertanggungjawab dalam melakukan evaluasi pelaksanaan kurikulum secara nasional. 3. Pemerintah propinsi bertanggungjawab dalam melakukan supervisi dan evaluasi terhadap pelaksanaan kurikulum di propinsi terkait. 4. Pemerintah kabupaten/kota bertanggungjawab dalam memberikan bantuan profesional kepada guru dan kepala sekolah dalam melaksanakan kurikulum di kabupaten/kota terkait. Strategi Implementasi Kurikulum terdiri atas: 1.
Pelaksanaan kurikulum di seluruh sekolah dan jenjang pendidikan
2.
Pelatihan Pendidik dan Tenaga Kependidikan
3.
Pengembangan buku siswa dan buku pegangan
4.
Pengembangan manajemen, kepemimpinan, sistem administrasi, dan pengembanganbudaya sekolah (budaya kerja guru) terutama untuk SMA dan SMK.
5.
Pendampingan dalam bentuk Monitoring dan Evaluasi untuk menemukan kesulitan dan masalah implementasi dan upaya penanggulangan. Dalam kurikulum 2013, guru dituntut untuk secara profesional merancang
pembelajaran afektif dan bermakna, mengorganisasikan pembelajaran, memilih pendekatan pembelajaran yang tepat, menentukan prosedur pembelajaran dan pembentukan kompetensi secara efektif, serta menetapkan kriteria keberhasilan. Berkaitan dengan hal tersebut akan dijelaskan lebih lanjut sebagai berikut : 1. Merancang pembelajaran secar efektif dan bermakna. Implementasi kurikulum 2013 merupakan aktualisasi kurikulum, dalam pembelajaran dan pembentukan kompetensi serta karakter peserta didik.Hal tersebut menuntut keaktifan guru dalam menciptakan dan menumbuhkan berbagai kegiatan sesuai dengan rencana yang telah diprogramkan. Guru harus menyadari bahwa pembelajaran memiliki sifat yang sangat kompleks karena melibatkan aspek
pedagigis, psikologi, dan didaktis
secara bersamaan. 2.
Mengorganisasikan pembelajaran. Implementasi kurikulum 2013 menuntut guru untuk mengorganisasikan pembelajaran secara efektif. Sedikitnya terdapat lima hal yang perlu diperhatikan berkaitan dengan pengorganisasian pembelajaran dalam implementasi kurikulum 2013, yaitu pelaksanaan pembelajaran, pengadaan dan pembinaan tenaga ahli, pendayagunaan tenaga ahli dan sumber daya masyarakat, serta pengembangan dan penataan kebijakan.
3.
Memilih dan menentukan pendekatan pembelajaran. Implementasi kurikulum 2013 berbasis kompetensi dalam pembelajaran dapat dilakukan dengan berbagai pendekatan. Pendekatan tersebut antara lain pembelajaran kontekstual (contextual teaching and learing), bermain peran, pembelajaran partisipatif (participative
teaching and learning),
belajar tuntas (mastery learning), dan pembelajaran konstruktivisme (constructivism teaching and learning). 4. Melaksanakan pembelajaran, pembentukan kompetensi, dan karakter. Pembelajaran dalam menyukseskan implementasi kurikulum 2013 merupakan keseluruhan proses belajar, pembentukan kompetensi dan karakter peserta didik yang direncanakan. Untuk kepentingan tersebut maka kompetensi inti, kompetensi dasar, materi standart, indikator hasil belajar, dan waktu yang harus ditetapkan sesuai dengan kepentingan pembelajaran sehinga peserta didik diharapkan memperoleh kesempatan dan pengalaman belajar yang optimal. Dalam hal ini, pembelajaran pada hakikatnya adalah proses interaksi antara peserta didik dengan lingkungannya, sehingga terjadi perubahan perilaku kearah yang lebih baik. Pada umumnya kegiatan pembelajaran mencangkup kegiatan awal atau pembukaan, kegiatan inti atau pembentukan kompetensi dan karakter, serta kegiatan akhir atau penutup. Implementasi yang efektif merupakan hasil dari interaksi antara strategi implementasi, struktur kurikulum, tujuan pendidikan, dan kepemimpinan kepala sekolah.Oleh karena itu, pengoptimalan implementasi kurikulum 2013 diperlukan
suatu upaya strategis untuk mensinergikan komponen-komponen tersebut, terutama guru dan kepala sekolah dalam membudayakan kurikulum. Membudayakan kurikulum dapat diartikan bahwa implementasi kurikulum tersebut masuk dalam budaya sekolah, yang merefleksikan nilai-nilai dominan, norma-norma, dan keyakinan semua warga sekolah, baik peserta didik, guru, kepala sekolah, maupun tenaga kependidikan lain.
1.6.Definisi Konsep Menurut Singarimbun (1995:33), konsep merupakan istilah dan definisi yang digunakan untuk menggambarkan secara abstrak mengenai kejadian, keadaan, kelompok atau individu yang menjadi pusat perhatian ilmu sosial. Tujuannya adalah untuk memudahkan pemahaman dan menghindari terjadinya interpretasi ganda dari variabel yang diteliti.Adapun konsep yang digunakan dalam penelitian ini adalah: 1. Implementasi Kebijakan Implementasi kebijakan merupakan suatu kegiatan atau usaha yang dilakukan oleh pelaksana kebijakan dengan harapan akan memperoleh suatu hasil yang sesuai dengan tujuan atau sasaran dari suatu kebijakan itu sendiri. 2. Kurikulum 2013 Kurikulum 2013 adalah bagian dari melanjutkan pengembangan KBK yang telah dirintis pada tahun 2004 dengan mencakup kompetensi sikap, pengetahuan, dan keterampilan secara terpadu, sebagaimana amanat UU 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional pada penjelasan pasal
35, dimana kompetensi lulusan merupakan kualifikasi kemampuan lulusan yang mencakup sikap, pengetahuan, dan keterampilan sesuai dengan standar nasional yang telah disepakati. 3. Implementasi Kurikulum 2013 Implementasi
Peraturan
Menteri
Pendidikan
dan
Kebudayaan
Republik Indonesia No. 59 Tahun 2014Tentang Kurikulum 2013 Sekolah Menengah Atas/Madrasah Aliyah studi kasus di SMAN 3 Medan adalah model implementasi kebijakan George Edward. Yaitu a) Komunikasi
merupakan
proses
penyampaian
terdiri dari : informasi
dari
komunikator kepada komunikan. Sementara itu, komunikasi kebijakan berarti proses penyampaian informasi kebijakan dari pembuat kebijakan kepada pelaksana kebijakan. b) Sumber Daya (resources): merupakan segala sumber yang dapat digunakan untuk mendukung keberhasilan implementasi kebijakan. Sumber daya ini mencakup sumber daya manusia, anggaran, fasilitas, informasi dan kewenangan. c) Disposisi (disposisition) merupakan sikap penerimaan atau penolakan dari agen pelaksana kebijakan yang sangat mempengaruhi keberhasilan atau kegagalan implementasi kebijakan publik. d) Struktur Birokrasi (bureucratis structure) adalah susunan atau hubungan tiap bagian baik dari posisi maupun tugas yang ada dalam birokrasi itu sendiri.
1.7
Sistematika Penulisan Adapun sistematika laporan ini ditulis dalam enambab yang terdiri dari:
BAB I
PENDAHULUAN Bab ini terdiri dari latar belakang masalah, rumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian,kerangka teori, definisi konsep, dan sistematika laporan.
BAB II
METODE PENELITIAN Bab ini terdiri dari bentuk penelitian, lokasi penelitian, informan penelitian, teknik pengumpulan data dan teknik analisis data.
BAB III
DESKRIPSI LOKASI PENELITIAN Bab ini berisikan gambaran umum mengenai daerah penelitian yang meliputi keadaan geografis, kependudukan, sosial, ekonomi, dan pemerintahan.
BAB IV
PENYAJIAN DATA Bab ini membahas tentang hasil data-data yang diperoleh di lapangan.
BAB V
ANALISIS DATA Bab ini memuat analisa dari data pada Bab IV untuk selanjutnya memberikan interpretasinya. Bab ini merupakan penjelasan dan penguatan terhadap temuan dengan cara mengutip pendapatpendapat dari informan yang dianggap kredibel, selanjutnya membandingkan dengan hasil penelitian yang ada sebagai interpretasinya.
BAB VI
PENUTUP Bab ini berisikan tentang kesimpulan dari hasil penelitian yang dilakukan
dan
saran-saran
rekomendasi kebijakan.
yang
dianggap
perlu
sebagai