15
BAB: II KEDUDUKAN PESANTREN DALAM UNDANG-UNDANG NOMOR 20 TAHUN 2003 TENTANG SISTEM PENDIDIKAN NASIONAL
Pada tahun 2003 bangsa Indonesia telah berhasil merumuskan undangundang organik mengenai pendidikan. Pembaharuan sistem pendidikan nasional ini dilakukan untuk membaharui visi, misi, dan strategi pembangunan pendidikan nasional, yaitu terwujutnya sistem pendidikan sebagai pranata sosial yang kuat dan berwibawa untuk memberdayakan semua warga negara Indonesia yang berkembang menjadi manusia yang berkualitas adan mampu dan proaktif menjawab tantangan zaman yang selalu berubah.1 A.
Aspek-Aspek Yang Diatur Dalam UU No.20 Tahun 2003 Dalam konsideran UU No. 20 tahun 2003 tentang sistem pendidikan nasional, pada bagian menimbang telah disebutkan alasan ditetapkannya UU dibidang pendidikan. Alasan tersebut adalah: 1. Untuk mewujutkan mengamanatkan Pemerintah Negara Indonesia yang melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial; 2. Memberikan
amanat
kepada
Pemerintah
mengusahakan
dan
menyelenggarakan satu sistem pendidikan nasional yang meningkatkan keimanan dan ketakwaan kepada Tuhan Yang Maha Esa serta akhlak mulia dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa yang diatur dengan undangundang;
1
Republik Indonesia, Undang-Undang No. 20 Tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan Nasional, (Yogyakarta: Media Wacana, 2003), hlm. 48
16
3. Untuk menjamin pemerataan kesempatan pendidikan, peningkatan mutu serta relevansi dan efisiensi manajemen pendidikan untuk menghadapi tantangan sesuai dengan tuntutan perubahan kehidupan lokal, nasional, dan global sehingga perlu dilakukan pembaharuan pendidikan secara terencana, terarah, dan berkesinambungan; 4. Bahwa Undang-undang Nomor 2 Tahun 1989 tentang Sistem Pendidikan Nasional tidak memadai lagi dan perlu diganti serta perlu disempurnakan agar sesuai dengan amanat perubahan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945; 5. Maka berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud pada huruf a, b, c, dan d perlu membentuk Undang-Undang tentang Sistem Pendidikan Nasional. Dari kelima alasan tersebut telah tampak bahwa alasan nomor 1, 2 dan 4 bersifat konstitusional, sedang alasan nomor 3 dan 5 cenderung berbentuk norma–norma yang harus dipedomi dalam merumuskan kaidah-kaidah hukum dalam setiap bab dan pasal dari UU yang ditetapkan. Pembaharuan sistem pendidikan nasional dilakukan untuk meperbaharui visi, misi, dan strategi pembangunan pendidikan nasional. Visi pembangunan nasional yaitu: terwujutnya sistem pendidikan sebagai pranata sosial yang kuat untuk memberdayakan semua warga negara Indonesia berkembang menjadi manusia
yang
berkalitas
sehingga
mampu
dan
proaktif
menjawab
perkembangan zaman yang selalu berubah. Keseluruhan ketatepan yang diputuskan untuk diwujutkan dalam UU No. 20 tahun 2003, terdiri dari dua puluh dua bab dan 77 (tujuh puluh tujuh) pasal, yaitu: 1.
BAB I tentang Ketentuan Umum (1 pasal ). Dalam bab ini disebutkan beberapa kata kunci yang dipergunakan dalam UU No. 20 tahun 2003. dari 30 kata kunci akan diketengahkan sembilan (9) diantaranya yang dipandang sebagai norma-norma sentral bagi pembangunan pendidikan nasional.
17
a. Pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan negara. b. Pendidikan nasional adalah pendidikan yang berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang berakar pada nilai-nilai agama, kebudayaan nasional Indonesia dan tanggap terhadap tuntutan perubahan zaman. c. Sistem pendidikan nasional adalah keseluruhan komponen pendidikan yang saling terkait secara terpadu untuk mencapai tujuan pendidikan nasional. d.
Pendidikan
berbasis
masyarakat
adalah
penyelenggaraan
pendidikan berdasarkan kekhasan agama, sosial, budaya, aspirasi, dan potensi masyarakat sebagai perwujudan pendidikan dari, oleh, dan untuk masyarakat. e. Standar nasional pendidikan adalah kriteria minimal tentang sistem pendidikan di seluruh wilayah hukum Negara Kesatuan Republik Indonesia. f. Kurikulum adalah seperangkat rencana dan pengaturan mengenai tujuan, isi, dan bahan pelajaran serta cara yang digunakan sebagai pedoman penyelenggaraan kegiatan pembelajaran untuk mencapai tujuan pendidikan tertentu. g. Masyarakat adalah kelompok warga negara Indonesia nonpemerintah yang mempunyai perhatian dan peranan dalam bidang pendidikan. h. Pemerintah adalah Pemerintah Pusat. i. Pemerintah daerah adalah pemerintah provinsi, pemerintah kabupaten, atau pemerintah kota.
18
2. Bab II tentang Dasar, Fungsi dan Tujuan Pendidikan 2 (dua) pasal, yaitu pasal 2 tentang dasar pendidikan nasional; pasal 3 mengenai fungsi dan tujuan pendidikan nasional. Tujuan pendidikan nasional dalam UU ini telah disesuaikan dengan pasal 31 UUD 1945 hasil amandeman. 3. Bab III tentang Prinsip Penyelenggaraan Pendidikan 1 (satu) pasal (6 ayat), yaitu pasal 4. 4. Bab IV tentang Hak dan Kewajiban Warga Negara, Orang Tua, Masyarakat, dan Pemerintah (empat bagian) a. Bagian kesatu mengenai hak dan kewajiban warga negara 2 (dua ) pasal, yaitu pasal 5 dan pasal 6. b. Bagian kedua membahas tentang hak dan kewajiban orang tua 1 (satu) pasal, yaitu pasal 7. c. Bagian ketiga tentang hak dan kewajiban masyarakat 2 (dua) pasal, yaitu pasal 8 dan pasal 9. d. Bagian keempat tentang hak dan kewajiban pemerintah dan pemerintah daerah 2 (dua) pasal, yaitu pasal 10 dan pasal 11. 5. Bab V tentang Peserta Didik 1 (satu) pasal, yaitu pasal 12. 6. Bab VI tentang Jalur, Jenjang, dan Jenis Pendidikan terdiri 11 bagian dari 19 pasal, yaitu: a. Bagian kesatu tentang ketentuan umum 4 (empat) pasal, yaitu pasal 13; pasal 14; pasal 15; dan pasal 16. b. Bagian kedua tentang pendidikan dasar terdiri atas 1 (satu ) pasal, yaitu pasal 17. c. Bagian ketiga mengenai pendidikan menengah terdiri atas 1 (satu) pasal, yaitu pasal 18.
19
d. Bagian keempat mengenai pendidikan tinggi terdiri atas 7 (tujuh) pasal, yaitu pasal 19; pasal 20; pasal 21; pasal 22; pasal 23; pasal 24; pasal 25. e. Bagian kelima mengenai pendidikan nonformal terdiri atas 1 (satu ) pasal, yaitu pasal 26. f.
Bagian keenam mengenai pendidikan informal terdiri atas 1 (satu) pasal, yaitu pasal 27.
g. Bagian ketujuh mengenai pendidikan anak usia dini terdiri dari 1 (satu ) pasal, yaitu pasal 28. h. Bagian kedelapan mengenai pendidikan kedinasan terdiri dari 1 (satu) pasal, yaitu pasal 29. i. Bagian kesembilan tentang pendidikan keagamaan terdiri dari 1 (satu) pasal, yaitu pasal 30. j. Bagian kesepuluh tentang pendidikan jarak jauh terdiri dari 1 (satu) pasal, yaitu pasal 31. k. Bagian kesebelas tentang pendidikan khusus dan pendidikan layanan khusus terdiri dari 1 (satu) pasal, yaitu pasal 32. 7. BAB VII tentang Bahasa Pengantar. Bab ini terdiri dari 1 (satu) pasal, yaitu pasal 33. 8. BAB VIII tentang Wajib Belajar terdirir dari 1 (satu) pasal , yaitu pasal 34. 9. BAB IX tenteng Standar Nasional Pendidikan terdiri dari 1 (satu) pasal, yaitu pasal 35 10. Bab X tentang Kurikulum terdiri dari 3 (tiga) pasal, yaitu pasal 36; pasal 37; pasal 38. 11. BAB XI tentang Pendidik Dan Tenaga Kependidikan terdiri dari 6 (enam) pasal, yaitu pasal 39; pasal 40; pasal 41; pasal 42; pasal 43; pasal 44
20
12. BAB XII tentang Sarana Dan Prasarana Pendidikan terdiri dari 1 (satu) pasal, yaitu pasal 45. 13. BAB XIII tentang Pendanaan Pendidikan terdiri dari 4 (empet) pasal dalam 4 (empat) bagian, yaitu: a.
Bagian kesatu mengenai tanggung jawab pendanaan. Bagian ini terdiri dari 1(satu) pasal, yaitu pasal 46.
b. Bagian kedua mengenai sumber pendanaan pendidikan. Bagian ini terdiri dari 1(satu) pasal, yaitu pasal 47. c. Bagian ketiga mengatur pengelolaan dana pendidikan. Bagian ini terdiri dari 1(satu) pasal, yaitu pasal 48. d. Bagian keempat mengatur pengalokasian dana pendidikan. Bagian ini terdiri dari 1(satu) pasal, yaitu pasal 49. 14. BAB XIV tentang Pengelolaan Pendidikan terdiri dari 4 (empat) pasaal dalam 2 (dua) bagian, yaitu: a. Bagian kesatu tentang ketentuan umum dalam pengelolaan pendidikan, Bagian ini terdiri dari 3 (pasal ), yaitu pasal 50; pasal 51; pasal 52. b. Bagian Kedua tentang badan hukum pendidikan. Bagian ini terdiri dari1(satu) pasal, yaitu pasal 53. 15. BAB XVtentang Peran Serta Masyarakat Dalam Pendidikan, terdiri dari dari 3 (tiga) pasal dalam 3 (tiga) bagian, yaitu: a.
Bagian kesatu mengenai ketentuan umum tentang peran serta masyarakat dalam pendidikan. Bagian ini terdiri dari1(satu) pasal, yaitu pasal 54.
b. Bagian kedua tentang pendidikan berbasis masyarakat. Bagian ini terdiri dari1(satu) pasal, yaitu pasal 55. c. Bagian ketiga tentang dewan pendidikan dan komite sekolah/madrasah. Bagian ini terdiri dari1(satu) pasal, yaitu pasal 56.
21
16. BAB XVI tentang Evaluasi, Akreditasi, Dan Sertifikasi. Bab ini terdiri dari 5 (lima) pasal dalam 3 (tiga) bagian, yaitu: a. Bagian kesatu tentang evaluasi, bagian ini terdiri dari 3 (tiga) pasal, yaitu pasal 57; pasal 58; dan pasal 59. b. Bagian kedua tentang akreditasi, terdiri dari 1 (satu) pasal, yaitu pasal 60. c. Bagian ketiga tentang sertifikasi, terdiri dari 1 (satu) pasal, yaitu pasal 61. 17. BAB XVII tentang Pendirian Satuan Pendidikan, terdiri dari 2 (dua) pasal, yaitu pasal 62 dan pasal 63. 18. BAB XVIII tentang Penyelenggaraan Pendidikan oleh Lembaga Negara lain, terdiri atas 2 (dfua) pasal, yaitu pasal 64 dan pasal 65. 19. BAB XIX tentang Pengawasan, terdiri atas 1 (satu) pasal , yaitu pasal 66. 20. BAB XX tentang Ketentuan Pidana,terdiri atas 5 (lima ) pasal, yaitu pasal 67;
pasal 68; pasal 69; pasal 70; dan pasal 71.
Ketentuan pidana yang di atur dalan bab ini ada 3 kelompok berdasarkan lama tahanan dan jumlah denda yang di berikan pada terdakwa, yaitu: a. pidana penjara paling lama sepuluh tahuin dan/atau denda paling banyak 1.000.000.000. b. Pidana penbjara paling lama lima tahun atau denda paling banyak 500.000.000. c. Pidana penjara paling lama dua tahun dan/atau denda paling banyak 200.000.000. 21. BAB XXI tentang Ketentuan Peralihan, terdiri dari 3 (tiga) pasal, yaitu pasal 72; pasal 73; dan pasal 74.
22
22. BAB XXII tentang Ketentuan Penutup, terdiri dari 3(tiga) pasal, yaitu pasal 75; pasal 76; dan pasal 77.
B. Eksistensi Pendidikan Agama Dalam UU No.20 Tahun 2003 Keberadaan pendidikan agama secara formal merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari kehidupan berbangsa dan bernegara, dimana Indonesia bukanlah negara “sekuler” juga bukan negara “teokrasi”2 tetapi Indonesia adalah negara pancasila yang mengakomodir agama sebagai bagian dari falsafah hidup bangsa. Oleh karena itu pendidikan sebagai upaya pembagunan bagi masyarakat Indonesia seutuhnya yang berfalsafahkan pancasila, maka pendidikan agama perlu diakomodir dalam undang-undang pendidikan nasional. Agama, baik secara kultural-sosiologis maupun legal-konstitusional, menduduki posisi yang sangat penting dalam kehidupan bangsa Indonesia. Kehidupan masyarakat Indonesia yang diwarnai agama mendapat landasan legalkonstitusional melalui UUD 1945 dan Pancasila dengan sila pertama “Ketuhanan Yang Maha Esa”. Dengan demikian Indonesia bukanlah negara sekuler, tetapi pada saat yang sama juga negara agama.3 Eksistensi pendidikan agama dalam UU No. 20 tahun 2003 ini semakin kuat dan telah terakomodir secara tersurat dalam beberapa pasal yang cukup urgen dalam proses pembangunan pendidikan di Indonesia derta sudah mencerminkan seluruh aspirasi agama yang ada di Indonesia4. Penjelasan mengenai pentingnya pendidikan agama sebagai bagian integral dari sistem pendidikan nasional dan pembangunan dapat dilihat dalam beberapa hal pada UU No. 20 tahun 2003, antara lain:
2 M. Saerozi, “Bila Negara Mengatur Agama”, dalam Ulumuna, Vol.VII, Edisi 12 No. 2 Juli-Desember 2003, hlm. 264 3
Azyumardi Azra, Paradigma Baru Pendidikan Nasional, (Jakarta: Kompas Media Nusantara), hlm. 252 4
Abuddin Nata, XXVII/II/Th.XI/I/2003
“Bukan Intervensi Agama Terhadap Negara Tetapi...” Edukasi
23
a. Tujuan pendidikan nasional Dalam tujuan pendidikan nasional, telah disebutkan bahwa pendidikan diarahkan untuk membentuk peserta didik menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab. Peran pendidikan agama dalam menciptakan generasi yang beriman dan bertaqwa serta akhlak mulia sesuai dengan tujuan diatas sangat dominan, hal tersebut sesuai dengan tujuan pendidikan agama yaitu mengajar ilmu-ilmu agama agar para pelajar/mahasiswa menjadi manusia yang beriman dan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa.5 Disamping itu banyak ahli agama dari umat Islam maupun non Islam yang mengatakan bahwa hanya agama yang bisa membimbing umatnya untuk bersikap lebih empati kepada sesama, dan itu bisa dikatakan bahwa agama berperan dalam membentuk manusia yang cerdas spiritual ( spritual Quation).6 b. Prinsip penyelenggaraan pendidikan Prinsip penyelengaraan pendidikan telah tercantum dalam pasal 4. Prinsip ini sebagai acuan penyelengaraan pendidikan yang telah disesuaikan dengan tuntutan dunia pendidikan di era reformasi ini seperti prinsip demokratis, keadilan dan tidak diskriminatif dengan menjunjung tinggi hak asasi manusia, nilai keagamaan, nilai kultural, dan kemajemukan bangsa. c. Hak peserta didik Hak peserta didik dalam setiap satuan pendidikan tertuang dalam pasal 12. Dalam pasal ini telah diatur beberapa hak yang diberikan kepada peserta didik, diantaranya hak untuk mendapatkan pendidikan agama. Pendidikan agama bagi peserta didik sebagai hak asasi, sebagaimana hak
5
A. Hasyimi, Mengapa Umat Islam Mempertahankan Pedidikan Agama Dalam Sistem Pendidikan Nasional, (Jakarta: Bulan Bintang, 1979), hlm. 10. 6
Mahmudi, ”Kontroversi Agama dalam http://www.pesantrenonline.com/artikel/detailartikel.php3?artikel=183
RUU
Sisdiknas”
24
agama pada manusia dan UU telah menjamin tiap-tiap agama memperoleh jaminan yang cukup.7 Pada awal pembahasan rancangan UU ini telah terjadi kontroversi tentang pendidikan agama, banyak yang menolak adanya pendidikan agama yang diajarkan oleh orang yang seagama terutama dari unsur non Islam dengan berbagai alasan yang dikemukakan, tetapi sebagian besar warga negara Indonesia menghendaki untuk tetap adanya pasal tersebut yang tertuang dalam pasal 12 ayat 1, berbunyi: Setiap peserta didik pada setiap satuan pendidikan berhak mendapatkan pendidikan agama sesuai dengan agama yang dianutnya dan diajarkan oleh pendidik yang seagama.8 d. Pendidikan keagamaan Pendidikan keagamaan merupakan pasal yang belum diatur dalam Undang-Undang pendidikan sebelumnya. Dalam UU No. 20 tahun 2003 pendidikan keagamaan telah diatur dalam pasal 30. Pendidikan keagamaan menurut pasal ini berfungsi mempersiapkan peserta didik menjadi anggota masyarakat yang memahami dan mengamalkan nilai-nilai ajaran agamanya dan/atau menjadi ahli ilmu agama yang diselenggarakan oleh pemerintah atau kelompok masyarakat dari pemeluk agama, sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Pendidikan keagamaan dapat diselenggarakan melalui jalur pendidikan formal, nonformal, dan informal, seperti diniah, pesantren, pasraman, pabhaja samanera, dan bentuk lain yang sejenis. e. Kurikulum ( pasal 36 dan pasal 37) Kurikulum menurut UU No. 20 tahun 3003 didefinisikan sebagai seperangkat rencana dan pengaturan mengenai tujuan, isi, dan bahan pelajaran serta cara yang digunakan sebagai pedoman penyelenggaraan kegiatan pembelajaran untuk mencapai tujuan pendidikan tertentu. Dalam kurikulum telah dijabarkan dalam beberapa matapelajaran untuk mewujutkan tujuan pendidikan yang telah disusun sesuai jenjang 7
Malik fajar, Op. Cit., hlm. 2
8
Republik Indonesia, Op. Cit., hlm. 15.
25
pendidikan dalam rangka Negara Kesatuan Republik Indonesia dengan memperhatikan: a. peningkatan iman dan taqwa; b. peningkatan akhlak mulia; dan seterusnya. Dalam pasal 37 disebutkan bahwa kurikulum pendidikan dasar, menengah dan tinggi minimal memuat: a. pendidikan agama; b. pendidikan kewarga negaraan; c. bahasa. Pendidikan agama pada pasal ini, dimaksudkan untuk membentuk peserta didik menjadi manusia yang beriman dan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa serta berahlak mulia. f. Pendidikan berbasis masyarakat Pendidikan berbasis masyarakat adalah penyelenggaraan pendidikan berdasarkan kekhasan agama, sosial, budaya, aspirasi, dan potensi masyarakat sebagai perwujudan pendidikan dari, oleh, dan untuk masyarakat. Kekhasan agama dalam penyelenggaraan pendidikan berbasis masyarakat telah dijamin dan dihargai dengan UU ini, dan pemerintah bertanggun jawab untuk membantu dan memberdayakan.9 Seperti dalam pasal 55 ayat 1, menyebutkan bahwa: Masyarakat berhak menyelenggarakan pendidikan berbasis masyarakat pada pendidikan formal dan non formal sesuai dengan kekhasan agama, lingkungan sosial, dan budaya untuk kepentingan masyarakat.10 Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa eksistensi pendidikan agama sangat kuat. Disamping adanya ketentuan hukum yang secara tegas
9
Ibrahim musa, otonomi http://202.159.18.43/jp/22ibrahim.htm 10
penyelenggaraan
Republik Indonesia, Op. Cit., hlm. 36
pendidikan dasar dan
menengah
26
menjamin dan mewajibkan adanya pendidikan agama disetiap jalur dan jenjang pendidikan serta lembaga-lembaga pendidikan agama telah diakui dan sejajar dengan lembaga pendidikan lainnya, dan dalam UU No. 20 Tahun 2003 ini pendidikan agama sebagai sarana memperbaiki keterpurukan bangsa akibat krisis multi dimensi saat ini. C. Posisi Pesantren dalam UU. No. 20 tahun 2003 Pendidikan pesantren pada hakekatnya tumbuh dan berkembang sepenuhnya berdasarkan motivasi agama. Dalam pelaksanaanya pesantren melakukan proses pembinaan pengetahuan, sikap, dan kecakapan yang menyangkut segi keagamaan. Tujuan inti pesantren adalah mengusahakan terbentuknya manusia berbudi pakerti yang luhur (al-akhlaqul karimah) dengan pengamalan agama yang konsisten (istiqamah).11 Sedangkan tujuan pendidikan nasional sebagaimana pasal 3 adalah: pendidikan diarahkan untuk membentuk peserta didik menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab. Peran pesantren dalam ikut serta membangun dan mencerdaskan bangsa telah terbukti sebagaimana fungsinya sebagai lembaga pendidikan, lembaga dakwah dan lembaga sosial.12 Peran pesantren sebagaimana fungsi tersebut memiliki potensi besar dalam mewujutkan cita-cita pendidikan nasional. Keikutsertaan pesantren dalam pewujutan cita-cita pendidikan nasional telah diakomudir pada UU No. 20 tahun 2003 pasal 30, yaitu: 1. Pendidikan keagamaan diselenggarakan oleh Pemerintah dan/atau kelompok masyarakat dari pemeluk agama, sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
11 Dedi Djubaedi, ”Pemaduan Pendidikan Pesantren-Sekolah Telaah Teoritis Dalam Perspektif Pendidikan Nasional”, dalam. Sa’id Aqiel Siradj et al. Pesantren Masa Depan, (Bandung: Pustaka Hidayah, 1999), hlm. 187. 12
Mastuhu, Dinamika Sistem Pendidikan Pesantren: Suatu Kajian Tentang Unsur dan Nilai Sisten Pendidikan Pesantren, ( Jakarta: INIS, 1994) hlm. 59.
27
2. Pendidikan keagamaan berfungsi mempersiapkan peserta didik menjadi anggota masyarakat yang memahami dan mengamalkan nilai-nilai ajaran agamanya dan/atau menjadi ahli ilmu agama. 3. Pendidikan keagamaan dapat diselenggarakan pada jalur pendidikan formal, nonformal, dan informal. 4. Pendidikan keagamaan berbentuk pendidikan diniyah, pesantren, pasraman, pabhaja samanera, dan bentuk lain yang sejenis. 5. Ketentuan mengenai pendidikan keagamaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), ayat (3), dan ayat (4) diatur lebih lanjut dengan peraturan pemerintah. Melalui UU No. 20 tahun 2003 tersebut, pesantren telah menempati posisi penting yaitu sebagai sub sistem pendidikan nasional dalam rangka membentuk pranata sosial yang kuat dan berwibawa melalui pendidikan. Pondok pesantren sebagai lembaga pendidikan nonformal telah tumbuh dan berkembang secara mandiri jauh sebelum Indonesia merdeka sampai sekarang yang kita kenal. Pendidikan nonformal menurut UU No. 20 tahun 2003 adalah jalur pendidiakn diluar pendidikan formal yang dapat dilaksanakan secara terstruktur dan berjenjang. Pesantren sebagai lembaga nonformal diselenggarakan bagi warga masyarakat yang memerlukan layanan pendidikan yang berfungsi sebagai penganti, penambah, dan/atau pelenglap pendidiakn formal dalam rangka mendukung pendidikan sepanjang hayat. Dan berfungsi pendidikan nonformal adalah mengembangkan potensi peserta didik dengan menekankan pemguasaan pengetahuan dan keterampilan fungsional serta pengembangan sikap dan kepribadian professional.13 D. Manajemen Pendidikan Menurut UU No. 20 tahun 2003 Pendidikan di Indonesia telah mengalami perubahan yang cukup mendasar terhadap pelaksanaanya. Hal ini diawali setelah di undangkannya UU 13
Republik Indonesia, Op. Cit., hlm. 20.
28
No. 22 tahun 1999 tentang pemerintah daerah dan UU No. 25 tahun 1999 tentang perimbangan keuangan antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah yang ditindaklanjuti dalam peraturan pemerintah Nomor 25 tahun 2000 tentang kewenangan pemerintah
dan kewenangan propinsi sebagai daerah otonom,
sebagai penjabaran dari Tap MPR Nomor: XV/MPR/1998. Sejalan dengan arah kebijakan otonomi dan desentralisasi yang di tempuh oleh pemerintah, pelimpahan kewenangan pemerintah pusat kepada daerah semakin banyak dan tangung jawab pemerintah daerah semakin berat, termasuk dalam pendidikan. Manajemen dalam desentralisasi pendidikan menempati posisi penting untuk memperbaiki kualitas pendidikan itu sendiri. Manajemen sering diartikan sebagai ilmu, kiat, dan profesi. Manajemen sebagai ilmu oleh Luther Gulick dipandang sebagai suatu bidang pengetahuan yang secara sistematik berusaha memahami mengapa dan bagaimana orang bekerja. Dikatakan kiat oleh Foller karena manajemen mencapai sasaran melalui cara-cara dengan mengatur orang lain menjalankan dalam tugas. Dan dipandang profesi karena manajeman dilandasi oleh keahlian khusus untuk mencapai suatu prestasi manajer.14 Manajemen didefinisikan sebagai suatu proses sosial yang direncanakan untuk menjamin kerjasama, partisipasi, intervensi dan keterlibatan orang lain dalam mencapai sasaran tertentu atau yang telah ditetapkan dengan efektif.15 Dan menurut Stoner manajemen adalah proses perencanaan, pengorganisasian, pemimpinan, dan pengendalian upaya anggota organisasi dan penggunaan semua sumberdaya organisasi untuk mencapai tujuan yamg telah ditetapkan secara efektif dan efisien.16 Arti manajemen mengalami perkembangan sesuai dengan fungsi dan penerapan dalam beberapa bidang. Dalam dunia pendidikan manajemen
14 Nanang Fatah, Landasan Manajeman Pendidikan, (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2000), Cet. 3, hlm.1. 15
Iwa Sukiswa, Dasar-Dasar Umum Manajemen Pendidikan, (Bandung: Tarsito, 1986),
hlm., 13. 16
Sufyarma, Kapita Selekta Manajemen Pendidikan Nasional, (Bandung: Alfabeta, 2003) Cet.1, hlm,189.
29
didefinisikan sebagai seluruh proses kegiatan bersama dalam bidang pendidikan dengan memanfaatkan semua fasilitas yang ada baik personal, material maupun spiritual untuk mencapai tujuan pendidika,17 dan manajemen pendidikan diarahkan kepada peningkatan kualitas pendidikan, yaitu pendidikan yang mempunyai relevansi serta akuntabilitas.18 Manajemen sisdiknas merupakan bagian dari Sistem Manajemen Nasional yang pada hakekatnya mengemban kepentingan nasional atau kepentingan rakyat.19 Dalam UU No. 20 tahun 2003 masalah manajemen atau pengelolaan telah diataur secara garis besar dalam bab XIV tentang pengelolaan pendidikan yaitu pasal 50, 51, 52 dan 53. Manajemen/pengelolaan pendidikan ini dapat dipahami melalui 2 sisi, yaitu: Pertama, pengelolaan pendidikan dilakukan secara makro (pasal 50), yaitu pengelolaan pendidikan dilakukan oleh pengelola ditingkat wilayah kabupaten, propinsi sampai nasional dibawah koordinasi Menteri Pendidikan Nasional dan Menteri terkait lainnya.20 Seperti Menteri Agama, Menetri Dalam Negeri.21 Telah disebutkan dalam pasal 50 ayat 1 sampai dengan ayat 7 bahwa: 1. Pengelolaan sistem pendidikan nasional merupakan tanggung jawab menteri. 2. Pemerintah menentukan kebijakan nasional dan standar nasional pendidikan untuk menjamin mutu pendidikan nasional. 3. Pemerintah dan/atau pemerintah daerah menyelenggarakan sekurangkurangnya satu satuan pendidikan pada semua jenjang pendidikan untuk dikembangkan menjadi satuan pendidikan yang bertaraf internasional. 17
Ibid. hlm., 191.
18
H.A.R. Tilaar, Perubahan Sosial dan Pendidikan, (Jakarta: Grasindo, 2002), hlm. 481.
19
Subagio Atmodiwiro, Menajemen Pendidikan Nasional. (Jakarta: Ardadizya Jaya, 2000), hlm. 12. 20
Ibrahim Musa Otonomi Penyelenggaraan Pendidikan Dasar Dan Menengah http://202.159.18.43/jp/22ibrahim.htm
21
1) kesepakatan bersama antara Menteri Pendidikan Nasional dan Menteri Agama Nomor: 1/U/KB/2000. Nomor: MA/89/2000 tentang pondok pesantren salaf sebagai pola wajib belajar pendidikan dasar sembilan tahun. 2) kesepakatan bersama Menteri Agama, Menteri Pendidikan Nasional, dan Menetri Dalam Negeri (SKB 3 menteri) Nomor: 6 tahun 1975, Nomor: 037/U/1975 dan Nomor: 36 tahun 1975
30
4. Pemerintah daerah provinsi melakukan koordinasi atas penyelenggaraan pendidikan, pengembangan tenaga kependidikan, dan penyediaan fasilitas penyelenggaraan pendidikan lintas daerah kabupaten/kota untuk tingkat pendidikan dasar dan menengah. 5. Pemerintah kabupaten/kota mengelola pendidikan dasar dan pendidikan menengah, serta satuan pendidikan yang berbasis keunggulan lokal. 6. Perguruan tinggi menentukan kebijakan dan memiliki otonomi dalam mengelola pendidikan di lembaganya. 7. Ketentuan mengenai pengelolaan pendidikan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), ayat (3), ayat (4), ayat (5), dan ayat (6) diatur lebih lanjut dengan peraturan pemerintah.22
Pengelolaan pendidikan ditingkat nasional adalah tanggung jawab menteri, yaitu menteri pendidikan nasional (mendiknas). Mendiknas adalah sebagai administrator dibantu oleh Sekretaris Jenderal, Direktur Jenderal, Inspektur Jenderal dan Kepala Balitbang Diknas yang berperan sebagai penentu kebijakan stategi nasional, penanggung jawab tertinggi dan pembina dalam pengelolaan sistem pendidikan nasional secara menyeluruh.23 Jadi Mendiknas dan menteri terkait memiliki hak untuk menjabarkan dan menerapkan sistem pendidikan yang telah disepakati dalam undang-undang melalui PPnya. Walaupun demikian, dualisme pengelolaan pendidikan di Indonesia masih berlangsung
yaitu pengelolaan pendidikan keagamaan (formal dan
nonformal) oleh Departemen Agama dan pendidikan umum oleh Departemen Pendidikan Nasional. Walau pernah ada upaya dari pemerintah untuk menyatukan ke-2 pengelolaan pendidikan, namun usaha ini mengalami kegagalan karena penolakan kaum muslimin yang mempertahankan eksistensi madrasah dibawah Depag24
22
Republik Indonesia, Op. Cit. hlm. 33-34.
23
Mulyasa, Manajemen Berbasis Sekolah, Lampiran 1: Uraian Umum KewenanganPemerintah dan Kelwmbagaan Dalam Rangka Desentralisasi Pendidikan (diadopsi dari BPPN dan Bank Dunia, 1999), (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2003),Cet. 4, hlm185. 24
Fuad Jabali dan Jamhari, Op. Cit., hlm. 68.
31
Pengelolaan pendidikan yang bercirikhas keagamaen secara makro oleh Departemen Agama meliputi MI, MTs, MA, perguruan tinggi agama negeri dan swasta serta pondok pesantren
bersama-sama dengan departemen lain yang
memiliki kepentingan sama untuk meningkatkan mutu pendidikan, seperi Depdiknas, Depdagri dan departemen yang lainnya. Tanggung jawab pemerintah pusat dalam mengelola pendidikan diera otonomi daerah telah mengalami pergeseran ditandai pelimpahan kewenangan dari pemerintah pusat kepada pemerintah daerah. Perintah pusat memiliki kewenangan menentukan kebijakan nasional dan standar nasional pendidikan untuk menjamin mutu pendidikan nasional. Guna pengembangan standar pendidikan nasional serta untuk memantau pencapaiannya, Departemen Pendidikan Nasional telah membentuk Lembaga Penilaian Mutu Pendidikan. Pembentukan unit pelaksana teknis Depdiknas yang berada ditingkat provinsi ini terutama dimaksudkan untuk memenuhi Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, Pasal 35 Ayat (3).25 Ditingkat pemerintah daerah propinsi, pemerintah memiliki kewenangan untuk melalukan koordinasi terhadap penyelengaraan pendidikan lintas daerah kabupaten/kota untuk tingkat pendidikan dasar dan menengah dan membuat kebijakan pendidikan sebagai penjabaran kebijakan pendidikan ditingkat nasional untuk dilaksanakan ditingkat propinsi.26Menurut Ibrahim Musa bahwa fungsi manajemen pendidikan ditingkat propinsi yang selama ini dilaksanakan oleh Kantor Perwakilan Departemen, akan terpusat pada monitoring terhadap efisiensi dan efektivitas pelaksanaan kebijakan nasional tersebut oleh manajemen pendidikan ditingkat kabupaten dan lembaga pendidikan.27 Pemerintah kabupaten dalam pengelolaan pendidikan secara makro menempati posisi kunci dalam rangka mengimplementasikan kebijakan-kebijakan
25
Sungkowo, “Depdiknas Bentuk Lembaga Penilaian Mutu Pendidikan” , Kompas, Senin, 05 Januari 2004 http://www.kompas.co.id/kompas-cetak/0401/05/dikbud/782372.htm.., hlm. 1. 26
Mulyasa, Op. Cit. hlm. 186
27
Ibrahim Musa. Op. Cit. hlm.
32
pendidikan pada pengelolaan pendidikan dasar dan pendidikan menengah satuan pendidikan yang berbasis keunggulan lokal. Manajemen pendidikan ditingkat kabupaten bertanggung jawab untuk membina secara langsung penyelenggaraan pendidikan oleh sekolah, madrasah, dan pesantren. Lima fungsi manajemen yang mencakup perencanaan dan penganggaran, pengorganisasian, pengadaan guru dan tenaga kependidikan, pembinaan kepemimpinan dan motivasi, dan pengendalian dan pengawasan menjadi acuan pokok dalam membina lembaga pendidikan di kabupaten. Secara keseluruhan, tugas dan fungsi utama dari manajemen pendidikan di kabupaten bertujuan untuk mengendalikan mutu hasil pendidikan (quality control)28 Pemerintah pusat maupun pemerintah daerah telah diarahkan untuk penyelenggarakan minimal satu pendidikan yang dapat dikembangkan menjadi satuan pendidikan yang bertaraf internasional. Untuk itu pemerintah memberikan rambu-rambu baik bersifat akademik maupun non-akademik seperti kualifikasi guru, luas bangunan, sarana belajar seperti buku dan proses pembelajaran yang mengacu pada standar internasional yang harus dipenuhi oleh masyarakat untuk mendirikan suatu lembaga pendidikan atau sekolah.29 Pengelolaan pendidikan pada perguruan tinggi, bahawa perguruan tinggi dapat menentukan kebijakan dan memiliki otonomi dalam penyelenggarannya. Yang dimaksud dengan otonomi perguruan tinggi adalah kemandirian perguruan tinggi untuk mengelola sendiri lembaganya.30 Pengelolaan pendidikan secara makro yang mengacu pada UU No. 20 Tahun 2003 akan diatur dalam peraturan pemerintah. Kedua, pengelolaan pendidikan mikro (pasal 51), yaitu pengelolaan yang dilakukan
di
sekolah
oleh
guru
dibawah
kepemimpinan
Kepala
Sekolah\madrasah.31 Madrasah disini diartikan sebagi sekolah, karena secara
28
Ibid.
29
Ibid. hlm. 6
30
Republik Indonesia, Op. Cit, hlm. 67
31
Ibrahim Musa. Op. Cit. hlm.1
33
teknis keduanya memiliki kesamaan, yaitu sebagai tempat berlangsungnya pendidikan formal, namun madrasah memiliki karakteristik atau ciri kahas yang berbeda. Perbedaan karakter antara madrasah dan sekolah itu sera historis dipengarui perbedaan tujuan antara keduanya. Tujuan pendidikan madrasah adalah untuk mentrasmisikan nilai-nilai agama Islam dan sekolah diperkenalkan oleh Belanda untuk untuk menyiapkan calon pegawai Belanda32. Pengeloaan madrasah sebagai pendidikan formal dan sekolah disebutkan dalam pasal 51 ayat 1,2 dan 3 bahwa: 1. Pengelolaan satuan pendidikan anak usia dini, pendidikan dasar, dan pendidikan menengah dilaksanakan berdasarkan standar pelayanan minimal dengan prinsip manajemen berbasis sekolah/madrasah. 2. Pengelolaan satuan pendidikan tinggi dilaksanakan berdasarkan prinsip otonomi, akuntabilitas, jaminan mutu, dan evaluasi yang transparan. 3. Ketentuan mengenai pengelolaan satuan pendidikan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) diatur lebih lanjut dengan peraturan pemerintah.33 Pengelolaan pendidikan secara mikro yang disarankan oleh undangundang dengan prinsip manajemen berbasis sekolah atau madrasah (MBS) atau school based manajemen (SBM). Manajemen berbasis sekolah atau school based manajemen (SBM) dapat didefinisikan sebagai penyerasian yang dilakukan oleh sekolah dengan melibatkan semua kelompok kepentingan yang terkait dengan sekolah secara langsung dalam proses pengambilan keputusan untuk memenuhi kebutuhan mutu atau untuk mencapai tujuan mutu sekolah dalam pendidikan nasional.34 Manajemen berbasis sekolah ini merupakan bentuk otonomi dalam satuan pendidikan, yang dalam hal ini kepala sekolah/madrasah dalam mengelola kegiatan pendidikan.35
32
Azyumardi Azra (pengt) Sejarah Perkembangan Madrasah,(Depag: Direktorat Pembinaan Kelembagaan Agama Islam, 2001/2002), hlm. 9-10. 33
Republik Indonesia, Op. Cit, hlm. 34
34
Eman Suparman “Manajemen pendidikan Masa Depan” http://www.depdiknas.go.id/publikasi/Buletin/Pppg_Tertulis/08_2001/manajemen_pendidikan_ma sa_depan.htm 35
Ibid, hlm, 67
34
Peran kepala sekolah dalam pengelolaan pendidikan secara mikro pada satuan pendidikan semakin besar seiring pelimpahan kewenangan pada era otonomi. Kepala sekoah adalah seorang guru (jabatan fungsional) yang diangkat untuk menduduki jabatan struktural (kepala sekolah) di sekolah, ia adalah pejabat yang ditugaskan untuk mengelola sekolah. (Depdikbud, Direktorat Sarana dan Prasarana Direktur Jendral Dikdasmen , Pedoman Pengelolaan Administrasi Sekolah Tingkat Pertama, 1973)36 yang memilik dua peran sekaligus yaitu a) administratif manajerial, b) kepemimpinan pengajaran. Dengan adanya pengalihan kewenangan pengambilan keputusan ada level sekolah, maka sekolah diharapkan lebih mandiri dan mampu menentukan arah pengembangan yang sesuai dengan tuntunan lingkungan masyarakatnya, atau dengan kata lain sekolah mampu mengembangkan program yang relevan dengan kebutuhan masyarakat.37 Dengan tujuan utama manajemen berbasis sekolah adalah meningkatkan efesiensi, mutu, dan pemerataan pendidikan.38 Sedangkan pengelolaan pendidikan tinggi dengan prinsip-prinsip seperti dalam pasal 51 ayat 2 diatas merupakan kelanjutan dari pasal 50 ayat 6, dimana perguruan tinggi dalam pengelolaannya memiliki kebijakan dan otonomi, karena tanpa otonomi perguruan tinggi tidak dapat melakukan inovasi. Dan karena otonomi tersebut perguruan tinggi dapat memilik prinsip-prinsip yang dapat diterapkan dalam lingkungan pendidikan tinggi tersebut,39 minimal prinsip-prinsip yang telah ditentukan dalam pasal 51 ayat 2 yaitu: prinsip otonomi, akuntablitas, jaminan mutu, dan evaluasi yang transparan dalam penyelenggaraan pendidikan tinggi seperti dalam pasal 19 sampai dengan pasal 25. Pengelolaan pada satuan pendidikan harus sesuai dengan prinsip-prinsip penyelenggaraan pendidikan yang termuat dalam pasal 4, karena prinsip-prinsip ini memiliki nilai-nilai filosofis yang tinggi dalam rangka mencapai tujuan
36
Subagio Atmodiwiro, Op. Cit., hlm. 161
37
Sufyarma,Op. Cit., hlm, 87
38
Mulyasa, Op. Cit. hlm., 13
39
H.A.R. Tilaar, Membenahi Pendidikan Nasional, (Jakarta: Rineka Cipta, 2002), hlm.17
35
pendidikan nasional. Mengenai pengelolaan dalam satuan pendidikan dasar, menengah dan pendidikan tinggi selanjutnya ditentukan dalam peraturan pemeritah. Selain pengelolaan pendidikan formal yang telah diatur diatas juga satuan pendidikan nonformal mendapatkan perhatian dan bagian dari undang-undang ini terutama pasal 52, dimana pendidikan nonformal dalam pengelolaannya dapat dilakukan oleh pemerintah, pemerintah daerah, dan/ masyarakat, dan mengenai ketantuan yang lain di tentukan dalam peraturan pemerintah. Pondok pesantren dan madrasah diniah merupakan pendidikan nonformal yang mendampingi pendidikan formal untuk mencapai tujuan pendidikan nasional. Pengelolaan pendidikan Penyelenggaraan pendidikan menurut pasal 53 sebagai kelanjutan pengelolaan satuan pendidikan disebutkan, bahwa 1. Penyelenggara dan/atau satuan pendidikan formal yang didirikan oleh Pemerintah atau masyarakat berbentuk badan hukum pendidikan. 2. Badan hukum pendidikan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berfungsi memberikan pelayanan pendidikan kepada peserta didik. 3. Badan hukum pendidikan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berprinsip nirlaba dan dapat mengelola dana secara mandiri untuk memajukan satuan pendidikan. 4. Ketentuan tentang badan hukum pendidikan diatur dengan undang-undang tersendiri. 40 Badan hukum pendidikan sebagaimana yang disebutkan dalan pasal diatas, dimaksudkan sebagai landasan hukum bagi penyelenggaraan dan/atau satuan pendidikan, antara lain berbentuk Badan Hukum Milik Negara (BUMN).41 Aset yang dimiliki perguruan tinggi negeri (PTN) yang menjadi Badan Hukum Milik Negara (BHMN) tetap milik negara. Apalagi gaji yang dibayarkan kepada dosen dan karyawannya tetap merupakan kontribusi rakyat Indonesia yang dialokasikan pemerintah atas persetujuan DPR. Harus disadari bahwa BHMN 40
Republik Indonesia, Op. Cit, hlm. 35
41
Ibid., hlm., 67
36
hanyalah cara pengelolaan perguruan tinggi untuk menghadapi perubahan strategis yang sedang terjadi.42hal ain sesuai dengan peraturan pemerintah Nomor 152 tahun 2000 tentang penetapan Universitas Indonesia sebagai badan hukum milik negara Pasal 9 ayat 2 Besarnya kekayaan awal universitas sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah seluruh kekayaan negara yang tertanam pada universitas, kecuali tanah yang nilainya ditetapkan oleh Menteri Keuangan berdasarkan perhitungan yang dilakukan bersama oleh Departemen Pendidikan Nasional dan Departemen Keuangan.43 Dalam konsep
Badan
Hukum Milik
Negara yang
telah
dicanangkan, ditetapkan bahwa otonomi diberikan kepada perguruan tinggi negeri agar dapat berperan sebagai kekuatan moral, dan hal ini merupakan salah satu aspek penting dalam reformasi pendidikan tinggi yang saat ini sedang dijalankan. Namun pengertian "kekuatan moral" tersebut masih abstrak dan perlu penterjemahan dalam bentuk rambu/panduan pelaksanaan untuk tiapperguruan tinggi. Tanpa adanya kejelasan tersebut, dikhawatirkan terjadinya penterjemahan otonomi secara bebas oleh setiap pihak yang berkepentingan yang disesuaikan dengan kepentingan pribadi masing-masing.44 Sedangkan pengelolaan pendidikan dimasyarakat sebagai bentuk peran serta masyarakat dalam pendidikan berbentuk pendidikan formal atau nonformal telah diatur sebagaimana dalam pasal 50, 51, 52 dan 53. Peran masyarakat dalam pendidikan telah menempatkan masyarakat sebagai sumber, pelaksana, dan pengguna hasil pendidikan sesuai dengan tuntutan otonomi saat ini dimana masyarakat telah diberi kebebasan untuk menentukan nasibnya sendiri.
42
Kompas,”Perguruan Tinggi Negeri BHMN Tetap Milik Negara “
, http://www.kompas.com/kompas-cetak/0209/19/dikbud/perg09.htm 43
Peraturan Pemerintah Nomor 152 tahun 2000 tentang penetapan Universitas Indonesia http://www.theceli.com/dokumen/produk/pp/2000/152-2000.htm 44
Satryo Soemantri Brodjonegoro “Landasan Implementasi Perguruan Tinggi Sebagai Badan Hukum Milik Negara” http://www.dikti.org/Landasan%20Implementasi%20BHMN.txt
37
Jadi pengelolaan pendidikan menurut undang-undang ini dapat dikelompokkan menjadi 2, yaitu 1) pengelolaan pendidikan secara makro, yaitu pengelolaan pendidikan di level pemerintah pusat dan/atau pemerintah daerah pada pendidikan formal atau pendidikan nonformal. 2) penegelolaan pendidikan secara mikro, yaitu pengelolaan pendidikan yang dilakukan pada tingkat satuan pendidikan (grass root/ rakyat) yaitu sekolah, madrasah dan lain sebagainya.
E. Tujuan dan Fungsi Pendidikan memurut UU No. 20 tahun 2003 Setiap manusia memiliki tujuan hidup, tujuan yang terbentuk dari normanorma yang ada menjadi falsafah hidupnya. Tujuan hidup tidak dapat terpisahkan dari tujuan pendidikan sebagai sarana memepertahankan eksistensinya, dengan kata lain tujuan pendidikan muncul dan bersumber dari tujuan hidup. Masalah
tujuan
pendidikan
merupakan
masalah
sentral
dalam
pendidikan. Tanpa perumusan tujuan yang jelas, maka pelaksanaan pendidikan akan sesat dan kabur tanpa arah. Karena itu perumusan tujuan pendidikan menjadi inti dari seluruh kegiatan pendidikan dan perenungan filsafati.45 Tujuan pendidikan merupakan kristalisasi dari berbagai aspek kehidupan suatu bagsa dalam bidang agama, ideologi, politik, ekonomi sosial budaya, hukum, kependudukan, lingkungan hidup, serta pertahanan dan keamanan.46 Tujuan pendidikan tidak dapat lepas dari fungsi pendidikan, fungsi pendidikan menurut Seonarya adalah sebagai suatu investasi, proyek ideologi, pelayanan umum, legitimasi hubungan antar kelompok, fungsi intelektual, moral, profesional, sosiopolitik, lembaga sosialisasi, institusi untuk mengejar prestasi, serta lembaga mekanisme pasar, dan proses seleksi.47
45
Kartini Kartono, Tinjauan Holistik Mengenai Tujuan Pendidikan Nasional, (Bandung: Praja Paramita, 1997).,hlm, 17 46
Endang Soenarya, Pengantar Toeri Perencanaan Pendidikan Berdasarkan Pendekatan Sistem, (Yogyakarta: Adicita Karta Cipta, 2000), hlm., 84 47
Ibid., hlm., 84
38
Tujuan pendidikan di Indonesia ada jauh sebelum Indonesia terbentuk menjadi sebuah negara, dimana masyarakat-masyarakat primitif telah mengenal bentuk atau jenis pendidikan. Semua peristiwa yang ada di sekitarnya telah membentuk sejumlah perilaku dan sikap menjadi watak, mentalitas, pribadi masyarakat primitif tersebut. Tujuan pendidikan sebagai arah dan pencapaian dari pendidikan telah mengalami barbagai perkembangan yang dipengarui oleh peradaban dan budaya masyarakat setempet. Di Indonesia telah mengalami beberapakali perubahan tujuan pendidikan seiring tuntutan perkembangan zaman yang selalu bergerak secara dinamis, sejak pendidikan zaman penjajahan (imperalizm) Belanda dan Jepang sampai masa kemerdekaan dan masa pembagunan,48 dan saat sekarang tujuan pendidikan nasional telah termaktub dalam UU No. 20 tahun 2003. Tujuan dan fungsi pendidikan nasioanal terbentuk berdasarkan visi dan misi pendidikan nasional. Visi dan misi berasal dari kata vision dan mision (bahasa Inggris) yang berarti; vision adalah pandangan dengan pemikiran yang mendalam dan jernih jauh kedepan, sedangkan mision adalah berarti tigas yang diemban.49 Visi dan misi pendidikan nasional telah disebutkan dalam penjelasan UU No. 20 tahun 2003, sebagai berikut: Visi : Terwujutnya sistem pendidikan sebagai pranata sosial yang kuat dan berwibawa untuk memberdayakan semua warga negara Indonesia yang berkembang menjadi manusia yang berkualitas sehingga mampu dan proaktif menjawab tantangan zaman yang selalu berubah
Misi : 1. Mengupayakan perluasan dan pemerataan kesempatan memperoleh pendidikan yang bermutu bagi seluruh rakyat Indonesia;
48 49
Kartini Kartono, Op. Cit, hlm, 48-58.
Fatkhurrahman, Pupuh, “Pengembangann Pondok Pesantren (Analisis Terhadap Keunggulan Sistem Pendidikan Pesantren Terpadu)”, Lektur, seri XVI/2002., hlm. 315
39
2. Membantu dan mengfasilitasi pengembangan potensi anak bangsa secara utuh sejak usia dini sampai akhir hayat dalam rangka mewujutkan masyarakat belajar; 3. Mempersiapkan masukan dan kualitas proses pendidikan untuk mengoptimalkan pembentukan kepribadian yang bermoral; 4. Meningkatkan keprofesionalan dan akuntabilitas lembaga pendidikan sebagai pusat pembudayaan ilmu pengetahuan, ketrempilan, pengalaman, sikap, dan nilai berdasarkan standar nasional dan global; 5. Memberdayakan peran serta masyarakat dalam penyelenggaraan pendidikan berdasarkan prinsip otonomi dalam konteks Negara Kesatuan Republik Indonesia.50
Dengan visi dan misi tersebut ditentukan tujuan dan fungsi pendidikan nasional sebagai arah dan pencapaian pendidikan telah disebutkan dalam pasal 3 UU No. 20 tahun 2003, yaitu: Pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab.51 Tujuan dan fungsi pendidikan diatas merupakan draf legal formal yang telah sesuai dengan UUD 1945 hasil amandemen pasal 31 ayat 3 berbunyi: Pemerintah mengusahakan dan menyelenggarakn suatu sistem pendidikan nasional yang meningkatkan keimanan dan ketaqwaan serta akhlak mulia dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa yang diatur dengan undang-undang.52 Pasal 31 ayat 5 berbunyi:
50
Republik Indonesia, Op. Cit, hlm. 48-49
51
Ibid., hlm. 12
52
Republik Indonesia, “Undang-Undang Dasar 1945 Hasil Amandemen 2002”, dalam Kaelan, Kajian Tentang Undang Undang Dasar Negara Republik Indonesia Hasil Amandemen Disahkan 10 Agustus 2002 (Analisis Filosofis dan Yuridis), (Yogyajarta: Paradigma, 2002) , hlm. 39
40
Pemerintah memajukan ilmu pengetahuan dan teknologi dengan menjunjung tinggi nilai-nilai agama dan persatuan bangsa untuk memajukan peradaban serta kesejahteraan umat manusia.53 Apabila dipahami bahwa fungsi pendidikan nasional Menurut UU sisdiknas memiliki 3 fungsi yaitu: 1) mengembangkan kemampuan bangsa; 2) membentuk watak bangsa; dan 3) mengembangkan peradapan bangsa yang bermartabat. Ke-3 fungsi tersebut mengerucut kepada terbentuknya kehidupan bangsa yang cerdas, yaitu bangsa yang dapat tahan terhadap berbagai situasi dan kondisi yang selalu bergerak dinamis. Hal ini sesuai dengan pembukaan UUD 1945 alinia ke-4 yaitu ...mencerdaskan kehidupan bangsa.... Fungsi pendidikan diatas juga dapat dilihat pada beberapa bagian yang secara khusus menjelaskan fungsi pendidikan, seperti pasal 26 ayat 2 tentang fungsi pendidikan nonformal; pasal 29 ayat 2 tentang fungsi pendidikan kedinasan; pasal 30 ayat 2 tantang fungsi pendidikan keagamaan. Tujuan pendidikan nasional bersifat abstrak karena memuat nilai-nilai yang sangat abstrak bersifat umum, ideal, dan kandungannya sangat luas.54 Tujuan pendidikan tersebut telah mengakomodir berbagai kepentingan dan nilai ideal suatu bangsa, antara lain falsafah hidup bangsa, agama, dan budaya Tujuan pendidikan pasal 3 diatas secara formal memiliki 8 hal yang menjadi tujuan sebagai arah dan pencapaian yang perlu dikembangkan untuk peserta didik dalam pendidikannyan yaitu pengembangan: 1. Iman dan taqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa; 2. Akhlak mulia 3. Sehat; 4. Berilmu; 5. Cakap; 6. Kreatif; 7. Mandiri dan
38
53
Ibid.
54
UmarTirtarahardja, La Sula, Pengantar Pendidikan, (Jakarta: Rineka Cipta, 2000), hlm.
41
8. Menjadi warga negara yang demokratis dan bertanggung jawab. Ke-8 unsur diatas difahami sebagai cita-cita bersama atas kondisi faktual bangsa, dimana moralitas bangsa telah mengalami keterpurukan dan terjadinya krisis multidemensi. Namun ke-8 unsur tersebut merupakan konsep yang eksplosif, yaitu hal yang mengandung pengertian-pengertian yang besar dan sangat rumit.55 Untuk itu dibutuhkan perincian operasional yang dapat mewujutkan nilai-nilai dari berbagai unsur-unsur kehidupan, baik secara filisofis, ekonomis, agama, politik, dan kebudayaan. Untuk mewujutkan tujuan pendidikan nasional tersebut maka perlu dijabarkan menjadi tujuan institusional, dan tujuan intruksional melalui strategi pendidikan nasional yaitu: a. pelaksanaan pendidikan agama serta akhlak mulia; b. pengembangan dan pelaksanaan kurikulum berbasis kompetensi; c. proses belajar yang mendidik dan dialogis; d. evaluasi, akreditasi, serta sertifikasi pendidikan yang memperdayakan; e. penigkatan keprofesionalan pendidik dan tenaga pendidikan; f. penyediaan sarana pengajara yang mendidik g. pembiayaan pendidikan yang sesuai dengan prinsip pemerataan dan keadilan h. penyelenggaraan pendidikan yang terbuka dan merata; i. pelaksanaan wajib belajar; j. pemberdayaan peran masyarakat; k. pelaksanaan otonomi manajemen pendidikan; l. pusat pembudayaan dan pembangunan masyarakat; dan m. pelaksanaan pengawasan dalam sistem pendidikan nasional.56 Terbentuknya manusia yang beriman dan bertaqa serta berakhlak mulia sebagai cita-cita pendidikan nasional sulit terbentuk tanpa adanya peran dari pendidikan agama, karena pendidikan agama tidak hanya memberikan
55
H.A.R. Marta Tilaar, Pendidikan, Kebudayaan, dan Masyarakat Madani. (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2000). Cet. 2, hlm. 138 56
Republik Indonesia, Op. Cit, hlm. 49-50
42
pengatehuan yang bersifat kognitif, afektif seperti pendidikan etika dan moral57 serta nilai nilai yang bersifat spiritual. Pendidikan agama dalam satuan pendidikan telah menjadi sebuah mata pelajaran yang wajib diberikan oleh institusi pendidikan kepada peserta didiknya. Pemberian pendidikan agama kepada peserta didik sebagai sarana terwujutnya tujuan pendidikan nasional. Menurut Salman Harun, bahwa pendidikan agama yang diberikan di sekolah sudah cukup berhasil, hal ini terbukti religius masyarakat cukup baik, dan dikatakan lebih lanjut bahwa pendidikan yang diberikan sampai saat ini mengasilkan koruptor, menurutnya tuduhan tersebut tidak benar karena tidak berdasar.58 Hal ini menunjukan bahwa harapan cukup besar terhadap pendidikan agama untuk terwujutnya tujuan pendidikan nasional. Jadi tujuan dan fungsi pendidikan nasionalmerupakan 2 sisi yang tidak dapat dipisahkan yang berjalan secara sinergi dalam menghantarkan masyarakat Indonesia dimasa depan. Tujuan dan fungsi pendidikan nasional didasarkan pada visi dan misi pendidikan nasional diwujutkan melalui strategi pendidikan nasional.
F. Kurikulum dalam UU No. 20 tahun 2003 Kurikulum dalam proses pendidikan atau pengajaran merupakan bagian yang tidak dapat dipisahkan dan memiliki kedudukan penting bagi tercapainya tujuan pendidikan. Konsep kurikulum berkembang sejalan dengan perkembangan teori dan praktek pendidikan, juga bervariasi sesuai dengan aliran atau teori pendidikan yang dianut. Menurut pandang lama, kurikulum merupakan kumpulan mata pelajaran yang harus disampaikan guru atau di peroleh oleh siswa.
57
Kompas “Pendidikan Agama di Sekolah Dinilai Gagal”
http://www.kompas.com/kompas-cetak/0305/31/dikbud/340513.htm 58
Salman Harun, “pendidikan XXVII/II/Th.XI/I/2003, hlm. 23.
agama
sangat
berhasil,
cuma...”
Edukasi
43
Kurikulum bukan hanya rencana tertulis bagi pengajaran melainkan suatu yang fungsional yang beroperasi dalam kelas, yang memberi pedoman dan mengatur lingkungan dan kegiatan yang berlangsung dalam kelas. Rencana tertulis
merupakan
dokumen
kurikilum (curriculum
documen
or
inert
curriculum), sedangkan kurikulum yang beroperasi dikelas merupakan kurikulum fungsional (fungsioning, live or operatif curriculum ). 59 Menurut UU No.20 tahun 2003 kurikulum didefinisikan sebagai seperangkat rencana dan pengaturan mengenai tujuan, isi, dan bahan pelajaran serta cara yang digunakan sebagai pedoman penyelenggaraan kegiatan pembelajaran untuk mencapai tujuan pendidikan tertentu. Rumusan yuridis tersebut menenujukkan adanya dua dimensi pokok kurikulum yakni produk dan proses, yang secara keseluruhan mencakup aspek materi (content), pengalaman siswa (experiences), tujuan kegiatan belajar mengajar (objektives)
dan hasil
kegiatan belajar mengajar (outcomes). Dimensi pokok tersebut sebagai penyusun kurikulum.60 Berdasarkan sejarah, kurikulum di Indonesia telah mengalami beberapa kali perubahan, minimal pada tahun 1954,1961, 1968,1975, 1984, 1994, dan 1994 suplemen tahun 1999, demikian pula pada tahun pelajaran 2002/2003 ini telah dicanangkan kurikulum baru yang dikenal sebagai kurikulum berbasis kompetensi (KBK).61 Kurikulum
berbasis
kompetensi
merupakan
suatu
format
yang
menetapkan tentang kemampuan apa yang diharapkan dikuasai siswa dalam setiap
59
Nana Saudih Sukmadinata, Pengembangan Kurikulum Teori Dan Praktek, (Bandung: Remaja rosdakarya, 1999), Cet. 2, hlm. 4 60 Suke Silverius, “MasaDepan Kurikulum MasaDepan”, Jurnal Pendidikan Dan Kebudayaan,No. 046, Tahun Ke-10, Januari, hlm. 27 61
Sri Sumarni, penilaian berbasis kelas (PBK) dalam rangka implementasi kurikulum PAI berbasis kompetensi, dalam Jurnal Pendidikan Islam, Vol. 4, No. I, Januari 2003: 33-46, hlm. 34
44
tingkatan. Setiap kompetensi menggambarkan tingkat kemapuan siswa menuju kompetensi pada kemampuan yang lebih tingi.62 KBK sebagai kurikulum terbaru telah tercantum dalan penjelasan UU No.20 tahun 2003 pada 1 dari 13 strategi pendidikan nasional, berbunyi: pengembangan dan pelaksanaan kurikum berbasis kompetensi.63 Pengembangan dan pelaksanaan kurikulum harus memperhatikan 3 kecenderungan agar terpenuhinya kepentingna nasional, keadaan dan kebutuhan lingkungan, ciri khas satuan pendidikan, serta kepentingan masa depan anak didik dan masyarakat, yaitu: 1) ke-kini-an dan ke-disini-an, 2) ke-masa-depan-an, 3) kepantingan satuan pendidikan.64 Kurikulum pendidikan telah diatur dalam UU No.20 tahun 2003 pada pasal 36, 37, dan 38, yang masih diatur lebih lanjut dengan peraturan pemerintah untuk dapat diaplikasikan pada tahab pelaksanakan oleh setiap praktisi pendidikan. Kurikulum dikembangkan mengacu pada standar pendidikan nasional yang terdiri dari standar isi, proses, kompetensi lulusan, tenaga kepandidikan, sarana dan prasarana, pengelolaan, dan pembiayaan.65 Untuk mewujutkan tujuan pendidikan nasional.66 Standar pendidikan nasional merupakan hal yang penting dalam meningkatkan mutu dan pemerataan pendidikan nasional yang bersifat dasar bagi setiap anak didik yang diwujutkan dalam suatu bentuk kurikulum pendidikan nasional.67 Untuk mewujutkan peningkatan dan pemerataan pendidikan pada
62
Ibid. hlm. 34.
63
Republik Indonesia, Op. Cit, hlm.49
64
Sudardja Adiwikarta, “Kurikulum Yang Berorientasi Pada Kekinian,Kedisinian, Dan Kemasa Depanan”, dalam, Kurikulum Untuk Abad Ke-21, (Jakarta: Grasaindo, 1994), hlm. 101 65
Pasal 35 UU No.20 tahun 2003
66
pasal 36 ayat 1 UU No.20 tahun 2003
67
H.A.R. Tilaar, Op. Cit., hlm. 372
45
otonomi daerah bukanlah saat ini bukanlah hal yang mudah tapi bukan pula hal yang tidak mungkin. Untuk itu, pengembangan kurikulum menggunakan prinsip diversifikasi sesuai dengan satuan pendidikan, potensi daerah dan peserta didik.68 Diversifikasi
dimaksudkan
untuk
memungkinkan
penyesuaian
program
pendidikan pada satuan pendidikan dengan kondisi kekhasan potensi yang ada di daerah. Kurikulum harus disajikan dalam kerangka pengenalan ilmu pengetahuan dan pembentukan keterampilan praktis serta pembentukan moral agama (budi pekerti) yang diperlukan oleh peserta didik dan masyarakat untuk membangun kehidupan ekonomi, sosial, dan budaya mereka.69 Dengan memperhatikan: a. peningkatan iman dan takwa; b. peningkatan akhlak mulia; c. peningkatan potensi, kecerdasan, dan minat peserta didik; d. keragaman potensi daerah dan lingkungan; e. tuntutan pembangunan daerah dan nasional; f. tuntutan dunia kerja; g. perkembangan ilmu pengetahuan, teknologi, dan seni; h. agama; i. dinamika perkembangan global; dan j. persatuan nasional dan nilai-nilai kebangsaan.70 Beberapa acuan yang menjadi pertimbangan setiap pengembang dan pelaksana kurikulum diatas diimplementasikan sebagai usaha untuk memenuhi standar pendidikan nasional dalam rangka meningkatkan mutu pendidikan dalam bentuk beberapa mata pelajaran. Pada pendidikan dasar dan menengah menurut UU No.20 tahun 2003 pasal 37 kurikulum wajib memuat: a. pendidikan agama; b. pendidikan kewarganegaraan;
68
pasal 36 ayat 2 UU No.20 tahun 2003
69
Ibrahim Musa. Op. Cit. hlm
70
pasal 36 ayat 3 UU No. 20 tahun 2003
46
c. bahasa; d. matematika; e. ilmu pengetahuan alam; f. ilmu pengetahuan sosial; g. seni dan budaya; h. pendidikan jasmani dan olahraga; i. keterampilan/kejuruan; dan j. muatan lokal. Kurikulum pendidikan dasar dan pendidikan
menengah tersebut
dikembangkan dengan relevansinya oleh setiap kelompok atau satuan pendidikan dan komite sekolah/madrasah di bawah koordinasi dan supervisi dinas pendidikan atau kantor pendidikan agama kabupatan/kota untuk pendidikan dasar dan provinsi untuk pendidikan menengah Untuk pendidikan tinggi kurikulum dikembangkan oleh perguruan tinggi yang bersangkutan dengan mengacu pada standar nasional pendidikan untuk setiap program pendidikan, dengan wajib memuat: a. pendidikan agama; b. pendidikan kewarganegaraan; dan c. bahasa. Dimana
kerangka
dasar
dan
struktur
kurikulum
pendidikannya
dikembangkan oleh pendidikan tinggi yang bersangkutan dengan mengacu pada standar nasional pendidikan untuk setiap program studi.71 Pendidikan tinggi yang dimaksud adalah perguruan tinggi yang berbentuk akademi, politeknik, sekolah tinggi, institut, dan universitas yang dapat memberikan gelar sesuai sesuai bidang setudinya merupakan lembaga yang otonom dalam mengelolaan termasuk pengembangan kurikulum. Pelaksanaan pendidikan agama pada lembaga pendidikan dasar, menengah dan tinggi telah ditetapkan dalam kurikulum pendidikannya sebagai mata pelajaran wajib yang diberikan satuan pendidikan formal kepada peserta didik 71
pasal 38 ayat 4 UU No.20 tahun 2003
47
bersama-sama mata pelajaran lainnya, seperti pendidikan kewarganegaraan; bahasa; matematika; ilmu pengetahuan alam; ilmu pengetahuan sosial; seni dan budaya; pendidikan jasmani dan olahraga; keterampilan/kejuruan; dan muatan lokal. Dalam kurikulum pendidikan nasional pentingnya pendidikan agama dalan undang-undang telah tereduksi dalam sisdiknas pasal 37 tentang kurikulum pendidikan dasar, menengah dan tinggi, pasal 12 ayat 1 (a) hak pesera didik dan pasal 30 ayat 3 tentang pendidikan keagamaan serta 1 dari 13 strategi pelaksanaan pendidikan nasional. Jadi, kurikulum yang diatur dalam UU No. 20 tahun 2003 telah berusaha mengakumudir berbagai kepantingan dan tuntutan dari berbagai aspek kehidupan terutama kebutuhan pendidikan saat sekarang dan yang akan datang, dengan memberikan peluang yang besar untuk setiap satuan pendidikan dalam mengambangkan kurikulumnya sesuai dengan keunggulam yang dimilikinya.