Tentang Penderitaan “PenderitaanAdalahbentuk penyempurnaan-diri” Lelaki paruh baya itu menatap pekat halaman sekolah lewat jendela ruangannya. Kabut tebal pagi itu memendungkan raut wajahnya. Dia seolah sedang menyaksikan atau sedang mengalami dan merasakan kejatuhan dan kematian makna hidupnya. Kalaupun tidak sejauh itu yang dia rasakan, mungkinkah dia sedang mengalami kelumpuhan sebuah awal dalam kisah dan cerita cinta jarak jauh? Pagi itu mentari enggan menunjukkan batang hidungnya. Pemuda itu tampak muram tak seperti biasanya seolah dia menjadi refleksi langit pagi yang tampak pucat pasi. Ada sebongkah rasa yang memendungkan semangatnya. Hatinya berbanding sejajar dengan realitas langit yang tampak kaku dan layu, dan gelap membentang menyuramkan asa setiap insan. Siswa siswiSMA, SMP dan SD yang ditemani ibu dan penjaga mereka yang datang lalu lalang, sama sekali tak membuyarkan tatapannya. Jelas bahwa tatapannya hampa.
Pikirannya telah terbang jauh melewati ratusan samudera, berlaksa-laksa jalan berliku. Melangkahi jutaan hutan belantara dan ribuan langit tak tergapai. Beribu-ribu gunung disusurinya mencari seseorang yang telah lama terbesit melintas dalam pikirannya—seorang dara yang sedang didera resah dan cinta tak terbalas di negeri sebrang. Dengan pelan diraihnya sebuah helain putih. Masih perawan, polos seperti kaca, bebas coretan. Diliriknya sekumpulan pulpen yang berdiri miring dalam wadah menyerupai gelas di ujung meja. Dipandanginya pen-pen itu untuk beberapa saat, lalu dicabutnya satu. Dengan wajah tampak murung dan kelesuan setengah hidup, dia mulai menulis, menyusun huruf demi huruf, merangkai kata demi kata mencoba mengaksarakan kegundahan hatinya yang mengabuti hari-harinya atau mungkin tentang kekosongan, kehampaan maha dalam pikirannya. Atau mungkin pula tentang kerumitan jalan pikirannya yang terpenuhi pernak-pernik perasaan dan ketakberhinggaan ide dalam kehampaan pikirannya yang
2
membuatnya pusing tujuh keliling—ribuan tanda tanya besar menghantuinya.
“Adriane Terkasihku, Ini pertama kalinya kurangkaikan rinduku yang menggunung dalam helaian-helaian kertas putih sederhana ini, mencoba melukis rasa rindu dan cintaku yang kini telah menjelma menjadi rasa iba tingkat dewa yang mengamuk di relung terdalam hati ini dengan kata-kata ciptaan akal budi manusia. Dalam cermin mata hati ini, lewat jendela permenunganku, sesunggunya aku melihat deritamu yang tak bertepi untuk menepi, sengsaramu yang tak kunjung menjauh—dan betapa tingginya inginku mengangkat dan membuang jauh-jauh segela beban yang mendera dari hidupmu—dan satu yang pasti, simpanlah sabda ini dalam titik inti relung hatimu dinda, bahwa aku selalu bersamamu, menemani hidupmu. Aku melihat deritamu seakan-akan kau dan deritamu adalah satu dan sama: setiap kali aku mendengar
namamu
terucap sendu,
bayangan dan
3
gambaran penderitaanmu datang mendekatiku dan mulai menghantuiku. Adriane kekasih pemberaniku, percayalah bahwa, sesungguhnya derita itu membawamu pada kesempurnaan, menyucikan dan memurnikan jiwamu. Derita itu adalah hakiki, essensi bagi kehidupan.
Pelengkap bagi rahmat
terindah—yakni kehidupan. Penderitaan itu membukakan mata pikiranmu untuk membedakan pahit dari manis. Bahagia dari sedih atau senang dari susah. Wahai laskar pemberani terkasihku, betapa tinginnya inginku membebaskan derita-derita itu dari hidupmu. Sungguh aku dengan segenap jiwa, tulus ikhlas bersedia membuka tabir penderitaan yang menutupi setiap langkah hidupmu, menyergap setiap derap kakimu, asalkan perbuatan membuka tabir itu memberimu kelegaan dan mendewasakanmu. Namun, bila aku melakukannya, aku tak lebih adalah Iblis yang menghalangimu melihat tabir realitas kebenaran sesungguhnya. Yeah... Aku adalah Iblis yang mengkerdilaknmu, mengkanak-kanakkan dan membun-
4
tutimu agar kau tidak pernah belajar mengerti dan menjauh dari ide kedewasaan. Sebaliknya, dengan menguatkanmu agar senantiasa setia menerima duka nestapa hidupmu, aku telah berhasil satu langkah maju menghatarmu pada terang cahaya mentari kebenaran. Sematan status The Child of Light pun pantas dan layak aku terima. Bukankah kuasa berempati yang terkaruniai atas diriku cukup untuk meringankan beban deritamu—dengan menempatkan diriku pada posisimu: mencoba merasakan apa yang kau rasakan serta mengerti penyebab setiap bongkah persoalanmu tanpa menanyakanmu? Aku dengan status hamba setiawan yang tersemat dalam jiwaku dan tersandang atas diriku, selalu mencoba mengikuti dan melaksanakan apa yang diperintahkan kepadaku, memikul beban yang terbebankan di pundakku dengan setia.” Dia berhenti sebentar, memundurkan tubuhnya kebelakang, memanfaatkan sandaran kursi yang menyokong tubuhnya. Diraihnya tisu yang menemaninya dengan setia di atas meja kerjanya, kemudian menyeka beberapa bulir bening
5
mutiara basah yang jatuh satu persatu dari sudut kelopak matanya. Tampak jelas pemuda itu berusaha sekuat tenaga dengan ke-esa-annya menahan beban rasa yang dipikulnya dan berusaha menyumbat matanya agar tak mengeluarkan bulir-bulir bening berair haram itu lagi. Baginya mencucurkan airmata adalah hal yang tak pernah terpikirkan—menjadi haram bila itu terjadi. Dia menatap lekat langit ruangan sebagai pelarian atas tekanan deras dan kencang dari dalam kelopak matanya yang terus beruasaha mengeluarkan air. Banyak yang terpikirkan oleh pikirannya. Begitu banyak hal yang bermain nakal dan berlalu lalang dalam benaknya. Ide dan pikiran serta perasannya berantakan. Hal itu membawanya pada keletihan secara fisik. Dia tertidur dan terlelap. Kemudian, terlena terbuai oleh rayuan mimpi. Entah kemana mimpi membawanya, dia merasa nyaman untuk sesaat. Tanpa terasa, siang telah berganti malam. Dingin menyengat, peluh pun keruh. Menyadari emosinya kembali sedikit normal setelah sekian lama ternetralisir oleh mimpi-mimpinya, masih ada
6
banyak hal yang hidup dalam benaknya. Mereka merepotkan pikirannya. Mengacau balaukan jalan pikirannya yang bening jernih. Dia mulai menyentuh helain putih itu lagi yang telah terisikan beberapa garis coretan tangannya. Walau tangannya sedikit gemetar namun dia tetap menggelitik helain putih yang terisi itu dengan pulpen yang digenggamnya semenjak tadi:
“Adrianeku, diluar bilik tempat aku berteduh dari kedinginan hawa malam yang mencekam menusuk sukma, bulan tak bersinar lagi layaknya malam-malam sebelumnya. Awan tebal megerudunginya, membalutnya dengan hawa kelesuan. Mungkin langit sedang ikut berkabung bersama diriku yang sedang menangisi dirimu yang tak pernah lelah berteman dengan resah, suka bergulat dengan duka dan senantiasa bercanda ria dengan derita. Wahai dirimu, meski kini awan-awan itu sudah membuang air matanya, namun bulan tak diijinkanya bersinar. (tepat seperti yang aku alamai dan rasakan saat
7
ini) Mantel putihnya masih saja mendekap sang rembulan dalam pelukan kelamnya. Kekasih pemberaniku, hatiku tengah dilanda bencana rasa iba yang menyamudra. Jantungku berdetak pelan, nadi-nadiku serasa membeku, lidahku kelu untuk berseru menutup
rapat mulutku,
seluruh
tubuhku
kehilangan semangat, ragaku mencoba memanggil kembali kekuatan-kekuatan yang tersisa sang jiwa, tapi gagal karena putus asa. Betapa malang aku menderita, terpojok di sudut kebencian dan paling tak disukai, terpenjara dibalik tembok-tembok keterpurukkan. Namun aku harus memikul semua ini, segala pengalaman dan pikiran dan rasa yang tidak menyenagkan ini—itulah definisi penderitaan bagiku. Terkadang aku berjalan hingga menggapai titik jenuh di mana aku berdiri dengan tangan telentang menatap langit dengan raut wajah putus asa. “Wahai langit, ambil nyawaku”. Semua orang menolakku, mengusirku layaknya binatang tak bertuan; meskipun tiada detik aku lewati tanpa menebarkan aroma kebenaran dan menabur benih kebaikan
8
di setiap ladang hati yang aku jumpai dan setiap jiwa yang aku singgahi. Dan lihat, aku harus terus memacu langkah berpacu bersama waktu, mengalahkan kegelapan malam, mencari tempat untuk meletakkan kepalaku, berlindung dari keganasan serigala-serigala pemakan semangat dan mencuri kebenaran hati nurani, memikul perjuangan hidup melewati tiap detik durasi waktu serta melepas kelelahan usai menabur ajaran cinta kasih dan kebaikan serta kebenaran. Adriane terkasih terhebatku, aku bercerita tentang pengalamanku, tentang hari-hariku yang selalu diisi dengan air tuba, karena hanya itu yang bisa kubagi denganmu.
9