KAJIAN YURIDIS TENTANG KEWENANGAN TEMBAK DI TEMPAT OLEH APARAT KEPOLISIAN TERHADAP TERSANGKA DIKAITKAN DENGAN ASAS PRADUGA TIDAK BERSALAH
JURNAL KARYA ILMIAH
Diajukan untuk Memenuhi dan Melengkapi Syarat-Syarat untuk Memperoleh Gelar Sarjana Hukum Universitas Sumatera Utara
OLEH : LIDYA SUSANTI NIM : 100200379 DEPARTEMEN HUKUM PIDANA
FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN 2014
KAJIAN YURIDIS TENTANG KEWENANGAN TEMBAK DI TEMPAT OLEH APARAT KEPOLISIAN TERHADAP TERSANGKA DIKAITKAN DENGAN ASAS PRADUGA TIDAK BERSALAH
JURNAL KARYA ILMIAH Diajukan sebagai salah satu syarat guna memperoleh gelar Sarjana Hukum pada Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara OLEH : LIDYA SUSANTI 100200379 DEPARTEMEN HUKUM PIDANA Disetujui Oleh, Penanggung Jawab,
Dr. Muhammad Hamdan, SH, MH NIP : 19570326198601101 Editor,
Rafiqoh Lubis, SH.,M.Hum 197407252002122002
PROGRAM SARJANA ILMU HUKUM FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN 2014
ABSTRAK
Lidya Susanti*1 Abul Khair**2 Rafiqoh Lubis***3 Aparat Kepolisian dituntut agar mampu mengambil tindakan cepat dan terbaik menurut penilaiannya dalam menghadapi tersangka yang dapat membahayakan nyawa manusia. Kewenangan yang dimiliki aparat Kepolisian ini tertulis di dalam Pasal 18 ayat (1) UU No. 2 Tahun 2002 Tentang Kepolisian Republik Indonesia. Salah satu tindakan yang dapat dilakukan oleh Kepolisian diantaranya adalah tembak di tempat. Namun yang menjadi masalah apakah pelaksanaan tembak di tempat telah sesuai dengan prosedur dan tidak bertentangan dengan perundang-undangan lain yang berlaku, karena dalam Pasal 8 UU No.4 Tahun 2004 Tentang Kekuasaan Kehakiman dan Penjelasan Umum KUHAP dikenal asas praduga tidak bersalah terhadap tersangka. Asas ini erat kaitannya dengan tembak di tempat yang dilakukan oleh aparat kepolisian karena polisi harus mengedepankan asas ini dalam mengambil tindakan tembak di tempat dan harus memiliki alasan yang kuat untuk mengesampingkan asas ini, karena setiap tindakan aparat kepolisian mendapat pengawasan internal dan eksternal, dan bagi aparat kepolisian yang melakukan tembak di tempat tidak sesuai prosedur akan mendapatkan sanksi atas perbuatannya tersebut. Penelitian skripsi ini merupakan penelitian yuridis normatif yaitu dengan cara meneliti bahan pustaka yang merupakan data skunder dan disebut juga dengan penelitian hukum kepustakaan. Bahan penelitian ini juga didukung oleh data primer yaitu berupa hasil wawancara dengan narasumber terkait judul skripsi ini. Seluruh data dianalisis secara yuridis kualitatif yaitu data yang telah diperoleh disusun secara sistematis dan ditarik suatu kesimpulan. Tembak di tempat yang dilakukan oleh aparat Kepolisian prosedurnya telah diatur pada Pasal 48 huruf b Perkap Nomor 8 Tahun 2009 Tentang Implementasi Prinsip dan Standar Hak Asasi Manusia Dalam Penyelenggaraan Tugas Kepolisian Negara Republik Indonesia. Disebutkan bahwa petugas Kepolisian harus memberikan peringatan yang jelas dengan cara menyebutkan dirinya sebagai petugas, memberi perintah berhenti; mengangkat tangan; dan meletakkan senjata, memberi waktu yang cukup agar peringatan dipatuhi, memberikan tembakan peringatan yang selanjutnya tembak ditempat apabila cara tersebut tidak dipatuhi oleh tersangka. Pasal 48 huruf a ditegaskan bahwa petugas Kepolisian wajib memahami dan menerapkan prinsip penegakkan hukum yaitu legalitas, nesesitas, dan proporsionalitas. Apabila ketiga unsur dapat terpenuhi maka asas praduga tak bersalah dapat dikesampingkan oleh petugas Kepolisian. Aparat Kepolisian yang melakukan tembak di tempat tidak sesuai dengan prosedur akan mendapat sanksi berupa hukum pidana, peraturan disiplin Polri, dan etika profesi Kepolisian. Adapun upaya yang dapat dilakukan untuk mengontrol tindakan tembak di tempat agar tidak bertentangan dengan HAM adalah meningkatkan SDM Kepolisian, yakni dengan cara pemeliharaan kesiapan personil Polri, berupa perawatan kemampuan, pembinaan mental, pengembangan kekuatan personil, peningkatan kualitas pendidikan, serta didukung dengan sarana prasarana yang menunjang.
* Mahasiswa Departemen Hukum Pidana Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara ** Pembimbing I Dosen Pengajar Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara *** Pembimbing II Dosen Pengajar Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara
A. PENDAHULUAN Setiap melakukan tindakan, aparat kepolisian mempunyai kewenangan bertindak menurut penilaiannya sendiri dan hal inilah yang terkadang disalahgunakan oleh aparat Kepolisian. Kewenangan ini tertulis di dalam Pasal 18 ayat (1) Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia berisi : “Untuk kepentingan umum pejabat Kepolisian Negara Republik Indonesia dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya dapat bertindak menurut penilaiannya sendiri”. Pasal ini dapat disebut dengan kewenangan diskresi. Adapun pengertian diskresi Kepolisan menurut Thomas J. Aaron adalah ”Suatu wewenang yang diberikan kepada Polisi,untuk mengambil keputusan dalam situasi tertentu yang membutuhkan pertimbangan sendiri dan menyangkut masalah moral, serta terletak dalam garis batas antara hukum dan moral”. 4 Penerapan di lapangan biasanya Polisi melakukan tindakan tembak ditempat terhadap tersangka dan pada dasarnya pemberlakuan tembak ditempat terhadap tersangka bersifat situasional, yaitu berdasarkan pada prinsip proporsionalitas dalam penanggulangan kekerasan dan senjata api harus diterapkan pada saat keadaan tertentu. Polisi dalam menangani kasus yang bersifat individual diperlukan tindakan individual pula. Berdasarkan karakter profesi yang seperti itu, Kepolisian memberlakukan prinsip atau asas diskresi. Dengan prinsip diskresi ini, seorang Polisi boleh dan dapat mengambil keputusan dan tindakan sendiri, berdasarkan pertimbangan individual. Seorang Polisi yang sedang melakukan operasi dapat memutuskan sendiri, apakah ia perlu menembak atau tidak. Setelah ia memutuskan untuk ”menarik pelatuk” atau ”tidak menarik pelatuk” maka anggota Polisi yang bersangkutan akan mempertanggung jawabkan keputusannya kepada atasannya. Menurut Sutanto, penerapan atas asas diskresi tidak semudah teori, terutama berkaitan dengan pertanggungjawaban pasca tindakan. Seorang polisi yang mengambil keputusan untuk menembak seseorang tersangka kemudian harus mempertanggung jawabkan keputusan itu kepada atasannya dan ia harus dapat memberikan alasan mengapa perlu menembak tersangka. Tetapi mungkin saja terjadi hal yang sebaliknya, yaitu jika seorang Polisi tidak melakukan penembakan dan ternyata tersangka lolos dari pengejaran atau dalam situasi lain dimana ia tidak menembak, padahal seorang penjahat mengancam nyawa oarng lain dengan senjata, dalam hal ini, ia tetap harus mempertanggung jawabkan keputusan mengapa ia tidak menarik pelatuk senjatanya.5 Untuk mencapai sasaran penegakan hukum, segala tindakan para penegak hukum disesuaikan dengan Pancasila. Salah satunya dapat dilihat dalam Undangundang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana dan Undang-undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman, yang memberikan perlindungan terhadap harkat dan martabat manusia. Asas yang mengatur 4
M.Faal. 1991. Penyaringan Perkara Pidana Oleh Polisi (Diskresi Kepolisian). Jakarta: Pradnya Paramita, hal.16 5 Sutanto. 2008. Manajemen Investigasi. Jakarta: Pensil, hal. 75
1
perlindungan terhadap harkat dan martabat manusia yang terdapat dalam Undangundang ini ialah perlindungan terhadap asas praduga tak bersalah, yang pengaturannya terdapat dalam penjelasan angka ke-3 sub c Undang-undang Nomor 8 Tahun 1981 dan Pasal 8 ayat (1) Undang-undang Nomor 48 Tahun 2009. Secara formal prosedur penggunaan senjata api telah diatur. Namun, apakah dalam pelaksanaannya telah sesuai dengan ketentuan tersebut dan tidak bertentangan dengan perundang-undangan lain yang berlaku. Tentu dalam prosedur formal menjadi standar operasional prosedur dalam pelaksanaan tugas Kepolisian, akan tetapi kebijakan di lapangan sangat menentukan apa yang dilakukan oleh seorang Polisi. Sebab, selain kebijakan formal ada kebijakan informal di Satuan kerja Kepolisian, umpamanya yang bersifat situasional. Yaitu penggunaan senjata api serta eksekusi tanpa proses hukum semestinya. Misalnya perintah “tembak di tempat” terhadap para pelaku tindak pidana kategori residivis atau yang sadis dalam melakukan kejahatannya. B. PERMASALAHAN Berdasarkan uraian tersebut diatas, maka dikemukakan permasalahan sebagai berikut : 1. Bagaimana kewenangan aparat kepolisian dalam melakukan tembak ditempat terhadap tersangka dikaitkan dengan asas praduga tidak bersalah? 2. Bagaimana Pengawasan terhadap tindakan tembak ditempat oleh aparat kepolisian terhadap tersangka ? Tujuan pembahasan dalam tulisan ilmiah ini adalah untuk mengetahui serta mengkaji kaitan antara kewenangan tembak ditempat oleh aparat kepolisian dengan asas praduga tidak bersalah dan untuk mengetahui pengawasan terhadap tindakan tembak ditempat oleh aparat kepolisian. C. METODE PENELITIAN 1) Jenis Penelitian Jenis penelitian yang dipergunakan dalam penelitian ini adalah penelitian hukum normatif, yakni merupakan penelitian yang dilakukan dan ditujukan pada berbagai peraturan perundang-undangan tertulis dan berbagai literatur berkaitan dengan permasalahan dalam skripsi ini. 2) Jenis Data dan Sumber Data Data yang digunakan dalam penelitian skripsi ini adalah data sekunder yang didukung oleh data primer. a. Data Sekunder adalah mencakup dokumen-dokumen resmi, buku-buku, hasil penelitian yang berwujud laporan dan makalah-makalah hukum. b. Data Primer merupakan suatu bahan yang bersumber dari hasil suatu wawancara dengan narasumber yang terkait dengan judul skripsi. 3) Metode Pengumpulan Data
2
Untuk mengumpulkan data di dalam memecahkan permasalahan skripsi dilakukan dengan studi kepustakaan dilakukan dengan cara menelaah buku-buku karangan ilmiah, dan peraturan perundang-undangan yang ada hubungannya dengan permasalahan pada skripsi ini. Selain itu studi juga diarahkan terhadap artikel ilmiah yang dimuat di media massa internet. 4) Analisis Data Dalam penulisan skripsi ini, segala data yang diperoleh penulis kemudian dianalisis secara deskriptif kualitatif untuk menjawab segala permasalahan dalam skripsi ini, yang kemudian analisis deskriptif tersebut akan membantu penulis membuat suatu kesimpulan yang benar. D. HASIL PENELITIAN D.1. Kewenangan Aparat Kepolisian Dalam Melakukan Tembak Di Tempat Terhadap Tersangka Dikaitkan Dengan Asas Praduga Tidak Bersalah a. Prosedur tentang pengambilan suatu keputusan tembak ditempat terhadap pelaku tindak pidana menurut Undang-Undang Kepolisian. Tindakan tembak ditempat oleh aparat kepolisian merupakan suatu tugas Polisi yang bersifat represif, yaitu bersifat menindak. Tugas represif Polisi adalah tugas kepolisian yang bersifat menindak terhadap para pelanggar hukum untuk sesuai dengan ketentuan-ketentuan hukum yang berlaku baik didalam KUHAP maupun peraturan perundang-undangan lainnya.6 Kewenangan melakukan tugas represif dalam hal ini tembak ditempat oleh aparat kepolisian disebut dengan diskresi kepolisian aktif, dan umumnya tugas ini kewenangannya diberikan kepada aparat kepolisian unit reserse.7 Hal yang terpenting dalam pelaksanaan perintah tembak ditempat harus sesuai dengan mekanisme pelaksanaan tembak ditempat dan prosedur tetap penggunaan senjata api oleh aparat kepolisian. Sebagai penegak hukum di lini terdepan dari proses pelaksanaan sistem peradilan, yang berkewenangan melakukan upaya paksa dalam tindakan represif, yang potensial menyalahgunakan wewenang yang dipercayakan padanya, maka aparat kepolisian harus diikat dengan hukum acara yang ketat. Dan untuk dapat bersikap dan bertindak santun harus diikat dengan Etika Kepolisian yang ditegakkan dengan konsekwen dan konsisten.Oleh karena itu setelah pelaksanaan kewenangan tembak ditempat selesai dilakukan maka setiap aparat kepolisian yang terlibat dalam pelaksanaan kewenangan tembak ditempat harus membuat laporan ataupun berita acara dalam bentuk pertanggungjawabannya kepada atasannya serta juga harus mempertanggungjawabkan tindakannya dihadapan hukum. Pelaksanaan kewenangan tembak ditempat oleh aparat kepolisian ini harus sesuai dengan ketentuan penggunaan senjata api oleh aparat kepolisian serta juga harus sesuai dengan ketentuan hukum pidana dan ketentuan hukum tentang hak asasi manusia karena secara moral Polisi berkewajiban penuh untuk menegakkan dan 6
M.Faal. Op.Cit., hal.61 Ibid., hal. 69
7
3
menghormati HAM, sebab jika melanggar dapat diadili melalui peradilan umum ataupun melalui peradilan HAM sesuai dengan pelanggaran yang terjadi. Prosedur tembak ditempat sudah diatur secara jelas dalam Pasal 48 Peraturan Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 2009 menjelaskan tentang prosedur tembak ditempat, dimana dalam menggunakan senjata api harus : a. Petugas memahami prinsip penegakan hukum legalitas, nesesitas, dan proporsionalitas. b. Sebelum menggunakan senjata api petugas harus memberikan peringatan yang jelas dengan cara : 1. Menyebutkan dirinya sebagai petugas atau anggota Polri yang sedang bertugas. 2. Memberikan peringatan dengan ucapan secara jelas dan tegas kepada sasaran untuk berhenti, angkat tangan, atau meletakkan senjatanya. 3. Memberikan waktu yang cukup agar peringatan dipatuhi. c. Dalam keadaan yang sangat mendesak dimana penundaan waktu diperkirakan dapat mengakibatkan kematian atau luka berat bagi petugas atau orang lain disekitarnya, peringatan sebagaimana dimaksud dalam huruf b tidak perlu dilakukan. Sebelum petugas kepolisian melakukan tindakan kekerasan kepolisian berupa tembak ditempat, sesuai dengan Pasal 15 Peraturan Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 2009 Tentang Penggunaan Kekuatan Dalam Tindakan Kepolisian harus melakukan tindakan tembakan peringatan terlebih dahulu, adapun isi dari Pasal 15 tersebut adalah : 1. Dalam hal tindakan pelaku kejahatan atau tersangka dapat menimbulkanbahaya ancaman luka parah atau kematian terhadap anggota Polri atau masyarakat atau dapat membahayakan keselamatan umum dan tidak bersifat segera, dapat dilakukan tembakan peringatan. 2. Tembakan peringatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dengan pertimbangan yang aman, beralasan dan masuk akal untuk menghentikan tindakan pelaku kejahatan atau tersangka, serta tidak menimbulkan ancaman atau bahaya bagi orang-orang disekitarnya. 3. Tembakan peringatan hanya dilepaskan ke udara atau ke tanah dengan kehatihatian yang tinggi apabila alternatif lain sudah dilakukan tidak berhasil dengan tujuan sebagai berikut : a. untuk menurunkan moril pelaku kejahatan atau tersangka yang akan menyerang anggota polri atau masyarakat. b. untuk memberikan peringatan sebelum tembakan diarahkan kepada pelaku kejahatan atau tersangka. 4. Tembakan peringatan tidak diperlukan ketika menangani bahaya ancaman yang dapat menimbulkan luka parah atau kematian bersifat segera, sehingga tidak memungkinkan untuk dilakukan tembakan peringatan. Setiap anggota Polri harus memilih tahapan penggunaan kekuatan dalam melakukan suatu tinadakan terhadap bahaya ancaman dari pelaku kejahatan atau
4
tersangka, Tahapan ini pun diatur dalam Pasal 5 ayat (1) Peraturan Kepala Kepolisian Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 2009 terdiri dari : a. Tahap 1 : kekuatan yang memiliki dampak pencegahan. b. Tahap 2 : perintah lisan. c. Tahap 3 : kendali tangan kosong lunak. d. Tahap 4 : kendali tangan kosong keras. e. Tahap 5 : kendali senjata tumpul, senjata kimia, antara lain gas air mata, semprotan cabe atau alat lain sesuai standar Polri. f. Tahap 6 :kendali dengan menggunakan senjata api atau alat lain yang menghentikan tindakan atau perilaku kejahatan atau tersangka yang dapat menyebabkan luka parah atau kematian anggota Polri, atau anggota masyarakat. Namun sebelum aparat kepolisian melakukan tindakan tembak ditempat ada beberapa hal yang harus dipertimbangkan, dimana hal ini sudah diatur dalam Pasal 18 ayat (1) dan Pasal 19 ayat (2) Undang-undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia. Penggunaan kekuatan dengan kendali senjata api dilakukan ketika aparat kepolisian tidak memiliki alternatif lain yang beralasan dan masuk akal untuk menghentikan tindakan/perbuatan pelaku kejahatan atau tersangka. Penggunaan kekuatan dengan kendali senjata api atau alat lain dapat dilakukan apabila tersangka melarikan diri, dan penggunaan senjata api merupakan upaya terakhir untuk menghentikan tindakan pelaku kejahatan atau tersangka tersebut. Namun dalam hal nyawa masyarakat ataupun jiwa aparat kepolisian terancam saat berhadapan dengan tersangka, maka aparat kepolisian dapat melakukan penggunaan kendali senjata api dengan atau tanpa harus diawali peringatan lisan untuk menhentikan tindakan pelaku kejahatan atau tersangka. Sedapat mungkin tindakan tembak ditempat ini dihindarkan oleh aparat kepolisian dengan melakukan pendekatan secara halus terhadap tersangka pidana tanpa adanya kekerasan, namun tidak selamanya harus halus dan lemah lembut tetapi juga boleh keras dan kasar, asal proporsional.8 Pemberlakuan tembak ditempat terhadap tersangka merupakan langkah terakhir yang dilakukan oleh Polisi, sebelum melakukan tindakan tembak ditempat seorang anggota Polisi harus mempertimbangkan hal-hal yang tercantum dalam Pasal 45 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2009 tentang Implementasi Prinsip dan Standar Hak Asasi Manusia Dalam Penyelenggaraan Tugas Kepolisian Negara Republik Indonesia, diantaranya sebagai berikut : a. Tindakan dan cara-cara tanpa kekerasan harus diusahakan terlebih dahulu; b. Tindakan kekerasan hanya diterapkan bila sangat diperlukan; c. Tindakan kekerasan hanya diterapkan untuk penegakkan hukum yang sah; d. Tidak ada pengecualian atau alasan apapun yang dibolehkan untuk menggunakan kekerasan yang tidak berdasarkan hukum; e. Penggunaan kekuatan dan penerapan tindakan keras harus dilaksanakan secara proporsional dengan tujuan sesuai dengan hukum; 8
Anton Tabah. 1990. Menatap Dengan Mata Hati Polisi Indonesia. Jakarta: Gramedia Pustaka, hal. 94
5
f. Penggunaan kekuatan, senjata atau alat penerapan dalam tindakan keras harus berimbang dengan ancaman yang dihadapi; g. Harus ada pembatasan dalam penggunaan senjata atau alat dalam penerapan tindakan keras; h. Kerusakan dan luka-luka akibat penggunaan/tindakan keras harus seminimal mungkin. Penggunaan senjata api oleh aparat kepolisian sangatlah ketat aturannya dan penggunaan senjata api ini tidak boleh sembarangan dilakukan oleh aparat kepolisian, karena semuanya itu telah diatur dalam undang-undang dan aparat kepolisian harus dapat mempertanggungjawabkan perbuatannya dalam hal ini setelah menggunakan senjata api. Bila tindakan keras atau penggunan kekerasan sudah tidak dapat ditempuh maka pemberlakuan tembak ditempat terhadap tersangka boleh digunakan dengan benar-benar dan diperuntukkan untuk melindungi nyawa manusia, hal ini sesuai dengan pasal Pasal 47 ayat (1)UndangUndang Nomor 8 Tahun 2009 tentang Implementasi Prinsip dan Standar Hak Asasi Manusia Dalam Penyelenggaraan Tugas Kepolisian Negara Republik Indonesia . Selain itu menurut Pasal 47 ayat (2) pemberlakuan tembak ditempat terhadap tersangka oleh petugas Kepolisian dapat digunakan untuk : a. Dalam hal menghadapi keadaan luar biasa; b. Membela diri dari ancaman kematian dan/atau luka berat; c. Membela orang lain terhadap ancaman kematian dan/atau luka berat; d. Mencegah terjadinya kejahatan berat atau mengancam jiwa orang; e. Menahan, mencegah atau menghentikan seseorang yang sedang atau akan melakukan tindakan yang sangat membahayakan jiwa. f. Menangani situasi yang membahayakan jiwa, dimana langkah-langkah yang lebih lunak tidak cukup. Dari uraian dapat dipahami bahwa penggunaan senjata api oleh aparat kepolisian hanya boleh dilakukan demi melindungi nyawa manusia yang terancam jiwanya baik dari kalangan masyarakat maupun aparat kepolisian itu sendiri yang berhadapan langsung dengan pelaku tindak pidana atau tersangka. b. Pemberlakuan Tembak Ditempat Terhadap Tersangka Tindakan tembak ditempat terhadap tersangka merupakan suatu bentuk perintah dari atasan kepolisian terhadap anggotanya yang bertugas dilapangan untuk menangkap tersangka pidana, namun prosedur pelaksanaannya telah diatur secara jelas dalam Peraturan Kapolri Nomor 8 Tahun 2009. Umumnya perintah ini dikeluarkan oleh atasan kepolisian untuk diberlakukan terhadap tersangka pidana yang telah melakukan kejahatan pidana berat berulang kali (residivis) dan terhadap tersangka yang membahayakan nyawa manusia saat penangkapannya oleh aparat kepolisian, dalam hal ini tindakan tembak ditempat itu diputuskan oleh aparat kepolisian yang berhadapan langsung dengan tersangka dilapangan. 9
9
M. faal, Op.Cit., hal. 65
6
Pemberlakuan tembak ditempat terhadap tersangka setiap aparat kepolisian harus memperhatikan Prinsip-prinsip Dasar Penegakkan Hukum, dimana prinsip tersebut terdiri dari :10 a. Asas Legalitas Prinsip ini berarti bahwa semua tindakan yang dilakukan oleh aparat kepolisian, harus sesuai dengan hukum yang berlaku. Prinsip legalitas dalam hak asasi manusia tidak hanya diatur dalam perundang-undangan nasional, tetapi juga secara internasional. Oleh karena itu, seorang polisi harus mengetahui perundangundangan nasional dan internasional yang terkait dengan tugas penegakkan hukum. b. Asas Nesesitas Nesesitas berarti sebuah keadaan yang mengharuskan anggota polisi untuk melakukan suatu tindakan, atau menghadapi kejadian yang tidak dapat dihindarkan atau dielakkan sehingga terpaksa melakukan tindakan yang membatasi kebebasan tersangka. Dalam penggunaan kekerasan dan senjata api, prinsip ini diterapkan pada saat keadaan tidak dapat dihindarkan atau tidak dapat dielakkan, sehingga penggunaan kekerasan dan senjata api merupakan satusatunya tindakan yang harus dilakukan. Artinya bahwa tidak ada cara lain untuk memecahkan masalah dalam mencapai sasaran yang diharapkan. Dalam semua keadaan, penggunaan senjata api yang mematikan, hanya dapat digunakan secara tegas guna melindungi kehidupan. Maksud kehidupan disini adalah nyawa warga masyarakat yang tidak bersalah, anggota polisi dan tersangka. c. Asas Proporsionalitas Prinsip proporsionalitas dalam penegakkan hukum, tidak bisa disamakan dengan arti kata yang sama dalam tindakan anggota Angkatan Bersenjata. Anggota polisi harus menerapkan prinsip proporsionalitas dalam semua tindakan, terutama pada saat penggunaan Kekerasan dan Senjata Api (hanya pada saat sangat dibutuhkan). Prinsip proporsionalitas dalam penggunaan kekerasan dan senjata api harus diterapkan pada saat berhadapan dengan keadaan sebagai berikut: 1. Tindakan tersangka dan penggunaan sasaran/peralatan (senjata api, pisau, dan lain-lain); 2. Keadaan yang mendesak menimbulkan risiko kematian (wargamasyarakat, petugas kepolisian dan tersangka) ; 3. Kondisi atau keadaan yang penuh bahaya, ancaman terhadap jiwa atau keadaan ketika bahaya atau ancaman sudah sangat dekat untuk terlaksana. 4. Risiko dengan kemungkinan penggunaan senjata dan kekerasan akan terjadi, petugas harus mampu menetukan tingkatan penggunaan kekerasan yang akan digunakan. c. Berlakunya Asas Praduga Tidak Bersalah Terhadap Tersangka Asas praduga tidak bersalah yang diberlakukan terhadap tersangka dalam suatu tindak pidana tidak terlepas dari Hak Asasi Manusia (HAM). Asas praduga tidak bersalah erat kaitannya terhadap HAM dikarenakan asas ini merupakan 10
Buku Panduan tentang Hak Asasi Manusia untuk Anggota POLRI (2006) , hal. 87
7
salah satu asas yang memberikan perlindungan HAM atas seseorang tersangka/terdakwa tindak pidana. Mien Rukmini menyatakan bahwa antara negara hukum, HAM dan Sistem Peradilan Pidana memiliki hubungan yang relevan dan erat sekali dalam melaksanakan perlindungan HAM.11 Negara Indonesia merupakan negara hukum dimana negara Indonesia selalu mengedepankan HAM dalam setiap peraturan perundang-undangan. Pelanggaran HAM terhadap tersangka/terdakwa tindak pidana dapat terjadi pada tataran norma (undang-undang), namun lebih terlihat jelas pada tataran penegakannya, yakni pemeriksaan dalam semua tahapan sistem peradilan pidana. Dalam tahapan pemeriksaan, aparat penegak hukum berpotensi menggunakan kekuasaannya baik dalam bentuk ancaman fisik maupun psikis terhadap pelaku tindak pidana pada saat mulai pemanggilan, penentuan sebagai tersangka/ terdakwa, pemeriksaan yang berlarut-larut, penahanan yang tidak sah bahkan sampai pada rekayasa perkara. Rekayasa perkara merupakan pelanggaran HAM yang sangat kejam dalam proses penegakan hukum, yaitu dengan sengaja menciptakan seseorang sebagai pelaku tindak pidana.12 Asas praduga tidak bersalah atau presumption of innocence dalam penegakan hukum pidana di Indonesia dinyatakan : “bahwa walaupun telah ada bukti awal yang menguatkan tuduhan sebagai pelaku kejahatan, yang bersangkutan tetap berkedudukan sebagai manusia dengan hak asasi yang tidak boleh dilanggar, terlebih atas perbuatannya itu sebelum ada putusan hakim yang menyatakan pelaku bersalah, sesuai asas praduga tidak bersalah atau presumption of innocence, karena itu beban pembuktian merupakan kewajiban dari Penuntut Umum sebagai konsekuensi penerapan asas praduga tidak bersalah atau presumption of innocence”.13 Asas praduga tidak bersalah atau presumption of innocence sesuai dengan Konvenan mendefenisikan bahwa selama terhadap seorang tersangka atau terdakwa diberikan secara penuh hak-hak hukum sebagaimana dirinci dalam konvenan, maka selama itu pula perlindungan atas asas praduga tidak bersalah atau presumption of innocence, telah selesai dipenuhi oleh lembaga penegak hukum. Hak-hak hukum yang dimaksud meliputi 8 (delapan) hak, yaitu :14 a. Hak untuk diberitahukan jenis kejahatan yang didakwakan. b. Hak untuk disediakan waktu yang cukup dalam mempersiapkan pembelaannya dan berkomunikasi dengan penasehat hukum yang bersangkutan. c. Hak untuk diadili tanpa ditunda-tunda. d. Hak untuk diadili yang dihadiri oleh yang bersangkutan. e. Hak untuk didampingi penasehat hukum jika yang bersangkutan tidak mampu. 11
O.C Kaligis. 2006. Perlindungan Hukum Atas Hak Asasi Tersangka, Terdakwa dan Terpidana. Bandung: Alumni, hal.29 12 Ari Wibowo. 2012. Kebijakan Formulatif Hukum Pidana dalam Penanggulangan Tindak Pidana Terorisme di Indonesia. Yogyakarta : Graha Ilmu, hal. 44 13 Dikdik M. Arief Mansur. 2006. Urgensi Perlindungan Korban Kejahatan antara Norma dan Realita. Jakarta : Raja Grafindo Persada., hal. 20 14 Konvenan Internasional tentang Hak Sipil dan Hak Politik Tahun 1996 Pasal 14
8
f. Hak untuk diperiksa dan memeriksa saksi-saksi yang berlawan dengan yang bersangkutan. g. Hak untuk memperoleh penerjemah jika diperlukan oleh yang bersangkutan. h. Hak untuk tidak memberikan keterangan yang merugikan dirinya atau hak untuk tidak dipaksa mengakui perbuatannya. Asas pokok yang menjadi pelindung terhadap tersangka / terdakwa adalah asas praduga tidak bersalah. Asas praduga tidak bersalah merupakan asas yang menghendaki agar setiap orang yang terlibat dalam perkara pidana harus dianggap belum bersalah sebelum adanya keputusan pengadilan yang menyatakan kesalahan itu. Asas ini harus dipatuhi oleh penegak hukum baik dalam proses penyidikan, penuntutan maupun pemeriksaan di pengadilan. Jaminan atas hak ini terdapat dalam Penjelasan atas Undang-undang Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (KUHAP), dan Pasal 8 ayat (1) Undang-undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman.15 Asas praduga tidak bersalah mengandung konsekuensi bahwa untuk dianggap bersalah oleh pengadilan, maka seseorang harus dipenuhi hak-haknya sebagai berikut:16 a. Hak atas peradilan yang bebas, jujur, dan tidak memihak; b. Hak atas bantuan dari profesi hukum yang bebas. Untuk menjamin agar proses peradilan tidak dilaksanakan secara sewenang-wenang, maka jalannya pemeriksaan harus terbuka untuk umum. Asas publisitas atau keterbukaan merupakan asas yang sangat pokok untuk menjamin berjalannya proses peradilan yang independen, jujur dan tidak memihak.17 Asas praduga tidak bersalah atau Persumption of Innocence ini, jika ditinjau dari segi teknis juridis ataupun dari segi teknis penyidikan merupakan penerapan acquisitoir yaitu menempatkan kedudukan tersangka/terdakwa dalam semua tingkat pemeriksaan adalah sebagai subyek bukan sebagai obyek pemeriksaan. Tersangka/ terdakwa harus didudukkan dan diperlakukan dalam kedudukan manusia yang mempunyai harkat, martabat, dan harga diri. Sedangkan obyek pemeriksaan dalam asas acquisitoir adalah kesalahan atau perbuatan pidana yang dilakukan oleh tersangka/terdakwa, maka kearah itulah pemeriksaan harus ditujukan.18 Konsekuensi logis dari asas praduga tidak bersalah atau presumption of innocence ini maka kepada tersangka atau terdakwa diberikan hak oleh hukum untuk tidak memberikan keterangan yang akan memberatkan atau merugikan dirinya di muka persidangan , dan untuk tidak memberikan jawaban baik dalam proses penyidikan maupun dalam proses persidangan.19
15
Ari Wibowo., Op.Cit., hal. 45 Ibid., hal.46 17 Ibid., 18 Leden Marpaung. 2005. Asas-Teori-Praktek Hukum Pidana. Jakarta : Sinar Grafika Offset., hal.44 19 Ibid., hal. 45 16
9
d. Kaitan Antara Asas Praduga Tidak Bersalah Dengan Tembak Ditempat Tindakan tembak ditempat merupakan suatu bagian dari diskresi kepolisian yang dijalankan oleh aparat kepolisian, khususnya unit reserse yang menjalankan fungsi sebagai penyelidik. Aparat kepolisian yang menjalankan fungsi ini lebih sering berhadapan langsung dengan tersangka pidana di lapangan dibandingkan dengan fungsi kepolisian lainnya.20 Pada saat berhadapan langsung dengan tersangka, tidak menutup kemungkinan terjadinya perlawanan dari tersangka secara tiba-tiba. Dalam situasi seperti ini aparat kepolisian dituntut untuk segera mengambil tindakan guna mencegah tersangka melarikan diri ataupun melukai masyarakat sipil pada tempat kejadian ataupun membahayakan nyawa aparat kepolisian bersangkutan. Setiap aparat kepolisian harus dapat memutus sendiri jenis tindakan yang harus dia lakukan tanpa menanyakan terlebih dahulu kepada atasannya. Seorang aparat kepolisian yang sedang melaksanakan tugasnya dituntut supaya memiliki pengetahuan dan pengalaman yang banyak agar tidak terdapat aparat kepolisian yang melakukan tindakan-tindakan yang salah.21 Berdasarkan hal tersebut dapat dilihat bahwa aparat kepolisian unit reserse lebih rentan untuk menggunakan kewenangan tembak ditempat terhadap tersangka. Tugas pokok Reserse Polri adalah melaksanakan penyelidikan, penyidikan dan koordinasi serta pengawasan terhadap Penyidik Pegawai Negeri Sipil (PPNS) berdasarkan Undang-undang No.8 Tahun 1981 dan peraturan perundangan lainnya. Unit Reserse berfungsi menyelenggarakan segala usaha, kegiatan dan pekerjaan yang berkenaan dengan pelaksanaan fungsi Reserse Kepolisian dalam rangka penyidikan tindak pidana sesuai dengan Undang-undang yang berlaku, koordinator PPNS, dan pengelolaan Pusat Informasi Kriminil (PIK). 22 Setiap menjalankan tugas dan fungsinya, aparat kepolisian bidang reserse ini diwajibkan untuk bertindak sesuai dengan asas-asas yang berlaku dan menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan. Asas yang utama harus dikedepankan oleh aparat kepolisian bidang reserse antara lain :23 1. Asas Praduga Tidak Bersalah (Presumption of innocence ) Artinya setiap orang yang disangka, ditangkap, ditahan, dituntut dan atau dihadapkan dimuka siding pengadilan wajib dianggap tidak bersalah sampai adanya putusan pengadilan yang menyatakan kesalahannya dan memperoleh kekuatan hukum yang tetap. 2. Asas Persamaan Di Muka Umum ( Equality before the law) Asas ini memberikan jaminan bahwa setiap orang diperlakukan sama di muka hukum tanpa membedakan ras, agama, kedudukan susila, dan kelamin. Polri dalam mengayomi, melindungi dan melayani masyarakat tidak boleh memberikan pelayanan yang berbeda-beda. 3. Asas Hak Pemberian Bantuan / Penasehat Hukum ( Legal aid / assistance ) 20
DPM. Sitompul. 1985. Hukum Kepolisian di Indonesia (Suatu Bunga Rampai). Bandung: Tarsito, hal. 103 21 Ibid., hal.108 22 Surat Keputusan Kapolri No.Pol. : SKEP/180/III/2006 tentang Buku Pedoman Pelaksanaan Tugas Bintara Polri Di Lapangan, hal. 134 23 Ibid.,hal.135
10
Artinya setiap orang yang tersangkut tindak pidana wajib diberikan kesempatan memperoleh bantuan hukum yang semata-mata diberikan untuk melaksanakan kepentingan pembelaan atas dirinya, sejak saat dilakukan penangkapan dan/ atau penahanan. Dapat dilihat bahwa asas praduga tidak bersalah memiliki keterkaitan dalam setiap tindakan aparat kepolisian khususnya fungsi reserse yang bertugas menjalankan penyelidikan. Pada dasarnya asas praduga tidak bersalah harus diberlakukan kepada setiap tersangka yang diduga melakukan tindak kejahatan. Sampai ada putusan pengadilan yang memvonis seseorang bersalah. Tetapi untuk situasi tertentu ketika berhadapan dengan tersangka tindak kejahatan polisi diperbolehkan melakukan tembak ditempat dengan mengacu pada resolusi PBB No 34/ 168 tentang prinsip penggunaan senjata bagi aparat penegak hukum yaitu antara lain : a. prinsip legalitas artinya semua tindakan harus sesuai dengan hukum yang berlaku, b. prinsip Nesesitas adalah sebuah keadaan yang mengharuskan untuk melakukan suatu tindakan atau menghadapi kejadian yang tidak dapat dihindari atau dielakkan sehingga terpaksa melakukan tindakan yang membatasi kebebasan seseorang, dan c. prinsip proporsionalitas yaitu penggunaan senjata api sesuai dengan, dan berdasarkan tujuan yang dicapai dan tidak melebihi batas. Adapun prosedur teknis dimana harus ada tembakan peringatan sebanyak 3 kali yang diarahkan keatas kemudian jika tersangka melawan atau melarikan diri maka di tembak dengan tujuan untuk melumpuhkan tidak mematikan. Apabila prinsip dan prosedur tesebut tidak dilakukan maka akan masuk dalam kategori penyalahgunaan wewenang dan penggunaan kekuatan yang berlebih lebihan sehingga sebagai bagian dari pelanggaran HAM. Pada dasarnya setiap orang yang menjadi tersangka memiliki hak untuk tidak dianggap bersalah sampai ada putusan pengadilan yang menyatakan orang tersebut bersalah atau tidak, namun dalam hal pemberlakuan tembak ditempat terhadap tersangka sesungguhnya pemberlakuan praduga tak bersalah terhadap tersangka juga bukan hak yang bersifat absolute. Hal ini dapat dibuktikan bila petugas Kepolisian (Penyidik) dalam melakukan penyidikan telah menemukan cukup bukti yang kuat untuk membuktikan bahwa tersangka melakukan suatu tindak pidana, dengan adanya laporan kepada Polisi, adanya keterangan saksi, serta adanya barang bukti yang didapat sesuai dengan Pasal 17 KUHAP. Asas praduga tidak bersalah memang harus dikedepankan oleh aparat kepolisian dalam melakukan tugasnya dalam hal menangkap tersangka tindak pidana. Namun adakalanya juga asas praduga itu ditiadakan bagi tersangka pelaku tindak pidana. Undang-undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia huruf amenyatakan : “bahwa keamanan dalam negeri merupakan syarat utama mendukung terwujudnya masyarakat madani yang adil, makmur, dan beradab berdasarkan Pancasila dan Undang – undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945”. Undang –undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Republik Indonesia huruf b menyatakan :
11
“bahwa pemeliharaan keamanan dalam negeri melalui upaya penyelenggaraan fungsi Kepolisian yang meliputi pemeliharaan keamanan dan ketertiban masyarakat, penegak hukum, perlindungan, pengayoman, dan pelayanan kepada masyarakat dilakukan oleh Kepolsian Negara Republik Indonesia selaku alat Negara dibantu oleh masyarakat dengan menjunjung tinggi Hak Asasi Manusia (HAM). Kepolisian Republik Indonesia merupakan aparat penegak hukum sesuai dengan prinsip diferensiasi fungsional yang digariskan oleh Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (KUHAP). Kepolisian Republik Indonesia sebagai lembaga yang ditunjuk oleh Negara dalam rangka menjaga keamanan dan ketertiban masyarakat demi terciptanya tatanan kehidupan yang aman dan tentram diberikan juga peran atau kekuasaan untuk menangani aksi kriminal atau general policing authority in criminal mater di seluruh wilayah Negara Republik Indonesia.24 Di dalam melaksanakan kekuasaan/kewenangan tersebut, Kepolisian Republik Indonesia berperan melakukan kontrol kriminal atau crime control dalam bentuk penyelidikan dan penyidikan atau investigasi, penangkapan, penahanan, penggeledahan, penyitaan serta melakukan pelayanan sipil atau civil service harus tunduk dan taat kepada prinsip the right of due process dimana setiap tersangka/terdakwa berhak diselidiki dan disidik atas landasan sesuai dengan Hukum Acara Pidana yang telah digariskan dalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP).25 D.2. Pengawasan Terhadap Tindakan Tembak Di Tempat Oleh Aparat Kepolisian Terhadap Tersangka a. Pengawasan Internal Terhadap Aparat Kepolisian Yang Melakukan Tindakan Tembak Ditempat Tidak Sesuai Dengan Prosedur. Menurut Bapak Rama Pratama selaku Kapolsek Medan Area, Penggunaan Kekuatan oleh aparat kepolisian telah diatur dalam Peraturan kapolri Nomor 1 Tahun 2009, dimana dari isi Pasal 2 peraturan tersebut dapat dilihat bahwa aparat kepolisian diberikan wewenang untuk menggunakan kekuatan dalam mencegah, menghambat, atau menghentikan tindakan pelaku kejahatan atau tersangka, termasuk melakukan tembak ditempat terhadap terhadap tersangka tersebut. Aparat kepolisian dapat melakukan tindakan tembak ditempat ini manakala tersangka membahayakan nyawa aparat kepolisian tersebut ataupun masyarakat umum disekitarnya. Tindakan tembak ditempat ini haruslah sesuai prosedur, dimana mengenai prosedurnya telah diatur dalam Pasal 48 Peraturan Kapolri Nomor 8 Tahun 2009, dimana sebelum menggunakan senjata apinya aparat kepolisian tersebut harus menyebutkan dirinya sebagai petugas polri yang bertugas, memberi peringatan dengan ucapan dapat juga disertai tembakan peringatan ke udara sebanyak 3 kali. Jika tersangka tidak mengindahkan aparat kepolisian tersebut, maka aparat kepolisian tersebut dapat menggunakan kekuatan dengan melakukan tindakan tembak ditempat. Namun dalam hal yang sangat 24
M. Yahya Harahap. 2000. Pembahasan Permasalahan dan penerapan KUHAP: Penyidikan dan Penuntutan. Jakarta: Sinar Grafika, hal.91 25 Ibid., hal.95
12
mendesak, dimana apabila aparat kepolisian tidak dengan segera mengambil tindakan dapat mengakibatkan seseorang luka berat bahkan meninggal akibat perbuatan tersangka, maka aparat kepolisian tersebut dapat melakukan tembak ditempat tanpa harus memberikan peringatan terlebih dahulu.26 Dalam hal pengawasannya, setiap aparat kepolisian yang telah menggunakan senjatanya wajib melaporkan tindakannya tersebut kepada Provost yang dalam hal ini bertindak sebagai pengawas. Aparat kepolisian yang menggunakan senjata api wajib mengisi suatu form, dimana isi dari form itu menjelaskan alasan mengapa aparat kepolisian tersebut mengambil tindakan tembak ditempat, bagaimana keadaan saat tindakan tembak ditempat berlangsung, berapa jumlah peluru yang digunakan dan siapa yang menjadi sasaran penembakan. Pengawasan terhadap aparat kepolisian yang melakukan tindakan tembak ditempat tidak hanya pengawasan internal saja, melainkan terdapat juga pengawasan eksternal. Pengawasan eksternal dilakukan oleh Komisi Kepolisian Nasional, Ombudsman, Lembaga Bantuan Hukum (LBH) dan Media. Dengan adanya pengawasan eksternal ini, maka aparat kepolisian dituntut untuk bertindak sesuai dengan prosedur sebagaimana mestinya dalam menjalankan tugasnya, agar tidak memberikan citra buruk Polisi di mata masyarakat. Karena dengan adanya pengawas eksternal ini, segala tindakan kepolisian dapat diketahui oleh masyarakat luas, apalagi mengenai tindakan tembak ditempat. Tindakan tembak ditempat ini menyangkut nyawa seseorang, karena itu tentulah menjadi suatu perhatian khusus. Jadi apabila aparat kepolisian melakukan tindakan tembak ditempat tidak sesuai dengan prosedur, pastilah diketahui oleh masyarakat. Aparat kepolisian yang melakukan tindakan tembak ditempat tidak sesuai dengan prosedur akan mendapat tindakan disiplin, ditindak sesuai dengan kode etik kepolisian bahkan dituntut pertanggungjawaban pidana umum. Namun jika aparat kepolisian tersebut melakukan tembak ditempat dalam keadaan terpaksa dan sesuai prosedur penggunaan senjata api, seperti tercantum dalam pasal 48 Peraturan Kapolri Nomor 8 Tahun 2009, maka aparat kepolisian tersebut tidak dapat dihukum sesuai dengan Pasal 49 dan Pasal 50 KUHP. Pada Pasal 49 KUHP dinyatakan bahwa : (1) tidak dipidana, barang siapa melakukan perbuatan pembelaan terpaksa untuk diri sendiri maupun untuk orang lain, kehormatan kesusilaan atau harta benda sendiri maupun orang lain, karena ada serangan atau ancaman serangan yang sangat dekat pada saat ituyang melawan hukum. (2) pembelaan terpaksa yang melampaui batas yang langsung disebabkan oleh keguncangan jiwa yang hebat karena serangan atau ancaman serangan itu, tidak dipidana. Pasal 50 menyatakan bahwa : barangsiapa melakukan perbuatan untuk melaksanakan undang-undang, tidak dipidana.
26
Wawancara dengan Bapak Rama Samtama Putra, SIK, MSi. MH selaku Kapolsek
Medan Area
13
Berangkat dari kedua pasal tersebutlah maka aparat kepolisian yang melakukan tindakan tembak ditempat terhadap tersangka pelaku tindak pidana yang sesuai prosedur, maka tidak dapat dihukum.27 Pada instansi Kepolisian terdapat suatu divisi yang berfungsi sebagai pengawas internal bagi aparat Kepolisian. Propam adalah singkatan dari Profesi dan Pengamanan yang dipakai oleh organisasi Polri pada salah satu struktur organisasinya sejak 27 Oktober 2002 ( Kep Kapolri Nomor : Kep/54/X/2002), sebelumnya dikenal Dinas Provost atau Satuan Provost Polri yang organisasinya masih bersatu dengan ABRI, dimana Provost Polri merupakan satuan fungsi pembinaan dari Polisi Organisasi Militer / 99 POM atau istilah Polisi Militer / PM. Propam adalah salah satu wadah organisasi Polri berbentuk Divisi yang bertanggung-jawab kepada masalah pembinaan profesi dan pengamanan dilingkungan internal organisasi Polri disingkat Divisi Propam Polri sebagai salah satu unsur pelaksana staf khusus Polri di tingkat Markas Besar yang berada di bawah Kapolri. Divisi Propam Polri dalam pelaksanaan tugasnya mempunyai kewajiban melaksanakan/ menyelenggarakan berbagai kegiatan sebagai berikut : a) Pembinaan fungsi PROPAM bagi seluruh jajaran POLRI, meliputi : 1) Perumusan/pengembangan sistem dan metode termasuk petunjuk-petunjuk pelaksanaan fungsi PROPAM. 2) Pemantauan dan supervisi staf termasuk pemberian arahan guna menjamin terlaksananya fungsi PROPAM. 3) Pemberian dukungan (back-up) dalam bentuk baik bimbingan teknis maupun bantuan kekuatan dalam pelaksanaan fungsi PROPAM. 4) Perencanaan kebutuhan personil dan anggaran termasuk pengajuan saran/pertimbangan penempatan/pembinaan karier personil pengemban fungsi PROPAM. 5) Pengumpulan, pengolahan dan penyajian serta statistik yang berkenaan dengan sumber daya maupun hasil pelaksanaan tugas satuan-satuan organisasi PROPAM. 6) Penyelenggaraan fungsi pelayanan berkenaan dengan pengaduan/ laporan masyarakat tentang sikap dan perilaku anggota/PNS POLRI, termasuk pemusatan data secara nasional dan pemantauan/pengendalian terhadap penanganan pengaduan/laporan masyarakat oleh seluruh jajaran POLRI. b) Pelaksanaan registrasi penelitian terhadap proses penanganan kasus dan menyiapkan proses/ keputusan rehabilitasi bagi anggota/PNS POLRI yang tidak terbukti melakukan pelanggaran,atau pengampunan/pengurangan hukuman (disiplin/administrasi) serta memantau, membantu proses pelaksanaan hukuman dan menyiapkan keputusan pengakhiran hukuman bagi personil yang sedang/telah melaksanakan hukuman (terpidana). c) Pembinaan dan penyelenggaraan fungsi pertanggungjawaban profesi yang meliputi perumusan/pengembangan standar dan kode etik profesi, 27
Wawancara dengan Bapak Kapolsek Medan Area Rama Samtama Putra, SIK, MSi. MH., selaku Kapolsek Medan Area.
14
penilaian/akreditasi penerapan standar profesi, serta pembinaan dan penegakan etika profesi termasuk audit investigasi. d) Pembinaan dan penyelenggaraan fungsi pengamanan internal, yang meliputi : pengamanan personil, materil, kegiatan dan bahan keterangan, termasuk penyelidikan terhadap kasus pelanggaran/dugaan pelanggaran/penyimpangan dalam pelaksanaan tugas Polri pada tingkat pusat dalam batas kewenangan yang ditetapkan. e) Pembinaan dan penyelenggaraan fungsi provost yang meliputi pembinaan/pemeliharaan disiplin/tata tertib, serta penegakan hukum dan penyelesaian perkara pelanggaran disiplin pada tingkat pusat dalam batas kewenangan yang ditetapkan. Kewenangan yang diberikan kepada Kepolisian Negara Republik Indonesia itu dapat menyebabkan banyak terjadinya penyimpangan maupun penyalahgunaan tugas dan wewenang oleh anggota polri dalam pelaksanaan tugasnya sebagai aparat penegak hokum di tengah masyarakat. Oleh karena itu harus ada sebuah kontrol baik dari internal Polri maupun dari eksternal Polri sebagai upaya pengawasan terhadap perilaku anggota Polri dilapangan. Maka dari itu, Divisi Pertanggungjawaban Profesi dan Pengamanan Internal ( Div Propam ). Fungsi dan Peran Divpropam Polri tersebut diatas, diselenggarakan secara terkoordinasi, terintegrasi dan efektif selaras dengan kewenangan yang telah ditetapkan baik oleh Unsur Staff Pimpinan dan Unsur Pelaksana Utama Divpropam Polri. Selain itu, penyimpangan perilaku polisi bisa mendatangkan malapetaka. Seorang polisi yang terlibat dalam penyalahgunaan wewenang bukan hanya melanggar hukum pidana serta menodai wewenangnya tetapi juga menghancurkan kepercayaan masyarakat terhadap polisi dan merusak hubungan antara masyarakat dan seluruh sistem peradilan pidana.28 b. Pertanggungjawaban Pidana Terhadap Aparat Kepolisian Yang Melakukan Tindakan Tembak Ditempat Tidak Sesuai Prosedur. Aparat kepolisian yang melakukan tindakan tembak ditempat tidak sesuai dengan prosedur tidak langsung dapat dijatuhi hukuman. Aparat kepolisian tersebut harus diperiksa terlebih dahulu oleh pihak yang berwenang menurut peraturan yang berlaku, untuk mengetahui letak kesalahan aparat kepolisian tersebut sehingga hukuman yang dijatuhkan atas aparat kepolisian tersebut merupakan keputusan yang seadil-adilnya. Hal ini sesuai dengan bunyi pasal 17 Peraturan Pemerintah Nomor 2 Tahun 2003 Ayat (1) : “Sebelum menjatuhkan hukuman disiplin, Ankum wajib memeriksa lebih dahulu anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia yang disangka melakukan pelanggaran disiplin itu.” ayat (2) : Pejabat yang berwenang memeriksa pelanggaran disiplin adalah: a. Atasan yang berhak menghukum (Ankum), 28
Thomas Barker. 1999. Police Deviance (Penyimpangan Polisi) Edisi Ketiga. Jakarta: Cipta Manunggal, hal.10
15
b. Atasan langsung, c. Atasan tidak langsung, d. Provos Kepolisian Negara Republik Indonesia, atau e. Pejabat lain yang ditunjuk oleh Ankum. Proses disipliner Kepolisian melahirkan suatu tindakan administratif serius yang memiliki pengaruh penting terhadap keamanan dan karir seorang petugas. Dikarenakan luasnya pengaruh tindakan disipliner, proses dan hasilnya menjadi sasaran penyelidikan yang cermat. Jika Kepolisian salah menjatuhkan tindakan disipliner terhadap aparat kepolisian, kepercayaan masyarakat sipil akan instansi Kepolisian akan berkurang bahkan tidak menaruh kepercayaan lagi terhadap hukum dalam menegakkan keadilan. Oleh karena itu penting bagi instansi Kepolisian untuk memiliki sistem disipliner yang dirancang dengan baik, obyektif, adil, dan disusun dengan cermat dan dinyatakan jelas dalam kebijakan dan prosedur formal.29 Jika setelah melalui pemeriksaan suatu pengaduan diterima, maka kelompok atau individu yang ditugaskan akan menilai sanksi atas pelanggaran peraturan tersebut. Sanksi disipliner biasanya bergantung pada keseriusan dan situasi sekitar pelanggaran peraturan tersebut, faktor-faktor yang mengganggu dan merugikan, dan sejarah pribadi aparat kepolisian. Sanksi yang mungkin dijatuhkan mencakup pemecatan, penurunan pangkat, skors dari tugas, penempatan dalam masa percobaan, pemindahan tugas, pelatihan, peringatan, atau bimbingan dan pengawasan.30 1. Pemecatan Pemecatan adalah pemutusan total dari dinas Kepolisian termasuk gaji, keuntungan dan tanggung jawab timbale balik antara petugas dan Kepolisian. Ini merupakan keputusan yang terberat dalam proses pemeriksaan administratif dan dalam pemeriksaan selanjutnya. Meskipun demikian, terkadang tindakan ini merupakan satu-satunya pilihan dalam kasus-kasus serius tertentu. 2. Penurunan pangkat Penurunan pangkat adalah penurunan dari posisi organisasi yang diakui secara formal yang menentukan wewenang terhadap anggota organisasi lainnya. Sebagai hukuman, penurunan pangkat merupakan sanksi serius, karena mengakibatkan berkurangnya penghasilan, turunnya status, dan pertanggungjawaban dalam perkembangan karir. 3. Hukuman Skors Hukuman Skors adalah hukuman apabila seorang aparat kepolisian dibebaskan dari tugas tanpa gaji untuk periode waktu tertentu yang biasanya tidak lebih dari empat minggu. Selama masa skors petugas tidak memiliki wewenang sebagai petugas polisi dan dalam banyak yuridiksi bahkan tidak ddapat bekerja dalam suatu pekerjaan “di luar tugas” yang mungkin membutuhkan wewenang polisi. Sementara si petugas tidak memiliki wewenang atau gaji, biasanya tunjangan personil masih diberikan. 29
Ibid., hal. 523 Ibid., hal. 542
30
16
4. Hukuman Percobaan Hukuman percobaan adalah hukuman dimana petugas tetap bertugas, menerima gaji dan tunjangan, tetapi statusnya berubah karena dugaan penyelewengan yang kemudian diterima mungkin, akan mengakibatkan dijatuhkannya hukuman skors atau pemecatan. Hukuman ini paling sering diberikan kepada petugas yang sudah mengikuti rehabilitasi pecandu alcohol, petugas yang terlalu sering mangkir dari kerja, aparat kepolisian yang banyak terkena pengaduan ringan (tidak professional ataupun tidak ramah) dan keadaankeadaan lain yang serupa. 5. Pemindahan tugas Biasanya sanksi pemindahan tugas dijatuhkan dalam kasus dimana seorang aparat kepolisian terlibat dalam penyelewengan yang berhubungan dengan penguasaannya yang sekarang. Pemindahan tugas dapat berupa penarikan seorang aparat kepolisian keluar dari posisi dari fungsi yang dijalankannya ke fungsi lain, ataupun pemindahan lokasi tugas dari suatu kota ke kota lain. 6. Pelatihan Jika pelanggaran peraturan atau prosedur yang dilakukan seorang aparat kepolisian merupakan akibat dari penyalahgunaan jabatan, maka dijatuhkan sanksi pelatihan tambahan tentang subjek masalah yang berhubungan dengan penyelewengan tersebut. Dalam hal ini instansi Kepolisian harus menanggung sebagian tanggung jawabdan memberikan serangkaian tindakan perbaikan. 7. Peringatan Suatu peringatan adalah hukuman ketika seorang petugas secara resmi mendapat peringatan karena perilakunya. Peringatan tersebut dalam bentuk tertulis, biasanya dari seorang komandan (kepala unit), dan salinan tersebut dimasukkan dalam arsip personalia aparat kepolisian yang mendapat peringatan tersebut. Surat peringatan ini akan dijadikan pertimbangan dalam evaluasi kenaikan pangkat dan juga keputusan hukuman untuk kejadian penyelewengan di masa datang. 8. Bimbingan dan Pengawasan Sanksi berupa dialog dengan aparat kepolisian berkenaan dengan masalah yang biasanya berhubungan dengan faktor-faktor penampilan dan prosedur. Bimbingan dan pengawasan bukan merupakan bagian dari catatan personalia resmi pegawai, meskipun begitu, pengawas harus membuat catatan sebagai referensi yang mungkin penting dalam masalah disipliner di masa datang. Meskipun demikian, sanksi ini merupakan sanksi disipliner yang sering digunakan. Bimbingan dan pengawasan adalah apa yang oleh orang sering didengar sebagai teguran lisan. Aparat kepolisian yang melakukan tembak di tempat tidak sesuai dengan prosedur dapat diberikan sanksi pidana sebagai bentuk pertanggungjawabannya atas tugas yang diembannya. Pasal pidana yang dapat dikenakan terhadap aparat kepolisian yang melakukan tembak ditempat tidak sesuai prosedur ialah pasal yang mengatur tentang kejahatan terhadap nyawa, antara lain: 31 1. Pasal 338 KUHP 31
DPM. Sitompul Op.Cit., hal.135
17
“Barangsiapa dengan sengaja merampas nyawa orang lain, diancam karena pembunuhan dengan pidana penjara paling lama lima belas tahun” 2. Pasal 359 KUHP “barangsiapa karena kesalahannya (kealpaannya) menyebabkan orang lain mati, diancam dengan pidana penjara paling lama lima tahun atau pidana kurungan paling lama satu tahun.” 3. Pasal 360 KUHP Ayat (1): “barangsiapa karena kesalahannya (kealpaannya) menyebabkan orang lain mendapat luka-luka berat, diancam dengan pidana penjara paling lama lima tahun atau pidana kurungan paling lama satu tahun.” Ayat (2): “barangsiapa karena kesalahannya (kealpaannya) menyebabkan orang lain luka-luka sedemikian rupa sehingga timbul penyakit atau halangan menjalankan pekerjaan jabatan atau pencaharian selama waktu tertentu, diancam dengan pidana penjara paling lama enam tahun.” Berdasarkan ketentuan yang terdapat dalam pasal 52 KUHP, bagi seorang pegawai negeri yang melanggar kewajibannya dalam jabatannya karena melakukan perbuatan yang boleh dihukum, maka hukumannya ditambah sepertiga dari hukuman pokok. Ketentuan ini tentu berlaku bagi seorang aparat kepolisian Indonesia karena polisi merupakan bagian dari pegawai negeri sebagaimana diatur dalam pasal 92 KUHP. Dapat dilihat bahwa setiap aparat kepolisian yang melakukan tindakan tembak ditempat tidak sesuai prosedur dapat dikenakan sanksi administratif dan tindakan disiplin dari institusi Kepolisian sesuai dengan peraturan yang berlaku, namun tidak menutup kemungkinan aparat kepolisian tersebut untuk dikenakan juga sanksi pidana. Hal ini tentunya diputuskan oleh pihak yang berwenang untuk memutus setelah diadakannya pemeriksaan terlebih dahulu untuk mengetahui apa yang menyebabkan aparat kepolisian tersebut bertindak tidak sesuai dengan prosedur dan bagaimana dampak atas perbuatannya. Sehingga dengan demikian hal-hal tersebut dapat dijadikan sebagai bahan pertimbangan bagi pihak yang berwenang untuk memutuskan memberikan sanksi administratif atau tindakan disiplin yang bagaimana bterhadap aparat kepolisian tersebut, atau memberikan sanksi administratif disertai sanksi pidana. E. PENUTUP a. Kesimpulan 1. Prosedur tembak ditempat diatur dalam Pasal 48 Peraturan Kepala KepolisianNegara Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 2009 Tentang Prinsipprinsip Dasar tentang Penggunaan Kekerasan dan Senjata Api oleh Aparatur Penegak Hukum dimana petugas memahami prinsip penegakkan hukum legalitas, nesesitas, dan proporsionalitas. Sebelum munggunakan senjata api petugas harus memberikan peringatan yang jelas dengan cara menyebutkan dirinya sebagai petugas atau anggota polri yang sedang bertugas, memberi
18
peringatan dengan ucapan secara jelas dan tegas kepada sasaran untuk berhenti, angkat tangan, atau meletakkan senjatanya, memberi waktu yang cukup agar peringatan dipatuhi. Serta dalam keadaan yang sangat mendesak dimana penundaan waktu diperkirakan dapat mengakibatkan kematian atau luka berat bagi petugas atau orang lain disekitarnya, peringatan sebagaimana dimaksud dalam huruf b tidak perlu dilakukan. Asas praduga tidak bersalah dalam poin ke-3 sub c Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 KUHP dan Pasal 8 Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004 dapat dikesampingkan oleh petugas kepolisian dalam menangkap tersangka. Pengenyampingan asas praduga tidak bersalah tersebut harus disertai denga adanya bukti-bukti permulaan yang cukup dan terpenuhinya asas Legalitas, Nesesitas, dan Proporsionalitas sesuai dengan Pasal 48 Perkap Nomor 8 Tahun 2009 huruf a. Apabila keempat unsur tersebut telah terpenuhi maka petugas kepolisian dapat memberlakukan tindakan tembak ditempat terhadap tersangka yang melakukan perlawanan atau akan melarikan diri. 2. Aparat Kepolisian dalam menjalankan tugasnya selalu diawasi oleh unit Propam Polri, yang bertugas untuk mengawasi perbuatan aparat kepolisian agar tidak menyimpang dari peraturan yang berlaku. Setiap aparat kepolisian yang melakukan tindakan tembak ditempat tidak sesuai prosedur dapat dikenakan sanksi administratif dan tindakan disiplin dari institusi Kepolisian sesuai dengan peraturan yang berlaku, namun tidak menutup kemungkinan aparat kepolisian tersebut untuk dikenakan juga sanksi pidana. Hal ini tentunya diputuskan oleh pihak yang berwenang untuk memutus setelah diadakannya pemeriksaan terlebih dahulu untuk mengetahui apa yang menyebabkan aparat kepolisian tersebut bertindak tidak sesuai dengan prosedur dan bagaimana dampak atas perbuatannya. b. Saran 1. Diperlukannya penguasaan pengendalian diri dan pemahaman akan prosedur tindakan keras Kepolisian, khusunya tindakan keras menggunakan senjata api terhadap tersangka, mempertimbangkan hal-hal yang lebih penting atau pencapaian tujuan hukum dalam pengambilan keputusan oleh petugas Kepolisian untuk melakukan tindakan keras atau tidak terhadap tersangka. Selain itu diperlukannya Undang-undang khusus yang seharusnya mengatur secara tegas mengenai prosedur tembak di tempat yang dianggap terlalu mudah untuk mengambil suatu keputusan untuk melakukan tembak di tempat seperti yang terdapat dalam Pasal 48 Peraturan Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 2009 Tentang Prinsip-prinsip Dasar tentang Penggunaan Kekerasan dan Senjata Api oleh Aparatur Penegak Hukum. 2. Perlu diadakannya suatu aturan untuk membatasi pemberlakuan asas praduga tak bersalah pada poin ke-3 sub c Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 KUHP dan Pasal 8 Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004 bagi tersangka. Hal ini bertujuan agar tidak terjadinya suatu pemahaman asas praduga tak bersalah oleh setiap pelaku tindak pidana secara berlebihan, sehingga asas praduga tak bersalah tidak dijadikan tameng oleh pelaku tindak pidana.
19
3. Sangat perlu adanya upaya untuk meminimalisir tembak di tempat dimana dapat dimulai dari kesadaran atas tugas dan wewenang yang diberikan terhadap petugas kepolisian, adanya aturan yang lebih tegas tentang batasan pemberlakuan tembak ditempat, dimana batasan tidak hanya berdasarkan pada Pasal 48 Perkap Nomor 8 Tahun 2009, melainkan memahami dan mengerti akan tindakan tembak ditempat tersebut, adanya sarana dan prasarana yang menunjang bagi petugas kepolisian, dan setiap calon anggota kepolisian memilki SDM yang baik.
20
DAFTAR PUSTAKA 1. Buku Barker, Thomas. 1999. Police Deviance (Penyimpangan Polisi) Edisi Ketiga. Jakarta: Cipta Manunggal. Faal, M. 1991. Penyaringan Perkara Pidana Oleh Polisi (Diskresi Kepolisian). Jakarta: Pradnya Paramita. Harahap, Yahya M. 2000. Pembahasan Permasalahan dan penerapan KUHAP: Penyidikan dan Penuntutan. Jakarta: Sinar Grafika. Kaligis, O.C. 2006. Perlindungan Hukum Atas Hak Asasi Tersangka, Terdakwa dan Terpidana. Bandung: Alumni. Mansur,Arief Didkdik M. 2006. Urgensi Perlindungan Korban Kejahatan antara Norma dan Realita. Jakarta : Raja Grafindo Persada. Marpaung, Leden. 2005. Asas-Teori-Praktek Hukum Pidana. Jakarta : Sinar Grafika Offset. Sitompul, DPM. 1985. Hukum Kepolisian di Indonesia (Suatu Bunga Rampai). Bandung: Tarsito. Sutanto. 2008. Manajemen Investigasi. Jakarta: Pensil Tabah, Anton. 1990. Menatap Dengan Mata Hati Polisi Indonesia. Jakarta: Gramedia Pustaka. Undang-undang Nomor 8 Tahun 1981 Tentang Hukum Acara Pidana (KUHAP). Undang-undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia Wibowo,
Ari.
2012.
Kebijakan
Formulatif
Hukum
Pidana
dalam
Penanggulangan Tindak Pidana Terorisme di Indonesia. Yogyakarta : Graha Ilmu.
21
2. Peraturan Perundang-undangan Keputusan Kapolri Nomor : Kep/54/X/2002. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) Konvenan Internasional tentang Hak Sipil dan Hak Politik Tahun 1996 Peraturan Pemerintah Nomor 2 Tahun 2003 tentang Peraturan Disiplin Anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia. Peraturan Kapolri Nomor 1 Tahun 2009 tentang Penggunaan Kekuatan Dalam Tindakan Kepolisian. Peraturan Kapolri Nomor 8 Tahun 2009 tentang Implementasi Prinsip dan Standar Hak Asasi Manusia dalam Penyelenggaraan Tugas Kepolisian Negara Republik Indonesia. Resolusi PBB No.34/168 Tahun1980 tentang Penggunaan Kekuatan dan Senjata Api Oleh Aparat Penegak Hukum. Surat Keputusan Kapolri No.Pol. : SKEP/180/III/2006 tentang Buku Pedoman Pelaksanaan Tugas Bintara Polri Di Lapangan. Undang-undang Nomor 8 Tahun 1981 Tentang Hukum Acara Pidana (KUHAP). Undang-undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia 3. Wawancara Wawancara dengan Bapak Rama Samtama Putra, SIK, MSi.MH., selaku Kapolsek Medan Area.
22