JURNAL ILMIAH
TINJAUAN TENTANG KEWENANGAN TEMBAK DI TEMPAT OLEH ANGGOTA POLRI TERHADAP PELAKU TINDAK PIDANA
Oleh : I G NGR TRI WIATA D1A.109.051
FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS MATARAM 2013
Halaman Pengesahan Jurnal Ilmiah
TINJAUAN TENTANG KEWENANGAN TEMBAK DI TEMPAT OLEH ANGGOTA POLRI TERHADAP PELAKU TINDAK PIDANA
Oleh : I G NGR TRI WIATA D1A.109.051
Menyetujui, Mataram, Agustus 2013 Pembimbing Utama,
H. FATAHULLAH, SH.,MH. NIP 19561231 198603 1 021
TINJAUAN TENTANG KEWENANGAN TEMBAK DI TEMPAT OLEH ANGGOTA POLRI TERHADAP PELAKU TINDAK PIDANA I G NGR TRI WIATA D1A 109 051 FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS MATARAM ABSTRAK Tujuan penelitian ini adalah : (1). Untuk mengetahui kewenangan tembak di tempat dapat diterapkan terhadap pelaku tindak pidana.(2). Untuk mengetahui upaya yang dapat dilakukan untuk mengontrol tindakan tembak di tempat agar tidak bertentangan dengan Hak Asasi Manusia. Penelitian ini menggunakan jenis penelitian normatif dan empiris karena akan mengkaji masalah norma-norma yang ada dalam peraturan dan mengkaji suatu keadaan nyata yang menjadi gejala sosial. Kewenangan tembak di tempat diatur dalam PERKAP Nomor 8 Tahun 2009 Tentang Implementasi Prinsip dan Standar Hak Asasi Manusia Dalam Penyelenggaraan Tugas Kepolisian Negara Republik Indonesia. Dalam pasal 47 menjelaskan bahwa Penggunaan senjata api hanya boleh digunakan bila benarbenar diperuntukkan untuk melindungi nyawa manusia, dalam rangka membela diri atau membela orang lain,ataupun dalam rangka mencegah kejahatan lain. Agar tidak bertentangan dengan Hak Asasi Manusia POLRI harus meningkatkan Sumber Daya Manusia dalam POLRI dengan menciptakan anggota Polisi yang siap pakai yang memiliki motivasi, dedikasi, serta skill Kata kunci : Kewenangan Tembak Di Tempat dapat diterapkan. ABSTRACT The purposes of this study were: (1). To determine the fire authority in place that can be applied to criminals. (2). To know the efforts that can be done to control the action shoot in the place that do not conflict with human rights. This study uses normative and empirical research, as the study the problem of norms and rules that exist in a real state that examines a social phenomenon. Authority fire place set in PERKAP number 8 of 2009 on the implementation of the principles and standards of human rights in the administration of the Republic of Indonesia police duties. In Article 47 explains that the use of firearms may only be used when really intended to protect human life in order to defend himself or another person, or in order to prevent other crimes. So as not to conflict with human rights, the police must improve human resources in the national police to create a ready-made police who have the motivation, dedication and skill. Keywords: Authority Shoot In Place can be applied.
PENDAHULUAN Latar belakang tulisan ini adalah bahwa Kepolisian Negara Republik Indonesia (POLRI) adalah Kepolisian Nasional di Indonesia, yang bertanggung jawab langsung di bawah Presiden. Polri mengemban tugastugas kepolisian di seluruh wilayah Indonesia. Kepolisian merupakan salah satu institusi negara yang terdepan penjaga masyarakat, Peran Polisi saat ini adalah sebagai pemelihara Kamtibmas juga sebagai aparat penegak hukum dalam masyarakat yang berkaitan dengan hukum Pidana, hendaknya polisi mampu melaksanakan tugasnya secara profesional. Dalam Pasal 2 UU Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Republik Indonesia menentukan : “Fungsi Kepolisian adalah salah satu fungsi pemerintahan negara di bidang pemeliharaan keamanan dan ketertiban masyarakat, penegakan hukum, perlindungan, pengayoman, dan pelayanan kepada masyarakat”, Berkaitan dengan penegakan hukum yang dilakukan oleh anggota Kepolisian hukum tidak bisa secara kaku untuk diberlakukan kepada siapapun dan dalam kondisi apapun, dalam kondisi tertentu petugas penegak hukum dapat melakukan tindakan yang dianggap benar dan sesuai dengan penilainnya sendiri yang dalam hal ini disebut dengan diskresi. Dalam Pasal 18 ayat (1) Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia berisi :
“ Untuk kepentingan umum pejabat Kepolisian Negara Republik Indonesia dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya dapat bertindak menurut penilaiannya sendiri.” Salah satu bentuk Diskresi Kepolisian yang sering dilakukan dilapangan adalah tindakan tembak di tempat terhadap tersangka. Pemberlakuan tembak di tempat terhadap tersangka bersifat situasional, yaitu berdasarkan pada Prinsip Proporsionalitas dalam penanggulangan kekerasan dan senjata api harus diterapkan pada saat keadaan tertentu oleh Polisi dalam menangani kasus yang bersifat individual, sehingga diperlukan tindakan individual pula. Berdasarkan karakter profesi yang seperti itu, Kepolisian memberlakukan prinsip atau asas diskresi. Berdasarkan latar belakang diatas dirumuskan permasalahan sebagai berikut :1). Dalam hal apa kewenangan tembak di tempat oleh anggota POLRI dapat diterapkan terhadap pelaku tindak pidana ? 2). Upaya apa saja yang dapat dilakukan untuk mengontrol tindakan tembak di tempat agar tidak bertentangan dengan Hak Asasi Manusia? Tujuan penelitian adalah 1). Untuk mengetahui kewenangan tembak di tempat dapat diterapkan terhadap pelaku tindak pidana, 2). Untuk mengetahui upaya yang dapat dilakukan untuk mengontrol tindakan tembak di tempat agar tidak bertentangan dengan Hak Asasi Manusia. Adapun manfaat penelitian: 1). Secara Akademis: Hasil penelitian bermanfaat untuk bahan penulisan skripsi sebagai salah satu persyaratan dalam mencapai derajat S-1 Program Studi Ilmu Hukum pada Fakultas Hukum Universitas Mataram;
Untuk dijadikan referensi bagi para pihak yang membutuhkan dalam pengembangan lebih lanjut. 2). Secara Teoritis: Memberikan masukan dan sumbangan pemikiran terhadap pengembangan ilmu hukum dan mendalami tugas dan kewenangan Kepolisian; Dapat dijadikan sebagai referensi awal untuk menelaah lebih dalam makna, pemberlakuan, dan ketentuan tembak di tempat oleh Kepolisian serta aturan yang mengaturnya. 3). Secara Praktis: Bagi pemerintah dalam hal instansi yang terkait diharapkan hasil penelitian ini menjadi masukan dan sumbangan pemikiran kepada pihak yang berwenang di dalam menerapkan hukum; Bagi masyarakat untuk lebih meningkatkan kesadaran akan arti pentingnya mematuhi hukum sehingga fungsi dan tujuan hukum dapat tercapai. Pada sudut pandang lain untuk lebih mengenal, memahami, dan mempelajari lebih dalam mengenai ketentuanketentuan hukum tembak di tempat oleh Kepolisian. Penelitian ini menggunakan jenis penelitian normatif dan empiris karena akan mengkaji masalah norma-norma yang ada dalam peraturan dan mengkaji suatu keadaan nyata yang menjadi gejala sosial sehingga diharapkan akan di peroleh gambaran tentang fakta yang berhubungan dengan kewenangan tembak di tempat oleh anggota POLRI terhadap pelaku tindak pidana.
PEMBAHASAN A. Kewenangan Tembak Di Tempat Oleh Anggota POLRI Terhadap Pelaku Tindak Pidana Pada dasarnya penerapan tembak di tempat terhadap tersangka merupakan langkah terakhir yang dilakukan oleh Polisi, sebelum melakukan tindakan tembak di tempat seorang anggota Polisi harus mempertimbangkan hal-hal yang tercantum dalam Pasal 45 Peraturan Kepala Kepolisian Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 2009 tentang Implementasi Prinsip dan Standar Hak Asasi Manusia Dalam Penyelenggaraan Tugas Kepolisian Negara Republik Indonesia, diantaranya : a.
Tindakan dan cara-cara tanpa kekerasan harus diusahakan terlebih dahulu.
b.
Tindakan keras hanya diterapkan bila sangat diperlukan
c.
Tindakan keras hanya diterapkan untuk penegakkan hukum yang sah.
d.
Tidak ada pengecualian atau alasan apapun yang dibolehkan untuk menggunakan menggunakan kekerasan yang tidak berdasarkan hukum.
e.
Penggunaan
kekuatan
dan
penerapan
tindakan
keras
harus
dilaksanakan secara proporsional dengan tujuan dan sesuai dengan hukum. f.
Penggunaan kekuatan, senjata atau alat dalam penerapan tindakan keras harus berimbang dengan ancaman yang dihadapi.
g.
Harus ada batasan dalam penggunaan senjata/alat atau dalam penerapan tindakan keras.
h.
Kerusakan dan luka-luka akibat penggunaan kekuatan/tindakan keras harus seminimal mungkin.
Bila tindakan keras atau penggunan kekerasan sudah tidak dapat ditempuh maka pemberlakuan tembak di tempat terhadap tersangka boleh digunakan dengan benar-benar dan diperuntukkan untuk melindungi nyawa manusia, hal ini sesuai dengan pasal Pasal 47 ayat (1). Dalam pasal 47 ayat (2) pemberlakuan tembak di tempat terhadap tersangka oleh petugas Kepolisian dapat digunakan untuk : a.
Dalam menghadapi keadaan luar biasa.
b.
Membela diri dari ancaman kematian dan/atau luka berat.
c.
Membela orang lain terhadap ancaman kematian dan/atau luka berat .
d.
Mencegah terjadinya luka berat atau yang mengancam jiwa orang.
e.
Menahan, mencegah atau menghentikan seseorang yang sedang atau akan melakukan tindakan yang sangat membahayakan jiwa.
f.
Menangani situasi yang membahayakan jiwa, dimana langkah-langkah yang lebih lunak tidak cukup. Dalam penggunaan senjata api harus disesuaikan dengan fungsi Kepolisian,
dimana dapat dibagi berdasarkan tahapannya adalah.1 a.
Untuk tahapan Preventif yaitu mengantisipasi bakal terjadinya kejahatan atau penyimpangan terhadap fungsi intelejen. 1
Adrianus Meliala, Masyarakat Pemantau Peradilan Indonesia, Jurnal teropong Vol V No.2,
www.Adrianusmeliala.com, Diakses bulan Agustus 2009
b.
Untuk tahapan Preventif yaitu mencegah kejahatan atau penyimpangan yang terjadi serta bimbingan dan tindakan Kepolisian yang bersifat administrasi terhadap fungsi Shabara serta lalu lintas.
c.
Ketika kejahatan atau penyimpangan sudah terjadi dan hukum perlu ditegakkan, maka terdapat tahap Represif yaitu dalam kaitannya dalam proses peradilan pidana atau Criminal Justice System. Selain itu lalu lintas, Reserse, adalah fungsi yang terutama melakukan itu.
d.
Adapun Brimob adalah fungsi Kepolisian para militer yang bias bertugas dalam rangka Represif maupun Preventif, khususnya terkait kejahatan berintensitas tinggi. Dalam memilih tindakan yang harus diambil oleh seorang Polisi dan tindakan
tersebut ternyata memilih kekerasan yang harus digunakan,
Polisi harus
memperhatikan tingkatan kerjasama si tersangka dalam situasi tertentu serta mempertimbangkan rangkaian logis dan hukum sebab akibat. Dalam situasi tersebut Polisi harus memutuskan cara apa yang akan ditempuh, teknik spesifik dan tingkat kekerasan yang akan digunakan berdasarkan keadaan, dalam hal ini Polisi terkadang harus dilakukan tindakan kekerasan yang menjadi suatu kewenangan tersendiri bagi Polisi. Dalam terminologi hukum kewenangan tersebut disebut sebagai diskresi. Diskresi adalah suatu tindakan dimana seorang anggota Polisi dapat bertindak menurut penilaiannya sendiri. Bertindak menurut penilaiannya sendiri oleh anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia diatur dalam Pasal 18 ayat (1) UU No. 2 Tahun 2002, yang menyebutkan:
“Untuk kepentingan umum, pejabat Kepolisian Negara Republik Indonesia dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya dapat bertindak menurut penilaiannya sendiri.” Menurut Untung S. Radjab dalam bukunya Kedudukan dan Fungsi Polisi Republik Indonesia Dalam Sistem Ketatanegaraan berpendapat bahwa :2 “Untuk memelihara tegaknya keamanan dan ketertiban umum sering dengan terpaksa dilakukan tindakan-tindakan kekerasan, yang secara faktual pasti dapat dinyatakan sebagai pelanggaran Hak Asasi Manusia. Dalam kaitan ini, para pakar lalu menempatkan Polisi pada posisi diperbolehkan bertindak apa saja. Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia dan Konvensi- Konvensinya menyatakan keadaan ini sebagai tindakan kekerasan yang eksepsional. Hal ini juga disebut dengan diskresi”. Pelaksanaan tembak di tembak di tempat oleh anggota POLRI terhadap pelaku tindak pidana hendaknya harus sesuai dengan prosedur yang sudah ditentukan oleh Undangundang, Dalam Peraturan Kepala Kepolisian Negara Republik ndonesia Nomor 8 Tahun 2009. Pada Pasal 47 Peraturan Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 2009 menjelaskan bahwa : a.
Penggunaan
senjata
api
hanya
boleh
digunakan
bila
benar-benar
diperuntukkan untuk melindungi nyawa manusia. b.
Senjata api bagi petugas hanya boleh digunakan untuk: 1) Dalam hal menghadapi keadaan luar biasa;
2
Untung S. Radjab, Kedudukan dan Fungsi Polisi Republik Indonesia Dalam Sistem
Ketatanegaraa, Utomo,2003,hal 93
2) Membela diri dari ancaman kematian dan/atau luka berat; 3) Membela orang lain terhadap ancaman kematian dan/atau luka berat; 4) Mencegah terjadinya kejahatan berat atau yang mengancam jiwa orang; 5) Menahan, mencegah atau menghentikan seseorang yang sedang atau akan melakukan tindakan yang sangat membahayakan jiwa; dan 6) Menangani situasi yang membahayakan jiwa, dimana langkah-langkah yang lebih lunak tidak cukup. Dalam Pasal 48 Peraturan Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 2009 menjelaskan tentang prosedur tembak di tempat, dimana dalam menggunakan senjata api harus : a.
Petugas memahami prinsip penegakkan hukum legalitas, nesesitas, dan proporsionalitas.
b.
Sebelum munggunakan senjata api petugas harus memberikan peringatan yang jelas dengan cara : 1)
Menyebutkan dirinya sebagai petugas atau anggota POLRI yang sedang bertugas.
2)
Memberi peringatan dengan ucapan secara jelas dan tegas kepada sasaran untuk berhenti, angkat tangan, atau meletakkan senjatanya.
3) c.
Memberi waktu yang cukup agar peringatan dipatuhi.
Dalam keadaan yang sangat mendesak dimana penundaan waktu diperkirakan dapat mengakibatkan kematian atau luka berat bagi petugas atau orang lain disekitarnya, peringatan sebagaimana dimaksud dalam huruf b tidak perlu dilakukan.
B. Upaya Yang Dilakukan Untuk Mengontrol Tindakan Tembak Di tempat
Agar Tidak Bertentangan Dengan Hak Asasi Manusia. Pada dasarnya setiap tindakan petugas Kepolisian yang tidak sesuai dengan prosedur merupakan pelanggaran terhadap Hak Asasi Manusia. Oleh karena itu perlu adanya upaya-upaya yang harus dilakukan agar dalam pelaksanaan tindakan keras Kepolisian berupa tembak di tempat tidak bertentangan dengan Hak Asasi Manusia. Diantaranya ada beberapa upaya-upaya yang harus dilakukan untuk mengontrol tindakan tembak di tempat diantaranya dalam hal aturan hukum, fasilitas , dan budaya hukum. Anton Tabah dalam bukunya mengatakan bahwa terdapat lima syarat yang harus dipenuhi oleh institusi Kepolisian agar professional, yaitu :3 a.
Well Motivated, yaitu seorang calon anggota Polisi harus memiliki motivasi yang baik ketika dia menjatuhkan pilihan untuk menjadi Polisi.
b.
Well Educated, yaitu untuk mendapatkan Polisi yang baik maka harus dididik untuk menjadi Polisi yang baik (menyangkut system pendidikan, kurikulum dan proses belajar mengajar yang cukup ketat, disiplin yang rumit di lembaga pendidikan Kepolisian).
c.
Well Trained, yaitu perlu dilakukan secara terus menerus bagi anggota Polisi nmelalui proses managerial yang ketat agar pendidikan dan pelatihan yang singkron mampu menjawab berbagai tantangan Kepolisian actual dan tantangan di masa depan.
3
Anton Tabah , Membangun Polri yang Kuat, Mitra Hardhasuma, Jakarta 2001, Hal 5.
d.
Well Equipment, yakni menyangkut penyediaan sarana dan prasarana yang cukup baik bagi institusi Kepolisian, serta penyediaan system dan sarana teknologi Kepolisian yang baik agar dapat menjalankan tugas dengan baik.
e.
Wellfare, yakni diberikan kesejahteraan kepada anggota Polisi dengan baik untuk menghidupi Polisi dan anggota keluarganya. Selain lima poin di atas menurut Sadjijono untuk mewujudkan Polisi yang
professional perlu ditambah dengan aspek yang berkaitan dengan pengorganisasian dan pengawasan Kepolisian, yang diantaranya :4 a. Pengorganisasian yang efektif yang berorientasi pada tugas dan wewenang serta struktur ketatanegaraan. b. Adanya pengawasan yng baik dalam system organisasi. Sangat penting bahwa pelatihan secara rutin dan berkelanjutan diberikan oleh POLRI hal ini ditujukan agar tidak terjadi dan tidak menutup kemungkinan adanya penyalahgunaan wewenang atas penggunaan senjata api tersebut. Mudah-mudahan dengan diadakannya aturan yang mengatur secara khusus tentang pelatihan secara rutin dan berkelanjutan terhadap penggunaan senjata api merupakan salah satu upaya untuk meminimalisi dilakukannya tindakan keras Kepolisian berupa tembak di tempat. Dalam hal fasilitas yang diantaranya sarana dan prasarana yng diberikan terhadap anggota POLRI sangat tidak memadai, hal ini ditunjukkan oleh tidak terpenuhinya peraturan dalam Pasal 5 Perkap Nomor 1 Tahun 2009 ayat (1) hurup e, dimana dijelaskan sebelum menggunakan senjata api petugas dalam menghadapi 4
Sadjijono, Fungsi Kepolisian dalam Pelaksanaan Good Governance, Laksbang Presindo, Yogyakarta, Hal 236.
tersangka dilakukan dengan menggunakan kendali senjata tumpul, senjata kimia, antara lain gas air mata, semprotan cabe atau alat lain sesuai dengan standar POLRI. Sehingga dalam hal ini khususnya Pemerintah dan POLRI wajib memenuhi unsurunsur yang sangat dibutuhkan oleh anggota POLRI dalam menjalankan tugasnya. Faktor sarana dan prasarana sangat menentukan keberhasilan pelaksanaan tugas Kepolisian khususnya Reserse Kriminal. Langkah-langkah yang perlu dilaksanakan adalah pengusulkan pengadaan peralatan khusus maupun peralatan utama yang dibutuhkan seperti pengadaan senjata, dimana pengadaan senjata ini bersifat dari senjata yang bersifat melumpuhkan hingga senjata yang bersifat mematikan. Selain itu perlu adanya peningkatan kuantitas dan kualitas personil yang sesuai dengan kebutuhan mulai dari tingkat POLDA, POLTABES, POLRES hingga POLSEK, maka langkah-langkah yang dilakukan meliputi diadakannya pembinaan mental, dengan langkah-langkah seperti pembinaan sikap mental dan disiplin personil berupa siraman rohani agar personil dapat meningkatkan ketaqwaan kepada Tuhan Yang Maha Esa, sesuai dengan agama dan kepercayaan masing-masing, pembinaan mental ideologi dan kejuangan, untuk meningkatkan dan selalu berbuat jujur, dan memahami akan tanggung jawabnya serta senantiasa menghormati hak orang lain, dan perbuatan moral yang dilandasi kepada kepentingan orang banyak. Kepolisian dalam menjalankan tugas tidak menutup kemungkinan melakukan suatu tindakan yang tidak sesuai dengan prosedur yang berlaku, bahkan hal ini sering terjadi dan dianggap menjadi hal yang biasa yang lama kelamaan dapat menjadi budaya. Daniel.S.Lev di dalam karangannya “Judicial Institutions and Legal Culture in Indonesia” menguraikan tentang sistem hukum dan budaya hukum. Menurut Lev,
sistem hukum menekankan pada prosedur tetapi tidak menjelaskan tentang bagaimana sesungguhnya orang-orang itu menyelesaikan masalahnya di dalam kehidupan sehari-hari. Budaya hukum diperinci kedalam “nilai-nilai hukum prosedural” dan “nilai-nilai hukum substantif”. Nilai-nilai hukum prosedural mempersoalkan tentang cara-cara pengaturan masyarakat dan manajemen konflik. Komponen substantif dari budaya hukum itu terdiri dari asumsi-asumsi fundamental mengenai distribusi maupun penggunaan sumber-sumber di dalam masyarakat, terutama mengenai apa yang adil dan tidak menurut masyarakat, dan sebagainya. Melihat dari beberapa uraian diatas maka penulis menarik suatu hipotesa bahwa hal yang utama dapat dilakukan untuk mewujudkan terkontrolnya tindakan keras Kepolisian berupa tembak di tempat adalah dengan cara meningkatkan SDM (Sumber daya manusia) Kepolisian yang memadai dan mencukupi dari segi kualitas, yakni dengan cara pemeliharaan kesiapan personil POLRI, berupa perawatan kemampuan, pembinaan mental, pengembangan kekuatan personil, peningkatan kualitas pendidikan baik pada tingkan pendidikan pengembangan kejuruan dan spesialisasi fungsi Kepolisian. Selain itu perlu juga ditunjang dengansarana prasarana yang menunjang, dan budaya yang meliputi unsur struktur (tugas yang dilakukan dan diberikan secara tepat dan benar) dan substansial (peraturan perundang-undangan). Apabila ketiga unsur (SDM, struktur, dan subtansial) tersebut terpenuhi maka akan menghasilkan budaya yang baik dan setiap tindakan yang harus berpedoman pada TRI BRATA sebagai pedoman hidup dan CATUR PRASETYA sebagai pedoman kerja POLRI.
PENUTUP
A.
Kesimpulan Dari uraian dan pembahasan dapat di simpulkan : 1). Kewenangan tembak di tempat oleh anggota POLRI terhadap pelaku tindak pidana prinsipnya dapat diterapkan dalam rangka membela diri atau membela orang lain ketika menghadapi ancaman nyawa atau luka, ataupun dalam rangka mencegah kejahatan lain , tindakan tembak di tempat itu itu harus sesuai dengan prosedur yaitu berpedoman pada ketentuan yang berlaku yaitu , Peraturan Kepala Kepolisian Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 2009 Tentang Penggunaan Kekuatan Dalam Tindakan Kepolisian, Peraturan Kepala Kepolisian Republik Indonesia nomor 8 tahun 2009 tentang Implementasi Prinsip Dan Standar Hak Asasi Manusia Dalam Penyelenggaraan Tugas Kepolisian Negara Republik Indonesia; 2). Upaya yang dilakukan untuk mengontrol tindakan tembak di tempat agar tidak bertentangan dengan Hak Asasi Manusia adalah Kepolisian Negara Republik Indonesia benar-benar mempersiapkan anggota POLRI untuk memahami prosedur tembak di tempat dan meningkatkan Sumber Daya Manusia dalam POLRI dengan menciptakan anggota Polisi yang siap pakai yang memiliki motivasi, dedikasi, serta skill dalam melaksakan tugasnya, dapat membedakan mana yang menjadi kewenangan dan hak dalam melakukan tindakan, serta menciptakan Polisi yang berpegang teguh pada TRI BRATA dan CATUR PRASTYA sebagai pedoman hidup dan pedoman kerja setiap anggota POLRI.
B.
Saran 1). Dalam pelaksanaan tembak di tempat oleh anggota POLRI hendaknya dilakukan sesuai dengan prosedur yang ada dengan tidak menjadikan kekuasaan/jabatan sebagai tameng untuk bertindak secara sewenang-wenang, hendaknya tindakan itu di lakukan dengan profesional dengan tetap melihat nilai-nilai yang hidup dalam masyarakat, sehingga didalam menyelesaikan permasalahan tidak akan menimbulkan masalah baru; 2). Dalam kepemilikan senjata api hendaknya diberikan pada anggota POLRI yang memiliki skill, dedikasi dan motivasi serta pemahaman mengenai peraturan-peraturan yang mengatur
tentang
penggunaan
senjata
api,
supaya
tidak
mudah
disalahgunakan yang tidak sesuai ketentuan, menyimpang dan bertentangan dengan Hak Asasi Manusia.
DAFTAR PUSTAKA A.
Buku dan Makalah
Anton Tabah. 2001. Membangun POLRI yang Kuat, Mitra Hardhasuma, Jakarta. Adrianus Meliala. 2009. Masyarakat Pemantau Peradilan Indonesia, Jurnal teropong Vol V No.2, www.Adrianusmeliala.com Sadjijono. Fungsi Kepolisian dalam Pelaksanaan Good Governance, Laksbang Presindo,Yogyakarta Untung S. Radjab, 2003 Kedudukan dan Fungsi Polisi Republik Indonesia Dalam Sistem Ketatanegaraan, Utomo, Jakarta. B.
Peraturan Perundang-undangan.
Undang-Undang Negara Republik Indonesia, Nomor: 1 tahun 1946. Tentang Ketentuan Pidana. Indonesia, Undang-Undang Negara Republik Indonesia Nomor: 8 tahun 1981. Tentang Hukum Acara Pidana. Indonesia, Undang-Undang Negara Republik Indonesia, Nomor: 2 Tahun 2002. Tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia. Peraturan Pemerintah Nomor 1 Tahun 2003. Tentang Pemberhentian Anggota Kepolisian Republik Indonesia. Peraturan Pemerintah Nomor 2 Tahun 2003. Tentang Peraturan Disiplin Anggota Kepolisian Republik Indonesia. Indonesia, Peraturan Kepala Kepolisian Republik Indonesia, Nomor: 11 tahun 2011. Tentang Kode etik profesi Kepolisian Negara Republik Indonesia. Indonesia, Peraturan Kepala Kepolisian Republik Indonesia Nomor.1 Tahun 2009 Tentang Penggunaan Kekuatan Dalam Tindakan Kepolisian. Indonesia, Peraturan Kepala Kepolisian Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 2009. Tentang Implementasi Prinsip dan Standar Hak Asasi Manusia Dalam Penyelenggaraan Tugas Kepolisian Negara Republik Indonesia. Indonesia. Prosedur Tetap Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia tahun 2010. Tentang Penanggulangan Anarki.