TEMAN LAMA Algernon Blackwood
2014
Teman Lama Diterjemahkan dari Keeping His Promise karangan Algernon Blackwood terbit tahun 1916 (Hak cipta dalam Domain Publik) Penerjemah Penyunting Penyelaras akhir Penata sampul
: Ilunga d’Uzak : Kalima Insani : Bared Lukaku : Bait El Fatih
Diterbitkan dalam bentuk e-Book oleh: RELIFT MEDIA Jl. Amil Sukron No. 47 Kec. Cibadak Kab. Sukabumi Jawa Barat 43351 SMS : 0853 1179 4533 Surel :
[email protected] Situs : reliftmedia.com Pertama kali dipublikasikan pada: Juni 2014 Revisi terakhir: Maret 2016 Copyright © 2014 CV. RELIFT Hak kekayaan intelektual atas terjemahan dalam buku ini adalah milik penerbit. Dilarang mengutip dan/atau memperbanyak seluruh atau sebagian isi buku ini dalam bentuk dan cara apapun tanpa izin tertulis dari penerbit.
Buku ini adalah karya fiksi. Semua nama, karakter, bisnis, organisasi, tempat, peristiwa, dan kejadian hanyalah imajinasi penulis. Segala kemiripan dengan seseorang, hidup atau mati, peristiwa, atau lokasi kejadian hanyalah kebetulan belaka.
Ebook ini adalah wujud kesungguhan kami dalam proyek penerjemahan sastra klasik asing. Kami menyebutnya RELIFT: Mengangkat Kembali, dari masa lalu untuk masa kini hingga masa depan. Pembaca dapat turut mendukung kami dengan mengklik iklan sponsor di situs dan blog kami.
P
UKUL
sebelas malam, Marriott muda mengunci diri di dalam
kamar, belajar sekeras-kerasnya. Dia adalah “Mahasiswa
Tahun Keempat” di Universitas Edinburgh dan begitu sering gagal dalam ujian khusus ini sampai-sampai orangtuanya positif menyatakan tak mampu lagi memasok dana untuk mempertahankannya di kampus. Kamarnya murah dan kumal, tapi biaya kuliahlah yang menyedot uangnya. Jadi Marriott akhirnya menguatkan diri dan bertekad untuk lulus atau mati dalam upayanya, dan selama beberapa pekan ini dia membaca serajin mungkin. Dia mencoba menutupi waktu dan uang yang hilang, yang menunjukkan betapa dia tak paham nilai keduanya. Manusia luar biasa—sedangkan Marriott adalah manusia biasa dalam segala pengertian—sanggup memaksa otak seperti yang dia lakukan akhir-akhir ini, tanpa membayar konsekuensinya cepat atau lambat. Di antara para mahasiswa, dia punya beberapa teman atau kenalan, dan mereka sudah berjanji takkan mengusiknya di malam hari. Mereka tahu akhirnya dia membaca dengan sungguhsungguh. Karenanya, dengan perasaan kaget bukan kepalang, dia mendengar bel pintunya berbunyi pada malam ini dan sadar dirinya kedatangan tamu. Sebagian orang akan cukup meredam bel dan meneruskan kegiatan mereka tanpa suara. Tapi Marriott bukan tipe ini. Dia gelisah. Pikirannya akan terganjal semalaman jika tak tahu siapa tamu yang datang dan apa yang diinginkan. Oleh sebab itu, satu-satunya hal yang harus dilakukan adalah mempersilakan masuk—dan keluar lagi—secepat mungkin. 5
Pemilik pondok tidur pada jam sepuluh tepat, sesudah itu tak ada yang mampu memancingnya untuk mendengar bel, maka Marriott pun meloncat dari buku-bukunya disertai seruan yang menjadi pertanda buruk atas penyambutan tamunya, dan bersiap mempersilakan masuk dengan tangannya sendiri. Jalanan kota Edinburgh sangat sepi pada jam selarut ini—larut untuk ukuran Edinburgh—dan di lingkungan hening Jalan F, di mana Marriott tinggal di lantai tiga, nyaris tak ada suara yang memecah kesunyian. Sewaktu dia menyeberangi ruangan, bel berbunyi untuk kedua kalinya, dengan kebisingan yang tak perlu, lalu dia membuka kunci pintu dan masuk ke lorong kecil sambil marah dan jengkel terhadap gangguan dua kali tersebut. “Semua temanku tahu aku sedang belajar untuk ujian ini. Mengapa mereka datang mengganggu selarut ini?” Penghuni-penghuni gedung, termasuk dirinya, adalah mahasiswa kedokteran, mahasiswa umum, para advokat miskin, dan sebagian lain tak punya pekerjaan jelas. Tangga batu, yang diterangi redup di tiap lantai oleh pancaran gas yang tak melampaui ketinggian tertentu, berputar turun ke lantai setingkat jalan raya, tanpa karpet atau pagar. Di beberapa lantai, tangganya lebih bersih. Tergantung pemilik pondokan di lantai tertentu. Sifat akustik tangga spiral terasa khas. Marriott, berdiri dekat pintu terbuka, dengan buku di tangan, mengira pemilik langkah kaki akan muncul. Suara sepatu begitu dekat dan nyaring sampai seperti mendahului pemiliknya. Penasaran siapa yang datang, dia berdiri dengan sikap sambutan sengit terhadap orang yang berani 6
mengganggu pekerjaannya. Tapi orang itu tak kunjung muncul. Langkah-langkah kaki terdengar hampir di depan matanya, tapi tak ada siapapun terlihat. Tiba-tiba
sensasi
ketakutan
melandanya—punggungnya
merinding. Namun perasaan itu lenyap tak lama kemudian. Dia sedang bergumul untuk memanggil tamu gaibnya keras-keras, atau membanting pintu dan kembali membaca bukunya, ketika penyebab gangguannya pelan-pelan berbelok di sudut dan menampakkan diri. Orang asing. Dia melihat seorang lelaki agak muda, berbadan pendek dan lebar. Wajahnya berwarna kapur dan matanya sangat cerah, ada garis-garis berat di bawahnya. Meski pipi dan dagunya berewokan dan penampilan umumnya tak bersisir, pria itu orang baik, sebab berpakaian rapi dan membawa suasana tertentu. Tapi yang paling aneh, dia tak mengenakan topi dan tak memegang apaapa. Walaupun hujan turun lebat semalaman, dia tak memakai jas ataupun payung. Seratus pertanyaan muncul dalam benak Marriott dan menghambur ke bibirnya, yang paling utama adalah “Siapa kau?” dan “Untuk apa kau datang?” Tapi pertanyaan-pertanyaan ini tak sempat terucapkan, sebab saat itu juga si tamu menolehkan kepalanya sedikit sehingga cahaya gas di lorong menerpa wajahnya dari sudut berbeda. Seketika Marriott mengenalinya. “Field! Kau masih hidup, teman! Kaukah itu?” dia menghembuskan nafas. Mahasiswa Tahun Keempat tidak kekurangan intuisi, dan dia 7
merasa inilah perlakuan lembut. Dia meramal, tanpa proses berpikir, bahwa malapetaka yang sering diprediksi akhirnya terjadi, dan bahwa ayah orang ini telah mengusirnya dari rumah. Dulu mereka bersekolah di sekolah swasta bersama-sama. Meski mereka hampir tidak pernah bertemu lagi sejak saat itu, kabar tersebut sampai ke telinganya lumayan detil, sebab keluarga mereka tinggal berdekatan dan beberapa adik mereka sangat akrab. Field kemudian menjadi liar, dia pernah dengar tentang itu semua— minum, wanita, opium, atau semacamnya—dia tak ingat persis. “Masuklah,” katanya serta-merta, amarahnya hilang. “Sepertinya ada yang salah. Masuklah, ceritakan semua padaku, mungkin aku bisa bantu—” Dia tak tahu harus berkata apa, dan semakin gagap. Sisi gelap kehidupan, dan kengeriannya, adalah milik dunia yang jauh dari suasana buku-buku dan impiannya. Tapi dia punya keberanian untuk itu semua. Dia memandu menyeberangi lorong, menutup pintu dengan hati-hati, dan memperhatikan tamunya yang goyah, meski tak mabuk, dan sangat letih. Marriott memang tak mampu lulus ujian, tapi setidaknya dia tahu gejala kelaparan—kelaparan parah, kecuali kalau dia keliru—yang terlihat di wajahnya. “Ikut aku,” katanya riang, dan simpati tulus dalam suaranya. “Senang melihatmu. Aku baru saja mau makan, dan kau tepat waktu bergabung denganku.” Tamunya tak memberi jawaban jelas, kakinya terseret lemah, jadi Marriott memegang lengannya untuk membantu. Untuk pertama kalinya dia memperhatikan pakaiannya yang longgar. 8
Kerangka lebar benar-benar tidak lebih dari kerangka. Dia setipis kerangka tulang. Tapi, saat Marriott menyentuhnya, sensasi ketakutan kembali muncul. Itu hanya berlangsung sesaat, kemudian berlalu, dan dia tak mengaitkannya dengan rasa sedih dan kaget melihat teman lama dalam keadaan mengenaskan. “Sebaiknya aku memapahmu. Lorong ini gelap. Aku selalu mengeluhkannya,” ujarnya ringan, sadar itu sangat dibutuhkan, “tapi kucing tua itu tak pernah menepati janji.” Dia membawanya ke sofa, penasaran dari mana Field dan bagaimana orang ini menemukan alamatnya. Sekurangnya sudah tujuh tahun berlalu sejak masa-masa di sekolah swasta, ketika mereka berteman akrab. “Nah, permisi sebentar,” katanya, “akan kusiapkan makan malam. Tak perlu bicara. Santai saja di sofa. Kulihat kau sangat kelelahan. Kau bisa bercerita nanti, dan kita akan buat rencana.” Si tamu duduk di pinggir sofa dan memandang bisu, sedangkan Marriott mengeluarkan roti cokelat, scone, panci besar berisi selai jeruk yang selalu disimpan oleh para mahasiswa Edinburgh di lemari makanan mereka. Matanya bersinar cerah yang mengisyaratkan narkotika, pikir Marriott sambil melirik dari balik pintu lemari. Dia belum mau menatapnya langsung. Temannya sedang dalam kondisi buruk, memandangnya langsung sama dengan menyelidiki dan menunggu penjelasan. Selain itu, tamunya jelas terlalu letih untuk bicara. Jadi, untuk alasan genting —dan alasan lain yang tak bisa dirumuskan—dia biarkan tamunya istirahat, sementara dirinya sibuk menyajikan makan malam. Dinyalakannya lampu spiritus dalam rangka membuat cokelat. 9
Begitu air mendidih, dibawanya meja beserta makanan ke sofa, agar Field tak usah pindah ke kursi. “Nah, ayo makan,” katanya, “setelah itu kita bisa merokok dan mengobrol. Aku sedang membaca untuk ujian, kau tahu, dan aku selalu ada pekerjaan di jam segini. Senang rasanya ditemani.” Dia mendongak dan menangkap mata tamunya tertuju lurus ke matanya. Tiba-tiba dia merinding dari kepala sampai kaki. Wajah di hadapannya sangat pucat dan menunjukkan ekspresi kesakitan dan penderitaan jiwa. “Astaga!” katanya, melompat, “aku hampir lupa. Aku punya wiski. Bodohnya aku. Aku sendiri tak pernah menyentuhnya saat bekerja seperti ini.” Dia pergi ke lemari dan menuangkan wiski ke gelas tinggi yang kemudian diminum sekali teguk oleh tamunya, tanpa air. Marriott mengamatinya minum, dan pada saat yang sama memperhatikan hal lain—mantel Field diliputi debu, dan pada salah satu bahu ada sedikit jaring laba-laba. Kering sama sekali; Field datang pada malam yang basah-kuyup tanpa topi, payung, atau jas, tapi dia kering sama sekali, bahkan berdebu. Pasti dia berteduh. Apa maksud semua ini? Apa dia bersembunyi di gedung ini? Aneh sekali. Tapi dia tak menyampaikan apa-apa, dan Marriott sudah putuskan tak akan menanyainya sampai tamunya itu makan dan tidur. Makanan dan tidur adalah sesuatu yang paling dibutuhkan orang malang ini—dia senang dengan kemampuannya mendiagnosa kesiapan—dan tak adil mendesaknya sebelum pulih. 10
Mereka makan bersama seraya tuan rumah melakukan percakapan sepihak, terutama tentang dirinya, ujian, dan “kucing tua” pemilik pondokan, agar si tamu tak usah mengucapkan sepatah katapun kecuali kalau mau—yang mana tidak dilakukan! Tapi, selagi dia bermain-main dengan makanannya, tak berselera, tamunya justru makan lahap. Menyaksikan orang lapar melahap scone dingin, oatcake apek, dan roti cokelat isi selai jeruk menjadi sebuah informasi bagi mahasiswa tak berpengalaman ini bagaimana rasanya tidak makan sekurangnya tiga kali sehari. Dia memperhatikan, keheranan kenapa temannya itu tidak tersedak. Tapi Field, selain lapar, juga mengantuk. Lebih dari sekali kepalanya terantuk dan berhenti mengunyah makanan dalam mulutnya.
Marriott
harus
menggoyangnya
sebelum
dia
melanjutkan makan. Emosi yang kuat akan mengatasi emosi yang lemah, tapi pergumulan antara rasa lapar dan rasa kantuk ini menjadi pemandangan mengherankan bagi sang mahasiswa, yang memperhatikannya dengan takjub dan gelisah. Dia pernah dengar kesenangan memberi makan orang lapar, dan mengamati mereka makan, tapi dia belum pernah menyaksikannya langsung, dan dia tak menyangka akan seperti itu. Field makan seperti binatang— menelan, menyumpal, melahap. Marriott lupa akan buku-bukunya, dan mulai merasa tak nyaman. “Kurasa tak ada lagi yang bisa kuhidangkan, teman,” dia berhasil berucap ketika scone terakhir habis. Maka sajian cepat itu berakhir. Field tetap tak menjawab, dia hampir tertidur di kursi. Dia hanya mendongak letih dan berterima kasih. 11
“Sekarang lebih baik kau tidur, kau tahu,” sambungnya, “atau kau akan ambruk. Aku akan terjaga sepanjang malam untuk membaca buku, untuk ujian gila ini. Kau boleh tidur di ranjangku. Besok kita akan sarapan telat dan—lihat saja nanti—membuat rencana; aku sangat ahli membuat rencana, kau tahu,” tambahnya, berusaha ringan. Field tetap bisu, “mengantuk seperti mayat”, tapi rupanya setuju. Lalu Marriott memimpin ke kamar tidur, meminta maaf kepada putera seorang baronet setengah kelaparan ini—yang rumahnya hampir seperti istana—atas kondisi ruangannya yang sempit. Namun tamu letihnya itu tak mengucapkan terima kasih atau berusaha bersikap sopan santun. Dia hanya memegang lengan temannya sambil terhuyung-huyung menyeberangi ruangan, lalu, dengan pakaian masih lengkap, menjatuhkan tubuh letihnya di atas ranjang. Dalam kurang dari semenit dia sudah tertidur lelap. Selama beberapa menit Marriott berdiri di pintu terbuka dan mengamatinya. Dia berdoa semoga dirinya tak pernah mengalami kesulitan seperti itu, dan kemudian bertanya-tanya apa yang harus dilakukannya terhadap tamu tak diundang tersebut besok. Tapi dia tak berpikir lama, panggilan bukunya mendesak, dan apapun yang terjadi, dia harus menyambutnya supaya lulus ujian. Setelah mengunci pintu ke lorong, dia duduk dengan bukubukunya dan melanjutkan catatannya tentang materia medica yang dia tinggalkan ketika bel berbunyi tadi. Tapi beberapa lama dia kesulitan mengkonsentrasikan pikirannya pada pelajaran. Otaknya terus membayangkan temannya yang berwajah pucat, bermata 12
aneh, kelaparan dan lusuh, berbaring dengan pakaian lengkap dan sepatu di ranjang. Dia mengenang masa-masa bersama di sekolah sebelum mereka berpisah, dan bagaimana mereka telah bersumpah untuk berteman selamanya—dan sebagainya. Dan sekarang! Alangkah mengerikan kesulitan hidupnya. Bagaimana bisa seseorang membiarkan kecintaan pada kehidupan yang tak bermoral mencengkeramnya? Tapi salah satu sumpah mereka sudah Marriott lupakan sama sekali. Sekarang itu terlalu jauh dalam memorinya untuk diingat. Melalui pintu yang setengah terbuka—kamar tidur diakses lewat ruang duduk dan tak ada pintu lain—terdengar suara nafas berat dan panjang, nafas seseorang yang lelah. Saking lelahnya, mendengarnya saja membuat Marriott ingin tidur pula. “Dia perlu tidur,” renung sang mahasiswa, “dan mungkin tepat waktu!” Mungkin begitu. Di luar, angin kencang dari seberang Forth menderu kejam dan mendorong arus hujan dingin ke kaca-kaca jendela. Jalanan lengang. Jauh sebelum Marriott duduk dengan benar untuk membaca, dia mendengar nafas berat orang yang tidur di ruang sebelah. Beberapa jam kemudian, ketika dia menguap dan mengganti buku, dia masih mendengar nafas tersebut, dan bangkit ke pintu untuk melihat-lihat. Mulanya kegelapan ruang mengecohnya, atau matanya silau oleh pijaran lampu baca barusan. Selama satu atau dua menit dia tak bisa melihat apa-apa selain furnitur gelap, lemari laci di 13
dinding, dan bidang putih di mana bak mandinya bercokol di tengah lantai. Perlahan-lahan ranjangnya tampak. Dan di atasnya dia mulai melihat garis tubuh yang sedang tidur, semakin aneh di tengah kegelapan, sampai terlihat mencolok—wujud hitam panjang berlatar belakang kain putih. Dia tak tahan untuk tersenyum. Field belum bergerak sedikitpun. Dia memperhatikannya sebentar lalu kembali ke bukubukunya. Malam dipenuhi nyanyian angin dan hujan. Tak ada suara lalu-lintas, kereta kuda di atas batuan jalan, dan masih terlalu pagi untuk gerobak susu. Dia kembali belajar keras dan sungguhsungguh, hanya berhenti sesekali untuk mengganti buku, atau menyeruput minuman yang membuatnya tetap terjaga dan menjadikan otaknya begitu aktif, dan pada saat-saat itu nafas Field selalu terdengar jelas di ruangan. Di luar, badai terus menderu, tapi di dalam sunyi senyap. Kap lampu baca melempar semua cahaya ke atas meja yang berantakan, membuat ujung lain ruangan relatif gelap. Pintu kamar persis berada di seberang lokasi duduknya. Tak ada apapun yang mengusik sang pelajar, selain sesekali angin ribut menerpa jendela, dan rasa nyeri di lengannya. Namun rasa nyeri ini semakin parah, dan dia tak tahu sebabnya.
Itu
mengganggunya.
Dia
berusaha
mengingat
bagaimana, dan kapan, mendapat memar separah itu, tapi gagal. Akhirnya halaman buku di hadapannya berganti dari kuning menjadi abu-abu, dan ada suara-suara roda di jalan raya di bawah. Saat itu pukul empat pagi. Marriott bersandar dan menguap lebar. 14
Lalu dia menarik gorden. Badai telah reda dan Castle Rock diselimuti kabut. Diiringi kuapan, dia berpaling dari pemandangan suram itu dan bersiap tidur di sofa selama empat jam tersisa sebelum sarapan. Field masih bernafas berat di ruang sebelah. Terlebih dahulu dia berjinjit menyeberangi ruangan untuk menengoknya sekali lagi. Mengintip dari pintu setengah terbuka, lirikan pertamanya jatuh pada ranjang yang kini dapat dilihat dengan cahaya kelabu pagi. Dia terbelalak. Lalu mengucek mata. Lagi-lagi mengucek mata dan menjulurkan kepalanya lebih dalam. Dengan mata terpaku, dia terbelalak lebih hebat lagi. Tapi tak ada bedanya. Dia menatap kamar yang sudah kosong. Sensasi ketakutan yang dirasakannya ketika Field pertama kali muncul tiba-tiba kembali lagi, tapi lebih kuat. Dia juga tersadar, lengan kirinya berdenyut keras dan membuatnya kesakitan. Dia berdiri heran, menatap, dan berusaha menenangkan pikiran. Dia gemetar dari kepala sampai kaki. Dengan susah payah dia tinggalkan tiang pintu dan berjalan ke dalam kamar. Di sana, di atas ranjang, ada cetakan tubuh, di mana Field tadi berbaring dan tidur. Ada bekas kepala di atas bantal, dan lekukan dangkal di kaki ranjang di mana sepatu bersandar pada kain. Dan di sana, lebih jelas dari sebelumnya—sebab lebih dekat—ada nafas! Marriott berusaha menguasai diri. Susah-payah dia mengeluarkan suara dan memanggil nama temannya dengan nyaring! 15
“Field! Kaukah itu? Di mana kau?” Tak ada jawaban, tapi nafas itu terus berlanjut, berasal dari ranjang. Suara Marriott tak familiar, dia tak mau mengulangi pertanyaannya, tapi dia berlutut dan memeriksa bagian atas dan bawah ranjang, akhirnya menarik kasur, dan melucuti kain penutup satu persatu. Tapi meski suara itu berlanjut, tak ada tanda-tanda Field, pun tak ada ruang di mana manusia, betapapun kecilnya, bisa bersembunyi. Dia menarik tempat tidur dari dinding, tapi suara itu tetap di tempatnya. Tidak bergeser bersama ranjang. Marriott, setelah agak sulit mengendalikan diri dalam kondisi letih, langsung menggeledah kamar. Dia menyusuri lemari makanan, lemari laci, ceruk kecil di mana pakaian bergantung— semua tempat. Tapi tak ada tanda keberadaan siapapun. Jendela kecil dekat langit-langit tertutup; lagipula itu tidak muat untuk dilalui kucing sekalipun. Pintu ruang duduk terkunci dari dalam; dia tak mungkin keluar lewat situ. Pemikiran aneh mulai memberatkan
Marriott,
membawa
masuk
sensasi
tak
mengenakkan. Dia semakin gelisah; digeledahnya lagi tempat tidur sampai menyerupai arena pertarungan bantal; digeledahnya kedua ruangan,
sembari
menyadari
semua
itu
sia-sia—kemudian
diulanginya penggeledahan. Keringat dingin membasahi seluruh tubuhnya; dan suara nafas berat itu tak kunjung berhenti dari sudut di mana Field berbaring tidur. Lalu dia mencoba cara lain. Didorongnya tempat tidur kembali ke posisi awal—terus dia membaringkan diri di atas posisi tamunya tadi. Tapi seketika dia meloncat. Nafas itu dekat di 16
sampingnya, nyaris menyentuh pipinya, di antara dia dan dinding! Anak kecil sekalipun tak bisa menyelusup ke dalam ruang sesempit itu. Dia kembali ke ruang duduk, membuka jendela, menyambut semua cahaya dan udara sebanyak mungkin, dan berusaha memikirkan ulang persoalan tersebut dengan tenang dan jernih. Orang yang membaca terlalu keras, dan tidur terlalu sedikit, terkadang diberatkan oleh halusinasi, pikirnya. Dia meninjau ulang setiap insiden semalam; sensasi yang dia rasakan; detil gamblang; emosi yang beraduk di dalam dirinya; pesta makan yang menakutkan—tak halusinasi yang dapat menggabungkan semua ini dan mencakup periode waktu begitu panjang. Tapi, merasa kurang puas, dia memikirkan rasa takut yang terus terulang, dan kengerian yang satu atau dua kali melandanya, dan rasa sakit di lengannya. Semua ini tak diketahui sebabnya. Selain itu, kini setelah dia mulai menganalisa dan meneliti, ada satu hal lain yang terbersit dalam pikirannya seperti wahyu: Sepanjang waktu Field belum mengucapkan sepatah katapun! Tapi, seolah mencemooh renungannya, suara nafas berat dan teratur itu terus-menerus datang dari kamar dalam. Tidak masuk akal. Absurd. Dihantui oleh radang otak dan penyakit gila, Marriott mengenakan topi dan jas hujan lalu meninggalkan rumah. Udara pagi di Arthur’s Seat akan mengusir keruwetan dari pikirannya; aroma semak-belukar dan terlebih pemandangan laut. Dia menjelajahi lereng-lereng basah di atas Holyrood selama beberapa 17
jam, dan tidak kembali sampai gerak badan tersebut meluruhkan sebagian kengerian dari tulang-belulangnya, dan memberinya selera makan. Saat masuk, dia melihat seorang lain di ruangan, berdiri di jendela membelakangi cahaya. Dia mengenali rekan mahasiswanya, Greene, yang sedang membaca untuk ujian yang sama. “Belajar keras semalaman, Marriott,” katanya, “aku mampir kemari untuk membandingkan catatan dan sarapan. Kau keluar lebih pagi?” tambahnya, bertanya. Marriott mengaku sakit kepala dan jalan-jalan telah meredakannya, lalu Greene mengangguk dan berkata “Ah!” Tapi setelah seorang perempuan menaruh bubur mengepul di atas meja dan pergi lagi, dia meneruskan dengan nada agak terpaksa, “Temanmu tak ada yang mabuk, Marriott?” Ini jelas ujian, dan dengan datar Marriott menjawab tidak tahu. “Tapi kedengarannya seorang lelaki ‘tidur lelap’ di dalam sana, bukan?” temannya bersikeras, sambil mengangguk ke arah kamar, dan menatap Marriott dengan heran. Kedua orang itu saling berpandangan beberapa saat, lalu Marriott berkata sungguhsungguh— “Kalau begitu kau mendengarnya juga, syukurlah!” “Tentu saja aku dengar. Pintunya terbuka. Maaf aku tak bermaksud—” “Oh, bukan itu,” kata Marriott, merendahkan suaranya. “Tapi aku sangat lega. Biar kujelaskan. Tentu saja, kalau kau juga mendengarnya, maka tak apa-apa; tapi sebetulnya itu membuatku ketakutan. Kupikir aku akan terkena radang otak, atau semacam18
nya, dan kau tahu betapa aku bergantung pada ujian ini. Diawali dengan suara, atau penglihatan, atau sejenis halusinasi, dan aku—” “Omong-kosong!” seru temannya tak sabar. “Apa yang kau bicarakan?” “Nah, dengarkan, Greene,” kata Marriott setenang mungkin, sebab suara nafas itu masih terdengar jelas, “akan kuberitahu apa maksudku, jangan memotong.” Lalu dia pun menceritakan apa yang terjadi semalam, menceritakan segalanya, bahkan sampai rasa nyeri di lengannya. Setelah selesai, dia bangkit dari meja dan menyeberangi ruangan. “Kau dengar nafas itu sekarang, kan?” katanya. Greene mengiyakan. “Well, ikut aku, kita akan geledah kamar bersamasama.” Namun, temannya tidak bergerak sedikitpun dari kursi. “Aku sudah masuk,” katanya malu-malu. “Aku dengar suara dan kupikir itu kau. Pintunya terbuka sedikit—jadi aku masuk.” Marriott tak berkomentar, tapi mendorong pintu selebar mungkin. Begitu terbuka, suara nafas semakin jelas. “Pasti ada seseorang di dalam sana,” kata Greene berbisik. “Ada seseorang di dalam, tapi di mana?” kata Marriott. Sekali lagi dia mendesak temannya untuk ikut masuk. Tapi Greene menolak
mentah-mentah;
dia
bilang
sudah
masuk
dan
menggeledah kamar, tapi tak ada apa-apa di sana. Dia tak mau masuk lagi. Mereka menutup pintunya dan beristirahat ke ruangan lain untuk membahasnya sambil merokok. Greene menanyai temannya itu dengan teliti, tapi tanpa hasil. Pertanyaan tidak mengubah fakta. 19
“Satu-satunya hal yang pasti punya penjelasan logis adalah nyeri di tanganku,” kata Marriott, menggosok-gosok bagian tubuh tersebut sambil berusaha tersenyum. “Sakit sekali, sampai atas. Tapi aku tak ingat kapan mendapat memarnya.” “Coba kuperiksa,” kata Greene. “Aku sangat ahli soal tulang meski para penguji berpendapat sebaliknya.” Lega rasanya bertingkah
konyol
sedikit.
Marriott
melepas
mantel
dan
menggulung lengan baju. “Astaga, aku berdarah!” serunya. “Lihat ini! Apa ini?” Pada lengan bawah, dekat pergelangan, terdapat garis merah tipis. Ada setetes darah kecil segar di atasnya. Greene memeriksanya beberapa menit. Lalu bersandar di kursi, menatap heran wajah temannya. “Tubuhmu tergores tanpa kau sadari,” katanya. “Tak ada tanda memar. Pasti ada sesuatu yang menyebabkan sakit lengan ini.” Marriott membisu, memandangi lengannya seakan jawaban seluruh misteri terdapat pada apa yang tertulis di kulitnya. “Ada apa? Aku tak lihat sesuatu yang aneh dari goresan itu,” kata Greene, suaranya tak meyakinkan. “Mungkin gara-gara kancing lengan. Semalam, dalam keadaan heboh, kau—” Tapi Marriott, pucat sampai bibir, berusaha bicara. Keringat memandikan keningnya. Akhirnya dia mencondong ke depan, ke wajah temannya. “Lihat,” katanya, dengan suara pelan sedikit gemetar. “Kau lihat tanda merah itu? Maksudku di bawah goresan?” 20
Greene mengaku melihat sesuatu, lalu Marriott menyekanya dengan saputangan dan memintanya melihat lagi lebih teliti. “Ya, aku lihat,” jawabnya, mengangkat kepala setelah memeriksa. “Seperti luka lama.” “Ini memang luka lama,” bisik Marriott, bibirnya gemetar. “Sekarang semua kembali kepadaku.” “Semua apa?” Greene gelisah di kursinya. Dia mencoba tertawa, tapi gagal. Temannya hampir jatuh. “Hush! Diam—akan kuceritakan padamu,” kata Marriott. “Field membuat luka ini.” Sesaat kedua orang itu saling berpandangan tanpa bicara. “Field membuat luka ini!” ulang Marriott dengan suara nyaring. “Field! Maksudmu—semalam?” “Bukan, bukan tadi malam. Bertahun-tahun silam—di sekolah, dengan pisaunya. Dan aku membuat luka di lengannya dengan pisauku.” Sekarang Marriott berbicara cepat. “Kami bertukar tetesan darah di luka masing-masing. Dia menaruh setetes ke dalam lenganku dan sebaliknya—” “Astaga, untuk apa?” “Perjanjian
anak
lelaki.
Kami
membuat
ikrar
sakral,
kesepakatan. Aku ingat betul sekarang. Kami membaca sebuah buku mengerikan dan kami bersumpah menampakkan diri kepada satu sama lain—maksudku, siapapun yang mati duluan bersumpah memperlihatkan diri kepada yang lain. Dan kami menyegel perjanjian dengan darah masing-masing. Aku ingat dengan baik— 21
sore musim panas di taman bermain, tujuh tahun silam—dan salah seorang guru melihat kami dan menyita pisau—dan aku belum pernah memikirkannya lagi sampai hari ini—” “Dan maksudmu—” Greene terbata-bata. Tapi Marriott tak menjawab. Dia bangkit, menyeberangi kamar dan berbaring lelah di sofa, menyembunyikan wajah di tangannya. Greene sendiri agak tercengang. Dia biarkan temannya beberapa saat, memikirkan ulang semua itu. Tiba-tiba sebuah ide terbersit dalam kepalanya. Dia menghampiri Marriott yang masih tak bergerak di sofa dan membangunkannya. Bagaimanapun juga, lebih baik menghadapi masalah, entah ada penjelasan atau tidak. Menyerah adalah jalan keluar bodoh. “Marriott,” dia memulai, sementara temannya mendongak dengan wajah pucat. “Tak usah bingung dengan ini. Maksudku— kalau cuma halusinasi, kita tahu apa yang harus dilakukan. Dan kalau bukan—well, kita tahu apa yang harus dipikirkan, kan?” “Kurasa begitu. Tapi ini sangat membuatku ketakutan untuk suatu alasan,” balas temannya dengan suara tertahan. “Dan orang malang itu—” “Tapi, toh, jika kemungkinan buruk benar terjadi dan—dan orang itu sudah menepati janjinya—well, dia sudah, itu saja, bukan?” Marriott mengangguk. “Hanya satu hal yang terpikir olehku,” sambung Greene, “yaitu, apa kau yakin bahwa—bahwa dia betul-betul makan seperti itu—maksudku dia betul-betul makan sesuatu?” dia menyelesaikan 22
kalimatnya, menumpahkan semua yang ada dalam benaknya. Marriott memandangnya sebentar kemudian berkata bahwa dia bisa memastikan dengan mudah. Dia berbicara pelan. Setelah goncangan besar, kejutan kecil tak mampu mempengaruhinya. “Aku menyimpan makananku,” katanya, “setelah kami selesai. Ada di rak ketiga di lemari. Tak ada yang menyentuhnya sejak saat itu.” Dia menunjuk tanpa beranjak, lalu Greene mengikuti arahnya dan pergi memeriksa. “Persis,” katanya, setelah memeriksa sebentar, “persis seperti yang kuperkirakan. Itu bagian dari halusinasi. Makanannya belum disentuh. Lihat saja sendiri.” Bersama-sama mereka memeriksa rak. Ada roti cokelat, piring scone apek, oatcake, semua belum disentuh. Bahkan gelas wiski yang Marriott tuangkan masih ada di sana dengan wiski di dalamnya. “Kau tidak memberi makan siapapun,” kata Greene. “Field tidak makan dan minum apapun. Dia tak ada sama sekali!” “Tapi nafas itu?” desak Marriott dengan suara pelan, ekspresinya linglung. Greene tidak menjawab. Dia berjalan ke kamar tidur, sementara Marriott mengikuti dengan matanya. Dia membuka pintu dan mendengarkan. Tak usah dikatakan lagi. Suara nafas berat dan teratur melayang di udara. Bukan halusinasi sama sekali. Marriott bisa mendengar itu dari posisinya berdiri di sisi lain ruangan. 23
Greene menutup pintu dan kembali. “Hanya ada satu hal yang bisa dilakukan,” katanya tegas. “Tulis surat ke rumah dan caritahu tentang dia, sementara itu selesaikan bacaanmu di kamarku. Aku punya ranjang cadangan.” “Setuju,” balas Mahasiswa Tahun Keempat, “tak ada halusinasi sama sekali soal ujian, aku harus lulus apapun yang terjadi.” Dan itulah yang mereka lakukan. Sekitar seminggu kemudian Marriott mendapat balasan dari adiknya. Sebagian dia bacakan kepada Greene— “Heran,” tulis adiknya, “kenapa kakak tanyakan soal Field dalam surat. Buruk sekali, beberapa waktu lalu kesabaran Sir John habis, dan beliau mengusirnya dari rumah, mereka bilang tanpa uang sepeserpun. Well, apa pendapat kakak? Dia bunuh diri. Setidaknya seperti bunuh diri. Alih-alih meninggalkan rumah, dia turun ke gudang bawah tanah dan tidak makan sampai mati… Mereka berusaha menyembunyikan hal itu, tentu saja, tapi aku mendengarnya dari pembantu, yang mendapat kabar dari pelayan mereka… Mereka menemukan jasadnya pada tanggal 14 dan dokter bilang dia mati sekitar dua belas jam sebelumnya… Dia sangat kurus…” “Kalau begitu dia mati tanggal 13,” kata Greene. Marriott mengangguk. “Malam yang sama dengan kedatangannya kemari.” Marriott mengangguk lagi.
24