Selamat Datang, Teman-Teman Siswa BIPA (Catatan Menarik Kesalahan Berbahasa Pembelajar Pemula) Oleh: Sudarsono M.I. Sekretaris Balai Bahasa UPI; Dosen Senior Jurusan Pendidikan Bahasa Inggris FPBS UPI
Tamu ICT Belum lama berselang, Balai Bahasa UPI menerima 23 orang tamu dari Negeri Kang Guru. Mereka hadir di Balai Bahasa untuk tujuan In-Country Training (ICT) belajar BIPA (Bahasa Indonesia bagi Penutur Asing, Indonesian for the Speakers of Other than Indonesian). Dari 23 orang ini, 20 orang adalah siswa (pembelajar) dan tiga orangnya instruktur atau guru yang bertugas mendampingi. Memang Balai Bahasa UPI rutin menerima siswa asing seperti ini, dengan jumlah dan paket variatif, baik reguler maupun yang non-reguler, seperti ICT, KNB, Dharmasiswa, dan ISA. Seperti beberapa minggu sebelumnya, telah juga hadir peserta BIPA KNB dan Darmasiswa, yakni siswa-siswi yang berasal dari Jerman, Jepang, Thailand, Vietnam, Korea Selatan, Cina, dan lain-lain. Khusus untuk siswa KNB dan Dharmasiswa ini, mereka mengikuti tes UKBIPA dengan perangkat soal yang dirancang dan dikembangkan oleh Balai Bahasa UPI. (Tentang hal ini, dan analis hasil tesnya, ulasan singkatnya akan disajikan dalam tulisan terpisah.) Sebagaimana biasa, untuk kunjungan ICT dengan jumlah peserta yang relatif besar, Balai Bahasa UPI merancang suasana penerimaan tamu sedemikian sehingga tampak sedikit “resmi”, yaitu, seusai sambutan-sambutan para siswa diminta untuk tampil ke depan podium untuk menyampaikan sepatah dua patah kata perkenalan, kesan, dan harapan, di hadapan guru ICT, instruktur, mitra, sesama siswa, pimpinan dan staf Balai Bahasa UPI, dalam Bahasa Indonesia. Tulisan singkat ini ingin berbagi catatan ihwal “peristiwa bahasa” (speech event) yang terjadi ketika para siswa BIPA tersebut satu demi satu berbicara memperkenalkan diri. Yang ingin disampaikan khususnya adalah kesalahan (error, mistake) terkait pengucapan dan susunan kata Bahasa Indonesia para siswa tersebut, yaitu kesalahan yang kaprah dilakukan oleh siswa asing ketika mereka baru belajar dan mencoba mempraktekkannya dalam suasana yang sedikit resmi. Tentu saja selain pengucapan dan susunan kata banyak lagi yang bisa dibahas, seperti aspek fonologis (variasi bunyi dan cara pengucapan); aspek gramatik (pilihan kata dan susunannya), aspek semantik/pragmatik (metode pemaknaan dan gaya komunikasi), dan lain-lain. Namun, alih-alih membahas fenomena bahasa ini secara komprehensif dan serius, tulisan ini justru hanya akan “mengulik” sedikit saja dari kesalahan-kesalahan pengucapan. Ini pun karena “kelucuan” (kegelian) disebabkan oleh kontraskontras antara pemerolehan Bahasa Indonesia dan penguassan Bahasa Inggris yang telah fossilized. [Disebut lucu atau menggelikan karena kekeliruan dalam berbicara Bahasa Indonesia oleh bule kontan mengundang tawa atau senyum simpul penutur asli; namun bukan tawa/senyum untuk menertawakan (laugh at) dengan pandangan merendahkan (critical eye, looking down), melainkan tertawa mengingat masa-masa yang sama ketika kita sendiri dahulu belajar bahasa asing untuk yang pertama kali (laugh with)]. Perlu diketahui lebih dulu, hampir semua dari kedua-puluh siswa tersebut adalah English native speakers, kebanyakan laki-laki, rata-rata berusia muda (antara 25-35 tahun), telah belajar BIPA di Australia antara tingkat semenjana dan madya. Di antara mereka ada warga Australia yang bukan lahir di Australia (atau bukan berkebangsaan Australia sejak lahir), melainkan lahir di negara lain
(ASEAN) dan datang ke Australia ketika sudah remaja, kemudian menjadi warga negara Australia. [Bila berpapasan dengan teman Oz yang seperti ini, sepintas, orang tidak akan mengira beliau orang Australia (yang tidak mampu berbahasa Indonesia). Orang akan berpikir beliau adalah orang Indonesia pada umumnya; malah, bila dilihat-lihat penampakannya ketika beliau tersenyum, raut wajahnya sumringah khas seperti orang Garut Pameungpeuk.] Teman-teman kita ini sebelumnya belajar BIPA di Australia didampingi instrukturnya yang orang asli Indonesia dan telah puluhan tahun mengajar BIPA di Australia. Sebagian dari mereka, dari belajar BIPA di Australia, telah mampu berbicara Bahasa Indonesia relatif fasih. Sebagian besarnya lagi belum bisa berbicara Bahasa Indonesia kecuali hanya beberapa patah kata saja yang tidak cukup memadai untuk terwujudnya satu fragmen percakapan yang interaktif sebagaimana lazimnya. Dalam konteks ICT, mereka hadir di Balai Bahasa UPI untuk melancarkan Bahasa Indonesianya dengan berinteraksi langsung dengan orang-orang Indonesia dalam situasi sehari-hari yang alami. Memang beberapa di antaranya pernah berkunjung ke Indonesia—baik untuk pelatihan singkat BIPA maupun untuk keperluan lainnya—namun sebagian besar belum pernah menginjakkan kakinya di Bumi Pertiwi sama sekali sehingga segera tampak kekikukan di sana sini ketika mereka berbicara, layaknya turis asing, terlebih-lebih berbicara memperkenalkan diri di depan umum dalam suasana formal. Uniknya, mereka menggunakan nama-nama Indonesia, misalnya Tanamal, Ciptawardana, Krisna, Alatas, Agung, Ratri, Gita, dll. Sebagian dari mereka memilih nama-nama Indonesia karena menyukai arti nama tersebut, sebagian lagi karena pengucapannya yang mirip dengan pengucapan nama asli dalam Bahasa mereka. Memang di Balai Bahasa UPI pembelajar BIPA sedari awal dianjurkan untuk menggunakan nama-nama khas Indonesia—bukan untuk mengganti namanya sendiri yang resmi, namun untuk memudahkan tegur sapa, membiasakan diri menyebut nama-nama pribumi, dan menjadikan nama sebagai pintu pertama belajar Bahasa Indonesia. Misalnya, mereka akan berkata, “Saya Budi. Panggil saya Mas Budi atau panggil Bud saja.”
Antara pengucapan Bahasa Inggris dan Bahasa Indonesia Sebagai catatan, dalam literatur pembelajaran Bahasa Inggris sebagai bahasa asing, terdapat pemisahan antara mistake dan error. Mistake adalah “kesalahan” yang bukan disebabkan oleh ketiadaan kompetensi, melainkan karena hal-hal lainnya seperti ketergesaan, kecerobohan, kelelahan, kurang fokus, suasana lingkungan yang menekan, dan lain-lain. Sedangkan error berkaitan dengan tahapan penguasaan kompetensi yang belum paripurna baik dalam hal kosa kata (lexical error), pelafalan kata (phonological error), susunan kalimat (syntactic error); kesalahan memahami maksud lawan bicara (interpretive error), dan kesalahan menggunakan fungsi-fungsi ujaran tertentu yang berakibat pada timbulnya makna yang tidak dikehendaki (pragmatic error) (Richards, J. et al, 1985, 1992). Jadi, berbeda dengan mistake sebagai bentuk kesalahan yang socially undesirable (tidak berterima, tidak dikehendaki), error menggambarkan tahapan belajar dan oleh karena itu bisa menjadi pintu masuk untuk mengkaji proses belajar, dan merancang metode dan strategi pembelajarannya. Sebagaimana dimaklumi, bagi warga negara Australia, Bahasa Indonesia adalah bahasa asing. Kesalahan-kesalahan dalam berbahasa Indonesia sangat lazim terjadi, sebagaimana kita belajar bahasa asing pertama kalinya. Di negerinya, warga negara Australia boleh memilih untuk belajar bahasa selain Bahasa Inggris, seperti Bahasa Perancis, Jerman, Spanyol, Cina, Arab, dan lain-lain; jadi Bahasa Indonesia bisa jadi salah satu yang dipilih untuk dipelajari. Untuk kasus teman-teman bule kita dari negeri Kang Guru, penguasaan Bahasa Inggris sebagai bahasa pertama tentu melatar-
belakangi proses pembelajaran (pemerolehan) bahasa asing, apa pun itu. Dengan demikian, jenis-jenis kesalahan (error) yang dialami dalam belajar bahasa lain dapat dipastikan tidak akan jauh dari pengaruh kaidah-kaidah Bahasa Inggris dalam prosesnya.
Dua jenis kesalahan Maka, bila dicermati, dua jenis “kesalahan” (kekeliruan) tampak menonjol ketika teman-teman kita ini berbicara Bahasa Indonesia. Yaitu, pertama, kesalahan pengucapan karena unsur-unsur fonologi (morfofonologi) Bahasa Inggris. Dan, kedua, kesalahan bangun kalimat yang disebabkan oleh unsurunsur sintaktik (morfosintaktik) Bahasa Inggris. Dalam jenis kesalahan yang pertama, penutur terlanjur terprogram dalam cara-cara pengucapan dengan titik-titik artikulasi Bahasa Inggris yang berbeda jauh dengan titik-titik artikulasi Bahasa Indonesia. Dalam jenis kesalahan yang kedua, penutur menerapkan kaidah-kaidah morfosintaktik Bahasa Inggris ke dalam Bahasa Indonesia secara langsung sehingga ketika kaidah tersebut tidak berterima dalam Bahasa Indonesia maka bangun kalimatnya akan tampak seperti teks “terjemahan”--semata-mata karena transfer of rules yang tidak kongruen. Sebagai pengingat untuk teman-teman pengajar BIPA yang bukan berlatar belakang pendidikan bahasa, fonem-fonem Bahasa Indonesia relatif stabil dan dapat ditebak sesuai tulisannya. Fonem voiceless glottal /h/, misalnya, diucapkan relatif sama antara di depan, di tengah dan di belakang, seperti: hadap, sehat, pedih. Demikian juga yang lain, misalnya, bunyi viceless apico-alveolar stop /t/, dalam tandang, pantang, hambat. Berbeda dengan Bahasa Indonesia, bunyi-bunyi konsonan dan vokal Bahasa Inggris banyak yang tidak konsisten di telinga orang asing. Mari lihat, misalnya, fonem /h/ dalam tiga kata ini: heat, light, enough—bunyi /h/ yang pertama diucap jelas, /h/ yang kedua tidak diucap, dan /h/ yang ketiga menjadi voiceless labio-dental fricative /f/. Perhatikan juga yang lain, misalnya fonem /t/ dalam tear, later, little. —bunyi /t/ yang pertama diucap jelas, /t/ yang kedua tidak cukup jelas, dan /t/ yang ketiga entah menjadi apa. Belum lagi kaidah morphophonemic untuk pengucapan imbuhan yang mengharuskan kesesuaian bunyi dalam satu kombinasi morfem. Posisi fonem terakhir dalam sebuah morfem akan menentukan cara pengucapan yang berbeda ketika terjadi satuan-satuan kombinasi morfem. [Sebagai catatan, fonem berarti satuan bunyi terkecil yang pengucapannya membedakan arti; dan morfem berarti satuan bunyi terkecil yang pengucapannya mengandung arti tersendiri]. Mari perhatikan morfem infleksi /s/ dalam kombinasi morfosintaktik (plural noun, singular verb); misalnya, dalam backs, morfem /s/ ini secara fonologi diucapkan voiceless apico-alveolar fricative karena posisi terakhir pada morfem back ditempati oleh fonem voiceless velar stop /k/; sedangkan dalam bags, /s/ diucapkan voiced apicoalveolar fricative karena posisi terakhir pada morfem bag ditempati oleh fonem voiced velar stop /g/. Tetapi, catches berbeda lagi karena adanya bunyi voiceless palatal affricate sehingga terselip masuk bunyi high-mid front /I/ pada akhir morfemnya. Selain pengucapan konsonan, pengucapan vokal lebih rumit lagi. Dalam fonologi tradisional Bahasa Inggris dikenal istilah tense vowel (versus lax vowels), long vowel (versus short vowel), yang tidak terdapat padanannya dalam Bahasa Indonesia. Masih ingat sumpah serapah Cinta Laura “mana ujan, becek, gak ada ojek”? Ada pergerakan yang ramai antara titik-titik artikulasi velar-pharynx-nasal. Transfer kaidah dari fonologi Bahasa Inggris ke fonologi Bahasa Indonesia terasa kental pada pengucapan ujan, becek, ojek: misalnya, /a/ diucapkan tense [dengan artikulator bergerak ke arah velar mendekati titik pharynx dan molekul udara berembus ke dalam nasal cavity. Kerumitan akan bertambah bila ada permainan glide, misalnya dalam diphthong “fare”, triphthong “fire”, karena kombinasi vowel dengan semivowel; atau adanya elemen-elemen suprasegmental, yang memang
dihadirkan untuk memberi pemaknaan tersendiri. Dan masih banyak lagi. Dalam kaitan ucapan Cinta Laura, apakah akan sama bila itu diucapkan oleh, misalnya, Pak Ridwan Kamil (fonologi Bahasa Sunda), atau oleh Pak Jokowi (fonologi Bahasa Jawa)? Terkait pengucapan, sepanjang menyangkut bunyi-bunyi velar-pharynx-nasal, ada kesan yang kuat bahwa artikulasi ini menjadi ciri yang melekat pada pembelajar pemula (bule, Anglo-Saxon). Bahasa Inggris membiasakan artikulasi velarized, nasalized, dan gerakan-gerakan pharyngeal yang khas (menegang-melonggar, menyempit-melebar, dan menaik-menurunnya titik-titik artikulator di dalam rongga pharynx). Bahkan sampai tahap tertentu, kadang muncul godaan untuk membuat hipotesis bahwa bila pembelajar telah berhasil melepaskan diri dari kecenderungan ini, mis. pengucapan “bapak” dengan karakter velarized yang kuat pada /k/ dan nasalized pada vokal keduanya, maka pembelajar boleh dibilang telah mampu mengenali dan mengucapkan Bahasa Indonesia dengan baik. Dalam hal ICT ini, memang para siswa BIPA kita umumnya adalah pembelajar dewasa yang pengetahuan dasar (practical, analytical) sintaktik Bahasa Inggrisnya telah terinternalisasi dengan relatif baik. Berbeda dengan ketika belajar bahasa ibu yang berlangsung alami, ketika belajar bahasa asing, dalam hal ini Bahasa Indonesia, para siswa kita banyak disuguhi dengan metabahasa (dan metakognisi ihwal bahasa) yang kompleks karena first encounter dengan Bahasa Indonesia justru terjadi ketika Bahasa Inggrisnya telah relatif stabil baik competence maupun performance, dan oleh karenanya tidak bisa diingkari kaidah-kaidah sintaktik Bahasa Inggris akan menjadi rujukan utama dalam mempelajari kaidah-kaidah sintaktik bahasa lainnya. Oleh karenanya tidaklah mudah bagi pembelajar pemula BIPA, teman-teman bule kita, untuk mengidentifikasi dan menggunakan bentuk-bentuk kalimat sederhana Bahasa Indonesia, misalnya, SV (S-P), S-V-O (S-P-O) dan lain-lain. Secara umum Bahasa Inggris mengenal 6 enam jenis kata kerja, yaitu intransitive verb, monotransitive verb, ditransitive verb, intensive verb, complex-transitive verb, dan prepositional verb. Penerapan dari jenis-jenis kata kerja ini membentuk susunan kalimat subjectverb, subject-verb-object, subject-verb-object1-object2, subject-verb-complement (subject), subjectverb-object-complement (object), subject-verb-preposition/postpostion-object. Bisa jadi, karena baru bersentuhan dengan sintaktik Bahasa Indonesia di usia dewasanya, kaidah-kaidah sintaktik Bahasa Inggris masih dominan dan mempengaruhi proses belajarnya. Kombinasi morfem Bahasa Indonesia, struktur subyek-predikat dan lain-lainnya, belum ajeg dipelajari dan mungkin terjadi “transfer” (translation) yang intensif dari Bahasa Inggris (bahasa asal) ke Bahasa Indonesia (bahasa target). Maka mudah dipahami bila kemudian siswa banyak membuat kesalahan dalam mengucapkan, menyusun kata-kata, membuat kalimat, atau membangun percakapan yang utuh secara mandiri, seperti yang terekam dalam pidato perkenalan mereka beberapa waktu yang lalu di Balai Bahasa UPI. Seorang siswa menyebut “orang-orang” dengan “oreng-oreng” (a diucap /æ/, dan terdengar sedikit seperti pengucapan “oreng” Bahasa Madura). Demikian juga misalnya, seorang siswa yang lain menyebutkan “ditugas untuk wawancara” (maksudnya, “ditugaskan/ditugasi untuk wawancara”). Ketiadaan akhiran “kan” mengingatkan kita pada Bahasa Inggris “assigned to do an interview” (assign, tugas) yang selalu diucapkan dalam bentuk pasif untuk makna “penugasan”. Bila ini benar, berarti terjadi transfer kaidah L1 ke L2. Berikut ini adalah beberapa contoh dari pengucapan-pengucapan Bahasa Indonesia yang terekam ketika mereka berpidato singkat untuk memperkenalkan diri di podium. Tentu saja “pembahasan” singkat di atas hanya didasarkan observasi sesaat; analisis yang mendalam dan komprehensif jelas memerlukan banyak data dan dikumpulkan dari waktu ke waktu. Tingkat dan satuan analisisnya juga
tentu lebih kompleks agar didapatkan gambaran yang terperinci tentang pola kecenderungannya dan dengan demikian dapat dirancang metode dan strategi pembelajaran yang sesuai.
Beberapa contoh potongan pengucapan/kalimat
PENGUCAPAN mengetahu_ bersosialasi berbagai pengalaman dengan terima kasih bantwan kegiatan kepola orang-orang ini sebagian besa(:) sekita(:) lanca(:) bersemanggat ditugas_ untuk wawancara ketika saya kembali ke Bandung (nanti) sesudah waktu ini belum punya anak, tapi mudah-mudahan di masa depan.... tiga anak, semua orang laki-laki
sedang mengunjungi di Indonesia (senang mengunjungi di Indonesia) atas bantuan di masa depan
kebangsaan nasional diamati
untuk membangun ilmu Bahasa Indonesia saya
bahan hiburan di akhir hari terimakasih atas bantunya
=darz=
MAKSUD/KETERANGAN mengetahui bersosialisasi berbagi pengalaman dengan [glide] [t, k, plossive; k, velarized] bantuan [nasalized, glide] nasalized kepala [seperti pengucapan “oreng” (orang) dalam Bahasa Madura] sebagian besar sekitar lancar bersemangat ditugaskan untuk (melakukan) wawancara bila saya ke bandung lagi [when=ketika, bila] nanti [after this time] di kemudian hari.... [in the future] semua anak saya laki-laki [all of them are boys] berkunjung ke [visit (monotransitive)] atas bantuan Anda semua untuk waktu-waktu yang akan datang [tidak menggunakan/tidak yakin untuk menggunakan “nya”; dalam Bahasa Inggris “the” digunakan untuk “for the help”; penutur tidak yakin apakah “the” adalah padanan “nya”] nasionalisme [ada redundansi “kebangsaan dengan “nasionalisme”] diamati: observed, felt, evident, real untuk meningkatkan kemampuan ber-Bahasa Indonesia saya/ untuk mempelajari Bahasa Indonesia/ untuk meningkatkan kompetensi keilmuan Bahasa Indonesia saya bahan tertawaan; bahan olok-olok (object of ridicule) sorenya (at the end of the day) terima kasih atas bantuannya [help sebagai kata benda vs help sebagai kata kerja]