ISSN 1411- 3341
1 TELAAH TENTANG KIBIJAKAN UJIAN NASIONAL DAN KINERJA SISTEM PENDIDIKAN NASIONAL Oleh : Muhammad Nur Ali ABSTRAK Kinerja Sistem Pendidikan Nasional (SPN) dalam kurun waktu sepuluh tahun terakhir menunjukkan kegagalan demi kegagalan. Data dari United Nations Development Programme (UNDP) yang memantau Indeks Pembangunan Manusia atau Human Development Index (HDI) seperti yang terpublikasi secara luas bahwa posisi Indonesia diantara 174 negara pada tahun 1996 berada pada peringkat 102; tahun 1999 peringkat 105; dan tahun 2000 pada peringkat 109, kemudian tahun 2004 turun lagi ke peringkat 111 dari 174 negara. Secara umum mutu proses belajarmengajar yang tergelar kurang menggembirakan oleh karena proses pendidikan telah terkebiri menjadi “perolehan informasi” dengan sistem tagihan berjangka pendek. Ketidakhirauan SPN terhadap praksis penerusan informasi berakibat lebih jauh lagi dan merosot menjadi konteks pemberitaan isi buku teks (content transmission), lalu diperparah lagi dengan kebijakan evaluasi yang dikenal dengan istilah UN (Ujian Nasional). Secara kognitif model evaluasi UN tersebut tidak dapat memfasilitasi perkembangan intelektualitas yang baik (authentic ability), karena tuntutannya bersifat tebak-tebakan, sehingga pebelajar cenderung hanya mengerahkan kemampuan artifisialnya, bukan kemampuan autentik. Bahkan lebih celaka lagi jika untuk meraih prosentase kelulusan dibentuk “tim sukses” yang beroperasi secara ilegal. Kata Kunci: Kebijakan - Ujian Nasional – Pendidikan
I.
PENDAHULUAN Masih kurang disadari bahwa Kebijakan UN merupakan salah satu problem yang menggerus kinerja pendidikan nasional yang bertujuan untuk mencerdaskan kehidupan bangsa. Problem pendidikan sebelum Kebijakan UN sebetulnya sudah cukup serius, yakni pada level proses belajarmengajar yang disinyalir telah banyak terkebiri proses “perolehan
263
ISSN 1411- 3341
informasi” dengan sistem tagihan berjangka pendek (Raka Joni, 1993). Ketidakhirauan SPN terhadap paksis penerusan informasi berakibat memerosotkan praksis pembelajaran menjadi ajang pemberitaan isi buku teks atau “content transmission” (Raka Joni, 2000). Implementasian UU No.20 Tahun 2003 tentang SPN yang melahirkan Badan Standar Nasional Pendidikan (BSNP) sebagai badan otorita penilai pendidikan nasional yang menggelar penilaian dengan Model-UN, jika dicermati secara mendalam bertentangan dengan semangat UUSPN No.20 Tahun 2003, terutama dalam Pasal 35 Ayat (1); Pasal 36 Ayat (2); dan Pasal 58 Ayat (1). Disamping itu dalam Permendiknas No.23 Tahun 2006 tentang Standar Kelulusan Luaran (SKL) khususnya pada tingkat SMA bertujuan untuk meningkatkan kecerdasan, pengetahuan, kepribadian, akhlak mulia, serta keterampilan untuk hidup mandiri dan mengikuti pendidikan lebih lanjut. Ditetapkannya SKL-SMA dengan tagihan “meningkatnya kecerdasan pebelajar”, yang oleh Gardner (1993) dinilainya tidak tunggal tapi bersifat jamak, prosesnya menuntut model pembelajaran multi-jalur (multiple ways of knowing). Selanjutnya, “peningkatan pengetahuan, kepribadian, ahlak mulia, serta keterampilan hidup” yang dapat merujuk antara lain pada “soft skills dan life skills” (Kendall dan Marzano, 1997); “Emotional Intelligence” (Goleman, 1995); dan aspek-aspek kognitif, afektif, dan psikomotorik (Taksnomi Bloom) yang di dalam praksisnya masih menuntut kemampuan dalam penerapannya. Apalagi aspek-aspek kognitif, afektif, dan psikomotorik yang dimaksud dalam Taksonomi Bloom tersebut tidak serta-merta dapat digunakan sebagai acuan operasional pengembangan dan pengelolaan program belajar-mengajar di tingkat kelas, sebab taksonomi tersebut tidak secara eksplisit mengaitkan sasaran pembentukan dengan proses yang diperlukan bagi keterbentukannya (lihat Raka Joni, 1993). Atau dengan kata lain masih sangat diperlukan kreativitas dari para guru. Dalam konteks ini “pembelajaran bertujuan” penting dirancang untuk diterjadikan dan mengukur luarannya menggunakan pengukuran yang cermat dan komprehensif. Model-UN yang hanya mengevaluasi tiga mata pelajaran, ditambah lagi dengan ujian objektif berbentuk pilihan ganda (multiple choice), patut diduga bahwa nilai yang diperoleh pebelajar peserta UN bukanlah pembandingan yang menggambarkan prestasi akademik otentik pebelajar. Salah satu akibatnya dialami oleh beberapa pebelajar yang riwayat prestasi akademiknya cemerlang tapi tidak lulus ujian (Harian Kompas, Jumat 23/04/2004). Jika prestasi akademik menjadi kriteria untuk memperoleh hak lulus, menerima ijasah, dan melanjutkan studi, atau melamar pekerjaan, maka dalam hal ini negara telah melanggar hak-hak yang azasi pada pebelajar.
264
ISSN 1411- 3341
II.
PENDEKATAN MASALAH
Hasil evaluasi belajar yang menunjukkan prestasi akademik, merupakan kemampuan intelektual yang berhubungan secara fungsional dan nyata dengan prestasi belajar seseorang (Bennet, 1982; Aiken, 1985; dan Anastasi, 1988). Dari sudut pandang psikologi khususnya Psikologi Pendidikan, praksis pembelajaran banyak disorot dari aspek proses dan penyelidikan pengelolaan kelas yang meliputi waktu, pemberian tugas, dan variabel-variabel yang berhubungan dengan strategi pembelajaran (Scheerens, 2003). Beberapa hasil penelitian terdahulu menyimpulkan bahwa kemampuan intelektual berhubungan secara positif dengan prestasi belajar (Ardhana, 1980; Semiawan, 1984; Kusharto, 1985; dan Pali, 1993). Lebih jauh tentang hal itu dilaporkan pula bahwa kemampuan intelektual merupakan prediktor yang “berarti” terhadap prestasi belajar seseorang (Pali, 1993). Dari konsep berpikir tentang kemampuan akademik pebelajar dan prosedur pembelajaran, maka penilaian Model-UN yang tidak komprehensif melalui tes ujian objektif (multiple choice), dapat mengorbankan pengupayaan pencapaian tujuan-tujuan pendidikan yang sangat mulia. Dampak penilaian Model-UN yang patut diduga mengandung masalah dalam konteks pembelajaran yang mendidik, menarik untuk dikaji secara akademik dalam ranah praksisnya. Sehubungan dengan ketimpangan yang teramati dalam persebaran pendidik baik dalam arti disparitas kuantitatif, kualitatif, maupun ketidaksesuaian bidang keahlian dan tugas guru di tanah air, maka praksis pendidikan nasional kita akan terdistorsi pada beberapa hal, antara lain 1) bagaimana proses pembelajaran itu tergelar; 2) apakah secara instruksional proses berpikir pebelajar dalam interaksi pembelajaran telah tertata dengan baik; 3) apakah pengelolaan kelas telah memusatkan perhatian pada tatakrama dan infastruktur kelas sehingga memfasilitasi pembelajaran; dan pada akhirnya 4) apakah penilaian Model-UN telah dapat merepresentasikan kemampuan intelektual pebelajar yang otentik (lihat: Bennet, 1982; Aiken, 1985; Anastasi, 1988; Raka Joni, 1993; dan Raka Joni, 2006). Berkaitan dengan orientasi berpikir tersebut yang mengamati adanya masalah dan konteks legal formal UN sebagai sebuah kebijakan, maka diperlukan langkah imperatif yang konsekuen. III. PEMBAHASAN A.
Hasil Belajar dan Evaluasi Pembelajaran
Hasil belajar yang dipahami sebagai keluaran dari suatu sistem pemrosesan masukan dapat dikelompokkan menjadi dua macam, yaitu masukan pribadi (personal input) dan masukan yang berasal dari
265
ISSN 1411- 3341
lingkungan atau environmental input (Keller, 1983). Sehubungan dengan hasil pembelajaran, Keller menjelaskan bahwa hasil belajar adalah prestasi aktual yang ditampilkan oleh pebelajar melalui usaha yang terarah kepada penyelesaian tugas-tugas belajar. Beberapa hasil penelitian melahirkan kesimpulan yang secara substantif sama bahwa prestasi belajar yang diraih seseorang selalu berhubungan secara positif dengan kemampuan intelektuanya (Semiawan, 1984); (Kusharto, 1985); (Anastasi, 1988); dan (Pali, 1993). Akan tetapi, jika rancangan pembelajaran yang digelar tidak mampu memfasilitasi kebiasaan belajar pebelajar yang rendah, maka dapat diduga hasilnya cenderung menunjukkan ketimpangan antara prestasi akademik dengan kemampuan intelektual pebelajar. Ketimpangan semacam ini disebut “underachievement” yang diartikan sebagai prestasi di bawah kemampuan, yakni sebuah konsep yang menyatakan tentang kesenjangan antara kemampuan dan kinerja seseorang (Ford & Thomas, 1997). Hasil belajar yang menggambarkan kemampuan intelektual pebelajar dapat diketahui setelah dilakukan evaluasi melalui ujian (tes) yang diadakan kepada pebelajar. Menurut definisi evaluasi dari Maclcolm yang mencetuskan “Discrepancy Evaluation” menyatakan bahwa evaluasi adalah perbedaan apa yang ada dengan suatu standar untuk mengetahui apakah terdapat selisih (dalam: Tayibnapis, 2000). Di dalam sumber yang sama, Worten dan Sanders (1987) menyatakan bahwa evaluasi formal telah memegang peranan penting dalam pendidikan antara lain dalam memberi informasi yang dipakai sebagai dasar untuk: (1) membuat kebijakan dan keputusan; (2) menilai hasil yang dicapai pebelajar; (3) menilai kurikulum; (4) memberi kepercayaan kepada sekolah; dan (5) memperbaiki materi dan program pendidikan. Ahli Psikologi Pendidikan Robert L. Thorndike menyatakan bahwa “… whatever worths knowing, must exist to some extent; and whatever exist to some extent should be subject to measurement” - segala sesuatu yang penting untuk diketahui, mestinya dapat diukur (dalam: Raka Joni, 2006). Pengukuran dapat dilakukan melalui cara pengujian atau tes. Tes adalah suatu tugas yang penyelesaiannya menuntut pengerahan pengetahuan dan kecakapan yang dibakukan (seperti: bentuk, isi, tingkat kesukaran, dan alokasi waktu penyelesaiannya) yang digunakan untuk pengukuran atau pembandingan besaran benda atau gejala (Raka Joni, 2006). Sehubungan dengan evaluasi pembelajaran, lebih lanjut Raka Joni menjelaskan bahwa dalam penilaian biasa digunakan 2 jenis kriteria yaitu: 1.
266
Penilaian Acuan Kelompok (PAK) yang mengacu kepada posisi pebelajar sebagai individu dalam kelompok (norm-referenced evaluation), dan
ISSN 1411- 3341
2.
Penialaian Acuan Patokan (PAP) yang merujuk kepada kriteria tetap (criterion-referenced evaluation). Bentuk PAK yang paling sederhana adalah yang sekedar “menempatkan” pebelajar secara individual dalam kelompoknya (misalnya: juara kelas, sekolah, kabupaten, dan seterusnya). Sedangkan bentuk PAP yang paling bersifat deskriptif adalah yang mengacu pada tingkatan kinerja ambang (critical performance). Merujuk pada uraian tersebut, implementasi UN yang sudah berjalan sejak tahun 2003 tampak memiliki kelemahan-kelemahan. Kelemahan yang sangat substantif adalah menyangkut penilaian terhadap perolehan belajar sebagai bukti penguasaan kemampuan. Menurut Raka Joni (2006) hal itu dapat ditinjau sekurang-kurangnya dari tiga sudut pandang, yakni: (1) konteks penilaian, (2) assessment task, dan (3) kecermatan alat ukur. Konteks penilaian dibedakan menjadi konteks artifisial, yaitu yang menggunakan alat ukur yang tidak mengungkapkan indikator kemampuan yang dibutuhkan dalam dunia kerja dan kehidupan pada umumnya. Sedang konteks otentik adalah merujuk kepada kebutuhan yang dipersyaratkan dalam dunia kerja. Selanjutnya, assessment task adalah penggunaan pengukuran yang direntang mulai dari yang bersifat artifisial sampai pada otentik. Kemudian, menyangkut kecermatan alat ukur yang digunakan dari segi signifinkasi informasi mengenai indikator-indikator penilaiannya. Model UN yang instrumen, pelaksanaan, dan keputusan atas penilaian yang bersifat “top down” sulit diadaptasikan secara nasional, sebab di samping kondisi disparitas kuantitatif dan kualitatif bidang pendidikan (Raka Joni & Lusiana D. Djunaidi, 2005) juga kondisi dunia luar pada umumnya relatif sangat berbeda. Dari segi kebijakan juga disinyalir mengandung kelemahankelemahan. Salah satu diantaranya dikemuakan oleh Suprapto (2004) bahwa UN bertentangan dengan UU Sistem Pendidikan Nasional No.20 Tahun 2003 yaitu: (1) Berdasarkan tujuan pedagogik, untuk mengukur kemampuan siswa harus dilakukan secara komprehensif, artinya mempertimbangkan seluruh aspek yakni afektif, kognitif, dan psikomotorik. UN hanya mengukur satu aspek saja, yaitu aspek kognitif. Secara substansial, kebijakan UN tidak sesuai dengan apa yang telah ditentukan dalam Penjelasan Pasal 35 Ayat (1) UU Sisdiknas yang menyatakan bahwa “Komptensi lulusan merupakan kualifikasi kemampuan lulusan yang mencakup sikap, pengetahuan, dan keterampilan, sesuai dengan standar nasional yang telah disepakati”. (2) Karena UN dilaksanakan berdasarkan instruksi dari pusat maka memiliki sifat sentralistik, artinya segala kebijakan baik yang menyangkut materi evaluasi maupun standar kualifikasi kelulusan
267
ISSN 1411- 3341
ditentukan oleh pusat. Secara eksplisit bisa dikatakan bahwa pelaksanaan UN merupakan bentuk lain dari sebuah pengingkaran terhadap Pasal 36 Ayat (2) UU Sisdiknas yang berbunyi “Kurikulum pada semua jenjang dan jenis pendidikan dikembangkan dengan prinsip diversifikasi sesuai dengan satuan pendidikan, potensi daerah, dan peserta didik”. (3) Hasil evaluasi penentuan kelulusan dan UN hanya melihat tiga mata pelajaran, yaitu Matematika, Bahasa Inggris, dan Bahasa Indonesia dengan nilai minimal 4,01. …, lalu untuk apa murid belajar Fisika, Biologi, Kimia, Sejarah, Geografi, dan Ekonomi selama bertahuntahun kalau akhirnya usaha pereka tidak dihargai? Ini menunjukkan sebuah kotradiksi terhadap UU Sisdiknas dan mendisorientasi-kan tujuan pendidikan. Pasal 58 Ayat (1) UU Sisdiknas menyebutkan bahwa “evaluasi hasil belajar peserta didik dilakukan oleh pendidik untuk memantau proses, kemajuan, dan perbaikan hasil belajar peserta didik secara berkesinam-bungan”. (Harian Kompas, Senin 19/04/2004). Dari segi penerapannya, UN dilaksanakan secara normatif berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 19 tahun 2005 Pasal 67 Ayat (1) oleh Badan Standar Nasional Pendidikan (BSNP). Oleh karena mekanisme pelaksanaannya bersifat sentralistik, maka praksis di lapangan pun akan berhadapan dengan evidence kinerja sistem pendidikan yang menggelar proses pembelajaran di sekolah-sekolah dengan kadar yang sangat berbedabeda. Hal ini disebabkan antara lain seperti yang sudah dikemukakan mengenai ketimpangan persebaran penugasan pendidik baik dalam arti disparitas kuantitatif dan kualitatif maupun ketidak sesuaian bidang keahlian (komptensi), sebagai hal yang kurang menggembirakan dari segi kinerja sistem pendidikan (lihat lagi: Raka Joni, T. & Lusiana D. Djunaedi, 2005). Dengan demikian, dapat diduga bahwa penerapan UN pada pendidikan dasar dan menengah secara seragam itu adalah sebuah kebijakan yang tidak berkeadilan (lihat juga Yuwono dalam Harian Kompas, 08/04/2004; Djaali dalam: Harian Kompas, Kamis 22/04/2004), sehingga patut diragukan jika UN bisa mendorong peningkatan kualitas siswa (Darmaningtyas dalam: Harian Kompas, Senin 19/04/2004). Secara organisatoris pelaksanaan UN digerakkan oleh mekanisme komando dan koordinasi yang berpangkal dari pusat yakni Departemen Pendidikan Nasional beserta unit-unit kerjanya, gubernur pada tingkat provinsi, dan bupati/walikota pada tingkat kabupaten/kota, yang sangat birokratis dan tentu saja kaku. Penilaian dan pertimbangan pada hal-hal yang bersifat teknis menjadi terabaikan. Mekanisme kerja dalam pelaksanaan UN dapat dilihat melalui skema sebagai berikut.
268
ISSN 1411- 3341
Gambar 1: SKEMA ORGANISASI PANITIA UJIAN NASIONAL
B.
Praksis Pembelajaran di Sekolah Pembelajaran sebagai upaya membelajarkan pebelajar (Degeng, 1997) merupakan konsep yang bermakna luas yang mencakup pembelajaran di sekolah dan bukan sekolah. Secara konseptual pembelajaran di sekolah merupakan sebuah proses terencana yang rancangan dan implementasinya melibatkan sejumlah unsur, baik yang bersifat instruksional, strategik, maupun pengelolaan pembelajaran termasuk penilaiannya. Apabila pembelajaran (dalam arti intstruction) mengatur proses berpikir pebelajar dalam interaksi pembelajaran, maka pengelolaan kelas (classroom management) memusatkan perhatian pada tatakrama serta infrastruktur kelas sehingga memfasilitasi pembelajaran (Raka Joni, T. & Lusiana D. Djunaedi, 2005). Sebagai sebuah proses yang melibatkan sejumlah komponen dan unsur, pembelajaran tidak dapat dipisahkan dari sistem regulator yang mengatur tatakrama proses, dalam hal ini ada 5 istilah kunci yang meskipun berbeda tetapi terkait satu sama lain, yaitu; pendekatan, strategi, metode, teknik, dan prosedur (Raka Joni, 1993). Dari perspektif ini maka proses pembelajaran dapat dikaji interaksi antar faktor (variabelvariabel) dalam kerangka sistem yang mengusung proses dalam praksis pembelajar. Reigeluth (1983) mengemukakan tiga variabel pembelajaran yaitu (1) kondisi, (2) metode, dan (3) hasil. Kondisi adalah faktor yang mempengaruhi metode, sedang metode adalah cara-cara yang dilakukan di
269
ISSN 1411- 3341
bawah kondisi untuk mencapai hasil, kemudian hasil adalah semua dampak yang dapat dijadikan sebagai indikator tentang nilai dari penggunaan metode pengajaran di bawah kondisi yang berbeda. Selain Reigeluth, variabel pembelajaran yang tidak jauh berbeda dikemukakan oleh Simon dan Glaser. Simon menggunakan variabel yang ia sebut (1) parameter baku atau kendala, (2) kegiatan, dan (3) pilihan tujuan; sedang Glaser menggunakan istilah variabel (1) bidang studi, (2) proses pembelajaran, dan (3) hasil pembelajaran (dalam: Degeng, 1989). Hubungan antar variabel dan indikator pembelajaran dikemukakan dalam bentuk Taksonomi Pembelajaran sebagai berikut. Gambar 2: Diagram Permbandingan Klasifikasi Variabel Pembelajaran
Tatakrama dan infrastruktur yang memfasilitasi pembelajaran, regulator proses yang mengatur tatakrama pembelajaran, dan variabelvariabel pembelajaran yang berinteraksi satu sama lain dalam suatu kerangka dijelaskan melalui gambar berikut: Gambar 3: Interaksi Antar Variabel Pembelajaran
270
ISSN 1411- 3341
III.
PENUTUP
A. Kesimpulan Telaah tentang Kebijakan UN yang diberlakukan dalam tingkat pendidikan dasar dan menengah di Indonesia mengandung beberapa kelemahan, antara lain: (1) Kebijakan UN yang dilaksanakan berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 19 tahun 2005 Pasal 67 Ayat (1) oleh Badan Standar Nasional Pendidikan (BSNP), secara substantif bertentangan dengan semangat UUSPN No.20 Tahun 2003, terutama dalam Pasal 35 Ayat (1); Pasal 36 Ayat (2); dan Pasal 58 Ayat (1). Sehingga atas alasan apapun (termasuk alasan “pemetaan” yang dikedepankan setelah pemerintah gagal memenangkan dalam pengadilan undang-undang), UN tidak sepantasnya dipertahankan. (2) Pengimplementasian UN ditengarai mengandung kecurangan melalui skenario “tim sukses” yang memutar-balikkan fakta tentang eksistensi kualitas sekolah tertentu. Demikian pula halnya dengan pemborosan anggaran negara, bukan tidak mungkin jika terjadi pula penyelewengan keuangan dalam pelaksanaannya. (3) Secara profesional, Kebijakan UN telah merampok hak-hak profesional guru untuk menilai kemampuan akademik pebelajar. (2) Dari perspektif Psikologi Pendidikan dan penilaian atas kemampuan pebelajar secara berkeadilan, Kebijakan UN tidak berdampak memfasilitasi tumbuh-kembang kemampuan dan kecerdasan pebelajar secara wajar. Demikian juga tidak menempatkan pebelajar dalam porsi yang adil berdasarkan kronologi prestasi akademik yang sesungguhnya. B. Saran Meskipun model penilaian yang diterapkan sebelum model UN belum sempurna sebagai mana yang diharapkan, naum Kebijakan UN tampaknya mengandung kemudharatan yang jauh lebih besar dari pada kemanfaatannya. Oleh sebab itu, akan lebih bijaksana jika penilaian kelulusan dilakukan sepenuhnya oleh guru sambil mengupayakan perbaikan-perbaikan berdasarkan prinsip-prinsip pedagogik yang mendidik.
271
ISSN 1411- 3341
DAFTAR PUSTAKA Aiken, L.R., (1985). Psychological Testing and Assessment. Boston: Allyn & Bacon Inc. Anastasi, A., (1988). Psychological Testing. New York: Macmillan Publishing Company. Anastasi, A. & Urbina, S., (1997). Psychological Testing. New Jersey: Prentice-Hall, Inc. Anonim, (2005). Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 2005 Tentang Standar Nasional Pendidikan dilengkapi dengan UU Nomor 20 Tahun 2003 dan Permen Diknas Nomor 11 Tahun 2005. Bandung: Fokus Media. ----------, (2002). Kurikulum Berbasis Kompetensi, Jakarta: Pusat Pengembangan Kurikulum Balitbang, Departemen Pendidikan Nasional. Ardhana, W. (1983). Kesanggupan Bepikir Formal Ala Piaget dan Belajar di Sekolah, Disertasi, FPS-IKIP Malang, Malang: tidak diterbitkan. Bennet, G.K., dkk. (1982). Differential Aptitude Tests: Administrator’s Handbook. New York: The Psychological Corp. Degeng, I.S., (1997). Strategi Pembelajaran: Mengorganisasikan Isi dengan Model Elaborasi. Malang: LP3 Universitas Negeri Malang. Gaffar, Fakry, (2004). “Manajemen Pengendalian Mutu Pendidikan Lewat UAN Justru Hamburkan Anggaran” dalam: Harian Kompas, Selasa 13/04/2004. Gronlund, N.E., (1998) dalam: Tola, B., (2003). Penilaian Berbasis Kompetensi (CBA/PBK). Jakarta: Pusat Penilaian Pendidikan, Balitbang Departemen Pendidikan Nasional. Keller, J., (1983). Instructional Design Theorities and Modelss: An Overvieu of Their Current Status, Charles M. Rgeluth (ed.). London: Lawrence Erlbaum Associates, Publishers. Kusharto, (1985). Kreativitas, Inteligensi, dan Hasil Belajar, Tesis FPS-IKIP Malang. Malang: tidak diterbitkan. Nitko, A.J., (1996) dalam: Tola, B., (2003). Penilaian Berbasis Kompetensi (CBA/PBK). Jakarta: Pusat Penilaian Pendidikan, Balitbang Departemen Pendidikan Nasional. Nugroho, A., (2005). “Siswa Korban Instanisme” dalam: Harian Jawa Pos, Sabtu 18/05/2005. Pali, M. (1993). Tes Matriks Progresif dan Tes Bakat: Studi Validitas Prediktif dengan Kriteria Prestasi Belajar Siswa SMA dan Validitas Sintetik pada Tiga Jenis Pekerjaan, Disertasi, PPS-Universitas Indonesia, Jakarta: tidak diterbitkan. Raka Joni, T., (1993). “Pendekatan Cara Belajar Siswa Aktif”, dalam: Semiawan, C.R & T. Raka Joni (Editor). Pendekatan Pembelajaran: Acuan Konseptual Pengelolaan Kegiatan Belajar-Mengajar di Sekolah, Jakarta: Konsorsium Ilmu Pendidikan Direktorat Jenderal pendidikan Tinggi Departemen Pendidikan dan Kbudayaan. --------------, (2006). “Tes, Pengukuran dan Asesmen dalam Pendidikan”. Materi Sertifikasi Tes Bagi Konselor Pendidikan Angkatan IX. Kerjasama UM-ABKIN-Ditjen ManDikDasMen. Malang: tidak diterbitkan. Raka Joni, T. & Lusiana D.Djunaidi, (2005). Pembelajaran yang Mendidik: Artikulasi Konseptual, Terapan Kontekstual, dan Verifikasi Empirik, Naskah Seminar Paradigma Pembelajaran yang Mendidik, Malang: PPS Universitas Negeri Malang. Santoso, S., (2002). SPSS Versi 10. Mengolah Data Statistik Secara Profesional. Cetakan ke2. Jakarta: PT. Gramedia. Scheerens, J., (2003). Improving School Effectiveness (Terjemahan Oleh Abas Al-Jauhari). Ciputat: Logos Wacana Ilmu. Semiawan, C., (1984). Memupuk Bakat dan Kreativitas Siswa Sekolah Menengah. Jakarta: PT. Gramedia. Stiggis, R.J., (1994). Student-Centered Classroom Assessment. New York: Macmillan College Publishing. Suprapto, (2004). “UAN Tak Diperlukan Lagi”, dalam: Harian Kompas, Senin 19/04/2004. Tayibnapis, Farida Yusuf. (2000). Evaluasi Program. Jakarta: Rineka Cipta.
272