TEKNIK SPEKTROSKOPI INFRAMERAH TRANSFORMASI FOURIER UNTUK PENENTUAN PROFIL KADAR XANTORIZOL DAN AKTIVITAS ANTIOKSIDAN TEMULAWAK
WINDA WIDIASTUTY
DEPARTEMEN KIMIA FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2006
ABSTRAK WINDA WIDIASTUTY. Teknik Spektroskopi Inframerah Transformasi Fourier untuk Penentuan Profil Kadar Xantorizol dan Aktivitas Antioksidan Temulawak. Dibimbing oleh LATIFAH K. DARUSMAN dan RUDI HERYANTO. Teknik spektroskopi inframerah yang digabungkan dengan kemometrik diperkirakan dapat menggantikan metode analisis umum yang membutuhkan waktu lama dalam tahapan analisisnya, menggunakan banyak pereaksi, dan biayanya cukup mahal. Rimpang temulawak (Curcuma xanthorrhiza Roxb.) hasil teknik budi daya Pusat Studi Biofarmaka, Balai Penelitian Tanaman Rempah dan Obat, dan lokal dianalisis dengan spektroskopi inframerah transformasi fourier, kadar xantorizolnya dianalisis dengan kromatografi cair kinerja tinggi dan aktivitas antioksidannya diukur dengan metode 1,1difenil-2-pikrilhidrazil. Metode kemometrik yang digunakan ialah analisis komponen utama (PCA) dan kuadrat terkecil parsial (PLS). PCA bertujuan mengelompokkan contoh berdasarkan teknik budi dayanya sedangkan PLS bertujuan menghubungkan spektrum dengan kadar xantorizol maupun aktivitas antioksidannya. Data absorbans spektrum inframerah dibagi menjadi 8 set, yaitu data utuh dengan data yang disegmentasi dengan dan tanpa perlakuan pendahuluan (normalisasi, koreksi garis dasar, derivatisasi, dan smoothing). Kadar xantorizol rimpang temulawak PSB, Balitro, dan lokal berturut-turut 1.78, 1.86, dan 1.90% dengan konsentrasi penghambatan 50% aktivitas radikal bebas berturut-turut 101.66, 103.25, dan 106.58 mg/L. Komposisi total rimpang bersifat homogen sehingga contoh tidak mengelompok berdasarkan teknik budi dayanya. Model yang melibatkan spektrum utuh ialah model terbaik untuk penentuan profil kadar xantorizol (nilai korelasi validasi 0.603401 dan akar dari kuadrat rataan kesalahan prediksi 0.115692) sedangkan untuk prediksi aktivitas antioksidan menghasilkan model yang kurang baik.
ABSTRACT WINDA WIDIASTUTY. Fourier Transform Infrared Spectroscopy Technique for Profiling of Curcuma xanthorrhiza Roxb Xanthorrhizol Content and Antioxidant Activity. Supervised by LATIFAH K. DARUSMAN and RUDI HERYANTO. Infrared (IR) spectroscopy technique combined with chemometric method is predicted to replace common analysis method which involves several steps, a lot of time and reagents, plus high cost. Temulawak (Curcuma xanthorrhiza Roxb.) rhizome from cultivation technique of Pusat Studi Biofarmaka, Balai Penelitian Tanaman Rempah dan Obat (Balitro), and local were analyzed with fourier transform IR, xanthorrhizol content and antioxidant activity were analyzed with high performance liquid chromatography and 1,1-diphenyl-2-picryl hydrazyl method, correspondingly. Chemometric methods used were principal component analysis (PCA) and partial least square (PLS). PCA was used to group the sample based on its cultivation technique whereas PLS was used to relate spectrum with the xanthorrhizol concentration and antioxidant activity. Absorbance data from IR spectrum was divided into 8 sets: primary data with segmented data on particular wave number with and without preliminary treatment (normalization, baseline correction, derivatization, and smoothing). The average xanthorrizhol content of temulawak from PSB, Balitro, and local sample were 1.78, 1.86, and 1.90% with IC50 of 101.66, 103.25, and 106.58 mg/L, respectively. Total composition of rhizome was homogenous, thus sample did not assemble based on its cultivation technique. The model involving primary data was the best model for profiling of xanthorrhizol content (validation correlation value was 0.603401 and the root mean square error prediction was 0.115692) whereas antioxidant activity prediction did not provide a sufficiently good model.
TEKNIK SPEKTROSKOPI INFRAMERAH TRANSFORMASI FOURIER UNTUK PENENTUAN PROFIL KADAR XANTORIZOL DAN AKTIVITAS ANTIOKSIDAN TEMULAWAK (Curcuma xanthorrhiza Roxb.)
WINDA WIDIASTUTY
Skripsi Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Sains pada Departemen Kimia
DEPARTEMEN KIMIA FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2006
Judul : Teknik Inframerah Transformasi Fourier untuk Penentuan Profil Kadar Xantorizol dan Aktivitas Antioksidan Temulawak (Curcuma xanthorrhiza Roxb.) Nama : Winda Widiastuty NIM : G44202002
Menyetujui: Pembimbing I,
Pembimbing II,
Prof. Dr. Ir. Latifah K. Darusman, M.S. NIP 130536681
Rudi Heryanto, S.Si, M.Si NIP 132311929
Mengetahui: Dekan Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Institut Pertanian Bogor
Dr.Ir. Yonny Koesmaryono, M.S. NIP 131473999
Tanggal lulus :
PRAKATA Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas segala karunia dan hidayah-Nya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Penelitian ini dilaksanakan mulai bulan Februari sampai dengan Mei 2006 di Laboratorium Pusat Studi Biofarmaka dan Laboratorium Kimia Analitik Departemen Kimia Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, IPB. Selama melaksanakan kegiatan penelitian dan menyusun karya ilmiah, penulis banyak mendapatkan bimbingan dan bantuan dari berbagai pihak. Oleh karena itu penulis mengucapkan terima kasih kepada Ibu Prof. Dr. Ir. Latifah K Darusman M.S, Bapak Rudi Heryanto S.Si, M.Si, Bapak Rafi S.Si atas saran, bimbingan, dan ilmu baru yang telah diberikan kepada penulis. Ucapan terimakasih penulis sampaikan kepada Ibu Nunuk, Kak Atep, Kak Zaim, dan Mba Ina atas ilmu dan pengalaman kerja di laboratorium yang sangat berguna untuk memperlancar penelitian ini. Penulis juga mengucapkan terima kasih atas dana kerjasama dari Pusat Studi Biofarmaka Institut Pertanian Bogor. Ucapan terimakasih penulis sampaikan juga kepada seluruh staf di Laboratorium kimia analitik yaitu Bapak Eman dan Ibu Nunung yang telah membantu penulis selama penelitian ini. Ucapan terima kasih penulis juga sampaikan kepada Mba Indah, Mba Anis, Uun, Intan, Mira, Henny, Titis, Indah, Septi, Lussy, Nana serta semua teman Kimia 39 atas perhatian dan dukungannya. Tak lupa penulis menyampaikan ucapan terima kasih yang tak terhingga kepada kedua orang tua penulis dan Mas Adik yang senantiasa memberikan semangat, mendukung, dan mendoakan penulis. Semoga karya ilmiah ini bermanfaat dalam bidang ilmu pengetahuan. Bogor, Juni 2006 Winda Widiastuty
RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan di Sumedang pada tanggal 14 Agustus 1984 dari ayah D. Sutaraharja dan ibu Apong. Penulis merupakan putri kedua dari dua bersaudara. Tahun 2002 penulis lulus dari SMU Negeri I Sumedang dan pada tahun yang sama lulus seleksi masuk IPB melalui jalur Undangan Seleksi Masuk IPB. Penulis memilih Program Studi Kimia, Departemen Kimia, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam. Selama mengikuti perkuliahan, penulis pernah menjadi asisten dosen Kimia Dasar I Fakultas Kehutanan pada semester pendek (matrikulasi) tahun ajaran 2005/2006 dan asisten praktikum Kimia Analitik I tahun ajaran 2005/2006. Penulis juga pernah mengikuti Praktik Kerja Lapang di Laboratorium Tanah dan Tanaman, SEAMEOBIOTROP, Bogor selama periode bulan Juni sampai dengan Agustus 2005.
DAFTAR ISI Halaman DAFTAR TABEL............................................................................................................ viii DAFTAR GAMBAR ....................................................................................................... viii DAFTAR LAMPIRAN.................................................................................................... ix PENDAHULUAN ........................................................................................................... 1 TINJAUAN PUSTAKA Temulawak............................................................................................................. Biosintesis Minyak Atsiri....................................................................................... Xantorizol dan Aktivitas Antioksidannya .............................................................. Kromatografi Cair Kinerja Tinggi.......................................................................... Spektroskopi Inframerah (IR) ................................................................................ Spektroskopi Inframerah Transformasi Fourier (FTIR) dan Aplikasinya.............. Analisis Komponen Utama (PCA)......................................................................... Kuadrat Terkecil Parsial (PLS) ..............................................................................
1 3 3 4 4 4 5 5
BAHAN DAN METODE Bahan dan Alat ...................................................................................................... 6 Metode ................................................................................................................... 6 HASIL DAN PEMBAHASAN Kadar Xantorizol Rimpang Temulawak ................................................................ Aktivitas Antioksidan Temulawak ........................................................................ Spektrum Inframerah Temulawak ......................................................................... Pengelompokan Temulawak dengan PCA ............................................................ Pembentukan Model Prediksi dengan PLS............................................................
8 9 10 11 13
SIMPULAN DAN SARAN Simpulan................................................................................................................ 15 Saran ...................................................................................................................... 15 DAFTAR PUSTAKA ...................................................................................................... 15 LAMPIRAN..................................................................................................................... 18
DAFTAR TABEL Halaman 1
Komposisi rimpang temulawak ................................................................................. 2
2
Komponen minyak atsiri temulawak......................................................................... 2
3
Segmentasi spektrum FTIR ....................................................................................... 7
4
Penamaan set data ..................................................................................................... 8
5
Kadar xantorizol rimpang temulawak....................................................................... 8
6
Aktivitas antioksidan rimpang temulawak................................................................ 9
7
Parameter kebaikan model prediksi xantorizol dengan metode PLS........................ 13
8
Parameter kebaikan model prediksi aktivitas antioksidan dengan metode PLS............................................................................................................... 14
DAFTAR GAMBAR Halaman 1
Rimpang temulawak ................................................................................................. 1
2
Struktur IPP (a) dan DMAPP (b).............................................................................. 3
3
Pembentukan monoterpena dan seskuiterpena (Heldt 1997).................................... 3
4
Rumus struktur xantorizol ........................................................................................ 3
5
Komponen utama dari peubah X1, X2, dan X3 ........................................................... 5
6
Prinsip PLS (Lohninger 2004).................................................................................. 6
7
Rumus struktur BHT................................................................................................. 7
8
Kromatogram standar xantorizol (a) dan contoh PSB (b) ........................................ 8
9
Rumus struktur DPPH .............................................................................................. 9
10 Spektrum inframerah 27 contoh temulawak tanpa perlakuan pendahuluan (a) dan dengan perlakuan pendahuluan (b) .................................................................... 10 11 Score plot dua PC pertama spektrum tanpa perlakuan pendahuluan spektrum utuh dengan pencilan (a), spektrum utuh (b), segmentasi I (c), segmentasi II (d), dan segmentasi III (e)................................................................................................ 11 12 Score plot dua PC pertama spektrum dengan perlakuan pendahuluan spektrum utuh dengan pencilan (a), segmentasi I (b), segmentasi II (c), dan segmentasi III (d) ............................................................................................... 12 13 Scatter plot dua dimensi antara nilai Y dugaan dengan nilai Y referensi kadar xantorizol model 1............................................................................ 14 14 Scatter plot dua dimensi antara nilai Y dugaan dengan nilai Y referensi aktivitas antioksidan model 1...................................................................... 14
DAFTAR LAMPIRAN Halaman 1
Bagan alir percobaan ................................................................................................ 19
2
Pengolahan data dalam analisis kemometrik dengan menggunakan program Unscrambler 9.5 ......................................................................................... 20
3
Pengukuran kadar xantorizol rimpang temulawak ................................................... 26
4
Uji statistik ANOVA kadar xantorizol rimpang temulawak..................................... 27
5
Pengukuran aktivitas antioksidan ekstrak kasar rimpang temulawak lokal.............. 28
6
Pengukuran aktivitas antioksidan ekstrak kasar rimpang temulawak PSB............... 28
7
Pengukuran aktivitas antioksidan ekstrak kasar rimpang temulawak Balitro.......... . 28
8
Uji statistik ANOVA aktivitas antioksidan ekstrak kasar rimpang temulawak........ 28
9
Spektrum inframerah xantorizol ............................................................................... 29
10 Segmentasi I spektrum FTIR tanpa perlakuan pendahuluan .................................... 29 11 Segmentasi I spektrum FTIR dengan perlakuan pendahuluan.................................. 29 12 Segmentasi II spektrum FTIR tanpa perlakuan pendahuluan ................................... 30 13 Segmentasi II spektrum FTIR dengan perlakuan pendahuluan ................................ 30 14 Segmentasi III spektrum FTIR tanpa perlakuan pendahuluan.................................. 30 15 Segmentasi III spektrum FTIR dengan perlakuan pendahuluan............................... 31 16 Scatter plot dari spektrum tanpa perlakuan pendahuluan untuk xantorizol: a. Spektrum utuh, b. Segmentasi I, c. Segmentasi II, dan d. Segmentai III .............. 32 17 Scatter plot dari spektrum dengan perlakuan pendahuluan untuk xantorizol: a. Spektrum utuh, b. Segmentasi I, c. Segmentasi II, dan d. Segmentai III .............. 32 18 Scatter plot dari spektrum tanpa perlakuan pendahuluan untuk aktivitas antioksidan: a. Spektrum utuh, b. Segmentasi I, c. Segmentasi II, dan d. Segmentai III ........................................................................................................ 33 19 Scatter plot dari spektrum dengan perlakuan pendahuluan untuk aktivitas antioksidan: a. Spektrum utuh, b. Segmentasi I, c. Segmentasi II, dan d. Segmentai III ........................................................................................................ 33
PENDAHULUAN Metabolisme tumbuhan merupakan serangkaian proses yang dapat menghasilkan berbagai komponen kimia yang dapat dimanfaatkan untuk pangan, papan, maupun obat-obatan. Temulawak (Curcuma xanthorrhiza Roxb.) merupakan salah satu tanaman berkhasiat obat yang aktivitasnya ditentukan oleh komponen kimia yang terkandung di dalamnya. Aktivitas antibakteri, antioksidan, dan antiperadangan (Lim et al. 2005) rimpang temulawak disebabkan oleh adanya senyawa aktif xantorizol. Kandungan xantorizol pada rimpang temulawak dapat diukur dengan menggunakan kromatografi gas (GC), spektrofotometri ultraviolet (UV) maupun kromatografi cair kinerja tinggi (HPLC). Liang et al. (1985) berhasil mendeteksi xantorizol sebagai komponen khas penyusun minyak atsiri temulawak dengan menggunakan GC. Sirait (1985) melaporkan kandungan xantorizol terbesar, yaitu 78,4%, yang ditentukan dengan spektrofotometri UV pada panjang gelombang 276 nm. Metode-metode analisis tersebut harus melalui serangkaian tahapan yang membutuhkan waktu lama, menggunakan banyak pereaksi, dan dengan biaya yang cukup mahal. Hal inilah yang mendasari penggunaan spektroskopi untuk penentuan kualitatif maupun kuantitatif senyawa kimia dalam suatu contoh dengan bantuan kemometrik. Spektroskopi inframerah dekat (NIR) yang diinterpretasikan dengan metode pemodelan seperti analisis komponen utama (PCA) dan kuadrat terkecil parsial (PLS) semakin luas digunakan untuk menganalisis komponen kimia dalam suatu contoh. Spektrum NIR yang dipadukan dengan PCA dan PLS dapat mengelompokkan tanaman obat berdasarkan asal geografinya karena memberikan spektum yang khas untuk setiap kelompoknya (Woo et al. 1999). Hall & Pollard (1992) menggunakan NIR dan PLS untuk mengkuantifikasi urea, trigliserida, protein total, dan albumin. Seperti halnya NIR, spektroskopi inframerah transformasi fourier (FTIR) memiliki potensi untuk analisis kualitatif maupun kuantitatif senyawa kimia. FTIR menggunakan sifat vibrasi dalam molekul untuk menghasilkan sidik jari yang fiturfiturnya didefinisikan dari gugus fungsi yang ada dalam contoh. Kekhasan spektrum FTIR membuatnya dapat dipakai untuk mengklasifikasikan contoh berdasarkan asal
atau aktivitasnya. Namun, spektrum FTIR merupakan suatu set data multivariat yang besar, dan agar berguna sebagai pola sidik jari atau untuk kuantifikasi metabolit diperlukan serangkaian teknik kemometrik yang dapat mengubah spektrum FTIR menjadi informasi yang diinginkan. Chew et al. (2004) telah menggunakan spektroskopi FTIR yang digabungkan dengan metode kemometrik yang tepat untuk mengklasifikasikan teh jawa berdasarkan asal geografi dan varietasnya. Teknik ini juga digunakan untuk membentuk model penduga bioaktivitas berbagai ekstrak jati belanda (inhibisi ekstrak terhadap aktivitas enzim lipase) dan model kalibrasi penentuan gingerol dari serbuk dan ekstrak jahe (Darusman et al. 2005). Penelitian ini bertujuan menganalisis rimpang temulawak hasil uji coba dengan beberapa teknik budi daya. Digunakan teknik spektroskopi FTIR, dan spektrum IR yang dihasilkan dicirikan untuk menentukan profil kadar xantorizol dan aktivitas antioksidan rimpang temulawak.
TINJAUAN PUSTAKA Temulawak Temulawak (Curcuma xanthorrhiza Roxb.) merupakan tanaman obat yang berupa tumbuhan rumpun berbatang semu dengan tinggi hingga lebih dari 1 m tetapi kurang dari 2 m, berwarna hijau atau cokelat gelap. Akar rimpang terbentuk dengan sempurna dan bercabang kuat, berwarna hijau gelap. Tiap batang mempunyai daun 2–9 helai dengan bentuk bundar memanjang sampai bangun lanset, warna daun hijau atau cokelat keunguan terang sampai gelap. Rimpang temulawak ditunjukkan pada Gambar 1.
Gambar 1 Rimpang temulawak. Di Jawa Barat, temulawak disebut sebagai koneng gede sedangkan di Madura disebut sebagai temulobak. Temulawak berasal dari kawasan Indo-Malaysia yang menyebar ke seluruh dunia. Tanaman ini selain dapat ditemukan di Asia Tenggara, dapat juga ditemukan di Cina, Bardabos, India, Jepang,
2
Korea, Amerika Serikat, dan beberapa negara Eropa . Curcuma berasal dari kata Arab kurkum yang berarti kuning, sedangkan xanthorrhiza berasal dari kata Yunani xantos yang berarti kuning dan rhiza yang berarti akar. Dalam bahasa Indonesia disebut temulawak yang berarti akar kuning. Dalam klasifikasi botani, temulawak termasuk dalam dunia plantae, divisi spermatophyta, subdivisi angiospermae, kelas monocotyledonae, keluarga zingiberaceae, genus Curcuma, spesies Curcuma xanthorrhiza Roxb. Rimpang temulawak mengandung zat kuning kurkumin, minyak atsiri, pati, protein, lemak, selulosa, dan mineral (Ketaren 1998). Kadar setiap komponen tersebut bergantung pada umur panen. Suwiah (1991) menguraikan komposisi rimpang kering
temulawak dengan kadar air 10% yang ditunjukkan pada Tabel 1. Tabel 1 Komposisi rimpang temulawak Komponen Besaran (%) Pati 27.62 Lemak 5.38 Kurkumin 1.93 Serat kasar 6.89 Abu 3.96 Protein 6.44 Mineral (N, P, K, Na) Minyak atsiri 10.96 Komponen minyak temulawak sumber menurut Liang et al. (1985), Maiwald & Schawantes (1991) dalam Anang (1992), serta Dickes & Nicholas (1976) dapat dilihat pada Tabel 2. Di Indonesia, bagian yang dimanfaatkan
Tabel 2 Komponen minyak atsiri temulawak I II trisiklin β-kurkumin α-pinena α-kurkumin kamfena 1-sikloisoprenmirsena β-pinena zingiberena sabrinena xantorizol mirsena turunan lisabolen felandren epolisid-bisakuron limonena bisakuron A 1,8-sineol bisakuron B δ-terpinena bisakuron C β- simen Turmeron terpionlena α-turmeron δ-elemena α-atlanton kamfor germakron α-bergamolena sineol β-elemena d-borneol kariofilena d-α-feladrena allo-aromadendrena d-kampan trans-β-farnesena berneol gerwakrena D zingiberena β-bisabolen β-kurkumin β-kadinena β-seskuifelandrena ar-kurkumena isofuranogermasen turmerone turmerol ar-turmeron Xantorizol Sumber: I = Liang et al. (1985) II = Maiwald & Schawantes (1991) dalam Anang (1992) III = Dicnes & Nicholas (1976)
III α-lumulena kamfana zerumbon α-kurkumin lumulena epolesi kamfor α-pinena borneol dan α-terpineol eukaliptol β-cariofilena limonena linaloal 3-karena lumulena diksida β-pinena
3
adalah rimpang temulawak untuk dibuat jamu godog. Manfaat lain rimpang tanaman ini adalah sebagai obat jerawat, penambahan nafsu makan, anti kolesterol, antiperadangan, antianemia, antioksidan, pencegah kanker, dan antimikrob.
DMAPP. IPP dan DMAPP bertindak sebagai penanggung jawab terbentuknya monoterpena dan seskuiterpena melalui siklikasi geranil pirofosfat dan farnesil pirofosfat (Gambar 3). Xantorizol dan Aktivitas Antioksidannya Xantorizol adalah komponen khas minyak atsiri dari rimpang temulawak yang termasuk ke dalam kelompok terpena teroksigenasi. Xantorizol memiliki rumus molekul C15H22O dengan bobot molekul sebesar 218.335 g/mol. Nama IUPAC-nya 5-(1,5-dimetilheks-4-enil)2-metilfenol.8 Rumus struktur xantorizol dapat dilihat pada Gambar 4.
Biosintesis Minyak Atsiri Secara umum, komponen minyak atsiri dalam rimpang temulawak terdiri atas golongan monoterpen dan seskuiterpen. Oleh karena itu, biosintesis minyak atsiri berpola pada biosintesis kedua golongan terebut yang berawal dari gugusan isoprena (C5H8) sebagai satuan dasar pembentukannya. Prazat C5H8 yang dikenal sebagai satuan C5 ini diaktifkan dalam bentuk senyawa antara isopentenil pirofosfat (IPP) dan dimetilalil pirofosfat (DMAPP) (Gambar 2).
CH3 OH
CH3
H3C
Gambar 4 Rumus struktur xantorizol.
CH2OPP
CH 2 O PP
CH3
a b Gambar 2 Struktur IPP (a) dan DMAPP (b).
Sirait et al. (1985) telah meneliti kandungan xantorizol dalam minyak atsiri rimpang temulawak yang umurnya bervariasi antara 8 dan 15 bulan. Hasil penelitiannya menunjukkan bahwa kandungan xantorizol tertinggi diperoleh pada minyak atsiri rimpang temulawak yang berumur 12 bulan. Xantorizol memilki banyak kegunaan, salah satunya ialah dalam bidang farmasi.
Menurut Heldt (1997), pembentukan IPP dan DMAPP berlangsung melalui asam mevalonat, sementara asam mevalonat merupakan produk reaksi asam amino leusin dengan β-hidroksi-β-metilglutaril-KoA. Asam mevalonat mengalami fosforilasi oleh pirofosfat dalam 3 tahap, membentuk IPP dan H
CH2 O
P P
CH2 O
P P
T e rp e n a
CH2 O
P
P
G e ra n il p iro fo s fa t
CH2 O
F a rn e s il p iro fo s f a t
Gambar 3 Pembentukan monoterpena dan seskuiterpena (Heldt 1997).
P
S e s k u ite r p e n a P
4
Senyawa ini memiliki aktivitas antikanker. Selain itu, xantorizol juga dapat digunakan sebagai antioksidan, obat antiseptik, atau antibiotik pada pengobatan gigi dengan cara mematikan Streptococcus mutans yang merupakan salah satu bakteri penyebab sakit gigi (Hwang 2004). Xantorizol dapat menghentikan atau menghambat kerusakan oksidatif akibat radikal bebas terhadap suatu molekul target dengan mekanisme penyumbangan atom hidrogen. Jitoe et al. (1992) mengukur efek antioksidan temu-temuan dengan metode tiosianat dan asam tiobarbiturat (TBA) dalam sistem air-alkohol. Hasil penelitiannya menunjukkan bahwa aktivitas antioksidan ekstrak temulawak. Selanjutnya, Masuda et al. (1992) juga berhasil meneliti potensi antioksidan pada rimpang temulawak. Kromatografi Cair Kinerja Tinggi Kromatografi merupakan metode pemisahan campuran menjadi komponenkomponennya di antara fase gerak dan fase diam (Hendayana et al. 1994). Kromatografi cair kinerja tinggi (HPLC) merupakan salah satu jenis kromatografi cair, artinya menggunakan zat cair sebagai fase gerak. Metode ini digunakan untuk memisahkan senyawa yang tidak mudah menguap dan senyawa yang mudah terurai oleh panas. Pemisahan dengan kromatografi didasarkan pada perbedaan kesetimbangan komponenkomponen campuran di antara fase gerak dan fase diam. Sistem pemisahan yang menggunakan fase diam polar dan fase gerak non polar disebut sistem fase normal, sedangkan apabila sebaliknya disebut sistem fase terbalik. Terdapat dua jenis pengisi kolom, yaitu pengisi yang bersifat polar seperti silika gel dan non polar seperti C18 (noktildesil). Sistem elusi yang bisa digunakan ada dua macam, yaitu elusi isokratik dan elusi gradien. Pemisahan yang menggunakan pelarut tunggal dengan komposisi tetap disebut elusi isokratik, sedangkan sistem yang menggunakan dua atau tiga sistem pelarut yang divariasikan perbandingannya disebut elusi gradien. Alat yang digunakan untuk mendeteksi komponen-komponen yang keluar dari kolom disebut detektor. Detektor UV termasuk solute property detectors yang merespons sifat tertentu dari zat terlarut (Skoog et al 1998). Keuntungan menggunakan HPLC adalah jumlah contoh yang digunakan untuk analsis cukup sedikit
(beberapa mikroliter), waktu retensi hanya beberapa menit, dan batas deteksinya sampai nanogram per liter (Hendayana et al. 1994). Spektroskopi Inframerah (IR) Metode spektrofotometrik mengukur jumlah radiasi elektromagnetik yang diserap oleh larutan contoh. Jumlah serapan ini berkaitan dengan konsentrasi analit dalam larutan. Terdapat tiga proses dasar penyerapan radiasi oleh molekul yang semuanya melibatkan kenaikan molekul ke tingkat energi yang lebih tinggi, yaitu rotasi, vibrasi, dan transisi elektronik (Christian 1986). Radiasi IR tidak memiliki cukup energi untuk menyebabkan transisi elektronik. Bila radiasi IR dilewatkan melalui suatu cuplikan, maka molekul akan menyerap energi sehingga terjadi vibrasi (Hendayana et al. 1994). Panjang gelombang serapan oleh suatu ikatan bergantung pada jenis getaran ikatan antaratom. Oleh karena itu, tipe ikatan yang berlainan akan menyerap radiasi IR pada panjang gelombang yang berbeda (Fessenden & Fessenden 1986). Vibrasi yang terjadi meliputi vibrasi ulur dan tekuk dan dikenal beberapa istilah, yaitu rocking, twisting, scissoring, dan waging (Hollas 2004). Daerah radiasi spektroskopi IR berkisar pada bilangan gelombang 12800-10 cm-1. Daerah 1400-4000 cm-1 merupakan daerah yang khusus untuk identifikasi gugus-gugus fungsional sedangkan daerah 1400-700 cm-1 merupakan daerah sidik jari (fingerprint region). Pada daerah sidik jari, sedikit saja perbedaan struktur dan susunan molekul akan menyebabkan perubahan distribusi puncak serapan. Spektrum IR diperoleh dengan mengukur intensitas radiasi cahaya sebelum (I0) dan sesudah (I) melewati contoh. Spektrum IR ditampilkan dengan mengalurkan transmitan (T=I/I0) sebagai fungsi dari bilangan gelombang. Nilai transmitans dapat diganti dengan nilai serapan, yaitu sinar yang diserap oleh contoh. Serapan pada panjang gelombang tertentu dapat menghasilkan nilai konsentrasi contoh berdasarkan hukum Beer. Spektroskopi Inframerah Transformasi Fourier (FTIR) dan Aplikasinya Daerah radiasi IR terbagi dalam daerah IR dekat (12800 sampai 4000 cm-1), IR pertengahan (4000 sampai 200 cm-1 ), dan IR jauh (200 sampai 10 cm-1) (Nur & Adijuwana 1989). FTIR adalah teknik analisis IR yang seringkali menggunakan daerah IR
5
pertengahan. FTIR memiliki beberapa keuntungan di antaranya non-destruktif, dapat menganalisis multikomponen secara cepat, tidak perlu penyiapan contoh, dan gangguan dapat diminimumkan selama penentuan suatu senyawa. Monokromator pada spektrometer dispersif klasik mempunyai celah yang kecil untuk jalan keluar dan masuknya sinar sehingga membatasi panjang gelombang radiasi mencapai detektor. Inilah salah satu kelemahan dari spektrometer dispersif klasik. Berbeda dengan spektrometer klasik, FTIR tidak mengukur panjang gelombang satu demi satu, melainkan dapat mengukur intensitas transmitans pada berbagai panjang gelombang secara serempak (Skoog et al. 1998). Pada FTIR, monokromator digantikan dengan interferometer. Interferometer ini mengatur intensitas sumber sinar inframerah dengan mengubah dari posisi cermin pemantul yang memantulkan sinar dari sumber sinar ke contoh. Jadi, keberadaan interferometer membuat spektrometer mampu mengukur semua frekuensi optik secara serempak dengan mengatur intensitas dari semua frekuensi tunggal sebelum sinyal mencapai detektor. Hasil scanning interferometer yang berupa interferogram (pengaluran antara intensitas dan posisi cermin) ini tidak dapat diinterpretasikan dalam bentuk aslinya. Proses matematika transformasi fourier akan mengubah interferogram menjadi spektrum antara intensitas dan frekuensi (George & McIntyre 1987). Tempat contoh terbuat dari materi seperti KBr dan NaCl yang tidak menyerap radiasi inframerah (Harvey 2000). Chew et al. (2004) menggunakan spektroskopi FTIR yang digabungkan dengan metode kemometrik yang tepat untuk mengklasifikasikan teh jawa berdasarkan asal geografi dan varietasnya. Teknik spektroskopi FTIR juga digunakan untuk membentuk model penduga bioaktivitas berbagai ekstrak jati belanda (inhibisi ekstrak terhadap aktivitas enzim lipase) dan model kalibrasi penentuan gingerol dari serbuk dan ekstrak jahe (Darusman et al. 2005). Analisis Komponen Utama (PCA) PCA merupakan suatu teknik untuk mengurangi jumlah peubah dalam suatu matrik data. Prinsip PCA adalah mencari komponen utama yang merupakan kombinasi linear dari peubah asli. Komponen-komponen utama ini dipilih sedemikian rupa sehingga komponen utama pertama memiliki variasi
terbesar dalam set data, sedangkan komponen utama kedua tegak lurus terhadap komponen utama pertama dan memiliki variasi terbesar berikutnya (Miller & Miller 1984). Kedua komponen utama pertama ini pada umumnya digunakan sebagai bidang proyeksi untuk pemeriksaan visual data multivariat. Jika jumlah varians dari komponen utama satu (PC1) dan dua (PC2) lebih besar dari 70%, maka score plot memperlihatkan visualisasi dua dimensi yang baik (Varmuza 2000). Gambar 5 menunjukkan komponen utama dari peubah X1, X2, dan X3.
Gambar 5 Komponen utama dari peubah X1, X2, dan X3. Kuadrat Terkecil Parsial (PLS) Kuadrat terkecil parsial digunakan untuk memperkirakan serangkaian peubah tidak bebas (respons) dari peubah bebas (prediktor) yang jumlahnya sangat banyak, memiliki struktur sistematik linear atau nonlinear, dengan atau tanpa data yang hilang, dan memiliki kolinearitas yang tinggi (Hervé 2003). Metode ini membentuk model dari peubah-peubah yang ada untuk membentuk serangkaian respons dengan menggunakan regresi kuadrat terkecil dalam bentuk matriks (Lindblom 2004). Bila jumlah prediktor X jauh lebih besar dibandingkan dengan jumlah pengamatan Y, pendekatan regresi akan sulit diterapkan karena adanya multikolinearitas pada data. Permasalahan ini diatasi dengan menentukan komponen utama dari matriks X, yang selanjutnya digunakan sebagai regresor pada Y. Peubah-peubah X yang memiliki korelasi yang tinggi dengan peubah respons diberi bobot lebih karena akan lebih efektif dalam perkiraan (Miller & Miller 1984). Parameter-parameter dalam PLS sebagai metode kalibrasi adalah factors, loadings, dan scores. Model PLS berdasar pada komponen utama dari data independen X dan data dependen Y. Inti dari PLS adalah untuk menghitung nilai (scores) dari matriks X dan Y
6
dan untuk membuat model regresi antara nilai-nilai tersebut (Dieterle 2004). Gambar 6 menunjukkan bahwa matriks X diuraikan menjadi matriks T (matriks scores), matriks P′ (matriks loading) dan matriks error E, sedangkan matriks Y diuraikan menjadi U dan Q dan error F. Kedua persamaan ini disebut ‘hubungan luar’. Hasil dari T dan P mendekati data spektrum, sedangkan hasil U dan Q mendekati konsentrasi sebenarnya. Tujuan dari algoritma PLS adalah untuk meminimumkan F dengan terus menjaga korelasi antara X dan Y dalam ‘hubungan dalam’ U=BT (Lohninger 2004).
Gambar 6 Prinsip PLS (Lohninger 2004).
BAHAN DAN METODE Bahan dan Alat Bahan-bahan yang digunakan antara lain rimpang temulawak yang berasal dari teknik budi daya Pusat Studi Biofarmaka (PSB), Balai Penelitian Tanaman Rempah dan Obat (Balitro), dan lokal, 1,1-difenil-2pikrilhidrazil (DPPH), hidroksitoluena berbutil (BHT), metanol, etanol, agrimisin, marsal, pupuk kandang, KCl, SP-36, dan KBr. Alat-alat yang digunakan meliputi oven, cawan porselen, neraca analitik, eksikator, spektrofotometer FTIR Tensor 37 (Bruker), spektrofotometer UV-VIS Hitachi U-2800, inkubator, vorteks, perangkat HPLC Hitachi dengan detektor UV-Vis L-2420, dan komputer. Perangkat lunak yang digunakan adalah OPUS, Mocrosoft Excel, dan The Unscrambler versi 9.5. Metode Teknik Budi Daya Tanaman Rimpang temulawak yang digunakan dalam penelitian ini ditanam di desa Kelurahan, Kabupaten Ambarawa. Ada tiga teknik budi daya yang dilakukan, yaitu teknik
dari Pusat Studi Biofarmaka (PSB), Balai Penelitian Tanaman Rempah dan Obat (Balitro), dan lokal. Penyiapan lahan untuk semua teknik sama, yaitu tanah diolah dengan pengapuran dan digemburkan pada kedalaman tanah 30 cm. Drainase dalam kondisi yang baik. Pada teknik budi daya PSB, digunakan jarak tanam 60 x 60 cm, persemaian selama 4 minggu, lalu direndam dalam agrimisin 200 ml dan marsal 200 ml, ditanam sebanyak 2 stek (2 sampai 3 tunas)/lubang. Sebagai pupuk dasar digunakan pupuk kandang 15 ton/ha, SP-36 250 kg/ha, KCl 125 kg/ha, dan urea 70 kg/ha. Pupuk susulan diberikan pada umur 4 bulan setelah tanam dengan menggunakan pupuk urea 70 kg/ha. Penyiangan dilakukan setiap bulan mulai satu bulan setelah tanam dan penggundulan dilakukan setiap bulan mulai dua bulan setelah tanam. Teknik Balitro digunakan jarak tanam 60 x 60 cm, persemaian selama 3 minggu (ukuran tunas 0.5 cm), lalu direndam dalam agrimisin 200 ml dan marshal 200 ml, ditanam sebanyak 3 stek (2 sampai 3 tunas)/lubang. Sebagai pupuk dasar digunakan pupuk kandang 15 ton/ha, SP-36 200 kg/ha, KCl 200 kg/ha. Pupuk susulan diberikan pada umur 1, 2, dan 3 bulan setelah tanam dengan menggunakan pupuk urea 70 kg/ha, penyiangan dilakukan setiap bulan mulai sejak 2 bulan setelah tanam. Teknik lokal digunakan jarak tanam 60 x 75 cm. Benih langsung ditanam di lahan tanpa ada persemaian. Pupuk yang digunakan hanya pupuk kandang 7 ton/ha. Penyiangan dilakukan setiap bulan sampai 5 bulan setelah tanam. Penyiapan Bahan Baku Rimpang temulawak dicuci hingga bersih, diiris dan dikeringkan pada suhu 40 oC. Rimpang kering tersebut kemudian dihaluskan dan disimpan di dalam plastik. Penentapan Kadar Air Cawan porselen dikeringkan pada suhu 105 oC selama 30 menit, lalu ditempatkan di dalam eksikator dan ditimbang. Setelah itu, rimpang temulawak yang telah dihaluskan ditimbang sebanyak 3 gram dan dimasukkan ke dalam cawan porselen. Contoh beserta cawannya dioven pada suhu 105 oC selama 6 jam. Setelah dioven, di masukkan ke dalam eksikator kemudian ditimbang. Prosedur dilakukan berulang kali sampai didapat bobot tetap dengan selisih kurang dari 1 mg. Pekerjaan dilakukan triplo.
7
Persen kadar air rimpang dihitung dengan persamaan a−b Kadar air = x 100% a dengan a = bobot sebelum dikeringkan (g) b = bobot setelah dikeringkan (g) Ekstraksi Xantorizol Sebanyak 5 gram serbuk rimpang direndam dengan 50 ml etanol dan diaduk selama 24 jam. Kemudian sebanyak 1 ml ekstrak dilarutkan dengan 9 ml etanol. Selanjutnya 1 ml larutan tersebut disaring dengan filter 0.25 µm (teknik ekstraksi dari PSB). Pengukuran Aktivitas Antioksidan Aktivitas antioksidan ekstrak rimpang temulawak terhadap radikal DPPH diukur dengan metode Yen-Chen (1995). Larutan DPPH (dalam metanol) ditambahkan ke dalam ekstrak (25, 50, 75, 150, dan 200 mg/L) dalam metanol. Volume total larutan ialah 4 ml dengan konsentrasi DPPH dalam larutan tersebut sebesar 25 mg/L. Campuran dikocok dan diinkubasi pada suhu 37 oC selama 30 menit. Serapan yang dihasilkan diukur dengan spektrofotometer UV-VIS Hitachi U-2800 pada panjang gelombang 517 nm. Sebagai kontrol positif digunakan hidroksitoluena berbutil (BHT) dengan konsentrasi 3.125, 6.25, 12.5, dan 25 mg/L. Nilai konsentrasi penghambatan aktivitas radikal bebas sebanyak 50% (IC50) dihitung dengan menggunakan persamaan regresi. Gambar 7 menunjukkan struktur kimia BHT. OH (CH3)3C
Penentuan Kadar Menggunakan FTIR
Xantorizol
dengan
Sebanyak 2 mg serbuk rimpang dicampur dengan 180 mg KBr untuk dijadikan pelet. Pelet dibuat menggunakan hand press Shimadzu dengan tekanan sebesar 8 ton selama 15 menit. Pengukuran spektrum dilakukan dengan menggunakan spektrofotometer FTIR. Sebuah komputer personal yang dilengkapi dengan perangkat lunak OPUS digunakan untuk mengatur kerja spektrometer pada kisaran 4000 sampai 400 cm-1. Spektrum yang dihasilkan lalu disimpan dalam format OPUS. Spektrum asli juga diberikan perlakuan pendahuluan. Data spektrum dinormalisasi sehingga serapan terkecil diset menjadi 0 sedangkan serapan tertinggi diset menjadi 2. Hasil normalisasi kemudian diberikan koreksi garis dasar, dilanjutkan dengan derivatisasi dan smoothing dengan menggunakan metode Savitzy-Golay. Analisis Data secara Kemometrik Spektrum FTIR dalam format OPUS disimpan dalam format tabel titik data (DPT) yang dapat dibuka dengan menggunakan program Microsoft Excel. Data serapan lalu dipotong pada bilangan gelombang 2499-2250 cm-1 untuk menghilangkan serapan CO2 yang dapat mengganggu analisis selanjutnya. Data kemudian dibagi menjadi empat jenis, yaitu data serapan utuh dengan 1737 titik, segmentasi pertama dengan 1263 titik, segmentasi kedua dengan 489 titik, dan segmentasi ketiga dengan 775 titik. Segmentasi daerah panjang gelombang spektrum ini diperlihatkan pada Tabel 3. Tabel 3 Segmentasi spektrum FTIR
C(CH3)3
CH3
Gambar 7 Rumus struktur BHT. Pengukuran Kadar Xantorizol Ekstrak yang diperoleh dari proses ekstraksi kemudian diukur kadar xantorizolnya dengan menggunakan HPLC. Sistem HPLC yang digunakan ialah kolom C18, detektor UV-Vis, volume injeksi 10 µl, elusi gradien, dan suhu kolom 40 oC.
Spektrum utuh Segmentasi I Segmentasi II Segmentasi III
Kisaran bilangan gelombang (cm-1) 3999–399 3757–2817 dan 1890–399 3757–2817 1890–399
Analisis kemometrik dilakukan menggunakan set data dengan dan tanpa perlakuan pendahuluan yang meliputi normalisasi, koreksi garis dasar, derivatisasi, dan smoothing. Selanjutnya set data dinamai berdasarkan diberikan atau tidaknya perlakuan pendahuluan dan segmentasi terhadap data. Penamaan ini dapat dilihat pada Tabel 4.
8
Tabel 4 Penamaan set data Set data 1 2 3 4 5 6 7 8
Perlakuan pendahuluan
Pembagian data Spektrum utuh Segmentasi I Segmentasi II Segmentasi III Spektrum utuh Segmentasi I Segmentasi II Segmentasi III
Ada
Tidak ada
Seluruh contoh temulawak diberi nomor. Contoh nomor 1 sampai 9 berdasarkan teknik budi daya PSB, contoh nomor 10 sampai 18 berdasarkan teknik budi daya Balitro dan contoh nomor 19 sampai 27 berdasarkan teknik budi daya lokal. Bagan alir percobaan dapat dilihat pada Lampiran 1. Analisis kemometrik PCA dan PLS dilakukan dengan menggunakan Unscrambler 9.5. Prosedur lengkapnya dapat dilihat pada Lampiran 2.
PEMBAHASAN Kadar Xantorizol Rimpang Temulawak Analisis kandungan xantorizol rimpang temulawak dengan HPLC menunjukkan bahwa xantorizol berinteraksi lebih lama dengan fase diam dibandingkan dengan beberapa senyawa kimia lainnya sehingga terelusi lebih lama. Hal ini terlihat dari waktu retensi xantorizol yang lebih lama dibandingkan dengan beberapa senyawa lainnya. Puncak standar xantorizol menunjukkan waktu retensi 7.767 menit. Setiap puncak pada kromatogram contoh yang memiliki waktu retensi sama dengan atau mendekati 7.767 menit diperkirakan merupakan xantorizol. Kromatogram standar xantorizol dan salah satu contoh PSB dapat dilihat pada Gambar 8.
a
b Gambar 8 Kromatogram standar xantorizol (a) dan contoh PSB (b). Untuk menentukan secara kuantitatif kadar xantorizol dari contoh, dibuat kurva standar (Lampiran 3) dan diperoleh persamaan garis y = 113599x + 727351 dengan R2 = 0.9995. Dari persamaan ini, kadar xantorizol dalam contoh rimpang temulawak dapat dihitung (Tabel 5) Tabel 5 Kadar xantorizol rimpang temulawak Kadar xantorizol Teknik Ratabudi daya n* (%) rata 1 1.80 2 1.62 3 1.62 4 1.76 PSB 5 1.96 1.78 6 1.93 7 1.78 8 1.62 9 1.91 1 1.90 2 1.88 3 1.68 4 2.10 Balitro 5 1.86 1.86 6 2.11 7 1.77 8 1.84 9 1.67 1 1.83 2 1.77 3 1.65 4 1.89 Lokal 5 2.00 1.90 6 1.93 7 2.09 8 1.98 9 1.97 * Ulangan
9
Berdasarkan Tabel 5, kadar xantorizol rimpang temulawak hasil budi daya PSB, Balitro, dan lokal berturut-turut 1.78, 1.86, dan 1.90%. Rimpang temulawak dengan teknik budi daya lokal memiliki kandungan xantorizol paling tinggi dibandingkan dengan PSB dan Balitro. Namun, berdasarkan uji statistik ANOVA (Lampiran 4), kadar xantorizol pada ketiga jenis budi daya tidak berbeda nyata (nilai P > 0.05). Lokasi penanaman temulawak yang berdekatan walaupun memiliki keragaman sifat tanah ternyata belum dapat mengubah kadar xantorizol melalui teknik budi daya yang berbeda sehingga secara statistik diduga data uji relatif homogen. Ketiga teknik budi daya yang dilakukan menghasilkan ekstrak dengan kadar xantorizol yang dapat diterima oleh industri, yaitu berkisar dari 1 sampai 2%. Aktivitas Antioksidan Temulawak Aktivitas antioksidan diukur dengan melihat kemampuan ekstrak rimpang dalam menghambat aktivitas radikal bebas DPPH (1,1-difenil-2-pikrilhidrazil). DPPH adalah radikal bebas yang stabil dalam larutan berair atau larutan dalam metanol serta memiliki serapan yang kuat pada panjang gelombang 517 nm dalam bentuk teroksidasi (Masuda et al. 1999). DPPH mampu menerima elektron atau radikal hidrogen dari senyawa lain sehingga membentuk molekul diamagnetik yang stabil. Struktur kimia DPPH ditunjukkan pada Gambar 9. O 2N N
N
NO 2
O
O 2N
Gambar 9 Rumus struktur DPPH. Metode DPPH dipilih karena memiliki beberapa kelebihan di antaranya sederhana, mudah, cepat dan peka, serta hanya memerlukan sedikit contoh. Senyawa antioksidan akan bereaksi dengan radikal DPPH melalui mekanisme penyumbangan atom hidrogen yang menyebabkan terjadinya peluruhan warna DPPH dari ungu menjadi kuning yang diukur pada panjang gelombang 517 nm. Uji aktivitas antioksidan terhadap ekstrak rimpang yang mempunyai kadar xantorizol tertentu menunjukkan bahwa rimpang
temulawak dengan teknik budi daya lokal memiliki IC50 tertinggi, yaitu 106.58 mg/L (Lampiran 5), sementara teknik budi daya PSB (Lampiran 6) dan Balitro (Lampiran 7) berturut-turut memiliki IC50 sebesar 101.66 dan 103.25 mg/L. Hal ini berarti rimpang temulawak yang dibudidayakan secara lokal memiliki aktivitas antioksidan yang paling rendah. BHT sebagai kontrol positif memiliki IC50 yang lebih rendah, yaitu sebesar 3.06 mg/L. Apabila dibandingkan dengan kontrol positif, ekstrak rimpang temulawak memiliki aktivitas antioksidan yang lebih rendah, karena nilai IC50 menunjukkan konsentrasi contoh yang diperlukan untuk menghambat 50% aktivitas radikal bebas. Secara umum, ekstrak tersebut mempunyai aktivitas antioksidan yang kuat karena mempunyai IC50 kurang dari 200 mg/L (Blois 1958). Tabel 6
Aktivitas antioksidan rimpang temulawak RataTeknik IC50 rata budi daya n* (mg/L) BHT 1 3.16 3.06 2 2.96 1 95.97 2 101.42 3 109.66 4 103.26 PSB 5 104.18 101.66 6 107.97 7 94.21 8 101.39 9 96.92 1 104.84 2 99.94 3 117.04 4 107.90 Balitro 5 91.79 103.25 6 102.14 7 105.33 8 117.45 9 82.83 1 126.63 2 112.01 3 101.85 4 104.43 Lokal 5 103.69 106.58 6 99.89 7 98.35 8 106.85 9 105.52
* Ulangan
10
Berdasarkan data kadar xantorizol (Tabel 5) dan aktivitas antioksidan rimpang temulawak (Tabel 6), didapatkan bahwa aktivitas antioksidan tidak berkorelasi positif dengan kandungan xantorizolnya untuk setiap contoh pada ketiga teknik budi daya. Semakin tinggi kadar xantorizol maka semakin rendah aktivitas antioksidannya. Hal ini dimungkinkan oleh adanya senyawa lain yang bersifat inhibitor atau memiliki peran antagonis terhadap aktivitas antioksidan pada ekstrak rimpang tersebut sehingga kemampuan ekstrak kasar xantorizol dalam menghambat aktivitas radikal bebas DPPH menjadi lebih rendah. Berdasarkan uji statistik ANOVA, aktivitas antioksidan ketiga teknik budi daya temulawak tersebut tidak berbeda nyata (nilai P > 0.05) (Lampiran 8). Lokasi penanaman temulawak yang berdekatan walaupun memiliki keragaman sifat tanah ternyata belum dapat mengubah aktivitas antioksidan melalui teknik budi daya yang berbeda sehingga secara statistik diduga data uji bersifat relatif homogen.
seragam. Perlakuan pendahuluan ini dapat menghindari masalah akibat geseran garis dasar dan mengurangi derau acak pada spektrum awal sehingga akan meningkatkan hasil analisis kemometrik (Naes et al. 2002). Derivatisasi akan menghilangkan pergeseran garis dasar dan tumpang tindih puncak, sehingga informasi spektrum yang berguna untuk analisis selanjutnya akan meningkat (Stchur et al. 2002).
a
Spektrum Inframerah Temulawak Seluruh spektrum inframerah dari contoh berupa serbuk yang diuji memberikan pola serapan yang mirip dan berbeda hanya pada nilai kuantitatif serapan masing-masing spektrumnya. Sebagai hasil interaksi antara energi sinar inframerah dengan komponen kimia penyusun sel, spektrum tersebut menyimpan informasi kuantitatif komposisi total dari suatu contoh. Pola spektrum serbuk terlihat pada Gambar 10. Gambar 10 menunjukkan spektrum FTIR serbuk rimpang yang dapat memberikan serapan dari gugus OH pada bilangan gelombang 3600–3300 cm-1, serapan C-H dalam daerah 3000 cm-1, gugus C=O keton pada 1725–1705 cm-1, gugus C=C aromatik pada 1600 dan 1475 cm-1, dan gugus C-O pada 1260–1000 cm-1. Pada bilangan gelombang 1400-700 cm-1 merupakan daerah sidik jari yang memberikan karakteristik yang khas. Keberadaan gugus-gugus yang terdapat pada xantorizol (Lampiran 9) sudah dapat tergambarkan oleh spektrum serbuk temulawak. Gambar 10a memperlihatkan spektrum dari ke-27 contoh temulawak sebelum diberi perlakuan pendahuluan. Sedangkan Gambar 10b menunjukkan spektrum setelah diberikan perlakuan pendahuluan, yang memperlihatkan bahwa seluruh spektrum menjadi lebih
b Keterangan: Teknik budi daya lokal Teknik budi daya PSB Teknik budi daya Balitro
Gambar 10 Spektrum inframerah 27 contoh serbuk rimpang temulawak tanpa perlakuan pendahuluan (a) dan dengan perlakuan pendahuluan (b). Penggunaan data spektrum pada kisaran tertentu dapat meningkatkan hasil analisis kemometrik (Vazquez et al. 2000). Oleh karena itu dilakukan segmentasi data pada daerah-daerah yang memberikan serapan berarti dalam spektrum inframerah keseluruhan. Segmentasi data dapat mengurangi wilayah spektrum yang
11
mengandung banyak derau. Namun karena sebagian informasi juga akan turut terbuang, hasil analisis dapat menjadi tidak memuaskan. Segmentasi I pada spektrum tanpa dan dengan perlakuan pendahuluan (Lampiran 10 dan 11) meliputi data serapan rimpang pada daerah gugus fungsi dan daerah sidik jari, segmentasi II (Lampiran 12 dan 13) meliputi data serapan pada daerah gugus fungsi sedangkan data serapan pada daerah sidik jarinya tidak diikutkan dalam pengolahan dengan PCA maupun PLS, dan segmentasi III (Lampiran 14 dan 15) meliputi data serapan pada daerah sidik jari sedangkan data serapan daerah gugus fungsi tidak diikutkan pada pengolahan dengan PCA dan PLS. Pengaruh peubah pada masing-masing kisaran segmentasi ini akan dilihat dalam analisis kemometrik selanjutnya.
Pengelompokan Temulawak dengan PCA Pengelompokan temulawak dari ketiga teknik budi daya dilakukan dengan menggunakan PCA. Pengelompokan temulawak diperlihatkan pada score plot dua dimensi. Score plot untuk dua komponen utama (PC) pertama biasanya paling berguna dalam analisis karena kedua PC ini mengandung paling banyak variasi dalam data. Contoh yang mirip satu sama lain akan memiliki plot yang berdekatan. Analisis PCA dilakukan terlebih dahulu pada spektrum utuh tanpa perlakuan pendahuluan dengan melibatkan 1737 titik. Gambar 11a menunjukkan bahwa score plot dua PC pertama mampu menjelaskan 99%
a
b
c
d
e Gambar 11 Score plot dua PC pertama spektrum tanpa perlakuan pendahuluan spektrum utuh dengan pencilan (a), spektrum utuh (b), segmentasi I (c), segmentasi II (d), dan segmentasi III (e).
12
dari variasi total (PC1 = 97%, PC2 = 2%). Pola pengelompokan contoh tidak terlihat jelas. Contoh nomor 22 terlihat sangat terpisah dari kelompoknya dan program Unscrambler 9.5 mengidentifikasinya sebagai pencilan. Pencilan ini dapat disebabkan oleh adanya galat pengukuran, contoh dari kategori lain, atau kesalahan instrumental (Stchur et al. 2002). Contoh nomor 22 kemudian dihilangkan, akan tetapi penghilangan pencilan tersebut tidak mampu memperbaiki pengelompokan contoh berdasarkan teknik budi dayanya, sehingga pencilan tersebut tetap diikutkan dalam pengolahan selanjutnya. Perlakuan segmentasi terhadap data spektrum tidak mampu memperbaiki pengelompokan temulawak berdasarkan teknik budi dayanya, meskipun dengan segmentasi tersebut tetap mampu menjelaskan 99% dari variasi total data. Menurut Naes et al. (2002), perlakuan pendahuluan dapat menghindari masalah akibat geseran garis dasar dan mengurangi derau acak pada spektrum awal sehingga akan meningkatkan hasil analisis kemometrik. Berdasarkan hal ini, dilakukan perlakuan pendahuluan pada spektrum yang meliputi normalisasi, koreksi garis dasar, derivatisasi, dan smoothing. Gambar 12 menunjukkan bahwa perlakuan pendahuluan tetap tidak mampu
mengelompokkan contoh berdasarkan teknik budi dayanya. Keseluruhan plot contoh tetap bercampur yang menunjukkan bahwa komposisi total sel temulawak yang direfleksikan oleh spektrum inframerah memiliki karakteristik yang homogen. Hal ini mendukung hasil uji statistik ANOVA kadar xantorizol dan aktivitas antioksidan dengan perbedaan teknik budi daya yang tidak berbeda nyata (nilai P > 0.05) tidak dapat dikelompokkan dengan PCA, sehingga teknik budi daya belum mampu mengubah respons komposisi total kimiawi sel yang direfleksikan dengan FTIR. Semakin dekat plot contoh dengan contoh lain maka akan semakin besar kemiripan diantara contoh-contoh tersebut. Berdasarkan hal tersebut, temulawak dengan teknik budi daya PSB (1 sampai 9) dan Balitro (10 sampai 18) terlihat mengelompok sedangkan plot contoh lokal (19 sampai 27) masih menyebar. Berdasarkan plot contoh tersebut, dapat diketahui bahwa komposisi total sel temulawak hasil teknik budi daya PSB dan Balitro lebih mirip satu sama lain dibandingkan dengan lokal. Hal ini dimungkinkan oleh adanya pengaruh teknik budi daya temulawak. Teknik budi daya PSB dan Balitro dipupuk dengan pupuk organik (pupuk kandang) dan anorganik (KCl, urea, dan SP-36), sedangkan teknik budi daya lokal.
a
b
c
d
Gambar 12 Score plot dua PC pertama spektrum dengan perlakuan pendahuluan spektrum utuh dengan pencilan (a), segmentasi I (b), segmentasi II (c), dan segmentasi III (d).
13
hanya diberi pupuk organik. Pembentukan Model Prediksi dengan PLS Metode PLS digunakan untuk menemukan hubungan antara matriks X (penduga) dan Y (respons) untuk membuat prediksi Y di dalam fungsi X. Matriks X mengandung data yang dihasilkan dari pengukuran contoh dengan FTIR dan matriks Y mengandung data dari pengukuran dengan HPLC dan metode DPPH. Dalam hal ini, nilai serapan digunakan sebagai penduga dan kadar xantorizol maupun aktivitas antioksidannya sebagai respons. Kemampuan prediksi model dapat dilihat dari beberapa parameter terutama nilai korelasi dan akar dari kuadrat rataan kesalahan prediksi (RMSEP) model tersebut Model prediksi yang baik memiliki nilai korelasi antara nilai Y prediksi dengan nilai Y sebenarnya yang tinggi dan RMSEP yang rendah (Naes et al. 2002). Selain korelasi dan RMSEP, nilai kesalahan standar model juga harus diperhatikan. Kesalahan validasi (prediksi) yang jauh lebih besar daripada kesalahan kalibrasi menandakan terjadinya overfitting pada model. Model tersebut melibatkan terlalu banyak komponen, sehingga variasi yang dimilikinya akan menjadi terlalu besar. Apabila kesalahan validasi jauh lebih kecil dari kesalahan kalibrasi dapat menyebabkan underfitting. Hal ini membuat kemampuan prediksi model menjadi rendah. Oleh karena itu, dalam memilih model terbaik, kedekatan nilai R dan kesalahan antara validasi dan kalibrasi juga perlu diperhatikan (Baranska et al. 2004). Berdasarkan Tabel 7, model 1 menunjukkan kemampuan prediksi yang lebih
baik karena model tersebut memiliki nilai korelasi antara nilai Y prediksi dengan nilai Y sebenarnya yang tinggi dan RMSEP yang rendah dibandingkan dengan model lainnya. Beberapa parameter utama seperti korelasi dan RMSEP model tersebut tidak terlalu jauh berbeda dibandingkan dengan model lainnya. Nilai korelasi kalibrasi dan validasi untuk model 1, yaitu 0.677431 dan 0.603401. Model 1 berasal dari data spektrum utuh yang melibatkan 1737 titik tanpa perlakuan pendahuluan ini terkategori sedang. Artinya, spektrum utuh mampu menggambarkan kadar xantorizol rimpang temulawak dibandingkan spektrum yang disegmentasi. Hasil ini dapat membuktikan bahwa dengan segmentasi data pada kisaran tertentu dapat menyebabkan sebagian informasi terbuang sehingga hasil analisis menjadi tidak memuaskan. Berdasarkan hasil analisis dengan PLS dapat diketahui bahwa seluruh nilai serapan spektrum mengandung informasi penting untuk profiling kadar xantorizol rimpang temulawak. Berdasarkan Tabel 8, nilai korelasi kalibrasi maupun validasi seluruh model cukup rendah sehingga dapat diketahui bahwa hubungan antara spektrum dengan aktivitas antioksidan temulawak cukup rendah. Nilai korelasi validasi yang negatif menunjukkan bahwa data spektrum berbanding terbalik dengan aktivitas antioksidannya. Berdasarkan parameter kebaikan model prediksi pada Tabel 8, maka dipilih model 1, yaitu model yang dibentuk dari spektrum utuh (1737 titik) tanpa perlakuan pendahuluan. Meskipun model 1 memiliki nilai korelasi yang lebih rendah dari model lain,
Tabel 7 Parameter kebaikan model prediksi xantorizol dengan metode PLS
1 2 3 4 5 6 7 8
Model
Korelasi
RMSEC
Kalibrasi Validasi Kalibrasi Validasi Kalibrasi Validasi Kalibrasi Validasi Kalibrasi Validasi Kalibrasi Validasi Kalibrasi Validasi Kalibrasi Validasi
0.677431 0.603401 0.668247 0.590402 0.624541 0.527671 0.646915 0.542568 0.762736 0.461947 0.761472 0.461494 0.626572 0.377133 0.742208 0.424051
0.106302
RMSEP
SEC
SEP
0.108327 0.115692
0.107509
0.117894 0.109557
0.117232 0.112863
0.119452 0.115013
0.123749 0.110200
0.126103 0.112299
0.122382 0.093458
0.124709 0.095238
0.139546 0.093673
0.142179 0.095457
0.139577 0.112628
0.142205 0.114773
0.139264 0.096848
0.141913 0.098693
0.142012
0.144642
Bias 8.830e-09 0.000680 8.830e-09 0.001748 1.325e-08 -0.000909 1.325e-08 0.000985 8.830e-09 -0.002648 4.415e-09 -0.002924 1.766e-08 -0.000978 -4.415e-09 -0.004581
14
Tabel 8 Parameter kebaikan model prediksi aktivitas antioksidan dengan metode PLS Model 1 2 3 4 5 6 7 8
Kalibrasi Validasi Kalibrasi Validasi Kalibrasi Validasi Kalibrasi Validasi Kalibrasi Validasi Kalibrasi Validasi Kalibrasi Validasi Kalibrasi Validasi
Korelasi
RMSEC
0.080842 -0.0228617 0.082572 -0.229946 0.070517 -0.373134 0.076909 -0.58684 0.357528 0.100905 0.357217 0.099980 0.310470 0.081826 0.362239 0.101524
8.356374
RMSEP
SEC
SEP
8.515557 8.735688
8.355186
8.901107 8.514346
8.740726 8.362945
8.906601 8.522253
8.804605 8.358983
8.971691 8.518216
8.946041 7.829666
9.116339 7.978816
8.652781 7.830662
8.817486 7.979830
8.655058 7.969514
8.819812 8.121327
8.629384 7.814430
8.792841 7.963290
8.657161
perbedaan antara korelasi kalibrasi dan validasi serta kesalahan kalibrasi dan validasi yang tidak terlalu jauh menyebabkan model ini lebih stabil dibandingkan dengan model lain. Kesalahan kalibrasi meliputi akar dari kuadrat rataan kesalahan kalibrasi (RMSEC), akar kesalahan kalibrasi (SEC), dan bias, sedangkan kesalahan validasi meliputi RMSEP, kuadrat kesalahan prediksi (SEP), dan bias. Berbeda dengan model-model lainnya, meskipun nilai korelasinya lebih tinggi, tapi selisih nilai korelasi kalibrasi dengan validasi serta selisih kesalahan kalibrasi dengan validasinya cukup jauh sehingga model-model ini tidak stabil dalam menduga aktivitas antioksidan temulawak. Nilai korelasi kalibrasi dan validasi untuk model 1, yaitu 0.080842 dan -0.0228617, model ini terkategori kurang baik. Kesalahan validasi yang lebih besar dari kesalahan kalibrasi menyebabkan overfitting. Gambar 13 dan 14 menunjukkan scatter plot dua dimensi antara nilai dugaan dan nilaisebenarnya kadar xantorizol dan aktivitas antioksidan rimpang temulawak model 1. Plot ini dapat memperlihatkan seberapa baik model regresi yang dihasilkan. Model yang baik menghasilkan titik-titik yang berdekatan sepanjang garis lurus dengan nilai kemiringan mendekati 1 (sudut 45°). Nilai kemiringan model 1 untuk kalibrasi dan validasi masingmasing 0.459868 dan 0.406284 (Gambar 14) serta 0.006535 dan -0.032578 (Gambar 15).Nilai kemiringan untuk model prediksi kadar xantorizol terkategori sedang, sedangkan untuk aktivitas antioksidan diperoleh nilai kemiringan yang kurang baik, sehingga perlu digunakan metode kemometrik lain. Teknik kuadrat terkecil parsial-analisis
8.822020
Bias -3.391e-06 0.130381 -3.108e-06 0.104054 -3.956e-06 0.104763 -3.956e-060.045854 -4.239e-06 0.045898 -3.956e-06 0.045055 -3.391e-09 0.125276 -3.673e-06 0.030299
diskriminan (PLS-DA) dimungkinkan untuk dicoba karena PLS-DA dapat digunakan untuk
Keterangan:
kalibrasi
validasi
Gambar 13 Scatter plot dua dimensi antara nilai Y dugaan dengan nilai Y sebenarnya kadar xantorizol model 1.
Gambar 14 Scatter plot dua dimensi antara nilai Y dugaan dengan nilai Y sebenarnya aktivitas antioksidan model 1.
15
menentukan perbedaan antara kelompok pengamatan yang diketahui berhubungan cukup dekat. Keseluruhan scatter plot dari spektrum serbuk rimpang temulawak tanpa dan dengan perlakuan pendahuluan untuk kadar xantorizol ditunjukkan pada Lampiran 16 dan 17, sedangkan keseluruhan scatter plot untuk aktivitas antioksidan ditunjukkan pada Lampiran 18 dan 19.
SIMPULAN DAN SARAN Simpulan Spektrum inframerah serbuk rimpang temulawak yang diuji memberikan pola serapan yang mirip dan berbeda hanya pada nilai kuantitatif serapan. Spektrum tersebut menyimpan informasi kuantitatif komposisi total dari suatu contoh. Spektrum utuh tanpa segmentasi dan tanpa perlakuan pendahuluan lebih baik untuk memprediksi kadar xantorizol dan aktivitas antioksidan rimpang temulawak. Teknik budi daya (PSB, Balitro, dan lokal) yang dicerminkan oleh kadar xantorizol dan aktivitas antioksidan belum mampu mengubah respons komposisi total kimiawi sel yang direfleksikan dengan FTIR sehingga ketiga contoh temulawak tersebut tidak dapat dikelompokkan dengan menggunakan PCA. Kadar xantorizol maupun aktivitas antioksidan ketiga contoh temulawak tidak berbeda nyata (nilai P > 0.05). Kemampuan prediksi terbaik untuk profiling kadar xantorizol rimpang temulawak dimiliki oleh model 1 dengan nilai korelasi validasi dan RMSEP sebesar 0.603401 dan 0.115692, sedangkan untuk prediksi aktivitas antioksidan menghasilkan model yang kurang baik. Saran Perlu dikaji lebih lebih lanjut pengunaan metode pemodelan lain sehingga diperoleh model prediksi yang baik untuk profiling kadar xantorizol dan aktivitas antioksidan temulawak seperti metode jaringan saraf tiruan (ANN) dan analisis diskriminankuadrat terkecil parsial (PLS-DA).
DAFTAR PUSTAKA Abdi Hervé. 2003. Partial least square (regression). http://www.utdallas.edu/ ~herve/Abdi-PLS-pretty.pdf. [28 April 2005].
Anang SFR. 1992. Pengaruh curcuma komplek plus terhadap kerusakan hati mencit yang diinduksi dengan karbon tetraklorida [skripsi]. Bandung: Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, Universitas Padjajaran. Baranska M et al. 2005. Quality control of Harpagophytum procumbens and its related phytopharmaceutical products by means of NIR-FT-Raman spectroscopy. Biopolymers 77:1-8. Blois MS. 1958. Antioxidant determinations by the use of a stable freeradical. Nature 181:1199-1200. Chew OS, Hamdan MR, Zhari I, Ahmad MN. 2004. Assesment of herbal medicines by chemometrics-assisted interpretation of FTIR spectra. J Anal Chim Acta, in press. Christian GD. 1986. Analytical Chemistry. Ed ke-4. New York: J Wiley. Darusman LK et al. 2005. The Exploration of The Potency of FTIR Spectroscopy and Chemometrics for Extract Bioactivity Prediction and Rapid Analysis of Bioactive Content of Medicinal Plants. Di dalam: Kimia Bahan Alam dalam Peningkatan Nilai Tambah Kimiawi Biodiversitas Indonesia. Prosiding Simposium Nasional Kimia Bahan Alam; Bogor, 13-14 Sep 2005. Bogor: Departemen Kimia IPB. hlm 31-39. Dickes GJ, Nicholas PV. 1976. Gas Chromathography in Food Analysis. London: Butterworths. Fessenden & Fessenden. 1986. Kimia Organik jilid 1. Ed ke-3. Pudjaatmaka AH, penerjemah. Jakarta: Erlangga. Terjemahan dari Organic Chemistry. George B, McIntyre. 1987. Spectroscopy. London: J Wiley.
Infrared
Hall JW, Pollard A. 1993. Near infrared spectroscopy determination of serum total proteins, albumin, globulins, and urea. J Clin Biochem 26:483-490. Harvey D. 2000. Modern Analytical Chemistry. New York: McGraw-Hill.
16
Heldt HW. 1997. Plant Biochemistry & Molecular Biology. New York: Oxford University Press. Hendayana S, Kadarohman A, Sumarna AA, Supriatna A. 1994. Kimia Analitik Instrumen. Ed ke-1. Semarang: IKIP Semarang Press. Hollas JM. 2004. Modern Spectroscopy. Ed ke-4. New York: J Wiley. Hwang JK. 2004. Xanthorrhizol: a potential antibacterial agent from Curcuma xanthorrhiza against Streptococcus mutans. Planta Med 66:196-197. Jitoe A et al. 1992. Antioksidan activity of tropical ginger extracts and analysis of the contained curcuminoids. J Agric Food Chem 40: 1337-1340. Ketaren S. 1988. Penentuan komponen utama minyak atsiri temulawak (Curcuma xanthorriza Roxb) [tesis]. Bandung: Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, Institut Teknologi Bandung. Liang OB, Widjaja Y, Asparton Y, Puspa S. 1985. Beberapa aspek isolasi. identifikasi. dan penggunaan komponen-komponen Curcuma xanthorriza Roxb dan Curcuma domestika Val. Prosiding Symposium Nasional Temulawak. Bandung: Lembaga Penelitian Universitas Padjadaran. Lim CS et al. 2005. Antioxidant and antiinflammatory activities of xanthorrhizol in hippocampal neurons and primary cultured Microglia. http://www.ncbi.nlm.nih.gov/entrez/query. fcgi?cmd=Retrieve&db=pubmed &dopt=Abstract&list_uids=16273545&qu ery_hl=1&itool=pubmed_docsum. [8 Januari 2006].
Masuda T, Isobe J, Jitoe A, Nakatani N. 1992. Antioxidative curcuminoids from rhizomes of Curcuma xanthorrhiza Phytochemistry 31(10): 3645-3647. Masuda T et al. 1999. Evaluation of the antioxidant activity of environmental plants: activity of the extracts from sheashore Plants. J Agr Food Chem 47:1749-1754. Miller JC, Miller JN. 2000. Statistics and Chemometrics for Analytical Chemistry. Ed Ke-4. Harlow: Pearson Education. Naes T, Isaksson T, Fearn T, Davies T. 2002. A User-Friendly Guide to Multivariate Calibration and Classification. Chichester: NIR Publications. Nur MA, Adijuwana H. 1989. Teknik Spektroskopi dalam Analisis Biologi. Bogor: PAU IPB. Sirait M, Moesdarsono, A Gana, KM Nor. 1985. Pemeriksaan Kadar Xanthorrhizol dalam Curcuma xanthorrhiza. Simposium Nasional Temulawak. Bandung: Unpad. Skoog DA, Holler FJ, Nieman TA. 1998. Principles of Instrumental Analysis. Ed ke5. Philadelphia: Harcaurt Brace. Stchur P, Cleveland D, Zhou J, Michel RG. 2002. A review of recent applications of near infrared spectroscopy, and the characteristics of a novel PbS CCD arraybased near infrared spectrometer. Appl Spect Rev 37:383-428. Suwiah A. 1991. Pengaruh perlakuan bahan dan jenis pelarut yang digunakan pada pembuatan temulawak (Curcuma xanthorriza Roxb) instan terhadap rendeman dan mutunya [skripsi]. Bogor: Fakultas Teknologi Pertanian, Institut Pertanian Bogor.
Lindblom T. 2004. Reaction in the system nitro-cellulose/diphenylamine with special reference to the formation of a stabilizing product bonded to nitro-cellulose. http://www.urn.kb.se/resolve?urn=urn:nbn :se:uu:diva-3989. [8 Desember 2005].
Varmuza K. 2002. Applied chemometrics: from chemical data to relevant information. 1st Converence on Chemistry. Kairo, Mesir.
Lohninger H. Multivariate Calibration. http.//www.vias.org/tmdatanaleg/cc_multi varcal. html. [8 Desember 2005].
Vazquez PP, Galera M, Frenich AG, Vidal JM. 2000. Comparison of calibration methods with and without feature selection for the analysis of HPLC data. Anal Sci 16: 49-55.
17
Woo YA, Kim HJ, Cho JH, Chung H. 1999. Descrimination of herbal medicine according to geographical origion with infra red reflectance spectroscopy and pattern recognition techniques. J Pharm Biomed Anal. 21: 407-413.
LAMPIRAN
19
Lampiran 1 Bagan alir percobaan Sampel temulawak
Metode Referensi
Aktivitas antioksidan
Pengukuran FTIR
Konsentrasi xantorizol
Absorbans
Peubah Y
Peubah X
Analisis multivariat
PCA
PLS
20
Lampiran 2
Pengolahan data dalam analisis kemometrik dengan menggunakan Unscrambler 9.5
1. Dibuka program Unscrambler 9.5 2. Diklik File, kemudian dipilih New
Format: dipilih Plain 2-D data table Size: Variable : jumlah peubah Y (27) Samples : jumlah peubah X
3. Di-copy data dari program Excel, kemudian di-paste pada Unscrambler 9.5
program
21
4. Diklik Modify, dipilih Transform, lalu Transpose
5. Diklik Task, lalu dipilih PCA 6. Pada variable set diklik Define lalu Add
22
7.
Diketik nama, lalu dipilih data type Spectra, dimasukkan nomor kolom peubah X pada bagian interval, dan dipilih All Variables, lalu diklik OK
8
Pada Validation Method dipilih Cross Validation, diklik Setup, dipilih Full Cross Validation, lalu diklik OK
23
9
Pada tampilan PCA diklik OK Ditunggu hingga program selesai bekerja, lalu dilik View
10 Diklik File, lalu dipilih Save Result
24
11 Diklik Mark One By One, kemudian diklik Task, dan dipilih Recalculated Without Marked
12 Hasil yang diperoleh kemudian disimpan 13 Pada analisis menggunakan PLS, tampilan dikembalikan ke dalam bentuk data awal. Kemudian diklik Task, dipilih Regression. 14 Pada Method dipilih PLS 1, lalu dimasukkan set variabel X dan variabel Y. 15 Dipilih Cross Validation pada Validation Method, lalu diklik OK
16 Ditunggu program bekerja, hasil analisis lalu disimpan
25
17 Untuk menampilkan parameter-parameter statistik, diklik kanan pada plot keempat, lalu dipilih View, Source, dan Calibration atau Validation
18 Hasil kemudian disimpan
26
Lampiran 3 Kadar xantorizol rimpang temulawak Kurva standar xantorizol No 1 2 3 4 5
Konsentrasi xantorizol (mg/L) 50 75 100 125 150
Konsentrasi xantorizol sebenarnya (mg/L) 40.9950 63.0450 84.0200 106.5750 132.0150
Luas area
Konsentrasi xantorizol sebenarnya
18000000 16000000 14000000 12000000 10000000 8000000 6000000 4000000 2000000 0
Luas area 5294815.67 7902837.00 10415897.33 12845936.67 15644299.33
= Konsentrasi xantorizol x % area = 50 mg/L x 81.99% = 40.9950 mg/L
y = 113599x + 727351 2
R = 0,9995
0
20
40
60
80
100
120
Konsentrasi xantorizol sebenarnya (mg/L)
140
% Area 81.99 84.06 84.02 85.26 88.01
27
Kadar xantorizol rimpang temulawak Teknik budi daya
PSB
Balitro
Lokal
n* 1 2 3 4 5 6 7 8 9 1 2 3 4 5 6 7 8 9 1 2 3 4 5 6 7 8 9
Luas area 21224240 19156664 19147120 20780165 23005666 22759591 20907799 19137957 22519070 22378852 22173285 19780846 24590886 21908338 24809082 20874010 21610530 19742887 21534783 20891203 19538854 22300240 23497490 22832315 24482945 23221524 23201769
% Area 28.64 28.63 28.15 30.73 30.57 30.79 27.96 28.34 28.45 29.76 29.67 29.29 30.86 30.66 31.08 30.11 29.81 29.86 28.51 28.59 28.38 30.67 30.73 30.45 31.08 31.04 30.93
Waktu retensi (menit) 7.923 7.937 7.953 7.767 7.780 7.797 7.827 7.797 7.830 7.957 7.953 7.960 7.823 7.840 7.843 7.850 7.860 7.907 7.957 7.957 7.977 7.850 7.850 7.860 7.873 7.897 7.893
Bobot sampel (mg) 5007.6 5004.7 5001.5 5005.9 5011.5 5012.8 5002.9 5008.2 5010.2 5017.4 5008.4 5003.3 5004.5 5010.6 5012.3 5019.4 5003.1 5009.9 5004.9 5009.4 5018.4 5015.5 5005.1 5030.2 5007.7 5005.0 5014.5
Konsentrasi xantorizol (%) 1.80 1.62 1.62 1.76 1.96 1.93 1.78 1.62 1.91 1.90 1.88 1.68 2.10 1.86 2.11 1.77 1.84 1.67 1.83 1.77 1.65 1.89 2.00 1.93 2.09 1.98 1.97
Rata-rata (%)
1.78
1.86
1.90
* ulangan
Contoh perhitungan: PSB I-1 Luas area (y) Volume larutan Faktor pengenceran y 21224240 x
= 21224240 = 50 mL = 10 = 113599x + 727351 = 113599x + 727351 = 180.4319 mg/L
1L 180.4319 mg x 50 mg x x 10 L 1000 mL Konsentrasi xantorizol (%) = x 100% = 1.80% 5007.6 mg
Lampiran 4 Uji statistik ANOVA kadar xantorizol rimpang temulawak Source of Variation Between Groups Within Groups Total
SS 0.073267 0.4906 0.563867
df 2 24 26
MS 0.036633 0.020442
F 1.792091
P-value 0.188197
F crit 3.402826
28
Lampiran 5 Aktivitas antioksidan ekstrak kasar rimpang temulawak lokal Ulangan 1 2 3 4 5 6 7 8 9
Persamaan garis y = 24.877 Ln x - 70.437 y = 24.283 Ln x -64.582 y = 34.236 Ln x - 108.29 y = 27.552 Ln x - 78.075 y = 28.129 Ln x - 80.559 y = 29.731 Ln x - 86.884 y = 27.397 Ln x - 75.713 y = 26.186 Ln x - 72.326 y = 26.405 Ln x - 73.019
IC50 (mg/L) 126.63 112.01 101.85 104.43 103.69 99.89 98.35 106.85 105.52
IC50 rata-rata (mg/L)
106.58
Lampiran 6 Aktivitas antioksidan ekstrak kasar rimpang temulawak PSB Ulangan 1 2 3 4 5 6 7 8 9
Persamaan garis y = 27.024 Ln x - 73.339 y = 30.130 Ln x - 89.178 y = 30.937 Ln x - 95.324 y = 27.271 Ln x - 76.463 y = 28.420 Ln x - 82.043 y = 27.766 Ln x - 79.996 y = 29.819 Ln x - 85,542 y = 24.148 Ln x - 61.539 y = 28.263 Ln x - 79.271
IC50 (mg/L) 95.97 101.42 109.66 103.26 104.18 107.97 94.21 101.39 96.92
IC50 rata-rata (mg/L)
101.66
Lampiran 7 Aktivitas antioksidan ekstrak kasar rimpang temulawak Balitro Ulangan 1 2 3 4 5 6 7 8 9
Persamaan garis y = 30.972 Ln x - 94.095 y = 29.959 Ln x - 87.947 y = 31.813 Ln x - 101.51 y = 28.254 Ln x - 82.263 y = 28.575 Ln x - 79.144 y = 24.091 Ln x - 61,454 y = 27.999 Ln x - 80.394 y = 27.083 Ln x - 79.079 y = 29.936 Ln x - 82.220
IC50 (mg/L) 104.84 99.94 117.04 107.90 91.79 102.14 105.33 117.45 82.83
IC50 rata-rata (mg/L)
103.25
Lampiran 8 Uji Statistik ANOVA aktivitas antioksidan ekstrak kasar rimpang temulawak Source of Variation Between Groups Within Groups Total
SS 113.3641 1785.048 1898.412
df 2 24 26
MS 56.68206 74.37701
F 0.762091
P-value 0.477653
F crit 3.402826
29
Lampiran 9 Spektrum inframerah xantorizol
Lampiran 10 Segmentasi I spektrum FTIR tanpa perlakuan pendahuluan
Lampiran 11 Segmentasi I spektrum FTIR dengan perlakuan pendahuluan
30
Lampiran 12 Segmentasi II spektrum FTIR tanpa perlakuan pendahuluan.
Lampiran 13 Segmentasi II spektrum FTIR dengan perlakuan pendahuluan
Lampiran 14 Segmentasi III spektrum FTIR tanpa perlakuan pendahuluan
31
Lampiran 15 Segmentasi III spektrum FTIR dengan perlakuan pendahuluan
32
Lampiran 16
Scatter plot dari spektrum tanpa perlakuan pendahuluan untuk xantorizol: a. spektrum utuh, b. segmentasi I, c. segmentasi II, dan d. segmentasi III
a
b
c Keterangan:
d
kalibrasi validasi
Lampiran 17 Scatter plot dari spektrum dengan perlakuan pendahuluan untuk xantorizol : a. spektrum utuh, b.segmentasi I, c. segmentasi II, dan d. segmentasi III
a
c Keterangan:
b
d kalibrasi validasi
33
Lampiran 18 Scatter plot dari spektrum tanpa perlakuan pendahuluan untuk aktivitas antioksidan : a. spektrum utuh, b.segmentasi I, c. segmentasi II, dan d. segmentasi III
a
b
c Keterangan: Lampiran 19
Keterangan:
d
kalibrasi validasi Scatter plot dari spektrum dengan perlakuan pendahuluan untuk aktivitas antioksidan : a. spektrum utuh, b.segmentasi I, c. segmentasi II, dan d. segmentasi III
a
b
c
d
kalibrasi validasi
34