TEKNIK PEMANENAN RESIN DAN GETAH UNTUK PENINGKATAN PRODUKSI DAN KUALITAS Abstrak Ketimpangan antara produksi getah dan potensi tegakan jelutung dan kemenyan mengkhawatirkan kelangsungan pengelolaan hutan jelutung maupun kemenyan hingga masa yang akan datang. Apalagi daerah penyebaran tanaman jelutung dan kemenyan terbatas hanya di daerah Sumatera dan Kalimantan dan sudah mulai langka keberadaannya. Ekploitasi berlebihan dalam pemanenan getahnya karena tuntutan ekonomi ataupun untuk mencukupi kebutuhan pasar getah menjadi salah satu indikasi tidak terjaminnya kelangsungan pengelolaan tegakan jelutung maupun kemenyan. Oleh karena itu perlu diterapkan teknik pemanenan getah yang ramah lingkungan sekaligus menjamin kelestarian produk dan sumber penghasil getah melalui penerapan cara penyadan dan penggunaan stimulan organik.Tujuan penelitian ini untuk mendapatkan teknik penyadapan getah jelutung dan kemenyan dengan menggunakan stimulan organik Hasil penelitian menunjukkan bahwa penggunaan stimulan organik berbahan dasar lengkuas, jeruk nipis dan cuka kayu pada penyadapan jelutung dapat meningkatkan produksi getah. Rata-rata getah jelutung yang dihasilkan dengan menggunakan stimulan cuka kayu, lengkuas dan jeruk nipis masing-masing sebesar 21,07g; 20,07g dan 17,45g. Teknik penyadapan jelutung dengan luka sadap berbentuk ½ spiral maupun berbentuk V tidak mempengaruhi produksi getah jelutung yang dihasilkan. Kadar pengotor yang terdapat di dalam getah jelutung berkisar antara 0,45%–0,70% dan tergantung pada kebiasaan penyadap pada saat melakukan pembaharuan sadapan. Stimulansia organik juga dapat dmeningkatkan produksi getah kemenyan. Rendemen getah kemenyan yang diperoleh dengan menggunakan stimulan lengkuas, jeruk nipis dan cuka kayu masing-masing sebesar 18,27%; 14,57% dan 6,50%. Selain getah kemenyan, kulit kemenyan yang sudah dipisahkan dari getahnya mempunyai nilai ekonomi (masih dapat dijual). Perlu inovasi penyadapan lebih lanjut agar proses perlukaan batang dan pemberian stimulan dapat dilakukan lebih efisien dan efektif.
Kata kunci: Getah, jelutung, kemenyan, stimulan organik, produksi, kualitas, inovasi
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Dalam UU No. 41 tahun 1999 pasal 26 (pemungutan HHBK padahutanlindung) danpasal 28 (pemanfaatan HHBK pada hutan produksi), sertadalam PP. No. 6 tahun 2007 pasal 28 (pemungutan HHBK dalam hutan tanaman pada hutan produksi) mengatur tentang pemanfaatan Hasil Hutan Bukan Kayu (HHBK).Beberapa jenis HHBK yang dikembangkan menjadi HHBK unggulan adalah gondorukem, sutera alam, madu, gaharu, rotan, bambu, jelutung, kemenyan, gambir, dst. Selain menghasilkan produk bernilai tinggi dan mampu menyumbangkan devisa negara, pemanfaatan HHBK juga dapat mendukung pengurangan emisi dan pemanasan global. Hal ini berhubungan dengan proses pemanfaatan hasil hutan bukan kayu yang
biasanya
dilakukan
tanpa
merusak
hutan
bahkan
mungkin
mengkonservasinya, seperti jasa lingkungan. Selain
itu,
pemanfaatan
HHBK
ditujukan
juga
untuk
meningkatkan
kesejahteraan masyarakat. HHBK yang potensial untuk dikembangkan dan mempunyai nilai ekonomi tinggi adalah getah jelutung dan kemenyan.Getah jelutung diperolah dari proses penyadapan pohon jelutung (Dyera spp) sedangkan getah kemenyan diperoleh dari proses penyadapan pohon kemenyan (Styrax sp). Yang merupakan hasil eksudat dari pohon jelutung (Dyera spp.). Getah jelutung banyak diusahakan di daerah di Kalimantan dan Sumatera, sementara itu menurut Siregar (1999), jenis kemenyan di Indonesia tidak mempunyai daerah penyebaran yang luas dan hanya terpusat pada daerah Palembang dan Sumatera. Indonesia pernah menjadi Negara pengekspor getah jelutung terbesar di dunia.Ekspor getah jelutung Indonesia pada tahun 1990 mencapai 6.500 ton, namun pada tahun-tahun berikutnya terus berkurang hingga pada tahun 1993 hanya sebesar 1.182 ton (Coppen, 1995). Hal ini terkait dengan keberadaan pohon jelutung di hutan alam sebagai penghasil getah yang semakin berkurang jumlahnya akibat penebangan dan konversi lahan gambut menjadi areal perkebunan dan pertanian serta kebakaran hutan. Waluyo (2010) menyebutkan bahwa getah jelutung digunakan sebagai bahan baku
permen
karet
dan
campuran
pembuatan
ban
mobil.
Selain
untuk
keperluansebagaimanatersebut di atas, getah jelutung juga dapat digunakan sebagai bahan baku pembuatan cat, perekat dan vernis Dari berbagai kegunaan tersebut, Coppen (1995) menekankan bahwa saat ini getah jelutung mempunyai nilai yang sangat tinggi untuk bahan baku permen karet. Penyadapan jelutung yang dilakukan oleh masyarakat penyadap biasanya menggunakan metode sadapan berbentuk “V” dengan sudut kemiringan 30-45º dan interval pelukaan kulit 2-3 hari bahkan ada yang seminggu sekali (Waluyo, 2009). Menurut Coppen (1995) penyadapan jelutung dengan metode tersebut dapat menghasilkan getah jelutung bukit lebih banyak dibanding jelutung rawa (Coppen, 1995). Di sisi lain, hasil penelitian Waluyo (2010) menyebutkan bahwa metode penyadapan atau pola sayatan yang menghasilkan getah yang paling optimal adalah pola sayatan ½ spiral dari kiri atas ke kanan bawah (½ S Kr-Kn). Oleh karena itu dalam penelitian ini akan melakukan penyadapan dengan kedua metode sadapan tersebut. Selain itu juga akan dilakukan pemberian jenis stimulan organik yang dapat digunakan untuk meningkatkan produksi getah jelutung. Demikian juga dengan produk getah kemenyan, Indonesia juga pernah sebagai pengekspor getahnya. Pada tahun 1939, sebelum perang dunia kedua, volume ekspor kemenyan dari Tapanuli Utara mencapai 1.913 ton atau setara dengan 601.000 gulden. Pada tahun 1978 volume ekspor kemenyan mencapai 323,6 ton atau setara dengan US$ 143.800. Pada tahun 1996 Sumatera Utara mampu mengekspor kemenyan sebanyak 66,8 ton atau setara dengan US$ 186.001 (Simanjuntak, 2000 dalam Nurrochmat, 2001). Kemenyan asal Tapanuli Utara telah dipasarkan 80% di Pulau Jawa dan 20% diekspor ke Malaysia dan Singapura (Sasmuko, 2001). Kemenyan banyak dimanfaatkan dalam bidang kosmetik dan farmasi. Di sektor industri, kemenyan digunakan sebagai bahan pengikat parfum agar keharumannya tidak cepat hilang. Oleh masyarakat Jawa pada jaman dahulu, kemenyan digunakan untuk campuran rokok (rokok klembak) selain itu juga digunakan untuk ritual adat (dalam pemakaman orang meninggal) dan tidak sedikit manfaat kemenyan dihubungkan dengan dunia mistis. Pada tahun 1991, luas tanaman kemenyan di daerah Tapanuli Utara seluas 17.466 ha. Pada tahun 1993 telah terjadi pengurangan luas sebesar 167 ha sehingga menjadi 17.299 ha. Hal ini disebabkan karena tidak adanya upaya penanaman kembali jenis tanaman kemenyan oleh petaninya maupun instansi terkait, sedangkan di satu sisi eksploitasinya terus meningkat setiap tahunnya
(Sasmuko, 1999). Berikut disampaikan data luas hutan rakyat kemenyan di Kabupaten Tapanuli Utara dari 2001–2009. Tabel 1. Luas hutan rakyat kemenyan di Kabupaten Tapanuli Utara tahun 2001–2009 Tahun Total luas wilayah (ha) Luas hutan rakyat kemenyan 2001 379.371 21.387 2002 379.371 21.417 2003 379.371 16.217 3004 379.371 16.282 2005 379.371 16.283 2006 379.371 16.282 2007 379.371 16.395 2008 379.371 16.414 2009 379.371 16.414 Sumber : Antoko (2011)
Berdasarkan Tabel 1 tersebut, luas hutan kemenyan yang dikelola rakyat di daerah Tapanuli Utara mengalami penurunan cukup tinggi pada tahun 2002–2003, yaitu sekitar 24,28%. Pada tahun-tahun berikutnya, luas hutan kemenyan di Tapanuli Utara tidak menunjukkan penambahan luas yang signifikan. Penyadapan kemenyan yang biasa dilakukan oleh masyarakat penyadap kemenyan dengan cara melukai batang pohon dengan alat tertentu dan kemudian menutupnya kembali luka tersebut. Cara tersebut sudah dilakukan secara turuntemurun. Di sisi lain penggunaan stimulansia untuk merangsang keluarnya getah kemenyan agar lebih banyak belum pernah dilakukan. Paling tidak informasi secara ilmiah tentang penggunaan stimulansia dalam penyadapan kemenyan belum ada Ketimpangan antara produksi getah dan potensi tegakan yang ada dari tahun ke tahun tersebut mengkhawatirkan kelangsungan pengelolaan hutan jelutung maupun kemenyan hingga masa yang akan datang. Apalagi daerah penyebaran tanaman jelutung dan kemenyan terbatas hanya di daerah Sumatera dan Kalimantan dan sebagian besar tegakan kemenyan diusahakan oleh rakyat sekitar hutan. Sementara itu tegakan jelutung sendiri sudah mulai langka keberadaannya. Ekploitasi berlebihan dalam pemanenan getahnya karena tuntutan ekonomi ataupun untuk mencukupi kebutuhan pasar getah menjadi salah satu indikasi tidak terjaminnya kelangsungan pengelolaan tegakan jelutung maupun kemenyan. Di sisi lain, tanaman penghasil getah, seperti pinus dan karet, dapat ditingkatkan
produksi
getahnya,
salah
satunya
dengan
memberikan
zat
perangsang/stimulansia. Pemberian zat perangsang tersebut dimaksudkan untuk
merangsang keluarnya getah lebih banyak dari saluran getah.Selama ini informasi tentang pemberian stimulansia dalam penyadapan getah jelutung dan kemenyan masih kurang. Kemungkinan karena memang tidak ada yang menggunakan stimulansia dalam proses penyadapannya atau memang informasi ilmiahnya belum tersedia. Oleh karena itu perlu ujicoba pemberian stimulansia yang aman dan ramah lingkungan dalam penyadapan jelutung dan kemenyan guna meningkatkan produksi getah tetapi tetap aman baik bagi produk getah yang dihasilkannya, pohon penghasilnya dan lingkungannya. Pengembangan berbagai jenis stimulan terus dilakukan dengan tujuan tidak hanya untuk meningkatkan produksi getahnya tetapi juga untuk menjamin kelestarian hasil dan pohon penghasilnya selain lingkungan di sekitarnya. Formulasi stimulan yang tepat terus dikembangkan untuk meningkatkan hasil getah/resin selain juga tetap menjamin kelestarian pengelolaan tanaman penghasil getah/resin.
B. Tujuan dan Sasaran 1. Tujuan Penelitian ini bertujuan untuk mendapatkan teknik penyadapan getah jelutung dan kemenyan dengan menggunakan stimulan organik.
2. Sasaran Sasaran penelitian ini adalah tersedianya informasi ilmiah tentang teknik penyadapan getah kemenyan dan jelutung dengan menggunakan stimulan organik.
C. Luaran 1. Laporan hasil penelitian yang berisi informasi ilmiah tentang teknik penyadapan getah kemenyan dan jelutung dengan menggunakan stimulan organik. 2. Draft karya tulis ilmiah 3. Contoh stimulan
D. Hasil yang telah dicapai Hasil penelitian pada tahun pertama (2011) adalah sebagai berikut : 1. Produksi getah pinus dengan teknik kedukul, bor dan mujitech menunjukkan perbedaan hasil yang tidak berarti. 2. Stimulan
organik
lengkuas
dapat
meningkatkan
produksi
getah
pinus
dibandingkan kencur dan bawang merah. Rata-rata hasil getah untuk stimulan lengkuas, kencur dan bawang merah masing-masing per pengumpulan sebesar 25, 99 gam; 12,71 gam dan 6,57 gam. 3. Pemberian stimulan organik dengan komposisi stimulan 100%, 75% dan 50% menghasilkan produksi getah pinus yang tidak berbeda nyata. Ini berarti pemberian stimulan dengan konsentrasi 50% dirasa lebih ekonomis. 4. Kualitas getah secara visual yang dihasilkan dengan teknik penyadapan bor lebih bersih dibandingkan teknik Mujitech dan kedukul. 5. Kadar kotoran dalam getah pinus yang dihasilkan dengan teknik penyadapan bor lebih bersih daripada teknik Mujitech dan kedukul, yaitu rata-rata sebesar 3,96%. 6. Namun demikian teknik penyadapan bor tidak disukai petani penyadap untuk diterapkan karena kurang efektif.
Hasil penelitian pada tahun kedua (2012) adalah sebagai berikut : 1. Metode penyadapan yang menghasilkan produksi getah lebih tinggi adalah metode penyadapan kedukul,namun kualitas getah (kadar kotoran) yang baik adalah metode bor dengan kadar kotoran 3,2%. 2. Selain metode penyadapan yang digunakan, produksi getah juga dipengaruhi oleh ukuran diameter batang pinus dan tempat tumbuh. Semakin besar diameter dan semakin tinggi tempat tumbuh, produksi getah semakin besar. 3. Stimulan berbahan dasar cuka kayu dari limbah batang pinus dapat digunakan untuk meningkatkan produksi getah pinus.
4. Semua komposisi stimulan cuka kayu yang digunakan (100%, 75%, 50% dan 25%) dapat meningkatkan produksi getah pinus. Besarnya peningkatan produksi getah yang dihasilkan berkisar 26–39%. Disarankan menggunakan stimulan cuka kayu 100% agar lebih ekonomis. Hasil penelitian tahun ketiga pada yahun 2013 adalah sebagai berikut: 1. Penggunaan stimulansia dengan perbandingan komposisi cuka kayu dengan asam palmitat 1:0,25–1 pada penyadapan pinus memberikan respon yang bervariasi terhadap produksi getah pinus, namun pada umumnya cenderung meningkatkan produksi getah pinus yang diperoleh. 2. Komposisi stimulansia cuka kayu dengan asam palmitat 1:0,25–1 dapat meningkatkan produksi getah pinus sebesar 14%; 12% dan 10% pada ketinggian rendah (< 500 m mdpl) serta 13%, 10% dan 14% pada ketinggian tinggi (> 500 m mdpl). 3. Kualitas getah pinus yang berhubungan dengan kadar pengotornya pada ke tiga lokasi penelitian berkisar antara 0,94% - 1,28%. Banyak sedikitnya pengotor yang ikut masuk di dalam getah pinus tergantung pada kebiasaan penyadap pada saat melakukan pembaharuan sadapan. 4. Formulasi stimulansia cuka kayu:asam palmitat 1:0,5 menghasilkan produksi minyak keruing paling banyak, yaitu sebesar 16 gam/pohon/7 hari dibandingkan kontrol (4,3 gam/pohon/7 hari) atau dapat menaikkan produksi minyak keruing sebanyak 59%. 5. Tidak semua jenis keruing dapat disadap untuk mengeluarkan minyaknya. Salah satu jenis keruing yang dapat disadap untuk diambil minyaknya adalah keruing hijau (Dipterocarpus gandiflorus). 6. Penggunaan stimulansia cuka kayu dapat memberikan nilai ekonomi ganda pada tegakan keruing. Di satu sisi dapat diambil hasil minyaknya saat pohon masih berdiri dan di sisi lain batang kayunya masih dapat dimanfaatkan untuk pertukangan sekaligus dapat memudahkan proses pengerjaan batang kayu lebih lanjut setelah getahnya dapat dikeluarkan.
E. Ruang Lingkup
Penelitian ini akan fokus pada penggunaan stimulan organik hasil penelitian pada tahun sebelumnya, yaitu lengkuas, cuka kayu dan jeruk nipis yang dipadukan dengan metode sadapan bentuk V dan setengah spiral pada penyadapan getah jelutung dan metode sadapan tradisional pada sadapan kemenyan dari aspek produksi dan kualitas getahnya.
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
A. Getah jelutung Menurut Martawijaya dkk. (2005), ada 2 jenis jelutung penghasil getah di Indonesia, yaitu Dyera costulata Hook.f dan Dyera lowii Hook.f. Jenis ini termasuk famili Apocynaceae dengan nama daerah diantaranya adalah anjarutung, gapuk, jalutung, jelutung gunung, labuai, letung, melabuai, nyalutung, pantung jarenang, pantung kapur, pantung tembaga dan pulut. Menurut Coppen (1995), D. costulata disebut jelutung bukit sedangkan D. lowii disebut jelutung rawa karena tumbuh di dataran rendah yang berawa. Kedua jenis tersebut berbatang lurus yang tingginya dapat mencapai 50-60 m dengan diameter hingga 2 m. Penyebarannya di Semenanjung Malaysia, Kalimantan dan Sumatera dan sebagian di Thailand. Pohon jelutung termasuk pohon besar yang tingginya dapat mencapai lebih dari 50 m, batang pohon silindris, tinggi bebas cabang lebih dari 30 m, diameter sampai dengan 250 cm, bertajuk tipis atau jarang dan berdaun tunggal duduk melingkar pada ranting sebanyak 4-8 helai (Boer dan Ella, 2001). Kulit luar berwarna kelabu kehitam-hitaman, rata-rata kasar, dan mengeluarkan getah putih menyerupai susu. Muhammad (1994) menerangkan bahwa musim bunga/buah pohon jelutung tidak diketahui secara pasti. Buah jelutung masak berumur 8-9 bulan dari awal berbunga. Kayu jelutung berwarna putih, cukup lunak, dan mudah dalam pengerjaan, tetapi tidak awet. Berat jenis kayu berkisar 0,22-0,56. Kayu umumnya digunakan untuk membuat pola, pensil, hak sepatu dan peti pembungkus (Heyne, 1987). Martawijaya dkk. (2005) menyebutkan ada 2 jenis jelutung penghasil getah di Indonesia, yaitu Dyera costulata Hook.f. dan Dyera lowii Hook. f. Menurut Coppen (1995), D. costulata disebut jelutung bukit sedangkan D. lowii disebut jelutung rawa karena tumbuh di dataran rendah yang berawa. Menurut Boer dan Ella (2001), getah jelutung merupakan eksudat berupa cairan berwarna putih seperti susu yang secara perlahan-lahan akan menggumpal. Sumadiwangsa (1973) menyatakan bahwa getah jelutung merupakan senyawa polimer tinggi yang makro molekulnya mengandung rantai lurus. Monomernya
mempunyai gugus isopren dengan rumus (C5H8)n di mana n merupakan suatu bilangan yang sangat besar. Kualitas getah jelutung hutan alam kondisi segar mengandung 20% thermoplastic polyisoprene, 80% resin dengan berat jenis (BJ) 1,012-1,015 dan pH 7. Setelah 24 jam pH akan turun menjadi 5,5 dan setelah 48 jam menjadi 5 (Eaton et al. 1926; Boer dan Ella 2001). Sifat fisiko-kimia getah jelutung meliputi kadar air, kadar abu, kadar kotoran, kadar nitogen dan kadar ekstrak aseton. Sifat-sifat ini digunakan untuk membedakan kualitas getah satu dengan yang lainnya. Kadar air getah jelutung alam sekitar 70% dan dapat diturunkan dengan cara dipres menjadi 32,8-45,5%. Rata-rata kadar air getah jelutung sampai di industri 45% (Williams 1963). Menurut Waluyo (2003), kadar air getah jelutung alam asal Jambi siap ekspor 13,99%. Kadar air tersebut merupakan kadar air getah jelutung yang sudah dimasak/direbus dan dipres. Beberapa
teknik
penyadapan
jelutung
sudah
dikembangkan
untuk
meningkatkan produksi getahnya. Penyadapan dengan metode sadapan berbentuk “V” dapat menghasilkan getah jelutung bukit lebih banyak dibanding jelutung rawa (Coppen, 1995). Lebih lanjut disebutkan bahwa sadapan atas (arah pelukaan ke atas) lebih banyak dibanding sadapan bawah (arah pelukaan ke bawah). Metode sadapan hasil penelitian Waluyo (2010) menyebutkan bahwa metode penyadapan atau pola sayatan yang menghasilkan getah yang paling optimal adalah pola sayatan ½ spiral dari kiri atas kekanan bawah (½ S Kr-Kn). Banyak sedikitnya getah jelutung yang dihasilkan juga dipengaruhi oleh diameter pohon yang disadap, semakin besar lingkaran pohon yang disadap maka getah jelutung yang dihasilkan juga semakin banyak (Zulnelly dan Rostiwati, 1998).
B. Kemenyan Pohon kemenyan (Styrax spp) merupakan jenis pohon asli Sumatera Utara, khusunya daerah Tapanuli Utara. Masyarakat Tapanuli Utara secara secara turun menurun telah mengelola tanaman kemenyan sebagai mata pencaharian karena getahnya mempunyai manfaat beragam, mulai dari untuk upacara adat, sebagai bahan baku kosmetik dan obat-obatan. Namun demikian pengelolaannya masih tradisional sehingga perlu diperbaiki untuk meningkatkan produksi dan pendapatan masyarakat (Sasmuko, 1999).
Di dalam Majalah Kehutanan Indonesia (2007), terdapat dua jenis tanaman kemenyan yang diusahakan dan bernilai ekonomis yang tumbuh tersebar terutama di Tapanuli Utara, yaitu Styrax sumatrana (oleh masyarakat setempat disebut haminjon toba) dan Styrax benzoin (oleh masyarakat setempat disebut haminjon durame). Kemenyan Toba banyak diusahakan di Tapanuli Utara dan tumbuh pada ketinggian di atas 600 mdpl (Jayusman, 2014). Lebih lanjut disebutkan bahwa pertumbuhan pohon kemenyan jenis Toba lebih lambat dibandingkan jenis Durame. Kemenyan jenis Durame biasanya ditanam sebagai campuran kemenyan jenis Toba. Getah yang dihasilkan dari kemenyan Durame harganya lebih rendah dibandingkan jenis Toba, sehingga sering digunakan sebagai getah pencampur di kilang kemenyan. Pohon kemenyan memiliki ukuran sedang sampai besar dengan diameter 20– 30 cm dengan rata-rata mencapai 20 hingga 30 meter. Pohon kemenyan dapat tumbuh baik pada ketinggian tempat antara 600–2100 mdpl, jenis tanah podsolik merah kunig, latosol, litosol, andosol, podsolik coklat, podsolik coklat kelabu, podsolik coklat kuning, pH tanah antara 4–7 (Silalahi dkk, 2013). Getah kemenyan diperoleh dari pohonnya dengan cara disadap. Pohon yang siap disadap biasanya mempunyai ukuran diameter batang minimal 10 cm, dalam kondisi sehat dan mulai munculnya inisiasi atau tahap awal pembuangaan (Jayusman, 2014). Lebih lanjut dijelaskan bahwa penyadapan dilakukan dengan melukai kulit pohon kemeyan sedemmikian rupa sehingga kulit terkelupas atau terkoyak dan kemudian ditutup lagi. Penutupan kulit tersebut disertai dengan dipukul-pukul menggunakan alat panuktuk sebanyak 5–7 kali secara perlahan-lahan. Getah akan keluar di luka sadap setelah beberap minggu, apabila getah tersebut sudah mengeras, pemanenan akan dimulai yaitu dengan membuka luka sadap dan melepas kulit batang yang sebelumnya sudah dikoyak (saat penyadapan dilakukan).
C. Pemberian Stimulan Pemberian stimulan umumnya berguna sebagai zat perangsang etelin pada tanaman yang dapat meningkatkan tekanan osmosis dan tekanan turgor yang menyebabkan aliran getah akan bertambah cepat dan lebih lama. Menurut Hillis (1987), masuknya air ke dalam lumen sel epitel akan menyebabkan sel epitel
membesar dan selanjutnya akan menekan resin yang berada di dalam saluran damar sehingga resin hancur dan terdorong keluar. Setelah itu sel epitel akan memproduksi zat resin kembali untuk mengisi saluran damar tersebut. Menurut Riyanto (1980) pengaruh penggunaan stimulan dalam proses penyadapan dijelaskan sebagai berikut : 1. Saluran getah akan terhidrolisis sehingga tekanan dinding banyak berkurang yang berakibat getah keluar lebih banyak; 2. Sel-sel parenkim akan terhidrolisis yang mengakibatkan cairan sel akan keluar dan diserap oleh getah sehingga getah yang encer semakin banyak dan keluar melebihi normal; 3. Asam merupakan penyangga sehingga getah sukar membentuk rantai sikliknya dan tetap dalam bentuk aldehid sehingga getah encer dan keluar melebihi normal. Bahan stimulan yang hingga sekarang ini digunakan dalam penyadapan pinus banyak macamnya, tetapi komponen utamanya adalah asam sulfat dan asam nitrat atau campuran keduanya (Sudradjat dkk, 2002). Kedua asam tersebut termasuk oksidator kuat yang dapat merusak kulit manusia, kayu dan lingkungan. Stimulan yang biasanya digunakan berupa campuran H2SO4 dan HNO3, di mana diketahui bahwa penggunaan stimulan asam kuat tersebut mampu menaikkan getah pinus hingga sebesar 200%. Lebih lanjut Santosa (2011), mekanisme pemberian stimulan berbahan dasar asam kuat adalah: a. Memberikan efek panas pada getah sehingga getah lebih lama dalam keadaan cair dengan demikian mudah mengalir keluar dari saluran getah; b. Mempengaruhi tekanan turgor dinding sel sehingga getah cepat keluar dan saluran getah dapat terbuka dalam waktu yang relatif lama.
D. Stimulan Organik Upaya untuk mendapatkan stimulan yang dapat meningkatkan produksi getah pinus dan aman terhadap lingkungan sehingga ada jaminan kelestarian hasil dan yang menghasilkannya perlu dikembangkan. Alternatif bahan stimulan yang aman,
relatif murah, dan mudah didapat namun mampu meningkatkan produksi getah pinus terus dilakukan sebagai pengganti stimulan anorganik yang mengandung bahan berbahaya. Peningkatan produksi getah pinus dapat dilakukan dengan memanfaatkan peran Zat Pengatur Tumbuh (ZPT) seperti yang dilakukan oleh Santosa (2011). ZPT ini
merupakan
substansi
kimia
yang
konsentrasinya
sangat
rendah
dan
mengendalikan pertumbuhan dan perkembangan tanaman. ZPT tersebut sering disebut juga sebagai hormon pertumbuhan atau fitohormon (Gardner dkk, 1991). Fitohormon terdiri dari 5 jenis, yaitu auksin, giberelin, sitokinin, asam absitat dan etelin. Masing-masing jenis fitohormon memiliki fungsi masing-masing dan terkadang saling melengkapi satu dengan yang lain. Etelin (C2H4) sebagai salah satu jenis hormon yang berbentuk gas, bersifat mobile dalam jaringan tanaman dan merupakan senyawa organik (Dewi, 2008). Menurut Moore (1979), etelin memiliki fungsi di berbagai proses fisiologi seperti menstimulan pemasakan buah, menstimulan absisi daun, penghambat pertumbuhan akar, meningkatkan permeabilitas membran dan merangsang pembentukan bunga. Di bidang pertanian, etelin dimanfaatkan untuk penanganan pasca panen dalam proses penyimpanan buah atau untuk mematangkan buah seperti buah pisang, sirsak atau pepaya. Wattimena (1988) mengatakan bahwa etelin dapat dimanfaatkan juga untuk menstimulan/merangsang eksudasi getah. Dalam usaha perkebunan karet, etelin dimanfaatkan sebagai stimulan dalam penyadapan getah/lateks (Sumarmadji, 2002). Stimulan tersebut berupa etefon dengan merk dagang Ethrel atau Chepa. Senyawa tersebut bersifat asam yang dikenal sebagai generator ethelyne. Pemberian stimulan etefon dalam penyadapan lateks memberikan dampak berkurangnya masa ekploitasi karet, persentase Kering Alur Sadap (KAS) yang tinggi, terhambatnya perkembangan lilit batang dan produktivitas tanamanan semakin menurun (Tistama dan Siregar, 2005). Oleh karena itu harus diaplikasikan dalam dosis rendah dan mempertimbangkan potensi, sifat dan karakteriatik klon. Di bidang kehutanan, pemanfaatan etelin juga diterapkan sebagai stimulan dalam penyadapan getah pinus. Menurut Santosa (2011), pembentukan getah di dalam tanaman dapat ditingkatkan dengan mengaktifkan etelin di dalam tanaman
(ethylen endogen) dan adanya stress (pembuatan luka sadapan). Hasil penelitian penyadapan pinus di Hutan Pendidikan Gunung Walat menunjukkan bahwa pemberian ZPT dapat meningkatkan produksi getah pinus 2,6 kali dibanding kontrol. Selanjutanya pemberian ZPT yang dikombinasikan dengan stimulansia dapat meningkatkan produksi getah pinus sebesar 3,3 kali dibandingkan kontrol. Namun demikian pada penerapan di beberapa KPH di wilayah Perhutani Unit III Jawa Barat dan Banten, peningkatan produksi getah pinus diikuti beberapa kelemahan, yaitu : 1.
Pemberian ZPT dengan cara mengupas kulit di atas bidang sadap memerlukan waktu yang relatif lama sehingga dirasa memberatkan penyadap, akibatnya hasil pengupasan kulit tidak sempurna sehingga mempengaruhi penyerapan ZPT pada batang pohon;
2.
Pemberian ZPT dapar meningkatkan kapasitas produksi getah, namun kelancaran keluarnya getah masih tergantung pada stimulan organik maupun anorganik. Berdasarkan kelemahan tersebut kemudian dikembangkan formalasi ZPT
yang baru yang dikenal sebagai ETRAT. ETRAT tersebut mengandung ZPT dan stimulan organik dalam satu larutan yang berfungsi untuk meningkatkan kapasitas produksi getah dan memperlancar keluarnya getah. Pada dasarnya bahan stimulan yang digunakan dalam penyadapan pinus mempunyai komponen utama asam (misalnya asam sulfat dan asam nitrat). Asam tersebut berperan sebagai penyangga agar getah sukar membentuk rantai sikliknya dan tetap dalam keadaan aldehida sehingga getah tetap encer dan keluar melebihi normal (Riyanto, 1980). Berdasarkan hal tersebut akan diujicobakan cuka kayu sebagai bahan stimulan dalam proses penyadapan pinus untuk meningkatkan produksi getah. Tabel 2. Komponen kimia cuka kayu hasil karbonisasi kayu pinus No.
Komponen kimia
1.
Ethanol
2.
Pinus + kulit
Pinus tanpa kulit
0,45
0,28
Asamasetat
60,79
18,03
3.
Propanone
1,21
1,38
4.
Furanon
1,37
2,00
5.
Butanon
0,94
2,45
No.
Komponen kimia
Pinus + kulit
Pinus tanpa kulit
6.
Methyl furfural
0,69
0,84
7.
Furanmetanol
1,92
2,19
8.
Cyclopenten
1,21
0,88
9.
Pyran
0,52
-
10.
Methoxy quaiacol
2,86
3,67
11.
Cyclopropil carbinol
0,69
-
12.
Nonadiena
0,40
-
13.
Maltol
0,81
0,52
14.
Benzeldehida
0,42
1,37
15.
Methyl phenol
2,68
3,70
16.
Asam propionate
0,63
0,86
17.
Ethyl quaiacol
0,69
0,76
18.
Vanilin
0,27
0,61
19.
Glukopiranosa
0,35
-
20.
Kresol
-
0,61
21.
Asam pospat
4,86
40,76
Sumber : Pari dan Nurhayati (2009)
Cuka kayu atau asam cuka merupakan asap yang terbentuk melalui proses pembakaran yang terkondensasi pada suhu dingin. Tiga komponen utama yang terdapat dalam asap cair yang berasal dari kayu adalah asam asetat, fenol dan alkohol. Disebut juga cuka kayu karena komponen utamanya berupa asam asetat (CH3COOH), yaitu kurang lebih 50%. Asam asetat termasuk dalam kelompok asam lemah. Asam asetat sendiri merupakan senyawa yang biasa digunakan sebagai bahan pengawet makanan (menghambat pertumbuhan mikroorganisme yang mungkin berkembang dalam makanan) dan bekerja sebagai pelarut lipid sehingga dapat merusak membrane sel (Cahyadi (2005) dalam Pari dan Nurhayati (2009). Alkohol merupakan senyawa yang berfungsi sebagai denaturasi protein dan pelarut lipid sehingga juga dapat merusak membrane sel, sedangkan fenol adalah senyawa yang berfungsi sebagai desinfektan, denaturasi protein dan dapat menghambat aktivitas enzim (Ferdias (1992) dalam Pari dan Nurhayati (2009)). Karena sifatnya yang asam, cuka kayu dapat menghambat pertumbuhan mikroorganisme.
Berdasarkan Tabel 2 tersebut dapat dilihat bahwa asam asetat merupakan komponen utama cuka kayu yang berasal dari pembakaran kayu pinus baik dengan kulit ataupun tanpa kulit. Kemudian diikuti komponen fenol dan alkohol. Asam asetat inilah yang akan dijadikan bahan stimulan organik alternatif untuk meningkatkan produksi getah jelutung dan kemenyan yang aman dan ramah lingkungan sekaligus mejamin kelestarian hasil dan penghasilnya. Dalam penggunaannya untuk bahan stimulansia organik, cuka kayu akan dicampur dengan asam palmitat. Asam palmitat adalah asam lemak jenuh rantai panjang dengan rumus molekul CH 3(CH2)16COOH. Asam palmitat terdapat dalam bentuk trigliserida pada minyak nabati seperti : minyak kelapa, minyak kelapa sawit, minyak inti sawit, minyak avokat, minyak kelapa, minyak biji kapas, minyak kacang kedelai, minyak bunga matahari, dan lainlain. Asam palmitat juga terdapat dalam lemak sapi. Minyak tersebut merupakan ester gliserol palmitat maupun ester gliserol lainnya yang apabila disabunkan dengan suatu basa kuat, kemudian ditambahkan dengan suatu asam akan menghasilkan gliserol, asam palmitat disamping asam lemak lainnya. Minyak goreng, sebagai salah satu jenis asam palmitat, adalah minyak yang berasal dari lemak tumbuhan atau hewan yang dimurnikan dan berbentuk cair dalam suhu kamar dan biasanyadigunakan untuk menggoreng bahan makanan. Minyak goreng berfungsi sebagai pengantar panas, penambah rasa gurih, dan penambah nilai kalori bahan pangan. Lengkuas dipilih sebagai salah satu bahan stimulansia organik yang dapat digunakan dalam kegiatan penyadapan pohon bergetah. Komponen bioaktif dari golongan Zingiberaceae yang terbanyak adalah dari jenis flavonoid yang merupakan golongan fenolik terbesar dan terpenoid. Pada golongan flavonoid dikenal golongan flavonol. Komponen flavonol yang banyak tersebar pada tanaman misalnya yang terdapat pada lengkuas adalah galangin, kaemferol, quersetin dan mirisetin. Senyawa aktif antijamur yang berasal dari lengkuas mampu berikatan dengan asam amino dari protein dan membentuk produk konjugasi yang bersifat hidrofilik. Produk konjugasi yang terbentuk akan menghambat metabolisme sel karena senyawa yang terbentuk mengubah struktur asam amino yang berfungsi untuk metabolisme sel. Senyawa antijamur yang terkandung dalam lengkuas adalah eugenol, kaemferol, quersetin dan galangin. Senyawa-senyawa tersebut mampu menurunkan tegangan permukaan karena memiliki gup lipofil atau hidrofil dalam molekulnya. Gup lipofil
yaitu rantai karbon, cincin karbon dan gup karboksil dengan kation bervalensi dua sedangkan yang termasuk gup hidrofil adalah gugus hidroksil (-OH). Membran sitoplasma yang terdiri dari protein dan lemak memiliki sifat rentan terhadap bahan yang dapat menurunkan tegangan permukaan. Kerusakan pada membran sitoplasma memungkinkan ion anorganik seperti nukleotida, koenzim dan asam amino merembes keluar sel. Mekanisme inilah yang digunakan dalam penyadapan pohon bergetah. Bahan stimulansia organik alternatif yang lain yang dapat digunakan dalam kegiatan penyadapan pohon adalah jeruk nipis. Jeruk nipis mengandung unsurunsur senyawa kimia yang bermanfaat, yaitu limonen, linalin asetat, geranil asetat, fellandren, sitral dan asam sitrat. Menurut Rukmana (1995) dan Kataren (1975), kandungan asam sitrat jeruk nipis sebanyak 7% dan kandungan minyak atsiri limonen sebanyak 90%. Limonen (C10H15) merupakan monoterpen yang termasuk golongan hidrokarbon yang dominan menentukan bau dan sifat khas setiap jenis minyak. Minyak yang mengandung terpen jika disimpan dalam jangka waktu lama akan membentuk sejenis resin dan sukar larut dalam alkohol. Jeruk nipis juga mengandung zat bioflavonoid yang berguna untuk mencegah terjadi pendarahan pada pembuluh nadi, kemunduran mental dan fisik serta mengurangi luka memar (bruise). Menurut Nagy et al. (1977) terdapat beberapa jenis flavonoid yang ditemukan pada jeruk nipis yaitu hesperidin yang merupakan komponen terbesar, limonoid dan flavanon glikosida sebagai penyebab rasa pahit serta golongan terpen yang berperan dalam memberikan kesan “segar” pada aroma jeruk nipis. Winarno dan Laksmi (1974) mengatakan bahwa asam sitrat bersifat sebagai chelating agent (komponen penghambat) yaitu senyawa yang dapat mengikat logam-logam divalen seperti Mn, Mg dan Fe yang sangat diperlukan sebagai katalisator (senyawa yang membantu mempercepat suatu reaksi) dalam reaksi-reaksi biologis. Reaksi biologis dapat dihambat dengan penambahan asam sitrat, di mana asam sitrat dapat berperan seperti asam sulfat. Oleh karena itu penggunaan asam sitrat diharapkan juga dapat berperan seperti halnya asam sulfat dalam penyadapan pohon yang bergetah.
BAB III METODOLOGI
A. Lokasi Penelitian Lokasi penelitian teknik penyadapan getah jelutung dan kemenyan dengan menggunakan stimulan organik dilakukan di wilayah Sumatera Utara dan Kalimantan Tengah. Ujicoba stimulan organik pada penyadapan pohon jelutung dilakukan di KHDTK Tumbang Nusa dan sekitarnya. Areal KHDTK Tumbang Nusa dikelola oleh BPK Banjarbaru dan arealnya terletak di desa Tumbang Nusa, Kecamatan Jabiren Raya, Kabupaten Pulang Pisau, Palangkaraya. Pelaksanaan penelitian ujicoba stimulan organik pada penyadapan pohon kemenyan dilakukan di areal hutan rakyat di kecamatan Polung, Kabupaten Hasundutan dengan ibu kota kabuoaten di Dolok Sanggul.
B. Bahan dan Peralatan Bahan dan alat yang digunakan untuk penelitian ini adalah: pohon jelutung (Dyera, spp) dan pohon kemenyan (Styrax, sp) siap sadap, lengkuas (Alpinia galanga), cuka kayu dan jeruk nipis (Citrus aurantifolia Swingle). Alat-alat yang digunakan adalah pita ukur, pembersih kulit (bark shaver), pisau sadap (freshening knife), kampak, penampung getah, plastik putih, alat ukur berat/timbangan dengan ketelitian 0,1 gam, alat tulis, parang, batu asah, palu dan paku penahan tampungan getah.
C. Prosedur Kerja 1. Pembuatan stimulan organik a. Lengkuas Stimulan lengkuas diperoleh dengan cara mengekstrak dari umbinya sesuai prosedur Sukadaryati dan Dulsalam (2013), yaitu dengan cara diparut kemudian diperas dan disaring. Hasil perasannya kemudian ditampung dalam jeligen. Hasil perasan tersebut harus segera digunakan di lapangan, karena tidak tahan lama. Cairan hasil ekstrak stimulan hanya bertahan 1 hari di udara terbuka, sedang bila dimasukkan ke dalam kulkas mampu bertahan 1 minggu. Selama dibawa menuju
lokasi penelitian, ekstrak lengkuas harus ditempatkan di wadah tertutup atau di kotak pengawet makanan (container makanan) supaya tetap terjaga kesegarannya karena dikhawatirkan bila ekstrak stimulan hayati tersebut rusak tidak akan efektif sebagai stimulan.
b. Cuka kayu Stimulan organik cuka kayu diperoleh dari pembakaran limbah pohon pinus berupa ranting, cabang dan sisa batang. Pembakaran tersebut dilakukan selama 25–30 jam dengan lama pendinginan 6 jam. Hasil pendinginan berupa cairan asap yang dikenal sebagai cuka kayu dan biasanya berwarna coklat gelap cenderung hitam (crude). Cuka kayu tersebut mengandung 2 komponen, yaitu pyroligneus liquo dan bagian bawah merupakan endapan ter. Untuk memanfaatkannya kemudian dilakukan proses pemisahan atau destilasi antara 2 komponen tersebut. Destilasi dilakukan dengan pemanasan pada suhu ± 100–150 °C sedemikian rupa sehingga komponen-komponen lain terdestilasi kecuali ter yang akan tertinggal (Pari dan Nurhayati, 2009). Cuka kayu hasil destilasi inilah yang dimanfaatkan lebih lanjut.
c. Jeruk nipis Stimulan jeruk nipis diperoleh dengan cara mengektrak buah jeruk nipis atau dengan memeras buah jeruk nipis. Buah jeruk nipis diperas dengan terlebih dahulu dipotong-potong sedemikian rupa sehingga mudah untuk diperas (secara menual). Untuk mempermudah cara pemerasan dapat dilakukan juga dengan cara mengupas terlebih dahulu kulit buah jeruk (membuang kulitnya) kemudian dimasukkan kedalam blender dan dilakukan pem-blender-an. Setelah dibender, hasilnya kemudian disaring untuk memisahkan cairan dan ampas yang tersisa. Ekstrak buah jeruk yang berbentuk cairan siap digunakan untuk bahan stimulan organik.
2. Uji coba penggunaan stimulan organik a. Menentukan pohon sample secara purposive sebagai sample yang diberi perlakuan dan kontrol.
b. Mencatat kondisi awal pohon jelutung dan kemenyan yang akan disadap, seperti diameter pohon dan tinggi pohon. c. Membersihkan perdu atau semak sebelum penyadapan sedemikian rupa sehingga sinar matahari dapat langsung mengenai bidang sadap dan juga untuk memudahkan pengerjaan penyadapan. d. Melakukan penyadapan batang jelutung dan kemenyan dan menyemprotkan stimulan organik pada bidang perlukaan sebanyak ± 10cc. e. Memasang tempat penampung getah di sekitar bidang sadap sedemikian rupa sehingga getah bisa tertampung semua. f.
Mengumpulkan getah hasil sadapan antara 10–15 hari dan menimbangnya.
3. Pengujian Kualitas getah Kualitas getah jelutung dan kemenyan yang dihasilkan pada masing-masing perlakukan diuji di laboratorium dengan alat GCMS atau GMS untuk mengetahui kandungan kimianya dan dibandingkan dengan getah tanpa perlakuan.
D. Analisis Data Jenis stimulan yang digunakan baik pada penyadapan getah jelutung dan kemenyan adalah : S1 = cuka kayu : asam palmitat = 1 : 1 S2 = lengkuas : air = 1 : 1 S3 = jeruk nipis : air = 1 : 1 Rancangan penelitian dalam penyadapan getah jelutung adalah faktorial dengan perlakuan jenis stimulansia (S) : S1, S2, S3 dan K (kontrol) dan cara sadapan (T) : model V (T1) dan setengah spiral (T2) dengan ulangan 10 pohon sehingga jumlah sample pohon jelutung yang digunakan sebanyak 3 x 2 x 10 = 60 pohon + kontrol 20 pohon = 80 pohon. Rancangan percobaan ujicoba penyadapan jelutung dapat dilihat pada Tabel 3.
Sementara itu rancangan penelitian dalam penyadapan kemenyan dilakukan dengan perlakuan jenis stimulansia (S) : S1, S2, S3 dan K (kontrol) dengan cara sadapan sesuai kebiasaan petani kemenyan dan banyaknya ulangan 10. Rancangan percobaan ujicoba penyadapan kemenyan dapat dilihat pada Tabel 3. Tabel 3. Rancangan percobaan ujicoba stimulan organik pada penyadapan pohon jelutung Formula stimulan (S)
Teknik sadapan
S1
T1
(T)
Hasil getah S1T1U1 S1T1U2 S1T1U3 ... S1T1U10
T2
S1T2U1 S1T2U2 S1T2U3 ... S1T2U10
S2
T1
S2T1U1 S2T1U2 S2T1U3 ... S2T1U10
T2
S2T2U1 S2T2U2 S2T2U3 ... S2T2U10
S3
T1
S3T1U1 S3T1U2 S3T1U3 ... S3T1U10
Formula stimulan (S)
Teknik sadapan (T)
Hasil getah
T2
S3T2U1 S3T2U2 S3T2U3 ... S3T2U10
K
T1
KT1U1 KT1U2 KT1U3 ... KT1U10
T2
KT2U1 KT2U2 KT2U3 ... KT2U10
Tabel 4. Rancangan percobaan ujicoba stimulan organik pada penyadapan pohon kemenyan Formula stimulan (S)
Ulangan
S1
1
T1S1U1
2
T1S1U2
3
T1S1U3
..
...
10
T1S1U10
1
T1S2U1
2
T1S2U2
3
T1S2U3
..
...
10
T1S2U10
S2
(U)
Hasil getah
Formula stimulan (S)
Ulangan
S3
1
T1S3U1
2
T1S3U2
3
T1S3U3
..
...
10
T1S3U10
(U)
Hasil getah
Hasil produksi getah berdasarkan perlakuan tersebut di atas kemudian dianalisa dengan ANOVA. Dengan melihat F hitung padaTabel ANOVA tersebut dapat diketahui signifikan atau tidak nya antar perlakukan. Jika signifikan selanjutnya dilakukan uji Beda Nyata Terkecil (BNT) untuk mengetahui apakah ada perbedaan yang nyata atau tidak antar setiap kombinasi perlakuan.
BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN
A. Jelutung 1. Keadaan Umum KHDTK Tumbang Nusa Penelitian ujicoba penggunaan stimulan organik terhadap produksi getah jelutung dilakukan di areal KHDTK Tumbang Nusa. Secara administratif lokasi KHDTK Tumbang Nusa berada di desa Tumbang Nusa dan desa Tanjung Taruna, Kecamatan Jabiren Raya, Kabupaten Pulang Pisau, Propinsi Kalimantan Tengah. Menurut Tata Guna Hutan Kesepakatan, KHDTK Tumbang Nusa termasuk dalam wilayah Dinas Perkebunan danKehutanan Kabupaten Pulang Pisau, Dinas Kehutanan Propinsi Kalimantan Tengah. Secara geogafis areal ini terletak pada 2°17'–2°25'LS dan 114°00'–114°07'BT. Ketinggian tempat 0–5 mdpl, elevasi 0–18% dan kedalaman gambut ≥ 6 m. Klasifikasi iklim menurut Schmidt dan Ferguson termasuk tipe A dengan rata-rata curah hujan dari tahun 1998–2008 adalah 2.751 mm/tahun, suhu rata-rata 27°C, suhu minimum 23°C dan suhu maksimum 33°C. Rata-rata curah hujan 5 tahun terakhir (2009–2013) adalah 5.852 mm/tahun sedang data curah hujan pada dua tahun terakhir, yaitu tahun 2012 dan 2013, masingmasing tercatat sebesar 6.678 mm dan 8.775 mm. Pada saat musim hujan ketinggian air mencapai 25 cm di atas permukaan tanah. Jenis tanah di areal tersebut termasuk ordo histosol dan pH tanah 3,5. Luas KHDTK Tumbang Nusa menurut SK Menteri Kehutanan No. 76/MenhutII/2005 adalah 5.000 ha. Vegetasi yang tumbuh secara alami dari tingkat semai hingga tingkat pohon adalah meranti bunga, merapat, nyatoh, ramin, terentang, malam-malam, pantung, gerunggang, meranti batu, kapurnaga, keruing serta jenisjenis pohon khas hutan rawa gambut lainnya. Jarak KHDTK Tumbang Nusa dari Ibukota Propinsi Kalteng (Palangka Raya) sekitar 30 km sedangkan dari kantor BPK Banjarbaru sekitar 200 km dengan waktu tempuh kendaraan bermotor (roda 4) bisa mencapai 4 sampai 5 jam. Peta lokasi plot penelitian KHDTK Tumbang Nusa, Balai Penelitian Kehutanan Banjarbaru dapat dilihat pada Lampiran.
2. Getah jelutung Tegakan jelutung yang tumbuh di areal KHDTK Tumbang Nusa dan sekitarnya merupakan tanaman tahun 2004/2005 dengan jenis jelutung rawa (Dyera lowii Hook.f) dan jelutung gunung (Dyera costulata Hook.f). Kedua jenis jelutung ini tersebar merata di areal tersebut. Hasil pengukuran keliling batang jelutung yang digunakan untuk sample ujicoba dapat dilihat pada Tabel 5. Tabel 5. Hasil pengukuran diameter batang pohon jelutung No.
Diameter No. (cm)
Diameter (cm)
No.
Diameter (cm)
No.
Diameter (cm)
1
23.57 21
15.61 41
18.15 61
21.50
2
23.89 22
18.79 42
21.34 62
19.75
3
16.88 23
17.20 43
19.43 63
15.76
4
21.66 24
21.34 44
21.66 64
15.92
5
13.22 25
25.00 45
15.61 65
15.61
6
20.06 26
16.56 46
21.02 66
17.20
7
17.52 27
20.06 47
18.15 67
17.20
8
24.52 28
20.70 48
23.57 68
12.74
9
23.89 29
27.39 49
21.34 69
14.97
10
22.29 30
28.03 50
17.52 70
15.76
11
18.79 31
15.29 51
14.65 71
12.90
12
21.97 32
21.66 52
14.65 72
15.92
13
22.29 33
22.61 53
15.92 73
17.20
14
20.38 34
19.43 54
26.43 74
15.92
15
21.97 35
23.25 55
18.47 75
16.56
16
31.85 36
14.01 56
15.29 76
17.20
17
19.43 37
15.29 57
14.65 77
17.04
18
21.18 38
16.56 58
14.65 78
19.59
19
21.97 39
13.38 59
17.20 79
20.38
20
15.29 40
21.02 60
15.45 80
13.69
Rerata diameter (cm) = 21.26 SD = 12.28
Ujicoba penggunaan stimulan organik dalam penyadapan jelutung dilakukan berdasarkan 2 perlakuan, yaitu teknik penyadapan dan jenis stimulan. Teknik penyadapan yang digunakanterdiri dari 2 teknik, yaitu sadapan ½ spiral (T½) dan
sadapan bentuk “v” (T1). Jenis stimulan yang digunakan ada 3, yaitu berbahan dasar lengkuas (S1), jeruk nipis (S2) dan cuka kayu (S3). Masing-masing perlakuan dilakukan sebanyak 10 kali, selain itu juga ada kontrol atau tanpa diberi stimulan. Dengan demikian jumlah sample ujicoba sebanyak 80 pohon jelutung. Hasil ujicoba perlakuan berupa jenis stimulan dan teknik penyadapan dapat dilihat pada Tabel 6 berikut ini. Tabel 6. Hasil getah jelutung berdasarkan perlakuan pada tiga kali perlukaan Hasil getah jelutung (g)
Kode
Rerata (g)
Pelukaan ke 1
Perlukaan ke 2
Perlukaan ke 3
T1.S1.1
25
7
14
15.33
2
44
27
22
31.00
3
12
7
12
10.33
4
24
11
39
24.67
5
37
26
44
35.67
6
37
23
19
26.33
7
21
12
6
13.00
8
33
21
17
23.67
9
39
26
1
22.00
10
36
6
8
16.67
Jumlah
308
182
182
224.00
rerata
30.8
18.2
18.2
22.40
T1.S2.1
22
4
6
10.67
2
59
9
8
25.33
3
44
18
17
26.33
4
50
14
45
36.33
5
22
7
20
16.33
6
14
6
7
9.00
7
10
7
7
8.00
8
42
23
2
22.33
9
67
8
6
27.00
10
46
7
9
20.67
jumlah
376
127
127
210.00
Rerata
37.6
12.7
12.7
21.00
Hasil getah jelutung (g)
Kode
Rerata (g)
Pelukaan ke 1
Perlukaan ke 2
Perlukaan ke 3
T1.S3.1
90
8
23
40.33
2
47
19
12
26.00
3
59
12
28
33.00
4
38
17
5
20.00
5
14
15
16
15.00
6
33
15
14
20.67
7
43
14
13
23.33
8
44
12
18
24.67
9
30
17
26
24.33
10
47
21
3
23.67
jumlah
445
158
158
253.67
Rerata
44.5
15.8
15.8
25.37
T1.K.1
12
5
20
12.33
2
2
8
4
4.67
3
8
15
7
10.00
4
27
3
7
12.33
5
24
9
4
12.33
6
15
13
4
10.67
7
14
5
5
8.00
8
24
21
3
16.00
9
5
13
5
7.67
10
7
15
3
8.33
Jumlah
62
62
62.00
Rerata
6.2
6.2
6.20
T½.S1.1
35
17
13
21.67
2
26
13
15
18.00
3
52
14
9
25.00
4
23
9
10
14.00
5
20
6
7
11.00
Hasil getah jelutung (g)
Kode
Rerata (g)
Pelukaan ke 1
Perlukaan ke 2
Perlukaan ke 3
6
36
8
7
17.00
7
44
29
6
26.33
8
64
17
8
29.67
9
29
13
4
15.33
10
19
7
13
13.00
Jumlah
348
92
92
177.33
Rerata
34.8
9.2
9.2
17.73
T½.S2.1
30
10
4
14.67
2
24
5
13
14.00
3
24
10
12
15.33
4
22
25
10
19.00
5
35
14
11
20.00
6
14
8
7
9.67
7
20
5
7
10.67
8
23
13
7
14.33
9
21
12
7
13.33
10
41
39
6
28.67
Jumlah
254
84
84
140.67
Rerata
24.9
8.4
8.4
13.90
T½.S3.1
8
6
6
6.67
2
42
15
17
24.67
3
46
47
4
32.33
4
49
6
5
20.00
5
15
13
7
11.67
6
10
17
14
13.67
7
10
20
9
13.00
8
29
22
6
19.00
9
25
16
3
14.67
10
21
4
11
12.00
Jumlah
255
161
82
166.00
Hasil getah jelutung (g)
Kode
Rerata (g)
Pelukaan ke 1
Perlukaan ke 2
Perlukaan ke 3
Rerata
25.5
16.6
8.2
16.77
T½.K.1
23
15
7
15.00
2
35
21
4
20.00
3
10
7
5
7.33
4
7
5
5
5.67
5
7
11
5
7.67
6
20
13
6
13.00
7
22
7
17
15.33
8
9
17
4
10.00
9
33
4
3
13.33
10
16
12
5
11.00
Jumlah
182
112
61
118.33
Rerata
18.2
11.2
6.1
11.83
Berdasarkan Tabel 6 tersebut, getah jelutung hasil percobaan untuk setiap perlakuan disajikan secara ringkas dan dapat dilihat pada Tabel 7 berikut ini. Tabel 7. Rata-rata hasil getah jelutung sesuai perlakuan Jenis stimulan
Teknik penyadapan
Rerata
Setengah spiral
Bentuk V
Lengkuas
17,73 g
22,40 g
20.07 g
Jeruk nipis
13,90 g
21,00 g
17.45 g
Cuka kayu
16,77 g
25,37 g
21.07 g
Kontrol
11,83 g
6,20 g
9.02 g
Rerata
15.06 g
18.74 g
Berdasarkan Tabel 7 dapat dilihat bahwa getah jelutung yang dihasilkan dipengaruhi oleh teknik penyadapan dan jenis stimulan yang digunakan. Teknik penyadapan berbentuk “v” cenderung menghasilkan getah lebih banyak jika dibandingkan dengan teknik penyadapan ½ spiral. Penggunaan stimulan organik, baik berbahan dasar lengkuas, jeruk nipis dan cuka kayu dalam penyadapan pohon
jelutung akan menghasilkan getah jelutung lebih banyak dibandingkan tanpa stimulan (kontrol). Untuk melihat pengaruh masing-masing perlakukan terhadap getah yang dihasilkan dilakukan analisis anova dan hasil analisis dapat dilihat pada Tabel 8 berikut ini.
Tabel 8. Anova pengaruh teknik penyadapan dan stimulan terhadap produksi getah jelutung Sumber variasi
Derajat bebas
Jumlah kuadrat
Kuadrat tengah
F hitung
Teknik penyadapan (T)
1
235.675
235.675
5.339
0.024
stimulan (S)
2
1255.689
418.563
9.481
0.000*
TxS
2
252.066
84.022
1.903
0.137
Error
72
3178.532
44.146
5.339
Total
80
29796.863
Prob
Keterangan : * = beda nyata
Tabel 9. Hasil uji HSD pengaruh jenis stimulan terhadap produksi getah jelutung Stimulan
Stimulan
95% Confidence Interval
Mean Difference (I-J)
S1
dimension3
S2
dimension3
Std. Error
Sig.
Lower Bound
Upper Bound
S2
2.4005
2.10110
.257
-1.7880
6.5890
S3
-.4505
2.10110
.831
-4.6390
3.7380
K
9.4505*
2.10110
.000
5.2620
13.6390
S1
-2.4005
2.10110
.257
-6.5890
1.7880
S3
-2.8510
2.10110
.179
-7.0395
1.3375
K
7.0500*
2.10110
.001
2.8615
11.2385
S1
.4505
2.10110
.831
-3.7380
4.6390
S2
2.8510
2.10110
.179
-1.3375
7.0395
K
9.9010*
2.10110
.000
5.7125
14.0895
S1
-9.4505
*
2.10110
.000
-13.6390
-5.2620
dimension2
S3
dimension3
K
dimension3
S2
-7.0500
*
2.10110
.001
-11.2385
-2.8615
S3
-9.9010
*
2.10110
.000
-14.0895
-5.7125
Keterangan : S1=lengkuas, S2=jeruk nipis, S3=cuka kayu, K=kontrol, *=beda nyata
Berdasarkan uji Anova dalam Tabel 8 tersebut, pemberian stimulan berpengaruh nyata terhadap produksi getah jelutung yang dihasilkan. Hal ini menunjukkan bahwa hasil getah jelutung dipengaruhi oleh pemberian stimulan baik berbahan dasar lengkuas, jeruk nipis dan cuka kayu, artinya pemberian stimulan dapat meningkatkan produksi getah jelutung jika dibandingkan dengan kontrol (tanpa stimulan). Untuk mengetahui pengaruh jenis stimulan yang digunakan dilakukan uji lanjut yang dapat dilihat pada Tabel 9. Berdasarkan Tabel 9, pemberian jenis stimulan berpengaruh nyata terhadap produksi getah jelutung, dimana jenis stimulan cuka kayu dapat menaikkan produksi getah jelutung lebih tinggi dibanding dua jenis stimulan yang lainnya, ytiu lengkuas dan jeruk nipis. Rata-rata getah jelutung yang dihasilkan jika menggunakan stimulan cuka kayu, legkuas dan jeruk nipis masing-masing sebesar 21,07 g; 20,07 g dan 17,45 g. Rimpang lengkuas mengandung karbohidrat, lemak, sedikit protein, mineral (K, P, Na), komponen minyak atsiri, dan berbagai komponen lain yang susunannya belum diketahui (Darwis et al., 1991). Lebih lanjut disebutkan bahwa kandungan minyak atsiri lengkuas yang berwarna kuning kehijauan dalam rimpang lengkuas ± 1% dengan komponen utamanya metilsinamat 48%, sineol 20-30%, 1% kamfer dan sisanya d-pinen, galangin, dan eugenol penyebab rasa pedas pada lengkuas. Sementara itu komponen bioaktif pada rempah-rempah, khususnya pada golongan Zingiberaceae yang terbanyak adalah dari jenis terpenoid dan flavonoid (Sinaga, 2000). Komponen bioaktif seperti linalool, geranyl acetate, dan 1,8- cineole, yang menyebabkan aroma pedas menyengat pada lengkuas telah dibuktikan dapat menghambat pertumbuhan beberapa jenis jamur (Chukanhom et al., 2005). Dengan kata lain, komponen bioaktif tersebut dapat berfungsi sebagai anti jamur. Peningkatan produksi getah jelutung dengan menggunakan stimulan lengkuas disebabkan karena lengkuas memiliki senyawa anti jamur. Menurut Hezmela (2006) senyawa anti jamur tersebut mampu menurunkan tegangan permukaan karena memiliki grup lipofil dan hidrofil dalam molekulnya. Di dalam bahan aktif anti jamur lengkuas yang merupakan grup hidrofil adalah gugus hidroksil (-OH) sedangkan cincin karbon merupakan grup lipofil. Membran sitoplasma yang terdiri dari protein dan lemak memiliki sifat rentan terhadap bahan yang dapat menurunkan tegangan permukaan. Oleh
karena adanya gaya tarik menarik tersebut maka tegangan permukaan membrane sel parenkim berkurang sehingga getah mengalir keluar lebih banyak. Kandungan utama jeruk nipis berupa asam sitrat yang termasuk dalam kelompok asam lemah. Asam sitrat ini mampu berperan seperti asam sulfat, dimana dapat mempengaruhi tekanan dinding sel parenkim sehingga menyebabkan getah encer semakin banyak dan terus mengalir. Selain itu asam organik yang terkandung dalam jeruk nipis (asam sitrat) memiliki satu gugus hidroksil (OH) dan tiga gugus karboksil (COOH) sehingga mampu membentuk ikatan hidrogen yang lebih kuat terhadap molekul air pada saluran getah dibandingkan dengan asam sulfat yang hanya memiliki 2 gugus hidroksil atau OH (Kirk dan Othmer 1985). Gugus hidroksil tersebut diduga dapat menurunkan tegangan permukan sel. Membran sitoplasma yang terdiri dari protein dan lemak memiliki sifat rentan terhadap bahan yang dapat menurunkan tegangan permukaan. Oleh karena adanya gaya tarik menarik tersebut maka tegangan permukaan membrane sel parenkim berkurang sehingga getah mengalir keluar lebih banyak.Dengan adanya ikatan hidrogen yang lebih kuat, maka semakin banyak sel getah yang terhidrolisis sehingga getah keluar lebih banyak. Pemberian stimulan berbahan dasar cuka kayu mampu meningkatkan produksi getah jelutung disebabkan karena kandungan asam asetat (CH3COOH) yang dapat berperan untuk memperlancar keluarnya getah karena efek panas yang ditimbulkan dari kandungan asamnya. Selain asam asetat, kandungan cuka kayu yang lainnya seperti metanol, fenol, karbonil diduga dapat merangsang etelin pada tanaman untuk meningkatkan tekanan osmosis dan tekanan turgor yang menyebabkan aliran getah akan bertambah cepat dan lebih lama. Menurut Hillis (1987), masuknya air ke dalam lumen sel epitel akan menyebabkan sel epitel membesar dan selanjutnya akan menekan resin yang berada di dalam saluran damar sehingga resin hancur dan terdorong keluar. Setelah itu sel epitel akan memproduksi zat resin kembali untuk mengisi saluran damar tersebut. Getah jelutung yang diambil dari penyadapan pohon jelutung memiliki warna putih susu (larutan susu) dan tidak memiliki aroma yang yang khas seperti getah pinus misalnya. Secara visual jika diamati getah jelutung yang dihasilkan lebih bersih karena ditampung dalam tempat yang tertutup rapat (gelas plastik tertutup rapat di bagian atasnya) sehingga sisa-sisa ranting atau daun, kerikil atau batu kecil tidak dapat masuk ke dalam tempat penampungan plastik yang tertutup tersebut. Hanya ditemukan air hujan yang terjebak di dalam tempat penampungan tersebut namun demikian air tersebut
dapat dipisahkan dengan cara didiamkan beberapa waktu (1–2 hari) sehingga getah akan terpisah dengan air. Getah yang terpisah akan mengendap di bagian bawah sedang air hujan berada di bagian atas. Hasil uji kadar pengotor terhadap getah jelutung untuk masing-masing perlakuan dapat dilihat pada Tabel 10.
Tabel 10. Hasil pengujian kadar pengotor getah jelutung Jenis stimulan Kadar kotoran (%) Lengkuas
0,6969
Jeruk nipis
0,5432
Cuka kayu
0,4508
Kontrol
0,6954
Berdasarkan Tabel 10, kadar pengotor yang terdapat pdalam getah jelutung bervariasi namun tidak dipengaruhi oleh jenis stimulan yang diberikan. Pengotor yang ditemukan di dalam getal berupa potongan kecil-kecil sisa kulit batang pohon jelutung yang disadap. Getah jelutung yang dihasilkan dipengaruhi oleh cara penyadapan dan perilaku penyadapnya. Pengaruh perilaku penyadap terlihat saat pembaruan luka sadap, dimana penyadap tidak memindahkan dahulu tempat penampungan getah saat melakukan pembaruan penyadapan. Dengan demikian pengotor getah mudah masuk ke dalam penampung getah melalui talang yang mengalirkan getah ke dalam penampung getah. Stimulan yang digunakan tidak mempengaruhi kualitas getah yang dihasilkan.
B. Kemenyan 1. Keadaan Umum Lokasi Penelitian Areal hutan kemenyan yang digunakan untuk areal ujicoba merupakan hutan rakyat petani kemenyan. Hutan kemeyan ini sudah diusahakan secara turun temurun dari nenek moyangnya. Luas areal hutan kemenyan tersebut sekitar 4 ha dan terdapat kurang lebih 1000 tegakan kemenyan dengan tahun tanam yang berbeda-beda, namun semua tegakan kemenyan sudah diusahakan semua untuk
disadap. Lokasi hutan rakyat kemenyan tersebut terletak di Kecamatan Polung, Kabupaten Hasundutan dengan ibu kota di Dolok Sanggul. Kota Dolok Sanggul terletak di ketinggian tempat lebih dari 1000 mdpl dengan suhu udara dingin dapat mencapai 15°C. Perjalanan dari Bandara Kualanamu ke Dolok Sanggul ditempuh dengan jarak 275 km selama 5 sampai 6 jam.
2. Getah kemenyan Ujicoba stimulan organik penyadapan kemenyan didahului dengan observasi lapangan untuk menentukan tegakan kemenyan yang digunakan sebagai sample ujicoba, yaitu 40 pohon. Pemilihan sample ujicoba didasarkan pada pertimbangan pohon kemenyan siap sadap, yaitu sedang berbunga atau berbuah dan kondisinya sehat. Pada umumnya penyadapan kemenyan dilakukan pada saat pohon kemenyan sedang berbunga atau berbuah. Dalam satu hamparan tegakan kemenyan, masa berbunga ataupun berbuah akan berbeda-beda pada masing-masing pohon. Artinya masa perbungaan ataupun berbuah tidak terjadi secara serentak/bersama-sama dalam satu hamparan. Pada saat kegiatan penelitian dilakukan, sebagian pohon kemenyan sedang berbunga atau berbuah sehingga memungkinkan untuk disadap. Tegakan kemenyan yang digunakan sebagai sample ujicoba sudah pernah disadap, dimana dalam satu batang kemenyan terdapat bekas luka sadapan kurang lebih 40 buah yang tersebar sepanjang batang. Pembuatan luka sadap dilakukan pada batang kemenyan mulai ketinggian ± 20cm dari atas permukaan tanah sampai dengan ketinggian ± 3m berpola selang-seling (sebelah kanan-kiri) dengan jarak antar luka sadap ± 20– 30cm. Tegakan kemenyan mulai disadap setelah diameter pohon berukuran 20–30 atau berumur 10 tahun. Pembuatan luka sadap pada batang pokok kemenyan (bukan bagian cabang) dilakukan dengan menyayat kulit batang (namun tidak sampai lepas) ± 3–4 cm sejajar panjang batang dengan menggunakan alat sadap yaitu “panutuk” kemudian menutup kembali luka sadap dengan kulit batang yang disayat tadi. Setelah luka tertutup, dilakukan pemukulan dengan alat panutuk sebanyak 3–4 kali pada bagian yang sudah ditutup kembali dengan kulit batang menggunakan bagian pegangan dari alat panutuk tadi. Pada umumnya penyadapan kemenyan dilakukan tanpa menggunakan stimulan. Pada keadaan ini mereka menunggu sekitar 3 bulan untuk memanen hasil getahnya, namun jika mereka
mempunyai keperluan mendesak, mereka akan mengambil hasil getahnya lebih awal sebelum 3 bulan. Keadaan sebaliknya bisa terjadi manakala mereka belum mempunyai keperluan, mereka tidak akan mengambil getah kemenyan hingga 6 bulan. Sepertinya kegiatan pemanenan tersebut berhubungan dengan keperluan mereka untuk biaya masuk sekolah anak dan biaya merayakan hari raya (Natal dan tahun baru). Hasil pengukuran diameter batang kemenyan yang digunakan untuk sample ujicoba dapat dilihat pada Tabel 11.
Tabel 11. Hasil pengukuran diameter batang kemenyan No.
Diameter No. (cm)
Diameter (cm)
No.
Diameter (cm)
No.
Diameter (cm)
1
12.42 11
13.38 21
20.70 31
29.62
2
9.55 12
13.06 22
22.29 32
17.52
3
12.74 13
15.61 23
13.06 33
12.10
4
28.34 14
13.69 24
10.83 34
26.43
5
23.57 15
11.15 25
10.51 35
19.43
6
20.38 16
18.79 26
21.97 36
11.15
7
17.52 17
32.17 27
11.15 37
14.01
8
19.43 18
10.51 28
10.19 38
17.83
9
14.97 19
15.61 29
19.11 39
12.74
10 21.34 20 28.66 30 Rerata diameter (cm) = 17.03
12.10 40
15.61
SD = 18.88 Penyadapan pohon kemenyan yang biasanya dilakukan tidak menggunakan stimulan atau zat perangsang. Ujicoba penggunaan stimulan organik dalam penyadapan kemenyan dilakukan berdasarkan teknik penyadapan sesuai kebiasaan masyarakat setempat namun menggunakan stimulansia organik, yaitu berbahan dasar lengkuas (L), jeruk nipis (J) dan cuka kayu (CK). Masing-masing perlakuan dilakukan sebanyak 10 kali, selain itu juga ada kontrol atau tanpa diberi stimulansia. Dengan demikian jumlah sample ujicoba sebanyak 40 pohon kemenyan. Pertama-tama dilakukan pembersihan batang pohon kemenyan yang akan disadap dengan menggunakan alat “guris”. Pembersihan batang pohon kemenyan dilakukan dengan tujuan untuk menghilangkan jamur, lumut ataupun tanaman kecil
yang menempel pada kulit batang kemenyan. Jika tidak dibersihkan dikhawatirkan akan mengganggu kesehatan pohon karena dapat mempermudah jamur, lumut, dll masuk melalui luka sadap yang dibuat. Perlukaan kulit pohon kemenyan dilakukan dengan alat “panutuk” pada bagian pisaunya kemudian kulit yang terkelupas ditutup kembali
dengan
memukul-mukulnya
dengan
alat
“panutuk”
pada
bagian
pegangannya. Cara pemberian stimulan organik dilakukan dengan menyemprotkan stimulansia organik sebanyak 1cc atau setara dengan 10 kali semprotan pada luka sadapan. Pada penelitian dibuat 4 buah luka sadapan pada masing-masing batang kemenyan yang dipilih sebagai sample. Dengan demikian 1 sample batang kemenyan memerlukan 4cc stimulan organik. Untuk mempermudah pemanenan getah kemenyan, pada bagian batang yang sudah disadap diberi tanda sehingga saat memanen getah nanti yang diambil adalah getah yang menempel pada luka sadap yang kulitnya diberi tanda. Pemanenan getah kemenyan dilakukan dengan alat khusus yang disebut “agat’. Luka sadap yang tertutup kulit akan dibuka lagi dan getah akan menempel pada bagian kulit maupun pada bagian luka sadap. Pemanenan getah kemenyan sebagai sample ujicoba dilakukan 1 bulan setelah masa perlukaan. Getah kemenyan yang dipanen masih menempel pada kulit batang kemenyan dan bersifat sangat lengket jika dipegang. Hasil getah yang masih menempel di kulit yang diperoleh ditimbang dan hasilnya disajikan dalam Tabel 12. Getah kemenyan yang diperoleh dari lapangan sesuai Tabel 12 merupakan hasil penimbangan getah kotor, karena getah yang ditimbang masih menempel di kulit batang. Dengan kata lain, berat getah kemenyan yang diperoleh merupakan berat getah + kulit kemenyan. Pemisahan getah kemenyan dilakukan setelah getah diangin-anginkan atau dikering-anginkan sehingga getah terasa tidak lengket menempel di tangan jika dipegang. Pengeringan tersebut memerlukan waktu 5-7 hari tergantung cuaca lingkungan dan keadaan getah + kulit kemenyan itu sendiri (sangat basah atau ttidak terlalu basah). Jika cuaca sedang hujan sehingga kelembaab tinggi maka proses pengeringan akan berlasngsung lebih lama. Demikian juga dengan kondisi getah + kulit kemenyan yang terlalu basah akan menyebabkan proses pengeringan memerlukan waktu lebih lama. Pengeringan getah + kulit kemenyan tersebut dilakukan di laboratorium untuk memudahkan proses analisa selanjutnya.
Tabel 12. Getah kemenyan hasil pemanenan (berat kotor) No.
Stimulan
Ulangan
1
Jeruk nipis
1
25,62
2
2
Lengkuas
Berat kotor (g)
No 3
Stimulan
1
29,75
26,17
2
23,45
3
42,29
3
30,55
4
45,47
4
77,31
5
17,89
5
65,05
6
42,86
6
34,87
7
71,83
7
21,97
8
17,28
8
61,13
9
35,12
9
55,06
10
37,61
10
48,60
rerata
36,21
rerata
44,77
1
50,76
1
51,02
2
38,50
2
53,50
3
12,17
3
18,98
4
23,65
4
76,51
5
12,25
5
71,79
6
50,37
6
27,55
7
16,20
7
35,62
8
17,02
8
45,07
9
48,91
9
35,79
10
22,50
10
28,93
rerata
29,23
rerata
44,48
4
Cuka kayu
Ulangan Berat kotor (g)
Kontrol
Getah kemenyan kotor yang diperoleh kemudian dikering-anginkan dan dipisahkan antara getah dan kulit kemenyan dengan metode tertentu sehingga diperoleh getah bersih. Hasil getah kemenyan tersebut ditimbang,demikian juga dengan kulit kemenyan. Hasil penimbangan getah bersih dan kulit kemenyan dapat dilihat pada Tabel 13. Getah dan kulit kemenyan yang diperoleh dan disajikan pada Tabel 13 merupakan hasil penimbangan sementara, karena belum semua sample hasil getah kemenyan yang diperoleh (40 sample) dapat ditimbang. Dengan kata lain, getah dan kulit kemenyan yang diperoleh masih dalam proses analisa laboratorium termasuk penimbangan rendemen getah kemeyan yang diperoleh.
Tabel 13. Rendemen getah kemenyan yang dihasilkan berdasarkan perlakuan No.
Kode
Berat kulit (g)
Berat getah (g)
Rendemen (%)
1
L9
33.3783
6.0994
18.274
2
J3
26.7747
3.9013
14.571
3
CK5
53.2811
3.4618
6.497
4
K5
52.4527
1.6852
3.213
Keterangan : L=lengkuas; J=jeruk nipis; CK=cuka kayu; K=kontrol; angka yang mengikuti huruf merupakan nomer ulangan
Berdasarkan Tabel 13 dapat dilihat bahwa pemberian stimulan organik baik yang berbahan dasar lengkuas, jeruk nipis dan cuka kayu pada umumnya dapat meningkatkan produksi getah kemenyan. Pemanenan getah kemenyan yang dilakukan setelah 1 bulan masa perlukaan tersebut menunjukkan bahwa pemanenan getah kemenyan dengan menggunakan stimulan dapat meningkatkan produksi getahnya jika dibandingakan dengan kontrol (tanpa stimulan). Penggunaan stimulan berbahan dasar lengkuas dapat meningkatkan peroduksi getah kemenyan lebih tinggi dibandingkan stimulan jeruk nipis dan cuka kayu. Hasil getah kemenyan (rendemen) yang diperoleh dengan menggunakan stimulan lengkuas, jeruk nipis dan cuka kayu masing-masing sebesar 18,274%; 14,571% dan 6,497%. Rimpang lengkuas mengandung karbohidrat, lemak, sedikit protein, mineral (K, P, Na), komponen minyak atsiri, dan berbagai komponen lain yang susunannya belum diketahui (Darwis et al., 1991). Lebih lanjut disebutkan bahwa kandungan minyak atsiri lengkuas yang berwarna kuning kehijauan dalam rimpang lengkuas ± 1% dengan
komponen utamanya metilsinamat 48%, sineol 20-30%, 1% kamfer dan sisanya d-pinen, galangin, dan eugenol penyebab rasa pedas pada lengkuas. Sementara itu komponen bioaktif pada rempah-rempah, khususnya pada golongan Zingiberaceae yang terbanyak adalah dari jenis terpenoid dan flavonoid (Sinaga, 2000). Komponen bioaktif seperti linalool, geranyl acetate, dan 1,8- cineole, yang menyebabkan aroma pedas menyengat pada lengkuas telah dibuktikan dapat menghambat pertumbuhan beberapa jenis jamur (Chukanhom et al., 2005). Dengan kata lain, komponen bioaktif tersebut dapat berfungsi sebagai anti jamur. Peningkatan produksi getah jelutung dengan menggunakan stimulan lengkuas disebabkan karena lengkuas memiliki senyawa anti jamur. Menurut Hezmela (2006) senyawa anti jamur tersebut mampu menurunkan tegangan permukaan karena memiliki grup lipofil dan hidrofil dalam molekulnya. Di dalam bahan aktif anti jamur lengkuas yang merupakan grup hidrofil adalah gugus hidroksil (-OH) sedangkan cincin karbon merupakan grup lipofil. Membran sitoplasma yang terdiri dari protein dan lemak memiliki sifat rentan terhadap bahan yang dapat menurunkan tegangan permukaan. Oleh karena adanya gaya tarik menarik tersebut maka tegangan permukaan membrane sel parenkim berkurang sehingga getah mengalir keluar lebih banyak. Kandungan utama jeruk nipis berupa asam sitrat yang termasuk dalam kelompok asam lemah. Asam sitrat ini mampu berperan seperti asam sulfat, dimana dapat mempengaruhi tekanan dinding sel parenkim sehingga menyebabkan getah encer semakin banyak dan terus mengalir. Selain itu asam organik yang terkandung dalam jeruk nipis (asam sitrat) memiliki satu gugus hidroksil (OH) dan tiga gugus karboksil (COOH) sehingga mampu membentuk ikatan hidrogen yang lebih kuat terhadap molekul air pada saluran getah dibandingkan dengan asam sulfat yang hanya memiliki 2 gugus hidroksil atau OH (Kirk dan Othmer 1985). Gugus hidroksil tersebut diduga dapat menurunkan tegangan permukan sel. Membran sitoplasma yang terdiri dari protein dan lemak memiliki sifat rentan terhadap bahan yang dapat menurunkan tegangan permukaan. Oleh karena adanya gaya tarik menarik tersebut maka tegangan permukaan membrane sel parenkim berkurang sehingga getah mengalir keluar lebih banyak.Dengan adanya ikatan hidrogen yang lebih kuat, maka semakin banyak sel getah yang terhidrolisis sehingga getah keluar lebih banyak. Pemberian stimulan berbahan dasar cuka kayu mampu meningkatkan produksi getah jelutung disebabkan karena kandungan asam asetat (CH3COOH) yang dapat berperan untuk memperlancar keluarnya getah karena efek panas yang ditimbulkan dari kandungan asamnya. Selain asam asetat, kandungan cuka kayu yang lainnya seperti
metanol, fenol, karbonil diduga dapat merangsang etelin pada tanaman untuk meningkatkan tekanan osmosis dan tekanan turgor yang menyebabkan aliran getah akan bertambah cepat dan lebih lama. Menurut Hillis (1987), masuknya air ke dalam lumen sel epitel akan menyebabkan sel epitel membesar dan selanjutnya akan menekan resin yang berada di dalam saluran damar sehingga resin hancur dan terdorong keluar. Setelah itu sel epitel akan memproduksi zat resin kembali untuk mengisi saluran damar tersebut. Hasil getah kemenyan di Sumatera Utara pada umumnya terdiri dari 2 jenis berdasarkan jenis pohonnya, yaitu Styrax sumatrana yang dikenal dengan nama kemenyan toba dan Styrax benzoini yaitu kemenyan durame. Pada umumnya kedua jenis kemenyan tersebut dapat dikenali dari aroma atau bau kemenyan yang dihasilkan, dimana kemenyan toba beraroma lebih tajam. Kemenyan di Sumatera Utara diperdagangkan dalam bentuk bahan baku mentah atau getah kering. Khusus di lokasi penelitian, yaitu di Kecamatan Polung, terdapat 16 desa dan menghasilkan getah kemenyan kering sebanyak ± 1 ton/minggu. Penghasilan seorang petani kemenyan dalam 1 minggu dapat memperoleh ±10 kg, dengan harga kemenyan Rp1,3 juta. Penghasilan petani dalam satu bulan dapat mencapai Rp5,2 juta/bulan. Masa puncak panena kemenyan dilakukan petani pada bulan September dan Februari atau Maret. Pada umumnya perdagangan kemenyan dimulai dari petani kemudian dibeli oleh pedagang pengumpul di desa. Petani kemenyan mengenal pedagang pengumpul tingkat desa tersebut dengan sebutan “agen”. Dari “agen-agen” ini, kemenyan dikumpulkan oleh pedagang besar atau dikenal dengan nama “tokek” di tingkat kabupaten untuk kemudian dibawa ke pedagang di kota (provinsi) dan dijual ke pulau Jawa sebagai bahan baku berbagai produk. Hasil kemenyan dibeli oleh pedagang dari Siantar dengan harga kemenyan bervariasi tergantung kualitas kemenyan yang dihasilkan. Kualitas kemenyan yang dihasilkan tersebut berhubungan dengan warna getah kemenyan yang dihasilkan. Berdasarkan wawancara dengan petani penyadap, harga getah kemeyan yang dihasilkan meliputi 3 macam, yaitu 1) Rp130.000 per kg untuk kemenyan dengan warna putih bersih; 2) Rp80.000 per kg untuk kemenyan dengan warna coklat kemerahan dan 3) Rp40.000 per kg untuk kemenyan dengan warna hitam. Selain getah kemenyan kering, petani juga menjual kulit sadapan kemenyan setelah getah yang menempel dipisahkan. Kulit tersebut dikeringkan terlebih dahulu
dan dijual ke pengumpul dengan harga Rp4000/kg. Dalam satu tahun, petani kemenyan dapat memperoleh hasil penjualan kulit kemenyan sebanyak ± 700 kg dengan total tambahan pendapatan Rp2,8 juta.
BAB V KESIMPULAN DAN SARAN
A. Kesimpulan Berdasarkan hasil dan pembahasan di atas dapat disimpulkan sebagai berikut : Stimulan organik pada penyadapan jelutung : 1. Penggunaan stimulan berbahan dasar lengkuas, jeruk nipis dan cuka kayu pada penyadapan jelutung memberikan respon yang bervariasi terhadap produksi getah jelutung, namun pada umumnya dapat meningkatkan produksi getah jelutung yang diperoleh. 2. Stimulan berbahan dasar cuka kayu dapat menaikkan produksi getah jelutung lebih tinggi dibanding stimulan lengkuas dan jeruk nipis. Rata-rata getah jelutung yang dihasilkan jika menggunakan stimulan cuka kayu, lengkuas dan jeruk nipis masingmasing sebesar 21,07 g; 20,07 g dan 17,45 g. 3. Teknik penyadapan jelutung dengan luka sadap berbentuk ½ spiral maupun berbentuk V tidak mempengaruhi produksi getah jelutung yang dihasilkan atau dengan kata lain produksi getah jelutung yang dihasilkan dengan kedua teknik penyadapan tersebut tidak berbeda nyata. 4. Kadar pengotor yang terdapat di dalam getah jelutung berkisar antara 0,45%–0,70%. Banyak sedikitnya kotoran yang ikut masuk di dalam getah jelutung tergantung pada kebiasaan penyadap pada saat melakukan pembaharuan sadapan.
Stimulan organik pada penyadapan kemenyan : 1. Stimulansia organik berbahan dasar lengkuas, jeruk nipis dan cuka kayu dapat digunakan untuk meningkatkan produksi getah kemenyan jika dibandingkan dengan kontrol (tanpa stimulan). 2. Penggunaan stimulan berbahan dasar lengkuas dapat meningkatkan rendemen getah kemenyan dibandingkan stimulan berbahan dasar jeruk nipis dan cuka kayu. Rendemen getah kemenyan yang diperoleh dengan menggunakan stimulan lengkuas, jeruk nipis dan cuka kayu masing-masing sebesar 18,27%; 14,57% dan 6,50% 3. Selain getah kemenyan, kulit kemenyan yang sudah dipisahkan dari getahnya mempunyai nilai ekonomi (masih dapat dijual).
B. Saran 1. Stimulan organik dapat digunakan untuk merangsang keluarnya eksudat getah jelutung dan kemenyan sehingga dapat meningkatkan produksi getahnya. 2. Perlu inovasi penyadapan lebih lanjut agar proses perlukaan batang dan pemberian stimulan dapat dilakukan lebih efisien dan efektif.
DAFTAR PUSTAKA
Antoko, BS. 2011. Nilai Insentif Karbon hutan rakyat Kemenyan Berbasis Voluntary Carbon Market di Kabupaten tapanuli Utara. Tesis. Sekolah Pasca sarjana. IPB. Bogor. Tidak diterbitkan. Boer, E. and Ella, A.B. (Editors), 2001.Plant Resources of South-East Asia.No. 18.Plants ProducingExudates.Prosea, Bogor, Indonesia. Chukanhom, K., P. Borisuthpeth dan K. Hatai. 2005. Antifungal Activities of Aroma Components from Alpinia galanga against Water Molds. Biocontrol Science Vol. 10 No. 3 September 2005. Japan. Coppen, J.J.W. 1995. Gum, resins, and latexes of plant origin.Non Wood Forest Products.No.6. FAO, Roma. Darwis , S.N., M. Indo dan S. Hasiyah. 1991. Tumbuhan Obat Famili Zingiberaceae. Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanaman Industri. Bogor. Dewi, I.R. 2008. Peranan dan Fungsi Fitohormon Bagi Pertumbuhan Tanaman. Fakultas Pertanian Universitas Padjajaran. Bandung. Makalah. Tidak diterbitkan. Eaton, B.J.; C.D.V. Georgi and G.L. Teik. 1926. Jelutong. The Malayan Agricultural Journal XIV(9) : 275- 285 Gardner, F.P, R.B Pearee, R.L. Mitchel. 1991. Fisiologi Tanaman Budidaya. UI Press. Jakarta. Hezmela, R. 2006. Daya Antijamur Ekstrak Lengkuas Merah (Alpinia purpurata K. Schum) Dalam Sediaan Salep. Skripsi. Fakultas. Teknologi Pertanian. Institut Pertanian Bogor. Bogor. Tidak diterbitkan Hillis, W.E (1987) Heartwood and Tree Exudate. Springer Verlag. Berlin Heidelberg, New York, London. Jayusman. 2014. Mengenal pohon kemenyan (Styrax spp). Jenis dengan Spektrum Pemanfaatan Luas yang Belum Dioptimalkan. IPB Press. Bogor. Ketaren S. 1975. Minyak Atsiri. Bogor: Departemen Teknologi Hasil Pertanian. FATEMETA Institut Pertanian Bogor. Kirk BE dan Othmer DF. 1985. Encyclopedia of Chemical Technology. New York: The Interscience Encyclopedia Inc. Lubis, Zulkifli. 1996. Repong Damar: Kajian Tentang Pengambilan Keputusan Dalam Pengelolaan Lahan Hutan Pada Dua Komunitas Desa Di Daerah Krui, Lampung Barat. Laporan Penelitian. Universitas Indonesia. Jakarta. Martawijaya, A., I. Kartasujana, K. Kadirdan S.A. Prawira. 2005. Atlas Kayu Indonesia Jilid I. BadanPenelitiandanPengembanganKehutanan. DepartemenKehutanan. Bogor. Moore, T.C. 1979. Biochemestry and Physiology of Plant Hormones. SpringerVerlag. Berlin.
Muhammad, N. 1994. Selected Tree Species for Forest Plantation in Peninsular Malaysia:A Preliminary Consideration, Forest Research Institute Malaysia. Research Pamphlet. Nagy S, Shaw PE, Veldhuiss MK. 1977. Citrus Science and Technology Vol 2 AVI Publ. Co. Inc. Westport Connectticut. Nurrochmat, D.R. 2000. Dampak Krisis Ekonomi dan Moneter Terhadap Usaha Kehutanan Masyarakat : Kemenyan di Tapanuli Utara. Resilisiensi Kehutanan Masyarakat di Masyarakat Indonesia. Debut Press. Yogyakarta. Panshin dan De Zeeuw. 1970. Textbook of Wood Technology. Vol.1. McGraw Hill Book.Company. New York, Toronto. Pari, G dan Tj. Nurhayati. 2009. Cuka Kayu dari Tusan dan Limbah Campuran Industri Penggergajian Kayu Untuk Kesehatanan Tanaman dan Obat. Laporan Hasil Penelitian. Pusat Penelitian dan Pengembangan Hasil Hutan. Bogor. Tidak Diterbitkan. Riyanto, T.W. 1980. Sedikit tentang Penaksiran Hasil Getah Pinus merkusii Jungh et de Vriese. Duta Rimba. Hal 12–17. Santosa, G. 2010. PemanenanHasilHutanBukanKayu (HHBK). Wibsite http://members.multimania.co.uk. Diakses pada tanggal 17 Februari 2011.
:
Santosa, G. 2011. Pengruh Pemberian Etrat terhadap Peningkatan Produktivitas Penyadapan Getah Pinus (Studi Kasus di KPH Sukabumi Perum Perhutani Unit III Jawa Barat dan Banten). Laporan Penelitian. Fakultas kehutanan IPB. Bogor. Tidak diterbitkan. Sasmuko, A.S. 1999. Kemenyan (Styrax spp) Jenis Andalan Daerah Sumatera Utara. Buletin konifera No 1 Tahun XV. Balai Penelitian Kehutanan Pematang Siantar. Medan. Sasmuko, A.S. 2001. Kemenyan: Antara Misteri, manfaat dan Upaya Pelestarian. Buletin Konifera 1(XVI):13–18. Balai Penelitian Kehutanan Pematang Siantar. Medan. Silalahi J, Sukmana A, Antoko BS, Sunandar DA, Barus JA, Maik WS dan Sanjaya H. 2013. Buku Kecil: Kemenyan Getah Berharga Tano Batak. Balai Penelitian Kehutanan Aek Nauli. Aek Nauli, Sumatera Utara. Sinaga, E 2000. Alpinia galagal (L). Wild. Website : www.warintek.apiji.or.id. Diakses tanggal 10 Februari 2012. Siregar, H. 1999. Upaya-Upaya Konservasi Dalam Pengelolaan dan Pola Pemanfaatan Hutan Rakyat Kemenyan dan Hasilnya di Kabupaten Tapanuli Utara, Provinsi Sumatera Utara. Jurusan Konservasi Sumberdaya Hutan. Fakultas Kehutanan IPB. Bogor Soerianegara, I dan R.H.M.J Lemmens. 1994. Plant Resources of South East Asia. No 5(1). Timber trees: Mjaor Commercial Timber. PROSEA Foundation. Bogor. Sumadiwangsa, S. 1973. Klasifikasi dan Sifat Beberapa Hasil Hutan Bukan Kayu. Lembaga Penelitian Hasil Hutan, Bogor. Laporan No. 28.
Sumarmadji, 2002. Aplikasi Etefon pada Tanaman Karet Dilihat dari Segi Produksi Lateks dan Pembentukan etelin Jaringan Kulit. Jurnal Penelitian Karet 20(13):43–55. Suhardjito, D.,A. Khan, W.A Djatmiko, M.T Sirait dan S. Evelyna. 2000. Karakteristik Pengelolaan Hutan Berbasis Masyarakat. PT Aditya Media. Yogyakarta. Sukadaryati dan Dulsalam. 2013. Teknik Penyadpan Pinus Untuk Peningkatan Produksi Melalui Stimulan Hayati. Jurnal Penelitian Hasil Hutan 31(3):221– 227. Pusat Penelitian Keteknikan Kehutanan dan Pengolahan Hasil Hutan. Bogor. Sutjipto, 1977. Gondorokem (Seni Kuliah Hasil-Hasil Hutan Kayu). Yayasan Pembina Fakultas Kehutanan Universitas Gadjah Mada. Yogyakarta. Tistama, R dan THS Siregar. 2005. Perkembangan Penelitian Stimulan untuk Pengaliran Lateks Hevea brasiliensis.Warta Perkaretan 24(2):45–57. Waluyo, T.K. 2003. Perbandingan Sifat Fisiko-kimia Beberapa getah Jelutung (Dyera sp.) Olahan. Makalah Ekspose Hasil-hasil Penelitian Balai Penelitian dan Pengembangan Kehutanan Sumatera dalam Mendukung Pengelolaan Hutan Lestari. Tanggal 17 Desember 2003 di Medan. Waluyo, T.K, 2010. Penentuan Metode Penyadapan Getah Jelutung Hutan Tanaman Industri Berdasarkan Sebaran Saluran Getah Pada Kulit Batang. Thesis. Institut Petanian Bogor. Bogor. Tidak diterbitkan. Wattimena, G.A. 1988. Zat Pengantar Tumbuh Tanaman. IPB Press. Bogor. Williams, L. 1963. Economic Botany : Laticiferous plants of economic importance IV, Jelutong (Dyera spp.). The New York Botanical Garden. Baltimore, Maryland : 110-126 Winarno GF, Laksmi SL. 1974. Dasar Pengawetan, Sanitasi dan Keracunan. Bogor: Departemen Teknologi Hasil Pertanian. FATEMETA Institut Pertanian Bogor Zulnely dan T. Rostiwati.1998. Pengaruh Lingkaran pohon dan Lebar Torehan terhadap Hasil Getah Jelutung di Kalimantan Tengah.Buletin Penelitian Hasil Hutan Vol. 16(1) : 49-60.
LAMPIRAN
Gambar 1. Kondisi tegakan jelutung di KHDTK Tumbang Nusa
Gambar 2. Persiapan pembuatan stimulansia organik
Gambar 3. Tiga jenis stimulansia organik yang digunakan (S1= lengkuas, S2 = jeruk nipis dan S3 = cuka kayu)
Gambar 4. Alat penyadap pohon jelutung
Gambar 5. Cara penyadapan bentuk “V”
Gambar 6. Cara penyemprotan stimulansia
Gambar 7. Sample kegiatan penyadapan jelutung yang sudah diberi perlakuan
Gambar 8. Pelukaan batang yang ke 2
Gambar 9. Pelukaan batang yang ke 3
Gambar 10. Kondisi tegakan kemenyan
Gambar 11. Pohon kemenyan sedang berbunga
a
b c
Gambar 12. Tiga jenis stimulan organik yang digunakan (L= lengkuas, J = jeruk nipis dan CK = cuka kayu)
Gambar 13. Alat penyadapan dan pemanenan kemenyan (a=agat; b=panutuk; c=guris)
Gambar 14. Keranjang tempat getah kemenyan
Gambar 15. Pelabelan untuk mempermudah perlakuan
Gambar 16. Cara perlukaan kulit batang kemenyan
Gambar 17. Cara penyemprotan stimulansia
Gambar 18. Penutupan kembali kulit yang terkelupas dan menandainya untuk mempermudah pengamatan
a
b
Gambar 19. Getah kemenyan yang dipenen (a=menempel di dalam kulit; b=menempel di luar kulit)
Gambar 20. Getah kemenyan yang menempel di batang pohon
Gambar 21. Bekas pemanenan getah kemenyan
Gambar 22. Perlukaan pada kulit kemenyan akan menutup kembali setelah kurang lebih 1 tahun
LEMBAR PENGESAHAN
LAPORAN HASIL PENELITIAN TAHUN 2014
20.4.1.3
TEKNIK PEMANENAN RESIN DAN GETAH UNTUK PENINGKATAN PRODUKSI DAN KUALITAS
Bogor, ........................ Meyetujui: Koordinator,
Ketua Tim Pelaksana,
Prof.Ir. Dulsalam, MM
Sukadaryati, S.Hut.,MP
NIP. 19550722 198203 1 004
NIP. 19710419 199903 2 001
Menyetujui:
Mengesahkan:
Ketua Kelti,
Kepala Pusat,
Ir. Sona Suhartana NIP. 19
Dr. Ir. Rufi’ie, MSc. NIP. 19601207 198703 1 005
DAFTAR ISI
LEMBAR PENGESAHAN
i
DAFTAR ISI
ii
DAFTAR TABEL
iii
DAFTAR GAMBAR
iv
DAFTAR LAMPIRAN ABSTRAK
1
BAB I.
2
PENDAHULUAN A. Latar Belakang
2
B. Tujuan dan Sasaran
5
C. Luaran
5
D. Hasil yang Telah Dicapai
6
E. Ruang Lingkup
8
BAB II.
TINJAUAN PUSTAKA
BAB III. METODOLOGI
9 18
A. Lokasi Penelitian
18
B. Bahan dan Peralatan
18
C. Prosedur Kerja
18
D. Analisis Data
20
BAB IV.
HASIL DAN PEMBAHASAN
24
BAB V.
KESIMPULAN DAN SARAN
41
DAFTAR PUSTAKA
43
LAMPIRAN
46
DAFTAR TABEL Tabel 1.
Luas hutan rakyat kemenyan di Kabupaten Tapanuli Utara
4
Tabel 2.
Komponen kimia cuka kayu hasil karbonisasi kayu pinus
14
Tabel 3
Rancangan percobaan ujicoba stimulan organik pada penyadapan pohon jelutung
21
Tabel 4
Rancangan percobaan ujicoba stimulan organik pada penyadapan pohon kemenyan
22
Tabel 5
Hasil pengukuran diameter batang pohon jelutung
25
Tabel 6
Hasil getah jelutung berdasarkan perlakuan pada 3 kali perlukaan
26
Tabel 7
Rata-rata hasil getah jelutung sesuai perlakuan
29
Table 8
Anova pengaruh teknik penyadapan dan stimulan terhadap produksi getah jelutung
30
Tabel 9
Hasil uji HSD pengaruh jenis timulan terhadap produksi getah jelutung
30
Tabel 10
Hasil pengujian kadar pengotor getah jelutung
33
Tabel 11
Hasil pengukuran diameter batang pohon kemenyan
35
Tabel 12
Getah kemenyan hasil pemanenan (berat kotor)
37
Tabel 13
Rendemen getah kemenyan yang dihasilkan berdasarkan perlakuan
38
DAFTAR GAMBAR
LAPORAN HASIL PENELITIAN (LHP) TAHUN 2014
20.4.1.3 TEKNIK PEMANENAN RESIN DAN GETAH UNTUK PENINGKATAN PRODUKSI DAN KUALITAS
1. 2. 3. 4. 5.
Sukadaryati,S.Hut., MP Yuniawati, S.TP, M.Si Prof. Ir. Dulsalam, MM Wesman Endom, M.Sc Ir. Totok K Waluyo, M.Si
PUSAT PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN KETEKNIKAN KEHUTANAN DAN PENGOLAHAN HASIL HUTAN BADAN PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN KEHUTANAN KEMENTERIAN LINGKUNGAN HIDUP DAN KEHUTANAN BOGOR, DESEMBER 2014