Hasil ketik ulang dari dokumen asli (dokumen asli terlampir di bawah) : SUMBER : SUARA PEMBARUAN, 19 Maret 1993
Teater Ketjil Wadah Penggemblengan Aktor JAKARTA – Arifin C. Noer, sutradara Teater Ketjil, memang telah mengukir sejarah teater Indonesia modern. Sejarah telah menobatkannya sebagai dramawan Indonesia modern pertama yang mengadopsi teater-teater tradisional menjadi teater Indonesia modern. Di tangan Arifin, teater Indonesia Modern menjadi teater yang bukan merupakan ‘jiplakan’ teater Barat, melainkan menjadi metamorfosa teater tradisional (Ia sendiri pernah menyebutkan bahwa teater Indonesia – dan dengan demikian juga teater yang diasuhnya – saat ini sedang dalam masa pertumbuhan, bukan seperti di Barat namun tidak pula persis Timur). Melalui teater ketjil, Arifin menumpahkan semangat eksperimentasinya, membuatnya menjadi tokoh penting, mempunyai keunikan sendiri dibanding WS Rendra, Putu Wijaya dan Teguh Karya. Bahkan, Arifin menjadi ‘dewa’ Naskah-naskah drama karya Arifin menjadi semacam ‘buku wajib’ bagi dramawan-dramawan muda. Karya-karya Arifin yang selalu orisinal, selalu menjadi rekaman manusia Indonesia dengan segala persoalannya, membuat naskah-naskah drama Arifin menjadi sosok zaman. Demikian komentar-komentar beberapa seniman yang dimintai Pembaruan, di selasela perayaan ’25 Tahun Teater Ketjil’ yang diadakan di kediaman Arifin, Rabu (10/3). Mereka adalah Sutradara Teater Koma, Nobertus Riantiarno, Budi S Otong, (Teater SAE), dan Ratna Sarumpaet (Satu Merah Panggung) serta beberapa anggota teater kecil, antara lain Amak Baldjun, Chaerul Umam, Dorman Borisman, dan Ratna Riantiarno. Penulis dan Sutradara Menurut Budi Otong, meski Arifin, WS Rendra, Putu Wijaya dan Teguh Karya boleh dikatakan sebagai satu ‘angkatan’, Arifin mempunyai keunikan sendiri. Kalau WS Rendra lebih menonjol sebagai penulis naskah dan sutradara. “Dibandingkan dengan WS Rendra, Arifin masih mempunyai kelebihan lain. Kalau Rendra adalah penyair yang kemudian memanfaatkan teater sebagai media proses kreatif, Arifin adalah dramawan sejati. Sejak awal, Arifin hanya menggunakan media teater”, ujar Budi Otong. Di mata Budi, Rendra adalah penyair yang kemudian melakukan kerja kreatif drama. Konsekuensi logisnya, eksplorasi ide-ide Rendra dalam hampir semua dramanya, sesungguhnyaa adalah sama dengan eksplorasi ide dalam puisi. “Disitulah keunggulan Arifin, ia bersebadan dengan realitas keseharian manusia Indonesia, membaca sejarah, kemudian menuangkannya sebagai naskah drama”, jelas Budi kemudian mempertegas penilaiannya, Rendra lebih sebagai pemain dan sutradara, sedangkan Arifin lebih sebagai penulis dan sutradara. Pendapat senada dikatakan Ratna Sarumpaet. Bahkan menurut sutradara yang memang jarang berpentas ini, Rendra justru lebih sebagai pemain. “Tanpa mengurangi rasa hormat saya kepada Rendra, Rendra memang lebih menonjol sebagai pemain”, katanya. Sementara itu Amak Baldjun, salah seorang anggota senior Teater Ketjil menilai, Arifin adalah pekerja kesenian yang sangat tekun. Baldjun masih ingat, waktu masih di Jogja, Arifin melatihnya secara khusus. “Bukan latihan untuk sebuah pementasan, hanya untuk
mempertajam teknik permainan saya”, ungkap aktor ayang juga sering bermain di film layar lebar ini. Riantiarno juga setuju bila dikatakan bahwa Arifin merupakan seorang pekerja keras. Bukti yang dilihat Nano adalah konsistensi Arifin dalam berproduksi. Regenerasi Lemah Menyinggung regenerasi dalam Teater Ketjil, Budi Otong menilai, memang masih lemah. “Tapi jangan salah, bukan hanya Teater Ketjil yang seakan-akan mengabaikan regenerasi, juga hampir semua teater lain termasuk Bengkel Teater pimpinan WS Rendra”, kata sutradara yang sedang mempersiapkan pementasan untuk sebuah festival di Swiss ini. Karena yang lemah dalam generasi bukan hanya Teater Ketjil, Sutradara Teater SAE ini khawatir, jangan-jangan masalah regenerasi dalam dunia teater adalah sama dan sebangun dengan kondisi masyarakat Indonesia. “Mungkin juga berhubungan dengan regenerasi dalam masyarakat luas”, tukasnya. Diakui Budi, kekuatan sebuah teater yang hanya bertumpu pada seorang figur, sebetulnya adalah kenyataan yang tidak sehat. Karena di satu pihak, kesenian adalah sarana kebudayaan untuk mendorong dan merangsang kebersamaan serta kontinuitas. Namun ironisnya, para pekerja dan pemikir kesenian sering gagal dalam mewujudkan regenerasi. Namun Ratna Sarumpaet, menyanggah pendapat diatas. Menurut Ratna, regenerasi tidak harus diartikan sebagai kelahiran sutradara-sutradara muda untuk mengganti sutradara senior. “Pemain-pemain senior yang mendirikan kelompok sendiri, adalah regenerasi”, tandasnya. Ratna mengambil contoh beberapa anggota senior Teater Ketjil seperti Ikranegara, Chaerul Umam, adalah bukti nyata bahwa Teater Ketjil sudah menjalankan regenerasi. “Chaerul justru sudah berkiprah sebagai sutradara film, Ikra sudah mendirikan kelompok sendiri dan sudah menjadi sutradara”, ujar Ratna. Selanjutnya Ratna mengemukakan, regenerasi tidak bisa diartikan sempit, bukan berarti harus dengan melahirkan sutradara baru di tempat yang sama. “Dengan merangsang kemandirian sehingga para pemain senior mampu mendirikan kelompok sendiri, menurut saya sudah merupakan regenerasi yang baik. Dan itu sudah terjadi dalam Teater Ketjil”, katanya lagi. Amak Baldjun, juga membantah pendapat Budi Otong. “Lha, waktu Arifin ke Amerika, ada beberapa pementasan Teater Ketjil yang kami sutradarai sendiri”, ungkap Baldjun. Bahkan, beberapa waktu setelah Arifin kembali dari Amerika, masih ada lagi pementasan yang disutradarai anggota senior Teater Ketjil. Pendapat ini tidak berlebihan karena dalam pertunjukkan Sumur Tanpa Dasar di AS beberapa waktu pun, Arifin sempat mempercayakan penyutradaraan kepada Ikranagara.
Teater – Sutradara Bahwa pengaruh Arifin dalam Teater Ketjil memang sungguh kental, diakui Baldjun. Sebagaimana teater-teater lain, pegaruh sang sutradara (pendiri) selalu kentara, sehingga bayak orang luar yang menyangka, kelompok itu adalah sosok sutradaranya sendiri. Kuatnya pengaruh sutradara ini mungkin ada hubunganya dengan pola Arifin dalam berteater sebagaimana diungkapkan Jakob Sumardo. Jakob, dalam bukunya mengelompokkan Arifin sebagai orang yang menerapkan pola teater-sutradara seperti halnya Rendra, Teguh Karya, Putu Wijaya, dan Suyatna Anirun yang disusul oleh generasi Riantiarno dan Wisran Hadi. Ciri kerja golongan ini adalah mereka mengorganisir grup teater, menulis naskah, dan menyutradarai naskah, yang akan dipentaskan sehingga sangat menentukan nilai suatu pementasan. “Apa yang di sebut aktor hampir tidak menonjol dalam pementasan teater-sutradara ini, apalagi sifat lakon yang kerakyatan, simbolik, karikatural hampir tidak membutuhkan pemerataan yang kuat”, tulisnya.
“Meskipun demikian, bukan berarti tidak ada regenerasi, karena regenerasi bukanlah sebuah ‘kata kerja’ yang bisa dilakukan dalam tempo singkat, tetapi upaya menciptakan iklim yang mampu melahirkan bibit-bibit baru”, tandas Baldjun, aktor senior yang selalu bermain mempesona ini. Pendapat-pendapat Budi Otong, Ratna dan Amak Baldjun maupun Jakob sebenarnya masih dalam esensi yang sama. Apa yang dikatakan Budi Otong bahwa regenerasi dalam sejumlah kelompok teater di Indonesia masih lemah, ada benarnya. Betapa tidak, kehadiran seorang Budi Otong sendiri, dapat dijadikan sebagai bukti. Kalau Arifin, Rendra, Putu dan Teguh bisa disejajarkan sebagai satu generasi, public teater nasional masih menunggu cukup lama – untuk kelahiran generasi baru seperti Budi otong. Bahkan, sampai sekarang ini, belum begitu jelas, apakah generasi “Pasca, Arifin, Rendra, Putu atau Teguh” benar-benar sudah lahir? Andaikata “generasi baru” itu sudah lahir, misalnya saja seangkatan Budi Otong, ada beberapa kendala sosial yang mengurangi kesuburan generasi baru. Hal itu bisa saja menyangkut kesulitan untuk mengurus izin beberapa pementasan teater. Misalnya saja pelarangan yang sempat diderakan bagi WS Rendra. Sepanjang tahun 1974-1979, WS Rendra yang sudah mempunyai publik sendiri, harus puas dengan main teater dalam padepokan sendiri. Karya-karya seniman kawakan seperti Rendra, sempat tidak bisa dinikmati masyarakat, sehingga – langsung atau tidak langsung – ikut memperlambat generasi. Pelopor Drama Modern Di lain pihak, kelebihan Arifin sebagai penulis naskah, juga pantas dicatat. Bahkan Nano menyebut Arifin sebagai pelopor drama modern, khususnya dalam penulisan naskah, misalnya Mega-Mega atau Kapai-Kapai. Selain itu, sutradara Teater Koma ini melihat, dalam naskah-naskahnya Arifin sering mengeluarkan pernyataan yang mengejutkan yang selalu merangsang untuk dipikirkan kembali. Nano menyebut pernyataan tentang ozon (dalam lakon ozon yang dipentaskan bulan September 1989) yang tidak berhenti pada petikan berbagai berita mengenai bahaya ozon. “Lebih dari itu, Arifin melahirkannya dalam dramatisasi yang lebih mendalam”, kata Nano yang menganggap Arifin sebagai salah seorang gurunya di bidang teater. Sementara itu, Jakob Sumardjo mencatat sutradara ini sebagai orang yang pertama kali mementaskan naskah asli (Mega-Mega, 1969) untuk teater yang disebutnya sebagai periode Teater Indonesia Mutahir. Naskah lain yang dibuatnya adalah Kapai-Kapai (dipentaskan tahun 1970), Sumur Tanpa Dasar (1971), Tengul (1973), Orkes Madun (1974), Kocak-Kacik (1975), Orkes Madun II (1976), Sandek (1979), Interogasi (1984). Setelah itu, baru diikuti Rendra dengan naskah berjudul Mastodon dan Burung Kondor (1973), Perjuangan Suku Naga (1975), dan Sekda (1977). Berikutnya sutradara yang melahirkan naskah sendiri semakin banyak, misalnya saja Putu Wijaya, Ikranagara, dan Riantiarno. Meskipun demikian, dalam beberapa pementasan, Arifin juga menggunakan naskah terjemahan. Langkah ini bahkan menandai awal pementasan Teater Ketjil ketika bulan Februari mementaskan Pemburu Perkasa (Wolf Mankowitz, diterjemahkan oleh WS Rendra) dan Mata Pelajaran (Eugeno Ionesco, terjemahan oleh Nurul Aini). Arifin juga pernah mengangkap naskah lain karya penulis asing lain seperti Caligula (Albert Camus), Perang Troya (Giraudoux), Faust (Goethe), Machbet (Shakespeare), dan Polisi (Mrozek). Namun diantara berbagai penulis asing, Ionesco tampaknya mendapat tempat yang lebih istimewa di mata Arifin. Soalnya bukan saja The Lesson yang pernah digarapnya, namun juga Exit The King dan Machbet. Semangat Derision
Barangkali karena itu pula, beberapa waktu lalu Talha Bachmid menulis disertai yang berjudul Semangat Derision dalam Drama Kontemporer, Telaah Bandingan Dua Lakon: Kapai-Kapai karya Arifin C. Noer dan Badak-Badak karya Eugeno Ionesco. Ketika mempertahankan gelar dokternya di Universitas Indonesia, Talha, antara lain, membuktikan bahwa tuduhan epigonisme pengarang-pengarang kita, khususnya Arifin, kepada pengarang Barat, tidaklah benar. “Kesamaan antara Arifin dan Ionesco memperlihatkan sikap universalnya tema kemanusiaan yang dipilih, pentingnya memilih sikap tertentu dalam berkesenian (dalam hal ini sikap derision) serta pemahaman Arifin terhadap karya-karya Ionesco”, ujar Talha ketika mempertahankan karya ilmiahnya yang merupakan disertasi pertama yang membahas drama modern di Indonesia. Yang juga menarik adalah sikap Arifin dalam menetapkan casting (pemeran) yang dinilainya banyak orang bisa bersikap tegas. Mengenai hal ini, ia sendiri pernah mengatakan bahwa dirinya tidak pernah mencari pemain, tetapi peranlah yang memilih sendiri pemainnya. “Kalau saya memilih pemain, tentu saya bakal memilih isteri saya sendiri”, ujarnya. Di lain pihak, meskipun tegas, Arifin ternyata selalu memberi kebebasan kepada setiap orang untuk membentuk dan mengembangkan kemampuan masing-masing tanpa ada pemaksaan untuk mengikuti aliran-aliran teater tertentu, sehingga setiap orang merasa bebas untuk mengekspresikan dirinya. Menurut Dorman Borisman, dalam setiap pementasannya plot akting tidak dipaksakan untuk seragam, sehingga terkesan seperti gado-gado. “Namun justru inilah yang kemudian menjadi kekuatan Teater Ketjil”, katanya sambil menambahkan waktu karena itulah ia merasa cocok dengan Arifin. Dengan demikian, tidak mengherankan bila Teater Ketjil, seperti dikemukakan Ratna Riantiarno, dianggap sebagai wadah untuk penggembleng aktor-aktor. “Akhirnya kan terlihat banyak didikan Arifin yang berhasil diluar”, ujar isteri Riantiarno yang pernah bergadung dengan Teater Ketjil itu.