PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
TEATRIKALISASI KEHIDUPAN: STUDI TENTANG PENGALAMAN 7 AKTOR TEATER YOGYAKARTA DALAM MENCIPTA SINTHOME DI DUNIA PANGGUNG DAN KESEHARIAN
Tesis
Untuk memenuhi persyaratan mendapatkan gelar Magister Humaniora (M. Hum) di Program Magister Ilmu Religi dan Budaya, Universitas Sanata Dharma
Oleh: Doni Agung Setiawan 116322010
Program Magister Ilmu Religi dan Budaya Universitas Sanata Dharma Yogyakarta 2015
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
KATA PENGANTAR
Jalan keaktoran yang telah saya tekuni hingga saat ini pada akhirnya mengantarkan saya pada proses yang lain; yakni sebuah proses (yang tak kalah gawat dengan proses teater) untuk menuliskan kembali pengalaman-pengalaman para aktor teater dalam meyakini dan menjalani teater mereka masing-masing. Proses penulisan ini tak sanggup saya lakukan seorang diri; ada banyak pihak yang baik secara langsung atau tidak langgung turut berkontribusi dalam proses penulisan tesis ini. Untuk itu dalam kata pengantar ini, pertama-tama saya mengucapkan banyak terimakasih kepada para aktor yang telah meluangkan waktunya untuk menceritakan pengalaman-pengalaman mereka; Gunawan Maryanto,Tony Broer, Untung Basuki, Sutohir, Andika Ananda, Nunung Deni Puspita, dan Tita Dian Wulan Sari. Ucapan terimakasih sebesar-besarnya saya tujukan kepada Bapak St. Sunardi selaku guru sekaligus sutradara yang menyutradarai saya dalam penulisan tesis ini; terimakasih banyak atas petunjuk, pengetahuan dan kesabarannya dalam membimbing ketidaktahuan saya ini. Juga kepada Romo Banar (yang telah membuat saya masuk IRB), Mbak Desi (yang ikut-ikutan mumet dengan nasib saya), Romo Beny, dan para dosen IRB lain yang tak tersebutkan namanya, saya mengucapkan banyak sekali terimakasih atas segala pengetahuan yang dibagikan kepada saya. Terimakasih banyak kepada kawan-kawan tercinta, Tj, Gedheg, Agathon, Lamser, Muji, Arham, Frans, Vini, Ani, Zuhdi, Padmo, dan tentu saja banyak yang tak tersebut namanya atas kehidupan dan kebingungan yang warna-warni. Terimakasih banyak kepada Teater Seriboe Djendela dan Teater Garasi yang menjadi pintu masuk bagi saya untuk memasuki dunia fantasi ini. Terimakasih secara khusus saya persembahkan kepada Untuk Bapak-Ibuk (yang tak henti-henti berdo’a buat saya agar cepat lulus), Mbak Yu, Kang Mas, dan Lintang Wahyu atas segala dukungan yang telah diberikan kepada saya dalam menjalani proses kehidupan ini. Juga, untuk belahan jiwaku, Novita Budi Lestari yang entah bagaimana caranya selalu membuatku hidup berkali-kali (aku yakin kita akan hidup berkali-kali). Sykur kepada Tuhan atas segala misterinya yang tak pernah selesai ditafsirkan dengan seribu bahasa. Dan pada akhirnya terimakasih saya ucapkan kepada pembaca yang berkenan membaca tulisan ini. Selamat membaca.
vi
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
ABSTRAK
Aktor merupakan jantung dari pertunjukan teater. Tak jarang para aktor teater melakukan serangkaian proses yang berat dan panjang hanya untuk mementaskan pertunjukan yang berdurasi kurang dari dua jam. Biasanya mereka juga mengorbankan banyak hal untuk proses yang sedang di tempuh. Jika dinilai dengan uang yang mereka dapatkan sebagai honor pentas, jelas penghasilan tersebut tidak setimpal. Bahkan, mereka kadang-kadang tidak mendapat uang atau justru malah nombok. Namun demikian, mereka tetap berteater. Fenomena tersebut mendorong saya untuk melakukan penelitian ini. Seiring dengan proses penarasian data dan analisis, ditemukan bahwa ada tiga hal mendasar yang membuat para aktor tetap berteater, yakni kesenangan, pengetahuan, dan keyakinan. Tentunya ketiga hal ini merupakan modal bagi mereka untuk terus survive baik dalam berteater atau menjalani kehidupan sehari-hari. Secara keseluruhan, fenomena tersebut dianalisa dengan menggunakan perspektif psikoanalisa Lacanian. Berdasarkan analisis yang telah dilakukan, ditemukan bahwa hasrat para aktor (selain bahwa pada dasarnya ingin hadir di depan penonton/liyan) muncul atas pengalaman mereka berhadapan dengan das Ding/kekosongan dibalik teks atau wacana-wacana yang mereka hadapi dalam kehidupan sehari-hari (kekosongan dibalik material penandaan di dunia simbolik). Hasrat ini sekaligus menjadi dorongan bagi mereka untuk menempuh proses penciptaan yang berawal dari identifikasi (memaknai symptom) hingga proses penciptaan penanda-penanda baru (sinthome). Pengalaman yang ditempuh aktor dalam proses penciptaan hingga pementasan merupakan pengalaman sublimasi. Kata-kata Kunci: Aktor Teater, Sublimasi, Symptom, Sinthome, dan Jouissance.
vii
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
ABSTRACT
Actors are the heart of the theatre performance. They do hard and long process and sometimes they sacrifice a lot of things to create less than two hours performance theatre in common. Comparing to the amount of money they got as fee, clearly that income is unequal and even they sometimes do not get any money. On the other hand, they used their own money quite often for the performance needs instead of obtaining money. However, they still again and again create theatre performance. This phenomenon forces me to do this research. In accordance to the process of narating the data and analysis, I find out three fundamental things that keep actors continually in theatre process, those are pleasure, knowledge, and faith. Certainly, those things are their capital to survive in both theatre or everyday life. Over all, those phenomenon are analyzed by using Lacanian psychoanalysis. Based from the analysis, it is found that the actors’ desire (besides the fact that their basic desire is to present in front of audiences/other) stemp from their experiences seeing das Ding/the void of texts or discourses they face in everyday life (the void behind the material signification of the simbolic world). This desire becomes drive for them to go through the process which is began from identification (understanding their symptom) to the creating process of new signifiers (sinthome). The actors’ process creating the performance theatre is sublimation experience. Keywords: Actor of Theatre, Sublimation, Symptom, Sinthome, and Jouissance.
viii
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL.........................................................................................................i HALAMAN PERSETUJUAN.........................................................................................ii HALAMAN PENGESAHAN.........................................................................................iii PERNYATAAN KEASLIAN KARYA .........................................................................iv PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI ............................................................ v KATA PENGANTAR ....................................................................................................vi ABSTRAK .....................................................................................................................vii ABSTRACT....................................................................................................................viii DAFTAR ISI...................................................................................................................ix BAB I PENDAHULUAN ................................................................................................ 1 A. Latar Belakang ............................................................................................................ 5 B. Rumusan Masalah ....................................................................................................... 5 C. Tujuan Penelitian......................................................................................................... 5 D. Tinjauan Pustaka ......................................................................................................... 6 E. Kerangka Teori .......................................................................................................... 13 1. Teori Sublimasi .................................................................................................... 17 2. Pengalaman Keaktoran Sebagai Pengalaman Sublim.......................................... 19 F. Metode Penelitian ...................................................................................................... 23 G. Skema Penulisan ....................................................................................................... 27 BAB II MELEWATI BATAS-BATAS KEHIDUPAN MELALUI TEATER ............. 28 A. Perjalanan Menjadi Aktor: Perjalanan Melampaui Batasan ..................................... 28 B. Menghayati Peran: Menjadi Orang Lain ................................................................... 41 C. Menjalani Keseharian................................................................................................ 59 D. Memaknai Akting: Akting di Panggung Teater dan Panggung Keseharian ............. 67 E. Teater: Antara Kesenangan, Kegelisahan, dan Kegilaan Dalam Kehidupan ............ 71 BAB III RE-KREASI KEHIDUPAN MELALUI TEATER ......................................... 82 A. Membaca Penghayatan Aktor Melalui Perspektif Teori Subjek Lacanian ............... 83 1. Berpijak Pada Teks: Dari Subjek Makna Sampai Subjek Hasrat ......................... 83
ix
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
2. Berpijak Pada Tubuh: Dari Subjek Hasrat Sampai Subjek Dorongan .................. 95 3. Berpijak Pada Sinthome: Panggung Sublimasi ................................................... 112 B. Menjalani Kehidupan Dua Dunia............................................................................ 124 1. Dunia Keseharian (Simbolik): Batasan Yang Menjadi Dorongan ...................... 125 2. Melampaui Keseharian Melalui Teater............................................................... 135 BAB IV PENUTUP ..................................................................................................... 148 DAFTAR PUSTAKA .................................................................................................. 153
x
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Penelitian ini berangkat dari satu kegelisahan yang saya simpan sejak beberapa tahun yang lalu; kenapa ada yang mau bertahan menjadi aktor teater di tengah-tengah situasi perteateran yang kurang menjanjikan dalam hal ekonomi? Kegelisahan tersebut bermula dari fenomena-fenomena yang saya lihat (sekaligus saya alami sendiri sebagai aktor teater) melalui perjumpaan saya dengan orang-orang teater di Yogyakarta1, baik yang tinggal menetap atau sementara. Kegelisahan itulah yang menuntun saya untuk mencari tahu lebih jauh dengan melakukan penelitian ini. Ketika melakukan observasi (pengamatan hingga terlibat dalam proses penciptaan) dan wawancara untuk mencari data yang diperlukan dalam penelitian ini, saya mendapatkan kenyataan-kenyataan bahwa ada juga aktor teater yang survive secara ekonomi dengan modal keaktoran yang mereka kuasai, ada juga yang harus hidup dengan cara selain berteater. Namun saya menemukan satu hal yang dekat sekali dengan asumsi awal atas kegelisahan saya, yakni bahwa tujuan mereka (para aktor yang menjadi narasumber) berteater atau menjadi aktor teater lebih dari sekedar untuk mencari nafkah (bahkan pada awalnya bukan soal uang, melainkan karena senang). Dari pemaparan tersebut, terlihat adanya pemenuhan lain yang didapat melalui teater dan inilah kiranya yang membuat para aktor masih bertahan menjalani dunia 1
Di kota inilah saya mengenal teater, belajar teater, dan berteater baik sebagai aktor, sutradara, fasilitator, dan penata artistik (setting dan lighting), sekaligus sesekali menulis artikel seputar pertunjukan yang sebagian besar dari tulisan itu tidak pernah saya publikasikan.
1
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
teater meski harus mengorbankan banyak hal demi teater yang dilakukannya. Pemenuhan apakah yang bisa diperoleh dari teater (dalam hal ini melalui bidang keaktoran)? Setidaknya ada tiga hal yang membuat para aktor bertahan untuk menjalani dunia teater, yakni kesenangan, pengetahuan, dan keyakinan. Penelitian ini, di sisi lain, merupakan suatu upaya untuk membaca salah satu bidang yang paling sentral dalam dunia teater, yakni keaktoran. Barangkali wacana seputar keaktoran telah banyak di bahas dan telah banyak melahirkan teori dan bukubuku yang secara garis besar ditujukan sebagai metode penciptaan akting baik di luar negri ataupun di Indonesia. Namun dalam lingkup akademis, terutama di Indonesia, sejujurnya saya kesulitan untuk menemukan kajian yang secara khusus membahas bidang keaktoran. Adapun tulisan terkait, dalam ranah akademis yang saya maksudkan tersebut, keaktoran masih disikapi sebagai objek penciptaan (mislanya, karya tugas akhir kuliah), yang tentu saja lain dengan mewacanakan keaktoran sebagai fenomena budaya. Sementara, penelitian terkait dengan teater bisa lebih banyak kita temukan. Dalam hal ini teater dipandang sebagai teks yang bisa dianalisa dengan berbagai macam cara. Beberapa buku teori juga telah menyediakan perangkat perspektif untuk menganalisa teater, diantaranya adalah Theory/Theatre An Introduction (Mark Fortier, 2007), Performance Theory (Richard Schehner, 2004), Theory for Performance Studies (Philip Auslander, 2008). Dari beberapa buku tersebut bisa dilihat bahwa untuk membaca teater masih diperlukan perspektif lain karena teater sendiri tidak memiliki teori khusus kecuali adalah teori/metode penciptaan. Atau sebaliknya, teater (sejalan dengan sastra) menjadi bidang yang kaya wacana untuk penciptaan teori sosial, sebagaimana teks teater (atau sastra) senantiasa berbicara tentang kehidupan manusia.
2
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
Sehingga, ketika banyak kajian telah membahas fenomena teater dan keterkaitannya dengan wacana sosial, penelitian ini sekaligus ingin saya tempatkan sebagai kajian yang membahas fenomena pengalaman hidup aktor (jantung dari pertunjukan teater) sebagai fenomena budaya. Merujuk pada buku yang telah ditulis oleh Paula Saukko yang berjudul Doing Research in Cultural Studies: An Introduction to Classical and New Methodological Approaches, mengkaji pengalaman personal adalah sesuatu yang memungkinkan untuk menguak wacana sosial yang sedang terjadi karena bagaimanapun juga pengalaman personal merupakan konstruksi dari kehidupan sosial2. Aktor teater adalah manusia biasa yang tak lepas dari realitas kehidupan sosialnya sekaligus sebagai elemen terpenting teater yang ironisnya jarang sekali diteliti. Penelitian ini sekaligus membuat saya (belajar) melihat fenomena keaktoran dalam teater dengan cara lain; cara yang belum pernah saya pergunakan ketika saya berbincang-bincang dengan para pelaku teater dalam membicarakan teater terkait dengan proses penciptaan dan pementasannya. Tentunya cara ini merupakan perspektif teoritis yang harus saya gunakan sebagai pisau analisis, yakni perspektif psikoanalisa Lacanian khususnya terkait dengan teori subjek dan sublimasi. Sebagai hasil dari cara melihat fenomena keaktoran dengan perspektif psikoanalisa, saya melihat bahwa pengalaman aktor dalam menjalani dunia teater merupakan pengalaman sublim3. Dalam hal ini, saya ingin berpendapat bahwa bukan hanya teks pertunjukan yang sekiranya bisa ditempatkan sebagai hal yang patut
2
Paulo Saukko dalam bukunya yang berjudul Doing Research in Cultural Studies: An Introduction to Classical and New Methodological Approaches, Sage 2003. Lihat bab 4 halaman 74-75. 3 Mengenai konsep teori dan pengalaman sublim para aktor yang saya maksudkan tersebut bisa dilihat pada bagian kerangka teori.
3
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
diapresiasi, namun pengalaman individu-individu yang terlibat di dalamnya merupakan fenomena yang tak kalah penting untuk disikapi sebagai pengetahuan. Untuk itu dan atas pengetahuan yang saya peroleh dari cerita-cerita para aktor yang menjadi narasumber dalam penelitian ini, saya mengajukan satu judul sekaligus sesuatu yang menjadi tema dalam penelitian ini, yakni Teatrikalisasi Kehidupan: Studi Tentang Pengalaman 7 Aktor Teater Yogyakarta Dalam Mencipta Sinthome Di Dunia Panggung dan Keseharian. Alasan saya mengajukan judul tersebut sederhana; saya melihat jalan aktor adalah jalan untuk menghayati (baca: menyikapi) kehidupan. Berdasarkan cerita-cerita para aktor, cara yang ditempuh mereka untuk menghayati perannya di atas panggung pertunjukan berpijak dari proses mereka untuk mempelajari kembali kehidupan sehari-hari. Namun kita bisa mempertanyakan demikian: apakah dalam dunia keseharian para aktor juga menghayati kehidupan yang mereka jalani? Jika iya bagaimana caranya? Apa yang menjadi ciri khas seseorang yang hidup sebagai seniman teater sekaligus sebagai bagian dari masyarakat? Beberapa pertanyaan tersebut sekaligus menjadi pijakan saya untuk menarasikan dan menganalisa pengalaman para aktor dalam menjalani dunia teater dan dunia keseharian. Namun untuk merangkumnya, saya menggunakan dua rumusan masalah sebagai jalan untuk menelusuri fenomena kehidupan aktor teater yang akan saya paparkan pada bagian selanjutnya.
4
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
B. Rumusan Masalah Berangkat dari latar belakang yang telah saya tuliskan tersebut, dua rumusan masalah di bawah ini merupakan acuan saya dalam menyusun penelitian ini: 1. Bagaimana para aktor menghayati peran yang mereka mainkan di panggung pertunjukan? 2. Bagaimana mereka menyikapi kehidupan dalam dunia sehari-hari dan dunia teater?
C. Tujuan Penelitian Dari rumusan masalah yang dipaparkan di bagian sebelumnya, maka penelitian ini bertujuan untuk: 1. Meneliti perkembangan pembentukan subjek seorang aktor, yaitu aktor sebagai subjek bahasa (subject of language) dan subjek hasrat (subject of desire), sebagai subjek dorongan (subject of drive), dan pengalaman akan sinthome dalam panggung sublimasi. Masing-masing tahap ini bisa dikaitkan dengan pengalaman aktor saat mendalami makna naskah sampai mencapai kenikmatan atau kesenangan (pleasure) teks, saat seorang aktor melampaui makna dan kenikmatan teks menuju das Ding dalam teks, dan saat seorang aktor berhasil melahirkan penandanya sendiri (sinthome) dalam panggung sublimasi. 2. Meneliti pengalaman hidup aktor teater dalam menjalani dunia keseharian dan dunia teater dengan menempatkan dunia keseharian sebagai dunia simbolik yang bersifat represif dan dunia teater sebagai intervensi atas represi dunia keseharian
5
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
untuk mengetahui dialektika (pemaknaan) yang dilakukan oleh aktor teater atas pengalaman hidup di dua dunia tersebut.
D. Tinjauan Pustaka Penelitian pertama yang saya sebutkan dalam tinjauan pustakan ini adalah penelitian yang telah dilakukan oleh Airani Sasanti (satu-satunya senior saya di program studi Ilmu Religi dan Budaya Universitas Sanata Dharma yang menuliskan tesis tentang teater). Judul tesis yang ia susun adalah Pementasan Bocah Bajang: Negosiasi Teater Terhadap Media Massa Atas Makna Fenomena Ponari (2013). Dalam penelitian tersebut, salah satu narasumber yang cukup penting sekaligus juga merupakan salah satu narasumber dalam penelitian yang saya lakukan adalah Gunawan Maryanto (penyusun naskah sekaligus sutradara dalam pementasan teater yang diteliti oleh Sasanti). Dalam tesis Sasanti, poin utama yang ia teliti adalah praktik teater yang ditempatkan sebagai media komunikasi tandingan atas dominasi media massa. Atau hal ini juga bisa ditafsirkan sebagai respon teater terhadap fenomena sosial yang disebarluaskan secara masal oleh media massa. Dalam penelitian itu, yang ditonjolkan oleh Sasanti adalah wacana bahwa teater bukan hanya berfungsi sebagai tontonan, melainkan sebagai salah satu media komunikasi (wahana pengetahuan) yang diciptakan melalui serangkaian riset dan dibahasakan melalui estetika teater. Secara implisit, melalui tesisnya, Sasanti seolah ingin mengatakan bahwa teater merupakan media yang jauh lebih baik dari pada media massa untuk menyampaikan fenomena sosial (pengetahuan). Tentu ukuran baik ini merujuk pada mutu teks yang disusun sedemikian
6
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
rupa setelah menempuh proses observasi dan lamanya latihan sekaligus bahasa yang dipergunakan untuk menyampaikan teks tersebut. Namun, sebagai media komunikasi, teater jelas kalah telak dalam hal kecepatan dan jangkauan untuk menyampaikan berita dibandingkan media massa seperti koran atau televisi. Sayangnya, tesis Sasanti lebih banyak membahas fenomena Ponari dari pada menganalisa proses penciptaan dan pertunjukan yang dilakukan oleh Teater Garasi. Tentu saja, beberapa hal terkait dengan keaktoran jarang dibicarakan dalam tesis tersebut. Sehingga, penelitian Sasanti merupakan penelitian yang sangat jauh berbeda dengan penelitian yang saya susun ini. Penelitian kedua yang saya ajukan dan merupakan penelitian (yang dilakukan oleh senior saya) yang cukup membantu saya dalam mengkonsepsikan kerangka teori Lacan. Penelitian tersebut disusun oleh Irfan Palippui dengan judul Pengalaman Subjektifitas Religius Lewat Haji Bawa Karaeng (2013). Meskipun objek yang diteliti oleh Irfan merupakan objek penelitian yang sangat jauh berbeda dengan penelitian yang saya lakukan, namun demikian sebagian besar konsep teori yang digunakan kurang lebih sama terutama yang terkait dengan konsep sublimasi. Bedanya dengan penelitian ini, jika Irfan mengeksplorasi bentuk sublimasi religiusitas dalam dan lewat haji Bawa Karaeng, maka saya (berdasarkan objek penelitian yang berbeda) banyak membahas bentuk sublimasi estetis atas pengalaman aktor dalam menempuh proses latihan hingga bermain di atas panggung pertunjukan. Persamaannya, penelitian Irfan dan penelitian yang saya lakukan merupakan penelitian yang berbicara mengenai jalan hidup yang ditempuh manusia untuk menciptakan penanda baru. Penelitian ketiga (lebih tepatnya adalah buku yang ditulis berdasarkan disertasi) yang saya sebutkan dalam tinjauan ini ditulis oleh Yudiaryani dengan judul WS Rendra
7
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
Dan Teater Mini Kata (2015) yang diterbitkan oleh Galang Pustaka atas kerjasama dengan Institut Seni Indonesia Yogyakarta. Yang menarik perhatian saya, tulisan tersebut merupakan tulisan yang mengupas kehidupan Rendra yang hidup dalam dunia teater (sebagai seniman) dan dunia keseharian (sebagai bagian dari masyarakat). Meski fokus tulisan tersebut adalah proses kreatif Rendra, Yudiaryani sedikit banyak mengupas kehidupan Rendra dalam keseharian dengan pertimbangan bahwa ruang sosial Rendra merupakan sumber kreativitas Rendra dalam berkesenian. Secara umum, tulisan tersebut membahas Rendra dan karyanya, teater Mini Kata, melalui beberapa hal; pertama Yudiaryani membaca Rendra dan Mini Kata melalui perspektif teoritis analisis tekstual (teks dan konteks), kedua, Rendra dan Mini Kata dibaca sebagai produksi seni pertunjukan, ketiga, Rendra dan Mini Kata dibaca sebagai relasi intertekstual (pertemuan antara teater yang bercita rasa Indonesia dan Amerika), keempat, Yudiaryani membaca proses kreatif Rendra, Mini Kata, dan Bengkel Teater, kelima dekat kaitannya dengan yang keempat, Yudiaryani membaca proses kreatif rendra, Mini Kata, dan nomor Bip Bop, dan yang terakhir Yudiaryani menarasikan pemaknaannya atas kehadiran Rendra dan Mini Kata dalam teater modern Indonesia. Namun demikian, meskipun ada kemiripan dalam beberapa hal (Yudiaryani bagaimanapun juga telah meneliti kehidupan seniman teater dalam menjalani dunia teater dan dunia keseharian), penelitian yang saya lakukan merupakan penelitian yang bisa dibilang jauh berbeda. Pertama, dan tentu saja, objek material yang diteliti, kedua perspektif yang dipergunakan untuk meneliti, dan ketiga adalah fokus wacana yang dibicarakan. Dalam hal ini, yang menjadi poin pembahasan utama dalam penelitian saya adalah saya ingin menunjukkan bahwa pengalaman aktor teater dalam menempuh proses penciptaan teater merupakan pengalaman sublim.
8
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
Penelitian lain (disertasi) yang saya tinjau adalah penelitian yang dilakukan oleh Daniel Waycott Johnston. Penelitian tersebut berjudul Active Metaphysics: Acting as Manual Philosophy or Phenomenological Interpretations of Acting Theory (2007). Penelitian tersebut merupakan kajian filsafat dengan pendekatan fenomenologi Martin Heidegger. Sebagaimana tertera dalam judul tersebut, penelitian Johnston dimaksudkan untuk mewacanakan aktor sebagai wujud konkret filsuf manual atau yang ia istilahkan sebagai manual philosophy. Johnston menyebut aktor sebagai filsuf manual berdasarkan pada penafsirannya yang menyatakan bahwa akting merupakan suatu cara yang bisa digunakan untuk mengungkapkan aspek eksistensi dan being. Fokus penelitian yang dilakukan oleh Johnston ini berangkat dari dasar pemikiran Heidegger yang tertuang dalam Being and Time. Beberapa konsep kunci dari pemikiran Heidegger yang dipakai Johnston dalam merumuskan pemikirannya adalah konsep tentang kebenaran (truth), Dasein (Being There), Being in the world dan Being in itself. Saya tidak menerjemahkan istilah-istilah tersebut ke dalam Bahasa Indonesia karena dalam beberapa hal, padanan kata dalam bahasa Indonesia menurut saya mengurangi kelenturan makna istilah-istilah tersebut. Dalam tesisnya, Johnston menganalisa pemikiran tiga tokoh teater yang paling berpengaruh dunia, yakni Constantin Stanislavsky, Antonin Artaud, dan Bertolt Brecht dalam rangka untuk menguji aspek kebenaran eksistensial yang diusung oleh fenomenologi Heidegger melalui proses penciptaan akting. Johnston menegaskan bahwa ia tak bermaksud untuk menyandingkan gagasan Heidegger dengan pencapaian aktor, akan tetapi dengan meneliti aktor dalam menciptakan kediriannya melalui akting, hal tersebut menjadi dialektika baru dalam memahami fenomena kebenaran; Being there
9
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
dan Being in the world. Menurut Johnston, aktor teater merupakan perwujudan dari abstraksi pemikiran Heidegger terkait dengan kebenaran. Dalam tesisnya Johnston menyebutkan bahwa aktor merupakan filsuf manual atau dengan kata lain aktor merupakan perwujudan dari filsafat manual. Akan tetapi, Johnston menyatakan bahwa tidak semua aktor adalah filsuf manual. Hanya aktor-aktor yang sesuai dengan kategori ideal tiga tokoh teater tersebutlah yang layak disebut sebagai filsuf manual. Dengan kata lain, Stanislavsky, Artaud, dan Brecht merupakan tokoh ideal yang layak disebut sebagai filsuf manual. Cara ketiga tokoh tersebut dalam mengkonsepsikan ideal teater, ideal aktor, dan ideal kehidupan sudah dengan sendirinya mengantar ketiga tokoh tersebut sebagai tokoh kunci yang namanya layak disandingkan dengan pemikir-pemikir lain di bidang ilmu sosial. Sehingga, analisis Johnston dengan pendekatan
fenomenologi
Heidegger
terkesan
sekedar
mencocokkan
atau
menyetarakan; ibarat Heidegger membuat sebuah teori, sebuah abstraksi tentang kebenaran eksistensial kemanusiaan, Stanislavsky, Artaud, dan Brecht merupakan model yang tepat karena bidang mereka adalah bidang penciptaan akting yang kaitan mendasarnya adalah memperlihatkan perilaku manusia dalam dunianya sendiri. Namun demikian, saya menemukan hal yang menarik dari penafsiran Johnston yang menyatakan bahwa fenomena teater, atau yang tampak di panggung merupakan fenomena sebagaimana adanya. Peristiwa di panggung bukanlah sebuah kepalsuan atau sekedar representasi atas kenyataan, akan tetapi adalah kenyataan itu sendiri dengan kewajaran yang tak bisa disamakan dengan kewajaran sehari-hari. Penelitian berikutnya yang saya jadikan tinjauan adalah penelitian yang dilakukan oleh Marian McCurdy yang berjudul Acting and Its refusal in Theatre and Film (2014). Dalam thesis tersebut McCurdy meneliti perilaku aktor yang menolak untuk akting
10
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
(dalam film dan teater) atas pemahaman-pemahaman tertentu terkait dengan akting tersebut. Temuan sekaligus gagasan menarik yang ditegaskan (kembali) oleh McCurdy adalah fenomena peleburan makna antara akting dengan tidak akting. Pada pemahaman umum yang akarnya berangkat dari pemahaman tradisional terkait dengan akting adalah pemahaman yang menyatakan bahwa akting merupakan kepalsuan; suatu tindakan yang tidak sungguh-sungguh, tidak mewakili kenyataan, atau dengan kata lain akting adalah kepura-puraan yang lain dengan di keseharian yang mana perilaku manusia dimaknai sebagai yang nyata. Pemahaman tersebut berdampak pada penilaian terhadap aktor yang pada waktu itu dianggap sebagai manusia yang berbahaya, penghasut, pendusta. Penelitian McCurdy menggunakan data-data yang bisa dibilang baru, yakni produksi film dan teater di era kekinian (postmodern) yang mana muncul sebuah paradox yang menyatakan bahwa dunia keseharian, dunia yang dianggap nyata ini merupakan dunia yang penuh kepura-puraan dan kepalsuan; simulasi. Sementara, dunia film dan teater merupakan dunia yang dijadikan sebagai ruang untuk menemukan kenyataan yang bahkan di dunia ini akting (tindakan yang merepresentasikan kebohongan) merupakan hal yang dihindari. Jika di masa lalu akting merupakan hal yang ditolak karena akting yang dilakukan aktor merupakan profesi yang dianggap berbahaya, McCurdy melalui investigasinya justru menemukan bahwa di era saat ini para aktor justru menolak untuk akting. Beberapa aktor yang diteliti oleh McCurdy menyatakan bahwa ketika mereka menolak untuk melakukan adegan-adegan tertentu, mereka memang merasa bahwa tindakan diadegan tersebut tidak membuat mereka nyaman; membuat mereka seperti sedang melakukan kebohongan besar yang tidak sesuai kata hati (ideologi) mereka. Penelitian yang dilakukan oleh McCurdy ini secara tidak langsung mewacanakan kembali tentang
11
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
gagasan bahwa seni akting yang dipahami sebagai kepalsuan justru bermakna sebaliknya ketika dunia sehari-hari yang pada mulanya merupakan dunia nyata kini menjadi dunia simulasi dimana kenyataan dan representasi kenyataan merupakan hal yang lebur dan sulit untuk dikenali lagi. Menurut saya penelitian McCurdy merupakan penelitian yang menarik meski masih menyisakan beberapa hal yang saya anggap sebagai celah yang belum dianalisa secara mendalam. McCurdy tidak secara mendalam meneliti mekanisme akting yang dilakukan oleh aktor. McCurdy cenderung lebih mengeksplorasi sejarah yang menyatakan bahwa akting merupakan hal yang ditolak oleh banyak pihak. Dengan demikian, McCurdy terlalu cepat untuk menyatakan bahwa akting dalam film dan teater merupakan akting yang justru lebih nyata dibanding dengan yang ada di keseharian. Tinjauan pustaka berikutnya adalah penelitian literatur yang dilakukan oleh Shosana Felman dalam rangka untuk mengeksplorasi wacana kegilaan. Lantas apa kaitan wacana kegilaan dan literatur dengan penelitian ini (yang bertujuan untuk menggali pengetahuan dari pengalaman hidup aktor teater)? Berangkat dari pembacaan atas penelitian Felman dalam Writing and Madness, saya menemukan kesetaraan antara teater dengan literatur; pemain teater dengan penulis. Kesetaraan tersebut merujuk pada retorika; cara mengatakan sesuatu; cara mengartikulasikan dunianya. Dunia teater dan literatur adalah dunia yang kurang lebih sama, yakni dunia fiksi. Namun relevansi yang lebih penting atas penelitian Felman dengan penelitian yang saya lakukan adalah Felman membaca sastra dengan perspektif Lacan dan sedikit banyak saya merasa terbantu dengan cara yang ditunjukkan Felman melalui salah satu eksplorasinya dalam satu buah esai yang berjudul Honore de Balzac: Madness, Ideology, and the Economy of Discourse. Dalam esai tersebut, Felman menelisik hubungan antara kegilaan dengan
12
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
Novel. Melalui tokoh Don Quixote, Felman menemukan hubungan antara kegilaan dengan desire dengan bahasa; kegilaan Don Quixote adalah jalan untuk mengembalikan desire (hasrat) pada bahasa (membahasakan desire). Kegilaan Don Quixote bermula dari penghayatannya atas fiksi yang ia baca. Membaca fiksi, membaca naskah teater, atau menonton film, jika meminjam pemikiran Felman dalam study kasusnya terkait dengan Don Quixote, merupakan bentuk kegilaan. Fiksi merupakan hasrat, dan fiksi adalah sumber hasrat. Jika penulis novel menggunakan novel sebagai petualangan atas hasratnya, atau cara dia membahasakan hasrat, bagi Don Quixote, dirinya sendirilah kendaraan hasrat. Dalam keaktoran, melalui aktor hasrat dalam naskah diartikulasikan dalam bentuk laku: akting. Perbedaan antara aktor dan Don Quixote, aktor memiliki terminal untuk pemberhentian, yakni panggung. Sementara, Don Quixote membawa kegilaannya hingga akhir hayatnya.
E. Kerangka Teori Thus Truth draws its guarantee from somewhere other than the Reality it concerns: it draws it from Speech. Just as it is from Speech that Truth receives the mark that instates it in a fictional structure.4 Untuk menjawab rumusan masalah yang telah disebutkan pada bagian sebelumnya, penelitian ini menggunakan teori sublimasi Lacanian yang dikonseptualisasikan ulang oleh Marc De Kesel dalam bukunya yang berjudul Eros and Ethic: Reading Jaques Lacan’s Seminar VII yang diterjemahkan oleh Sigi Jottkandt. Melalui konsep teori ini,
4
Lacan, Jacques. ECRITS: The First Complete Edition In English, Tr. By Bruce Fink in collaboration with Heloise Fink and Russell Grigg, W. W. Norton & Company, Inc. 2006. Lihat halaman 684.
13
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
pengalaman hidup aktor teater ditempatkan sebagai pengalaman sublim; pengalaman subjek berhadapan dengan das Ding sebagai cara untuk melihat symptom dari sudut pandang yang lain. Pengalaman tersebut membuat subjek bisa menghadirkan diri kepada liyan dalam situasi yang lain melalui sinthome. Dengan kata lain, sublimasi membuat aktor bisa melampaui represi (memaknai symptom) yang berasal dari konstruksi dunia simbolik (dunia keseharian). Seseorang, dalam situasi normal (jika dilihat dari perspektif psikoanalisa Lacanian) selalu ingin hadir bersama orang lain. Kehadiran seorang dalam masyarakat; relasi seseorang dengan orang lain dalam sebuah kehidupan bermasyarakat, selalu dimediasi oleh bahasa, konvensi-konvensi, dan aturan main yang berlaku untuk mewujudkan kehidupan bersama. Artinya, untuk hadir bersama dengan yang lain, seseorang tidak bisa semena-mena dalam berperilaku; seseorang harus rela merepresi dirinya melalui Aturan/Hukum simbolik (Hukum-Sang-Ayah) dengan segala nilai-nilai dan norma-norma yang berlaku; tentang baik dan buruk; tentang apa yang boleh dilakukan dan apa yang dilarang. Terkait dengan relasi seseorang (subjek) dengan hal-hal diluar dirinya, Lacan secara rinci menjelaskannya dalam tiga fase, yakni: fase cermin, simbolik, dan real. Tiga fase inilah tahapan yang harus dialami seseorang untuk menjadi subjek dalam suatu kebudayaan tertentu. Melalui tiga fase ini, subjek kehilangan otentisitasnya sebagai binatang. Sebagai gantinya, ia menjadi subjek kebudayaan; subjek yang harus mengartikulasikan desire—hasratnya (hasrat yang berasal dari liyan; hasrat atas lack
14
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
yang ia alami) melalui sistem budaya yang telah tersedia karena ia diinginkan demikian sejak jauh-jauh hari sebelum ia dilahirkan5. Dunia imajiner dalam teori Lacan juga disebut sebagai dunia cermin (fase cermin); fase ini dimulai pertama-tama ketika sang anak memahami dirinya melalui gambaran yang dipantulkan oleh cermin (atau sesuatu yang bersifat merefleksikan, misalnya wajah ibunya). Fase cermin ini merupakan pengantar bagi anak untuk memasuki dunia penandaan karena pada fase ini setidaknya sang anak sudah bisa ‘melihat’ dan mengidentifikasi diri (mengenali diri dengan cara berelasi dengan sesuatu di luar dirinya). Mengandaikan sang anak berhadapan dengan cermin sebenarnya, maka sang anak melihat bayangan dirinya melalui cermin; bayangan itu menimbulkan pemaknaan atas dirinya (ego terbentuk, sang anak tahu siapa dirinya; “aku adalah bayangan di cermin”). Mengandaikan bahwa cermin adalah orang lain, misalnya adalah ibunya atau apa yang dikatakan ibunya, maka konsekuensinya adalah sang anak tahu siapa dirinya: “aku adalah bagian dari ibuku, aku adalah kesenangan ibuku, aku adalah anak ibuku, dsb.” Fase ini terus berlangsung dalam kehidupan subjek; subjek tidak pernah selesai dalam mengidentifikasikan dirinya sebagaimana identifikasi tersebut merupakan kepalsuan; bayangan di cermin hanya merupakan bayangan, ilusi, atau sesuatu yang bukan benar-benar dirinya (sebatas sesuatu yang dikatakan liyan)6. Dunia simbolik, di sisi lain, merupakan dunia yang terbentuk oleh sistem penandaan atau relasi penandaan. Dalam arti luas, dunia simbolik ini bisa dipahami sebagai kebudayaan, dunia material, dunia bahasa, dunia penandaan, atau dengan kata lain, dunia yang menghadirkan subjek dalam relasi penandaan beserta hukum5
Konsepsi tersebut berdasarkan pembacaan atas penafsiran Hommer dalam membaca Lacan. Sean Hommer dalam bukunya yang berjudul Jaques Lacan, Taylor & Francis e-Library, 2005. 6 Lihat Hommer dalam satu bab tulisannya yang berjudul The Imaginary, 2005: 17.
15
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
hukumnya. Dalam arti lain, dunia simbolik merupakan dunia yang membuat subjek bisa mengartikulasikan hasratnya sekaligus dunia yang memberi batasan bagi subjek untuk memperoleh kenikmatan atas hasratnya; dunia simbolik inilah yang bisa memberikan pemenuhan dan kepuasan bagi subjek, namun di dunia ini subjek tidak mengalami kepuasan yang sepenuhnya (terbatas(i)/terepresi). Sedangkan dunia Real (das Ding/the Thing) adalah dunia yang ada tapi tidak ada; kekosongan (hanya karena subjek belum tahu bagaimana mengatakannya dan tidak akan pernah sepenuhnya bisa mengatakannya). Dimaknai demikian karena dunia ini diandaikan berada dibalik bahasa atau dunia yang tertutupi oleh dunia simbolik (dunia simbolik selalu berusaha membahasakan dunia ini, namun bahasa ini menjadi penutup atau mengisyaratkan sesuatu dibalik tutup itu). Sekalinya subjek membuka tutup bahasa, yang ditemui subjek hanyalah kekosongan. Di dunia yang kosong inilah subjek kembali melihat dunia simboliknya (symptom-nya atau masa lalunya) dengan cara yang lain. Dengan demikian subjek mampu menciptakan pemaknaan baru atas masa lalunya; makna ini tak lain adalah sinthome (cara/bahasa yang dipinjam dari dunia simbolik untuk mengatakan pengalaman subjek ketika berhadapan dengan di dunia Real dan memandang kehidupannya dengan cara lain)7. Sehingga, dunia Real tetap kosong dan sinthome menjadi penutup baru (bahasa/penanda baru) atas kekosongan dunia Real. Ketiga fase pembentukan subjek tersebut hadir sebagai/dalam kebudayaan. Sebagaimana subjek dan kebudayaan merupakan satu bagian yang utuh (tak ada subjek tanpa kebudayaan dan sebaliknya) maka tak hanya kebudayaan yang serta merta membentuk subjek; ada kalanya subjek bisa merubah kebudayaan (ketika subjek membuka kekosongan yang ditutupi oleh material kebudayaan dan mengisi kekosongan 7
Merujuk pada handout perkuliahan yang disusun oleh St.Sunardi.
16
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
itu dengan penanda baru). Dalam praktiknya, kebudayaan tidak pernah berhenti di satu titik. Kebudayaan senantiasa berkembang dengan segala perubahan aspeknya. Bagi Lacan, perubahan ini (dan mula-mulanya sebelum ada perubahan) hanya mungkin terjadi melalui sublimasi; peristiwa subjek membuka tabir bahasa (melewati batasan bahasa), melihat kekosongan (berhadapan dengan das Ding), dan mengisi kekosongan itu dengan penanda baru (sinthome)8. Lebih jauh terkait teori sublimasi dalam kaitannya dengan penelitian ini akan saya uraikan pada bagian selanjutnya. 1. Sublimasi Sejalan dengan Freud, Lacan mengatakan bahwa kebudayaan terbentuk dan berkembang dari proses sublimasi dengan tiga karakter; histeris (seni), obsesif (agama), dan paranoia (pengetahuan). Namun apa pengertian dari sublimasi itu sendiri? Lacan mengatakan (dengan cara yang sukar dipahami) bahwa sublimasi (berpijak dari relasi objek) adalah to elevate the object to the dignity of Thing9. Salah satu kata kunci dari definisi tersebut adalah Thing yang merujuk pada das Ding atau the Real (kekosongan). Sublimasi bisa dilihat dari konsepsi Lacan terkait relasi objek; definisi to elevate the object to the dignity of Thing (untuk mengelevasi objek pada kehormatan Thing) menandai adanya subjek, objek (dalam dunia simbolik) dan Thing/das Ding yang saling berelasi. Hal ini bisa dipahami lebih jelas dengan melihat teori subjek Lacan; dinamika subjek ketika berada dalam dunia imajiner (dunia identifikasi), dunia simbolik (dunia bahasa), dan dunia Real (dunia di luar bahasa).
8
Marc De Kesel dalam bukunya yang berjudul Eros and Ethic: Reading Jaques Lacan’s Seminar VII Tr. by Sigi Jottkandt, State University Of New York: Sunny Press, 2009. Lihat halaman 166. 9 Lihat Kesel, 2009: 175.
17
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
Dunia simbolik menjamin pemenuhan bagi subjek dalam bentuk kenikmatan yang bersifat represi; subjek memperoleh kenikmatan jika mau mengikuti Hukum-SangAyah. Atau, subjek memperoleh kenikmatan tetapi terbatas karena di dunia ini subjek menemukan bahwa Liyan (yang diharapkan mampu memberikan kepuasan penuh) ternyata juga memiliki lack. Dunia simbolik ini merupakan sebuah dilema; di satu sisi hanya dunia ini yang mampu menjamin pemenuhan atau menyediakan objek hasrat bagi subjek, namun pemenuhan yang didapat tidak benar-benar memuaskan sehingga subjek tetap menjadi subjek hasrat. Terlebih lagi, dunia simbolik ini selalu dikuasai oleh Hukum-Sang-Ayah yang merepresi subjek. Represi ini melahirkan symptom; penanda yang sulit ditafsirkan sekaligus penanda yang menandai jouissance yang terepresi. Represi ini membuat subjek mengalami neurosis patologis hanya jika subjek tak bisa menafsirkan dan membahasakan symptomnya sendiri.10 Dunia Real hadir sebagai ‘intervensi’ atas dunia simbolik; karena dunia Real ini merupakan kekosongan yang telah diisi/ditutupi oleh dunia simbolik, maka dunia Real seolah-olah selalu memberontak pada keterbatasan bahasa dalam membahasakan dunia Real ini. Dunia simbolik, alih-alih ingin membahasakan dunia Real, justru malah menutupi dunia Real karena keterbatasan yang dimiliki oleh dunia simbolik itu sendiri. Satu-satunya jalan untuk menuju dunia Real adalah symptom. Dengan kata lain, symptom yang terbentuk oleh represi dunia simbolik merupakan pintu bagi subjek untuk memasuki dunia Real; untuk mencari kenikmatan (atau sesuatu yang diduga dapat memberikan kenikmatan penuh) dibalik tutup dunia simbolik. Namun begitu subjek berhadapan dengan das Ding, yang ditemui subjek hanyalah kekosongan. Dalam situasi
10
Merujuk pada handout perkuliahan yang ditulis oleh St.Sunardi. Lihat juga tulisan Kesel, 2009: 166; “Sublimation enables us to relate consciously and “rationally” to the impossible structure of our desire”.
18
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
inilah subjek mampu melihat symptom dengan cara lain dan situasi ini menyediakan dua kemungkinan; subjek mengalami pengalaman traumatis, atau subjek mengalami pemenuhan tanpa pengalaman traumatis. Pemenuhan non-patologis ini terjadi jika subjek mampu memaknai symptom dan melakukan transversing of fantasy11 (mengatasi trauma atas kekosongan dunia Real) dengan hasil sinthome atau penanda baru untuk menutup kekosongan dunia Real. Dengan demikian, untuk mengelevasi objek pada tingkatan das Ding bisa dipahami sebagai proses yang ditempuh subjek untuk memaknai symptom menjadi sinthome dan menggunakan sinthome untuk menutup kekosongan pada das Ding. Dengan demikian, subjek mendapatkan kenikmatan tanpa represi, sekaligus tetap berjarak pada dunia Real. Justru dengan adanya jarak tersebut maka hasrat subjek tidak padam sehingga subjek tetap memiliki dorongan untuk menempuh kehidupannya (dengan cara yang lebih segar setelah melalui pengalaman sublim). Tentunya cara yang ditempuh oleh masing-masing subjek untuk menghadapi das Ding tidak bisa disamakan. Pengalaman yang berbeda ini menghasilkan kebaruan dalam kebudayaan yang bisa dilihat melalui tiga hal; seni (sublimasi estetis), agama (sublimasi religius), dan ilmu pengetahuan (sublimasi sains)12. Masing-masing karakter sublimasi ini menghasilkan berbagai macam penanda baru yang membuat kebudayaan tidak berhenti di satu titik. 2. Pengalaman Keaktoran Sebagai Pengalaman Sublim Teater merupakan sebuah fenomena yang berubah dari masa ke masa melalui tiga bentuk sublimasi yang dikonsepsikan oleh Lacan (estetis, religius, sains). Teater pada 11 12
Merujuk pada handout perkuliahan yang ditulis oleh St.Sunardi. Kesel, 2009: 183.
19
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
mulanya merupakan sebuah ritual dalam prosesi keagamaan, lantas dalam perkembangannya, teater berdiri sebagai karya seni yang tidak semata-mata bertujuan untuk menciptakan estetika, namun juga melahirkan pengetahuan atas kehidupan (menciptakan perubahan sosial misalnya dalam bentuk teater yang lebih aplikatif13). Keaktoran dalam hal ini dipandang sebagai jalan berkesenian dengan hasil akting sebagai karya seninya. Sejalan dengan teater (sebagai wacana estetis/ sublimasi estetis), pengalaman keaktoran ini lebih tepat ditempatkan sebagai sublimasi estetis. Akting merupakan sinthome yang ditulis aktor melalui tubuhnya (sebagai subjek dorongan) ketika aktor berhadapan dengan kekosongan. Proses ini bisa dilihat dari perkembangan aktor sebagai subjek bahasa menuju subjek hasrat hingga menjadi subjek dorongan. Untuk itu, pertama-tama perlu dilihat terlebih dahulu objek hasrat aktor yang membuat dirinya menjadi subjek hasrat dan subjek dorongan. Hasrat aktor semestinya adalah pentas; berdiri di atas panggung dan mencari pengakuan (dilihat, diapresiasi, dimaknai oleh penonton) dengan melakukan akting. Pada umumnya proses yang ditempuh aktor untuk menciptakan karya berpijak pada teks atau naskah. Teks menjadi objek penciptaan (objek hasrat) bagi aktor. Dalam proses awal identifikasi ini (ketika aktor berelasi dengan teks), aktor menjadi subjek bahasa dengan menyenangi teks terlebih dahulu. Dengan demikian, teks bisa berfungsi sebagai medium bagi subjek untuk berfantasi dan melihat (menikmati) symptomnya sendiri; melihat masa lalu subjek yang berkenaan dengan (dan dibangkitkan oleh) teks. Dalam pertunjukan yang berbasis naskah drama atau karya sastra misalnya, teks tersebut merupakan sinthome penulis (hasil memaknai symptom atau menafsirkan
13
Lihat tulisan Monica Prendergast & Juliana Saxton dalam buku yang berjudul Applied Theatre, Intellect Ltd, 2009.
20
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
kehidupannya ketika berhadapan dengan das Ding) yang bisa disejajarkan dalam puisipuisi courtly lovers14 yang dirujuk Lacan sebagai model sublimasi estetis. Teks ini merupakan ‘kecantikan’ yang dipergunakan untuk menutup das Ding. Ketika aktor berhadapan dengan teks semacam ini, ada dua kemungkinan, pertama aktor puas sebagai subjek bahasa, kedua aktor mengalami pengalaman lack sehingga menjadi subjek hasrat (desiring subject). Teks bisa menjadi jalan bagi aktor untuk berhadapan dengan das Ding (sebagaimana dialami oleh penulis) sejauh membaca itu sendiri bisa disejajarkan dengan menulis; membaca merupakan proses menyusun kembali penandapenanda yang ada dalam struktur ketaksadaran subjek. Sehingga, membaca teks bisa disejajarkan dengan melihat das Ding yang ditutupi oleh teks tersebut. Posisi aktor sebagai subjek hasrat adalah ketika dalam proses membaca, aktor tidak puas hanya dengan membaca; ia tergerak (menjadi subjek dorongan) untuk mengatakan apa yang ia baca melalui bahasanya sendiri, yakni akting. Proses ini merupakan proses aktor mencarikan bahasa baru atau bahasa pengganti naskah. Jalan yang ditempuh aktor pada umumnya adalah melatih tubuh, emosi, dan pikiran (bisa dilihat dalam buku-buku yang menjelaskan metode-metode untuk menjadi aktor). Namun demikian, pada fase ini objek hasrat aktor telah bergeser; tubuh menjadi objek hasrat pengganti naskah karena dalam akting, tubuh merupakan bahasa utama. Berangkat dari pemahaman bahwa latihan tubuh bisa dimaknai sebagai memperlebar jangkauan tubuh atau membongkar kembali kecenderungan tubuh atas konstruksi budaya, maka latihan ini bisa disejajarkan dengan pengalaman sublim; mengelevasi tubuh pada level das Ding. Pertama-tama, tubuh dilihat sebagai symptom. Latihan tubuh bisa dilihat sebagai jalan aktor memaknai kembali tubuhnya dan 14
Kesel, 2009: 175.
21
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
menyikapinya dengan cara baru. Dengan demikian aktor mampu untuk menyituasikan tubuhnya dalam situasi yang lain, misalnya menyituasikan perilakunya menurut karakter-karakter tertentu (berdasarkan model-model yang ia temukan dalam kehidupannnya). Latihan-latihan dan eksplorasi yang dilakukan aktor nantinya akan menjadi sinthome sekaligus sebagai pijakan untuk dihadirkan di panggung pertunjukan. Melihat teater sebagai karya seni, pertunjukan teater menempatkan aktor sebagai subjek sekaligus objek yang hadir di depan penonton. Jika pelukis mengisi kekosongan das Ding dengan lukisan, pemusik dengan tatanan bunyi, penyair dengan kata-kata, maka dalam teater kekosongan das Ding diisi dengan kehadiran aktor sebagai bahasa utama (atau keindahan sebagaimana semua jenis karya karya seni identik dengan istilah tersebut). Bagi aktor sendiri, panggung teater merupakan dunia untuk menghadirkan dirinya dengan cara lain. Kadangkala perilaku aktor di panggung lebih menarik daripada teks yang mereka sampaikan. Panggung teater mampu memberikan kenikmatan dengan cara melarang aktor terpaku pada teks; aktor justru dipersilahkan menjadi subjek atas tubuhnya (diberi kebebasan untuk melakukan improvisasi; merespon segala situasi yang barangkali belum pernah ada saat latihan). Dengan demikian, panggung teater ini mampu memberikan kenikmatan pada subjek tanpa melalui represi. Secara keseluruhan, proses yang ditempuh para aktor sejak berhadapan dengan naskah hingga meninggalkan panggung pertunjukan merupakan pengalaman yang membekas dan memberikan kebaruan bagi mereka sendiri (khususnya) dan orang lain (umumnya) untuk menempuh kehidupan setelahnya. Setidaknya, bagi aktor, pengalaman menempuh proses penciptaan teater membuat hidup mereka berjarak dengan dunia keseharian (dalam artian mereka memiliki cara untuk tidak begitu saja hanyut dalam arus wacana yang disirkulasikan oleh dunia simbolik) dan tetap berjarak
22
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
dengan dunia Real (sehingga mereka tetap menjadi desiring subject tanpa harus mengalami trauma dan represi). Selama para aktor tetap berproses, teater menjadi medium bagi mereka untuk terus-menerus memaknai symptom mereka, terus menerus melampaui batas-batas yang mereka miliki sebagai manusia karena dengan cara itulah mereka berdialektika dengan kehidupan yang mereka hadapi; tidak sebatas sebagai subjek bahasa melainkan sebagai subjek atas tubuh mereka sendiri.
F. Metode Penelitian Sebagaimana telah dijelaskan di bagian latar belakang, penelitian ini merupakan penelitian pengalaman hidup para aktor teater di Yogyakarta. Dua hal yang menjadi fokus dalam penelitian ini adalah, pertama meneliti pengalaman aktor teater dalam proses penciptaan pertunjukan, dan kedua meneliti pengalaman aktor teater dalam menyikapi kehidupan sehari-hari. Penelitian ini secara formal saya mulai sejak tahun 2013, dan selesai pada tahun 2015. Pemilihan narasumber dan proses wawancara saya lakukan pada pertengahan tahun 2014 hingga bulan Juni 2015. Namun saya tidak merasa terlalu menyia-nyiakan waktu sejak 2013 hingga pertengahan tahun (Mei) 2014 karena pada waktu itu saya terlibat beberapa proses dengan beberapa narasumber penelitian ini dan saya memaknai keterlibatan saya dalam proses tersebut sebagai salah satu bentuk metode observasi. Namun, secara non-formal, data yang saya peroleh dalam penelitian ini merupakan pengetahuan yang saya dapat sejak lama. Perkenalan saya dengan keaktoran dan teater dimulai sejak tahun 2005; pada waktu itu saya mulai tinggal di Yogyakarta dan bergaul dengan pelaku-pelaku teater di Yogyakarta. Pada tahun 2007 saya bertemu
23
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
dan berproses bersama Gunawan Maryanto dan Tita Dian Wulan Sari selama kurang lebih 7 bulan di program Actor Studio yang diselenggarakan oleh Teater Garasi. Tahun 2010 saya berkenalan dan berproses bersama Nunung Deni Puspita Sari di Padepokan Seni Bagong Kussudihardja yang berlanjut hingga tahun 2012. Pada awal tahun 2014, saya bertemu dengan Andika Ananda dan melakukan sebuah proses penciptaan bersama. Melalui proses tersebut saya juga sempat bertemu dan kenal secara lebih dekat dengan Tony Broer (sosok yang sebelum itu saya pandang sebagai sosok yang angker dan menyeramkan). Dan pertengahan tahun 2014 itu akhirnya saya ikut latihan bersama Tony Broer sebagai ‘modus’ untuk mencari data sekaligus mengobati penasaran saya atas apa kata orang: “Kalau mau dihajar fisiknya ya ikut latihan sama Bang Broer!”. Di tahun ini pula saya berkenalan dengan Mbah Tohir, sosok tua yang tak pernah menyerah dalam berteater. Dan pada tahun 2015, akhirnya saya sowan pada salah satu legenda yang tersisa dari Bengkel Teater Rendra, yakni Bapak Untung Basuki. Nama-nama yang telah saya sebutkan adalah nama-nama para aktor yang berbaik hati mau menjadi narasumber dalam penelitian ini. Kecuali Mbah Tohir dan Pak Untung Basuki, para aktor lain adalah para aktor yang (semoga) saya kenal dengan baik; saya kenal tidak sebatas melalui obrolan, melainkan bersama-sama dalam proses bersakitsakit dahulu sebelum pentas kemudian. Data primer yang menjadi objek penelitian ini adalah data-data yang saya peroleh melalui wawancara. Pada tahun 2014, saya melakukan wawancara kepada Tita Dian Wulan Sari, Nunung Deni Puspita Sari, Andika Ananda, dan Tony Broer dan pada tahun 2015 saya melakukan wawancara dengan Mbah Tohir (Sutohir), Pak Untung Basuki, dan (akhirnya) Gunawan Maryanto (seseorang yang berhasil dengan baik mendidik saya sebagai aktor waktu itu --tahun 2007-- dan membuat saya bertahan
24
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
hingga saat ini). Di samping itu, teks-teks lain yang menjadi pelengkap dan menjadi bekal untuk membuat narasi merupakan catatan-catatan observasi yang saya peroleh baik dengan cara mengikuti proses latihan ataupun berdasarkan pengamatan atas proses yang ditempuh oleh para narasumber. Pemilihan nama-nama para aktor tersebut sebagai narasumber dalam penelitian ini berdasarkan ketertarikan saya atas gagasan, semangat, dan sepak terjang mereka di dunia teater. Tiga aktor seperti Mbah Tohir, Untung Basuki, dan Tony Broer merupakan aktor yang bisa dibilang telah banyak makan asam garam di dunia teater (saya kategorikan sebagai angkatan lama). Sementara tiga aktor lain seperti Tita Dian Wulan Sari, Nunung Deni Puspita Sari, dan Andika Ananda merupakan angkatan muda yang telah berteater cukup lama dan belum menunjukkan tanda-tanda akan berhenti berteater. Justru hingga saat ini, mereka masih bersemangat untuk melakukan berbagai macam penciptaan teater. Gunawan Maryanto, di sisi lain, jika dilihat dari segi umur merupakan tokoh yang berada di antara angkatan lama dan angkatan muda; ia kenal baik dengan pendahulunya sekaligus dekat dengan para pelaku muda. Dalam penelitian ini, sosok Gunawan Maryanto merupakan salah satu mata kunci yang memberikan banyak informasi mengenai teater khususnya dalam bidang keaktoran. Kenapa saya tidak memilih tokoh-tokoh lain yang notabene memiliki nama besar dan telah ‘sukses’ berteater untuk menjadi narasumber dalam penelitian ini? Tokohtokoh besar dan bisa dibilang sukses dalam berteater barangkali tidak diragukan lagi telah mengunyah segudang pengalaman dan pengetahuan sehingga mereka berhasil dan bertahan atau malah ada yang menjadi penyokong perteateran di Yogyakarta. Namun demikian, saya lebih tertarik untuk meneliti orang-orang yang di mata saya mengagumkan namun nama mereka belum banyak di kenal oleh kalangan luas.
25
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
Tentunya saya juga mempertimbangkan hal lain, yakni di mata saya para aktor yang menjadi narasumber dalam penelitian ini merupakan orang-orang yang hidupnya sederhana (jika dilihat dari perspektif ekonomi). Justru karena itulah saya menangkap gairah hidup yang luar biasa ketika mereka berteater: membuat karya yang ‘bukan bertujuan sebagai mata pencaharian’ meskipun pada praktiknya kadang-kadang mereka mendapatkan honor sekedarnya. Tentunya banyak sekali aktor di Yogyakarta yang memiliki kategori seperti yang telah saya paparkan tersebut. Akan tetapi, sebagai batasan saya hanya memilih beberapa aktor (dari angkatan tua, angkatan muda, dan di antara kedua angkatan tersebut) yang saya kira cukup sebagai model dan informan untuk menunjukkan bahwa teater bukan semata-mata media hiburan, informasi, dan kritik, melainkan sebagai media yang penting untuk membentuk subjek sebagaimana fokus dalam penelitian ini adalah meneliti pengalaman aktor sebagai pengalaman sublimasi; pengalaman subjek yang tak mau begitu saja menjadi subjek bahasa, melainkan subjek yang terus menerus berdialektika dengan bahasa. Adapun jenis data yang saya narasikan dalam bab dua adalah verbatim wawancara (yang saya rekam dengan media recorder), foto (yang saya dapatkan dari koleksi para aktor dan fotografer lain yang telah saya sebutkan namanya dalam narasi), dan refleksi atas segala pengetahuan yang saya peroleh selama kurang lebih 9 tahun sebagai pelaku teater (aktor, sutradara, pendamping sekaligus pelatih di UKM Teater Seriboe Djendela Universitas Sanata Dharma, dan penata artistik). Dari seluruh data yang berhasil dikumpulkan saya narasikan dalam bab II. Datadata tersebut saya pilah dan pilih berdasarkan rumusan masalah yang saya jadikan acuan dalam penelitian ini. Selanjutnya, dalam bab III, narasi yang tersusun dalam bab II saya
26
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
analisis dengan menggunakan perspektif psikoanalisa Lacanian terkait dengan teori subjek dan sublimasi dengan tahap-tahap analisa seperti yang telah saya paparkan pada bagian kerangka teori.
G. Skema Penelitian Penelitian ini dibagi menjadi empat bab. Bab I dalam penelitian ini berisikan pendahuluan yang melingkupi latar belakang, rumusan masalah, tujuan penelitian, tinjauan pustaka, kerangka teoritis, metode penelitian dan skema penelitian. Bab II menarasikan pengalaman berteater para aktor dalam menyikapi dan menghayati teater mereka masing-masing. Bab II ini dinarasikan menjadi lima sub-bab; yakni 1. Perjalanan Menjadi Aktor: Perjalanan Melampaui Batasan, 2. Menghayati Peran: Menjadi Orang Lain, 3. Menjalani Keseharian, 4. Memaknai Akting: Akting di Panggung Teater dan Panggung Keseharian dan 5. Teater: Antara Kesenangan, Kegelisahan, dan Kegilaan Dalam Kehidupan. Bab III merupakan analisis dari data yang telah dinarasikan dalam bab II. Analisis yang dilakukan dalam bab III ini secara garis besar menempatkan pengalaman aktor sebagai pengalaman sublim menurut perspektif Lacan. Bab III ini dibagi menjadi dua sub-bab, yaitu 1. Membaca Penghayatan Aktor Melalui Perspektif Teori Subjek Lacanian, 2. Menjalani Kehidupan Dua Dunia. Bab IV merupakan penutup dari penelitian ini.
27
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
BAB II MELEWATI BATAS-BATAS KEHIDUPAN DENGAN TEATER
Bab II ini menarasikan pengalaman-pengalaman hidup para aktor yang menjadi narasumber dalam penelitian ini. Berdasarkan rumusan masalah yang telah dipaparkan dalam bab I, pengalaman-pengalaman yang dinarasikan dalam bab ini mencangkup pengalaman latihan, pengalaman pentas dan pengalaman hidup dalam bermasyarakat. Singkat kata, pengalaman-pengalaman yang dinarasikan dalam bab ini merupakan pengalaman sublim yang akan dianalisis lebih jauh dalam bab III. Pengalaman-pengalaman para aktor di bab ini dinarasikan dalam beberapa bagian; bagian pertama menarasikan proses yang ditempuh para aktor dalam menjalani latihan, bagian kedua menarasikan pengalaman para aktor ketika berada di atas panggung, bagian ketiga menarasikan cerita para aktor ketika mereka menjalani dunia keseharian, bagian keempat menarasikan konsepsi para aktor terhadap keaktoran yang mereka jalani, dan bagian kelima menarasikan pemaknaan para aktor terhadap teater yang mereka jalani. A. Perjalanan Menjadi Aktor: Perjalanan Melampaui Batasan Apa yang harus dilampaui oleh seorang aktor? Para aktor dalam penelitian ini memiliki penekanan yang kurang lebih berbeda. Perbedaan ini terletak pada jenis teater yang sedang mereka tekuni. Secara garis besar, ada tiga hal mendasar yang selalu dilatih terus menerus oleh para aktor, yakni tubuh, pikiran, dan perasaan (emosi).
28
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
Tony Broer15 bersikeras untuk melatih tubuhnya setiap hari tanpa peduli apakah ia akan pentas atau tidak; latihan lebih penting dibandingkan dengan pentas. Lebih jauh dari itu, dia ingin membebaskan tubuh dari belenggu pikiran. Pada wawancara yang saya lakukan bersama Tony Broer, dia mengatakan: “Tubuh kita tidak pernah capek, pikiran kitalah yang sebenarnya capek dan memberikan imaji atas rasa capek. Pikiran kita adalah musuh besar saat kita sedang berlatih tubuh!”16 Namun dari pernyataan itu, bukannya kemudian Tony Broer tidak pernah merasa capek. Maksud dari yang ia katakan adalah, dengan menciptakan konsepsi yang demikian, tubuh akan terpancing untuk terus-menerus melawan capek, misalnya dengan latihan lari menempuh jarak yang bisa dibilang sangat jauh untuk ukuran latihan teater. Tony Broer melanjutkan: “Nah maksudnya lari jauh itu gimana itu? Itu maksdunya mau memancing membunuh pikiran kita. Jadi hasilnya itu capeknya capek tubuh, bukan capek pikiran. Kalau capek pikiran kan: waduh, sampai malioboro jauh gini nih... nah latihan-latihan mengabaikan pikiran itu ada di latihan-latihan gue. Ya itu dengan tujuan untuk mencapai tubuh sebagai gagasan.”17 Dari serangkaian latihan yang sering dia lakukan bersama dengan muridmuridnya, sebagai sebuah metode, Tony Broer membagi latihannya menjadi tiga sesi, yakni tubuh fisik, tubuh tema, dan tubuh teks. Ketiganya merupakan satu rangkaian yang sedang digeluti oleh Tony Broer untuk mewujudkan konsepsinya bahwa tubuh
15
Tony Broer adalah seorang seniman teater tubuh yang pernah belajar seni pertunjukan Butoh setelah ia keluar dari Teater Payung Hitam. Saat ini, ayah beranak satu yang beristrikan orang Jepang ini sedang menempuh disertasinya di kampus pasca sarjana ISI Yogyakarta. Gagasan teater yang saat ini sedang ia tekuni adalah teater TubuhKataTubuh, yakni pertunjukan teater tubuh yang mendapat pengaruh dari Butoh yang pernah ia pelajari. Karakter pertunjukan ini kurang lebih tak lagi mementingkan panggung konvensional sebagai tempat pentas, juga tak lagi mementingkan estetika cantik. Tony Broer tidak sepakat jika tubuh dalam pertunjukan teater digunakan sebagai media penyampai pesan karena ia meyakini bahwa tubuh itu sendiri sudah merupakan pesan. 16 Wawancara dengan Tony Broer pada tanggal 3 Agustus 2014 di Pasca Sarjana ISI Yogyakarta. 17 Ibid.
29
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
adalah gagasan; sebagai pertunjukan, tubuh bukan lagi media penyampai pesan, melainkan tubuh adalah pesan itu sendiri. Dalam latihan tubuh fisik, Tony Broer berusaha untuk membongkar batasanbatasan fisik yang ia miliki, yakni batasan-batasan capek, batasan-batasan takut, dan batasan-batasan malu. Untuk menguji tubuhnya seringkali dia melakukan latihan di jalanan, di got, di sawah, di sungai, dan berbagai tempat lain yang jauh dari rasa nyaman bagi tubuh dalam rangka untuk melebarkan dimensi yang dimiliki oleh tubuh. Sementara tubuh tema adalah eksplorasi tubuh dengan bantuan imajinasi, misalnya tubuh kematian, tubuh hewan, tubuh perang, dsb. Selanjutnya, tubuh teks merupakan presentasi dari tubuh yang telah dilatih sedemikian rupa. Bentuk-bentuk latihan yang membekas di tubuh inilah yang dinamai Tony Broer sebagai tubuh adalah gagasan. Gambar 1:
Dok. Pribadi milik Tony Broer
Yang menarik dari pernyataan Tony Broer (bahwa tubuh adalah gagasan) adalah konsepsinya yang ingin melawan wacana-wacana yang sebelumnya menjadi kecenderungan dalam penciptaan teater; tubuh merupakan media penyampai pesan: 30
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
“Tubuh itu sudah gagasan. Jadi ini bukan lagi pantomim, bukan lagi tari. Ini adalah tafsir kembali tubuh. Kenapa kok kayak gini, ya ini adalah misteri tubuh yang sebenarnya masih menyimpan persoalan, masih harus di kupas. Jadi kalau loe tadi tanya bagaimana menghadapinya ya pasti ada benturan. Ya yang gue tawarkan ini kan bertolak belakang; di sekolah, tubuh itu alat untuk menyampaikan gagasan. Tubuh selalu digunakan untuk menyampaikan gagasan. Sehingga dalam kesenian itu ada wacana bahwa kesenian itu harus menyampaikan pesan.”18 Dalam hal tubuh, Gunawan Maryanto19 juga menekankan hal yang serupa. Dalam proses penciptaan pentas yang berjudul Waktu Batu, latihan tubuh yang ikut dijalani oleh Gunawan Maryanto merupakan latihan yang bisa dibilang ekstrim dan beresiko. Proses penciptaannya memakan waktu yang cukup pajang yakni 4 tahun yang meliputi serangkaian penelitian untuk penyusunan teks, pengujian teks, hingga proses esekusi dalam bentuk latihan. Dia bercerita: “Sejauh ini yang paling gila-gilaan itu pas Waktu Batu; itu sampai ke gunung, sampai tinggal di Banyuwangi, sampai punya pengalamanpengalaman yang dekat dengan kematian. Waktu itu kan di tebing, sementara kita harus memejamkan mata dan lain sebagainya, jadi memang itu resikonya cukup tinggi. Pendakiannya malam, kita sama sekali nggak tahu jalan, sejauh ini itu sih. Kalau di tingkatan tubuh ya, yang paling gila ya hampir semuanya sih, terutama yang berbasis tubuh, karena kita harus melebarkan rentang tubuh; menjelajahi dari yang daily, extra-daily, itu semua harus dijelajahi. Nah yang paling gila ya di Waktu Batu itu. Itu lama banget latihannya. Prosesnya sendiri hampir 4 tahun kan.”20 Dalam konteks penciptaan peran yang demikian, latihan fisik yang dilakukan sedemikian rupa berbeda konteks dengan latihan-latihan untuk mempercantik bentuk tubuh, atau menciptakan gestur tubuh ‘ideal’, namun latihan-latihan tersebut mengarah pada peningkatan kapasitas tubuh; kekuatan, kelincahan, kelenturan, keluwesan, 18
Wawancara dengan Tony Broer pada tanggal 3 Agustus 2014 di Pasca Sarjana ISI Yogyakarta. 19 Gunawan Maryanto adalah seorang aktor, sutradara, dan penulis yang masih aktif berkesenian di Garasi Instute of Performance (dulunya adalah Teater Garasi). 20 Wawancara dengan Gunawan Maryanto pada tanggal 7 Maret 2015 di Garasi Institute of Performance, Nitiprayan, Yogyakarta.
31
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
ketrampilan, dan lain sebagainya. Jikalau kemudian aktor memiliki tubuh yang sexy setelah mengalami latihan yang sedemikian rupa, hal itu hanyalah efek samping. Poin utamanya dalam latihan tersebut adalah untuk memperlebar dimensi jangkauan tubuh; fleksibilitas tubuh aktor memang harus dilatih dalam rangka sebagai wadah, sebagai medium, karena latar belakang sejarah kebertubuhan aktor bisa jadi sangat jauh dengan latar belakang sosial karakter yang akan dimainkan. Oleh sebab itulah, dalam rangka menciptakan kewajaran peran, tubuh aktor haruslah siap terlebih dahulu. Menurut Gunawan Maryanto, meski aktor memainkan pementasan realis dengan ukuran kewajaran sehari-hari, aktor masih akan tetap dituntut untuk melebarkan rentang tubuhnya. Kesiapan tubuh tidak hanya sebagai wadah untuk karakter yang akan dimainkan, akan tetapi di panggung teater bagaimanapun juga seorang aktor harus melakukan segala aktivitas dengan tensi yang lebih dibandingkan dengan aktivitas di keseharian, misalnya, proyeksi suara aktor yang sedang melisankan dialognya minimal harus sampai pada penonton yang duduk di barisan paling belakang. Dengan demikian, tak heran jika latihan keaktoran membutuhkan waktu yang sangat lama. Selain harus melampaui batasan tubuh, dalam bentuk yang berbeda, bagi Pak Untung Basuki21, seorang aktor harus mengalahkan rasa malu. Pada usianya yang tak lagi muda, Pak Untung Basuki kadang berangkat latihan sambil berteriak-teriak di jalan dalam rangka menghafalkan dialog. Beliau tak peduli jikalau ada orang lain yang terheran-heran melihat beliau bertingkah seperti itu di jalan. “Latihan teater ya siapsiap menjadi gila,”22 kata beliau dalam wawancara yang saya lakukan. Gila dalam
21
Untung Basuki merupakan salah satu tokoh senior dalam teater Indonesia saat ini. Ia pernah berproses bersama Rendra dengan Bengkel Teaternya dan saat ini ia masih aktif menjadi pengurus Sanggar Bambu. Selain berteater, ia juga dikenal sebagai musisi, penulis puisi, dan pelukis. 22 Wawancara dengan Untung Basuki pada tanggal 8 Maret 2015.
32
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
konteks ini memang sebuah konsekuensi dari latihan teater. Bahkan bagi Pak Untung, ketika sedang dalam proses latihan penciptaan peran (sebagai Oedipus), ia menganggap bahwa latihan yang ia lakukan merupakan aktivitas yang aneh: “Itu saya di sembarang tempat teriak-teriak. Jalan di tengah alun-alun itu saya teriak-teriak: Anak-anakku, anak-anak Katmus pendiri kota Thebes ini....kenapa kalian datang berbondong-bondong bagai demonstran? Itu sambil jalan di sana. Yang paling asyik itu kalau hujan. Pas hujan, naik motor, kan helm sudah rapet kan, nggak pake mantel itu tahan aja sih, teriak-teriak nggak ada yang tahu! Hahahaha!!! Ya itu mencari karakter ya begitu itu. Nah kalau menghapal naskah, karena memori saya cukup lemah, ini saya bawa kertas atau apalah, itu saya corat-coret dengan dialog saya, lha ini! Sampai banyak kayak gini!. Ini misalnya pas saya ke dokter tadi, ada kertas resep di lantai tak ambil aja, tak tulisi bagian belakangnya, hahahaha! Ya karena saya dengan menulis ini jadi lebih ngrasa memiliki kata-kata itu. Meresapkan ke dalam. Bahkan kalau bisa itu meniti kata demi kata. Karena satu kata itu bisa diucapkan dengan banyak cara.”23 Gambar 2:
Pentas Dramatik Reading Oedipus Sang Raja; Pak Untung (kanan) Dok. Novita Budi Lestari24
Bagi Pak Untung, tidak mungkin seorang aktor menghayati peran tanpa merasa memiliki teks yang dimainkan. Sehingga, seorang aktor terkadang memiliki cara yang 23
Wawancara dengan Untung Basuki pada tanggal 8 Maret 2015. Foto diambil pada saat pementasan dramatik reading di Beringin Soekarno Universitas Sanata Dharma pada tanggal 19 Mei 2015 pukul 15.00 WIB. 24
33
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
sangat personal untuk menciptakan tokoh. Jika perlu, rasa sakit ketika latihan itu harus dilawan. Untuk usianya yang tidak lagi muda, persoalan tubuh menjadi hal yang krusial. Namun semangat Pak Untung ketika berlatih kadang membuatnya lupa bahwa tubuhnya telah rentan penyakit. Mbah Tohir25 pun demikian, pada usianya yang tak kalah tua dengan Pak Untung, rasa sakit pada tubuh tak mengalahkan semangatnya untuk tetap berpsoses. Mbah tohir bercerita demikian: “Malam itu saya jalan kaki dan jatuh diselokan. Nggak kelihatan waktu itu. Kaki saya kena cor-coran got. Bengkak. Saya nggak bisa jalan. Itu pas di semarang, habis baca geguritan, saya dipanggil panitia, terus jatuh. Yang paling berkesan bagi saya karena waktu itu bisa menjadi salah satu pembuktian pengalaman. Kalau sekedar masuk angin, asam urat, itu sudah biasa saya atasi. Tapi kalau jatuh saya nggak bisa gerak. Waktu itu yang saya pikirkan adalah pentas saya: bagaimana pentas saya nanti? Akhirnya saya ditolong oleh kawan-kawan teater di Semarang, pijet refleksi, bisa jalan tapi harus pake krek. Nah pentas di Tegal, Pekalongan, itu saya pake krek. Nah itu yang paling menarik bagi saya. Ujian keaktoran saya ya di situ. Pas pentas, awalnya saya masih pake krek, untuk baca puisi, kidung jula-juli. Lalu pas saya main, akhirnya krek saya taruh, dan saya bisa jalan. Nah kan si peran yang saya mainkan tidak sakit. Saya jadi itu dengan kesadaran tokoh, saya bisa jalan dan tidak merasa sakit. Tapi ada juga kekawatiran, makanya saya jaga-jaga, krek saya bawa masuk buat jadi properti sekalian. Nah itu siasat aktor. Sekalian saya menjadikan peristiwa jatuh itu bagian dari cerita.” 26 Entah karena sugesti atau bukan, tapi pengalaman tersebut merupakan pengalaman yang mengherankan bagi Mbah Tohir sehingga ia mengatakan bahwa pengalaman tersebut merupakan ujian keaktoran baginya yang telah berteater selama puluhan tahun. Di luar panggung beliau sakit dan tidak bisa jalan, tapi begitu masuk ke dalam panggung, berdasarkan keyakinan bahwa ia adalah tokoh lain yang tidak sakit,
25
Nama aslinya adalah Sutohir. Ia berasal dari Surabaya dan di sanalah sebelum ia memutuskan untuk menjadi aktor monolog dan menghabiskan hidupnya untuk pentas dari satu kota ke kota lain, ia pernah bergabung dengan kelompok Srimulat dan dikenal sebagai Tohir Drakula (karena sering memerankan tokoh dracula). 26 Wawancara dengan Mbah Tohir pada tanggal 5 Maret 2015 di Pasca Sarjana ISI Yogyakarta.
34
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
maka ia berhasil melampaui rasa sakitnya dan bisa bermain sebagai sosok yang jauh dari kenyataan bahwa mbah Tohir malam itu sedang bengkak kakinya. Usaha untuk melampaui batasan diri ini juga ditempuh oleh beberapa aktor muda seperti Andika Ananda27, Tita Dian Wulan Sari28 dan Nunung Deni Puspita Sari29. Mereka juga memiliki pengalaman yang hampir serupa dalam menjalani proses keaktoran mereka; rela membongkar batasan-batasan diri yang dimiliki sebagai manusia. Secara umur dan pengalaman, para aktor muda ini memang pernah belajar pada aktor-aktor senior yang telah terlebih dahulu menjalani kehidupan sebagai seniman. Dalam keaktoran yang mereka tempuh, usaha untuk melampaui batasan diri ini diistilahkan juga sebagai membongkar diri; membongkar tubuh, membongkar emosi, dan membongkar intelektualitas. Maksud dari istilah membongkar adalah menelusuri, memahami, dan menyadari kembali sejarah diri (segala aspek yang membentuk karakter diri) untuk kemudian merentangkan jangkauan karakter dirinya. Pada prakteknya, proses keaktoran selalu meninggalkan bekas pengalaman dan pengetahuan. Tak jarang pengetahuan yang telah didapat ini kedepannya menjadi hal yang dilampaui lagi. Bagi Andika, proses penciptaan akting bersama Teater Kalanari (dulunya adalah teater Teku) dengan teks KINTIR merupakan proses yang sangat berpengaruh dalam konsepsi berteaternya kelak. Proses tersebut merupakan proses yang dimulai dari nol. Andika dan teman-temannya pergi ke suatu desa, hidup bersama dengan mereka, lantas
27
Andika Ananda adalah salah satu aktor teater muda yang masih aktif berteater sejak tahun 2005. Saat ini ia menjadi salah satu pengurus Teater Kalanari. 28 Ia akrab dipanggil dengan nama Tita. Pengalamannya berteater pertama kalinya adalah ketika ia tergabung sebagai perserta Actor Studio yang diselenggarakan oleh Teater garasi pada tahun 2007. Sejak saat itu ia jatuh cinta dengan seni pertunjukan dan aktif menjadi aktor dengan cara ikut bergabung pada proses-proses yang diciptakan oleh rekan-rekannya. 29 Ibu beranak satu ini masih rajin berteater meski sehari-hari ia harus membagi waktunya untuk mengajar sebagai guru Honorer di SD Tumbuh Jetis dan menjalankan beberapa program Padepokan Seni Bagong Kussudihardja.
35
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
menciptakan sebuah teks pertunjukan tentang kehidupan (sekaligus bersama dengan) masyarakat yang mereka datangi. Pemahaman Andika sebagai pelaku teater muda merupakan pemahaman yang mencoba untuk melampaui konsepsi berkesenian yang cenderung menempatkan karya pertunjukan di panggung konvensional. Sementara yang dilakukan Andika dan teman-temannya merupakan hal yang bisa dibilang meninggalkan panggung konvensional. Andika bercerita bahwa konsepsi ini sedikit banyak terinspirasi dari kegilaan Tony Broer dalam melawan batasan estetika yang menurutnya merupakan kecenderungan pelaku teater modern Indonesia yang menempatkan estetika berteater Barat sebagai ukuran ideal. Bagi Tony Broer, juga Andika dan teman-temannya, kecenderungan ini harus diatasi dalam konteks kekinian sebagai strategi berteater di Indonesia kedepannya, salah satunya dengan membawa teater ke ruang-ruang yang lebih memiliki fleksibilitas. Andika bercerita demikian: “Sederhananya kami melihat teater, saya terutama, akhirnya tidak terbatas pada panggung. Kedua, proses pertunjukan itu bukan semata-mata kami ciptakan gitu, bukan semata-mata hasil eksplorasi kami sebagai awak pentas, tapi itu juga berkait dengan interaksi penonton. Jadi misalnya antara kami dengan anak-anak sana, kami membantu petani menyirami tanaman sawi, berinteraksi dengan tetangga sebelah dimana tempat kami nanti pentas, itu mewarnai teks-teks kami dan juga masuk ke dalam teks. Sadar atau tidak, teks Kintir itu merupakan hasil penciptaan kami dan orang-orang di sekitar area pentas dan latihan dan bagi saya hal itu merupakan hal yang sangat berharga. Sampai hari ini bahkan saya kenal baik dan masih berhubungan dengan orang-orang di sekitar situ. Bagi saya itu merupakan sebuah bonus yang lebih dari sekedar pentas.”30 Proses yang demikian tersebut masih dilakukan dalam penciptaan teater Andika bersama Teater Kalanari seperti misalnya dalam proses Panji Amabar Pasir dan KapaiKapai Atawa Gayuh. Dalam proses penciptaan pertunjukan Panji Amabar Pasir, proses yang ditempuh Andika berjalan selama satu bulan, setiap hari, dari jam 3 sore hingga
30
Wawancara dengan Andika pada tanggal 20 Juni 2014
36
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
jam 10 malam. Proses tersebut dilakukan di pinggir sawah, guest house yang belum jadi dan tempat pembuatan batu bata di Nitiprayan Yogyakarta. Teks tersebut diciptakan melalui improvisasi yang dilakukan oleh para aktornya. Yang unik dari proses tersebut adalah tidak ada teks yang pasti dan harus dihafalkan oleh aktornya dalam berdialog. Seluruh rangkaian dialog tergantung kepekaan aktor terhadap lawan main, ruang, dan suasana pada waktu itu. Sehingga ketika proses ataupun pentas yang dilakukan selama dua hari tersebut, bentuk pertunjukan dan bahkan dialognya tidak pernah sama. Gambar 3:
Andika (bawah) dalam Panji Amabar Pasir. Dok. Teater Kalanari31
Sedikit berbeda dengan Andika yang berusaha untuk menembus batasan estetika penciptaan teater, di sisi lain, menembus batasan pikiran menjadi tantangan bagi Nunung Deni Puspita Sari. Berbeda bentuk dengan yang dimaksud dengan Tony Broer, dalam praktik berteaternya, Nunung bercerita bahwa pentas yang paling berkesan baginya adalah ketika ia berproses bersama anak-anak jalanan. Awalnya ia merasa tidak yakin jika ia akan mampu menempuhnya. Hanya atas dasar keinginan dan kepercayaan bahwa berteater merupakan pengalaman yang penting bagi dirinya dan anak-anak
31
Pertunjukan diselenggarakan pada 29-30 November 2013 pada pukul 19.30 WIB. di OmahKebon Guest House Nitiprayan, Bantul.
37
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
jalanan yang ia dampingi, Nunung harus berfikir dan bekerja keras untuk bisa mewujudkannya. Hal yang sampai saat ini ditekuni oleh Nunung adalah berproses dengan orang yang belum mengenal teater. Hal ini merupakan tantangan baginya yang harus dilampaui. “Berteater dengan orang teater itu, meski sulit, tapi lebih mudah dijalani, berbeda dengan orang yang belum pernah dilatih teater. Ini membuatku harus bekerja ekstra.”32 Nunung membedakan proses berkeseniannya menjadi dua hal, pertama adalah berkesenian dengan seniman, dan kedua adalah berkesenian dengan orang yang belum memiliki latar belakang berkesenian. Ketika berproses bersama seniman lain, bagi Nunung proses itu merupakan kesempatan baginya untuk menimba ilmu, secara teknik, kemudian ilmu itu harus ia bagikan kepada orang lain dengan cara berproses bersama33. Bagi Tita Dian Wulandari, berteater merupakan usahanya untuk menyempurnakan yang kurang pada dirinya. Perjumpaannya dengan proses teater pertamakalinya adalah di Teater Garasi dan disanalah Tita menemukan konsepsi bahwa berteater itu merupakan cara untuk membentuk karakter, baik dari segi fisik, emosi, dan intelektual. Berteater bagi Tita merupakan sebuah tantangan sekaligus kesempatan. Tantangan ketika ia harus bernegosiasi dengan keluarganya yang menginginkan ia untuk tidak menjadi seniman (karena seniman memiliki kesan tidak punya masa depan), sementara kesempatan ketika ia melihat peluang untuk membuktikan bahwa ia bisa hidup dengan berkesenian34.
32
Wawancara dengan Nunung pada tanggal 26 Juni 2014 Ibid. 34 Wawancara dengan Tita pada tanggal 24 Juni 2014 di Padepokan Seni Bagong Kussudihardja 33
38
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
Perjalanan Tita menjadi aktor merupakan perjalanan melawan stigma buruk yang dialamatkan pada seniman teater. Artinya, teater bagi Tita bukan sekedar hobi atau kesenangan, melainkan sebuah pembuktian bahwa ia bisa menjadi ‘orang’ dengan jalan teater. Dengan demikian, totalitas menjadi hal yang ia utamakan dalam berteater. Baik dalam keadaan hujan, panas, tengah malam, atau bahkan dalam kondisi sakit, selagi ia bisa berdiri dan berjalan, ia tetap datang latihan35. Apa saja aspek-aspek yang dituju oleh aktor melalui latihan? Jika dipetakan, secara umum para aktor sebagai narasumber penelitian ini mengatakan bahwa yang hendak dilebarkan sebagai jangkauannya meliputi tubuh, emosi, dan intelektual. Sebagai capaian ideal, sebagai aktor, jikalau bisa mereka harus bisa menguasai segala hal. Tidak menutup kemungkinan seorang aktor harus belajar silat, belajar tari, belajar musik, berbicara, meditasi, akrobatik, pantomim, dan lain sebagainya. Aktor harus juga mengenal baik konsep ruang dan pencahayaan untuk mengukur efek apa saja yang bisa dijadikan kemungkinan aksi. Untuk melatih kepekaan, semua narasumber sepakat bahwa aktor semestinya menyerap sebanyak mungkin kebudayaan lain yang asing darinya. Semakin banyak aktor berada pada berbagai macam tempat, berinteraksi dengan berbagai macam orang, maka kepekaan dan intelektualitasnya juga bertambah. Hal ini bukan semata-mata untuk pengetahuan saja, melainkan sebagai modal untuk penciptaan. Sebagai stimulus berfikir, aktor juga harus mau mengetahui berbagai macam bentuk wacana. Garis besarnya, semakin rumit dan semakin sulit aktor melatih dirinya, maka semakin mudah ia menciptakan akting.
35
Wawancara dengan Tita pada tanggal 24 Juni 2014 di Padepokan Seni Bagong Kussudihardja.
39
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
Dengan demikian, seperti yang diyakini Mbah Tohir, belajar keaktoran itu seperti tidak ada habisnya, “Saya terus berteater sampai saat ini ya karena saya ingin menyempurnakan kemanusiaan saya.”36 Namun apakah semua yang dilakukan para aktor tersebut semata-mata untuk mencari kesempurnaan diri? Dalam tataran individual, hal tersebut diiyakan oleh para aktor, namun hal tersebut bukan poin utama. Seperti yang dikatakan Gunawan Maryanto bahwa berteater atau menjadi aktor bermula dari keinginan untuk menyampaikan sesuatu, maka sesuatu yang harus disampaikan tersebut tidak kalah pentingnya dengan usaha aktor untuk melatih instrumen tubuh dan wawasannya. Sebagai aktor, cara menyampaikan sesuatu sama pentingnya dengan sesuatu yang ingin disampaikan. Dalam tataran pemikiran, tak jarang hal yang disampaikan oleh orang-orang teater merupakan hal yang sensitif. Hal ini seolah menjadi tradisi semenjak teater menjadi media propaganda atau penyampai kritik37, hingga saat inipun dalam proses penciptaan, ada kesan atau semacam kewajiban bahwa sesuatu yang disampaikan haruslah sesuatu yang penting dan menyangkut permasalahan hidup orang banyak. Peristiwa ini juga dialami oleh semua narasumber. Salah satu yang paling lama berurusan dengan teater sebagai kritik adalah Pak Untung Basuki yang memiliki latar belakang berteater dengan Rendra di Bengkel Teater. Berteater di jaman itu bukan tanpa resiko; nyawa bahkan bisa dipertaruhkan demi menyampaikan teks tertentu untuk melawan rezim tertentu.
36
Wawancara dengan Mbah Tohir pada tanggal 5 Maret 2015 di Pasca Sarjana ISI Yogyakarta. 37 Hatley, 2014: 5. Lihat selengkapnya dalam buku yang Barbara Hatley dkk. Yang berjudul Seni Pertunjukan Indonesia Paska Orde Baru, Universitas Sanata Dharma Press, 2014.
40
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
Seperti halnya Pak Untung, Tony Broer, dalam bentuk berbeda, sebelum ia keluar dari Teater Payung Hitam, permainan panggungnya sangat ketal dengan nuansa kritik atas kekejaman militer. Saat inipun, ketika rezim Soeharto telah runtuh, teater Tony Broer pun masih bersifat resistensi, tidak hanya resisten terhadap wacana estetika dominan, melainkan terhadap tubuhnya sendiri. Keberanian untuk menembus batasbatas estetika merupakan hal yang digelisahkan Tony Broer hingga saat ini. Hal itu bukan tanpa konsekuensi, Tony Broer harus menghadapi bayak penolakan atas gagasan yang ia tekuni. Jika dilihat dari sejarahnya, teater selalu berkembang dan mengalami variasi dalam tataran bentuk dan gagasan. Bentuk ataupun gagasan baru yang muncul bisa terbaca, salah satunya, sebagai ketidakpuasan atas pencapaian masa lalu. Aktor melalui teater harus bisa menciptakan bahasa-bahasa baru, ekspresi-ekspresi baru yang tidak bisa lagi diwadahi oleh bentuk dan gagasan yang lama karena, seperti kata Gunawan Maryanto, “Ya zaman juga berubah, teater harus bisa menyesuaikan diri dengan situasi zamannya.”38 Dan, semestinya, teater harus bisa melampaui apa yang sudah biasa terjadi pada situasi sosial yang dihadapi oleh para seniman teater.
B. Menghayati Peran: Menjadi Orang Lain Dalam pengertian yang umum, menjadi aktor identik menjadi karakter yang lain, atau orang lain sesuai dengan tokoh dalam teks/naskah yang dijadikan pijakan. Sederhananya, akting identik dengan aksi pura-pura, atau perilaku yang tidak mewakili
38
Wawancara dengan Gunawan Maryanto pada tanggal 7 Maret 2015 di Garasi Institute of Performance, Nitiprayan, Yogyakarta.
41
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
esensi yang sebenarnya. Lantas bagaimana para aktor menyikapi peran yang dimainkannya? Semua usaha yang dilakukan para aktor melalui latihan berujung pada penghayatan atas dirinya yang akan hadir dalam bentuk pementasan. Mereka mengatakan bahwa akting tidak mungkin berhasil dilakukan dengan baik tanpa didasari oleh kejujuran. Bagi aktor teater tubuh seperti Tony Broer, atau teater yang berbasis naskah seperti yang dijalani oleh Mbah Tohir dan Pak Untung Basuki, atau keduanya seperti yang dilakukan oleh narasumber lainnya, panggung teater menjadi tempat untuk mempresentasikan pencapaian; aksi sekaligus akting. Pentas yang dilakukan oleh Mbah Tohir belakangan ini merupakan implementasi dari pengalaman-pengalaman masa lalunya pentas di berbagai tempat. Maksudnya, Mbah Tohir tidak lagi mempedulikan pakem-pakem tertentu dalam menyikapi naskah. Satu-satunya senjata utama ketika harus pentas adalah keaktoran yang telah dia miliki: “Saya memang merespon ruang dan waktu. Memang akhir-akhir ini saya pentas ya mengandalkan ruang dan waktu, sudah nggak pake panggung prosenium lagi. Jadi yang ada di naskah itu saya terjang itu ruang dan waktu. Dengan akting saja saya memanfaatkan itu semua.”39 Bentuk-bentuk pementasan yang merespon ruang dan waktu, sebagai contoh, Mbah Tohir tidak pernah menciptakan konsep ruang yang pasti dalam pertunjukan, misalnya, yang berjudul Mat Kasir. Di berbagai macam tempat yang berbeda, naskah tersebut dimainkan Mbah Tohir dengan ruang yang seadanya. Dalam hal ini, bukan berarti Mbah Tohir tidak mempedulikan estetika, akan tetapi cara yang ia tempuh merupakan cara-cara yang tak lagi tergantung pada ukuran estetika ideal yang 39
Wawancara dengan Mbah Tohir pada tanggal 5 Maret 2015 di Pasca Sarjana ISI Yogyakarta.
42
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
menempatkan pertunjukan pada panggung konvensional. Gambar di bawah ini merupakan dokumentasi pentas Mbah Tohir yang berjudul Mat Kasir yang dipentaskan di belakang kantin Universitas Sanata Dharma pada tanggal 30 Juni 2014: Gambar 4:
Dok. Agaton Hutama (Teater Seriboe Djendela)
Bagi Mbah Tohir, teks harus jadi miliknya. Lebih jauh lagi, dalam menciptakan pertunjukan teater, tak jarang teks yang dibawakan oleh Mbah Tohir bercampur dengan subjektivitasnya sebagai aktor. Dalam menciptakan pertunjukan, antara teks dengan kedirian Mbah Tohir tidak lagi merupakan entitas yang berdiri sendiri-sendiri. Teks acuan dan pengalaman hidup Mbah Tohir sebelum berkenalan dengan teks tersebut melebur menjadi satu: menjadi sebuah teks baru. Hanya dengan cara itu Mbah Tohir merasa bisa menghidupkan dirinya sebagai tokoh di atas panggung. Mbah Tohir bercerita: “Kalau akhir-akhir ini saya nggak pake naskah. Dulu saya masih pakai. Kalau Bang Broer itu menyebut saya sebagai teater kehidupan; jadi peristiwanya ya mengalir saja lewat kata-kata saya, lewat tubuh, karena pengalaman saya berlatih itu sudah mejadi milik saya, dan keluar begitu saja. Hingga akhirnya ketika saya pentas sekarang ini, saya tidak mau dimainkan tokoh, tapi saya memainkan tokoh. Tokoh itu kan yang ada di depan, dan saya waktu di panggung, itu ya di belakang tokoh, yang
43
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
memainkan, yang mengendalikan dengan kesadaran penuh. Jadi ini bukan bisa menjadi tokoh, dalam keaktoran, bagi saya, ya saya harus bisa merasakan tokoh. Teater bagi saya ya itu, naskahnya adalah kehidupan. Sehingga improvisasi itu jadi penting. Maksudnya, kesadaran tadi itu lho, saya kan pernah juga main, harusnya dialognya begini, tapi mulut itu kok mblibet pengucapannya, sehingga waktu itu (waktu dia pentas) kesalahan itu ya saya mainkan, dengan semua perbendaharaan akting yang saya miliki, dengan kesadaran, mengolah yang salah dipanggung dalam bentuk improvisasi. Ya itu ada respon, spontanitas, dan improvisasi. Nah yang tadi itu (merujuk pada ceritanya ketika ia mengalami kecelakaan) begitu saya selesai main, saya kembali lagi merasakan sakit yang luar biasa.”40 Terkait dengan naskah, tiap-tiap aktor kadangkala mempunyai cara tersendiri untuk menyikapinya. Terkadang cara-cara tersebut memiliki kemiripan meski ada pula bedanya. Bisa jadi perbedaan ini dikarenakan oleh paham atau ideal tertentu yang dijadikan pedoman aktor. Sebagai contoh, berbeda dengan Mbah Tohir, Gunawan Maryanto bercerita demikian: “Kalau kita ngangkat teks artinya kita berpijak pada teks dulu. Sebelum nanti ke yang lain-lain seperti observasi dan sebagainya itu yang pertama harus berpijak pada teks dulu. Jadi bedah naskah itu memang penting banget mulai dari mempelajari karakter dan hal-hal yang disampaikan di sana. Dari sana itu kan sebenarnya bisa kemana-mana, ke pengarangnya, ke kondisi sosial ketika teks itu di bangun dan konteks sosial ketika naskah itu akan di pentaskan, kan jadi banyak itu pengembangannya. Pada praktik keaktorannya memang tidak bisa berhenti di sana saja, kan itu telaah, ya telaah yang kemudian aktor kan harus menubuhkan, sehingga ada proses yang lebih jauh lagi. Ketika proses menubuhkan ini kemudian memang membutuhkan observasi; yang pertama, mencari padanan, mencari rujukan yang paling dekat lah di lingkungan kita. Mencari model; di observasi itu selain mencari data ya mencari model yang akan kita mainkan. Ya kemudian kembali lagi pada prinsip awal teater; teater itu kan tiruan. Ketika sudah menemukan modelnya kan kita melakukan peniruan-peniruan dulu. Dari tubuh, dari pelisanannya, dan sebagainya. Itu kan proses mewujudkan ide-ide yang ada dari teks itu.”41
40
Wawancara dengan Mbah Tohir pada tanggal 5 Maret 2015 di Pasca Sarjana ISI Yogyakarta. 41 Wawancara dengan Gunawan Maryanto pada tanggal 7 Maret 2015 di Garasi Institute of Performance, Nitiprayan, Yogyakarta.
44
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
Bagi Gunawan Maryanto, teks merupakan hal benar-benar menjadi acuan dan sebisa mungkin, sebagai aktor, Gunawan Maryanto berproses untuk mewujudkan ideide yang ada dalam teks/naskah tersebut. Menghayati peran setara artinya dengan mewujudkan ide yang ada dalam naskah yang prosesnya kurang lebih seperti yang dikatakan oleh Gunawan Maryanto. Sementara, bagi Mbah Tohir, jika ia mengatakan bahwa akhir-akhir ini ketika pentas ia tidak menggunakan naskah tertentu, artinya ia lebih mengutamakan improvisasi daripada harus melakukan akting (menafsirkan akting) seketat dengan yang tertulis dalam naskah. Dari dua hal yang berbeda tersebut, setidaknya ada benang merah yang mempertemukan keduanya, yakni bahwa akting bertujuan untuk menyampaikan sesuatu kepada penonton. Lebih dari itu, aktor harus berusaha meyakinkan penonton atas apa yang ia katakan di atas panggung. Artinya, ketika berada di panggung, poin pentingnya dalam hal ini adalah bukan pada yang dikatakan, melainkan bagaimana cara mengatakan hal tersebut (baca: menyampaikan teks). Sehingga, ketika ditarik ke wilayah intensitas aksi, seorang aktor harus merasakan sungguh-sungguh atas apa yang ia lakukan sehingga penanda-penanda yang dimunculkan melalui tubuhnya mampu meyakinkan penonton. Bahkan emosi-emosi tertentu yang mewakili aksi tersebut harus dihadirkan dengan jujur dan sungguh-sungguh demi mencapai kewajaran. Dengan demikian fungsi aktor sebagai bahasa akan terwujud; aktor harus bisa meyakinkan penonton. Terkait dengan hal tersebut, Gunawan Maryanto mengatakan: “Ya di panggung itu banyak orang bilang seolah-olah, berpura-pura, tetapi tetap, aku juga sepakat bahwa akting itu, agar ia tampak wajar ya ia harus jujur. Akting yang jujur. Memang yang di kejar itu behaviour, itu yang dikejar. Bagaimana perilakunya, lalu penonton itu juga teryakinkan atas aksi yang dilakukan di atas panggung itu. Karena orang juga bisa ngrasa ini jujur
45
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
atau enggak lho. Itu kerasa lho, orang itu pura-pura atau enggak itu kerasa. Jadi tetep, sama, itu yang dikejar selain kewajaran ya kejujuran.”42 Mengaitkan hal tersebut dengan wacana bahwa menghayati peran yang dimainkan oleh aktor identik dengan menjadi tokoh tersebut, lantas bagaimana aktor menyikapi pembaharuan dalam dirinya sebagai penghayatan? Lebih jauh lagi, sebagai tokoh di dalam panggung, bagaimana aktor menghayati perannya? Gunawan Maryanto menegaskan pentingnya kelenturan emosional yang harus dimiliki oleh aktor. Dengan ini, artinya aktor mampu menakar dan menuang emosinya dalam setiap lakunya di panggung. Kelenturan ini juga merupakan bentuk kesadaran yang telah dilatih aktor terkait dengan bentuk aksi dan muatan emosi yang mengisi bentuk aksi tersebut. Jika menghayati peran kemudian dikatakan sebagai menjadi orang lain, hal ini tidak sepenuhnya tepat demikian. Yang dilakukan aktor adalah membuat bahasa baru melalui tubuhnya sehingga ia tampak sebagai orang lain. Sementara dalam tataran psikologis, tidak ada yang hilang dari karakter sehari-hari aktor. Tidak hilang melainkan bertambah sebagaimana Gunawan Maryanto mengatakan demikian: “Setiap kali melakukan satu proses itu kita nambah. Entah pengalaman atau pengetahuan. Semua orang lain juga seperti itu, mendapat pengalaman baru, pengetahuan baru, tentu saja akan berpengaruh pada kehidupan setelahnya. Bukan hanya di keaktoran. Tapi memang dalam keaktoran agak berbeda, mediumnya kan tubuh dan perasaannya. Nah persoalannya ketika kita menghayati sesuatu, ketika kemampuan kita untuk lentur secara emosi itu jika nggak terlatih ya emang susah. Untuk menghayati sesuatu dan lepas dari situ itu kan butuh waktu. Sebenarnya aktor itu kan punya periode itu kan, pertama memasuki karakter, kedua tinggal di dalam karakter, dan yang ketiga itu meninggalkan karakter.”43
42
Wawancara dengan Gunawan Maryanto pada tanggal 7 Maret 2015 di Garasi Institute of Performance, Nitiprayan, Yogyakarta. 43 Wawancara dengan Gunawan Maryanto pada tanggal 7 Maret 2015 di Garasi Institute of Performance, Nitiprayan, Yogyakarta..
46
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
Sebagai contoh dari pemaparan Gunawan Maryanto, kita bisa membaca kisahnya ketika memerankan tokoh Hamm dalam naskah End Game44: “Di proses End Game itu sebenarnya pentas atas permintaan Salihara, teater Garasi diminta untuk mementaskan kembali End Game yang pernah dipentaskan garasi sebelumnya. Aku sama Theo sama teman-teman baru Garasi itu, dalam prosesnya, sebagai pelapis, sebagai tim B istilahnya, sementara tim A itu ya yang main di End Game yang pertama. Sehingga kami prosesnya nonton dulu tim A, Yudi sama mas Whani. Karena sebagai pelapis, artinya kami harus siap kapan saja digunakan sebagai lawan main untuk tim A, kadang saya main sama mas Whani, kadang Theo juga sama Yudi. Nah, biar ini mendukung tim A, artinya ketika menciptakan peran, kami harus mendekati permainan tim A. Kalau aku ya pas mainin Hamm pada akhirnya berusaha semirip mungkin dengan Yudi, prosesnya menggunakan pendekatan yang dipakai Yudi. Sehingga bisa dikatakan sebagai re-enactment kan. Lalu dalam prosesnya, akhirnya tim B ini juga menjadi pertunjukan sendiri, aku main sama Theo. Mulainya dari reenactment sampai kemudian akhirnya kami yang tim B ini mempunyai ritme sendiri dalam memainkannya. Kan tidak mungkin juga kan meniru semirip mungkin, lha bentuk tubuhnya saja sudah berbeda. Ya akhirnya hasil proses tim B juga layak dijadikan pentas sendiri karena memiliki keunikan sendiri. [...] Rasanya berada di panggung itu ya sama saja sebenarnya. Apa ya? ya aktor itu kan menyampaikan teks, sama kayak kita ngobrol sekarang ini. Ya barangkali tensinya, sekaligus caranya. Mungkin cara inilah yang melahirkan tensi. Di panggung itu kan extra daily, melakukan sesuatu dengan cara yang berbeda dengan di keseharian, sehingga pasti tensinya akan berbeda.”45 Bahkan, untuk pertunjukan yang prosesnya berawal dari re-enactment (peniruan yang bertujuan untuk dihadirkan kembali) pun, pengalaman Gunawan Maryanto pada akhirnya akan mengantar dirinya pada penghayatan tokoh yang sifatnya individual. Dan untuk persoalan penghayatan, atau mengalami pengalaman di atas panggung, bagi Gunawan Maryanto rasanya pun tak jauh berbeda ketika ia berada dalam keseharian. Namun Gunawan Maryanto menyebutkan bahwa yang membuat pengalaman berada di
44
Pertunjukan ini diselenggarakan di Salihara pada tanggal 30 Juni 2013 pukul 16.00
WIB. 45
Wawancara dengan Gunawan Maryanto pada tanggal 5 Juni 2015 di Garasi Institute of Performance, Nitiprayan, Yogyakarta.
47
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
panggung menjadi berbeda adalah soal cara dan tensinya. Artinya, di atas panggung aktor menyadari posisinya sebagai tokoh yang memiliki karakter yang berbeda dengan dirinya sehari-hari. Maka aktor harus menggunakan penanda kehadiran yang lain, yang asalnya adalah dari penafsirannya atas tokoh yang ia mainkan. Sebagai Hamm, yang pada prosesnya Gunawan Maryanto melihat dan meniru penanda-penanda yang dimunculkan oleh Yudi Ahmad Tajudin, pada akhirnya ia berhasil menciptakan penanda-penandanya sendiri yang memiliki kekhasan yang berbeda dengan penandapenanda yang dimunculkan oleh Yudi. Gambar 5:
Gunawan Maryanto (duduk) memerankan Hamm. Dok. Teater Garasi
Tetapi salah satu hal lain yang membantu aktor dalam menghayati peran adalah pengetahuannya atas teks: tentang apa dan kepada siapa teks tersebut akan di sampaikan. Sehingga, menemukan relevansi teks terhadap situasi sosial menjadi hal penting yang perlu dipikirkan karena bagaimanapun juga hal ini akan mempengaruhi keyakinan aktor dalam menyampaikan teks kepada penonton dan keyakinan ini membuat aktor percaya diri ketika tampil di atas panggung. Terkait dengan hal ini, Gunawan Maryanto bercerita: “Ketika memainkan End Game, saat itu kami berbicara lagi sebenarnya soal relevansi mementaskan naskah ini. Dulu yang pas pentas ini dipentaskan pertama kalinya juga kami memikirkan relevansinya. Tapi menurutku
48
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
pribadi naskah ini tetap ada relevansinya dengan kehidupan sekarang. Ya kan naskah End Game itu, peristiwanya di dalam bunker atau ruang entahlah kerena tidak terlalu dijelaskan. Sementara di luar bunker itu adalah ruang yang sudah menjadi seperti neraka. Hamm itu orang yang merindukan dunia luar sebelum menjadi neraka, merindukan tatanan yang baik kan. Sementara mereka bertahan dalam bunker entah sampai kapan. Hubungan tentang luardan dalam ini tak pikir selalu ada relevansinya hingga konteks sekarang. Apa lagi karakter itu, Hamm dan Clove, sebenarnya kan bisa ditafsirkan sebagai palu dan paku (paku payung yang bentuknya menyerupai cengkeh) kan. Hamm itu selalu menindas Clove, Clove itu juga menggemaskan; tau kalau ditindas tapi juga tetap melakukan karena ia merasa membutuhkan Hamm, sehingga teks ini juga tentang relasi. Tak pikir sampai sekarangpun relasi seperti Hamm dan Clove masih relevan dengan situasi saat ini.”46 Relevansi teks dengan realitas sosial merupakan benang merah yang mengantarkan cerita pada penafsiran penonton. Sehingga ketika Gunawan Maryanto (dan rekan-rekan dalam timnya) menafsirkan End Game, sekaligus mereka mempunyai bayangan atas kepada siapa naskah tersebut akan disajikan. Hal ini juga merupakan hal penting yang dialami oleh Tita ketika ia berproses dalam pementasan yang berjudul Sangkar Madu47. Dalam proses tersebut, Tita bersama timnya bertujuan untuk mementaskah kisah-kisah yang dialami oleh Tenaga Kerja Indonesia (TKI) yang tinggal di desa Jangkaran, Congot, Kulonprogo. Relevansi dengan situasi sosial jelas, waktu itu TKI banyak dibicarakan oleh media masa dan sebagai pelaku teater, mereka tergelitik untuk merespon berita-berita yang ditayangkan oleh media masa dengan meneliti lebih jauh kehidupan TKI dan mementaskannya dengan media teater. Mengaitkan hal ini dengan keaktoran, khususnya soal penghayatan karakter, Tita mengaku dalam prosesnya ia lebih mudah untuk memainkannya karena ia menggunakan naskah dan model akting yang nyata (bukan tokoh fiktif). Tita bercerita demikian:
46
Wawancara dengan Gunawan Maryanto pada tanggal 5 Juni 2015 di Garasi Institute of Performance, Nitiprayan, Yogyakarta. 47 Pentas diadakan pada tanggal 25-26 April 2013 pukul 19.00 WIB. Di teater Garasi.
49
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
“Itu aku sebagai perempuan namanya mbak yanti, umurnya itu sekitar 25an, sekitar itulah. Dia pernah kerja di Taiwan sekitar 4 tahun, terus sekarang sudah menikah dan punya anak satu. Dia tinggal di Jangkaran. Nah aku berperan sebagai dia saat dia menceritakan kisahnya ke kami. Cara menghayatinya itu enak karena objeknya sangat riil. Jadi aku bisa meniru secara langsung, lewat pengamatan, rekaman vidio dan audio. Jadi aku meniru benar-benar suaranya, gestur tubuhnya, cara berpakaiannya, dari ujung rambut sampai ujung kaki, cara dia mainin rambut, cara dia mainin bibir, apa yang menjadi ciri khasnya dia itu aku tiru. Terus kalau penghayatannya, kalau soal rasa kemudian, empati yang pasti. Itu kalau aku ngrasain situasinya dia ya bisa lah, ya sedihnya, senengnya, itu yang tak coba kurasakan.”48 Terkait dengan penghayatan kerakter, Tita menceritakan bahwa penghayatan yang ia lakukan benar-benar mengandalkan teknik keaktoran. Dalam hal ini, penghayatan tokoh atau memainkan karakter tidak sama dengan ‘benar-benar’ menjadi tokoh yang dimainkan. Dalam hal ini, Tita memainkan penanda-penanda yang dalam prosesnya ia latih dan ia biasakan dalam tubuhnya. Tita bercerita: “Jadi di pentas itu aku mainin dua karakter, sebagai aku yang menceritakan dia, juga sebagai dia yang bercerita sendiri. Nah asiknya itu, ketika bermain dua karakter, itu aku bener-bener memakai teknik, jadi nggak semata-mata merasa berubah gitu nggak, tapi itu teknik keaktoran. Jadi untuk membedakannya, itu Mbak Yanti kan biasanya rambutnya terurai, kemudian kalau jadi aku ya rambutku tak iket, biar jadi penanda yang beda. Terus juga gaya bicara itu bisa membedakan. Jadi itu secara sadar sampai nggak sadar, aku malah ngamatin diriku sendiri dan juga dia untuk urusan produksi aktingnya. Aku pun ketika memerankan diriku sendiri di panggung harus akting kan, nggak bisa juga aku menjadi aku yang seperti biasanya. Nah di proses itu kadang-kadang sampai sempat terbawa, misalnya ada teman yang bilang, “Kok kamu seperti mbak Yanti sih!”. Bahkan kadang juga terbawa perasaan. Itu muncul di ending, ada adegan yang sebenarnya aku nggak nyaman ketika harus menjadi aku yang mengungkapkan bahwa TKI itu kena HIV aids. Aku nggak tega mengatakannya, ya seperti kayak mengungkapkan aib sendiri. Tapi sebagai aktor aku mau nggak mau harus melakukannya, karena pertunjukan ini berbasis data.” 49
48
Wawancara dengan Tita pada tanggal 5 Juni 2015 di Padepokan Seni Bagong Kussudihardja 49 Ibid.
50
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
Dari cerita tersebut, kita bisa melihat bahwa dalam proses menyesuaikan tubuh dengan karakter baru seringkali dilakukan aktor hingga ke keseharian, sampai bisa jadi orang-orang di sekitar aktor tersebut kadang-kadang berkomentar seperti yang dialami oleh Tita. Kedekatan Tita dengan Objek material penciptaannya bahkan sampai memunculkan empati atau perasaan-perasaan tertentu seperti yang dialami oleh Tita, sehingga selain soal teknik, perasaan juga memiliki andil besar dalam proses menghayati peran. Gambar 2:
Tita (berdiri) dalam pertunjukan Sangkar Madu Dok. Teater Garasi
Hampir mirip dengan pengalaman Tita, ketika Andika berproses untuk pertunjukan Panji Amabar Pasir, naskah yang dipentaskan merupakan naskah yang diciptakan oleh para aktornya ketika sedang improvisasi. Bedanya, naskah Andika tidak menggunakan model nyata, melainkan imajinasi. Dalam proses tersebut, latihan yang dilakukan Andika juga merupakan tempat untuk pentas nantinya, yakni di sebuah Guest House yang belum jadi yang bersebelahan dengan sawah dan tempat pembuatan batu bata di Nitiprayan Yogyakarta. Ketiga ruangan tersebut menjadi tempat latihan sekaligus tempat pertunjukan.
51
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
Teks yang mencul berdasar pada respon aktor terhadap ruang ketika mereka melakukan improvisasi. Ide dasarnya memang telah dimiliki oleh Sutradara, yakni cerita tentang seorang anak kecil yang ingin belajar menari tari topeng Panji, sementara dalam prosesnya, muncul peristiwa (dari improvisasi yang dilakukan aktor-aktornya) bahwa si anak kemudian harus ikut orang tuanya transmigrasi ke Kalimantan sehingga ia tidak bisa lagi berlatih dengan gurunya yang tinggal di Jawa. Dengan latar ruang berupa sawah yang menjadi ruang dominan, teks tersebut melahirkan peristiwa sosial dengan latar belakang agraris. Singkat cerita, ketika sekeluarga tersebut pindah ke Kalimantan, mereka harus mengalami kegagalan berkali-kali dalam mengolah sawah karena tanah Kalimantan berbeda dengan Jawa. Sehingga, sekeluarga tersebut merasa dibohongi oleh pemerintah yang mejanjikan kemakmuran ketika mereka mau bertransmigrasi. Gambar 7:
Andika (kanan, berdiri). Dokumentasi pribadi Andika Ananda.
Tentu saja teks yang berasal dari improvisasi tersebut tak lepas dari wacanawacana yang pernah di dengar oleh para aktornya terkait persoalan transmigrasi. Yang
52
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
menarik, teks ini berasal dari imajinasi aktor yang muncul ketika mereka melakukan improvisasi. Kurang lebih selama sebulan dan setiap hari mereka berlatih selama kurang lebih enam jam, akhirnya Andika dan teman-teman aktornya berhasil memainkan teks yang mereka susun sendiri dalam pertemuan mereka dengan ruang dan stimulus dari sutradara. Untuk menghayatinya, meskipun naskah tersebut berasal dari improvisasi, akan tetapi pada akhirnya Andika harus mencari model untuk memerankan tokoh Bapak. Karena setiap hari mereka berinteraksi dalam dan dengan ruang latihan, pada pentasnya Andika tidak menemukan kesulitan karena merasa telah menubuh dengan ruang pertunjukan. Ketika melihat latihan tersebut, yang dilakukan oleh Andika dan teman-temannya terlihat seperti sebuah keluarga yang hidup dalam kondisi yang mengenaskan, terlebih latar belakang ruang bermain sangat membantu menciptakan situasi tersebut. Bahkan ketika hujan, dalam latihan, Andika dan rekannya (yang menjadi tokoh anak) memanfaatkan situasi tersebut seolah situasi nyata, yakni mereka mencangkul sawah ketika hujan. Sehingga ketika dikaitkan dengan tubuh aktor, Andika mengatakan bahwa tubuhnya telah terbentuk ketika ia terus menerus secara intens berada dalam ruang latihan tersebut. Kadangkala ia menyapu, membersihkan rumput, dan menambal lubang di tanah (aktivitas tersebut sebenarnya bukan latihan, tapi digunakan sebagai latihan, baca: kegiatan di luar teks). Sedikit berbeda dengan pengalaman Andika dan Tita, bagi Nunung, dalam sebuah monolog yang ia pentaskan (dalam satu rangkaian pentas Jagongan Wagen edisi Oktober 2012 dengan tema acara Brigadir Pamungkas); monolog yang menceritakan pengalamannya pribadi ketika berproses di Padepokan Seni Bagong Kussudihardja, merupakan sebuah pementasan yang baginya dan bagi penonton menyiratkan penghayatan yang mendalam. Sebagai pelaku, Nunung merasa bahwa ia menguasai teks
53
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
sebagaimana teks tersebut adalah miliknya. Sehingga, antara teks, tubuh, dan perasaan yang Nunung munculkan pada waktu itu merupakan kesatuan yang utuh dan tidak berdiri sendiri-sendiri. Ia mengakui bahwa dalam pertunjukannya ia tidak menjadi karakter orang lain, melainkan dirinya sendiri dengan intensitas yang berbeda ketika ia berada di luar panggung pertunjukan. Namun ketika memainkan tokoh lain, jalan yang ditempuh Nunung kurang lebih setara dengan yang diceritakan oleh aktor-aktor lain. Gambar 8:
Dok. Milik Nunung; Tempat Istirahat
Pada pertunjukan Nunung yang sangat berbeda, sebagai pembanding, yang berjudul Tempat Istirahat50 yang dipentaskan dalam rangka ulang tahun Teater Garasi yang ke 20, Nunung memerankan tokoh nenek yang telah berusia senja. Tentu karakter tokoh tersebut sangat berjarak dengan karakter Nunung yang umurnya masih berkepala tiga. Salah satu bentuk aktivitas dalam proses yang dilakukan Nunung adalah melihat-
50
Pertunjukan re-enactment ulang tahun Teater Garasi “Bertukar Tangkap Dengan Lepas” tanggal 21 Januari 2014 pukul 19.00 WIB. Di Ark Galeri.
54
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
lihat kuburan di Taman Makam Pahlawan Yogyakarta pada sore hari menjelang maghrib. Tujuannya adalah untuk sekedar mendapatkan stimulus dari suasana-suasana yang bernuansa kematian. Proses tersebut merupakan salah satu proses yang berkesan bagi dia. Konsepsi bahwa teks, atau gagasan pertunjukan haruslah dimiliki aktor merupakan syarat utama dalam menghayati peran. Hanya dengan memiliki teks, mengimajinasikan bahwa dirinyalah tokoh dalam teks tersebut, aktor mampu menuangkan emosi-emosi tertentu dalam bentuk-bentuk yang ia ciptakan, baik yang tampak sebagai gestur, gerakan, atau di tataran pelisanan. Hal itu tidak selesai begitu saja; aktor harus mau mengubah kebiasaannya, karena hanya dengan membiasakan hal baru yang ia tempuh, ia tidak lagi merasa canggung dengan perilakunya. Hal ini barangkali lebih mudah dipahami dengan ilustrasi pemain musik atau penari. Pemain musik terlebih dahulu melatih tubuhnya, membiasakan tubuhnya dengan instrumen yang ia mainkan. Artinya, dalam tataran teknis ia harus sudah menguasai dan bahkan sudah di luar kepala. Dari situlah pemain musik memiliki pijakan untuk menikmati permainannya; menghayatinya. Hal yang berat sekaligus menantang adalah situasi ketika aktor harus memainkan lebih dari satu karakter. Sebagai pemain monolog, Mbah Tohir tak jarang bermain sebagai banyak karakter dalam satu nomor pertunjukan. Jika seorang dalang mampu memainkan banyak karakter melalui suara dan penghayatannya atas wayang (perpanjangan dari tubuhnya), maka aktor melakukannya dengan seluruh tubuhnya. Dalam situasi yang demikian, Mbah Tohir menyiasati latihannya dengan melihat dan meniru sebanyak mungkin perilaku manusia. Perbendaharaan jenis perilaku manusia menjadi hal yang penting. Hal ini tidak selesai dalam tataran konsep, seorang aktor, kata
55
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
Gunawan Maryanto, tidak cukup hanya memikirkannya dan menghafalkannya melalui ingatan, tubuh juga harus melakukan; tubuh harus punya memori atas berbagai jenis tingkah laku manusia. Lantas dalam bentuk teater yang berbeda, yang tidak berpijak pada naskah (teater drama) melainkan atas gagasan tertentu seperti yang digelisahkan oleh Tony Broer, bagaimana cara menghayatinya? Menurut Tony Broer, ketika tubuh telah siap pada tahapan tubuh tema seperti yang telah disinggung pada bagian sebelumnya, tema itu sendiri menjadi fiksi yang dijadikan pijakan. Tidak jarang fiksi ini melampaui pikiran rasional. Maka dari itulah, sebelum memasuki tahapan ini, tubuh harus telah terlatih untuk tidak terlalu didominasi oleh pikiran. Dengan demikian, dalam mengeksplorasi tubuh tema, tubuh telah memiliki jangkauan yang cukup luas untuk mewadahi fiksifiksi tertentu. Gambar 9:
Dok. Pribadi milik Tony Broer
56
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
Bagi Tony Broer, tubuh semestinya bukan sebagai media untuk menyampaikan tema-tema tertentu. Namun, dengan membalik pola latihannya, tema merupakan media bagi tubuh untuk menciptakan eksplorasi-eksplorasi tertentu. Dengan pola berfikir demikian, Tony Broer mengatakan bahwa dalam sebuah pertunjukan yang ia lakukan, ia tidak sedang ingin menyampaikan pesan tertentu. Namun ia tidak menolak jika pada akhirnya penonton penangkap suatu ‘pesan’ dari pertunjukan tubuhnya. Satu-satunya pesan yang ingin ia sampaikan adalah bahwa tubuh itu sendiri merupakan gagasan. Menurut Tony Broer, pemahaman atas tubuh yang ia konsepsikan ini mendapat pengaruh kuat dari seni Butoh; Bu berarti tari dan To berarti langkah yang bisa secara sederhana diartikan sebagai tahap-tahap untuk menari atau pondasi tarian. Butoh itu sendiri juga dikenal sebagai anti tari, anti kecantikan, atau bahkan tarian kematian51. Gagasan-gagasan dalam seni Butoh menjadi pijakan bagi Tony Broer untuk menciptakan gagasan teater TubuhKataTubuh yang saya tafsirkan sebagai teater anti teater (teater yang telah meninggalkan ideal atau konvensi teater pada umumnya). Keberhasilan pertunjukan tubuh Tony Broer ini sangat tergantung pada pengalaman tubuh itu sendiri dalam merespon ruang pertunjukan. Ruang dengan sendirinya telah memiliki narasi, dan maknanya akan sangat berbeda ketika ada tubuh yang berinteraksi dengan ruang tersebut. Demikian juga sebaliknya, tubuh akan sangat sensitif dengan ruang-ruang yang berbeda. Pemahaman ini membuat Tony Broer tidak lagi memprioritaskan panggung konvensional. Baginya, tubuh bisa pentas di mana saja. Justru dengan meninggalkan panggung, dan memilih tempat lain seperti kebun, sungai, got, comberan, sawah, jalan raya, dan lain sebagainya, tubuh akan lebih luas 51
Sondra Fraleigh dan Tamah Nakamura dalam buku yang berjudul Hijikata Tatsumi And Ohno Kazuo. Routledge, 270 Madison Ave, New York, 2006. Lihat halaman 1.
57
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
menciptakan kemungkinan-kemungkinan ekspresi; ketika tubuh dan ruang bertemu, teks dengan sendirinya akan dilahirkan tanpa harus membebani tubuh sebagai media penyampai pesan. Teks-teks yang dimunculkan oleh tubuh terkait dengan interaksi tubuh dengan ruangnya bisa saja terbaca dengan bantuan tema seperti misalnya: Tubuh Setengah Ranting, Tubuh Perang, Tubuh Bumi, Tubuh Kota, Tubuh Jalanan, dan lain sebagainya. Menghayati pertunjukan tubuh ini berarti Tony Broer harus menghayati tubuhnya sendiri dan ruang tempat tubuh itu berpijak. Mengaitkan dengan kejujuran dalam melakukan aksi sebagaimana hal ini telah dikatakan oleh Gunawan Maryanto dan Mbah Tohir, justru ketika Tony Broer pentas dengan menggunakan tubuhnya untuk merespon secara langsung ruang-ruang yang dihadapinya, kejujuran itu tak hanya ada dalam pikiran, melainkan mengalir di seluruh tubuhnya. Sebagai contoh, salah satu adegan yang pernah dilakukan oleh Tony Broer dalam pentasnya adalah ia masuk ke dalam sebuah drum, lalu ada aktor lain yang memukul drum tersebut dengan besi batangan. Tentu saja hal ini menimbulkan reaksi pada tubuh Tony Broer. Sehingga, rasa sakit yang dialami oleh Tony Broer ini merupakan rasa sakit yang sebenarnya dialami oleh tubuh, dan tentu akan hadir dalam perasaan-perasaannya ketika ia pentas. Dalam mengakhiri sebuah proses pertunjukan, persoalan menghayati peran hingga meninggalkan peran untuk kembali ke kebiasaan aktor yang semula merupakan hal yang sama-sama sulit. Meninggalkan peran sebagai tokoh untuk kembali kepada dirinya lagi ibaratnya adalah menghayati kembali dirinya sebelum aktor membiasakan tubuhnya dengan gambaran tubuh tokoh yang ia mainkan, dengan cara mengingat kebiasaankebiasaannya lagi sebagaimana perilaku aktor tersebut dikenali oleh orang lain dalam situasi di keseharian.
58
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
C. Menjalani Keseharian Apa saja yang dilakukan para aktor dalam keseharian ketika mereka tidak sedang latihan teater? Beberapa aktor yang menjadi narasumber dalam penelitian ini memiliki pengalaman yang sedikit banyak berbeda. Sebagaian dari mereka hidup dari teater dan sebagian lagi masih melakukan pekerjaan lainnya yang berhubungan dengan teater atau keaktoran. Meski teater masih belum bisa dikatakan sebagai profesi (dalam hal ini memberikan pemasukan yang memadai atau setara dengan yang mereka kerjakan), namun ternyata beberapa aktor seperti Gunawan Maryanto masih bisa bertahan tanpa melakukan pekerjaan lainnya. Namun seperti apakah yang dilakukan Gunawan Maryanto dalam menjalani kehidupan sehari-hari? Gunawan Maryanto bercerita demikian: “Aku menyikapi teater juga sebagai pekerjaan sekarang ini. Ya aku nggak punya pekerjaan yang lain lho. Aku juga nulis, tapi nulis ini juga bagian dari teater. Memang kenyataannya berat ya di sini. Karena pasarnya juga belum terbangun, infrastrukturnya juga masih bolong-bolong. Tetapi tumbuh kok meski kadang dapet kadang nggak tapi tetep aja aku masih seperti itu dan kenyataannya aku masih bisa bertahan sampai sekarang dengan apa yang kulakukan saat ini tanpa harus melakukan hal yang lain. Dan bentuk keaktoran kan saat ini sudah menemukan bentuknya untuk menjadi praktik di banyak tempat, nggak hanya di panggung. Yang barangkali menyelamatkan ya dalam artian kayak di film, yang saat ini menjadi industri yang bisa jalan kan karena pasarnya lebih bagus, atau di pelatihan-pelatihan, dengan metode keaktoran itu aku juga banyak memberikan pelatihan. Bukan hanya untuk aktor, tapi juga profesi lain seperti fasilitator-fasilitator, guruguru, mereka ternyata butuh pengalaman yang ada di dalam teater.”52 Dari pemaparan terebut, kita bisa melihat atau sedikit menyimpulkan bahwa tidak cukup bagi seorang aktor untuk memenuhi kebutuhan hidupnya jika hanya mengandalkan honor setelah pentas. Gunawa Maryanto menyebutkan beberapa aktivitas 52
Wawancara dengan Gunawan Maryanto pada tanggal 7 Maret 2015 di Garasi Institute of Performance, Nitiprayan, Yogyakarta.
59
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
lain seperti main film, menulis, atau memberikan pelatihan yang merupakan implementasi dari pengetahuan keaktoran yang ia miliki atau pengetahuan lain yang ia peroleh dari proses penciptaan teater. Artinya, justru yang memberikan banyak pemasukan adalah aktivitas lain selain menjadi aktor, misalnya dengan menulis atau melakukan kerja teater lainnya seperti menyutradarai atau menciptakan program kegiatan melalui teater. Hal ini sedikit berbeda dengan yang dialami oleh Andika Ananda: “Kalau sehari-hari itu aktivitasnya macem-macem. Ya sebenarnya kalau sehari-hari itu saya tidak hanya hidup berteater. Jadi selain berteater, saya harus cari makan. Macem-macem mas yang saya lakukan. Misalnya saya perform-perform kecil untuk nyambung hidup, mbadut apa nyebar flayer di jalan itu kan masih saya lakukan hingga hari ini. Ya masih ironis, sejak tahun berapa orang-orang teater itu kayak gitu lah, pake kostum apa terus nyebar brosur di lampu merah pake singuit njuk dada-dada itu masih saya lakukan, jujur saja. Terus kadang-kadang saya bantu teman yang punya penerbitan; saya menyampul buku, menata buku, usung-usung buku itu saya lakukan. Saya kadang-kadang nulis untuk dipublikasikan. Ya kalau di Jogja belum pernah dipublikasikan tapi itu saya pernah nulis di jurnal Skana, itu dulu, tapi kalau sekarang saya lebih sering bantu teman saya yang jadi redaktur itu di Bali. Saya nulis esai, ngreview pertunjukan, itu juga cuma bantu dia aja. Terus saya juga kadang-kadang pas ada worksop apa gitu saya diundang untuk ngasih workshop. Meski saya tidak pernah menentukan tarif, ya ada lah itu. Nah itulah aktivitas saya mas. Selain itu paling saya ya baca buku, olahraga, hahaha, latihan lah mas kalau di luar itu.”53 Dari cerita tersebut, kita masih bisa menemukan kesamaan aktivitas baik yang dilakukan oleh Andika ataupun yang dialami oleh Gunawan Maryanto. Pengalaman keaktoran masih kental mewarnai aktivitas-aktivitas lainnya selain untuk panggung pertunjukan. Namun demikian, ada sesuatu yang dilihat Andika dan bahkan ia juga masih sesekali mengalami, yang Andika sebut sebagai hal yang ironis dengan menjalani beberapa aktivitas seperti misalnya yang ia sebut dengan mbadut. Hal ini mengisyaratkan situasi kehidupan yang berat dalam hal ekonomi. Akan tetapi aktifitas
53
Wawancara dengan Andika pada tanggal 20 Juni 2014
60
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
tersebut masih ia lakukan. Dengan demikian, setidaknya hal tersebut memberikan kesenangan tertentu bagi Andika, atau hal tersebut sekaligus menjadi sesuatu yang ia jalani dengan penuh semangat. Saya menafsirkan demikian, atas yang saya tahu dari keseharian Andika, bahwa dia merupakan sosok yang selalu ceria dan selalu bersemangat dalam melakukan apapun. Misalnya, ketika latihan tubuh, meskipun hujan lebat dia masih tetap asik dengan tubuhnya yang terus bergerak, bergulat dengan air dan lumpur. Bisa jadi hal yang dilakukan Andika, misalnya bergumul dengan kesulitan, adalah sesuatu yang ia pilih dan ia masih merasa muda sehingga perlu untuk melakukannya. Hal ini seperti cerita masa muda yang pernah saya dengar berkenaan dengan pengalaman Gunawan Maryanto seperti misalnya ia pernah seharian ‘menjadi’ patung dan hanya bergerak sedikit dan sangat perlahan supaya orang lain tidak menyadari kalau ia bergerak. Ia juga pernah jalan kaki dari Jogja menuju pantai Parangtritis tanpa tujuan tertentu, maksudnya, barangkali karena ia ingin melakukannya begitu saja. Hal-hal nyleneh seperti ini memang bukan lagi menjadi hal yang aneh di kalangan orang-orang teater; mereka menyebutnya sebagai latihan. Sementara itu, yang dilakukan oleh Nunung juga tak hanya berteater. Sebagai ibu yang telah beranak satu, ia harus membagi waktunya sedemikian rupa untuk bekerja, berteater, dan berkeluarga. Pekerjaan yang bisa dibilang ‘normal’ adalah ketika ia menjadi guru di SD Tumbuh Jetis. Bagaimana ia mengatur waktu, Nunung bercerita demikian: “Kalau pagi biasanya saya mengajar, di SD Tumbuh, tapi itu nggak setiap hari karena aku hanya guru honorer. Lalu siang menjelang sore aku di Padepokan (Padepokan Seni Bagong Kussudihardja) kerja dengan Tita untuk program-program seperti Jagongan Wagen, Among Seni, dan Anjangsana. Terus kalau pas ikut proses apa gitu, di Gandrik atau dengan
61
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
siapa gitu, ya latihannya biasanya sore. Tapi kalau pas selo banget gitu aku pilih menghabiskan waktu dengan Sanca (anak laki-lakinya), kasihan dia sering saya tinggal-tinggal.”54 Dalam mencukupi kebutuhan ekonomi, Nunung mengaku bahwa selama ini ia masih bisa survive karena suaminya juga mendukung dia berkesenian. Kadang-kadang ia harus bergantian dengan suaminya untuk membagi waktu antara bekerja dan mengurus rumah tangga. Sementara itu, bagi Pak Untung yang merupakan kepala rumah tangga, di umurnya yang telah lebih dari separo abad, ia telah melewati fase-fase yang dialami oleh para aktor lainnya yang umurnya jauh lebih muda. Pak Untung bercerita demikian: “Saya menjadi manusia. Menjadi anggota masyarakat, menjadi kepala rumah tangga, ngurusi kampung, punya tanggung jawab. Sebagai kepala rumah tangga ya harus membina keluarga sedemikian rupa, supaya tenang, aman, damai. Itu di kampung juga demikian, harus ikut serta menciptakan suasana tenang, damai, artinya begini, kan ada orang yang dengan keluarganya itu begitu baik, tapi kalau dengan orang lain justru sebaliknya. Atau di luar dia baik, tapi di dalam dengan istri, dengan keluarganya malah bertengkar. Itu saya maknai. Aku di luar dan di dalam sebisa mungkin sama.”55 Bagi Pak Untung yang telah menjadi salah satu tokoh teater di Indonesia, dalam hal ini ia adalah orang yang dipandang dikalangan seniman sebagai seniman senior dan juga sebagai orang yang memiliki pengaruh di masyarakatnya, ia tidak mau berlebihan dalam menjalani hidup. Ia dan keluarganya hidup dalam kondisi yang bisa dibilang serba pas-pasan di banding seniman senior lainnya yang seangkatan. Istrinya pernah bercerita kepada saya (sewaktu menunggu Pak Untung pulang dari puskesmas) bahwa Pak Untung itu selalu merasa cukup dengan ekonomi yang pas-pasan, malah tak jarang
54 55
Wawancara dengan Nunung pada tanggal 26 Juni 2014 Wawancara dengan Untung Basuki pada tanggal 8 Maret 2015.
62
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
kalau punya apa itu malah diberikan kepada orang lain, padahal keluarganya juga butuh. Untungnya selalu ada rejeki yang entah bagaimana jalannya, sehingga Pak Untung masih bisa membiayai kuliah anak-anaknya hingga selesai. “Selalu ada jalan mas, kadang saya diminta main film jadi figuran, kadang diminta perform, nyanyi, baca puisi, melukis, ngajar kesenian.”56 Dengan cara itulah Pak Untung menyambung hidupnya dan menghidupi keluarganya. Sementara itu, Tony Broer dalam dunia kesehariannya tetap memandang bahwa pekerjaannya adalah dosen, bukan aktor atau pencipta teater meskipun senyatanya ia mengajarkan teater, baik melalui jalur formal seperti di kelas perkuliahan ataupun jalur non-formal seperti yang dilakukannya setiap sore untuk latihan bersama muridmuridnya. Tony Broer manganggap bahwa berteater di Indonesia itu justru malah mencari kesulitan. Artinya berteater itu merupakan sebuah tantangan; untuk berbuat lebih daripada sekedar hidup ‘normal’. Tony Broer bercerita demikian: “Ini teater itu memang apa? Pekerjaan atau bukan? Kan gitu! Jadi kalau di Barat itu sendiri kan memang udah jadi profesi kan?! Jadi otomatis pekerjaan kan? Profesional! Jadi mereka berlatih itu pasti menghasilkan. Nah sekarang kalau elo berlatih itu belum tentu menghasilkan, udah susah sponsor, jadi ngerti nggak loe, ada kesan gini; justru berteater itu mencari kesulitan sebenernya. Makanya, pokok persoalan di kita itu ada teater tapi nggak ada infrastrukturnya. Jadi aneh itu sebenernya di kita itu! Jadi kalo loe nanya itu, itu benar. Tapi kalo loe tanya ke yang profesi itu nggak mungkin: Loe ngapain teater? Pasti jawabanya: Itu profesi gue. Nah di kita, itu sebenarnya profesi juga nggak, jadi seperti yang elo bilang, sebenarnya dia itu masih bingung. Jadi pertanyaanya ngapain loe teater? Padahal ente malah susah-susah nyari duit justru untuk bikin teater. Nah itu yang membedakan bahwa teater itu bukan pekerjaan. Gue, justru posisi gue karena gue pegawai negri. Apakah pekerjaan gue aktor? Nggak, gue pegawai negri, gue mengajar, gitu. Kalo gue ngandalin aktor gue, gue mati! Jadi gue itu pegawai negri, yang ngajar. Ya pegawai negri yang sebulanan gaji, gitu!”57 56
Wawancara dengan Untung Basuki pada tanggal 8 Maret 2015. Wawancara dengan Tony Broer pada tanggal 3 Agustus 2014 di Pasca Sarjana ISI Yogyakarta. 57
63
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
Hal ini merupakan salah satu hal yang membuat Tony Broer bersikeras untuk menghindari pola berfikir teater yang ada di Barat: di sana, menurut Tony Broer, seorang aktor digaji dengan hitungan jam latihan. Sehingga menjadi aktor bisa dikatakan sebagai profesi yang harus dilakukan secara profesional. Dalam praktik perteateran di Indonesia, kenyataannya sangat berbeda jauh. Hal inilah yang membuat Tony Broer meyakini bahwa sebaiknya paradigma berteater harus berbeda. Menjadi aktor itu tidak lantas hanya dijalani ketika proses penciptaan dengan laku yang seolaholah profesional. Menjadi aktor harus lebih dari itu, dengan cara memakai pengetahuanpengetahuan yang didapat dari latihan sebagai cara hidup dalam keseharian, sebagai sudut pandang sekaligus pendekatan dalam menempuh kehidupan. Salah satu bentuk praktik yang ditawarkan Tony Broer kemudian adalah dengan menjalani hidup dan menempatkan segala aktivitas kehidupan bersama orang lain sebagai bentuk latihan keaktoran. Hal yang menarik dari kayakinan Tony Broer dalam berteater, adalah ketika ia berfikir bahwa berteater itu bukan untuk mencari penghasilan. Artinya hal ini (persoalan mendapat uang atau tidak) kemudian menjadi stimulus yang membedakan semangat untuk melakukan sesuatu. Maksudnya, yang dilakukan orang dengan yang bertujuan mencari uang atau tidak tentu akan berbeda mutunya dan berbeda pula cara melakukannya. Ketika melakukan sesuatu karena memang senang, misalnya dalam berteater, maka ia akan rela kalaupun pertunjukannya membutuhkan banyak biaya dan ia tidak mendapatkan untung apapun dari segi ekonomi. Sejauh ini yang saya lihat dari Tony Broer ketika ia melakukan proses latihan, saya menafsirkan bahwa yang ia lakukan merupakan usaha untuk menjawab kegelisahannya.
64
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
Sementara itu, berbeda dengan Tony Broer, pengalaman Tita kurang lebih mirip dengan Gunawan Maryanto. Dalam keseharian, Tita hanya menggantungkan hidupnya dari kerja seni yang ia lakukan. Modalnya adalah pengalamannya menjadi aktor dan pengalaman tersebut mengantarkan Tita pada kerja seni yang lain seperti misalnya menjadi fasilitator atau bahkan mengurus program yang dijalankan di Padepokan Seni Bagong Kussudihardja. Namun apakah yang dilakukan Tita hanya semata-mata untuk pekerjaan, Tita mengaku tidak demikian, dia bercerita: “Dulu sebenarnya, setelah lulus kuliah (Tita merupakan alumni jurusan psikologi Universitas Sanata Dharma) orang tuaku menginginkan aku bekerja di kantor atau di perusahaan apa gitu. Aku sempat melamar kerja di perusahaan farmasi, bahkan sudah wawancara kerja. Tapi waktu itu aku berfikir dan aku merasa tidak nyaman melakukannya. Aku ingin menjadi seniman. Meskipun orang tuaku marah besar aku tetap melakukannya. Konsekuensinya aku harus pergi dari rumah (di Bogor), dan kembali lagi ke Jogja, lalu berkesenian. Sebelum kerja di padepokan sih memang secara ekonomi aku mengalami kesulitan. Tapi saat ini ternyata aku masih bisa hidup. Orang tuakupun akhirnya bisa menerima karena aku bisa membuktikan bahwa berkesenian itu bisa hidup.”58 Tita mengaku bahwa proses berkeseniannya yang pertama kali, yaitu ketika mengikuti program Aktor Studio Teater Garasi tahun 2007 banyak sekali mengubah hidupnya. Keputusan untuk berkesenian memang berangkat dari pengalamannya setelah ia mencicipi panggung teater. Sebelumnya, bahkan ia tidak sempat mempunyai pikiran untuk menjadi seniman. Sehingga dalam kehidupannya saat ini, yang dilakukan Tita merupakan pekerjaan sekaligus sesuatu yang ia senangi. Di antara para aktor tersebut, yang memiliki kehidupan paling dramatis adalah Mbah Tohir, ia adalah sosok seniman tua yang selama hidupnya mengembara dari satu tempat ke tempat lainnya. Kampung halamannya adalah kota Surabaya, kota yang 58
Wawancara dengan Tita pada tanggal 24 Juni 2014 di Padepokan Seni Bagong Kussudihardja
65
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
membuatnya kenal dengan kesenian dan kota yang memperkenalkan dia dengan kelompok Srimulat. Ia sempat bergabung dengan Srimulat dalam kurun waktu yang cukup lama, lantas ia memilih untuk sendirian dalam berkesenian; mementaskan pentas monolog dari satu kota ke kota lainnya. Ketika Mbah Tohir di Jogja, cara ia menyambung hidup adalah dengan melukis wajah dan menjual batu akik yang ia koleksi sejak tahun 70an. Mbah Tohir bercerita: “Ya kalau nggak pentas biasanya kalau pagi saya ngamen nglukis wajah mas. Kalau ada pentas itu lumayan, meskipun sedikit kan masih ada saweran. Kadang-kadang saya juga masih nimbrung dengan anak-anak teater di ISI sewon, meski sudah tua gini saya masih semangat untuk cari ilmu, biar nggak ketinggalan dengan yang muda-muda. Melihat mereka latihan, ikut diskusi, datang seminar. Lha ini aja saya datang ke latihannya Mas Tony, nanti saya mau dimintai tolong untuk cerita metode. Belakangan ini kalau di Jogja tiap sore saya datang di latihannya Mas Tony untuk nambah-nambah ilmu. Kadang-kadang anak-anak muda itu bilang gini: Mbah, njenengan itu sudah sepuh, mbok santai saja menikmati masa tua. Kalau saya nggak mau mas.”59 Dari beberapa kisah yang dituturkan oleh para aktor tersebut, kita bisa melihat bahwa kehidupan sehari-hari yang mereka jalani tak jauh dari keaktoran dan teater yang mereka tekuni. Artinya, fenomena ini sedikit banyak memberikan kesan bahwa berteater tidak membuat pelakunya atau aktor-aktornya hidup dalam kondisi yang mengenaskan. Dengan berproses di teater mereka mendapatkan pengetahuan, dan pengetahuan tersebut jika dilihat dari cerita para aktor justru merupakan hal yang lebih penting; mereka survive dengan modal pengetahuan yang mereka dapat dari proses teater. Dari segi pengalaman kebertubuhan, pastinya pengalaman aktor pentas dari panggung ke panggung, dari satu proses menuju ke proses lainnya akan meninggalkan ingatan. Yang menjadi pertanyaan kemudian apakah pengalaman menghayati peran di 59
Wawancara dengan Mbah Tohir pada tanggal 5 Maret 2015 di Pasca Sarjana ISI Yogyakarta.
66
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
panggung juga berdampak dalam perilaku sehari-hari? Bagaimana seorang aktor menanggulangi pengetahuan menghayati peran di panggung? Bagaimana aktor memaknai akting, baik di panggung pertunjukan ataupun di keseharian? Beberapa pertanyaan tersebut dinarasikan pada bagian selanjutnya.
D. Memaknai Akting: Akting di Panggung Teater dan Panggung Keseharian Bagaimana para aktor menyikapi dunia panggung dan dunia keseharian dalam konteks berperilaku? Perspektif umum cenderung menilai bahwa akting di panggung merupakan pura-pura dan tidak mewakili esensi yang sebenarnya, sebaliknya, yang mewakili esensi yang sebenarnya adalah perilaku dalam keseharian. Namun bagaimana para aktor memaknai panggung teater dan panggung keseharian? Berpijak dari konsepsi tersebut, bagian ini dimaksudkan untuk melihat pemaknaan para aktor terhadap akting yang mereka jalani. Mbah Tohir bercerita bahwa ada dua panggung yang harus ia jalani, panggung pertama adalah kehidupan sehari-hari, dan panggung dua adalah panggung teater. Keduanya memiliki fungsi yang sama bagi Mbah Tohir, yakni sebagai ruang untuk menghadirkan diri di depan orang lain. Kehadiran inilah yang akan dinilai oleh orang lain dan hanya melaui kehadiran tersebut dengan segala bentuk perilakunya membuat seseorang memiliki makna dalam kehidupan. Sementara itu, pak Untung dalam bahasa yang berbeda mengungkapkan hal yang serupa: “Kalau di keaktoran ya ada waktunya, kalau pas akting ya akting, kalau nggak ya nggak. Jadi sebagai aktor, kalau pas waktunya akting itu ya dijaga aktingnya, jangan berperilaku yang di luar tugasnya. Misalnya pas main jadi Oedipus, ya jadilah Oedipus, tapi kalau pas jadi Untung ya jadi Untung. Ini aktor harus bisa membedakan dan memainkan, bahkan dengan seketika. Ini metode latihan juga. Namanya latihan seketika. Jadi misalnya bangun tidur
67
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
itu jika sudah ada rencana mau apa ya segera dilakukan. Jangan kalau di panggung ada adegan nangis, itu nangis bener dan begitu keluar dia masih nangis, ya jangan begitu.”60 Dari uraian tersebut, Pak Untung menekankan pentingnya menempatkan diri sebagai manusia. Di panggung, dalam konteks pertunjukan yang menempatkan aktor sebagai tokoh, maka ia harus menjalankan tugasnya sebagai tokoh tersebut, sebaliknya, di luar panggung, ia harus kembali menjadi seseorang yang telah dikenali oleh orang lain di sekelilingnya. Di sanalah kiranya makna bisa hadir, yakni dengan cara menghadirkan diri sebagaimana mestinya. Mendalami keaktoran cenderung membuat para aktor memandang kehidupan sehari-hari layaknya situasi yang harus disikapi dengan cara aktor menyikapi panggung pertunjukan. Pemahaman ini merupakan efek dari memahami diri melalui latihan akting; jika sumber dari akting merupakan peristiwa keseharian, dengan kesadaran tertentu memilah dan menata ulang lagi sebagai bahasa di panggung, maka pengalaman tersebut senantiasa melekat dalam keseharian, yakni dengan menyadari dan merespon setiap peristiwa dalam keseharian layaknya latihan akting. Akan tetapi yang khas dari keaktoran, merujuk pada cerita para aktor dalam penelitian ini, adalah pentingnya kesadaran untuk menempatkan diri dalam segala situasi. Tony Broer dalam wawancara mengatakan bahwa dalam keseharianpun sebenarnya yang dilakukan orang adalah akting, yang sama saja dengan di panggung. Tony Broer menceritakan pengalamannya ketika ia sedang ujian, “Ya ujian buat gue itu pentas juga. Gue akting. Nah gue kan dari rumah udah nyiapin naskahnya nih, udah gue hapalin gue nanti ngomong apa aja di depan pembimbing gue. Sebelum berangkat 60
Wawancara dengan Untung Basuki pada tanggal 8 Maret 2015.
68
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
gue juga udah nyiapin kostum, dandan, terus nanti di ruang sidang, gue pentas, gue juga ngrespon ruang, ngrespon penonton.”61 Yang dilakukan oleh Tony Broer, dengan memandang bahwa dalam keseharianpun ia akting, adalah dalam rangka untuk mengaplikasikan pengetahuan aktor dalam keseharian. Setara dengan yang dikatakan Tony Broer, Andika juga mengatakan bahwa yang bernilai dari seorang aktor dalam keseharian justru adalah penghayatannya. Dalam proses keaktoran, seorang aktor latihan untuk menghayati perannya. Berangkat dari hal tersebut, bagi Andika, semestinya aktor juga bisa menghayati keseharianya, melakukan segala aktivitasnya bersama orang lain dengan cara yang sama, dengan kesenangan yang sama sebagaimana aktor menyenangi latihannya. Sehingga, latihan teater bagi Andika bisa di mana saja: di sawah, di kantor, di pasar, di rumah, dan bahkan di kamar mandi. Masing-masing ruang memberikan kesempatan bagi aktor untuk menghayatinya. Konsepsi tersebut, sebagaimana telah dikatakan oleh Tony Broer dan Andika, menjadi laku bagi Tita untuk menjalani keseharian. “Hal ini adalah soal kebiasaan”62, kata Tita, bahwa untuk menjalani keseharian, rasanya akan hambar jika tidak didasari dengan perasaan-perasaan tertentu. “Terutama adalah rasa senang,”63 kata Tita, “Ketika aku harus menjalani sesuatu yang aku senangi terlebih dahulu, ya aku akan mengupayakannya dengan maksimal.”64 Keseharian yang dijalani Tita merupakan pilihannya, sama halnya dengan misalnya ketika ia berproses teater, sehingga dirinya
61
Wawancara dengan Tony Broer pada tanggal 3 Agustus 2014 di Pasca Sarjana ISI Yogyakarta. 62 Wawancara dengan Tita pada tanggal 24 Juni 2014 di Padepokan Seni Bagong Kussudihardja 63 Ibid. 64 Wawancara dengan Tita pada tanggal 24 Juni 2014 di Padepokan Seni Bagong Kussudihardja
69
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
yang telah berlatih keaktoran bisa diaplikasikan tidak hanya di panggung, melainkan di aktivitas lainnya. “Proses teater dan keseharian itu berhubungan kok.”65 Namun demikian, tentunya ada hal yang berbeda antara panggung teater dengan keseharian. Perbedaan antara panggung teater dengan panggung keseharian, menurut Gunawan Maryanto, adalah tujuan dan tensinya. Ia berpendapat bahwa mode latihan keaktoran adalah mengaktifkan diri dengan cara mengaktifkan segala inderanya. Di panggung, aktor tidak boleh hanyut dalam suasana. Aktor harus bisa berenang dan justru menciptakan suasana. Hal inilah yang membedakan kehidupan panggung dengan kehidupan keseharian. Di panggung, ibaratnya, aktor tidak boleh mengalir begitu saja lantas tenggelam. Sementara, dalam keseharian, situasinya seringkali menempatakan kehidupan seolah mengalir begitu saja. Demikian pun setelah peristiwa teater dihadirkan; selalu ada yang membekas baik pada pelakunya maupun penontonnya. Pengalaman inilah, seperti yang diutarakan Gunawan Maryanto, yang sedikit banyak mempengaruhi cara hidup baik pelaku ataupun penonton untuk memandang kehidupan setelahnya. Tensi dalam melakukan suatu aksi terletak pada kesadaran. Para aktor mengatakan bahwa kesadaran yang digunakan dalam melakukan aksi di panggung teater merupakan kesadaran untuk melakukan sesuatu dengan dilandasi perasaan-perasaan yang jujur. Berpura-pura justru akan mengurangi mutu pertunjukan, sebagaimana hal ini juga dinyatakan oleh Gunawan Maryanto. Berpura-pura atau melakukan sesuatu dengan setengah hati justru akan menjadi soal di panggung pertunjukan, namun barangkali tidak di keseharian. Aksi kecil yang dilakukan dipanggung bukan berarti aksi yang bisa disepelekan. Setidaknya, penonton akan memperhatikan aksi tersebut. Sementara, dalam 65
Ibid.
70
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
keseharian hal ini bukanlah sesuatu yang perlu diberi perhatian lebih. Persoalan aksi inilah yang biasanya dibongkar oleh para aktor dalam proses penciptaan akting mereka. Hal ini menjadi wajar jika aktor, sebagaimana Tony Broer terus menerus melakukannya, sering mempertanyakan kembali tentang bagaimana berjalan kaki? Apa motivasi berjalan kaki? Mau kemana? Bagaimana caranya? Bagaimaa temponya? Bagaimana duduk? Bagaimana berbicara? Dsb. Para aktor harus melatih kembali halhal yang dalam keseharian menjadi hal yang sepele dengan asumsi bahwa apa yang mereka lakukan akan terbaca sebagai tanda. Dalam hal ini, bagi para aktor, teater dan keseharian merupakan dua hal yang berbeda akan tetapi saling berhubungan satu sama lain. Proses penciptaan teater selalu berpijak pada pengalaman hidup senimannya menafsirkan kehidupan. Dalam ruang yang sempit, keseharian merupakan sumber gagasan yang utama. Dan setelahnya, proses berteater menjadi bekal untuk memandang dan menjalani kehidupan keseharian.
E. Teater: Antara Kesenangan, Kegelisahan, dan Kegilaan Dalam Kehidupan Proses perjalanan menempuh keaktoran dan penciptaan teater pada akhirnya membuahkan pemaknaan-pemaknaan tertentu bagi para aktor. Bagian ini merupakan bagian yang menarasikan makna teater dan kehidupan yang dialami oleh para aktor. Pemaknaan-pemaknaan ini lebih bersifat personal, tergantung dari pengalaman yang mereka dapatkan melalui proses latihan dan proses penciptaan yang mereka jalani. Secara umum, pengalaman berteater yang lakukan oleh para aktor ini bermula dari rasa senang, akan tetapi kedepannya, rasa senang ini berubah bentuk menjadi kegelisahankegelisahan tertentu untuk menyampaikan sesuatu melalui teater. Hasilnya kurang lebih
71
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
adalah pengetahuan, gaya hidup, dan keyakinan yang dimiliki oleh para aktor dalam menempuh kehidupan mereka masing-masing. Jika kita membaca pengalaman Tony Broer pada bagian sebelumnya, kita mungkin akan menemui kesan bahwa ia merupakan tokoh yang unik, nyentrik, berani dan keras kepala. Namun dibalik hal tersebut, Tony Broer mempunyai keyakinan yang menjadi alasan kenapa ia berteater dengan gaya yang sedemikian rupa dan cenderung menyimpang dari bentuk-bentuk teater pada umumnya di lingkungan berkeseniannya. Tony Broer bercerita demikian: “Pengalaman loe itu harus loe jadikan landasan hidup loe, apapun jenis pangalamannya. Makanya pilihan dulu. Kalau loe di teater cuma sebagai apa...daripada nganggur itu kan susah juga! Nah makanya kalau gue itu pilihan. Gue kan pegawai negri juga, tapi tetep melakukan ini. Sebenernya kalau nggak melakukan ini pun hidup gue nyaman, pura-pura sok pinter aja gue kan, baca buku yang banyak, terus ngomong soal teater; gua jadi dosen, pasti orang akan nganggap kan? Tapi kan gue nggak, gue lakukan latihan juga! Kalau dilihat dari umur juga ngapain sebenernya gue capek-capek, apa sih yang gue kejar sebenernya? Ya sebenernya experience gue itu yang membuat gue sampai sekarang tetep bertahan. Sebab itu yang jadi kekuatan gue nanti yang orang lain gak punya.”66 Dari pemaparan tersebut kita bisa melihat bahwa dalam hidupnya, pilihan atau kalau bisa dibilang kepuasan bagi Tony Broer adalah ketika ia terus melakukan pencarian; menjawab kegelisahan terbesar dalam hidupnya, yakni tubuh. “Persoalan tubuh itu belum selesai, makanya gua terus menerus nyari, mempertanyakan kembali soal-soal tubuh yang dianggap telah selesai.”67 Di sisi lain, melihat karakternya yang nyentrik, ternyata Tony Broer telah menjadi ayah beranak satu. Istrinya bernama Noriko Komuro, seorang wanita berdarah Jepang yang ia kenal ketika ia berkolaborasi dengan 66
Wawancara dengan Tony Broer pada tanggal 3 Agustus 2014 di Pasca Sarjana ISI Yogyakarta. 67
Wawancara dengan Tony Broer pada tanggal 3 Agustus 2014 di Pasca Sarjana ISI Yogyakarta.
72
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
beberapa seniman dari Indonesia, Jepang, Filipina, dan Amerika; sebuah kolaborasi untuk pertunjukan yang persiapannya berlangsung di Jepang selama 3 bulan pada tahun 2001. Saya membayangkan bahwa jikalau Tony Broer ingin hidup enak, ia sudah memilikinya tanpa perlu repot-repot latihan yang aneh-aneh, menciptakan teater yang aneh dan susah dipahami hingga sekarang. Namun pilihan hidup memang demikian adanya, sebagaimana juga diceritakan oleh Pak Untung Basuki untuk menjawab alasan hingga kini ia masih berteater: “Wah itu agak susah. Kalau panggilan hidup itu ya....ya sampai sekarang saya masih hidup di sana. Itu saya nggak dapat penghasilan dari teater lho. Saya berteater itu nggak tahu caranya untuk nyari duit. Ini proses Oedipus aja hampir setahun belum tahu mau pentas kapan. Apa nggak gila? Hanya orang gila yang mau kayak gini ini. Ya saya ini orang gila. Kenapa begitu? Nggak tahu, ya saya harus menjalani itu. Ini saya pentas itu berangkat dari satu alasan. Keprihatinan. Oedipus itu cerita tentang pemimpin negara yang salah. Ini maunya saya pentaskan dulu di tahun 2012, tapi belum bisa sampai sekarang, malah sudah ganti presiden. Ini saya pikir pentas Oedipus cocok, waktu itu pas presiden SBY. Itu antara 2012-2013.”68 Barangkali berteater memang soal keprihatinan: bentuk perhatian dari seseorang yang ingin memberikan sumbangan kepada kehidupan dalam bentuk teater untuk kehidupan yang lebih baik. Namun kadangkala perhatian tersebut belum tentu membuahkan hasil yang seketika. Sehingga kadang-kadang berteater itu memunculkan perasaan-perasaan tersendiri: “Saya ini ya nggak tahu mas kenapa masih berteater,“69 kata Pak Untung, “Ya ini absurd. Ya gila.”70 Akan tetapi, barangkali yang lebih mendasar, sebagaimana hal ini dikatakan oleh Gunawan Maryanto, berteater merupakan kebutuhan untuk bercakap-cakap. Jika meminjam ungkapan Pak Untung, maka percakapan ini adalah percakapan yang
68
Wawancara dengan Untung Basuki pada tanggal 8 Maret 2015. Wawancara dengan Untung Basuki pada tanggal 8 Maret 2015. 70 Ibid. 69
73
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
mempercakapkan kehidupan yang memprihatinkan. Melihat dari sisi lain, Gunawan Maryanto menyikapi teaternya demikian: “Ya kalau aku ingin menyikapinya, dengan perasaan gitu, pengennya berteater itu masih sebagai hobi yang menyenangkan. Tapi di sisi lain kan nggak bisa seperti itu terus menerus. Ini kemudian menjadi disiplin pengetahuan yang tak jalani. Seperti sedang menempuh satu perjalanan menemukan pengetahuan dan pengalaman yang lain. Di sisi lain juga tetap, teater itu menjadi satu bentuk ekspresi. Sebagaimana orang-orang yang lain mempunyai bentuk ekspresinya sendiri-sendiri kan? Untuk melakukan sesuatu, menyampaikan sesuatu kepada yang lain, teater mejadi jalanku. Sebagai bagian dari masyarakat kan, orang ingin bercakap-cakap, ingin berbagi, ya jalannya beda-beda. Salah satu jalan ya teater.”71 Dengan menyikapi teater sebagai hobi yang menyenangkan, Gunawan Maryanto masih ingin tetap menjalani kehidupan yang berat di teater bukan sebagai beban, melainkan sebagai kesenangan dalam menempuh kehidupan. Meskipun saat ini Gunawan Maryanto, seperti yang telah diceritakan pada bagian sebelumnya, menggantungkan hidupnya dengan berteater. Namun pada akhirnya teater yang ditekuni Gunawan Maryanto membentuk suatu pemahaman bahwa teater merupakan salah satu bentuk pengetahuan dan sarana ekspresi yang ia butuhkan. Bahwa berteater merupakan hal yang lebih dari sekedar kesenangan, justru menurut Andika Ananda, dia merasa bahwa akan menjadi sempit maknanya jika teater dimaknai sebagai kesenangan semata, pada praktiknya, ia mengatakan bahwa ia berteater juga karena alasan-alasan lain yang sifatnya lebih jauh dari sekedar kesenangan: “Kalau teater itu ibaratnya perempuan mas ya, itu saya naksir dan pedekate dulu; saya ajak ngobrol, nelfon, sambil diperhatikan, terus didekati sampai benar-benar cinta. Saya pikir cinta kan tidak berhenti di situ. Sekian tahun 71
Wawancara dengan Gunawan Maryanto pada tanggal 7 Maret 2015 di Garasi Institute of Performance, Nitiprayan, Yogyakarta.
74
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
pacaran bahkan sudah menikah, istilah cinta itu mungkin sudah nggak ada. Istilah seneng itu mungkin nggak ada. Aku berteater itu karena seneng kah? Karena apa ya? Ya seneng tapi juga gelisah. Macam-macam, tapi justru di situ. Tidak sebatas karena senang saya berteater. Tapi ya karena saya gelisah, karena saya sedih, karena saya marah, karena saya ingin menyampaikan sesuatu, karena saya berfikir, karena saya hidup. Bukan karena senang. Akan menjadi sempit kalau begitu. Aku berteater karena senang kok! Iya po? Bagi saya nggak semata-mata itu kok. Ya kan sudah hampir dari separuh umur saya kan saya berteater. Jadi mungkin sudah melewati fase itu, bahwa pertanyaan berteater karena senang itu bukan lagi pertanyaan yang perlu saya jawab. Kamu senang? Nggak saya jawab, tapi saya yakin secara personal untuk saya jalani.” 72 Ada kesenangan, ada kegelisahan, ada kesedihan yang melebur menjadi satu seperti yang dimaknai Andika dengan mengibaratkan teater sebagai perempuan yang ia cintai. Sebagai praktiknya, ia merasa bahwa teater tidak hanya memberikan sesuatu pada Andika, akan tetapi sebagai gantinya, ia harus memberikan sesuatu kepada teater sebagai sumbangan pemikiran. Tak jarang Andika harus mengorbankan sesuatu untuk proses penciptaan teater dalam situasi budaya yang didominasi oleh pasar. Kerja teater dimaknai andika sebagai sesuatu yang tidak berakhir di panggung saja dan kerja ini berbeda konteksnya sebagai pekerjaan untuk memenuhi kebutuhan ekonomi. Kerja teater memiliki banyak turunan, bagi Andika, salah satunya dalam bentuk latihan dan latihan ini bukan semata-mata untuk pentas, melainkan untuk hidup. Akan tetapi dibalik ungkapan-ungkapan yang dilontarkan oleh para aktor tersebut, ada keyakinan-keyakinan tertentu yang membuat mereka tetap bertahan di teater, yakni keyakinan bahwa teater berguna bukan hanya bagi mereka yang telah berproses, melainkan bagi orang lain. “Berteater itu berguna untuk pembentukan karakter,”73 ujar Mbah Tohir dan hal ini juga diakui oleh para aktor lain. Berguna dalam hal ini berarti
72
Wawancara dengan Andika pada tanggal 20 Juni 2014 Wawancara dengan Mbah Tohir pada tanggal 5 Maret 2015 di Pasca Sarjana ISI Yogyakarta. 73
75
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
baik. Namun apakah makna ‘baik’ jika dikaitkan dengan bisa memerankan banyak karakter? Bagaimana kemudian mereka berhadapan dengan masyarakat? Manfaat pembentukan karakter dalam hal ini bukan berarti menjadi tokoh lain lantas menggunakannya untuk membohongi orang lain. Mbah Tohir menegaskan; “Di teater itu dilatih. Orang biar jadi pinter, misalnya kita dilatih untuk berperan menjadi tokoh baik, atau tokoh jahat, dari situ kita kan mendapat pengetahuan, yang membuat kita kemudian bisa memilih, mana yang terbaik untuk kehidupan kita. Teater membuat orang jadi cerdas dan punya karakter. Bisa paham sesuatu juga bisa dipahami orang lain. Di teater itu kita harus jujur. Dalam memainkan peran nggak bisa kita bohong. Nggak jadi. Sehingga orang berteater itu orang yang dilatih untuk jujur sebenarnya.” 74 Dari ujaran Mbah Tohir, dia memberikan contoh konkrit bagaimana latihan teater bisa membentuk karakter yang bisa berinteraksi dengan sesama. Mbah Tohir bercerita bahwa di suatu sekolah, ada seorang anak yang diwajibkan ikut teater karena bagian dari mata pelajaran. Sebelumnya, anak tersebut merupakan anak yang susah berinteraksi meskipun ia memiliki kecerdasan di atas teman-temannya. Lantas, melalui proses teater, pada akhirnya anak tersebut terpaksa belajar berinteraksi hingga kemudian anak tersebut menemukan cara dan menyenangi pengalamannya berinteraksi dengan orang lain. Ungkapan Mbah Tohir ini merupakan suatu mode pembelajaran teater dalam arti yang lebih luas dari sekedar untuk penciptaan pentas. Jika salah satu efek dari latihan teater ini adalah untuk membentuk karakter yang bisa berinteraksi dengan orang lain, artinya latihan teater semestinya merupakan praktik yang dibutuhkan kebudayaan; interaksi antar manusia.
74
Wawancara dengan Mbah Tohir pada tanggal 5 Maret 2015 di Pasca Sarjana ISI Yogyakarta.
76
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
Sebagai narasumber yang paling tua dalam penelitian ini, Mbah Tohir merupakan aktor monolog yang hidupnya berpindah-pindah dari satu kota ke kota lain. Pengembaraannya ini merupakan pilihan hidupnya meskipun hal tersebut terkesan sebagai kehidupan yang serba sulit. “Jika mau saya sudah jadi selebritis Srimulat mas. Lha saya yang ikut membangun, menulis naskah, juga menyutradarai. Tapi kan nggak saya lakukan.”75 Kemudian Mbah Tohir memilih untuk bermain monolog dan menjalani kehidupan yang sedemikian rupa seorang diri. “Ya ini latihan saya sebagai aktor mas,” ujarnya, “Untuk mencari kesempurnaan saya sebagai manusia.”76 Menurut cerita yang disampaikan Mbah Tohir, Tony Broer pernah mengatakan kepadanya bahwa teaternya (teater Mbah Tohir) merupakan teater kehidupan, karena pada prakteknya, Mbah Tohir membawa teaternya sampai pada kehidupan kesehariannya. Pilihan Mbah Tohir untuk menjadi dirinya yang seperti sekarang ini bisa dibilang merupakan pengalaman yang melawan mainstream ketika banyak orang saat ini yang berlomba-lomba untuk menjadi selebritis. Pada umumnya, pilihan hidup semacam ini cenderung dianggap sebagai pilihan yang tidak realistis. Namun Mbah Tohir senang menjalaninya dan menganggap bahwa pilihannya merupakan jalan yang baik untuk ia tempuh sebagai cara untuk memperoleh kesempurnaan hidup hingga akhir hayatnya nanti. Mbah Tohir sangat menyadari bahwa yang dilakukannya tidak akan mengantarkannya pada kesempurnaan karena beliau percaya bahwa kesempurnaan hanya milik tuhan dan manusia hanya bisa berusaha untuk melakukan hal yang terbaik. Ungkapan Mbah Tohir tersebut menciptakan kesan bahwa ada sisi spiritual yang ia yakini dari berteater. Hal yang mirip juga diungkapkan oleh Andika, teater bukanlah 75
Wawancara dengan Mbah Tohir pada tanggal 5 Maret 2015 di Pasca Sarjana ISI Yogyakarta.. 76 Ibid.
77
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
agama, namun dengan berteater Andika merasa mendapat pencerahan hidup dari segi spiritualitas. Andika bercerita bahwa dulu ia merupakan seseorang yang jarang beribadah, namun dalam proses kedepannya, melalui teater, Andika mengakui bahwa teater telah memberikan hal yang sifatnya spiritual yang bersifat abstrak yang sulit untuk ia jelaskan namun ia meyakininya. Demikian cerita Andika: “Kalau saya nggak melihat teater seperti agama. Karena bagi saya kalau teater dianalogikan menjadi sebuah agama itu menjadi sesuatu yang salah. Menurut saya. Tapi ini mungkin konteksnya berhubungan dengan keimanan saya. Nggak tahu kalau di agama lain. Teater ya teater, agama ya agama. Gampangnya gini, karena saya Islam, waktunya sholat ya harus sholat. Meskipun saya belum lama melakukannya. Saya dulu juga orang nakal, wis ora tau sholat. Tapi itu dulu, sekarang itu saya memandang teater ya teater, agama ya agama, dan keduanya itu bagian dari hidup saya. Dan teater itu juga berkait dengan agama saya, dengan keimanan saya. Agama juga begitu, karena ada kaitannya dengan...saya nggak berani ngomong gimana ndak seperti sombong, tapi bagi saya teater memberikan pengaruh pada saya di wilayah spiritualitas. Dan itu bukan janji teater, melainkan itu kegunaan teater bagi saya. Ya melalui latihan-latihan apapun itu, membaca naskah, berhubungan dengan masyarakat, berbagai macam pesan yang saya dapat dari latihan, dari naskah, dari pentas, bagi saya semua proses latihan teater itu memberikan stimulus bagi saya tentang spiritualitas. Ya kalau berbicara konkrit itu nggak ada wujudnya, tapi saya meyakini hal itu. Kontribusi teater ada di situ, untuk membuat saya sadar, membuat saya yakin. Teater mempunyai peran itu. Bagi saya itu ada, meskipun ada orang-orang tertentu yang meyakini teater itu sebagai agama. Berteater itu juga masuk surga. Ya itu nggak apa-apa, terserah. Tapi kalau saya, dalam konteks keimanan saya, itu terpisah antara agama dan teater karena keduanya mempunyai paradigmanya masing-masing. Tapi kalau apakah teater itu ada hubungannya dengan agama ya bagi saya ada. Saya yakin spiritualitas seseorang itu berpengaruh pada karyanya kok. Spiritualitas orang itu pasti sedikit banyak ada di karyanya. Bahkan kebodohan, kedangkalan, kejelian itu pasti terepresentasikan melalui karya seseorang. Nah tadi kalau soal citacita yang diinginkan dari teater, untuk sekarang ini saya nggak menginginkan apa-apa. Karena teater bagi saya sudah memberikan banyak hal pada saya. Nah kalau saya kemudian saya latihan, saya proses lagi, dan saya mendapatkan sesuatu, ya itu yang patut saya syukuri. Bagi saya teater itu memberikan banyak hal bagi saya. Tuhan memberikan hal tersebut melalui teater.” 77
77
Wawancara dengan Andika pada tanggal 20 Juni 2014
78
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
Berbeda ungkapan dengan mbah Tohir dan Andika, Nunung memaknai teaternya sebagai energi yang menjadi sumber bagi kehidupannya. Baik dalam hal menciptakan proses pertunjukan ataupun sebagai penonton, Nunung merasa bahwa teater adalah energi positif yang membuatnya merasa ingin bergerak dan menciptakan sesuatu. Tita, dekat dengan yang diungkapkan Nunung, merasa bahwa dengan berteater, ia terdorong untuk memaksakan dirinya berkreativitas. “Teater adalah energi kreatif untuk hidup dan mengkreatifi kehidupan”78 ujarnya. Dengan teater, mereka merasa hidup. Karena: “Teater adalah rasa hidup.”79 Kata Nunung. Namun rasa hidup yang bagaimanakah? Nunung bercerita: “Di panggung itu rasanya gimana ya? Aku nggak tahu tapi selalu begitu; kayak meluap-luap. Rasane ki urip banget, aku seolah merasakan aliran energi ya dari penonton, ya dari situasi yang terbangun di panggung. Kamu sering lihat aku kan kalau sebelum pentas itu aku selalu mual-mual, pengen muntah, bolak-balik di kamar mandi. Ada ketegangan yang entah gimana karena semua yang aku lakukan di proses akan dipertaruhkan saat itu juga.”80 Sementara bagi Tita, dengan mengatakan bahwa teater merupakan energi kreatif untuk hidup dan teater merupakan cara untuk membuat kreatifitas kehidupan, teater bagi Tita merupakan sesuatu yang mendorong Tita untuk selalu berfikir lebih dan berbuat lebih. Kerena teater, hal itu membuat Tita menjadi harus untuk melakukannya. Namun harus dalam hal ini berbeda dengan harus yang bersifat menekan (mematuhi hukum, misalnya), melainkan keharusan karena suatu keinginan yang mendesak. Tita bercerita: “Kalau di teater, aku nggak bisa tinggal diam begitu saja. Aku harus melakukan sesuatu. Sebagai aktor kan kita menafsirkan, menciptakan, nah ini yang selalu aku jadikan pegangan. Aktor itu seniman, dan seniman itu harus kreatif. Kalau nggak gitu aku ngrasa nggak memberi kontribusi pada 78
Wawancara dengan Tita pada tanggal 24 Juni 2014 di Padepokan Seni Bagong Kussudihardja 79 Wawancara dengan Nunung pada tanggal 26 Juni 2014 80 Ibid.
79
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
orang lain. Kalau aku lihat pentas atau karya seni gitu dan aku merasa mendapat inspirasi, maka ketika aku harus berproses, ya gimana caranya supaya orang lain nanti mendapat inspirasi dari apa yang aku lakukan. Nah kalau teater kan yang ditampilkan adalah peristiwa kehidupan, jadi bagiku itu adalah kehidupan yang harus dikreatifi. Kalau pakai istilah kita di padepokan ya teater adalah energi kreatif untuk hidup dan mengkreatifi kehidupan.”81 Melihat berbagai pemaknaan atas teater dari cerita-cerita para aktor tersebut, dari berbagai macam versinya, bisa diartikan bahwa masing-masing pemaknaan tersebut tak lepas dari relasi aktor dengan teater dan kehidupan yang mereka alami. Semua pemaknaan tersebut bersifat personal dan cenderung mengarah pada hal baik yang ditempuh melalui teater. Pemaknaan teater dalam konteks yang lebih luas diutarakan oleh Gunawan Maryanto selaku aktor sekaligus seseorang yang sangat familiar dengan dunia penelitian teater. Ketika saya melontarkan pertanyaan yang terkait dengan perkembangan teater saat ini, Gunawan Maryanto bercerita demikian: “Ya memang berkembang. Tumbuh. kalau dulu teater itu kayak upacara, lalu menjadi media lakon, ini kita bisa melihat teater tradisi, masyarakatnya sudah tahu ceritanya, yang mungkin sudah berulang-ulang, tapi mereka masih membutuhkan itu sebagai wahana, untuk berkumpul, untuk meneguhkan: Oo...aku masih orang jawa lho dengan melihat wayang. Meskipun ia tidak memperhatikan ceritanya, tapi dengan datang ke situ, dia masih mengikatkan diri dengan suatu kelompok masyarakat tertentu. Fungsi itu masih dan berkembang. Dalam arti kalau dulu itu masih menjadi reriyungan, untuk meneguhkan ikatan-ikatan yang lebih emosional, tapi untuk perkembangannya teater kan menjadi satu wahana untuk bercakapcakap, diskusi, untuk mengungkapkan kenyataan-kenyataan hari ini, kan gitu.”82 Berteater memang tak lepas dari kebutuhan untuk berbaur bersama orang lain; meneguhkan ikatan emosional, jika meminjam istilah Gunawan Maryanto atau srawung 81
Wawancara dengan Tita pada tanggal 24 Juni 2014 di Padepokan Seni Bagong Kussudihardja 82 Wawancara dengan Gunawan Maryanto pada tanggal 7 Maret 2015 di Garasi Institute of Performance, Nitiprayan, Yogyakarta.
80
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
jika memakai cerita Mbah Tohir. Dalam praktiknya memang demikian, seorang aktor harus belajar berbicara, menyampaikan sesuatu, memikirkan sesuatu; dengan sendirinya berteater tak lain adalah belajar berkehidupan. Lebih dalam dari hal itu; mengakali kehidupan, sebagaimana yang dikatakan Tita bahwa teater memberikan energi kreatif untuk hidup, mengkreatifi kehidupan. Jika melihat pemaknaan-pemaknaan yang telah diceritakan oleh para aktor tersebut, kiranya kita bisa melihat bahwa berteater merupakan pendekatan yang penting untuk menjalani kehidupan. Berbekal mempelajari kehidupan untuk kemudian ditampilkan di atas panggung, minimal hal itu berdampak pada diri aktor sendiri, sebagaimana dikatakan Gunawan Maryanto, setiap kali proses artinya ada yang bertambah pada diri aktor. Artinya dia tidak membeku pada satu pencapaian, melainkan terus beranjak, terus bergerak untuk melampaui yang telah ia capai sebagai manusia seperti kata Mbah Tohir, berteater untuk menyempurnakan kemanusiaan dan setidaknya, seperti kata Nunung, berteater untuk mendapatkan rasa hidup; senang, sedih, marah, gelisah, takut, cemas yang melebur menjadi satu, yang dikatakan oleh Andika sebagai cinta.
81
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
BAB III RE-KREASI KEHIDUPAN MELALUI TEATER
Bab III ini dimaksudkan sebagai analisa atas fenomena pengalaman aktor teater dalam menjalani perannya di dunia teater dan (sebagian kecil dari) pengalaman mereka (sehubungan dengan keaktoran dan teater) di dunia keseharian. Pengalamanpengalaman tersebut telah dinarasikan dalam bab II dan untuk menganalisa narasi tersebut, dalam bab III ini, saya menggunakan teori sublimasi Lacanian. 83 Secara garis besar, kerangka teori sublimasi ini sudah dipaparkan dalam Bab I dan sebagai aplikasinya, kerangka teori tersebut kini dipergunakan untuk membahas pengalamanpengalaman aktor sebagai pengalaman sublim. Bab III ini dibagi menjadi dua sub-bab. Sub-bab pertama membahas pengalaman aktor dalam menghayati peran yang dimainkannya dan sub-bab kedua akan membahas pengalaman aktor dalam menjalani dua dunia (yakni dunia teater dan dunia keseharian). Dalam sub-bab pertama, beberapa hal yang hendak dibicarakan dibagi dalam tiga bagian, yakni berpijak pada teks: dari subjek makna sampai subjek hasrat, dan berpijak pada tubuh: dari subjek dorongan sampai subjek hasrat, dan berpijak pada sinthome: panggung sublimasi. Sementara dalam sub-bab kedua dibahas mengenai dunia keseharian (simbolik): batasan yang menjadi dorongan dan melampaui keseharian melalui teater.
83
Teori sublimasi Lacanian ini telah ditafsirkan kembali oleh Marc De Kesel dalam bukunya yang berjudul Eros and Ethics: Reading Jaques Lacan’s Seminar VII dan diterjemahkan dalam bahasa Inggris oleh Sigi Jottkandt.
82
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
A. Membaca Penghayatan Aktor Melalui Perspektif Teori Subjek Lacanian Bagian ini merupakan analisa atas pengalaman aktor ketika menjalani proses penciptaan pertunjukan. Untuk menempatkan jenis pengalaman-pengalaman tersebut sebagai pengalaman sublim, pengalaman tersebut harus dibaca sebagai pengalamanpengalaman yang terbentuk dari relasi aktor terhadap hal-hal di luar dirinya84. Berdasarkan teori sublimasi, bagian ini akan meneliti perkembangan pembentukan subjek seorang aktor, yaitu aktor sebagai subjek bahasa (subject of language) dan subjek hasrat (subject of desire), sebagai subjek dorongan (subject of drive), dan pengalaman akan sinthome dalam panggung sublimasi. Berdasarkan data yang telah dinarasikan dalam bab sebelumnya, masing-masing tahap ini bisa dikaitkan dengan pengalaman aktor saat mendalami makna naskah sampai mencapai kenikmatan atau kesenangan (pleasure) teks, saat seorang aktor melampaui makna dan kenikmatan teks menuju das Ding dalam teks, dan saat seorang aktor berhasil melahirkan penandanya sendiri (sinthome) dalam panggung sublimasi. 1. Berpijak Pada Teks: Dari Subjek Makna Sampai Subjek Hasrat Setiap orang butuh fiksi karena hanya dengan itulah manusia masih ingin bertahan dengan kehidupan, percaya dengan janji-janji; melalui fiksi kita bisa membayangkan kehidupan yang lebih baik. Fiksi menyediakan fantasi 85 terkait dengan hal tersebut.
84
Marc De Kesel, Eros and Ethic: Reading Jaques Lacan’s Seminar VII translated by Sigi Jottkandt, 2009. Lihat halaman 166. 85 Buku Sean Homer yang berjudul Jaques Lacan, Routledge, 2005. Lihat halaman 8687. Dalam perspektif psikoanalisa, fantasi memiliki peran penting; fantasi, berbeda dengan objek a (objek penyebab hasrat), merupakan jalan bagi subjek untuk menyusun hasratnya. Fantasi dan objek a merupakan satu kolaborasi yang menyebabkan subjek menjadi subjek hasrat (desiring subject). Dengan adanya fantasi dan objek a, subjek pada akhirnya sampai pada tahap memiliki dorongan hidup (drive) yang mengarah pada sesuatu (aksi). Namun demikian, fantasi ini penting bagi subjek sebagai cara/jalan untuk mengisi kekosongan di balik objek a.
83
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
Naskah drama pun demikian, seseorang menuliskannya; menuliskan kehidupan yang ia tafsirkan, melalui tokoh-tokoh fiktif dalam cerita, untuk menceritakan duduk persoalan dan kegelisahan yang dihadapi manusia. Konon naskah yang bagus adalah naskah yang bisa mempengaruhi emosi pembaca; jika naskah itu bercerita tentang kesedihan maka pembaca akan menangis dan jika naskah itu bercerita tentang kelucuan maka pembaca akan tertawa. Tak selesai sampai di sana, naskah yang bagus konon membuat pembaca tergerak untuk melakukan sesuatu. Relasi antara seorang aktor dengan naskah merupakan relasi yang sentral dalam proses penciptaan peran. Melalui naskah drama, aktor mencerap cerita yang dibahasakan oleh penulis naskah. Lantas bagaimana aktor menyikapi naskah drama, atau menyikapi cerita? Aktor adalah pembaca yang berbeda dengan pembaca biasa; ia tidak hanya sekedar membaca untuk mencari makna melainkan mencarikan dan menciptakan bahasa lain untuk menceritakan apa yang telah ia baca dengan penandapenanda tubuh yang dinamai sebagai akting. Dalam hal ini, ketika aktor berhadapan dengan naskah dan memutuskan untuk mementaskan naskah tersebut, maka dia bukan lagi merupakan subjek bahasa dalam pengertian dia puas dengan naskah yang ia baca (sehingga ia tidak perlu melakukan apa-apa lagi). Sebaliknya, dalam kasus ini dan berdasarkan data yang telah saya susun, aktor menempati posisinya sebagai subjek dorongan; hasrat aktor dibangkitkan melalui naskah. Aktor mengalami pengalaman lack dari proses membaca (atau menulis ulang? akan dijelaskan dalam sub-bagian selanjutnya). Untuk melihat lebih jauh bagaimana aktor mengalami pengalaman
Terminologi umum yang bisa disandingkan dengan fantasi adalah imajinasi; cara subjek menyusun gambaran atas ketiadaan. Kesel (2009: 38) mengatakan bahwa fantasi merupakan cara subjek bertahan atas kekosongan/lack dari dunia simbolik.
84
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
menjadi subjek hasrat (desiring subject), saya akan mengutip lagi pernyataan yang dilontarkan oleh Gunawan Maryanto: “Kalau kita ngangkat teks artinya kita berpijak pada teks dulu. Sebelum nanti ke yang lain-lain seperti observasi dan sebagainya itu yang pertama harus berpijak pada teks dulu. Jadi bedah naskah itu memang penting banget mulai dari mempelajari karakter dan hal-hal yang disampaikan di sana. Dari sana itu kan sebenarnya bisa kemana-mana, ke pengarangnya, ke kondisi sosial ketika teks itu di bangun dan konteks sosial ketika naskah itu akan di pentaskan, kan jadi banyak itu pengembangannya. Pada praktik keaktorannya memang tidak bisa berhenti di sana saja, kan itu telaah, ya telaah yang kemudian aktor kan harus menubuhkan, sehingga ada proses yang lebih jauh lagi. Ketika proses menubuhkan ini kemudian memang membutuhkan observasi; yang pertama, mencari padanan, mencari rujukan yang paling dekat lah di lingkungan kita. Mencari model; di observasi itu selain mencari data ya mencari model yang akan kita mainkan. Ya kemudian kembali lagi pada prinsip awal teater; teater itu kan tiruan. Ketika sudah menemukan modelnya kan kita melakukan peniruan-peniruan dulu. Dari tubuh, dari pelisanannya, dan sebagainya. Itu kan proses mewujudkan ide-ide yang ada dari teks itu.”86 Pengalaman Gunawan Maryanto tersebut merupakan pengalaman aktor yang menjadi subjek hasrat; dia tergerak untuk melakukan sesuatu yang lebih dari sekedar membaca untuk menemukan makna. Dengan melakukan analisis naskah, melakukan observasi, mencari refrensi, dan menempuh proses latihan, dia ingin menghadirkan pengalamannya berdialektika dengan naskah melalui akting yang ia ciptakan. Relasi aktor dengan naskah dalam proses identifikasi awal (misalnya melalui tahapan pembacaan dan analisa naskah) merupakan relasi imajiner87; seperti halnya penonton mengidentifikasikan dirinya dengan apa yang ia tonton, dalam proses membaca naskah, aktor mengidentifikasikan dirinya dengan karakter (alter ego) dalam naskah. Pada proses identifikasi ini, aktor (biasanya selalu) mengimajinasikan dirinya
86
Wawancara dengan Gunawan Maryanto pada tanggal 7 Maret 2015 di Garasi Institute of Performance, Nitiprayan, Yogyakarta. 87 Konsepsi Lacan mengenai fase cermin ini dapat dilihat di tulisan Homer pada bab The Imaginary pada halaman 24.
85
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
sebagai tokoh dalam cerita; dia membayangkan dirinya mengalami peristiwa yang tertuliskan dalam naskah (terbentuklah ego imajiner) dan dalam relasi ini aktor menempati posisinya sebagai subjek hasrat (hasrat subjek dibangkitkan melalui naskah; hal ini bisa dikaitkan dengan hasrat subjek untuk menghidupkan tokoh melalui dirinya). Di sisi lain, hasrat merupakan pengingat bahwa subjek selalu memiliki lack88. Dikaitkan dengan dunia pertunjukan, hasrat aktor salah satunya adalah untuk berdiri di atas panggung; mencari pengakuan. Tentunya pengakuan bisa merujuk pada bentukbentuk konkrit, misalnya ingin diakui sebagai aktor hebat. Namun hal ini tidak cukup demikian; disebut sebagai aktor hebat masih terkesan abstrak, untuk itu aktor butuh sesuatu yang konkrit; aktor harus menjadi seseorang yang lain (punya identitas lain) di atas panggung. Bagi aktor, naskah (di sisi lain) adalah jalan menuju kepanggung untuk mengatakan siapa dirinya; “aku adalah tokoh dalam cerita”. Ketika aktor berproses dengan menggunakan naskah, maka cara aktor untuk mengidentifikasi perannya, pertama-tama, adalah dengan menyenangi naskah yang akan dimainkan sebagaimana hal ini juga diceritakan oleh Pak Untung dan Mbah Tohir. Melihat pengalaman mereka sebagai subjek dalam fase cermin, ketika subjek mengidentifikasikan dirinya dengan cermin, subjek senang dengan bayangan yang dipantulkan oleh cermin; meskipun yang dipantulkan merupakan bayangan, namun subjek merasa bahwa bayangan tersebut adalah miliknya. Kenapa subjek senang? Karena melalui bayangan itu subjek merasa utuh; menemukan ‘aku’ (ego terbentuk). Menyetarakan naskah dengan cermin, kesenangan dalam membaca (bercermin dengan) 88
Kesel, 2009: 3. Atau lihat buku Dylan Evans yang berjudul An Introductory of Dictionary of Lacanian Psychoanalysis, Taylor& Francis e-Library, 2006. Halaman 36-39. Kebutuhan subjek dipenuhi dengan cara subjek mengatakan kebutuhannya (meminta) kepada Liyan. Namun pemenuhan ini tidak sepenuhnya memberikan kepuasan, selalu ada yang kurang (lack). Kekurangan ini melahirkan hasrat (desire).
86
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
naskah adalah ketika aktor merasa menemukan dirinya (bagian dari dirinya, misalnya pengalaman hidupnya) dalam naskah tersebut. Dengan kata lain, aktor berhasil menciptakan pemaknaannya sendiri atas proses membaca (identifikasi) yang ia lakukan. Pemaknaan ini berasal dari proses aktor menyusun kembali penanda-penanda dalam ruang ketaksadarannya; naskah menjadi medium bagi aktor untuk memaknai symptomnya89 sendiri. Dari uraian tersebut, naskah yang menyenangkan tentunya bersifat relatif; tergantung pada hubungan aktor dengan naskah. Bisa jadi naskah Oedipus Sang Raja bukan naskah yang menyenangkan bagi Tony Broer meski naskah tersebut sangat berarti bagi Pak Untung. Naskah menimbulkan kesenangan bagi aktor sejauh naskah tersebut berkenaan dengan symptom dan mampu membuat aktor menciptakan fantasi; naskah mampu menyeret aktor pada lack yang ia miliki (lack atas dunia simbolik) sebagaimana naskah tersebut juga ditulis berdasarkan lack penulis naskah. Naskah menjadi medium bagi aktor untuk berhadapan dengan das Ding (kekosongan di balik naskah). Meminjam pemaparan Lacan melalui puisi-puisi sublim para courtly lovers90, kiranya naskah drama bisa disetarakan sekaligus ditempatkan sebagai wacana histeris;
89
Evans, 2006: 205. Sebagaimana Freud, Lacan mengatakan bahwa symptom merupakan formasi ketidaksadaran. Pada tahun 1953 Lacan mengatakan bahwa symptom merupakan signifier. Selanjutnya, symptom dimaknai sebagai signifikasi, lalu metafor, dan pada tahun 1962, symptom didefinisikan sebagai sesuatu yang tak bisa ditafsirkan sebagaimana symptom itu merupakan pure jouissance yang telah terepresi ketika subjek memasuki tatanan simbolik. Sunardi menafsirkan symptom sebagai hal yang serupa; penanda yang tidak bisa begitu saja ditafsirkan. Meskipun symptom ini berwujud penanda yang berasal dari tatanan simbolik, namun symptom ini memiliki hubungan khusus dengan dunia Real. Jika subjek mendapatkan jouissance dalam dunia simbolik melalui symptom (represi), maka symptom berubah nama menjadi sinthome ketika subjek mendapatkan kenikmatan yang berasal dari dunia Real melalui sublimasi (Handout perkuliahan yang ditulis oleh St. Sunardi). 90 Lihat Kesel, 2009: 175
87
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
karakter dasar dari sublimasi estetis. Lacan mendefinisikan sublimasi sebagai “elevation of an object to the dignity of das Ding,”91 yang kurang lebih hal ini berkenaan dengan relasi antara subjek, objek hasrat, dan dengan dunia Real (das Ding). Jika definisi Lacan tersebut diartikan sebagai jalan yang ditempuh oleh subjek untuk mengelevasi atau menghadirkan objek hasrat (yang berhubungan dengan jouissance) pada das Ding/the Thing (sesuatu yang melampaui bahasa/ kekosongan), hal ini karena subjek ingin menutup kekosongan pada das Ding. Secara garis besar, dalam puisi para courtly lovers, objek yang dielevasi (sebagai penanda baru dalam puisi) adalah The Lady; objek hasrat92 yang tak pernah dimiliki sehingga subjek mengalami pengalaman luka atau lack93. The Lady menempati posisi sebagai das Ding melalui kata-kata (puisi) yang menggambarkan kecantikan atau mengekspresikan kekaguman penyair pada the Lady. Bisa jadi puisi tersebut terlalu berlebihan (atau malah minus) dalam menggambarkan kecantikan the Lady sehingga bisa dikatakan bahwa kecantikan atau keindahan bahasa puisi itu menutupi keadaan yang sesungguhnya. Dalam situasi ini, penyair menempati posisi sebagai subjek histeris; dia tetap tidak mendapatkan the Lady (berjarak dengan das Ding sehingga hasratnya tetap menyala) 91
Ibid, 2009: 179. Lihat tulisan Bruce Fink, 1997: 51-53. Menurut Lacan, hasrat manusia tidak memiliki objek, akan tetapi ada suatu objek yang dapat membangkitkan hasrat manusia, yaitu objek a (objek penyebab hasrat; hasrat liyan/other’s desire ). Namun demikian, objek a bukanlah objek material (yang hadir melalui sistem penandaan), melainkan sesuatu dibalik penanda. Yang menjadi poin penting dalam hal ini, fungsi dari objek a adalah sebagai sesuatu yang diandaikan dapat memberikan pemenuhan. Sebab itulah, objek a menjadi objek penyebab hasrat. Tragisnya, subjek hanya bisa memperoleh objek material dan tidak pernah sampai pada sesuatu dibalik objek material itu (objek a) sehingga subjek selamanya merasa kurang dengan segala material penandaan yang ia miliki. 93 Kesel, 2009: 180. The Lady menempati posisinya sebagai das Ding selain karena tak terjamah juga karena the Lady yang membuat subjek terus bergerak sebagai desiring subject. Puisi-puisi yang menggambarkan the Lady melalui penataan kata-kata membuat the Lady terselubungi oleh keindahan sehingga the Lady itu sendiri tetap menjadi misteri sekaligus menjadi penanda utama. 92
88
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
sekaligus, ketika menulis puisi (sinthome), ia telah berhasil memaknai kegagalannya (melihat symptom atau rasa sakitnya dari sudut pandang lain) dan melakukan transversing of fantasy (menyelamatkan diri dari pengalaman traumatis dengan melalui fantasi). Posisi ini sekaligus dialamatkan (oleh Lacan) kepada seniman yang menciptakan penanda-penanda estetis (karya seni) sebagai cara untuk menggambarkan kekosongan yang mereka hadapi; menutup kekosongan dengan keindahan. Pengalaman luka bisa disejajarkan dengan lack atau tidak mendapatkan pemenuhan. Dalam kisah courtly love, menghubungkan lack dengan cinta penyair (cinta ditafsirkan sebagai bentuk dorongan libidinal yang menghendaki jouissance sebagai pemenuhan) kepada sang Lady, yang didapat oleh sang penyair adalah (sebut saja) kekecewaan. Namun, belum tentu kekecewaan ini menenggelamkan subjek dalam represi. Sebaliknya, emosi-emosi histeris ini merupakan sumber energi (dorongan) kreatif yang yang bisa dialihkan dalam bentuk karya seni 94. Emosi-emosi histeris ini bisa saja tidak berangkat dari persoalan cinta; lebih dari itu, ketika dibaca berdasarkan relasi subjek dengan objek hasratnya dan sejauh relasi tersebut menghadirkan pengalaman luka (jouissance yang terepresi), maka masih ada kemungkinan bagi subjek untuk mengespresikan lukanya (memaknai symptom) melalui penanda-penanda estetis; salah satunya adalah naskah. Kiranya naskah atau teks yang membangkitkan rasa senang (pleasure) adalah naskah yang seperti diuraikan tersebut; naskah menandai adanya kedalaman pengalaman hidup seseorang yang diukur dari penderitaannya dan barangkali penderitaan tersebut mewakili pengalaman banyak orang. Karya seni dalam hal ini bisa dilihat sebagai cara untuk memaknai penderitaan dengan cara lain. Hal ini bisa 94
Kesel, 2009: 184.
89
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
dipertemukan dengan pengalaman para aktor ketika mereka menyusun naskah mereka sendiri untuk dipentaskan. Mengambil cerita Tita dan Andika yang telah dinarasikan dalam bab II, ketika Tita berproses untuk pertunjukan yang berjudul Sangkar Madu, proses tersebut berangkat dari keinginan untuk mencari tahu kehidupan para Tenaga Kerja Indonesia (TKI). Naskah disusun berdasarkan hasil wawancara para pelaku teater dengan narasumber (TKI). Sebagian naskah berupa narasi, sebagian lain merupakan ceritacerita narasumber yang dituliskan (verbatim). Sementara itu, proses Andika dalam menyusun naskah di proses Panji Amabar Pasir berbeda dengan pengalaman Tita. Naskah Panji Amabar Pasir ditulis (lebih tepatnya dijadikan acuan) berdasarkan improvisasi yang dihasilkan oleh para aktornya. Improvisasi tersebut direkam dan ditelaah sebelum akhirnya dibekukan menjadi dialog. Secara garis besar, teks tersebut merupakan teks yang berbicara tentang kehidupan pahit satu keluarga yang bertransmigrasi dari Jawa ke Kalimantan dan dalam teks tersebut, Andika berperan sebagai Ayah. Dari dua proses penciptaan naskah yang berbeda tersebut, dalam praktiknya naskah tetap menempati posisinya sebagai yang (pertama-tama) diidentifikasi oleh aktor. Naskah menjadi sumber peristiwa, atau fiksi yang dijadikan pegangan dalam penciptaan. Ada jarak yang harus ditempuh aktor untuk mendekati tokoh dalam naskah yang sedang dihadapinya. Jika merujuk pada, naskah Sangkar Madu yang dimainkan oleh Tita, pertama-tama, hasrat yang diartikulasikan dalam naskah tersebut tentu bukan milik Tita, meski pada awal proses tersebut Tita bersama rekan-rekan lainnya berhasrat untuk mementaskan wacana-wacana di seputaran kehidupan TKI. Hasrat aktor pada mulanya adalah mencari sesuatu untuk diartikulasikan di panggung karena tidak
90
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
mungkin aktor hanya memiliki modal hasrat untuk pentas. Sehingga, pada tahap selanjutnya aktor harus memiliki objek hasrat. Tita menggunakan teks orang lain sebagai objek hasratnya; objek penciptaan. Sementara, pada konteks yang berbeda, Andika dengan naskah yang ia ciptakan sendiri, mula-mula berhasrat untuk mementaskan sesuatu, dan sesuatu itu menjadi objek hasrat; teks yang akan dipentaskan. Lantas dengan melakukan improvisasi secara bersama-sama, Andika dan rekan-rekannya pada akhirnya berhasil menciptakan teks sebagai acuan. Teks tersebut (dengan segala macam wacana yang tersirat di dalamnya) meski awalnya berasal dari hasrat mereka untuk mengatakan sesuatu, tapi kemudian teks tersebut menandai kehadiran hasrat liyan (kehidupan orang lain) yang berjarak dengan kehidupan mereka sendiri (berjarak dalam hal ini, teks tersebut berisi wacana yang mewakili kehidupan orang lain. Dalam konteks penciptaan naskah Panji Amabar Pasir, wacana yang digulirkan dalam naskah tersebut adalah kehidupan keluarga yang bertransmigrasi; dalam naskah tersebut digambarkan peristiwa menyedihkan yang dialami oleh orang-orang yang bertransmigrasi). Sehingga, teks tersebut harus diperlakukan dengan pola-pola penciptaan tertentu (yang kurang lebih mirip dengan yang telah dikatakan oleh Gunawan Maryanto) sampai pada akhirnya teks tersebut menjadi objek hasrat (objek penciptaan) yang mereka hadirkan di panggung. Lantas dari mana, misalnya, asal muasal wacana yang muncul dari improvisasi yang dilakukan Andika bersama rekan-rekannya? Ruang latihan memberikan stimulus kepada mereka untuk mengingat peristiwa-peristiwa yang pernah mereka saksikan, dan entah karena suatu kebetulan atau tidak, teks yang dimunculkan (dari improvisasi) tersebut kemudian merujuk pada kehidupan warga transmigran. Dalam hal ini, teks lahir dari ketidaksadaran (symptom; wacana-wacana yang menumpuk dalam ingatan; masa
91
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
lalu; jouissance yang terepresi) aktor yang dihadirkan kembali melalui penandapenanda baru (sinthome95). Menghubungkan dengan pemaparan tersebut, jika melihat pengalaman Tita atau Andika, sebagai contoh, ketika mereka berproses menyusun naskah untuk pentas, bisa dibilang mereka sama sekali tidak memiliki urusan khusus atau memiliki keterkaitan langsung antara kehidupan mereka dengan kehidupan naskah yang mereka susun. Namun proses tersebut mengantarkan mereka pada ikatan-ikatan emosional tertentu; mereka merasa seolah-olah memiliki pengalaman histeris dari kehidupan tokoh yang dirujuk sebagai naskah. Merujuk pada naskah atau kehidupan tokoh (objek hasrat) yang mereka mainkan, aktor diajak untuk melihat (dan memiliki) lack dari objek hasrat tersebut. Di sisi lain, objek yang mereka ciptakan (melalui bahasa naskah) justru membuat objek tersebut menempati posisi das Ding (yang tidak lagi tampak karena ditutupi oleh bahasa). Sehingga, objek yang mereka angkat melalui naskah pada akhirnya merupakan penanda-penanda baru (sinthome) sebagai hasil dari memaknai symptom. Ketika naskah sudah mulai berbicara dengan penanda-penanda baru, dalam hal ini naskah merupakan bentuk dari sublimasi. Efeknya, di satu sisi, melalui naskah, sesuatu yang dibicarakan hadir dengan cara yang segar. Mengambil contoh lain melalui pengalaman Pak Untung yang ingin mengkritik pemimpin negara yang salah dengan menggunakan naskah Oedipus Sang Raja, tentu cara yang ditempuh Pak Untung ini berbeda dengan pengalaman Tita dan Andika. Pak Untung melihat symptom naskah setara dengan symptom-nya sendiri sebagaimana symptom tersebut ada karena lack dari
95
Kesel, 2009: 192. Sinthome merupakan invasi struktur simbolik dari jouissance subjek; sinthome hadir dalam bentuk penanda-penanda baru dalam dunia simbolik.
92
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
dunia simbolik. Di satu sisi, pengalaman Pak Untung bisa disejajarkan dengan pengalaman Sophocles ketika ia menutup das Ding dengan naskah Oedipus dalam konteks Pak Untung ingin juga membicarakan kekosongan pemimpin negaranya melalui Oedipus. Lantas bagaimana dengan bentuk-bentuk pertunjukan seperti yang dilakukan oleh Tony Broer? Apakah ada naskahnya? Bagaimana naskahnya? Bagi Tony Broer, naskah dalam pertunjukan adalah tubuhnya sendiri. Konsep ini berangkat dari pemahaman Tony Broer bahwa tubuh sudah merupakan gagasan. Jika di dalam naskah terdapat gagasan atau ide-ide yang akan diterjemahkan melalui akting, maka ketika Tony Broer mengatakan bahwa tubuh adalah gagasan, maka tubuh adalah naskah. Yang dilakukan Tony Broer dalam menyikapi tubuh sebagai naskah adalah dengan melatih tubuhnya terus menerus. Lebih jauh, ketika tubuh bertemu dengan ruang-ruang tertentu, tubuh memiliki caranya sendiri untuk berinteraksi dengan ruang tersebut; tubuh beridentifikasi dengan ruang. Hal ini kurang lebih setara dengan yang dilakukan Andika ketika melakukan improvisasi bersama rekan-rekannya lalu melahirkan naskah. Hanya saja, perbedaan hasil capaian dari proses yang ditempuh Andika dengan proses yang dijalani Tony Broer adalah soal bahasa; Tony Broer menggunakan visual tubuhnya sebagai bahasa utama. Improvisasi tubuh yang dilakukan oleh Tony Broer adalah pertemuan langsung antara tubuh dengan ruang dan situasi yang terbangun pada waktu itu membuat dia menyusun sendiri narasi tubuhnya. Tentu narasi tubuh ini susah terbaca; tidak seperti bahasa verbal yang diucapkan melalui dialog. Sehingga, ketika dia pentas, bisa jadi penonton tidak paham, tapi penonton bisa mengenali ekspresi-ekspresi tubuhnya.
93
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
Konsekuensinya, pertunjukan tersebut membuka peluang untuk ditafsirkan dengan berbagai kemungkinan cara. Yang unik dari naskah tubuh Tony Broer ini adalah bahwa proses yang ia tempuh merupakan proses membuka sekaligus menutup das Ding tubuh. Membuka dalam hal ini Tony Broer menelanjangi tubuhnya dari penanda-penanda simbolik (konstruksi sosial yang melekat pada tubuh), misalnya; ia tak mau menjadikan tubuhnya sebagai media penyampai pesan melainkan tubuh adalah pesan itu sendiri. Sementara menutup dalam hal ini Tony Broer menghadirkan penderitaan tubuhnya yang berinteraksi langsung dengan ruang; ketika tubuh bergerak atas ‘ketelanjangannya’ sekaligus tubuh itu menutup das Ding dengan sisi buruk, sisi kelam, dan penderitaan manusia yang ingin lepas dari ‘kecantikan’ yang menutupinya. Merujuk pada pemaparan-pemaparan tersebut, naskah di satu sisi merupakan ‘keindahan’ yang menutup kekosongan das Ding. Keindahan tersebut hadir melalui rangkaian penanda bahasa yag digunakan penulis untuk memaknai symptom-nya setelah ia melihat kekosongan (das Ding) di balik objek a (objek membuat penulis menjadi subjek hasrat dan subjek yang terdorong untuk bergerak menuju das Ding. Sementara itu, aktor melihat naskah mula-mula adalah sebagai objek a (kecantikan yang ditampilkan melalui penanda-penanda estetis). Objek a diandaikan mampu memberikan pemuasan bagi aktor, namun yang terjadi justru sebaliknya; aktor hanya menemukan kekosongan dibalik objek a. Sehingga, aktor tetap menjadi subjek yang mengalami lack dan tetap menjadi subjek hasrat. Hanya dengan cara itulah subjek memiliki gairah hidup dan terus menerus terdorong untuk melakukan sesuatu; mengisi kekosongan dengan penanda-penanda baru.
94
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
2. Berpijak Pada Tubuh: Dari Subjek Hasrat Sampai Subjek Dorongan Body changes change the self96 (Antony Synnott)
Pada bagian sebelumnya telah diuraikan bahwa relasi aktor dengan naskah merupakan relasi imajiner. Dalam proses identifikasi tersebut hasrat aktor dibangkitkan; aktor tak lagi menjadi subjek bahasa melainkan menjadi subjek hasrat. Bagian ini menjelaskan proses aktor sebagai subjek hasrat menjadi subjek dorongan. Untuk itu saya akan menguraikan lagi garis besar identifikasi aktor melalui naskah yang membuat aktor tidak berhenti sebagai subjek bahasa melainkan menjadi subjek atas tubuhnya. Merujuk pada proses identifikasi subjek melalui cermin, ketika subjek melihat pantulan dirinya (visual tubuh di cermin) maka ego terbentuk; ke-aku-an yang berasal pada pemahaman atas bayangan tubuh yang dipantulkan oleh cermin97. Tubuh menjadi salah satu penanda bagi subjek untuk memaknai ke-aku-annya. Sehingga sangat mungkin perubahan bentuk tubuh mempengaruhi perubahan ego dan sebaliknya; perubahan ego bisa saja mempengaruhi perubahan tubuh. Proses identifikasi semacam ini senantiasa memberikan kenikmatan tertentu bagi subjek. Mengaitkan hal ini dengan naskah, bagaimana aktor mengidentifikasikan dirinya melalui naskah? Bagaimana tubuh aktor berinteraksi dengan naskah? Kenikmatan apa yang diperoleh aktor dalam proses identifikasi ini dan lebih jauh kenikmatan apa yang diperoleh dalam menempuh proses latihan?
96
Anthony Synott dalam bukunya yang berjudul The Body Social; Symbolism, Self, and Society, Routledge, 1993. Lihat halaman 2. 97 Sebagai catatan, identifikasi tidak hanya melalui bentuk visual, melainkan segala jenis bentuk material penandaan.
95
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
Naskah tidak memberikan gambaran ‘yang sebenarnya’ atas peristiwa melalui teks yang tersusun di dalamnya. Naskah hanya menyediakan serangkaian bahasa yang disusun sedemikian rupa yang merujuk pada suatu peristiwa tertentu (peristiwa ini bisa benar-benar pernah ada, sebagian pernah ada atau tidak sama sekali). Ketika aktor membaca naskah dan ia merasa bahwa naskah tersebut merujuk pada suatu peristiwa di realitas sosial, maka realitas yang dibayangkan aktor tersebut tentunya merupakan realitas yang bisa jadi tidak sama dengan realitas yang dialami/dibayangkan/dituliskan oleh penulis naskah. Dalam hal ini, membaca naskah setara dengan menyusun ulang naskah. Bahasa naskah tidak begitu saja merujuk pada penanda-penanda di luar naskah, melainkan justru merujuk pada memori aktor. Membaca naskah setara dengan mengingat sesuatu; menyusun kembali penandapenanda yang telah dimiliki aktor dengan menyetarakan penanda-penanda yang ada dalam naskah. Membaca naskah hanya bisa dilakukan ketika aktor memiliki pengalaman atas penanda-penanda yang digunakan dalam naskah; pengalaman bahasa yang diperoleh aktor ketika ia memasuki tatanan simbolis dengan cara menjadi subjek bahasa dan hidup bersama Liyan. Pengalaman bahasa (kolektif) inilah yang meninggalkan bekas pada aktor dan menjadi pengalaman personal (pengalaman traumatis/represi yang menimbulkan symptom). Pengalaman personal (symptom) ini merupakan modal bagi aktor untuk bercengkrama dengan dunia yang dituliskan melalui naskah. Sehingga, dalam konteks penciptaan pertunjukan, aktor A dan B (misalnya) pasti akan merepresentasikan hal yang berbeda meskipun mereka mementaskan naskah yang sama.
96
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
Dalam proses penciptaan peran, pertemuan aktor dengan teks pada akhirnya merupakan pertemuan tubuh dengan teks98. Jika proses membaca, sebagaimana telah diuraikan di atas, bisa disetarakan dengan menulis, maka aktor menulis naskah yang ia baca melalui tubuhnya. Hal ini seperti yang diungkapkan oleh Gunawan Maryanto dalam bab II; sebelum aktor berbicara di panggung, tubuh aktor adalah hal pertama yang dilihat oleh penonton. Segala sesuatu yang dihadirkan oleh tubuh; gestur, tempo, mobilitas, tatapan mata, gerakan nafas, kostum dan riasan yang melekat pada tubuh, dan segala bentuk visual yang tampak melalui tubuh merupakan penanda-penanda yang menggiring penonton untuk menangkap makna. Bahkan ketika aktor sudah mulai bicara, perangkat wicara subjek tak lepas dari bagian tubuh. Dalam hal ini tubuh menempati posisi sebagai bahasa yang fungsinya bisa disetarakan dengan bahasa naskah. Meskipun demikian, bahasa aktor bukan lagi bahasa naskah. Bahasa aktor adalah jejak-jejak yang tersimpan dalam ruang ketaksadaran yang hadir kembali karena stimulus naskah. Yang unik dari dunia keaktoran adalah meskipun dunia ini memiliki metodemetode tertentu (metode untuk memperlakukan diri dengan disiplin tertentu) akan tetapi metode tersebut (disiplin?) merupakan jalan yang bersifat luwes dan fleksibel. Dalam hal ini, metode latihan keaktoran bertujuan untuk mencetak aktor handal; aktor yang bisa akting menjadi orang. Dengan kata lain, tidak ada metode spesifik yang bisa membuat aktor bisa akting karena pada dasarnya aktor sudah bisa akting sejauh akting ini dipahami sebagai bersikap dan berperilaku. Pada tahapan ini (latihan keaktoran) bisa dikatakan bahwa aktor mengalami represi. Namun, represi dalam latihan keaktoran dimaksudkan agar aktor bisa melampaui represi yang ada dalam keseharian. Menurut 98
ST. Sunardi dalam bukunya yang berjudul Estetika Kenikmatan Tekstual, Emansipasi Teks Lewat Tubuh, dalam Vodka dan Birahi Seorang Nabi, Jalasutra 2012. Lihat halaman 108.
97
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
hemat saya, latihan keaktoran bukanlah represi sejauh dan dalam pengertian bahwa latihan ini bertujuan untuk membebaskan aktor dari batasan-batasan hasil konstruksi realitas sosial (menyikapi symptom dengan cara lain). Proses dalam latihan keaktoran saya ibaratkan sebagai bersakit-sakit dahulu baru bersenang-senang kemudian. Untuk menganalisa jenis eksplorasi yang ditempuh aktor, saya membedakannya menjadi dua hal, yaitu eksplorasi yang merujuk pada penciptaan dengan basis naskah dan penciptaan dengan basis tubuh. Naskah dalam hal ini merujuk pada teks drama atau teks pertunjukan yang menggunakan bahasa verbal. Contoh pertunjukan dengan naskah ini adalah pertunjukan realis, naturalis, surealis, atau absurd. Sementara pada pertunjukan yang berbasis pada tubuh (teater tubuh), bisa jadi pertunjukan tersebut berangkat dari naskah, ide, atau teks tertentu. Akan tetapi pada pementasannya, aktor hanya menghadirkan gerak dan ekspresi tubuhnya (minus pelisanan) sebagai lokus enunciation. Yang bisa dikatakan sebagai perbedaan mendasar dalam dua jenis penciptaan ini hanyalah fokus latihan; titik-titik tubuh yang diperlebar jangkauannya. Pada penciptaan teater yang berbasis pada naskah, lima bentuk latihan dasar yang biasanya dilakukan oleh aktor adalah melatih tubuh (kelenturan, kekuatan, kecepatan, kepekaan, keluwesan, ketahanan, dsb.), vokal (artikulasi, proyeksi, nada, tempo, intonasi, dsb.), emosi (penghadiran, pengaturan, penggantian, dsb.), imajinasi (berkenaan dengan fantasi), dan intelektualitas99. Sederhananya, aktor bisa melakukan latihan apapun yang berkenaan dengan kelima poin tersebut. Ekstrimnya, cara hidup dalam realitas sosial bisa dimaknai dan ditempatkan sebagai latihan keaktoran. Dalam
99
Metode atau capaian yang harus dicapai dengan ideal yang kurang lebih demikian ini bisa dilihat pada sistem akting yang diciptakan oleh Stanislavsky. Sebagian besar narasumber penelitian ini pernah melakukan latihan dengan sistem akting Stanislavsky meski barangkali sebagian dari mereka tidak tahu darimana asal metode latihan tersebut secara spesifik.
98
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
proses penciptaan seperti ini salah satu tujuan pentingnya adalah aktor berhasil memerankan tokoh yang dituliskan dalam naskah. Karakter aktor berbeda dengan karakter tokoh yang dimainkan, dengan demikian aktor harus melahirkan tubuhnya kembali dengan serangkaian proses yang panjang. Aktor (biasanya) mencari model dalam dunia sehari-hari untuk ditirukan. Hal ini karena aktor tak lagi menjadi subjek bahasa, dan bukan pula subjek atas bentuk-bentuk artistik akting yang telah mapan, melainkan sebagai subjek yang terdorong untuk mencari bentuk-bentuk baru. Sebagai contoh, setelah Pak Untung melewati proses bedah naskah, menganalisa karakter, menghafalkan naskah, maka langkah selanjutnya adalah mencari model yang mirip seperti yang ia bayangkan atas sosok tokoh di dalam naskah: “Caranya ya macem-macem, kita bisa pergi ke pasar, melihat-lihat orang. Kalau bisa mendekatinya, mendengarkan caranya bicara, melihat gayanya.”100 Dalam hal ini, Pak Untung adalah subjek yang berkeliaran untuk mencari bentuk. Setelah mencari model, lantas tahap selanjutnya adalah menirukan model tersebut. Benarkah dalam hal ini aktor benar-benar melakukan peniruan? Peniruan yang bagaimana? Tubuh aktor, dalam banyak hal (misalnya; ukuran, berat badan, tinggi, usia, warna kulit, kapasitas, fleksibilitas, dsb.) jelas berbeda dengan tubuh model yang dirujuk sebagai tokoh. Peniruan dalam keaktoran, atau isilah umumnya adalah imitasi, pada praktiknya tidak sepenuhnya imitasi. Selalu ada penyesuaian sehingga hal ini lebih mirip dengan proses negosiasi yang memungkinkan untuk memunculkan bahasa baru. Negosiasi dengan siapa? Dengan bahasa naskah, dengan tubuh model, dan dengan tubuh aktor sendiri.
100
Wawancara dengan Untung Basuki pada tanggal 8 Maret 2015.
99
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
Dalam berhubungan dengan naskah, proses negosiasi ini justru merupakan jalan agar aktor tidak menjadi subjek naskah (subjek bahasa) namun menjadi subjek hasrat yang bergerak mencari objeknya. Negosiasi ini juga merupakan jalan bagi aktor untuk menembus ketidakmungkinan yang dihadirkan oleh naskah. Ketidakmungkinan dalam hal apa? Salah satunya adalah relasi. Memakai pengalaman Pak Untung sebagai contoh, ketika ia mementaskan naskah Oedipus Sang Raja (versi terjemahan Rendra atas versi klasik yang berjudul Oedipus Rex) maka tidak mungkin jika ia mencari realitas rujukan berdasarkan peristiwa fiksi yang dirujuk oleh naskah itu (barangkali dekat dengan kehidupan Yunani kuno pada waktu lebih dari 2000 tahun yang lalu: ketika Sophocles menghadapi dunianya). Kemungkinan terdekat yang bisa ditempuh oleh Pak Untung adalah dengan membawa naskah tersebut ke dunianya; mencari padanan konteks yang tepat tentang apa, kepada siapa, dan bagaimana naskah tersebut diartikulasikan. Ketika Pak Untung menuliskan ulang naskah tersebut melalui tubuh, bentukbentuk eksplorasi yang ditempuh misalnya adalah melisankan teks, menghafalkan teks, menggerakkan tubuh dan perangkat wicara seiring dengan kata-kata yang dilisankan, menghadirkan ekspresi seiring dengan emosi yang menyertainya, berteriak-teriak menghafalkan dialog sambil berjalan di tengah alun-alun, menulis dialog di lembaranlembaran kertas, dan lain sebagainya. Jikalau perlu, dia mencari model sebagai refrensi di dunia simbolik; notabene WS. Rendra adalah Oedipus Sang Raja pertama versi Jawa. Proses yang telah dipaparkan tersebut bisa dinamai sebagai proses aktor mencari (dan menyusun) bahasa. Namun dalam hal ini, bukankah aktor justru tampak terepresi oleh proses yang ia tempuh ketika memasuki bahasa Liyan? Proses yang ditempuh aktor merupakan proses negosiasi; ia menjadi subjek yang bermain-main dengan penandapenanda yang telah tersedia di tatanan simbolik untuk mengelevasi objek hasrat pada
100
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
ruang sublimasi (panggung teater). Dengan demikian, aktor tidak mengalami represi, sebaliknya dia mengalami pengalaman sublim. Setidaknya hal tersebut bisa dilihat dengan cara demikian: mengambil contoh pengalaman Pak Untung, ketika ia menempuh proses dalam menciptakan peran Oedipus bisa dibilang bahwa ia sama sekali tidak memiliki rujukan tokoh dalam realitas sosial saat itu. Oedipus merupakan tokoh fiktif sehingga gambaran yang muncul dalam benak Pak Untung terkait tokoh ini merupakan gambaran imajiner (imajinasi) yang hadir melalui fantasi (tentunya gambaran dalam dunia fantasi ini selalu didukung oleh penanda-penanda dari masa lalu yang telah menubuh dan meninggalkan jejak ketaksadaran dalam tubuh). Sehingga, pola-pola gerakan tubuh dan pola-pola pengucapan yang digunakan untuk mengartikulasikan bahasa dalam naskah (lokus enunciation) merupakan symptom yang dihadirkan kembali; penanda-penanda yang dihadirkan dari dunia simbolik melalui fantasi. Dalam hal ini, Pak Untung berhasil memaknai teks dan berhasil melakukan transversing of fantasy. Hal ini menjadi tantangan yang sulit ketika jarak karakter tokoh yang dimainkan sangat berbeda jauh dengan karakter aktor. Sebagai contoh, peran yang dimainkan Nunung dalam Tempat Istirahat adalah tokoh nenek-nenek yang telah di ambang usia, nenek-nenek yang berbicara dengan suara berat, serak, lambat, dengan postur tubuh yang agak membungkuk dan serba lambat dalam melakukan sesuatu. Sementara, Nunung sendiri adalah perempuan yang berumur jauh lebih muda, berbadan sehat, kuat, lincah, dan cenderung melakukan sesuatu atau berbicara dengan tempo cepat. Mau tidak mau Nunung harus mengkonstruksi ulang tubuhnya; gestur, tempo, cara bicara, dsb. Hal yang ditempuh Nunung ini berkebalikan dengan yang dialami Mbah Tohir, sebagai contoh, dalam bab II Mbah Tohir bercerita bahwa di panggung, ia tidak boleh sakit
101
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
seperti diluar panggung. Meskipun ia tidak bisa berjalan kaki karena baru saja mengalami kecelakaan, namun tokoh yang ia pentaskan adalah tokoh yang sehat, tokoh yang tidak pincang, sehingga ia harus berlaku layaknya orang sehat dengan meniadakan rasa sakitnya. Melihat sekilas proses yang ditempuh oleh Nunung dalam menciptakan karakter seorang nenek, sumber yang dijadikan acuan oleh Nunung adalah dokumentasi pertunjukan Teater Garasi (sekaligus proses tersebut merupakan proses re-enactment; aktor meniru semirip mungkin dokumentasi vidio pertunjukan Teater Garasi untuk dipentaskan dalam acara ulang tahun Teater Garasi yang ke 20). Dalam hal ini, vidio pertunjukan setara fungsinya dengan naskah. Melihat vidio dan memperagakan perilaku tokoh dalam vidio tersebut sekaligus membuat Nunung membaca vidio tersebut dengan menggunakan tubuhnya; Nunung berdialog dengan tubuhnya yang bergerak, berbicara, sekaligus merasakan efeknya. Apakah proses tersebut selesai dengan hanya melihat dan menirukan vidio? Ternyata tidak; Nunung mencoba menempuh proses yang mendekati proses yang pernah dilakukan oleh pemain sebelumnya, yakni berkunjung ke kuburan, latihan. Lantas bagaimana hasil pementasannya? Tidak mirip seperti yang dihadirkan di vidio. Nunung menciptakan bahasanya sendiri setelah membaca (menulis ulang) vidio yang ia saksikan. Pengalaman tubuh aktor seperti yang telah diuraikan tersebut merupakan pangalaman histerisasi tubuh yang positif sejauh tubuh tersebut menjadi objek pengganti (objek yang dielevasi) atas objek hasrat (tubuh model) mula-mula. Sehingga, dalam hal ini tubuh yang awalnya adalah kendaraan hasrat (drive101) mengalami 101
Kesel, 2009: 169. Kesel menjelaskan bahwa kata drive merujuk pada sirkulasi energi yang tidak pernah berhenti. Pengertian ini sekaligus saya tafsirkan sebagai energi yang berada dalam tubuh. Sehingga, tubuh dalam konteks tulisan ini selalu berkenaan dengan drive.
102
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
perubahan menjadi objek hasrat yang diperlakukan sedemikian rupa melalui proses latihan dan diperlakukan sebagai objek yang dielevasi ke atas panggung. Tubuh adalah subjek sekaligus objek dalam momen yang sama. Demikianlah aktor harus rela mengorbankan tubuhnya demi tokoh yang ia mainkan. Pada latihan-latihan tubuh, subjek bisa saja latihan silat, menari, berlari, dan lain sebagainya; seolah-olah subjek adalah penari, seolah-olah subjek adalah atlet. Akan tetapi poinnya, latihan-latihan tubuh yang dilakukan subjek bukan bertujuan untuk menciptakan tubuh yang sexy, tubuh yang cantik, tubuh yang kekar, bukan pula untuk menjadi
juara
beladiri,
akan
tetapi
untuk
memperlebar
jangkauan
tubuh;
mengkonstruksi ulang tubuhnya. Mengaitkan bentuk-bentuk latihan seperti yang telah dipaparkan tersebut dengan proses awal aktor berinteraksi dengan teks; (diandaikan) teks mempengaruhi ego aktor dan hasrat aktor dibangkitkan. Peristiwa tersebut menggerakkan aktor untuk menempuh latihan. Namun kemudian, efek latihan pada tubuh tentunya memberikan pengaruh lain pada aktor dan hal ini juga mempengaruhi cara aktor mengidentifikasikan diri dengan naskah. Sehingga, proses interaksi dengan naskah dalam hal ini merupakan proses yang dinamis; selalu ada perubahan sebagaimana aktor (seperti halnya sifat penanda) tidak pernah menemukan makna tunggal; selalu tergelincir/menggelincirkan diri dalam proses signifikasi (melalui proses identifikasi). Hal ini tampak jelas pada jenis latihan ensamble; ketika aktor melisankan dialognya dengan lawan main. Permainan aktor, misalnya dalam tataran pengucapan dialog, sangat ditentukan oleh aksi reaksi lawan main dan sebaliknya (bukan lagi naskah). Bagi Lacan, tubuh merupakan bahasa (efek bahasa) atau “speech arising as
103
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
such102”. Dengan kata lain, tubuh bereaksi atas bahasa liyan (tubuh Liyan) ketika berada dalam sirkuit bahasa (peristiwa naratif). Sehingga dalam pertunjukan, atau dalam proses latihan, makna teks tidak lagi ditentukan oleh naskah, melainkan oleh tubuh; aktor menjadi subjek atas tubuhnya, bibirnya, lidahnya, dan emosinya yang bergerak dengan dinamika-dinamika tertentu. Kiranya proses-proses semacam inilah yang menjadi estetika kenikmatan tekstual; pengalaman (tubuh) yang menghasilkan kenikmatan teks103. Terkait dengan identifikasi aktor terhadap peran yang sedang ia ciptakan; dialog aktor dengan tubuhnya dan tubuh tokoh yang ia jadikan model, juga dialami oleh Tita. Dalam proses Sangkar Madu Tita memerankan dua karakter, yakni dirinya dan tokoh yang dimainkan. Dalam proses identifikasi tersebut, Tita bermain-main dengan teknik untuk menciptakan penanda-penanda tubuh; “Jadi di pentas itu aku mainin dua karakter, sebagai aku yang menceritakan dia, juga sebagai dia yang bercerita sendiri. Nah asiknya itu, ketika bermain dua karakter, itu aku bener-bener memakai teknik, jadi nggak semata-mata merasa berubah gitu nggak, tapi itu teknik keaktoran. Jadi untuk membedakannya, itu Mbak Yanti kan biasanya rambutnya terurai, kemudian kalau jadi aku ya rambutku tak iket, biar jadi penanda yang beda. Terus juga gaya bicara itu bisa membedakan. Jadi itu secara sadar sampai nggak sadar, aku malah ngamatin diriku sendiri dan juga dia untuk urusan produksi aktingnya. Aku pun ketika memerankan diriku sendiri di panggung harus akting kan, nggak bisa juga aku menjadi aku yang seperti biasanya. Nah di proses itu kadang-kadang sampai sempat terbawa, misalnya ada teman yang bilang, “Kok kamu seperti Mbak Yanti sih!”. Bahkan kadang juga terbawa perasaan. Itu muncul di ending, ada adegan yang sebenarnya aku nggak nyaman ketika harus menjadi aku yang mengungkapkan bahwa TKI itu kena HIV aids. Aku nggak tega mengatakannya, ya seperti kayak
102
Meminjam kutipan Felman dalam The Scandal of Speaking Body, Tr by Chaterine Porter , by the Board of Trustees of the Leland Stanford Junior University, 2002. Lihat halaman 65. 103 Sunardi, 2012: 103.
104
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
mengungkapkan aib sendiri. Tapi sebagai aktor aku mau nggak mau harus melakukannya, karena pertunjukan ini berbasis data.”104 Sebagaimana telah diceritakan di bagian sebelumnya, proses yang ditempuh Tita pertama-tama adalah dengan melakukan observasi, mengumpulkan data, lalu menciptakan teks/naskah. Proses tersebut menciptakan relasi antara Tita dengan narasumbernya (tokoh yang ia mainkan). Relasi ini sekaligus menempatkan Tita untuk mengidentifikasikan dirinya dengan tokoh yang akan ia mainkan. Keberhasilan Tita dalam proses ini adalah ketika ia pada akhirnya memiliki dua bahasa, yakni bahasa yang telah ia miliki sebelumnya dan bahasa yang baru ia kuasai (bahasa tokoh). Memainkan dua bahasa tersebut dalam sebuah pertunjukan, Tita harus kenal betul dengan konstruksi tubuhnya dan konstruksi tubuh tokoh yang ia mainkan. Meskipun dua tubuh tersebut sebenarnya berbeda, namun usaha yang paling mungkin untuk dilakukan Tita adalah dengan meniru pergerakan (kecenderungan tubuh) yang menjadi penanda karakter (kecenderungan bahasa—baik lisan atau gerakan tubuh— Tita dan Tokoh yang ia mainkan sangat jauh berbeda). Sehingga permainan teknik yang dikatakan Tita ini mengacu pada cara mengidentifikasi sekaligus memainkan dua penanda karakter (identitas) yang berbeda. Namun apakah hal ini semata-mata teknik? Awalnya iya sebagai identifikasi, namun pada prosesnya hal ini merupakan proses sadar dan tidak sadar, menurut Tita. Hal tersebut setara dengan uraian Butler terkait tubuh; tubuh sebagai seksualitas dipahami tidak berdasarkan kesadaran melainkan terstruktur melalui fantasi ketaksadaran dalam hasrat tubuh105. Ketika Tita membiasakan bahasa tubuhnya yang baru (bahasa tokoh yang ia mainkan), hal ini dalam rangka untuk
104
Wawancara dengan Tita pada tanggal 5 Juni 2015 di Padepokan Seni Bagong Kussudihardja 105
Butler (afterword) dalam Felman, 2002: 118-119.
105
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
menancapkan bahasa baru tersebut dalam ruang ketaksadaran; menjadi kebiasaan yang menandakan kewajaran (luwes ketika nanti bermain di panggung). Dari uraian tersebut, jika penghayatan tokoh dapat dikenali dari keluwesan subjek dalam memainkannya, dan keluwesan tersebut berasal dari ketidaksadaran, hal ini setara dengan konsepsi Lacan yang mengatakan bahwa bahasa subjek merupakan bahasa ketidaksadaran. Ketika subjek memasuki dunia bahasa, awalnya subjek terbata-bata untuk belajar. Namun, setelah subjek menguasai bahasa yang ia pelajari, sekalinya ia menggunakan bahasa tersebut ia tidak perlu memikirkan bagaimana caranya menggunakan bahasa tersebut. Namun bukankah jika demikian maka subjek mengalami represi? Bahasa yang dimainkan Tita di atas panggung tentunya berbeda dengan bahasa di dunia keseharian, sebagaimana telah dibahas dibagian sebelumnya, bahasa Tita merupakan bahasa histeris yang berasal dari penanda yang telah tersedia (sebagai objek hasrat) yang dielevasi sebagai bahasa baru. Ketika Tita berelasi dengan Objek penciptaannya (narasumber yang dijadikan tokoh) sekaligus dari relasi tersebut menimbulkan proses identifikasi, maka identifikasi tersebut tidak hanya terjadi pada tingkat penandaan (enunciation). Identifikasi tersebut bahkan sampai ke level Tita memiliki symptom yang dimiliki oleh tokoh yang ia mainkan. Kedekatan Tita dengan tokoh yang ia mainkan memunculkan sebuah empati dari yang diketahui oleh Tita terhadap kehidupan tokoh yang ia identifikasi. Empati ini hadir, salah satunya, dalam bentuk rasa tidak nyaman ketika Tita harus mengatakan bahwa tokoh yang ia mainkan mengidap HIV aids; seolah ia tidak rela jika aibnya (aib liyan yang ia identifikasi) diketahui orang lain. Tetapi justru inilah yang harus dikatakan; sebagai ‘gong’ dari wacana yang dihadirkan di atas panggung. Melalui
106
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
pertunjukan tersebut, HIV aids tidak dijadikan sebagai aib, melainkan diangkat ke level dialektika melalui sinthome. Sinthome aktor yang terlihat ketika latihan (dan di panggung nantinya) merujuk tak hanya pada symptom hasil identifikasi dengan tokoh yang ia mainkan namun juga berkenaan dengan symptom aktor sebelum proses identifikasi dengan tokoh/teks. Hal ini bisa dilihat dari tujuan aktor mementaskan naskah. Aktor tahu bahwa dengan melakukan pentas, dia berkomunikasi dengan penonton; ketika aktor merepresentasikan dirinya di panggung, representasi tersebut mengarah kepada penonton. Dalam situasi ini, yang dilakukan aktor tak lepas dari rasa ingin diakui; “Siapa aku di dapan penonton? Bagaimana seharusnya aku di dapan penonton? Apa yang diharapkan penonton padaku?” dsb. Sehingga untuk mencapai hal itu, subjek harus tahu kepada siapa ia berbicara; naskah apa yang tepat untuk dikatakan kepada siapa? Naskah sebenarnya sudah menyediakan respon (menjadi sumber hasrat) atas pertanyaan-pertanyaan tersebut sehingga aktor akan memposisikan dirinya sedemikian rupa melalui proses latihan hingga menuju pentas diatas panggung. Kita akan melihat ini dari pemaparan Gunawan Maryanto ketika ia mementaskan End Game yang notabene adalah naskah absurd yang hanya bisa dinikmati oleh beberapa kalangan saja. “Ketika memainkan End Game, saat itu kami berbicara lagi sebenarnya soal relevansi mementaskan naskah ini. Dulu yang pas pentas ini dipentaskan pertama kalinya juga kami memikirkan relevansinya. Tapi menurutku naskah ini tetap ada relevansinya dengan kehidupan sekarang. Ya kan naskah End Game itu, peristiwanya di dalam bunker atau ruang entahlah kerena tidak terlalu dijelaskan. Sementara di luar bunker itu adalah ruang yang sudah menjadi seperti neraka. Hamm itu orang yang merindukan dunia luar sebelum menjadi neraka, merindukan tatanan yang baik kan. Sementara mereka bertahan dalam bunker entah sampai kapan. Hubungan tentang luardan dalam ini tak pikir selalu ada relevansinya hingga konteks sekarang. Apa lagi karakter itu, Hamm dan Clove, sebenarnya kan bisa ditafsirkan sebagai palu dan paku (paku payung yang bentuknya menyerupai cengkeh) kan. Hamm itu selalu menindas Clove, Clove itu juga menggemaskan; tau
107
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
kalau ditindas tapi juga tetap melakukan karena ia merasa membutuhkan Hamm, sehingga teks ini juga tentang relasi. Tak pikir sampai sekarangpun relasi seperti Hamm dan Clove masih relevan dengan situasi saat ini.”106 Penafsiran yang dilakukan Gunawan Maryanto atas naskah tak lepas dari relasinya dalam kehidupan sosial yang ia jalani. Naskah menjadi media baginya untuk melihat kembali dunianya; symptom-nya. Jika Gunawan Maryanto mengatakan bahwa, meskipun absurd dan tidak berasal dari latar belakang budaya yang sama dengan latar belakang budayanya, naskah yang ia mainkan tetap memiliki relevansi dengan kejadiankejadian dalam ruang sosialnya. Apakah hal ini ada hubungannya dengan penghayatan? Sebagaimana penghayatan merupakan dan berpijak pada identifikasi, penghayatan bisa dilakukan hanya jika aktor telah yakin dengan apa yang akan ia sampaikan (berhasil mengidentifikasikan dirinya dengan naskah; berhasil menciptakan pemaknaannya sendiri atas naskah) sehingga ia bisa meyakinkan penonton. Identifikasi yang dilakukan oleh Gunawan Maryanto tentu tidak semata-mata dalam rangka untuk menulis kembali bahasa naskah melalui akting, melainkan menyamakan dulu relevansi naskah dalam kehidupannya; sebagaimana subjek bercermin, maka gambaran yang ada di cermin setidaknya mirip dengan gambaran yang dibayangkan oleh subjek. Dengan demikian subjek tahu bahwa gambaran di cermin adalah gambaran dirinya, sebagaimana wacana dalam naskah End Game setara dengan wacana yang dirasakan oleh Gunawan Maryanto. Ketika aktor melatih tubuhnya, di sisi lain, proses tersebut terbaca sebagai usaha dalam rangka untuk melawan kecenderungan sosial yang secara politis, sengaja atau tidak, telah merepresi tubuh sedemikian rupa; tubuh dalam ruang sosial merupakan 106
Wawancara dengan Gunawan Maryanto pada tanggal 5 Juni 2015 di Garasi Institute of Performance, Nitiprayan, Yogyakarta.
108
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
target dari segala macam bentuk sistem nilai, ideologi, dan produksi 107. Tubuh itu sendiri sebagaimana menurut Lacan adalah efek bahasa108 tidak bisa dipahami begitu saja sebagai organ biologis, namun sebagai organ kultural. Drive subjek tidak lagi mengarah pada fungsi biologis, namun mengarah pada kenikmatan yang dialami oleh tubuh dan pengalaman kenikmatan ini selalu dimediasi oleh budaya (Other) sehingga karakter dasar subjek merupakan dalam hal ini adalah perversif109. Dalam situasi sosial seperti inilah, ketika tubuh sepenuhnya dilumpuhkan (terepresi) oleh sirkulasi budaya, aktor harus mengambil alih kembali tubuhnya (meski tetap tidak bisa lepas dari konstruksi budaya). Sebagai contoh, pada bab II telah diceritakan pengalaman Tony Broer dalam bentuk-bentuk ekstrim berusaha melawan batasan-batasan tubuh yang terbentuk secara kultural; Tony Broer berdialog kembali dengan tubuhnya dengan cara mempertanyakan kembali tubuhnya, dan jika mungkin, membebaskan tubuh dari belenggu persepsi (lama) untuk menemukan persepsi baru. Hal ini merupakan kenikmatan proses di wilayah yang sedikit berbeda dengan proses penciptaan yang berbasis naskah. Dalam proses penciptaan teater tubuh seperti yang dialami oleh Tony Broer, bisa dibilang proses tersebut tidak membutuhkan naskah baku atau bahkan ideal artistik yang telah mapan. Namun tentunya proses ini tetap berpijak pada teks, gagasan, atau wacana-wacana tertentu dalam realitas sosial. Dalam bentuk-bentuk pertunjukan merespon ruang yang dilakukan oleh Tony Broer (di luar panggung konvensional), sebagai contoh, pertunjukan tersebut bisa terbaca sebagai respon atas wacana ideal yang dia hadapi; pertunjukan idealnya dilakukan dalam panggung konvensional. Di sisi lain, ketika Tony Broer berpendapat bahwa tubuh itu 107
Lihat Synott (1993) pada bagian introduksi, halaman 1. P. Verhaeghe dalam bukunya yang berjudul Beyond Gender. From Subject to Drive, New York: Other Press, 2001: halaman 79. 109 Kesel, 2009: 14. 108
109
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
sendiri merupakan gagasan (dengan bentuk pertunjukan tertentu), hal tersebut terbaca sebagai bentuk ketidakpuasan atas ideal yang menempatkan tubuh sebagai media penyampai pesan. Bentuk-bentuk latihan yang dilakukan Tony Broer merupakan bentuk latihan yang (sehubungan dengan bentuk pementasan) bisa dikatakan tidak seperti umumnya latihan teater. Latihan tersebut mendahulukan proses tubuh untuk berinteraksi dengan ruang. Tujuannya, interaksi antara tubuh dengan ruang akan membentuk suatu konsepsi atau gagasan. Bentuk pertunjukan Tony Broer selalu menghadirkan bentuk-bentuk tubuh yang ganjil, bentuk-bentuk tubuh yang sudah tidak peduli lagi dengan kaidah estetika pertunjukan yang telah baku atau bahkan penonton. Hasilnya, penonton bisa jadi tidak paham atau malah tersiksa dengan melihat pertunjukan tersebut. Dalam hal ini tubuh Tony Broer tidak berposisi sebagai signifier atau penanda yang merujuk pada penanda lain, melainkan trace; penanda mandiri yang bukan merupakan penanda simbolik sehingga penanda ini tidak bisa dipahami sebelum penanda ini ditutupi dengan penandapenanda dari dunia simbolik. Dengan demikian, jika Tony Broer mengatakan bahwa tubuh adalah gagasan yang pengertiannya berbeda dengan tubuh sebagai media penyampai pesan, maka tubuh adalah gagasan bisa dipahami sebagai trace dan tubuh sebagai media penyampai pesan bisa dipahami sebagai signifier. Sehingga, ketika ia menghadirkan penanda-penanda yang telah ditinggalkan oleh penanda (trace) tentunya penonton akan sulit untuk mengidentifikasi pertunjukan yang mereka saksikan. Penonton ‘hanya akan’ melihat tubuh yang bergerak tanpa kepastian makna; tubuh yang mengalami penderitaan.
110
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
Dalam psikoanalisa, baik trace atau sinthome merupakan dua terminologi yang merujuk pada symptom.110 Yang membuat trace dan sinthome menjadi sedikit berbeda (meskipun keduanya tidak merujuk langsung pada symptom), trace merupakan jejak yang berbeda dengan penanda (signifier).111 Bentuk pertunjukan Tony Broer merupakan trace sejauh bentuk-bentuk tubuh yang dihadirkan tidak bisa disetarakan dengan, misalnya (untuk memudahkan), pantomim. Dalam tubuh pantomim, tubuh melakukan adegan-adegan seperti misalnya makan namun hanya melakukan gerakan-gerakan makan tanpa makanan sungguhan, atau peralatan makan atau bahkan ruang makan. Namun demikian, gerak tubuh dalam pantomim merupakan penanda yang mudah dibaca karena langsung merujuk pada aktivitas tubuh sehari-hari. Namun demikian, dalam penelitian ini baik trace atau sinthome saya tempatkan sebagai penanda baru yang menandai hadirnya yang terepresi. Melihat bahwa dalam proses yang ditempuh para aktor dalam menjalani latihan tubuh merupakan latihan yang berat dan tak jarang sering menimbulkan rasa sakit, hal ini seolah mustahil jika yang mereka lakukan semata-mata demi menyampaikan sesuatu (teks) melalui panggung pertunjukan. Mereka mengatakan bahwa proses teater itu berat, sulit, dan penuh tantangan. Akan tetapi, justru latihan-latihan tersebut juga membuat mereka rindu untuk melakukannya. Hal ini menandakan adanya kesenangan ketika mereka melakukan proses latihan. Dalam perspektif Lacan, subjek menyikapi hidupnya atas prisip kenikmatan. Tentu saja setiap subjek memiliki objek penyebab kenikmatan yang berbeda-beda. Ketika tubuh telah mengalami perubahan, misalnya melalui ketrampilan olah tubuh akrobatik seperti salto, kayang, meroda, melenting, dan lain sebagainya, perbahan ini secara otomatis akan mengubah konsepsi subjek atas 110 111
Evans, 2006: 191 Pluth, 2007: 24
111
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
kediriannya. Perubahan dalam hal ini merujuk pada batasan tubuh yang telah dilebarkan jangkauannya. Keberhasilan dalam melewati batasan tubuh merupakan kesenangan tersendiri; dalam terminologi Lacan, perubahan fisik yang melampaui rasa sakit dan takut pada akhirnya memberikan jouissance112 pada subjek. Pada fase ini, subjek seolah-oleh terlepas dari belenggu represi (konstruksi) yang selama ini telah menguasai tubuhnya. Pada hakekatnya, setiap kali aktor berhasil melewati batasan dirinya, terutama yang terkait dengan batasan tubuh (sejauh tubuh merupakan material yang sangat krusial bagi subjek sekaligus ego untuk memahami identitas dirinya) keberhasilan ini secara langsung akan berdampak pada perubahan konsepsi atas kediriannya. Dengan kata lain, ketika aktor melatih tubuhnya, secara otomatis aktor telah merubah dirinya.
3. Berpijak Pada Sinthome: Panggung Sublimasi Jalan yang ditempuh aktor dalam proses latihan belum sepenuhnya memberikan kepuasan selama aktor belum menghadirkan dirinya melalui panggung pertunjukan. Di pangggung itulah aktor hadir untuk bermain diantara kenyataan dan ilusi, imajinersimbolik-Real; identitasnya lebur antara dirinya dengan tokoh yang ia mainkan. Di panggung para aktor bisa berbuat sesuatu segila mungkin tanpa harus menjadi orang gila.
112
Lihat Fink (1997) halaman 8. Fink menerjemahkan Jouissance sebagai pleasure in pain, atau dengan kata lain, nikmat tapi sakit (atau sebaliknya). Jouissance ini saya artikan sebagai sesuatu yang dirasakan subjek ketika ia rela melakukan sesuatu demi kenikmatan meskipun harus bersakit-sakit terlebih dahulu sebelum mendapat nikmat kemudian.
112
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
Pada bagian sebelumnya telah dibahas proses yang ditempuh aktor dalam menciptakan penanda-penanda baru (sinthome) dengan tubuhnya atas identifikasi yang mereka lakukan melalui naskah (menafsirkan symptom). Bagian ini membahas pengalaman aktor ketika mereka menjadi subjek atas tubuhnya melalui peran yang mereka mainkan di atas panggung pertunjukan dengan membaca relasi aktor (melalui tubuh, pikiran, dan perasaannya) dengan naskah, dengan lawan main, dengan panggung, dan dengan penonton. Menempatkan panggung sebagai ruang sublimasi, aktor menjadi penanda baru yang mengisi kekosongan yang dihadirkan lewat teks/naskah; aktor berhasil menjadi subjek yang tak lagi dikuasai naskah dan ia telah selesai menciptakan maknanya sendiri dan melakukan transversing of fantasy. Dengan kata lain, melalui panggung sublimasi aktor melihat symptom dengan cara lain dengan menghasilkan sinthome. Sehingga di panggung ini aktor mendapatkan kenikmatan yang sifatnya tak lagi parsial, melainkan penuh113. Di atas panggung, aktor merupakan subjek sekaligus objek; ia menjadi subjek atas tubuhnya yang bereaksi atas berbagai stimulus yang ada di sana (ruang, properti, kostum, cahaya, lawan main, dan penonton) dan ia menjadi objek yang dilihat penonton; objek yang dielevasi ke level das Ding. Panggung teater merupakan ruang yang ‘misterius’ sebagaimana ruang itu berbeda dengan ruang lain, bahkan ruang itu semakin menjadi dunia yang lain ketika penonton telah datang. Keberlainan ini setidaknya selalu dirasakan oleh para aktor. Bisa saja mereka berlatih setiap hari di ruang yang kelak akan dijadikan ruang pertunjukan, namun ketika tiba saatnya pentas,
113
Sebagaimana pemahaman ini telah dipergunakan pada bagian sebelumnya, pemahaman ini berpijak pada pada handout perkuliahan yang ditulis oleh St. Sunardi dalam menafsirkan syarat sublimasi yang dikonsepsikan oleh Lacan.
113
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
dalam ruang yang sama dan berhadapan dengan penonton, ruang tersebut memunculkan ‘keajaibannya’ yang barangkali belum pernah muncul sebelumnya. Dikalangan para aktor, ketika mereka sedang menjalani proses penciptaan biasanya muncul ungkapan, sebagai lelucon yang bisa jadi merupakan harapan, demikian: “Semoga nanti ada keajaiban panggung”. Maksudnya, mereka berharap bahwa nanti mereka bisa pentas dengan maksimal meski latihannya belum maksimal. Maksimal dalam hal ini merujuk pada ‘kegilaan’ atau perilaku/ekspresi, atau bahkan perasaan-perasaan yang selama ini belum pernah muncul meski telah melewati proses latihan yang panjang. Diam-diam dunia panggung (ruang peristiwa teater yang mempertemukan aktor dan penonton) menjadi harapan terakhir untuk mengekspresikan (lebih tepatnya; memberikan ‘keajaiban’ untuk bisa mengekspresikan) hal-hal yang belum pernah dimunculkan dalam latihan. Hal-hal yang belum pernah dimunculkan tersebut setara dengan konsep Lacan mengenai symptom; the return of the repressed114 (kembalinya yang terepresi; meskipun hal ini telah banyak muncul ketika aktor menempuh proses latihan, akan tetapi panggung teater merupakan tumpuan final untuk memunculkan hal-hal yang selama ini telah terepresi). Zizek menafsirkan bahwa ketika symptom adalah sesuatu yang dulu pernah terepresi, hal ini merujuk pada dua hal, yakni masa lalu dan sesuatu yang terepresi115. Yang terepresi ini tak lain adalah jouissance. Dalam dunia simbolik, subjek harus ikut aturan main yang berlaku; ada Hukum-Sang-Ayah yang memotong jalur
114
Lihat Slavoj Zizek dalam bukunya yang berjudul The Sublime Object of Ideology, Verso, 2008. Halaman 57. 115 Ibid, hal 58.
114
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
kenikmatan subjek116. Kenikmatan yang belum terpenuhi oleh dunia simbolik inilah yang menjadi symptom. Sayangnya symptom selalu merupakan sesuatu yang telah lampau, sehingga ketikapun ia hadir (pada saat ini), maka ia selalu hadir dengan cara yang berbeda (dan bisa dikenali melalui sinthome). Mengaitkan hal ini dengan ‘keajaiban panggung’, ketika peristiwa teater menjadi tumpuan terakhir untuk menghadirkan yang terepresi, hal ini mungkin terjadi karena panggung merupakan ruang sublimasi; dalam pertunjukan aktor dielevasi sebagai subjek/objek di atas panggung. Panggung memberikan stimulus (dan mempersilahkan) subjek untuk mengeluarkan sesuatu yang tidak mungkin dikeluarkan di ruang lain. Di panggung pertunjukan, subjek menghadirkan dirinya sebagai diri yang lain; sinthome. Lalu apakah dengan memunculkan sinthome di atas panggung maka aktor menemukan kenikmatan? Tentunya demikian dan hal ini bisa dilihat dari cerita Nunung yang mengatakan bahwa di panggung pertunjukan, ketika ia pentas, ia menemukan apa yang ia sebut sebagai rasa hidup yang membuatnya selalu ingin berteater lagi. Nunung sempat kebingungan untuk mengatakan apa yang ia maksud sebagai rasa hidup, sebagaimana rasa itu sendiri, menurut Gunawan Maryanto adalah sesuatu yang abstrak; “ada tapi nggak kelihatan,”117 dan hanya bisa dikenali melalui ekspresi tubuh. Namun sekali lagi, apa itu rasa hidup? Sementara, yang senantiasa terjadi ketika para aktor
116
Lihat konsep The Oedipus Complex and the Meaning of The Phallus, Hommer, 2005: 51. Sederhananya, seseorang tidak bisa terus menerus menjadi anak kecil yang selalu meminta sesuatu (pada orang tuanya) dan mendapatkan pemenuhan. Ia harus belajar menjadi orang ‘dewasa’ dan mencari pemenuhan atas kebutuhannya sendiri dengan cara menempuh jalur yang telah ada sebagaimana jalur ini juga ditempuh oleh orang-orang yang ‘telah dewasa’. Maka, dengan memasuki dunia simbolik subjek mendapatkan pemenuhan (kenikmatan) atas kebutuhannya meski tidak sepenuhnya memuaskan. 117 Wawancara dengan Gunawan Maryanto pada tanggal 7 Maret 2015 di Garasi Institute of Performance, Nitiprayan, Yogyakarta.
115
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
bermain di panggung, mereka mengalami berbagai perasaan yang muncul bersamaan: tegang, senang, cemas, takut, percaya diri, dan lain sebagainya. Perasaan-perasaan tersebut barangkali bisa diwakili dengan istilah jouissance; sakit tapi nikmat. Sebagai salah satu bentuk atau efek yang dialami tubuh ketika berdiri diatas panggung (boleh disebut sebagai efek ‘keajaiban panggung’) adalah hadirnya ketidakmungkinan; tubuh hadir melampaui batas-batasnya. Sebagai contoh, Mbah Tohir bercerita demikian: “Malam itu saya jalan kaki dan jatuh diselokan. Nggak kelihatan waktu itu. Kaki saya kena cor-coran got. Bengkak. Saya nggak bisa jalan. Itu pas di semarang, habis baca geguritan, saya dipanggil panitia, terus jatuh. Yang paling berkesan bagi saya karena waktu itu bisa menjadi salah satu pembuktian pengalaman. Kalau sekedar masuk angin, asam urat, itu sudah biasa saya atasi. Tapi kalau jatuh saya nggak bisa gerak. Waktu itu yang saya pikirkan adalah pentas saya: bagaimana pentas saya nanti? Akhirnya saya ditolong oleh kawan-kawan teater di semarang, pijet refleksi, bisa jalan tapi harus pake krek. Nah pentas di Tegal Pekalongan itu saya pake krek. Nah itu yang paling menarik bagi saya. Ujian keaktoran saya ya di situ. Pas pentas, awalnya saya masih pake krek, untuk baca puisi, kidung jula-juli. Lalu pas saya main, akhirnya krek saya taruh, dan saya bisa jalan. Nah kan si peran yang saya mainkan tidak sakit. Saya jadi itu dengan kesadaran tokoh, saya bisa jalan dan tidak merasa sakit. Tapi ada juga kekawatiran, makanya saya jaga-jaga, krek saya bawa masuk buat jadi properti sekalian. Nah itu siasat aktor. Sekalian saya menjadikan peristiwa jatuh itu bagian dari cerita.”118 Istilah yang diberikan Mbah Tohir adalah ketika ia berada di panggung, dia menjadi dirinya dengan kesadaran tokoh (objek penciptaan). Tentu kesadaran ini merujuk pada konsep tokoh yang diciptakan oleh Mbah Tohir, yakni Mat Kasir yang masih muda dan tidak sakit. Dan yang terjadi kemudian ketika dia menjadi subjek atas tubuhnya di atas pentas, dia tidak mengalami (tidak peduli dengan) rasa sakit seperti yang dia derita ketika tidak sedang pentas. Pegalaman tubuh yang dialami semacam ini 118
Wawancara dengan Mbah Tohir pada tanggal 5 Maret 2015 di Pasca Sarjana ISI Yogyakarta.
116
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
setara dengan tubuh-tubuh penari pada pentas Jathilan, misalnya, ketika penarinya mengalami kesurupan; melampaui situasi normal; tubuh yang hadir dengan energi yang besar dan kadang-kadang melakukan tindakan di luar kewajaran, misalnya makan bohlam lampu neon, atau mengupas kelapa dengan gigi; tubuh mungkin melakukannya karena tubuh mengalami jouissance. Dalam kasus ini dorongan subjek yang hadir pada tubuh merupakan dorongan kematian (death drive) yang bertujuan untuk melampaui prinsip kenikmatan dengan berada di realitas ketidakmungkinan (melampaui normalitas) untuk mendapatkan jouissance; kenikmatan yang dialami dengan melalui penderitaan. Apakah ini penghayatan? Istilah-istilah yang khas dan sering muncul di kalangan teater yang merujuk pada pemahaman menghayati peran, salah satunya adalah ‘menjadi tokoh’, atau lebih ‘dalam’ dari itu ‘merasakan tokoh’ seperti misalnya yang diungkapkan oleh Mbah Tohir: “Saya jadi itu dengan kesadaran tokoh, saya bisa jalan dan tidak merasa sakit [...] saya yang mengendalikan dengan kesadaran penuh, jadi ini bukan bisa menjadi tokoh [...] ya saya bisa merasakan tokoh.”119 Sementara, kata menghayati itu berasal dari kata hayat yang artinya kurang lebih adalah hidup. Dengan kata lain, menghayati tokoh bisa berarti menghidupi tokoh; membuat tokoh menjadi hidup, atau tampak hidup, atau‘memiliki roh’ atau ada jiwanya, kalau memakai istilah orang-orang teater. Terkait dengan pemaparan tersebut, penghayatan aktor ini bermula dari proses identifikasi; yakni ketika berelasi dengan naskah, hasrat subjek dibangkitkan dan ego terbentuk. Identifikasi ini berlanjut ketika aktor mencari model liyan dalam dunia simbolis (realitas sosial). Proses yang ditempuh oleh aktor ini menyediakan dua kemungkinan, pertama ia masih
119
Wawancara dengan Mbah Tohir pada tanggal 5 Maret 2015 di Pasca Sarjana ISI Yogyakarta.
117
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
terepresi (menjadi subjek bahasa/ dikuasai tokoh) kedua ia mengalami pengalaman sublim (menjadi subjek dorongan/ menguasai tokoh; memainkan tokoh). Kiranya penghayatan ini lebih tepat ditempatkan pada saat aktor telah menjadi subjek dorongan yang tak lagi dikuasai oleh bahasa. Sehingga, dalam proses latihan menuju pentas, khususnya ketika menjelang pentas, ada istilah menarik: “Lupakan teknik, bermainlah dengan bebas.” Teknik (polapola penciptaan, metode, ideal, dsb.) dalam hal ini menjadi represi, sementara bebas dalam hal ini merupakan sublimasi; ketika bermain, aktor sudah tidak mempedulikan teknik atau aturan atau bahkan penonton. Sehingga, dalam situasi ‘bebas’ ini, aktor bisa melakukan improvisasi; mengalir dan menyesuaikan dengan situasi yang sedang terjadi. Terkait dengan kesadaran dan identifikasi, apakah ketika aktor bermain di panggung artinya mereka telah selesai dengan identifikasinya? Jika identifikasi melahirkan makna, misalnya pemahaman tentang ke-aku-an, Lacan mengatakan bahwa makna tidak pernah stabil sebagaimana makna itu sendiri tercipta dari proses signifikasi. Begitupula dengan proses identifikasi; sejauh proses ini melibatkan relasi subjek dengan material di luar dirinya, maka identifikasi ini tidak pernah selesai dan kesadaran selalu berubah. Improvisasi menandai adanya proses identifikasi dan kesadaran yang terus berlangsung. Sementara jika aktor terpaku pada teknik (sesuatu yang telah baku/ dibakukan dalam proses penciptaan), sebaliknya, improvisasi ini tidak pernah muncul. Jika dikaitkan dengan penghayatan peran yang pengertiannya ditempatkan sebagai menghidupkan tokoh; tepat kiranya ketika aktor sedang bermain di atas panggung maka ia masih melakukan proses identifikasi atau menyadari segala sesuatu disekelilingnya sebagaimana aktor telah menjadi subjek atas tubuhnya.
118
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
Hal ini juga tampak pada pengalaman Andika ketika bermain dalam Panji Amabar Pasir. Improvisasi yang ia lakukan membuatnya seolah tidak peduli lagi dengan capek, atau malu, atau bahkan keindahan. Di salah satu adegan ketika ia membabat hutan, ia tampak seperti orang kesurupan; mencabik rumput, mencakar tanah, berguling-guling, menggeram untuk meluapkan sekian perasaan-perasaan marah. Hal ini tentunya tak mungkin dilakukan dalam situasi normal dan dipanggung pertunjukan perilaku Andika adalah sinthome (atau semacam Nama-Sang-Ayah darurat120) yang menyelamatkan Andika dari ‘kegilaan’ atau memperbolehkan Andika berbuat gila. Pengalaman berpijak pada sinthome seperti yang dialami oleh Mbah Tohir dan Andika sedikit berbeda dengan yang dialami oleh Tita. Jika Mbah Tohir tidak peduli dengan sakit, sebaliknya Tita mengalami kesedihan ketika harus mengatakan bahwa tokoh yang sedang ia perankan mengidap HIV; mata Tita berkaca-kaca ketika mengatakannya. Hal ini menimbulkan rasa haru tak hanya bagi penonton, tapi bagi Tita sendiri; seolah ia menghadirkan aibnya sendiri yang tersimpan sebagai symptom. Namun melalui pertunjukan, Tita melihat symptom dengan cara lain, memaknainya, dan mengatakannya sebagai sinthome sehingga bukan represi yang dialami Tita melainkan jouissance. Lantas bagaimana Gunawan Maryanto mengalami pengalaman berada di dalam panggung pertunjukan sebagai Hamm? Berperan sebagai Hamm, dia berelasi dengan Clove dengan konteks Hamm sebagai penindas Clove; saat itulah dia hadir sebagai 120
Handout perkuliahan yang ditulis oleh St. Sunardi. Jika di dunia simbolik Nama-Sang-Ayah berfungsi sebagai represi bagi subjek dan represi ini bersifat patologis atau hanya memberikan kenikmatan yang bersifat parsial, maka sinthome atau Nama-Sang-Ayah darurat di dunia panggung tidak bersifat represif sebagaimana di dunia simbolik sehingga subjek mengalami kenikmatan yang lebih (jouissance purna) dari yang ia peroleh di dunia simbolik.
119
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
subjek yang memunculkan sesuatu yang tidak mungkin dimunculkan dalam keseharian, yakni melakukan sesuatu sebagai pihak penindas yang barangkali ini merupakan hasrat semua orang untuk berposisi sebagai penguasa; posisi yang meminimalisir lack. Tentunya ini menyenangkan; dia bisa hadir dengan membentak-bentak lawan main atau mengumpat dunia simbolik di hadapan orang banyak (dan ini adalah game). Jika hal ini dikaitkan dengan konsep Lacan yang mengatakan bahwa karakter semua subjek pada dasarnya adalah perversif dengan drive selalu mengarah pada kenikmatan, sementara, dunia keseharian merupakan sirkuit yang meregulasi kenikmatan subjek-subjek dalam bentuk hukum, norma, etika, aturan, atau dengan kata lain: prinsip kenikmatan (kebaikan hidup/good life121), maka keseharian (atas nama kebaikan) telah mengurung hasrat subjek (hasrat libidinal) yang pada dasarnya berlawanan dengan moral. Sehingga, kenikmatan penuh (diandaikan) bisa diperoleh jika subjek melampaui etika moral, yakni dengan melakukan kejahatan. Karena pada dasarnya karakter semua
subjek itu adalah ‘jahat’, dunia simbolik menjamin
keselamatan semua subjek dengan menghadirkan larangan. Sementara dunia pertunjukan menjamin keselamatan subjek dengan ‘memperbolehkan’ subjek untuk memperlihatkan ‘kejahatannya’ dengan selamat. Naskah yang mula-mula merupakan hasrat liyan di satu sisi menjadi sinthome (atau medium) bagi subjek untuk mengungkapkan symptom-nya yang selama ini telah terepresi. Memainkan karakter Hamm di satu sisi memberikan kenikmatan bagi subjek dalam rangka menyuarakan ‘protes’ atas ‘kejahatan dunia simbolik’ dalam merepresi ‘kejahatan’ subjek. Seperti telah dibahas di awal, kerakter Hamm (atau naskah) merupakan medium atau jalan yang bisa berfungsi untuk menghadirkan symptom (dalam bentuk protes). 121
Kesel, 2009: 2.
120
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
Oedipus bisa disetarakan dengan Hamm dalam konteks kedua karakter ini merupakan medium. Pak Untung menggunakan tokoh Oedipus untuk menyerukan protes kepada dunia simbolik. Dalam pertunjukan tersebut, apakah Oedipus yang melakukan protes? Tentunya bukan; dalam hal ini Oedipus menemukan bentuknya ketika dihadirkan oleh Pak Untung sekaligus Pak Untung menampakkan dirinya yang lain ketika menjadi Oedipus. Tak jauh berbeda dengan Mbah Tohir, tubuh Pak Untung berbicara seolaholah melampaui usia tuanya. Dorongan aktor ketika ia hadir di atas panggung justru merupakan dorongan kematian (death drive) sejauh dorongan tersebut selalu membuat aktor melakukan tindakan-tindakan yang melampaui kewajaran. Dalam hal tubuh, pengalaman Tony Broer bisa menjadi ilustrasi atas dorongan kematian yang menginvasi tubuh untuk melakukan tindakan kekerasan yang melahirkan jouissance. Dalam latihan-latihannya, Tony Broer mengupayakan untuk mengabaikan belenggu pikiran, yang kurang lebih pengertiannya adalah menciptakan pengetahuan yang tidak diproduksi oleh pikiran melainkan pengetahuan yang merupakan produk tubuh; tubuh membuktikan terlebih dahulu sebelum pikiran mulai menyimpulkan. Dalam kasus latihan atau bahkan pementasan Tony Broer, di satu sisi, tubuh Tony Broer beridentifikasi dengan ruang tempat tubuh itu berada. Latihan tubuh yang demikian ini di kalangan orang-orang teater disebut sebagai latihan merespon ruang. Lalu apa yang terjadi ketika tubuh berkenalan lagi dengan ruang? Tubuh berusaha menciptakan pengetahuan-pengetahuan dengan beridentifikasi dengan ruang; tubuh membuktikan ruang atau sebaliknya. Contoh, dalam salah satu adegan dalam pertunjukannya, Tony Broer berada dalam sebuah drum, lalu ada dua aktor lain yang memukul drum tersebut dengan besi batangan. Dalam situasi itulah Tony Broer
121
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
berusaha mengidentifikasi kembali tubuhnya; mengalami sensasi yang diterima tubuh ketika berada dalam drum yang dipukul berkali-kali dengan besi batangan. Pengalaman tubuh inilah yang ‘menciptakan’ konsep dalam pikiran. Dalam pementasan-pementasan yang lakukan oleh Tony Broer, ia membawa tubuhnya untuk berdialog dengan berbagai macam ruang, saat itulah identifikasi terjadi dan ego terbentuk; tidak hanya dengan melihat bayangan di cermin, tetapi dengan menyentuh bayangan itu. Pengalaman tersebut sekaligus menempatkan Tony Broer sebagai subjek paranoia, yakni subjek yang tidak percaya dengan bayangan yang dipantulkan liyan. Justru karena tidak percaya itulah subjek selalu berhasrat untuk mencari tahu. Dalam hal ini, pengetahuan harus diketahui dengan cara dialami. Mengambil contoh aktivitas tubuhnya seperti berada di dalam tong yang dipukul berkali-kali dengan besi batangan, atau berlari dengan jarak yang sangat jauh, pada tataran pikiran (atau pada umumnya) hasilnya sudah bisa ‘diketahui’ yakni sakit atau capek. Namun pengetahuan tersebut merupakan pengetahuan simbolis jika diketahui tanpa harus dialami. Bentuk positif dari paranoia ini adalah ketika subjek tidak percaya maka ia mencari tahu122, dengan demikian ia hidup berdasarkan pengetahuan yang ia ciptakan dan ia menjadi master dalam realitasnya sendiri123. Dalam konteks yang lain, Tony Broer tidak hanya berhasrat untuk menciptakan pengetahuan tubuh ketika ia membawa tubuhnya ke tingkatan pertunjukan. Dalam sirkuit wacana estetika pertunjukan, tubuh subjek merupakan teks; wacana histeris sebagai bentuk protes atas dominasi estetika cantik (wacana histeris yang berubah menjadi wacana tuan). Secara visual, tubuh subjek yang dihadirkan di pangung (dengan
122 123
Kesel, 2009: 184. Ibid, halaman 185.
122
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
pola-pola gerak dan ekspresinya) merujuk pada sesuatu yang menyimpang dari jenis pertunjukan teater pada umumnya. Umpamanya secara umum seni pertunjukan menghadirkan estetika cantik, sebaliknya, pertunjukan Tony Broer menunjukkan estetika keburukan (Sejauh ini Tony Broer masih banyak mendapatkan pengaruh dari spirit seni pertunjukan Butoh yang memberontak pada estetika kecantikan dan keteraturan. Butoh justru dikenal sebagai tarian kematian; the dance of the darkness124) dan sekaligus pertunjukan Tony Broer seolah menjadi gema dari gagasan Artaud tentang teater kekejaman (Theatre of the Cruelty) yang ingin menghadirkan otentisitas manusia; yakni tubuh-tubuh yang kejam125 (jika dilihat dari perspektif psikoanalisa merujuk pada tubuh polimorfus-perversif). Menempatkan pertunjukan tubuh Tony Broer dalam posisi paranoia menandakan bahwa subjek tidak mengalami trauma (karena subjek tidak percaya pada trauma), sebaliknya jika dibaca sebagai histeria, maka tubuh subjek terbaca sebagai bentuk protes terhadap batasan estetika. Namun demikian, kehadiran gagasan pertunjukan Tony Broer dalam sirkuit seni pertunjukan memposisikan karyanya sebagai sesuatu yang lebih tepat jika ditempatkan sebagai wacana histeris. Sehingga, fenomena yang dihadirkan oleh Tony Broer bisa dibaca sebagai bentuk protes sekaligus gagasan baru dalam lingkungan teater yang dihadapinya. Pertunjukan menjadi ruang sublimasi dalam hal ini pertunjukan menyediakan ruang yang sifatnya menyerupai dunia fantasi. Di dalam fantasi, aktor mengandaikan dirinya sebagai tokoh utama yang bisa berbuat sesuka hati; tidak ada yang terepresi. Sehingga, ketika aktor menciptakan pertunjukan dan ia bermain di sana, hal itu setara 124
Lihat Fraleigh dan Nakamura dalam bukunya yang berjudul Hijikata Tatsumi And Ohno Kazuo, Routledge, 2006. 125 Lihat Artaud, Antonin, The Theatre And Its Double, by Grove Press, Inc. 1958.
123
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
dengan menghadirkan fantasinya; ia bisa hadir sesuka hatinya karena di atas panggung aktor adalah penguasa atas kehidupan yang berlangsung di sana. Yang berharga dalam dunia panggung, symptom yang dihadirkan oleh aktor merupakan symptom-symptom yang cenderung dimiliki oleh banyak orang; symptom dari represi sosial. Sehingga, symptom yang dihadirkan bukan hanya sebagai ‘proses penyembuhan’ bagi aktor, melainkan sebagai ajakan kepada penonton untuk merefleksikan symptom ‘kolektif’ mereka. Apapun hasilnya, meskipun tidak sepenuhnya mengalami kepenuhan (dan memang seharusnya demikian), proses yang ditempuh aktor dalam dunia teater tetap menjaga agar hasrat aktor tidak padam sekaligus menyelamatkan aktor dari kegilaan.
B. Menjalani Kehidupan Dua Dunia Bagian ini membahas dua dunia yang dijalani oleh subjek; yakni dunia teater dan dunia sehari-hari. Sebagaimana telah disinggung pada bagian sebelumnya, dunia teater lebih merupakan dunia mimpi atau dunia fantasi yang memungkinkan para aktor untuk menghadirkan sesuatu yang tak mungkin dihadirkan dalam dunia keseharian. Sementara dunia keseharian itu sendiri, meminjam perspektif Lacan, adalah dunia simbolik atau dunia bahasa; dunia sosial yang membuat subjek-subjek yang hidup di dalamnya harus mematuhi aturan main yang berlaku. Meskipun dua dunia tersebut bisa dibilang sebagai dua dunia yang berbeda sifatnya, akan tetapi dua dunia ini, bagi para aktor, merupakan dua hal yang saling melengkapi. Di satu sisi, dunia teater memberikan pemenuhan bagi subjek atas sesuatu yang tak bisa di dapatkan di dunia keseharian, sebaliknya, dunia keseharian juga memberikan pemenuhan tertentu yang tak bisa di dapat di dunia teater. Dunia teater
124
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
menempati posisinya sebagai dunia fantasi; dalam hal ini, para aktor mendapat kesempatan untuk berperilaku sebagai dirinya yang lain (misalnya menjadi raja) dan pengalaman tersebut merupakan kenikmatan tersendiri bagi mereka. Di sisi lain, mereka harus kembali ke dunia ‘nyata’ untuk bertemu dan berelasi dengan kenyataan-kenyataan sehari-hari. Dunia teater membutuhkan dunia keseharian sebagai acuan, modal atau bahan untuk dieksplorasi dalam proses penciptaan teater (atau dengan kata lain, dunia teater merupakan efek dari dunia keseharian). Namun demikian, para aktor juga membawa pulang pengalaman-pengalaman mereka selama menempuh proses teater sebagai modal untuk menyikapi kehidupan mereka di dunia keseharian. Proses tersebut (kehidupan di dunia teater dan dunia keseharian) berlangsung terus menerus dalam sirkuit kehidupan mereka dan tentunya proses tersebut memberikan pengaruh bagi mereka setidaknya dalam dua hal: memberi pengaruh untuk menyikapi teater dan menyikapi keseharian mereka. Dengan meminjam konsep sublimasi Lacan untuk membahas kedua dunia tersebut, bagian ini saya bagi menjadi dua sub-pembahasan; pertama, saya menempatkan dunia keseharian para aktor sebagai dunia batasan, kedua saya menempatkan dunia teater sebagai jalan untuk melampaui batasan dunia keseharian.
1. Dunia Keseharian (Simbolik): Batasan Yang Menjadi Dorongan People may love the rigid limits culture forces them into, but their relation to culture is never “natural.” They relate to it from a polymorphousperverse drive, that is, from a drive that “perverts” nature (Kesel, 2009: 14).
Pada bagian ini, saya menempatkan dunia keseharian sebagai tatanan simbolik atau kebudayaan dalam artian yang luas. Dalam dunia ini subjek mulai belajar dari
125
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
Liyan untuk memenuhi kebutuhan hidupnya, mulai dari belajar bahasa hingga belajar tata krama. Sebagaimana dijelaskan oleh Kesel, dalam dunia ini tak ada lagi kehidupan manusia yang sifatnya natural. Bahkan, kebutuhan mendasar subjek (makan, minum, seksualitas, dan lain sebagainya) terkait dengan tubuhnya tak lagi merupakan hal yang bersifat biologis, melainkan kultural sejak awal subjek dilahirkan. Tubuh subjek bekerja tidak berdasarkan fungsi biologis, melainkan berdasarkan kenikmatan yang dialami tubuh; dorongan hidup subjek selalu mengarah pada pencapaian kenikmatan126. Namun dalam dunia simbolik, kenikmatan subjek dibatasi oleh prinsip kenikmatan atas nama kebaikan yang berwujud larangan (Nama-Sang-Ayah). Di satu sisi, dunia simbolik merupakan dunia yang menjamin pemenuhan bagi subjek, akan tetapi pemenuhan yang diperoleh hanya sebatas apa yang boleh didapatkan subjek. Di dunia ini subjek diajari untuk hidup menurut kewajaran yang berlaku; kewajaran atas nama kebaikan. Subjek yang normal adalah subjek yang bisa berperilaku wajar seperti orang lain dalam hidup bermasyarakat meskipun kewajaran ini merupakan sesuatu yang abstrak dan susah diukur. Kalaupun ada, prinsip kenikmatan atas nama kebaikan atau kebenaran ini merupakan konstruksi yang berasal dari, misalnya, lembaga keagamaan, pendidikan, negara, adat, kata orang, atau wacana-wacana yang disebarkan oleh media masa. Di luar panggung teater, para aktor adalah bagian dari masyarakat yang hidup dengan cara yang telah ada dan telah tertata sedemikian rupa. Di dunia simbolik ini mereka juga (di)harus(kan) berfikir realistis; untuk hidup mereka butuh makan, butuh tempat tinggal, butuh sesuatu yang menghasilkan pemasukan untuk mencukupi kebutuhan sehari-hari. Sebagai contoh, Andika bercerita bahwa ada berbagai macam
126
Kesel, 2009: 15.
126
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
aktivitas dalam keseharian yang ia lakukan seperti perform kecil untuk menyambung hidup, menyebarkan flayer di jalanan, bekerja di penerbitan, menulis artikel, esai, dan juga memberikan workshop. Sementara Nunung bekerja sebagai guru honorer dan bekerja di Padepokan Seni Bagong Kussudihardja, Pak Untung sesekali main film, mengajar kesenian, dan perform musik atau puisi, Tony Broer menjadi dosen, Mbah Tohir melukis wajah dan menjual batu akik, Tita dan Gunawan Maryanto menggantungkan seluruh nasibnya di kesenian. Fenomena kehidupan dalam ruang sosial, menurut Lacan, merupakan fenomenafenomena yang hadir dalam relasi penandaan. Fenomena-fenomena dalam keseharian tak bisa lepas dari hukum bahasa dalam pengertian yang seluas-luasnya; konvensi. Dalam situasi sosial tersebut, dalam menjalani kehidupan bermasyarakat subjek tak lagi bebas untuk berbuat sesuka hati; ia harus mau mengikuti konvensi yang berlaku seberapapun berat konvensi tersebut menjadi tekanan atau batasan dalam menjalani kehidupan sehari-hari. Tekanan atau batasan tersebut tak lain adalah represi. Tetapi, represi ini bukan berarti hal yang (melulu) buruk (meskipun represi ini menimbulkan pengalaman traumatis); karena represi itu sendiri (misalnya dalam bentuk hukum, etika, norma, dsb.) merupakan hasil dari sublimasi (paradoks yang tak bisa dihindari). Represi ini ada untuk menjaga agar manusia berbuat baik dan bertanggung jawab, sebagaimana hal ini dialami oleh Pak Untung: “Saya menjadi manusia. Menjadi anggota masyarakat, menjadi kepala rumah tangga, ngurusi kampung, punya tanggung jawab. Sebagai kepala rumah tangga ya harus membina keluarga sedemikian rupa, supaya tenang, aman, damai. Itu di kampung juga demikian, harus ikut serta menciptakan suasana tenang, damai, artinya begini, kan ada orang yang dengan keluarganya itu begitu baik, tapi kalau dengan orang lain justru sebaliknya. Atau di luar dia baik, tapi di dalam dengan istri, dengan keluarganya malah
127
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
bertengkar. Itu saya maknai. Aku di luar dan di dalam sebisa mungkin sama.”127 Di rumah, Pak Untung berperan menjadi kepala rumah tangga. Ini merupakan fungsi simbolik; misalnya, kepala rumah tangga berfungsi untuk membina rumah tangga. Sementara di luar rumah, pada tataran yang lebih luas, peran Pak Untung juga diidentifikasi orang lain sebagai seseorang yang posisinya lebih kompleks dari sekedar menjadi kepala rumah tangga. Dalam tiap-tiap posisi dan relasi yang berlainan, ada nilai yang harus dijaga. Relasi penandaan inilah yang menjaga (membatasi) Pak Untung untuk selalu berbuat baik. Nilai menjadi kebutuhan yang tak kalah penting dari kebutuhan dasar untuk hidup. Nilai ini seolah-olah menjadi hukum yang tak tertulis, sebagaimana nilai membuat Pak Untung harus merasa bertanggung jawab untuk menjalankan fungsinya (posisinya) sebagai tanda: ayah, anak, tetangga, warga, dan lain sebagainya. Menerapkan pentingnya nilai dalam menjalankan fungsinya sebagai seseorang (dengan berbagai macam posisinya) dihadapan orang lain tak hanya dialami oleh Pak Untung, hal ini juga dialami oleh Nunung; sebagai seorang istri, seorang ibu beranak satu, seorang guru SD ia juga tak lepas dari tanggung jawab untuk bersama-sama dengan suaminya membina keluarga yang baik. Nunung harus membagi waktunya sedemikian rupa untuk bekerja, berteater, dan berumah tangga. Di rumah, Nunung berperan sebagai ibu dan seorang istri, di sekolah ia berperan sebagai guru. Sebagai bentuk tanggung jawab, misalnya di dua tempat tersebut ia harus rela untuk (contoh tindakannya) tidak merokok demi penilaian yang dialamatkan oleh orang lain kepadanya. Namun di dunia kesenian merupakan saat baginya untuk mengekspresikan
127
Wawancara dengan Untung Basuki pada tanggal 8 Maret 2015.
128
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
dirinya sebagaimana hal tersebut tidak bisa dilakukan di rumah dan di sekolah. Namun represi yang demikian ini menjadi hal baik sejauh subjek berada dalam posisi yang demikian. Masalahnya, makna ‘baik’ ini, sebagaimana dikatakan oleh Lacan, merupakan hal yang relatif; makna ‘baik’ bisa menjadi sebaliknya, tergantung pada relasi subjek dengan objek hasratnya128. Hasrat subjek untuk berbuat baik ini merupakan konstruksi budaya meskipun dalam konteks pembacaan tertentu kebaikan ini merupakan kebalikan dari karakter dasar subjek polimorfus-perversif; subjek yang bergerak atas dorongan kenikmatan. Di satu sisi, kebaikan yang harus dilakukan oleh subjek justru menjadi batasan bagi subjek dalam rangka untuk berbuat sesuka hati demi mendapatkan kenikmatan dan kepenuhan. Demi menjaga ‘kepentingan bersama’ maka lahirlah aturan. Aturan main dalam masyarakat tidak hanya hukum yang tertulisakan dan disahkan melalui lembaga hukum, lembaga agama, adat, dan lain sebagainya. Aturan main hadir dalam wacana-wacana yang terus bergulir dalam masyarakat; wacana-wacana (dari relasi subjek) yang mengisyaratkan hasrat tertentu. Sebagai contoh, wacana-wacana yang bergulir di masyarakat (di Indonesia pada umumnya) cenderung menempatkan penilaian-penilaian tertentu terhadap kehadiran seniman teater. Salah satu penilaian yang dialamatkan kepada pelaku teater adalah bahwa berteater merupakan hal yang aneh atau menyimpang dari kehidupan pada umumnya. Sementara, bagi seniman teater sendiri berteater merupakan hal yang dianggap baik. Hal ini bisa dilihat dari pengalaman yang dituturkan oleh Tita: “Dulu sebenarnya, setelah lulus kuliah (Tita merupakan alumni jurusan psikologi Universitas Sanata Dharma) orang tuaku menginginkan aku 128
Kebenaran, kebaikan, etika, nilai atau ideal merupakan sesuatu yang berdasar pada prinsip kenikmatan (pleasure principle) dalam relasi penandaan. Sebagai penanda atau bahasa, hal tersebut tidak memiliki makna yang stabil, bergantung pada relasi subjek. Lihat konsepsi Kesel, 2009: 115-116.
129
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
bekerja di kantor atau di perusahaan apa gitu. Aku sempat melamar kerja di perusahaan farmasi, bahkan sudah wawancara kerja. Tapi waktu itu aku berfikir dan aku merasa tidak nyaman melakukannya. Aku ingin menjadi seniman. Meskipun orang tuaku marah besar aku tetap melakukannya. Konsekuensinya aku harus pergi dari rumah (di Bogor), dan kembali lagi ke Jogja, lalu berkesenian.”129 Pengalaman Tita dalam memilih dan menjalani kehidupan teater yang pada awalnya ditentang oleh kedua orang tuanya karena menurut orang tua Tita, berteater tidak memiliki masa depan; secara ekonomi sulit untuk hidup. Hal ini merupakan hal yang lumrah (secara kultural); orang tua selalu khawatir dengan pilihan anaknya jika pilihan itu berbeda dengan yang dikehendaki oleh orang tua. Fenomena tersebut merupakan dialektika hasrat pada tataran yang mendasar; hasrat yang lebih dari sekedar pemenuhan atas rasa lapar, melainkan pada nilai. Bisa saja menurut orang tua Tita menjadi seniman bukanlah status sosial yang diinginkan karena seniman identik (wacana umumnya) dengan, misalnya, aneh, gila, semrawut, berpakaian gembel, dekil, dan lain sebagainya. Jika tatanan simbolis (yang hadir, misalnya, dalam wacana yang dilontarkan oleh orang tua Tita) merupakan represi, maka bisa dibaca demikian bahwa represi tak lain adalah hasrat Liyan130 (Hasrat orang tua Tita yang menginginkan anaknya memiliki kehidupan yang lebih baik, dalam artian kebaikan tersebut merujuk pada penanda lain selain teater). Dalam konteks tersebut, hukum atau etika, atau sesuatu yang baik secara sederhana tampak pada relasi dalam keseharian dan relasi tersebut selalu dimediasi oleh material penandaan (bahasa verbal, barang produksi, gaya hidup, rumah, pakaian, makanan, dsb.). Penanda-penanda yang kebetulan terlihat oleh orang tua Tita terhadap seniman adalah dekil, semrawut, tidak teratur, dan lain sebagainya yang hal ini bisa jadi 129
Wawancara dengan Tita pada tanggal 24 Juni 2014 di Padepokan Seni Bagong Kussudihardja 130 Hukum atau aturan terbentuk atas dasar hasrat. Lihat selengkapnya pemaparan Kesel (2009) pada bagian Crucial Problem.
130
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
sangat berbeda jika dibandingkan dengan penanda-penanda yang tampak pada selain seniman, misalnya: pegawai negri. Dengan demikian, represi di keseharian hadir dalam bentuk konstruksi sosial melalui relasi penandaan dan inilah, sebagaimana dikatakan Lacan, yang menyusun ketaksadaran manusia; ketaksadaran manusia terstruktur seperti bahasa. Wacana-wacana dominan (mengambil contoh dari dialektika Tita dengan orang tuanya) menyuarakan bahwa berteater di Indonesia, lebih tepatnya menjadi aktor teater, sebagaimana juga dikatakan oleh Tony Broer, merupakan hal yang, jika dilihat dari perspektif ekonomi, berat untuk dilakukan; berteater tidak dipandang sebagai pekerjaan melainkan kegiatan yang menghabis-habiskan uang: “Ini teater itu memang apa? Pekerjaan atau bukan? Kan gitu! Jadi kalau di barat itu sendiri kan memenag udah jadi profesi kan?! Jadi otomatis pekerjaan kan? Profesional! Jadi mereka berlatih itu pasti menghasilkan. Nah sekarang kalau elo berlatih itu belum tentu menghasilkan, udah susah sponsor, jadi ngerti nggak loe, ada kesan gini; justru berteater itu mencari kesulitan sebenernya. Makanya, pokok persoalan di kita itu ada teater tapi nggak ada infrastrukturnya. Jadi aneh itu sebenernya di kita itu! Jadi kalo loe nanya itu, itu benar. Tapi kalo loe tanya ke yang profesi itu nggak mungkin: Loe ngapain teater? Pasti jawabanya: Itu profesi gue. Nah di kita, itu sebenarnya profesi juga nggak, jadi seperti yang elo bilang, sebenarnya dia itu masih bingung. Jadi pertanyaanya ngapain loe teater? Padahal ente malah susah-susah nyari duit justru untuk bikin teater. Nah itu yang membedakan bahwa teater itu bukan pekerjaan. Gue, justru posisi gue karena gue pegawai negri. Apakah pekerjaan gue aktor? Nggak, gue pegawai negri, gue mengajar, gitu. Kalo gue ngandalin aktor gue, gue mati! Jadi gue itu pegawai negri, yang ngajar. Ya pegawai negri yang sebulanan gaji, gitu!”131 Dari pemaparan Tony Broer, sistem budaya yang ia tinggali saat ini belum memiliki infrastruktur memadai untuk menempatkan fungsi aktor teater sebagai mata pencaharian. Hal ini berbeda dengan dunia layar lebar atau layar kaca yang telah
131
Wawancara dengan Tony Broer pada tanggal 3 Agustus 2014 di Pasca Sarjana ISI Yogyakarta.
131
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
memiliki pasar yang lebih baik, sebagaimana bagi Gunawan Maryanto, kadang-kadang bermain film menyelamatkan dia dari segi ekonomi. Aktor layar lebar atau layar kaca merupakan sesuatu yang bisa dipandang sebagai profesi. Artinya mereka bisa hidup hanya dengan mengandalkan akting. Bahkan, dalam masyarakat, mereka cenderung dipuja dan diidolakan meski barangkali mereka hanya bermain sinetron dengan akting atau teks yang ‘kurang bermutu’ (dengan penanda-penanda yang ‘itu-itu juga’ dikarenakan oleh banyak faktor, misalnya proses produksi sinetron harus kejar jam tayang, atau memang karena sumber daya manusianya yang kurang memadai). Keterbatasan infrastruktur untuk teater, atau pasar untuk teater menandakan bahwa sistem atau kondisi sosial dalam sistem itu sendiri merupakan batasan. Dan tentu batasan yang semacam ini bukanlah batasan yang dimaksudkan sebagai hal yang baik, akan tetapi batasan tersebut menandakan sebaliknya, yakni ketidakmampuan (lack). Barangkali penilaian ini terlalu subjektif, akan tetapi gejala ini (ketika teater terhambat pertumbuhannya sementara pada praktiknya orang-orang teater justru menempuh jalur proses yang, bagi saya, jauh lebih bermutu daripada penciptaan sinetron,) menandakan kedangkalan sistem simbolik dalam memilah dan menyirkulasikan wacana; hal ini tetap berlanjut sepanjang hari, tanpa sensor mulai dari sinetron, gosip, film televisi, atau acara entertainment layar kaca lainnya132. Mirisnya, untuk aktor teater seperti Andika bersama kelompoknya yang mengupayakan teks-teks pertunjukan yang lebih bermutu (daripada sinetron, misalnya) untuk dihadirkan kepada masyarakat harus menjalani kehidupan yang seperti ini: “Kalau sehari-hari itu aktivitasnya macem-macem. Ya sebenarnya kalau sehari-hari itu saya tidak hanya hidup berteater. Jadi selain berteater, saya 132
Hal ini merupakan asumsi. Namun demikian, asumsi ini juga diperkuat oleh tesis yang ditulis oleh Anicetus Windarto yang berjudul Simulasi (Gosip) Infotainment Dalam Retorika Image (Keaiban) Selebritis, Program Magister Ilmu Religi dan Budaya, Universitas Sanata Dharma, Yogyakarta, 2013.
132
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
harus cari makan. Macem-macem mas yang saya lakukan. Misalnya saya perform-perform kecil untuk nyambung hidup, mbadut apa nyebar flayer di jalan itu kan masih saya lakukan hingga hari ini. Ya masih ironis, sejak tahun berapa orang-orang teater itu kayak gitu lah, pake kostum apa terus nyebar brosur di lampu merah pake singuit njuk dada-dada itu masih saya lakukan,jujur saja. Terus kadang-kadang saya bantu teman yang punya penerbitan; saya menyampul buku, menata buku, usung-usung buku itu saya lakukan. Saya kadang-kadang nulis untuk dipublikasikan. Ya kalau dijogja belum pernah dipublikasikan tapi itu saya pernah nulis di jurnal Skana, itu dulu, tapi kalau sekarang saya lebih sering bantu teman saya yang jadi redaktur itu di Bali. Saya nulis esai, ngreview pertunjukan, itu juga cuma bantu dia aja. Terus saya juga kadang-kadang pas ada worksop apa gitu saya diundang untuk ngasih workshop. Meski saya tidak pernah menentukan tarif, ya ada lah itu. Nah itulah aktivitas saya mas. Selain itu paling saya ya baca buku, olahraga, hahaha, latihan lah mas kalau di luar itu.”133 Sampai sejauh ini konstruksi sosial menempatkan keaktoran, khususnya dalam bidang teater, sebagai sesuatu yang dikenali oleh orang-orang tertentu saja. Lain cerita dengan aktor sinetron atau film layar lebar yang dikenali secara luas. Yang menjadi pertanyaannya, apakah kemudian, jika dikaitkan dengan kekuasaan pemangku kebijakan yang membuat ‘aturan main’ untuk kehidupan bersama yang lebih baik, konstruksi sosial yang dibentuk (dalam hal ini) melalui media televisi dalam tayangan seperti sinetron yang bisa kita saksikan setiap hari, merupakan konstruksi yang menjamin pembentukan karakter masyarakat yang baik? Saya sejujurnya ragu, dan bahkan tidak percaya. Namun dalam kehidupan keseharian yang menjunjung etika (dengan berbagai benturan wacana-wacana yang dihadirkan media masa) sebagai asas kehidupan (untuk kehidupan yang lebih baik), dorongan hidup aktor dalam berproses untuk menciptakan pertunjukan teater justru mengarah pada sesuatu yang ingin mendialektikan kembali etika yang baik, nilai-nilai kehidupan yang baik (kita bisa melihat dari karya-karya yang mereka pentaskan). Tidak bisa dipungkiri bahwa, menurut pengakuan para aktor, dalam 133
Wawancara dengan Andika pada tanggal 20 Juni 2014
133
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
proses kreatif penciptaan teater, mereka berpijak dari fenomena-fenomena kehidupan yang mereka saksikan. Dalam kehidupan yang mereka alami, tak jarang mereka menggelisahkan isu-isu sosial politik yang menyangkut hajat hidup orang banyak seperti misalnya ketidakadilan hukum, pencemaran lingkungan, kebejatan para pemangku kebijakan, korupsi, kekerasan militer, kesetaraan gender, kehidupan jalanan, kisah-kisah cinta dan lain sebagainya. Sederhananya, aktor melihat sesuatu salah dalam kehidupan sosial yang ingin mereka konsepsikan ulang melalui peristiwa teater; aktor melihat kekosongan di balik bahasa dan melalui kekosongan itu para aktor melihat symptom-nya sendiri yang tak lain berasal dari symptom liyan. Isu-isu sosial yang terjadi di masyarakat, sebagai sesuatu yang menyimpang dari etika sosial, menjadi hal yang mengerikan ketika sesuatu yang ‘salah’ tersebut menjadi fenomena yang dimaklumi oleh masyarakat dan mengarah pada konvensi baru dalam menjalani kehidupan; misalnya, mencurangi hukum dijadikan hal yang wajar sebagai cara hidup dan dilakukan oleh masyarakat. Situasi tersebut merupakan sasaran yang cenderung dituju sebagai wacana untuk disampaikan melalui peristiwa teater. Jika yang dilakukan oleh para seniman teater ini merupakan sesuatu yang berakar dari hasrat, maka seperti yang dikatakan Lacan, hasrat subjek dalam sirkuit wacana yang demikian ini merupakan hasrat untuk melakukan sesuatu atas nama kebaikan134. Bentuk yang khas dari teater sebagai salah satu jalan untuk menyikapi wacana sosial adalah menghadirkan pertunjukan dengan teks yang di dalamnya terangkum wacana-wacana tertentu sebagai media untuk berdialektika; merenungkan kehidupan yang lebih baik.
134
Lihat Kesel (2009) halaman 2. Hal ini ditinjau dari relasi analisan dan analis; tujuan analis adalah mengembalikan hasrat analisan, lebih spesifik yakni hasrat untuk mencari atau berbuat sesuatu atas nama kebaikan.
134
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
Keseharian dengan segala keterbatasannya, dengan segala fenomena ‘baik’ dan ‘buruk’ yang tampak dan dialami oleh para aktor, justru tidak selalu menjadi sesuatu yang membatasi, melainkan sebagai inspirasi untuk berdialektika, untuk bercakap-cakap dengan penanda-penanda baru yang mereka ciptakan melalui teater. Barangkali ada suatu kebaikan yang bisa dimaknai dari fenomena ketidakmakmuran aktor teater (yang terjadi atas keterbatasan sistem budaya) karena dengan demikian, setidaknya ketika pertunjukan teater berbicara soal kemiskinan, hal tersebut bukan omong kosong belaka; para aktor yang memainkan lakon tersebut memang mengalami hal yang mereka bicarakan.
2. Melampaui Keseharian Melalui Teater Pada bagian sebelumnya, dunia keseharian yang dijalani oleh para aktor saya tempatkan sebagai dunia yang merepresi, sebagaimana pemaknaan tersebut berpijak pada pemikiran Lacan bahwa ketika subjek memasuki tatanan simbolik (dalam hal ini bermasyarakat) maka subjek harus rela mengikuti aturan main (bahasa) yang berlaku. Lacan mengatakan bahwa bahasa merupakan satu-satunya jalan bagi subjek untuk mengartikulasikan hasratnya, sekaligus merepresi subjek atas segala batasan yang ada pada bahasa135. Namun bukan berarti batasan bahasa tersebut tidak bisa dilewati; selalu ada celah, void, sebagaimana bahasa tersebut dilahirkan atas hasrat, atas lack yang diderita oleh bahasa (Liyan); atas sublimasi. Paradoksnya, jalan untuk melewati batasan tersebut, kata Lacan, adalah dengan melalui sublimasi136.
135
Lihat tahapan pembentukan subjek pada fase simbolik: Kesel, 2009: 23, Homer,
2005: 43. 136
Material penandaan (bisa dipahami sebagai batasan) tidak bisa sepenuhnya memberikan objek pemenuhan kepada subjek sehingga subjek harus mencari objek lain. Lihat Kesel, 2009: 170-171).
135
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
Dari data yang telah dianalisis pada bagian sebelumnya, beberapa poin yang menjadi batasan atau lack dari realitas sosial yang hadir dalam keseharian subjek (relasi subjek) meliputi, pertama, penilaian masyarakat terhadap teater; dari segi ekonomi, teater (lebih spesifik lagi adalah aktor teater) bukanlah pilihan untuk menggantungkan hidup karena, kedua, teater tidak memiliki infrastruktur dan pasar yang memadai sebagaimana hal ini saya lihat sebagai konstruksi sosial. Ketiga, dalam hal tubuh, konstruksi sosial telah sedemikian rupa memberi batasan pada tubuh sehingga tubuh memiliki
pola-pola
identitasnya;
kecenderungannya.
Keempat,
realitas
sosial
memberikan segudang wacana tentang isu-isu sosial, politik, pendidikan, kesehatan, kesejahteraan, dan segala macam aspek kehidupan yang dialami oleh masyarakat; fenomena-fenomena yang menyimpang atau tidak sesuai dengan ideal baik (etika). Fenomena ini menandakan adanya lack dalam realitas sosial dan sedikit banyak fenomena ini dialami oleh para aktor dalam menjalani keseharian. Namun demikian, lack dalam realitas sosial atau keseharian tersebut justru menginspirasi atau mendorong aktor untuk melakukan sesuatu melalui teater. Melihat pada empat poin tersebut, khususnya pada poin pertama dan kedua, ketika keseharian terbaca sebagai batasan bagi subjek (para aktor) sekaligus batasan bagi teater, justru ketika subjek (para aktor) memilih untuk menjalani proses teater, mereka malah tampak mencari masalah (meminjam istilah Tony Broer). Hal ini berbanding terbalik dengan teori Lacan yang meyatakan bahwa pada dasarnya karakter manusia adalah perversif137 (polymorfus-perverse) kecuali jika teater ternyata memberikan pemenuhan sekaligus kenikmatan. Kesenangan dan kenikmatan ini merupakan sesuatu yang membuat mereka senantiasa kangen untuk selalu berproses, kangen untuk bermain 137
Bisa juga diartikan sebagai makhluk pencari kenikmatan; subjek yang bergerak atas prinsip kenikmatan. Lihat Kesel, 2009: 14.
136
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
di panggung. Sehingga proses berteater atau proses keaktoran merupakan proses mencari kenikmatan melalui jalan yang menyakitkan dengan hasil jouissance (kesenangan dan kesakitan yang melebur menjadi satu; pleasure and pain138). Dalam hal ini, terkait dengan poin pertama dan kedua, teater merupakan aktivitas yang lebih dari sekedar mencari uang. Bahkan untuk menciptakan teater, sebagaimana dikatakan oleh Tony Broer, tak jarang pelaku teater mengeluarkan biaya banyak. Di satu sisi, ketika para aktor memutuskan untuk berteater, mereka sedang mencari kepuasan dalam bentuk dan dengan cara yang tak bisa ditemukan dalam keseharian. Konsekuensinya, dalam hal-hal tertentu, mereka harus berbenturan dengan pihak lain. Sebagaimana jika hal ini dikaitkan dengan poin pertama, ketika teater dinilai sebagai sesuatu yang seolah tidak bisa menghidupi pelakunya, yang dilakukan oleh Gunawan Maryanto dan Tita merupakan salah satu pembuktian; mereka berdua adalah sosok-sosok yang menggantungkan hidupnya melalui kesenian. Yang mereka lakukan, dalam hal ini, terbaca sebagai pembuktian bahwa berkesenian merupakan cara hidup yang tak harus menjadi dekil, semrawut, aneh dan lain sebagainya. Mereka memang harus bekerja ekstra keras dalam menempuh hal tersebut karena berteater bukan berarti hanya menciptakan pentas, melainkan harus juga mengajukan pemikiran mereka dalam bentuk proposal yang ditujukan kepada lembaga-lembaga tertentu yang mau membiayai seluruh proses kerja mereka. Dengan membuktikan bahwa berteater juga bisa hidup merupakan wacana tandingan (penanda baru) untuk menghapus penilaian negatif (penanda lama) yang dialamatkan kepada seniman. Yang dilakukan oleh Tita dan Gunawan Maryanto merupakan bentuk dari sublimasi. Artinya, jalan-jalan yang mereka tempuh (sebagai seniman dalam makna
138
Lihat juga penafsiran Homer terkait Jouissance, 2005: 89.
137
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
harafiah sebagai atau lebih luas dari seniman teater) merupakan jalan lain yang bertolak belakang dengan jalan yang menghadirkan penanda-penanda ‘negatif’ (dalam perspektif tertentu) yang biasanya dikenakan oleh seniman dalam keseharian (misalnya: pakaian dekil, bau, celana robek-robek, rambut gondrong, bertato, tubuh penuh tindikan). Bukankah penanda-penanda ‘negatif’ ini konon merupakan penanda-penanda baru yang hadir untuk memprotes batasan dalam keseharian? Bisa jadi demikian, akan tetapi ketika hal ini hanya sebatas style atau dandanan belaka (atau bahkan hanya konsumsi), style tersebut telah bergeser maknanya. Bagaimana masyarakat bisa senang nonton teater kalau senimannya mengerikan? Di balik penanda-penanda ‘negatif tersebut merupakan kekosongan yang harus di isi dengan penanda lain agar teater dan pelakunya dimaknai dengan sudut pandang lain. Dengan menunjukkan penanda-penanda umum (dalam hal ini merupakan style/dandanan tubuh) ketika berada di keseharian, mereka ingin menegaskan posisi mereka sebagai bagian dari dan yang bisa diterima oleh masyarakat. Lebih jauh lagi, yang terpenting dalam menjadi seniman teater adalah penanda-penanda yang mereka hadirkan di panggung pertunjukan. Dalam hal ini, penanda-penanda tersebut merupakan karya, bukan aksesoris belaka. Melihat pada poin kedua, yakni ketika infrastruktur dan pasar bagi teater bisa dibilang kurang memadai, hal ini tidak membuat teater berhenti berdenyut. Memang aktivitas teater bisa dibaca masih sebagai usaha dalam menciptakan pasarnya. Akan tetapi ketika melihat banyaknya fenomena pertunjukan gratis, atau pertunjukan yang bisa dilihat dengan membeli tiket yang harganya terjangkau, (dan sesekali ada pertunjukan tertentu yang harga tiketnya mahal) berteater atau menjadi aktor masih jauh bisa dibilang sebagai profesi atau pekerjaan, tanpa menutup kemungkinan bahwa
138
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
kadang-kadang aktor teater juga mendapatkan honor pentas. Jika diukur dengan uang, proses dan hasil kerja mereka tidak setimpal dengan honor yang didapatkan. Hal ini memang batasan, atau represi. Namun demikian, nyatanya para aktor tidak kapok, dan justru malah kangen untuk berproses lagi. Kenapa demikian? Untuk menafsirkan hal ini, saya akan mengutip sekali lagi ungkapan yang diceritakan Gunawan Maryanto dalam bab II: “Ya kalau aku ingin menyikapinya, dengan perasaan gitu, pengennya berteater itu masih sebagai hobi yang menyenangkan. Tapi di sisi lain kan nggak bisa seperti itu terus menerus. Ini kemudian menjadi disiplin pengetahuan yang tak jalani. Seperti sedang menempuh satu perjalanan menemukan pengetahuan dan pengalaman yang lain. Di sisi lain juga tetep, teater itu menjadi satu bentuk ekspresi. Sebagaimana orang-orang yang lain mempunyai bentuk ekspresinya sendiri-sendiri kan? Untuk melakukan sesuatu, menyampaikan sesuatu kepada yang lain, teater mejadi jalanku. Sebagai bagian dari masyarakat kan, orang ingin bercakap-cakap, ingin berbagi, ya jalannya beda-beda. Salah satu jalan ya teater.”139 Dari pemaparan tersebut, teater dapat dilihat sebagai tiga hal; objek hasrat, medium hasrat, dan ruang sublimasi. Jika teater disikapi sebagai hobi yang menyenangkan, artinya teater memberikan kesenangan tertentu bagi pelakunya; teater menjadi objek hasrat. Dan demi kesenangan, sebagaimana umumnya, orang rela untuk mengorbankan sesuatu; menjadi subjek dorongan atas hasratnya. Kemudian sebagai subjek dorongan, ia melihat teaternya tak hanya sebatas hobi yang menyenangkan (yang akan berakhir pada kekosongan), melainkan sebagai disiplin pengetahuan dan alat ekspresi untuk menyampaikan sesuatu. Pada tahap teater sebagai alat ekspresi, teater menjadi medium hasrat; aktor menemukan cara untuk menyampaikan sesuatu yang ia hadapi melalui penanda-penanda yang ia ciptakan untuk disampaikan kepada liyan. Sementara teater sebagai pengetahuan, dalam hal ini teater menjadi semacam ruang (das 139
Wawancara dengan Gunawan Maryanto pada tanggal 7 Maret 2015 di Garasi Institute of Performance, Nitiprayan, Yogyakarta.
139
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
Ding) bagi aktor untuk memandang symptom-nya dengan cara lain (yang menghasilkan pemaknaan baru). Mengaitkan hal tersebut pada salah satu bentuk latihan, misalnya latihan tubuh, bisa ditafsirkan bahwa latihan tubuh yang dijalani oleh aktor memberikan perspektif baru bagi aktor untuk memahami tubuhnya. Hal ini bisa dilihat dengan menggunakan contoh pengalaman yang dialami oleh Tony Broer. Pada bab II telah dinarasikan secara singkat metode latihan tubuh yang dijalani oleh Tony Broer, yakni tubuh fisik, tubuh tema, dan tubuh teks. Pada latihan tubuh fisik, gagasan yang diajukan oleh Tony Broer adalah, sebagaimana hal ini juga telah disinggung pada bagian sebelumnya, melakukan segala jenis aktivitas tubuh semaksimal mungkin. Dalam hal ini tubuh dipaksa untuk beraktivitas sampai pada batasan-batasan yang dimilikinya, stamina, ketahanan, kelenturan, respon, fleksibilitas, dan lain sebagainya. Bentuk latihan tubuh ini sekaligus berdampak pada pikiran; ketika latihan semacam ini dilakukan di ruang publik, latihan tak hanya merupakan latihan tubuh, namun juga latihan mental; setidaknya untuk berani memperlihatkan dirinya dengan cara lain di depan publik, misalnya push-up di Malioboro atau berguling-guling di alun-alun (dalam situasi normal, hal seperti ini biasanya dihindari untuk dilakukan). Jika mental aktor ikut terlatih sebagai dampak dari latihan fisik yang dilakukan di tempat-tempat umum, hal ini hanyalah poin kecil, sementara yang menjadi poin utama dalam latihan yang dilakukan oleh Tony Broer adalah menjadikan tubuh sebagai acuan perspektif; pencapaian tubuh membentuk konsepsi baru dalam pikiran aktor sebagaimana Tony Broer mengatakan demikian: “Nah maksudnya lari jauh itu gimana itu? Itu maksudnya mau memancing membunuh pikiran kita. Jadi hasilnya itu capeknya capek tubuh, bukan capek pikiran. Kalau capek pikiran kan: waduh, sampai malioboro jauh gini
140
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
nih... nah latihan-latihan mengabaikan pikiran itu ada di latihan-latihan gue. Ya itu dengan tujuan untuk mencapai tubuh sebagai gagasan.”140 Dengan kata lain, sekaligus mengaitkan hal ini dengan poin ketiga, latihan fisik yang dilakukan oleh Tony Broer adalah latihan mengabaikan pikiran yang cenderung menjadi batasan (konstruksi) bagi tubuh untuk melakukan hal diluar batasan tersebut. Dalam keseharian, tubuh memiliki tata cara (setelah ‘dinormalkan’) untuk hadir bersama orang lain. Jika melihat hal ini dengan mengaitkan bentuk-bentuk aktivitas tubuh dalam keseharian, umumnya tubuh melakukan hal-hal seperti duduk, berdiri, berjalan, berbaring, makan, minum, bekerja, bersantai dan segala aktivitas tersebut merupakan pola dalam keseharian. Hanya pada situasi dan ruang tertentu tubuh melakukan aktivitas yang lebih, misalnya adalah dengan berolah raga, jalan-jalan ke gunung, pantai dan lain sebagainya yang hal ini merupakan aktivitas ekstra. Dalam berperilakupun demikian, tubuh memiliki tata cara yang bahkan ketika subjek melakukannya subjek telah lupa kenapa ia melakukannya dengan cara yang demikian (ketidaksadaran). Di warung makan misalnya, tidak mungkin jika kita jongkok di atas meja sambil makan. Singkat kata, keseharian telah mengkonstruksi tubuh; jangkauan aktivitas tubuh dalam sehari-hari merupakan konstruksi yang telah tertanam dalam ruang ketaksadaran subjek sejak subjek memasuki tatanan simbolik; subjek melakukannya begitu saja tanpa harus berfikir keras untuk menyadarinya, karena hal tersebut sudah biasa, sudah diluar kepala. Berkebalikan dengan keseharian, dalam latihan teater para aktor senantiasa menyadari setiap gerak-geriknya dan merasakan tiap-tiap pergerakan tubuhnya; aktor menjadi subjek atas tubuhnya. Metode Tony Broer merupakan salah satu cara bagi aktor 140
Wawancara dengan Tony Broer pada tanggal 3 Agustus 2014 di Pasca Sarjana ISI Yogyakarta.
141
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
untuk kembali menyadari tubuh dan membuat konsepsi ulang atas tubuh yang telah terbentuk oleh realitas sosialnya (dalam hal ini tubuh menjadi objek hasrat sekaligus menjadi dorongan bagi subjek). Dengan demikian ketika aktor mulai mempertanyakan kembali tubuhnya (memaknai tubuh sebagai symptom), maka aktor mencoba untuk menelusuri jejak-jejak ketaksadaran yang telah tertanam dalam tubuhnya. Dalam latihan ini, tubuh merupakan objek yang ditempatkan pada das Ding. Sehingga, tubuh dimaknai dengan cara lain (misalnya melalui latihan; dalam hal ini latihan bisa disetarakan dengan jalan menuju das Ding). Pemaknaan ini menghasilkan sinthome baik untuk dipertunjukkan kepada penonton atau untuk menjalani kehidupan selanjutnya. Kesenangan dalam keberhasilan para aktor melihat symptom dengan cara lain dengan hasil sinthome tentu lebih bernilai (setidaknya bagi para aktor) daripada uang meski tidak bisa dipungkiri para aktor membutuhkan uang untuk hidup. Namun, jika uang merupakan hal yang dijadikan tujuan utama dalam diri mereka, tentu mereka tidak akan menjadi aktor (tidak mau bersusah payah dengan menjadi aktor). Sehingga, menjadi aktor bisa dimaknai sebagai kebutuhan meski jikalau perlu mereka malah mengorbankan banyak hal lain demi yang mereka lakukan; demi kesenangan untuk, jika meminjam istilah Nunung, mendapatkan rasa hidup yang hanya bisa didapatkan di panggung pertunjukan. Melihat poin keempat, yakni ketika realitas sehari-hari dipenuhi oleh serangkaian berita buruk yang terus menerus ditayangkan oleh media masa, ternyata para aktor juga tidak tinggal diam, mereka menafsirkan, menyusun, dan membicarakan kembali realitas (symptom) tersebut sebagai pertunjukan. Di satu sisi, wacana sosial merupakan inspirasi atau stimulus untuk penciptaan pertunjukan, namun di sisi lain, hal itu menandakan bahwa realitas sosial adalah tempat hidup yang membuat para aktor mengalami cidera
142
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
berat, sakit yang berkepanjangan yang bahkan kita barangkali tak akan pernah tahu apakah penyakit tersebut bisa disembuhkan atau tidak. Jika penyakit (symptom) ini merupakan sirkuit wacana yang terus menerus bergulir dan belum menunjukkan tandatanda kapan akan berhenti, maka hal ini adalah salah satu hal yang membuat Andika mengatakan, “Tidak sebatas karena senang saya berteater. Tapi ya karena saya gelisah, karena saya sedih, karena saya marah, karena saya ingin menyampaikan sesuatu, karena saya berfikir, karena saya hidup.”141 Dengan kata lain, Andika berteater dengan cara sedemikian rupa merupakan wujud protes atas sirkulasi wacana dalam realitas sosial yang ia hadapi dan hal ini kurang lebih dialami oleh para aktor yang dihadirkan dalam penelitian ini. Berpijak pada pemaparan-pemaparan tersebut, mengaitkan proses keaktoran sebagai jalan untuk hidup dengan cara lebih dari ‘normalnya’ orang hidup sehari-hari, proses keaktoran merupakan sublimasi; aktor terus menerus melatih dirinya (tubuh, pikiran, perasaan) untuk memperlebar dimensi diri, membebaskan kecederungankecenderungan tubuh dari represi keseharian dan konstruksi sosial untuk dihadirkan di panggung pertunjukan. Dalam proses tersebut seorang aktor memposisikan dirinya untuk belajar kembali menjadi manusia dengan mengidentifikasi kehidupannya melalui proses latihan; belajar menjadi manusia dengan melihat sejarah kehidupannya (symptom) melalui sudut pandang lain (Nama-Sang-Ayah lain). Hal ini dilakukan oleh aktor karena karya (sinthome) seorang aktor adalah dirinya; tubuh-pikiran-perasaannya. Melihat bahwa karya aktor adalah dirinya sendiri, hal itu sebagaimana ia adalah subjek yang lack; yang ingin menutupi kekurangan pada dirinya dengan melahirkan dirinya kembali terus menerus melalui berbagai macam proses untuk menggali 141
Wawancara dengan Andika pada tanggal 20 Juni 2014
143
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
pengetahuan dan menguasai pengetahuan tersebut untuk menciptakan berbagai macam pementasan; berbagai macam bentuk diri (karakter) yang mungkin untuk dicapai. Proses yang ditempuh aktor untuk memiliki berbagai macam karakter ini dengan sendirinya mengantar aktor pada bentuk sublimasi estetis sebagaimana akting dan teater merupakan karya seni (sebagian besar telah dibahas pada sub-bab pertama). Aktor menjadi subjek histeris dalam pengertian ia menimbulkan lack bagi liyan sekaligus ia adalah subjek yang lack ketika berhadapan dengan das Ding. Lack inilah yang membuat aktor terus menerus menjadi subjek hasrat, misalnya terus menerus berhasrat untuk menciptakan berbagai macam karakter manusia dan terus menerus mencari pengakuan atas pencapaiannya. Dari pemaparan tersebut, lantas bagaimana peran dan posisi teater terhadap kebudayaan? Mengkerucutkan dengan konteks penelitian ini sekaligus merujuk pada poin keempat (lack realitas sosial) yang telah disebutkan di awal, apa peran dan posisi aktor teater dalam wacana kebudayaan? Mengaitkan karakter sublimasi estetis yang diajukan oleh Lacan (yang diilustrasikan melalui courtly Love) dengan posisi aktor yang berelasi dengan objek hasratnya dalam proses penciptaan hingga menuju pentas, dalam hal ini aktor sebagai subjek pelaku teater sekaligus bagian dari masyarakat mengalami kekecewaan atas perjumpaannya dengan realitas sosialnya, kekecewaan ini bisa jadi karena subjek tak mendapatkan apa yang ia inginkan terjadi dalam realitas sosial. Fenomena ini bisa dilihat dari penanda-penanda yag dimunculkan melalui pentas teater, yakni penanda-penanda yang mengkritik realitas sosial (bisa dilihat pada bab II dan analisa bab ini di bagian pertama). Baik dalam pertunjukan yang menggunakan naskah (drama) ataupun tidak (hanya teks atau gagasan), penanda-penanda yang dihasilkan selalu merujuk pada peristiwa kehidupan manusia. Contoh yang paling mudah bisa kita
144
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
temui pada pertunjukan yang dipentaskan Pak Untung Basuki, yakni Oedipus Sang Raja. Keinginan Pak Untung untuk mementaskan Oedipus Sang Raja terkait dengan pandangannya atas kondisi pemerintahan di Indonesia yang tidak memiliki pemimpin yang cakap. Hubungannya dengan naskah tersebut, Pak Untung menafsirkan bahwa Oedipus merupakan contoh pemimpin yang salah, namun berani mengakui kesalahannya dan berani menanggung akibat dari kesalahannya. Melihat fenomena yang ganjil dalam pemerintahan Indonesia, Pak Untung terusik untuk mengkritik sesuatu yang baginya salah dalam pemerintahan (dalam hal ini adalah pemimpin negara; waktu itu Indonesia masih dipimpin oleh Susilo Bambang Yudhoyono). Cara yang ditempuh oleh Pak Untung adalah dengan mementaskan naskah Oedipus Sang Raja (meski pentas tersebut terjadi setelah pergantian presiden). Mengaitkan hal ini dengan konsep Lacan mengenai sublimasi estetis, contoh yang digunakan Lacan adalah puisi-puisi yang dituliskan oleh para courtly lovers yang jatuh cinta kepada the Lady. Secara garis besar, puisi-puisi itu ditulis sebagai ekspresi cinta para courtly lovers yang gagal mendapatkan objek cintanya, yakni the Lady. Dengan puisi-puisi itulah para courtly lovers mengobati pengalaman lukanya sekaligus cara untuk menceritakan pengalaman cintanya atas the Lady kepada orang lain. Dampak puisi-puisi tersebut pada konteks jaman saat itu, Lady (baca: perempuan) menempati posisi yang lebih dari sebelumnya (naik derajadnya), lebih jauh, perempuan yang ditempatkan sebagai pihak yang pasif justru malah membuat subjek (laki-laki) bergerak. Peristiwa ini sedikit banyak mempengaruhi budaya Eropa dalam konteks perubahan cara pandang terhadap perempuan142. Berpijak pada contoh tersebut, jika dikaitkan
142
Kesel, 2009: 175.
145
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
dengan pengalaman Pak Untung, maka pertanyaannya adalah bentuk cinta (jika cinta ditempatkan sebagai dorongan) yang bagaimanakan atau kepada siapakah yang dihadirkan dengan mementaskan naskah Oedipus Sang Raja? Oedipus adalah raja yang begitu mencintai negaranya beserta seluruh rakyatnya, hanya saja ia menjadi seorang raja di tempat yang salah. Sementara Pak Untung, ia adalah seseorang yang begitu mencintai negaranya (negara yang dibayangkan sebagai pengayom masyarakat, yang jika perlu mesti dibela hingga titik darah penghabisan sebagaimana hal tersebut konon dilakukan oleh para leluhur), hanya saja ia mempunyai pemimpin negara yang salah. Sebagai seorang seniman teater, jika dikaitkan dengan keinginannya untuk membela negaranya, tentu senjata yang dimiliki Pak Untung bukanlah pedang, bukan pula peluru atau bom buklir, melainkan pentas teater. Apakah perjuangan melalui teater atau kesenian ada efeknya? Barangkali kita bisa melihat kembali sosok W.S Rendra yang berani mengkritik pemerintah melalui teater ketika media-media lain tidak berani bersuara. Hal ini bukan tanpa resiko, sebagai gantinya Rendra dikejar-kejar dan diteror oleh orang-orang yang konon merupakan orang-orang suruhan presiden Soeharto143. Yang menarik dari peristiwa tersebut tentu bukan hanya pada karyanya, melainkan semangat senimannya untuk berbuat sesuatu; barangkali yang menginspirasi adalah cara yang ia lakukan, yakni keberaniannya melewati batasan-batasan tertentu, menguak kekosongan dibalik batasan tersebut, dan mengisinya dengan penanda baru. Pengalaman menempuh proses penciptaan melalui teater tentunya membuat aktor hadir kembali dalam kehidupan sehari-hari (dunia simbolik) dengan cara yang berbeda.
143
Lihat kumpulan tulisan yang disusun oleh Edi Haryono dalam bukunya yang berjudul Menonton Bengkel Teater Rendra, Penerbit Kepel Press, 2005. Lihat bagian kata pengantar.
146
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
Mengapa demikian? Proses berteater membuahkan pengalaman/pengetahuan dan bahkan keyakinan baru. Dalam hal akting, sebagaimana telah dipaparkan pada bagian sebelumnya, pengetahuan yang diperoleh para aktor melalui proses latihan yang mereka tempuh membuat mereka tidak hanyut dalam keseharian melainkan berjarak. Akting menjadi bentuk pengetahuan yang fungsinya tak hanya untuk kepentingan pentas melainkan untuk hal-hal lain dalam keseharian, misalnya untuk menyikapi peran dan posisi mereka dalam hidup di keseharian atau bahkan untuk meyakini dan menghayati kehidupan yang telah mereka jalani.
147
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
BAB IV PENUTUP
Telah disebutkan pada bagian awal bahwa penelitian ini berpijak dari kegelisahan (atau lebih tepatnya keheranan) atas fenomena keberadaan para pelaku teater yang tetap gigih berteater meski pada kenyataannya menjalani kehidupan sebagai (khususnya) aktor teater ‘sama halnya’ dengan mencari kesulitan. Setidaknya, hal ini bisa dilihat melalui kisah-kisah para aktor yang telah dinarasikan dalam Bab II. Menggunakan istilah ‘mencari kesulitan’ seperti yang telah disebutkan di awal, pertama-tama kesulitan ini merujuk pada pasar teater yang tidak sebagus dunia film atau layar kaca. Kedua, infrastruktur atau fasilitas untuk pertunjukan teater secara umum kurang memadai. Ketiga, proses penciptaan pemeranan merupakan proses yang berat dan panjang. Dan keempat, pertunjukan teater masih kental dengan muatan kritik dan tak jarang isu-isu yang diangkat merupakan isu sosial yang sensitif. Konsekuensinya, pertunjukan teater identik dengan ‘seruan protes’ terhadap pihak-pihak tertentu dan kadang-kadang pertunjukan semacam ini mengundang resiko tertentu. Proses berat yang ditempuh para aktor dengan honor yang diterima (jika diukur melalui perspektif ekonomi) tidaklah layak. Membandingkan dunia sinetron dengan dunia teater, misalnya, proses yang ditempuh dan hasil yang didapatkan oleh para aktor di dua bidang yang berbeda ini ibarat langit dan bumi. Aktor sinetron dengan kapasitas akting yang minimalis bisa memperoleh penghasilan yang mewah dan pengakuan sebagai ‘artis’ atau ‘selebritis’ dalam masyarakat. Sementra itu, aktor teater barangkali hanya dikenal oleh beberapa kalangan saja dan tentunya lebih sering nombok dari pada untung dalam menempuh proses penciptaan teater. Terlebih lagi, menjadi aktor teater
148
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
masih cenderung dipandang sebelah mata oleh publik. Jika diukur dengan ukuran seperti yang telah dipaparkan tersebut, mestinya dunia teater sudah tamat. Namun hingga hari ini pertunjukan teater masih bisa ditemui dan masih sering diadakan. Aktor-aktor teater ‘tulen’ masih tetap bertahan dan disusul pula oleh para aktor pemula (entah berapa lama bisa bertahan). Dari penelitian ini ditemukan bahwa ada tiga hal yang membuat para aktor masih bertahan dalam dunia teater; kesenangan, pengetahuan, dan keyakinan. Dengan kata lain, jikalau tiga hal tersebut kurang memadai, dunia teater mampu memberikan pemenuhan (dalam bentuk yang berbedabeda yang tidak bisa ditemui di dunia selain teater) bagi para aktor sehingga mereka masih berteater hingga saat ini. Dalam penelitian ini, fenomena tersebut dilihat melalui perspektif psikoanalisa. Hasilnya, pengalaman aktor menempuh proses latihan hingga pentas merupakan pengalaman sublimasi yang secara sederhana bisa diartikan sebagai pengalaman hadir tanpa represi atau pengalaman mendapatkan kenikmatan tanpa menimbulkan symptom yang bersifat patologis. Kenikmatan semacam inilah yang membuat para aktor rela menempuh proses latihan yang berat dan panjang dan tak jarang membuat mereka mengorbankan banyak hal termasuk uang (dan kadang-kadang keselamatan). Kenapa demikian? Proses teater bisa diibaratkan sebagai proses ‘penyembuhan’ atas ‘penyakit’ yang diderita para aktor ketika mereka menghadapi tekanan/(keter)batasan realitas sosial di dunia simbolik. Hal tersebut diketahui berdasarkan analisis pada Bab III atas pengalaman para aktor dalam menjalani kehidupan di dunia teater dan dunia keseharian yang telah dinarasikan pada Bab II dengan acuan rumusan masalah yang telah dipaparkan pada Bab I. Secara garis besar, merujuk pada konsep sublimasi Lacanian, pengalaman hidup
149
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
para aktor merupakan pengalaman berhadapan dengan das Ding (kekosongan dibalik bahasa atau material penandaan di dunia simbolik). Berdasarkan teori sublimasi, perjalanan aktor dalam menempuh proses penciptaan dapat dilihat melalui tiga tahapan, yaitu aktor sebagai subjek bahasa (subject of language) dan subjek hasrat (subject of desire), sebagai subjek dorongan (subject of drive), dan pengalaman akan sinthome dalam panggung sublimasi. Masing-masing tahap ini bisa dikaitkan dengan pengalaman aktor saat mendalami makna naskah sampai mencapai kenikmatan atau kesenangan (pleasure) teks, saat seorang aktor melampaui makna dan kenikmatan teks menuju das Ding dalam teks, dan saat seorang aktor berhasil melahirkan penandanya sendiri (sinthome) dalam panggung sublimasi. Secara keseluruhan, proses yang ditempuh oleh para aktor baik yang berpijak pada naskah drama atau gagasan-gagasan tertentu merupakan proses untuk menafsirkan symptom mereka sendiri yang tampak pada kecenderungan-kecenderungan (pola-pola gestur tubuh, batasan-batasan tubuh, pola-pola wicara, pola pikir, dan lain sebagainya) yang mereka miliki sebagai bentukan atas konstruksi sosial. Dalam hal ini, naskah atau gagasan (teks) mampu menjadi medium bagi para aktor untuk memaknai symptom mereka sendiri sebagaimana naskah atau gagasan tersebut tercipta atas symptom yang dimaknai melalui das Ding sehingga menjadi sinthome yang berfungsi untuk menutup kekosongan pada das Ding. Hasrat aktor yang muncul atas identifikasi yang ia lakukan melalui teks justru karena aktor berhadapan dengan das Ding; aktor tidak mendapatkan pemenuhan hanya dengan membaca teks. Dengan kata lain, keindahan yang dimunculkan melalui teks mengantar aktor pada kekosongan yang ditutupi oleh keindahan tersebut. Justru karena tidak sepenuhnya mendapatkan kepenuhan atas kenikmatan teks tersebut, aktor tetap
150
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
berhasrat dan terdorong untuk melakukan sesuatu yang lebih dengan cara menempuh proses penciptaan teater; penciptaan penanda-penanda baru atas teks yang mereka hadapi. Tak jarang para aktor harus menempuh serangkaian latihan tubuh yang cukup berat untuk pertunjukan yang akan mereka mainkan. Proses tersebut bisa disebut sebagai proses untuk melampaui batasan tubuh yang mereka miliki; dengan kata lain, menafsirkan symptom untuk dikatakan kembali sebagai sinthome. Tentunya, sinthome ini merupakan bentukan-bentukan baru atas tubuh yang mereka peroleh selama menempuh proses latihan. Sebagai contoh, dalam memerankan tokoh tertentu dalam naskah, aktor harus menempatkan perilakunya sedemikian rupa agar ia dikenali sebagai tokoh yang ia mainkan. Dengan demikian, aktor harus memahami kecenderungankecenderungan yang mereka miliki terlebih dahulu sebelum membiasakan perilakunya sesuai dengan perilaku tokoh yang ia bayangkan. Seorang aktor ibaratnya melahirkan dirinya kembali melalui proses yang mereka tempuh. Namun demikian, bukan berarti bahwa ketika aktor telah mengalami banyak perubahan melalui proses latihan maka ia kehilangan identitasnya; proses latihan menjadi wahana untuk memperlebar jangkauan diri atau membebaskan diri dari represi (batasan yang tercipta atas konstruksi dunia simbolik). Dengan kata lain, semakin banyak seorang aktor melakukan proses penciptaan, maka semakin banyak pula perspektif yang mereka miliki untuk menyikapi kehidupan mereka. Proses yang ditempuh oleh para aktor dalam penciptaan teater sekaligus membuat aktor berjarak dengan kehidupan yang mereka jalani dalam dunia sehari-hari dalam pengertian bahwa kehidupan bukan sekedar sesuatu yang harus dijalani begitu saja, melainkan harus ditafsirkan dan dilampaui terus menerus.
151
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
Menjadi aktor teater tidak memiliki tujuan akhir hanya untuk pentas di panggung. Para aktor menyadari bahwa keaktoran yang mereka jalani selama ini bukanlah pekerjaan, namun lebih pada bagian dari cara hidup, cara untuk mempelajari hidup, atau, cara untuk bercakap-cakap dengan orang lain. Teater lebih menjadi kebutuhan hidup untuk berbaur bersama orang lain. Dalam hal ini teater masih menempati fungsinya sebagai cara bagi aktor untuk meneguhkan kediriannya sebagai seseorang, sekaligus sebagai bagian dari masyarakat yang tak lepas dari ikatan-ikatan emosional tertentu.
152
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
DAFTAR PUSTAKA Refrensi Buku: Artaud, Antonin. Theatre And Its Double, Tr. by Mary Caroline Richards, Grove Press, Inc., 1958. Auslander, Philip, Theory for Performace Studies, Routledge 2008. Boal, Augusto. Theatre Of The Oppressed, Tr. by Charles A. and Maria-Odilia Leal McBride and Emily Fryer, Pluto Press, 2008. Evans, Dylan. An Introductory Dictionary of Lacanian Psychoanalysis, Taylor & Francis e-Library, 2006. Felman, Shoshana. The Scandal Of The Speaking Body: Don Juan with J.L. Austin, or Seduction in Two Languages, Tr. by Cornell University Press, Standford University Press, the Board of Trustees of the Leland Stanford Junior University, 2002. Felman, Shoshana, Writing And Madness (Literature/Philosophy/Psychoanalysis), Tr. by Martha Noel Evans, Brian Massumi, and author, Standford University Press Palo Alto California, the Board of Trustees of the Leland Stanford Junior University, 2003. Fortier, Marx, Theory/Theatre An Introduction, Taylor & Francis e-Library, 2007. Fraleigh, Sondra and Nakamura, Tamah. Hijikata Tatsumi And Ohno Kazuo. Routledge, 270 Madison Ave, New York, 2006. Harrop, John. Acting, Taylor & Francis e-Library, 2005. Harrop, John dan Epstein, Sabin R. Acting With Style, Third Edition, Allyn&Bacon, 2000. Haryono, Edi (penyusun). Menonton Bengkel Teater Rendra, Penerbit Kepel Press, 2005. Hatley, Barbara, dkk. Seni Pertunjukan Indonesia Paska Orde Baru, Universitas Sanata Dharma Press, 2014. Hommer, Sean, Jaques Lacan, Taylor & Francis e-Library, 2005. Fink, Bruce. A Clinical Introduction To Lacanian Psychoanalysis (Theory and Technique), London, England: Harvard University Press, 1997. Kesel, Marc De. Eros and Ethic: Reading Jaques Lacan’s Seminar VII Tr. by Sigi
153
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
Jottkandt, State University Of New York: Sunny Press, 2009. Lacan, Jacques. ECRITS: The First Complete Edition In English, Tr. By Bruce Fink in collaboration with Heloise Fink and Russell Grigg, W. W. Norton & Company, Inc. 2006. Oscar G. Brockett, The Theatre an introduction, Holt, Rinehart and Winston, Inc 1964 Pluth, Ed. Signifiers and Act: Freedom In Lacan’s Theory of The Subject, State University of New York Press, Albany, 2007. Prendergast, Monica & Saxton, Juliana. Applied Theatre, Intellect Ltd, 2009. Cohen, Robert. Theatre; Brief Edition, Mayfield Publishing Company 1983. Saukko, Paulo. Doing Research in Cultural Studies: An Introduction to Classical an New Methodological Approaches, Sage 2003. Schechner, Richard. Performance Theory, Taylor & Francis e-Library, 2004. Stanislavski, Constantin, Membangun Tokoh, Tr. B. Verry Handayani, Dina Octaviani, dan Tri Wahyuni. Kepustakaan Populer Gramedia 2008. Sunardi, ST. Estetika Kenikmatan Tekstual, Emansipasi Teks Lewat Tubuh, dalam Vodka dan Birahi Seorang Nabi, Jalasutra 2012. Synott, Anthony. The Body Social; Symbolism, Self, and Society, Routledge, 1993. Verhaeghe, P. Beyond Gender: From Subject to Drive, New York: Other Press, 2001. Yudiaryani. WS Rendra Dan Teater Mini Kata, Galang Pustaka 2015. Zizek, Slavoj. The Sublime Object Of Ideology, London: Verso, 1989.
Tesis Johnston, Daniel Waycott. Active Metaphysics: Acting as Manual Philosophy or Phenomenological Interpretations of Acting Theory, Department of Performance Studies, University of Sydney, 2007. McCurdy, Marian. Acting and Its refusal in Theatre and Film, Theatre & Film Studies, University of Canterbury 2014. Palippui, Irfan. Pengalaman Subjektifitas Religius Lewat Haji Bawa Karaeng, Program Magister Ilmu Religi dan Budaya Universitas Sanata Dharma, 2013. Sasanti, Airani, Pementasan Bocah Bajang: Negosiasi Teater Terhadap Media Massa
154
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
Atas Makna Fenomena Ponari, Program Magister Ilmu Religi dan Budaya Universitas Sanata Dharma, 2013. Windarto, Anicetus. Simulasi (Gosip) Infotainment Dalam Retorika Image (Keaiban) Selebritis, Program Magister Ilmu Religi dan Budaya, Universitas Sanata Dharma, Yogyakarta, 2013. Catatan Perkuliahan Handout kuliah psikoanalisa yang disusun oleh St. Sunardi dalam perkuliahan di program Magister Ilmu Religi dan Budaya Universitas Sanata Dharma Web/Blog Internet http://endgame.teatergarasi.org/ http://sangkarmadu.tumblr.com/ http://teatergarasi.org/?p=366&lang=id http://www.kalanari.org/p/panji-amabar-pasir-membabar-cerita.html
155