TAUBAT PELAKU JARIMAH HIRABAH (PERAMPOKAN) PERSPEKTIF IMAM MALIK DAN RELEVANSINYA DI INDONESIA SKRIPSI Diajukan untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Hukum Islam (SH.I.)
Oleh : FINALTO NIM : 104045101548
KONSENTRASI KEPIDANAAN ISLAM PROGRAM STUDI JINAYAH SIYASAH FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA 1429 H / 2008 M
TAUBAT JARIMAH HIRABAH (PERAMPOKAN) FERSPEKTIF IMAM MALIKI DAN RELEVANSINYA DI INDONESIA
SKRIPSI Diajukan untuk Memenuhi Persyratan Memperoleh Gelar Sarjana Hukum Islam (SHi)
Oleh: FINALTO 104045101548
Di bawah Bimbingan
Prof. Dr.H.M. Abduh Malik Nip. 150094391
KONSENTRASI KEPIDANAAN ISLAM PROGRAM STUDI JINAYAH SIYASAH FAKULTAS SYARI’AH DAN HUKUM UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA 1429 H / 2008 M
KATA PENGANTAR Dengan memanjatkan puji serta syukur kehadirat Allah SWT. Alhamdulillah atas rahmat dan hidayah yang telah dilimpahkan kepada penulis, sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini. Selawat beserta salam kehadirat suri tauladan ummat sedunia, Nabi Muhammad SAW, karena dengan segenap perjuangannya penulis dapat menikmati keragaman dunia. Penulisan skripsi ini bertujuan untuk memenuhi persyaratan Akademik Jurusan Pidana Islam Fakultas Syari’ah dan Hukum Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, untuk memperoleh gelar Sarjana Hukum Islam pada bidang Syariah. Penulis menyadari dalam penulisan skripsi yang berjudul “Taubat Pelaku Jarimah Hirabah (Perampokan) Perspektif Imam Malik dan Relevansinya di Indonesia” tidak luput dari bantuan berbagai pihak. Untuk itu penulis mengucapkan
terima kasih dan penghargaan yang tulus pada seluruh pihak yang telah membantu penulis dalam menyelesaikan skiripsi ini, khususnya kepada: 1.
Bapak Prof. Dr. Komarudin Hidayat, Rektor Universitas Islam Negeri “ Syarif Hidayatullah” Jakarta.
2. Bapak Prof. Dr. H. Muhammad Amin Suma, SH, MA, MM, Dekan Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri “ Syarif Hidayatullah” Jakarta. 3. Bapak . Asmawi, M.Ag, ketua Program Studi Jinayah Siyasah Universitas Negeri “ Syarif Hidayatullah” Jakarta. 4. Bapak Prof. Dr.H.M. Abduh Malik. selaku Pemimbing yang telah Memimbing penulis dengan sepenuh hati, sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini.
5. Ayahanda (Junaidi) dan Ibunda (Nursua), atas semua pengorbanan, kasih sayang, dukungan baik moril maupun materil dan doa yang tak hentinya untuk kesuksesan penulis. Kakak-kakakku (Paslim Pindari beserta istri) terima kasih atas semua pengorbanan kalian untuk penulis, dan terima kasih untuk semua dukungannya. Adiku dan bibiku (Helti dan Suniarti), semoga harapan dan citacita kalian dapat terwujud, I love you All. 6. Teman-temanku Cevi, Nandes, Aris, Komson, Oji, Amin, Devison. Riko, Johan, Hilmi, Pay, Unay, Rijal,
Reva, Putih, Irna dan Zulfa,
yang selalu berbagi
pengalaman dan saling memberi dukungan kepada penulis good luck . 7. Teruntuk Adek Meri Juniana terima kasih atas semua dukungan yang adek berikan. Semua kenangan kita akan terukir abadi dalam sanubariku. 8. Semua pihak yang telah membantu penulis dalam menyelesaikan skripsi ini yang tidak dapat penulis tuliskan satu persatu. Akhir kata penulis sangan mengharapkan kritik dan saran yang bermanfaat bagi semua pihak, khususnya bagi kemajuan penulis dimasa yang akan datang, semoga Allah berkenan membalas seluruh kebaikan dan kemudahan yang telah diberikan, serta bermanfaat bagi penulis dan pembaca.
Jakarta, 1 Desember 2008 FINALTO
Penulis
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR......................................................................................
i
DAFTAR ISI ....................................................................................................
iii
BAB 1
PENDAHULUAN .............................................................................
1
A. Latar Belakang Masalah ................................................................
1
B. Pembataan dan Perumusan Masalah...............................................
8
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian ......................................................
8
D. Review Pustaka .............................................................................
9
E. Metode Penelitian..........................................................................
10
F. Sistematika Penulisan ....................................................................
12
BAB II TINJAUAN TENTANG JARIMAH HIRABAH MENURUT HUKUM ISLAM A. Pengertian Jarimah Hirabah dan Taubat........................................
14
B. Macam-macam Jarimah ................................................................
16
C. Unsur-unsur Jarimah Yang Dapat Dikenakan Hukuman................
35
D. Sanksi Bagi Pelaku Jarimah Hirabah ............................................
37
BAB III TAUBAT DALAM HUKUM ISLAM MENURUT IMAM MALIK DAN PEMAAFAN DALAM HUKUM PIDANA DI INDONESIA A. Sekilas Biografi Imam Malik .........................................................
44
B. Syarat-syarat Taubat dan Cara Bertaubat Menurut Imam Malik.........
47
C. Dasar Pemikiran Imam Malik Tentang Taubat Yang Dapat Mengugurkan Hukuman Jarimah Hirabah.....................................
52
D. Pemaafan Bagi Pelaku Tindak Pidana Dalam hukum Pidana di Indonesia .......................................................................................
53
BAB IV ANALISA TENTANG PELAKU JARIMAH HIRABAH MENURUT IMAM MALIK DAN RELEVANSINYA DI INDONESIA A. Faktor Penyebab Gugurnya Hukuman Pelaku Jarimah Hirabah Dalam Hukum Islam ..................................................................... B. Analisa
Tentang
Relevansinya di
Taubat
pelaku
Jarimah
Hirabah
61
Dan
Indonesia...........................................................
63
A. Kesimpulan ...................................................................................
65
B. Saran .............................................................................................
66
BAB V PENUTUP
DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN-LAMPIRAN
BAB II TINJAUAN TENTANG JARIMAH HIRABAH MENURUT HUKUM ISLAM
A. Pengertian Jarimah Hirabah dan Taubat 1. Pengertian Jarimah Menurut pengertian secara etimologi kata jarimah berasal dari kata jarama, atau jarim, artinya perbuatan dosa atau jahat, berbuat salah atau melakukan maksiat, dan disebut mujrim artinya orang yang berbuat dosa, jahat, atau melanggar larangan-larangan syara’. Yang dimaksud dengan perbuatan yang dilarang adalah perbuatan yang melanggar atau mengabaikan perbuatanperbuatan yang diperintahkan oleh syara’. Sedangkan yang dimaksud dengan perbuatan maksiat ialah perbuatan yang menentang, mengabaikan, perintah ataupun larangan-larangan syara’. 1 Maka jarimah dapat berarti melakukan perbuatan terlarang (haram) yang mengakibatkan adanya hukuman terhadap perbuatan tersebut atau meninggalkan perbuatan yang tidak boleh ditinggalkan, sehingga perbuatan tersebut juga akan dikenai sanksi atau hukuman.2 Dari uraian tentang pengertian kata jarimah di muka, dapat dipahami bahwa jarimah adalah perbuatan, tindak kejahatan, atau pristiwa kriminal yang 1
Warsum, Hukum Pidan Islam, 1991, h. 2-3. Abdul Qadir ‘Audah, at-tasyri al-Jina-I al-islam Muqaranan bi al-Qanun al-wad’I (Beirut : Miassasah al-Risalah, 1994), 1 h. 66. 2
dilakukan oleh seseorang. Karena perbuatan tersebut tidak boleh dilakukan, karena tindakan seperti ini berupa kejahatan yang merugikan, membahayakan, atau merusak jiwa ataupun harta seseorang. Jarimah diartikan pula perbuatanperbuatan dosa atau kemaksiatan, oleh karena itu orang yang melakukannya dikenakan hukuman sebagai pertanggungjawaban atas akibat perbuatannya. Sedangkan perampokan adalah terjemahan dari kata al-hirabah yang oleh para Ulama Fiqh diartikan sebagai qath’u al-thariq, yang berarti tindakan menghambat orang di suatu jalan. Pengertian ini dipahami dalam konteks adanya tindakan sekelompok orang, atau perorangan, sebagai penyamun yang sengaja mencegat orang-orang yang melalui sebuah jalan secara menakutkan untuk mengambil barang bawaannya. Tim penyusun R.U.U. Hukum Pidana Islam Mesir tahun 1975 mendefinisikan hirabah sebagai tindakan pencegatan orang yang melewati sebuah jalan yang dengan sengaja mengancam nyawa, dan atau mengambil hartanya, atau untuk menakut-nakuti.3 2. Pengertian Taubat Sedangkan Pengertian Taubat adalah pernyataan maaf kita kepada tuhan atas kesalahan yang kita lakukan dengan sengaja ataupun tidak. Akan tetapi secara harfiah taubat berarti kembali, maksudnya kembali dari perbuatan yang salah dan dosa menuju perbuatan yang baik (amal saleh) yang disertai penyesalan yang mendalam terhadap kesalahan dan dosa yang pernah dilakukan dan bertekad tidak akan mengulangi lagi, yang dibuktikan dengan tindakan nyata. 3
Muhammad Athiyah, hal.78.
Akan tetapi bila seseorang melakukan tindak pidana, seperti dalam jarimah hirabah, taubat tidak mempunyai tampilan khusus atau proses simbolik petunjuk, adanya taubat bisa ditandai dengan pengembalian harta kepada pemiliknya ketika meharib mempunyai kemampuan untuk mengembalikan, dan mengembalikan harta hasil rampasan sebelum ia ditangkap artinya belum masuk dalam kekuasaan imam.4
B. Macam-macam Jarimah 1. Zina Zina secara harfiah artinya fahisyah, yaitu perbuatan keji. Zina dalam pengertian istilah adalah hubungan kelamin diantara seorang laki-laki dengan seorang perempuan yang satu sama lain tidak terikat dalam hubungan perkawinan.5 Para fuqaha (ahli hukum Islam) mengartikan bahwa zina, yaitu melakukan hubungan seksual dalam arti memasukan zakar (kelamin pria) ke dalam vagina wanita yang dinyatakan haram, bukan karena subhat, dan atas dasar syahwat. Wanita yang dinyatakan haram adalah wanita yang bukan istrinya dan amat (budak). Seorang pria yang menggauli dalam arti melakukan hubungan seks dengan seorang wanita yang bukan istrinya, jika wanita yang digauli itu diduga istrinya, atau sarirahnya atau amatnya, tidaklah termasuk perbuatan zina. 4
Asna’ Mataiib Syarh Raudit Talib (Penerbit al-Mayymaniyyah), cet, 1; Hassyiyah Abi alAbas Ahmad ar-Ramliy (Penerbit al-Mayymaniyyah), Jld. IV, h. 155 5 Abdurahman, Hukum Pidana Dalam Syariat Islam 1992, h.31.
Misalnya seorang pria yang mempunyai seorang istri yang sah. Suami tidak bisa membedakan mana istri dan mana saudara kembar istrinya. Pintu kamar tidak dikunci, dan kondisi kamar gelap gulita. Pria tersebut masuk ke kamar lantas menggauli wanita yang diduga istrinya itu. Perbuatan pria dalam kasus seperti ini tidak termasuk perbuatan zina, karena syubhat. Hubungan seksual atas dasar perkosaan, maka pihak yang diperkosa tidak termasuk perbuatan zina. a. Larangan hukum zina Di dalam Al-Qur’an dinyatakan sebagai perbuatan keji dalam firman Allah sebagai berikut:
ًَِ ََ"َ!َُْا اَ إُِ آَنَ َِ َ ً وََ ء#َو Artinya: “Dan janganlah kamu mendekati zina, itu adalah suatu perbuatan yang keji. Dan suatu jalan yang buruk (QS.Al-Israa (17):32. 1. Larangan melakukan zina atas dasar Nas (teks) Alasannya yaitu kalimat laa taqrabuzzinaa, maknanya jangan melakukan zina, seperti kalimat laa taqrabu shalaata maknanya janganlah melakukan shalat. 2. Larangan melakukan zina atas dasar Mafhum Aulawy Redaksi yang terdapat pada ayat di atas adalah laa taqrabuu, yang arti harfiahnya adalah jangan mendekati. Atas dasar itu makna yang terkandung dari ayat tersebut adalah larangan mendekati zina. Maksudnya melakukan perbuatan yang mengarah ke perbuatan zina.
Ada beberapa perilaku yang dilarang dalam Alqur’an diantaranya firman Allah SWT dalam Surah An-Nuur (24): 30-31.
%ْ ُ5َ ََ أَزْآ7َِْ ذ%ُ5َ9ُا ُُو:َ;ْ<َْ وَی%ِِ*ْ أَْ(َرِه+ ا,-ُ.َِ*َ ی/ِ+ْ0ُ1ْ2 ْ3ُ4 ْ*ِ+ َ*ْ-ُ-ْ.ََتِ ی/ِ+ْ0ُ1ْ2 3ُ4َ{ و30} ََ=ُن/ْ(ََی1ِ ٌَِ? َ@إِن ا َ5ْ/ِ+ ََ5َFَ+#ُِ* إ5َGَ/ِی*َ زِیHَُْی#َُ* و5َ9ْ*َ ُُو:َ;ْ<َأَْ(َرِهِ* وَی ِْ* أَو5ِGَُ=ُِ #ُِ* إ5َGَ/ِی*َ زِیHَُْی#َِ* و5ُُِ9 َ2َI *ُِِه1ُJِ َ*ِْْ-ََْو ِْ* أَو5ِِ* أَوْ إِ?َْا5ِGَُ=ُ َِ ء/َِْ* أَوْ أ5ِK َ/َِْ* أَوْ أ5ِGَُ=ُ ِِ* أَوْ ءَاَ ء5ِK َءَا ُِ* أَو5َُ1ْْ أَیNَOَ2َ+َ+ ِْ* أَو5ِK َLِ ِْ* أَو5ِ" أَ?ََاMِ/َ ِْ* أَو5ِ إِ?َْاMِ/َ َ2َI َُوا5ْ:َْ ی%َ َ*ِیPِ ا3ْ;Qَلِ أَوِ ا9ِ*َ ا+ ِ َِْرSَِْْ أُوِْ اT َ*ِ=ِGا *ِ5ِGَ/ِ* زِی+ َ*ِ;ْJَُی+ َ%َ2ْ=ُِ *ِ5ِ2ُ9َْرUِ َ*ِْْ-ََی#ََ ءِ وL/َ ْرَاتِ اI َِ<ُن2ْ;ُ" ْ%ُO2َ=َ َُن/ِ+ْ0ُ1َْ ا,ِ=ً أَی1َ9 ِ@وَ"ُُا إَِ ا Artinya: “ Katakanlah kepada orang laki-laki yang beriman:”Hendaklah mereka menahan pandangannya, dan memelihara kemaluannya; yang demikian itu adalah lebih suci bagi mereka, sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang meeka perbuat.” (31)”Katakanlah kepada wanita yang beriman: Hendaklah mereka menahan pandangannya, dan memelihara kemaluannya, dan janganlah mereka menampakkan perhiasannya, kecuali yang (biasa) tampak daripadanya. Dan hendaklah mereka menutup kain kudung ke dadanya, dan janganlah menampakkan perhiasan mereka, kecuali kepada suami mereka, atau ayah mereka, atau ayah suami mereka, atau putra-putra mereka, atau putra-putra suami mereka, atau saudara-saudara laki-laki mereka, atau putra-putra saudara laki-laki mereka, atau putra-putra saudara perempuan mereka, atau wanita-wanita Islam, atau budak-budak yang mereka miliki, atau pelayan laki-laki yang tidak mempunyai keinginan (terhadap wanita) atau anak-anak yang belum mengerti tentang aurat wanita. Dan janganlah mereka memukulkan kakinya agar diketahui perhiasannya yang mereka sembunyikan. Dan bertaubatlah kamu sekalian kepada Allah, hai orang-orang yang beriman supaya kamu beruntung. (QS. An-Nuur (24): 30-31.
b. Had pidana zina
Sebagai konsekuensi atau larangan zina Allah berfirman dalam Surah AnNuur (24), 2 sebagai berikut:
ٌ ََْ رَأ1ِ5ِ %ُْآPُ?ْUَ"َ#ََةٍ وHْ2َ9 َ َKَ+ َ1ُ5ْ/+ ٍHِ وَا3ُُوا آHِ2ْ9َ Mِااَِ ُ وَاا َ*+ ٌ َ;ِK َY َ1ُ5ََاPَI ْHَ5ْ َََْ?ِِ وZُْنَ ِ@ِ وَاَْْمِ ا/ِ+ْ0ُ" ْ%ُG/ُ دِی*ِ ا@ِ إِن آMِ َ*ِ/ِ+ْ0ُ1ْا Artinya: “Wanita yang berzina dan laki-laki yang berzina, maka derahlah tiaptiap seorang dari keduanya seratus kali dera, dan janganlah belas kasihan kepada keduanya sampai mencegah kamu untuk (menjalankan) agama Allah, jika kamu beriman kepada Allah dan hari akhirat, dan hendaklah (pelaksanaan) hukuman terhadap mereka disaksikan oleh sekumplan orang-orang yang beriman. (QS. An-Nuur (24):2) Hadits Nabi:
* ا=اب+ 9 إن ر.....H? * اH وزی/I @ اM هیة رﺽM* أI M N-4 # یرل ا@ إ: !ل%2 و2I @ ا2أ رل ا@ ﺹ @ب اGO // b4 ،%= : /+ !? ه أZ !ل ا،=" @ب اGO "أ+ اP ه2I ;LI آنM/ *T ل4 34 : !لM نPKوا NL ةH ﺵة ووK1 /+ NیHG= .%9ّ اM/ ا2I أ?ت أنMوإ 2I وأن.مI eی." وK+ H29 M/ ا2I و أنM?U %2= ا3أه ءوا !رئ9رة وG ءواg ،*4 !ل رل ﺹد.%9ّا اPأة ه+ا : 3! ،2I hH یi ووﺽ،5/+ iﺽ+ إ5G إذا اG !ا%5 5 إن،H1<+ ی: أو !ا: !ل،ح2" Mذا هk ،hH یi *آH یiار %2 و2I @ ا2 رل ا@ ﺹ15 +U ،// 1"OG /O و%9ّا .2I l;G+ .L;/ رةg< ا5! ی152I /g یG رایH!2 : ل4 ،19 Artinya: “Dari Abu hurairah dan Zaid bin Khalid r.a.: sesungguhnya seorang lelaki Arab Badwi dating menghadap Rasulullah SAW. Seraya berkata: “Ya Rasulullah saya tidak memohon kepada engkau selain putusan bagiku berdasarkan kitabullah (Al-Qur’an). “ periwayat yang lain dan dia lebih mengerti dari pada dia, berkata: “ Ya, putuskanlah kami berdasarkan kitabullah dan izinkan saya, : “lalu beliau bersabda: Katakan (jelaskan dulu perkaranya), “Dia berkata, “Sesungguhnya anak saya menjadi buruh pada orang ini lalu ia bezina dengan istri majikan ini. Dan sesungguhnya saya telah beritahu bahwa
hukuman atas anak saya ini adalah rajam lalu saya menebusnya dengan seratus ekor kambing dan seorang hamba wanita. Setelah saya menanyakan ulam, lalu memberitahukan saya bahwa hukuman atas anak saya dera seratus kali dan hukuman buangan setahun; Dan sesungguhnya atas istri majikannya itu adalah rajam. “ Lalu Rasulullah bersabda: Demi Allah yang jiwaku di tangan-Nya, sungguh saya akan memutuskan perkara anatara kamu berdasarkan kitabullah; Hamba sahaya dan kambing itu ambil kembali. Dan hukuman atas anakmu, dera seratus kali dan pembuangan/pengasingan setahun. Pergilah wahai Unais kepada istri lelaki itu. Jika ia mengakui perbuatannya, maka rajamlah dia” (Muttafaq ‘alaih dan susunan matan hadits ini menurut riwayat Muslim) Dalam hal ini zina zina terbagi dua yaitu: 1. Zina muhsan ialah perzinaan antara laki-laki dan perempuan yang belum menikah. Hukumannya adalah didera seratus kali sebagaiamana yang terdapat dalam nas Al-qur’an.
َ1ِ5ِ %ُْآPُ?ْUَ"َ#ََةٍ وHْ2َ9 َ َKَ+ َ1ُ5ْ/+ ٍHِ وَا3ُُوا آHِ2ْ9َ Mِااَِ ُ وَاا ْHَ5ْ َََْ?ِِ وZُْنَ ِ@ِ وَاَْْمِ ا/ِ+ْ0ُ" ْ%ُG/ُ دِی*ِ ا@ِ إِن آMِ ٌ َْرَأ َ*ِ/ِ+ْ0ُ1ْ*َ ا+ ٌ َ;ِK َY َ1ُ5ََاPَI Artinya: “Wanita yang berzina dan laki-laki yang berzina, maka derahlah tiap-tiap seorang dari keduanya seratus kali dera, dan janganlah belas kasihan kepada keduanya sampai mencegah kamu untuk (menjalankan) agama Allah, jika kamu beriman kepada Allah dan hari akhirat, dan hendaklah (pelaksanaan) hukuman terhadap mereka disaksikan oleh sekumplan orang-orang yang beriman. (QS. An-Nuur (24):2) Namun sebagian ulama fiqih menambahkan hukukaman dengan diasingikan selama satu tahun, dengan berpegang pada hadits Rasulullah Saw bersabda:
ٍَمI ُeِْْی.َ"ََةٍ وHْ2ِ9 ُ َKِ+ِْOِِْ ُْOَِْا Artinya: “ Jika yang belum menikah berzinah dengan yang belum menikah maka hukumannya di dera seratus kali dan diasingkan selama setahun.
2. Zina Ghair Muhsan ialah perzinahan antara laki-laki dan perempuan yang sudang menikah. Hukuman bagi pezina yang sudah menikah adalah dirajam dengan batu kerikil sampai mati. Ada yang berpendapat didera lalu dirajam . Pendapat yang pertama adalah pendapat mayoritas ulama, sementara pendapat yang kedua, adalah pendapat yang menyatukan anatar hukuman dera dan rajam, pendapat teresebut merupakan pendapat mazhab Zhahiriyah dan iman Ahmad bin Hanbal. Pendapat yang kedua berdalil dengan hadits yang diriwayatkan dari Ubadah bin al-Shamit. Dari Nabi Saw, dia berkata:
رةg< - %9 أور+ ود- K+H2 em eّّmا Artinya: “ Pelaku zina yang sudah menikah (laki-laki ataupun perempuan) di dera dan dirajam dengan batu. c. Tujuan hukuman pidana zina Sanksi terhadap pelaku zina demikian berat, mengingat dampak negatif yang ditimbulkan akibat perbuatan zina, baik terhadap diri, keluarga, dan masyarakat. Diatntara dampak negatif, yaitu sebagi berikut: 1. Penyakit kelamin seperti virus HIV Aids, penyakit gonorchoe atau syiphilis, merupakan penyakit yang mencemaskan. Penyakit tersebut terjangkit melalui hubungan kelamin. Di beberapa negara, terutama negara-negara yang mentolerir, paling tidak memberikan peluang kepada warganya melakukan perzinaan, termasuk Indonesia telah dirisaukan dengan isu mewabahnya penyakit kelamin yang membahayakan.
2. Perbuatan zina, menjadikan seseorang enggan melakukan pernikahan sehingga dampak negatifnya cukup kompleks, baik terhadap kondisi mental maupun fisik seseorang. 3. Keharmonisan hubungan suami istri akan berkurang lantaran salah satu pihak, yaitu suami atau istri telah mengadakan hubungan dengan lawan jenisnya bukan dengan suami/istrinya yang sah. Ketidakpuasan dalam pemenuhan seksual antara suami istri besar kemungkinan menimbulkan ketidakharmonisan hubungan dalam keluarga. 4. Di Negara-negara yang menghormati kesusilaan, masyarakatnya akan mencela seorang wanita yang hamil tanpa ada suami yang sah, terutama di Indonesia. 2. Qodzaf Qodzaf menurut bahasa adalah ramyu asy-syai yang artinya melempar sesuatu. Maksud yang dikendaki syara’ adalah melemparkan tuduhan zina (wathi) kepada orang lain atau tidak mengakui keturunan (nasab) dari istri yang sah. 6 Bentuk qodzaf ini dapat berupa ucapan, seperti ‘engkau telah berzina”, atau menyebar luaskan berita yang menyatakan bahwa seorang telah berzina. Bentuk lain adalah pengingkaran terhadap nasab. Tidak mengakui keturunan atau menyangkal janin dalam kandungan seorang tersebut istri. Bentuk terakhir ini biasanya terjadi dalam rumah tanga. Bila tuduhan suami tersebut dapat dibuktikan, maka si istri dapat dikenakan hukuman hadd zina, dan bila ternyata
6
Muhammad bin Muhammad Abu Syahbah, al-Hudud fi al-Islam, h. 202.
tuduhan itu tidak dapat terbukti, maka si suami dapat dikenakan hukman hadd qodzaf. Akan tetapi untuk menghindari hukuman tersebut, (suami dan istri) dapat bermula’anah (li’an, walaupun resikonya sangat berat, karena telah berani berbohong di hadapan Allah SWT, maka siksa yang berat akan di dapat di akhirat nanti. Satu prinsip dalam Fiqh Jinayah adalah bahwa seorang yang menuduh orang lain dengan suatu yang haram itu. Apabila tuduhannya itu tidak dapat terbukti, maka di wajibkan dikenakan hukuman.7 Asas legalitas Jarimah Qazaf secara jelas disebutkan dalam al-Qur’an:
%ْ ِِهHَََدَةُ أ5َ َ ْ%ُ5ُLُ;َ أnِءُ إoَHَ5ُْ ﺵ%ُ5 *ُOَْ ی%ََْ و%ُ5َ9ُنَ أَزْوَا+َِْی*َ یPوَا َِْ إِن2َI ِ@َ اNَ/ْ=َ َ ُ أَنLِ+َJِْ*َ وَا4ِِ*َ ا(د1َ َُِدَاتٍ ِ@ِ إ5َُ ﺵiَْأَر َُِدَاتٍ ِ@ِ إ5ََ ﺵiََْ أَرHَ5ْ َ" َابَ أَنPَ=َْ ا5ْ/َI ْرَؤُاHََذِِ*َ وَیOِْ*َ ا+ َآَن َ*ِ4ِِ*َ ا(د+ ََ إِن آَن5َْ2َI ِ@َ اeَ-َT َ َ أَنLِ+َJَْذِِ*َ وَاOِْ*َ ا1َ Artinya: “Dan orang-orang yang menuduh isterinya (berzina), padahal mereka tidak ada mempunyai saksi-saksi selain diri mereka sendiri, maka persaksian orang itu ialah empat kali bersumpah dengan nama Allah, sessungguhnya dia adalah termasuk orang-orang yang benar. Dan (sumpah) yang kelima, bahwa laknat Allah atasnya jika ia termasuk orang-orang yang berdusta. Istrinya itu dihindarkan dari hukuman dengan bersumpah empat kali atas nama Allah (bahwa) sesungguhnya sauminya itu benar-benar termasuk orang-orang yang berdusta, dan sumpah yang kelima, bahwa laknat Allah atasnya bila suaminya itu termasuk orang-orang yang benar. (Qs. An-Nuur (24): 6-9.
َ َِ1َْ ﺙ%ُُوهHِ2ْ9َ َءoَHَ5َُرَْ=َ ِ ﺵUِ ْ"ُاUَْ ی%َ %َُتِ ﺙ/َ(ْ<ُ1ُْنَ ا+َِْی*َ یPوَا * *ِ+ ِی*َ "َُاP ا#ُِ اْ;َِ!ُنَ إ%َُ ه7ِrًَْا وَأُوHَََدَةً أ5َْ ﺵ%ُ5َ ُا2َْ!َ"َ#ََةً وHْ2َ9 ٌ%َِ;ُرٌ رT َ@ِن اkَ َ<ُا2َْ وَأَﺹ7َِِ ذHْ=َ Artinya: “Dan orang-orang yang menuduh wanita-wanita yang baik-baik (berbuat zina) dan mereka tidak mendatangkan empat orang saksi, maka 7
H.A. Djazuli, Fiqh Jinayah, h. 63.
derahlah mereka (yang menuduh itu) delapan puluh kali derah, dan janganlah kamu teriam kesaksian mereka buat selama-lamanya. Dan mereka itulah orangorang yang fasik. Kecuali orang-orang yang berdaulat sesudah itu dan memperbaiki (dirinya) maka sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. (QS. An-Nuur (24):4.
َِ?َِةZَْْ وَا,H اMِ ُا/ِ=ُ َِت/ِ+ْ0ُ1ََِْتِ ا.َْتِ ا/َ(ْ<ُ1ُْنَ ا+َِْی*َ یPإِن ا ٌ%ِ:َI ٌَابPَI ْ%ُ5ََو Artinya: “Sesungguhnya orang-orang yang menuduh wanita yang baik-baik, yang lengah lagi beriman (berbuat zina), mereka kena laknat di dunia dan akhirat, dan bagi mereka azab yang besar. (QS. An-Nur (24):23.
Dalam jarimah qodzaf ini beberapa unsur yang harus ada sehingga dapat dikatakan sebagai suatu jarimah, yaitu pertama, adanya ucapan yang mengandung tuduhan atau penolakan terhadap keturunan, kedua tertuduh haruslah salamat dari tuduhan tersebut. dan ketiga adanya kesengajaan untuk berbuat jahat atau adanya itikad yang tidak baik.8 3. Riddah (al-Murtad) Pengertian Murtad Secara etimologi, kata riddah merupakan isim masdhar dari kata ( ) اراد yang berarti mundur, kembali ke belakang.9 10
/+ ء9 يP اlیQ* اI9 ا: ادة
Artinya: “Riddah (murtad) adalah: kembali mundur dari jalan di mana dia datang. 11
8
hT ء إM * اI ع9 ا:ادة
Rahmat Hakim, Hukum Pidana Isalam, h. 79-80. Ahmad Warson Munawwri, h. 522. 10 Sayid Sabiq, h. 450. 11 Wahbah al-Zuhaili, h. 183. 9
Artinya: Riddah (murtad) adalah: kembali dari sesuatu kepada yang lainnya. Sementara secara terminologis, para ulama menefinisikannya sebagai berikut: 12
; أو !لO1 ا3=; أوr ; اءOم إ اS* دی* اI ع9ا
Artinya: “Keluar dari agama Islam menjadi kafir, baik dengan niat, perkataan, maupun perbuatan yang menyebabkan orang yang bersangkutan dikatagorikan kufur/kafir.
h دون إآاhرG? ;Oم إ اS* اI u ا34= ا%2L1ع ا9ر 13
H* أ+
Artinya: “Keluarnya seorang Muslim yang telah dewasa dan berakal sehat dan beragama Islam kepada kekafiran, dengan kehendaknya sendiri tanpa paksaan dari siapa pun. Dengan demikian, yang dimaksud dengan murtad (riddah) adalah: keluarnya seorang muslim dari agama yang dianutnya (agama islam) kepada kekafiran dengan menyatakan atau melakukan sesuatu yang menyebabkan orang tersebut kafir. Umpanya
mengingkari
adanya
Tuhan,
mendustakan
Rasulullah,
menghalalkan yang haram, mengharamkan yang halal, menyembah kepada berhala, melemparkan kitab suci al-Qur’an ke dalam kotoran,14 dan lain-lain. Adapun Syarat-sayarat murtad (riddah) Seorang dapat dinyatakan murtad dengan persyaratan sebagai berikut:15 1. Berakal, karena tidak murtadnya orang gila. 12
Ibid, h. 183 Sayid Sabiq, h. 451. 14 Wahbah al-Zuhaili, h. 183. 15 Ibid,. h. 184-186. 13
2. Telah mencapai usia baligh (dewasa), karena tidak murtadnya anak kecil yang telah mencapai usia mumayyiz menurut ulama Syafi’iyya, sementara jumhur ulama berpendapat sebaliknya. 3. Dilakukan atas kehendak sendiri, karena tidak sah murtadnya orang yang dipaksa, dengan catatan hatinya tetap bersihteguh dalam keimanannya. Dalam hubungan ini, seorang Sahabat Nabi bernama ‘Ammar ibn Yasir pernah dipaksa mengucapkan kata-kata kekufuran (kalimat la-kufr) sehingga ia terpaksa mengucapkannya, maka terunlah ayat 106 surat al-Nahl:
*+ *ِOَََنِ و1ِیSِْ v*ِrَ1ْQُ+ ُُْ2َ4ََ وhَِْ*ْ أُآ+ #َِِِ إ1ِ إِیHْ=َ *ِ+ ِ@ِ ََ;ََ* آ+ ُ%ِ:َI ٌَابPَI ْ%ُ5ََ*َ ا@ِ و+ ٌeَ-َT ْ%ِ5َْ2َ=َ ْرًاHَُ;ِْ ﺹOِْ َﺵََح Artinya: “barangsiapa yang kafir kepada Allah sesudah dia beriman (dia mendapat kemurkaan Allah) kecuali orang yang dipaksa kafir, padhal hatinya tetap tenang dalam beriman (dia tidak berdosa). Akan tetapi, orang yang melapangkan dadanya untuk kekafiran, maka kemurkaan Allah menimpahnya dan baginya Azab yang besar. (Q.S. AL-Nahl (16): 106. 4. Minum Khamr Ada beberapa yang diberikan oleh para ulama berkenaan dengan jarimah ini. Al-Bughari memberikan nama syaribul kahmar, atau Dawud menamakannya al-haddu fil khamr. Ibnuh Majah menyebutnya dengan Haddus sakran, Imam Srafi’i Haddul khamr dan Imam Hanafidengan haddus syurb. 16 Para
ulama
berbeda
pendapat
mengenai
pengertian
As-Syurbu
(meminum). Menurut Imam Malik, Imam Syafi’i dan Imam Ahmad, sebagaimana dikutip oleh Abdul Qadir Audah bahwa pengertian As-Syurbu (meminum) adalah 16
2000, h. 95
Drs. Rahmat Hakim, Hukum Pidana Islam (Fiqh Jinnayah), CV. Pustaka Setia, Bandung
minum-meminam yang memabukan baik minuman tersebut dinamakan khamr atau bukan khamr, baik berasal dari perasan anggur maupun berasal dari perasan bahan yang lain. Sedangkan pengertian As-syurbu menurut Imam Abu Hanifah adalah meminum minuman khamr saja, baik yang diminum itu banyaj maupun sedikit.17 Dari pengertian tersebut dapat dikemukakan bahwa khamr menurut Imam Abu Hanifah adalah minuman yang diperoleh dari perasan Anggur. Dengan demikian imam Abu Hanifah membedakan antara khamr dan muskir (mabuk). Khamr
diharamkan
minumnya
baik
sedikit
maupun
banyak
dan
keheramannyaterletak pada dzatnya (lidzatihi). Adapun selain khamr yaitu muskir yang terbuat dari bahan-bahan selain dari perasab buah anggur yang sifatnya memabukan, keharamannnya tidak terletak pada minuman itu sendiri (lidzatihi), tetapi pada minuman terakhir yang menyebabkan mabuk. Jadi menurut Abu Hanifah orang yang muskir baru dikenakan hukuman apabila yang meminumnya tersebut mabuk. Apabila tidak mabuk maka tidak dikenai hukuman.18 Tampaknya pendapat Imam Malik, Imam Syafi’i dan Imam Ahmadiah yang diikuti oleh dunia Islam yakni bahwa minum khamr atau minum yang lain yang memabukan adalah haram, baik bannyak maupun sedikit.19 Seperti yang dikemukakan oleh H. Arif Furqan, dkk dalam bukunya (Islam Dan Disiplin Ilmu Hukum). Delik pidana yang dimaksud dalam 17
Drs. H. Ahmad Wardi Muchlish, Hukum Pidana Islam, h. 73 Ibid, h. 74 19 Prof. Drs. H.A.Djazuli, Fiqh Jinayah (Upaya Menanggulangi Kejahatn dalam Islam), h. 97 18
pembahasan ini yaitu seluruh tindakan untuk mengkonsumsi makanan atau minuman melalui pencernaan atau jaringan seperti pennyuntikan dan cara yang membuat pemakainya mengalami gangguan kesadaran. 20 Larangan ini dijelaskan oleh Allah dalam Surah al-Baqarah (2): 219. Sebagai berikut:
َ1ُ5ُ1ْس وَإِﺙ ِ /2ِ ُiَِ/َ+َُ آَُِ و%َْ إِﺙ1ِ5ِ ْ3ُ4 ِِLَْ1ِْْ وَا1َJَْ*ِ اI َ7َُ2َrْLَی ُ%ُOَ ُ@َ یَُ*ُ ا7َِPَِ اْ=َ;َْ آ3ُ4 َ;ِ!ُن/َُذَا ی+ َ7َُ2َrْLََ وَی1ِ5ِ=ْ; *ِ+ َُْأَآ َُونOَ;َGَ" ْ%ُO2َ=َ َِیَتZْا Artinya: “Mereka bertanya kepadamu tentang Khamar dan judi, katakanlah: “pada keduanya terdapat dosa yang besar dan beberapa manfaat bagi manusia, tetapi dosa keduanya lebih besar daripada manfaatnya.”Dan mereka bertanya kepadamu apa yang mereka nafkahkan. Katakanlah: yang lebih dari keperluan. ”Demikianlah Allah menerangkan ayat-ayat-Nya kepadamu supaya kamu berfikir. (QS,Al-Baqarah (2):219. Kemudian dinyatakan tidak boleh melakukan sholat dalam keadaan mabuk sebagaimana dijelaskan dalam firman Allah sebagai berikut:
ََ"َ!ُُن+ ُا1َ2ْ=َ" Gَ َرَىOُ ْ%ُGََ"َ!َُْا ا(َةَ وَأ# ُا/َ+ِی*َ ءَاPَ ا5ی,َیَأ Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu shalat sedang kamu dalam keadaan mabuk, sehingga kamu mengerti apa yang kamu ucapkan. (QS. An-Nisa (4):43. Dan terakhir tegas-tegas dinyatakan bahwa khamar salah satu perbuatan setan dan karenanya harus dijauhi. Hal ini dijelaskan dalam Al-Qur’an sebagai berikut:
ْ*+ ُyْ9َِمُ ر#َْزZَْ(َبُ وَاZُِْ وَاLَْ1ُْْ وَا1َJَْ ا1ُِا إ/َ+َِی*َ ءاPَ ا5ی,َیَأ َِ<ُن2ْ;ُ" ْ%ُO2َ=َ ُhُِ/َGْ9َ َِنQْ ِ ا3َ1َI 20
Prof. Dr. H. Zinudun Ali, Hukum Pidana Islam, h. 78.
Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, sesungguhnya (minuman) khamar, berjudi, berkorban untuk berhala, mengundi nasib dengan panah adalah termasuk perbuatan setan. Maka jauhilah perbuatan-perbuatan itu agar kamu mendapat keberuntungan. (QS. Al-Maaidah (5): 90. Unsur-unsur jarimah minum khamr; 1. Minum minuman yang memabukan Seperti telah dijelaskan bahwa ketiga Imam Madzhab yaitu Imam Malik, Imam Syafi’i dan Imam Ahmad mengharamkan minuman khamr dan minuman lain yang memabukan baik sedikit maupun banyak dan baik mabuk ataun tidak. Jadi dengan minum itu sendiri sudah merupkan jarimah. Disyaratkan benda yang memabukan itu itu berupa minuman, namun selain minuman tetap haram namun hukumnya bukan hukum hadmelainkan hukuman ta’zir. 2. Ada niat yang melawan hukum (itikad jahat) Yang dimaksud dengan itikad jahat adalah sudah tau bahwa minuman yang memabuukan itu haram, tetapi tetap diminum juga. Oleh karena itu tidak dikenai sanksi seseorang yang minum minuman khamr atau minum lain yang memabukan, sedangkan ia tidak tahu bahwa yang diminum itu adalah minuman yang memabukan atau tidak tahu bahwaminuman itu haram.21
21
Prof. Drs. H.A.Djazuli, Fiqh Jinayah (Upaya Menanggulangi Kejahatn dalam Islam), h.98
5. Pencurian Pengertian Pencurian Kata pencurian adalah terjemahan dari kata bahasa Arab al-Sariqah, yang menurut etimologi berarti melakukan sesuatu tindakan terhadap orang lain secara tersembunyi, misalnya; istaraqqa al-sama’a (mencuri dengar) dan musaraqqat al-nazara (mencuri pandang).22 Yang dimaksud dengan pencurian disini adalah mengambil harta orang lain secra diam-diam tanpa sepengetahuan pemiliknya.23 Dari definisi tersebut dapat dapat dilihat bahwa Unsur-unsur pencurian adalah: a. Megambil harta secar diam-diam, pengambilan itu dapat dikatakan sempurna, jika harta itu diambil dari tempatnya dan telah dipindah tangan dari pemiliknya kepada pelaku pencurian. b. Harta yang dicuri disyaratkan harta yang berharga, memilki tempat penyimpanan yang layak dan sampai pada nisab. c. Harat yang dicuri itu adalah harta orang lain dan tidak subhat. d. Ada itikad tidak baik untuk memiliki harta yang bukan haknya. Pelaku pencurian yang terbukti, baik berdasarkan dua orang saksi atau berdasarkan pengakuan dari palaku, dapat dihukum dengan potong tangan. Sebagaimana firman Allah:
22
Ibnu al-Manzhur. Lisan al-‘arab. Dar al-Ma’rif , juz III, hal, 1998. Al-Muqry al-Fayyumi. Al-Misabah al-Minir, juz.I. h. 274 (tanpa menyebutkan tahun dan penerbit), dan lihat juga. Wahbah alZuhaili, Al-Fiqh al-Islami wa Adillatuhu. Dar al-Fikr Damaskus, Cet. II th. 1989, juz VI, h. 92. 23 Muhammad bin Muhammad Abu Syahbah, al-Hudud fi al-Islam, h. 215
ُ@*َ ا@ِ وَا+ ً#َOَ ََLََ آ1ِ ًءoََ9 َ1ُ5َِیHَْ=ُا أَیQْ4َ ُ َ4ِرLرِقُ وَاLوَا ُ%ِOَ ٌَِیI Artinya: “Laki-laki yang mencuri dan perempuan yang mencuri, potonglah tangan keduanya (sebagai) pembalasan bagi apa yang mereka kerjakan dan sebagai siksaan dari Allah. Dan Allah Maha Perkasa dan Maha Bijaksana. (QS. Al-Maaidah (4): 38. Hukum potong tangan ini diterapkan apabila harta yang dicuri sampai pada nisab yang sudah ditentukan, para ulama berbeda pendapat mengenai ukuran nisab ini, Imam Syafi’i, Malik Dan Ahmad berpendapat bahwa nisabnya adalah seper-empat Dinar emas atau tiga Dirham dan yang seharga dengannya. Sedangkan Hanafi menetapkan nisab sepuluh dirham. 24 6. Hirabah (perampokan) Perampokan adalah pengambilan harta orang lain secara terang-terangan atau disertai dengan kekerasan. Tindakan ini dapat dilakukan oleh satu kelompok atau satu orang yang memiliki kekuatan untuk melakukan intimidasi terhadap orang lain.25 Sumber hukum dari jarimah hirabah ini adalah ayat al-qur’an yang berbunyi:
َدًا أَنLَ َِرْضZْ اMِ َْ=َْنLَِی*َ یُ<َرُِنَ ا@َ وَرََُُ وَیPََاؤُا ا9 َ1ِإ َِرْضZِْ*َ ا+ ;َْا/ُ*ْ ?َِفٍ أَوْ ی+ %ُ5ُ2ُ9ْْ وَأَر%ِ5ِیHَْ أَیiQَ!ُ"ُْا أَو2َ(ُُا أَوْ ی2Gَ!ُی ٌ%ِ:َI ٌَابPَI َِ?َِةZْ اMِ ْ%ُ5َََْ و,H اMِ ُْ ?ِْي%ُ5َ َ7َِذ Artinya: ”Sesungguhnya pembalasan terhadap orang-orang yang memerangi Allah dan rasul-Nya dan membuat kerusakan di muka bumi, hanyalah mereka dibunuh atau disalib, atau dipotong tangan dan kaki mereka dengan bertimbal balik[414], atau dibuang dari negeri (tempat kediamannya). yang demikian itu (sebagai) suatu penghinaan untuk mereka didunia, dan di akhirat mereka peroleh siksaan yang besar. (Qs. Al-Maidah (5): 33. 24 25
Ibid, h. 224-228 Muhammad bi Muhammad Abu Syahbah, al-Hudud Fi al-Islam, h. 224-228
Atas dasar ini ulama mensyaratkan pada seorang perampok harus mempunyai kekuatan fisik untuk memaksa. Bahkan Imam Abu Hanifah dan Imam Ahmad mensyaratkan seoarng prampok harus membawa senjata tajam, sedangkan menurut Imam Syafii.yang penting seorang perampok harus mempunyai kekuatan fisik untuk memksa26 bahkan Imam Maliki menganggap pelaku perampokan cukup menggunakan tipu daya tanpa menggunakan kekuatan dan dalam keadaan tertentu menggunakan anggta tubuh, seperti meninju dan memukul dengan kepalan tangan.27 Sanksi bagi pelaku perampokan menurut Imam Malik ialah perampokan itu diserahkan kepada hakim untuk memilih hukuman mana yang lebih sesuai dengan perbuatan dari alternatif hukuman yang tercantum dalam Surah AlMaaidah ayat 33 tersebut. Hanya saja Imam Malik membatasi pilihan tersebut untuk selain dibunuh atau disalib.28 Akan tetapi jika pelaku perampokan bertaubat sebelum perkaranya diangkat kepengadilan (menyerahkan diri) khususnya pada pelaku yang hanya meng-intimidasi dan merampas harta. Adaupun syarat-syarat pelaku hirabah yang dapat dikenakan hukuman adalah:29 1. Pelaku Hirabah orang mukallaf.
26
H.A. Djazuli, Fiqh Jinayah, h. 88 Alaudin al-Kasani, Bada’i as-Sana’i fi Tartibisy Syara’i, Jld, VII, h. 90 28 Ibid 29 Said Sabiq Fiqih Sunnah, Jld 9. h. 177 27
2. Pelaku hirabah membawa senjata. 3. Lokasi hirabah jauh dari keramaian. 4. Tindakan hirabah secara terang-terangan. 7. Bughat (Pemberontakan) Pengertian Bughat Ada
perbedaan
dikalangan
ulama
dalam
memberikan
definisi
pemeberontakan (al-Bagyu). Ulama Malikiyyah mengartikan denga penolakan untuk taat kepada Imam yang telah ditetapkan, tanpa ada upaya untuk mengulingkannya. Ulama Hanafiyah mendefinisikan dengan keluarnya seorang dari ketaatan kepada yang iama yang tanpa alasan. Sedangkan ulam Syafi’iyah lebih cendrung kepada pengertian bahwa al-Bagyuitu adalah sekelompok orang beserta pememimpinnya yang menyalahi imam dengan car tidak mentaati dan melepaskan diri darinya serta menimbulkan kekacauan. 30 Tindakan larangan ini ditegaskan dalam firman Allah Swt yang berbunyi :
َ2َI َ1َُاهHِْْ إNَ.َ ِنkَ َ1ُ5َ/َْ ِ<ُا2َْﺹUَ ُا2َGَGْ4ِ*َ ا/ِ+ْ0ُ1ِْ*َ ا+ َِنGَ;ِK َY وَإِن ِ<ُا2َْﺹUَ ْن َ ءَتkَ ِ@ِْ ا+َ "َ;ِءَ إَِ أGَ Mِ.َْ" MِGُا ا2ِ"َ!َ ُ?َْىZْا َ*ِQِLْ!ُ1ْ ا,eِ<ُُا إِن ا@َ یQِLْ4َْلِ وَأHَ=ِْ َ1ُ5َ/َْ Artinya: “Dan jika ada dua golongan dari orang-orang mukmin berperang maka damaikanlah antara keduanya. Jika salah satu dari kedua golongan itu berbuat aniaya terhadap golongan yang lain, maka perangilah golongan yang berbuat aniaya itu sehingga mereka kembali kepada perintah Allah. Jika golongan telah kembali (kepada perintah Allah), maka damaikanlah keduanya dengan adil. Dan berlaku adilah, sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berlaku adil. (QS. Al-Hujarat (49): 9.
30
Mahmud Fuad, Ahkam al-Hudud, h. 16.
Upaya pemberontakan ini dapat dikatan sebagai kejahatan yang benarbenar kejahatan besar apabila terdapat beberapa unsur, yaitu : 1. Mempunyai idealisme atau motivasi untuk menggulingkan pemerintah. 2. Sifat gerakannya melawan pemerintahan yang sah. 3. Memiliki kekuatan atau senjata yang cukup kuat sebagai alat dan sarana untuk menjalankan upayanya. 4. Mempunyai camp base atau pusat sebagai daerah kekuasaan. 5. Memliki pendukung yang cukup kuat. Pemberonntakan merupakan delik poltik yang pada perkembangannya dapat mengancam aksistensi kekuasaan Negara. Dengan demikian setiap ada upaya yang mengarah kepada menculnya kekuatan-kekuatan yang tidak sejalan dengan pemerintah yang sah harus segera ditindak, sehingga tidak menimbulkan tekanan-tekanan terhadap stabilitas Negara.
C. Unsur-unsur Jarimah Yang Dapat Dikenakan Hukuman Sebagaimana telah dijelaskan terdahulu, bahwa yang dimaksud dengan jarimah ialah larangan-larangan syara’, orang yang melanggar larangan itu dikenakan hukuman atau sanksi hadd atau ta’zir. Larangan tersebut adakalanya besifat perintah meninggalkannya dan atau juga dicegah. Larangan yang dimaksud harus dari sumber yang jelas, yakni berdasarkan nash-nash syara’ dan baru dapat dianggap jarimah apabila dapat dikenakan hukuman, yaitu perbuatan yang dilarang tetapi dilakukan oleh orang-orang yang sudah baligh, berakal sehat, dan dilakukan secara sengaja.
Dari penjelasan tersebut maka diketahui bahwa tiap jarimah mengandung unsur umum sebagai berikut: 1. Ada nash-nash yang melarang perbuatan dan mengancamnya hukumanhukuman-hukuman, unsure yang demikian disebut unsur formil atau rukun syar’i. 2. Adanya tinndakan yang membentuk jarimah, baik berupa perbuatan maupun sikap tidak berbuat, unsur yang demikian disebut unsur matriel 3. Ada orang yang melakukan perbuatan, dan orang itu telah dapat dianggap telah dapat bertanggung jawab terhadap tindakannya karena ia sudah mukallaf, unsur demikian disebut unsur moril.31 Dari ketiga unsur diatas harus ada atau terdapat pada suatu perbuatan yang termasuk jarimah atau perbuatan yang dilarang. Sedangkan unsur khusus dari jarimah itu sehingga dapat dijatuhkan hukuman atas si pelaku adalah adanya barang bukti, bahwa perbuatan itu telah dilakukan, seperti pencurian. Unsur khusus dalam kasus pencurian antara lain adalah dilakukan dengan diam-diam atau sembunyi. Disisi lain dapat pula diberikan contoh kasus, misalnya dalam kasus menuduh orang lain berzina. Selain dari hal yang dituduhkan telah memenuhi unsur unsur umum, yakni ada nash al-Qur’an yang melarang zina, dilakukan oleh orang mukallaf, si tertuduh baru dapat dianggap betul-betul berbuat zina apabila ada empat orang saksi yang menyatakan secara rinci di muka Hakim bahwa memang benar mereka menyaksikan perbuatan zina antara si A (laki-laki) dengan si B (perempuan) di suatu 31
Hanafi, Asas-asas Hukum Pidana,1993, h. 6
tempat. Jika tuduhan itu hanya disaksikan oleh tiga orang saksi, atau tidak cukup empat orang, maka si tertuduh tidak dapat dikenakan hukuman rajam atapun dera. Dari uraian mengenai unsur-unsur jarimah yang dapat dikenakan hukuman di muka, maka dapat dipahami bahwa unsur-unsur jarimah yang dapat menentukan apakah seseoarng pelaku suatu jarimah yang dapat dijatuhi hukuman, walaupun sudah ada dasar hukum dari al-Qur’an maupun hadits-hadits Rasulullah Saw jika yang merupakan unsur-unsur umum, tetapi diperlukan juga unsur-unsur khusus, yang ada pada pelaku ataupun jenis jarimah masing-masing.32
D. Sanksi Bagi Pelaku Jarimah Hirabah Mengenai sanksi bagi pelaku jarimah hirabah (perampokan) menurut hukum Pidana Islam dikategorikan kedalam jarimah hirabah. Yang dimaksud dengan jarimah hirabah adalah tindakan kekerasan, pemberontakan, pengrusakan, ataupun pengacau keamanan dalam masyarakat, seperti; merusak tanaman, ternak, citra agama, penculikan anak-anak dan wanita, perampasan harta, dan lain sebagainya yang dilakukan secara bergerombol ataupun sendirian secara pemaksaan dengan menggunakan senjata untuk memudahkan aksinya. Hirabah dalam konteks perampokan atau pencurian dengan kekerasan, termasuk tindakan kejahatan terhadap harta benda orang lain, dilakukan tanpa prikemanusian, atau dilakukan secara kejam dan tidak hanya terhadap harta si korban, bahkan dapat menimpa jiwa dan kehormatan apabila melakukan perlawanan untuk 32
Warsum Jinayat, Hukum Pidana Islam1991, h. 6-7
mempertahankan harta benda miliknya itu. Oleh karena itu Islam memberikan hukuman yang berat terhadap pelaku hirabah seperti perampokan tersebut. Menurut Imam Malik hukumannya untuk pelaku perampokan itu diserahkan kepada hakim untuk memilih hukuman mana yang lebih sesuai dengan perbuatan dari alternatif hukuman yang tercantum dalam Surah al-Maidah 35 tersebut.33 Adapun yang mejadi perbedaan yaitu; perbedaan penafsiran terhadap huruf aw yang terdapat dalam Surat al-Maidah ayat 33, yang berbunyi:
ُا2Gَ!َُدًا أَن یLَ َِرْضZْ اMِ َْ=َْنLَِی*َ یُ<َرُِنَ ا@َ وَرََُُ وَیPََاؤُا ا9 َ1ِإ ْ%ُ5َ َ7ََِرْضِ ذZِْ*َ ا+ ;َْا/ُ*ْ ?َِفٍ أَوْ ی+ %ُ5ُ2ُ9ْْ وَأَر%ِ5ِیHَْ أَیiQَ!ُ"ُْا أَو2َ(ُأَوْ ی ٌ%ِ:َI ٌَابPَI َِ?َِةZْ اMِ ْ%ُ5َََْ و,H اMِ ُ?ِْي Artinya: “Sesungguhnya pembalasan terhadap orang-orang yang memerangi Allah dan Rasul-Nya dan membuat kerusakan dimuka bumi, hanyalah mereka dibunuh, atau disalib, atau dipotong tangan dan kaki mereka dengan berimbal balik atau dibuang dari negeri(tempat kediamannya).(QS.Al-Maaidah (5):33. Jumhur ulama berpendapat bahwa huruf aw dalam ayat tersebut dimaksudkan untuk bayan (penjelasan) dan tafshil (rincian). Dengan demikian menurut mereka hukuman-hukuman tersebut sesai dengan berat ringannya perbuatan (jarimah) yang dilakukan oleh pelaku perampokan, akan tetapi imam Malik berpendapat bahwa huruf aw dalam surah Al-Maaidah ayat 33 dimaksudkan untuk takhyir (pilihan). Dengan demikian, menurut Imam Malik ayat tersebut mengandung arti bahwa hakim diberi kebebasan untuk memilih hukuman yang di pandangnya paling tepat dan sesuai dengan jenis jarimah perampokan yang dilakukan oleh pelaku.34
33 34
Abd Al- Qodir Audah, II, cit., h. 647. Abd Al-Qadir Audah, II, h. 647
Hanya saja Imam Malik membatasi pemilihan hukum untuk tindak pidana jenis pembunuhan, antara hukuman mati dan salib. Alasannya adalah karena setiap pembunuhan hukumannya adalah dibunuh (hukuman mati), sehingga tidaklah tepat apabila tindak pembunuhan dalam perapokan dihukum dengan potong tangan dan kaki atau pengasingan.
35
Berikut ini adalah rincian untuk masing-masing hukuman dari perbuatan tersebut: 1. Hukuman untuk menakut-nakuti. Hukuman untuk jenis tindak pidana perampokan yang menakut-nakuti adalah pengasingan sesuai dengan firman Allah surah al-Maaidah ayat 33:
...َِرْضZِْ*َ ا+ ;َْا/ُأَوْ ی Artinya : …atau diasingkan dari tempat negerinya…(Qs. Al-Maaidah (4):33.
Menurut Imam Malik, bahwa penguasa berhak memilih antara menghukum mati muharib, menyalib,memotong tangan, atau mengasingkan perintah memilih ni berdasarkan atas ijtihad dan kesungguhan untuk mencapai maslahat umum. Jika muharib termasuk yang mempunyai wawasan dan pemikiran yang luas. Ijtihad diarahkan untuk menghukum mati atau menyalib karena potong tangan tidak bisa menghilangkan bahaya yang dapat ditimbulkan si pelaku. Jika pelaku orang yang tidak mempunyai pikiran, tetapi memiliki kekuatan, ia harus dijatuhi hukuman potong kakidan tangan bersilang. Jika pelaku tidak mempunyai sifat
35
Ibid, h. 648
tersebut, ia hanya dijatuhi hukuman ringan dan hukuman yang sudah ada, yaitu diasingkan dan ta’zir.36 2. Hukuman untuk Mengambil Harta Tanpa Membunuh Imam Malik berpendapat, bahwa sesuai dengan penafsiran huruf aw dalam surah al-Maaidah ayat 33. Hukuman untuk pelaku perampokan dalam pengambilan harta ini adalah diserahkan kepada hakim untuk memilih hukuman yang terdapat dalam surah al-Maaidah ayat 33, asal jangan pengasingan hal ini karena hirabah itu adalah pencurian berat, sedangkan hukuman pokok untuk pencuri adalah potong tangan. Oleh karena itu, untuk perampokan jenis kedua ini (mengambil harta) tidak boleh lebih ringan daripada potong tangan.37 3. Hukuman untuk membunuh tanpa mengambil harta Menurut pendapat Imam Malik apabila mereka membunuh saja dan tidak mengambil/merampas harta, maka hendaklah mereka dibunuh dan boleh sesudahnya ditepang (disalib) pula.38 Jika mau, ia bisa memutuskan hukuman mati dan penyaliban atau hukuman mati tanpa penyaliban. 39 4. Hukuman untuk membunuh dan mengambil harta. Menurut pendapat Imam Malik yang paling kuat, bahwa
pelaku
dihukum mati yang dilaksanakan setelah penyaliban. Dengan demikian, menurut pendapat ini, orang yang terhukum disalib dalam keadaan hidup, baru kemudian 36
Al-Mudaawwanah al-Kubra (Penerbit Sa’adah), cet. 1, Jld. XV1. h. 98-99 Nihayatul Mujtahid, Jld. II, 380-381 37 Abd Al-Qodir Audah, II. h. 650-651 38 Ibid, II, h. 654-652. lihat di Ahmad Wardi Muslich, Hukum Pidana Islam, h. 101-104. 39 Al-Mudawwanah al-Kubra (Penerbit Sa,adah), cet.I, Jld XV1. h. 99
ia dibunuh dalam keadaan disalib. Alasan mereka adalah bahwa hukuman salib adalah salah satu jenis hukuman, dan hukuman tidak dapat dikenakan terhadap orang yang mati. Oleh karena itu, orang yang terhukum harus disalib pada saat ia masih hidup.40 Mengenai sanksi atau hukuman Hirabah (perampokan) menurut hukum Pidana Islam ialah: a. Jika perampok itu merampas harta dan membunuhnya, maka hukumannya adalah dibunuh dengan cara disalib. b. Jika perampok hanya membunuh korbannya, tidak mengambil hartanya maka hukumannya dibunuh saja. c. Jika perampok itu hanya merampas korbannya, tidak membunuh maka hukukmannya adalah dipotong tangan dan kakinya secara silang. d. Jika perampok itu hanya menakut-nakuti atau hanya mengacau keamanan umum maka hukumannya di buang atau diasingkan jauh-jauh atau dipenjarakan saja. Dari pernyataan diatas dapat dipahami, bahwa hukuman bagi pelaku perampokan sangat berat, karena sesuai dengan kejahatan yang dilakukannya yaitu merusak dan merugikan pihak atau orang lain dengan cara melanggar atau melawan hukum yang ditetapkan Allah. Berdasarkan firman Allah sebagai berikut:
40
Ibid, II, h. 653-654. dan lihat juga Wahbab Zuhaili, Al-Fiqh Al-Islam wa Adillatuhu, h. 141. lihat di Ahmad Wardi.
َدًا أَنLَ َِرْضZْ اMِ َْ=َْنLَِی*َ یُ<َرُِنَ ا@َ وَرََُُ وَیPََاؤُا ا9 َ1ِإ َِرْضZِْ*َ ا+ ;َْا/ُ*ْ ?َِفٍ أَوْ ی+ %ُ5ُ2ُ9ْْ وَأَر%ِ5ِیHَْ أَیiQَ!ُ"ُْا أَو2َ(ُُا أَوْ ی2Gَ!ُی ٌ%ِ:َI ٌَابPَI َِ?َِةZْ اMِ ْ%ُ5َََْ و,H اMِ ُْ ?ِْي%ُ5َ َ7َِذ Artinya : ”Sesungguhnya pembalasan terhadap orang-orang yang memerangi Allah dan rasul-Nya dan membuat kerusakan di muka bumi, hanyalah mereka dibunuh atau disalib, atau dipotong tangan dan kaki mereka dengan bertimbal balik[414], atau dibuang dari negeri (tempat kediamannya). yang demikian itu (sebagai) suatu penghinaan untuk mereka didunia, dan di akhirat mereka peroleh siksaan yang besar. (Qs. Al-Maidah (5): 33. Ayat di atas dapat dipahami bahwa hukuman bagi orang-orang yang memerangi (melanggar) hukum Allah dan Rasul-Nya, atau berbuat kesalahan atau kejahatan di muka bumi ini adalah dibunuh, disalib, potong kaki dan tangannya secara silang atau dibuang dari negerinya. Di samping itu Imam Malik berpendapat, apabila si pelaku perampokan itu membunuh, maka hukumannya adalah dibunuh pula. Dalam hal ini penguasa atau hakim tidak boleh memilih untuk memotong tangan atau kaki, atau diasingkan. Dan pilihan tersebut hanya berlaku pada panjatuhan hukuman mati atau penyaliban atasnya. Apabila si pelaku hanya mengambil harta, maka hukumannya tidak lain kecuali dibuang atau diasingkan dari negerinya. Pilihan hanya terdapat penjatuhan hukuman mati penyaliban ataupun potong tangan dan kaki secara silang.41 Menurut fuqaha, sebuah tindak pidana di anggap hirabah jika tidak keluar dari empat bentuk, yaitu; 1. Menakut-nakuti tanpa mengambil harta dan tidak membunuh. 41
Abd Al-Qodir Audah, II. h. 650-651
2. Mengambil harta tanpa membunuh. 3. Membunuh tanpa mengambil harta. 4. Pembunuhan dan mengambil harta. Apabila kejahatan yang dilakukan oleh si pelaku keluar dari empat poin diatas, misalnya seperti terjadinya perkosaan, hal ini tidak dikategorikan kejahatah hirabah akan tetapi kejahatan diluar hirabah yang ketepan hukumnya tidak ada dalam Al-qur’an surat Al-Maaidah (5): 33. Namun bila dalam perampokan itu terjadi perkosaan (hآاS )اطءmaka wanita itu dibebaskan dari hukuman had. Sebagaimana dalam firman Allah Swt:
ٌ%َِْ;ُْرٌ رT َ@ن ا َِِْ إ2َI َ%َْدٍ ََ إِﺙI َ#َََْ َغٍ وT ُQَْ*ِ اﺽ1َ Artinya: ”Tetapi barangsiapa yang dalam keadaan terpaksa (memakannya) sedang ia tidak mengingikannya dan tidak pula melampaui batas, maka tidak ada dosa baginya.” (Al-Baqarah (2): 173. Begitu juga Nabi SAW. Mengatakan orang yang dipaksa perbuatan yang dilarang, di dibebaskan dari hukuman.
ءQ< اG+* أI i ر: م ی!لL ا(ة وا2I وال .2I هاOG ا+ن وL/وا Artinya: “Rosulullah SAW mengatakan : di bebaskan umatku dari hukum, mereka yang keliru (tersalah) lupa dan karena dipaksa.” Adapun bagi pelaku, menurut Imam Malik dan Syafi’i berpendapat wajib si pria memberikan suatu pemberian (اقH )ﺹkepada si wanita itu. Menurur Imam Malik, yang sumbernya dari Ibnu Syihab seperti yang disebutkan dalam Al-Muatta’ (ءY1 )اbahwa Abdul Malik bin Marwan pernah
mengambil putusan pria yang menggagahi seorang wanita secara paksa ia wajib memberikan sesuatu yang bersifat materi kepada perempuan yang dugaghinya. 42
42
Abdul Malik Muhammad, Prilaku Zina Dalam Pandangan Hukum Islam dan KUHP, Cet. Pertama, h. 143
BAB III TAUBAT DALAM HUKUM ISLAM MENURUT IMAM MALIK DAN PEMAAFAN DALAM HUKUM PIDANA DI INDONESIA
A. Sekilas Biografi Imam Malik Imam Malik imam yang kedua dari imam-imam empat serangkai dalam Islam dari segi umur. Beliau dilahirkan di kota Madinah, suatu daerah di negeri Hijaz tahun 93 H/12 M, dan wafat pada hati Ahad, 10 Rabi’ul Awal 179 H/798 M di Madinah pada masa pemerintahan Abbasyiah dibawah kekuasaan Harunal-Rasyid. Nama lengkapnya ialah Abu Abdillah Malik ibn Anas ibn Malik ibn Abu ‘Amir ibn alHarits. Beliau adalah keturunan bangsa Arab dusun Zu Ashbah, sebuah dusun di kota Himyar, jajahan Negeri Yaman. Imam Malik adalah seorang yang berbudi mulia, dengan pikiran yang cerdas, pemberani dan teguh mempertahankan kebenaran yang diyakininya. Beliau seoarng yang mempunyai sopan santun dan lemah lembut, suka menengok orang sakit, mengasihani orang miskin dan suka memberi bantuan kepada orang yang membutuhkannya. Beliau juga seorang yang sangat pendiam, kalau bicara dipilihnya mana yang perlu dan berguna serta menjauhkan diri dari segala macam perbuatan yang tidak bermanfaat. Di samping itu juga beliau seorang yang suka begaul dengan Handai Taulan, orang yang mengerti agama terutama para gurunya, bahkan begaul dengan para pejabat pemerintah atau wakil-wakil pemerintah.
Imam Malik terdidik di kota Madinah pada masa pemerintahan kholifah Sulaiman ibn Abd Malik dari Bani Umaiyah VII. Pada waktu itu di kota tersebut hidup beberapa golongan pendukung Islam, antara lain: golongan sahabat Anshar dan Muhajirin serta para cerdik pandai ahli hukum Islam. Suasana seperti itulah imam Malik tumbuh dan mendapat pendidikan dari beberapa guru yang terkenal. Adapun guru yang pertama dan bergaul lama serta erat adalah Imam Abd. Rahman ibn Hurmuz salah seorang ulama besar di Madinah. Kemudian beliau belajar fiqh kepada salah seorang ulama besar kota Madinah, yang bernama Rabi’ah al-Ra’yi ( wafat pada tahun 136 H ). Selanjutnya Imam Malik belajar ilmu Hadits kepada imam Nafi’ Maula Ibnu Umar (wafat pada tahun 117 H), juga belajar kepada Imam ibn Syihab alZuhry. Menurut riwayat yang dinukil Moenawar Cholil, bahwa diantara para guru Imam Malik yang utama itu tidak kurang dari 700 orang yang tergolong ulama tabi’in. Adapun metode isdtidlal Imam Malik dalam menetapkan hukum Islam berpegang kepada: Al-Qur’an, Sunnah, Ijma’ Ahl al-Madinah, Fatwa Sahabat, Khabar Ahad dan Qiyas, Al-Istihsan, al-Mashlahah al-Mursalah, Sadd al-Zara’I, Istishab, dan Syar’ u Man Qablana Syar’un Lana. Karya-Karya Imam Malik:
Pertama : diantara karya-karya Imam Malik adalah Kitab al-Muwathta’. Kitab tersebut ditulis tahun 144 H. atas anjuran khalifah Ja’far al-Manshur. Menurut hasil penelitian yang dilakukan Abu Bakar al-Abhary, atas Rasulullah SAW. Sahabat dan
tabi’in yang tercantum dalam kitab al-Muwathta’ sejumlah 1.720 buah. Pendapat Imam Malik ibn Anas dapat sampai kepada kita melalui dua buah kitab, yaitu alMuwathta dan al-Mudawanah al-kubra. Dalam kitab al-Muwathta terdapat dua aspek yaitu hadits dan aspek fiqh. Kedua : kitab al-mudawanah al-Kubra berisi tentang kumpulan risalah yang memuat kurang dari 1.036 masalah dari fatwa Imam Malik yang dikumpulkan Asad ibn al-furat al-Naisabury yang berasal dari Tunis. Mazhab Imam Malik pada mulanya timbul dan berkembang dikota madinah, tempat kediaman beliau, kemudian tersiar ke negeri Hijaz. Perkembangan Mazhab Maliki sempat surut di Mesir, karena pada masa itu berkembang pula Mazhab Syafi’i dan sebagian penduduknya telah mengikuti mazhab Syafi’i tetapi pada zaman pemerintahan Ayyubiyah, mazhab Maliki kembali hidup. Sebagimana di Mesir, demikian pula di Andalusia, di masa pemerintahan Hisyam ibn Add. Rahmany, para ulama yang mendapat kedudukan tinggi menjabat sebagai hakim Negara, adalah mereka yang mengatur mazhab Maliki, sehingga mazhab Maliki ini bertambah subur dan berkembang pesat disana. Dengan demikian tepatlah apa yang dikatakan Imam ibnu Hasyim, “dua aliran mazhab yang keduaduanya tersiar dan berkembang pada permulaannya adalah kedudukan dan kekuasaan, yaitu: Mazhab Hanafi di Timur dan Mazhab Maliki di Andalusia. Diantara para sahabat Imam Malik yang berjasa mengembangkan mazhabnya antara lain: ‘Utsman ibn al-Hakam al-Juzami,Abd Rahman ibn Kahalid ibn Yazid ibn
Yahya, Abd. Rahman ibn al-Qasim, Asyab ibn Abd Aziz, Ibn al-Hakam, Haris ibn Miskin dan orang-orang yang semasa dengan mereka.43
B. Syarat-Syarat Taubat dan Cara Bertaubat Menurut Pendapat Imam Malik Syarat-syarat taubat maksudnya disini adalah syarat-ayarat taubat yang dapat menggugurkan hukuman. Dalam hal ini. Imam Malik mengemukakan: Taubat itu meliputi lahir bathin, tetapi hukum melihatnya dari segi lahirnya. Masalah bathin hanya Allah semata yang mengetahuinya. Jika pelaku hirabah melakukan perampasan harta atau perampokan taubat sebelum tertangkap, maka taubatnya diterima dan segala konsekwensinya berlaku. Tetapi sebagian ulama mensyaratkan bahwa yang bertaubat itu menyerahkan diri kepada penguasa atau pemerintah, lalu penguasa atau pemerintah menerimanya.44 1. Hadd gugur atas dirinya.
ُ%َِ;ُرُ رT َ@ن ا َُا أ1َ2ْIَ ْ%ِ5َْ2َI ِرُواHْ!َ" ِ أَن3َْ4 *ِ+ ِی*َ "َُاP ا#ِإ Artinya : “kecuali orang-orang yang taubat (diantara mereka) sebelum kamu dapat menguasai (menangkap) mereka; maka ketahuilah bahwasannya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. (Qs. Al-Maidah (5): 34.
ٌ%َِ;ُرُ رT َ@َِْ إِن ا2َI ُُبGَِن ا@َ یkَ ََ2ِِْ وَأَﺹ1ْ2ُF ِHْ=َ *ِ+ ََ* "َب1َ Artinya:“Maka barangsiapa bertaubat (diantara pencuri-pencuri itu) sesudah melakukan kejahatan itu dan memperbaiki diri, maka sesungguhnya Allah menerima taubatnya. Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. (Qs. Al-Maidah (5): 39.
43 44
Huzaimah Tahido Yango, Pengantar Perbandingan Mazhab. Logos Wacana Ilmu, 2003. Said Sabiq Fiqh Sunnah 1987.9, H. 191.
Nabi Muhammad Saw bersabda:
َُ َeََْ ذ# ْ*َ1َِ آeْPِ*َ ا+ ُeِKGَا Artinya: “orang yang bertaubat dari dosa seperti orang yang tak punya dosa. Dengan demikian, orang yang tak punya dosa tak bisa di jatuhi hadd. 2. Had tidak bisa gugur atas dirinya. Menurut pendapat imam Malik, yang berdasarkan firman Allah berikut:
ٍَةHْ2َ9 َ َKَ+ َ1ُ5ْ/+ ٍHِ وَا3ُُوا آHِ2ْ9َ Mِااَِ ُ وَاا Artinya: “perempuan yang berzina dan laki-laki yang berzina, maka derahlah tiap-tiap seorang dari keduanya seratus kali. (Qs. An-Nur (24): 2. Dan firman Allah:
َ1ُ5َِیHَْ=ُا أَیQْ4َ ُ َ4ِرLرِقُ وَاLوَا
Artinya : “laki-laki yang mencuri dan perempuan yang mencuri, potonglah tangan keduanya. (Qs. Al-Maidah (5): 38. Ayat diatas dapat dipahami bahwa orang yang melakukan perbuatan yang keji atau kejahatan harus dikenakan hukuman, tetapi jika ia bertaubat dan memperbaiki diri maka bebaskan ia dari hukuman dan Allah menerimah taubatnya, demikian pendapat Imam Malik.45 Landasan berikutnya adalah berdasarkan firman Allah berikut ini:
ٌ%َِ;ُرُ رT َ@َِْ إِن ا2َI ُُبGَِن ا@َ یkَ ََ2ِِْ وَأَﺹ1ْ2ُF ِHْ=َ *ِ+ ََ* "َب1َ Artinya: “Maka barangsiapa bertaubat (diantara pencuri-pencuri itu) sesudah melakukan kejahatan itu dan memperbaiki diri, maka sesungguhnya 45
Ibid. h. 195.
Allah menerima taubatnya. Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. (Qs. Al-Maidah (5): 39. Ayat diatas dapat dipahami, bahwa siapa yang bertaubat setelah melakukan kejahatan dan memperbaiki dirinya, Maka Allah menerima taubatnya. Jika Allah sendiri telah menerima taubat hamba-hamba-Nya yang menyesal atau insyaf atas kejahatan yang telah dilakukannya dan bebaskan dari hukumannya. Maka manusia tidak boleh menghukumnya Allah-lah yang berhak menghukum orang-orang yang bersalah, tetapi yang bersalah, dia pula yang berhak memberi pengampunan atas orang yang berdosa itu. Penjelasan diatas didukung pula oleh hadis Rasulullah SAW yang diriwayatkan oleh imam at-Tarmidzi dari Ibnu Umar r.a sebagi berikut:
2I @ ا2ل رل ا@ ﺹ4 :ل4 15/I @ رﺽ ا1I ** اI h )رواT . ی% + H= " ا3! ی39 وI @ ان ا:%2و 46 (ىP+Gا Hadits di atas menjelaskan, bahwa Allah SWT itu sesungguhnya tetap menerima taubat hamba-hambanya, sebelum nyawanya berada ditenggorokan. Selanjutnya pendapat yang mengatakan haddnya tidak gugur, pendapat ini berasal dari Imam Malik beralasan dengan firman Allah surat An-Nur berikut ini:
َ1ِ5ِ %ُْآPُ?ْUَ"َ#ََةٍ وHْ2َ9 َ َKَ+ َ1ُ5ْ/+ ٍHِ وَا3ُُوا آHِ2ْ9َ Mِااَِ ُ وَاا َ1ُ5ََاPَI ْHَ5ْ َََْ?ِِ وZُْنَ ِ@ِ وَاَْْمِ ا/ِ+ْ0ُ" ْ%ُG/ُ دِی*ِ ا@ِ إِن آMِ ٌ َْرَأ َ*ِ/ِ+ْ0ُ1ْ*َ ا+ ٌ َ;ِK َY 46
Al-Baqi 1347 H. 1 : 779).
Artinya: “Perempuan yang berzina dan laki-laki yang berzina, maka deralah tiaptiap seorang dari keduanya seratus kali dera, dan janganlah belas kasihan kepada keduanya mencegah kamu untuk (menjalankan) agama Allah, jika kamu beriman kepada Allah, dan hari akherat, dan hendaklah (pelaksanaan) hukuman mereka disaksikan oleh sekumpulan dari orang-orang yang beriman. (QS. An-Nur (24): 2. Ayat diatas menjelaskan bahwa perempuan dan laki-laki yang berzina, maka hukum deralah masing-masing sebanyak seratus kali dera (pukulan)
ُ@*َ ا@ِ وَا+ ً#َOَ ََLََ آ1ِ ًءoََ9 َ1ُ5َِیHَْ=ُا أَیQْ4َ ُ َ4ِرLرِقُ وَاLوَا ُ%ِOَ ٌَِیI Artinya: “Laki-laki yang mencuri dan perempuan yang mencuri potonglah tangan keduanya (sebagai) pembalasan dari apa yang mereka kerjakan dan sebagai siksaan dari Allah. Dan Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana. (Qs. Al-Maidah (5): 38 Ayat ini dapat dipahami, bahwa siapa yang mencuri, baik Ia laki-laki maupun perempuan harus dipotong tangannya. Dalil yang mereka pergunakan untuk mengatakan, bahwa hadd tidak gugur dengan bertaubat karena mereka beranggap bahwa sesungguhnya hadd itu kifarat, tidak bisa gugur dengan bertaubat. Selain itu hadd merupakan ketentuan yang harus diterima olehnya, sebagimana hadd bagi pelaku hirabah yang telah dapat dibekuk atau ditangkap oleh pihak yang berwajib.47 Pertanyaan selanjutnya Gugurnya hadd itu karena bertaubat. Ataukah karena taubat dan perbaikan tingkah lakunya? Terhadap hal ini ada dua pendapat, yakni :
1. Hadd gugur karena taubat (saja).
47
Said Sabiq 1987. 9, h. 196.
Karena taubat itu sendiri menggurkan had. Jadi ini disamakan dengan taubatnya pelaku hirabah sebelum dapat dibekuk. Dan mengembalikan harta ramapsannya kepada pihak korban. 2. Selain taubat, perbaikan tingkah lakunya juga turut menentukan apakah hadd menjadi gugur atau tidak. Dalam hal ini Firman Allah menyatakan:
ٌ%َِ;ُرُ رT َ@َِْ إِن ا2َI ُُبGَِن ا@َ یkَ ََ2ِِْ وَأَﺹ1ْ2ُF ِHْ=َ *ِ+ ََ* "َب1َ Artinya: “Maka barangsiapa bertaubat (diantara pencuri-pencuri itu) sesudah melakukan kejahatan itu dan memperbaiki diri, maka sesungguhnya Allah menerima taubatnya. Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. (Qs. Al-Maidah (5): 39. Sebagai logisnya pendapat ini, maka taubat dan perbaikan tingkah laku dapat di ketahui setelah beberapa waktu kemudian. Pendapat ini sesunggunya pendapat yang memberikan batasan waktu kepada sesuatu yang seharusnya tidak perlu pembatasan waktu. Karena bagi pelaku hirabah setelah bertaubat tidak mempunyai batasan untuk berbuat baik. Maksudnya tanpa pembatasan waktu, seketika ia telah menujnjukan perilaku setelah ia mengucapkan atau bertaubat saat itu pula ia menunjukan sikap ataupun tingkah laku yang baik.48
48
Said Sabiq, Fiqh Sunnah. Jld. 9, h. 197.
C. Dasar Pendapat Imam Malik Tentang Taubat Yang Dapat Menggugurkan Hukuman Jarimah Hirabah. Sebagaimana telah diketahui dari uaraian dimuka, bahwa taubat dapat menggurkan hukuman atau sanksi jarimah hirabah (perampokan menurut pendapat Imam Malik adalah berdasarkan fiman Allah dalam berikut ini:
ُ%َِ;ُرُ رT َ@ن ا َُا أ1َ2ْIَ ْ%ِ5َْ2َI ِرُواHْ!َ" ِ أَن3َْ4 *ِ+ ِی*َ "َُاP ا#ِإ Artinya: “kecuali orang-orang yang taubat (diantara mereka) sebelum kamu dapat menguasai (menangkap) mereka; maka ketahuilah bahwasannya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. (Qs. Al-Maidah (5): 34. Ayat diatas dapat dipahami, bahwa Allah mengampuni bagi orang-orang yang melakukan kejahatan setelah ia bertaubat dan sebelum perkaranya di adili oleh hakim atau sebelum tertangkap oleh penguasa. Artinya jika ia sudah tertangkap oleh yang berwajib baru berbuat, maka hukumnya tetap harus dilaksanakan. Karena kemungkinan besar ia berbuat disebabkan akan hukum, jika tidak tertangkap ia tidak berbuat.49 Kemudian menurut pendapat Imam Malik, bahwa taubat dapat menggugurkan hukuman jarimah hirabah yang menakut-nakuti dan merampas harta, yang mana pelaku taubat sebelum perkaranya diangkat kepengadilan dan mengembalikan harta secara utuh kepada si korban. Diterimamnya taubat sebelum ditangkap bisa memeberikan harapan bagi pelaku untuk bertaubat dan berhenti dari melakukan gangguan keamanan dan merusak. Hal inilah yang mebuat hukuman hudud layak digugurkan. Tidak ada alasan untuk memberikan harapan kepada orang yang taubat 49
Said Sabiq, fiqh Sunnah 1987.jld. 9.h. 195.
setelah ditangkap karena ia sudah tidak mampu melakukan gangguan keamanan dan merusak 50 Ayat diatas juga dapat dipahami, bahwa siapa yang melakukan kejahatan, kemudian ia menyesal atau bertaubat dan memperbaiki kesalahan-kesalahan, maka Allah mengampuninya. Karena Allah itu mempunyai sifat pengampun dan penyayang terhadap hamba-hambanya. Taubat bagi pelaku hirabah sebelum mereka ditangkap atau diadili oleh hakim merupakan pertannda mereka mulai menyadari dan menyesali perbuatan kejahatan yang dilakukan, mereka insyaf dan kemudian hendak memperbaiki diri atau membersihkan diri dari dosa-dosa dan tidak akan mengulangi perbuatan-perbuatan itu51. Disisi lain Imam Malik berpendapat bahwa: Taubat itu menggurkan had yang berkenaan dengan hak Allah saja, adapun yang berkenaan dengan hak manusia tetap dituntut.52 Demikian uraian mengenai masalah taubat bagi pelaku jarimah hirabah menurut Imam Malik. Dari uraian tersebut diketahui bahwa taubat dapat mengugurkan hukuman apabila ia bertaubat sebelum ditangkap dan di adili.
50
Muhammad Abdullah bin Qudamah, al-Mugniy’ ala Mukgtasa al-Kharaqiy (Penerbit alManar), h. 20 51 Asna’ Matalib Syarh Raudit thalib (Penerbit al-Maymaniyyah), cet 1, Hasyiyyah Abi alAbbas Ahmad ar-Ramliy (Penerbit Al-Maymaniyyah), jld. IV, h. 155 52 Said Sabiq, Fiqh Sunnah. Jld. 9, h. 191
D. Pemaafan Bagi Pelaku Tindak Pidana Dalam Hukum Pidana di Indonesia 1. Pengertian Garasi dan Amnesti Grasi dan Amnesti di dalam bahasa belanda itu ditulis dengan “Gratie dan Amnesti” yang mana artinya: grasi adalah merupakan ampunan dari hukuman yang telah dijatuhkan dengan putusan pengadilan, yang telah diperoleh kekuatan hukum yang tetap padanya. Dan yang berhak memberikan grasi adalah presiden. Sedangkan amnesti adalah merupakan penghapusan hukuman pidana secara umum mengenai perbuatan-perbuatan pidana tertentu, dengan tidak melihat apakah sudah diperiksa dan ataupun diputus.53 Amnesti hanya dapat diberikan dengan undang-undang ataupun atas kuasa Undang-undang oleh presiden dengan mendapat nasehat dari Mahkamah. Selain dari pada itu ada pula pendapat lain yang mengatakan bahwasanya grasi adalah merupkan upaya hukum yang diajukan oleh terpidana (pelaku tindak pidana) kepada Presiden, sehingga dengannya orang itu tak harus menjalani hukuman yang dijatuhkan oleh hakim terhadap dirinya jikalau presiden mengabulkannya.54 Dalam arti bahwa grasi adalah pengampunan yang diberikan oleh presiden atas permintaan, yang dapat berupa penghapusan hukuman ataupun berupa pengurangan hukuman. Sedangkan amnesti adalah suatu pengampunan yang diberikan oleh presiden terhadap terpidana atau pelaku tindak pidana tanpa harus adanya permintaan.
53
Martias Gelar Imam Radjo Mulano, Pembahasan Hukum (Penjelasan Istilah-istilah Hukum Belanda-Indonesia) (Jakarta:Ghalia Indoneisa, 1982), Cet.Ke-1, h. 96 54 Sutachod Kertanegara SH, dan Pendapat-pendapat Para Ahli Hukum, Hukum Pidana Kumpulan Kuliah II, Balai Lektur Mahasiswa, Tth), h. 239
Ataupun juga suatu ketentuan dimana dinyatakan bahwa kejahatan tertentu yang telah dilakukan oleh seseorang atau beberapa orang, tidak mempunyai akibat hukum bagi orang yang tersangkut dari kejahatan. 55 Atau dapat dikatakan juga bahwa amnesti adalah wewenang Kepala Negara dengan Undang-undang atau atas kuasa undangundang, dan dengan diberikannya amnesti ini maka semua akibat hukum pidana terhadap orang-orang yang telah melakukan suatu delik dihapuskan atau ditiadakan, dan amnesti ini mempunyai akibat hukum yang lebih luas, sebab amnesti ini dapat diberikan kepada mereka yang telah dihukum maupun kepada yang belum di hukum.56 Dari kedua istilah diatas tersebut dapat disimpulkan bahwa pada hakikatnya keduanya adalah sama, yaitu sama-sama merupakan pemberian pengampunan kepada pelaku tindak pidana oleh kepala negara atau Presiden. Dan jika diberikan karena permintaan. Maka disebut grasi, dan jika diberikan kepada sekelompok orang terpidana atau kepada keseluruhan mereka dan tanpa adanya permohonan atau permintaan, maka hal itu disebut amnesti. Sebenarnya grasi itu disebut dengan istilah “guns betoon” yang artinya kemurahan hati, yaitu kemurahan hati dari seorang raja terhadap orang-orang yang melakukan pelanggaran tindak pidana dengan cara mengampuni dan memaafkan, dan bisa disebut juga sebagai hadiah, karenanya diangap bukan suatu tindakan hukum. Bagi orang yang mendapatkannya diberikan kebebasan, artinya ia bisa menerima atau
55 56
Ibid, h. 233 Ibid,
bahkan menolaknya karena hal tersebut bukan merupakan sebuah tindakan hukum, melainkan hanya bersifat sebagai hadiah yang diberikan oleh kepala negara atau penguasa terhadap orang yang dikehendakinya dengan pertimbangan-pertimbangan tertentu yang dianggap penting. Namun seiring dengan perkembangan jaman, mak istilah itu berubah menjadi “Daad Vanreegt” yang artinya tindakan hukum, dalam arti, pada saat sekarang ini bahwa grasi adalah merupakan suatu tindakan hukum yang berproses pada hukum. Sehingga untuk pemberian grasi ini harus ada persetujuan dan ditandatangani oleh menteri kehakiman, karena merupakan tindakan hukum, bagi siapa saja yang mendapatkannya maka dia harus dapat menerimanya sebagai “Guns betton’ (kemurahan hati atau hadiah) maka siapun bisa untuk menolak dan tak mesti menerimanya.57 Perbandingan antara Grasi dan Amnesti yang mengandung penghapusan pelaksanaan tindak pidana adalah sebagai berikut.58 a. Pemberian grasi tidak meniadakan kesalahan atau sifat melawan hukum dari tindakan yang dilakukan oleh terpidana yang karenanya cap dia sebagai terpidana atau narapidana tetap adanya. Lain halnya dengan amnesti yang mana ia meniadakan adanya kesalahan adan atau sifat melawan hukum dari tindakan tertentu tersebut. Karenanya bagi mereka yang menerima amnesti tidak ada lagi padanya cap terpidana ataupun narapidana.
57
Ibid, h.238 S. R. Sianturi, Asas-asas Hukum Pidana di indonesia dan penerapannya. (Jakarta: Alumni AHEAM-PETEHEAM, 1996), Cet. Ke-4. h.44) 58
b. Grasi itu diberikan kepada seseorang atau terpidana dengan menyebut nama, sedangkan amnesti diberikan kepada pelaku-pelaku tanpa menyebut namanama dari suatu kejahatan tertentu yang dilakukan dalam waktu dan daerah tertentu. c. Pemberian grasi tidak meniadakan ketentuan pengulangan (residiv) sebagai tindakan yang pertama, sedangkan untuk pemberian amnesti meniadakan tindakan tersebut sebagai dasar atau alasan untuk penerapan ketentuan resediv. 2. Dasar Alasan adanya Grasi dan Amnesti Dalam bukunya Satochid menyatakan alasan dari pemberian grasi adalah demi untuk memperbaiki akibat dari pelaksanaan undang-undang yang dianggap dalam beberapa hal kurang adil, dan demi untuk kepentingan Negara dan Bangsa.59 Hal itu seiring dengan pendapat, E. Utrecht yang menjelaskan bahwasanya grasi itu lebih bersifat suatu koreksi atas keputusan hakim, yaitu suatu koreksi yang diadakan berdasarkan alasan-alasan yang diketahui sesudah hakim memutuskan perkara yang bersangkutan.60 Oleh karenanya berdasarkan pada ketentuan-ketentuan ini, maka setiap hukuman yang dijatuhkan dan telah memperoleh kekuatan hukum yang tetap, itu masih dapat dimohonkan grasi.
59
Satochid Kartanegara SH. Cet., h.240. E. Utrecht, Rangkaian Sari Kuliah Hkum Pidana II, (Surabaya: Pustaka Pinta Mas, 19870, Cet. Ke-3, h.251. 60
Namun E. Utrecht juga menambahkan bahwa alasan-alasan diberikannya grasi terhadap terpidana diantaranya adalah: a. Adanya kepentingan keluarga dari yang terhukum. b. Yang terhukum diduga menderita penyakit yang tidak dapat disembuhkan. c. Yang terhukum ia pernah sangat berjasa bagi masyarakat. d. Yang terhukum berkelakuan baik di penjara dan memperlihatkan keinsyafan atau kesalahannya.61 Namun dalam Undang-undang Nomor 11 Tahun 1954 disebutkan bahwa Presiden atas kepentingan Negara, dapat memberikan amnesti adan abolisi kepada orang-orang yang melakukan tindak pidana. Hal ini merupakan kewenangan Presiden sebagai kepala Negara. Amnesti ini adalah suatu pengampunan dari presiden yang dapat menghapuskan semua akibat hukum pidana bagi orang-orang yang telah melakukan suatu tindakan pidana. Amnesti ini juga dapat diberikan kepada orangorang yang telah melakukan tindak pidana dengan tidak terkait oleh waktu kapan amnesti akan diberikan. Jadi amnesti dapat diberikan sesudah maupun sebelum ada keputusan pengadilan.62 Pada dasarnya amnesti adalah merupakan hak yang diberikan kepada presiden untuk menghapuskan hak penuntutan dari penuntut umum yang penghentiannya serta sekaligus penghapus hak (menyuruh) melaksanakan pidana dari penuntut umum
61
Ibid Ali Yuswandi, Penuntutan, Hapusnya Kewenangan Menuntut dan Menjalankan Pidana, (Jakarta: CV pedoman Ilmu Jaya. 1995), Cet. Ke-1, h. 113-114 62
terhadap pelaku-pelaku dari suatu tindak pidana tertentu demi kepentingan negara. Adapun cara pemberian amnesti itu dapat dilakukan dengan dua kemungkinan, yaitu; a. Diberikan dengan undang-undang b. Berdasarkan undang-undang Upaya hukum grasi adalah sebagai salah satu upaya hukum atas putusan hakim dalam perkara pidana. Ia mempunyai sifat berbeda (khusus) dibandingkan upaya hukum seperti “banding” maupun “kasasi”. Karena di dalam upaya hukum seperti banding maupun kasasi, pihak pemohon pada dasarnya tidak mengakui dirinya bersalah dan meminta kepada pengadilan yang lebih tinggi untuk memeriksa dan mengadili sendiri atas perkara yang dimohonkan banding atau kasasi tersebut.63 Adapun pada upaya hukum grasi ini pada dasarnya telah mengakui dirinya bersalah dan menerima putusan hukuman yang telah dijatuhkan oleh hakim kepadanya dan atas kesalahannya tersebut pemohon mengajukan permohonan ampun kepada presiden dan meminta agar hukuman yang telah dijatuhkan kepadanya dapat dikurang bahkan dihapuskan.64 Dari uraian-uraian diatas tadi sedikitnya penulis akan memberikan catatan terhadap perbedaan-perbedaan dan sedikit kesamaan yang ada dalam hukum (Pidana Indonesia) dan Hukum Islam. 1. Dalam Hukum Islam grasi dan amnesti dikenal dengan istilah al-Afu (pemaafan), yang mana pengampunan/pemaafan tersebut boleh dilakukan
63 64
Departemen Hukum dan Perundang-undangan Republik Indonesia, h.90. Ibid, h.91.
apabila perkara tersebut belum ditangani atau sampai kepada tangan pengadilan atau penguasa, hal ini hanya terdapat pada jarimah hirabah, pencurian, dan qazap. Untuk pemaafan atau pengampunan tersebut, hanyalah dapat diberikan oleh korban pelaku tindak pidana tersebut, bukan oleh penguasa. yang mana pemaafan tersebut adakalanya dengan diyat, peringanan atau rekonsiliasi tanpa diyat. 2. Grasi dan amnnesti adalah merupakan Pemberian pengampunan yang dapat mengurangi atau menghapuskan sangsi hukuman yang telah diberikan pada pelaku tindak pidana. Begitu pula dalam hukum Islam yang dikenal dengan istilah Al-Afu dari korban. 3. Bahwa grasi dan amnesti yang terdapat pada Hukum Pidana Indonesia adalah mempunyai makna pengurangan, penghapusan hukuman atupun tuntutan. Yang mana inti dari keduanya adalah sama, yaitu adanya benntuk pengampunan atapun penghapusan. 4. Perbedaan yang paling mendasar adalah: bahwa dalam Hukum Islam Pembagian tindak pidana sangat mempengaruhi terlaksananya sangsi hukuman pada pelaku tindak pidana.
DAFTAR PUSTAKA
Al-QUR’AN AL-KARIM. Al-Muaatha Al-Mudawwanah Sabiq, Sayyid. Fiqh Sunnah. Di terjemahkan Oleh; Moh. Nabhan Husein. Bandung: PT. Alma’Arif Jalan : Tamblong. No.48-50. Jilid 9-10. Bahriesj, Husein. Kamus Hadits Sahih Bukhari Muslim. Bandung: PT. Al Huda. Amin Suma, Muhammad. Dkk.: Pidana Islam di Indonesia. Pustaka Firdaus 2001. Abdurrahman. Perbandingan Mazhab. Bandung: Sinar Baru, 1991. Djazuli, H.A, Fiqh Jinayah Upaya Menanggulangi: Kejahatan Dalam Islam), Jakarta: PT Raja Grafindo Persada 1997,cet. ke-2. Undang-undang, No. 22 tahun 2002 tentang Grasi. Abbas, Siradjudin. Sejarah dan Tarbiyah, 1983.
Keagungan Mazhab Syafi’i. Jakarta: Pustaka
Asqalani,al-Hafiz Ibnu Hajar .t.t. Bulugh al-Maram. Mesir: Syirkati an- Nur Aisiyah. Al-Bukhari. Abu ‘Abdillah Muhammad bin Ismai’il. 1182 H. Sahih Bukhari. Mesir: Maktabah Dar al-Kutub al-Arabiyah. Chalil, Mounawar. Biografi Empat Serangkai Imam Mazhab. Jakarta: Bulan Bintang, 1992. Depag RI. Al-Fiqih. Jakarta: Direktorat Jenderal Pembinaan Dan Pengembangan Pendidikan Tinggi Agama,1988. Debdikbud. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka, 1989.
Doi, Abdurrahman. Hukum Pidana Dalam Syariat Islam. Jakarta: Andes Utama,1992. Ghazali, M. Bahri dan Djumadris. Perbandingan Mazhab. Jakarta: Pedoman Ilmu Jaya, 1992. Haliman. Hukum Pidana Syari’at Islam. Jakarta: Bulan Bintang,1970. Hanafi, Ahmad. Asas-Asas Hukum Pidana Islam. Jakarta: Bulan Bintang, 1993. Ibnu Rusyd. Bidayah al-Mujtajid. Diterjemahkan Oleh Imam Ghozali Said dan A. Zainudin. Jakarta: Pustaka Amani1995, Jilid 5. Malik bin Anas. Al-Muwatha’. Diterjemahkan oleh Adib Bisri Musthopa. Semarang: asy-Syifa’, 1995. Jilid 2. Al-Maraghi, Ahmad Musthafa. Tafsir al-Maraghi. Diterjemahkan oleh Bahrun Abubakar. Semarang: Toha Putra, 1984. Jilid 2. Marsum. Jinayat (Hukum Pidana Islam). Jakarta: Bumi Aksara, 1991. ------- Jarimah Ta’zir. Jakarta: Bumi Aksara, 1992. Muslim, Ibnu al-Hajjaj. t.t. Sahih Muslim. Mesir: Mustafa al-Babi Wa Auladuh Rifa’I Moh. Et. Al. Terjemah Khulasah Kifayah al-Akhayar. Semarang: Toha Putra,1978. Sabig, Sayyid. 1990. Fiqih Sunnah. Diterjemahkan oleh A. Ali. Bandung: alMa’arif,1990. Jilid 9 dan 10. As-San ‘ani, Muhammad bin Isma’il. Subul as-Salam. Surabaya: al-Ikhlas,1995 Jilid 3. Ash-Shddieqy, M. Hasbi. Pokok-Pokok Pegangan Imam Mazhab. Jakarta: Bulan Bintang, 1974. -------Hukum-Hukum Fiqih Islam. Jakarta: Bulan Bintang, 1991. Asy-Syarqawi, Abdurrahman. Kehidupan Pemikiran dan Perjuangan Lima Imam Mazhab. Diterjemahkan oleh Ismuha, Jakarta: Raja Garafindo Persada, 1994. Asy-Syaukani, Muhammad Ibnu Ali. 1347 h. Nail al-Autar. Mesir: Mustafa al-Babi al-Halabi WA Auladuh. Jus 5.
Asy-Syurbasi, Ahmad. Sejarah Dan Biografi Empat Mazhab. Diterjemahkan oleh Sabil Huda dan A. Ahamadi. Jakarta: Bumi Aksara, 1993. Thalib, Moh. t.t. Fiqih Nabawi. Surabaya: al-Ikhlas.