Brief
Tata Kelola Ekonomi Daerah
Ratnawati Peneliti KPPOD
D
alam istilah bahasa Inggris tatakelola adalah pengelolaan keuangan pun semakin besar. governance. Istilah ini semakin populer ketika Disinilah kemudian Pemda memiliki kewenasemakin banyaknya tuntutan terhadap reformasi ngan untuk mengumpulkan Pendapatan Asli birokrasi dan regulasi yang didengungkan oleh Daerah (PAD). Adanya pajak dan sejumlah banyak pihak. Good governance seolah telah retribusi daerah yang dapat dikoleksi oleh Pemda menjadi penguasa terhadap berbagai adalah penyumbang terhadap jumlah PAD ini. penyelesaian permasalahan yang dihadapi Masih banyak silang sengketa tentang wilayah Negara kita. Pada tingkat nasional, banyak sekali pajak pemerintah pusat dan daerah namun suara terutama dari kalangan lembaga swadaya demikian kita tidak akan membahas disini terlalu masyarakat yang meneriakkan prinsip-prinsip jauh. seperti transparansi, akuntabilitas, Gambar 1. Faktor Penggerak Produktivitas Daerah partisipasi, dan fairness management skill raise entrepreneurship yang tidak lain adalah and business performance prinsip pelaksanaan good governance.
SKILL
ENTERPRISE
New firms can create demand for skilled Kebijakan desentralisasi labor yang diterapkan pada skills raise firms tahun 2001 merupakan entry of new firms capacity to develop pertanda demokratisasi raises competition LOCAL and use technology bagi proses GOVERNMENT pengambilan keputusan birokrasi yang disisi lain COMPETITION juga telah menimbulkan INNOVATION increasing competition sejumlah kekhawatiran encourages innovation increasing competition bagi keberlangsungan investment in physical creates incentives for reformasi regulasi dan capital increases firms LOCAL business environment innovative capacity birokrasi yang sedang GOVERNMENT berjalan. Lantas apakah kebijakan desentralisasi atau otonomi daerah ini INVESTMENT adalah kebijakan kontra terhadap prinsip good governance. Pastinya tidak ada pengalaman absolut yang menjawab Faktor Penggerak Produktivitas Daerah pertanyaan tersebut. Sejumlah penelitian dan Ada dua pihak yang secara garis besar pengalaman Negara lain yang menerapkan kebijakan ini memiliki pandangan yang berbeda- berinteraksi dalam menentukan kinerja beda. Cina, misalnya, kebijakan desentralisasi perekonomian daerah yaitu Pemda dan pelaku yang dijalankannya telah berhasil menciptakan usaha. Pemda sebagai pembuat kebijakan publik yang terkait dunia usaha memiliki peran yang wilayah-wilayah kawasan industri yang produknya bisa bersaing secara internasional. besar dalam penentuan bentuk kompetisi pasar di daerah. Sedangkan pelaku usaha sebagai Semangat desentralisasi terutama adalah pencipta nilai tambah ekonomi turut menentukan pemutusan rantai birokrasi pengambilan kinerja perekonomian daerah melalui peranan keputusan agar terjadi peningkatan kualitas investasi yang berasal dari pemodalan swasta. pada pelayanan publik. Sementara itu di lain Pergerakan bagaimana investasi tersebut pihak, secara administrasi, telah terjadi aliran terbentuk pada suatu daerah merupakan sebuah dana dari pemerintah pusat ke Pemda dalam mekanisme gerak yang terjadi pada sektor swasta. jumlah besar untuk menjadikan otonomi daerah Hal ini terlihat pada Gambar 1. Bagaimana berjalan. Bersamaan dengan semakin besarnya kompetisi dan inovasi dari kehadiran perusahaan fungsi desentralisasi tersebut maka kewenangan dan tenaga kerja yang berkualitas baik
2
diharapkan dapat menciptakan tingkat investasi tertentu. Peranan sektor swasta di daerah dapat menjadi faktor penggerak produktivitas daerah yang mencerminkan keadaan berusaha yang baik. Mengingat hipotesa ini berarti keberadaan perusahaan di kabupaten/kota tertentu menjadi sangat penting.
dekat dengan pasar produk akhir, fasilitas infrastruktur daerah, dan sebagainya. Artinya indikator-indikator tersebut bukanlah merupakan indikator kebijakan Pemda dan untuk melakukan perubahan terhadapnya diperlukan waktu yang relatif lebih lama daripada indikator kebijakan daerah.
Melalui APBD, Pemda diharuskan membuat kebijakan pengeluaran yang memperbaiki kualitas pelayanan publik. Disamping itu melalui kebijakan pendapatannya, Pemda diharapkan mampu mendorong kegiatan usaha ekonomi sehingga diharapkan tercipta sejumlah pemasukan yang berasal dari pajak dan retribusi daerah yang cukup memadai. Setelah fungsi pelayanan
Indikator akses lahan merupakan alat ukur untuk melihat kemudahan perolehan lahan mempengaruhi kinerja perekonomian daerah. Lahan sangat penting dalam memulai kegiatan usaha tertentu karena hampir setiap kegiatan pelaku usaha memerlukan tempat berusaha yang berarti menggambarkan permintaan terhadap lahan. Perizinan usaha merupakan faktor yang selama ini dapat dianggap menjadi rintangan terbesar bagi kalangan dunia usaha dalam memulai usaha. Rintangan tersebut dalam berbagai bentuknya adalah lama mengurus izin, prosedur izin yang berbelit, biaya pengurusan izin yang seringkali merupakan pungutan liar yang terjadi di lingkungan Pemda.
Keadaan Lingkungan Berusaha Di Daerah Mengapa tata kelola ekonomi daerah menjadi hal penting? Konsep tata kelola ekonomi daerah menyoroti sejumlah kebijakan daerah terkait dunia usaha di kabupaten/kota Indonesia. Tentunya kebijakan terkait dunia usaha yang dihadapi pelaku usaha sehari-hari di daerah tidak melulu dibuat oleh Pemda. Di dalam interaksinya terdapat kebijakan pusat yang langsung berlaku di daerah, pihak legislatif daerah, dan pihak eksekutif daerah. Interaksi diantara ketiganya sedikit-banyak mempengaruhi keadaan berusaha di suatu daerah. Jadi Gambar 2 menggambarkan interaksi administrasi. Untuk lebih jelasnya interaksi tersebut terlihat pada gambar 2 berikut. Beberapa indikator yang mempengaruhi keadaan tatakelola ekonomi daerah seperti akses lahan, izin usaha, interaksi pemda dan pelaku usaha, program Pemda untuk pengembangan usaha sektor swasta, integritas Bupati/Walikota, korupsi dan biaya informal, biaya transaksi, transparansi informasi, kebijakan tenaga kerja, dan kebijakan infrastruktur daerah. Indikatorindikator tersebut merupakan kebijakan Pemda
Gambar 2. Keadaan Lingkungan Usaha di Daerah
EKSEKUTIF KAB/KOTA
DPRD KAB/KOTA
PEMERINTAH PUSAT
PERUSAHAAN artinya dibuat dan dibawah pengawasan Pemda dalam pelaksanaan sehari-harinya. Untuk menentukan tingkat kinerja perekonomian daerah masih terdapat indikatorindikator lain selain indikator kebijakan daerah seperti di atas. Indikator tersebut bukan merupakan kebijakan Pemda namun turut menentukan tingkat pertumbuhan ekonomi daerah misalnya. Atau turut menentukan tingkat permintaan terhadap tenaga kerja daerah. Selain itu masih terdapat faktor anugerah (endowment variable) yang mempengaruhi kinerja perekonomian daerah namun bukan sebagai faktor kebijakan daerah. Faktor-faktor tersebut adalah adanya sumber daya alam yang berlimpah, adanya letak posisi daerah yang
3
Indikator lain seperti interaksi Pemda dengan pelaku usaha juga dianggap dapat menentukan tingkat pertumbuhan ekonomi daerah. Jalur cerita untuk hal ini mungkin tidak secara langsung namun demikian bagi tatakelola ekonomi daerah intensitas interaksi antara pelaku usaha dan Pemda menjadi kebutuhan tersendiri. Kebijakan otonomi daerah telah mengubah cara birokrasi bekerja pada tingkat daerah dimana secara tidak langsung juga mempengaruhi bentuk penawaran akan pelayanan publik yang turut juga di dalamnya bentuk interaksinya dengan pelaku usaha daerah. Di beberapa daerah telah muncul inovasi Pemda seperti kegiatan temu Walikota/Bupati dengan pelaku usaha secara rutin sebanyak dua kali sebulan. Namun demikian pun ada beberapa bentuk interaksi yang justru membawa pengaruh negatif terhadap tingkat kompetisi lokal seperti adanya kecenderungan pelaku usaha tertentu yang memiliki hubungan spesial dengan Bupati/Walikota karena adanya kepentingan pribadi si Bupati/Walikota. Tata kelola ekonomi daerah yang baik dapat meningkatkan kinerja perekonomian daerah bukanlah merupakan dampak yang diramalkan terjadi dalam satu-lima tahun setelah pemberlakuannya. Seperti berbagai kebijakan publik lainnya di tingkat nasional, yang membutuhkan senjang waktu (time lag) yang panjang untuk melihat dampaknya terhadap tingkat output yang merupakan sasaran program kebijakan itu. Yang penting untuk dijadikan perhatian kita disini adalah segala bentuk implementasi good economic governance tersebut harus mendapatkan jalur yang memiliki tujuan akhir yang jelas yaitu kinerja perekonomian. Tentunya banyak sekali faktor-faktor yang dapat kita anggap sebagai kinerja perekonomian dimana salah satunya adalah tingkat investasi daerah. Tingkat investasi ditentukan oleh faktor biaya dan faktor pengembalian modal. Peranan tata kelola ekonomi adalah pada tataran pembentukan faktor biaya investasi. Antara faktor biaya dan faktor pengembalian modal merupakan wilayah yang masih bisa tercakup sebagai tata kelola ekonomi yang sedikit-banyak merupakan faktor ekonomi-politik. Untuk
Bersambung ke halaman 13
Kerjasama Antar Pemerintah Daerah Dalam Rangka Pembangunan Ekonomi Berbasis Wilayah Ig. Sigit Murwito
A lasan penerapan kebijakan desentralisasi di berbagai negara umumnya adalah dalam
rangka memperbaiki kinerja sektor publik demi mencapai kesejahteraan masyarakat dengan mendekatkan perencanaan dan pelayanan kepada masyarakat. Alasan lain adalah juga untuk mendukung pembangunan ekonomi yakni percepatan pertumbuhan ekonomi daerah, dengan menyerahkan sejumlah kewenangan pengelolaan pembangunan kepada pemerintah daerah (pemda) secara otonom (otonomi daerah). Dengan demikian desentralisasi juga mengandung konsekwensi bahwa wilayah pengelolaan yang membutuhkan intervensi pemerintahan menjadi mencakup area yang sangat luas.
Berarti pemda adalah aktor penting dalam keberhasilan pembangunan daerah dalam berbagai aspek dimana tujuan akhirnya adalah kesejahteraan masyarakat yang berada di wilayahnya. Dengan demikian pembangunan ekonomi daerah harus direncanakan secara komprehensif. Di era otonomi daerah perencanan dan pelaksanaan pembangunan daerah dihadapkan pada dua kenyataan yakni, batas wilayah administratif (sesuai peraturan perundangan), dan batas wilayah fungsional (sesuai hubungan sosial ekonomi lintas batas administratif). Batas wilayah administratif ditentukan secara formal melalui peraturan perundangan, akan tetapi dalam kenyataan sering kali hubungan fungsional di bidang sosial ekonomi melewati batas-batas wilayah administratif tersebut. Pertanyaannya adalah, bagaimana pemda dapat berhasil melaksanakan pembangunan demi kesejahteraan warganya? Bagaimana agar pembangunan ekonomi bisa mencapai kondisi optimal sehingga tercapai kesejahteraan masyarakat? Pembangunan Ekonomi Wilayah Pengembangan ekonomi regional adalah suatu strategi kombinasi kewenangan daerah untuk dapat mandiri dengan basis atau berkah sumberdaya yang dimiliki dengan kemampuan menciptakan interaksi dan keterkaitan dengan daerah lain disekitarnya atau wilayah ekonomi yg lebih luas. Pembangunan ekonomi regional (regional ekonomic development), harus dilaksanakan dengan satu strategi pembangunan ekonomi menyeluruh (Comprehensive Economic Development Strategis - CEDS). CEDS dirancang
Manager Penelitian & Pengembangan KPPOD
untuk mensinergikan sektor swasta dan publik dalam menciptakan suatu roadmap ekonomi untuk memperkuat ekonomi regional yang beragam. CEDS adalah panduan untuk menetapkan hasil dan sasaran regional, mengembangkan dan menerapkan satu rencana kegiatan, dan mengidentifikasi sumber pembiayaan serta prioritas-prioritas investasi. Kerjasama yang antar daerah (Inter Regional Cooperation-IRC) merupakan unsur penting dan integral dalam implementasi suatu CEDS. IRC merupakan tidak hanya perwujudan dari keterkaitan antara pemerintah dengan pemerintah melainkan juga mencakup kerjasama antara pemerintah dengan sektor swasta (Public Private Partnerships). Dengan demikian CEDS manggambarkan dan mencakup kooperasi efektif antar otoritas-otoritas publik, sektor swasta dan institusi-institusi lain yang terkait (Lembaga Penelitian, Akademisi, NGO, dll). Sebagai rencana yang berbasis pada capaian, CEDS akan mengambil peran kritis dalam usahausaha untuk melindungi kegagalan perekonomian akibat perdagangan global, kompetisi dan kejadian lain yang mengakibatkan hilangnya investasi swasta dan penggangguran. Karenanya IRC akan dapat meningkatkan produktivitas, daya saing, serta mutu hidup dan mencapai satu kohesi antar daerah-daerah secara menyeluruh. Pemekaran Daerah versus Kerjasama Daerah Setelah diberlakukannya UU Nomor 22 Tahun 1999, terlihat bahwa otonomi daerah telah dipersepsikan dan disikapi secara variatif oleh beberapa pemda di Indonesia. Persepsi yang terbangun tersebut sedikit banyak berpengaruh pada pelaksanaan pembangunan ekonomi wilayah. Ada daerah yang mempersepsikan otonomi sebagai momentum untuk memenuhi keinginan-keinginan daerahnya sendiri tanpa memperhatikan konteks yang lebih luas yaitu kepentingan negara secara keseluruhan dan kepentingan daerah lain yang berdekatan. Kabupaten/kota cenderung memproteksi potensinya secara ketat demi kepentingannya sendiri, dan menutup diri terhadap daerah lain. Dampak negatif kegiatan ekonomi (esternalitas) di suatu daerah terhadap daerah lain, sering tidak dihiraukan lagi. Hal ini tampak dari berkembangnya sentimen
4
primordial, konflik antar daerah, KKN, konflik antar penduduk, eksploitasi sumberdaya alam secara berlebihan, dan munculnya sikap ego daerah yang berlebihan, dan yang terakhir adalah masifnya upaya pemekaran daerah. Pemekaran daerah yang terjadi secara masif setelah era otonomi daerah adalah bentuk lain dari penyikapan daerah terhadap otonomi daerah. Disamping persoalan diatas, permasalahan umum yang sering dihadapi setiap daerah dalam pembangunan dan pelayanan publik adalah keterbatasan anggaran. Kebutuhan belanja publik cenderung meningkat dengan cepat, sementara peningkatan pendapatan daerah tidak sebanding dengan peningkatan kebutuhan belanja publik. Kondisi ini diperburuk lagi dengan kebijakan daerah untuk membangun sarana dan prasarana publik di daerahnya secara sendiri-sendiri dalam batas wilayah administratifnya. Sesungguhnya sarana dan prasarana publik tersebut bisa dikerjakan secara bersama-sama dengan daerah yang berdekatan atau tetangga, sebab sarana dan prasarana publik tersebut juga merupakan kebutuhan daerah tetangganya. Akibatnya, beban anggaran di masing-masing daerah semakin berat, dan bahkan banyak rencana pembangunan yang tidak dapat terlaksana sebagai akibatnya.
antar pemda tidak mungkin dilakukan karena terlalu ekstrem dan tentunya akan banyak mendapat tantangan secara politis dan memakan cost yang besar. Saat ini yang bisa kita lakukan adalah dengan memberikan rambu-rambu yang lebih ketat untuk menekan masifnya pemekaran daerah. Solusi lain yang relatif moderat adalah dengan mendorong pemda untuk melakukan kerjasama antar daerah demi mencapai ukuran yang optimal dalam pembangunan ekonomi dan pelayanan publik. Manfaat Kerjasama antar Daerah Kerjasama telah dikenal sebagai cara yang jitu untuk mengambil manfaat dari economies of scales. Sebagai contoh, pembelanjaan atau pembelian bersama, dimana pembelian dalam skala besar atau melebihi threshold points ditinjau dari biaya overhead (overhead cost) akan lebih kecil dan menguntungkan dari pada dalam skala kecil. Contoh lain adalah sharing dalam investasi, seperti dalam penyediaan fasilitas dan peralatan, serta pengangkatan spesialis dan administrator akan memberikan hasil akhir yang lebih memuaskan. Kerjasama juga dapat meningkatkan kualitas pelayanan, dengan sharing biaya, fasilitas pelayanan yang mahal harganya dapat dibeli dan dinikmati bersama, seperti pusat rekreasi, pendidikan orang dewasa, transportasi, dsb. Dengan demikian kerjasama antar pemda dalam bidang-bidang yang disepakati akan mencapai nilai efisiensi dan kualitas pelayanan yang lebih baik. Hubungan antar daerah yang terjalin nantinya dapat berupa complementary (saling melengkapi), dan walaupun berupa competition (saling bersaing) namun persaingan yang terjadi adalah persaingan yang sehat. Dalam konteks ini, alasan utama diperlukan kerjasama antara pemda adalah agar berbagai masalah lintas wilayah administratif dapat diselesaikan bersama dan sebaliknya agar banyak potensi yang mereka miliki dapat dimanfaatkan untuk kepentingan bersama. Artinya tidak semua masalah dan pelayanan di daerah harus diselesaikan melalui kerjasama antar pemda, namun hanya mencakup masalah dan pelayanan tertentu yang pemecahan dan penyelesaiannya dapat dilakukan melalui kerjasama tersebut.
Secara teoritis dan empiris, terdapat beberapa prasyarat agar kegiatan/pembangunan ekonomi dapat mencapai kondisi optimal bila dilakukan pada skala ekonomi (economies of scale) dan cakupan ekonomi (economies of scope) tertentu. Untuk mencapai tingkat efisiensi (skala) ekonomi, efisiensi biaya, kinerja pembangunan, dan tingkat pemerataan yang optimal dalam kerangka kebijakan desentralisasi, dibutuhkan suatu ukuran yang optimal (optimal size) dari pemda untuk pembangunan dan pelayanan publik. Hasil studi Departemen Ilmu Ekonomi FEUI (2006) menunjukkan bahwa ukuran dari pemda, baik Provinsi maupun Kabupaten/Kota, yang ada di Indonesia dilihat dari economies of scale jauh lebih kecil dari ukuran optimal yang seharusnya. Ditinjau dari perspektif ekonomi tentunya dampak pemekaran daerah ini kontraproduktif terhadap keberhasilan pembangunan ekonomi lokal dan dan nasional. Upaya penggabungan
5
Cara yang efektif untuk menentukan kebutuhan tersebut adalah dengan mempelajari hakekat permasalahan yang dihadapi atau kebutuhan yang dirasakan dengan menggunakan prinsip demand driven, yaitu (1) apakah suatu masalah tersebut timbul dari luar wilayah administratif pemda, dan telah memberikan dampak yang serius ke dalam wilayah administratif pemda yang bersangkutan, atau (2) apakah suatu masalah timbul dari dalam suatu wilayah administratif pemda, dan telah memberikan dampak yang serius keluar wilayah administratif pemda yang lain. Konsekuensinya adalah harus dilakukan pembenahan micro organizationnal abilities of governments di tingkat daerah - suatu bentuk reformasi manajemen publik yang harus diperhatikan pemerintah saat ini, dan tidak semata membenahi macro organizational capacities di tingkat pusat. Bentuk-bentuk Kerjasama antar Daerah Dari pengalaman negara-negara maju, bentuk dan metode kerjasama antar pemda meliputi (1)
intergovernmental service contract; (2) joint service agreement, dan (3) intergovernmental service transfer. Jenis kerjasama yang pertama dilakukan bila suatu daerah membayar daerah yang lain untuk melaksanakan jenis pelayanan tertentu seperti penjara, pembuangan sampah, kontrol hewan atau ternak, penaksiran pajak. Jenis kerjasama yang kedua diatas biasanya dilakukan untuk menjalankan fungsi perencanaan, anggaran dan pemberian pelayanan tertentu kepada masyarakat daerah yang terlibat, misalnya dalam pengaturan perpustakaan wilayah, pembuangan sampah, pengelolaan perizinan bersama secara one stop service dsb. Dan jenis kerjasama ketiga merupakan transfer permanen suatu tanggung jawab dari satu dearah ke daerah lain seperti bidang pekerjaan umum, prasarana dan sarana, kesehatan dan kesejahteraan, pemerintahan dan keuangan publik. Pendapat lain menyatakan kerjasama antar pemda, dapat dilakukan dalam bentuk perjanjian dan bentuk pengaturan. Bentuk-bentuk perjanjian (forms of agreement) dibedakan atas Handshake Agreements, yaitu pengaturan kerja yang tidak didasarkan atas perjanjian tertulis, dan Written Agreements, yaitu pengaturan kerjasama yang didasarkan atas perjanjian tertulis. Bentuk handshake agreements merupakan bentuk yang banyak menimbulkan konflik dan kesalahpahaman (misunderstanding), sementara bentuk yang tertulis dibutuhkan untuk melakukan program kontrak, kepemilikan bersama, atau usaha membangun unit pelayanan bersama. Hal-hal yang harus tertuang dalam perjanjian tertulis ini meliputi kondisi untuk melakukan kerjasama dan penarikan diri, sharing biaya, lokasi, pemeliharaan, skedul, operasi dan aturan kepemilikan sumberdaya bersama, kondisi sewa, dan cara pemecahan konflik. Di negara sedang berkembang, kerjasama antar pemda sering nampak dalam kegiatan perencanaan pembangunan, seperti Integrated Area Planning (IAP). Bentuk ini merupakan terobosan untuk mengisi kekosongan atau kompleksitas dari masalah-masalah yang dihadapi karena tidak dapat ditangani dengan perencanaan pembangunan berdasarkan batasbatas wilayah administratif. Harus diakui bahwa selama ini kerjasama antar daerah belum nampak sebagai suatu kebutuhan. Padahal, berbagai permasalahan atau keputusan internal suatu kabupaten/kota ataupun juga provinsi sering berkaitan dengan permasalahan atau keputusan di luar batas wilayahnya. Pendek kata, suatu perencanaan atau kebijakan yang dibuat oleh suatu kabupaten/kota, atau juga provinsi, sering kurang memperhitungkan dampaknya bagi kabupaten/kota, ataupun provinsi lain. Dalam kondisi seperti ini, fungsi perencanaan yang bersifat integratif dan koordinasi horisontal merupakan kunci utama.
perencanaan sektoral khususnya koordinasi antar sektor, dan juga terhadap pemenuhan kebutuhan bagi area geografis khusus (yang mungkin tidak sesuai Kewajiban Pemda Di Indonesia, dalam rangka perbaikan pelayanan publik, kerjasama antar daerah yang berdekatan merupakan suatu kewajiban bagi pemda. Pemerintah pusat telah menegaskan bahwa kerjasama antar daerah ini merupakan suatu kewajiban bagi pemda. Pasal 195 UU No.32 / 2004 tentang Pemerintahan Daerah menegaskan, bahwa dalam rangka meningkatkan kesejahteraan rakyat, daerah dapat mengadakan kerjasama dengan daerah lain yang didasarkan pada pertimbangan efisiensi dan efektifitas pelayanan publik, sinergi dan saling menguntungkan. Kerjasama tersebut diatas dapat diwujudkan dalam bentuk badan kerjasama antar daerah yang diatur dengan keputusan bersama. Dalam melakukan pelayanan publik daerah dapat juga bekerjasama dengan pihak ketiga (swasta). Selanjutnya melalui Surat Edaran Menteri Dalam Negeri No.120/1730/SJ Tahun 2005 menegaskan bawah Kerjasama Antar Daerah yang berdekatan, sifatnya wajib dilaksanakan dalam rangka pendekatkan pelayanan kepada masyarakat, khususnya pelayanan yang terdapat di daerah yang berbatasan seperti pendidikan dasar, pelayanan kesehatan (Puskesmas), penanganan sampah terpadu, penyuluhan pertanian, pengairan, penanganan Daerah Aliran Sungai (DAS), perencanaan tata ruang dan lainlain. Dalam rangka pembentukan kerjasama antar daerah ini, pemerintah pusat juga telah mengeluarkan panduan berupa Peraturan Pemerintah No.50 Tahun 2007 tentang Tata Cara Pelaksanaan Kerja Sama Daerah. PP ini secara komprehensif memberikan rambu-rambu dan arahan dalam pembentukan dan pelaksanaan kerjasama antar daerah. Semoga dengan payung hukum yang telah disiapkan oleh pemerintah pusat tersebut dapat mendorong daerah dalam melakukan perencanaan pembangunan yang komprehensif dengan membentuk kerjasama dengan daerah lain dalam kerangka pembangunan ekonomi berbasis wilayah demi kesejahteraan masyarakat. ***
Munculnya model integrated area planning ini diharapkan dapat mengurangi berbagai konflik antar wilayah administratif, yaitu dengan mengefektifkan pembangunan sektor-sektor tertentu dan institusi yang berhubungan dengan sektor tersebut dalam suatu area (dengan mengesampingkan batas-batas wilayah administratifnya). Model ini muncul sebagai reaksi terhadap kekurangan-kekurangan
6
Peraturan Daerah Perencanaan, Penulisan, Implementasi dan Evaluasi
Firman Bakri Anom
S ejak era otonomi daerah (otda) pemerintah daerah memiliki kewenangan untuk mengurus dirinya sendiri. Dalam mengurus dirinya sendiri tersebut pemda didukung dengan sejumlah kewenangan yang luas. Adanya perubahan yang sangat mendasar dalam sistem pemerintahan di Indonesia dari sentralisasi ke desentralisasi didasari karena untuk mencari jawaban atas krisis yang terjadi sebagai akibat dari sistem pemerintahan yang sentralistik. Perubahan ini diantaranya dilakukan dengan merubah konstitusi (Undang-Undang Dasar Tahun 1945). Dalam menyelenggarakan pemerintahan daerah, pemda memiliki sebuah instrument atau alat kebijakan yaitu peraturan daerah (perda). Merujuk pada konstitusi saat ini, pemda memiliki hak untuk menerbitkan perda. Pemda sendiri dalam menerbitkan sebuah kebijakan, supaya memenuhi aspek legalitasnya maka kebijakan tersebut harus dituangkan dalam bentuk produk hukum yang diakui diantaranya adalah perda, peraturan kepala daerah dan keputusan kepala daerah. Materi muatan perda menurut Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan adalah seluruh materi muatan dalam rangka penyelenggaraan otonomi daerah dan tugas pembantuan, dan menampung kondisi khusus daerah serta penjabaran lebih lanjut peraturan perundangundangan yang lebih tinggi. Idealnya perda tidak hanya sebagai peraturan pelaksana dari peraturan pusat, tetapi juga sebagai pencerminan dari masyarakat di daerah. Karena fungsi hukum diantaranya adalah sebagai social control dan social engineering. Namun demikian dalam implementasinya banyak perda yang dibentuk oleh pemda seringkali tidak memenuhi kebutuhan masyarakat, padahal jika merujuk pada pemahaman di atas, maka seharusnya pada era otda kebijakan pemda bisa lebih memenuhi aspirasi masyarakat. Dari kajian KPPOD terhadap 1381 perda, terdapat 31% bermasalah. Dari sejumlah tersebut ada perda yang permasalahannya ringan seperti salah ketik, tidak update dasar hukum sebagaimana termuat dalam konsideran hukumnya dan sejumlah permasalahan ringan lainnya. Selain itu ada juga sejumlah perda yang
7
Peneliti KPPOD
memiliki permasalahan berat sehingga direkomendasikan supaya dibatalkan atau direvisi. Sejumlah permasalahan yang dianggap berat sehingga direkomendasikan supaya dibatalkan adalah apabila perda berpotensi mengakibatkan dampak ekonomi negative, pungutan ganda, perda mengatur mengenai pungutan tetapi tidak sesuai dengan prinsipprinsip pada pajak daerah dan retribusi daerah, serta sejumlah permasalahan secara prinsip lainnya. Selain itu Departemen Keuangan juga melakukan kajian terhadap perda terkait dengan pajak dan retribusi daerah. Dari hasil kajian tersebut pada 2006 terdapat 911 dinyatakan bermasalah. Sejumlah 148 perda direkomendasikan untuk direvisi dan 763 perda direkomendasikan dibatalkan. Menteri dalam negeri sendiri sejak era otda hingga 2006 kemarin sudah membatalkan sejumlah 487 perda. Selain melakukan pembatalan perda (secara repressive) dalam pengawasan pelaksanaan otda seperti di atas, pusat juga dapat melakukan pengawasan pembuatan perda secara preventive. Pengawasan secara preventive adalah pengawasan yang dilakukan dalam rangka menjaga kualitas perda dengan melakukan pengawasan pada saat sebelum perda ditetapkan (diundangkan). Meskipun sudah ada pengawasan secara preventive dan repressive, dalam praktiknya cenderung masih kurang optimal. Misalnya, hingga saat ini masih ada praktik bahwa pemda hanya mengganti nomor dan/atau judul perda yang sudah dibatalkan oleh pusat, pemda tidak mencabut perda yang telah dibatalkan pusat, dan tiap tahunnya masih saja ada perda yang menghambat dunia usaha diterbitkan pemda, serta sejumlah permasalahan lainnya. Untuk menjaga kualitas perda seharusnya tidak dapat dilepaskan dari 4 (empat) tahapan terkait dengan perda, yaitu tahap perencanaan, tahap penulisan, tahap implementasi dan tahap evaluasinya. Sejumlah tahapan sebagaimana dimaksud di atas, dijabarkan lebih lanjut sebagai berikut: Perencanaan/Perancangan Perda Merujuk pada sejumlah undang-undang maka kewenangan pada perancangan dan penyusunan
perda ada pada dua institusi daerah yaitu pemerintah daerah dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD). Karena baik pemerintah daerah maupun DPRD sama-sama bisa mengajukan usulan perancangan perda. Sehingga usulan atas perancangan/ pengaturan perda dapat melalui pemerintah daerah maupun melalui DPRD. Apabila dalam satu waktu yang sama terjadi dua usulan dari pemda dan DPRD, maka yang akan dibahas adalah usulan dari DPRD. Sedangkan draft usulan dari pemda akan dijadikan sebagai pembanding.
Kebermasalahan Perda Berdasarkan Kategori (Kajian KPPOD) 14. Pelanggaran kewenangan pemerintahan
3%
13. Menghalangi akses masyarakat & kepentingan umum (lingkungan hidup)
2%
12. Dampak ekonomi negatif
11%
11. Persaingan sehat
1%
10. Keutuhan wilayah ekonomi nasional dan prinsip free internal trade
3%
9. Kesesuaian filosofi dan prinsip pungutan
7%
8. Kejelasan standar waktu, biaya dan prosedur atau struktur dan standar tarif
Perda yang inisiatifnya berasal dari DPRD dapat disampaikan oleh anggota, komisi, gabungan komisi, atau alat kelengkapan DPRD yang khusus menangani bidang legislasi. Tata cara dalam pengajuan usulan ranperda oleh DPRD diatur sendiri dalam peraturan tata tertib DPRD. Sedangkan untuk perda yang berasal dari inisiatif pemda disampaikan ke DPRD. Dalam internal pemda sendiri masing-masing Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD) menyusun rancangan produk hukum. Dalam penyusunannya SKPD dapat mendelegasikannya kepada biro hukum atau bagian hukum pemda. Terlepas pada alur prosedur penyusunan perda sebagaimana dimaksud di atas, dalam perancangan perda setidaknya harus memenuhi 3 (tiga) hal, yaitu: Pertama, kebutuhan pengaturan (het noodzakelijheidsbeginse), dalam penyusunan perda harus diperhatikan betul mengenai kebutuhan pengaturan, jangan sampai pemda mengatur sesuatu yang sia-sia atau bahkan lebih buruk lagi apabila pemda sampai mengatur melebihi dari apa yang seharusnya diatur. Kedua, pertisipasi masyarakat, keterlibatan masyarakat/publik dalam penyusunan perda telah diakui dalam pasal 139 ayat (1) UndangUndang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah. Pelibatan masyarakat sendiri idealnya mulai dilakukan pada tahap penyusunan, pembahasan di tingkat dewan, tahap implementasi dan tahapan evaluasi. Ketiga, kesepakatan antara para pemangku jabatan, perda pada dasarnya adalah produk bersama antara dewan dan pemda. Karenanya dalam penyusunan-nyapun akan lebih bagus apabila sudah ada kesepakatan antara para pihak tersebut. Akan sangat ideal apabila dalam penyusunan perda juga mendapat persetujuan dari masyarakat. Sehingga dalam pelaksanaannya para pihak tidak secara terpaksa mematuhinya, tetapi dengan sukarela mematuhinya. Penulisan Perda Pada dasarnya perda adalah sebuah produk hukum, karena itu dalam penulisannya-pun harus dituangkan dalam bahasa hukum. Penulisan hukum sendiri idealnya dilakukan pada tahap setelah inisiator penyusunan perda membuat naskah akademik. Sehingga dalam
25%
7. Tak jelas hak & kewajiban pungut atau pemda
7%
6. Kejelasan subyek
2%
5. Kejelasan obyek
8%
4. Diskoneksi tujuan & isi, konsistensi pasal
4%
3. Kelengkapan yuridis formal
9%
2. Up to date acuan yuridis
13%
1. Relevansi acuan yuridis
5% 0
5%
10%
15%
20%
25%
30%
penulisan perda bisa menangkap sejumlah permasalahan dan norma-norma yang hendak diaturnya. Dalam penulisan perda juga harus memperhatikan sejumlah aspek seperti asasasas hukum yang ada, yaitu: asas pengayoman; kemanusiaan; kebangsaan; kekeluargaan; kenusantaraan; bhineka tunggal ika; keadilan; kesamaan kedudukan dalam hukum dan pemerintahan; ketertiban dan kepastian hukum; serta keseimbangan; keserasian dan keselarasan. Selain itu permasalahan yang mendasar adalah bahwa bahasa hukum harus mudah dimengerti dan dipahami oleh masyarakat dari berbagai golongan dan profesi. Lebih lanjut dalam penulisan hukum supaya dihindari penggunaan bahasa yang dapat mengakibatkan multi interpretasi. Pada tahap ini juga penting dilakukan harmonisasi dengan produk perundang-undangan baik yang sama maupun yang lebih tinggi. Pelaksanaan Perda Pelaksanaan perda umumnya meliputi pelaksanaan oleh pemerintah daerah, pelaksanaan (kepatuhan) masyarakat kepada norma yang tertuang dalam perda, dan penegakannya. Selama ini pemahaman implementasi hukum lebih banyak menyoroti pihak penegak hukum dan masyarakat, padahal sesungguhnya pada banyak produk hukum pemerintah juga merupakan pihak (subject) yang diatur. Misalnya saja dalam perda tentang Retribusi Izin Mendirikan Bangunan, dalam implementasinya harus kita perhatikan seberapa tingkat kepatuhan pemda dalam melaksanakan perda tersebut, diantaranya terkait dengan biaya apakah penerapan tarifnya sudah sesuai dengan perda atau justru pemda memungut lebih dari yang diatur dalam perda. Evaluasi Perda Evaluasi terkait dengan penyusunan, implementasi maupun pada substansi perda dapat dilakukan oleh DPRD, Gubernur, Pemerintah Pusat, maupun oleh Mahkamah Agung dan masyarakat. Dalam hal evaluasi terhadap implementasi perda oleh pemda, dapat dilakukan oleh DPRD karena DPRD memiliki
Bersambung ke halaman 13
8
Isu-isu Otda Januari-April 2008
Robert Endi Jaweng
L embaran berita media massa pada awal 2008 ini diisi dengan silih-bergantinya isu-isu krusial seputar pelaksanaan desentralisasi dan otonomi daerah. Sebagian diantaranya merupakan warisan bulan-bulan di tahun sebelumnya namun tak kunjung terselesaikan dan bahkan kian serius saat ini. Sementara sebagian lainnya adalah isu yang baru muncul, dengan dampak kehadiran (terutama sisi problematiknya) yang langsung terasa sehingga mendapat porsi liputan cukup luas. Berikut adalah sebagian daftar isuisu pilihan selama catur-wulan Januari-April 2008, disertai komentar dan ulasan Redaksi KPPOD News. Mencari Akhir Kemelut Pilkada Malut Sejak diterapkannya sistem pemilihan Kepda/Wakepda secara langsung pada Mei 2005 lalu, hingga kini kita telah menyelenggarakan sekitar 360 Pilkada: 212 daerah tahun 2005 (7 Propinsi, 173 Kabupaten dan 32 Kota), 85 daerah tahun 2006 (7 Propinsi, 66 Kabupaten dan 12 Kota), 41 daerah tahun 2007 (6 Propinsi, 23 Kabupaten dan 12 Kota) dan 22 daerah hingga April 2008 (2 Propinsi, 14 Kabupaten dan 6 Kota). Melihat jumlah dan laju putaran yang tinggi itu, kita patut mencatat kontestasi politik elektoraldemokratis ini sebagai suatu prestasi besar di ranah politik lokal Indonesia. Namun, di luar pengalaman secara umum tersebut, pada beberapa kasus terjadi proses yang amat rumit dan bahkan mengarah ke krisis lokal. Tahun ini, setelah berhasil menyelesaikan peliknya masalah Pilkada Propinsi Sulsel, benang kusut lainnya membelit Pilkada Propinsi Maluku Utara (Malut). Dari sisi waktu pemilihan, Pilkada Malut ini sesungguhnya dilaksanakan tahun lalu, tepatnya tanggal 3 November 2007. Namun kemelut yang terjadi dan kesulitan mengurai benang kusut yang ada membuat gumpalan persoalan kian membesar dan mengkhawatirkan hingga hari ini. Krisis Pilkada Malut berawal dari munculnya tudingan para kandidat bahwa KPU Malut memanipulasi perhitungan suara di Kab.Halmahera Selatan (kubu Abdul GafurRahim Fabanyo) dan Kab.Halmahera Barat (kubu Thaib Armaiyn-Ghani Kasuba). Ditengah situasi itu, KPU Malut menerbitkan SK No.20/KEP/2007 yang menetapkan rekapitulasi hasil Pilkada, dengan suara terbesar diraih
9
Manager Hubungan Eksternal KPPOD
pasangan Armaiyn-Kasuba. Penolakan muncul dari kubu Gafur-Fabanyo, dan KPU (Pusat) membatalkan SK tersebut yang diikuti pemberhentian Ketua KPU Malut Rahmi Husen dan Anggota N. Soleman. Selanjutnya, KPU (Pusat) mengeluarkan SK No.158/KPU/2007 yang berisi penetapan hasil Pilkada, dengan suara terbesar diraih pasangan Gafur- Fabanyo. Dari sana, dualisme dan ambiguitas jalan penyelesaian kemelut Pilkada Malut ini terus mengalir. Bahkan Mahkamah Agung (MA), yang menurut UU No.32/2004 merupakan lembaga tunggal yang menetapkan keabsahan hasil perhitungan suara manakala terjadi perselisihan, justru hanya menyerahkan keputusan tersebut kepada Mendagri. Setali tiga uang pula, hingga kini Mendagri belum membuat suatu keputusan final, termasuk menanggapi dualisme usulan yang dihasilkan rapat Paripurna DPRD Malut yang diselenggarakan dua kubu berbeda. Dalam kasus Malut ini, kita melihat persoalan hukum terjadi secara akumulatif dan hampir pada semua tingkat: KPUD Malut dalam hal prosedur penetapan hasil perhitungan suara, KPU (Pusat) dalam hal dasar hukum pengambilalihan kewenangan KPUD Malut, pihak MA yang tidak membuat keputusan deklratoir mengenai keabsahan hasil perhitungan dan hanya menyangkut segi hukum acara prosedur penghitungan oleh KPUD Malut, serta Mendagri yang kurang tegas "menertibkan" fungsi DPRD Malut secara proporsional dan prosedural. Lantas, apa yang kemudian menjadi opsi penyelesaian ? Perlukah dilakukan pemilihan ulang, beserta segenap rangkaian Pilkada, yang sayang justru tidak dikenal dalam UU No.32/2004 ? Tepatkah kita membawa sengketa Pilkada ini ke meja Mahkamah Konstitusi, yang berdasarkan UU No.10/2008 tentang Pemilu berkewenangan memutuskan perselisihan Pilkada ? Dalam ikhtiar pencarian jalan keluar tersebut, patut diingatkan bahwa di luar semua proses politik dan hukum itu, hari-hari ini rakyat Malut menjadi korban ! Sebagai korban konflik horisontal antar-kubu yang bertikai, sekaligus korban lantaran tak efektifnya penyelengggaraan pemerintahan daerah. Ketakpastian Pasca Uji Material UU PM Dalam keputusannya awal April lalu,
Mahkamah Konstitusi (MK) mengabulkan sebagian isi gugatan uji material (judicial review) atas UU No.25/2000 tentang Penanaman Modal yang diajukan beberapa LSM dan kaum aktivis. Dalam diktum putusan, MK antara lain membatalkan Pasal 22 ayat (1), (2) dan (4) yang intinya terkait pengaturan kemudahan ijin hak guna usaha (HGU). Pasal 22 ayat (1), misalnya, menyebutkan bahwa HGU dapat diberikan dan diperpanjang di muka sekaligus dan dapat diperbarui kembali atas permohonan penanam modal. HGU berlaku selama 95 tahun dengan cara diperpanjang di muka selama 60 tahun dan dapat diperbarui selama 35 tahun. Terhadap substansi yang dibatalkan itu, MK mengembalikan pengaturan HGU ke UU No.5/1960 tentang Pokok-Pokok Agraria. Sejak proses pembahasannya, polemik seputar mainstream idea UU ini memang cukup tajam. Sebagian kalangan melihat UU PM yang menggantikan UU No.1/1967 dan UU No.7/1968 tersebut mengandung problem mendasar karena kuatnya tendensi liberalisasi dan sentralisasi, di mana negara akan berperan kuat guna menyokong bekerjanya modal global, sementara rakyat kebanyakan dibiarkan tersingkir ke tepi proses pembangunan. Namun bagi para pelaku usaha, UU ini relatif lebih maju dan akomodatif terhadap trend kebutuhan investasi dewasa ini lantaran, antara lain, bisa mengakomodasi perlakuan yang sama (equal treatment) dan bukan kesempatan yang sama (equal opportunity) antara investor asing dan domestik, mengenalkan sejumlah rupa fasilitas (insentif) dan kemudahan investasi, mendorong terbangunnya good corporate governance di internal perusahaan, dan lain sebagainya. Terlepas dari debat soal substansi isi UU, keputusan MK ini potensial mengembalikan iklim ketakpastian bagi para pelaku usaha, terutama investasi berbasis lahan luas (perkebunan, perumahan, dll) yang membutuhkan jaminan akses lahan dalam jangka panjang. Dengan kembali menggunakan UU PA, keputusan keberlangsungan hak atas tanah (kepemilikan, penggunaan, dll) menjadi otoritas tunggal pemerintah dan dari sisi waktu baru akan diputuskan menjelang selesainya suatu masa hak. Posisi lemah dan tak berkepastian semacam ini jelas memunculkan rasa ragu bagi kalangan pelaku usaha, apalagi mengingat bahwa pola kebijakan yang dibuat di Republik ini belum sepenuhnya terinstitusionalisasi dan masih banyak bersandar pada pertimbangan personal para pembuat keputusan. Selain itu secara hukum, keputusan MK ini patut dikritisi dari beberapa aspek lain. Pertama, kewenangan MK adalah menguji materi suatu UU terhadap UUD 1945; sementara dalam kasus ini UU PM seakan dujikan dengan UU PA. Kedua, kewenangan MK adalah sebatas mencabut/membatalkan suatu UU, bukan perintah memberlakukan UU lain sebagai penggantinya; sementara dalam kasus ini, MK tidak saja membatalkan UU PM tetapi juga memerintah pemberlakuan UU PA sebagai rujukan pengaturan HGU, yang sesungguhnya merupakan domain fungsi legislatif dari DPR dan Pemerintah. Ketiga, kalau yang diuji adalah antar-UU, menurut prinsip pemberlakuan hukum bahwa lex specialis derogat legi generalis,
maka seharusnya yang berlaku adalah UU PM sebagai aturan yang secara khusus mengatur HGU dalam bidang PM. Semua ini mendorong lahirnya kesimpulan bahwa MK telah melampoi kewenangan konstitusional dan yuridisnya dalam pembuatan keputusan uji material UU PM. Jalan Panjang Evaluasi Kinerja Pemda Tanggal 5 Februari lalu Presiden Yudhoyono mengesahkan suatu regulasi baru menyangkut evaluasi penyelenggaraan Pemda: PP No.6/2008. Patut dicatat, setelah delapan tahun desentralisasi dilaksanakan, baru kali ini kita memiliki instrumen hukum khusus yang melandasi proses evaluasi tersebut. Membaca lengkap isi PP No.6/2008, ada beberapa klausul pokok yang perlu diperhatikan. Pertama, evaluasi penyelenggaraan Pemda adalah suatu nama generik yang berisi tiga jenis evaluasi, yaitu menyangkut kinerja penyelenggaraan Pemda (EKPPD), kemampuan penyelenggaraan Pemda (EKPOD) dan perkembangan daerah otonom baru (EDOB). Jenis EKPPD digunakan untuk mengukur kinerja penyelenggaraan Pemda yang hasilnya dipakai sebagai dasar bagi upaya perbaikan kinerja, sementara EKPOD ditujukan untuk menilai kapasitas daerah dalam mencapai tujuan otda. EDOB secara khusus dilakukan sebagai evaluasi atas daerah hasil pemekaran guna memantau penyelenggaraan pemerintahan dan gerak maju suatu daerah baru.
Kedua, untuk menjalankan berbagai jenis evaluasi di atas, Presiden akan membentuk Tim Nasional, dengan Mendagri menjabat ketua tim dan para menteri lintas departemen/nondepartemen terkait menjadi anggota di dalamnya. Sebagai ujung tombak di lapangan, dengan tugas mengevaluasi Pemda Kabupaten/Kota, tim serupa juga dibentuk di level Propinsi (Tim Daerah) yang terdiri atas para Kepala Dinas/Badan. Dalam kerjanya, tim ini melakukan pemeringkatan guna menghasilkan susunan indeks prestasi daerah, baik ihwal aspek kinerja (EKPPD) maupun kapasitas Pemda (EKPOD). Ketiga, bagi daerah yang pretasi kinerja pemerintahannya (EKPPD) buruk/rendah selama tiga tahun berturut-turut maka dilanjutkan dengan penilaian EKPOD. Jika ternyata hasil EKPOD juga buruk/rendah, daerah bersangkutan dihapus dan digabung
10
dengan daerah sekitarnya. Melihat beberapa point di atas, kiranya bisa dipahami kalau publik berbeda sikap dalam menanggapi substansi pengaturan dalam PP tersebut: baik yang menyambut maupun mengkritisinya. Bagi pihak pertama, keberadaan PP tersebut adalah niscaya, mengingat bahwa setiap eksperimentasi kebijakan publik sebesar desentralisasi membutuhkan suatu penilaian atas efektivitas dan umpan-balik perbaikannya. Bahkan regulasi ini terbilang terlambat, semestinya sudah dipersiapkan pada awal otda. Singkatnya, kita memerlukan dasar legal dan perangkat evaluasi yang otoritatif, spesifik serta ilmiah. Sementara bagi Pemda yang bersuara kritis, catatan diberikan kepada pilihan indikator dan bahkan keberadaan PP itu sendiri. Bagi mereka, evaluasi otda memang niscaya, namun tak perlu diatur dalam suatu regulasi khusus karena hanya menyiratkan dominasi legal pusat atas daerah. Apalagi PP tersebut memungkinkan dilikuidasinya suatu daerah otonom. Daerah mencurigainya sebagai pintu belakang resentralisasi. Penulis sendiri menilai, pelaksanaan otda memang harus dievaluasi dan hanya dengan cara itu kita bisa mengetahui tingkat capaian desentralisasi. Namun, agar evaluasi itu tidak mendapat penolakan keras pihak daerah, pemerintah patut menimbang sejumlah catatan berikut. Pertama, konstruksi instrumen evaluasi/
pemeringkatan tidak saja mesti reliable secara ilmiah (scientific view) tetapi juga harus bisa diterima (acceptable) oleh daerah. Untuk itu jalan terbaik adalah keterbukaan pusat bagi pelibatan Pemda sehingga tercapai konsesus luas atas pilihan indikator dan metodologi kerja. Sebagaimana lazimnya, gabungan reliabilitas dan akseptabilitas inilah yang menjadi ciri suatu policy-evaluation. Kesempatan untuk opsi ini cukup terbuka mengingat bahwa PP tersebut perlu dijabarkan dalam suatu Permendagri. Pusat mesti menjadikan proses penyusunan Permendagri nanti sebagai upaya deliberatif yang bertujuan mencapai titik sepakat dengan daerah. Ini tidak hanya bisa menjamin kualitas isi tetapi juga rasa memiliki, keberterimaan dan dukungan pihak daerah atas pelaksanaannya kelak. Kedua, guna mengurangi kesangsian daerah atas niat pusat, perlu dipikirkan pula penggunaan jasa bantuan tim independen. PP No.6/2008 mengatur soal Timnas, Timda dan
11
tenaga teknis yang membantu kedua tim tersebut, namun semua anggotanya berasal dari internal birokrasi. Keberadaan pakar/profesional yang tergabung dalam tim independen bisa menghindari urusan evaluasi sebagai proses kerja birokrasi. Permendagri yang akan disusun sebagai jabaran PP ini patut mengakomodasi jasa bantuan eksternal tersebut. Apalagi suatu kerja evaluasi/pemeringkatan pada dasarnya adalah kerja riset yang tentu menjadi ranah kerja para pakar/ profesional. Tinggal mekanisme kerjanya yang ditetapkan, dengan inti bahwa hasil riset mereka merupakan bahan rekomendasi bagi Timnas/Timda pemerintah untuk proses lanjutannya. Ketiga, dari aspek substansi evaluasi, dua hal lain yang patut dipikirkan lebih jauh adalah: (1) tingkat disparitas antar-daerah yang cukup tinggi menuntut treatment yang berbeda. Secara metodologis, hal itu bisa ditempuh melalui teknik pembobotan indikator yang berbeda. PP No.6/2008 tampaknya abai terhadap realitas ini, seakan-akan semua daerah berada pada titik start yang sama ketika memulai otda, termasuk untuk daerah-daerah baru. (2) Skala obyek penilaian yang terlalu luas berpotensi mengurangi akurasi dan obyektifitas yang pada gilirannya kita menjadi kehilangan fokus dalam tahapan tindak lanjut. Setidaknya pada masa eksperimentasi (1-2 tahun pertama), perlu dipilah aspek spesifik yang perlu dievaluasi, seperti kinerja pelayanan publik dan ekonomi/kesejahteraan rakyat. RUU Susduk: Mereposisi DPRD ? Dalam konteks desentralisasi, apa yang perlu kita cermati dari pembahasan RUU Susduk MPR, DPR, DPD dan DPRD saat ini? Sejauh ini, isu yang menarik dilihat adalah terkait dengan bangunan sistem perwakilan politik di tingkat lokal. Dalam pembahasan di rapat Pansus DPR mengemuka aspirasi untuk mereposisi kelembagaan DPRD agar lebih sejajar dengan Kepala Daerah dan tidak lagi menjadi subordinasi Mendagri. Tak jelasnya status (susunan dan kedudukan) serta lemahnya kewenangan DPRD selama ini membuat lembaga itu sulit membangun relasi check and balances dengan Kepala Daerah. Dalam berbagai forum pertemuan, suara semacam itu sesungguhnya sering kita dengar, lebih-lebih setelah penerapan UU No.32/2004. Anggota DPRD, juga lewat asosiasi mereka seperti Adeksi dan Adkasi, menjadikan isu tersebut sebagai alasan mengadvokasi revisi UU yang dinilai memarjinalkan parlemen lokal itu. Namun karena UU No.32/2004 hanya diubah secara parsial menyangkut pengaturan calon perseorangan dalam Pilkada, momentum RUU Susduk lalu dipakai sebagai pintu alternatif perubahan ke arah sana. Mengomentari aspirasi tersebut, hal-ihwal yang patut dipahami terlebih dulu adalah konstruksi makro otonomi kita hari ini merupakan hasil koreksi atas dua titik ekstrim sebelumnya: sentralisasi masa Orba (UU No.05/1974) dan ultra-desentralisasi awal reformasi (UU No.22/1999). Demikian pula halnya posisi DPRD, khususnya ihwal hubungan dengan Kepda maupun pemerintah pusat. Fakta
lapangan yang terjadi, dan diperkuat pertimbangan logika sistem otonomi itu sendiri, menjadi dasar penyusunan baru posisi DPRD dalam UU No.22/2003 dan UU No.32/2004 yang berlaku saat ini. Kedudukan DPRD yang menjadi bagian dari pemerintah daerah di era SPDRI Orba, dalam praktik justru memerosotkan posisinya sebagai subordinat Gubernur/Bupati/Walikotamadya yang berdwifungsi sebagai kepala daerah sekaligus kepala wilayah. Sebaliknya, kedudukannya sebagai badan legislatif terpisah pada fase awal reformasi terbukti berdampak kerusakan ganda dalam rupa hubungan kolutif (pintu korupsi masif) serta konfliktual (destabilisasi politik lokal). Berbagai implikasi tersebut jelas tak sehat dan kontraprodukif. Sementara terkait logika sistem otonomi yang kita anut, keberadaan DPRD (bersama Kepda) adalah dalam kerangka menyelenggarakan kewenangan otonomi. Di banyak negara kesatuan, termasuk Indonesia, urusan yang diperoleh daerah adalah hasil desentralisasi kewenangan di ranah pemerintahan pusat, bukan derivasi kekuasaan legislatif maupun yudikatif. Dalam konteks demikian, posisi DPRD dan format relasinya dengan Kepda dan pusat pun dirumuskan, yang jabaran dasarnya diadopsi sejumlah regulasi saat ini. Pertama, merujuk Pasal 18 ayat (3) Perubahan UUD 1945 dan Pasal 3 ayat (1) UU No.32/2004, pemerintahan daerah adalah pemerintah daerah dan DPRD. Kedua institusi tersebut merupakan unsur-unsur konstitutif suatu pemerintahan daerah yang bermitra sejajar dalam kerangka otonomi. Kedua, DPRD (seperti pula Kepda) memang menjalankan fungsi legislasi, tetapi ia bukanlah badan legislatif daerah dalam artian sejatinya (Pasal 14 ayat (1) UU No.22/1999), bukan pula sebagai sayap legislatif dari pemerintah pusat di daerah, apalagi menjadi suatu cabang dari legislatif pusat (DPR). Ketiga, sebagai sumber muasal kewenangan desentralisasi, muara tanggung jawab penyelenggaraan otonomi ada di pemerintah pusat. Maka, tidak bisa dibandingkan dengan DPR, urusan DPRD (keuangan, kewenangan, dll) memang tidak bisa terlepas dari kerangka kebijakan dan kontrol pusat melalui Mendagri. Di sini, DPRD bukan sebagai sub-ordinasi tetapi (seperti pula Pemda) sub-sistem pemerintahan nasional. Arus pikiran di atas sama sekali tak bermaksud menolak upaya penguatan DPRD. Bagaimana pun, keberdayaan parlemen lokal adalah salah satu ciri par excellence makna keberadaan otonomi. Hanya saja, penguatan parlemen, termasuk reposisi kelembagaan dan relasi check and balances-nya dengan Kepda, tidak selalu identik dengan--inilah kepentingan DPRD sesungguhnya--hak meminta pertanggungjawaban Kepda, status anggota Dewan sebagai pejabat negara, kebebasan untuk mengatur keuangan sendiri, dst. Berbagai kepentingan tersebut tampaknya amat problematik untuk didukung. Pertama, sekali lagi, tidak sejalan dengan logika sistem otonomi; kedua, tak banyak membantu penguatan fungsional Dewan karena letak ketakberdayaan bukan lagi pada sistem tetapi utamanya terkait kapasitas/komitmen anggota (khususnya ihwal
fungsi legislasi dan kontrol); ketiga, menabrak aturan pokok lainnya (tuntutan berstatus pejabat negara, misalnya, mencederai UU No.43/1999 tentang Pokok-Pokok Kepegawaian); dan keempat, pekat dengan motif politik mereka sendiri dan lemah kaitannya dengan mandat perwakilan kepentingan rakyat. Dengan semua latar alasan tersebut, kita sulit membayangkan kalau nantinya UU Susduk yang baru justru memberi tempat kepada aspirasi pihak DPRD. Sama sulitnya juga membayangkan kerepotan teknis-politik luar biasa untuk merubah berbagai regulasi terkait, bahkan pula UUD 1945. Taruhannya begitu besar, tak sebanding dengan rasa solidaritas yang ditunjukan para anggota Pansus RUU Susduk terhadap kolega mereka di parlemen daerah. Pemekaran Daerah: Menggeser Fokus Pemerintah dan DPR berjanji, pemekaran 12 calon daerah yang lagi dibahas RUU-nya saat ini menjadi putaran terakhir hingga selesainya Pemilu 2009 nanti. Meski berkali-kali publik dikibuli oleh janji moratorium, dengan sejumlah alasan rasanya kita boleh menaruh percaya kali ini. Dalam konteks demikian, hingar-bingar pemekaran mesti lekas diganti kerja serius menata 179 daerah baru yang sebagian terbesarnya masih berkutat dengan selaksa kesulitan bahkan terancam menjadi daerah gagal. Bagi Pemda sendiri, kerja serius itu tak lain
adalah upaya pembuktian kepada rakyat berbagai retorika selama masa perjuangan pemekaran. Implikasinya, agenda utama tak saja terkait urusan teknis transfer dana hibah, perpindahan personil pegawai, aset dan dokumen dari daerah induk. Juga tak semata soal pengisian keanggotaan DPRD, pembangunan fasilitas perkantoran, dll. Berbagai agenda pemerintahan tersebut, meski penting dan menjadi mandat setiap UU pembentukan daerah, mesti berjalan simultan dengan agenda publik yang sebelumnya justru banyak dieksploitasi dan mengemuka sebagai alasan memekarkan diri. Janji peningkatan pelayanan publik, misalnya. Di setiap retorika pemekaran, tema ini kerap dikaitkan dengan pendeknya rentang kendali birokrasi karena semakin sempitnya daerah kerja pelayanan dan dekatnya jarak unit birokrasi dengan masyarakat. Dalam artian fisik-geografis, rentang kendali di daerah pemekaran memang akan lebih pendek tetapi sesungguhnya itu tidak otomatis menjamin perbaikan kinerja pelayanan
12
publik. Sekecil apa pun suatu daerah baru, dengan rantai birokrasi yang tetap panjang dan berbelit-belit akan sama saja bagi rakyat yang membutuhkan akses pelayanan pemerintah.
segala janji dan agenda tadi ke dalam tindakan nyata ? Sungguh ujian tak mudah, ditengah tegangan antara harapan masyarakat dan situasi serba terbatas pemerintah.
Salah satu model terobosan yang bisa diadopsi adalah mendirikan birokrasi satu pintu (one stop service), terutama menyangkut perijinan usaha dan pelayanan dasar. Di sini masyarakat hanya akan berurusan dengan satu pintu birokrasi untuk mendapatkan pelayanan secara mudah, jelas dan murah. Semua proses pelayanan berawal dan berakhir di pintu yang sama, masyarakat tak lagi terjebak dalam rantai panjang dan seribu pintu. Bagi Pemda sendiri, hal ini jelas pula mendorong terbentuknya birokrasi yang relatif efektif dan bersih.
Namun, tak ada jalan pulang (point of no return), termasuk untuk tak memilih opsi penghapusan daerah. Kalau pemekaran itu telah melapangkan jalan kekuasaan baru bagi elite politik/birokrasi, gilirannya sekarang bagi rakyat menagih utang janji kepada para pemimpinnya tersebut. Yang terutama, sekali lagi, menyangkut akselerasi pelayanan publik, pengentasan kemiskinan (lapangan kerja), kesejahteraan sosial (kesehatan dan pendidikan) dan good governance.
Kiranya jelas, sesudah pemekaran tak lain adalah tangga waktu untuk bersikap rasional, sekaligus membuktikan segala retorika menjadi tindakan. Apakah segala janji pemekaran bisa diubah menjadi agenda kebijakan atau tak lebih dari sekedar mitos yang bersifat magis, membius kesadaran massa ? Dan bagaimana pula kapasitas kerja Pemda untuk mengubah
Sambungan halaman 3
Tata Kelola Ekonomi Daerah
sampai kepada analisa tingkat investasi akhir tentunya faktor pengembalian modal turut menentukan keputusan seorang investor. Tentunya kegiatan reformasi terhadap tata kelola pemerintahan daerah menjadi hal yang sangat perlu untuk dilakukan oleh Pemda untuk mencapai tingkat kinerja perekonomian tertentu. Kehadiran variabel kebijakan lain pun menjadi penting namun demikian peranan dimensi waktu pun juga berpengaruh terhadap kinerja perekonomian daerah. Tidak ada pertumbuhan
Sambungan halaman 8
ekonomi yang diciptakan dalam waktu satu malam seperti kisah Roro Jonggrang menuntut pembangunan seribu candi dalam waktu satu malam. Semua perbaikan butuh proses artinya butuh waktu namun kita pastikan bahwa seribu candi tersebut harus jadi pada saat kapanpun nanti atau setidaknya kita melihat setiap detik candi tersebut satu per satu berdiri. Dan satu per satu candi tersebut adalah kebijakan Pemda yang menjadi wilayah kewenangannya. ***
Peraturan Daerah ...
fungsi pengawasan. Dalam menjalankan fungsi pengawasan itu, DPRD didukung dengan hak interpelasi, hak angket, dan hak menyatakan pendapat. Gubernur dapat melakukan pengawasan secara preventive terhadap rancangan perda, peraturan bupati/ walikota, dan keputusan bupati/ walikota. Pengawasan secara preventive ini dilakukan pada saat sebelum rancangan perda tentang Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah, peraturan kepala daerah mengenai penjabaran APBD, pajak daerah, retribusi dan rencana tata ruang disahkan dan diundangkan oleh pemda. Lebih tepatnya 3 (tiga) hari setelah ranperda disetujui bersama antara kepala daerah dan DPRD produk hukum sebagaimana dimaksud di atas sudah harus disampaikan Gubernur. Pengawasan secara repressive terhadap perda dilakukan oleh pemerintah pusat. Apabila dalam pengawasan tersebut ditemukan perda yang bertentangan kepentingan umum dan/atau peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi dapat dibatalkan dengan peraturan presiden berdasarkan usulan Mendagri. Jika
13
Semuanya itu adalah agenda standart di daerah mana pun, tetapi peluang bagi cara-cara inovasi di daerah baru harus bisa membedakan tingkat pencapaiannya dibanding daerah induk. Sebaliknya, jika yang tercapai justru sama saja atau bahkan lebih buruk, boleh jadi benar bahwa kebijakan pemekaran memang tak ada kaitannya dengan urusan nasib rakyat. Mereka, seperti lazimnya, tetap saja berada di luar kerangka sistem yang ada atau sekedar menjadi tumbal dari akrobat politik elite.***
merujuk pada pasal 37 ayat (1), (4) dan pasal 38 ayat (1) Peraturan Pemerintah Nomor 79 Tahun 2005 tentang Pedoman Pembinaan dan Pengawasan Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah (P5D), maka pengawasan secara preventive hanya dapat dilakukan oleh pusat terhadap perda yang diterbitkan sejak diundangkannya PP 79/2005 tentang P5D. Pengawasan perda juga dapat dilakukan oleh masyarakat dengan menggunakan Hak Uji Materiil terhadap produk hukum yang tingkatannya di bawah undang-undang ke Mahkamah Agung. Untuk menggunakan hak uji materiil dilakukan dengan mengajukan gugutan kelompok masyarakat (class action) ke MA. Gugatan dapat diajukan secara langsung ke MA maupun melalui pengadilan negeri di wilayah hukum penggugat. Gugatan dapat diajukan dalam tenggang waktu 180 (seratus delapan puluh) hari sejak berlakunya peraturan perundang-undangan yang bersangkutan. ***