Buletin Al-Islamiyah Media Kajian dan Dakwah Universitas Islam Indonesia http://alislamiyah.uii.ac.id
TANYA JAWAB PERSOALAN KELUARGA Oleh: Munadhir, Ir., MS* [caption id="attachment_484" align="alignleft" width="150"]
Ir. H. Munadhir, MS[/caption] Soal 1: Apakah Islam mempunyai pedoman tentang pembagian tugas dan tanggung jawab setiap anggota keluarga? Jawab: Islam memandang bahwa setiap individu adalah pemimpin, dan akan ditanyai (dimintai tanggung jawabnya) tentang kepemimpinannya itu. Imam al-Bukhâri dan Muslim meriwayatkan hadits yang maknanya kurang lebih: “Kamu semua adalah pemimpin dan akan ditanya (pada hari kiamat) tentang kepemimpinannya. Seorang imam adalah pemimpin dan akan ditanya tentang itu. Seorang laki-laki (suami) adalah pemimpin dalam rumah tangganya dan akan ditanya tentang hal itu. Seorang perempuan (istri) adalah pemimpin dan bertanggung jawab atas (penggunaan) harta suaminya. Seorang khadam (pembantu) bertanggung jawab atas (penggunaan) harta tuannya. Seorang anak bertanggung jawab atas harta bapaknya”. Hadits di atas menunjukkan bahwa di dalam keluarga itu ada pemimpin (suami) dan anak buah (istri, anak, dan pembantu). Istri, pembantu, dan anak bertanggung jawab atas penggunaan harta yang dikuasakan kepada mereka. Soal 2: Penggunaan harta secara bertanggung jawab oleh istri, pembantu, dan anak itu seperti apa? Jawab: Dipahami dari hadits tersebut bahwa belanja (nafkah) keluarga itu diambil dari harta suami. Ini juga berarti bahwa suami wajib bekerja untuk menafkahi keluarganya (sesuai dengan kemampuannya). Karena nafkah itu berasal dari suami/ majikan/ ayah, maka nafkah itu harus digunakan sesuai dengan keinginan pemberi nafkah. Secara ma’ruf, nafkah yang diberikan kepada istri itu adalah untuk keperluan rumah tangga (misal untuk makan). Ini juga yang dipraktikkan Nabi Muhammad. Maka ketika pada suatu hari Nabi Muhammad mau makan pagi, beliaupun menanyakan kepada ‘Aisyah d apakah punya makanan. Setelah dijawab Aisyah bahwa dia tidak punya makanan maka Nabi Muhammad pun berpuasa sunat hari itu. Pembantu hendaklah bekerja sesuai dengan kesepakan (tentang jenis pekerjaan dan gajinya) yang telah dibuat sebelum dia bekerja pada suatu keluarga. Pembantu harus jujur, tidak korup,
1 / 13
Buletin Al-Islamiyah Media Kajian dan Dakwah Universitas Islam Indonesia http://alislamiyah.uii.ac.id
harus amanah menjaga harta majikan ketika ditinggal sendiri di rumah. Anak harus menggunakan harta bapaknya untuk keperluan yang yang benar (uang kuliah, uang sekolah, uang buku, uang bensin, dan lainnya). Dengan berdasar hadits itu juga maka setiap anggota keluarga berhak untuk saling menuntut apa yang menjadi hak dan kewajiban masing-masing secara ma’ruf (patut). Soal 3: Apakah istri-istri itu boleh menuntut suami untuk memberikan uang belanja sejumlah yang mereka inginkan jika suaminya mampu? Jawab: Tidak. Kewajiban suami adalah memberikan nafkah keluarga sesuai kemampuannya dan dalam jumlah yang patut (ma’ruf) menurut kebiasaan masyarakat. Hak istri/ keluarga yang layak itulah yang boleh dituntut oleh istri/ keluarga kepada suami. Dengan demikian kalau harta suami lebih banyak dari keperluan yang patut tadi maka pemanfaatan kelebihan tersebut diserahkan kepada yang punya harta yaitu suami itu sendiri. Bacalah firman Allah dalam QS alBaqarah ayat 233 yang maknanya kurang lebih: “….dan menjadi kewajiban suami untuk memberi rizqi dan pakaian kepada istri secara patut…”. Begitu juga firman-Nya dalam QS alThalâq ayat 6 dan 7 yang maknanya kurang lebih: “Tempatkanlah dia (istri) di tempat yang sesuai dengan kemampuan kamu (suami), dan janganlah kamu beri dia (istri) mudharat karena (kamu) hendak menyusahkannya. Dan kalau istri-istri itu mengandung berilah mereka nafkah (belanja) sampai melahirkan. Kalau istri itu menyusukan untuk (anak) mu maka berilah upahnya. Hendaklah kamu sekalian bermusyawarah secara ma’ruf (patut). Kalau istri dalam kesulitan (sehingga tidak dapat menyusui anakmu) maka hendaklah disusui oleh (perempuan) yang lain (ayat 6). Agar (suami) yang mampu memberi nafkah sesuai dengan kemampuannya. Dan siapa yang rizqinya sempit hendaklah memberi nafkah sesuai dengan apa yang Allah berikan kepadanya (suami). Allah tidak memberi beban (taklif) kepada seseorang kecuali sesuai dengan kemampuannya. Setelah kesulitan itu maka Allah akan memberikan kelonggaran (ayat 7). Soal 4: Kalau suami dianggap kikir (oleh istri) dalam menafkahi keluarga apakah istri boleh menuntut agar suami memberitahukan seluruh harta/ penghasilannya? Jawab: Di dalam buku Fiqh Sunnah jild VII hal 80 disebutkan adanya hadits riwayat Imam Ahmad, al-Bukhâri, Muslim, Abu Daud dan Nasâ’i dari ‘Aisyah: “Sesungguhnya Hindun berkata:” Ya Rasulullah, sesungguhnya Abu Sofyan adalah seorang laki-laki yang kikir, dan tidak memberikan kepadaku apa yang menjadi keperluanku dan anak-anakku sehari hari, kecuali aku mengambil sebagian hartanya tanpa setahu dia”. Nabi n menjawab:” Ambillah apa yang mencukupi kamu dan anak kamu dengan cara yang baik”. Hadits ini menujukkan bolehnya seorang istri mengambil sebagian harta suami untuk keperluan yang ma’ruf, tanpa sepengetahuan suami dikala suami berlaku kikir dalam menafkahi keluarga padahal suami itu mampu. Hadits ini tidak memerintahkan agar Abu Sofyan transparan dalam masalah harta, dan tidak menyuruh Hindun untuk mengetahui harta suaminya. Soal 5: Apakah seorang istri boleh menyisihkan sebagian uang belanja tanpa sepengetahuan suami lalu menggunakan uang tersebut untuk berinfak?
2 / 13
Buletin Al-Islamiyah Media Kajian dan Dakwah Universitas Islam Indonesia http://alislamiyah.uii.ac.id
Jawab: Hal ini pernah ditanyakan kepada Nabi dan dibolehkan asal tidak merugikan suami. Dalam hal ini istri dan suami sama-sama mendapat pahala. Atas dasar ini maka kalau uang yang terkumpul itu digunakan untuk lain keperluan (misal arisan) maka juga boleh asal penyisihan itu tidak merugikan suami. Nabi tidak menjelaskan kriteria merugikan itu seperti apa. Ini berarti bahwa ukurannya bersifat relatif, dan hanya istri saja yang dapat mengukurnya. Soal 6: Apakah lama menyusui itu harus dua tahun dan apakah seorang ibu/ istri itu wajib menyusui anak-anaknya? Jawab: Di dalam al-Qur’ân surat al-Baqarah 223 dan surat al-Thalâq ayat 6 itu disebutkan bahwa: a) Bagi yang bermaksud menyempurnakan susuan maka waktumya adalah dua tahun penuh b) Kewajiban bapak adalah memberi rizqi dan pakaian kepada ibu c) Kalau bapak dan ibu bersepakat untuk menyapih (sebelum dua tahun) maka tidak ada dosa atas keduanya d) Kalau anak itu disusukan kepada perempuan lain maka ongkosnya menjadi tanggungan bapak. Menurut saya (Munadhir): Di surat al-Thalâq itu tertulis: “…fain ardha’na lakum fa âtû hunna ujûrohunna yang maknanya kalau istri itu menyusui untuk kamu (suami) maka berikanlah upahnya”. Kata lakum menunjukkan bahwa istri yang mau menyusui anaknya itu seakan akan menjadi pengganti suami untuk melaksanakan kewajiban penyusuan kepada anak. Kalau ibu tidak mau/ tidak mampu/ kesulitan/ untuk menyusui maka jalan keluarnya adalah disusui oleh perempuan lain, dengan bayaran/ ongkos yang ditanggung oleh suami. Dengan demikian disimpulkan bahwa memberikan susu untuk bayi itu adalah kewajiban bapak. Benar bahwa diantara alasan wajibnya anak berbakti kepada orang tua adalah karena ibu telah menyusui, sebagaimana tersebut dalam QS Luqmân ayat 14 dan al-Ahqaf ayat 15. Akan tetapi kandungan kedua ayat tersebut antara lain adalah tentang lama masa menyusui (24 bulan), dan bukan mewajibkan ibu untuk menyusui. Soal 7: Kalau terjadi kehamilan pada masa susuan atau belum sampai 24 bulan, apakah susuan itu harus dihentikan? Jawab: Kalau al-Qur’ân menyebutkan bahwa sempurnanya susuan itu dua tahun, berarti bahwa masa susuan yang kurang atau lebih dari dua tahun itu adalah tidak sempurna. Jadi masa dua tahun itu adalah optimal, bukan maksimal atau minimal. Al-Qur’ân juga tidak menyebutkan bahwa susuan harus dihentikan kalau terjadi kehamilan di masa susuan itu. Kalau ada yang mengatakan bahwa ASI perempuan hamil itu tidak baik bagi bayi maka kalau hal itu benar, al-Qur’ân pasti sudah menyebutnya. Kalau ASI perempuan hamil tidak baik bagi bayi maka susu buatan atau susu lembu itu belum terbukti lebih baik bagi bayi . Teks al-Qur’ân jelas menyatakan: “Wal wâlidâtu yurdhi’na awlâ dahunna… yang maknanya : “dan ibu-ibu, menyusui anak-anaknya…”. Wâlidâtu di ayat ini adalah ibu-ibu secara umum, tidak hanya yang tidak hamil, meskipun konteks ayat berbicara tentang ibu susuan yang umumnya diartikan sebagai ibu yang baru saja melahirkan. Membatasi pengertian yang umum dari suatu ayat atau hadits menuntut dalil tersendiri (bukan kata orang), dan dalil itu tidak saya (Munadhir) jumpai. Soal 8: Apakah kewajiban orang tua (ortu) terhadap anak-anak mereka? Jawab: Kewajiban ortu terhadap anak-anak mereka sebagaimana tersebut dalam beberapa hadits antara lain adalah sebagai berikut:
3 / 13
Buletin Al-Islamiyah Media Kajian dan Dakwah Universitas Islam Indonesia http://alislamiyah.uii.ac.id
1. Memberi nama yang baik, mendidik agar mempunyai adab (budi pekerti/ sopan santun) yang baik, dan memberikan kedudukan (dalam hati) yang baik. Hadits riwayat al-Thûsi ([3]: hal 243). Hal penting dalam hadits ini yang perlu disadari ortu adalah bahwa pendidikan sopan santun (akhlaq) itu tugas ortu, dan itu harus dimulai semenjak anakanak, di rumah sendiri apalagi di tempat lain. Hal-hal yang menurut kebiasaan tidak patut dilakukan, semenjak kecil juga harus diberitahukan. Sebagian orang berpendapat bahwa anak-anak itu tidak perlu ditegur kalau berbuat salah atau tidak sopan dengan alasan anak-anak itu akan mengerti sendiri sejalan dengan bertambahnya umur. Pendapat ini hanyalah harapan yang belum tentu akan tercapai dan bertentangan dengan suruhan Nabi agar adab itu ditanamkan semenjak kecil. Di dalam kehidupan sekarang, anak-anak yang belum balighpun diberi pengajaran tentang berhitung, dan kita akan menegurnya kalau mereka salah hitung. Tidak bijaksana kalau kita katakan: “Ya biarlah, nanti akan mengerti sendiri menjelang dewasa. Islam menyuruh agar kebenaran itu diajarkan semenjak anak-anak. 2. Mencintai, menyayangi, dan menepati janji kepada kepada mereka. Hadits riwayat alThabrani. ([3]: hal 243). Hadits ini secara tidak langsung melarang ortu untuk memberi imin-iming (janji memberikan sesuatu) kepada anak-anak hanya sekedar untuk menenteramkan mereka, dan tidak ada niatan untuk menunaikannya. 3. Berlaku adil terhadap anak-anak. Hadits riwayat al-Bukhâri dan Muslim ([3]: hal. 244). Berlaku adil di sini adalah menyamakan pemberian kepada anak-anak (laki-laki maupun perempuan) yang bisa diukur. Sebagai contoh, kalau ada empat anak maka bila salah satu dibelikan motor (untuk dimilki) maka yang lain juga harus dibelikan Dalam hal kasih sayang, dimaklumi kalau tidak bisa adil. Alasannya adalah perbuatan Nabi dalam menjalankan perintah Allah untuk berlaku adil kepada para istri beliau. Yang Nabi Muhammad laksanakan adalah adil dalam nafkah dan giliran. Di lain sisi, telah masyhur riwayat bahwa dua istri beliau (Siti Khadîjah dan Siti ‘Aisyah) itu lebih beliau cintai daripada yang lain, dan hal ini tidak ditegur oleh Allah. 4. Menyuruh shalat setelah berumur tujuh tahun, dan memukul mereka (kalau tidak mau shalat) ketika berumur 10 tahun, dan memisahkan tempat tidur mereka (dari ortu dan dari sesama saudara kalau beda jenis kelamin mereka). Menyuruh shalat di sini termasuk mengajarkan kaifiat (tata cara dan doa) yang berkaitan dengan ibadah shalat. Hadits ini menunjukkan bahwa ortu harus menyiapkan anak- anak selama kurang lebih empat tahun sebelum mereka baligh (memikul kewajiban shalat). Kalau anak-anak itu pada saat baligh sampai tidak bisa shalat dengan benar maka ortu yang bertanggung jawab. Kalau setelah baligh anak-anak itu tidak shalat maka dosa tidak ditanggung ortu lagi, tetapi ortu berkewajiban beramar makruf nahi mungkar. 5. Mengajarkan al-Qur’an. Maksud hadits, ortu bukan hanya mengajari cara membaca tapi juga membuat anak-anak itu mengerti apa yang mereka baca. Inilah maksud yang sesuai dengan kebiasaan sehari-hari. Sebagai contoh, kalau seseorang mengirim sms kepada yang lain maka kalau penerima sms mengatakan sms sudah dibaca berati mengerti apa yang dibaca. Oleh karena itu kalau anak-anak sudah bisa membaca (kelas satu atau dua SD), ortu hendaklah menyuruh anak-anak untuk membaca alQur’ân yang ada terjemahnya. Kalau sampai terjadi anak-anak itu tidak dapat membaca al-Qur’ân maka yang disalahkan adalah ortunya. Kalau ortu sendiri tidak dapat membaca al-Qur’ân maka disekolahkan di Taman Pendidikan al-Qur’an (TPQ), sebagaimana ortu menyerahkan anak-anak ke Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD) atau
4 / 13
Buletin Al-Islamiyah Media Kajian dan Dakwah Universitas Islam Indonesia http://alislamiyah.uii.ac.id
TK. Soal 9: Apa pokok-pokok pengajaran terhadap anak-anak menurut Islam? Jawab: Pokok-pokok pengajaran terhadap anak-anak adalah seperti yang tertulis dalam QS Luqmân ayat 13-19 ketika Luqmanul Hakim memberi pengajaran kepada anaknya. Ringkasan makna ayat-ayat dimaksud adalah sebagai berikut: 1. Anak-anak wajib diberi pengajaran tentang tauhid, yang intinya adalah bahwa perbuatan syirik itu merupakan kezhaliman yang paling besar. 2. Berbuat baik (berbakti) kepada kedua ortu itu wajib, karena ibunya telah mengandung dengan kepayahan yang sangat. Ibunya juga telah menyusuinya selama dua tahun. Karena itu anak wajib bersyukur kepada Allah dan kepada kedua ortunya. 3. Kalau mereka (ortu) mengajak kepada kemusyrikan yang engkau sendiri tidak mempunyai ilmu (alasan berdasar agama) tentang hal itu, janganlah ortu diikuti dan bersikap baiklah kepada mereka di dunia ini secara patut, dan ikutilah (wahai anak) jalan orang yang kembali (bertaubat) kepada-Ku. 4. Tanamkan kepada anak bahwa manusia itu akan (mati dan) kembali kepada Allah untuk dimintai tanggung jawab (dan diberi balasan yang adil) tentang perbuatan mereka selama di dunia. 5. Anak hendaklah diberi tahu bahwa kalau ada amal seberat debu, walaupun di dalam batu atau di semua penjuru langit atau di dalam bumi, Allah pasti akan mendatangkannya (dan membalasnya) karena Allah mengetahui dan bisa mengkhabarkan hal-hal yang sangat kecil (detail). 6. Anak-anak hendaklah disuruh mendirikan salat, beramar ma’ruf, mencegah yang mungkar lalu bersabar dalam menanggung akibat yang menimpa (karena amar ma’ruf dan nahi mungkar). Itu adalah termasuk perkara/ urusan yang harus di‘azamkan (menjadi komitmen) oleh semua orang untuk dilaksanakan. 7. Laranglah anak-anak itu berpaling dari manusia (karena sombong) dan larang mereka berjalan di bumi dengan angkuh dan membanggakan diri karena Allah tidak menyukai orang yang sombong dan berbangga diri. 8. Suruhlah anak-anak untuk berjalan secara benar (tidak terlalu cepat dan tidak terlalu lambat), dan hendaklah merendahkan suara (tidak berteriak-teriak ketika berbicara). Sesungguhnya seburuk-buruk suara adalah suara keledai (himar). Menurut saya (Munadhir): Apa yang diajarkan Luqman kepada anaknya, sungguh sangat relevan untuk dijadikan sebagai solusi terhadap permasalahan para remaja saat ini (meskipun tidak semuanya). Fenomena yang muncul di kalangan remaja saat ini antara lain menyianyiakan shalat (karena mengikuti acara yang tidak memungkinkan dilaksanakannya shalat), bergerombol dan bersuara keras (meneriakkan yel-yel, mengeraskan suara motor) dan memacu motor di jalan yang semuanya itu tidak menghiraukan kepentingan manusia (orang banyak). Mereka berlaku angkuh (berpaling dari manusia/ kepatutan), kalau dinasehati malah mengajak berkelahi dan berbangga dengan kelompoknya. Para remaja juga tidak mempunyai ghirah (semangat) untuk beramar makruf nahi mungkar (saling melarang dalam perbuatan jelek). Contoh untuk itu adalah merebaknya budaya mencontek dalam ulangan/ ujian . Oleh karena itu keluarga (yang mengaku) Muslim hendaklah bersungguh sungguh melaksanakan
5 / 13
Buletin Al-Islamiyah Media Kajian dan Dakwah Universitas Islam Indonesia http://alislamiyah.uii.ac.id
ajaran Luqman tersebut, karena pada hakekatnya ajaran Luqman itu adalah ajaran Allah juga yang wajib kita yakini kebenarannya. Soal 10: Kalau seorang anak belum diaqiqahi karena ortu tidak mampu atau tidak tahu dan baru mampu atau tahu setelah anak jadi dewasa, apakah aqiqah itu wajib dilaksanakan? Jawab: Di dalam Fiqih Sunnah Jilid 13 hal. 151 dijelaskan bahwa menurut pengarang kitab Mukhtar al-Shihhah, al-‘Aqiqah atau al-‘Iqqah adalah rambut makhluk yang baru lahir. Lalu dinamai dengan itu binatang yang disembelih untuk anak yang baru lahir pada hari ketujuhnya (bukan umur 7 hari). Ringkasnya, aqiqah itu terdiri dari beberapa amalan seperti berikut: a) Mencukur habis rambut bayi, menimbangnya lalu bersedekah dengan perak (dirham) seberat rambut tadi, b) memberi nama (yang baik), c) Menyembelih kambing, satu ekor untuk bayi perempuan dan dua ekor untuk bayi laki-laki lalu dibagikan kepada orang lain. Hukum aqiqah itu, menurut sebagian ulama adalah sunnat mu’akkad, yang lainnya berpendapat wajib. Terlepas dari hukumnya, aqiqah itu adalah suatu ibadah yang berkaitan dengan a) saat, yaitu pelaksanaannya pada hari ke tujuh (di lain hadits bisa ke 14 atau ke 21), b) pemberian nama, c) mencukur (rambut bawaan dari perut ibu), d) bersedekah dengan perak seberat rambut yang dicukur tersebut, dan e) penyembelihan kambing. Itu berarti bahwa kalau seseorang sudah dewasa baru disembelihkan kambing maka penyembelihan itu sudah kedaluwarsa, dan tiga hal yang lain tidak mungkin/ sulit untuk terlaksana. Kebanyakan orang memahami aqiqah itu hanya penyembelihan kambing saja, dan ini adalah tidak benar. Oleh karena itu meskipun Nabi mengatakan bahwa seorang anak tergadai oleh aqiqahnya, tidak ada riwayat yang menyebutkan bahwa para sahabat melaksanakan aqiqah untuk orang yang sudah dewasa. Adapun kalau hanya sekedar menyembelih kambing untuk dinikmati bersama, tidak ada larangan bahkan dipandang baik karena memberi makan kepada orang banyak itu adalah suatu kebaikan. Nabi pernah diundang oleh beberapa sahabat beliau untuk sekedar menikmati hidangan/ makan dan beliau selalu mendatangi undangan tersebut. Soal 11: Bagaimana kriteria anak (hasil) zina menurut Islam? Jawab: Anak (hasil) zina adalah anak yang pada saat minimal enam bulan (qamariah) penuh sebelum kelahirannya, kedua ortunya belum nikah menurut aturan Islam. Dengan kalimat lain, kalau selang waktu antara kelahiran dan pernikahan (yang membuahkan anak) itu kurang dari enam bulan maka anak dimaksud dihukumi sebagai anak zina (tidak sah) meskipun pernikahan itu sendiri adalah sah. Alasannya adalah sebagai berikut. Di dalam QS Luqman ayat 14 disebutkan bahwa seorang ibu memutus penyusuan itu dalam dua tahun (24 bulan). Sedangkan di dalam QS al-Ahqaf ayat 15 disebutkan bahwa lama mengandung sampai menyusui itu 30 bulan. Berarti bahwa lama mengandung itu adalah 30 - 24 = 6 bulan. Ini adalah lama kandungan minimal yang sah menurut Islam meskipun menurut kebiasaan/ pengalaman, lama kandungan itu kurang lebih adalah sembilan bulan. Soal 12: Apa perbedaan anak zina (Z) dengan anak sah (bukan anak zina)? Jawab: Menurut syari’at Islam anak zina tidak dinisbahkan kepada laki-laki (misal L) yang menghamili ibunya (I) sehingga anak zina tidak mempunyai hubungan mawaris (saling
6 / 13
Buletin Al-Islamiyah Media Kajian dan Dakwah Universitas Islam Indonesia http://alislamiyah.uii.ac.id
mewarisi) dengan L tersebut. Anak zina dinisbahkan kepada ibunya, dan mempunyai hubungan mawaris dengan ibunya (termasuk keluarga ibu dan saudara seibu). Dalam masalah perwalian maka L tidak berhak menjadi wali dari Z (kalau Z adalah perempuan). Kalau setelah Z itu lahir adik-adik Z (dari pernikahan yang sah antara L dan I) maka adik-adik Z hanya bersaudara seibu dengan Z, sementara adik-adiknya adalah bersaudara seayah seibu. Soal 13: Apakah boleh perempuan lajang (belum pernah nikah) yang hamil karena zina dinikahkan dengan laki-laki lain (bukan yang menghamili), dan bagaimana status anak yang akan lahir? Jawab: Di dalam QS al-Thalaq ayat 4 disebutkan bahwa perempuan hamil yang dicerai itu masa ‘iddahnya adalah sampai dia melahirkan kandungannya. Telah diketahui bahwa dalam masa ‘iddah itu perempuan tidak boleh nikah. Ayat ini dijadikan alasan oleh ulama yang berpendapat bahwa perempuan hamil itu tidak boleh nikah, kecuali setelah melahirkan. Ulama yang lain mengatakan bahwa ayat tersebut berbicara tentang masa ‘iddah perempuan yang ditalak/ bercerai (oleh/dari suaminya) dalam keadaan hamil. Dengan demikian sebelum perceraian itu perempuan tersebut mempunyai suami melalui pernikahan yang sah. Status perempuan lajang yang hamil karena zina, dalam pandangan syari’at adalah tetap lajang dan tidak hamil (meskipun secara medis dia hamil). Pandangan ini adalah logis sebab kalau kehamilan itu diakui berarti malah melegalkan perzinaan dengan segala akibatnya (misal mawaris). Perempuan yang secara syari’at berstatus lajang (misal W) boleh dinikahkan dengan laki-laki mana saja (misal S) yang juga halal menurut syari’at. Anak (misal A) yang dilahirkan oleh W dalam kasus ini juga anak yang sah, dinisbahkan kepada laki-laki S yang menikahinya (dengan syarat umur kandungan A tidak kurang dari enam bulan) meskipun secara genetik anak tersebut mungkin tidak berhubungan dengan S. Islam sudah disempurnakan oleh Allah pada waktu ilmu kedokteran belum seperti saat ini. Artinya, kemajuan ilmu kedokteran (dan yang lainnya) tidaklah akan mengubah hukum-hukum Islam. Soal 14: Kenapa Islam tidak membolehkan bayi tabung bila sperma untuk membuahi telur itu bukan berasal dari suami yang sah, padahal yang dilarang Islam adalah perzinaan? Jawab: Yang dituju Islam dengan melarang perzinaan adalah mencegah pembuahan sel telur oleh bibit dari laki-laki yang bukan suami pemilik telur. Hubungan sex hanyalah cara membuahi telur (secara alami). Dengan demikian kalau ada cara lain untuk membuahi telur dengan bibit dari laki-laki bukan suami, juga dilarang. Dengan cara inilah Islam menjaga agar hukum-hukum tentang pernikahan itu dapat tercapai tujuan dan maslahatnya. Kalau yang dilarang hanyalah perzinaan itu saja maka dapat terjadi seorang perempuan hamil dengan bibit dari saudara lakilakinya sendiri melalui program bayi tabung itu. Oleh karena itu, keberadaan bank sperma itu adalah diharamkan Islam meskipun tujuannya adalah baik menurut manusia. Soal 15: Apakah anak angkat yang diasuh sejak bayi itu berstatus sebagai anak kandung dari ortu angkatnya? Jawab: Yang disebut anak di dalam Islam adalah yang dilahirkan oleh orang yang mengandungnya. Demikianlah pengertian yang diambil dari QS al-Mujadilah ayat 2, kurang lebih terjemahannya: “Ibu-ibu mereka itu adalah (perempuan) yang melahirkan mereka”. Ayat
7 / 13
Buletin Al-Islamiyah Media Kajian dan Dakwah Universitas Islam Indonesia http://alislamiyah.uii.ac.id
ini menegaskan bahwa yang disebut anak dari seorang perempuan adalah yang dilahirkan oleh perempuan tersebut. Dengan demikian anak angkat tidak sama dengan anak kandung, misalnya dalam warisan, hubungan rahim, dan kekerabatan. Di zaman jahiliyah, bekas istri anak angkat tidak boleh dinikahi oleh bapak angkat. Adat ini dihapuskan oleh Islam. Maka ketika anak angkat Nabi yang bernama Zaid bin Haritsah menceraikan istrinya yang bernama Zainab binti Jahsyi, Allah menyuruh Nabi untuk menikahi Zainab binti Jahsyi. Nabi merasa berat dengan perintah tersebut karena harus melawan adat masyarakat yang sudah turun temurun. Akan tetapi karena salah satu tugas beliau adalah untuk menjadi contoh dalam pelaksanaan syariat Allah, Nabi pun akhirmya menikahi Zainab binti Jahsyi. Soal 16: Kalau terjadi kenakalan remaja seperti saat ini, siapakah yang paling jawab?
bertanggung
Jawab: Semua tindakan kemungkaran berasal dari penyia-nyiaan ibadah shalat, utamanya shalat fardhu. Alasannya adalah firman Allah yang maknanya: “Dan dirikanlah shalat, sesungguhnya shalat (yang benar) itu mencegah dari perbuatan keji dan munkar”. Jadi shalat merupakan pengendali keinginan. Dengan shalat itu pula maka fitrah manusia yang dibawa waktu lahir, yaitu kemampuan untuk mengenali kebaikan (taqwa) dan dosa (fujûr) dapat dipertahankan. Al-Qur’ân tidak menyebutkan adanya ibadah selain shalat untuk mencegah kemungkaran, meskipun fungsi/ manfaat shalat bukanlah hanya untuk itu saja. Demikianlah, Islam mempersiapkan anak-anak sejak berumur tujuh tahun untuk shalat. Kalau usia baligh (untuk laki-laki) itu 14 tahun maka tersedia tujuh tahun agar setelah mereka dewasa benarbenar menjadi mushallin yaitu tekun, disiplin, sabar, dan khusyu’ dalam shalat. Kalau shalat itu di sia-siakan maka akan berakibat pada kebinasaan. Perhatikan firman Allah dalam al-Qur’ân yang maknanya: “Maka datanglah setelah mereka (mushallîn) itu generasi pengganti yang menyia-nyiakan shalat dan memperturutkan hawa nafsu (syahwat) maka kelak (generasi pengganti itu) akan menemui kebinasaan”. Oleh sebab demikian, kewajiban ortu adalah mempersiapkan anak-anak mereka agar mendirikan shalat ketika mereka itu dewasa. Kalau ortu sangat sibuk, pendidikan shalat dapat melalui pihak lain semisal lembaga pendidikan Islam. Meskipun demikian ortu tetap wajib menjaga dan mengawasi agar anak-anak mereka serius dalam mendirikan shalat. Soal 17: Di dalam hadits shahih yang sudah masyhur dikatakan bahwa setiap anak itu dilahirkan dalam keadaan fitrah. Kedua ortunya lah yang akan menjadikan anak-anak itu Yahudi, Nashrani, atau Majusi. Apakah hadits ini berarti bahwa ortu bertanggung jawab (atas dosa anak-anak) ketika mereka menjadi non Muslim (Yahudi dll)? Jawab: Di dalam QS al-Najm 38 disebutkan bahwa seseorang tidak akan dapat memikul dosa orang lain dan bahwa manusia tidak akan memperoleh apapun (dosa/ pahala) kecuali apa yang dia usahakan. Dengan demikian dosa seorang anak dewasa adalah tanggungannya sendiri. Dengan prinsip bahwa sunnah itu tidak akan melawan al-Qur’ân maka yang dimaksud oleh hadits tersebut adalah kalau ortu itu tidak mendidik anaknya sebagaimana diajarkan oleh alQur’ân (baca lagi pertanyaan 8) dan sunnah (pertanyaan 15) sehingga anak-anak menjadi non Muslim maka ortulah yang disalahkan dan berdosa atas kesalahannya itu, tapi ortu tetap tidak menanggung dosa perbuatan anaknya yang non Muslim tersebut. Contoh untuk ini adalah kisah Nabi Nuh yang salah satu anaknya tidak shalih hingga termasuk mereka yang tenggelam
8 / 13
Buletin Al-Islamiyah Media Kajian dan Dakwah Universitas Islam Indonesia http://alislamiyah.uii.ac.id
dalam banjir. Dalam hal ini Nabi Nuh tidak disalahkan karena Nabi Nuh sudah mendidiknya dengan benar. Hadits ini juga menunjukkan bahwa kalau anak itu menjadi Muslim bukanlah prestasi ortunya semata karena kondisi asal bayi adalah fitrah. Namun demikian, usaha ortu dalam menjaga fitrah (dengan mendidiknya secara Islam) sehingga anaknya menjadi shalih itu dihargai dan ditetapkan sebagai bagian dari usaha ortu yang pahalanya tetap dinikmati ortu meskipun ortu telah mati. Soal 18: Apakah di dalam Islam dikenal tahapan kedewasaan berdasar usia? Jawab: Secara garis besar Islam hanya membagi usia menjadi dua yaitu baligh dan belum baligh. Sebelum baligh itu ada kondisi yang disebut mumayyiz yaitu bila seorang anak sudah mengerti lawan jenis, dan mengenal keelokan wajah. Usia mumayyiz sekitar 10 tahun, berdasar perintah Nabi agar anak-anak dipisah tidurnya (antara laki-laki dan perempuan) pada umur 10 tahun. Setelah baligh sampai usia 25 tahun, disebut pemuda. Masa ini harus diisi dengan ibadah dan bekerja. Setelah umur ini seorang laki-laki (seharusnya) nikah. Setelah usia 40 tahun, dia berdoa sebagaimana tersebut dalam QS al-Ahqaf [46]: 15 yang isinya adalah a) Mohon bantuan kepada Tuhan agar diberi kekuatan untuk lebih bersyukur atas nikmat Allah kepada dia dan kedua ortunya, b) Bertekad untuk beramal (shalih) yang diridhai Allah, c) Mohon agar dia dan keturunannya diperbaiki, d) Bertobat kepada Allah dan menjadi Muslim yang sesungguhnya. Di ayat selanjutnya (ayat 16) Allah berfirman, yang maknanya lebih kurang: ”Itulah orang-orang yang amalan baiknya Kami terima dan Kami maafkan kejelekan mereka, menjadi ahli surga. (Itulah) sebenar-benar janji yang dijanjikan (untuk mereka)”. Menurut saya (Munadhir): Pesan penting dari ayat tersebut adalah bahwa ketika memasuki usia 40 tahun seseorang harus sudah mempunyai dzurriyyah (keturunan), dalam kondisi bertobat kepada Allah (kembali kejalan yang benar), dan menjadi seorang Muslim dalam arti yang sesungguhnya yaitu menjalankan rukun Islam sesuai dengan tuntunan Nabi. Akan tetapi banyak orang Islam memasuki usia 40 tahun namun belum juga memperbaiki amal, bahkan menghabiskan sebagian besar waktunya untuk urusan dunia sampai-sampai menyianyiakan salat wajib (tidak menjaga waktu, dan tidak berjama’ah). Soal 19: Dalam rangka bersyukur kepada Allah, apakah boleh kita berkumpul untuk mengadakan pengajian pada tanggal kelahiran, pernikahan, dan kematian seseorang? Jawab: Nabi dan Khalifah yang empat, tidak melaksanakan kegiatan khusus ataupun keagamaan yang dengan sengaja dilakukan pada tanggal kelahiran, pernikahan, maupun kematian. Artinya, perbuatan tersebut bukan termasuk sunnah Nabi sehingga tidak ada pahalanya. Kalau bukan sunnah maka hukum yang bisa dikenakan untuk perkara tersebut adalah mubah. Bila perbuatan itu ternyata hanya meniru-niru kebiasaan orang-orang (kaum) yang bukan Islam maka hal itu dilarang berdasar hadits: ”Man tasyabbaha bi qaumin fahuwa minhum yang maknanya adalah siapa yang menyerupai suatu kaum maka dia termasuk golongan mereka (kaum yang ditiru). Kalau dalam berkumpul itu diadakan pengajian maka pengajiannya itu sendiri dianjurkan yaitu menuntut ilmu. Akan tetapi mengkhususkan suatu ibadah pada saat tertentu, dengan anggapan bahwa hal itu adalah lebih utama (afdhal) tanpa adanya suruhan ataupun contoh Nabi maka pengkhususan itu tidak akan membuahkan kelebihan dalam pahala. Nampak bahwa syukuran dengan cara tersebut sebenarnya merupakan gabungan dari amalan ummat non Islam dengan amalan Islam. Islam sebagai
9 / 13
Buletin Al-Islamiyah Media Kajian dan Dakwah Universitas Islam Indonesia http://alislamiyah.uii.ac.id
agama yang sudah sempurna tidak berhajat kepada upaya tersebut. Kalaupun dikatakan bahwa syukuran seperti itu bukan termasuk perkara ibadah langsung yang terlarang maka kegiatan tersebut tidak dapat lepas dari unsur meniru amalan ummat lain. Soal 20: Apabila seorang anak yang sudah berumah tangga ingin menjenguk ortunya, apakah dia juga harus minta ijin untuk masuk rumah ortunya? Jawab: Tertulis di QS al-Nûr [24] ayat 27 dan 28 yang maknanya lebih kurang: “Wahai sekalian orang beriman, janganlah kamu memasuki rumah yang bukan rumahmu sampai kamu meminta ijin dan memberi salam kepada ahlinya. Yang demikian ini lebih baik bagimu agar kamu selalu ingat (27). Jika kamu tidak menjumpai seorangpun di dalamnya maka janganlah kamu memasukinya sampai kamu mendapat ijin. Dan jika dikatakan kepadamu:” Kembali sajalah maka hendaklah kamu kembali. Demikian itu lebih bersih (bagi hatimu). Allah mengetahui apa yang kamu kerjakan”(28). Ayat-ayat tadi secara umum menunjukkan bahwa setiap orang yang akan masuk rumah orang lain harus minta ijin kepada yang punya rumah, dan kalau rumah dalam kondisi kosong tidak boleh orang lain memasukinya. Akan tetapi hubungan anak dan ortu tentu berbeda dengan hubungan ortu (punya rumah) dan bukan anak. Meskipun demikian yang lebih baik bagi anak adalah tetap minta ijin, dan kalau sudah diijinkan lalu masuk dan memberi salam. Bahkan kalau seseorang akan memasuki rumahnya sendiri, tetap dianjurkan memberi salam kepada ahlinya (istri, anak, dan lainnya). Soal 21: Seorang anak yang sudah berumah tangga sendiri lalu mengunjungi ortunya, apakah dia boleh makan minum secara bebas di rumah ortunya, dan bagaimana yang sebaliknya? Jawab: al-Dailami meriwayatkan hadits yang maknanya: “Ibu dan bapak berhak makan harta milik anak mereka secara makruf sedangkan seorang anak tidak boleh makan dari harta ibu bapaknya kecuali dengan ijin mereka”. Hadits ini berlaku umum, bagi anak yang sudah berumah tangga sendiri ataupun belum. Salah satu faedah dari hadits ini adalah bahwa bisa jadi ortu membeli sesuatu (makanan atau yang lain) dengan niat untuk jamuan/ hadiah bagi tamu yang akan datang atau untuk dinikmati sendiri. Sebaliknya kalau ortu datang kerumah anaknya dan melihat sesuatu (barang atau makanan) maka ortu boleh mengambilnya secara makruf. Meskipun tuntunan dalam hadits ini ini mungkin berlawanan dengan kebiasaan yang berlaku di masyarakat, hadits ini lebih berhak untuk diamalkan sebab termasuk adab mulia. Artinya adalah bahwa kalau mertua datang kerumah menantunya dan mengambil sesuatu dirumahnya, hendaklah tidak disalahkan asal yang diambilnya itu milik anaknya dan makruf (pantas, tidak merugikan). Bahkan ada hadits riwayat Syafi’i dan Abu Daud yang menyebutkan bahwa Nabi pernah berkata kepada seseorang: “Kamu dan hartamu adalah milik ayahmu”. Hadits ini secara khusus memberi hak istimewa kepada seorang ayah untuk ikut menikmati harta anaknya. Meskipun di dalam praktek hal ini tidak sering terjadi, namun kalau ada bapak yang meminta sesuatu milik anaknya maka anak harus memberikannya. Ini juga termasuk kebaktian seorang anak terhadap ortunya, yang selain berpahala juga termasuk pemberian yang akan mendatangkan pemberian (dari tempat lain), sebagaimana sabda Nabi yang maknanya: “Memberi itu menyebabkan datangnya pemberian”.
10 / 13
Buletin Al-Islamiyah Media Kajian dan Dakwah Universitas Islam Indonesia http://alislamiyah.uii.ac.id
Soal 22: Apakah makan bersama-sama dengan keluarga itu lebih utama daripada makan sendirian? Jawab: Allah telah berfirman di dalam QS al-Nûr ayat 61 yang maknanya kurang lebih: “…tidak ada keberatannya atas kamu untuk makan bersama-sama atau makan sendirian...”. Ayat ini menunjukkan bahwa tidak ada bedanya makan sendirian atau secara bersama-sama dalam hal pahala. Akan tetapi tersebut di dalam terjemah tafsir Ibnu Katsir jilid V hal. 490 hadits riwayat Imam Ahmad bahwa seorang lelaki datang kepada Nabi n dan berkata: “Ya Rasulullah, kami makan tetapi tidak pernah merasa kenyang”. Maka Nabi n pun bersabda: “Boleh jadi kamu makan sendiri-sendiri maka berkumpullah makan bersama-sama dan sebutlah asma Allah, pasti Allah akan memberkahi makananmu itu”. Di dalam hadits ini terdapat anjuran untuk makan bersama dengan harapan mendapat barakah dari Allah, yang dengan barakah (berkah) itu makan bersama mendatangkan rasa kecukupan dan kepuasan. Soal 23: Suatu hadits shahih mengatakan bahwa bersilaturrahim dapat memperpanjang usia dan menambah rizqi padahal di hadits lain yang juga shahih dikatakan bahwa umur dan rizqi seseorang sudah ditulis di rahim ketika kandungan berusia 120 hari. Apakah dua hadits tersebut tidak saling bertentangan? Jawab: Terjadi perbedaan pendapat di kalangan ulama tentang arti memperpanjang usia dan menambah rizqi. Sebagian mengatakan bahwa yang dimaksud adalah menambah keberkahan dalam usia dan rizqi. Yang lain mengatakan bahwa tetap diberi pahala meskipun telah mati. Menurut saya (Munadhir): Apa yang ditulis di dalam rahim itu sebenarnya merupakan ketentuan yang juga tertulis di Lauhil Mahfuhz, dan tidak berubah sesuai hadits shahih yang menyatakan bahwa pena (qalam) sudah diangkat dan tulisan di Lauhil Mahfuzh itu sudah kering. Ini juga sesuai dengan firman-Nya: “Lâ tabdîla likalimâtillâh”, yang artinya tidak ada penggantian untuk kalimat Allah. Kalau kita baca kisah Isrâ’ dan Mi”raj juga kita dapati bahwa shalat yang diwajibkan kepada ummat Nabi n mula-mula adalah 50 kali sehari semalam. Tapi akhirnya menjadi hanya lima saja. Ini tidak berarti bahwa kalimat Allah itu berubah ubah. Artinya, walaupun dikerjakan lima kali namun karena dipahalai 10 kali lipat maka sama saja dengan dikerjakan 50 kali. Ini juga merupakan salah satu keistimewaan ummat Islam. Kalaupun arti menambah rizqi dan umur itu diartikan apa adanya secara lahir, tidak juga berarti bahwa tulisan di Lauhil Mahfuzh (taqdir) itu harus diperbaharui (sebagaimana faham Syi’ah tentang bada’). Allah Maha Tahu sehingga juga tahu apakah seseorang itu akan bersilaturrahim ataukah tidak. Jadi taqdir itu merupakan simpulan dari seluruh usaha manusia disertai dengan kehendak Allah yang mempunyai 99 nama yang baik (al-asmâul husna). Jadi kalau seseorang suka bersilaturrahim maka umurnya akan ditambah/ lebih panjang. Penambahan itu sudah termasuk di dalam tulisan umur di rahim itu. Contoh lain adalah tentang hari kiamat. Saat kiamat itu di sisi-Nya sudah pasti, dan hanya Dia yang tahu. Akan tetapi di dalam hadits shahih disebutkan bahwa hari kiamat itu akan terjadi di saat tidak ada lagi orang yang menyebut asma Allah. Maka ketika sebagian besar manusia tak pernah lagi menyebut asma Allah lalu (tiba-tiba) ada orang yang menyebut nama-Nya, Allah memerintahkan kepada malaikat Israfil untuk menunda tiupan terompet selama 40 tahun sebagai penghormatan kepada orang tadi. Secara zhahir, hadits ini mengisyaratkan adanya
11 / 13
Buletin Al-Islamiyah Media Kajian dan Dakwah Universitas Islam Indonesia http://alislamiyah.uii.ac.id
penundaan hari kiamat sehingga melebihi apa yang sudah ditetapkan oleh Allah. Simpulan ini jelas tidak benar. Yang benar adalah bahwa Allah Yang Maha Tahu telah menetapkan kapan saat kiamat itu (yaitu di hari Jum’at), dan penetapan itu sudah meliputi penundaan tersebut. Contoh lain adalah seseorang yang terhindar dari maut karena menjalani operasi jantung, lalu bisa bertahan hidup selama 10 tahun pasca operasi. Ini tidaklah berarti bahwa Allah menambah umur dari yang sudah tertulis di rahim. Yang pasti benar, Allah sudah tahu apakah seseorang itu akan dioperasi atau tidak, dan umur karena ada operasi itu (dengan izin Allah) lalu bertambah dibandingkan kalau tidak ada operasi. Wallâhu a’lamu.[] Marâji’
Al-Quranul Karim dan Terjemahannya Dwi Bahasa. 2010. Bandung: Al-Mizan. Almath, Muhammad Faiz. 1995. 1100 Hadits Terpilih. Jakarta: Gema Insani Press. Bahreisy, Salim dan H Said Bahreisy. tt. Terjemah Tafsir Ibnu Katsir. Jilid V. Surabaya: Bina Ilmu Surabaya. Bahreisy, Salim. 1992. Terjemah Tanbihul Ghafilin Jilid I, , Bina Ilmu Surabaya, 1992 Hadhiri, Choiruddin. 1994. Klasifikasi Kandungan Al Qur’an. Jakarta: Gema Insani Press. Ied, Imam Ibnu Daqiqil. 2001. Syarah Hadits Arbain Imam Nawawi. (Terjemah) Moh. Thalib. Yagyakarta:Media Hidayah. Sabiq, Sayid. Fiqh al-Sunnah. 1990. (Terjemah) Moh Tholib. Jilid 7 dan 13. Bandung: Al-Maarif. Sabiq, Sayid. 1990. Aqidah Islamiyah. (Terjemah) Moh. Abdai Rathomy. Bandung: CV Diponegoro.
12 / 13
Buletin Al-Islamiyah Media Kajian dan Dakwah Universitas Islam Indonesia http://alislamiyah.uii.ac.id
* Ketua LAZIS UII
13 / 13 Powered by TCPDF (www.tcpdf.org)