Jejaring Administrasi Publik. Th VI. Nomor 1, Januari-Juni 2014
Tantangan Tingkat Usia dan Kepemimpinan terhadap Kinerja Novitasari Mahasiswa Pengembangan Sumberdaya Manusia, Pascasarjana, UNAIR. Abstract The central focus of this paper is an analysis of the weakness of the curent problems Organizations that work on perfomance. The main focus of research papers based on the performance of the Government Public Relations Department Bojonegoro, and two main factors are the challenges in achieving good performance on the part of PR is linked to aging employees and the leadership of the head of Public Relations itself. The results of this study showed that the age and style of leadership directly influence the performance of public relations practitioners, The analytical method used is based psychosocial stream mapping analysis, questionnaire and interview. Based on the results of the research found that both age levels and types of leadership have provided a significant positive effect on performance variables Bojonegoro Government Public Relations Department. It is shown by the test results of the research. Based on the first hypothesis of this study is that there is a significant relationship between the variables age levels, and the types of leadership on nurse performance variables proven true. Thus the second hypothesis is that the variable levels of age has the most dominant influence on the performance variables of Public Relations not truth. Keywords: Age, Leadership, Performance of individual
Pendahuluan Tuntutan terhadap peningkatan kinerja aparatur pemerintah, merupakan perwujudan aksi demi mewujudkan visi negara yang terdapat dalam pembukaan Undang-undang Dasar 1945. Daripada itu, maka wajar saja bila semua elemen negara termasuk rakyat Indonesia, menaruh harapan besar terhadap kinerja para birokrat, khususnya memberikan pelayanan publik kepada masyarakat. Dan kesuksesan reformasi birokrasi, sangat ditentukan oleh kualitas pelayanan publik yang dilaksanakan oleh pemerintah daerah, sedangkan birokrasi yang baik sangat ditentukan oleh integritas dan profesionalisme para birokratnya. Namun kenyataanya, masih banyak kekecewaan-kekecewaan yang ditemui terhadap kinerja pemerintah, khususnya kinerja pemerintah daerah, yang merupakan ujung tombak pemerintahan. Praktek-praktek KKN, sepenuhnya masih belum dapat ditumpas dibirokrasi, masih banyak hal yang harus diselesaikan dalam kaitan pemberantasan korupsi. Hal ini antara lain ditunjukkan dari data Transparency International pada tahun 2009, Indeks Persepsi Korupsi (IPK) Indonesia masih rendah (2,8 dari 10) jika dibandingkan dengan negara-negara di Asia Tenggara
lainnya, akuntabilitas pemerintah ini masih sangat diragukan, demikian pula pelayanan publik, yang nyatanya pemerintah belum mampu memberikan pelayanan publik yang berkualitas. Berdasarkan kenyataan diatas, hampir dapat dipastikan dengan mudah, bahwa kinerja pemerintah masih sangat rendah, berdasarkan penilaian government effectiveness yang dilakukan Bank Dunia, Indonesia memperoleh skor -0,43 pada tahun 2004, -0,37 pada tahun 2006, dan -0,29 pada tahun 2008, dari skala -2.5 menunjukkan skor terburuk dan 2,5 menunjukkan skor terbaik, Meskipun pada tahun 2008 mengalami peningkatan menjadi 0,29, skor tersebut bukanlah kebaikan yang dapat dibanggakan. Pada tahun 2011 pemerintah yang dalam hal ini sebagai pembuat kebijakan harus lebih agresif dalam melaksanakan dan menegakkan aturan terhadap para Pegawai Negeri Sipil. Untuk melakukan pembenahan dalam berbagai peningkatan kualitas dan profesionalisme Pegawai Negeri Sipil serta dalam rangka mendukung adanya reformasi birokrasi pada pemerintahan dapat dilakukan diantaranya dengan peningkatan kualitas SDM Pegawai Negeri Sipil dalam bidang hukum melalui upaya penyadaran hukum terhadap para Pegawai Negeri Sipil secara khusus umumnya 408
Jejaring Administrasi Publik. Th VI. Nomor 1, Januari-Juni 2014
terhadap aparatur negara, reformasi Birokrasi dan Reformasi Aparatur, yang diarahkan kepada adanya pembenahan dalam sistem kepegawaian, intinya adalah bahwa PNS harus berubah. Perubahan dalam tubuh PNS, bukanlah sekedar face off, sekedar berubah dengan format lain yang tak lebih baik, baik bisa jadi lebih buruk. Pemerintah pusat disambut baik oleh legestlatif, telah menyusun aturan yang bertujuan untuk meningkatkan kinerja PNS, diantaranya adalah tentang reformasi birokrasi. Bagi pemerintah yang lebih bawah, pelaksanaanya semakin rumit, dikarenakan sumber daya manusai yang berbeda kapasitasnya dengan pusat –sebagaiman diketahui bersama bahwa pada era sentralisasi, peranan pusat sangat besar, termasuk didalam perekrutan pegawai maupun mutasi pegawai daerah yang berkualitas kepusat- dengan sumber daya yang pas-pasan, daerah dituntut untuk mengejawantahkan semangat reformasi di daerah. Masalah kepegawaian daerah tak sekedar kapabilitas pegawainya, namun juga dipengaruhi banyak faktor lain, seperti jumlah pegawai yang kurang, sarana dan prasarana yang kurang memadai, maupun ala kepemimpinan para pengambil kebijakan yang cenderung memiliki tipe sama dan tradisional. Penempatan orang yang tepat ditempat yang tepat, adalah salah satu bagi pemerintah daerah untuk mengoptimalkan kinerjanya. Tugas Badan Kepegawaian Darah (BKD) menjadi lebih berat, karena setiap penempatan pegawai haruslah berdasarkan perhitungan yang jelas, kompetensi maupun aspek lain, padahal sebelumnya penempatan seorang PNS pada suatu unit kerja, cenderung dipengaruhi emosi yang mempunyai kekuasaan untuk menempatkan pegawai. Dampak Kinerja Pegawai Secara etimologi, kinerja berasal dari kata prestasi kerja (performance). Sebagaimana dikemukakan oleh Mangkunegara (2005:67) bahwa istilah kinerja berasal dari kata job performance atau actual performance (prestasi kerja atau prestasi sesungguhnya yang dicapai seseorang) yaitu hasil kerja secara kualitas dan kuantitas yang dicapai oleh seorang pegawai
dalam melaksanakan tugasnya sesuai dengan tanggung jawab yang diberikan kepadanya. Kinerja dibedakan menjadi dua, yaitu kinerja individu dan kinerja organisasi. Kinerja individu adalah hasil kerja karyawan baik dari segi kualitas maupun kuantitas berdasarkan standar kerja yang telah ditentukan, sedangkan kinerja organisasi adalah gabungan dari kinerja individu dengan kinerja kelompok (Mangkunegara, 2005:15). Gibson et al. (1996:95) menyatakan bahwa kinerja karyawan merupakan suatu ukuran yang dapat digunakan untuk menetapkan perbandingan hasil pelaksanaan tugas, tanggung jawab yang diberikan oleh organisasi pada periode tertentu dan relatif dapat digunakan untuk mengukur prestasi kerja atau kinerja organisasi. Seiring dengan kencangnya hembusan angin reformasi, dan meningkatnya tuntutan masyarkat, sebagaimana disebutkan diatas, maka otomatis para PNS di negeri ini, harus meningkatkan kinerjanya, tidak bisa hanya sekedar menunaikan kewajiban sebagaimana era sebelumnya, namun harus bisa memuaskan masyarakat. Saat ini semakin banyak institusi yang mengawasi kinerja pemerintah baik secara internal maupun eksternal, secara internal pemerintah sekarang telah ada badan pengawas wilayah, dibidang keuangan ada Badan Pengawas Keuangan (BPK), dan badan baru yang digadang-gadang sebagai lembaga terbesih di negara ini, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), tak lain sebagai wujud keinginan pemerintah untuk semakin meningkatkan kinerja aparatur. Diluar itu, banyak sekali Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) dan juga bermuncul-an lembaga-lembaga survey, yang selalu menampilan tingkat kepuasan masyarakat terhadap kinerja pemerintah, bila masih ada pegawai negeri yang tidak bersungguh-sungguh dalam mengerjakan tugasnya, masih ada yang bolos kerja, berkeliaran di jam kantor, masih bisa meluangkan waktu untuk mencari pendapatan lain diluar gaji sebagai pegawai, bisa dibilang itu sangatlah terlalu. Semangat dan harapan ini, tidak selalu berbanding lurus dengan kenyataan dilapangan, walaupun keinginan tersebut ada, kebanyakan hal itu hanyalah menjadi impian disebabkan kemampuan pegawai yang tidak 409
Jejaring Administrasi Publik. Th VI. Nomor 1, Januari-Juni 2014
mendukung cita-cita bangsa ini. Terutama sumber daya manusia didaerah, yang dalam hal ini adalah sumber daya manusia pada Bagian Humas Kabupaten Bojonegoro, kinerja yang tidak maksimal secara langsung menunjuk aparat didalamnya yang tidak berkerja sebagaimana seharusnya. Tren yang merata dihampir seluruh wilayah otonomi daerah, adalah dalam proses perekrutan, senantiasa menetapkan standar yang tinggi bagi para calon pegawai baru (CPNS), tak jarang penerimaan hanya terbuka untuk mereka yang memiliki ijazah strata satu maupun strata dua, karena menganggap bahwa tingkat pendidikan akan mempengaruhi kinerja pegawai secara signifikan. Menurut Gibson (1987) ada 3 variabel yang berpengaruh terhadap kinerja: (1) faktor individu: kemampuan, keterampilan, latar belakang, dan demografi seseorang; (2) faktor psikologis: persepsi, sikap, kepribadian, belajar, dan motivasi variabel ini menurut Gibson banyak dipengaruhi oleh keluarga, tingkat sosial pengalaman kerja sebelumnya dan variabel demografi; (3) faktor organisasi: sumber daya, kepemimpinan, imbalan, struktur, dan desain pekerjaan (Ilyas, 2001; Cokroaminoto, 2007). Teori yang mendukung tentang pentingnya pendidikan didalam organisasi, yang mana banyak diterapkan organisasi di negara ini. Di Kabupaten Bojonegoro, Badan Kepegawaian Daerah, telah melaksanakan dua kali perekrutan CPNS dalam kurun empat tahun terakhir dan didalam setiap formasi pegawai yang ditawarkan hanyalah diperuntukan kepada lulusan sarjana keatas, hingga formasi pegawai Bagian Humas saat ini (yang merupakan perekrutan selama hampir 15 tahun) adalah sebagaimana ditunjukkan tabel berikut ini ; Tabel 1.1. Tingkat Pendidikan Tingkat pendidikan S-2 S-1 D-3 Setara SMA Jumlah
Jumlah 2 orang 9 orang 1 orang 5 orang 17 orang
ket
Adapun dengan komposisi tersebut, bahwa faktor pendidikan adalah bukanlah faktor utama, yang menjadi penentu kinerja Bagian Humas, karena capaian kinerja yang dapat diraih selama tiga tahun berturut-turut dari tahun 2010, 2012 dan 2013, adalah 84%, 83% dan 74%, artinya masih jauh dibawah target yang ditetapkan oleh eksekutif yaitu 85%, tak berhasil dicapai walaupun dengan pegawai dengan tingkat pendidikan yang cukup tinggi, (lebih dari 50% pegawai memiliki pendidikan sarjana dan diatasnya) sehingga berdasarkan fakta tersebut, maka akan diteliti dari faktor lain, dalam hal ini adalah faktor usia dan kepemimpinan. Tren seperti ini, berlaku umum pada Satuan kerja Perangkat Daerah (SKPD) di Kabupaten Bojonegoro, namun kenyataanya, target 85% tidak terpenuhi, sehingga jumlah sisa lebih penggunaan anggaran (silpa), sangat besar, banyak program kegiatan yang tidak terlaksana, dan pemerintah gagal dalam menyelenggarakan pembangunan yang efektif. Silpa yang besar ini sselalu menjadi sorotan dan kritikan dari banyak elemen masyarakat. Pengaruh Usia terhadap Kerja Banyak keluhan dari beberapa pegawai dari generasi muda, tentang bagaimana sulitnya berkomunikasi dengan atasan. Pegawai baru (yang umumnya dengan usia yang lebih muda) sudah sangat biasa dengan penggunaan teknologi baik dalam bekerja maupun dalam berkomunikasi, sudah tak asing dengan internet, facebook, twiter, whatsup, instagram, email, dan teman-teman lainya yang sangat banyak dan beragam. Disisi lain generasi yang lebih senior, pun tak kalah seru mengeluh tentang generasi muda, yang sepertinya sulit diajak berkomunikasi, golongan ini dalam banyak kesempatan menjadi sangat ekstrim mempertanyakan tentang keuntungan atau manfaat dari akun-akun tersebut, dianggap terlalu merepotkan dan membuang-buang waktu, tokh waktu belum ada internet, semua pun tetap mengerjakan tugasnya, walaupun tanpa memandang perbedaan dari kedua produk tersebut. Silang pendapat itu, hampir terjadi pada setiap organisasi di Indonesia, ingat bahwa 410
Jejaring Administrasi Publik. Th VI. Nomor 1, Januari-Juni 2014
Indonesia telah merdeka selama hampir 69 tahun, dan dimasa orde baru dengan adanya Rencana Pembangunan Lima Tahun (reorganisasi, sistem kepangkatan, dan aturan yang ketat serta dalam rentang waktu yang relatif panjang), menyebabkan kondisi pemerintahan di Indonesia saat ini, pada komposisi, pimpinan tinggi berada pada kisaran 45 tahun keatas, pimpinan menengah pada kisaran 33 keatas, dan tentunya kebanyakan staf pada usia yang jauh lebih muda, berkisar antara usia dua puluh dan tiga puluhan, betapa kesenjangan usia tanpa nyata pada kebanyakan wajah pemerintahan di negara ini. Bukan rahasia lagi, bahwa kesenjangan itu terasa, hanya saja dominasi tersebut masih belum dapat dipatahkan karena sistem yang mendukungnya. Berdasarkan pengelompokan umum, dikenal pengklasifikasian menjadi tiga generasi berdasarkan tingkatan usia, sebagaimana berikut : 1. Baby Boomers Generasi ini lahir di antara tahun 1946-1964 dengan kisaran usia saat ini adalah 50 hingga 58 tahun (masa usia pensiun), mereka yang saat ini banyak mengisi jabatan penting dalam organisassi. Generasi ini lahir di jaman perang dunia, di masa dimana hampir beberapa negara membangun negaranya dari awal. Sehingga tipikal pola kerja pada usia ini adalah optimis, pekerja keras, loyalitas, dan keluarga adalah yang paling penting bagi mereka. Namun di sisi lain, mereka kurang memahami teknologi karena mereka lahir di usia teknologi yang belum dibangun. Teknologi yang dimaksud salah satunya adalah sebagaimana contoh diatas. 2. Generation x Generasi x adalah sebutan bagi mereka yang lahir sekitar tahun 1961-1979, Generasi ini lahir di masa teknologi baru dibangun dan perang dingin. Gen X pada umumnya menghargai pendidikan, kerja keras, dan mengakui tentang besarnya kekuatan dari uang dan
sebagai dampaknya pekerjaan menjadi “sesuatu yang wajib untuk dilakukan”. Jika diperhatikan, mereka hidup di masa di mana mereka berusaha membangun dan menghidupi keluarga, saat ini merea banyak menduduki jabatan menengah pada organisasi pemerintahan. 3. Generation Y Generasi y adalah generasi yang lahir di bawah tahun 1980an dan setelahnya. Mereka lahir di dunia dimana teknologi dan dunia digital sangat berkembang dengan pesat, serta hidup di zaman yang serba mudah (tanpa perang kecuali disebagain negara di dunia yang masih berperang). Mereka sangat pandai dari segi penggunaan teknologi dibandingkan dengan orang yang lebih tua dari mereka. Hubungan antar manusia sangat bisa diakses satu sama lain melalui media sosial seperti facebook, twitter, dan banyak lainnya. Mereka cenderung memiliki self-esteem yang tinggi, dan menganggap persamaan hak adalah hal yang penting bagi satu sama lain diatas perbedaan. Bagi kebanyakan orang dalam generasiini menganggap bahwa pekerjaan sebagai bentuk aktualisasi sekaligus eksisitensi diri, sebagai manusia warga negara dunia, mereka sangat terbuka terhadap hal yang baru dan terbuka untuk globalisasi. Ada perbedaan mendasar antara generasi x dan y, pada generasi x meraka menganggap bahwa pekerjaan adalah sebagai bentuk kewajiban hidup manusia, sedangkan bagi generasi y, work life balance itu menjadi sangat penting bagi mereka, serta pekerjaan dengan fleksibilitas tinggi sambil berusaha sebagai perwujudan pencarian jati diri mereka atau sering disebut dengan passion. Selain itu, lingkungan juga penting bagi mereka. Perbedaan generasi ini tentunya memiliki pola kerja yang berbeda-beda. Sehingga dibutuhkan adaptasi antar generasi 411
Jejaring Administrasi Publik. Th VI. Nomor 1, Januari-Juni 2014
dan disinilah kemampuan human resources divison (HRD) dihadapkan pada kompleksitas pegawai. Bagaimana agar HRD mampu menjembatani perbedaan pola kerja di masingmasing generasi ini. Khususnya pada generation Y yang semakin terus bertambah populasi generasinya dari tahun ke tahun hingga masa sekarang ini, dan masa yang akan datang, sudah dapat dipastikan akan terus meningkat jumlah populasinya. Di setiap perusahaan terdiri dari beberapa generasi dengan karakteristik dan keunikan yang berbeda-beda.Tanta ngannya adalah agar perbedaan-perbedaan karakteristik dari setiap generasi di suatu perusahaan dapat menciptakan hasil negatif termasuk kebingungan, kebencian,dan kemarahan jika masing generasi ini, tidak segera dilakukan identifikasi maupun ditangani secara benar. Sebaliknya, kita ingin menciptakan lingkungan kerja yang positif di mana karyawan dapat bekerja sama dan saling menghormati. Ada banyak cara untuk melakukan itu, dan salah satunya termasuk pemahaman tentang generasi yang berbeda, pengaruh mereka di tempat kerja dan menghormati mereka. Faktor individu yang mempengaruhi kinerja salah satunya adalah usia. Berikut adalah tabel yang mengisyaratkan tentang komposisi pegawai Bagian Humas Pemerintah Kabupaten Bojonegoro ; Tabel 1.2. tingkatan usia di Bagian Humas Tingkatan usia Baby Boomber Gen x Gen y
Jumlah
Keterangan
5 orang Kaba 2 kasubag, staf 7 orang staf 5 orang 1 kasubag dan staf 17 orang
Berdasarkan tabel diatas, ditunjukkan bahwa jumlah pegawai didominasi oleh generasi x, kemudian generasi ledakan kelahiran dan terakhir adalah generasi Y, adapun jenjang jabatan struktural, terlihat bahwa jumlah pejabat yang lahir pada era baby boomer secara jelas mendominasi pada suatu SKPD. Padahal Bagian Humas, adalah SKPD yang dalam melaksanakan tugas dan pokoknya sehari-hari senantiasa menggunakan alat
elektronik yang canggih dan selalu up to date, kamera poto maupun kamera perekam adallah salah satu alat elektronik yang berkembang dengan pesat, pada mulanya kamera hanya dapat memunculkan gambar hitam putih, lalu beralih pada gambar berwarna dengan menggunakan kertas poto yang hanya dapat menggambil 36 gambar saja, hingga era kamera digital yang setiap tahun meluncurkan teknologi terbaru. Begitu pun dalam peliputan, pengumpulan dan pengolahan informasi, Bagian Humas pada saat ini dituntut untuk menjadi yang tercepat dan terpercaya, menyebarkan informasi mengenai pembangunan dan pemerintahan kepada masyarakat maupun dunia luar. Jaringan informasi dan komunikasi melalui internet adalah solusinya, kenyataanya pada generasi x dan baby boomber yang melek teknologi dapat terlihat sebagaimana bagan berikut ; Tabel 1. 3. Tingkat skill di Bagian Humas Jenis keahlian Baby Generation boomber x computer 2 orang 5 orang Kamera digital 2 orang 4 orang Pencarian Internet 2 orang 6 orang Operasional sms 0 orang 0 orang centre Media sosial 2 orang 7 orang Surat elektronik 2 orang 0 orang SIM Keungan 1 3 orang orang Ketidakmampuan dalam melaksanakan tugas-tugas rutin kehumasan disebabkan faktor usia yang tidak mau dan mampu untuk menyesuaikan diri dengan kondisi saat ini, merupakan masalah yang sangat perlu dan penting untuk ditangani, kinerja kehumasan merupakan bidang yang sangat membutuhkan kemampuan tersebut, maka sebaiknya adalah untuk menempatkan pegawai yang lebih muda yang lebih familier dengan hal-hal yeng berbau informasi dan teknologi. Bila masih mempertahankan kondisi sebagaimana saat ini, dapat dipastikan bahwa hampir mustahi bagi Bagian Humas dapat mencapai target kinerja yang telah ditetapkan.
412
Jejaring Administrasi Publik. Th VI. Nomor 1, Januari-Juni 2014
Demikian pula dengan bidang lainnya, faktor usia, bukanlah aspek yang dapat dipandang sebelah mata, karena faktor usia sangat mempengaruhi kinerja yang dihasilkan pegawai tersebut. Bukan bearti bahwa generasi senior tidak dibutuhkan paa pemerintaha, namun kebijaksanaan dan pengalaman yang dimiliki haruslah disesuaikan dengan bidang kerja yang sesuai, sehingga memberikan dampak yang besar kepada organisasi, yang dalam hal ini adalah pemerintah Kabupaten Bojonegoro. Pengaruh Pemimpin terhadap Kinerja Salah satu faktor organisasi yang mempengaruhi kinerja adalah kepemimpinan. Peran pemimpin dalam organisasi adalah memfasilitasi agar fungsi dan tanggung jawab setiap anggota menjadi fokus. Pegawai pada umumnya membutuhkan kepemimpinan yang baik. Pemimpin yang sukses harus memimpin dengan menciptakan atmosfir atau kondisi sehingga membuat setiap bawahan dapat berkontribusi secara total. Ini dapat berarti mendidik keterampilan baru bagi anggota organisasi lainnya, mendorong pegawai untuk menangani sesuatu yang sebenarnya dia takut melakukannya, dapat juga berarti mendengarkan keluhan pegawai atau ide, harapan keluhan, kritik dan saran serta bentuk lainnya dari mitra kerja maupun bawahan. Aspek lain yang juga penting dan harus diperhatikan pemimpin adalah memfasilitasi dukungan mental dan teknis kepada pegawai juga sangat menentukan kinerja pemimpin maupun kelompok (Ilyas, 2001). Ada banyak cara bagi seorang pemimpin untuk mempengaruhi kinerja para bawahan. Para pemimpin dapat mempengaruhi bawahan untuk bekerja lebih cepat atau melakukan sesuatu pekerjaan berkualitas dengan lebih baik misalnya dengan memberikan insentif/ penghargaan/ pujian khusus, dengan memberikan motivasi tentang pentingnya pekerjaan, dan menetapkan tujuan-tujuan yang menantang. Para pemimpin dapat meningkatkan keterampilan bawahan untuk melakukan suatu pekerjaan misalnya dengan memperlihatkan
kepada mereka metode-metode yang lebih baik untuk melakukan pekerjaan (Yukl, 1998). Pemimpin adalah orang yang menggerakkan suatu organisasi, keberhasilan organisasi selalu didukung oleh kepemimpinan yang baik, sebab fungsi kepemimpinan adalah mempengaruhi bawahannya untuk mencapai tujuan perusahaan, yaitu kinerja perusahaan yang handal. Kepemimpinan berpengaruh secara positif dan signifikan terhadap kinerja karyawan. Semakin baik kepemimpinan, maka kinerja karyawan akan meningkat. Budaya organisasi berpengaruh positif terhadap kinerja karyawan. Artinya apabila budaya organisasi semakin baik, maka kinerja karyawan akan meningkat, kesimpulan pada Out bond yang diadakan bagi pimpinan SKPD, dipimpin langsung oleh Bupati Bojonegoro untuk meningkatkan kemampuan memimpin para pimpinan. Gaya kepemimpinan (leadership styles) merupakan cara pimpinan untuk empengaruhi orang lain/ bawahannya sedemikian rupa sehingga orang tersebut mau melakukan kehendak pemimpin untuk mencapai tujuan organisasi meskipun secara pribadi hal tersebut mungkin tidak disenangi (Luthans, 2002:575). Siagian (2002:83) menyatakan bahwa terdapat tiga jenis perilaku kepemimpinan yang saling berbeda diantara para manajer, yaitu: perilaku berorientasi pada tugas (task oriented behavior), perilaku yang berorientasi pada hubungan (relationship oriented behavior), dan kepemimpinan partisipatif. Fleishman dan Peters (1962), menjelaskan bahwa gaya kepemimpinan merupakan pola perilaku konsisten yang diterapkan pemimpin dengan melalui orang lain, yaitu pola perilaku yang ditunjukkan pemimpin pada saat mempengaruhi orang lain seperti yang dipersepsikan orang lain. Fleishman et al., dalam Gibson (1996) telah meneliti gaya kepemimpinan di Ohio State University tentang perilaku pemimpin melalui dua dimensi, yaitu: consideration dan initiating structure. Consideration (konsiderasi) adalah gaya kepemimpinan yang menggambarkan kedekatan hubungan antara bawahan dengan atasan, adanya saling percaya, kekeluargaan, menghargai gagasan bawahan, dan adanya komunikasi antara pimpinan dengan bawahan. Pemimpin yang memiliki 413
Jejaring Administrasi Publik. Th VI. Nomor 1, Januari-Juni 2014
konsiderasi yang tinggi menekankan pentingnya komunikasi yang terbuka dan parsial. Initiating structure (struktur inisiatif) merupakan gaya kepemimpinan yang menunjukkan bahwa pemimpin mengorganisasikan dan mendefinisikan hubungan dalam kelompok, cenderung membangun pola dan saluran komunikasi yang jelas, menjelaskan cara mengerjakan tugas yang benar. Teori kepemimpinan perilaku (behavioral) mengatakan bahwa gaya kepemimpinan seorang manajer akan berpengaruh langsung terhadap efektivitas kelompok kerja (Kreitner dan Kinicki, 2005:302). Kelompok kerja dalam perusahaan/ organisasi merupakan pengelompokan kerja dalam bentuk unit kerja dan masing-masing unit kerja tu dipimpin oleh seorang manajer/ kepala. Gaya Kepala Bagian Humas dalam mengelola sumber daya manusia dalam suatu unit kerja akan berpengaruh pada peningkatan kinerja unit, yang pada akhirnya akan mempengaruhi kinerja pemerintahan secara keseluruhan. Jean Lee (2005) menguji pengaruh kepemimpinan dan perubahan anggota pimpinan terhadap komitmen organisasi. Hasil penelitiannya menemukan bahwa transformational leadership berhubungan positif dengan dimensi leader-member exchange (LMX) dan komitmen organisasional. Penelitian tentang kepemimpinan telah banyak dilakukan, antaranyaYousef (2000) meneliti tentang komitmen organisasional sebagai mediasi hubungan antara gaya kepemimpinan dengan kepuasan kerja dan kinerja, dan hasil analisanya menyatakan bahwa komitmen organisasional memediasi hubungan antara gaya kepemimpinan dengan kinerja, sedangkan budaya nasional juga memoderasi hubungan antara gaya kepemimpinan dengan kepuasan kerja. Gaya kepemimpinan sebagai faktor yang dominan dalam menentukan dan pembentukan karakter unit kerjanya. Selanjutnya karakter unit kerja akan mempengaruhi output dari kinerja kehumasan itu sendiri. Berdasarkan wawancara dengan praktisi humas Bojonegoro, ditemukan adalah bahwa seorang praktisi humas yang memiliki komitmen akan menunjukan kinerja yang baik, aslinya, tetapi jika pimpinan dalam organisasi tidak mempunyai pengaruh dominan yang
memberikan kenyamanan maka kinerja tidak akan meningkat dengan agresif tanpa adanya dukungan dari manajemen. Transformasi kepemimpinan mutlak dilaksanakan oleh pemimpin organisasi dimana pun berada, tipe-tipe kepemimpinan yang biasa dikategorikan merupakan bentuk kepemimpinan yang tradisonal. Dengan semakin kompleksnya kondisi yang ada pada saat ini, maka dibutuhkan cara memimpin yang baru. Pada Bagian Humas Pemerintah Kabupaten Bojonegoro, ditemukan ketidakpuasan terhadap kepemimpinan Kepala Bagian Humas saat ini, berdasarkan penelitian terhadap bawahan dengan menggunakan psychososcial mapping stream analysis, ditemukan bahwa faktor kepemimpinan adalah salah satu masalah pokok sehingga tidak maksimalnya kinerja pada Bagian Humas. Kesimpulan Peningkatan kinerja adalah harga mati bagi para aparatur di negeri ini, reformasi birokrasi dan globalisasi adalah dua hal yang mendorong peningkatan kinerja pegawai negeri secara mutlak. Tanpa peningkatan kinerja birokrat maka cita-cita negara sebagaimana pembukaan undang-undang dasar 1945, akan jauh panggang dari api, percuma. Faktor yang mempengaruhi organisasi, pada dasarnya hanya meiputi dua aspek yaitu yang berasal dari diri sendiri, dan yang berasal dari lingkungan. Pada Bagian Humas Pemerintah Kabupaten Bojonegoro, ditemukan bahwa faktor utama yang mempengaruhi rendahnya kinerja humas, adalah berasal dari kesenjangan usia antara karyaan dan karyawati humas, sehingga ada beberapa karyawan yang hampirhampir tidak dapat berkontribusi terhadap produktivitas bagian secara keseluruhan. Penempatan pegawai hendaknya memperhatikan kondisi pegawaisebagai seorang individu, secara minat, usia, tingkat pendidikan dan banyak lagi lainnya, menempatkan orang yang tepat pada posisi yang tepat merupakan salah satu ciri keberhasilan organisasi. Penempatan yang benar akan membuahhkan efisiensi serta meningkatkan efektivitas organisasi secara signifikan. Demikian pula kenyamanan dalam bekerja adalah hal yang penting dalam meningkatkan kinerja organisasi swasta 414
Jejaring Administrasi Publik. Th VI. Nomor 1, Januari-Juni 2014
maupun pemerintah. Kenyamanan dalam bekerja, fantor utamanya adalah berasal dari bagaimana cara manajer/ atasn menerapkan pola kepemimpinan pada organisasinya. Pemimpin yang minta dilayani contohnya, aparatur yang seperti ini, tentu akan menjadi duri dalam daging dalam membentuk budaya kerja yang berujung pada kinerja organisasi. Pemimpin yang transformatif sangat didambakan saat ini, yang memberikan kesempatan untuk berinovasi pada bawahanya, memberikan dukungan penuh bagi pegawai untuk mengembangkan diri, memimpin dengan adaptif, menyesuaikan dengan kondisi dan bawahan yang dihadapi. Tipe-tipe kepemimpinan yang biasa dikotakan bukanlah suatu hal yang kaku dan tidak dapat dirubah. Menggabungkan keempatnya akan memberikan warna baru dalam memimpin. Sebagaimana pepetah mengatakan, tak ada kopral yang salah salah, namun jenderalah yang harus bertanggung jawab. Daftar Pustaka Arikunto, Suharsimi, 2002. “Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktek”, Jakarta : Rhineka Cipta. Buhler, Patricia, 2004. “ Management Skills”, Edisi 1, Jakarta : Prenada Media. Cokroaminoto. 2007. Memaknai Kinerja Karyawan, situs internet, http: //www. cokroaminoto.wordpress.com (02 Juni 2010 jam 11.00 WIB) Dessler, Gary. 2001. Manajemen Sumber Daya Manusia Edisi Bahasa Indonesia. Jilid 2. terbitan ke – 7. Jakarta : PT Prenhallindo. Ferawanti, 2005. “Pengaruh Tingkat Pendidikan dan Pengalaman Kerja Terhadap Kinerja Karyawan Bagian Keperawatan pada Rumah Sakit Ortopedi Prof. Dr. R. Soeharso Surakarta”. Skripsi. Tidak Dipublikasikan. Surakarta : FE UMS. Handoko, T. Hani, 2002. “Manajemen Personalia dan Sumber Daya Manusia”, Edisi 4, Yogyakarta : BPFE. Hedjrachman, Ranupandojo, dan Suad Husnan, 2002. “Manajemen Personalia”, Yogyakarta : BPFE
Malthis, Robert L., Jhon H. Jackson. 2002. Manajemen Sumber Daya Manusia. Jakarta : Salemba Empat. Rivai, Prof. Dr. Veithzal, M.B.A. 2006. Manajemen Sumber Daya Manusia untuk Perusahaan Dari Teori ke Praktik. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada. Sugiyono, 2005. “Statistik Nonparamentris Untuk Penelitian”, Catakan Pertama, Bandung : CV. Alfabeta. Simamora, Henry, 2001. “Manajemen Sumber Daya Manusia”, Yogyakarta : YKPN. Sunarto, 2005. “ Manajamen Karyawan”, Yogyakarta : Aditya Media & Amus Supriyanto, 2005. “Pengaruh pengawasan dan Semangat Kerja Terhadap Kinerja Karyawan PT. Delta Marlin Dunia Tekstil di Karanganyar Avolio, B.J., Weichun, Z., William, K., dan Bhatia, P. 2004. Transformational Leadership and Organizational Commitment: Mediating Role of Psychological Empowerment and Moderating Role of Structural Distance. Journal of Organizational Behavior, (25) : 951-968 Darwati, Khomsiyah, dan Rahayu. 2004. Hubungan Corporate Governance dan Kinerja Perusahaan. Simposium Nasional Akuntansi VII. Denpasar-Bali Henri, J. Francois. 2006. Organizational Culture and Performance Measurement Systems. Accounting Organizations and Society, (31): 77-103 Kepemimpinan Transformasional dan Pengaruhnya Terhadap Kepuasan atas Kualitas Kehidupan Kerja Komitmen Organisasi dan Perilaku Ekstra Peran: Studipada Guru-Guru SMU di Kota Surabaya Thomas Stefanus Kaihatu
415