Tantangan Alumni Bidikmisi, Ekspektasi dan Realitanya Manusia dididik agar pintar. Benar dan tepatkah parameter itu untuk menyelesaikan seluruh persoalan di negeri ini? Mungkin iya, namun bisa juga tidak. Akan tetapi orang-orang yang pintar selalu istimewa, karena dia berpeluang besar memperoleh kemudahan menata masa depan, meskipun hanya bersandar atas kepandaiannya saja. Kalau Anda mendengar tentang Bidikmisi, maka mahasiswa dan lulusannya adalah bagian dari sejarah itu semua. Yaitu sejarah orang-orang yang terdidik dan beruntung. Mengapa? Sebab mereka dipilih dan dibiayai oleh Negara, meskipun untuk meraihnya harus bersaing dan menyisihkan sesama kelas ekonominya demi duduk di kursi perguruan tinggi. Itulah perjuangan. Hanya rasa syukur dan kebanggaanlah yang bisa kita panjatkan sebagai bentuk kesadaran bahwa Bidikmisi merupakan bagian penting dari perjalanan anak bangsa yang terpilih untuk mencari ilmu menuju sebuah gelar kesarjanaan, yang sungguh terlampau mewah bagi kelas ekonomi kurang mampu. Karena sadar bahwa pendidikan tinggi masih terlampau mahal. Apabila berkaca pada idealisme, sebenarnya kebanggaan dan kesyukuran itu sendiri adalah modal penting, namun belum cukup. Tingginya prestasi itu baru titik awal dari pengabdian. Tetapi sebenarnya, terdapat tantangan lain yang lebih besar yang disandarkan kepada lulusan peraih beasiswa dari pemerintah bernama Bidikmisi itu. Mereka memang tidak dituntut untuk membalas budi, tetapi naluri balas budi adalah panggilan jiwa yang suci, dalam rangka merealisasikan cita-cita Bidikmisi: memutus mata rantai kemiskinan. Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dalam suratnya kepada mahasiswa peraih Bidikmisi tertanggal 11 Maret 2014,
menegaskan sebuah harapan atas masa depan lulusan Bidikmisi. “Saya ingin pada saatnya nanti, ikutlah mengubah jalannya sejarah. Bayar dan tebuslah apa yang telah negara berikan kepada kalian semua…” Demikian petikan Pak SBY yang mengingatkan betapa besarnya beban yang ditanggungkan para generasi Bidikmisi: ”mengubah jalannya sejarah” dan tentunya dengan paradigma baru yang mengarah pada kemajuan bangsa. Beasiswa ini tidak boleh hanya melahirkan kelas priyayi baru yang asyik dengan zona nyamannya sendiri-sendiri. Melainkan generasi Bidikmisi harus mampu menyokong perubahan zaman dengan kepekaan sosialnya sebagai anak-anak negara. Kalau kita membaca kisah-kisah menarik, yang mengandung nilai motivasi dan pengharapan dari buku “Para Pembidik Mimpi: 99 Kisah Penerima Bidikmisi Berprestasi”, tentu optimisme tentang kebangkitan Generasi Bidikmisi sebagai bagian dari kado 100 tahun Indonesia sangatlah niscaya. Diantara mereka banyak yang kemudian melakukan studi lanjut di perguran tinggi ternama di tanah air maupun di manca negara. Tidak heran juga kalau M. Nuh dalam buku “Menyemai Kreator Peradaban” juga menyatakan optimis bahwa “dalam 5-10 tahun mendatang akan hadir di negeri tercinta ini ribuan master dan doktor dari keluarga miskin”. Kita berharap upaya-upaya lulusan Bidikmisi yang masih terus berlangsung dalam menghimpun dirinya pada sebuah jaringan Bidikmisi dapat terealisasi dengan segera. Wadah jejaring para lulusan diharapkan menjadi silang kesinambungan yang terus tersambung dari proses Bidikmisi pasca mahasiswa. Jika dengan sungguh-sungguh, jejaring alumni Bidikmisi akan menjadi pembuktian dua hal sekaligus yakni kenyataan bahwa kualitas Bidikmisi memang lebih dari lainnya, dan kenyataan lain bahwa mahasiswa Bidikmisi punya darah juang konsisten
untuk tidak lupa —bahwa mereka dibantu dengan uang rakyat dan akan kembali mengabdi memperjuangkan rakyat. Semoga semboyan itu tidak terlupakan oleh para lulusan peraih beasiswa Bidikmisi! (*)
Editor: Bambang BES
RS Terapung Airlangga, Dede Yusuf dan Okky Asokawati Respek dan Mendukung UNAIR NEWS – Pembangunan kapal Phinisi yang akan dioperasionalkan sebagai Rumah Sakit Terapung (RST) ”Ksatria Medika Airlangga”, yang hingga kini sudah rampung 60 persen, memperoleh tanggapan anggota Komisi IX DPR-RI, yang Jumat (24/3) kemarin berkunjung ke Universitas Airlangga. Wakil rakyat ini datang dalam rangka mencari masukan terkait tindaklanjut program wajib kerja dokter spesialis (WKDS). “Wow keren,” begitu kalimat perdana yang dilontarkan Okky Asokawati, anggota Komisi IX DPR-RI yang juga peragawati senior ini ketika diberitahu mengenai RST yang diinisiasi oleh sejawat dokter lulusan Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga itu. ”Saya bergembira dan mengapresiasi banget bahwa UNAIR punya ide RS Terapung. Karena menurut saya, nusantara ini negara kepulauan dan tentu saja layanan seperti itulah yang bisa menjangkau masyarakat di kepulauan terpencil, dan ini sangat kita butuhkan,” kata pemilik sekolah QQ Modelling ini kepada
unair.news. Selama ini Okky baru mendengar mengenai sebutan perawat apung, bidan apung, dan poliklinik apung. Bahkan juga Puskesmas apung. Misalnya ia ketahui saat berkunjung ke Kalsel. Tetapi yang ia perhatikan, pada Puskesmas Terapung itu sepertinya perhatikan dari Kemenkes masih kurang, terutama peralatan medisnya. Artinya belum fokus benar kesitu. ”Kalau kedepan ini UNAIR bisa benar-benar mewujudkan RST setara tipe C ini, maka saya sangat berterima kasih, karena keterjangkauan pada wilayah-wilayah kepulauan itu memang harus kita perhitungkan, terutama SDM-nya,” kata Okky. Ketika bertanya tentang asal para dokter yang ditugaskan pada RST “Ksatria Medika Airlangga” itu terjawab, yaitu dari UNAIR, Okky berucap “hebat-hebat”, katanya sambil manggut-manggut. Ia juga tampak respek sekali ketika diberitahu bahwa dalam RST tersebut dirancang sebagai pengabdian masyarakat sivitas dari berbagai kompetensi keilmuan yang ada di UNAIR untuk membantu pemerintah. ”Ini baru good, dan saya sangat mendukung ide ini. Kalau boleh saya memberi saran, Komisi IX kan sangat concern dengan akreditasi rumah sakit, jadi sebaiknya kalau dikehendaki RS tipe C maka alangkah bagusnya juga disesuaikan bagaimana seharusnya RS tipe C itu,” kata Okky.
dengan
DEDE Yusuf (kiri) dan Okky Asokawati, dua politisi dan selebriti di Komisi IX DPR-RI. (Foto: Alifian Sukma) Sementara Ketua Komisi IX, Dede Yusuf, ketika diberitahu ikhwal itu malah balik bertanya. ”Benarkah itu,” katanya. Ketika dua sivitas UNAIR menunjukkan progres bangunan kapal Phinisi yang akan dipakai sebagai RST, baru bintang film yang mantan Wagub Jabar itu, menyatakan ide bagus yang layak didukung. Bahkan ketika nanti diluncurkan, ia minta untuk diundang. ”Apapun itu, kalau konsepnya jemput bola, saya support, dan itu bagus,” kata Dede. Selama ini ia mengaku di Indonesia belum melihat RS apung swasta, selain KRI Dr. Soeharso yang diperuntukkan sebagai rumah sakit. Kalau klinik apung sudah ada, misalnya di Waduk Jati Luhur untuk menghampiri warga di seberang waduk yang sangat jauh jika dengan jalan darat. ”Tapi kalau masuk dalam konteks rumah sakit, hendaknya dilihat berapa kamar nanti di dalamnya, dan dengan penamaan rumah sakit maka hendaknya juga dipikirkan akreditasinya,” tambah Dede. Diterangkan oleh Dr. Gadis Meinar Sari, dr., M.Kes., Kabag Akademik FK UNAIR, RS Terapung UNAIR dengan tipe C ini nanti
juga dilengkapi ruang bedah, ruang anak, obgin (kandungan dan kebidanan) dan ruang penyakit dalam. Sehingga juga dilengkapi ruang perawatan dan pemulihan pasca operasi. Dede mengaku pernah membuat usulan RS terapung seperti itu dengan konsep memanfaatkan kapal tongkang (kapal Roro/roll on roll off) yang dimodifikasi, tetapi tidak ditindaklanjuti. Tujuannya untuk melayani daerah kepulauan, apalagi sering pihak daerah kalau bikin usulan anggaran dengan angka fantastis tetapi SDM-nya terbatas, jadi dengan RS apung dan SDM yang baik, maka itulah sasaran usulan Dede tadi. “Kalau itu yang akan direalisasikan oleh UNAIR, maka kita nanti harus bejalar ke UNAIR, apalagi ide ini berangkat dari gagasan alumni, ide bagus sekali,” tambah Dede, yang siang itu sambil menyantap rujak cingur. (*) Penulis: Bambang Bes
Pejabat Pengadaan Barang yang Ditekan, Harus Berani Lapor KPK UNAIR NEWS – Wakil Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Alexander Marwata, menegaskan para pejabat fungsional pengadaan barang/jasa (PBJ) pemerintah hendaknya berani dan mau melapor kepada penegak hukum setempat dan atau kepada KPK, jika dalam melaksanakan tugas PBJ mendapat penekanan dari mana pun dengan ancaman apapun. Sebab dari modus seperti itulah sering ditemuinya sebagai awal terjadinya tindak pidana korupsi pengadaan barang.
”Jangan takut dengan penekanan dan ancaman misalnya akan dimutasi, dipecat, dan sebagainya. Laporkan ke KPK, kami akan tindaklanjuti laporan yang seperti ini. Kita harus berani jujur, karena dengan jujur itulah yang akan menyelamatkan kita dari jeratan hukum,” tegas Alexander Marwata, ketika tampil sebagai panelis dalam seminar nasional yang diselenggarakan DPN Ikatan Fungsional Pengadaan Indonesia (IFPI), di Garden Palace Hotel, Sabtu 925/3). Seminar dalam rangka HUT I (pertama) IFPI ini juga menghadirkan panelis dari BPKP Jawa Timur dan Guru Besar Fakultas Hukum Universitas Airlangga Prof. Dr. Nur Basuki Winarno, SH., M.Hum. Seminar yang diikuti 160 pejabat pengadaan barang/jasa dari berbagai instansi dan daerah di Indonesia ini, dipandu oleh Bambang Suheryadi, SH., M.Hum, Ketua Pusat Layanan Pengadaan (PLP) UNAIR yang juga salah seorang perintis berdirinya IFPI di Surabaya tahun 2016 lalu. Akibat adanya penekanan seperti itulah sampai akhirnya banyak terajdi ketika seorang pegawai akan ditugaskan sebagai pejabat pengadaan barang/jasa (PBJ), ia tak kuasa menolak dan berusaha untuk tidak meluluskan diri dalam sertifikasi. Tujuannya untuk menghindari jabatan PBJ, padahal disatu sisi professi ini sangat diperlukan. Hal itu mengingat, seperti dilaporkan Ketua Panitia seminar, Drs. Moh Imron, MM., bahwa seminar bertajuk “Antisipasi masalah Hukum dalam Proses Pengadaan Barang/Jasa” ini dilaksanakan karena kondisi di lapangan yang sangat rentan dengan resiko terkait masalah hukum. Jadi tujuannya untuk memberikan informasi, edukasi, dan meningkatkan professionalisme para pengelola PBJ. ”Apalagi dalam APBN/APBD tahun 2016 misalnya, dari sebesar Rp 2,095 triliun yang 40% dari itu harus dibelanjakan dalam bentuk pengadaan barang dan jasa, dan 60% sisanya untuk belanja pegawai dan belanja lainnya. Dengan prosentase yang besar itu, maka kegiatan PBJ memiliki peranan sangat
strategis,” kata Moh Imron dari UNAIR itu. Ditambahkan oleh Wakil Ketua KPK, yang paling rawan dalam kaitan PBJ adalah babak perencanaan. Sampai tahap ini tidak jarang anggota DPR/DPRD juga terlibat, walau pun secara teknis tidak ada kaitannya dengan urusan legislatif. Tetapi karena ada negosiasi-negosiasi terkait APBD, juga kolusi dan fee, maka legislatif pun ikut-ikutan. Ia menunjuk kasus seperti ini pada pengadaan UPS di DKI. “Padahal dari perencanaan PBJ yang tidak benar karena adanya tekanan, hingga ada negosiasi-negosiasi, kolusi, juga ada hitungan fee, maka menjadikan lelang pengadaan PBJ menjadi tidak benar. Harga barang menjadi tidak wajar, diumumkannya terbatas pada media yang tidak bermutu, yang akhirnya pertanggungjawabannya pun juga tidak benar. Yang seperti ini mudah diungkap,” tandas Alexander Marwata. Pada sisi yang lain, sistem pemilihan umum kepada daerah (Pemilukada) yang diterapkan selama ini juga belum menghasilkan terlaksananya sistem pembelanjaan PBJ di daerah secara baik sesuai yang diharapkan. Pasalnya, tidak sedikit diantara calon-calon kepala daerah itu dimintai “mahar” oleh parpol yang mengusung. “Mahar” yang sering ditemukan Marwata dalam kasus-kasus seperti ini, disebutkan antara Rp 25 M sampai Rp 30 miliar. “Kalau dihitung rasional dan disesuaikan dengan gaji seorang bupati/walikota, dana sebesar itu sulit untuk kembali. Apalagi kalau itu dana utangan. Maka yang terjadi pada kepala daerah yang menang itu bagaimana berusaha mengembalikan modalnya. Modus kolusi ini yang sering terjaring pada banyak kepala daerah, yang sampai saat ini sekitar 200 kepala daerah,” tambah Marwata. Karena itulah Marwata berharap, dengan benar-benar melaksanakan PBJ menggunakan E-planning, E-Budgetting, dan Ecatalog yang harus diadopsi oleh masing-masing daerah atau
instansi, maka PBJ yang benar akan bisa terwujud dan bebas dari ancaman sanksi hukum. Apalagi peran Inspektorat di daerah dalam mencegah terjadinya korupsi juga rendah karena sifatnya yang tidak independen. (*) Penulis: Bambang Bes