TANGGUNGJAWAB PERUSAHAAN PENYEDIA JASA AKIBAT PERBUATAN MELAWAN HUKUM YANG DILAKUKAN OLEH PEKERJA OUTSOURCING Dhevy Nayasari Sastradinata *) *)
Dosen Fakultas hukum Universitas Islam Lamongan
ABSTRAK Iklim persaingan usaha yang makin ketat, perusahaan berusaha untuk melakukan efisiensi biaya produksi (cost of production). Salah satu solusinya adalah dengan sistem pegawai kontrak, dimana dengan sistem ini perusahaan dapat menghemat pengeluaran dalam membiayai sumber daya manusia yang bekerja di perusahaan yang bersangkutan. Outsourcing diartikan sebagai pemindahan atau pendelegasian beberapa proses bisnis kepada suatu badan penyedia jasa, dimana badan penyedia jasa tersebut melakukan proses administrasi dan manajemen berdasarkan definisi serta kriteria yang telah disepakati oleh para pihak. Outsourcing dalam hukum ketenagakerjaan di Indonesia diartikan sebagai pemborongan pekerjaan dan penyediaan jasa tenaga kerja, sedangkan untuk mengkaji hubungan hukum antara karyawan outsourcing dengan perusahaan pemberi pekerjaan, akan diuraikan terlebih dahulu secara garis besar pengaturan outsourcing dalam Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 yaitu Pasal 64, Pasal 65 (terdiri dari 9 ayat), dan Pasal 66 (terdiri dari 4 ayat). Berdasarkan uraian latar belakang tersebut di atas, maka permasalahan yang akan diteliti yaitu Bagaimana perngaturan tentang outsourcing menurut Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003, dan Bagaimana tanggung jawab perusahaan penyedia jasa akibat perbuatan melawan hukum yang dilakukan oleh pekerja outsourcing. Kata kunci :Penyedia jasa, Perbuatan melawan hukum, Pekerja Outsourcing. PENDAHULUAN Persaingan dalam dunia bisnis antar perusahaan membuat perusahaan harus berkonsentrasi pada rangkaian proses atau aktivitas penciptaan produk dan jasa yang terkait dengan kompetensi utamanya.Iklim persaingan usaha yang makin ketat, perusahaan berusaha untuk melakukan efisiensi biaya produksi (cost of production).Salah satu solusinya adalah dengan sistem pegawai kontrak, dimana dengan sistem ini perusahaan dapat menghemat pengeluaran dalam membiayai sumber daya manusia yang bekerja di perusahaan yang bersangkutan. Outsourcing (Alih Daya) diartikan sebagai pemindahan atau pendelegasian beberapa proses bisnis kepada suatu badan penyedia jasa, dimana badan penyedia jasa tersebut melakukan proses administrasi dan manajemen berdasarkan definisi serta kriteria yang telah disepakati oleh para pihak. Gagasan awal berkembangnya outsourcing (Alih Daya) adalah untuk membagi resiko usaha dalam berbagai masalah, termasuk ketenagakerjaan. Outsourcing (Alih Daya) merupakan bisnis kemitraan dengan tujuan memperoleh keuntungan bersama, membuka peluang bagi berdirinya perusahaan-perusahaan
baru di bidang jasa penyedia tenaga kerja, serta efisiensi bagi dunia usaha. Outsourcing (Alih Daya) dalam hukum ketenagakerjaan di Indonesia diartikan sebagai pemborongan pekerjaan dan penyediaan jasa tenaga kerja.Pengaturan hukum outsourcing (Alih Daya) di Indonesia diatur dalam UndangUndang Ketenagakerjaan Nomor 13 Tahun 2003 (Pasal 64, 65 dan 66) dan Keputusan Menteri Tenaga Kerja Dan Transmigrasi Republik Indonesia Nomor Keputusan. 101/Menteri/ VI/2004 Tahun 2004 tentang Tata Cara Perijinan Perusahaan Penyedia Jasa Pekerja/Buruh. Undang - Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan sebagai dasar hukum diberlakukannya outsourcing (Alih Daya) di Indonesia, membagi outsourcing (Alih Daya) menjadi dua bagian, yaitu: pemborongan pekerjaan dan penyediaan jasa pekerja/buruh. Dalam Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003, yang menyangkut outsourcing (Alih Daya) adalah Pasal 64, Pasal 65 (terdiri dari 9 ayat), dan Pasal 66 (terdiri dari 4 ayat). UndangUndang tersebut dapat dipergunakan dan berfungsi untuk menyelesaikan masalah tanggung jawab perusahaan penyedia jasa dalam perbuatan melawan hukum
yang dilakukan oleh pekerja outsourcing adalah a. Dapat dijadikan literatur dibidang hukum khususnya hukum perdata b. Dapat digunakan bagi pihak yang terkait dalam penyelesaian permasalahan pekerja, yang berkaitan dengan perbuatan melawan hukum. Peranan perusahaan outsourcing yang merupakan pihak ketiga dalam perjanjian kerja antara perusahaan dengan tenaga kerja membawa dampak hubungan pertanggungjawaban, pada perusahaan yang memberikan jasa keamanan kepada perusahaan yang membutuhkan. Maka perusahaan tersebut dapat pula dimintai pertanggung jawaban apabila perbuatan melawan hukum yang dilakukan pekerja outsourcing dapat merugikan perusahaan peminta jasa tenaga kerja. Rumusan masalah yang dikemukakan dalam penelitian ini adalah a. Bagaimana pengaturan tentang outsourcing menurut Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003? b. Bagaimana tanggung jawab perusahaan penyedia jasa akibat perbuatan melawan hukum yang dilakukan oleh pekerja outsourcing? METODE PENELITIAN Penelitian hukum ini menggunakan pendekatan perundang-undangan (Statute Approach). Pendekatan tersebut melakukan pengkajian pengaturan perundang-undangan yang berhubungan dengan pokok permasalahan. Selain itu juga digunakan pendekatan analisis (Analitical Approach), pendekatan ini maksudnya menganalisa tanggung jawab perusahaan penyedia jasa akibat perbuatan melawan hukum yang dilakukan oleh pekerja outsourcing. Adapun bahan yang diperoleh dalam penelitian studi kepustakaan, aturan perundangundangan, yang penulis uraikan dan dihubungkan sedemikian rupa. Cara pengolahan data dilakukan secara deduktif yakni menarik kesimpulan dari suatu permasalahan yang bersifat umum terhadap permasalahan kongkrit yang dihadapi. HASIL DAN PEMBAHASAN Tinjauan Terhadap Tanggung Pengaturan Tentang Outsourcing Untuk menentukan tingkatan tanggungjawabnya, dan yang
bertanggungjawab, berikut akan dijelaskan beberapa prinsip tanggung jawab: 1 a. Prinsip tanggung jawab berdasarkan unsur kesalahan. Prinsip ini menyatakan bahwa seseorang baru bisa dimintakan pertanggungjawabannya secara hukum jika ada unsur kesalahan yang dilakukan. Dalam Kitab Undang–Undang Hukum Perdata Pasal 1365, yang dikenal sebagai perbuatan melawan hukum, mensyaratkan terpenuhinya unsur pokok yaitu: a. Adanya perbuatan b. Adanya unsur kesalahan c. Adanya kerugian yang diderita d. Adanya hubungan sebab akibat antara kesalahan dan kerugian. 2. Prinsip praduga untuk selalu bertanggung jawab. Bahwa tergugat selalu dianggap bertanggung jawab (presumption of liability), sampai dapat membuktikan sebaliknya. Prinsip pembuktian ini dalam hukum pidana baru diterapkan pada tindak pidana korupsi. 3. Prinsip praduga untuk selalu tidak bertanggung jawab. Prinsip ini hanya dikenal dalam lingkup transaksi konsumen yang sangat terbatas, misal hukum pengangkutan. 4. Prinsip tanggung jawab mutlak (strict liability). Istilah strict liability ini sering diidentikkan dengan tanggung jawab mutlak. Ada pakar yang membedakan antara strict liability dengan absolute liability. Pada strict liability adalah prinsip tanggungjawab yang menetapkan kesalahan tidak sebagai faktor yang menentukan, namun ada pengecualian yang memungkinkan untuk dibebaskan dari tanggung jawab, misal force majeur. Sebaliknya absolute liability adalah prinsip tanggung jawab tanpa kesalahan dan tidak ada pengecualiannya. Pembedaan tanggung jawab tersebut juga dapat dilihat dari ada tidaknya hubungan kausalitas antara subyek yang bertanggungjawab dengan kesalahan. 5. Prinsip tanggung jawab dengan pembatasan. Prinsip ini sangat menguntungkan pelaku usaha karena dalam klausul perjanjian selalu mencantumkan pembatasan tanggung jawab yang dikenal
Jawab besar wajib
1
Celina Tri Siwi Kristiyanti. Hukum Perlindungan Konsumen. Sinar Grafika. Jakarta. 2008. h.87.
dengan klausul eksonerasi atau lepas dari tanggung jawab. Dalam melaksanakan pengaturan tentang outsourcing menurut Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003, yaitu :
2. Pengaturan Tentang Outsourcing Menurut Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 Outsourcing merupakan perjanjian pemborongan pekerjaan atau penyediaan jasa pekerja/buruh karena semua kegiatan yang berkaitan dengan pekerjaan maupun tenaga kerja yang seharusnya menjadi urusan dan ditangani langsung oleh perusahaan pengguna dialihkan kepada perusahaan penyedia jasa untuk kemudian ditangani dan menjadi tanggung jawab perusahaan penyedia jasa, maka itu perjanjian outsourcing sebagai perjanjian pemborongan pekerjaan atau penyediaan jasa pekerja/buruh. Perjanjian kerja harus memenuhi ketentuan asas-asas hukum kontrak, yang meliputi asas konsensualisme, asas kebebasan berkontrak dan asas kekuatan mengikatnya perjanjian. Pada asas kebebasan berkontrak, terdapat kebebasan kehendak yang mengimplikasikan adanya kesetaraan minimal. Di sini antara pekerja dengan pemberi kerja harus mempunyai kedudukan yang sama tidak dalam kedudukan sub ordinasi (di bawah perintah) harus sebagai mitra kerja. Pada asas kekuatan mengikatnya kontrak, ditentukan oleh isi kontrak itu sendiri, kepatutan atau iktikad baik, kebiasaan dan peraturan perundang-undangan.
3. Perusahaan Penyedia Jasa Perjanjian dalam outsourcing (Alih Daya) juga tidak semata-mata hanya mendasarkan pada asas kebebasan berkontrak sesuai Pasal 1338 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, namun juga harus memenuhi ketentuan ketenagakerjaan, yaitu Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan. Hal ini dimaksudkan apabila perusahaan pengguna jasa outsourcing hendak mengakhiri kerjasamanya dengan perusahaan outsourcing, maka pada waktu yang bersamaan berakhir pula kontrak kerja antara karyawan dengan perusahaan outsource. Bentuk perjanjian kerja yang lazim digunakan dalam outsourcing adalah Perjanjian Kerja Waktu Tertentu (PKWT). Bentuk perjanjian kerja ini dipandang cukup fleksibel bagi perusahaan pengguna jasa outsourcing, karena lingkup pekerjaannya yang berubah-ubah sesuai dengan perkembangan perusahaan.3 4. Perbuatan Melawan Hukum Dinamakan perbuatan melawan hukum apabila perbuatan itu bertentangan dengan hukum pada umumnya. Hukum bukan saja berupa ketentuan-ketentuan undang-undang, tetapi juga aturan-aturan hukum tidak tertulis, yang harus ditaati dalam hidup bermasyarakat. Kerugian yang ditimbulkan itu harus disebabkan karena perbuatan yang melawan hukum itu antara lain kerugiankerugian dan perbuatan itu harus ada hubungannya yang langsung, kerugian itu disebabkan karena kesalahan pembuat. Secara prinsip, pelaku Perbuatan Melawan Hukum telah melakukan perbuatan yang mengakibatkan yang bersangkutan wajib mengganti kerugian (moril dan materil) terhadap pihak-pihak yang telah dirugikan (saudara serta pembeli) sebagaimana yang diatur dalam Pasal 1365 Kitab UndangUndang Hukum Perdata. Berbicara tentang Perbuatan Melawan Hukum tentunya akan menghadapkan kita pada hal menentukan apakah suatu perbuatan itu merupakan Perbuatan Melawan Hukum atau wanprestasi. Hal ini terjadi karena mungkin saja hal yang kita nilai sebagai Perbuatan Melawan Hukum ternyata hanya merupakan wanprestasi semata. Kita perlu mengingat kembali bahwa wanprestasi terjadi apabila seorang yang telah ditetapkan prestasi sesuai dengan perjanjian
2
3
1. Pengertian Perusahaan Mengenai pengertian perusahaan ini secara ilmiah terdapat beberapa pendapat, diantaranya adalah: Menurut pemerintah Belanda perusahaan ialah keseluruhan perbuatan, yang dilakukan secara tidak terputus-putus, dengan terang-terangan, dalam kedudukan tertentu dan untuk mencari laba. Menurut Molengraff, perusahaan adalah keseluruhan perbuatan yang dilakukan secara terus menerus, bertindak keluar, untuk mendapatkan penghasilan dengan cara memperniagakan barang-barang, menyerahkan barangbarang, atau mengadakan perjanjianperjanjian perdagangan.2
H.M.N. Purwosutjipto. Pengertian Hukum Dagang Indonesia 1. Djambatan. Jakarta 2003. halaman 15.
Djumadi. 2008. Hukum Perburuhan Perjanjian Kerja. Jakarta: Raja Grafindo Persada, h. 49-54.
tersebut tidak melaksanakan atau tidak memenuhi prestasi sesuai dengan ketentuan yang berlaku. 5. Tanggung Jawab Perusahaan Penyedia Jasa Akibat Perbuatan Melawan Hukum Yang Dilakukan Pekerja Outsourcing Bahwa meluasnya tanggung jawab berkaitan dengan perbuatan melawan hukum merupakan konsekuensi logis dari perkembangan peradaban manusia itu sendiri, terutama dimulai ketika pola relasi antara manusia yang satu dengan yang lain semakin kompleks. Harus diakui konsep hukum common law jauh lebih berkembang dalam kaitannya dengan pertanggungjawaban pengusaha atau perusahaan penyedia jasa ini dibandingkan dengan system hukum kita (civil law). Dalam sistem common law, doktrin Respondeat Superior Liability adalah salah satu doktrin utama yang diterima luas sebagai dasar pertanggungjawaban perusahaan penyedia jasa dalam konteks menjalankan pekerjaan. Menurut doktrin respondeat superior ini, seorang perusahaan penyedia jasa bertanggung jawab atas perbuatan melawan hukum yang dilakukan oleh pegawai atau karyawannya jika karyawan tersebut bertindak masih dalam cakupan menjalankan pekerjaannya atau dalam lingkup pekerjaannya. Perumusan pertanggungjawaban dalam Pasal 1367 KUH Perdata sebagai mana disebutkan di atas, masih sangat umum dan luas sehingga agak menyulitkan dalam aplikasinya. KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan 1. Pengaturan tentang outsourcing adalah diawali dengan adanya kesepakatan antara perusahaan pengguna tenaga kerja (jasa) dengan perusahaan penyedia jasa, kesepakatan tersebut dibuat dalam bentuk perjanjian kerjasama pemborongan penyediaan tenaga kerja, setelah itu perusahaan penyedia jasa melakukan perjanjian dengan pekerja. 2. Tanggung jawab perusahaan penyedia jasa akibat perbuatan melawan hukum yang dilakukan pekerja outsourcing yaitu seorang perusahaan penyedia jasa bertanggung jawab atas perbuatan melawan hukum yang dilakukan oleh pegawai atau karyawannya jika karyawan tersebut bertindak masih dalam cakupan menjalankan pekerjaannya atau dalam lingkup pekerjaannya. Perumusan pertanggungjawaban dalam Pasal 1367 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata sebagai mana disebutkan di
atas, masih sangat umum dan luas sehingga agak menyulitkan dalam aplikasinya. Saran 1. Agar setiap perusahaan yang menggunakan jasa tenaga kontrak (outsourcing) dapat memberikan hak-hak pekerja kontrak menurut peraturan perundangan-undangan yang berlaku. 2. Agar para pekerja kontrak dalam melakukan pekerjaan dapat bekerja dengan baik dan sekaligus hak-hakya sebagai pekerja dapat dipenuhi/diperjuangkan, maka pemerintah seharusnya memfasilitasi pekerja kontrak (outsourcing) dalam memperoleh hak-haknya dengan membuka posko-posko pengaduan terhadap tenaga kerja, melalui asosiasi tenaga kerja di dalam perusahaan yaitu Serikat Pekerja Seluruh Indonesia (SPSI). DAFTAR PUSTAKA Abdulkadir Muhammad. Hukum Perusahaan Indonesia. Citra Aditya Bakti, Bandung, 2002. Abdul. R Saliman. Esensi Hukum Bisnis Indonesia. Kencana Prenada Media, Jakara, 2004. Ahmadi Miru. Hukum Kontrak Perancangan Kontrak. Jakarta: Raja Grafindo Persada. Jakarta, 2008. Celina Tri Siwi Kristiyanti. Hukum Perlindungan Konsumen.: Sinar Grafika. Jakarta, 2008. Djumadi. Hukum Perburuhan Perjanjian Kerja. Raja Grafindo Persada. Jakarta, 2008. H.M.N. Purwosutjipto. Pengertian Hukum Dagang Indonesia 1, Djambatan. Jakarta, 2003. Johnny Ibrahim, Teori Metode Penelitian Normatif, Banyu Media Publishing, Malang , 2005. Lalu Husni. Pengantar Hukum Ketenagakerjaan Indonesia. Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2000. R. Soeroso. Pengantar Ilmu Hukum. Sinar Grafika. Jakarta, 2002. Sentosa Sembiring. Hukum Dagang. Citra Aditya Bakti, Bandung, 2008. Peraturan Perundang-Undangan Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUH Perdata) Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan