TANGGAP MORFOFISIOLOGI BIBIT KAKAO YANG DIBERI FOSFAT ALAM AYAMARU PAPUA, ASAM HUMAT, INOKULASI FMA DAN BAKTERI PELARUT FOSFAT
ANTONIUS SUPARNO
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2008
PERNYATAAN MENGENAI DISERTASI DAN SUMBER INFORMASI Dengan ini saya menyatakan bahwa disertasi Tanggap Morfofisiologi Bibit Kakao yang Diberi Fosfat Alam Ayamaru Papua, Asam Humat, Inokulasi FMA, dan Bakteri Pelarut Fosfat adalah karya saya sendiri dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir disertasi ini. Bogor, Mei 2008 Antonius Suparno NRP A361040081
ii
ABSTRACT ANTONIUS SUPARNO. Morpho-physiological Responses of Cacao Seedlings to The Addition of Papuan Ayamaru Phosphate Rock, Humic Acid, and the Inoculation AM Fungi and Phosphate Solubilizing Bacteria. Under direction of SUDIRMAN YAHYA, SUDRADJAT,YADI SETIADI, and KOMARRUDDIN IDRIS The purposes of the study were to obtain a humic acid dosage, an arbuscular mycorrhizal fungi (AMF) inoculant, and a phosphate solubilizing bacteria (PSB) isolate for improving the response of cacao seedlings to Ayamaru phosphate rock (APR). The study was conducted in the Cikabayan research garden of IPB. F1 UAH cacao seeds from Coffee and Cacao Research Center, Jember, East Java was used and the seedlings were grown on Ultisol, acid soil from Jasinga in 20 cm x 30 cm sized polybag. The seedlings were grown under 60% of shading net for the period of four months. The study consists of four trials which were set up in two-factor factorial trials using a Completely Randomized Design. The first factor in Trial I, II and III were APR dosages: 0, 0.5, 1.0, 1.5, and 2.0 g P2O5/seedling and 2.0 g P2O5 SP36/seedling used as comparison. The second factor in Trial I were AMF inoculation; in Trial II were PSB isolate inoculation; and in Trial III were four levels of humic acid dosages. The first factor in Trial IV was four levels of APR dosages: 0, 1.0, 2.0, and 4.0 g P2O5/seedling and 2.0 g P2O5 SP36/seedling used as comparison. While the second factor was combination treatments from the best result of Trial I, II, and III. The best treatments obtained from Trial I, II and III as followed: AMF inoculation using Mycofer inoculant, inoculation with FT.3.2 isolate, and 3.10-3 mL of humic acid. Trial IV revealed that stem diameter, leaf number, and shoot/root ratio of the seedling with 2.0 g P2O5/seedling of APR was not significantly different than the seedling with 2.0 g P2O5 SP36/seedling. The response of most variables of seedlings to APR up to 4.0 g P2O5 in all combination treatments of the second factor on the Trial IV was linear. However, the treatments which involved AMF inoculation gave the better result as comparing to seedling without AMF. In term of shoot dry-weight, the effectiveness of Mycofer, humic acid and PSB was 104.29%, 4.38% and 4.24%; in term of P uptake was 191.00%, 33.20% and 18.31%; in term of root colonization was 682.82%, 10.26% and 6.17% ; in term of acid phosphatase activity was 30.07%, 7.58%, 7.34%, while in term of APR efficiency was 104.29%, 4.38%, and 4.24% respectively. Combination treatments in this study were aimed to enhance available P and to lower exchangeable Al content of the media. Combination treatments with the increasing level of APR up to 2.0 g P2O5/seedling caused increasing the root colonization and acid phosphatase activity went a long with decreasing exchangeable Al content, but with the increasing level of APR up to 4.0 g P2O5/seedling caused decreasing the root colonization and acid phosphatase activity and on the contrary increasing exchangeable Al content of the media. The response of the growth seedlings and P available content of the media up to 4.0 g P2O5 of APR was still increased linearly. The responses were improved by the application of humic acid, AMF and PSB inoculation. The synthesis of organic acids by PSB inoculation and the release of acid phosphatase by AMF to the media indicated that there were the external mechanism of P solubilization of phosphate rock. Keywords: Theobroma cacao, Gigaspora margarita, Glomus etunicatum, Glomus manihotis, Glomus aggregatum, Acaulospora tuberculata, Acaulospora scrobiculata
iii
RINGKASAN ANTONIUS SUPARNO. Tanggap Morfofisiologi Bibit Kakao yang Diberi Fosfat Alam Ayamaru Papua, Asam Humat, Inokulasi FMA, dan Bakteri Pelarut Fosfat. Dibimbingan oleh SUDIRMAN YAHYA, SUDRADJAT, YADI SETIADI, dan KOMARUDDIN IDRIS. Areal pengembangan kakao umumnya mengarah pada lahan dengan tingkat kesuburan tanah rendah. Salah satu kriteria yang menjadi hal penting dalam pengusahaan perkebunan kakao adalah penggunaan bibit bermutu. Bertolak dari hal tersebut maka penelitian ini dilakukan untuk mengkaji penggunaan fosfat alam Ayamaru Papua (FA) sebagai pupuk pada pembibitan kakao yang diinokulasi fungi mikoriza arbukula (FMA), bakteri pelarut fosfat (BPF), dan pemberian asam humat. Penelitian ini bertujuan untuk mendapatkan inokulum FMA, isolat BPF, tingkat dosis asam humat, maupun kombinasi ketiganya yang efektif meningkatkan daya guna FA sehingga diperoleh kualitas bibit kakao yang lebih baik. Penelitian dilaksanakan dalam jaring naungan 60% selama empat bulan. Bibit kakao ditanam pada polibag 20 cm x 30 cm dengan media tanah Ultisol Jasinga. Benih kakao yang digunakan adalah UAH F1 dari Pusat Penelitian Kopi dan Kakao Jember, sedangkan FA berasal dari Distrik Ayamaru, Papua. Penelitian terdiri atas empat tahapan percobaan dan dilaksanakan menggunakan Rancangan Acak Lengkap dua faktor yang. Faktor pertama pada percobaan I, II, dan III adalah dosis FA: 0, 0.5, 1.0, 1.5, 2.0 g P2O5/bibit dan 2.0 g P2O5 SP36/bibit sebagai pembanding. Faktor kedua pada percobaan I adalah inokulasi FMA : tanpa FMA (Mo), FMA indigenous Manokwari (M1), dan FMA Mycofer (M2). Faktor kedua pada percobaan II adalah inokulasi BPF : tanpa BPF (Bo), isolat RJM.30.2 (B1), dan isolat FT.3.2 (B2). Faktor kedua pada percobaan III adalah tingkat dosis asam humat yaitu : 0, 1.10-3, 2.10-3, dan 3.10-3 mL asam humat/bibit. Pada percobaan IV, faktor pertama adalah dosis FA : 0, 1.0, 2.0, 4.0 g P2O5/bibit dan 2.0 g P2O5 SP36/bibit sebagai pembanding. Faktor kedua pada percobaan IV adalah kombinasi hasil terbaik dari percobaan I, II, dan III. Hasil percobaan I menunjukkan bahwa tingkat dosis FA mulai berpengaruh pada bibit kakao pada umur 4 minggu setelah tanam (MST), sedangkan inokulasi FMA mulai menunjukkan pengaruhnya pada umur 8 MST. Interaksi antara tingkat dosis FA dan inokulasi FMA berpengaruh nyata pada bobot kering tajuk, jumlah daun, serapan P tajuk, kolonisasi akar, dan aktivitas fosfatase asam. Tanggap tinggi bibit, diameter batang, bobot kering akar, dan kadar Aldd media pada pemberian FA 2.0 gP2O5/bibit tidak berbeda nyata dengan pemberian 2.0 g P2O5 SP36/bibit. Hasil uji Ortogonal polinomial menunjukkan bahwa tanggap bibit kakao akibat tingkat dosis FA hingga 2.0 g P2O5/bibit adalah linier. Peningkatan dosis FA hingga 2.0 gP2O5/bibit meningkatkan pertumbuhan bibit kakao, dan pertumbuhan ini lebih meningkat apabila diinokulasi FMA. Pada semua peubah menunjukkan bahwa FMA Mycofer lebih efektif daripada FMA indigenous Manokwari. Pada dosis FA 2.0 g P2O5/bibit, apabila dibandingkan dengan bibit tanpa FMA, Mycofer lebih efektif meningkatkan bobot kering (127.55%) daripada FMA indigenous Manokwari (95.97%), sedangkan serapan P tajuk masingmasing meningkat sebesar 45.16% dan 21.29%. Hasil percobaan II menunjukkan bahwa tingkat dosis FA mulai berpengaruh pada bibit kakao umur 4 MST, sedangkan inokulasi BPF mulai menunjukkan pengaruhnya pada umur 6 MST. Interaksi antara tingkat dosis FA dan inokulasi BPF berpengaruh nyata pada bobot kering tajuk, kadar P total, P tersedia, dan Aldd media.
iv Tanggap diameter batang dan bobot kering akar bibit kakao pada dosis FA 2.0 gP2O5/bibit tidak berbeda nyata dengan pemberian 2.0 g P2O5 SP36/bibit, sedangkan tanggap tinggi, jumlah daun, dan nisbah tajuk-akar bibit tertinggi diperoleh pada pemberian 2.0 g P2O5 SP36/bibit. Hasil uji Ortogonal polinomial menunjukkan bahwa tanggap bibit kakao akibat tingkat dosis FA hingga 2.0 g P2O5/bibit adalah linier. Peningkatan dosis FA hingga 2.0 gP2O5/bibit meningkatkan pertumbuhan bibit kakao, dan pertumbuhan ini lebih meningkat bila diinokulasi BPF. Pada semua tingkat dosis FA, tanggap bobot kering tajuk memberikan hasil tertinggi bila diinokulasi isolat FT.3.2 dan yang terendah diperoleh pada bibit tanpa inokulasi BPF. Pada dosis FA 2.0 g P2O5/bibit, bila dibandingkan dengan kontrol, isolat RJM.30.2 meningkatkan bobot kering tajuk sebesar 48.41% dan kadar P tersedia 3.12%, sedangkan isolat FT.3.2 masing-masing 78.18% dan 9.36%. . Hasil percobaan III menunjukkan bahwa baik tingkat dosis FA maupun asam humat mulai berpengaruh pada bibit kakao umur 4 MST. Interaksi antara tingkat dosis FA dan tingkat dosis asam humat berpengaruh nyata pada tinggi, diameter batang, bobot kering tajuk, kadar P total, P tersedia, dan Aldd media. Hasil uji Ortogonal polinomial menunjukkan bahwa tanggap bibit kakao akibat tingkat dosis FA hingga 2.0 gP2O5/bibit maupun tingkat dosis asam humat adalah linier. Pada dosis asam humat 3.10-3 mL, peningkatan dosis FA hingga 2.0 g P2O5/bibit secara linier meningkatkan kadar P tersedia sebesar 117% dan bobot kering tajuk 49.02%. Sedangkan pada dosis FA 2.0 g P2O5/bibit, peningkatan dosis asam humat hingga 3.10-3 mL/bibit secara linear meningkatkan kadar P tersedia sebesar 44.15% dan bobot kering tajuk 62.12%. Pada dosis FA 2.0 g P2O5/bibit, bila dibandingkan dengan kontrol, dosis 1.10-3, 2.10-3, dan 3.10-3 mL asam humat/bibit masing-masing memberikan kadar P tersedia berturut-turut 7.82%, 29.75%, dan 40.81%; dan bobot kering tajuk 39.13%, 45.27%, dan 70.08%. Inokulum FMA terbaik dari percobaan I adalah FMA Mycofer, isolat terbaik dari percobaan II adalah isolat FT.3.2, sedangkan dosis asam humat terbaik dari percobaan III adalah 3.10-3 mL/bibit. Oleh karena itu faktor kedua percobaan IV adalah kombinasi: Mycofer + 3.10-3 mL asam humat (MH), Mycofer + isolat FT.3.2 (MB), isolat FT.3.2 + 3.10-3 mL asam humat (BH), dan Mycofer + isolat FT.3.2 + 3.103 mL asam humat (MBH). Baik tingkat dosis FA maupun perlakuan kombinasi telah menunjukkan pengaruhnya pada bibit kakao umur 4 MST. Interaksi antara tingkat dosis FA dan kombinasi perlakuan berpengaruh nyata pada tanggap bobot kering tajuk, serapan P tajuk, aktivitas fosfatase asam, kolonisasi akar, pH media, P total, P tersedia, dan kadar Aldd media. Tanggap bibit kakao akibat dosis FA hingga 4.0 g P2O5/bibit pada semua perlakuan kombinasi untuk sebagian besar peubah adalah linier. Namun demikian, perlakuan kombinasi yang melibatkan inokulasi FMA memberikan hasil terbaik dibandingkan tanpa inokulasi FMA. Terhadap bobot kering tajuk keefektifan FMA Mycofer adalah 104.29%, asam humat 4.38%, dan bakteri pelarut fosfat 4.24%, terhadap serapan P tajuk berturut-turut 191.00%, 30.20% dan 18.31%, terhadap kolonisasi akar 681.82%, 10.26%, 6.17%, terhadap aktivitas fosfatase asam 30.07%, 7.58%, 7.34%, sedangkan terhadap efisiensi FA adalah 104.29%, 4.38%, dan 4.24%. Perlakuan kombinasi yang diberikan adalah untuk meningkatkan kadar P tersedia dan menurunkan kadar Aldd. Perlakuan kombinasi dengan peningkatan dosis FA hingga 2.0 g P2O5/bibit menyebabkan meningkatnya kolonisasi akar dan aktivitas fosfatase asam sejalan dengan menurunnya kadar Aldd media, tetapi peningkatan dosis selanjutnya hingga 4.0 g P2O5/bibit menurunkan kolonisasi akar dan aktivitas fosfatase asam dan sebaliknya meningkatkan kadar Add media.
v Tanggap pertumbuhan dan kadar P tersedia pada bibit terhadap FA hingga 4.0 g P2O5/bibit masih meningkat secara linier. Tanggap pertumbuhan bibit dan kadar P tersedia lebih ditingkatkan apabila diberi asam humat, inokulasi BPF dan FMA. Sintesis asam-asam organik oleh BPF dan pelepasan asam fosfatase ke media oleh akar bibit yang diinokulasi FMA mengidikasikan terjadinya mekanisme eksternal pelarutan FA. Kata
kunci:
Theobroma cacao, Gigaspora margarita, Glomus etunicatum, Glomus manihotis, Glomus aggregatum, Acaulospora tuberculata, Acaulospora scrobiculata
vi
@ Hak Cipta milik IPB tahun 2008 Hak Cipta dilindungi Undang-undang 1. Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumber a. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik atau tinjauan suatu masalah b. Pengutipan tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB 2. Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis dalam bentuk apapun tanpa izin IPB
vii
TANGGAP MORFOFISIOLOGI BIBIT KAKAO YANG DIBERI FOSFAT ALAM AYAMARU PAPUA, ASAM HUMAT, INOKULASI FMA, DAN BAKTERI PELARUT FOSFAT
Oleh ANTONIUS SUPARNO
Disertasi Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Doktor pada Departemen Agronomi dan Hortikultura
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2008
viii Judul Disertasi
:
Tanggap Morfofisiologi Bibit Kakao yang Diberi Fosfat Alam Ayamaru Papua, Asam Humat, Inokulasi FMA, dan Bakteri Pelarut Fosfat
Nama
: Antonius Suparno
NIM
:
A361040081
Disetujui Komisi Pembimbing
Prof. Dr. Ir. Sudirman Yahya, M.Sc Ketua
Dr. Ir. Sudradjat, MS Anggota
Dr. Ir. Yadi Setiadi, M.Sc Anggota
Dr. Ir. Komaruddin Idris, MS Anggota
Diketahui Ketua Program Studi Agronomi
Dr. Ir. Munif Ghulamahdi, MS
Tanggal Ujian : 9 Mei 2008
Dekan Sekolah Pascasarjana
Prof. Dr. Ir. Khairil A. Notodiputro, MS
Tanggal Lulus : 23 Mei 2008
ix
PRAKATA Puji dan syukur penulis panjatkan ke Hadirat Tuhan atas segala hikmat dan karunia-Nya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan.
Penelitian ini telah
dilaksanakan sejak bulan Agustus 2006 di Kebun Percobaan Cikabayan IPB, Bogor. Disertasi ini memuat satu bab yang merupakan pengembangan dari naskah artikel yang diajukan ke jurnal ilmiah. Bab 3 berjudul Peranan FMA dalam Tanggap Bibit Kakao terhadap Fosfat Alam Ayamaru, dengan judul artikel Pertumbuhan dan Serapan P Bibit Kakao (Theobroma cacao L.) yang Diberi Fosfat Alam Papua dan Inokulasi Mikoriza sedang menunggu penerbitan di Jurnal Buletin Agronomi Vol.XXXVI No. 1 April Th. 2008. Pada kesempatan ini, penulis mengucapkan terima kasih kepada : 1. Bapak Prof. Dr. Ir. Sudirman Yahya, M.Sc selaku Ketua Komisi Pembimbing, Bapak Dr. Ir. Sudradjat, MS, Bapak Dr. Ir. Yadi Setiadi, M.Sc, dan Bapak Dr. Ir. Komaruddin Idris, MS selaku Anggota Komisi Pembimbing atas segala perhatian dan bimbingannya selama penulis mempersiapkan dan melaksanakan penelitian hingga penulisan disertasi ini. 2. Staf Dosen pada Program Pascasarjana IPB atas bimbingannya dalam perkuliahan dan praktikum selama penulis mengikuti program S3. 3. Rektor Unversitas Negeri Papua Manokwari yang telah memberikan ijin kepada penulis untuk mengikuti program S3 di Program Studi Agronomi pada Program Pascasarjana IPB 4. Rektor IPB, Dekan Pascasarjana, dan Ketua Program Studi Agronomi IPB atas kesempatan yang diberikan kepada penulis untuk mengikuti program S3 dan penggunaan fasilitas yang tersedia 5. Manajemen Program Due-Like Unipa-Dikti atas beasiswa pendidikan yang diberikan kepada penulis, sehingga dapat membantu penulis dalam melaksanakan pendidikan S3 6. Ayah dan Ibu di Yogyakarta, keluarga kakanda B. Tukidjo, Sudarisme, Tum, dan adinda Tris di Merauke, keluarga besar Opung Marpurada di Medan dan Jakarta, istri tercinta Ir. Ida Nurhayati Gultom, ananda Gideon Veritatis Parmonang dan Truly Modestia Hasian, Ichan dan keluarga Jimmy Taroreh di Manokwari, atas dukungan doa, perhatian, dan pengorbanannya selama penulis menempuh pendidikan S3 ini.
x 7. Rekan mahasiswa S2 dan S3 Pascasarjana IPB dan laboran atas bantuan dan kerjasama yang telah diberikan, kepada pak Abimanyu dan Ibu Yudi, pak Yulius, pak Iwan Sasli, pak Wasgito, pak Takdir, mbak Faiq, mbak Susan dan semua rekan dari Papua 8. Semua pihak yang tidak dapat penulis sebutkan seluruhnya yang telah membantu penulis selama melaksanakan pendidikan S3 Semoga segala perhatian, bantuan, dan pengorbanan bapak dan ibu serta saudara/saudari sekalian mendapatkan berkat dan imbalan dari Tuhan Yang Maha Kuasa. Semoga karya ilmiah ini bermanfaat. Bogor, Mei 2008 Antonius Suparno
xi
RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan di Gunung Kidul pada tanggal 16 Juni 1964 sebagai anak ke enam dari tujuh bersaudara dari ayah P. Jatmodikromo dan M. Sadjem. Pendidikan sarjana ditempuh di Program Studi Agronomi, Fakultas Pertanian Universitas Cenderawasih Manokwari, lulus pada tahun 1989. Pada tahun 1995, penulis diterima di Program Studi Ilmu Tanaman pada Program Pascasarjana Universitas Padjadjaran (UNPAD) Bandung dan menamatkannya pada tahun 1998. Kesempatan untuk melanjutkan ke program doktor di Program Studi Agronomi pada Program Pascasarjana IPB diperoleh pada tahun 2004. Beasiswa pendidikan pascasarjana diperoleh dari Program Due-Like Unipa-Dikti tahun 2004. Penulis bekerja sebagai staf pengajar pada Fakultas Pertanian Universitas Negeri Cenderawasih Manokwari sejak tahun 1991. Pada tahun 2001, Fakultas Pertanian ini telah dikembangkan menjadi Universitas Negeri Papua Manokwari. Karya ilmiah berjudul Pengaruh Pemberian Fosfat Alam Ayamaru Papua dan Inokulasi Fungi Mikoriza Arbuskula (FMA) terhadap Pertumbuhan Bibit Kakao telah disajikan pada Seminar Nasional dan Kongres II Asosiasi Mikoriza Indonesia di Bogor pada bulan Juli 2007. Karya ilmiah lain berjudul Pengaruh Pemberian Fosfat Alam Ayamaru Papua dan Kombinasi Asam Humat, Inokulasi FMA dan Bakteri Pelarut Fosfat terhadap Pertumbuhan Bibit Kakao telah disajikan pada Simposium, Seminar Nasional dan Kongres IX Perhimpunan Agronomi Indonesia (PERAGI) di Unpad Bandung pada November 2007. Artikel lain berjudul Pertumbuhan dan Serapan P Bibit Kakao (Theobroma cacao L.) yang Diberi Fosfat Alam Papua dan Inokulasi Mikoriza akan diterbitkan pada Jurnal Buletin Agronomi Vol.XXXVI No. 1 April Th. 2008. Karya-karya ilmiah tersebut merupakan bagian dari program S3 penulis. Di samping melaksanakan pendidikan S3, penulis telah mengikuti Pelatihan Identifikasi Jamur Mikoriza Arbuskula di Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Bidang Botani-Pusat Penelitian Biologi pada bulan Agustus 2007.
xii
DAFTAR ISI Halaman DAFTAR TABEL ……..………………………………………………………
vii
DAFTAR GAMBAR ………………………………………………………….
ix
DAFTAR LAMPIRAN ……………………………………………………….
xiii
I
PENDAHULUAN Latar Belakang …….………………………………………………….
1
Tujuan dan Manfaat …………………………………………………….
11
Hipotesis ………………………………………………………………..
12
II TINJAUAN PUSTAKA Ketersediaan Fosfor Tanah ……………………………………………..
13
Peranan FMA terhadap Penyerapan Fosfor …………………….............
16
Fosfat Alam Ayamaru Papua …………………………………………
19
Bakteri Pelarut Fosfat …………………………………………………..
23
Peranan Asam Humat
26
…………… …………………………………...
III TANGGAP BIBIT KAKAO YANG DIINOKULASI FMA PADA BERBAGAI DOSIS FOSFAT ALAM AYAMARU Pendahuluan …………………………………………………………….
31
Bahan dan Metode ……………………………………………………..
33
Hasil …………………………………………………………………….
38
Pembahasan …………………………………………………………….
51
Kesimpulan ………….…………………………………………………..
58
IV TANGGAP BIBIT KAKAO YANG DIINOKULASI INOKULASI BAKTERI PELARUT FOSFAT PADA BERBAGAI DOSIS FOSFAT ALAM AYAMARU Pendahuluan …………………………………………………………....
61
Bahan dan Metode ………………………………….…………….........
63
Hasil ……………………………………………………………………
68
Pembahasan …….………………………………………………….........
79
Kesimpulan ………….…………………………………………………..
84
xiii V
VI
TANGGAP BIBIT KAKAO PADA BEBERAPA DOSIS FOSFAT ALAM AYAMARU DAN ASAM HUMAT Pendahuluan …………………………………………………………....
86
Bahan dan Metode ..…………………………………………………….
88
Hasil …………………..………………………………………………...
92
Pembahasan …………………………………………………………….
104
Kesimpulan ………….………………………………………………….
109
TANGGAP BIBIT KAKAO YANG DIINOKULASI FMA DAN BAKTERI PELARUT FOSFAT PADA BERBAGAI DOSIS FOSFAT ALAM AYAMARU YANG DIBERI ASAM HUMAT Pendahuluan ……………………………………………………………
112
Bahan dan Metode………………………………………………………
115
Hasil ……………………..……………………………………………..
119
Pembahasan ……………………………………………………………
133
Kesimpulan ………….…………………………………………………
139
VII PEMBAHASAN UMUM ……………………………………………….
141
VIII KESIMPULAN DAN SARAN ………………………………………….
154
DAFTAR PUSTAKA …………………………………………………………
156
xiv
DAFTAR TABEL Halaman
1
Karakteristik hasil analisis kandungan unsur dari asam humat dan asam fulvat (Schnitzer 1997) .....................................................................
29
Tanggap tinggi, diameter batang, bobot kering akar, dan nisbah tajukakar bibit kakao terhadap dosis FA pada inokulum FMA yang berbeda .....
39
3
Tanggap jumlah daun dan bobot kering tajuk bibit kakao terhadap dosis fosfat alam pada inokulum FMA yang berbeda ..........................................
43
4
Tanggap kadar P tajuk, pH media, kadar P tersedia, kadar P total, kadar Aldd media bibit kakao terhadap dosis fosfat alam pada inokulum FMA yang berbeda ...............................................................................................
45
5
Tanggap serapan P tajuk, kolonisasi akar, dan kadar fosfatase asam akar bibit kakao terhadap dosis FA dan inkulum FMA yang berbeda ................
48
6
Jenis-jenis asam organik yang dihasilkan oleh inkubasi isolat bakteri ........
69
7
Tanggap tinggi, diameter batang, jumlah daun, bobot kering akar, dan nisbah tajuk-akar bibit kakao terhadap dosis fosfat alam pada isolat BPF yang berbeda ...............................................................................................
70
Tanggap kadar P tajuk, serapan P tajuk, dan pH media terhadap dosis fosfat alam pada isolate BPF yang berbeda ................................................
74
Tanggap bobot kering tajuk, kadar P tersedia, kadar P total, dan kadar Aldd media akibat dosis fosfat alam pada isolat BPF yang berbeda ............
76
10
Tanggap jumlah daun, bobot kering akar, dan nisbah tajuk-akar bibit kakao terhadap dosis fosfat alam pada berbagai dosis asam humat ...........
93
11
Tanggap tinggi dan diameter batang bibit kakao akibat dosis fosfat alam pada berbagai dosis asam humat ................................................................
96
Tanggap bobot kering tajuk, kadar P tersedia, kadar P total, dan kadar Aldd media akibat dosis fosfat alam pada berbagai dosis asam humat ..................................................................................................
98
2
8 9
12
13 14
15
16
Tanggap kadar P, serapan P tajuk bibit kakao, dan pH media terhadap dosis fosfat alam pada berbagai dosis asam humat ..................................... 102 Tanggap tinggi, diameter batang, jumlah daun, kadar P tajuk, bobot kering akar, dan nisbah tajuk-akar bibit kakao terhadap dosis fosfat alam pada berbagai kombinasi M, B, H ........................................... 121 Uji Ortogonal polinomial tanggap bobot kering tajuk, serapan P tajuk, kolonisasi akar, kadar fosfatase asam, kadar P tersedia, kadar P total, pH media, dan kadar Aldd akibat dosis fosfat alam pada berbagai kombinasi M,B, H .......................................................................................
127
Uji Ortogonal kontras bobot kering tajuk, serapan P tajuk, kolonisasi akar, dan kadar fosfatase terhadap berbagai perlakuan kombinasi M, B, dan H ................................................................................
129
xv 17 18 19
Tanggap kadar P tersedia, kadar P total, pH media, dan kadar Aldd akibat dosis fosfat alam pada berbagai perlakuan kombinasi M, B, dan H ...........
130
Uji Ortogonal kontras kadar P tersedia, kadar P total, pH, dan kadar Aldd media akibat berbagai perlakuan kombinasi M, B, H ................................
132
Efisiensi FA terhadap bobot kering tajuk bibit kakao pada dosis FA 4.0 g P2O5/bibit ..................................................................................................
133
xvi
DAFTAR GAMBAR Halaman 1
Bagan alir tahapan penelitian ………………………………………………
10
2
Struktur infeksi FMA pada sel-sel kortek akar (Diouf et al. 2003) ..............
17
3
Lokasi deposit fosfat alam Ayamaru Papua ..............................................
21
4
Model proses-proses utama yang menunjukkan reduksi jerapan P dan peningkatan ketersediaan P oleh aplikasi residu organik ke tanah (Haynes & Mokolobate 2001)………………………………..... …………….............
27
Pengaruh dosis fosfat alam dan jenis inokulum FMA terhadap tinggi (a), diameter batang (b), bobot kering akar dan nisbah tajuk-akar (c) bibit kakao .....................................................................................................
41
6
Penampilan bibit kakao yang diberi fosfat alam dan inokulasi FMA ………
42
7
Tanggap Jumlah daun dan bobot kering tajuk akibat dosis fosfat alam pada inokulasi FMA yang berbeda.........................................................................................
43
Pengaruh tingkat dosis fosfat alam dan ionokulasi FMA terhadap kadar P tajuk dan kadar P tersedia ................................................................................
46
Pengaruh tingkat dosis fosfat alam dan inokulum FMA terhadap pH media, kadar P total, dan Aldd media bibit kakao .....................................................
47
Tanggap serapan P tajuk, kolonisasi akar, dan aktivitas fosfatase asam akibat dosis fosfat alam pada inokulum FMA yang berbeda...........................
49
Spora spesies FMA yang terdapat dalam inokulum Mycofer dan spora spesies FMA indigenous Manokwari ............................................................
50
12
Kolonisasi akar oleh FMA Mycofer dan FMA indigenous Manokwari ……..
51
13
Tanggap tinggi, diameter batang, dan jumlah daun bibit kakao terhadap dosis fosfat alam pada isolat BPF yang berbeda............................................
71
14
Tanggap jumlah daun (a) dan bobot kering akar (b) bibit kakao terhadap dosis fosfat alam pada isolat BPF yang berbeda..............................................
72
15
Penampilan pertumbuhan bibit kakao yang diinokulasi BPF dan dosis fosfat alam .....................................................................................................
73
16
Tanggap kadar P Tajuk, serapan P tajuk, dan pH media akibat dosis fosfat alam pada isolat BPF yang berbeda. ...............................................................
75
17
Tanggap bobot kering tajuk, kadar P tersedia, kadar P total, dan kadar Aldd media akibat dosis fosfat alam pada isolat BPF yang berbeda ......................
78
Tanggap jumlah daun, bobot kering akar, dan nisbah tajuk-akar akibat tingkat dosis fosfat dan dosis asam humat ...................................................
94
Penampilan bibit kakao akibat pengaruh berbagai dosis asam humat dan dosis fosfat alam ………………………..................................................................
95
5
8 9 10 11
18 19
xvii 20
Tanggap tinggi dan diameter batang bibit kakao akibat dosis fosfat alam pada berbagai dosis asam humat...........................................................................
97
Tanggap bobot kering tajuk, kadar P tersedia, kadar P total, dan kadar Aldd media akibat dosis FA pada berbagai dosis asam humat... ................................
99
22
Kurva tiga dimensi tanggap bobot kering tajuk akibat dosis fosfat alam pada berbagai dosis asam humat. …...............................................................
100
23
Kurva kontour tanggap bobot kering tajuk akibat dosis fosfat alam pada berbagai dosis asam humat .............................................................................
101
Tanggap kadar P tajuk, serapan P tajuk, dan kadar Aldd mediaakibat dosis fosfat alam pada berbagai dosisi asam humat .......................................
103
Penampilan bibit kakao akibat kombinasi M, B,H pada dosis P dan P36 , dan akibat tingkat dosis fosfat alam Ayamaru pada kombinasi MBH .......... ......
120
Kurva tanggap tinggi dan diameter batang bibit kakao terhadap dosis fosfat alam dan histogram perlakuan kombinasi FMA (M), bakteri pelarut fosfat (B), dan asam humat (H) ...............................................................................
123
Kurva tanggap jumlah daun dan bobot kering akar bibit kakao terhadap dosis fosfat alam dan histogram perlakuan kombinasi mikoriza (M), bakteri pelarut fosfat (B), dan asam humat (H) ..........................................................
124
Kurva tanggap nisbah tajuk-akar dan kadar P tajuk terhadap dosis fosfat alam dan histogram perlakuan kombinasi mikoriza (M), bakteri pelarut fosfat (B), dan asam humat (H) ......................................................................
125
Kurva tanggap bobot kering tajuk, serapan P tajuk, kolonisasi akar dan aktivitas fosfatase asam akibat dosis fosfat alam pada berbagai perlakuan kombinasi M,B, H ...........................................................................................
127
Tanggap kadar P tersedia, kadar P total, pH, dan kadar Aldd media akibat dosis fosfat alam pada berbagai kombinasi mikoriza (M), bakteri pelarut fosfat (B), dan asam humat (H)........................................................................
131
Fenomena rizosfer akibat perlakuan pemberian fosfat alam Ayamaru (FA), asam humat, inokulasi fungi mikoriza arbuskula (FMA), dan bakteri pelarut fosfat (BPF) ............................................................................
142
21
24 25 26
27
28
29
30
31
xviii
DAFTAR LAMPIRAN Halaman
1
Penghitungan jumlah spora dengan teknik penyaringan basah (Gaderman & Nicholson 1963) ...................................................................
166
2
Metode Pengujian Most Probable Number FMA (Norris et al. 1992)…….. 167
3
Perhitungan kolonisasi akar dengan teknik pewarnaan Akar dari Phillips dan Hayman (1970) .......................................................................................
168
4
Komposisi media Pikovskaya ........................................................................ 169
5
Komposisi media kaldu nutrien ..................................................................... 170
6
Hasil analisis fosfat alam Ayamaru Papua di Balai Penelitian Tanah Pusat Bogor tahun 2006 .........................................................................................
7
Analisis kimia tanah Ultisol Jasinga ............................................................ 172
8
Metode analisis fosfatase asam (Tabatabai & Bremer 1969) ....................... 173
171
9a F-hitung analisis ragam peubah tanggap bibit kakao yang diinokulasi FMA pada berbagai dosis FA …………………………………………….
175
9b F-hitung analisis ragam peubah tanggap bibit kakao yang diinokulasi BPF pada berbagai dosis FA ………………………………………………
176
9c F-hitung analisis ragam peubah tanggap bibit kakao pada berbagai konsentrasi asam humat dan dosis FA ……………………………………... 177 9d F-hitung analisis ragam peubah tanggap bibit kakao yang diinokulasi kombinasi FMA, BPF, dan asam humat pada berbagai dosis FA ………..
178
10a F-hitung analisis Ortogonal polinomial tanggap bibit kakao yang diinokulasi FMA pada berbagai dosis FA ………………………………….
179
10b F-hitung analisis Ortogonal polinomial tanggap bibit kakao yang diinokulasi BPF pada berbagai dosis FA …………………………………..
180
10c F-hitung analisis Ortogonal polinomial tanggap bibit kakao yang diaplikasi asam humat pada berbagai dosis FA …………………………… 181 10d F-hitung analisis Ortogonal polinomial tanggap bibit kakao terhadap dosis fosfat alam pada berbagai kombinasi mikoriza (M), bakteri pelarut fosfat (B), dan asam humat (H)…………………………………… ……………... 11
183
Nilai F-hitung Uji Ortogonal kontras perlakuan kombinasi FMA, bakteri pelarut posfat, dan Asam Humat …………………………………..
185
12a Deskripsi Glomus aggreratum Schenck & Smith (1982) ............................
186
12b Deskripsi Acaulospora scrobiculata Trappe (1977)……………..................
187
12c Deskripsi Acaulospora tuberculata Janos & Trappe (1982) ……………… 188
I PENDAHULUAN Latar Belakang Keberhasilan dalam budidaya pertanian terutama tanaman tahunan seperti kakao salah satunya ditentukan oleh kualitas bibit. Untuk mendapatkan bibit yang berkualitas diperlukan penanganan sejak awal baik dengan pemupukan, maupun dengan menginokulasikan agen hayati yang menguntungkan sehingga apabila bibit ditanam dan dipelihara di lapang dapat tumbuh dan berproduksi secara optimal. Pengembangan perkebunan kakao sangat penting karena sektor ini berperan dalam menyediakan lapangan kerja, sumber pendapatan petani, dan sumber devisa negara (Hartemink 2003). Dalam perkembangannya, budidaya kakao di Indonesia mengalami peningkatan yang cukup pesat baik dari segi perluasan areal maupun produksinya. Luas perkebunan kakao pada tahun 2006 telah mencapai 1 191 742 ha dengan produksi mencapai 779 474 ton (Dirjen Perkebunan 2007). Upaya meningkatkan produksi kakao di Indonesia terus dilakukan di antaranya adalah dengan perluasan areal. Perluasan areal perkebunan kakao diawali dengan penyediaan bibit yang memiliki performa baik sehingga ketika ditanam di lapang memiliki kemampuan hidup dan berproduksi tinggi. Namun demikian lahan-lahan subur yang tersedia semakin terbatas sehingga perluasannya mengarah pada lahanlahan marginal yang banyak terdapat di luar Pulau Jawa seperti Sumatera, Sulawesi, Maluku, dan Papua. Lahan-lahan tersebut kebanyakan merupakan lahan kering yang mempunyai tingkat kesuburan tanah rendah.
Oleh karena itu dalam usaha
pengelolaannya diperlukan pemupukan. Beberapa jenis pupuk yang umum digunakan
2 meliputi Urea, TSP, SP36, dan KCl sedangkan agen hayati yang diinokulasikan adalah fungi mikoriza arbuskula (FMA) dan bakteri pelarut fosfat (BPF). Pada saat penggunaan pupuk konvensional dibatasi oleh masalah biaya, fosfat alam lokal dinilai berpotensi sebagai alternatif pupuk P (Goenadi et al. 2000; Arcand & Schneider 2006). Secara global aplikasi langsung fosfat alam meningkat karena perkembangan yang cepat di bidang pertanian dan kebutuhan akan fosfat yang murah di negara berkembang (Mayhew 2003). Keuntungan penerapan teknologi ini adalah bahwa fosfat alam yang bermutu rendahpun dapat digunakan dan akan lebih murah (Notohadiprawiro 1989). Di samping itu tanah-tanah tropis yang mengandung Al dan Fe tinggi serta pH tanah yang rendah, fosfat alam bekerja lebih efektif daripada TSP karena P yang dikandungnya tidak mudah terjerap oleh Al dan Fe.
Namun
demikian faktor kendala utama dalam penggunaan fosfat alam (FA) secara langsung adalah pelepasan P yang lambat tersedia untuk memenuhi kecukupan P yang dibutuhkan tanaman (Vassilev et al. 2001). Oleh karena itu fosfat alam ini lebih sesuai apabila diaplikasikan pada tanaman tahunan. Meningkatnya penggunaan pupuk menunjukkan bahwa kesadaran masyarakat akan pentingnya pupuk terus meningkat. Dewasa ini penggunaan pupuk tidak hanya diaplikasikan pada tanaman pangan, tetapi juga telah meluas pada tanaman perkebunan. Sebagai akibatnya kebutuhan pupuk yang terus meningkat di masa yang akan datang adalah sesuatu yang wajar meskipun efisiensinya belum diperhatikan. Sehubungan dengan hal itu penggunaan fosfat alam sebagai alternatif sumber P juga harus dikaitkan dengan efisiensinya. Penggunaan fosfat alam secara langsung telah banyak dilakukan pada tanah-tanah masam tropis sebagai sumber P alternatif yang potensial (Kimiti & Smithson 2002).
3 Di Indonesia penggunaan fosfat alam sebagai pupuk masih sangat terbatas. Hal ini disebabkan bukan hanya endapan fosfat alam yang jumlahnya tidak banyak tetapi juga karena kadar P nya sangat bervariasi dari rendah sampai tinggi, dan umumnya tergolong rendah (Sabiham & Amat 1990). Di lain pihak terdapat lahan kering yang cukup luas yang memiliki sifat-sifat di antaranya kandungan unsur hara (terutama P, Ca dan Mg) yang rendah serta kemasaman tanah dan kadar Aldd
tinggi.
Pada
umumnya fosfat alam dengan kandungan P dan Ca yang cukup tinggi diharapkan dapat menambah ketersediaan P bagi tanaman meskipun unsur tersebut dalam bentuk lambat tersedia. Idris (1995) dalam penelitiannya menunjukkan bahwa pemberian fosfat alam (Bogor dan Lamongan) nyata memperbaiki status P dan Ca tanah. Salah satu upaya untuk mengatasi kekurangan unsur hara dalam tanah adalah penggunaan fosfat alam yang berasal dari Distrik Ayamaru, Papua. Sampai sejauh ini belum dikembangkan secara optimal. Kadar P total dan P terekstrak Bray I dari fosfat alam Ayamaru (FA) cukup tinggi yaitu 7.77% dan 142 ppm P. Kation-kation basa tergolong rendah kecuali Ca. Oleh karena itu fosfat alam Ayamaru Papua (FA) ini mempunyai peluang yang cukup besar dalam menyediakan P sebagai pupuk P pada tanah Ultisol (Musaad et al. 1996). Melalui pemanasan status P dapat ditingkatkan (Palmer & Gilkes, 1982; Musaad et al. 1996), dalam hal mana semakin tinggi temperatur pemanasan (500, 600, dan 700o C) maka P-larut sitrat 2%, P-larut air, dan P-total semakin meningkat dengan korelasi (r) berturut-turut 0.976, 0.964, dan 0.923. Status P tertinggi diperoleh melalui pemanasan hingga 700o C dengan P-larut air meningkat 320.64% sedangkan P-total meningkat 27.38%.
Pemberian FA yang telah dipanaskan sebagai pupuk pada tanaman jagung
varietas Arjuna dapat meningkatkan keefektifan agronomi hingga 151.44%
4 dibandingkan dengan TSP. Di samping itu fosfat alam bermanfaat ganda karena selain sebagai sumber P juga dapat meningkatkan pH karena dengan pemanasan cenderung menaikkan pH dari 6.19 (tanpa pemanasan) menjadi pH 6.88 dengan temperatur 600oC (Musaad et al. 1996). Rendahnya tingkat kelarutan fosfat alam menjadi kendala dalam pemanfaatan secara langsung untuk bidang pertanian. Rumawas (1990) menyatakan bahwa pemanfaatan fosfat alam secara langsung atau dengan perlakuan minim dalam pertanian dapat ditempuh melalui tiga jalur, yaitu (1) secara fisik (penggilingan hingga 100 mesh, kalsinasi), (2) kimia (pelarutan dengan asam keras, asam humat), dan (3) mikrobiologik (mikoriza, mikroba pelarut fosfat). Bakteri pelarut fosfat dan asam humat berfungsi meningkatkan kelarutan fosfat, sedangkan penyerapan oleh tanaman dapat ditingkatkan dengan adanya simbiosis akar tanaman dengan fungi mikoriza. Kakao diketahui dapat bersimbiosis dengan fungi mikoriza arbuskula (FMA) yang memegang peran penting dalam menyerap hara P (Rice & Greenberg 2000; Miyakasa & Habte 2001). Inokulasi dengan FMA adalah cara yang efisien untuk meningkatkan serapan P tanaman (Smith 2002; FAO 2005). Hal ini berhubungan dengan peningkatan penyerapan hara P oleh penyebaran hifa mikoriza dan lebih nyata pada tanah dengan kesuburan rendah (John 1996; Garcia-Garrido et al. 2000). Fungi mikoriza arbuskula (FMA) melakukan penetrasi pada epidermis akar melalui tekanan mekanis dan aktivitas enzim yang selanjutnya tumbuh menuju kortek (Garcia-Garrído & Ocampo 2002). Di dalam jaringan kortek mikoriza membentuk arbuskula yang berfungsi sebagai tempat pertukaran hara atau senyawa lain antara mikoriza dan tanaman inang. Pada beberapa spesies FMA membentuk vesikel yang berasal dari penggelembungan hifa terminal (Jarstfer & Sylvia 1993; Smith et al. 2003). Oleh
5 karena itu tanggap tingkat pertumbuhan bibit kakao siap tanam biasanya lebih baik dibandingkan dengan tanaman tanpa inokulasi dan akan sangat berarti setelah di lapang (Yahya et al. 2000). Beberapa hasil penelitian menunjukkan bahwa inokulasi bibit kakao dengan Glomus fasciculatum menghasilkan serapan Ca, Mn, bobot kering tanaman dan diameter batang yang lebih besar dibandingkan dengan
Acaulospora delicata
(Widiastuti & Baon 1994). Pada bibit kakao yang diinokulasi dengan FMA campuran Acaulospora sp., Gigaspora sp. dan Glomus sp. lebih tahan terhadap cekaman kekeringan hingga 55% (Yahya et al. 2000). Penggunaan bakteri pelarut fosfat (BPF) dalam bidang pertanian telah banyak dilakukan karena mempunyai peranan yang sangat besar dalam membantu penyediaan hara P bagi tanaman. Hal ini karena meskipun biasanya P total dalam tanah terdapat dalam jumlah yang banyak tetapi ketersediaannya bagi tanaman sangat rendah. Kondisi demikian sering menjadi faktor pembatas terhadap pertumbuhan tanaman (Mikanová & Nováková 2002). Tanaman hanya menyerap 10-25% P yang diberikan melalui pemupukan, sebagian besar mengakibatkan perubahan kimia dalam tanah menjadi bentuk tidak larut dan tidak tersedia bagi tanaman (Jumaniyazova et al. 2004). Bakteri pelarut fosfat mampu mengubah bentuk-bentuk fosfat yang tidak terlarut menjadi bentuk terlarut sehingga tersedia bagi tanaman antara lain melarutkan fosfat yang terikat oleh aluminium, besi maupun kalsium serta mampu memineralisasi
fosfat
organik misalnya fitat. Bakteri pelarut fosfat tersebut antara lain Azospirillum spp., Bacillus spp., Pseudomonas spp., Enterobacter spp. (Toro et al. 1996). Pelepasan P dari batuan fosfat ditingkatkan oleh inokulasi dengan bakteri pelarut fosfat atau oleh eksudat akar pada beberapa tanaman (Jones & Farrar 1999). Namun demikian aktifitas
6 mikroorganisme pelarut fosfat di antaranya dipengaruhi oleh jenis fosfat dalam media yang dapat dilarutkan (Mikanová & Nováková 2002). Beberapa hasil penelitian menunjukkan kemampuan berbagai spesies bakteri dalam melarutkan senyawa fosfat sukar larut seperti trikalsium-fosfat, dikalsium-fosfat, hidroksiapatit, dan batuan fosfat (fosfat alam). Di antara genus bakteri yang memiliki kemampuan tersebut adalah Pseudomonas, Bacillus, Rhizobium, Burkholderia, Achromobacter,
Agrobacterium,
Micrococcus,
Flavobacterium,
dan
Erwinia.
Penggunaan bakteri pelarut fosfat tersebut sebagai inokulan secara simultan meningkatkan penyerapan P oleh tanaman dan meningkatkan hasil. Khususnya strain dari genus Pseudomonas, Bacillus dan Rhizobium merupakan pelarut fosfat yang paling kuat (Suh 2005).
Karti (2003) menunjukkan bahwa isolat bakteri pelarut fosfat
RJM.30.2, FT.3.2, FT.3.3, B8016495, dan B8016498
mempunyai potensi
meningkatkan serapan P pada rumput S. splendida dan C. gayana, sedangkan Noor (2003) menunjukkan bahwa Pseudomonas fluorescens dapat meningkatkan kelarutan P pada tanah Ultisol yang diaplikasi fosfat alam Tunisia. Bahan humat telah digunakan secara luas di dunia (Fataftah 2001).
Bahan
humat merupakan 70-80% dari bahan organik yang terdapat pada tanah-tanah mineral. Bahan humat merupakan molekul organik berbobot molekul tinggi dengan sistem yang komplek yang tersusun dari inti polimer fenolik yang dihasilkan oleh degradasi residu organik dan aktifitas sintetik mikroorganisme (Stevenson
1994).
Bahan humat
terdapat dalam bentuk heterogen, komplek, dan struktur amorphos berdimensi tiga (Haynes & Mokolobate 2001). Menurut Stevenson (1994) bahan humat bermuatan negatif, memiliki bobot molekul tinggi, mampu membentuk ikatan yang kuat dengan mengkomplek ion logam polivalen seperti Al. Ikatan terbentuk secara elektrostatik
7 (pertukaran anion) dan adsorbsi spesifik yaitu pertukaran ikatan, yang secara simultan meliputi pengkelatan dan pembentukan komplek dalam larutan tanah. Penggunakan senyawa humat pada tanah-tanah pertanian memberikan banyak keuntungan terutama pada tanah-tanah dengan kandungan bahan organik rendah dan merupakan bagian integral ekosistem pertanian yang memainkan peranan penting dalam siklus hara dan karbon secara global (MacCarthy 2003). Bahan humat diketahui dapat meningkatkan keefektifan fosfat alam karena mampu melepaskan PO43- dan Ca2+ dari fosfat alam yang sukar larut, mampu mengkomplek logam dari larutan dan menstimulir metabolisme mikrobia (Mayhew 2004). Aplikasi asam humat pada tanah berpengaruh terhadap penyerapan hara makro maupun mikro yaitu melalui pengaruhnya terhadap laju pelepasan unsur hara dari tanah (Lulakis & Petsas 1995), terutama Fe, Zn, dan Mn (Ayuso et al. 1996), juga mempengaruhi translokasi Fe dari akar ke tajuk (MacCharty et al. 1990). Mikoriza, asam humat, dan bakteri pelarut fosfat selain diaplikasikan terpisah, sering diaplikasi secara bersamaan sehingga diperoleh efek yang lebih baik. Senyawa humat mempengaruhi pertumbuhan tanaman melalui peningkatan penyerapan hara makro dan
mikro, mempengaruhi pembentukan akar-akar baru dan meningkatkan
permeabilitas membran akar (Lulakis & Petsas 1995). Banyaknya akar-akar yang baru dengan permeabilitas yang tinggi akan menguntungkan proses kolonisasi akar oleh mikoriza, karena kolonisasi mikoriza umumnya terjadi pada akar-akar muda (Sieverding 1991) dan proses kolonisasi mikoriza ini akan mudah terjadi pada akarakar dengan permeabilitas membran yang tinggi (Cooper 1984). Oleh karena itu apabila kolonisasi telah terjadi dengan baik maka akan terbentuk simbiosis mutualistik untuk perkembangan tanaman dan mikoriza.
8 Azospirillum brasiliense yang diaplikasikan bersama FMA dapat meningkatkan sporulasi dan keefektifan FMA (Hanafiah 2001), meningkatkan aktivitas nitrogenase dan fiksasi N2 untuk membentuk N-NH3 yang digunakan oleh tanaman untuk meningkatkan aktivitas fotosintesis.
Fotosintat yang meningkat dapat mendorong
pertumbuhan FMA karena suplai C dari inang tercukupi.
A. brasiliense mampu
meningkatkan enzim perombak P-organik seperti fitat yang menyebabkan peningkatan P tersedia sehingga meningkatkan fungsi FMA dalam pengambilan P yang disuplai ke tanaman inang untuk pertumbuhannya.
Inokulasi ganda Glomus intraradices dan
Bacillus subtilis secara nyata meningkatkan biomasa dan akumulasi N dan P dalam jaringan tanaman bawang (Allium cepa L.), dan sedikitnya 75% P pada tanaman berasal dari penambahan fosfat alam (Toro et al. 1997). Perlakuan ganda BPF dengan mikoriza dapat meningkatkan bobot kering tanaman. Interaksi antara dua FMA Glomus mosseae dan G. fasciculatum dengan bakteri pelarut fosfat Azospirillum sp., Pseudomonas sp. Basillus sp. dan Enterobacter sp. dapat meningkatkan pertumbuhan dan serapan hara tanaman (Toro et al. 1996). Interaksi ganda yang positip terjadi karena adanya pengaruh fisiologis tanaman yang berkaitan dengan asimilasi C. Mikoriza mendapatkan sumber C dari tanaman sehingga dapat berkembang dengan baik. Interaksi antara tanaman, FMA, dan bakteri pelarut fosfat bersifat spesifik, bergantung pada spesies/kultivar tanaman, spesies FMA, spesies/strain bakteri, dan lingkungannya. Azospirillum sp., Basillus sp., dan Enterobacter sp. berinteraksi positif dengan G. mosseae tetapi berinteraksi negatif dengan G. fasciculatum, sedangkan Pseudomonas sp. berinteraksi positif dengan
G. fasciculatum dan tidak berinteraksi
dengan G. mosseae (Toro et al. 1996). Kemampuan tanaman mengambil P tanah
9 sangat dipengaruhi oleh interaksi tanaman dan mikroba (Kaeppler et al. 2000). Oleh karena itu keefektifan bakteri pelarut fosfat, asam humat,
dan
FMA dalam
meningkatkan ketersediaan P, selain bergantung pada jenis bakteri dan FMA itu sendiri, juga sangat bergantung pada jenis tanaman, dan jenis tanah (pupuk) serta interaksi ketiganya. Meskipun memiliki potensi yang besar, setelah penelitian awal fosfat alam Ayamaru Papua oleh Reynders & Schultz (1958), Schroo & Mouthaan (1960) dan Schroo (1963), penelitian terhadap pemanfaatan fosfat alam Ayamaru ini masih sangat kurang.
Penelitian
pengaruh pemanasan dan pengasaman fosfat alam Ayamaru
terhadap P tersedia telah dilakukan oleh Musaad et al. (1996), sedangkan pengaruh penggunaan bahan organik telah dilakukan oleh Amat (1991). Penggunaan mikoriza, asam humat, dan bakteri pelarut fosfat maupun kombinasinya merupakan alternatif untuk meningkatkan efisiensi pemanfaatan fosfat alam Ayamaru. Meskipun demikian, hingga saat ini belum pernah dilakukan penelitian penggunaan mikoriza, bakteri pelarut fosfat, dan asam humat untuk meningkatkan nilai agronomis fosfat alam Ayamaru Papua. Oleh karena itu perlu dilakukan penelitian untuk mempelajari tanggap morfofisiologi bibit kakao yang diberi inokulasi FMA, dan bakteri pelarut fosfat.
fosfat alam
Ayamaru,
asam humat,
Penelitian dilakukan melalui beberapa
tahapan penelitian sebagaimana tercantum pada bagan alir Gambar 1.
10 TANGGAP MORFOFISIOLOGI BIBIT KAKAO YANG DIBERI FOSFAT ALAM AYAMARU PAPUA, ASAM HUMAT, INOKULASI FMA, DAN BAKTERI PELARUT FOSFAT 1. Tanggap bibit kakao yang diinokulasi FMA pada berbagai dosis fosfat alam Ayamaru
2. Tanggap bibit kakao yang diinokulasi bakteri pelarut fosfat pada berbagai dosis fosfat alam Ayamaru
Tujuan : Mendapatkan inokulum FMA efektif dan dosis fosfat alam Ayamaru optimum pada pembibitan kakao Pendekatan : Menguji FMA pada beberapa tingkat dosis fosfat alam Ayamaru yang diberikan pada bibit kakao Hasil yang diharapkan: Inokulum FMA yang efektif dan dosis optimum fosfat alam Ayamaru pada bibit kakao
Tujuan : Mendapatkan isolat yang efektif terhadap fosfat alam Ayamaru yang diberikan pada bibit kakao Pendekatan : Penguji bakteri pelarut fosfat pada beberapa tingkat dosis fosfat alam Ayamaru yang diberikan pada bibit kako Hasil yang diharapkan: Diperoleh isolat bakteri yang efektif dan dosis optimum fosfat alam Ayamaru pada bibit kakao
3. Tanggap bibit kakao pada beberapa tingkat dosis fosfat alam Ayamaru dan asam humat Tujuan : Mempelajari pengaruh tingkat dosis asam humat terhadap fosfat alam Ayamaru dan pengaruhnya pada bibit kakao Pendekatan : Menguji beberapa dosis asam humat pada beberapa tingkat dosis fosfat alam Ayamaru Hasil yang diharapkan: Diperoleh dosis asam humat yang efektif terhadap fosfat alam Ayamaru pada bibit kakao 4. Tanggap bibit kakao yang diinokulasi FMA dan bakteri pelarut fosfat pada berbagai dosis fosfat alam Ayamaru yang diberi asam humat. Tujuan : Mendapatkan perlakuan kombinasi yang efektif pada bibit kakao yang diberi FA sehingga diperoleh kualitas bibit yang baik Pendekatan : Pengujian kombinasi FMA Mycofer, isolat FT.3.2, dan dosis 3.10-3 mL asam humat/bibit pada pembibitan kakao yang diberi FA Hasil yang diharapkan : Kombinasi yang paling efektif untuk meningkatkan serapan P dan pertumbuhan bibit kakao yang diberi FA.
Gambar 1 Bagan alir tahapan penelitian.
11 Percobaan pertama, kedua, dan ketiga dilaksanakan secara pararel, sedangkan percobaan keempat dilaksanakan setelah diperoleh hasil dari ketiga percobaan sebelumnya. Tanggap bibit kakao akibat tingkat dosis fosfat alam Ayamaru pada percobaan pertama, kedua, ketiga akan digunakan sebagai dasar penentuan tingkat dosis pada percobaan keempat. Inokulum FMA terbaik hasil percobaan pertama, isolat bakteri pelarut fosfat terbaik hasil percobaan kedua, dan tingkat dosis asam humat yang paling efektif dari percobaan ketiga digunakan sebagai penyusun perlakuan kombinasi pada percobaan yang keempat.
Tujuan dan Manfaat Penelitian ini bertujuan untuk : 1.
Mempelajari pengaruh inokulasi FMA pada tanggap bibit kakao terhadap fosfat alam Ayamaru.
2.
Mempelajari pengaruh inokulasi bakteri pelarut fosfat pada tanggap bibit kakao terhadap fosfat alam Ayamaru.
3. Mempelajari pengaruh berbagai taraf dosis asam humat terhadap pelarutan P dan tanggap bibit kakao terhadap fosfat alam Ayamaru. 4. Mempelajari pengaruh perlakuan kombinasi FMA, bakteri pelarut fosfat, dan asam humat terhadap pelarutan P dan tanggap bibit kakao terhadap fosfat alam Ayamaru. 5. Mempelajari mekanisme pelarutan P oleh bakteri pelarut fosfat terhadap fosfat alam Ayamaru pada pertumbuhan bibit kakao. 6. Mempelajari pengaruh inokulasi FMA terhadap pelepasan fosfatase asam sebagai mekanisme eksternal pelarutan P.
12 Dari penelitian ini diharapkan dapat meningkatkan nilai agronomis fosfat alam Ayamaru pada pembibitan kakao melalui aplikasi asam humat, inokulasi FMA dan bakteri pelarut.
Hipotesis 1. Inokulasi FMA pada bibit kakao meningkatkan keefektifan pemberian fosfat alam Ayamaru. 2. Keefektifan pemberian fosfat alam Ayamaru pada bibit kakao ditingkatkan apabila diinokulasi bakteri pelarut fosfat. 3. Keefektifan pemberian fosfat alam Ayamaru pada bibit kakao ditingkatkan apabila diaplikasi asam humat. 4. Keefektifan pemberian fosfat alam Ayamaru pada bibit kakao ditingkatkan apabila diberi perlakuan kombinasi di antara FMA, bakteri pelarut fosfat, dan asam humat. 5. Mekanisme utama pelarutan fosfat alam Ayamaru dan penurunan kadar Aldd media disebabkan asam organik yang dihasilkan oleh bakteri pelarut fosfat. 6. Perlakuan inokulasi FMA yang diberikan menyebabkan meningkatnya fosfatase asam yang ditunjukkan oleh meningkatnya kadar P tersedia dan menurunnya kadar Aldd media.
II TINJAUAN PUSTAKA Ketersediaan Fosfor Tanah Fosfor merupakan salah satu hara esensial tanaman yang ketersediaannya di tanah sangat kurang terutama pada tanah-tanah masam yang meliputi 30% tanah di dunia pada semua kontinen (Raghothama 1999). Pada permukaan bumi kandungan P bervariasi 0.005 – 0.15% (Havlin et al. 1999). Menurut Pusat Penelitian Tanah dan Agroklimat (1992) yang termasuk dalam tanah masam tersebut adalah termasuk dalam ordo Inceptisol, Ultisol, Entisol, Oxisol, dan Spodosol.
Pada jenis-jenis tanah ini
ketersediaan P rendah karena P terikat kuat oleh aluminium dan besi sehingga sulit tersedia bagi tanaman (Raghothama 1999). Ketersediaan P dalam larutan tanah ditentukan oleh banyak faktor yang meliputi jenis tanah dan kemasaman, suhu tanah, kandungan air tanah, dan konsentrasi Ca (Schachtman et al. 1998). Pada beberapa jenis tanah kandungan P lebih tinggi dari yang diperlukan untuk pertumbuhan optimum tanaman, tetapi P ini dalam keadaan tidak tersedia bagi tanaman.
Rata-rata konsentrasi P dalam larutan tanah adalah
0.05 ppm dan sangat bervariasi di antara jenis tanah. Konsentrasi P dalam larutan yang diperlukan oleh kebanyakan tanaman bergantung pada spesies tanaman
bervariasi dari 0.003 sampai 0.3 ppm dan
dan tingkat produksinya (Havlin et al.
1999),
sedangkan kemampuan tanaman mengambil P dari larutan tanah juga bervariasi bergantung pada spesies (genotipe) dan dipengaruhi oleh interaksi antara tanaman dan mikroba (Kaeppler et al. 2000). Fosfor dalam tanah berada dalam bentuk
P organik
dan P anorganik.
Richardson (1994 diacu dalam Schachtman et al. 1998) mengemukakan bahwa
14 20% - 80% P dalam tanah terdapat dalam bentuk organik, yaitu asam phytic (inositol heksafosfat) yang biasanya merupakan komponen utama.
Walaupun mobil dalam
tanaman, P tidak mobil dalam tanah (McWilliams 2003). Rendahnya ketersediaan P pada sebagian besar tanah membatasi penyerapan oleh tanaman.
Karena laju difusi P
lambat (10-12 -10-15.cm2.s-1), maka laju penyerapan tanaman yang tinggi membuat zona deplesi/pengurasan P di sekitar akar (Schachtman et al. 1998; Smith 2002). Fosfor yang diambil oleh tanaman dari larutan tanah berada dalam kesetimbangan dengan fosfat yang dijerap dalam mineral tanah dan koloid dalam fase tanah padat. Mekanisme pengambilan ditunjukkan oleh erapan P sebagai penyangga sejumlah P dalam larutan (Fox & Kamprath 1970, diacu dalam Smith et al. 2003). Fosfor organik dalam tanah tidak langsung tersedia untuk tanaman tetapi terlebih dahulu harus dimineralisasi menjadi P anorganik yang selanjutnya berada dalam reaksi kesetimbangan dalam larutan tanah
(Reiseanuer 1966, diacu dalam
Smith et al.
2003). Ion fosfat dalam tanah terdapat dalam tiga fraksi, yaitu dalam larutan tanah, dapat ditukarkan (tidak stabil), dan tidak larut (stabil). Hanya P dalam larutan yang tersedia bagi tanaman. Laju pelepasan dari bentuk tidak larut sangat lambat dan sedikit pengaruhnya untuk memberikan kontribusi yang nyata terhadap pertumbuhan tanaman (Roper et al. 2004). Hal ini akan membentuk zona deplesi P dalam larutan tanah di sekitar akar yang tumbuh pada tanah kahat P (Smith et al. 2003). Ujung akar akan memperoleh konsenstrasi P eksternal yang sama pada sebagian besar tanah melalui perpanjangan akar ke daerah tanpa deplesi, terlebih dengan adanya rambut akar yang dapat meningkatkan eksplorasi fosfat tanah. Tanaman beradaptasi secara morfologi dan strategi biokimia untuk mengurangi daerah deplesi dan meningkatkan konsentrasi P
15 dalam larutan secara cepat terutama di sekitar akar. Beberapa spesies mengembangkan sistem percabangan akar yang tinggi dengan lebih banyak akar rambut sehingga lebih efisien dalam penyerapan P. Bentuk keberadaan P
dalam larutan tanah
bergantung pada pH tanah.
Apabila pH tanah di bawah 6.0 kebanyakan P berada dalam bentuk monovalen H2PO4-, sedangkan H3PO4- dan HPO42- hanya ada dalam proporsi kecil.
Beberapa penelitian
terhadap ketergantungan pH dalam pengambilan P oleh tanaman diketahui bahwa laju pengambilan tertinggi terjadi pada pH tanah 5.0 – 6.0 yang mana fosfat dominan dalam bentuk H2PO4-, sedangkan pada pH tanah 7.2 fosfat dominan dalam bentuk HPO42-. Tanaman mengambil HPO42- lebih lambat daripada H2PO4- (Schachtman et al. 1998; Havlin et al. 1999). Ketika tanaman tercekam P area permukaan akar yang kontak dengan tanah mungkin juga ditingkatkan oleh tanaman dengan meningkatkan diameter akar (Ma et al. 2001) dan baik panjang maupun kerapatan rambut akar mungkin meningkat (Bates & Lycnh 2000). Beberapa tanaman mengembangkan bagian khusus atau akar-akar proteoid.
Ekskresi karboksilat oleh akar tanaman bertujuan melepaskan P dari
senyawa besi (Fe) dan aluminium (Al) tanah. Hal ini akan terlihat adanya peningkatan ekskresi dari akar pada tanaman yang tercekam P (Lambers & Poot 2002). Pada tanaman yang tidak diinokulasi mikoriza level kritis P tersedia di tanah adalah 190 mg sedangkan pada tanaman dengan mikoriza hanya 15 mg (Muchovej 2002).
Hal ini berhubungan dengan integritas membran sel tanaman dan fungsi
mikoriza membantu tanaman dalam pengambilan P dari larutan tanah.
Kemampuan
kolonisasi mikoriza dengan tanaman inang berkorelasi negatif dengan ketersediaan P
16 tanah, atau dengan kata lain
mikoriza lebih berkembang pada kondisi P tersedia
rendah, karena eksudat akar yang defisien P merangsang perkembangan mikoriza.
Peranan FMA terhadap Penyerapan Fosfor Infeksi sistem perakaran pada sebagian besar tanaman oleh FMA terjadi pada 83% dikotil dan 79% monokotil dengan membentuk asosiasi simbiotik antara tanaman dengan mikoriza (Swift 2004), dengan keuntungan tanaman dapat mengambil P lebih besar dari larutan tanah (Smith 2002; Smith et al. 2003). Swift (2004) menyatakan bahwa salah satu pengaruh infeksi oleh fungi mikoriza arbuskula
pada tanaman
inangnya adalah peningkatan penyerapan P yang disebabkan oleh kemampuan mikoriza menyerap P dari tanah dan mentransfernya ke akar tanaman inang. Ketika tanaman kekurangan mineral seperti P atau N, hubungan simbiotik ini akan menguntungkan dan mendorong pertumbuhan tanaman (Morgan et al. 2005). Di samping meningkatkan serapan P, kolonisasi akar tanaman oleh FMA meningkatkan serapan tanaman terhadap N dengan menyerap amonium dan nitrat dari tanah (George et al. 1995). Oleh karena itu inokulasi tanaman dengan FMA merupakan cara efisien untuk penambahan P melalui pemupukan (FAO 2005) dan dapat mengurangi biaya pemupukan fosfat pada budidaya tanaman perkebunan (Rahim 2002). Morfologi akar tanaman penting untuk memaksimalkan penyerapan P, sebab sistem perakaran dengan ratio area permukaan dan volume yang tinggi akan lebih efisien menjelajah volume tanah yang luas. Oleh karena itu mikoriza penting pada tanaman dalam penyerapan P, karena mikoriza ini meningkatkan kemampuan akar mengeksplorasi tanah lebih luas (Schachtman et al. 1998). Kebanyakan tanaman pertanian, rumput-tumputan, tanaman perkebunan, dan beberapa spesies tanaman hutan dapat berasosiasi dengan mikoriza dalam
17 meningkatkan pertumbuhan tanaman (Rahim 2002). Hifa dari fungi mikoriza dapat menyebar hingga lebih dari 25 cm dari akar, dengan demikian akan meningkatkan kemampuan eksplorasi tanah untuk mendapatkan hara. Oleh karena itu aliran P pada akar yang berkoloni dengan fungi mikoriza 3 – 5 kali lebih cepat dibandingkan dengan akar yang tidak berkoloni dengan mikoriza dengan laju 10-11 mol m-1.s-1 (Smith & Read 1997). Pengambilan P oleh mikoriza selanjutnya ditranslokasikan melalui hifa, arbuskula ke sel-sel akar tanaman. Fungi mikoriza arbuskula (FMA) dicirikan oleh formasi struktur (arbuskular) percabangan di dalam sel kortek akar (Gambar 2). Arbuskular dengan percabangan yang tinggi masuk ke dalam membran sel kortek akar tanaman inang, membentuk simbiotik dengan area permukaan yang sangat luas, yaitu membran peri-arbuskula (Smith et al. 2003). Fungi mikoriza arbuskula dan sel tanaman tetap dipisahkan oleh membran apoplastik dengan topologi mikoriza di bagian luar. Transfer P terjadi melewati ruang apoplastik sehingga melibatkan pembongkaran P di membran peri-arbuskular dan pemuatan ke dalam apoplas akar tanaman. Marchel (2004) menyatakan bahwa transfer fosfat terjadi pada struktur arbuskular dan gelembungan hifa.
Gambar 2 Struktur infeksi FMA pada sel-sel kortek akar (Diouf et al. 2003)
18 Dalam simbiosisnya dengan tanaman, mikoriza menerima karbohidrat dan faktor-faktor pertumbuhan dari tanaman inang sebagai sumber energi untuk pertumbuhan dan perkembangannya sedangkan tanaman dapat meningkatkan serapan hara P dan unsur hara lainnya oleh adanya koloni akar dengan mikoriza (Muchovej 2002). Tanaman mensuplai fotoasimilat ke sistem perakaran bermikoriza 4% – 20% (Douds et al.
2000).
Sel-sel kortek akar melepaskan karbohidrat ke permukaan
simbiosis tanaman-mikoriza oleh aliran pasif yang distimulasi oleh adanya mikoriza (Bago et al. 2000). Potensi mikoriza dalam membantu tanaman menyerap P bergantung pada kondisi P tanah.
Swift (2004) menyatakan bahwa keuntungan yang tinggi dari
simbiosis mikoriza dengan tanaman diperoleh pada tanah yang defisien P dan rendah pada tanah yang ketersediaan P-nya tinggi. Lebih lanjut dijelaskan bahwa apabila level P tanah lebih dari 140 mg/kg (140 ppm), maka infeksi mikoriza akan menurun, sedangkan apabila level P tanah 50 mg/kg (50 ppm) maka diperoleh perkembangan mikoriza yang tinggi. Rahim (2002) menyatakan bahwa keefektifan mikoriza berbeda untuk setiap tanaman dan kondisi lingkungannya. Hasil penelitian inokulasi FMA menunjukkan bahwa pada bibit kakao yang diinokulasi fungi mikoriza arbuskula (FMA) meningkatkan katahanan bibit terhadap cekaman kekeringan (Yahya et al. 2000). Di samping itu dengan inokulasi mikoriza dapat berfungsi meningkatkan ketahanan tanaman terhadap patogen (John 1996), sebagai bioremediasi tanah yang tercemar logam berat (Suhendrayatna 2001; Liao et al. 2003), meningkatkan toleransi tanaman terhadap salinitas (Weissenhorn 2002; Yano-Melo et al. 2003), meningkatkan penyerapan unsur hara terutama P dan unsur lainnya K, Ca, Mg dan Zn (Smith 2002; Quilambo 2003; Swift 2004; Suh 2005).
19 Inokulasi mikoriza pada pembibitan tanaman sangat berarti ketika dipindahkan ke lapang karena dengan adanya simbiosis, tanaman lebih tahan menghadapi kondisi lingkungan tumbuh yang kurang menguntungkan (John 1996). Penggunaan mikoriza dalam skala yang luas seringkali dibatasi oleh adanya hambatan dalam memproduksi inokulan FMA. Media perbanyakan FMA yang banyak digunakan adalah zeolith, tetapi sulit didapat dan harganya relatif mahal. Media campuran tanah Ultisol dan pasir bangunan (1:1) menunjukkan produksi jumlah spora dan derajat infeksi akar yang lebih tinggi dibandingkan dengan media zeolit (Anas & Tampubolon 2004). Keefektifan inokulum bergantung pada jenis tanaman dan kondisi tanah. Namun demikian pH tanah merupakan faktor pembatas utama sedangkan struktur tanah dan bahan organik mungkin juga mempengaruhi kesesuaian tanah untuk mikoriza. Glomus intraradices spesies yang banyak dijumpai, sesuai pada pH tanah 6 – 9, sedangkan G. etunicatum banyak dijumpai dan sesuai pada pH masam (John 2000). Inokulasi lebih dari satu jenis mikoriza meningkatkan penyerapan P lebih tinggi dibandingkan dengan inokulasi tunggal (John 2000; Jansa et al. 2004). Di samping itu kolonisasi mikoriza juga dipengaruhi oleh level CO2, intensitas cahaya, lamanya cahaya, dan kualitas cahaya (Singh 2005).
Fosfat Alam Ayamaru Papua Salah satu usaha untuk meningkatkan ketersediaan P tanah adalah dengan penambahan melalui pemupukan.
Pupuk sebagai sumber P yang biasa digunakan
adalah amonium polifosfat (NH4H2PO4 + (NH4)3HP2O7), fosfat diamonium ((NH4)2HPO4), fosfat monoamonium (NH4H2PO4), triple fosfat (Ca(H2PO4)2, regular superfosfat (Ca(H2PO4)2+CaSO4, dan batuan fosfat (3Ca(PO4)2.CaF2) (Roper et al.
20 2004). Kimiti dan Smithson (2002) menyatakan bahwa pada beberapa tahun terakhir penggunaan batuan fosfat sebagai sumber P secara langsung telah banyak dilakukan. Di Indonesia endapan fosfat alam ditemukan tersebar di beberapa lokasi. Lokasi endapan fosfat alam sebagian besar terdapat di Pulau Jawa dan Madura, dan lainnya terdapat di Kalimantan, Sulawesi dan Papua. Total endapan di Jawa dan Madura diperkirakan 9.5 – 20 juta ton (Bisri & Permana 1991). Endapan fosfat alam di Papua terdapat di Distrik Ayamaru, Kabupaten Sorong Selatan pada ketinggian 300 – 400 m di atas permukaan laut, yang dipetakan meliputi luasan kurang lebih 100 000 ha (Reynders & Schultz 1958). Diketahuinya tanah Ayamaru berkadar fosfat tinggi adalah berdasarkan hasil analisis fosfat dari contoh tanah oleh Schroo & Mouthaan (1960). Hasil analisis contoh dengan ekstraksi asam Fleischmann (50% H2SO4 + 50% HNO3) mendapatkan nilai 1% sampai 12% P2O5.
Berbeda dengan endapan fosfat alam di lokasi lain yang
berupa batuan, endapan fosfat yang terdapat di daerah Ayamaru berupa tanah. Hasil penelitian selanjutnya (Schroo 1963) menunjukkan bahwa mineral fosfat Ayamaru adalah mineral krandalit (CaAl3(PO4)2(OH)5.H2O) dengan ikatan P-nya disebut Pkrandalit. Di Indonesia jenis endapan fosfat alam ini diketahui hanya terdapat di Distrik Ayamaru, Irian Jaya Barat (Gambar 3). Berdasarkan analisis P tersedia dengan metode Truog pada 65 contoh tanah Ayamaru yang dilakukan oleh Schroo (1963) menunjukkan kadar P yang cukup tinggi berkisar 50 – 1000 ppm P2O5.
Lebih lanjut dilakukan analisis lengkap dengan
menggunakan tiga metode, yaitu metode Fusi dengan NaCO3, ekstrak campuran asam nitrit dan asam klorida, serta ekstrak Fleischman sebagai metode baku. Dari ketiga metode ini dihasilkan nilai nisbi sama, yaitu 18.5 ± 0.2% P2O5. Kadar fraksi dari hasil
21 analisis adalah pasir, debu, gabungan debu dan liat, berturut-turut mengandung P2O5 sebesar 5.67%, 18.6% dan 18.55%. Schroo & Mouthaan (1960) telah melakukan percobaan pot untuk mendapatkan keterangan apakah tanah fosfat alam Ayamaru dapat digunakan sebagai pupuk sumber P.
Percobaan menggunakan tanaman jagung dan padi sebagai tanaman indikator.
Tanah sebagai media tumbuh berasal dari Distrik Mindiptana, Merauke yang miskin P dan masam.
Dari percobaan ini diperoleh kesimpulan bahwa pemberian 25 g fosfat
alam Ayamaru mempunyai pengaruh yang sama dengan 100 mg P2O5 monokalsium fosfat untuk tanaman padi. Percobaan dengan menggunakan tanaman indikator jagung disimpulkan bahwa pemberian 50 g tanah Ayamaru mempunyai pengaruh yang sama dengan pemberian 100 mg P2O5 monokalsium fosfat. Hal ini menunjukkan bahwa tanah Ayamaru dapat menyediakan P2O5 sebanyak 0.2% – 0.4 % untuk tanaman (Schroo 1963). Lokasi deposit Fosfat Alam Ayamaru
Gambar 3 Lokasi deposit fosfat alam Ayamaru Papua.
22 Penggunaan fosfat alam sebagai pupuk langsung merupakan alternatif yang ekonomis dibandingkan dengan pupuk industri. Hasil penelitian Musaad et al. (1996) menunjukkan bahwa fosfat alam Ayamaru (krandalit) yang dipanaskan atau melalui proses termal (500 – 700oC)
terjadi perubahan sifat fisik maupun kimia yang lebih
baik, yaitu terjadi kenaikan pH, P-larut air, P-larut sitrat 2%, dan P-potensial.
Pada
pemanasan hingga temperatur 700oC, peningkatan P-larut air dan P potensial berturutturut mencapai 320.64% dan 27.38%.
Perlakuan kalsinasi terhadap beberapa fosfat
alam krandalit dari Brasil menunjukkan dengan pemanasan 700oC kelarutan fosfat alam Tapira dalam Neutral Ammonium Citrate Extraction (NAC) meningkat 84%, fosfat alam Joquiá pada 500o C meningkat 60%, dan fosfat alam Catalão pada 700oC meningkat
44% (Francisco et al. 2007). Amat (1991) dari hasil penelitiannya
menyimpulkan
bahwa secara teknis tanah endapan fosfat alam Ayamaru dapat
digunakan sebagai sumber pupuk P. Kelarutannya dapat ditingkatkan dengan penambahan bahan organik (pupuk kandang sapi dan ayam) dari 0.2% menjadi 0.55%. Hasil penelitian Akande et al. (2005) menunjukkan bahwa penambahan pupuk kandang ternak ayam pada pupuk P dari batuan fosfat dapat meningkatkan kelarutan P
2 -3
kali lebih besar daripada kontrol. Namun demikian oleh karena pelepasan P lambat, maka direkomendasikan
bahwa pelepasan P dari
fosfat alam mungkin dapat
ditingkatkan dengan inokulasi mikroorganisme pelarut fosfat (Rumawas 1990). Secara kuantitatif apabila potensi fosfat alam Ayamaru yang dapat dieksploitasi diasumsikan 50% dari luasan 100 000 ha dan kedalaman 50 cm, maka akan diperoleh pupuk fosfat alam sebanyak 200 juta ton. Untuk dosis fosfat alam 400 g/tanaman maka dengan jumlah deposit yang ada dapat digunakan untuk 400 juta ha.
23
Bakteri Pelarut Fosfat Kemampuan mikroba melarutkan mineral fosfat yang sulit larut dalam tanah adalah proses yang sangat penting
dalam ekosistem alami dan pada tanah-tanah
pertanian. Di dalam tanah terdapat banyak fosfat, tetapi ketersediaannya bagi tanaman sangat rendah dan sering menjadi faktor pembatas terhadap pertumbuhan dan produksi tanaman (Wissuwa 2003). Oleh karena itu pada aplikasi pemupukan mineral dengan inokulasi mikroba pelarut fosfat dapat meningkatkan ketersediaan P pada tanah (Mikonová & Nováková 2002). Raja et al. (2002) menyatakan bahwa mikroorganisme dan fungi mikoriza memainkan peranan penting dalam metabolisme dan produktivitas tanaman. Beberapa bakteri tanah terutama yang termasuk dalam genus Rhizobium (Suh 2005), Pseudomonas, Bacillus, Mycobacterium, Micrococcus, Flavobacterium, Bacterium, Citrobacter, Enterobacter (Rao 1994; Siripin 2002), mempunyai kemampuan mengubah kelarutan fosfat dalam tanah ke dalam bentuk terlarut dengan sekresi asam organik seperti sitrat, glutamat, laktat, oksalat, glioksilat, tartarat, ketobutirat, malat, fumarat, asetat, propionat, dan suksinat. Asam-asam ini membuat terputusnya bentuk-bentuk ikatan fosfat dengan mengkomplek Al dan Fe. Pada tanahtanah tropis umumnya ketersediaan P untuk pertumbuhan tanaman rendah. Oleh karena itu bakteri pelarut fosfat sangat penting membantu menyediakan fosfat untuk pertumbuhan dan perkembangan tanaman. Fosfat relatif tidak mudah tercuci tetapi oleh karena pengaruh lingkungan, maka statusnya dapat berubah dari P yang tersedia menjadi P yang tidak tersedia bagi tanaman karena terikat dalam bentuk Ca-P, Mg-P, Fe-P, Al-P, atau P-Occluded (Rao 1982).
Pada tanah alkalin meningkatnya sekresi asam-asam organik oleh bakteri
24 biasanya diikuti dengan penurunan pH tanah yang cepat sehingga menyebabkan pelarutan Ca-P. Pada tanah masam, pelarutan AlPO4 melalui sekresi proton bersamaan dengan asimilasi NH4+ tanpa menghasilkan asam organik (Illmer et al. 1995). Menurut Rao (1982) proses kelarutan fosfat yang sukar larut diawali dengan dihasilkannya asam-asam organik oleh mikroorganisme. Asam-asam organik yang disekresikan oleh mikroroganisme dapat melarutkan P.
Kecepatan pelepasan P dari
bentuk yang tidak tersedia menjadi bentuk yang tersedia dapat disebabkan oleh adanya pelepasan gas H2, CO2, H2S, dan CH2 sebagai akibat berlangsungnya proses reduksi dan dekomposisi bahan organik (Sabiham et al. 1983). Reaksi yang terjadi adalah : 1. Pembebasan P akibat produksi H2 (reduksi) : FePO4
Fe3+ + PO43-
H2
2 H+ + e-
Fe3+ + e-
Fe2+
FePO4 + H2
Fe2+ + H2PO4-
+
2. Pembebasan P akibat produksi CO2 (oksidatif) : CO2 + H2O
HCO3- + H+
Ca3(PO4)2 + 6HCO3-
3Ca (HCO3)2 + 2 PO43-
Kemampuan asam-asam organik meningkatkan ketersediaan P melalui mekanisme, yaitu anion organik bersaing dengan ortofosfat untuk menempati bidang jerapan koloid yang bermuatan positif, modifikasi muatan pada permukaan jerapan oleh molekul organik (Nagarajah et al. 1970), dan pelepasan ortofosfat dari ikatan logam-P dengan pembentukan kompleks logam-organik (Earl et al. 1979).
25 Reaksi pelarutan P akibat adanya gugus karboksil dapat ditunjukkan sebagai berikut : 1. M
OH OOH + R–C=O H2PO4
2.
M
OH O H2PO4 + 3 R – C =O H2PO4 kompleks-M
+ H2PO4-
R–C–O
-
M
OH OH O R-C=O
O O M–O-C– R O
+
H2PO4-
R–C-O
asam organik
kompleks- asam organik
ortofosfat
M= Al3+ atau Fe3+
P organik dapat dimineralisasi atau dimobilisasi (Brady 1990) : immobilisasi P-organik
H2PO4
-
Fe3+, Al3+, Ca2+
Fe-P, Al-P, Ca-P mineralisasi
Hasil penelitian Noor (2003) menunjukkan bahwa bakteri pelarut fosfat Pseudomonas fluorescens pada 6 minggu setelah penanaman kedelai dapat meningkatkan P tersedia tanah pada semua tingkat dosis fosfat alam Tunisia dengan rata-rata 7.68 ppm berbeda nyata dengan kontrol 6.07 ppm. Gofar (2004) menunjukkan bahwa inokulasi bakteri pelarut fosfat meningkatkan P tersedia pada padi gogo yang ditanam pada tanah Ultisol.
Inokulasi dengan bakteri Micrococcus
sp. dapat
meningkatkan P tersedia 24.79 ppm berbeda nyata dengan tanpa inokulasi bakteri, yaitu 20.47 ppm. Hasil penelitian Karti (2003) menunjukkan bahwa isolat bakteri pelarut fosfat RJM.30.2, FT.3.2, FT.3.3, B8016495, B80166498, dan campuran kelima isolat tersebut dapat meningkatkan serapan P pada S. splendida (mg/pot) masing-masing
26 0.197, 0.201, 0.369, 0.188, 0.221, dan 0.240 berbeda nyata dengan kontrol 0.160. Isolat FT.3.3 efektif meningkatkan serapan P pada S. splendida sedangkan pada C. gayana peningkatan serapan P terbaik dihasilkan oleh isolat RJM.30.2 dan FT.3.2.
Peranan Asam Humat Bahan organik yang terdapat di dalam tanah berasal dari sisa-sisa tanaman dan hewan.
Bahan ini terdiri atas serasah, fraksi bahan organik ringan, biomassa
mikroorganisme, bahan humat (asam humat, asam fulvat, dan humin), dan senyawa non-humat (asam amino, karbohidrat, lemak, lilin, resin). Bahan humat tanah dikelompokkan berdasarkan sifat kelarutannya
menjadi
empat
kelompok, yaitu
humin, asam fulvat, himatomelanik, dan asam humat. Humin adalah fraksi humat tanah yang tidak larut baik dalam alkali maupun asam. Asam fulvat adalah fraksi humat yang larut baik dalam asam maupun alkali. Himatomelanik adalah bagian asam humat yang larut dalam alkohol. Asam humat adalah fraksi humat tanah yang larut dalam keadaan alkalin tetapi tidak larut dalam asam (Stevenson 1994).
Asam humat dapat dibagi menjadi
dua
kelompok
berdasarkan kelarutannya dengan elektrolit pada keadaan alkalin, yaitu (1) asam humat coklat, yaitu tidak menggumpal
dan (2) asam humat abu-abu, yaitu mudah
menggumpal dalam larutan elektrolit. Stevenson (1994) menyatakan bahwa bahan humat menempati 70-80% dari bahan organik pada tanah mineral dan terbentuk dari hasil pelapukan tanaman dan hewan. Bahan humat ini terdapat dalam bentuk komplek, heterogen, dan mempunyai struktur tiga dimensi (Haynes & Mokolobate 2001). Sisanya 20-30% dari bahan organik mengandung bahan-bahan seperti protein, polisakarida, asam lemak, dan alkana.
Bahan humat ini mempunyai kemampuan berinteraksi dengan ion logam,
27 oksida, hidroksida, mineral, dan organik termasuk yang beracun untuk membentuk komplek yang larut air maupun yang tidak larut dalam air. Interaksi tersebut berupa interaksi pertukaran ion, jerapan permukaan, atau pengkelatan. Asam humat hasil dekomposisi bahan organik berperan dalam meningkatkan ketersediaan P tanah (Tisdale et al. 1990) melalui (1) pembentukan senyawa komplek fosfohumat yang lebih mudah diserap tanaman, (2) pertukaran anion fosfat oleh anion organik, (3) terbungkusnya sesquioksida
oleh humus, sehingga mengurangi
kemampuan logam memfiksasi fosfat. Di samping itu bahan organik juga berpengaruh terhadap sifat fisik tanah seperti kapasitas menahan air, suhu dan sifat kimia seperti kapasitas tukar kation dan pH.
Suatu model yang menunjukkan proses-proses yang
dapat menginduksi penurunan pengikatan P dan meningkatkan ketersediaan P apabila residu bahan organik ditambahkan ke dalam tanah (Gambar 4). Dekomposisi residu organik
Meningkatkan pH tanah
Peningkatan muatan negatif pada permukaan jerapan P
Pelepasan bahan humat dapat terlarut
Pelepasan asam organik alipatik dapat larut
Pelepasan P dari residu organik
Pengikatan khusus oleh bahan humik
Pengikatan khusus oleh asam-asam organik
Pengikatan khusus oleh turunan residu
Reduksi jerapan P oleh koloid tanah
Gambar 4
Model proses-proses utama yang menunjukkan reduksi jerapan P dan peningkatan ketersediaan P oleh aplikasi residu organik ke tanah (Haynes & Mokolobate 2001).
28 Zimmer (2004) dan Mayhew (2004) menyatakan fungsi penting senyawa humat dalam sistem pertanian, yaitu merangsang pertumbuhan akar, aktivitas kehidupan biologi tanah (terutama populasi FMA), mengkelat mineral, memperbaiki serapan hara terutama P, N dan S, menurunkan kebutuhan pemupukan N, melarutkan mineral, memperbaiki struktur tanah, meningkatkan kapasitas air tanah. Hal ini dapat terjadi karena senyawa humat merupakan senyawa yang sangat aktif dalam tanah, dengan kapasitas tukar kation dan anion yang besar (Tan 2003). Senyawa humat juga mempunyai kemampuan melarutkan dan mengkomplek mineral dari batuan fosfat. Pelarutan mineral dari batuan fosfat oleh aktivitas biologi akan lebih ditingkatkan dengan adanya senyawa humat (Mayhew 2004). Senyawa humat dapat meningkatkan keefektifan batuan fosfat karena pelarutan anion PO43- dan kation Ca2+ dari mineral batuan yang sukar larut, karena total pengasaman yang tinggi dan kemampuannya mengkomplek dan mengkelat larutan yang dihasilkan dan menstimulir metabolisme mikrobia tanah. Senyawa humat juga mengkelat Fe, Zn, Al, dan Cu dan mengkomplek elemen lainnya. Reaksi antara humat, bahan logam dan mineral dapat terjadi melalui mekanisme reaksi pembentukan komplek logam sederhana yang mudah larut air. Reaksi dalam air antara ion logam di- dan trivalen dengan asam humat terjadi melalui beberapa reaksi, yaitu (1) satu gugus COOH bereaksi dengan satu ion logam membentuk garam organik, (2) satu gugus COOH dan satu gugus -OH terdekat bereaksi
dengan ion logam
membentuk komplek atau kelat bidentat, (3) dua gugus COOH terdekat bereaksi dengan ion logam membentuk kelat bidentat, (4) ion logam Mn+ terkait dengan asam fulvat melalui molekul air ikatan H ke gugus C=O (Schnitzer 1997). Hasil analisis
29 perbandingan komposisi asam humat dan asam fulvat yang telah dilakukan disajikan pada Tabel 1. Tabel 1 Karakteristik hasil analisis kandungan unsur dari asam humat dan asam fulvat (Schnitzer 1997) Unsur C H N S O Gugus fungsional Kemasaman total COOH OH-fenolik OH-alkoholik C=O kuinonoid + C=O ketonik OCH3 E4/E6
Asam humat
Asam fulvat
---------- % -------56,2 45,7 4,7 5,4 3,2 2,1 0,8 1,9 35,5 44,8 --------c mol kg-1 -----670,0 1130,0 360,0 820,0 310,0 310,0 260,0 500,0 290,0 270,0 60,0 80,0 4,8 9,6
III TANGGAP BIBIT KAKAO YANG DIINOKULASI FMA PADA BERBAGAI DOSIS FOSFAT ALAM AYAMARU
ABSTRAK Fosfor merupakan salah satu hara esensial tanaman. Oleh karena itu untuk mendapatkan pertumbuhan yang baik diperlukan pemupukan P atau juga inokulasi fungi mikoriza arbuskula (FMA). Inokulasi FMA diharapkan dapat meningkatkan efisiensi pupuk P dan meningkatkan serapan P tajuk. Penelitian ini bertujuan untuk mendapatkan inokulum FMA yang efektif meningkatkan daya guna fosfat alam Ayamaru (FA) pada bibit kakao. Penelitian dilaksanakan di Kebun Percobaan Cikabayan IPB, Laboratorium Bioteknologi Hutan, Lab. Kimia dan Kesuburan Tanah, dan Lab. Fisiologi Tanaman IPB. Penelitian dilaksanakan dalam rancangan acak lengkap dua faktor. Faktor pertama adalah lima taraf dosis FA, yakni 0, 0.5, 1.0, 1.5, 2.0 g P2O5/bibit, dan 2.0 g P2O5 /bibit SP36, sebagai pembanding. Faktor kedua adalah inokulum FMA yang terdiri atas tanpa inokulasi FMA, FMA indigenous Manokwari, dan FMA Mycofer. Benih kakao yang digunakan adalah UAH F1 dari Pusat Penelitian Kopi dan Kakao Jember Jawa Timur. Pembibitan dilakukan dalam polibag 20 cm x 30 cm dengan media tanah masam Ultisol, Jasinga dan ditempatkan dalam jaring naungan 60% selama empat bulan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pemberian FMA terbukti meningkatkan keefektifan fosfat alam Ayamaru. Pada bibit kakao yang diinokulasi FMA Mycofer, peningkatan dosis FA secara linier meningkatkan bobot kering tajuk sebesar 50.14% dan serapan P tajuk 64.88%, sedangkan dengan FMA indigenous Manokwari meningkat sebesar 66.30% dan serapan P tajuk 65.45%, sedangkan bibit tanpa FMA meningkat 73.56% dan serapan P sebesar 121.94%. Pada dosis FA 2.0 g P2O5, apabila dibandingkan dengan bibit tanpa FMA, inokulasi FMA Mycofer lebih efektif meningkatkan bobot kering tajuk (127.55%) daripada FMA indigenous Manokwari (95.97%), sedangkan serapan P tajuk meningkat 45.16% dan 21.29%. FMA Mycofer terdiri atas Gigaspora margarita (INVAM-105), G. manihotis (INDO-1), G. etunicatum (NPI-126), dan A. tuberculata (INDO-2), sedangkan hasil identifikasi morfologi spora FMA indigenous Manokwari terdiri atas Acaulospora tuberculata Janos & Trappe, A. scrobiculata Trappe, dan G. aggregatum Schenck & Smith. ABSTRACT Phosphorus is one of essential elements for plant nutrition. Therefore, to obtain good growth, it is necessary to apply P fertilizer or arbuscular mycorrhizal fungi (AMF) inoculation. Through AMF inoculation, it is expected being able to encourage the efficiency of P fertilization and the shoot P uptake. The aim of the study was to find the effectiveness AMF inoculants for improving the beneficial use of Ayamaru
31 phosphate rock (APR) for cacao seedlings. The study was conducted at the Experimental Farm of IPB, Cikabayan, Bogor, Forest Biotechnology Laboratory, Soil Chemistry and Fertility Laboratory and Plant Physiology Laboratory of IPB, Bogor. The two factor-factorial experiment was set up in a Completely Randomized Design. The first factor was five levels of APR dosage: 0, 0.5, 1.0, 1.5, 2.0 g P2O5/seedling, and 2.0 g P2O5 SP36/seedling used as comparison; the second factor was AMF inoculants, consisting of without AM fungi, Manokwari indigenous AMF and Mycofer. F1 UAH cacao seeds from Coffee and Cacao Research Center, Jember, East Java was used and the seedlings were grown on Ultisol, acid soil from Jasinga in 20 cm x 30 cm sized polybag. The seedlings were grown under 60% of shading net for the period of four months. In this study, AMF inoculation, proved being able to improve the beneficial use of APR application on increasing the growth of cacao seedlings. When the seedlings were inoculated with AMF, the increase of APR dosage resulted in linear increasing of shoot dry-weight as much as 50.14% and of P uptake 64.88%, while inoculation of Manokwari indigenous AMF could increasing the shoot dry-weight as much as 66.30% and P uptake 65.45%, and on the non-mycorrhizal seedling the shoot dry-weight was increased as much as 73.56% and P uptake 121.94%. On the APR dosage of 2.0 g P2O5/seedling as comparing to the non-inoculated seedling, inoculation AMF using Mycofer inoculants was found much more effective to increase the shoot dry-weight (127.55%) than using Manokwari indigenous AMF (95.97%), while P uptake increased 45.16% and 21.29%, respectively. Mycofer inoculants contained Gigaspora margarita, (INVAM-105) G. manihotis (INDO-1), G. etunicatum (NPI-126), dan A. tuberculata (INDO-2), while identification based on spore morphology found that Manokwari indigenous AMF were consisted of Acaulospora tuberculata Janos & Trappe., A. scrobiculata Trappe, and G. aggregatum Schenk & Smith.
Pendahuluan Salah satu usaha untuk meningkatkan ketersediaan P tanah adalah dengan penambahan melalui pemupukan.
Pupuk P yang biasa digunakan adalah amonium
polifosfat (NH4H2PO4 + (NH4)3HP2O7), fosfat diamonium ((NH4)2HPO4), monoamonium
(NH4H2PO4),
triple
fosfat
(Ca(H2PO4)2,
regular
fosfat
superfosfat
(Ca(H2PO4)2+CaSO4, dan batuan fosfat (3Ca(PO4)2.CaF2) (Roper et al. 2004).
Kimiti
dan Smithson (2002) menyatakan bahwa penggunaan batuan fosfat secara langsung sebagai sumber P telah banyak dilakukan. Penggunaan fosfat alam sebagai pupuk langsung merupakan alternatif yang ekonomis dibandingkan dengan pupuk industri.
32 Fosfat alam Ayamaru merupakan sumber fosfat alam yang terdapat di Distrik Ayamaru Papua dengan kadar P2O5 total 21%. Mineral fosfat alam Ayamaru adalah mineral krandalit (CaAl3(PO4)2(OH)5.H2O) dengan ikatan P-nya disebut P-krandalit (Schroo 1963). Di Indonesia endapan fosfat alam jenis ini diketahui hanya terdapat di Ayamaru Irian Jaya Barat Asosiasi simbiotik antara tanaman dan Fungi Mikoriza Arbuskula (FMA) bersifat mutualistik yang meliputi 83% dikotil dan 79% monokotil (Swift 2004). Dalam simbiosisnya mikoriza dan tanaman, mikoriza menerima karbohidrat dan faktorfaktor pertumbuhan dari tanaman inang sebagai sumber energi untuk pertumbuhan dan perkembangannya, sedangkan tanaman dapat meningkatkan serapan hara P dan unsur hara lainnya oleh adanya koloni akar dengan mikoriza (Muchovej 2002).
Tanaman
mensuplai fotoasimilat ke sistem perakaran bermikoriza 4% – 20% (Douds et al. 2000; Sylvia 2005).
Sel-sel kortek akar melepaskan karbohidrat ke permukaan
simbiosis tanaman-mikoriza oleh aliran pasif yang distimulasi oleh adanya mikoriza (Bago et al. 2000). Menurut Sieverding (1991) FMA yang menginfeksi akar tanaman inang akan memproduksi jalinan hifa secara intensif sehingga tanaman bermikoriza mampu meningkatkan kapasitasnya dalam mendapatkan unsur hara dan air.
Swift
(2004) menyatakan bahwa satu dari beberapa pengaruh signifikan infeksi oleh fungi mikoriza arbuskula pada tanaman inangnya adalah peningkatan penyerapan P yang terutama disebabkan oleh kemampuan mikoriza menyerap P dari tanah dan mentransfernya ke akar tanaman inang. Ketika tanaman kekurangan mineral seperti P atau N, hubungan simbiotik ini akan menguntungkan dan mendorong pertumbuhan tanaman (Morgan et al. 2005).
33 Potensi mikoriza dalam membantu tanaman menyerap P bergantung pada kondisi P tanah.
Swift
(2004) menyatakan bahwa keuntungan yang tinggi dari
simbiosis mikoriza dengan tanaman diperoleh pada tanah yang defisien P dan turun pada tanah yang ketersediaan P-nya tinggi. Lebih lanjut dijelaskan bahwa apabila level P tanah lebih dari 140 mg.kg-1 (140 ppm), maka infeksi mikoriza akan menurun, sedangkan apabila level P tanah 50 mg.kg-1 (50 ppm), maka diperoleh perkembangan mikoriza yang tinggi. Di samping meningkatkan serapan P, kolonisasi akar tanaman oleh FMA meningkatkan serapan tanaman terhadap N dengan menyerap amonium dan nitrat dari tanah (George et al. 1995). Oleh karena itu inokulasi tanaman dengan FMA merupakan cara efisien untuk penambahan P yang didasarkan pada pemupukan anorganik (FAO 2005) dan efektif dalam mengatasi biaya pemupukan fosfat pada industri perkebunan (Rahim 2002). Untuk itu penelitian ini bertujuan untuk mendapatkan inokulum FMA yang efektif meningkatkan daya guna fosfat alam Ayamaru (FA) pada bibit kakao.
Bahan dan Metode Tempat dan Waktu Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Oktober 2006 sampai bulan Januari 2007 di Kebun Percobaan Cikabayan, Institut Pertanian Bogor. Analisis spora dan infeksi FMA dilaksanakan di Laboratorium Biotek Hutan dan Lingkungan, Pusat Penelitian Sumber Daya Hayati dan Bioteknologi IPB, Bogor, dan Laboratorium Biologi Pusat Penelitian Biologi LIPI. Analisis fosfatase asam dilakukan di Laboratorium Fisiologi Tanaman Faperta, Institut Pertanian Bogor, sedangkan analisis tanah dan serapan hara dilakukan di Laboratorium Kimia dan Kesuburan Tanah, Departemen Ilmu Tanah dan
34 Sumber Daya Lahan, Institut Pertanian Bogor dan Pusat Penelitian Tanah dan Agroklimat, Bogor. Bahan dan Alat yang Digunakan Benih kakao yang digunakan adalah jenis Upper Amazon Hybrid
F1 yang
diperoleh dari Pusat Penelitian Kopi dan Kakao Jember, Jawa Timur. Fosfat alam diambil dari Distrik Ayamaru Papua, sedangkan pupuk dasar yang digunakan adalah Urea, dan KCl. Bahan lain yang digunakan meliputi polibag dan jaring naungan (paranet) 60%. Inokulum FMA yang digunakan terdiri atas inokulum indigenous Manokwari dan inokulum Mycofer. Inokulum indigenous Manokwari diperoleh dari hasil trapping tanah perakaran (rhizosfer) kakao kebun koleksi kakao UNIPA Manokwari. Inokulum FMA Mycofer terdiri atas G. manihotis (INDO-1), Gigaspora margarita (INVAM105), G. etunicatum (NPI-126), dan A. tuberculata (INDO-2)
diperoleh dari
Laboratorium Biotek Hutan dan Lingkungan, Pusat Penelitian Sumber Daya Hayati dan Bioteknologi IPB, Bogor. Media tanam yang digunakan adalah tanah Ultisol dari Jasinga, Bogor tanpa perlakuan sterilisasi (Lampiran 7). Peralatan yang digunakan meliputi pengayak tanah, timbangan, meteran, oven, timbangan analitik, dan peralatan untuk pengamatan spora dan infeksi akar. Metode Penelitian Penelitian dilaksanakan dalam percobaan faktorial dua faktor menggunakan rancangan acak lengkap (RAL) tiga ulangan.
dengan
35 Faktor pertama adalah perlakuan taraf pemupukan P, yaitu : Po : 0, tanpa pemupukan P1 : 2.0 g P2O5 (7.56 g SP36/bibit, kadar P2O5 : 26.46%) P2 : 0.5 g P2O5 (2.38 g fosfat alam/bibit) P3 : 1.0 g P2O5 (4.76 g fosfat alam/bibit) P4 : 1.5 g P2O5 (7.14 g fosfat alam/bibit) P5 : 2.0 g P2O5 (9.52 g fosfat alam/bibit) Faktor ke dua adalah inokulasi FMA, yaitu : M0 : tanpa inokulasi FMA M1 : Inokulum FMA indigenous Manokwari M2 : Inokulum FMA Mycofer Setiap kombinasi perlakuan diulang tiga kali sehingga diperoleh 6 x 3 x 3 = 54 satuan percobaan dengan setiap satuan percobaan digunakan tiga tanaman (pot). Model linier rancangan yang digunakan adalah :
Yijk = µ + αi +βj + (αβ)ij + εijk , di mana : Yijk
: hasil pengamatan dari perlakuan dosis fosfat alam Ayamaru ke-i dan jenis mikoriza ke-j pada ulangan ke-k
µ
: nilai rataan umum
αi
: pengaruh perlakuan dosis fosfat alam Ayamaru ke-i
βj
: pengaruh jenis mikoriza ke-j
(αβ)ij
: pengaruh interaksi antara dosis fosfat alam Ayamaru ke-i dan jenis mikoriza ke-i
εijk
: pengaruh galat percobaan dari perlakuan dosis fosfat alam Ayamaru ke-i dan jenis mikoriza ke-j pada ulangan ke-k
i
: 0,1,2,3,4,5
j
: 0,1,2,
k
: 1,2,3
36 Pelaksanaan Percobaan Persiapan inokulum FMA.
Trapping dan identifikasi dilakukan terhadap
jenis-jenis FMA indigenous Manokwari yang diperoleh dari rhizosfer kakao dari Manokwari.
Selanjutnya
inokulum FMA indigenous Manokwari dan Mycofer
dikulturkan/diperbanyak dengan menggunakan tanaman sorghum dengan media zeolit. Spora inokulum hasil perbanyakan terlebih dahulu diamati kerapatannya dengan teknik penyaringan basah dan selanjutnya dilakukan pengujian Most Probable Number (Norris et al. 1992). Persiapan media pembibitan. Tanah dari lapangan dibersihkan dari sisa-sisa akar tanaman dan kotoran kemudian dikeringanginkan. Selanjutnya tanah yang telah kering angin diayak dengan ukuran lobang 5 mm x 5 mm dan ditimbang sebanyak 3 kg/polibag sebanyak satuan percobaan yang diperlukan. Polibag yang digunakan berukuran 20 cm x 30 cm dengan tebal 0.8 mm dan 18 lobang drainase. Perlakuan pemupukan fosfat alam Ayamaru dan pupuk dasar dicampur merata dengan media tanam satu minggu sebelum penanaman. Dosis pupuk dasar yang digunakan adalah 2 gram Urea dan 2 gram KCl per bibit. Selama masa inkubasi dilakukan penyiraman untuk menjaga kelembaban tanah. Pengecambahan benih kakao. Benih kakao Upper Amazone Hybrid (UAH) F1 sebagai tanaman uji dipilih dari biji yang penampakan dan besarnya seragam. Benih dikecambahkan pada nampan pengecambahan yang diisi dengan media zeolit steril. Media pengecambahan yang digunakan distrerilkan dengan autoklaf pada 121oC selama 15 menit. Pengecambahan dilakukan hingga umur tujuh hari setelah pesemaian. Penanaman, inokulasi FMA, dan pemeliharan.
Sebanyak satu kecambah
kakao yang telah berumur tujuh hari selanjutnya dipindahtanamkan ke dalam polibag
37 yang telah disiapkan. Pada saat tanam dilakukan inokulasi FMA masing-masing inokulum 20 g tanaman pada lobang tanam. Pemeliharaan dilakukan dengan penyiraman setiap pagi sesuai dengan kapasitas lapang dan pengendalian hama penyakit tanaman. Peubah yang Diamati Pengamatan tanggap bibit kakao terhadap tingkat dosis fosfat alam Ayamaru dan FMA dilakukan terhadap peubah : 1. Tinggi tanaman (cm), diukur dari pangkal batang hingga titik tumbuh. Pengukuran ini dilakukan pada umur 2, 4, 6, 8, 10, 12, 14,16 MST (minggu setelah tanam) 2. Diameter batang (mm), diukur pada 1 cm di atas pangkal batang. Pengukuran menggunakan kaliper dan dilakukan pada umur 2, 4, 6, 8, 10, 12, 14,16 MST (minggu setelah tanam). 3. Jumlah daun pada umur 2, 4, 6, 8, 10, 12, 14, 16 MST (minggu setelah tanam). 4. Bobot kering tajuk (g), diukur setelah tanaman dipanen dan tajuknya dikeringkan dengan oven pada temperatur 60o C selama 24 jam. 5. Bobot kering akar (g), diukur setelah tanaman dipanen dan akarnya dikeringkan dengan oven pada temperatur 60o C selama 24 jam. 6. Nisbah tajuk akar, perbandingan bobot kering tajuk dengan bobot kering akar 7. Kolonisasi akar; Dihitung berdasarkan rumus : % kolonisasi =
Jumlah akar terinfeksi ------------------------------------ X 100% Total jumlah contoh akar
8. Analisis kadar P jaringan tanaman, dilakukan terhadap tajuk tanaman dengan Metode Watanabe dan Olsen (1965) menggunakan Atomic Absorption Spectrophotometer (AAS). 9. Serapan P, kadar P tajuk dikalikan dengan bobot kering tajuk (mg/tajuk).
38 10. pH media 11. Kadar P total tanah (ppm) 12. Kadar P tersedia tanah (ppm) 13. Kadar Al dd tanah (me/100 g) 14. Aktivitas fosfatase asam akar (μg/g/jam) Analisis Data Data penelitian hasil pengamatan dan analisis kimia diuji dengan analisis ragam dan jika perlakuan penunjukkan pengaruh yang nyata, maka dilanjutkan dengan Uji BNT pada taraf kepercayaan 95%. Pengaruh tingkat dosis fosfat alam terhadap pertumbuhan tanaman diuji dengan Ortogonal polinomial (Gomez & Gomez 1995).
Hasil Analisis ragam tinggi bibit kakao 2 – 14 minggu setelah tanam (MST) menunjukkan bahwa dosis pemupukan FA mulai berpengaruh pada umur empat MST, sedangkan inokulasi FMA mulai berpengaruh pada umur delapan MST.
Pengaruh
dosis FA terhadap diameter batang dan jumlah daun bibit kakao juga mulai tampak pada umur empat MST, sedangkan pengaruh inokulasi FMA terhadap diameter batang bibit mulai tampak pada umur enam MST dan terhadap jumlah daun bibit tampak pada umur delapan MST (Lampiran 10a). Pengaruh pemupukan FA lebih cepat tampak karena tanah sebagai media tumbuh memiliki kadar P tersedia sangat rendah (Lampiran 7).
Lambatnya pengaruh inokulasi FMA karena diperlukan masa adaptasi untuk
mencapai simbiosis mutulistik antara fungi dan bibit kakao. Dosis fosfat alam dan inokulasi FMA berpengaruh sangat nyata terhadap tinggi, diameter batang, bobot kering akar bibit kakao (P<0.001), tetapi tidak terdapat
39 interaksi yang nyata antara dosis FA dan jenis inokulum, kecuali pada jumlah daun dan bobot kering tajuk bibit (Tabel 2). Tanggap tinggi, diameter batang, dan robot kering akar bibit pada dosis FA 2.0 g P2O5/bibit tidak berbeda nyata dengan bibit yang diberi 2.0 g P2O5/bibit SP-36 kecuali pada nisbah tajuk-akar. Berdasarkan dosis fosfat alam, pada dosis FA 2.0 g P2O5/bibit diperoleh tinggi, diameter batang, dan nisbah tajuk-akar bibit tertinggi, tetapi bobot kering akar tertinggi diperoleh pada dosis FA 1.5 g P2O5/bibit. Inokulasi FMA meningkatkan pertumbuhan bibit kakao yang berbeda nyata apabila dibandingkan dengan bibit tanpa inokulasi FMA. Hal ini menunjukkan bahwa baik FMA indigenous maupun Mycofer memainkan peranan penting dalam pertumbuhan bibit kakao pada tanah Ultisol yang diberi fosfat alam (FA). Tabel 2 Tanggap tinggi, diameter batang, bobot kering akar, dan nisbah tajuk-akar bibit kakao terhadap dosis FA pada inokulum FMA yang berbeda Perlakuan Dosis FA (g P2O5/bibit): Kontrol: 0 0.5 1.0 1.5 2.0 SP36 : 2.0 g P2O5/bibit
Tinggi Bibit (cm)
Diameter Batang (mm)
c bc ab a a a
BK Akar (g/bibit)
Nisbah Tajuk-Akar
1.32 c 1.43 bc 1.59 abc 1.75 a 1.64 ab 1.68 ab
2.57 d 3.05 bc 3.01 c 3.07 bc 3.47 b 3.90 a
32.48 b 34.83 ab 36.39 a 37.00 a 38.56 a 38.06 a
6.15 6.41 6.58 6.85 6.92 6.97
Mo
27.21 A
5.69 A
1.01 A
3.01 A
M1
38.00 B
6.93 B
1.69 B
3.21 A
M2
43.15 C 7.26 C 2.01 C 3.31 A ............................. Keefektifan (%)................................. 39.65 21.79 67.33 6.64 13.55 4.76 18.93 3.12 58.58 27.59 99.01 9.96
Inokulum FMA:
M1 vs M0 M2 vs M1 M2 vs M0
Keterangan: Angka dalam satu kolom yang diikuti oleh huruf yang sama tidak berbeda nyata dalam Uji BNT pada taraf 95%. Mo: kontrol; M1 : FMA indigenous Manokwari; M2: FMA Mycofer.
40 Bibit kakao yang diinokulasi dengan FMA dari Mycofer (M2) memberikan tinggi, diameter batang, jumlah daun, bobot kering tajuk, dan bobot kering akar tertinggi berbeda nyata apabila dibandingkan dengan bibit yang diinokulasi dengan FMA indigenous Manokwari (M1) dan bibit tanpa inokulasi FMA (Mo). Namun demikian inokulasi FMA tampaknya tidak memberikan perbedaan yang nyata terhadap nisbah tajuk-akar bibit kakao. Hasil uji ortogonal polinomial menunjukkan bahwa keefektifan FMA Mycofer lebih tinggi dibandingkan dengan FMA indigenous Manokwari. Apabila dibandingkan dengan FMA indigenous Manokwari (M1),
FMA Mycofer (M2) lebih efektif
meningkatkan tinggi, diameter batang, bobot kering akar, dan nisbah tajuk-akar berturut-turut 13.55%, 4.76%, 18.93%, dan 3.12%; sedangkan apabila dibandingan dengan kontrol (Mo) adalah 58.58%, 27.59%, 99.01% dan 9.96% (Gambar 5). Persamaan garis hubungan tingkat dosis fosfat alam Ayamaru dengan tinggi, diameter batang, bobot kering akar, dan nisbah tajuk-akar bibit kakao masing-masing adalah ŷ tinggi = 32.9860 + 2.8780x, R2= 0.96, ŷ diameter = 6.1860 + 0.3960x, R2= 0.97, ŷ bobot kering akar = 1.3508 + 0.1950x, R2= 0.79, dan
ŷ nisbah tajuk-
akar = 2.6694 + 0.3624x, R2= 0.81. Selanjutnya hasil penelitian menunjukkan bahwa FMA Mycofer memberikan pertumbuhan dan kualitas bibit yang nyata lebih baik dibandingkan dengan inokulum lainnya, kecuali pada nisbah tajuk-akar antara inokulum tidak berbeda nyata.
41 Tinggi bibit (cm)
55
50 45 40 35 30 25 20 15 10 5 0
Tinggi bibit (cm)
50 45 40
y = 35.586 + 6.478x
35
R2 = 0.96
30 25
41 29.21
Mo
20 0
0.5
1
1.5
Dosis FA (g P2O5/bibit)
M1
2
(a) Diameter Batang (mm) 12
10
10.26
10
9
8 8
y = 7.5860 + 1.3960x
8.93 7.09
6
R2 = 0.86
7
4 2
6
0
5 0
0.5
1
Mo
2
1.5
Dosis FA (gP2O5/bibit)
M1
3.5 3.0
Nis Tajuk-Akar, y = 2.6694 +0.3624x R2 = 0.81
3.0
2.0
2.0
1.5
1.5
1.0 Bobot Kering akar, y = 1.3508 + 0.1950x R 2 = 0.79
0.5
3.01
2.01 1.69 1.01
0.0 Mo
0.5
1
1.5
Dosis FA (g P2O5/bibit)
3.31
0.5
0.0 0
3.21
2.5
2.5
1.0
M2
Inokulum FMA
(b)
4.0 3.5
M2
Inokulum FMA
11
Diameter batang (mm)
49.15
B K akar
2
(c)
M1 M2 Inokulum FMA
Nisbah T-A
Gambar 5 Pengaruh dosis fosfat alam dan jenis inokulum FMA terhadap tinggi (a), diameter batang (b), bobot kering akar, dan nisbah tajuk-akar (c) bibit kakao. Mo: kontrol; M1 : FMA indigenous Manokwari; M2: FMA Mycofer.
42 Pada Po
Mo
Pada P3
M2
M1
Mo
M1
M2
Pada M2
Po
Gambar 6
P1
P2
P3
P4
P5
Penampilan bibit kakao yang diberi fosfat alam dan inokulasi FMA. Mo : tanpa FMA; M1 : FMA indigenous Manokwari; M2 : FMA Mycofer; Po :kontrol; P1 : 2 g P2O5/bibit SP36; P2 :0.5 g P2O5 FA/bibit; P3 : 1.0 g P2O5 FA/bibit; P4 : 1.5 g P2O5 FA/bibit; P5 :2.0 g P2O5 FA/bibit.
Interaksi yang nyata pengaruh tingkat dosis fosfat alam dan inokulasi FMA ditunjukkan oleh pertumbuhan bobot kering tajuk dan jumlah daun bibit kakao pada umur 16 MST (Tabel 3, Gambar 7, Lampiran 10a). Hasil uji Ortogonal Polinomial (Lampiran 11a) menunjukkan bahwa interaksi tingkat dosis fosfat alam dan inokulasi FMA terhadap jumlah daun dan bobot kering tajuk ditunjukkan oleh pola tanggap linier pada setiap perlakuan inokulasi FMA, kecuali jumlah daun bibit tanpa inokulasi FMA yang memberikan tanggap kuadratik (Gambar 7).
43 Tabel 3 Tanggap jumlah daun dan bobot kering tajuk bibit kakao terhadap dosis FA pada inokulum FMA yang berbeda Perlakuan Mo M1 M2 M1 vs Mo M2 vs M1 M2 vs Mo Mo M1 M2 M1 vs Mo M2 vs M1 M2 vs M0
Dosis Fosfat Alam (g P2O5/bibit)
SP36 …………….......... Jumlah daun …….........………….. 9.83 11.50 13.00 14.83 13.00 16.67 13.17 14.17 15.67 16.33 17.17 19.83 17.50 18.50 17.50 20.00 21.33 21.67 ................................. Keefektifan (%)................................ 33.98 23.22 20.54 10.11 32.08 18.96 32.88 30.56 11.68 22.47 24.23 9.28 78.03 60.87 34.62 34.86 64.08 29.99 0
0.5
1.0
1.5
Kurva tanggap
2.0
.................... Bobot Kering Tajuk (g/bibit) ................... 1.68 2.74 2.93 3.40 3.23 3.88 3.62 4.70 5.24 4.70 6.33 7.82 4.98 5.55 6.33 7.09 7.35 7.85
Kuadratik
Linier Linier
Linier Linier Linier
…………….…….. Keefektifan (%) ………………….…. 115.48 71.53 78.84 38.23 95.97 101.55 37.57 18.09 20.80 50.85 16.11 0.0030 196.43 102.55 116.04 108.53 127.55 102.32
Keterangan: Mo: tanpa FMA; M1: FMA indigenous Manokwari; M2 : FMA Mycofer
25
9.0 8.0 7.0
15
Bobot KeringTajuk (g)
Jumlah daun
20
1.51
10
5.0 4.0 3.0 2.0
Poly. (yMo= 9.5476 + 5.7429x - 1.9048x^2, R^2= 0.49) Linear (yM1= 13.2670 + 2.0333x, R^2= 0.59) Linear (yM2= 17.1330 + 1.8333x, R^2= 0.24)
5
6.0
Linear (yMo= 2,0447 + 0,7520x, R^2= 0,46) Linear (yM1= 3,8333 + 1,2707x, R^2= 0,62) Linear (yM2= 5,0073 + 1,2553x, R^2= 0,72)
1.0 0.0
0 0
0.5
1
1.5
2
Dosis Fosfat Alam (g P2O5/bibit)
(a)
0
0.5
1
1.5
2
Dosis Fosfat Alam (g P2O5/bibit)
(b)
Gambar 7 Tanggap Jumlah daun (a) dan bobot kering tajuk (b) akibat dosis fosfat alam pada inokulasi FMA yang berbeda. Mo: kontrol; M1 : FMA indigenous Manokwari; M2: FMA Mycofer.
44 Pada semua dosis fosfat alam, inokulasi FMA Mycofer (M2) memberikan jumlah daun dan bobot kering tajuk lebih tinggi dibandingkan dengan perlakuan lainnya, sedangkan bibit kakao yang diinokulasi dengan FMA indigenous Manokwari lebih baik daripada bibit yang tidak diinokulasi FMA. Pada dosis FA 2.0 g P2O5/bibit peningkatan jumlah daun dan bobot kering tajuk sebesar 64.08% dan 127.55% untuk FMA Mycofer, sedangkan tanpa FA meningkat sebesar 78.03% dan 196.43%. Hal ini menunjukkan bahwa inokulasi FMA telah dengan nyata meningkatkan efisiensi pemupukan FA. Hasil analisis ragam (Lampiran 10a) menunjukkan bahwa dosis fosfat alam dan inokulasi FMA berpengaruh sangat nyata (P<0.001) terhadap kadar P tajuk, pH media, kadar P tersedia, kadar P total, dan kadar Aldd tetapi tidak menunjukkan adanya interaksi yang nyata. Interaksi yang nyata dari kedua faktor ditunjukkan oleh serapan P tajuk, kolonisasi akar, dan aktivitas fosfatase asam akar (Tabel 4, Gambar 10). Apabila diinokulasi FMA Mycofer maka jumlah daun pada bibit yang pupuk dengan 2.0 g P2O5 SP36/bibit tidak berbeda dengan pemupukan FA 2.0 g P2O5/bibit, tetapi bobot kering tajuk bibit yang dipupuk dengan 2.0 g P2O5 SP36/bibit lebih tinggi daripada yang dipupuk FA 2.0 g P2O5/bibit. Hasil yang diperoleh menunjukkan bahwa bibit kakao yang diinokulasi dengan Mycofer (M2) menghasilkan kadar P lebih tinggi dan berbeda
nyata apabila
dibandingkan dengan bibit yang diinokulasi FMA indigenous Manokwari (M1) maupun bibit tanpa inokulasi FMA (Mo).
Semakin tinggi dosis pemberian fosfat alam
menunjukkan peningkatan terhadap kadar P tajuk.
Kadar P tajuk bibit tertinggi
dihasilkan pada bibit yang diberi FA 2.0 g P2O5/bibit. Hal yang sama juga ditunjukkan oleh kadar P tersedia dan kadar P total. Peningkatan pH media ditunjukkan oleh
45 pemberian fosfat alam, tetapi kadar Aldd media tidak menunjukkan perbedaaan baik karena tingkat dosis fosfat alam maupun antara inokulum FMA (Tabel 4). Keefektifan inokulum FMA Mycofer (M2) dibandingkan dengan Mo terhadap kadar P tajuk bibit kakao, pH, kadar P tersedia, kadar P total, dan kadar Aldd media berturut-turut adalah 11.76%, -0.21%, 30.51%, 27.909%, dan -3.32%. Hasil uji Ortogonal Polinomial (Lampiran 11a) kadar P tajuk dan kadar P tersedia media menunjukkan tanggap linier terhadap dosis fosfat alam, masing-masing dengan persamaan ŷ kadar P tajuk = 0.0757 + 0.0206x, dengan R2 = 0.99, ŷ kadar P tersedia media = 3.1883 + 1.2517x, R2= 0.99 (Gambar 8). Tabel 4 Tanggap kadar P tajuk, pH media, kadar P tersedia, kadar P total, kadar Aldd media bibit kakao terhadap dosis fosfat alam pada inokulum FMA yang berbeda Kadar P Tajuk (%)
pH media
P tersedia (ppm)
P total (ppm)
Aldd (me/100 g)
0.15 e
4.62 d
3.13 f
34.48 f
17.22 a
0.5
0.16 d
4.80 ab
3.86 e
42.15 e
17.37 a
1.0
0.16 d
4.87 a
4.52 d
47.07 d
17.11 a
1.5
0.18 c
4.82 ab
5.03 c
53.37 c
17.23 a
2.0
0.19 b
4.75 bc
5.67 b
59.11 b
17.33 a
0.25 a
4.72 c
8.75 a
87.76 a
16.72 a
Mo
0.17 A
4.71 A
4.49 A
47.67 A
17.47 A
M1
0.18 B
4.72 A
5.11 B
53.33 B
17.12 A
M2
0.19 C
4.70 A
Perlakuan Dosis FA (g P2O5/bibit):
Kontrol: 0
SP36: 2.0 g P2O5/bibit Inokulum FMA :
M1 vs Mo M2 vs M1 M2 vs Mo
5.86 C 60.97 C 16.89 A ……………………. Keefektifan (%) …………………….. 5.88 0.21 13.81 11.87 -2.00 5.56 -0.42 14.68 14.33 -1.34 11.76 -0.21 30.51 27.90 -3.32
Keterangan: Angka dalam satu kolom yang diikuti oleh huruf yang sama tidak berbeda nyata dalam uji BNT pada taraf 95%; Mo: tanpa FMA; M1: FMA indigenous Manokwari; M2 : FMA Mycofer
46 Kadar P tajuk (%)
0.13
Kadar P tajuk (%)
0.11
0.12
0.10
0.11
0.09
0.11
0.11
y = 0.0757 + 0.0206x R2 = 0.99
0.08 0.07
0.10
0.1
0.10
0.06
0.09
0.05 0
0.5
1
1.5
Dosis FA (g P2O5/bibit)
Mo
2
M1
M2
Inokulum FMA
(a)
P tersedia (ppm)
6.5 6
5.86
6
5.5
P tersedia (ppm)
0.12
0.12
0.12
5
5
5.11 4.49
4
4.5
3
4
y = 3.1883 + 1.2517x R2 = 0.99
3.5 3
2 1
2.5
0
2
Mo 0
0.5
1
1.5
Dosis FA (g P2O5/bibit)
Gambar 8
2
M1
M2
Inokulum FMA
(b)
Pengaruh tingkat dosis fosfat alam dan inokulasi FMA terhadap kadar P tajuk (a), kadar P tersedia (b). Mo: kontrol; M1: FMA indigenous Manokwari; M2: FMA Mycofer.
pH media menunjukkan tanggap kuadratik, sedangkan kadar P total media dan Aldd media menunjukkan tanggap linier terhadap dosis fosfat alam (Gambar 9). Tanggap pH, kadar P total, dan kadar Aldd media masing-masing dengan persamaan ŷ pH media = 4.6360 +0.2960x – 0.1200x2 R2= 0.83,
ŷ P total = 35.1410
+ 12.0960x, R2= 0.99, dan ŷ Aldd = 0.0177 + 17.2330x, R2= 0.02. Inokulasi FMA memberikan perbedaan terhadap kadar P total dibandingkan dengan tanpa FMA, tetapi tidak menunjukkan perbedaan terhadap kadar Aldd media (Tabel 5, Lampiran 10a).
47 pH media 5.0
4.80
4.9
4.78
1.23
4.76
pH media
4.8
4.74
4.7
y = 4.6360 + 0.2960x -0.1200x
4.72
R2 = 0.83
4.70
2
4.6
4.7
4.68
4.5
4.66
4.4
4.64 Mo
4.3 0
0.5
1
1.5
Dosis FA (g P2O5/bibit)
2
M1
M2
Inokulum FMA
(a) P total (ppm)
65
70
60
P total (ppm)
4.72
4.71
55
60
50
50
45
40
40
y = 35.1410 + 12.096x
35
R2 = 0.99
60.97 53.33 47.67
30 20
30
10
25
0 Mo
20 0
0.5
1
1.5
Dosis FA (g P2O5/bibit)
2
M1
M2
Inokulum FMA
(b)
Aldd (me/100g)
17.7
17.9
17.5
17.7
(me/100g)
17.3
17.5
y = 0.0177x + 17.233
17.1
17.47
17.3
R2 = 0.02
17.12
17.1
Al
16.9
16.89
16.9 16.7
16.7
16.5
16.5 0
0.5
1
1.5
Dosis FA (g P2O5/bibit)
Mo
2
(c)
M1
M2
Inokulum FMA
Gambar 9 Pengaruh tingkat dosis fosfat alam dan inokulum FMA terhadap pH media (a),kadar P total (b) dan Aldd (c) media bibit kakao. Mo: kontrol; M1: FMA indigenous Manokwari; M2: FMA Mycofer.
48 Tabel 5 Tanggap serapan P tajuk, kolonisasi akar, dan aktivitas fosfatase asam akar bibit kakao terhadap dosis FA dan inokulum FMA yang berbeda Perlakuan Mo M1 M2 M1 vs Mo M2 vs Mo M2 vs M1 Mo M1 M2 M1 vs Mo M2 vs Mo M2 vs M1 Mo M1 M2 M1 vs Mo M2 vs Mo M2 vs M1
Dosis Fosfat Alam (g P2O5/bibit) 0
0.5
1.0
1.5
2.0
SP36
……………………. Serapan P (mg/tajuk)………….………... 3.50 4.30 5.85 6.85 7.75 8.20 5.50 6.50 7.05 8.35 9.40 13.60 7.60 8.20 9.90 10.85 11.25 13.70 .................................. Keefektifan (%)...................................... 57.14 51.16 20.51 21.90 21.29 65.85 117.14 90.70 69.23 58.39 45.16 67.07 38.18 26.15 40.43 29.94 19.68 0.007 .............................. Kolonisasi akar (%) ................................ 10.00 13.33 6.67 10.00 6.67 3.33 73.33 73.33 86.67 93.33 96.67 13.33 86.67 90.00 93.33 100.00 100.00 16.67 .................................. Keefektifan (%)....................................... 633.30 450.11 1199.40 833.30 1349.33 300.30 766.70 575.17 1299.25 900.00 1399.25 400.60 18.19 22.73 7.68 7.15 3.44 25.06 .....................Aktivitas fosfatase asam (µg/g/jam).................... 1.44 3.47 4.12 3.30 3.34 2.33 3.49 5.45 4.84 5.45 3.69 3.56 3.59 5.52 6.54 5.46 5.68 5.16 .................................. Keefektifan (%)...................................... 142.36 57.06 17.48 65.15 10.48 52.79 149.31 59.08 58.73 65.45 70.06 121.46 2.87 1.28 35.12 0.18 53.93 44.94
Kurva tanggap
Linier Linier Linier
Kuadratik
Linier Linier
Kuadratik
Linier Linier
Keterangan : Mo: tanpa FMA; M1: FMA indigenous Manokwari; M2 : FMA Mycofer
pada dosis FA 2.0 g P2O5/bibit inokulasi FMA meningkatkan serapan P tajuk sebesar 21.29% untuk M1, 45.16% untuk M2. Pada perlakuan tanpa FA pun inokulasi FMA telah meningkatkan serapan P tajuk. Dibandingkan dengan kontrol pada dosis FA 2.0 g P2O5/bibit, inokulasi FMA Mycofer (M2) meningkatkan kolonisasi akar sebesar 1399.25%, sedangkan untuk FMA indigenous (M1) sebesar 1349.33%. Baik pada perlakuan tanpa FA maupun pemberian FA, inokulasi FMA telah dengan nyata meningkatkan aktivitas fosfatase asam akar. Serapan P tajuk bibit yang dipupuk dengan 2.0 gP2O5 SP36 lebih tinggi dibandingkan dengan pemupukan 2.0 g P2O5 FA. Terhadap kolonisasi akar oleh FMA
49 maupun aktivitas fosfatase asam menunjukkan bahwa bibit yang dipupuk dengan fosfat alam Ayamaru lebih tinggi dibandingkan dengan bibit yang dipupuk dengan SP36. Pada semua tingkat dosis FA, inokulasi FMA Mycofer memberikan serapan P tajuk, kolonisasi akar, dan aktivitas fosfatase asam lebih tinggi dibandingkan dengan inokulasi FMA indigenous Manokwari maupun tanpa FMA (Gambar 10 dan 11). 14.0
Serapan P (mg/tajuk)
12.0 10.0 8.0 6.0 4.0 Linear (yMo= 3.5200 + 2.1700x, R^2= 0,99) Linear (yM1= 5.4600 + 1.9300x, R^2= 0,98) Linear (yM2= 7.4000 + 2.4250x, R^2= 0,99)
2.0 0.0 0
0.5
1
1.5
Dosis Fosfat Alam (g P2O5/bibit)
2
(a) 7
100
Aktivitas Fosfatse Asam (ug/g/jam)
6
K o lo n isa si a ka r (% )
80
60 Poly. (yMo= 7.9048 + 5.0476x - 2.8571x^2, R^2= 0,0432) Linear (yM1= 72.6670 + 10.667x, R^2= 0.29) Linear (yM2= 87.3330 + 5.3333x, R^2= 0.31)
40
20 0.88 0
5 4
3 2 Poly. (yMo= 1.4243 + 2.2867x - 0.5618x^2 R^2= 0.96) Linear (yM1= 3.1458 + 1.0937x, R^2= 0.56) Linear (yM2= 3.8989 + 1.3546x, R^2= 0.64)
1 0
0
0.5
1
1.5
Dosis Fosfat Alam(g P2O5/bibit)
(b)
2
0
0.5
1
1.5
Dosis Fosfat Alam (g P2O5/bibit)
2
(c)
Gambar 10 Tanggap serapan P tajuk (a), kolonisasi akar (b), dan aktivitas fosfatase asam (c) akibat dosis fosfat alam pada inokulum FMA yang berbeda. Mo: kontrol; M1 : FMA indigenous Manokwari; M2: FMA Mycofer.
50 Spesies FMA yang terdapat dalam inokulum Mycofer terdiri atas G. manihotis (INDO-1), G. etunicatum (NPI-126), Gigaspora margarita (INVAM-105), dan A. tuberculata (INDO-2), sedangkan hasil identifikasi FMA indigenous Manokwari di Laboratorium Biologi LIPI Cibinong terdiri atas tiga spesies, yaitu G. aggregatum Schenck & Smith, A. scrobiculata Trappe, dan A. tuberculata Janos & Trappe (Gambar 11).
PVLG
PVLG
(a)
(b)
Melzer’s
(e) Gambar 11
Melzer’s
PVLG
(c)
Melzer’s
(d)
Melzer’s
(f)
(g)
Spora spesies FMA yang terdapat dalam inokulum Mycofer : (a) Gigaspora margarita (INVAM-105) , (b) Glomus etunicatum (NPI-126), (c) Acaulospora tuberculata (INDO-2), (d) Glomus manihotis (INDO-1) dan spora spesies FMA indigenous Manokwari (e) A. tuberculata Janos & Trappe, (f) A. scrobiculata Trappe, dan (g) G. aggregatum Schenck & Smith; ( ) : 50 µm
51
s v s
hi
Kolonisasi akar oleh FMA Mycofer (M2)
he s
v
Kolonisasi akar oleh FMA Indigenous Manokwari (M1)
Gambar 12 Kolonisasi akar oleh FMA Mycofer dan FMA indigenous Manokwari. S: spora; v: vesikel; hi: hifa intraradikal; he: hifa ekstraradikal; ( ) : 50 µm
Pembahasan Tanggap positif pertumbuhan bibit kakao yang diberi pupuk fosfat alam menunjukkan bahwa pembibitan kakao pada tanah masam membutuhkan pupuk P. Pertumbuhan tinggi, diameter batang, jumlah daun, bobot kering tajuk meningkat dengan bertambahnya dosis fosfat alam (Tabel 2 dan 3). Hal yang sama juga ditunjukkan oleh kadar P tajuk, kadar P tersedia media dan serapan P tajuk (Tabel 4 dan 5). Tanggap tinggi, diameter batang, dan bobot kering akar bibit kakao yang diberi fosfat alam 2.0 g P2O5 tidak menunjukkan perbedaan yang nyata dengan bibit yang diberi 2.0 g P2O5 SP36. Hal ini menunjukkan bahwa fosfat alam Ayamaru dapat dijadikan pupuk alternatif sumber P pada bibit kakao. Menurut Engelstad et al. (1974)
52 pada pH tanah yang rendah P dari fosfat alam akan lebih tersedia. Fosfat alam sebagai sumber daya alam lokal yang tersedia diketahui merupakan pupuk P potensial, ’lowinput’ teknologi yang kelarutannya dapat ditingkat dengan inokulasi FMA (Goenadi et al. 2000).
Nikolaou et al. (2002) menyatakan bahwa fosfat alam efektif untuk
meningkatkan pertumbuhan tanaman, sedangkan Mayhew (2003) menyatakan mineral fosfat yang sulit larut seperti apatite (bentuk kalsium fosfat) akan ditingkatkan kelarutannya oleh adanya mikoriza. Miyakasa & Habte (2001) menyatakan kakao (Theobroma cacao) termasuk tanaman yang memiliki ketergantungan cukup tinggi dengan FMA, sehingga pemberian fosfat alam dan inokulasi FMA dapat mendorong bibit untuk dapat bertumbuh lebih baik. Tanaman bermikoriza mampu mengambil P lebih efisien, bahkan mampu mentransport P dengan jarak yang lebih jauh dari sistem perakaran terlebih pada kondisi deplesi P di rhizosfer (Zhu et al. 2001; Dhlamini et al. 2005). Hal ini karena hifa eksternal FMA dapat mencapai 1 – 20 m per gram tanah (Sylvia 2005). Simbiosis mutualistik FMA dan tanaman memberikan keuntungan bagi tanaman yaitu pertumbuhan dan hasil meningkat, memperbaiki kebugaran tanaman atau kemampuan bereproduksi, dan meningkatkan luas permukaan absorbsi hara oleh tanaman karena diameter hifa FMA lebih kecil daripada akar tanaman (Sylvia 2005). Pemberian fosfat alam pada bibit kakao lebih efisien apabila bibit itu diinokulasi dengan FMA efektif, yaitu bahwa pertumbuhan bobot kering bibit tanpa mikoriza pada dosis fosfat alam 1.5 g P2O5/bibit dapat dicapai oleh bibit yang diinokulasi FMA indigenous Manokwari dengan tanpa pemberian fosfat alam (kontrol). Demikian juga halnya bahwa pertumbuhan bobot kering yang dicapai oleh bibit yang diinokulasi FMA
53 indigenous Manokwari pada dosis fosfat alam 2.0 g P2O5/bibit telah dicapai oleh bibit yang diinokulasi FMA Mycofer pada dosis FA 1.0 g P2O5/bibit (Tabel 3, Gambar 7). Tanaman bermikoriza menghasilkan bobot kering tajuk yang lebih tinggi dan menyerap P lebih banyak daripada tanaman tanpa-mikoriza baik pada bibit yang di pupuk dengan FA maupun SP36 (Tabel 3 dan 5). Duponnois et al. (2005) menyatakan bahwa inokulasi tanaman dengan FMA meningkatkan aktivitas pelarutan fosfat karena FMA mampu memobilisasi P dari fosfat alam. Antunes & Cardoso (1991) menyatakan bahwa tanaman yang diinokulasi FMA lebih banyak memanfaatkan P terlarut dari fosfat alam dibandingkan tanaman tanpa FMA. Dari hasil penelitian ini dapat ditunjukkan bahwa pada semua tingkat dosis fosfat alam, apabila bibit kakao diinokulasi FMA pertumbuhan bobot kering tajuk lebih tinggi daripada bibit tanpa FMA. Rambut akar merupakan struktur akar umum, dan peningkatan panjang serta jumlah rambut akar merupakan adaptasi tanaman dalam meningkatkan pengambilan P dan kompetisi tanaman ketika P tanaman terbatas untuk pertumbuhan (Bates & Lynch 2001).
Peningkatan penyerapan P pada tanaman
diperoleh dari adanya asosiasi
dengan FMA (Brundrett 2002). Perkembangan hifa ekstraradikal FMA meningkatkan penyerapan P oleh akar (Bolan 1991). Linderman & Davis (2000) menyatakan bahwa FMA meningkatkan pengambilan P melalui hifa ekstraradikal, sehingga meningkatkan efisiensi penggunaan nutrisi. Bago et al. (2000) menyatakan FMA simbiosis biasanya meningkatkan fotosintesis dan biomasa tanaman, juga membantu transport dan penyerapan P di samping membantu pertumbuhan tanaman dan terlebih meningkatkan biomasa dan hasil (Prasad 2005). Rahim (2002) menyatakan bahwa inokulasi FMA bersamaan dengan pemupukan dapat memberikan hasil yang lebih baik. Menurut Ezawa et al. (2002) jika FMA dapat mengambil P lebih dari yang diperlukan P akan
54 disimpan dalam vakuola. Selanjutnya mekanisme transport P dari hifa ke tanaman dilakukan melalui (i) pembentukan arbuskula, (ii) pengaliran P dari stok P vakuola, dan (iii) aliran melalui tonoplas dan membran plasma pertukaran apoplas. Kadar dan serapan P tajuk oleh bibit meningkat dengan meningkatnya dosis pemupukan FA dan peningkatannya lebih besar apabila bibit diinokulasi FMA (Gambar 8, 10). Bibit yang dinokulasi FMA menunjukkan kadar dan serapan P yang lebih tinggi daripada bibit tanpa FMA dan berhubungan dengan derajat infeksi akar. Hubungan antara kolonisasi akar dengan bobot kering tajuk r = 0.99, kadar P tajuk r =0.96, dan serapan P tajuk r = 0.98. Hal ini menegaskan peranan FMA dalam membantu tanaman menyerap P dari tanah. Laju translokasi P dalam akar bermikoriza dapat mencapai 10-10 /mol/m/detik, 3-5 kali lebih tinggi daripada akar non-mikoriza (Smith & Read 1997; Smith et al. 2001). Marchel (2004) menyatakan bahwa transport P terjadi pada struktur simbiotik tidak hanya pada arbuskula tetapi juga pada hifa koil. Pada tanah yang dipupuk FA pengaruh inokulasi FMA lebih tampak meningkatkan pertumbuhan tanaman dan kadar P tajuk (Guissou et al. 2001 dikutip dalam Duponnois et al. 2005).
Hasil penelitian ini juga menunjukkan bahwa inokulasi FMA telah
berhasil dengan nyata meningkatkan keefektifan fosfat alam. Bibit kakao yang diinokulasi FMA Mycofer memberikan hasil yang lebih baik dibandingkan dengan FMA indigenous Manokwari pada semua peubah yang diamati. Hal ini diduga disebabkan terjadi kolonisasi akar tanaman yang tinggi oleh inokulum campuran dengan keragaman spesies FMA yang lebih banyak.
Kolonisasi FMA
tersebut juga akan meningkatkan pertumbuhan dan serapan P yang lebih tinggi daripada tanaman yang dikolonisasi oleh inokulum FMA campuran tetapi keragaman spesiesnya lebih sedikit (Jansa et al. 2004).
Di samping itu keefekifan dari tiap spesies FMA
55 dalam inokulum campuran, diduga turut menentukan keefektifannya. Secara umum kolonisasi akar oleh mikoriza sebesar 40%, maka mobilitas P pada level tertinggi, keragaman mikrob tertinggi, penggunaan dan efisiensi sumber P tertinggi
(Mader et
al. 2003). Aktivitas fosfatase asam akar bibit yang diinokulasi FMA Mycofer lebih tinggi daripada yang diinokulasi FMA indigenous Manokwari.
Kadar fosfatase asam
berkorelasi dengan kadar P tajuk r = 0.87, dan kolonisasi akar r = 0.90. Raghothama & Karthikeyan (2005) menyatakan bahwa konsentrasi P yang dapat diambil oleh akar tanaman dapat ditingkatkan melalui pelepasan eksudat akar terutama karboksilat dan fosfatase asam. Keefektifan eksudat bergantung pada spesies dan kondisi lingkungan. Tomscha et al. (2004) menyatakan bahwa fosfatase asam yang diekskresikan tanaman ± 50% aktif pada pH 4 - 7.6 dan lebih dari 80% aktif pada temperatur 22 - 48o C. Pada saat status P tanaman rendah cenderung meningkatkan eksudat akar dan selanjutnya akan meningkatkan ketersediaan P di rhizosfer (Richardson et al. 2001). Aktivitas fosfatase asam terjadi pada hifa intraradikal FMA terutama terdapat di vakuola dan arbuskula, tetapi juga didapatkan pada hifa ekstraradikal (Saito 1995; van Aarle et al. 2001; Ezawa et al. 2002), dan lokasi fosfatase asam merefleksikan tempat penukaran P (Ezawa et al. 1995). Mekanisme lain juga ditunjukkan oleh ekskresi fosfatase asam untuk pelepasan ikatan P organik (López-Bucio et al. 2000). Pelepasan fosfatase asam oleh akar tanaman dalam merespon defisiensi P akan memperbaiki hara tanaman (Chen et al. 2002). Meningkatnya aktivitas fosfatase asam dalam intraradikal miselium akan meningkatkan transfer P dari fungi ke tanaman (Ingrid et al. 2002). George et al. (2006) menyatakan sekskresi fosfatase asam merupakan suatu mekanisme untuk meningkatkan serapan P pada tanaman. Menurut Suh (2005) pelarutan mineral
56 P terjadi oleh adanya asam organik yang dihasilkan oleh akar tanaman dan mikrob, sedangkan fosfatase asam terutama berperan dalam pelarutan P organik dalam tanah. Hasil penelitian ini juga menunjukkan bahwa dibandingkan dengan tanpa inokulasi FMA, inokulasi FMA indigenous Manokwari meningkatkan aktivitas fosfatase asam akar bibit kakao sebesar 17.47%-142.12%, sedangkan inokulasi dengan FMA Mycofer sebesar 58.64% – 79.39% (Tabel 5). Aplikasi fosfat alam pada tanah masam akan menambah ketersediaan P dalam tanah. Terbentuknya simbiosis mutualistik antara bibit dengan FMA dapat membantu meningkatkan kelarutan P. Pelarutan fosfat alam secara biologi dilakukan oleh mikrob dengan menghasilkan asam organik (Drever & Vance 1994). Asam organik dengan bobot molekul rendah yang dihasilkan mikrob dan akar tanaman sangat efektif dalam mendukung pelarutan mineral (Duponnois et al.
2005). Fosfatase asam dapat
menghidrolisis senyawa P organik yang mana enzim ini banyak terdapat di rizosfer ketika tanaman kekurangan P (Tarafdar & Claaessen 2001; Wasaki et al. 2003; UhdeStone et al. 2003). Akar pada kebanyakan tanaman mengeluarkan eksudat seperti fosfatase asam yang akan meningkatkan ketersediaan P di rhizosfer
(Lambers et al.
2006). Keuntungan asosiasi FMA dan akar tanaman yang tinggi diperoleh apabila kadar P dalam tanah atau media perakaran rendah tetapi cukup. Jika P tanah sangat rendah FMA akan bersifat parasit dari pada menguntungkan, sedangkan apabila P tinggi maka tanaman cukup mendapatkan P tanpa FMA (Miyakasa et al. 2003). Morgan et al. (2005) menyatakan bahwa ketika tanaman kekurangan hara esensial seperti P hubungan simbiotik tanaman dengan mikoriza akan menguntungkan dan memacu pertumbuhan
tanaman.
Namun demikian keuntungan dengan adanya
57 simbiosis akan berkurang apabila dilakukan pemupukan optimal yang mana hara menjadi tersedia untuk tanaman dan fungsi simbion menurun.
Oleh karena itu
pemberian pupuk tetap diperlukan pada dosis minimal tetapi tidak menghambat pertumbuhan bibit, sedangkan
FMA tetap dapat berfungsi membantu bibit dalam
penyerapan P. Bolan et al. (1984) menyatakan bahwa pembentukan arbuskula sensitif terhadap suplai P sehingga diperlukan suplai P yang sesuai. Nagahashi et al. (1996) menyatakan bahwa
kadar P tersedia yang tinggi atau sangat rendah secara langsung
dapat menghambat perkembangan FMA. Oleh karena itu pemberian P hingga optimal dapat mendorong pembentukan arbuskula. Hasil percobaan yang diperoleh menunjukkan bahwa dengan meningkatnya dosis fosfat alam maka pertumbuhan bibit kakao meningkat.
Pertumbuhan bobot
kering bibit kakao yang dipupuk dengan 2.0 g P2O5 SP36 lebih tinggi daripada dengan dosis FA 2.0 g P2O5/bibit. Inokulasi FMA Mycofer pada bibit kakao nyata lebih baik daripada inokulum FMA indigenous Manokwari.
Inokulum FMA Mycofer lebih
efektif meningkatkan ketersediaan P pada bibit kakao yang diberi fosfat alam, meningkatkan pertumbuhan bobot kering, meningkatkan kadar dan serapan P tajuk daripada inokulum FMA indigenous Manokwari. Pada bibit tanpa inokulasi FMA, jumlah daun ideal untuk bibit kakao siap salur (Pusat Penelitian Kopi dan Kakao 2004) telah dicapai pada pemberian FA 1.0 g P2O5/bibit (Tabel 13), sedangkan apabila bibit diinokulasi dengan FMA Manokwari atau FMA Mycofer telah dicapai tanpa pemberian fosfat alam. Meskipun demikian tanggap pertumbuhan bibit kakao akibat tingkat dosis fosfat alam adalah linier dan Mycofer merupakan inokulum FMA yang efektif untuk mendapatkan bibit kakao siap salur.
58 Berdasarkan hasil penelitian ini maka inokulum FMA Mycofer akan digunakan sebagai salah satu unsur kombinasi dalam percobaan keempat, bersamaan dengan isolat bakteri pelarut fosfat dan tingkat dosis asam humat yang efektif yang diperoleh dari hasil percobaan yang lainnya.
Kesimpulan Kesimpulan dari hasil penelitian ini adalah : 1. Inokulum Mycofer lebih efektif daripada inokulum indigenous Manokwari. Pada dosis fosfat alam 2.0 g P2O5/bibit
inokulasi mikoriza Mycofer
meningkatkan pertumbuhan bobot kering bibit kakao sebesar 127.55% dan mikoriza indigenous Manokwari sebesar 95.97%, sedangkan serapan P tajuk meningkat 45.16% untuk
mikoriza Mycofer dan 21.29% untuk mikoriza
indigenous Manokwari. Peran utama mikoriza adalah membantu penyerapan P tanah untuk pertumbuhan tanaman. 2. Peran fungi arbuskula mikoriza pada bibit kakao ditunjukkan oleh tingginya aktivitas fosfatase asam
sebesar
3.15 – 5.33 μg/g/jam pada inokulum
indigenous Manokwari dan 3.90 – 6.60 μg/g/jam untuk Mycofer, serta menurunkan kadar Aldd masing-masing sebesar 2.00% dan 3.32%. 3. Peningkatan dosis fosfat alam Ayamaru sampai dengan 2.0 g P2O5/bibit meningkatkan pertumbuhan bobot kering tajuk bibit kakao secara linier dan peningkatan pertumbuhan bobot kering tajuk terbesar dicapai pada bibit yang diinokulasi dengan Mycofer yaitu sebesar 5.01 – 7.53 g/bibit, tetapi lebih rendah dibandingkan dengan pemupukan 2.0 g P2O5 SP36 (7.85 g/bibit).
59 4. Tanggap tinggi bibit kakao pada dosis fosfat alam 2.0 g P2O5/bibit (38.56 cm) tidak berbeda dengan pemberian SP36 2.0 g P2O5/bibit (38.06 cm) dan bibit kakao tertinggi dicapai apabila diinokulasi dengan Mycofer (43.15 cm).
IV TANGGAP BIBIT KAKAO YANG DIINOKULASI BAKTERI PELARUT FOSFAT PADA BERBAGAI DOSIS FOSFAT ALAM AYAMARU ABSTRAK Fosfat alam merupakan pupuk alternatif sumber P yang lambat tersedia. Oleh karena itu untuk meningkatkan ketersediaannya dapat dilakukan dengan inokulasi bakteri pelarut fosfat (BPF). Penelitian ini bertujuan untuk mendapatkan isolat BPF yang efektif dalam meningkatkan daya guna fosfat alam Ayamaru (FA) yang diberikan pada bibit kakao. Penelitian dilaksanakan di Kebun Percobaan Cikabayan IPB, Bogor, Laboratorium Bioteknologi Hutan, Lab. Kimia dan Kesuburan Tanah. Penelitian dilakukan dalam rancangan acak lengkap dua faktor. Faktor pertama adalah lima taraf dosis FA, yakni 0, 0.5, 1.0, 1.5, 2.0 g P2O5/bibit, dan satu taraf dosis SP36, yakni 2.0 g P2O5 /bibit sebagai pembanding. Faktor kedua adalah isolat BPF yang terdiri atas tanpa BPF, isolat RJM.30.2, dan isolate FT.3.2. Benih kakao yang digunakan adalah UAH F1 dari Pusat Penelitian Kopi dan Kakao Jember Jawa Timur. Pembibitan dilakukan dalam polibag 20 cm x 30 cm dengan media tanah masam Ultisol, Jasinga dan ditempatkan dalam jaring naungan 60% selama empat bulan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa isolat FT.3.2 menghasilkan lebih banyak asam sitrat (134.23 ppm) daripada isolat RJM.30.2 (101.45 ppm), sehingga isolat FT.3.2 lebih mampu meningkatkan kadar P tersedia. Pada bibit kakao yang diinokulasi dengan isolat RJM.30.2, peningkatan dosis FA secara linier meningkatkan bobot kering tajuk sebesar 202.12% dan kadar P tersedia 142.75%, sedangkan dengan isolat FT.3.2 bobot kering meningkat 60.51% dan P tersedia meningkat 126.61%, dan bibit tanpa inokulasi berturut-turut meningkat 149.81% dan 119.11%. Pada dosis FA 2.0 g P2O5/bibit, apabila dibandingkan dengan kontrol, isolat RJM.30.2 meningkatkan bobot kering tajuk sebesar 48.41% dan kadar P tersedia 3.12%, sedangkan isolat FT.3.2 masing-masing 78.18% dan 9.36%. ABSTRACT Phosphate rock is considered as other alternative P source slow-released fertilizer. Therefore, to improve its availability, inoculation of phosphate solubilizing bacteria (PSB) may be applied. The purpose of the study was to find the effectiveness phosphate solubilizing bacteria (PSB) isolates for improving the beneficial use of Ayamaru phosphate rock (APR) for cacao seedlings. The study was conducted at the Experimental Farm of IPB, Cikabayan, Bogor, Forest Biotechnology Laboratory, Soil Chemistry and Fertility Laboratory and Plant Physiology Laboratory of IPB, Bogor. The two factor-factorial experiment was set up in a Completely Randomized Design. The first factor was five levels of APR dosages: 0, 0.5, 1.0, 1.5, 2.0 g P2O5/seedling and 2.0 g P2O5 SP36/seedling used as comparison. The second factor was PSB isolates inoculation consisting of without PSB, RJM.30.2 isolate and FT.3.2
61 isolate. F1 UAH cacao seeds from Coffee and Cacao Research Center in Jember, East Java was used and the seedlings were grown on Ultisol, acid soil from Jasinga in 20 cm x 30 cm sized polybag. The seedlings were grown under 60% of shading net for the period of four months. The results of the study proved that FT.3.2 isolate produced higher amount of citrate acid exudates (134.23 ppm) and thus had higher ability to solubilize of fixed P comparing to RJM.30.2 isolate (101.45 ppm). When the seedlings were inoculated with RJM.30.2, the increasing of APR dosage up to 2.0 g P2O5/seedling resulted in a linear increase of shoot dry-weight as much as 202.12%; of available P 142.75%, while inoculated with FT.3.2 isolate, shoot dry-weight was increased 60.51% and available P 126.61%, and on the non-inoculated seedling the shoot dry-weight was increased as much as 149.81% and available P 191.11%. On the APR dosage of 2.0 g P2O5/seedling as comparing to the non-inoculated seedling, inoculation of RJM.30.2. isolate was able to improve shoot dry-weight as much as 48.41% and available P level 3.12%, while FT.3.2 isolate gave 78.18% and 9.36%, respectively.
Pendahuluan Penggunaan bakteri pelarut fosfat dalam bidang pertanian telah banyak dilakukan karena mempunyai peranan yang sangat besar dalam membantu penyediaan hara P bagi tanaman. Hal ini karena meskipun biasanya P total dalam tanah terdapat dalam jumlah yang banyak tetapi ketersediaannya bagi tanaman sangat rendah. Kondisi demikian sering menjadi faktor pembatas terhadap pertumbuhan tanaman (Mikanová & Nováková 2002). Tanaman hanya mengambil 10-25% P yang diberikan melalui pemupukan, sebagian besar berada dalam bentuk tidak larut dan tidak tersedia bagi tanaman (Jumaniyazova et al. 2004). Bakteri pelarut fosfat mampu mengubah bentuk-bentuk fosfat yang tidak tersedia menjadi bentuk terlarut sehingga tersedia bagi tanaman antara lain melarutkan fosfat yang terikat oleh aluminium, besi maupun kalsium serta mampu memineralisasi fosfat organik misalnya fitat. Penggunaan bakteri pelarut fosfat sebagai pupuk hayati mempunyai beberapa keunggulan, yaitu hemat energi, tidak mencemari lingkungan, dapat diperbaruhi, dapat melepaskan P yang tidak larut (terikat Al-P, Fe-P, dan Ca-P), menghalangi terjerapnya
62 pupuk P oleh penjerap seperti Al dan Fe. Bakteri pelarut fosfat menghasilkan asamasam organik yang dapat mengkompleks logam sehingga mengurangi toksisitas Al3+, Fe3+, dan Mn2+ bagi tanaman pada tanah masam (Premono 1994). Pelarutan fosfat alam yang lambat menjadi kendala dalam pemanfaatan secara langsung dalam bindang pertanian.
Kemampuan mikroba melarutkan mineral fosfat
yang sulit larut dalam tanah adalah proses yang sangat penting dalam ekosistem alami dan pada tanah-tanah pertanian. Di dalam tanah terdapat banyak fosfat, tetapi ketersediaannya bagi tanaman sangat rendah dan sering menjadi faktor pembatas terhadap pertumbuhan dan produksi tanaman (Wissuwa 2003). Oleh karena itu pada aplikasi pemupukan mineral fosfat dengan inokulasi mikroba pelarut fosfat dapat meningkatkan ketersediaan P pada tanah (Mikonová & Nováková 2002). Raja et al. (2002) menyatakan bahwa mikroorganisme pelarut fosfat dan mikoriza memainkan peranan penting dalam metabolisme dan produktivitas tanaman semanggi. Menurut Rao (1982) proses kelarutan fosfat yang sukar larut diawali dengan dihasilkannya asam-asam organik oleh mikroorganisme. Asam-asam organik yang disekresikan oleh mikroroganisme menyebabkan pH rendah sehingga beberapa hidroksi berinteraksi dengan Ca dan Fe kemudian akan melarutkan P. Kecepatan pelepasan P dari bentuk yang tidak tersedia menjadi bentuk yang tersedia dapat disebabkan oleh adanya pelepasan gas H2, CO2, H2S, dan CH2 sebagai akibat berlangsungnya proses reduksi dan dekomposisi bahan organik.
Terbentuknya humik dan gas tersebut
menurunkan pH tanah sehingga pelarutan P ditingkatkan (Sabiham et al. 1983). Kemampuan asam-asam organik meningkatkan ketersediaan P melalui mekanisme, yaitu anion organik bersaing dengan ortofosfat untuk menempati bidang jerapan koloid yang bermuatan positif, modifikasi muatan permukaan jerapan oleh ligan organik
63 (Nagarajah et al. 1970) dan pelepasan ortofosfat dari ikatan logam-P dengan pembentukan kompleks logam-organik (Earl et al. 1979). Penelitian ini bertujuan untuk mendapatkan isolat BPF yang efektif dalam meningkatkan daya guna fosfat alam Ayamaru (FA) yang diberikan pada bibit kakao.
Bahan dan Metode Tempat dan Waktu Penelitian dilaksanakan di Laboratorium Biotek Hutan dan Lingkungan, Pusat Penelitian Sumber Daya Hayati dan Bioteknologi IPB, Bogor dan Kebun Percobaan Cikabayan IPB, Bogor. Analisis asam organik dilakukan di Laboratorium Balai Besar Pascapanen Cimanggu, Bogor. Analisis tanah dan jaringan tanaman dilaksanakan di Laboratorium Kimia dan Kesuburan Tanah Departemen Ilmu Tanah IPB, Bogor. Penelitian ini berlangsung dari bulan Oktober 2006 – Januari 2007. Bahan Percobaan Bahan tanaman yang digunakan adalah benih kakao jenis Upper Amazone Hybrid (UAH) F1, Fosfat Alam Ayamaru, isolat bakteri pelarut fosfat RJM.30.2 dan isolat FT.3.2 (Laboratorium Biotek Hutan dan Lingkungan, Pusat Penelitian Sumber Daya Hayati dan Bioteknologi IPB Bogor). Fosfat alam diambil dari Distrik Ayamaru Papua, sedangkan pupuk dasar yang digunakan adalah Urea dan KCl. Bahan-bahan lainnya yang digunakan adalah media Pikovskaya, polibag, pupuk SP36, dan jaring naungan (paranet) 60%.
Media tanam adalah tanah Ultisol dari Jasinga, Bogor
(Lampiran 7). Peralatan yang digunakan adalah cawan Petri, tabung reaksi, pinset, pipet, spatula, timbangan analitik, autoclave, laminar air flow, shaker bath, inkubator, Spektrofotometer, oven, ayakan tanah, kaliper, dan peralatan penunjang analisis P.
64 Metode Percobaan Penelitian merupakan percobaan faktorial dua faktor dengan menggunakan rancangan acak lengkap (RAL) tiga ulangan. Faktor pertama adalah dosis pemupukan P, yaitu : Po : 0, tanpa pemupukan P1 : 2.0 g P2O5 (7.56 g SP36/bibit) P2 : 0.5 g P2O5 (2.38 g fosfat alam/bibit) P3 : 1.0 g P2O5 (4.76 g fosfat alam/bibit) P4 : 1.5 g P2O5 (7.14 g fosfat alam/bibit) P5 : 2.0 g P2O5 (9.52 g fosfat alam/bibit) Faktor kedua adalah inokulasi isolat bakteri pelarut fosfat, yaitu : B0 : tanpa inokulasi bakteri pelarut fosfat B
B1 : Isolat RJM.30.2 B
B2 : Isolat FT.3.2 B
Setiap kombinasi perlakuan diulang tiga kali sehingga diperoleh 6 x 3 x 3 = 54 satuan percobaan dan setiap satuan percobaan digunakan tiga tanaman (pot). Model linier rancangan yang digunakan adalah :
Yijk = µ + αi +βj + (αβ)ij + εijk Di mana :
Yijk µ αi βj (αβ)ij
εijk i j k
: hasil pengamatan dari perlakuan dosis fosfat alam Ayamaru ke-i dan isolat bakteri ke-j pada ulangan ke-k : nilai rataan umum : pengaruh perlakuan dosis fosfat alam Ayamaru ke-i : pengaruh isolat bakteri ke-j : pengaruh interaksi antara dosis fosfat alam Ayamaru ke-i dan isolat bakteri ke-i : pengaruh galat percobaan dari perlakuan dosis fosfat alam Ayamaru ke-i dan isolat bakteri ke-j pada ulangan ke-k : 0,1,2,3,4,5 : 0,1,2, : 1,2,3
65 Pelaksanaan Percobaan Persiapan dan pengujian isolat bakteri pelarut fosfat. a. Pembakuan populasi isolat dilakukan dengan menentukan kurva baku populasi untuk mempermudah teknik inokulasi pada percobaan pot. Kurva ini menunjukkan hubungan antara nilai kerapatan optik (Optical Density) suspensi isolat dengan satuan pembentuk koloni (Colony Forming Unit) yang ditentukan dengan metode cawan tuang, sehingga untuk inokulasi pada percobaan lapang digunakan populasi yang seragam.
Suspensi isolat dari medium kaldu nutrien
diencerkan 2, 4, 8 dan 16 kali selanjutnya diukur nilai kerapatan optiknya dengan menggunakan Spektrofotometer pada panjang gelombang 620 nm. Populasi isolat dan nilai kerapatan optiknya dihubungkan dengan persamaan regresi linier yang digunakan sebagai kurva baku populasi isolat. Selanjutnya populasi isolat yang akan digunakan ditentukan dengan pengenceran metode cawan tuang. b. Pengujian kemampuan melarutkan P dari fosfat alam Ayamaru dilakukan dengan cara:
sebanyak 25 g fosfat alam Ayamaru dimasukkan ke dalam tabung
250 mL, lalu diinokulasi dengan 1 mL suspensi isolat dan diinkubasikan pada suhu kamar selama 14 hari. Pengujian ini menggunakan fosfat alam tanpa sterilasasi dan yang disterilkan. pemanasan
Sterilisasi fosfat alam Ayamaru
pada temperatur 121oC selama 30 menit.
dilakukan dengan Pada akhir inkubasi
dilakukan pengukuran pH H2O dan P tersedia. c. Mekanisme pelarutan ditentukan dengan penetapan asam organik. Cara penetapan yang dilakukan, yaitu menginokulasikan isolat bakteri pelarut fosfat 1.0 x 1010 sel ke dalam 100 mL medium Pikovskaya (dengan sumber P dari fosfat alam Ayamaru), selanjutnya diinkubasikan pada suhu kamar selama tiga hari
66 dengan goyangan 100 rpm. Pada akhir inkubasi, kultur disentrifugasi dengan kecepatan 7500 rpm pada temperatur 25oC selama 20 menit. Filtrat yang diperoleh digunakan untuk menentukan kadar asam-asam organik. Penetapan dilakukan dengan HPLC (High Performance Liquid Chromatography). Persiapan media pembibitan Tanah dari lapang dibersihkan dari sisa-sisa tanaman dan kotoran kemudian dikeringanginkan. Selanjutnya tanah yang telah kering angin diayak dengan ukuran 5 mm x 5 mm dan ditimbang sebanyak 3 kg/polibag.
Polibag yang digunakan
berukuran 20 cm x 30 cm dengan tebal 0.8 mm dan 18 lubang drainase. Perlakuan pemupukan fosfat alam Ayamaru dan pupuk dasar lainnya diaplikasikan pada setiap satuan percobaan 1 minggu sebelum penanaman. Dosis pupuk dasar adalah 2 g Urea dan 2 g KCl per bibit. Selama masa inkubasi dilakukan penyiraman untuk menjaga kelembaban tanah. Pengecambahan benih kakao Benih kakao sebagai tanaman uji dipilih dari benih yang penampakan dan besarnya seragam. Benih dikecambahkan pada nampan pengecambahan yang diisi dengan media zeolit.
Media pengecambahan yang digunakan distrerilkan dengan
autoclave pada temperatur 121o C selama 15 menit. Pengecambahan dilakukan hingga umur tujuh hari setelah pesemaian. Penanaman, inokulasi dan pemeliharaan Pupuk fosfat alam Ayamaru dan pupuk dasar diberikan satu minggu sebelum penanaman dengan cara dicampur merata dengan media tumbuh.
Sejumlah satu
kecambah kakao yang telah berumur tujuh hari selanjutnya dipindahtanamkan ke dalam
67 polibag yang telah disiapkan. Pada saat tanam dilakukan inokulasi kultur isolat bakteri pelarut fosfat dengan dosis sebanyak 1 mL (1010 sel) pada lobang tanam. Pengenceran dilakukan dengan metode cawan tuang berdasarkan pada nilai kerapatan optikal. Pemeliharaan dilakukan dengan penyiraman setiap pagi sesuai dengan kapasitas lapang. Peubah yang Diamati Pengamatan tanggap bibit kakao terhadap tingkat dosis fosfat Ayamaru dan inokulasi bakteri pelarut fosfat dilakukan terhadap peubah : 1. Tinggi tanaman (cm), diukur dari pangkal batang hingga pangkal tangkai daun terakhir. Pengukuran ini dilakukan pada umur 2, 4, 6, 8, 10, 12, 14,16 MST (minggu setelah tanam) 2. Diameter batang (mm), pada batang 1 cm di atas pangkal batang. Pengukuran dilakukan menggunakan kaliper pada umur 2, 4, 6, 8, 10, 12, 14,16 MST (minggu setelah tanam). 3. Jumlah daun pada umur 2, 4, 6, 8, 10, 12, 14, 16 MST (minggu setelah tanam). 4. Bobot kering tajuk (g), diukur
setelah tanaman dipanen dan tajuknya
dikeringkan dengan oven pada temperatur 60o C selama 24 jam. 5. Bobot kering akar (g), diukur pada setelah tanaman dipanen dan akarnya dikeringkan dengan oven pada temperatur 60o C selama 24 jam. 6. Nisbah tajuk akar, perbandingan bobot kering tajuk dengan bobot kering akar. 7. Analisis kadar P jaringan tanaman, dilakukan terhadap tajuk tanaman dengan Metode Watanabe dan Olsen
(1965) menggunakan Atomic Absorption
Spectrophotometer (AAS). 8. Serapan P, dihitung dengan mengalikan kadar P tajuk dengan bobot kering tajuk (mg/tajuk). 9. pH tanah 10. Kadar P total tanah (ppm)
68 11. Kadar P tersedia tanah (ppm) 12. Kadar Aldd tanah (me/100 g) Analisis Data Data hasil pengamatan dilakukan analisis ragam dan jika perlakuan penunjukkan pengaruh yang nyata, dilanjutkan dengan Uji BNT pada taraf kepercayaan 95%. Pengaruh dosis fosfat alam terhadap pertumbuhan tanaman diuji dengan Ortogonal polinomial (Gomez and Gomez 1995).
Hasil Hasil pembakuan populasi terhadap dua isolat BPF diperoleh persamaan RJM.30.2 y = 0.032 + 9.033.1012x dan FT.3.2 y = 0.065 + 6.002.1011x .
Pengujian
kemampuan pelarutan P dari fosfat alam oleh masing-masing isolat menunjukkan pada kondisi steril isolat RJM.30.2 melarutkan 474.4 ppm dengan pH 6.90 dan pada kodisi tidak steril 368.6 ppm dengan pH 6.65, sedangkan ioslat FT.3.2 masing-masing 569.7 ppm pH 6.8 dan 486.3 ppm dengan pH 6.75. Dari analisis asam organik diperoleh bahwa inkubasi dengan isolat RJM.30.2 dan FT.3.2 menghasilkan asam-asam organik (Tabel 6). Tabel 6 Jenis-jenis asam organik yang dihasilkan oleh inkubasi isolat bakteri Asam Organik
Asetat Laktat Sitrat Malat Suksinat Kumarat
Isolat Bakteri FT.3.2 ……… ppm ………
RJM.30.2 …….. ppm ……..
176.01 14.20 134.23 36.54 15.05 11.01
192.25 18.32 101.45 39.06 18.11 12.20
69 Beberapa asam organik yang mampu melarutkan fosfat alam, yaitu asam glukonat, asam sitrat (Reyes et al. 2001), format, propinonat, fumarat, dan suksinat (Siripin 2002), dan asam 2-ketoglukonat, laktat, isovalerat, dan isobutirat (Valverde et al. 2006). Asam-asam organik menurunkan pH dan menyebabkan pemutusan ikatan P dengan penjerap di dalam tanah (Siripin 2002).
Satu molar asam sitrat dapat
mendetoksifikasi satu Al, tetapi dengan jumlah Al yang sama diperlukan tiga kali asam oksalat, 6-8 kali asam malat. Menurut Ginting et al. (1998) asam organik yang paling efektif dalam menurunkan keracunan Al adalah asam sitrat dan oksalat diikuti oleh tartarat dan malat. Analisis ragam (Lampiran 10b) terhadap tinggi bibit kakao 2 – 14 minggu setelah tanam (MST) menunjukkan bahwa dosis FA dan inokulasi bakteri pelarut fosfat (BPF) berpengaruh sangat nyata terhadap pertumbuhan bibit kakao. Dosis pemupukan FA dan inokulasi bakteri pelarut fosfat (BPF) mulai berpengaruh pada umur empat MST. Pengaruh dosis FA dan inokulasi BPF terhadap diameter batang mulai tampak pada umur enam MST, sedangkan terhadap jumlah daun bibit pengaruh FA mulai tampak pada umur enam MST dan pengaruh inokulasi BPF mulai tampak pada umur delapan MST.
Pengaruh pemupukan FA lebih cepat tampak karena tanah sebagai
media tumbuh memiliki kadar P tersedia sangat rendah (Lampiran 7). Lambatnya pengaruh inokulasi BPF diduga karena diperlukan masa adaptasi untuk memberikan pengaruh terhadap pelarutan FA dan bibit kakao. Pemberian fosfat alam dan inokulasi BPF berpengaruh nyata terhadap tinggi, diameter batang, jumlah daun, bobot kering (P<0.001).
akar, dan nisbah tajuk-akar bibit kakao
Interaksi dosis fosfat alam dan inokulasi BPF berpengaruh nyata terhadap
bobot kering tajuk, kadar P total, kadar P tersedia, dan kadar Aldd (Lampiran 9b).
70 Tinggi tanaman, diameter batang, jumlah daun, dan bobot kering akar bibit kakao tertinggi diperoleh pada dosis fosfat alam 2.0 g P2O5/bibit. Nisbah tajuk-akar tertinggi diperoleh pada dosis fosfat alam 1.5 g P2O5/bibit.
Inokulasi BPF isolat F.T
3.2 (B2) memberikan tinggi tanaman, diameter batang, jumlah daun, bobot kering akar bibit kakao tertinggi, sedangkan nisbah tajuk-akar tertinggi diperoleh pada bibit tanpa inokulasi BPF (Bo) (Tabel 7, Gambar 13 dan 14). Apabila dibandingkan dengan kontrol (Bo) maka keefektifan isolat FT.3.2 (B2) untuk tinggi tanaman, diameter batang, jumlah daun, dan bobot kering akar bibit kakao, yaitu 48.46%, 36.00%, 29.58%, dan 161.73%, sedangkan terhadap isolat RJM.30.2 (B1), yaitu 36.09%, 20.15%, 17.47%, dan 69.14%. Tabel 7 Tanggap tinggi, diameter batang, jumlah daun, bobot kering akar, dan nisbah tajuk-akar bibit kakao terhadap dosis fosfat alam pada isolat BPF yang berbeda Perlakuan
Tinggi Bibit (cm)
Diameter Batang (mm)
Jumlah Daun
BK Akar (g/bibit)
Nisbah Tajuk-Akar
Dosis FA (g P2O5/bibit):
Kontrol : 0
29.15 c
4.90 e
9.78 d
0.85 c
3.21 b
0.5
33.94 b
5.43 de
14.28 c
1.36 b
3.33 b
1.0
35.11 b
5.98 cd
13.94 c
1.24 bc
3.41 b
1.5
35.17 b
6.39 bc
15.78 bc
1.34 b
3.74 b
2.0
36.19 b
6.65 ab
17.59 b
1.98 a
3.59 b
39.94 a
7.04 a
20.39 a
1.80 a
4.85 a
(Bo)
27.24 A
5.11 A
13.22 A
0.81 A
4.28 A
RJM.30.2 (B1)
37.07 B
6.14 B
15.53 B
1.37 B
3.53 B
SP36 : 2.0 g P2O5/bibit Isolat BPF : Kontrol FT.3.2
(B2)
B1 vs B0 B2 vs B0 B2 vs B1 B
40.44 C 6.95 C 17.13 B 2.12 C 3.27 B ............................... Keefektifan (%) ................................... 36.09 20.15 17.47 69.14 - 17.52 48.46 36.00 29.58 161.73 - 23.60 9.09 13.19 10.30 54.74 - 7.37
Keterangan: Angka dalam satu kolom yang diikuti oleh huruf yang sama tidak berbeda nyata dalam uji BNT pada taraf 95%. BPF : Bakteri Pelarut Fosfat, Bo: Tanpa BPF; B1 : RJM.30.2; B2 : FT.3.2. B
71 Tinggi Bibit (cm)
55
45 40 35 30 25 20 15 10 5
Tinggi bibit (cm)
50 45 40 35
y = 33.2500 + 7.6620x R2 = 0.78
30 25 20
40.44 37.07 27.24
0
15
Bo 0
0.5
1
1.5
Dosis FA (g P2O5/bibit)
B1
2
B2
Isolat BPF
(a) Diameter batang (mm)
Diameter batang (mm)
12
6.95
7 6
10
5
8
6.14 5.11
4 6
y = 6.7780 + 1.6920x R2 = 0.79
4
3 2 1
2
0
0
Bo 0
0.5
1
1.5
2
Dosis FA (g P2O5/bibit)
B2
(b) Jumlah daun
20
18 16 14 12 10 8 6 4 2 0
18
Jumlah daun
B1 Isolat BPF
16 14 12
y = 10.8490 + 3.4244x R2 = 0.87
10 8
17.13 15.53 13.22
Bo
6 0
0.5
1
1.5
Dosis FA (g P2O5/bibit)
2
B1
B2
Isolat BPF
(c)
Gambar 13 Tanggap tinggi (a), diameter batang (b), dan jumlah daun (c) bibit kakao terhadap dosis fosfat alam pada isolat BPF yang berbeda. Bo : Tanpa BPF; B1 : RJM.30.2; B2 : FT.3.2. B
72 Bobot kering akar (g)
2.25
2.5
2.05
2.12
Bobot kering akar (g)
1.85
2.0
1.65 1.45
1.37
1.5
1.25 1.05
1.0
y = 0.9028 + 0.4514x R2 = 0.76
0.85 0.65
0.81
0.5
0.45
0.0
0.25 0
0.5
1
1.5
Dosis FA (g P2O5/bibit)
Bo
2
B1
B2
Isolat BPF
(a)
Nisbah tajuk-akar
3.8
4.5 4.0 3.5 3.0 2.5 2.0 1.5 1.0 0.5 0.0
Nisbah tajuk-akar
3.7 3.6
y = 3.2235 + 0.2333x R2 = 0.76
3.5 3.4 3.3 3.2 3.1
4.28 3.53
Bo 0
0.5
1
1.5
Dosis FA (g P2O5/bibit)
2
B1
3.27
B2
Isolat BPF
(b)
Gambar 14 Tanggap jumlah daun (a) dan bobot kering akar (b) bibit kakao terhadap dosis fosfat alam pada isolat BPF yang berbeda. Bo : Tanpa BPF; B1 : RJM.30.2; B2 : FT.3.2.
Tinggi, diameter batang, dan jumlah daun bibit kakao memberikan tanggap linier terhadap pemberian dosis fosfat alam. Persamaan garis regresi tinggi bibit ŷ = 30.8500 + 3.0620x R2= 0.76, diameter batang ŷ = 4.9780 + 0.8920x R2= 0.78, dan jumah daun
ŷ = 10.8490 + 3.4244x R2= 0.87. Bobot kering akar dan nisbah tajuk-
akar memberikan tanggap linier terhadap pemberian dosis fosfat alam, masing-masing dengan persamaan garis bobot kering akar ŷ = 0.9028 + 0.4514x R2= 0.76 dan nisbah tajuk-akar ŷ = 3.2235 + 0.2333x R2= 0.76 (Gambar 13 dan 14).
73 (a)
(b)
Bo
B1
B2
P5
P0
P36
P0.5
P1.0
P1.5 P2.0 FA B2
Gambar 15 Penampilan pertumbuhan bibit kakao yang diinokulasi BPF (a) dan dosis fosfat alam (b). Bo: tanpa BPF; B1: RJM.30.2; B2:FT.3.2. Po ;kontrol; P36 : 2 g P2O5/bibit SP-36; P0.5 : 0.5 g P2O5 FA/bibit; P1.0 : 1.0 g P2O5 FA/bibit; P1.5 : 1.5 g P2O5 FA/bibit; P2.0 : 2.0 g P2O5 FA/bibit
Hasil analisis ragam (Lampiran 9b) menunjukkan bahwa dosis fosfat alam dan inokulasi BPF berpengaruh sangat nyata (P<0.001) terhadap kadar P, serapan P tajuk, pH media bibit kakao
tetapi tidak menunjukkan interaksi yang nyata (Tabel 8,
Lampiran 9b). Hasil yang diperoleh menunjukkan bahwa keefektifan isolat FT.3.2 (B2) dibandingkan dengan kontrol (Bo) terhadap kadar dan serapan P tajuk adalah adalah 20.00 % dan 130.41 %, sedangkan apabila dibandingkan dengan RJM.30.2 (B1) adalah 5.88 % dan 31.92 %.
Apabila dibandingkan dengan kontrol, keefektifan isolat
RJM.30.2 dalam serapan P tajuk sebesar 74.66%. Dibandingkan dengan kontrol, inokulasi isolat B2 menurunkan pH 0.64%, sedangkan inokulasi dengan isolat B1 pH turun 0.42% (Tabel 8). Analisis Ortogonal polinomial menunjukkan bahwa kadar P, serapan P tajuk dan pH media menunjukkan tanggap linier terhadap dosis fosfat alam (Lampiran 10b). Kurva tanggap kadar P tajuk, serapan P tajuk, dan pH media bibit kakao terhadap dosis fosfat alam pada isolat BPF yang berbeda disajikan pada Gambar 16.
74 Tabel 8 Tanggap kadar P tajuk, serapan P tajuk, dan pH media terhadap dosis fosfat alam pada isolate BPF yang berbeda Perlakuan Dosis FA (g P2O5/bibit):
Kadar P Tajuk (%)
Serapan P (mg/tajuk)
pH tanah
Kontrol : 0
0.12 f
3.50 d
4.64 b
0.5
0.14 e
6.05 c
4.62 b
1.0
0.16 d
6.03 c
4.68 b
1.5
0.18 c
7.35 c
4.71 b
0.20 b
11.10 b
4.72 b
0.21 a
17.77 a
4.85 a
2.0 SP36 : 2.0 g P2O5/bibit Isolat BPF : Tanpa BPF (Bo) RJM.30.2 (B1) FT.3.2 (B2) B
B
0.15 A 5.13 A 4.72 A 0.17 B 8.96 B 4.70 A 0.18 B 11.82 C 4.69 A ……………………Keefektifan (%) ……………….. 74.66 -0.42 13.33 130.41 -0.64 20.00 31.92 -0.21 5.88
B1 vs B0 B2 vs B0 B2 vs B1 Keterangan : Angka dalam satu kolom yang diikuti oleh huruf yang sama tidak berbeda B
B
B
nyata menurut Uji BNT 95%. Bo : Tanpa BPF; B1 : RJM.30.2; B2 : FT.3.2.
Dosis fosfat alam secara linier berpengaruh meningkatkan kadar P tajuk, serapan P tajuk, dan pH media bibit kakao. Persamaan garis dari masing-masing peubah tersebut adalah kadar P ŷ = 0.1196 + 0.0384x R2= 0.99, serapan P tajuk ŷ = 0.3507 + 0.3300x R2= 0.88, dan pH media ŷ = 4.6292 + 0.0462 R2 = 0.85 (Gambar 16).
75 0.21
Kadar P tajuk (%) 0.20 0.18 0.16 0.14 0.12 0.10 0.08 0.06 0.04 0.02 0.00
Kadar P tajuk (%)
0.19 0.17 0.15 0.13
y = 0.1196 + 0.0384x R2 = 0.99
0.11 0.09
0.17 0.15
Bo
0
0.5
1
1.5
Dosis FA (g P2O5/bibit)
0.18
B1
2
B2
Isolat BPF
(a)
12 Serapan P (mg/tajukt)
Serapan P (mg/tajuk )
10
11.82
12.00
8
10.00
8.96
8.00
6
6.00
y = 3.5066 + 3.3x R2 = 0.88
4
5.13
4.00 2.00
2
0.00
0
Bo
0
2
0.5 1 1.5 Dosis FA (g P2 O5/bibit)
B2
Isolat BPF
(b) pH media
4.85
pH media
B1
4.80
4.75
4.75
4.73
4.70
4.72
4.71
4.65
y = 4.6292 + 0.0462x R2 = 0.85
4.60
4.70 4.69
4.69 4.67
4.55
4.65
4.50 0
0.5
1
1.5
Bo
2
Dosis FA (g P2O5/bibit)
(c)
B1
B2
Isolat BPF
Gambar 16 Tanggap kadar P Tajuk (a), serapan P tajuk (b), dan pH media (c) akibat dosis fosfat alam pada isolat BPF yang berbeda. Bo: Tanpa BPF; B1 : RJM.30.2; B2 : FT.3.2.
76 Interaksi dosis fosfat alam dan inokulasi BPF berpengaruh pada bobot kering tajuk, kadar P tersedia, kadar P total, dan kadar Aldd media bibit kakao disajikan pada Tabel 9 (Lampiran 9b). Tabel 9 Tanggap bobot kering tajuk, kadar P tersedia, kadar P total, dan kadar Aldd media akibat dosis fosfat alam pada isolat BPF yang berbeda Perlakuan Bo B1 B2 B1 vs Bo B2 vs Bo B2 vs B1 Bo B1 B2 B1 vs Bo B2 vs Bo B2 vs B1 B
B
B
Bo B1 B2 B1 vs Bo B2 vs Bo B2 vs B1 B
B
B
Bo B1 B2 B1 vs Bo B2 vs Bo B2 vs B1 Keterangan : B
B
B
Dosis Fosfat Alam (g P2O5/bibit)
SP36
0 0.5 1.0 1.5 2.0 ...................... Bobot Kering tajuk (g/bibit)..........................
2.02 2.32 2.05 2.97 4.40 7.08 2.17 2.84 3.80 3.69 6.53 8.53 3.92 6.47 5.91 5.21 7.84 9.50 ................................. Keefektifan (%)................................. 7.43 22.41 85.37 24.24 48.41 20.48 94.06 178.88 188.29 75.42 78.18 34.18 80.65 127.82 55.53 41.19 20.06 11.37 ……………….. Kadar P tersedia (ppm) ………..……… 1.96 2.90 3.92 4.52 5.45 8.02 2.21 3.24 4.09 4.69 5.62 9.21 2.47 3.67 4.26 4.94 5.96 12.41 .................................. Keefektifan (%)................................. 12.76 11.72 4.34 3.76 3.12 14.84 26.02 26.55 8.67 9.29 9.36 54.74 11.76 13.27 4.16 5.33 6.05 34.74 …………………..Kadar P total (ppm) ………..………… 23,01 35.79 47.72 55.39 63.06 83.42 25.56 38.35 50.28 57.09 65.62 100.13 27.27 40.05 52.83 60.50 68.17 123.62 ................................... Keefektifan (%)................................. 11.08 7.15 5.36 3.07 4.06 20.03 18.51 11.90 10.71 9.23 8.10 48.19 6.69 4.43 5.07 5.97 3.89 23.46 ................................Kadar Aldd (me/100g) ......................... 17.20 17.35 17.54 17.47 17.58 16.27 17.09 17.11 17.11 17.12 17.15 16.19 17.01 17.10 17.05 16.84 16.90 15.96 .................................. Keefektifan (%)................................. -0.01 -1.38 -2.45 -2.42 -2.45 -0.00 -1.10 -1.44 -2.79 -3.61 -3.87 -1.91 -0.00 -0.00 -0.00 -1.64 -1.46 -1.42 Bo : Tanpa BPF; B1 : RJM.30.2; B2 : FT.3.2.
Kurva tanggap
Linier Linier Linier
Linier Linier Linier
Linier Linier Linier
Linier Linier Linier
77 Pada dosis FA 2.0 g/bibit, apabila dibandingkan dengan tanpa inokulasi BPF, maka inokulasi BPF meningkatkan bobot kering tajuk sebesar 48.41% untuk B1 dan 78.18% untuk B2. Pada perlakuan tanpa FA bobot kering tajuk meningkat sebesar 7.43% untuk B1 dan 94.06% untuk B2. Namun demikian bobot kering tajuk bibit kakao pada semua dosis FA baik yang diinokulasi BPF maupun tidak lebih rendah dibandingkan dengan yang dipupuk 2.0 g P2O5 SP36. Terhadap kadar P tersedia dan P total inokulasi BPF pada dosis FA 2.0 g P2O5/bibit masing-masing meningkat sebesar 3.12% dan 4.06% untuk B1 sedangkan untuk B2 sebesar 9.36% dan 8.10%. Pada perlakuan tanpa FA peningkatan kadar P tersedia dan kadar P total
masing-masing sebesar 12.76% dan 26.02% untuk B1 dan
11.08% dan 18.51% untuk B2. Terhadap kadar Aldd
inokulasi BPF pada dosis FA 2.0 g P2O5/bibit menurun
sebesar -2.45% untuk B1 dan -3.87% untuk B2, sedangkan pada perlakuan tanpa FA inokulasi B1 menurunkan Aldd sebesar 0.01% dan untuk B2 menurun sebesar 1.10%. Inokulasi BPF telah dengan nyata meningkatkan bobot kering tajuk, kadar P total, dan kadar P tersedia, serta menurunkan kadar Aldd media. Pemupukan dengan SP36 memberikan kadar P total dan P tersedia media lebih tinggi daripada pemupukan dengan FA, tetapi sebaliknya kadar Aldd media pada pemupukan SP36 lebih rendah daripada pemupukan FA (Gambar 17). Analisis Ortogonal polinomial menunjukkan bahwa akibat dosis FA, semua isolat BPF memberikan tanggap linier terhadap bobot kering tajuk, kadar P tersedia, dan kadar P total. Isolat FT.3.2 memberikan bobot kering tajuk, kadar P tersedia, dan kadar P total tertinggi, sedangkan yang terendah dihasilkan oleh kontrol (Bo) (Gambar 17, Lampiran 10b).
78 8
Linear (yBo= 1,5353 + 1,1500x, R^2= 0,45) Linear (yB1= 1,8933 + 1,9140x, R^2= 0,62) Linear (yB2= 4,3540 + 1,3173x, R^2= 0,31)
6.5 6.0
6
5.5
Kadar P tersedia (ppm)
Bobot Kering Tajuk (g/bibit)
7
5 4 3 2
5.0 4.5 4.0 3.5 3.0 2.5
1
Linear (yBo= 2,0670 + 1,2310x, R^2= 0,92) Linear (yB1= 2,3160 + 1,6530x, R^2= 0,98) Linear (yB2= 2,6080 + 1,6510x, R^2= 0,97)
2.0
0
1.5
0
0.5
1
1.5
Dosis Fosfat Alam (g P2O5/bibit)
2
0
0.5
1
1.5
Dosis Fosfat Alam (g P2O5/bibit)
(a)
2
(b)
80
18.5
Linear (yBo= 25,9510 + 17,2420x, R^2= 0,95) Linear (yB1= 27,1060 + 19,5710x, R^2= 0,96) Linear (yB2= 20,4500 + 29,3140x, R^2= 0,98)
18.3
Linear (yBo= 17.2490+ 0.1780x, R^2= 0.61) Poly. (yB1= 17.1950 - 0.1516x + 0.0643x^2, R^2= 0,29)
18.1
Linear (yB2= 17.0750 - 0.0980x, R^2= 0.36)
(me/100g)
70
Kadar P total (ppm)
60
Kadar Al
50
40
17.9 17.7 17.5 17.3 17.1 16.9
30
16.7
20
16.5
0
0.5
1
1.5
Dosis Fosfat Alam (g P2O5/bibit)
2
0
0.5
1
1.5
Dosis Fosfat Alam (g P2O5/bibit)
2
(c) (d) Gambar 17 Tanggap bobot kering tajuk (a), kadar P tersedia (b), kadar P total (c), dan kadar Aldd (d) media akibat dosis fosfat alam pada isolat BPF yang berbeda; Bo : Tanpa BPF; B1 : RJM.30.2; B2 : FT.3.2. Pada semua tingkat dosis FA kadar Aldd media bibit kakao terendah ditunjukkan oleh perlakuan inokulasi isolat BPF FT.32 (B2), sedangkan yang tertinggi pada media bibit kakao tanpa inokulasi BPF (Bo).
79
Pembahasan Pemberian berbagai dosis fosfat alam Ayamaru meningkatkan pertumbuhan bibit kakao baik yang diinokulasi bakteri pelarut fosfat maupun tanpa inokulasi (Gambar 14-17).
Hal ini menunjukkan bahwa fosfat alam yang diberikan dapat
meningkatkan ketersediaan P media, sehingga bibit dapat menyerapnya untuk pertumbuhan. Di samping itu karena kadar P tersedia media tanah yang sangat rendah (Lampiran 7) maka dengan adanya penambahan P akan sangat berpengaruh terhadap tanggap positif pertumbuhan bibit.
Vance et al. (2003) menyatakan bahwa P
merupakan hara penting untuk pertumbuhan tanaman dan menjadi pembatas utama dalam produktivitas dalam sistem pertanian.
Penggunaan fosfat alam (FA) secara
langsung secara agronomi lebih praktis dan lebih ramah lingkungan (Rajan et al. 1996). Di samping itu penggunaan fosfat alam secara langsung lebih murah meskipun kebanyakan tidak tersedia bagi tanaman sebab fosfat alam merupakan pupuk yang lambat tersedia (Zapata & Roy
2004).
Oleh karena itu BPF digunakan untuk
meningkatkan nilai fosfat alam sebab BPF dapat meningkatkan kerlarutan fosfat alam yang sulit larut menjadi tersedia untuk pertumbuhan tanaman (Nahas et al. 1990). Perubahan kelarutan fosfat alam dapat terjadi melalui pengasaman, khelating, dan pertukaran reaksi (Gerke 1992). Perlakuan inokulasi BPF nyata lebih meningkatkan pertumbuhan bibit kakao. Hal ini menunjukkan bahwa isolat bakteri yang diinokulasikan dapat berperan melarutkan fosfat alam menjadi P yang tersedia sehingga bibit dapat menyerapnya untuk proses pertumbuhannya. Hasil analisis asam-asam organik menunjukkan bahwa kedua isolat menghasilkan asam asetat, laktat, sitrat, malat, suksinat, dan kumarat dengan kadar yang berbeda-beda (Tabel 7). Beberapa asam organik yang mampu
80 melarutkan fosfat alam, yaitu asam glukonat, asam sitrat (Reyes et al. (2001), format, propinonat, fumarat, suksinat (Siripin
2002) dan asam 2-ketoglukonat, laktat,
isovalerat, dan isobutirat (Valverde et al. 2006). Asam-asam organik menurunkan pH dan menyebabkan pemutusan ikatan P dengan penjerap di dalam tanah (Siripin 2002). Bibit kakao yang dipupuk dengan fosfat alam dan yang diinokulasi BPF isolat FT.3.2 dan RJM.30.2 memberikan pertumbuhan yang lebih baik daripada kontrol baik terhadap tinggi, diameter batang, jumlah daun, bobot kering tajuk, maupun bobot kering akar. Isolat FT.3.2 memberikan pertumbuhan lebih baik daripada RJM.30.2. Hal ini diduga karena isolat FT.3.2 mengasilkan asam sitrat lebih banyak daripada RJM.30.2 (Tabel 7).
Ström et al. (2002) menyatakan bahwa mobilisasi P oleh asam
sitrat lebih kuat daripada oksalat dan malat. Kemampuan asam sitrat memobilisasi P berhubungan dengan kekuatan stabilitas kompleks Al-sitrat. Mobilisasi P disebabkan oleh pertukaran ‘ligand’ antara sitrat dan jerapan fosfat oleh Fe dan Al (Gerke et al. 2000; Trolove et al. 2003). Lebih lanjut Xu et al. (2004) menyatakan bahwa asam sitrat merupakan asam trikarboksilat dengan gugus satu α dan dua β yang disubstitusi hidroksil, telah menunjukkan kemampuannya yang lebih baik daripada asam organik lainnya dalam pelarutan fosfat alam. Whitelaw (2000) mendapatkan bahwa semakin banyak jumlah gugus karboksil asam, maka lebih efektif melarutkan fosfat alam. Oleh karenanya penjerap P lebih mudah dikomplek oleh asam trikarboksilat seperti asam sitrat daripada asam dikarboksilat seperti asam malat dan tartarat. Pengaruh dari pelarutan fosfat alam oleh bakteri pelarut fosfat dapat mensuplai P tersedia bagi tanaman dari sumber P yang sulit larut (Valverde et al. 2006) sehingga bibit dapat bertumbuh dengan baik. Pengnoo et al. (2007) menyatakan bahwa BPF memainkan peranan kritis dalam memediasi ketersediaan P bagi tanaman dan secara
81 langsung melakukan pelarutan fosfat. Dalam penelitian ini inokulasi isolat BPF telah menunjukkan peranannya dalam meningkatkan P tersedia pada media tumbuh. Pada dosis FA 2 g P2O5/bibit, apabila dibandingkan dengan kontrol, isolat FT.3.2 meningkatkan P tersedia sebesar 9.36% sedangkan isolat RJM.30.2 sebesar 3.12% (Tabel 9).
Isolat FT.3.2 tampak lebih efektif daripada isolat RJM.30.2 dalam
meningkatkan kadar P tersedia. Hal ini menunjukkan bahwa pelarutan fosfat alam oleh BPF terjadi melalui dihasilkannya sejumlah asam-asam organik oleh kedua isolat BPF tersebut. Keefektifan isolat FT.3.2 yang tinggi dalam meningkatkan kelarutan fosfat alam diduga berhubungan dengan kadar asam sitrat yang dihasilkan isolat FT.3.2 yang lebih tinggi daripada isolat RJM.30.2. Babana & Antoun (2006) menyatakan bahwa banyak bakteri yang mampu membantu tanaman dengan melarutkan fosfat organik maupun anorganik di tanah. Sehubungan dengan hal ini produksi dan pelepasan asam-asam organik merupakan mekanisme penting dalam pelarutan P anorganik
(Richardson
2001) termasuk pelarutan fosfat alam (Reyes et al. 2001). Sekresi asam-asam organik oleh bakteri pelarut fosfat (BPF) dapat melarutkan fosfat yang sulit larut sehingga menjadi tersedia bagi tanaman (Ponmurugan & Gopi 2006). Drouillon & Merck (2003) menyatakan bahwa eksudasi asam organik dapat meningkatkan P tersedia di rhizosfer. Beberapa penelitian mekanisme pelarutan P oleh asam organik menjelaskan bahwa pelepasan asam-asam organik ke dalam
larutan tanah akan menyebabkan
penurunan pH. Sperber (1958) dikutip dalam Natesan & Shanmugasundaram (1989) melaporkan bahwa sekresi asam organik menurunkan pH media sehingga memutuskan ikatan P. Valverde et al. (2006) menyatakan bahwa produksi asam-asam organik akan mengasamkan lingkungan sekitarnya. Ström et al. (2002) menyatakan bahwa pengaruh
82 langsung dengan adanya asam organik adalah memperantarai pelepasan P dan pengaruh tidak langsung, yaitu stimulasi akivitas mikrobia dan biasanya menurunkan pH tanah. Kemampuan asam-asam organik melarutkan fosfat alam
sehingga menjadi
tersedia bagi tanaman menunjukkan bahwa asam organik mampu mengkelat logamlogam yang menjerab P pada tanah masam terutama Al dan Fe (Drouillon & Merck 2003). Pada semua tingkat dosis pemberian fosfat alam baik isolat RJM.30.2 maupun FT.3.2 mampu menurunkan
kadar Aldd media.
Pada pemberian fosfat alam dengan
dosis 2.0 g P2O5/bibit, apabila dibandingkan dengan kontrol, isolat FT.3.2 lebih efektif menurunkan Aldd hingga 3.87% sedangkan isolat RJM.30.2 sebesar 2.45%.
Ström et
al. (2002) menyatakan bahwa asam organik mampu mengkompleks Al dan Fe atau mobilisasi P melalui pengikatan metal-senyawa organik. Gadd (2004) mengemukakan bahwa asam organik dapat memobilisasi logam dengan mereduksi logam valensi tinggi seperti Fe3+ menjadi Fe2+, Mn4+ manjadi Mn2+ dan
Al3+ menjadi Al(OH)2+.
Satu molar asam sitrat dapat mendotoksifikasi satu Al, tetapi dengan jumlah Al yang sama diperlukan tiga kali asam oksalat, 6-8 kali asam malat. Menurut Ginting et al. (1998) asam organik yang paling efektif dalam menurunkan keracunan Al adalah asam sitrat dan oksalat diikuti oleh tartarat dan malat. Di samping oleh adanya eksudat asam organik dari BPF, menurut Schoèttelndreier et al. (2001) dan Minocha & Long (2004) tanaman mengembangkan mekanisme untuk meningkatkan toleransinya terhadap Al,
yaitu dengan eksudasi
asam-asam organik sehingga konsentrasi Aldd dalam tanah menjadi rendah. Fosfat alam apabila digunakan untuk waktu yang lama dengan perlakuan BPF akan ditransformasi ke bentuk P tersedia oleh BPF selanjutnya diambil oleh tanaman yang diindikasikan oleh peningkatan kadar P dalam tanaman, sehingga
83 pertumbuhannya meningkat (Zaidi & Khan 2006). Serapan P tajuk meningkat secara linier terhadap tingkat dosis fosfat alam tetapi hingga pada dosis fosfat alam 2.0 g P2O5 serapan P tajuk lebih rendah dibandingkan dengan bibit yang diberi SP36 2.0 g P2O5. Inokulasi BPF isolat FT.3.2 meningkatkan kadar P tersedia sehingga serapan P tajuk juga meningkat lebih tinggi daripada inokulasi isolat RJM.30.2. Tanaman menyerap P dalam bentuk ion ortofosfat terlarut, namun demikian pada tanah masam kelarutan fosfat dihambat oleh keberadaan Fe dan Al atau Ca pada tanah alkalin (Han et al. 2006). Hasil percobaan menunjukkan bahwa dengan dosis fosfat alam yang semakin meningkat maka pertumbuhan bibit kakao juga meningkat. Inokulasi isolat bakteri pelarut fosfat FT.3.2 pada pembibitan kakao nyata lebih baik daripada isolat RJM.30.2. Isolat FT.3.2 lebih efektif meningkatkan ketersediaan P pada bibit kakao yang diberi fosfat alam dan lebih meningkatkan pertumbuhan bobot kering tajuk daripada isolat RJM.30.2. Pertumbuhan bibit kakao yang dipupuk dengan SP36 lebih baik karena kadar P tersedia lebih tinggi daripada pemupukan dengan FA pada semua tingkat dosis. Oleh karena itu dibandingkan dengan pemupukan SP36 2.0 P2O5/bibit, pemupukan dengan fosfat alam hingga 2.0 g P2O5/bibit belum dapat menghasilkan bibit siap salur kecuali disertai dengan inokulasi BPF isolat FT.3.2. Berdasarkan hasil penelitian ini, maka dalam percobaan ke empat isolat FT.3.2 akan digunakan sebagai unsur kombinasi bersamaan dengan inokulum FMA Mycofer dan tingkat dosis asam humat yang lainnnya.
efektif yang diperoleh dari hasil percobaan
84
Kesimpulan Dari hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa : 1. Isolat FT.3.2 lebih efektif daripada isolat RJM.30.2. Apabila dibandingkan dengan kontrol, pada dosis fosfat alam 2.0 g P2O5/bibit, inokulasi isolat FT.3.2 meningkatkan pertumbuhan bobot kering tajuk sebesar 78.18% dan isolat RJM.30.2 sebesar 48.41%, sedangkan kadar P tersedia meningkat 9.36% untuk isolat FT.3.2 dan 3.12% untuk isolat RJM.30.2.
Isolat FT.3.2 menurunkan
kadar Aldd sebesar 3.87% sedangkan RJM.30.2 sebesar 2.45%. Isolat FT.3.2 lebih banyak menghasilkan asam sitrat sehingga lebih mampu mengkelat Al dan meningkatkan kadar P tersedia. 2. Pemberian fosfat alam Ayamaru sampai dengan 2.0 g P2O5/bibit meningkatkan pertumbuhan bobot kering tajuk bibit kakao secara linier dan peningkatan terbesar dicapai pada bibit yang diinokulasi dengan isolat FT.3.2, yaitu 4.35 – 6.99 g/bibit, tetapi lebih rendah dibandingkan dengan pemupukan SP36 2.0 g P2O5/bibit yang menghasilkan bobot kering tajuk 9.50 g/bibit.
V TANGGAP BIBIT KAKAO PADA BEBERAPA DOSIS FOSFAT ALAM AYAMARU DAN ASAM HUMAT ABSTRAK Senyawa humat mampu melarutkan dan mengkelat mineral dari batuan fosfat. Namun demikian kemampuan asam humat dalam meningkatkan nilai agronomis fosfat alam Ayamaru (FA) yang diberikan pada bibit kakao belum diketahui. Oleh karena itu penelitian ini bertujuan untuk memperoleh dosis asam humat yang paling efektif meningkatkan daya guna fosfat alam Ayamaru pada bibit kakao. Penelitian dilaksanakan di Kebun Percobaan Cikabayan IPB, Laboratorium Bioteknologi Hutan, Lab. Kimia dan Kesuburan Tanah. Penelitian dilakukan menggunakan rancangan acak lengkap dua faktor. Faktor pertama adalah lima taraf dosis FA, yakni 0, 0.5, 1.0, 1.5, 2.0 g P2O5/bibit, dan satu taraf dosis SP36, yakni 2.0 g P2O5 /bibit sebagai pembanding. Faktor kedua adalah dosis asam humat yang terdiri atas 0, 1.10-3, 2.10-3 dan 3.10-3 mL asam humat/bibit. Benih kakao yang digunakan adalah UAH F1 dari Pusat Penelitian Kopi dan Kakao Jember Jawa Timur. Pembibitan dilakukan dalam polibag 20 cm x 30 cm dengan media tanah masam Ultisol, Jasinga dan ditempatkan dalam jaring naungan 60% selama empat bulan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pemupukan 2.0 g P2O5 SP36/bibit memberikan jumlah daun bibit dan nisbah tajuk-akar yang sangat nyata lebih tinggi dibandingkan dengan pemupukan FA 2.0 g P2O5/bibit. Peningkatan dosis FA dan asam humat secara linier meningkatkan pertumbuhan bibit kakao. Semakin tinggi dosis asam humat ketersediaan P semakin tinggi yang diikuti oleh pertumbuhan bibit yang semakin baik pula. Pada dosis asam humat 3.10-3 mL, peningkatan dosis FA hingga 2.0 g P2O5/bibit secara linier meningkatkan kadar P tersedia sebesar 117% dan bobot kering tajuk 49.02%. Sedangkan pada dosis FA 2.0 g P2O5/bibit, peningkatan dosis asam humat hingga 3.10-3 mL/bibit secara linear meningkatkan kadar P tersedia sebesar 44.15% dan bobot kering tajuk 62.12%. Pada dosis FA 2.0 g P2O5/bibit, apabila dibandingkan dengan kontrol, dosis 1.10-3, 2.10-3, dan 3.10-3 mL asam humat/bibit masing-masing memberikan kadar P tersedia berturut-turut 7.82%, 29.75%, dan 40.81%; dan bobot kering tajuk 39.13%, 45.27%, dan 70.08%. ABSTRACT Humic compound has been recognized being able to solubilize and to chelate P from phosphate rocks. However, this ability has not yet been known well whether may improve agronomic importance of Ayamaru phosphate rock (APR) when it was applied to cacao seedlings. The purpose of the study was to find the dosage of humic acid which most be able to improve the beneficial effect of APR on cacao seedlings. The study was conducted at the Experimental Farm of IPB, Cikabayan, Bogor, Forest Biotechnology Laboratory, Soil Chemistry and Fertility Laboratory and Plant Physiology Laboratory of IPB, Bogor.
86 The two factor-factorial experiment was set up in a Completely Randomized Design. The first factor was five levels of APR dosage: 0, 0.5, 1.0, 1.5, 2.0 g P2O5/seedling, and 2.0 g P2O5 SP36/seedling used as comparison. The second factor was four levels of humic acid dosage: 0, 1.10-3, 2.10-3, and 3.10-3 mL/seedling. F1 UAH cacao seeds from Coffee and Cacao Research Center in Jember, East Java was used and the seedlings were grown on Ultisol, acid soil from Jasinga in 20 cm x 30 cm sized polybag. The seedlings were grown under 60% of shading net for the period of four months. The results of the study revealed that the application of 2.0 g P2O5 SP36/seedling gave number of leaves per seedling and shoot-root ratio which was significantly higher than the APR application of 2.0 g P2O5/seedling. Increasing of APR and humic acid dosage resulted in a linear increase of seedling growth. Increasing humic acid dosage brought about to the increase of available P of the media and the growth of cacao seedlings as well. In the humic acid dosage of 3.10-3 mL/seedling, increasing of APR dosages up to 2.0 g P2O5/seedling still resulted in a linear increase of available P concentration as much as 117% and shoot dry-weight 49.02%, while in the APR dosage of 2.0 g P2O5/seedling, increasing of humic acid dosage up to 3.10-3 mL/seedling still gave a linear increase of available P level as much as 44.15% and shoot dry-weight 62.12%%. The APR dosage of 2.0 g P2O5/seedling as comparing to the control, each humic acid dosage i.e 1.10-3, 2.10-3, and 3.10-3 mL/seedling, gave P available 7.82%, 29.75%, and 40.81% respectively; shoot dry-weight 39.13%, 45.27% and 70.08%, respectively.
Pendahuluan Penggunakan senyawa humat pada tanah-tanah pertanian memberikan banyak keuntungan terutama pada tanah-tanah dengan kandungan bahan organik rendah dan merupakan bagian integral ekosistem yang memainkan peranan penting dalam siklus hara dan karbon secara global (MacCarthy 2003). Bahan humat diketahui dapat meningkatkan keefektifan fosfat alam karena mampu melepaskan anion PO43- dan kation Ca2+ dari mineral yang sukar larut, mampu mengkomplek logam dari larutan dan menstimulir metabolisme mikrobia (Mayhew 2004). Aplikasi asam humat pada tanah berpengaruh terhadap penyerapan hara makro maupun mikro, yaitu melalui pengaruhnya terhadap laju pelepasan unsur hara dari tanah (Lulakis & Petsas 1995), terutama Fe, Zn, dan Mn (Ayuso et al. 1996), juga mempengaruhi translokasi Fe dari akar ke tajuk (MacCharty et al. 1990).
87 Bahan humat telah digunakan secara luas di dunia (Fataftah 2001).
Bahan
humat merupakan 70-80% dari bahan organik yang terdapat pada tanah-tanah mineral. Bahan humat adalah molekul organik, bobot molekul tinggi dan sistem yang komplek yang tersusun dari inti polimer fenolik yang dihasilkan oleh degradasi residu organik dan aktifitas sintetik mikroorganisme (Stevenson 1994). Bahan humat terdapat dalam bentuk heterogen, komplek, dan struktur amorphos berdimensi tiga (Hyanes & Mokolobate
2001).
Menurut Stevenson (1994) bahan humat bermuatan negatif,
memiliki bobot molekul tinggi, mampu membentuk ikatan yang kuat dengan mengkomplek ion logam polivalen seperti Al. Ikatan terbentuk secara elektrostatik (pertukaran anion) dan penjerapan spesifik, yaitu pertukaran ikatan, yang secara simultan meliputi pengkelatan dan pembentukan komplek dalam larutan tanah. Asam humat hasil dekomposisi bahan organik berperan dalam meningkatkan ketersediaan P tanah (Tisdale et al. 1990) melalui (1) pembentukan senyawa komplek fosfohumat yang lebih mudah diserap tanaman, (2) pertukaran anion fosfat oleh anion organik, (3) terbungkusnya sesquioksida oleh humus, sehingga mengurangi kemampuan memfiksasi fosfat.
Di samping itu bahan organik juga berpengaruh
terhadap sifat fisik tanah seperti kapasitas menahan air, suhu, sifat kimia seperti kapasitas tukar kation dan pH. Zimmer (2004) dan Mayhew (2004) menyatakan fungsi penting senyawa humat dalam sistem pertanian, yaitu merangsang pertumbuhan akar, aktivitas kehidupan biologi tanah (terutama populasi cendawan), mengkelat mineral, memperbaiki serapan hara terutama P, N dan S, menurunkan kebutuhan pemupukan N, melarutkan mineral, memperbaiki struktur tanah, meningkatkan kapasitas air tanah.
88 Hal ini dapat terjadi karena senyawa humat merupakan senyawa yang sangat aktif dalam tanah, dengan kapasitas tukar kation dan anion yang besar (Tan 2003). Penelitian ini bertujuan untuk mendapatkan dosis asam humat yang paling efektif meningkatkan daya guna fosfat alam Ayamaru pada bibit kakao.
Bahan dan Metode Tempat dan Waktu Penelitian ini dilaksanakan pada bulan September – Desember 2006 di Kebun Percobaan Cikabayan, Institut Pertanian Bogor. Analisis tanah dan jaringan tanaman dilaksanakan di Laboratorium Kimia dan Kesuburan Tanah Departemen Ilmu Tanah Institut Pertanian Bogor dan Balai Penelitian Tanah, Bogor. Bahan dan Alat yang Digunakan Bahan tanaman yang digunakan adalah benih kakao jenis Upper Amazone Hybrid (UAH) F1, fosfat alam Ayamaru, asam humat (Humega) PT Green Planet Indonesia.
Fosfat alam diambil dari Distrik Ayamaru Papua, sedangkan pupuk dasar
yang digunakan adalah Urea dan KCl. Bahan-bahan lainnya yang digunakan adalah polibag, pupuk SP36, dan jaring naungan (paranet) 60%. Media tanam adalah tanah Ultisol dari Jasinga, Bogor (Lampiran 7). Peralatan yang digunakan adalah gelas ukur, oven dan timbangan analitik. Peralatan yang digunakan dalam penelitian di lapangan adalah ayakan tanah, kaliper, meteran, dan timbangan. Metode Percobaan Penelitian merupakan percobaan faktorial dua faktor dengan menggunakan rancangan acak lengkap (RAL) tiga ulangan.
89 Faktor pertama adalah dosis pemupukan P, yaitu : Po : 0, tanpa pemupukan P1 : 2.0 g P2O5 (7.56 g SP36/bibit) P2 : 0.5 g P2O5 (2.38 g fosfat alam/bibit ) P3 : 1.0 g P2O5 (4.76 g fosfat alam/bibit) P4 : 1.5 g P2O5 (7.14 g fosfat alam/bibit) P5 : 2.0 g P2O5 (9.52 g fosfat alam/bibit) Faktor kedua adalah dosis asam humat, yaitu : H0 : tanpa aplikasi asam humat H1 : 1.10-3 mL asam humat (0.016 mL Humega/bibit) H2 : 2.10-3 mL asam humat (0.032 mL Humega/bibit) H3 : 3.10-3 mL asam humat (0.048 mL Humega/bibit) Setiap kombinasi perlakuan diulang tiga kali sehingga diperoleh 6 x 4 x 3 = 72 satuan percobaan dengan masing-masing satuan percobaan digunakan tiga tanaman. Model linier rancangan yang digunakan adalah :
Yijk = µ + αi +βj + (αβ)ij + εijk Di mana :
Yijk
: hasil pengamatan dari perlakuan dosis fosfat alam Ayamaru ke-i dan dosis asam humat ke-j pada ulangan ke-k
µ αi βj (αβ)ij
: nilai rataan umum
εijk
: pengaruh galat percobaan dari perlakuan dosis fosfat alam Ayamaru ke-i dan dosis asam humat ke-j pada ulangan ke-k
i
: 0,1,2,3,4,5
j
: 0,1,2,3
k
: 1,2,3
: pengaruh perlakuan dosis fosfat alam Ayamaru ke-i : pengaruh dosis asam humat ke-j : pengaruh interaksi antara dosis fosfat alam Ayamaru ke-i dan dosis asam humat ke-j
90 Pelaksanaan Percobaan Persiapan larutan asam humat. Asam humat merupakan cairan konsentrat yang dalam penggunaanya diencerkan dengan aquades. Pada setiap perlakuan dosis asam humat dibuat larutan pengenceran masing-masing 1.6, 3.2, dan 4.8 mL Humega dalam 1000 mL. Dosis aplikasi tiap tanaman adalah 10 mL . Persiapan media pembibitan. Tanah dari lapang dibersihkan dari sisa-sisa tanaman dan kotoran kemudian dikeringanginkan. Selanjutnya tanah yang telah kering angin diayak dengan ukuran 5 mm x 5 mm dan ditimbang sebanyak 3 kg/polibag. Polibag yang digunakan berukuran 20 cm x 30 cm dengan tebal 0.8 mm dan 18 lubang drainase.
Perlakuan pemupukan fosfat alam Ayamaru dan pupuk dasar lainnya
diaplikasikan pada setiap satuan percobaan satu minggu sebelum penanaman. Dosis pupuk dasar adalah 2 g Urea dan 2 g KCl. Untuk menjaga kelembaban tanah selama masa inkubasi dilakukan penyiraman. Pengecambahan benih kakao. Benih kakao sebagai tanaman uji dipilih dari benih yang besarnya seragam. Benih dikecambahkan pada nampan pengecambahan yang diisi dengan media zeolit. Media pengecambahan yang digunakan distrerilkan dengan autoclave pada 121oC selama 15 menit. Pengecambahan dilakukan hingga umur tujuh hari setelah pesemaian. Penanaman dan pemeliharan.
Sebanyak satu kecambah kakao yang telah
berumur tujuh hari selanjutnya dipindahtanamkan ke dalam polibag yang telah disiapkan.
Bersamaan dengan waktu penanaman diaplikasikan larutan asam humat
sebanyak 10 mL pada setiap tanaman sesuai dengan perlakuan tingkat dosis. Pemeliharaan dilakukan dengan penyiraman setiap pagi sesuai dengan kapasitas lapang.
91 Peubah yang Diamati Pengamatan tanggap bibit kakao terhadap tingkat dosis fosfat alam Ayamaru dan aplikasi asam humat dilakukan terhadap peubah : 1. Tinggi tanaman (cm), diukur dari pangkal batang hingga pangkal tangkai daun terakhir. Pengukuran ini dilakukan pada umur 2, 4, 6, 8, 10, 12, 14,16 MST (minggu setelah tanam). 2. Diameter batang (mm), pada batang 1 cm di atas pangkal batang. Pengukuran dilakukan dengan menggunakan kaliper pada umur 2, 4, 6, 8, 10, 12, 14,16 MST (minggu setelah tanam). 3. Jumlah daun pada umur 2, 4, 6, 8, 10, 12, 14, 16 MST (minggu setelah tanam). 4. Bobot kering tajuk (g), diukur pada setelah tanaman dipanen dan tajuknya dikeringkan dengan oven pada temperatur 60o C selama 24 jam. 5. Bobot kering akar (g), diukur pada setelah tanaman dipanen dan akarnya dikeringkan dengan oven pada temperatur 60o C selama 24 jam. 6. Nisbah tajuk akar, yaitu perbandingan bobot kering tajuk dan bobot kering akar 7. Analisis kadar P jaringan tanaman, dilakukan terhadap tajuk tanaman dengan Metode Watanabe dan Olsen (1965) menggunakan Atomic Absorption Spectrophotometer (AAS). 8. Serapan P, dihitung dengan mengalikan kadar P tajuk dengan bobot kering tajuk (mg/tajuk). 9. pH tanah 10. Kadar P total tanah (ppm) 11. Kadar P tersedia tanah (ppm) 12. Kadar Aldd tanah (me/100 g)
92 Analisis Data Data hasil pengamatan dianalisis dengan analisis ragam dan jika perlakuan menunjukkan pengaruh yang nyata, dilanjutkan dengan uji BNT pada taraf kepercayaan 95%. Hubungan tingkat dosis fosfat alam dan dosis asam humat terhadap pertumbuhan tanaman diuji dengan Ortogonal polinomial (Gomez and Gomez 1995).
Hasil Hasil yang diperoleh menunjukkan bahwa dosis FA dan dosis asam humat berpengaruh sangat nyata terhadap pertumbuhan tinggi dan diameter batang bibit kakao 2 – 14 minggu setelah tanam (MST). Dosis pemupukan FA dan dosis asam humat (AH) mulai berpengaruh pada bibit mulai umur empat MST (Lampiran 9c). Terhadap jumlah daun bibit umur 2-14 MST pengaruh dosis FA mulai tampak pada umur enam MST, sedangkan dosis asam humat tampak berpengaruh pada bibit mulai empat MST. Pengaruh interaksi dosis fosfat alam dan dosis asam humat tampak pada tinggi bibit kakao mulai umur 12 MST. Hasil percobaan menunjukkan bahwa tingkat dosis fosfat alam Ayamaru dan tingkat dosis asam humat berpengaruh sangat nyata (P<0.001) terhadap tinggi, diameter batang, jumlah daun, bobot kering tajuk, bobot kering akar, dan nisbah tajuk-akar bibit kakao. Pengaruh interaksi dari kedua faktor perlakuan tampak pada tinggi, diameter batang, dan bobot kering tajuk (Lampiran 9c). Hasil uji BNT menunjukkan bahwa jumlah daun tertinggi diperoleh pada bibit yang dipupuk SP36 2.0 g P2O5/bibit berbeda nyata dengan lainnya, sedangkan bobot kering akar tertinggi diperoleh pada dosis fosfat alam 2.0 g P2O5/bibit berbeda nyata dengan perlakuan pemupukan SP36 2.0 g P2O5/bibit.
Nisbah tajuk-akar tertinggi
93 diperoleh pada perlakuan pemupukan SP36 2.0 g P2O5/bibit yang berbeda nyata dengan lainnya (Tabel 10). Jumlah daun, bobot kering akar, dan nisbah tajuk-akar bibit kakao menunjukkan tanggap linier terhadap dosis FA maupun dosis asam humat (Tabel 10, Gambar 18).
Persamaan regresi tanggap jumlah daun, bobot kering akar, dan nisbah
tajuk-akar akibat dosis fosfat alam berturut-turut jumlah daun ŷ = 14.4090 + 1.2498x, R2= 0.64, bobot kering akar ŷ = 1.4463 + 0.3234x, R2= 0.98, dan nisbah tajuk-akar ŷ = 2.1441 + 0.3702x, R2= 0.76. Persamaan regresi akibat dosis asam humat adalah jumlah daun
ŷ = 13.5670 + 1.8446x, R2= 0.94, bobot kering akar ŷ = 1.3527 +
0.2413x, R2= 0.97, dan nisbah tajuk-akar ŷ = 2.4227 + 0.2910x, R2= 0.94. Tabel 10 Tanggap jumlah daun, bobot kering akar, dan nisbah tajuk-akar bibit kakao terhadap dosis fosfat alam pada berbagai dosis asam humat Perlakuan Dosis FA (g P2O5/bibit): Kontrol: 0 0.5 1.0 1.5 2.0 SP36 : 2.0 g P2O5/bibit Dosis asam humat: Ho H1 H2 H3 H1 vs H0 H2 vs H0 H3 vs H0
Jumlah Daun 13.50 15.79 16.42 15.13 16.46 21.46
c bc b bc b a
Bobot Kering Akar (g/bibit) 1.42 1.66 1.78 1.89 2.11 1.52
e cd bc ab a de
Nisbah Tajuk-Akar 1.96 2.56 2.64 2.81 2.71 4.78
c b b b b a
13.03 1.35 2.34 17.94 1.64 3.04 16.81 1.74 2.99 18.06 2.20 3.27 ....................Keefektifan (%) ......................... 37.68 21.48 29.91 29.01 28.89 27.78 38.60 62.96 39.74
Keterangan: Angka dalam satu kolom yang diikuti oleh huruf yang sama tidak berbeda nyata dalam uji BNT pada taraf 95%. Ho: tanpa asam humat, H1: 1.10-3 mL, H2: 2.10-3 mL, H3: 3.10-3 mL asam humat.
94 20
18
19 18
Jumlah daun bibit
Jumlah Daun
17 16 15
y = 14.409 + 1.2498x R2 = 0.64
14
17 16 15 y = 13.5670 +1.8446x R2 = 0.94
14 13 12
13
11
12
10
0
0.5
1
1.5
2
0
Dosis FA (g P2O5/bibit)
(a)
2.0
Bobot kering akar (g/bibit)
Bobot kering akar (g/bibit)
2
3
2.5
2.2
1.8 1.6 y = 1.4463 + 0.3234x R2 = 0.98
1.4 1.2 1.0 0
0.5
1
1.5
2.0
1.5 y = 1.3527 + 0.2413x R2 = 0.97
1.0
0.5
0.0
2
Dosis FA (g P2O5/bibit)
0
(b)
3
1
2
Dosis asam humat (x10^-3)
3
3.4
2.8
3.2
2.6
Nisbah tajuk-akar
Nisbah tajuk-akar
1
Dosis asam humat (x10^-3)
2.4
3
2.8
2.2
2.6
y = 2.1441 + 0.3702x R2 = 0.76
2
y = 2.4227 + 0.2910x R2 = 0.94
2.4
1.8
2.2 2
1.6 0
0.5
1
1.5
Dosis FA (g P2O5/bibit)
0
2
(c)
1
2
3
Dosis asam humat (x 10^-3)
Gambar 18 Tanggap jumlah daun (a),bobot kering akar (b), dan nisbah tajuk-akar (c) akibat tingkat dosis fosfat alam dan dosis asam humat.
H2
95 a
b
Ho
H1
H2
Ho
H3
H1
H2
H3
P2
c
P0
H3
P1
P2
P3
P4
P5
H1
Gambar 19 Penampilan bibit kakao akibat pengaruh berbagai dosis asam humat (a,b) dan dosis fosfat alam (c). Po : kontrol; P1 :2 g P2O5/bibit SP-36; P2
P2 : 0.5 g P2O5 FA/bibit; P3 : 1.0 g P2O5 FA/bibit; P4 : 1.5 g P2O5 FA/bibit; P5 : 2.0 g P2O5 FA/bibit; Ho: tanpa asam humat ; H1: 1.10-3 mL; H2: 2.10-3 mL; H3: 3.10-3 mL asam humat.
96 Tabel 11 Tanggap tinggi dan diameter batang bibit kakao akibat dosis fosfat alam pada berbagai dosis asam humat Perlakuan Ho H1 H2 H3 H1 vs H0 H2 vs H0 H3 vs H0 Ho H1 H2 H3 H1vs H0 H2 vs H0 H3 vs H0
Dosis Fosfat Alam (g P2O5/bibit) 0
0.5
1.0
1.5
2.0
SP36
….……………...…Tinggi bibit (cm) ……....……..... 21.53 24.77 25.17 27.00 27.93 29.77 26.94 29.67 30.83 31.60 33.83 43.44 28.50 36.00 35.67 36.33 40.33 48.80 32.67 42.67 41.00 43.97 46.50 51.33 ………………..…Keefektifan (%) …….....………… 25.13 19.78 22.49 17.04 21.12 45.92 32.37 45.34 41.72 34.56 44.40 63.92 51.74 72.26 62.89 62.85 66.49 72.42 ……………..….Diameter batang (mm) …….………… 4.12 4.68 5.07 5.05 5.27 6.10 5.12 5.47 5.65 5.87 6.50 7.10 5.68 6.03 6.20 6.65 6.73 7.13 6.50 6.55 7.00 7.38 7.72 7.88 ……………….…Keefektifan (%) …………...…… 24.27 16.88 11.44 16.24 23.34 16.39 37.86 28.85 22.29 31.68 27.70 20.16 57.77 39.96 38.07 46.14 46.49 29.18
Kurva tanggap
Linier Linier Linier Linier
Linier Linier Linier Linier
Keterangan : Ho: tanpa asam humat ; H1: 1.10-3 mL; H2: 2.10-3 mL; H3: 3.10-3 mL.
Aplikasi asam humat meningkatkan tinggi bibit kakao baik yang diberi fosfat alam maupun tanpa fosfat alam.
Tinggi bibit kakao tanpa pemberian FA meningkat
25.132% untuk H1, 32.37% untuk H2, dan 51.74% untuk H3, sedangkan pada dosis FA 2.0 g P2O5/bibit tinggi bibit meningkat 21.12% untuk H1, 44.40% untuk H2, dan 66.49% untuk H3. Diameter batang pada bibit kakao tanpa perlakuan FA meningkat 24.29% untuk H1, 37.86% untuk H2, dan 57.77% untuk H3, sedangkan pada dosis FA 2.0 g P2O5/bibit meningkat 23.34% untuk H1, 27.70% untuk H2, dan 46.49% untuk H3 (Lampiran 9c).
97 50
9
45
8 7
D iam eter ba tan g (m m )
Tin g g i B ib it (cm )
40 35
6
30 25
5
20
4
15
Linear ( Linear ( Linear ( Linear (
10 5
Linear ( Linear ( Linear ( Linear (
3
Ho= 22.2740 + 3.0060x, R^2=0.93) H1= 27.4320 + 3.1420x, R^2= 0.96) H2= 30.5680 + 4.7980x, R^2= 0.79) H3= 35.5700 +5.7920x, R^2= 0.76)
2
0
Ho= 4.3040 + 0.5340x, R^2= 0.86) H1= 5.0900 + 0.6320x, R^2= 0.94) H2= 5.7140 + 0.5440x, R^2= 0.97) H3= 6.3760 + 0.6540x, R^2= 0.96)
1
0
0.5
1 1.5 Dosis FA (g P2O5/bibit)
2
0
(a)
0.5
1 1.5 Dosis FA (g P2O5/bibit)
2
(b)
Gambar 20 Tanggap tinggi (a) dan diameter batang (b) bibit kakao akibat dosis fosfat alam pada berbagai dosis asam humat. Ho: tanpa asam humat; H1: 1.10-3 mL; H2: 2.10-3 mL; H3: 3.10-3 mL asam humat.
Tinggi dan diameter batang bibit kakao memberikan tanggap linier terhadap dosis fosfat alam (FA) (Gambar 20).
Aplikasi asam humat 3.10-3 mL (H3) pada
semua dosis FA selalu memberikan pertumbuhan tinggi dan diameter batang bibit kakao lebih tinggi daripada dosis lainnya, sedangkan tanpa aplikasi asam humat (Ho) selalu memberikan hasil terendah.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa
aplikasi asam humat telah nyata meningkatkan keefektifan fosfat alam terhadap tinggi dan
diameter batang bibit kakao. Tinggi dan diameter batang bibit yang
dipupuk dengan FA hingga 2.0 P2O5/bibit lebih rendah daripada pemupukan dengan SP36 2.0 g P2O5/bibit dengan aplikasi dosis asam humat yang sama. Bobot kering tajuk, kadar P tersedia, kadar P total, dan kadar Aldd menunjukkan tanggap linier terhadap tingkat dosis fosfat alam pada berbagai dosis asam humat (Lampiran 10c, Tabel 12). Pada semua dosis FA aplikasi asam humat meningkatkan bobot kering tajuk, kadar P tersedia, dan kadar P total. Aplikasi asam humat
98 meningkatkan bobot kering tajuk berkisar 39.05% - 268.85%, kadar P tersedia 3.05% 40.84%, dan kadar P total 8.55% - 48.95%, sedangkan Aldd media menurunkan berkisar 0.65% - 10.74%. Tabel 12 Tanggap bobot kering tajuk, kadar P tersedia, kadar P total, dan kadar Aldd media akibat dosis fosfat alam pada berbagai dosis asam humat Perlakuan Ho H1 H2 H3 H1 vs H0 H2 vs H0 H3 vs H0 Ho H1 H2 H3 H1 vs H0 H2 vs H0 H3 vs H0 Ho H1 H2 H3 H1 vs H0 H2 vs H0 H3 vs H0 Ho H1 H2 H3 H1 vs H0 H2 vs H0 H3 vs H0
Dosis Fosfat Alam (g P2O5/bibit) 0
0.5
1.0
1.5
2.0
SP36
.......................Bobot kering tajuk (g/bibit)....................... 1.12 2.59 3.19 3.56 3.91 4.43 2.72 4.01 4.67 5.30 5.44 7.29 3.52 4.96 5.03 5.87 5.85 8.15 4.12 5.68 5.78 6.22 6.65 8.52 ….......……....….. Keefektifan (%) …………………… 142.86 54.83 46.39 48.88 39.13 64.56 214.29 91.51 57.68 64.89 45.27 83.97 267.86 119.31 81.19 74.72 70.08 92.33 ...........................Kadar P tersedia (ppm)....................... 5.47 6.35 6.68 7.27 9.85 16.44 5.64 6.79 7.11 7.66 10.62 18.51 6.18 7.17 7.44 8.10 12.78 24.48 6.46 7.61 7.93 9.15 13.87 27.95 ……...........…….. Keefektifan (%) …………………… 3.11 6.93 6.44 5.36 7.82 12.59 12.98 12.91 11.38 11.42 29.75 48.91 18.10 19.84 18.71 25.86 40.81 70.01 .............................Kadar P total (ppm).......................... 62.94 66.44 72.39 96.31 99.09 130.90 68.42 79.91 92.50 104.54 113.35 143.05 73.33 86.48 99.61 109.46 118.82 143.14 78.82 96.33 107.82 113.88 127.61 146.23 ………….. Keefektifan (%) …………………… 8.71 20.27 27.78 8.54 14.39 9.28 16.51 30.16 37.60 13.65 19.91 9.35 25.23 44.99 48.94 18.24 28.78 11.71 ...........................Kadar Aldd (me/100 g)...................... 17.02 16.35 16.84 16.51 16.94 15.12 16.87 16.24 15.89 15.53 15.42 14.80 16.77 16.12 15.64 15.40 15.32 14.13 16.51 16.01 15.51 15.04 15.12 13.96 …………........….. Keefektifan (%) ……......………… -0.88 -0.67 -5.64 -5.94 -8.97 -2.12 -1.47 -1.41 -7.13 -6.72 -9.56 -6.55 -3.00 -2.08 -7.90 -8.90 -10.74 -7.67
Keterangan : Ho: tanpa asam humat ; H1: 1.10-3 mL; H2: 2.10-3 mL; H3: 3.10-3 mL.
Kurva
tanggap Linier Linier Linier Linier
Linier Linier Linier Linier
Linier Linier Linier Linier
Linier Linier Linier Linier
99 Tanggap bobot kering tajuk, kadar P tersedia, dan kadar P total pada pemupukan FA hingga 2.0 g P2O5/bibit lebih rendah daripada pemupukan dengan SP36 2.0 g P2O5/bibit, sedangkan sebaliknya kadar Aldd pada pemupukan FA lebih tinggi daripada pemupukan dengan SP36. Kurva tanggap kadar P tersedia, kadar P total, dan kadar Aldd media terhadap dosis fosfat alam pada berbagai dosis asam humat disajikan pada Gambar 21, 16 14
P tersedia (ppm)
12 10 8 6 Linear Linear Linear Linear
4
(yHo= 4.9193 + 1.6707x, R^2= 0.91) (yH1= 5,8407 + 1.2780x, R^2= 0.85) (yH2= 6,3147 + 1,2113x, R^2= 0.84) (yH3= 6,0620 + 3.5420x, R^2= 0.87)
2 0
0.5
1
1.5
2
Dosis Fosfat Alam (gP2O5/bibit)
(a) 18.5
140 130
18.0
120
17.5
(me/100 g)
17.0
100
16.5
90
16.0
80
Al
P Total (ppm)
110
15.5
70 60
Linear Linear Linear Linear
50
15.0
(yHo= 63.6007 + 21.5646x, R^2= 0.92) (yH1= 69.5120 + 21.5646x, R^2= 0.92) (yH2= 74.7480 + 22.7940x, R^2= 0.92) (yH3= 80.1134 + 23.0273x, R^2= 0.89)
40 0
0.5
1
1.5
Dosis Fosfat Alam (g P2O5/bibit)
(b)
Linear (yHo= 16.7780 - 0.1273x, R^2= 0.03) Linear (yH1= 16.5810 - 0.4553x, R^2= 0.45) Linear (yH2= 16.5060 - 0.5880x, R^2= 0.65) Linear (yH3= 16.3870 - 0.7499x, R^2= 0.90)
14.5 2
14.0 0
0.5
1
1.5
Dosis Fosfat Alam (g P2O5/bibit)
2
(c)
Gambar 21 Tanggap kadar P tersedia (a), kadar P total (b), dan kadar Aldd media (c) akibat dosis FA pada berbagai dosis asam humat. Ho: tanpa asam humat ; H1: 1.10-3 mL; H2: 2.10-3 mL; H3: 3.10-3 mL asam humat.
100 Pada semua tingkat dosis fosfat alam, dengan aplikasi asam humat selalu menghasilkan bobot kering tajuk, kadar P total, dan kadar P tersedia lebih tinggi daripada tanpa perlakuan asam humat (H0). selalu memberikan hasil
Aplikasi 3.10-3 mL asam humat (H3)
bobot kering tajuk, kadar P total, dan kadar P tersedia
tertinggi pada semua tingkat dosis FA.
Aplikasi asam humat menurunkan kadar Aldd
media pada semua tingkat dosis FA. Pada semua tingkat dosis FA kadar Aldd terendah dicapai oleh perlakuan 3.10-3 mL asam humat (H3), sedangkan kadar Aldd tertinggi terdapat kontrol (Ho). Analisis regresi ganda hubungan bobot kering tajuk terhadap dosis fosfat alam (FA)
pada
berbagai
dosis
asam
humat
(AH)
menunjukkan
persamaan:
ŷ = 2.2122 + 4.7573(Dosis FA)+0.0092 (Dosis AH) -0.9640(Dosis FA)2 - 0.0001(Dosis
Bobot kering ajuk (g/bibit)
AH)2 -0.0017(Dosis FA)*( Dosis AH), R2 = 0.79, disajikan pada Gambar 22.
Dosis Asam Humat (x10-3 mL)
Dosis FA (gP2O5/bibit)
Gambar 22 Kurva tiga dimensi tanggap bobot kering tajuk akibat dosis fosfat alam pada berbagai dosis asam humat.
101
Gambar 23 Kurva kontour tanggap bobot kering tajuk akibat dosis fosfat alam pada berbagai dosis asam humat. Gambar 22 dan 23 menunjukkan bahawa bobot kering teringgi diperoleh pada bibit yang dipupuk fosfat alam dan pada dosis asam humat 2.10-3 – 3. 10-3 mL Analisis ragam menunjukkan dosis fosfat alam dan dosis asam humat berpengaruh sangat nyata terhadap kadar P, serapan P tajuk, dan pH media (P < 0.001) tetapi tidak menunjukkan adanya pengaruh interaksi yang nyata (Lampiran 9c). Hasil uji BNT (Tabel 13) menunjukkan bahwa kadar P tajuk dan serapan P tajuk tertinggi diperoleh pada bibit yang dipupuk 2.0 g P2O5 SP36/bibit berbeda nyata dengan lainnya, sedangkan pH media tertinggi diperoleh pada dosis FA 1.0 g P2O5/bibit berbeda nyata dengan lainnya. Pemberian fosfat alam juga menunjukkan kadar dan serapan P tajuk lebih tinggi dan berbeda nyata dengan kadar P dan serapan P tajuk pada bibit kakao yang tidak diberi fosfat alam. Aplikasi asam humat meningkatkan kadar P tajuk dan serapan P tajuk (Tabel 13). Kadar P tajuk meningkat 5.564% untuk H1, 11.11% untuk H2, dan 11.11% untuk H3, sedangkan serapan P tajuk meningkat 52.34% untuk H1, 77.41% untuk H2,
102 dan 95.05% untuk H3. pH media meningkat 0.98% untuk H1, 0.98% untuk H2, dan 2.20% untuk H3. Kadar P dan serapan P memberikan tanggap linier terhadap dosis fosfat alam, sedangkan tanggap pH media adalah kuadratik (Gambar 24).
Persamaan tanggap
kadar P tajuk, serapan P tajuk, dan pH media masing-masing adalah kadar P tajuk ŷ = 0.1605 + 0.0260x R2= 0.78, serapan P tajuk ŷ = 5.5428 + 2.9700x R2= 0.85, dan pH media
ŷ = 4.0454 + 0.2563x – 0.0971x2
R2= 0.81.
Tabel 13 Tanggap kadar P, serapan P tajuk bibit kakao, dan pH media terhadap dosis fosfat alam pada berbagai dosis asam humat Perlakuan Dosis FA (g P2O5/bibit): Kontrol: 0 0.5 1.0 1.5 2.0 SP36 : 2.0 g P2O5/bibit
Kadar P Tajuk (%)
0.15 0.18 0.18 0.22 0.20 0.24
e d d b c a
Serapan P (mg/tajuk) 4.54 7.88 8.79 10.93 10.44 17.05
e d cd b bc a
pH media 4.05 4.13 4.25 4.18 4.11 4.19
d c a b c b
Dosis Asam Humat :
Ho H1 H2 H3 H1 vs H0 H2 vs H0 H3 vs H0
0.18 0.19 0.20 0.20
6.33 9.58 11.23 12.60
4.09 4.13 4.13 4.18
.............................Keefektifan (%) ...........................
5.56 11.11 11.11
52.34 77.41 99.05
0.98 0.98 2.20
Keterangan : Angka dalam satu kolom yang diikuti oleh huruf yang sama tidak berbeda nyata dalam uji BNT pada taraf 95%. Ho: tanpa asam humat; H1: 1.10-3 mL; H2: 2.10-3 mL; H3: 3.10-3 mL asam humat.
103 0.21
0.23 0.20
Kadar P tajuk (%)
Kadar P tajuk (%)
0.21 0.19 0.17 y = 0.1605 + 0.026x R2 = 0.78
0.15
0.20 y = 0.1860 + 0.0059x R2 = 0.94
0.19
0.19
0.13 0.11 0
0.5
1
1.5
Dosis FA (g P2O5/bibit)
0.18
2
0
1
2
3
Dosis asam humat (x 10^-3)
(a)
12.5
10.0
Serapan P (mg/tajuk)
Serapan P (mg/tajuk)
12.0
8.0 y = 5.5428 + 2.97x R2 = 0.85
6.0 4.0
10.5 8.5
4.5
2.0
2.5
0.0 0
0.5
1
0
2
1.5
Dosis FA (g P2O5/ bibit)
1
2
3
Dosis asam humat (x 10^-3)
(b)
4.50
4.19
4.40
4.17
4.30
4.15
1.32
4.20
pH media
pH media
y = 6.8640+ 2.0475x R2 = 0.96
6.5
4.10 y = 4.0454 + 0.2563x - 0.0971x R2 = 0.81
4.00
2
4.13 4.11
y = 4.0902 + 0.0287x R2 = 0.92
4.09
3.90
4.07
3.80
4.05
0
0.5
1
1.5
Dosis FA (g P2O5/bibit)
0
2
(c)
1
2
3
Dosis asam humat (x 10^-3)
Gambar 24 Tanggap kadar P tajuk (a), serapan P tajuk (b), dan kadar Aldd media(c) akibat dosis fosfat alam pada berbagai dosis asam humat. Ho: tanpa asam humat ; H1: 1.10-3 mL; H2: 2.10-3 mL; H3: 3.10-3 mL asam humat.
104 Kadar P, serapan P tajuk maupun pH media memberikan tanggap linier terhadap dosis asam humat masing-masing dengan persamaan kadar P tajuk ŷ = 0.1860 + 0.0059x R2= 0.94, serapan P tajuk ŷ = 6.8640 + 2.0475x R2 = 0.96, dan pH media ŷ = 4.0902 + 0.0287x R2= 0.92. Semakin tinggi dosis FA maka kadar P dan serapan P tajuk semakin meningkat. Demikian juga terhadap dosis asam humat bahwa semakin tinggi dosis asam humat maka semakin tinggi kadar dan serapan P tajuk bibit kakao.
Hasil penelitian
menunjukkan bahwa aplikasi asam humat telah nyata meningkatkan kadar P tajuk dan serapan P tajuk.
Pembahasan Meningkatnya dosis fosfat alam diikuti dengan meningkatnya perbaikan lingkungan rhizosfer dan pertumbuhan bibit kakao. Hal ini menunjukkan bahwa pemberian fosfat alam sebagai pupuk alternatif sumber P tanaman berdampak positif terhadap perbaikan kondisi P tersedia tanah sehingga bibit dapat tumbuh lebih baik daripada tanpa pemupukan. Di samping itu kondisi tanah sebagai media pembibitan memiliki kadar P yang sangat rendah (2.5 ppm) dengan pH 4,6 (Lampiran 7) sehingga responsif terhadap pemberian pupuk.
Roper et al. (2004) menyatakan bahwa P
merupakan substrat kunci dalam metabolisme energi dan biosintesis asam nukleik, pengkodean gen, dan penyusun membran sel. Fosfor juga memainkan peranan penting dalam fotosintesis, respirasi, dan regulasi dari beberapa enzim sehingga berpengaruh terhadap pertumbuhan dan metabolisme. Semakin bertambahnya dosis fosfat alam maka kadar P tersedia juga semakin meningkat (R2 = 0.87). Di samping itu dengan semakin tingginya kadar P tersedia maka juga meningkatkan
pertumbuhan tinggi
105 (R2 = 0.86), diameter batang (R2 = 0.93), jumlah daun (R2 = 0.64) dan bobot kering tajuk bibit (R2 = 0.98). Ketersediaan P bagi tanaman sangat penting untuk pertumbuhan karena P merupakan salah satu hara
yang penting yang berfungsi dalam metabolisme dan
integritas struktur tanaman (Taiz & Zeiger 2002). Fosfor merupakan komponen integral senyawa penting tanaman yang meliputi gula-fosfat dari respirasi dan fotosintesis, serta fosfolipid sebagai penyusun membran tanaman.
Fosfor juga
merupakan komponen nukleotida sebagai energi metabolisme tanaman seperti ADP dan ATP (Adenosine di- dan triphosphate) dan dalam DNA (Deoxyribonucleic Acid) dan RNA (Ribonucleic Acid), asam nukleat, ko-enzim, fosfoprotein, asam fitat (Havlin et al. 1999; Taiz & Zeiger 2002). Oleh karena itu fosfor adalah unsur yang kritis untuk pertumbuhan, perkembangan, dan reproduksi tanaman. Pemberian asam humat pada media tanam juga berpengaruh nyata terhadap pertumbuhan bibit kakao. Semakin tinggi dosis asam humat yang diberikan semakin meningkatkan pertumbuhan bibit. Apabila dibandingkan dengan kontrol (Ho) maka pada dosis FA 2.0 g P2O5/tanaman, bibit yang diberi asam humat 3.10-3 mL berturutturut meningkatkan tinggi bibit sebesar 66.49%, diameter batang 46.49% (Tabel 11), sedangkan bobot kering tajuk meningkat 70.08% (Tabel 13).
Mayhew
(2004)
menyatakan bahwa senyawa humat dapat meningkatkan pembelahan sel tanaman dan mendorong pertumbuhan tanaman.
Menurut Lobartini et al. (1998) senyawa humat
mampu melepaskan P fosfat alam dan dari tanah akibat jerapan Al dan Fe, dan menstabilkan hara dari presipitasi kembali ke lingkungan (Schnitzer 1986), meningkatkan ketersediaan hara P (Chen & Aviad 1990).
106 Meningkatnya dosis fosfat alam dan dosis sanyawa humat juga meningkatkan kadar dan serapan P tajuk.
Hal ini menunjukkan bahwa fosfat alam yang diberikan
dapat menyediakan P bagi tanaman dan peningkatan kadar serta serapan P tajuk ini lebih ditingkatkan apabila disertai aplikasi asam humat. Pemberian senyawa humat mampu melarutkan mineral dan keefektifan fosfat alam dapat tingkatkan dengan adanya humat dengan pelepasan P yang terikat. Hal ini sesuai dengan hasil penelitian (Lobartini et al. 1994) yang menyatakan bahwa pemberian senyawa humat mampu melarutkan mineral dan keefektifan fosfat alam dapat tingkatkan dengan adanya humat dengan pelepasan anion PO43- dan kation Ca2+ dari fosfat alam
yang sulit larut.
Menurut Lobartini et al. (1998) senyawa humat dapat melarutkan Al-fosfat dan Fefosfat. Penyerapan P dari tanah dan pupuk oleh tanaman bergantung pada tanaman dan kondisi tanah. Proses-proses dalam tanah yang menyebabkan tersediaannya P untuk tanaman meliputi pelarutan/serapan, transpor P, kontak akar-tanah, dan mineralisasi. Tan (2003) menyatakan bahwa pelepasan hara dari fosfat alam juga diakibatkan oleh aktifitas biologi yang dapat ditingkatkan oleh keberadaan senyawa humat. Jumlah daun, bobot kering akar, dan nisbah tajuk-akar juga ditingkatkan dengan perlakuan tingkat dosis fosfat alam masing-masing dengan R2 adalah 0.64, 0.98, dan 0.76,
sedangkan peningkatan akibat dosis asam humat masing-masing dengan R2
adalah 0.94, 0.97, dan 0.94 (Gambar 18). Hal ini menunjukkan bahwa baik pemberian fosfat alam Ayamaru maupun asam humat memberikan pengaruh yang siginifikan, yaitu meningkatnya dosis FA dan dosis asam humat akan menaikkan jumlah daun, bobot kering akar, dan nisbah tajuk-akar.
Nardi et al. (1996) dan Chen et al. (2001)
107 menyatakan bahwa asam humat dapat mestimulir pertumbuhan akar.
Pertumbuhan
akar ini penting karena serapan hara dan air tanaman bergantung pada kemampuan akar. Semakin tinggi pertumbuhan akar semakin luas daerah serapannya sehingga dapat mendukung pertumbuhan bobot kering tajuk (R2 = 0.88). Apabila tanaman kekurangan P maka pertumbuhannya akan terhambat terutama pada sistem perakaran (Setiadi 1992). Gambar 19 menampilkan bibit kakao pada perlakuan tanpa FA dan tanpa asam humat (PoHo) tampak kerdil dan perakaran yang
terhambat.
Tanah
sebagai media tumbuh bibit kakao adalah tanah Ultisol dengan kadar P sangat rendah (2.5 ppm) dan kadar Aldd yang tinggi (17.03 me/100 g) yang dapat meracuni tanaman. Aplikasi asam humat pada semua tingkat dosis FA dapat menunrunkan kadar Aldd media sehingga bibit dapat tumbuh lebih baik.
Pada dosis FA 2.0 g P2O5,
dibandingkan dengan kontrol, aplikasi asam humat dosis 3.10-3 mL menurunkan Aldd media sebesar 10.74%, sedangkan pada dosis yang lebih rendah 2.10-3 mL dan 1.10-3 mL masing-masing menurunkan kadar Aldd media sebesar 9.56% dan 8.97%. Keberadaan aluminium yang tidak dapat ditolelir oleh tanaman dapat menghambat pertumbuhan akar sehingga menyebabkan terganggunya penyerapan P, Ca, Mg dan juga unsur hara esensial lainnya (Ma 2000). Apabila kadar Al tidak dapat ditolelir lagi oleh tanaman, Minocha & Long (2004) menyatakan bahwa apeks akar (kaliptra, meristem dan zone perpanjangan) merupakan bagian organ akar pertama yang mengalami keracunan aluminium. Bagian organ akar yang mengalami keracunan Al akan rusak sehingga perkembangan akar dan pertumbuhan terhambat. Mayhew (2004) menyatakan bahwa asam humat mempunyai kemampuan yang kuat mengkompleks dan mengkelat yang berhubungan dengan Al dan Fe.
Di dalam
tanah senyawa humat mampu mengkelat logam-logam berat penjerap fosfat seperti Al,
108 Fe dan Ca. Labih lanjut Hiradate & Noriko (2003) menyatakan bahwa senyawa humat mencegah pembentukan Al+3 di tanah yang sangat beracun bagi tanaman. Dalam larutan tanah sanyawa humat juga memindahkan Al+3 dari larutan dengan membentuk ikatan (kompleks Al+3 humat). Di samping itu kondisi pH media tanam yang rendah penting karena kondisi masam mendorong pelarutan fosfat alam (Mayhew 2004).
Kemampuan asam humat mengkelat Al dan Fe serta melarutkan fosfat alam
ditunjukkan oleh tingginya P tersedia, P total dan rendahnya Aldd dalam media tanam (Tabel 12, Gambar 21). Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa pemberian fosfat alam telah nyata meningkatkan pertumbuhan bibit dan serapan hara. Pertumbuhan bibit ini akan lebih ditingkatkan apabila diaplikasikan asam humat. Pertumbuhan yang dicapai oleh bibit kakao pada dosis fosfat alam 2.0 g P2O5/bibit tanpa aplikasi asam humat dapat dicapai pada dosis fosfat alam yang lebih rendah apabila disertai aplikasi asam humat. Hal ini menunjukkan bahwa dengan aplikasi asam humat dapat meningkatkan efisiensi penggunaan fosfat alam. Peningkatan dosis fosfat alam Ayamaru dan dosis asam humat diikuti oleh meningkatnya pertumbuhan bibit kakao, tetapi pertumbuhan bibit kakao yang dipupuk FA hingga 2.0 gP2O5/bibit lebih rendah dibandingkan dengan pemupukan SP36 2.0 g P2O5/bibit. Pertumbuhan bibit terbaik dicapai pada aplikasi asam humat dengan dosis 3.10-3 mL/bibit. Oleh karena itu pada percobaan keempat, tingkat dosis sam humat 3.10-3 mL akan digunakan sebagai unsur kombinasi bersamaan dengan inokulum FMA Mycofer dan isolat bakteri pelarut fosfat percobaan yang lainnya.
yang
efektif
berdasarkan hasil dari
109
Kesimpulan Dari hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa : 1. Dosis asam humat 3.10-3 mL/bibit lebih efektif pada semua tingkat dosis fosfat alam. Apabila dibandingkan dengan kontrol, pada dosis fosfat alam Ayamaru 2.0 g P2O5/bibit, pemberian asam humat 1.10-3, 2.10-3, dan 3.10-3 mL/bibit masingmasing meningkatkan bobot kering tajuk sebesar 39.13%, 45.27%, dan 70.08%, sedangkan Aldd masing-masing menurun sebesar 8.97%, 9.56%, dan 10.74%. 2. Peningkatan dosis fosfat alam Ayamaru hingga 2.0 g P2O5/bibit dan dosis asam humat
hingga 3.10-3 mL/bibit masing-masing meningkatkan bobot kering akar
secara linier sebesar 1.45 – 2.09 g/bibit dan 1.35 – 2.07 g/bibit. 3. Bibit kakao tertinggi (46.50 cm) dicapai pada dosis fosfat alam Ayamaru 2.0 g P2O5/bibit dengan dosis asam humat 3.10-3 mL/bibit lebih rendah apabila dibandingkan dengan pemupukan SP36 2.0 g P2O5/bibit, yaitu 51.33 cm.
VI TANGGAP BIBIT KAKAO YANG DIINOKULASI FMA DAN BAKTERI PELARUT FOSFAT PADA BERBAGAI DOSIS FOSFAT ALAM AYAMARU YANG DIBERI ASAM HUMAT ABSTRAK Penelitian ini bertujuan untuk mendapatkan kombinasi inokulum fungi mikoriza arbuskula (FMA), bakteri pelarut fosfat (BPF) dan dosis asam humat yang efektif dalam meningkatkan daya guna fosfat alam Ayamaru (FA) pada bibit kakao. Penelitian dilaksanakan di Kebun Percobaan Cikabayan IPB, Bogor, Laboratorium Bioteknologi Hutan, dan Lab. Fisiologi Tanaman. Penelitian dilakukan menggunakan rancangan acak lengkap dua faktor. Faktor pertama adalah empat taraf dosis FA: 0, 1.0, 2.0, 4.0 g P2O5/bibit, dan 2.0 g P2O5 SP36/bibit sebagai pembanding. Faktor kedua adalah kombinasi FMA Mycofer + 3.10-3 mL asam humat (MH), FMA Mycofer + isolat FT.3.2 (MB), isolat FT.3.2 + 3.10-3 mL asam humat (BH), dan FMA Mycofer + isolat FT.3.2 + 3.10-3 mL asam humat (MBH). Benih kakao yang digunakan adalah UAH F1 dari Pusat Penelitian Kopi dan Kakao Jember Jawa Timur. Pembibitan dilakukan dalam polibag 20 cm x 30 cm dengan media tanah masam Ultisol, Jasinga, dan ditempatkan dalam jaring naungan 60% selama empat bulan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pada bibit kakao yang diberi FA 2.0 g P2O5/bibit memberikan diameter batang dan jumlah daun lebih tinggi tetapi tidak berbeda nyata dengan pemupukan 2.0 g P2O5 SP36. Tanggap bibit kakao akibat dosis FA hingga 4.0 g P2O5/bibit pada semua perlakuan kombinasi untuk sebagian besar peubah adalah linier. Namun demikian, perlakuan kombinasi yang melibatkan inokulasi FMA memberikan hasil terbaik dibandingkan tanpa inokulasi FMA. Terhadap bobot kering tajuk keefektifan FMA Mycofer adalah 104.29%, asam humat 4.38%, dan bakteri pelarut fosfat 4.24%, terhadap serapan P tajuk berturut turut 191.00%, 33.20% dan 18.31%, terhadap kolonisasi akar adalah 681.82%, 10.26%, 6.17%, terhadap aktivitas fosfatase asam adalah 30.07%, 7.58%, 7.34%, sedangkan terhadap efisiensi FA adalah 104.29%, 4.38%, dan 4.24%. Perlakuan kombinasi yang diberikan adalah untuk meningkatkan kadar P tersedia dan menurunkan kadar Aldd. Perlakuan kombinasi dengan peningkatan dosis FA hingga 2.0 g P2O5/bibit menyebabkan meningkatnya kolonisasi akar dan aktivitas fosfatase asam sejalan dengan menurunnya kadar Aldd media, tetapi peningkatan dosis selanjutnya hingga 4.0 g P2O5/bibit menurunkan kolonisasi akar dan aktivitas fosfatase asam dan sebaliknya meningkatkan kadar Add media. Tanggap pertumbuhan dan kadar P tersedia pada bibit terhadap FA hingga 4.0 g P2O5/bibit masih meningkat secara linier. Tanggap pertumbuhan bibit dan kadar P tersedia lebih ditingkatkan apabila diberi asam humat, inokulasi BPF dan FMA. Sintesis asam-asam organik oleh BPF dan pelepasan asam fosfatase ke media oleh akar bibit yang diinokulasi FMA mengidikasikan terjadinya mekanisme eksternal pelarutan FA.
111 ABSTRACT The purpose of the study was to find the best combination treatment of AMF, PSB and humic acid dosage to enhance the beneficial effect of Ayamaru phosphate rock (APR) on cacao seedlings. The study was conducted at the Experimental Farm of IPB, Cikabayan, Bogor, Forest Biotechnology Laboratory, Soil Chemistry and Fertility Laboratory and Plant Physiology Laboratory of IPB, Bogor. The two factor-factorial experiment was set up in a Completely Randomized Design. The first factor was four levels of APR dosage: 0, 1.0, 2.0, 4.0 g P2O5/seedling, and 2.0 g P2O5 SP36/seedling used as comparison. The second factor was combination treatments consisting of Mycofer + 3.10-3 mL humic acid (MH), Mycofer + FT.3.2 isolate (MB), FT.3.2 isolate + 3.10-3 mL humic acid (BH), and Mycofer + FT.3.2 isolate + 3.10-3 mL humic acid (MBH). F1 UAH cacao seeds from Coffee and Cacao Research Center in Jember, East Java was used and the seedlings were grown on Ultisol, acid soil from Jasinga in 20 cm x 30 cm sized polybag. The seedlings were grown under 60% of shading net for the period of four months. In this study, the seedling with 2.0 g P2O5/seedling of APR gave stem diameter and leaf number that higher but not-significantly different than the seedling with 2.0 g P2O5 SP36/seedling. The response of most variables of seedlings to APR up to 4.0 g P2O5 in all combination treatments of the second factor was linear. However, all fertilization treatments which involved AMF inoculation gave the better result as comparing to seedling without AMF. In term of shoot dry-weight, the effectiveness of Mycofer, humic acid and PSB was 104.29%, 4.38% and 4.24% respectively; in term of P uptake was 191.00%, 33.20% and 18.31%; in term of root colonization was 681.82%, 10.26% and 6.17% respectively; in term of acid phosphatase activity was 30.07%, 7.58%, 7.34% respectively, while in term of APR efficiency was 104.29%, 4.38%, and 4.24% respectively. Combination treatments in this study were aimed to enhance available P and to lower exchangeable Al content of the media. Combination treatments with the increasing level of APR up to 2.0 g P2O5/seedling caused increasing the root colonization and acid phosphatase activity went a long with decreasing exchangeable Al content, but with the increasing level of APR up to 4.0 g P2O5/seedling caused decreasing the root colonization and acid phosphatase activity and on the contrary increasing exchangeable Al content of the media. The response of the growth seedlings and P available content of the media up to 4.0 g P2O5 of APR was still increased linearly. The responses were improved by the application of humic acid, AMF and PSB inoculation. The synthesis of organic acids by PSB inoculation and the release of acid phosphatase by AMF to the media indicated that there were the external mechanism of P solubilization of phosphate rock.
112
Pendahuluan Pengujian
dosis fosfat alam Ayamaru
dengan inokulum fungi mikoriza
arbuskula (FMA), isolat bakteri pelarut fosfat (BPF), dan tingkat dosis asam humat terhadap pertumbuhan bibit kakao masing-masing menunjukkan hubungan linier. Oleh karena itu dalam percobaan keempat dosis aplikasi fosfat alam Ayamaru dinaikkan dengan tingkat dosis
fosfat
alam
0, 1.0, 2.0, 4.0 g P2O5/bibit dan 2.0 g P2O5
SP36/bibit sebagai pembanding. Di samping itu tiga percobaan sebelumnya juga menunjukkan bahwa FMA Mycofer merupakan inokulum yang paling efektif, sedangkan isolat bakteri pelarut fosfat yang paling efektif adalah isolat FT.3.2. Tingkat dosis asam humat 3.10-3 mL merupakan dosis yang memberikan hasil terbaik terhadap kalarutan fosfat alam Ayamaru pada pertumbuhan bibit kakao.
Belum diketahui bagaimana pengaruh
perlakuan kombinasi inokulasi FMA, BPF, dan asam humat terhadap pertumbuhan bibit kakao yang diberi fosfat alam Ayamaru. Oleh karena itu untuk mendapatkan efek yang lebih baik dari penggunaan fosfat alam Ayamaru sebagai pupuk P alternatif tanaman maka perlu dilakukan percobaan terhadap pengaruh perlakuan kombinasi mikoriza, asam humat, dan bakteri pelarut fosfat terhadap pertumbuhan bibit kakao yang diberi berbagai dosis fosfat alam Ayamaru tersebut di atas. Pemberian FA secara langsung meskipun lebih praktis tetapi sering disertai terbawanya logam seperti Al, Cd, dan Pb. Aplikasi senyawa humat diharapkan mampu mengkompleks logam-logam berat tersebut sehingga tidak meracuni tanaman (Khan et al. 2000).
Than & Pape (1998) menyatakan bahwa di samping kemampuannya
mengkelat logam berat, senyawa humat diketahui dapat melarutkan FA dan melepaskan Ca dan P sehingga tersedia bagi tanaman sekaligus menstabilkan hara tersedia bagi
113 tanaman dan mencegahnya tidak terjerap kembali ke lingkungan (Schnitzer 1986). Senyawa humat dapat memperbaiki keefektifan FA yang sulit larut (Lobartini et al. 1994) meningkatkan kapasitas tukar kation (Zimmer 2004). Hal ini karena kemampuannya untuk mengkompleks dan mengkelat hasil pelarutan (Tan 1986) dan menstimulir metabolisme mikrob (Day et al. 2000). Senyawa humat mempengaruhi pertumbuhan tanaman melalui peningkatan penyerapan hara makro dan
mikro, mempengaruhi pembentukan akar-akar baru,
meningkatkan permeabilitas membran akar (Lulakis & Petsas 1995; Mayhew 2005), dan meningkatkan penyerapan mineral melalui stimulasi aktifitas mikrob rizosfer tanaman. Banyaknya akar-akar yang baru dengan permeabilitas yang tinggi akan menguntungkan proses kolonisasi akar oleh mikoriza, karena kolonisasi mikoriza umumnya terjadi pada akar-akar muda (Sieverding 1991) dan proses kolonisasi mikoriza ini akan mudah terjadi pada akar-akar dengan permeabilitas membran yang tinggi (Copper 1984). Oleh karena itu apabila kolonisasi telah terjadi dengan baik maka akan terjadi simbiosis mutualistik untuk perkembangan tanaman dan mikoriza. Postma et al. (2007) menyatakan bahwa kolonisasi akar oleh FMA dapat menguntungkan
pertumbuhan tanaman pada tanah masam dan miskin unsur hara,
FMA dapat mensuplai hara ke tanaman bahkan memberikan perlindungan terhadap keracunan Al. Fungi mikoriza arbuskula (FMA) meningkatkan pengambilan P melalui hifa ekstraradikal, sehingga meningkatkan efisiensi penggunaan hara (Linderman & Davis 2000), meningkatkan fotosintesis dan biomasa tanaman (Bago et al. 2000). Galli et al. (1994) menyatakan bahwa FMA memainkan peranan utama dalam memproteksi akar tanaman dari logam berat, walaupun kemampuan proteksi berbeda di antara spesies FMA dan jenis logam beratnya.
114 Pelepasan hara dari FA oleh aktivitas biologi ditingkatkan dengan adanya sanyawa humat (Chen & Aviad
1990; Tan
2003).
Asam-asam organik yang
dihasilkan oleh aktivitas mikrob secara langsung mempengaruhi laju pelarutan hara dari FA (Welch et al. 2002) dan merupakan mekanisme umum pelarutan FA (Arcand & Schneider 2006). Siripin (2002) menyatakan bahwa kemampuan bakteri melarutkan fosfat tanah menjadi bentuk terlarut melalui sekresi asam-asam organik seperti asam format, asetat, propionate, laktat, glikolat, fumarat, dan suksinat. Drouillon & Merck (2003) menyatakan bahwa peningkatan ketersediaan P oleh adanya asam sitrat, tidak hanya akibat pengasaman di rhizosfer tetapi juga oleh kemampuannya dalam mengkompleks Al dan Fe. Mobilisasi P oleh asam sitrat lebih kuat dari pada oksalat dan malat. Kemampuan asam sitrat memobilisasi P berhubungan dengan kekuatan stabilitas kompleks Al-sitrat (Ström et al. 2002). Penelitian bioasosiasi bakteri pelarut fosfat, FMA, dan senyawa humat pada FA untuk meningkatkan efisiensi FA dan pertumbuhan tanaman jarang dilakukan (Zaidi et al. 2004). Oleh karena itu penggunaan mikoriza, asam humat, dan bakteri pelarut fosfat
maupun
kombinasinya
merupakan
alternatif
yang
diharapkan
dapat
meningkatkan efisiensi pemanfaatan fosfat alam Ayamaru dan meningkatkan pertumbuhan bibit kakao. Penelitian ini bertujuan untuk mendapatkan kombinasi terbaik dari FMA, bakteri pelarut dan asam humat yang efektif pada fosfat alam Ayamaru sehingga dapat meningkatkan serapan P dan memberikan pertumbuhan bibit kakao yang baik.
115
Bahan dan Metode Tempat dan Waktu Penelitian ini dilaksanakan di Kebun Percobaan Cikabayan, IPB Darmaga, Laboratorium Biotek Hutan dan Lingkungan, Pusat Penelitian Sumber Daya Hayati dan Bioteknologi IPB, Bogor, Laboratorium Kimia dan Kesuburan Tanah, IPB. Penelitian berlangsung dari bulan Maret - Juni 2007. Bahan dan Alat Bahan tanaman yang digunakan adalah benih kakao jenis Upper Amazone Hybrid (UAH) F1, fosfat alam Ayamaru (FA), asam humat, inokulum Mycofer (FMA), dan bakteri pelarut fosfat (BPF).
Fosfat alam diambil dari Distrik Ayamaru, Papua,
sedangkan pupuk dasar yang digunakan adalah Urea dan KCl. Bahan-bahan lainnya yang digunakan adalah polibag,
pupuk SP36 (26.24% P2O5), dan jaring naungan
(paranet) 60%. Media tanam adalah tanah Ultisol dari Jasinga, Bogor (Lampiran 7). Bahan-bahan lainnya yang digunakan adalah asam laktat, gliserol, trypan blue, HCl 2%, KOH 10 %, Glukosa 50%, aquades, PVLG (polyvinil glikol), Melzer’s, akar tanaman, dan media Pikovskaya. Alat-alat yang digunakan adalah kaliper, pH meter, satu set saringan spora bertingkat (45, 125, 250 dan 500 µm), sentrifuse, mikroskop, cawan Petri, oven, timbangan analitik, AAS, gelas ukur, dan alat-alat lainnya untuk penunjang analisis P. Metode Percobaan Penelitian merupakan percobaan faktorial dua faktor dengan menggunakan rancangan acak lengkap (RAL) tiga ulangan.
116 Faktor pertama adalah dosis pemupukan P, yaitu : Po
: Tanpa pemupukan
P1
: 1 g P2O5 (4.76 g fosfat alam/bibit)
P2
: 2 g P2O5 (9.52 g fosfat alam/bibit)
P3
: 4 g P2O5 (19.04 g fosfat alam/bibit)
P36
: 2 gram P2O5 (7.56 g SP36/bibit)
Faktor kedua adalah kombinasi FMA, asam humat, dan bakteri pelarut fosfat: MH
: FMA (Mycofer) + 3.10-3 mL asam humat
MB
: FMA (Mycofer) + bakteri pelarut fosfat (FT.3.2)
BH
: Bakteri pelarut fosfat (FT.3.2) + 3.10-3 mL asam humat
MBH : FMA (Mycofer) + bakteri pelarut fosfat (FT.3.2)+ 3.10-3 mL asam humat Setiap kombinasi perlakuan diulang tiga kali sehingga diperoleh 3 x 4 x 3 = 36 satuan percobaan dengan masing-masing satuan percobaan meliputi tiga tanaman. Model linier rancangan yang digunakan adalah :
Yijk = µ + αi +βj + (αβ)ij + εijk Di mana :
Yijk
: hasil pengamatan dari perlakuan sumber P ke-i dan kombinasi ke-j ulangan ke-k
µ
: nilai rataan umum
αi βj
: pengaruh perlakuan sumber P ke-i
(αβ)ij
: pengaruh interaksi antara sumber P ke-i dan kombinasi ke-i
pada
: pengaruh kombinasi ke-j
εijk
: pengaruh galat percobaan dari perlakuan sumber P ke-i dan kombinasi ke-j pada ulangan ke-k
i j
: 1,2,3 : 1,2,3,4
k
: 1,2,3
117 Pelaksanaan Percobaan Persiapan inokulum FMA, Asam Humat dan isolat BPF. Inokulum FMA Mycofer diperbanyak menggunakan tanaman sorgum dengan media zeolit.
Isolat
bakteri pelarut fosfat FT.3.2 dikulturkan dengan menggunakan media kaldu nutrien, selanjutnya untuk keseragaman populasi pada inokulasi di pembibitan dilakukan pengenceran dengan metode cawan tuang berdasarkan kurva baku populasi.
Dosis
asam humat yang digunakan adalah 3.10-3 mL yang diaplikasikan dengan volume 10 mL per tanaman. Pengenceran dilakukan dengan melarutkan sejumlah asam humat Humega ke dalam aquades. Persiapan media pembibitan. Tanah dari lapang dibersihkan dari sisa-sisa tanaman dan kotoran kemudian dikeringanginkan. Selanjutnya tanah yang telah kering angin diayak dengan ukuran 5 mm x 5 mm dan ditimbang sebanyak 3 kg/polibag. Polibag yang digunakan berukuran 20 cm x 30 cm dengan tebal 0.8 mm dan 18 lubang drainase. Perlakuan pemupukan fosfat alam Ayamaru dan pupuk dasar (Urea dan KCl) diaplikasikan pada setiap satuan percobaan satu minggu sebelum penanaman. Dosis pupuk dasar adalah 2 g Urea/bibit dan 2 g KCl/bibit. Selama masa inkubasi dilakukan penyiraman untuk menjaga kelembaban tanah. Pengecambahan benih kakao. Benih kakao sebagai tanaman uji dipilih dari biji yang besarnya seragam. Benih dikecambahkan pada nampan pengecambahan yang diisi dengan media zeolit. Media pengecambahan yang digunakan distrerilkan dengan autoclave pada 121oC selama 15 menit. Pengecambahan dilakukan selama tujuh hari. Penanaman, inokulasi FMA, BPF, asam humat dan pemeliharaan. Sebanyak satu kecambah kakao yang telah berumur tujuh hari selanjutnya dipindahtanamkan ke dalam polibag yang telah disiapkan.
Pada saat tanam dilakukan
118 inokulasi 20 g inokulum Mycofer (± 50 spora) pada lobang tanam, inokulasi bakteri pelarut fosfat dengan dosis 1 mL dengan kepadatan 1010 sel/mL, dan aplikasi 3.10-3 mL asam humat.
Pemeliharaan dilakukan dengan penyiraman setiap pagi sesuai dengan
kapasitas lapang. Peubah yang Diamati Pengamatan tanggap bibit kakao terhadap dosis fosfat alam dan kombinasi FMA, bakteri pelarut fosfat, dan asam humat dilakukan terhadap peubah : 1. Tinggi tanaman (cm), diukur dari pangkal batang hingga pangkal tangkai daun terakhir. Pengukuran ini dilakukan pada umur 2, 4, 6, 8, 10, 12, 14,16 MST (minggu setelah tanam). 2. Diameter batang (mm), diukur pada batang 1 cm di atas pangkal batang. Pengukuran ini dilakukan pada umur 2, 4, 6, 8, 10, 12, 14,16 MST (minggu setelah tanam). 3. Jumlah daun pada umur 2, 4, 6, 8, 10, 12, 14, 16 MST (minggu setelah tanam). 4. Bobot kering tajuk (g), diukur pada setelah tanaman dipanen dan tajuknya dikeringkan dengan oven pada temperatur 60o C selama 24 jam. 5. Bobot kering akar (g), diukur pada setelah tanaman dipanen dan akarnya dikeringkan dengan oven pada temperatur 60o C selama 24 jam. 6. Intensitas infeksi akar (%), dihitung berdasarkan rumus : Jumlah akar terinfeksi % akar terinfeksi = ----------------------------------- X 100% Total jumlah akar 7. Nisbah tajuk akar, Perbandingan bobot kering tajuk dengan bobot kering akar. 8. Analisis kadar P jaringan tanaman, dilakukan terhadap
tajuk tanaman
dengan Metode Watanabe dan Olsen (1965) menggunakan Atomic Absorption Spectrophotometer (AAS). 9. Serapan P, kadar P tajuk dikalikan dengan bobot kering tajuk (mg/tajuk).
119 10. Aktivitas fosfatase asam akar (μg/g/jam) 11. pH tanah 12. Kadar P total tanah (ppm) 13. Kadar P tersedia tanah (ppm) 14. Kadar Aldd tanah (me/100 g) Analisis Data Data percobaan hasil pengamatan dianalisis dengan analisis ragam dan jika perlakuan penunjukkan pengaruh yang nyata, maka dilanjutkan dengan Uji Ortogonal kontras, sedangkan pengaruh dosis fosfat alam terhadap pertumbuhan tanaman diuji dengan Ortogonal polinomial (Gomez and Gomez 1995).
Hasil Hasil yang diperoleh menunjukkan bahwa dosis FA dan perlakuan kombinasi FMA, BPF, dan asam humat (M, B, H) berpengaruh sangat nyata (P<0.001) terhadap pertumbuhan bibit kakao (Lampiran 9d). Dosis pemupukan FA dan kombinasi FMA, BPF, dan asam humat menunjukkan berpengaruh pada tinggi dan diameter batang bibit kakao mulai umur empat MST.
Tanggap jumlah daun bibit kakao akibat dosis FA
mulai tampak pada umur enam MST, sedangkan perlakuan kombinasi M, B, H tampak mulai berpengaruh pada bibit kakao umur empat MST.
Penampilan bibit kakao
akibat dosis FA Ayamaru dan kombinasi M, B, H disajikan pada Gambar 25. Tingkat dosis fosfat alam dan kombinasi FMA, BPF, dan asam humat berpengaruh sangat nyata terhadap pertumbuhan tinggi, diameter batang, jumlah daun, kadar P tajuk, bobot kering akar, dan nisbah tajuk-akar bibit kakao (P<0.001) tetapi tidak menunjukkan adanya interaksi (Lampiran 9d).
120 a
b
MH
MB
BH
MBH
MH
P1
MB
BH
MBH
P36
c
P0
P36
P1
P2
P4
MBH
Gambar 25 Penampilan bibit kakao akibat kombinasi M, B,H pada dosis P1 (a) dan P36 (b), dan akibat tingkat dosis fosfat alam Ayamaru pada kombinasi MBH (c). Po : kontrol; P36 : 2.0 g P2O5 SP36/bibit; P1: 1.0 g P2O5 FA/bibit; P2: P4: 4.0 g P2O5 FA/bibit; M: FMA Mycofer; B: 2.0 g P2O5 FA/bibit BPF FT.3.2 ; H: 3.10-3 mL asam humat. Tinggi bibit, diameter batang dan jumlah daun pada dosis fosfat alam 2.0 g P2O5/bibit
memberikan hasil terbaik, sedangkan bobot kering akar tertinggi
ditunjukkan pada dosis fosfat alam 4 g P2O5/bibit.
Nisbah tajuk-akar tertinggi
dihasilkan pada bibit yang dipupuk dengan SP36 2.0 g P2O5/bibit (Tabel 14).
121 Tabel 14 Tanggap tinggi, diameter batang, jumlah daun, kadar P tajuk, bobot kering akar, dan nisbah tajuk-akar bibit kakao terhadap dosis fosfat alam pada berbagai kombinasi M, B, H Perlakuan
Tinggi bibit (cm)
D. batang (mm)
34.92 d 37.79 c 42.00 a 41.54 ab 39.46 bc
6.29 c 6.85 b 8.36 a 8.56 a 8.18 ab
Jumlah daun
Kadar P tajuk (%)
BK Akar (g)
Nisbah T-A
11.17 b 13.30 ab 14.54 a 12.50 ab 12.17 ab
0.15 e 0.16 d 0.18 c 0.19 b 0.21 a
1.16 c 1.49 b 1.67 b 2.07 a 1.48 b
3.93 b 4.31 ab 4.17 ab 4.06 b 4.66 a
Dosis FA (gP2O5/bibit): Kontrol 0 1 2 4 SP36 : 2 gP2O5/bibit Kombinasi : MBH MH MB BH +M vs –M +B vs –B +H vs –H MBH vs lainnya MBH vs MH (B) MBH vs MB (H) MBH vs BH (M)
44.43 7.68 15.37 0.20 1.96 4.09 40.57 7.39 13.53 0.18 1.95 3.96 41.87 7.25 13.00 0.17 1.59 4.21 29.70 5.98 9.03 0.16 0.90 4.64 ...................................Uji Ortogonal kontras ................................... ** ** ** ** ** * * ** ns ** ** ns ** * ns ** ns ns ** ** ** ** ** ns ........................................Keefektifan (%) ....................................... 10.50 3.92 13.60 11.11 0.51 3.28 7.07 5.93 18.23 17.65 23.27 -2.85 49.60 28.43 70.21 25.00 117.78 -11.85
Keterangan: Angka dalam satu kolom yang diikuti oleh huruf yang sama tidak berbeda nyata dalam uji BNT pada taraf 95%. M: FMA Mycofer; B: BPF FT.3.2; H: 3.10-3 mL asam humat; *: berbeda nyata, **: berbeda sangat nyata, ns : tidak berbeda nyata. T : tajuk, A :akar.
Pengaruh kombinasi perlakuan FMA+BPF+asam humat (MBH) memberikan tinggi, diameter batang, jumlah daun, kadar P tajuk, dan bobot kering akar bibit kakao lebih tinggi dibandingkan dengan perlakuan kombinasi lainnya (Tabel 14). Bibit kakao yang diberi perlakuan kombinasi yang melibatkan inokulasi FMA (+M) memberikan hasil yang berbeda nyata apabila dibandingkan dengan perlakuan kombinasi tanpa melibatkan inokulasi FMA (-M) (Lampairan 11). Perbandingan antara kombinasi yang melibatkan bakteri pelarut fosfat (+B) dan tanpa bakteri pelarut fosfat (-B) tidak menunjukkan perbedaan pada jumlah daun dan nisbah tajuk-akar bibit kakao, sedangkan antara perlakuan kombinasi dengan asam humat (+H) dan tanpa asam humat
122 (-H) memberikan perbedaan pada tinggi, diameter batang, dan kadar P tajuk bibit kakao. Pada Tabel 14 juga menunjukkan bahwa peranan inokulasi FMA pada perlakuan kombinasi MBH lebih besar daripada peranan BPF maupun asam humat. Peranan inokulasi FMA dalam meningkatkan pertumbuhan bibit pada perlakuan kombinasi MBH masing-masing untuk tinggi bibit 49.60%, diameter batang 28.43%, jumlah daun 70.21%, kadar P tajuk 25.00%, dan bobot kering akar 117.78%, tetapi pada nisbah tajuk akar menurun 11.85%. Tanggap tinggi dan diameter batang bibit kakao akibat dosis fosfat menunjukkan
kurva
linier, masing-masing dengan persamaan
alam
tinggi bibit
y = 36.1600 + 1.6586x, R2 = 0.66 dan diameter batang y = 6.534 + 0.232x, R2 = 0.64 (Gambar 26, Lampiran 10d). Histogram pengaruh perlakuan kombinasi di antara FMA, BPF, dan asam humat menunjukkan bahwa pada perlakuan kombinasi tanpa mikoriza memberikan tinggi dan diameter batang bibit yang lebih rendah, sedangkan bibit tertinggi dan diameter batang terbesar diperoleh pada bibit dengan perlakuan kombinasi FMA + BPF + asam humat (MBH) (Gambar 26).
123 Tinggi bibit (cm)
55
45 40
Tinggi bibit (cm)
50
40.57
35 45
29.7
30
y = 43.1600 + 2.6586x R2 = 0.66
44.43
41.87
25 20
40
15 10
35
5 0 MH
30 0
1
2
3
4
Dosis FA (g P2O5/bibit)
BH
MBH
Kombinasi
(a) Diameter batang (mm)
12
Diameter batang (mm)
MB
8
11
7
10
6
7.39
7.68
7.25 5.63
5
9
4
y = 8.2740 + 0.7091x R2 = 0.64
8
3 2
7
1
6
0 MH
5 0
1
2
3
Dosis FA (g P2O5/bibit)
4
MB
BH
MBH
Kombinasi
(b)
Gambar 26 Kurva tanggap tinggi (a) dan diameter batang (b) bibit kakao akibat dosis fosfat alam dan histogram perlakuan kombinasi, M: FMA Mycofer; B: BPF FT.3.2 ; H: 3.10-3 mL asam humat. Terhadap tanggap jumlah daun bibit kakao akibat dosis fosfat alam, dari hasil uji Ortogonal polinomial
menunjukkan kurva kuadratik, sedangkan terhadap bobot
kering akar menunjukkan kurva linier (Gambar 27, Lampiran 10d).
124 18
Jumlah daun
Jumlah daun bibit
15.37
16
16
2.54
14
14
13.53
10
12 y = 11.1470 + 2.7566x - 0.5416x 2 R2 = 0.99
10
9.03
8 6 4
8
2 0
6
MH 0
1
2
3
Dosis FA (g P2O5/bibit)
4
MB
BH
MBH
Kombinasi
(a) Bobot kering akar (g)
2.5
Bobot kering akar (g)
13.00
12
2.0 1.8 1.6 1.4 1.2 1.0 0.8 0.6 0.4 0.2 0.0
2.0 1.5 y = 1.2120 + 0.2203x R2 = 0.98
1.0 0.5 0.0 0
1
2
3
Dosis FA (g P2O5/bibit)
1.95
0.90
MH
4
(b)
1.86 1.59
MB
BH
MBH
Kombinasi
Gambar 27 Kurva tanggap jumlah daun (a) dan bobot kering akar (b) bibit kakao akibat dosis fosfat alam dan histogram perlakuan kombinasi, M: FMA Mycofer; B: BPF FT.3.2; H: 3.10-3 mL asam humat.
Persamaan garis regresi jumlah daun adalah y = 11.1470 + 2.7566x – 0.5416x2 R2= 0.99 dengan dosis fosfat alam optimum pada 2.54 g P2O5/bibit, sedangkan untuk bobot kering akar y = 1.2120 + 0.2203x, R2= 0.98. Histogram menunjukkan bahwa pada perlakuan tanpa mikoriza memberikan jumlah daun bibit dan bobot kering akar paling kecil, sedangkan yang tertinggi diperoleh pada perlakuan kombinasi MBH (Gambar 27). Tanggap nisbah tajuk-akar akibat dosis fosfat alam menunjukkan kurva kuadratik, sedangkan kadar P tajuk adalah linier (Gambar 28, Lampiran 10d).
125 5.0
Nisbah tajuk-akar
4.8
4.8 4.64
Nisbah tajuk-akar
4.6
4.6
2.39
4.4
4.4
4.2 4.0 3.8
4.21
4.2
y = 3.9799 + 0.2490x - 0.052x 2 R2 = 0.59
3.6
4.0
3.4
3.8
3.2
4.09 3.96
3.6
3.0
MH
0
1
2
3
Dosis FA (g P2O5/bibit)
.
4
BH
MBH
Kombinasi
(a) Kadar P tajuk (%)
0.20
0.20 0.18 0.16 0.14 0.12 0.10 0.08 0.06 0.04 0.02 0.00
0.19
Kadar P tajuk (%)
MB
0.18 0.17 0.16 0.15
y = 0.1492 + 0.0109x R2 = 0.95
0.14 0.13 0.12
0.20 0.18
MH 0
1
2
3
Dosis FA (g P2O5/bibit)
4
0.17
MB
0.16
BH
MBH
Kombinasi
(b)
Gambar 28 Kurva tanggap nisbah tajuk-akar (a) dan kadar P tajuk (b) akibat
dosis fosfat alam dan histogram perlakuan kombinasi, M: FMA Mycofer; B: BPF FT.3.2 ; H: 3.10-3 mL asam humat.
.
Persamaan regresi nisbah tajuk-akar adalah y = 3.9799 + 0.2490x – 0.052x2 R2= 0.59 dengan dosis fosfat alam optimum pada 2.39 g P2O5/bibit dan kadar P tajuk y = 0.1492 + 0.0109x R2= 0.95 (Gambar 28). Interaksi tingkat dosis fosfat alam dan perlakuan kombinasi MBH berpengaruh terhadap bobot kering tajuk, serapan P tajuk, kolonisasi akar, kadar fosfatase asam, kadar P tersedia, kadar P total, pH media, kadar dan Aldd (Lampiran 9d).
126 Tabel 15 Uji Ortogonal polinomial tanggap bobot kering tajuk, serapan P tajuk, kolonisasi akar, aktivitas fosfatase asam, kadar P tersedia, kadar P total, pH media, dan kadar Aldd akibat dosis fosfat alam pada berbagai kombinasi M, B, H Perlakuan
Dosis Fosfat Alam(P2O5/bibit) SP36 0 1 2 4 …………........Bobot kering tajuk (g/bibit)…………...........
Kurva tanggap
Linier 5.31 6.94 7.99 9.29 7.04 Linier 4.29 9.96 7.19 7.94 7.12 Linier 2.50 3.25 2.97 4.76 5.18 Linier 5.24 7.67 7.46 9.77 7.96 …………....... .Serapan P (mg/tajuk)………........... MH Linier 8.15 12.30 15.20 18.75 13.40 MB Linier 6.70 11.20 14.05 16.35 12.40 BH Linier 2.80 4.90 5.85 8.55 8.70 MBH Linier 8.80 15.75 17.75 22.05 14.30 …………...........Kolonisasi akar (%) ……..........……. MH Kuadratik 85 95 95 80 50 Kuadratik MB 80 90 90 80 50 BH Linier 5 10 15 15 10 MBH Kuadratik 90 95 95 90 60 ...............Aktivitas fosfatase asam (µg/g/jam) ................ MH Kuadratik 13.83 14.29 14.68 13.72 11.57 MB Linier 13.84 14.37 14.29 13.74 11.73 BH Kuadratik 10.65 11.80 12.08 11.52 10.17 MBH Kuadratik 14.49 15.05 15.62 14.85 13.07 -3 Keterangan: M: FMA Mycofer; B: BPF FT.3.2 ; H: 3.10 mL asam humat. MH MB BH MBH
Peningkatan dosis fosfat alam (FA) hingga 4.0 g P2O5/bibit diikuti oleh peningkatan bobot kering tajuk dan serapan P tajuk bibit kakao pada semua perlakuan kombinasi MBH (Gambar 20a,b). Terhadap kolonisasi akar, perlakuan kombinasi yang melibatkan inokulasi FMA menunjukkan tanggap kuadratik, sedangkan pelakuan kombinasi BH menunjukkan tanggap linier. Hal ini menunjukkan bahwa kolonisasi akar menurun dengan meningkatnya dosis FA.
Demikian halnya dengan tanggap
aktivitas fosfatase asam akar bibit pada perlakuan kombinasi yang melibatkan aplikasi asam humat (H), yaitu menunjukkan tanggap kuadratik, sedangkan pada perlakuan kombinasi MB menunjukkan tanggap linier (Tabel 15, Gambar 29).
127 12
25.0
Linear Linear Linear Linear
10
Serapan P (mg/tajuk)
Bobot Kering Tajuk (g/bibit)
20.0
8
6
4
15.0
10.0
Linear (yMH= 5,67 + 0,96x, R^2 = 0,77) Linear (yMB= 5,21 + 0,79x, R^2 = 0,63) Linear (yBH = 2,84 + 0,59x, R^2 = 0,60) Linear (yMBH= 5,75 + 1,02x, R^2 = 0,77)
2
0 0
1
2
3
Dosis Fosfat Alam (g P2O5/bibit)
5.0
0.0 0
4
1
2
3
Dosis Fosfat Alam (P2O5 g/bibit)
(a)
4
(b) 17
100
80
60 Poly. (yMH= 85,41+ 11,76x - 3,30x^2, R^2= 0,69) Poly. (yMB= 80,55 + 10,73x - 2,73x^2, R^2= 0,99) Linear (yBH= 7,00 + 2,43x, R^2= 0,48) Poly. (yMBH= 90,27 + 5,36x - 1,36x^2, R^2= 0,33)
40
20
0
Aktivitas Fosfatase Asam (ug/g/jam)
1.78 1.97 1.97
Kolonisasi Akar (%)
(yMH= 9.11 + 2.57x, R^2= 0,86) (yMB= 8.05 + 2.31x, R^2= 0,87) (yBH = 3.09 + 1.39x, R^2= 0,89) (yMBH= 1,07 + 0,31x, R^2= 0,96)
16
2.15
15
1.94
0.52
14 13 12 11 10
Poly. (yMH= 13,82 + 0,78x - 0,20x^2, R^2= 0,76 ) Poly. (yMB= 14,38 + 0,06x - 0,05x^2, R^2= 0,44) Linear (yBH= 11,22 + 0,17x, R^2= 0,79) Poly. (yMBH= 14,49 + 0,91 x - 0,21x^2, R^2= 0,74)
9 8
0
1
2
3
Dosis Fosfat Alam (g P2O5/bibit)
(c)
4
0
1
2
3
Dosis Fosfat Alam (g P2O5/bibit)
(d)
Gambar 29 Kurva tanggap bobot kering tajuk (a), serapan P tajuk (b), kolonisasi akar (c) dan aktivitas fosfatase akar (d) akibat dosis FA pada berbagai perlakuan kombinasi M, B, H. M: FMA Mycofer; B: BPF FT.3.2 ; H: 3.10-3 mL asam humat. Kolonisasi akar maksimum untuk perlakuan kombinasi MH, MB, dan MBH masing-masing dicapai pada tingkat dosis FA 1.78, 1.97, dan 1.97 g P2O5/bibit. Namun demikian kolonisasi akar pada perlakuan kombinasi BH menunjukkan tanggap linier yang berbeda nyata dengan kolonisasi akar pada perlakuan kombinasi MH, MB, maupun MBH (Gambar 29c).
4
128 Aktivitas fosfatase asam pada perlakuan kombinasi BH berbeda nyata dengan perlakuan kombinasi MH, MB, dan MBH. Aktivitas fosfatase asam maksimum untuk setiap perlakuan kombinasi MH, MB, MBH masing-masing dicapai pada tingkat dosis fosfat alam 1.94, 0.50, 2.39, dan 2.15 g P2O5. Tanggap aktivitas fosfatase pada perlakuan kombinasi BH adalah linier berbeda nyata dengan kombinasi MH, MB, maupun MBH (Gambar 29d). Diperoleh juga bahwa bobot kering tajuk dan serapan P bibit kakao yang dipupuk FA hingga dosis 4.0 g P2O5/bibit dengan perlakuan yang melibatkan inokulasi FMA memberikan hasil lebih tinggi dibandingkan dengan bibit yang dipupuk dengan SP36 2.0 g P2O5/bibit. Pada perlakuan tanpa FMA pada pemupukan FA 4.0 g P2O5/bibit bobot kering tajuk dan serapan P bibit kakao lebih rendah daripada pemupukan dengan SP36. Apabila bibit diinokulasi FMA maka bobot kering tajuk dan serapan P bibit kakao dengan pemupukan SP36 2.0 g P2O5/bibit dapat dicapai pada dosis FA 2.0 g P2O5/bibit (Tabel 15). Hasil uji Ortogonal kontras menunjukkan bahwa bobot kering tajuk, serapan P tajuk, dan aktivitas fosfatase asam akar pada perlakuan kombinasi yang melibatkan M dan B berbeda nyata dengan perlakuan tanpa M dan B. Pemberian asam humat pada kombinasi perlakuan hanya berbeda nyata pada kolonisasi akar. Hal ini karena peranan asam humat yang mampu mendorong pembentukan akar-akar baru sehingga meningkatkan kolonisasi akar. Perlakuan kombinasi yang melibatkan M, B,dan H memberikan hasil yang lebih tinggi dan nyata berbeda dengan kombinasi lainnya (Tabel 16, Lampiran 11).
129 Tabel 16 Uji Ortogonal kontras dan keefektifan bobot kering tajuk, serapan P tajuk, kolonisasi akar, dan aktivitas fosfatase asam akibat berbagai perlakuan kombinasi M, B, dan H
Perlakuan
Bobot kering Tajuk (g/bibit)
Serapan P (mg/tajuk)
Kolonisasi Akar (%)
Aktv. Fosfatase µg/g/jam)
Kombinasi : MH MB BH MBH
7.31 13.60 81 13.62 7.30 12.08 78 13.59 3.73 5.53 11 11.24 7.62 16.09 86 14.62 ...............................Uji Ortogonal kontras .................................. + M vs – M ** ** ** ** + B vs – B ns ** ** ** + H vs – H ** ns ** ns MBH vs lainnya ** ** ** ** ......................................Keefektifan (%) ...................................... MBH vs MH (B) 4.24 18.31 6.17 7.34 MBH vs MB (H) 4.38 33.20 10.26 7.58 MBH vs BH (M) 104.29 191.00 681.82 30.07 Keterangan : M: FMA Mycofer; B: BPF FT.3.2 ; H: 3.10-3 mL asam humat. Hasil yang diperoleh menunjukkan bahwa peranan inokulasi FMA pada perlakuan kombinasi MBH lebih besar daripada peranan BPF maupun asam humat. Peranan inokulasi FMA dalam meningkatkan bobot kering pada perlakuan kombinasi MBH adalah sebesar 104.29%, serapan P tajuk 191.00%, kolonisasi akar 681.82%, dan aktivitas fosfatase asam akar 30.07% (Tabel 16). Peranan BPF dalam perlakuan kombinasi MBH untuk bobot kering tajuk sebesar 4.24%, serapan P tajuk 16.18%, kolonisasi akar 6.17% dan aktivitas fosfatase asam 7.34%, sedangkan peranan asam humat dalam perlakuan kombinasi untuk bobot kering tajuk sebesar 4.38%, serapan P tajuk 29.51%, kolonisasi akar 10.26% dan aktivitas fosfatase asam 7.58% (Tabel 16). Uji Ortogonal polinomial (Lampiran 10d) tanggap kadar P tersedia, kadar P total, pH media, dan kadar Aldd akibat dosis fosfat alam pada berbagai perlakuan
130 kombinasi MBH menunjukkan bahwa semakin tinggi dosis FA maka makin tinggi kadar P tersedia maupun kadar P total (Tabel 17 dan Gambar 30). Pada semua tingkat dosis fosfat alam perlakuan kombinasi FMA + BPF + asam humat (MBH) selalu memberikan kadar P tersedia dan P total yang lebih tinggi dibandingan dengan
perlakuan kombinasi MH, MB, maupun BH.
Sedangkan
perlakuan kombinasi BPF + asam humat (BH) selalu memberikan kadar P tersedia dan P total lebih rendah apabila dibandingkan
dengan perlakuan kombinasi yang
melibatkan inokualasi FMA. Kadar P tersedia, P total pada pemupukan FA hingga 4.0 g P2O5/bibit tampak tidak berbeda pada semua perlakuan kombinasi, sedangkan kada Aldd lebih rendah apabila diberi pupuk SP36 2.0g P2O5/bibit (Tabel 17 Gambar 30). Tabel 17 Tanggap kadar P tersedia, kadar P total, pH media, dan kadar Aldd akibat dosis fosfat alam pada berbagai perlakuan kombinasi M, B, dan H Perlakuan MH MB BH MBH MH MB BH MBH MH MB BH MBH MH MB BH MBH
Dosis Fosfat Alam (P2O5/bibit) SP36 0 1 2 4 .......................Kadar P tersedia (ppm).....................
6.28 8.58 10.79 15.96 16.22 6.21 8.40 10.58 15.63 15.88 6.16 8.20 9.53 13.79 13.42 6.40 8.83 11.84 17.72 17.56 ……………..Kadar P total (ppm) ......……… 49.99 84.15 114.49 146.63 146.01 48.37 80.18 103.48 127.47 140.76 44.16 77.48 97.24 124.14 134.98 49.15 86.98 115.81 177.47 147.74 ..............................pH media ........................ 4.48 4.45 4.43 4.48 4.65 4.50 4.53 4.53 4.55 4.68 4.45 4.50 4.48 4.48 4.45 4.50 4.48 4.50 4.60 4.55 .........................Kadar Aldd media .................... 16.59 15.49 15.14 16.14 12.45 17.31 15.57 16.21 17.45 12.10 18.11 17.60 17.55 18.04 14.82 16.81 15.03 14.17 14.84 11.39 -3
Kurva tanggap
Linier Linier Linier Linier Linier Linier Linier Linier Linier Linier Kuadratik Linier Kuadratik Kuadratik Kuadratik Kuadratik
Keterangan: M: FMA Mycofer; B: BPF FT.3.2; H: 3.10 mL asam humat.
131 200 180
20
140
kadar P total (ppm)
Kadar P tersedia (ppm)
160 15
120
o
100
10
Linear Linear Linear Linear
5
(yMH= 6,17 + 2,42x, R^2= 0,98) (yMB= 6,08 + 2,36x, R^2= 0,98) (yBH= 6,12 + 1,88x, R^2= 0,97) (yMBH= 6,39 + 3.32x, R^2= 0,97)
80 60 Linear (yMH= 57,22 + 23,77x, R^2= 0,95) Linear (yMB= 56,55 + 19,13x, R^2= 0,94) Linear (yBH= 52,11 + 19,23x, R^2= 0,95) Linear (yMBH= 57,76 + 29,76x, R^2= 0,99)
40 20
0
0 0
1
2
3
4
0
Dosis Fosfat Alam (g P2O5/bibit)
1
(a)
3
4
(b)
4.70
20
4.60
18
4.50 4.45 Linear (yMH= 4,45 + 0,01x, R^2= 0,11) Linear (yMB= 4,51 + 0,01x, R^2= 0,23) Poly. (yBH= 4,46 + 0,03x- 0,01x^2, R^2= 0,25) Linear (yMBH= 4,33+ 0,06x, R^2= 0,77 )
4.40 4.35
1
2
3
Dosis Fosfat Alam (g P2O5/bibit)
(c)
17
14
0.6
16
1.89 2.1
15
2.5
13
Poly. (yMH= 16,.56 - 1,36x + 0,31x^2, R^2= 0,77) Poly. (yMB= 17,11 - 1,40x + 0,37x^2, R^2= 0,76) Poly. (yBH= 18,07 - 0.53x + 0.16x^2, R^2= 0,50) Poly. (yMBH= 16,80 - 2,41x + 0,48x^2, R^2= 0,88)
12 11
4.30 0
(me/100g)
19
Kadar Al
4.65
4.55
pH media
2
Dosis Fosfat Alam (g P2O5/bibit)
4
10 0
1
2
Dosis FA (g P2O5/bibit)
3
(d)
Gambar 30 Tanggap kadar P tersedia (a), kadar P total (b), pH media (c), dan kadar Aldd media (d) akibat dosis fosfat alam pada berbagai kombinasi MBH. M: FMA Mycofer; B: BPF FT.3.2 ; H: 3.10-3 mL asam humat. Tanggap pH media terhadap tingkat dosis FA pada berbagai perlakuan kombinasi MH, MB, dan MBH menunjukkan kurva linier, sedangkan perlakuan BH menunjukkan kurva kuadratik. Pada perlakuan kombinasi MBH memberikan pH media tertinggi, sedangkan yang terendah diperoleh pada kombinasi BH. Tanggap pH media akibat perlakuan kombinasi BH berbeda dengan perlakuan kombinasi MH, MB, dan MBH (Gambar 30).
4
132 Tanggap kadar Aldd akibat dosis FA pada semua perlakuan kombinasi menunjukkan kurva kuadratik.
Perlakuan kombinasi MBH pada semua dosis FA
memberikan kadar Aldd terendah, sedangkan kadar Aldd tertinggi diperoleh pada perlakuan kombinasi BH.
Kadar Aldd pada perlakuan kombinasi BH nyata berbeda
dengan perlakuan kombinasi MH, MB, dan MBH (Tabel 18, Gambar 30, Lampiran 11). Peranan inokulasi FMA dalam meningkatkan kadar P tersedia pada perlakuan kombinasi MBH adalah sebesar 22.02%, kadar P total 20.74%, dan pH media 1.34%. Di samping itu peranan FMA juga menurunkan kadar Aldd media sebesar 12.60%. Peranan asam humat dalam perlakuan kombinasi MBH untuk kadar P tersedia sebesar 9.96%, kadar P total 15.37%, pH media turun sebesar 0.01%, dan menurunkan Aldd sebesar 4.32%. Peranan bakteri pelarut fosfat dalam perlakuan kombinasi untuk kadar P tersedia sebesar 7.78%, kadar P total 6.63%, menaikkan pH media sebesar 0.01%, dan menurunkan Aldd sebesar 0.01% (Tabel 18). Tabel 18 Uji Ortogonal kontras kadar P tersedia, kadar P total, pH, dan kadar Aldd media akibat berbagai perlakuan kombinasi M, B, H Perlakuan Kombinasi : MH MB BH MBH
Kadar P tersedia
Kadar P total
pH media
Kadar Aldd
11.57 11.34 10.22 12.47
108.25 100.05 95.60 115.43
4.50 4.56 4.47 4.53
15.16 15.73 17.22 15.05
..............................Uji ortogonal kontras ..............................
+ M vs – M + B vs – B + H vs – H MBH vs lainnya
** ** ns **
ns * ** **
ns ** * ns
** ** ** **
...............................Keefektifan (%) .....................................
MBH vs MH (B) MBH vs MB (H) MBH vs BH (M)
7.78 9.96 22.02
6.63 15.37 20.74
0.01 -0.01 1.34
Keterangan: M: FMA Mycofer; B: BPF FT.3.2; H: 3.10-3 mL asam humat.
-0.01 -4.32 -12.60
133 Tabel 19 Efisiensi FA terhadap bobot kering tajuk bibit kakao pada dosis FA 4.0 g P2O5/bibit Perlakuan
Efisiensi Fosfat Alam Ayamaru (%)
MH MB BH MBH
182.75 182.50 93.25 190.50 ................Keefektifan (%)................. 4.24 4.38 104.29
MBH vs MH (B) MBH vs MB (H) MBH vs BH (M)
Keterangan: M: FMA Mycofer; B: BPF FT.3.2; H: 3.10-3 mL asam humat.
Hasil yang diperoleh menunjukkan bahwa efisiensi FA tertinggi dicapai pada perlakuan kombinasi MBH dan yang terendah pada perlakuan BH. Di samping itu ditunjukkan pula bahwa dalam perlakuan kombinasi inokulasi FMA lebih efektif meningkatkan efisiensi FA sebesar 104.29%, asam humat 4.38% dan bakteri pelarut fosfat 4.24% (Tabel 19).
Pembahasan Pemberian fosfat alam (FA) memberikan pertumbuhan bibit kakao lebih baik daripada daripada kontrol (Po), dan pertumbuhannya akan lebih baik apabila disertai perlakuan kombinasi mikoriza, bakteri pelarut fosfat, dan asam humat (Tabel 15, 16 dan 17).
Pemberian fosfat alam Ayamaru 2.0 dan 4.0 g P2O5/bibit memberikan
pertumbuhan tinggi, diameter, dan jumlah daun bibit kakao yang lebih tinggi tetapi tidak berbeda nyata dengan bibit yang diberi 2.0 g P2O5 SP36. Hal ini menunjukkan bahwa fosfat alam Ayamaru berpotensi sebagai pupuk sumber P. Goenadi et al. (2000) dan Archan & Schneider (2006) menyatakan bahwa apabila pupuk konvensional menjadi terbatas maka fosfat alam lokal dinilai dapat menjadi alteratif pupuk P. Dalam jangka panjang potensi fosfat alam yang diberikan pada tanaman perkebunan akan lebih
134 baik karena sifat kelarutan fosfat alam yang lambat tersedia dan tidak mudah tercuci. Di samping itu Notohadiprawiro (1989) menjelaskan bahwa pada tanah-tanah tropis yang mengandung Al dan Fe tinggi dengan pH rendah, fosfat alam bekerja lebih efektif daripada TSP karena P yang dikandungnya tidak mudah terjerap oleh Al dan Fe. Inokulasi FMA pada bibit kakao merupakan faktor yang sangat penting untuk penyerapan P sehinnga pertumbuhan bibit lebih baik. Oleh karena itu peranan FMA dalam pertumbuhan bibit kakao pada perlakuan kombinasi (MH, MB, MBH) selalu lebih besar daripada peranan BPF maupun asam humat (BH).
Hal ini karena kakao
merupakan tanaman yang tergolong mempunyai ketergantungan yang tinggi terhadap fungi mikoriza arbuskula (Miyakasa & Habte 2001). Di samping berperan dalam pelarutan fosfat alam seperti asam humat dan bakteri pelarut fosfat, mikoriza juga berperan membantu akar bibit menyerap unsur hara terutama P. Inokulasi isolat bakteri pelarut fosfat (BPF) FT.3.2 tampaknya kurang menunjukkan perannya dalam meningkatkan kadar P tersedia media. Kadar P tersedia pada perlakuan kombinasi yang melibatkan unsur BPF tidak signifikan dibandingkan dengan tanpa BPF (Tabel 18).
Hal ini diduga BPF yang diinokulasikan belum
berdaptasi pada lingkungan tumbuh dengan pH < 5, meskipun dalam kultur Pikovskaya (sumber P dari fosfat alam Ayamaru) dapat menghasilkan eksudat asam-asam organik seperti tercantum pada Tabel 6. Kadar P tersedia pada perlakuan kombinasi yang melibatkan asam humat berbeda sangat nyata dengan perlakuan kombinasi tanpa asam humat (Tabel 19). Hal yang sama juga diperoleh pada kolonisasi akar oleh FMA dan kadar Aldd (Tabel 17). Kemampuan asam humat dalam melarutkan P dari fosfat alam maupun yang terikat oleh Fe dan Al telah ditunjukkan oleh banyak peneliti (Chen & Aviad 1990; Schnitzer
135 1996; Lobartini et al. 1998). Tan (2003) menyatakan bahwa pelepasan hara dari fosfat alam juga diakibatkan oleh aktivitas biologi yang dapat ditingkatkan oleh keberadaan senyawa humat. Kemampuan asam humat mengkelat/menurunkan kadar Aldd juga akan menaikkan kadar P tersedia (R2 = 0.94).
Tan (2003) menyatakan bahwa asam
humat merupakan senyawa yang sangat aktif di dalam tanah dan memiliki kapasitas tukar kation yang besar.
Mayhew (2003) menyatakan bahwa pelepasan hara dari
fosfat alam ke tanaman melalui interaksi geobiologi yang kompleks yang terjadi pada mikroklimat rhizosfer tanaman dan pertemuan antara mikrob dan mineral fosfat alam. Ketika tanaman, bakteri, dan fungi melarutkan fosfat alam dengan laju yang berbeda, dan pelepasan asam-asam organik oleh organisme yang berbeda berpengaruh secara sinergi, maka pelepasan hara menjadi berkelanjutan. Aplikasi asam humat akan meningkatkan pembentukan akar-akar baru dan meningkatkan permeabilitas membran akar (Lulakis & Petsas 1995). Hal ini menunjukkan bahwa kolonisasi akar oleh FMA juga dipengaruhi oleh asam humat. Oleh karena itu kolonisasi akar antara perlakuan kombinasi dengan asam humat dan tanpa asam humat berbeda sangat nyata (Tabel 16). Copper (1984) menyatakan bahwa proses kolonisasi FMA akan mudah terjadi pada akar-akar dengan permeabilitas membran yang tinggi. Lebih lanjut Sieverding (1991) menegaskan bahwa banyaknya akar-akar baru dengan permeabilitas yang tinggi akan menguntungkan proses kolonisasi akar oleh FMA, karena kolonisasi umumnya terjadi pada akar-akar muda. Tingginya tingkat kolonisasi akar akan meningkatkan aktivitas fosfatase asam (R2 = 0.96). Pada perlakuan kombinasi yang melibatkan asam humat (MH dan MBH) menunjukkan tingkat kolonisasi akar oleh FMA dan aktivitas fosfatase asam akar lebih tinggi daripada perlakuan kombinasi lainnya. Tingginya aktivitas fosfatase asam akan
136 meningkatkan kadar P tersedia (R2= 0.88).
Ingrid et al. (2002) dan Widiastuti et al.
(2003) menyatakan bahwa fosfatase akar ditingkatkan dengan adanya kolonisasi akar oleh fungi mikoriza arbuskula. Menurut Rao et al. (1999) fosfatase asam merupakan enzim penting sebagai tanggap fisiologis tanaman pada kondisi kekurangan P dan merupakan suatu mekanisme meningkatkan pelarutan P. Peranan inokulasi FMA dalam kombinasi perlakuan terhadap kadar P tujuk lebih besar (225.00%) daripada BPF (17.65%) dan asam humat (11.11%) (Tabel 14). Di samping itu serapan P tajuk pada semua tingkat dosis fosfat alam Ayamaru lebih ditingkatkan dengan adanya perlakuan kombinasi yang melibatkan inokulasi FMA (Tabel 15, 16).
Hal ini menunjukkan bahwa
dalam penyerapan P
tanaman
memerlukan sarana, yaitu simbiosis akar dengan FMA. Mikoriza pada akar tanaman dapat membantu tanaman khususnya dalam penyerapan P dari dalam tanah. Hal ini sesuai dengan Brundrett (2002) yang menyatakan bahwa peningkatan penyerapan P pada tanaman
diperoleh dari adanya asosiasi
dengan fungi mikoriza arbuskula.
Adanya simbiosis tanaman dengan FMA dapat meningkatkan efisiensi pemupukan (Linderman & Davis 2000), sebab dengan inokulasi FMA serapan P tajuk yang tinggi dapat dicapai pada dosis fosfat alam yang lebih rendah. Lebih lanjut Ingrid et al. (2002) menyatakan bahwa meningkatnya aktivitas fosfatase asam dalam hifa intraradikal akan meningkatkan transfer P dari fungi ke tanaman. Fosfatase asam pada intraradikal FMA terutama terdapat di vacuola, arbuskular (Saito 1995), dan juga didapatkan pada hifa ekstraradikal (van Aarle et al. 2001). Tingginya serapan P tajuk bibit oleh adanya FMA dalam kombinasi perlakuan juga meningkatkan bobot kering tajuk bibit (Tabel 15, 16, Gambar 29a). Peranan FMA dalam meningkatkan pertumbuhan bobot kering tajuk lebih tinggi (104.29%) dari
137 pada BPF (4.38%), dan asam humat (4.24%). Hal ini berhubungan dengan fungsi FMA dalam membantu bibit menyerap unsur hara terutama P. Fosfor merupakan unsur penting penyusun substrat berenergi tinggi (ATP, ADP, AMP) yang berperan dalam proses metabolisme tanaman (Taiz & Zeiger 2002). Oleh karena itu serapan P tajuk yang tinggi akan meningkatkan metabolisme bibit sehingga diperoleh pertumbuhan bobot kering bibit yang tinggi. Raj et al. (1980) yang menyatakan bahwa tanaman bermikoriza
menghasilkan bobot kering dan menyerap lebih banyak P dari larutan
tanah daripada tanaman tanpa-mikoriza,
meningkatkan fotosintesis dan biomasa
tanaman (Bago et al. 2000; Prasad 2005). Pengaruh fungi mikoriza arbuskula ini sering terlihat pada
tanah yang diberi fosfat alam dan menstimulir pertumbuhan
tanaman dan kadar P tajuk (Guissou et al. 2001 dikutip dalam Duponnois et al. 2005). Rendahnya tanggap pertumbuhan bibit pada perlakuan kombinasi BPF + asam humat menunjukkan bahwa peran BPF dalam kombinasi ini belum optimal.
Dari
pengujian ketahanan hidup pada media bibit kakao, menunjukkan bahwa isolat BPF FT.3.2 yang diinokulasikan pada media tumbuh tetap bertahan. Oleh karena itu jika pengaruh inokulasi isolat ini bersama-sama asam humat tidak tampak, diduga isolat tersebut belum beradaptasi dengan baik, dengan demikian tidak dapat berperan optimal dalam pelarutan P dari fosfat alam Ayamaru Penambahan dosis fosfat alam Ayamaru meningkatkan kadar P total namun tidak berpengaruh nyata terhadap peningkatan pH media (Tabel 17). Peningkatan P total dan pH media tertinggi diperoleh pada perlakuan kombinasi MBH sedangkan yang terendah pada perlakuan kombinasi BH. Hingga pada dosis fosfat alam Ayamaru 2.0 g P2O5/bibit peningkatan kadar P total diikuti oleh penurunan kadar Aldd media, tetapi
138 penambahan dosis fosfat alam Ayamaru yang lebih tinggi juga meningkatkan kadar Aldd media (Gambar 30d). Peningkatan kadar Aldd media menurunkan kolonisasi akar dan aktivitas fosfatase akar. Peningkatan kadar Aldd ini terjadi karena tingginya kadar Al pada fosfat alam Ayamaru (Lampiran 7) sehingga penambahan dosis fosfat alam hingga 4.0 g P2O5/ bibit juga meningkatkan kadar Aldd. Menurunnya tingkat kolonisasi akar oleh FMA dan aktivitas afosfatase akar diduga berhubungan dengan meningkatnya kadar Aldd media.
Barabasz et al. (2002) menyatakan bahwa Al menghambat enzim
heksokinase, fosfodiesterase, fosfooksidase, fosfatase alkalin maupun fosfatase asam. Lebih lanjut hasil penelitian Moyer-Henry (2006) menunjukkan bahwa di samping menghambat perkecambahan spora FMA, Al juga dapat menurunkan kolonisasi akar. Kadar Aldd media terendah diperoleh pada perlakuan kombinasi MBH sedangkan yang tertinggi pada perlakuan BH.
Rendahnya Aldd pada perlakuan
kombinasi mikoriza, bakteri pelarut fosfat, dan asam humat (MBH) menunjukkan adanya sinergisme di antara komponen penyusun kombinasi perlakuan, baik oleh adanya eksudat asam-asam organik oleh akar, BPF, maupun peran asam humat dalam pengkelatan logam berat maupun pelarutan fosfat alam. Pertumbuhan bibit kakao yang diberi pupuk fosfat alam Ayamaru hingga 4.0 g P2O5/bibit tidak berbeda dengan pemberian pupuk SP36 2.0 g P2O5/bibit. Bertambahnya dosis fosfat alam Ayamaru meningkatkan pertumbuhan bibit kakao, tetapi panambahan dosis lebih dari 2.0 g P2O5/bibit menurunkan kolonisasi akar dan aktivitas fosfatase akar sedangkan kadar Aldd meningkat. Oleh karena itu perlu dipertimbangkan kemungkinan terserapnya logam-logam berat yang terkandung dalam
139 fosfat alam tersebut. Di samping itu pelakuan kombinasi yang melibatkan inokulasi FMA telah nyata memberikan pertumbuhan bibit kakao terbaik.
Kesimpulan Dari hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa : 1.
Inokulasi Mycofer, isolat FT.3.2, dan pemberian asam humat 3.10-3 mL/bibit merupakan kombinasi perlakuan terbaik yang memberikan rata-rata tinggi bibit 44.43 cm, bobot kering tajuk 7.62 g/bibit, dan serapan P sebesar 16.09 mg/tajuk.
2.
Pada dosis fosfat alam Ayamaru 4.0 g P2O5/bibit dengan kombinasi inokulasi Mycofer, isolat FT.3.2, dan pemberian asam humat 3.10-3 mL/bibit memberikan bobot kering tajuk sebesar 9.77 g/bibit dan serapan P 22.05 mg/tajuk lebih tinggi daripada pemupukan dengan SP36 2.0 gP2O5/bibit masing-masing 7.96 g/bibit dan 14.30 mg/tajuk.
3.
Inokulasi Mycofer pada kombinasi Mycofer-isolat + FT.3.2 + 3.10-3 mL asam humat, meningkatkan bobot kering tajuk 104.29% dibandingkan dengan tanpa inokulasi, tetapi pada kombinasi mikoriza-asam humat perbedaannya 4.38 % sedangkan pada kombinasi mikoriza-bakteri pelarut fosfat perbedaannya 4.24%. Kakao merupakan tanaman yang memiliki ketergantungan cukup tinggi terhadap mikoriza oleh karena itu inokulasi mikoriza sangat membantu bibit kakao dalam menyerap P untuk pertumbuhannya.
4.
Penurunan kadar Aldd hanya terjadi hingga pada dosis fosfat alam Ayamaru 2.0 g P2O5/bibit yang diikuti oleh meningkatnya kolonisasi akar dan aktivitas fosfatase asam, tetapi peningkatan dosis selanjutnya hingga 4.0 g P2O5/bibit meningkatkan
140 kadar Add media yang diikuti oleh menurunkan kalonisasi akar dan aktivitas fosfatase asam. 5.
Inokulasi Mycofer pada bibit kakao lebih efektif meningkatkan efisiensi fosfat alam Ayamaru sebesar 104.29%, daripada bakteri pelarut fosfat 4.38% dan asam humat 4.24%.
VII PEMBAHASAN UMUM Kualitas bibit sangat menentukan keberhasilan dalam budidaya pertanian terutama tanaman tahunan seperti kakao. Oleh karena itu untuk mendapatkan bibit yang berkualitas baik diperlukan penanganan sejak awal pembibitan. Penanganan pembibitan meliputi penggunaan benih unggul, pemupukan, maupun menginokulasikan agen hayati yang menguntungkan sehingga apabila bibit ditanam dan dipelihara di lapangan dapat tumbuh, berkembang, dan berproduksi dengan baik. Dalam penelitian ini beberapa jenis pupuk yang digunakan meliputi Urea, SP36, KCl, dan fosfat alam sedangkan agen hayati yang diinokulasikan adalah fungi mikoriza arbuskula (FMA) dan bakteri pelarut fosfat (BPF), dan juga aplikasi asam humat. Pemupukan berarti menambahkan unsur hara ke dalam rizosfer untuk meningkatkan ketersediaannya dengan harapan akar dapat menyerap untuk proses metabolisme dan pertumbuhan. Di dalam larutan tanah P tidak aktif dan bergerak mendekati permukaan akar melalui proses difusi (Taiz & Zeiger 2002). Perbedaan tingkat konsentrasi P di dalam larutan tanah terjadi sebagai akibat pengurasan di rizosfer (Marschner 1995). Inokulasi FMA dilakukan terutama untuk membantu akar bibit menyerap unsur P dari larutan tanah dan mendetoksi logam-logam yang beracun (Smith et al. 2003). Bakteri pelarut fosfat dengan sejumlah asam organik yang dihasilkan bertujuan meningkatkan kelarutan P yang terdapat di tanah maupun pupuk sehingga tersedia bagi bibit (Mikanová & Naváková 2002). Menurut Mayhew (2004) aplikasi asam humat dapat meningkatkan kelarutan P.
Asam humat juga diketahui mampu mengkelat
logam-logam pengikat P di dalam rizosfer.
Di samping itu asam humat juga
142 mendorong pertumbuhan akar baru (Lulakis & Petsas 1995), sehingga lebih cepat terbentuk koloni dan simbiosis akar dengan FMA (Sieverding 1991). Fosfat alam Ayamaru dengan mineral krandalit merupakan salah satu sumber pupuk P alternatif (Schroo 1963). Secara kimia fosfat alam dengan mineral krandalit lebih sulit larut daripada fosfat alam dengan mineral apatit. Perlakuan-perlakuan yang diberikan adalah untuk mengubah kondisi rizosfer sehingga lebih baik untuk pertumbuhan bibit. Fenomena dalam rizosfer yang sesuai diharapkan dapat mendorong pertumbuhan bibit yang lebih baik (Gambar 31).
Metabolisme dan Pertumbuhan
Gambar 31 Fenomena rizosfer akibat perlakuan pemberian fosfat alam Ayamaru (FA), asam humat, inokulasi fungi mikoriza arbuskula (FMA), dan bakteri pelarut fosfat (BPF). [Rangkuman dari Sieverding (1991); Mikanová & Naváková (2002); Smith et al. (2003); dan Mayhew (2004)].
143 Hasil penelitian
menunjukkan bahwa pemanfaatan fosfat alam Ayamaru
sebagai pupuk P alternatif dapat ditingkatkan dengan aplikasi asam humat, inokulasi FMA dan BPF. Goenadi et al. (2000) dan Archan & Schneider (2006) menyatakan bahwa fosfat alam lokal dinilai berpotensi sebagai alternatif pupuk P karena penggunaan pupuk konvensional sering dibatasi oleh masalah kelangkaan dan biaya. Menurut
Notohadiprawiro (1989) beberapa keuntungan penggunaan FA secara
langsung, yaitu FA yang bermutu rendahpun dapat digunakan dan lebih murah. Pada tanah tropis dengan kandungan Al dan Fe tinggi serta pH rendah fosfat alam lebih efektif daripada TSP. Inokulasi FMA meningkatkan kelarutan FA sehingga meningkatkan kadar P tersedia (Tabel 4, Gambar 8b). Peningkatan kadar P tersedia juga diperoleh pada perlakuan inokulasi BPF (Tabel 9, Gambar 17b), asam humat (Tabel 12, Gambar 21a), dan perlakuan kombinasi FMA, BPF, dan asam humat (Tabel
17, Gambar 30a).
Meningkatnya kadar P tersedia oleh inokulasi FMA adalah karena meningkatnya aktivitas fosfatase asam akar.
Tarafdar & Claaessen (2001) menyatakan bahwa
meningkatkan aktivitas fosfatase asam akar bermikoriza tiga kali lebih besar daripada akar yang tidak berkoloni dengan FMA.
Hasil percobaan menunjukkan
bahwa
aktivitas fosfatase asam pada akar yang dikoloni FMA 1.2 – 2.5 kali lebih tinggi daripada akar tanpa inokulasi FMA (Tabel 5, Gambar 10 b,c). Fosfatase asam terutama berperan dalam mineralisasi P organik tetapi juga dapat juga melarutkan P dari tanah atau fosfat alam. Menurut Saito (1995) fosfatase asam ditemukan baik pada arbuskula, hifa ekstraradikal (van Aarle et al. 2001), maupun hifa intraradikal (Ingrid et al. 2002).
144 Inokulasi BPF pada bibit kakao yang diberi FA menunjukkan pengaruh positif terhadap peningkatan kadar P tersedia. Isolat FT.3.2 memberikan pengaruh yang lebih baik daripada isolat RJM.30.2. Pada semua tingkat dosis FA baik isolat RJM.30.2 maupun FT.3.2 meningkatkan kadar P tersedia 1.04 - 1.27 kali lebih tinggi daripada kontrol (Tabel 9, Gambar 17b). Menurut Omer (1998) kemampuan asam organik melarutkan FA terjadi melalui mekanisme pengasaman, khelating, dan perubahan reaksi.
Pelarutan fosfat alam melalui mekanisme pengasaman adalah melalui
perubahan keseimbangan oleh karena adanya H+ yang menyebabkan pemutusan ikatan P sehingga melepaskan P ke dalam larutan tanah.
Asam organik menyangga pH
larutan dan akan terus bertindak sebagai proton yang diperlukan untuk reaksi pemutusan (Welch et al. 2002). Eksudat asam organik oleh BPF maupun akar diketahui mampu mengkhelat logam dalam rizosfer. Jones (1998) dan Kucey et al. (1989) menyatakan bahwa anion asam organik yang mengandung hidroksil dan gugus karboksil mempunyai kemampuan membentuk kompleks yang stabil dengan kation seperti Ca2+, Fe2+, Fe3+, dan Al3+. Kation-karion tersebut dalam keadaan bebas dapat berikatan dengan P sehingga tidak tersedia bagi tanaman. Welch et al. (2002) menyatakan bahwa anion asam organik terus mengubah keseimbangan reaksi pemutusan melalui kompleksi dengan kation dalam larutan tanah. Asam-asam organik dengan gugus karboksil yang lebih banyak lebih efektif melarutkan fosfat alam (Xu et al.
2004).
Gerke et al. (2000)
menunjukkan bahwa dari percobaan empat variasi pH tanah, CaCO3 dan kadar C organik mendapatkan bahwa P dari semua tanah dimobilisasi apabila ditambahkan sitrat dibandingkan dengan apabila tanah diberi selang pH.
Hal ini menunjukkan
bahwa P dimobilisasi karena pertukaran ligan antara sitrat dan fosfat yang tertikat
145 pada Fe atau Al. Ma (2000) menyatakan bahwa asam organik dengan kemampuannya mengkelat Al berperanan penting dalam detoksik Al. Perbandingan kemampuan pengkelatan antara asam organik adalah satu molar asam sitrat dapat mendetoksifikasi satu Al, tetapi dengan jumlah Al yang sama diperlukan tiga kali lebih banyak asam oksalat, 6-8 kali lebih banyak asam malat (Minocha & Long 2004). Isolat FT.3.2 mengeksudat lebih banyak asam sitrat dari pada isolat RJM.30.2 (Tabel 6). Oleh karena itu isolat FT.3.2 menurunkan lebih banyak Aldd media (Tabel 9, Gambar 17d). Hasil percobaan juga menunjukkan bahwa aplikasi asam humat meningkatkan kadar P tersedia (Tabel 12, Gambar 21a).
Peningkatan P tersedia terjadi karena
pengikat P dalam larutan tanah seperti Al dan Fe dikhelat oleh asam humat. Asam humat juga membentuk ikatan fosfohumat yang mudah diserap oleh akar bibit. Senyawa humat juga dapat memperbaiki keefektifan fosfat alam melalui pelepasan PO43- dan Ca2+ dari fosfat alam yang sulit larut (Lobartini et al. 1994). Perlakuan kombinasi di antara inokulum FMA Mycofer (M), BPF isolat FT.3.2 (B), dan 3.10-3 mL asam humat/bibit (H) pada bibit kakao yang diberi FA menunjukkan pengaruh yang nyata terhadap peningkatan kadar P tersedia (Tabel 17, Gambar 30a). Semua perlakuan kombinasi yang melibatkan inokulasi FMA memberikan pengaruh yang lebih baik dari pada perlakuan BH, tetapi pengaruh terbaik diperoleh pada perlakuan kombinasi MBH. Hal ini menunjukkan adanya sinergisme di antara FMA, BPF, dan asam humat. Kemampuan inokulum FMA, isolat BPF, dan asam humat maupun kombinasinya
dalam
meningkatkan
kadar
P
tersedia
berhubungan
dengan
kemampuannya dalam mengkhelat Al, sehingga kadar Aldd dalam rizosfer menurun. Inokulasi FMA menurunkan kadar Aldd media bibit kakao pada tanah Ultisol yang
146 diberi fosfat alam Ayamaru (Tabel 4, Gambar 9c).
Perlakuan kombinasi di antara
inokulum FMA Mycofer (M), BPF isolat FT.3.2 (B), dan 3.10-3 mL asam humat/bibit (H) pada bibit kakao yang diberi FA menunjukkan pengaruh yang nyata terhadap penurunan kadar Aldd media. Perlakuan kombinasi yang melibatkan inokulasi FMA menurunkan lebih banyak Aldd media (Tabel 17, Gambar 30d).
Di samping
kemampuan FMA dalam melarutkan P, keistimewaan FMA yang lainnya adalah dihasilkannya glomalin yang berperan penting dalam pengkhelatan Al dalam larutan tanam (Gonzales-Chavez et al. 2004) dan meningkatkan kemampuan tanaman dalam menyerap P (Smith et al. 2003). Menurut Jentschke & Godbold (2000)
FMA dapat
melindungi akar dari cekaman Al dengan cara menyerap Al ke dalam seludang hifa dan hifa eksternal. Perlakuan kombinasi di antara inokulum FMA Mycofer (M), BPF isolat FT.3.2 (B), dan 3.10-3 mL asam humat/bibit (H) pada bibit kakao yang diberi FA menunjukkan pengaruh yang nyata terhadap pertumbuhan akar dan serapan P tajuk. Pada semua perlakuan kombinasi yang melibatkan inokulasi FMA memberikan pertumbuhan akar yang lebih baik (Tabel 14, Gambar 27b), meningkatkan kadar P tersedia (Tabel 17, Gambar 31a), serapan P tajuk dan pertumbuhan bobot kering tajuk (Tabel 15, Gambar 30 a,b). Apabila dibandingkan dengan perlakuan kombinasi BH, maka perlakuan kombinasi MBH meningkatkan kadar P tersedia 22.02%, serapan P tajuk 154.84%, dan bobot kering tajuk 104.29%. Kadar P tersedia dan serapan P tajuk pada bibit kakao yang diinokulasi FMA masing-masing adalah 1.11 - 1.22 dan 1.97 - 2.52 lebih tinggi daripada bibit tanpa FMA.
Terhadap pertumbuhan bobot
kering tajuk pada bibit kakao yang diinokulasi adalah 1.96 – 2.04 kali lebih tinggi daripada tanpa inokulasi FMA.
Baik FMA, BPF, maupun asam humat memiliki
147 kemampuan dan peran yang berbeda tetapi terbentuk hubungan sinergisme terutama dalam pelarutan FA dan membantu tanaman dalam penyerapan P. Peranan FMA dalam tanggap pertumbuhan bobot kering tajuk lebih tinggi (104.29%), sedangkan BPF 4.24% dan asam humat 4.38% (Tabel 16). Oleh karena itu serapan P tajuk bibit kakao yang tinggi akan meningkatkan metabolisme bibit sehingga meningkatkan pertumbuhan bobot kering bibit kakao (Tabel 3, Gambar 7b). Fotosintesis dan bobot kering tanaman bermikoriza lebih tinggi karena mampu menyerap lebih banyak P dari larutan tanah daripada tanaman tanpa mikoriza (Raj et al. 1980; Bago et al. 2000; Prasad 2005).
VIII KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan Dari beberapa penelitian ini dapat disimpulkan bahwa: 1.
Mycofer merupakan inokulum yang efektif meningkatkan pertumbuhan bobot kering tajuk bibit kakao yang diberi fosfat alam Ayamaru. Inokluasi FMA Mycofer pada bibit kakao yang diberi fosfat alam 2.0 g P2O5/bibit
meningkatkan
pertumbuhan bobot kering tajuk sebesar 127.55% (7.35 g) dibandingkan dengan kontrol. 2.
Isolat FT.3.2 merupakan bakteri pelarut fosfat yang efektif meningkatkan kadar P tersedia dan pertumbuhan bobot kering tajuk bibit kakao yang diberi fosfat alam Ayamaru. Pada dosis fosfat alam 2.0 g P2O5/bibit, terjadi peningkatan pertumbuhan bobot kering tajuk sebesar 78.06% (7.84 g) dan kadar P tersedia 9.36% (5.96 ppm) dibandingkan dengan kontrol.
3.
Pemberian asam humat 3.10-3 mL/bibit merupakan dosis yang paling efektif meningkatkan pertumbuhan dan kadar P tersedia pada bibit yang diberi fosfat alam Ayamaru. Pemberian fosfat alam 2.0 g P2O5/bibit, meningkatkan pertumbuhan bobot kering tajuk sebesar 70% (6.65 g) dan P tersedia 40.48% (13.87 ppm) dibandingkan dengan kontrol.
4.
Inokulasi Mycofer, isolat FT.3.2, dan pemberian asam humat 3.10-3 mL/bibit merupakan kombinasi perlakuan terbaik yang memberikan rata-rata tinggi bibit kakao 44.43 cm, bobot kering tajuk 7.62 g/bibit, dan serapan P 16.09 mg/tajuk. Mikoriza merupakan unsur terpenting dalam kombinasi perlakuan karena
149 keefektifannya lebih tinggi 104.29% daripada bakteri pelarut fosfat 4.24% dan asam humat 4.38% 5.
Mekanisme pelarutan fosfat alam Ayamaru oleh bakteri pelarut fosfat diduga melalui sintesis sejumlah pengkelat logam Al dari asam-asam organik terutama asam sitrat.
6.
Inokulasi fungi mikoriza arbuskula pada bibit kakao meningkatkan pelepasan fosfatase asam akar bibit kakao sebagai bentuk mekanisme eksternal bibit kakao dalam pelarutan P.
Saran 1.
Meskipun tanggap pertumbuhan bibit kakao yang diberi fosfat alam Ayamaru sangat baik, tetapi perlu dipertimbangkan kemungkinan terserapnya Al dan logam-logam berat Pb dan Cd yang terkandung dalam fosfat alam ini. Oleh karena itu perlu diteliti lebih lanjut terhadap serapan dan dampak logam berat dari fosfat alam Ayamaru pada tanaman.
2.
Dalam penelitian ini belum terungkap apakah keefektifan fungi mikoriza arbuskula Mycofer pada bibit kakao yang diberi fosfat alam Ayamaru disebabkan oleh keragaman spesies yang lebih tinggi atau oleh adanya spesies tertentu.
Oleh karena itu perlu diteliti lebih lanjut faktor mana yang
menentukan keefektifannya. 3.
Dari sejumlah asam-asam organik eskudat bakteri pelarut fosfat belum diketahui sejauh mana peranan dari setiap asam organik tersebut dalam pelarutan fosfat alam Ayamaru, oleh karena itu perlu diteliti lebih lanjut untuk mengetahui keefektifan tiap jenis asam organik dalam pelarutan P dari fosfat alam Ayamaru sehingga dapat diberikan perlakuan pra-aplikasi.
DAFTAR PUSTAKA Afrifa AA, Zaharah AR, Adu-Ampomah Y, Frimpong KO, Appiah MR. 2005. Responses of different cocoa varieties to different phosphorus sources. Cocoa Research Institute of Ghana. Tafo-Akim, Ghana. http://www.catie.ac.cr/disco_cacao/ingles/poster_agronomic.pdf [11 Feb 2008]. Akande MO, Adediran JA, Oluwatoyinbo FI. 2005. Effects of rock phosphate amended with poultry manure on soil available P and yield of maize and cowpea. African J Biotech 4:444-448. Amat KS. 1991. Pengaruh Kotoran Sapi terhadap Kelarutan P-Krandalit pada Tanah Mineral Masam [thesis]. Bogor: Fakultas Pascasarjana IPB. Anas I, Tampubolon JLO. 2004. Media campuran tanah-pasir dan pupuk anorganik untuk memproduksi inokulan cendawan mikoriza arbuskula (CMA). Bul Agron 32:26-31. Antunes V, Cardoso EJBE. 1991. Growth and nutrient status of citrus plants as influenced by mycorrhiza and phosphorus application. Plant Soil 131:11-19. Arcand MM, Schneider KD. 2006. Plant-and microbial-based mechanism to improve the agronomic effectiveness of phosphate rock: A Review. An. Acad. Brasileira Ciências 78:791-807. Ayuso M, Hernandez T, Garcia C, Pascual JA. 1996. Stimulation of barley growth and nutrient absorption by humic substances originating from various organic materials. Biores Tech. 57:251-257. Babana AH. Antoun H. 2006. Effect of Tilemsi phosphate rock-solubilizing microorganisms on phosphorus uptake and yield of field-grown wheat (Triticum aestivum L.) in Mali. Plant Soil 287:51–58. Bago B, Pfeffer PE, Shachar-Hill Y. 2000. Carbon metabolism and transport in arbuscular mycorrhizas. Plant Physiol 124:949-957. Barabaszl W, Albińskal D, Jaśkowska M, Lipiec J. Aluminium. Polish J Environ Studies 11:199-203.
2002.
Ecotoxicology of
Barea JM, Toro M, Orozco MO, Campos E, Azcon R. 2002. The application of isotopic (32P and 15N) dilution techniques to evaluate the interactive effect of phosphate-solubilizing-rhizobacteria, mycorrhizal fungi, and Rhizobium to improve the agronomic efficiency of rock phosphate for legume crops. Nutr Cycl Agroecosyst 63:35-42.
151 Bates TR, Lynch JP. 2000. Root hairs confer a competitive advantage under low phosphorus availability. Plant Soil 236: 243–250. Bisri U, Permana. 1991. Bahan Galian. Direktorat Jenderal Pertambangan Umum. Pengembangan Teknologi Mineral. Bandung. hlm1-6. Bolan NS. 1991. A critical review on the role of mycorrhizal fungi in the uptake of phosphorus by plant. Plant Soil 134:189-207. Bolan NS, Robson AD, Barrow NJ. 1984. Increasing phosphorus supply can increase the infection of plant roots by vesicular-arbuscular mycorrhizal fungi. Soil Biol Biochem 16:419-420. Brady NC. 1990. The Nature and Properties of Soil. New York; MacMillan Publishing Company. Brundrett MC. 2002. Coevolution of roots and mycorrhizas of land plants. New Phytol 154: 275–304. Chen CR, Condron LM, Davis MR, Sherlock RR. 2002. Phosphorus dynamics in the rhizosphere of perennial ryegrass (Lolium perenne L.) and radiata pine (Pinus radiata D. Don.). Soil Biol Biochem 34:487–499. Chen Y, Aviad T. 1990. Effect of humic substance on plant growth. Di dalam: McCarthy P, Clapp CE, Malcolm RL, Bloom PR, editor. Humic Substances in Soil and Crop Sciences. Winconsin:Soil Sci Society of America, Madison. hlm 161-186. Chen Y, Magen H, Clapp CE. 2001. Plant Growth Stimulation by Humic Substances and their Complexes with Iron. Proceedings of the International Fertilizer Society Symposium, Lisbon, March 2001. Cooper Day
KM. 1984. Physiology of VA Mycorrhizal Associations. Di dalam: Powell CL, Bagyaraj DJ, editor. VA Mycorrhiza. Florida: CRC Press. hlm 155-186.
KS, Thomton R, Kreeft H. 2000. Humic acid products for improved phosphorus fertilizer management. Di dalam: Humic Substances, Sersatile Components of Plants, Soil and Water. Ghabbour EA, editor. Royal Society of Chemistry. hlm 337-342.
De Leo P, Sacher JA. 1970. Control of ribonuclease and acid phosphatase by Auxin and abscisic acid during senescence of Rhoeo leaf sections. Plant Physiol 46:806-811. Dhlamini Z, Spillane C, Moss JP, Ruane J, Urquia N, Sonnino A. 2005. Status of Research and Application of Crop Biotechnologies in developing Countries. Rome:Food and Agriculture Organization of The United Nations.
152 Diouf
D, Diop TA, Ndoye I. 2003. Actinorhizal, mycorhizal and rhizobial symbioses: how much do we know?. African J Biotech 2:1-7.
Dirjen Perkebunan. 2007. Luas areal dan produksi perkebunan seluruh Indonesia menurut pengusahaan. http://www.dirjenperkebunan.co.id [5 Nov 2007]. Douds DD, Pfefer PE, Shachar-Hill Y. 2000. Carbon partitioning, cost and metabolism of arbuscular mycorrhizae in arbuscular mycorrhizas: Physiology and function. Di dalam: Bago B, Pfeffer PE, Shachar-Hill Y. 2000. Carbon Metabolism and Transport in Arbuscular Mycorrhizas. Plant Physiol 124:949957. Drever JI, Vance GF. 1994. Role of soil organic acids in mineral weathering processes, Di dalam: Lewan MD, Pittman ED, editor. The Role of Organic Acids in Geological Processes. Berlin: Springer. hlm 138-161. Drouillon M, Merck R. 2003. The role of citric acid as a phosphorus mobilization mechanism in highly P-fixing soils. Gayana Bot 60:55-62. Duponnois R, Colombet A, Hien V, Thioulouse J. 2005. The mycorrhizal fungus Glomus intraradices and rock phosphate amendment influence plant growth and microbial activity in the rhizosphere of Acacia holosericea. Soil Biol Biochem. 37:1460-1468. Earl KD, Syers JK, Mc Laughlin JR. 1979. Origin of effects of citrate, tartarate, and acetate on phosphate sorption by soils and synthetic gels. Soil Sci Soc Amer J 43:474-478. Engelstad OP, Jugsujinda A, de Datta SK. 1974. Response by flooded rice to phosphate rocks of varying citrate solubility. Soil Sci Soc Amer Proceed 38:524-529. Ezawa T, Saito M, Yoshida T. 1995. Comparison of phosphatase localization in the intraradical hyfa or arbuscular mycorrhizal fungi, Glomus spp.and Gigaspora spp. Plant Soil 176:57-63. Ezawa T, Smith SE, Smith FA. 2002. University Farm, Nagoya University, Togocho, Aichi 470-0151 Japan. [FAO] Food and Agriculture Organization. 2005. Analysis of the FAO-BioDeC data on non-GM Biotechnologies. Di dalam: Status of Research and Application of Crop Biotechnologies in Developing Countries. Preliminary assessment. Rome: Food and Agriculture Organization of The United Nations. hlm 5-18. Fataftah AK. 2001. A comparative evaluation of know liquid humic acid analysis methode. Di dalam: Ghabbour EA, Davies G, editor. Humics Substances : Structure, Models and Function. Royal Society of Chemistry, Cambridge, UK. hlm 337-342.
153 Francisco EA, Prochnow LI, de Toledo MCM, Ferrari VC, de Jesus SL. 2007. Thermal treatment of aluminous phosphate of the crandallite group and its effect on phosphorus solubility. Sci Agric (Piracicaba, Braz.) 4:269-274. Gadd GM. 2004. Transformations of Metals and Minerals by Microorganisms. http://www.dundee.ac.uk/biocentre/SLSBDIV7gmg.html [12 Nov 2007]. Gadermann JW, Nicolson JM. 1963. Spore of mycorrhizal endogone species extracted from soil by wet sieving and decanting. Transactions of British Mycol Soc 46:235-244. Galli U, Schuepp H, Brunold C. 1994. Heavy metal binding by mycorrhizal fungi. Physiol Plantarum 92:364-368. Garcia-Garrido JM, Ocampo JA. 2002. Regulation of the plant defence response in arbuscular mycorrhiza symbiosis. J of Exp Bot 53:1377-1386. Garcia-Garrido JM, Tribak M, Rejon-Palomares A, Ocampo JA, Garcia-Romera I. 2000. Hydrolytic enzymes and ability of arbucular mycorrhizal fungi to colonize roots. J Exp Bot 51:1443-1448. George TS, Turner BL, Gregory PJ, Cade-menun BJ, Richardson AE. 2006. Depletion of organic phosphorus from oxisols in relation to phosphatase activities in the rhizosphere. European Journal of Soil Science, February 2006, 57:47–57. George E, Marschner H, Jakobsen I. 1995. Role of arbuscular mycorrhizal fungi in uptake of phosphorus and nitrogen from soil. Critical Rev Biotech 15:257270. Gerke J, Romer W, Beibner L. 2000. The quantitative effect of chemical phosphate mobilization by carboxylate anions on P uptake by a single root. I. The basic concept and determination of soil parameters. J Plant Nutr Soil Sci 163:207212. Gerke L. 1992. Phosphate, aluminum, and iron in the soil solution of three different soils in relation to varying concentrations of citric acid. Z. Pfl.-Ernähr Bodenkde 155:17–22. Ginting S, Johnson BB, Wilkens S. 1998. Alleviation of aluminium phytotoxicity on soybean growth by organic anions in nutrient solution. Aust J Plant Physiol 25: 901-908. Goenadi DH, Siswanto, Sugiarto Y. 2000. Bioactivation of poorly soluble phosphate rocks with a phosphorus-solubilizing fungus. Soil Sci Soc Amer J 64:927-932. Gofar N. 2004. Reaksi tanah, P-tersedia dan pertumbuhan tanaman padi gogo pada ultisols yang diinokulasi dengan CMA, BPF, dan kompos jerami padi. Prosiding Seminar Mikoriza. Bandung:16 September 2003. hlm 86-94.
154 Goicoechea N, Antolin MC, Strnad M, Sanchez-Diaz M. 1996. Root cytokinins, acid phosphatase and nodule activity in drought-stressed mycorrhizal or nitrogenfixing alfalfa plants. J Exp Bot 47:683-686. Gomez KA, Gomez AA. 1995. Prosedur Statistik untuk Penelitian Pertanian. Sjamsudin E, Baharsjah JS, penerjemah: Jakarta. Ed. 2. Universitas Indonesia. Gonzalez-Chavez MC, Carrillo-Gonzalez R, Wright SF, Nichols KA. 2004. The role of glomalin, a protein produced by arbuscular fungi, in sequestering potentially toxic elements. Environ Pollut 130:317-323. Han HS, Supanjani, Lee KD. 2006. Effect of co-inoculation with phosphate and potassium solubilizing bacteria on mineral uptake and growth of pepper and cucumber. Plant Soil Environ 52:130–136. Hanafiah. 2001. Pengaruh inokulasi ganda fungi mikoriza arbuskula dan Azospirillum brasiliense dalam peningkatan efisiensi pemupukan P dan N pada padi sawah tadah hujan [disertasi]. Bogor: Pascasarjana IPB. Hartemink AE. 2003. Soil Fertility Decline in The Tropics-with Case Studies on Plantations. Wallingford: ISRIC-CABI Publishing. Havlin JL, Beaton JD, Tisdale SL, Nelson WL. 1999. Soil Fertility and Fertilizers. An introduction to nutrient management. New Jersey: Sixth Edition. Prentice Hall, Inc. Simon & Schuster/ A Viacom Company. Upper Saddle River. Haynes RJ, Mokolobate MS. 2001. Amelioration of Al toxicity and P deficiency in acid soils by additions of organic residues: A critical review of the phenomenon and the mechanisms involved. Nutrient Cycling Agroecosyst 59:47-63. Hiradate S, Noriko Y. 2003. Chemical species of aluminum reacted with soil humic substances. Fifth Keele Meeting on Aluminium, 22nd – 25th February 2003. Hooley R. 1984. Gibberellic acid controls the secretion of acid phosphatase in aleurone layers and isolated aleurone protoplasts of Avena fatua. J Exp Bot 35: 822-828 Idris K. 1995. Evaluasi pemberian fosfat alam dari Jawa dan pengapuran pada tanah masam: II. Evaluasi Agronomik. J Ilmu Pertanian Indo 5:63-68. Illmer PA, Barbato, Schinner F. 1995. Solubilizing of hardly-soluble AlPO4 with Psolubilizing microorganism. Soil Biol Biochem 27:265-270. Ingrid M, van Aarle, Rouhier H, Saito M. 2002. Phosphatase activities of arbuscular mycorrhizal intraradical and extraradical mycelium, and their relation to phosphorus availability. Mycol Res 106:1224-1229. Janos DP, Trappe JM. 1982. Two new Acaulospora species from tropical America. Mycotaxon 15:515-522.
155 Jansa J, Frossard E, Smith S. 2004. Diversity of arbuscular mycorrhizal fungi. Does it matter for plant P uptake?. Historical Perspective. Rhizosphere, September 2004, 12-17. Jarstfer AG, Sylvia DM. 1993. Inoculum production and inoculation strategies for vesicular-arbuscular mycorrhiza fungi. Di dalam: Metting Jr FB, editor. Soil Microbial Ecology. 349-378. New York-Basel-Hongkong: Applications in Agricultural and Environmental Management. Marcel Decker Inc. Javot H, Pumplin N, Harrison MJ. 2007. Phosphate in the arbuscular mycorrhizal symbiosis transport properties and regulatory roles. Plant Cell Environ 30:310322. Jentchke G, Godbold DL. 200. Metal toxicity and ectomycorrhizas. Physiologia Planta 109:107-116. John TSt. 1996. Arbuscular mycorrhizal inoculation in nursery http://www.fcanet.org/proceedings/1996/stjohn.pdf [23 April 2005]
practice.
John TSt. 2000. The instant expert guide to mycorrhiza. The connection for functional ecosystems. 44 p. http://www.google.com [23 April 2005]. Jones DL. 1998. Organic acids in the rhizosphere, A critical review. Plant Soil 205:25-44. Jones DL, Farrar J. 1999. Phosphorus mobilization by root exudates in rhizosphere: fact or fiction. Agroforest Forum 9:20-24. Jumaniyazova GI, Tillayev TS, Takhtobin KS, Kalonov. 2004. Explorating the phosphate solubilizing capacity of soil bacteria through the application of 32P radioisotope techniques and X-ray diffraction method. Institute of Microbiology, Institute of Nuclear Physics, Academy of Sciences Republic of Uzbekistan/Tashkent. Kabirun S. 1987. Peranan mikroba pada ketesediaan fosfor tanah. Uraian ilmiah penerimaan jabatan sebagai Lektor Kepala dalam Mikrobiologi, Fakultas Pertanian UGM. [tidak dipublikasikan]. Kaeppler SM, Parke JL, Mueller SM, Senior L, Stuber C, Tracy WF. 2000. Variation among maize inbred lines and detection of quantitative trait loci for growth at low phosphorus and responsiveness to arbuscular mycorrhizal fungi. Crop Science Society of America. Crop Sci 40:358-364. Karti PDMA. 2003. Respon morfofisiologi rumput toleran dan peka aluminium terhadap penambahan mikroorganisme dan pembenah tanah [Disertasi]. Bogor: Program Pascasarjanan IPB.
156 Khan AG, Kuek C, Chaudhry TM, Khoo CS, Hayes WJ. 2000. Role of plants, mycorrhizae and phytochelators in heavy metal contaminated land remediation. Chemosphere 21:197 -207. Kimiti JM, Smithson PC. 2002. Dual inoculation of woody legumes and phosphorus uptake from insoluble phosphate rock. Univ. of Berea, Dept. of Chemistry, Berea, Kentucky USA 423-432. Koukal B, Gueguen C, Pardos M, Dominio J. 2003. Influence of humic substances on the toxic effects of cadmium and zinc to the green alga Pseudokirchneriella subcapitata. Chemosphere 53:953–961. Kpomblekou K, Tabatabai MA. 1994. Effect of organic acids on release of phosphorus from phosphate rocks. Soil Sci 158: 442-453. Kucey RMN, Jenzen HH, Leggett ME. 1989. Microbially mediated increase in plant available phosphorus. Adv Agron 42:199-228. Lambers H, Poot P. 2002. Structure and functioning of cluster roots and plant responses to phosphate deficiency. Plant Soil 242:137-141 Lambers H, Michael WS, Michael DC, Stuart JP, Erik JV. 2006. Root structure and functioning for efficient acquisition of phosphorus: Matching morphological and physiological traits. Annals Botany, hlm 21. http://www.aob.oxfordjournals.org [5 Nov 2007] Liao JP, Lin XG, Cao ZH, Shi YQ, Wong MH. 2003. Interactions between arbuscular mycorrhizae and heavy metals under sand culture experiment. Chemosphere 50:847-853. Linderman RG, Davis EA. 2000. Vesicular-arbuscular mycorrhiza and plant growth response to soil amendment with composed grape pomace or its water extract. Phyton-Annales Botanicae 11:446-450. Lo´pez-Bucio J, de la Vega OM, Guevara-Garcı´a A, Herrera-Estrella L. 2000. Enhanced phosphorus uptake in transgenic tobacco plants that overproduce citrate. Nature Biotechnology 18:450–453. Lobartini JC, Tan KH, Pape C. 1994. The nature of humic acid-apatite interaction products and their availability to plant growth. Commun Soil Sci Anal 25:23552369. Lobartini JC, Than KH, Pape C. 1998. Dissolution of aluminium and iron phosphate by humic acids. Commun Soil Sci Anal 29: 535-544. Lulakis MD, Petsas SI. 1995. Effect of humic substances from vine-canes mature compost on tomato seedling growth. Biores Technol 54:179-182.
157 Ma Z, Bielenberg DG, Brown KM, Lynch JP. 2001. Regulation of root hair density by phosphor us availability in arabidopsis thaliana. Plant Cell Environ 24: 459-467. Ma JF. 2000. Role of organic acids in detoxification of aluminium in higher plants. Mini Review. Plant Cell Physiol 41:383-390. MacCarthy P. 2003. Humic Substances: What we know and what we don’t know ?. Symposium of natural organic matter in soils & water. Iowa State University, Ames Iowa. March 22, 2003. MacCarthy P, Clapp CE, Malcolm RL, Bloom PR. 1990. Humic substances in soil and crop science: selected readings. America Society of Agronomy, Inc. Soil Science Society of America, Inc. Madison, Winconsin, USA. Mader P, Fliebach A, Dubois D, Gunst L, Fried P, Niggli U. 2003. Soil fertility and biodiversity in organic farming. Science 296:1694-1697. Marchel B. 2004. Molecular biology of phosphate transport across the fungus-plant interface in mycorrhizal symbioses. Swiss Federal Institute of Technology (ETH) Zurich, Institute of Plant Sciences, Experimental Station Eschikon 33, CH-8315 Lindau. Marschner H. 1995. Mineral Nutrition of Higher Plants. New York: 2nd Edition. Academic Press. Mayhew L. 2003. Bioavailability of rock phosphates from a geomicrobiological perspective. Midwestern Bio-Ag, Blue Mounds, Wisconsin, USA. Mayhew L. 2004. Humic substances in biological agriculture. A Voice for EcoAgriculture, 34(1&2). Mayhew L. 2005. Humic Substances. National organic program USDA-AMS-TMPNOP, Washington, DC. McWilliams D. 2003. Identifying nutrient deficiencies for efficient plant growth and water use. New Mexico University and U.S Department of Agriculture. http://www.google.com. [19 Des 2004]. Mikanová O, Nováková J. 2002. Evaluation of the P-solubilizing activity of soil microorganism and its sensitivity to soluble phosphate. Rostliná Výroba 48:397-400. Minocha R, Long S. 2004. Effects of aluminum on organic acid metabolism and secretion by red spruce cell suspension cultures and the reversal of A1 effects on growth and polyamine metabolism by exogenous organic acids. Tree Physiol 7:55-64.
158 Miyakasa SC, Habte M. 2001. Plant mechanisms and mycorrhizal symbioses to increase phosphorus uptake efficiency. Commun. Soil Sci Plant Anal 32:11011147. Miyakasa SC, Habte M, Friday B, Johnson EV. 2003. Manual and arbuscular mycorrhizal fungus production and inoculation techniques. Soil and Crop Management. http://www.ctahr.hawaii.edu/oc/forsale/AMFflier.pdf [23 April 2005]. Morgan JAW, Bending GD, White PJ. 2005. Biological costs and benefits to plantmicrobe interactions in the rhizosphere. J Exp Bot 56:1729-1739. Moyer-Henry KA. 2006. Plant responses to stress in acid environments: An assessment of the role of mycorrhizal fungi [disertasi]. USA: North Carolina State University. Muchovej RM. 2002. Importance of mycorrhiza for agricultural crops. University of Florida. Cooperative Extention Service. Institute of Food and Agricultural Sci. http://edis.ifas.ufl.edu/BODY_AG116 [15 Nov 2007]. Musaad I, Maas A, Suryanto. 1996. Pengaruh pemanasan dan pengasaman terhadap tahana tanah endapan fosfat Krandalit Ayamaru Sorong. Bulletin Penelitian Pascasarjana UGM. 9:333-337. Nagahashi G, Douds Jr DD, G Abney D. 1996. Phosphorus amendment inhibit hypha branching of the VAM fungus Gigaspora margarita directly and indirectly through its effect on root exudation. Mycorrhiza 6:403-408. Nagarajah S, Posneer AM, Quirk JP. 1970. Desorption of phosphate from kaolinite by citrate and bicarbonate. Soil Sci Amer Proceed 32:507-510. Nahas E, Banzatto DA, Assis LC. 1990. Fluorapatite solubilization by Aspergillus niger in vinasse medium. Soil Biol Biochem 22: 1097–1101. Nardi S, Condheri G, Dell’Agnola G. 1996. Biological Activity of Humus. Di dalam: Piccolo A, editor. Humic Substances in Terrestrial Ecosystems, hlm 361-406. Natesan R, Shanmugasundaram S. 1989. Extracellular phosphate solubilization by the cyanobacterium Anabaena ARM310. J Biosci 14:203-208. Neumann G, Römheld V. 2000. The release of root exudates as affected by the plant physiological status. Di dalam: Pinton R, Varanini Z, Nannipieri Z, editor. The Rhizosphere: Biochemistry and organic substances at the soil-plant interface. New York: Marcel Dekker. Nikolaou N, Karagiannidis N, Koundouras S, Fysarakis I. 2002. Effect of different P sources in soil on increasing growth and mineral uptake of mycorrhizal Vitis vinifera L. (cv Victoria) vines. J Int Sci Vigne Vin 36:195-204.
159 Noor A. 2003. Pengaruh fosfat alam dan kombinasi bakteri pelarut dengan pupuk kandang terhadap P tersedia dan pertumbuhan kedelai pada ultisol. Bul Agron 31:100-106. Norris JR, Read DJ, Varma AK. 1992. Methods in Microbiology. Vol. 24. Techniques for the Study of Mycorrhiza. Academic Press, Harcourt Brace Jovanovich Publishers. Notohadiprawiro T. 1989. Pertanian lahan kering di Indonesia: Potensi, prospek, kendala, dan pengembangannya. Lokakarya Evaluasi Pelaksanaan Proyek Pengembangan Palawija SFCDPUSAID, Bogor, 6-8 Desember 1989. Omer SA. 1998. The role of rock-phosphate-solubilizing fungi and vesicular arbuscular mycorrhiza (VAM) in growth of wheat plants fertilized with rock phosphate. World J Microbiol Biotech 14: 211–218. Palmer B, Gilkes RJ. 1982. Reversion of calcined calcium aluminium phosphate fertilizers due to rehydroxylation of crandallite. Aust J Res 20:243-500. Pengnoo A, Hashikodo Y, Onthong J, Gimsanguan S, Sae-Ong M, Shinano T, 2007. Screening of phosphate-solubilizing Watanabe T, Osaki M. microorganisms in rhizosphere and rhizoplane of adverse soil-adapting plants in Southern Thailand. TROPICS 16 (1). Phillips JM, Hayman DS. 1970. Improved procedures for clearing roots and staining parasitic and vesicular-arbuscular mycorrhizal fungi for rapid assessment of infection. Transactions of the British Mycological Soc 55:158-160. Ponmurugan P, Gopi C. 2006. In vitro production of growth regulators and phosphatase activity by phosphate solubilizing bacteria. African J Biotech 5:348-350. Postma JWM, Olsson PA, Falkengren-Grerup U. 2007. Root colonization by arbuscular mycorrhizal, fine endophytic and dark septate fungi across a pH gradient in acid beech forests. Soil Biol Biochem 39:400-408. Prasad K. 2005. Arbuscular mycorrhizal fungal accurence in non-cultivated disturbed and non-fertile land of Betiahraj, Bettiah, Bihar. Mycorrhiza News 16:12-14. Premono ME. 1994. Jasad renik pelarut fosfat, pengaruhnya terhadap P-tanah dan efisiensi pemupukan P tanaman tebu [disertasi]. Bogor: Program Pascasarjana IPB. Pusat Penelitian Kopi dan Kakao Indonesia. Kakao. Jakarta:AgroMedia Pustaka.
2004. Panduan Lengkap Budidaya
Pusat Penelitian Tanah dan Agroklimat. 1992. Peta tanah bagan Indonesia. Edisi II, Skala 1:250.000. Bogor:Puslit Tanah dan Agroklimat.
160 Pusat Penelitian Tanah. 1983. Jenis dan macam tanah di Indonesia untuk keperluan survei dan pemetaan tanah daerah transmigrasi. Bogor:Puslit Tanah. Quilambo OA. 2003. The vesicular-arbuscular mycorrhizal symbiosis. African J Biotech 2:539-546. Raghothama KG. 1999. Phosphate acquisition. Annu Rev Plant Physiol, Plant Mol Biol 50:665-693. Raghothama KG, Karthikeyan AS. 2005. Phosphate acquisition. Plant Soil 274:37– 49. Rahim KA. 2002. Biofertilizer in Malaysian Agriculture: perception, demand and promotion. FNCA Joint Workshop on Mutation Breeding and Biofertilizer, August 20-23. Beijing, China. Raj J, Bagyaraj DJ, Manjunath A. 1980. Influence of soil inoculation with vasicularabuscular mycorrhiza and a phosphate-dissolving bacterium on plant growth and 32P uptake. Soil Biol Chem 13:105-108. Raja AR, Shah KH, Aslam M, Memon MY. 2002. Response of phosphobacterial and mycorrhizal inoculation in wheat. Asian J Plant Sci 1:322-323. Rajan SSS, Watkinson JH, Sinclair AG. 1996. Phosphate rock of for direct application to soils. Adv Agron 57:77–159. Rao IM, Friesen DK, Horst WJ. 1999. Opportunities for germplasm selection to influence phosphorus acquisition from low-phosphorus soils. Agroforest Forum 9:13-17. Rao NBS. 1982. Biofertilizer in Agriculture. India: Oxford and IBH Publishers 66 Janpath, New Delhi-110001. Rao NSB. 1994. Mikroorganisme Tanah dan Pertumbuhan Tanaman. Susilo H, penerjemah: Jakarta. Universitas Indonesia-Press. Reyes I, Baziramakenga R, Bernier L, Antoun H. 2001. Solubilization of phosphate rocks and minerals by a wild-type strain and two UV-induced mutants of Penicillium rugulosum. Soil Biol Biochem 33:1741–1747. Reynders JJ, Schultz FHR. 1958. Verslag van een bodemkundige verkenning in het Ayamaroe gebied. Agrarisch Proefstation Bodemkundige Afdeling. [tidak diterbitkan]. Rice RA, Greenberg R. 2000. Cacao cultivation and the conservation of biological diversity. Ambio 29:167-173. Richardson AE. 2001. Prospects for using soil microorganisms to improve the acquisition of phosphorus by plants. Aust J Plant Physiol Vol. 28.
161 Richardson AE, Hadobas PA, Hayes JE, O’Hare CPO, Simpson RJ. 2001. Utilization of phosphorus by pasture plants supplied with myo-inositol hexaphosphates is enhanced by the presence of soil micro-organisms. Plant Soil 229:47–56. Roger,
McLenaghen D, Parmjit S, Randhawa, Condron LM, Di HJ. 2004. Increasing phosphate rock availability using a lupin green manure crop. Super Soil 2004: 3rd Australian New Zealand Soils Conference, 5 – 9 December 2004. Australia: University of Sydney. http://www.regional.org.au/au/asss [12 Nov 2007].
Roper T, Davenport J, De Moranville C, Marchand S, Poole A, Hart J, Patten K. 2004. Phosphorus for Bearing Cranberries in North America. USA:The Board of Regents of the University of Wisconsin System. Rumawas F. 1990. Kerangka acuan penelitian fosfat alam. Laporan dan Prosiding: Kajian tanah Ayamaru sebagai sumber pupuk. Manokwari: Faperta Univ. Cenderawasih Manokwari. hlm 8-11. Sabiham S, Amat KS. 1990. Kandungan fosfat dalam endapan tanah di Ayamaru dan prospeknya di bidang pertanian serta program penelitian pemanfaatan endapan fosfat alam. Laporan dan Prosiding: Kajian tanah Ayamaru sebagai sumber pupuk. Manokwari:Faperta Univ. Cenderawasih Manokwari. hlm 1123. Sabiham S, Djokosudardjo S, Soepardi G. 1983. Bogor:Jurusan Tanah Fakultas Pertanian IPB.
Pupuk dan Pemupukan.
Saito M. 1995. Enzyme activities of the internal hyfa and germinated spores of an arbuscular mycorrhizal fungus Gigaspora margarita Becker & Hall. New Phytol 129:425-431. Schachtman DP, Reid RJ, Ayling SM. 1998. Phosphorus uptake by plants: From soil to cell. Plant Physiol 116:447-453. Schenck NC, Smith GS. 1982. Additional new and unreported species of mycorrhizal fungi (Endogonaceae) from Florida. Mycologia 74:77-92. Schnitzer M. 1986. Pengikatan bahan humat oleh koloid mineral tanah. Di dalam: Huang, PM, Schnitzel M, editor. Interaksi Mineral Tanah dengan Organik Alami dan Mikroba. Yogyakarta: UGM-Press, hlm 119-156. Terjemahan dari: Interactions of Soil Minerals with Natural Organics and Microbes. Schnitzer M. 1977. Binding of humic substances by soil mineral colloids. Di dalam: Huang PM, Schnitzer M, editor. Interactions of Soil Minerals with Natural Organics and Microbes. Madison: Soil Sci Society of America, Special Publication No. 17. hlm 77-101.
162 Schoèttelndreier M, Norddahl MM, Stroèm L, Falkengren-grerup U. 2001. Organic acid exudation by wild hHerbs in response to elevated Al concentrations. Annal Bot 87:769-775. Schroo
H. 1963. A study of highly phosphatic soils in a karts region of the humid tropics. Neth J Agric 11:210-221.
Schroo H, Mouthaan WLPJ. 1960. Voorlopig Verslag v.c orientende potproef met mais ter beoordeling van Ayamaroegrond als fosfaatmeststof. Agrarisch Proefstation Bodemvruchtbaarheids Onderzoek. [tidak diterbitkan]. Setiadi Y. 1992. Mikoriza dan Pertumbuhan Tanaman. Kursus singkat pemanfaatan limbah lignoselulolitik untuk media semai tanaman kehutanan. Bogor:PAU IPB. 6 Oktober – 2 November 1992. Sieverding E. 1991. Vesicular-Arbuscular Mycorrhiza Management in tropical agrosystems. Deutsche Gesellschaft fur. Federal Republic of Germany: Technische Zusammenarbeit (GTZ) GmbH. Singh S. 2005. Effect of elevated levels of carbon dioxide and light on mycorrhiza. India:TERI, Darbari Seth Block, IHC Complex, Lodhi Road, New Delhi. Mycorrhiza News 16:1-11. Siripin S. 2002. Microbiology associated with the vetiver plant. Thailand: Maejo University, Chiang Mai. hlm 374-376. Smith FW, Mudge SR, Rae AL, Glassop D. 2003. Plant Soil J 248:71-83.
Phosphate transport in plant.
Smith FW. 2002. The phosphate uptake mechanism. Plant Soil 245:105-114. Smith SE, Read DJ. 1997. Mycorrhizal Symbiosis. Second Edition. Academic Press Hacourt Brace & Company Publisher.
London:
Smith SE, Sandy D, Smith FW. 2001. Nutrient transfer in arbuscular mycorrhizas: How are fungal and plant processes integrated?. Aust J Plant Physiol 28:683694. Stevenson FJ. 1994. Humus Chemistry: Genesis, Composition, Reaction. 2nd eds. New York:John Willey and Sons. Ström L, Owen AO, Godbold DL, Jones DL. 2002. Organic acid mediated P mobilization in the rhizosphere and uptake by maize roots. Soil Biol Biochem 34:703-710. Suh JS. 2005. Application of VA mycorrhizae and phosphate solubilizers as biofertilizers in Korea. National Institute of Agricultural Science and Technology, RDA. Republic of Korea.
163 Suhendrayatna. 2001. Heavy metal bioremoval by microorganisms: A literature study. Institute for Science and Technology Studies (ISTECS)-Chapter Japan. Japan: Department of Applied Chemistry and Chemical Engineering, Faculty of Ingeneering. Kogoshima University. Seminar on-Air Bioteknologi untuk Indonesia Abad 21, 1-14 Februari 2001. Swift CE. 2004. Mycorrhiza and soil phosphorus levels. Colorado State University, Cooperation Extention. 1-4. http://www.colostate.edu/Depts/CoopExt/TRA/PLANTS/mycorhiza.html? [19 Des 2005] Sylvia DM. 2005. Mycorrhizal Symbioses. Di dalam: Principles and Applications of Soil Microbiology. New Jersey: 2nd Edition. Pearson Prentice Hall, Upper Saddle River, hlm 263-282. Tabatabai MA, Bremner JM. 1969. Use of p-nitrophenyl phosphate for assay of soil phosphatase activity. Soil Biol. Biochem. 1:301-307. Taiz L, Zeiger E. 2002. Plant Physiology. Sunderland Massachusetts: Third Edition. Sinauer Associates, Inc. Publishers. Tan KH. 2003. Humic Matter in Soil and the Environment. New York:Marcel Dekker. Tan KH. 1986. Degradation of soil minerals by organic acids. Di dalam: Huan PM, Schnitzer M, editor. Interaction of Soil Minerals with Natural Organics and microbes. Winconsin: Soil Sci. Society of America. Special Publication No. 17. Tan KH, Pape C. 1998. Dissolution of aluminum and iron phosphate by humic acids. Commun Soil Sci Anal 29:535-544. Tarafdar JC, Claaessen N. 2001. Comparative efficiency of acid phosphatase originated from plant and fungal sources. J Plant Nutr Soil Sci 164: 279–282. Tisdale SL, Nelson WL, Beaton JD. 1990. Soil Fertility and Fertilizers. 4th Edition. New York:MacMillan Publishing Company. Tomscha JL, Melanie CT, Jill D, Jonathan PL, Mark JG. 2004. Phosphatase under-producer mutants have altered phosphorus relations. Plant Physiol 135:334-335. Toro M, Aczon R, Barea JM. 1997. Improvement of arbuscular mycorrhiza development by inoculation of soil with phosphate-solubilizing rhizobacteria to improve rock phosphate bioavailability (32P) and nutrient cycling. Applied Environ Microbiol 6:4408-4412. Toro M, Azcon R, Hirrera R. 1996. Effects on yield and nutrition of mycorrhizal nodulated Pueraria pheseoloides exerted by P-solubilizing rhizobacteria. Biol Fertil Soils 21:23-29.
164 Trappe
JM. 1977. Three new Endogonaceae: Glomus contrictus, Sclerocystis clavispora, and Acaulospora scrobiculata. Mycotaxon 6:359-366.
Trolove SN, Hedley MJ, Kirk GJD, Bolan NS, Loganathan P. 2003. Progress in selected areas of rhizosphere research on P acquisition. Aust J Soil Res 41:471499. Uhde-Stone C, Zinn KE, Ramirez M, Li A, Vance CP, Allan DL. 2003. Nylon filter arrays reveal differential gene expression in proteoid roots of white lupin in response to phosphorus deficiency. Plant Physiol 131:1064–1079. Valverde A, Burgos A, Fiscella T, Rivas R, Vela´ zquez E, Rodrı´guez-Barrueco C, Cervantes E, Chamber M, Igual JM. 2006. Differential effects of coinoculations with Pseudomonas jessenii PS06 (a phosphate-solubilizing bacterium) and Mesorhizobium ciceri C-2/2 strains on the growth and seed yield of chickpea under greenhouse and field conditions. Plant Soil 287:43–50. van Aarle IM, Olsson PA, B Söderström. 2001. Microscopic detection of phosphatase activity of saprophytic and arbuscular mycorrhizal fungi using a fluorogenic substrate. Mycologia 93:17-24. Vance CP, Uhde-Stone C, Allan DL. 2003. Phosphorus acquisition and use: critical adaptations by plants for securing a nonrenewable resource. New Phytol 157: 423–447. Vassilev N, Vassileva M, Fenice M, Federici F. 2001. Immobilized cell technology applied in solubilization of insoluble inorganic rock phosphates and P plant acquisition. Biores Tech 79:263-27. Wasaki J, Amamura TY, Shinano T, Osaki M. 2003. Secreted acid phosphatase is expressed in cluster roots of lupin in response to phosphorus deficiency. Plant Soil 248:129–136. Watanabe FS, Olsen S. 1965. Test of an ascorbic acid method for determining phosphorus in water and NaHCO3 extracts from soils. Soil Sci Soc Amer Proceed 29:677-678. Weissenhorn I. 2002. Mycorrhiza and salt tolerance of trees. Nederland:Pius Floris Boomverzorging Nederland B.V. Welch SA, Taunton AE, Banfield JF. 2002. Effect of microorganisms and microbial metabolites on apatite dissolution. Geomicrobiol J 19:343-367. Whitelaw MA. 2000. Growth promotion of plants inoculated with phosphatesolubilizing fungi. Adv. Agron. 69:99–151. Wibawa A, Pujiyanto, Abdoellah S. 1993. Pengaruh fosfat alam yang diasamkan terhadap daya hasil kakao lindak pada tanah alfisol. Pelita Perkebunan 9:18-22.
165 Widiastuti H, Baon JB. 1994. Nutrient uptake and growth of cocoa fertilized with rock phosphate and inoculated with Acaulospora delicata and Glomus fasciculatum. Pelita Perkebunan 10:109-116. Widiastuti H, Sukarno N, Darusman LK, Goenadi DH, Smith S, Guahardja E. 2003. Aktivitas fosfatase dan produksi asam organik di rhizosfer dan hifosfer bibit kelapa sawit bermikoriza. Menara Perkebunan 71:70-81. Wissuwa M. 2003. How do plants achieve tolerance to phosphorus deficiency? Small causes with big effects. Plant Physiol Preview 133: 1947-1958. Xu RK, Zhu YG, Chittleborough D. 2004. Phosphorus release from phosphate rock and an iron phosphate by low-moleculer-weight organic acids. J Environ Sci 16: 5-8. Yahya S, Sudrajat, Sasli I, Yadi S. 2000. Tanggap karakter morfofisiologi bibit kakao bermikoriza arbuskula terhadap cekaman kekeringan. Comm Agr 6:9-17. Yano-Melo AM, Saggin Jr OJ, Maia C. 2003. Tolerance of mycorrhized banana (Musa sp. cv. Pacovan) plantlets to saline stress. Agric Ecosyst Environ 95:343-348. Zaidi A, Khan MS. 2006. Co-inoculation effects of phosphate solubilizing microorganisms and Glomus fasciculatum on greengram-bradyrhizobium symbiosis. Turk J Agric Forest 30:223-230. Zaidi A, Khan MS, Aamil M. 2004. Bioassociative effect of rhizospheric microorganisms on growth, yield and nutrient uptake of greengram. J Plant Nutr 27:599-610. Zapata F, Roy RN. 2004. Use of Phosphate Rock for Sustainable Agriculture. Italy:FAO and IAEA, Rome. Zapata F. 1999. The use of nuclear and related techniques for evaluating the agronomic effectiveness of phosphate fertilizers, in particular rock phosphates. Austria: Joint FAO/IAEA Division of Nuclear Techniques in Food and Agriculture Soil and Water Management & Crop Nutrition Section Vienna. Zhu YG, Cavagnaro TR, Smith SE, Dickson S. 2001. Backseat driving? Accesing phosphate beyond the rhizosphere-depletion zone. Trend Plant Sci 6:194-195. Zimmer G. 2004. Humates and Humic Substances. USA: Bio-Correct Inputs for the Eco-Farmer. A Voice for Eco-Agric, USA. 34(1).
LAMPIRAN
166 Lampiran
1
Penghitungan Jumlah Spora dengan Teknik Penyaringan Basah (Gaderman & Nicholson 1963).
Bahan dan Alat : -
Bahan yang digunakan adalah contoh tanah (media biakan), air, larutan sukrosa 50%
-
Aalat yang digunakan adalah blender, gelas beker, satu set saringan bertingkat, stop watch, sentrifuse, cawan petri, syringe, mikroskop stereo.
Prosedur kerja : 1.
Timbang 50 g contoh tanah (media biakan).
2.
Contoh tanah (biakan) dimasukkan ke dalam wadah dan tambahkan air dan diaduk-aduk kemudian diamkan hingga membentuk suspensi.
3.
Tuangkan suspensi tersebut kedalam saringan bertingkat, dan diulangi sebanyak 3 kali.
4.
Tanah yang terendap pada saringan 45µm dimasukkan ke dalam tabung sentrifuse, selanjutnya disentrifuse selama 5 menit dengan kecepatan 2500 rpm.
5.
Buang supernatannya (cairan), kemudian endapannya diberikan sukrosa 50% secukupnya dan disentrifuse kembali selama 30 detik dengan kecepatan 2500 rpm.
6.
Tuangkan supernatannya (jangan sampai endapannya terbawa) pada saringan 45 µm, kemudian dibilas dengan aquades agar sukrosanya hilang, kemudian ditampung pada cawan petri.
7.
Hitung jumlah spora dengan menggunakan mikroskop.
167 Lampiran 2 Metode Pengujian Most Probable Number (MPN) FMA (Norris et al. 1992). Bahan dan Alat : -
Bahan yang digunakan adalah KOH 10%, H2O2 3%, HCL 2%, Gliserol, asam laktat, trypan blue, aquades, PVLG, kutek bening.
-
Alat yang digunakan adalah bobot vial, scapel, gunting kecil, cawan petri, saringan, gelas beker.
Prosedur Kerja: 1. Siapkan seri pengenceran (kelipatan 10) dengan mencampurkan inokulum (dari kultur perbanyakan) dengan zeolit steril 2. Setiap seri pengenceran dibuat dalam 5 kali ulangan 3. Setiap seri pengenceran tiap ulangan ditanami 4 kecambah sorgum 4. Kultur dipelihara selama 8 -10 minggu 5. Pemanenan dilakukan dengan cara memotong akar, selanjutnya potongan akar diperlakukan seperti pada Lampiran 3. 6. Data infeksi akar di catat pada tabel dengan tanda (+) sedangkan pada akar yang tidak terinfeksi diberi tanda (-) untuk setiap pengenceran dengan 5 ulangan 7. Hasil perhitungan digunakan untuk menentukan jumlah organisme per gram inokulum dengan berdasarkan tabel MPN Cochran (1950) dikutip dalam Norris et al. (1992).
168 Lampiran 3
Perhitungan kolonisasi akar dengan teknik pewarnaan Akar dan Hayman 1970).
(Phillips
Bahan dan Alat : -
Bahan yang digunakan adalah KOH 10%, H2O2 3%, HCL 2%, Gliserol, asam laktat, trypan blue, aquades, PVLG, kutek bening.
-
Alat yang digunakan adalah bobot vial, scapel, gunting kecil, cawan petri, saringan, gelas beker.
Prosedur Kerja : 1. Akar dicuci, kemudian dipotong-potong dan dimasukkan ke dalam tabung. 2. Tambahkan KOH 10% dan tabung ditutup, biarkan selama 24 jam. 3. KOH dibuang dan diganti dengan yang baru dan biarkan selama 24 jam 4. Bila belum tampak bening, di tambahkan dengan campuran H2O2 3% dan KOH 10% secukupnya yang dilarutkan dalam aquades dan dipanaskan selama 10 menit. 5. Selanjutnya akar putih dicuci dan disaring berulang kali dengan saringan yang rapat. 6. Akar dipotong sepanjang 5 cm, kemudian masukkan ke dalam tabung dan tambangkan dengan HCL 2% hingga terendam dan biarkan selama 24 jam. 7. HCL dibuang dan masukkan ke dalam larutan staining, biarkan selama 24 jam 8. Masukkan larutan destaining dan dibiarkan selama 24 jam 9. Simpan pada bobol film. 10. Untuk menghitung infeksi akar, ambil potongan akar dengan panjang 1 cm sebanyak 10 buah, kemudian letakkan di gelas preparat dan kemudian ditutup dengan cover glas.
Agar tidak goyang diberikan PVLG. Bila akar terinfeksi
belum dapat dihitung dapat disimpan dalam kulkas 11. Pengamatan infeksi akar dilakukan dengan mikroskop pada pembesaran 40 x atau 60 x Jumlah akar terinfeksi 12. Persen infeksi = ------------------------------------------ x 100% Jumlah total akar
169 Lampiran 4
Komposisi media Pikovskaya
Komposisi media Pikovskaya terdiri atas : 1.
Glukosa
: 10 g
2. Ca3(PO4)2
:
5g
3.
NaCl
:
0.2 g
4.
KCl
:
0.2 g
5. MgSO4.7H2O
:
0.1 g
6. MnSO4.H2O
:
0.0025 g
7. FeSO4.7H2O
:
0.0025 g
8.
Yeast ekstrak
:
0.5 g
9.
Agar
: 15 g
10. Aquades
: 1000 mL
170 Lampiran 5 Komposisi media kaldu nutrien Ekstrak daging sapi
:
3g
Pepton
:
5g
Aquades
: 1000 mL
171 Lampiran 6 Hasil analisis fosfat alam Ayamaru Papua di Balai Penelitian Tanah Pusat Bogor tahun 2006 Jenis Analisis P total (% P2O5)
Kadar 21.00
Kriteria Sedang (Klas C)
P larut Sitrat 2% (% P2O5)
0.51
Rendah
P larut Format 2% (% P2O5)
1.30
Rendah
Ca (% )
5.17
Rendah
Mg (%)
0.06
Sangat Rendah
Fe (%)
12.50
Tinggi
Pb (ppm)
86.20
Tinggi
Cd (ppm)
5.40
Tinggi
Al (%)
13.00
Tinggi
N (%)
0.03
Sangat Rendah
C (%)
0.39
Sangat Rendah
Kadar air (%)
3.93
172 Lampiran 7 Analisis kimia tanah Ultisol Jasinga, Bogor Jenis Analisis
Nilai
Kriteria (Pusat Penl.Tanah, 1983)
pH H2O (1:1)
4.30
Sangat masam
pH HCl (1:1)
3.18
Sangat masam
C-organik (%)
0.98
Sangat rendah
N-total (%)
0.09
Sangat rendah
P Bray I (ppm)
2.50
Sangat rendah
P HCl 25% (ppm)
31.00
Sedang
Ca (me/100g)
0.99
Sangat Rendah
Mg (me/100g)
0.53
Rendah
K (me/100g)
0.10
Rendah
Na (me/100g)
0.15
Rendah
19.56
Sedang
KTK (me/100g) KB (%)
9.05
Al (me/100g)
17.03
H (me/100g)
0.85
Pasir (%)
34.22
Debu (%)
9.40
Liat (%)
56.38
Sangat Rendah Rendah
173 Lampiran 8 Metode analisis fosfatase asam akar (Tabatabai & Bremer 1969) Prinsip : Berdasarkan pada penentuan pNP (p-Nitrophenol) yang dilepaskan setelah diinkubasi dengan p-NPP selama 1 jam pada 37oC. Peralatan : Photometer, inkubator, kertas saring (Whatman No. 2 V) atau sentrifuge, Erlenmeyer 50 mL, labu takar 100 mL. Bahan kimia dan larutan: - Toluena - Larutan stok MUB (Modified Universal Buffer): Larutkan 12.1 g Tris ; 11.6 g asam maleat; 14 g asam sitrat; 6.3 g asam borat dalam 500 mL NaOH 1 M, tera dengan air destilata hingga 1000 mL dan simpan dalam suhu 4oC. - Larutan buffer MUB pH 6.5 Titrasi 200 mL larutan stok MUB dengan HCl 0.1 M hingga pH 6.5 dan tera dengan air destilata hingga 1000 mL. - Larutan p-NPP (p-Nitrophenyl Phosphate) 15 mM. Larutkan 2.93 g disodium p-NPP tetrahydrate dalam 40 mL MUB. Tepatkan menjadi 50 mL dengan buffer yang sama untuk melarutkan, simpan pada suhu 4oC. - Larutan CaCl2 0.5 M Larutkan 73.5 g CaCl2.H2O dalam 1000 mL air destilata - Larutan NaOH 1 M Larutkan 40 g NaOH dalam 1000 mL air destilata - Larutan NaOH 0.5 M - Larutkan 20 g NaOH dalam 1000 mL air destilata - Larutan NaOH 0.1 M - Larutkan 4 g NaOH dalam 1000 mL air destilata - Larutan HCl 0.1 M - Larutkan 8.3 mL HCl 35% dalam 1000 mL air destilata - Larutan standar p-NP (p-Nitophenol) 1000 ppm - Larutkan 1.0 g p-NP dalam 1000 mL air destilata, simpan dalam suhu 4oC. Prosedur: -
Timbang 1 g contoh, masukkan dalam labu erlenmeyer 50 mL Tambahkan 0.25 mL toluena, 4 mL MUB pH 6.5, 1 mL p-NPP Tutup dan dikocok kemudian inkubasi selama 1 jam pada suhu 37oC Hentikan reaksi setelah inkubasi dengan menyimpan dalam air es Tambahkan 1 mL CaCl2 0.5 M dan 4 mL NaOH 0.5 M
174 - Kocok lalu saring atau sentrifuge pada 4000 rpm selama 60” - Ukur dalam lamda (λ) = 400 nm - Lakukan control dengan menambahkan 1 mL larutan p-NPP ke dalam campuran CaCl2 0.5 M dan NaOH 0.5 M sebelum dilakukan penyaringan pada suspensi contoh - Lakukan pengukuran untuk triplo dan simplo untuk control. Kuva kalibrasi : - Larutkan 1 mL larutan standar ke dalam labu takar 100 mL, kemudian pipet alikuot sebanyak 0,1,2,3,4,5 mL ke dalam labu erlenmeyer 50 mL, tera volume alikuot menjadi 5 mL dan lanjutkan seperti pada prosedur dimulai dari penambahan p-NPP. Perhitungan : Koreksi hasil yang diukur dengan kontrol. Hitung p-Nitrophenol dengan menggunakan pembanding kurva kalibrasi : y = a + bx (C) x (v) p-NP = ---------------------(dwt) x (SW) x (t) p-NP C v dwt SW t
: : : : : :
p-Nitrophenol (μg g-1 dw h-1) konsentrasi p-Nitrophenol (ug/mL filtrat) total volume suspensi sampel (mL) bobot kering sampel (g) bobot basah yang digunakan (1 g) waktu inkubasi (1 jam)
175 Lampiran 9a
F-hitung analisis ragam peubah tanggap bibit kakao yang diinokulasi fungi mikoriza arbuskula pada berbagai dosis fosfat alam Ayamaru Peubah
Tinggi bibit pada (MST):
2 4 6 8 10 12 14 16 Diameter batang bibit (MST): 2 4 6 8 10 12 14 16 Jumlah daun bibit (MST): 2 4 6 8 10 12 14 16 Bobot kering tajuk Bobot kering akar Nisbah tajuk-akar Kadar P tajuk Serapan P tajuk Aktivitas fosfatase asam Kolonisasi Akar pH tanah Kadar P total tanah Kadar P tersedia tanah Kadar Aldd tanah
Fosfat Alam
FMA
Interaksi
1.22 ns 2.11* 2.27* 3.16* 3.14* 3.34* 4.36** 6.88**
0.44 ns 2.43 2.47 16.80** 15.88** 12.60** 25.91** 20.80**
0.63 ns 0.49 0.40 0.68 0.49 0.31 0.39 1.01
0.32 1.33* 2.19* 1.80* 1.61ns 1.93* 4.67** 5.09**
0.51 1.43 6.90* 40.89* 50.85* 70.02** 78.67** 74.44**
2.26 0.59 0.88 1.66 1.32 1.43 1.18 1.69
0.30 0.39 3.21** 0.51 7.12** 0.56 10.85** 13.72* 9.53** 4.38** 8.78** 5.99** 8.18** 5.27** 6.31** 23.86** 17.17** 104.98** 2.67** 52.07** 9.78** 2.11 269.44** 77.20** 46.83** 77.27** 133.89** 315.13** 20.72** 149.66** 13.93** 12.33** 285.80** 73.28** 212.36** 51.17** 0.78 2.45** Keterangan : FMA : fungi mikoriza arbuskula; MST: minggu setelah tanam
0.83 0.93 0.79 1.10 1.19 2.02 1.03 2.57* 5.24* 1.44 1.70 0.64 2.27* 34.27** 3.84** 1.53 1.02 0.61 1.23
176 Lampiran
9b F-hitung analisis ragam peubah tanggap bibit kakao yang diinokulasi bakteri pelarut fosfat pada berbagai dosis fosfat alam Ayamaru Peubah
Fosfat Alam
BPF
Interaksi
Tinggi bibit pada (MST):
2 4 6 8 10 12 14 16
1.08 4.24** 6.71** 8.66** 11.70** 14.06** 25.73** 15.99**
0.74 2.71 2.02 11.50** 13.23** 18.98** 39.11** 122.92**
0.58 0.56 0.44 0.66 0.94 1.27 1.44 1.11
1.16 0.55 4.82** 9.05** 9.25** 9.62** 10.65** 17.46**
0.69 0.07 2.60* 11.41** 11.93** 16.38** 19.22** 46.76**
0.38 2.21 0.82 0.35 0.64 0.66 0.94 1.41
Diameter batang bibit (MST):
2 4 6 8 10 12 14 16 Jumlah daun bibit (MST):
2 4 6 8 10 12 14 16 Bobot kering tajuk Bobot kering akar Nisbah tajuk-akar Kadar P tajuk Serapan P tajuk pH tanah Kadar P total tanah Kadar P tersedia tanah Kadar Aldd tanah
0.30 0.39 3.21* 0.51 7.12** 0.56 10.85** 13.72** 9.53** 4.38* 8.78** 5.99** 8.18** 5.27** 25.44** 15.15** 31.90** 29.92** 8.62** 44.72** 5.26** 7.97** 110.91** 48.73** 42.05** 36.21** 5.25** 0.25 253.95** 20.50** 247.89** 23.95** 139.59** 40.53** Keterangan : BPF : bakteri pelarut fosfat; MST: minggu setelah tanam
0.83 0.93 0.79 1.10 1.19 2.02 1.03 1.79 3.57** 1.67 0.82 0.51 1.24 0.82 6.34** 7.85** 9.64**
177 Lampiran 9c
F-hitung analisis ragam peubah tanggap bibit kakao pada berbagai dosis asam humat dan dosis FA
Peubah
Fosfat Alam
Asam humat
Interaksi
0.56 5.90** 7.62** 10.77** 17.95** 18.14** 31.06** 64.81**
0.44 2.66* 30.69** 25.87** 30.20** 38.11** 72.73** 156.81**
0.92 1.13 1.02 1.71 2.15 2.45** 2.09* 4.26**
0.74 7.71** 9.62** 5.88** 15.88** 15.91** 26.16** 39.25**
0.73 11.29** 15.48** 24.69** 45.14** 45.14** 63.40** 109.13**
1.25 1.46 1.09 0.87 0.99 0.85 1.14 2.69*
0.13 0.92 6.91** 2.45* 2.45* 4.55** 6.79** 7.20** 49.10** 16.11** 21.15** 75.43** 46.76** 19.42** 349.22** 1322.51** 407.42** Keterangan : MST: minggu setelah tanam
0.19 4.20* 3.05* 0.47 2.15* 7.43** 6.17** 11.69** 63.83** 45.23** 5.35** 8.27** 29.64** 8.85** 116.90** 148.71** 102.89**
0.47 0.99 0.98 0.97 1.57 1.40 1.06 1.33 2.80* 1.22 0.56 0.33 1.14 1.21 2.82** 39.99** 4.32**
Tinggi bibit pada (MST):
2 4 6 8 10 12 14 16 Diameter batang bibit (MST):
2 4 6 8 10 12 14 16 Jumlah daun bibit (MST):
2 4 6 8 10 12 14 16 Bobot kering tajuk Bobot kering akar Nisbah tajuk-akar Kadar P tajuk Serapan P tajuk pH tanah Kadar P total tanah Kadar P tersedia tanah Kadar Aldd tanah
178 Lampiran
9d F-hitung analisis ragam peubah tanggap bibit kakao yang diinokulasi kombinasi fungi mikoriaza arbuskula, bakteri pelarut fosfat, dan asam humat pada berbagai dosis FA Peubah
Fosfat Alam
MBH
Interaksi
1.10 2.67* 3.71* 4.31** 7.23** 4.87** 5.58** 14.59**
0.09 2.69* 9.38** 13.12** 23.81** 21.21** 34.77** 91.36**
0.49 1.37 0.54 0.48 0.74 0.46 0.43 0.72
0.77 1.41* 3.98** 2.35* 1.42* 1.61* 2.83* 7.68**
1.60 2.98* 11.71** 13.14** 29.16** 32.35** 32.66** 43.42**
1.17 0.70 0.63 0.87 1.17 1.42 0.82 0.85
Tinggi bibit pada (MST):
2 4 6 8 10 12 14 16 Diameter batang bibit (MST):
2 4 6 8 10 12 14 16 Jumlah daun bibit (MST):
2 4 6 8 10 12 14 16 Bobot kering tajuk Bobot kering akar Nisbah tajuk-akar Kadar P tajuk Serapan P tajuk Aktivitas fosfatase asam Kolonisasi Akar pH tanah Kadar P total tanah Kadar P tersedia tanah Kadar Aldd tanah
1.07 0.63 0.64 5.14** 3.15* 11.07** 4.53** 18.78** 2.47* 36.27** 1.03 18.07** 1.77* 15.34** 2.29* 12.69** 12.08** 21.50** 9.85** 25.27** 1.69* 2.36* 155.50** 118.89** 49.40** 81.28** 7.68** 43.42** 19.73** 410.54** 15.95** 5.44** 412.19** 23.71** 2077.78** 144.31** 23.69** 77.17** -3 Keterangan : M : Mycofer; B: isolat FT.3.2; H: 3.10 mL asam humat/bibit
3.61 1.80 2.33* 1.66 2.09* 1.48 1.15 1.08 10.59* 1.13 0.62 0.56 2.25* 0.85 * 3.42** 2.74* 5.39** 18.58** 3.35**
179 Lampiran 10a F-hitung analisis Ortogonal polinomial tanggap bibit kakao yang diinokulasi FMA pada berbagai dosis FA Peubah
Linier
Interaksi : Jumlah daun : Mo 2.77 M1 14.54** M2 3.47** Bobot kering tajuk : Mo 11.39** M1 17.23** M2 26.43** Serapan P tajuk: Mo 16.34** M1 45.37** M2 57.37** Kolonisasi akar : Mo 0.07 M1 4.57ns M2 4.37ns Aktivitas fosfatase asam: Mo 13.90* M1 54.70* M2 44.75** Tanpa interaksi : Tinggi bibit 12.66** Diameter batang 16.86** Kadar P tajuk 133.73** Kadar P tersedia 596.55** Kadar P total 1437.76** Kadar Aldd 0.65ns pH media 20.64** Bobot kering akar 13.09** Nisbah tajuk-akar 22.55**
Kuadratik
Kubik
Kuartik
R2
8.17* 0.14 0.51
1.07 0.02 0.03
0.25 0.11 0.61
0.49 0.59 0.24
2.70 0.26 0.19
0.04 0.29 0.33
0.47 0.00 0.01
0.46 0.62 0.72
0.34 2.32 4.81
0.13 5.34 10.35
0.19 4.86 1.18
0.98 0.97 0.93
1.47ns 0.20 0.20
0.29 0.87 0.07
0.46 0.06 0.01
0.04 0.29 0.31
171.55** 1.11 5.68
0.04 31.91* 13.62*
2.31 4.38 0.74
0.96 0.56 0.64
0.64 0.81 0.00 1.15 1.71 0.52 69.85** 1.85 0.02
2.11 0.12 0.20 0.51 1.88 0.46 2.57 1.44 5.10
0.02 0.17 0.06 0.24 2.04 0.54 0.37 0.12 0.14
0.96 0.97 0.99 0.99 0.99 0.02 0.83 0.79 0.81
Keterangan : FMA : fungi mikoriza arbuskula; FA: fosfat alam Ayamaru
180 Lampiran 10b F-hitung analisis Ortogonal polinomial tanggap bibit kakao yang diinokulasi BPF pada berbagai dosis FA Peubah Interaksi : Bobot kering tajuk: Bo B1 B2 Kadar P tersedia : Bo B1 B2 Kadar P total: Bo B1 B2 Kadar Aldd : Bo B1 B2 Tanpa interaksi: Tinggi bibit Diameter batang Jumlah daun Bobot kering akar Nisbah tajuk-akar Kadar P tajuk Serapan P tajuk pH media B
B
B
B
B
B
B
B
Linier
Kuadratik
Kubik
Kuartik
R2
9.73* 24.25* 7.64 *
2.83 2.04 0.00
0.39 1.87 7.31
0.27 1.10 0.01
0.45 0.62 0.31
512.43** 525.26** 260.24**
0.98 1.09 0.19
0.49 2.08 3.37
1.58 0.49 0.10
0.92 0.98 0.97
3419.99** 1675.88** 3617.67**
51.59 22.77 58.08
0.25 1.13 0.00
2.89 3.01 5.16
0.95 0.96 0.98
12.64ns 0.61 5.92ns
1.40 1.66ns 0.85
0.34 0.22 4.05
1.23 0.26 0.83
0.61 0.29 0.36
28.12** 49.47** 12.95** 25.40** 3.15* 413.28** 48.81** 12.02**
6.45* 0.83 10.89** 0.86 0.17 0.02 1.78 0.15
2.54 0.07 7.01 6.80 0.46 0.00 4.48 0.82
0.00 0.00 0.00 0.22 0.36 0.07 0.20 0.83
0.76 0.98 0.87 0.76 0.76 0.99 0.88 0.85
Keterangan : BPF: bakteri pelarut fosfat; FA: fosfat alam Ayamaru
181 Lampiran 10c F-hitung analisis Ortogonal polinomial tanggap bibit kakao yang diaplikasi asam humat pada berbagai dosis FA Peubah Interaksi : Tinggi bibit : Ho H1 H2 H3
Linier
Kuadratik
Kubik
Kuartik
R2
25.44** 7.24* 47.37** 50.08**
0.81 0.00 1.60 2.28
0.42 0.84 15.52 29.72**
0.70 0.11 0.08 0.33
0.93 0.96 0.79 0.76
38.67** 20.76** 61.69** 61.94**
4.70 0.19 3.23 0.03
0.94 0.01 12.40 1.08
0.56 0.17 11.02 0.01
0.86 0.94 0.97 0.96
67.58** 30.52** 38.92** 19.19**
6.85 2.62 5.59 1.63
1.14 0.01 0.73 1.27
0.05 0.11 2.39 0.39
0.79 0.71 0.67 0.59
601.08** 667.83** 1035.52** 482.17**
17.09 59.59 168.51** 82.94**
29.80 59.21 98.31** 33.71**
3.84 1.04 2.35 0.21
0.91 0.85 0.84 0.87
208.30** 167.50** 121.58** 147.23**
3.90 0,32 0.79 1.34
11.11 0.24 0.00 2.08
8.51 0.00 0.05 0.25
0.92 0.92 0.92 0.89
76.68** 602.72** 519.86** 662.42**
10.54** 35.50** 53.84** 47.18**
0.18 0.04 0.00 15.15**
0.05 1.86 0.18 1.60
0.03 0.45 0.65 0.90
3.24* 21.01**
1.24 6.18
2.17 4.67
0.39 -
0.64 0.94
81.50** 157.36**
1.11 1.75
0.89 4.69
0.02 -
0.98 0.97
Diameter batang :
Ho H1 H2 H3 Bobot kering tajuk: Ho H1 H2 H3 Kadar P tersedia: Ho H1 H2 H3 Kadar P total : Ho H1 H2 H3 Kadar Aldd: Ho H1 H2 H3 Tanpa interaksi: Jumlah daun : Fosfat Alam Asam Humat Bobot kering akar : Fosfat Alam Asam Humat
182 Nisbah tajuk-akar : Fosfat Alam Asam Humat Kadar P tajuk: Fosfat Alam Asam Humat Serapan P tajuk : Fosfat Alam Asam Humat pH media : Fosfat Alam Asam Humat
21.85** 14.52**
8.79* 13.88*
0.50 0.00
0.99 -
0.76 0.94
208.00** 20.80**
21.98** 1.38
6.23* 0.12
29.71 -
0.78 0.94
155.47** 128.09**
20.79** 2.91
0.03 0.80
5.67* -
0.85 0.96
13.71** 23.81**
65.37** 0.76
1.52 0.95
12.24* -
0.81 0.92
Keterangan : FA: fosfat alam Ayamaru
183 Lampiran 10d F-hitung analisis Ortogonal polinomial tanggap bibit kakao terhadap dosis fosfat alam pada berbagai kombinasi mikoriza Mycofer (M), bakteri pelarut fosfat isolat FT.3.2 (B), dan 3.10-3 mL asam humat (H) Peubah Interaksi : Bobot kering tajuk: MH MB BH MBH Serapan P tajuk: MH MB BH MBH Kolonisasi Akar : MH MB BH MBH Aktivitas fosfatase Akar : MH MB BH MBH Kadar P tersedia : MH MB BH MBH Kadar P total : MH MB BH MBH pH media : MH MB BH MBH
Linier
Kuadratik
Kubik
R2
25.24** 10.06* 8.61* 23.87**
1.32 2.89 2.43 0.40
0.02 0.93 1.15 2.62
0.77 0.63 0.60 0.77
35.74** 123.64** 38.74** 94.14**
1.60 14.07 0.25 8.16
0.01 0.03 0.33 2.21
0.90 0.87 0.91 0.96
1.61 0.69 2.75 ns 0.06
7.28* 10.99** 0.87 1.87 ns
0.13 0.12 0.05 0.08
0.69 0.99 0.48 0.33
0.64 2.69ns 3.18 0.65
12.25* 0.40 11.59* 10.99*
0.01 0.00 0.26 0.02
0.76 0.44 0.79 0.74
1434.40** 1944.08** 2901.84** 1130.95**
1.77 2.95 5.51 5.20
0.05 0.01 9.01 2.47
0.98 0.98 0.97 0.97
74.44** 1124.25** 3199.86** 4329.03**
3.00 69.87 160.53** 2.01
0.07 0.06 5.34 0.10
0.95 0.94 0.95 0.99
1.56ns 0.02 0.08 14.96
0.08 0.09 0.52 0.69
0.11 0.23 0.25 0.77
0.69 1.22ns 0.74ns 43.46**
184 Kadar Aldd media : MH MB BH MBH Tanpa interaksi : Tinggi bibit : Diameter batang : Jumlah daun : Bobot kering akar : Nisbah tajuk-akar : Kadar P tajuk :
0.36 3.05 3.36* 2.23
13.02* 308.37** 7.58** 10.99*
0.04 84.16** 0.00 0.06
0.77 0.76 0.50 0.88
35.52** 17.27** 0.77 45.32** 0.01 334.41**
11.75** 8.54** 7.14* 0.55 1.03 ns 15.01**
2.30 0.30 0.04 0.17 0.51 0.02
0.72 0.66 0.99 0.98 0.59 0.95
185 Lampiran 11 Nilai F-hitung Uji Ortogonal kontras perlakuan kombinasi fungi mikoriza arbuskula, bakteri pelarut fosfat, dan asam humat Perbandingan Kontras
Peubah +M vs -M
+B vs -B
+H vs -H
MBH vs lainnya
Tinggi bibit
257.30**
5.86*
21.43**
80.82**
Diameter batang
125.37**
10.91**
4.75*
32.66**
32.58**
1.52ns
0.17ns
16.50**
ns
16.30**
Jumlah daun Bobot kering tajuk
60.19**
9.00**
0.52
Bobot kering akar
67.91**
20.66**
0.03ns
12.49**
Nisbah tajuk-akar
6.23*
2.50ns
0.01ns
0.70ns
298.25**
34.22**
4.06ns
88.48**
1229.77**
152.03**
108.33**
152.03**
Kadar P tajuk
196.00**
16.00**
28.44**
235.11**
Serapan P tajuk
212.31**
17.75**
0.40ns
94.65**
0.49ns
13.83**
7.36*
0.09ns
246.98**
0.01ns
4.90*
325.34**
35.26**
4.71*
9.02**
45.84**
122.78**
13.16**
2.80ns
169.72**
Aktivitas fosfatase akar Kolonisasi akar
pH media Kadar P tersedia Kadar P total Kadar Aldd
Keterangan : ns : tidak berbeda nyata; * : berbeda nyata; **: berbeda sangat nyata; M: Mycofer; B: isolat FT.3.2; H: 3.10-3 mL asam humat/bibit
186 Lampiran 12a Deskripsi Glomus aggreratum Schenck & Smith (1982)
Klamidospora terbentuk dalam kelompok yang terpisah atau dalam sporocarp tanpa peridium; sporokarp awal terbentuk di luar akar 60 hari setelah di pot kultur; vesikel dan spora terbentuk di dalam akar setelah 100 hari, selanjutnya membentuk sporocarp dalam kortek dan epidermis akar. Setelah lima bulan di pot kultur variasi ukuran sporokarp 660-1800 x 3301400 μm. Sporokarp hyaline hingga kuning terang dengan sedikit hijau terang tembus cahaya, menjadi kuning bila tua. Klamidospora berbentuk globose, subglobose, obovate, cylindris hingga tidak beraturan; apabila globose rata-rata diameter spora (50.4)-72.5(-91.2) μm, apabila sublobose (67.2-) 87(-110.4) x (57.6-) 72(-79.2) μm. Spora hyaline hingga kuning; dinding spora kuning hingga kuning-coklat, bervariasi dari 1.2 2.4 μm meliputi dinding bagian luar yang lebih tipis, lebih terang daripada dinding bagian dalam. Pemisahan dinding dengan sedikit tekanan dan dapat dilakukan dalam pembuatan preparat. Hifa dan substanding hifa tebalnya 4.8-12 μm. Spora muda terdapat hifa tetapi terpisah ketika spora menjadi tua. Diameter hifa umumnya 4.87.2 μm.
187 Lampiran 12b Deskripsi Acaulospora scrobiculata Trape (Trape 1977).
Di tanah merupakan spora tunggal tidak membentuk sporokarp, spora globose hingga sedikit elips 100-240 x 100-220 μm. Spora muda berwarna subhyaline menjadi coklat terang ketika spora tua. Permukaan spora terdapat bintik-bintik 1-1.5 x 1-3 μm, dipisahkan oleh celah 2-4 μm. Terdapat empat lapisan dinding spora (1) rigid, bintikbintik, subhyaline hingga kuning kehijauan terang, tebal dinding terluar 3-6 μm, (2) rapat tetapi terpisah, berbintik, dinding tipis hyaline 0.2 – 0.5 μm, (3) rapat tetapi terpisah, berbintik, dinding tipis hyaline 0.5 – 1.0 μm, (4) kadang-kadang terpisah, dinding bagian dalam hyaline 0.2 – 1.0 μm. Spora bereaksi positif dengan Melzer’s, tiga lapisan dinding spora terluar kuning, bagian dalam dengan cepat menjadi merah hati/gelap.
188 Lampiran 12c Deskripsi Acaulospora tuberculata Janos & Trappe (1982)
Dalam tanah azygospora terbentuk tunggal, sessile, berwarna kuning terang, dinding tipis, hifa menyebar dengan diameter 10 – 24 μm berwarna hyaline hingga kuning, dinding tipis, diameter globose terminus ± 150 μm yang akan rusak dan kosong ketika spora matang. Spora globose hingga subglobose 255-327 x 255-340 μm, light yeloowish brown hingga honey brown pada spora muda, dan sering reddish black pada spora matang. Permukaan spora terdapat tubercles tingginya 0.7- 1.5 μm dan diameter bagian dasar 1.5 μm, lonjong bagian ujungnya 0.7 – 1.1 μm Dinding spora terdiri atas 3 (tiga) lapisan, dinding luar kuning bersih tebal 7 – 12 μm, dinding tengah yellowish brown tebal ± 1.5 μm, dinding dalam hyaline tebal 1.3 – 3 μm. Spora bereaksi positif dengan Melzer’s membentuk warna orange-brown.