TANAMAN DUKU SEBAGAI PENYANGGA AIR
OLEH SYUKUR, SP, MP WIDYAISWARA MUDA
BALAI PELATIHAN PERTANIAN JAMBI 2015
I.
PENDAHULUAN
Hidrology meliputi kejadian, distribusi, gerakan, dan sifat air bumi. Ini melibatkan interaksi air dengan lingkungan fisik dan biologis. Sistem hidrologi adalah suatu sistem komponen yang saling terkait, termasuk proses presipitasi, evaporasi, transpirasi, infiltrasi, aliran air tanah, aliran sungai, dll, di samping struktur-struktur dan perangkat yang digunakan untuk mengelola sistem. Sistem hidrologi tunduk pada berbagai jenis pola cuaca dan kompleksitas spasial, dan dinamis dan acak di alam. Siklus air, juga dikenal sebagai siklus hidrologi atau siklus H2O, menggambarkan pergerakan air yang kontinu pada, di atas dan di bawah permukaan bumi. Air dapat mengubah neraca antara cair, uap, dan es di berbagai tempat dalam siklus air. Meskipun neraca air di bumi tetap cukup konstan dari waktu ke waktu, molekul air individu dapat datang dan pergi, masuk dan keluar dari atmosfer. Bergerak air dari satu tempat penampungan ke yang lain, seperti dari sungai ke laut, atau dari laut ke atmosfer, oleh proses-proses fisik evaporasi, kondensasi, presipitasi, infiltrasi, limpasan, dan aliran bawah permukaan. Dengan demikian, air melewati fase yang berbeda: cair, padat, dan gas. Siklus hidrologi melibatkan pertukaran energi panas, yang menyebabkan perubahan suhu. Misalnya, dalam proses penguapan, air mengambil energi dari sekitarnya dan mendinginkan lingkungan. Sebaliknya, dalam proses kondensasi, air melepaskan energi ke sekitarnya, pemanasan lingkungan. Angka-angka siklus air secara signifikan dalam pemeliharaan kehidupan dan ekosistem di Bumi. Bahkan ketika air di reservoir masing-masing memainkan peran penting, siklus air membawa ditambahkan signifikan terhadap keberadaan air di planet kita. Dengan memindahkan air dari satu tempat penampungan ke yang lain, siklus air memurnikan air, 2
mengisi ulang tanah dengan air tawar, dan mengangkut mineral ke berbagai bagian dunia. Hal ini juga terlibat dalam membentuk kembali fitur geologi Bumi, melalui proses seperti erosi dan sedimentasi. Selain itu, sebagai siklus air juga melibatkan pertukaran panas, itu diberikannya pengaruh terhadap iklim juga. Siklus hydrologi di bumi ini sangat dipengaruhi oleh pegetasi/hutan yang ada di pemukaan bumi. Duka nestapa seakan terus melekat dalam sejarah pengelolaan hutan di Indonesia ketika dalam setiap episode peralihan pemerintahan selalu terjadi kerusakan yang luar biasa. Ada berbagai persoalan menghinggapi dunia perhutanan, mulai dari persoalan teknis, konsep pengelolaan, tata pemerintahan, korupsi, penebangan liar, persoalan sosial, persoalan lingkungan, dan berbagai persoalan rumit lainnya. Contohnya adalah Wonosobo, sebuah laboratorium yang bisa jadi memiliki banyak kemiripan dengan muramnya pengelolaan hutan di Indonesia. Letak geografis Wonosobo—yang berada di tengah Pulau Jawa dengan ketinggian antara 270—2250 meter dari permukaan laut, dengan curah hujan 2.000—3.000 mm/tahun, dan dengan luas 98.500 hektar—menunjukkan bahwa kabupaten ini berada di dataran tinggi dan pegunungan yang menjadi daerah tangkapan air serta hulun bagi daerah aliran sungai yang penting. Hutan Wonosobo sungguh penting bagi kelangsungan kehidupan ekosistem di Jawa. Dengan beban sebagai Kabupaten Konservasi, sungguh ironis ketika di lapangan, hutan negara telah menjadi tanah kosong, dan pada saat yang sama, lebih dari 150 desa hutan berpenduduk miskin. Barangkali, ironi ini masih bisa diselamatkan ketika kita melihat fakta lain bahwa terdapat lebih dari 20.000 hektare tanah milik pribadi yang tumbuh dan dirawat sebagai hutan rakyat. Hutan di tanah pribadi ini mampu memberi nilai ekonomis, ekologis, dan sosial bagi warga desanya.
3
Dari uraian di atas bahwa sangat diperlukan keseimbangan system hidrologi di bumi ini, disisi yang lain bahwa penyangga system hidrology semakin menghawatirkan untuk itu perlu pemikiran untuk lebih melestarikan tanaman hutan sehingga dapat menghambat rusaknya ekositem sebagai penyangga hidrology.
4
II.
TANAMAN DUKU
2.1. Deskripsi Merupakan salah satu duku unggul dari Sumatera Selatan dan Jambi. Bentuk buahnya bulat atau bulat lonjong. Kulit buahnya tipis, halus, berwarna kuning agak kecokelatan, dan sedikit mengandung getah. Daging buahnya bening dan rasanya manis. Persentase daging buahnya antara 64-77%. Keistimewaannya, duku ini jarang sekali berbiji. Dari sekitar 10-15 buah, biasanya hanya dijumpai sebuah duku yang berbiji. Produktivitas tanaman yang mulai berbuah rata-rata 12 kg/pohon/tahun, sedangkan tanaman yang sudah dewasa dapat menghasilkan 800-900 kg/pohon/tahun.
Gambar tanaman duku
2.2. Manfaat Buah duku pada prakteknya selalu dimakan dalam keadaan segar setelah dikupas dengan tangan, tetapi buahnya yang tanpa biji dapat dibotolkan dalam sirop. Kayunya yang berwarna coklat muda keras dan tahan lama, serta digunakan untuk tiang rumah, gagang perabotan, dan sebagainya. Kulit buahnya yang dikeringkan di Filipina dibakar untuk rnengusir nyamuk. Kulit buah itu juga dimanfaatkan sebagai obat anti diare, berkat kandungan oleoresinnya. Bagian 5
tanaman lainnya yang digunakan sebagai obat adalah bijinya yang ditumbuk digunakan oleh penduduk setempat di Malaysia untuk menyembuhkan demam, dan kulit kayunya yang rasanya sepet digunakan untuk mengobati disentri dan malaria; tepung kulit kayu juga digunakan sebagai tapal untuk menyembuhkan bekas gigitan kalajengking.
2.3.
Syarat Tumbuh Duku dapat tumbuh dan berbuah baik di dataran rendah hingga ketinggian 600 m dpl.
Duku dapat tumbuh dan be’rbuah baik pada tipe tanah latosol, podsolik kuning, dan aluvial. Curah hujan 1.500-2.500 mm per tahun. Tanah yang sesuai mempunyai pH antara 6-7. Tanaman lebih senang ditanam di tempat yang terlindung. Oleh karena itu, tanaman ini biasanya ditanam di pekarangan atau tegalan, bersama dengan tanaman tahunan lainnya seperti durian, jengkol, atau petai. Duku toleran terhadap kadar garam tinggi, asalkan tanahnya mengandung banyak bahan organik. Duku juga toleran terhadap tanah masam atau lahan bergambut. Tanaman ini toleran terhadap iklim kering, asalkan kandar air tanahnya kurang dari 150 cm. Tanah yang terlalu sarang, seperti pada tanah pasir, kurang baik untuk tanaman duku. Namun, tanah berpasir yang mengandung banyak bahan organik dapat digunakan untuk tanaman duku, asalkan diberi pengairan yang cukup.
2.4.
Pedoman Budidaya Tanaman diperbanyak dengan biji. Biji ini dibersihkan dari daging yang melekat pada
biji (arilus), kemudian disemaikan langsung karena biji duku tidak dapat disimpan lama. Biji duku bersifat poliembrioni sebesar l0-50%. Perbanyakan secara vegetatif dilakukan dengan sambung pucuk. Batang bawah berasal dari semai biji duku berumur setahun lebih. Perbanyakan dengan penyusuan berhasil baik, tetapi dapat dipisahkan dari pohon induknya setelah 4-5 bulan
6
kemudian. Sementara, cara okulasi jarang dilakukan karena kesulitan mengambil mata tempelnya. Cara cangkok juga jarang dilakukan karena pertumbuhan bibitnya lemah meskipun dapat berakar. Bibit dari biji mempunyai masa remaja (juvenil) panjang, antara 8-17 tahun. Umur mulai berbuah untuk bibit vegetatif belum jelas, tetapi di Thailand bibit sambungan mulai berbuah pada umur 5-6 tahun. Cabang entres diambil dari varietas unggul yang daunnya masih muda, tetapi sudah mulai menua, biasanya menjelang musim hujan. Untuk memperoleh hasil sambungan tinggi sebaiknya daun cabang entres dirompes dua minggu sebelum cabang dipotong. Di Filipina, sebagai batang bawah yang kompatibel digunakan semai Dysoxylum altisimum Merr. dan Dysoxlum floribundum Merr. Duku ditanam pada jarak tanam 6-8 m dalam lubang berukuran 6o cm x 6o cm x 50 cm. Setiap lubang diberi pupuk kandang yang telah jadi sebanyak 20 kg/lubang. Bibit ditanam pada umur 1-2 tahun atau setelah mencapai tinggi 75 cm lebih. Pupuk buatan berupa campuran 100 g urea, 50 g P2O5, dan 50 g KCl per tanaman diberikan empat kali dengan selang tiga bulan sekali. Setelah ditanam, bibit harus diberi naungan dengan atap daun kelapa atau jerami kering. Kondisi lahan di sekitar bibit harus dij aga agar tetap lembap.
2.5.
Pemeliharaan
Pohon muda hendaknya dinaungi dengan baik dan disirami selama beberapa tahun pertama. Pucuk utama langsat yang bertipe tegak harus dipenggal, dan cabang-cabang lateral yang tumbuh diikat supaya tumbuh mendatar, agar perawakannya lebih memencar. Pada pohon yang lebih tua, hanya pucuk pucuk air dan cabang-cabang yang kena penyakit yang perlu dipangkas. Pemberian mulsa yang banyak dianjurkan. Persyaratan kebutuhan haranya barangkali rendah, berkat pertumbuhannya yang lambat dan hasilnya yang rendah, tetapi pemupukan yang
7
ringan di awal musim hujan dan setelah panen mungkin bermanfaat, terutama jika ingin diproduksi hasil yang besar. Pengairan dapat digunakan untuk mempercepat pembungaan satu atau dua bulan, asalkan calon bunga telah muncul selama periode kering sebelumnya. Perbungaan mulai tumbuh 7-10 hari setelah penyiraman. Suatu masa kering yang pendek, yang terjadi ketika buah masih menempel di pohonnya akan menimbulkan bahaya turunnya panen secara serius, disebabkan oleh pecahnya buah jika kekurangan air itu tiba-tiba dipulihkan.
8
III. PEMBAHASAN 3.1. Air dalam system pertanaman. Air merupakan salah satu komponen penting yang dibutuhkan oleh tanaman baik pohon maupun semusim untuk tumbuh, berkembang dan berproduksi. Air yang dapat diserap tanaman adalah air yang berada dalam pori-pori tanah di lapisan perakaran. Akar tanaman dari semua komponen agroforestri menyerap air dari tandon air yang sama dan pada kapasitas yang terbatas. Bila jumlah air dalam tandon berkurang terjadilah perebutan antara akar-akar berbagai jenis tanaman yang ada untuk mengambil air. Dalam hal ini terjadi kompetisi untuk mendapatkan air guna mempertahankan pertumbuhan masing-masing jenis tanaman. Lapisan perakaran sebagai tandon (reservoir) yang menyimpan air dapat diisi ulang melalui peristiwa masuknya air dari tempat lain, misalnya hujan, irigasi, aliran lateral atau aliran ke atas (kapiler). Masuknya air hujan dan irigasi ke lapisan perakaran melalui peristiwa yang disebut infiltrasi. Aliran air masuk dan ke luar lapisan perakaran ini dinamakan siklus air. Besaran tiap komponen siklus dapat diukur dan digabungkan satu dengan yang lain sehingga menghasilkan neraca air atau kesetimbangan air. Beberapa sifat tanah yang merupakan komponen-komponen neraca air, misalnya kapasitas menyimpan air (jumlah ruang pori), infiltrasi, kemantapan pori sangat dipengaruhi oleh macam penggunaan lahan atau jenis dan susunan tanaman yang tumbuh di tanah tersebut. Jadi jenis-jenis pohon atau tanaman semusim yang ditanam pada suatu bidang tanah dapat mempengaruhi siklus dan kesetimbangan air pada sistem tersebut. Sebaliknya siklus dan kesetimbangan air dalam sistem ini pada gilirannya juga mempengaruhi kompetisi antara komponen tanaman yang ada.
9
Kombinasi antara pohon dengan tanaman semusim atau rerumputan yang terjadi dalam praktek agroforestri di lapangan adalah sangat beragam. Dalam sistem agroforestri yang demikian kompleks sangat sulit memahami dengan jelas apa yang terjadi dengan nasib air hujan yang jatuh pada sistem ini. Pemahaman neraca air pada sistem agroforestri sederhana diharapkan dapat membantu menjelaskan nasib air hujan yang jatuh pada system agroforestri itu digunakan oleh pohon dan tanaman semusim atau dialirkan lewat permukaan atau di dalam tanah. Beberapa pertanyaan berikut ini mungkin dapat dijawab melalui pemahaman tentang neraca air dari sebuah sistem agroforestri : · Apakah pohon lebih banyak memanfaatkan air dibanding tanaman semusim? · Bagaimana pohon berbagi air dengan tanaman semusim di dalam profil tanah dan dari waktu ke waktu. Apakah mereka saling menguntungkan? · Bagaimana perbedaan musim mempengaruhi sistem ini? · Bagaimana pembatas ketersediaan air mempengaruhi produksi tanaman? · Alih guna lahan dari hutan menjadi sistem agroforestri mempengaruhi aliran air sungai di daerah hilir. Bagaimana mekanismenya? Pertanyaan-pertanyaan tersebut dapat dijawab bila berbagai komponen masukan dan keluaran dalam kesetimbangan air diukur secara akurat. Berbagai metode untuk pengukuran komponen masukan dan keluaran tersebut pada saat ini sudah tersedia (Ong et al., 1996, Wallace, 1996, Suprayogo, 2000). Pengukuran komponen masukan dan keluaran dalam kesetimbangan air bukan merupakan pekerjaan yang mudah, kendati hanya pada praktek agroforetsri yang sederhana. Pengukuran ini memerlukan biaya yang relatif mahal, tenaga yang banyak dan ketrampilan yang tinggi serta waktu yang lama. Hasil pengukuran masukan-keluaran dalam kesetimbangan air diperlukan untuk berbagai keperluan misalnya pengujian atau validasi model
10
kesetimbangan air, pengujian asumsi dan hipotesis tentang manfaat campuran pepohonan dan tanaman semusim yang tumbuh diberbagai tempat. Model WaNuLCAS yang dikembangkan oleh Van Noordwijk dan Lusiana (1999) merupakan salah satu pendekatan yang menyediakan kebutuhan untuk memahami komponen masukan dan keluaran dalam kesetimbangan air pada sistem agroforestri sederhana.
Gambar Agroferstri duku Kesetimbangan air dalam suatu sistem tanah-tanaman dapat digambarkan melalui sejumlah proses aliran air yang kejadiannya berlangsung dalam satuan waktu yang berbeda-beda. Beberapa proses aliran air (Gambar 4) dan kisaran waktu kejadiannya yang dinilai penting adalah :
11
1. Hujan atau irigasi (mungkin dengan tambahan aliran permukaan yang masuk ke petakatau run-on) dan pembagiannya menjadi infiltrasi dan limpasan permukaan (dan/atau genangan di permukaan) dalam skala waktu detik sampai menit. 2. Infiltrasi kedalam tanah dan drainasi (pematusan) dari dalam tanah melalui lapisanlapisan dalam tanah dan/atau lewat jalan pintas seperti retakan yang dinamakan by-pass flow dalam skala waktu menit sampai jam. 3. Drainasi lanjutan dan aliran bertahap untuk menuju kepada kesetimbangan hidrostatik dalam skala waktu jam sampai hari. 4. Pengaliran larutan tanah antara lapisan-lapisan tanah melalui aliran massa (mass flow) 5. Penguapan atau evaporasi dari permukaan tanah dalam skala waktu jam sampai hari. 6. Penyerapan air oleh tanaman dalam skala waktu jam hingga hari, tetapi sebagian besar terjadi pada siang hari ketika stomata terbuka. 7. Kesetimbangan hidrostatik melalui sistem perakaran dalam skala waktu jam hingga hari, tetapi hampir semua terjadi pada malam hari pada saat transpirasi nyaris tidak terjadi. 8. Pengendali hormonal terhadap transpirasi (memberi tanda terjadinya kekurangan air) dalam skala waktu jam hingga minggu. 9. Perubahan volume ruangan pori makro (dan hal lain yang berkaitan) akibat penutupan dan pembukaan rekahan (retakan) tanah yang mengembang dan mengerut serta pembentukan dan penghancuran pori makro oleh hewan makro dan akar. Peristiwa ini terjadi dalam skala waktu hari hingga minggu. Pengaruh utama kejadian adalah terhadap aliran air melalui jalan pintas (by pass flow) dan penghambatan proses pencucian unsur hara.
12
Gambar 4. Bagian-bagian dari kesetimbangan air dalam model WaNuLCAS (1) Infiltrasi, (2,3,4) Redistribusi air dan larutan dalam profil tanah, pengisian kembali air tanah (2) dan drainasi atau pencucian kelebihan air dari dasar profil tanah, (5) Evaporasi tanah, (6) Penyerapan air oleh akar pohon dan tanaman semusim, (7) Kesetimbangan hydraulik melalui akar pohon, (8). Tanda (signal) kekeringan yang mempengaruhi pembagian air ke batang/akar, (9) Aliran larutan lewat jalan pintas (bypass flow)
Model WaNuLCAS ini menggabungkan proses-proses yang disebutkan dalam butir 1 sampai dengan butir 7, di mana semuanya dipadukan dalam skala waktu harian pada petakan kecil (patch scale).
3.2. System imbal jasa dalam pengelolaan hutan. Penilaian kondisi hidrologis Penilaian hidrologis perlu dilakukan secara independent dan transparan. Jika tidak, pengembangan mekanisme imbal jasa lingkungan hanya akan didasarkan kepada mitos tentang keterkaitan antara penggunaan lahan dan fungsi hidrologi sehingga solusi yang diperoleh menjadi kurang tepat (Kaimowitz, 2001).RUPES2 menyarankan tujuh tahapan dalam upaya pengembangan imbal jasa lingkungan (Jeanes, et al., 2006): (1) Scoping (Ruang Lingkup), (2) Awareness (Kesadaran), (3) Identifying Partners (Mengidentifikasi rekanan), (4) Negotiations 13
(Negosiasi), (5) Action Plans (Rencana kerja), (6) Environmental Services Rewards Support for Actions (Pelaksanaan Imbal Jasa Lingkungan) dan (7) Monitoring (Pengawasan). Tiga tahapan pertama dalam penilaian hidrologis perlu dilakukan pada tahap awal pengembangan imbal jasa lingkungan. Van Noordwijk et al. (2006, 2007) mengidentifikasi kriteria dan indikator dalam mekanisme imbal jasa lingkungan dan kompensasi, yaitu: realistik, sukarela, kondisional, dan berpihak pada kemiskinan. Kriteria dan indikator tersebut harus dipenuhi agar mekanisme imbal jasa lingkungan dapat sukses dilaksanakan. Laporan ini difokuskan pada tahap I yaitu penilaian terhadap hubungan yang ‘realistik’ antara penggunaan lahan dengan jasa lingkungan yang memiliki nilai memadai untuk dijadikan sebagai basis dalam mekanisme imbal jasa lingkungan. Pada tahap I juga diperlukan adanya kajian derajat ‘kesadaran’ (awareness) dan ‘pemahaman bersama’ (shared understanding) antara berbagai stakeholder, sehingga terbentuk interaksi nyata dengan kegiatan-kegiatan pada tahapan kedua, yang berlangsung secara paralel, yaitu mempersiapkan fase negosiasi. Imbal jasa lingkungan: persepsi pembuat kebijakan dan publik Semua stakeholder sepakat bahwa masalah utama dalam upaya pengembangan imbal jasa lingkungan adalah ‘persoalan hidrologi yang sangat penting’ dan ‘siapa yang akan menyediakan jasa tersebut’. Mereka beranggapan bahwa pembayaran tersebut harus langsung dilakukan kepada penyedia jasa serta mekanisme pembayarannya harus transparan. Tabel 1 dan Tabel 2 menyajikan persepsi para pembuat kebijakan mengenai imbal jasa lingkungan yang dapat dikembangkan. Persepsi ini merupakan persepsi umum para pembuat kebijakan di areal tersebut yang berkaitan dengan jasa lingkungan. Hal ini menunjukkan bahwa beberapa instansi pemerintahan telah memahami mengenai jasa lingkungan dan potensi pengembangan imbal jasa lingkungan di area ini.
14
Tabel 1. Potensi PES dari pemahaman hidrologi sebagaimana dideskripsikan oleh para pembuat kebijakan
Penyedia
Pemanfaat
Masyarakat
Pemerintah
Kegiatan Pengelolaan lahan yang baik dengan teknik konservasi Pelarangan penebangan
Jasa lingkungan
Mekanisme
Perlindungan hutan Menncegah erosi
Pengembangan kapasitas dan pengetahuan, pengelolaan lahan yang baik dan teknik konservasi
Beberapa informan menyatakan bahwa kompensasi dapat berupa pembangunan infrastruktur seperti mendirikan sekolah, mesjid, penyediaan air bersih dan pemberian sarana produksi berupa benih, pupuk dan lain-laian. Dapat juga berupa pengembangan kapasitas masyarakat lokal dan petani khususnya, atas pengelolaan lahan yang lebih baik termasuk juga penerapan teknik konservasi lahan. Para stakeholder juga memahami pentingnya menjaga hutan suren sebagai daerah konservasi. Melibatkan masyarakat dalam upaya ini sangatlah penting, hal ini dapat dilakukan dengan penguatan hukum adat. Kerjasama yang baik antar masyarakat dalam berbagai suku juga sangat penting dilakukan untuk menghindari terjadinya konflik Tabel 2. Potensi PES dari pemahaman hidrologi sebagaimana dideskripsikan oleh para pembuat kebijakan melalui adat istiadat. Penyedia
Pemanfaat
Kegiatan
Jasa lingkungan
Mekanisme
Masyarakat
Masysrakat
Perlindungan hutan Perlindungan keanekaragam an hayati dan makro fauna
Perlindungan hutan Menjaga keseimbangan siklus hydrologi
Membuat aturan melalui adat setempat dengan istilah hutan larangan
15
Program pengembangan mekanisme imbal jasa lingkungan di daerah upland yang di Asia. Tujuan dari program ini adalah untuk meningkatkan taraf hidup dan kesejahteraan masyarakat serta mengurangi kemiskinan di wilayah upland dengan mendukung kegiatan konservasi di tingkat lokal dan dan global.
3.3. System agroforestri berbasis pohon duku Kebun-kebun agroforest asli Indonesia memperlihatkan ciri-ciri yang pantas diberi perhatian dalam kerangka pembangunan pertanian dan kehutanan, khususnya untuk daerahdaerah aliran sungai. Pada daerah-daerah tersebut hanya tanaman tahunan saja yang dapat berproduksi secara berkelanjutan, sedangkan untuk tanaman pangan dan tanaman musiman lain hanya dimungkinkan melalui pemupukan besar-besaran. Agroforest merupakan salah satu model pertanian berkelanjutan yang tepat-guna, sesuai dengan keadaan petani. Pengembangan pertanian komersial khususnya tanaman semusim menuntut terjadinya perubahan sistem produksi secara total menjadi sistem monokultur dengan 16
masukan energi, modal, dan tenaga kerja dari luar yang relatif besar yang tidak sesuai untuk kondisi petani. Selain itu, percobaan-percobaan yang dilakukan untuk meningkatkan produksi tanaman komersial selalu dilaksanakan dalam kondisi standar yang berbeda dari keadaan yang lazim dihadapi petani. Tidak mengherankan bila banyak hasil percobaan mengalami kegagalan pada tingkat petani. Agroforest mempunyai fungsi ekonomi penting bagi masyarakat setempat. Peran utama agroforest bukanlah produksi bahan pangan, melainkan sebagai sumber penghasil pemasukan uang dan modal. Misalnya: kebun damar, kebun karet dan kebun kayu manis menjadi andalan pemasukan modal di Sumatra. Bahkan, agroforest seringkali menjadi satusatunya sumber uang tunai bagi keluarga petani. Agroforest mampu menyumbang 50 % hingga 80 % pemasukan dari pertanian di pedesaan melalui produksi langsungnya maupun tidak langsung yang berhubungan dengan pengumpulan, pemrosesan dan pemasaran hasilnya. Di lain pihak sistem-sistem produksi asli setempat (salah satunya agroforest) selalu dianggap sebagai sistem yang hanya ditujukan untuk pemenuhan kebutuhan sendiri saja (subsisten). Oleh karena itu dukungan terhadap pertanian komersial petani kecil biasanya lebih diarahkan kepada upaya penataan kembali sistem produksi secara keseluruhan, dari pada pendekatan terpadu untuk mengembangkan sistem-sistem yang sudah ada.
17
IV. KESIMPULAN
1. Air merupakan salah satu komponen penting yang dibutuhkan oleh tanaman baik pohon maupun semusim untuk tumbuh, berkembang dan berproduksi. Air yang dapat diserap tanaman adalah air yang berada dalam pori-pori tanah di lapisan perakaran.
2. Tanaman duku sangat mempunyai arti penting yang berfungsi sebagai dalam system katahanan tanah yang mana daun, ranting dahan dan batang menahan pukulan air yang jatuh melalui air hujan. Sedangkan system perakarannya menahan tanah dari kikisan air hujan.
3. System imbal jasa pengelaloan hutan perlu di kembangkan dalam upaya meningkatkan kesejahteraan masysrakat disekitar hutan dengan bentuk hutan larangan yang diawasi langsung oleh masyarakat dibawah pengawasan system kebiasan atau adat istiadat.
4. System agroforestri sebenarnya sudah berlangsung secara alami. Contoh di sumatera penanaman karet dibawah pohon pohon yang belum dapat dimanfaatkan secara optimal. Diperlukan penyadaran petani pentingnya penanaman pohon, misal tanaman karet, kopi dan lainnya dengan basis pohon suren yang mempuyai nilai sebagai penyangga system hydrologi.
18
V. DAFTAR PUSTAKA Kementerian-Negara-Lingkungan-Hidup. Media komunikasi lingkungan. Kementrian Negara Lingkungan Hidup Republik Indonesia Serasi edisi 2009. Agus. F, M. V. Noordwijk dan S. Rahayu (Editor) Dampak Hidrologis Hutan, Agroforestri, dan Pertanian Lahan Kering sebagai Dasar Pemberian Imbalan kepada Penghasil Jasa Lingkungan di Indonesia. Prosiding Lokakarya di Padang/Singkarak, Sumatera Barat, Indonesia 25-28 Pebruari 2004. Lusiana.B , R. Widodo, E. Mulyoutami, D.A. Nugroho, M. V. Noordwijk. Kajian Kondisi Hidrologis DAS Kapuas Hulu, Kabupaten Kapuas Hulu, Kalimantan Barat . 2008. Hairiah. K, Sunaryo dan Widianto. Bahan Ajar 1. SISTEM AGROFORESTRI DI INDONESIA.
19