http://majalah.tempointeraktif.com/id/arsip/2009/09/14/MEM/mbm.20090914.MEM131359.id.html
Tan Joe Hok, Perintis di Pentas Bulu Tangkis Terasing di Negeri Sendiri TAN Joe Hok menorehkan sejarah setengah abad lalu. Ia pemain bulu tangkis Indonesia pertama yang menjuarai All England dan meraih medali emas Asian Games. Bersama enam pebulu tangkis lain—Ferry Sonneville, Eddy Yusuf, Olich Solihin, Lie Po Djian, Tan King Gwan, dan Njoo Kim Bie—Tan juga memboyong Piala Thomas untuk pertama kali ke Tanah Air. Kini 72 tahun usianya. Berpuluh tahun menggantungkan raket, Tan berjuang di lapangan yang lain: merobohkan tembok diskriminasi yang membuatnya merasa dipinggirkan sekaligus dilupakan. Di tengah prestasi yang kerontang kini, bulu tangkis Indonesia perlu menengok kembali cerita Tan. Kepada Tempo, ia menuturkan kisah hidupnya yang berwarna. SAYA dilahirkan di zaman yang salah. Tak seperti di zaman kini yang serba tersedia, saya mulai menekuni bulu tangkis pada kondisi yang serba terbatas. Saya tak punya raket, lapangan bulu tangkis bersemen tak ada, untuk berlatih di klub pun harus menempuh jarak yang jauh menggunakan sepeda.. Dan ketika pertama kali ditunjuk sebagai salah satu anggota tim Piala Thomas, saya berangkat ke lapangan udara Kemayoran menggunakan becak. Ini cerita seorang Tan Joe Hok. Mungkin orang hanya tahu saya orang pertama yang menjuarai All England, pada 1959, dan meraih medali emas Asian Games tiga tahun kemudian. Saya dan enam pemain lain juga merebut Piala Thomas untuk pertama kali, pada 1958. Nama saya pun diulas panjang-lebar di majalah Sport Illustrated—majalah olahraga bergengsi di Amerika—ketika saya berusia 22 tahun. Saya disebut sebagai pemain tak terkalahkan. Namun, di balik sukses itu, saya sebenarnya hanya rumput liar yang mesti hidup di segala keadaan. Saya lahir di zaman malaise yang waktu itu baru berakhir. Tepatnya pada 11 Agustus 1937. Saya anak kedua dari enam bersaudara. Ayah saya, Tan Tay Ping (almarhum), bekerja sebagai pedagang tekstil yang harus sering meninggalkan keluarga untuk mencari nafkah. Kondisi ekonomi keluarga kami kekurangan. Untuk membeli beras, kami harus antre. Sejak berumur lima tahun, saya sudah terbiasa antre beras sendirian. Ketika umur saya menginjak enam tahun, pasukan Jepang belum lama masuk Indonesia. Saya masih ingat bagaimana pesawat-pesawat Jepang yang berseliweran di atas kampung kami di Jatiroke, Jatinangor, Sumedang, ditembaki tentara Belanda. Kedatangan Jepang itu membuat hidup kami makin susah. Berkali-kali kami harus mengungsi. 1
Kami pernah tinggal di Tasikmalaya sebelum menetap di Kota Bandung. Di kota itu awalnya kami tinggal di Gang Kote. Di sanalah awalnya saya mengenal bulu tangkis. Saya sering melihat ibu saya, Khoe Hong Nio, bermain bulu tangkis dengan para tetangga di sebuah lapangan di Gang Sutur, tak jauh dari gang rumah saya. Ketika peristiwa Bandung Lautan Api meletus pada 24 Maret 1946, kami harus mengungsi lagi karena perkampungan dibakar. Sampai akhirnya, kami mendiami sebuah rumah di Jalan Ksatrian 15, Cicendo, Bandung. Sebuah rumah amat sederhana berpekarangan luas. Di pekarangan itulah ayah saya membuat lapangan bulu tangkis sederhana, lapangan berdasar tanah dengan garis terbuat dari bambu. Setiap hari lapangan itu tak pernah sepi. Sejak pagi sampai malam, keluarga dan para tetangga bergantian bermain badminton di sana.. Saya, yang waktu itu berusia 13 tahun, cuma jadi anak bawang yang ditugasi membawa kok dan raket. Keseringan menonton membuat minat saya bermain bulu tangkis makin besar. Sayangnya, saya tak punya raket. Sebagai pengganti raket, saya gunakan kelom (sandal dari kayu) milik ibu saya. Dengan kelom dan kok bekas yang bulunya tinggal tiga lembar, saya sering mengajak pembantu kami, Mang Syarif, bermain badminton bersama. Ternyata banyak yang memuji kemampuan saya bermain bulu tangkis.. Mereka mengatakan gerakan kaki dan tangan saya cepat sekali. Orang yang sudah bermain puluhan tahun pun gampang saya kalahkan. Saya tak mengerti teknik. Tapi, soal gerakan kaki, saya belajar dari pertandingan tinju yang sering saya saksikan di Bandung. Saya sangat terkesan dengan gerak kaki petinju itu. Lalu saya meniru dengan latihan skipping. Sebagai rumput liar, saya yakin, saya pasti bisa bermain bulu tangkis. Suatu hari Lie Tjoe Kong, pemain bulu tangkis Bandung, memuji bakat saya. Dia mengajak saya masuk Blue White, klub bulu tangkis terkuat di Bandung. Blue White inilah cikal-bakal Klub Mutiara yang di masa depan menghasilkan pemain hebat, seperti Christian Hadinata, Imelda Wigoena, dan Ivanna Lie. Saya pun tak menyia-nyiakan kesempatan itu dengan berlatih saban hari. Saya berlatih sejak pukul lima pagi. Dari Jalan Ksatrian, kami pindah ke Jalan Gedung Sembilan, Pasir Kaliki. Di sana tidak ada lapangan bulu tangkis. Saya harus berlatih di lapangan bulu tangkis PB Pusaka di Jalan Kiara Condong, sekitar lima kilometer dari rumah saya. Meskipun bangunannya terbuat dari bilik, lapangannya cukup bagus karena sudah dipoles semen. Salah satu teman latihan saya di PB Pusaka adalah Tutang Djamaluddin. Setiap akan berlatih bulu tangkis, saya dan Tutang naik sepeda ontel dari rumah masing-masing sambil memegangi raket tak bersarung dan tiga kok yang dibungkus kertas koran. Dari sinilah karier saya sebagai pemain bulu tangkis terus melesat. Berkali-kali saya ikut kejuaraan dan selalu menang. Saat 15 tahun, saya menang di Kejuaraan Bandung. 2
Selanjutnya, saya mulai mengikuti kejuaraan nasional. Dua tahun kemudian, pada 1954, saya jadi juara Indonesia, mengalahkan Njoo Kim Bie, pebulu tangkis dari Surabaya yang saat itu sedang tenar dan terkenal dengan smash-nya yang mematikan. Dua tahun berikutnya, giliran pemain terkenal Eddy Jusuf yang saya kalahkan. Saya juga diundang mengikuti pertandingan di India Timur, Bombay, New Delhi, Calcutta, Ghorapur, dan Jabalpur pada 1957. Saya selalu menang. Dan yang paling tak terlupakan adalah ketika saya, Olich Solihin, Lie Po Djian, Tan King Gwan, dan Njoo Kim Bie terpilih sebagai tim pertama Indonesia untuk merebut Piala Thomas 1958. Kebahagiaan saya makin berlipat ketika akhirnya kami berhasil memboyong piala bergengsi itu. Kemenangan pertama tim Indonesia di Thomas Cup pun disambut meriah dengan tabuhan beduk di masjid, dentingan lonceng di gereja, serta disiarkan di radio. Kami juga diarak dari Jakarta ke Bandung, lewat Puncak. Jalan saya sebagai pemain bulu tangkis kian mulus. *l l l* Ketika menjalani tur ke beberapa kota di India, saya bertemu dengan Ismail bin Mardjan, salah seorang juara ganda All England asal Malaya yang tinggal di Singapura. Ismail tidak hanya menjadi kawan seperjalanan saya, tapi sudah saya anggap sebagai kakak. Kami berkeliling India lebih dari setengah bulan. Ismail memberi saya nasihat: ”Joe Hok, kamu bisa jadi pemain nomor satu di dunia. Berlatihlah lebih giat. Tapi, begitu sudah juara, sebaiknya berhenti. Jangan hidup seperti saya.” Saya tak pernah lupa kata-kata itu. Ketika saya singgah di kediaman Ismail di Singapura, saya menemukan jawaban mengapa Ismail tak mau nasib saya seperti dia. Ismail ternyata hidup dalam kemiskinan. Rumahnya terletak di perkampungan kumuh di dekat kali yang hitam dan berbau. Maklum, Singapura kala itu belum seperti sekarang. Untuk menyambung hidup, dia bekerja sebagai anggota satpam. Melihat kondisi Ismail, saya langsung bertekad tak mau jadi pemain bulu tangkis selamanya. Saya ingin hidup lebih layak. Setelah berturut-turut meraih kemenangan di kejuaraan All England, Kanada, dan Amerika Serikat, saya memutuskan menggantung raket. Saya tak kembali ke Tanah Air, tapi langsung menuju Texas, Amerika. Saya mendapat beasiswa untuk kuliah di Baylor University, jurusan Premedical Major in Chemistry and Biology. Untuk biaya hidup sehari-hari, saya bekerja serabutan. Apa saja saya kerjakan, termasuk menjadi petugas pembersih kampus yang dibayar satu jam 50 sen dolar. Saya bekerja delapan jam agar bisa menyambung hidup. Saat itu untuk makan sekitar satu dolar. Saya mau menjalani pekerjaan itu demi selesainya studi saya. Saya tak ingin nasib saya seperti Ismail. Tapi rupanya panggilan untuk terus bermain bulu tangkis tak bisa diredam. Saat menjalankan studi di Baylor (1959-1963), saya masih sempat pulang untuk mempertahankan Piala Thomas di
3
Jakarta pada 1961 dan di Tokyo pada 1964.. Bahkan, pada 1962, saya juga pulang untuk Asian Games dan menjadi atlet bulu tangkis pertama yang meraih medali emas di arena Asian Games. Saya akhirnya memilih tinggal di Tanah Air dan mengurungkan niat kembali ke Amerika meneruskan studi S-2 saat Presiden Soekarno mencanangkan ”Ganyang Malaysia” dan ”Ganyang Antek Imperialis”. Saya malah sempat main di perbatasan Kalimantan sampai Mempawah, menghibur sukarelawan kita di medan perang. Saya lebih cinta Tanah Air. Saya memilih mengabdi untuk negara saya, Indonesia. Peristiwa Gerakan 30 September mengubah segalanya. Sebagai warga keturunan, saya dan teman-teman mulai mendapat perlakuan berbeda. Kami seperti dianggap bukan bagian dari bangsa ini. Saya bahkan harus mengubah nama saya menjadi Hendra Kartanegara. Saya yang dulu dijunjung tinggi setinggi langit di bawah bendera Merah-Putih harus antre berjam-jam membaur dengan warga Glodok dan daerah lain demi mendapat surat bukti bahwa saya orang Indonesia. Namun saya tak mau larut dalam dendam. Pada 1969, bersama istri dan dua anak, saya meninggalkan Indonesia untuk menjadi pelatih bulu tangkis di Meksiko dan Hong Kong. Saya kembali ke Jakarta pada 1972 dan mendirikan usaha di bidang pest control, jasa pengendalian hama. Toh, panggilan untuk bergelut di bulu tangkis tak pernah hilang. Bersama Tahir Djide, saya menjadi pelatih pelatnas tim Piala Thomas 1984. Di final perebutan Piala Thomas di Kuala Lumpur, Malaysia, tim Indonesia, yang terdiri atas Liem Swie King, Hastomo Arbi, Icuk Sugiarto, Christian Hadinata, Hadibowo, dan Kartono, akhirnya sukses mengalahkan Han Jian dan kawan-kawan dari Cina. Sekarang prestasi Indonesia benar-benar memprihatinkan. Saya tidak menyalahkan atlet. Banyak hal yang harus dibenahi. Dulu kami bermain hanya demi kepentingan nasional, tak memikirkan masalah materi. Yang penting bisa membawa nama harum negara. Tapi zaman sudah berubah. Kesejahteraan atlet harus diperhatikan. Kini kita kalah oleh Cina. Mereka memiliki sistem pembinaan yang baku. Kesejahteraan atlet benar-benar diperhatikan sehingga orang tua berbondong- bondong ingin anaknya jadi atlet. Atlet yang sudah tak aktif juga disekolahkan oleh pemerintah. Tidak seperti di Indonesia: setelah tak lagi berprestasi, tak diperhatikan. Banyak yang menjalani hari tua susah dan sakit-sakitan. Saya ingin atlet bulu tangkis memiliki sponsor pribadi. Misalnya dia jadi bintang iklan, maka kontrak iklan itu seluruhnzya buat dia, bukan dibagi-bagi dengan alasan untuk pembinaan. Dulu hal ini dilaksanakan betul. Liem Swie King mengalaminya. Ini memicu para atlet menjadi yang terbaik. Atlet mendapat penghargaan sesuai dengan prestasi yang diraihnya. 4
-----------------------------------------------------------------------TAN JOE HOK (HENDRA KARTANEGARA) * Lahir: * Bandung, 11 Agustus 1937 * Istri: * Goei Kiok Nio (almarhum) * Anak: * Mariana Kartanegara * Didik Kartanegara Pendidikan: # SD, SMP, SMA di Bandung # Premedical Major in Chemistry & Biologi, Baylor University, Texas, AS (1959-1963) Prestasi : # Juara Kejurnas Surabaya 1956 # Juara Piala Thomas 1958, 1961, dan 1964 # # # #
Juara All England 1959 Juara Kanada Terbuka 1959 Juara Amerika Serikat Terbuka 1959 Juara Asian Games 1962
Karier Pelatih: # # # #
Pelatih Meksiko 1969-1970 Pelatih Hong Kong 1971 Pelatih Tim Thomas Indonesia di Kuala Lumpur 1984 Pelatih PB Jarum Kudus
Penghargaan: # Pelatih Olahraga Terbaik Siwo/PWI Jaya 1984 # Penghargaan dari Museum Rekor Indonesia atas prestasi menjadi juara di tiga event selama dua pekan, yakni All England, Kanada Terbuka, dan Amerika Serikat Terbuka pada Oktober 2007 Nunuy Nurhayati http://majalah.tempointeraktif.com/id/arsip/2009/09/14/MEM/mbm.20090914.MEM131361.id.html
14 September 2009
Tan Joe Hok, Terasing di Negeri Sendiri 5
Peristiwa G30S mengubah hidup Tan Joe Hok. Ia harus berganti nama, mengurus kewarganegaraan, bahkan diusir. SUATU siang pada 1967. Kolonel Mulyono dari CPM Guntur, Jakarta Pusat, mengumpulkan semua anggota tim Piala Thomas di flat atlet Senayan. Di gedung yang kini sudah berganti rupa menjadi pertokoan Plaza Senayan itu, para atlet yang menggunakan nama berbau Tionghoa diperintahkan mengganti nama. Kolonel Mulyono sudah menyiapkan nama pengganti masing-masing. Kami semua tak dapat menolak. Hari itu juga, anggota tim Piala Thomas menyandang nama baru. Ang Tjing Siang menjadi Mulyadi, Tan King Gwan menjadi Dharmawan Saputra, Lie Po Djian menjadi Pujianto, Lie Tjuan Sien menjadi Indra Gunawan, Wong Peks Sen menjadi Darmadi, Tjong Kie Nyan menjadi Mintarya, dan Tjia Kian Sien menjadi Indratno. Hanya saya yang tak diberi nama baru karena saya sudah mendapat nama Hendra dari Panglima Kodam Siliwangi H.R. Dharsono. Kartanegara saya karang sendiri. Pokoknya, nama "Tan" tidak hilang. Jadilah nama saya Hendra Kartanegara. Pergantian nama itu bagi saya amat menyakitkan. Apalagi yang diminta berganti nama hanya kami yang keturunan Tionghoa. Ferry Sonneville, yang namanya berbau Belanda, terbebas dari aturan ini. Sejak meletusnya G30S pada 30 September 1965, kami mulai merasakan perbedaan perlakuan. Banyak peraturan pemerintah Orde Baru yang tak masuk akal. Pemerintah Orde Baru misalnya mengeluarkan Keputusan Presidium Nomor 127/U/Kep/12/1966 tentang peraturan ganti nama bagi warga negara Indonesia yang memakai nama Tionghoa. Keputusan ganti nama itu dikuatkan Soeharto dengan Instruksi Presiden Nomor 14 Tahun 1967 yang melarang semua hal berbau Tionghoa. Setelah mendukung tim Thomas pada 1967, saya gantung raket. Saya, yang saat itu sudah menikah dengan Goei Kiok Nio-bekas pemain Uber-dan dikaruniai dua anak, bingung mau melakukan apa. Kembali ke Amerika untuk melanjutkan kuliah yang terbengkalai rasanya sudah tak mungkin. Saya bertahan dengan sisa-sisa uang yang ada. Kebetulan, pada 1964, atas kebaikan Jenderal Ahmad Yani, saya ditempatkan di wisma milik Departemen Perdagangan di Jalan Budi Kemuliaan I, Jakarta Pusat. Tapi, setelah pecah peristiwa 30 September, saya diusir dari tempat itu karena dianggap bukan pemain bulu tangkis lagi. Pagi-pagi sekali saya langsung pergi ke Jalan Cendana, tempat kediaman Soeharto, yang saat itu sudah jadi pejabat presiden. Melalui ajudannya, Suroso, saya ceritakan peristiwa pengusiran itu. Sekitar pukul sepuluh pagi, si tentara pengusir datang lagi memohon maaf. Rupanya, dia ditegur Soeharto. Saya pun tak jadi diusir. Wisma itu akhirnya dijual juga oleh pemerintah pada 1969, dan saya diberi pesangon. Embrio diskriminasi terhadap warga keturunan Tionghoa saat itu makin berkembang. Berbekal uang 6
pesangon itu, kami sekeluarga berangkat ke Meksiko. Saya menjadi pelatih di sana setahun. Setelah itu, saya hijrah ke Amerika Serikat. Saya beruntung dikelilingi orang yang baik. Saya malah sempat mendapat tawaran beasiswa untuk melanjutkan sekolah sekaligus melatih bulu tangkis. Mereka bilang keahlian saya sangat dibutuhkan. Tapi meninggalkan Tanah Air terlalu lama membuat istri saya kerap menangis. Istri dan anak-anak lalu pulang. Saya sendiri ke Hong Kong menjadi pelatih. Meski berat, demi keluarga, saya berusaha bertahan hidup di negara yang bahasanya pun amat asing bagi saya itu. Pada 1972, saya kembali ke Indonesia dan membangun rumah di daerah Pancoran, Jakarta Selatan, yang saya tempati sampai sekarang. Ternyata diskriminasi terhadap keturunan Tionghoa tak juga surut. Anak-anak saya ditolak masuk sekolah yang letaknya dekat kediaman kami hanya karena mereka Cina. Padahal semua anak tetangga kami bisa bersekolah di sana. Saya sampai mengadu ke Yap Thiam Hien dan Ciputra. Berbekal surat rekomendasi dari Ciputra, anak-anak saya akhirnya dapat bersekolah di Sekolah Katolik Regina Pacis, Petamburan, Jakarta Barat. Pengalaman lain yang tak kalah menyakitkan adalah saat mengurus kartu tanda penduduk Jakarta. Saya harus menyertakan dokumen K1 sebagai bukti bahwa saya bukan orang asing, walaupun saya sudah memiliki surat bukti kewarganegaraan (SBKRI). Saya tak paham, kewarganegaraan apa lagi yang mesti saya lengkapi. Bukankah saya sudah punya surat bukti kewarganegaraan Indonesia ketika dulu bersekolah di Amerika? Saya ingat pernah ditawari kewarganegaraan Republik Rakyat Tiongkok, tapi saya tolak. Tiba-tiba saya, istri, dan anak-anak harus berjuang lagi dari nol mengurus kewarganegaraan Indonesia. Ini ironis. Dulu, di zaman Soekarno, tak ada diskriminasi. Warga negara Indonesia, Yahudi, keturunan Cina, keturunan India, semua sama. Betul-betul luar biasa dahsyat waktu itu. Kami, baik yang keturunan maupun tidak, diarak-arak. Itu membuat saya bangga. Di zaman Orde Baru, segalanya berbeda. Namun saya bertekad untuk tak dendam. Ini politik. Akan saya penuhi semua permintaan. Terbukti, setahun kemudian, saya berhasil mendapat dokumen K1. Proses memakan waktu setahun itu sudah terhitung beruntung. Susi Susanti baru mendapat status kewarganegaraan itu setelah 10 tahun. Terakhir, yang paling membekas dalam ingatan saya adalah ketika kerusuhan melanda Jakarta pada Mei 1998. Waktu itu, istri saya baru saja meninggal, Februari 1998. Saya pontang-panting mencari tiket untuk anak-anak saya. Saya ingin anak-anak segera meninggalkan Jakarta yang makin panas, terutama anak perempuan saya. Apalagi sebuah toko swalayan di dekat rumah sudah habis dibakar penjarah. Sampai pukul dua pagi, tiket tak juga saya dapat. Di ruang tamu, kami bertiga berkumpul, pasrah menunggu nasib. Untunglah tak terjadi apa-apa. Saya berharap kejadian pahit seperti itu tak akan terulang.
7
Saya bersyukur bisa hidup sampai sekarang melewati semua manis dan pahit kehidupan. Sekarang saya menghabiskan masa tua dengan berbagai kegiatan, menonton berita di televisi kabel, belajar bahasa asing, dan memotret. Saya aktif di Komunitas Bulu Tangkis Indonesia, kumpulan mantan atlet dan pengurus. Kami membantu teman-teman atlet yang masa tuanya kurang beruntung, sakit-sakitan dan kehabisan uang. Makanya saya selalu berdoa: Tuhan, jika waktunya tiba, janganlah saya dipersulit, bawalah saya dengan damai. Nunuy Nurhayati
http://majalah.tempointeraktif.com/id/arsip/2009/09/14/MEM/mbm.20090914.MEM131360.id.html
Sang Pembunuh Raksasa Di lapangan bulu tangkis, Tan Joe Hok adalah sang penakluk. Dia datang dan langsung menang. PIALA Thomas ibarat puncak karier bagi seorang pemain bulu tangkis. Segala usaha dan latihan keras yang kami rintis bertahun-tahun terbalaskan begitu meraih piala lambang supremasi dunia beregu putra itu. Saya, Olich Solihin, Njoo Kim Bie, Lie Po Djian, dan Tan King Gwan merupakan pemain peringkat atas nasional saat itu. Dalam babak penyisihan Piala Thomas 1957 di Selandia Baru, saya dan Njoo Kim menjadi penentu kemenangan. Kami sama sekali tak mengira bisa lolos ke putaran final di Singapura. Sebab, lawan-lawan kami sudah berpengalaman. Menjelang putaran final, Ferry Sonneville dan Eddy Yusuf datang menambah kekuatan kami. Indonesia sebagai negara baru di bulu tangkis dunia sama sekali tak dipandang. Tapi itu tak membuat semangat kami berkurang. Umur saya waktu itu masih 20 tahun. Njoo Kim adalah pemain senior dan menjadi tumpuan kami. Pertandingan mulai terasa berat saat menghadapi tim tangguh Denmark. Mereka diperkuat jago-jago dunia, seperti Erland Kops, Hammergard Hansen, dan Finn Kobbero. Tapi kami akhirnya menang 6- 3. Dan saya berhasil mengalahkan Erland Kops. Dia itu juara All England tujuh kali. Lantas, di final, kami bertemu dengan tuan rumah sekaligus juara bertahan Malaya. Waktu itu pertandingan berlangsung di Singapore Badminton Hall. Dukungan penonton untuk tim Malaya sangat luar biasa. Kami bertujuh hanya berusaha tampil sebagus mungkin. Tanpa diduga, kami berhasil mengalahkan mereka 6-3. Padahal tim ini memiliki pemain kaliber dunia, seperti Eddy Choong dan Wong Peng Soon. Kemenangan itu merupakan prestasi spektakuler. Kami sama sekali tak menyangka. Itulah titik awal kebangkitan bulu tangkis kita. Saya ingat betul kami hanya punya waktu enam bulan untuk 8
mempersiapkan diri secara tim terhitung mulai dibentuknya Persatuan Bulu Tangkis Seluruh Indonesia di Bandung pada 5 Mei 1951. Kami bertujuh kemudian dikenal sebagai ”The Seven Magnificent”. Setelah Piala Thomas bisa kami bawa pulang ke Jakarta, sambutan yang kami terima sangat meriah. Kami diarak keliling Kota Jakarta. Itu pengalaman yang tak terlupakan. Padahal, saat kami akan berangkat ke Singapura, seperti tak ada yang peduli. Bagi kami saat itu, ideologi nasionalisme adalah modal untuk berjuang. Itu sudah cukup. Keberhasilan saya menundukkan jago-jago dunia ternyata membuat media asing menjuluki saya ”The Giants Killer” atau Pembunuh Raksasa. Ini menambah motivasi saya untuk terus mengukir prestasi. Status saya sebagai pemain tunggal yang tak terkalahkan membuat saya diundang mengikuti turnamen paling bergengsi: All England, pada 1959. Kejuaraan ini memiliki arti penting dalam karier bulu tangkis saya. Inilah untuk pertama kalinya pemain Indonesia juara tunggal putra di turnamen perorangan tertua di dunia. Sebenarnya siapa pun yang menjadi juara saat itu pastilah dari Indonesia. Sebab, lawan saya di final adalah Ferry Sonneville. Setelah menjuarai All England, berturut-turut selama dua pekan saya ikut kejuaraan Kanada Terbuka dan Amerika Serikat Terbuka. Di dua pertandingan itu, lagi-lagi saya menang. Gambar saya menjadi sampul majalah olahraga Canadian Sport. Nama saya dan Indonesia juga diulas dua halaman di majalah Sport Illustrated. ”Wonderful World of Sports. Tan Joe Hok Takes Detroit,” tulis majalah terbitan 13 April 1959 itu. Sukses mempertahankan Piala Thomas pada 1961, saya mendapat tanda jasa Satya Lencana Kebudayaan dari Presiden Soekarno. Bung Karno berkata kepada saya, ”Saya bangga, banyak doktor, insinyur, tapi manusia seperti kamu yang mewakili bangsa dan negaramu hanya bisa dihitung dengan jari.” Sambil menunjuk-nunjuk, beliau melanjutkan, ”I will give you a scholarship.” Ketika saya kembali ke Amerika untuk kuliah, saya kaget menerima surat dari Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Surat itu berisi cek senilai US$ 1.000. Ini jumlah yang sangat besar saat itu, setara dengan setengah harga mobil Impala terbaru. Saya bingung uang itu mau diapakan. Saya merasa tak berhak menerima karena saya sudah kuliah di Baylor University, Texas, lewat program beasiswa. Saya juga bisa mencari uang dengan bekerja di kampus. Akhirnya uang itu saya kembalikan. Bagi saya, menjadi putra Indonesia yang dibanggakan lebih berharga daripada sejumlah uang.
9