TAK ADA PILIHAN RINTANGAN ATAS KESEHATAN REPRODUKTIF DI INDONESIA RINGKASAN EKSEKUTIF
Amnesty International Nopember 2010
Indeks: ASA 21/024/2010
Amnesty International Publications Pertama diterbitkan pada tahun 2010 oleh Amnesty International Publications Sekretariat Internasional Peter Benenson House 1 Easton Street London WC1X 0DW United Kingdom www.amnesty.org Hak Cipta Amnesty International Publications 2008 Indeks: ASA 21/024/2010 Bahasa asli: Inggris Dicetak oleh Amnesty International, Sekretariat Internasional, Inggris Semua hak dilindungi undang-undang. Tidak ada bagian dari penerbitan ini yang bisa diproduksi kembali, disimpan dalam sistem yang bisa diambil kembali, dalam bentuk atau cara apa pun, elektronik, mekanis, fotokopi, perekaman atau lainnya tanpa seizin penerbit. Foto Sampul: Amnesty International
Amnesty International adalah gerakan global 2,8 juta orang di lebih dari 150 negara dan wilayah, yang melakukan kampanye untuk hak asasi manusia (HAM). Visi kami adalah setiap orang bisa menikmati semua hak-hak yang diabadikan dalam Deklarasi Hak Asasi Manusia Universal dan instrumen HAM internasional lainnya. Kami melakukan riset, kampanye, advokasi, dan memobilisasi guna mengakhiri pelanggaran HAM. Amnesty International merupakan organisasi independen dari pemerintah, ideologi politik, kepentingan ekonomi, atau agama apa pun. Pekerjaan kami sebagian besar didanai dari kontribusi dari para anggota kami dan sumbangan-sumbangan
DAFTAR ISI RINGKASAN EKSEKUTIF ..............................................................................................5 METODOLOGI ...........................................................................................................5 PENSTEREOTIPAN GENDER DAN KONSEKUENSINYA.................................................5 RINTANGAN ATAS KESEHATAN REPRODUKTIF..........................................................6 Perempuan dan gadis yang tidak menikah.................................................................7 Perempuan dan gadis yang menikah.........................................................................7 Halangan lain atas hak-hak seksual dan reproduktif ...................................................8 ABORSI TIDAK AMAN DAN ANCAMAN KRIMINALISASI ...............................................8 PEKERJA RUMAH TANGGA SEBAGAI KELOMPOK RENTAN .......................................10 REKOMENDASI.......................................................................................................11
Amnesty International Nopember 2010
Indeks: ASA 21/024/2010
4 Tak ada Pilihan: Rintangan atas Kesehatan Reproduktif Ringkasan Eksekutif
Amnesty International Nopember 2010
Indeks: ASA 21/024/2010
Tak ada Pilihan: Rintangan atas Kesehatan Reproduktif Ringkasan Eksekutif
5
RINGKASAN EKSEKUTIF Banyak perempuan dan gadis dari komunitas miskin dan marjinal di Indonesia, menghadapi tantangan besar dalam mengakses informasi serta layanan kesehatan seksual dan reproduktif. Sejumlah hambatan yang mereka hadapi merupakan akibat langsung dari perundang-undangan dan kebijakan yang diberlakukan oleh negara yang mendiskriminasi kaum perempuan dan para gadis. Penghalang lainnya muncul dari sikap dan praktik yang mendiskriminasi di kalangan pekerja kesehatan serta para anggota komunitas lainnya, yang juga gagal ditangani negara. Dalam laporan Tak ada Pilihan: Rintangan atas Kesehatan Reproduktif (Indeks: ASA 21/013/2010), Amnesty International menyoroti berbagai hambatan yang dihadapi kaum perempuan dan para gadis dalam mewujudkan hak-hak seksual dan reproduktif mereka. Rintangan yang digambarkan dalam laporan ini merupakan pelanggaran kewajiban Hak Asasi Manusia (HAM) internasional Indonesia untuk melindungi perempuan dan gadis dari diskriminasi, serta juga merupakan pelanggaran atas hak akan kesehatan, khususnya kesehatan reproduktif. Kegagalan untuk menjamin bahwa perempuan dan gadis dapat mewujudkan hak-hak seksual dan reproduktif mereka dengan terbebas dari diskriminasi, pemaksaan, dan kriminalisasi melemahkan kemampuan Indonesia untuk mencapai Sasaran Pembangunan Milenium Perserikatan Bangsa-Bangsa (Millennium Development Goals, MDG), dan terutama MDG3 mengenai kesetaraan gender dan MDG5 mengenai perbaikan kesehatan ibu.
METODOLOGI Temuan laporan ini terutama berdasarkan pada kunjungan ke Indonesia bulan Maret 2010 ketika delegasi Amnesty International mengunjungi Jawa (Jawa Barat, Jakarta, Yogyakarta dan Jawa Timur); Sumatra (Aceh dan Sumatra Utara); Bali; dan Lombok di Nusa Tenggara Barat (Indonesia bagian timur). Delegasi mewawancarai lebih dari seratus perempuan dan gadis Indonesia mantan dan mereka yang masih bekerja sebagai pekerja rumah tangga (PRT) mengenai isu-isu yang berkaitan dengan seksualitas dan reproduksi. Delegasi juga mewawancarai 33 perempuan dan gadis lainnya mengenai masalah hak-hak seksual dan reproduktif di Lombok dan Aceh. Selama riset tersebut, Amnesty International bertemu para pekerja kesehatan, dukun melahirkan tradisional, para pejabat pemerintah daerah, aktivis hak-hak perempuan, organisasi-organisasi non-pemerintah (ornop), pengacara, pejabat kepolisian, pejabat Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), perwakilan badan-badan donor, dan akademisi mengenai hal-hal yang berkaitan dengan kekerasan berbasis gender, seksualitas, dan reproduksi.
PENSTEREOTIPAN GENDER DAN KONSEKUENSINYA Penstereotipan gender dalam bidang hubungan keluarga lazim terjadi di Indonesia dan
Amnesty International Nopember 2010
Indeks: ASA 21/024/2010
6 Tak ada Pilihan: Rintangan atas Kesehatan Reproduktif Ringkasan Eksekutif
perempuan serta para gadis berada dalam tekanan untuk menerima sikap yang mencerminkan pandangan sempit serta terbatas tentang seksualitas perempuan. Situasi ini membuat perempuan dan gadis terbuka terhadap diskriminasi dan pelanggaran atas HAM mereka. Hal ini juga merusak kemampuan perempuan dan gadis untuk membuat keputusan secara bebas tentang hidup mereka. Karena kegagalan mengatasi stereotip gender ini, negara tidak menghormati kewajiban HAM internasionalnya, terutama ketetapan-ketetapan dalam Konvensi Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Terhadap Perempuan (CEDAW). Meskipun kelaziman ini mulai menurun, perkawinan di usia dini masih secara relatif tersebar luas di Indonesia, khususnya di daerah pedesaan dan daerah kumuh. Amnesty International bertemu banyak perempuan dan gadis pada bulan Maret 2010 yang menikah ketika mereka masih anak-anak, terkadang pada usia semuda 13 tahun. Meskipun usia mereka masih begitu muda, banyak yang memiliki anak pertama segera setelah menikah, walaupun kehamilan pada usia dini bisa banyak meningkatkan risiko kematian dalam kehamilan dan persalinan bagi para gadis. Undang-undang Perkawinan mengatur bahwa kaum lelaki yang menjadi kepala rumah tangga sementara perempuan bertanggung jawab mengurusi rumah tangga. UU Perkawinan menyatakan usia sah untuk menikah adalah 16 tahun untuk perempuan, dan 19 untuk lelaki. UU Perkawinan juga mengizinkan poligami. Salah satu kondisi yang mengizinkan lelaki untuk mencari istri lain adalah jika istrinya tidak dapat memiliki anak. Kondisi ini mendukung pandangan stereotip bahwa fungsi primer perempuan adalah mengandung anak, dan menstigmatisasi perempuan dan gadis yang menikah tapi tidak bisa memiliki anak, atau yang tidak punya anak dan ingin menunda kehamilan. Selain itu ada pula peningkatan dalam pengesahan undang-undang yang membatasi hak-hak seksual dan privasi, terutama sejak proses desentralisasi dari tahun 1999-2000, termasuk undang-undang yang mempidana seks konsensual di antara dua orang dewasa atau menghukum lelaki dan perempuan dewasa yang tidak menikah dan berduaan tanpa ditemani sanak-saudara (misalnya Khalwat). Perempuan dan gadis sering secara tidak proporsional terpengaruh undang-undang tersebut, akibat adanya pandangan mengenai seksualitas yang distereotipkan secara gender. Karena mereka bisa menjadi hamil, kehamilan di luar pernikahan bisa dianggap sebagai bukti tindakan pidana. Meskipun perlindungan hukum yang tersedia bagi para korban dan saksi kekerasan dalam rumah tangga sudah meningkat banyak, perempuan dan gadis yang menjadi korban kekerasan seksual masih terus menghadapi sejumlah besar hambatan secara hukum dan praktik ketika mereka melaporkan pelanggaran ke polisi. Terlebih dari itu, meskipun Mutilasi Kelamin Perempuan (MKP) merupakan hal yang lazim di Indonesia dan merupakan sebuah bentuk kekerasan terhadap perempuan, saat ini tidak ada undang-undang di Indonesia yang khusus melarang praktik MKP ini.
RINTANGAN ATAS KESEHATAN REPRODUKTIF Keseluruhan konteks penstereotipan gender dalam hubungannya dengan seksualitas, perkawinan dan mengandung anak didukung oleh perundang-undangan, kebijakan serta praktik yang diskriminatif yang menjadi rintangan atas kesehatan reproduktif perempuan dan gadis di Indonesia.
Amnesty International Nopember 2010
Indeks: ASA 21/024/2010
Tak ada Pilihan: Rintangan atas Kesehatan Reproduktif Ringkasan Eksekutif
7
PEREMPUAN DAN GADIS YANG TIDAK MENIKAH Baik UU Perkembangan Kependudukan dan Pembangunan Keluarga (No 52/2009) dan UU Kesehatan (No 36/2009) menyatakan bahwa akses terhadap layanan kesehatan seksual dan reproduktif hanya diberikan kepada pasangan yang menikah dengan sah, yang artinya mengesampingkan orang-orang yang tidak menikah dari layanan ini. Bidan dan dokter pemerintah yang diwawancarai pada bulan Maret 2010 membenarkan bahwa biasanya mereka tidak memberikan layanan kesehatan reproduktif, termasuk kontrasepsi dan keluarga berencana, kepada perempuan dan gadis yang tidak menikah. Para petugas kesehatan kabupaten dan pejabat pemerintah lainnya yang diwawancarai Amnesty International pada bulan Maret 2010 mengatakan bahwa kontrasepsi dan layanan keluarga berencana hanya dimaksudkan untuk orang yang menikah sesuai hukum dan kebijakan. Dengan menolak memberikan akses kepada perempuan dan gadis untuk mendapatkan metode-metode keluarga berencana seperti kontrasepsi, negara meneruskan diskriminasi dengan dua alasan. Pertama, yaitu diskriminasi dengan alasan status perkawinan. Kedua, penolakan layanan kontrasepsi untuk lelaki dan perempuan yang tidak menikah memiliki dampak yang jauh lebih besar terhadap perempuan dan gadis karena mereka bisa menjadi hamil, maka ada juga- dalam praktiknya –diskriminasi dengan alasan gender. Situasi ini menyebabkan perempuan dan gadis yang tidak menikah menghadapi risiko kehamilan tak diinginkan, penyakit yang ditularkan secara seksual, dan pelanggaran HAM. Sebagai contoh, remaja yang tidak menikah yang menjadi hamil sering kali dipaksa untuk berhenti sekolah. Daripada menghadapi penolakan masyarakat luas, sejumlah perempuan dan gadis mungkin memutuskan - atau dipaksa - untuk menikah ketika mereka menjadi hamil, atau jika tidak, mencari aborsi yang tak aman yang memberikan mereka risiko masalah kesehatan serius dan mortalitas ibu. Untuk perempuan dan gadis yang ingin memelihara bayi mereka, tetap tak jelas bagaimana mereka bisa mengakses layanan kesehatan reproduktif selama kehamilan dan pada saat kelahiran, tanpa menikah terlebih dahulu. Riset Amnesty International mengisyaratkan bahwa ketakutan akan stigmatisasi dapat membuat perempuan dan gadis hamil yang belum menikah, khususnya jika mereka dari komunitas miskin dan termarginalisasi, enggan meminta perawatan sebelum dan sesudah melahirkan. Perempuan dan gadis yang tak menikah yang menjadi korban perkosaan mungkin tidak menerima akses layanan kesehatan reproduktif, baik apakah itu karena mereka tidak tahu bahwa mereka berhak atas layanan itu atau karena takutnya akan stigmatisasi.
PEREMPUAN DAN GADIS YANG MENIKAH Menurut Survei Demografis dan Kesehatan 2007, tingkat kebutuhan yang tak terpenuhi untuk layanan dan informasi keluarga berencana serta kontrasepsi di kalangan perempuan dan gadis yang menikah masih tetap tinggi, khususnya di antara mereka yang hidup dalam kemiskinan. Ada pembatasan yang signifikan atas akses perempuan dan gadis yang menikah terhadap layanan serta informasi keluarga berencana. Ini sebagian disebabkan oleh adanya persyaratan untuk mendapatkan persetujuan dari suami. Dalam UU Kependudukan dan Pembangunan Keluarga, pilihan atas kontrasepsi bukanlah tergantung pada satu individu
Amnesty International Nopember 2010
Indeks: ASA 21/024/2010
8 Tak ada Pilihan: Rintangan atas Kesehatan Reproduktif Ringkasan Eksekutif
saja. Wawancara dengan para pekerja kesehatan mengkonfirmasi bahwa persetujuan dari suami diperlukan untuk mengakses sejumlah metode kontrasepsi. Melampau interpretasi UU Perkembangan Kependudukan dan Pembangunan Keluarga yang menuntut adanya persetujuan suami, riset Amnesty International juga menemukan bahwa akses ke kontrasepsi sering kali dibatasi untuk perempuan dan gadis jika mereka belum punya anak. Wawancara Amnesty International dengan pekerja kesehatan mengisyaratkan mereka takut jika mereka dimintai pertanggungjawaban jika seorang perempuan tidak memiliki anak setelah diberi sebuah metode kontrasepsi. Seorang bidan yang diwawancarai di Aceh menjelaskan meskipun dia tidak menganggap alat kontrasepsi bisa menyebabkan ketidaksuburan, dia memilih tidak memberikan akses ke metode kontrasepsi modern bagi perempuan yang tidak punya anak. Dia menjelaskan dia tidak ingin melawan keyakinan budaya masyarakat dan dimintai pertanggunggugatan atas hal ini.
HALANGAN LAIN ATAS HAK-HAK SEKSUAL DAN REPRODUKTIF Perundang-undangan Indonesia, termasuk Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP), mengandung sejumlah ketetapan yang membatasi akses terhadap hak-hak seksual dan reproduktif, atau memiliki dampak menakutkan dalam pemberian informasi serta layanan kesehatan seksual dan reproduktif. KUHP Indonesia mengandung ketetapan-ketetapan hukum yang mempidanakan pemberian informasi kepada orang sehubungan dengan pencegahan dan penghentian kehamilan (lihat Pasal 534, 535 dan juga 283). Hukuman berkisar antara dua sampai sembilan bulan penjara. Selain itu, pasal 299 KUHP menjatuhkan hukuman sampai empat tahun penjara kepada siapa pun yang mengobati seorang perempuan, yang menyebabkan gugurnya kandungannya atau yang membuatnya mendapat pengharapan bahwa pengobatan itu membantu menggugurkan kandungannya (sebagai contoh kontrasepsi darurat). Walaupun Amnesty International tidak mengetahui adanya individu yang dihukum penjara karena melanggar ketetapan-ketetapan ini, fakta bahwa ketetapan tersebut menjadi bagian perundang-undangan Indonesia memiliki efek yang menakutkan bagi para pemberi informasi. Sejumlah pegiat hak-hak seksual dan reproduktif yang diwawancarai bulan Maret 2010 mengatakan kepada Amnesty International bahwa mereka khususnya merasa berisiko ditangkap karena memberikan informasi mengenai kontrasepsi modern seperti kondom. Mereka juga menyatakan kekhawatiran mengenai UU Pornografi baru (No. 44/2008) yang belum lama disahkan, dan yang menurut mereka bisa menghalangi mereka menyebarkan informasi mengenai pendidikan seks dengan terbebas dari ancaman kriminalisasi.
ABORSI TIDAK AMAN DAN ANCAMAN KRIMINALISASI Aborsi merupakan tindak pidana dalam kebanyakan kasus di Indonesia. Perempuan atau gadis yang berusaha menggugurkan kandungan (usia sah atas tanggung jawab pidana di Indonesia adalah delapan tahun), atau seorang pekerja kesehatan yang melakukannya, bisa dikenai hukuman masing-masing sampai empat dan 10 tahun penjara. Ini artinya aborsi di Indonesia sering kali dilakukan secara gelap dalam kondisi yang tidak aman. Menurut angka resmi pemerintah, aborsi secara tak aman bertanggung jawab terhadap antara lima sampai 11 persen kematian ibu di Indonesia. Sebuah studi yang dilakukan Universitas Indonesia tahun 2001 memperkirakan mungkin ada sampai dua juta kasus pengguguran sengaja per
Amnesty International Nopember 2010
Indeks: ASA 21/024/2010
Tak ada Pilihan: Rintangan atas Kesehatan Reproduktif Ringkasan Eksekutif
9
tahunnya di Indonesia – 30 persen di antara mereka adalah perempuan tak menikah. Menurut UU Kesehatan tahun 2009, aborsi dianggap sah dalam kasus jika kesehatan ibu atau janin terancam, atau dalam kasus korban perkosaan. Akan tetapi, seorang perempuan yang hamil karena diperkosa, atau seorang perempuan yang mengalami komplikasi yang mengancam nyawa akibat kehamilan, harus melewati beberapa kriteria seleksi untuk bisa mengakses layanan aborsi. Sejumlah kriteria ini akan sulit dipenuhi dalam praktiknya, khususnya untuk perempuan dan gadis yang tinggal di daerah terpencil atau yang memiliki akses terbatas terhadap layanan perawatan kesehatan yang umumnya terjadi karena faktor jarak dan/atau sosial-budaya. Untuk mendapatkan layanan aborsi sah dalam kehamilan yang mengancam nyawa ibu atau janin, UU Kesehatan menuntut adanya persetujuan dari suami (Pasal 76.d). Dengan kata lain, seorang perempuan tidak diizinkan UU ini untuk mendapatkan layanan aborsi sah di Indonesia kecuali jika dia memiliki suami, dan suaminya menyetujui. Ketetapan yang menyangkut adanya persetujuan suami bersifat diskriminatif dengan dasar perkawinan dan jenis kelamin karena ketetapan ini menyingkirkan perempuan dan gadis yang tidak menikah dari layanan aborsi aman yang sah. Selain itu persyaratan yang menyangkut persetujuan suami dalam kasus-kasus yang membahayakan nyawa seorang perempuan membuat hidupnya berisiko. Pemberian aborsi legal untuk korban perkosaan hanya diizinkan dalam waktu enam minggu pertama kehamilan. Kerangka waktu yang terbatas ini berarti kebanyakan korban perkosaan mungkin tidak bisa mendapatkan aborsi yang aman dalam kerangka waktu yang disyaratkan karena mereka mungkin belum tahu bahwa mereka hamil pada saat itu. Korban pemerkosaan mungkin memerlukan waktu lebih lama untuk mengakui dan melaporkan kepada yang berwenang bahwa mereka diperkosa, khususnya dalam keadaan latar belakang yang menstigmatisasi seks sebelum dan di luar perkawinan, dan dalam sejumlah kasus malah bisa dipidanakan. Selain itu, ada ketidaktahuan di antara perempuan dan gadis dari komunitas miskin dan termarginalisasi mengenai ketentuan baru yang berkaitan dengan perkosaan dalam UU Kesehatan 2009, dan mengenai pengecualian hukum pada umumnya. Di samping itu, para pekerja kesehatan yang diwawancarai Amnesty International bulan Maret 2010 hanya mengetahui adanya satu pengecualian, yaitu layanan aborsi sah bisa diberikan kepada perempuan dan gadis jika ada komplikasi yang berkaitan dengan kesehatan ibu atau janin. Umumnya mereka tidak mengetahui pengecualian yang berhubungan dengan layanan aborsi sah untuk korban perkosaan. Kebanyakan pejabat pemerintah yang diwawancarai Amnesty International juga tidak mengetahui tentang ketentuan baru ini. Di kalangan sejumlah pekerja kesehatan kelihatannya ada keengganan untuk memberikan perempuan dan gadis akses terhadap layanan aborsi yang aman karena keyakinan moral atau agama mereka. Wawancara Amnesty International dengan para pekerja kesehatan, dukun melahirkan tradisional dan ornop-ornop mengisyaratkan bahwa ancaman kriminalisasi memiliki efek penghambat besar bagi profesi kesehatan. Sepengetahuan Amnesty International, penuntutan hukum terhadap mereka yang melakukan aborsi sangat jarang. Namun dalam beberapa bulan belakangan ini ada beberapa yang ditangkap dengan dakwaan aborsi.
Amnesty International Nopember 2010
Indeks: ASA 21/024/2010
10 Tak ada Pilihan: Rintangan atas Kesehatan Reproduktif Ringkasan Eksekutif
Mendekriminalisasi aborsi di Indonesia akan menjamin bahwa baik perempuan maupun pekerja kesehatan tidak akan menghadapi tuntutan pidana hanya karena semata-mata berusaha menggugurkan kandungan atau memberikan bantuan medis yang tepat. Bilamana perempuan dan dokter tidak lagi diancam kriminalisasi, layanan aborsi yang aman akan lebih mungkin diakses oleh lebih banyak perempuan – yang artinya membatasi jumlah aborsi tidak aman yang memberikan risiko terhadap kesehatan perempuan, dan dalam sejumlah kasus menyebabkan kematian atau cedera. Para dokter di Indonesia akan lebih mungkin memberikan layanan aborsi dalam kasus di mana mereka memang dimaksudkan untuk memberikan layanan itu, tapi jika ada ancaman kriminalisasi mereka tidak akan melakukannya. Dekriminalisasi aborsi tidak berarti pihak berwenang di Indonesia akan memberikan layanan aborsi dalam semua keadaan - ini hanya berarti bahwa aborsi tidak lagi dianggap sebagai kejahatan di mata hukum.
PEKERJA RUMAH TANGGA SEBAGAI KELOMPOK RENTAN Pekerja Rrumah Tangga (PRT) perempuan dan gadis di Indonesia, yang diperkirakan berjumlah 2,6 juta orang, biasanya meninggalkan sekolah saat masih muda dan dengan demikian memiliki akses terbatas terhadap sejumlah informasi mengenai seksualitas dan reproduksi. Amnesty International bertemu dengan banyak PRT remaja di bulan Maret 2010 yang berhenti sekolah waktu mereka masih berusia di bawah 15 tahun. Akses terhadap program pemerintah mengenai pendidikan seks menjadi lebih sulit bagi remaja yang meninggalkan sistem pendidikan, meskipun juga ada batas atas informasi yang diberikan kepada remaja dalam sistem pendidikan. Dalam kasus PRT remaja, akses mereka terhadap sumber informasi publik tentang masalah seksual dan reproduktif mungkin juga terbatas karena mereka hidup di rumah majikan, dan sering belum menikah. Mereka mungkin tidak bisa bergerak bebas ke luar rumah, atau tidak bisa dengan bebas mengakses sumber informasi publik di dalam rumah. Tahun 2007 Amnesty International menyoroti sampai sejauh mana PRT di Indonesia – sebagian besar adalah perempuan dan gadis – berada di posisi yang rentan terhadap kekerasan berbasis gender dan pelanggaran atas hak-hak mereka, sebagian karena mereka tidak sepenuhnya diakui sebagai pekerja dan umumnya pekerjaan mereka dilakukan di belakang layar. Tidak adanya perlindungan hukum berdampak pada pelaksanaan hak-hak seksual dan reproduktif para PRT. Sebagai contoh, mereka berisiko kehilangan pekerjaan karena hamil, tanpa adanya kompensasi dalam bentuk apa pun. Mereka juga mungkin dipaksa untuk bekerja dalam situasi yang berbahaya untuk diri mereka sendiri dan bayi mereka yang belum lahir. Dalam sebuah perkembangan yang positif, naskah legislasi yang menyangkut perlindungan PRT sedang dibahas tahun ini di Komisi IX DPR untuk yang membidangi urusan Kesehatan, Tenaga Kerja dan Kependudukan. Akan tetapi, naskah yang didapatkan Amnesty International pada bulan April 2010 masih belum memenuhi hukum dan standar HAM internasional, khususnya yang berhubungan dengan perlindungan pekerja perempuan sebelum dan sesudah kehamilan. Rancangan Undang-Undang itu tidak mengandung satu ketetapan pun yang menyangkut kebutuhan khusus perempuan, meskipun mayoritas besar PRT di Indonesia adalah perempuan.
Amnesty International Nopember 2010
Indeks: ASA 21/024/2010
Tak ada Pilihan: Rintangan atas Kesehatan Reproduktif 11 Ringkasan Eksekutif
REKOMENDASI Guna memerangi diskriminasi gender, serta menangani rintangan terhadap kesehatan reproduktif, yang merupakan salah faktor penyumbang pada tingginya mortalitas ibu, Amnesty International merekomendasikan pihak berwenang untuk mengambil langkahlangkah berikut sebagai prioritas: Mencabut semua undang-undang dan regulasi, baik di tingkat pusat dan daerah, yang melanggar hak-hak seksual dan reproduktif, dan memastikan bahwa perempuan dan gadis dapat mewujudkan hak-hak mereka dengan terbebas dari paksaan, diskriminasi, dan ancaman kriminalisasi. Ketetapan-ketetapan hukum dan kebijakan tentang hal-hal yang bersangkutan dengan kesehatan seksual dan reproduktif yang mendiskriminasi dengan alasan status perkawinan harus dicabut, karena hal-hal itu merupakan rintangan khusus dalam memastikan bahwa perempuan dan gadis yang tidak menikah dapat mengakses informasi dan layanan reproduktif yang mereka perlukan;
Tidak menjadikan aborsi sebagai tindakan kriminal dalam keadaan apa pun guna memerangi tingginya jumlah aborsi gelap yang berbahaya. Dalam kasus adanya perempuan dan gadis yang hamil tanpa diinginkan sebagai akibat pemerkosaan atau saat kehamilan bisa mengancam hidup atau kesehatan perempuan, pastikanlah bahwa mereka memiliki akses terhadap layanan aborsi yang aman; dan
Sahkan undang-undang tentang PRT sejalan dengan standar-standar internasional, guna memastikan bahwa para perempuan dan gadis PRT bisa mendapatkan perlindungan dengan tingkat yang sama seperti para pekerja lain di Indonesia. UU itu harus menyertakan ketetapan yang berkaitan dengan kebutuhan khusus perempuan, termasuk ketetapan mengenai maternitas.
Amnesty International Nopember 2010
Indeks: ASA 21/024/2010
Amnesty International International Secretariat Peter Benenson House 1 Easton Street London WC1X 0DW United Kingdom
www.amnesty.org