Prarancangan Pabrik Aromatik (B.T.X) dari Hydropyrolis Batu Bara Kapasitas 4.125.000 Ton/tahun
BAB I PENGANTAR
A.
Latar Belakang Batu bara merupakan mineral organik yang mudah terbakar yang terbentuk dari sisa
tumbuhan purba yang mengendap dan kemudian mengalami perubahan bentuk akibat proses fisik dan kimia yang berlangsung selama jutaan tahun. Potensi sumber daya batu bara di Indonesia sangat besar yang mayoritas tersebar di Pulau Kalimantan dan Sumatera. Produksi batu bara diperkirakan akan terus meningkat, tidak hanya untuk memenuhi kebutuhan dalam negeri, tetapi juga untuk memenuhi permintaan luar negeri (ekspor). Batu bara yang banyak terdapat di Indonesia adalah jenis batu bara peringkat rendah, yaitu lignit dan sub-bituminous. Salah satu pemanfaatan batu bara berperingkat rendah adalah dengan teknologi liquifaksi dan gasifikasi. Teknologi liquifaksi adalah cara untuk memperoleh minyak mentah atau nafta sebagai bahan baku proses pembuatan bahan kimia aromatis melalui proses perengkahan batu bara dengan gas Hidrogen atau disebut proses hydropyrolysis batu bara. Teknologi gasifikasi adalah suatu cara untuk memperoleh syngas melalui proses gasifikasi batu bara yang berkalori rendah. Pemanfaatan batu bara berperingkat rendah dengan teknologi ini merupakan salah satu upaya untuk meningkatkan pemanfaatan batu bara sehingga dihasilkan produk yang mudah dikonversi menjadi sumber energi dan berbagai macam bahan baku industri kimia yang utamanya adalah senyawa aromatis seperti Benzen, Toluen dan Xylen. Berdasarkan hal-hal tersebut, maka pendirian pabrik hydropyrolysis batu bara menarik untuk dikembangkan. Pendirian pabrik ini akan membantu meningkatkan pemanfaatan sumber daya batu bara di Indonesia, terutama batu bara berperingkat rendah seperti lignit dan sub-bituminous dibandingkan jika hanya langsung diekspor saja keluar negeri.
Saras Puspa Narendra I Made Sathya Dananjaya Aditya Herdy Permadi
12/330360/TK/39534 12/333607/TK/39954 12/333962/TK/40220
1
Prarancangan Pabrik Aromatik (B.T.X) dari Hydropyrolis Batu Bara Kapasitas 4.125.000 Ton/tahun
B.
Tinjauan Pustaka Sub-bituminous coal disebut juga black lignite, merupakan salah satu jenis batu bara
dengan kandungan karbon 42-52% (on a dry, ash-free basis) dan mempunyai nilai kalori 1926 MJ/kg. Jenis batu bara ini memiliki kandungan air lebih sedikit (10-20%) dan lebih keras daripada lignite, sehingga lebih mudah dalam transportasi dan penyimpanannya.
Gambar 1. Sub-bituminous Coal Benzena merupakan senyawa kimia organik yang berupa cairan tidak berwarna dan mudah terbakar. Rumus kimia benzena adalah C6H6. Senyawa ini terdiri dari 6 atom karbon yang berikatan membentuk cincin (heksagon), dimana 1 atom hidrogen berikatan pada setiap 1 atom karbon. Berikut ini adalah gambar struktur dari benzene :
Gambar 2. Struktur molekul benzena Benzena merupakan salah satu bahan petrokimia yang paling dasar serta pelarut yang penting di dalam dunia industri. Benzena memiliki bilangan oktan yang tinggi, sehingga juga merupakan salah satu campuran yang penting pada bensin. Benzena adalah bahan dasar dalam industri plastik, obat-obatan, karet buatan, bensin, dan pewarna. Disamping itu,
Saras Puspa Narendra I Made Sathya Dananjaya Aditya Herdy Permadi
12/330360/TK/39534 12/333607/TK/39954 12/333962/TK/40220
2
Prarancangan Pabrik Aromatik (B.T.X) dari Hydropyrolis Batu Bara Kapasitas 4.125.000 Ton/tahun benzene adalah kandungan alami dalam minyak bumi, akan tetapi biasanya diperoleh dari senyawa lain yang terdapat di dalam minyak bumi. BTX (Benzene, Toluene, Xylene) pertama kali diproduksi melalui proses catalytic reforming dari nafta dalam minyak bumi. Tujuan dari proses catalytic reforming pada pemrosesan minyak bumi sebeneranya adalah untuk meningkatkan bilangan oktan dari nafta dengan mengubah komposisi kimianya. Dengan pengubahan komposisi kimianya, senyawa hidrokarbon bisa memiliki bilangan oktan yang sangat berbeda. Dengan semakin menurunnya cadangan minyak dunia, maka produksi BTX juga akan terancam karena semula nafta berasal dari minyak bumi. Proses yang diajukan disini adalah proses pembuatan BTX dari bahan baku lain yaitu batu bara. Hal yang pertama yang menjadi permasalahan adalah bagaimana proses pembuatan nafta dari batu bara.
Gambar 3. Illutrasi Komponen Dalam Batubara Secara Umum (Bowen, 2008) Banyaknya nafta yang terbentuk dari batu bara juga dipengaruhi oleh kualitas batubara. Secara umum, batu bara terdiri dari 5 komponen besar yaitu fixed carbon, volatile matter, ash, inherent moisture dan surface moisture. Seamkin banyak komponen fixed carbon dan volatile matter maka nafta yang terbentuk dari proses hydropyrolisis akan semakin banyak pula. Seperti yang telah dipaparkan di pendahuluan, batu bara yang dipilih adalah batubara tipe sub-bituminous. Sebenarnya terdapat 3 jenis batu bara lainnya yaitu antrasit, bituminous dan lignite, namun keberadaan batu bara tipe sub-bituminous paling melimpah diantara yang lain yaitu memiliki 60% dari total produksi (reserve) atau sekitar 28 juta ton pada tahun 2014. Walaupun volatile matter dari batu bara jenis bituminous lebih besar dari sub-bituminous, tetapi jumlahnya yang sedikit di Indonesia membuat batubara jenis ini dicoret dari pemilihan Saras Puspa Narendra I Made Sathya Dananjaya Aditya Herdy Permadi
12/330360/TK/39534 12/333607/TK/39954 12/333962/TK/40220
3
Prarancangan Pabrik Aromatik (B.T.X) dari Hydropyrolis Batu Bara Kapasitas 4.125.000 Ton/tahun bahan baku. Lignite memiliki peringkat batubara dibawah sub-bituminous artinya jumlah volatile matternya semakin kecil dan nilai total moisture nya semakin besar. Maka lignite juga dicoret dari pemilihan bahan baku. Tabel 1. Persebaran Batubara Berdasarkan Jenisnya di Indonesia
Spesifikasi
Jenis Batu Bara Antrasit
Bituminous
Sub-Bituminous
Lignite
Reserve
-
11%
60%
39%
Resources
-
14%
66%
20% (Badan Geologi, 2009)
Tabel 2. Perbandingan Spesifikasi Batubara Indonesia .
(Ewart, et. al., 2009) Berdasarkan analisis pasar, kesempatan Indonesia menjadi supplier benzena untuk pasar global terbuka luas. Melihat selisih permintaan dan suplai yang masih kurang, sebenarnya dibutuhkan produksi benzena dalam jumlah besar. Teknologi yang belum terlalu matang menjadi konstrain dalam penentuan kapasitas dari pabrik ini. Pabrik benzene dengan bahan baku batu bara terdapat di Cina dengan berbagai kapasitas. Kapasitas terbesar adalah 200.000 ton/tahun yaitu milik Dere Chemical di kota Shandong, Cina. Dengan perhitungan kasar, jumlah bahan baku yang diperlukan untuk produksi kapasitas ini sekitar 1,2 juta ton batu bara per tahun. Keuntungan stokiometris yang diperoleh sebesar 2,2. Sehingga penentuan kapasitas 200.000 ton/tahun adalah pilihan yang layak untuk dioperasikan di Indonesia. Saras Puspa Narendra I Made Sathya Dananjaya Aditya Herdy Permadi
12/330360/TK/39534 12/333607/TK/39954 12/333962/TK/40220
4
Prarancangan Pabrik Aromatik (B.T.X) dari Hydropyrolis Batu Bara Kapasitas 4.125.000 Ton/tahun Proses pembuatan nafta dari batu bara digolongkan menjadi 2 proses yaitu Direct Coal Liquefaction (DCL) dan Indirect Coal Liquefaction (ICL). Proses DCL mengubah batu bara menjadi nafta cair secara langsung melalui tahapan pyrolysis atau hydropyrolysis batu bara sedangkan proses ICL mengubah batu bara menjadi nafta namun dengan terlebih dahulu mengubah batu bara menjadi syn-gas (CO, H2, CO2, H2O) melalui gasifikasi dan kemudian dibuat menjadi nafta cair melalui proses Fischer Tropsch. (NPC Global Oil & Gas Study, 2007) Berdasarkan penggolongan proses di atas, maka yang akan menjadi landasan penetapan proses pembuatan nafta dari batu bara adalah tahapan proses hydropyrolysis, pyrolysis dan gasifikasi. Berikut ini perbandingan proses-proses diatas yang digunakan untuk membuat nafta dari batu bara.
Tabel 3. Pabrik Benzena di Cina dari Petroleum Refinery dan Coal-Based (ICIS, 2014)
Saras Puspa Narendra I Made Sathya Dananjaya Aditya Herdy Permadi
12/330360/TK/39534 12/333607/TK/39954 12/333962/TK/40220
5
Prarancangan Pabrik Aromatik (B.T.X) dari Hydropyrolis Batu Bara Kapasitas 4.125.000 Ton/tahun
Tabel 4. Perbandingan Proses Pembuatan Nafta Keterangan
Gasifikasi
Pyrolysis
Hydropyrolysis
Yield (bbl/ton batu bara)
0.03
0.1
1.6
Suhu Operasi (OC)
800-1200
400-500
370-480
Tekanan Operasi (atm)
30-40
100-120
130-170
(Duncan Seddon & Associates PTY. LTD., 2012) Berdasarkan dasar perbandingan proses tersebut, maka dipilih menggunakan proses hydropyrolysis untuk menghasilkan nafta dari batu bara karena hasil yield yang berupa nafta lebih banyak serta kondisi operasi suhu yang lebih rendah sehingga biaya proses akan lebih murah dibandingkan dengan proses gasifikasi dan pyrolysis. Tahapan selanjutnya adalah melakukan spesifikasi teknologi proses hydropyrolysis yang tergolong menjadi 2 yaitu Single Stage Direct Liquefaction dan Two Stage Direct Liquefaction. Untuk single stage terdiri dari SRC-II, Exxon Donor Solvent (EDS) dan H-Coal, sedangkan untuk two stage terdiri dari Lummus Integrated Two-Stage Liquefaction (ITSL), Wilsonville Two-Stage Liquefaction dan Catalytic Multi-Stage Liquefaction (CMSL). Tabel 5. Perbandingan Teknologi Hydropyrolisis Keterangan
SRC-II
H-Coal
1
1
1
2
2
835-870
800-850
800-932
840-850
755
Tekanan Reaktor, psig
2000
3000
2000-3000
2500
2500
Temperature Reaktor
-
-
-
760-810
829-845
-
-
-
2500
2500
Jumlah Reaktor Temperature Reaktor,
EDS
ITSL
CMSL
o
F
2, oF Tekanan Reaktor 2, psig Saras Puspa Narendra I Made Sathya Dananjaya Aditya Herdy Permadi
12/330360/TK/39534 12/333607/TK/39954 12/333962/TK/40220
6
Prarancangan Pabrik Aromatik (B.T.X) dari Hydropyrolis Batu Bara Kapasitas 4.125.000 Ton/tahun Katalis Yield
liquid
Iron Pyrite
Co-Mo
-
Multiple
Multiple
49.4
50.5
44.2
65.8
72.3
14.5
12.8
19
5.4
11.4
9.5
8.4
7.5
11
9.7
(distillate), wt% MAF coal Yield C1-C3 gas, wt% MAF coal Efisiensi Penggunaan Hidrogen, lb dist/lb H cosnumed (Winslow et. al., 2009) Berdsarkan pemaparan proses-proses tersebut, terlihat bahwa untuk proses two stage liquefaction menghasilkan nafta yang lebih optimum dengan 2 reaktor yang memiliki peran yang berbeda. Kemudian dipilih CMSL sebagai teknologi proses yang akan digunakan sebagai reaktor untuk dijalankannya hydropyrolysis batu bara menjadi nafta karena yield nafta dalam liquid distillate lebih banyak dari ITSL serta fuel gas hasil hydropyrolysis yang dihasilkan lebih banyak. Dalam tahapan hydropyrolysis, batu bara sebelumnya harus dipersiapkan sebelum diproses di dalam reaktor. Tahapan awal adalah pemisahan batu bara dari komponen pengotor seperti pasir atau tanah liat yang masih menepel. Kemudian batu bara dihancurkan dan dibuat menjadi ukuran yang sangat kecil untuk mempermudah proses cracking di dalam reaktor hydropyrolysis. Proses reaksi di dalam reaktor terjadi dalam 2 tahapan utama, yaitu pemutusan ikatan karbon dari batu bara hingga menjadi senyawa atau atom radikal dan proses penstabilan komponen dan hidrogenasi dari senyawa radikal tersebut hingga terbentuk senyawa hidrokarbon baru dengan berat molekul yang lebih ringan. Pemutusan ikatan rantai karbon atau cracking sangat dipengaruhi oleh adanya gas hydrogen dan suhu operasi di dalam reaktor, sedangkan penstabilan reaktan dilakukan dengan adanya penambahan solvent sebelum masuk reaktor. Pembentukan kembali menuju senyawa yang lebih ringan dispesifikan oleh adanya katalis di dalam reaktor sehingga pada akhir keluaran reaktor akan dihasilkan produk dalam 3 fase, yaitu fase gas berupa fuel gas (C1-C4), fase solid berupa Saras Puspa Narendra I Made Sathya Dananjaya Aditya Herdy Permadi
12/330360/TK/39534 12/333607/TK/39954 12/333962/TK/40220
7
Prarancangan Pabrik Aromatik (B.T.X) dari Hydropyrolis Batu Bara Kapasitas 4.125.000 Ton/tahun arang atau char dan fase cair adalah oil liquid yang terdiri dari nafta, middle distillate dan gas oil serta adanya solvent yang kemudian dipisahkan dari produk utama yaitu nafta. Nafta yang telah dipisahkan kemudian diproses lebih lanjut di unit aromatis untuk dilakukan catalytic reforming untuk menghasilkan benzena Unit aromatis terdiri dari 3 proses besar yaitu catalytic reforming, pemisahan aromatis dan non-aromatis dan pemurnian BTX. a. Catalytic Reforming Catalytic reforming bertujuan untuk memproduksi BTX dari nafta dengan mengubah hidrokarbon rantai alifatis dan siklis menjadi senyawa aromatis. Reaksi yang terjadi adalah dehidrosiklisasi, dehidrogenasi, isomerasi dan hidrodealkilasi. Reaksi Dehidrosiklisasi adalah reaksi untuk mengubah hidrokarbon rantai alifatis menjadi siklis. Dilanjutkan dengan dehidrogenasi yaitu reaksi untuk mengubah hidrokarbon rantai siklis menjadi aromatis. Isomerasi adalah reaksi pengubahan senyawa menjadi bentuk isomer lainnya. Sementara hidrodealkilasi adalah reaksi perubahan senyawa alifatis menjadi siklis.
(a)
(b)
(c)
(d) Gambar 4. a) Reaksi dehidrosiklisasi dari n-heksana ; b) Reaksi dehidrogenasi sikloheksana ; c) Reaksi isomerasi metilsiklopentana ; d) Reaksi hidrodealkilasi toluena (Matar, 2000)
Saras Puspa Narendra I Made Sathya Dananjaya Aditya Herdy Permadi
12/330360/TK/39534 12/333607/TK/39954 12/333962/TK/40220
8
Prarancangan Pabrik Aromatik (B.T.X) dari Hydropyrolis Batu Bara Kapasitas 4.125.000 Ton/tahun
Gambar 5. Skema Reaksi Utama pada Proses Catalytic Reforming [Kirk-Othmer, 1999] Ada beberapa proses catalytic reforming yang sudah dilakukan di industri, antara lain: 1. Rheinforming Unit milik Chevron Proses ini berlangsung pada temperatur 500-525oC dan tekanan 100-300 psig. Katalis yang digunakan adalah Pt/Al2O3 dalam suasana asam. Platina dipilih sebagai katalis karena dapat tahan terhadap sulfur yang masih terkandung dalam nafta sehingga life time dari katalis akan lebih lama. Selain itu proses ini menggunakan sistem semi-regenerative untuk mengatasi masalah turunnya aktivitas katalis. Reaktor yang digunakan adalah jenis reaktor fixed-bed yang disusun secara seri sebanyak 3 buah. Pemilihan ini berdasarkan reaksi-reaksi yang terjadi saat catalytic reforming. Reaktor pertama memiliki katalis lebih sedikit dibanding reaktor kedua dan tiga. Hal ini menjadi penting karena reaksi dehidrogenasi dari senyawa hidrokarbon siklis mencapai kesetimbangan dengan cepat sementara ketiga reaksi lainnya relative lebih lambat sehingga belum mencapai kondisi setimbang di reaktor pertama. Oleh karena itu reaktor kedua dan ketiga memiliki lebih banyak katalis untuk mendukung terjadinya reaksi yang lambat sehingga yield senyawa aromatis yang dihasilkan lebih tinggi. Karena reaksi dominan endotermis, maka suhu keluar reaktor lebih kecil dari suhu masuk reaktor. Maka harus dilakukan pemanasan ulang umpan reaktor kedua dan ketiga sebagai konsekuensi dari panas yang hilang.
Saras Puspa Narendra I Made Sathya Dananjaya Aditya Herdy Permadi
12/330360/TK/39534 12/333607/TK/39954 12/333962/TK/40220
9
Prarancangan Pabrik Aromatik (B.T.X) dari Hydropyrolis Batu Bara Kapasitas 4.125.000 Ton/tahun
Gambar 6. Flow dari proses catalytic reforming “Rheiniforming unit” milik Chevron (Matar, 2000) 2. Proses Continuous Catalyst Regeneration (CCR) ‘CycleX’ milik UOP Proses yang dijalankan oleh UOP menggunakan sistem stacked reactor, berbeda dengan reaktor sistem reaktor seri sebelumnya Kondisi optimum temperatur rendah dan tekanan tinggi karena reaksinya endotermis juga memicu terjadinya coking pada katalis. Sistem ini unggul dalam masalah menagani coking yang terjadi pada katalis. Katalis yang digunakan langsung di regenerasi dengan cara dibakar sehingga dapat digunakan kembali. Keunggulan lainnya adalah kondisi operasi dari reaktor yang memerlukan tekanan lebih rendah dari reaktor fixed-bed seri yakni hanya sebesar 345 kPa dengan hasil produk yang sama dengan proses semi-regenerative dengan tekanan sekitar 2000 kPa.
Saras Puspa Narendra I Made Sathya Dananjaya Aditya Herdy Permadi
12/330360/TK/39534 12/333607/TK/39954 12/333962/TK/40220
10
Prarancangan Pabrik Aromatik (B.T.X) dari Hydropyrolis Batu Bara Kapasitas 4.125.000 Ton/tahun
Gambar 7. Flow Diagram CCR CycleX milik UOP [Antos et al, 2004] b. Pemisahan aromatis dan non-aromatis Hasil keluar reaktor masih berupa campuran antara senyawa aromatis dan non-aromatis (alifatis dan siklis) dengan kisaran C6-C8 sehingga perlu dilakukan pemisahan antara keduanya. Proses yang sudah ada antara lain: 1. Ekstraksi Aromatis dengan Solven Tetraetilen Glycol Proses ini dilakukan oleh The Union Carbide. Secara umum memiliki dua proses besar yakni ektraksi dan stripping. Ekstraksi bertujuan untuk memisahkan antara senyawa aromatis dan non-aromatis. Digunakan solven dengan afinitas tinggi terhadap senyawa aromatis sehingga dapat memisahkan keduanya. Untuk proses ini dipilih solven tetraetilen glikol.
Saras Puspa Narendra I Made Sathya Dananjaya Aditya Herdy Permadi
12/330360/TK/39534 12/333607/TK/39954 12/333962/TK/40220
11
Prarancangan Pabrik Aromatik (B.T.X) dari Hydropyrolis Batu Bara Kapasitas 4.125.000 Ton/tahun
Gambar 8. Flow Diagram Ekstraksi Aromatis dengan Solven Tetraetilen Glikol milik Chevron (Matar, 2000) 2. Ekstraksi Aromatis dengan Sulfolane milik Shell Secara umum proses ini terdiri dari 4 bagian yaitu ekstraktor, extractive stripper, extract recovery column dan water-wash tower. Nafta dikontakkan dengan solven sulfolane di ekstraktor sehingga senyawa aromatis dan sedikit senyawa non-aromatis ringan larut dalam solven. Kemudian solven yang kaya akan aromatis diarahkan ke extractive stripper dimana senyawa non-aromatis ringan dihilangkan. Hasil bawah berupa solven dan senyawa aromatis akan masuk ke kolom recovery dimana senyawa aromatis akan dipisahkan dengan solven. Solven dikembalikan e ekstraktor untuk digunakan kembali. Sementara rafinat akan masuk ke dalam water-wash tower zuntuk diambil sulfolane nya dan dikembalikan ke ekstraktor sebagai recycle.
Saras Puspa Narendra I Made Sathya Dananjaya Aditya Herdy Permadi
12/330360/TK/39534 12/333607/TK/39954 12/333962/TK/40220
12
Prarancangan Pabrik Aromatik (B.T.X) dari Hydropyrolis Batu Bara Kapasitas 4.125.000 Ton/tahun
Gambar 9. Flow Diagram Ekstraksi Aromatis dengan Sulfolane milik Shell (Kirk-Othmer, 1999) 3. Pemurnian BTX Pemurnian BTX dilakukan dengan menggunakan beberapa menara distilasi untuk mendapatkan komponen benzena, toluena dan xylena yang murni. Total menara distilasi yang dibutuhkan berjumlah 4 menara karena komponen yang hendak dipisahkan adalah benzene, toluene, etilbenzena. Berdasarkan pemaparan diatas ada dua hal yang harus dipilih yakni proses pada catalytic reforming dan jenis solven yang digunakan pada ekstraksi aromatis. Untuk proses catalytic reforming, terlihat proses CCR lebih unggul karena regenerasi katalis lebih baik dibanding semi-regenerative. Tekanan operasi reaktor CCR juga hampir 6 kali lebih kecil dibanding semi-regenerative. Tetapi capital cost yang dibutuhkan untuk proses CCR terlihat lebih besar karena harus menginvestasi reaktor tambahan sebanyak 1 buah. Jika sistem regenerasi katalis berjalan baik, maka proses CCR akan menimbulkan operating cost yang lebih rendah. Sementara untuk proses semi-regenerative penggantian katalis berlangsung tiap 6-24 bulan sekali, tergantung pada seberapa intens proses berlangsung dengan aktivitas Saras Puspa Narendra I Made Sathya Dananjaya Aditya Herdy Permadi
12/330360/TK/39534 12/333607/TK/39954 12/333962/TK/40220
13
Prarancangan Pabrik Aromatik (B.T.X) dari Hydropyrolis Batu Bara Kapasitas 4.125.000 Ton/tahun katalis yang semakin berkurang sepanjang waktu. Berdasarkan berbagai pertimbangan tadi dipilih proses CCR untuk catalytic reforming dari nafta.. Berikut perbandingan solven dalam ekstraksi aromatis : Tabel 6. Perbandingan Solven dalam Ekstraksi Aromatis Tetraetilen glikol
Sulfolane
Densitas (g/cm3)
1.124
1.261
Titik didih (oC)
314 °C
285oC
Harga ($ kg-1)
0,25
0,5
BTX recovery (%)
95
99+
Terlihat dari sisi ekonomi, tetraetilen glikol memiliki harga yang lebih rendah dibandingkan sulfolane. Titik didihnya yang tinggi juga membuat tetraetilen glikol lebih mudah dipisahkan dengan senyawa aromatis yang titik didihnya berkisar antara 60-140 oC, namun dari segi recovery aromatis, terlihat sulfolane lebih unggul. Oleh karena itu dipilih solven sulfolane agar dapat memproduksi senyawa aromatis lebih banyak. Lokasi pabrik merupakan aspek penting dalam pendirian sebuah pabrik. Pemilihan lokasi pabrik akan mempengaruhi kondisi pabrik baik dari segi teknis maupun ekonomis, sebaliknya apabila pemilihan lokasi kurang tepat, akan berakibat pada kerugian pabrik. Pemilihan lokasi harus mempertimbangkan banyak aspek, baik teknis maupun non-teknis, seperti aspek ekonomi, sosial, hukum, ketersedian bahan baku, fasilitas penunjang operasi (listrik, air, transportasi) dan lain-lain. Beberapa pertimbangan yang diperlukan dalam penentuan lokasi pabrik antara lain : 1. Bahan baku Pemilihan lokasi pabrik lebih baik tidak terlalu jauh dari lokasi tersedianya raw material. Selain itu, lebih baik jika tersedia akses transportasi darat dan dekat dengan pelabuhan, sehingga mempermudah dalam pendistribusian bahan baku.
Saras Puspa Narendra I Made Sathya Dananjaya Aditya Herdy Permadi
12/330360/TK/39534 12/333607/TK/39954 12/333962/TK/40220
14
Prarancangan Pabrik Aromatik (B.T.X) dari Hydropyrolis Batu Bara Kapasitas 4.125.000 Ton/tahun 2. Pemasaran Pemilihan lokasi lebih baik dekat dengan lokasi pemasaran produk, sehingga akan mempermudah pendistribusian produk dan menghemat biaya. Selain itu, kualitas produk menjadi lebih terjaga karena waktu pengiriman yang singkat. 3. Ketersediaan tenaga kerja Sumber daya manusia merupakan salah satu aspek dalam pemilihan lokasi pabrik. Tenaga kerja merupakan kebutuhan primer bagi suatu pabrik, karena tenaga kerja yang akan menjalankan operasi pabrik. Ketersediaan tenaga kerja yang terdidik dan terampil akan memperlancar jalannya proses produksi suatu pabrik. Selain itu, perlu dipertimbangkan besar upah minimum regional pada daerah berdirinya pabrik, agar terjamin pemenuhan hak pegawai untuk memperoleh pendapatan yang memadai. 4. Transportasi Transportasi yang memadai dibutuhkan untuk supply bahan baku maupun distribusi produk ke pasaran, sehingga fasilitas transportasi yang tepat akan berpengaruh terhadap biaya operasi pabrik, dimana biaya yang dibutuhkan untuk trasnportasi biasanya tidak sedikit. Akses jalan darat maupun laut harus dijadikan bahan pertimbangan dalam pemilihan lokasi. 5. Ketersediaan air dan energi Air merupakan komponen yang sangat penting bagi suatu pabrik, baik untuk proses, pendingin, pembersih, dan lain sebagainya. Oleh sebab itu, ketersediaan air menjadi salah satu faktor utama bagi kelancaran proses produksi suatu pabrik. Sumber air dapat berasal dari air sungai, air danau, maupun air laut. Selain air, energi juga merupakan faktor yang penting bagi operasional pabrik, sehingga sumber energi yang mencukupi harus terjangkau dari kawasan suatu pabrik. 6. Kondisi geografi dan sosial Pemilihan lokasi pabrik harus mempertimbangkan kondisi geografi daerah tersebut. Lokasi harus memiliki kondisi tanah yang stabil dan bukan daerah rawan
Saras Puspa Narendra I Made Sathya Dananjaya Aditya Herdy Permadi
12/330360/TK/39534 12/333607/TK/39954 12/333962/TK/40220
15
Prarancangan Pabrik Aromatik (B.T.X) dari Hydropyrolis Batu Bara Kapasitas 4.125.000 Ton/tahun bencana, misal banjir, gempa bumi, dan lain sebagainya. Kebijakan pemerintah daerah setempat juga perlu untuk diperhatikan. Selain itu, daerah pendirian lokasi pabrik juga diharapkan mempunyai kondisi sosial masyarakat yang mendukung pendirian pabrik tersebut. Kondisi sosial masyarakat diharapkan mampu mendukung operasional pabrik dan masyarakat setempat dapat menerima pendirian pabrik tersebut. Dari beberapa pertimbangan di atas, maka pabrik akan didirikan di Bontang, Kalimantan Timur.
Gambar 10. Peta Kalimantan Timur dan Lokasi Pabrik yang Hendak Dibangun Pemilihan Bontang sebagai lokasi pabrik didasarkan pada pertimbangan pertimbangan sebagai berikut : Saras Puspa Narendra I Made Sathya Dananjaya Aditya Herdy Permadi
12/330360/TK/39534 12/333607/TK/39954 12/333962/TK/40220
16
Prarancangan Pabrik Aromatik (B.T.X) dari Hydropyrolis Batu Bara Kapasitas 4.125.000 Ton/tahun 1. Bahan baku Bahan baku dari pabrik Benzena ini adalah batu bara, dimana Kalimantan Timur merupakan penghasil batu bara terbesar di Indonesia. Sehingga, lokasi akan dekat dengan bahan baku, sehingga lebih mudah dan murah dalam transportasi bahan baku. 2. Transportasi Tata letak yang cukup strategis di Kota Bontang, yaitu terletak pada jalan trans Kalimantan Timur dan berbatasan langsung dengan Selat Makasar yang merupakan Alur Laut Kepulauan Indonesia II (ALKI II) dan Internasional, memungkinkan untuk akses supply bahan baku ke pabrik maupun distribusi produk ke pasaran melalui jalur laut, yaitu dengan menggunakan kapal.
3. Ketersediaan energi dan air Wilayah kota Bontang didominasi oleh lautan, dimana wilayah daratan seluas 149,8 Km2 (29,7%) sedangkan luas wilayah seluruhnya adalah 347,77 Km2, sehingga ketersediaan air cukup memadai, yaitu berasal dari air laut. Wilayah Kota Bontang juga memiliki 3 Daerah Aliran Sungai (DAS) yang memungkinkan untuk ketersediaan air pabrik berupa air sungai, ketiga DAS tersebut yaitu : a) DAS Guntung Sungai Guntung terletak di Kelurahan Guntung merupakan kelurahan paling Utara di Kota Bontang. Sungai Guntung melayani kawasan di Kelurahan Guntung dan sekitarnya. Luas DAS Guntung kurang lebih 23,24 km2 dengan panjang aliran sungai sepanjang 11,36 km. Lebar sungai antara 2-10 meter dengan kedalaman rata-rata 1-2 meter. Ketinggian air pada saat surut terendah adalah 1 meter, sedangkan ketinggian air pada saat pasang tertinggi adalah 3,5 meter. b) DAS Bontang Sungai Bontang membentang dari Kelurahan Bontang Kuala, Api-api, Kanaan, Gunung Elai, dan Gunung Telihan. Sungai Bontang melayani kawasan di Kelurahan Bontang Kuala, Bontang Baru, Api-api, Kanaan, Gunung Elai, dan Gunung Telihan dan sekitarnya. Luas DAS Bontang kurang lebih 53,28 km 2 Saras Puspa Narendra I Made Sathya Dananjaya Aditya Herdy Permadi
12/330360/TK/39534 12/333607/TK/39954 12/333962/TK/40220
17
Prarancangan Pabrik Aromatik (B.T.X) dari Hydropyrolis Batu Bara Kapasitas 4.125.000 Ton/tahun dengan panjang aliran sungai sepanjang 25,62 km. Lebar sungai antara 4-10 meter dengan kedalaman rata-rata 1-2,5 meter. Ketinggian air pada saat surut terendah adalah 1 meter, sedangkan ketinggian air pada saat pasang tertinggi adalah 3,5 meter. c) DAS Nyerakat Sungai Nyerakat terletak di Kelurahan Bontang Lestari, merupakan kelurahan paling selatan di Kota Bontang. Sungai Nyerakat melayani kawasan di Kelurahan Bontang Lestari dan sekitarnya. Luas DAS Nyarakat kurang lebih 16,75 km2 dengan panjang aliran sungai sepanjang 13 km, lebar sungai antara 3-10 meter dengan kedalaman rata-rata 1-2 meter. Ketiga DAS tersebut merupakan bagian dari Sub DAS Santan Ilir yang semuanya bermuara di Selat Makassar. Sungai-sungai tersebut juga mengalirkan air yang berasal dari mata air, terutama air yang keluar dari batuan pasir halus, pasir kasar dan lempung pasiran yang berasal dari formasi Balikpapan. Kota Bontang juga memiliki organisasi pengelola sektor air limbah (fasilitas sanitasi), yaitu DPU Cipta Karya dan Dinas Kebersihan PPMK. Kebutuhan energi listrik di Kota Bontang dapat dipenuhi oleh PT PLN. Selain itu pasokan listrik di Bontang juga telah terkoneksi dengan jaringan Sistem Mahakam, sehingga masyarakat tidak perlu khawatir ada pemadaman listrik bergilir. 4. Ketersediaan tenaga kerja Ketersediaan tenaga kerja yang terampil dan terdidik akan memperlancar jalannya proses produksi. Di Kalimantan Timur terdapat banyak akademi, institut, politeknik, maupun universitas, dan di kota Bontang sendiri terdapat 1 universitas, 2 akademi, dan 1 sekolah tinggi, sehingga dapat mencukupi kebutuhan tenaga kerja. Hak-hak tentang pekerja juga dilindungi oleh pemerintah kota Bontang, yaitu Peraturan Daerah Kota Bontang Nomor 9 Tahun 2013. 5. Kondisi geografis dan sosial Kota Bontang memiliki iklim tropis seperti wilayah Indonesia pada umumnya. Wilayah ini termasuk daerah khatulistiwa dan dipengaruhi iklim tropis basah
Saras Puspa Narendra I Made Sathya Dananjaya Aditya Herdy Permadi
12/330360/TK/39534 12/333607/TK/39954 12/333962/TK/40220
18
Prarancangan Pabrik Aromatik (B.T.X) dari Hydropyrolis Batu Bara Kapasitas 4.125.000 Ton/tahun dengan ciri-ciri khas hujan terjadi di sepanjang tahun dengan suhu rata-rata 24°33°C. Berikut adalah letak geografis Kota Bontang berdasarkan data BPS 2014 : Tabel 7. Letak Geografis, Luas Wilayah Daratan serta Lautan Kota Bontang, 2014
Gambar 11. Ring of Fire Indonesia (BPBD, 2015)
Saras Puspa Narendra I Made Sathya Dananjaya Aditya Herdy Permadi
12/330360/TK/39534 12/333607/TK/39954 12/333962/TK/40220
19
Prarancangan Pabrik Aromatik (B.T.X) dari Hydropyrolis Batu Bara Kapasitas 4.125.000 Ton/tahun Dilihat dari kondisi geografisnya, Pulau Kalimantan aman untuk didirikan suatu pabrik apabila dilihat dari potensi bencana alam seperti gempa bumi, karena daerah ini tidak termasuk dalam daerah ring of fire.
C.
Analisis Pasar Benzena, toluena dan xylene (BTX) merupakan basic building block dalam industri
petrokimia. Menurut Kementrian Perindustrian Republik Indonesia, BTX merupakan produk hulu dalam pohon industri. Produk-produk hilir seperti polystyrene, polycarbonate, alkyd resin, benzaldehid dan asam benzoat merupakan hasil olahan dari senyawa BTX. Jadi kebutuhan akan BTX sangat berhubungan dengan produksi kebutuhan hilir tersebut.
Gambar 12. Persebaran Produksi Benzena Menjadi Produk Hilir (Platts, 2015) Benzena menjadi produk yang paling dibutuhkan dibanding dua senyawa lainnya, toluena dan xylena. Pada akhir tahun 2014, konsumsi benzena dunia diperkirakan mencapai angka 45 juta metric ton. Kebutuhan benzena dunia diperkirakan akan naik sebesar 3,5% setiap tahunnya. Asia menjadi produsen benzena terbesar dengan produksi 1.84 juta metric ton yang terkonsentrasi di Korea Selatan. Sementara di Amerika dan Eropa, produksi benzena tidak dapat menutupi kebutuhan industri hilir. Secara tidak langsung kondisi ini membuat kawasan Asia (East Suez) menjadi penyuplai benzena dan kawasan Eropa-Amerika (West Suez) konsumen benzena.
Saras Puspa Narendra I Made Sathya Dananjaya Aditya Herdy Permadi
12/330360/TK/39534 12/333607/TK/39954 12/333962/TK/40220
20
Prarancangan Pabrik Aromatik (B.T.X) dari Hydropyrolis Batu Bara Kapasitas 4.125.000 Ton/tahun Kebutuhan benzena yang akan terus meningkat ini menjadi kesempatan bagi Indonesia untuk ikut andil dalam produksi benzena di Asia. Hingga 2015, Indonesia hanya memiliki 1 pabrik dengan produk BTX yakni PT. Trans Pacific Petrochemical Indotama yang terletak di Tuban, Jawa Timur. Kapasitas produksi benzena dan toluena dari pabrik ini
sebesar 300.000 ton/tahun sementara untuk xylena sebesar 470.000 ton/tahun. Gambar 13. Prediksi Keadaan Pasar Benzena Dunia (Platts, 2015) Semakin menurunnya cadangan minyak di Indonesia, maka produksi BTX dari PT. Trans Pacific Petrochemical Indotama juga akan turun karena bahan bakunya adalah nafta dari kilang minyak. Oleh karena itu, pendirian pabrik BTX dengan bahan baku batu bara bisa menjawab dua masalah yakni krisis minyak yang terjadi dan kekurangan produksi benzena. Dari seluruh fakta diatas, dapat ditarik kesimpulan bahwa pendirian pabrik BTX menjadi urgensi tersendiri bagi Indonesia khususnya dan dunia pada umumnya.
Saras Puspa Narendra I Made Sathya Dananjaya Aditya Herdy Permadi
12/330360/TK/39534 12/333607/TK/39954 12/333962/TK/40220
21