Table of Content: Part 1 Titles and Authors 1.
ANALYSIS ACADEMIC SERVICE AT PROGRAM STUDY MAGISTER EDUCATION MANAGEMENT PROGRAM PASCASARJANA STATE UNIVERSITY OF JAKARTA
Page numbers 1-12
Dwi Deswary1 Lecturer Program Study Education Management Program Pascasarjana State University of Jakarta 1
2.
MULTIDIMENSIONAL RELIABILITY OF INSTRUMENT FOR MEASURING ATTITUDES TOWARD PHYSICS USING SEMANTIC DIFFERENTIAL SCALE
13-20
Gaguk Margono1 Program Studi Penelitian dan Evaluasi Pendidikan, Program Pasca Sarjana Universitas Negeri Jakarta, Kampus UNJ, Jl. Rawamangun Muka, Rawamangun, Jakarta 13220
1
3.
ENGLISH LEARNING IN GRADE IV OF ELEMENTARY (Descriptive Study in Sekolah Dasar Laboratorium PGSD FIP Universitas Negeri Jakarta)
21-28
Mohamad Syarif Sumantri1 Primary educarion Program, Jakarta State University
1
4.
THE COMPARISON OF ITEM INFORMATION FUNCTIONS IN PARALLEL LEST WITH THE MODEL OF L2P
29-35
Yuliatri Sastra Wijaya1 Program Pascasarjana Universitas Negeri Jakarta
1
5.
EVALUASI MANAJEMEN PROGRAM PRIMA PADA PENINGKATAN PRESTASI WUSHU INDONESIA
36-44
Moch. Asmawi1 Universitas Negeri Jakarta
1
6.
KETERAMPILAN SHOOTING SEPAKBOLA STUDI KORELASIONAL PANJANG TUNGKAI, DAYA LEDAK OTOT TUNGKAI, PERCAYA DIRI DENGAN KETERAMPILAN SHOOTING PERMAINAN SEPAKBOLA PADA KLUB SEPAKBOLA UNIVERSITAS NEGERI JAKARTA TAHUN 2013
45-55
Muchtar Hendra Hasibuan, Sofyan Hanif 7.
THE EFFECT OF COOPERATIVE LEARNING (STAD) AND ENTRY BEHAVIOR TO THE STUDENTS’ MATHEMATICS LEARNING RESULT Nurdin Ibrahim1 Jakarta State University
1
56-66
8.
THE EFFECT OF JOB CHARACTERISTICS, COMPENSATION AND JOB SATISFACTION TO THE ECONOMIC TEACHERS COMMITMENT IN THE HIGH SCHOOL BALI PROVINCE
67-82
I Ketut R. Sudiarditha Fakulty of Economic, Universitas Negeri Jakarta 9.
PARENTING, AND CAREER SELECTION STUDENTS ACCELERATION OF SENIOR HIGH SCHOOL IN JAKARTA
83-93
Hartini Nara1 Department of Special Education Faculty of Education University of Jakarta
1
10.
MEASURING INTEREST OF TEACHING PROFESSION
94-99
Muchlas Suseno1 Department of Primary Education, Postgraduate Program, State University of Jakarta
1
11.
KONTRIBUSI PENDIDIKAN SEJARAH DALAM PEMBENTUKAN KARAKTER GENERASI EMAS INDONESIA
100-105
Prof. Dr. Tuti Nuriah M.Pd. 1 1 Universitas Negeri Jakarta 12.
PENGARUH BUDAYA SEKOLAH TERHADAP KINERJA KEPALA SEKOLAH: PENELITIAN PADA KEPALA SMPN DI KOTA ADMINISTRASI JAKARTA TIMUR
106-114
Matin1 13.
PENERAPAN PRINSIP KESANTUNAN DALAM BERBAHASA
115-123
Ninuk Lustyantie1 14.
KONSEP PENDIDIKAN YANG AKOMODATIF TERHADAP NILAI BUDAYA LOKAL DI INDONESIA
124-134
Prof. Dr. R. Madhakomala1 Universitas Negeri Jakarta
1
15.
EFEKTIVITAS PELATIHAN GURU MATA PELAJARAN
135-161
Burhanuddin Tola1 Graduate School, State University of Jakarta
1
16.
PARAMETER ESTIMATION AND EQUATING METHOD ON SMALL SAMPLE SIZE BASED ON ITEM RESPONSE THEORY Wardani Rahayu1 Jakarta State University
1
162-167
17.
PERILAKU GREEN CONSUMERISM MAHASISWA DALAM KAITANNYA DENGAN PEMAHAMAN KONSEP EKOPEDAGOGIK Suwirman Nuryadin1 Program Studi Pendidikan Kependudukan dan Lingkungan Hidup (PKLH) Program Pascasarjana Universitas Negeri Jakarta.
1
168-180
International Conference on Education 2014 Official Conference Proceedings
Sabah, Malaysia
ANALYSIS ACADEMIC SERVICE AT PROGRAM STUDY MAGISTER EDUCATION MANAGEMENT PROGRAM PASCASARJANA STATE UNIVERSITY OF JAKARTA Dwi Deswary1 1
Lecturer Program Study Education Management Program Pascasarjana State University of Jakarta
[email protected] Abstract This Research purpose to know in descriptive about customer expectation to grads will relate networked interest grads, interest what must sharpened according to workplace each grad, and interest what must developed in academic service. Method that used by is method survey customer, that is to describe customer expectations that obtained from questionnaire how many they expect and feel something (derived satisfaction). Result of these research explain be needed competence bases science area (professionalism), visionary leadership, interdisciplinary knowledge broadness science, moral integrity in working, effective communication ability, team cooperation that solid, ability uses Information Technology, ability quiesently and also active, and ability to develop it-self. Prodi MP S2 must sharpen core interest that related to professionality as the education organizer, that is ability in plans, management, and control to good education management at institutional level, area autonomy (Otda), and also at national level. Prodi MP S2 in academic service, that is give service according to need stakeholders. Keyword: Academic service, need stakeholders, Program Study Magister Education Management. PENDAHULUAN Prodi MP S2 berupaya untuk mewujudkan pelayanan prima yang merupakan upaya besar Program Pascasarjana UNJ sebagai Center of Excellent. Wujud yang dapat diberikan oleh Prodi adalah melalui penyediaan layanan akademik dan administratif yang berkualitas, cepat, dan sesuai dengan tuntutan atau kebutuhan stakeholders. Muara dari pelayanan prima ini adalah kepuasan stakeholders Prodi MP S2 Program Pascasarjana UNJ yang meliputi mahasiswa, dosen, pegawai administratif (TU), pengguna lulusan, serta pengguna hasil penelitian dan pengabdian masyarakat. Kompetensi yang diharapkan program studi MP S2 UNJ memang sudah seharusnya dapat menjawab kebutuhan yang diperlukan di dalam dunia kerja para lulusannya. Kompetensi para lulusan ini akan berimbas pada keprofesionalan mereka yang sangat dibutuhkan demi mewujudkan kualitas pendidikan dan daya saing sumber daya manusia (SDM) yang dapat memasuki era pasar bebas minimal di tingkat ASEAN. SDM yang merupakan bagian dari instrumental input dalam sistem penyelenggaraan pendidikan merupakan salah satu infrastruktur utama yang dapat mendukung lembaga ke arah perwujudan mutu yang diharapkan dan daya saing tersebut. Melalui kualitas layanan yang diberikan sebagai salah satu indikator kinerja SDM dapat diketahui apakah suatu lembaga pendidikan akan dapat mencapai efisiensi dan efektivitas pencapaian tujuannya. Untuk itu, dalam suatu lembaga pendidikan diperlukan kemampuan SDM yang prima untuk mengaplikasikan fungsi-fungsi pokok manajemen, yaitu perencanaan, pelaksanaan, dan pengawasan/pembinaan. Kemampuan SDM dalam proses manajemen perlu mengaplikasikan fungsi-fungsi pokok manajemen yang senantiasa berorientasi mutu, yaitu perencanaan mutu, pengendalian mutu, dan peningkatan mutu. Pelaksanaan fungsi-fungsi manajemen yang berorientasi mutu secara efisien dan efektif diarahkan pada peningkatan mutu pendidikan yang diharapkan dapat memenuhi kepuasan pelanggan. Dengan demikian kepuasan pelanggan sebagai respons pelanggan terhadap upaya manajemen di dalam menyediakan produk layanan jasa yang memenuhi harapan pelanggan akan dapat diwujudkan. Untuk memperjelas permasalahan ini, maka penting bagi Prodi untuk mengkaji tentang “Analisis Layanan Akademik pada 1
International Conference on Education 2014 Official Conference Proceedings
Sabah, Malaysia
Program Studi Magister Manajemen Pendidikan (Prodi MP S2) Program Pascasarjana Universitas Negeri Jakarta” guna mewujudkan mutu layanan yang diharapkan. TINJAUAN PUSTAKA Manajemen dan Kinerja Griffin (2004:7) menjelaskan manajemen merupakan rangkaian aktivitas termasuk perencanaan dan pengambilan keputusan; pengorganisasian; kepemimpinan; dan pengendalian yang diarahkan pada sumber daya organisasi (manusia, fisik, dan informasi) dengan maksud untuk mencapai tujuan organisasi secara efektif dan efisien. Kepemimpinan pendidikan yang patut untuk dikaji ulang oleh para pemimpin pendidikan di Indonesia adalah kemampuan di dalam menerapkan apa yang dikatakan tokoh pendidikan Nasional Ki Hajar Dewantara dengan: (a) Ing ngarso sung tulodho,yaitu pemimpin tampil di depan untuk memberikan contoh, keteladanan, mengarahkan, membina, menunjukkan; (b) Ing madyo mangun karso, yaitu pemimpin bekerja bersama staf, dengan memberikan semangat kepada staf/bawahan; dan (c) Tut wuri handayani, yaitu pemimpin memberikan dukungan kepada staf agar dapat bertanggungjawab terhadap tugasnya. Pemimpin yang efektif akan berorientasi pada tugas dan berorientasi pada orang. Blake dan Mouton dalam Griffin (2004:76) menggambarkan sosok seorang pemimpin yang efektif adalah yang fokus pada tugas dan pada orang (9.9). Pada peta kepemimpinan yang efektif, manajemen tim (9.9) dijelaskan bahwa pencapaian kerja didapatkan dari SDM yang memiliki komitmen, saling ketergantungan yang memunculkan hubungan saling percaya dan saling menghormati. Seorang pemimpin pendidikan harus memiliki kemampuan untuk meningkatkan kinerja SDM melalui proses manajemen yang berorientasi pada mutu. Manajemen pendidikan yang bermutu dalam implementasinya memerlukan komunikasi, keterlibatan anggota, dan perencanaan strategik yang berorientasi pada pelanggan. Dalam perkembangan selanjutnya Robbins (2011:599) menjelaskan terdapat tiga tipe dalam perilaku kerja seseorang yang penting diperhatikan seorang pemimpin, yaitu ”task performance, citizenship, dan counterproductivity”. Demikian pula Colquitt (2011:36-47) menjelaskan yaitu ”two categories are task performance and citizenship behavior, both of wich contributes positively to the organization. The third category is counterproductive behavior, wich contributes negatively to the organization”. Soedarmayanti (2001:50) menjelaskan kinerja menurut August W. Smith,” ...output drive from processes, human or otherwise”. Kinerja dapat ditunjukkan pada seseorang, dapat juga pada unit kerja tertentu atau organisasi. Pada pengertian ini kinerja lebih mengarah pada proses kegiatan yang dilakukan SDM. Dalam hal ini Smith telah menggabungkan dua pengertian antara proses dan hasil kerja. Gibson et al., (2009:327) mendefinisikan “job performance is the outcomes of jobs that relate to the purposes of the organization such as quality, efficiency, and other criteria of effectiveness”. Kinerja merupakan hasil pekerjaan yang berhubungan dengan tujuan dari organisasi seperti kualitas, efisiensi, dan kriteria lain demi efektivitas organisasi. Pendapat ini lebih menekankan bahwa kinerja sangat erat kaitannya dengan tujuan sebuah organisasi. Pendapat yang sama disampaikan oleh Schermerhorn (2005:386) yang mengemukakan, “job performance is measured as the quantity and quality of task accomplished by an individual or group“. Kinerja diukur sebagai kuantitas dan kualitas tugas yang dicapai oleh individu atau kelompok. Sementara itu, Jex (2008:114) menjelaskan “job performance is a deceptively simple term. At the most general level, it can be defined simply as ‘‘all of the behaviors employees engage in while at work’’. Kinerja merupakan keseluruhan perilaku karyawan yang terlibat dalam pekerjaan di tempat kerja. Secara ringkas Ivancevich (2003:33) telah menjelaskan 5 hal yang menurut peneliti penting diperhatikan untuk mengukur kinerja seseorang, yaitu berasal dari pribadi pekerja yang bersangkutan, organisasi, perencanaan, strategi pelaksanaan, peningkatan keahlian dan peluang yang diberikan. Demikian pula Scoth A Sneel dan Kenneth N. Wexley dalam Timpe (2002:329) menjelaskan kinerja adalah kulminasi dari tiga elemen yang saling berkaitan yaitu keterampilan, tingkat upaya, dan keadaan eksternal. Untuk membina dan meningkatkan kinerja, Luthans (2008:374) menekankan pada kuantitas atau kualitas sesuatu yang dihasilkan atau jasa yang diberikan oleh seseorang yang melakukan pekerjaan. Hal ini diutarakan dalam pendapatnya bahwa, “behavior performance management is not a good idea to be tried for a while and then cast aside for some other good idea. It is a science that explains how people behave. It can not go away anymore tha gravity can go away. In a changing world, the science of behavior must remain the bedrock, the starting place for every new technology we apply, and every initiative we employee in our effort to bring out the 2
International Conference on Education 2014 Official Conference Proceedings
Sabah, Malaysia
best in people”. Ada beberapa pekerjaan yang berkaitan dengan kinerja kelompok yang harus dimulai dengan pengetahuan atas kerja kelompok bagian terbesar dari sebuah organisasi dan faktor strategi, struktur penyeleksian dan sistem penghargaan serta pemberian hadiah bagi anggota kelompok organisasi yang meraih pencapaian. Payaman J. Simanjuntak (2005:17) menjelaskan pembinaan kinerja merupakan bagian dari aktivitas manajemen kinerja. Dijelaskan bahwa dalam manajemen kinerja seluruh aktivitas merupakan proses berkelanjutan berbentuk siklus yang terdiri dari perencanaan, pembinaan, dan evaluasi. Pengukuran kinerja dalam sistem manajemen kinerja menurut Vincent (2006:212) merupakan alat manajemen untuk menilai keberhasilan maupun kegagalan pelaksanaan strategi untuk mencapai tujuan dan sasaran organisasi. Sedangkan Dale (2002:13), menjelaskan ukuran kinerja yang efektif terdiri dari ukuran kuantitatif, mudah dipahami, seimbang, mudah dipantau, dan dipublikasikan. Dengan demikian, melalui aplikasi pengukuran kinerja SDM yang tepat, upaya manajemen di dalam menyediakan kualitas layanan jasa yang memenuhi harapan pelanggan akan dapat diwujudkan dalam suatu penyelenggaraan pendidikan. Kualitas Layanan (Quality Service)dan Kepuasan Pelanggan Frank M. Gryna, et.al (2007:15) mendefinisikan mutu, sebagai “totality of characteristics of an entity that bear on its ability to satisfy stated and implied needs.” Kualitas layanan dalam kajian ini diidentikkan dengan konsep kualitas jasa (service quality) yang dijelaskan oleh Fandy Ciptono (2005:160-162) sebagai suatu model yang terdiri atas tiga komponen, yaitu kualitas interaksi (interaction quality), kualitas lingkungan fisik (physical environment quality), dan kualitas hasil (outcome quality). Lebih lanjut dalam tulisan Tjiptono dijelaskan, dimensi kualitas interaksi meliputi sikap, perilaku dan keahlian pegawai/karyawan jasa. Dimensi lingkungan fisik terdiri dari kondisi (non visual, seperti temperatur, aroma, musik), desain fasilitas, dan faktor sosial. Disain fasilitas meliputi layout lingkungan, praktikal, maupun estetis (menarik secara visual). Sedangkan faktor sosial berupa jumlah dan perilaku orang dalam setting jasa. Dimensi kualitas hasil merupakan waktu tunggu penyampaian jasa. Waktu tunggu yang diukur merupakan persepsi pelanggan terhadap lamanya waktu menunggu penyampaian jasa. Bukti fisik (tangible evidence) mencerminkan fasilitas fisik yang relevan dalam jasa dan valensi (valence) mengacu pada atribut yang mempengaruhi keyakinan pelanggan bahwa hasil suatu jasa itu baik atau buruk. Dalam penyelenggaraan pendidikan, dimensi-dimensi tersebut akan mewarnai suatu kondisi yang diharapkan oleh para pelanggan baik secara internal maupun eksternal yang akan bermuara pada pencapaian tujuan pendidikan. Dengan demikian, SDM dalam penyelenggaraan pendidikan memerlukan berbagai kompetensi yang relevan dengan perilaku manajerial mereka guna mewujudkan kualitas yang diharapkan. Pandy Tjiptono (1996:100) menjelaskan, dalam pendekatan total quality management (TQM) pelanggan eksternal adalah orang yang membeli dan menggunakan produk perusahaan. Dalam pendekatan TQM, kualitas sangat ditentukan oleh pelanggan. Kotler (1994:40) menjelaskan, kepuasan pelanggan merupakan tingkat perasaan seseorang setelah membandingkan kinerja (hasil) yang ia rasakan dibandingkan dengan harapannya. Beberapa cara/metode dalam pengukuran kepuasan pelanggan antara lain dijelaskan oleh Kotler adalah survei kepuasan pelanggan. Kepuasan pelanggan merupakan sasaran dari suatu upaya manajemen yang dilakukan lembaga baik yang berorientasi pada bisnis (profit) maupun lembaga/organisasi nirlaba (non profit) seperti lembaga pendidikan. Oleh karena itu, pelaksanaan fungsi-fungsi manajemen dalam lembaga pendidikan perlu diarahkan pada upaya peningkatan kualitas layanan yang diharapkan pelanggannya. SDM suatu lembaga pendidikan perlu menyediakan layanan jasa yang berorientasi pada mutu dan melakukan perubahan yang terus menerus (continuous improvement) serta pembelajaran organisasi (learning organization) dalam perilaku kerja mereka. METODE DAN SAMPLING Metode yang digunakan adalah metode survey pelanggan, yaitu mendeskripsikan harapanharapan pelanggan yang diperoleh dari sebaran angket. Metode survey kepuasan pelanggan dilakukan antara lain dengan cara memberikan pertanyaan kepada responden mengenai harapan mereka dan apa yang dirasakan (derived satisfaction). Penelitian ini dilakukan di lembaga-lembaga pendidikan dan Dinas Pendidikan Kabupaten/Kota Wilayah Jakarta, Bogor, dan Bekasi yang stakeholders atau para pegawainya ada yang berasal dari 3
International Conference on Education 2014 Official Conference Proceedings
Sabah, Malaysia
lulusan Prodi MP S2 dengan teknik sampling bertujuan. Sumber data yang digunakan adalah para pengguna (pimpinan/pemilik yayasan), para lulusan Prodi MP S2 Program Pascasarjana Universitas Negeri Jakarta, dan pihak pengguna/konsumen di Lembaga-lembaga Diklat. Data dikumpulkan dengan: (1) kuesioner/angket, dan (2) analisis dokumen, dilakukan untuk menentukan keberadaan alumni Prodi MP S2 PPs UNJ dengan menggunakan data yang ada di bagian akademik dan data yang ada di lapangan (Instansi/lembaga tempat penelitian). Analisis data dilakukan secara deskriptif dilanjutkan dengan melakukan interpretasi dan pemaknaan pada setiap hasil informasi yang berhasil dijaring. Tahapan yang dilakukan meliputi: (1) Data Collection, (2) Data Reduction, (3) Data Display, dan (4) Data Verifikasi. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN Hasil Penelitian Integritas (Etika dan Moral) Integritas terkait dengan keutuhan atau totalitas yang dimiliki oleh seseorang baik dari segi etika maupun moral. Sedangkan etika merupakan pola perilaku seseorang sebagai suatu kelaziman yang dapat diterima umum dalam berinteraksi dengan lingkungannnya, etika terkait dengan ukuran baik dan buruk. Sedangkan moral merujuk pada nilai-nilai yang diyakini dan menjadi semangat dalam diri seseorang untuk melakukan atau tidak melakukan sesuatu. Diperoleh hasil terkait integritas dapat dilihat pada gambar berikut: Integritas (Etika dan Moral)
15% Sangat Diperlukan Cukup Diperlukan
85%
Gambar 1. Integritas lulusan Manajemen Pendidikan
Keahlian berdasarkan bidang ilmu (profesionalisme) Setiap lulusan diharapkan profesional di bidangnya. Dalam hal ini para lulusan manajemen pendidikan dituntut untuk profesional dalam mengelola pendidikan. Diperoleh hasil terkait kemampuan profesionalisme pada gambar berikut: Profesionalisme 2%
Sangat Diperlukan Cukup Diperlukan 98%
Gambar 2. Profesionalisme lulusan Manajemen Pendidikan
4
International Conference on Education 2014 Official Conference Proceedings
Sabah, Malaysia
Keluasan Wawasan antar Disiplin Ilmu Di samping dituntut untuk memiliki kemampuan dalam disiplin ilmunya, setiap lulusan juga diharapkan memiliki keluasan wawasan di luar disiplin ilmu manajemen pendidikan sebagai penunjang dalam berinteraksi dan bahkan dalam membantu mempercepat penyelesaian tugasnya. Diperoleh hasil terkait kemampuan keluasan wawasan antar disiplin ilmu dapat dilihat pada gambar berikut:
12% Keluasan wawasan antar disiplin ilmu 1% Sangat Diperlukan Cukup Diperlukan 87%
Kurang Diperlukan
Gambar 3. Keluasan wawasan antar disiplin ilmu lulusan Manajemen Pendidikan
Kepemimpinan Sesuai dengan bidang studi yang digeluti, seorang lulusan manajemen pendidikan diharapkan memiliki jiwa kepemimpinan yang baik, yakni kemampuan untuk mempengaruhi orang lain ke arah pencapaian tujuan dengan kemauan dan antusiasme yang tinggi. Diperoleh hasil terkait kemampuan kepemimpinan dapat dilihat pada gambar berikut:
3%
Kepemimpinan 2% Sangat Diperlukan Cukup Diperlukan 95%
Kurang Diperlukan
Gambar 4. Kepemimpinan lulusan Manajemen Pendidikan
Kerjasama dalam tim Kerjasama dalam tim terkait dengan kerjasama antara 2 orang atau lebih yang bersinergi secara intensif untuk mencapai tujuan. Orang-orang yang berada di dalamnya harus saling melengkapi, saling percaya, saling menghargai, serta saling mendorong dan membantu dalam semangat kebersamaan. Diperoleh hasil terkait kemampuan di dalam kerjasama tim dapat dilihat pada gambar berikut:
5
International Conference on Education 2014 Official Conference Proceedings
Sabah, Malaysia
Kerjasama dalam tim 7% 1% Sangat Diperlukan
21%
Cukup Diperlukan 71%
Kurang Diperlukan Tidak Diperlukan
Gambar 5. Kerjasama dalam tim lulusan Manajemen Pendidikan
Bahasa Asing Kemampuan dalam berbahasa asing saat ini menjadi suatu kebutuhan, terutama dalam penguasaan bahasa inggris yang sudah menjadi bahasa internasional. Dari hasil persentase, sebagian besar kemampuan bahasa asing masih sangat diperlukan untuk mendukung lancarnya pekerjaan yang dihadapi para lulusan. Selanjutnya dapat dilihat pada gambar berikut:
Bahasa Asing 3% 29%
Sangat Diperlukan Cukup Diperlukan
68%
Kurang Diperlukan
Gambar 6. Kemampuan berbasahasa asing
Komunikasi Komunikasi merupakan modal utama seseorang untuk dapat berinteraksi satu sama lain. Di dalam komunikasi terjadi transfer informasi/pesan-pesan dari komunikator ke komunikan yang di dalam prosesnya terjadi feedback agar terjadi saling pengertian di antara kedua belah pihak. Selanjutnya dapat dilihat pada gambar berikut:
Komunikasi 18% Sangat Diperlukan 82%
Cukup Diperlukan
Gambar 7. Komunikasi lulusan Manajemen Pendidikan
6
International Conference on Education 2014 Official Conference Proceedings
Sabah, Malaysia
Penggunaan Teknologi Informasi (TI) Sama halnya dengan kemampuan dalam berbahasa asing, penggunaan teknologi informasi saat ini sudah menjadi tool yang sangat membantu mempermudah pekerjaan sehari-hari. Dalam penyelenggaraan pendidikan TI dapat digunakan untuk meng-update pengetahuan terkait disiplin ilmu yang digeluti yang senantiasa berkembang. Sebagian besar lulusan perlu dibekali dengan kemampuan mengaplikasikan TI dalam mendukung pekerjaannya. Selanjutnya dapat dilihat pada gambar berikut: Penggunaan Teknologi Informasi 9%
1%
20% 70%
sangat Diperlukan Cukup Diperlukan Kurang Diperlukan Tidak Diperlukan
Gambar 8. Penggunaan Teknologi Informasi Lulusan Manajemen Pendidikan
Pengembangan diri Pengembangan diri terkait dengan kemampuan lulusan untuk secara aktif meningkatkan profesionalismenya melalui berbagai kegiatan, baik dengan mengikuti berbagai seminar, lokakarya, mengikuti diklat, dan bergabung dalam forum-forum ilmiah sesuai dengan bidang tugasnya. Diperoleh hasil terkait kemampuan pengembangan diri dapat dilihat pada gambar berikut: Pengembangan Diri 3% 2% 30% 65%
Sangat Diperlukan Cukup Diperlukan Kurang Diperlukan Tidak Diperlukan
Gambar 9. Pengembangan diri lulusan Manajemen Pendidikan
Harapan Konsumen terkait Kompetensi yang Dimiliki Para Lulusan. Para lulusan MP S2, misalnya mereka yang bergerak di bidang layanan seperti Staf Administrasi Sekolah (TU) dapat melakukan layanan yang lebih baik lagi untuk dapat memuaskan pelanggan. Keterampilan di bidang mengapilkasikan TI diharapkan lebih meningkat, demikian juga di bidang komunikasi, kerjasama, integritas, dan kemampuan lainnya yang diperlukan untuk melakukan dukungan layanan akademik. Pada kompetensi layanan seperti untuk bidang tupoksi guru, diharapkan para guru akan lebih banyak memiliki kepekaan yang tinggi di dalam tugas-tugasnya yang terkait dengan penguasaan komunikasi yang lebih baik sehingga pembelajaran yang dilakukannya lebih bermakna. Seorang guru perlu memiliki kepemimpinan yang patut “digugu” dan “ditiru”, melakukan kerjasama dengan stakeholders yang transparan, etika dan moral yang tinggi, dan menguasai TI untuk menghadapi era global demi menghasilkan para lulusan yang siap bersaing di lapangan kerja terutama untuk siswasiswa SLTA. 7
International Conference on Education 2014 Official Conference Proceedings
Sabah, Malaysia
Pada kompetensi layanan seperti kepala sekolah, diharapkan terwujud pemimpin-pemimpin yang amanah karena mereka telah memiliki etika dan moral yang tinggi yang memahami tugas pokok dan fungsinya sebagai pelayan masyarakat di bidang pendidikan dan bukan sebagai orang yang harus dilayani. Fungsi layanan yang dapat memuaskan pelanggan baik secara internal maupun eksternal sangat diharapkan muncul dari pemimpin-pemimpin pendidikan di era persaingan yang semakin ketat ini. Para kepala sekolah selaku pemimpin dalam suatu sistem penyelenggaraan pendidikan harus memiliki kemampuan komunikasi yang prima, menguasai bahasa asing, kepemimpinan yang dapat menyesuaikan dengan situasi yang dihadapi, kerjasama tim yang sangat baik, selalu siap untuk mengembangkan diri dalam bentuk learning organization bersama rekan kerjanya, dan tentu saja memiliki kemampuan TI yang memadai sebagai seorang pemimpin yang profesional di bidangnya. Sedangkan pada kompetensi kepengawasan, bagi lulusan MP S2 yang akan berkiprah sebagai seorang calon atau sudah menjadi pengawas di lembaga satuan pendidikan, maka diharapkan para lulusan ini lebih memiliki kompetensi yang memadai di bidang layanan kepengawasan seperti mampu melakukan penilaian yang objektif, mampu melakukan umpan balik sesuai dengan hasil temuannya dan mampu melakukan pembinaan yang sifatnya continuous improvement. Di samping itu, bagi para calon pengawas dan para pengawas, diharapkan mereka lebih menguasai keilmuan yang inter dan antar disiplin sehingga perilaku mereka di dalam bekerja akan lebih profesional, menguasai kepemimpinan yang egaliter, memiliki tanggung jawab moral yang tinggi akan tugas-tugasnya, dan memiliki kemampuan yang tinggi di dalam TIK untuk dapat menjawab kebutuhan stakeholders yang ada di bawah binaannya. Kemampuan TIK sudah menjadi kebutuhan yang sangat mendasar terutama bagi para pemimpin pendidikan di era global ini. Komunikasi tidak harus lagi dilakukan dengan komunikasi yang sifatnya langsung, tetapi bisa dengan berbasis TIK. Dengan demikian, para pemimpin pendidikan ini akan siap berdialog dengan mitra kerjanya di mana pun dan kapan pun sesuai kebutuhan stakeholders yang memerlukannya. Pada kompetensi layanan yang terkait dengan lembaga Pendidikan dan Pelatihan (Diklat), diharapkan para lulusan MP S2 yang berada pada bidang ini lebih dapat melayani dengan baik kebutuhan peserta diklat sehingga lebih memberikan kepuasan layanan baik secara internal maupun eksternal lembaga. Instruktur maupun para staf administrasi yang bekerja pada lembaga Diklat lebih memiliki kemampuan di bidang komunikasi, siap melakukan perubahan dengan melakukan pembelajaran dan pengembangan diri secara terus menerus, integritas dan kejujuran yang tinggi, objektif dalam penilaian, menjadi pemimpin yang dapat dijadikan panutan, dan menguasai TIK dengan baik. Pada kompetensi layanan yang terkait dengan tugas pokok dan fungsi para pengelola pendidikan di lembaga-lembaga pendidikan baik negeri maupun swasta seperti di Dinas Pendidikan, Yayasanyayasan pendidikan dan lembaga swasta non kependidikan, diharapkan para lulusannya memiliki kemampuan yang prima di dalam memberikan pelayanan kepada stakeholders-nya. Para lulusan MP S2 diharapkan memiliki integritas, kejujuran, dan komitmen yang tinggi di dalam memberikan layanan, kemampuan komunikasi seperti mampu berbahasa asing yang lebih baik, kemauan untuk selalu mengembangkan diri, kepemimpinan yang visioner, mampu bekerjasama dalam tim yang solid, dan kemampuan TIK yang lebih baik. Kompetensi yang perlu dipertajam dari para lulusan di tempat kerjanya masing-masing. Beberapa kompetensi yang perlu dipertajam dari para lulusan MP S2 diurutkan sesuai masukan stakeholders sebagai berikut: (1) Kompetensi inti yang terkait dengan keprofesionalan sebagai pengelola pendidikan, yaitu para lulusan MP S2 benar-benar memiliki kemampuan di dalam merencanakan, mengelola, dan mengendalikan/mengawasi penyelenggaraan pendidikan baik pada level nasional maupun pada level otonomi daerah (Otda). (2) Kompetensi yang terkait dengan kompetensi pendukung, yaitu para lulusan MP S2 benar-benar memiliki kemampuan di dalam mengelola penyelenggaraan pendidikan dengan berbasis TIK, kemampuan berbahasa asing seperti berbahasa Inggris, dan kemampuan terkait dengan kompetensi moral dan karakter, yaitu kemampuan kerjasama yang baik, transparan, jujur, penuh integritas, dan komitmen serta perhatian yang tinggi. Sesuai dengan tugas pokok dan fungsinya (Tupoksi), para lulusan MP S2 diharapkan: (1) Bagi Kepala Sekolah, yaitu memiliki kompetensi manajerial, supervisi akademik, kompetensi pengawas dan kepengawasan, kompetensi riset tindakan sekolah untuk memperbaiki kinerja, kompetensi kewirausahaan, analisis kohor untuk memahami koefisien efisiensi internal penyelenggaraan 8
International Conference on Education 2014 Official Conference Proceedings
Sabah, Malaysia
pendidikan di sekolahnya, penyusunan rencana strategik sekolah (Renstra sekolah), kompetensi penyusunan RAPBS, kompetensi pengelolaan, dan pengembangan SDM. (2) Bagi Pengawas Sekolah, yaitu memiliki kompetensi supervisi dan evaluasi, kompetensi pengawas dan kepengawasan, kompetensi riset kepengawasan untuk perbaikan kinerja, kompetensi kewirausahaan, kompetensi analisis kohor, kompetensi mengelola dan mengembangkan SDM pendidikan. (3) Bagi para Guru, yaitu memiliki kompetensi kewirausahaan, analisis kohor pendidikan untuk memahami koefisien efisiensi internal penyelenggaraan pendidikan di sekolahnya, kompetensi penyusunan RAPBS, kompetensi mengelola dan mengembangkan SDM pendidikan. (4) Bagi para tenaga struktural, yaitu kompetensi pengembangan sumber daya pendidikan. Dalam layanan akademik di Prodi MP S2 yang perlu diperhatikan, yaitu terkait dengan keprofesionalan para pengajarnya. Para dosen di Prodi MP S2 khususnya yang mengajarkan kompetensi utama diharapkan linear dalam keilmuan di bidang manajemen pendidikan mulai S1 hingga S3. Dengan demikian, ada jaminan tidak terjadi kekeliruan dalam menjelaskan suatu konsep di dalam keilmuan manajemen pendidikan dan dalam memberikan ilustrasi atau gambaran yang terjadi di lapangan secara jelas. Kematangan konsep dan pengalaman empiris dari para dosen akan membantu para mahasiswa terlatih di dalam menyelesaikan suatu masalah sesuai keilmuan yang didapatnya secara proporsional. Pembahasan Beberapa kompetensi yang sangat diperlukan, yakni kompetensi keahlian berdasarkan bidang ilmu (profesionalisme), kepemimpinan visoner, keluasan wawasan antar disiplin ilmu, integritas/moral dalam bekerja, kemampuan komunikasi yang efektif, kerjasama tim yang solid, kemampuan menggunakan teknologi informasi, kemampuan berbahasa asing secara pasif maupun aktif, dan kemampuan untuk mengembangkan diri. Hal ini membuktikan bahwa kemampuan profesional sangat diperlukan di dalam melakukan tugas pokok dan fungsi sesuai bidang pekerjaan mereka. Hal ini sudah menjadi tuntutan bagi peningkatan profesionalisme mereka yakni harus senantiasa mampu memimpin dengan kepemimpinan yang visioner yang siap melakukan perubahan. Dengan kepemimpinan yang visioner, maka mereka akan selalu melakukan pembelajaran untuk keluasan wawasan antar disiplin ilmu yang diiringi dengan integritas moral dalam bekerja yang juga tinggi. Di samping itu para pengelola pendidikan juga diharapkan memiliki kemampuan komunikasi yang efektif sehingga kerjasama dalam tim pun akan berjalan sangat baik dan solid di dalam mewujudkan tujuan organisasi di mana mereka bekerja. Demikian pula untuk kemampuan di dalam menggunakan teknologi informasi, kemampuan berbahasa asing, dan melakukan pengembangan diri yang perlu terus dilakukan di dalam mewujudkan pribadi-pribadi profesional yang dapat dijadikan sebagai asset lembaga. Kesadaran dalam diri individu untuk senantiasa mengembangkan diri, hal ini agar mereka tidak tertinggal oleh perkembangan zaman yang senantiasa menuntut untuk memperbaharui diri. Untuk itu Prodi MP S2 perlu untuk melakukan penjabaran yang lebih proporsional di dalam setiap deskripsi dari mata kuliah yang diberikan. Strategi pembelajaran yang telah baik perlu dipertahankan dan dikembangkan dengan komitmen memberikan layanan yang prima untuk kepuasan pelanggan secara eksternal. Demikian pula dalam layanan yang diberikan secara internal, perlu lebih memperhatikan kebutuhan sarana pendukung pembelajaran dalam bentuk keberadaan sumber kepustakaan yang relevan dengan Prodi MP S2, sumber-sumber kepustakaan yang menunjang, fasilitas pembelajaran yang memadai dan siap pakai dengan kondisi prima, ruangan kelas yang nyaman, dan strategi pembelajaran yang lebih variatif yang dilakukan oleh setiap pendidik sesuai kebutuhan pembelajaran yang akan diberikan. Untuk kompetensi kerjasama tim yang solid dan penggunaan teknologi informasi, Prodi MP S2 masih perlu meningkatkan layanan pada pencapaian kompetensi ini yang terintegrasi di dalam setiap deskripsi kompetensi mata kuliah yang diberikan. Kompetensi ini merupakan softskill yang harus dimiliki oleh setiap lulusan di dunia kerja. Organisasi yang berhasil lebih disebabkan adanya kerjasama tim yang berjalan efektif. Kedua kompetensi tersebut memegang peran penting bagi kesempurnaan penyelesaian pekerjaan apalagi dalam menghadapi era pasar bebas yang mengindikasikan akan terjadi persaingan yang sangat ketat dalam memperoleh pasar kerja. Hal ini menunjukkan bahwa ilmu yang diperoleh selama kuliah perlu didesain untuk dapat menjawab kebutuhan dunia kerja dan sesuai dengan bidang kerja yang mereka masuki (aplicable). Usaha meningkatkan kemampuan dalam berbahasa Inggris dan kemampuan untuk selalu mengembangkan diri diintegrasikan dalam setiap deskripsi pada mata kuliah yang diberikan. Kemampuan berbahasa Inggris baik secara pasif maupun aktif, dibiasakan sejak di bangku kuliah. 9
International Conference on Education 2014 Official Conference Proceedings
Sabah, Malaysia
Sedangkan pada kemampuan untuk selalu mengembangkan diri, kompetensi ini terus dirangsang melalui strategi pembelajaran yang lebih variatif yang diberikan oleh para pendidik sehingga cara pembelajaran yang mereka alami akan membangkitkan motivasi pada diri mahasiswa untuk menggali lebih dalam secara mandiri maupun di bawah pengawasan para pendidiknya dalam bentuk pemberian tugas yang lebih merangsang berpikir kreatif dan imaginatif. Untuk harapan konsumen terhadap para lulusan terkait kompetensi yang dimiliki para lulusan, maka Prodi MP S2 perlu memperhatikan masing-masing tugas pokok dan fungsi para stakeholders seperti kepala sekolah, guru, pengawas, tata usaha, Lembaga Diklat, Lembaga Dinas Pendidikan, dan Yayasan-yayasan pendidikan. Demikian pula pada kompetensi yang perlu dipertajam, akan sangat disesuaikan dengan tupoksi stakeholders. Kompetensi yang paling menarik untuk dipertajam misalnya kompetensi inti yang terkait dengan keprofesionalan sebagai pengelola pendidikan, yaitu para lulusan MP S2 memiliki kemampuan di dalam mengaplikasikan fungsi-fungsi manajemen seperti merencanakan, mengelola, dan mengendalikan/mengawasi penyelenggaraan pendidikan baik pada level institusional, otonomi daerah (Otda) maupun level nasional. Seperti yang dijelaskan oleh Hoy (2001:25),”management is the process of planning, organizing, leading, and controlling that encompasses human, material, financial and information resources is an organizational envirounment”. Demikian pula Griffin (2004:7) menambahkan, manajemen merupakan rangkaian aktivitas perencanaan dan pengambilan keputusan; pengorganisasian; kepemimpinan; dan pengendalian yang diarahkan pada sumber daya organisasi (manusia, fisik, dan informasi) dengan maksud untuk mencapai tujuan organisasi secara efektif dan efisien. Peningkatan mutu pendidikan sebagai salah satu upaya manajemen perlu direncanakan, dikelola, dan dikendalikan secara profesional dengan strategi yang tepat. Kompetensi yang terkait dengan kompetensi pendukung, yaitu para lulusan MP S2 perlu memiliki kemampuan di dalam mengelola penyelenggaraan pendidikan dengan berbasis TIK; kemampuan berbahasa asing seperti berbahasa Inggris; dan kemampuan terkait dengan kompetensi moral dan karakter, yaitu kemampuan kerjasama yang baik, transparan, jujur, penuh integritas, dan komitmen serta perhatian yang tinggi. Sedangkan kompetensi yang perlu dikembangkan dalam layanan akademik, yaitu memperkaya kemampuan sesuai tugas pokok dan fungsi (Tupoksi) bagi para kepala sekolah, pengawas, guru dan tenaga struktural pendidikan. Kualitas layanan dalam kajian ini diidentikkan dengan konsep kualitas jasa (service quality) yang dijelaskan oleh Fandy Ciptono (2005:160-162) sebagai suatu model yang terdiri atas tiga komponen, yaitu kualitas interaksi (interaction quality), kualitas lingkungan fisik (physical environment quality), dan kualitas hasil (outcome quality). Selanjutnya Rust & Oliver (1994) dalam tulisan yang sama juga menjelaskan konseptualisasi model ini didasarkan pada tiga komponen model “service product, service delivery, dan service environment”. Lebih lanjut dalam tuisan Tjiptono dijelaskan, dimensi kualitas interaksi meliputi sikap, perilaku dan keahlian pegawai/karyawan jasa. Dimensi lingkungan fisik terdiri dari kondisi (non visual, seperti temperatur, aroma, musik), desain fasilitas, dan faktor sosial. Dimensi fasilitas meliputi layout lingkungan, praktikal, maupun estetis (menarik secara visual). Sedangkan faktor sosial berupa jumlah dan perilaku orang dalam setting jasa. Dimensi kualitas hasil merupakan waktu tunggu penyampaian jasa. Waktu tunggu yang diukur merupakan persepsi pelanggan terhadap lamanya waktu menunggu penyampaian jasa. Bukti fisik (tangible evidence) mencerminkan fasilitas fisik yang relevan dalam jasa dan valensi (valence) mengacu pada atribut yang mempengaruhi keyakinan pelanggan bahwa hasil suatu jasa itu baik atau buruk. Dengan demikian, penting bagi Prodi MP S2 untuk memberikan kualitas layanan yang diharapkan pelanggan (stakeholders). Kompetensi lulusan tersebut harus dapat memenuhi kebutuhan atau harapan pelanggan (stakeholders) dalam melaksanakan tugas pokok dan fungsi mereka sesuai bidang kerjanya masing-masing. KESIMPULAN DAN REKOMENDASI Kesimpulan Beberapa kompetensi yang sangat diperlukan diurutkan sesuai jumlah persentase jawaban stakeholders, yakni keahlian berdasarkan bidang ilmu (profesionalisme), kepemimpinan visoner, keluasan wawasan antar disiplin ilmu, integritas moral dalam bekerja, kemampuan komunikasi yang efektif, kerjasama tim yang solid, kemampuan menggunakan teknologi informasi, kemampuan 10
International Conference on Education 2014 Official Conference Proceedings
Sabah, Malaysia
berbahasa asing secara pasif maupun aktif, dan kemampuan untuk mengembangkan diri. Untuk kompetensi kerjasama tim yang solid dan penggunaan teknologi informasi sangat diperlukan oleh para stakeholders, Prodi MP S2 perlu meningkatkan layanan pada pencapaian kompetensi ini yang terintegrasi di dalam setiap deskripsi kompetensi mata kuliah yang diberikan. Selain itu pada kompetensi kerjasama dalam tim yang solid merupakan softskill yang harus dimiliki oleh setiap lulusan. Usaha meningkatkan kemampuan dalam berbahasa Inggris dan kemampuan untuk selalu mengembangkan diri tetap menjadi kompetensi yang perlu dikembangkan dan diintegrasikan dalam setiap deskripsi pada mata kuliah yang diberikan. Kemampuan berbahasa Inggris baik secara pasif maupun aktif, perlu dibiasakan sejak di bangku kuliah. Sedangkan pada kemampuan untuk selalu mengembangkan diri, kompetensi ini perlu terus dirangsang melalui strategi pembelajaran yang lebih variatif yang lebih merangsang berpikir kreatif dan imaginatif. Untuk harapan konsumen terhadap para lulusan terkait kompetensi yang dimiliki para lulusan, maka Prodi MP S2 perlu memperhatikan masingmasing tugas pokok dan fungsi kepala sekolah, guru, pengawas, Tenaga Administrasi (TU), Lembaga Dilklat, Lembaga Dinas Pendidikan, dan Yayasan-yayasan pendidikan. Demikian pula pada kompetensi yang perlu dipertajam, disesuaikan dengan tupoksi stakeholders. Kompetensi yang paling menarik untuk dipertajam misalnya kompetensi inti yang terkait dengan keprofesionalan sebagai pengelola pendidikan, yaitu para lulusan MP S2 memiliki kemampuan di dalam mengaplikasikan fungsi-fungsi manajemen seperti merencanakan, mengelola, dan mengendalikan/mengawasi penyelenggaraan pendidikan baik pada level institusional, otonomi daerah (Otda), maupun level nasional. Kompetensi yang terkait dengan kompetensi pendukung, yaitu para lulusan MP S2 memiliki kemampuan di dalam mengelola penyelenggaraan pendidikan dengan berbasis TIK; kemampuan berbahasa asing seperti berbahasa Inggris; dan kemampuan terkait dengan kompetensi moral dan karakter, yaitu kemampuan kerjasama yang baik, transparan, jujur, penuh integritas, dan komitmen serta perhatian yang tinggi. Dalam layanan akademik di Prodi MP S2 perlu memperhatikan keberadaan dosen yang diharapkan memiliki kemampuan konsep dan pengalaman empiris yang linear dengan bidang keilmuan manajemen pendidikan khususnya pada pencapaian kompetensi utama dari para lulusan. Rekomendasi Dalam proses perkuliahan, para mahasiswa yang akan menjadi lulusan perlu diberikan pemahaman dan pengalaman empiris akan pentingnya meningkatkan keprofesionalan mereka untuk masuk dalam dunia kerja. Lembaga PPs dan Prodi MP S2 perlu menyediakan dosen-dosen yang linear dengan keilmuan di bidang manajemen pendidikan dan fasilitas pembelajaran yang memadai seperti perpustakaan dengan referensi yang relevan dan menunjang, menyediakan hotspot area yang memadai, dan mengadakan kuliah umum/terbuka melalui strategi visiting professor dari Perguruan Tinggi lain atau memanggil nara sumber sesuai bidang keahliannya minimal satu kali dalam satu semester. Untuk meningkatkan kompetensi inti dapat dilakukan dengan cara para lulusan sering meng-update informasi melalui berbagai media yang tersedia, baik cetak maupun elektronik dalam bentuk jurnal ilmiah hasil penelitian, kajian teoretik, dan meng-upgrade kemampuan mahasiswa dalam mengembangkan wawasan melalui penggunaan teknologi informasi dan komunikasi (TIK) serta melakukan riset-riset yang relevan terkait implementasi keilmuan Manajemen Pendidikan secara mandiri atau berkolaborasi dengan para dosennya. Untuk meningkatkan kompetensi baik kompetensi inti maupun pendukung, para mahasiswa, pendidik/dosen, dan pengelola Prodi MP S2 serta PPs UNJ, perlu berkolaborasi dengan mitra kerja terkait di dalam pengembangan keterampilan yang dibutuhkan melalui sistem pelatihan atau workshop dengan sekolah/lembaga-lembaga yang menjadi binaan Prodi MP S2 dan lembaga PPs UNJ. DAFTAR PUSTAKA Dale A. Timpe, (2002), Kinerja Seri Ilmu dan Seri Manajemen Bisnis, terjemahan Budidharma, Jakarta: PT. Alex Media Komputindo, Fandy Tjiptono, Anastasia Diana, (1996), Total Quality Management, Yogyakarta: Andi Offset, Fandy Tjiptono, Gregorius Chandra, (2005), Service, Quality, Satisfaction, Yogyakarta: Andi Offset, Fred Luthans. (2008), Organizational Behavior, New York: McGraw-Haill, Gibson et al., (2009), Organization: Behaviour, Structure, Processes, England: Pearson education limited, 11
International Conference on Education 2014 Official Conference Proceedings
Sabah, Malaysia
Gryna Frank M., et.al., (2007), Juran’s Quality Planning and Analysis For Enterprise Quality 5th ed., Singapore: McGraw-Hill, Griffin, Ricky Manajemen, (2004), alih bahasa Gina Gania, Wisnu Chandra Kristiaji, Jakarta, Erlangga, Ivanceivich, John M., James H. Deadly, Jr. L. James Gibson, (2003), Management India: ALTBS Publisher, Jason A. Colquitt, Jeffery A. LePine, dan Michael J. Wesson, (2011), Organizational Behavior: Improving Performance and Commitment in the Workplace, Second Edition, New York: McGraw-Hill, Jex, M. Steve, Thomas W. Britt, (2008), Organizational Psychology: A Scientist-Practitioner Approach, New York: John Wiley & Sons, Jhon R. Schermerhorn, (2005), Management, USA: Jhon Wiley and Sons Inc., Kotler, P., (1994), Marketing Management: Analysis,Planning, Implementation, and Control, N.J.: Prentice Hall International, Inc., Robbins,Organizational Behavior, New Jersey: Pearson Education, Inc., Prentice Hall, 2011 Simanjuntak J. Payaman, (2005), Manajemen dan Evaluasi Kinerja, Jakarta: Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia, Soedarmayanti, (2001), SDMatau ProduktIvitas Kerja, Bandung: Mandar Maju, Vincent Gaspersz, (2006), Sistem Manajemen Kinerja Terintegrasi Balanced Scorecard dengan Six Sigma untuk Organisasi Bisnis dan Pemerintah, Jakarta: PT. Gramedia,
12
International Conference on Education 2014 Official Conference Proceedings
Sabah, Malaysia
MULTIDIMENSIONAL RELIABILITY OF INSTRUMENT FOR MEASURING ATTITUDES TOWARD PHYSICS USING SEMANTIC DIFFERENTIAL SCALE Gaguk Margono1 1
Program Studi Penelitian dan Evaluasi Pendidikan, Program Pasca Sarjana Universitas Negeri Jakarta, Kampus UNJ, Jl. Rawamangun Muka, Rawamangun, Jakarta 13220
[email protected] Abstract The purpose of this paper is to compare multidimensional and unidimensional reliability on instrument for measuring attitude toward physics using semantic differential scale. Multidimensional reliability measurement is rarely used in the field of research. Multidimensional reliability is estimated by using Confirmatory Factor Analysis (CFA) on the Structural Equation Model (SEM). Measurements and calculations are described in this article using instrument of attitude toward physics with used semantic differential scale. Survey method used in this study and sampling used simple random sampling. This instrument has been tried out to 116 students. The result of the calculation is concluded that the measuring instrument of attitude toward physics using semantic differential scale by used multidimensional reliability coefficient has higher accuracy when compared with a unidimensional reliability coefficient. Expected in advanced research using another formula multidimensional reliability, including when using SEM. Keywords: multidimensional reliability, attitudes toward physics using semantic differential scale, confirmatory factor analysis INTRODUCTION In education and psychology, good judgment requires reliable or trustworthy measurement. According to Naga (1992), educational and psychological measurements include several things. First, measure the latent trait which is invisible to the respondent. Secondly, measure the characteristics of the latent form of the respondents’ questionnaire that given stimulus or appropriate measuring instruments. Third, stimulus responded by respondents with expectations correctly reflects the response of latent trait. Fourth, the response can be scored and interpreted adequately. Then, some questions rise up such as which scores accurately reflect the latent trait? Did the instrument reveal unseen latent traits properly? The next question regards to validity. In associate to reliability, can responses given by the participants be believed to be used as material for scoring psychological attributes? According to Wiersma (1986) reliability is the consistency of an instrument to measure something to be measured. Reliability indicates the extent to which the results of measurements with the device can be trusted. Therefore, reliability is an index that indicates the extent to which a measure can be reliable or unreliable. When an instrument is used repeatedly to measure the same symptoms and the results obtained are relatively stable or consistent, then the reliable the instrument is. In other words, the measurement results are expected to be the same if the measurements are repeated. By operating variance approach, Kerlinger (2000) developed two definitions of reliability: (1) it is the proportion of "true" variance to the total variance obtained from the data. The equation rtt v vt can be explained as follows: v is pure variance and vt is the total variance, and (2) it is the proportion of variance erroneously generated by a measuring instrument that is deductible at 1.00, with an index of 1.00 indicates perfect reliability coefficients. It can be written with equation: rtt 1 ve vt where ve is error variance and vt is the total variance. Therefore, reliability is an index that indicates the extent to which a measure can be reliable or unreliable. Generally, there are three major categories of measurement reliability: (1) type of stability (e.g. retest, parallel forms, and alternate forms), (2) type of homogeneity or internal consistency (e.g. split half, Kuder-Richardson, Cronbach's alpha, theta and omega), and (3) type equivalent (e.g. parallel to 13
International Conference on Education 2014 Official Conference Proceedings
Sabah, Malaysia
the item of alternate forms and inter-rater reliability. The instrument was given to one group of subjects and in a certain way is calculated to estimate reliability. This once application measurement approach generates information about the internal consistency of the instrument. Internal consistency used to measure statements or to reflect the same aspect of item homogeneity statement. Furthermore, how the test can be a good instrument shown by the following scheme in
Figure 1: Scheme of Instruments and Testing Methods of Validity and Reliability. Adapted from Sugiyono (2010), Metode penelitian pendidikan (Bandung: Alfabeta).
The higher the reliability coefficient, the closer the value of observation scores with actual scores, so a score of observation can be used as a substitute for the real component of the score. Size of high or low reliability coefficient is not only determined by the value of the coefficient. The interpretation of high and low coefficient value obtained through computation is also determined by the standard disciplines involved in the measurement. The higher the coefficient of reliability of an instrument, the possibility of errors which occur will be smaller Commonly, measurement of affective characteristics provide lower reliability coefficient than measurement of cognitive, because cognitive characteristics tend to be more stable than affective characteristics. According to Gable (1986) cognitive reliability coefficient of the instrument is usually about 0.90 or more, whereas affective instrument reliability coefficient is less than 0.70. Level of reliability coefficient of 0.70 or more is generally accepted as a good reliability (Litwin, 1995). However, Naga (1992) says that adequate reliability coefficient should be above of 0.75.
14
International Conference on Education 2014 Official Conference Proceedings
Sabah, Malaysia
LITERATURE REVIEW Psychological measurement always applies test validity and reliability. But in field of psychometrics, still there is not agreement among experts about reliability coefficient or formula used by researchers for gaining reliability. It is caused by some issues: first, many researchers who considered as quite competent researchers still give less precise report of reliability of their measurements result (Thompson, 1994). Second, reliability coefficients used by researchers are considered as monotonous calculation without having assumptions underlie the coefficient. The researchers do not acknowledge well the use of alpha coefficients. In addition, they also do not realize that this coefficient requires assumptions which are difficult to fulfill. If the assumptions are not met then the result of alpha coefficient estimates the lowest limit value. Many researchers only focus on use of coefficient alpha to estimate reliability. Cronbach 's alpha coefficient is famous because of some factors: 1) computational technique used is relatively easy, as it only requires information such as total score variance, and 2) the sampling distribution is already known that the determination of confidence intervals on the population is exceedingly possible (Feld et al., 1987). Third, the problem associated with assumption in estimating reliability. In empirical realm that requires nature of parallel, the use of tau-equivalent term becomes a tough challenge for researchers in developing measurement instruments. This is supported by Kamata et al (2003) who found that the assumption of equality, the power of discrimination between test components, and unidimensionality measurement are relatively difficult to achieve. If the assumption of tau-equivalent essentially cannot be met, then the coefficient alpha reliability values which produced are very small, so it is below the estimated coefficients. Fourth, discourse of unidimensiononality measurement becomes measurement problem. Unidimensionality is an important aspect in estimating reliability. In psychological measurement, unidimension results are very difficult to achieve, especially in context of personality domain that contains broad area variances traits. Socan (2000) writes that factor analysis of several studies conducted many cases of multidimensional rather than unidimensional. According to the Latan (2012) Structural Equation Modeling (SEM) is a second-generation multivariate analysis technique that combines factor analysis and path analysis. This technique allows researchers to simultaneously test and estimate the relationship between exogenous and endogenous multiple variables with many indicators. In 1970s Joreskog’ research discovered statistical theory of linear structural analysis which is better known as structural equation modeling or SEM. This modeling uses analysis of covariance structure. So this approach sometimes called as covariant structure model (CSM). The model includes immeasurable variables called latent constructs which created by a set of measurable variables, namely construct measured. Measurement error reflects reliability scores which are seen as unique construct. Being an important part of SEM analysis, measurement error is included in SEM analysis, and it becomes the advantage of SEM analysis compared to other analytical techniques (Capraro et al., 2001). SEM can estimate error variance in actual measurement outcome scores that estimate reliability. According to Geffen and colleagues (2001), SEM is a multivariate statistical technique that combines multiple regressions to identify relationships between constructs and factor analysis. SEM identifies concept measured with several indicators which manifest both analysis simultaneously. Approaches for this calculation are correlation correction attenuation caused by measurement error and structural equation model in the context of confirmatory factor analysis. Lee and Song (2001) said that SEM is one approach to confirm measurement model. SEM measurement model links latent constructs with empirical construct. Empirical constructs are expressed by combination of latent constructs. Instead handling generalizability and item response theory, SEM is also able to compare measurement model and accuracy of investigation. SEM has two basic components. First, the measurement model is defined as the relationship between latent variables and group of explanatory variables that can be measured directly. Second, the structural model is defined as the relationship between latent variables that cannot be measured directly. These variables are also distinguished as independent variable and dependent variable. Geffen and colleagues (2001) said that the measurement model is sub-models in SEM with latent constructs that 15
International Conference on Education 2014 Official Conference Proceedings
Sabah, Malaysia
identifies indicators. This model can determine reliability of each construct included in the model. SEM can also identify constructs reliability which is visible through the result value of the items reliability loading. Based on SEM construct reliability perspective, it can be calculated through the following equation: 2
i i i 1 CR 2 i i i i 1 i 1 Descriptions: CR = Construct reliability i = Factor loading of standardized indicators to-i = Standard error of measurement McDonald (1981) formulates reliability coefficient which later was named as McDonald composite score reliability coefficients that also called omega ( ). Reliability coefficient is based on confirmatory factor analysis that is part of SEM modeling menu. This McDonald composite score reliability explains large proportion of indicators in measuring construct explained. Formula to obtain construct reliability coefficients is as follows: 2
i i i 1 2 i i 2 i 1 i i 1 i 1 Descriptions: i = Factor loading of standardized indicators to-i When constructs reliability and McDonald composite score reliability are compared it will give the same result as 1 2 . The following rule is a reliability coefficient of multidimensional construct reliability coefficients developed by Hancock and Mueller (2000). It shows how well indicator could reflect construct to be measured. This coefficient is modification of McDonald construct reliability coefficient which cannot accommodate different weights of interdimensions. The modified construct is called weighted reliability coefficients as follows:
li2 2 i 1 (1 li ) w p li2 1 2 i 1 (1 li ) p
Descriptions: li = Coefficient of the i-th standardized dimensions Reliability coefficient can be interpreted as square of correlation between dimensions of optimal linear composites, so some experts call it as maximum reliability.
16
International Conference on Education 2014 Official Conference Proceedings
Sabah, Malaysia
Developing a model of internal consistency is assumed not a major issue. But the problem is the assessment of reliability. Research done by Vehkahlati (2000) concluded that the assumptions are not realistic enough to score purely classical theory. The assumption of those pure scores of unidimensional is practically difficult to be proved. So study of multidimensional becomes surface of measurements because many cases also found that correlation between dimensions of items is sometimes higher than correlation between items in the test. Unidimensional measurement is used to calculate capability factors, personality, traits, and attitudes. However, many studies have shown that the unidimension assumption is difficult for discovering several new factors involved in the measurement. In other words, the instrument that is often used in psychological research tends to be multidimensional. Some important reasons for using multidimensional measurement reliability as suggested by Widhiarso (2009) with the following descriptions: First, the general characteristics of the psychological construct is multidimensional. Second, any involvements in the preparation of psychological instruments aspects are usually preceded by a decrease in item of some theoretical aspects and the tendency is multidimensional. Third, the number of items in the instrument will affect the measurement. The number of items that can add much additional error potential of variance in item will rise new dimensions of the original defined dimensions. The total of the items and also forms the scale affect respondents' attitudes toward the item and it will then affect their response to the instrument. Fourth, item writing techniques. Spector and colleagues (1997) found that the technique of writing item that have reversed direction between positive (favorable) and negative (unfavorable) form new dimension. When measuring the data captured many psychological scales use different writing techniques of items direction. Fifth, different measurement units. Measurement in psychological tends to have different measuring units between one item with other items. It has different capability measured as indicator of construct. This condition will cause multidimensional result. In Widhiarso and Mardapi research (2010), multidimensional model for measuring reliability coefficient has high accuracy when compared to unidimension reliability. It can be concluded that in psychological measurement, both cognitive and other form of constructs are highly susceptible to the plurality of attributes measured (multidimensional). Furthermore, by understanding the trends over the psychological measurement and by comparing multidimensional measurement with unidimensional model, it is expected that the measurement process also involves psychometric analysis technique that uses multidimensional model. Therefore, in this study, researchers focused on multidimesional and unidimensional reliability. This study aims to test the accuracy of multidimensional reliability coefficient compared to unidimensional reliability coefficient. Based on the explanation above we could question about: What is the internal consistency reliability of multidimensional instrument measuring student satisfaction as an internal customer? How is the comparison between the multidimesional and unidimensional reliability? Which is more accurate to measure reliability; multidimesional or unidimensional measurement?
METHOD AND SAMPLING The method used in this study was survey method. The survey is used in data collecting and there was no treatment or conditioning of the variables studied, but only reveals the fact from students or respondents symptoms. Variables in this study are area that is targeted, that is to measure attitudes toward physics, namely the tendency of a person to Physics with all the evaluation, potency and activity (EPA). Semantic differential scale is an instrument used in assessing the concept of stimulant on a set of seven-step bipolar scale from one end to the other end of the continuum. It consists of three dimensions of evaluation, potency and activity. Type of response in this study is typical performance, therefore the expected response can be obtained through habit instrument of respondents or what people can do or feel (what a person usually does or feels) in specific situation of learning activities. It also commonly called sentiment expression. 17
International Conference on Education 2014 Official Conference Proceedings
Sabah, Malaysia
This type of response cannot be declared as true or false marking, or often it is said all correct responses according to each reason. In accordance with the characteristics of type of response, then format of measuring instrument chosen which presents the items of the instrument is limited. It has 7 possible answers for each item with range 1 to 7 grading. There are 13 totals of items. Respondents have about 5-10 minutes to work. The quality or status of this instrument has two directions of tendencies; those are positive or negative direction of attitude towards Physics. The quality of the ideal grade is to be in neutral point, because it will provide conclusions on quality of attitude towards Physics. FINDINGS AND DISCUSSIONS This attitude towards physics instrument originally consisted of 15 statements. 13 statements are the result of researcher's own research which was originally 15 items and 2 statements are drop. The instrument consists of 13 items where: 5 items are dimensions of evaluation, 3 items are potential dimension, and 5 items are activity dimension. First calculation used unidimension measurement. Cronbach alpha reliability obtained 0.743 by operating SPSS 19.0 program. Second, calculation for multidimensional measurement got McDonald omega composite reliability used program of LISREL 8.8 and Excel programs. It was obtained: i
i 6.990 and i 1
i
1 i 1
2 i
8.861 , so
(6.990)2 0.846. (6.990)2 (8.861)
Third, estimation for multidimensional construct reliability, it was obtained the same results as follows: i
i 6.990 and i 1
i
8.860 , so CR i 1
(6.990)2 0.846. (6.990)2 (8.860)
Fourth, assessment for multidimensional maximum reliability, the result gained by using
li2 9.408 , so it can be calculated as follows: 2 i 1 (1 li ) p
LISREL 8.8 and Excel programs, that is:
w
9.408 0.904. 1 9.408 Table 1: Summary of Research Findings
CR
w
0.743
0.846
0.904
The calculation of the instrument for Cronbach alpha coefficient is much smaller when compared to the construct reliability, composite scores McDonald reliability, and maximum reliability with a difference of 0.103 and 0.161. What did the accuracy difference reflect to? There is no agreement among psychometrics experts about this. But among researchers in Indonesia, after knowing this, there should be an appropriate tool which is used correctly and adequately. Indeed, most researchers among the faculty and students of both S2 and S3 do not know formula for calculating construct reliability coefficient, omega or maximum reliability. So it is time to introduce and use the formula. Most of psychological constructs, personality, education, and social research need multidimensional measurement. All students and faculty researchers need to develop and grow understanding about reliability coefficient in the measurement. Interpretation of reliability coefficient is precision of evaluation test scores, it is not only consistency matter. In interpreting high reliability coefficients, there are at least two things that need to be understood, they are: (1) reliability is estimated using group of subjects in a given situation which produce coefficient estimates. This estimation is not equal to the test on group of other subjects and (2) reliability coefficient indicates the magnitude of the inconsistency score measurement results, the causes of inconsistency are not stated directly. 18
International Conference on Education 2014 Official Conference Proceedings
Sabah, Malaysia
Measurement in education is something that is quite complicated. Various writings in journals ranging from educational measurement method expected to provide results that are valid, reliable, and accurate. It is not easy for experts to do this because sometimes they do not link suitable and high level difficulties of mathematics into the research data calculation. Without mastering high difficulty level and complicated mathematics, we cannot understand various measurements journals in education. We still left behind in educational measurement. Only few science experts who are able to understand the content of educational measurement journal studied high level difficulty of mathematics. Therefore, number of science education research need to be increased in the field of educational measurement. The first effort to do is by changing perception which saying that science education and psychology do not require math. Now, dealing with educational measurement, we need to change our perception of mathematics. Educators need to be aware that there is a part of science education which hardly uses mathematics, but there is also a part of science education which importantly needs mathematics, such as the example of multivariate statistics above which requires high mathematical skills. CONCLUSION Based on the test results of this study it is concluded that multidimensional reliability coefficient is more precise or accurate compared to reliability coefficient of unidimensional measurement. Suggestions can be submitted as follows: first, estimating instrument needs to be tested further by using another formula that is different from SEM analysis. Second, because this study used a fivepoint scale, when necessary, it is suggested to use variety of different scales, such as semantic differential scale, dichotomous scale, Thurstone scale, and so on. Third, these instruments need to be tested using a larger sample population and wider setting of research. The future research perhaps involves several provinces at the same time, as well as various school levels and type of universities or colleges. REFERENCES Capraro, M. M., Capraro, R. M., & Herson, R. K. (2001). Measurement error of score on the mathematics anxiety rating scale across sudies. Educational and Psychological Measurement, 61, 373–386. Feld, I. S., Woodruff, D. J., & Salih, F. A. (1987). Statistical inference for coefficient alpha. Applied Psychological Measurement, II, 93 – 103. Gable, R. K. (1996). Instrument development in the affective domain. Amsterdam: Kluwer Nijhoff Publishing. Geffen, D., Straub, D. W., & Boudreau, M. D. (2001). structural equation modeling and regression: Guidelines for research practice. Communications of AIS, 4, Article 7. Hancock, G. R., & Mueller, R. O. (2000). Rethinking construct reliability within latent variable systems.” In Stuctural equation modeling: Present and future, Cudek, R., duToit, S. H. C., & Sorbom, D. F. (Eds.), Chicagp: Scientific Software International, 2000. Kamata, A., Turhan, A., & Darandari, E. (April 2003). “Estimating reliability for multidimensional composite scales scores.” Paper presented in Annual Meeting of American Educational Research Association at Chicago. Kerlinger, F. N. (2000). Asas-asas penelitian behavioral, translated by Landung Simatupang. Yogyakarta: Gajahmada University Press. Latan, Hengky. (2012). Structural equation modeling konsep dan aplikasi menggunakan program lisrel 8.80. Bandung: Alfabeta. Lee, S. Y., & Song. X. Y. (January 2001). Hyphotesis testing and model comparison in two-level structural equation model. Multivariate Behavioral Research, 36 (4), 639–655. Litwin, M. S. (1995). How to measure survey reliabity and validity. London: Sage Publications. McDonald, R. P. (1981). The dimensionality of test and items. British Journal of Mathematical and Statistical Psychology, 34, 100 – 117. Naga, D. S. (1992). Teori sekor. Jakarta: Gunadarma Press. 19
International Conference on Education 2014 Official Conference Proceedings
Sabah, Malaysia
Socan, G. (2000). Assessment of reliability when test items are not essentially t-equivalent. In Development in survey methodology, Feligoj, A., & Mrvar, A. (Eds.), Ljubljana: FDV. Spector, P., Brannick, P., & Chen, P. (1997). When two factors don’t reflect two constructs: How item characteristics can produce artifictual factors.” Journal of Management, 23 (5), 659 – 668. Sugiyono. (2010). Metode penelitian pendidikan. Bandung: Alfabeta. Thompson, B. (1994). Guidelines for author. Educational and Psychological Measurement, 54, 837 – 847. Vehkalahti, K. (2000). Reliability of measurement scales tarkkonnen’s general method supersedes cronbach’s alpha. Academic Dissertation, University of Helsinki, Finland. Widhiarso, W., & Djemari Mardapi. (2010). Komparasi ketepatan estimasi koefisien reliabilitas teori skor murni klasik.” Jurnal Penelitian dan Evaluasi Pendidikan, 14 (1), 1 – 19. Widhiarso, Wahyu. (2009). Koefisien reliabilitas pada pengukuran kepribadian yang bersifat multidimensi. Psikobuana, 1 (1), 39 – 48. Wiersma, W. (1986). Research methods in education: An introduction. Boston: Allyn and Bacon, Inc.
20
International Conference on Education 2014 Official Conference Proceedings
Sabah, Malaysia
ENGLISH LEARNING IN GRADE IV OF ELEMENTARY (Descriptive Study in Sekolah Dasar Laboratorium PGSD FIP Universitas Negeri Jakarta) Mohamad Syarif Sumantri1 1
Primary educarion Program, Jakarta State University
[email protected] Abstract
The objective of this research was to get and understand a description of in English language learning at elementary school in Jakarta related to the following activities: (1) the goal of English subject; (2) the lesson plans of English subject; (3) the English learning materials; (4) the English learning methods; (5) the English learning evaluation; (6) the teacher’s activities; and (7) the students’ activities in English learning and teaching. It was a qualitative research conducted in grade IV in Sekolah Dasar Lab PGSD FIP Universitas Negeri Jakarta The data were collected through observation, interview, and document study. The data analysis and interpretation indicates that (1) the goal of English subject is to activate students speaking skills; (2) the plans of conducting the English subject consist of syllabus and RPP; (3) the materials used are varied; (4) the learning method is not fully teacher centeredness; (5) the evaluation consists of process and result orientation; (6) teacher’s participation is as controller, facilitator, informant, instructor, observer, evaluator, guide, and learner; (7) students participate in preparing themselves in English learning, doing the tasks individually or group, listening to the teacher’s instruction/explanation, asking questions, and writing some important information. Keywords: The English learning, the teacher’s activities, the students’ activities
INTRODUCTION English language learning has become a big issue in Indonesia. The Government is trying to teach English to increase by providing various kinds of training for teachers. The curriculum has also prepared to comply with the needs of the society. In addition, providing a source of learning has also given to support education and teaching English in schools, but, the obstacles in teaching and learning English often happened and experienced by the students and teachers in the Primary School teachers and fields of study English. English language learning in the Primary School refers to The curriculum as part of the Local primary schools. Based on the curriculum English lessons, the scope in primary encompasses verbal communication within the scope of schools. English language learning in the Primary School stressed in the communication orally that written. Although there are aspects writing abilities and its main objective is to read, to support verbal communication. Teaching English has been running more than 7 years in the primary school Lab FIP UNJ. This school also has many produce graduates who are qualified, in its implementation, of course there are many challenges must be dealt with by schools, especially the teachers who interact directly with the students who have intelligence the diverse and different characters the students at in general. Thus, it's necessary good cooperation between the school, the students, teachers, and their parents. The purpose of this research is to get the picture about the purpose, planning, materials, methods, evaluation, the involvement/teachers activities, and learners in English language learning especially in grade school in Jakarta State University Laboratory FIP.
21
International Conference on Education 2014 Official Conference Proceedings
Sabah, Malaysia
English language lessons Learning language is the process the learners interact with educators and learning resources in language mastery that be realized with the teaching and learning method the language. English is the language first foreign given or taught in Indonesia. By learning English is, the students are expected to be able to communicate in the sense that the learners intact, they are able to understand and/or produce the text verbal and/or paper may have been realized in the four language skills, the hearing, talking to,reading and writing (make a discourse). The four skills are used to respond to or to create in community life discourse. Thus, the eyes English lessons are directed to develop skills so that graduates able to communicate and make a discourse in English in a certain level literacy rate. Foreign language that will learn the students started from vocabulary and discourse or discourse. These two aspects language provided an opportunity to a large number of learners to seek and find the meaning. Vocabulary was chosen because the words to the concept and can continue with the explanation theory and skemata so providing learning experiences to the world, while the discourse learn because is part of social interaction. Teaching English as a foreign language in Indonesia in general is centered on teachers. Interaction is dominated by teachers, such as providing an explanation that long, repetition several times, and asked several questions. However, there are also teaching English that is centered on students where students to interact teachers made in English. Thus, it needs a good way in preparing for teaching English in class and it needs the students also considering readiness learning materials that is in accordance with the principles of the learning English as a foreign language. Brown explained three principles language teaching in his book Teaching by Principles, namely: (1) cognitive principles, (2) affective principles, and (3) for arabic linguistic thesis principles. These principles can be made as the basis when applying learning foreign languages. First, the principle cognitive problems. This principle is related to the mental and intellectual property rights. Second, the principle socio-affectivef. This principle on the emotional, such as feeling, the relationship to the students in the community, and about emotional ties between language and culture. The principle that the third is for arabic linguistic thesis principles. Research is aimed at the picture about learning English especially in the class IV that related to: (1) The purpose of the lesson. English, (2) Planning English language lessons, (3) learning materials, (4) A method learning, (5) Evaluation learning, (5) involvement teachers, and participants involvement (6) students in English language learning. Teaching English in the classroom requires a good way the students, Directors readiness, and learning materials in accordance with the principles of the learning English as a foreign language. The Principles - this principle is very important in teaching and learning English. Through these principles, a teacher language can evaluate a lesson, text books, the students study group, and other educational context. learning goals, planning lessons, materials, methods, evaluate the students, teachers and is an important elements in the process of learning in schools. Thus, key elements was to become the basis so that can support hits the research. METHOD This research will be done with this approach qualitative research. But the methods used in this research is the method ethnography, which was held at SD lab FIP UNJ Setiabudi Jakarta Selatan. Technique that is used researcher in collecting the data that is (1) observation, (2) an interview, and (3) documents. research data is in the form the notes field, acquired through teaching and learning process or events, the record interviews and discussions with school principals, teachers, parents of a grade English teacher, and learners, as well as documents related research. While testing technical data to be made is validity: (1) Triangulation, (2) endurance observation, and (3) extension observation.
22
International Conference on Education 2014 Official Conference Proceedings
Sabah, Malaysia
DISCUSSION A. English teaching purpose English to be one of the subjects that is obligatory learned by learners in school. It is often found in English to a must for many schools/institutions, policy makers, and parents who think that this lesson is so important that various efforts done so that the students are able to use of English in order to communicate. In essence, English teaching in the primary school is only a additional. Thus, the eyes English lessons (including learning) must be placed in the number of or portion, according to the age of child elementary school students and not burden. A basic thing in execution of activity learning is learning. the goals Purpose was to follow national standards set by the government through the curriculum as part of the local primary school, but only in its application is a combination learning goals teachers have created. In general, the purpose of the lesson. more of this refers to the students to achieve ability to talk. There are two key words in this purpose is to develop basic communication and a consciousness about the fact and in the importance of English. This Formulation learning goals in accordance with the principles learning language that submited by Smart that one of the research and teaching English programs goal in the primary school is to develop basic communication skills in English. B. Lesson subjects English With the objective process English language learning needs effort that great and good cooperation from various parties such as the principal, English teachers, parents the students, including itself. One of the efforts done by teachers in order to support the success English language learning is to make lesson. Based on their observations and interviews with English teachers, planning lessons to be implemented in grade consisted of a syllabus plan learning and teaching (RPP). English lessons on syllabus and plan their learning (RPP) in this school ordered independently by English teacher who taught in class IV. In making lesson, teacher was continue to refer to a standard national education curriculum that is enshrined in. In addition,, an English teacher also did needs analysis of the students to take account conditions and learning goals. This was as was supported by Nunan that learning program must be designed with the needs learners and have a common goal was formulated with clear.
C. Learning materials English Learning materials are all things that are used in the process of learning that function to teach the students. Types of learning materials are varied either written or not written, Based onobservation in the field, learning materials used in grade quite varied. Besides using manual and learners teachers (Backpack), learning materials can also be the songs. Learning materials prepared by the teachers have attractively as possible so that it could encourage the students to learn and motivation during their study of English. Learning materials to one of the important factor in reached the purpose of the lesson. English. Planning, the election and organising learning materials that could allow the corporate to students in English lessons and able to communicate with the language. The materials learning and arranged the students according to the age and learning goals. This was as was supported by Nation and Macalister that learning materials need ordered based on the sequence simple - complicated and based on demand. D. The learning method subjects English Teaching methods are designed to provide learning experiences involving physical and mental processes through the learners interaction between the students and teachers,, the environment, and other learning resources to achieve the company's kompotensi basis. Based on the result observation and interview, teaching methods used in grade not monotonous and does not always centerd on teachers. The students were involved in active and creative in learning activities. Such is supported by Scott and Ytreberg which stated that there should be learning English is not only related to learning materials that form the words or language verbal, but involves the movement and sense. will be needed for many objects and images or even environment around when learn English. 23
International Conference on Education 2014 Official Conference Proceedings
Sabah, Malaysia
Based on the explanation above can be using the methods it has been concluded that English language learning in grade is very varied in accordance with material and the participants his students. The method - this method is applied with the aim of helping the students learn and active participation in the subject English language skills and be able to control, especially skills speak. English language teaching evaluation Learning Evaluation is a collection process and translation information obtained from activities as well as the process of learning English. Based on the result interviews and documents English lessons, evaluation in grade done from the bottom or result in written form (such as: formative role/daily, last week, and deuteronomy the end of the first semester) and the approach process or in the form has not been written (such as: speaking test, portfolio). E.
Evaluation is very useful in the process of learning because it can provide valuable information to improve teaching activities, planning lessons, and set up the students learning materials as well. This was as was supported by Nunan that states that evaluation learning is a matter that relate to the students learn how well contributed and how effective learning goals is different with their needs. Evaluation of the results and the process is similar to the Scriven in Sanjaya that distinguishes evaluation based on their function, namely summative and formative evaluation. Summative evaluation used to see the success a program that has been planned, while evaluation formative role is used to see progress students' learning during the learning process took place. Thus, the implementation evaluation in class IV could be considered good enough and can measure the success of the program, the teachers, students and in the process of learning English. F. Involvement/teachers activities in English language learning Teachers were on duty teaching and learning process planning how to take place, how to apply the curriculum, teaching materials, learning media and other so that students can carry out learning and teaching and learning goals In teaching and taught English at class IV in SD Lab PGSD FIP UNJ, teachers have a role as controller, facilitators, source, teachers, the observer, judge, guide, and learning. Teachers have a role that is so important in English language learning in class IV. When teachers are able to put its role and create a good lessons will have a positive impact on learning outcomes. Thus, the aim in teaching and learning program a success can be achieved with optimum. G. Involvement/student activities in English language learning The characteristics children is the important thing and it is worth noting by their teachers and parents at the time to teach and educate them. Children as young learners have the desire to learn something, including in English language learning. Although the students are classified as varied, in grade is, it still served as the students in general. This means that they still have the right to play, socialize, and not always required to learn all the time. The students and the involvement role in grade this was done as opinion Scott and Ytreberg in his book Teaching English to Children that the students in the ages eight to ten declared children mature and there are the maturity and childish. This means that, in his age was basic concept children have been formed and are able to distinguish a fact from fiction. They also often ask for a long time and use the language verbal and physical body/to speak or understand the meaning. In addition, they are also able to work together and learn from the other in groups. In the development their language, students will have their readiness and awareness in using foreign languages, and bringing them from their mother tongue or his first language. Based on the explanation above can be known that involve students in teaching participants involvement is crucial. students is such or process their responsibilities in English language learning in class IV. In their learning, the teachers are also plays an important role in creating a state can encourage the students active engagement and so they are learning that critical.
24
International Conference on Education 2014 Official Conference Proceedings
Sabah, Malaysia
RESULTS OF RESEARCH After all the data collected, the data was then analyzed by using a model data analysis Spradley, which consists of four stages, namely: (1) analysis of domain, (2) analysis of taxonomy, (3) analysis of components, and (4) analysis of themes. After analyzed, found a few minutes or as an explanation following this. 1. English teaching purpose In essence, English language teaching the students are given to prepare to be able to communicate in English language skills and to have a on skills to speak, to pay attention to, reading and writing. English teaching purpose in grade SDL at Unnes FIP UNJ essentially exactly the purpose English teaching elementary school in general. The reason the learners to have the capacity as follows: (1) develop competencies to communicate orally a limited in the form to accompany action (language accompanying action) in the context schools, and (2) have awareness about the fact English language and its importance to improve their competitive nation in global community. English is used for interaction, and is "here and now" and topics talk about in those things that are in the context situation. In addition, there are also hope that their parents, schools, and teachers the students that Englishlanguage is expected to be able to active, both in schools and outside the school. specific purpose in essence, English students can produce language or in other words to be able to speak with English 2. Lesson English teaching. Planning lessons plans that will be implemented in the process of learning. In general, the planning learning it in schools is a yearly program, the first, a syllabus, and plan their learning (RPP).. There are two types of planning lessons that are made by the teacher English. First, a syllabus learning. Syllabus was made by teachers learning English class IV independently (there is no cooperation with other teachers/cluster) and a syllabus made in cooperation with class teachers in an integrated way. Syllabus formulated based on making it a class, namely class IV first I and the first half II. Syllabus component consists of competency standard, basic competency, indicators, materials, teaching activities, means/source, assessment, and time. The purpose of this is a syllabus reported and teaching English language skills in which consists of reading ability, to pay attention to, talk and write. Second, the plan teaching (RPP).RPP English teachers made by before teaching subjects dimulai.rpp English written in English. In English teaching RPP in grade (Lesson Plans are subject identity RPP such as: (subjects), grade/first (grade/first), topics (topics learning), No. of Hours (time allocation), and day/date ( day/date teaching). And then continued with an elaboration competence standard (competency standard), basic competences (basic competency), indicators (indicators), (learning outcomes) learning goals, learning methods (method of learning, learning experiences (in/learning experience, aids and resources (media and learning resources, and evaluation ( evaluation). 3. Learning materials English. Learning materials that are to be used in English teaching in grade varied, such as the textbooks, English-language dictionary, magazine includes writing in English, a CD/cassette, the songs, the article, and figures obtained from various sources such as books or internet. The text book position the students and teachers' position often used by teachers in determining learning materials. Text Books was derived from Singapore (Parade English Book 4 and Backpack English Book 4, the publisher Longman). Now learning materials/topics learned in this class includes: introduction, the songs, script of conversation, grammar, story "Special Days ", "My Trip to Cartagena", " Festival lights in some countries", and " City Mouse and Country Mouse". There are also topics of the other learning about Days and Dates, Ordinal Numbers Instead Numbers, Hobbies and Sports and others. Matter - learning materials was delivered in an integrated manner and packed in learning materials that whole separate settlements, not. Teachers to set the learners and direct in learning more about a learning materials. In choosing, designed, and to set a learning materials, an English teacher refers to a standard national or curriculum through Standard and Basic Competencies. In addition,, an English teacher also adopted from a variety of sources that learning materials more varied, interesting, and is related to the students about life. Thus, 25
International Conference on Education 2014 Official Conference Proceedings
Sabah, Malaysia
learning materials packed in the form in such a manner so that their learning English in grade can run well. With varied learning materials used, then the students learning experience will be more rich. 4. The learning English teaching. The learning is one way or efforts to learning materials can be delivered to a large number of learners. In grade teaching methods are concentrated on teachers are not. The students also are required to play an active role in teaching and learning at school. The Election method of learning in this class are varied and not monotonous one method, the students adjusted in the background and learning materials. There are times when teachers lecturing, questions and answers, role-playing, gave the task or exercise, and to model in teaching and learning and teaching. But, on the other hand the students also trained to use English during the lesson English in schools. The students will be given activity which could make them happy, courageous and active in English. The students also invited to interactive learning and teaching so that the process can go on two-way, it is not solely teachers who held the reins. Other teaching methods that can train writing, and thinking ability students are at the time the students learn vocabulary, given the opportunity to make their own dictionary based on the text that being studied. The students will make the list vocabulary that is difficult to according to them, then they will find on their own terjemah said through aids dictionary or other such as the internet, alfalink, teachers, friends, including parents when learning at home. Next, the learning the learners can train in hearing/listening is listening to recorded a conversation that will be done by the foreign language in the laboratory or if lab in the repair and English teachers alone is the students to talk, and listening. In addition the conversation, can also be the story, the song, and the material other interesting for learners. 5. English language teaching Evaluation. Evaluation done the learners to measure the success Evaluation in the teaching. English language learning in grade carried out by means a diverse, namely in the form written and with the approach both processes and hacyl. As a model that was used by the teacher in order to carry out the evaluation curriculum and syllabus that has been made. Through a benchmark for teachers and evaluate their lessons in accordance with the topic or learning materials. Type of evaluation carried out in teaching and learning in SD Lab PGSD FIP UNJ Setiabudi South Jakarta : (1) Deuteronomy Formative Role/Daily; (2) last Week Deuteronomy; and (3) Deuteronomy the End of the first semester. In addition the evaluation, as we explained in The targeting SD Lab PGSD FIP UNJ, that implementation evaluation in learning activities in schools is starting to capitalize on authentic assessment. This means that, other than through result (in numerical terms), evaluation is done with the approach process (in qualitative). Evaluation process will be done for the learners observe progress in the process of learning. A teacher sees and considered directly being active involvement, the students, and accuracy in answering the question or explain things. 6. Involvement/teachers activities in English language learning. In teaching and teaching, teachers have a role as controller, facilitators, the observer, judge, teachers, guide, and learning. Played a big Teachers, to be involved directly in learning English in the classroom. Based on the result interview to English teachers, he argues that the students have to be involved actively in learning English. Teachers is working actively in use of English in learning and teaching so that the students are motivated to use it as well. In addition, teachers try to build the learners selfreliance and creativity in English language learning and outside the classroom. 7. The students/activities involvement in English language learning. The students In general in grade actively involved in learning English in the classroom. Based on observation and interview to students, they have a good pleasure subjects to English. This can be seen at the time English language learning in their classes enthusiastic and active. English lessons They memposisiskan as a lesson and useful because through English lessons they can learn to communicate using English with the stranger, and can continue their education to foreign countries. The students involvement in English language learning including: they prepare for their learning English, doing exercises or tasks that are given from the teacher both individuals and groups, answer 26
International Conference on Education 2014 Official Conference Proceedings
Sabah, Malaysia
questions teachers, to a good listener in understanding description teachers and try to clarify with asked, and recorded the matters that important about the materials that are being taught. The students have to go and each one strategy in learning English and face difficulties. Some of them there are some who tries to find in the dictionary, asked to teachers directly, asked to parents, and fellow that they can.adopt new knowledge they directly and motivated again in studying. 8. Culture theme Values, attitudes, and culture in principle to the part that can affect learning activities in SD Lab FIP UNJ. These themes culture that researchers have acquired during research in SD Lab FIP UNJ Jakarta schools including : a. Culture -oriented vision and mission and the school. b. Culture character education c. A hearty Culture and lead a in English at class d. Learning Culture and active learning materials and varied. e. Culture quiz in learning methods are to increase their knowledge so the students. f. English-language Culture active learning activities in English teachers and the participants were students. g. One another culture help each other teachers CONCLUSION Based on the result of analyzes, by some conclusions. First, the objectives of English at grade SD Lab UNJ is to be able to develop their skills speak (communicative). Second, planning learning English teaching in grade SD Lab at FIP UNJ on syllabus and lesson plans. Third, learning materials that are to be used in English teaching in grade varies. The four, the method lessons in class IV not focused on teachers simply Fifth, evaluation. English language learning in grade results-orientated done with written and its commitment in the form in the process in the form has not been written. The Sixth, nature in learning and teaching English in grade school in SD Lab at FIP UNJ, teachers have a role as controller, facilitators, source, teachers, the observer, judge, guide, Seventh and learning. the students, involvement in English language learning including: they prepare for their learning English, doing exercises or tasks that are given from the teacher both individuals and groups, to a good listener in understanding description teachers and try to clarify with asked, and recorded the matters that important about the materials that are being taught. Based on the results of research is, then, some of the recommendations. For SDL at FIP and English teacher UNJ: (1) can maintain and improve implementation of the program teaching English, (2) can fix it in this administration lessons (such as complete documents planning lessons, and others), (3) can provide ideas or input for English teachers to be able to develop learning materials and teaching methods based on the results of research that is, and (4) weaknesses and strengths can use learning that had been implemented through these research results. The researchers: (1) can be a lesson that is very useful, and (2) advanced researchers can do research more about the students learning language to which have characteristics were mixed. BIBLIOGRAPHY Brown, H. Douglas. Principles of language learning and Teaching, Fifth Edition.USA: Pearson Education, 2006. ______ . Teaching By Principles an Interactive Approach to Language Pedagogy. New York: Pearson Education, Inc Longman, 2007. Departemen Pendidikan Nasional. Pedoman Penyelenggaraan Pendidikan untuk Peserta Didik Cerdas Istimewa .Jakarta, 2009. Nation, I.S.P. dan Macalister, John. Language Curriculum Design. New York: Routledge, 2010. Nunan, David. Practical English Language Teaching. New York: Mc. Graw Hill, 2003. Nunan, David. The Learner-Centered Curriculum. UK: Cambridge, 1994.
27
International Conference on Education 2014 Official Conference Proceedings
Sabah, Malaysia
Pinter, Annamaria. Teaching Young Language Learners. Oxford: Oxford University Press, 2006. Sanjaya, Wina. Strategi Pembelajaran Berorientasi Standar Proses Pendidikan. Jakarta: Kencana, 2010. Scott, Wendy A danYtreberg, Lisbeth H. Teaching English to Children. London: Longman, 1995. Spradley, James P. The Ethnographic Interview. Amerika: Holt, Rinehart, and Winston, 1979. Standard Isi Kurikulum Muatan Lokal Provinsi DKI Jakarta. Diknas, 2007.
28
International Conference on Education 2014 Official Conference Proceedings
Sabah, Malaysia
THE COMPARISON OF ITEM INFORMATION FUNCTIONS IN PARALLEL LEST WITH THE MODEL OF L2P Yuliatri Sastra Wijaya1 1
Program Pascasarjana Universitas Negeri Jakarta
[email protected]
Abstract Test instrument is utilized to evaluate the learning outcomes in the cognitive field. A good test is an exam that delivers a high reliability coefficient. In item response theory reliability coefficient is identical to the test information function. The affair of the accuracy of the information is difficult to quantify the degree of item with the ability of the answerer. If the extent is difficult to match the item and the ability of the respondents, it will create the maximum item information function. This paper aims to look at the accuracy of the test information function on five parallel test devices. This study used a quasi-experimental method. Data from the field in the form of student responses were processed using L2P model of item response theory, followed by calibration item parameters. Data processing use one-way ANOVA. The results of this study are no differences in the item information function tests five devices that are parallel. Keywords: item information function, reliability, item difficulty, irt INTRODUCTION. Test instrument is utilized to evaluate the learning outcomes in the cognitive field. A good test is an exam that delivers a high reliability coefficient. In item response theory reliability coefficient is identical to the test information function. Information function is a measure of compatibility between hard grains and ability level of the respondents. Information function will reach its maximum value if the same level of difficulty points to the ability of respondents. In such a large -scale test of the National Examination , Examination Schools , tests were made not just one device , but more than one . One reason is if there is a leak, the organizers have backup test to replace the test . Another reason is that in single test class no communication among examinees. If we advert to the principles of appraisal, which should be a fair assessment, then every test taker should receive the same tests , or better known parallel tests . The definition of equivalent other than the same amount of item , equivalent levels of difficulty item . Practically not possible to make parallel tests , it reinforced the opinion of Grounlund (1985 : 169 ) is empirically make two parallel tests , never completely , reliable or unidimension , so that the resulting scores can not be compared . This means that the score generated by the test participants as long as they work on different tests can not be compared because they are on different scales . To compare the item information function between a package with other packages , previously done equalization parameters that one item among a package with other packages . LITERATURE REVIEW Item Response Theory Item Response Theory (IRT) trying to improve the measurement accuracy through the difficult stage of the separation point of the ability of respondent. This means that the value of hard item stage apart from the value of the ability of the respondent. Any value of the respondent, the value of item difficulty level does not change ( Dali , 2012) . Item Response Theory using item characteristic curve ( ICC ) . The item characteristic curve is the relation between the parameters of the respondents with item parameters through a probability correct answer. There are various models of item response theory , 29
International Conference on Education 2014 Official Conference Proceedings
Sabah, Malaysia
one of which is the ICC L2P (Logistic 2 Parameter) models . L2P models have two parameters is difficulty item use the symbol b and discriminant item use the symbol a. The rule is simple IRT is someone who possesses the ability (abilities) will suffer a high probability, high for points with the right answer and the same as one of the questions will be answered more difficult for somebody who owns a low power ( Rasch in Trevor G. Bond and Christine M. Fox , 2007) . L2P model formula (Charles L. Hulin, Pritsz Drasgow, and Charles K. Parsons, 1983:36).
Pi ( )
1 1 exp Dai ( bi )
Criteria extent is difficult to point P ( Ѳ ) = 0.5 , 0 ≤ P boundary ( Ѳ ) ≤ 1 . The criteria is the suitability of the parameters between the Ѳ ability level parameters difficult point b . In theory , the value of item difficulty level is from minus infinite to plus infinite. But empirically, the value of hard item level parameters ranging from -2 to 2 in units of the logit ( log odds units ) . The items have a grade of difficulty (bi) located near or below the scale of -2.00 indicates that the test item is categorized well. The items have a grade of difficulty (bi) located near or at the summit of the plate of +2.00 indicates that the test item is categorized as difficult.. The items stated are grains that have a good level of difficulty ( bi ) ≤ bi ≤ -2 ranged +2. Parameters discriminant item is the item that can be distinguished in the high ability group and low ability groups. Empirically discriminant item values are at a> 2. ( Hambleton , Swaminathan , & Rogers , 1991: 13 ). Information Function is the relationship between the parameters of the ability of respondents to the item parameters. Compatibility between the ability of respondents to the difficulty level of item yield high accuracy measurements . At one point the difficulty level b , the function of information will differ among the various capabilities q value , the maximum information contained in = b . If the extent is difficult to match the grain and the ability of the respondent, it will produce the maximum test information function. Information on the response function theory of grain is equivalent to the role of reliability, level of difficulty, and different power point of the classical theory. There are a number of information function, item information includes function I ( , X ) , is Information provided by the item of the respondents with a variety of capabilities . Item information function I ( ) , information provided by a test ( containing some items ) by summing the item information function . An information function based on two criteria, namely changes and deployment. Information relating to the change, without any change, no information, changes occur in P () when changes, the faster and higher the greater the change in information. In figure 1 ( a) changes occur in low and high so that the function of information on the area high . But the q region was virtually no change to the function of information is low . In figure 1 ( b ) changes hardly occur in low and high , so that the function of information in both areas is low, but the is going to change the function of height information . This means that the function is determined by the steepness of the curvature information, the steep curvature of the higher functions of the information . L2P models slope formula (Ronald K. hambelton, H.Swaminathan, H. Jane Roger, 1991:97)
dPi ( ) DaiPi ( ).Qi ( ) d Each point on the characteristics of the grains have a slope are usually different, the slope of the biggest occurred in Pi (Ѳ) = 0.5 or Ѳ = b, farther away from Ѳ = b, the smaller slope. Slope can be used as a measure of compatibility between ability and item difficulty .
30
International Conference on Education 2014 Official Conference Proceedings
Sabah, Malaysia
Figure 1: Information on the function Ѳ Function is determined by the spread of information, the greater the smaller the spread the lower the accuracy of the information function. In figure 1 (a) is located on the largest spread information function q being so low, otherwise high-functioning information on low and high q. This means that the function is inversely proportional to the spread of information or the standard deviation. The purpose of these two criteria items information directly proportional to the steepness and inversely proportional to the standard deviation. So there are no negative values are squared and then obtain the following formula: (Hambleton and Swaminathan, 1985: 104)
I j θ,X
D2
1
2
ae e
Da j b j
j
Da j b j
2
Test information function is a combination of all the functions of the items of information on the test. To test the N grains, the test information function is (Dali, 2012:567) N
N
i 1
i 1
I ( ) I i ( , X )
1 Pi ( ) Pi ( )Qi ( )
2
Equating Equating is a statistical process used to adjust scores on test formats so that scores can be compared to that format ( Michael J.Kolen, & Brennan , 1995 : 2 ; Yin , Brennan , and Kolen , 2004: 275). Objective is to equalize the score to score comparable. A score can be compared with the scores of other , if both are measuring the same characteristics and expressed in the same metric ( Dorans , 2004: 228 ) . According to Lord ( Hambleton & Swaminathan , 1985 : 199 ) , says that an equivalence test satisfies the equivalent , if the second test is fair to all participants , meaning that equalization does not know the difference for the participants on the level of ability if they took the test one or the other. Equalization is symmetric, meaning equivalence test does not depend on which test is used as a reference test (Ronald K. Hambleton, Swaminathan, & Rogers , 1991: 125 ) . Functions that are used to transfer test scores on a scale of 1 to test 2 , together with the functions that are used to transfer test scores on the test scale 2 to 1 . Equalization is group invariant, meaning that the sample is free equalization procedure. Relation to the equalization should be the same regardless of the group participants used to perform equalization (Petersen, Kolen, & Hoover, 1989). At IRT activities test must satisfy two basic assumption, namely unidimensional and local independence (Kollen and 31
International Conference on Education 2014 Official Conference Proceedings
Sabah, Malaysia
Brennan, 2004). There are three models of the design of equalization is a single group design , design group equivalent , and grain trailer design ( Ronald K Hambleton & Swaminathan , 1985: 198 ). The selection of the design used in the equalization is highly dependent on the implementation situation. In this study, using a test design anchors in this design, when used two test devices, namely X and Y and two groups of participants that K1 and K2 , then test each device added anchor test items so that both the tests Z to X + Z items and Y + Z items . The group working on the test participants K1 X + Z and Y + K2 group working on Z so that the anchor test items Z done by two groups of test participants (common items ) . Match equivalen scale calibration is done with the parameters or parameter capabilities anchor test items . If the design of the calibration parameters of the test anchor point , then the parameters of the two groups has been the ability of the participants are on the same scale IRT functions according to the equalization method for determining the conversion constants . It is given that the equivalence between two or more tests can be done if the conversion constants are known. The resulting converted value in substitution in the design of equalization scale equations is used. Equalization used is linear , so that the constants α and β equalization can be calculated by various methods . In IRT , there are four methods of equivalency tests , namely : regression , the mean sigma , mean and sigma tough , and the characteristic curve ( Angoff , 1982) . Equalization method in this study uses the average sigma. In the L2P model of item difficulty calibrations to degree are : ( Dali , 2012:535 ) bZY = k bZX + d azy = azx / k so
bZY =k bZX + d bZY = k bZX
from this equation
k
b b
ZY
ZX
d bZY kbZX b*Y = k bX + d a*Y = aX / k Calibration L2P model at parameters bx the results the calibration parameters b * Y., ax with the results of the calibration parameters a * Y. Fit Model Characteristics Matching the model is to examine the characteristics of item characteristics model fit to the data item selected from the field. Test of model fit is done item by item , chances are there is no matching item and the item does not fit . Procedure matching models include the matching procedure PROX Rasch model and 1P . Other procedures are the way to the Prediction Model Accuracy by comparing actual scores predicted scores on the simulation results or the mathematical expectation . Their difference is expressed in the residual value of the residual raw. Raw residue tested through a number of ways, such as chi -square statistics.If a data field has been matched with a selection of the grain characteristics model parameter estimation can be done more accurately. If the data field is matched with curvature grain characteristics of the model chosen, by itself un-dimensional requirements are met and the invariance group . METHODOLOGY AND SAMPLING The purpose of this study was to determine the function of the test information on the package used on the national exam. This study was included in the research experiment consisting of dependent variable and independent variables. The dependent variable of this study is the item information 32
International Conference on Education 2014 Official Conference Proceedings
Sabah, Malaysia
function, while the independent variable is the level of difficulty item parameters. The data used in this study were student responses in the national exam test subjects Mathematics High School area of Lampung province. The data obtained from the Assessment and Testing Center of Education, Ministry of National Education. The data consisted of students answer ABCDE shaped with 40 item (including 5 anchor items are points 5, 13, 31, 39, 40) with the package that they use as much as 5 pieces (package A, B, C, D, E) with respondents as many as 3500 people. Steps taken in this study is the estimation of parameters and test item model fit using the program MICROCAT ASCAL. In the ASCAL program, respondents are prepared based on the rules that have been set by using the notepad application. If there are items that do not fit the model of those items are issued, are not included in the calculation. The next step is the calibration of item difficulty by using the mean and sigma method. A calibration using the basic package, this means that the package A, C, D, E in the calibration to the standard package is a package B, Then calculated the maximum item information function of each item for each packet. Data Analysis Techniques Test Requirements Analysis, which is a test of homogeneity of variance in maximum item information function between Package A, B, C, D and E by using the Bartlett test. Bartlett Test results obtained that the value of the item information function, which is used 5 packets homogeneous sig 0.369. Table 1. Test of homogeneity of variances Item information function Levene Statistic df1
df2
Sig.
1.079
161
.369
4
Mean difference test and multiple comparison test. Mean difference test through one-way ANOVA, if the test results accept the null hypothesis of multiple comparison test was discontinued, but if the hypothesis reject the null hypothesis then followed by a multiple comparison test RESULTS AND DISCUSSION The results of the fit model can be seen in Table 2 as follows Table 2: Item not Fit Model Packets
Item not fit models
sum
A
3, 7,12, 17, 25 27, 33, 38
8
B
3, 8, 12, 25,33,38
6
C
7,8,12,17,27,33,38
7
D
3,8,12,17,25,27,33
7
E
3, 8, 12, 25,33,
5
Among the items that do not fit the model, there is no anchor point. The next step is to check the results difficult item to estimate . The results of the estimation item difficulty, the lowest point has a value of b = -1.651 A package is on the highest point and has a value of b = 2.149 contained in E. In the descriptive package A package is a package with a number of items that do not fit most models, while the package E is a package that is at least the number of items does not fit the model. Five packets sampled in this study, not all items fit the models, the results of descriptive analysis that makes the item does not fit the models is negative discriminant . The negative discriminant is worth the high ability
33
International Conference on Education 2014 Official Conference Proceedings
Sabah, Malaysia
group interpretation cannot answer, whereas lower ability group can answer. This means the need to study the material or language expert guesses that occur in lower ability groups. The next step is to remove items that do not fit the model, then proceed back to the item parameter estimation using NCSS program. The next step performs equalization scale (equating) the base is Package B, meaning that all packets for parameters and power level of difficulty depending on the item scale equate to Match scale package B. This is done by using an excel program. Linear equation for equating listed in Table 3. Table 3. Equation equating to Level of Difficult and Discrimination of item Packet
Difficulty of item
Discrimination of item
A ke B
b*y=0,7099 bx+1,373
A*y = 1,1839 ax + 0,2147
C ke B
b*y=0,7882 bx+0.0318
A*y = 1,4429 ax – 0,0858
D ke B
b*y=0,8529 bx – 0,1519
A*y = 1,3060 ax - 0,2203
E ke B
b*y=0,7250 bx – 0,0474
A*y = 1,4429 ax – 0,0268
The results of the calculation items information function for all package, then processed using one-way ANOVA SPPS program to see if there is a difference between Package. The results of the calculations are presented in Table 4. Table 4: Calculation of Anova 5 Package Item Information Function Data Item information function Between Groups Within Groups Total
Sum of Squares df
Mean Square
F
Sig.
1.483 267.417 268.900
.371 1.661
.223
.925
4 161 165
Based on the calculation of ANOVA sig 0.925> 0.05 then the null hypothesis is accepted, this means that the fifth test package has the same statistical accuracy.
CONCLUSION In the group of packages that are otherwise equivalent , at the beginning of the analysis found some items that do not fit the model , the detection results are descriptive items that do not fit the model may be due to different parameter values negative power . This means that packets are processed has a number of different item. The difference of course affect the amount of item equation is used to equalize the role. The test results conclude that there was no difference between the item information function packages. The results of this new study conclude that the function of the five packets of information is the same, yet concluded whether the function of the information contained quite high. Higher information function if the item fits with the respondent. For that we need further research how many items are matched with the respondents in order to produce maximum information function. REFERENCES Charles L. Hulin, Fritz Drasgow, and Charles K. Parsons (1983). Item Response Theory: Application to Psychological Measurement. Dali S Naga (2012) Teori Sekor Pada Pengukuran Mental. Hulin, Charles L., Fritz Drasgow, and Charles K. Parsons. (1983)Item Response Theory: Application to Psychological Measurement. Homewood, IL: Dow Jones-Irwin. 34
International Conference on Education 2014 Official Conference Proceedings
Sabah, Malaysia
Michael J. Kolen, and Robert L. Brennan. (1995) Test Equating: Methodes and Practices. Norman E. Gronlund. (1993) How to Make Achievement Test and Assessment. Ronald KHambleton, , H. Swaminathan, and Jane Rogers.(1991) Fundamentals of Item Response Theory. Trevor G. Bond and Christime M. Fox (2007) Applying The Rasch Model Fundamental Measurement in the Human Scince.
35
International Conference on Education 2014 Official Conference Proceedings
Sabah, Malaysia
EVALUASI MANAJEMEN PROGRAM PRIMA PADA PENINGKATAN PRESTASI WUSHU INDONESIA Moch. Asmawi1 1
Universitas Negeri Jakarta
[email protected] Abstrak
Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui efektifitas manajemen program Prima pada Peningkatkan prestasi Wushu Indonesia yang ditinjau dari context evaluation (latar belakang dan tujuan program), Input evaluation (perencanaan program), process evaluation (pelaksanaan program) dan product evaluation (evaluasi produk). Dimana Penelitian ini dilaksanakan di PRIMA dan Pelatnas PB Wushu Indonesia, adapun metode penelitian ini adalah penelitian evaluative dengan menggunakan pendekatan survey dengan model Context, Input, Process, Product (CIPP). Hasil dan kesimpulan dari penelitian evaluasi ini adalah dimana evaluasi manajemen program prima cabang wushu harus dilakukan setiap tahun dengan tujuan untuk mengetahui kendala serta kekurang yang ada dalam sebuah tim (atlet dan pelatih) dalam proses ini, komisi teknik wushu harus berperan aktif untuk mencapai target yang telah dibebankan oleh KONI Pusat. Proses pembinaan yang telah dilakukan cabang wushu mengacu pada program jangka pendek dan jangka panjang, dalam hal ini pemusatan latihan yang dilaksanakan didaerah dengan bertujuan mencari bibit atlet yang nantinya bisa menggantikan atlet yang senior, sementara di pusat diperioritaskan untuk pembinaan dalam pemusatan latihan (Pelatnas). Kendala yang dialami oleh cabang wushu adalah belum adanya kerjasama yang dijalin oleh pengurus serta minimnya bantuan dana dalam proses pembinaan. Kata Kunci: Evaluasi Manajemen, Program Prima, Prestasi Wushu Indonesia Abstract The purpose of this study was to determine the effectiveness of program management Prima, increasing the achievement of Wushu Indonesia in terms of evaluation context (background and objectives of the program), input evaluation (program planning), process evaluation (program execution) and product evaluation (product evaluation). Where the research was conducted at PRIMA and Pelatnas PB Wushu Indonesia, while the method of this study was evaluative research using a survey approach with a model of Context, Input, Process, Product (CIPP). The results and conclusions of this evaluation study was where the prime program management evaluation Wushu branches should be done every year with the aim to determine the obstacles and deficiencies that exist within a team (athletes and coaches) in this process, the commission of Wushu should be active to achieve targets has been charged by the Central Sports Committee (KONI). Coaching process that has been carried Wushu branch refers to short-term programs and long-term, in this case the training camp held on many locals area to look for the next junior athletes that will replace senior athletes, while at the center prioritized for development in training camp (National Team/PELATNAS). The problem faced by the branch of wushu is the absence of cooperation forged by the board and the lack of funding in the coaching process. Keywords: Evaluation Management, Program Prima, achievements Indonesian Wushu.
36
International Conference on Education 2014 Official Conference Proceedings
Sabah, Malaysia
PENDAHULUAN Manajemen olahraga merupakan ilmu manajemen yang berkembang pesat di negara besar seperti Amerika Serikat dan Australia, begitu pula dengan negara–negara maju yang mulai memakai manajemen sebagai mata pencaharian dalam bisnis olahraga, industri olahraga, jasa olahraga, rekreasi olahraga dan pariwisata olahraga. Bahkan dalam tingkat profesional, manajemen olahraga merupakan ujung tombak prestasi olahraga nasional suatu negara. Ilmu ini dipakai oleh tiap negara untuk meraih pencapaian prestasi yang maksimal dan Indonesia mencoba menerapkan serta mengembangkannya. Sejak Thailand menggeser posisi Indonesia pada SEA Games XX tahun 1999, Indonesia tidak beranjak dari posisi 3 yang diikuti Vietnam pada posisi 4. Lalu pada Sea Games XXII tahun 2003 Vietnam yang berada di posisi 4 menjadi juara umum pada tahun 2001. Indonesia semakin tergeser pada SEA Games 2005 dengan menempati peringkat 5. Pada SEA Games 2007 peringkat Indonesia naik satu peringkat menjadi peringkat 4. Dan baru pada SEA Games 2011 Indonesia bisa menjadi juara umum kembali. Namun, keberhasilan ini tidak dapat dibandingkan dengan masa kejayaan Indonesia pada SEA Games tahun 1977 hingga 1999 dimana Indonesia selalu berada di peringkat pertama, hal ini merupakan tugas bersama untuk mengembalikan kejayaan olahraga pada tingkat Asia Tenggara khususnya dan internasional pada umumnya. Pada kenyataannya kepengurusan badan, lembaga dan organisasi olahraga diduduki oleh kepentingan–kepentingan politik. Sehingga pengetahuan akan olahraga mulai dari fondasi dasar hingga tingkat prestasi nasional sangatlah terbatas. Pengetahuan manajemen yang terbatas tersebut menyebabkan banyak hal dasar yang terlupakan untuk mengejar ketertinggalan prestasi nasional, yang salah satunya adalah pembangunan olahraga jangka panjang. Prestasi olahraga merupakan tuntutan yang harus dimiliki oleh suatu bangsa. Dengan prestasi olahraga dapat mengangkat harkat dan martabat manusia baik secara individu, kelompok, masyarakat, bangsa, dan negara. Melihat keadaan diatas pemerintah senantiasa membuat berbagai strategi dan upaya yang sistematik untuk meningkatkan prestasi olahraga. mulai dari upaya pemassalan olahraga, pembibitan dan pemanduan bakat, sampai pada penerapan Ilmu Pengetahuan Dan Teknologi (IPTEK) yang menunjang kemajuan olahraga. upaya tersebut secara relatif telah menunjang kontribusi bagi kemajuan prestasi olahraga nasional. Prestasi olahraga Indonesia juga selalu mengalami pasang surut, hal ini juga dibutuhkan kesiapan dari segala bidang diantaranya Sumber Daya Manusia yang dimiliki, fasilitas olahraga yang mendukung serta motivasi yang senantiasa memberikan dorongan terhadap atlet untuk mencapai tujuannya. Berdasarkan latar belakang yang telah dikemukakan diatas, peneliti memberikan pemahaman tentang betapa pentingnya peranan prestasi dalam memajukan olahraga di Indonesia, sehingga memerlukan kajian yang lebih serius yang didasari oleh: (a) Sumber daya manusia yang terdiri dari pengurus dan pelatih yang berkualitas dan mempunyai lisensi kepelatihan sesuai dengan cabang olahraga baik nasional dan internasional, serta memiliki peran yang strategis baik dalam upaya menumbuhkan budaya olahraga, pembinaan prestasi, serta kemampuan dalam berorganisasi. (b) Fasilitas: yang memadai serta berkualitas sehingga dapat memotivasi atlet untuk menggunakan fasilitas tersebut secara baik dan bertanggung jawab. (c) Motivasi: memberikan sebuah dorongan kepada para atlet untuk lebih giat berlatih meskipun didalam situasi tekanan dan serba kekurangan. Pencanangan pola program pembinaan prima yang berjenjang periodik, sistematis, dan berkelanjutan memiliki target pencapaian sasaran yang menyatakan bahwa dengan pembinaan yang baik maka akan melahirkan ‘Golden Boy’ dan ‘Golden Girl’ yang akan mampu menjadi atlet Muda dan Utama untuk menuju prestasi internasional. Evaluasi berkaitan erat dengan pengukuran dan penilaian yang pada umumnya diartikan tidak berbeda (indifferent), walaupun pada hakekatnya berbeda satu dengan yang lain. Pengukuran (measurement) adalah proses membandingkan sesuatu melalui suatu kriteria baku (meter, kilogram, takaran dan sebagainya), pengukuran bersifat kuantitatif. Penilaian adalah suatu proses transformasi dari hasil pengukuran menjadi suatu nilai. Dari permasalahan-permasalahan yang telah diidentifikasi di atas maka untuk mendapatkan temuan yang mendalam perlu dilakukan pambatasan masalah. Karena fokus utama dari penelitian evaluasi ini adalah untuk mengetahui efektifitas manajemen program Prima pada Peningkatkan prestasi Wushu Indonesia yang ditinjau dari context evaluation (latar belakang dan tujuan program), Input 37
International Conference on Education 2014 Official Conference Proceedings
Sabah, Malaysia
evaluation (perencanaan program), process evaluation (pelaksanaan program) dan product evaluation (evaluasi produk). KAJIAN TEORITIK Konsep Evaluasi Program 1. Evaluasi Program Popham yang mendefinisikan evaluasi program sebagai proses pencarian, pengumpulan dan pemberian data (informasi) kepada pengambil keputusan yang diperlukan untuk memberikan pertimbangan apakah program perlu diperbaiki, dihentikan, atau diteruskan (Popham, 1981: 7). Pengertian evaluasi program ini lebih mengarah sampai pada pengambilan keputusan untuk melanjutkan atau menghentikan program yang dievaluasi. Berdasarkan paparan di atas dapat disimpulkan bahwa evaluasi program adalah proses penerapan prosedur ilmiah yang berurutan yang diawali dengan pengumpulan data, pengolahan serta penyajian data seluas-luasnya mengenai program pelatihan untuk dijadikan bahan dasar dalam membuat keputusan atau kebijakan yang akan dilakukan dikemudian hari. 2.
Visi, Misi, Tujuan, Sasaran Strategis Dan Pengorganisasian Prima Program Indonesia Emas (PRIMA) adalah program pemerintah untuk menciptakan Atlet Andalan Nasional yang mampu berprestasi ditingkat internasional, memiliki visi, misi, tujuan, sasaran strategis dan pengorganisasian PRIMA sebagai berikut: Visi “Menghasilkan atlet yang mampu berprestasi di tingkat internasional” Misi Mengembangkan bakat calon Atlet Andalan Nasional Melaksanakan seleksi dan menetapkan calon atlet dan pelatih Atlet Andalan Nasional Membuka akses ketersediaan prasarana san sarana PRIMA yang berstandar internasional Memberikan penguatan induk organisasi cabang olahraga yang berkaitan dengan PRIMA Tujuan Menyiapkan Atlet Andalan Nasional yang mampu berprestasi pada pecan olahraga dan kejuaraan olahraga di tingkat internasional. Mengembangkan pembinaan atlet secara berjenjang yang didasarkan pada prinsip pembinaan atlet jangka panjang. Menetapkan atlet dan pelatih Andalan Nasional. Menetapkan ilmu pengetahuan dan teknologi dalam pelatihan dan penelusuran bakat Mengembangkan pembinaan kehidupan social dan pola hidup Atlet Andalan Nasional. Mencari peluang ketersediaan prasarana dan sarana latihan PRIMA yang sesuai dengan standar internasional Memberikan penguatan induk organisasi cabang olahraga. Sasaran Srategis 2010-2014 Meningkatkan perolehan medali pada Asian Games tahun 2010 Tercapainya posisi papan aatas pada SEA Games tahun 201 Meningkatkan perolehan medali pada Olympic games tahun 2012 Mempertahankan posisi papan atas pada SEA Games tahun 2013 Meningkatkan perolehan medali pada Asean Youth Games tahun 2013 Meningkatkan perolehan medali pada Asean Games tahun 2014 Meningkatkan perolehan medali pada Youth Olimpic Games tahun 2014 Meningkatkan perolehan medali pada berbagai jenjang Paralympic Games Terlaksananya pembinaan Atlet Andalan Nasional secara berjenjang Terlaksananya penguatan induk organisasi cabang olahraga unggulan nasional.
38
International Conference on Education 2014 Official Conference Proceedings
Sabah, Malaysia
Pengorganisasian Dalam penyelenggaraan PRIMA dibentuk suatu lembaga non structural yang disebut sebagai Dewan Nasional PRIMA yang akan bertugas membina dan mengendalikan seuruh kegiatan melalui pemantauan dan evaluasi selama pelaksanaan kegiatan PRIMA. Dewan Nasional PRIMA terdiri dari dewan pengarah dan dewan pelaksana yang dilengkapi dengan komponen-komponen pendukung organisasi sesuai kebutuhan PRIMA. Bagan stuktur organisasi PRIMA secara lengkap dapat dilihat pada gambar sebagai berikut: Grafik 1. Struktur Organisasi Dewan Pelaksana Prima
Penguatan Induk Organisasi Cabang Olahraga Yang Berkaitan Dengan Program Indonesia Emas Untuk mencapai prestasi olahraga yang optimal di even internasional diperlukan pembinaan dan pelatihan yang strategis, berkesinambungan dan berjenjang sejak dari usia muda sampai ke tingkat elit atlet. Untuk mewujudkan pola pembinaan yang sistematis, berjenjang dan berkesinambungan diperlukan system pembinaan yang mantap dengan didukung wadah organisasi olahraga yang memiliki komitmen tinggi dalam melakukan pembinaannya. PRIMA yang merupakan sistem pola pembinaan Atlet Andalan Nasional yang sistematis, berjenjang, dan berkesinambungan, memerlukan dukungan wadah organisasi yang memiliki sistem manajemen pengelolaan yang mantap dan SDM yang berkualitas. Induk organisasi cabang olahraga merupakan wadah organisasi yang starategis dalam mendukung PRIMA, sehingga mutlak harus memiliki sistem manajemen pengelolaan yang baik yaitu harus mampu merencanakan, mengorganisir, mengelola, dan mampu melakukan pengawasan serta mengevaluasi pelaksanaan pembinaan atlet nasional. Selain itu harus didukung oleh SDM yaitu para pengurus, pembina, dan pelatih yang memiliki komitmen, dedikasi, dan loyalitas yang tinggi terhadap kemajuan olahraga nasional. Menyadari bahwa induk organisasi cabang olahraga merupakan wadah yang strategis dalam melakukan pembinaan para Atlet Andalan Nasional untuk mencapai prestasi tertinggi, maka diperlukan upaya penguatan sistem manajemen dan tatalola organisasi di berbagai aspek bidang pembinaan yang ada. Prestasi Wushu Indonesia Prestasi adalah kemampuan nyata yang merupakan hasil interaksi antara berbagai faktor yang mempengaruhi baik dari dalam maupun dari luar individu dalam belajar, serta Prestasi merupakan kemampuan nyata (actual ability) yang dicapai individu dari satu kegiatan atau usaha. Sehingga disimpulkan bahwa prestasi adalah suatu hasil yang telah dicapai sebagai bukti usaha yang telah dilakukan. 39
International Conference on Education 2014 Official Conference Proceedings
Sabah, Malaysia
Jadi untuk mencapai prestasi dan tujuan, maka atlet juga harus giat berlatih, karena melalui latihan-latihan yang teratur pola hidupnya secara menyeluruh akan terbentuk. Oleh karena itu kata kunci untuk mencapai prestasi dan keunggulan dalam olahraga adalah “berlatih dan berlatih”. Prestasi wushu Indonesia diawali oleh Jainab atlet asal Sumatera Utara, yang meraih prestasi medali perak di kejuaraan dunia 1995 di Baltimore, Amerika Serikat dan merebut medali perunggu di Asian Games Bangkok Tahun 1998. Prestasi lainnya yang berkaliber internasional seperti Lindswell, Aldy Lukman, dan Heryanto yang menyuguhkan medali emas di SEA Games XXVI Jakarta dan prestasi internasional lainnya. Altlet wushu ini tidak terlepas dari peranan pelatih Supandi Kusuma yang sekarang menjabat sebagai Ketua Umum PB. Wushu Indonesia. Tentu saja itu merupakan prestasi yang luar biasa, karena ketika itu wushu berstandar International baru berkiprah 3 tahun di bumi Indonesia. Di Indonesia, Wushu kini juga mendapat perhatian yang istimewa dari masyarakat, wushu yang dulu hanya dimainkan oleh orang-orang tua, dan itupun hanya golongan tertentu kini telah memasyarakat. Tidak ada data resmi yang mencatat sejak kapan wushu mulai masuk ke Indonesia, tetapi sejak puluhan tahun silam telah di mainkan oleh banyak orang dari berbagai kota besar maupun kecil di Indonesia seperti Medan, Jakarta, Surabaya, Semarang dan masih banyak lagi daerah lain, tetapi wushu yang berstandar Internasional baru di kenal dan di populerkan di Indonesia pada akhir Oktober 1992 yang di prakarsai oleh tokoh olahraga IGK Manila yang kemudian menjadi Ketua Umum PBWI yang pertama. Manila berhasil membawa wushu Indonesia ke forum Internasional. Kata Wushu (Wikipedia) berasal dari dua kata yaitu “Wu” dan “Shu”. Arti dari kata “Wu” adalah ilmu perang, sedangkan arti kata “Shu” adalah seni. Sehingga Wushu bisa juga diartikan sebagai seni untuk berperang atau seni beladiri. Di dalam wushu, kita juga mempelajari seni, olahraga, kesehatan, beladiri dan mental. Pendapat serta teori yang telah dikemukan diatas dapat ditarik kesimpulan bahwa kita harus membangkitkan kesadaran baru bahwa prestasi sejati bukanlah sesuatu yang instan, ia merupakan konsukensi dari dari sebuah proses panjang yang terencana untuk menggapai tujuan tertinggi. Prestasi tinggi juga harus dibangun diatas fundamental yang kokoh, yaitu masyarakat yang sehat dan hidup aktif sepanjang hayat. Karena itu, upaya pembinaan olahraga “jalan pintas” yang hanya akan menginginkan prestasi tinggi dalam waktu singkat harus lebih ditingkatkan, antara lain: 1) Pembinaan, 2) Psikologis, 3) Rutinitas latihan dalam latihan, 4) Keadaan fisik, 5) Teknik dan skill. Sumber Daya Manusia M. Ngalim (2000:33) Manusia sebagai mahluk individu yang hidup dalam suatu dunia yang bukan dirinya sendiri, tetapi mutlak diperlukan untuk hidupnya, melangsungkan dan mengembangkannya, manusia membutuhkan makanan, udara, juga persahabatan, ilmu pengetahuan, persekutuan dan kesesuaian. Manusia menurut Ngalim bahwa pada prinsipnya manusia adalah mahluk yang berkesadaran dan berkat aktivitas-aktivitas kesadarannya manusia mampu mengatasi dirinya dan penciptakannya dunia yang khas bagi diirnya. Menurut Dahlan dalam setiadi (1996:6) Pengertian kualitas sumber daya manusia Indonesia menjadi: (1) kualitas fisik, yaitu cirri-ciri kualitas bersifat lahiriah atau badaniah. (2) kualitas non fisik, yaitu cirri-ciri kualitas yang bersifat batiniah yang mencakup kualitas-kualitas: pribadi, keserasian dengan lingkungan, bermasyarakat, berbangsa dan kekayaan. Dimensi SDM keolahragaan (Permen RI, 2007:73) dapat dipahami sebagai sesuatu yang sangat luas. Deskripsi SDM keolahragaan setidak-tidaknya dapat dikelompokkan kedalam: a) pelaku olahraga, menunjukkan pada orang dan/atau kelompok orang yang terlibat secara langsung dalam kegiatan olahraga, b) pembinaan olahraga, menunjukkan pada orang yang memiliki minat dan pengetahuan, kepemimpinan, kemampuan manajerial, dan/atau pendanaan yang didefikasikan untuk kepentingan pembinaan dan pengembangan olahraga, c) tenaga keolahragaan, menunjuk pada setiap orang yang memiliki kualifikasi dan sertifikasi kompetensi dalam bidang olahraga, dan d) olahragawan. Dari pendapat para ahli diatas hakikat dari adanya SDM keloahragaan adalah menjamin bahwa semua penyelenggaraan kegiatan olahraga didukung oleh tenaga keolahragaan yang memiliki kompetensi yang dapat dipertanggungjawabkan secara etik propesional dengan ditambah landasan pengetahuan akademik.
40
International Conference on Education 2014 Official Conference Proceedings
Sabah, Malaysia
Fasilitas Fasilitas olahraga merupakan sebuah wadah untuk melakukan setiap kegiatan olahraga, dengan menyongsong Hari Depan Olahraga Indonesia sehingga seluruh masyarakat dapat memeperoleh kesempatan yang sama untuk berolahraga serta mendapatkan kebugaran dan kesehatan yang sesuai dengan konsep “Sport For All” dengan semboyan memasyarakatkan olahraga dan mengolahragakan masyarakat. Fasilitas olahraga adalah sumber daya pendukung yang terdiri dari segala bentuk jenis bangunan/tanpa bangunan yang digunakan untuk perlengkapan olahraga. Sarana prasarana olahraga yang baik mendorong masyarakat untuk melaksanakan olahraga secara kelompok atau secara bersamasama, sehingga nilai-nilai sosial yang fositif dari kegiatan olahraga dapat dirasakan. Program Latihan Program latihan adalah suatu kegiatan perencanaan latihan secara tertulis baik jangka panjang maupun pendek yang disusun secara sistematis dan dalam pelaksanaannya berlangsung dalam proses yang berkesinambungan dengan cara yang efektif dan efisien serta usaha-usaha untuk mencapai tujuan yang telah ditetapkan, yang tergambar dalam pendidikan pelatih, lisensi pelatih, pengalaman pelatih, perencanaan, prinsip-prinsip latihan, metode latihan, periodisasi, dan penerapan materi. Kriteria Evaluasi Menurut Riney (1997:127), efektivitas penyelenggaraan program pendidikan dapat dilihat dari dimensi berikut; (1) kepuasan peserta program, (2) perkembangan kemampuan akademik peserta, (3) perkembangan karir dan individu peserta program, (4) kepuasan penyelenggara program, (5) perkembangan professional dan kualitas penyelenggara program, (6) keterbukaan sistem dan interaksi komunitas, dan (7) kemampuan lembaga penyelenggara untuk mendapatkan sumberdaya, dan kesehatan organisasi penyelenggara program. Dalam terang model evaluasi CIPP, dapat dipahami bahwa kriteria efektivitas pelaksanaan manajemen program prima ditentukan oleh efektivitas dari komponen-komponen program yang dievaluasi, meliputi komponen konteks, masukan, proses dan produk. Secara umum efektivitas program prima dapat dinilai dari kualitas keluaran yang dihasilkan terutama output atau hasil langsung program. Secara khusus, efektivitas program prima ditentukan oleh efektivitas dari masing-masing komponen yang ada di dalamnya, meliputi efektivitas komponen konteks, efektivitas komponen masukan, efektivitas komponen proses dan efektivitas komponen produk. Tabel 1. Kriteria Peningkatan Program Prima Wushu Indonesia Komponen
Konteks
Aspek
Tujuan dan relevansi program
Indikator Rumusan tujuan dan relevansi program Deskripsi kebutuhan dan masalah Dukungan sumber daya manusia
- Minat
Masukan
Karakteristik atlet - Pengetahuan Kemampuan Rancangan disain program latihan
Mutu latihan
dan
program
Kriteria Tujuan program sesuai/relevan dengan kebutuhan dan masalah dari hasil identifikasi Rumusan kebutuhan dan masalah program Prima sesuai/relevan dengan kebutuhan dan masalah hasil identifikasi atau yang dirasakan dan dihadapi atlet Tersedia dukungan sumber daya manusia secara memadai untuk penyelenggaraan program prima: man, money, material, serta dukungan kebijakan Memiliki minat yang tinggi untuk mengikuti program Prima Memiliki keterbatasan pengetahuan dan keterampilan yang relevan dengan program Prima Program latihan relevan dengan kebutuhan dan masalah pad atlet
41
International Conference on Education 2014 Official Conference Proceedings
Sabah, Malaysia
Komponen
Aspek
Indikator Kapabilitas pelatih
Kriteria Memiliki kompetensi yang relevan dengan syarat yang ditentukan
Kapabilitas lembaga penyelenggara
Proses
Kapabilitas lembaga penyeleng-gara Pelaksanaan
Memiliki kewenangan, kemampuan, dan reputasi dan pengalaman memadai dalam penyelenggaraan program Prima Penentuan yang jelas dalam pelaksanna program prima Pembagian tugas yang jelas
Jadwal latihan Pelaksanaan Program Metode dan Proses
Produk
Pengawasan
Komunikasi sesama pengurus
Pemberian sanksi Motivasi
Pemberian arahan
Pertemuan atau rapat resmi dengan pihak– pihak program kerja di Prima. Sistem pengawasan yang selama ini diterapkan ditetapkan standart kegiatan (berdasarkan peraturan) Penerapan sanksi terhadap pelanggaran yang dilakukan pihak–pihak yang terkait Pengarahan yang dilakukan oleh komtek terhadap Atlet pelatnas Wushu Indonesia Pemberian Bonus kepada Atlet Berprestasi
METODOLOGI PENELITIAN Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui efektifitas manajemen program Prima pada Peningkatkan prestasi Wushu Indonesia yang ditinjau dari context evaluation (latar belakang dan tujuan program), Input evaluation (perencanaan program), process evaluation (pelaksanaan program) dan product evaluation (evaluasi produk). Dimana Penelitian ini dilaksanakan di PRIMA dan Pelatnas PB Wushu Indonesia, adapun metode penelitian ini adalah penelitian evaluative dengan menggunakan pendekatan survey dengan model Context, Input, Process, Product (CIPP). Untuk mendapatkan data yang dibutuhkan maka perlu menyusun pedoman wawancara yang berisikan pertanyaan – pertanyaan yang berkaitan dengan penelitian yang akan dilakukan. teknik yang digunakan meliputi wawancara tidak terstruktur dan studi dokumentasi. HASIL PENELITIAN Dalam penelitian ini, informasi akan dikumpulkan dari pihak-pihak yang berkopeten dalam menentukan suatu kebijakan serta pihak-pihak yang terkait dalam manajemen program prima pada peningkatan prestasi Wushu Indonesia di PB WI, antara lain: 1. Ketua Bidang Pembinaan Prestasi 2. Ketua Komisi Teknik Wushu 3. Pelatih Pelatnas 4. Atlet Pelatnas Manajemen program prima yang telah diterapkan PB Wushu Indonesia dalam pengorganisasian sangat dibutuhkan dan diperlukan dengan mencapai tujuan, menjaga keseimbangan diantara tujuantujuan yang saling bertentang serta mencapai efesiensi dan efektifitas. Proses evaluasi manajemen program proma harus dilaksanakan oleh PB Wushu Indonesia secara komprehensif agar hasilnya benar–benar dapat dijadikan dasar dalam menentukan kualitas dari suatu program. Hal ini berarti evaluasi dilakukan secara menyeluruh untuk menilai unsur–unsur yang mendukung suatu program. Agar hasil evaluasi cabang olahraga wushu berlangsung secara baik, maka ada beberapa fungsi yang dapat dijadikan acuan dalam pelaksanaan evaluasi. PB Wushu Indonesia khususnya cabang olahraga Taulo dan Sanshou hendaknya selalu berbenah dan selalu melakukan evaluasi. Evaluasi sangat penting dan wajib dilakukan demi target yang ingin dicapai dan raih, tujuan dari fungsi evaluasi meliputi : eksplanasi, kepatuhan, auditing, akunting.
42
International Conference on Education 2014 Official Conference Proceedings
Sabah, Malaysia
Evaluasi manajemen yang dilakukan pada cabang Wushu ini menggunakan pendekatan CIPP (Context, Input, Process, Product). Analisis manajemen program prima ini dilakukan dengan tujuan untuk meningkatkan dan mencapai akuntabilitas dan meningkatkan proses pembinaan, latihan, menjalankan program-program yang telah direncanakan untuk mencapai target yang telah diharapkan. Tim Wushu Indonesia berhasil mendapatkan 7 medali emas, dua perak, dan satu perunggu dalam ajang Islamic Solidarity Games III di Palembang. Dimana peraih medali emas diraih oleh pewushu yang turun dalam kelas Taiji Jian putra, Taiji Jian putri, Nan Dao dan Nan Gun putri, Daoshu dan Gonshu putra serta Jianshu dan Qiangshu putri. Pencapaian prestasi Wushu Indonesia yang mendapat medali emas tersebut di luar prediksi. Pasalnya dalam ajang pesta olahraga negara-negara Organisasi Kerja sama Islam (OKI) ini pihaknya tidak menargetkan medali apapun. Karena itu Indonesia hanya menganggap ISG sebagai ajang pemanasan sebelum ke SEA Games Myanmar. Keempat atlet yang meraih emas tersebut meliputi Marten Mardan Tangdilallo yang turun dalam kelas Taiji Jian putra. Dia berhasil mencatatkan poin tertinggi 9.65. Sementara medali perak diraih oleh Freddy dengan poin 9.64. Medali perunggu diraih oleh Loh Choon How dari Malaysia dengan poin 9.63. Lindswell, pewushu juara dunia asal Indonesia yang turun di nomor Taiji Jian putri kembali menyumbang satu emas dengan raihan poin tertinggi 9.68. Sementara itu medali diraih oleh Chan Lu Yi (Malaysia) dan perunggu oleh Hamideh Barkhor (Iraq). Persaingan ketat antar pewushu nasional juga terjadi pada nomor Nan dao dan Nan Gun putri. Ivana Ardelia Irmanto berhasil meraih emas dengan skor akhir 19.27. Skor tersebut berbeda tipis dengan capaian rekannya Juwita Niza Wasni dengan skor akhir 18.97. Sementara untuk perunggu berhasil didapat Tan Cheong Min (Malaysia) dengan skor 18.92. Begitu juga atlet yang berhasil sukses meraih meraih emas pada nomor Daoshu dan Gunshu putra. Medali emas diraih oleh Ahmad Hulaifi dengan skor total 19.33. Pewushu Malaysia mendapat perak dengan skor total 19.27. Sementara perunggu berhasil diraih oleh atlet nasional Aldy Kurniawan dengan skor 19.05. Sementara itu di event olahraga Asia tenggara kontingen wushu berhasil memenuhi target dengan meraih 4 medali emas, 3 perak, dan 6 perunggu pada SEA GAMES XXVII 2013 di Myanmar. Hal ini sangat berbanding terbalik dengan negara-negara tetangga. Kontingen Wushu Indonesia di SEA Games XXVII/2013 Myanmar memberikan hasil maksimal. Dari perolehan medali Indonesia di ajang multievent olahraga dua tahunan itu, empat medali emas, tiga perak dan enam perunggu dipersembahkan atlet Wushu, diantaranya Lindswell Kwok, Niza Juwita Wazni, Achmad Hulaefi mempersembahkan medali emas di cabang olahraga cabor wushu. Medali perak diraih Dasmantua. Sedangkan, medali perunggu masing-masing didapat Niza Juwita Wazni dan Arba Sibuea wushu. KESIMPULAN DAN SARAN Evaluasi manajemen program prima cabang wushu harus dilakukan setiap tahun dengan tujuan untuk mengetahui kendala serta kekurang yang ada dalam sebuah tim (atlet dan pelatih) dalam proses ini, komisi teknik wushu harus berperan aktif untuk mencapai target yang telah dibebankan oleh KONI Pusat Proses pembinaan yang telah dilakukan cabang wushu mengacu pada program jangka pendek dan jangka panjang, dalam hal ini pemusatan latihan yang dilaksanakan didaerah dengan bertujuan mencari bibit atlet yang nantinya bisa menggantikan atlet yang senior, sementara di pusat diperioritaskan untuk pembinaan dalam pemusatan latihan (Pelatnas). Kendala yang dialami oleh cabang wushu adalah belum adanya kerjasama yang dijalin oleh pengurus serta minimnya bantuan dana dalam proses pembinaan. Berdasarkan hasil kesimpulan diatas, dapat diajukan beberapa saran untuk kemajuan manajemen program prima pada peningkatan prestasi wushu di PB WI antara lain: 1. Pengurus PB WI Kepada pengurus PB WI hendaknya selalu mengawasi dan memonitoring jalannya proses pembinaan dan terhadap kinerja komtek, manajer, pelatih dan atlet. Evaluasi harus selalu dilakukan oleh PB WI dengan tujuan supaya mengetahui kendala dan kekurang yang ada selama ini. 43
International Conference on Education 2014 Official Conference Proceedings
Sabah, Malaysia
2.
Ketua Bidang Pembinaan Prestasi Kepada ketua Bidang Pembinaan Prestasi hendaknya merencanakan kejuaraan yang lebih banyak dengan tujuan untuk menjaring bibit-bibit atlet dengan proses pembinaan yang berkesinambungan dan juga selalu mengawasi program latihan yang diterapkan. 3. Ketua Komisi Teknik Wushu Kepada Ketua Komisi Teknik harus lebih meningkatkan program kerja yang telah dicanangkan supaya kegiatan yang telah disusun dapat terlaksana sesuai yang telah diharapkan. Keterbatasan dana harus bisa dijadikan sebuah motivasi dalam meraih prestasi yang telah ditargetkan. 4. Pelatih Pelatnas dan Atlet Pelatnas Kepada pelatih dan atlet hendaknya lebih memfokuskan latihan supaya target yang telah dicanangkan dapat diraih dalam memperoleh medali, pelatih juga harus selalu berkoordinasi kepada atlet supaya program latihan yang telah disusun dapat berjalan sesuai dengan yang diharapkan. Atlet juga jangan merasa tertekan dengan program-program latihan telah diberikan supaya target dapat diraih. Peningkatan kualitas serta prestasi yang diharapkan dalam manajemen cabang olahraga wushu harus menekankan pembinaan atlet dan juga pelatih, rasa kekeluargaan dan solidaritas yang tinggi harus juga dijalin terhadap semua pelatih, atlet dan pengurus. DAFTAR PUSTAKA Arulhudabk.blogspot.com/2011/06/pengertian-prestasi-adalah.html Farida Yusuf Tayibnapis, Evaluasi Program. Jakarta: Rineka Cipta, 2000. Fernandes, H.J.X., Evaluation of Educational Programs. Jakarta: National Education Planning, Evaluation and Curriculum Development, 1984. Harsuki. Pengantar Manajemen Olahraga. Jakarta: Raja Wali Pres, 2012 http://id.wikipedia.org/wiki/Wushu Kirkpatrick, Donald L, Evaluating Training Programs, The Four Levels, San Francisco: BerrettKoehler Publisher, Inc., 1996. Leonora, et al., Evaluating Educational Outcomes, Manila: Rex Book Store, 1998. Metcalf, Kim K, Evaluation of the Cleveland Scholarship and Tutoring Program: Student Characteristics and Academic Achievement, Indiana University School of Education, 2003. Musa, Sabari, Evaluasi Program Pembelajaran dan Pemberdayaan Masyarakat, Bandung: YPin,2005. Laporan Nasional Sport Development Index Indonesia 2006. Jakarta: Kementerian Negara Pemuda Dan Olahraga Rebuplik Indonesia, 2006 R. Matindas. Manajemen Sumber daya manusia Lewat Konsep A.K.U. Jakarta: PT Pustaka Utama Grafiti, 1997 Robbins, Stephen P., Teori Organisasi: Struktur, Desain, dan Aplikasi terjemahan Jusuf Udaya, Jakarta: Arcan, 1994. Robbins, Stephen P. & Mary Coulter. Manajemen Edisi Ke Sepuluh Terjemahan Bob Sabran & Devri Banardi Putra, Jakarta: Erlangga.2010. Robert O. Brinkerhoff, et al, Program Evaluation ( A Prectitioner’s Guide for Trainers and Educators, Boston: Kluwer –Nijhoff Pubhlising, 1986. Robert O. Brinkerhoff, et al, Program Evaluation (A Prectitioner’s Guide for Trainers and Educators, Boston: Kluwer–Nijhoff Pubhlising, 1986. R. Sanders James, et al., The Program Evaluation Standards, California: Sage Publication Inc., 1994. Rutman, Leonard, Evaluation Research Methodology, New Delhi: Sage Publication, 1984. Sudibyo. Mental Training. Jakarta: Percetakan Solo, 2011 Sudjana, Metode Statistik. Bandung. Tarsito 1996 Sugiyono. Statistika Untuk Penelitian. Bandung. Alfa Beta. 2007 Undang-Undang Republik Indonesia No. 3 Tahun 2005. Sistim Keolahragaan Nasional. Jakarta: Kemenegpora 2008 Peraturan Pemerintah RI No. 16 Tahun 2007 Tentang Penyelenggaraan Keolahragaan. Jakarta: Biro Humas Dan Hokum Kementerian Negara Pemuda Dan Olahraga Ri, 2007.
44
International Conference on Education 2014 Official Conference Proceedings
Sabah, Malaysia
KETERAMPILAN SHOOTING SEPAKBOLA STUDI KORELASIONAL PANJANG TUNGKAI, DAYA LEDAK OTOT TUNGKAI, PERCAYA DIRI DENGAN KETERAMPILAN SHOOTING PERMAINAN SEPAKBOLA PADA KLUB SEPAKBOLA UNIVERSITAS NEGERI JAKARTA TAHUN 2013
Muchtar Hendra Hasibuan, Sofyan Hanif
[email protected]
Abstract
The objective of the research is a determine the relationship between limb length, leg power, and self confidence with shooting soccer skill. This research was conducted at state university of jakarta soccer club 2013, with samples 0f 40 respondents selected by purposive sampling. The results of this research are as follows. First, there is a positive corelation between limb length toward shooting soccer skill. The linear regression is express through ̂ = 25.37 + 0.49 X1. The corelation coefficient 0.608. It’s mean the limb length toward Y shooting soccer sklill is 36% Second, there is a positive corelation between limb length toward shooting soccer ̂ = 23.2 + 0.54 X2 . The corelation skill. The linear regression is express through Y coefficient 0.622. It’s mean the leg power toward shooting soccer sklill is 38.6%. Third, there is a positive corelation between limb length toward shooting soccer ̂ = 28.14 + 0.44 X3. The corelation skill. The linear regression is express through Y coefficient 0.539. It’s mean the limb length toward shooting soccer sklill is 29%. Fourth, there is a positive corelation between limb length, leg power, and self confidence toward shooting soccer skill. The linear regression is express through 𝑌̂ = 14.4 + 0.239 𝑋1 + 0.277 𝑋2 + 0.236 𝑋3 .The corelation coefficient 0.583. It’s mean the limb length toward shooting soccer sklill is 28.9%. Keywords: Limb length, Leg power, Self Confidence, Shooting
Abstrak Tujuan dari penelitian ini adalah mencari hubungan antara panjang tungkai, daya ledak otot tungkai dan percaya diri dengan keterampilan shooting sepakbola. Penelitian ini dilakukan di klub sepakbola Universitas Negeri Jakarta tahun 2013, dengan 40 orang sampel dengan metode pengambilan sampel mengunakan metode purposive sampling. Hasil penelitian adalah sebagai berikut, pertama, terdapat hubungan yang positif antara ̂ = 25.37 + panjang tungkai dengan keterampilan shooting sepakbola. Dengan linear regresi Y 0.49 X1 . Dengan koefisien korelasi sebesar 0.608. hasil itu menandakan panjang tungkai mempengaruhi keterampilan shooting sepakbola sebesar 36%. Kedua, terdapat hubungan yang positif antara daya ledak otot tungkai dengan ̂ = 23.2 + 0.54 X2 Dengan koefisien keterampilan shooting sepakbola. Dengan linear regresi Y korelasi sebesar 0.622. Hasil itu menandakan daya ledak otot tungkai mempengaruhi keterampilan shooting sepakbola sebesar 38.6%. Ketiga, terdapat hubungan yang positif antara ̂ = 28.14 + percaya diri dengan keterampilan shooting sepakbola. Dengan linear regresi Y 0.44 X3 . Dengan koefisien korelasi sebesar 0.539. Hasil itu menandakan percaya diri mempengaruhi keterampilan shooting sepakbola sebesar 29%. 45
International Conference on Education 2014 Official Conference Proceedings
Sabah, Malaysia
Keempat, terdapat hubungan yang positif antara panjang tungkai, kelincahan dan percaya diri dengan keterampilan shooting sepakbola. Dengan linear regresi 𝑌̂ = 14.4 + 0.239 𝑋1 + 0.277 𝑋2 + 0.236 𝑋3 . Dengan koefisien korelasi sebesar 0.583. Hasil itu menandakan panjang tungkai, daya ledak otot tungkai dan percaya diri mempengaruhi keterampilan shooting sepakbola sebesar 28.9% Kata Kunci: Panjang tungkai, Daya ledak otot tungkai, Percaya Diri Dan Shooting
PENDAHULUAN Permainan sepakbola merupakan olahraga yang sangat populer dan tidak asing lagi di Indonesia, begitupun di dunia. Setiap orang, baik perempuan maupun laki-laki, tua maupun muda mengetahui permainan sepakbola. Saat ini permainan sepak bola dimulai dari proses pembelajaran serta sebagai suatu profesi sebagai seorang atlet/pemain. Walaupun bagi sebagian dari mereka hanya sekedar mengetahui saja dan tidak bisa untuk memainkannya, tapi hal tersebut sudah cukup untuk membuktikan bahwa sepakbola merupakan olahraga yang paling populer di dunia. Pada dunia olahraga, prestasi merupakan salah satu tujuan yang ingin dicapai. Untuk mencapai prestasi tersebut atlet, harus bekerja keras dengan melakukan latihan secara teratur sesuai program latihan yang diberikan sebagai menu dari pelatih. Dengan latihan yang maksimal secara berulang-ulang, maka akan mendapatkan hasil yang baik juga. “Training adalah proses yang sistematis dari berlatih atau bekerja, yang dilakukan secara berulang-ulang dengan kian hari kian bertambah jumlah beban latihan atau pekerjaannya. (Harsono : 2008, 101) Gerak merupakan kebutuhan yang hakiki seperti layaknya kebutuhan hidup lainnya, Karena bergerak merupakan inti dari kehidupan. Ada istilah yang sering kita dengar cogito ergo sum artinya saya berpikir karena itu saya ada. Kalau dipinjam untuk diubah kata-kata tersebut menjadi moveto ergo sum artinya menjadi saya bergerak karena itu saya ada. Tidak semua gerakan yang diperlukan manusia itu dibawa sejak lahir. Banyak sekali jenis dan bentuk gerakan yang perlu dipelajari, dibina, dan disesuaikan dengan kebutuhan diri, perkembangan gerak, dan bahkan norma sosialnya. Adapun langkah-langkah awal didapatnya ketrampilan belajar gerak yang terjadi menurut Fitts and Posner’s Three-Stage Model adalah sebagai berikut: A. Cognitive stage: The beginner stage of learning in Fitts and Posner's model. B. Associative stage: The intermediate stage of learning in Fitts and Posner's model. C. Autonomous stage: The advanced or final stage of learning in Fitts and Posner's model. (Cheryl A. Coker: 2004, 98-99) Harsono menerangkan: “Ada empat aspek latihan yang perlu diperhatikan dan dilatih secara seksama oleh atlet yaitu, latihan fisik, teknik, taktik, dan latihan mental”. (Harsono : 2008, 100) Untuk membuat atau membentuk atlet sepakbola yang baik seorang pelatih harus memperhatikan kondisi fisik yang dimiliki atlet sesuai dengan kemampuan individu yang perlu dilatih. Seperti yang dijelaskan oleh Remmy Muchtar physical fitness mengandung berbagai unsur yang merupakan kualitas fisik (physical qualities) yang menentukan dalam kegiatan olahraga, pada umumnya unsur-unsur tersebut terdiri atas: speed/kecepatan, strenght/kekuatan, endurance/daya tahan, flexibility/kelenturan, dan agility/kelincahan. (Remmy Muchtar : 1992, 82)
46
International Conference on Education 2014 Official Conference Proceedings
Adapun mengenai teknik dapat dijelaskan sebagai berikut:
Sabah, Malaysia
dasar
sepakbola
menurut
Joseph
A.
Luxbacher,
a) Teknik tanpa bola, yaitu semua gerakan-gerakan tanpa bola terdiri dari: 1) Lari cepat dan mengubah arah 2) Melompat dan meloncat 3) Gerak tipu tanpa bola yaitu gerak tipu dengan badan 4) Gerakan-gerakan khusus untuk penjaga gawang b) Teknik dengan bola, yaitu semua gerakan-gerakan yang bersentuhan langsung dengan bola terdiri dari: 1) Mengenal bola (ball feeling) 2) Menendang bola (kicking) 3) Menerima bola : menghentikan bola dan mengontrol bola (controlling) 4) Menggiring bola (dribbling) 5) Menyundul bola (heading) 6) Melempar bola (throwing) 7) Gerak tipu dengan bola (feinting) 8) Merampas atau merebut bola (tackling) 9) Teknik-teknik khusus untuk penjaga gawang. (Joseph A Luxbacher : 2004, 89) Menendang kearah gawang atau yang lebih dikenal dengan istilah shooting mempunyai manfaat bagi seorang striker atau pemain lainnya, yaitu dapat secara taktis menendang bola kearah gawang yang dianggapnya dapat membahayakan gawang. Keahlian dalam melakukan tendaangan kearah gawang atau shooting sangat menguntungkan bagi klub yang memiliki permainan bagus. Sebagai contoh kemampuan Christiano Ronaldo tendangan kearah gawangnya kerap kali dimanfaatkan untuk mencetak gol, efek positif lainnya dari tendangan ke arah gawang atau shooting terutama di daerah pertahanan lawan sering dimanfaatkan oleh para pemain handal untuk menciptakan gol, Kondisi tersebut bisa terjadi akibat situasi yang memungkinkan untuk menciptakan gol dan penjaga gawang tidak dapat mengantisipasi datangnya bola dengan keras. Remmy muchtar menyebutkan ada empat cara utama dalam menendang bola, yaitu : 1). Dengan kaki bagian dalam (inside foot), 2). Dengan punggung kaki (instep foot), 3). Dengan punggung kaki bagian dalam (inside instep), 4). Dengan punggung kaki bagian luar (outside instep). Pada proses latihan menendang ini perlu diperhatikan hal-hal penting berikut, a) sikap tubuh keseluruhan, (posisi kaki tumpu, gerakan kaki), b) ayun, (posisi togog dan sikap tangan), c). Kontak antara bagian kaki dan bagian bola, d) pandangan mata, dan e) Follow through. (Remmy Muchtar : 1992, 82) Dilihat dari tujuannya menendang terdiri dari dua macam,yaitu menendang kegawang dan menendang untuk mengoper.Tendangan mengoper dalam sepakbola terdiri dari tendangan datar dan tendangan jarak jauh. Tendangan ke arah gawang adalah kemampuan pemain sepakbola untuk menendang bola kearah gawang dengan cepat dan tepat. Untuk menciptakan tendangan ke arah gawang (shooting) yang baik dan terarah dapat dilakukan seorang atlet dengan memperhatikan keadaan atau kondisi fisik yang baik pula, dalam hal ini yang diperlukan adalah power/daya ledak otot tungkai. Untuk lebih jelas mengenai power itu sendiri “Power adalah kemampuan otot untuk mengarahkan kekuatan maksimal dalam waktu yang cepat”. (Harsono : 2008, 200) Ada beberapa faktor yang mempengaruhi muscle power adalah kekuatan dan kecepatan yang telah dimiliki oleh pemain sepakbola itu sendiri. Gabungan antara kekuaan dan kecepatan yang baik akan menghasilkan power yang baik. Dalam cabang sepakbola, otot tungkai merupakan salah satu otot yang memberikan sumbangan yang besar untuk pergerakan, seperti dalam pelaksanaan menendang. Tentunya dalam pelaksanaannya 47
International Conference on Education 2014 Official Conference Proceedings
Sabah, Malaysia
sangat memerlukan unsur kekuatan dan kecepatan yang tinggi. Oleh sebab itu dalam permainan sepakbola power sangat diperlukan. F.G.E Rorimpoday mengemukakan bahwa: orang yang tungkainya panjang, otot-otot tungkainya juga panjang yang memungkinkan gerak yang lebih besar yang memungkinkan pula pekerjaan yang efektif dan efisien. (F.G.E Rorimponday : 1960,146) Selain dari kondisi fisik diatas faktor secara anatomis tubuh yaitu panjang tungkai setiap atlet berbeda-beda sehingga akan mempengaruhi kecepatan dalam menyentuh bola, baik dalam adu rebutan/duel bola ataupun raihan dan jangkauan yang lebih maksimal. Latihan yang diberikan juga akan berdampak kepada atlet yang memiliki kondisi anatomis panjang tungkai berbeda. Suatu hal yang tidak mudah dilakukan oleh atlet untuk mampu mengeluarkan kemampuan dari dalam diri (instrinsik) yaitu rasa percaya diri. Percaya diri adalah kemampuan dari dalam diri berupa sikap dan ekspresi positif. Kepercayaan diri adalah salah satu faktor yang dapat membantu atlet untuk mampu mengeluarkan setiap kemampuan yang telah dimiliki. Peter Lauser dalam bukunya yang berjudul Personality test yang diterjemahkan oleh D.H Gulobahwa: beberapa aspek psikis yang dapat digunakan untuk membantu pembentukan pribadi, ataupun meningkatkan kepribadian salah satunya adalah kepercayaan diri. (Agus Sujanto Et All : 1982, 159) Situasi pertandingan akan membuat tekanan atmosfer penonton dan pelatih akan lebih besar daripada pada saat latihan sehingga dibutuhkan kemampuan mental psikologis yang kuat untuk mampu menimbulkan rasa kepercayaan diri. Percaya diri juga harus dikelola atau dikontrol oleh diri pemain sendiri apabila berlebihan akan menghasilkan kegagalan tetapi sebaliknya jika percaya diri terkontrol dengan baik akan menjadi pendorong untuk meraih keberhasilan dalam gerak. Weinberg dan Gould menyatakan bahwa:rasa kepercayaan diri atlet (sport-confidence) memberi dampak positif pada hal-hal sebagai berikut :1. Emosi, 2. Konsentrasi, 3. Sasaran, 4. Usaha, 5. Strategi, 6. Momentum. (Monty. P. Satiadarma : 2000, 36) Berdasarkan uraian diatas maka penelitian tertarik untuk mengadakan penelitian dengan judul: Studi Korelasional Panjang Tungkai, Daya Ledak Otot Tungkai dan Percaya Diri dengan Keterampilan Shooting Permainan Sepak Bola pada Klub Sepak Bola Universitas Negeri Jakarta Tahun 2013 Penelitian ini adalah penelitian kuantitatif yang menggambarkan pengaruh variabel-variabel yang akan diteliti menggunakan metode survey dengan teknik kausal. Adapun konstelasi masalahnya sebagai berikut : Gambar 1 : Rancangan Penelitian
X1 X2
Y
X3
48
International Conference on Education 2014 Official Conference Proceedings
Sabah, Malaysia
Keterangan : X1
: Panjang Tungkai
X2
: Daya Ledak Otot Tungkai
X3
: Percaya Diri
Y
: Keterampilan Shooting bola
METODE PENELITIAN
Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode survey dalam penelitian ini karena peneliti tidak memberikan perlakuan dan hanya mengambil data di lapangan. Adapun teknik statistik yang dipergunakan adalah analisis korelasional yaitu menghubungkan variabel antara variabel bebas dengan variabel terikat, sehingga dalam penelitian ini tidak ada pengendalian terhadap perlakuan juga tidak ada perubahan penelitian. Variabel bebas terdiri dari 3 variabel yaitu: panjang tungkai (X1), daya ledak otot tungkai (X2) dan percaya diri (X3), sedangkan variabel terikat yaitu: ketrampilan shooting bola (Y). Populasi adalah seluruh anggota Kuliah Olahraga Prestasi sepakbola FIK UNJ sebanyak 80 orang siswa sedangkan yang menjadi sampel dalam penelitian ini diambil sebanyak 40 orang siswa dengan cara purposive sampling, yang dimaksud dengan purposive sampling adalah teknik pengambilan sampel secara sengaja berdasarkan ciri dan karakteristik yang sudah diketahui sebelumnya Instrumen yang digunakan dalam penelitian ini adalah : 1. Pengukuran panjang tungkai dengan menggunakan alat ukur meteran. Pengukuran panjang tungkai adalah antara trakhater mayor yang terdapat pada tulang femur sampai telapak kaki. Hal ini sesuai dengan pendapat dari James G Hay, bahwa panjang tungkai seseorang diukur dari trakhanter mayor bagian atas sampai telapak kaki. (James G Hay : 1988, 202) 2. Pengukuran daya ledak otot dengan menggunakan 3-hop jump melakukan 3x lompatan dengan satu kaki sejauh mungkin yang diukur dengan meteran 3. Angket atau kuisioner percaya diri yang berjumlah 20 pertanyaan dengan pertanyaan yang positif dan negative untuk menilai kepercayaan diri atlet mengenai keterampilan shooting yang telah dimiliki. 4. Pengukuran ketepatan shooting menggunakan target sasaran gawang. data keterampilan shooting diambil oleh 1 orang pencatat waktu, 2 orang (pengambil waktu dribbling dan kecepatan bola shooting) dan 1 orang sebagai starter. Teknik analisa data penelitian ini adalah dengan pengujian persyaratan analisis yang menggunakan uji normalitas data. Uji normalitas yang digunakan adalah uji Liliefors. Data dapat dikategorikan normal apabila harga L hitung < L tabel, dan di uji dengan taraf signifikasi α = 0.05 dan uji linearitas untuk menguji keberartian data (Sudjana : 2005,466) Pengujian hipotesis mengunakan regresi linear sederhana dinyatakan berarti bila harga Fhitung > Ftabel dan dapat dikatakan linear dengan menyatakan harga Fhitung < Ftabel. Korelasi sederhana dikatakan berarti setelah uji t apabila harga thitung > ttabel, Koefisien regresi linear ganda secara bersama-sama dinyatakan berarti bila hasil uji F harga Fhitung > Ftabel. Korelasi ganda dihitung menggunakan statistik (r2). Korelasi determinasi mengalikan hasil r dengan 100% mengalikan hasil r dengan 100% dan korelasi parsial dihitung dengan menggunakan statistik r2y12.
49
International Conference on Education 2014 Official Conference Proceedings
Sabah, Malaysia
HASIL DAN PEMBAHASAN
Tabel 1. Rangkuman Statistik Deskiptif Data Penelitian Analisa Data
Y
X1
X2
X3
N
40
40
40
40
Mean/Rata-rata
50
50
50
50
Modus
55
47
56
52
Median
49.9
48.9
54.0
48.2
Standar Deviasi
8.10
10.00
9.45
10.00
Varians
65.69
100.00
89.28
100.00
Skor max
72
70
64
70
Skor Min
37
33
29
27
Range
35
37
34
43
Banyak Kelas
6
6
6
6
Panjang Kelas
5.547
6
5
7
Tabel 2.Distribusi Frekuensi Skor Keterampilan shooting No
Kelas Interval
Batas Bawah
Batas Atas
Nilai Tengah
Frek. Absolut
Frek. Relatif
1
37
-
42
36.5
42.5
39.5
8
20%
2
43
-
48
42.5
48.5
45.5
11
28%
3
49
-
54
48.5
54.5
51.5
9
23%
4
55
-
60
54.5
60.5
57.5
8
20%
5
61
-
66
60.5
66.5
63.5
3
8%
6
67
-
72
66.5
72.5
69.5
1
3%
JUMLAH
40
100%
50
International Conference on Education 2014 Official Conference Proceedings
Sabah, Malaysia
Tabel 6. Distribusi Frekuensi Skor Panjang tungkai No
Kelas Interval
Batas Bawah
Batas Atas
Nilai Tengah
Frek. Absolut
Frek. Relatif
1
33
-
38
32.5
38.5
35.5
6
15%
2
39
-
44
38.5
44.5
41.5
6
15%
3
45
-
50
44.5
50.5
47.5
9
23%
4
51
-
56
50.5
56.5
53.5
7
18%
5
57
-
62
56.5
62.5
59.5
7
18%
6
63
-
68
62.5
68.5
65.5
5
13%
JUMLAH
40
100%
51
International Conference on Education 2014 Official Conference Proceedings
Sabah, Malaysia
Tabel 7. Distribusi Frekuensi Skor Daya ledak otot tungkai No
Kelas Interval
Batas Bawah
Batas Atas
Nilai Tengah
Frek. Absolut
Frek. Relatif
1
29
-
33
28.5
33.5
31
2
5%
2
34
-
38
33.5
38.5
36
3
8%
3
39
-
43
38.5
43.5
41
8
20%
4
44
-
48
43.5
48.5
46
2
5%
5
49
-
53
48.5
53.5
51
4
10%
6
54
-
58
53.5
58.5
56
21
53%
JUMLAH
40
100%
Tabel 8. Distribusi Frekuensi Skor Percaya Diri No
Kelas Interval
Batas Bawah
Batas Atas
Nilai Tengah
Frek. Absolut
Frek. Relatif
1
27
-
33
26.5
33.5
30
1
3%
2
34
-
40
33.5
40.5
37
4
10%
3
41
-
47
40.5
47.5
44
10
25%
4
48
-
54
47.5
54.5
51
12
30%
5
55
-
61
54.5
61.5
58
6
15%
6
62
-
68
61.5
68.5
65
7
18%
JUMLAH
40
100%
52
International Conference on Education 2014 Official Conference Proceedings
Sabah, Malaysia
Pengajuan hipotesis yang diuji kebenarannya dalam penelitian ini adalah sebagai berikut : 1. Terdapat hubungan positif antara panjang tungkai dengan keterampilan shooting Hasil pengujian hipotesis pertama menyatakan bahwa (ry1) sebesar 0.608 dengan persamaan ̂ = 25.37 + 0.49 X1 Sumbangan variabel panjang tungkai (X1) yang dimiliki seorang pemain regresi Y futsal dengan peningkatan keterampilan shooting (Y) ditunjukkan oleh koefisien determinasi (r 2y1) = 0.369. Hal ini berarti variabel panjang tungkai memberikan sumbangan atau kontribusi sebesar 36.9% dengan peningkatan keterampilan shooting. 2.
Terdapat hubungan yang positif antara daya ledak otot tungkai (X2) dengan keterampilan shooting (Y) Hasil pengujian hipotesis kedua menyatakan bahwa (ry2) sebesar 0.622 dengan persamaan ̂ = 23.2 + 0.54 X2. Sumbangan variabel daya ledak otot tungkai (X2) yang dimiliki seorang regresi Y pemain futsal dengan peningkatan keterampilan shooting (Y) ditunjukkan oleh koefisien determinasi (r2y2) = 0.386. Hal ini berarti variabel daya ledak otot tungkai memberikan sumbangan sebesar 38.6% dengan peningkatan keterampilan shooting. 3.
Terdapat hubungan yang positif antara percaya diri (X3) dengan keterampilan shooting (Y) Hasil pengujian hipotesis ketiga menyatakan bahwa (ry3) sebesar 0.539 dengan persamaan regresi ̂ = 28.14 + 0.44 X3 Sumbangan variabel percaya diri (X3) yang dimiliki seorang pemain futsal Y dengan peningkatan keterampilan shooting (Y) ditunjukkan oleh koefisien determinasi (r2y3) = 0.29. Hal ini berarti variabel percaya diri memberikan sumbangan sebesar 29% dengan peningkatan keterampilan shooting. 4.
Terdapat hubungan yang positif antara panjang tungkai (X1), daya ledak otot tungkai (X2), dan percaya diri (X3) secara bersama-sama dengan keterampilan shooting (Y) Hasil pengujian hipotesis keempat menyatakan bahwa (ry123) sebesar 0.498 dengan persamaan ̂ = 12.4 + 0.239 X1 + 0.28.147 X2 + 0.238.6 X3 Sumbangan variabel panjang tungkai (X1), regresi Y daya ledak otot tungkai (X2), dan percaya diri (X3) secara bersama-sama yang dimiliki seorang pemain futsal dengan peningkatan keterampilan shooting (Y) ditunjukkan oleh koefisien determinasi (r 2y123) = 0.289. Hal ini berarti panjang tungkai, daya ledak otot tungkai, dan percaya diri secara bersama-sama memberikan sumbangan sebesar 28.9% dengan peningkatan keterampilan shooting.
53
International Conference on Education 2014 Official Conference Proceedings
Sabah, Malaysia
1. Upaya peningkatan keterampilan shooting melalui peningkatan unsur panjang tungkai Pada saat melakukan keterampilan shooting agar dapat menjauhkan bola dari gangguan lawan pemain harus memiliki panjang tungkai agar bola tidak mudah direbut lawan. Panjang tungkai merupakan unsur biomotorik seseorang yang sudah dimiliki seorang atlet sejak lahir, tapi bukan berarti kita tidak perlu melatih kemampuan tersebut. Hasil penelitian menunjukkan panjang tungkai memiliki hubungan positif dan sangat signifikan dengan keterampilan shooting. Ini berarti semakin baik dan berkembang kemampuan panjang tungkai seorang pemain sepakbola akan meningkatkan keterampilan shooting. Sebagai upaya peningkatan keterampilan shooting melalui panjang tungkai adalah memberikan latihan panjang tungkai secara khusus dan sistematis sesuai dengan kebutuhan teknik cabang olahraga sepakbola. Kesimpulan ini mengandung implikasi untuk meningkatkan keterampilan shooting selain faktor teknik diperlukan juga meningkatkan kemampuan panjang tungkai atlet sepakbola tersebut. 2. Upaya peningkatan keterampilan shooting melalui peningkatan unsur daya ledak otot tungkai Permainan sepakbola adalah olahraga yang dinamis yang membutuhkan banyak keterampilan teknik dasar yang baik serta kemampuan biomotorik yang prima. Daya ledak otot tungkai adalah salah satu bagian dari kemampuan biomotorik seseorang yang membantu pemain sepakbola mengambil keputusan untuk bergerak ke pelbagai arah tanpa kehilangan keseimbangan walaupun dalam penguasaan bola atau pun tanpa bola. Hasil penelitian menunjukkan daya ledak otot tungkai memiliki hubungan positif dan sangat signifikan dengan keterampilan shooting. Ini berarti semakin baik dan berkembang kemampuan daya ledak otot tungkai seorang pemain sepakbola akan meningkatkan keterampilan shooting. Sebagai upaya peningkatan keterampilan shooting melalui daya ledak otot tungkai adalah memberikan latihan daya ledak otot tungkai secara khusus sesuai dengan kebutuhan teknik cabang olahraga sepakbola. Kesimpulan ini mengandung implikasi untuk meningkatkan keterampilan shooting diperlukan juga meningkatkan kemampuan daya ledak otot tungkai atlet sepakbola tersebut. 3. Upaya peningkatan keterampilan shooting melalui peningkatan unsur percaya diri Seorang pemain sepakbola harus memiliki kondisi fisik yang baik dan penguasaan teknik yang juga harus baik, tetapi banyak pemain sepakbola yang melupakan ada faktor penting lain dari menjadi penunjang untuk menjadi pemain sepakbola yang hebat yaitu faktor psikologis. Faktor psikis ini yang menjadi penentu keberhasilan atau percepatan pencapaian prestasi seorang pemain sepakbola. Banyak faktor psiklogis yang berpengaruh tapi peneliti menganggap faktor kepercayaan akan kemampuan diri sendiri yang dapat menjadi penentu dalam keberhasilan shooting. Hasil penelitian menunjukkan percaya diri memiliki hubungan positif dan sangat signifikan dengan keterampilan shooting. Ini berarti semakin baik dan berkembang kepercayaan diri seorang pemain sepakbola akan meningkatkan keterampilan shooting. Upaya peningkatan keterampilan shooting melalui rasa percaya diri adalah memberikan masukan dan evaluasi positif yang dapat membangun rasa percaya diri atlet tersebut serta membiasakan memberikan tekanan-tekanan dalam latihan yang nantinya akan membuat atlet terbiasa dan rasa percaya diri akan muncul dalam pertandingan yang sesungguhnya. Kesimpulan ini mengandung implikasi untuk meningkatkan keterampilan shooting diperlukan juga meningkatkan percaya diri atlet sepakbola tersebut agar yakin dengan kemampuan yang dimiliki. 4. Upaya peningkatan keterampilan shooting melalui peningkatan unsur panjang tungkai, daya ledak otot tungkai dan percaya diri secara bersama-sama Dalam proses latihan pelatih harus mengerti setiap kompenen yang harus dilatih dan dikembangkan secara maksimal. Komponen-kompenen kecil yang dapat meningkatkan performa atlet dilapangan akan menjadi factor penentu keberhasilan menampilkan keterampilan secara tepat. Hasil penelitian menunjukkan panjang tungkai, daya ledak otot tungkai dan percaya diri memiliki hubungan positif dan sangat signifikan dengan keterampilan shooting. Ini berarti semakin baik dan berkembang panjang tungkai, daya ledak otot tungkai dan kepercayaan diri seorang pemain sepakbola akan meningkatkan keterampilan shooting. 54
International Conference on Education 2014 Official Conference Proceedings
Sabah, Malaysia
Upaya peningkatan keterampilan shooting melalui panjang tungkai, daya ledak otot tungkai dan rasa percaya diri adalah memberikan proses latihan yang membentuk karakter permainan sepakbola itu sendiri pada saat pertandingan serta memberikan motivasi positif yang dapat membangun dan meningkatkan rasa percaya diri atlet tersebut. Karakter permainan sepakbola yang cepat dan penuh tekanan dalam situasi sempit yang akan membuat pemain tebiasa. Kesimpulan ini mengandung implikasi untuk meningkatkan keterampilan shooting diperlukan juga meningkatkan panjang tungkai, daya ledak otot tungkai dan percaya diri atlet sepakbola tersebut agar keterampilan yang sudah dimiliki berkembang. KESIMPULAN 1. Terdapat hubungan yang positif antara panjang tungkai (X1) dengan keterampilan shooting (Y). 2. Terdapat hubungan yang positif antara daya ledak otot tungkai (X2) dengan keterampilan shooting (Y). 3. Terdapat hubungan yang positif antara percaya diri (X3) dengan keterampilan shooting (Y). 4. Terdapat hubungan yang positif antara panjang tungkai (X1), daya leda otot tungkai (X2), dan percaya diri (X3) secara bersama-sama dengan keterampilan shooting (Y). Saran Berdasarkan kesimpulan dan implikasi penelitian diatas, ada beberapa saran yang mudahmudahan dapat membantu untuk meningkatkan keterampilan shooting yaitu sebagai berikut : 1. Pengembangan metode latihan , program latihan dan evaluasi secara sistematis sehingga keterampilan shooting bola khususnya dapat meningkat 2. Peneliti menyarankan untuk dapat memperhatikan setiap aspek yang dapat meningkatkan keterampilan shooting bola seperti faktor kondisi fisik atau biomotorik seperti daya ledak otot tungkai yang dapat menunjang siswa atau atlet bermain sepakbola serta faktor psikologis percaya diri atlet yang dapat menjadi dorongan atau motivasi dari dalam diri. 3. Untuk dapat lebih mengoptimalkan keterampilan shooting bola peneliti menyarankan untuk mengembangkan penelitian-penelitian lain dengan faktor-faktor lain pula yang dapat membantu peningkatan penguasaan teknik bermain sepakbola dengan baik
DAFTAR PUSTAKA Coker, Cheryl A. Motor Learning and Control for Practitioners. New Mexico State University, 2004. Harsono. Coaching dan Aspek-aspek Psikologis dalam Coaching. Jakarta : CV. Tambak Kusuma, 2008 Hay, James G. The Biomechanics of Sport Technique diterjemahkan I Wayan Rampai. Denpasar, 1988. Luxbacher, Joseph A. Sepakbola, Edisi Kedua, Jakarta; PT. Raja Grafindo Persada, 2004 Monty. P. Satiadarma, Dasar-Dasar Psikologi Olahraga. Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 2000.. Muchtar, Remmy. Olahraga Pilihan Sepak Bola. Jakarta: Deppen dan Keb Dirjenpenti PPTK, 1992. Rorimponday, F.G.E, Lari,Lompat,Lempar. Jakarta: PT. Pemabangunan, 1960. Sujanto, Agus. Et All, Psikologi Kepribadian. Jakarta: Aksara Baru, 1982.
55
International Conference on Education 2014 Official Conference Proceedings
Sabah, Malaysia
THE EFFECT OF COOPERATIVE LEARNING (STAD) AND ENTRY BEHAVIOR TO THE STUDENTS’ MATHEMATICS LEARNING RESULT (An Experimental Study at Social Science Program of Senior High School) Nurdin Ibrahim1 1
Jakarta State University
[email protected] Abstract
The objectives of the research is to determine the effect of cooperative learning typed STAD to the student’s mathematic learning result in terms of student’s entry behavior. This research was a quantitative research using an quasi experimental method with 2x2 factor design The primary data obtained through the test results of student learning. The research sample consists of 40 students which is taken from class XI IPS SMAN 29 consisiting of 20 students high-low entry behavior as the experimental group and of 20 students high-low entry behavior as control group, and it was determined using random sampling techniques. The data analyzed using two way analysis of varians (ANAVA 2x2) with a significance level of 5%. The results show that: (1) the students learning result who were given cooperative learning typed STAD ( =72,45) higher than the group of students who were given direct instruction ( =68,15); (2) for groups of students with high entry behavior, cooperative learning typed STAD ( =77,70) gives higher impact than the direct instruction ( =67,20). (3) for groups of students with low entry behavior, cooperative learning typed STAD ( =67,72) gives lower impact than direct instruction ( =70,60). So, it can be concluded that cooperative learning typed STAD can be used for students with high and low entry behavior in Mathematics subject. The results of this research are expected to contribute to the teachers and students in improving Mathematics learning achievement. Keywords: cooperative learning, students team achievement division, mathematic learning result, entry behavior, direct instruction/learning
PENDAHULUAN Peningkatan dan pengembangan mutu pendidikan merupakan masalah yang selalu menuntut perhatian. Perbedaan tingkat serap antara siswa yang satu dengan yang lainnya terhadap materi pelajaran menuntut seorang guru melakukan inovasi-inovasi dalam pembelajaran, termasuk dalam pembelajaran Matematika. Dalam pembelajaran Matematia, di sekolah guru tidak hanya sekedar menyajikan angka-angka, aritmatika, aljabar, geometri (PISA:2009:93-940) tetapi perlu menggunakan metode yang sesuai, disukai, dan mempermudah pemahaman siswa. Hal tersebut diharapkan akan mengubah anggapan siswa terhadap materi pelajaran Matematika dari yang sulit menjadi lebih mudah, dari yang dianggap kurang penting menjadi penting untuk dipelajari. Konsep Matematika tergolong abstrak dan luas, karena itu guru dan siswa harus mempunyai kemampuan matematika literasihal, yaitu kemampuan mengidentifikasi, merumuskan, menafsirkan masalah-masalah di kehidupan sehar-hari (Cowan, 2006:50). Hal ini penyebab Matematika “dipandang sulit” untuk dipahami karena untuk memahami yang abstrak, tahap awal biasanya perlu ungkapan yang konkrit dan kontekstual (ilustrasi). Namun kenyataan yang ada, tidak setiap konsep di Matematika diikuti dengan ilustrasi konkrit; contoh-contoh memang diberikan, namun hanya contoh tentang pembatasan konsep yang dimaksud. Strategi pembelajaran yang sering digunakan oleh guru mata pelajaran Matematika umumnya strategi pembelajaran langsung (direct learning/instruction). Reigeluth dan Chellman (2009:79) menyatakan ciri-ciri umum dari belajar/pembelajaran langsung, guru mengajarkan materi pembelajaran kepada siswa melalui presentasi informasi yang aktif. Selanjutnya Reigeluth (2009:80) mengutip 56
International Conference on Education 2014 Official Conference Proceedings
Sabah, Malaysia
pendapat (Rosenshine:1995) dan (Fisher:1978) bahwa belajar dan pembelajaran langsung lebih dari 50% pembelajaran disampaikan oleh guru dan kurang dari 50% siswa belajar mandiri. Ini berarti pada saat pembelajaran di kelas dengan strategi pembelajaran langsung, guru lebih banyak menggunakan metode ceramah, drill, dan tanya jawab. Pembelajaran dengan menggunakan strategi ini berlangsung umumnya satu arah karena kegiatan masih terpusat pada guru. Guru menjelaskan materi pelajaran disertai contoh soal, sedangkan siswa mendengarkan, memperhatikan dan mencatat. Strategi pembelajaran langsung (Direct Instruction) yang sering digunakan oleh guru yang menganut pendekatan behavioristik yaitu melakukan pengkondisian klasik terhadap siswa dengan harapan siswa memberikan respon sesuai yang diharapkan (Gredler, 2009:41-42). Penekanan ada pada cara menyampaikan pengetahuan oleh guru kepada siswa bukan dilihat dari sisi siswa sebagai subjek yang belajar. Materi pelajaran yang disampaikan terbatas pada apa yang diberikan di depan kelas dan siswa akan menyerap pada saat itu saja secara pasif dan tidak mengembangkan sendiri pengetahuan tersebut. Pembelajaran langsung menganut paradigma teacher-centered dimana guru menjadi pemberi informasi yang utama. Peran guru adalah sebagai pemberi fakta/pengetahuan, peraturan, atau urutan tindakan pada siswa dengan cara yang langsung. Biasanya guru menggunakan presentasi dengan format penjelasan (ceramah termodifikasi), contoh, pemberian latihan/praktek, dan feedback. Fakta menunjukkan bahwa kebanyakan dari siswa tidak menyukai pelajaran Matematika. Banyak hal yang ditemukan pada siswa, misalnya siswa tidak dapat memunculkan/mengutarakan tentang apa yang tidak dimengerti, siswa merasa belum siap untuk bertanya karena bingung tentang apa yang akan ditanyakan, dan siswa merasa segan untuk bertanya pada guru. Kemampuan siswa yang variatif tersebut, memang tidak dapat dipungkiri dialami oleh sebagian besar dunia pendidikan, dan hal tersebut dapat disebabkan inputnya yang heterogen. Kondisi yang tidak kondusif dalam proses pembelajaran tersebut, dapat merugikan proses pembelajaran selanjutnya. Untuk mengatasi masalah tersebut diperlukan pendekatan pembelajaran yang tepat, di mana dalam proses belajar mengajar Matematika guru hendaknya memberikan kesempatan yang cukup kepada siswa untuk terlibat aktif dalam pembelajaran, karena dengan keaktifan ini siswa akan mengalami, menghayati dan mengambil pelajaran dari pengalamannya. Agar siswa aktif terlibat dalam pembelajaran, guru harus merubah pendekatan pembelajaran dari behavioristik menjadi konstruktivistik yang memungkinkan membuat siswa lebih banyak melakukan sesuatu daripada hanya sekedar mendengarkan. Pendekatan konstruktivistik melibatkan siswa dalam proses pemahaman konsep-konsep, guru bukan lagi satu-satunya yang membuat siswa mengerti akan konsep tersebut. Peran guru dalam pendekatan konstruktivistik berbeda dengan pendekatan behavioristik. Menurut Jamaris (2010:219) dalam pendekatan konstruktivis guru berperan sebagai (a) fasilitator; yaitu menyediakan berbagai sumber belajar untuk memecahkan masalah dan kegiatan pembelajaran; (b) mediator; mengatur dan mengelola lingkungan belajar yang bersifat problem based learning, yang dihadapi siswa sehingga mereka mampu menformulasikan dan mengevaluasi ideide mereka, (c) motivator; guru senantiasa mendorong siswa untuk melaksanakan brain storming atau bertukar pikiran, berdiskusi dengan teman-teman. Dengan demikian konstruktivistik mengharapkan siswa menemukan dan membangun sendiri struktur pengetahuannya dengan cara melibatkan diri secara aktif dalam kegiatan belajar baik secara personal maupun sosial. Keterlibatan aktif siswa secara sosial sangat dipengaruhi oleh interaksi dan transaksi. Interaksi dan transaksi memberikan kontribusi paling besar dalam membangun struktur kognitif antara siswa dengan siswa. Hal ini didasari pemikiran bahwa sesama siswa memiliki kesamaan bahasa, tingkat perkembangan intelektual, dan pengalaman kedekatan sehingga lebih mudah menemukan konsep, aturan atau pun yang lain. Salah satu bentuk pembelajaran yang berorientasi pada pendekatan konstruktivistik adalah belajar kooperatif. Belajar kooperatif berfokus pada penggunaan kelompok kecil siswa bekerjasama dalam memaksimalkan kondisi belajar untuk mencapai tujuan belajar. Kelompok belajar kooperatif merupakan perbaikan dari kelompok belajar konvensional. Salah satu tipe pembelajaran kooperatif adalah STAD (Student Teams Achievement Division). Belajar kooperatif tipe STAD merupakan strategi yang sangat menarik karena merupakan gabungan antara dua hal, belajar dengan kemampuan masingmasing individu dan belajar kelompok sehingga siswa dapat saling bertukar pengetahuan yang dimiliki untuk menyelesaikan masalah. STAD adalah salah satu dari metode belajar kooperatif yang sederhana, dan cocok bagi guru pemula yang baru menggunakan strategi belajar kooperatif. Dalam STAD siswa ditempatkan dalam kelompok belajar beranggotakan 4-5 orang, setiap kelompok haruslah heterogen menurut prestasi, jenis kelamin dan suku. Dalam belajar STAD, siswa bekerja sebagai sebuah tim untuk 57
International Conference on Education 2014 Official Conference Proceedings
Sabah, Malaysia
menyelesaikan sebuah masalah, menyelesaikan suatu tugas atau mengerjakan sesuatu untuk mencapai tujuan bersama. Siswa tidak hanya bertanggung jawab terhadap dirinya sendiri tetapi juga kelompoknya (Sharan, 2012:4-5). Slavin (1995) seperti yang dikutip oleh Sanjaya mengemukakan dua alasan mengapa belajar kooperatif dianjurkan untuk digunakan dalam kelas. Alasan pertama yakni, beberapa hasil penelitian membuktikan bahwa penggunaan belajar kooperatif dapat meningkatkan prestasi belajar (Slavin 1990 dalam Sharan, 2012:7-8), sekaligus dapat meningkatkan kemampuan hubungan sosial, menumbuhkan sikap menerima kekurangan diri, dan orang lain, serta dapat meningkatkan harga diri. Alasan kedua, belajar kooperatif dapat merealisasikan kebutuhan siswa dalam belajar berpikir, memecahkan masalah dan mengintegrasikan pengetahuan dengan keterampilan (Sanjaya, 2000: 242). Roger dan David Johnson seperti yang dikutip oleh Anita Lie (2002:31) mengatakan bahwa tidak semua kerja kelompok dapat dianggap sebagai cooperative learning. Untuk mencapai hasil yang maksimal, lima unsur model pembelajaran, gotong royong harus diterapkan, yakni: saling ketergantungan positif, tanggung jawab perseorangan, tatap muka, komunikasi antar anggota, dan evaluasi proses kelompok. Penggunaan belajar kooperatif khususnya tipe STAD memiliki keuntungan dapat memotivasi siswa dalam berkelompok agar mereka saling membantu satu sama lain dalam menguasai materi yang disajikan, selain itu belajar kooperatif STAD juga dapat menumbuhkan suatu kesadaran bahwa belajar itu penting, bermakna dan menyenangkan, siswa lebih bertanggungjawab dalam proses pembelajaran, serta timbulnya sikap positif siswa dalam mempelajari materi yang di sajikan. Dari uraian di atas, dapat dimengerti bahwa belajar kooperatif tipe STAD diperlukan terhadap peningkatan kualitas belajar matematika siswa yang berdasarkan pada kemampuan siswa yang variatif. Disini, siswa belajar dalam kelompok yang terdiri dari anggota kelompok dengan motivasi berprestasi yang berbeda, etnis, dan jenis kelamin. Kualitas belajar siswa diharapkan dapat berkembang dengan adanya saling kerjasama dan tukar menukar pengalaman dan pemahaman. Faktor lain yang menjadi pertimbangan menurunnya hasil belajar Matematika adalah motivasi berprestasi. Motivasi berprestasi sebagai kebutuhan untuk berprestasi (need for achievement) merupakan keinginan atau kecenderungan untuk mengatasi hambatan, menguji kekuatan, sekuat tenaga melakukan sesuatu yang sulit sebaik dan secepat mungkin (Beck et al, 1983). Selanjutnya dikatakan, motivasi berprestasi merupakan produk dari dua kebutuhan yang bertentangan, yaitu: kebutuhan untuk mencapai kesuksesan dan kebutuhan untuk menghindari kegagalan. Hal ini menunjukkan bahwa motivasi berprestasi adalah keinginan atau kecenderungan untuk mengatasi hambatan, menguji kekuatan, sekuat tenaga melakukan sesuatu yang sulit sebaik dan secepat mungkin untuk mencapai tujuan. Berdasarkan definisi yang dikembangkan Elliot dan Church (2001) motivasi berprestasi sebagai usaha keras untuk mendapatkan kemampuan yang relevan dengan kehidupan sehari-hari pada tempat kerja, sekolah atau perlombaan, serta mengembangkan suatu model yang disebut Hierarchical Model of Approach and Avoidance Achievement Motivation. Konsep yang lebih komprehensif tentang motivasi berprestasi selanjutnya dikembangkan oleh Atkinson sebagaimana dikutip Good dan Brophy dengan Teori Motivasi Berprestasi. Teori ini menyatakan bahwa kecenderungan mendekati tujuan (Ts) adalah hasil dari tiga faktor, yaitu: hasrat untuk berprestasi atau motivasi sukses (Ms); kemungkinan untuk sukses (Ps) dan nilai kemudahan untuk sukses (Is) (Good & Brophy, 1990). Di sisi lain Glredler (2009:402) berdasarkan teori Atributsi dari Wainer menyatakan bahwa, atributsi motivasi berprestasi meliputi (a) kemampuan, (b) upaya, (c) keberuntungan, (d) kesulitan tugas, dan (e) lainnya. Atributsi kemampuan dan upaya masuk dimensi internal, sedangkan keberuntungan, kesulitan tugas, dan lainnya masuk dimensi eksternal. Sejalan dengan Gredler, Mayer (2008:511) membagi atributsi motivasi berprestasi menjadi empat, yaitu (a) kemampuan, (b) upaya, (c) kesulitan tugas, dan (d) keberuntungan. Motivasi berprestasi adalah upaya keras untuk mendapatkan kemampuan yang relevan dengan kehidupan sehari-hari yang dapat dilihat dari faktor-faktor, seperti: kegigihan, realistis dalam memilih dan mengutamakan tindakan. Kegigihan meliputi: kepatuhan dalam etika kerja, kejelasan dalam status aspirasi dan kegigihan dalam upaya; realistis dalam memilih meliputi: kegunaan hasil untuk orang lain dan penguasaan pekerjaan; mengutamakan tindakan meliputi keunggulan dalam kemampuan dan kemampuan berkompetisi. Berdasarkan uaraian di atas, ada dugaan bahwa pembelajaran kooperatif tipe STAD (student teams achievement division) dan motivasi berprestasi dapat berpengaruh terhadap hasil belajar Matematika. Oleh karena itu permasalahan yang diteleti dalam penelitian ini adalah sebagai berikut: 58
International Conference on Education 2014 Official Conference Proceedings
1.
2.
3.
Sabah, Malaysia
Apakah terdapat perbedaan hasil belajar matematika antara siswa yang dibelajarkan menggunakan metode belajar kooperatif tipe STAD dibandingkan dengan siswa yang dibelajarkan menggunakan pembelajaran langsung? Apakah hasil belajar matematika siswa yang dibelajarkan dengan kooperatif tipe STAD lebih tinggi dibandingkan dengan yang menggunakan stategi pembelajaran langsung, pada kelompok siswa yang memiliki motivasi berprestasi tinggi? Apakah hasil belajar matematika siswa yang dibelajarkan dengan kooperatif tipe STAD lebih rendah dibandingkan dengan yang menggunakan strategi pembelajaran langsung, pada siswa yang memiliki motivasi berprestasi rendah?
METODE Penelitian ini menggunakan metode eksperimen dengan rancangan Experimental Design by level 2x2 (Experimental Design 2x2 (Issac and Michael. 1981:77) yang dilaksanakan untuk menguji pengaruh variabel bebas terhadap variabel terikat. Penelitian experimental adalah jenis penelitian yang dianggap sudah baik karena sudah memenuhi persyaratan, adanya kelompok pembanding atau kelompok kontrol. Dengan adanya kelompok kontrol ini, akibat dari treatment dapat diketahui secara pasti karena dibandingkan dengan kelompok yang tidak mendapat treatment. Penelitian dilaksanakan di SMAN 29 Jakarta pada semester I tahun ajaran 2011/2012. Sampel dari penelitian yang diambil secara acak adalah kelas XI IPS 2 sebagai kelas kontrol yang terdiri dari 36 siswa dan kelas XI IPS 3 yang terdiri dari 36 siswa sebagai kelas eksperimen. Setiap kelas ditetapkan 27% (10 siswa) kelompok berprestasi tinggi dan 27% (10 siswa) yang berprestasi. Data dalam penelitian ini diperoleh dengan instrumen tes hasil belajar Matematika dan data motibvasi berprestasi melalui kuesioner. Untuk memperoleh data mengenai motivasi berprestasi siswa dilakukan dengan kuesioner motivasi berprestasi, sedangkan untuk mengukur hasil belajar Matematika dilakukan post test. Materi yang digunakan untuk menyusun tes ini adalah sub pokok bahasan Ruang Sampel dan Peluang. Setelah instrumen disusun, kemudian diujicobakan di lapangan untuk mengetahui validitas, dan reliabilitas. Uji validitas dilakukan untuk mengetahui tingkat kevalidan tes. Tes dikatakan valid manakala benar-benar mampu menilai apa yang harus dinilai. Untuk mengukur validitas instrumen tes digunakan rumus biserial. Hasil perhitungan uji validitas dari setiap butir soal tes dikonsultasikan dengan r tabel pada taraf signifikan 0.05 = 0,349 (Popham & Sirotnik;1973:382). Dari 20 butir soal tes terdapat 3 soal yang tidak valid dan 17 soal yang valid. Soal yang dinyatakan valid tersebut, selanjutnya dihitung tingkat reliabel, atau taraf kepercayaan. Untuk menghitung taraf reliabilitas tes digunakan rumus KR 20. Dari hasil perhitungan diperoleh reliabel tes Matematika sebesar 0,785. sehingga soal dinyatakan reliabel. Teknik analisis data dilakukan dengan: uji persyaratan analisis, uji normalitas. Uji normalitas dilakukan untuk membuktikan pengujian terhadap normal tidaknya sebaran data dengan menggunakan rumus uji chi kuadrat. Hasil uji normalitas data menunjukkan bahwa nilai hitung (L0) dari keenam kelompok data lebih kecil dari nilai tabel (L0 < Lt α=0,05). Nilai-nilai hitung adalah sebagai berikut: (1) Lo A1 = 0,0709 < Lt = 0,1900; (2) Lo A2 = 0,0868 < Lt = 0,1900; (3) Lo B1= 0,1067 < Lt = 0,1900; (4) Lo B2= 0,940 < Lt = 0,1900; (5) Lo A1B1= 0,0844 < Lt = 0,2580; (6) Lo A1B2= 0,0132 < Lt = 0,2580; (7) Lo A2B1= 0,0990 < Lt = 0,2580; (8) Lo A2B2= 0,0824 < Lt = 0,2580. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa data-data penelitian ini berdistribusi normal sehingga memenuhi syarat untuk menggunakan statistik parametrik dalam pengujian hipotesis penelitian. Selanjutnya dilakukan uji homogenitas, bertujuan untuk melihat apakah data dari setiap variabel mempunyai varians yang homogen. Uji homogenitas yang digunakan adalah uji Barlett. Ada tiga kelompok data yang diuji yaitu: (1) kelompok data antar kolom A1A2; (2) kelompok data antar baris B1B2, dan kelompok data dalam sel rancangan eksperimen, yaitu A1B1, A1B2, A2B1, dan A2B2. Hasil pengujian menunjukkan bahwa koefisien 2 hitung lebih kecil dari nilai 2 tabel dengan perincian sebagai berikut: (1) 2 hitung A1A2 = 4,470 < 2 tabel = 5,990; (2) 2 hitung B1B2 = 4,531 < 2 tabel = 5,990; (3)
2 hitung A1B1, A1B2, A2B1, dan A2B2. = 1,672 < 2 tabel = 4,760. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa kelompok-kelompok data hasil penelitian tidak memiliki perbedaan varians (homogen). 59
International Conference on Education 2014 Official Conference Proceedings
Sabah, Malaysia
Untuk menguji hipotesis penelitian yang diajukan, digunakan Analisis Varians dua jalan (Two way Anova). Uji tersebut sesuai dengan desain penelitian yang digunakan yakni desain faktorial 2x2 model post test control group design. Selanjutnya, dilanjutkan dengan uji Tuckey untuk menguji hipotesis penelitian lebih lanjut. Uji ini dilakukan karena terdapat pengaruh interaksi dalam pengujian hipotesis antara strategi pembelajaran dan motivasi berprestasi terhadap hasil belajar Matematika siswa. Uji ini guna mengetahui variabel mana yang memberikan sumbangan yang lebih besar. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN Hasil Penelitian Berdasarkan data yang diperoleh melalui post tes hasil belajar matematika, maka data penelitian ini dapat dideskripsikan seperti tabel 1. berikut dan penjelasannya. Tabel 1. Deskripsi Hasil Penelitian Pembelajaran (A) Motivasi Berprestasi ( B) Tinggi ( B=1) Rendah ( B=2) ∑Yi
Cooperative Learning ( A=1)
∑Yj
Direct Learning (A=2)
N = 10
N = 10
N = 20
X = 77,70
X = 67,20
X = 71,70
S = 3,093 N = 10
S = 2,908 N = 10
S = 6,814 N = 20
X = 67,20
X = 70,60
X = 68,90
S = 4,29 N = 20
S = 3,373 N = 20
S = 4,141 Np. = 40
X = 72,450
X = 68,150
X = 70,3
S = 6,501
S = 3,964
S = 5,232
1. Data Hasil Belajar Matematika Siswa yang Dibelajarkan dengan Cooperative Learning (A1) Nilai hasil belajar Matematika siswa yang dibelajarkan dengan Cooperative Learning diperoleh dari 20 responden (n). Nilai tertinggi (max) yang dicapai oleh kelompok ini adalah 82, dan nilai terendah (min) adalah 60. Nilai rerata ( X ) mencapai 72,450 dengan simpangan baku (S) 6,501 Dari hasil perhitungan diperoleh harga modus (Mo) 76,83 dan median (Me) 67. Dari data penelitian menunjukkan bahwa sejumlah 10 orang siswa (50%) memperoleh nilai di bawah kelas interval yang memuat nilai rerata, 4 orang (20%) berada pada kelas interval yang memuat nilai rerata dan 6 orang (30%) memperoleh nilai di atas kelas interval nilai rerata. Jika nilai yang berada pada keenam kelas interval tersebut dibagi dalam tiga kategori, maka nilai pada kelas interval 1, 2, 3, 4, dan 5 tergolong sedang, dan kelas ineterval 6 tergolong tinggi. Dengan demikian, maka terdapat 17 orang (85%) memperoleh nilai kategori sedang, dan 3 orang (15%) memperoleh nilai kategori tinggi. 2. Data Hasil belajar Matematika Siswa yang Dibelajarkan dengan Direct Learning (A2) Nilai tertinggi (Max) yang dicapai oleh kelompok ini adalah 76, dan nilai terendah (Min) adalah 61. Nilai rerata ( X ) mencapai 68,150 dengan simpangan baku (S) 3,964. Dari hasil perhitungan diperoleh pula harga modus (Mo) 67,82 dan median (Me) 69. Berdasarkan data terdapat 7 siswa (35%) memperoleh nilai di bawah kelas interval yang memuat nilai rerata, 6 siswa (30%) berada pada kelas interval yang memuat nilai rerata, dan 7 siswa (35%) memperoleh nilai di atas kelas interval yang memuat nilai rerata. Jika keenam kelas interval nilai ini dibagi menjadi kategori rendah, sedang, dan tinggi maka kelas interval 1 – 6 masuk pada kategori sedang. Dengan demikian, maka terdapat 20 siswa (100%) kategori sedang. 60
International Conference on Education 2014 Official Conference Proceedings
Sabah, Malaysia
3. Data Hasil Belajar Matematika Siswa dengan Motivasi Berprestasi Tinggi (B1) Nilai tertinggi (Max) yang diperoleh kelompok siswa dengan motivasi berprestasi tinggi adalah 82, dan nilai terendah (Min) adalah 61. Nilai rerata ( X ) mencapai 71,700 dengan simpangan baku (S) 6,814, modus (Mo) 71,50 dan median (Me) 71,66. Data menunjukkan bahwa 6 siswa (30%) memperoleh nilai di bawah kelas interval yang memuat nilai rerata; 4 siswa (20%) mencapai nilai yang berada pada kelas interval yang memuat nilai rerata, dan 10 siswa (50%) memperoleh nilai di atas kelas interval yang memuat nilai rerata. Jika merujuk pada skala pembagian kategori rendah, sedang dan tinggi maka kelas interval nilai 1 tergolong rendah; kelas interval 2, 3, 4 dan 5 tergolong sedang; dan kelas interval 6 tergolong tinggi. Dengan demikian maka terdapat 3 siswa (15%) memperoleh nilai kategori rendah; 15 siswa (75%) memperoleh nilai dengan kategori sedang, dan 2 siswa (10%) kategori tinggi. 4. Data Hasil belajar Matematika Siswa dengan Motivasi Berprestasi Rendah (B2) Nilai tertinggi (Max) yang dicapai oleh kelompok ini adalah 76 dan nilai terendah (Min) 60. Nilai rerata ( X ) mencapai 68,90 dengan simpangan baku (S) 4,141; harga modus (Mo) 71,50 dan harga median (Me) 70,33. menunjukkan bahwa 5 siswa (25%) memperoleh nilai di bawah kelas interval yang memuat nilai rerata; 3 siswa (15%) mencapai nilai yang berada pada kelas interval yang memuat nilai rerata, dan 12 siswa (60%) memperoleh nilai di atas kelas interval yang memuat nilai rerata. Jika keenam kelas interval itu dibagi dalam kategori rendah, sedang dan tinggi maka kelas interval 1 tergolong rendah; kelas interval 2, 3, 4, dan 5 tergolong sedang; dan tidak terdapat kelas interval yang tergolong tinggi. Dengan demikian maka terdapat 2 siswa (10%) memperoleh nilai kategori rendah; 18 siswa (90%) memperoleh nilai kategori sedang; dan tidak ada siswa (0%) yang mencapai nilai kategori tinggi. 5. Data Hasil Belajar Matematika Siswa dengan Motivasi Berprestasi Tinggi yang Dibelajarkan dengan Cooperative Learning (A1B1) Nilai hasil belajar Matematika siswa siswa dengan motivasi berprestasi tinggi yang dibelajarkan dengan Cooperative Learning diperoleh dari 10 responden. Nilai tertinggi (Max) yang dicapai kelompok ini adalah 82, dan nilai terendah (Min) adalah 72. Nilai rerata ( X ) mencapai 77,70 dengan simpangan baku (S) sebesar 3,093. Selanjutnya, diperoleh harga modus (Mo) 79 dan median (Me) 78,75. menunjukkan bahwa 2 siswa (20%) memperoleh nilai di bawah kelas interval yang memuat nilai rerata; 2 siswa (20%) mendapatkan nilai yang berada pada kelas interval yang memuat nilai rerata, dan 6 siswa (60%) memperoleh nilai di atas kelas interval yang memuat nilai rerata. Jika keenam kelas interval itu dibagi dalam kategori rendah, sedang dan tinggi maka kelas interval 1, 2 dan 3 tergolong sedang; kelas interval 4 masuk pada kategori tinggi. Dengan demikian maka terdapat 8 siswa (80%) memperoleh nilai kategori sedang dan 2 siswa (20%) memperoleh nilai kategori tinggi. 6. Data Hasil belajar Matematika Siswa dengan Motivasi Berprestasi Rendah yang Dibelajarkan dengan Cooperative Learning (A1B2) Nilai tertinggi (Max) yang dicapai adalah 72, dan nilai terendah (Min) adalah 60. Nilai rerata ( X ) mencapai 67,20 dengan simpangan baku (S) 4,29; harga modus (Mo) 70 dan median (Me) 69. menunjukkan bahwa 3 siswa (30%) memperoleh nilai di bawah kelas interval yang memuat nilai rerata; 2 siswa (20%) mendapatkan nilai yang berada pada kelas interval yang memuat nilai rerata, dan 5 siswa (50%) memperoleh nilai di atas kelas interval yang memuat nilai rerata. Jika kelima kelas interval itu dibagi dalam kategori rendah, sedang dan tinggi maka kelas interval 1 tergolong rendah; kelas interval 2, 3, 4 dan 5 tergolong sedang. Dengan demikian maka terdapat 1 siswa (10%) memperoleh nilai kategori rendah; dan terdapat 9 siswa (90%) siswa yang mencapai kategori nilai sedang. 7. Data Hasil Belajar Matematika Siswa dengan Motivasi Berprestasi Tinggi yang Dibelajarkan dengan Direct Learning (A2B1) Nilai tertinggi (Max) yang dicapai kelompok ini adalah 70, dan nilai terendah (Min) adalah 61. Nilai rerata ( X ) mencapai 67,20 dengan simpangan baku (S) sebesar 2,908. Selanjutnya, diperoleh harga modus (Mo) 65,48 dan median (Me) 66,25. menunjukkan bahwa 2 siswa (20%) memperoleh nilai di bawah kelas interval yang memuat nilai rerata; 4 siswa (40%) mendapatkan nilai yang berada pada 61
International Conference on Education 2014 Official Conference Proceedings
Sabah, Malaysia
kelas interval yang memuat nilai rerata, dan 4 siswa (40%) memperoleh nilai di atas kelas interval yang memuat nilai rerata. Jika keenam kelas interval itu dibagi dalam kategori rendah, sedang dan tinggi maka kelas interval 1, 2, 3, dan 4 tergolong sedang. Dengan demikian maka terdapat 10 siswa (100%) memperoleh nilai kategori sedang. 8. Data Hasil belajar Matematika Siswa dengan Motivasi Berprestsi Rendahyang Dibelajarkan dengan Direct Learning (A2B2) Nilai tertinggi (Max) yang mencapai 77, dan nilai terendah (Min) adalah 61. Nilai rerata ( X ) mencapai 70,60 dengan simpangan baku (S) 3,373; harga modus (Mo) 62 dan median (Me) 71,75. menunjukkan bahwa 2 siswa (20%) memperoleh nilai di bawah kelas interval yang memuat nilai rerata; 2 siswa (20%) mendapatkan nilai yang berada pada kelas interval yang memuat nilai rerata, dan 6 siswa (60%) memperoleh nilai di atas kelas interval yang memuat nilai rerata. Jika kelima kelas interval itu dibagi dalam kategori rendah, sedang dan tinggi maka kelas interval 1, 2, 3, dan 4 tergolong sedang. Dengan demikian maka terdapat 10 siswa (100%) memperoleh nilai kategori sedang. Hasil Pengujian Hipotesis Pengujian hipotesis penelitian ini dilakukan dengan teknik analisis varians 2 jalur (ANAVA 2X2). Teknik statistik parametrik ini bertujuan untuk menyelidiki dua pengaruh utama (main effect) yaitu : (1) pengaruh pembelajaran Cooperative Learning dan Direct Learning terhadap hasil belajar Matematika; dan (2) untuk menguji pengaruh interaksi (interaction effect) dari kombinasi perlakuan dalam sel rancangan eksperimen terhadap hasil belajar Matematika. Kriteria pengujian hipotesis: (1) tolak H0 jika nilai F-hitung lebih besar dari niai F-tabel (F-hitung > F-tabel); dan (2) terima H0 jika nilai Fhitung lebih kecil dan atau sama dengan nilai F-tabel (F-hitung < F-tabel). Selanjutnya, untuk mengetahui tingkat signifikansi perbedaan rerata dari tiap kelompok nilai yang dibandingkan, dilakukan uji lanjutan dengan menggunakan uji Tukey (α=0,05). Kriteria pengujian: (1) tolak H0 jika nilai Q-hitung lebih besar dari niai Q-tabel (Q-hitung > Q-tabel); dan (2) terima H0 jika nilai Q-hitung lebih kecil dari nilai Q-tabel (Q-hitung < Q-tabel). Uji ANAVA dan Uji Tukey dilakukan dengan menggunakan program Microsoft Excel. Tabel 2 berikut menyajikan ringkasan hasil uji ANAVA data hasil belajar Matematika pada taraf keterpercayaan 95%. Tabel 2. Ringkasan Hasil Perhitungan ANAVA 2x2
Sumber Varians Kolom (A) Baris (B) Interaksi (AB) Kekeliruan Total
db 1 1 1 36 39
JK 184,90 0 78,400 592,900 430,200
RJK
F-hitung
F-tabel (α = 0,05)
184,900 78,400 592,900 11,950
15,473 6,561 49,615
4,110 4,110 4,110
Hasil uji hipotesis dapat dijelaskan sebagai berikut: 1. Perbedaan Hasil Belajar Matematika antara Kelompok Siswa yang Dibelajarkan dengan Cooperative Learning (A1) dibandingkan dengan Direct Learning (A2). Hasil analisis varian antar kolom (kolom A1 dan kolom A2) diperoleh nilai F-hitung 15,473. Nilai ini lebih besar dari nilai F-tabel (α = 0,05), yaitu 4,110 (15,473 > 4,110). Dengan demikian maka terdapat bukti yang signifikan untuk menolak Ho: μA1 = μA2 dan menerima H1: μA1 > μA2; artinya terdapat perbedaan yang signifikan antara hasil belajar Matematika siswa yang dibelajarkan dengan Cooperative Learning dibandingkan dengan yang dibelajarkan dengan Direct Learning. Jika kedua rerata nilai itu dibandingkan maka rerata nilai hasil belajar Matematika siswa yang dibelajarkan dengan Cooperative Learning lebih besar daripada rerata hasil belajar Matematika siswa yang dibelajarkan dengan Direct Learning ( X A1=72,450 > X A2=68,150). Berarti dapat disimpulkan bahwa hasil belajar Matematika 62
International Conference on Education 2014 Official Conference Proceedings
Sabah, Malaysia
siswa yang dibelajarkan dengan Cooperative Learning lebih tinggi daripada hasil belajar Matematika siswa yang dibelajarkan dengan Direct Learning. 2. Pengaruh Interaksi antara Model Pembelajaran dan Motivasi Berprestasi Terhadap Hasil belajar Matematika (AxB). Hasil analisis varians dua jalur antar kolom dan baris diperoleh harga F-hitung 49,615 yang melebihi harga F-tabel (α = 0,05) 4,110 (49,615 > 4,110). Hal ini berarti bahwa terdapat bukti yang signifikan untuk menolak H0 dan menerima H1. Artinya, terdapat pengaruh interaksi antara pemberian tugas dan motivasi berprestasi terhadap hasil belajar Matematika. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa kedua faktor (pendekatan pembelajaran dan motivasi berprestasi) memiliki pengaruh yang signifikan terhadap hasil belajar Matematika. Akan tetapi, pengaruh itu berbeda bagi tiap kombinasi perlakuan. Oleh karena adanya interaksi antara variabel teruji secara signifikan, maka langkah selanjutnya melakukan pengujian perbedaan rerata nilai absolut. Karena sampel pada setiap kelompok memiliki jumlah yang sama maka uji lanjut ini menggunakan ujiTukey. Pengujian ini dilakukan terhadap dua pasangan data rerata nilai yang terdapat dalam tiap sel rancangan eksperimen. Kedua pasangan yang dimaksud adalah sebagai berikut. a. Kelompok siswa bermotivasi berprestasi tinggi yang dibelajarkan dengan Cooperative Learning dan Direct Learning (A1B1 dan A2B1). b. Kelompok siswa bermotivasi berprestasi rendah yang dibelajarkan dengan Cooperative Learning dan Direct Learning (A1B2 dan A2B2). Hasil pengujian dirangkum pada Tabel 3 berikut. Berdasarkan hasil uji Tukey, selanjutnya, hasil uji hipotesis dapat dijelaskan secara berturut-turut pada bagian berikut. Tabel 3. Rangkuman Hasil Uji Tukey H 3. 4.
Hipotesis Ho : μA1B1 = μA2 B1 H1 : μA1B1 > μA2 B1 Ho : μA1 B2 = μA2 B2 H1 : μA1 B2 < μA2 B2
Q-hitung (Qh) Q-tabel(∂=0,05)
Kesimpulan
6,495
4,110
Signifikan
4,482
4,110
Signifikan
3. Perbedaan Hasil belajar Matematika Siswa Dibelajarkan dengan Cooperative Learning (A1B1) dibandingkan dengan Direct Learning (A2B1) yang bermotivasi berprestasi tinggi Dari hasil pengujian diperoleh nilai Qhitung 6,495. Nilai ini cenderung lebih besar dari dari nilai Qtabel (α=0,05), yaitu 4,110. Dengan merujuk pada kriteria pengujian, hasil ini menunjukkan adanya bukti yang signifikan untuk menolak H0: μA1B1 = μA2B1 dan menerima H1: μA1B1 > μA2 B1. Sehingga μA1B1 (77,700) yang secara kasat mata lebih besar dari nilai rerata A2B1 (67,200) perbedaannya teruji secara signifikan. Oleh karena nilai rerata A1B1 lebih besar dari pada nilai rerata A2B1 maka berarti bahwa untuk siswa yang dibelajarkan dengan Cooperative Learning, hasil belajar Matematika lebih tinggi daripada yang dibelajarkan dengan Direct Learning pada siswa yang bermotivasi berprestasi tinggi. 4. Perbedaan Hasil Belajar Matematika Siswa Dibelajarkan dengan Cooperatif Learning (A1B2) dibandingkan dengan Direct Learning (A2B2) yang Bermotivasi Berprestasi rendah Hasil pengujian perbedaan antara rerata nilai hasil belajar Matematika siswa yang bermotivasi berprestasi rendah yang dibelajarkan dengan Cooperatif Learning (A1B2) dibandingkan dengan Direct Learning (A2B2) diperoleh nilai Qhitung 4,482. Nilai hitung ini cenderung lebih besar dari nilaii Qtabel (α=0,05), yaitu 4,110. Sesuai dengan kriteria pengujian, maka terdapat bukti yang signifikan untuk menolak H0: μA1B2 = μA2B2 dan menerima H1: μA1B2 < μA2B2. Dengan demikian maka rerata nilai A1B2 yang secara kasat mata lebih kecil dari nilai rerata A2B2 (67,200 < 70,60) teruji secara signifikan. Artinya, untuk siswa yang dibelajarkan dengan Cooperatif Learning hasil belajar Matematika lebih rendah daripada yang dibelajarkan dengan Direct Learning, pada siswa yang bermotivasi berprestasi rendah.
63
International Conference on Education 2014 Official Conference Proceedings
Sabah, Malaysia
PEMBAHASAN Hipotesis pertama yang menguji perbedaan hasil belajar Matematika antara siswa yang dibelajarkan dengan Cooperative Learning (STAD) dibandingkang dengan siswa yang dibelajarkan dengan Direct Learning menunjukkan bahwa, hasil belajar Matematika siswa yang dibelajarkan dengan Cooperative Learning (STAD) secara signifikan lebih baik daripada hasil belajar Matematika siswa yang dibelajarkan dengan Direct Learning. Sebagai bukti rerata nilai hasil belajar Matematika kelompok siswa yang dibelajarkan dengan Cooperative Learning (STAD) melebihi rerata nilai hasil belajar Matematika kelompok siswa yang dibelajarkan dengan Direct Learning. Terujinya hipotesis ini membuktikan bahwa Cooperative Learning (STAD) secara langsung memberikan kesempatan kepada siswa untuk bertukar pikiran dan bekerja sama dengan sesama rekannya memungkinkan siswa untuk belajar dari rekan sejawatnya yang berimbas pada meningkatkan hasil belajar Matematika mereka secara bersama-sama. Hal ini didukung pula oleh penelitian sebelumnya (Slavin dan Karweit: 1984) sebagaimana dikutip oleh Sharan (2012:8), yang meningkat lebih besar daripada yang ada dalam kelompok belajar sebagai kelompok kontrol yang menggunakan materi yang sama. Perbedaan besar hasil belajar dengan menggunakan STAD ditemukan dalam berbagai macam subjek seperti ilmu pengetahuan sosial (Allen dan Vanscikle: 1981), Sains (Okebukola: 1985), dan matematika (Sherman dan Thomas:1986).Pengaruh pendekatan ini positif bagi siswa yang pintar, sedang, dan kurang. Di sisi lain, pendekatan pembelajaran direct learning sebagaimana diuraikan di atas, , waktu pembelajaran lebih banyak digunakan guru. Ini sama dengan pendekatan pembelajaran konvesional. Menurut Yudhawati dan Haryanto (2011:55-58) pendekatan pembelajaran konvensional mempunyai ciri-ciri, di antaranya sebagai berikut; (1) mengutamaakan pada hafalan; (2) siswa pasif menerima informasi terutama dari gurul (3) pembelajaran sangat abstrak dan teoritis; (4) waktu belajar siswa sebagian besar dipergunakaan untuk mengerjakan tugas-tugas dalam buku, mendengar ceramah, mengisi latihan kerja individu. Dengan pendekatan pembelajaran seperti seperti ini, agak sulit bagi siswa menguasai konsep-konsep matematika yang memerlukan contoh konkrit, perlu banyak contoh pemecahan soal dan latihan, baik secara individu maupun kelompok. Hipotesis kedua yang menguji adanya pengaruh interaksi antara pendekatan pembelajaran dan motivasi berprestasi terhadap hasil belajar Matematika membuktikan adanya kondisi dimana penggunaan pendekatan pembelajaran (cooperative learning dan direct learning) dan motivasi berprestasi (motivasi berprestrasi tinggi dan motivasi berprestasi rendah) berpengaruh terhadap hasil belajar Matematika akan tetapi pengaruh ini tergantung pada kombinasi perlakuan. Secara umum, hasil dari kombinasi perlakuan dalam penelitian ini adalah 1). siswa dengan motivasi berprestasi tinggi lebih cocok dengan Cooperative Learning 2); siswa dengan motivasi berprestasi rendah lebih cocok dibelajarkan dengan Direct Learning. Selanjutnya, hasil pengujian hipotesis kombinasi perlakuan (H03 dan H04) dapat dipaparkan pada bagian berikut. Hipotesis ketiga yang menyatakan bahwa untuk siswa dengan motivasi berprestasi tinggi, hasil belajar Matematika yang dibelajarkan dengan Cooperative Learning tipe STAD lebih tinggi daripada hasil belajar Matematika yang dibelajarkan dengan Direct Learning, teruji secara signifikan. Rerata nilai yang diperoleh kelompok siswa dengan motivasi berprestasi tinggi yang dibelajarkan dengan Cooperative Learning secara signifikan lebih besar dari rerata nilai yang dicapai kelompok siswa yang dibelajarkan dengan Direct Learning. Terujinya hipotesis ini didukung oleh alasan bahwa siswa dengan motivasi berprestasi tinggi merupakan pembelajar yang aktif yang suka mencari pemecahan masalah dan solusi dengan cara bertukar pikiran (diskusi) dan bekerja sama dengan siapapun termasuk rekan sejawat. Melalui Cooperative Learning maka siswa dapat mempelajari hal-hal baru dan saling bertukar pikiran dengan sesama rekannya sehingga kesulitan-kesulitan pembelajaran dapat teratasi dengan cara saling memberi informasi. Segaimana diuraikan pada pembahasan hipotesi pertama, bahwa berdasarkan hasil penelitian hasil belajar Ilmu Pengetahuan Sosial, Sains, dan Matematika, hasil belajar siswa yang dibelajarkan dengan Cooperativ Learning tipe STAD, secara signifikan lebih baik dengan hasil belajar matematika siswa yang dibelajarkan dengan pendekatan belajar Direct Learning. Tentu kondisi yang demikian tersebut didukung pula dengan kelompok siswa yang bermotivasi berprestasi .tinggi. Berdasrkan hasil penelitian Steers dan Porter (1991:39), bahwa orang berkebutuhan (bermotivasi) berprestasi tinggi berhasrat kuat memikul tanggung jawab untuk melakukan suatu tugas atau menemukan pemecahan masalah, mereka cenderung bekerja sendiri (dalam kelompok). Dengan demikian pembelajaran melalui Cooperativ Learning, pada kelompok motivasi berprestasi tinggi, mereka selalu berusaha memecahkan masalah matematika dalam kelompoknya. Mereka mempunyai 64
International Conference on Education 2014 Official Conference Proceedings
Sabah, Malaysia
kesempatan yang baik, karena mereka diberi tanggung jawab setiap kelompok dalam memecahkan masalah matematika yang dihadapinya. Bila ada kesulitan mereka umumnya cenderung dihadapi sendiri, yang pada akhirnya mengalami kegagalan. Cenderung bekerja sendiri merupakan salah satu ciri orang atau siswa yang mempunyai motivasi berprestasi tinggi (Steers dan Porter (1991:40). Hal ini berbeda dengan kelompok siswa yang dibelajarkan dengan Direct Learning, yang setting kelasnya selalu dikontrol oleh guru, mereka kurang diberi tanggung jawab untuk memecahkan sendiri permasalahan matematika yang dihadapinya. Dalam kondisi yang demikian, siswa yang mempunyai motivasi berprestasi tinggi, mereka merasa ketegangan sehingga muncul kecemasan yang berakibat pada legagalan (Davies, 1981:275).. Hipotesis keempat yang menyatakan bahwa siswa yang bermotivasi berprestasi rendah, yang dibelajarkan dengan Direct Learning, hasil belajar Matematika lebih tinggi daripada hasil belajar Matematika siswa yang dibelajarkan dengan Cooperative Learning tipe STAD, teruji secara signifikan. Rerata nilai yang diperoleh kelompok siswa dengan motivasi berprestasi rendah yang dibelajarkan dengan Direct Learning secara signifikan lebih besar dari rerata nilai yang dicapai kelompok siswa dengan motivasi berprestasi rendah yang dibelajarkan dengan Cooperative Learning. Terujinya hipotesis ini didukung oleh alasan bahwa siswa dengan motivasi berprestasi rendah sebagai pembelajar yang cenderung dipandu secara bertahap dalam belajar, yaitu mengandalkan petunjuk, arahan dan bimbingan dari guru. Selain itu, ketika guru mengarahkan dan menyampaikan isi pembelajaran, guru dapat mengajukan pertanyaan atau mendatangi siswa yang kelihatan pasif (malu untuk bertanya) sebagai upaya meningkatkan motivasi berprestasi mereka (motivasi ekstrinsik). Lama kelamaan siswa yang bermotivasi berprestasi tinggi, akan terdorong untuk aktif, memperhatikan dengan serius apa yang disampaikan oleh guru, dan sudah berani bertanya untuk menghindari selalu ditanya. Sebaliknya siswa yang bermotivasi berprestasi rendah cenderung minder dan pendiam dihadapan teman kelompok, mereka sulit untuk menyampaikan pendapat ke teman satu kelompoknya, walaupun menglami keulitan. Akibatnya semakin minggu, kesulitannya semakin banyak dan tidak sempat terpecahkan sampai menjelang ulangan tengah semester atau akhir semester KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan Secara keseluruhan, hasil belajar Matematika siswa yang diajarkan dengan Cooperative Learning STAD terdapat perbedaan yang signifikan dengan hasil belajar Matematika siswa yang diajarkan dengan Direct Learning. Strategi pembelajaran berpengaruh dan berinteraksi dengan motivasi berprestasi terhadap hasil belajar Matematika. Bagi siswa dengan motivasi berprestasi tinggi, hasil belajar Matematika mereka yang diajarkan dengan Cooperative Learning STAD lebih tinggi daripada yang diajarkan dengan Direct Learning. Bagi siswa dengan motivasi berprestasi rendah, hasil belajar Matematika mereka yang diajarkan dengan Direct Learning lebih tinggi daripada yang diajarkan dengan Cooperative Learning STAD. Implikasi Dengan mengacu pada kesimpulan menyatakan bahwa hasil belajar Matematika siswa yang dibelajarkan dengan Cooperative Learning lebih tinggi dari yang dibelajarkan dengan Direct Learning memberikan implikasi bahwa untuk mengajarkan mata pelajaran Matematika akan lebih efektif dan memberikan hasil yang lebih baik jika menggunakan strategi pembelajaran Cooperative Learning daripada Direct Learning. Hasil penelitian menyatakan bahwa terdapat interaksi antara pendekatan pembelajaran dan motivasi berprestasi terhadap hasil belajar Matematika yang berarti bahwa tingkat motivasi berprestasi (tinggi dan rendah) memiliki kecocokan dengan jenis pendekatan pembelajaran (STAD dan konvensional) tertentu dalam pembelajaran Matematika sehingga memberikan implikasi yaitu siswa dengan motivasi berprestasi tinggi lebih cocok dengan strategi pembelajaran Cooperative Learning tipe STAD dan siswa dengan motivasi berprestasi rendah lebih sesuai dengan pendekatan pembelajaran Direct Learning. Oleh karena itu guru perlu menggunakan metode yang sesuai dengan motivasi berpresasi siswa untuk meningkatkan kemampuan siswa dalam mata pelajaran Matematika. Pada seting kelas yang mencampurkan siswa yangg bermotivasi berprestasi tinggi dan rendah, guru selayaknya menggunakan dua pendekatan belajar dan pembelajaran Cooperativ Learning tipe STAD 65
International Conference on Education 2014 Official Conference Proceedings
Sabah, Malaysia
dikombinasikan dengan pendekatan Direct Learning secara bergantian dan terintegrasi dalam pembelajaran Matematika. Saran Dengan terujinya bahwa pendekatan pembelajaran Cooperative Learning lebih efektif dalam meningkatkan kemampuan siswa dalam mata pelajaran Matematika maka kepada guru-guru Matematika, pada khususnya dan guru-guru mata pelajaran lain pada umumnya, untuk memanfaatkan temuan ini sebagai salah satu solusi dalam meningkatkan hasil belajar Matematika dan hasil belajar mata pekajaran lain. Dengan terujinya hipotesis tentang adanya interaksi antara penggunaan pendekatan pembelajaran dan motivasi berpresrasi terhadap hasil belajar Matematika maka para guru disarankan untuk memilih penggunaan pendekatan pembelajaran sesuai dengan motivasi berprestasi yang dimiliki siswa. Berdasarkan hasil penelitian ini, disarankan pula untuk dilakukan penelitian ulang dengan durasi waktu yang lebih lama lagi dibandingkan dengan penelitian ini yang hanya dilakukan delapan kali pertemuan. Selain itu penelitian seperti ini bisa dilanjutkan ke sekolah-sekolah lain dan pada mata pelajaran-mata pelajaran lain. DAFTAR PUSTAKA Beck, Robert C., (1983). Motivation: Theories and Principles, New Jersey: Prentice-Hall. Cowan, Pamela, (2006). Teaching Matematics: A Handbook For Primary and Secondary school Teacher. London, Tailer & Francis Group. Davies, Ivor K., (1974). Instructional Technique, New York; McGraw-Hill Book Coompany. Elliot, A.J. and Church, M. A. A, (2001). Hierarchical Model of Approach and Avoidance Achievement Motivation, dalam "Motivating Humans-Psychology Group Web-Site", (http://wabakimi. carleton.ca/~jlalonde/Group/ socialanxiety.html)(diunduh, 3 Januari 2011. Good Thomas L. & Jere E. Brophy, (1990). Educational Psychology, New York: Longman. Gredler, Margaret (ed.). (2009). Learning and Instruction Theory Into Practice. Sixth Edition. Upper Saddle River, New Jersey. Pearson. Issac, Stephen and Michael, Wiliam B. (1981). Handbook in Research and Evaluation, sec. ed. California< USA, Edits Publisher Jamaris, Martini. (2010). Orientasi Baru dalam Psikologi Pendidikan. Jakarta, Yayasan Penamas Murni. Lie, Anita. (2002). Cooperative Learning: Mempraktikkan Cooperative Learning di Ruang-Ruang Kelas. Jakarta: Grasindo. Mayer, Richard E. (2008). Learning and Instruction, Upper Saddle River, New Jersey, Pearson. PISA, (2009). Assesment Framework; Key Competencies in Reading Matematics and Scienc. USA OECD. Popham, W. James & Sirotnik, Kenneth A,, (1973). Educational Statistics Use and Interpretation (secon edition), New York, Harper & Row, Publishing. Reigeluth, Charles M. And Chellman Allison A. (2009). Instructional-Designn Theories and Models, volume III. New York and London, Routledge. Sanjaya, Wina. (2009). Strategi Pembelajaran Berorientasi Standar Proses Pendidikan. Jakarta: Kencana, 2009. Sharan, Shlomo. (2012). The Handbook of Cooperative Learning; Inovasi Pengajaran dan Pembelajaran Untuk Memacu Keberhasilan Siswa di Kelas. (Alih Bahasa, Sigit Prawoto) Yogyakarta, Penerbit Familla Group Relasi Inti Media. Slavin, Robert E. (1995). Cooperative Learning: Theory, Research, and Practice 2nd Ed. London: Allymand Bacon. Steers, Richard M. And Porter, Lyman W., (1991). Motivation and Work Behavior; New York, McGrew-Hill Inc. Yudhiwati, Ratna dan Dany Haryanto, (2011). Teori-Teori Dasar Psykologi Pendidikan, Jakarta, Prestasi Pustaka.
66
International Conference on Education 2014 Official Conference Proceedings
Sabah, Malaysia
THE EFFECT OF JOB CHARACTERISTICS, COMPENSATION AND JOB SATISFACTION TO THE ECONOMIC TEACHERS COMMITMENT IN THE HIGH SCHOOL BALI PROVINCE I Ketut R. Sudiarditha Fakulty of Economic, Universitas Negeri Jakarta
[email protected] ABSTRACT In particular objectives of this study were: (1) To determine the direct effect of job characteristics on commitment. (2) To determine the effect of direct compensation for the commitment. (3) To determine the direct effect of job satisfaction on commitment. (4) To determine the direct effect of job characteristics on job satisfaction of teachers. (5) To determine the direct effect of compensation on job satisfaction. Time research for eighteen months from 2010, March until 2012, September. The method used was survey method with causal techniques. Entire population economic teachers who has passed the certification of the profession. Sampling, the method used is simple random; number of samples suggested by Solimun and Hair, et al. in the analysis of Structural Equation Modeling (SEM) of 400. Analysis techniques and interpretation of data using qualitative and quantitative methods. The results of this reseach indicate that: (1) There is a positive direct effect on job characteristics to commitment; means to increase job characteristics will result in an increase in commitment. (2) There is a positive direct effect on compensation to commitment; means to increase compensation will result in an increase in commitment. (3) There is a positive direct influence on job satisfaction to commitment; means to increase job satisfaction will result in an increase in commitment. (4) There is a positive direct influence on job characteristics to job satisfaction; means to increase job characteristics will obtain a job satisfaction. (5) There is a direct positive effect on compensation to job satisfaction; means to increase compensation will get a job satisfaction. Keywords: Characteristics of work, compensation, job satisfaction, commitment.
Abstrak. Secara khusus tujuan penelitian ini adalah: (1) Untuk mengetahui pengaruh langsung karakteristik pekerjaan terhadap komitmen. (2) Untuk mengetahui pengaruh langsung kompensasi terhadap komitmen. (3) Untuk mengetahui pengaruh langsung kepuasan kerja terhadap komitmen. (4) Untuk mengetahui pengaruh langsung karakteristik pekerjaan terhadap kepuasan kerja guru. (5) Untuk mengetahui pengaruh langsung kompensasi terhadap kepuasan kerja. Penelitian dilakukan di Sekolah Menengah Atas (SMA) Negeri Provinsi Bali. Waktu penelitian selama delapan belas bulan mulai Maret 2010 sampai September 2012. Metode yang digunakan adalah metode survei dengan teknik kausal. Populasi seluruh guru ekonomi yang telah lulus sertifikasi profesi. Penarikan sampel, metode yang digunakan adalah acak sederhana; jumlah sampel yang disarankan oleh Solimun maupun Hair, et al. dalam analisis Structural Equation Modelling (SEM) sebesar 400. Teknik analisis dan interpretasi data menggunakan metode kualitatif dan kuantitatif. Metode kualitatif berupa deskriptif data dengan cara dikelompokkan dan ditabulasi disertai penjelasan. Sedangkan metode kuantitatif berupa analisis hubungan antar variabel menggunakan alat analisis Structural Equation Modelling (SEM). Temuan hasil penelitian ini menunjukkan bahwa: (1) Terdapat pengaruh langsung positif karakteristik pekerjaan terhadap komitmen; artinya dengan peningkatan kesesuaian karakteristik pekerjaan akan mengakibatkan peningkatan komitmen. (2) Terdapat pengaruh langsung positif kompensasi terhadap komitmen; artinya dengan peningkatan kompensasi akan mengakibatkan peningkatan komitmen. (3) Terdapat pengaruh langsung positif kepuasan kerja terhadap komitmen; artinya dengan peningkatan kepuasan kerja akan mengakibatkan peningkatan komitmen. (4) Terdapat pengaruh langsung positif karakteristik pekerjaan terhadap kepuasan kerja; artinya dengan peningkatan kesesuaian karakteristik 67
International Conference on Education 2014 Official Conference Proceedings
Sabah, Malaysia
pekerjaan akan mengakibatkan peningkatan kepuasan kerja. (5) Terdapat pengaruh langsung positif kompensasi terhadap kepuasan kerja; artinya dengan peningkatan kompensasi akan mengakibatkan peningkatan kepuasan kerja. Katakunci: Karakteristik pekerjaan, kompensasi, kepuasan kerja, komitmen.
PENDAHULUAN Guru sebagai profesi kunci keberhasilan peserta didik di sekolah, diharapkan makin professional yang memiliki kompetensi pengetahuan keguruan, sikap serta ketrampilan mengajar secara berkualitas dalam menjalankan tugas serta kewajiban profesinya. Sebagai guru professional harus terus berubah mensikapi tuntutan zaman; hal ini agaknya sekarang belum terpenuhi. Banyak faktor yang mempengaruhi, di antaranya motivasi belajar guru yang rendah sehingga kurang meningkat kapasitasnya. Kalaupun guru belajar dan diberikan kesempatan belajar, orientasinya hanya untuk mengejar pangkat, bukan prioritas peningkatan kualitas diri. Melihat realitas rendahnya kualitas guru, pemerintah selayaknya melakukan kajian mendalam untuk mengidentifikasi masalah-masalah guru dalam kaitannya dengan pengembangan kapasitas tersebut. Pasti ada yang keliru dalam menangani guru selama ini; pemerintah harus membenahi secara total. Pertama, mulai penyiapan yaitu input yang akan dicetak menjadi tenaga kependidikan di Lembaga Pendidikan Tenaga Kependidikan (LPTK), hingga proses rekruitmen sebagai pegawai (guru) yang benar-benar berkualitas. Kenyataanya saat ini pemerintah sangat longgar memberikan izin kepada LPTK untuk mencetak tenaga kependidikan. Kenyataannya juga, banyak LPTK yang tidak berkualitas mencetak tenaga guru. Sementara, badan pengawasan mutu LPTK yang dapat memandu dan mengontrol kualitas LPTK tidak tersedia. Kedua, Departemen Pendidikan dan jajarannya, selama ini masih belum serius dan belum sepenuh hati meningkatkan kualitas guru. Apalagi para pejabat di Dinas Pendidikan sendiri memiliki sumberdaya yang rendah kualitasnya dan tidak peka terhadap persoalan pendidikan. Kenyataannya, sampai sekarang belum melihat hasil optimal yang diperoleh dari kegiatan penataran guru yang sudah menghabiskan dana begitu besar. Upaya membangun kapasitas sangat dibutuhkan untuk melahirkan guru yang professional. Dalam berbagai kasus, kualitas sistem pendidikan secara keseluruhan berkaitan dengan kualitas guru. Untuk itu, peningkatan kualitas pendidikan harus dilakukan melalui upaya peningkatan kualitas guru. Namun, kenyataan menunjukkan bahwa kualitas guru di Indonesia masih tergolong relatif rendah. Hal ini antara lain disebabkan oleh tidak terpenuhinya kualitas pendidikan minimal. Berdasarkan data Direktorat Tenaga Kependidikan Dikdasmen Depdiknas pada tahun 2004 menunjukkan terdapat 991.243 (45,96%) guru SD, SMP dan SMA yang tidak memenuhi kualifikasi pendidikan minimal. Sebagai gambaran rinci keadaan kualifikasi pendidikan minimal guru di Indonesia sebagai berikut: Guru TK yang tidak memenuhi kualifikasi pendidikan minimal sebesar 119.470 (78,1%) dengan sebagian besar 32.510 orang berijazah SLTA. Di tingkat SD, guru yang tidak memenuhi kualifikasi pendidikan minimal sebesar 391.507 (34%) yang meliputi sebanyak 378.740 orang berijazah SMA dan sebanyak 12.767 orang berijazah D1. Di tingkat SMP, jumlah guru yang tidak memenuhi kualifikasi pendidikan minimal sebesar 317.112 (71,2%) yang terdiri atas 130.753 orang berijazah D1 dan 82.788 orang berijazah D2. Begitu juga di tingkat SMA, terdapat 87.133 (46,6%) guru yang belum memiliki kualifikasi pendidikan minimal, yakni sebanyak 164 orang berijazah D1, 15.589 orang berijazah D2, dan 71.380 orang berijazah D3. Kepuasan kerja yang masih relatif rendah memungkinkan guru tidak komit terhadap organisasi. Untuk mewujudkan komitmen guru, faktor-faktor penyebab seperti tersebut selayaknya tidak lagi terjadi agar komitmen guru dapat tercipta. Tentunya setelah kepuasan kerja terpenuhi, komitmen guru dituntut untuk memiliki kebulatan tekad dalam mencapai sebuah tujuan, tanpa dapat dipengaruhi oleh keadaan apapun juga, hingga tujuan tersebut tercapai. Laporan Tahunan Pemda Bali menyatakan bahwa: Rata-rata tingkat absensi per bulan pegawai Pemda Kabupaten Provinsi Bali mencapai 15%; dengan rentang tingkat absensi tertinggi 17% untuk Kabupaten Buleleng dan terendah 9% Kabupaten Tabanan (Pemda Bali, Laporan Tahunan 2002:39).
68
International Conference on Education 2014 Official Conference Proceedings
Sabah, Malaysia
Fakta tersebut menunjukkan bahwa pegawai termasuk di dalamnya adalah guru Sekolah Menengah Atas (SMA) Negeri Pemda Kabupaten Provinsi Bali mengindikasikan komitmen masih rendah yang dapat dilihat dari segi tingkat absensi. Komitmen guru terhadap organisasi dapat memberikan kontribusi yang positif baik bagi diri guru maupun organisasi. Guru yang berkomitmen akan melakukan apapun yang menjadi tugasnya, serta mengindari absen yang tidak berhalasan atau ijin dari atasannya. Hal ini dipertegas dalam Bali Cruser Report bahwa: “17,3% pekerja di kapal pesiar berasal dari latar belakang kependidikan” (Bali Cruser Report, 2002). Karyawan kapal pesiar dengan mendapatkan reward yang jauh lebih layak dibandingkan di sektor pendidikan; mereka meninggalkan profesi yang sesungguhnya yaitu sebagai pendidik; hal ini berarti mereka yang memiliki latar belakang kependidikan mengindikasikan tidak komit terhadap profesinya semata mengejar imbalan yang lebih layak. Secara khusus penelitian ini bertujuan: (1) Untuk mengetahui pengaruh langsung karakteristik pekerjaan terhadap komitmen. (2) Untuk mengetahui pengaruh langsung kompensasi terhadap komitmen. (3) Untuk mengetahui pengaruh langsung kepuasan kerja terhadap komitmen. (4) Untuk mengetahui pengaruh langsung karakteristik pekerjaan terhadap kepuasan kerja. (5) Untuk mengetahui pengaruh langsung kompensasi terhadap kepuasan kerja. TINJAUAN PUSTAKA Komitmen. Komitmen membuat seseorang untuk tetap berada pada suatu organisasi; oleh karenanya sangat dibutuhkan agar memiliki dedikasi terhadap organisasi untuk tetap bekerja dan menjalankan kewajibannya secara baik dan benar. Pengertian komitmen menurut Jacobsen (2000:187) adalah: “something that causes a person is able to survive working in a company and it is done with sincerity and happy”. Senada halnya seperti dikatakan Long (2000:214) adalah: “commitment is the image/shape that is often associated with a pledge or bond for a particular action”. Kedua pengertian ini memberikan makna bahwa seseorang memiliki ikatan untuk bertahan dalam suatu organisasi dengan ketulusan. Dilihat dari maknanya “komitmen sangat dekat dengan deskripsi sebagai fidelity (kesetiaan); komitmen pekerjaan adalah keputusan tentang peran-peran dalam dunia kerja dan perilaku yang berkaitan dengan peran itu” (Handoko, 2002:57). Seseorang yang telah komit terhadap organisasi akan menunjukkan perannya dalam wujud perilaku. Sedangkan Alwi (2001:49) mengatakan “komitmen adalah sikap karyawan untuk tetap berada dalam organisasi dan terlibat dalam upaya-upaya mencapai misi, nilai-nilai dan tujuan dalam perusahaan”. Karyawan diharapkan memiliki kontribusi dalam meningkatkan komitmen dan kompetensinya seperti dikatakan oleh Ulrich (1997:29) bahwa: The deliverable from management employee contribution is increased employee commitment and competence. HR practices should help employees to contribute through both their competence to do work and their comitment to work diligently. Oleh karena itu pihak manajemen dapat membantu karyawan untuk memiliki kompetensi agar dapat menjalankan tugasnya dengan baik. Komponen kunci yang diperlukan untuk membangun komitmen karyawan menurut Strauss (1992:23) adalah: participation, flexibility, performance-based compensation and guarantee. There are five ways to build loyalty on the basis of commitments: (1) creates a clear purpose and a commitment to make it happen, (2) clear communication, visionary, and a constant, (3) train and retrain employees, (4) give confidence to employees, and (5) share the profits. Karyawan yang telah menyatakan dirinya komit terhadap organisasi perlu adanya pengembangan; untuk itu pengembangan sumber daya manusia diperlukan setidaknya tujuh hal: (1) Control is overseeing employees in the decision making process when they do the job. (2) Strategy or vision that is offered to the employee's vision and direction that makes them willing to work hard. (3) Challenging work is to provide a challenging work and simulations to enhance the capabilities of employees. (4) Collaboration and teamwork that is forming a team to complete the work. (5) Work culture is to maintain a pleasant working environment. (6) Shared gains which provide appropriate compensation to employees who are able to finish the job properly. (7) Communication is sharing information to employees (Ulrich, 1997:35). Dalam mengukur derajat komitmen, kriteria yang digunakan adalah: (1) Knowledge ability, namely the ability to know the various types of jobs that have been selected according to the initial decision itself. (2) Activity directed toward implementing the chosen identity elements, namely the initial decision to implement activities focused on work that has been selected. (3) Emotional tone, the 69
International Conference on Education 2014 Official Conference Proceedings
Sabah, Malaysia
emotional involvement related to commitment. (4) Identification with significant others, which attempts to give an indication of himself against those who have worked in the fields of the selected job on the basis of interest in him. (5) Projecting one's personal future, that the employee has had a more clear direction about the future relating to the work that has been selected. (6) Resistance to being swayed, that is try to stay on the job that you have chosen is not easily shaken or replace option even though there is negative information about the selected job or any other area that is more interesting (Marcia, 1993:208). Dalam persaingan yang semakin kompleks disadari bahwa seluruh sumber daya manusia dapat diakses oleh siapapun yang berakibat terjadi pembajakan sumber daya manusia yang potensial oleh pesaing dan ini tergantung dari komitmen mereka terhadap perusahaan di mana mereka bekerja. Kondisi demikian menurut Lapierre (2000:122) mengatakan bahwa: “can only occur in human resources who are committed to the company”. Mereka mau bertahan bilamana memiliki komitmen yang tinggi dan berserah diri pada perusahaan yang diyakini akan memberikan terbaik baginya. Untuk itu diperlukan motivator dari manajemen bahwa: That all human resources within the company have a strong commitment to the job, then all parties in the organization should always be motivated and to be able to motivate the necessary commitment from top management for the company's expected performance (Hill, 1996:13). Karyawan yang memiliki komitmen tinggi seluruh pihak yang ada dalam organisasi hendaknya mampu memotivasi. Pimpinan puncak sebagai penanggung jawab terhadap seluruh aktivitas, berbagai unit menjadikan suatu kesatuan yang terintegrasi dalam menciptakan, mengembangkan dan memotivasi karyawan untuk menjadikan suatu semangat menjunjung tinggi keberhasilan suatu organisasi untuk menghasilkan kinerja. Berdasarkan bentuk suatu komitmen membagi komitmen ke dalam dua bagian yaitu: “(1) affective commitment and (2) calculative commitment” (Wetzels, 1998:406). Sementara itu, Jacobsen (2000:188) membagi komitmen ke dalam dua bagian yang sedikit berbeda yaitu: Affective commitmen or attitudinal commitmnet and behavioural commitment or continuance commitment. Organization commitment as the result of three factors: (a) acceptance of organization’s goals and value (b) willingness to help the organization achieve its goals, and (c) the desire to remain within the organization. Dalam pengertian komitmen organisasional hal menarik bahwa: “organizational commitment is a strong feeling of someone close to the goals and values of an organization in relation to their role towards the achievement of goals and are values” (Durkin, 1999:124-134). Ketika seseorang memiliki perasaan yang kuat dan erat untuk mengikat dirinya dalam suatu organisasi, maka peran mereka menjadi penting. Gambaran yang lebih jelas mengenai definisi komitmen organisasional adalah yang dikemukakan oleh Allen dan Meyer (1993:49) yang mengemukakan bahwa: Commitment organizational is identified three types of commitment; affective commitment, continuance commitment, and normative commitment as a psychological state that either characterizes the employee’s relationship with the organization or has the implications to affect whether the employee will continue with the organization. Karakteristik Pekerjaan. Dalam kondisi persaingan yang semakin meningkat, pekerjaan yang dirancang dengan baik akan mampu menarik dan mempertahankan tenaga kerja yang kompeten serta memberikan motivasi untuk menghasilkan produk dan jasa yang berkualitas. Tugas-tugas dikombinasikan untuk menciptakan pekerjaan individu disebut sebagai disain pekerjaan, seperti yang dinyatakan oleh Cascio (2003:429) bahwa: "Job design is the process of organizing work into the task sat at are required to perform a specific job". Dewasa ini telah dikembangkan Task Characteristics Theories yang berusaha mengidentifikasikan karakteristik tugas pada pekerjaan dimana karakteristik-karakteristik ini dikombinasikan untuk membentuk pekerjaan-pekerjaan yang berbeda dan hubungannya tugas tersebut terhadap motivasi, kepuasan, dan kinerja karyawan. Teori karakteristik yang dikemukakan oleh Cascio (2003:430) mengatakan bahwa: "Job characteristic theory identifies five cores job characteristic (skill variety, task identity, task significance, autonomy, and feedback) as having special important to job design". Artinya, karakteristik pekerjaan diidentifikasikan sebagai atribut tugas yang penting dan bersifat khusus pada disain pekerjaan. Hal ini sejalan dikatakan oleh Wood (2001:24) membagi
70
International Conference on Education 2014 Official Conference Proceedings
Sabah, Malaysia
karakteristik pekerjaan menjadi lima yaitu: “skill variety, task identity, task significance, autonomy, and feedback”. Salah satu pendekatan yang paling dominan dalam disain pekerjaan adalah Teori Karakteristik Pekerjaan, menurut Cascio (2003:430) "The dominant approach to job design for individuals over the last decade has been the Job Characteristics Theory of Hacloman and Oldham". Sekarang bentuk kerja yang dominan untuk mendefinisikan karakteristik tugas dan hubungan dengan motivasi karyawan, performance karyawan, dan kepuasan karyawan adalah model Job Characteristics dari Hacloman dan Oldham. Selanjutnya model karakteristik dijelaskan bahwa: "Job Characteristics Model (JCM) identifies five job characteristics and their relationship to personal and work outcome" (Cascio, 2003:430). Karakteristik pekerjaan ini mencerminkan berbagai identitas yang memiliki hubungan antara individu dengan hasil kerja. Lebih lanjut dijelaskan oleh Robbins (2002:598) pekerjaan dapat digambarkan dalam 5 (lima) dimensi pekerjaan inti, yaitu: (1) Skill variety is the degree to which the job require variety of different activities so the worker can use a number of different skills and talents. (2) Task identity is the degree to which the job requires completion of a wholea nd identifiable piece of work. (3) Task significance is the extent to which a job has an impact on the flues or work of other people in or out the organization. (4) Autonomy is the degree to which a job allows a worker the freedom and independence to schedule work and decide how to carry it out. (5) Feedback is the extent to which performing a job provides a worker with clear information about his or her effectiviteness. Sejalan dikatakan William (1996: 198) bahwa: According to the job characteristics model, when managers consider the five core dimensions of a job, it is important for them to realize that workers' perceptions to the core dimensions (not actual reality or manager's perceptions) are the key determinants of' intrinsic motivation”. Kompensasi. Sebagai balas jasa atas kontribusinya terhadap pencapaian tujuan organisasi, maka diberikan kompensasi untuk memenuhi harapan, tujuan dan kebutuhannya tersebut. Menurut Hasibuan (2002:117) mengatakan bahwa: “besarnya kompensasi yang diterima mencerminkan status, pengakuan, dan tingkat pemenuhan kebutuhan; artinya bila kompensasi yang diterimanya semakin besar berarti jabatannya semakin tinggi, statusnya semakin baik; demikian pula dalam memenuhi kebutuhan yang dinikmatinya semakin baik pula”. Hal ini sejalan dikatakan Nawawi (2001:316) bahwa: “Kompensasi adalah apa yang diterima pegawai sebagai imbalan dari kerjanya berupa upah atau gaji tetap yang diterima setiap bulan atau mingguan atau upah setiap jam dalam bekerja (hourly wage)”. Pengaturan kegiatan kompensasi merupakan kunci untuk membantu organisasi memperoleh, mempertahankan, dan memelihara suatu tenaga kerja yang produktif. Werther dan Davis (1996:268) mengatakan bahwa: without adequate remuneration, the employee may be many left and look for another job of dissatisfaction with the remuneration received. As a result of dissatisfaction with the rewards it receives can reduce the quality of organizational productivity and lower morale. Kompensasi yang diterima karyawan dapat berupa kompensasi finansial (langsung dan tidak langsung) dan kompensasi non finansial (kepuasan yang bersumber dari pekerjaan dan lingkungan kerja). Dalam pemberian kompensasi selayaknya sesuai kompetensi yang telah disumbangkan karyawan kepada perusahaan agar karyawan dapat lebih berkonsentrasi dalam bekerja. Marwansyah dan Mukaram (1999:129) mengatakan bahwa: Karyawan akan merasa puas dan termotivasi untuk meningkatkan kinerja mereka apabila kompensasi yang diterima dari organisasi lebih besar atau sama dengan kompensasi yang diharapkan dan sebaliknya apabila kompensasi yang diterima lebih kecil dari yang diharapkan, tidak adil, dan tidak layak, maka karyawan akan tidak puas, sering absen dan meninggalkan organisasi”. Dalam pemberian kompensasi diharapkan mencerminkan keadilan dan kelayakan; hal ini dipertegas oleh Sedarmayanti (2005:9) bahwa: Prinsip kompensasi harus adil dan layak. Adil diartikan sesuai dengan prestasi kerja, sedangkan layak diartikan dapat memenuhi kebutuhan primer serta berpedoman pada batas upah minimum pemerintah dan berdasarkan internal dan eksternal konsistensi. Kesemuanya ini akan membuat karyawan bekerja produktif, loyal, dan berdedikasi tinggi sehingga pelaksanaan fungsi program dalam organisasi akan mudah dilaksanakan dan mendapatkan dukungan yang sepenuhnya dari pihak karyawan”. Jenis kompensasi berikut pendapat beberapa pakar di antaranya yang dikemukakan oleh Werther dan Davis (1996:431) membagi menjadi dua bentuk kompensasi yaitu: “Direct compensation: 71
International Conference on Education 2014 Official Conference Proceedings
Sabah, Malaysia
based on critical job factors and performance; and Indirect compensation: they are usually extended as a condition of employment and are not directly related to performance”. Sejalan dikatakan Bernadin, Russel dan Joyce (1998: 275) kompensasi dibedakan menjadi dua yaitu: Direct compensation and indirect compensation. Direct compensation is further dividend into two components: (1) the wage and salary program (base salary, overtime, etc), and (2) pay that is contingent on performance (commission bonuses, etc). Lebih lanjut, bila ditelusuri dengan seksama bahwa kompensasi menurut Soekidjo (1998:151) membagi jenis-jenis pemberian kompensasi hampir sama halnya; yaitu: (1) Kompensasi langsung (direct compensation) yang berbentuk upah atau gaji yang dikaitkan dengan prestasi dan hasil kerja. (2) Kompensasi tidak langsung (indirect compensation) yang disebut kompensasi pelengkap dan tidak dikaitkan langsung dengan prestasi kerja karyawan. Selanjutnya dikatakan bahwa pemberian kompensasi pelengkap: (1) Upah untuk waktu tidak bekerja (time of benefit): Istilah periode makan dan periode ganti pakaian, tetap memperoleh kompensasi dengan tidak memotong upah/gaji mereka, Hari-hari sakit, Liburan dan cuti sakit, Tidak masuk kerja karena musibah, keperluan keluarga yang tidak dapat ditinggalkan. (2) Perlindungan terhadap bahaya. (3) Program pelayanan: rekreasi, kafetaria, perumahan, beasiswa pendidikan, pelayanan konseling, pelayanan-pelayanan yang belum termasuk dalam pelayanan di atas misalnya pakaian seragam dan bonus. (4) Pembayaran kompensasi berdasarkan peraturan yang berlaku. Kepuasan Kerja. Kepuasan kerja merupakan sikap pernyataan evaluatif mengenai perasaan suka atau tidak suka, senang atau tidak senang terhadap pekerjaannya. Greenberg dan Baron (2003:143) menyebutkan ada tiga komponen dalam membentuk sikap seseorang, yaitu: “evaluative component, cognitive component, and behavioral component”. Menurut Robbin dan Judge (2008:73) mengatakan bahwa: Setiap individu bisa memiliki ribuan sikap; tetapi kaitannya dengan sikap dapat dikelompokkan ke dalam tiga jenis: kepuasan kerja, keterlibatan pekerjaan, dan komitmen organisasional; setiap pekerjaan mempunyai karakteristik dan keunikan masing-masing. Menurut Mullins (2005:704) faktor pendukung tersebut akan menghasilkan dua outcome yaitu “Job Satisfaction dan Work Performance”. Kepuasan kerja meliputi: Individual factors, Social factors, Cultural factors, Organizational factors, dan Environmental factors. Tingkat kepuasan kerja yang rendah dapat menimbulkan berbagai masalah yang bersifat destruktif terhadap organisasi, karena itu kepuasan kerja perlu diperhatikan sehubungan dengan kelangsungan hidup organisasi maupun individu. Definisi kepuasan kerja menurut Luthans (1999:126) adalah: "A pleasurable or positive emotional state resulting from he appraisal of one's job or experience". Kepuasan kerja merupakan perasaan positif yang terbentuk dari penilaian seseorang terhadap pekerjaannya. Sementara kepuasan kerja menurut Werther dan Davis (1996:534) adalah: "Job satisfaction is the favorableness or unfavorableness with which employees viand their work". Artinya kepuasan kerja merupakan keadaan yang menyenangkan atau tidak menyenangkan yang timbul dari cara karyawan memandang pekerjaan mereka. Penilaian karyawan terhadap pekerjaannya bila mendukung yang diharapkan cenderung mendapatkan kepuasan; pendapat ini didukung oleh Luthans (1999:126) yang mengatakan bahwa: "Job satisfaction is a result of employees perceptions of how well theory or provident hose things which are viewed as important". Pada dasarya kepuasan kerja adalah hasil persepsi karyawan terhadap pekerjaannya yang memberikan hal-hal berarti bagi karyawan itu sendiri. Kepuasan kerja tidak dapat dilihat secara langsung, sehingga harus diukur melalui aspek-aspek pekerjaan; hal ini sesuai pengertian kepuasan kerja menurut Werther dan Davis (1996:111) mengatakan bahwa: "Job satisfaction can be defined as a person's emotional response to aspects of work such as pay, supervision, and benefit or to the work itself”. Kepuasan kerja dapat didefinisikan sebagai suatu respon emosional seseorang terhadap aspek-aspek dari pekerjaan, seperti upah, penyeliaan dan keuntungan atau pekerjaan itu sendiri. Lebih lanjut dikatakan bahwa: “JDI is the one of them cost widely known and commonly used devices for measuring job satisfaction. The Job Descriptive Index, or JDI, offers a number of job facets, that are: work it self, pay, promotion opportunities, working conditions and co-workers". METODE DAN SAMPLING Penelitian dilakukan di Sekolah Menengah Atas (SMA) Negeri Provinsi Bali. Waktu penelitian selama setahun terhitung sejak bulan Maret 2010 sampai dengan Maret 2011. Metode yang digunakan 72
International Conference on Education 2014 Official Conference Proceedings
Sabah, Malaysia
adalah metode survei dengan teknik kausal. Populasinya adalah seluruh guru ekonomi yang telah lulus sertifikasi profesi pada Sekolah Menengah Atas (SMA) Negeri Provinsi Bali. Dalam melakukan penarikan sampel, metode yang digunakan adalah metode acak sederhana (Simple Random Sampling), ukuran sampel yang disarankan oleh Solimun (2002:84) “dalam analisis Structural Equation Modelling (SEM) sebesar 400” Solimun (2002) maupun Hair, et al. (1998:605). Teknik analisis dan interpretasi data menggunakan metode kualitatif dan kuantitatif sebagai alat bantu statistik. Metode kualitatif berupa deskriptif data yang masuk dengan cara dikelompokkan dan ditabulasi kemudian diberi penjelasan. Sedangkan metode kuantitatif berupa analisis hubungan antar variabel yang diteliti menggunakan alat analisis Structural Equation Modelling (SEM). TEMUAN DAN PEMBAHASAN Setelah dilakukan analisis model penelitian dengan kesimpulan bahwa setiap dimensi valid dan reliabel dalam merefleksikan variabelnya masing-masing, selanjutnya analisis diteruskan untuk melihat signifikansi pengaruh dan seberapa besar pengaruh dari variabel yang dihipotesiskan. Terdapat dua substruktur yang diuji; berikut jabarannya. Analisis Model Pengaruh Karakteristik Kerja dan Kompensasi terhadap Kepuasan kerja Untuk substruktur pertama adalah untuk mengetahui pengaruh karakteristik kerja dan kompensasi terhadap kepuasan kerja. Tabel 1: Hasil Perhitungan Model Struktural Pengaruh Karakteristik Pekerjaan (X1) dan Kompensasi (X2) terhadap Kepuasan Kerja (X3)
Variabel
Variabel
Koefisien
Error thitung
Laten Endogen
Laten Eksogen Karakteristik Pekerjaan (X1)
R2
Jalur
Variance
0,334
6,988
0,509
5,393
0,508
0,492
Kepuasan Kerja (X3) Kompensasi (X2)
Sumber: Hasil Pengolahan Data, 2011
Model di atas menunjukkan koefisien pengaruh dari karakteristik kerja (X1) terhadap kepuasan kerja (X3) sebesar 0,334 dengan nilai thitung untuk uji statistik sebesar 6,988 dan koefisien pengaruh dari kompensasi (X2) terhadap kepuasan kerja (X3) sebesar 0,509 dengan nilai thitung untuk uji statistik 5,393. Untuk menguji pengaruh variabel yang dihipotesiskan digunakan uji-t dengan kriteria uji untuk penelitian sebesar 0,05 nilai untuk batas dinyatakan uji signifikan adalah 1,96. Hasil perbandingan antara thitung dengan ttabel untuk uji parsial dapat dilihat pada tabel berikut.
73
International Conference on Education 2014 Official Conference Proceedings
Sabah, Malaysia
Tabel 2: Uji Hipotesis Pengaruh secara Parsial Karakteristik Pekerjaan (X1) dan Kompensasi (X2) Terhadap Kepuasan Kerja (X3)
NN o 11.
22.
Koefisien
Kesimpulan
Hipotesis
tthitung
Hasil
Jalur Karakteristik Pekerjaan (X1) berpengaruh terhadap Kepuasan Kerja (X3) Kompensasi (X2) berpengaruh terhadap Kepuasan Kerja (X3)
66,98 8
Uji
55,39 3
Uji Signifikan
0,334
0,509
Signifikan
H0 ditolak, terdapat pengaruh Karakteristik Pekerjaan (X1) terhadap Kepuasan Kerja (X3) H0 ditolak, terdapat pengaruh Kompensasi (X2) terhadap Kepuasan Kerja (X3)
Sumber: Hasil Pengolahan Data, 2011
Analisis Model Pengaruh Karakteristik Pekerjaan, Kompensasi dan Kepuasan Kerja terhadap Komitmen Untuk substruktur kedua adalah mengetahui pengaruh karakteristik pekerjaan, kompensasi dan kepuasan kerja terhadap komitmen. Tabel 3: Hasil Perhitungan Model Struktural Pengaruh Karakteristik Pekerjaan (X1), Kompensasi (2) dan Kepuasan Kerja (1) terhadap Komitmen (2)
Variabel
Variabel
Koefisien
Error thitung
Laten Endogen
Komitmen (Y)
Laten Eksogen
R2
Jalur
Variance
Karakteristik Pekerjaan (X1)
0,239
5,393
Kompensasi (X2)
0,106
2,207
0,577
10,090
0,649
0,351
Kepuasan Kerja (X3)
Sumber: Hasil Pengolahan Data, 2011
Koefisien pengaruh dari karakteristik pekerjaan (X1) terhadap komitmen (Y) diperoleh sebesar 0,239 dengan nilai thitung untuk uji statistik sebesar 5,393; koefisien pengaruh variabel kompensasi (X2) terhadap komitmen (Y) diperoleh sebesar 0,106 dengan nilai thitung untuk uji statistik sebesar 2,207; dan koefisien pengaruh variabel kepuasan kerja (X3) terhadap komitmen (Y) diperoleh sebesar 0,577 dengan nilai thitung untuk uji statistik sebesar 10,090. Untuk menguji pengaruh variabel yang dihipotesiskan digunakan uji-t dengan kriteria uji untuk penelitian sebesar 0,05, nilai untuk batas dinyatakan uji signifikan adalah 1,96. Hasil perbandingan antara thitung dengan ttabel untuk uji parsial dapat dilihat pada tabel berikut.
74
International Conference on Education 2014 Official Conference Proceedings
Sabah, Malaysia
Tabel 4: Uji Hipotesis Pengaruh secara Parsial Karakteristik Pekerjaan (X1), Kompensasi (X2) dan Kepuasan Kerja (X3) terhadap Komitmen (Y)
NN o. 11.
22.
33.
Koefisien Hipotesis
thitung
Hasil
Kesimpulan
Jalur Karakteristik Pekerjaan (X1) berpengaruh terhadap Komitmen (Y) Kompensasi (X2) berpengaruh terhadap Komitmen (Y) Kepuasan kerja (X3) berpengaruh terhadap Komitmen (Y)
Uji 0,239
5,393
Signifikan
Uji 0,106
2,207
Signifikan
Uji 0,577
10,090
Signifikan
H0 ditolak, terdapat pengaruh Karakteristik Pekerjaan (X1) terhadap Komitmen (Y) H0 ditolak, terdapat pengaruh Kompensasi (X2) terhadap Komitmen (Y) H0 ditolak, terdapat pengaruh Kepuasan Kerja (X3) terhadap Komitmen (Y)
Sumber: Hasil Pengolahan Data, 2011
Pengujian Hipotesis 1. Pengaruh Karakteristik Pekerjaan (X1) terhadap Komitmen (Y) Hasil perhitungan menunjukkan bahwa nilai thitung untuk variabel karakteristik pekerjaan (X1) diperoleh 5,393 lebih besar dari 1,96 sehingga dapat disimpulkan pengaruh karakteristik pekerjaan (X1) terhadap komitmen (Y) signifikan. Dengan demikian terdapat pengaruh langsung positif karakteristik kerja terhadap komitmen. 2. Pengaruh Kompensasi (X2) terhadap Komitmen (Y) Hasil perhitungan menunjukkan bahwa nilai thitung untuk variabel kompensasi (X2) diperoleh 2,207 lebih besar dari 1,96 sehingga dapat disimpulkan pengaruh kompensasi (X1) terhadap komitmen (Y) signifikan. Dengan demikian terdapat pengaruh langsung positif kompensasi terhadap komitmen. 3. Pengaruh Kepuasan Kerja (X3) terhadap Komitmen (Y) Hasil perhitungan menunjukkan bahwa nilai thitung untuk variabel kepuasan kerja (X1) diperoleh 10,090 lebih besar dari 1,96 sehingga dapat disimpulkan pengaruh kepuasan kerja (X3) terhadap komitmen (Y) signifikan. Dengan demikian terdapat pengaruh langsung positif kepuasan kerja terhadap komitmen. 4. Pengaruh Karakteristik Pekerjaan (X1) terhadap Kepuasan Kerja (X3) Hasil perhitungan menunjukkan bahwa nilai thitung untuk variabel karakteristik pekerjaan (X1) sebesar 6,988 lebih besar dari 1,96 sehingga dapat disimpulkan pengaruh karakteristik pekerjaan (X1) terhadap kepuasan kerja (X3) signifikan. Dengan demikian terdapat pengaruh langsung positif karakteristik kerja terhadap kepuasan kerja. 5. Pengaruh Kompensasi (X2) terhadap Kepuasan Kerja (X3) Hasil perhitungan menunjukkan bahwa nilai thitung untuk variabel kompensasi (X2) sebesar 5,393 lebih besar dari 1,96 sehingga dapat disimpulkan pengaruh kompensasi (X2) terhadap kepuasan kerja (X3) signifikan. Dengan demikian terdapat pengaruh langsung positif kompensasi terhadap kepuasan kerja. Pengaruh Langsung dan Tidak Langsung Antar Variabel Secara lebih rinci dapat diketahui total pengaruh langsung dan tidak langsung karakteristik pekerjaan (X1), kompensasi (X2) dan kepuasan kerja (X3) terhadap Komitmen (Y) sebagai berikut.
75
International Conference on Education 2014 Official Conference Proceedings
Sabah, Malaysia
1. Pengaruh Karakteristik Kerja (X1) terhadap Komitmen (Y) Pengaruh langsung karakteristik pekerjaan (X1) terhadap komitmen (Y) = 0,2392 100% = 5,7%. Nilai 5,7% menyatakan secara langsung sebesar 5,7% keragaman dari komitmen dapat dijelaskan oleh karakteristik pekerjaan. Pengaruh tidak langsung karakteristik pekerjaan (X1) terhadap komitmen (Y) yang melalui hubungannya dengan kompensasi (X2) = (0,239 x 0,404 x 0,106) x 100 % = 1,1%. Nilai ini menunjukkan pengaruh tidak langsung pengaruh karakteristik pekerjaan terhadap komitmen melalui kompensasi. Adanya keterkaitan antara karakteristik pekerjaan dengan kompensasi memperbesar pengaruh karakteristik pekerjaan terhadap komitmen sebesar 1,1%. Pengaruh tidak langsung karakteristik pekerjaan (X1) terhadap komitmen (Y) yang melalui hubungannya dengan kepuasan kerja (X3) = (0,239 x 0,539 x 0,577) x 100 % = 7,4%. Nilai ini menunjukkan pengaruh tidak langsung pengaruh karakteristik pekerjaan terhadap komitmen melalui kepuasan kerja. Adanya keterkaitan antara karakteristik kerja dengan kepuasan kerja memperbesar pengaruh karakteristik pekerjaan terhadap komitmen sebesar 7,4%. Total pengaruh karakteristik pekerjaan terhadap komitmen sebesar 5,7% + 1,1% + 7,4% = 14,2%. 2. Pengaruh Kompensasi (X2) terhadap Komitmen (Y) Pengaruh langsung kompensasi (X2) terhadap komitmen (Y) = 0,1062 x 100% = 1,1%, Nilai 1,1% menyatakan secara langsung sebesar 1,1% keragaman dari komitmen dapat dijelaskan oleh kompensasi. Pengaruh tidak langsung kompensasi (X2) terhadap komitmen (Y) yang melalui hubungannya dengan karakteristik pekerjaan (X1) = (0,106 x 0,404 x 0,239) x 100% = 1,1%. Nilai ini menunjukkan pengaruh tidak langsung pengaruh kompensasi terhadap komitmen melalui karakteristik pekerjaan. Adanya keterkaitan antara kompensasi dengan karakteristik pekerjaan memperbesar pengaruh kompensasi terhadap komitmen sebesar 1,1%. Pengaruh tidak langsung kompensasi (X2) terhadap komitmen (Y) yang melalui hubungannya dengan kepuasan kerja (X3) = (0,106 x 0,644 x 0,577) x 100% = 3,9%. Nilai ini menunjukkan pengaruh tidak langsung pengaruh kompensasi terhadap komitmen melalui kepuasan kerja. Adanya keterkaitan antara kompensasi dengan kepuasan kerja memperbesar pengaruh kompensasi terhadap komitmen sebesar 3,9%. Total pengaruh kepuasan kerja terhadap komitmen sebesar 1,1% + 1,1% + 3,9% = 6,1%. 3. Pengaruh Kepuasan Kerja (X3) terhadap Komitmen (Y) Pengaruh langsung kepuasan kerja (X3) terhadap komitmen (Y) = 0,5772 x 100% = 33,3%. Nilai 33,3% menyatakan secara langsung sebesar 33,3% keragaman dari komitmen dapat dijelaskan oleh kepuasan kerja. Pengaruh tidak langsung kepuasan kerja (X3) terhadap komitmen (Y) yang melalui hubungannya dengan karakteristik pekerjaan (X1) = (0,577 x 0,539 x 0,239) x 100% = 7,4%. Nilai ini menunjukkan pengaruh tidak langsung pengaruh kepuasan kerja terhadap komitmen melalui karakteristik pekerjaan. Adanya keterkaitan antara kepuasan kerja dengan karakteristik pekerjaan memperbesar pengaruh kepuasan kerja terhadap komitmen sebesar 7,4%. Pengaruh tidak langsung kepuasan kerja (X3) terhadap komitmen (Y) yang melalui hubungannya dengan kompensasi (X2) = (0,577 x 0,644 x 0,106) x 100% = 3,9%. Nilai ini menunjukkan pengaruh tidak langsung pengaruh kepuasan kerja terhadap komitmen melalui kompensasi. Adanya keterkaitan antara kepuasan kerja dengan kompensasi memperbesar pengaruh kepuasan kerja terhadap komitmen sebesar 3,9%. Total pengaruh kepuasan kerja terhadap komitmen sebesar 33,3%+ 7,4% + 3,9% = 44,6%. Secara total diperoleh 64,9% perubahan komitmen dipengaruhi oleh karakteristik pekerjaan, kompensasi, dan kepuasan kerja. Secara parsial diperoleh pengaruh dari kepuasan kerja terhadap komitmen (44,6%) lebih besar dari pengaruh karakteristik pekerjaan terhadap komitmen (14,2%) dan pengaruh dari kompensasi terhadap komitmen (6,1%) sehingga dapat disimpulkan bahwa variabel yang paling berperan dalam komitmen adalah kepuasan kerja, diikuti karakteristik pekerjaan dan kompensasi. 4. Pengaruh Karakteristik Pekerjaan (X1) terhadap Kepuasan Kerja (X3) Pengaruh langsung karakteristik pekerjaan (X1) terhadap kepuasan kerja (X3) = 0,3342 x 100% = 11,1%. Nilai sebesar 11,1% menyatakan secara langsung sebesar 11,1% keragaman dari kepuasan kerja dapat dijelaskan oleh karakteristik pekerjaan. Pengaruh tidak langsung karakteristik pekerjaan (X1) terhadap kepuasan kerja (X3) melalui hubungannya dengan kompensasi (X2) = (0,334 x 0,404 x 0,509) x 100% = 6,9%. Nilai ini menunjukkan pengaruh tidak langsung karakteristik pekerjaan terhadap kepuasan kerja melalui kompensasi. Adanya keterkaitan antara karakteristik pekerjaan dengan kompensasi memperbesar pengaruh karakteristik pekerjaan terhadap kepuasan kerja sebesar 6,9%. 76
International Conference on Education 2014 Official Conference Proceedings
Sabah, Malaysia
Total pengaruh karakteristik pekerjaan terhadap kepuasan kerja sebesar: 11,1% + 6,9% = 18,0%. Hasil perhitungan menunjukkan bahwa besar pengaruh dari karakteristik pekerjaan terhadap kepuasan kerja mencapai 18,0%. Sehingga perubahan dalam karakteristik pekerjaan akan berdampak terhadap kepuasan kerja mencapai 18,0%. 5. Pengaruh Kompensasi (X2) terhadap Kepuasan Kerja (X3) Pengaruh langsung kompensasi (X2) terhadap kepuasan kerja (X3) = 0,5092 x 100 % = 25,9%. Nilai 25,9% menyatakan secara langsung sebesar 25,9% keragaman dari kepuasan kerja dapat dijelaskan oleh karakteristik pekerjaan. Pengaruh tidak langsung kompensasi (X2) terhadap kepuasan kerja (X3) melalui hubungannya dengan karakteristik pekerjaan (X1) = (0,509 x 0,404 x 0,334) x 100% = 6,9%. Nilai ini menunjukkan pengaruh tidak langsung kompensasi terhadap kepuasan kerja melalui karakteristik pekerjaan. Adanya keterkaitan antara kompensasi dengan karakteristik pekerjaan memperbesar pengaruh kompensasi terhadap kepuasan kerja sebesar 6,9%. Total pengaruh karakteristik pekerjaan terhadap kepuasan kerja sebesar: 25,9% + 6,9% = 32,8%. Hasil perhitungan menunjukkan bahwa besar pengaruh dari karakteristik pekerjaan terhadap kepuasan kerja mencapai 32,8%. Sehingga perubahan dalam karakteristik pekerjaan akan berdampak terhadap kepuasan kerja mencapai 32,8%. Secara total diperoleh 50,8% perubahan kepuasan kerja dipengaruhi oleh karakteristik pekerjaan dan kompensasi. Secara parsial diperoleh pengaruh dari kompensasi terhadap kepuasan kerja (32,8%) lebih besar dari pengaruh karakteristik pekerjaan terhadap kepuasan kerja (18,0%) sehingga dapat disimpulkan bahwa variabel yang lebih berperan dalam kepuasan kerja adalah kompensasi. Pembahasan Hasil Penelitian 1. Pengaruh Langsung Karakteristik Pekerjaan terhadap Komitmen Pekerjaan guru merupakan pekerjaan yang sangat dinamis, artinya guru dapat menyesuaikan dirinya dengan perkembangan siswanya; guru dapat melakukan perubahan terhadap anak didik. Kadangkala guru menyenangi pekerjaan yang lebih kompleks dan menantang; hal ini dapat menghasilkan absensi yang rendah. Penelitian ini menunjukkan bahwa karakteristik pekerjaan berpengaruh langsung positif terhadap komitmen. Hal ini berarti bahwa semakin sesuai karakteristik pekerjaan, maka semakin tinggi komitmen. Terwujudnya komitmen merupakan harapan setiap guru maupun organisasi agar tetap eksis dalam kelangsungan organisasi. Guru memperoleh tugas sesuai karakteristik mereka akan tercipta rasa senang dalam bekerja, sehingga dapat bekerja dengan baik karena secara fisik dan psikisnya dapat terakomodir dalam membangun komitmen. Karakteristik pekerjaan seperti: ragam keterampilan, identitas tugas, pentingnya tugas, otonomi, dan umpan balik sangat diperlukan bagi seseorang baik sebagai motivasi, meningkatkan kinerja maupun kepuasan kerja yang akhirnya dapat menciptakan komitmen. Variasi keterampilan yang berbeda yang dapat mengurangi kebosanan dalam menjalankan tugas sebagai guru dapat menunjang kepuasan dan komitmenpun tercipta untuk tetap bekerja pada organisasi yang bersangkutan. Sementara dimensi lainnya yang penting bagi komitmen adalah signifikansi tugas. Hal ini akan memberikan dorongan bagi guru untuk bekerja lebih giat apabila tugas-tugas yang dikerjakan dirasakan memberikan manfaat bagi orang lain atau organaisasi. Signifikansi tugas mengacu pada kadar dampak pekerjaan terhadap orang lain atau organisasi; misalnya pada saat melakukan langkah pokok dalam proses kerja. Sementara identitas tugas pekerjaan membutuhkan penyelesaian secara menyeluruh; untuk itu diharapkan dapat teridentifikasi secara rinci tentang bagian-bagian terkecil agar diketahui dan diselesaikan secara baik dan benar. Dimensi variasi keahlian, signifikansi tugas, dan identitas tugas secara bersama-sama menciptakan kerja yang bermakna. Artinya jika ketiga karakteristik pekerjaan itu ada pada suatu pekerjaan, maka dapat diramal bahwa pemangku pekerjaan itu akan memandang pekerjaan itu penting, berharga, dan ada gunanya untuk dikerjakan. Atribut otonomi misalnya, merupakan atribut yang dapat berpengaruh terhadap semangat guru dalam bekerja. Pada dasarnya setiap orang menginginkan kebebasan untuk menyelesaikan pekerjaan dan kurang menginginkan aturan-aturan baku yang dapat mengganggu kreativitasnya. Dimensi ini merupakan hal yang mendasar untuk menimbulkan rasa tanggung jawab dalam diri guru; oleh karenanya akan berusaha semaksimal mungkin menyelesaikan pekerjaannya dengan sebaik-baiknya. Demikian pula umpan balik mengenai informasi yang diterima guru mengenai efektivitas dan kualitas 77
International Conference on Education 2014 Official Conference Proceedings
Sabah, Malaysia
pekerjaan mereka; hal ini dapat berfungsi sebagai instruksi yaitu berfunsgi ketika menjelaskan peran atau mengajarkan perilaku baru, sementara fungsi motivasi ketika berfungsi sebagai imbalan atau menjanjikan imbalan yang akan diberikan organisasi. Dalam hasil penelitian-penelitian sebelumnya mempertegas signifikansi karakteristik pekerjaan dalam kaitannya dengan komitmen. Temuan hasil penelitian ini didukung hasil temuan penelitian Sudjana menunjukkan bahwa terdapat hubungan positif antara karakteristik pekerjaan dengan komitmen karyawan pada organisasi; artinya makin tinggi taraf karakteristik pekerjaan, makin tinggi komitmen karyawan pada organisasi. Di samping itu, hasil penelitian Chang dan Lee menunjukkan bahwa karakteristik pekerjaan memiliki pengaruh positif secara signifikan terhadap komitmen organisasional. 2. Pengaruh Langsung Kompensasi terhadap Komitmen Hasil pengujian hipotesis menunjukkan bahwa tinggi rendahnya komitmen di antaranya dipengaruhi oleh baik buruknya sistem kompensasi yang diimplementasikan bagi para guru untuk memenuhi harapan-harapannya; oleh karenanya kondisi itu akan memberikan kontribusi yang signifikan bagi peningkatan komitmen; dengan demikian komitmen akan dapat tercipta. Hal ini dapat dipahami mengingat motif utama orang bekerja adalah memperoleh imbalan untuk memenuhi kebutuhan hidup diri dan keluarganya. Imbalan yang diterima guru dalam bentuk gaji, tunjangan, insentif, dan lain-lain; maka segala kebutuhan diri dan keluarganya diharapkan dapat terpenuhi. Setelah kebutuhan pokok terpenuhi, tentunya seseorang akan beranjak pada kebutuhan yang lebih tinggi sampai aktualisasi diri. Berdasarkan besarnya kompensasi yang diterima mencerminkan status, pengakuan, dan tingkat pemenuhan kebutuhan; artinya bila kompensasi yang diterimanya semakin besar berarti jabatannya semakin tinggi, statusnya semakin baik; demikian pula dalam memenuhi kebutuhan yang dinikmatinya semakin baik pula (Hasibuan). Dalam menjalankan tugas sebagai guru, terjadinya komitmen merupakan hal yang sangat diharapkan oleh setiap guru maupun organisasi yang bersangkutan. Komitmen sudah menjadi kebutuhan bagi setiap guru untuk dapat memenuhi kelangsungan hidup diri dan keluarganya, bahkan siapa saja yang melakukan kegiatan komitmen menjadi idaman agar dapat menjalankan tugas dengan senang hati. Guru yang kurang komit biasanya cenderung melakukan tindakan-tindakan negatif yang berakibat merugikan organisasi, seperti malas bekerja, sering absen, terlambat datang, pindah kerja maupun tidak taat terhadap aturan organisasi yang akhirnya hasil kerja di bawah standar. Dalam mencapai komitmen tentunya beberapa faktor yang diharapkan antara lain terkait dengan kondisi kerja, rekan kerja, pengawasan, komunikasi, promosi, maupun kompensasi. Bila faktorfaktor tersebut dipersepsikan tidak sesuai dengan harapan guru, maka guru akan muncul kurang komit. Guru yang komit dalam bekerja cenderung rajin bekerja, tertib terhadap aturan; selain itu komitmen dapat mendorong guru untuk tetap loyal dan tidak memiliki keinginan untuk berpindah kerja mengingat yang diharapkan telah terpenuhi. Sikap seperti ini merupakan cermin bahwa guru mengharapkan keberpihakan yang dapat memenuhi harapan hidup diri dan keluarga guru maupun organisasi. Hasil penelitian sebelumnya mendukung temuan hasil penelitian ini di antaranya yang dilakukan oleh Siregar menunjukkan bahwa kompensasi berpengaruh langsung terhadap komitmen organisasi. Hal ini menunjukkan bahwa variasi perubahan pada variabel komitmen organisasi disebabkan oleh kompensasi, sehingga perubahan kompensasi akan menyebabkan peningkatan komitmen organisasi. Selain itu didukung oleh hasil penelitian yang dilakukan Daniel dan Caryl menunjukkan bahwa kombinasi imbalan, nilai-nilai biaya, dan ukuran investasi merupakan prediktor terbaik bagi komitmen kerja. 3. Pengaruh Langsung Kepuasan Kerja terhadap Komitmen Temuan ini menunjukkan bahwa kepuasan kerja merupakan salah satu variabel yang dapat digunakan sebagai prediktor komitmen organisasi guru. Hal ini berarti menurunnya kepuasan kerja guru dapat dipastikan secara signifikan berimplikasi terhadap menurunnya komitmen. Dalam menjalankan tugas sebagai guru, terjadinya kepuasan kerja merupakan hal yang sangat diharapkan oleh setiap guru. Kepuasan kerja sudah menjadi kebutuhan bagi setiap guru, bahkan siapa saja yang melakukan kegiatan; kepuasan kerja menjadi idaman agar dapat menjalankan tugas dengan senang hati. Guru yang kurang puas biasanya cenderung melakukan tindakan-tindakan negatif yang berakibat merugikan organisasi, seperti malas bekerja, sering absen, terlambat datang, pindah kerja maupun tidak taat terhadap aturan organisasi yang akhirnya hasil kerja di bawah standar. 78
International Conference on Education 2014 Official Conference Proceedings
Sabah, Malaysia
Dalam mencapai kepuasan kerja tentunya beberapa faktor yang diharapkan antara lain terkait dengan kondisi kerja, rekan kerja, pengawasan, komunikasi, promosi, maupun kompensasi. Bila faktorfaktor tersebut dipersepsikan tidak sesuai dengan harapan guru, maka ketidakpuasan kerja akan muncul. Guru yang puas dalam bekerja cenderung rajin bekerja, tertib terhadap aturan; selain itu kepuasan kerja dapat mendorong guru untuk tetap loyal dan tidak memiliki keinginan untuk berpindah kerja mengingat yang diharapkan telah terpenuhi. Sikap seperti ini merupakan cermin bahwa guru memiliki komitmen yang tinggi terhadap organisasi sekolah. Apabila peran guru telah menyatakan komitmennya maka dapat dipastikan bahwa sekolah akan mampu meningkatkan kepuasan kerja guru, meningkatkan kinerja dan menekan tingkat perputaran guru yang pada akhirnya mampu memfasilitasi proses interaksi yang ada. Lebih lanjut, Belcher menyatakan bahwa: to obtain a commitment from all employees, shall be the principal purpose of the organization, among others, by involving all employees and increase the sense of organization. Dari rasa memiliki inilah yang akan mampu menggerakkan pegawai untuk memberikan pelayanan terbaik kepada pelanggan tanpa harus diperintah terlebih dahulu dalam menjalankan tugasnya. Dalam penelitian terdahulu memperkuat temuan ini bahwa kepuasan kerja berpengaruh terhadap komitmen; beberapa di antaranya yaitu hasil penelitian Salak menunjukkan bahwa kepuasan kerja berpengaruh langsung positif terhadap komitmen pegawai. Dampak yang terjadi jika pegawai merasakan kepuasan akan lebih komit dalam menjalankan tugasnya. Selain itu juga Soekotjo dalam temuan penelitiannya bahwa kepuasan kerja berpengaruh langsung terhadap komitmen organisasi. Demikian pula hasil penelitian Siregar dalam temuan penelitiannya menunjukkan bahwa kepuasan kerja berpengaruh langsung terhadap komitmen organisasi. 4. Pengaruh Langsung Karakteristik Pekerjaan terhadap Kepuasan Kerja Temuan ini dapat dipahami karena suatu pekerjaan pada dasarnya memiliki ciri-ciri khusus yang berbeda antar jenis pekerjaan. Ciri-ciri pekerjaan atau disebut pula karakteristik pekerjaan merupakan faktor penting yang menentukan perilaku guru dalam bekerja. Faktor-faktor yang terdapat dalam karakteristik pekerjaan antara lain: variasi keterampilan (skill variety), identitas tugas (task identity), signifikansi tugas (task significance), otonomi (autonomy), dan umpan balik (feedback). Dalam dimensi variasi keterampilan memungkinkan guru untuk melaksanakan bidang tugas yang berbeda dan seringkali mengharuskan adanya keterampilan yang berbeda pula. Pekerjaan yang beragam dipandang guru lebih menantang karena mencakup beberapa jenis keterampilan. Keragaman juga menimbulkan parasaan kompeten bagi guru karena dapat melakukan jenis pekerjaan yang berlainan dengan cara berbeda. Sementara dimensi lainnya yang penting bagi kepuasan kerja guru adalah signifikansi tugas. Hal ini akan memberikan dorongan bagi guru untuk bekerja lebih giat apabila tugas-tugas yang dikerjakan dirasakan memberikan manfaat bagi orang lain atau organaisasi. Signifikansi tugas mengacu pada kadar dampak pekerjaan terhadap orang lain atau organisasi; misalnya pada saat melakukan langkah pokok dalam proses kerja. Bagi guru bisa lebih percaya diri dapat melakukan sesuatu yang penting bagi organisasi; perasaan seperti ini akan mampu menimbulkan rasa puas dalam diri guru itu sendiri. Sementara identitas tugas pekerjaan membutuhkan penyelesaian secara menyeluruh; untuk itu diharapkan dapat teridentifikasi secara rinci tentang bagian-bagian terkecil agar diketahui dan diselesaikan secara baik dan benar. Dimensi variasi keahlian, signifikansi tugas, dan identitas tugas secara bersama-sama menciptakan kerja yang bermakna. Artinya jika ketiga karakteristik pekerjaan itu ada pada suatu pekerjaan, maka dapat diramal bahwa pemangku pekerjaan itu akan memandang pekerjaan itu penting, berharga, dan ada gunanya untuk dikerjakan. Demikian juga pekerjaan yang memiliki otonomi akan memberikan kepada pemangku pekerjaan itu suatu perasaan tanggung jawab pribadi untuk hasil-hasilnya dan jika suatu pekerjaan memberikan umpan balik maka guru akan mengetahui seberapa efektif ia bekerja. Jika keadaan psikologis guru seperti makna yang dialami dari pekerjaan, tanggung jawab yang dialami untuk hasil kerja, dan pengetahuan hasil aktual dari kegiatan kerja yang ada dalam melakukan pekerjaan maka motivasi, kepuasan kerja dan kinerja karyawan akan dapat ditingkatkan dan bahkan low absenteeisn dan turnover. Penelitian ini menunjukkan bahwa karakteristik pekerjaan berpengaruh langsung positif terhadap kepuasan kerja. Hal ini berarti bahwa semakin sesuai karakteristik pekerjaan, maka semakin tinggi kepuasan kerja guru. Terwujudnya kepuasan kerja merupakan harapan setiap guru. Guru memperoleh
79
International Conference on Education 2014 Official Conference Proceedings
Sabah, Malaysia
tugas sesuai karakteristik mereka akan tercipta rasa senang dalam bekerja, sehingga dapat bekerja dengan baik karena secara fisik dan psikisnya dapat terakomodir. Dalam kepuasan kerja guru cukup banyak memberikan implikasi terhadap sikap dan prilakunya. Mereka yang tidak puas cenderung akan melakukan tindakan-tindakan negatif yang dapat merugikan organisasi sekolah seperti: malas bekerja, sering absen, pindah bekerja, tidak taat terhadap aturan organisasi, serta ada kecenderungan bekerja di bawah standar yang ditentukan. Hal tersebut terjadi disebabkan harapan mereka tidak sesuai dengan karakteristik pekerjaan yang ditanganinya, kenyataan yang diterimanya berupa pembayaran, dan lain sebagainya. Guru yang puas dalam menjalankan tugasnya akan cenderung bekerja rajin, disiplin dalam menjalankan tugas, serta tertib terhadap aturan organisasi sekolah. Di samping itu, kepuasan kerja akan mendorong guru untuk tetap loyal dan tidak memiliki keinginan pindah bekerja kendatipun di tempat lain memberikan kompensasi yang lebih tinggi. Sikap guru seperti ini merupakan cermin bahwa guru harus memiliki karakteristik yang sesuai seperti: ragam keterampilan, identitas tugas, pentingnya tugas, otonomi, dan umpan balik memerlukan keterampilan berbeda yang dapat mengurangi kebosanan. Dalam hasil penelitian-penelitian sebelumnya mempertegas signifikansi karakteristik pekerjaan dalam kaitannya dengan kepuasan kerja. Temuan hasil penelitian Zunaidah mendukung hasil penelitian ini yang menyimpulkan bahwa karakteristik pekerjaan berpengaruh positif dan signifikan terhadap kepuasan kerja pegawai. Hal ini juga sama seperti temuan hasil penelitian Bangun bahwa karakteristik pekerjaan mempunyai pengaruh positif dan signifikan terhadap kepuasan kerja. 5. Pengaruh Langsung Kompensasi terhadap Kepuasan Kerja Hasil pengujian hipotesis menunjukkan bahwa tinggi rendahnya kepuasan kerja di antaranya dipengaruhi oleh baik buruknya sistem kompensasi yang berlaku dalam organisasi. Jika sistem kompensasi yang diimplementasikan bagi para guru mampu memenuhi harapan-harapannya, maka kondisi itu akan memberikan kontribusi yang signifikan bagi peningkatan kepuasan kerja guru. Hal ini dapat dipahami mengingat motif utama orang bekerja adalah memperoleh imbalan untuk memenuhi kebutuhan hidup diri dan keluarganya. Imbalan yang diterima guru dalam bentuk gaji, tunjangan, insentif, dan lain-lain; maka segala kebutuhan diri dan keluarganya diharapkan dapat terpenuhi. Setelah kebutuhan pokok terpenuhi, tentunya seseorang akan beranjak pada kebutuhan yang lebih tinggi sampai aktualisasi diri. Kompensasi yang diberikan baik dalam rangka pemenuhan kebutuhan dasar maupun kebutuhan lainnya, jika dirasakan mencukupi oleh guru akan mendatangkan perasaan puas. Hal ini terjadi jika yang didapatkan guru dari kompensasi sesuai atau melebihi harapannya. Kompensasi dalam bentuk gaji, tunjangan, intensif merupakan faktor yang seringkali dihubungkan dengan tingkat kepuasan seseorang dalam bekerja. Bagi seseorang yang bekerja dengan gaji tinggi, intensif yang memadai dan penghasilan tambahan yang cukup; mengindikasikan kepuasan kerja lebih tinggi jika dibandingkan seorang guru yang memiliki gaji rendah, minim intensifnya dan tidak adanya penghasilan tambahan. Dalam hasil penelitian-penelitian sebelumnya mempertegas signifikansi kompensasi dalam kaitannya dengan kepuasan kerja. Beberapa temuan hasil penelitian di antaranya oleh Siregar menunjukkan kompensasi berpengaruh langsung terhadap kepuasan kerja pegawai. Di samping itu temuan hasil penelitian Nulhakim menunjukkan bahwa kompensasi mempunyai pengaruh langsung terhadap kepuasan kerja dosen sebesar 7,81%. Bahkan hasil penelitian Zunaidah menyimpulkan bahwa kompensasi berpengaruh positif dan signifikan terhadap kepuasan kerja pegawai sebesar 9,32%. Ketiga peneliti tersebut menunjukkan bahwa terdapat pengaruh kompensasi terhadap kepuasan kerja samasama berperan dalam besaran pengaruh kompensasi terhadap kepuasan kerja. KESIMPULAN Berdasarkan hasil analisis dan pembahasan hasil penelitian, maka dapat ditarik beberapa kesimpulan sebagai berikut: 1. Terdapat pengaruh langsung positif karakteristik pekerjaan terhadap komitmen; artinya dengan peningkatan kesesuaian karakteristik pekerjaan akan mengakibatkan peningkatan komitmen. 2. Terdapat pengaruh langsung positif kompensasi terhadap komitmen; artinya dengan peningkatan kelayakan kompensasi akan mengakibatkan peningkatkan komitmen. 3. Terdapat pengaruh langsung positif kepuasan kerja terhadap komitmen; artinya dengan peningkatan kepuasan kerja akan mengakibatkan peningkatkan komitmen. 80
International Conference on Education 2014 Official Conference Proceedings
Sabah, Malaysia
4. Terdapat pengaruh langsung positif karakteristik pekerjaan terhadap kepuasan kerja guru; artinya dengan peningkatan kesesuaian karakteristik pekerjaan akan mengakibatkan peningkatkan kepuasan kerja guru. 5. Terdapat pengaruh langsung kompensasi terhadap kepuasan kerja guru; artinya dengan peningkatan kelayakan kompensasi akan mengakibatkan peningkatkan kepuasan kerja guru. DAFTAR PUSTAKA Allen, N.J. dan Meyer, J. P. (1993). “Organizational Commitment: Evidence of Career Stage Effects?” Journal of Business Research. Vol. 26. Alwi, Syafaruddin. (2001). Manajemen Sumber Daya Manusia: Strategi Keunggulan Kompetitif. Edisi Pertama. Yogyakarta: BPFE. Bernadin, John, Russel dan Joyce E.A. (1998). Human Resource Management. Second Edition. New York: McGraw-Hill. Cascio, Wayne. (2003). Managing Human Resources Productivity, Quality of Work Life, Profits. Fourth Edition. New York: McGraw-Hill Inc. Durkin, Mark. (1999). “Employee Commitment in Retail Banking: Identifying and Exploring Hidden Dangers”. International Journal of Bank Marketing. Vol. 17. No. 3. Greenberg, Jerald dan Robert A. Baron. (2003). Behavior in Organization. 8th Edition. New Jessey: Person Education. Hair, J.F., at al. (1998). Multivariate Data Analysis. 5th Edition. London: Prentice Hall International Inc. Handoko, Hani. (2002). Manajemen Personalia dan Sumber Daya Manusia. Yogyakarta: BPFE. Hasibuan, Malayu S.P. (2002). Manajemen Sumber Daya Manusia. Edisi Revisi. Jakarta: Bumi Aksara. Hill, Nigel. 1996. Handbook of Customer Satisfaction Measurement. Gower Publishing Limited. Jacobsen, Dag Ingvar. (2000). “Managing Increased Part-Time: Does Part-Time Work Imply PartTime Commitment”? Managing Service Quality. Vol. 10. No. 3. Lapierre, Jozee. (2000). “Customer-Perceives Value in Industrial Contexts”. Journal of Business and Industrial Marketing. Vol. 15. No. 2/3. Long, Mary L. (2000). “Consumption Values and Relationship: Segmenting The Market for Frequency Programs”. Journal of Consumer Marketing. Vol. 17. No. 3. Luthans, Fred. (1999). Organizational Behaviour. 3rd Edition. New York: McGraw-Hill. Marcia, J.E. (1993). Ego Identity: A Handbook for Psychosocial Research. Verlag.
New York: Springer-
Mullins, Laurie L. (2005). Management and Organizational Behavior. Seventh Edition. London: Prentise Hall. Nawawi, Hadari. (2001). Manajemen Sumber Daya Manusia: Untuk Bisnis Yang Kompetitif. Cetakan Keempat. Yogyakarta: Gajah Mada University Press. Robbins, Stephen P. dan Timothy A. Judge. (2008). Perilaku Organisasi. Saduran: Diana Angelica, Ria Cahyani dan Abdul Rosyid. Jakarta: Salemba Empat. Salak, Ajriani Munthe. (2010). Pengaruh Nilai Budaya Pegawai, Struktur Organisasi, Penggunaan Kekuasaan Kepemimpinan dan Kepuasan Kerja Terhadap Komitmen Pegawai: Studi Kausal pada Pegawai di Lembaga Administrasi Negara. Disertasi Universitas Negeri Jakarta. Sedarmayanti. (2005). Membangun Kebudayaan dan Pariwisata: Bunga Rampai Tulisan Pariwisata. Cetakan I. Jakarta: CV. Mandar Maju. Siregar, Yanto. (2010). Pengaruh Kompensasi, Budaya Organisasi dan Kepuasan Kerja Terhadap Komitmen Organisasi Pegawai Kantor Kabupaten Administrasi Kepulauan Seribu. Disertasi Universitas Negeri Jakarta. 81
International Conference on Education 2014 Official Conference Proceedings
Sabah, Malaysia
Setiawan, Bambang. (2008). The Effect of Compensation on Employee Job Satisfaction: Study on Cigarette Manufacturing Production Employees Section Aprivera Tulungagung. University of Muhammadiyah Malang. Soekidjo, Notoatmojo. (1998). Pengembangan Sumber Daya Manusia. Jakarta: Rineka Cipta. Soekotjo, Sundari. (2009). Pengaruh Budaya Organisasi, Perilaku Kepemimpinan dan Kepuasan Kerja Terhadap Komitmen Organaisasi Karyawan PT. Pembangunan Perumahan (Persero). Disertasi Universitas Negeri Jakarta. Solimun. (2002). Multivarite Analysis, Structural Equation Modelling (SEM), Lisrel dan Amos: Aplikasi di Manajemen, Ekonomi Pembangunan, Psikologi, Sosial, Kedokteran dan Agrokompleks. Malang: FMIPA Universitas Brawijaya. Strauss, George. (1992). Workers Participation in Management: The Psychology of Influence and Control at Work. Oxford: Blackwell. Sudjana, Rusman. (2006). Studi Korelasi antara Budaya Organisasi, Motivasi Kerja, serta Karakteristik Kerja dan Komitmen Karyawan di CV. Angkasa Bandung. Disertasi Universitas Negeri Jakarta. Ulrich, Dave. (1997). Human Resources Champions. Boston: Harvard Business School Press. Werther, Jr. William B. dan Keith Davis. (1996). Human Resources an Personnel Management. Third Edition. New York: McGraw-Hill Inc. Wetzels, Martin. (1998). “Marketing Service Relationship: The Role of Commitment”. Journal of Business and Industrial Marketing. Vol. 13. No. 4/5. William, George R. (1996). “International Marketing and Organizational Behavior: A Partnership in Developing Customer Conscious Employees at Every Level”. Journal of Business Research. January 20th. Wood, Wallace. (2001). Organization Behavior A Global Perspective. 2th Edition. Australia: John Wiley & Sons Ltd. Zunaidah. (2006). Pengaruh Kompensasi, Karakteristik Pekerjaan dan Kepemimpinan Terhadap Kepuasan Kerja dan Kinerja Pegawai: Studi Empirik Terhadap Pegawai Tetap dan Kontrak pada Perusahaan Menengah dan Besar di Kota Palembang. Disertasi Universitas Padjadjaran Bandung.
82
International Conference on Education 2014 Official Conference Proceedings
Sabah, Malaysia
PARENTING, AND CAREER SELECTION STUDENTS ACCELERATION OF SENIOR HIGH SCHOOL IN JAKARTA
Hartini Nara1
1
Department of Special Education Faculty of Education University of Jakarta nara.tinut @ gmail.com
Abstract This study aims to determine the relationship between each model parenting (authoritarian, authoritative and permissive) and career selection students acceleration of senior high school in Jakarta. This study sampling done by purposive sampling, and convenience sampling. Sampling in this study were 47 students acceleration from four senior high school in Jakarta. Students acceleration involved in this study had an age range 14-17 years. The study found three things: First, there is no significant positive relationship between authoritarian parenting with career choice student acceleration. Second, there is a positive and significant relationship between authoritative parenting with career choice. Thirdly there is no positive and significant correlation between permissive parenting with career choice. Keywords: parenting, career choice, accelerated program
Abstrak Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan antara masing-masing model pola asuh (otoriter, otoritatif dan permisif) dengan pemilihan karir siswa program akselerasi SMA di Jakarta. Penelitian korelasi ini pengambilan sampel dilakukan secara purposive sampling, dan convenience sampling. Sampling dalam penelitian ini adalah 47 siswa kelas akselerasi yang berasal dari 4 SMA di Jakarta. Siswa program akslerasi yang terlibat dalam penelitian ini memiliki rentang usia 14 – 17 tahun. Penelitian ini menemukan tiga hal: Pertama, tidak ada hubungan yang positif dan signifikan antara pola asuh otoriter dengan pemilihan karir siswa akselerasi . Kedua, terdapat hubungan yang positif dan signifikan antara pola asuh otoritatif dengan pemilihan karir. Ketiga tidak ada hubungan yang positif dan signifikan antara pola asuh permisif dengan pemilihan karir. Kata kunci: Pola asuh, pemilihan karir, program akselerasi
PENDAHULUAN Menentukan karir bagi siswa akselerasi ternyata bukan perkara yang mudah. Banyaknya kemampuan yang dimiliki, yang seharusnya bisa menjadi bekal mereka dalam pemilihan karir, pada kenyataannya tidak menjamin bahwa mereka tidak akan bersikap bimbang dan ragu. Moesono (dalam Hawadi 2004) menyatakan bahwa: bagi seseorang yang disebut multi talented ternyata banyaknya pilihan sama sulitnya dengan “tidak ada pilihan”. Sering terjadi pada siswa akselerasi karena dihadapkan pada banyak pilihan, mereka asal memilih saja, sekedar terlepas dari konflik pilihan yang terus menghimpitnya, tanpa berfikir panjang tentang kesesuaian dengan kepribadiannya.
83
International Conference on Education 2014 Official Conference Proceedings
Sabah, Malaysia
Southen dan Jones (dalam Mayangsari, 2001), mengemukakan bahwa singkatnya waktu belajar menyebabkan siswa dari program akselerasi akan menghadapi pengambilan keputusan untuk menentukan bidang pekerjaan atau karir yang akan ditekuninya lebih cepat daripada teman-teman sebaya. Selanjutnya penelitian Post-Kommer dan Perrone (dalam Isaacson, 1996), diketahui bahwa 30 % dari siswa berbakat di SMU yang menjadi responden penelitian merasa tidak siap dalam membuat keputusan mengenai karir mereka. Situasi ini tidak jauh berbeda dengan sekolah yang menyelenggarakan program akselerasi di Indonesia. Bila melihat waktu belajar yang singkat dengan materi yang padat. Secara otomatis mengakibatkan sebagian besar waktu mereka digunakan untuk belajar. Waktu belajar siswa program akselerasi yang hanya ditempuh selama dua tahun, memiliki konsekuensi siswa program akselerasi akan melaksanakan tiga kali ujian semester dalam waktu satu tahun. Berbeda dengan siswa reguler yang melaksanakan dua kali ujian semester dalam waktu satu tahun, hampir sepanjang tahun siswa akselerasi belajar untuk mempersiapkan ujian semester. Padahal di sisi lain siswa pogram akselerasi di SMA juga dituntut untuk mulai melakukan pemilihan karir. Peranan keluarga dalam pemilihan karir khususnya, orangtua dan teman sebaya memiliki pengaruh yang sangat kuat pada pemilihan karir remaja (Santrock, 2003); Farmer (dalam Seligman,1994), menyatakan bahwa dukungan orang tua dalam hal aspirasi karir memiliki pengaruh yang lebih kuat dari pada teman, guru, dan status sosial. Demikian juga, dengan kualitas hubungan orangtua dan anak, pola interaksi dalam keluarga, minat dan harapan-harapan orangtua pada anak mereka di masa depan merupakan komponen yang penting pada perkembangan karir anak Whiston (dalam Seligman, 1994). Penelitian Mayangsari (1997), mengenai pengaruh orangtua terhadap penentuan karir dan pendidikan yang diinginkan siswa ditemukan bahwa dalam menentukan karir dan pendidikan yang diinginkan, 69,44 % siswa SMU yang menjadi responden lebih memperhatikan masukan yang diberikan oleh orang tua. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa orang tua memiliki pengaruh yang signifikan dalam pemilihan karir remaja. Pengaruh yang sangat kuat dari orangtua terhadap pemilihan karir tidak bisa dilepaskan dari cara atau pola asuh yang dominan digunakan mereka dalam mendidik anak. Lebih jauh Young (dalam Santrock, 2003), mengungkapkan bahwa banyak faktor yang mempengaruhi peran orangtua dalam perkembangan karir remaja. Misalnya ibu yang bekerja di luar rumah dan memperlihatkan usaha dalam bekerja serta menghargai pekerjaannya akan memberikan pengaruh yang kuat bagi pemilihan karir remaja. Kesimpulan yang masuk akal adalah jika kedua orangtuanya bekerja dan menikmatinya, anak akan belajar menghargai pekerjaan dari kedua orangtuanya. Dengan kata lain orangtua dapat memberikan pengaruh positif maupun negatif dalam pemilihan karir. Semua ini tergantung cara orangtua menggambarkan pekerjaannya kepada anak mereka, dan terkait erat dengan pola asuh orangtua yang berlaku sehari-hari apakah otoriter (Authoritarian), permisif (Permissive) atau otoritatif (Authoritative) (Baumrind dalam Santrock, 2003).
TINJAUAN PUSTAKA Pola Asuh Pola asuh pada dasarnya merupakan sikap dan kebiasaan orangtua yang diterapkan saat mengasuh dan membesarkan anak dalam kehidupan sehari-hari. Berns (1985), memandang pengasuhan sebagai proses interaksi yang terus menerus dan mempengaruhi orangtua dan anak. Dalam berinteraksi dengan anak orangtua perlu menyesuaikan diri secara berkesinambungan dengan berbagai perubahan kemampuan yang dialami anaknya. Tarmudji (2003), berpendapat pola asuh orangtua merupakan interaksi antara orangtua dengan anaknya selama mengadakan pengasuhan. Sebagai pengasuh dan pembimbing dalam keluarga, orang tua sangat berperan dalam meletakkan dasar-dasar perilaku bagi anak-anaknya. Sikap, perilaku, dan kebiasaan orang tua selalu dilihat, dinilai, dan ditiru oleh anaknya. Semua kejadian itu secara sadar atau tak sadar diresapinya dan kemudian menjadi kebiasaan pula bagi anak-anaknya. Hal demikian terjadi dikarenakan anak mengidentifikasikan diri pada orang tuanya sebelum mengadakan identifikasi dengan orang lain (Bonner, dalam Tarmudji, 2004). Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya bahwa salah satu faktor yang mempunyai peranan dalam pembentukan kepribadian adalah praktik pengasuhan orangtua kepada anaknya. Jerome Kagan (dalam Berns,1985), mengemukakan bahwa pengasuhan (parenting) adalah implementasi dari sederetan keputusan orangtua tentang sosialisasi anaknya, misalnya apa yang akan dilakukan orangtua jika anaknya 84
International Conference on Education 2014 Official Conference Proceedings
Sabah, Malaysia
bertingkah laku agresif (mendorong, memukul, menendang). Dalam proses pertumbuhan dan perkembangan anak, pola asuh orangtua memiliki peran penting sebagaimana didukung oleh pendapat Hurlock (1980), yang menyatakan bahwa hubungan antar keluarga mempunyai peran yang penting dalam menentukan pola sikap-sikap dan perilakunya kelak dalam hubungannya dengan orang lain. Hal ini dikarenakan pola asuh yang diterapkan orangtua akan mempengaruhi perilaku anaknya. Klasifikasi Pola Asuh Baumrind (dalam Santrock, 2002), menekankan tiga jenis cara menjadi orangtua, yang berhubungan dengan aspek-aspek yang berbeda dalam perilaku sosial: otoriter (Authoritarian), atau otoritatif (Authoritative) permisif (Permissive). Baru-baru ini para ahli perkembangan berpendapat bahwa pengasuhan permisif terdiri dari dua macam neglectful dan indulgent. Pola Asuh otoriter (Authoritarian) Pola asuh otoriter (Authoritarian) adalah gaya yang membatasi dan bersifat menghukum yang menuntut anak untuk mengikuti petunjuk atau perintah orangtua dan untuk menghargai kerja dan usaha. Orangtua yang bersifat otoriter membuat batasan dan kendali yang tegas dan hanya melakukan sedikit komunikasi verbal (Santrock, 2002). Pola asuh otoriter berkaitan dengan perilaku sosial yang tidak cakap. Anak yang orangtuanya otoriter seringkali merasa cemas akan perbandingan sosial, tidak mampu memulai suatu pekerjaan, dan memiliki kemampuan komunikasi yang rendah (Santrock, 2002). Menurut Barnadib (1986), orangtua yang otoriter tidak memberikan hak kepada anaknya untuk mengemukakan pendapat serta mengutarakan perasaan-perasaannya. Sedangkan menurut Stewart dan Koch (1983), orangtua yang menerapkan pola asuh otoriter mempunyai ciri sebagai berikut: kaku, tegas, suka menghukum, kurang ada kasih sayang serta kurang simpatik. Orangtua memaksa anak untuk patuh pada nilai-nilai mereka, serta mencoba membentuk lingkah laku sesuai dengan tingkah lakunya serta cenderung mengekang keinginan anak. Orangtua tidak mendorong serta memberi kesempatan untuk mandiri dan jarang memberi pujian. Hak anak dibatasi tetapi dituntut bertanggung jawab seperti orang dewasa. Pola Asuh otoritatif (Authoritative) Dalam pola asuh ini orangtua mendorong anak untuk bebas tetapi tetap memberikan batasan dan mengendalikan tindakan-tindakan mereka. Komunikasi verbal timbal balik bisa berlangsung dengan bebas, orangtua bersikap hangat dan bersifat membesarkan hati. Pengasuhan otoritatif mendorong perilaku anak menjadi kompeten. Anak yang memiliki orangtua dengan pola asuh otoritatif akan sadar diri dan dapat bertanggungjawab secara sosial (Santrock, 2002). Penelitian Lutfi (Nurhidayah, Nurhidayah, dkk, dalam Shochib,1998), mengindikasikan bahwa dalam pola asuh dan sikap orangtua yang demokratis (otoritatif) ada komunikasi yang dialogis antara anak dan ada kehangatan yang membuat anak merasa diterima oleh orangtua sehingga ada pertautan perasaan. Pola Asuh Permisif (Permissive) Ada dua macam pengasuhan permisif: pertama permisif bersifat memanjakan dan kedua permisif bersifat tidak peduli (Macoby & Martin, 1984). Pola asuh permisif bersifat tidak peduli adalah suatu pola di mana orangtua sangat tidak mencampuri kehidupan anaknya. Hal ini berkaitan dengan perilaku sosial anak yang tidak cakap, terutama karena kurangnya pengendalian diri. Anak sangat membutuhkan perhatian dari orangtua mereka. Anak yang memiliki orangtua menganut pola asuh permisif tidak peduli memperoleh kesan bahwa aspek lain dari kehidupan orangtua lebih penting bila dibandingkan dirinya. Anak yang orangtuanya permisif-tidak peduli biasanya tidak memiliki kecakapan sosial dan menunjukkan ketidakmampuan mengendalikan diri, serta tidak dapat menangani kebebasan dengan baik (Santrock, 2002). Pola asuh permisif memanjakan adalah suatu pola di mana orangtua sangat terlibat dalam kehidupan remaja, tetapi sedikit sekali menuntut dan mengendalikan mereka. Pengasuhan permisif memanjakan berkaitan dengan ketidakcakapan sosial anak terutama karena kurangnya pengendalian diri. Orangtua yang bersifat permisif memanjakan mengijinkan anak melakukan apa saja yang mereka inginkan. Akibatnya anak tidak pernah belajar mengendalikan perilaku dan selalu berharap mereka bisa mendapat semua keinginannya. Orangtua yang menganut pola asuh permisif memanjakan biasanya percaya bahwa kombinasi keterlibatan yang hangat dengan sedikit 85
International Conference on Education 2014 Official Conference Proceedings
Sabah, Malaysia
batasan akan menghasilkan anak yang kreatif dan percaya diri (Santrock, 2003). Barnadib (1986), menyatakan bahwa orang tua yang permisif, kurang tegas dalam menerapkan peraturan-peraturan yang ada, dan anak diberikan kesempatan sebebas-bebasnya untuk berbuat dan memenuhi keinginannya. Menurut Spock (1982), orang tua permisif memberikan kebebasan kepada anak untuk berbuat sekehendaknya dan lemah sekali dalam melaksanakan disiplin Pemilihan Karir Menurut kamus besar bahasa Indonesia pemilihan berarti proses, perbuatan atau cara memilih. Tujuan dari persiapan pemilihan karir adalah mempersiapkan diri untuk memilih bidang pekerjaan yang nantinya akan mereka tekuni. Masalah pilihan karir adalah masalah yang penting, sebab karir atau pekerjaan seseorang menentukan berbagai segi dari kehidupan, atau dengan kata lain, mempengaruhi gaya hidupnya (Sukadji, 2000). Namun masih banyak remaja yang kurang menyadarinya, pada umumnya remaja masih pada fase fantasi, yaitu memilih pekerjaan bukan berdasar minat dan kompetensi tetapi berdasar fantasi, fasilitas, dan kekayaan yang dimiliki seseorang yang menduduki jabatan itu (Sukadji, 2000). Pemilihan karir di sekolah, untuk menentukan jurusan atau program pendidikan, fakultas maupun jurusan merupakan pemilihan pendahuluan. Meskipun demikian pemilihan ini penting sebab mempengaruhi penyesuaian diri siswa terhadap tuntutan pendidikan yang akan dihadapi, dan kemungkinan kegagalan maupun keberhasilan dalam jurusan yang dipilihnya. Merumuskan pilihan karir di usia remaja adalah suatu proses yang tidak mudah. Remaja yang mengalami kebingungan tentang identitas dirinya sendiri, bisa jadi menemui kesukaran untuk menerjemahkan bayangan dirinya dalam pemilihan karir. Konsekuensinya mereka menolak membuat keputusan, sehingga pada saat mereka lulus kurang memiliki waktu untuk merencanakan dengan bijak, saat keputusan akhirnya harus mereka buat (Seligman,1994). Pada akhirnya pemilihan karir bukanlah sekedar memilih satu dari sekian minat saja. Remaja perlu mempunyai kesadaran akan dirinya, mengenali ciri-ciri kepribadian yang menonjol pada dirinya, mengenali potensi intelektualnya, mengetahui kelemahan dan kekuatan kognitifnya, mengenali bidang-bidang keterampilannya, mengetahui nilai-nilai hidupnya, dan mengerti apa perbedaan antara dirinya dan remaja lainnya (Moesono dalam Hawadi, 2004). Semua ini sangat bermanfaat untuk menunjang dalam pemilihan karirnya. Trait Factor Parsons (dalam Seligman, 1994), dinyatakan bahwa dalam pemilihan karir yang bijaksana terdapat tiga faktor umum yang perlu dipertimbangkan yaitu: 1. Pemahaman terhadap diri sendiri, bakat, kemampuan, minat, keterbatasan dan kualitas-kualitas yang ia miliki. 2. Pengetahuan mengenai persyaratan dan tuntutan untuk dapat sukses, keuntungan dan kerugian, imbalan, kesempatan, dan masa depan dari suatu pekerjaan. 3. Menghubungkan kedua hal di atas secara rasional. Pandangan trait factor terutama menyoroti bagaimana seseorang akan membuat pilihan karir (vocational choice) yang dapat dipertanggungjawabkan (Winkel,1997). Pandangan trait and factor sebagaimana terungkapkan dalam karya-karya tulis Parsons menunjukkan tiga langkah yang harus diikuti dalam memilih suatu pekerjaan yang sesuai, yaitu: Pertama, pemahaman diri yang jelas mengenai kemampuan otak, bakat, minat, berbagai kelebihan dan kelemahan, serta ciri-ciri yang lain. Kedua, pengetahuan tentang keseluruhan persyaratan yang harus dipenuhi supaya dapat mencapai sukses dalam berbagai bidang pekerjaan, serta tentang balas jasa dan kesempatan untuk maju dalam semua bidang pekerjaan. Ketiga, berfikir secara rasional mengenai hubungan antara kedua kelompok fakta di atas. Jadi langkah yang pertama. menggunakan analisis diri; langkah kedua memanfaatkan informasi pekerjaan (vocational information); langkah yang ketiga menerapkan kemampuan untuk berfikir rasional guna menemukan kecocokan antara ciri-ciri kepribadian, yang mempunyai relevansi terhadap kesuksesan atau kegagalan dalam suatu pekerjaan, dengan tuntutan kualifikasi dan kesempatan yang terkandung dalam suatu pekerjaan. Seseorang dapat menemukan pekerjaan yang cocok baginya dengan cara mengkorelasikan kemampuan, potensi dan wujud minat yang dimilikinya dengan kualitas-kualitas yang secara objektif dituntut bila akan memegang jabatan tertentu (Winkel,1997). 86
International Conference on Education 2014 Official Conference Proceedings
Sabah, Malaysia
Program Akselerasi Program akselerasi merupakan salah satu bentuk layanan pendidikan bagi anak berbakat akademik. Secara konseptual, pengertian akselerasi diberikan oleh Pressey (dalam Armstrong & Savage, 1983), adalah suatu kemajuan yang diperoleh melalui program pendidikan, pada waktu yang lebih cepat dari rata-rata, atau umur yang lebih muda dibandingkan yang konvensional. Dari definisi di atas terdapat tiga catatan. Pertama perlu adanya kemantapan eksistensi dari satu kumpulan materi, tugas, keterampilan dan persyaratan pengetahuan dari setiap jenjang pengajaran. Kedua mempersyaratkan adanya kecepatan dari kemajuan yang diinginkan dan spesifik, melalui kurikulum yang cocok untuk semua siswa. Ketiga adanya dugaan bila dibandingkan dengan usia teman sebaya, siswa yang cerdas akan mampu lebih cepat melaju melalui suatu program pengajaran yang standar (Hawadi, 2004). Program akselerasi menurut pedoman penyelenggaraan program percepatan belajar Depdiknas (2002), yaitu pemberian layanan pendidikan sesuai potensi siswa berbakat dengan memberi kesempatan mereka untuk menyelesaikan program reguler dalam jangka waktu yang lebih cepat dibanding teman-temannya. Dalam hal belajar dapat diorganisasikan dalam banyak cara untuk memberikan hal terbaik bagi anak berbakat untuk mengekspresikan aktivitas intelektual dan bakat secara utuh dan lebih cepat (Khatena,1992). Salah satu cara untuk memenuhi kebutuhan pendidikan anak berbakat adalah melalui program akselerasi. Feldhusen, Proctor, dan Black (dalam Hawadi, 2004), mengemukakan bahwa akselerasi diberikan untuk memelihara minat siswa terhadap sekolah, mendorong siswa agar mencapai prestasi akademis yang baik dan untuk menyelesaikan pendidikan dalam tingkat yang lebih tinggi demi keuntungan dirinya sendiri dan masyarakat. Oleh karena masyarakat membutuhkan orang-orang yang berkemampuan luar biasa ini untuk menghadapi tuntutan masa depan secara inovatif (Clark, 1983). METODE DAN SAMPLING Penelitian ini adalah jenis penelitian korelasi (correlation study). Subyek Penelitian Subyek penelitian adalah siswa kelas 2 program akselerasi dari empat SMA yaitu:SMA Labschool Komplek UNJ Jakarta Timur, SMA Labschool Kebayoran, SMA Islam Al-Ashar Syifa Budi Kemang, dan SMAN 8 Bukit Duri Tebet Jakarta Selatan. Teknik Penarikan Sampel dan Jumlah Sampel Pengambilan sampel dilakukan secara purposive sampling, dan convenience sampling. Penggunaan kedua teknik sampling ini didasari oleh fakta bahwa dalam penelitian ilmu-ilmu sosial dan perilaku dapat menggunakan kombinasi yang paling sesuai untuk suatu penelitian (Tashakkori & Teddlie, 1998). Purposive sampling, ciri dari sampling ini adalah penilaian dan upaya cermat untuk memperoleh sampel representatif dengan cara meliputi wilayah-wilayah atau kelompok-kelompok yang diduga sebagai anggota sampelnya (Kerlinger, 2000). Sedangkan convenience sampling cirinya adalah ketersediaan dan kemudahan pengumpulan data. Mengenai besarnya sampel yang dapat diterima dalam penelitian korelasional minimal 30 subyek. (Sukadji, 2000). Alat Ukur yang Digunakan Alat ukur yang digunakan untuk menjawab hipotesis dalam penelitian ini adalah dua instrumen penelitian yaitu 1.Skala Pola Asuh Alat untuk mengukur pola asuh dibuat berdasarkan pandangan Baumrind (Santrock, 2003), yang terdiri dari tiga aspek pola asuh yaitu: otoriter, otoritatif, dan permisif yang terbagi menjadi permisif neglectful dan permisif indulgent. Alat ukur ini biasanya dikembangkan sendiri oleh peneliti dan disesuaikan dengan kepentingan dan tujuan masing-masing penelitian, Biasanya skala yang dikembangkan mengikuti model summated rating scale atau model skala Likert.
87
International Conference on Education 2014 Official Conference Proceedings
Sabah, Malaysia
Tabel1. Butir Skala Pola Asuh No.
1
Aspek
Otoriter
Indikator
1. 2. 3. 4.
2
Otoritatif
1.
Nomor Butir Pernyataan
Orang tua berkuasa penuh Bersifat membatasi dan menggunakan hukuman Memaksakan kehendak Melakukan sedikit komunikasi verbal.
15, 18, 41, 42.
Orangtua dan anak memiliki
1, 16, 19, 32.
Total
21, 22, 25. 6, 28, 30, 46.
15
12, 24, 33, 35.
kekuasaan seimbang 2.
Mendorong untuk bebas tapi tetap ada batasan.
26, 27, 29, 34, 40.
3.
Komunikasi dua arah
4, 13, 31, 39.
4.
Sikap orangtua hangat dan
14, 17, 37, 45.
17
membesarkan hati
3
Permisif
1.
Anak berkuasa penuh
7, 8, 36.
2.
Bersifat tidak membatasi dan tidak menggunakan hukuman
3, 9, 20, 44.
3.
4.
Jumlah
2.
Orangtua selalu memenuhi keinginan anak (memanjakan) Orangtua tidak peduli dengan apa yang dilakukan anak
14 10, 43. 2, 5, 11, 23, 38
46
Skala Pemilihan Karir Pembuatan alat ukur pemilihan berdasarkan pandangan trait and factor yang diungkap Parsons dan Wiliamson bahwa, seseorang dapat menemukan pekerjaan yang cocok dengan mengkorelasikan kemampuan, potensi, dan wujud minat yang dimilikinya dengan kualitas-kualitas yang secara obyektif menjadi tuntutan dunia kerja. Pandangan ini menyoroti bagaimana seseorang akan membuat pilihan karir yang dapat dipertanggungjawabkan (Winkel, 1997). Alat untuk mengukur pemilihan karir dibuat berdasarkan aspek-aspek pemahaman diri, pengetahuan dan persyaratan/kualifikasi karir, dan menghubungkan kedua faktor sebelumnya secara rasional.
88
International Conference on Education 2014 Official Conference Proceedings
Sabah, Malaysia
Tabel. 2. Butir Skala Pemilihan Karir No. 1.
Aspek Pemahaman diri
Indikator
Nomor Butir Pernyataan
Total
a. Informasi tentang diri - bakat khusus
20
- minat
27, 29
- kreativitas
13, 18
- kemampuan intelektual
43
b. Sifat kepribadian - rajin dan kerja keras
7, 16,
- berani bicara
28
- dapat diandalkan
4
- potensi kepemimpinan
6, 38
- tahan dalam situasi
5, 33
penuh ketegangan - senang bekerjasama
26*
c. Kemampuan kognitif - mampu menguraikan pikiran secara lisan dan tulisan
22 35
- mampu mengatur waktu
9, 39
- mampu berkomunikasi dalam bahasa asing
25, 42
d. Nilai hidup dan cita-cita e. Keterbatasan diri
23 21
2.
Pengetahuan kualifikasi karir
Mengumpulkan informasi - informasi pendidikan
2, 19, 31
- informasi dunia kerja - imbalan
1, 11,14, 30 32*
- keuntungan dan
8, 12.
Kerugian 3.
Menghubungkan kedua hal di atas secara rasional
Jumlah Butir
13
17, 36, 41
a.
Kecocokan antara kapasitas dan pilihan karir
3, 15, 22, 37*
b.
Kesesuaian antara pertimbangan rasional dengan tuntutan dunia kerja
10, 24, 34, 40.
8
43
89
International Conference on Education 2014 Official Conference Proceedings
Sabah, Malaysia
TEMUAN DAN PEMBAHASAN Jumlah subyek dalam penelitian ini adalah 47 siswa. Pada tabel., jumlah subyek penelitian yang berjenis kelamin perempuan lebih banyak daripada laki-laki, dengan perbandingan 53.2 % siswa perempuan dan 46.8 % siswa laki-laki (25: 22), akan tetapi perbandingannya dapat dikatakan cukup seimbang. Tabel 3. Gambaran Subyek Berdasarkan Sekolah dan Jenis Kelamin Perempuan
No
Nama SMA
1
∑
Laki-laki Frekuensi
Frekuensi
%
Frekuensi
%
%
SMA Labschool Jakarta
6
12.8
8
17.0
14
29.8
2
SMA Labschool Kebayoran
7
14.8
4
8.5
11
23.3
3
SMA AlAzhar Syifa Budi
6
12.8
3
6.4
9
19.2
4
SMAN 8
6
12.8
7
14.9
13
27.7
Total
25
53.2
22
46,8
47
100
Analisis Hasil Penelitian Dari data hasil penelitian yang dianalisa dengan penghitungan aplikasi program komputer SPSS 11.5, diperoleh hasil analisis sebagai berikut: 1. Untuk mengetahui apakah ada hubungan dan sejauhmana hubungan antara pola asuh otoriter dengan pemilihan karir, dilakukan penghitungan korelasi Pearson Product Moment. Hasil penghitungan menunjukkan tidak adanya korelasi yang positif dan signifikan dengan r = - 0,025 dengan nilai signifikansi 0,866 (p < 0,05). 2. Untuk mengetahui apakah ada hubungan dan sejauhmana hubungan antara pola asuh otoritatif dengan pemilihan karir, dilakukan penghitungan korelasi Pearson Product Moment. Hasil penghitungan menunjukkan adanya korelasi yang positif dan signifikan dengan r = 0,355 dengan nilai signifikansi 0,014 (p < 0,05). 3. Untuk mengetahui apakah ada hubungan dan sejauhmana hubungan antara pola asuh permisif dengan pemilihan karir, dilakukan penghitungan korelasi Pearson Product Moment. Hasil penghitungan menunjukkan tidak adanya korelasi yang positif dan signifikan dengan r = - 0,138 dengan nilai signifikansi 0,356 (p < 0,05). Hasil pengujian hipotesis yang pertama menunjukkan bahwa pola asuh otoriter tidak memiliki korelasi positif secara signifikan dengan pemilihan karir. Merujuk pada teori pola asuh Baumrind, pola asuh otoriter adalah gaya pengasuhan yang membatasi dan bersifat menghukum yang menuntut anak untuk mengikuti petunjuk atau perintah orangtua dan sangat menghargai kerja dan usaha. Orangtua yang menganut pola asuh otoriter membuat batasan dan kendali yang tegas terhadap remaja dan hanya melakukan sedikit komunikasi verbal (Santrock, 2002). Anak yang tumbuh dalam keluarga yang menerapkan pola asuh otoriter secara langsung maupun tidak langsung, biasanya kurang 90
International Conference on Education 2014 Official Conference Proceedings
Sabah, Malaysia
berani dan ragu dalam membuat suatu keputusan, karena sudah dibiasakan mengikuti apa yang telah ditetapkan orangtua. Semakin dominan orangtua menerapkan pola asuh otoriter di rumah maka anak cenderung semakin tergantung dan tidak terampil dalam pemilihan karir. Secara singkat dapat dikatakan hubungan negatif dan tidak signifikan ini terjadi, karena dalam keluarga yang menerapkan pola asuh otoriter orangtualah yang menjadi pusat kekuasaan, sementara anak hanya mengikuti dan melaksanakan apa yang menjadi keputusan orangtua. Sesuai dengan pendapat Barnadib (1986), orang tua yang otoriter tidak memberikan hak kepada anaknya untuk mengemukakan pendapat serta mengutarakan perasaan-perasaannya. Padahal dalam pemilihan karir dituntut suatu sikap dan tindakan yang aktif dari anak untuk mengumpulkan sejumlah informasi, tentang dirinya sendiri, maupun pengetahuan persyaratan karir dan mencoba menghubungkan kedua faktor tersebut secara rasional, tanpa harus menunggu perintah dari orangtua. Hal ini sesuai dengan pernyataan Santrock (2002), remaja yang orangtuanya otoriter seringkali merasa cemas akan perbandingan sosial, tidak mampu memulai suatu pekerjaan, dan memiliki kemampuan komunikasi yang rendah. Sehingga tidak mengherankan jika remaja yang berasal dari keluarga yang orangtuanya menerapkan pola asuh otoriter memiliki kecendrungan tidak mampu untuk mengungkapkan diri, mengungkapkan perasaan dan keinginan dengan baik, karena khawatir akan disalahkan dan di hukum oleh orangtua. Biasanya orang tua yang menerapkan pola asuh otoriter memaksa anak untuk mematuhi nilai-nilai yang mereka anut, dan mencoba membentuk lingkah laku anak sesuai dengan tingkah lakunya serta cenderung mengekang keinginan anak (Stewart & Koch, 1983). Kemungkinan anak untuk terlibat secara aktif dalam pemilihan karir sangat kecil, jadi logis jika pola asuh otoriter tidak memiliki korelasi yang positif dan signifikan terhadap pemilihan karir Pengujian hipotesis ke dua diperoleh hasil bahwa pola asuh otoritatif memiliki korelasi yang positif dan signifikan dengan pemilihan karir. Hal ini menunjukkan bahwa pola asuh otoritatif memiliki sumbangan yang positif dan signifikan dengan pemilihan karir, karena dalam pola asuh otoritatif anak didorong untuk bebas mencari dan mengumpulkan informasi bahkan mengambil suatu keputusan. Orangtua hanya bersifat mengarahkan dan memberikan bimbingan, sehingga anak tumbuh menjadi pribadi yang berani dan bertanggungjawab serta terampil dalam berkomunikasi. Semua ini sangat dibutuhkan anak dalam mempersiapkan karirnya. Sesuai hasil penelitian Lutfi (Nurhidayah, Nurhidayah, dkk, dalam Shochib,1998), mengindikasikan bahwa dalam pola asuh dan sikap orangtua yang demokratis (otoritatif) ada komunikasi yang dialogis antara anak dan orangtua, dan ada kehangatan yang membuat anak merasa diterima oleh orangtua sehingga ada pertautan perasaan. Komunikasi verbal timbal balik yang berlangsung dengan bebas, orangtua bersikap hangat dan bersifat membesarkan hati, membuat anak berani menghadapi resiko dan tidak ragu untuk mengeksplorasi berbagai kemampuan yang dimilikinya. Mereka berusaha menambah pengetahuan dari waktu ke waktu dan berani membuat keputusan mengenai karir. Selain itu anak percaya bahwa orangtua selalu siap membantu dan membimbing mereka. Semakin dominan orangtua menerapkan pola asuh otoritatif di rumah maka anak cenderung semakin terampil dalam pemilihan karir. Hasil pengujian hipotesis ke tiga menunjukkan bahwa pola asuh permisif tidak memiliki korelasi yang positif dan signifikan dengan pemilihan karir. Secara teoritis ini sesuai, karena kebebasan yang luas tanpa kendali dari orangtua, membuat anak bebas melakukan apapun tanpa harus mempertanggungjawabkan perbuatannya kepada orangtua. Sehingga anak tumbuh menjadi pribadi yang kurang bertanggungjawab. Terlebih jika kendali sepenuhnya diberikan kepada anak Secara tidak langsung dapat mengakibatkan anak juga kurang terlalu memperhatikan hal-hal yang berhubungan dirinya termasuk mengupayakan untuk mempersiapkan diri dan berusaha mencari tahu tentang sesuatu hal yang berhubungan dengan pemilihan karir. Menurut Spock (1982), orangtua permisif memberikan kebebasan kepada anak untuk berbuat sekehendaknya dan lemah sekali dalam melaksanakan disiplin. Jadi logis jika pola asuh permisif tidak memiliki hubungan yang positif dan signifikan dengan pemilihan karir. Semakin dominan pola asuh permisif maka semakin rendah pemilihan karir siswa. Keterbatasan Penelitian Penelitian ini memiliki sejumlah keterbatasan antara lain: 1. Sampel penelitian berasal dari empat kelas akselerasi dari sekolah yang berbeda. Ada kemungkinan masing-masing sekolah mungkin memiliki perbedaan dalam budaya dan suasana belajarnya, sehingga 91
International Conference on Education 2014 Official Conference Proceedings
Sabah, Malaysia
sebaiknya berasal dari sekolah-sekolah yang memiliki kondisi belajar yang homogen. Perbedaan asal sekolah ini mungkin saja dapat mempengaruhi hasil penelitian, meskipun ini semua dilakukan karena keterbatasan populasi kelompok ini, dan tidak semua sekolah menyediakan layanan program akselerasi. 2. Jumlah sampel yang tidak terlalu besar, dan terbatas hanya pada anak kelas 2 (dua) program akselerasi, kemungkinan akan mempengaruhi hasil dari penelitian ini. Selain itu penelitian ini dilakukan di wilayah perkotaan di mana akses informasi sangat terbuka dan mudah diperoleh, sehingga perlu berhati-hati jika ingin melakukan generalisasi pada setting yang berbeda. KESIMPULAN Kesimpulan penelitian adalah sebagai berikut : 1.
2.
3.
Tidak ada hubungan yang positif dan signifikan antara pola asuh otoriter dengan pemilihan karir pada siswa program akselerasi. Dengan demikian, hipotesis pertama yang menyatakan ada hubungan yang positif dan signifikan antara pola asuh otoriter dengan pemilihan karir siswa program akselerasi. Ditolak. Jadi pola asuh otoriter orangtua tidak berhubungan dengan pemilihan karir siswa. Ada hubungan yang positif dan signifikan antara pola asuh otoritatif dengan pemilihan karir pada siswa program akselerasi. Dengan demikian, hipotesis ke dua yang menyatakan ada hubungan yang positif dan signifikan antara pola asuh otoritatif dengan pemilihan karir siswa program akselerasi. Diterima. Jadi pola asuh otoritatif orangtua berhubungan dengan pemilihan karir siswa Tidak ada hubungan yang positif dan signifikan antara pola asuh permisif dengan pemilihan karir pada siswa program akselerasi. Dengan demikian, hipotesis ke tiga yang menyatakan ada hubungan yang positif dan signifikan antara pola asuh permisif dengan pemilihan karir siswa program akselerasi. Ditolak. Jadi pola asuh permisif orangtua tidak berhubungan dengan pemilihan karir siswa.
REFERENSI Aiken, L. R. (2000). Psychological testing and assessment. (10th.ed). Boston: Allyn & Bacon Amstrong, D.G.,& Savage, T.V.(1983). Secondary education an introduction. USA: Macmillan Publishing Barnadib, S. I. (1986). Pengantar pendidikan sistematis. Yogyakarta: FIP IKIP Yogyakarta Berns, R.M. (1985). Child, family and community. New York. Holt Rinehart & Winston Berger, E.H.(1995). Parents as partners in education. (4th.ed). New Jersey: Prentice Hall.Inc Clark, B. (1983). Growing up gifted. Ohio: Charles E. Merril Publishing Company A Bell & Howell Company Cronbach, L. J. (1991). Essentials of psychological testing. New York: Harper & Row Publisher Depdiknas. (2002). Pedoman penyelenggaraan program percepatan belajar (SD, SLTP, dan SMU) Satu model pelayanan pendidikan bagi peserta didik yang memiliki kecerdasan luar biasa. Jakarta: Departemen Pendidikan Nasional Direktorat Jenderal Pendidikan Dasar dan Menengah Direktorat Pendidikan Luar Biasa Duval, E.M., & Miller, B.C. (1985). Marriage and family development. (6 th.ed) New York: Harper & Row Publisher Inc Gibson, Ivancevich, & Donelly. (1995). Organizations. (8th.ed). Richard D. Irwin, Inc. Gilbert, L.A. (1993). Two career/one family: the promise of gender equality. Newbury Park: Sage Publication.Inc Guilford J.P., & Fruchter, B. (1981). Fundamental statistics in psychology and education. (6th.ed). New York: McGraw Hill-Inc Hawadi, L. F., (2004). Akselerasi. Jakarta:Grasindo Hurlock, E.B. (1980). Psikologi perkembangan suatu pendekatan sepanjang rentang kehidupan. (5 th .ed). Jakarta: Penerbit Erlangga Isaacson, L.E., & Brown, D. (1996). Career information, career testing principles applications, and issues. (3rd.ed). California: Brooks Cole Publishing 92
International Conference on Education 2014 Official Conference Proceedings
Sabah, Malaysia
Kerlinger, F. N. (2000). Foundations of behavioral research. (3th.ed). Orlando Florida: Harcourt Brace College Publishers Khatena, J. (1992). Challenge and response for education. Itaca Illinois: FE Peacock Publishing Inc. Kitano, M. K., & Kirby, D. F. (1986). Gifted educations: a comprehensive view. Boston: Little Brown and Company. Mayangsari A.R. (2001). Hubungan antara tingkat kematangan karir dengan persepsi terhadap peran guru BK dalam perencanaan pendidikan dan karir pada siswa program percepatan belajar dan program reguler. Skripsi (Tidak Diterbitkan) Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia. Mayo, A. (1991). Managing careers, strategies for organizations. London: Institute Personal of Managemen Pedhazur, E.J., & Pedhazur Schmelkin, L. (1991). Measurement design and analysis: an integrated approach. New Jersey: Lawrence Erlbaum Assosiates Perino, S.C., & Perino, J. (1981). Parenting the gifted developing the promise. USA: R.R Bowker Company Robbins, S.P. (1998). Essential of organizational behavior. (2nd.ed). New Jersey: Prentice Hall Santrock, J. W. (2002). Life – span development. (5th.ed). Madison: Brown & Benchmark, Times Mirror International Publisher Ltd. Santrock, J. W. (2003). Adolescence. (7th.ed). USA: McGraw-Hill Companies Seligman, L. (1994). Development career counseling and assessment. (2 nd.ed). Thousand: Sage Publications, Inc Semiawan, C. R. (1997). Perspektif pendidikan anak berbakat. Jakarta: PT. Grasindo Semiawan, C. R. (2002). Pendidikan keluarga dalam era global. Jakarta: PT. Prenhallindo Shochib, M. (1998). Pola asuh orangtua dalam membantu anak mengembangkan disiplin diri. Jakarta: PT. Rineka Cipta Spock, B. (1982). Membina watak anak. Terjemahan Wunan JK. Jakarta: Penerbit Gunung Jati. Stewart & Koch. (1983). Chidren development throught adolescence, Canada: JohnWiley and Sons, Inc Sukadji, S. (2000). Menyusun dan mengevaluasi laporan penelitian. Jakarta: Universitas Indonesia. Sukadji, S. (2001). Psikologi pendidikan dan psikologi sekolah. Depok: Lembaga Pengembangan Sarana Pengukuran dan Pendidikan Psikologi (L.P.S.P3.). Fakultas Psikologi Universitas Indonesia. Tashakori, A., & Teddlie, C. (1998). Mixed methodology combining qualitative and quantitative approaches. USA: Sage Publication, Inc. Tarmudji, T. (2003). Hubungan pola asuh orangtua dengan agresivitas remaja. Jurnal Pendidikan. http://www.Depdiknas.Go.Id Utami Munandar, S. C. (1999). Kreativitas dan keberbakatan strategi mewujudkan potensi kreatif dan bakat. Jakarta: Pustaka Utama Winkel, W.S. (1997). Bimbingan dan konseling di institusi pendidikan. Jakarta: Grasindo
93
International Conference on Education 2014 Official Conference Proceedings
Sabah, Malaysia
MEASURING INTEREST OF TEACHING PROFESSION Muchlas Suseno1 1
Department of Primary Education, Postgraduate Program, State University of Jakarta
[email protected]; and
[email protected]
Abstract The research was conducted to standardize an instrument to measure interest towards teaching profession, involving 520 students of the department of primary education in Universitas Negeri Jakarta. Data were analyzed using factor analysis. Using Exploratory Factor Analysis (EFA) six basic attributes to grow interest towards teaching profession were identified, including (1) family background, (2) working condition, (3) job requirement, (4) reward and remuneration, (5) responsibility, (6) idol. These attributes were, then, elaborated to yield 13 components and used to develop an instrument to measure interest toward teaching profession. In the empirical process of validation, using Confirmatory Factor Analysis (CFA), 68 items, out of 130, were claimed to be significantly valid and reliable. The research reveals that all valid and reliable items were extracted from the attributive variables except the ones developed from the last attribute - idol. The findings might be useful to identify and classify students in teaching colleges based on their interest toward teaching profession so that expectedly they might become professional teachers. Other stake holders might also take benefits from these research findings. Keywords: Measuring interest, teaching profession
INTRODUCTION People in general put high expectation that teachers should play the ultimate role to educate their students. Such expected responsibility covers all the three domains, such as cognition, psychomotor, and affection. In respect to the last domain, affection, teachers should teach moral virtue and, more that they should also perform it in a daily basis. This means that they are expected to be morally upright individuals who display good character (Lumpkin, 2008). However, unfortunately, the high expectation is not accompanied by sufficient rewards and recognition. Teaching profession is not placed in a parallel line with other professions, such as medical doctors, and engineers. Therefore, it is not surprising if teaching profession is not attractive, in the sense that it fails to catch the attention of many people to pursue. The low attractiveness of teaching profession has become burning issues for decades and has got serious attention from many experts. Their arguments have been published out in various medias, such as articles posted in newspapers and scholar text books. One of the ‘vocalists’, in Indonesian contexts, who vows such a discourse is Tilaar (1998) saying that teaching profession, recently, is about to extinct because of two reasons, (1) it fails to attract attention and interest of best candidates, that is the best graduates of secondary schools (SS), and (2) people in general, do not support the teaching profession with recognition and adequate reception. This is to say that a profession will survive, flourish, and last lifelong when people give adequate recognition and reception indicated by high interest of young generation to pursue it. It is admitted that within a few years recently, there is an increasing enrolment of SS graduates to study in various teaching institutions all over the country in Indonesia. However, such an increase might not automatically show and relate to the interest toward teaching profession. This is possible because decision made by SS graduates to choose departments and educational institutions for their further study might be influenced by many factors in addition to interest. One, among other things, is motivation which is divided in two kinds; motivation toward success (MS) and motivation to avoid failure (MAF ) (Rosser and Nicholson (1984: 404). People whose MS is higher than their MAF will choose 94
International Conference on Education 2014 Official Conference Proceedings
Sabah, Malaysia
work activities, including major study, with mediocre level of difficulty, whereas those with higher MAF than MS will choose activities with lower level of difficulty. When matched with interest toward work profession, the first characteristic tends to be realistic to choose preferred profession, whereas the latter not realistic, in the sense that they prefer jobs with qualifications above or below their standard competence (Mahone as cited by Rosser and Nicholson, 1984: 406). Such is significant to summarize that the high enrolment of students in educational programs of teaching institutions might not automatically show high interest of teaching profession. It is also worth mentioning that within the recent years, the Government of Republic of Indonesia (GoI) has made significant efforts to continuously develop and improve existing teachers through various interventions. The most significant effort is to give more remuneration as mandated by Law no 14 / 2005. Whether or not such remuneration contributes positive impact to improve quality teaching and school effectiveness needs a thorough discussion, for it will, in turn, relate to the adequacy of recognition and social reward paid by people in general. In this respect, however, Wirawan, et al. (1997: 76) reported that financial incentives have little impact to improve teaching effectiveness although, in addition, teaching profession is said to be prestigious but gets less recognition socially. The above description on the burden of the expected moral virtue and teaching responsibilities that teachers take, in contrast with reward and social recognition they get, will clearly explain why interest toward teaching profession is lacking. When such is true, there rises some questions, ‘Do they who study in various teaching colleges, whose number is increasing every year, possess high and true interest toward teaching profession? Will they love the profession and share high commitment on the teaching practices? These two questions are very basic and fundamental to respond to the demand of quality teaching that people expected as far as quality education is concerned. Other rising questions are significant to discuss, such as, ‘Is it positively true that interest toward teaching profession is decreasing? ‘How to measure interest toward teaching profession? To cope with these questions, particularly the last one, hence this research is conducted.
LITERATURE REVIEW Basic concept of interest toward teaching profession Interest, in general, grows in line with child development based on two underlying factors; genetics and environment. The latter is said to be more dominant than the first factor (Carson, 2002:2). Interest consists of two dimensions; cognitive and affective, and grows in line with maturity of thought related to life experiences (Hurlock, 1978:422). There are seven ways applicable to identify children’s interest within their early ages; (1) children’s play activities, (2) questions frequently raised, (3) everyday’s topics of talk, (4) preferences of reading books, (5) kinds of spontaneous drawing, (6) wants and hopes, (7) direct statement of interests. Above all, it is important to note that such identification is not final because children’s interest changes in line with their developmental growth (Sprinthall and Collins, 1984: 444). From the other angel, Hurlock (1978: 446) identified eight factors to influence growth of interest toward job and work preference; (1) attitude of parents, (2) job’s prestige and reputation, (3) idols, (4) self competence, (5) gender, (6) opportunity of freedom in the workplace, (7) cultural stereotypes, (8) life experiences. To simplify the above description, Rosenberg, as cited by Kretch, Crutchfield and Ballachey (1962: 130) claimed that interest and job preferences are mostly determined by psychological conditions, such as (1) cognition, (2) hopes and values, (3) interpersonal traits. Cognition refers to the job seeker’s basic comprehension about the jobs and profession they are interested in, consisting of (a) detail information about such profession, (b) required training and education, (c) required practical skills, (d) job description and remuneration, (e) job’s prestige. Hopes and values relates to the degrees of satisfaction, comfort, and safety. This factor, in particular, is said to be the key determinant, as far as interest toward job and profession is concerned. In respect to job satisfaction, Rosenberg identified ten indicators related to what a profession can offer to its job doers such as (1) adequate opportunities to develop, (2) physical reward and remuneration, (3) opportunities to express creativities, (4) prestige and social status, (5) access to work in a team and make social, interpersonal relation, (6) safety and comfort, (7) free supervision and control from others, (8) develop leadership practices, (9) opportunities to set up travels and journeys during vacations, and (10) access to assist others for social reasons. 95
International Conference on Education 2014 Official Conference Proceedings
Sabah, Malaysia
With regard to teaching profession, in particular, Lortie as cited by Srping (1996: 35) claimed that psychological factors such as, work satisfaction and job usefulness are of prime factors for teachers to love their profession. This is possible because of the ample accessibility to interact with their students. In a broader context they argue there are three kinds of reward, such as extrinsic, psychic, and ancillary, but the second reward is considered primary as far as satisfaction in teaching is concerned. To exemplify they mention that salary and social recognition are extrinsic rewards, teachers’ autonomy and creativity are psychic rewards, and job security as well as opportunity for summer time vacation are ancillary. In line with such a proposition, Ellis, Cogan, and Howey (1981:5) synthesize that people are interested in teaching profession because of four reasons, (1) they have access to assist children in learning,( 2) they have ample time for summer off, (3) they are respected in a social life, and (4) they feel that teaching is challenging. These four motives flourish and prosper the psychological satisfaction that adds teachers’ affection as far as teaching profession is concerned. To support this, Centra (1993:12) in particular argued that psychological satisfaction might drive and generate internal motivation which, in turn, would influence teachers in performing their roles and responsibilities. Teachers with high level of internal motivation manage to set themselves free from external pressures, including demand of remuneration and related things. They feel secured and convinced that the true rewards of their profession are found in their activities of teaching. There are three features of internal motivation, according to Centra, such as (1) meaningfulness of teaching activities, (2) accountability of teaching activities (3) comprehensibility of teaching output and outcomes. The first feature consists of three propositions; (a) teachers find meaning in their teaching activities and are challenged to do their best, (b) they feel convinced that their teaching activities yield broader outcomes, (c) they feel convinced they possess proper competence to respond to the challenges. The second feature deals with teachers’ responsibility and autonomy. It is to say that they are fully responsible with the teaching outcome and, therefore, they’d work independently. The third feature refers to the feedbacks they are continuously expecting related to their teaching activities. The above description is significant to synthesize that interest towards teaching profession consists of six attributes and can be elaborated to make 13 components, covering both cognitive and affective dimensions respectively. Such components are presented below. Table 1. Components of interest toward teaching profession No
Attribute
1 2
Family Background Working Condition
3 4 5 6
Component
Parents’ attitude towards teaching profession Job’s prestige Availability of work autonomy Availability of career path planning Availability of peer socialization Availability of summer off Job security Availability of altruism Job Requirement Clarity of required education and training Clarity of required skills and competence Reward & Remuneration Salary and recognition Responsibility Clarity of Job responsibilities Idol Existence of idols
Based on the components above, hence, a table of specification could be developed. Such is urgent to construct indicators of the questionnaire to measure interest toward teaching profession. The specification is presented below.
96
International Conference on Education 2014 Official Conference Proceedings
Sabah, Malaysia
Table 2. Specification of the instrument Dimention
Component
Indicator
Note: Cognitive refers to respondents‘ comprehension about description stated in the indicators. Affective refers to their satisfaction and pride about description stated in the indicators. Coginitive
Parents‘ attitude Job’s prestige Work autonomy Career panning Peer socialization Summer off Job security Altruisme Education & training Skills & competence Reward & remuneration Job responsibility
Idols Affective
Parents‘ attitude Job’s prestige Work autonomy Career panning Peer socialization Summer off Job security Altruisme Education & training Skills & competence Reward & remuneration Job responsibility
Idols
Support children’s preferences of teaching profession Teaching profession is superb and respected Ample opportunity for work autonomy Ample opportunity for creativy and career development Ample opportunity for peer socialization Ample opportunity to set up vacation with family Assurance of retirement allowance and free from lay off Ample opportunity to facilitate and help other people Graduate from a teaching institution and completing continuous training Mastering the content subjects, paedagogy, classroom management, motivational skills Receive material and non materarial rewards Delivering acqired subject, and building students‘ personality and character Having idols of teaching profession Support children’s preferences of teaching profession Teaching profession is superb and respected Ample opportunity for work autonomy Ample opportunity for creativy and career development Ample opportunity for peer socialization Ample opportunity to set up vacation with family Assurance of retirement allowance and free from lay off Ample opportunity to facilitate and help other people Graduate from a teaching institution and completing continuous training Mastering the content subjects, paedagogy, classroom management, motivational skills Receive material and non materarial rewards Delivering acqired subject, and building students‘ personality and character Having idols of teaching profession
METHOD AND SAMPLING This descriptive research was conducted in two phases to survey students’ interest and preferences toward teaching profession. The first phase was carried out to develop model of instrument to measure interest toward teaching profession, and the second phase was to validate such an instrument based on both theoretical and empirical evidences. For theoretical validation, six experts, working as a panel of judges, were asked to thoroughly and profoundly review the items in the instrument. They were, in particular, requested to (1) determine level of appropriateness between identified components of interest toward teaching profession and their theoretical constructs, (2) determine level of appropriateness between items developed in the instrument and the identified components of interest toward teaching profession, (3) review the clarity of sentences in all items of the instrument. The empirical validation was carried out twice involving 200 respondents for first validation and 520 students for second validation. The second empirical validation was conducted because 200 respondents involved in the first validation is below minimum requirement to fulfill, as far as validation 97
International Conference on Education 2014 Official Conference Proceedings
Sabah, Malaysia
of instrument of affective domain is concerned. With respect to such a validation, according to Gable (1986:175), the minimum number of respondent must be six times as many as total number of items in the questionnaire. In the validations the respondents were instructed to give their responses related to what is requested in the questionnaire. Data were analyzed using factor analysis in which the following steps were made, such as (1) verifying the items of questionnaire using Barlett’s test and Measure Sampling Adequacy (MSA, (2) extracting the selected items using statistical computation, Principle Component (PC) and Maximum Likelihood, to sort such items in groups called factors, (3) rotating the extracted items or factors. All the statistical computation above could be definitely done using SPSS program available in the computer. FINDINGS Based on theoretical validation, 42 items, out of 130, were rejected and the remaining items were taken to be verified empirically. Prior to such a validation, an inter-rater reliability was conducted to see the agreement among raters or judges on (1) appropriateness of components of interest toward teaching profession with the underlying theoretical construct by which such components were developed and (2) appropriateness of items with the related components of interest. The first computation gave rkk = 0,83 and the latter gave rkk = 0,95 which are higher than 0,7, meaning all panelists agreed that the instrument of interest toward teaching profession has been developed appropriately based on the related theories (Nunnally, 1978: 239). The first empirical validation, verifying 88 items of questionnaire, reveals the following results (1) 20 items possess MSA factor loading below 0.50, therefore to be deleted, (2) based on PC analysis 19 factors were extracted. This is to say that all 68 items in the questionnaire are valid to measure interest toward teaching profession and they are classified in 19 groups. All valid and reliable items were extracted from the attributive variables except the ones developed from the last attribute - idol. The reliability test to verify the valid questionnaire was carried out using Alpha Cronbach formula and gave coefficient correlation 0.926. The second empirical validation, verifying 88 items of questionnaire, reveals the following results (1) all 68 items possess MSA factor loading greater than 0.50, therefore no item to be deleted, (2) based on PC analysis 20 factors were extracted which is indicated by variance total eigen value greater than 1.0. In other words all 68 items in the questionnaire are valid to measure interest toward teaching profession and they are classified in 20 groups. The last step in the validation was matrix rotation in which 42 iteration was made and gave greatest factor loading (= 0.826) and the smallest (= 0.305). Figure below represents such an iteration.
Figure 1: Component Plot in rotated space with 42 iteration DISCUSSION It is worth to mention that the items of questionnaire developed from the last component - idol – gets factor loading lower than 0.50, therefore, they must be deleted. This possibly means there is only a few respondents, students of teaching institution, having idols and being proud of them. In other words, it is very possible that those who are working as teachers are not performing their best endeavor; therefore their students do not consider them as role models, as far as idols are concerned.
98
International Conference on Education 2014 Official Conference Proceedings
Sabah, Malaysia
With respect to the above statement, it is possible to hypothesize that teachers who are not performing best endeavor might not love their profession which is presumably caused by their low interest toward teaching profession. When such a circumstance happens, quality teaching might be lacking. Therefore, it is best to recommend that teaching profession should only be awarded for those who possess high interest. From the other angle it is to say that measuring interest toward teaching profession is a footstep to improve quality teaching. CONCLUSION In conclusion, this research reveals the followings: 1. The instrument is said to be significantly valid and reliable to measure interest toward teaching profession. 2. There are six attributes to induce interest toward teaching profession, such as (1) family background, (2) working condition, (3) job requirement, (4) reward and remuneration, (5) responsibility, (6) idol. 3. It is a must, rather than a need, to measure students’ interest toward teaching profession when selection of teacher candidates is concerned. 4. When such is applicable, it is very possible that quality teaching might be assured.
REFERENCES Carson, Andrew D., Retrieved from Vocational Psychology.com, (http://www.vocationalpsychology.com/essay6interest.htm). Centra, John A., Reflective Faculty Evaluation. (1993), San Francisco: Jossy-Bass Inc. Ellis, Arthur K., John J. Cogan, and Kenneth R. Howey, .,(1981), The Foundation of Education. Englewood Cliffs, N.J: Prentice-Hall, Inc. Gable, Robert, K., (1986), Instrument Development in the Affective Domain. Boston: Kluwer-Nijhoff Publishing. Hurlock, Elizabeth B., (1978), Developmental Psychology. Tokyo: McGraw-Hill Kogakusha Ltd. Krech, David, Richard S. Crutchfield, and Egerton L. Ballachey, Individual in Society. New York: McGraw-Hill Book Company, Inc., 1962. Lampkin, Angela. (2008). Teachers as Role Models Teaching Character and Moral Virtues. JOPERD, Volume 79 No. 2. Retrieved from http://eappwww.csuchico.edu/kine/documents/teachersasrolemodels.pdf Nunnally, Jum C., Psychomatric Theory, 2nd edition. (1978)’ New York: McGraw Hill Book Company. Rosser, A. Rosemary dan Glen I. Nicholson. (1984). .Educational Psychology: Principles in Practice Boston: Little, Brown & Company Limited. Spring, Joel, American Education, (1996), New York: McGraw Hill, Inc. Sprinthall, A. Norman dan W. Andrew Collins, (1984) .Adolescent Psychology: A Developmental View New York: Newbery Award Records, Inc. Tilaar H.A.R., Membina Profesi Guru Indonesia Abad 21. (1998). Jakarta: Lembaga Pengembangan Manajemen Pendidikan. Wirawan, Yapsir Gandhi, dkk. (1997) Insentif bagi Guru Sekolah Dasar, Laporan Penelitian. Jakarta: Direktorat Jendral Pendidikan Tinggi.
99
International Conference on Education 2014 Official Conference Proceedings
Sabah, Malaysia
KONTRIBUSI PENDIDIKAN SEJARAH DALAM PEMBENTUKAN KARAKTER GENERASI EMAS INDONESIA Prof. Dr. Tuti Nuriah M.Pd. 1 1
Universitas Negeri Jakarta
[email protected]
Abstrak: Makalah ini ditulis untuk mengkaji peran pendidikan sejarah dalam pembentukan karakter anak bangsa ini, terutama karakter generasi muda yang akan datang. Paradigma pendidikan sejarah harus dapat dirubah tidak hanya sekedar mengajarkan tentang fakta sejarah, tetapi lebih dari itu harus dapat mentransformasi nilai-nilai luhur tentang hidup dan kehidupan melalui makna sejarah kepada siswa melalui pembelajaran pada aspek kausalitas antara satu kejadian dengan kejadian lainnya, kemampuan berfikir yaitu kronologis, kritis, kreatif dan aplikatif, kepemimpinan dan inisiatif, nilai yakni kejujuran, kebenaran, kerja keras, mengambil resiko untuk tanggung jawab, dan bersikap menghargai prestasi berani berbuat, disiplin, cinta tanah air dan bangsa, berani berkorban, untuk kepentingan dan nama baik bangsa dan negara tanpa pamrih. Maka dari itu sangat dibutuhkan keberanian yang luar biasa seperti para pahlawan bangsa yang melawan penjajah, untuk merumuskan visi dan melaksanakan misi pendidikan sejarah yang lebih humanis dan universal dalam membentuk karakter generasi emas Indonesia mendatang. Kata kunci: Pendidikan sejarah, karakter. Abstract: This paper was written to examine the role of education in shaping the history of the nation 's character, particularly the character of the younger generation to come . The paradigm of the educational history must be changed not just teaching about historical facts, but rather than it should be able to transform the noble values of life and the meaning of life through the learning aspect of the causality between events with other events, the ability to think chronological, critical, creative and applicative, leadership and initiative, the value of honesty, truth, hard work, taking responsibility for the risk, and be dare do appreciate the achievement, discipline, love of homeland and nation, willing to sacrifice for the interests and good name of the nation and country selflessly. Therefore, it is required extraordinary courage like the hero of the nation against the invader, to formulate a vision and mission that educational history is more humane and universal in shaping the character of the next generation of Indonesian gold. Keywords: educational history, character.
PENDAHULUAN Pendidikan karakter anak bangsa, empat suku kata yang akhir-akhir ini senantiasa terdengar, berkumandang, dan sering diucapkan bahkan dijadikan slogan oleh berbagai pihak di negeri tercinta ini. Pendidikan karakter dalam program pemerintah seringkali dipadankan dengan kata pendidikan budaya. Budaya dan karakter sesungguhnya merupakan dua hal yang maknanya berbeda namun memiliki keterkaitan yang erat. Budaya diartikan sebagai keseluruhan sistem berpikir, nilai, moral, norma, dan keyakinan yang dihasilkan oleh masyarakat melalui proses belajar. Proses belajar ini terbentuk dari interaksi antara manusia dengan manusia, maupun manusia dengan lingkungan sekitar. Sedangkan karakter dimaknai sebagai watak, tabiat, akhlak, dan kepribadian seseorang yang terbentuk dari hasil internalisasi kebaikan yang diyakini dan kemudian digunakan sebagai landasan dalam berpikir, cara pandang, bersikap, dan bertindak. Konsep budaya dan karakter dikombinasikan dan tertuang utuh dalam Undang-undang nomor 20 tahun 2003 mengenai sistem pendidikan nasional, yaitu pendidikan budaya dan karakter bangsa diartikan sebagai proses internalisasi serta penghayatan nilai-nilai budaya dan karakter bangsa yang 100
International Conference on Education 2014 Official Conference Proceedings
Sabah, Malaysia
dilakukan siswa secara aktif dibawah bimbingan guru, kepala sekolah, dan tenaga kependidikan serta diwujudkan dalam kehidupannya di kelas, sekolah, dan masyarakat. Pertanyaannya, bagaimana peran dunia pendidikan utamanya pendidikan sejarah dalam pembentukan karakter anak bangsa ini, terutama karakter generasi muda yang akan datang. Pendidikan merupakan sistem yang seluruh komponennya terintegrasi dan saling mempengaruhi. Pembicaraan, diskusi dan solusi tentang pembentukan karakter harus berpijak di bumi, tidak hanya sekedar di atas kertas dan diruangan seminar saja. Sebagaimana yang dikemukakan oleh Sartono (1997), fungsi pelajaran sejarah antara lain adalah untuk mengenal siapa diri kita sebagai sebuah bangsa. Hal ini diperkuat oleh Cartwright (1994) yang menyatakan “our personal identity is the most important thing we possess”, kehilangan jatidiri berarti kehilangan eksistensi bangsa. Pendidikan, khususnya pendidikan sejarah hendaknya dapat memberikan kesadaran primordial, khususnya kepada generasi muda bahwa memperbaiki kondisi kini menjadi tanggung jawab bersama seluruh pihak yang terlibat dalam dunia pendidikan. Primordial sendiri memiliki makna watak yang melekat semenjak lahir, yang artinya kesadaran akan nilai-nilai positif dan nilai-nilai karakter sebuah bangsa sudah seharusnya tumbuh didiri kita semenjak dini sebagai bagian dari proses pembelajaran. Makalah ini akan membahas tentang “Kontribusi Pendidikan Sejarah dalam Pembentukan Karakter Generasi Muda”. Kurikulum yang dirancang sebagai sistem dalam rangka mengembangkan kualitas baik intelektual maupun moral siswa idealnya harus dapat menggerakkan peran vital setiap disiplin ilmu pengetahuan pada ranah kebudayaan. Carr, seperti dikutip Gardner mempertanyakan hakikat sejarah. “What is history?...”. “... history as a unending dialogue between the present and the past. Dialog antar masa depan dan masa lampau mengandung dua pengertian: pertama apa yang terjadi di masa lampau dan kedua mengapa peristiwa itu terjadi? Mengapa harus ada dialog antara masa sekarang dan masa lampau? Jawabannya adalah agar orang mendapatkan manfaat dari berbagai peristiwa yang terjadi di masa lampau tersebut. Sejarah sebagai ilmu harus merupakan pengetahuan yang mendatangkan manfaat bagi orang yang mempelajarinya. Manfaat suatu kejadian tidak akan diperoleh hanya dengan mengetahui rentetan kejadian di masa lampau. Studi sejarah bertolak dari kebutuhan dan kepribadian intelektual hari ini. Misalnya kebutuhan suatu bangsa adalah mengembangkan pengetahuan ilmu dan teknologi, misalnya, maka peristiwa sejarah yang dipelajari adalah peristiwa sejarah yang menyangkut perkembangan ilmu dan teknologi di berbagai negara. Para ilmuwan terkenal seperti Montesquieu, Foltaire, Smith, Khaldun, Spengler, Maltus, Toynbee, dan sebagainya menulis sejarah tidak hanya berisikan kumpulan peristiwa berikut angka tahunnya. Montesquieu menulis monografi sejarah tentang kejatuhan kerajaan Romawi berdasarkan pendekatan. Maltus menulis sejarah perekonomian berdasarkan teori ekonomi tertentu yaitu kapitalisme. Khaldun menulis sejarah melalui pendekatan sosiologis. Toynbee menulis sejarah berdasarkan pendekatan antropologi. Pendidikan sejarah dalam hal ini, bukan hanya sebagai rutinitas dan formalitas kegiatan pembelajaran belaka, dimana terdapat guru sebagai pentransfer ilmu dan siswa sebagai penerima transfer ilmu. Pendidikan sejarah harus secara kontinyu melakukan transformasi nilai-nilai luhur dalam peristiwa sejarah kepada siswa. Transformasi Pelajaran Sejarah Dewasa ini, pendidikan sejarah masih bersifat fakta oriented yakni pembelajaran sejarah yang menekankan kepada siswa untuk menghafal sejumlah fakta yang terjadi dalam peristiwa sejarah. Fakta sejarah tersebut antara lain nama pelaku, tahun peristiwa, tempat dan jalannya peristiwa. Akibatnya siswa seperti sekumpulan manusia yang gemar menghafal tetapi tidak dapat melakukan transformasi diri atas apa yang dipelajari dari peristiwa sejarah. Menurut Hasan (2012:92) dalam setiap peristiwa sejarah terdapat beberapa hal yang perlu dipelajari yakni : (1), Fakta yaitu nama pelaku, tahun peristiwa, tempat dan jalannya peristiwa, (2). Kausalitas antara satu kejadian dengan kejadian lainnya, (3). Kemampuan berfikir yaitu kronologis, kritis, kreatif dan aplikatif, (4). Kepemimpinan dan inisiatif, (5). Nilai yakni kejujuran, kebenaran, kerja keras, risk taking dan tanggung jawab, dan (6). Sikap yakni, menghargai prestasi atau kemampuan, keberanian bertindak, disiplin, cinta tanah air dan bangsa, berani berkorban. 101
International Conference on Education 2014 Official Conference Proceedings
Sabah, Malaysia
Titik berat materi sejarah yang selama ini diajarkan hanya pada hafalan fakta-fakta sejarah telah mengkerdilkan potensi lain yang terdapat dalam materi sejarah, Pengkerdilan ini tentu berakibat fatal bagi siswa dimana tidak akan terjadi transformasi diri siswa. Pendidikan sejarah tidak memberikan ruang bagi siswa untuk mengembangkan potensi-potensi yang dalam dirinya, Siswa hanya dapat mengembangkan daya ingat, yang pada akhirnya akan hilang seiring perkembangan waktu dan peristiwa baru yang dialaminya. Paradigma pendidikan sejarah harus dapat dirubah tidak hanya sekedar mengajarkan tentang fakta sejarah, tetapi lebih dari itu harus dapat mentransformasi nilai-nilai luhur tentang hidup dan kehidupan melalui makna sejarah kepada siswa melalui pembelajaran pada aspek kausalitas antara satu kejadian dengan kejadian lainnya, kemampuan berfikir yaitu kronologis, kritis, kreatif dan aplikatif, kepemimpinan dan inisiatif, nilai yakni kejujuran, kebenaran, kerja keras, mengambil resiko untuk tanggung jawab, dan bersikap menghargai prestasi berani berbuat, disiplin, cinta tanah air dan bangsa, berani berkorban, untuk kepentingan dan nama baik bangsa dan negara tanpa pamrih. Pembelajaran sejarah yang baik dapat melakukan transformasi karakter dalam diri siswa, karena sejarah sebagai disiplin ilmu tidak hanya melibatkan aspek kognitif tetapi justru mengutamakan afektif siswa. Pembelajaran sejarah yang benar akan memberikan kontribusi terhadap pembentukan manusia seutuhnya, karena melalui pendidikan sejarah yang di dalamnya sudah termasuk pendidikan karakter. Hal ini sesuai dengan pendapat Hasan (2012) yang menyebut pembentukan karakter meliputi: pengembangan kemampuan kritis, pengembangan rasa ingin tahu, pengembangan kemampuan berfikir kreatif, pengembangan sikap kepahlawanan dan kepemimpinan, membangun dan mengembangkan sikap kebangsaan, pengembangan kepedulian sosial, pengembangan kemampuan berkomunikasi, pengembangan kemampuan mencari, mengolah, mengemas, dan mengkomunikasikan informasi. Dapat disimpulkan setidaknya ada tiga hal yang dapat ditransformasikan seorang guru kepada siswa dalam pembelajaran sejarah, diantaranya : 1. Sejarah sebagai wahana pengenalan diri seseorang Sejarah sebagai wahana pengenalan diri, adalah sejarah sebagai refleksi diri akan pengenalan diri secara utuh, dengan menggunakan tiga dimensi sekaligus yaitu masa lalu, masa depan, dan masa yang akan datang. Kemudian dengan menggunakan analisis teknik kreasi dan inovasi maka sejarah ini dapat berperan besar dalam menentukan pengenalan diri seseorang secara utuh baik pengenalan secara individu, kelompok, kenegaraan, fisik maupun psikis dalam memperkenalkan nilai-nilai luhur. 2. Sejarah sebagai wahana pemahaman peran Sejarah sebagai wahana pemahaman peran seseorang, setelah seseorang tersebut mengenali dirinya secara utuh melalui sejarah, maka akan mengerti peran apa yang harus dilakukan terkait dengan posisinya. Selain itu berawal dari pengenalan diri tersebut akan dengan sadar diri mengetahui kelemahan dan kelebihannya secara utuh sehingga mampu menerima segenap kelebihan dan kekurangannya secara utuh juga. Siswa akan mengerti apa yang harus dilakukan dalam berbagai kondisi. Misalkan sebagai mahasiswa melalui intelektualitas dan moralitas yang dimiliki akan memperbaiki bangsa ini dengan jalan diskusi dan orasi di kalangan kampus, mengkritisi sesuai kompetensi yang dimiliki, sebagai contoh lain adalah seorang anak yang sedang sekolah dan mengikuti pelajaran, dengan bimbingan orang tua dan sekolah, sebenarnya anak tersebut sedang berjuang membangun negeri ini sesuai dengan proporsi serta kompetensi yang dimilikinya. 3. Sejarah sebagai jati diri dan karakter seseorang dalam bertindak dan berucap Karakter seseorang antara lain dipengaruhi latar belakang budaya, sebut saja budaya Jawa sebagai salah satu kearifan lokal sebagai satu budaya di Indonesia yang tidak hanya mampu mempertahankan eksistensi dirinya. Budaya Jawa khususnya budaya keraton Jawa terus melestarikan keunikan yang dimiliki menjadi budaya yang menarik, berwibawa, dianut pengikut setianya, tidak hanya keluarga keraton tetapi juga dihormati masyarakat Indonesia pada umumnya, bahkan oleh masyarakat mancanegara. Di sinilah antara lain pendidikan sejarah berperan sangat aktif dalam melestarikan budaya bangsa. Melalui pengalaman sejarah masa lalu dan kini rakyat Jawa melestarikan dan membangun budayanya yang unik menarik. Budaya Bali, Padang, Batak, Dayak, Papua dan lainlain merupakan citra primitif pada pembentukan karakter bangsa yang otomatis membentuk manusia seutuhnya karena manusia yang berkarakter baik, membentuk dirinya menjadi manusia seutuhnya. Kehidupan bermasyarakat Jawa menekankan kepada hal-hal yang baik dan luhur, santun dalam bersikap dan bericara, rendah hati dan luwes dalam bergaul. Greertz dalam Suseno (1996) menyebut 102
International Conference on Education 2014 Official Conference Proceedings
Sabah, Malaysia
dua kaidah yang paling menentukan pola pergaulan dalam masyarakat Jawa. Pertama, dalam setiap situasi manusia hendaknya bersikap hati-hati hingga tidak menimbulkan konflik. Kedua, agar manusia dalam berbicara dan membawa diri selalu menunjukkan sikap hormat terhadap orang lain dan dapat menempatkan diri sesuai dengan derajat dan kedudukannya. Menurut Mulder (1986) bagi orang Jawa selalu rukun, damai, nyaman, terang, aman dan harmonis dalam kelompok lazimnya dianggap sebagai keberhasilan sistem gotong royong. Secara sadar sistem ini dianggap berlaku bagi hidup berkeluarga, bertetangga dan bagi kehidupan desa, kota dan secara ideologis sekarang mulai tampak pada kehidupan berbangsa secara nasional. Menurut falsafah Jawa, orang harus menyesuaikan diri, bekerja sama, memainkan peranan dengan selalu menjaga sopan santun. Selain itu juga harus patuh pada aturan dan bersikap menerima (nrimo). Hal-hal tersebut merupakan ketentuan yang harus dipatuhi. Jika ada kepentingan-kepentingan yang saling bertentangan selalu diperhalus dengan teknik kompromi yang bersifat tradisional dan diintegrasikan ke dalam tatanan kelompok di masyarakat sehingga tidak terjadi konflik, baik individu maupun kelompok. Masyarakat Jawa berusaha mengenyampingkan ambisi pribadi untuk kepentingan bersama. Budaya ini melekat pada orang Jawa yang kadang-kadang dianggap terlalu lemah dan dapat diperlakukan semena-mena. Orang Jawa diajarkan leluhurnya harus mendahulukan komunitas, baru kepentingan pribadi. Orang harus menerima dengan keadaan yang ditakdirkan Sang Pencipta dan tidak boleh banyak protes dan memiliki ambisi terlampau besar. Komunitas bertindak sebagai “pagar” terhadap perilaku yang menyimpang, demi mempertahankan nama baik dan kesusilaan. Sopan santun melekat erat dan menjadi keyakinan dalam kehidupan dan pergaulan sehari-hari. Sisi lain falsafah Jawa pentingnya mawas diri bagi yang sedang dikaruniai kebahagiaan hidup oleh Tuhan Yang Maha Esa, karena hal itu merupakan ujian dari Sang Khalik. Ojo dumeh merupakan peringatan agar seseorang selalu ingat kepada kepentingan sesama, karena itu masyarakat Jawa mengutamakan gotong royong. Aji mumpung adalah salah satu pedoman mengendalikan diri dari sifat-sifat serakah manusia pada umumnya. Ambisi, persaingan, urakan, keinginan untuk mencapai keuntukan pribadi dan kekuasaan merupakan sumber bagi segala perpecahan, ketidakselarasan dan kontradiksi yang seharusnya dicegah dan ditindas (Suseno, 1996). Orang Jawa pada umumnya menghindari hal-hal yang bersifat frontal dan kekerasan. Banyak mengalah untuk kerukunan. Kondisi lestarinya budaya juga terjadi di Bali yang keanekaragaman budayanya sangat populer di kalangan turis domestik dan mancanegara. Budaya Bali merupakan salah satu aset bangsa Indonesia yang patut dibanggakan. Bahkan kadang-kadang nama Bali lebih populer di telinga orang asing daripada nama Indonesia. Di Bali, adat, budaya dan kepercayaan bersatu padu menjadi bunga rampai yang indah dan dapat dirasakan masyarakat umum di luar masyarakat Bali. Budaya ramah, selalu ingin membantu, menyenangkan pihak lain, santun terhadap tamu seperti melekat di sanubari orang Bali. Keindahan alam dan kemahiran orang Bali memelihara limpahan kenikmatanNya menjadikan pulau Bali dan masyarakatnya sebagai sesuatu yang unik dan menarik. Budaya Bali menekankan pada hubungan antara manusia dengan manusia, serta hubungan manusia dengan penciptanya. Kebudayaan Jawa dan Bali sungguh merupakan fakta sejarah yang mendidik masyarakat untuk selalu berbuat baik terhadap sesama dan menjadi bermakna buat sesama sambil tetap patuh pada Tuhan yang Maha kuasa. Dua kebudayaan tersebut merupakan contoh yang baik di samping budaya-budaya dari daerah lain di Indonesia. Keanekaragaman budaya Indonesia sungguh merupakan kekayaan tiada tara bagi bangsa Indonesia. Sejarah sebagai jati diri dan karakter seseorang dalam bertindak dan berucap maksudnya adalah: ketika seseorang mengenali dirinya secara utuh kemudian memahami perannya secara utuh juga. Maka orang tersebut tengah mempunyai sesuatu yang khas, berbeda dengan bangsa lain, secara historik mempunyai pemahaman yang baik tentang pengenalan diri dan perannya dalam kehidupan pribadi, kelompok, maupun bernegara, sehingga dengan berbekal nilai-nilai luhur sejarah diadobsi dengan kreasi dan inovasi jadilah karakter dan jati orang tersebut yang terus mengusung pada arah perbaikan bagi dirinya sendiri, bangsa, negara, maupun agamanya. Berbekal sejarah juga seseorang akan mempunyai jiwa nasionalisme, cinta tanah air, sehingga dalam bertindak, berucap, ataupun mengambil keputusan melandaskan pada jati diri dan karakter bangsa yang telah tertanam secara baik dalam diri pribadi tersebut. Disinilah letak pendidikan sejarah dalam pembentukan manusia seutuhnya, karena manusia yang berkarakter adalah manusia seutuhnya. 103
International Conference on Education 2014 Official Conference Proceedings
Sabah, Malaysia
Landasan Filosofis Pendidikan Sejarah Landasan filosofis pendidikan sejarah didasarkan pada landasan filosofis kurikulum. Landasan ini menjadi sangat penting agar secara sistemik dan sistematik pendidikan sejarah dapat dijalankan secara berkesinambungan dengan berpijak pada filosofi yang ada. Tanner dan Tanner (1980) mengemukakan empat landasan filosofis dalam mengembangkan pendidikan sejarah yaitu: 1) Perrenialisme, pendidikan sejarah harus mengembangkan rasa bangga terhadap prestasi, prestise dan kejayaan bangsa dimasa lampau. Kisah kebesaran Majapahit dan Sriwijaya, kemashuran kerajaan-kerajaan Islam di Nusantara dalam menjalin perdagangan dan hubungan diplomasi dengan negara lain sudah sepatutnya diceritakan dan diwariskan. 2) Essentialisme, pendidikan sejarah sebagai alat untuk mengembangkan kemampuan intelektual generasi muda. Sejarah sebagai mata pelajaran harus diberikan secara rutin dan continue dalam proses pembelajaran didalam kelas. Siswa diharapkan mampu berpikir kritis, berfikir historis dan berpikir solutif atas permasalahan yang terjadi dengan berpijak pada peristiwa masa lampau dalam mengalami masa kini dan masa depan. 3) Humanisme, pendidikan sejarah harus mengandung nilai-nilai afektif, memberikan kesempatan yang seluas-luasnya kepada siswa untuk mengembangkan pikiran, tindakan, dan gagasan-gagasan positif dalam hubungannya dengan masyarakat. 4) Reconstructionisme, pendidikan sejarah harus ditekankan pada pola pikir yang bersifat progress, berorientasi ke masa sekarang dan masa yang akan datang. Pendidikan sejarah seharusnya tidak hanya terpaku pada masa lampau, tetapi juga harus memberikan perhatian mengenai apa yang kini terjadi bahkan pada masa yang akan datang. PENUTUP Menyadari sepenuhnya bahwa perubahan yang diinginkan tidak semudah membalikkan telapak tangan, apa lagi yang akan dirubah adalah pendidikan sejarah yang dalam rentang sejarah perjalanan bangsa pendidikan sejarah selalu dikaitkan dengan politik kekuasaan. Sebut saja pada masa pemerintahan Orde Lama pendidikan sejarah justru sebagai alat legitimasi penguasa untuk menggerakkan revolusi dan pada saat yang sama juga menghakimi kelompok yang dianggap anti revolusi, saat itu dikenal istilah Manipol Usdek. Saat pergantian rezim Ode Baru, perubahan pendidikan sejarah pun mengalami politisasi kekuasaan, unsur-unsur Orde Lama dibasmi secara sistemik dalam pendidikan sejarah. Pada saat yang sama peran penguasa Orde Baru mendapat posisi istimewa dalam pendidikan sejarah. Terlepas dari perdebatan bahwa sejarah seringkali dijadikan sebagai alat legitimasi oleh penguasa, pendidikan sejarah tetap harus berlandaskan pertimbangan akademik didalam penyajian dan penyampaiannya. Sebagaimana disampaikan Wineburg (2001), historical knowledge should serve as a bank of contemplating present problems. Cerita sejarah merupakan cerita yang iluminatif mengenai upaya manusia menjawab tantangan yang dihadapi, serta sebagai media yang sangat baik dalam mengembangkan kreatifitas, inspirasi, inisiatif, dan kemampuan berpikir antisipatif. sejarah merupakan sebuah peristiwa yang terjadi dimasa lampau, yang keberadaannya terus berlanjut ke masa kini dan masa yang akan datang. Ibarat kaca spion, sejarah adalah sebagai “cermin masa lalu, pijakan dimasa depan”. Akhirnya penulis berkesimpulan sangat dibutuhkan keberanian yang luar biasa seperti para pahlawan bangsa yang melawan penjajah, untuk merumuskan visi dan melaksanakan misi pendidikan sejarah yang lebih humanis dan universal dalam membentuk karakter generasi emas Indonesia mendatang, Insya Allah.
DAFTAR PUSTAKA Bigge, Morris L. Learning Theories for Teachers. New York: Harper And Row, Publisher, Inc, 1982 Carr, E. H. The Use of History. London: Penguin Books, 1961. Dahlan, M.D. (Penyunting). Model-model Mengajar. Bandung: C.V. Diponegoro, 1990. Gagne, Robert M., Kondisi Belajar dan Teori Pembelajaran, terjemahan Munandir MA, Jakarta: Depdikbud, 2003. 104
International Conference on Education 2014 Official Conference Proceedings
Sabah, Malaysia
Hasan, Hamid. Pendidikan Sejarah Indonesia: Isu Dalam Ide dan Pembelajaran. Bandung: Rizqi Press, 2012. Pendidikan Sejarah Dalam Rangka Pengembangan Memori Kolektif dan Jati Diri Bangsa.Tulisan sebagai apresiasi untuk Prof. Dr. Sartono Kartodirdjo, 2012. Hilgard, Ernest R., dan Gordon H. Bower. Theories of Learning. Englewood Cliffs New Jersey: Prentice-Hall, Inc., 1975. Kartodirdjo, Kartono. Pembangunan Bangsa Tentang Nasionalisme, Kesadaran, dan Kebudayaan Nasional. Yogyakarta: Aditya Media, 1993. Kuntowijoyo. Pengantar Ilmu Sejarah. Yayasan Bentang Budaya. Yogjakarta. 2001 Penjelasan Sejarah. Tiara Wacana. Yogyakarta. 2001. Periodisasi Sejarah Kesadaran Keagamaan Umat Islam Indonesia; Mitos, Ideologi, dan Ilmu. Yayasan Bentang Budaya. Yogyakarta. 2008 Koesoema, D. A. Pendidikan Karakter, Strategi Mendidik Anak di Zaman Global. Jakarta: Grasindo, 2007. Nawawi, Hadari. Organisasi Sekolah dan Pengelolaan Kelas. Jakarta: Gunung Agung, 1981. Prasetyo, J. Reza, dan Andriani, Yeni, Multiply Your Multiple Intelligences Melatih Kecerdasan Majemuk pada Anak dan Dewasa, Yogyakarta: 2009. Sangkanparan, Hartono, Dahsyatnya Otak Tengah Jadikan Anak Anda Cerdas Saat Ini Juga, Jakarta: Visimedia, 2010. Wineburg, Sam. Making Historical Sense, dalam Knowing Teaching and Learning History: National and International Perspectives. New York: New York University Press, 2000. Wineburg, Sam. Historical Thinking and Other Unnatural Acts: Charting the Future of Teaching the Past. Philadelphia: Temple University Press, 2001.
105
International Conference on Education 2014 Official Conference Proceedings
Sabah, Malaysia
PENGARUH BUDAYA SEKOLAH TERHADAP KINERJA KEPALA SEKOLAH: PENELITIAN PADA KEPALA SMPN DI KOTA ADMINISTRASI JAKARTA TIMUR Matin1
[email protected] ABSTRACT The objective of the research is to obtain information concerning with the effect of organizational culture, on the headmasters’ performance. This research was conducted in East Jakarta City Administration in 2011 by using a survey method with path analysis applied in testing hypothesis and 77 State Junior High School Headmaster in East Jakarta City Administration as samples selected randomly. The finding of the research are: there is a direct effect of organizational culture toward headmaster’ performance; Based on these finding, it could be concluded that any change or variation occurred at headmasters’ performance might have been directly effected by organizational culture, When we want to minimize the variation which occurred in headmasters’ performance, these factor such as organizational culture are necessary to be taken into account. Keywords: organizational culture, headmasters’ performance, High School. PENDAHULUAN Latar Belakang Pentingnya peran kepala sekolah dalam pendidikan sangat nyata terlihat ketika pemerintah menggulirkan suatu kebijakan desentralisasi dan otonomi sekolah yang dikenal sebagai manajemen berbasis sekolah. Pada sistem ini, kepala sekolah tidak hanya sebagai seorang manajer yang lebih banyak berkonsentrasi pada permasalahan anggaran dan administrasi sekolah, tetapi lebih jauh dari itu adalah bahwa kepala sekolah dituntut untuk menjadi seorang pemimpin yang mampu menciptakan visi dan misi sekolah serta mengilhami semua guru dan personil lainnya untuk mewujudkan visi dan misi tersebut. Kebijakan pemerintah yang berhubungan dengan pentingnya kepala sekolah dalam penyelenggaraan pendidikan juga dapat dilihat dari Permen Diknas No. 13 Tahun 2007 tentang standar kepala sekolah. Pada dokumen tersebut dijelaskan bahwa untuk menjadi kepala sekolah yang profesional maka yang bersangkutan harus memiliki kompetensi dalam: 1) menyusun perencanaan pengembangan sekolah secara sistemik, 2) mengkoordinasikan semua komponen sistem sehingga secara terpadu dapat membentuk sekolah sebagai organisasi pembelajar yang efektif, 3) mengerahkan seluruh personil sekolah sehingga mereka secara tulus bekerja keras demi pencapaian tujuan instruksional sekolah, 4) memberikan pembinaan kemampuan profesional kepada guru sehingga mereka semakin terampil dalam mengelola proses pembelajajaran, dan 5) mampu melakukan monitoring dan evaluasi sehingga tidak ada satupun komponen sekolah yang tidak berfungsi secara optimal. Dengan demikian jelas bahwa sekolah membutuhkan kepala sekolah yang memiliki kompetensi tinggi untuk membangun sekolah yang berkualitas. Kepala sekolah merupakan pemegang otoritas dalam penyelenggaraan pendidikan di sekolah sehingga perlu memahami proses pendidikan dan mampu menjalankan tugas dengan sebaik-baiknya. Hasil Pengamatan Peneliti tahun 2010 menyimpulkan bahwa banyak kepala sekolah belum memperlihatkan kinerja yang tinggi sesuai harapan masyarakat: (1) kepala sekolah belum memiliki rencana pengembangan sekolah secara sistematis, (2) kepala sekolah belum mampu mengerahkan seluruh sumber daya sekolah guna memberikan konstribusi positif terhadap pencapaian tujuan sekolah, dan (3) kepala sekolah belum mampu melakukan pembinaan kepada guru dan tenaga administrasi yang memiliki masalah pekerjaan. Pandangan beberapa anggota masyarakat tentang masalah sekolah seperti dikutip oleh Tilaar (2011: h.161) ialah: (1) masih ada kepemimpinan kepala sekolah yang belum efektif, (2) kinerja 106
International Conference on Education 2014 Official Conference Proceedings
Sabah, Malaysia
sekolah yang masih jauh dari harapan, (3) budaya sekolah yang belum kondusif, (4) pengaturan sekolah yang belum efektif, (5) disiplin warga sekolah yang relatif rendah, (6) tidak ada perubahan yang signifikan terhadap perbaikan proses belajar mengajar, kuantitas dan kualitas guru, sarana belajar, dan kesejahteraan warga sekolah, dan bahkan kemampuan kepala sekolah masih jauh dari yang diharapkan masyarakat. Hal-hal di atas diduga disebabkan oleh (1) rekruitmen kepala sekolah yang tidak mengikuti peraturan sehingga mengakibatkan terjaringnya kepala sekolah yang memiliki mental rendah, kurang memiliki motivasi kerja, tidak punya semangat kerja dan semangat team, tidak punya visi dan misi organisasi, dan tidak memiliki integritas, (2) monitoring dan evaluasi terhadap sekolah tidak berjalan sebagaimana mestinya dari pihak terkait, (3) budaya organisasi yang tidak kondusif seperti memperlihatkan kebiasaan-kebiasaan buruk pada masyarakat yaitu komunikasi antar warga sekolah yang tersumbat, pengambilan keputusan yang ragu-ragu, pengawasan yang tidak jalan, koordinasi yang tidak ada, serta kepemimpinan yang lemah, (4) kebijakan pemerintah yang tidak tersosialisasikan dengan baik, (5) kepemimpinan para pengelola organisasi pendidikan yang kurang efektif, (6) perubahan pola manajemen sekolah yang dalam prosesnya relatif mendadak, dan (7) munculnya persaingan antar sekolah sebagai akibat dari adanya desentralisasi dalam penyelenggaraan pendidikan. Rumusan Masalah Apakah budaya organisasi berpengaruh langsung terhadap kinerja kepala sekolah? KAJIAN TEORETIK Deskripsi Konseptual Kinerja didefinisikan Colquitt, LePine, dan Wesson (2009 h.37) sebagai nilai perilaku karyawan yang berkontribusi secara positif atau negatif terhadap pemenuhan tujuan organisasi. Judith A. Hale (2004;h.2) mendefinisikan kinerja sebagai pekerjaan yang penuh arti dilakukan dengan cara efektif dan efisien Slocum dan Hellriegel (2009;h.127) mengartikan kinerja sebagai tingkat kemampuan dan motivasi seseorang yang mengindikasikan bahwa semakin mampu dan termotivasi seorang pegawai dalam bekerja bisa jadi semakin baik kinerjanya. Nelson dan Quick (2006;h.191) mendefinisikan kinerja sebagai ketuntasan kerja yang terlihat dari hasil-hasil yang ada dan usaha sebagai kinerja yang baik. Sedangkan Sabine Sonnentag (2002;h.156) mengartikan kinerja sebagai aksi yang sesuai dengan tujuan organisasi, kinerja juga diartikan sebagai apa yang pemilik harus korbankan untuk bekerja. Kinerja menurut Colquitt, LePine, dan Wesson memiliki tiga dimensi yaitu (1) kinerja tugas, (2) perilaku kesukarelaan, dan (3) perilaku kontra produktif. Kinerja tugas dan perilaku kesukarelaan merupakan kontribusi perilaku positif, sedangkan perilaku kontra produktif merupakan kontribusi perilaku negatif. Kinerja tugas adalah serangkaian kewajiban yang nyata dan harus dipenuhi oleh setiap pegawai untuk mendapatkan kompensasi dari pekerjaan yang berkelanjutan yang meliputi tugas-tugas rutin dan tugas-tugas yang bersifat khusus. Tugas rutin meliputi perencanaan, pengorganisasian, pelaksanaan, monitoring dan evaluasi. Tugas yang bersifat khusus membutuhkan kemampuan adaptasi seperti penanganan kondisi darurat, ketegangan dalam bekerja, kreatifitas menyelesaikan masalah, mempelajari teknologi dan tugas-tugas baru, adaptasi interpersonal terhadap pekerjaan, dan adaptasi terhadap budaya sekitar. Perilaku kesukarelaan merupakan aktivitas sukarela pegawai yang kemungkinan dihargai atau tidak tetapi memberikan kontribusi pada organisasi untuk memperbaiki kualitas lingkungan pekerjaan seperti kesediaan untuk membantu, kesediaan menginformasikan hal-hal yang relevan, kemampuan menjaga perilaku yang baik, membicarakan perbaikan organisasi, kerelaan 5 melakukan tugas lebih dari standar yang ditentukan, kerelaan mengikuti perkembangan organisasi, dan mewakili organisasi dengan cara positif jika keadaannya jauh dari tempat kerja. Perilaku kontra produktif adalah perilaku pegawai yang bersifat negatif pada pencapaian tujuan organisasi, meliputi penyimpangan kepemilikan seperti sabotase dan pencurian, penyimpangan produksi seperti pemborosan sumber daya dan penyalahgunaan material, penyimpangan politik seperti gossip dan ketidak sopanan, dan penyimpangan individual seperti gangguan dan penyerangan. Menurut Colquit, Lepine dan Wesson, kinerja merupakan produk akhir pada model integrative perilaku organisasi bersama-sama dengan komitmen organisasi yang merupakan hasil individu dalam organisasi. 107
International Conference on Education 2014 Official Conference Proceedings
Sabah, Malaysia
Definisi Hale tentang kinerja memberikan tekanan pada keberartian pekerjaan yang dilakukan secara efektif dan efisien. Keberartian pekerjaan dapat diartikan sebagai bekerja dengan sungguhsungguh menghasilkan produk yang berkualitas, dikerjakan tepat sasaran dan hemat dalam penggunaan sumber daya. Meskipun definisi Hale berbeda penekanan dari pendapat Colquit dkk., namun disepakati bahwa ketepatan waktu dalam pencapaian tujuan dan efisien dalam penggunaan sumber daya dapat merupakan ukuran kinerja seseorang sebagaimana hasil pekerjaan yang diinginkan oleh pimpinan suatu organisasi. Nelson dan Quick menjelaskan bahwa kinerja berkaitan dengan perilaku seseorang dalam mengemban tugas dengan tanggung jawab sesuai keahlian yang dimilikinya. Ketuntasan bekerja mengindikasikan bahwa hasil yang berkualitas sebagai bagian dari ketelitian, kecermatan dan kemampuan dalam melakukan pekerjaan, dan berhubungan erat dengan usaha-usaha mewujudkan tanggung jawab untuk memperlihatkan kinerja yang baik. Seseorang yang mampu menuntaskan pekerjaan tepat waktu dengan kualitas yang baik dapat dikatakan bahwa ia memiliki kinerja baik, karena untuk itu yang bersangkutan harus melakukan berbagai tindakan yang sesuai dengan tuntutan ketuntasan tugas dalam rangka mencapai kinerja terbaik. Menurut Sabine Sonnentag, kinerja merupakan perilaku aksi bukan reaksi dan merupakan unsur aktif pegawai yang perlu memiliki dorongan yang kuat dari dalam dan dari luar diri pegawai. Dorongan aktif ini sesuai dengan tujuan organisasi sehingga selaras antara tujuan individu dengan tujuan organisasi yang mengakibatkan munculnya seperangkat tindakan. Dari beberapa definisi di atas, peneliti menganalisis dan mendefinisikan kinerja sebagai seperangkat perilaku seseorang dalam melakukan tugas yang memberikan konstribusi positif maupun negatif pada pencapaian tujuan organisasi. Secara konseptual, yang dimaksud kinerja kepala sekolah adalah hasil kerja kepala sekolah sebagai perwujudan dari tanggung jawabnya sebagai administrator, manajer, leader, motivator, dan supervisor sekolah yang meliputi sikap mental dan kemampuan dalam melaksanakan tugas sehingga menghasilkan pekerjaan yang efektif dan berkualitas dengan menggunakan masukan secara efisien dalam usaha menampilkan mutu pekerjaan yang baik. Budaya organisasi didefinisikan Colquitt, LePine dan Wesson (2009;h. 546) sebagai upaya berbagi pengetahuan sosial melalui penghormatan organisasi terhadap aturan, norma dan nilai-nilai yang membentuk sikap dan perilaku setiap anggota organisasi. Stephen P. Robbins dan Thimoty Judge (2009;h. 585) mendefinisikan budaya organisasi sebagai sistem nilai yang dipegang dan dilakukan oleh setiap anggota organisasi, sehingga dengan demikian suatu organisasi dapat dibedakan dari organisasi lainnya. Kinicki dan Kreitner (2008;h. 41) mengartikan budaya organisasi sebagai himpunan asumsiasumsi yang dibagi bersama kepada setiap anggota organisasi, dan di dalamnya terkandung bahwa suatu kelompok menentukan bagaimana mereka merasa, memikirkan dan bereaksi terhadap lingkungannya. James L. Gibson, et,al., (2009;h. 30) mendefinisikan budaya organisasi sebagai apa yang dipersepsikan para pegawai terhadap organisasi dan bagaimana mereka menciptakan suatu pola tentang keyakinan, nilai-nilai, dan harapan-harapan. Sedangkan Edward H. Schein (2004;h.17) mendefinisikan budaya organisasi sebagai pola asumsi dasar yang diciptakan, ditemukan atau dikembangkan oleh suatu kelompok karena berhadapan dengan penyesuaian lingkungan eksternal dan integrasi lingkungan internal yang telah berjalan cukup baik dan dianggap tepat sehingga dapat diajarkan kepada anggota baru sebagai cara yang tepat untuk memahami, memikirkan, dan merasakan ketika berhadapan dengan berbagai masalah. Menurut Colquitt, LePine dan Wesson, budaya organisasi terdiri atas tiga komponen yaitu: (1) artefak yang dapat diobservasi, (2) nilai-nilai yang tersiarkan, dan (3) asumsi yang sangat mendasar, Menurut Robbins dan Judge, budaya organisasi memiliki karakteristik yaitu: (1) ada inovasi dan keberanian mengambil resiko, (2) perhatian terhadap yang kecil-kecil, (3) berorientasi pada hasil, (4) berorientasi kepada manusia, (5) berorientasi pada tim, (6) terciptanya agresifitas, dan (7) terciptanya stabilitas. Menurut Schein, budaya organisasi harus menjadi dasar bagi anggota organisasi dalam melihat pesoalan, berpikir, dan bertindak. Budaya harus dilihat sebagai suatu yang bersifat informal yaitu cara hidup dan keunggulan dalam suatu organisasi yang mengikat bersama dan mempengaruhi apa yang mereka pikirkan tentang dirinya dan pekerjaannya. Menurut Ricard L. Daft (2005;h.558), budaya memiliki dua fungsi utama yaitu (1) membantu organisasi agar setiap anggotanya mampu berinteraksi secara terintegrasi dalam membangun suatu identitas bersama dan mengetahui bagaimana bekerja sama secara efektif, (2) organisasi mampu beradaptasi dengan dunia luar terutama dalam menentukan bagaimana organisasi mempertemukan tujuan-tujuan dengan pihak luar yaitu dalam 108
International Conference on Education 2014 Official Conference Proceedings
Sabah, Malaysia
merespon secara cepat kebutuhan pelanggan, termasuk bagaimana dapat bergerak di antara para kompetitor. Sedangkan menurut Kinichi dan Kreitner, budaya organisasi dipandang sebagai suatu kekuatan yang lembut tapi mudah disebarluaskan, kehadirannya tidak disadari oleh setiap anggota organisasi tetapi mereka mematuhinya, umumnya berada di bawah ambang kesadaran karena budaya melibatkan asumsi yang menjadi jaminan tentang bagaimana seseorang dapat melihat, berpikir, bertindak, merasakan dan bereaksi terhadap lingkungannya. Budaya organisasi merupakan norma dalam organisasi, bersifat informal, tidak tertulis, jarang diperbincangkan tetapi diyakini kebenarannya, tidak dapat dinegosiasi tetapi secara nyata besar pengaruhnya dalam membentuk perilaku anggota organisasi, dan timbul secara langsung dari berbagai asumsi. Robbins dan Judge menjelaskan bahwa budaya organisasi mempunyai pengaruh langsung kepada kinerja dan kepuasan pegawai. Pengaruh langsung budaya terhadap kinerja juga dikemukakan oleh Steven L. McShane dan Mary Ann Von Glinow (2008;h. 467). Sedangkan Colquitt, Lepine dan Wesson, menyatakan bahwa budaya organisasi berpengaruh tidak langsung pada kinerja pegawai. Berdasarkan uraian di atas disimpulkan bahwa budaya organisasi (budaya sekolah) merupakan suatu sistem makna bersama yang dianut oleh setiap warga sekolah yang membedakan sekolah tersebut dari sekolah yang lain, mencakup tentang apa yang dipahami oleh setiap warga sekolah sebagai pola kepercayaan, nilai, dan harapan yang mengarahkan perilaku dan praktek kerja dalam sekolah. Deskripsi Teoretik Colquitt, LePine dan Wesson menjelaskan bahwa kinerja secara langsung dipengaruhi oleh mekanisme individual di antaranya (1) kepuasan kerja, (2) motivasi, (3) tekanan (stress), (4) kepercayaan, keadilan dan etika, dan (5) pembelajaran dan pengambilan keputusan. Kinerja secara tidak langsung dipengaruhi oleh (1) mekanisme organisasi, yaitu budaya organisasi dan struktur organisasi, (2) mekanisme kelompok yaitu kepemimpinan, kerja tim dan karakteristik tim, dan (3) karakteristik individu yaitu kepribadian dan nilai budaya, dan kecakapan. Menurut hasil survey di Britain (2003;h.58), faktor-faktor yang mempengaruhi kinerja ialah (1) faktor fisik, lokasi, dan teknologi, (2) faktor nilai keyakinan dan budaya, sikap individu, motivasi dan kepribadian, (3) pengaruh internasional, (4) lingkungan organisasi seperti lingkungan manajerial, politik dan ekonomi, (5) tingkat fleksibilitas organisasi baik di tingkat pekerja maupun pada aktivitas pekerjaan, dan (6) sistem penggajian dan hadiah. Tarwaka dkk. dalam Sedarmayanti (2009;h.198) menjelaskan bahwa kinerja dipengaruhi oleh (1) Kapasitas individu pegawai yang terdiri atas pendidikan, keterampilan, motivasi, kedisiplinan, etos kerja, jaminan sosial, umur, jenis kelamin, pengalaman, agama, kesehatan, kebugaran, daya tahan otot dan panca indera, kemampuan psikologis meliputi mental, adaptasi, stabilitas emosi, kemampuan biomekanik yaitu daya tahan sendi dan persendian, dan (2) kapasitas pekerjaan yang terdiri atas tugastugas pekerjaan termasuk alat, bahan dan teknologi, organisasi kerja, lingkungan kerja, beban kerja, ketidaknyamanan kerja, stress akibat kerja, penyakit akibat kerja, dan cidera atau kecelakaan akibat kerja. Menurut Mulyasa (2004;h.139), faktor-faktor yang mempengaruhi kinerja ialah: (1) sikap mental berupa motivasi, disiplin, kreatifitas dan etika kerja, (2) pendidikan, (3) keterampilan, (4) manajemen dan kepemimpinan, (5) hubungan industrial, (6) kesejahteraan, (7) gizi dan kesehatan, (8) jaminan sosial, (9) suasana kerja, (10) sarana kerja, (11) teknologi kerja, dan (12) kesempatan berprestasi. Michael Amstrong (2006;h.1) mengatakan bahwa untuk meningkatkan kinerja organisasi, suatu organisasi perlu mengembangkan kinerja individu dan kinerja kelompok. Sementara menurut Nelson dan Quick harus dilakukan sejumlah tindakan manajemen yaitu melakukan identifikasi, mengukur, menilai, dan umpan balik atas semua kegiatan yang dilaksanakan. Sedangkan menurut John W. Newstrom dan Keith Davis (2000;h.139), untuk merancang suatu sistem yang mendukung perbaikan kinerja adalah melalui (1) perumusan tujuan, (2) perencanaan tindakan, (3) review secara periodik, dan (4) evaluasi berkala. Menurut Castetter dalam Mulyasa (2004;h.139) untuk mengukur kinerja dilakukan melalui karakteristik personil, proses kerja, hasil kerja, dan kombinasi ketiganya. Menurut Arouf dalam Sedarmayanti (2002;h.202), alat pengukur kinerja ialah input, proses produksi, efisiensi kerja, kualitas kerja, dan efektivitas kerja. Menurut Edy Sutrisno (2009;h.111-112) indikator kinerja yaitu: kemampuan untuk melaksanakan tugas, efektivitas kerja, semangat kerja, pengembangan diri, kualitas kerja, dan efisiensi kerja. Menurut Sedarmayanti (2009;h.79) ialah: (1) tindakan yang konstruktif, (2) percaya pada diri sendiri, (3) bertanggung jawab, (4) mencintai pekerjaan, (5) mempunyai pandangan 109
International Conference on Education 2014 Official Conference Proceedings
Sabah, Malaysia
ke depan, (6) mampu mengatasi persoalan dan dapat menyesuaikan diri dengan lingkungan yang berubah-ubah, (7) mempunyai kontribusi positif terhadap lingkungan (kreatif, imajinatif dan inovatif), dan (8) memiliki kekuatan untuk mewujudkan potensinya. Sedangkan menurut John V. Gilmore (1974:h. 7), yaitu mereka yang memberi kontribusi positif pada lingkungan tempat mereka berada karena yang bersangkutan melakukan tindakan yang kontruktif, imajinatif, kreatif, dan inovatif. Jason A. Colquit dkk., (2009) mengatakan bahwa budaya organisasi, struktur organisasi, gaya kepemimpinan, kekuatan dan pengaruh kepemimpinan, kerja tim, karakteristik tim, kepribadian dan nilai-nilai budaya, serta kecakapan individu memiliki pengaruh tidak langsung terhadap kinerja pegawai. Sementara, menurut Robbins dan Judge, dan menurut Steven L McShane dan Mary Ann Glinow (2008: h.467) bahwa budaya organisasi mempunyai pengaruh langsung kepada kinerja. Kerangka Berpikir Budaya organisasi sebagai nilai-nilai yang dianut anggota organisasi menyediakan anggotanya untuk berinovasi, tetap stabil, respek kepada semua orang, berorientasi kepada hasil dan tim kerja, serta bersikap agresif. Sementara, kinerja kepala sekolah yang dimaksudkan sebagai nilai-nilai kontribusi 13 untuk mencapai tujuan sekolah akan mudah direalisasikan jika positif yang diberikan kepala sekolah memiliki daya dukung dari beragam kemampuan yang disediakan oleh budaya organisasi sekolah. Kemampuan yang beragam ini memberi kontribusi positif dan memiliki pengaruh yang kuat pada pencapaian tujuan organisasi. Dengan demikian diduga bahwa budaya sekolah berpengaruh langsung positif terhadap kinerja kepala sekolah. Hipotesis Budaya sekolah berpengaruh langsung positif terhadap kinerja kepala sekolah.
METODOLOGI PENELITIAN Penelitian ini bertujuan untuk memperoleh informasi tentang ada tidaknya pengaruh langsung budaya sekolah terhadap kinerja kepala sekolah. Peneltian dilaksanakan di SMP Negeri Kota Administrasi Jakarta Timur DKI Jakarta pada tahun 2011. Penelitian ini termasuk penelitian survey dengan teknik kausal. Data dikumpul dengan menggunakan angket dan dianalisis dengan statistika deskriptif dan inferensial. Populasi penelitian ialah seluruh Kepala SMP Negeri di lingkungan Kota Administrasi Jakarta Timur DKI Jakarta berjumlah 95 kepala sekolah. Sampelnya 77 kepala sekolah yang diambil secara acak sederhana dengan berpedoman pada rumus Slovin. Respondennya adalah seluruh kepala sekolah yang dijadikan sampel. HASIL PENELITIAN Karakteistik Sampel: Sampel dikelompokan berdasarkan jenis kelamin, masa kerja, dan pangkat atau golongan. Berdasarkan jenis kelamin, terdapat 55 atau 71,43% laki-laki dan 22 atau 28,57% perempuan, berdasarkan masa kerja, tebanyak memiliki masa kerja 21-30 tahun yaitu 45 orang atau 58,44%, dan terendah memiliki masa kerja 11-20 tahun yaitu 5 orang atau 6,49%. Berdasarkan pangkat/golongan, terbanyak memiliki pangkat/golongan IV/a yaitu 52 orang atau 67,53% dan terendah pangkat/golongan IV/c yaitu 3 orang atau 3,9%. Tidak ada sampel yang memiliki pangkat/golongan di bawah IV/a dan di atas IV/c. Deskripsi Data: Variabel kinerja kepala sekolah: skor minimum 110, skor maksimum 214, rerata 198,44, median 202, modus 211, simpangan baku 12,78, rentang skor 54, varians 163,28, kelas interval 8, 50 atau 64,9% skor di ata rerata, dan 23 atau 29,9% di bawah rerata. Variabel budaya organisasi: skor minimum 148, skor maksimum 205, rerata 185,05, median 189, modus 187, simpangan baku 15,01, rentang skor 57, varians 225,21, kelas interval 8, 40 atau 51,9% skor di atas rerata, dan 26 atau 33,8% di bawah rerata.
110
International Conference on Education 2014 Official Conference Proceedings
Sabah, Malaysia
Pengujian Persyaratan Analisis : (1) Uji Normalitas Galat Taksiran: Hasil uji Liliefors untuk menilai normalitas galat taksiran menyatakan bahwa data penelitian berdistribusi normal. Hasil perhitungannya dapat dilihat pada tabel berikut ini: Tabel 2. Rangkuman Hasil Uji Normalitas Galat Taksiran Galat L0 Lt Keterangan Taksiran α=0,05 Y atas X 0.096 0.101 Normal (2) Uji Signifikansi Persamaan Regresi: Hasil ANOVA untuk menilai signifikansi persamaan regresi menyatakan bahwa persamaan regresi adalah sangat signifikan. Hasil perhitungan dapat dilihat pada tabel 3 di bawah ini: Tabel 3. Rangkuman Hasil Uji Signifikansi Persamaan Regresi Variabe l Y– X
Persamaan Regresi Fhitung 91,94**
Ŷ=81,510+0,632X
Ftabel α 3,97
0,05
Signifikansi Ftabel α 0,01 6,99
Keterangan Sangat Signifikan
(3) Uji Linearitas Persamaan Regresi: Hasil ANOVA untuk menilai linearitas persamaan regresi menyatakan bahwa persamaan regresi adalah linear. Hasil perhitungan dapat dilihat pada tabel 4 di bawah ini: Tabel 4. Rangkuman Hasil Uji Linearitas Persamaan Regresi Variabel
Persamaan Regresi
Y– X
Ŷ=81,510+0,632X
Fhitung 1,61ns
Signifikansi Ftabel α 0,05 Ftabel α 0,01 1,72 2,16
Keterangan Linear
(4) Uji Signifikansi Koefisien Korelasi: Perhitungan koefisien korelasi sederhana menggunakan Pearson Product Moment Correlations dan pengujian signifikansi koefisien korelasi menggunakan tstudent. Hasil pengujian menyatakan bahwa koefisien korelasi sangat signifikan. Hasil perhitungan dapat dilihat pada tabel 5 di bawah ini: Tabel 5. Matriks Koefisien Korelasi Sederhana Antar Variabel Variabel
Budaya Organisasi (X)
Kinerja Kepala Sekolah (Y)
1,000**
0,742**
0,742**
1,000**
Budaya Organisasi (X1) Kinerja Kepala Sekolah (Y)
**Sangat Signifikan pada. α 0,01 (rtab 0,266 N=77) Sementara hasil perhitungan signifikansi koefisien korelasi dengan uji t-student dapat dilihat pada tabel 6 di bawah ini Tabel 6. Rangkuman Hasil Pengujian Signifikansi Koefisien Korelasi No 1
Variabel X– Y
Koefisien Korelasi 0,742
thitung 9,588* *
ttabel α 0,05 1,992
ttabel α o,01 2,643
**Koefisien korelasi sangat signifikan 111
International Conference on Education 2014 Official Conference Proceedings
Sabah, Malaysia
Perhitungan Koefisien Jalur: dilakukan berdasarkan model teoritis sebagai berikut: Budaya OrganisasipYx (X)
Kinerja Kepala Sekolah (Y)
Gambar 2. Model Hubungan Struktural Variabel Penelitian Berdasarkan diagram jalur pada gambar 2 di atas, terdapat sebuah Rangkuman hasil analisis jalur dapat dilihat pada tabel 7 di bawah ini.
koefisien jalur yaitu: p Yx.
Tabel 7. Rangkuman Hasil Perhitungan Signifikansi Koefisien Jalur Koefisien Jalur
pYX = 0,47
thitung
7,07
ttabel
Keterangan
α =0.05
α =0.01
1,99
2,64
Sangat Signifikan
Dari data pada tabel di atas diketahui bahwa jalur memiliki koefisien jalur sangat signifikan. Model akhir hasil analisis jalur dapat dilihat pada gambar 3 berikut ini. Budaya Organisasi (X)
0,47
Kinerja Kepala Sekolah (Y)
Gambar 3. Model Akhir Diagram Jalur Pengujian Hipotesis: dilakukan dengan cara menguji koefisien jalur melalui penggunaan uji-t dengan kriteria tolak hipotesis nihil jika thitung ˃ ttabel, dan sebagai konsekuensinya hipotesis alternatif diterima. Dengan demikian maka koefisien jalur dinyatakan signifikan. Hipotesis yang diajukan adalah budaya organisasi (X) berpengaruh langsung positif terhadap kinerja kepala sekolah (Y). Hasil pengujian hipotesis terhadap pYX = 0,47 diperoleh thitung = 7,07 ˃ ttabel = 1,99 (α 0,05) dan 2,64 (α 0,01). Dengan demikian disimpulkan bahwa budaya sekolah secara langsung, positif dan sangat signifikan berpengaruh terhadap kinerja kepala sekolah Pembahasan Hasil Penelitian: Penelitian ini telah berhasil menguji hipotesis yang diajukan yaitu budaya sekolah berpengaruh langsung positif terhadap kinerja kepala sekolah. Budaya sekolah mempunyai pengaruh langsung positif terhadap kinerja kepala sekolah terutama kinerja kepala SMP Negeri di Kota Administrasi Jakarta Timur. Kesimpulan ini didukung oleh pendapat Stephen P. Robbins dan Thimoty Judge serta pendapat Steven L McShane dan Mary Ann Glinow (2008: h.467) yang mengatakan bahwa budaya organisasi berpengaruh langsung positif terhadap kinerja, dimana semakin kuat budaya organisasi maka akan semakin baik kinerja yang dihasilkan. Budaya sekolah di lingkup SMP Negeri di Kota Administrasi Jakarta Timur pada umumnya menjunjung tinggi perhatian pada manusia, bekerja keras, disiplin, tanggung jawab, dan menyelesaikan pekerjaan tepat waktu. Disimpulkan bahwa budaya sekolah berpengaruh langsung positif terhadap kinerja kepala sekolah. Kesimpulan ini dapat digunakan sebagai variabel yang mendukung model teori kinerja yang dikemukakan Stephen P. Robbins dan Thimoty Judge serta pendapat Steven L McShane dan Mary Ann Glinow (2008: h.467). Implikasi hasil penelitian menyiratkan bahwa untuk meningkatkan kinerja kepala sekolah dapat dilakukan dengan melakukan peningkatan kualitas budaya sekolah.
112
International Conference on Education 2014 Official Conference Proceedings
Sabah, Malaysia
Keterbatasan Penelitian: Penelitian ini dilakukan terbatas pada satu variabel saja yang mempengaruhi kinerja kepala sekolah yaitu budaya sekolah, padahal yang mempengaruhi kinerja kepala sekolah sangat banyak, sehingga hasil penelitian ini tidak mampu memberikan iformasi yang cukup tentang penentu utama tinggi rendahnya kinerja kepala sekolah. Dimungkinkan muncul keraguan ketepatan informasi dari kesimpulan penelitian ini oleh karena data dikumpulkan dengan angket yang diisi oleh responden sekaligus obyek penelitian. Hasil penelitian ini tidak dapat digeneralisasikan dalam lingkup yang cukup luas karena wilayah penelitianya hanya di Kota Administrasi Jakarta Timur, kecuali kalau di wilayah lain memiliki kesamaan karakteristik dengan sampel penelitian ini. KESIMPULAN, IMPLIKASI DAN REKOMENDASI Kesimpulan Hasil Penelitian: Budaya sekolah berpengaruh langsung positif terhadap kinerja kepala sekolah Implikasi Hasil Penelitian: Untuk meningkatkan kinerja kepala sekolah dapat dilakukan dengan meningkatkan kualitas budaya sekolah. Rekomendasi: Bagi Pengelola Pendidikan (Dinas Pendidikan dan Instansi terkait) agar memerankan kepemimpinan Ki Hadjar Dewantoro ketika memimpin kepala sekolah guna meningkatkan kualitas budaya sekolah. Pengawas sekolah agar melakukan monitoring dan evaluasi serta melakukan pembinaan yang teratur terhadap kepala sekolah agar kinerja kepala sekolah meningkat. Kepala sekolah agar paham berbagai faktor yang mempengaruhi kinerjanya dan berusaha mawas diri dan selalu meningkatkan kualitas sikap dan kompetensi lainnya sebagai kepala sekolah guna mengejar kinerja yang tinggi. Peneliti lain agar melakukan penelitian lanjutan tentang kinerja kepala sekolah dengan sudut pandang yang lain di luar budaya organisasi. DAFTAR PUSTAKA Britain, Manufacturing In, A Survey of Factors Affecting Growth & Performance, ISR/Google Books, Revised 3th Edition, 2003. Colquitt, Jason A., Jeffrey A. LePine & Michael J. Wesson, Organizational Behavior Improving Performance and Commitment in the Workplace, New York: McGraw Hill, 2009. Depdiknas, Permen Diknas No. 13 Tahun 2007 tentang Standar Kepala Sekolah. George , Jennifer M., Gareth R. Jones, Understanding and Managing: Organizational Behavior, USA: by Pearson Education, Inc., 2005. Gibson, james L., et.al., Organization, Behavior, Structure, Processes, Singapore: McGraw-Hill Education, 2009. Greenberg, Jerald, Managing Behavior in Organization, 5th Edition, New Jersey: Pearson education, Inc., 2010. Hale, Judith A., Performance Based Management: What Every Manager Should Do To Get Result, San Prancisco: John Wiley & Sons, Inc., 2004. http//www:poskotaco.id/berita-terkini/gubernur-evaluasi (Jakarta: Koran Poskota, 21 September 2011).Diakses tanggal 25 September 2011. http//www:tempointeraktif, 70 Persen Kepala Sekolah Tak Kompeten, (Jakarta: Koran Tempo, 12 Agustus 2008). Diakses tanggal 18 April 2011. Kinicki, Angelo, Robert Kreitner, Organizational Behavior, Key Concepts, Skills & Best Practices 3th Ed., New York: McGraw-Hill, 2008. Luthans, Fred, Organizational Behavior, 11th Edition, Singapore: McGraw-Hill/Irwin, 2008. McShane, Steven L., Mary Ann Von Glinow, Organizational Behavior, Fourth Edition, New York: McGraw-Hill Companies, Inc., 2008.
113
International Conference on Education 2014 Official Conference Proceedings
Sabah, Malaysia
Mulyasa, E., Menjadi Kepala sekolah Profesional dalam Konteks Menyukseskan MBS dan KBK, Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, 2004. Mullins, Laurie J., Management and Organizational Behavior, Edinburg Gate harlow: prentice Hall, 2006. Newstrom, John W., Keith Davis, Organizationl Behavior, Human Behavior at Work, New York: McGraw-Hill/Irwin, 2000. Robbins, Stephen P., Thimoty Judge, Organization Behavior, New Jersey: Perason Education, Inc., Upper Saddle River, 2009. Schein, Edward H., Organizational Culture and Leadership, 3th Edition, San Prancisco: Jossey-Bass Publisher, 2004. Sedarmayanti, Tata Kerja dan Produktivitas Kerja: Suatu Tinjauan dari Aspek Ekonomi atau Kaitan Antar Manusia dengan Lingkungan Kerjanya, Bandung: Penerbit CV. Mandar Maju, 2009. Sevilla, Consuelo G., et.al., Pengantar Metode Penelitian, terjemahan Alimudin Tuwu, Jakarta: Penerbit Universitas Indonesia Press, 1993. Slocum, John W., Don Hellriegel, Principles of Organization Behavior 11th Edition, Toronto: Nelson Education, Ltd., 2009. Undang-undang Republik Indonesia No. 20 Tahun 2003, tentang Sistem Pendidikan Nasional, Bab II Pasal 3 Halaman 7, Penerbit Citra Umbara , Bandung. Vecchio, Robert P., Organizational Behavior: Core Concepts, 6th Edition, USA: by Thomson Corporation, 2006. Wahjosumidjo, Kepemimpinan Kepala Sekolah, Jakarta: PT. Grasindo Persada, 2002.
114
International Conference on Education 2014 Official Conference Proceedings
Sabah, Malaysia
PENERAPAN PRINSIP KESANTUNAN DALAM BERBAHASA Ninuk Lustyantie1 1
Jurusan Bahasa Prancis Fakultas Bahasa dan Seni dan Program Studi Pendidikan Bahasa/Linguistik Terapan Program Pascasarjana Universitas Negeri Jakarta.
[email protected] Abstrak
Language is a system that is primarily used by humans to interact with each other. Language can be observed from the substance (form, meaning, and the rules that govern them) and of the function (as a means of communication). Ferdinand de Saussure states that language is a system, has its own arrangement, and everything pertaining to the system and the rules are internal. In terms of function, language is a tool of communication. With respect to the language as "himself" and function as a tool of communication, language has to do with society, culture, and the mind of native speakers, even with the world in general, the presence of between language, society, culture, and the human mind (speakers). Thus language is the main tool for us to carry out a social relationship. The words were spoken people refer to a common experience. These article express facts, ideas or events that can be communicated as they refer to the knowledge of the world which is also known by others. In politeness, Brown and Levinson (1987) distinguishes two types of 'face', ie positive face, which means showing solidarity, and negative face, which indicates a desire not to be disturbed in his actions. In addition, there are two types of politeness concern when we interact with others, ie positive politeness, which is characterized by the use of informal language and offer friendship. Politeness itself depends on the socio-cultural, norms, and rules somewhere, so the study of linguistic politeness selecting either of the verbal and nonverbal be used by the people of Indonesia in communicating very diverse. Abstrak Bahasa adalah satu sistem yang terutama sekali digunakan oleh manusia untuk berinteraksi satu sama lain. Bahasa dapat dicermati dari substansinya (bentuk, makna, dan kaidah yang mengaturnya) dan dari fungsinya (sebagai alat komunikasi). Sebagai substansi, Ferdinand de Saussure menyatakan bahwa bahasa adalah sebuah sistem, mempunyai susunan sendiri, dan segala sesuatu yang berkenaan dengan sistem dan kaidah tersebut bersifat internal. Dari segi fungsinya, bahasa adalah alat komunikasi. Sehubungan dengan bahasa sebagai “dirinya sendiri” dan fungsinya sebagai alat komunikasi, bahasa mempunyai kaitan dengan masyarakat, kebudayaan, dan pikiran penuturnya, bahkan dengan dunia secara umum maka timbul adanya keberhubungan antara bahasa, masyarakat, budaya, dan pikiran manusia (penuturnya). Dengan demikian bahasa adalah alat utama bagi kita untuk melakukan sebuah hubungan sosial. Kata-kata yang diucapkan orang mengacu pada sebuah pengalaman umum. Kata-kata tersebut mengungkapkan fakta, ide atau peristiwa yang dapat dikomunikasikan karena mereka mengacu pada pengetahuan tentang dunia yang juga diketahui oleh orang lain. Dalam kesantunan, Brown dan Levinson (1987) membedakan dua jenis ‘muka’, yaitu positive face, yang berarti menunjukkan solidaritas, dan negative face, yang menunjukkan hasrat untuk tidak diganggu dalam tindakannya. Selain itu, ada dua jenis kesantunan yang menjadi perhatian saat kita berinteraksi dengan orang lain, yaitu positive politeness, yang ditandai dengan penggunaan bahasa yang informal dan menawarkan pertemanan. Kesantunan berbahasa sendiri bergantung pada sosial budaya, norma, dan aturan suatu tempat, sehingga kajian pemilihan kesantunan berbahasa baik dari sisi verbal maupun nonverbal digunakan oleh masyarakat Indonesia dalam berkomunikasi sangat beragam. Kata kunci: kesantunan berbahasa, verbal, nonverbal. 115
International Conference on Education 2014 Official Conference Proceedings
Sabah, Malaysia
PENDAHULUAN A. Latar Belakang Koentjaraningrat (1976) menyatakan bahwa bahasa digunakan dalam konteks budaya tertentu, baik dalam konteks yang abstrak maupun yang konkret. Disebut memiliki konteks abstrak karena bahasa berada dalam lingkungan sistem nilai tertentu, setidak-tidaknya dalam sistem nilai yang dianut oleh pemakai bahasa itu. Disebut memiliki konteks konkret karena bahasa pada umumnya digunakan dalam lingkungan manusia, bahkan di dalam lingkungan hasil karya manusia. Dengan demikian, nilai suatu masyarakat, termasuk nilai budaya patriarkal terkemas di dalam bahasa. Hal itu diperkuat oleh pendapat Burman dan Parker yang menyatakan bahwa bahasa berisi sebagian besar kategori dasar yang kita gunakan untuk memahami diri kita sendiri; bahasa mempengaruhi cara kita bertindak sebagai wanita atau pria dalam masyarakat; bahasa juga memproduksi cara kita menentukan identitas budaya kita. Dengan demikian, jika bahasa sendiri sudah seksis, hal itu pun akan membentuk pemikiran pemakainya untuk berprilaku tersebut. Tujuan utama kesantunan berbahasa adalah memperlancar komunikasi. Oleh karena itu, pemakaian bahasa yang sengaja dibelit-belitkan, yang tidak tepat sasaran, atau yang tidak menyatakan yang sebenarnya karena enggan kepada orang yang lebih tua juga merupakan ketidaksantunan berbahasa. Kenyataan ini sering dijumpai di masyarakat Indonesia karena terbawa oleh budaya "tidak terus terang" dan menonjolkan perasaan. Dalam batas-batas tertentu masih bisa ditoleransi jika penutur tidak bermaksud mengaburkan komunikasi sehingga orang yang diajak berbicara tidak tahu apa yang dimaksudkannya. Dalam artikel berikut diuraikan bagaimana prinsip-prinsip kesantunan berbahasa perlu diterapkan baik dari sisi verbal maupun nonverbal sekaligus dianalisis dari sisi budaya masyarakat Indonesia yang sangat beragam. B. Rumusan Masalah Penelitian Berdasarkan penjelasan latar belakang, masalah penelitian ini adalah bagaimanakah prinsipprinsip kesantunan berbahasa baik dari sisi verbal maupun nonverbal digunakan oleh masyarakat Indonesia dalam berkomunikasi? C. Tujuan Penelitian Merujuk masalah penelitian di atas, tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui realitas potret penggunaan kesantunan berbahasa baik dari sisi verbal maupun nonverbal dalam berkomunikasi. D. Manfaat Penelitian Dengan diadakannya kajian ini, diharapakan akan bermanfaat bagi: a) Dosen - sebagai pengajar sebagai bahan informasi dan referensi mengenai fenomena dan realitas mengenai potret kesantunan berbahasa baik dari sisi verbal maupun nonverbal digunakan oleh masyarakat Indonesia dalam berkomunikasi. b) Mahasiswa - hasil penelitian ini juga sebagai informasi untuk memperkaya wawasan tentang kajian sosiolinguistik khususnya realitas pemilihan kesantunan berbahasa baik dari sisi verbal maupun nonverbal digunakan oleh masyarakat Indonesia dalam berkomunikasi. c) Bagi peneliti lain - penelitian ini juga sebagai informasi awal untuk mengkaji sub-sub kajian sosiolinguistik yang lain. d) Secara umum, hasil penelitian ini memberikan sumbangan yang positif terhadap kajian sosiolinguistik secara umum untuk mengembangkan body of knowledge tentang sosiolinguistik. KAJIAN TEORI 1. Kesantunan Kesantunan (politeness) adalah tatacara, adat, atau kebiasaan yang berlaku dalam masyarakat. Kesantunan merupakan aturan perilaku yang ditetapkan dan disepakati bersama oleh suatu masyarakat tertentu sehingga kesantunan sekaligus menjadi prasyarat yang disepakati oleh perilaku sosial. Oleh karena itu, kesantunan ini biasa disebut "tatakrama". 116
International Conference on Education 2014 Official Conference Proceedings
Sabah, Malaysia
Berdasarkan pengertian tersebut, kesantunan dapat dilihat dari dari berbagai segi dalam pergaulan sehari-hari. a. Kesantunan memperlihatkan sikap yang mengandung nilai santun atau etiket dalam pergaulan sehari-hari. Ketika orang dikatakan santun, maka dalam diri seseorang itu tergambar nilai santun atau nilai etiket yang berlaku secara baik di masyarakat tempat seseorang itu mengambil bagian sebagai anggotanya. Ketika dia dikatakan santun, masyarakat memberikan nilai kepadanya, baik penilaian itu dilakukan secara seketika (mendadak) maupun secara konvensional (panjang, memakan waktu lama). Sudah barang tentu, penilaian dalam proses yang panjang ini lebih mengekalkan nilai yang diberikan kepadanya. b. Kesantunan sangat kontekstual, yakni berlaku dalam masyarakat, tempat, atau situasi tertentu, tetapi belum tentu berlaku bagi masyarakat, tempat, atau situasi lain. Ketika seseorang bertemu dengan teman karib, boleh saja dia menggunakan kata yang agak kasar dengan suara keras, tetapi hal itu tidak santun apabila ditujukan kepada tamu atau seseorang yang baru dikenal. Mengecap atau mengunyah makanan dengan mulut berbunyi kurang sopan kalau sedang makan dengan orang banyak di sebuah perjamuan, tetapi hal itu tidak begitu dikatakan kurang sopan apabila dilakukan di rumah. c. Kesantunan selalu bipolar, yaitu memiliki hubungan dua kutub, seperti antara anak dan orangtua, antara orang yang masih muda dan orang yang lebih tua, antara tuan rumah dan tamu, antara pria dan wanita, antara murid dan guru, dan sebagainya. d. Kesantunan tercermin dalam cara berpakaian (berbusana), cara berbuat (bertindak), dan cara bertutur (berbahasa). 2. Jenis Kesantunan Kesantunan secara umum dapat dibagi menjadi tiga, yaitu kesantunan berpakaian, kesantunan berbuat, dan kesantunan berbahasa. Kecuali berpakaian, dua kesantunan terakhir tidak mudah dirinci karena tidak ada norma baku yang dapat digunakan untuk kedua jenis kesantunan itu. Di dalam kesantunan berpakaian (berbusana, berdandan), ada dua hal yang perlu diperhatikan. Pertama, berpakaianlah yang sopan di tempat umum, yaitu hindarilah pakaian yang dapat merangsang orang lain terutama lawan jenis, seperti pakaian tembus pandang (lejas), menampakkan bagian badan yang pada umumnya ditutup, dan rok yang terlalu mini atau terbelah terlalu tinggi. Kedua, berpakaianlah yang rapi dan sesuai dengan keadaan, yaitu berpakaian resmi pada acara resmi, berpakaian santai pada situasi santai, berpakaian renang pada waktu renang. Kesantunan perbuatan adalah tatacara bertindak atau gerak-gerik ketika menghadapi sesuatu atau dalam situasi tertentu. Misalnya, ketika menerima tamu, bertamu ke rumah orang, duduk di ruang kelas, menghadapi orang yang kita hormati, berjalan di tempat umum, menunggu giliran (antre), makan bersama di tempat umum. Masing-masing situasi tersebut memerlukan tatacara yang berbeda. Pada waktu makan bersama, misalnya, memerlukan kesantuan dalam cara duduk, cara mengambil makanan, cara makan atau mengunyah, cara memakai sendok, cara membersihkan mulut setelah makan, dan cara memakai tusuk gigi. Sekedar contoh terkait dengan kesantunan tindakan, misalnya kurang santun apabila kita berwajah murung ketika menerima tamu, duduk dengan kaki di atas bangku ketika mengikuti kuliah, bertolak pinggang ketika berbicara dengan orang tua, mendahului orang lain dengan bersenggolan badan atau ketika berjalan di tempat umum tanpa sebab, menyela antrean atau memotong giliran orang, menguap selebar-lebarnya sambil mengeluarkan suara di depan orang lain, dan mencungkil gigi tanpa menutup mulut ketika sedang makan bersama di tempat umum. Kesantunan berbahasa tercermin dalam tatacara berkomunikasi lewat tanda verbal atau tatacara berbahasa. Ketika berkomunikasi, kita tunduk pada norma-norma budaya, tidak hanya sekedar menyampaikan ide yang dipikirkan. Tatacara berbahasa harus sesuai dengan unsur-unsur budaya yang ada dalam masyarakat tempat hidup dan dipergunakannya suatu bahasa dalam berkomunikasi. Apabila tatacara berbahasa seseorang tidak sesuai dengan norma-norma budaya, maka akan mendapatkan nilai negatif, misalnya dijuluki sebagai orang yang sombong, angkuh, tak acuh, egois, bahkan tidak berbudaya. Tatacara berbahasa sangat penting diperhatikan para peserta komunikasi (komunikator dan komunikan) demi kelancaran komunikasi. Oleh karena itu, masalah tatacara berbahasa ini harus mendapatkan perhatian. Dengan mengetahui tatacara berbahasa diharapkan orang lebih dapat 117
International Conference on Education 2014 Official Conference Proceedings
Sabah, Malaysia
memahami pesan yang disampaikan dalam komunikasi karena tatacara berbahasa bertujuan mengatur serangkaian hal yaitu: (1) Apa yang sebaiknya dikatakan pada waktu dan keadaan tertentu, (2) Ragam bahasa apa yang sewajarnya dipakai dalam situasi tertentu, (3) Kapan dan bagaimana giliran berbicara dan pembicaraan sela diterapkan, (4) Bagaimana mengatur kenyaringan suara ketika berbicara, (5) Bagaimana sikap dan gerak-gerik ketika berbicara, dan (6) Kapan harus diam dan mengakhiri pembicaraan. Tatacara berbahasa seseorang dipengaruhi norma-norma budaya suku bangsa atau kelompok masyarakat tertentu. Misalnya, tatacara berbahasa orang Inggris berbeda dengan tatacara berbahasa orang Amerika meskipun mereka sama-sama berbahasa Inggris. Begitu juga, tatacara berbahasa orang Jawa berbeda dengan tatacara berbahasa orang Batak meskipun mereka sama-sama berbahasa Indonesia. Hal itu menunjukkan bahwa kebudayaan yang sudah mendarah daging pada diri seseorang berpengaruh pada pola berbahasanya. Itulah sebabnya perlu dipelajari atau dipahami norma-norma budaya. Tatacara berbahasa yang mengikuti norma-norma budaya akan menghasilkan kesantunan berbahasa. Sebagai contoh, dalam budaya Melayu kata ganti diri ”aku” tidak boleh digunakan karena memiliki arti yang sangat kasar. Untuk menyebutkan diri, dapat digunakan kata saya, menyebutkan nama sendiri, atau dengan patik. 3. Kesantunan Berbahasa Kesantunan menurut Searle (1969) merupakan bentuk tindak tutur yang tidak langsung: In the field of indirect illocutionary act, the area of directives is the most useful to study because ordinary conversational requirements of politeness normally make it awkward to issue flat imperative statements or explicit performatives, and we therefore seek to find indirect means to our illocutionary ends. In directives, politeness is the chief motivation for indirectness. Untuk pertama kalinya, konsep ini diperkenalkan oleh Erving Goffman (1967) melalui istilah ‘muka’ (face). Dua puluh tahun kemudian, Brown dan Levinson (1987) memberikan definisi mengenai ‘muka’, yaitu sebagai ‘the public self-image that every member wants to claim for himself’. Terminologi tentang kesantunan (politeness) sendiri banyak mengandung arti. Menurut Thomas, untuk memahaminya perlu melihat lima fenomena yang saling berhubungan, yakni: a. Kesantunan sebagai tujuan dunia nyata Fenomena yang muncul dari kesantunan sebagai dunia nyata dilihat dari istilah ‘kesantunan’ yang diinterpretasikan sebagai hasrat untuk dihargai orang lain atau sebuah motivasi terpendam dari sikap kebahasaan seseorang. Hasrat dan motivasi ini hanya dapat diperoleh melalui apa yang diucapkan oleh seseorang yang kemudian direspon oleh pendengarnya. Kita bisa mengobservasi seseorang lebih santun dari yang lain, akan tetapi hal tersebut tidak dapat dijadikan dasar kesamaan dengan komunitas yang lainnya. b. Rasa hormat vs. Kesantunan Rasa hormat sering dihubungkan dengan kesantunan, meskipun merupakan fenomena berbeda. Rasa hormat mengacu pada rasa segan yang kita tunjukkan pada orang lain melalui nilai yang mereka miliki, seperti status, usia, dsb. Kesantunan merupakan hal yang umum untuk menunjukkan perhatian pada orang lain. Antara rasa hormat dan kesantunan dapat dimanifestasikan melalui tingkah laku sosial maupun cara-cara kebahasaan, misalnya saja kita dapat mengungkapkan rasa hormat kita dengan berdiri saat seseorang yang memiliki status yang lebih tinggi masuk ruangan, atau dengan menunjukkan kesantunan dengan memegang pintu tetap terbuka saat seseorang akan keluar ruangan. c. Ragam Bahasa Istilah ragam bahasa (register) mengacu pada variasi sistematik dalam hubungannya dengan konteks sosial, atau cara bahasa yang digunakan untuk berbicara maupun menulis disesuaikan dengan situasi. Situasi tertentu atau jenis bahasa yang digunakan maupun hubungan sosial tertentu menuntut penggunaan bahasa yang formal. Keformalan bahasa yang digunakan dapat bermanifestasi dengan pilihan bentuk bahasa yang formal, penghindaran interupsi, dan lain-lain. Seperti halnya dengan rasa hormat, register hanya memiliki hubungan yang sedikit dengan kesantunan. Register sendiri 118
International Conference on Education 2014 Official Conference Proceedings
Sabah, Malaysia
merupakan fenomena nyata dari sosiolinguistik, yaitu penjelasan bentuk-bentuk kebahasaan yang biasanya muncul pada situasi tertentu. d. Kesantunan sebagai fenomena ujaran Banyak studi mengenai kesantunan difokuskan pada level realisasi ujaran. Walter (1979) mendefinisikan fenomena ini sebagai cara menginvestigasi seberapa banyak kesantunan ditekan dari strategi tindak tutur. Fenomena ini melihat kesantunan dalam tingkat permukaan, yakni menekankan pada penggunaan bentuk bahasa dari tindak tutur itu sendiri. e. Kesantunan sebagai fenomena pragmatik Pada tingkat ini, kesantunan dianggap sebagai sebuah strategi yang digunakan oleh pembicara untuk dapat mencapai tujuan yang diinginkan. Dengan kata lain, penggunaan bentuk bahasa tertentu secara kontekstual untuk mencapai tujuan si pembicara. Selanjutnya, konsep kesantunan ini kemudian berkembang menjadi lima teori kesantunan berbahasa, yaitu: 1. Teori Relevansi/Prinsip Teori Teori ini dikembangkan oleh Sperber dan Wilson (1989). Teori ini mempunyai satu bidal (maksim), yaitu prinsip relevansi, antara pembicara dan mitra bicara agar dapat terjalin komunikatif otensif. Teori ini berkaitan erat dengan proses kognitif seseorang dalam penerimaan pesan serta bagaimana manusia dapat dengan mudah dimengerti, mengorganisasikan dan menggunakan informasi yang ada dalam pesan. Di dalam setiap komunikasi tidak boleh ada paksaan bagi kedua pihak untuk memberi info secukupnya saja atau harus mengerti perbedaan makna yang dikatakan dengan maksud pembicara. 2. Prinsip Sopan Santun Teori ini dikembangkan oleh Leech yang memperkenalkan sejumlah bidal (maksim) yang memiliki kesamaan dengan prinsip-prinsip kerja sama (cooperative principle) yang dikemukakan oleh Grice. Lima maksim ini disebut Principle Politeness (Prinsip Kesantunan). Maksim-maksim yang dikemukakan oleh Leech adalah: (1) maksim kebijaksanaan (tact maxim), yang menekankan pada ‘pengurangan beban untuk orang lain dan memaksimalkan ekpresi kepercayaan yang memberikan keutungan untuk orang lain; (2) maksim kemurahan hati (The Generosity Maxim), yang menyatakan bahwa kita harus mengurangi ekpresi yang menguntungkan diri sendiri dan harus memaksimalkan ekspresi yang dapat menguntungkan orang lain; (3) maksim penerimaan (The Approbation Maxim), yang menuntut kita untuk meminimalkan ekspresi ketidakyakinan terhadap orang lain dan memaksimalkan ekpresi persetujuan terhadap orang lain; (4) maksim kesederhanaan (The Modesty Maxim), yang menuntut diri kita untuk tidak membanggakan diri sendiri; (5) maksim persetujuan (The Agreement Maxim), maksim ini menuntut kita untuk mengurangi ketidaksetujuan antara diri sendiri dan orang lain; memaksimalkan persetujuan antara diri sendiri dan orang lain. 3. Prinsip Kesantunan Rasional dan Muka Brown dan Levinson (dikutip oleh Wardhaugh, 1997) membedakan dua jenis ‘muka’, yaitu positive face yang berarti menunjukkan solidaritas, dan negative face, yang menunjukkan hasrat untuk tidak diganggu dalam tindakannya. Selain itu, ada dua jenis kesantunan yang menjadi perhatian saat kita berinteraksi dengan orang lain, yaitu positive politeness, yang ditandai dengan penggunaan bahasa yang informal dan menawarkan pertemanan. Di sisi lain negative politeness ditandai oleh penggunaan formalitas bahasa, mengacu pada perbedaan, dan ketidaklangsungan. Konsep ‘muka’ sendiri digunakan pertama kali tahun 1876 sebagai terjemahan dari bahasa Cina ‘dui lian’. ‘Muka’ di sini memiliki makna ‘reputasi’ atau ‘nama baik’. Goffman, yang mempopulerkan konsep ‘muka’ pada tahun 1967, memberikan definisi ‘muka’ sebagai: “.....the positive social value a person effectively claims for himself by the line others assume he has taken during a particular contact. Face in an image of self delineated In terms of approved social attributes—albeit an image that others may share, a when a person makes a good showing for his profession or religion by making a good showing for himself”.
119
International Conference on Education 2014 Official Conference Proceedings
Sabah, Malaysia
Menurut Brown dan Levinson, ada beberapa tindak ilokusi tertentu yang berpotensi mengancam atau merusak ‘muka’ orang lain. Tindakan ini disebut ‘face- threatening acts’ (FTAs). Untuk mengurangi FTAs ini, perlu strategi yang berbasis pada kekuasaan (power), jarak (distance), ukuran beban (rating of imposition). 4. Prinsip Kerjasama (Cooperative Principle) Dalam prinsip kerjasama, seseorang harus mengikuti beberapa maksim agar tujuan komunikasi tercapai, dan prinsip ini tidak berlaku jika percakapan dilakukan seorang diri. Hal ini dinyatakan oleh Grice: “it may be worth noting that specific expectations or presumptions connected with at least some of the foregoing maxims have their analogues in the sphere of transactions that are not talk exchanges. I list briefly one such analog for each conversational category.” Prinsip kerjasama yang diperkenalkan oleh Grice pada tahun 1975, memuat empat maksim, yaitu: a. Maksim Kualitas. Maksim ini menuntut pembicara untuk memberikan kontribusi seinformatif yang dibutuhkan. Misalnya, jika seseorang membutuhkan empat kursi, maka jangan memberinya tiga, dua atau satu kursi. b. Maksim Kuantitas. Maksim ini menuntut agar pembicara tidak mengatakan hal yang palsu atau tidak memiliki bukti yang cukup. Misalnya, jika seseorang membutuhkan gula untuk adonan kuenya, maka jangan diberi garam. c. Maksim Hubungan. Maksim ini menuntut pembicara untuk relevan dengan hal yang dibutuhkan. Misalnya jika seseorang tengah sibuk membuat adonan kue, maka jangan diberikan buku petunjuk yang benar untuk mengadoni kue. d. Maksim Cara. Maksim ini menuntut pembicara memberikan informasi yang jelas dan akurat. Janganlah memberikan informasi yang ambigu, sehingga akan membingungkan lawan bicara. Sementara itu, Leech memandang prinsip kesantunan sebagai “piranti” untuk menjelaskan mengapa penutur sering bertutur secara tidak langsung (indirect) dalam mengungkapkan maksudnya. Motivasi penggunaan tindak tutur tidak langsung dimaksudkan agar ujaran terdengar santun. Penutur biasanya menggunakan implikatur. Implikatur adalah apa yang tersirat dalam suatu ujaran. Jika kita bedakan “apa yang dikatakan” (what is said) dan “apa yang dikomunikasikan” (what is communicated), implikatur termasuk apa yang dikomunikasikan. Leech (1983) dalam bukunya Principles of Pragmatics mengajukan tujuh maksim kesantunan, yaitu a. maksim kebijaksanaan “tact maxim” (berilah keuntungan bagi mitra tutur), b. maksim kedermawanan “generosity maxim” (maksimalkan kerugian pada diri sendiri), c. maksim pujian “praise maxim” (maksimalkan pujian kepada mitra tutur), d. maksim kerendahan hati (minimalkan pujian kepada diri sendiri), e. maksim kesetujuan (maksimalkan kesetujuan dengan mitra tutur), f. maksim simpati “sympathy maxim” (maksimalkan ungkapan simpati kepada mitra tutur), dan g. maksim pertimbangan “consideration maxim” (minimalkan rasa tidak senang pada mitra tutur’ dan maksimalkan rasa senang pada mitra tutur). Prinsip kesantunan Leech ini oleh beberapa ahli pragmatik dipandang sebagai usaha “menyelamatkan teori Grice, karena prinsip kesantunan Grice sering tidak dipatuhi daripada diikuti dalam praktik penggunaan bahasa yang sebenarnya” (Thomas, 1995:15). Suatu tuturan dikatakan santun bila dapat meminimalkan pengungkapan pendapat yang tidak santun (Leech, 1983: 81). HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN. Hasil penelitian tentang pembentukan kesantunan berbahasa dianalisis menurut teori Leech (1986) pada hakikatnya harus memperhatikan empat prinsip sebagai berikut. 1. Penerapan prinsip kesopanan (politeness principle) dalam berbahasa Prinsip ini ditandai dengan memaksimalkan kesenangan/kearifan, keuntungan, rasa salut atau rasa hormat, pujian, kecocokan, dan kesimpatikan kepada orang lain' dan (bersamaan dengan itu) meminimalkan hal-hal tersebut pada diri sendiri. 120
International Conference on Education 2014 Official Conference Proceedings
Sabah, Malaysia
Dalam berkomunikasi, di samping menerapkan prinsip kerja sama (cooperative principle) dengan keempat maksim (aturan) percakapannya, yaitu maksim kuantitas, maksim kualitas, maksim relevansi, dan maksim cara; juga menerapkan prinsip kesopanan dengan keenam maksimnya, yaitu (1) maksim kebijakan yang mengutamakan kearifan bahasa, (2) maksim penerimaan yang mengutamakan keuntungan untuk orang lain dan kerugian untuk diri sendiri, (3) maksim kemurahan yang mengutamakan kesalutan/rasa hormat pada orang lain dan rasa kurang hormat pada diri sendiri, (4) maksim kerendahan hati yang mengutamakan pujian pada orang lain dan rasa rendah hati pada diri sendiri, (5) maksim kecocokan yang mengutamakan kecocokan pada orang lain, dan (6) maksim kesimpatisan yang mengutamakan rasa simpati pada orang lain. Dengan menerapkan prinsip kesopanan ini, orang tidak lagi menggunakan ungkapan-ungkapan yang merendahkan orang lain sehingga komunikasi akan berjalan dalam situasi yang kondusif. Perhatikan contoh berikut. A : Selamat, Anda lulus dengan predikat maksimal! B : Oh, saya memang pantas mendapatkan predikat cumlaude. Pada contoh di atas terlihat bahwa si A memenuhi prinsip kesopanan dengan memaksimalkan pujian kepada temannya yang baru saja lulus doktor dengan predikat cumlaude dan tepat waktu, tetapi si B tidak mengikuti prinsip kesopanan karena memaksimalkan rasa hormat atau rasa hebat pada diri sendiri. 2. Penghindaran pemakaian kata tabu (taboo) Kata-kata yang berbau seks, pada kebanyakan masyarakat, kata-kata yang merujuk pada organorgan tubuh yang lazim ditutupi pakaian, kata-kata yang merujuk pada sesuatu benda yang menjijikkan, dan kata-kata "kotor" dan "kasar" termasuk kata-kata tabu dan tidak lazim digunakan dalam berkomunikasi sehari-hari, kecuali untuk tujuan-tujuan tertentu. Contoh berikut ini merupakan kalimat yang menggunakan kata tabu karena diucapkan oleh mahasiswa kepada dosen ketika perkuliahan berlangsung. - Pak, mohon izin keluar sebentar, saya mau berak! - Mohon izin, Bu, saya ingin kencing! Kata berak pada kalimat pertama dan kata kencing pada kalimat kedua tergolong ke dalam kata tabu karena bernilai “kasar” atau ”kotor” tadi. Pada konteks perkuliahan kata yang lebih baik digunakan adalah ”ke belakang” saja yang mancakupi kedua makna tadi. 3. Penggunaan Eufemisme (Ungkapan Penghalus) Penggunaan eufemisme ini perlu diterapkan untuk menghindari kesan negatif. Misalnya, ketika kita bertamu ke rumah seseorang dan kita ingin buang air, maka percakapan yang kemungkinan berlangsung adalah: - Pak, permisi, ada orang di kamar kecil? Atau, yang lebih halus lagi: - Pak, permisi, saya mau ke kamar kecil. Atau, yang paling halus: - Pak, permisi, saya mau ke belakang. Ungkapan pertama di atas menunjukkan bentuk yang halus dari maksud buang air meskipun dengan menanyakan keberadaan orang lain di kamar kecil. Ungkapan kedua lebih halus karena hanya dengan menyatakan maksudnya ke kamar kecil tanpa perlu menanyakan siapa pun yang berada di kamar kecil. Ungkapan ketiga paling halus karena bentuk makna tak langsung yang digunakan adalah ’ke belakang’ 4. Penggunaan pilihan kata honorifik (ungkapan hormat untuk berbicara dan menyapa orang lain) Penggunaan kata-kata honorifik ini tidak hanya berlaku bagi bahasa yang mengenal tingkatan (undha-usuk dalam bahasa Jawa) tetapi berlaku juga pada bahasa-bahasa yang tidak mengenal tingkatan. Hanya saja, bagi bahasa yang mengenal tingkatan, penentuan kata-kata honorifik sudah ditetapkan secara baku dan sistematis untuk pemakaian setiap tingkatan. Misalnya, bahasa Jawa krama inggil (laras tinggi) dalam bahasa Jawa perlu digunakan kepada orang yang tingkat sosial dan usianya lebih tinggi dari pembicara; atau kepada orang yang dihormati oleh pembicara. Walaupun bahasa Indonesia tidak mengenal tingkatan, pronominal persona engkau, Anda, saudara, bapak/ibu mempunyai efek kesantunan yang berbeda ketika dipakai untuk menyapa orang. Keempat kalimat berikut menunjukkan tingkat kesantunan ketika seseorang pemuda menanyakan seorang pria yang lebih tua. 121
International Conference on Education 2014 Official Conference Proceedings
Sabah, Malaysia
(1) Engkau mau ke mana? (2) Saudara mau ke mana? (3) Anda mau ke mana? (4) Bapak mau ke mana? Dalam konteks ini, kalimat (1) dan (2) tidak atau kurang sopan diucapkan oleh orang yang lebih muda, tetapi kalimat (4) yang sepatutnya diucapkan jika penuturnya ingin memperlihatkan kesantunan. Kalimat (3) lazim diucapkan kalau penuturnya kurang akrab dengan orang yang disapanya, walaupun lebih patut penggunaan kalimat (4). 5. Uusur Verbal dan Nonverbal dalam Kesantunan Di samping empat prinsip penerapan kesantunan dalam berbahasa, berikut dibahas pula aspekaspek nonlinguistik yang mempengaruhi kesantunan berbahasa. Selain unsur-unsur verbal, unsur-unsur nonverbal yang selalu terlibat dalam berkomunikasi pun perlu diperhatikan. Unsur-unsur nonverbal yang dimaksud adalah unsur-unsur paralinguistik, kinesik, dan proksemik. Perhatian terhadap unsurunsur ini juga dalam rangka pencapaian kesantunan berbahasa. Paralinguistik berkenaan dengan ciri-ciri bunyi seperti suara berbisik, suara meninggi, suara rendah, suara sedang, suara keras, atau pengubahan intonasi yang menyertai unsur verbal dalam berbahasa. Penutur harus memahami kapan unsur-unsur ini diterapkan ketika berbicara dengan orang lain kalau ingin dikatakan santun. Misalnya, ketika ada seorang penceramah berbicara dalam suatu seminar, kalau peserta seminar ingin berbicara kepada temannya, adalah santun dengan cara berbisik agar tidak mengganggu acara yang sedang berlangsung; tetapi kurang santun berbisik dengan temannya dalam pembicaraan yang melibatkan semua peserta karena dapat menimbulkan salah paham pada peserta lain. Suara keras yang menyertai unsur verbal penutur ketika berkomunikasi dengan atasannya bisa dianggap kurang santun, tetapi hal itu dapat dimaklumi apabila penutur berbicara dengan orang yang kurang pendengarannya. Gerak tangan, anggukan kepala, gelengan kepala, kedipan mata, dan ekspresi wajah seperti murung dan senyum merupakan unsur kinesik (atau ada yang menyebut gesture, gerak isyarat) yang juga perlu diperhatikan ketika berkomunikasi. Apabila penggunaannya bersamaan dengan unsur verbal dalam berkomunikasi, fungsinya sebagai pemerjelas unsur verbal. Misalnya, seorang anak diajak ibunya ke dokter, ia menjawab "Tidak, tidak mau" (verbal) sambil menggeleng-gelengkan kepala (kinesik). Akan tetapi, apabila penggunaannya terpisah dari unsur verbal, fungsinya sama dengan unsur verbal itu, yaitu menyampaikan pesan kepada penerima tanda. Misalnya, ketika bermaksud memanggil temannya, yang bersangkutan cukup menggunakan gerak tangan berulang-ulang sebagai pengganti ucapan "Hai, ayo cepat ke sini!". Sebenarnya banyak gerak isyarat (gesture) digunakan secara terpisah dengan unsur verbal karena pertimbangan tertentu. Misalnya, karena ada makna yang dirahasiakan, cukup dengan mengedipkan mata kepada lawan komunikasi agar orang di sekelilingnya tidak tahu maksud komunikasi tersebut. Seorang ayah membentangkan jari telunjuk secara vertikal di depan mulut agar anaknya (penerima tanda) segera diam karena sejak tadi bercanda dengan temannya saat khutbah Jumat berlangsung. Masih banyak contoh lain yang bisa diketengahkan berkaitan dengan kinesik ini. Namun, yang perlu diperhatikan dalam konteks ini adalah kinesik atau gerak isyarat (gesture) dapat dimanfaatkan untuk menciptakan kesantunan berbahasa, dan dapat pula disalahgunakan untuk menciptakan ketidaksantunan berbahasa. Ekspresi wajah yang senyum ketika menyambut tamu akan menciptakan kesantunan, tetapi sebaliknya ekspresi wajah yang murung ketika berbicara dengan tamunya dianggap kurang santun. Unsur nonlinguistik lain yang perlu diperhatikan ketika berkomunikasi verbal adalah proksemik, yaitu sikap penjagaan jarak antara penutur dan penerima tutur (atau antara komunikator dan komunikan) sebelum atau ketika berkomunikasi berlangsung. Penerapan unsur ini akan berdampak pada kesantunan atau ketidaksantunan berkomunikasi. Ketika seseorang bertemu dengan teman lama, setelah beberapa lama berpisah, ia langsung berjabat erat dan berangkulan; dilanjutkan dengan saling bercerita sambil menepuk-nepuk bahu. Tetapi, ketika ia bertemu dengan mantan dosennya, walaupun sudah lama berpisah, ia langsung menundukkan kepala sambil berjabat tangan dengan kedua tangannya. Mantan dosen, sambil mengulurkan tangan kanannya, tangan kirinya menepuk bahu mahasiswa yang bersangkutan. Pada contoh kedua peristiwa itu, terlihat ada perbedaan jarak antara pemberi tanda dan penerima tanda. Apabila penjagaan jarak kedua peristiwa itu dipertukarkan,maka akan terlihat janggal, 122
International Conference on Education 2014 Official Conference Proceedings
Sabah, Malaysia
bahkan dinilai tidak sopan. Masih banyak contoh lain yang berkaitan dengan proksemik ini, misalnya sikap dan posisi duduk tuan rumah ketika menerima tamu, posisi duduk ketika berbicara dengan pimpinan di ruang direksi, sikap duduk seorang pimpinan ketika berbicara di hadapan anak buahnya, dan sebagainya. Yang jelas, penjagaan jarak yang sesuai antara peserta komunikasi akan memperlihatkan keserasian, keharmonisan, dan tatacara berbahasa. Berdasarkan uraian tersebut, dapat disimpulkan bahwa unsur paralinguistik, kinesik, dan prolsemika yang sesuai dengan situasi komunikasi diperlukan dalam penciptaan kesantunan berbahasa. Pengaturan ketiga unsur ini tidak kaku dan absolut karena berbeda setiap konteks situasi. PENUTUP Untuk mengungkap kesantunan biasanya dilakukan dengan unsur verbal. Bahasa yang santun dapat ditandai juga dengan pemakaian kata-kata tertentu, seperti: (a) perkataan tolong pada waktu menyuruh orang lain, (b) ucapan terima kasih setelah orang lain memberi sesuatu atau melakukan tindakan seperti yang diinginkan oleh penutur, (c) penyebutan kata bapak, Ibu daripada kata Anda, (d) penyebutan kata beliau daripada kata dia untuk orang yang lebih dihormati, (e) pergunakan perkataan minta maaf untuk ucapan yang dimungkinkan dapat merugikan mitra tutur. Selain bentuk verbal, pemakaian bahasa santun (dalam ragam bahasa lisan) dapat ditambah dengan pemakaian bahasa nonverbal, seperti: (a) memperlihatkan wajah ceria, (b) selalu tampil dengan tersenyum ketika berbicara, (c) sikap menunduk ketika berbicara dengan mitra tutur, dan (d) posisi tangan yang selalu merapat pada tubuh (tidak berkecak pinggang). Pemakaian bahasa nonverbal seperti itu akan dapat menimbulkan ”aura santun” bagi mitra tutur. Meskipun belum didukung dengan data yang cukup valid, beberapa penanda pemakaian bahasa yang tidak santun dapat diidentifikasi sebagai berikut. 1) penutur menyatakan kritik secara langsung (menohok mitra tutur) dan dengan kata-kata kasar, 2) penutur didorong rasa emosi ketika bertutur, 3) penutur protektif terhadap pendapatnya, 4) penutur sengaja ingin memojokkan mitra tutur dalam bertutur, dan 5) penutur menyampaikan tuduhan atas dasar kecurigaan terhadap mitra tutur. DAFTAR PUSTAKA Edward, John. 1985. Language, Society, and Identity. New York: Basil Blackwell. Goody, Esther N (Ed.). 1985. Questions and Politiness: Strategy in Social Interaction. Cambridge. Gordon, George N. 1969. The Languages of Communication. New York: Hasting House. Hudson, Richard A. 1996. Sociolinguistics Second Edition. New York: Cambridge University Press. Hymes, Dell. 1966. Culture and Society: A Reader in Linguisitics and Anthropology. New York: Harper & Row. Koentjoroningrat. 1990. Pengantar Ilmu Antropologi. Jakarta: Rineka Cipta Nababan, P.W.J. 1986. Sosiolinguistik: Suatu Pengantar. Jakarta: Gramedia. Salam, H. Burhanuddin 1987. Etika Sosial: Asas Moral dalam Kehidupan Manusia. Jakarta: Rineka Cipta. Wardhaugh, Ronald. 1986. An Introduction to Sociolinguistics Fifth Edition. New York: Basil Blackwell.
123
International Conference on Education 2014 Official Conference Proceedings
Sabah, Malaysia
KONSEP PENDIDIKAN YANG AKOMODATIF TERHADAP NILAI BUDAYA LOKAL DI INDONESIA Prof. Dr. R. Madhakomala1 1
Universitas Negeri Jakarta
[email protected]
Abstrak Pembangunan pendidikan harus didasari dengan budaya , khususnya budaya lokal. Budaya lokal berkaitan dengan karya, nilai, kebiasaan, kerja sama, proses pembelajaran, kebutuhan hidup dan pemecahan masalah yang dihadapi oleh kelompok, termasuk masyarakat lokal. Budaya lokal menuntut perancangan pendidikan yang sesuai dengan kebutuhan idealistik dan materialistik dalam kehidupan nyata masyarakat. Perencanaan pendidikan tidak dapat dipisahkan dengan budaya, dan pendidikan harus mampu mengakomodasikan budaya lokal (memberdayakan kearifan budaya masyaarakat setempat), sehingga hasil pendidikan akan sesuai dengan kebutuhan dan haraapan kehidupan masyarakat dilingkungannya (lokal). Budaya lokal menjadi kepribadian menyeluruh yang membedakan kehidupan masyarakatnya pada suatu daerah dengan daerah lain, premis ini sangat relevan dengan kebutuhan perencanaan pendidikan di Indonesia yang memiliki keragaman budaya dari berbagai daerah, aplikasi aneka budaya lokal bagi kepentingan nasional sangat penting sebagai wawasan multikutural. Pemahaman budaya lokal perlu diakomondir berdasarkan perilaku dan kebiasaan sikap khusus masyarakat daerah dalam rangka mengantisipasi terjadi pergeseran pengembangan dan pengelolaan wilayahnya yang rawan terhadap budaya asing yang dapat merusak nilai-nilai budaya lokal yang berdampak buruk terhadap pendidikan. Sehingga pemahaman tentang budaya lokal sangat dibutuhkan untuk menunjang program pembangunan pendidikan, agar masyarakat benar-benar dapat membangun pendidikan yang tumbuh secara berakar dan implikasinya Perencanaan Pendidikan Berbasis Budaya Lokal. Kata Kunci: Budaya , budaya lokal, Masyarakat, pendidikan dan perencanaan pendidikan Abstract Educational development should be based on the culture, especially the local culture. The local culture is related to creation, values, habit, cooperation, learning process, living needs and problems solving faced by the group, including local communities. Local culture required an educational design that fits the needs idealistic and materialistic society in real life. Educational planning can not be separated by culture and the role of education should be able to accommodate the local culture (empowering the wisdom of the local cultural communities), so that the aim of education will fit the needs of community life in their environment. Local culture become a whole personality that distinguishes the way of live in a region to the other, the premise is very relevant to the needs of educational planning in Indonesia, which has a diversity of cultures from various regions, various applications of local culture is very important for the national interest as multicultural insights. The understanding of the local culture needs to be accommodate by the behavior and habits of specific attitudes from the local communities. It is to anticipate a shift in the development and the region management that is vulnerable to a foreign culture which could undermine local cultural values and will have a negative impact on education. So an understanding of the local culture is needed to support the development of education programs so that people can build educational implications strongly and The implication of Culture-Based Education Local Planning. Keywords : Culture, Local culture, Community, Education and Educational planning 124
International Conference on Education 2014 Official Conference Proceedings
Sabah, Malaysia
INTRODUCTION A. Back Ground According to Undang-undang Sisdiknas No 20 tahun 2003, education is a a conscious way and planned to create a learning view and process for learners actively to develop student’s potential to be religious, having a spiritual strength restraint, personality, intelligence, good behaviour and also skills required that support their competence as a citizen of their country. This is proved how important the role of education in our state. The UNESCO has stated a program about developing culture which dictates message to the world that any kinds of developing country is about welfare and culture. Therefore, the educational development shoud be based on the culture and also the local culture itself. The point is to required the local culture in the development planning. Especially the educational planning which is concerned on the local culture. In other words, Educational planning based on the local culture. Local Culture is related to some other things like a creation, value, custom and cooperation activity, learning process, problems solving faced by groups in the local culture. The further discussion about culture and the cultural debates influenced the behaviour of the local people. The local citizen is a social local unity which is signed by local culture. So, we can say that the educational function in the community is to ensure the cultural needs and communities which has relationship each other in order to keep a good circumstances. The above statement compliances to the value of social educational in consideration. Furthermore, a good organizing culture shown there is a cultural needs. The good function of education going well in the society if the substance embeded a number of integrated values. Vice versa, education failed and did not work properly if the teachings and values has conflict one another. The cultural values apply into attitudes and views of ethics and morals and have to be taught to the next generation. Local culture required an education planning which is suitable to the needs of idealistic and materialistic society in real life. Basicly, a plan is an action in the right time, it is of course highly depent on the implementation of the review process which is relatively to the goals to be achieved. Some factors affected the achievement of education planning goals both internally and externally. It is consider to the consistency of educational planning concerned. The more consistent implementation, the greater the likelihood of success. All mankind were born into a culture and live in a culture wading activities. If we argued that a culture in a society , it will affected the kind of people who live in their environment, aspirations, educational background, and status in society, thus educational planning can not be separated from the culture itself. Then the education should be able to accommodate local cultures , so that the results of education will suit the needs of local people's lives. B. Research Question Based on the above background, the following problems can be formulated: a) What and how the role of local culture in education? b) How does the concept of education in order to accommodate the local culture? C. Objectives To provide a knowledge in the development and planning of education in the area-based local culture D. Benefits As a feedback to decide in the area of educational planning based on local culture.
LITERATURE The education system in accommodating the local culture has to define previously about society, culture and education in general so that a comprehensive system of education in relation to accommodate the local culture can be understood in depth. 125
International Conference on Education 2014 Official Conference Proceedings
Sabah, Malaysia
A. The Culture and Society The existence of a culture is because of the people and communities who act as cultural actors. Some experts argued the society is an abstract picture which can't be determined about it's time and place. According to Shadily (1984: 47), the community is large or small groups, consists of a few people who are concerned with or as groups which influence each other, in other word about community is a group of people who have similar feelings, and desires for interdependent and need to do something with the activities in an effort to achieve a common goal, according to Mannheim (1987:32), the community is a group of people who live, living next to door, interacting and communicating in a specified area. Cuber and Haper (1988:317) said that human society is a collection of both the ethnic and the majority are bound together in a culture of life in a particular environment. The above description, explaining that the community is a group of people who interact to form the culture in order to maintain his life. The implication, that the people in the environment of an area or island is a man or a people who lives in the region / area / island and having an interaction between fellow citizens then make lives of many different cultures, customs, traditions and has a special characteristic, which is different from the other community. Because of people are always bound with culture, I will explain about The society and culture. Malinowski (2000:17-19) argued that everything in the society is determined it's culture . It is known as a Cultural-Determinism. According to Herskovits (1999:72), looking at the culture as something handed down from one generation to another, which is then referred to as super organic. Thus culture is closely connected with the community. The Indonesian cultures are very much to be understood, studied, and preserved for the sake of self-introduction. Jonah Melalatoa (1995:34) in (EDS, Tiassinurat 2005) is a pioneer who write an Encyclopedia of Ethnic Groups in Indonesia. The information contained is to realize the diversity of cultural heritage in Indonesian as a nation which often surprised if their own ethnic customs misunderstood by his fellow citizens by other nations and tribes (Sedyawati, 2002: 209). It has to be realized that in a tribe with several sub-tribes shown the variation differences in customs each other (Koentjaraningkrat. 1981:228), a nation which is based on the unity such as the Indonesian nation, has been try to strengthen the unity itself, it is necessary to grow united feelings of each other based on the appreciation of the nation, which is basically to create what is called a "culture of peace and tolerance" (Sedyawati, 2002: 211). The concept of culture has been talk for over the years, especially when talking about and trying to change society. The efforts to change society is seems to be failed. The failure usually occured because of the lack of understanding the powerful role of culture, and the role that is being played in society. As a result, such as strategic planner of education planning often gives emphasis previously to identify the strategic values, when talking about the vision and mission of education in the community. Andreas Eppink (2001: 315), argued that, a culture contains of the entire understanding of the culture, values, norms, knowledge and overall social structures, religious, etc., all the intellectual and artistic expression that characterizes a society. According to Edward B. Taylor (2003, 11), culture is a complex whole, in which there are knowledge, belief, art, morals, law, customs, and other capabilities from any person as a member of society, and according to Soemardjan (1985; 33) and Soemardi, culture is a means of product, taste, and people idea. A Culture is a complete system and become a marking of a people that make up the community in a variety of scales (Soekanto, 1976; 365). Based on each historical development , there are supported by communities of small-scale, middle scale, and some up to form an empire. Awareness and understanding of cultural history is very important to be grown inside all the citizens' life, so that the legacy of the past expressed by wisdom and the future can be designed with a great soul (Alfian, 1986: 127). In fact that both vanity and smallness of soul will not provide any positive contribution for developing the nation power. Thus culture is a system of knowledge covering systems or ideas contained in the human mind, so in daily life, the culture is abstract. The form of cultural objects are humans creation as cultural beings, in the form of behaviors and objects that are real, for example, patterns of behavior, language, equipment life, social organization, religion, art, etc., all of which intended to help people in the hold of the life of society. Words in Indonesia language is similar meaning with culture. According Koentjaraningrat (1995:4) "Culture is the whole idea and work of the man who should be as a daily to learn as well as 126
International Conference on Education 2014 Official Conference Proceedings
Sabah, Malaysia
the overall results of mind and character". Meanwhile, according to Elashmawi and Harris (1993:113), a culture is "All human behavior in the run-influenced social life on the belief system; life, death, religion, nature, and the values that are rewarded. That trust is taken by humans as an accepted norm, and attempts to change it would certainly bring a big crisis. This relates to the performance of a person or group of persons (organization) ". Culture is operationally defined by Schein (1990:25-29); The culture is a pattern of sharper Basic Assumptions that the group learned as it solved its problems of external adaptation and internal integration, that has worked well enough to be Considered invalid and, therefore, to be thought to new members as the correct way to practice , think, and feel in relation to these problems. Its significance as a cultural assumption that the basic pattern is sharper, which the group learned to solve the problems faced by adapting elements of external and internal integrate into, and then they work well enough to consider carefully, therefore the culture in has been thought the new members should be in a way that is really good in practice, thinking, and feeling associated with these problems. In line with the above description, Kreitner and Kinicki (1992:693), revealed that the culture is the basic pattern of assumptions to create, find, or the development of the group by learning to adapt from outside as well as integrating it into the organization, what will be done consistently well and valid as well as a reference for new community members to correct acceptance, thoughts, and feelings in relation to all the issues in detail. Dewantara (1960:74), defined culture as the result of human mind, and the results of human struggle against two strong influence, ie nature and society which is a testament to the triumph of human life to overcome various obstacles and hardships in life and livelihood in order to achieve salvation and happiness "According to Morgan (1986:120-121), the influence of a culture of 'host' or local nature rarely has the same form . As individuals in a person's culture could have different personalities. A Culture is a phenomenon in which every individual has different personal as they should cooperate with each other in many ways. The group is a small community that has a form of culture and sub-culture that is clearly defined. Thus a society can be seen as a team or a big family bound by a strong belief to cooperate (Kreitner and Kinicki, 1992:695). Patterns of trust or sense of togetherness, both fragmented, integrated, and supported by a range of values, norms and rituals, so as to urge and determine the ability of a group to the challenges faced. One of the easiest ways to give an appreciation to the nature of culture and sub-culture is by observing the daily functions of a group, which acts as an outsider (Kreitner and Kinicki, 1992:697). The distinctive feature of the observed culture will slowly become evident, through the language, imagery and themes that can be extracted from the conversation, as well as of the ritual is done on a regular basis. Having investigated the basics ideas of cultural aspects, it will be easily found historical explanation of how members of the group completed its work (Morgan (1986:121). The concept of culture in general is very important when we try to manage changes of society on a large scale. Mondy and Premeaux (1993; 455), states that there are three classifications of culture, namely; (1) the dominant culture (the dominant culture), (2) sub-culture (sub-culture), and (3) a strong culture (strong culture). The dominant culture is a culture that dominate other cultures, so that it comes into the values and norms prevailing in society major, so it becomes a culture that values a major determinant (core values) is the dominant culture of the whole culture of the community members, absorbed from the majority of members of the community. The main value is the first value received or dominant in society. This illustrates the resulting macro-cultural society, specifically describes a personality (personality) that exist in society. Part of this culture can develop into a big community culture, in term of anticipation general overview of the issues, situations and experiences faced by its members. Sub-cultures are part of the dominant culture that are part of the values and norms recognized by the smaller communities, while strong culture is a culture traits that are difficult to change and become a mainstay of community strength in showing his true identity, a culture sample in Balinese cremation ceremony, tahlilan event for Muslims in Indonesia. Jary is through Kotter and Heskett (1997:4), asserted that the widespread of culture in terms of social organization is a manifestation of behaviors and experiences throughout the layers of people who are in an organization community, It can be a unifier in the society. The Important issues in the local culture in community is about the local cultural groups in society which is describing the behavior of a local group in society that make the new members are automatically need to follow the behavior of their 127
International Conference on Education 2014 Official Conference Proceedings
Sabah, Malaysia
peers. Each level has a natural tendency that culture affects levels of other cultures. The attitude of peers who are able to influence the behavior of people in group. The real phenomenon is all humans were born into a culture and live in a culture wading activities. An often emphasized is that a culture in a society or in a local community organization will affect the type of people who live in the neighborhood, aspirations, educational background, status, and so forth in the society so that life can not be separated with local cultural communities that are part of an integral system in the internal environment of society, because of the cultural diversity that exists in a society, then the same amount by the number of individuals and groups in society. Generally a local society culture is strongly influenced by the environmental community, both internally and externally. Each member of society has the characteristics of each culture, so it is possible if there is a people who does not like it and vice versa so it is necessary to unify of all members of the public perception that reflected local cultural community. The concept and theory of local culture that it is contained the activities examined by various experts from the opinion of Randolph and Blackburn (1989:634), which states; Local culture is a set of key values that trust, and understanding of the characteristics given to members of the local community. Local cultural is the basic orientation for community members to consider the interests of all its members. In definition, Culture is a group of personalities culture of the local community member, which is gather into a single unit that describes the local culture of a local community (Koentjaraningkrat, 1970, 6). With the unity of the local culture, the community members will create a balance between their own culture adapted to the culture of the larger society, and become a cultural unity of society in general. Psychologically, The Local culture could be a motivation for the community members in the activities of life because the local cultural environment is appropriate to its culture. Based on this theory a person can actualize the local culture into the culture of the community in order to avoid any suspicion about the local culture which is necessary to be observe (Beilharz, 1993:332). Local culture is a basic philosophy of an organizational sociology that is the basic value used as a norm in the local community and become the guiding norms of behavior member, as well as giving recognition to the status of each individual, and the norm is the formal and informal rules for developing and having an activity into units of orientation for each member and become a benefit for all members (Beilharz,1993:333-334). Local culture is the existing rules in the organization as a guidance for the entire human resources, which has the obligation and uphold the values behave in the local community. A society is an integrated pattern of human behavior within the group including thoughts, actions, conversations that can be learned and taught to the next generation through education (Sedyawati, 2007; 27). Therefore it is necessary to understand about the local culture definedly, because it could give a sense of pride on its member, and it could be said it is dominant when the value point can be believed by the majority of its member. The characteristics of the local culture by Huky (1982:71) are always developing and prehistoric cultural heritage that has been modified and upgrade across a number of processes of excecuted acculturation. This kind of local culture become a whole personality that distinguishes for example people in Jakarta with local culture community, as well as the local community with others as well as a personality guidance that exist in the local communities life (Atmosuprapto (1993:69-71). This concept is highly relevant to the needs of educational planning because the understanding of local cultures need to be accommodate by the behavior and habits of specific attitudes exist in that area, in order anticipating a changes in the development and management of vulnerable areas that could easily change by other foreign culture. The application of various local cultures is very important for the national interest as multicultural insights, in the last decade there were some features in a variety of forums in the relation to the education culture (Tilaar, 2006:182), the local culture has a particular meaning in human life, the essence of local culture in the form of value asystem and the basic concept is the idea of integrated thinking, which became a director for human behavior in the local community (Sedyawati, 2007:130). By this reason, the culture has to be seen as a gift of God Almighty, what the people were given the opportunity to direct the actions included in the education sector and give a meaning for their life. Furthermore, Sedyawati also explained that culture is the content and also the boundaries of a community. By this lines throughout history of society, which constantly move and shift flexibly, as 128
International Conference on Education 2014 Official Conference Proceedings
Sabah, Malaysia
always happens in local communities. The development of industry and trading in the city, the surround community will become more consumptive than saving money. Local Culture society moves across the space and interact each other physically and mentally, in a faster rhythm, so that the local cultural lines could shift and even overlap, as people who are familiar with the local culture for example Discotique (who was still very traditional on 1970). In the history of the local culture a great urbanization while the tourism industry was built with the huge population explosion in that area. This is effected in suppression of local culture by the good economic of the weak economic so the meaning of development in the area will destroyed by the local culture. UNESCO Program (1998:312), in the decade of cultural development around 1988-1997, entrust a message to the world that any development goal is for the sake of human welfare and should be culture minded. The developing of education in a particular area is definitely close to its program. The next bravely question is how the message could be translated into real action. The message is directed to both executives who hold the reins of government (Local Government Local), local culture and the people who run the economic life. The implicit message is to affix local culture concept in the development planning, including educational planning, implications of cultural knowledge-based education, in other words an educational planning based on the local culture. Mono-disciplinary study which studied a specific aspect of the local culture, such as a particular culture, could remind the depth of the local culture usefully so there is always a reason to include local culture in a follow-development (Alfian. 1989: 265), an analysis of: text, artifacts, behaviors related to the cultural community is a cultivated area should be given special attention. The units of analysis spesifically could be seen in cross-cultural, a comparative study where cross-cultural comparative studies among others, the lines between cultures, a typology of cultural diversity, as well as on the relationship between culture with the development plan (Sedyawati; 2007:132). The wisdom of the local cultural relation ship, in turn can support decision-making on the implementation of strategies to determine educational programs related to local culture and population (demographics). In fact, a total understanding of the local culture, should be required to support the development of educational programs, In case local culture educational growing. To realize this requirement, it is necessary to understand the cultural elements which associated with the planning of education. Where there are 4 elements of culture, namely: 1) a system of norms that enable collaboration among the members of local communities to adapt to the natural surroundings, 2) economic and technological systems , 3) the agencies or officers for education (the family is the primary institution), and 4) the organization of political power, so the ideal embodiment of the culture include; a) a bundle of thought, idea , values, norms, rules, and so on that are abstractly; or anything that can not be felt or touched. The form of culture is located in the citizens thought or mind. If they express their ideas in the form of writing, the ideal location of culture was in essays and books, the works of writers such citizens, b) the activity is a form of culture as a pattern of human action in the community. It is known as a social system. The social system is composed of human activities interacting, made contact, and get along with other human beings according to certain patterns of behavior which based on indigenous governance. Concrete, naturally, occurring in everyday life, and can be observed and documented, and c) cultural artifact is a physical manifestation in the form of the results of the activities, actions, and the work of all people in the community in the form of objects or things that can be touched, seen, and documented. Trully nature among the three concrete manifestation of culture. The implication in public life, cultural form can not be separated from other . For example: ideal culture form set and give direction to activity (activity) and work (artifacts) in humans, for example; in the planning of the education system (ideas and concepts) can not release the activity (learning process) and artifacts (educational outcomes). In its development, culture has two solid components 1) material, and 2) non-material. The form of material culture community creation real is a finding result from an archaeological excavation: clay bowls, jewelry, guns, and the like. Material culture also includes items, such as school buildings, television, airplanes, sports stadiums, clothes, skyscrapers, sub-way, High way and etc. While the nonmaterial culture, namely; abstract creations are passed down from generation to generation such as : fairy tales, folklore, and traditional Malay song or dance, science, rhymes and so forth.
129
International Conference on Education 2014 Official Conference Proceedings
Sabah, Malaysia
B. The Function of Education in the Local Culture The understanding about society is a social entity that is characterized by a distinctive culture, it could be said that the function of education in society is to ensure the needs and culture of the peoples concerned in such a way, so that the continued of community existence is maintained, defined by (Nasution, 1987:8) in his book sociology of education, outlining the indications and cultural needs is the un-existence values in it. A well education means if the substance indicates an integrated values. In contrast, education failed and doesn't fix properly if the contains and value are against each other. (O'Dea: 235) revealed; cultural values defined into the attitudes and views of ethics and morals. The main function of education is abstract but it can be recognized from the actual set of indicators if it is running properly. More concrete part of the education is coaching and teaching which is an attempt to explore the potential and transferring knowledge (Madhakomala, 2002: 18). The success measurement from coaching and teaching more clearly than giving value. In general, people assume that the results of coaching and teaching is what really need to be used the world of work. Mostly true, but not entirely because to get a certain types of work standard by certain psychological tests, which aims to assess the specific attitudes of job applicants. The benefit of positive cultural value is greater as a personal shaper (on a scale of individuals) and as a shaper of national identity (on a national scale) rather than as a provision seeking employment (especially of a technical nature only). C. The Substance of the Local Culture in Education The substance of education always in line to the needs of the community. Prosperous society required a smart citizens , have skills and proficient, highly moral, and having a special competence in various fields of activities, and to get people who have the necessary quality of education (Tilaar, 2006:186). The community needs of education sorted based on the basic range of intended target. Firtsly, there is a need to meet the employment oppurtunities needed, secondly the need to meet the preservation process of education, both formal and non-formal, such as ; by providing personnel developer and builder in the education system, thirdly, the people who can create new jobs or entrepreneurship, so that people were able to carry out the required activities in the community, although he is not as salaried workers (Madhakomala, 2003:17). The allocation of this educational package directed to the needs of the community development and self-reliance. The largest part of the education program is aligned with market needs, specifically in relation to various types of industry and trade in the area around of the local culture. The relationship between educational programs the market will have a real influence in the economic development of society (Galbraith, 1991:17), and specifically in the Local Government mezzocopeis of the local culture. he educational process is a process of acculturation so that the inforcement of cultural values should not be ignored. Education has to accompany the process of transfer knowledge and skills, as well as the form of concept so that education can produce something, the people who behave, capacity managerial, leadership abilities, knowledge capacity, which is enough to adapt needs to solve the problems of life (Fakry Gaffar; 2005: 5). Therefore the substance of education, for each program should be aimed to meet the needs of special abilities, and at the same time, it has to meet the demands of life, can shape attitudes, morals, ethics and all citizens in accordance with local cultural values that guided by the local community culture. D. Local Culture in The Educational Process To ensure the achievement of educational goals, both common and which associated with a number of courses, it is not enough determining the substance of education alone . Therefore, it is also necessary to recognize the careful design of educational methods, and the right model and the education system which considered to be the most profitable. If a goal of culture has been proclaimed in the educational process, for example embeding a high respect to: creativity, honesty, resistence and mastery, the educational process should provide enough spaces to cultivate and train the education quality assurance. Qualitative Quality could not be processed in an empty space but must be shared simultaneously by giving a good ide to increase knowledge, it is in accordance with the understanding of Kaizen in Bill Greech (1996:43), which needs continuous improvement and continuous quality to gain something. The expert in education has been invited to perform creativity and sensitivity to manage the local culture environment. A demand to 130
International Conference on Education 2014 Official Conference Proceedings
Sabah, Malaysia
increase a feeling of national identity at the same time on to the development a global scale make it seems to be more interest to know if the executive education could be guaranteed for a better life. E. The local culture in educational planning Extremely, The theories of culture movement is between two poles, they are idealistic and materialistic poles. In polar idealistic explained that the essence of culture is composed of concepts and values which are tagging the underlying culture of a society living of the people, the results is the important changes happening in the culture driven by stimuli that tend to alter the basic concepts and cultural values (Collinicos, 1999:148), Pole materialistic theory which are considers as a core or culture point is the culture of the things that must be done mechanistically, who has a responsibility to the physical condition of the material in the public life, so that technology and economic patterns of action is formed a thought related to the needs in a real life. The local culture required an educational design that fits the needs of idealistic and materialistic society in real life. In pincipt, an action planning in a timely manner, it is of course highly dependent on the implementation of the review process which very relative to the goals to be achieved. Many factors influenced an education planning purposes, that is internal or external to the consistency of educational planning concerned, certainly, the more consistent implementation of the education planning the greater the likelihood of success. The basic design of educational planning consists of 3 approaches, namely; 1) macro approach, 2) a workforce planning approach and 3) social demand approach (Davis, 1980:41). This study is tend to the social needs of the community in which the demand for education is a priority territory. In fact there is often differences between central educational planning and the local education planning. The central educational planning took a problem in aggregated such as per student cost, the average of teacher and pupil ratio, qualification of teachers, each student for each textbooks, etc., while at the local level planning faced with the reality of quantitative certain schools, certain teachers, and the number and quality of certain materials. These differences indicate that educational planning needs to consider the micro-level in the study of level and the type of education. This is due to the entire educational outcomes, regardless of macro success in the education system, which is absolutely determined by teacher herself, students, and families who also ruin the system. Students are more influenced by parents and teachers rather than administrators, and local education planning more influenced by local administrators rather than bureaucratic central of education planning (Tilaar, 1989:51). Raharjo (1989:52), in the educational crisis said that the government's lack of educational planning with the local culture-based considers the social and economic sectors of society sharpen the differences with local planning. Local educational planning, parents have to conduct their children education with work and its effects, including the possibility of future results. Therefore, the local education planning needs to take other alternatives and uncentralize so make it more valuable for local educational planner. A good education planners have to comprehend the condition so that the decision-made is accurate and consist of relevant information but in fact the central planners do not understand the education field conditions associated with idealism and mechanisms which are need of local culture and consider the appropriate decision-making, so that the results of a central policy does not achieve the expected results to accommodate the interests of local public consumption that have the characteristics of the local culture in the certain values and norms of life. Therefore, the local education planning should be able to accommodate the local culture, so that the results of education will answer the needs of the local population. F. The Potential of Local Cultural Factors in The Educational Planning Based on Undang-undang Sisdiknas No 20 tahun 2003 education is a conscious and deliberate effort to create an atmosphere of learning and the learning process so that learners are actively developing his potential to have a spiritual strength of religious, self-control, personality, intelligence, good character, and skills needed for himself, society, nation and state. The statement imply that education is an effort or activity to built an intelligent human beings in various aspects both the intellectual, social, emotional and spiritual, as well as the skilled personality 131
International Conference on Education 2014 Official Conference Proceedings
Sabah, Malaysia
with great character. Thus education is expected to be realized in order to explore the potential of a quality human being who is able to create his life productively as ta benefit of themselves and society. Related to the role of education, the local cultural potential factors have a significant influence (significant) in education, because the basic value used as the norm in the local community, as a guide behavior and rules of formal and non-formal education to develop an activity into a unified educational for the benefit of all members of society. Local culture become rules existing in the educational activity, so the potential of all human resources educated have to uphold the values of the local behavior in the community, so that the local identity still maintaining . Local community culture built a systemic pattern of behavior, thought, activity, feeling which is delivered to generation through education. Therefore, the potential of local cultural factors need to be understood in the educational planning. The local culture is able to provide a sense of pride on its members, and it dominates the core values embraced by the majority of its members. Its characteristics evolved from prehistoric cultural heritage that has been modified and upgrade across a number of processes of acculturation that has been run through the educational process. There is often conflict between different local cultures and the national culture in Indonesia. For example, a local culture that does not allow certain ethnic girls married with indigenous men, as a result there is the collision process of assimilation and national unity with the local ethnic culture. Another example given, more priority to local ethnic and pay dearly for their own ethnically from other ethnic workers which can be appearing jealousy so it will crack a sense of nationalism and so forth. On the other hand, the local culture was left because of admiring the other nation's culture of other nations such as like Taekwondo than Pencak silat. Questionably asking , which local cultural factors that need to be maintained in educational planning? This is a big question that needs to be answered correctly. How great the global influence of the national culture and local culture, so it is often appear adaptation of educational planning uncontrolled shifting cultural values impact on local / national to international cultural direction which is not clearly have a purpose for our life. Appearing the concept of educational planning models which equals to the design model of education from other countries without going through the proper adaptation of the local culture, often to see the failure. That why it is the important thing to accommodate the local culture in educational planning as directional control community objectives to be achieved. G. Accomodating Local Culture as a Directional of Educational Goals As mentioned before the local culture give a sense of pride in his community, however keep up zennoism away (feeling better than anything else), so that people always have feelings to continue learning and keeping pace with the progress of others. Local culture has to be aware of changing process, so it is able to adapt themselves to a better direction, but the local culture should also be able to maintain its existence if it implies values and norm swhich relevant to the needs of the community. Here is, the role of local culture as a controller for the changes that needs to be accomodate. The role of the local culture does not stop there, the local culture in an ideal planning, activity and artifacts associated with educational planning and have to choose, finding an educational planning which is believe able to develop a better education. The involvement of the local culture and education experts, a community leader and the intellectuals to work together supporting each other so that local culture could really give you a sense of pride in the concept of education offered. CONCLUSION A. Culture and Community The existence of a culture because of the people and communities who act as cultural actors. Society is a group of people who interact culture in order to maintain their life. Cultural-determinism is related to everything contains in the society determined by the culture owned by the community itself. Super organic is the way how looking at the culture as something handed down from one generation to another, so the culture is closely connected with the community.
132
International Conference on Education 2014 Official Conference Proceedings
Sabah, Malaysia
Culture is a complete system which is as a marking of a people which built a community in a variety of scales. Three classifications of culture, namely; (1) the dominant culture , (2) sub-culture , and (3) a strong culture Local culture is a key set of values that is believed, and an understanding of the characteristics given to a member of the local community. The local culture has a particular meaning in human life, Its point is a value system and the basic concept of integrated thinking which become director for human behavior in the local community. UNESCO program during decade on cultural development mandates a message to the world that any development goals for the sake of human welfare should be cultural minded. Four elements of culture are: 1) a system of norms, 2) economic and technological systems, 3) devices for educational institutions (the family is the primary institution), and 4) the organization of political forces The form of culture consists of; a) a collection of ideas, ideas, values, norms, b) Activity is a form of culture as a pattern of human action in the community, and c) cultural artifact is a physical manifestation in the form of the results of the activities, actions, and works of all men in society in the form of objects or things that can be touched, seen, and documented. Component culture shaped 1) material, and 2) non matarial. B. The function of education in the local culture The role of education is going well if the substance can embed a number of integrated values that are coaching and teaching. This is an attempt to explore the potential and transferring knowledge. C. The Substance of the Local Culture and Education • Educational-substance related to the needs of a prosperous inteligent society, skill and proficient, highly moral and quality. So here is the education is needed. The basic need of education for human life are : 1) fulfill an employment opportunities, 2) the preservation of the educational process itself 3) creating an entrepreneurial citizens. Education can produce, managerial capacity, leadership abilities, an enough knowledge capacity to adapt to the necessities of life to overcome the problems of life. D. Local Culture in the Process of Education • The educational expert are gained to perform creativity and sensitivity to take advantage of the local communities that faces in the work field. E. The local culture in educational planning Theories of culture moves between two poles, the idealistic and materialistic. Idealistic explains the cultural core of the concept and value of life, so that a change in culture that is driven by stimuli that tend to alter the basic concepts and cultural values. Materialistic, as the core culture should be done mechanistically by humans, responding to the physical condition of the material, so that the technological and economic patterns is a core culture to build a thought according to the real needs. F. The potential of local cultural factors in the educational planning The potential of local cultural factors have a significant influence on education, because the basic value is used as the norm in the local community, as a guidance behavior and rules of formal and non-formal education to develop into a unity of interests of all members of society. Local culture become the rules in educational activities, so that the potential of all human resources educated have to uphold the values of the local behavior in the community, in order to keep the local identity maintained.
133
International Conference on Education 2014 Official Conference Proceedings
Sabah, Malaysia
Local cultural community in the formed of an integrated patterns of behavior, thought, attitude measurement, callous nature taught to generations through education and local culture have to be understood both in the educational planning. The similar model of education planning with educational design models from other countries have to go through the proper adaptation of the local culture, so there is no successive failures. G. Accomodating Local Culture as a Directional of Educational Goals Local culture give a sense of pride to the community members, but has to continue to learn in order to keep pace with the progress of other areas / other cultures. Local culture should be aware to the process of changes, and the local culture should also be able to maintain its existence and must contain the values and norms that are relevant to the needs of the community. It is necessary needs an involvement of the local culture and education experts, community leaders and local leaders intellectuals to work together to support each other so that local culture can really give you a sense of pride in education. REFERENCE Admosuprapto, Teori-teori Sosial dan konsep Kemayarakatan. Jakarta: Gramedia, 1993. Ananda, Candra Fajri. Peran Partisipasi Masyarakat Pada Otonomi Daerah. http://www.otoda.or.id/Artikel/Candra%20Fajri.htm (dk. 10 Jan 01) Bowder, Randall & Annettr Grraven. The Art in the Art and Science of Organizational Development. Jakarta: Data Base UHAMKA, 2001. Cairns, Robert D. Reconciling the green Area in Amazon. New York: McGraw-Hill Bppks, Company, 2003 Dorfman, William B. Art of Art. Englewood Cliffs, New Jersey: Prentice Hall, Inc., 1977. Koentjaraningrat , Ilmu Budaya Dasar. Jakarta: Rineka Cipta, 1995. Kotter, John P. and James L. Heskett, Dampak Budaya Organisasi Terhadap Kinerja diterjemalikan Benyamin Molan. Jakarta: PT Prehallindo, 1997. McNamara, Carter. Organizational Culture, St Paul Minnesota-Amazon Com., MAP Homepage, Library Homepage, 1999 Miller, James C. Human, Art and Intelligentsia. North-Holland, Amsterdam: Elsevier Science Publisher B.V., 1986. O‘Dea, Thomas F. Sociology of Art: Religion and Art Relationship. Englewood Cliffs, New Jersey: Prentice-Hall, Inc., 1987 Pospilsi, Leopold. Art Quality for Most Beauty Performance. New York: Holt, Rinehart and Winston, Inc., 1982. Sadeli, Moch. Sosiologi Masyarakat Indonesia, Jakarta: Gramedia, 1999. Sax, Robert N. Social Attitude, Englewood Cliffs, New Jersey: Prentice Hall, Inc., 1997. Schein, Edgar H. Organizational Culture and Leadershihal. San Fransisco : Josey-Bass Publishers, 1990 Slamet, Soekarno. Budaya Organisasi Masyarakat, Jakarta: IPWIJA, 1998. Soekanto, Soerjono Sosiologi: Suatu Pengantar, Jakarta: CV. Rajawali, 1982 Soemardjan, Selo Bunga Rampai Sosiologi Jakarta: Universitas Indonesia Press, 1985 Spear, Kent B. Public Community: The Culture Role and Art Activity. Philadelphia: Soutland and Sons, Inc., 1989. Sumardjo, Jakob. Filsafat Seni. Bandung: Penerbit ITB, 2000 Thoha, Miftah, Perilaku Organisasi: Konsep Dasar dan Aplikasinya, Jakarta: CV. Rajawali, 1983.
134
International Conference on Education 2014 Official Conference Proceedings
Sabah, Malaysia
EFEKTIVITAS PELATIHAN GURU MATA PELAJARAN Burhanuddin Tola1 1
Graduate School, State University of Jakarta
[email protected] ABSTRAK
Tujuan penelitian ini adalah untuk menjelaskan sejauhmana efektifitas pelatihan guru mata pelajaran yang dilaksanakan oleh P4TK. Populasi penelitian ini adalah guru-guru SMP pada bidang penelitian Matematika, IPA, Bahasa Indonesia dan Bahasa Inggris, yang mengikuti pelatihan yang dilaksanakan oleh (P4TK) Matematika, IPA dan Bahasa, serta KKG/MGMP. Hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa pelatihan KKG/MGMP, terjadi peningkatan signifikan pada kompetensi Akademik Matematika, kompetensi Kepribadian, dan teaching Efficacy. Pelatihan yang dilaksanakan oleh P4TK, terjadi pada kompetensi Akademik Matematika, sikap terhadap mengajar, dan Teaching Efficacy. Penurunan skor secara signifikan terjadi pada beberapa aspek dan hanya terjadi pada pelatihan yang dilaksanakan oleh P4TK, yaitu pada aspek: Kompetensi Akademik Fisika, Kompetensi Kepribadian, Kompetensi Sosial, Kompetensi Pedagogik. Sedangkan dari data baseline ketika pretes, pada kedua kelompok, ada beberapa aspek yang berbeda secara signifikan, yaitu pada Matematika, Fisika, Kompetensi Kepribadian, Kompetensi Sosial, Kepuasan Kerja, Sikap Mengajar, Teaching Efficacy.
Kata Kunci: P4TK, kompetensi akademik, kompetensi kepribadian, kompetensi sosial, kompetensi pedagogik, dan teaching efficacy.
PENDAHULUAN Suatu penelitian yang mempelajari kekuatan dan kelemahan pendidikan di Jepang menemukan empat hal yang menyebabkan keberhasilan pendidikan bangsa Jepang (Follows, 1991). Pertama, Jepang memberikan penekanan pada usaha dimana belajar dipandang sebagai suatu proses yang tidak berkesudahan dan proses memupuk usaha siswa juga merupakan proses terus menerus. Kedua, Jepang menilai tinggi pendidikan, karena menurut mereka pendidikan merupakan social survival, economic investment, dan merupakan suatu bentuk national defense. Ketiga, diantara para siswa ada usaha untuk saling membantu, karena apabila satu anak berhasil, maka semua anak dalam kelompok pun akan berhasil, sedangkan apabila satu anak gagal, maka semua anak dalam kelompok pun akan gagal. Keempat, adanya prinsip keadilan dalam pemerataan pendidikan. Guru dan kepala sekolah selalu dirotasi ke daerah-daerah berbeda setiap beberapa tahun, sehingga prestasi setiap propinsi dapat merata. Dengan cara seperti ini, tidak ada daerah yang tertinggal bila dibandingkan dengan kota-kota besar. Payne (dalam Ahmadi, 2004) menekankan bahwa pendidikan memiliki fungsi asimilasi dari berbagai macam tradisi, pengembangan pola-pola sosial yang baru, serta mengembangkan kreativitas siswa untuk mengubah manusia menjadi mandiri dan bersifat komersial (Drost, 2005; Payne, 2004; Ahmadi, 2004). Kemudian, anak belajar mengenai norma, nilai dan ketrampilan-ketrampilan yang spesifik (Bennet & LeCompte, 1990). Di sekolah, para siswa belajar untuk mengembangkan dirinya, sehingga mereka dapat mengembangkan diri secara akademis, vokasional, sosial, serta berkembang secara pribadi (Goodlad, dalam Sadker & Sadker, 1991). 135
International Conference on Education 2014 Official Conference Proceedings
Sabah, Malaysia
Guru merupakan ujung tombak yang perlu memiliki profesionalisme ketika menjalankan pekerjaannya. Namun, guru dirasakan kurang memadai ditinjau dari sudut kuantitatif maupun kualitatif. Kekurangan ini dirasakan dari keragaman dan kompetensi ilmu mengajarnya, dan menunjukkan bahwa ternyata persentase guru yang tidak layak dan tidak sesuai dalam pengajaran cukup besar, dan telah dipertanyakan (Mastuhu, 2004; Adningsih, 2002; 2002; Balitbang, 2000). Hal ini dapat dilihat pada tabel dibawah ini: Tabel 1. Jumlah guru ditinjau dari kelayakan dan kesesuaian mengajar (dalam Mastuhu, 2004) Sesuai
Tidak Sesuai
TOTAL
Juml
%
Juml
%
Juml
%
Layak
139.596
49,2
30.325
10,7
169.221
59.9
Tidak Layak
88,223
31,1
25.571
9,0
113.794
40,1
TOTAL
227.819
80,3
55.896
19,7
283.715
100,0
Pada dasarnya, guru yang efektif menurut Ryan dan Cooper (1984) memiliki empat karakteristik yaitu memiliki sikap positif terhadap diri sendiri, terhadap anak didik, terhadap sejawat dan orangtua, serta terhadap materi yang diajarkan. Hal yang kurang lebih sama mengenai guru yang efektif dikemukakan oleh Cruickshank, Jenkins dan Metcalf (2003), yaitu memiliki perhatian (caring), bersikap mendukung, memperhatikan kesejahteraan siswa, memiliki pengetahuan mengenai materi yang diajarkan, dapat bekerjasama dengan orangtua dan memiliki ketertarikan yang besar pada apa yang dilakukannya. Pada intinya, guru yang efektif mampu membantu siswanya belajar. Sebagaimana profesi lain, guru juga dituntut untuk bertindak secara profesional. Walaupun guru seringkali merasa dirinya sebagai tenaga profesional, namun kurang mendapatkan penghargaan, reward atau pengakuan dibandingkan pekerjaan lain (Blackwell, Futrell, & Imig 2003; Cheers 2001; dalam Helterbran, 2008). Ditinjau dari Undang-undang Republik Indonesia Nomor 14 tahun 2005 mengenai Guru dan Dosen, dikemukakan bahwa profesi guru merupakan bidang pekerjaan khusus yang dilaksanakan berdasarkan beberapa prinsip antara lain memiliki bakat, minat, memiliki komitmen, memiliki kualifikasi akademik, tanggung jawab, kompetensi dan sebagainya. Tugas dan fungsi gurupun cukup berat, menyebabkan para guru perlu untuk terus mengembangkan dirinya agar dapat menyesuaikan diri dengan tuntutan pekerjaan yang diembannya. Menurut Kennedy (2006), menjadi guru bukanlah pekerjaan yang didasarkan pada bakat semata, akan tetapi dapat dilatihkan dan diajarkan, melalui program pendidikan tinggi, dimana para guru mempelajari pengetahuan yang berkaitan dengan materi serta mempelajari hal-hal yang bersifat pedagogis. Mengacu pada pendapat ini, maka memberikan pelatihan pada guru merupakan langkah yang cukup tepat, agar guru dapat mengembangkan profesionalismenya. Pelatihan menurut Wong (2005) adalah bentuk pengembangan staf yang terorganisir dan komprehensif, melibatkan banyak orang dan komponen. Selanjutnya dikatakan bahwa pelatihan guru ini seharusnya bersifat konsisten, berkelanjutan dan berfokus pada belajar siswa, serta dapat mendukung karir guru. Dari penelitian yang dilakukan oleh Ross dan Bruce (2000), pelatihan ternyata juga meningkatkan self efficacy yang dimiliki guru. Self efficacy yaitu harapan yang dimiliki guru sehubungan dengan mampu/ tidak mampunya untuk membuat siswa belajar atau dengan perkataan lain sejauh mana para guru dapat mengajar. Menurut Bandura (1997), self efficacy adalah belief mengenai kemampuan seseorang dalam mengorganisasi dan melaksanakan sejumlah perilaku untuk menghasilkan prestasi tertentu. Ross dan Bruce (2000) dalam penelitiannya mengenai efek pengembangan profesionalitas guru matematika menemukan bahwa
136
International Conference on Education 2014 Official Conference Proceedings
Sabah, Malaysia
ternyata pelatihan dapat membantu guru meningkatkan self efficacy nya dalam mengajar pelajaran matematika. Untuk membantu para guru mengembangkan kompetensi dan profesionalismenya, dilakukan berbagai kegiatan antara lain workshop dan pelatihan. Hal yang sama juga dikemukakan oleh Neville dan Robinson (2005), yang mengemukakan bahwa pengembangan profesionalitas guru dapat dilakukan melalui workshop, kursus-kursus atau dengan menempuh jenjang pendidikan yang lebih tinggi. Bahkan dikatakan lebih jauh bahwa pengembangan profesionalitas guru dapat meningkatkan prestasi siswa serta merupakan sarana untuk memperdalam pengetahuan guru akan materi pengajaran serta mengembangkan penerapan metode pengajaran. Jadi, peningkatan belajar siswa dilakukan dengan cara meningkatkan belajar guru terlebih dahulu. Hal yang sama juga terjadi di Indonesia, pelatihan untuk guru tetap menjadi sendi utama, karena selain untuk penyamaan persepsi terhadap visi dan misi sekolah, pelatihan juga akan membantu mempertajam guru agar lebih optimal dalam menjalankan profesi keguruannya (Analisis Pendidikan, Pelatihan Guru, Harian Pelita, 13 April 2008). Penelitian yang dilakukan oleh Abidah (2008) mengenai pengaruh pelatihan guru agama di Surabaya menunjukkan bahwa ternyata pelatihan berdampak positif terhadap kompetensi guru, terutama dalam kompetensi mengajarnya. Adapun unit analisis penelitian ini adalah guru-guru yang mengajar pada jenjang SMP dan mengikuti pelatihan yang dilakukan oleh P4TK dan KKG/MGMP. Hal ini dirasakan perlu karena pada tahun-tahun mendatang, Departemen Pendidiikan Nasional melalui Direktorat Jenderal PMPTK akan meluncurkan program Better Education through Reformed Management and Universal Teacher Upgrading (BERMUTU. Block grant akan dikucurkan bagi KKG dan MGMP di seluruh kecamatan dan kabupaten/kota di Indonesia. Untuk itu diperlukan data baseline yang dapat menggambarkan keadaan pelatihan yang saat ini dilaksanakan untuk dapat memberikan masukan yang dapat bermanfaat bagi pengembangan para guru. Dituntutnya profesionalitas guru dan peningkatan mutu pendidikan secara umum, maka dilakukan berbagai pelatihan oleh berbagai institusi seperti P4TK, Sudin Pendidikan dan KKG/MGMP. Pelatihan ini juga dilakukan terhadap guru bidang penelitian Matematika, IPA (Fisika dan Biologi), Bahasa Indonesia dan Bahasa Inggris. Pelatihan-pelatihan semacam ini diharapkan dapat meningkatkan kompetensi guru serta secara tidak langsung akan membantu meningkatkan prestasi siswa. Meskipun demikian, keberhasilan pelatihan tersebut perlu diukur sehingga dapat diketahui efektivitasnya. Oleh karena itu, dilakukan penelitian untuk melihat efektivitas pelatihan dalam empat bidang penelitian yaitu Matematika, IPA (Fisika dan Biologi), Bahasa Indonesia dan Bahasa Inggris. Oleh karena itu, pertanyaan penelitian yang diajukan dalam penelitian ini adalah: Apakah pelatihan yang dilakukan oleh Pusat Pengembangan dan Pemberdayaan Pendidik dan Tenaga Kependidikan (P4TK), dan KKG/MGMP dalam bidang penelitian Matematika, IPA (Fisika dan Biologi), Bahasa Indonesia dan Bahasa Inggris cukup efektif ditinjau dari segi akademik maupun non akademiknya? Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan gambaran mengenai pelatihanpelatihan yang telah dilaksanakan serta rekomendasi-rekomendasinya. Penelitian ini bertujuan untuk memberikan informasi/ data baseline tentang pelatihan yang dilakukan oleh P4TK, KKG/MGMP serta efektivitasnya. Hal ini berkaitan dengan Program BERMUTU yang akan membantu kegiatan pelatihan yang diadakan oleh KKG/MGMP. Pelatihan yang akan disoroti adalah pelatihan guru empat bidang penelitian (Matematika, IPA, yang termasuk didalamnya Fisika dan Biologi, Bahasa Indonesia dan Bahasa Inggris) yang dilakukan oleh P4TK serta KKG/MGMP. Pelatihan ini bertujuan untuk mengembangkan keterampilan guru dalam mengajar. Secara spesifik, penelitian ini bertujuan untuk: (1) Menguji pengaruh pelatihan yang dilakukan oleh P4TK dan KKG/MGMP terhadap kinerja akademik guru bidang penelitian Matematika, IPA (Fisika dan Biologi), Bahasa Indonesia dan Bahasa Inggris; (2) Menguji perbedaan antara guru bidang penelitian Matematika, IPA (Fisika dan Biologi), Bahasa Indonesia dan Bahasa Inggris dari segi non akademik. Apabila pelatihan dapat dilaksanakan baik, maka diharapkan akan memberikan dampak
137
International Conference on Education 2014 Official Conference Proceedings
Sabah, Malaysia
positif terhadap hasil kinerja siswa, pengembangan bagi guru itu sendiri serta membantu peningkatan program yang dievaluasi. Pada bagian ini, akan dibahas mengenai pentingnya guru yang efektif dalam proses pemelajaran siswa. Selanjutnya, akan dibahas mengenai pelatihan untuk mengembangkan profesionalitas guru, yang di dalamnya akan dibahas mengenai pengertian, metode yang digunakan serta cara evaluasi program pelatihan. Sekolah yang Efektif dan Guru yang Efektif Belajar di sekolah bagi siswa merupakan pengalaman yang sangat berharga. Namun demikian, seringkali belajar di sekolah dipersepsi sebagai sesuatu yang kurang menyenangkan karena banyaknya faktor yang berpengaruh. Secara konseptual Edmonds (1979) mengemukakan lima faktor yang dapat menjadikan sekolah yang efektif, yaitu: (1) kepemimpinan yang kuat dari kepala sekolah; (2) penekanan pada penguasaan keterampilan dasar; (3) lingkungan sekolah yang bersih, teratur dan aman; (4) harapan guru yang tinggi terhadap prestasi siswa; dan (5) pemantauan terhadap kemajuan siswa. Sammons, Hillman dan Mortimor (1995) menggambarkan satu model sekolah yang efektif. Dalam sekolah yang efektif, dibutuhkan guru-guru yang efektif. Penelitian mengenai guru yang efektif telah dilakukan sejak tahun 1960-an. Menurut Ryan dan Cooper (1984), guru yang efektif memiliki sikap positif terhadap diri sendiri, terhadap anak, terhadap sejawat dan orangtua, serta terhadap materi yang diajarkan. Penelitian yang terkenal mengenai guru yang efektif adalah penelitian yang dilakukan oleh Combs pada tahun 1960an dan terus dikembangkan oleh para ahli lain, seperti Usher (2002) yang mengajukan lima disposisi guru yang efektif, yaitu dimilikinya empati, pandangan yang positif terhadap orang lain, pandangan yang positif terhadap diri sendiri, bersikap otentik serta memiliki visi atau tujuan yang bermakna. Guru dikatakan memiliki empati apabila ia mampu memahami dan sensitif terhadap dunia pribadi anak serta memiliki prioritas untuk membantu orang lain agar dapat belajar. Ciri kedua, guru memiliki pandangan yang positif terhadap orang lain, ketika ia mampu menunjukkan pandangan yang positif mengenai keberadaan, kemampuan dan potensialitas orang lain. Para guru menghargai keberadaan dan integritas anak serta memiliki harapan positif yang realistik untuk pertumbuhan dan keberhasilan anak. Selain pandangan yang positif terhadap orang lain, ia perlu memiliki pandangan yang positif terhadap diri, yaitu mengenai keberadaan, kemampuan dan potensialitas diri sendiri. Mereka menghargai keberadaan dan integritas anak serta memiliki harapan positif yang realistik untuk pertumbuhan dan keberhasilan anak. Usher (2002) mengatakan, guru yang efektif dapat bersikap apa adanya, terbuka dan jujur terhadap orang lain. Mereka mengembangkan dan menunjukkan pendekatan yang unik dalam mengajar serta tidak berpura-pura. Selain itu, guru yang efektif memiliki visi atau tujuan yang bermakna, yaitu mampu mengarahkan diri pada sasaran, sikap dan nilai yang luas dan mendalam serta berpusat pada pribadi. Mereka adalah orang-orang reflektif dan visioner dengan mendasarkan diri pada nilai-nilai demokratis. Dalam bertingkah laku, mereka selalu didorong oleh tujuan yang dimilikinya. Pada intinya Borich (2000) menekankan bahwa guru yang efektif adalah guru yang dapat menggunakan pujian verbal yang bermakna untuk membuat serta menjaga siswa berpartisipasi secara aktif dalam proses pemelajaran. Cruickshank, Jenkins dan Metcalf (2003) mengatakan bahwa guru yang efektif merupakan individu yang berpikiran positif yang percaya akan keberhasilan siswanya dan kemampuannya untuk membantu siswa berhasil. Secara ringkas, seorang guru yang efektif patut memiliki pengetahuan profesional, keterlibatan profesional dan praktek secara profesional. Sedangkan ditinjau dari sudut kompetensi, guru-guru Indonesia perlu menguasai kompetensikompetensi tertentu. Direktorat Jenderal Pendidikan Dasar dan Menengah, Departemen Pendidikan Nasional menentukan Standar Kompetensi Guru yang meliputi tiga komponen yaitu : (1) Komponen Kompetensi Pengelolaan Pembelajaran dan Wawasan Kependidikan; (2) Komponen Kompetensi Akademik/Vokasional sesuai materi pembelajaran; (3) Pengembangan Profesi. Masing-masing komponen kompetensi mencakup seperangkat kompetensi. Selain ketiga komponen kompetensi tersebut, (4) Guru sebagai pribadi yang utuh harus juga memiliki sikap dan kepribadian yang positif, 138
International Conference on Education 2014 Official Conference Proceedings
Sabah, Malaysia
dimana sikap dan kepribadian tersebut senantiasa melingkupi dan melekat pada setiap komponen kompetensi yang menunjang profesi guru.
Gambar 1. Diagram Guru yang Efektif Peningkatan kualitas guru dan kondisi mengajar merupakan satu upaya yang harus dilakukan untuk meningkatkan kualitas pengajaran (Kennedy, 2006). Untuk itu dibutuhkan pelatihan yang dapat membantu guru mengembangkan kompetensi guru bukan hanya dari segi kognitif, namun juga dari segi non kognitifnya, karena selama ini keterampilan guru, sikap dan perilaku yang nonkognitif jarang dijelaskan atau bahkan diajarkan secara eksplisit (Weissmann, dalam Ursano, 2007). Untuk itu, adalah penting bagi guru untuk melakukan tindakan yang proaktif dalam profesinya dan sebagai pribadi, agar profesionalitasnya dapat lebih meningkat (Helterbran, 2008). Pelatihan Pusat Pengembangan Dan Kependidikan (P4TK) dan KKG/MGMP
Pemberdayaan
Pendidik
Dan
Tenaga
PPPG telah berubah bentuk menjadi menjadi PPPPTK oleh Kepmenpan dengan No. B/243/M.Pan/1/2007, Tanggal 31 Januari 2007 maka struktur organisasi PPPPTK yang tertuang dalam SK Mendikbud No.0529/O/1990 akan mengalami perubahan dan tugas pokok fungsi PPPPTK juga akan mengalami penyesuaian. Adapun kedudukan P4 TK adalah sebagai pusat pengembangan dan pemberdayaan pendidik dan tenaga kependidikan yang selanjutnya dalam peraturan ini disebut PPPPTK adalah unit pelaksana teknis dilingkungan Departemen PendidikanNasional di bidang pengembangan dan pemberdayaan pendidik dan tenaga kependidikan. PPPPTK dipimpin oleh seorang kepala yang berada di bawah dan bertanggung jawab kepada direktur jendral peningkatan mutu pendidik dan tenaga kependidikan. Secara umum, fungsi P4TK adalah (1) merencanakan program pengembangan penataran guru; (2) melaksanakan teknis pendidikan untuk meningkatkan mutu kompetensi guru; (3) melaksanakan pengembangan penataran guru; (4) melaksanakan peningkatan cara penyajian dan materi penataran; dan (5) melaksanakan pengendalian dan evaluasi penataran guru. Selain P4TK, yang menyelenggarakan pelatihan oleh Sudin Pendidikan, Musyawarah Guru Mata Pelajaran (MGMP) dan Kelompok Kerja Guru (KKG) masing-masing kota. KKG/MGMP selama ini dianggap sebagai kelompok yang paling langsung berhadapan dengan guru di lapangan dan sangat mengetahui apa-apa yang dibutuhkan dan apa yang tidak guna memajukan sektor pendidikan ini. Dalam hal ini KKG/MGMP menyelenggarakan pelatihan bagi guru-guru sekolah yang berada di dalam wilayah kotanya. Biasanya pelatihan dilakukan untuk semua mata pelajaran yang diajarkan di sekolah dan dilaksanakan secara berkala. Bentuk-bentuk pembinaan guru seperti MGMP telah muncul sejak tahun 1980-an. Lembaga ini memang didirikan dengan tujuan mengembangkan Sistem Pembinaan Profesional (SPP) guru di Indonesia. KKG pun merupakan lembaga yang banyak membantu pengembangan guru dan menurut Botung (2008), tujuan KKG adalah untuk: (1) Meningkatkan pengetahuan umum guru mengenai isu139
International Conference on Education 2014 Official Conference Proceedings
Sabah, Malaysia
isu, kejadian sosial, kemajuan dan penemuan-penemuan baru. Hal ini dilaksanakan dalam bentuk diskusi, pelatihan dan seminar; (2) Meningkatkan kemampuan guru dalam menyusun Administrasi Pembelajaran; (3) Meningkatkan pengetahuan guru dalam pelaksanaan manajemen kelas, sehingga guru dapat mengatur kegiatan belajar agar dapat berjalan secara kondusif dan bernilai guna; (4) Meningkatkan keterampilan guru dalam merancang, membuat alat-alat atau media yang dipergunakan dalam pembelajaran; dan (5) Meningkatkan kepercayaan diri dan harga diri guru. Pengembangan Profesionalitas Guru melalui Pelatihan Riley (dalam Helterlbran, 2008) mengatakan bahwa sebuah profesi akan disebut sebagai profesi apabila profesi tersebut memiliki tujuan dan tanggung jawab terhadap masyarakat, memiliki dasar etis, memiliki tingkat regulasi, memiliki peningkatan pengetahuan dan mengikuti standar profesi secara umum. Artinya untuk menjadi profesional, maka seseorang harus mampu secara efektif menyelesaikan tantangan dan tugas-tugas yang ada dalam mengajar, mampu memanfaatkan keterampilan, pengalaman pribadi dan pengalaman profesional serta ahli dalam profesi tertentu (Baggini, dalam Helterlbran, 2008). Profesi guru juga dituntut profesionalitasnya, sehingga para guru perlu membenahi dirinya. Menurut Rice (2003), secara umum, guru akan semakin berkualitas apabila ia memiliki pengalaman, mengikuti program persiapan atau mencapai jenjang pendidikan tertentu, memperoleh sertifikat, mengikuti kuliah untuk mempersiapkan diri dalam profesi dan memiliki skor tes yang baik. Dengan mengikuti pelatihan yang berkualitas, baik yang dilakukan di sekolah maupun pelatihan dalam pekerjaannya, maka hal ini akan memperbaiki kualitas guru, membantu mengubah perilaku guru dan budaya sekolah, serta meningkatkan prestasi siswa (Baron & Thompson-Grove, 2008). Keterampilan mengajar tidak secara otomatis dikuasai seseorang (Kay, dalam Ursano, 2007), karena ada banyak kendala agar seseorang dapat dikatakan baik ketika mengajar. Meskipun demikian, mengajar membutuhkan serangkaian keterampilan, sikap dan perilaku yang saling berkaitan. Untuk menjadi guru yang efektif maka perlu dilakukan identifikasi terhadap sasaran yang baru dan sikap serta perilaku yang berbeda dalam melaksanakan pekerjaan (Ursano, 2007) dan hal ini dapat dilakukan melalui pelatihan. Oleh karena itu, pengajaran dan pendampingan guru melalui pelatihan perlu untuk memperbaiki atau mengubah keterampilan guru. Pengembangan guru menurut Neville dan Robinson (2005), dapat dilakukan melalui workshop, kursus-kursus atau dengan menempuh jenjang pendidikan yang lebih tinggi. Dampak pelatihan guru dilaporkan cukup positif. Dengan dilaksanakan pelatihan, maka pengetahuan guru akan semakin dalam dan metode pengajaran guru akan semakin baik dan secara perlahan-lahan dapat membantu meningkatkan prestasi siswa. Abidah (2008) yang meneliti tentang pengaruh pelatihan guru Agama di Surabaya menunjukkan bahwa ternyata pelatihan berdampak positif terhadap kompetensi guru, terutama dalam kompetensi mengajarnya. Meskipun demikian, dalam melaksanakan pelatihan, Dagenais (dalam Trenta, dkk, 2004) mengemukakan bahwa terdapat lima karakteristik yang mencirikan program pelatihan yang baik, yaitu: (1) menyediakan informasi mengenai lingkup program yang jelas; (2) adanya metode pemilihan pelatih yang baik dan sesuai dengan kriteria yang ditetapkan; (3) menyediakan penguat intrinsik dan ekstrinsik untuk mempertahankan pelatih; (4) menyediakan pelatihan untuk mentor; dan (5) melakukan evaluasi keberhasilan program. Dengan demikian, perlu dipertimbangkan apakah pelatihan yang diberikan kepada guru selama ini merupakan pelatihan yang memang cukup baik. Pengertian Pelatihan Pelatihan sangat berbeda dengan pendidikan pada umumnya dan pengajaran. Pendidikan secara umum adalah perolehan pengetahuan yang mempersiapkan pemelajar untuk pekerjaannya selanjutnya. Pendidikan sering disamakan dengan sekolah formal. Pelatihan adalah perolehan pengetahuan dan keterampilan yang dihasilkan dalam performansi spesifik. Pelatihan sering digunakan untuk membantu pemelajar melakukan tugas tertentu dalam pekerjaannya atau untuk melaksanakan pekerjaannya secara berbeda atau secara lebih baik. Tan dan Torrington (2004) mengemukakan bahwa pelatihan merupakan 140
International Conference on Education 2014 Official Conference Proceedings
Sabah, Malaysia
suatu proses untuk meningkatkan pengetahuan dan keterampilan seseorang. Dalam dunia pendidikan, pelatihan diberikan untuk meningkatkan pemahaman guru dalam bidang pelajaran tertentu, meningkatkan keterampilan guru dalam mengajar maupun kegiatan belajar mengajar, serta membentuk dan mengubah sikap guru terhadap suatu hal yang berkaitan dengan pendidikan. Melalui pelatihan, diharapkan guru dapat bekerja lebih efektif dan profesional dalam kegiatan belajar mengajar. Agar pelatihan berhasil maka perlu diketahui terlebih dahulu: tujuan pelatihan, karakteristik peserta pelatihan, bagaimana merancang dan mengembangkan pelatihan menggunakan serangkaian metode dan teknik tertentu. Metode yang Digunakan dalam Pelatihan Menurut Laird (2003), metode instruksional yang digunakan dapat dikatakan baik asalkan membantu pencapaian sasaran belajar. Untuk mencapai sasaran belajar, ada beberapa cara yang dapat ditempuh, yaitu dengan melakukan (doing), berpikir (thinking), mencoba (trying) dan mengamati (watching). Gaya belajar ini perlu diperhatikan karena setiap orang memiliki pendekatan yang berbeda dalam belajar. Ada beberapa metode yang biasa digunakan dalam pelatihan, yaitu ceramah, membaca bacaan tertentu, demonstrasi, dan sebagainya. Pada bagian berikut ini akan dibahas mengenai metodemetode tersebut satu persatu. Ceramah. Ceramah adalah satu metode yang paling mudah dan sederhana, karena instruktur menyampaikan informasi secara lisan dan hanya membuat peserta pasif dan tidak terstimulasi. Namun demikian, dapat pula ceramah menjadi menarik, ketika pembicaranya cukup memiliki bakat untuk berbicara secara menarik. Instruktur perlu memberikan contoh-contoh yang baik untuk menjelaskan teori, serta menggunakan bahasa serta nada suara yang menyenangkan. Tugas Membaca. Tugas membaca juga tidak merangsang peserta, karena peserta hanya berkonsentrasi pada bacaan yang dibacanya. Tentu saja tugas membaca ini dapat memberikan informasi yang cukup banyak. Tugas membaca perlu diikuti dengan umpan balik sehingga dapat lebih bermakna. Demonstrasi. Demonstrasi sebenarnya hanya membantu menggambarkan ketika ceramah dilakukan. Demonstrasi ini lebih cocok untuk tugas-tugas psikomotor, karena peserta dapat meniru (modeling) apa yang dilakukan oleh instruktur. Sebagai contoh, demonstrasi dapat dilakukan untuk mencontohkan keterampilan interpersonal, bagaimana cara berkomunikasi atau bagaimana mengoperasikan mesin tertentu. Demonstrasi interaktif. Demonstrasi interaktif sebenarnya mirip dengan demonstrasi biasa, akan tetapi, ketika instruktur memberikan contoh, pemelajar dapat mengikutinya langsung dan tidak hanya melihat. Dalam hal ini pemelajar perlu memiliki peralatan yang sama yang dimiliki oleh instruktur sehingga dapat langsung mengikutinya. Pemelajar juga boleh langsung menanyakan bila ada ketidak jelasan, sehingga terjadi interaksi. a) Field trip. Field trip, ekskursi, melakukan observasi atau tur akan dapat memberikan manfaat apabila peserta berpartisipasi. Untuk itu, instruktur perlu menentukan harapan dan sasaran yang ingin dicapai sebelum melakukan perjalanan, serta memastikan bahwa ada kesempatan untuk belajar tersebut terjadi. Pengalaman di lapangan ini memungkinkan peserta mengalami langsung kejadian di lapangan, sehingga peserta dapat merasakan bahwa apa yang dipelajari di dalam kelas digeneralisasikan ke lapangan. b) Diskusi panel. Diskusi panel sering disebut sebagai simposia, dimulai dengan ceramah singkat oleh beberapa orang. Setiap pembicara menekankan satu topik, memberikan pandangan yang berbeda dari pembicara yang lain dan menghubungkan topik yang dimiliki dengan topik yang dimiliki oleh pembicara lain. Masalah yang dihadapi dengan model ini adalah partisipasi peserta menjadi terbatas, karena yang banyak berbicara adalah pembicara. c) Diskusi kelompok. Diskusi kelompok adalah percakapan mengenai sebuah topik yang dilakukan oleh satu atau lebih peserta yang difasilitasi oleh instruktur atau pemimpin diskusi. Diskusi ini akan bermanfaat bila ada kondisi-kondisi tertentu terpenuhi. Misalnya, di dalam kelompok ada seseorang yang memiliki pengalaman atau pengetahuan mengenai topik yang dibicarakan. Diskusi juga dapat membantu kelompok menemukan ide baru, menangkap kebutuhan kelompok, memahami ide-ide kompleks untuk kemudian mengambil keputusan. Tujuan diskusi adalah untuk membantu kelompok melakukan hal-hal yang seharusnya dilakukan. Pemimpin diskusi berfungsi untuk membantu agar diskusi berlangsung dengan baik, mendorong setiap peserta terlibat serta membantu kelompok agar dapat mendekati masalah secara sistematik. 141
International Conference on Education 2014 Official Conference Proceedings
Sabah, Malaysia
d) Panel tanya jawab. Dalam sesi tanya jawab, instruktur mengumumkan topik atau tugas membaca yang dituntut serta memberikan daftar pertanyaan kunci yang harus dipikirkan untuk sesi tersebut. Ketika fase tanya jawab terjadi, instruktur meminta peserta untuk bertanya. Jawaban dapat muncul dari para peserta, maupun dari instruktur. Meskipun demikian, lebih baik apabila jawaban datang dari peserta dan instruktur hanya berpartisipasi ketika jawaban kurang tepat atau kurang lengkap. Cara ini akan membuat peserta menjadi semakin terlibat. e) Penelitian Kasus. Penelitian kasus sangat baik untuk membuat diskusi menjadi lebih konkret. Biasanya dalam penelitian kasus, peserta menerima persoalan yang telah disiapkan dengan situasi masalahnya. Penjelasan yang diberikan berisi detil-detil yang cukup sehingga pemelajar dapat merekomendasikan tindakan yang sesuai. Yang perlu diperhatikan dalam penelitian kasus adalah: detil permasalahan yang tersedia, waktu yang tersedia untuk menyelesaikan, penjelasan mengenai bagaimana tugas tersebut harus diselesaikan (berupa rekomendasi, keputusan, rencana tindakan). Selain itu, penugasan dapat berupa serangkaian pertanyaan yang perlu dijawab kelompok untuk penyelesaian tugas diskusi tersebut. f) Tugas kelompok kecil. Tugas kelompok kecil juga bisa menghasilkan keputusan atau rekomendasi yang kemudian dikomunikasikan dengan kelompok-kelompok lain di dalam kelas. Diskusi dalam kelompok-kelompok kecil dapat menghasilkan pro dan kontra, yang kemudian dapat didiskusikan bersama dalam kelompok besar. g) Bermain peran. Bermain peran dapat digunakan untuk mempelajari persoalan yang bersifat sensitif atau untuk menjajagi solusi serta memberikan insight kepada partisipan yang memiliki sikap yang berbeda. Dalam bermain peran peserta berpartisipasi tanpa skrip dan berakting di depan anggota kelompok yang lain. Agar peserta dapat memainkan perannya dengan baik, tahu apa yang harus dikatakan dan dilakukan dalam bermain peran, maka peserta dibekali dengan situasi yang dijelaskan secara detil serta perannya dalam permainan. Pemain peran dan penonton sadar akan situasi umumnya, tetapi individu yang memainkan peranlah yang betul-betul mengetahui tentang perannya secara detil. Agar jelas, detil peran ini perlu dijelaskan secara individual kepada pemerannya. Setelah bermain peran selesai, diskusi dengan seluruh anggota kelompok perlu dilakukan. 2. Evaluasi Program Pelatihan Evaluasi program merupakan langkah terakhir dari suatu pelatihan, yang seringkali tidak dilakukan. Beberapa alasan tidak dilaksanakannya evaluasi program adalah karena keterbatasan alokasi biaya, kurangnya waktu, keterbatasan keahlian, menganggap bahwa pelatihan pasti akan berhasil atau karena kurangnya metode dan alat ukur (McEvoy & Buller, dalam Eseryel, 2002). Padahal, evaluasi efektivitas program pelatihan merupakan hal yang penting dilakukan, karena tanpa evaluasi maka tidak diketahui apakah program pelatihan yang dilaksanakan memang benar-benar memiliki manfaat. Apabila evaluasi program dilakukan, maka dapat diketahui secara tepat masalah-masalah yang dihadapi, sehingga dapat dilakukan tindakan perbaikan. Phillips (1991) mendefinisikan evaluasi sebagai proses sistematik untuk menentukan kepentingan, nilai dan makna dari sesuatu, sedangkan Holli dan Calabrese (1998) mendefinisikan evaluai sebagai pembandingan antara nilai atau kualitas yang diobservasi dengan kriteria standar tertentu. Evaluasi merupakan proses membentuk penilaian mengenai kualitas program, kualitas produk dan sasaran. Shalock (2001) mendefinisikan evaluasi efektivitas sebagai penentu apakah program telah memenuhi sasaran dan tujuan performansi yang diinginkan. Dengan demikian, evaluasi program pelatihan dapat disimpulkan sebagai upaya sistematik untuk menilai apakah program pelatihan yang dilaksanakan telah memenuhi sasaran yang diinginkan, serta menilai apakah program pelatihan yang dilaksanakan memiliki kualitas yang telah ditetapkan sebelumnya. Untuk dapat melakukan evaluasi yang tepat terhadap pelatihan, Dessler dan Tan (2005) menyatakan bahwa perlu dirancang desain pelatihan yang berbentuk “time series”. Dengan desain ini, dapat dilihat perubahan pencapaian dari sebelum dan sesudah pelatihan diberikan. Cara kedua adalah menerapkan desain penelitian eksperimental dengan menggunakan kelompok kontrol. Hal ini merupakan cara yang lebih baik daripada sekedar ‘time series design’. Dengan adanya kelompok kontrol dapat dipastikan apakah peningkatan pengetahuan, peningkatan keterampilan, perubahan tingkah laku, dan perubahan sikap memang disebabkan oleh pelatihan dan bukan hal-hal lain. Ada dua cara mengevaluasi program pelatihan, yaitu: 142
International Conference on Education 2014 Official Conference Proceedings
Sabah, Malaysia
post-course questionnaires
yaitu memberikan kuesioner kepada peserta training hanya pada hari terakhir pelatihan dengan menjawab pertanyaan-pertanyaan yang berkaitan dengan pemberian pelatihan. Metode ini memiliki beberapa kelemahan. Pertama, adanya halo effect. Bagi sebagian peserta pelatihan, mengikuti pelatihan dapat merupakan salah satu kegiatan untuk keluar dari rutinitas. Kedua, kuesioner cenderung hanya mengevaluasi pemberian pelatihan bukan pembelajaran yang terjadi pada peserta. Ini berarti, peserta pelatihan lebih menilai kualitas dari pelatih dan media pembelajaran yang ada selama pelatihan, dan bukan mengevaluasi apakah diri mereka sudah mempelajari sesuatu yang meningkatkan pengetahuan dan keterampilan atau menyadari adanya perubahan sikap dan tingkah laku dalam diri mereka sendiri. pre-course and post-course questionnaires Metode yang efektif adalah memberikan kuesioner pendek pada peserta di awal pelatihan untuk melihat apa yang mereka harapkan akan diperoleh dari pelatihan. Kemudian pada akhir pelatihan peserta diberikan kuesioner lain mengenai pembelajaran dan apa yang dapat mereka aplikasikan dari hasil pelatihan pada pekerjaan mereka sehari-hari. Selain itu, peserta melengkapi kuesioner lain yang mereviu efek pelatihan terhadap performa kerja mereka. Hal ini dilakukan untuk lebih menekankan pada apa yang peserta pelajari dan bukan menilai kualitas pelatihan yang diberikan. Ada beberapa model untuk mengevaluasi program pelatihan, namun yang cukup luas digunakan adalah model yang diajukan oleh Kirkpatrick pada tahun 1959 (dalam Bates, 2004). Menurut Model Kirkpatrick, ada empat level dalam evaluasi program yaitu: Tabel 2. Model Kirkpatrick untuk mengevaluasi Efektivitas Program Pelatihan Level 1 – Reaksi/ Reaction
Pertanyaan Bagaimana reaksi partisipan terhadap program?
Tujuan Untuk mengumpulkan data mengenai reaksi peserta di akhir programpelatihan
Caranya Mengisi kuesioner umpan balik peserta Komentar informal dari peserta FGD peserta
2 – Belajar/ Learning
Seberapa jauh peningkatan pengetahuan dan keterampilan peserta setelah pelatihan?
Untuk mengetahui apakah sasaran belajar program pelatihan tercapai
Sekor tes prauji dan pascauji on-the-job assessments laporan dari atasan/ supervisor
3 – Perilaku/ Behaviour
Seberapa jauh peserta mengubah perilakunya dalam pekerjaan sebagai hasil dari pelatihan?
Untuk mengukur apakan perubahan performansi dalam pekerjaan berubah setelah pelatihan
mengisi kuesioner self assessment on-the-job observation laporan dari siswa
4 – Hasil/ Result
Apa manfaatnya bagi organisasi?
Untuk mengetahui ciaya dan manfaat program pelatihan, misalnya berkaitan dengan peningkatan kualitas kerja, peningkatan kuantitas kerja.
Hasil kinerja Wawancara dengan kepala sekolah
Jadi, evaluasi yang dilakukan di atas pada prinsipnya mencoba 1) mengumpulkan reaksi peserta terhadap pengalaman mereka ketika menjalankan pelatihan, 2) mengukur pengetahuan dan keterampilan yang diperoleh peserta dari pelatihan, 3) mengukur sejauh apa peserta menggunakan pengetahuan dan keterampilan yang diperolehnya dan 4) mengukur dampak peningkatan pengetahuan dan keterampilan terhadap belajar siswa.
143
International Conference on Education 2014 Official Conference Proceedings
Sabah, Malaysia
Selain itu tingkat evaluasi menurut Kirkpatrick di atas, pertanyaan lain berkenaan dengan evaluasi program pelatihan menurut Eseryel (2002) berkenaan dengan: Tujuan evaluasi (formatif atau sumatif), Sasaran evaluasi (kognitif, afektif, perilaku, dampak), Tipe sasaran instruksional (pengetahuan deklaratif, pengetahuan prosedural, sikap), Tipe penyampaian (classroom-based, technology-based, campuran), Besar dan tipe kelompok peserta (individual, kelompok kecil, kelompok besar). Dalam kesempatan ini, evaluasi yang dilakukan lebih berkenaan pada pengetahuan dan keterampilan guru setelah mengikuti pelatihan serta reaksi peserta pelatihan terhadap pengalaman mereka ketika menjalankan pelatihan. Selain efektivitas pelatihan dari segi kompetensi akademik, yang akan diteliti dalam penelitian ini juga mengenai kompetensi yang dimiliki guru, meliputi kompetensi kepribadian, kompetensi sosial, kompetensi pedagogik, kepuasan kerja, sikap guru terhadap pengajaran (teaching attitude) dan teaching efficacy guru. Oleh karena itu pada bagian berikut akan dibahas mengenai kompetensi, kepuasan kerja, teaching attitude dan teaching efficacy guru. Kompetensi Guru Seorang guru yang kompeten diharapkan dapat mengajar dengan baik. Kompetensi merupakan hal yang esensial dimiliki oleh guru. Dalam penelitian ini yang akan disoroti adalah kompetensi akademik dan kompetensi non akademik. Berdasarkan UU no 14, tahun 2205, pasal 8 dan 10, dikatakan bahwa seorang guru selayaknya memiliki kualifikasi akademik, kompetensi, sertifikat pendidik, sehat jasmani dan rohani, serta memiliki kemampuan untuk mewujudkan tujuan pendidikan nasional. Selanjutnya dikatakan bahwa kompetensi dasar yang harus dimiliki guru meliputi kompetensi pedagogik, kepribadian, sosial, dan profesional. Semua ini dapat diperoleh melalui pendidikan profesi. Kompetensi ini, berkaitan dengan kemampuan guru dalam mengajar, membimbing, dan juga memberikan contoh hidup kepada siswa. Pengertian Kompetensi Kompetensi merupakan pengetahuan dan ketrampilan yang dibutuhkan untuk menjalankan suatu aktivitas. Hal ini dibutuhkan karena agar seseorang dapat bekerja dengan baik, maka ia harus mempunyai bekal, baik berupa pengetahuan, sikap maupun ketrampilan, sehingga ia dapat menjalankan tugas-tugasnya. Pengetahuan, sukap maupun ketrampilan ini harus dapat diterapkan dalam pekerjaannya. Dalam pekerjaan, kompetensi ini seharusnya dapat dituangkan dalam bentuk pernyataan-pernyataan yang dapat diamati, sehingga menggambarkan pengetahuan, sikap dan ketrampilan yang ingin diukur. Menurut American Heritage Dictionary, kompetensi adalah keadaan atau kualitas yang menunjukkan kualifikasi tertentu, atau sering disebut sebagai kemampuan. Selain itu kompetensi diartikan sebagai serangkaian keterampilan, pengetahuan atau kemampuan. Sedangkan Erraut (1998) mengartikan kompetensi sebagai kemampuan untuk menampilkan tugas dan peran yang dibutuhkan dengan standar tertentu. 1. Kompetensi Akademik. DiPerna dan Elliot (2000) mendefinisikan kompetensi akademik sebagai keterampilan akademik dan hal-hal yang memudahkan belajar dan mendukung prestasi. Kompetensi akademik dapat berbeda-beda dalam komponennya, tergantung pada pengguna dan institusinya. Selanjutnya dikatakan pula oleh DiPerna dan Elliot (2001), keterampilan akademik ini perlu terus menjadi fokus utama dalam pembelajaran di sekolah. Oleh karena itu, guru perlu memiliki kompetensi akademik yang baik, agar ia dapat mengajar dengan baik. 2. Kompetensi Kepribadian. Faktor kepribadian merupakan faktor yang penting dimiliki oleh seorang guru. Seorang guru sepatutnya memiliki kepribadian yang sehat agar dapat mengajar dengan baik. Guru yang baik dicirikan oleh kepercayaan diri, jujur, matang dan mantap secara pribadi. 3. Kompetensi Sosial. Kompetensi sosial merupakan konstruk yang menggambarkan interaksi antara faktor individu dengan faktor lingkungan atau faktor yang mengarah pada interaksi sosial. Dibutuhkan keterampilan sosial, emosional, intelektual dan perilaku agar seseorang dapat berhasil dalam masyarakat. 4. Kompetensi Pedagogik. Seorang guru sebaiknya memiliki kesadaran untuk melakukan metode atau strategi pengajaran. Keterampilan ini mengacu pula pada pengetahuan dan penerapan metode instruksional yang paling efektif untuk membantu siswa mencapai sasaran belajar. Artinya memiliki kompetensi akademik saja tidaklah cuku bagi seorang guru. Ia juga hars memiliki 144
International Conference on Education 2014 Official Conference Proceedings
Sabah, Malaysia
pengetahuan dan keterampilan pedagogis yang mencakup penyampaian sasaran, pemilihan metode instruksional yang paling sesuai, penyediaan kesempatan untuk praktik dan umpan balik yang sesuai dan pelayanan yang sesuai untuk kebutuhan para siswanya. Untuk mempertahankan kompetensi pedagogik, guru perlu terus membenahi diri dan memperkaya dirinya dengan pengetahuan yang relevan serta keteraampilan yang memang dibutuhkan. Hal ini dapat dilakukan melalui membaca buku-buku umum maupun yang spesifik membahas mengenai keterampilan tersebut, namun juga dapat diperoleh melalui pelatihan, konferensi dan workshop yang disediakan oleh institusi-institusi terkait. Kompetensi pedagogik ini bagi seorang guru merupakan kompetensi profesional, karena spesifik terdapat dalam bidang pendidikan. Seorang guru yang profesional diharapkan dapat mengintegrasikan sejumlah pengetahuan dan keterampilannya dan menerapkannya dalam berbagai situasi yang sesuai. Kepuasan Kerja Kepuasan kerja seseorang sangat tergantung pada situasi kerja yang dihadapi. Menurut French (1982) dan Tziner dan Vardi (1984) kepuasan kerja merupakan respon afektif terhadap sejumlah besar kondisi atau aspek pekerjaan yang dihadapi seseorang. Seperti gaji yang diterima, supervisi yang dilakukan, kondisi kerja dan atau pekerjaan itu sendiri dan semua itu dituangkan dalam bentuk perasaan orang tersebut mengenai pekerjaannya (Arches, 1991). Balzer dkk (1997) mendefinisikan kepuasan kerja sebagai perasaan pekerja mengenai pengalaman kerjanya dalam relasinya dengan pengalaman sebelumnya, harapan saat ini dan alternatif yang tersedia. B.
Teaching Attitude Sikap dapat didefinisikan sebagai kecenderungan yang konsisten untuk bereaksi dalam suatu cara tertentu – positif maupun negatif – terhadap suatu masalah. Fazio dan Roskes (dalam Adediwura & Tayo, 2007) mengatakan bahwa “sikap sangatlah penting dalam psikologi pendidikan karena sikap sangat mempengaruhi pemikiran sosial, terutama mengenai cara berpikir seorang individu dan proses informasi sosial. Menurut Eggen dan Kauchak (dalam Adediwura & Tayo, 2007), sikap guru yang positif sangat penting dalam pengajaran yang efektif. Kedua tokoh tersebut mengidentifikasikan sejumlah sikap guru yang memfasilitasi terciptanya suasana kelas yang perhatian dan mendukung. Sikap-sikap tersebut adalah antusiasme, perhatian, teguh, praktek demokratis untuk meningkatkan tanggung jawab siswa, menggunakan waktu pengajaran secara efektif, menciptakan rutinitas yang efisien, dan berinteraksi secara bebas dengan siswa dan memprovide motivasi bagi siswa. Hasil penelitian terhadap perilaku guru menunjukkan bahwa karakteristik-karakteristik guru seperti efficacy guru, modeling dan antusiasme, perhatian dan pengharapan yang tinggi dapat meningkatkan motivasi pelajar. Karakteristik-karakteristik yang sama juga diasosiasikan dengan meningkatnya prestasi akademik siswa. Tingkat yang tinggi dalam belajar dapat terjadi sejalan dengan adanya perasaan yang baik terhadap diri mereka sendiri dan materi yang mereka pelajari ketika guru menggunakan waktu instruksional secara efisien. Belajar akan menjadi lebih mudah dan cepat di bawah pengajaran guru yang well-organized. Bagaimana guru berinteraksi dengan siswa mempengaruhi motivasi siswa dan sikap terhadap sekolah. Bagaimana siswa menerima sikap guru mereka di sebuah SMP di Nigeria akan diukur berdasarkan beberapa poin-poin yang sudah disampaikan. Untuk meningkatkan keteraturan dan belajar di dalam kelas, tiap guru harus memiliki keterampilan pengajaran yang esensial. Tidak ada seorang pun yang dapat mengajarkan sesuatu kepada orang lain tanpa melakukannya dalam cara-cara tertentu, dan cara pengajaran yang demikian memiliki efek yang penting dalam keseluruhan situasi pengajaran dan belajar. Ehindero and Ajibade (dalam Adediwura & Tayo, 2007) mengemukakan bahwa pengajaran adalah proses pengembangan pribadi yang berkelanjutan dan penemuan diri professional sepanjang pemahaman yang muncul dalam proses pengajaran dan belajar. Jika ada teknik yang penting dalam pengajaran yang baik, itu adalah komunikasi. Hal ini sangatlah penting karena mengajar tidak dapat terjadi tanpa penggunaan komunikasi bahasa verbal atau penggunaan tanda. Hal ini menyiratkan bahwa guru harus memonitor perkataan mereka untuk meyakinkan bahwa presentasi mereka jelas dan logis. Eggen dan Kauchack (dalam Adediwura & Tayo, 2007) menekankan empat aspek komunikasi yang 145
International Conference on Education 2014 Official Conference Proceedings
Sabah, Malaysia
efektif yang sangat penting dalam belajar dan memotivasi, yaitu terminology yang tepat, diskusi yang berhubungan, transisi signals dan penekanan. Dalam lingkup pendidikan, terdapat guru yang menunjukkan sikap yang positif dalam memberikan pembelajaran di suatu situasi belajar mengajar. Berbagai pengetahuan (berupa seperangkat fakta, hukum dan data) di transfer oleh guru kepada siswanya. Berdasarkan penelitian di bidang pendidikan dan pembelajaran bidang fisika (Barros & Elia, 1987) ditemukan bahwa hasil yang memuaskan terjadi jika ada keterkaitan antara sekolah sebagai institusi dan masyarakat (budaya, Negara). Dijelaskan pula bahwa keberagaman dari model pembelajaran guru merupakan hasil dari interaksi antara teaching attitudes dan kompetensi guru, sekolah dan masyarakat. Melalui suatu training diharapkan semua aspek ini dapat berpengaruh.
Gambar 2. Hubungan antara pelatihan dengan kompetensi guru dan teacher attitude
Sikap menunjukkan pada apa yang dilihat, didengar, dipikirkan dan dilakukan oleh setiap individu. Sikap dapat diartikan sebagai kecenderungan seseorang untuk bereaksi secara favorable atau unfavorable pada suatu obyek (orang lain atau sekelompok orang, institusi atau kejadian). Sikap bisa positif (nilai) atau negatif (prasangka). Ahli psikologi social membedakan 3 komponen dari respon yaitu: komponen kognitif, yang mengacu pada pengetahuan mengenai obyek dari sikap, tepat atau tidak; komponen afektif menunjukkan perasaan pada obyek; dan komponen konatif menunjukkan aksi terhadap obyek. Ketiga komponen tersebut muncul membentuk sikap guru di kelas melalui interaksi langsung maupun tidak langsung dengan masyarakat, guru lain dan sekolah. Barros dan Elia (1987) dalam penelitiannya mengenai sikap guru fisika menunjukkan adanya tujuh tipe dari teaching attitudes yang dapat dikelompokkan dalam tiga kelompok yang dapat menunjukkan trait guru. Pengelompokan ini disejajarkan dengan kompetensi guru yang dapat menggambarkan bagaimana perilaku guru di kelas. Dalam penelitian ini, alat ukur teaching attitude akan disusun berdasarkan pendapat dari Barros dan Elia (1987). C. Teaching Efficacy Guru Bandura (dalam Erdem & Demirel, 2007; Skaalvik & Skaalvik, 2007) mengemukakan bahwa self efficacy adalah penilaian individu mengenai kapabilitasnya untuk mengorganisasi dan melakukan sejumlah aktivitas yang diperlukan untuk mencapai tujuan tertentu. Selain itu self efficacy merupakan konsep yang multidimensioal dan spesifik tergantung konteksnya. 146
International Conference on Education 2014 Official Conference Proceedings
Sabah, Malaysia
Berdasarkan definisi tersebut teaching efficacy guru dapat didefinisikan sebagai keyakinan guru terhadap terhadap kemampuannya untuk merencanakan, mengorganisasikan, dan melakukan aktivitas yang diperlukan untuk mencapai tujuan pendidikan yang sudah ditentukan (Skaalvik & Skaalvik, 2007). Erdem dan Demirel (2007) menambahkan bahwa guru dengan self-efficacy yang tinggi percaya bahwa mereka dapat mengontrol, mempengaruhi dorongan berprestasi siswa dan juga motivasi mereka. Teori self-efficacy memprediksikan bahwa guru dengan efficacy yang tinggi bekerja lebih giat dan mampu bertahan lebih lama ketika menghadapi siswa yang sulit untuk dididik, karena mereka percaya diri dan juga percaya pada siswanya. Skaalvik dan Skaalvik (2007) menyusun kuesioner teaching efficacy guru yang dalam pembuatan skalanya didasarkan pada rekomendasi/aturan konstruksi item yang dikemukakan oleh Bandura (1997), yaitu : (1) subyek dalam setiap pernyataan adalah “saya” karena tujuannya adalah untuk menilai keyakinan subyektif guru tentang kapabilitas dirinya; (2) pernyataan-pernyataan terdiri kata kerja “dapat melakukan” (can or be able to) supaya pernyataan yang ada benar-benar menanyakan tentang kemampuan personal; (3) selain itu, setiap pernyataan hendaknya mengandung hambatan (barrier) sebagai contoh berhasil mengajar siswa termasuk siswa yang paling sulit sekalipun. Bila tanpa unsure hambatan, aktivitasnya akan mudah untuk dilakukan sehingga tidak dapat membedakan self efficacy dari guru-guru. Skala yang disusun oleh Skaalvik dan Skaalvik (2007) terdiri dari enam dimensi yaitu 1) Instruksi (instruction): fokus pada ekspektansi guru terhadap kemampuannya menjelaskan pelajaran kepada siswa, menjelaskan pokok-pokok bahasan, membimbing siswa dalam tugas-tugasnya, dan menjawab pertanyaan agar siswa lebih memahami pelajaran yang disampaikan; (2) Menyesuaikan pengajaran berdasarkan kebutuhan individual siswa (adapting education to individual students’ needs); (3) Memotivasi siswa (motivating students) : fokus pada ekspektansi guru terhadap kemampuannya dalam memotivasi siswa supaya mereka dapat belajar secara optimal; (4) Penerapan disiplin (keeping discipline) : fokus pada kemampuan guru untuk mempertahankan keteraturan dan disiplin di daam kelas mengingat sering kali situasi kelas tampak sangat ramai; (5) Bekerjasama dengan kolega dan orangtua (cooperating with colleagues and parents): di kebanyakan sekolah, guru bekerja dalam tim dan berbagi tanggung jawab terhadap siswa-siswa yang ada. Guru juga diharapkan dapat bekerjasama dengan orangtua termasuk memberikan informasi tentang kegiatan dari siswa.; (6) Menghadapi perubahan dan tantangan (coping with changes and challenges): menekankan pada kemampuan guru dalam mengatasi perubahan-perubahan yang terjadi dan tantangan termasuk mengatasi perubahan dalam kebijakan pemerintah atau kebijakan sekolah. Berdasarkan skala yang dibuat oleh Skaalvik dan Skaalvik (2007) dibuatlah skala self efficacy guru yang akan dipakai untuk penelitian efektivitas program pelatihan guru SMP di Indonesia. Skala ini dijadikan acuan karena berdasarkan pertimbangan dimensi-dimensinya yang komprehensif dan mencakup area yang dihadapi guru shari-hari dalam melakukan pengajarannya. Selain itu juga ditambah beberapa item yang diperoleh dari skala yang dibuat oleh Erdem dan Darmiel (2007), dengan penambahan faktor hambatan (barrier) yang kurang ditekankan dalam penelitian mereka. Dalam rangka menyesuaikan dengan kondisi di Indonesia, juga dilakukan sejumlah modifikasi terhadap skala yang ada. Berdasarkan kerangka pemikiran yang telah diajukan maka diajukan pertanyaan penelitian: Apakah ada dampak pelatihan yang dilakukan oleh Pusat Pengembangan dan Pemberdayaan Pendidik dan Tenaga Kependidikan (P4TK) dan KKG/MGMP dalam bidang penelitian Matematika, IPA, Bahasa Indonesia dan Bahasa Inggris. Selain itu juga dilihat dampaknya terhadap kompetensi kepribadian, kompetensi sosial, kompetensi pedagogik, kepuasan guru dan sikap guru, serta teaching efficacy. Lebih jauh, hipotesis yang diajukan dalam hubungannya dengan permasalahan penelitian ini adalah: (1) Ada perbedaan yang signifikan dalam kompetensi akademik guru dalam pelajaran yang diajarnya antara sebelum dan sesudah mengikuti pelatihan masing-masing dalam bidang penelitian Matematika, Fisika, Biologi, Bahasa Indonesia, Bahasa Inggris; (2) Ada perbedaan yang signifikan dalam kompetensi kepribadian guru sebelum dan sesudah mengikuti pelatihan; (3) Ada perbedaan yang signifikan dalam kompetensi sosial guru sebelum dan sesudah mengikuti pelatihan; (4) Ada perbedaan 147
International Conference on Education 2014 Official Conference Proceedings
Sabah, Malaysia
yang signifikan dalam kompetensi pedagogik guru sebelum dan sesudah mengikuti pelatihan; (5) Ada perbedaan yang signifikan dalam kepuasan kerja guru sebelum dan sesudah mengikuti pelatihan: (6) Ada perbedaan yang signifikan dalam sikap guru terhadap mengajar sebelum dan sesudah mengikuti pelatihan; dan (7) Ada perbedaan yang signifikan dalam teaching efficacy guru sebelum dan sesudah mengikuti pelatihan. METODE Populasi penelitian ini adalah guru-guru SMP pada bidang penelitian Matematika, IPA, Bahasa Indonesia dan Bahasa Inggris, yang mengikuti pelatihan yang dilaksanakan oleh (P4TK) Matematika, IPA dan Bahasa, serta KKG/MGMP. Direncanakan dari masing-masing bidang penelitian akan dipilih dua pelatihan yang waktu-waktu pelaksanaannya sangat tergantung pada jadwal yang disusun oleh masing-masing P4TK. Akan tetapi karena beberapa pelatihan tidak dilaksanakan sehubungan dengan adanya perubahan kebijakan, maka hanya diperoleh data dari pelatihan Matematika dan IPA yang dilaksanakan oleh P4TK dan tidak diperoleh data dari pelatihan Bahasa Indonesia dan Bahasa Inggris. Selain pengambilan data diambil dari P4TK, juga dilakukan pengambilan data dari guru-guru yang mengikuti pelatihan yang dilaksanakan oleh KKG/MGMP. Dalam hal ini, berhasil diambil data dari empat bidang penelitian, yaitu Matematika, IPA (Fisika dan Biologi), Bahasa Indonesia dan Bahasa Inggris. Jadi dapat disimpulkan bahwa pengambilan sampel penelitian ini adalah sifatnya accidental, yaitu berdasarkan ketersediaan dari data yang ada saja. Variabel yang dimasukkan dalam penelitian ini adalah: (1) Kompetensi guru di bidang pelajaran yang diajarnya, yaitu Matematika, IPA (Fisika & Biologi), Bahasa Indonesia dan Bahasa Inggris. Hal ini diukur dengan alat ukur kompetensi akademik; (2) Kompetensi kepribadian, mencakup kepercayaan diri, sifat-sifat positif serta kematangan pribadi dan hal ini diukur dengan alat ukur kompetensi kepribadian; (3) Kompetensi sosial, yaitu kemampuan individu untuk berinteraksi dengan lingkungan atau kemampuan individu untuk mengarah pada interaksi sosial. Hal ini diukur dengan alat ukur kompetensi social; (4) Kompetensi pedagogik, kemampuan untuk menyampaikan sasaran pengajaran, memilih metode instruksional yang paling sesuai, kemampuan menyediakan kesempatan untuk praktik dan umpan balik yang sesuai dan pelayanan yang sesuai untuk kebutuhan para siswanya. Hal ini diukur dengan alat ukur kompetensi pedagogic: (1) Kepuasan kerja, yang diukur dari kepuasan terhadap pekerjaan, gaji, kesempatan promosi, supervisi dan rekan kerja.; (2) Sikap guru terhadap mengajar yaitu sikap guru terhadap materi pelajaran, sebagai pemberi informasi, dalam memberikan memberikan teori dan melaksanakan praktik, inovator, mengembangkan metode interaksi, kepercayaan guru terhadap siswa dan ketika berhubungan dengan kondisi-kondisi lain; dan (3) Teaching efficacy guru yaitu keyakinan guru terhadap kemampuannya untuk merencanakan, mengorganisasikan, dan melakukan aktivitas yang diperlukan untuk mencapai tujuan pendidikan yang sudah ditentukan. Dalam penelitian ini dilakukan pengukuran terhadap kompetensi guru, baik kompetensi di bidang pelajarannya atau disebut sebagai kompetensi akademik, serta kompetensi non akademik yang terdiri dari kompetensi kepribadian, kompetensi sosial, kompetensi pedagogik. Selain itu juga dilihat dampak pelatihan terhadap kepuasan kerja, sikap guru terhadap mengajar dan teaching efficacy. Oleh karena itu, alat ukur yang digunakan adalah alat ukur untuk mengukur: (1) 1. Kompetensi akademik guru di bidang pelajaran yang diajarnya, yaitu Matematika, IPA (Fisika & Biologi), Bahasa Indonesia dan Bahasa Inggris; (2) Kompetensi kepribadian; (3) Kompetensi sosial,; (4) Kompetensi pedagogik; (5) Kepuasan kerja; (6) Sikap guru terhadap mengajar; dan (7) Teaching efficacy. Instrumen dikembangkan berdasarkan validitas isi (content validity), sedangkan perhitungan reliabilitasnya dengan menggunakan koefisien α.
148
International Conference on Education 2014 Official Conference Proceedings
Sabah, Malaysia
Tabel 4. Reliabilitas masing-masing alat ukur
No.
Instrumen
Reliabilitas
1.
Kompetensi Akademik dalam Matematika
α = 0,602
2.
Kompetensi Akademik dalam Fisika
α = 0,657
3.
Kompetensi Akademik dalam Biologi
α = 0,597
4.
Kompetensi Akademik dalam Bahasa Indonesia
α = 0,624
5.
Kompetensi Akademik dalam Bahasa Inggris
α = 0,729
6.
Kompetensi Kepribadian
α = 0,736
7.
Kompetensi Sosial
α = 0,782
8.
Kompetensi Pedagogik
α = 0,949
9.
Kepuasan Kerja
α = 0,902
10.
Sikap Mengajar
α =0,844
11.
Teaching Efficacy
α = 0,859
Untuk menguji efektivitas pelatihan, maka penelitian dilakukan dengan menggunakan desain eksperimental yaitu: Pretest-Posttest Group Design. Pengukuran terhadap efektivitas pelatihan dilakukan dua kali yaitu dengan memberikan kuesioner sebelum dan sesudah pelatihan. Data penelitian yang diperoleh tergantung pada pelaksanaan pelatihan yang ada. Oleh sebab itu, tidak dapat dibuat jadwal yang tetap oleh peneliti, karena jadwal pelatihan telah ditentukan oleh KKG/MGMP maupun P4TK. Pengumpulan data dilakukan pada sebelum pelaksanaan pelatihan dimulai dan setelah pelaksanaan pelatihan selesai. Hal ini dimaksudkan agar data pretes dan postes dapat diambil secara murni. Analisis statistik yang digunakan untuk menguji efektivitas pelatihan adalah t-test independent sample dengan menguji perbedaan gain score, yaitu selisih skor rata-rata antara sebelum dan sesudah pelatihan. Selain itu juga dibandingkan sekor pretes antar kelompok KKG/MGMP dengan P4TK. Pengolahan data dilakukan dengan bantuan program SPSS Versi 11.
HASIL Hasil penelitian ini akan disajikan secara berurutan, dari gambaran sampel serta gambaran pengambilan data pelatihan, kemudian disajikan mengenai perbandingan pretes dan postes pelatihan yang dilaksanakan oleh P4TK dan KKG/MGMP, dimulai dari segi akademik kemudian non akademik. Jumlah peserta pelatihan guru yang mengikuti penelitian ini keseluruhannya berjumlah 272 orang, Akan tetapi, data yang dapat terolah untuk masing-masing aspek yang diteliti sangat bervariasi, mengingat pengolahan lengkap hanya dapat dilakukan apabila responden mengisi lengkap kuesioner serta mengikuti pengisian pada pretes dan postes. Apabila responden tidak mengisi lengkap atau hanya mengikuti pretes atau postesnya saja, maka data tidak dapat diolah.
149
International Conference on Education 2014 Official Conference Proceedings
Sabah, Malaysia
Pengambilan data diambil di beberapa kota di Indonesia, sesuai dengan pelatihan yang dilaksanakan oleh P4TK yaitu di Yogyakarta, Bandung, Gorontalo dan Makassar, serta oleh KKG/MGMP Jakarta yang melaksanakan pelatihan mengenai pembuatan silabus dan rencana pembelajaran menurut KTSP. Peserta pelatihan yang mengikuti pelatihan baik di P4TK maupun KKG/MGMP yang terlibat dalam penelitian ini paling banyak berasal dari pelatihan guru Matematika yaitu 162 orang, sedangkan yang paling sedikit adalah Bahasa Inggris yaitu 16 orang. Responden paling banyak berasal dari kota Jakarta dan disusul dengan responden yang berasal dari kota Yogyakarta. Sedangkan responden yang paling sedikit adalah dari Makassar, yaitu 25 orang. Dari tabel di atas dapat dilihat bahwa peserta pelatihan yang terlibat dalam penelitian ini memiliki pengalaman mengajar yang bervariasi, dari hanya satu tahun hingga 35 tahun. Apabila digambarkan lama rata-rata mengajar, maka rata-rata mengajar para guru selama 16,9 tahun. Dari segi usia, peserta berkisar dari 23 tahun hingga 64 tahun, dengan rata-rata usia 42,24 tahun. Dari gambaran di atas, tampak bahwa responden terbesar berasal dari Yogyakarta yang berasal dari mata pelajaran Matematika. Sedangkan yang paling sedikit adalah berasal dari Jakarta untuk mata pelajaran Biologi. Pelaksanaan pelatihan dilakukan dari bulan Juli sampai dengan November 2008. Lamanya pelatihan cukup bervariasi, dari dua hari pada pelatihan yang diadakan oleh KKG/MGMP, sampai 1 minggu atau 2 minggu pada pelatihan yang diadakan oleh P4TK. Hal ini dapat dilihat pada tabel berikut ini. Pada bagian berikut ini akan dibahas mengenai kompetensi akademik dan kompetensi non akademiknya guru-guru yang mengikuti pelatihan P4TK dan KKG/MGMP.
Tabel 11. Perbedaan pretes dan postes Matematika antara guru-guru yang mengikuti pelatihan KKG/MGMP dan P4TK, serta perbedaan pretes dan postes masing-masing pelatihan
Pretes
Postes
t-test
Sign
N
KKG/MGMP
11,59
13,52
4,273
0,000*
29
P4TK
10,59
12,02
4,771
0,000*
143
t-test
2,395
2,787
sign
0,019*
0,007*
*signifikan pada l.o.s 0.05
Jumlah soal kompetensi profesi matematika adalah 20, sehingga dapat disimpulkan bahwa kompetensi guru matematik adalah rata-rata (baik pada guru yang terlibat dalam pelatihan KKG/MGMP maupun P4TK). Dalam hal ini dapat disimpulkan bahwa ada perbedaan yang signifikan dalam kompetensi profesi matematika para guru antara sebelum dan sesudah mendapatkan pelatihan, baik pada guru yang mendapatkan pelatihan KKG/MGMP maupun P4TK. Selain itu pula, terdapat peningkatan kompetensi guru setelah mendapatkan pelatihan. Hal ini dapat dilihat dari perbandingan skor pretes-postes. Dari tabel sebelumnya juga tampak ada perbedaan yang signifikan dalam kompetensi profesi matematika antara guru yang mengikuti pelatihan KKG/MGMP dengan P4TK, dimana guru yang mengikuti KKG/MGMP memiliki kompetensi yang lebih tinggi daripada guru yang mengikuti P4TK (perbandingan pretes maupun perbandingan postes antara KKG/MGMP dan P4TK)
150
International Conference on Education 2014 Official Conference Proceedings
Sabah, Malaysia
Tabel 12. Perbedaan pretes dan postes Biologi antara guru yang mengikuti pelatihan KKG/MGMP dan P4TK, serta perbedaan pretes dan postes masing-masing pelatihan Pretes
Postes
t-test
Sign
N
KKG/MGMP
4,33
15,75
7,063
0,000*
12
P4TK
14,71
14,41
0,468
0,646
17
t-test
11,988
1,147
sign
0,000
0,261
*signifikan pada l.o.s 0.05
Jumlah soal kompetensi profesi Biologi adalah 25, sehingga dapat disimpulkan bahwa kompetensi profesi guru biologi P4TK adalah sedikit di atas rata-rata (skor pretest). Nilai pretes guru pelatihan KKG/MGMP tidak bisa diolah karena kemungkinan ada kesalahan dalam pengisian sehingga skor pretes antara guru yang mengikuti pelatihan KKG/MGMP dan P4TK Jakarta tidak bisa diperbandingkan.
Tabel 13. Perbedaan pretes dan postes Fisika antara guru yang mengikuti pelatihan KKG/MGMP dan P4TK, serta perbedaan pretes dan postes masing-masing pelatihan Pretes
Postes
t-test
Sign
N
KKG/MGMP
13,25
12,38
0,835
0,417
16
P4TK
15,19
10,67
4,583
0,000*
21
t-test
2,386
1,046
sign
0,023*
0,300
*signifikan pada l.o.s 0.05
Jumlah soal kompetensi profesi fisika adalah 25, sehingga dapat disimpulkan bahwa kompetensi profesi guru fisika adalah sedikit di atas rata-rata, baik pada guru yang mengikuti pelatihan KKG/MGMP maupun P4TK. Tampak bahwa ada perbedaan yang signifikan dalam kompetensi profesi fisika para guru antara sebelum dan sesudah mendapatkan pelatihan pada KKG/MGMP. Namun hal ini tidak dapat diinterpretasikan begitu saja karena justru terjadi penurunan setelah pelatihan. Kemungkinan ada kesalahan dalam pengisian atau kurangnya waktu untuk menjawab pertanyaan, ketika postes. Selain itu, ada perbedaan kompetensi fisika antara guru fisika KKG/MGMP dengan P4TK, dimana guru-guru yang mengikuti pelatihan P4TK memiliki skor kompetensi yang lebih tinggi secara signifikan daripada guru-guru yang mengikuti pelatihan KKG/MGMP (perbandingan pretes KKG/MGMP dan P4TK) Sebagaimana telah diutarakan sebelumnya, data yang diperoleh hanya data dari pelatihan KKG/MGMP karena pelatihan Bahasa Indonesia yang dikelola oleh P4TK tidak dilangsungkan/ dibatalkan. Hasil yang diperoleh dapat dilihat pada tabel berikut.
151
International Conference on Education 2014 Official Conference Proceedings
Sabah, Malaysia
Tabel 14. Perbedaan pretes postes Bahasa Indonesia guru yang mengikuti pelatihan KKG/MGMP Pretes KKG/ MGMP
Postes
15.84
t
Sig
15.58
0.397
N
0.695
31
*signifikan pada l.o.s 0.05
Jumlah soal adalah 30 soal, dengan demikian dapat disimpulkan bahwa para guru memiliki kompetensi rata-rata. Dari hasil uji statistik, tampak bahwa terjadi sedikit penurunan pada mata pelajaran Bahasa Indonesia, namun demikian tidak terjadi penurunan yang signifikan. Kemungkinan hal ini dikarenakan waktu pelatihan yang sangat sempit yaitu dua hari dan konten pelatihan yang tidak memberikan materi yang cukup membekali guru dalam segi akademik. Sama halnya dengan Bahasa Indonesia, data yang diperoleh dalam Bahasa Inggris juga hanya data dari pelatihan KKG/MGMP karena pelatihan Bahasa Inggris yang dikelola oleh P4TK tidak dilangsungkan/ dibatalkan. Hasil yang diperoleh dapat dilihat pada tabel berikut. Tabel 15. Perbedaan pretes postes Bahasa Inggris guru yang mengikuti pelatihan KKG/MGMP Mata Pelajaran KKG/MGMP
Pretes
Postes
t
Sig
N
14.32
8.82
3.507
0.002*
28
*signifikan pada l.o.s 0.05 Kompetensi para guru Bahasa Inggris secara umum tergolong di bawah rata-rata, karena jumlah soal adalah 35. Pada pretes dan postes rata-rata guru hanya 14,32 dan 8,82; artinya di bawah 17,5 yang merupakan rata-rata tengahnya. Pada hasil pelatihan pelajaran Bahasa Inggris juga tidak terjadi peningkatan, yang terjadi adalah penurunan. Hal ini kemungkinan juga berkaitan dengan terbatasnya waktu penyelenggarakan, yaitu hanya dua hari.
Tabel 16. Perbedaan pretes dan postes kompetensi kepribadian antara guru-guru yang mengikuti pelatihan KKG/MGMP dan P4TK, serta perbedaan pretes dan postes masing-masing pelatihan Pretes
Postes
t-test
Sign
N
KKG/MGMP
81,88
86,28
6,071
0,000*
67
P4TK
83,93
74,80
11,60
0,000*
181
t-test
2,208
10,927
sign
0,028*
0,000*
*signifikan pada l.o.s 0.05
Jumlah pernyataan dalam kuesioner kompetensi kepribadian adalah 20 dengan rentang skor antara 1–5 sehingga kemungkinan skor adalah 20 – 100, dan nilai rata-rata hipotetik adalah 60. Dari nilai ratarata guru dapat disimpulkan bahwa kompetensi kepribadian guru tergolong di atas rata-rata. 152
International Conference on Education 2014 Official Conference Proceedings
Sabah, Malaysia
Kompetensi kepribadian ini menyoroti karakteristik yang mantap, jujur, percaya diri dan memegang etos kerja, tanggung jawab dan kode etik guru. Dari tabel di atas, terlihat adanya perbedaan yang signifikan dalam kompetensi kepribadian para guru antara sebelum dan sesudah mendapatkan pelatihan, baik pada guru yang mengikuti KKG/MGMP dan P4TK. Pada guru yang mengikuti KKG/MGMP ternyata terjadi peningkatan kompetensi kepribadian setelah mendapatkan pelatihan, tetapi pada guru P4TK justru terjadi penurunan. Padahal apabila ditelaah dari perbedaan kompetensi kedua kelompok dari angka pretesnya, maka guru-guru P4TK memiliki kompetensi kepribadian yang lebih tinggi dibandingkan dengan guru-guru KKG/MGMP. Adanya penurunan skor pretes dan postes kelompok guru yang mengikuti pelatihan yang dilaksanakan P4TK disebabkan karena pelatihan yang dilakukan semata-mata menekankan pada aspek akademik, dalam hal ini mata pelajaran yang diajarnya, dan bukan pada aspek non akademik, seperti faktor kepribadian. Tabel 17. Perbedaan pretes dan postes kompetensi sosial antara guru-guru yang mengikuti pelatihan KKG/MGMP dan P4TK, serta perbedaan pretes dan postes masing-masing pelatihan Pretest
Posttest
t-test
Sign
N
KKG/MGMP
77,07
78,58
1,737
0,087
67
P4TK
85,74
78,76
6,733
0,000*
181
t-test
8,495
0,143
sign
0,000*
0,887
*signifikan pada l.o.s 0.05 Jumlah pernyataan dalam kuesioner kompetensi sosial adalah 20 dengan rentang skor antara 1– 5 sehingga kemungkinan skor adalah 20 – 100, dan nilai rata-rata hipotetik adalah 60. Dari nilai ratarata guru dapat disimpulkan bahwa kompetensi sosial guru tergolong di atas rata-rata. Pernyataan dalam kuesioner kompetensi sosial berkaitan dengan kemampuan untuk membina hubungan sosial dengan rekan guru, orang tua, dan siswa. Dari hasil analisis statistik, ada perbedaan yang signifikan dalam kompetensi sosial antara guru yang mengikuti pelatihan KKG/MGMP dan P4TK, dimana guru yang mengikuti pelatihan P4TK memiliki kompetensi sosial yang lebih tinggi daripada guru yang mengikuti pelatihan KKG/MGMP. Tabel 18. Perbedaan pretes dan postes kompetensi pedagogi antara guru-guru yang mengikuti pelatihan KKG/MGMP dan P4TK, serta perbedaan pretes dan postes masing-masing pelatihan Pretest
Posttest
t-test
Sign
N
KKG/MGMP
85,79
86,54
0,886
0,379
67
P4TK
83,67
80,17
4,056
0,000*
181
t-test
1,869
4,950
sign
0,063
0,000*
*signifikan pada l.o.s 0.05
153
International Conference on Education 2014 Official Conference Proceedings
Sabah, Malaysia
Jumlah pernyataan dalam kuesioner kompetensi pedagogi adalah 20 dengan rentang skor antara 1–5 sehingga kemungkinan skor adalah 20 – 100, dan nilai rata-rata hipotetik adalah 60. Dari nilai ratarata guru dapat disimpulkan bahwa kompetensi pedagogi guru tergolong di atas rata-rata. Pernyataan dalam kuesioner kompetensi pedagogi berkaitan dengan kemampuan untuk menyiapkan dan menyelenggarakan pembelajaran di kelas. Hasil yang diperoleh dari kompetensi pedagogi menunjukkan ketidak konsistenan, karena pada kelompok guru yang mengikuti pelatihan KKG/MGMP, mereka mengalami peningkatan dalam skor kompetensi pedagogi dan pada kelompok guru yang mengikuti P4TK mengalami penurunan. Apabila ditelaah berdasarkan materi yang diberikan pada pelatihan, memang pada pelatihan KKG/MGMP guru diajarkan agar menguasai persiapan pembelajaran di kelas, yaitu bagaimana menyusun silabus KTSP. Sedangkan pada pelatihan P4TK penekanan lebih pada materi pengajarannya. Tabel 19. Perbedaan pretes dan postes kepuasan kerja antara guru-guru yang mengikuti pelatihan KKG/MGMP dan P4TK, serta perbedaan pretes dan postes masing-masing pelatihan Pretest
Posttest
t-test
Sign
N
KKG/MGMP
4,1727
4,2108
0,933
0,353
97
P4TK
4,3460
4,3923
1,866
0,064
175
t-test
3,257
3,260
sign
0,001*
0,001*
*signifikan pada l.o.s 0.05
Jumlah pernyataan dalam kuesioner kepuasan kerja adalah 20 dengan rentang skor antara 1–5 sehingga nilai rata-rata hipotetik adalah 3. Dari nilai rata-rata guru dapat disimpulkan bahwa kepuasan guru tergolong di atas rata-rata. Pernyataan dalam kuesioner kepuasan kerja berkaitan dengan kepuasan kerja secara intrinsik dan ekstrinsik. Ada perbedaan kepuasan kerja antara guru KKG/MGMP dan P4TK, dimana kepuasan kerja guru pelatihan P4TK lebih tinggi secara signifikan daripada guru KKG/MGMP. Namun demikian, tidak ada perbedaan kepuasan kerja guru antara sebelum dan sesudah diberikan pelatihan pada kedua kelompok. Ini berarti pelatihan yang diberikan memang tidak berpengaruh dengan kepuasan kerja guru. Hal ini dapat terjadi karena faktor-faktor yang mempengaruhi kepuasan kerja guru berkaitan dengan kondisi atau aspek pekerjaan yang dihadapi, sehingga kemungkinan tidak dapat berubah hanya karena pelatihan. Tabel 20. Perbedaan pretes dan postes sikap mengajar antara guru-guru yang mengikuti pelatihan KKG/MGMP dan P4TK, serta perbedaan pretes dan postes masing-masing pelatihan Pretest
Posttest
t-test
Sign
N
KKG/MGMP
5,1108
5,0887
0,249
0,804
97
P4TK
5,2483
5,3660
4,179
0,000*
175
t-test
2,204
3,816
sign
0,028*
0,000*
*signifikan pada l.o.s 0.05
154
International Conference on Education 2014 Official Conference Proceedings
Sabah, Malaysia
Jumlah pernyataan dalam kuesioner kompetensi pedagogi adalah 20 dengan rentang skor antara 1–5 sehingga nilai rata-rata hipotetik adalah 3. Dari nilai rata-rata guru dapat disimpulkan bahwa kompetensi pedagogi guru tergolong di atas rata-rata. Pernyataan dalam kuesioner sikap mengajar berkaitan dengan pemahaman konseptual yang dimiliki, sikap sebagai pemberi informasi, sikap terhadap teori dan praktek yang diajarnya, kepercayaan guru dan kepuasan terhadap profesi. Adanya perbedaan skor sikap mengajar antara kedua kelompok menunjukkan bahwa guru yang terlibat dalam pelatihan P4TK memiliki skor sikap mengajar yang lebih tinggi secara signifikan daripada guru-guru yang terlibat dalam pelatihan KKG/MGMP. Selain itu, juga ada perbedaan skor sikap mengajar pada guru P4TK antara sebelum dan sesudah diberikan pelatihan. Terjadinya peningkatan skor sikap mengajar pada guru setelah diberikan pelatihan, dapat terjadi karena pelatihan ini melatihkan materi pelajaran yang diajarnya sehingga dapat meningkatkan pemahaman konseptual, teori praktek dan kepercayaan dirinya terhadap pelajaran yang diajarnya. Tabel 21. Perbedaan pretes dan postes teaching efficacy antara guru-guru yang mengikuti pelatihan KKG/MGMP dan P4TK, serta perbedaan pretes dan postes masingmasing pelatihan Pretest
Posttest
t-test
Sign
N
KKG/MGMP
4,8840
5,0892
2,197
0,030*
97
P4TK
5,1469
5,2874
3,312
0,001*
175
t-test
3,931
2,456
sign
0,000*
0,015*
*signifikan pada l.o.s 0.05 Jumlah pernyataan dalam kuesioner teaching efficacy adalah 20 dengan rentang skor antara 1–5 sehingga nilai rata-rata hipotetik adalah 3. Dari nilai rata-rata guru dapat disimpulkan bahwa teaching efficacy guru tergolong di atas rata-rata. Pernyataan dalam kuesioner teaching efficacy berkaitan dengan instruksi pembelajaran, penyesuaian terhadap pengajaran, cara-cara memotivasi siswa, penerapan disiplin, kerjasama dengan kolega, orangtua serta kemampuan menghadapi perubahan dan tantangan. Ada perbedaan skor teaching efficacy antara guru KKG/MGMP dan P4TK dimana skor teaching efficacy guru P4TK secara signifikan lebih tinggi daripada guru KKG/MGMP. Selain itu, ada perbedaan skor teaching efficacy pada guru antara sebelum dan sesudah diberikan pelatihan, pada kedua kelompok. Hal ini menunjukkan bahwa pelatihan yang diberikan berdampak positif, yaitu secara umum meningkatkan kepercayaan diri guru
PEMBAHASAN Keterampilan untuk menjadi guru bukanlah merupakan sesuatu yang terberi sejak lahir, tetapi dapat dilatihkan dan diajarkan melalui program pendidikan (Kennedy, 2006). Pelatihan merupakan satu bentuk untuk melatih seseorang untuk menjadi guru yang baik. Dalam penelitian ini terbukti bahwa pelatihan membantu mengembangkan keterampilan guru agar guru menjadi lebih profesional dalam menjalankan tugasnya, halmana tertuang dalam tujuan pembentukan P4TK, KKG maupun MGMP. Neville dan Robinson (2005), mengemukakan bahwa pengembangan profesionalitas guru dapat dilakukan melalui workshop, kursus-kursus atau dengan menempuh jenjang pendidikan yang lebih tinggi. Selanjutnya mereka mengatakan pengembangan profesionalitas guru dapat membantu meningkatkan prestasi siswa serta merupakan sarana untuk memperdalam pengetahuan guru akan 155
International Conference on Education 2014 Official Conference Proceedings
Sabah, Malaysia
materi pengajaran serta mengembangkan penerapan metode pengajaran. Jadi, peningkatan belajar siswa dapat dilakukan dengan cara meningkatkan belajar guru terlebih dahulu. Menurut Wong (2005), pelatihan adalah bentuk pengembangan staf yang terorganisir dan komprehensif, melibatkan banyak orang dan komponen. Dari hasil penelitian ini tampak bahwa pelatihan memilki dampak yang cukup signifikan, baik terhadap kompetensi akademik, maupun kompetensi non akademik. Pelatihan yang dilaksanakan oleh KKG/MGMP meningkatkan kompetensi akademik Matematika dan pelatihan yang dilaksanakan oleh P4TK meningkatkan kompetensi akademik Fisika. Hal ini sesuai dengan pendapat dari Tan dan Torrington (2004) yang mengemukakan bahwa pelatihan merupakan suatu proses untuk meningkatkan pengetahuan dan keterampilan seseorang. Melalui pelatihan, guru mengembangkan pengetahuan yang berkaitan dengan materi serta mempelajari hal-hal yang bersifat pedagogis sehingga dapat mengembangkan profesionalitasnya (Kennedy, 2006). Hal ini tampak pula dari peningkatan kompetensi kepribadian, sikap terhadap mengajar dan teaching efficacy. Sebagaimana Ross dan Bruce (2000) dalam penelitiannya mengenai efek pengembangan profesionalitas guru matematika, juga menemukan bahwa ternyata pelatihan dapat membantu guru meningkatkan self efficacy nya dalam mengajar pelajaran matematika. Hal yang sama tampak pula dalam penelitian ini, baik dalam pelatihan yang dilaksanakan oleh KKG/MGMP maupun yang dilaksanakan oleh P4TK. Melalui pelatihan guru akan lebih meningkat teaching efficacy nya, karena ia merasa lebih yakin dan lebih menguasai mengenai materi yang diajarkannya. Menurut Bandura (1997), self efficacy adalah belief mengenai kemampuan seseorang dalam mengorganisasi dan melaksanakan sejumlah perilaku untuk menghasilkan prestasi tertentu. Menurut Weissmann (dalam Ursano, 2007), selama ini dalam pelatihan-pelatihan guru, lebih banyak menekankan pada pengembangan keterampilan akademik, yaitu mata pelajaran yang diajarkannya. Keterampilan guru yang bersifat non akademik seperti kompetensi kepribadian, kompetensi pedagogik dan kompetensi sosial serta sikap dan perilaku yang nonkognitif jarang dijelaskan atau kurang diajarkan secara eksplisit dalam pelatihan-pelatihan guru. Hal yang kurang lebih sama terjadi pula dalam pelatihan-pelatihan yang selama ini dilakukan di Indonesia. Dari penelitian ini, tampak ada beberapa aspek yang menunjukkan peningkatan setelah guru mengikuti pelatihan, bahkan pada pelatihan yang hanya berlangsung selama dua hari sekalipun. Peningkatan ini tentu saja menggembirakan, karena menunjukkan bahwa pelatihan memberikan perubahan. Meskipun dalam penelitian menunjukkan adanya peningkatan beberapa aspek akademik dan non akademik, namun tampak pula penurunan. Hal ini tentu saja tidak dapat diabaikan, mengingat untuk menjadi guru yang efektif, dituntut pula penguasaan kompetensi akademik, selain tentu saja kompetensi non akademik. Hasil yang kurang konsisten ini patut disikapi secara serius karena menunjukkan beberapa hal yang patut digali secara serius. Temuan yang kurang menggembirakan antara lain, terjadinya penurunan dalam skor kompetensi akademik Fisika, kompetensi sosial, pedagogik dan sosial. Ada beberapa kemungkinan yang dapat menjadi penyebab. Kemungkinan pertama, hal ini berkaitan dengan perencanaan dan pelaksanaan pelatihan yang kurang dilakukan secara sistematis, sebagaimana dikemukakan dalam pendapat responden yang mengatakan bahwa mereka kurang mengetahui tujuan dari pelatihan, penyajian materi pelatihan yang terlampau banyak, sehingga tidak memberikan hasil yang sesuai dengan yang diharapkan. Kemungkinan kedua adalah karena ketika guru mengisi kuesioner, waktu yang tersedia kurang, sehingga mereka mengerjakannya kurang optimal. Sedangkan kemungkinan ketiga adalah kurang tepatnya alat ukur yang digunakan sehingga hasilnya pun menjadi kurang dapat dipercaya. Pelatihan yang dilakukan biasanya melatihkan satu hal tertentu dari segi akademik, sedangkan alat ukur yang disajikan mengukur hal umum. Hal ini tentu saja tidak dapat memberikan gambaran mengenai dampak dari pelatihan.
156
International Conference on Education 2014 Official Conference Proceedings
Sabah, Malaysia
Dari penelitian ini, juga tampak adanya keinginan yang besar dari para guru untuk mengembangkan kompetensinya melalui pelatihan, terutama dari guru-guru yang berada di daerah, dalam pelatihan yang dilaksanakan oleh P4TK. Hal ini sangat penting mengingat kompetensi adalah kemampuan untuk menampilkan tugas dan peran yang dibutuhkan dengan standar tertentu (Erraut, 1998). Melalui pelatihan diharapkan standar kompetensi minimal yang harus dimiliki oleh seorang guru dapat dicapai. Apabila standar minimal ini tercapai, maka diharapkan guru dapat mengajar dengan baik. Dari jawaban responden, ada kesan pelatihan yang diberikan tidak bekesinambungan, sehingga peserta mengalami sedikit kebingungan. Pelatihan guru seharusnya bersifat konsisten, berkelanjutan dan berfokus pada belajar siswa, serta dapat mendukung karir guru (Wong, 2005). Kemungkinan besar, peserta pelatihan yang mengikuti modul-modul yang disajikan tidak mengikuti modul-modul tersebut secara berurutan. Namun demikian, secara umum mereka mengungkapkan kepuasan mereka terhadap pelaksanaan pelatihan yang ada. Akan tetapi, program pelatihan yang baik perlu memperhatikan beberapa hal, sebagaimana dikemukakan oleh Dagenais (dalam Trenta, dkk, 2004) yaitu harus menyediakan informasi mengenai lingkup program yang jelas, pemilihan pelatih yang baik dan sesuai dengan kriteria yang ditetapkan, menyediakan penguat intrinsik dan ekstrinsik untuk mempertahankan pelatih, menyediakan pelatihan untuk mentor dan melakukan evaluasi keberhasilan program. dari pelatihan yang ada, beberapa pelatih merupakan guru yang senior yang mungkin sudah mendapatkan pelatihan yang memadai untuk menjadi pelatih, namun mungkin juga belum mendapatkan pelatihan yang memadai. Untuk itu memang faktor pelatih juga patut menjadi perhatian. Dari poin-poin di atas, tampak adanya keinginan yang besar dari para guru untuk mengembangkan kompetensinya, terutama dari guru-guru yang berada di daerah. Meskipun demikian perlu pula dilakukan peningkatan terutama dari segi pelaksanaannya, misalnya berkaitan dengan pengungkapan tujuan pelatihan yang lebih jelas serta materi ajar yang lebih mendalam dalam pembahasan. Dari observasi ketika mengambil data, ada beberapa hal yang perlu menjadi catatan karena dapat berdampak pada hasil penelitian secara keseluruhan, antara lain: Waktu pengisian kuesioner yang terbatas, membuat beberapa peserta tergesa-gesa ketika mengisinya. Materi yang diujikan untuk mata pelajaran tidak sesuai dengan apa yang dilatihkan. Materi yang diujikan dari segi akademik, lebih bersifat umum. Waktu yang tersedia untuk mengisi kuesioner terkadang kurang tepat, misalnya ketika peserta ingin pulang lebih cepat, karena jadwal pelatihan telah selesai. Tempat pengambilan data yang kurang ideal, sehingga banyak responden yang menyontek.
KESIMPULAN Dari penelitian yang dilakukan mengenai pelatihan yang dilaksanakan oleh KKG/MGMP dan P4TK, dapat disimpulkan bahwa pelatihan KKG/MGMP, terjadi peningkatan signifikan pada potetensi Akademik Matematika, kompetensi Kepribadian, dan teaching Etfficacy. Pelatihan yang dilaksanakan oleh P4TK, terjadi pada kompetensi Akademik Matematika, sikap terhadap mengajar, dan Teaching Efficacy. Penurunan skor secara signifikan terjadi pada beberapa aspek dan hanya terjadi pada pelatihan yang dilaksanakan oleh P4TK, yaitu pada aspek: Kompetensi Akademik Fisika, Kompetensi Kepribadian, Kompetensi Sosial, Kompetensi Pedagogik. Sedangkan dari data baseline ketika pretes, pada kedua kelompok, ada beberapa aspek yang berbeda secara signifikan, yaitu pada Matematika, Fisika, Kompetensi Kepribadian, Kompetensi Sosial, Kepuasan Kerja, Sikap Mengajar, Teaching Efficacy. Sedangkan apabila dilihat dari lamanya dan bentuk materi yang diberikan terdapat perbedaan, dimana pelatihan yang dilaksanakan oleh KKG/MGMP lamanya hanya 2 hari sedangkan pelatihan yang dilaksanakan oleh P4TK lamanya satu minggu hingga dua minggu. Di samping itu, program pendidikan dan latihan yang diberikan oleh P4TK di pusat maupun di daerah berbeda-beda. Hal ini dikarenakan 157
International Conference on Education 2014 Official Conference Proceedings
Sabah, Malaysia
pelatihan yang diberikan di daerah memanfaatkan prinsip kerjasama atau kemitraan, sehingga ada beberapa hal yang diubah, disesuaikan dengan mitra yang diajak kerjasama. Dilihat dari materi pelatihan yang diberikan pun terdapat perbedaan yang mencolok, dimana pelatihan yang diberikan oleh P4TK dilakukan pendalaman materi yang cukup banyak, sedangkan pada pelatihan yang diberikan oleh KKG/MGMP, hanya diberikan satu materi yang sangat fokus yaitu cara pembuatan silabus KTSP. Mengenai pelatih, peneliti kurang mendapatkan informasi yang jelas, akan tetapi beberapa sesi diberikan oleh guru yang senior.
DAFTAR PUSTAKA Abidah, L. (2008). Pengaruh intensitas pelatihan guru terhadap peningkatan kompetensi mengajar di kelompok kerja guru pendidikan agama islam kecamatan Rungkut Surabaya. (Skripsi). Surabaya: IAIN Tarbiyah Adediwura, A. A., & Tayo, B. (2007). Perception of teachers’ knowledge, attitude and teaching skills as predictor of academic performance in Nigerian secondary schools. Educational Research and Review. 2 (7), pp. 165-171 Adiningsih, NU. Kualitas dan Profesionlisme Guru, Pikiran Rakyat (Online) Oktober, 2002, dalam http://www.pikiranrakyat.com, diambil pada 6 Maret 2008. Ahmadi, A. (2004). Sosiologi Pendidikan. Jakarta: PT Rineka Cipta. Arches, J. (1991). Social structure, burnout, and job satisfaction. Social Work, 36 (3), 202-206 Balzer, W. K., Kihm, J. A., Smith, P. C., Irwin, J. L., Bachiochi, P. D., & Robie, C., et al. (1997). User’s manual for the job descriptive index and the job general scales. Bowling Green, OH: Bowling Green State University. Bandura, A. (1997). Self-efficacy: The exercise of control. New York: Freeman. Baron, D. & Thompson-Grove, G. (2008). Imagine: Professional Development That Changes Practice. Principal Leadership. 8 (5). 56-58 Barros, S. d. S., & Elia, M. F. (1987). Physics teacher's attitudes: how do they affect the reality of the classroom and models for change?. Dalam www. Physics.ohio-state.edu/joussem/ICPE/D2.html. Diambil pada 6 Maret 2008. Bates, R. (2004). A critical analysis of evaluation practice: the Kirkpatrick model and the principle of beneficence. Evaluation and Program Planning. 27. 341–347 Bennett, K. P. & LeCompte, M.D.(1990). The Way Schools Work. New York: Longman Press. Borich, G. (2000). Effective Teaching Methods, (4 th ed). Upper Saddle River, NJ: Prentice-Hall, Inc. Botung, H,S,H. (2008) Tujuan, manfaat, dan kewenangan kelompok kerja guru (kkg), dalam http://ucokhsb.blogspot.com/2008/04/tujuan-manfaat-dan-kewenangan-kkg.html Bowman, R.F. (2005). Teacher as Servant Leader. The Clearing House. Vol. 78 (6). 257-259 Cruickshank, D. R., Jenkins, D. B., & Metcalf, K. K. (2003). The act of teaching. New York, NY: McGraw-Hill. Dessler, G. & Tan, Chwee Huat. (2005). Human Resource Management: An Asian Perspective. Singapore: Pearson-Prentice Hall. Di Perna, J. C., & Elliot, S. N. (2000). Academic Competence Evaluation Scales. San Antonio, TX: The Psychological Corporation Di Perna, J. C., & Elliot, , S. N. (2001). Academic Intervention Monitoring System. San Antonio, TX: The Psychological Corporation Drost, J.I.G.M. (2005). Dari KBK (kurikulum bertujuan kompetensi) sampai MBS (manajemen berbasis sekolah) : esai-esai pendidikan. Jakarta: Penerbit KOMPAS Edmonds, R.R. (1979). Effective schools for the urban poor. Educational Leadership. 37(1), 20-24 Erdem, E., & Demirel, O. (2007). Teacher self efficacy belief. Social Behavior and Personality, 35(5), 573-586. retrieved March 27, 2008 from APA journal online. Epstein, RM & Hundert, EM; Defining and assessing professional competence. JAMA; 287(2): 226235. Eraut, M. (1998). Concepts of competence. Journal of Interprofessional Care, 12(2):127-139.
158
International Conference on Education 2014 Official Conference Proceedings
Sabah, Malaysia
Eseryel, D. (2002). Approaches to evaluation of training: Theory and practice. Educational Technology & Society 5 (2). Follows, J. (1991). Strength, weaknesses and lesssons of Japanese education. The Educational Digest. 57 (2). 55-59. French, W. L. (1982). The personnel management process: Human resources administration and management. Boston: Houghton Mifflin Company Helterbran, V.R. (2008). The professionalism: Teachers taking the reins. The Clearing House. 81 (3). 123-127. Holli, B., & Calabrese, R. (1998). Communication and education skills for dietetics professionals (3rd ed.). Philadelphia: Lippincott Williams & Wilkins. Houghton & Mifflin, American Heritage Dictionary, 4th ed Kennedy, M. M. (2006). From Teacher Quality to Quality Teaching. Educational Leadership, 63 (6). 14-19. Laird, D. (2003). Approaches to training and development. New York: Basic Books. Mastuhu (2004). Menata Ulang Pemikiran, sistem Pendidikan Nasional dalam abad 21. Yogyakarta: Magister Penelitian Islam UII dengan Safiria Insania Press. Phillips, J. (1991). Handbook of training evaluation and measurement methods (2nd ed.). Houston: Gulf Publishing Company. Rice, J. K. (2003). Teacher quality: Understanding the effectiveness of teacher attributes. Washington, D.C.: Economic Policy Institute. Ryan, K., & Cooper, J.M. (1984). Those who can teach. Boston: Houghton Mifflin Co. Sadker, M., & Sadker, D. (1991). Teachers, Schools and Society. New York: Mc Graw Hills Co. Sammons, P., Hillman, J. & Mortimore, P. (1995) Key characteristics of effective schools: A review of school effectiveness research. Laporan oleh The Institute of Education for the Office for Standards in Education Skaalvik, E.M., & Skaalvik, S. (2007). Dimensions of teacher self efficacy and relations with strain factors, perceived collective teacher efficacy, and teacher burnout. Journal of Educational Psychology, 90(3), 611-625. Schalock, R. (2001). Outcome based evaluations (2nd ed.). Boston: Kluwer Academic/Plenum. Tan, Chwee Huat dan Torrington, D. (2004). Human Resource Management in Asia (3rd Ed.). Singapore: Pearson-Prentice Hall. Trenta, L., Newman, I., Newman, C., Salzman, J., Lenigan, D., & Newman, D. (2005). Integrating Mixed Methods and Stakeholders Participation in the Evaluation of a Teacher Induction Program. International Electronic Journal For Leadership in Learning. 8 (3) Tziner, A. E., & Vardi Y. (1984). Work satisfaction and absenteeism among social workers: The role of altruistic values. Work and Occupations, 11 (4), 461-470 Undang Undang Republik Indonesia Nomor 14 tahun 2005 mengenai Guru dan Dosen Ursano, A.M., Kartheiser. P.H., Ursano, R. J. (2007) The Teaching Alliance: A Perspective on the Good Teacher and Effective Learning. Psychiatry. New York. 70(3). 187-194. Wong, H., Britton, T., & Ganser, T. (2005). What the world can teach us about new teacher induction., diambil 6 Maret 2008 dari www.herdsa.org.au/branches,. Wong, H. (2005). New teacher induction: The foundation for comprehensive, coherent, and sustained professional development. Diambil 6 Maret 2008, dari www.herdsa.org.au/branches Wong, K., Britton, T., & Gasner, T. (2005). What the world can teach us about new teacher induction. Diambil 6 Maret 2008 dari www.newteacher.com/ppapers
159
International Conference on Education 2014 Official Conference Proceedings
Sabah, Malaysia
Tabel 3. Kisi-kisi masing-masing alat ukur
No.
Variabel
Indikator
1
Kompetensi Akademik
Sesuai mata pelajarannya
2
Kompetensi Kepribadian
Bertindak sesuai norma agama, hukum Menampilkan sebagai pribadi yang jujur Menampilkan sebagai pribadi yang mantap, stabil, dewasa Menunjukkan etos kerja, tanggung jawab, percaya diri Menjunjung tinggi kode etik profesi guru
3
Kompetensi Sosial
Bersikap inklusif, bertindak objektif, serta tidak diskriminatif Berkomunikasi secara efektif, empatik, dan santun Beradaptasi di tempat tugas Dapat berkomunikasi dengan komunitas profesi dan profesi lain
4
Kompetensi Pedagogik
Menguasai karakteristik peserta didik dari aspek fisik, moral, spiritual, sosial, kultural, emosional dan intelektual Menguasai teori belajar dan prinsip-prinsip pembelajaran yang mendidik Mengembangkan kurikulum yang terkait dengan mata pelajaran yang diampu Menyelenggarakan pembelajaran yang mendidik Memanfaatkan teknologi informasi dan komunikasi untuk kepentingan pembelajaran Memfasilitasi pengembangan potensi peserta didik untuk mengaktualisasikan berbagai potensi yang dimiliki Berkomunikasi secara efektif, dan santun dengan peserta didik Menyelenggarakan penilaian dan evaluasi proses dan hasil belajar Memanfaatkan hasil penilaian dan evaluasi untuk kepentingan pembelajaran Melakukan tindakan reflektif untuk meningkatkan kualitas pembelajaran
5
Kepuasan Kerja
Kepuasan terhadap pekerjaan Kepuasan terhadap gaji Kepuasan terhadap kesempatan promosi Kepuasan terhadap supervise Kepuasan terhadap rekan kerja
160
International Conference on Education 2014 Official Conference Proceedings
6
Sikap Mengajar
Sabah, Malaysia
Pemahaman Konseptual Pemberi Informasi Teori dan Praktek Inovasi dan pembelajarannya Metode interaksi Kondisi lain Kepercayaan guru
7
Teaching Efficacy
Instruksi Menyesuaikan pengajaran Memotivasi siswa Penerapan disiplin Bekerjasama dengan kolega dan orangtua Menghadapi perubahan dan tantangan
161
International Conference on Education 2014 Official Conference Proceedings
Sabah, Malaysia
PARAMETER ESTIMATION AND EQUATING METHOD ON SMALL SAMPLE SIZE BASED ON ITEM RESPONSE THEORY Wardani Rahayu1 1
Jakarta State University
[email protected]
Abstract The purpose of this study is to determine the accuracy of parameter estimation method of item parameter and equating method on small sample size based on Item Response Theory. Parameter estimation methods used are Joint Maximum Likelihood estimation and Bayesian estimation method, equating method using Mean and Sigma and Robust Mean and Sigma method. Estimated parameter using two parameter logistic model on small sample size of 300. Data Source using junior high school National Math Exam in 2011 data. Accuracy of parameter estimation and equating method can be seen from Root Mean Square Error (RMSE). The results of this study is the same equating method generate the same accuracy between Joint Maximum Likelihood and Bayesian method, while at the same parameter estimation method, resulting different accuracy between and Mean and Sigma and Robust Mean and Sigma methods. Keywords: parameter estimation method, equating method, small sample size, RMSE
INTRODUCTION The National Exam is competence achievement measurement activity of students that performed at the end of a national education unit. Preparation of the test items were performed by Central Government and Local Government based on exam outline developed by Ministry of Education and Culture of Indonesia. The exam outline is drafted based on standard of education graduate competency as per educational unit level. National Exam of mathematics subject in 2011 using five-packets and in 2013 using different twenty packages containing different exam items with several items coupled. These items is created based on the same exam outline to produce about five different packages for one class in 2012 and about twenty different exam item package in 2013. Items on National Exam only measure the cognitive abilities of students and do not measure psychomotor and affective abilities. Question package developed by Ministry of Education and Culture of Indonesia. for National Examination on Mathematics expected equal. The Equality is item difficulty between each item on the same package. Therefore it is important to validate the contents of the National Examination by mathematics material and mathematics education experts to determine the suitability of items with indicator, language, item construction, the truth of material and item equality. The equality according to judgment of mathematics material and mathematics education expert can not directly be used when comparing the results of national exam between group of students from two different packages. Therefore, it is necessary to equalize the score of student’s response. There are three kinds of score equivalency are equating, concordance and pediction (Doran, 2004: 207). Equating is used to equalize the score between different packages that measure about the same constructs. Equating can be used with the approach of classical test theory and response item theory. Equalization using classical test theory include linear, parallel linear and chi-percentile methods (Brennan and Kolen, 2004), whereas the items response theory are Mean and Sigma, Robust Mean and Sigma, characteristic curve and chi-square minimum method (Seock and Kim, 1992). Equating based on item response theory using Mean and Sigma, and Robust Mean and Sigma involves difficult items level. Lord provide linear transformation equations to respondent's ability parameters. Respondent's ability parameters of the two groups likened the scale with two parameter 162
International Conference on Education 2014 Official Conference Proceedings
Sabah, Malaysia
logistic model (L2P) using formula *j 2 A j 2 K (Kolen and Brenan, 1995), the A coefficient obtained from the comparison between the standard deviation of difficult items of first group and second group, K coefficient is obtained from difference between average level of item difficulty of the first group and multiplying A with the average item difficulty of second group. The results of respondent's parameter equating is influenced by A and K value, while A and K value influenced by item difficulty value of the two groups. Determination of respondent’s ability parameter value and level of item difficulty in the estimation of measurement is called parameter estimation. There are three methods to estimate the respondent’s parameter are Joint Likelihood maksimum (Ayalo, 2009: 39-40, Naga, 2012: 480, Hambleton and Swaminathan, 1990: 129-132) dan metode Bayesian (Hambleton and Swaminathan, 1990: 91-95; Naga, 2012: 480). The estimation results of the respondent’s ability is also influenced by the size of sample. The larger sample size the more accurate respondent’s ability estimation. In the study will be limited to a small sample size and the problems that arise if the item parameter estimation is done by a different estimation methods and the types of equating methods and items estimation method is most accurate at small sample size. LITERATURE REVIEW 1. Equating Item parameters of second group is equated in scale with the item parameter of first group through a linear transformation with two-parameter logistic model (L2P). Linear transformation formula for the ability of the respondent (Cohen and Seock Kim, 1998:132) is ………………(1) *j 2 A j1 K * stated value of transformation, so the parameter estimation of respondent’s ability to-j from first group to second group a. Mean and Sigma Method Marco stated the mean and sigma method (RS) for the test in the form of dichotomy (Kolen and Brenan, 1995:168). This method uses the mean and standard deviation of the estimated degree of item difficulty to two groups of respondent. Determine the A and K coefficients on equation (1) using the formula
K b Ab and A 2 1
b
1
b
(Hambleton and Swaminathan, 1990: 207).
2
b. Robust Mean and Sigma Method This method using mean and standard deviation of the estimated item item difficulty of the two groups of respondent. Determine A and K coefficient in equation (1) using formula with bwjF w*j b jF and bwjR w*j b jR , w* w j , K b Ab , and A b j n b w R
w F
w R
w
w F
i 1
i
w j [maks{ b2j1 , b2j 2 }]1 (Hambleton and Swaminathan, 1990: 209) 2. Parameter Estimation Method a. Joint Maximum Likelihood Estimation Likelihood maximum estimation with respondent’s ability Likelihood function is needed. Likelihood function for respondent with ability is
L( X1, X 2 , X 3 ,..., X n | ) =
n
P ( ) j 1
j
Xj
1 X j
Q j ( )
…………(2)
163
International Conference on Education 2014 Official Conference Proceedings
Sabah, Malaysia
Logarithm of the likelihood function (2) is ln L( X1 , X 2 , X 3 ,..., X n | ) = ln
n
P ( ) j
j 1
ln L( X1 , X 2 , X 3 ,..., X n | ) =
n
X j 1
j
Xj
1 X j
Q j ( )
ln Pj ( ) (1 X j ) ln Q j ( )
Maximum likelihood can be obtained by d ln L( X1 , X 2 , X 3 ,..., X n | ) 0 d b. Bayesian Estimation In Bayesian procedure it can be assumed that the distribution of the respondent' ability standard 1 2
normal distribution is N (0,1) or density function f ( ) e 2 . If the initial respondent’s ability is independent then the posterior distribution is f (1 , 2 ,3 ,..., N | X ) L( X | 1 , 2 , 3 ,..., N ) f (1, 2 , 3 ,..., N )
L( X | 1, 2 , 3 ,..., N ). f (1 ). f ( 2 ). f (3 )... f ( N )
1 N2 112 122 132 L( X | 1, 2 , 3 ,..., N ). e 2 .e 2 .e 2 ....e 2 N 1 2j 2 L( X | 1, 2 , 3 ,..., N ). e j1 ........................(3) Logarithm of the likelihood function (3) is
1 N 2 j , C Constanta ….. (4) 2 j 1 Solution of equation (4) is bayes’s modal estimation 1 ,2 ,3 ,..., N can be obtained by …………………………… (5) ln f (1 ,2 ,3 ,..., N | X ) 0 , j 1, 2, ..., N j ln f (1 ,2 ,3 ,..., N | X ) C ln L( X | 1,2 ,3 ,..., N )
3. Root Standard Measurement Error (RSME) The accuracy of equating method and estimation method can be seen from RMSE, the smaller RMSE, the more accurate tested equating method and estimation method. RSME or RMSD is determined by using the following formula
n
RMSE ( )
j 1
i
2
i
n with N = sample size = respondent’s ability to-i after synchronized i = respondent’s ability to-i before synchronized i RESEARCH METHOD The method used is experimental method. The data used in this research is score of National Math Exam for Junior High School in 2011 on A17 and B29 package for Jakarta area. Score of student’s work in the form of option A, B, C, D, and E. The length of test device mathematics for Junior High School is 40. Dimension of samples used in this study is 300 and named the small sample size. Equating method used is Mean and Sigma method, and Robust Mean and Sigma method. The estimation method used is Joint Maximum Likelihood and Bayesian 164
International Conference on Education 2014 Official Conference Proceedings
Sabah, Malaysia
Table 1. Design of Estimation Parameter Research and Equating Method on Small Sample Size Joint Maximum Likelihood Estimation (A1) Mean and Sigma Robust Mean (B1) Sigma (B2) Y 1.1.1 Y 1.2.1 Y 1.1.1 Y 1.2.1 . . . . . . Y1.1.30 Y1.2.30
and
Bayesian Estimation (A2) Mean and Sigma (B1) Y 2.1.1 Y 2.1.1 . . . Y2.1.30
Robust Mean and Sigma (B2) Y 2.2.1 Y 2.2.1 . . . Y2.2.30
A1B1: equating group with Mean and Sigma method using Joint Maximum Likelihood method A1B2: equating group with Mean and Sigma method using Bayesian method A2B1: equating group with Robust Mean and Sigma method using Joint Maximum Likelihood method A2B2: equating group with Robust Mean and Sigma method using Bayesian method The procedures of this study are: 1) determine the fit model items to the two-parameter logistic model (L2P), 2) randomized take scores of 300 respondent for the first group and second group, each performed 30 times replication 3) to estimate respondent’s ability and item difficulty and item discrimination index using Joint Maximum Likelihood and Bayesian Estimation. 4) determining A and K value using RS and TRS 5) perform item parameters equating 6) calculate RSME and RSME average value of each replication 7) hypothesis testing The analysis were conducted in this study are (1) comparing RSME in A1B1 and A1B2, (2) comparing RSME in group A2B1 and A2B2, (3) comparing RSME in group A1B1 and A2B1 and (4) comparing RSME in group A1B2 and A2B2. RESULTS 1. Data Description Figure 1 shows the distribution of RMSE average from 30 replication in group A2B2 is more homogenous than group A1B1, A1B2 and A2B1.Distribution of RMSE average of A2B1is more homogeneous than A1B1 and A1B2. Distribution of RMSE average of A1B2 is more homogeneous than A1B1. Distribution of A1B1 and A1B2 is positive. This means that RMSE average of group A1B1 and A2B1 group assembled at low value. Based on exploration data from Figure 1, its shown that the A1B1 RMSE average is not different with A1B2, A2B1 RMSE average is not different with A2B2, while A1B1 RMSE average is greater than A2B1, A1B2 RMSE average is greater than A2B2.
Figure 1. Boxplot of RSME Average from 30 replication 165
International Conference on Education 2014 Official Conference Proceedings
Sabah, Malaysia
Research Result Variance homogeneity test results obtained by the variance of RMSE average of A1B1 and A1B2 is not different, variants of RMSE average of A2B1 and A2B2 is not different, while variants of RMSE average of A1B1 and A2B1, variants of RMSE average of A1B2 and A2B2 is different then testing comparison of RSME average of A1B1 and A1B2, A2B1 and A2B2 using the t test, while testing comparison of RSME average of A1B1 and A2B1, RMSE average of A1B2 and A2B2 using nonparametric statistics. Testing result of RMSE average of A1B1 and A1B2 is obtained sig. Value of 0.344 > 0.05, A2B1 and A2B2 RMSE average is obtained sig. Value of 0.2545 > 0.05 then concluded RMSE of A1B1 and A1B2 is not different and RMSE of A2B1 and A2B2 is not different too. Th Testing result of RMSE average of A1B1 and A2B1 as well as A1B2 and A2B2 obtained sig. 0.00 > 0.05. By comparing the average values in Table 1 it may concluded RSME of A1B1 is lower than RMSE of A1B2 and RMSE of A2B2 is lower than RMSE of A2B1. Table 2. RSME Average of Group A1B1, A2B1 A2B1 and A2B2 Group A1B1 A1B2 A2B1 A2B2
RMSE Average 0,03450 0,03740 0,00956 0,00844
DISCUSSION The accuracy of equating method and estimation method can be seen by RMSE, the smaller the RMSE, the more accurate equating and estimation method that became the independent variables in this study. The test results using the t test states RSME of group A1B1 is not different with RSME of group A1B2 and RSME of group A2B1 is not different with RSME of group A2B2, so it can be stated that (1) on the small sample size and Mean and Sigma equating method, the accuracy of parameter estimation using joint maximum likelihood method similar to the Bayesian method, (2) on the small sample size and Robust Mean and Sigma equating method, the accuracy of parameter estimation using joint maximum likelihood method similar to the Bayesian method. Test results using a non-parametric statistics obtained lower RSME of A1B1 and A2B1 RMSE RMSE a2b2 lower than RMSE A2B1, we conclude (1) the small sample size and parameter estimation using joint maximum likelihood method, method of equating Robust Mean and Sigma is more accurate than Mean and Sigma method, (2) the small sample size and parameter estimation using Bayesian methods, equating method Robust Mean and Sigma is more accurate than the mean and sigma method. The test results using non-parametric statistics obtained that RSME of A1B1 is lower than RMSE of A2B1 and RMSE of A2B2 is lower than RMSE of A2B1 we may conclude (1) on small sample size and parameter estimation using joint maximum likelihood method, equating method of Robust Mean and Sigma is more accurate than Mean and Sigma method, (2) on small sample size and parameter estimation using Bayesian method, equating method of Robust Mean and Sigma is more accurate than Mean and Sigma method. This result indicate in the same equating method produce the same accuracy between the joint maximum likelihood method and Bayesian method, while at the same parameter estimation method, which produces a different accuracy Robust Mean and Sigma method is more accurate than Mean and Sigma. RSME difference depends on the accuracy of the equating method due to the RSME calculation using estimation of respondent’s ability after and before synchronized using joint maximum likelihood and Bayesian method. In the Mean and Sigma method, and Robust Mean and Sigma method uses mean and standard deviation of the estimation of item difficulty to two groups of respondent. Equating difference between Mean and Sigma method, and Robust Mean and Sigma lies in the A and K coefficient. In the Mean and Sigma method, the A coefficient is obtained from the comparison between the standard deviation of 166
International Conference on Education 2014 Official Conference Proceedings
Sabah, Malaysia
item difficulty of the two groups, while K coefficient is obtained from the difference in the mean of item difficulty of second group, and multiplication A with mean of item difficulty of first group. On Robust Mean and Sigma method A coefficients is obtained from the comparison between standard deviation of scored item difficulty of the two groups, while K coefficient is obtained from mean difference of scored item difficulty of the second group and multiplication A by scored item difficulty of first group. weighted item difficulty of first group and second group in item to-j obtained from the wj multiplication difficulty with the score scale. The score scale item to-j w*j with wj is inverse n
w i 1
i
value of the largest variance of item difficulty to-j to the first and second group. Thus the score scale to-j has a value between 0 and 1 so that scored item difficulty less than value of non-scored item difficulty. Robust Mean and Sigma method is more accurate than Mean and Sigma method, when item difficulty is estimated by Bayesian and joint maximum likelihood method because the problems found in Mean and Sigma method does not consider the estimation of item parameter with different accuracy degree (Hambleton, Swaminathan and Rogers, 1991: 132). CONCLUSION At the same equating method generate the same accuracy between joint maximum likelihood method and Bayesian method and at the same parameter estimation method generate, equating with Robust Mean and Sigma method is more accurate than Mean and Sigma method. REFERENCES Ayalo, R. J. De, The Theory and Practice of Item Response Theory. New York, The Guilford Press, 2009 Cohen, Allan S. dan Seock-Ho Kim. Comparison of Linking and Concurenrent Calibration Under Item Rersponse Theory. Journal Applied Psychological Measurement. Vol 22 No 2 Juni 1998. Hambleton, Ronald K and Hariharan Swaminathan, Item Response Theory Principles and Aplication. Boston: Kluwer.Nijhooff Publishing, 1990 Hambleton, Ronald K, H Swaminathan,dan H Jane Rogers. Fundamentals of Item Response Theory. London : Sage Publications, 1991 Kolen, Michael and Robert L Brenan, Test Equating. New York: Springer, 1995. Naga, Dali Santun. Teori Sekor Pada Pengukuran Mental. Jakarta, Nagarani Citrayasa, 2012.
167
International Conference on Education 2014 Official Conference Proceedings
Sabah, Malaysia
PERILAKU GREEN CONSUMERISM MAHASISWA DALAM KAITANNYA DENGAN PEMAHAMAN KONSEP EKOPEDAGOGIK Suwirman Nuryadin1 1
Program Studi Pendidikan Kependudukan dan Lingkungan Hidup (PKLH) Program Pascasarjana Universitas Negeri Jakarta.
[email protected] Abstrak
Penelitian ini mencoba mengungkapkan apakah melalui kurikulum yang ada, sudah terbentuk konsep ekopedagogik pada alumni dan mahasiswa, sehingga mereka memiliki perilaku yang berbasis “green consumerism”. Dan apakah terdapat hubungan antara pemahaman terhadap konsep ekopedagogik dengan perilaku “green consumerism”. Metodologi penelitian yang digunakan adalah survey. Educational for Sustainable Development (ESD) adalah merupakan suatu konsep yang sejalan dengan konsep ekopedagogik. Bila ESD dipandang sebagai suatu sasaran atau tujuan, maka ekopedagogik bisa dipandang sebagai suatu pendekatan dalam mencapai sasaran tersebut. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pemahaman mahasiswa terhadap tiga aspek konsep ekopedagogik adalah sebagai berikut: 57% mahasiswa memahami konsep ekoliterasi teknis, 39% memahami kosep ekoliterasi budaya dan 27% memamami konsep ekoliterasi kritis. Perilaku “green consumerism”, lebih ditandai oleh indikator “menilai” terhadap proses pembuatan barang (produk) dan agent-agent penyalur (distributor) barang tersebut. Sedangkan perilaku “green consumerism” terhadap jenis produk dan produsen lebih ditandai oleh indicator “menerima”. Dan tidak terdapat hubungan yang siknifikan antara pemahaman terhadap konsep ekopedagogik dengan perilaku “green consumerism”. Kata Kunci: ekopedagogik, green consumerism; educational for sustainable development Abstract This research tries to reveal if through aught curriculum, was formed ecopedagogic's concept on collegiate and college student, so they have behavior that get basis green consumerism. And what exists relationship among understanding to ecopedagogic's concept with green consumerism behavioral. Observational methodology that is utilized is survey. Educational for Sustainable Development (ESD) are constitute an in line with concept ecopedagogic's concept. If ESD is viewed as a target or to the effect, therefore ecopedagogic can be viewed as an approaching in achieving that target. Result observation link to point out that college student grasp to three ecopedagogic's concept aspect is as follows: 57% college student understands ecoliterasi's technical concepts, 39% understands ecoliterasi's cultures concept and 27% understand ecoliterasi's critical concepts. Green consumerism behavior more marked by indicator to assesses to process goods makings and dealer agent (distributor) those goods. Meanwhile green consumerism behavior to product type and producers to be marked by indicator to accepts. And there is no relationship that significant among understanding to ecopedagogic's concept with green consumerism behavior. Keywords: eco pedagogic; green consumerism; educational for sustainable development
168
International Conference on Education 2014 Official Conference Proceedings
Sabah, Malaysia
PENDAHULUAN Misi program studi Pendidikan Kependudukan dan Lingkungan Hidup (PKLH) antara lain adalah: 1) melakukan pembinaan dalam rangka menghasilkan tenaga kependidikan yang memiliki ciri keimanan dan ketaqwaan kepada Tuhan Yang Maha Esa, berjiwa Pancasila, bermoral luhur, menunjang kode etik profesi serta kebanggaan dan kecintaan kepada almamaternya dan 2) menyelenggarakan kegiatan pendidikan yang dapat menghasilkan kemampuan dalam mengembangkan konsep baru di dalam bidang ilmu dan profesi Pendidikan Kependudukan dan Lingkungan Hidup, melalui pendidikan, penelitian, dan pendekatan interdisipliner. Dari visi dan misi sedemikian maka ada empat profil lulusan Program Studi PKLH yaitu: profil dasar, profil pendidik, profil peneliti dan profil peneliti. Khusus dari profil pendidik, maka alumni program studi PKLH diharapkan bisa diwujudkan menjadi seorang pendidik yang perilakunya (pengetahuan, sikap dan keterampilan) selalu berorientasi kepada nilai-nilai dan masalah-masalah kependudukan dan lingkungan hidup atau pendidik yang memiliki prilaku ekopedagogik. Perilaku ekopedagogik hanya dapat terbentuk jika materi perkuliahan yang disusun dan disampaikan sesuai dengan tujuan tersebut. Menurut Stefan Krasimirov Grigonov dan Reinaldo Martias Fleuri (2012) ecopedagogik adalah suatu pendidikan dalam perpektif interkultural guna membentuk eko-sosial yang baru. Menurut mereka ekopedagogik bertujuan mencari dan menemukan kemungkinan untuk menciptakan masyarakat yang berkelanjutan yang baru secara ekologis (new ecologically sustainable civilization atau new eco-social civilization) dan menjadikannya sebagai dasar rekonstruksi sistem pendidikan dunia yang democratis. Marcus (19680) melansir satu konsep “one-dimensional man” (manusia satu dimensi), yang hidup mereka diorganisir oleh mass media sehingga mereka hidup di atas kebutuhan yang salah (false needs). Kebutuhan-kebutuhan itu adalah kebutuhan yang dibuat oleh mass media, yang diciptakan oleh informasi mass media, agar mereka membeli produk-produk yang sebenarnya tidak akan pernah mereka beli jika tidak diinformasikan kepada mereka. Lebih jauh lagi, dalam era globalisasi sekarang kita melihat fenomena tersebut, masyarakat satu-dimensi hidup dengan pola over konsumsi (overconsumerism); yakni masyarakat yang hidup dalam dunia penuh resiko yang diciptakan pasar tanpa tanggungjawab dan tanpa hukum (market irresponsibility and impunity). Masyarakat hidup dimana profit menjadi lebih penting bagi masyarakat kelas ekonomi atas, sedang resiko lingkungan menjadi bagian masyarakat kelas ekonomi bawah. Perilaku konsumeris hijau (green consumerism), adalah merupakan pola tingkah laku yang ingin diciptakan kembali sebagai upaya membalikkan keadaan yang telah terlanjur buruk, yaitu perilaku overconsumerism yang sangat beresiko. Berdasarkan uraian tersebut di atas maka masalah penelitian sebagai berikut: apakah kurikulum Program Studi PKLH PPs UNJ, telah berhasi berhasil membentuk perilaku “green consumerism” pada mahasiswanya atau lulusannya.? Apakah kurikulum PKLH telah mempertimbangkan konsep ekopedagogik dalam kegiatan atau proses pembelajarannya, sehingga berdampak pada perilaku mahasiswa atau lulusannya. Tujuan penelitian ini adalah sebagai berikut: a.Untuk mengetahui pemahaman mahasiswa tentang berbagai konsep ekopedagogik. b. Untuk mengetahui perilaku ”green consumerism” mahasiswa program studi PKLH UNJ dalam kaitannya dengan konsep ekopedagogik. Manfaat penelitian ini adalah agar dosen yang mengajar mata kuliah PKLH dapat mengembangkan materi pembelajaran yang lebih sesuai dengan konsep ekopedagogik. Selain itu agar para berbagai kalangan yang mempunyai perhatian terhadap pendidikan kependudukan dan lingkungan hidup memperoleh gambaran bagaimana kesiapan mahasiswa dalam mengantisipasi pembentukan perilaku “green consumerism”
KAJIAN PUSTAKA A. Pendidikan lingkungan Menurut William B. Stapp, et al., pendidikan lingkungan di arahkan untuk menghasilkan warga atau penduduk yang dapat memahami lingkungan biofisik dan masalah-masalah yang timbul yang dihubungkan dengan lingkungan biofisik tersebut, sadar bagaimana caranya menolong atau 169
International Conference on Education 2014 Official Conference Proceedings
Sabah, Malaysia
menyelesaikan masalah tersebut, dan termotivasi untuk bekerja atau bertindak ke arah solusi yang mereka pilih. (Environmental education is aimed at producing a citizenry that is knowledgeable concerning the biophysical environment and its associated problems, aware of how to help solve these problems, and motivated to work toward their solution). Secara umum tujuan pendidikan lingkungan yang pertama adalah untuk membantu setiap individu: Memahami secara jelas bahwa manusia adalah satu bagian yang tidak dapat dipisahkan dari suatu system; yaitu suatu system yang terdiri dari manusia, budaya, dan lingkungan biofisik; dan bahwa manusia memiliki kemampuan untuk mengubah hubungan timbal-balik (interrelationships) dari sistem tersebut. Manusia adalah bahagian yang tidak terpisahkan (bahagian yang integral) dari system. Oleh sebab itulah maka system disebut terdiri dari komponen-komponen manusia, budaya dan lingkungan biofisik. Budaya (culture) dalam kontek ini adalah merupakan: gabungan organisasional yang strategis, proses-proses teknologik dan pengaturan-pengaturan social (missal politik, hokum, manajerial, pendidikan dll), dimana melalui hal-hal tersebut berinteraksi dengan lingkungan biofisik. Sedangkan lingkungan biofisik dapat berupa sumber daya lam yang natural dan komponen-komponen yang merupakan buatan manusia. Tujuan yang kedua adalah untuk memahami secara luas lingkungan biofisik, alam dan buatan manusia, dan perannya dalam masyarakat kontemporer. Setiap masyarakat sangat tergantung pada sumber daya alam. Sumber daya alam mencakup karakteristiknya, distribusi, status, interrelasi, dan ketersediaan serta potensi penggunaannya. Pemahaman terhadap sumber daya alam, bagaimana sumber tersebut digunakan menuntut pengetahuan social, politik, ekonomi, proses teknologi, pengaturan secara institusional dan bahan pertimbangan estetik antara pemerintah dan masyarakat. Problema lingkungan biofisik adalah akibat interaksi antara mansuia, budaya dan lingkungan biofisi. Oleh sebab itu tujuan ketiga pendidikan lingkungan adalah, agar setiap warga memiliki pemahaman yang mendasar terhadap problema lingkungan biofisik, sehingga menjadi tugas mereka untuk mencari cara-cara pemecahannya, akhirnya menjadi tanggungjawab setiap warga dan pemerintah untuk mengerjakan cara-cara pemecahan tersebut. Tujuan yang keempat adalah agar terbentuk sikap kepedulian setiap warga terhadap kualitas lingkungan biofisik, sehingga memotivasi mereka untuk berpartisipasi dalam mencari dan melakukan pemecahanan masalah lingkungan hidup. Salah satu yang terpenting yang selalu melekat pada setiap individu adalah adanya atau terbentuknya sikap dan perilaku green consumerism. B. Perilaku Green Consumerism Green Consumerism secara definisi adalah: “the situation in which consumers want to buy things that haven produced in away that protects the natural environment”. Secara bebas terjemahannya adalah “keadaan dimana konsumen atau pembeli hanya membeli barang-barang yang diproduksi sedemikian rupa sehingga barang tersebut atau sisa barang tersebut tidak menjadi pencemar lingkungan alamiah. Secara konseptual istilah “green consumeris” adalah istilah yang digunakan untuk menggambarkan bagaimana sikap dan perilaku masyarakat terhadap penggunaan produk-produk pabrik dan aktivitas-aktivitas mereka sehari-hari, sehingga dapat dipandang sebagai memilki sikap dan perilaku yang bertanggungjawab terhadap pelestarian lingkungan hidup. Kata “bertanggung jawab” pada definisi konseptual di atas mengandung makna bahwa para konsumer atau masyarakat pengguna produk tertentu berupaya untuk meminimalkan dampak negatif yang ditimbulkan oleh suatu kegiatan produksi, distribusi, dan penggunaannya, serta sampah yang ditimbulkannya. Perilaku atau sikap “green consumerism” menunjukkan kepada siapa yang memiliki perilaku atau sikap sadar lingkungan sehubungan dengan isu-isu lingkungan dan merasa memilliki kewajiban terhadap lingkungan, serta yang mendukung tindakan tertentu lantaran lingkungan, misalnya beralih dari satu produk atau penyalur tertentu ke produk atau penyalur lain, jika yang pertama memerlukan biaya lingkungan lebih tinggi Mendidik atau membentuk masyarakat agar memiliki sikap dan perilaku “green consumerism” secara efektif, dapat dilakukan melalui pendidikan dan pembelajaran, baik pendidikan formal, non formal atau informal. Upaya pembentukan perilaku atau sikap masyarakat agar memiliki cir-ciri paham green consumerism melalui pendidikan formal adalah dengan memasukan pengetahuan tentang lingkungan dan isu-isu lingkungan ke dalam kurikulum atau ke dalam setiap materi ajar secara terintegratif. 170
International Conference on Education 2014 Official Conference Proceedings
Sabah, Malaysia
Berdasarkan uraian di atas maka didefinisikan perilaku atau sikap green consumerism dalam penelitian ini adalah: perilaku atau kecenderungan seseorang dalam memilih produk ketika berbelanja atau ketika mengamati produk tersebut, yang dipengaruhi oleh pemahamannya tentang dampak lingkungan yang mungkin ditimbulkan oleh produk tersebut. C. Konsep Ekopedagogik Istilah ekopedagogik merupakan gabungan dari dua istilah. Yang pertama adalah ekologi (ecology) yang berarti ilmu yang mempelajari tentang hubungan timbal balik antara makhluk hidup dan lingkungannya. Dan yang kedua adalah pedagogi (pedagogy) yang berarti ilmu mendidik. Dalam arti yang lebih luas, istilah ekopedagogik merupakan istilah yang lahir dari perkembangan pedagogik kritis yang diprakarsai oleh Paolo Freire. Dalam konteks ini, ekopedagogik merupakan sebuah gerakan yang berorientasi ke masa depan “untuk mengembangkan apresiasi yang kuat tentang potensi kolektif manusia yang mampu mendorong terciptanya keadilan sosial di seluruh dunia, agar kemudian lahir kesadaran masyarakat dunia tentang pentingnya ekoliterasi kritis (melek lingkungan secara kritis) bagi setiap warga dunia” Ekopedagogik sebagai suatu pemikiran, gerakan, atau suatu pendekatan dalam pendidikan (seperti yang dikemukakan oleh Paulo Freire, Moacir Gadotti dan Leonardo Boff) mengawali gagasannya dengan pertanyaan “bagaimana mere-edukasi “warga bumi" agar mereka menjadi lebih peduli, menghargai dan lebih berupaya melakukan upaya-upaya baru bagi pelestarian lingkungan hidup, guna kesejahteraan hidup dan kehidupan di muka bumi. Dari konsep ekopedagogik selanjutnya muncul sejumlah kritik dan pertanyaan terhadap pendidikan dan sistem pendidikan, sebagai berikut: 1) Bagaimana caranya agar kita semua sebagai warga planet ini mampu berpartisipasi dalam menciptakan satu dunia yang kita inginkan? 2) Seperti apa bentuk pendidikan yang dapat mendorong semua orang sehingga mereka mampu menghadapi apa yang sedang terjadi di lingkungan? 3) Pendidikan semacam apa yang sungguh-sungguh relevan dengan keadaan pada hari ini, sesuai dengan keadaan kemasyarakatan kita saat ini dan sesuai dengan kerawanan ekologis yang terjadi? 4) Dan bagaimana bentuk pendidikan lingkungan tradisional yang ternyata tidak relevan lagi dengan keadaan saat ini? Itulah beberapa pertanyaan yang muncul dalam konsep ecopedagogy, yang ingin diupayakan jawabannya? Seiring ecopedagogy dikenal istilah Ecoliteracy, yaitu istilah yang berasal dari kata ecological dan literacy. Istilah ecoliteracy bertujuan untuk menjelaskan proses peningkatan pemahaman individu atau masyarakat terhadap hakikat dan prinsip-prinsip ekologi. Istilah ecoliteracy merupakan suatu paradigma baru yang bertujuan meningkatkan kesadaran ekologis masyarakat. Melalui ecoliteracy diperkenalkan dan diperbarui pemahaman masyarakat akan pentingnya kesadaran ekologis global, guna menciptakan keseimbangan antara kebutuhan masyarakat dan kesanggupan bumi untuk menopangnya. Terkait dengan ekopedagogik sebagai suatu konsep, sedikitnya dibahas tiga konsep ekoliterasi. penting lainnya, yaitu : 1. Konsep ekoliterasi teknis (fungsional) yaitu bertujuan untuk memahami dasar-dasar sains, konsep ekologi dan biologi, serta dampak positif dan negatif kegiatan manusia terhadap sistem ekologi. 2. Konsep ekoliterasi budaya yaitu bertujuan untuk meningkatkan wawasan, kesadaran dan pemahaman tentang berbagai perspektif budaya dalam hubungan antara manusia dan lingkungan yang menghasilkan keberlanjutan kehidupan. 3. Konsep ekoliterasi kritis yaitu bertujuan untuk melibatkan siswa atau mahasiswa terhadap politik ekologi, kemajuan teknologi dan komunikasi melalui dialog yang kritis dan konstruktif. Berdasarkan dimensinya tersebut, maka konsep ekopedagogik terkait dengan isu-isu kritis lingkungan dalam setiap proses pendidikan. Proses pendidikan dan pembelajaran hendaknya tidak hanya mempelajari materi ajar semata terlepas dari isu-isu lingkungan, tetapi juga mempelajari materi ajar tersebut dalam kaitannya dengan interaksi manusia dengan lingkungannya dan dengan isu-isu lingkungan. Keterlaksanaan proses pendidikan dan pembelajaran yang berbasis konsep ekopedagogik hanya bisa dilakukan jika para guru dan pengajar lainnya memiliki pengetahuan yang terkait dengan lingkungan hidup dan isu-isu lingkungan hidup tersebut. 171
International Conference on Education 2014 Official Conference Proceedings
1. 2. 3.
4.
5.
Sabah, Malaysia
Ada sejumlah alasan mengapa konsep ekopedagogik penting dipelajari, yaitu sebagai berikut: Konsep ekopedagogik dapat membangun kesadaran kolektif untuk berperan aktif dalam menjaga dan merawat planet bumi. Dengan konsep ekopedagogik, maka alam tidak dipandang sebagai lingkungan hidup (environment) semata, tetapi sebagai ruang pemberi dan pemakna kehidupan (lebenstraum). Dengan ekopedagogik, pendidikan menjadi sesuatu yang dapat mengubah paradigma ilmu yang bersifat mekanistik, reduksionis, parsial dan bebas nilai menjadi lebih ekologis, holistik dan terikat nilai-nilai sehingga dapat menumbuhkan kearifan lingkungan (environmental wisdom). Misalnya dapat membangun watak manusia yang menghargai hak hidup makhluk hidup lainnya. Pendidikan ekopedagogik lebih menekankan pendekatan biosentrisme dan ekosentrisme, bukan lagi antroposentrisme. Antroposentrisme merupakan suatu etika yang memandang manusia sebagai pusat dari sistem alam semesta dan bahwa kebutuhan dan kepentingan manusia mempunyai nilai paling tinggi dan paling penting diantara mahkluk hidup lainnya. Sedangkan biosentrisme, merupakan suatu paradigma yang memandang bahwa setiap kehidupan dan mahkluk hidup mempunyai nilai dan berharga pada dirinya sendiri, sehingga pantas mendapat pertimbangan dan kepedulian moral. Pada paham ekosentrisme, justru memusatkan perhatian pada fakta bahwa ada saling keterkaitan dan ketergantungan seluruh komunitas ekologis dalam suatu ekosistem, baik yang hidup maupun yang tidak hidup. Ekopedagogik merupakan pendidikan untuk mengenali alam, sehingga tumbuh rasa cinta terhadap alam beserta isinya.
Jika pada setiap kegiatan pendidikan dan pembelajaran dilaksanakan dengan berbasis ekopedagogik, maka semua peserta didik akan mengalami dan memiliki peningkatan literasi tentang lingkungan (melek lingkungan), dari waktu ke waktu, sehingga timbul rasa tanggungjawab untuk menjaga dan merawatnya. Di dalam praktek belajar mengajar, untuk dapat menampung atau menerima konsep ecopedagogy, maka pandangan pribadi masing-masing guru dalam bidang pendidikan dan pandangan mereka mengenai dunia akan dipengaruhi oleh filsafat pribadi mereka dan pandangan politik mereka. Mungkin guru kita masih memiliki asumsi populer yang menyatakan bahwa sebagai manusia kita unggul dan memiliki hak untuk mendominasi dan mengeksploitasi alam (paham Antrophosentrism). Ada lima tujuan pendidikan lingkungan yang disepakati usai pertemuan di Tbilisi 1977 oleh dunia internasional. Fien dalam Miyake, dkk. (2003) mengemukakan kelima tujuan yaitu sebagai berikut: 1. Di bidang pengetahuan, membantu individu, kelompok dan masyarakat untuk mendapatkan berbagai pengalaman dan mendapat pengetahuan tentang apa yang diperlukan untuk menciptakan dan menjaga lingkungan yang berkelanjutan. 2. Di bidang kesadaran, membantu kelompok sosial dan individu untuk mendapatkan kesadaran dan kepekaan terhadap lingkungan secara keseluruhan beserta isu-isu yang menyertainya, pertanyaan, dan permasalahan yang berhubungan dengan lingkungan dan pembangunan. 3. Di bidang perilaku, membantu individu, kelompok dan masyarakat untuk memperoleh serangkaian nilai perasaan peduli terhadap lingkungan dan motivasi untuk berpartisipasi aktif dalam perbaikan dan perlindungan lingkungan. 4. Di bidang ketrampilan, membantu individu, kelompok dan masyarakat untuk mendapatkan ketrampilan untuk mengidentifikasi, mengantisipasi, dan memecahkan permasalahan lingkungan. 5. Di bidang partisipasi, memberikan kesempatan dan motivasi terhadap individu, kelompok dan masyarakat untuk terlibat secara aktif dalam menciptakan lingkungan yang berkelanjutan. Universitas Negeri Jakarta memiliki Program Studi Pendidikan Lingkungan Hidup (PKLH) untuk jenjang S2 dan S3, bahkan merupakan merupakan program studi yang awal dalam gerakan pendidikan tentang lingkungan hidup dan masalah kependudukan. Program studi ini telah meluluskan banyak magister dan doctor dalam bidang PKLH. Sehubungan dengan konsep ekopedagogik, maka adalah mereka dapat diharapkan memberikan konstribusi dalam kegiatan pendidikan yang berdasarkan pembangunan yang berkelanjutan (EfSD = educational for sustainable development) EfSD adalah merupakan suatu konsep yang sejalan dengan konsep ekopedagogik. Bila EfSD dipandang sebagai suatu sasaran atau tujuan, maka ekopedagogik bisa dipandang sebagai suatu 172
International Conference on Education 2014 Official Conference Proceedings
Sabah, Malaysia
pendekatan dalam mencapai sasaran tersebut. EfSD bukanlah suatu program atau project, melainkan suatu payung untuk berbagai macam bentuk pendidikan yang telah ada. EfSD merupakan sesuatu yang harus diciptakan sehingga ia bisa memayungi kegiatan-kegiatan pendidikan agar kegiatan pembangunan tepat sasaran yaitu “sustainable development”. EfSD mempromosikan berbagai upaya untuk berpikir ulang tentang program-program dan sistem-sistem pendidikan baik method maupun kontennya. Konsep EfSD seharusnya mempengaruhi semua komponen dalam pendidkan, yakni mempengaruhi tataran legislasi (legialation), kebijakan (policy), pendanaan (finance), kurikulum (curriculum), pembelajaran (instruction), penilaian (assessment) dan lain-lain. EfSD mempunyai beberapa karakteristik utama yang dapat diimplementasikan dalam berbagai bentuk yang sesuai secara kultural, antara lain sebagai berikut: 1. EfSD didasari oleh prinsip-prinsip dan nilai-nilai yang penting untuk pembangunan berkelanjutan 2. EfSD sesuai dengan perilaku baik (well-being) untuk keempat dimensi sustainability, yaitu: lingkungan (environment), masyarakat (society), budaya (culture), dan ekonomi (economy). 3. EfSD menggunakan bermacam-macam teknik mendidik, yang mendukung belajar partisipatif dan keahlian berpikir yang lebih tinggi (higher-order thinking skills). 4. EfSD didasarkan kepada kebutuhan-kebutuhan, persepsi dan kondisi lokal, namun pemenuhan kebutuhan local mempunyai dampak dan konsekwensi internasional 5. EfSD adalah bidang interdisiplinaritas, artinya setiap disiplin ilmu memberikan konstribusi dalam gerakan EfSD; lebih jauh lagi EfSD menuntut pemikiran yang menyatu secara transdisiplinaritas. Melalui kegiatan pendidikan berbasis konsep ekopedagogik, berbagai permasalahan lingkungan seperti: pengelolaan tata ruang, penangulangan pencemaran lingkungan, pola dan gaya hidup yang tidak ramah lingkungan, kerusakan ekosistem, serta upaya konservasi berbagai sumber daya alam bisa terwujud dapat ditanggulangi. Perilaku ekopedagogik bisa terbentuk pada mahasiswa sebagai suatu kompetensi, jika peserta didik diberikan materi atau bahan perkuliahan yang sesuai dengan konsep tersebut. Tingkat kesadaran dan kepekaan mahasiswa PKLH untuk tidak menggunakan plastik saat mereka melakukan kegiatan berbelanja misalnya, dapat dipandang sebagai perilaku green consumerism. Di lain pihak jika peserta didik tidak sembarangan dalam membuang sampah, itu adalah merupakan kegiatan mendidik yang sesuai dengan konsep ekopedagogik. Lebih jauh lagi jika masyarakat mengolah dan memanfaatkan sumber daya alam, kemudian menghasilkan produk yang bernilai ekonomi, kemudian menumbuhkan kreatifitas dan kepedulian terhadap lingkungan, kemudian selanjutnya menjaga kelestarian lingkungan, maka itu adalah contoh lain dari ekopedagogik yang berhasil. Berdasarkan uraian di atas maka pembelajaran berbasis ekopedagogik adalah merupakan suatu proses belajar dan upaya mendidik untuk mengubah perilaku dan sikap peserta didik atau elemen masyarakat sehinga dapat meningkatkan pengetahuan, keterampilan dan kesadaran mereka tentang nilai-nilai lingkungan dan permasalahan lingkungan. Dengan perilaku eko pedagogik peserta didik dan masyarakat diharapkan dapat berperan aktif dalam kegiatan pembangun sesuai konsep pembangunan berkelanjutan. Secara operasional pemahaman mahasiswa terhadap konsep ekopedagogik adalah pengetahuan mahasiswa tentang proses belajar dan upaya mendidik yang bertujuan untuk mengubah perilaku dan sikap peserta didik dalam aspek ekoliterasi teknis, ekoliterasi budaya dan ekoliterasi kritis, yang berkaitan dengan perilaku “green consumerism” dengan indikator mengiterpretasikan, membandingkan, menyimpulkan, mengklasifikasikan, dan menjelaskan. Kerangka Teoretik Ada empat pilar yang dapat mengubah perilaku manusia, yaitu values atau norm, attitude, persepsi dan learning. Proses pendidikan pembelajaran adalah bagian penting dalam pembentukan perilaku manusia. Program studi yang fokus pada pendidikan lingkungan cenderung menganut pendidikan berbasis ekopedagogik dalam kurikulumnya. Oleh sebab itu secara teoretik maka pemahaman mahasiswa tentang konsep ekopedagogik diduga berhugungan dengan perilaku green consumerism. Berdasarkan dugaan ini maka dapat disusun hipotesis penelitian sebagai berikut: 173
International Conference on Education 2014 Official Conference Proceedings
Sabah, Malaysia
”terdapat hubungan positif antara pemahaman konsep ekopedagogik dengan perilaku green consumeris.” METODOLOGI PENELITIAN A. Metode Penelitian Metoda penelitian yang digunakan adalah survey, dan tempat penelitian adalah Program Studi Pendidikan LIngkungan Hidup (PKLH) Program Pascasarjana, Universitas Negari Jakarta mulai dari bulan Oktober 2013 sampai dengan bulan Februari 2014. B. Populasi dan Sampel Populasi penelitian adalah mahasiswa program studi PKLH PPs UNJ. Sedangkan sampel penelitian secara purposive ditetapkan mahasiswa angkatan 2012 dan 2013, yaitu mahasiswa yang telah dan sedang mengikuti perkuliahan mata kuliah Pendidikan Kependudukan dan Lingkungan Hidup (PKLH). C. Teknik Pengumpulan data a. Instrumen Penelitian Instrumen penelitian terdiri dari dua, yaitu: 1) perilaku green consumerism mahasiswa Program Studi PKLH PPs UNJ dan 2) pemahaman tentang konsep ekopedagogik. Instrumen perilaku green consumerism dikembangkan berdasarkan definisi konseptual sebagai berikut: b. Definisi konseptual Perilaku green consumerism “Perilaku atau sikap green consumerism adalah kecenderungan mahasiswa yang dipengaruhi oleh pemahaman mereka tentang suatu barang kebutuhan ketika berbelanja, yang berhubungan dengan produk, proses, produsen, dan penyalur produk tersebut, sehingga mereka “menerima” dan “menilai” barang kebutuhan itu, yang mencerminkan perilaku peduli lingkungan. c. Definisi konseptual Pemahaman tentang Konsep ekopedagogik: Instrument pemahaman tentang konsep ekopedagogik dikembangkan berdasarkan definisi konseptual sebagai berikut: “Pemahaman mahasiswa terhadap konsep ekopedagogik adalah pengetahuan mahasiswa tentang proses belajar dan upaya mendidik yang bertujuan untuk mengubah perilaku dan sikap peserta didik dalam aspek ekoliterasi teknis, ekoliterasi budaya dan ekoliterasi kritis, yang berkaitan dengan perilaku “green consumerism” dengan indikator mengiterpretasikan, membandingkan, menyimpulkan, mengklasifikasikan, dan menjelaskan”. d. Analisis Data Analisis data dilakukan secara deskriptif kuantitatif berdasarkan data yang diperoleh dari sampel penelitian. Data disajikan dalam bentuk bentuk grafik atau histogram. Diharapkan melalui pendekatan analisis tersebut dapat diperoleh temuan tentang perilaku green consumerism mahasiswa Program Studi PKLH dalam kaitannya dengan konsep ekopedagogik.
HASIL PENELITIAN A. Statistika Deskriptif 1. Pemahaman Mahasiswa terhadap Konsep Ekopedagogik Data mengenai pemahaman mahasiswa S2 dan S3 Program Studi PKLH PPs UNJ terhadap konsep ekopedagogik dalam kaitannya dengan perilaku green consumerism diperoleh melalui instrument dengan 15 butir pertanyaan, dengan rentang skor teoritik 1-15 dan rentang skor empiris yang diperoleh antara 3-11. Tabel 1. Statistika deskriptif Pemahaman tentang Ekopedagogik dan perilaku Green Consumerism N Pemahaman Ekopedagogik Perilaku green consumerism (listwise)
Minimum 30
3.00
30
34.00
Maximum 11.00
Sum
Mean
Std. Deviation
Variance
178.00
5.9333
1.92861
3.720
78.00 1594.00
53.1333
9.08099
82.464
30
174
International Conference on Education 2014 Official Conference Proceedings
Sabah, Malaysia
Tabel 1. Statistika deskriptif Pemahaman tentang Ekopedagogik dan perilaku Green Consumerism N Pemahaman Ekopedagogik Perilaku green consumerism
Minimum 30
3.00
30
34.00
Maximum 11.00
Sum
Mean
Std. Deviation
Variance
178.00
5.9333
1.92861
3.720
78.00 1594.00
53.1333
9.08099
82.464
Tabel 2. Distribusi Frekwensi Kelas interval Pemahaman terhadap Konsep Ekopedagogik No. 1. 2. 3. 4. 5.
Kelas 3-4 5-6 7-8 9-10 11-12
Frekwensi absolut 9 11 7 2 1
Frekwensi Relatif (%) 30 36.7 23.3 6.7 3.3
Frekwensi Kumulatif (%) 30 66.7 90 96.7 100
Bentuk Histogram table distribusi frekwensi Pemahaman terhadap Konsep Ekopedagogik sebagai berikut:
Gambar 1. Pemahaman terhadap Konsep Ekopedagogik
Dari table dan bentuk Histogram di atas dapat diketahui bahwa 30% responden berada di bawah kelompok rata-rata 36.7% dan di atas rata-rata sebanyak 33.3%. Jumlah mahasiswa yang memahami konsep ekopedagogik di bawah rata-rata sebesar 30% dinilai terlalu besar. Jumlah sebesar itu mungkin disebabkan beberapa factor, perlu penelitian lebih lanjut.
2. Perilaku Green Consumerism Data mengenai perilaku green consumerism diperoleh dari instrument penelitian dengan 16 butir pernyataan, dengan rentang skor teoretik 5-90 dan rentang skor empiris 34-78. Hasil pengolahan data mentah variable penelitian, perilaku green konsumerism dapat dilihat pada table 3 berikut ini.
175
International Conference on Education 2014 Official Conference Proceedings
Sabah, Malaysia
Tabel 3. Distribusi Frekwensi Perilaku Green Consumerism No. 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7.
Kelas 34-40 41-47 48-54 55-61 62-68 69-75 76-82
Frekwensi absolut 2 5 12 5 5 0 1
Frekwensi Relatif (%) 6.67 16.67 40.00 16.67 16.67 0 3.32
Frekwensi Kumulatif (%) 6.67 23.34 63.34 80.01 96.68 96.68 100
Bentuk histogram perilaku green consumerism dapat ditunjukkan gambar berikut:
Gambar 2. Histogram Perilaku Green Consumerism 3.
Pembahasan Pemahaman Mahasiswa tentang Konsep Ekopedagogik menurut Indikator Pemahaman Kepada mahasiswa telah diminta pendapatnya yaitu pemahaman mereka tentang konsep ekopedagogik. Indikator pemahaman yang digunakan adalah: menginterprestasi, membandingkan, menyimpulkan, mengklasifikasikan dan menjelaskan, terhadap aspek-aspek ekoliterasi teknis, ekolitrasi budaya dan ekoliterasi kristis dari konsep ekopedagogik. Selanjutnya akan ditunjukkan hasil pengukuran tentang pemahaman mahasiswa PKLH UNJ, (untuk kelima indikator pemahaman) terhadap setiap aspek konsep ekopedagogik, yaitu aspek ekoliterasi teknis, ekoliterasi budaya dan ekoliterasi kritis. a. Pemahaman Aspek Ekoliterasi Teknis dari Konsep Ekopedagogik Hasil pengolahan data tentang pemahaman mahasiswa PKLH PPs UNJ terhadap aspek ekoliterasi teknis dari konsep ekopedagogik dengan lima indikator pemahaman sebagai ditunjukkan oleh tabel 4 berikut: Tabel 4. Persentase Pemahaman Mahasiswa terhadap aspek Ekoliterassi Teknis berdasarkan indikator . Indikator Pemahaman
Frekwensi
Persentase
Menginterpretasikan (MI)
15
10%
Membandingkan (MB)
23
15%
Menyimpulkan (MP)
20
13%
Mengklasifikasikan (MK)
5
3%
Menjelaskan (MJ)
16
11%
Total
79
52%
176
International Conference on Education 2014 Official Conference Proceedings
Sabah, Malaysia
Sedangkan pemahaman mahasiswa dalam bentuk gambar dapat ditunjukkan oleh histogram berikut ini:
Gambar 3. Pemahaman Mahasiswa tentang Ekoliterasi Teknis Dari gambar terlihat bahwa persentase terendah adalah pada indikator pemahaman “mengklasifikasikan”, yaitu sebesar 3%. Dari seluruh indikator, maka baru 52% mahasiswa yang memahami konsep ekoliterasi teknis yang ditanyakan kepada mereka. b.
Pemahaman Aspek Ekoliterasi Budaya dari Konsep Ekopedagogik Hasil pengolahan data tentang pemahaman mahasiswa PKLH PPs UNJ terhadap aspek ekoliterasi budaya dari konsep ekopedagogik dalam lima indikator pemahaman sebagai ditunjukkan oleh tabel 5 berikut: Tabel 5. Persentase Pemahaman Mahasiswa terhadap aspek Ekoliterassi Budaya berdasarkan indikator Indikator Pemahaman
Frekwensi
Persentase
Menginterpretasikan (MI)
16
11%
Membandingkan (MB)
15
10%
Menyimpulkan (MP)
2
1%
Mengklasifikasikan (MK)
12
8%
Menjelaskan (MJ)
13
9%
Total
58
39%
Gambar 4. Pemahaman Mahasiswa tentang Ekoliterasi Budaya 177
International Conference on Education 2014 Official Conference Proceedings
Sabah, Malaysia
Dari gambar terlihat bahwa persentase terendah adalah pada indikator pemahaman “menyimpulkan”, yaitu sebesar 1%. Berdasarkan seluruh indikator, maka baru 39% mahasiswa yang memahami konsep ekoliterasi budaya yang ditanyakan kepada mereka. c. Pemahaman Terhadap Aspek Ekoliterasi Kritis dari Konsep Ekopedagogik Hasil pengolahan data tentang pemahaman mahasiswa PKLH PPs UNJ terhadap aspek ekoliterasi kritis dari konsep ekopedagogik dalam lima indikator pemahaman sebagai ditunjukkan oleh tabel 6 berikut: Tabel 6. Persentase Pemahaman Mahasiswa terhadap aspek Ekoliterasi Kritis berdasarkan indikator Indikator Pemahaman Menginterpretasikan (MI) Membandingkan (MB) Menyimpulkan (MP) Mengklasifikasikan (MK) Menjelaskan (MJ) Total Skor teoretik maksimum
Frekwensi 5 4 5 23 4 41 150
Persentase 3% 3% 3% 15% 3% 27%
Gambar 5. Pemahaman Mahasiswa tentang Ekoliterasi Kritis Dari gambar terlihat bahwa persentase terendah adalah pada indikator pemahaman pada empat indikator, yaitu: “menginterpretasikan, membandingkan, menyimpulkkan, dan menjelaskan”, yaitu sebesar 3%. 4.
Interprestasi Perilaku Green Consumeris berdasarkan Indikator
Hasil pengolahan data perilaku green consumerism berdasarkan indikator menerima dan menilai, dapat ditunjukkan pada gambar berikut ini.
Gambar 6. Indikator Perilaku Green Consumerism 178
International Conference on Education 2014 Official Conference Proceedings
Sabah, Malaysia
Histogram menggambarkan bahwa perilaku green consumerism mahasiswa PKLH PPs UNJ, lebih ditandai oleh indikator “menilai” terhadap proses pembuatan barang yang akan dikonsumsi dan agentagent penyalur atau distributor barang tersebut. Sedangkan perilaku green consumerism terhadap jenis atau macam produk (barang) kebutuhan tersebut dan produsen yang menghasilkan barang tersebut lebih ditandai oleh indicator “menerima”. B.
Hubungan Pemahaman terhadap Konsep Ekopedagogik dan Perilaku Green Consumerism
Dari hasil pengolahan data didapat koefisien korelasi yang menunjukkan kekuatan hubungan pemahaman terhadap konsep ekopedagogik dan perilaku green consumerism adalah sebesar: r = 0.026. Uji Koefisien korelasi yang diperoleh dilakukan melalui uji keberartian melalui uji-t, dengan menggunakan rumus: t = rxy [n-2/1-(rxy)2]. Hipotesis yang diuji adalah:
H0 : yx = 0 H1 : yx > 0 Kriteria pengujian, pada = 0,05, terima H0 jika thitung ttabel, dan tolak H0 jika thitung > ttabel. Secara manual t hitung dicari dari rumus : t = rxy [n-2/1-(rxy)2]. thitung = 0.026 [30-2/1-(0.026)2] = 0.026 [28/1-(0.000676)] = 0.026 [5.292: 0.999] =0.026 x 5.297 = 0.138. didapat thitung = 0.138, ttabel = t(0.05)(28) = 1.70. Hasil pengujian menunjukkan thitung < ttabel = 0.138 < 1.70. Hasil pengujian menunjukkan koefisien korelasi yang diperoleh tidak berarti atau tidak siknifikan. Artinya tidak terdapat hubungan yang berarti antara pemahaman terhadap konsep ekopedagogik dengan perilaku green consumerism. Berdasarkan temuan ini, maka perubahan perilaku green consumerism tidak bisa diestimasi dari perubahan pemahaman terhadap konsep ekopedagogik. Untuk mengetahui apakah pemahaman terhadap konsep ekopedagogik berpengaruh langsung terhadap perilaku green consumerism, perlu dilakukan pengetahuan lebih lanjut. PEMBAHASAN Berdasarkan temuan di atas dimana model persamaan regresi yang diperoleh tidak siknifikan (berarti) dan tidak terdapat korelasi positif antara pemahaman mahasiswa PKLH terhadap konsep ekopedagogik dengan perilaku green consumerism, sehingga perilaku green consumerism mahasiswa PKLH tidak dapat diestimasi dari pemahaman mereka terhadap konsep ekopedagogik. Maka terbentuknya perilaku green consumerism mungkin bisa diestimasi dari variable lain. Penelitian ini gagal menolak hipotesis nol, mungkin disebabkan terdapatnya kelemahan dan keterbatasan dalam penelitian ini, misalnya instrument penelitian yang digunakan sebagai pengumpul data masih memilki kelemahan. Konsep ekopedagogik di dalam kurikuum PKLH belum secara sepesifik menjadi mata kuliah yang berdiri sendiri. Konsep ini disampaikan secara terintegrasi di dalam mata-kuliah lain. Oleh sebab itu perilaku green consumerism mungkin terbentuk pada mahasiswa melalui konsep-konsep lingkungan yang lain.
179
International Conference on Education 2014 Official Conference Proceedings
Sabah, Malaysia
KESIMPULAN DAN SARAN 1. Kesimpulan Kesimpulan yang diperoleh dari penelitian ini adalah bahwa tidak terdapat hubungan positif antara pemahaman mahasiswa PKLH PPs UNJ terhadap konsep ekopedagogik dengan perilaku green consumerism. Perilaku green consumerism pada mahasiswa diduga tidak terbentuk karena materi perkuliahan pada program studi PKLH. Perilaku green consumerism pada diri mahasiswa PKLH, mungkin terbentuk dari pengetahuan di luar pendidikan formal atau sumber informasi lain yang mengarah ke perilaku green consumerism. Program studi PKLH belum berhasil memperkuat perilaku tersebut melalui kurikulum yang ada. Informasi-informasi dari berbagai media seperti televisI, radio, surat kabar dan internet, telah berperan penting pada pemebentukan perilaku green consumerism masyarakat. Perilaku “green consumerism” pada diri mahasiswa lebih ditandai oleh indicator “menilai” terhadap proses dan penyalur, ditandai oleh indicator “menerima” terhadap produk dan produsen yang memenuhi criteria ramah lingkungan.
DAFTAR PUSTAKA Bennet, DE, Evaluate of Environmental Educational Program, (New York: John Willey & Son), 1997. Grigorov, Stefan Krasimirov and Fleuri, Reinaldo Matias, Eco pedagogy: educating for new eco-social intercultural perspective, visao Global, Joacaba, v. 15, n. 1-2, jan./dez. 2012. Pettit, Dean and Jerry Paul Sheppard, “It’s not Easy Being Green: The Limits of Green Consumerism in Light of the Logic of Collective Action”, Queens Quarterly, 99 (3): 1992. Yates, Lucy, Green Expectations. Consumers’ Understanding of Green Claims in Advertising, Consumer Focus. A Campaigning for fair deal, 2008. 12 Crucial Consumer Trends for 2012, Trend Watching.com Freire, P. (1998). Pedagogy of freedom: Ethics, democracy, and civic courage. Lanham, MD: Rowman & Littlefield. Gadotti, M. (2008). Education for sustainability: A critical contribution to the decade of education for sustainable development. Green Theory and Praxis: The Journal of Ecopedagogy, 4(1), 50. Gadotti, M. (2009). Education for sustainability: A contribution to the decade of education for sustainable development. Saõ Paulo: Editora e Livraria Instituto Paulo Freire. Giroux, H. A. (2001). Theory and resistance in education: Towards a pedagogy for the opposition (Rev. ed.). Westport, CT: Bergin & Garvey. Harding, S. (2006). Science and social inequality: Feminist and postcolonial issues. Urbana: University of Illinois Press. Harding, S. G. (1991). Whose science? Whose knowledge? Thinking from women's lives. Ithaca, NY: Cornell University Press. Harding, S. G. (1998). Is science multicultural? Postcolonialisms, feminisms, and epistemologies. Bloomington: Indiana University Press. Morrow, R. A., & Torres, C. A. (2002). Reading Freire and Habermas. New York: Teachers College Press. Richard Kahn Critical Pedagogy, Ecoliteracy, & Planetary Crisis: The Ecopedagogy Movement (New York: Peter Lang, 2010), pp 186. ISBN 978-1-4331-0545-6.
180