1 PENGARUH STRATEGI PETA KONSEP DAN DIAGRAM VEE TERHADAP HASIL BELAJAR SISWA PADA POKOK BAHASAN LARUTAN PENYANGGA YANG DIUKUR DENGAN AUTHENTIC ASSESSMENT (The Influence of Concept-Map Strategy and Vee Diagram on Students’ Understanding of the Concept of Buffer Solution, Assessed with an Authentic Assessment Procedure)
BUDI UTAMI Study Program of Chemical Education. Post Graduate Malang State University
Abstract The purposes of this research were (1) to know the differences in the achievement of the 11th grade students of SMA PGRI Lawang, taught with concept-map-Veediagram strategy, in the topic of buffer-solution, compared to those instructed using lecture a method, (2) to know the differences in the score of laboratory skills of the 11th grade students of SMA PGRI Lawang, taught with concept-map-Veediagram strategy, in the topic of buffer-solution, compared to those instructed using lecture a method, and (3) to know the perceptions of the students towards the implementation of the concept-map and Vee-diagram strategy in the learning of the topic of buffer solution. The design of the study was a quasi-experimental design using the 11th grade students of the class of IPA, SMA PGRI Lawang. The subjects were assigned to an experiment and a control groups. The result of the study showed that (1) students using concept- map and Vee-diagram strategy were better in their learning achievement compared to those of the lecture method group, with averages scores of 74.43 and 65.04 respectively; (2) concept-map and Veediagrams students also performed better in their laboratory works compared to their lecture-group counterparts; and (3) 47.5% students responded positively to the implementation of concept-map and Vee-diagram strategy, while 52.5% believed that they got much advantage with the implementation of the strategy. Keywords
: Concept-Map, Vee Diagram, Students’ Understanding, authentic assessment.
Abstrak Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui : (1) apakah ada perbedaan hasil belajar siswa kelas XI IPA semester genap SMA PGRI Lawang Malang antara siswa yang diajar dengan strategi Peta Konsep dan Diagram Vee dengan yang diajar dengan metode ceramah pada materi pokok bahasan larutan
2 penyangga tahun 2007/2008, (2) apakah ada perbedaan nilai praktikum di laboratorium siswa kelas XI IPA semester genap SMA PGRI Lawang Malang antara siswa yang diajar dengan strategi Peta Konsep dan Diagram Vee dengan yang diajar dengan metode ceramah pada materi pokok bahasan larutan penyangga tahun 2007/2008, (3) persepsi siswa terhadap penerapan strategi Peta Konsep dan Diagram Vee dalam pembelajaran larutan penyangga. Penelitian ini menggunakan rancangan penelitian eksperimental semu (quasi eksperimental). Subjek penelitian adalah siswa kelas XI IPA1 dan siswa kelas XI IPA2 SMA PGRI Lawang Malang yang terbagi atas kelompok kontrol dan eksperimen. Data yang diperoleh dianalisis dengan menggunakan statistik uji t. Hasil penelitian menunjukkan bahwa : (1) Hasil belajar siswa pada materi larutan penyangga yang menggunakan strategi Peta Konsep dan Diagram Vee lebih baik jika dibandingkan hasil belajar siswa yang menggunakan metode ceramah yaitu rata-rata nilai untuk kelompok eksperimen adalah 74,43, sedang rata-rata nilai untuk kelompok kontrol adalah 65,04, (2) Siswa yang menggunakan strategi Peta Konsep dan Diagram Vee memiliki rata-rata nilai yang lebih baik saat praktikum di laboratorium dibandingkan rata-rata nilai siswa saat praktikum di laboratorium tanpa strategi Peta Konsep dan Diagram Vee, (3) Siswa memberikan persepsi sangat positif sebesar 47,5% dan positif sebesar 52,5% (sangat bermanfaat) terhadap penggunaan strategi Peta Konsep dan Diagram Vee dalam kegiatan praktikum di laboratorium. Kata Kunci : peta konsep, diagram Vee, hasil belajar, authentic assessment.
A. PENDAHULUAN Dalam pembelajaran sains konsep-konsep dasar diusahakan di”bangun” (di”construct) sendiri oleh siswa dan dikembangkan secara mandiri, baik melalui transfer pengetahuan maupun pengamatan langsung terhadap gejala alam. Semua ini akan diolah secara kognitif dan pada akhirnya akan menghasilkan perubahan perilaku pula. Pada dasarnya pendekatan konstruktivistik menekankan proses membangun sendiri konsep-konsep yang dipelajari oleh siswa (student oriented) (Wonorahardjo, 2006). Salah satu cara untuk mengembangkan strategi belajar mengajar bermakna kepada siswa adalah dengan menggunakan strategi Peta Konsep (concept mapping) (Novak, 1994 dalam Rusmansyah, 2001). Peta konsep yang diperkenalkan oleh Novak pada tahun 1995 (dalam Dahar 1988) dalam bukunya
3 Learning How To Learn, merupakan suatu alat yang efektif untuk menghadirkan secara visual hirarki generalisasi-generalisasi dan untuk mengekspresikan keterkaitan proposisi dalam sistem konsep-konsep yang saling berhubungan. Hasil penelitian Iskandar (2005) dan Rusmansyah (2001) menunjukkan bahwa dengan strategi Peta Konsep akan membantu siswa membangun konsep-konsep dan prinsip-prinsip baru serta sangat baik sebagai alat pembelajaran dan dapat meningkatkan hasil belajar siswa. Praktikum merupakan bagian yang penting dalam proses pembelajaran kimia. Namun pada pelaksanaannya, sering mengalami kendala. Salah satu di antaranya adalah masalah laporan. Laporan menyita banyak waktu, tidak hanya dalam proses pembuatannya tetapi juga dalam penilaiannya. Pada sisi lain sebenarnya laporan praktikum merupakan media dalam pengembangan salah satu ketrampilan ilmiah, yaitu komunikasi. Dengan keadaan ini perlu dicari sebuah bentuk laporan praktikum yang lebih sederhana yang masih tetap dapat digunakan untuk menilai ketrampilan ilmiah mahasiswa, tidak menghilangkan alur ilmiah dan terlebih lagi tetap mengajarkan pada siswa kimia tentang proses ilmiah itu sendiri (Purtadi & Sari, 2005). Gowin seperti pendidik sains yang lain, mencatat bahwa siswa tidak dapat menjelaskan makna dari hasil penemuan mereka dan menghubungkan dengan teori yang sesuai. Salah satu upaya yang dapat dilakukan untuk membantu siswa dalam menjelaskan makna dari hasil penemuan mereka dan menghubungkan dengan teori yang sesuai adalah dengan menggunakan strategi Peta Konsep dan Diagram Vee. Novak dalam Swami & Shields (2006) mendeskripsikan Diagram Vee sebagai perwakilan heuristik “pandangan
4 konstruktivis pengetahuan dan menggambarkan epistemological unsur-unsur yang saling berinteraksi dalam proses membangun pengetahuan baru.” Fungsi Diagram Vee adalah menolong siswa untuk melihat interaksi antara teori, metode dan hasil. Diagram Vee adalah seperti advance organizer dalam meningkatkan organisasi yang kuat pada struktur kognitif. Diagram Vee yang diselesaikan siswa bertindak sebagai laporan laboratorium mereka dan memudahkan bagi guru untuk merespon daripada laporan laboratorium tradisional. Penerapan strategi Peta Konsep dan Diagram Vee dan penilaian autentik (authentic assessment) pada penelitian ini dilakukan pada pembelajaran kimia pada kompetensi dasar larutan penyangga. Hal yang mendasari pemilihan kompetensi dasar larutan penyangga disebabkan karena siswa kadang-kadang kesulitan dalam: a. memutuskan apakah suatu larutan merupakan larutan penyangga sebagai efek menambahkan ke dalam masing-masing larutan pada larutan lainnya yang mengandung asam atau basa b. memutuskan apakah larutan merupakan larutan penyangga berdasarkan zat terlarutnya c. meramalkan efek pada larutan dengan menambahkan larutan penyangga pada larutan bukan penyangga, memberi nama larutan yang terjadi d. menuliskan rumus untuk reaksi yang merupakan hasil dari penambahan asam atau basa pada larutan penyangga yang tersedia e. menjelaskan atau mengoreksi penjelasan bagaimana larutan penyangga bekerja (Hawkes, 1996).
5 Berdasarkan uraian di atas, dapat disusun perumusan masalah sebagai berikut : 1. Apakah ada perbedaan hasil belajar siswa kelas XI IPA semester genap SMA PGRI Lawang Malang antara siswa yang diajar dengan strategi Peta Konsep dan Diagram Vee dengan yang diajar dengan metode ceramah pada materi pokok bahasan larutan penyangga tahun 2007/2008? 2. Apakah ada perbedaan nilai praktikum di laboratorium siswa kelas XI IPA semester genap SMA PGRI Lawang Malang antara siswa yang diajar dengan strategi Peta Konsep dan Diagram Vee dengan yang diajar dengan metode ceramah pada materi pokok bahasan larutan penyangga tahun 2007/2008? 3. Bagaimana persepsi siswa terhadap penerapan strategi Peta Konsep dan Diagram Vee dalam pembelajaran larutan penyangga? B. METODE PENELITIAN 1. Rancangan Penelitian Rancangan penelitian ini adalah rancangan eksperimental semu (quasi eksperimental) dengan pemilihan subjek peneltian tidak secara random (Ibnu dan kawak-kawan, 2003 dan Sugiyono, 2008). Adapun bentuk rancangan penelitian tersebut adalah sebagai berikut : Kelas
Pretest
Perlakuan
Postest
Eksperimen
-
X1
T2
Kontrol
-
-
T2
Keterangan : T2 : Postest X1 : Pembelajaran dengan strategi Peta Konsep dan Diagram Vee
6 2. Subjek Penelitian Subjek penelitian adalah siswa kelas XI IPA1 dan siswa kelas XI IPA2 SMA PGRI Lawang Malang. Kelas XI IPA 1 terdiri dari 40 siswa yaitu 26 siswa perempuan dan 14 siswa laki-laki. Kelas XI IPA 2 terdiri dari 38 siswa yaitu 26 siswa perempuan dan 12 siswa laki-laki. 3. Variabel Penelitian a. Variabel Bebas dalam penelitian ini adalah strategi pembelajaran. b. Variabel Terikat dalam penelitian ini adalah hasil belajar 4. Pengumpulan Data Pengumpulan data dalam penelitian ini dilakukan dengan langkahlangkah: 1) memberikan tes bekal ajar awal kepada kelas subjek penelitian untuk mengetahui pengetahuan awal siswa, 2) melaksanakan pembelajaran dengan strategi diagram Vee pada kelompok eksperimen dan penilaian dengan authentic assessment) selama proses pembelajaran dan pada akhir pembelajaran pada kelompok eksperimen dan kelompok kontrol, 3) memberi pos test kepada semua subjek penelitian menggunakan tes hasil belajar. 5. Teknik Analisis Data a. Deskripsi Data Deskripsi data dilakukan dengan statistik uji t (Subana dan Sudrajat,2005). b. Pengujian Hipotesis Sebelum melakukan uji hipotesis, terlebih dahulu dilakukan : 1). Uji Normalitas Sebaran Data a). Uji Kolmogorov-Smirnov (Hasan, 2004) dengan bantuan SPSS 10.00 for windows.
7 b). Kriteria pengujian Ho diterima jika Do < Dt atau populasi berdistribusi normal. c). Keputusan, jika pada taraf signifikansi α = 0,05 Do < Dt, berarti sampel X : berasal dari populasi berdistribusi normal. 2). Uji Homogenitas Varians Antar Kelompok a) Uji homogenitas yang digunakan pada penelitian ini adalah Uji Levene dengan bantuan SPSS 10.00 for windows. b). Kriteria : Ho diterima jika probabilitas > 0,05 atau H0 diterima bila Fhitung < FTabel c). Hipotesis : Ho = sampel berasal dari variasi yang sama (homogen) H1 = sampel berasal dari variasi yang tidak sama (tidak homogen) C. HASIL ANALISIS 1. Deskripsi Data a. Bekal Ajar Awal Siswa Data bekal ajar siswa diperoleh dengan soal-soal essay yang berhubungan dengan materi pelajaran kimia sebelumnya yaitu asam basa, pH asam basa dan kesetimbangan kimia. Dari perhitungan dengan SPSS 10.00 for windows diperoleh probabilitas signifikan 0,212 > 0,05 berarti H0 diterima. b. Data Penilaian Autentik 1). Lembar Tugas Siswa Untuk mempermudah siswa dalam mempelajari materi larutan penyangga maka siswa mengerjakan tugas-tugas dalam Lembar Tugas Siswa. Hasil dari Nilai Lembar Tugas Siswa menunjukan bahwa siswa-siswa pada kelompok eksperimen memiliki nilai rata-rata lembar tugas siswa yang lebih tinggi daripada nilai ratarata lembar tugas siswa kelompok kontrol disebabkan karena siswa pada
8 kelompok eksperimen lebih aktif berdiskusi dengan teman duduk terdekatnya untuk menyelesaikan soal-soal dalam lembar tugas siswa. Sedangkan siswa pada kelompok kontrol cenderung pasif, mengerjakan soal-soal secara individu. 2). Praktikum di Laboratorium Untuk data nilai praktikum di laboratorium terdapat perbedaan antara kelompok eksperimen dengan kelompok kontrol. Pada kelompok eksperimen terdapat pengambilan nilai saat siswa merancang percobaan sedangkan pada kelompok kontrol tidak ada kegiatan merancang percobaan. Dalam merancang percobaan siswa menghitung jumlah volume zat yang diperlukan untuk membuat larutan penyangga dengan pH larutan penyangga yang sudah diketahui dan menghitung masa zat yang diperlukan untuk membuat larutan penyangga. Hal yang penting pula, siswa pada kelompok eksperimen juga merancang percobaan dengan membuat peta konsep dan mengisi diagram Vee sebelum masuk laboratorium. Pada kelompok kontrol, siswa menerima petunjuk praktikum yang telah dibuat oleh guru. a). Merancang Percobaan Hampir semua siswa mendapat nilai 100 dalam merancang percobaan karena setelah siswa merancang percobaan, maka ada pembahasan bersama di kelas, kemudian siswa yang masih menjawab salah diberi kesempatan untuk membetulkan rancangan percobaan mereka. Siswa merancang percobaan berdasarkan petunjuk praktikum. Siswa menentukan volume larutan asam lemah dan basa konjugasi untuk membuat larutan penyangga asam yang sudah diketahui pHnya serta menentukan volume larutan basa lemah dan asam konjugasi untuk membuat larutan penyangga basa yang sudah diketahui pHnya.
9 Berdasarkan Penilaian Peta Konsep (dalam %) dapat dilihat bahwa siswa pada umumnya mampu membuat peta konsep larutan penyangga dengan persentase jumlah rata-rata sebesar 88,7%. Dengan membuat peta konsep maka siswa telah memahami konsep-konsep sebelum melakukan percobaan di laboratorium. b). Nilai Kinerja di Laboratorium (Performance Assessment) Data nilai kinerja di laboratorium dikumpulkan saat siswa melakukan percobaan di laboratorium dengan menggunakan penilaian check list. Yaitu meliputi penilaian mengambil dan memasukkan zat dalam tabung reaksi, mengukur dengan pH indikator universal, kebersihan, kerapian, membuat larutan penyangga asam, membuat larutan penyangga basa, dan menimbang zat dengan neraca. Data penilaian kinerja di laboratorium (Performance Assessment) dapat dilihat pada dilihat bahwa rata-rata kemampuan kinerja siswa di laboratorium kelompok eksperimen sedikit lebih tinggi dari kelompok kontrol. Berarti siswa kelompok eksperimen lebih terampil dalam mengikuti kegiatan praktikum. c). Nilai Laporan Nilai laporan percobaan yang disusun oleh siswa dapat dilihat terdapat perbedaan dalam membuat laporan praktikum pada kelompok eksperimen dengan kelompok kontrol. Pada kelompok eksperimen, siswa menyusun laporan praktikum dengan menggunakan Diagram Vee. Sedangkan pada kelompok kontrol, siswa menyusun laporan praktikum dengan laporan dengan petunjuk menyusun laporan dari guru. Adapun hasil penilaian secara rinci dari pengisian Diagram Vee oleh siswa kelompok eksperimen ditunjukkan dalam pertanyaan fokus adalah 100% karena
10 pertanyaan fokus tidak dibuat oleh siswa tetapi sudah disiapkan oleh peneliti. Untuk nilai pengisian Diagram Vee diperoleh rata-rata nilai 90,07% yang menunjukkan bahwa pada umumnya siswa mampu mengisi Diagram Vee pada materi larutan penyangga. Dari paparan nilai praktikum di laboratorium, maka dapat diperoleh ratarata nilai praktikum di laboratorium yang dapat diketahui bahwa rata-rata nilai praktikum di laboratorium pada kelompok eksperimen lebih tinggi daripada bahwa rata-rata nilai praktikum di laboratorium pada kelompok kontrol. Hal ini dapat dijelaskan bahwa siswa kelompok eksperimen dengan Peta Konsep dan Diagram Vee, dapat melakukan percobaan dengan menghubungkan antara konsep-konsep yang telah dipelajari dengan fakta-fakta yang diperoleh saat percobaan di laboratorium. d) Nilai Kuis Untuk mengetahui kemajuan belajar siswa pada materi larutan penyangga, peneliti memberikan kuis pada pertemuan ke 4. Data nilai kuis dapat dilihat bahwa nilai rata-rata kuis siswa kelompok eksperimen lebih tinggi dari nilai ratarata kuis siswa kelompok kontrol. Hal ini menunjukkan bahwa siswa kelompok eksperimen memiliki kemajuan belajar yang lebih tinggi dibandingkan dengan siswa kelompok kontrol. e) Nilai Keaktifan Siswa Untuk mengetahui keaktifan siswa saat pembelajaran di kelas, dilakukan penilaian dengan check list tentang aspek kognitif, keantusiasan, keseriusan dan kerajinan siswa. Nilai tentang keaktifan siswa dapat diketahui bahwa siswa kelompok eksperimen lebih aktif dalam pembelajaran di kelas dibandingkan
11 dengan siswa kelompok kontrol, hal ini dapat dilihat diantaranya bahwa siswa kelompok eksperimen selalu menunjukkan keaktifan untuk bertanya dan menjawab pertanyaan yang diajukan oleh siswa lain/guru, memperhatikan guru dan siswa lain yang memberikan pendapat, konsentrasi saat belajar di kelas, serius/tidak bercanda dengan teman dan mencatat hal-hal yang penting saat pembelajaran di kelas. c. Tes Tertulis Setelah siswa selesai menjalani pembelajaran materi larutan penyangga di kelas, maka dilakukan tes tertulis untuk mengetahui tingkat pemahaman siswa terhadap materi larutan penyangga. Tes tertulis terdiri dari soal-soal pilihan ganda dan soal-soal essay. Ada pun hasil tes tertulis dapat terlihat bahwa nilai tes tertulis siswa kelompok eksperimen lebih tinggi dibandingkan dengan siswa kelompok kontrol. d. Hasil Belajar Siswa Dari hasil penilaian autentik (authentic assessment) dapat diketahui hasil belajar siswa kelompok eksperimen dan kelompok kontrol dapat dilihat bahwa hasil belajar siswa kelompok eksperimen lebih tinggi dibandingkan dengan siswa kelompok kontrol. Namun demikian hal ini masih harus diuji melalui hipotesis secara statistik. Pengujian yang digunakan adalah uji t dengan bantuan SPSS 10.00 for windows untuk mengetahui apakah H0 atau H1 dapat diterima dalam perhitungan statistik. e. Data Persepsi Siswa Terhadap Pembelajaran dengan Strategi Peta Konsep dan Diagram Vee
12 Angket diberikan kepada siswa pada kelompok eksperimen. Angket menunjukkan persepsi siswa terhadap minat terhadap kimia, keingintahuan, kesiapan sebelum belajar di kelas, keaktifan, persiapan sebelum praktikum, prosedur kerja, manajemen waktu, pemahaman konsep dan kreativitas siswa dan untuk mengetahui persepsi siswa terhadap pembelajaran dengan strategi Peta Konsep dan Diagram Vee. Secara umum dari persentase persepsi siswa tersebut dapat diketahui bahwa persepsi siswa secara keseluruhan adalah sangat positif dan positif terhadap pembelajaran dengan strategi Peta Konsep dan Diagram Vee. Berdasarkan Hasil Persepsi Siswa Terhadap Pembelajaran dengan Strategi Peta Konsep dan Diagram Vee terlihat bahwa 21,94% siswa sangat setuju dan 52,18% siswa setuju bahwa strategi peta konsep dan diagram Vee sangat bermanfaat dalam kegiatan praktikum di laboratorium dan 22,37% berpendapat tidak setuju dan 3,52% sangat tidak setuju bila strategi peta konsep dan diagram Vee dapat membantu dalam kegiatan praktikum di laboratorium. 2. Analisis Data a. Uji Prasyarat Analisis Sebelum melakukan uji hipotesis terhadap data hasil belajar siswa yang diperoleh pada penelitian, maka dilakukan pengujian prasyarat analisis terlebih dahulu. Pengujian prasyarat analisis yang dilakukan adalah uji normalitas dan uji homogenitas. 1). Uji Normalitas Uji normalitas bertujuan untuk mengetahui sebaran data bekal ajar awal dan hasil belajar siswa kelompok eksperimen dan kontrol normal atau tidak.
13 Pengujian normalitas pada data ini dilakukan dengan menggunakan SPSS 10.00 for windows melalui uji kolmogorov smirnov. a) Bekal Ajar Awal Dari hasil uji normalitas bekal ajar awal menunjukan kelompok kontrol nilai probabilitas 0,26 sedangkan kelompok eksperimen 0,81 b) Hasil Belajar Siswa Dari hasil uji normalitas Hasil belajar siswa menunjukan kelompok kontrol nilai probabilitas 0,91 sedangkan kelompok eksperimen 0,94 Berdasarkan nilai probabilitas pada bekal ajar awal dan hasil belajar siswa dapat diketahui bahwa nilai propabilitas > 0,05 sehingga dapat ditarik kesimpulan bahwa sampel terdistribusi normal. Oleh karena itu dapat dianalisis lebih lanjut dengan uji t. 2). Uji Homogenitas Uji homogenitas bertujuan untuk mengetahui apakah varian dari data bekal ajar awal siswa dan data hasil belajar pada kelompok eksperimen dan kelompok kontrol homogen atau tidak. Dalam penelitian ini pengujian homogenitas dilakukan dengan bantuan SPSS 10.00 for windows yaitu dengan uji Lavene. a). Bekal Ajar Awal Dari Hasil Uji Homogenitas Bekal Ajar Awal Kelompok Kontrol dan Kelompok Eksperimen dapat diketahui bahwa pada kelompok eksperimen dan kelompok kontrol mempunyai nilai signifikan untuk uji Lavene lebih besar dari 0,05 berarti sampel homogen. b). Post tes
14 Dari Hasil Uji Homogenitas Hasil Belajar Siswa Kelompok Kontrol dan Kelompok Eksperimen dapat diketahui bahwa pada kelompok eksperimen dan kelompok kontrol mempunyai signifikan untuk uji Lavene lebih besar dari 0,05 berarti sampel homogen. b. Uji Perbedaan Tes Bekal Ajar Awal Uji t dapat dilihat pada bagian “independent samples test” pada kolom ttest. Berdasarkan hasil uji t data tes bekal ajar awal siswa diperoleh signifikan 0,21 > 0,05 dan thitung (1,26) < tTabel (1,99) berarti rata-rata tes bekal ajar awal siswa kelompok eksperimen dan rata-rata tes bekal ajar awal siswa kelompok kontrol adalah tidak berbeda secara signifikan. c. Uji Perbedaan Hasil Belajar Berdasarkan hasil uji t data hasil belajar siswa diperoleh t hitung sebesar 12,52 dan t Tabel sebesar 1,99 maka H0 ditolak dan H1 diterima yang berarti ada perbedaan hasil belajar antara siswa yang diajar dengan strategi Peta Konsep dan Diagram Vee dengan yang diajar dengan metode ceramah pada materi larutan penyangga. D. PEMBAHASAN ANALISIS 1. Keefektifan Penggunaan Strategi Peta Konsep dan Diagram Vee Terhadap Prestasi Belajar Kimia Dari hasil uji hipotesis dapat disimpulkan bahwa ada perbedaan yang signifikan antara hasil belajar siswa yang diajar dengan strategi Peta Konsep dan Diagram Vee dengan siswa yang diajar dengan metode ceramah. Nilai rata-rata hasil belajar siswa yang diajar dengan strategi Peta Konsep dan Diagram Vee sebesar 74,43 sedangkan rata-rata hasil belajar siswa yang diajar dengan metode
15 ceramah sebesar 61,69. Hal ini menunjukkan bahwa pembelajaran dengan strategi Peta Konsep dan Diagram Vee memberikan pengaruh yang positif pada hasil belajar siswa. Hal serupa juga dikemukakan oleh Iskandar (2005) menunjukkan bahwa
penerapan
strategi
Diagram
Vee
dapat
meningkatkan
kualitas
pembelajaran Laju Reaksi dan Kesetimbangan Kimia di kelas XI SMA Negeri 7 Malang. Ranah kognitif mengindikasikan kestabilan dari siklus I ke siklus II serta nilai rata-rata hasil belajar yang dicapai subjek penelitian masih melampui Standar Kenaikan Minimum (SKM), sedangkan ranah psikomotor menunjukkan penurunan siklus dari siklus I ke siklus II walaupun penurunan ini tidak menyebabkan nilai di bawah SKM dan ranah afektif menunjukkan peningkatan. Berdasarkan hasil pengamatan oleh peneliti, dapat diketahui bahwa pembelajaran dengan strategi Peta Konsep dan Diagram Vee lebih baik terhadap hasil belajar kimia pada materi larutan penyangga disebabkan oleh beberapa hal antara lain : ♦ Siswa yang diajar dengan strategi Peta Konsep dan Diagram Vee mempunyai minat terhadap kimia, sikap rasa ingin tahu dan keaktifan yang tinggi selama proses pembelajaran materi larutan penyangga. Siswa belajar dengan diawali menemukan konsep-konsep yang berhubungan dengan larutan penyangga, menyelesaikan tugas dalam lembar tugas siswa, berdiskusi dengan teman untuk memecahkan masalah tentang larutan penyangga. Dengan membuat Peta Konsep dan Diagram Vee siswa menyusun suatu konsep atau gagasan dengan struktur berjenjang, yaitu dari yang bersifat umum menuju yang bersifat khusus dilengkapi dengan garis-garis penghubung yang sesuai. Dengan peta konsep dapat diketahui tingkat pemahaman siswa. Dengan Peta
16 Konsep dan Diagram Vee siswa secara aktif memikirkan hubungan-hubungan di antara konsep-konsep yang akan dijadikannya peta konsep, sehingga dengan demikian pembelajaran tidak hanya sekedar menghapal konsep-konsep atau fakta-fakta sains. Setelah menyusun dan menghubungkan konsep-konsep, selanjutnya siswa membuat contoh dalam kehidupan sehari-hari agar pembelajaran menjadi makin bermakna. ♦ Dengan membuat Peta Konsep dan Diagram Vee dapat menghantarkan siswa untuk menemukan hubungan antara pengetahuan dan kerja ilmiah. Siswa dapat menghubungkan antara konsep-konsep yang telah diketahui dengan konsep-konsep yang dibangun melalui percobaan di laboratorium. Diagram Vee dapat menolong siswa untuk mengorganisasi berpikir mereka lebih baik, investigasi lebih efisien, dan menciptakan petunjuk untuk belajar. Lebih lanjut, Diagram Vee membuat siswa merasa lebih baik tentang diri mereka sendiri karena mereka dalam kontrol belajar mereka sendiri dan mengetahui apa yang mereka kerjakan. ♦ Dengan membuat Peta Konsep dan Diagram Vee memberi kemudahan bagi siswa dalam melakukan percobaan di laboratorium, karena mereka telah mempersiapkan diri merancang percobaan sebelum masuk laboratorium, sehingga siswa lebih mudah memahami konsep dan prosedur percobaan sehingga siswa mengetahui dan memahami tahap demi tahap apa yang harus dikerjakan dalam kegiatan praktikum di laboratorium. Dengan membuat Peta Konsep dan Diagram Vee siswa juga dapat meningkatkan pemahaman siswa tentang materi larutan penyangga sehingga hasil belajar siswa pada materi larutan penyangga meningkat.
17 ♦ Pembelajaran dengan strategi Peta Konsep dan Diagram Vee meningkatkan keaktifan siswa dalam proses pembelajaran, siswa aktif memunculkan masalah/ide, aktif bertanya/menjawab pertanyaan saat diskusi, mendengarkan dan memperhatikan guru dan siswa lain yang mengemukakan ide dan siswa aktif menggali informasi dalam membangun sendiri konsep-konsep kimia melalui pengalamannya. ♦ Pembelajaran dengan strategi Peta Konsep dan Diagram Vee siswa tidak hanya sekedar menghapal konsep-konsep, siswa membangun pengetahuan sendiri sehingga belajar menjadi lebih bermakna dan tidak mudah dilupakan. 2. Data Kemampuan Praktikum di Laboratorium Penilaian kinerja (performance assessment) yang diamati selama proses pembelajaran dengan penilaian check list yaitu meliputi penilaian mengambil dan memasukkan zat dalam tabung reaksi, mengukur dengan pH indikator universal, kebersihan, kerapihan, membuat larutan penyangga asam, membuat larutan penyangga basa, dan menimbang zat dengan neraca. Dari hasil pengamatan yang dilakukan oleh peneliti dan dua orang obsever yang membantu diperoleh ketercapaian setiap indikator untuk kelompok eksperimen dan kelompok kontrol dapat terlihat bahwa siswa yang diajar dengan strategi Peta Konsep dan Diagram Vee lebih terampil dalam melakukan kegiatan praktikum. Keterampilan ini ditunjang oleh keaktifan dan minat siswa yang besar terhadap pelajaran kimia. Dengan strategi Peta Konsep dan Diagram Vee siswa dapat mengumpulkan faktafakta dan meningkatkan kemampuan kinerja siswa. Dari rata-rata nilai siswa saat praktikum di laboratorium pada kelompok eksperimen lebih tinggi daripada rata-rata nilai siswa saat praktikum di
18 laboratorium pada kelompok kontrol. Hal ini dapat dijelaskan bahwa siswa kelompok eksperimen dengan strategi Peta Konsep dan Diagram Vee, dapat melakukan praktikum dengan menghubungkan antara konsep-konsep yang telah dipelajari dengan fakta-fakta yang diperoleh saat praktikum di laboratorium. 3. Persepsi siswa terhadap Pembelajaran Kimia Menggunakan Strategi Peta Konsep dan Diagram Vee Hasil analisis deskripsi angket siswa terhadap strategi Peta Konsep dan Diagram Vee adalah : a.
Minat terhadap Kimia
Pembelajaran dengan strategi Peta Konsep dan Diagram Vee meningkatkan minat yang besar pada diri siswa untuk belajar kimia. 57,5% siswa menyatakan setuju terhadap setiap pernyataan. Dampak dari minat yang besar terhadap pembelajaran kimia ditunjukkan dengan selalu hadir pada pelajaran kimia, senang mengerjakan soal-soal kimia dan berusaha mengerjakan soal-soal kimia sebaik-baiknya. b.
Keingintahuan
Keingintahuan siswa meningkat dengan penerapan strategi Peta Konsep dan Diagram Vee. 57,5% siswa menyatakan setuju pada setiap pernyataan. Siswa senang berdiskusi dan belajar kelompok dalam mengerjakan tugas-tugas kimia, selalu mencari informasi/pengetahuan tentang kimia dari perpustakaan dan atau internet. Untuk meningkatkan wawasan siswa memiliki buku kimia lebih dari satu. c.
Kesiapan
Dengan penerapan strategi Peta Konsep dan Diagram Vee maka kesiapan siswa sebelum menerima pelajaran meningkat, hal ini ditunjukkan dengan 46,25% siswa
19 menjawab setuju pada setiap pernyataan. Siswa selalu mempersiapkan diri dengan membaca dan menyusun pertanyaan sebelum pelajaran kimia dimulai. Siswa juga berusaha memahami kimia dimana saja untuk meningkatkan pemahaman mereka. Hal ini sesuai dengan karakteristik pembelajaran dengan strategi Peta Konsep dan Diagram Vee sebagai salah satu pembelajaran konstruktivis. d.
Persiapan sebelum praktikum
Dengan penerapan strategi Peta Konsep dan Diagram Vee siswa dapat mempersiapkan diri sebelum melakukan percobaan di laboratorium. Hal ini ditunjukkan dari 41,67% siswa menjawab setuju pada setiap pernyataan. e.
Prosedur kerja
Dengan penerapan strategi Peta Konsep dan Diagram Vee siswa telah mengetahui tahap demi tahap prosedur yang akan dilakukan di laboratorium. 52% siswa menjawab setuju pada setiap pernyataan. Dengan strategi Peta Konsep dan Diagram Vee siswa lebih percaya diri dan siap untuk melakukan praktikum di laboratorium. Siswa terdorong untuk membaca dan memahami prosedur sebelum kegiatan dimulai di laboratorium. Siswa memahami tahap demi tahap apa yang harus dilakukan saat praktikum di laboratorium. f.
Manajemen waktu
Dengan membuat Peta Konsep dan Diagram Vee siswa dapat memanajemen waktu. Siswa menganggap bahwa dengan strategi Peta Konsep dan Diagram Vee, selain memahami prosedur percobaan, siswa juga dapat menghemat waktu saat bekerja di laboratorium karena mereka dapat bekerja dengan urut dan efisien. Hal ini ditunjukkan dengan 30% siswa menjawab setuju. g.
Pemahaman konsep
20 Siswa menyatakan bahwa dengan membuat Peta Konsep dan Diagram Vee dapat lebih mudah memahami dan mempelajari materi larutan penyangga, konsep larutan penyangga mudah diingat dan bertahan lama dan meningkatkan prestasi belajar siswa. Hal ini ditunjukkan dengan 71,67% siswa menjawab setuju pada setiap pernyataan. h.
Kreativitas siswa
Dengan penerapan strategi Peta Konsep dan Diagram Vee dapat meningkatkan kreativitas siswa yang ditunjukkan dari 56% siswa menjawab setuju pada setiap pernyataan. i.
Penilaian terhadap penerapan model pembelajaran dengan strategi Peta
Konsep dan Diagram Vee Siswa menunjukkan sikap 52,18% setuju strategi Peta Konsep dan Diagram Vee diterapkan pada pembelajaran kimia karena sangat berbeda dengan metode yang biasa digunakan oleh guru di kelas yaitu metode ceramah. Siswa menyukai penerapan strategi Peta Konsep dan Diagram Vee dan menghendaki agar strategi Peta Konsep dan Diagram Vee diterapkan pada pembelajaran kimia yang ada praktikumnya. Dengan strategi Peta Konsep dan Diagram Vee membuat siswa mudah mengikuti kegiatan belajar mengajar di kelas. E. PENUTUP 1. Kesimpulan Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan yang telah diuraikan sebelumnya, dapat dikemukakan beberapa kesimpulan dari penelitian ini sebagai berikut :
21 a. Hasil belajar siswa pada materi larutan penyangga yang menggunakan strategi Peta Konsep dan Diagram Vee lebih baik jika dibandingkan hasil belajar siswa yang menggunakan metode ceramah yaitu rata-rata nilai untuk kelompok eksperimen adalah 74,43, sedang rata-rata nilai untuk kelompok kontrol adalah 65,04. b. Siswa yang menggunakan strategi Peta Konsep dan Diagram Vee memiliki rata-rata nilai yang lebih baik saat praktikum di laboratorium dibandingkan rata-rata nilai siswa saat praktikum di laboratorium tanpa strategi Peta Konsep dan Diagram Vee. c. Siswa memberikan persepsi sangat positif sebesar 47,5% dan positif sebesar 52,5% (sangat bermanfaat) terhadap penggunaan strategi Peta Konsep dan Diagram Vee dalam kegiatan praktikum di laboratorium. 2. Saran Berdasarkan hasil penelitian dan kesimpulan yang telah diuraikan di atas maka pada bagian ini dikemukakan beberapa saran sebagai berikut: a. Para guru disarankan menerapkan strategi Peta Konsep dan Diagram Vee dalam kegiatan praktikum di laboratorium pada materi kimia dengan materi pokok yang berbeda. b. Mengacu pada kajian pustaka, perlu dikembangkan penilaian autentik (authentic assessment) lebih lanjut sampai pada tahap remidial sehingga siswa dapat memenuhi standar kompetensi yang ditetapkan sebelumnya. DAFTAR PUSTAKA
_________ Tanpa Tahun. Authentic Assessment Overview. Pearson Education Development Group http://www.teachervision.fen.com/teachingmethods/educational-testing/4911.html Diakses 27 Februari 2007
22
Alvarez, M.C. 2004. Teaching and Learning. Diakses lewat: http://explorers.tsuniv.edu/veeweb/ Arifin, M. 2005. Strategi Belajar Mengajar Kimia. Malang : UM Press. Astuti, R.N. 2003. Keefektifan Strategi Menggunakan Peta Konsep dalam Pengajaran ditinjau dari Prestasi dan Retensi Belajar Siswa Kelas II SMUN 4 Malang pada Materi Laju Reaksi. Tesis tidak diterbitkan. Malang: Program Pascasarjana Universitas Negeri Malang. Busnawir dan Suhaena. 2004. Pengaruh Penilaian Berbasis Portofolio terhadap Hasil Belajar dengan Mempertimbangkan Kemandirian Belajar Siswa (Eksperimen pada Siswa SMP Negeri 44 Jaktim). Jakarta : Jurnal Pendidikan dan Kebudayaan. Edisi Khusus. Desember 2006. 88-107. Depdiknas Dirjen Dikdasmen Direktorat Pendidikan Lanjutan Pertama. 2002. Pendekatan Kontekstual (Contextual Teaching and Learning). Drost, J.SJ. 2005. Dari KBK (Kurikulum Berbasis Kompetensi) Sampai MBS (Manajemen Berbasis Sekolah). Jakarta: Penerbit Buku Kompas. Ebenezer, J.V. 1992. Making Chemistry Learning More Meaningful. Journal of Chemical Education. Juni Volume 69 No.6 p.464-467. Fajaroh, F., Mardianto, D., Kartini, R. 2001. Penggunaan Peta Konsep untuk Meningkatkan Pemahaman Konsep Mol Siswa Kelas I SMU Laboratorium Malang. Media Komunikasi Kimia. Jurnal Ilmu Kimia dan Pembelajarannya No.1 Tahun 5 Februari. Malang : Jurusan Kimia FMIPA Universitas Negeri Malang. Hasan, I. 2004. Analisis Data Penelitian Dengan Statistik. Jakarta : Bumi Aksara Hawkes, J.S. 1996. Buffer Calculations Deceive and Obscure. Journal The Chemical Educator 1/Vol.1 No.6. http://journals.springer-ny.com/chedr. Diakses 4 September 2007 Ibnu, S., Mukhadis, A., Dasna, I.W. 2003. Dasar-dasar Metodologi Penelitian. Malang : Universitas Negeri Malang. Iskandar, S.M. 2004. Strategi Pembelajaran Konstruktivistik dalam Kimia. Malang : Universitas Negeri Malang FMIPA Jurusan Kimia. Iskandar, S.M. 2005. Penelitian Tindakan Kelas : Memperbaiki Kualitas Pembelajaran Laju Reaksi dan Kesetimbangan Kimia di Kelas XI SMA Negeri 7 Malang Menggunakan Peta Konsep dan DiagramVee. Malang : Fakultas MIPA Universitas Negeri Malang.
23 Johari, J.M.C dan Rachmawati, M. 2003. Kimia SMU Jilid 3. Jakarta : ESIS Erlangga. Mackinnu. 2006 Asesmen Otentik. Malang : Fakultas MIPA Jurusan Kimia UM. Makalah disampaikan dalam Seminar Jurusan Kimia Fakultas MIPA Universitas Negeri Malang. Nakhleh, M.B. 1992. Why Some Students Don’t Learn Chemistry. Journal of Chemical Education, Volume 69 No.3 (191-196). Nelson, M. 1996. An Analysis of Elementary Education Majors’ Progress With Vee Diagramming. Diakses 5 September 2007. www.ed.psu.edu/CI/journals/96pap45.htm%20Vee.htm Novak. 2001. Novak’s Theory of Education : Human Constructivism and Meaningful Learning, Journal Chemical Education, Agustus 2001 Vol.78 No.8 p.1107. Novrianto, A.D. 2000. Keefektifan Strategi Pengajaran Menggunakan Peta Konsep ditinjau dari Prestasi dan Retensi Belajar Siswa Kelas II SMUN 7 Malang Pada Materi Senyawa Karbon Tesis tidak diterbitkan. Malang: Program Pascasarjana Universitas Negeri Malang. Passmore, G.G. 1998. Using Vee Diagrams to Facilitate Meaningful Learning and Misconception Remediation in Radiologic Technologies Laboratory Education. Radiologic Science and Education 4(1), 11 – 28. diakses lewat: http://www.aers.org/V4N1PASSMORE.html Puckett, M.B. & Black, J.K. 2000. Authentic Assessment of The Young Child, Celebrating Development and Learning. USA : Prentice Hall. Purtadi, S & Sari, L.P., 2005. Diagram Vee Sebagai Alternatif Bentuk Praktis Laporan Praktikum Kimia. Makalah disampaikan pada Seminar Nasional FMIPA UNY Tanggal 8 Februari 2005. Puskur. 2003. Standar Kompetensi Mata Pelajaran Kimia SMA dan MA. Jakarta: Depdiknas. Ricard, I.A. 1997. Classroom Instruction and Management. USA : Mc Graw Hill Risnaidi. 2006. Keefektifan Strategi Peta Konsep dan Diagram Vee dalam Pembelajaran Kimia ditinjau dari Proses dan Hasil Belajar Siswa. Tesis tidak diterbitkan. Malang: Program Pascasarjana Universitas Negeri Malang. Roth & Bowen. 1993. The Unfolding Vee, Creative Student Discoveries Can Unfold if Guided by Vee Maps. Diakses 4 September 2007. http://www.educ.uvic.ca/faculty/mroth/teaching/445/MiddleVee.htm
24
Rusmansyah. 2001. Meningkatkan Pemahaman Siswa Terhadap Konsep Kimia Karbon Melalui Strategi Peta Konsep (Concept Mapping). Jakarta : Jurnal Pendidikan dan Kebudayaan. Mei 2003, Tahun Ke-9 No.042. 348-361 Sanjaya, W. 2006a. Pembelajaran dalam Implementasi Kurikulum Berbasis Kompetensi. Jakarta : Kencana Prenada Media. Sanjaya, W. 2006b. Strategi Pembelajaran Berorientasi Standar Proses Pendidikan. Jakarta : Kencana Prenada Media. Saragih, S. 2007. Upaya Memperbaiki Miskonsepsi Pembelajaran Analisis Real Melalui Pengajaran Remidial Dengan Bantuan Media Peta Konsep dan Tutor Sebaya. Jakarta : Jurnal Pendidikan dan Kebudayaan. Edisi khusus. Tahun ke-13. Agustus 2007. 112-127. Shepardson, D.P. & Jackson,V. 1997. Developing Alternative Assessment Using The Benchmarks. www.nsta.org/main/news/pdf/sc9710_34.pdf Diakses 4 September 2007. Slameto. 1991. Proses Belajar Mengajar dalam Sistem Kredit Semester (SKS). Jakarta : Bumi Aksara. Subana dan Sudrajat. 2005. Dasar-dasar Penelitian Ilmiah. Bandung : Pustaka Setia. Sudjana, N. 2005. Dasar-dasar Proses Belajar Mengajar. Bandung : Sinar Baru Algensindo Sugiyono. 2008. Metodologi Penelitian Pendidikan. Bandung : Alfabeta. Susilowati, E. 2003. Pengembangan Pembelajaran Kimia Menggunakan Pendekatan Siklus Belajar Dengan Model 5-E Untuk Meningkatkan Pemahaman Konsep-konsep Kesetimbangan Fase. Penelitian Tindakan Kelas Dibiayai Oleh Dikti Depdiknas. Surakarta: FKIP Universitas Sebelas Maret. Swami, P. & Shields, R. 2006. Gowin’s Knowledge Vee : Using To Improve Preservice Teachers Ability For Conducting and Directing Science Investigations. Diakses 4 September 2007. http://theaste.org/proceedings/2006proceedings/Swami%201%20.htm Thiessen, R. 1993. The vee diagram: A Guide for Problem Solving. Aims Newsletter. May/June 1993. Tuckman, B.W. 1999. Conducting Educational Research. Fifth Edition. New York: Harcourt Brace College Publisher.
25 Waras. 1997. Menuju Pembelajaran yang Berperspektif Konstruktivis. Jurnal Teknologi Pembelajaran. Tahun 5. Nomor 1. April 1997 22-28 Weber, E. 1999. Student Assessment That Works, A Practical Approach. USA : Allyn and Bacon. Widodo, A. 2007. Konstruktivisme dan Pembelajaran Sains. Jakarta : Jurnal Pendidikan dan Kebudayaan. Januari 2007. Tahun ke-13. Nomor. 064. 91105. Winahyu, S.E.; Kartini, H. dan Sukamti. 1999. Penerapan Penilaian Kinerja Siswa dalam Pembelajaran IPA SD Kelas V (Penelitian Tindakan di SD Laboratorium IKIP Malang). Jurnal Penelitian Pendidikan. Tahun 9. Nomor 1. Juni 1999. 81-92 Wonoraharjo, S. 2006. Filosofi Konstruktivisme dalam Pembelajaran Kimia. Malang : Universitas Negeri Malang FMIPA Jurusan Kimia.
1
KEEFEKTIFAN MODEL PEMBELAJARAN PADUAN PROBLEM SOLVING DAN KOOPERATIF TIPE STAD UNTUK MENINGKATKAN HASIL BELAJAR DAN KETERAMPILAN BERPIKIR KRITIS SISWA KELAS XI IPA
Devita Sulistiana, S.Si Program Pascasarjana, Universitas Negeri Malang
ABSTRAK Kata kunci: problem solving, model belajar kooperatif, hasil belajar, berpikir kritis. Penelitian ini mengkaji keefektifan model pembelajaran paduan problem solving (PS) dan kooperatif tipe STAD jika dibandingkan dengan model pembelajaran problem solving (PS) atau kooperatif tipe STAD secara terpisah untuk meningkatkan hasil belajar dan berpikir kritis siswa kelas XI IPA pada pokok materi hidrolisis garam. Diharapkan dampak dari interaksi sifat-sifat positif kedua model pembelajaran (PS dan Kooperatif tipe STAD) tersebut dapat meningkatkan keefektifan belajar. Dari hasil penelitian diketahui bahwa: (1) hasil belajar siswa kelas PS-STAD lebih baik daripada kelas PS ataupun kelas STAD, (2) berpikir kritis siswa kelas PS-STAD lebih baik daripada kelas PS ataupun kelas STAD (3) Persepsi siswa terhadap penerapan pembelajaran PS-STAD secara umum adalah positif.
I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Dalam kurikulum nasional yang disempurnakan pada tahun 2006, standarisasi masukan dan proses pembelajaran tidak diartikan sebagai suatu penyeragaman nasional, tetapi lebih merupakan penyatuan kerangka dalam diversifkasi sistem pendidikan. Standarisasi meliputi berbagai aspek masukan sistem pendidikan, dan menjadi kriteria minimum yang harus dipenuhi aspek masukan sistem pendidikan. Standar tersebut meliputi standar isi, proses, kompetensi lulusan, pendidik dan tenaga kependidikan, sarana dan prasarana, pengelolaan, pembiayaan, dan penilaian
2
pendidikan. Fokus dari standar pendidikan diarahkan untuk menghasilkan kompetensi lulusan yang bermutu, baik kompetensi akademik, kompetensi praktis-vokasional, maupun kompetensi kepribadian sebagai individu dan makhluk sosial. Pendidikan berbasis standar menggeser arah kurikulum dari pertanyaan tentang apa yang harus diajarkan menjadi apa yang harus dikuasai anak didik pada akhir setiap jenjang pendidikan. (Sriwidati, 2006). Salah satu upaya yang dapat dilakukan guru adalah perbaikan model dalam pembelajaran dan pendekatan pembelajaran yang sesuai dengan kompetensi yang harus dikuasai siswa. Kimia merupakan salah satu pelajaran yang dianggap sulit dan menjadi momok bagi sebagian siswa. Hasil penelitian Wiseman (1981) dan Nakhleh (1992) menunjukkan bahwa kebanyakan siswa mudah mempelajari mata pelajaran lain tetapi mengalami kesulitan dalam memahami konsep-konsep dan prinsip kimia. Kurangnya minat dan motivasi siswa dalam mempelajari kimia merupakan salah satu penghambat keberhasilan pembelajaran. Sebagaimana dikemukakan oleh Andreas (1995) bahwa penyebab peserta didik merasa bosan di kelas dan tidak tertarik pada pelajaran kimia adalah ketidaktahuan mereka mengenai kegunaan kimia dalam kehidupan sehari-hari. Guru kimia selalu mengajar dengan metode ceramah yang hanya menekankan pada ketuntasan materi tanpa memperdulikan ketuntasan belajar siswa, sarana laboratorium yang tidak memadahi, serta metode pembelajaran yang kurang bervariasi yang hanya berpegang pada buku/diktat
(text book oriented)
merupakan faktor penyebab kurangnya minat siswa dalam pelajaran kimia. Dengan adanya pembaharuan pendidikan dari paradigma behaviorisme yang mengacu pada teacher centered teaching bergeser menuju ke paradigma
3
konstruktivisme yang mengacu pada peran guru sebagai fasilitator belajar dan siswa sebagai pebelajar yang aktif (student centered teaching), maka pembaharuan pembelajaran kimia pada dasarnya dimulai dari bagaimana cara siswa belajar dan bagaimana cara guru mengajar, yang pada gilirannya adalah bagaimana cara siswa mengkontruksi pengetahuan. Berdasarkan pandangan itulah, maka semua itu dapat dilakukan
dengan
menggunakan
suatu
model
pembelajaran
yang bersifat
konstruktivistik (Rahayu: 2002). Model pemecahan masalah (problem solving) merupakan salah satu model pembelajaran yang bersifat kontruktivistik yang melibatkan siswa secara aktif sehingga memungkinkan terjadinya proses kontruksi pengetahuan dengan baik sehingga akan dapat meningkatkan pemahaman materi yang diberikan kepada siswa. Model pembelajaran pemecahan masalah (problem solving) tidak dirancang untuk menjelaskan secara langsung bagaimana cara memecahkan masalah, tetapi strategi ini dirancang untuk membantu proses pemecahan masalah sesuai dengan langkahlangkah yang dimilikinya sehingga dapat mengembangkan proses berfikir siswa, teknik pemecahannya dapat dilaksanakan secara berkelompok atau individual, dapat dikerjakan di dalam kelas atau sebagai tugas di luar kelas (Mayer dalam Tumurang, 2000 dan Arifin, 1995). Ilmu kimia yang mengandung banyak konsep abstrak mengharuskan siswa untuk dapat memahaminya dengan baik. Pembelajaran kooperatif merupakan bentuk pembelajaran yang dapat membantu siswa dalam memahami konsep-konsep yang sulit. Burn & Geavws dan Slavin & Madden (dalam Slavin, 1995) menyatakan bahwa dalam pembelajaran kooperatif siswa akan terdorong untuk menemukan dan
4
memahami konsep-konsep yang sulit apabila mereka dapat saling mendiskusikan masalah-masalah tersebut dengan temannya. Pada penelitian ini peneliti akan menggunakan model pembelajaran paduan (kolaborasi) antara metode pemecahan masalah (problem solving) dan pembelajaran kooperatif model STAD, dengan alasan: (1) model pemecahan masalah (problem solving) dan model pembelajaran kooperatif merupakan suatu model pembelajaran kontruktivistik yang dapat meningkatkan motivasi dan pemahaman siswa dalam mempelajari kimia; (2) model pemecahan masalah (problem solving) dan model pembelajaran kooperatif merupakan cara yang tepat untuk memulai mengubah pembelajaran yang berpusat pada guru ke pembelajaran yang berpusat pada siswa, dengan model pembelajaran kooperatif ini memungkinkan siswa yang kurang pandai dapat terbantu oleh siswa yang lebih pandai, sehingga ketakutan terhadap kegagalan menjadi berkurang, sehingga akan meningkatkan keberanian mereka untuk aktif dalam pembelajaran; (3) kemampuan bekerjasama dari siswa dalam kelompok pada model pembelajaran kooperatif dalam memecakan masalah (problem solving) merupakan tuntutan pembelajaran agar mendapatkan pengalaman belajar life skill yang akan berguna dalam kehidupan bermasyarakat dimasa sekarang maupun dimasa yang akan datang; dan (4) model pembelajaran kooperatif dapat meningkatkan rasa percaya diri siswa karena dengan belajar bersama dan saling membantu maka semakin berkuranglah ketakutan siswa terhadap anggapan bahwa pelajaran kimia itu sulit. Hasil belajar dan keterampilan berpikir kritis adalah dampak positif yang diharapkan dari model pembelajaran paduan (problem solving dan kooperatif ) ini. Hasil belajar merupakan hasil dari suatu interaksi tindak belajar dan mengajar. Dari
5
sisi guru, tindak mengajarnya diakhiri dengan proses evaluasi hasil belajar. Hasil belajar di satu sisi merupakan akibat tindakan guru sebagai pencapaian tujuan pengajaran. Pada pembagian lain merupakan peningkatan kemampuan mental siswa. Penggunaan model pemecaan masalah (problem solving) dan kooperatif model STAD pada penelitian ini akan diterapkan pada pokok bahasan hidrolisis. Alasan yang melatarbelakangi pemilihan pokok bahasan hidrolisis karena merupakan salah satu materi yang memerlukan penyelidikan, khususnya pada penentuan sifatsifat larutan garam. Materi hidrolisis yang saling berhubungan satu dengan lainnya menuntut siswa untuk dapat terlebih dahulu memahami konsep dasar hidrolisis. 1.2 Rumusan Masalah (1) Apakah penerapan model pembelajaran paduan problem solving dan kooperatif tipe STAD lebih efektif dalam meningkatkan hasil belajar siswa jika dibanding dengan siswa yang diajar dengan menggunakan metode problem solving ataupun kooperatif tipe STAD saja pada pokok materi hidrolisis? (2) Apakah penerapan model pembelajaran paduan problem solving dan kooperatif tipe STAD lebih efektif dalam meningkatkan keterampilan berpikir kritis siswa jika dibanding dengan siswa yang diajar dengan menggunakan metode problem solving ataupun kooperatif tipe STAD saja pada pokok materi hidrolisis? (3) Bagaimanakah persepsi siswa terhadap penerapan model pembelajaran paduan problem solving dan kooperatif tipe STAD pada pokok materi hidrolisis? 1.3 Rancangan Penelitian Penelitian ini dilaksanakan dengan rancangan eksperimen semu. Dalam penelitian ini ditetapkan tiga kelompok kelas sebagai sampel penelitian yang
6
semuanya merupakan kelompok eksperimen. Dalam penelitian ini akan dibuat kesimpulan tentang perbedaan pengaruh metode A (problem solving), metode B (kooperatif tipe STAD) dan paduan metode A dan B. Kelas pertama (R1) akan diajar dengan menggunakan metode problem solving (X1), kelas kedua (R2) akan diajar dengan menggunakan metode kooperatif tipe STAD (X2), dan kelas ketiga (R3) akan diajar dengan menggunakan metode pembelajaran paduan problem solving-kooperatif tipe STAD (X3). Dengan demikian rancangan penelitiannya dapat digambarkan sebagai berikut: Tabel 1. Skema Rancangan Eksperimen Semu.
Kelas R1 R2 R3
Keterangan:
Perlakuan X1 X2 X3
Pos Tes 01 02 03
X1 = perlakuan pembelajaran model PS (Problem Solving) X2 = perlakuan pembelajaran model pembelajaran kooperatif tipeSTAD X3 = perlakuan pembelajarn model pembelajaran PS-Kooperatif tipe STAD O1 = skor postes kelompok kelas pada model pembelajaran PS O2 = skor postes kelompok kelas pada model pembelajaran kooperatif tipe STAD O3 = skor postes kelompok kelas pada model pembelajaran PSkooperatif tipe STAD
1.4 Sampel Penelitian Sampel penelitian ini adalah siswa kelas XI IPA SMA Negeri 4 Malang yang terbagi dalam tiga kelas. Penentuan kelompok kelas ditentukan secara acak,
7
kelas pertama yang terpilih sebagai kelompok 1 yang akan diajar dengan metode problem solving (PS), kelompok kedua akan diajar dengan metode kooperatif tipe STAD, dan kelompok tiga yang terpilih akan diajar dengan metode paduan PSkooperatif tipe STAD. II. ISI 2.1 Hasil Analisis Terhadap Hasil Belajar Siswa Penelitian ini bertujuan untuk menguji keeefektifan model pembelajaran problem solving dengan seting kooperatif tipe STAD untuk meningkatkan hasil belajar dan kemampuan berpikir kritis pada materi hidrolisis garam, dibandingkan dengan model pembelajaran problem solving (dengan seting individu), dan model pembelajaran kooperatif tipe STAD. Hasil pengujian terhadap data yang dihasilkan dan diuji secara statistik memperlihatkan bahwa model pembelajaran problem solving dengan seting kooperatif tipe STAD lebih efektif dalam meningkatkan hasil belajar dan kemampuan berpikir kritis siswa pada materi hidrolisis garam jika dibandingkan dengan model pembelajaran problem solving dan kooperatif tipe STAD, namun berdasarkan uji LSD (beda nyata terkecil) ketiga model pembelajaran tersebut berbeda secara nyata. Selanjutnya untuk mengukur keefektifan model pembeljarn pduan PS-Kooperatif STAD dalam mengukur tingkat pemahaman siswa (hasil belajar) dibandingkan dengan kelas problem solving, dan kelas kooperatif STAD adalah sebagai berikut: 2.1.1
Kelas Problem Solving (PS) versus PS-Kooperatif STAD Hasil penelitian ini menyimpulkan bahwa siswa yang diajar dengan
menggunakan model pembelajaran paduan problem solving yang diseting secara
8
kooperatif tipe STAD memberikan hasil belajar lebih tinggi dibandingkan dengan siswa yang diajar dengan model pembelajaran problem solving yang diseting secara individu. Hal ini membuktikan bahwa model pembelajaran problem solving yang diseting secara kooperatif dapat memberikan kekuatan yang mampu mendukung pada peningkatan hasil belajar dan kemampuan berpikir kritis dan membangun peran aktif belajar siswa. Dengan menggabungkan model pembelajaran problem solving dengan model pembelajaran yang sinergi, dalam hal ini adalah model pembelajaran kooperatif maka diharapkan pembelajaran akan berlangsung lebih efektif. Seperti kita ketahui bahwa model pembelajaran pemecahan masalah (problem solving) dimaksudkan memfokuskan pada siswa agar mampu untuk memahami masalah, mengidentifikasi jalan/cara mengerjakan masalah, merencanakan bagaimana caranya terbaik mengerjakan masalah, menggunakan rencana itu untuk mencoba memecahkan masalah, dan memeriksa jika masalah sudah dipecahkan. Seting kooperatif yang dilakukan dalam proses pemecahan masalah dimaksudkan agar siswa dapat saling membantu sesama anggota kelompoknya apabila mengalami kesulitan, sehingga pemecahan masalah lebih mudah diselesaiakan. Dengan interaksi kooperatif akan memungkinkan siswa menjadi sumber belajar bagi sesamanya. Konsep ini dikembangkan dari teori Vigotsky yang menyatakan bahwa siswa belajar konsep paling baik apabila konsep itu berada dalam zona perkembangan terdekat mereka. Siswa bekerja pada zona perkembangan terdekatnya pada saat mereka terlibat dalam tugas-tugas yang tidak dapat diselesaikan sendiri, tetapi dapat diselesaikan bila dibantu oleh teman sebayanya (Slavin, 1995). Cooper (dalam Azizah, 2003) mengatakan bahwa dengan pembelajaran kooperatif siswa akan bertanggung jawab
9
terhadap proses belajarnya, terlibat secara aktif dan memiliki usaha yang lebih besar untuk berprestasi. Selain itu adanya interaksi antar siswa juga mendukung prestasi belajar. Hal ini juga disebabkan pembelajaran kooperatif memungkinkn siswa lebih banyak belajar dari teman dibandingkan dari guru (Slavin, dalam Azizah 2003). Berdasarkan hasil pengujian diketahui bahwa antara model PS-STAD dengan model PS memberikan perbedaan yang cukup signifikan yang ditunjukkan dari hasil perolehan skor rata-rata hasil belajar dan kemampuan berpikir kritis, yakni kelas PS-STAD dengan skor rata-rata 77,974 sementara kelas PS dengan skor ratarata 69,143. Hasil belajar siswa ditunjukkan oleh persentase rata-rata tingkat pamahaman (C2) dan penerapan (C3) pada Tabel 2. (persentase pencapaian materi) menunjukkan bahwa siswa yang diajar dengan model pembelajaran problem solving dengan seting kooperatif tipe STAD menunjukkan hasil yang lebih tinggi. Tabel 2. Persentase Pencapaian Materi Aspek yang diukur (indikator) Menentukan jenis-jenis larutan garam berdasarkan asam-basa penyusunnya dari data percobaan sebelumnya. Mengelompokkan beberapa garam berdasarkan jenisnya. Menentukan jenis-jenis garam yang dapat terhidrolisis. Menyebutkan contoh garam yang terhidrolisis dan menjelaskan alasannya. Menghitung pH larutan garam dari [OH-] dan [H+]
% Pencapaian STAD PS-STAD
Nomor Soal
PS
1, 2a, 2b
86,31
85,91
89,53
3, 4, 5
71,03
74,8
76,92
6a, 6b, 6c, 7
59,97
64,29
68,43
10
Pertanyaan yang muncul dalam hal ini adalah apakah kelebihan model PSSTAD jika dibandingkan dengan model PS dalam hal pencapaian hasil belajar dan kemampuan berpikir kritis?. Pada kelas PS-STAD siswa terbagi dalam kelompok STAD dimana anggota kelompok terbagi secara heterogen berdasarkan nilai hasil belajar (kemampuan awal). Pada kelas ini siswa belajar dalam proses poblem solving (penyelesaian masalah), bekerjasama (diskusi kelompok), mengumpulkan bukti-bukti (hasil investigasi), dan hasil akhir (pertanggungjawaban kelompok) disajikan dalam diskusi kelas. Hal ini membuktikan bahwa bentuk kegiatan ini, seperti penyelesaian masalah, pertanyaan terbuka (saling mengemukakan pendapat), penjelasan siswa, diskusi kelompok, diskusi kelas, kolaborasi, saling menghargai pendapat siswa lain telah memberikan penekanan terjadinya proses konstruksi sosial. Hal ini sesuai dengan teori sosiokultur Vygotsky bahwa pengetahuan bersifat sosial, terbentuk dari usaha kooperatif untuk belajar, dan memecahkan masalah secara bersama-sama. 2.1.2
Kelas Kooperatif STAD versus Problem Solving-Kooperatif STAD Senada dengan pembahasan di atas, beradasarkan hasil pengujian dengan
menggunakan diketahui bahwa model PS-Kooperatif STAD lebih baik daripada model Kooperatif tipe STAD yang ditunjukkan dari hasil perolehan skor rata-rata hasil belajar dan kemampuan berpikir kritis, yakni kelas PS-Kooperatif STAD dengan skor rata-rata 77,974 sementara kelas STAD dengan skor rata-rata 73,476. Meskipun nilai perbedaan rata-rata ini tidak berbeda secara signifikan, namun berdasarkan uji statistik (ANAVA dan LSD) menunjukkan bahwa keduanya adalah berbeda secara nyata.
11
Tabel 3. Uji Anava Postest
Postes
Between Group Within Group Total
Sum of Squares 1577,423 7558,593 9136,016
df
Men Square
F
Sig
2 120 122
788,711 62,988
12,522
0,000
Table 4. Uji LSD Postes Dependent Variable
Hasil Belajar Postes
LSD
(J) Kelas
Mean Difference (I-J)
Std. Error
Sig.
(I) Kelas PS
STAD PS-STAD PS PS-STAD PS STAD
-4,3333* -8,8315* 4,4333* -4,5982* 8,8315* 4,4982*
1,7319 1,7649 1,7649 1,7319 1,7649 1,7649
0,036 0,000 0,032 0,036 0,032 0,000
STAD PSSTAD
95% Confidence Interval Low Upper Bound Bound -8,443 -0,2233 -13,0198 -4,6432 -8,6865 -0,3098 0,2233 8,4434 0,3098 8,6865 4,6432 13,0198
The mean different is significant at the 0,5 level
Hasil belajar siswa ditunjukkan oleh persentase rata-rata tingkat pamahaman (C2) dan penerapan (C3), yang menunjukkan bahwa siswa yang diajar dengan model pembelajaran problem solving dengan seting kooperatif tipe STAD menunjukkan hasil yang lebih tinggi daripada siswa yang diajar dengan mengguanakn model pembelajaran kooperatif tipe STAD. Proses pembelajaran pada kelas PS-STAD dimulai dengan pemberian masalah yang mengarahkan siswa untuk mencari dan menemukan konsep. Karena diseting secara kooperatif, maka dalam proses pencarian (observasi) dan pemecahan masalah ini memungkinkan siswa untuk berinteraksi dengan siswa lain, mengembangkan keterampilan kolaboratif, meningkatkan rasa percaya diri siswa dalam mengemukakan pendapatnya. Pada kelas PS-STAD siswa terbagi dalam kelompok STAD dimana anggota kelompok terbagi secara heterogen berdasarkan
12
nilai hasil belajar (kemampuan awal). Pada kelas ini siswa belajar dalam proses poblem
solving
(penyelesaian
masalah),
bekerjasama
(diskusi
kelompok),
mengumpulkan bukti-bukti (hasil investigasi), dan hasil akhir (pertanggungjawaban kelompok) disajikan dalam diskusi kelas. Pada kelas STAD pembelajaran dimulai dengan menetapkan dan menjelaskan tujuan pembelajaran, fase kedua adalah penyajian informasi secara garis besar, tahap inilah yang membedakan dengan model PS-Kooperatif STAD. Seting pembelajaran koopertif STAD transmisi pengetahuan guru ke siswa masih diperlukan sebelum siswa belajar secara kooperatif. 2.2 Perbedaan Keterampilan Berpikir Kritis Siswa Aspek berpikir kritis yang diukur dalam penelitian ini mencakup 6 aspek yang tersebar dalam 6 butir soal, aspek berpikir kritis yang diukur antara lain: (1) memfokuskan, (2) memperoleh informasi, (3) mengorganisasi, (4) menganalisia, (5) menggeneralisasi, (6) melakukan evalausi. Untuk lebih jelasnya distribusi sebaran butir soal untuk mengukur tingkat pemahaman siswa (hasil belajar) dan kemampuan berpikir kritis siswa dapat dilihat pada Lampiran 7. Selanjutnya hasil keterampilan berpikir kritis siswa dapat dipaparkan perbandingannya sebagai berikut: 2.2.1
Kelas Problem Solving (PS) versus PS-Kooperatif STAD
Secara keseluruhan kemampuan berpikir kritis siswa yang diaajar dengan model pembelajaran problem solving yang diseting secara kooperatif memberikan hasil yang lebih tinggi daripada siswa yang diajar dengan model pembelajaran problem solving.
Tabel 5. Persentase Pencapaian Materi
13
Aspek yang diukur (indikator) Menentukan jenis-jenis larutan garam berdasarkan asam-basa penyusunnya dari data percobaan sebelumnya. Mengelompokkan beberapa garam berdasarkan jenisnya. Menentukan jenis-jenis garam yang dapat terhidrolisis. Menyebutkan contoh garam yang terhidrolisis dan menjelaskan alasannya. Menghitung pH larutan garam dari [OH-] dan [H+]
% Pencapaian STAD PS-STAD
Nomor Soal
PS
1, 2a, 2b
86,31
85,91
89,53
3, 4, 5
71,03
74,8
76,92
6a, 6b, 6c, 7
59,97
64,29
68,43
Tabel 6. Persentase Pencapaian Hasil Belajar Dan Keterampilan Berpikir Kritis No soal
Kategori
Hasil belajar
Keterampilan berpikir kritis
1
Keterampilan berpikir kritis Hasil belajar Hasil belajar Hasil belajar Keterampilan berpikir kritis Keterampilan berpikir kritis Hasil belajar
-
Mengorganisasi (C3) Memperoleh informasi (C2) Mengevaluasi (C6) Menggeneralisasi (C5) dan menganalisis (C4)
2a 2b 3 4 5 6a 6b
6c
7
C2, pemahaman C2, pemahaman C2, pemahaman C3, penerapan
Keterampilan berpikir kritis
-
Keterampilan berpikir kritis
-
Keterampilan berpikir kritis
-
Menggeneralisasi (C5) dan menganalisis (C4) Memfokuskan (C1)
Persentase pencapaian PSPS STAD STAD 94,05
91,67
97,44
88,09 76,79 66,86 69,05
88,69 77,38 71,43 72,62
89,74 81,41 73,72 73,72
76,19
80,36
83,33
58,33
63,10
66,03
63,69
66,07
69,87
54,74
57,74
64,74
63,09
70,24
73,08
14
Berdasarkan Tabel 5. di atas diketahui bahwa perbedan kemampuan berpikir kritis siswa diantara dua kelompok kelas berbeda cukup signifikant terhadap semua aspek berpikir kritits yang diukur. Hal ini menunjukkan bahwa kemampuan siswa dalam
memfokuskan,
memperoleh
informasi,
mengorganisasi,
manganalisa,
menggeneralisasi, dan melakukan evaluasi lebih baik jika siswa belajar memecahkan masalah secara kooperatif daripada belajar memecahkan masalah secara individu. Hal ini sesuai dengan teori Vygotsky yang menyatakan bahwa hubungan antara seorang anak dengan anak lainnya di dalam kelas sangat penting, ini merupakan sesuatu yang sudah banyak diabaikan oleh Piaget dan kebanyakan pandangan lainnya (kecuali penganut konstruktivisme). Vygotsky mendukung penggunaan seorang anak yang lebih cerdas untuk membantu anak yang kurang cerdas. Anak yang lebih cerdas membantu masyarakat dengan membantu anak yang kurang cerdas. Vygotsky mengemukakan bahwa aturan ini bukan merupakan pengorbanan bagi pihak anak yang cerdas. Dengan menerangkan dan membantu anak-anak lain, dia mungkin mendapatkan pemahaman yang lebih atas hasil belajarya sendiri, dalam hal metakognitif dan dengan mengajarkan sebuah topik, dia memperkuat hasil belajarnya sendiri. Hal inilah yang menjadi dasar dari pembelajaran kooperatif. Adanya perbedaan kemampuan berpikir kritis antara siswa yang diajar dengan model probem solving yang diseting secara kooperatif tipe STAD dengan siswa yang diajar dengan model pembelajaran problem solving disebabkan oleh beberapa faktor. Penggabungan model pembelajaran problem solving dan kooperatif tipe STAD dalam satu paket pembelajaran dinilai memberikan banyak keuntungan, antara lain:
15
(1) Siswa terbiasa dalam hal mengungkapkan gagasan/ide-ide mereka, hal ini terlihat ketika siswa mampu mengemukakan konsep-konsep yang ada dalam soal problem solving dengan benar yang ditunjukkan oleh hasil observasi pada ”identifikasi konsep” dimana responnya adalah positif. (2) Meningkatkan kemampuan kerjasama dan ketrampilan berkomunikasi sesama siswa, rasa saling menghargai serta munculnya tanggung jawab personal dan kolektif. Hal ini terlihat ketika siswa belajar dalam diskusi kelompok, dimana roses saling bertukar informasi /pendapat, mengoganisasi, menganalisis masalah, menggeneralisasi, dan melakukan evaluasi secara bersama-sama adalah lebih baik daripada melakukannya secara individu. (3) Keterlibatan mental emosional siswa lebih komprehensif, akibatnya siswa terbiasa dan mampu meramu strategi dan prosedur untuk mencari solusi dari permaslahan yang dihadapi, terutama dalam hal penyelesaian soal-soal. (4) Pengelompokan siswa secara hterogen dalam kelompok STAD memfasilitasi terjadinya pertukaran ide, argumentasi dan refleksi dari masing-masing anggota kelompok dalam upaya konstruksi pengetahuan. Kondisi ini menyebabkan siswa lebih terangsang dalam belajar dan berpikir secara kritis. 2.2.2
Kelas Kooperatif STAD versus PS-Kooperatif STAD Sama halnya dengan penerapan model pembelajaran problem solving,
model pembelajaran kooperatif tipe STAD menunjukan hasil yang tidak cukup baik daripada model pembelajaran paduan problem solving dan kooperatif STAD dalam meningkatkan kemampuan berpikir kritis siswa. Dalam proses pemecahan masalah (problem solving) siswa dituntut untuk lebih aktif, kritis, dan kreatif dalam
16
menyelesaiakn soal-soal. Studi literatur dalam mencari tahu jawaban atas soal yang ada membuat siswa tidak tergantung informasi dari guru, namun penggabungan problem solving dengan kooperatif memungkinkan siswa untuk saling bekerjasama dan tukar informasi dalam meyelesaiakan permasalahan bersama. Meningkatnya hasil belajar dan kemampuan berpikir kritis siswa berarti penelitian ini telah berhasil mencapai indikator yang telah ditetapkan dalam pembelajaran sains. Hal ini sesui dengan Starr (2006) bahwa keberhasilan pengembangan keterampilan berpikir kritis meliputi beberapa aspek yang telah diimplementasikan, yaitu: (1) brainstorming, dengan cara membuat hubungan belajar dengan pengalaman belajar sebelumnya, membangun/memformulasikan pertanyaan, tujuan/masalah, merumuskan masalah/tujuan, (2) melakukan penelitian dengan cara menyusun alasan dan dihubungkan dengan pertanyaan/ masalah, terlibat dalam kegiatan praktikum, menyimpulkan informasi untuk memahami fakta, (3) meramalkan dengan meprediksikan kemungkinan-kemungkinan yang terjadi, (4) membuktikan prosedur dengan cara melakukan percoaban sesuai dengan urutan, (5) memaknai hasil yang diperoleh dengan cara menguji langkah-langkah dan prosedur, membuat lembar pengamatan, dan membuat kesimpulan, (6) pengembangkan hasil yang diperoleh dengan cara memberikan saran terhadap hasil yang diperoleh sebagai upaya meningkatkan hasil belajar pada proses pembelajaran sain lainnya. Dengan demikian pengembangan enam aspek berpikir kritis siswa, yaitu memfokuskan, memperoleh informasi, mengorganisasi, menganalisis, menggeneralisasi,dan evaluasi telah tergambar melalui kebiasaan berpikir dan bertindak siswa.
17
2.3 Persepsi Siswa terhadap Penerapan Model Pembelajaran PS-Kooperatif STAD Persepsi siswa merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi keberhasilan pembelajaran, karena persepsi tersebut akan berdampak pada motivasi seseorang dalam meraih keberhasilan. Apabila di awal pembelajaran telah timbul persepsi negatif pada suatu model pembelajaran, maka selanjutnya tingkat keseriusan dan motivasi siswa akan cenderung menurun. Begitu juga sebaliknya, jika siswa memberikan persepsi yang positif terhadap suatu model pembelajaran, maka siswa akan temotivasi untuk belajar. Dari data persentase persepsi siswa pada setiap indikator (Tabel 7) menunjukkan bahwa persepsi siswa terhadap hampir semua indikator adalah positif, hanya saja persepsi siswa terhadap indikator saling menghargai dan berani mengemukakan pendapat yang termasuk dalam aspek kooperatif dalam hal ini masih dinilai negatif. Tabel 7. Persentase Persepsi Siswa Pada Setiap Indikator Indikator Senang belajar Kimia Mudah memahami pelajaran Termotivasi untuk belajar dan menyelesaikan tugas Saling menghargai dan berani mengemukakan pendapat Kerjasama dengan teman Kesesuaian metode pembelajarn dan materi
Nomor angket
% Persepsi siswa
3, 5, 8, 16 4, 10, 15 9, 11, 12, 13
76 77,67
6 1, 2, 7 14
60 80 78
80
Terbukti bahwa model pembelajaran PS-Kooperatif STAD dinilai dapat memberikan motivasi siswa untuk mempelajari materi hidrolisis garam, dan
18
diharapkan juga model pembelajaran ini dapat memacu motivasi siswa untuk mempelajari ilmu Kimia. III. PENUTUP 3.1 Kesimpulan Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan yang telah diuraikan sebelumnya, dapat dikemukakan beberp kesimpulan sebagai berikut: 1. Siswa yang diajar dengan menggunakan model pembelajaran paduan problem solving yang diseting secara kooperatif tipe STAD memberikan hasil belajar lebih tinggi dibandingkan dengan siswa yang diajar dengan model pembelajaran problem solving yang diseting secara individu maupun model pembelajaran kooperatif tipe STAD. Hasil belajar siswa ditunjukkan oleh persentase rata-rata tingkat pamahaman (C2) dan penerapan (C3), yang menunjukkan bahwa siswa yang diajar dengan model pembelajaran problem solving dengan seting kooperatif tipe STAD menunjukkan hasil yang lebih tinggi 2. Keterampilan berpikir kritis siswa yang belajar dengan menggunakan model pembelajaran problem solving maupun kooperatif tipe STAD terdapat kecenderungan memiliki persentase rata-rata lebih rendah daripada siswa yang difasilitasi dengan model pembelajaran PS-Kooperatif STAD. Berdasarkan hasil penelitian diketahui bahwa perbedan kemampuan berpikir kritis siswa diantara ketiga kelompok kelas berbeda cukup signifikant terhadap semua aspek berpikir kritits yang diukur.
19
3. Persepsi siswa terhadap penerapan pembelajaran PS-STAD secara umum adalah positif, dengan perincian 34 siswa memberikan persepsi yang positif (87,18%), sedangkan 5 siswa memberikan persepsi yang negatif (12,82%). 3.2 Saran 1. Penerapan pembelajaran model problem solving dipadu dengan kooperatif tipe STAD perlu dilanjutkan pada konsep-konsep yang melibatkan hitungan atau operasi matematika maupun kegiatan laboratorium, karena model ini sangat membantu siswa yang memiliki kemampuan rendah. 2. Pembelajaran model problem solving dipadu dengan kooperatif tipe STAD yang menekankan pada keaktifan siswa dapat dilaksanakan pada bidang studi lain yang menekankan pemahaman konseptual dan algoritmik sehingga hasil dan pemahaman terhadap konsep menjadi lebih baik. 3. Guru hendaknya dapat mengembangkan suatu fasilitas belajar (teks bahan ajar dan LKS) yang dibuat sedemikianrupa sehingga memungkinkan proses pembelajaran lebih dapat dimediasi dan lebih terfokus pada kegiatan layanan kebutuhan siswa. 4. Sudah saatnya guru berani untuk mengubah paradigma berpikir siswa melalui pengembangan model pembelajaran yang bertumpu pada teori konstruktisvis untuk meningkatkan hasil belajar dan berpikir kritis siswa.
Daftar Rujukan Ansyari, R. 2003. Identifikasi Kesalahan-Kesalahan dalam Memahami Materi Reaksi Redoks pada Siswa SMU Negeri 3 Palu. Dan Upaya Meperbaikinya dengan Metode Diskusi Kelompok. Tesis, tidak diterbitkan. Malang: PPS Universitas Negeri Malang
20
Azizah, U. 2003. Penerapan Model Kooperatif Melalui Pengembangan Bahan Pembelajaran Kimia Dasar. Jurnal Matematika, Ilmu Pengetahuan Alam dan Pengajarannya. 32 (2) : 2003 Brown, A.L dan Palincsar, A.S. 1986. Guided, Cooperative Learning and Individual Knowledge (Report no. 372). Urbana, IL: Center for the Study of Reading. Cains, S.E dan Evan, J. M. 1990. Sciencing : An involvement approeach to elementary science methodes. Columbus : Merril publishing company Chang, C.Y. 2002. An Exploratory Study on Student Problem Solving Ability in Earth Science. International Journal of Science Education. 24(5): 441-451 Choi, J., Christopher, D., Hsu, P-S , Kim, H., McGriff, S, J. 2000. A Problem Solving Assessment Instrument. Instructional Systems, College of Education The Pennsylvania State University University Park, PA Cooper, M.M. 1995. Coopertive Learning, An Approach For Large Enrolment Course. Journal of Chemical Education. 72 (2) : 162-168 Dahar, R. W. 1988. Teori-Teori Belajar. Jakarta: P2LPTK Gallant, C. 1998. Problem Solving Teaching in the Chemistry Laboratory: Learning the Cooks. Journal of Chemichal Education, 75(1): 72-77 Gagne, R. M. 1979. Essentials of Learning and Theory of Instructional. 4th Adition. New York: Holt, Rinehart & Winston Kusasi, M. 2001. Identifikasi Miskonsepsi dan Upaya Memperbaikinya dengan Metode Pemecahan Masalah terhadap Materi Prinsip Le Chatelier untuk Sistem Terbuka dan Tertutup pada mahasiswa Jurusan PMIPA UNLAM Banjarmasin. Tesis, tidak diterbitkan. Malang: PPS Universitas Negeri Malang Kean, E dan Midlecamp, C. 1984. Panduan Belajar Kimia Dasar. Jakarta: Gramedia Lee, K.W.L 1999. Acomparison of university lecture and pre-service teacher understanding of chemical reaction an the particulate level. Journal of Chemichal Education. Vol. 76 pp: 1008-1012 Leinhart, G. 1992. What reasearch on learning, tell us about teaching, In Cauley, K. M., Linder, F., McMilan, J.H. (Eds), Annual Editions: Education Psychology of Human Though. New York: Cambridge University Press.
21
Mawardi. 2005. Keefektifan Pembelajaran Peta Konsep Melalui Pembelajaran Secara Kooperatif Terhadap Hasil Belajar Kimia Dan Persepsi Siswa Di SMA Negeri I Syamtalira Aron. Tesis, tidak diterbitkan. PPS Universitas Negeri Malang. Nakleh, M. B. 1992. ”Why Some Student’s Learn Chemistry: Chemichal Miconceptions”. Journal of Chemical Education, 69(3) : 191-195 Nurhadi dan Senduk, Agus Gerrad. 2003. Kontekstual dan Penerapannya dalam KBK. Malang : UM O’Neil, Jr. H.F, dan Schater, J. 1997. Test Specification for Problem-Solving Assement. Center for the Study of Evaluation. Nasional Center for Reasearch on Evaluation, Standard, and Student Testing Graduate Scohool of Education & Information Studies. University of California, Los Angeles. Piaget, J. 1974. The Language and Thought of the Child. New York: Meridian Rahayu, S. 1996. Pembelajaran Kooperatif dalam Pembelajaran IPA. Jurnal MIPA, Matematika dan IPA serta Pengajarannya. 27(2): 153-169 Polya, G. 1983. How to Solve it. New Jersey: Princenton University Press Slavin, R.E. 1995. Cooperatif Learning. 2nd Edition. Boston: Allyn & Bacon Slavin, R. E. 2000. Educational Psycology. 6th Edition. Boston: Allyn & Bacon Tuckman, B.W. 1999. Conducting Educational Research. Fifth edition. New York: Harcourt Brace College Publisher
22
PENERAPAN PADUAN MODEL PEMBELAJARAN DAUR BELAJAR (LEARNING CYCLE) DAN KOOPERATIF TIPE STAD UNTUK MENINGKATKAN KUALITAS PROSES DAN HASIL BELAJAR KIMIA Herbandri Abstract: This research analyses the application of learning model based on paradigm of constructivist, such as Learning Cycle (LC) model and Cooperative Learning STAD-type which are combined in one learning package. The purposes of this research are: (1) to describe learning activities to know the quality of learning process, (2) to analyse the difference of outcomes among student’s group and (3) to describe the student’s perception to learning activities using LC model, Cooperative Learning STAD-type, and combination of LC-STAD model. The result of research are: (1) the quality of learning process of the four groups is good, (2) the outcomes (grades) of students that were taught by combination LC-STAD model was better than grade of student that were taught with LC model only, (3) grades of student that were taught by combination LC-STAD model was better than grade of student that were taught by STAD model only, (4) grades of students that were taught by combination LC-STAD model was better than grade of students that is taught by conventional learning model, (5) grades of students that were taught with LC model is not better than grades of students that were taught by cooperative learning STAD-type, (6) grades of students that were taught by LC model is better than grades of student that were taught by conventional learning model, (7) grades of students that were taught with STAD model was better than grades is student that were taught by conventional learning model, (8) student show positive perception or agree to LC model, STAD learning model and combination of LC-STAD model. The observation data show the activity of student in elements cooperative skill of learning process with combination of LC-STAD model in one learning package is better than cooperative learning STADtype only. Keywords: learning model, learning cycle, cooperative learning STADtype, the outcomes of learn-chemistry.
Masalah besar yang dihadapi dunia pendidikan saat ini masih di sekitar masalah rendahnya mutu pendidikan terutama bidang MIPA, yang dapat dilihat dari rerata nilai siswa dalam ujian nasional yang relatif masih rendah. Berkaitan dengan hal itu Sidi (2001) mengemukakan bahwa yang menjadi sorotan utama penyebab kekurang berhasilan pendidikan khususnya IPA adalah komponen Penulis adalah guru kimia SMA PGRI Lawang Kab. Malang. Artikel ini diangkat dari Tesis Magister Pendidikan, Program Pascasarjana Universitas Negeri Malang, 2008.
2 kemampuan guru dalam proses pembelajaran masih dijumpai kegiatan yang kurang mendukung substansi pembelajaran IPA. Untuk mengatasi hal tersebut perubahan paradigma pendidikan dari paradigma behaviorisme yang bersifat teacher centered bergeser menuju ke paradigma konstruktivisme menjadi keharusan yang menekankan pada peran guru sebagai fasilitator belajar dan siswa sebagai pebelajar yang aktif (student centered). Berdasarkan pandangan itulah, maka peningkatan kualitas guru kimia dapat dilakukan dengan menerapkan model-model pembelajaran yang berorientasi konstruktivistik (Rahayu, 2005). Dalam pandangan konstruktivisme, seorang pengajar berperan sebagai fasilitator atau mediator yang membantu agar proses belajar berjalan dengan baik, dengan demikian selain penguasaan materi yang luas dan mantap, seorang guru atau pengajar juga dituntut untuk memiliki kemampuan yang cukup dalam hal penerapan berbagai strategi pembelajaran sehingga dapat disesuaikan dengan kebutuhan dan situasi siswa. Model Learning Cycle yang sering disebut sebagai siklus belajar atau daur belajar yang dalam tulisan ini disingkat dengan LC, merupakan salah satu model pembelajaran kontruktivistik yang melibatkan siswa secara aktif sehingga memungkinkan terjadinya proses asimilasi, akomodasi, dan organisasi dalam struktur kognitifnya, sehingga proses kontruksi pengetahuan berjalan dengan baik yang akhirnya akan dapat meningkatkan pemahaman konsep pengetahuan yang diberikan
kepada
siswa.
Beberapa
penelitian
yang
menggunakan
LC
membuktikan bahwa model pembelajaran LC dapat memperbaiki kualitas siswa yang dapat dilihat pada minat, partisipasi siswa, ketrampilan proses dan hasil belajar. Adapun kelemahan dari penerapan model LC ini secara umum adalah: (1) belum semua siswa dalam fase engagement mampu menyampaikan ide-ide, (2)
3 kemampuan bekerjasama siswa dalam kelompok pada fase explore belum maksimal mengingat model pembelajaran LC tidak dituntut untuk saling berbagi dan saling bekerjasama dengan teman sebaya, (3) dalam fase explain belum semua siswa secara merata mendapat kesempatan untuk menjelaskan konsep pengetahuan
yang
dimilikinya.
Mengingat
kelemahan-kelemahan
dalam
pelaksanaan model LC tersebut, perlu upaya agar pembelajaran dengan model LC berlangsung lebih efektif dan lebih optimal, salah satunya adalah dengan mengikutsertakan model pembelajaran lain yang sinergi dengan model LC seperti pembelajaran kooperatif (cooperative learning). Pembelajaran kooperatif dilandasi oleh falsafah bahwa manusia adalah makhluk sosial. Gagasan pembelajaran kooperatif diperkenalkan oleh Vygotsky di Rusia. Karena dinilai berhasil, maka pada tahap perkembangan selanjutnya pembelajaran kooperatif mulai diperkenalkan di negara-negara Eropa dan Amerika lainnya yang notabene menganut paham individualisme. Pembelajaran kooperatif merupakan salah satu pembelajaran dengan melibatkan interaksi kooperatif yang memungkinkan siswa menjadi sumber belajar bagi sesamanya. Pembelajaran kooperatif menurut Johnson & Johnson, Cooper (Rahayu, 2005) memiliki banyak keuntungan yaitu: (1) siswa bertanggung jawab terhadap proses belajarnya, terlibat secara aktif dan memiliki usaha yang lebih besar untuk berprestasi, (2) siswa mengembangkan ketrampilan berfikir tingkat tinggi dan berfikir kritis. Siswa yang aktif terlibat dalam pembelajaran kooperatif memiliki konsentrasi yang lebih baik dibanding dengan siswa yang hanya mendengarkan ceramah. (3) hubungan yang lebih positif antar siswa dengan dilatih untuk bekerjasama dan saling mendengarkan pendapat teman untuk mencapai suatu kesepakatan. Menurut Johnson dan Johnson (1991) agar kondisi tersebut benar-benar terjadi, maka guru harus memahami lima dasar
4 yang harus ada dalam belajar kooperatif, yaitu: (1) Saling ketergantungan positif (positive interdependence): Siswa harus merasa bahwa mereka saling tergantung secara positif dan saling terikat antar sesama anggota kelompok. Mereka merasa tidak akan sukses bila siswa lainnya juga tidak sukses, (2) Interaksi langsung (face to face interaction) antar siswa: Belajar kooperatif membutuhkan siswa untuk bertatap muka satu dengan yang lainnya dan berinteraksi secara langsung. Siswa harus saling berhadapan dan saling membantu dalam pencapaian tujuan belajar, dan sumbangan pemikiran dalam pemecahan masalah, (3) Pertanggung jawaban individu (individual accountability): Agar supaya siswa dapat menyumbang, membantu satu sama lain, setiap siswa harus menguasai materi ajar. Dengan demikian setiap anggota kelompok bertanggung jawab untuk mempelajari materi dan bertanggung jawab pula terhadap hasil belajar kelompok. Dengan cara ini prestasi setiap siswa dapat dimaksimalkan, (4) Ketrampilan berinteraksi antar individu dan kelompok (interpersonal and small group skill): Ketrampilan sosial sangat penting dalam belajar kooperatif dan harus diajarkan kepada siswa. Selain itu siswa harus dimotivasi untuk menggunakan ketrampilan berinteraksi dalam kelompok yang benar sebagai bagian dari proses belajar, (5) Proses kelompok (group processing): Efektifitas dalam belajar kelompok ini dapat dilakukan dengan cara melakukan pembagian tugas untuk memimpin secara bergantian, yang dapat memberikan gambaran dalam proses kelompok. Dalam pelaksanaannya penulis melihat bahwa karakteristik kedua model pembelajaran tersebut memungkinkan untuk digunakan secara bersama-sama, karena ada kesamaan maksud dalam penerapan kedua model pembelajaran ini yaitu: (1) fase engagement dalam model LC dipadukan dengan apersepsi pengetahuan awal siswa dalam model STAD, (2) fase explore dalam model LC
5 dapat dikombinasikan atau dipadukan dengan kelompok belajar secara kooperatif dalam model STAD, (3) fase explain dalam model LC dapat dipadukan dengan diskusi kelompok dan presentasi pada diskusi kelas dalam model STAD, (4) fase elaboration dan evaluation dalam model LC dapat dipadukan dengan pemberian kuis dalam model STAD. Berdasarkan latar belakang masalah yang telah dipaparkan, maka masalah yang akan dijawab dalam penelitian ini dirumuskan sebagai berikut: (1) Bagaimanakah kualitas proses pembelajaran yang diajar dengan model pembelajaran LC, STAD, paduan LC–STAD dan konvensional?, (2) Adakah perbedaan hasil belajar siswa pada materi pokok redoks antara siswa yang diajar dengan model pembelajaran LC, STAD, paduan LC-STAD dan konvensional? (3) Bagaimanakah persepsi siswa terhadap model pembelajaran yang menerapkan LC, STAD, dan paduan LC-STAD. Dalam penelitian ini dilaksanakan dengan tujuan untuk menjawab masalah penelitian, yaitu untuk memperoleh dan mengetahui paparan yang jelas, rinci dan mendalam tentang: (1) Kualitas proses pembelajaran yang menggunakan model pembelajaran LC, STAD, paduan LCSTAD dan konvensional, (2) Perbedaan hasil belajar siswa pada materi pokok redoks antara siswa yang diajar dengan model pembelajaran LC saja, dengan STAD saja, paduan LC-STAD dan konvensional dan (3) Persepsi siswa terhadap model pembelajaran yang menerapkan LC, STAD, paduan LC-STAD. Dengan dilaksanakannya penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat berupa informasi tentang penerapan paduan model pembelajaran LCSTAD serta kaitannya dengan hasil belajar siswa khususnya pada materi pokok redoks.
Selanjutnya
kajian
ini
dapat
digunakan
untuk
memperbaiki,
menyempurnakan dan mengembangkan sistem pembelajaran kimia dimasa yang
6 akan datang antara lain: (1) bagi guru dapat dijadikan sebagai pertimbangan mengefektifkan proses belajar mengajar dengan menerapkan paduan LC-STAD sebagai salah satu pendekatan konstruktivistik untuk meningkatkan hasil belajar siswa, (2) bagi siswa dapat membantu mengembangkan kemampuan diri melalui alur berpikir dan pola pemahaman konsep secara sistematis yang akhirnya dapat meningkatkan hasil belajar, (3) bagi peneliti dapat memberikan bukti empirik yang dapat dijadikan bahan masukan dan rujukan bagi penelitian selanjutnya yang relevan dengan peneltian ini.
METODE Penelitian ini merupakan jenis penelitian eksperimen semu. Berdasarkan cara pengambilan data, maka eksperimen yang digunakan adalah rancangan Solomon empat kelompok (Solomon four-group design) dengan perlakuan (treatment) yang divariasikan. Dalam rancangan penelitian ini terdapat 4 kelompok kelas yang ditetapkan sebagai sampel penelitian yang meliputi 3 kelompok eksperimen dan 1 kelompok kontrol. Sampel dalam penelitian ini terdiri dari 4 kelas siswa SMA PGRI Lawang. Untuk kelompok kontrol adalah kelas X-5, kelompok eksperimen terdiri dari kelas X-4 yang menggunakan model LC-STAD, kelas X-2 menggunakan model LC, dan kelas X-1 menggunakan model kooperatif tipe STAD. Untuk kebutuhan penelitian ini dibutuhkan 3 macam instrumen, yaitu: instrumen tes hasil belajar, instrumen angket persepsi siswa dan instrumen lembar observasi
keterlaksanaan
pembelajaran
untuk
melihat
kualitas
proses
pembelajaran. Sebelum instrumen tes hasil belajar ini digunakan untuk pengambilan data, terlebih dahulu dilakukan uji coba terhadap indikator kualitas
7 tes agar diperoleh instrumen yang dapat dipergunakan untuk menjaring data secara akurat
meliputi validitas tes, reliabilitas tes, dan tingkat kesukaran.
Berdasarkan hasil validasi isi setelah diadakan revisi maka diperoleh validitas tes secara keseluruhan adalah sebesar 89% atau berada pada kategori sangat tinggi (excellent). Untuk menentukan reliabilitas instrumen tes pelaksanaannya dilakukan pada siswa kelas XI IA mengingat siswa tersebut sudah pernah mendapatkan dan mempelajari materi pokok redoks pada tahun sebelumnya. Perhitungan reliabilitas dilakukan dengan menggunakan program SPSS yakni teknik space saver, dengan hasil (alpha) sebesar 0,81 dengan kriteria tergolong sangat tinggi. Begitupula uji coba tingkat kesukaran butir soal dengan hasil yang diperoleh didapatkan tingkat kesukaran butir soal untuk yang mudah adalah 5 item dan tingkat kesulitan butir soal untuk yang sedang sebanyak 15 item. Sajian Perlakuan Penelitian Pada bagian ini dipaparkan mengenai sajian perlakuan untuk model pembelajaran LC, model pembelajaran kooperatif tipe STAD dan paduan model LC- STAD serta model konvensional. Perlakuan pada Kelas LC Perlakuan dalam pelaksanaan pembelajaran disesuaikan dengan RPP yang secara garis besar mengikuti langkah-langkah seperti
yang tercantum dalam
Tabel 1 berikut. Tabel 1 Garis Besar Pembelajaran dan Perlakuan pada Kelas LC
No 1. 2. 3.
4.
Kegiatan Pembelajaran Guru membuka pelajaran dan menyampaikan tujuan pembelajaran Apersepsi berupa tanya jawab untuk mengetahui pengetahuan awal siswa Membagikan LKS kepada setiap siswa yang berisi data isian dan meminta siswa membahasnya untuk menguji prediksi, mengumpulkan informasi dari pengamatan atau mengkaji literatur sehingga dapat memecahkan masalah yang diberikan Siswa belajar dalam urutan 5 fase dari model Learning Cycle, yakni: a. engagement: guru mengajukan pertanyaan-pertanyaan tentang fakta atau fenomena
8 No
b. c. d. e.
Kegiatan Pembelajaran yang berkaitan dengan materi yang akan dipelajari dan untuk mengetahui sampai sejauh mana pengetahuan awal yang dimiliki siswa exploration: siswa diminta berpikir, merencanakan, mengorganisasikan informasi yang dikumpulkannya untuk memecahkan masalah yang diberikan explanation: siswa diminta untuk menjelaskan pemecahan masalah yang diberikan dari konsep yang telah dipelajari dengan kalimat sendiri elaboration: siswa diminta untuk menggunakan konsep yang telah diperolehnya dan menerapkannya pada pemecahan masalah dengan situasi yang berbeda. evaluation: siswa diberi pertanyaan dan masalah untuk mengetahui tingkat pemahaman siswa.
Perlakuan pada Kelas STAD Perlakuan dalam pelaksanaan pembelajaran disesuaikan dengan RPP yang secara garis besar mengikuti langkah-langkah seperti
yang tercantum dalam
Tabel 2 berikut. Tabel 2 Garis Besar Pembelajaran dan Perlakuan pada Kelas STAD No. 1
2 3
Kegiatan Pembelajaran Pembukaan: a. Meminta siswa membentuk kelompok (4 orang). b. Menyampaikan tujuan pembelajaran. c. Diberitahu tentang poin plus yang ditentukan keaktifan individu dalam kelompok. Kegiatan awal: Apersepsi berupa tanya jawab untuk mengetahui pengetahuan awal siswa. Kegiatan Inti: a. Membagi LKS yang berisi data isian dan meminta siswa bekerjasama dalam kelompoknya untuk membahas, menguji prediksi, mengumpulkan informasi dari pengamatan atau mengkaji literatur sehingga dapat memecahkan masalah yang diberikan untuk dilombakan dalam kompetisi. b. Menilai presentasi kelompok masing-masing dalam kompetisi sekaligus mengarahkan siswa jika mendapat kendala. c. Memberi masalah dalam bentuk kuis kepada setiap siswa untuk dipecahkan secara individu. d. Meminta setiap siswa mengecek jawaban dengan cara dipertukarkan dengan siswa kelompok lain. e. Memberi penghargaan kepada kelompok terbaik (super team) setelah 3 x pertemuan
Perlakuan pada Kelas LC-STAD Perlakuan dalam pelaksanaan pembelajaran disesuaikan dengan RPP yang secara garis besar mengikuti langkah-langkah seperti
yang tercantum dalam
Tabel 3 berikut. Tabel 3 Garis Besar Pembelajaran dan Perlakuan pada Kelas LC-STAD No 1.
Kegiatan Pembelajaran Pembukaan:
9 No
2. 3.
Kegiatan Pembelajaran a. Meminta siswa membentuk kelompok (4 orang). b. Menyampaikan tujuan pembelajaran. c. Diberitahu tentang poin plus yang ditentukan keaktifan individu dalam kelompok. Kegiatan Awal: Apersepsi berupa tanya jawab untuk mengetahui pengetahuan awal siswa. Kegiatan Inti: a. Membagi LKS yang berisi data isian dan meminta siswa bekerjasama dalam kelompoknya untuk membahas, menguji prediksi, mengumpulkan informasi dari pengamatan atau mengkaji literatur sehingga dapat memecahkan masalah untuk dikompetisikan. b. Mengevaluasi kelompok siswa dalam kinerja untuk menyelesaikan masalah. c. Menilai presentasi tiap kelompok dalam kompetisi dan mengecek jawaban kelompok dengan cara dipertukarkan dengan siswa lain dalam kelompok yang berbeda sekaligus mengarahkan siswa jika mendapat kendala. d. Menyebutkan kelompok terbaik hasil kompetisi. e. Memberi kuis yang dikerjakan secara individu. f. Mengecek hasil jawaban siswa yang akan menjadi skor individu dan skor kelompok dengan cara dipertukarkan dengan siswa lain dalam kelompok yang berbeda sekaligus mengarahkan siswa jika mendapat kendala. g. Memberi penghargaan kepada kelompok terbaik (super team) setelah 3 kali pertemuan
Teknik Analisis Data Teknik analisis berupa analisis deskriptif digunakan untuk menganalisis data observasi keterlaksanaan atau keberlangsungan pembelajaran dan untuk menganalisis data tentang persepsi siswa setelah pelaksanaan pembelajaran sehingga diketahui bagaimana sikap siswa terhadap penggunaan model pembelajaran LC, STAD, paduan LC-STAD. Untuk mengetahui sikap siswa tentang model pembelajaran tersebut, digunakan kriteria sebagai skala yang diadopsi dari Arikunto (2003), yaitu positif, netral dan negatif. Sebelum analisis data untuk menguji hipotesis terlebih dahulu dilakukan uji persyaratan yaitu uji normalitas dan uji homogenitas.. Uji normalitas pada penelitian ini dilakukan pada kemampuan awal siswa dan pos tes (hasil belajar) dengan menggunakan Uji One Sample Kolmogorov-Smirnov. Pada uji homogenitas kemampuan awal maupun hasil belajar kelompok sampel dilakukan dengan uji Levene yang berguna untuk mengetahui apakah keempat kelompok sampel mempunyai varian yang identik (homogen) atau tidak. Setelah uji prasyarat dilakukan, maka untuk menguji
10 pengaruh penerapan model pembelajaran LC, STAD, paduan LC-STAD dan konvensional pada masing-masing kelas dianalisis dengan teknik analisis inferensial berupa One Way ANOVA. Hipotesis yang akan diuji secara umum adalah hipotesis alternatif (H1) yang dirumuskan sebagai: “ada perbedaan yang signifikan terhadap hasil belajar kimia siswa antara yang diajar dengan model LC saja; siswa yang diajar melalui model pembelajaran kooperatif tipe STAD saja; siswa yang diajar dengan paduan LC-STAD; dan siswa yang diajar dengan model pembelajaran konvensional”.
HASIL PENELITIAN Deskripsi Keterlaksanaan Pembelajaran Berdasarkan hasil observasi dari keterlaksanaan pembelajaran tampak bahwa keterlaksaaan dari keempat model pembelajaran di atas telah berlangsung dengan baik sebagaimana yang tercantum dalam Tabel 4 berikut. Tabel 4 Perbandingan Keterlaksanaan Pembelajaran Model Pembelajaran Learning Cycle STAD Paduan LC-STAD Konvensional
Persentase Keterlaksanaan Pembelajaran 82,73% 72,77% 76,88% 79,55%
Kategori Baik Baik Baik Baik
Persentase keterlaksanaan pembelajaran yang berbeda seperti Tabel 4 diatas
disebabkan
karena
observer
dari
yang
mengamati
pelaksanaan
pembelajaran juga berbeda satu model dengan model lainnya, sehingga faktor subyektifitasnya tampak sangat tinggi. Hasil pengamatan dikuantisasikan sehingga diperoleh angka persentase keterlaksanaan pembelajaran tersebut.
11 Analisis Kemampuan Awal dan Hasil Belajar Berdasarkan deskripsi dari kemampuan awal didapatkan probabilitas (Sig.) > 0,05 artinya bahwa sebaran data terdistribusi secara normal, dan homogenitas kemampuan awal siswa didapatkan probabilitas (Sig.) = 0,548, Fhitung = 0,709 dan Ftabel
(3 ; 153 ; 0,05)
= 2,664, sehingga dapat disimpulkan bahwa keempat data
mempunyai varians yang homogen (identik) karena nilai Sig. (0,548) > 0,05. dan Fhitung (0,709) < Ftabel (2,664). Karena asumsi di atas sudah terpenuhi maka keempat kelompok tersebut mempunyai rata-rata kemampuan awal yang identik (tidak ada perbedaan yang signifikan) karena nilai Sig. (0,527) > 0,05 , dan Fhit ( 0,745) < Ftabel (2,664). Berdasarkan data hasil belajar siswa yang diperoleh dari hasil pos tes, perbandingan hasil belajar antara keempat kelompok sampel terdapat dalam Tabel 5 berikut. Tabel 5
Data Perbandingan Hasil Belajar Siswa
Model Pembelajaran LC STAD Paduan LC-STAD Konvensional
Rerata 53,81 59,75 66,37 47,82
Hasil Belajar Siswa Terendah 40 45 50 35
Tertinggi 70 80 80 70
Berdasarkan Tabel 5 di atas tampak bahwa urutan skor rerata dari tertinggi ke terendah untuk keempat kelompok sampel adalah kelompok yang diajar dengan paduan model LC–STAD adalah 66,37 disusul siswa yang diajar dengan model STAD adalah 59,75 , kemudian siswa yang diajar melalui model LC adalah 53,81 dan siswa yang diajar dengan model konvensional adalah 47,82 Analisis Deskripsi Persepsi Siswa Persepsi Siswa terhadap Penggunaan Model Pembelajaran LC
12 Analisis sikap siswa terhadap penggunaan model pembelajaran LC yang dihasilkan dari data persepsi siswa bahwa skor rerata persepsi siswa yang diajar dengan model pembelajaran LC adalah 3,81 dan persentase rerata adalah 76,34% (kriteria positif). Dengan demikian dikatakan bahwa siswa merespon positif model pembelajaran LC tersebut. Persepsi Siswa terhadap Penggunaan Model Pembelajaran STAD Analisis persepsi siswa terhadap penggunaan model pembelajaran STAD yang dihasilkan dari data persepsi siswa bahwa skor rata-rata persepsi siswa yang diajar dengan model pembelajaran STAD adalah 3,86 dan persentase rerata adalah 77,25% (kriteria positif). Dengan demikian dikatakan siswa merespon positif model pembelajaran STAD tersebut. Persepsi Siswa terhadap Penggunaan Paduan Model Pembelajaran LC-STAD Analisis persepsi siswa terhadap penggunaan paduan model pembelajaran LC-STAD yang dihasilkan dari data persepsi siswa bahwa skor rata-rata persepsi siswa yang diajar dengan paduan model pembelajaran LC-STAD adalah 3,69 dan persentase rerata
adalah 73,8% (kriteria positif). Dengan demikian dapat
dikatakan siswa merespon positif paduan model pembelajaran LC-STAD tersebut.
PEMBAHASAN Keterlaksanaan Pembelajaran dengan Model LC, STAD, Paduan LC-STAD dan Konvensional Berdasarkan hasil observasi dari keterlaksanaan pembelajaran pada Tabel 4 di atas maka secara rinci dapat dijelaskan sebagai berikut: (1) Pada Kelas LC tampak bahwa secara
keseluruhan tahapan pada proses
pembelajaran LC sudah berlangsung dengan baik (82,73%). Ditinjau dari aktifitas siswa berdasarkan hasil pengamatan observer pada setiap fase LC terdapat adanya
13 peningkatan usaha dari siswa untuk dapat lebih aktif dalam proses kegiatan pembelajaran. Pada model pembelajaran siswa membangun pengetahuannya ditandai dengan pengumpulan data, mengorganisasi dan menganalisis data serta menyimpulkannya dengan mengerjakan LKS terlaksana dengan cukup baik pada tahap exploration. Pada tahap berikutnya siswa diminta menjelaskan konsep yang telah dimiliki tersebut dalam tahap explaination dengan saling berdiskusi yang difasilitasi oleh guru terlaksana baik. Pada tahap elaboration siswa diminta memecahkan masalah yang dalam situasi yang baru dalam kondisi yang sama yang kemudian didiskusikan dengan siswa lainnya. Akhirnya pada tahap evaluation guru mengadakan evaluasi terhadap konsep yang telah diberikan. (2) Pada kelas STAD tampak bahwa secara keseluruhan tahapan pada proses pembelajaran STAD berlangsung dengan baik (72,77%). Ditinjau dari aktifitas siswa terdapat adanya peningkatan usaha dari siswa untuk dapat lebih aktif dalam mengikuti proses kegiatan pembelajaran yang didalamnya terdapat kompetisi sehingga kelompok siswa berusaha untuk meningkatkan skor peningkatan individu untuk poin kelompok maupun ketrampilan kelompoknya untuk meraih predikat super team. Pada tahap kegiatan inti siswa dalam kelompoknya berdiskusi
untuk
memecahkan
masalah
yang
diberikan
kemudian
menampilkannya dalam presentasi untuk berkompetisi pada diskusi kelas. Walaupun masih ada pertanyaan dari kelompok lain belum dapat dijawab dengan benar dan sempurna, namun hal ini telah menjadi motivator dari kelompok siswa untuk dapat menampilkan dan menjelaskan konsep-konsep yang dimilikinya. (3) Pada kelas paduan LC–STAD tampak bahwa secara keseluruhan tahapan pada proses pembelajaran paduan LC-STAD berlangsung dengan cukup baik (76,88%). Ditinjau dari aktifitas siswa terdapat adanya peningkatan usaha dari siswa untuk
14 dapat lebih aktif dalam mengikuti proses kegiatan pembelajaran yang didalamnya terdapat kompetisi sehingga kelompok siswa termotivasi berusaha untuk meningkatkan skor peningkatan individu untuk peningkatan poin kelompok maupun ketrampilan kelompoknya untuk meraih predikat super team. Mengacu pada hasil penilaian ketrampilan kooperatif selama diadakannya penelitian terlihat bahwa keaktifan siswa dalam menjalankan unsur-unsur yang harus terdapat pada ketrampilan kooperatif dalam pembelajaran dengan paduan LC-STAD adalah lebih baik daripada dalam pembelajaran dengan model pembelajaran STAD saja. Pada model pembelajaran ini pada tahap kegiatan inti pada fase exploration kelompok siswa diajak untuk bagaimana mengumpulan data, mengorganisasi dan menganalisis data serta menyimpulkannya bersama-sama dalam kelompok sehingga dapat memecahkan masalah yang diberikan. Pada fase explaination kelompok siswa diminta untuk menjelaskan konsep yang diperoleh dalam diskusi kelompok. Pada fase elaboration kelompok siswa diberi kuis untuk memecahkan masalah berupa soal kemudian antar kelompok siswa saling mengecek jawaban masing-masing sekaligus diadakan evaluasi konsep yang telah dimiliki. Pada fase evaluation guru mengadakan kuis yang dikerjakan oleh siswa secara individu untuk melihat sejauh mana penguasaan konsep yang telah dipelajarinya. Akhirnya skor yang diperoleh oleh kelompok dalam fase explaination dan elaboration serta skor hasil kuis individu dalam evaluation dijumlahkan untuk mengetahui kelompok siswa yang menjadi kelompok terbaik (Super Team). (4) Pada kelas konvensional tampak secara keseluruhan tahapan pada proses pembelajaran konvensional berlangsung dengan pembelajaran
konvensional
aktifitas
guru
baik (79,55%). Pada proses lebih
banyak
tersita
untuk
menyampaikan dan menjelaskan informasi konsep-konsep pengetahuan dengan
15 sesekali mengajukan pertanyaan. Ditinjau dari aktifitas siswa berdasarkan hasil pengamatan pada model pembelajaran konvensional adalah (1) siswa kurang diberi kesempatan untuk menampilkan kreatifitas berfikirnya sehingga terlihat pasif, (2) sikap siswa lebih mengarah ke persaingan individual, (3) siswa lebih banyak mendengar dan mencatat konsep-konsep yang berasal guru dan (4) aktifitas mental siswa sebagai pebelajar belum berkembang secara maksimal. Hasil Analisis Terhadap Hasil Belajar Berdasarkan Tabel 5 di atas tampak bahwa skor rerata tertinggi untuk keempat kelompok sampel adalah kelompok yang diajar dengan paduan model LC–STAD adalah 66,37 yang artinya tingkat pemahaman siswa berada dalam kategori baik, kemudian berturut-turut siswa yang diajar dengan model STAD adalah 59,75 yang artinya tingkat pemahaman siswa berada dalam kategori cukup; siswa yang diajar melalui model LC adalah 53,81 yang artinya tingkat pemahaman siswa berada dalam kategori cukup; dan siswa yang diajar dengan model konvensional adalah 47,82 berada dalam kategori cukup. Selain itu dalam penelitian ini juga didapatkan data hasil belajar yang ditinjau dari perbandingan persentase jawaban benar pada setiap jenjang kemampuan (taksonomi Bloom) antara kelas eksperimen dengan kelas yang diajar dengan model pembelajaran konvensional yang terlihat bahwa pada siswa yang diajar dengan model konvensional terdapat kecenderungan penurunan persentase rerata dari jenjang kemampuan rendah (C2) ke kemampuan tinggi (C5). Sedangkan siswa yang menggunakan model pembelajaran LC, STAD maupun paduan LC-STAD memiliki persentase rerata yang lebih besar pada semua jenjang daripada model pembelajaran konvensional. Hal ini mengindikasikan bahwa pada siswa yang diajar dengan model pembelajaran LC, STAD maupun
16 paduan LC-STAD pada kelas eksperimen ternyata memiliki kemampuan berpikir kritis yang lebih baik daripada siswa yang diajar dengan model pembelajaran konvensional. Adapun penyebab dari keadaan demikian adalah dikarenakan: (1) Pada pembelajaran kooperatif seperti paduan model LC-STAD maupun STAD saja, siswa terbiasa dalam berkompetisi pada kelompok masing-masing dalam mengungkapkan gagasan atau ide-ide mereka. Hal ini terlihat ketika siswa mampu mengemukakan konsep-konsep yang ada dalam memecahkan masalah dalam model pembelajaran kooperatif, yang ditunjukkan oleh hasil observasi tentang skor peningkatan individu dan tingkat penghargaan kelompok yang berarti bahwa siswa yang diajar dengan paduan model LC-STAD lebih tinggi daripada siswa yang diajar dengan model STAD saja sehingga menyebabkan siswa lebih terpacu dalam belajar. Hal ini terlihat pada rerata skor peningkatan individu, dimana tiap kelompok saling berlomba untuk mendapatkan predikat Super Team. Pada model pembelajaran LC kompetisi antar kelompok tidak diutamakan, sehingga sifat individu antar siswa masih tampak, kerjasama antar siswa belum berjalan secara maksimal, (2) Pada pembelajaran kooperatif terdapat peningkatan kemampuan kerjasama dan keterampilan komunikasi sesama siswa, rasa saling menghargai serta munculnya tanggung jawab personal dan kolektif. Hal ini terlihat ketika siswa belajar dalam kelompok, dimana proses saling tukar pendapat maupun saling tanggap dan kritik positif terhadap pendapat teman berjalan cukup baik. Kondisi ini dikuatkan oleh hasil observasi pada aspek ketrampilan kooperatif siswa, sedangkan pada model LC memang ada pembagian kelompok tapi tidak secara kooperatif, sehingga tidak tampak aspek ketrampilan kooperatif sebagaimana dalam paduan model LC-STAD maupun model STAD saja, (3) Pada
17 paduan model LC-STAD maupun model STAD saja pengelompokan siswa secara heterogen memfasilitasi terjadinya pertukaran ide, argumentasi dan refleksi dari masing-masing anggota kelompok dalam upaya kontruksi pengetahuan. Kondisi tersebut menyebabkan siswa lebih terangsang dalam belajar dan pada akhirnya memberikan hasil belajar yang positif. Pada kondisi ini siswa terbiasa untuk saling menyamakan persepsi, terjadi pembagian tugas yang merata serta tidak ada dominasi dari siswa yang berkemampuan tinggi, (4) Model pembelajaran LC yang dilandasi oleh teori konstruktivistik membuat tuntutan aktivitas siswa sebagai pebelajar menjadi lebih dominan, guru bukanlah satu-satunya narasumber utama bagi siswa melainkan sebagai fasilitator yang akan mengarahkan siswa ke arah bagaimana memperoleh pengetahuan dengan sendirinya. Di sisi lain penerapan model pembelajaran LC ini menuntut adanya kreativitas siswa, keberanian mengungkapkan gagasan atau ide-ide, serta kemauan dan kesungguhan dalam belajar. Sedangkan pembelajaran dengan model konvensional dilandasi oleh teori belajar behaviorisme. Dalam pembelajaran dengan model konvensional, siswa lebih pasif karena pembelajaran lebih berpusat pada guru (peran guru lebih dominan). Mengingat dari keempat kelompok sampel hanya siswa kelompok model konvensional inilah yang diajar tanpa panduan LKS, sehingga umumnya daya kreatifitas siswa kurang berkembang, hanya berbuat bila telah diminta oleh guru. Akibatnya siswa kurang memiliki kesempatan untuk mengungkapkan ideide dan pendapatnya, sehingga potensi-potensi yang ada pada diri siswa tidak terealisasi dengan optimal..
KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan
18 Keterlaksanaan
pembelajaran
untuk
mengetahui
kualitas
proses
pembelajaran yang menggunakan model pembelajaran LC, STAD, paduan LCSTAD telah berjalan dengan baik yang memungkinkan terjadinya proses belajar yang konstruktivis dimana siswa membangun pengetahuannya dengan aktif dan dominan. Sedang model pembelajaran konvensional juga telah berlangsung dengan baik, dimana aktivitas siswa lebih banyak memperhatikan penjelasan guru, mencatat penjelasan guru dan mengerjakan latihan soal yang diberikan. Hasil belajar siswa pada materi pokok redoks yang diajar dengan paduan LC-STAD menduduki urutan teratas, disusul dengan model pembelajaran STAD, LC, dan konvensional. Hal ini dikarenakan pada paduan LC-STAD maupun STAD siswa terbiasa dalam berkompetisi pada kelompoknya masing-masing dan dilanjutkan dengan kompetisi individu yang diberikan dalam bentuk kuis. Hal lain juga dikarenakan pada
paduan LC-STAD selain siswa terbiasa secara ketat
berkompetisi pada kelompoknya maupun individu masing-masing juga dari skor peningkatan individu dan tingkat penghargaan kelompok dari paduan model LCSTAD memiliki rerata yang lebih tinggi dibanding model STAD, sedangkan pada model LC memang ada pembagian kelompok tapi tidak secara kooperatif, sehingga tidak tampak aspek ketrampilan kooperatif sebagaimana dalam paduan LC-STAD maupun STAD saja. Kondisi demikian tidak tampak dalam pembelajaran model konvensional dimana siswa lebih pasif karena pembelajaran lebih berpusat pada guru, sehingga umumnya daya kreatifitas dan potensi siswa kurang berkembang. Berdasarkan hasil angket persepsi juga diketahui bahwa siswa menunjukkan sikap positif atau setuju, terhadap model pembelajaran yang berorientasi konstruktivis seperti pada model pembelajaran LC, STAD dan terhadap paduan LC-STAD.
19 Saran Penerapan paduan LC-STAD dalam satu paket pembelajaran dapat terus dilanjutkan untuk materi-materi lain pada bidang studi lainnya yang melibatkan aturan-aturan dan prinsip-prinsip tertentu, hukum-hukum serta perhitungan matematika DAFTAR PUSTAKA Arifin, M. 2005. Strategi Belajar Mengajar Kimia. Malang: Penerbit Universitas Negeri Malang. Arikunto, S. 2002. Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktik (edisi V). Jakarta: PT Rineka Cipta. Ary, D. Jacobs, L,C. & Razavieh, A. Tanpa tahun. Pengantar Penelitian dalam Pendidikan. Terjemahan oleh Arief Furchan. 1982. Surabaya: Usaha Nasional. Azizah, U. 2003. Penerapan Model Kooperatif melalui Pengembangan Bahan Pembelajaran Kimia Dasar. Jurnal Matematika, Ilmu Pengetahuan Alam dan Pengajarannya. 32 (2) Budiasih, E & Kartini. 2003. Penerapan Model Daur Belajar (Learning Cycle) dalam pembelajaran Kimia di Kelas II SMU Laboratorium Universitas Negeri Malang. Proceding. Disajikan dalam Seminar Kimia MIPA dan Pembelajaran & Exchange Experience of IMSTEP-JICA UM tanggal 2123 Juli 2003. BSNP. 2007. Petunjuk Teknis Pengembangan Silabus dan Contoh/Model Silabus SMA/MA Mata Pelajaran Kimia. Jakarta: Depdiknas. Dasna, I,W. 2005. Kajian Implementasi Model Siklus Belajar (Learning Cycle) dalam Pembelajaran Kimia. Makalah Seminar Nasional MIPA dan Pembelajarannya. FMIPA UM–Dirjen Dikti Depdiknas. 5 September 2005. Effendy. 2007. A-Level Chemistry for Senior High School Students Based on 2007 Cambridge Curiculum vol 1B. Malang: Bayumedia Publishing. Fajaroh, F. & Dasna, I,W. 2003. Penggunaan Model Pembelajaran Learning Cycle untuk Meningkatkan Motivasi Belajar dan Hasil Belajar Kimia Zat Aditif dalam Bahan Makanan pada Siswa Kelas II SMU Negeri 1 Tumpang Malang. Malang: Lembaga Penelitian UM Habiddin. 2005. Keefektifan Metode Pemecahan Masalah melalui Pembelajaran Kooperatif tipe STAD dalam Meningkatkan Hasil Belajar Siswa Kelas I
20 SMAN I Mawasangka. Kab. Buton Sultra. Tesis tidak diterbitkan. Malang: PPS Universitas Negeri Malang. Herbandri. 2004. Penerapan Strategi Peta Konsep dan Diagram Vee Dalam Pembelajaran Kimia di kelas X SMA PGRI Lawang Kab. Malang. Makalah Seminar “Exchange Experience” Kegiatan Piloting: JICAIMSTEP FMIPA UM. Hudoyo, H. 2001. Pembelajaran Menurut Pandangan Konstruktivisme. Makalah Semlok Konstruktivisme sebagai Rangkaian Kegiatan Piloting JICA, FMIPA UM. 9 Juli 2001. Ibnu, S. Mukhadis, A. Dasna, I,W.(ed) 2003. Dasar-dasar Metodologi Penelitian. Malang: Lemlit Universitas Negeri Malang. Iskandar, S,M. 2005. Perkembangan dan Penelitian Daur Belajar, disampaikan pada Seminar dan Lokakarya Pembelajaran Berbasis Konstruktivis, Jurusan Kimia FMIPA Universitas Negeri Malang. Lie, A. 2002. Cooperative learning: Mempraktikkan Cooperative Learning di Ruang-Ruang Kelas. Jakarta : PT Gramedia Widiasarana Indonesia. Purba, M. 2004. Kimia untuk SMA Kelas X, Jilid 1B. Kurikulum 2004 Jakarta: Erlangga. Rahayu, S. 1996. Pembelajaran Kooperatif Dalam Pelajaran IPA. Jurnal MIPA, Matematika dan IPA Serta Pengajarannya. 27(2): 153-169. Saukah. Sukarnyana. Waseso. 2000. Pedoman Penulisan Karya Ilmiah, Skripsi, Tesis, Disertasi, Artikel, Makalah, Laporan Penelitian, (edisi keempat). Malang: Universitas Negeri Malang. Sidi, I. 2001. Pendidikan IPA di Lingkungan Pendidikan Dasar dan Menengah: Tantangan dan Pengembangan. Makalah dalam Seminar dan Lokakarya Pendidikan MIPA di Indonesia. Bandung. ITB. Slavin, R, E. 1991. Cooperative Learning: Theory, Research, and Practice. Englewood Cliffs, NJ: Prentice Hall. Wonorahardjo, S. 2006. Filosofi Konstruktivisme dalam Pembelajaran Kimia: Model-Model Pembelajaran Konstruktivistik dalam Pembelajaran Sains Kimia. Malang: UM.
Keefektifan Model Learning Cycle Terhadap Hasil Belajar Siswa dariTingkatan Motivasi Belajar yang Berbeda Rubianus Abstrak: Prinsip model pembelajaran konstruktivis adalah memberi kesempatan pada pebelajar untuk menemukan sendiri, menerapkan, dan menggunakan cara-cara belajar yang sesuai. Tujuan penelitian adalah untuk mengetahui perbedaan hasil belajar penerapan model learning cycle enam fase pada siswa yang memiliki tingkatan motivasi yang berbeda. Penelitian menggunakan rancangan eksperimen semu dengan populasi siswa kelas XI SMAN I Makale. Data penelitian diambil dengan menggunakan instrumen tes prestasi dan dianalisis dengan teknik statistik ANOVA dua jalur. Hasil penelitian menunjukkan Motivasi dan Model Pembelajaran mempengaruhi hasil belajar siswa. Kata kunci: learning cycle, prestasi belajar, motivasi belajar, persepsi, hidrolisis garam. Fakta yang ada membuktikan bahwa ilmu kimia sangat berarti untuk menunjang kelangsungan hidup manusia. Persoalannya adalah bagaimana ilmu kimia dipelajari dalam dunia pendidikan, kenyataan yang ada banyak siswa mengalami kesulitan dalam mempelajari ilmu kimia. Ada beberapa hal yang dapat digunakan untuk mengetahui kesulitan siswa. Salah satunya adalah NEM (Nilai Ebtanas Murni). Secara nasional pada tahun pelajaran 2000/2001 NEM untuk sekolah negeri dan swasta berturut-turut adalah 4,68 dan 4,61 (Depdiknas, 2000). Sampai saat ini fakta juga menunjukkan bahwa secara umum hasil pendidikan di Indonesia masih belum memuaskan bahkan sangat memprihatinkan. Santoso (2005) mengemukakan berdasarkan catatan Human Development Report tahun 2003 versi UNDP, peringkat HDI (Human Development Index) atau kualitas SDM kita berada pada peringkat 112, yakni jauh di bawah sesama Negara ASEAN seperti Malaysia (58), Filipina (85), dan Singapura (28). Sedangkan International Education Achievement (IEA) melaporkan kemampuan matematika kita berada
1
2 pada urutan 34 dan kemampuan IPA berada pada urutan 32 dari 38 negara (Nurhadi, 2004 dalam Santoso, 2005). Hasil-hasil belajar Kimia siswa sekolah menengah yang selama ini dalam pembelajarannya sangat tergantung pada ceramah nampak masih sangat rendah. NEM Mata Pelajaran Kimia, sebagai salah satu indikator keberhasilan belajar di seluruh Indonesia selama beberapa kurun waktu hanya sekitar 4,52 (Depdiknas, 2003 dalam Rahayu dan Prayitno, 2005). Rerata nilai kimia ujian akhir nasional tahun pelajaran 2002/2003 Propinsi Sulawesi Selatan untuk Rayon 19 - Tana Toraja adalah 7,26 (Depdiknas, 2003). Hasil UAN siswa SMA Negeri I Makale pada tahun 2006 pada tingkat Nasional berada pada peringkat 1119, pada tingkat Propinsi berada pada peringkat 87, dan pada tingkat Rayon berada pada peringkat 6 (Depdiknas, 2006). Fakta-fakta tersebut menunujukkan bahwa pendidikan di Indonesia harus mengalami pembaharuan agar pendidikan di Indonesia dapat setara dengan pendidikan di luar negeri. Pembaharuan dalam dunia pendidikan dapat dilakukan dengan cara memperbaiki kurikulum yang ada yang berorientasi pada kebutuhan pasar. Diperlukan berbagai tindakan/langkah yang mampu mengubah metode pembelajaran ceramah dan behavioristik menuju suatu pendekatan pembelajaran yang mampu meningkatkan dan mengubah pola pikir menuju ke arah yang lebih baik sehingga diharapakan hasil pembelajaran khusunya kimia meningkat. Salah satu prinsip paling penting dalam psikologi pendidikan adalah guru tidak hanya memberikan pengetahuan pada siswa, namun siswa sendiri yang membangun pengetahuan di dalam benaknya sendiri. Guru dapat memotivasi dan membantu proses tersebut dengan cara mengajar yang membuat informasi menjadi sangat bermakna dan sangat relevan bagi siswa, dengan memberikan kesempatan
3 bagi siswa untuk menemukan atau menerapkan sendiri ide-ide, dan mengajak siswa agar menyadari serta secara sadar mengunakan strategi-strategi mereka sendiri untuk belajar. Guru dapat memberikan siswa tangga yang dapat membantu siwa mencapai tingkat pemahaman yang lebih tinggi, namun diupayakan agar siswa sendiri yang memanjat tangga tersebut (Nurhadi, 2004). Pembelajaran seperti ini sangat
menekankan
pada
keaktifan
siswa,
bahwa
siswa
sendiri
yang
mengkonstruksi pengetahuan mereka. Berdasarkan kenyataan yang ada dunia pendidikan mulai mengubah paradigmanya untuk menggunakan pendekatan konstruktivistik. Dalam pandangan konstruktivisme pengetahuan tumbuh dan berkembang melalui pemahaman. Pemahaman semakin dalam dan kuat apabila diuji dengan pengalaman baru (Nurhadi, 2004). Dalam pembelajaran konstruktivistik ini siswa diharapkan untuk mampu mengkonstruk atau membangun sendiri pengetahuan yang diperolehnya untuk dihubungkan dengan pengetahuan
yang sudah dimilikinya untuk
menyelesaikan persoalan atau permasalahan baru dan mengkominikasikannya. Dalam pandangan konstruktivisme siswa harus secara individual menemukan dan mentransfer informasi-infomasi yang kompleks apabila mereka harus menjadikan informasi itu menjadi miliknya sendiri. Iskandar (2001) menyatakan pendekatan konstruktivistik ini menekankan pada perkembangan siswa secara total
yaitu
perkembangan keterampilan kognitif, psikomotor, dan kemampuan berbahasa yang merupakan sesuatu yang menjanjikan agar siswa dapat mengikuti dan bertahan di era modernisasi ini. Dengan demikian pendekatan konstruktivisme sering disebut sebagai pembelajaran yang terpusat pada siswa Salah
satu
implementasi
dari
pendekatan
(student-centered teaching). konstruktivistik
ini
adalah
4 dikembangkannya model pembelajaran Learning Cycle (LC). Model pembelajaran ini dikembangkan dari teori Piaget yang pada intinya siswa dilibatkan secara aktif dalam proses pembelajaran. LC merupakan suatu siklus atau daur yang memiliki beberapa tahap yang paling awal dikenal adalah LC dengan tiga tahap yang dikembangakan oleh Karplus. Dalam model ini guru hanya sebagai sarana bagi siswa dalam memperoleh pengetahuan. Dengan adanya model ini diharapkan mampu menjadi salah satu upaya dan solusi untuk meningkatkan kualitas pembelajaran. Dalam penelitian ini peneliti mencoba untuk membandingkan keefektifan model pembelajaran Iearnnig cycle enam fase dan model ceramah. Secara teoritis pembelajaran learning cycle enam fase lebih rinci dan lebih spesifik, karena setiap fase dari pembelajaran learning cycle lebih ditekankan bagaimana siswa dapat memperoleh pengetahuan dengan cara melibatkan siswa dalam pembelajaran, sehingga dimungkinkan dengan menggunakan pembelajaran learning cycle enam fase dapat meningkatkan prestasi belajar siswa pada pokok hahasan hidrolisis garam. Berdasarkan uraian di atas maka peneliti termotivasi untuk mengadakan penelitian dengan judul: Keefektifan Model Learning Cycle Terhadap Hasil Belajar Kimia Siswa dari Tingkatan Motivasi Belajar yang Berbeda (Studi Kasus pada Siswa Kelas XI IPA SMAN 1 Makale Tahun Pelajaran 2007/2008) Tujuan yang ingin diperoleh melalui penelitian ini adalah: (1) Untuk mengetahui perbedaan hasil belajar siswa yang diajar dengan model learning cycle enam fase dan model ceramah.(2) Untuk mengetahui perbedaan hasil belajar siswa yang memiliki motivasi tinggi, sedang, dan rendah. (3) Untuk mengetahui perbedaan hasil belajar siswa yang diajar dengan model learning cycle enam fase
5 dan model ceramah yang memiliki tingkatan motivasi yang berbeda. (4) Untuk mengetahui persepsi siswa yang diajar dengan menggunakan model pembelajaran Learning Cycle. METODE Penelitian ini menggunakan rancangan eksperimental semu untuk mengungkapkan hubungan sebab akibat dengan cara melibatkan kelompok kontrol di samping kelompok eksperimental. Penetapan kedua kelompok itu dilakukan dengan menggunakan teknik acak. Dalam rancangan ini, kelompok eksperimen diberi perlakuan sedangkan kelompok kontrol tidak. Pada kedua kelompok diawali dengan pretes dan setelah pemberian perlakuan diadakan pengukuran kembali (pascates). Dalam rancangan ini kedua kelompok dianggap setara kecuali dalam pemberian perlakuan. Dengan rancangan ini perubahan yang terjadi akibat adanya perlakuan penerapan model pembelajaran daur belajar (LC) enam fase dibandingkan dengan perubahan yang terjadi terhadap kelompok kontrol (model pembelajaran ceramah) untuk sub-sub kelompok siswa dengan tingkat motivasi berbeda. Sampel Sampel adalah bagian populasi atau sejumlah anggota populasi yang mewakili populasi. Sampel dalam penelitian ini adalah kelompok Siswa Kelas XI IPA 3 dan Siswa Kelas XI IPA 5 SMA Negeri I Makale Kabupaten Tana Toraja yang ditentukan secara acak (sampel kelas). Siswa kelas XI IPA 3 sebagai kelompok kontrol
dan siswa kelas XI IPA 5 sebagai kelompok eksperimen.
Kelompok kontrol adalah siswa yang diajar dengan menggunakan model
6 pembelajaran ceramah dan kelompok eksperimen adalah siswa yang diajar dengan mengunakan model pembelajaran learning cycle enam fase. Variabel-variabel Penelitian Variabel dalam penelitian ini terdiri dari variabel terikat, variabel bebas dan variabel moderator. a. Variabel terikat adalah variabel yang muncul sebagai akibat dari manipulasi suatu variabel-variabel. Sebagai variabel terikat adalah prestasi belajar. Prestasi belajar yang dimaksud yaitu hasil belajar yang diperoleh siswa setelah penerapan model pembelajaran melalui tes. b. Variabel bebas adalah variabel yang diduga sebagai sebab munculnya variabel yang lain. Dalam penelitian ini variabel bebas adalah penerapan model pembelajaran daur belajar enam fase yang diterapkan pada kelas eksperimen. Sedangkan untuk kelas kontrol diterapkan model pembelajaran ceramah. c. Variabel moderator adalah variabel bebas kedua
yang diangkat untuk
menentukan apakah ia mempengaruhi hubungan antara variabel bebas primer dengan variabel terikat. Variabel moderat dalam penelitian ini adalah motivasi belajar. Instrumen Penelitian Instrumen dalam penelitian ini ada 3 yaitu: 1. Intrumen Motivasi Belajar, yaitu angket tentang motivasi yang akan diberikan setelah penerapan model pembelajaran learning cycle enam fase. 2. Instrumen Hasil belajar, yaitu test pemahaman bahan ajar yang diberikan sebelum (prates) dan setelah penerapan model pembelajaran learning cycle (pascates).
7 3. Instrumen Persepsi, yaitu angket tentang persepsi siswa terhadap penerapan model pembelajaran learning cycle enam fase yang diberikan kepada kelas eksperimen setelah pembebelajaran selesai. Pengumpulan Data Pengumpulan data untuk mengetahui hasil belajar dilakukan pada awal dan akhir pembelajaran yaitu pretest dan pascates. Sedangkan motivasi belajar berupa angket dilakukan pengumpulan data setelah pembelajaran. Hal yang sama juga pada pengumpulan angket persepsi siswa terhadap penerapan model pembelajaran learning cycle enam fase dilakukan setelah pembelajaran selesai. Analisis Data Data yang terkumpul melalui test dan angket dianalisis dengan menggunakan metode statistik deskriptif dan statistik inferensial. Teknik statistik yang digunakan adalah analisis statistik ANOVA dua jalan atau biasa juga disebut analisis varian klasifikasi ganda. HASIL Dari hasil penelitian diperoleh skor persepsi siswa yang diajar dengan penerapan model pembelajaran learning cycle enam fase. Persentase persepsi siswa dapat dilihat pada tabel di bawah ini. Tabel 1 Distribusi Frekwensi Persepsi Siswa Klasifikasi
Rentangan Skor
Frekuensi
Persentase
Sangat Baik
65 - 80
12
46.2%
Baik
50 - 64
14
53.8%
Kurang Baik
35 - 49
0
0.00%
Tidak Baik
20 - 34
0
0.00%
26
100.00%
Total
8 Dari Tabel distribusi frekuwensi persepsi siswa dapat disimpulkan bahwa 14 siswa menunjukkan persepsi baik (53,8%) dan 12 siswa menunjukkan persepsi sangat baik (46,2%) terhadap penerapan model learning cycle enam fase baik. Berdasarkan data pada Tabel angket persepsi siswa diperoleh: skor ideal = 4 x 20 x 26 = 2080, skor yang diperoleh = 1675. Untuk mengetahui persepsi siswa terhadap penerapan model pembelajaran learning cycle enam fase dalam penelitian
Xskor ini, digunakan persentase dengan rumus: R X 100% skormaksimal =
1675 X 100% 2080
= 80,53% Berdasarkan data hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa persepsi siswa terhadap penerapan model pembelajaran learning cycle enam fase siswa kelas XI IPA 5 SMA Negeri I Makale Kabupaten Tana Toraja pada materi pokok hidrolisis garam adalah positif (80,5%) Perbedaan hasil belajar berdasarkan model pembelajaran learning cycle enam fase dengan model ceramah dapat dilihat pada bagian Test of BetweenSubjects Effects bagian Model. Dari perhitungan dengan SPSS dan dari table diperoleh: probabilitas (Sig.) = 0,023. Fhitung = 5,541 dan Ftabel = 4,051. Kesimpulan dari data adalah kedua data mempunyai rata-rata yang tidak identik (berbeda secara signifikan) karena nilai Sig. (0,023) < 0,05. dan Fhitung (5,541) > Ftabel (4,051). Secara statistik dapat disimpulkan bahwa model pengajaran mempengaruhi postest siswa. Rata-rata postes siswa dengan model learning cycle enam fase (14,1) lebih tinggi daripada rata-rata postes siswa dengan model ceramah (12,4).
9 1.
Perbedaan hasil belajar siswa berdasarkan motivasi belajar dapat dilihat pada bagian Test of Between-Subjects Effects bagian Motivasi. Dari perhitungan dengan SPSS dan dari table diperoleh: probabilitas (Sig.) = 0,000. Fhitung = 29,447 dan Ftabel = 3,199. Kesimpulan dari data adalah ketiga data mempunyai rata-rata yang tidak identik (berbeda secara signifikan) karena nilai Sig. (0,000) < 0,05. dan Fhitung (29,447) > Ftabel (3,199). Secara statistik dapat disimpulkan bahwa motivasi mempengaruhi postest siswa. Rata-rata postes siswa dengan motivasi tinggi (15,9) lebih tinggi dari rata-rata postes siswa dengan motivasi sedang (12,3). Sedangkan rata-rata postes siswa dengan motivasi rendah adalah paling kecil (8,7).
2.
Perbedaan hasil belajar berdasarkan motivasi dan model pembelajaran dapat dilihat pada bagian Test of Between-Subjects Effects bagian Motivasi * Model. Dari perhitungan dengan SPSS dan dari tabel diperoleh: probabilitas (Sig.) = 0,042. Fhitung = 3,408 dan Ftabel = 3,199. Kesimpulan dari data adalah kedua data mempunyai rata-rata yang tidak identik (berbeda secara signifikan) karena nilai Sig. (0,042) < 0,05. dan Fhitung (3,408) > Ftabel (3,199). Secara statistik berdasarkan Gambar 1 Estimated Marginal Means of Postest di bawah ini dapat disimpulkan Motivasi dan Model Pembelajaran mempengaruhi hasil belajar siswa.
PEMBAHASAN Hasil Belajar Siswa Secara teoritis model pembelajaran learning cycle merupakan model pembelajaran konstruktivistik yang mendorong siswa untuk mengkonstruksi konsepnya sendiri berdasarkan pengetahuan yang telah dimilikinya. Hal ini pararel
10 dengan pengertian belajar menurut pandangan konstruktivis, bahwa belajar adalah proses konstruksi pengetahuan oleh siswa, atas dasar struktur kognitif atau skemata-skemata yang telah ada sebelumnya (Bodner, 1986:876). Jadi dalam pembelajaran siswa diharapkan mampu mengkonstruksi sendiri konsep-konsep yang dipelajari dengan pengetahuan yang telah dipelajari sebelumnya, sehingga diharapkan siswa akan dapat mengingat lebih lama pengetahuannya karena siswa sendiri yang memperoleh konsep tersebut. Dari hasil pengujian hipotesis diperoleh prestasi belajar siswa yang diajar dengan menggunakan model pembelajaran learning cycle enam fase secara signifikan lebih tinggi daripada siswa yang diajar dengan menggunakan model pembelajaran ceramah pada materi pokok hidrolisis garam. Hal ini menunjukkan bahwa model pembelajaran learning cycle enam fase lebih baik untuk meningkatkan prestasi belajar siswa, sehingga dapat dikatakan bahwa perbedaan yang terjadi antara kelompok eksperimen dengan kelompok kontrol dalam penelitian ini bukanlah disebabkan oleh nilai pretes atau faktor kebetulan. Jadi dapat disimpulkan bahwa model pembelajaran learning cycle enam fase lebih efektif untuk meningkatkan prestasi belajar siswa SMAN 1 Makale dibandingkan dengan model ceramah. Hasil ini sesuai penelitian yang membuktikan bahwa penerapan model pembelajaran learning cycle dapat meningkatkan prestasi belajar siswa. Maysara (2006) melaporkan hasil penelitiannya bahwa model pembelajaran learning cycle efektif meningkatkan prestasi belajar siswa pada materi pokok laju reaksi siswa kelas II SMA Negeri 4 Kendari. Demikian pula penelitian yang telah dilakukan oleh Iskandar (2001) mengatakan bahwa model pembelajaran learning cycle dapat memberikan hasil yang baik dan meningkatkan kualitas pembelajaran.
11 Demikian pula Soebagio (2001) melaporkan dengan penggunaan model learning cycle mampu meningkatkan berbagai ketrampilan proses pada siswa meliputi kemampuan untuk mengamati, mengidentifikasi, melakukan percobaan di laboratorium dan mampu memahami konsep redoks dengan lebih baik. Aman Santoso (2003) juga melaporkan bahwa model learning cycle mampu meningkatkan prestasi belajar siswa dan aktifitas siswa dalam proses pembelajaran. Hal yang sama juga ditunjukkan oleh Endang dan Kartini (2003) bahwa model learning cycle mampu meningkatkan aspek kuantitatif dan kualitatif pembelajaran, aspek kuantitatif tampak dari hasil ujian kemampuan kognitif siswa yang berupa tes tertulis, sedangkan aspek kualitatif menunjukkan bahwa antusiasme, motivasi, dan aktivitas siswa meningkat selama proses pembelajaran. Aktivitas siswa pada proses pembelajaran ini sangat padat utamanya pada saat siswa mengekspolasi pengetahuannya melalui membaca literatur atau pembuktian hipotesis dan mengerjakan LKS. Adanya perbedaan antara prestasi belajar siswa yang diajar dengan model pembelajaran learning cycle enam fase dan prestasi belajar siswa yang diajar dengan model ceramah disebabkan oleh beberapa faktor, di antaranya dalam pembelajaran learning cycle enam fase diawali dengan fase identifikasi kompetensi dasar oleh guru di awal pembelajaran. Dalam fase ini pengajar menyampaikan kompetensi dasar tentang materi pokok yang akan dipelajari serta yang akan dicapai. Fase pertama ini dilakukan dengan menjelaskan standar kompetensi, kompetensi dasar, dan indikator pembelajaran agar siswa dapat terfokus pikirannya pada materi pokok hidrolisis garam yang akan dipelajari dan mengetahui materi yang harus dikuasai. Setelah siswa memahami standar kompetensi, kompetensi
12 dasar, dan indikator pembelajaran guru mengantar siswa memasuki fase yang kedua yakni fase engangement dengan mengajukan pertanyaan. Dalam fase ini siswa dirangsang keingintahuannya tentang topik/poko bahasan yang akan diajarkan. Siswa pada fase ini telah mampu mengajukan pertanyaan-pertanyaan yang berhubungan dengan topik/materi pokok, sehingga pada fase selanjutnya dalam pikiran siswa telah ada keterkaitan antara materi yang sudah dipahami dengan materi yang akan dipelajari dan memudahkan siswa untuk memahami materi selanjutnya. Awalnya dalam fase ini siswa membutuhkan waktu yang lebih lama, tetapi setelah pertemuan berikutnya siswa sudah dapat memahaminya. Selanjutnya pada fase eksplorasi siswa sudah dapat menjawab pertanyaan yang berhubungan dengan materi yang akan diajarkan. Hal ini dapat terlihat dari antusiasme siswa dalam melakukan kegiatan praktikum (menyelidiki beberapa sifat larutan garam dalam air) dan bekerjasama dalam kelompok-kelompok kecil untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan yang diajukan oleh guru. Dalam fase penjelasan, ada sebagian siswa yang sudah dapat menjelaskan atau mengkomunikasikan ideide yang telah dipelajari dan siswa menjelaskan dengan kalimat mereka sendiri terhadap materi tersebut. Hal ini dapat dilihat pada kemampuan siswa dalam menjelaskan hasil dari kegiatan yang telah mereka lakukan (praktikum). Selanjutnya pada fase penerapan siswa sudah dapat memperluas dan memperdalam konsep-konsep yang baru serta sudah dapat menjawab pertanyaan-pertanyaan yang berhubungan dengan materi selanjutnya dengan mengaitkan konsep-konsep terdahulu. Pada fase terakhir yakni evaluasi agar siswa dapat lebih memahami materi yang diajarkan maka guru harus mengajukan pertanyaan yang berulangulang serta memberikan kesimpulan yang sekiranya belum jelas bagi siswa.
13 Tabel. 2 Statistik Deskribtif Descrip tive Statistics Dependent Variable: Postest Motiv asi Rendah
Sedang
Tinggi
Total
Kelas Kelas Kont rol (Model Ceramah) Kelas Eksperimen (Model Learning Cy cle) Total Kelas Kont rol (Model Ceramah) Kelas Eksperimen (Model Learning Cy cle) Total Kelas Kont rol (Model Ceramah) Kelas Eksperimen (Model Learning Cy cle) Total Kelas Kont rol (Model Ceramah) Kelas Eksperimen (Model Learning Cy cle) Total
Mean
St d. Dev iation
N
8.5000
.7071
2
9.0000
1.4142
2
8.7500
.9574
4
12.0769
1.5525
13
13.0000
1.5811
5
12.3333
1.5718
18
13.5455
2.3394
11
17.2105
1.7505
19
15.8667
2.6488
30
12.4231
2.2834
26
15.7692
3.0765
26
14.0962
3.1701
52
Hasil penelitian yang diperoleh seperti pada Tabel. 2 menunjukkan bahwa pembelajaran dengan mengunakan model learning cyle enam fase memberikan hasil belajar siswa yang lebih tinggi daripada hasil belajar siswa dengan menggukanakan model ceramah. Model pengajaran mempengaruhi hasil belajar siswa (postes). Rata-rata postes siswa dengan model pengajaran learning cycle adalah 14,1 lebih tinggi daripada rata-rata postes siswa dengan model ceramah yakni 12,4. Dari penjelasan di atas dapat ditarik kesimpulan bahwa dengan pembelajaran model learning cycle enam fase dapat meningkatkan hasil belajar siswa, hal ini disebabkan karena fase-fase dalam pembelajaran tersebut lebih rinci dalam
memperoleh
pengetahuan,
sehingga
memungkinkan
siswa
untuk
mengkonstruksi sendiri konsep yang dipelajarinya, akibatnya konsep yang diperoleh tersebut akan diingat lebih lama.
14 Perbedaan Hasil Belajar Siswa yang Memiliki Motivasi Tinggi, Sedang, dan Rendah Faktor lain yang dapat mendukung bekerhasilan dalam pendidikan dan yang sangat jarang diperhatikan adalah motivasi belajar siswa. Dalam perilaku belajar terdapat motivasi belajar, yang dapat dibedakan menjadi motivasi intrinsik dan motivasi ekstrinsik. Motivasi belajar yang dimiliki siswa dapat diperkuat oleh guru/pendidik sehingga siswa dalam belajar selalu berusaha untuk mendapatkan hasil belajar yang maksimal. Penguatan motivasi-motivasi belajar tersebut berada di tangan para guru/pendidik dan anggota masyarakat lain. Dalam proses pembelajaran, secara tegas Elliot (1996) mengemukakan bahwa motivasi merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi proses dan hasil belajar. Hal ini ditegaskan pula bahwa motivasi merupakan faktor yang memprakarsai, memperkuat, dan mempertahankan perilaku. Di samping itu motivasi juga menggerakkan, mengarahkan, dan mempertahankan perilaku (Peterson, 1991). Situasi kelas yang termotivasi dapat mempengaruhi proses belajar maupun tingkah laku siswa. Siswa yang termotivasi untuk belajar akan sangat tertarik dengan berbagai tugas belajar yang sedang mereka kerjakan, menunjukkan ketekunan yang tinggi, variasi aktivitas belajar merekapun lebih banyak sehingga keterlibatan mereka dalam belajar akan lebih besar. Berdasarkan hasil penelitian pada Tabel. 2 dan Grafik 1 estimate marginal means of postes terlihat bahwa ada perbedaan yang sangat signifikan prestasi belajar kimia antara siswa yang memiliki tingkatan motivasi berbeda. Mengacu pada pengujian hipotesa tersebut nampak bahwa siswa dengan motivasi belajar yang tinggi memiliki prestasi belajar kimia yang tinggi pula, siswa yang memiliki
15 motivasi belajar yang sedang memiliki prestasi belajar yang sedikit lebih rendah, dan siswa yang memiliki motivasi belajar yang rendah memiliki prestasi belajar kimi yang rendah pula. Perbedaan hasil belajar berdasarkan perbedaan motivasi belajar siswa disebabkan oleh beberapa hal. Yang pertama adalah perhatian, perhatian siswa muncul didorong oleh rasa ingin tahu. Siswa yang memiliki rasa ingin tahu yang besar akan selalu berusaha untuk bertanya guna memuaskan keingin tahuannya akan materi pelajaran yang dihadapinya. Terlihat dalam penelitian ini siswa tersebut selalu bertanya pada guru. Kedua relevansi, relevansi adalah hubungan materi dengan kebutuhan dan kondisi siswa. Dilihat secara langsung materi hidrolisis garam kurang tampak dalam kehidupan siswa sehari-hari sehingga ada sebagian siswa yang kurang memberikan perhatian. Ketiga kepercayaan diri, kepercayaan diri adalah merasa diri konpeten atau mampu. Atau dengan kata lain keyakinan bahwa dirinya memiliki kemampuan untuk melakukan suatu tugas yang menjadi syarat keberhasilan. Dalam penelitian ini siswa dikelompokkan menjadi beberapa kelompok kecil. Setiap anggota dalam kelompok memiliki tugas dan tanggungjawab masing-masing sehingga dalam proses pembelajaran siswa dituntut untuk dapat melaksanakan tugas masing-masing. Hal ini dapat terlihat pada tahap eksplorasi di mana masing-masing siswa berusaha menggali dan menemukan konsep akan materi hidrolisis garam. Keempat kepuasan, keberhasilan dalam mencapai suatu tujuan akan menghasilkan kepuasan. Siswa berusaha untuk menemukan setiap jawaban yang diajukan kepada mereka. Dalam penelitian ini kepuasan siswa dapat terilah pada setiap fase dalam learning cycle yang mereka
16 dapat tunjukkan dengan antusias dalam menyelesaikan pertanyaan yang diajukan dan dalam memasuki awal siklus berikutnya. Dari perhitungan dengan SPSS pada lampiran 11 diperoleh Probabilitas (Sig.) = 0,000, Fhitung = 29,447, dan Ftabel (2;46;0,05) = 3,199. Secara statistik ditarik kesimpulan bahwa ketiga data yaitu motivasi belajar tinggi, motivasi belajar sedang, dan motivasi belajar rendah mempunyai rata-rata yang tidak identik (berbeda secara signifikan) karena nilai Sig. (0,000) < 0,05. dan Fhitung (29,447) > Ftabel (3,199). Rata-rata prestasi belajar siswa melalui postes berdasarkan motivasi tinggi adalah 15,9 lebih tinggi daripada rata-rata postes siswa dengan motivasi sedang yakni 12,3. Sedangkan rata-rata postes siswa dengan motivasi rendah adalah paling kecil yaitu 8,7. Secara statiktik dapat disimpulkan bahwa motivasi belajar mempengaruhi nilai postes siswa. Atau dengan kata lain motivasi belajar berpengaruh pada hasil belajar siswa. Perbedaan prestasi belajar siswa berdasarkan pada tingkatan motivasi yang berbeda disebabkan oleh dorongan kekuatan mental. Kekuatan mental itu berupa keinginan, perhatian, kemauan, atau cita-cita. Kekuatan mental itu dapat tergolong rendah atau tinggi. Kekuatan mental yang mendorong terjadinya belajar adalah motivasi belajar. Motivasi dipandang sebagai dorongan mental yang menggerakkan dan mengarahkan perilaku manusia, termasuk perilaku belajar. Dalam motivasi terkandung adanya keinginan yang mengaktifkan, menggerakkan, menyalurkan, dan mengarahkan sikap dan perilaku individu belajar (Koeswara, 1989; Siagian, 1989; Schein, 1991; Biggs & Telfer, 1987). Ada tiga komponen utama dalam motivasi belajar yaitu: (1) Kebutuhan, (2) Dorongan, dan (3) Tujuan (Dymiati & Mudjiono, 2006:80).
17 Siswa dengan motivasi yang rendah akan memperoleh hasil belajar yang rendah pula. Hal ini disebabkan karena siswa tersebut tidak mengetahui kegunaan mata pelajaran di sekolah atau dengan kata lain belajar bukan merupakan kebutuhannya. Selain itu dorongan mental dalam diri siswa tersebut tidak cukup kuat untuk mengarahkan perilaku untuk mencapai tujuan belajar. Sedangkan Siswa dengan motivasi yang tinggi akan memperoleh hasil belajar yang tinggi pula. Hal ini disebabkan karena siswa tersebut menjadikan belajar sebagai kebutuhan bagi dirinya, ada kekuatan mental yang kuat untuk mendorongannya melakukan kegiatan dalam rangka memenuhi harapan atau mencapai keinginan yang diharapkan. Perbedaan Hasil Belajar Siswa Berdasarkan Motivasi dan Model Pembelajaran Model pembelajara learning cycle enam fase merupakan model pembelajaran konstruktivis yang dapat mendorong siswa untuk mengkonstruksi konsepnya sendiri berdasarkan pengetahuan yang dimilikinya. Jadi di dalam pembelajaran kimia siswa diharapkan mampu mengkonstruksi sendiri konsepkonsep yang dipelajari dengan pengetahuan yang telah dimiliki sebelumnya, sehingga diharapkan pengetahuan yang dimiliki siswa akan dapat bertahan lama dalam ingatan mereka karena siswa sendiri yang memperoleh konsep tersebut. Berdasarkan hasil penelitian diperoleh hasil belajar siswa (postes) yang diajar dengan mengunakan model pembelajaran learning cycle enam fase secara signifikan lebih tinggi dengan hasil belajar siswa yang diajar dengan model cerama pada materi pokok hidrolisis garam. Hal ini menunjukkan bahwa model pemebelajaran learning cycle enam fase lebih baik untuk meningkatkan prestasi belajar siswa. Dengan kata lain model pembelajaran learning cycle enam fase lebih
18 efektif dibandingkan dengan model ceramah untuk meningkatkan prestasi belajar pada siswa Kelas XI IPA 5 SMAN I Makale pada materi pokok hidrolisis garam. Pada Tabel. 2 bagian motivasi * model diperoleh probabilitas (Sig.) = 0,042, Fhitung = 3,408, dan Ftabel
(2;46;0,05)
= 3,199 dari data ini dapat disimpulkan
bahwa ketiga data mempunyai rata-rata yang tidak identik (berbeda secara signifikan) karena nilai Sig. (0,042) < 0,05. dan Fhitung (3,408) > Ftabel (3,199). Berdasarkan pengujian hipotesa secara statistik di atas dapat disimpulkan bahwa motivasi belajar dan penerapan model pembelajaran learning cycle enam fase berpengaruh pada hasil belajar siswa. Gambar 1. Estimate Marginal Means of Postes Estimated Marginal Means of Postest 18
16
Estimated Marginal Means
14
Kelas
12
Kelas Kontrol (M odel Ceram ah)
10
Kelas Eksperi men (Mo 8
del Learni ng Cycle)
Rendah
Sedang
T inggi
Motivasi
Berdasarkan Grafik 1. Estimate Marginal Means of Postes di atas dapat disimpulkan : 1. Motivasi belajar siswa yang rendah, kedua pendekatan pembelajaran tidak memberikan hasil belajar yang jauh berbeda. 2. Motivasi belajar siswa yang sedang, kedua pendekatan pembelajaran juga belum memperlihatkan hasil yang berbeda. 3. Motivasi belajar siswa yang tinggi, kedua pendekatan pembelajaran menunjukkan hasil belajar yang berbeda.
19 Ada tiga komponen utama dalam motivasi yaitu: (1) kebutuhan, (2) dorongan, dan (3) tujuan. Kebutuhan terjadi bila individu merasa ada ketidakseimbangan antara apa yang dimiliki dan yang ia harapkan (Dimyati& Mudjiono). Mc. Cleland berpendapat (dalam Dimyati& Mudjiono, 2006) setiap orang memiliki tiga jenis kebutuhan dasar, yaitu (1) kebutuhan akan kekuasaan, (2) kebutuhan untuk berafiliasi, dan (3) kebutuhan berprestasi. Kebutuhan akan kekuasaan terwujud dalam keinginan mempengaruhi orang lain. Kebutuhan berafliasi tercermin dalam terwujudnya situasi bersahabat dengan orang lain. Kebutuhan berprestasi terwujud dalam keberhasilan melakukan tugas-tugas yang dibebankan. Jadi seseorang yang memiliki motivasi yang tinggi akan paralel dengan kebutuhannya, dalam hal ini kebutuhan berprestasi. Dalam penelitian ini terlihat pada Grafik 1 makin tinggi motivasi belajar siswa prestasi belajar siswa makin tinggi. Pada kelas eksperimen terlihat prestasi belajar siswa pada postes lebih tinggi dari kelas kontrol. Sebaliknya makin rendah motivasi belajar siswa prestasi belajarnya rendah bahkan memperlihatkan ada kecenderungan pada kelas eksperimen dan kelas kontrol prestasi belajar yang hampir sama. Pendekatan pembelajaran konstruktivistik (model learning cycle enam fase) lebih efektif dibandingkan model pembelajaran ceramah pada materi pokok Hidrolisis Garam pada siswa Kelas XI IPA 5 SMAN I Makale. Hasil-hasil penelitian yang berhubungan dengan peningkatan motivasi pada penerapan model pembelajaran learning cycle. Budiasih dan Widarti (2004) melaporkan bahwa dengan penerapan model pembelajaran learning cycle pada matakuliah Praktikum Kimia Analisis Istrumen telah dapat meningkatkan kualitas proses pembelajaran yang dapat diketahui dari meningkatnya motivasi, keaktifan,
20 kualitas tanya jawab, dan interaksi antar mahasiswa. Senada dengan itu Fajaroh dan Dasna (2003) melaporkan penggunaan learning cycle untuk pembelajaran zat Kimia
aditif
dapat
meningkatkan
motivasi,
kemampuan
menjelaskan
(argumentasi), kualitas tanya jawab, dan interaksi, serta prestasi belajar kimia siswa SMA. Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa pembelajaran learning cycle adalah pembelajaran konstruktivistik yang berpusat pada siswa. Siswa sepenuhnya terlibat secara aktif dalam aktivitas pembelajaran. Siswa termotivasi untuk melakukan kegiatan seperti mengeksplorasi, mengenal konsep dan mengaplikasikan konsep hingga diskusi dan tanya jawab dilakukan dengan penuh perhatian. Keterlibatan siswa dalam memperoleh konsep akan mengakibatkan konsep tersebut akan diingat lebih lama sehingga dengan model pembelajaran learning cycle enam fase secara teori dan secara praktek dapat lebih efektif dalam meningkatkan prestasi belajar siswa. Persepsi Siswa yang Diajar Menggunakan Model Learning Cycle Enam Fase Persepsi siswa juga merupakan salah satu faktor yang dapat mempengaruhi keberhasilan pembelajaran karena siswa akan menentukan bagaimana mereka mempelajari dan memahami suatu materi pelajaran. Persepsi yang baik (positif) terhadap model pembelajaran akan mendorong siswa untuk belajar dengan sungguh-sungguh, dapat menyelesaikan tugas dengan baik bahkan sangat memperhatikan proses pembelajaran di kelas. Data pada Tabel.1 menunjukkan bahwa sebagian besar siswa yang diajar dengan model pembelajaran learning cycle memberikan respon yang baik yakni sebesar 53,8% dan respon yang sangat baik 46,2%. Berdasarkan data hasil
21 penelitian dapat disimpulkan bahwa persepsi siswa terhadap penerapan model pembelajaran learning cycle enam fase siswa kelas XI IPA 5 SMAN I Makale Kabupaten Tana Toraja pada materi pokok hidrolisis garam adalah positif (80,5%). Respon yang diberikan oleh siswa disebabkan karena mereka merasa dilibatkan secara aktif dalam pembelajaran. Siswa diberi kesempatan untuk belajar memperoleh konsep secara mandiri sehingga dapat meningkatkan pemahaman mereka terhadap materi pelajaran. Dalam proses pembelajaran model learning cycle guru berusaha merangsang cara berpikir siswa dengan mengajukan pertanyaan-pertanyaan pada setiap tahapan yang berkaitan dengan materi hidrolisis garam. Berdasarkan variabel yang diukur dalam pembelajaran model learning cycle enam fase umumnya siswa merespon secara positif. Hal ini dapat terlihat dari sikap siswa yang sangat antusia dalam menerima pelajaran, termotivasi untuk belajar, termotivasi
untuk
menyelesaikan
soal-soal,
sering
bertanya
dan
berani
mengungkapkan ide atau pendapatnya. Hal lain yang dapat diperoleh selama diterapkan model pembelajaran learning cycle enam fase adalah meningkatnya keterampilan ilmiah dan keterampilan sosial siswa. Keterampilan ilmiah siswa berkembang terlihat dari keterampilan mereka dalam mengamati, mengumpulkan data dan mengkomunikasikannya, serta berani mengemukakan pendapatnya. Keterampilan sosial siswa berkembang hal itu dapat terlihat pada siswa yang semula tidak berani bertanya dan tidak mau menerima pendapat temannya dapat berkembang menjadi berani bertanya, berani mengemukakan pendapatnya, mau bekerja sama, dan mau menerima pendapat temannya.
22 Bertitik tolak pada penjelasan di atas maka dapat ditarik suatu kesimpulan bahwa dengan melibatkan siswa dalam proses pembelajaran akan mengakibatkan siswa cenderung bersemangat dan antusias dalam mengikuti pelajaran. Hal ini terlihat pada siswa dalam mengerjakan soal-soal, mengajukan pertanyaan, memberikan masukan pada teman-temannya, dapat bekerja secara mandiri maupun kelompok, sehingga dapat mengembangkan keterampilan sains dan keterampilan sosial. KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan Berdasarkan analisis data dan pembahasan dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut: 1. Model pembelajaran mempengaruhi postest siswa. Rata-rata postes siswa dengan model pembelajaran learning cycle enam fase adalah 14,1 lebih tinggi daripada rata-rata postes siswa dengan model pembelajaran ceramah yaitu 12,4. 2. Motivasi mempengaruhi postest siswa. Rata-rata postes siswa dengan motivasi tinggi adalah 15,9 lebih tinggi dari rata-rata postes siswa dengan motivasi sedang yakni 12,3. Rata-rata postes siswa dengan motivasi rendah adalah paling kecil yakni 8,7. 3. Motivasi dan Model Pembelajaran mempengaruhi hasil belajar siswa. Makin tinggi motivasi belajar siswa prestasi belajarnya juga semakin tinggi. Prestasi belajar siswa yang diajar dengan penerapan model pembelajaran learning cycle enam fase lebih tinggi dari model pembelajaran ceramah.
23 4. Persepsi siswa terhadap penerapan model pembelajaran learning cycle enam fase siswa kelas XI IPA 5 SMA Negeri I Makale Kabupaten Tana Toraja pada materi pokok hidrolisis garam adalah positif (80,5%). Saran Berdasarkan hasil penelitian yang diperoleh, maka dapat disarankan beberapa hal sebagai berikut: 1. Disarakan kepada guru kimia agar dapat secara aktif mencari nuansa baru dalam membelajarkan siswa khususnya mencari dan menetapkan model-model pembelajaran yang sesuai pada tiap-tiap pokok basasan terutama model pembelajaran yang konstruktivistik. 2. Model pembelajaran learning cycle enam fase perlu diterapkan pada topiktopik lain yang sesuai, karena model pembelajaran ini mampu meningkatkan prestasi belajar siswa. 3. Dalam penelitian ini aspek yang diukur sebagai hasil belajar hanya pada ranah kognitif
siswa,
karena
itu
disarankan
kepada
peneliti
lain
agar
mempertimbangkan penilain pada ranah afektif dan psikomotor.
Daftar Rujukan Budiasih, E dan Kartini. 2003. Penerapan Model Daur Belajar (Learning Cycle) dalam pembelajaran Kimia di Kelas II SMU Laboratorium Universitas Negeri Malang. Proceding. Disajikan dalam Seminar Kimia MIPA dan Pembelajaran & Exchange Experience of IMSTEP-JICA UM tanggal 21-23 Juli 2003. Bodner, G.M. 1986. Constructivism: A Theory of Knowledge, Journal of Chemical Education, 63(10):873-877. Depdiknas.2003. Laporan Hasil EBTANAS wilayah, (online), (http//www.puspendik.com 202-203, diakses tanggal 29 Oktober 2008).
24 Dimyati & Mudjiono, 2006. Belajar dan Pembelajaran. Jakarta: P.T Rineka Cipta. Elliot, S.N., Kretocwill, T.R., Liitlefield, J. & Travers, J.F. 1996. Educational Psycology: Effective Teaching and Effective Learning. Dubuque: Brown & Benchmark. Fajaroh, F. & Dasna, I.W. 2003. Penggunaan Model Pembelajaran Learning Cycle untuk meningkatkan Motivasi Belajar dan Hasil Belajar Kimia Zat Aditif dalam Bahan Makanan pada Siswa Kelas II SMU Negeri 1 TumpangMalang. Malang: Lembaga Penelitian UM. Iskandar, S.M. 2001. Penerapan Konstruktivisme Dalam Pembelajaran Kimia di SMU.Media Komunikasi Kimia.. No. 2 ( 5) hal 1-12. Maysara. 2006. Keefektifan Model Pembelajaran Learning Cycle Ditinjau Dari Prestasi Belajar Dan Persepsi Siswa Untuk Topik Bahasan Laju Reaksi Pada Siswa Kelas II SMA Negeri 4 Kendari. Tesis Tidak Diterbitkan. Malang: Program Pasca Sarjana Universitas Negeri Malang. Nurhadi. 2004. Pembelajaran Kontekstual Dan Penerapannya Dalam KBK. Malang: UM Press. Peterson, C. 1991. Introduction Psycology. New York: Harper Collins Publisher, Inc. Rahayu, S & Prayitno. 2005. The Use of Learning Cycle Cooperative Strategy to Improve Chemistry High School Student’s Achievement. Proceding. Disajikan dalam Seminar Kimia MIPA dan Pembelajaran & Exchange Experience of IMSTEP-JICA UM tanggal 5-6 September 2005. Santoso, A. 2005. Penerapan Pendekatan Pembelajaran Learning Cycle pada Materi Unsur-Unsur Periode III dan Logam Alkali Terhadap Peningkatan Prestasi Belajar Kimia Siswa Kelas 3 Semester 1 di SMA Malang. Proceding. Disajikan dalam Seminar Kimia MIPA dan Pembelajaran & Exchange Experience of IMSTEP-JICA UM tanggal 5-6 September 2005. Schein, E.1991. Psikologi Organisasi (Terjemahan Nurul Imam). Jakarta: Pustaka Bimantara Presindo.
PENGARUH PENGAITAN NILAI KEIMANAN DAN KETAQWAAN DALAM PEMBELAJARAN KIMIA TERHADAP MOTIVASI BELAJAR, PRESTASI BELAJAR, DAN PERSEPSI SISWA
Wiwin Puspita Hadi Program Pascasarjana Universitas Negeri Malang
ABSTRAK Pendidikan nasional berfungsi untuk mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab. Sesuai dengan tujuan yang sudah ada seharusnya sistem pembelajaran di Indonesia mampu menciptakan manusia Indonesia seutuhnya Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui pengaruh pengaitan nilai keimanan dan ketaqwaan pada pembelajaran kimia terhadap motivasi belajar, prestasi belajar serta persepsi siswa terhadap pembelajaran tersebut. Rancangan yang digunakan adalah eksperimental semu. Sampel penelitian adalah siswa kelas X SMA PGRI Lawang Malang, dengan kelas kontrol dan kelas eksperimen masing-masing 40 siswa.. Prestasi belajar siswa diketahui dengan tes tertulis (post test) yang berbentuk multiple choice, terdiri dari 25 item. Uji coba instrumen tes diperoleh reliabilitas 0,80 dan validitas isi 78,6%. Motivasi belajar siswa diketahui dengan menggunakan angket, dan persepsi siswa terhadap pembelajaran diketahui menggunakan lembar observasi. Hasil penelitian menunjukkan bahwa: (1) Siswa yang mendapat pembelajaran kimia yang dikaitkan dengan nilai keimanan dan ketaqwaan motivasi belajarnya lebih tinggi dibandingkan dengan siswa yang mengalami pembelajaran kimia tanpa dikaitkan dengan nilai keimanan dan ketaqwaan; (2) Siswa yang mendapat pembelajaran kimia dengan nilai keimanan dan ketaqwaan prestasi belajarnya lebih tinggi dibandingkan dengan siswa yang mengalami pembelajaran tanpa nilai keimanan dan ketaqwaan; (3) Persepsi siswa terhadap pembelajaran kimia yang dikaitkan dengan nilai keimanan dan ketaqwaan lebih positif dibandingkan dengan siswa yang mengalami pembelajaran tanpa nilai keimanan dan ketaqwaan. Kata Kunci: Keimanan, Ketaqwaan, Prestasi Belajar, Motivasi, Persepsi
A. PENDAHULUAN Pada dasarnya pendidikan nasional berfungsi untuk mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk
berkembangnya potensi
1 peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab ( Undang-Undang RI No. 20 tahun 2003 tentang Sisdiknas). Berdasarkan tujuan yang sudah ada seharusnya sistem pembelajaran di Indonesia mampu menghasilkan manusia Indonesia seutuhnya yaitu manusia yang beriman dan bertaqwa serta berilmu pengetahuan yang tinggi, tetapi pada pelaksanaannya kualitas manusia Indonesia masih banyak yang hanya ditentukan oleh aspek kognitif, sehingga keberhasilan pendidikan cenderung masih dinilai dari kemampuan
kognitif
atau
penguasaan
IPTEK.
Pengembangan
daya
pikir
dinomorsatukan, sedangkan pengembangan perasaan, nilai-nilai keimanan dan ketaqwaan terabaikan. Pendidikan tentang keimanan dan ketaqwaan cenderung diperoleh siswa di sekolah melalui pelajaran agama yang mendapatkan porsi yang sangat kecil. Selain itu ada kecenderungan dari guru yang membebankan masalah keimanan dan ketaqwaan hanya pada guru agama, sehingga selama proses pembelajaran pada pelajaran selain pelajaran agama, termasuk kimia, seorang guru jarang atau bahkan tidak pernah mengintegrasikan materi kimia dengan nilai-nilai keimanan dan ketaqwaan yang dapat meningkatkan keimanan dan ketaqwaan siswa. Pada bidang studi kimia, sesuai dengan kurikulum dari departemen pendidikan nasional dijelaskan bahwa tujuan mata pelajaran kimia di SMA/MA bertujuan agar peserta didik memiliki kemampuan: (1) membentuk sikap positif terhadap kimia dengan menyadari keteraturan dan keindahan alam serta mengagungkan kebesaran Tuhan Yang Maha Esa; (2) memupuk sikap ilmiah yaitu jujur, objektif, terbuka, ulet, kritis, dan dapat bekerja sama dengan orang lain; (3) memperoleh pengalaman dalam menerapkan metode ilmiah melalui percobaan atau eksperimen; (4) meningkatkan kesadaran tentang terapan kimia yang dapat bermanfaat dan juga merugikan bagi individu, masyarakat dan
2 lingkungan; (5) memahami konsep, prinsip, hukum, dan teori kimia serta saling keterkaitannya untuk menyelesaikan masalah dalam kehidupan sehari-hari; (6) membentuk sikap yang positif terhadap kimia yaitu merasa tertarik untuk mempelajari kimia lebih lanjut karena merasakan keindahan dalam perilaku alam serta kemampuan kimia dalam menjelaskan berbagai peristiwa alam dan penerapannya dalam teknologi. (Depdiknas, 2003). Para pengajar bidang studi kimia telah melakukan berbagai upaya untuk mencapai tujuan tersebut misalnya dengan menggunakan berbagai metode pembelajaran, namun pada dasarnya semua cara itu hanya berpusat pada tujuan memahami konsep, prinsip, hukum, dan teori serta saling keterkaitannya untuk menyelesaikan masalah dalam kehidupan sehari-hari. Seperti yang telah disebutkan pada tujuan pertama bahwa pelajaran kimia membentuk sikap positif terhadap kimia dengan menyadari keteraturan dan keindahan alam serta mengagungkan kebesaran Tuhan Yang Maha Esa menimbulkan konsekuensi bahwa pelajaran kimia harus dapat digunakan sebagai alat untuk menjamin pertumbuhan keimanan dan ketaqwaan siswa terhadap Tuhan Yang Maha Esa sehingga pembelajaran kimia yang dapat digunakan sebagai alat untuk menumbuhkan keimanan dan ketaqwaan siswa terhadap Tuhan Yang Maha Esa merupakan suatu hal yang penting untuk dilaksanakan. Dalam konteks pembelajaran kimia di Indonesia, upaya untuk memupuk keimanan dan ketaqwaan terhadap Tuhan YME melalui kimia merupakan hal yang harus dilaksanakan karena sesuai dengan Bab Pendahuluan dalam standar kompetensi sains yaitu kompetensi sains menjamin pertumbuhan keimanan dan ketaqwaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa, penguasaan kecakapan hidup, penguasaan prinsip-prinsip alam, kemampuan bekerja ilmiah dan bersikap ilmiah, sekaligus mengembangkan kepribadian bangsa Indonesia yang kuat dan berakhlak mulia. Pada kenyataannya dalam
3 pembelajaran kimia masih menemui banyak kendala antara lain: (1) buku-buku kimia yang ada masih belum mengaitkan antara materi ilmu kimia dengan aspek keimanan dan ketaqwaan; (2) para guru kimia cenderung belum bisa dan mau untuk mengaitkan ilmu kimia dengan aspek keimanan dan ketaqwaan; (3) Depdiknas tampaknya masih belum serius untuk melaksanakan amanat yang tertuang dalam pendahuluan, fungsi dan tujuan kurikulum misalnya kelulusan ujian nasional masih ditentukan oleh hasil tes tertulis. Pembelajaran ilmu kimia cenderung tidak dapat digunakan untuk meningkatkan keimanan dan ketaqwaan siswa yang pada kondisi yang sangat ekstrim kemungkinan akan menyebabkan tercipta generasi yang menganggap bahwa antara ilmu dan agama tidak ada kaitan sama sekali; dalam memanfaatkan sains sama sekali tidak mengindahkan etika agama dan kemanusiaan; sangat bangga dengan ilmu yang dikuasainya sehingga dia tidak mempercayai adanya Tuhan Yang Maha Kuasa yang dapat dilihat dari adanya indikasi tidak sedikit orang yang beranggapan bahwa ilmu kimia dan agama itu jangan saling dikaitkan, tidak sedikit orang memanfaatkan ilmu kimia tanpa memperhatikan dampak negatifnya terhadap lingkungan, banyak sekali ilmuwan-ilmuwan terkemuka yang tidak percaya adanya Tuhan. Mengingat konsekuensi-konsekuensi tersebut maka sangat penting untuk menjadikan pelajaran kimia sebagai alat untuk meningkatkan keimanan dan ketaqwaan sehingga dampak dari adanya kondisi ekstrim itu tidak akan terjadi dan akan tercipta genarasi yang berilmu pengetahuan serta keimanan dan ketaqwaan yang tinggi pula. Untuk itu diperlukan juga para guru yang profesional, baik penguasaan materi kurikulum maupun teknik pengajarannya sehingga proses pembelajaran menjadi terarah dan menarik. Disamping itu, para guru dituntut memahami materi keagamaan yang memadai sehingga mampu untuk menyelipkan materi keagamaan ke dalam setiap pokok bahasan yang sedang diajarkan. Kompetensi lain yang harus dimiliki guru adalah sikap
4 dan tingkah laku yang sesuai dengan nilai-nilai yang ada pada masyarakan maupun ajaran agama serta dapat memberikan contoh yang baik kepada siswa. Dengan demikian pembelajaran kimia disertai nilai-nilai keimanan dan ketaqwaan dapat terwujud yang diharapkan memacu siswa untuk belajar lebih serius sehingga prestasi belajar akan menjadi lebih tinggi. Ilmu kimia mempunyai kedudukan yang penting karena dapat menjelaskan secara mikro (molekuler) terhadap fenomena makro. Disamping itu, ilmu kimia memberikan kontribusi yang penting terhadap perkembangan ilmu-ilmu terapan seperti pertanian, kesehatan, perikanan, dan teknologi. Ilmu kimia mampu memenuhi keinginan seseorang untuk memahami berbagai peristiwa alam yang berkaitan dengan kehidupan sehari-hari, mengetahui hakekat materi serta perubahannya, menanamkan metode ilmiah, mengembangkan kemampuan dalam mengajukan gagasan-gagasan, dan memupuk ketekunan, serta ketelitian bekerja. Pokok-pokok bahasan dalam kimia banyak berkaitan dengan kehidupan manusia sehari-hari sehingga lebih mudah untuk mengaitkan dengan nilai-nilai keimanan dan ketaqwaan. Salah satu pokok bahasan yang dipelajari dalam kimia di SMA adalah materi hidrokarbon dan minyak bumi. Senyawa hidrokarbon dan minyak bumi sudah menjadi bagian yang tak terpisahkan dalam kehidupan manusia dan bahkan manusia menggunakan senyawa karbon setiap hari karena senyawa-senyawa ini melakukan reaksi-reaksi penting dalam tubuh kita seperti reaksi pembakaran makanan dalam tubuh manusia sehingga menghasilkan energi. Banyak senyawa karbon ciptaan Tuhan yang sangat penting dalam kehidupan kita, maka dengan mengaitkan nilai-nilai keimanan dan ketaqwaan pada saat pembelajaran pokok bahasan tersebut diharapkan mampu menumbuhkan motivasi belajar siswa yang diharapkan memunculkan juga kesadaran
5 siswa adanya kebesaran Tuhan dalam kehidupan mereka. Motivasi yang muncul diharapkan menjadi pendorong meningkatnya prestasi belajar siswa. B. METODE 1. Rancangan Penelitian Rancangan penelitian ini menggunakan desain penelitian eksperimental semu. Dalam penelitian ini ditetapkan dua kelompok kelas sebagai sampel penelitian, satu kelas untuk kelompok eksperimen dan satu kelas untuk kelompok kontrol. Pada kelas eksperimen (KE) proses pembelajarannya berlangsung dengan mengaitkan materi hidrokarbon dan minyak bumi kimia dengan nilai-nilai keimanan dan ketaqwaan, sedangkan kelas kontrol (KK) proses pembelajarannya berlangsung tanpa mengaitkan materi bahasan hidrokarbon dan minyak bumi dengan nilai-nilai tersebut. Tabel 1. Rancangan Penelitian Kelas KE KK
Pre test -
Perlakuan X -
Post tes O1 O2
2. Populasi dan Sampel Penelitian Populasi penelitian ini adalah siswa kelas X SMA PGRI Lawang Malang semester 2 tahun ajaran 2007/2008 berjumlah 205 siswa yang terdiri dari 5 kelas (X1 sampai X5). Pada penelitian ini digunakan dua kelompok kelas sebagai sampel penelitian yang diambil secara acak, satu kelas untuk kelompok eksperimen (kelas X3, jumlah 40 siswa) dan satu kelas untuk kelompok kontrol ((kelas X5, jumlah 40 siswa). 3. Variabel Penelitian Variabel dalam penelitian ini adalah variabel bebas dan terikat yaitu: Variabel bebas : nilai keimanan dan ketaqwaan Variabel terikat : prestasi belajar, motivasi belajar, persepsi
6 4. Instrumen Penelitian Instrumen yang digunakan dalam penelitian ini ada dua macam yaitu instrumen perlakuan yaitu rancangan pelaksanaan pembelajaran (RPP) yang dikaitkan dengan nilai keimanan dan ketaqwaan dan bahan ajar dengan materi-materi yang sesuai dengan kurikulum kimia SMA kelas X semester 2 pokok bahasan Hidrokarbon dan Minyak Bumi dan instrumen pengukuran tes tertulis, angket, wawancara, dan lembar observasi. 5. Pengumpulan Data Prosedur pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah: 1. Tes tertulis Tes tertulis dilakukan sebanyak 1 kali di akhir pembelajaran pokok bahasan Hidrokarbon dan Minyak Bumi yang dilakukan pada 2, kelas baik kelas eksperimen maupun kelas kontrol. 2. Angket Penyebaran angket dilakukan pada akhir proses pembelajaran kimia pokok bahasan Hidrokarbon dan Minyak Bumi 3. Wawancara Pelaksanaan wawancara dilakukan pada akhir pembelajaran dengan pemilihan sampel secara random 4. Observasi Observasi dilakukan selama proses pembelajaran menggunakan lembar observasi untuk mengetahui persepsi siswa terhadap pembelajaran. Observasi dilakukan oleh peneliti dan seorang observer. 6. Teknik Analisis Data a. Analisis deskriptif
7 Analisis deskriptif dilakukan untuk tujuan mendiskripsikan skor rata-rata dan simpangan baku variabel prestasi belajar siswa. b. Analisis statistika Untuk menguji hipotesis tentang pengaruh pembelajaran yang dikaitkan dengan nilai keimanan dan ketaqwaan dalam pembelajaran kimia terhadap motivasi dan prestasi belajar maka dilakukan uji statistika dengan bantuan program SPSS. Sebelum dilakukan pengujian hipotesis perlu dilakukan uji prasyarat analisis yang meliputi uji normalitas dan uji homogenitas terhadap nilai hasil belajar. Langkah selanjutnya adalah dilakukan pengujian ANOVA dari prestasi belajar siswa. 4. HASIL a. Motivasi Belajar Siswa Berdasarkan hasil penyebaran angket motivasi belajar siswa maka diperoleh data hasil jawaban siswa yang dirangkum sebagai berikut: Tabel 2. Rangkuman persentase jawaban siswa pada angket motivasi belajar Pilihan jawaban angket motivasi A B C
Persentase jawaban siswa Kelas Kontrol Kelas Eksperimen 50 80 32.5 17.5 17.5 2.5
Berdasarkan Tabel 2 dapat dilihat bahwa 80% jawaban siswa pada kelas eksperimen adalah pilihan jawaban A yaitu jawaban yang sesuai dengan indikator motivasi sehingga dikategorikan motivasi belajar tinggi, sedangkan pada kelas kontrol pilihan jawaban A dari siswa hanya sebanyak 50% sehingga dikategorikan motivasi belajar sedang. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa kelas ekperimen memiliki motivasi belajar yang lebih tinggi dibandingkan dengan kelas kontrol.
8 Perbedaan motivasi belajar ini dapat juga dibuktikan dengan analisis statistika. Pengujian hipotesis menggunakan bantuan program SPSS 12.0 for windows untuk analisis statistikanya. Sebelum melakukan pengujian hipotesis terlebih dahulu dilakukan uji normalitas dan homogenitas yang hasilnya diperoleh sebagai berikut: 1. Uji normalitas Berdasarkan hasil statistika dapat diperoleh bahwa probabilitas adalah (0,561 ; 0,571) > 0,05 sehingga semua data variabel terdistribusi normal 2. Uji homogenitas Uji ini dilakukan untuk mengetahui apakah data benar-benar homogen atau tidak. Dalam penelitian ini digunakan analisis data dengan bantuan program SPSS 12.0 for windows melalui uji Lavene Statistic. Pada pengujian homogenitas diajukan hipotesis: Hipotesis: Ho
:Varians populasi adalah identik
H1
:Varians populasi adalah tidak identik
Pedoman pengambilan keputusan untuk uji homogenitas (Santosa, 2000) adalah: Kriteria pengujian:. - Ho diterima apabila Probabilitas (Sig.) > 0,05 - Ho ditolak apabila Probabilitas (Sig.) < 0,05 Atau -
Ho diterima apabila F hitung < Ftabel
-
Ho ditolak apabila F hitung > Ftabel
Hasil perhitungan dengan SPSS menunjukkan bahwa data yang akan diolah sifatnya homogen karena nilai Sig. (0,973) > 0,05. dan Fhitung (0,001) < Ftabel (3,963) sehingga dapat disimpulkan bahwa kedua data mempunyai varian yang identik. Uji hipotesis nol (H01)
9 H01
:Tidak ada perbedaan motivasi belajar yang signifikan antara siswa yang menerima pembelajaran yang dikaitkan dengan nilai keimanan dan ketaqwaan dan tanpa nilai keimanan dan ketaqwaan
Untuk menguji hipotesis ini digunakan uji One Way Anova . Pada uji ini yang menjadi indikator penerimaan atau penolakan hipotesis H01 adalah nilai F yang diperoleh (F hitung).
Berdasarkan hasil uji One Way Anova diperoleh nilai Sig. (0,007) < 0,05. dan
Fhitung (7,558) > Ftabel (3,963), sehingga dapat disimpulkan bahwa kedua data mempunyai rata-rata yang tidak identik atau mempunyai perbedaan yang signifikan artinya terdapat perbedaan motivasi
belajar antara kelas ekperimen dengan kelas
kontrol. b. Prestasi Belajar Hasil penelitian yang diperoleh berupa hasil tes tertulis pada pokok bahasan hidrokarbon dan minyak bumi setelah menerima pembelajaran kimia baik pada kelas kontrol maupun kelas eksperimen adalah sebagai berikut: Tabel 3. Hasil ulangan harian hidrokarbon dan minyak bumi No Keterangan Kelas Kontrol Eksperimen 1 Jumlah siswa 40 40 2 Nilai rata-rata 68,1 71,9 3 Standart deviasi 13,0 13.5 4 Nilai maksimum 92 96 5 Nilai minimum 48 52 6 Nilai kemampuan awal 64,6 65,2 Tabel 3 menunjukkan bahwa pada kelas ekperimen memperoleh nilai rata-rata ulangan harian siswa 71,9, lebih tinggi dari kelas kontrol yang nilai rata-ratanya 68,1. Hal ini mengindikasikan pembelajaran kimia yang dikaitkan dengan nilai keimanan dan ketaqwaan mampu meningkatkan prestasi belajar siswa. Perbedaan prestasi belajar ini dapat juga dibuktikan dengan analisis statistika.
10 Pengujian hipotesis menggunakan bantuan program SPSS 12.0 for windows untuk analisis statistikanya. Sebelum melakukan pengujian hipotesis terlebih dahulu dilakukan uji normalitas dan homogenitas yang hasilnya diperoleh sebagai berikut: 1. Uji normalitas Berdasarkan hasil statistika dapat diperoleh bahwa probabilitas adalah (0,676 ; 0,647) > 0,05 sehingga semua data variabel terdistribusi normal 2. Uji homogenitas Uji ini dilakukan untuk mengetahui apakah data benar-benar homogen atau tidak. Dalam penelitian ini digunakan analisis data dengan bantuan program SPSS 12.0 for windows melalui uji Lavene Statistic. Berdasarkan hasil perhitungan dengan SPSS menunjukkan bahwa data yang akan diolah sifatnya homogen karena Fhitung (0,004) < Ftabel (3,963) Uji hipotesis nol (H02) H02
:Tidak ada perbedaan prestasi belajar yang signifikan antara siswa yang diajar dengan pembelajaran kimia yang dikaitkan dengan nilai keimanan dan ketaqwaan dan tanpa nilai keimanan dan ketaqwaan
Hasil analisis dengan SPSS secara lengkap dapat dilihat pada Lampiran 8, dimana diperoleh nilai Sig. (0,006) < 0,05. dan Fhitung (7,974) > Ftabel (3,963) sehingga dapat disimpulkan bahwa kedua data mempunyai rata-rata yang tidak identik atau mempunyai perbedaan yang signifikan artinya terdapat perbedaan prestasi belajar antara kelas ekperimen dengan kelas kontrol. c. Persepsi Siswa Untuk
menggambarkan
tingkat
persepsi
atau
respon
siswa
terhadap
pembelajaran kimia yang dikaitkan dengan nilai-nilai keimanan dan ketaqwaan digunakan indikator persentase hasil observasi. Persentase tersebut menunjukkan rata-
11 rata persepsi siswa terhadap aspek yang diukur yang sementara rangkumannya dapat dilihat pada Tabel 4
Tabel 4. Rangkuman persepsi siswa terhadap pembelajaran Aspek yang diukur
Memiliki semangat mengikuti pelajaran kimia a. Hadir dalam proses pembelajaran b. Memperhatikan penjelasan guru dengan seksama Senang dengan pelajaran kimia a. Menjawab pertanyaan/tugas dengan tinjauan berbagai literatur b. Berdiskusi dengan teman dalam memecahkan suatu persoalan/tugas c. Mengerjakan soal yang ada di LKS atau bahan ajar meskipun tidak diperintahkan oleh guru Mudah menyelesaikan soal dan tugas a. Menjawab soal yang diberikan guru dengan baik b. Mengumpulkan tugas tepat waktu c. Menyelesaikan soal paling cepat dan dengan jawaban yang tepat Aktif selama kegiatan belajar mengajar a. Bertanya apabila ada yang kurang dipahami b. Menjawab tiap ada pertanyaan yang disampaikan oleh guru Rata-rata
Kelas kontrol (%)
Kriteria
Kelas Kriteria ekperimen (%)
73.1
Positif
83.7
Sangat positif
60.6
Netral
68.8
Positif
62.5
Positif
71.8
Positif
62.5
Positif
73.8
Positif
63.7
Positif
71.2
Positif
63.7
Positif
73.8
Positif
60
Netral
74.4
Positif
55.6
Netral
75.6
Positif
63.7
Positif
76.3
Positif
66.3
Positif
75
Positif
63.2
Positif
74.4
Positif
Berdasarkan perhitungan hasil observasi untuk kelas ekperimen diperoleh bahwa ratarata persepsi siswa terhadap pembelajaran kimia adalah positif yaitu 74,4%
12 Persepsi siswa terhadap pembelajaran kimia yang dikaitkan dengan nilai keimanan dan ketaqwaan dapat diketahui juga berdasarkan analisis hasil wawancara dengan siswa. Wawancara terhadap siswa untuk melihat persepsi siswa terhadap pembelajaran kimia yang dikaitkan dengan nilai keimanan dan ketaqwaan ,menunjukkan persepsi yang positif. Perlu dijelaskan bahwa wawancara hanya dilakukan pada kelas ekperimen karena kelas kontrol tidak mendapatkan pembelajaran dengan model ini. Berdasarkan hasil wawancara dapat disimpulkan bahwa jawaban-jawaban siswa pada kelas ekperimen menunjukkan bahwa siswa senang dengan pembelajaran kimia yang dikaitkan dengan nilai keimanan dan ketaqwaan yang akan mampu meningkatkan motivasi belajar serta mengetahui kaitan sains dengan agama. Siswa bahkan mengharapkan bahwa pendekatan pembelajaran yang dikaitkan dengan dengan nilai keimanan dan ketaqwaan juga dilakukan pada pokok bahasan dan mata pelajaran lain. Pembelajaran ini memberikan contoh-contoh penerapan ilmu kimia dalam kehidupan manusia yang menunjukkan rahmat Tuhan kepada manusia sehingga siswa memahami bahwa manusia sangat bergantung kepada rahmat Tuhan dan siswa mempunyai kesadaran bahwa mamanfaatkan ilmu kimia yang dimiliki sesuai dengan perintah Tuhan. 5. PEMBAHASAN a. Motivasi Belajar Siswa Hasil penelitian menunjukkan bahwa siswa yang mengalami pembelajaran yang dikaitkan dengan nilai keimanan dan ketaqwaan mempunyai motivasi belajar dengan kriteria tinggi yaitu 80% dibandingkan kelas kontrol yang bermotivasi sedang ( 50%). Hamalik (2007) menyatakan bahwa motivasi merupakan munculnya perasaan dari dalam diri siswa untuk mencapai tujuan yang diinginkan Tingginya motivasi
13 setelah siswa menerima pembelajaran kimia yang dikaitkan dengan nilai keimanan dan ketaqwaan didirong oleh adanya rasa ingin tahu, kerelevanan pokok bahasan dengan kondisi siswa, mampu memacu rasa percaya diri siswa dan adanya kepuasan dalam belajar untuk mencapai tujuan. Motivasi berfungsi motivasi mendorong timbulnya kelakuan atau suatu perbuatan, sebagai pengarah, dan penggerak. Motivasi belajar mempengaruhi prestasi belajar ditunjukkan juga oleh hasil penelitian dari Sukatma (2004). Hasil penelitian menunjukkan bahwa motivasi belajar yang tinggi menyebabkan prestasi belajar yang tinggi pula. Hal ini mendukung pernyataan Rennie (1990) (dalam Juriševič, tanpa tahun) yang menyebutkan bahwa tingginya hasil belajar sains berhubungan dengan sikap siswa terhadap pokok bahasan, keaktifan siswa dalam penyelesaian tugas, dan penguasaan konsep yang berimplikasi pada motivasi belajar siswa. Skryabina (2000) (dalam Sirhan, 2007) menyatakan bahwa sikap dan motivasi merupakan aspek penting dalam pembelajaran. Pembelajaran yang dikaitkan dengan keimanan dan ketaqwaan ini dapat memotivasi siswa karena berhubungan juga dengan hal-hal yang berkaitan langsung dengan kehidupan manusia. Hal ini sejalan dengan Resnick (1987) (dalam Sirhan, 2007) yang menyatakan bahwa siswa akan lebih mudah mengikuti proses pembelajaran apabila mereka dihadapkan pada masalah yang berkaitan langsung dengan kehidupan mereka. Motivasi belajar siswa yang juga menstimulus munculnya kesadaran terhadap kebesaran Tuhan telah mendorong siswa untuk belajar (menuntut ilmu) yang merupakan salah satu perintah Tuhan sebagai pengamalan dari keimanan dan ketaqwaan mereka. Hal ini sejalan dengan rata-rata prestasi belajar siswa kelas eksperimen yang lebih tinggi dari kelas kontrol, yang menunjukkan bahwa prestasi belajar juga dipengaruhi oleh motivasi belajar siswa.
14 Kesadaran terhadap kebesaran Tuhan merupakan sikap yang terbentuk bersamaan dengan pemahaman seseorang tentang kebesaran Tuhan pada kehidupan manusia yang dapat dijelaskan melalui ilmu kimia. Pada umumnya tiap individu meyakini bahwa semua yang ada di dunia merupakan ciptaan Tuhan, tetapi banyak yang tidak mengetahui bagaimana kebesaran Tuhan sangat berpengaruh bagi kehidupan. Pembelajaran kimia yang dikaitkan dengan nilai-nilai keimanan dan ketaqwaan menjadi salah satu cara untuk menunjukkan kepada siswa berbagai rahmat Tuhan yang telah diterima manusia jika ditinjau secara ilmiah. Pembelajaran ini menyajikan berbagai fenomena di alam yang dihubungkan dengan pokok bahasan hidrokarbon dan minyak bumi. Dengan tumbuhnya kesadaran ini diharapkan pada akhirnya keimanan dan ketaqwaan siswa semakin meningkat. . Kesadaran siswa pada pembelajaran kimia muncul setelah siswa menerima pembelajaran yang mampu membangkitkan kesadaran-kesadaran pada diri mereka yaitu kesadaran bahwa ilmu manusia sangat sedikit, manusia hanya dapat hidup hanya karena rahmat dan belas kasihan dari Tuhan, perintah dan larangan Tuhan sangat berguna bagi manusia, adanya keteraturan di alam semesta, dan kesadaran bahwa semua ketentuan Tuhan merupakan hal yang terbaik bagi manusia. Dengan menunjukkan contoh-contoh tesebut dalam pembelajaran yang disesuaikan dengan pokok bahasan dan konsep yang diajarkan. maka siswa menjadi termotivasi untuk tahu dan menyadari kebesaran Tuhan dalam kehidupan manusia. Motivasi merupakan penggerak munculnya kesadaran terhadap kebesaran Tuhan karena menimbulkan perubahan dalam diri seseorang yang ditandai munculnya perasaan dan reaksi untuk mencapai tujuan yaitu untuk mengetahui kebesaran Tuhan dalam kehidupan manusia yang dapat dijelaskan dengan ilmu kimia. Motivasi ini penting karena mampu mendorong timbulnya kelakuan atau suatu perbuatan, sebagai
15 pengarah untuk pencapaian tujuan dan sebagai penggerak. Motivasi akan lebih kuat muncul dalam diri siswa jika siswa menyadari bahwa Tuhan akan meninggikan derajat orang-orang yang berilmu pengetahuan. b. Prestasi Belajar Siswa Hasil penelitian menunjukkan adanya perbedaan prestasi belajar kimia pada pokok bahasan hidrokarbon dan minyak bumi pada siswa kelas kontrol dan kelas eksperimen. Hal ini dikuatkan dengan uji statistika (uji ANOVA) dengan bantuan SPSS 12.0 for windows yang menunjukkan terdapat perbedaan prestasi belajar yang signifikan pada hasil pembelajaran kimia antara kelas kontrol dan kelas eksperimen. Hasil penelitian menunjukkan bahwa kelas ekperimen mempunyai prestasi belajar yang lebih baik dibandingkan kelas kontrol. Kelas ekperimen mempunyai nilai rata-rata 71,90 sedangkan kelas kontrol nilai rata-rata 68,10. Peningkatan prestasi belajar tersebut mengindikasikan bahwa pendekatan pembelajaran yang dikaitkan dengan nilai keimanan dan ketaqwaan mampu memacu siswa untuk lebih giat belajar. Hal ini menunjukkan bahwa pendekatan pembelajaran yang digunakan mempermudah siswa untuk memahami konsep-konsep yang diajarkan. Hal ini sesuai dengan pernyataan Prayitno (2006) bahwa dalam pembelajaran dapat membuat siswa belajar lebih giat dengan indikator yaitu : (1) siswa terlibat aktif; (2) materi relevan dengan kehidupan siswa; (3) materi pelajaran dikaitkan dengan dunia nyata atau topik yang disimulasi dengan permasalahan yang bermakna; (4) adanya penghargaan dalam belajar; (5) adanya kegiatan yang menarik dalam belajar; (6) pembelajaran siswa dinilai dengan berbagai cara; (6) adanya lingkungan belajar yang kondusif sehingga memungkinkan siswa dapat belajar dengan baik. Prestasi belajar kelas eksperimen yang lebih tinggi dari kelas kontrol karena adanya nilai-nilai keimanan dan ketaqwaan yang dimasukkan dalam pembelajaran, dan
16 ini merupakan kegiatan yang menarik bagi mereka sehingga siswa menjadi belajar lebih giat untuk menemukan hal-hal baru yang tidak diperoleh dalam pembelajaran sebelumnya. Pembelajaran yang dilakukan dapat meningkatkan minat siswa dalam belajar jika dilakukan dengan berbagai metode yang menyenangkan dan lebih banyak memberikan contoh rahmat Tuhan bagi manusia dalam kehidupan yang dijelaskan dengan ilmu kimia, serta diharapkan akan lebih meningkatkan semangat belajar siswa dengan memberikan contoh ilmuwan-ilmuwan terbaik yang memiliki kesadaran yang tinggi tentang kebesaran Tuhan. Dimyati & Mudjiono (2006) menyatakan bahwa pembelajaran yang baik adalah pembelajaran yang menyadarkan seseorang tentang kedudukannya pada awal belajar, proses, dan hasil akhir, menginformasikan tentang kekuatan usaha belajar, mengarahkan kegiatan belajar, membesarkan semangat belajar, menyadarkan tentang adanya perjalanan belajar dan bekerja yang berkesinambungan. Kelima hal itu menunjukkan pentingnya peran pendidik untuk selalu berupaya memberikan variasi dalam penyampaian materi pembelajaran sehingga tugas belajar siswa akan dapat terselesaikan dengan baik. Perbedaan prestasi belajar karena adanya perbedaan pendekatan pembelajaran yang dilakukan dipengaruhi oleh beberapa hal antara lain : (1) guru, tingkah laku guru dapat mempengaruhi sikap dan tingkah laku siswa dalam belajar. Guru harus mampu mengembangkan aktifitas belajar siswa secara optimal; (2) materi, guru bertanggung jawab untuk menyediakan materi dan menyajikannya dengan mengorganisasikan sedemikian rupa sehingga siswa mudah dan senang mempelajarinya; (3) metode, metode pembelajaran yang dilakukan melibatkan siswa secara optimal; (4) media, media pengajaran memberikan pengalaman konkrit yang memudahkan siswa belajar
17 yaitu mencapai penguasaan, mengingat, dan memahami simbol-simbol abstrak sehingga meningkatkan rasa percaya diri siswa dalam belajar dan berprestasi. c. Persepsi Siswa Terhadap Pembelajaran Kimia Yang Dikaitkan Dengan Nilai Keimanan Dan Ketaqwaan Persepsi siswa merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi keberhasilan suatu pembelajaran karena persepsi tersebut akan berdampak pada motivasi seseorang dalam meraih keberhasilan. Apabila di awal pembelajaran telah timbul persepsi negatif pada pebelajar maka selanjutnya tingkat keseriusan/ motivasi siswa akan cenderung menurun. Begitu juga sebaliknya apabila persepsinya sudah positif maka diharapkan tingkat keseriusan belajar menjadi tinggi. Persepsi siswa pada penelitian ini diambil dengan data observasi selama proses pembelajaran melalui bantuan observer. Hasil penelitian seperti terlihat pada Tabel 4.5 menunjukkan bahwa persepsi siswa terhadap pembelajaran ini adalah positif. Hal ini mengindikasikan bahwa pembelajaran tersebut mampu membuat siswa memberikan tanggapan yang baik pada proses pembelajaran. Persepsi siswa antara kelas ekperimen positif karena pembelajaran dengan nilai keimanan dan ketaqwaan yang dilakukan lebih menarik bagi siswa, berhubungan langsung dengan kebutuhan siswa untuk mengetahui kebesaran Tuhan dalam kehidupan yang dijelaskan dengn ilmu kimia, lebih dekat dengan nilai-nilai keagamaan yang dianut oleh siswa. Hasil persepsi siswa juga sejalan dengan peningkatan prestasi belajar dan motivasi belajar siswa sehingga persepsi merupakan faktor yang penting dalam upaya peningkatan prestasi belajar dan motivasi belajar siswa. 6. KESIMPULAN Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan yang telah diuraikan sebelumnya, dapat dikemukakan beberapa kesimpulan dari penelitian yaitu:
18 1. Siswa yang mengalami pembelajaran kimia yag dikaitkan dengan nilai keimanan dan ketaqwaan motivasi belajar lebih tinggi dibandingkan dengan siswa yang menerima pembelajaran tanpa dikaitkan dengan nilai keimanan dan ketaqwaan. 2. Siswa yang mengalami pembelajaran kimia yag dikaitkan dengan nilai keimanan dan ketaqwaan prestasi belajar lebih tinggi dibandingkan dengan siswa yang menerima pembelajaran tanpa dikaitkan dengan nilai keimanan dan ketaqwaan. 3. Persepsi siswa yang mengalami pembelajaran kimia yag dikaitkan dengan nilai keimanan dan ketaqwaan prestasi belajar lebih positif dibandingkan dengan siswa yang menerima pembelajaran tanpa dikaitkan dengan nilai keimanan dan ketaqwaan. SARAN Berdasarkan kesimpulan penelitian maka dapat disarankan hal-hal berikut: 1. Contoh-contoh pengaitan pokok bahasan hidrokarbon dan minyak bumi dengan nilai keimanan dan ketaqwaan perlu ditambahkan penerapan nilai tersebut dalam kehidupan di masyarakat 2. Angket motivasi tidak hanya validitas isi tetapi juga harus ada uji coba pada siswa 3. Uji validitas angket motivasi sebaiknya dilakukan oleh ahli motivasi 4. Pembelajaran kimia yang dikaitkan dengan nilai keimanan dan ketaqwaan tidak hanya pada pokok bahasan hidrokarbon dan minyak bumi tetapi akan lebih baik jika seluruh pokok bahasan kimia bisa dikaitkan dengan nilai keimanan dan ketaqwaan.
DAFTAR RUJUKAN Aunurrahman. 2005. Mewujudkan Kemuliaan Akhlak: Membangun Keseimbangan Intelektual dan Moral Melalui Proses Pendidikan. Analytica Islamica. Vol. 7 No. 1 : 51-72 Arikunto, S. 2006. Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktik. Jakarta: Penerbit Rineka Cipta
19 Arisandy, D. 2004. Hubungan antara Persepsi Karyawan Terhadap Disiplin Kerja Karyawan Bagian Produksi Pabrik Keramik “Ken Lila Production” di Jakarta. Jurnal Psyche. Vol. 2 No. 1: 23-34. Brown, T.L., LeMay, H. E., & Bursten, B. E. 2000. Chemistry The Central Science 8thEd. New Jersey:Prentice Hall International Inc Departemen Pendidikan Nasional. 2003. Standar Kompetensi Kimia SMA dan MA. Jakarta: Pusat Kurikulum Balitbang Depdiknas Dimyati & Mudjiono. 2006. Belajar dan Pembelajaran. Jakarta: Rineka Cipta Direktorat Pendidikan Menengah Umum. 2006. Petunjuk Teknis Pengembangan Silabus dan Contoh/Model Silabus SMA/MA. Jakarta:Depdiknas Effendy. 2007. Pendidikan Kimia Dalam Konteks Indonesia. Makalah, disajikan di Universitas Indonesia tahun 2007 Effendy. 2007. A-Level Chemistry for Senior High School Students, Vol. A. Malang: Bayumedia Publishing Gulo, W. 2002. Strategi Belajar Mengajar. Jakarta: PT Gramedia Widiasarana Indonesia Hamalik, O. 2007. Proses Belajar Mengajar. Jakarta: PT Bumi Aksara Juriševič, M. tanpa tahun. Intrinsic Motivation for Learning Chemistry in Slovenian Primary, Secondary, and University Level Schools. Slovenia: University of Ljubljana Kelter, P.B., Carr, J. D., Scott, A. 2003. Chemistry: A World Choices, 2nd Ed. New York: McGraw-Hill: Larson, E. J., & Witham, L. 1998. Leading Scientist Still Reject God. Nature. 394: 313 Loekmono, L. 1988. Korelasi antara Indeks Prestasi Kumulatif Semester I/1987-1988 dengan Masalah yang Dialami Mahasiswa. Laporan Penelitian. Salatiga: Pusat Bimbingan Universitas Kristen Satya Wacana Mustofa, A. 2005. Menyelami Samudra Jiwa dan Ruh. Surabaya: Padma Press Prayitno. 2006. Pendekatan Kontekstual dalam Pembelajaran Kimia. Malang: FMIPA UM Proyek Pembinaan Kurikulum Pusat Kurikulum Balitbang . 2003. Monograf Bahan Ajar Bermuatan Imtaq Dan Iptek Untuk Tk & Ra – 12. Jakarta:Departemen Pendidikan Nasional & Lembaga Penelitian UNJ.
20 Salim, P. & Salim, Y. 2002. Kamus Bahasa Indonesia Kontemporer. Jakarta: Modern English Press Santosa, S. 2000. SPSS Mengolah Data Secara Profesional Versi 7.5. Jakarta: PT Elex Media Komputindo Sardiman, A. M. 1990. Interaksi dan Motivasi Belajar Mengajar. Jakarta: Rajawali Press Sarwono, S.W. 2002. Psikologi Sosial. Jakarta: Balai Pustaka Sirhan, G. 2007. Learning Difficulties in Chemistry:An Overview. Journal of Turkish Science Education. Vol. 4, No 2 : 2-20 Slameto. 2003. Belajar dan Faktor-Faktor yang Mempengaruhinya. Jakarta: Penerbit Rineka Cipta Suciati. 2001. Teori Belajar dan Motivasi. Jakarta: Dirjen Dikti Depdiknas Suja, I .W. 2000. Pendekatan Nilai-Nilai Kemanusiaan (Human Values) dalam Pembelajaran Sains. Aneka Widya Jurnal Pendidikan dan Pengajaran. 33: 95102. Sukatma. 2004. Hubungan Atribusi, Konsep Diri, dan Motivasi Belajar dengan Prestasi Belajar Siswa SMU Negeri di Kota Malang. Tesis tidak dipublikasikan. Malang: Universitas Negeri Malang Supranata, S. 2004. Analisis, Validiatas, Reliabilitas, dan Interpretasi Hasil Tes; Implementasi Kurikulum 2004. Bandung: PT. Remaja Rosdakarya Supriadi, D. 1998. Mengangkat Citra dan Martabat Guru. Jakarta: Depdikbud Suriasumantri, J. 1991. Ilmu dalam Perspektif. Jakarta: Gramedia Suryabrata, S. 1998. Psikologi Pendidikan. Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada . Thantawy, R. 1997. Kamus Bimbingan dan Konseling. Jakarta: Pamor Timberlake, K. C. 1992. Chemistry: An Introduction to General, Organic, and Biological Chemistry, 5thEd. New York: HarperCollins Publisher Inc Tim Dosen Filsafat Ilmu UGM. 2003. Filsafat Ilmu. Yogyakarta: Penerbit Liberty Yogyakarta Undang-Undang Republik Indonesia No. 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional. 2003. Bandung. Penerbit Fokus Media Winkel, W. S. 1984. Psikologi Pendidikan dan Evaluasi Belajar. Jakarta: Gramedia Wolberg, E.L. 1967. Social Psycology. New York: The Ronald Press Company