Tabel Peristiwa 27 Juli 2006* Kronologi Peristiwa Pukul 01.00 Di Markas PDI ada sekitar 300 orang yang berjaga ‐‐ suatu kebiasaan yang mereka lakukan sejak Kongres Medan lalu. Di luar pagar, ada sekitar 50 orang. Satgas dan simpatisan Mega mulai terlelap dan sebagian ada yang main catur di pinggir pelataran kantor dan juga di Jalan Diponegoro dengan beralaskan terpal. Pukul 03.00 Para pendukung Mega mulai mencium sesuatu bakal terjadi, setelah patroli mobil polisi berkali‐kali melintas. Sebagian dari mereka mencoba memantau keadaan dari jembatan kereta api Cikini. Pukul 05.00 Serombongan pasukan berbaju merah ‐‐ kaus PDI ‐‐ bergerak menuju Diponegoro 58. Konon mereka diangkut dengan delapan truk. Pukul 06.15 Pasukan berkaus merah tadi akhirnya sampai di depan Kantor PDI dan kedatangan mereka disambut para pendukung Mega dengan lemparan batu. Pasukan merah tadi pun membalas dengan batu dan lontaran api. Maka, spanduk yang menutupi hampir semua bagian depan Kantor PDI terbakar ludes. Bentrok fisik pun tak terhindarkan. Sebuah sumber mengatakan ada empat orang tewas, tapi angka ini belum dikonfirmasi.
Korban
Pelaku
Penanganan Kasus
5 orang meninggal dunia, 149 orang (baik sipil maupun aparat) luka‐luka dan sebanyak 136 orang ditahan
Kol. CZI Budi Permana (vonis bebas), Lettu Soeharto (vonis bebas), dan Jonathan Marpaung (2 bulan, 10 hari) Sejumlah nama lainnya yang menjadi tersangka namun tidak diproses hingga ke Pengadilan, yaitu : Letjen TNI Syarwan Hamid, Mayjen TNI Jacky Anwar Makarim, Brigjen TNI Syamsiar, Letjen TNI Sutiyoso, Mayjen Pol. Hamami Nata, Mayjen Pol. FX Sumardi, Brigjen Pol. Abubakar Nataprawira, Kolonel Inf. Harianto, Kolonel Inf. Tritamtomo, Serma Ratima, Letkol Julius
Menurut hasil penyelidikan Komnas HAM, sebanyak 5 orang korban meninggal dunia, 149 orang (baik sipil maupun aparat) luka‐luka dan sebanyak 136 orang ditahan dan 23 orang masih hilang akibat peristiwa ini. Persidangan terhadap para tersangka kemudian dilakukan di Pengadilan Koneksitas yang dibentuk khusus untuk mengadili para tersangka peristiwa 27 Juli. Persidangan berlangsung sejak tanggal 23 Juni 2003 hingga 30 Desember 2003 di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat yang dipimpin oleh Hakim Ny. Hj. Rukmini, SH sebagai Hakim Ketua, Kol. TNI Soeharyono, SH dan H. Muhammad Daming S. Sanusi, SH, MA sebagai anggota. Persidangan ini hanya mampu menggiring peristiwa 27 Juli sebagai peristiwa pidana biasa saja yaitu peristiwa pengrusakan secara bersama‐sama terhadap kantor DPP PDI meski terbukti ada unsur keterlibatan aparat militer dan intervensi pemerintah. Dalam proses persidangan di pengadilan ini, hakim hanya mampu membuktikan keterlibatan seorang buruh bernama Jonathan Marpaung yang terbukti mengerahkan massa dan melemparkan batu ke Kantor PDI dan divonis selama 2 bulan 10 hari, sedangkan dua perwira militer yang diadili yaitu Kol CZI Budi Purnama (mantan Komandan Detasemen Intel Kodam Jaya) dan Letnan Satu (Inf) Suharto (mantan Komandan Kompi C Detasemen Intel Kodam Jaya) divonis bebas.
Semua jalan menuju ke arah Diponegoro sudah diblokir oleh kesatuan polisi. Perempatan Matraman menuju ke Jalan Proklamasi ditutup dengan seng‐seng Dinas Pekerjaan Umum yang sedang dipakai dalam pembangunan jembatan layang Pramuka‐ Jalan Tambak. Massa sudah berkumpul di depan Bank BII Megaria. Sedang di samping pos polisi sudah nongkrong dua mobil anti huru‐hara dan empat mobil pemadam kebakaran persis di depan DPP PDI. Polisi anti huru‐hara terlihat ketat di belakang mobil anti huru‐hara dan di depan Kantor PDI. Pukul 09.15 Di samping Kantor PDI (dan PPP) terlihat massa ‐‐ yang tampaknya bukan dari PDI ‐‐ sedang baku lempar batu dengan ABRI yang bertameng dan bersenjatakan pentungan. Jerit dan teriak terdengar. Massa terus melempar pasukan dengan batu. Salah seorang massa yang ikut aksi lempar batu, ketika ditanya apa mereka pendukung Megawati, spontan menjawab, "Kami semua di sini rakyat". Pukul 09. 24 Massa di belakang Gedung SMP 8 dan 9, di samping Kantor PDI dan PPP, mulai terdesak mundur ketika ada bantuan pasukan yang tadinya hanya berjaga‐jaga di bawah jembatan kereta api. Mereka dipukul mundur sampai di belakang Gedung Proklamasi. Tiga wartawan foto mulai membidik massa yang lari tunggang langgang, Sedang salah seorang wartawan foto mendekati pasukan loreng dan berusaha mengambil gambar. Tiba‐tiba
seorang wartawan foto ‐‐ yang belakangan diketahui bernama Sukma dari majalah mingguan Ummat ‐‐ terlihat dipukuli pasukan loreng dan diseret bajunya (Lihat berita KOMPAS, 29 Juli 1996, Red). Dari sana Sukma ‐‐ dengan menarik bajunya ‐‐ dibawa ke belakang Gedung SMP 8 dan 9 Jakarta, tempat pasukan loreng berkumpul yang berjarak 300 meter dari tempat pertama pemukulan. Pukul 09. 35 Massa di depan Megaria yang diblokade pasukan polisi anti huru‐hara, melempar batu ketika mobil ambulans dari Sub Dinas Kebakaran Jakarta yang meluncur dari kantor DPP PDI mencoba menerobos kerumanan massa dan polisi di depan Bank BII di pertigaan Megaria. Massa yang berada di depan gedung bioskop Megaria dan Bank BII, berteriak‐teriak dan bernyanyi, "Mega pasti menang, pasti menang, pasti menang". Pukul 09. 45 Wartawan dalam dan luar negeri, yang sedari pagi berkumpul di depan pos polisi, mulai dihalau oleh pasukan anti huru‐hara menuju kerumunan massa di depan Bank BII. Saat itu juga terlihat kepulan asap hitam membubung dari DPP PDI. Salah seorang satgas PDI pro Mega mengatakan bahwa sebagian Kantor PDI sempat dibakar dan arsip‐arsip di dalam kantor sudah dimusnahkan. Korban tewas dari PDI pro Megawati yang berada di DPP diperkirakan empat orang. Sekitar 300 orang luka parah, 50 orang diantaranya dari cabang‐cabang Jawa Timur yang tengah berjaga‐jaga di Kantor PDI. Jalan Diponegoro di depan DPP PDI mulai
dibersihkan dari batu‐batu dan bekas kebakaran. Seonggok bangkai mobil dan motor yang terbakar juga disiram dan berada persis di depan pintu masuk Kantor PDI. Pukul 11. 30 Ribuan massa terus bertambah dan terpisah letaknya di tiga tempat. Yaitu di depan Bioskop Megaria, di depan BII, serta di depan Telkom, persis di depan jalan tempat Proyek Apartemen Menteng. Mereka menjadi satu kerumunan besar di pos polisi di bawah jembatan kereta api layang. Belum lagi massa dari arah Selatan di bawah jembatan layang kereta api yang sebelumnya dipukul mundur, sudah mulai bergerak maju dan menjadi satu kembali dengan massa besar tadi. Mimbar bebas pun digelar. Helikopter polisi terus memantau massa yang mulai mengadakan mimbar bebas. Dipandu aktivis pemuda, mimbar bebas menjadi ajang umpatan pada aparat keamanan, dan sanjungan untuk Mega. "Mega pasti menang, pasti menang, pasti menang.....," terus terdengar. Massa yang masih di dalam pagar lintasan kereta api mulai merobohkan pagar besi, lantas menyatu dengan massa peserta mimbar bebas. Pukul 11. 40 Massa yang berada di dalam pagar lintasan kereta api mulai melempar batu ke arah aparat yang sudah berjaga‐jaga di depan SMP 8 dan 9 Jakarta. Terdengar dari kejauhan massa di mimbar bebas terus berteriak mengecam aparat berseragam loreng. Batu‐ batu yang beterbangan membuat wartawan berlindung di belakang blokade polisi dan sebagian lagi menyelamatkan diri dengan
berlindung di mobil anti huru‐hara. Pihak kepolisian Jakarta Pusat berusaha menenangkan massa yang melempari pasukan dari Yon Kavaleri VII dan Yon Armed 7 Jayakarta. Massa yang terus bergerak membuat pasukan berseragam loreng bertahan di sekitar Jalan Pegangsaan Timur. Di depan pos polisi, massa yang terus bertambah jumlahnya memenuhi pentas mimbar bebas. Massa di depan bioskop Metropole Megaria merobohkan pagar besi pembatas jalan dan bergabung menyaksikan mimbar bebas. Salah seorang tampak berdiri di tengah lingkaran massa dengan membawa tongkat berbendera Merah Putih yang dikibarkan setengah tinggi tongkat. Dia berteriak, "Kita di sini menjadi saksi sejarah. Kawan‐kawan kita mati di dalam Kantor PDI. Kita harus menunggu komando langsung dari Ibu Mega," teriaknya lantang. Yang lain menyanyikan, "Satu komando..... satu tindakan." Kemudian ada doa bersama untuk mereka yang tewas. Pukul 12. 40 Pihak keamanan meminta utusan mimbar bebas untuk bersama‐sama pihak keamanan masuk melihat situasi di dalam Kantor PDI. Lima orang akhirnya dipilih, sementara mimbar bebas terus berjalan. Pukul 12. 45 Bantuan polisi dari satuan Sabhara Polda Metro Jaya mulai berdatangan memenuhi jalan depan Kantor PDI. Sedang lima orang utusan di bawah pimpinan Drs. Abdurrahman Saleh, bekas pengurus Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia, masuk ke dalam kantor DPP yang porak poranda. Sekitar lima
menit berada di dalam Kantor PDI, lima utusan tadi ke luar. Salah seorang wakil utusan, ketika ditanya TEMPO Interaktif tentang bagaimana kondisi di dalam kantor DPP, mengatakan, "Di dalam tidak ada apa‐ apa; darah berceceran di semua ruangan." Orang ini bercerita sambil menahan tangis; matanya sarat air mata, sambil membawa jaket merah PDI bernama dada Nico Daryanto, mantan Sekretaris Jenderal PDI, dan satu spanduk merah. Kelima utusan tersebut didaulat naik ke atas mobil anti huru‐hara untuk melaporkan keadaan di dalam gedung. Baru beberapa kata terucap dari utusan tadi, sebuah batu melayang entah darimana dan mengenai tangan seorang utusan yang berdiri di atas mobil anti huru‐hara. Akhirnya, laporan keadaan Kantor PDI berhenti sampai di situ. Pukul 13. 52 Pengacara Megawati, RO Tambunan, berpidato di depan Kantor PDI. Dia mengatakan, "Kita menduduki Kantor DPP karena Megawati adalah pimpinan yang syah. Negara ini adalah negara hukum, jadi tunggu proses hukum selesai," katanya keras. Yang dimaksud Tambunan adalah proses hukum berupa tuntutan Megawati ke alamat Soerjadi dan sejumlah pejabat pemerintah di pengadilan yang sampai kini masih disidangkan, sehingga status Kantor PDI belum diputuskan. Menurut RO Tambunan, Kapolres Jakarta Pusat sudah berjanji tidak seorang pun diperkenankan masuk, termasuk kubu Soerjadi. Barang‐barang tak satu pun boleh keluar dari dalam kantor; pihak pengacara
akan mendaftar barang‐barang DPP. "Ini negara hukum, kita harus turuti perintah hukum," ujar Tambunan. Pukul 14. 05 Soetardjo Soerjogoeritno, salah satu pimpinan DPP PDI yang pro Megawati, tiba‐ tiba terlihat berjalan mendekati Kantor PDI. Sesaat kemudian Soerjogoeritno bicara dengan Kapolres Jakarta Pusat soal status Kantor PDI. Massa yang mencoba mendekati Soerjogoeritno dihalau anggota Brimob yang bersiaga dengan anjing pelacak. Tapi, melihat ribuan orang, dua anjing herder itu tak berani bergerak mengejar massa. Massa makin berani. "Kami ini manusia, kok dikasih anjing," kata seseorang marah. Siang itu pula setumpuk koran Terbit yang memberitakan Kantor DPP PDI Diserbu, ramai‐ramai dirobek‐ robek. *diolah dari berbagai sumber