SYEKH YUSUF AL-MAKASARI, SEORANG PEJUANG YANG MENGHARUMKAN NAMA MAKASSAR Oleh: Prof.DR. H. Abu Hamid A. Pendahuluan
Tokoh Syekh Yusuf lahir dalam lingkup Kerajaan Gowa di Sulawesi Selatan pada tahun 1626, adalah putra asli suku bangsa Makassar. Ayahnya adalah Raja Gowa ke – 14 Sultan Alauddin (1593-1639) dan Ibunya St. Aminah (bukan permaisuri). Masa kelahirannya sementara berlangsung Islamisasi ke dalam masyarakat Sulawesi Selatan. Ia dipersiapkan oleh orang tuanya untuk menjadikan muballiq guna menetapkan ajaran Islam dalam kerajaan. Sejak remaja, Syekh Yusuf belajar Ilmu Agama dari Sayed Ba‟ Alwy bin Abdullah Tahir di Bontoala, ketika itu menjadi pusat pengajaran islam. Dalam usia 18 tahun beliau berangkat ke Banten, kemudian ke Aceh untuk memperdalam ilmu agamanya, selama 5 tahun. Tujuan utama memang ke tanah Hijaz (Timur Tengah) untuk mencari ilmu hakikat islam. Dalam tahun 1649 beliau berangkat ke Tanah Hijaz (Negeri Yaman, Mekkah dan Madinah) dan Damaskus. Di sana menghadap pada khalifah-khalifah tarikat dan mendapat ijazah untuk mengajarkan Tarikat-Tasauf, seperti tarikat Ba‟Aalwiyah, Naqsyabandiah, Syattariyah dan Khalwatiyah. Dalam tahun 1664 M, Syekh Yusuf kembali ke Hindia memenuhi undangan Sultan Banten Tirtayasa yang sedang bersiap-siap menghadapi serangan kompeni. Strategi kompeni untuk mengamankan penjajahan, mula-mula memerangi kerajaan Gowa yang dikenalnya sebagai raksasa maritime pada masa itu, menguasai bagian timur Hindia Timur. Giliran berikutnya adalah kerajaan Banten yang menjadi pusat perdagangan di bagian barat. Perang antara Banten dan Kompeni tidak dapat dihindari, berlangsung dari tahun 1682-1683 M, selama 22 bulan. Sultan Ageng Tirtayasa tertangkap (bulan Maret 1683), akhirnya komandan laskar dipimpin oleh Syekh Yusuf dengan 5000 orang lasykar terdiri atas orang Makassar, Bugis, Melayu dan Jawa. Secara ringkas, uraian berikutnya dilukiskan bagaimana Syekh Yusuf sampai dikenal dunia dan diangkat jadi pahlawan nasional di negerinya orang, adalah salah satu aspek turut mengharumkan nama Makassar di mana-mana. 1
B. Syekh Yusuf dalam Mitos Sejarah hidup Syekh Yusuf, masih dipersoalkan oleh berbagai kalangan, terutama di Makassar. Persoalan itu beredar, karena Lontara Gowa (LG) yang dibaca oleh masyarakat, penuh cerita kesaktian dan penghormatan kepada Tuanta Salamaka. Cerita itu sungguh berlebihan tidak masuk di akal sehat. Kehidupan Tuanta itu dibumbui cerita mitos yang merupakan cirri system kepercayaan pada masanya. Andaikata Tuanta mengetahui hal ini, dia pula akan marah, karena tidak sesuai dengan ajaran islam. Lontara Gowa (LG) bercerita tentang ayah Tuanta Salamaka, disebutkan “Orang Tua”, kemudian orang tua itu dinamakan Nabi Hidere. Ibunya bernama St. Aminah puteri Gallarang Moncongloe (GM). Dikatakan putri GM itu amat cantik. Suatu ketika Raja Gowa I Mangarangngi Daeng Manrabbia Sultan Alauddin menyuruh jemput puteri GM itu. Orang tua (Nabi Hidire) membawa istirinya menghadap raja. Permaisuri raja (ibu Sultan Malikussaid) langsung meminta suaminya memperisterikan isteri orang tua itu. Raja menolak, tetapi orang tua itu menyerahkan isterinya, maka raja menerimanya. Sesudah itu oran tua pulang turun dari istana. Isteri orang tua itu ditempatkan di luar peraduan baginda. Suatu malam, terlihat badan perempuan cantik itu, sementara ia tidur tidak rapat badannya di kasur, terangkat sejengkal sampai sehasta. Dari pusarnya
terpancar sinar terang menyinari kelambu
terdengar pula zikir “la ilaha illallah” keluar dari pusarnya. Mendengar keanehaan itu, raja perintahkan untuk mengantar perempuan itu ke Tallo. Tiada berapa lama, prempuan itu melahirkan seoang bayi laki-laki. Persalinan itu menimbulkan cahaya terang benderang di Tallo sampai Ujung Pandang, menyinari seluruh wilayah kerajaan Gowa. Anak itu kemudian dinamai Yusuf. Cerita rakyat di Gowa dan memang tertulis dalam LG, bahwa Nabi Hidere bila berjalan kakinya tidak menyentuh tanah, tak diketahui nama aslinya dan dari mana asal usulnya. Aminah dikatakan sudah mengandung lalu dikawini oleh Raja Gowa Sultan Alauddin. Berbeda lagi cerita dalam Lontara Tallo (LT) bahwa ayah yusuf adalah GM, sedang ibunya adalah Aminah puteri Dampang Ko‟mara. Baru saja 40 hari sesudah Aminah bersalin, ia diperisterikan oleh Raja Gowa, setelah dinyatakan bercerai dari suaminya. Beda lagi cerita orang yang merasa keturunan Syekh Yusuf di Takalar dan Sudiang, bahwa ayah 2
Yusuf adalah Abdullah Khaidir. Nama ayah yusuf „Abdullah‟ tertulis pula dalam risalahnya “Hasyiyah fi Kitab al Ambaai fi l‟raab La ilaha illallah”. Hamka pernah menyebut ayah Yusuf adalah Abdullah dalam tulisannya , sejarah Umat Islam, 4, hlm 219, th. 1963. Folktale yang beredar secara lisan dalam masyarakat Makassar, menyebutkan ayah Syekh Yusuf adalah seorang bangsa Arab. Demikian banyaknya versi ceritra lontara dan naskah serta ceritra lisan yang beredar sampai sekarang berkisar masalah ayah Syekh Yusuf. LG paling banyak cerita mitos dibanding dengan LT yang lebih rasional. Dalam LG, tidak ada fase kehidupan Yusuf yang tidak dibumbui ceritra mitos atau semacam folktale, mulai kelahirannya, ayahnya, perkawinannya dengan Dg. Nisanga, kedatangannya di Mekkah, perjalanannya ke Afrika Selatan sampai pada saat dimakamkannya di Lakiung. Apabila semua ini akan dibahas, memerlukan satu buku tebal yang berceritra mitos berdasarkan kepercayaan masyarakat atau berdasar kepercayaan menulis lontara. LG disalin dari waktu ke waktu, dibaca pada saat tertentu, misalnya niat tolak bahaya, hari-hari yang dianggap mendatangkan kebahagiaan atau dibaca untuk mengenang Tuanta Salamaka yang member keselamatan. Makamnya saja sekarang, ramai dikunjungi sebelum naik haji dan sesudah kembalinya, dikunjungi sebelum memasuki puasa dan hajat-hajat lain yang menyelamatkan. Di balik dari ceritra mitos itu perlu pula diketahui bahwa Syekh Yusuf di Banten merupakan musuh bebuyutan Belanda dan keberadaannya di Hindia Timur (Indonesia) seperti duri dalam daging, karena itu harus dibuang jauh-jauh ke Afrika Selatan. Semua keturunannya yang kembali dari Afrika Selatan ditempatkan di Takalar dan Sudiang, sebagiannya pula di Banten. Semua keturunannya itu diancam oleh kaki tangan penjajah, tidak boleh menyebut namanya, sehingga rakyat menyebutnya Tuanta Salamaka, sedang di Banten di sebut Tuan keramat. Semua keturunannya tidak boleh diangkat pejabat kampung, sementara raja-raja di Sulawesi Selatan dan Banten, dilarang menyebut ada kaitan keturunan dengan Syekh Yusuf. Begitu hebat suntikan penjajah kepada rakyat dan raja-raja, supaya tidak bangkit semangatnya untuk merdeka dan melawan penjajah. Betapapun seorang wali yang akan ditenggelamkan namanya, Allah S. W. T. senantiasa mengangkatnya. Beliau adalah wali kutub, ditandai “termasyhur pada zamannya dan sesudah zamannya”. Di Afrika Selatan, bila menyebut namanya selalu diikuti “alahis salam” salam dengan Nabi-nabi. Marilah kita merenungkan mitos dan ceritra-ceritrayang 3
bias membawa pada kemusyrikan. Siapa itu Nabi Kenapa diangkat menjadi ayah Yusuf, tidak mungkin sama sekali. Sengaja dikaburkan assal usulnya. Kehidupan Yusuf direkayasa demikian rupa, dibungkus dengan berbagai ceritra, disuntikkan idea ini pada masyarakat yang waktu itu rendah pendidikannya, lalu rakyat percayai. Apakah kita sekarang masih akan ikut pada ceritra mitos itu? Ayah sebenarnya Syekh Yusuf adalah Raja Gowa Sultan Alauddin, Raja ke 14, tahun pemerintahan 1593 – 1639 M. dari ibunya St. Aminah, sepupu raja sendiri. Dari sekian banyak lontara dan naskah-naskah yang dibandingkan dan dikritisi, kemudian berwawancara dengan Raja Gowa terakhir Andi Ijo Karaeng Lalollang, menyetujui pernyataan tersebut, hanya beliau katakan “itu rahasia”. Kemudian berwawancara dengan Raja Bone Andi Mappanyukki di Jongaya, beliau berterus terang bahwa Syekh Yusuf itu adalah nenek moyangnya dari raja-raja di Sulawesi Selatan. Kenapa Sultan Abdul Jalil, Raja Gowa ke 19 (1677-1709 M) selalu meminta kepada kompeni, waktu Syekh Yusuf ditahan, suapya dikembalikan ke Gowa. Demikian pula, ketika di ketahui kematiannya di Afrika Selatan, Sultan Abdullah meminta supaya jasadnya dikembalikan ke Gowa. Ketika kurang biaya untuk mengongkosi pengembaliannya ke Gowa, maka Sultan Abdul Jalil menanggung semua biayanya bersama isteri Arung palakka Daeng Talele yang menjual semua emasnya untuk ongkos angkut pulang jasad dan semua keluarganya. Harapan saya, supaya para peneliti rajin membaca lontara-lontara dan naskahnaskah, sebagaimana terlampir, agar spekulasi keberadaan Syekh Yusuf dipentas sejarah tidak kembali mempercayai ceritra khayal atau tidak kembali menghayal atas keberadaannya. C. Penangkapan Syekh Yusuf di Daerah Mandala
Sesudah pertempuran di Padaherang (Jawa Barat) antara gerilyawan Syekh Yusuf dengan pasukan kompeni yang memakan banyak korban kedua belah pihak, Syekh Yusuf meninggalkan pertahanannya keluar menembus pagar-pagar kepungan serdadu kompeni, menuju daerah Banjar. Pasukan kapten Van Happel dan Letnan Eygel mengejar mereka, namun tidak dapat mengikuti perjalanan gerilyawan lewat gunungan, maka pasukan Kompeni mencegatnya di Sungai Cisel dan Citandui, maka gerilyawan Syekh yusuf membelok ke cikatomas melalui Parigi. 4
Syekh Yusuf tiba pada sebuah negeri bernama Mandala di daerah Sukaparu. Tempat ini dijadikan benteng pertahanan, karena amat strategis. Pasukan kompeni yang mengejarnya sulit melakukan serangan, selain karena factor alam, penduduk negeri ini cukup simpatik, terdiri atas murid-muridnya dan pengikutnya tersebar menyatu dengan penduduk setempat. Serangan kompeni yang dilancarkan di Mandala, selalu tidak berhasil. Penduduk setempat, menghormati Syekh Yusuf sebagai ulama dan orang suci, mereka rela berkorban untuk mati syahid bersamanya.
Kompeni sudah mulai putus asa, khususnya pasukan Van Happel menghadapi gerilyawan dengan kekuatan senjata. Oleh karena itu, Kapten Van Happel menjalankan tipu muslihat yang halus, yaitu dia datang dengan berpakaian Arab dengan membawa St.Asma, puteri Syekh Yusuf yang ditangkap diPadaherang sebagai sandera. Van Happel
fasih
berbahasa Melayu dan membujuk Syekh Yusuf dengan segala macam janji. Akhirnya Syekh yusuf terpancing atas bujukan Van Happel, terutama rasa kasihan melihat puterinyayang dijadikan sandera. Syekh Yusuf bersama puterinya ke Cirebon, alias sudah ditangkap oleh Van Happel. Pasukan dan pengikut Syekh Yusuf yang terdiri atas orang-orang Makassar dan Bugis, tidak lama kemudian dikirim ke Makassar pada tanggal 23 Januari 1684 dengan kapal yang disediakan oleh Kompeni. Kapal lain mengangkut Syekh Yusuf dari Cirebon ke Batavia bersama anggota keluarganya dan komandan pasukan yang setia padanya, langsung dimasukkan ke dalam Kastle (Banten) di Batavia. Sekitar 6 bulan lamanya Syekh Yusuf berada dalam Bentengdi Batavia, dijaga ketat oleh tentara kompeni, agar tidak lolos berhubungan dengan penduduk, bahkan diberitakan sudah terbunuh, karena pengaruhnya berakar dan meluas di kalangan orang-orang Priangan, dipuja sebagai orang suci dan sufi. Pemerintah tinggi kompeni, memandang keberadaan Syekh Yusuf di Batavia sebagai ancaman yang mengkhawatirkan. Dengan demikian, diputuskan oleh Gubernur Jenderal bersama Dewan Hindia Belanda akan mengasingkannya ke Ceylon (Srilangka). Keputusan itu dijalankan pada tanggal 12 Desember 1684.
D. Pengasingan ke Ceylon sebagai Political Exiles Setelah sampai waktunya, Syekh Yusuf diasingkan ke Ceylon sebagai buangan politik dalam usia 58 tahun, ikut bersama dua orang isteri, dua orang 5
pembantu wanita 12 orang santrinya dan beberapa orang putra-putrinya. Bagi pihak kompeni, putusan pengasingan itu dianggap kegiatan politik Syekh Yusuf tua itu sudah selesai dan merasa aman dari gangguan. Dalam waktu yang singkat, nama Syekh Yusuf di Ceylon sudah terkenal. Di tengah-tengah masyarakat Budha, beliau mengajarkan ilmu Syariat dan Tasauf kepada murid-muridnya yang dating dari India (Hindustan) dan dari masyarakat Srilanka sendiri. Kesempatan di pengasingan ini, digunakan beramal, mengajar dan menulis risalah-risalah ajarannya. Jemaah haji dari Hindia Timur (Indonesia), sekembalinya dari Mekkah, biasanya singgah di Ceylon menunggu musim barat dan mengambil air minum, selama satu sampai tiga bulan. Para jemaah haji menggunakan kesempatan belajar dan memperdalam ilmunya dan minta berkat pada Syekh Yusuf. Dalam hal ini demikian, terselip pula pesan-pesan politik kepada jamaah haji, agar tetap mengadakan perlawanan kepada kompeni Belanda yang akan menjajah dan memonopoli perdagangan. Pesan-pesan agama kepada jemaah haji, supaya tetap berpegang teguh pada jalan Allah. Dititip pula pesan kepada Sultan dan rakyat Banten dan Makassar lewat suratnya, agar tetap waspada, tetap berpegang pada kitab Allah, selalu berdzikir, berbuat jujur dan berbudi luhur. Pesan-pesan kepada raja di Makassar, adalah pesan kekeluargaan. Risalah-risalah yang ditulis di Ceylon, ialah : 1. Kaifiyat al-Munghi wal istbath 2. Safinat an-Naja‟at 3. Hablu al Warid li Sa‟adat al-Murid 4. Al-Barakat as-Sailaniyah 5. An-Nafhatu as-Sailaniyah 6. Mathhlibu as-Salikin 7. Risalah Ghayah al-ikhtisar Peranan yang dimainkan oleh Syekh Yusuf di Ceylon, adalah membina semangat perjuangan, semangat keagamaan dan pembinaan kepribadian pemimpin. Kehadira beliau di Ceylon dikenal pula sebagai permulaan adanya islam disana dan perkembangannya melalui penyebaran tarikat di kalangan penduduk Srilangka dan sebagian di Hindustan (india). 6
Kaisar Hindustan yang bernama Aurangzeb Alamgir (1659-1770) yang cinta kehidupan mistik, sangat menghormati Syekh Yusuf. Kaisar ini pernah menyurat kepada wakil Pemerintah Kompeni di Ceylon, supaya kehormatan pribadi Tuan Syekh Yusuf itu dipelihara, karena jika Tuan itu terganggu, akan menggelisahkan umat islam Hindustan. Pesan-pesan dan surat Syekh Yusuf kepada raja Banten dan Makassar (Gowa), berhasil dicium oleh Kompeni di Batavia. Pemberontakan rakyat Banten, Haji Miskin di Sumatra Barat dan Sultan Abdul Jalil (Raja Gowa ke19) yang menggugat perjanjian Bongaya, supaya Fort Rotterdam, dikembalikan kepada Gowa. Kompeni terkejut melihat peristiwa itu bias terjadi dan menyelidiki siapa biangnya. Akhirnya kompeni mengambil kesimpulan, bahwa sebab peristiwa itu adalah orang tua yang ada di Ceylon. Sejak itu, pemerintah kompeni menemukan nama samara yang digunakan oleh rakyat, seperti Tuan Loeta, Pasanna Tuanta, Tuanta Salamaka, sedang di Jawa Barat dengan nama samaran Ngelmu Aji Karang. Dan Tuan Syeh. Nama samara ini yang dimaksudkan adalah Syekh Yusuf sendiri, wibawa dan pengaruhnya masih beredar dikalangan masyarakat Hindia Timur dan Ceylon sampai ke India. Pemerintah tinggi Kompeni memutuskan bahwa Syekh Yusuf harus dipindahkan lebih jauh lagi dan asal keturunannya harus dikaburkan serta wibawanya, agar keluarga dan murid-muridnya tidak mewarisi kebanggaan atas kecendekiawan daan pengaruhnya. E. Pengasingan ke Afrika Selatan Keputusan kompeni dijalankan pada tanggal 7 Juli 1663 untuk memindahkan Syekh Yusuf ke Kaap (Cape Town-Afrika Selatan), dalam usia 68 tahun, dengan kapal “Voetboeg” bersama dua istrinya (Kare Kontu dan Kare Pane), dua orang pembantu wanitanya (St.Mu‟minah dan St. Naimah), 12 orang anak, masing-masing : M.Rajab; M.Hayi; m.Jaelani; Raden Burne; M.Ramlan; St.Aisyah; M. Jamal Kare Sangie; M.Sondak; St.Ramlah; St.Habibah dan St.Sainab. Sebagian nama-nama santri dan pengikutnya dicatat dalam dokumen kompeni di Cape Twon, antara lain, M.Pia; Kare Nanang; Abidah; hamidah; St.sari; 7
Bibi Aisyah; Daeng Maanika; M.Kasim; Ketul Said; M.Rahuna; Abu Bakar; Abd.Rauf dan Abd.Jafar. jumlah orang dalam rombongan yang ikut dibuang sebanyak 49 orang. Kedatangan Syekh Yusuf sebagai orang buangan politik (political exile) di kaap (Cape Town), disambut dengan penuh ramah tamah oleh Gubernur Simon Van Der Stel dan menghormatinya, tidak seperti orang buangan politak yang datang sebelumnya. I.D. Calvin bercerita dalam bukunya “The Romance Of South Africa” (1897) halaman (165-175) mengatakan; bahwa penghormatan yang telah berlangsung sampai 200 tahun dikalangan orang-orang Melayu di Cape Twon, dapatlah kita bayangkan Syekh Yusuf itu bukanlah orang biasa. Ia bukan saja berdarah bangsawan, melainkan ia seorang saleh yang bukan sembarangan. Ia seorang kesatria, seorang pengarang, seorang cendekia dan seorang alim yang mendalam pengetahuannya tentang hal-hal yang suci. Syekh Yusuf tiba dibumi paling selatan Afrika Selatan pada tanggal 2 April 1694 jam 15.00 waktu setempat bersama rombongannya (49) orang tanpa dirantai, bahkan disambut oleh para petinggi kompeni. Langsung beliau diantar masuk ke dalam Kastle (Banten penyu) di Cape Twon, tidak jauh dari pelabuhan. Sembahyang maghrib pertama dalam Banten (Kastle) dilakukan oleh rombongan setelah menginjak bumi pembuangan. Sembahyang maghrib inilah jadi petunjuk mula adanya Agama Islam di Cape Twon. Kurang lebih 72 hari lamanya Syekh Yusuf berada di Kastle (Benteng) bergaul dengan serdadu India sewaan Kompeni dan para pekerja Kastle, mereka mulai simpatik dan terpengaruh atas kepribadian Syekh Yusuf, sehingga dikhawatirka akan mengadakan kekacauan dalam Kastle. Diputuskan untuk memindahkannya ke daerah Zandvleit dekat muara sungai Eerste di Cape, 36 km dari pusat kota Cape. Daerah ini adalah lokasi pertanian milik pendeta P. Kalden, dekat bukit faura dan berhadapan dengan False Bay (teluk palsu0 sebagai teluk paling selatan, tempat bertemunya Samudra Hindia dan samudra Atlantik. Pengasingan Sekk Yusuf ke Zanvleit dianggap oleh kompeni sudah aman dari gangguan orang yang dituduh sebagai “musuh dalam daging” bagi kekuasaan kompeni di Hindia Timur (Indonesia). Dua proyek Kolonialis Kompeni yaitu, Hindia Timur dan Afrika Selatan, harus diamankan dari orang tua (Syekh) yang paling berbahaya ini. Pengasingan ini tidak berhasil oleh charisma Syekh Yusuf menyebar kekampung-kampung
lain yang bertetangga dengan Zandvleit,
mempengaruhi perkampungan kulit hitam, terutama budak-budak yang dibeli di Indonesia, 8
Melayu India, Madagaskar dan Ceylon yang dating sebelumnya untuk bekerja pada perkebunan anggur dan perusahaan umum milik Kompeni. Ada dua gelombang pembuangan politik yang diasingkan ke Cape Town. Pertama, dalam tahun 1658 tiba di Cape orang Muslim dari Banda-Ambon yang disebut di sana MARDYCKERS atau orang-orang merdeka. Disebut demikian untuk membedakan dengan pengiriman budak-budak. Pengasingan orang-orang merdeka, dilakukan pertama oleh Portugis dan dilanjutkan oleh Belanda. Gelombang kedua adalah pengasingan politik yang disebut “Orang cayen” atau orang kaya, yaitu Syekh Mahmud Al_Qadri dan Syekh Abd. Rahman Matebe Shah. Dua orang ini ditempatkan ditengah hutan Konstantin dan seorang lagi ditempatkan di pulau Robben. Ketiganya datang dengan dirantai tangan dan kakinya, berasal dari Sumatra, yaitu asal Silebar dan Barus. Orang kaya ini dianggap mengganggu monopoli perdagangan Kompeni, saat mengumpulkan hasil-hasil bumi dari Sumatra. Ketiga orang ini di angkut dengan kapal “Polsbroek”, tinggalkan Btavia tanggal 24 Januari 1667 dan tiba di cape Town Tanggal 13 Mei 1667. Tahanna yang tempatkan di Pulau Robben, dianggap paling berbahaya, sampai matinyapun rantai tetap ditangan dan dikuburkan di Pulau tersebut, sedang dua lainnya dimakamkan di daerah Konstantine. Rombongan Syekh Yusuf yang tiba di Cape dalam tahun 1694, adalah buangan politik gelombang ke tiga, namun karena wibawa dan pengaruhnya mulai di Hindia Timur, Ceylon dan Afrika Selatan, dimukimkan di daerah terpencil di Zandvleit, bebas mengurus kehidupannya tanpa mereka menjadi warga Negara, karena tetap berstatus tahanan. Catatan pada arsip Cape, bahwa dalam tahun 1667 sudah terdapat di Cape penduduk budak yang beragama Islam, sebanyak 270 orang. Kemudian ditambah dengan muslim buangan politik pada tahun berikutnya, pertumbuhan mereka pesat dan kemudian bercampur dengan muslim yang dating dari dunia Islam lainnya, memasuki kota-kota di afrika Selatan. F. Peranan dan Pengaruh Syekh Yusuf di Afrika Selatan Peranan yang telah dimainkan oleh Syekh Yusuf di Afrika selatan, mula-mula memantapkan pengajaran agama kepada pengikut-pengikutnya. Kemudian mempengaruhi orang-orang buangan politik dan keturunannya, serta budak-budak yang tersebar di kampung-kampung. Secara rahasia pada malam hari, mereka mengadakan jemaah bersama, memperdalam pengetahuan agama dan konsisten terhadap pendirian, tampa bias dipengaruhi oleh agama lain. Berangsur-angsur penduduk asli kulit hitam turut berpengaruh pula ikut dalam jemaah. Lambat laun, terbentuklah komunitas-
9
komunitas, sejalan dengan pertambahan jumlah mereka secara alami yang mengakibatkan komunitas mereka bertambah besar pula. Meskipun sudah ada aliran tasawuf yang dating sebelumnya, seperti tarekat qadariyah yang dibawa oleh Syekh Mahmud dan Abd. Rahman Matabe, namun pengetahuan Syekh Yusuf tentang tarekat ini lebih dikuasanya. Syekh Yusuf mengajarakan tareka Khalwsatiyah yang lebih mendalam dan ahirnya dianut oleh komunitas muslim masa itu. Melalui iktan tarekat menarik mereka memperkuat komunitasnya dan memupuk rasa senasib sepenanggungan di Negeri asing. Dalam komunitas, tidak membedakan warna kulit, perbedaan ras dan asal keturunan, tetapi semua sama disisi Tuhan. Perbedaan manusia hanya diukur dari kualitas taqwanya. Dalam komunitas pula, dipererat oleh jemaah setikap malam, melakukan Zikir khaafi (zikir kecil), agar tidak dicium oleh penjajah. Sistem pengajaran tarekat dan pemantapan tasawuf yang membentuk kekuatan komunitas untuk hidup bersama dan mengembangkan saling membantu dan tolong-menolong dikalangan mereka, ahirnya tercipta suatu kekuatgan besar yang tidak dapat dibendung oleh pemerintah Kompeni. Kebijakan Kompeni, terpaksa berubah taktiknya dalam memperlakukan para budakbudak yang bekerja sebagai pekerja paksa diperusahaan Kompeni, menjadi lunak, bahkan memperbaiki kesejahteraan mereka. Dari berbagai pustaka yang menguraikan kehadiran Syekh Yusuf di afrika Selatan menyatakan, bahwa mula adanya islam di Afrika Selatan, adalah dimulai opleh Syekh Yusuf dan pengembangan beliau dibantu oleh 12 orang santrinya yang dapat menjadi mubaligh dimuka umum. Dalam peringatan 300 tahun mendaratnya Syekh Yusuf di Afrika Selatan yang berlangsunf pada tanggal 2 April 1994, pidato nelson Mandela mengatakan, bahwa Syekh Yusuf adalah peletak dasar dari ide komunitas dan bapak komunitas-komunitas di Afrika Selatan. Syekh Yusuf adalah anti rasialis dan anti penjajahan yang mengeksploitasi sesame manusia. Pidato ini diucapkan dalam rapat di gedung De Good Hope di tengah pusat kota Cape tepat jam 15.00waktu setempat. Perjuangan partai ANC (African Nationale Congress) yang dipimpin langsung oleh Nelson Mandela, tentang anti Aparttheid (anti rasialis antara kulit putih dan hitam), diperoleh lewat renungan, ketika Mandela ditahan di Robben Island, tempat pembuangan pejuang-pejuang dari indinesia, bisa jadi bersumber dari perjuangan Syekh Yusuf. Demikian pula cara ANC merebut pengaruh dari penduduknya, dilakukan melalui pengorganisasian komunitas-komunitas kulit hitam dengan melancarkan pesan-pesan politik. Bukan pesan-pesan agama yang bermuara ke politik anti 10
penjajahan seperti yang dilakukan oleh Syekh Yusuf. Namun tentunya sumber ide Nelson Mandela tentang komunitas tersebut, diadopsi (diangkat) dari fenomena yang dipraktekkan oleh Syekh Yusuf. Hubungan sejarah Indonesia dengan Afrika Selatan dimulai sejak 6 April 1652, ketika nakhoda Jan Van Riebeeck mendaratkan kapal-kapal VOC di Teluk Meja De Good Hope. Sejak itulah belanda menjalankan dua proyek kolonialis sekaligus, yaitu Indonesia dan Afrika Selatan. Kawasan Cape atau Kaap menjadi tempat pembuangan pejuang-pejuang Indonesiaanti Kolonialis. Ada baiknya, di bawah ini diuraikan satu per satu, antara lain yang dikenal : 1. Kelompok orang Mardiicker (orang merdeka) dari Banda Maluku, dalam tahun 1658 tak disebut namanya, 2. Tiga orang tokoh dari Sumatera Barat yang disebut orang Cayens (orang kaya) dalam tahun 1667, 3. Rombongan Syekh Yusuf, kelahiran Gowa dan berjuang di Banten, tiba di Afrika selatan dalam tahun 1694, 4. Raja Tambora, Sultan Abd. Basir dari Nusa Tenggara, tiba di Afrika Selatan dalam tahun 1697, 5. Tua Said Alwie dari Batavia dalam tahun 1744, 6. Haji Materiem dari Batavia tahun 1744, 7. Pangeran Tjakraningrat IV (Sidingkap) dari Madura, tiba di Afrika Selatan dalam tahun 1745, 8. Abdullah Ibnu Qadi Abdussalam, Pangeran Putra Sultan Tidore, tiba di Afrika Selatan dalam tahun 1780. Dia lebih dikenal dengan nama tuan guru, 9. Kadhi Abd. Rauf dan Badruddin dari Tidore dalam tahun 1780, bersamaan dengan Tuan Guru, 10. Sultan Ahmad dari Ternate dalam tahun 1781, 11. Said Abdurrahman dari Madura dalam tahun 1781, dan 12. Daeng Mangenan dari Sulawesi Selatan dalam tahun 1782. Hampir semuanya diperlakukan dengan bengis, seperti tangan dan kaki dirantai, dilepas di tengah hutan seperti orang Cayen, di hutan Robben Island, ditindas kebebasan beribadah dan intimidasi semua gerak-geriknya. Tokoh yang paling menonjol adalah Syekh Yusuf (1626 – 1699) dan Tua Guru (1712 – 1807). Syekh Yusuf, kelahiran Gowa dan berjuang di Banten, adalah ulama, 11
sufi, penulis dan komandan pertempuran. Dia dianggap sebagai peletak dasar Islam pertama di Afrika Selatan. Tuan Guru, Pangeran dari Tidore, juga seorang ulama, hafiz Quran, penulis kitab Akidah dan komandan pertempuran. Di bawah tindasan Kompeni dia masih berhasil mendirikan mesjid pertama dan mengajarkan islam secarah sekolah di Afrika Selatan. Sesudah 3 abad terisolasi bagaikan tak tahu atau tak ingat, kinilah saatnya kita mengenal dan meneladaniamal mereka, para sejerawan meneliti riwayat perjuangan mereka dan pemerintah memberikan penghargaan yang semestinya. Merekalah pahlawan-pahlawan pejuang Indonesia, dibuang 12.000 km menyeberang samudera ke benua asing nan jauh, disana berkubur sunyi, dilupakan oleh bangsanya sendiri. Saatnya sekarang mengenangnya dan menghubungkan dua Negara berbeda Indonesia dan Afrika Selatan. Syekh Yusuf sudah diangkat “Pahalwan Nasional” di Afrika Selatan dalam tahun 1925 dan 70 tahun kemudian diangkat lagi pahlawan Nasional di Afrika Selatan yang sudah mereka, tahun 2005. Di Indonesia, disamping gelar pahlawan Nasional, diberiakan pula gelar Mahaputra Adhipradana. Makam Syekh Yusuf di daerah Zempit, 36 km sebelah selatan pusat kota Cape Twon, disebut MAKASSAR Dawn atau Desa Makassar. Komunitas Islam Cape Twon menghormatinya sebagai Tuan Keramat berasal dari Makassar. Sekarang ini sudah didirikan mesjid di sebelah utara dari makamnya yang bisa menampung 500 jemaah sebagai hasil pemugaran mesjid mungil yang hanya menampung 50 orang. Mesjid baru tersebut, diresmikan oleh Wakil Presiden RI, H.M. Yusuf Kalla dalam tahun 2005. Berdekatan dengan mesjid, dibangun rumah permanen yang dipersiapkan bagi peziarah makam yang memerlukan, di samping itu tempat tinggal Imam Mesjid.
12
SYEKH YUSUF al-MAKASSARI al-BANTANI : Kronologis Ringkas Seorang Ulama, Sufi, Pengarang dan Panglima Perang yany Kita Lupakan Selama Ini
1626
Lahir di Gowa, 3 Juli, di Sulawesi Selatan. Belajar dasar-dasar Islam pada ulama setempat, sampai umur 18.
1644 - 1649
Berlayar ke Banten, lalu ke Aceh, untuk menuntut ilmu agama selama 5 tahun. Kembali ke Banten. (umur 18-23)
1649 - 1664
Dari Banten mengembara selama 15 tahun ke Yaman, Makkah, Madinah dan Damaskus untuk memperdalam ilmu agama. Memperoleh ijazah untuk membimbing tarikat Naqsyabandiyah, Ba‟alawiyah, Syattariyah, dan Khalwatiyah. Mengajar di Mesjid Haram. Nikah dengan puteri Imam Masjidil Haram (Umur 23-38)
1664 - 1682
Mengajar santri-santri dan keluarga Keraton Banten, bertabligh di masyarakat, pemimpin tarikat, menjadi Mufti Keraton dan penasihat Sultan Ageng Tirtayasa selama 18 tahun. Nikah dengan puteri Sultan. Menulis 6 Naskah buku mengenai agama islam dan tasauf dalam bahasa arab. (Umur 38-56)
1682 – 1683
Peperangan antara Banten dengan Kompeni selama 22 bulan. Setelah Sultan Ageng Tirtayasa ditangkap Belanda (Maret 1683), pimpinan 5.000 laskar pertempuran di jawa Barat dipegang Syekh Yusuf sampai ditangkap Belanda di Mandala, Desember 1683. Diangkut ke Batavia. (Umur 56-57)
1683 – 1684
Dipenjarakan di Batavia (Umur 57-58)
1684 – 1693
Dibuang ke Colombo, Ceylon selama 9 tahun. Mengajar santri-santri, yang datang dari Ceylon dan India. Dikena sebagai ulama besar dan dihormati, raja India Aurangzeb, yang cinta tasawuf. Menulis 7 risalah mengenai agama dan tasawuf. Selalu mengirim surat pada Sultan Banten dan Makassar. Membina jamaah haji Indonesia yang transit 2-3 bulan di 13
Colombo, menunggu angin musim pelayaran pulang. Dicurigai kompeni menghasut pemberontakan dari jauh. (umur 58-67)
1694 – 1699
Pada umur 67 diasingkan ke kaap, atau Cape, di Afrika Selatan. Peletak dasar islam di bagian benua itu dan inspirator perjuangan melawan kolonialisme. Pembuangan dialaminya selama 5 tahun. (Umur 68-73)
1699
Wafat 23 Mei dalam usia 73 di desa Makassar, di kawasan Faure, 40 km di Tenggara Cape Twon. Dimakamkan di atas bukit id desa Makassar tersebut.
1705
Jenaza di bawah VOC ke Makassar (6 tahun sesudah wafat). Dimakamkan kembali di Lakiung, 6 April 1705.
14
Lampiran NASKAH-NASKAH YANG HARUS DIBACA DALAM RIWAYAT SYEKH YUSUF
1. B. F. Matthes, 1885, Eenige Makassarsche en Boeginesche Legenden. 2. De Haan, 1912, Priangan, Jilid III, hal. 393. 3. G. J. W. Drewes, 1926, “Sech Joesoef Makassar,” dalam majalah Djawa, hlm. 83 4. V.I Van De Wall, 1931, Nederlandsche Oudheden in Celebes, Afi. W., hlm. 293. 5. I.D. du Plessis, 1935, Die Byedre van die Kaapse Malejer tot die Afrikaanse Volklied, hlm. 7. 6. Jefferys K.M., 1939, “The Malay Tombs of the Holy Circle” dalam Cape Naturalist. 7. I. Nurdin Magassiung, 1941, “Sejarah Almarhum Syekh Yusuf di Gowa,” bul. S.S.S.Agustus. 8. I.D. du Plessis, 1944, The cape malay, hlm. 49-77. 9. H.J. de Graaf, Geschiedenis van Indonesic, hlm. 343. 10. A.A. Cense, 1950, “De Verering van Sjaich Yusuf in Zuid-Celebes,” hlm.50. 11. B. Rangkuti, 1954, “Syech Jusuf Mengkassar,” dalam harian Antara, 36 hari. 12. Gaffar Ismail, 1956, “Sjech Jusuf Pahlawan Asia yang Berkaliber Internasional,” dalam harian Sulewesi Bergolak. 13. Abd. Razak Mile, 1958, “Tuan Syekh Yusuf Tajul Khaliwatiyah,” dalam majalah Sahabat, Oktober. 14. Swart M.J.,1961, “The Karamat of Sheik Yoesoef,” dalam South African Panarama, Juni. 15. Hamka, 1963, Sejarah Umat Islam, IV, hlm.219. 16. Abu bakar Atjeh, 1964, Pengantar Ilmu Tharekat, hlm.327. 17. G.M. Theal, 1964, History of Africa South of the Zambesi, III, Cape Town. 18. Van Selms J.,1967, “Sjeik Joessoef,” dalam zuid-Arikaanse Biografiese Woorden Boek, ed W.J. de Kock. 19. Uka Tjandrasasmita, 1967, Musuh Besar Kompeni Belanda, Sultan Ageng Tirttayasa, hlm.47. 20. Abd. Razak Dg. Patunru, 1969, Sejarah Gowa, hlm. 69. 21. Djolo Soemarto, 1974, “Syekh Yusuf Patriot dari Gowa,” dalam harian Pedoman Rakyat, No, 8, Mei. 22. Suber Usman, 1974, “Syekh Yusuf Tajul Khalwati,” dalam panji Masyarakat, No. 158. 23. Tujimah, 1975, She Yusuf Makassar :1626-1699, makalah. 15
24. A. Makkarrausu A., 1975, Syekh Yusuf Khalwatijah, makalah. 25. Hamka, 1976, Dari Perbendaharaan Lama, hlm.36. 26. Hamka, 1977, “Syekh Yusuf Tajul Khalwati,” dalam panji Masyarakat, No.130. 27. Hawash Abdullah, 1980, Perkembangan ilmu Tasawuf, hlm.60-83. 28. Sulaeman Essop D.,1980, A Critical Biography by Syekh Yusuf, 80 halaman. 29. H.A.Massiara, 1983, Syekh Yusuf Tuanta Salamaka dari Gowa, 89 halaman. 30. Tujimah (et al), 1987, Syekh Yusuf Makassar, Riwayat Hidup, Karya dan Ajarannya, 128 halaman.
16