BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Kriminologi Kriminologi merupakan ilmu pengetahuan yang mempelajari tentang kejahatan. Nama Kriminologi yang ditemukan oleh P.Topinard seorang ahli antropologi Perancis, secara harfiah berasal dari kata “crimen” yang berati kejahatan atau penjahat dan “logos” berarti ilmu pengtahuan, maka kriminologi dapat berarti ilmu tentang kejahatan atau penjahat.1 BONGER
memberikan
definisi
kriminologi
sebagai
ilmu
pengetahuan yang bertujuan menyelidiki gejala kejahatan seluas-luasnya. Melalui definisi ini, Bonger lalu membagi kriminologi ini menjadi kriminologi murni yang mencakup: 1) Antropologi Kriminil Ialah ilmu pengetahuan tentang manusia yang jahat (somatis). 2) Sosiologi kriminil Ialah ilmu pengetahuan tentang kejahatan sebagai suatu gejala masyarakat. 3) Psikologi kriminil Ilmu pengetahuan tentang penjahat yang dilihat dari sudut jiwanya. 4) Psikopatologi dan Neuropatologi Kriminil 1
Topo Santoso,Eva Achjani Zulfa, Kriminologi.Jakarta.PT Grafindo,2001,hlm 9.
6
Ialah ilmu tentang penjahat yang sakit jiwa atau urat syaraf. 5) Penelogi Ialah ilmu tentang tumbuh dan berkembangnya hukuman.2 Michel
dan
Adler
berpendapat
bahwa
kriminologi
adalah
keseluruhan keterangan mengenai perbuatan dan sifat dari para penjahat, lingkungan mereka dan cara mereka secara resmi diperlakukan oleh lembaga-lembaga
penertib
masyarakat
dan
oleh
para
anggota
masyarakat.3 Wolfgang, Savitz dan Johnston dalam The Sociology of Crime and Delinquency memberikan devinisi kriminologi sebagai kumpulan ilmu pengetahuan tentang kejahatan yang bertujuan untuk memperoleh pengetahuan dan pengertian tentang gejala-gejala kejahatan dengan jalan mempelajari dan menganalisa secara ilmiah keterangan-ketrangan, keseragaman-keseragaman, pola-pola dan faktor-faktor kausal yang berhubungan dengan kejahatan, pelaku kejahatan serta reaksi masyarakat terhadap keduanya.4 2.2 Teori-teori Kriminologi Teori Lombroso tentang born criminal (penjahat yang dilahirkan) menyatakan bahwa para penjahat adalah suatu bentuk yang lebih rendah dalam kehidupan, lebih mendekati nenek moyang mereka-mereka yang mirip kera dalam hal sifat bawaan dan watak dibanding mereka yang 2
Ibid, hlm 9-10 Ibid, hlm 12 4 ibid 3
7
bukan penjahat, merka dapat dibedakan dari non-kriminal melalui beberapa ativistic stigmata ciri-ciri fisik dari makhluk pada tahap awal perkembangan,
sebelum
mereka
benar-benar
menjadi
manusia.
Lambroso beralasan bahwa seringkali para penjahat memiliki rahang yang besar dan gigi taring yang kuat, suatu sifat yang pada umumnya dimiliki makhluk carnivora yang merobek dan melahap daging mentah. Jangkauan/rentang lengan bawah dari para penjahat sering lebih besar dibanding tinggi mereka, sebagaimana dimiliki kera yang menggunakan tangan mereka untuk menggerakan tubuh mereka di atas tanah.5 Menurut lambroso, seorang individu yang lahir dengan salah satu dari lima stigmata adalah seorang born criminal (penjahat yang dilahirkan). Kategori ini mencakup kurang lebih sepertiga dari seluruh pelaku kejahatan. Sementara itu, penjahat perempuan, menurutnya berbeda dengan penjahat laki-laki. Ia adalah pelacur yang mewakili born criminal. Penjahat perempuan memiliki banyak kesamaan sifat dengan anak-anak moral sense mereka berbeda, penuh dendam, cemburu. Sebagai konsekuensi penjahat perempuan merupakan suatu monster. Disamping kategori born crimnal di atas, Lombroso menambahkan tiga kategori lainnya yaitu: insane criminals dan criminoloids. Inside criminals bukanlah penjahat sebagai hasil dari beberapa perubahan dalam otak mereka yang mengganggu kemampuan mereka untuk membedakan benar atau salah, criminoloids mencakup suatu kelompok ambiguous
5
Topo Santoso,Eva Achjani Zulfa, op.Cit, hlm 38
8
termaksuk penjahat kambuhan (habitual criminals) pelaku kejahatan karena nafsu dan berbagai tipe lain.6 Meskipun teori Lombroso dianggap sederhana dan naïve untuk saat ini, Lombroso memberikan kontribusi yang penting (signifikan) bagi peneliti mengenai kejahatan. Fakta Lombroso memulai melakukan penelitian empiris, mengukur ribuan narapidana yang hidup dan mati, dalam upaya menemukan penentu kejahatan, perhatiannya pada Multifaktor dalam menjelaskan kejahatan. Lombroso juga berjasa dalam mengalihkan studi tentang kejahatan dari penjelasan abstrak, metafisika, dan juristic sebagai basis penghukuman bagi suatu studi ilmiah tentang penjahat serta kondisi-kondisi pada saat dia melaksanakan.7 Menurut Enrico Ferri
yang mengklasifikasikan lima kelompok
penjahat antara lain: 1. The born criminals atau instinctive criminals; 2. The insane criminals ( secara klinis diidentifikasi sebagai pnyakit mental); 3. The passion criminals (melakukan kejahatan sebagai akibat problem mental atau keadaan emosional yang panjang serta kronis); 4. The occasional criminals (merupakan produk dari kondisi-kondisi keluarga dan sosial lebih dari problem fisik atau mental yang abnormal); 6 7
Ibid,hlm 38 Ibid,hlm 39
9
5. The habitual criminals (memperoleh kebiasaan dari lingkungan sosial).8 a) Teori – teori tipe fisik 1. Ernst Kretchmer Kretchmer melakukan study terhadap 260 orang gila di Swabia, sebuah kota di bratdaya Jerman. Dia mendapati fakta bahwa subyek studinya memiliki tip-tipe tubuh tertentu yang berkaitan, menurutnya dengan
tipe
tertentu
dari
kecenderungan
fisik.
Kretscmer
mengidentifikasi empat tipe fisik : asthenic: kurus, bertubuh ramping, berbahu kecil; athletic: menengah tinggi, kuat, berotot, bertulang kasar; pyknic: tinggi sedang, figure yang tegap, leher besar wajah luas; dan beberapa tipe campuran, tidak terklasifikasi. Kretchmer selanjutnya menghubungkan tipe-tipe fisik tersebut dengan variasi-variasi ketidak teraturan fisik: pyknics berhubungan dengan depresi, asthenics dan athletics dengan schizophrenia, dan sebagainya.9 2. Ernest A. Hooten Setelah tantangan Goring, teori Lombroso kehilangan popularitas akademik sampai sekitar seperempat abad. Hingga pada tahun 1939 Ernest Hooten, seorang Antropolog fisik, membangunkan kembali perhatian terhadap kriminalitas yang secara biologis ditentukan dengan publikasinya tentang suatu studi besar yang membandingkan peghuni-
8 9
Ibid,hlm.40 Ibid,hlm.43
10
penghuni penjara di Amerika denga suatu control group dari nonkriminal.10 Hooten memulai dengan kritik tajam terhadap penelitian Goring dari segi metode, dan dia meneliti dengan analisa mendetail data-data lebih dari 17.000 kriminal dan non-kriminal. Dia menyatakan bahwa para penjahat berbeda secara inferior dibanding anggota masyarakat lainnya dalam hampir semua ukuran tubuh/fisik mereka. Sebagai mana pendahuluannya, Hoten menyerukan pemisah (penyingkiran) terhadap apa yang dia sebut sebagai criminal stock atau keturunan kriminal, dan merekomendasikan untuk mensterilkan atau membersihkan mereka.11 b) Penjelasan psikologi atas kejahatan 1. Personaliti characteristics (sifat-sifat kepribadian) Empat alur penelitian psikologis yang berbeda telang menguji hubungan antara kepribadian kejahatan antara lain: melihat perbedaan antara kepribadian dari penjahat dan bukan penjahat, memprediksikan tingkah laku, menguji dimana tingkat dinamika-dinamika kepribadian normal dalam diri penjahat, mencoba menghitung perbedaan-perbedaan individual antara tipr-tipe dan kelompok-kelompok pelaku kejahatan.12 2. Samuel Yochelson dan Stanton Samenow Menolak klaim para psikoanalis bahwa kejahatn disebabkan oleh konflik internal. Tetapi yang sebenarnya para penjaat itu sama-sama memiliki pola berfikir yang abnormal yang membawa mereka 10
Ibid,hlm.43-44 Ibid,hlm.44 12 Ibid,hlm.49 11
11
memutuskan untuk melakukan kejahatan. Yochelson dan samenow mengidentifikasikan sebanyak 52 pola berfikir yang umumnya ada pada penjahat yang mereka teliti, keduanya berpendapat bahwa para penjahat adalah orang yang “marah”, yang merasa suatu sense superioritas, menyangka tidak bertanggungjawab atas tindakan yang merkla ambi, dan mempunyai harga diri yang sangat melambung. Tiap dia merasa ada satu serangan terhadaap harga dirinya, ia akan memberi reaksi yang sangat kuat, sering berupa kekerasan.13 2.3 Pengertian Tindak Pidana Tindak Pidana adalah perbuatan yang melanggar larangan yang di atur oleh aturan Hukum yang diancam dengan sanksi Pidana. Dalam rumusan tersebut bahwa yang tidak boleh dilakukan adalah perbuatan yang menimbulkan akibat yang dilarang dan yang diancam sanksi Pidana bagi orang yang melakukan perbuatan tersebut.14 Adapun yang menjadi unsur-unsur di dalam tindak pidana adalah sebagai berikut: 1. Unsur-Unsur Tindak Pidana a. Unsur Subjektif 1) Kesengajaan atau kelalaian;
13 14
Ibid,hlm.59-50 Suharto RM,1996,Hukum Pidana Materil.Jakarta.Sinar Grafika Offset,hlm.28-29
12
2) Maksud dari suatu percobaan atau poging seperti yang dimaksud dalam Pasal 53 ayat (1) KUHP; 3) Berbagai maksud seperti yang terdapat dalam kejahatan pencurian, penipuan, pemerasan, pemalsuan, dan lain-lain; 4) Merencanakan terlebih dahulu, seperti yang terdapat dalam kejahatan menurut Pasal 340 KUHP; 5) Perasaan takut seperti yang terdapat dalam rumusan tindak pidana menurut Pasal 308 KUHP; b. Unsur Objectif 1) Sifat melawan hukum; 2) Kualitas dari pelaku, misalnya seorang pegawai negeri sipil melakukan kejahatan yang diatur dalam Pasal 415 KUHP; 3) Kualitas, yang hubungan antara suatu tindakan sebagai penyebab dengan kenyataan sebagai akibat.15 2.4 Narkotika dan Psikotropika 2.4.1 Narkotika Menurut Prof. Sudarto, S.H. didalam bukunya „‟ Kapita selekta hukum pidana‟‟ mengatakan bahwa: Perkataan narkotika berasal dari perkataan Yunani ‟‟narke’’ yang berarti „‟terbius sehingga tidak merasakan apa-apa’’,pembentukan Undang-Undang Indonesia dalam tahun 1979 tela mencabut peraturan perundang-undangan yang mengatur 15
ibid
13
tentang narkotika ialah: Verdovende Midddelen Ordonnatie (staatsblad 1927 No.278 jo No.536) dan menggantikannya dengan Undang-Undang tentang narkotika (No.9 tahun 1976 jo). yang saat ini telah direvisi dengan Undang-Undang No.35 tahun 2009. Maka narkotika dapat disamakan artinya dengan obat bius.16 2.4.2 Sejarah Narkotika Narkotika bukanlah masalah yang baru terlebih-lebih bagi amerika serikat dan negara Barat lainnya. Di Indonesia masalah tentang narkotika itu timbul sejak zaman Hindia Belanda yaitu sekitar tahun 1926/1927 dengan adanya obat bius atau candu yang beredar di pasaran bebas.17 Pemerintah Hindia Belanda pada waktu itu membuat peraturan khusus mencegah serta menanggulangi masalah penggunaan obat bius atau candu dengan mengenakan sanksi yang berat. Peraturan khusus itu dituangkan dan ditetapkan dalam bentuk staatsblad yaitu Stbd, tahun 1927 yaitu No. 278 yang dikemudia di sempurnakan lagi pada tahun 1937 yaitu menjadi Undang-Undang obat bius (staatsblad tahun 1937 No. 653)18 Pada masa dulu ancaman narkotika tidak nampak pada masyarakat Indonesia. Tetapi akhir-akhir ini merupakan bahaya yang mengancam kehidupan bangsa Indonesia, sehingga untuk menanggulangi makin
16
Djoko prakoso,Bambang riyadi lany,Amir muhsin, Kejahatan-kejahatan yang merugikan dan membahayakan Negara. Jakarta.Bina aksara, 1987,Hlm.480. 17 18
Ibid,hlm.476 Ibid,hlm.477
14
meluasnya bahaya narkotika sering dilakukannya operasi-operasi oleh yang berwajib.19 Demi untuk menyelamatkan generasi muda dari bahaya ini sudah ada usaha sejak Indonesia merdeka sampai terbentuknya Undang-undang Narkotika yang disahkan pada tanggal 26 juli 1970 dimana ancaman hukumannya sampai pada hukuman mati yang saat ini telah lahir Undang-undang 35 tahun 2009.20 2.4.3 Psikotropika Psikotropika adalah zat atau obat alamiah maupun sintetis bukan narkotiks, yang berhasiat psikoatif melalui pengaruh selektif pada susunan syarap (SSP) yang menyebabkan perubahan khas pada aktivitas mental dari perilaku (UU RI NO.5/1997). Obat-obat psikotropika dibagi 4 golongan, yaitu: a) Psikotropika golongan 1: psikotropika yang tidak digunakan untuk tujuan pengobatan dengan potensi ketergantungan yang sangat kuat. b) Psikotropika golongan II: psikotropika yang berkhasiat terapi, tetapi dapat menimbulkan ketergantungan. c) Psikotropika
golongan
III:
psikotropika
dengan
ketergantungannya sedang dari kelompok hipnotis sedatif.
19 20
Ibid,hlm.478 Ibid
15
efek
d) Psikotropika
golongan
IV:
psikotropika
yang
efek
ketergantungannya ringan.21 2.5 Undang-Undang Narkotika dan Psikotropika 2.5.1.Undang-Undang No 35 tahun 2009 tentang Narkotika Tujuan di adakannya Undang-Undang tentang narkotika seperti yang tercantum pada pasal 4 Undang-Undang narkotika adalah: a. Menjamin
ketersediaan
pelayanan
kesehatan
Narkotika dan/atau
untuk
kepentingan
pengembangan
ilmu
pengetahuan dan teknologi; b. Mencegah, melindungi, dan menyelamatkan bangsa Indonesia dari penyalagunaan Narkotika; c. Memberantas peredaran gelap Narkotika dan Prekursor Narkotika; dan d. Menjamin pengaturan upaya rehabilitasi medis dan sosial bagi penyalah guna dan pecandu Narkotika. Sebagaimana yang tercantum dalam Pasal 112 (1) Setiap orang yang tanpa hak atau melawan hukum memiliki, menyimpan,
menguasai,
atau
menyediakan
Narkotika
Golongan 1 bukan tanaman, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 12 (dua belas) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp 800.000.000,00 (delapan
ratus
juta rupiah) dan paling banyak Rp
8.000.000.000,00 (delapan miliar rupiah). (2) Dalam hal perbuatan memiliki, menyimpan, menguasai atau menyediakan
Narkotika
Golongan
1
bukan
tanaman
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) beratnya melebihi 5 21
Yusuf Apandi,Katakan Tidak Pada Narkoba.Bandung.Simbiosa Rekatama Putra,2010,hlm.9-10.
16
(lima) gram, pelaku dipidana dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 5 (lima) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan pidana denda maksimum sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditambah 1/3 (sepertiga). 2.5.2 Undang –Undang No 5 tahun 1997 Tentang Psikotropika Adapun tujuan pengaturan dibidang Psikotropika seperti yang tercantum pada Pasal 3 Undang-Undang Psikotropika adalah: a. Menjamin
ketersediaan
Psikotropika
guna
kepentingan
pelayanan kesehatan dan ilmu pengetahuan; b. Mencegah terjadinya penyalahgunaan Psikotropika; c. Memberantas peredaran gelap Psikotropika. Ketentuan Pidana seperti yang tercantum pada Pasal 59 (1) (2) (3) Undang-Undang Psikotropika yaitu: Barang siapa menggunakan Psikotropika golongan 1 selain dimaksud dalam pasal 4 ayat (2); atau memproduksi dan/atau menggunakan dalam proses produksi Psikotropika golongan 1 sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6; atau mengedarkan Psikotropika golongan 1 tidak memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 ayat (3); atau mengimpor golongan 1 selain untuk kepentingan ilmu pengetahuan; atau secara tanpa hak memiliki, menyimpan dan/atau membawa Psikotropika golongan 1 dipidana dengan pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun, paling lama 15 (lima belas) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp 150.000.000,00 (seratus lima puluh juta rupiah), dan paling banyak Rp 750.000.000,00 (tujuh ratus lima puluh juta rupiah). Jika tindak pidana tersebut dilakukan secara terorganisasi dipidana dengan pidana mati atau pidana penjara seumur hidup
17
atau pidana penjara selama 20 (dua puluh) tahun dan pidana denda sebesar Rp 750.000.000,00 (tujuh ratus lima puluh juta rupiah). Jika tindak pidana dalam pasal ini dilakukan oleh korporasi,maka di samping dipidananya pelaku tindak pidana, kepada
korporasi
dikenakan
pidana
denda
sebesar
Rp
5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah). 2.6 Faktor-faktor Yang Menyebabkan Masyarakat Atau Pengguna Menggunakan Narkotika dan Psikotropika Ada beberapa alasan penyebab seorang itu mulai atau meneruskan pemakaian narkotika adalah sebagai berikut: 1. Karena di dorong rasa ingin tau dan iseng. 2. Agar supaya diterima di kalangan tertentu. 3. Untuk melepaskan diri dari kesepian dan memperoleh pengalaman-pengalaman emosional. 4. Untuk mengisi kekosongan dan perasaan bosan, karna kurang kesibukan. 5. Untuk
menghilangkan
rasa
frustasi
dan
kegelisahan
disebabkan suatu problema yang tidak bisa diatasi dengan jalan pikiran yang buntu. 6. Untuk menentang atau melawan suatu otoritas (orang tua, guru, hukum).22 Sedangkan faktor utama yang mempengaruhi penyalah gunaan narkotika adalah: 22
Ibid,hlm.492
18
a. Pemakaian untuk tujuan coba-coba. Mencoba obat
sekali
atau beberapa kali
setelah itu
menghentikan sama sekali (jadi disini hanya ingin tahu saja). b. Pemakaian untuk iseng. Di sini yang dimaksud adalah pemakaian obat secara terputusputus tanpa menimbulkan ketergantungan baik secara kejiwaan maupun jasmaniaah. c. Pemakaian karena ketergantungan. Pemakaian obat disini untuk memperoleh kembali pengaruh obat yang bersangkutan atau untuk menyembuhkan rentetan gangguan
jasmaniah
karnah
kompleks
gejalah
akibat
pantang.23 2.7 Penanggulangan, Pengobatan dan Rehabilitasi Secara umum dapat dipahami dan di rasakan bahwa pecandu narkotika, adalah korban penyalahgunaan narkotika yang sangat memerlukan perawatan. Bahwasannya dalam merehabilitasi korban narkotika tidak hanya diusahakan oleh pihak pemerintah saja tetapi juga pihak swata. Dalam hal usaha rehabilitasi atau usaha trestment ada 3 phase perawatan, yakni:
23
Ibid,hlm.493
19
1. Phase Ditokasi fikasi korban narkotika Yaitu phase untuk menghilangkan racun atau narkotika dari dalam tubuh si korban dengan jalan menginjeksi/memberi obat dan selam 2 minggu atau 3 minggu. 2. Phase rehabilitasi Yaitu rehabilitasi mental atau fisik, pada phase kedua ini pada ahli (dokter, psikiater) berusaha mengembalikan rohani dan jasmani korban narkotika agar sehat seperti semula dan menyadarkan si penderita sebagai manusia yang mempunyai hari kedepan. 3. Phase follow up Yaitu phase pembinaan kursus setelah penderita keluar dari pihak perawatan yang di lakukan dengan kerja sama antara pihak orang tua, petugas sosial dan psikolog.24 Dalam usaha untuk merehabilitasi dan mengobati penderita korban narkotika di sini Wisma Bina Remaja telah menyediakan dokter umum yang datang setiap seminggu sekali akan tetapi apabila dalam suatu waktu si korban betul-betul membutuhkan seorang dokter maka si korban
24
Ibid,hlm.526
20
dapat di kirim ke rumah dokter yang bersangkutan untuk berobat atau ke RSUP.25 Disamping pengobatan yang dilakukan oleh tenaga dokter si sini di Wisma Bina Remaja yang menggunakan tenaga psikiater. Maksud digunakannya tenaga psyciater iala untuk memberikan nasihat-nasihat atau pengarahan bagi para korban agar mereka itu sadar akan bahayanya penggunaan narkotika apabila di salahgunakan.26 Tenaga psychiater ini dalam memberikan nasihat-nasihat maupun pengarahan-pengarahan dilakukan juga setiap minggu sekali. Mengenai korban narkotika yang dirawat di dalam rangka pembinaannya maka pihak Wisma Bina Remaja telah memberikan suatu kegiatan-kegiatan yang harus di lakukan oleh para penderita antara lain: 1. Olah raga Kegiatan perpustakaan Mengenai hal ini para korban narkotika banyak di suguhkan untuk membaca buku-buku terutama mengenai pelajaran agama. 2. Kegiatan keterampilan Mengenai hal ini para korban narkotika sesuai dengan bakatnya di didik untuk mengikuti les montir atau menjahit dan lain-lain
25 26
Ibid, Ibid,
21
3. Kegiatan rekreasi Kegiatan ini dilakukan oleh para korban dengan jalan menonton televisi ataupun pemutaran-pemutaran film tentang pendidikan.27 2.8 Penanggulangan Narkotika Dalam hal penanggulangan penyalahgunaan narkotika dan obat-obat berbahaya lainnya: 1. Usaha preventif Dalam usaha pencegahan bahaya ini yang paling efektif adalah terletak di keluarga. Hendaknya dapat diciptakan keharmonisan dalam lingkungan keluarga. Selain itu anak-anak hendaknya dapat diberikan waktu dan perhatian serta dihargai pendapatnya, sekalipun tampaknya belum „‟matang. Apabila dapat diciptakan tertib keluarga, maka akan lebih licinnya jalan untuk mencapaitertib sosial. Dan ini berarti akan dapat tercapai tertib dalam kehidupan kemasyarakatan dan kenegaraan.28 Setelah keluarga, lingkungan yang tidak kalah pentingnya adalah sekolah. Hendaknya dalam lingkungan sekolah dapat diberikan penyuluhan/penerangan tentang bahaya narkotika. Di samping itu disiplin dalam sekolah harus selaludi tingkatkan. Kepada murid-murid
27 28
Ibid,hlm.527 Ibid,hlm.514
22
hendaknya dapat diberikan prhatian yang wajar dan sedapat mungkin diselenggarakan diskusi antara guru dan murid tentang narkotika.29 Yang paling penting adalah masa liburan. Hendaknya guru bersama orang tua harus menjalin kerjasama dan pengawasan bagi murid/anak didik, sehingga mereka dapat mengisi masa kosongnya untuk sesuatu yang bermanfaat (olahraga, bertamasya dan lain-lain). Juga di lingkungan RT/RW hendaknya dapat selalu diadakan penyuluhan dan penerangan tentang bahaya narkotika. Masyarakat hendaknya dapat disadarkan tentang bahaya narkotika. Tingginya kesadaran masyarakat akan sangat membantu usaha pemberantasan bahaya narkotika. Agar pendidikan agama bagi anak-anak dan remaja yang dilaksanakan oleh orang tua, sekolah maupun organisasi-organisasi diintensifkan dan dikaitkan dengan usaha penanggulangannya narkotika.30 2. Usaha represif Hendaknya dapat dijaga dan ditingkatkan kesungguhan dalam usaha pemberantasan pengedar dan sumber narkotika. Selain itu terhadap tindak pidana yang bersangkutan dengan penyalahgunaan narkotika harus dijatuhi hukuman berat. Dan pelaksanaan hukuman tersebut hendaknya dilakukan secara konsekuen.31 Kepada pemuda-pemudi/korban narkotika selalu mendapatkan hukuman yang setimpal, hendaknya dapat diberikan bekal berupa
29
Ibid Ibid 31 Ibid,hlm.515 30
23
pendidikan dan keterampilan yang memadai, sehingga mereka dapat kembali kemasyarakat dengan wajar dan baik.32
32
Ibid
24