BAB II TINJAUAN PUSTAKA 1.Pengertian Kriminologi Topo Santoso (2003 : 9) dalam bukunya Kriminologi, “Kriminologi merupakan ilmu pengetahuan yang mempelajari tentang kejahatan. Nama kriminologi yang ditemukan oleh P. Topinard (1830-1911) seorang ahli antropologi Perancis, secara harfiah berasal dari kata crimen yang berarti kejahatan atau penjahat dan logos yang berarti ilmu pengetahuan, maka kriminologi dapat berarti ilmu tentang kejahatan atau penjahat”1. W.A Bonger berpendapat bahwa Kriminologi menyelidiki gejala kejahatan seluas-luasnya. Bersifat teoritis murni yang mencoba memaparkan sebab-sebab kejahatan menurut berbagai aliran dan melihat berbagai gejala sosial seperti penyakit masyarakat yang dinilai berpengaruh terhadap perkembangan kejahatan2. E. H. Sutherland dan Donald R. Cressey, mendefinisikan kriminologi adalah ilmu dari berbagai ilmu pengetahuan yang mempelajari kejahatan sebagai fenomena sosial dan meliputi sebagai berikut: a).Sosiologi hukum sebagai analisa ilmiah atas kondisi-kondisi perkembangan hukum pidana; b).Etiologi kriminal yang mencoba melakukan analisa ilmiah mengenai sebabsebab kejahatan; c).Penologi yang menaruh perhatian atas perbaikan narapidana3. 1 2 3
Topo Santoso, 2003. Kriminologi, Jakarta : PT RajaGrafindo Persada. Soedjono Dirdjosisworo, Sinopsis Kriminologi Indonesia, Bandung : CV Mandar Maju, 1994 Ibid. hal.11
6
Paul Mudigdo Mulyono4, tidak sependapat dengan definisi yang diberikan oleh E. H. Sutherland. Menurut definisi itu seakan-akan tidak memberikan gambaran bahwa pelaku kejahatan mempunyai andil atas terjadinya suatu kejahatan, karena terjadinya kejahatan bukan semata-mata perbuatan yang ditentang oleh masyarakat, akan tetapi adanya dorongan dari si pelaku untuk melakukan perbuatan yang ditentang oleh masyarakat tersebut. Menurut Paul Mudigdo Mulyono, “Kriminologi merupakan sebagai ilmu pengetahuan yang mempelajari kejahatan sebagai masalah manusia”. Michael dan Adler5 membuat definisi, “Kriminologi meliputi keseluruhan pengetahuan yang diperoleh berdasarkan teori atau pengalaman, yang bertalian dengan perbuatan jahat dan penjahat, termasuk di dalamnya reaksi dari masyarakat terhadap perbuatan jahat dan para penjahat”. Noach merumuskan, “Kriminologi sebagai ilmu pengetahuan tentang perbuatan jahat dan perilaku tercela yang menyangkut orang-orang yang terlibat dalam perilaku jahat dan perbuatan tercela itu6”. Wolfgang, Savitz Delinquency,
dan Johnston
memberikan
definisi
dalam The Sociology of Crime and kriminologi
sebagai
kumpulan
ilmu
pengetahuan tentang kejahatan yang bertujuan untuk memperoleh pengetahuan dan pengertian tentang gejala kejahatan dengan jalan mempelajari dan menganalisa secara ilmiah keterangan-keterangan, keseragaman-keseragaman, pola-pola dam faktor-faktor kausal yang berhubungan dengan kejahatan, pelaku
4
Topo Santoso, 2003. Kriminologi, Jakarta : PT RajaGrafindo Persada. Ibid. hal.12 6 Ibid hal.12 5
7
kejahatan serta reaksi masyarakat terhadap keduanya. Jadi obyek dari studi kriminologi meliputi sebagai berikut: 1).Perbuatan yang disebut sebagai kejahatan; 2). Pelaku kejahatan; dan 3).Reaksi masyarakat yang ditujukan baik terhadap perbuatan maupun terhadap pelakunya7. Soedjono Dirdjosisworo dalam bukunya Sinopsis Kriminologi Indonesia, memilih rumusan E. H. Sutherland dan Kathrine S. Williams, sehingga rumusan dan ruang lingkupnya menjadi sebagai berikut: Criminology is the body of knowledge, regarding crime as a social phenomenon; includes the study of: the characteristics of the criminal law, the extent of crime, the effects of crime on victims and on society, methods of crime prevention, the attributes of criminals and the characteristics and workings of the criminal justice system. (Kriminologi adalah ilmu dari berbagai ilmu pengetahuan yang mempelajari kejahatan sebagai fenomena sosial yang meliputi studi mengenai: karakteristik hukum pidana, keberadaan kriminalitas, pengaruh kejahatan terhadap korbannya dan terhadap masyarakat, metoda penanggulangan kejahatan, atribut penjahat, karakteristik dan bekerjanya sistem peradilan pidana).
7
Ibid.hal 12
8
C. S. T. Kansil 8 dalam bukunya Hukum Pidana mendefinisikan bahwa, “Kriminologi adalah ilmu yang mempelajari sebab-sebab terjadinya kejahatan dan bagaimana menanggulanginya”. Definisi lain dari kriminologi juga dikemukakan oleh Savitri dan Jahn (Romli Atmasasmita, 1987 : 83) bahwa: Kriminologi adalah suatu ilmu pengetahuan yang mempergunakan metode-metode ilmiah dalam mempelajari dan menganalisa keteraturan, keseragaman pola-pola dan faktor-faktor sebab musabab yang berhubungan dengan kejahatan dan pejahat, serta reaksi sosial terhadap keduanya. 2.Pengertian Tindak Pidana R. Abdoel Djamali menyatakan, dalam kehidupan sehari-hari manusia sering dihadapkan kepada kebutuhan yang mendesak, sehingga dalam pemenuhannya biasa sering dilaksanakan tanpa pemikiran matang yang berakibat dapat merugikan manusia yang lain. Hal seperti itu akan menimbulkan suatu akibat negatif yang tidak seimbang dengan suasana dan kehidupan yang bernilai baik9. Untuk mengembalikan suasana dan kehidupan yang bernilai baik itu, maka diperlukan suatu pertanggungjawaban dari pelaku. Dan pertanggungjawaban yang wajib dilaksanakan oleh pelaku berupa pelimpahan rasa ketidakenakan masyarakat supaya dapat merasakan juga penderitaan atau kerugian yang dialami
8
Christine S. T. Kansil, Hukum Pidana, Jakarta : Sinar Grafika, 2001.
9
R. Abdoel Djamali, Pengantar Hukum Indonesia, Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 1993.
9
oleh masyarakat. Pertanggungjawaban dari pelaku berupa hukuman, itulah yang disebut dengan “dipidanakan”. Menurut Adami Chazawi, Istilah tindak pidana berasal dari istilah yang dikenal dalam hukum pidana Belanda yaitu strafbaar feit. Istilah strafbaar feit terdapat dalam WvS Hindia Belanda (KUHP), akan tetapi tidak ada penjelasan resmi tentang apa yang dimaksud dengan strafbaar feit itu10. Istilah-istilah yang pernah digunakan, baik dalam perundang-undangan yang ada maupun dalam berbagai literatur hukum sebagai terjemahan dari istilah strafbaar feit adalah sebagai berikut: 1. Tindak pidana, dapat dikatakan berupa istilah resmi dalam perundangundangan pidana kita; 2. Peristiwa pidana, digunakan oleh beberapa pakar/ahli hukum, misalnya R. Tresna, H. J. van Schravendijk dan Zainal Abidin; 3. Delik, yang sebenarnya berasal dari bahasa latin delictum juga digunakan untuk menggambarkan tentang apa yang dimaksud dengan strafbaar feit; 4. Pelanggaran pidana, yang digunakan oleh M. H. Tirtaamidjaja; 5. Perbuatan yang boleh dihukum, istilah ini digunakan oleh Karni dan Schravendijk; 6. Perbuatan yang dapat dihukum, digunakan oleh pembentuk Undang-Undang dalam Undang-Undang No. 12/Drt/1951 tentang Senjata Api dan Bahan Peledak (Pasal 3); 7. Perbuatan pidana, digunakan oleh Moeljatno; dan 10
Adami Chazami, Pelajaran Hukum Pidana I, Jakarta : PT RajaGrafindo Persada, 2001.
10
8. Jarimah, digunakan dalam Hukum Pidana Islam. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, “Delik adalah perbuatan yang dapat dikenakan hukuman karena merupakan pelanggaran terhadap UndangUndang, tindak pidana11”. Andi Hamzah merumuskan bahwa “Delict…strafbaar feit, vergrijp (tindak pidana), misdrijf (kejahatan). Lebih luas lagi dalam bidang hak kewarganegaraan onrectmatigedaad, perbuatan melanggar hukum….12”. Moeljatno13, menggunakan istilah perbuatan pidana, yang mengartikan bahwa “Perbuatan pidana adalah perbuatan yang dilarang oleh suatu aturan hukum larangan mana disertai ancaman (sanksi) yang berupa pidana tertentu, bagi barang siapa melanggar larangan tersebut”. Sedangkan Menurut Simons: Pengertian delik adalah suatu tindakan melanggar hukum yang telah dilakukan dengan sengaja maupun tidak sengaja oleh seseorang, yang tindakan tersebut dapat dipertanggungjawabkan dan oleh undang-undang telah dinyatakan sebagai suatu perbuatan yang dapat dihukum. Pada umumnya orang menyebut delik, biasanya yang mereka maksudkan adalah delik pidana saja, padahal delik bukan hanya delik pidana, melainkan juga ada delik perdata atau privat. Delik pidana adalah pelanggaran dan kejahatan, sedangkan yang dimaksud dengan delik privat/perdata adalah perbuatan melawan hukum (Pasal 1365 BW). 11
Leden Marpaung, Asas, Teori dan Praktek Hukum Pidana, Jakarta : Sinar Grafika, 2005.
12
Adami Chazami, Pelajaran Hukum Pidana I, Jakarta : PT RajaGrafindo Persada, 2001.
13
Adami Chazami, Pelajaran Hukum Pidana I, Jakarta : PT RajaGrafindo Persada, 2001.
11
Menurut Achmad Ali bahwa “Delik adalah pengertian umum tentang semua perbuatan yang melanggar hukum ataupun undang-undang dengan tidak membedakan apakah pelanggaran itu di bidang hukum privat ataupun hukum publik, termasuk hukum pidana”. R. Tresna
menyatakan, walapun sangat sulit untuk merumuskan atau
memberi definisi yang tepat perihal peristiwa pidana, namun juga beliau menarik suatu definisi, yang menyatakan bahwa peristwa pidana itu adalah suatu perbuatan atau rangkaian perbuatan manusia, yang bertentangan dengan undang-undang atau peraturan perundang-undangan lainnya, terhadap perbuatan mana diadakan tindakan penghukuman. Menurut Wirjono Prodjodokoro menyatakan, bahwa “Tindak pidana adalah suatu perbuatan yang pelakunya dapat dikenakan hukuman pidana”14. “Peristiwa pidana/jarimah adalah melakukan setiap perbuatan yang menyimpang dari kebenaran, keadilan dan jalan yang lurus (agama)”15. R. Abdoel Djamali (1993 : 159) menyatakan, “Peristiwa pidana yang juga disebut tindak pidana (delict) ialah suatu perbuatan atau rangkaian perbuatan yang dapat dikenakan hukuman pidana”. Suatu perbuatan yang melawan hukum dapat dinyatakan sebagai sebagai tindak pidana kalau memenuhi unsur-unsur sebagai berikut: 1. Unsur Obyektif Yaitu suatu tindakan (perbuatan) yang bertentangan dengan hukum dan mengindahkam akibat yang oleh hukum dilarang dengan ancaman
14 15
Adami cazawi, 2001, Pelajaran Hukum Pidana I. Jakarta, PT. Rajagrafindo Persada. Ahmad Wardi Muslich, Pengantar dan Asas Hukum Pidana Islam, Jakarta : Sinar Grafika, 2004. Hal.9
12
hukum. Yang dijadikan titik utama dari pengertian obyektif adalah tindakannya. 2. Unsur Subyektif Yaitu perbuatan seseorang yang berakibat tidak dikehendaki oleh undang-undang. Sifat unsur ini mengutamakan adanya pelaku (seorang atau beberapa orang). Menurut Moeljatno (Leden Marpaung, 2005 : 10), tiap perbuatan pidana harus terdiri atas unsur-unsur lahir, oleh karena itu perbuatan yang mengandung kelakukan dan akibat yang ditimbulkan adalah suatu kejadian dalam alam lahir. Disamping kelakukan dan akibat untuk adanya perbuatan pidana, biasa diperlukan juga adanya hal ihwal atau keadaan tertentu yang menyertai perbuatan. unsur delik terdiri atas dua macam, yakni sebagai berikut: 1. Unsur Subyektif adalah unsur yang melekat pada diri si pelaku atau yang berhubungan dengan diri si pelaku dan termasuk di dalamnya segala sesuatu yang terkandung di dalam hatinya. Unsur-unsur subyektif dari suatu tindakan itu adalah sebagai berikut: a. Kesengajaan atau ketidaksengajaan (dolus atau culpa); b. Maksud atau voornemen pada suatu percobaan atau poging seperti yang dimaksud dalam Pasal 53 ayat 1 KUHP; c. Berbagai maksud atau oogmerk seperti yang terdapat misalnya di dalam kejahatan pencurian, penipuan, pemerasan, pemalsuan dan lain-lain; d. Merencanakan terlebih dahulu atau voorbedachte raad, seperti yang terdapat di dalam kejahatan pembunuhan menurut Pasal 340 KUHP; dan
13
e. Perasaan takut seperti yang antara lain terdapat dalam rumusan tindak pidana menurut Pasal 308 KUHP. 2. Unsur Obyektif adalah unsur yang ada hubungannya dengan keadaankeadaan, yaitu dalam keadaan ketika tindakan-tindakan dari si pelaku itu harus dilakukan. Unsur-unsur obyektif dari suatu tindak pidana adalah sebagai berikut: a. Sifat melawan hukum atau wederrechtelijkheid; b. Kualitas dari si pelaku, misalnya keadaan sebagai seorang pegawai negeri dalam kejahatan menurut Pasal 415 KUHP atau keadaan sebagai pengurus suatu perseroan terbatas, dalam kejahatan menurut Pasal 398 KUHP; dan c. Kualitas, yakni hubungan antara suatu tindakan sebagai penyebab dengan suatu kenyataan sebagai akibat16. 3. Pengertian Kepolisian Istilah polisi mempunyai arti yang berbeda-beda. Pengertian polisi sekarang berbeda dengan pengertian polisi yang ada pada awal ditemukannya istilah polisi. Menurut Momo Kelana (1994 : 13)17 dalam bukunya Hukum Kepolisian, tiap-tiap negara berbeda-beda dalam mengartikan istilah polisi, oleh karena masing-masing negara cenderung untuk memberikan istilah dalam bahasanya sendiri atau menurut kebiasaan-kebiasaannya sendiri.
16
Leden Marpaung, Asas, Teori dan Praktek Hukum Pidana, Jakarta : Sinar Grafika, 2005. Hal.11
17
Momo Kelana, Hukum Kepolisian, Jakarta : PT Gramedia, 2002.
14
Warsito Hadi Utomo (2005 : 5) menyatakan, “Pertama kali ditemukannya polisi dari perkataan Yunani Politea yang berarti seluruh pemerintahan negara kota”. Pengertian Kepolisian di dalam Undang-Undang No. 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia, “Kepolisian adalah segala hal-ihwal yang berkaitan dengan fungsi dan lembaga polisi sesuai dengan peraturan perundangundangan”. Charles Reith dalam bukunya The Blind Eye of History, “Mengartikan polisi sebagai tiap-tiap usaha untuk memperbaiki atau mentertibkan tata susunan kehidupan masyarakat”. Momo Kelana, (1994 : 19) mengemukakan bahwa istilah polisi mengandung arti sebagai berikut: 1. Badan pemerintahan (sekelompok pegawai negeri) yang bertugas memelihara keamanan dan ketertiban umum, 2. Pegawai negeri yang bertugas menjaga keamanan18. Anton Tabah, 1991 : 15, mengemukakan bahwa, “Polisi adalah suatu kelompok sosial yang menjadi bagian dari masyarakat yang berfungsi sebagai penindak dan pemelihara kedamaian yang merupakan bagian dari fungsi Kamtibnas (Keamanan dan Ketertiban Nasional)”. Dalam Encyclopaedia and Social Science (H. Warsito Hadi Utomo, 2005 : 6), dikemukakan bahwa pengertian polisi meliputi bidang fungsi, tugas yang luas,
18
Ibid.hal.19
15
yang digunakan untuk menjelaskan
berbagai aspek daripada pengawasan
keseharian umum. Menurut Undang-Undang No. 2 Tahun 2002, Pasal 4 adalah sebagai berikut19: Kepolisian Negara Republik Indonesia bertujuan untuk mewujudkan keamanan dalam negeri yang meliputi terpeliharanya keamanan dan ketertiban masyarakat, tertib dan tegaknya hukum, terselenggaranya perlindungan, pengayoman
dan
pelayanan
masyarakat,
serta
terbinanya
ketentaraman
masyarakat dengan menjunjung tinggi hak asasi manusia. Tentunya tidak seorangpun di Indonesia yang belum pernah mendengar perkataan polisi. Dimanapun orang berada, baik di kota maupun di pelosok-pelosok desa tentu pernah berjumpa dengan polisi. Akan tetapi banyak dari masyarakat kita mengetahui polisi hanya dari jauh dan gambaran tentang polisi yang diperoleh amat tergantung pada pengetahuan masing-masing orang. Menurut UndangUndang No. 2 Tahun 2002 bahwa Anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia adalah pegawai negeri pada Kepolisian Negara Republik Indonesia. Pegawai negeri pada Kepolisian Negara Republik Indonesia terdiri dari : a.Anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia; dan b.Pegawai Negeri Sipil. Momo Kelana (2002 : 118) menyatakan, syarat-syarat yang tercantum untuk menjadi calon anggota Polri telah memberikan isyarat bahwa pekerjaan “Kepolisian” telah dijadikan sebagai suatu profesi 20.
19 20
Undang-undang Nomor 2 tahun 2002 Momo Kelana, Hukum Kepolisian, Jakarta : PT Gramedia, 2002.
16
4. Tugas dan Wewenang Kepolisian Menurut pendapat Johann Stephan Putter, “Sebaiknya tugas Polisi jangan lagi menjadi urusan pemeliharaan kesejahteraan akan tetapi harus dibatasi pada usaha-usaha penolakan bahaya yang mengancam masyarakat atau individu”. Menurut B. Gewin Tugas Polisi adalah melakukan tugas tertentu daripada tugas negara, melaksanakan perundang-undangan untuk menjamin tata tertib, ketentraman dan keamanan, menegakkan kewibawaan negara, menanamkan pengertian ketaatan dan kepatuhan kepada masyarakat. Menurut J. Bool “Tugas polisi meliputi seluruh usaha negara dan merupakan bagian penolakan dan perlindungannya” 21. Menurut Undang-Undang No. 2 Tahun 2002, Tugas Pokok Polri adalah sebagai berikut: 1.
Memelihara keamanan dan ketertiban masyarakat;
2.
Menegakkan hukum;
3.
Memberikan perlindungan, pengayoman dan pelayanan kepada masyarakat. Dalam Melaksanakan tugas pokok, Polri bertugas:
a. Melaksanakan pengaturan, penjagaan, pengawalan dan patroli terhadap kegiatan masyarakat dan pemerintah sesuai kebutuhan; b. Menyelenggarakan segala kegiatan dalam menjamin keamanan, ketertiban, dan kelancaran lalu lintas jalan;
21
Ibid.30
17
c. Membina masyarakat untuk meningkatkan partisipasi masyarakat, kesadaran hukum masyarakat serta ketaatan warga masyarakat terhadap hukum dan Peraturan perundang-undangan; d. Turut serta dalam pembinaan hukum nasional; e. Memelihara ketertiban dan menjamin keamanan umum; f. Melakukan koordinasi, pengawasan dan
pembinaan
teknis terhadap
Kepolisian khusus, penyidik pegawai negeri sipil, dan bentuk-bentuk pengamanan swakarsa; g. Melakukan penyelidikan dan penyidikan terhadap semua tindak pidana sesuai dengan hukum acara pidana dan peraturan perundang-undangan; h. Menyelenggarakan
identifikasi
Kepolisian,
Kedokteran
Kepolisian,
laboratorium forensik dan psikologi Kepolisian untuk kepentingan tugas Kepolisian; i. Melindungi keselamatan jiwa raga, harta benda, masyarakat dan lingkungan hidup dari gangguan ketertiban dan/atau bencana termasuk memberikan bantuan dan pertolongan dengan menjunjung tinggi hak asasi manusia; j. Melayani kepentingan warga masyarakat untuk sementara sebelum ditangani oleh instansi dan/atau pihak yang berwenang; k. Memberikan pelayanan kepada masyarakat sesuai dengan kepentingannya dalam lingkup tugas Kepolisian; l. Melaksanakan tugas lain sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Di dalam Undang-Undang No. 8 Tahun 1981 tentang Undang-Undang Hukum Acara Pidana, terdapat wewenang-wewenang Polri dalam penyelidikan
18
suatu perkara. Wewenang yang sifatnya umum tidak terdapat di dalamnya dan dalam kata-kata secara logis dapat dipastikan bahwa dimana ada penugasan haruslah ada wewenang-wewenang yang menyertainya. Sebab tanpa ada tugas yang mendasari Polisi untuk bertindak, tugas tidak akan dapat dilaksanakan dengan baik. Warsito Hadi Utomo (2005 : 98) menyatakan bahwa wewenang untuk melakukan tindakan yang diberikan kepada Polri umumnya dapat dibedakan menjadi 2 (dua) yaitu22: 1. Wewenang-wewenang umum yang mendasarkan tindakan yang dilakukan polisi dengan asas legalitas dan plichmatigheid yang sebagian besar bersifat preventif, 2. Wewenang khusus sebagai wewenang untuk melaksanakan tugas sebagai alat negara penegak hukum khususnya untuk kepentingan penyelidikan, dimana sebagian besar sifatnya represif. Menurut
Undang-Undang
No.
2
Tahun
2002,
dalam
rangka
menyelenggarakan tugas, Polri secara umum berwenang: a. Menerima laporan dan/atau pengaduan; b. Membantu menyelesaikan perselisihan warga masyarakat yang dapat mengganggu ketertiban umum; c. Mencegah dan menanggulangi tumbuhnya penyakit masyarakat; d. Mengawasi aliran yang dapat menimbulkan perpecahan atau mengancam persatuan dan kesatuan bangsa; 22
Warsito Hadi Utomo, Hukum Kepolisian Di Indonesia, Jakarta : Prestasi Pustaka, 2005.
19
e. Mengeluarkan peraturan perundang-undangan Kepolisian dalam lingkup kewenangan administrasi Kepolisian; f. Melaksanakan pemeriksaan khusus sebagai bagian dari tindakan Kepolisian dalam rangka pencegahan; g. Melakukan tindakan pertama di tempat kejadian; h. Mengambil sidik jari dan identitas lainnya serta memotret seseorang; i. Mencari keterangan dan barang bukti; j. Menyelenggarakan Pusat Informasi Kriminal Nasional; k. Mengeluarkan surat izin dan/atau surat keterangan yang diperlukan dalam rangka pelayanan masyarakat; l. Memberikan bantuan pengamanan dalam sidang dan pelaksanaan putusan Pengadilan, kegiatan instansi lain, serta kegiatan masyarakat; m. Menerima dan menyimpang barang temuan untuk sementara waktu. Menyelenggarakan tugas dibidang proses pidana, Polri berwenang: a. Melakukan penangkapan, penahanan, penggeledahan dan penyitaan; b. Melarang setiap orang meninggalkan atau memasuki tempat kejadian perkara untuk kepentingan penyidikan; c. Membawa dan menghadapkan orang kepada penyidik dalam rangka penyidikan; d. Menyuruh berhenti orang yang dicurigai dan menanyakan serta memeriksa tanda pengenal diri; e. Melakukan pemeriksaan dan penyitaan surat; f. Memanggil orang untuk didengar dan diperiksa sebagai tersangka atau saksi;
20
g. Mendatangkan orang ahli yang diperlukan dalam hubungannya dengan pemeriksaan perkara; h. Mengadakan penghentian penyidikan; i. Menyerahkan berkas perkara kepada penuntut umum; j. Mengajukan permintaan secara langsung kepada pejabat imigrasi yang berwenang di tempat pemeriksaan dalam keadaan mendesak atau mendadak untuk mencegah atau menangkal orang yang disangka melakukan tindak pidana; k. Memberikan petunjuk dan bantuan penyidikan kepada penyidik pegawai negeri sipil serta menerima hasil penyidikan pegawai negeri sipil untuk diserahkan kepada penuntut umum; l. Mengadakan tindakan lain menurut hukum yang bertanggung jawab. Menurut H. Warsito Hadi Utomo (2005 : 159) dalam bukunya Hukum Kepolisian di Indonesia, tugas Polri dalam kemasyarakatan di luar peradilan adalah sebagai berikut23: 1. Melaksanakan
upaya
penanggulangan
terhadap
setiap
gejolak
dan
kecenderungan seluruh aspek dalam kehidupan masyarakat yang mengarah kepada terjadinya tindak kejahatan, dan 2. Mengutamakan pencegahan dan penangkalan sehingga menimbulkan dan meningkatkan kesadaran hukum dalam bentuk bimbingan masyarakat yang preventif.
23
Ibid.hal. 159
21
5. Pengertian Kode Etik Profesi Polri WJS
Poerwadarminta
dalam
Kamus
Umum
Bahasa
Indonesia
mengemukakan bahwa “Pengertian etika adalah ilmu pengetahuan tentang asasasas akhlak (moral)”. James J. Spillane SJ. Mengatakan bahwa pengertian etika adalah sebagai berikut: Etika atau ethics memperhatikan atau mempertimbangkan tingkah laku manusia
dalam mengambil
keputusan moral. Etika mengarahkan atau
menghubungkan penggunaan akal budi individual dengan obyektivitas untuk menentukan “kebenaran” atau “kesalahan” dan tingkah laku seseorang terhadap orang lain. H. Hamzah Ya`kup dalam bukunya Etika Islam, merumuskan bahwa “Etika adalah ilmu yang menyelidiki mana yang baik dan mana yang buruk dan memperlihatkan amal perbuatan manusia sejauh yang dapat diketahui oleh pikiran24”. Dalam buku Module I Kepolisian Profesional Bab II Etika Polisi, ”Etika diartikan sebagai ilmu pengetahuan tentang kesusilaan/peradaban. Etika adalah bagian tapi tidak sama dengan hukum, agama, atau etiket”. 1. Etika bukan merupakan hukum Etika termasuk dalam hukum dan begitupun sebaliknya. Hukum dapat dibedakan dengan etika dalam cara sebagai berikut:
24
Suhrawardi K. Lubis, Etika Profesi Hukum, Jakarta : Sinar Grafika, 2002.
22
a. Etika sebagian besar berhubungan dengan pertimbangan nilai dan keputusan moral, sementara hukum adalah berupa tindakan-tindakan khusus; b. Manusia dipaksa oleh hati nurani mereka untuk bertindak secara etis dan benar, sementara hukum ditegakkan/dilaksanakan oleh negara; dan c. Tingkah laku yang tidak etis tidak selamanya dapat dikenakan hukum sedangkan tindakan kriminal dikenakan. 2. Etika bukan merupakan Agama Etika merupakan studi hubungan horizontal antara seseorang dengan orang lain, sedangkan agama merupakan studi tentang hubungan secara vertikal. 3. Etika bukan merupakan Etiket Etika dapat diartikan sebagai ilmu pengetahuan tentang etis dan tidak etis. Etiket merupakan suatu peraturan konvensional dan tata cara yang benar, yang berupa kode tata cara yang benar yang tidak tertulis. Istilah etika secara umum, digunakan dalam hubungannya dengan tindakantindakan yang baik dan buruk, benar atau salah yang dilakukan terhadap orang lain atau terhadap dirinya sendiri. Suatu ringkasan yang lebih pendek adalah etik meliputi perlakuan terhadap seseorang oleh orang lain. Belum ada kata sepakat tentang apa sebenarnya yang menjadi definisi profesi, sebab tidak ada suatu standar (yang telah disepakati) pekerjaan atau tugas yang bagaimanakah yang dikatakan dengan profesi tersebut. Suhrawardi K. Lubis (2002 : 10) menyatakan, sebagai pegangan dapat diutarakan pendapat yang dikemukakan oleh J. Spillane SJ. dalam Nilai-Nilai Etis
23
Dan Kekuasaan Utopis, “Suatu profesi dapat didefinisikan secara singkat sebagai jabatan seseorang kalau profesi tersebut tidak bersifat komersial, mekanis, pertanian dan sebagainya25”. Menurut Momo Kelana (2002 : 131), adapun yang menjadi indikator profesi adalah sebagai berikut: 1. Menggunakan pengetahuan dengan spesialisas/keahlian; 2. Adanya persyaratan minimal sebelum masuk; 3. Kebebasan mengembangkan teknik, tetapi prosedur umum distandarisasi; 4. Adanya skrining yang tegas dan teliti26; 5. Adanya kode etik; dan 6. Pengakuan oleh masyarakat. Menurut Suhrawardi K. Lubis (2002 : 12) bahwa, etika profesi merupakan suatu bentuk kaidah/norma yang memiliki nilai, dimana nilai etika ini dilaksanakan oleh pemegang profesi. Hubungan etika dengan profesi adalah bahwa etika profesi adalah sebagai sikap hidup, yang mana berupa kesediaan untuk memberikan pelayanan professional di bidangnya terhadap masyarakat dengan keterlibatan penuh dan keahlian sebagai pelayanan dalam rangka melaksanakan tugas yang berupa kewajiban terhadap masyarakat yang membutuhkan27. Kedudukan Kode Etik Profesi Polri terdapat dalam Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002, Pasal 34 yang berbunyi:
25 26
27
Ibid.hal.10 Momo Kelana, Hukum Kepolisian, Jakarta : PT Gramedia, 2002. Suhrawardi K. Lubis, Etika Profesi Hukum, Jakarta : Sinar Grafika, 2002.
24
Ayat (1) Sikap dan perilaku pejabat Kepolisian Negara Republik Indonesia terikat pada Kode Etik Profesi Kepolisian Negara Republik Indonesia. Ayat (2) Kode Etik Profesi Kepolisian Negara Republik Indonesia dapat menjadi pedoman bagi pengembangan fungsi kepolisian lainnya dalam melaksanakan tugas sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku dilingkungannya” Ayat (3) Ketentuan mengenai Kode Etik Profesi Kepolisian Negara Republik Indonesia diatur dengan Keputusan Kapolri. Momo Kelana (2002 : 137) menyatakan bahwa, kode etik profesi Polri merupakan himpunan nilai-nilai normatif yang dapat digunakan untuk pedoman sikap dan perilaku dalam pelaksanaan teknis profesi Kepolisian. Dilihat dari segi kepentingan Kepolisian Negara Republik Indonesia, kode etik profesi merupakan peraturan/kaidah internal yang harus ditaati oleh setiap pejabat Kepolisian 28. Liliana Tedjosaputro (2003 : 105) menyatakan, di dalam pedoman pengamalan Bhakti Dharma Waspada, pedoman pengamalan seorang Polisi adalah Rastra Sewakotama Negara Janata – Casanadharma, yaitu sebagai berikut29: 1. Setiap anggota polri adalah Insan Rastra Sewakotama: a. Mengabdi kepada Nusa dan Bangsa dengan penuh ketakwaan kepada Tuhan Yang Maha Esa; b. Berbakti demi keagungan Nusa dan Bangsa yang bersendikan Pancasila dan UUD 1945, sebagai kehormatan yang tertinggi; 28 29
Momo Kelana, Hukum Kepolisian, Jakarta : PT Gramedia, 2002. Liliana Tedjosaputro, Etika Profesi dan Profesi Hukum, Semarang : Aneka Ilmu, 2003.
25
c. Membela tanah air, mengamankan dan mengamalkan Pancasila dan UUD 1945 dengan tekad juang pantang menyerah; d. Menegakkan hukum dan menghormati kaidah-kaidah yang hidup di dalam masyarakat secara adil dan bijaksana; e. Melindungi, mengayomi serta membimbing masyarakat sebagai wujud panggilan tugas pengayoman yang luhur; 2. Setiap anggota Polri adalah Insan Janotama: a. Berdharma untuk menjamin ketentraman umum bersama-sama warga masyarakat membina ketertiban dan keamanan demi terwujudnya kegairahan kerja dan kesejahteraan lahir batin; b. Menampilkan dirinya sebagai warga negara yang berwibawa dan dicintai oleh sesama warga negara; c. Bersikap disiplin, percaya diri, tanggung jawab, penuh keikhlasan dalam tugas kesanggupan, serta selalu menyadari bahwa dirinya adalah warga masyarakat; d. Selalu peka dan tanggap dalam tugas, mengembangkan kemampuan dirinya, menilai tinggi mutu kerja penuh keaktifan dan efisiensi serta menempatkan kepentingan tugas secara wajar di atas kepentingan pribadinya; e. Memupuk rasa persatuan, kesatuan dan kebersamaan serta kesetiakawanan dalam lingkungan masyarakat; f. Menjauhkan diri dari perbuatan dan sikap tercela serta mempelopori setiap tindakan mengatasi kesulitan-kesulitan masyarakat sekelilingnya.
26
3. Setiap anggota Polri adalah Insan Casanadharma: a. Selalu waspada, siap sedia dan sanggup menghadapi setiap kemungkinan dalam tugas; b. Mampu
mengendalikan
diri
dari
segala
perbuatan-perbuatan
penyalahgunaan; c. Tidak
mengenal
berhenti
dalam
memberantas
kejahatan
dan
mendahulukan cara-cara pencegahan daripada penindakan secara hukum; d. Memelihara dan meningkatkan peran serta warga masyarakat dalam upaya memelihara ketertiban dan keamanan di dalam masyarakat; e. Bersama-sama segenap komponen kekuatan pertahanan keamanan lainnya dan peran serta warga masyarakat dalam memelihara dan meningkatkan Kemanunggalan ABRI – Rakyat; f. Meletakkan setiap langkah tugas sebagai bagian dari pencapaian tujuan Pembangunan Nasional sesuai dengan Amanat Penderitaan Rakyat. Menurut Liliana Tedjosaputro (2003 : 107), memperhatikan kode etik profesi Polri ini dapat dipahami bahwa kode etik ini bertujuan meningkatkan kualitas dalam arti kemampuan profesional para anggotanya dan usaha meningkatkan mental anggotanya, karena kode etik Polri ini memberikan suatu sikap dan pola hidup serta gaya hidup yang wajib dilaksanakan oleh anggota Polri30. 6. Pengertian penganiayaan
30
Ibid. hal.107
27
Secara umum tindak pidana terhadap tubuh pada KUHP disebut “penganiayaan”, mengenai arti dan makna kata penganiayaan tersebut banyak perbedaan diantara para ahli hukum dalam memahaminya. Penganiayaan diartikan sebagai perbuatan yang dilakukan dengan sengaja untuk menimbulkan rasa sakit (pijn) atas luka (letsel) pada tubuh orang lain. (satochid kartanegara : 509) Penganiayaan adalah “dengan sengaja menimbulkan rasa sakit atau luka, kesengajaan itu harus dicantumkan dalam surat tuduhan” (Soenarto Soerodibroto, 1994: 211), sedangkan dalam doktrin/ilmu pengetahuan hukum pidana penganiayaan mempunyai unsur sebagai berikut. a. Adanya kesengajaan b. Adanya perbuatan c. Adanya akibat perbuatan (yang dituju), yakni *rasa sakit pada tubuh *luka pada tubuh ,Unsur pertama adalah berupa unsur subjektif (kesalahan), unsur kedua dan ketiga berupa unsur objektif. Kejahatan terhadap tubuh (Penganiayaan), Kejahatan tindak pidana yang dilakukan terhadap tubuh dalam segala perbuatan-perbuatannya sehinnga menjadikan luka atau rasa sakit pada tubuh bahkan sampai menimbulkan kematian bila kita lihat dari unsur kesalahannya, dan kesengajaannya diberikan kualifikasi sebagai penganiayaan (mishandeling), yang dimuat dalam BAB XX Buku II, pasal 351 s/d 355. Penganiayaaan yang dimuat dalam BAB XX II, pasal 351s/d 355 adalah sebagai berikut:
28
1. Penganiayaan biasa pasal 351 KUHP 2. Penganiayaan ringan pasal 352 KUHP 3. Panganiayaan berencana pasal 353 KUHP 4. penganiayaan berat pasal 354 KUHP 5. penganiayaan berat pasal 355 KUHP Dari beberapa macam penganiayaan diatas kami mencoba untuk menjelaskaannya satu persatu : 1. Penganiayaan biasa pasal 351 KUHP pasal 351 KUHP telah menerangkan penganiayaan ringan sebagai berikut : 1. Penganiayaan dipidana dengan pidana penjara paling lama dua tahun delapan bulan atau pidana denda paling banyak empat ribu lima ratus rupih. 2. Jika perbuatan itu menyebabkan luka-luka berat, yang bersalah dipidana dengan pidana penjara paling lama lima tahun 3. Jika mengakibatkan mati, dipidana dengan pidana penjara paling lama tujuh tahun. 4. Dengan penganiayaan disamakan sengaja merusak kesehatan. 5. Percobaan untuk melakukan kejahatan tindak pidana. Kembali lagi dari arti sebuah penganiayaan yang merupakan suatu tindakan yang melawan hukum, memang semuanya perbuatan atau tindakan yang dilakukan oleh subyek hukum akan berakibat kepada dirinya sendiri. Mengenai penganiayaan biasa ini merupakan suatu tindakan hukum yang bersumber dari sebuah kesengajaan. Kesengajaan ini berari bahwa akibat suatu perbuatan dikehendaki dan ini ternyata apabila akibat itu sungguh-sungguh dimaksud oleh perbuatan yang dilakukan itu.
29
yang menyebabkan rasa sakit, luka, sehingga menimbulkan kematian. Tidak semua perbuatan memukul atau lainnya yang menimbulkan rasa sakit dikatakan sebuah penganiayaan. Oleh karena mendapatkan perizinan dari pemerintah dalam melaksanakan tugas dan fungsi jabatannya. Seperti contoh: seorang guru yang memukul anak didiknya, atau seorang dokter yang telah melukai pasiennya dan menyebabkan luka, tindakan tersebut tidak dapat dikatakan sebagai penganiayaan, karena ia bermaksud untuk mendidik dan menyembuhkan penyakit yang diderita oleh pasiennya. Adapula timbulnya rasa sakit yang terjadi pada sebuah pertandingan diatas ring seperti tinju, pencak silat, dan lain sebagainya. Tetapi perlu digaris bawahi apabila semua perbuatan tersebut diatas telah malampui batas yang telah ditentukan karena semuanya itu meskipun telah mendapatkan izin dari pemerintah ada peraturan yang membatasinya diatas perbuatan itu, mengenai orang tua yang memukili anaknya dilihat dari ketidak wajaran terhadap cara mendidiknya. Oleh sebab dari perbuatan yang telah melampaui batas tertentu yang telah diatur dalam hukum pemerintah yang asalnya pebuatan itu bukan sebuah penganiayaan, karena telah melampaui batas-batas aturan tertentu maka berbuatan tersebut dimanakan sebuah penganiayaan yang dinamakan dengan “penganiayaan biasa”. Yang bersalah pada perbuatan ini diancam dengan hukuman lebih berat, apabila perbuatan ini mengakibatkan luka berat atau matinya sikorban. Mengenai tentang luka berat lihat pasal 90 KUHP. Luka berat atau mati yang dimaksud disini hanya sebagai akibat dari perbuatan penganiayaan itu.
30
Mengenai tindakan hukum ini yang akan diberikan kepada yang bersalah untuk menentukan pasal 351 KUHP telah mempunyai rumusan dalam penganiayaan biasa dapat di bedakan menjadi: 1. Penganiayaan biasa yang tidak menimbulkan luka berat maupun kematian 2. Penganiayaan yang mengakibatkan luka berat 3.Penganiayaan yang mengakibatkan kematian 4. penganiayaan yang berupa sengaja merusak kesehatan. 2. Penganiayaan ringan pasal 352 KUPH Disebut penganiayaan ringan Karena penganiayaan ini tidak menyebabkan luka atau penyakit dan tidak menyebabkan si korban tidak bisa menjalankan aktivitas sehari-harinya. Rumusan dalam penganiayaan ringan telah diatur dalam pasal 352 KUHP sebagai berikut: 1. Kecuali yang tersebut dalam pasal 353 dan 356, maka penganiayaan yang tidak menimbulkan penyakit atau halangan untuk menjalankan pekerjaan jabatan atau pencaharian, dipidana sebagai penganiayaan ringan, dengan pidana penjara paling lama tiga bulan atau pidana denda paling banyak empat ribu lima ratus. 2. Pidana dapat ditambah sepertiga bagi orang yang melakukan kejahatan itu terhadap orang yang bekerja padanya atau menjadi bawahannya. 3. Percobaan untuk melakukan kejahatan ini tidak dipidana. Melihat pasal 352 ayat (2) bahwa “percobaan melakukan kejahatan itu (penganiyaan ringan) tidak dapat di pidana” meskipun dalam pengertiannya menurut para ahli hukum, percobaan adalah menuju kesuatu hal, tetapi tidak sampai pada sesuatu hal yang di tuju, atau hendak berbuat sesuatu dan sudah dimulai akan tetapi tidak sampai
31
selesai. Disini yang dimaksud adalah percobaan untuk melakukan kejahatan yang bisa membahayakan orang lain dan yang telah diatur dalam pasal 53 ayat (1). Sedangkan percobaan yang ada dalam penganiyaan ini tidak akan membahayakan orang lain. 3. Penganiayaan berencana pasal 353 KUHP sebagai berikut : 1. Penganiayaan dengan berencana lebih dulu, di pidana dengan pidana penjara paling lama empat tahun. 2. Jika perbutan itu menimbulkan luka-luka berat, yang bersalah di pidana dengan pidana penjara palang lama tujuh tahun 3. Jika perbuatan itu mengakibatkan kematian, yang bersalah di pidana dengan pidana penjara paling lama Sembilan tahun. Menurut Tiirtamidjaja Menyatakan arti di rencanakan lebih dahulu adalah : “bahwa ada suatu jangka waktu, bagaimanapun pendeknya untuk mempertimbangkan, untuk berfikir dengan tenang”. Apabila kita fahami tentang arti dari di rencanakan diatas, bermaksud sebelum melakukan penganiayaan tersebut telah di rencanakan terlebih dahulu, oleh sebab terdapatnya unsur direncanakan lebih dulu (meet voor bedachte rade) sebelum perbuatan dilakukan, direncanakan lebih dulu (disingkat berencana), adalah berbentuk khusus dari kesengajaan (opzettielijk) dan merupakan alas an pemberat pidana pada penganiayaan yang bersifat subjektif, dan juga terdapat pada pembunuhan berencana (340). Perkataan berpikir dengan tenang, sebelum melakukan penganiayaan, si pelaku tidak langsung melakukan kejahatan itu tetapi ia masih berfikir dengan batin yang tenang apakah resiko/akibat yang akan terjadi yang disadarinya baik
32
bagi dirinya maupun orang lain, sehingga si pelaku sudah berniat untuk melakukan kejahatan tersebut sesuai dengan kehendaknya yang telah menjadi keputusan untuk melakukannya. Maksud dari niat dan rencana tersebut tidak di kuasai oleh perasaan emosi yang tinggi, was-was/takut, tergesa-gesa atau terpaksa dan
lain
sebagainya.
Penganiayaan berencana yang telah dijelaskan diatas dan telah diatur dala pasal 353 apabila mengakibatkan luka berat dan kematian adalah berupa faktor/alas an pembuat pidana yang bersifat objektif, penganiayaan berencana apabila menimbulkan luka berat yang di kehendaki sesuai dengan (ayat 2) bukan disebut lagi penganiayaan berencana tetapi penganiayaan berat berencana (pasal 355 KUHP), apabila kejahatan tersebut bermaksud dan ditujukan pada kematian (ayat 3) bukan disebut lagi penganiayaan berencana tetapi pembunuhan berencana (pasal 340 KUHP). 4. Penganiayaan berat pasal 354 KUHP Penganiayaan berat dirumuskan dalam pasal 354 yang rumusannya adalah sebagai berikut : 1. Barang siapa sengaja melukai berat orang lain dipidana penjara paling lama delapan tahun 2. Jika perbuatan itu mengakibatkan kematian, yang bersalah di pidana dengan pidana penjara paling lama sepuluh tahun. Perbuatan berat (zwar lichamelijk letsel toebrengt) atau dapat disebut juga menjadikan berat pada tubuh orang lain. Haruslah dilakukan dengan sengaja. Kesengajaan itu harus mengenai ketiga unsur dari tindak pidana yaitu: pebuatan yang dilarang, akibat yang menjadi pokok
33
alasan diadakan larangan itu dan bahwa perbuatan itu melanggar hukum. Ketiga unsur diatas harus disebutkan dalam undang-undang sebagai unsur dari perbuatan pidana, seorang jaksa harus teliti dalam merumuskan apakah yang telah dilakukan oleh seorang terdakwah dan ia harus menyebukan pula tuduhan pidana semua unsur yang disebutkan dalam undang-undang sebagai unsur dari perbuatan pidana. Apabila dihubungkan dengan unsur kesengajaan maka kesengajaan ini harus sekaligus ditujukan baik tehadap perbuatannya, (misalnya menusuk dengan pisau), maupun terhadap akibatnya, yakni luka berat. Mengenai luka berat disini bersifat abstrak bagaimana bentuknya luka berat, kita hanya dapat merumuskan luka berat yang telah di jelaskan pada pasal 90 KUHP Luka berat berarti, Jatuh sakit atau luka yang tak dapat diharapkan akan sembuh lagi dengan sempurna atau yang dapat mendatangkan bahaya maut. Pada pasal 90 KUHP diatas telah dijelaskan tentang golongan yang bisa dikatakan sebagi luka berat, sedangkan akibat
kematian
pada
penganiayaan
berat
bukanlah
merupakan
unsur
penganiayaan berat, melainkan merupakan faktor atau alasan memperberat pidana dalam penganiayaan berat.
5. Penganiayaan berat berencana pasal 355 KUHP sebagai berikut : 1. Penganiayaan berat yang dilakukan dengan rencana terlebih dahulu, dipidana dengan pidana penjara paling lama dua belas tahun; 2. Jika perbuatan itu menimbulkan kematian yang bersalah di pidana dengan pidana penjara paling lama lima belas tahun. Dilihat dari penjelasan yang telah
34
ada diatas tentang kejahatan yang berupa penganiayaan berencana, dan penganiayaan berat, maka penganiayaan berat berencana ini merupakan bentuk gabungan antara penganiayaan berat (354 ayat 1) dengan penganiyaan berencana (pasal 353 ayat 1), dengan kata lain suatu penganiayaan berat yang terjadi dalam penganiayaan berencana, kedua bentuk penganiayaan ini haruslah terjadi secara serentak/bersama. Oleh karena harus terjadi secara bersama, maka harus terpenuhi baik unsur penganiayaan berat maupun unsur penganiayaan berencana.
35