1
Syari'ah dan Tafsîr al-Qur’ân Elaborasi Maqâshid dalam tafsir Ibn ‘Âsyûr
TESIS Diajukan sebagai Salah Satu Syarat untuk Memperoleh Gelar Magister dalam Ilmu Agama Islam oleh:
Abdul Aziz Muchammad NIM: 06.2.00.1.14.08.0069
Pembimbing:
Dr. Yusuf Rahman, MA
KONSENTRASI ULÛM AL-QUR’ÂN SEKOLAH PASCASARJANA UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA 2008
2
SURAT PERNYATAAN Saya yang bertanda tangan di bawah ini, Nama
: Abdul Aziz Muchammad
NIM
: 06.2.00.1.14.08.0069
Tempat, Tanggal Lahir : Surabaya, 04 Pebruari 1979 menyatakan dengan sesungguhnya bahwa tesis yang berjudul “Syari'ah dan Tafsîr al-Qur’ân: Elaborasi Maqâshid dalam tafsir Ibn ‘Âsyûr” ini benar-benar merupakan karya asli saya kecuali kutipan-kutipan yang saya sebutkan sumbernya. Segala kesalahan dan kekurangan di dalamnya sepenuhnya menjadi tanggung jawab saya dengan konsekuensi pencabutan gelar.
Jakarta, 18 Desember 2008
Abdul Aziz Muchammad
3
PERSETUJUAN PEMBIMBING Tesis saudara Abdul Aziz Muchammad NIM: 06.2.00.1.14.08.0069 yang berjudul “Syari'ah dan Tafsîr al-Qur’ân: “Elaborasi Maqâshid dalam tafsir Ibn ‘Âsyûr” telah diperiksa dan dinyatakan layak untuk diajukan ke Sidang Ujian Tesis.
Jakarta, 18 Desember 2008 Pembimbing
Dr. Yusuf Rahman, MA
4
PENGESAHAN Tesis saudara Abdul Aziz Muchammad NIM: 06.2.00.1.14.08.0069 yang berjudul “Syari'ah dan Tafsîr alQur’ân:
“Elaborasi Maqâshid dalam tafsir Ibn ‘Âsyûr” yang
diujikan pada tanggal 27 Desember 2008, dan telah diperbaiki sesuai saran serta rekomendasi dari Tim Penguji Tesis.
Jakarta, 30 Desember 2008
1. Dr. Yusuf Rahman, MA Pembimbing/Ketua/Merangkap Penguji
1…………………..
2. Prof. Dr. Hamdani Anwar, MA Penguji I
2…………………..
3. Dr. Asep Saepuddin Jahar Penguji II
3………………….
5
PEDOMAN TRANSLITERASI DAN TRANSLASI A. Konsonan
ب ت ث ج ح خ د ذ ر ز س ش ص ض
= b
= th
= t
= zh
= ts
= ‘
= j
= gh
= h
= f
= kh
= q
= d
= k
= dz
= l
= r
= m
= z
= n
= s
= w
= sy
= h
= sh
= `
= dh
= y
B. Vokal Vokal Tunggal
:
= ـــَــa
= ـــِــI
= ـــُــu
Vokal Panjang
:
= ـــَـﺎâ
ﻲ ْ = ــِـÎ
= ــُـ ْﻮû
Vokal Rangkap
:
ﻲ ْ = ــَـay
= ــَـ ْﻮaw
C. Lain-lain -
Transliterasi syaddah atau tasydîd ( ّ ) dilakukan dengan menggandakan huruf yang sama.
6
-
Transliterasi ta` marbûthah ( ) ةadalah “h”, termasuk ketika ia diikuti oleh kata sandang “al” ( ) ال, kecuali dalam transliterasi ayat al-Qur`an.
-
Nama-nama dan kata-kata yang telah ada versi populernya dalam tulisan latin, pada umumnya, akan ditulis berdasarkan versi populer tersebut. D. Translasi
-
Kecuali terjemahan al-Qur`an, dan kecuali dinyatakan sebaliknya, seluruh terjemahan dalam tesis ini adalah milik penulis.
-
Untuk terjemahan al-Qur`an, penulis mengutip Mushaf al-Qur`an Terjemah, Departemen Agama RI, edisi tahun 2006, dengan beberapa penyesuaian.
7
ABSTRAK Tesis ini membuktikan bahwa penafsiran dengan menggunakan Maqâshid al-Qur’ân akan membuahkan tafsiran makna lafadz secara elastis. Karena ia merujuk kepada keumuman dakwah, kandungannya mesti bisa dipahami oleh orang-orang yang hidup di masa penyebaran ilmu pengetahuan dan teknologi. Kesimpulan diatas menguatkan gagasan Rasyîd Ridhâ dalam al-Wahyu al-Muhammady [Maktabah al-Islami], sebagaimana kedua gurunya Muhammad ‘Abduh dan al-Afghâni yang mewajibkan penerapan maqâshid al-Qur’ân dalam penafsiran [sebagaimana ditulis oleh al-Daghamin dalam karyanya manhaj alTa’amul ma’a al-Qur’ân fî fikri Syeikh Muhammad Rasyîd Ridhâ. Belakangan Muhammad Izzat Darwaza juga meformulasikan Maqâshid al-Qur’an dengan istilah al-Usus wa al-Wasa’il [pokokpokok/ fundamental dan instrumen]. Fokus utama penelitian ini bersumber dari prinsip-prinsip tafsir yang dirumuskan oleh Ibn ‘Âsyûr dalam dua buah karyanya, Maqâshid al-Syarî’ah al- Islâmiyyah dan al-Tahrîr wa al-Tanwîr. Penelitian ini juga berupaya untuk melakukan penilaian terhadap prinsip-prinsip tersebut berdasarkan kriteria rigiditas dan ortodoksi penafsiran kontemporer. Pendekatan struktural (analysis structure) digunakan diletakkan dalam kerangka yang bersifat historis dan komparatif_“historis” karena penelitian ini juga mengkaji kondisi-kondisi psikologis, sosial, politik, dan intelektual yang memengaruhi pemikiran Ibn ‘Âsyûr, dan “komparatif” karena ia mencoba membandingkan pemikiran Ibn ‘Âsyûr itu dengan al-Syâtibî seputar Maqâshid dan prinsip-prinsip tafsirnya. Penelitian ini juga ingin menunjukkan bahwa gagasan Ibn ‘Âsyûr sering digunakan untuk menggugat tekstualisme/rigiditas dalam tafsir. Selain itu, hasrat untuk mencari legitimasi dari masa lalu demi kepentingan masa kini bisa menyebabkan distorsi pada sejarah. Pembacaan terhadap karya-karya Ibn ‘Âsyûr melalui konteks sosial dan intelektual pada zamannya menyiratkan dugaan bahwa karya-karya tersebut sebetulnya diajukan sebagai kritik sosial-keagamaan bagi masyarakat Tunisia pada khususnya, dan masyarakat muslim dunia secara makro.
8
ABSTRACT This Thesis proves that interpretation by using Maqâshid alQur’ân will produce exegesis [lafadz] in elastic meaning. Because, Maqâshid al-Qur`ân refers to generally principle of missionary endeavors [‘umûm al-da’wah]. Consequently, al-Qur`ân must contain things that can be comprehended [understanding] by life people in a period of science and technology spreading. The Conclusion above strengthen of Rasyîd Ridhâ idea’s in alWahyu al-Muhammady, as the same manner as both his teachers; Mohammed ‘Abduh and al-Afghâni. They oblige applying Maqâshid al-Qur’ân in interpretation [as the same manner as written by alDaghamin in his works of manhaj al-Ta’amul ma’a al-Qur’ân fî fikri Syeikh Mohammed Rasyîd Ridhâ. Latter Mohammed Izzat Darwaza also formulates Maqâshid al-Qur’an with the basic specifics/fundamental media and instrument [al-Usus wa alWasa’il]. Concerning the source of interpretation principles that formulated by Ibn ‘Asyûr in two unit [of] his works there are; Maqâshid al-Syarî’ah al Islâmiyyah and al-Tahrîr wa al-Tanwîr. This Research also copes to conduct assessment to principles referred [as] base criteria of rigidities and orthodoxy contemporary interpretation. Structural Approach (analysis structure) in this research puts down in framework that has character of historical and comparability_“historical” because this research also assesses psychological set of circumstances, social, politics, and intellectual that influence idea of Ibn ‘Asyûr, and “comparability” because he tries to compare idea Ibn ‘Asyûr between/with al-Syâtibî around Maqâshid and his principles of interpretation/exegesis.
Finally, This research proves that Ibn ‘Âsyûr’s ideas are frequently used to criticize orthodoxy in Quran exegesis. And also the contention of this study that those criticisms can, perhaps, be adopted completely only if Ibn ‘Âsyûr himself is overstepped. In addition, the desire to seek legitimacy from the past for the sake of the present time can cause distortions in history. The reading of Ibn 'Âsyûr’s works suggestion through his social and intellectual context in the period that indicate and implies that those works are proposed primarily as suspected papers are actually filed as a criticism of social-religious society for Tunisia especially, and the world community as a whole.
9
ﺍﻟﻤﻠﺨﺹ
ﻫﺫﻩ ﺍﻟﺭﺴﺎﻟﺔ ﺘﺅﻜﺩ ﻋﻠﻲ ﺃﻥ ﺘﻔﺴﻴﺭ ﺍﻟﻘﺭﺁﻥ ﺒﻤﻘﺎﺼﺩ ﺍﻟﻘﺭﺁﻥ ﺘﺅﺩﻱ ﺇﻟﻲ ﻤﻌﺎﻥ ﻤﺘﻌﺩﺩﺓ ،ﻷﻨﻪ ﺭﺍﺠﻌﺔ ﺇﻟﻲ ﻋﻤﻭﻡ ﺍﻟﺩﻋﻭﺓ ﻭﻫﻭ ﻤﻌﺠﺯﺓ ﺒﺎﻗﻴﺔ ﻓﻼ ﺒﺩ ﺃﻥ ﻴﻜﻭﻥ ﻓﻴﻪ ﻤﺎ ﻴﺼﻠﺢ ﻷﻥ ﺘﺘﻨﺎﻭﻟﻪ ﺃﻓﻬﺎﻡ ﻤﻥ ﻴﺄﺘﻲ ﻤﻥ ﺍﻟﻨﺎﺱ ﻓﻲ ﺇﻨﺘﺸﺎﺭ ﺍﻟﻌﻠﻭﻡ ﻓﻲ ﺍﻷﻤﺔ. ﻭ اﻟﺼﻴﺎﻏﺔ اﻟﺘﻔﺴﻴﺮ اﻟﺬي ﻃﺮﺣﻬﺎ اﺑﻦ ﻋﺎﺷﻮر ﺘﺅﻴﺩ ﻤﺎﻗﺎﻟﻪ ﺍﻟﺴﻴﺩ رﺷﻴﺪ رﺿﺎ ﻓﻲ آﺘﺎﺑﻪ اﻟﻮﺣﻲ اﻟﻤﺤﻤﺪي آﻤﺎ یﺮاهﺎ أﺴﺘﺎﺫﺍﻩ ﻤﺤﻤﺩ ﻋﺒﺩﻩ ﻭ ﺍﻷ ﻓﻐﺎﻨﻲ ،ﻭﻴﻘﺩﻡ ﺼﻴﺎﻏﺔ ﺍﻟﺠﺩﻴﺩﺓﺘﻜﻤﻠﺔ ﻟﻤﺎ ﻗﺒﻠﻬﺎ .ﻭﻓﻲ ﺍﻭﺍﻥ ﻋﺰة دروزة ﺃﺘﻲ ﺒﻤﻔﻬﻭﻡ ﺠﺩﻴﺩ )ﺑﻨﻤﻂ ﺟﺪیﺪ( ﺑﺄن ﻡﺤﺘﻮیﺎت اﻟﻘﺮﺁن ﻥﻮﻋﺎن ﻡﺘﻤﻴﺰان وهﻤﺎ اﻷﺱﺲ واﻟﻮﺱﺎﺋﻞ ،وإن اﻟﺠﻮهﺮي ﻓﻴﻪ هﻮ اﻷﺱﺲ ﻷﻥﻬﺎ هﻲ اﻟﺘﻲ إﻥﻄﻮت ﻓﻴﻬﺎ أهﺪاف اﻟﺘﻨﺰیﻞ اﻟﻘﺮﺁﻥﻲ واﻟﺮﺱﺎﻟﺔ اﻟﻨﺒﻮة ﻡﻦ ﻡﺒﺎدئ وﻗﻮاﻋﺪ وﺷﺮاﺋﻊ وأﺣﻜﺎم. ﻴﻌﺘﻨﻲ ﻫﺫ ﺍﻟﺒﺤﺙ ﺒﻌﺭﺽ ﺠﻤﻠﺔ ﻤﻥ ﺃﺼﻭل ﺍﻟﺘﻔﺴﻴﺭ ﻭﻗﻭﺍﻋﺩﻩ ﺍﻟﺘﻲ ﺘﻨﺎﻭﻟﻬﺎ ﺍﺒﻥ ﻋﺎﺸﻭﺭ ﻓﻲ ﻜﺘﺎﺒﻴﻪ :ﺍﻟﻤﻘﺎﺼﺩ ﺍﻟﺸﺭﻴﻌﺔ ﺍﻹﺴﻼﻤﻴﺔ ﻭﺍﻟﺘﺤﺭﻴﺭ ﻭﺍﻟﺘﻨﻭﻴﺭ .ﻓﻴﺤﺎﻭل ﻫﺫﺍ ﺍﻟﺒﺤﺙ ﺃﻴﻀﺎ ﺒﺤﻜﻡ ﺘﻠﻙ ﺍﻷﺼﻭل ﺘﺤﺕ ﻤﻘﺎﻴﻴﺱ ﻭﺃﺭﺜﻭﺫﻜﺴﻴﺔ ﺍﻟﺘﻔﺴﻴﺭ ﺍﻟﻤﻌﺎﺼﺭ. ﻭﻴﻬﺩﻑ ﻫﺫﺍ ﺍﻟﺒﺤﺙ ﺘﻌﺒﻴﺭ ﺃﺴﺱ ﻨﻅﺭﻴﺔ ﺍﻟﻤﻘﺎﺼﺩ ﻋﻨﺩ ﺇﺒﻥ ﻋﺎﺸﻭﺭ ،ﻭﻤﻨﻬﺞ ﻫﺫﺍ ﺍﻟﺒﺤﺙ ﺍﻟﺘﺭﺘﻴﺏ ﺍﻟﺘﺎﺭﻴﺨﻲ ﺍﻟﺘﻨﺎﺯﻟﻲ ﺤﻴﺙ ﻴﺒﺤﺙ ﻓﻴﻪ ﺍﻟﺨﻠﻔﻴﺔ ﺍﻟﺘﺎﺭﻴﺨﻴﺔ ﻓﻲ ﻤﺠﺎل ﺍﻟﻨﻔﺱ ،ﺍﻹﺠﺘﻤﺎﻋﻲ، ﻭﺍﻟﺴﻴﺎﺴﺔ ،ﻭﺍﻟﺭﺤﻠﺔ ﺍﻟﻌﻠﻤﻴﺔ ﺍﻟﺘﻲ ﺃﺜﺭﺕ ﺁﺭﺍﺀ ﺇﺒﻥ ﻋﺎﺸﻭﺭ ،واﻟﻤﻘﺎرﻥﺔ; ﻷﻥﻪ ﺣﺎول ﻡﻘﺎرﻥﺔ ﺑﻴﻦ أﻓﻜﺎر اﺑﻦ ﻋﺎﺷﻮر و اﻟﺸﺎﻃﺒﻲ ﺣﻮل اﻟﻤﻘﺎﺹﺪ ل ﻫﺫﺍ ﺍﻟﺒﺤﺙ ﻓﻲ ﺍﻷﺨﻴﺭ ﺃﻥ ﺁﺭﺍﺀ ﺍﺒﻥ ﻋﺎﺸﻭﺭ ﺍﺴﺘﺨﺩﻤﺕ ﻜﺜﻴﺭﺍ ﻓﻲ ﻨﻘﺩ ﺍﻟﻨﺼﻭﺹ ﻭﻴﺩ ّ ﻭﺍﻟﺼﻼﺒﺔ ﺃﻭ ﺍﻟﺼﺭﺍﻤﺔ ﻓﻲ ﺍﻟﺘﻔﺴﻴﺭ .ﻭﺒﺠﺎﻨﺏ ﺫﻟﻙ ﺃﻥ ﺍﻟﻌﺯﻡ ﻓﻲ ﺍﻟﺒﺤﺙ ﻋﻥ ﺍﻟﻘﻀﻴﺔ ﺍﻟﺸﺭﻋﻴﺔ ﻓﻲ ﺏ ﺍﻟﺘﺸﻭﻴﻪ ﻭﺍﻟﺘﺤﺭﻴﻑ ﻨﺤﻭ ﺍﻟﺘﺎﺭﻴﺦ .ﻭﻜﺎﻥ ﻗﺩﻴﻡ ﺍﻟﺯﻤﺎﻥ ﻟﻸﻫﻤﻴﺎﺕ ﻓﻲ ﺍﻟﻌﺼﺭ ﺍﻟﺤﺎﻀﺭ ﻴﺴﺒ ّ ﺍﻟﺘﻔﺴﻴﺭ ﺃﻭﺍﻟﻘﺭﺍﺀﺓ ﻤﻥ ﻤﺅﻟﻔﺎﺕ ﺍﺒﻥ ﻋﺎﺸﻭﺭ ﻨﺤﻭ ﺘﻠﻙ ﺍﻟﻨﺼﻭﺹ ﻋﻨﺩ ﻋﺼﺭﻩ ﺍﺠﺘﻤﺎﻋﻴﺔ ﻜﺎﻨﺕ ﺃﻭﻓﻜﺭﻴﺔ ﻓﺘﺤﺕ ﺍﻟﻅﻨﻭﻥ ﺃﻥ ﺘﻠﻙ ﺍﻟﻤﺅﻟﻔﺎﺕ ﺘﻘﺩّﻡ ﻜﺎﻟﻨﻘﺩ ﺍﻻﺠﺘﻤﺎﻋﻲ ﻭﺍﻟﺩﻴﻨﻲ ﻟﻠﻤﺠﺘﻤﻊ ﺍﻟﺘﻭﻨﺴﻲ ﺨﺼﻭﺼﺎ ﻭﺍﻟﻤﺠﺘﻤﻊ ﺍﻟﻤﺩﻨﻲ ﻋﺎﻤّﺎ.
10
KATA PENGANTAR Tesis ini berutang kepada banyak orang yang tidak seluruhnya bisa disebutkan di sini. Kepada mereka semua, penulis menghaturkan terima kasih, penghargaan, serta permohonan maaf setulus-tulusnya. Pertama, Dr. Yusuf Rahman yang telah membimbing penulis selama melakukan penelitian. Kritik, saran, dan bantuannya membuat penulisan tesis ini menjadi sesuatu yang menghibur dan menggairahkan. Juga Dr. Fuad Djabali dan Prof. Suwito Dengan cara masing-masing, mereka telah membantu rencana penulisan tesis ini menjadi sedikit lebih “distingtif” dengan beberapa kali “work in progress” . Bahan-bahan penulisan tesis ini diperoleh dari pelbagai sumber di Jakarta, Yogyakarta, dan Surabaya, terutama di perpustakaan-perpustakaan UIN Jakarta dan Yogyakarta, PSQ Jakarta, Iman Jama’ Jakarta. Tesis ini rasanya tidak akan selesai sesuai harapan tanpa kemudahan akses yang diberikan oleh seluruh staf dan pegawai di perpustakaan-perpustakaan tersebut. Secara personal, penulis ingin berterimakasih kepada Syukron, pegawai Perpustakaan Pascasarjana UIN Jakarta, untuk segala bantuan dan keramahannya. Juga kepada teman-teman Ulûmul Qur’ân yang banyak memberi atensi dan motivasi semangat dan bantuan literatur-literatur yang mereka berikan, pinjamkan, atau kirimkan. Ada momen-momen tertentu ketika penulisan tesis ini terasa melelahkan dan menjemukan, terutama saat-saat ketika ia seakan-akan tiba pada sebuah cul-de-sac. Tetapi selalu ada sesuatu yang membuat semua itu menjadi tertanggungkan: kehadiran Ibuku Hj. Achmada Sholichah yang dengan tabah dan sabar dalam membimbing putra putrinya sepeningal ayah sebagai Single Parent yang tak kenal patah arang/semangat, selalu memotivasi dan mendo’aakanku setiap saat dalam meraih asa dan ridho-Nya, semoga segala kebaikannya dilipatgandakan oleh Allah Ta’âla dan mendapat ridho-Nya sebagai bekal menuju kebahagiaan Akhirat, amin. Tidak lupa penulis persembahkan al-Fâtihah kepada (almaghfurlah) H.M. Hidayat
11
Tauhid ayah saya sendiri, tujuh tahun yang lalu telah menghadap Ilahi Rabbi semoga segala amal kebaikan dilipatgandakan dan dosa-dosanya diampuni Allah ’Azza wa Jalla, semoga dikumpulkan kelak bersama orang-orang saleh. Untuk saudarasaudaraku Mas Rosyid, Mbak Sita, adikku Isa dan Anis yang selalu memberikan motivasi, semoga semuanya diberi kelancaran dalam segala hal atas motivasinya kepada penulis. Yang selalu mendampingiku dan mendoakanku setiap saat istriku tercinta; Yayuk Rachmawati dan anakku Salfa Salsabila Nadya Aziz, tetanggaku baik di kost, maupun di rumah terima kasihku kepada kalian semuanya. Bagian-bagian tertentu dari tesis ini dirumuskan, dipertajam, diperbaiki, dan disempurnakan berdasarkan inspirasi, diskusi, saran, serta kritik dari beberapa pihak. Selain Pak Yusuf, Pak Fuad Djabali, dan Pak Muchis Hanafi, dan mereka yang telah disebutkan di atas. Dalam satu dan lain hal, tesis ini juga harus dipandang sebagai bagian dari proses “perjalanan intelektual” penulis selama masa studi di Program Khusus Ulûm al-Qur’ân Beasiswa Depag, Sekolah Pascasarjana UIN Syarif Hidayatullah, Jakarta. Karena itu, penulis juga ingin berterima kasih kepada Prof. Dr. Quraish Shihab, Dr. Muchlis Hanafi, Dr. Sahabuddin, Prof. Dr. Zainun Kamal, Prof.Dr. Suwito, MA, Dr. Lutfi Fathullah, Prof. Dr. Kautsar Azhari Noer, Dr. Fuad Jabali, Prof. Dr. Salman Harun, Dr. Uka Tjandrasasmita, Prof. Dr. Matsna HS,MA, Prof. Dr. Tajuddin, Dr. Yusuf Rahman, Dr. Romlah, Dr. Faizah Ali Syibramalisi, serta untuk kuliah-kuliah yang inspiratif dan mencerahkan. Terakhir, guru-guruku mulai dari waktu kecil sampai sekarang yang namanya sudah hampir lupa semuanya semoga ilmu yang mereka berikan bermanfaat kelak. Semoga Allah memperkenankan doa yang seetiap kita panjatkan dan semoga Allah selalu mencurahkan Rahmat dan ridho-Nya untuk mereka dan kita semua khususnya pembaca dan penyempurna tesis ini, amin.
Ciputat, 18 Desember 2008
12
DAFTAR ISI HALAMAN JUDUL ................................................................. i SURAT PERNYATAAN ........................................................... ii PERSETUJUAN PEMBIMBING ................................................. iii PENGESAHAN PENGUJI ......................................................................................iv PEDOMAN TRANSLITERASI DAN TRANSLASI .......................... v ABSTRAK ........................................................................... vii KATA PENGANTAR .............................................................. x DAFTAR ISI ....................................................................... xii BAB I
PENDAHULUAN A.................................................................................................... Lat ar
Belakang
Masalah/Dasar
Pemikiran
......................................1 B. Permasalahan ................................................... 20 1. Identifikasi
Masalah
................................................................21 2. Pembatasan
Masalah
...............................................................21 3. Rumusan
Masalah
...................................................................22 C. Survei Literatur/Penelitian terdahulu yang relevan . 21 D. Tujuan Penelitian .............................................. 26 E. Signifikansi Penelitian ....................................... 27 F. Metodologi Penelitian ......................................... 27 1. Jenis Penelitian dan Sumber Data ................... 27 2. Pendekatan Masalah ...................................... 28
13
G. Sistematika Penulisan ....................................... 29 BAB II MAQÂSHID
DAN
PEMBACAAN
AL-QUR’ÂN
.............................31.......................................... A. Ibn
‘Âsyûr
dan
Penafsiran
kontemporer........................................33 B. Maqâshid
Perspektif
Ulama’
Salaf
dan
Khalaf.............................55 C. Kebebasan,
Kemaslahatan,
dan
batasan-
batasannya.................... 63 D. Rigiditas dan Elastisitas Tafsir: Generalitas dan Pengujian Teori 69
14
BAB III FORMULASI MAQÂSHID DAN PRINSIP-PRINSIP TAFSÎR IBN ‘ÂSYÛR …………………………………………………………….. 79 A. Prinsip-prinsip
dasar
penafsiran
Ibn
‘Âsyur
...................................79 B. Maqâshid
al-ashliyyah
dalam
tafsir
Ibn
‘Âsyûr.............................107 1) Memperbaiki
dan
mengajarkan
akidah..................................107 2) Penanaman
dasar
akhlak........................................................109 3) Menetapkan
hukum-hukum
syariat
[Umum
dan
(siyâsah
al-
Khusus].....110 4) Strategi
Pemberdayaan
Umat
ummah)................111 5) Maqâshid
al-ashliyyah
al-Qasas
al-Qur’ân
..........................112 6) Pengajaran Syari’at sesuai dengan perkembangan zaman.....113 7) Motivasi
dan
ancaman
[al-targhîb
wa
al-
tarhîb]................. .114 8) I’jâz
al-Qur’ân
sebagai
bukti
Kenabian.................... 114 C. Maqâshid al-Qur’ân/asliyyah dan urgensitasnya bagi ilmu al-Qur’ân .................................................................... 117
risalah
15
BAB IV APLIKASI MAQÂSHID DALAM PENAFSIRAN DAN RESPON AKADEMIK .................................................................................... ...123 A. Aplikasi
Maqâshid
al-asliyah
pada
ayat-ayat
Hukum...................126 1) Perintah
Shalat
dan
zakat
dalam
surah
al-
Baqarah................133 2) Perintah Puasa dan Hikmahnya dalam surah alBaqarah .....145 B. Respon akademik terhadap gagasan Maqâshid dan penafsiran Ibn ‘Âsyûr............................................................150 C. Ibn
‘Âsyûr
dan
ortodoksi
Kontemporer........................154
penafsiran
16
BAB V
PENUTUP
.......................................................................................... 160 A. Kesimpulan ……………………………………………………....160 B. Saran-saran ……………………………………………………....163 DAFTAR PUSTAKA ........................................................................................ 164
17
BAB I PENDAHULUAN
18
A. Latar belakang masalah Kajian Maqâshid pada umumnya mengikuti pada bagian kajian ilmu ushûl (fiqh), dan syarî’ah. Seperti halnya al-Syâtibî (730 H/1388 M),1 dia membangun kembali kerangka sistematika ilmu ushûl (fiqh) yang konvensional dari arsitek sebelumnya yaitu Al-Syâfi'i (w.204 H).2 Kemudian al-Syâtibî menambahkan bahwa “Dasar dan tujuan diletakkannya syari’at tidak lain, yaitu untuk kemaslahatan manusia di dunia dan akhirat.3 Ruang lingkup Maqâshid Syarî’ah mencakup semua hukum publik, individual, kesehatan, bahkan kesopanan serta moral dan akhlak.4 Kemaslahatan disini dipahami sebagai bentuk kemanfaatan yang dikehendaki Allah yang Maha Bijak (Al-Hakîm) bagi hambanya [umat manusia] agar senantiasa
1
Nama lengkapnya adalah Abû Ishâq Ibrâhîm ibn Mûsa ibn Muhammad al-Lakhmi al-Garnati al-Syâtibî . Lihat lebih lanjut Khayr al-Dîn al-Dzirikli, Al-A‘lâm: Qâmus Tarâjim li Asyhâr al-Rijâl wa al-Nisâ` min al-‘Arâb wa al-Musta‘ribin wa al-Mustâsyriqîn, vol. 1 (Beirut: Dar al-‘Ilm li al-Malayin, cet. 9, 1990), hal. 75. Bandingkan dengan ‘Umar Ridhâ Kahhalah, Mu‘jam al-Mu`âllifin: Tarâjim Musânnifi al-Kutub al-‘Arâbiyyah, vol. 1 (Beirut: Dar Ihya` al-Turats al-‘Arabi, 1957), hal. 118. . Sementara itu, ‘Abd al-Muta‘âlî al-Sa‘îdî bahkan membandingkan jasa al-Syâthibî dalam perumusan maqâshid al-syarî‘ah dengan jasa al-Syâfi‘î dalam perumusan ushul fiqh. Lihat Hammâdî al-‘Ubaydî, Al-Syâthibî wa Maqâshid al-Syarî‘ah, hal. 132. 2 Ibn ‘Âsyûr, Al-Tahrîr wa al-Tanwîr, hal. 41. bandingkan dengan penafsiran Sayyid Quthb dalam Tafsir fî Zhilâl al-Qur’ân yang menyatakan bahwa dalam redaksi surah Yunus 38 tersebut merupakan pengkhususan Allah dalam tematik maupun i’tibariyah. Bahwasannya Nabi Muhamad saw. Yang diutus Allah subhânahu wa Ta’âla, Allah telah menyempurnakan akhlak Nabi Muhammad saw. Dan menjadi tumpuan umat dalam ber-aqîdah ‘Aqîdah dalam aturan/norma-norma kemanusiaan yang mempunyai kaidah-kaidah secara general. Dengan kesempurnaan al-Qur’ân (akhlak Nabi Muhammad) ini menggambarkan hakikat ke-Ilahi-an Allah Rabb ‘Alamîn. Juz 4 hal. 26 3 Ibn ‘Âsyûr, Al-Tahrîr wa al-Tanwîr, hal. 41. bandingkan dengan penafsiran Sayyid Quthb dalam Tafsir fî Zhilâl al-Qur’ân yang menyatakan bahwa dalam redaksi surah Yunus 38 tersebut merupakan pengkhususan Allah dalam tematik maupun i’tibariyah. Bahwasannya Nabi Muhamad saw. Yang diutus Allah subhânahu wa Ta’âla, Allah telah menyempurnakan akhlak Nabi Muhammad saw. Dan menjadi tumpuan umat dalam ber-aqîdah ‘Aqîdah dalam aturan/norma-norma kemanusiaan yang mempunyai kaidah-kaidah secara general. Dengan kesempurnaan al-Qur’ân (akhlak Nabi Muhammad) ini menggambarkan hakikat ke-Ilahi-an Allah Rabb ‘Alamîn. Juz 4 hal. 26 4 Ibn ‘Âsyûr, Al-Tahrîr wa al-Tanwîr, hal. 41. bandingkan dengan penafsiran Sayyid Quthb dalam Tafsir fî Zhilâl al-Qur’ân yang menyatakan bahwa dalam redaksi surah Yunus 38 tersebut merupakan pengkhususan Allah dalam tematik maupun i’tibariyah. Bahwasannya Nabi Muhamad saw. Yang diutus Allah subhânahu wa Ta’âla, Allah telah menyempurnakan akhlak Nabi Muhammad saw. Dan menjadi tumpuan umat dalam ber-aqîdah ‘Aqîdah dalam aturan/norma-norma kemanusiaan yang mempunyai kaidah-kaidah secara general. Dengan kesempurnaan al-Qur’ân (akhlak Nabi Muhammad) ini menggambarkan hakikat ke-Ilahi-an Allah Rabb ‘Alamîn. Juz 4 hal. 26
19
agamanya, jiwa dan raganya, akal dan keturunannya serta hartanya [secara hirarkis] terjaga dan terpelihara dalam pelbagai kondisi secara berkesinambungan."5 Selain itu, ketika Fahmi Huwaydi menyatakan bahwa pembacaan yang benar (al-qirâ`ah al-shahîhah) terhadap al-Qur`ân harus mempertimbangkan aspek Maqâshid al-Syarî’ah, selain aspek bahasa, dia menyandarkan pendapatnya itu kepada pandangan ‘Abdullah Darrâz dalam pengantar untuk kitab al-Muwâfaqât, karya al-Syâtibi.6 Al-Syâtibî (1388 M) tidak saja menandai pergeseran disiplin keilmuan di bidang ushul fiqh, melainkan juga di bidang tafsir dan hermeneutika al-Qur`ân.7 Ia menjadikan penyangganya (Maqâshid al-syarî’ah) kokoh serta mencapai kemapanan secara integral, hal tersebut terbukti bahwa substansi teori al-Syâtibî mampu memberikan pemahaman kepada kita tentang konstruksi intelektual mengenai hukum modern.8 5
Lihat lebih lanjut uraian Sa'id Ramadhân Al Bûty dalam Dhawâbit al-Maslahâh fi syarî’ah Islâmiyah (Mu’assasah Risalah, 1987) hal. 27-28, bandingkan dengan pandangan Mahmûd Syaltût dalam Islam 'Aqîdatan wa Syarî’atan , dar-el Syuruq 1975, hal. 496. Lihat juga Abd. Salam 'Arif mengeksplorasi pandangan hukum Syaltut dalam pembaruan pemikiran hukum Islam (pembaruan dan fakta), LESFI Yoyakarta, cet-1 2003, hlm 177-181, lihat, Al-Qaradhâwi, Dirâsah fî fiqhi Maqâshid al syarî’ah bayna al Maqâshid al kulliyah wa al-nushus al juzyiyyah ( Kairo, Dar al Syuruq cet I 2006 ) hal 19-20 6 Lihat Fahmi Huwaydi, Al-Qur`ân wa al-Sultân (Kairo: Dar al-Syuruq, cet. 5, 2002), hal. 5356. 7 Lihat dalam David Johnston, “A Turn in the Epistemology and Hermeneutics of Twentieth Century Usul al-Fiqh”, dalam Islamic Law and Society, Edisi 11, No. 2, Juni 2004, hal. 252-253. Lihat juga uraian Wael B. Hallaq tentang gagasan al-Syâtibî , A History of Islamic Legal Theories: An Introduction to Sunni Ushûl al-Fiqh (Cambridge: Cambridge University Press, 1997), hal. 206. ‘Âbid al-Jâbiri menyatakan bahwa al-Syâtibî telah memodifikasi atas asumsi-asumsi dasar epistemologi bayâni—sebuah epistemologi yang salah satu proyek teoretisnya adalah penetapan aturan-aturan interpretasi bagi al-Qur`an, al-khitâb al-mubin. Lihat Muhammad ‘Abid al-Jâbiri, Bunyah al-‘Aql al‘Arabi: Dirâsah Tahlîliyyah Naqdiyyah li Nuzhûm al-Ma‘rifah fi al-Tsaqâfah al-‘Arabiyyah (Beirut: al-Dar al-Bayda`, cet. 7, 2000), hal. 534-536. 8 Ahmad Al Râisūny, ia menegaskan bahwa al-Syâtibî belum memberikan definisi Maqâshid syarî’ah secara jelas, sehingga Raisuny mengadopsi pandangan Ibnu ‘Âsyûr, dengan penyematan gelar “al-Mu‘allim al-Tsâni”. Lebih lanjut lihat Nazhâriyyah ……..hlm 17-18. Gagasan al-Syâtibî terlihat jelas dalam hal perumusan konsep Maqâshid al-syarî’ah yang kemudian menisbatkan gelar “alMu‘âllim al-awwâl”, Abdullah Darraz, “Muqaddimah”, dalam al-Syâtibi, Al-Muwâfaqât fi Ushûl alSyarî’ah (Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, t.t.), hal. 5; mengatakan “Hujjah min hujaj al-syarî’ah wa ‘alam min a‘lâm Maqâshidihâ” kepadanya. lihat juga Muhammad Thâhir al-Mâisâwî dalam Maqâshid al Syarîah al Islâmiyah, Dâr el Nafâis- Urdun, 2001. hal. 139. Lihat al-Syâtibî , Al-Muwâfaqât fi Ushûl
20
Maqâshid al-Syarî’ah yang dibangun al-Syatibi sebagaimana disebut ‘Âbid alJâbiri sebagai “I’âdah ta’shîl al-ushûl” (peletakan kembali dasar-dasar ilmu ushûl), kemudian pandangan ini diadopsi oleh muridnya yaitu ‘Abdul Majîd Turkiy, yang mengataan bahwa pendasarannya [ilmu ushul] sebagai pondasi titik awal bertumpunya dasar metodologi dalam [beristinbath] hukum.9 Berkaitan dengan pendasaran ilmu (ushûl) inilah Ibnu ‘Âsyûr mulai mengelaborasi gagasan pendahulunya yang kemudian ia sebut dengan “pendasaran Ilmu Maqâshid al-Syarî’ah.” Hal ini disinyalir, bahwa teori yang diusung Ibn ‘Âsyûr berusaha menggali dan menemukan cara pandang sejarah secara ilmiah dan metodologis yang digunakan untuk penelitian dan peletakan dasar ilmu Maqâshid alSyarî’ah yang komprehensif. Ibn ‘Âsyûr melihat bahwa kajian ilmu Maqâshid alSyarî’ah ini memilki perbedaan yang signifikan dengan kajian ilmu ushul.10 Menurutnya muara kajian [ilmu ushul] tidak kembali pada esensi dan Hikmah al-tasyrî’, namun ia hanya berputar pada permasalahan istinbath hukum dari nash sharîh melalui kaidah-kaidah yang digunakan pakar hukum (fuqahâ’) dalam beristinbath hokum, dari atau melalui cabang-cabang (furû’) maupun sifat-sifat (‘illat)
hukum
yang
disarikan
dari
Al-Qur’ân,
sebagai
kajian
untuk
al-Syarî’ah (Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, t.t.), (Tahqîq 'Abdullah Darrâz), dalam “Muqaddimah”, hal. 5. Bandingkan, ‘Abid al-Jâbiri, dengan menyebut apa yang dilakukan al-Syâtibî dalam al-Muwâfaqât sebagai i‘âdah tâ`sil al-usul (pendasaran kembali ilmu usul fiqh). Muhammad ‘Abid al-Jâbiri, Wijhâh al-Nazhâr (Beirut: Markaz Dirasat al-Wihdah al-‘Arabiyyah, 1994), cet. 4, hal. 547. Istilah ta`sil al-usul itu sebetulnya berasal dari al-Syâtibî sendiri. Lihat al-Syâtibî , Al-Muwâfaqât fi Ushûl al-Syarî’ah (Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, tt.), vol. 1, hal. 70. Bandingkan pula dengan Maribel Fierro, “Al-Shatibi”, dalam C.E. Bosworth, dkk. [ed.], The Encyclopaedia of Islam, WebCD Edition (Leiden: Brill Academic Publishers, 2003). 9 Lihat Thâhir al-Mâisâwî dalam Maqâshid al Syarîah al Islâmiyah, 2001. hal. 86-95 10 Lihat Abdul Majîd Turkî Manâzharat fî ushûl al-Syarî’ah bayna ibn Hazm dan al-Bâjî, oleh Abdul al-Shabûr Syâhin, Beirut Dâr al-Gharb al-Islamiy cet. 1414 H/ 1994, hal. 361,484. lihat Maqâshid al-Syarîah al-Islâmiyah hal. 5-6. lihat juga tahqîq dirâsah Muhammad Thâhir al-Mâisâwî dalam Maqâshid al Syarî’ah al Islâmiyah, 2001. hal. 96-99. baca juga Abdul Azîz bin ‘Ali Abd arRahmân bin ‘Ali bin Rabî’ah dalam ‘Ilm Maqâshid al-Syâri’ Maktabah Muluk Fahd al-Wathaniyyah atsna al-Nasyr, hal. 41-43.
21
menginterpretasikan lafadz-lafadz yang diyakini sebagai kehendak Tuhan (tentunya sebatas kemampuan seorang Fâqih dalam berijtihad).11 Kajian ilmiah yang dilakukan Ibn ‘Âsyûr (1878-1973 M) mengenai ilmu Maqâshid al-Syarî’ah memiliki korelasi/hubungan erat dengan penelitian lain, keduanya disinyalir mempunyai muara dan esensi tujuan yang sama, yaitu penelitian tentang ”Norma-norma/aturan sosial Kemasyarakatan yang Islami” (ushûl an-Nizhâm al-Ijtimâ’î fi al-Islam/The rule of Islamic Civilization). Ibn ‘Âsyûr menyatakan bahwa pemerhati penelitian tentang tema besar ini membutuhkan kaidah-kaidah yang luas, rinci dan mendetail dari kaidah-kaidah ushul fiqh yang ada selama ini. Menurutnya; perihal-perihal yang ditampakkan lebih luas dan elastis yang tidak hanya sekedar mengaplikasikan kaidah-kaidah syarî’ah untuk menyelesaikan problematika hukum di masyarakat, ia juga mengkonversikan dan mengelaborasikannya dengan qiyâs, sebagaimana disinyalir memiliki persamaan muatan teori. Dengan menyingkap rahasia (hikmah) dibalik (tasyrî’) tersebut, maka konsep yang dihasilkan dari kajian Maqâshid ini tidak hanya sebagai sebuah wacana atau paradigma dalam bingkai kajian yang hampa [utopis].12 Sejatinya cara pandang Ibn ‘Âsyur (1878-1973 M), tentang nilai (ilmu Maqâshid) ini adalah mengulangi kembali pakar pendahulunya. Ahmad Raisûny menulis; bahwa Ibn ‘Âsyûr mengulangi kembali peletakkan ilmu Maqâshid sebagai disiplin ilmu yang mandiri, pandangan ini dikuatkan oleh Abdul Azîz bin ‘Ali Abd ar-Rahmân bin ‘Ali bin Rabî’ah dalam karyanya ‘Ilm Maqâshid al-Syâri. Tentunya dengan mengelaborasi cara pandang ilmiah dan metodologis guna menjadikan 11
intisari
kajian
sebagai
dasar
ilmu
ushul
fiqh,
kemudian
Abdul al-Shabûr Syâhin Manâzharat fî ushûl al-Syarî’ah, hal. 361,484. lihat Maqâshid al Syarî’ah al Islâmiyah hal. 5-6. lihat juga tahqîq dirâsah al-Mâisâwî dalam Maqâshid al Syarî’ah al Islâmiyah, 2001. hal. 96-99. baca juga Abdul Azîz bin ‘Ali, ‘Ilm Maqâshid al-Syâri’ hal. 41-43. 12 Abdul Azîz bin ‘Ali,‘Ilm Maqâshid al-Syâri’ hal. 41-43. Lihat juga Muhammad Thâhir Ibn ‘Âsyûr, ushûl Nizhâm al-Ijtimâ’iy fî al-Islam, al-Syirkah al-Tûnîsiyyah littawzî’ (Tunis) dan Dâr alWathaniyah lilkitab (al-Jazâir), 1985, hal. 21. Bandingkan dengan al-Mâisâwî dalam Maqâshid al Syarî’ah al Islâmiyah, 2001. hal. 90-91.
22
diimplementasikan pada kurikulum-kurikulum belajar mengajar pada Madrasahmadrasah atau lembaga-lembaga pendidikan, sampai-sampai mereka (pengarang buku) menjumpainya dengan rasa jemu, semantara siswa yang belajar (ilmu ushûl fiqh) juga semakin bosan (dengan materi ini), kecuali mereka yang dianugrahi Allah kesabaran dalam mengkajinya secara terus menerus.13 Adapun tujuan yang hendak dicapai (dari kajian ilmu ushûl) pada pengajaran tingkat perguruan tinggi “kulliyyah Islam”; diharapkan mampu menyingkap petunjuk jalan yang ditempuh para Mujtahid (dalam berijtihad), mereka senantiasa menjaga stabilitas hukum syarî’ah berjalan sesuai dengan rule (neraca syari’at) dan sunnatullah. Sehingga keniscayaan upaya (para mujtahid) sampai pada tingkat kedudukan yang disebut Ibn ‘Âsyûr sebagai ﺴ ِﻔﻴْﻨﺔ َ ( ِإﺑْﺮة اﻟﻤﻐﻨﺎﻃﻴْﺲ ﻟ ُﺮ َﺑّﺎن اﻟIbrah alMaghnâtîs lirubbâni al-Safînah)14 Keberadaan Syari’ah dan pemberlakuan hukum-hukum syarî’ah pada abad pertama hijriah ini masih dipertanyakan/dimentahkan oleh sarjana hukum barat seperti Joseph Shacht dalam tesisnya, ia menyimpulkan kegelisahan pandangannya ini dengan menyatakan bahwa; Nabi Muhammad saw. tidak mempunyai otoritas atas hukum-hukum adat yang telah ada pada saat itu, demikian halnya hadits. Menurutnya, hadits baru muncul pada awal abad kedua hijriah. Dan pondasi hukum Islam dalam pandangannya baru diletakkan oleh para pakar Hukum Islam yang diangkat pada masa pemerintahan Khalifah Umayyah.15 13
Lihat Ibn ‘Âsyûr, Maqâshid al-Syarî’ah al Islâmiyah, al-Syirkah al-Tûnîsiyyah littawzî’ (Tunis) dan Dâr al-Wathaniyah lilkitâb (al-Jazâir), 1979, hal. 165. lihat juga tahqîq dirâsah al-Mâisâwî dalam Maqâshid al Syarî’ah 2001. hal. 90-91 dan 128-129. Abdul Azîz bin ‘Ali Abd ar-Rahmân bin ‘Ali ‘Ilm Maqâshid al-Syâri’ hal. 41-43 14 Lihat Ibn ‘Âsyûr, ushûl Nizhâm al-Ijtimâ’iy fî al-Islam hal. 21. lihat juga Al-Mâisâwî dalam Maqâshid al-Syarî’ah al Islâmiyah, 2001. hal. 90-91. 15 Bertumpu pada ide-ide pendahulunya C.Snouck Hurgronje dan Ignaz Goldziher, Joseph Shacht mengeksplorasi pandangannya dalam bukunya An Introduction to Islamic Law, (oxford:clarendon, 1964) hal.23-27. lihat juga ulasan Faisar Ananda Arfa dalam, sejarah pembentukan Hukum Islam, Pustaka Firdaus cet. Pertama 1996 hlm 5-27. dalam hal yang sama sarjana barat yang mendukung keberadaan hukum Islam pada awal hijriah diantaranya, M.M. al-Azami, Noel J. Coulson. SD. Goitein, dan Wael B. Hallaq. Lihat artikel Goitein yang diulas oleh Faisar dalam buku yang sama, 34-53.
23
Dalam konteks ini, Joseph Shact mengadopsi pandangannya ini dari Ignaz Goldziher.16 Ia bertolak dari pandangan bahwa kehidupan dengan segala problematika yang bertautan dengannya (ketika itu), nyaris tidak terdapat/ditemukan persoalan yang signifikan pada masa hidup Nabi Muhammad saw. Terutama persoalan yang menyangkut maksud/tujuan dan kandungan hukumnya, Muhammad shallawwah ‘alaih wasallam dengan segala otoritasnya sebagai mubayyin langsung memberikan penjelasan secara rinci dan mendetail.17 Bagaimanapun juga pandangan tesis Joseph Shact diatas perlu diuji dan dibuktikan melalui literatur-literatur yang berkenaan dengan sejarah, tentunya dengan data autentik pedoman hidup Al-Qur’ân dan Hadits, serta kajian kepustakaan yang komprehensif, dalam penelitian ini penulis mencoba membuktikannya melalui konstruksi teori ‘ilm Maqâshid dan prinsip-prinsip penafsiran Ibn ‘Âsyur (1973 M), selanjutnya perdebatan ini akan penulis uraikan pada sub judul seputar Maqâshid dan pembacaan al-Qur’ân di bab dua. Ahmad Raisuny memetakan dalam disertasinya, bahwa Maqâshid al-Syarî’ah telah dilakukan (ditelaah) oleh Al-Turmudzî (Abad III), Abu Mansur al-Mâturidî ( w. 333 H), Abu Bakar Al-Qâffal ( w.365 H ), Abu Bakar Al-Abhâry (w.375 H) alBaqillânî (w.403 H) dilanjutkan Imâm Al-Haramain [al-Juwaini] (w.478 H), Imam Al Ghazali (w.505 H), Al Râzî (w.606 H), Saifuddin Al-Âmidy (w.631 H), Ibn Hâjib (646H) Izzuddin Abdul al-Salâm ( 660H), al- Baidhâwî (w.685 H) Al-Asnawi (772H) Ibn al-Subkî (w.771 H), kemudian disinyalir mencapai kemapanan pada masa alSyâtibî. Pandangan ini didukung data dari ‘Abdur Rahmân Kaylâni, namun lanjutnya, mereka baru meletakkan (Maqâshid) pada tataran sebagai sub kajian dari ilmu ushul/Syarî’ah.18 16
Ignaz Goldziher, Madzâhib al-Tafsîr al-Islâmî, terj. ‘Abd al-Halîm al-Najjâr (Kairo: Maktabah al-Sunnah al-Muhammadiyyah, 1955), hal. 73. 17 Abbâs Mahmûd al-‘Aqqâd, al-Falsafah al-Qur’âniyyah (Mesir; Lajnah Bayân al-‘Arabi, 1974), hal. 27. 18 Ahmad Al Raisyûni, Nazhâriyyah ... hal 40-68. bandingkan dengan tulisan ‘Abd al-Rahmân Ibrâhîm al-Kaylânî, Qawâ‘id al-Maqâshid ‘Inda al-Imâm al-Syâthibî ‘Ardlan wa Dirâsatan wa
24
Berangkat dari data diatas, penulis meyakini urgensi teori/konsep Maqâshid yang diusung Ibnu Âsyûr (1878-1973 M) akan nampak dan terlihat dalam peletakan Dasar-dasar Ilmu Maqâshid al-Syarî’ah. Sebagaimana ditekankan bahwa ia merupakan segala makna dan tujuan hukum (Tajâwuz al-Manhâ al-Tajzî’iy fî tafahhumi Ahkâm al-Syarî’ah bimurâtabihâ al-muhtalifah) yang diletakkan dalam pelbagai kondisi Tasyri’, secara makro dalam pelestariannya, diaplikasikan dan dimplementasikan secara khusus/partikular [tajzî’iy] sesuai neraca hukum syariat. Secara
Inheren
tujuan
umum
dan
sifat-sifat
syarî’ah
yang
luas
dapat
terimplementasikan secara menyeluruh, tidak hanya problematika yang berkaitan dengan masalah hukum melainkan segala problematika kehidupan didalamnya (dunia).19 Selanjutnya kajian diatas akan penulis sajikan dan paparkan uraian tentang teori, konsep Ibnu ‘Âsyûr tentang formulasi Maqâshid dan prinsip-prinsip komplementer dalam penafsiran Al-Qur’ân pada bab tiga.20 Setelah mengelaborasi teori dan konsep pendahulunya, Ibn Âsyûr juga mengkritisi prinsip-prinsip tafsir al-Syâtibî (730 H/1388 M) dalam Muwâfaqât nya mengenai tiga hal: pertama, status al-Qur`ân sebagai substansi ajaran Islam (kulliyyah al-syarî’ah); kedua, status al-Qur`ân sebagai kitab berbahasa Arab; serta ketiga, status al-Qur`ân sebagai kitab yang diturunkan kepada seorang rasul yang ummî dan di tengah bangsa Arab yang juga ummî.
Tahlîlan (Damaskus: Dâr al-Fikr, 2000), hal. 14. lihat juga, ‘Abid al-Jâbiri dengan menyebutkan apa yang dilakukan al-Syâtibî dalam al-Muwâfaqât sebagai i‘âdah tâ`shîl al-ushûl (pendasaran kembali ilmu usul fiqh). Muhammad ‘Abid al-Jâbiri, Wijhâh al-Nazâr (Beirut: Markaz Dirâsat al-Wihdah al‘Arabiyyah, 1994), hal. 57. Istilah ta`sil al-Ushûl itu sebetulnya berasal dari al-Syâtibî sendiri. Lihat al-Syâtibî , Al-Muwâfaqât fi Ushûl al-Syarî’ah (Beirut: Dâr al-Kutub al-‘Ilmiyyah, tt.), vol. 1, hal. 70. Bandingkan pula dengan Maribel Fierro, “Al-Shatibi”, dalam C.E. Bosworth, dkk. [ed.], The Encyclopedia of Islam, WebCD Edition (Leiden: Brill Academic Publishers, 2003). Bandingkan dengan tesis Ismaîl Hasani Nazhâriyyah al Maqâshid ind Imâm Muhammad Thâhir Ibn ‘Âsyûr, dalam penerbit yang sama hal. 60-73. 19 Baca kembali Ibn ‘Âsyûr dalam, Maqâshid syarî’ah, 1979. hal. 51. lihat juga versi tahqîq AlMaisawi, 2001, hal. 96-97. 20 Lihat Ibnu ‘Âsyûr “Muqâddimah al-Tâhrîr wa al-Tanwîr” Dâr-el Tunîsiyah linnasar. [T. th. hal. 38-46
25
Senada dengan Abid al-Jabiri, pengarang al-Tahrîr wa al-Tanwîr [Muhammad Thâhir Ibn ‘Âsyûr] mengcounter pandangan diatas, karena pandangan tersebut dapat dibawa ke titik ekstrem untuk menyatakan bahwa petunjuk al-Qur`ân hanya diperuntukkan kepada bangsa Arab abad 7 Masehi. Selanjutnya ia menambahkan bahwa ada hikmah-hikmah (hikmah al-Tasyrî’) di balik pilihan Allah untuk menjadikan bahasa Arab sebagai bahasa al-Qur`ân. Walaupun demikian, kenyataan bahwa al-Qur`ân diturunkan kepada bangsa Arab itu tidak berarti hukum-hukum syari’at hanya diperuntukkan bagi mereka atau untuk kepentingan-kepentingan mereka belaka, namun sebaliknya ia bersifat umum [general] dan abadi [berkesinambungan], dan al-Qur`ân sebagai mukjizat baik dari segi bahasa dan makna (lafdzan wa ma’nan) yang autentitas dan relevansinya diuji sepanjang masa, dengan demikian ketidak sesuaian (kebenaran anggapan) tersebut akan tertolak.”21 Delapan tujuan dasar (al-Maqâshid al-asliyyah) yang dirumuskan Ibn ‘Âsyûr (1878-1973 M) kemudian disebut sebagai prinsip tafsirnya yaitu; pertama, mengajarkan dan memperbaiki akidah; kedua, mengajarkan nilai-nilai akhlak yang mulia; ketiga, menetapkan hukum-hukum syariat; keempat, menunjukkan jalan kebenaran kepada umat Islam (Siyâsah al-Ummah); kelima, memberikan pelajaran dan hikmah dari kisah bangsa-bangsa terdahulu; keenam, pengajaran syari’at sesuai dengan perkembangan zaman; ketujuh, al-Targhîb wa al-Tarhîb; kedelapan, membuktikan kebenaran risalah Nabi Muhammad shallawwâh ‘alaih wasallam.22 Sering dikatakan bahwa kajian tentang penafsiran tidak dapat dilepaskan dari subyektifitas interpretasi dari penafsir dalam penafsirannya sampai akhir zaman. Hal ini disebabkan muatan-muatan bahasa/lafal-lafal yang terdapat dalam Al-Qur’an sangat kaya makna sehingga digambarkan dalam surah al-Kahfi [18:109-110]; 21
Ibnu ‘Âsyûr “Muqâddimah al-Tâhrîr wa al-Tanwîr” Dar-el Tunisiyah linnasar. T. th., vol. 1 [T. th. vol. 1] hal. 39. 22 Ibnu ‘Âsyûr “Muqâddimah, hal. 39-41. lihat juga uraian Quraish Shihab, bahwa penolakan alSyâtibî terhadap tafsir saintifik merupakan antitesis dari pandangan al-Ghazâli tentang al-Qur`ân yang mencakup seluruh jenis ilmu pengetahuan. Kedua pandangan tersebut, menurut Quraish Shihab, samasama berlebihan dan “sukar dipahami”. Lihat M. Quraish Shihab, Membumikan al-Qur`ân: Fungsi dan Peran Wahyu dalam Kehidupan Masyarakat (Bandung: Mizan, cet. 19, 1999), hal. 102.
26
$uΖ÷∞Å_ öθs9uρ ’În1u‘ àM≈yϑÎ=x. y‰xΖs? βr& Ÿ≅ö7s% ãóst6ø9$# y‰ÏuΖs9 ’În1u‘ ÏM≈yϑÎ=s3Ïj9 #YŠ#y‰ÏΒ ãóst7ø9$# tβ%x. öθ©9 ≅è% u!$s)Ï9 (#θã_ötƒ tβ%x. yϑsù ( Ó‰Ïn≡uρ ×µ≈s9Î) öΝä3ßγ≈s9Î) !$yϑ¯Ρr& ¥’n<Î) #yrθムö/ä3è=÷WÏiΒ ×|³o0 O$tΡr& !$yϑ¯ΡÎ) ö≅è% ∩⊇⊃∪ #YŠy‰tΒ Ï&Î#÷WÏϑÎ/ ∩⊇⊇⊃∪ #J‰tnr& ÿϵÎn/u‘ ÍοyŠ$t7ÏèÎ/ õ8Îô³ç„ Ÿωuρ $[sÎ=≈|¹ WξuΚtã ö≅yϑ÷èu‹ù=sù ϵÎn/u‘ Pandangan Ahmad Ibn Hanbal sejalan yang menyatakan bahwa tafsir (penafsiran) tidak memiliki pijakan ( ) ﻟﻴﺲ ﻟﻬﺎ أﺻﻞkarena ia tak mengenal henti, ia seperti Malâhim dan Maghazî.23 Sebagai catatan bahwa manusia dalam menafsirkan kalimat-kalimat Allah hanya bisa sampai pada derajat pemahaman yang relatif dan tidak sampai pada posisi absolut. Karenanya pesan Tuhan-pun tidak dipahami sama dari waktu kewaktu, melainkan ia senantiasa dipahami selaras dengan realitas, kondisi sosial yang seiring dengan berlalunya zaman, selaras dengan kebutuhan umat sebagai konsumennya. Yang pada gilirannya menempatkan Exegesis sebagai disiplin keilmuan yang tidak mengenal kering. Penggemar dan peneliti tafsir telah benyak menunjukkan pelbagai model interpretasi semenjak awal kemunculan disiplin ilmu tersebut sampai ke era kontemporer.24 Upaya pembacaan kritis terhadap teks keagamaan (Al-Qur’ân) tanpa didasari Greget dengan kemampuan pemahaman akan khazanah klasik (at-turarts) secara maksimal merupakan sesuatu yang ahistoris. Disamping itu dalam wilayah teks keagamaan dan teladan salaf al-Shâlih masih menjadi sebuah keniscayaan, maka dari sinilah timbul celah-celah interpretasi dan pendefinisian dari interpretasi satu kepada yang lain. Munculnya ortodoksi (selanjutnya disebut rigiditas) adalah sesuatu yang 23
Jalâl al-Dîn Al-Suyûti, al-Itqân fî Ulûm al-Qur’ân, hal. 87. Lihat karya-karya kontemporer seperti adz-Dzahabi al-Tafsir wa al-Mufassirûn, Amin alKhuli dengan Manâhij al-Tajdîd fî al-nahw wa al-balâghah wa al-tafsîr wa al-adab (cairo 1976), Hassan Hanafi dengan Manâhij tafsir wa Mashâlih al-Ummah dalam al-Dîn wa al-Tsawra: al-Yamîn wa al-yasar fî al-fikr al-dînî (cairo 1989), Ignaz Goldziher, J.JG. Jansen dengan The Interpretation of the Qur’an in Modern Egypt, (Leiden, E.J. Brill, 1974), John Wansbrough dengan Qur’anic Studies: Sources an Methods of sriptural Interpretation (oxford University Press 1977). Lihat lebih lanjut dalam Jurnal studi Al-Qur’ân (PSQ) vol. 1 Januari 2006, hal. 79-83 24
27
tidak asing dalam konteks Islam [Rahmatan lil’alamin], karena tidak ada dalam Islam sebuah institusi, [seperti lembaga gereja misalnya] yang memiliki otoritas [claim mainded] untuk menentukan kriteria rigiditas tersebut.25 Tetapi kita bisa dengan cukup aman menggunakan konsep Rigiditas/ortodoksi ini dalam kajian tafsir berdasarkan alasan-alasan berikut; Pertama, Rigiditas penafsiran yang dipahami sebagai sebuah konsep ternyata dapat ditemukan dalam karya para pemikir muslim awal, terutama di bidang teologi dan heresiografi.26 Dalam konteks ini, rigiditas dipahami dalam kerangka pembedaan antara “yang benar” dan “yang salah”. Kajian tafsir pun tidak luput dari kategorisasi diatas. Sebagaimana dapat dilihat dengan jelas, literatur-literatur tafsir dan ‘Ulûm alQur`ân dipenuhi oleh kriteria-kriteria serta contoh-contoh “deviasi” dalam penafsiran. Hal tersebut menyiratkan adanya sebuah konsep tentang ortodoksi dalam tafsir.27 Kedua, proses standardisasi dalam disiplin keilmuan selalu berlangsung sampai pemapanan ilmu yang dimaksud.28 Dalam disiplin keilmuan tafsir misalnya, kecenderungan yang sama juga terjadi. Prinsip-prinsip, metode-metode serta terminologi-terminologi tafsir dan ‘Ulûm al-Qur`ân telah mengalami proses pemapanan yang berlangsung sekian lama, yang mapan serta yang standar kemudian 25
Karena tidak adanya sebuah institusi dalam Islam yang bisa membuat sebuah doktrin menjadi resmi dan ortodoks, maka Montgomery Watt lebih suka menggunakan istilah “pandangan mayoritas” (the view of the main body) atau “pandangan Sunni” (the Sunnite view). Lihat W. Montgomery Watt, The Formative Period of Islamic Thought (Edinburgh: Edinburgh University Press, 1973), hal. 268. 26 Jika ortodoksi dipahami sebagai upaya untuk membedakan antara keyakinan yang benar dan keyakinan yang salah, maka orang-orang seperti al-Asy‘ari, al-Ghazali, al-Syahrastanî dan lain-lain pernah mencoba mendefinisikan parameter keislaman yang “benar” dan mengkategorikan sikap-sikap yang bertentangan dengannya sebagai pola keberagamaan yang “salah”. Parameter itu kemudian menjadi acuan dasar untuk memapankan ortodoksi Sunni serta menegaskan heterodoksi kelompokkelompok lain di luarnya, seperti Syi‘ah, Muktazilah, Khawarij dan lain-lain. Lihat Fauzan Saleh, Teologi Pembaruan: Pergeseran Wacana Islam Sunni di Indonesia Abad XX (Jakarta: Serambi, 2004), hal. 77-78. 27 Lihat buku yang berjudul Al-Isrâiliyyât fî al-Tafsîr wa al-Hadits Majma’ Buhuts alIslâmiyyah, terj. Didin Hafidhuddîn, diterbitkan oleh Litera antar Nusa, cet.1 1989. 28 Ortodoksi adalah sebuah fenomena yang tidak saja terjadi dalam bidang agama, tetapi juga terjadi dalam banyak disiplin keilmuan, seperti bahasa dan historiografi. Lihat Ursula Günther, “Mohammed Arkoun: towards a radical rethinking of Islamic thought”, dalam Suha Taji-Farouki [ed.], Modern Muslim Intellectuals and the Qur’an (Oxford: Oxford University Press, 2004), hal. 142.
28
menjadi arus-utama dan dianut oleh mayoritas ulama tafsir. Setiap pemikiran yang berbeda dari mainstream tersebut cenderung dianggap sebagai penyimpangan dari pemahaman yang sudah mapan tersebut. Persoalannya, mungkinkah kriteria ortodoksi/rigiditas sebuah tafsir itu didefinisikan dan dibatasi? Atas dasar apa serta mengapa sebuah teori penafsiran bisa dikategorikan rigid dan bukan heterodoks/elastis? Para fuqahâ belum menggunakan konsep Maqâshid penafsiran? Bagaimana mungkin kita membatasi sebuah teritori banyak orang, dengan pendapat masing-masing yang berbeda-beda, ingin dianggap sebagai bagian darinya? Berhadapan dengan problem-problem di atas, penelitian ini meyakini bahwa adalah mungkin untuk membatasi dan mendefinisikan struktur dasar penafsiran yang rigid seperti pembatasan terhadap ortodoksi Sunni yang dilakukan oleh Norman Calder misalnya, dalam artikelnya, “The Limits of Islamic Orthodoxy”.29 Hanya saja, mesti diupayakan bahwa pembatasan itu, pertama; bersifat general dan elastis; “general” dalam arti bahwa ia dituntut untuk mencari prinsip-prinsip yang relatif permanen dan tidak berubah dari masa ke masa; “elastis” dalam arti bahwa ia tidak dirumuskan berdasarkan asumsi yang rigid bahwa ortodoksi dibangun sekali dan untuk selamanya serta tidak pula berpretensi untuk menengahi atau mereduksi perdebatan-perdebatan yang mengemuka dalam kajian tafsir sepanjang beberapa abad lamanya. Kedua; pembatasan itu juga diusahakan untuk lebih bersifat sosiologis daripada normatif. Artinya, ia digunakan sekedar untuk menjawab pertanyaan mengapa sebuah teori atau pandangan dalam tafsir diterima oleh komunitas mufassir sementara teori atau pandangan lain ditolak. Dengan cara yang sama, kriteria elastisitas tersebut berfungsi menjadi basis untuk menganalisa mengapa Ibnu ’Âsyûr dalam hal ini penting. Apresiasi terhadap karya dengan cara proporsional dari sudut pandang sebuah tafsir yang elastis, sementara di sisi lain, pendapat-pendapatnya juga digunakan untuk mendukung dan 29
Norman Calder, “The Limits of Islamic Orthodoxy”, dalam Farhad Daftary [ed.]. Intellectual Traditions in Islam (London: I.B. Tauris, 2000), hal. 66-86.
29
menjustifikasi penafsiran yang rigid. Ketiga; demi menghindari simplifikasi yang berlebihan, upaya penilaian terhadap metode tafsir Ibnu ’Âsyur akan dilakukan kepada masing-masing bagiannya untuk menghasilkan kesimpulan bahwa, prinsipprinsip Maqâshid dalam tafsir Ibn ’Âsyur bertentangan atau tidak sesuai dengan struktur ortodoksi/penafsiran yang rigid. Norman Calder menambahkan; dalam penelitian tidak ada satu pun karya di bidang tafsir yang bisa dianggap memberi kata akhir bagi apa yang disebut ortodoksi /rigiditas penafsiran. Karena itu, penelitian ini tidak mencoba melacak rigiditas tafsir melalui pandangan atau karya seorang ulama tertentu, melainkan melalui pembatasan terhadap struktur dasar ortodoksi, dari mana unsur-unsur deviasi dari rigiditas itu bisa dinilai.30 Bertolak dari asumsi tersebut, penelitian ini juga memilih untuk tidak terlalu memusatkan perhatiannya kepada relasi antara rigiditas penafsiran dan elastisitas tafsir, melainkan kepada proses diskursif yang berlangsung di antara para ulama’ tafsir. Dan karena belum ada satu pun literatur yang menguraikan struktur dasar rigiditas dalam tafsir secara utuh dan sistematis, maka struktur tersebut akan digali, terutama, dari literatur-literatur tafsir dan ‘ulûm al-Qur`ân, berdasarkan kerangka teori yang akan diuraikan pada bagian mendatang.31 Sebuah penafsiran rigid agak sulit dibatasi, karenanya penelitian ini memilih untuk mendefinisikan rigiditas dengan memotret perdebatan para teolog kelompokkelompok Syi‘ah, Muktazilah, dan Khawârij. Pendekatan semacam ini dilakukan juga oleh, misalnya, Wael B. Hallaq dalam karyanya, A History of Islamic Legal Theories: An Introduction to Sunni Usul al-Fiqh —yang dimaksudnya dengan “Sunni Usûl al-
30
Norman Calder, “The Limits of Islamic Orthodoxy”, hal. 69-71. Literatur-literatur tafsir dan ‘Ulûm al-Qur`ân juga meliputi karya-karya tentang “heresiografi”, perdebatan, serta tipologi tafsir (seperti al-Ittijâhât al-Munharifah fî Tafsîr al-Qur`ân al-Karîm karya al-Dzahabi, Ikhtilaf al-Mufassirîn: Asbâbuhû wa Dhawâbituhû, Madzâhib alMufassirîn, dan lain-lain), serta karya-karya tentang kaidah dan aturan tafsir (seperti al-Qawâ‘id alHisân li Tafsîr al-Qur`ân, Ushûl al-Tafsîr wa Qawâ‘iduhû, dan lain-lain). 31
30
Fiqh” adalah ushûl fiqh yang dikembangkan oleh sebuah kelompok mayoritas (Sunni) di luar Syi‘ah.32 Sering dikatakan bahwa upaya memahami Al-Qur’ân sebatas kemampuan manusia (tafsir) terus berkembang, dan klaim atas otoritas tafsir sampai hari ini masih terbuka. Hanya saja prasyarat bagi mufasir sebelum menafsirkan al-Qur’ân diperlukan kematangan pemahaman, dasar-dasar ilmu yang berkaitan dengan Maqâshid Al-Qur’ân secara komprehensif merupakan suatu kelaziman, disamping kaidah-kaidah penafsiran dan tujuannya harus dikuasai. Konteks merupakan bagian yang tidak dapat ditinggalkan guna mewujudkan elaborasi dan elastisitas makna secara komprehensif. Konsep dan metode Maqâshid yang ditawarkan dalam penelitian ini diyakini penulis mampu menjawab problematika tersebut.33 Disiplin ilmu-ilmu tafsir sudah dimulai pada zaman Rasulullah, kemudian baru pada akhir abad kedua Hijriah,34 dan mulai bermunculan tulisan-tulisan yang mengarah kepada perumusan kaidah-kaidah tafsir al-Qur`ân dalam bentuknya yang sederhana, seperti al-Asybah wa al-Nazhâ`ir fî al-Qur`ân al-Karîm, karya Muqâtil ibn Sulayman (w. 150 H.); Ma‘ânî al-Qur`ân, karya al-Farrâ`(w. 207 H.); serta Majâz al-Qur`ân, karya Abu ‘Ubaydah Ma‘mar ibn al-Mutsannâ (w. 215 H.).35 Tetapi orang
32
33
Wael B. Hallaq, A History of Islamic Legal Theories, hal. 7
Disinyalir oleh Mahmud Syahatah bahwa Rasyîd Ridhâ (murid ‘Abduh dan juga guru dari Ibn ‘âsyur) menggunakan Maqâshid al-Qur’an dalam penafsiran sebagaimana kedua gurunya alAfghâni dan Muhammad ‘Abduh, Lihat Abdullah Mahmud Syahatah, dalam karyanya manhaj alImâm Muhammad Abduh fi tafsir al-Qur’ân al-karim (Kairo:al Majlis al a’lâli Ri’âyah alfunûn wal adab wa al- Ulûm al Ijtimâ;iyyah 1963, hal. 33. dan karyanya yang berjudul ahdâf kulli sûrah wa maqâsiduhâ fî al-Qur’ân al Karîm, (Mesir; Haiah al-Mishriyyah, 1986), hal. 93-94. dalam buku yang terakhir yang disebut Mahmud Syahatah mulai menggunakan Istilah untuk tujuan-tujuan pokok AlQur’ân antara lain Maqâshid, ahdâf, fikrah ‘Ammah mabâdi’, yang selanjutnya ia lebih cenderung memakai istilah ahdâf sebagaimana judul bukunya. 34 ‘Abid al-Jâbiri, Bunyâh al-‘Aql al-‘Arâbi, hal. 16. lihat juga Khalid ibn ‘Utsman al-Sabt, Qawâ‘id al-Tafsîr Jam‘ân wa Dirâsatan (Kairo: Dar Ibn ‘Affan, 1421 H.), hal. 42; dan Khalid ‘Abd al-Rahman al-‘Akk, Ushûl al-Tafsîr wa Qâwa‘iduhu, (Beirut: Dar al-Nafais, cet. 2, 1986), hal. 32-33. 35 Al-Jâbiri, Bunyâh al-‘Aql al-‘Arâbi, hal. 16-17. Dengan karyanya di atas, Muqatil ibn Sulayman dianggap sebagai salah seorang yang paling awal menulis karya di bidang ‘ulûm Al Qur'ân. Ulama-ulama belakangan, seperti al-Zarkasyi dan al-Suyuti, mengutip banyak hal dari karyanya itu. Lihat ‘Abdullah Mahmud Syahatah, “Muqâtil ibn Sulayman: Dirâsah ‘an al-Mu`allif” dalam Muqatil
31
yang dianggap berperan paling penting dalam meletakkan pondasi bagi perumusan kaidah-kaidah tafsir al-Qur`ân adalah al-Syafi‘i (w. 204 H.) melalui karyanya, alRisâlah.36 Luay Shâfiy mengadaptasi pandangan Syaikh Mahdi Syamsuddin sebagaimana dipaparkan pertanyaan; bagaimana agar Al-Qur’ân (sebagai wahyu langit) membumi. Luay Shafiy menggunakan pendekatan dua metodologi yang di pandang saling melengkapi guna menjawab pertanyaan diatas. Pertama; metode istinbath (deduksi) yang dibangun oleh Imam Al-Syafi’I (w.204 H) yang selama ini digunakan dalam perkembangan metode Ijtihad dalam Ushul fiqh dan fiqh, metode ini merupakan “metodologi nushûshiyyah” yang formulasi hukumnya berkembang seiring dengan peradaban zaman dan keilmuan umat bertumpu pada rasionalitas (akal), didasari pada perspektif Al-Qur’ân (dalil naqli) secara berangsur-angsur menghantarkan pada pandangan (kaidah-kaidah) para Fuqahâ’, yang jika ditarik pada titik ekstrem dapat berimplikasinya pada penafsiran rigid dan kemudian menghasilkan konsep hukum yang kaku. Kedua; ia mengemukakan metode qiyâs-nya dari pandangan partikular menuju pada pandangan general (al-intiqâl min al-nadhri juzî’iy ilâ nadhri al-kulliy) dengan formulasi Maqâshid Al-Qur’ân untuk mencapai elaborasi dan elastisitas makna teks, selanjutnya pemahaman metode ini biasanya digunakan oleh mujtahid.37
ibn Sulayman, Al-Asybah wa al-Nazhâ`ir fî al-Qur`ân al-Karîm (Kairo: Al-Hay`ah al-Misriyyah al‘Ammah li al-Kitab, cet. 2, 1994), hal. 77. 36 Khalid Al-‘Akk, Ushûl al-Tafsîr wa Qawâ‘iduhû, hal. 35. Khalid ibn ‘Utsman al-Sabt menambahkan Ahkâm al-Qur`ân sebagai karya lain al-Syafi‘i yang memuat kaidah-kaidah interpretasi al-Qur`an. Lihat Khalid al-Sabt, Qawâ‘id al-Tafsîr, hal. 42. Al-Jâbiri bahkan menyebut al-Syafi‘i dengan al-Risâlah-nya sebagai “peletak pertama aturan-aturan tafsir al-khitâb al-bayâni dan perintis terbesar (al-musyarri‘ al-akbar) bagi nalar Arab.” Lihat al-Jâbiri, Bunyâh al-‘Aql al-‘Arâbî, hal. 17. 37 Luay Shofiy, Kinerja akal, min al- nadhrâh tajzi'iyyah ilâ al- Ru'yâh al-Takâmuliyyah (dari yang partikular menuju yang general), Dar el Fikr, Damaskus, 1419 H / 1998 M, hal. 195. lihat juga, Hammadi al-‘Ubaydi, Al-Syâtibî wa Maqâshid al-Syarî’ah (Tripoli: Kulliyyah al-Da‘wah alIslâmiyyah, 1992), hal. 12-13.
32
Norman Calder menyatakan,38 bahwa metode yang digunakan seorang mufassir dapat dianggap lebih penting dari produk tafsir yang dihasilkan, karena perbedaa interpretasi tersebut lahir terutama akibat perbedaan metode yang digunakan oleh masing-masing mufassir.39 Penjelasan diatas dimaksudkan untuk membangun sebagian teori disiplin keilmuan yang berkaitan dengan 'Ulûm Al-Qur’ân dan 'Ulûm al-Tafsir. Kajian terhadap keduanya berbeda, namun saling terkait satu sama lain, karena muara keduanya sama yakni tujuan-tujuan ideal (Maqâshid syarî’ah) diturunkannya syarî’ah, yaitu kemaslahatan kehidupan umat manusia duniawi dan ukhrawi (lil ‘Âjil wa al-Âjil).40 Muhammad Thâhir Ibn ‘Âsyûr pakar tafsir dan Mufti berkebangsaan Tunisia bermadzhab Maliki al-Asy’ari, lahir di Tunis pada tahun 1296 H / 1878 M, Ia mengelaborasi pandangan Maqâshid dari penggagas sebelumnya, kemudian memberikan corak nuansa tersendiri dengan mendasarkan prinsip-prinsip tafsirnya yang tertuang panjang lebar dalam mukaddimah penafsirannya,41 hal ini disinyalir oleh Ahmad Raisuny sebagai penggagas ilmu Maqâshid al-Syarî’ah, apresiasi Raisuny terhadap Ibn ‘Âsyûr terlihat dengan menyematkan gelar penghormatan [sebutan] kepadanya sebagai Al-Muâllim al-Tsâni.42
38
Norman Calder seperti yang dikutip oleh Nasr Hamid Abu Zaid dalam disertasinya, kemudian Yusuf Rahman menganalisa melalui theory metode yang digunakan Nasr Hamid, ditulis bahwa “Kualitas-kualitas yang membedakan mufassir satu dengan lainnya terletak pada kesimpulan mereka tentang makna teks al-Qur`an, melainkan pada bagaimana mereka mengembangkan dan menunjukkan teknik-teknik yang menandai keterlibatan serta penguasaan mereka terhadap sebuah disiplin literer.” Lihat Norman Calder, “Tafsir from Tabari to Ibn Kathir: Problems in the description of a genre, illustrated with reference to the story of Abraham”, dalam G.R. Hawting dan Abdul-Kader A. Shareef [ed.], Approaches to the Qur’ân (London dan New York: Routledge, 1993), hal. 106. 39 Yusuf Rahman, “The Hermeneutical Theory of Nasr Hamid Abû Zayd: The Analytical Study of His Method of Interpreting the Qur’an” (Disertasi pada Institute of Islamic Studies, McGill University, 2001), hal. 105-106. 40 Lihat lebih lanjut dalam tulisan Ahmad Al-Raisyûni, Nazhariyyah al-Maqâshid ind al-Imâm al-Syâtibi cet IV th 1995 hal 255. 41 ‘Abdul Qâdir Muhammad Shâleh " Al-Tafsîr wa al-Mufassirûn fî al-‘ashri al-Hadîts" , Cet ke-1; hal. 541, Dar-al Ma’rifah Libanon 2003. 42 Ahmad Al Raisyûni, Nazhariyyah al Maqâshid ind al-Imâm al-Syâtibi, cet IV th 1995 hal. 335-341
33
Ismaîl Hasani dalam tesisnya dengan judul Nazhariyyah al-Maqâshid ‘ind Muhammad Thâhir Ibn ‘Âsyûr, secara rinci mengeksplorasi gagasan pendasaran ‘Ilm Maqâshid. Ia menekankan akan urgensi dari ilmu Maqâshid al-Syarî’ah sebagai proyek ilmiah (masyrû’ ‘ilmiy) yang bertujuan (yataghayyan) membuka jalan/kran pemahaman tentang syari’at berdasarkan atas dasar-dasar tujuan Maqâshid (ushûl maqâshidiyyah), merupakan pengejawantahan suatu korelasi pendekatan metode kajian ilmiah dengan ketauhidan (al-taqrîb bayna al-Madârik al-‘ilmiyyah wa altawhîd) dalam gambaran pandangan para Fuqahâ’ (fî al-tashawwurât al-Nazhariyyah li al-Fuqahâ’).43 ‘Abdul Ghaffâr ‘Abdul Rahîm mengelompokkan Ibn ‘Âsyûr dalam Abnâ madrâsâh ‘Abduh, menurutnya corak pemikirannya dapat dikatakan sejalan dengan Muhammad ‘Abduh [dengan model berbeda/’alâ namtin Jadîd], menurutnya Ibn ‘Asyûr telah meringkas pendapat dari mufassir klasik dan pandangan pakar tafsir modern (jama’a fîhi khulâshah Ârâ’i al- Sâbiqîn wa zubdatu afkâri al-Mu’âsirîn) dituangkannya dalam penafsiran dengan gaya bahasa sastra (uslûb adabiy) dan keindahan susunannya (wa taqsîm ‘ala badî’) semangat dalam pembumian Al Qur’ân sebagai petunjuk umat manusia tercurahkan dalam tafsirnya secara komprehensif, namun disisi lain penulis juga menemukan perbedaan-perbedaan yang mendasar, hal ini akan penulis eksporasi dalam bab IV.44 Formulasi Maqâshid dalam penafsiran yang ditawarkan Ibn ‘Âsyûr sejatinya memiliki kesamaan dengan apa yang ditulis oleh Rasyîd Ridhâ dalam Al-Wahyu al-
43
Lihat Ismaîl Hasani dalam Nazhariyyat al-Maqâshid ‘ind Ibn ‘Âsyûr, (al Ma'had Al-‘Â'limiy lil fikri al Islamiy, Herendun USA) cet. I thn. 1995 hal. 113. 44 Abdul Ghaffâr, Abdurrahîm, Al-Imâm Muhammad 'Abduh wa mânhâjuhu fî al-tafsîr, Mesir: Al markaz Al Arâbi li ats tsaqâfah wal ulûm, 1980, hlm 354-359. Lihat corak penafsiran Ibnu Asyur dalam tafsirnya al-Tahrîr wa al-Tanwîr juz 1 hal. 222. Bandingkan dengan apa yang ditulis oleh Abdullah Mahmud Syahatah dalam karyanya manhaj al-Imam Muhammad ‘Abduh fi tafsîr al-Qur’ân al-Karîm (Kairo:al Majlis al a’lâli Ri’âyah alfunûn wal adab wa al- Ulûm al Ijtimâ;iyyah 1963, hal. 33. dan karyanya yang berjudul ahdâf kulli sûrah wa maqâsiduhâ fî al-Qur’ân al Karîm, (Mesir; Haiah alMishriyyah, 1986), hal. 93-94.
34
Muhammady, dimana dia merinci pokok pokok yang menjadi misi Al-Qur’ân itu sendiri. Dan formulasi ini yang kemudian dielaborasi oleh Ibn ‘Âsyûr.45 Selain gagasan metodologis yang ditawarkan oleh Ibn ‘Âsyûr dalam kitab Maqâshid syarî’ah al-Islâmiyyah, pandangannya juga banyak berbeda dengan formulasi yang dibangun penggagas sebelumnya al-Syâtibî, disisi lain Thâhir Ibn ‘Âsyûr memiliki karya tafsîr yang belum banyak mendapatkan perhatian selayaknya, kalau kita kelompokkan dengan tipologi yang telah dipetakan Iffat Syarqâwi dalam corak penafsiran modern,46 yang secara umum maka akan memposisikannya kedalam tafsir yang bercorak sosial kemasyarakatan (ittijâh ijtihâdi/adab ijtimâ'iy) sebagaimana corak tafsir al-Manâr karya Muhammad Abduh yang disusun oleh Muridnya Rasyîd Ridhâ. 47 Dalam telaah
penulis
seputar Al-Tahrîr
mengkombinasikan tafsir Riwâyat
48
wa
al-Tanwîr, 49
dan tafsir Dirâyat,
Ibn
‘Âsyûr
yang sejatinya cara ini
hampir dipakai para pakar tafsir sebelumnya; seperti Fakhruddîn Al-Râzi (1209 M) dalam tafsir al-Kabîr,50 Tafsir Jawâhîr karya Thântâwi Jauharî, Tafsir al-Manâr karya Muhammad 'Abduh yang ditulis oleh muridnya Rasyîd Ridhâ (1865-1935), yang 45
234
46
Râsyid Ridhâ, Al-Wahyu al-Muhammady, [Mesir: Al-Zahrâ lil I’lâm al arâby 1988] hal. 106 -
Iffat Syarqâwi, Qâdhâya insâniyyah fi ‘âmâl al mufassirin, Mesir: maktabah Syabâb, 1980 hal 80, lihat juga uraian Ali Iyâzi tentang Ibnu ‘Âsyûr dalam al-Mufassirun Hayâtuhum wa manhajuhum, Mu'assah Thaba'ah wa an Nasyr wizârah al Islâmi, cet-1. hal.240-246. 47 Râsyid Ridhâ, Tafsir Al-Manâr, Kairo-Mesir: 1367 H juz I hal 7, Abd Hâyy Farmawi, al Bidâyah fi Tafsîr al Maudu'I Kairo, al- Haharah al-arabiah, cet. Ke-2, 1977, hlm 23-24. lihat lebih lanjut uraian Quraish Shihab dalam Membumikan al-Qur’ân (Mizan, cet XXIX, 2006) hlm 111-123. juga uraian tentang corak dan ciri-ciri penafsiran 'Abduh dan Rasyîd Ridhâ dalam Rasionalitas alQur'ân (studi kritis atas tafsir al-Manâr), Lentera hati 2006, hlm 24 48 Tafsir Riwayat atau bi al-ma’tsur adalah tafsir yang dikutip dari al Qur’an, Hadits, atsar sahabat dan tabi’in. Lihat: Muhammad Husain al Zahabi, al-Tafsîr wa al-Mufassirûn, Maktabah Mus’ab bin Umair al Islâmiyah, juz I h.112 49 Tafsir Dirâyat atau bi al-Râ’yi adalah tafsir al Qur’ân yang didasarkan pada ijtihad. Lihat: Muhammad Husain al Zahabi, al Tafsîr wa al-Mufassirûn, juz I h.183. 50 Tafsir Mafâtih al Ghayb (al-Kabir) karya al-Imam FakhruddÎn al-Râzi (544 H) tafsir ini tergolong penafsiran bi al-Ra’y/dirâyah/ma’qul/bi al-ijtihad, tafsir ini mengutamakan penyebutan hubungan antar surah-surah Al-Qur’ân dan ayat-ayatnya satu sama lain, dengan membubuhkan pendapat para filosof, ahli ilmu kalam, sesekali menyimpang ke pembahasan tentang ilmu matematika, filsafat, biologi dan lainnya. Secara global tafsir ar-Razy lebih pantas untuk dikatakan sebagai ensiklopedia dalam ilmu alam, biologi, dan ilmu-ilmu yang berhubungan secara langsung atau tidak dengan ilmu tafsir dan semua ilmu yangmenjadi sarana untuk memahaminya (tafsir ‘Ilmi)
35
ketiganya disinyalir mengembangkan tafsir ilmi'.51 Kemudian Ibn ‘Âsyûr mendasari sumber penafsirannya dengan metode muqârin dan corak filologik (balaghiah) dalam hal ini penulis menggaris bawahi perbedaannya dengan formulasi tafsir Muhammad 'Abduh sebagaimana dinyatakan oleh Abdul Ghaffâr ‘Abdur Rahîm. Ibn ‘Âsyûr juga memiliki kekhasan dengan menambahkan formulasi penjelasan pada makna-makna mufradat (kata demi kata) dalam surah-surah dan ayat-ayat Al-Qur'ân dan ]keterpautan antar keduanya/munâsâbah], serta membatasi dan meneliti ulang dari yang telah dilakukan sebagian mufassir sebelumnya.52 Kajian ini dilakukan untuk memetakan dan mengkomparasikan metodologi penafsiran kontemporer. Berangkat dari hipotesis bahwa elaborasi Maqâshid yang ditawarkan sebagai metodologi penafsiran dirumuskan Thâhir Ibn Âsyûr tidak menyimpang dari rigiditas tafsir dalam tradisi penafsiran tekstual. Artinya, penelitian ini meyakini bahwa proses interpretasi al-Qur`ân yang sepenuhnya mengikuti konsep elaborasi Maqâshid yang kemudian akan menghasilkan pemahaman makna teks secara lunak.
51
Komentar Golziher dalam penafsiran 'ilmi bahwa; "Al Qur'ân mencakup hal segala hakikat ilmiah yang diungkapkan oleh pendapat-pendapat kontemporer (pada masanya), terutama pada bidang filsafat dan sosiologi" lihat mazhâhib al tafsir al Islamiy terj.dalam bahasa arab oleh 'Abd Mun'im al Najjâr, al Sunnah Muhammadiyyah, Kairo, 1955, h. 375. lebih lanjut lihat al-Syâtibi dengan komentarnya tentang tafsir ilmiy, muwâfaqât,(Dar al Ma'rifah, Beirut t.th.) Jilid 2 hal. 80-2. dalam penafsiran ilmiy Ibnu Taimiyah juga mengomentari tafsir Ar-Râzi dengan mengatakan mengandung segala sesuatu kecuali tafsir itu sendiri. Kemudian belakangan komentar Ibnu Taimiyyah tersebut diulangi oleh Manna' Al Qatthan yang dinisbatkan pada karya Thanthâwi Jauhari. Lihat dalam Mabâhits fi Ulûm al-Qur’ân Mannâ’ Khalil al-Qaththân (Studi ilmu-ilmu al-Qur’ân), al-mansyûrat al‘ashr al-hadits) cet. 3 1973 52 Muhammad Thâhir Ibnu ‘Âsyûr “Muqâddimah al-Tâhrîr wa al-Tanwîr al-râbi’ah” hal. 8-9 Dar-el Tunisiyah linnasar. T. th. ditulis :
ﻭﱂ ﺃﻏﺎﺩﺭﺳﻮﺭﺓ ﺇﻻ ﺑﻴﻨﺖ ﻣﺎﺃﺣﻴﻂ ﺑﻪ ﻣﻦ ﺃﻏﺮﺍﺿﻬﺎ ﻟﺌﻼ ﻳﻜﻮﻥ ﺍﻟﻨﺎﻇﺮ ﰱ ﺗﻔﺴﲑ ﺍﻟﻘﺮﺁﻥ ﻣﻘﺼﻮﺭﹰﺍ ﻋﻠﻰ ﺑﻴﺎﻥ ﻣﻔﺮﺩﺍﺗﻪ ﲨﻠﺔﻛﺄﻬﻧﺎ ﻓﻘﺮ ﻣﺘﻔﺮﻗﺔ ﻧﺼﺮﻓﻪ ﻋﻦ ﺭﻭﻋﺔ ﺍﳒﺴﺎﻣﻪ ﻭﲢﺠﺐ ﻋﻨﻪ ﺭﻭﺍﺋﻊ ﲨﺎﳍﺰ ﻭﺍﻫﺘﻤﻤﺖ ﺑﺘﺒﻴﲔ ﻣﻌﺎﱐ ﺍﳌﻔﺮﺩﺍﺕ ﰲ ﺍﻟﻠﻐﺔ ﺍﻟﻌﺮﺑﻴﺔ ﺑﻀﺒﻂ ﻭﲢﻘﻴﻖ ﳑﺎ ﺧﻠﺖ ﻋﻦ ﺿﺒﻂ ﻛﺜﲑ ..............ﻣﻨﻪ ﻗﻮﺍﻣﻴﺲ ﺍﻟﻠﻐﺔ "saya tidak akan pernah meninggalkan sebuah surah sebelum menyingkap dan menjelaskan maksud ayat sampai jelas dan rinci sehingga pembaca/pemerhati (tafsir) tidak mendapati tafsir AlQur’ân yang terbatas pada penjelasan makna-makna per kalimat dan makna umum. seakan-akan sebagai kesatuan yang terpisah dan tidak lagi ditemukan keserasian antar surah dan ayat sehingga keindahan al-Qur’ân termahjub. Saya lebih memfokuskan orang lain dari kamus-kamus bahasa.........."
36
Lebih jauh lagi, penelitian ini juga menduga bahwa nuansa perbedaan interpretasi dan cara pandang al-Syâtibi dan Ibn ‘Âsyûr antara keduanya berbeda. Kompleksitas problematika yang dihadapi semakin berkembang, ia tidak hanya membutuhkan reformulasi metode dan cara pandang terhadap teks secara proporsional, relevansi penafsiran sesuai perkembangan zaman harus dikawal dengan keilmuan dan penelitian secara berkelanjutan. Bagaimanapun juga al-Syâtibi dilahirkan
lebih
dulu,
tentunya
pandangannya
sangatlah
dominan
dalam
mempengaruhi pemikiran Ulama’ dan Mufassir setelahnya, terbukti penelitian yang banyak dilakukan pakar ushûl mengedepankan pokok-pokok pikiran al-Syâtibi. Berikut contoh penafsiran Ibn ‘Âsyûr dalam kitab tafsirnya Al-Tâhrîr wa alTanwîr : Dalam Firman Allah (QS. Al-Baqarah [2]:43); ﻦ َ وَأﻗِﻴ ُﻤﻮْاﻟﺼﱠﻼة وَﺁﺗُﻮاﻟﺰﱠآﺎة وَا ْر َآ ُﻌﻮْا ﻡ َﻊ اﻟﺮﱠا ِآ ِﻌ ْﻴ..... yang artinya kurang lebih; "Dirikanlah shalat, tunaikanlah zakat dan ruku'lah kepada-Ku bersama orang -orang yang ruku.” Adalah perintah melakukan syiar Islam setelah perintah memeluk akidah Islam. Jadi, ayat "Dan berimanlah (kamu: bani Israil) pada apa yang saya turunkan .....([2] :41)
maksudnya tidak lain adalah Iman kepada Nabi Muhammad
shallawwâhu ‘alaih wasallam juga kepada perantara wahyu dan tujuannya. Yang menjadi pengantarnya adalah ayat; “Dan ingatlah nikmatku..... .([2]:40), sampai ayat .....maka takutlah kepadaku ([2]:48), yang sementara targetnya (ghâyah) adalah ayat ”Dan berimanlah pada apa yang saya turunkan karena membenarkan apa yang bersamamu. Kemudian tujuannya adalah ayat dirikanlah shalat dan tunaikanlah zakat ([2]:43). Dibalik
itu juga terdapat larangan dari perbuatan merusak yang dan
menghalangi dari hal-hal yang telah diperintahkan, sesuai dengan bentuk
37
perintahnya.53 Firman Allah," " وَأﻗِﻴ ُﻤﻮْاﻟ ﺼﱠﻼةadalah perintah pada pondasi Islam yang paling agung setelah perintah Iman dengan mengucapkan dua kalimat syahadat. Dan sebaliknya (ta’ridl) sindiran kepada orang-orang Munafik, diterangkan bahwasannya iman adalah perjanjian primordial (‘ahdun qalbiyyun) antara (hamba dengan Tuhannya), indikator perjanjian tersebut dengan ucapan (lâ yadullu ‘alaihi illa al-nutqa). Ucapan lisan (iman) sesuatu yang mudah. Ia bisa saja diucapkan walau hati tidak membenarkannya, sebagaimana halnya orang-orang munafik yang dilukiskan oleh ayat 8 pada surah ini. Nah untuk membuktikan kebenaran ucapan itu mereka dituntut agar melaksanakan shalat, karena shalat merupakan aktivitas yang menunjukkan keagungan kepada Allah semata, dan sujud kepada-Nya merupakan bukti pengingkaran terhadap berhala-berhala. 54 B. Permasalahan 1. Identifikasi masalah Berdasarkan latar belakang masalah yang telah diuraikan di atas, permasalahan yang muncul dapat diidentifikasi sebagai berikut : 1) Dimanakah perbedaan formulasi Maqâshid al-syari’ah Ibn ‘Âsyûr dan alSyâtibi?. 2) Sejauh mana Urgensi Maqâshid al-Qur’ân sebagai metode dalam penafsiran al-Qur’ân? 53
(QS. Al-Baqarah [2]:40-48), lihat lebih lanjut penafsiran ayat ini dalam al-Tâhrir wa altânwîr hlm 472-4 54 Lihat Ibn ‘Âsyûr al-Tahrir wa al-Tanwîr (QS. Al-Baqarah [2]:40-48), vol. 1 hal. 472-4, lihat juga M. Qurasih Shihab dalam, Tafsir al-Misbâh, cet-1 hal.171-172. lihat juga redaksi penafsiran Muhammad ‘Abduh dalam tafsir al-Manar yang menafsirkan setelah ajakan iman yakin kepada bani isrâîl mereka diminta untuk menunaikanshalat dan membayar zakat sebagai bentuk solidaritas kekeluargaan dan kemaslahatan diantara mereka (Muwâsâh l’iyâlihi wa musâ’adah’alâ mashâlihihim allatî hiya malâku mashlahatihi) bagi ‘Abduh ketiga perintah diatas tertata rapi secara hirarkis; menunaikan shalat sebagai berntuk pertama yang merupakan rûhul ‘ibadah dan ujian keikhlasan dalam mengerjakannya, kemudian membayar zakat sebagai bentuk penyucian diri dan kekuatan iman, berikutnya ruku’ bersama orang-orang yang ruku’ sebagai gambaran (surâh) shalat/sebagiannya, sebagai penghambaan diri secara khusu’ dihadapn keagungan-Nya. Lihat Muhammad Abduh dengan ta’lif Râsyid Ridhâ al-Tafsîr al-Manâr (Huqûq thaba’ah wa al-tarjamah mahfûdhah liwaratsatihi/ Dâr al-Manâr 1948/1366 H) cet. 2, hal. 294.
38
3) Sinergikah prinsip tafsir dan teori Maqâshid
Ibn ‘Âsyûr dengan
penafsirannya? 4) Bagaimana respon akademik terhadap teori Maqâshid dan prinsip-prinsip tafsir yang dirumuskan Ibn ‘Âsyûr? 2. Batasan Masalah Dari identifikasi permasalahan diatas, dalam penelitian ini penulis memusatkan perhatiannya pada poin 1, 2, dan 3. Penelitian ini berupaya menguraikan teori Maqâshid
dan
prinsip-prinsip
tafsir
Ibn
‘Âsyûr
secara
utuh,
kemudian
membandingkannya dengan mufassir sebelum dan pada masanya, untuk melakukan penilaian terhadap penafsiran Ibn ‘Âsyûr berdasarkan komparasi tersebut. Hasil penilaian itu akan dibawa ke dalam konteks yang lebih luas untuk melakukan analisis terhadap gagasan Ibn ‘Âsyûr dalam dua perspektif yang berbeda. 3. Rumusan Masalah Berdasarkan pembatasan masalah di atas, dapat dirumuskan; 1) Bagaimana konsep pendasaran ‘ilm Maqâshid perspektif Ibn ‘Âsyûr?. 2) Urgensi Maqâshid ‘al-Qur’ân dalam penafsiran Ibn ‘Asyur. C. Survei Literatur/Penelitian terdahulu yang relevan Salah satu hal yang mendorong penulis untuk memilih judul diatas adalah, bahwa kajian Maqâshid selama ini masih berputar pada kaidah-kaidah ushul fiqh dan Syari’ah. Pemetaaan yang dilakukan Ibn Asyur yaitu mendasarkan‘Ilm Maqâshid alsyarî’ah. Adapun prinsip-prinsip penafsirannya diintegrasikan secara integral dengan gagasan Maqashid-nya. Abdullah Muhammad Syahâtah, Ziyâd Khâlil Muhammad al Dhaghâmin, Muhammad Husain Al-Dzahabi, Muhammad ‘Ali Iyâzi, ‘Abdul Hayyi al-Farmâwi, Iffat Syarqâwi dan ‘Abdur Ghaffâr Abdur Rahîm, mereka menyimpulkan apa yang dilakukan Ibn Âsyûr mempunyai kesamaan dengan penafsiran yang dilakukan oleh
39
Muhammad Abduh dan Sayyid Rasyîd Ridhâ dalam al-Manâr, walaupun secara eksplisit sebagian dari mereka tidak mencantumkan hal tersebut dan sebagian yang lain mencantumkannya.55 Karya (Thesis) Ismaîl Hasani Nazhâriyyah
al-Maqâshid ‘ind al-Imâm
Muhammad Thâhir Ibn ‘Âsyûr (the International Institute of Islamic Thought) Herndo-Virginia U.S.A), dapat mewakili sumber primer karena dia membahas panjang lebar tentang formulasi dan pendasaran ilmu Maqâshid al-syarî’ah. Pada percetakan yang sama Ahmad Raysûni dalam disertasinya (1995) Nazhâriyyah
al
Maqâshid ind al-Imâm al-Syâtibî (the International Institute of Islamic Thought) yang kemudian dalam telaahnya dan penelitiannya ia menyematkan gelar kepada al-Syâtibî (w. 790 H) Mu’allim awwal dan Muallim Tsâni (Ibn ‘Âsyûr). Perbedaan pandangan antara mereka antara lain; formulasi Maqâshid al-syarî’ah al-Syâtibî dibangun di atas hubungan dialektis antara prinsip-prinsip general (kulliyyât),56 dan unsur-unsur partikularnya (juz`iyyât). Keduanya harus sama-sama dipertimbangkan karena “siapa pun yang mengambil unsur-unsur partikular tanpa menghiraukan prinsip general yang menyatukannya,
atau
siapa
pun
yang
mengambil
prinsip
general
tanpa
mempertimbangkan unsur-unsur partikularnya, maka ia telah berbuat kesalahan al-
55
Meski mereka Muhammad Husain al-Dzahabi, Muhammad Ali Iyazi, dan ‘Abdul Hayy alFarmawi tidak mencantumkan secara eksplisit itilah Maqâshid al-Qur’ân di dalam karyanya, namun mereka menyebutkan salah satu unsur penting dalam corak penafsiran madrasah Muhammad ‘Abduh secara umum dan penafsiran yang dilakukan Sayyid Râsyid Ridhâ secara khusus yakni unsur Maqâshid al-âyah,lihat Husain al-Dzahabi, al-tafsir, vol.2, hal. 401; lihat juga, ‘Abdul Hayyi alFarmâwi dalam al-Bidâyah fî al-Tafsîr al-Mawdhû’i (t.th 1977) cet. Ke-2 hal. 41; lihat juga Muhammad ‘Ali Ayâzi, al- Mufassirûn Hayâtuhum wa Manâhijuhum (Thehran; Mu’assasah alThaba’ah), hal. 49. 56 Kalimat “kullîy” pada umumnya diterjemahkan menjadi “general” atau “universal”. Penulis mencoba menilik artikel Hallaq yang berjudul “The Primacy of the Qur`an in Shatibi’s Legal Theory”. Pada sebuah kasus, Hallaq menerjemahkan “kulliyyat” menjadi “general foundations”. Sementara di tempat lain, Hallaq menerjemahkan “Ushûl kulliyyah” menjadi “universal principles”. Bahkan dia juga tercatat menggunakan kedua kata itu secara bersama-sama seperti tampak dalam pernyataannya, “…lay down the most general and universal legal principles….” Lihat Hallaq, “The Primacy of the Qur`an in Shatibi’s Legal Theory”, hal. 75-76. Dalam penelitian ini, padanan kata yang dipilih adalah “general”, bukan “universal”, karena padanan pertama itu lebih tepat untuk dilawankan dengan “partikular” sebagai padanan kata “juz`i”. Lihat Cambridge Advanced Learner’s Dictionary on CDROM, versi 1.0 (Cambridge: Cambridge University Press, 2003), entri “general”.
40
Syâtibî sebagaimana disebut ‘Abid al-Jâbiri sebagai penyempurna kembali dasardasar ilmu ushûl (‘Iâdah Ta’shîl al-Ushûl).”57 Perbedaan dan urgensi pandangan Ibn ‘Âsyûr dari pendahulunya terkait dengan problematika (Isykâl al-qitha’u wa al-dzann fî ‘ilm al-ushûl) esensi dari konsep dan kajian yang ditawarkan Ibn Âsyûr ini sejajar/mirip dengan penelitian mencari konsep “Tatanan masyarakat Islam yang ideal” (ushûl al-Nizhâm al-Ijtimâ’i fî al-Islâmi). Dijelaskan bahwa konsep tersebut bertolak lintas batas pemahaman hukumhukum syara’ yang partikular (Tajâwaz al-manhiy tajzî’iy) menuju kepada pandangan atau prinsip-prinsip general (ru’yah kulliyyah tanzilu al hulûl syar’iyyah) bertumpu pada kondisi yang amat penting dan dibutuhkan bagi mayoritas umat dan kemaslahatan manusia (‘Alâ al-waqâ’ii wa al-nawâzil min haits hâlah jamâiyyah tuhimmu al-ummah) bukan bertumpu pada sebaliknya. Hal ini sejalan dengan gerakan ijtihad fikih Târikhiyyan.58 Literatur diatas tidak memusatkan dan mengintegrasikan perhatiannya kepada penafsiran Ibn ‘Âsyûr, sebagaimana yang dilakukan penulis dalam penelitian ini. Di sisi lain, prinsip-prinsip tafsir mencakup wilayah literatur yang sangat luas. Hampir seluruh karya tentang tafsir dan ‘ulûm al-Qur`ân mengandung pembahasan tentang prinsip-prinsip tertentu yang harus dipatuhi dalam melakukan penafsiran alQur`ân. Hanya saja, belakangan muncul karya-karya yang mencoba mengkaji kaidahkaidah tafsir secara komprehensif, seperti apa yang ditulis oleh ‘Abd al-Rahmân ibn Nâsir al-Sa‘di,59 Khalid ‘Abd al-Rahmân al-‘Akk,60 Khâlid ibn ‘Utsman al-Sabt,61
57
al-Syâtibî, Al-Muwâfaqât, vol. 3, hal. 5. Ismaîl Hasani dalam Nazhariyyat al-Maqâshid ‘ind Ibn ‘Âsyûr, hal. 98-114. Lihat juga lebih lanjut uraian ‘Abd Majid Shaghir, dia murid dari ‘Âbid al-Jâbiri, dalam”al-fikr ushûliy wa isykâliyyah al-sulthah ilmiyyah fi al-Islam, Beirut Dar al-Muntakhab ‘Arabiy 1994M / 1415H hal. 614. bandingkan dengan ulasan guru dari ‘Abd Majîd Shaghîr yaitu Muhammad ‘Âbid Jâbiri pandangan alSyâtibî mengenai “Ta’sil al-ushûl al-Syarî’ah”, dalam “Bunyah al-‘aql al-‘arabiy” Beirut markaz dirâsat wahdah al-‘arabiyyah1994 cet. 4 hal. 548. 59 ‘Abd al-Rahman ibn Nasir al-Sa‘di, al-Qawâ‘id al-Hisan li Tafsir al-Qur`ân (Riyad: Maktabah al-Ma‘arif, 1980). 60 Karya Khâlid ‘Abd al-Rahmân al-‘Akk, Ushûl al-Tafsir wa Qawâ‘iduhu (Beirut: Dar alNafa`is, cet. 2, 1986). 58
41
dan ‘Abd al-Hâdi al-Fadli.62 Berbeda dengan literatur-literatur di atas yang mengelaborasi prinsip-prinsip tafsir tanpa mengaitkannya dengan tokoh tertentu, prinsip-prinsip tafsir yang akan diuraikan dalam penelitian ini dibatasi oleh obyek kajiannya, yaitu pemikiran dan karya-karya Ibn ‘Âsyûr. Selain itu, penelitian ini juga mencoba membawa konsep tentang prinsip-prinsip tafsir tersebut kepada persoalanpersoalan yang lebih mendasar, seperti asumsi, pra-anggapan, serta aplikasi Maqâshid dalam penafsirannya.63 Abdullah Mahmud Syahatah, dalam bukunya ditulis bahwa Rasyîd Ridhâ (murid ‘Abduh dan juga guru dari Ibn ‘Âsyûr) menggunakan Maqâshid al-Qur’ân dalam penafsiran sebagaimana kedua gurunya al-Afghâni dan Muhammad ‘Abduh [1905 M],
Lihat Abdullah Mahmud Syahatah, dalam karyanya manhaj al-Imam
Muhammad ‘Abduh fi tafsir al-Qur’ân al-Karîm (Kairo:al Majlis al a’lâli Ri’âyah alfunûn wal adab wa al- Ulûm al Ijtimâ;iyyah 1963) hal. 33. dan karyanya yang berjudul Ahdâf kulli sûrah wa Maqâshiduhâ fî al-Qur’ân al Karîm, (Mesir; Haiah alMishriyyah, 1986), hal. 93-94. dalam buku yang terakhir yang disebut Mahmud Syahatah mulai menggunakan Istilah untuk tujuan-tujuan pokok Al-Qur’ân antara lain Maqâshid, ahdâf, fikrah ‘Ammah mabâdi’, yang selanjutnya ia lebih cenderung memakai istilah ahdâf sebagaimana judul bukunya. Karya Muhammad al-Dhagâmin dalam tulisannya yang berjudul Manhaj alTa’âmul ma’a al-Qur’ân fî fikri al-Syaikh Muhammad Rasyîd Ridhâ, dalam majalah yang diterbitkan oleh Universitas Kuwait. Ia menekankan bahwa Rasyîd Ridhâ memberikan perhatian yang sangat besar terhadap Maqâshid al-Qur’ân, bahkan ia menilai bahwa Rasyîd Ridhâ mewajibkan penggunannya dalam menafsirkan alQur’ân. Karya diatas terkait dengan kajian Maqâshid al-Qur’ân yang dibangun oleh Rasyid Ridha. Mengingat Ibnu Âsyur adalah murid dari Abduh dan Rasyid Ridhâ 61
Khâlid ibn ‘Utsman al-Sabt, Qawâ‘id al-Tafsir Jam‘an wa Dirâsatan (Kairo: Dar Ibn ‘Affan, 1421 H.). 62 ‘Abd al-Hadi al-Fadli, Al-Wasîth fi Qawâ‘id Fahm al-Nushûsh al-Syar‘iyyah (Beirut: Mu`assasah al-Intisyar al-‘Arabi, 2001). 63 Lihat lebih lanjut pripsip-prinsip tafsir Ibn ‘Âsyûr, Tahrîr wa al-Tanwîr, vol. 1, hal. 39-43.
42
sehingga keterkaitan kajian diantara keduanya mengenai tafsir dan prinsip-prinsip penafsiran sangatlah erat. Karya Luay Shofiy, Kinerja akal (I’mâl al-‘Aql) “min al- nazhrah tajzi'iyyah ilâ al- Ru'yah al-Takâmuliyyah (dari yang partikular menuju yang general), dimana dia mempunyai pandangan yang mengapresiasi gagasan Ibn ‘Âsyûr tentang Maqâshid alsyarî’ah. Dengan menggunakan metode qiyâshiyyah yang menurutnya sebagai upaya untuk memahami nushûs syarî’ah secara integral, dengan menemukan makna yang tepat
kemudian
memberikan
kesimpulan
formulasi
hukum-hukum
secara
komprehensif. Karya Thameem Ushama, “ Methodologies of The Qur’anic Exegesis” telah diterjemahkan kedalam Bahasa Indonesia oleh Hasan Basri dengan judul “Metodologi Tafsir al-Qur’ân, Kajian Kritis, Obyektif Dan Komprehensif” (Jakarta: Riora Cipta, 2000 M). Dalam buku ini dijelaskan beberapa kekeliruan madzhabmadzhab penafsiran di abad-abad awal Islam, dan keganjilan-keganjilan yang terdapat dalam penafsiran al Qur’ân serta syarat-syarat menafsirkan al Qur’ân. Karya M.Quraisy Shihâb; Tafsir al-Misbâh (Jakarta: Lentera Hati 2000), Membumikan al-Qur’ân, Fungsi dan Peran Wahyu dalam Kehidupan Masyarakat (Bandung: Mizan, 2006), dan “Rasionalitas Al Qur’ân, Studi Kritis atas Tafsir al Manâr” (Jakarta: Lentera Hati 1428 H/ 2007 M). Tafsir yang bernuansa sosial kemasyarakatan ini benyak memuat pesan dan keserasian dari pelbagai keterangan ayat beserta pandangan Ulama’ dan Mufassir baik Klasik maupun kontemporer seperti Imâm al-Ghazali, Fakhruddin al-Râzî, Abû Hayyân, Ibn Âsyûr, al-Biqâî, dan masih banyak lagi. Dan kedua buku setelahnya selain mengekplorasi pembumian alQur’ân dengan pelbagai pandangan Ulama yang dirujuk, memaparkan keistimewaan tafsir al Manâr, serta mengungkap kekurangan-kekurangannya. Khususnya buku yang kedua. Diantara kekurangan yang mendapat sorotan Quraish Shihab adalah bahwa Muhammad ‘Abduh dan Muhammad Rasyîd Ridhâ masih belum mampu melepaskan akidah dan madzhab mereka dalam menafsirkan al-Qur’ân. Asumsi ini diketahui dari adanya sekian banyak penakwilan tanpa menggunakan alasan yang dianaut mayoritas
43
ulama, hanya dengan dalih bahwa tanpa penakwilan tersebut maka makna yang dikandung ayat itu tidak dipahami berdasarkan ukuran akal penafsirannya, bukan berdasarkan ukuran kekuasaan dan kudrat Allah. Pada variabel kedua penulis menemukan dua tulisan yang keduanya berbentuk tesis; pertama penelitian yang dilakukan oleh saudara Ghozi Mubarak tentang prinsip-prinsip tafsir al-Imam al-Syâtibî dan ortodoksi tafsir Sunni, Penelitian ini berangkat dari perdebatan mengenai posisi al-Syâtibî , dari sebuah pertanyaan: apakah, secara sederhana, gagasan-gagasannya bisa digunakan untuk menentang pandangan serta teori yang telah mapan dalam disiplin tafsir? Pertanyaan tersebut bersifat kontemporer, dalam arti bahwa ia diajukan untuk merespons penilaian orang lain di masa modern ini terhadap al-Syâtibî . Uraian tentang prinsip-prinsip tafsir yang dikemukakan al-Syâtibî serta evaluasi terhadapnya berdasarkan kriteria-kriteria ortodoksi memperlihatkan bahwa, secara umum, prinsip-prinsip tafsirnya tidak bertentangan dengan, ortodoksi tafsir dalam tradisi Sunni. Kedua, Duski. “Metode Penetapan Hukum Islam Menurut al-Syâtibî : Suatu Kajian tentang Konsep al-Istiqrâ` al-Ma‘nawî”. Disertasi pada Program Pascasarjana UIN Syarif Hidayatullah, Jakarta, 2006. dimana dia mengemukakan formulasi penetapan hokum modern dengan metode yang dikembangkan Syatibi secara integral dan Komprehensif. Ketiga, Muh. Nurung “Maqâshid al-Qur’ân menurut Rasyîd Ridha” dalam Karyanya Al-Wahyu al-Muhammady, seri Disertasi UIN Jakarta 2008, boleh jadi Ibn ‘Âsyûr terinspirasi dari gagasan Rasyîd Ridhâ ini, namun perbedaan diantara keduanya nampak sekali. D. Tujuan Penelitian Penelitian ini dilakukan dengan tujuan sebagai berikut: 1. Menguraikan formulasi Maqâshid dan prinsip-prinsip tafsir Ibn ‘Âsyûr. 2. Membuktikan prinsip-prinsip tafsir yang telah dirumuskan Ibn ‘Âsyûr selaras dengan penafsirannya, sesuai dengan konsep ‘Ilm Maqâshid dan pendasaran norma-norma/aturan sosial kemasyarakatan Islami dalam karya-karyanya.
44
E. Manfaat/Signifikasi Penelitian Realisasi penelitian ini akan bermanfaat / signifikan secara teoritis maupun praktis. Secara teoritis penelitian ini memiliki manfaat sebagai berikut: a) Menggugah kesadaran terhadap urgensi Maqâshid al-Qur’ân dalam penafsiran. b) Membangkitkan dan menstimulasi kepada upaya mengkaji bagian yang fundamental dari struktur pemikiran dalam disiplin keilmuan tafsir alQur`ân. c) Penelitian ini diharapkan dapat menyumbangkan sebuah pola pandang alternatif dalam membaca relasi antara rigiditas dan deviasi dalam kajian-kajian tafsir serta ‘Ulûm al-Qur`ân Sedangkan secara praktis, penelitian ini memiliki manfaat sebagai berikut: a) Memberi kontribusi ilmiah dalam disiplin ilmu-ilmu al Qur’ân dan Tafsir serta kajian ilmu ushul. b) Memberikan arah bagi penelitian serupa yang lebih intensif dikemudian hari. Kesinambungan antara penelitian ini dengan yang lain akan dapat memperkuat formulasi dasar disiplin keilmuan Tafsir khususnya dan mengelaborasi metodologi kajian ilmiah pada umumnya. F. Metodologi Penelitian 1. Jenis Penelitian dan Sumber Data Penelitian ini termasuk dalam jenis penelitian kepustakaan (library research). Data-data penelitian ini sepenuhnya diperoleh dari bahan-bahan pustaka tertulis yang berupa buku, laporan hasil penelitian, makalah, jurnal ilmiah, atau literatur-literatur lain. Sumber data primernya adalah beberapa buku karya Ibn ‘Âsyûr, yaitu Al-Tahrir wa al-Tanwîr, al-Maqâshid al-Syarî’ah al-Islâmiyyah, Al-Nizhâm al-Ijtimâ’iy, alaisa shubhu biqarîb dll. Masih banyak karya Ibn ‘Âsyûr yang telah dicetak, namun dari
45
keempat buku ini terletak intisari pemikiran Ibn ‘Âsyûr.64 Sedangkan data-data sekunder akan digali dari sumber-sumber dalam empat kategori berikut. Pertama, literatur-literatur tentang Ibn ‘Âsyûr, terutama yang mengkaji pemikirannya tentang Maqâshid dan corak penafsirannya. Kedua, kajian-kajian tafsir dan ‘ulûm al-Qur`ân dan problematikanya. Ketiga, karya-karya tentang hukum-hukum Islam. Keempat, literatur-literatur lain yang relevan, seperti tentang fiqh, usul fiqh, metodologi penelitian, sejarah Islam, linguistik, ensiklopedi dll. Dengan data penelitian yang tersebar di banyak literatur, penelitian ini menggunakan teknik pengumpulan data dokumenter65 atau teknik elisitasi dokumen.66 Dengan teknik tersebut, setiap keping informasi akan diperlakukan dan bernilai sama untuk kemudian diklasifikasi, diuji, dan diperbandingkan satu sama lain. 2. Pendekatan Masalah Karena penelitian ini ingin mengungkap Elaborasi Maqâshid dalam penafsiran pada karya Ibn ‘Âsyûr, maka digunakan pendekatan struktural dalam kerangka yang bersifat historis dan komparatif. Pendekatan struktural (analysis structure) berangkat dari asumsi bahwa suatu pemikiran merupakan sebuah struktur yang otonom dan dapat dipahami melalui relasi antar unsur-unsurnya.67 Dengan pendekatan tersebut, karya-karya Ibn ‘Âsyûr akan dipandang sebagai suatu kesatuan yang utuh dan terstruktur, dengan substruktur-substruktur yang
64
Karya Ibn ‘Âsyûr berporos pada Ulûm al-Islâmiyah, dalam kedua kategori ini terletak ide besarnya yaitu: tafsir dan Maqâshid al-syarî’ah al-Islâmiyah, lihat dalam Muhammad Thâhir AlMaisâwi "Maqâshid al syarî’ah Al Islâmiyah, [Dar al Nafais Urdun, cet-2 2001] hal. 48-77 65 Teknik dokumenter adalah teknik pengumpulan data dari sumber-sumber tertulis. Lihat Suharsini Arikunto, Prosedur Penelitian: Suatu Pendekatan Praktek (Jakarta: Rineka Cipta, cet. 12, 2002), hal. 206. 66 Maryaeni, Metode Penelitian Kebudayaan (Jakarta: Bumi Aksara, 2005), hal. 73. 67 Tirto Suwondo, “Analisis Struktural: Salah Satu Pendekatan dalam Penelitian Sastra”, dalam Jabrohim dan Ari Wulandari [ed.], Metodologi Penelitian Sastra (Yogyakarta: Hanindita, 2001), hal. 54-56. Taufik Abdullah menilai bahwa pendekatan struktural sangat produktif untuk digunakan dalam kajian teks. Lihat Taufik Abdullah, “Agama Sebagai Kekuatan Sosial (Sebuah Ekskursi di Wilayah Metodologi Penelitian)”, dalam Taufik Abdullah dan M. Rusli Karim [ed.], Metodologi Penelitian Agama: Suatu Pengantar (Yogyakarta: Tiara Wacana, cet. 2, 2004), hal. 45-46.
46
saling berhubungan, melalui mana Maqâshid dan prinsip-prinsip tafsir yang dirumuskannya akan dielaborasi dalam penafsirannya. Pendekatan struktural (analysis structure) dalam penelitian ini diletakkan dalam kerangka yang bersifat historis dan komparatif_“historis” karena penelitian ini juga mengkaji kondisi-kondisi psikologis, sosial, politik, dan intelektual yang memengaruhi pemikiran Ibn ‘Âsyûr, dan “komparatif” karena ia mencoba membandingkan pemikiran Ibn ‘Âsyûr itu dengan al-Syâtibî seputar Maqâshid dan prinsip-prinsip tafsirnya. Sedangkan dalam teknik penulisan dan transliterasi, penulis mengacu kepada buku “ Pedoman Penulisan Karya Ilmiah (Skripsi, Tesis dan Disertasi),” karya Hamid Nasuhi, dan kawan-kawan. ( Jakarta: CeQDA Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah, cet.2, 2007). G. Sistematika Penulisan Untuk mendapatkan suatu bentuk tulisan yang sistematis sehingga tampak adanya gambaran yang jelas, terarah, logis dan saling berhubungan antara bab satu dengan bab berikutnya, maka tesis ini penulis klasifikasikan menjadi lima bab, yang terdiri dari satu bab pendahuluan, tiga bab pembahasan dan satu bab kesimpulan. Bab pertama, merupakan landasan umum penelitian dari tesis ini. Bagian ini berisi pendahuluan yang terdiri dari latar belakang masalah, identifikasi dan pembatasan masalah, tujuan dan guna dan tujuan penelitian, kajian pustaka, metode penelitian dan sistematika penulisan. Bab kedua, penulis akan membangun kerangka teoritis tentang Maqâshid dan pembacaan al-Qur’an, perspektif salaf dan khalaf. Pandangan kebebasan, kemaslahatan dan batasannya. Kemudian komparasi pandangan seputar tema tersebut, dan diakhiri dengan sub bab tentang pandangan sarjana barat seputar rigiditas dan elastisitas tafsir. Bab ketiga, dikhususkan pada formulasi Maqâshid dan prinsip-prinsip tafsir Ibn ‘Âsyûr, elaborasi delapan Maqâshid al-’asliyyah dalam penafsiran Ibn ‘Âsyûr, serta
47
pembahasan tentang prinsip-prinsip tafsirnya dalam mukaddimah kitab al-Tahrîr wa al-Tanwîr. Bab keempat, penulis mendeskripsikan aplikasi Maqâshid dalam penafsiran ayat-ayat hukum; khususnya mengenai ibadah; shalat, zakat dan puasa. Kemudian penilaian dan respon akademik terhadap gagasan Ibn ‘Âsyûr seputar Maqâshid dan penafsiran al-Qur’ân, Ibn ‘Âsyûr dan ortodoksi penafsiran Al-Qur’ân Kontemporer diperuntukkan untuk melihat sejauh mana relevansi gagasan Ibn ’Asyur dapat diterapkan. Bab kelima, bab penutupan, penulis menulis kesimpulan-kesimpulan dari isi tesis secara keseluruhan sebagai penegasan jawaban atas permasalahan yang dikemukakan sebelumnya, disertai dengan saran-saran
yang dianggap penting
berkaitan dengan tema ’ilm al-Maqâshid dan prinsip-prinsip penafsiran seputar interaksi sosial kemasyarakatan.
48
BAB II MAQÂSHID DAN PEMBACAAN AL-QUR’ÂN Maqâshid dalam perspektif pakar linguistik seperti Ibn Manzhûr, Fairuz Âbadî keduanya mensinyalir bahwa kalimat ini merupakan jama’ dari kata maqshad yang terambil dari kata kerja qashada, yaqshudu, qashdan;68 yang mempunyai arti lurusnya jalan, merupakan bentuk jamak dari maqshid69 yang berarti: Makân alQashd (arah tujuan; maksud) juga dapat dipahami sebagai keadilan (lihat an-Nahl; [16:9]).70 Namun yang sering dipakai oleh Fuqahâ’ dan pakar ilmu Ushûl adalah arti bersandar pada unsur dasar (al-umm) kesengajaan yang berjalan sesuai dengan arah keinginan yang dicapainya. Seperti pandangan mayoritas mereka yang mengatakan bahwa Maqâshid terdapat pada hukum pertukaran (al-Tasharrufât).71 Abdul Aziz bin ‘Ali dalam ‘Ilm Maqâshid al-Syâri’ mendefinisikan al-Maqâshid ádalah apa yang dikehendaki hukum-hukum syara’ [al-murâd min tasyrî’i al-Ahkâm] dengan kata lain tujuan-tujuan yang ingin dicapai oleh hukum-hukum syara’.72
68
Lihat lebih lanjut makna ini dalam Ibn Manzhûr (Abû Fadl Jamâluddîn Muhammad ibn Mukrim) (w. 117 H) dalam Lisan al-arab “Dâr Lisân al-Arab” Beirut, jld. 3 hal. 96. bandingkan dengan Fairuz Âbadî dalam al-Qâmûs al-Muhîth,cet.1, Maktabah ar-Risalah, 1406 H/1986, Mesir hal. 396. terdapat beberapa makna juga yang sering dijadikan sandaran lihat juga Abdul Aziz bin ‘Ali dalam ‘Ilm Maqâshid al-Syâri’ hal. 19-20. keterangan Ahmad Fayyûmi dalam al-Misbah mu’jam Arab-arabi (Beirut Maktabah Lubnân, 1990), hal. 192; lihat juga, Munjid fi al-Lughah wa al-A’lam (Beirut Dâr al-Masyriq, 1986) cet. Ke-28 hal. 632; lihat juga Hans Whr, a Dictionary of Modern Written Arabic (Beirut Maktabah Lubnân, 1980), cet. Ke-3 hal. 767. 69 Lihat Ahmad Fayyûmi, al-Misbah hal. 192. lihat juga, Munjid fi al-Lughah wa al-A’lam (Beirut Dâr al-Masyriq, 1986) cet. Ke-28 hal. 632; lihat juga Hans Whr, a Dictionary of Modern Written Arabic (Beirut Maktabah Lubnân, 1980), cet. Ke-3 hal. 767. 70 Lihat Mahmud Yunus, Kamus Arab- Indonesia (Jakarta:Hidakarya, 1990), hal. 344. 71 Lihat lebih lanjut uraian ini dalam Syamsu al-Dîn Abû Abdillah Muhammad bin Abi Bakar Ibn Qayyim I’lâm al-Mu’awwiqîn ‘an Rabb al-‘âlamîn, tahqîq Abdu Rauf Saîd, Maktabah Kulliyyah al-Azhariyah 1967, juz 3 hal. 98, lihat juga al-Syâtibî dalam Muwâfaqat fî Ushûl al-Syarî’ah juz 2, Dâr al-Ma’rifah 1395 H/ 1975 hal. 323. 72 Abdul Azîz bin ‘Ali,‘Ilm Maqâshid al-Syâri’ hal. 20. Bandingkan dengan al-Maysâwî dalam Maqâshid al Syarî’ah al Islâmiyah, 2001. hal. 90-91.
49
Menurut Abû Hamid al-Ghazâli rahasia (sirr), hati (lubb), dan tujuan (maqâshid) al-Qur’an adalah menyeru hamba menuju Tuhan-nya yang Maha Kuasa.73 Sedangkan menurut Fârid Wâjidi dalam Tafsirnya, al-Mushhaf al-Mufassar, Maqâshid al-Qur’ân adalah mendidik manusia dengan didikan yang benar dan menjadikan
mereka
manusia-manusia
pada
tingkat
kesempurnaan,
dimana
menemukan jati dirinya baik secara lahiriah maupun Batiniah.74 Pengertian yang lebih luas diberikan oleh pengarang Manâhil al-Irfân fî Ulûm al-Qur’ân Muhammad ‘Abd al-Azhîm al-Zarqâni, menurutnya Allah dalam menurunkan kitab-Nya (al-Qur’an) sebagai mu’jizat yang Mulia mempunyai tiga Maqâshid raîsiyyah (tujuan-tujuan pokok): yakni sebagai petunjuk bagi manusia dan jin, disisi lain sebagai bukti kebenaran risalah Nabi Muhammad saw. serta sebagai sumber pahala karena membacanya.75 Pembacaan yang dimaksud disini adalah tafsir itu sendiri, yang secara etimologis merupakan serapan dari bentuk taf’îl kata benda al-fasr76 yaitu kata kerja fassara – yufassiru dengan arti “keterangan dan ta’wil”77 yang satu-satunya ungkapan dalam Al-Qur’ân terdapat pada surah al-Furqân (25):33:
73
Abû Hamid al-Ghazâli, Jawâhir al-Qur’ân wa Duraruhu (Beirut: Dâr al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 1988), cet. Ke-1, hal.11. 74 Lihat Mukaddimah tafsir Muhammad Farid al-Wâjidi, al-Mushhaf al-Mufassar (Kairo: Mathâbi Dâr al-Sya’b, 1977), hal. 95. 75 Muhammad Abdu al-Azhîm al-Zarqâni dalam karyanya Manâhil al-Irfân fî ulûm al-Qur’ân, (Kairo:Dâr al-Hadits, 2001), vol.2 hal.104. bandingkan dengan pandangan Ibn ‘Asyûr yang mengatakan bahwa penafsiran al-Qur’ân memiliki tiga tujuan-tujuan pokok yaitu; pertama sisi AlQur’ân yang meliputi kemaslahatan umum [duniawi dan ukhrawi]; kedua sisi yang menerangkan generalitas keilmuan [kulliyyât al-‘ulûm] dan intisari kesimpulannya [ma’âqid istinbâtihâ]; ketiga; sisi al-Qur’an yang sarat dengan filologik [balaghah] yang melekat pada redaksinya. Ismaîl Hasani dalam Nazhariyyat al-Maqâshid ‘ind Ibn ‘Âsyûr, hal. 90-91. 76 Menurut Ibn Manzhûr, kalimat fasr berarti al-bayân yaitu keterangan yang memberikan penjelasan, sedangkan tafsir dipahami dengan membuka sesuatu yang dimaksud oleh lafadz yang sukar dipahami, Lisan ’Arab, Jilid 5, hal. 55. 77 Kata ta’wil berasal dari kata kerja awwala kata bendanya ”awl” yang berarti kembali keasal) yang berarti mengembalikan sesuatu kepada maknanya, lihat Al-Râzy, Muhtar shihhah , hal. 33. lihat juga Mahmud Yunus, kamus arab-Indonesia (Jakarta- Hidakarya Agung, 1990) hal.316.ada juga yang berpendapat bahwa ta’wil identik dengan tafsir. Lihat Majid al-Dîn aal-Fairuzzabadi, al-Qâmûs alMuhîth (al-Mathba’ah Misriyyah, 1933, jld II, hal. 110
50
∩⊂⊂∪ #·Å¡øs? z|¡ômr&uρ Èd,ysø9$$Î/ y7≈oΨ÷∞Å_ ωÎ) @≅sVyϑÎ/ y7tΡθè?ù'tƒ Ÿωuρ “Tidaklah orang-orang kafir itu datang kepadamu (membawa) sesuatu yang ganjil, melainkan kami datangkan kepadamu suatu yang benar dan yang paling baik penjelasannya”. Sedangkan secara terminologis tafsir adalah penjelasan tentang arti atau maksud firman-firman Allah sesuai dengan kemampuan manusia (mufassir). Yang sementara tujuannya untuk mengklarifikasi sebuah teks. Dalam hal ini, tafsir selain menjelaskan makna tersirat, Ia juga berfungsi secara simultan mengadaptsikan teks pada situasi/konteks yang sedang dihadapi seorang Mufassir. Dengan kata lain, kebanyakan penafsiran tidaklah murni teoritis, namun ia juga mempunyai aspek praktis utnuk membuat teks dapat diterapkan dalam memantapkan keimanan dan menjadi pandangan dan petunjuk orang-orang mu’min.78 A. Ibn ’Âsyûr dan Penafsiran kontemporer Muhammad Thâhir Ibn ‘Âsyûr adalah seorang reformis dan pembaharu Tunisia yang hidup pada dua periode perubahan; pertama periode penjajahan Tunis mulai tahun (1298 H/1881) sampai (1363 H/1956 M) kedua periode Kemerdekaan Tunis tahun (1956 M-1973 M/1393 H) yang terakhir ini adalah tahun wafatnya, demikian tulis Ismaîl Hasani dalam Nazhariyyah al-Maqâshid ‘ind Ibn ‘Âsyûr.79 Ia lahir disaat gejolak pembaruan dan perubahan terhadap pandangan yang jumud dan budaya taqlid yang sudah mengakar di seantero dunia khususnya pada generasi di Timur Tengah, daerah kelahirannya adalah (al-Marsâ/î) sekitar 20 kilo dari Ibukota Tunisia pada tahun 1879 M/ 1296 H dimana kakek Ibn ‘Âsyûr tinggal. Mulai itulah Ibn ‘Âsyûr diasuh kakeknya Muhammad al-‘Azîz Bû’attûr, disebut demikian karena di daerah tempat tinggalnya tersebut dijadikan tempat persinggahan kapal-kapal laut, 78
Al-Zarqâni, Manâhil al-Irfân fî ulûm al-Qur’ân, (Kairo:Dâr al-Hadits, 2001), vol.2 hal.104. Lihat Ismaîl Hasani dalam Nazhariyyat al-Maqâshid ‘ind Ibn ‘Âsyûr, (al Ma'had Al-‘Â'limiy lil fikri al Islamiy, Herendun USA) cet. I thn. 1995 hal. 75-82. lihat juga al-Mawsû’ah al-‘Arabiyyah al-‘Âlamiyyah (7357); dan al-Mawsû’ah al-‘Arabiyyah (7/200). 79
51
kemudian jalan menuju tempat ini sekarang diabadikan dengan nama Syaikh Imâm Muhammad Thâhir Ibn ‘Âsyûr.80 Nama asli dari kitab ini adalah “Tahrîr al-Ma’nâ al-Sadîd wa Tanwîr al-‘Aql al-Jadîd min tafsîr al-Kitâb al-Majîd”, dari judulnya menggambarkan ekspresi penulis yang berupaya ingin melepaskan makna yang kaku dan mengelaborasinya pada penafsiran yang elastis, disisi lain membentuk prinsip mainside [pola pikir] muslim.81 Metodologi penafsiran Ibnu ‘Âsyûr (w.1393H/1973) termasuk memakai pola narasi pemikiran dalam menerapkan metode (muqârin) perbandingan antara lain; perbandingan ayat Al-Qur’ân dengan yang lain, kemudian perbandingan ayat Qur’ân dengan hadits, dan perbandingan mufasir satu dengan yang lainnya. Dalam tafsirnya nuansa fiqh sangat dominan karenanya, upaya menafsirkan ayat dalam kaitannya dengan persoalan hukum-hukum Islam banyak dijumpai, tidak heran tafsir ini tergolong panjang lebar dalam pembahasan, aspek kebahasaan (filologik) juga terlihat dominan karena penulisnya mahir bahasa juga ahli sastra.82 Pandangan-pandangannya mencerminkan revolusi terhadap taqlid dan kemandegan berfikir, upaya tersebut dibuktikan dalam karya-karyanya setelah sekian lama paradigma berfikir dan konsep tatanan masyarakat berperadaban yang selama ini dipandang hanya sebagai wacana/paradigma dalam angan-angan atau hilang dari peredaran kehidupan implementatif/praktis kaum Muslim. Ia dianggap sebagai Pioner Mufassir di zaman modern. Karya tafsirnya al-Tahrîr wa al-Tanwîr dapat dikelompokkan dalam penafsiran yang didalamnya memuat ringkasan pendapat-
80
Lihat juga dan baca lebih lanjut Ayâd Khâlid Thabbâ’, ‘Ulamâu wa Mufakkirîn Mu’âshirîn, lanmahâtu min hayâtihim wa ma’rifatu bimu’allafâtihim, (Dâr al-Qalam, Damaskus, cet-1, 2005) hal. 25. Lihat juga karya ‘Abdul Qâdir Muhammad Shâlih dalam al-Tafsîr wa al-Mufassirûn fî al-‘Ashri alHadîts, menurutnya, Ibn ‘Âsyûr termasuk pakar tafsir umum kontemporer (tafsîr al-‘Âm). Lihat Ismaîl Hasani, Nazhariyyah hal. 75-82. diadopsi dari al-Shahabiy al-‘Atîq, al-Tafsîr wa al-Maqâshid ind Syaikh Muhammad Thâhir Ibn ‘Asyûr (Dâr Tûnis al-Sanâbil, 1410 H/1989 M) cet-1 hal. 11. 81 Ibnu ‘Âsyûr al-Tâhrîr wa al-Tanwîr” hal. 7-8, Lihat Ismaîl Hasani, Nazhariyyah hal. 90-91. 82 Ibnu ‘Âsyûr al-Tâhrîr wa al-Tanwîr” hal. 7-8, Lihat juga Mani’ Abdul Halim, Prof. Dr. “Metodologi Tafsir” [terj. Raja Grafindo persada Jakarta 2006] hal. 314-315
52
pendapatnya yang bernuansa Ijtihad dan memperbaharui cakrawala berfikir global dengan usaha dan upaya elaborasi paradigma penafsiran yang ada selama ini.83 Ia juga merupakan orang pertama yang menafsirkan al-Qur’ân di daerah (Ifriqiiyah) Tunis, yang digelari pertama kali dengan sebutan Syaikh Islam dan Syaikh Jâmi’al-A’zham, selanjutnya ia menghidupkan kembali Maqâshid al-Syarî’ah setelah al-‘Izz ibn ‘Abd al-Salâm (w. 660 H) dan al-Syatibi (w. 790 H), dan mendasarkan ilmu Maqâshid Syarî’ah Islâmiyah sebagai kajian yang lebih luas dari (ushul fiqh), sebagai pioner perubahan paradigma pengajaran dan manajemennya, salah satunya memasukkan kurikulum pengajaran ilmu-ilmu eksakta (ilmu Kimia,Fisika, al-Jabar dll). Ia menutup mata menghadap Ilahi Rabb di desanya (al Marsa) dalam umur 94 pada hari Ahad bertepatan dengan 13 Rajab 1393/12 Agustus 1973, kemudian didedikasikan sebagai pioner bangsa Tunis pada abad 1400 Hijriah.84 Beberapa pertanyaan besar yang dapat diajukan sehubungan dengan penafsiran Al-Qur’ân adalah; mengapa Al-Qur’ân perlu ditafsirkan? Apa hukumnya? Pra syarat yang dipenuhi seorang mufassir? Untuk dapat menjawab secara tegas perlu ditegaskan bahwa penafsiran dapat membantu manusia untuk mengungkap rahasiarahasia Allah dan alam semesta baik yang tampak maupun tidak. Penafsiran dapat membebaskan manusia dari belenggu perbudakan baik oleh manusia maupun harta serta membimbingnya untuk berkeyakinan penuh terhadap Allah yang maha adil. Dengan demikian manusia dapat berhubungan baik secara vertikal maupun horizontal. Dalam al-Qur`ân tersirat segala petunjuk yang komprehensif mengenai seluruh aktifitas kehidupan manusia mulai ajaran-ajaran beribadah, etika, transaksi, 83
Ismaîl Hasani, Nazhariyyah ........ hal. 75-82. Lihat juga Muhammad Khidr Husain, Tarjamah Ibn ‘Âsyûr dalam (Majalah al-Hidâyah al-Islâmiyyah 2/29) akses juga www.almostafa.com, (Tarâjum al-Mu’allifîn al-Tunîsiyyîn). Lihat lebih lanjut tulisan ‘Abdul Qâdir Muhammad Shâlih (Muhamad Shalih al-Alûsi) dalam al-Tafsîr wa al-Mufassirûn fî al-‘Ashri al-Hadîts, (Dâr al-Ma’rifah Beirut Libanon), cet-1. 2003 M-1424 H, hal. 109-152. lihat juga karya al-Fâdhil Ibn ‘Asyûr dalam al-Tafsîr wa rijâluhu, (Kairo; Dâr al-Salâm 2007) hal. 242. ia adalah putra dari Thahir Ibn ‘Âsyur yang meninggal sebelum Ibn ‘Asyur wafat (1973) yaitu sekitar tahun 1970. 84 Ismaîl Hasani, Nazhariyyah ..... hal. 113-128. lihat dan baca juga tulisan Ayâd Khâlid alThabbâ’, dalam Muhammad Thâhir Ibn ‘Âsyûr ..... hal. 78-87. bandingkan dengan Abdul ‘Aziz ibn ‘Abd al-Rahman al-Rabî’ah, ‘Ilm Maqâshid al-Syâri’, (Maktabah al-Mulk Mamlakah al-‘Arabiyah, cet 1 2002/1423), hal.73-85.
53
hukum, perang dan damai, sistem ekonomi utama yang diwahyukan Allah sebagai anugrah bagi umat manusia.85 Terdapat dua istilah yang digunakan dalam penafsiran Al-Qur’ân yaitu tafsir dan ta’wîl. Dua istilah ini dapat dijelaskan perbedaannya. Menurut terminologi tafsir berarti klarifikasi, eksplanasi, dan ilustrasi, seperti termaktub dalam Al-Qur`ân (QS.al-furqân:33).86 Kemudian kata tafsir mengacu kepada pemahaman secara komprehensif tentang kitab Allah yang diwahyukan kepada Nabi SAW, adanya keterpautan antar makna asli dan manqûl (yang tidak menjadikan ambiguitas) secara ringkas didalamnya.87 Dari uraian diatas dapat diambil pengertian bahwa (ilmu) tafsir ilmu yang mempelajari kitabullah dan menerangkan makna didalamnya dengan menggali hukum-hukumnya dan mengambil hikmah dan pelajarannya bersandar pada ilmu bahasa, nahwu, sharf, ilmu bayân, ushûl fiqh, dan juga mengetahui sebab-sebab turunnya ayat serta tidak mengabaikan Nâsikh mansûkh. Tafsir dapat disebut juga dengan ilmu penelitian tentang al-Qur’ân kemudian disebut dengan penafsiran.88 Disiplin kajian ilmu tafsir memberikan kontribusi dan pengaruh besar terhadap keilmuan Islam seperti jurisprudensi Islam, tasawuf, falsafah. Urgensi dan relevansinya yang dibutuhkan oleh masyarakat muslim sepanjang masa. Khâlid abdul Rahman al-’Akk,89 dan ’Abdul Hayy Farmâwi,90 keduanya disinyalir mengadaptasi 85
Lihat pengantar tafsir Thameem Ushama, Metodologies the Qur’anic Exegesis, terj. Hasan Bashri dan Amroeni, Riora Cipta, Jakarta, 2000, hal. 3-4. 86 Mannâ’ Khâlîl al-Qaththân, Mabâhits fî ulûm al-Qur’ân, Mu’assasah al-Risâlah, Beirut, 1983, hal. 323. lihat redaksi ayat yang secara bahasa dalam (QS. 25 :33). Lihat juga Yusuf al-Qaradhâwi, berinteraksi dengan al-Qur`ân, Gema Insani Press , Jakarta 1999, hal. 233. 87 Ibnu ‘Âsyur “Muqaddimah al-Ûlâ at-Tahrîr wa at-Tanwîr” hal. 11-13 88 Khâlid ‘Abd al-Rahmân al-‘Akk, Ushûl al-Tafsîr wa Qâwâ‘iduhu, hal. 32-40. pendekatan nahwu dilakukan oleh Abû aswad As-Du’aliy (w. 69 H), Nashr bin ‘Âshim (w’ 89 H), yahya bin Yamar (w. 129 H), Abu ‘Amr bin al-‘Ila (w. 145), dan Isa bin Umar ats-Tsaqafy (w. 149 H).sayangnya kitab tafsir yang muncul di abad awal sampai pertengahan abad ke 2 hijriah hilang dan tidak sampai kepada kita kecuali dalam bentuk kutipan dibuku-buku Ulama’ yang muncul belakangan. Lihat juga Badruddin Muhammad Abdullâh az-Zarkasyî, al-Burhân fî ulûm al-Qur’ân, Bâb al-Halabi, jld 1, 1972, hal., Muhammad Ali Shabûniy, al-Tibyân fî ulûm al-Qur’ân, Maktabah al-Ghazâli Damaskus, 1401 H, hal. 61. 89 Khâlid ‘Abdur Rahmân al-‘akk, ia juga mengadaptasi dari karya al-Shabûny, al-Tibyân fî ulûm al-Qur’ân, lihat lebih lanjut dalam karya al-‘akk Ushûl al-Tafsîr wa Qawâ‘iduhû, hal. 27.
54
pandangan as-Suyûthi,91 dan pandangan ini bersumber dari pendapat al-Asfahâni yang menyatakan bahwa hasil karya manusia yang paling mulia adalah tafsir alQur’ân. Karena kemuliannya dapat dilihat dari tiga aspek berikut ini: Pertama, dari sisi objek kajiannya, ilmu tafsir adalah kalam Allah Ta’âla yang merupakan sumber dari segala hikmah dan keutamaan (syaraf ‘ilm syarafa alma’lûm). Kedua, dari sisi tujuannya, ilmu tafsir berpegang teguh pada urwah al wutsqâ (agama) untuk mencapai kebahagiaan yang abadi. Dengan ilmu tafsir seseorang akan mengetahui maksud dan kehendak Allah Ta’ala dalam kalam-Nya yang telah diturunkan kepada Nabi Muhammad saw., mengetahui perintah-perintahNya, sehingga mampu mengerjakannya dengan baik, dan mengetahui laranganlarangan-Nya sehingga ia mampu menjauhinya, bekal inilah (takwa) yang menghantarkan seseorang kepada sa’âdah didunia dan akhirat. Ketiga, sisi kebutuhan terhadap ilmu tafsir ini dijelaskan bahwa kesempurnaan agama maupun dunia sekarang dan yang akan datang pasti membutuhkan penjelasan ilmuilmu syara’dan pengetahuannya terhadapnya (agama) yang bertolak pada pengetahuan terhadap AlQur’ân. Mujahid berkata: “Makhluk yang paling dicintai Allah Ta’ala adalah yang paling mengetahui kitab Allah yang diturunkan”.92 Urgensi ilmu tafsir ini terlihat jelas karena pertautannya dengan kalam Allah, dan ilmu tafsir merupakan induk dari pelbagai ilmu; baik ilmu syara’ maupun umum. Para ulama dari berbagai disiplin ilmu tidak dapat melepaskan diri dari ilmu tafsir ini. Seperti halnya seorang Fakih mesti harus menguasai ilmu tafsir sebelum beristimbat hukum. Begitu juga mutakallim harus mampu menguasai ilmu ini sebelum beristidlâl untuk memperkuat ajarannya, demikian juga seorang muhaddits, sufi, dan seterusnya. 90
Abd Hâyy Farmâwi, al-Bidâyah fî Tafsîr al Mawdhû'î [Kairo, al- Hadharah al-arabiah] cet. Ke-2, 1977, hlm 12-13/ www.hadielislam.com 91 Al-Suyûthi, al-Itqân fî ulûm al-qur’ân, jld. 4, hal. 173. 92 Abd Hâyy Farmâwi, al Bidâyah hal. 12/ www.hadielislam.com. Ia mengatakan setiap kesempurnaan urusan agama dan dunia, baik jangka pendek maupun jangka panjang, tidak akan sempurna kecuali dengan bantuan ilmu-ilmu syari’at dan pengetahuan-pengetahuan tentang agama. Ilmu dan pengetahuan tersebut haruslah diambil melalui hadits yang tidak dicampuri oleh kekeliruan dan diambil pula dari kitab yang diturunkan kepada orang yang terpercaya (Muhammad saw.), yaitu Al-Qur’ân.
55
Yusuf Qarâdhâwi menekankan bahwa al-Qur`ân diturunkan dengan bahasa arab yang mengandung banyak kemungkinan arti, dari Sharîh, Kinâyah, hakikat, Majâz, khâs ‘âm, mutlak dan muqayyad, Manthûq- Mafhûm, dan apa yang dipahami dengan isyarat dan dengan ibarat. Kemampuan dalam memahaminya berbeda-beda. Ada yang mampu memahami makna tampak (Zhâhir) dan makna dibalik teks (Bâthin) [ada juga yang memahaminya dengan makna dasar dan relasional/leksikal], juga terdapat pula yang berupaya memahaminya secara metaforis. Demikian juga keterpautan makna dengan konteks sejarah sebab turunnya ayat [leksikal] dikorelasikan relevansinya pada kehidupan kekinian. Karenanya, manusia sangat membutuhkan ilmu tafsir.93 Dalam hal ini ’Abdul Hâyy Farmâwi juga demikian, dalam karyanya ia menyatakan bahwa ilmu tafsir memiliki urgensi yang tidak kalah yaitu; mengetahui segi-segi kemu’jizatan Al-Qur’ân, sehingga ketika orang menelaahnya akan mengimani kebenaran risalah kenabian Muhammad saw.94 Prasyarat bagi mufassir yang ditekankan Ibnu ‘Âsyûr sebelum menafsirkan adalah: pertama, definisi (terminology) lafadz, dan kedua; keterangan lazim yang mendekati -makna ayat- (dalâlah iltizâm). Poin terakhir ini didasari oleh karena penelitian tentang tafsir ini pertama; akan Menarik kesimpulan dari pelbagai ilmu, dan kaidah-kaidah yang general (umum). Kedua: Merupakan prasyarat dari problematika penafsiran dan sebagai dasar generalitas keilmuan terutama ilmu-ilmu eksakta. Ketiga; Menjadikan definisi lafadz (terminology) sebagai jawaban atas pandangan sebagaian muhaqqiq dalam mengawali tulisannya. Keempat: Membuat penelitian ilmu tafsir ini tidak dapat terlepas dari kaidah-kaidah general (umum). Kelima; Menjadikan bahwa sesungguhnya penafsiran yang semestinya (haq) itu
93
Yûsuf Qaradhâwi, kaifa nata’âmal ma’a al-Qur’ân, diterj. Oleh (gema Insani Press. Cet 1 1999) dengan judul berinteraksi dengan Al-Qur’ân, hal. 285-286. bandingkan al Imam Abdullah Zarkasyi, al-burhân fî ulûm al-Qur’ân , (Mesir, Dâr al- Ihyâ al-kutub al-‘arabiy), 1957, hal. 2-3. lihat juga Quraish Shihab dalam Membumikan Al-Qur’ân (Bandung Mizan, 1994), hal. 83. 94 Abd Hâyy Farmâwi, al-Bidâyah fî Tafsîr al Mawdhû'î hlm 12-13/ www.hadielislam.com. Bandingkan dengan Khâlid ‘Abd al-Rahmân al-‘Akk, Ushûl al-Tafsîr wa Qâwâ‘iduhu, hal. 27. lihat juga Gamal al-banna, tafsir al-Qur`ân al-Karim baina al-qudama’ wa al-muhadditsin, (terjemahannya, evolusi tafsir, Qisthi Press 2004 hal 138).
56
terletak pada penjelasan yang komprehensif (yasytamila bayân), ushûl tasyrî’ dan generalitas problematikanya. Keenam; Ilmu tafsir merupakan awal dari segala penelitian tentang ilmu-ilmu lainnya yang cukup mendapat perhatian dari Ulama’, sebelum penelitian dari pelbagai ilmu dan teknologi era global menyibukkan mereka.95 a. Syari’ah dan interpretasi al-Qur’ân Secara etimologis; syarî’ah berarti jalan menuju kesumber air, jalan ke arah sumber (al-Mawrid al-‘adzb alladzî turidhu al-Syâribah wa yastaqî minhu) pokok bagi kelangsungan hidup manusia (idzâ kâna ‘adan lâyanqathi’u sahl al-Tanâwul).96 Kata ini merupakan derivasi dari kata syara’a yang berarti menetapkan atau mendekritkan. Dalam al-Qur’ân kata syarî’ah muncul satu kali dalam (QS. 45:18) dengan pengertian jalan yang mesti diikuti. Sedangkan kata syara’a muncul dua kali dengan Tuhan sebagai subyeknya (QS.42;13), dan yang berkaitan dengan orang membangkang kepada agama Tuhan (QS. 7:163). Karenanya kata tersebut lebih populer dikenal dengan Dîn (agama) yang secara harfiah berarti ketaatan atau kepatuhan. Namun perbedaannya jika syarî’ah adalah penentuan jalan yang subyeknya adalah Tuhan, maka Dîn adalah tindakan mengikuti jalan tersebut dan subyeknya adalah manusia itu sendiri. Jadi, syarî’ah dalam pengertian awal yang dipakai hingga kini adalah jalan yang ditetapkan oleh Allah dimana manusia harus mengarahkan hidupnya untuk merealisir kehendak Tuhan. Ia adalah konsep praktis yang menyangkut seluruh
95
Ibnu ‘Âsyur “Muqaddimah al-Ûlâ al-Tahrîr wa al-Tanwîr” hal. 12-13. Lihat Muhammad Ibn Ya’kûb al-Fairuz Abadî, al Qâmus al-Muhîth (Mathba’ah al-Sa’âdah, Mesir 817 H) juz 3. hal. 44. bandingkan dengan Ibn Manzur, Lisan al-’arab, (Dâr Dâr al-Shâdir) juz. 8. hal. 175. nama aslinya Jamâluddîn Muhammad ibn Mukrim ibn ’Ali.... Ibn Manzûr al-Anshârî alMishrî ia lahir pada tahun 630 H, ia mempunyai karya yang banyak selain it ia juga mahir dalam bahasa adab dan sastra dan lainnya, lihat, Jalâluddîn Abdur Rahmân al-Suyûthi Bughyah al-Wu’ât fî thabaqât allughawiyyîn wa al-Nuhat, tahqûq Abû Fadl Ibrâhîm, (’Isa al-Bâb al-Halabî 1384 H cet-1) juz 1.hal. 248. lihat lebih lanjut Abdur Rahmân ’Abdur Rahîm Ibn Abdullah al-Dirwisy, al-Syarâ’i’alSâbiqâh, (Huqûq al-Thaba’ mahfûdzah li al-Mua’llif, Riyadh) cet-1 hal. 17. 96
57
tingkah laku manusia, spiritual, mental, dan fisik untuk keberlangsungan hidup sekarang dan yang akan datang.97 Kata syarî’ah biasanya digunakan dengan dua pengertian; Pertama, ajaran Islam secara umum yang meliputi akidah, ibadah, mu’amalat dan akhlak. Kedua; ajaran Islam yang berkaitan dengan perbuatan manusia seperti ibadah dan mu’amalat.98 Disisi lain syarî’ah juga dipahami juga dengan suatu penekanan terhadap absolutisme teks suci yang teraplikasikan dalam interpretasi-interpretasi atas teks itu sendiri sebatas kemampuan manusia (tafsir), syarî’ah merupakan suatu konsep yang komprehensif, mencakup kebenaran spiritual Sufi (haqîqah), kebenaran rasional (’aql), para filsuf dan teolog, serta hukum.99 Dalam pemikiran Islam kontemporer ia hanyalah kesimpulan logis yang ditarik dari suatu pikiran bahwa teks adalah ucapan verbal Realitas Absolut Ketuhanan yang pasti. Tetapi sekalipun konsep ini merupakan doktrin ekstrimis dalam Kristen bahwa teologi berjalan dan tidak pernah melepaskan problematika ekslusifis.100 Bahkan konsep ini juga merupakan doktrin esensial teologi Islam sejak abad 3 H/ 8 M yang secara politis dilarutkan untuk memenuhi (doktrin) ortodoksi bahkan heterodoksi.101 97
lihat juga Fazlur Rahmân dalam Islam terj. Bandung : Pustaka, 2003, cet. V, h. 140-141 Rifyal Ka’bah, penegakan syarî’ah Islam di Indonesia, Jakarta Khairul Bayân, 2004, h. 3-4. Bandingkan dengan; Zakaria al Anshâri, al-Hudûd al-anîqah wa al-Ta’rîfat al-daqîqah, hal 14. Bairut, Dâr al Masyari’ cet. I 2004. 98 Al-Qaradhâwi, Dirâsah fî fiqhi Maqâshid al syarî’ah baina al Maqâshid al kulliyah wa al nushûs al juzi’yah ( Kairo, Dar al Syuruq cet I 2006 ) hal 19-20. 99 Ibnu Taimiyyah, Muwâfaqât al-sharîh al-Ma’qûl li shahîh manqûl, Cairo 1321 H, I, hal 48 (buku ini dicetak pada pinggiran kitab Minhâj al-Sunnâ karangan Ibn Taimiyyah). Lihat juga uraian Fazlur Rahman dalam Islam Bandung : Pustaka, 2003, cet. V, h.158-159 100 Sikap bertahan teologi ini dapat dipahami; bahwa filsafat fakta keagamaan itu tidak segera mengantarkan pada tujuan (berbagai agama). Namun sebaliknya agama-agama yang sedang ditransformasi dibawah tindakan yang merusak dari berbagai faktor yang cenderung menyisihkan hingga pada (tingkat) kerisauan filosof (seperti yang disinyalir Al-Ghazâli dalam Tahâfut alFalâsifah-penulis). Arkoen dalam Lectures du the Coran G.P. Maissoneuve et Larose, 1982, (terj. Hidayatullah dalam kajian Kontemporer Al-Qur’ân) Pustaka, Bandung, 1998 hal. 66. 101 Ortodoksi atau pemahaman ekslusif merupakan fenomena yang tidak saja terjadi dalam bidang agama, namun juga terjadi dalam pelbagai disiplin keilmuan, seperti bahasa dan historiografi. Lihat Ursula Günther, “Mohammed Arkoun: ”towards a radical rethinking of Islamic thought”, dalam Suha Taji-Farouki [ed.], Modern Muslim Intellectuals and the Qur’an (Oxford: Oxford University
58
Seiring dengan perkembangan zaman dan kompleksitas problematika kehidupan
di
masyarakat,
pakar
tafsir
kontemporer
termotivasi
untuk
merealisasikannya dalam penafsiran yang solutif dari pelbagai metode pendekatan dan beragam corak penafsiran dijadikan tumpuan untuk mewujudkan penafsiran tematik dengan nuansa sosial kemasyarakatan (adab Ijtimâ’iy), corak ini disinyalir menjadi rujukan pakar tafsir modern.102 Keragaman tersebut ditunjang pula oleh Al-Qur’ân yang keadaannya seperti digambarkan oleh ‘Abdulah Darrâz dalam An-Naba’ al-‘Azhîm; Bagaikan intan yang setiap sudutnya memancarkan cahaya yang berbeda dengan apa yang terpancar dari sudut-sudut yang lain, dan tidak mustahil jika anda mempersilahkan orang lain memandangnya, maka akan melihat lebih banyak dari apa yang anda lihat.”103 Dalam hal ini Muhammad Arkoun seorang pemikir Al-Jazair berpandangan bahwa; Al-Qur’ân memberikan kemungkinan-kemungkinan arti yang terbatas. Kesan yang diberikan oleh ayat-ayatnya mengenai pemikiran dan penjelasan pada tingkat wujud adalah mutlak. Dengan demikian ayat selalu terbuka (untuk diinterpretasi ) Press, 2004), hal. 142. lihat juga ulasan Norman Calder dalam, “The Limits of Islamic Orthodoxy”, dalam Farhad Daftary [ed.]. Intellectual Traditions in Islam (London: I.B. Tauris, 2000), hal. 66-86 102 Râsyid Ridhâ, Tafsir Al-Manâr, Kairo-Mesir: 1367 H juz I hal 7, Abd Hâyy Farmawi, al Bidâyah fi Tafsir al Maudu'I Kairo, al- Haharah al-arabiah, cet. Ke-2, 1977, hlm 23-24. lihat lebih lanjut uraian Quraish Shihab dalam membumikan al-Qur’ân (Mizan, cet XXIX, 2006) hlm 111-123. juga uraian tentang corak dan ciri-ciri penafsiran 'Abduh dan Rasyid Ridha dalam Rasionalitas alQur'ân (studi kritis atas tafsir al-Manâr), Lentera hati 2006, hlm 24Abdul Ghoffar, Abdurrohim, Al Imam 'Abduh wa mânhâjuhu fî al tafsîr, Mesir: Al markaz Al Arâbi li ats tsaqâfah wal ulum, 1980. Lihat corak penafsiran Ibnu ‘Âsyûr dalam tafsirnya al-Tahrîr wa al-Tanwîr juz 1 hal. 222. lihat juga Iffat Syarqâwi, Qâdhâya insâniyyah fi ‘âmâl al mufassirin, Mesir: maktabah Syabâb, 1980 hal 80, lihat juga uraian Ali Iyâzi tentang Ibnu ‘Âsyûr dalam al-Mufassirûn Hayâtuhum wa manhâjuhum, Mu'assah [Thaba'ah wa an Nasyr wizârah al Islâmi] cet-1. hal.109-151. 103 ‘Abdullah Darrâz, Al-Naba’ Al-‘Azhîm, Dar al-‘Urubah Mesir, 1960, hal. 111. lihat uraian J.J.G.Jansen dimana dia mensinyalir diantara tafsir modern yang perlu mendapat perhatian karena dianggap mempunyai elaborasi konsep penafsiran seperi Izzat Darwaza dengan al-Tafsir al-Hadîts, Muhammad ‘Abduh dengan Tafsir Juz ‘Amma dan Muhammad Thâhîr Ibn ‘Âsyur dengan al-Tahrîr wa al-Tanwîr, dalam The Interpretation of the koran in modern Egypt, (Leiden,: E.J.Brill 1974), h. 17. Bandingkan dengan J.M.S Baljon, Modern Muslim Interpretation S.A. Kamalî, Abuk kalâm azad’s commentary on the Qur’ân’, in The Moslem world, vol. 49, 1959; hal. 1-18. lihat juga Isa.J.Boullata dalam ‘modern Qur’an Exegesis’ A study of bint al-Syâti’ method’. The presents Status of Tafsir Studies’ inth moslem world, vol. 72, 1982, hal.224-238. Bandingkan Abdul Fattah al-Khâlidi, Ta’rîf alDârisîn bî Manâhij al-Mufassirîn, (Damaskus; Dâr al-Qalam, t.th), hal. 562-563. juga dengan tulisan‘Abdul Hayy Farmâwi al-Bidâyah fî al-Tafsîr al-maudhû’î, hal. 23.
59
baru, tidak pernah pasti dan tertutup dalam interpretasi tunggal dan selalu berkembang.104 Dalam kesempatan lain Jeffery menekankan bahwa apa yang kita butuhkan, bagaimanapun, adalah tafsir kritis yang mencontohi karya yang telah dilakukan oleh orientalis modern, sekaligus menggunakan metode-metode penelitian kritis modern untuk tafsir al-Qur’an.105 Sebenarnya, yang dimaksud dengan pendekatan modern oleh Jeffery adalah metode kritis-historis (the historical-critical method). Metode tersebut memang sangat mapan dalam studi Bibel. Metode tersebut diformulasi oleh para sarjana bibel karena persoalan teks Bibel. Metode tersebut diformulasikan oleh para sarjana Bibel karena persoalan teks Bibel. Berbagai jenis analisa muncul disebabkan problematika teks Bible. Diantaranya: analisa teks (textual criticism), kajian filologis (philological study), analisa sumber (source criticism) dan analisa sejarah (historical criticism). Jeffery mengaplikasikan berbagai analisa Bibel tersebut untuk mengkaji sejarah alQur’ân. Dalam perkembangannya metodologi tersebut juga sudah menyebar ke sebagian kalangan cendekiawan Muslim kontemporer. Mohammad Arkoun, misalnya, sangat menyayangkan jika sarjana muslim tidak mau mengikuti jejak kaum Yahudi-kristen. Ia berkata: “sayang sekali bahwa kritik-kritik filsafat tentang teksteks suci yang telah digunakan kepada Bibel Ibrani dan perjanjian baru, sekalipun tanpa menghasilkan konsekuensi negatif untuk ide wahyu, terus ditolak oleh pendapat kesarjanaan muslim.106 Mohammed Arkoun juga menegaskan bahwa studi al-Qur’ân sangat ketinggalan dibanding dengan studi Bible (Quranic Studies lag considerably behind 104
Muhammad Arkoun, “Algeria dalam shireen T.Hunter (ed.) the politics of Islamic revivalism, Bloomigton Indiana University Press, 1988, h,182-183. 105 Arthur Jeffery, Proggerss in the Study of the Qur’an texts, The Moslem World 25 (1935), No 1, hal. 4., (What we needed, hoever, was a critical commentary which should embody the work done by modern orientalists as well as apply the methods of modern research to the elucidation of the Koran). 106 Mohammed Arkoun, Rethinking Islam, Common Question, Uncommon Answer, pen robert D Lee, hal. 25. dia menulis ”It is unfortunate that philosophical critique of sacred text which has been applied to the hebrew bible. And to the new Testamen without thereby ergendering negatif consequences for the notion of revelation-continues to be rejected by muslim scholary opinion”.
60
biblical studies to which the must be compared).107 Menurutnya metodologi John Wansbrough memang sesuai dengan apa yang selama ini ingin ia kembangkan. Arkoun berkata: “Intervensi ilmiah Wansbrough menemukan tempatnya di dalam framework yang saya usulkan. Framework tersebut memberikan prioritas kepada metode-metode
analisa
sastra
yang—seperti
bacaan
antropologis-historis—
menggiring kepada pertanyaan-pertanyaan yang ditinggalkan untuk disiplin-disiplin lain dan tingkat refleksi yang tidak terbayangkan di dalam konteks fundamentalis saat ini.108 John Wansbrough yang dimaksud oleh Arkoun adalah seorang orientalis kontemporer (2002) yang menerapkan form criticism dan redaction criticsm kepada al-Qur’an. Metodologi tersebut menggiring John Wansbrough untuk menyimpulkan bahwa teks al-Qur’ân yang tetap itu tidak ada sehingga tahun 800 M. riwayat-riwayat mengenai al-Qur’ân versi Utsmân adalah fiksi terkemudian yang direkayasa oleh komunitas Muslim yang sedang muncul dalam usahanya untuk mengambarkan asal mulanya dan melacak mereka ke Hijaz.109 Mohammed Arkoun juga memaparkan alasan mengapa kaum Muslimin menolok pendekatan kritis-historis al-Qur’ân. Dalam pandanganya, alasan tersebut sebernarnya bernuansa politis karena mekanisme demokratis masih belum berlaku, karena kegagalan pandangan muktazilah, tegasnya, mengakibatkan kaum Muslimin menganggap bahwa semua halaman yang ada di dalam mushaf adalah Kalam Allah. Al-Qur’ân yang ditulis dan yang dibaca, dalam pandangan kaum Muslimin, adalah
107
Mohammed Arkoun, The Unthought in Contemporary Islamic Thought (London: Saqi Books,2002), hal. 42. 108 Moh Arkoun, (Wansbrough’s scientific intervention finds its place in the framework I propose. It gives priority to method of literay criticism which, like the historical anthropological reading, lead to questions left to other disciplines and a level of reflection unimagineabale in the curren fundamentalist context).“Contemporay critical Practices an the Qur’an”, di Encyclopedia of the Qur’an, Editor Jane Dammen McAuliffe (Leiden: Brill, 2001), Jilid I, A-D hal. 430. 109 Issa J. Boullata, “the traditions about the “Utsmanic recension of the Qur’an are later fiction desihgend by the emerging Muslim community in its effort to describe its origins and trace them to the Hijaz“, Books Reviews: Qur’anic Studies: Sources and Methods of Scriptural Interpretation” The Muslim World 67 (1977), No 4, hlm 306-07.
61
emanasi langsung dari Lawh al-Mahfuz.110 Padahal, menurut Mohammed Arkoun, mushaf Ustmâni tidak lain adalah hasil sosial budaya masyarakat yang kemudian dijadikan Unthinkable dan makin menjadi Unthinkable dikarenakan kekuatan dan pemaksaan penguasa resmi.111 Istilah yang lebih tepat untuk menyebut Mushaf Utsmani, sebut Mohamed Arkoun, adalah Mushaf Resmi Tertutup (Close Official Corpus).112 Selain itu Mohammed Arkoun juga berpendapat apa yang dilakukannya sama dengan apa yang diusahakan oleh Nasr Hamid Abû Zayd, seorang intelektual asal Mesir. Arkoun menyayangkan sikap para ulama Mesir yang menghakimi Nasr Hamid. Padahal metodologi Nasr Hamid yang mengaplikasika pendekatan sastra kotemporer memang layak untuk diaplikasikan kepada al-Qur’an.113 Nasr Hamid berpendapat bahwa al-Qur’ân adalah ‘produk budaya’ (muntaj tsaqafi). Artinya, teks al-Qur’ân, kata dia, terbentuk dalam realitas dan budaya, selama lebih dari 20 tahun. Namun al-Qur’ân juga mengubah budaya, karena ia juga produsen budaya (muntij li al-thaqâfah). Al-Qur’ân menjadi teks yang hegemonik dan menjadi rujukan bagi teks yang lain.114 Bagi Nasr Hamid, realitas dan budaya tidak bisa dipisahkan dari bahasa. Oleh sebab itu, al-Qur’ân juga merupakan teks bahasa (nash lughawî). Ketertarikan realitas, budaya, dan bahasa, menjadikan al-Qur’ân sebagai teks historis sekaligus teks manusiawi. Al-Qur’ân adalah teks manusiawi karena berada di dalam ruang dan waktu tertentu. Kemanusiawiannya, bahkan sudah dimulai saat Rasulullah saw menyampaikan wahyu itu ke para sahabat. Nasr Hamid berpendapat bahwasannya teks sejak awal diturunkan ketika teks diwahyukan dan dibaca oleh Nabi, ia berubah
110
Issa J. Boullata, “Books Reviews: Qur’anic Studies: Sources and Methods of Scriptural Interpretation” The Muslim World 67 (1977), No 4, hal. 37. 111 Mohammed Arkoun, “Rethinking Islam Today” dalam Mapping Islamic Studies, ed Azim Nanji, 237 seterusnya di ringkas Islam 112 Arkoun, “Rethinking Islam Today” Mapping Islamic Studies, ed Azim Nanji, 238. 113 Mohammed Arkoun, The Unthought, hal. 60-61 114 Nasr Hamid Abu Zayd, Mafhûm al-nash: Dirâsah fi ‘ulûm al-Qurân (Beirut: al-Markaz alTsaqafi al-‘Arabi, edisi II, 1994).
62
dari sebuah nash ilâhiy (teks Ilahi) menjadi sebuah konsep atau nash insâni (teks manusiawi), karena ia berubah dari tanzil menjadi takwil. Pemahaman Muhammad atas teks mempresentasikan tahap paling awal dalam interaksi teks dengan akal manusia.”115 b. Tafsir Tematis dan Metodologi Kontemporer Agak sulit untuk menentukan secara pasti siapa yang pertama kali merumuskan konsep tentang surah dalam al-Qur`ân sebagai sebuah unit tematis.116 El-Thâhir El-Maisâwi menyebut nama Fakhruddîn al-Râzî sebagai salah satu yang paling awal.117 Sonia Wafiq menyebut al-Syâtibî.118 Belakangan, konsep tersebut dikembangkan secara elaboratif misalnya oleh, Burhân al-Dîn al-Biqâ‘î (w. 885 H.) dalam dua karyanya: “Nadzm al-Durar fî Tanâsub al-Âyy wa al-Suwar” dan “Mashâ‘id al-Nazhar li al-Isyrâf ‘alâ Maqâshid al-Suwar”;119 Sayyid Quthb (w. 1966) dalam Fî Zilâl al-Qur`ân;120 serta banyak pemikir modern lainnya.121
115
1992).
116
Nasr Hamid Abu Zayd, Naqd al-Khitâb al-Dînî (Kairo: Sina li al-Nashr, edisi Pertama,
Tafsir mawdû‘î bisa dilakukan terhadap sebuah surah, atau terhadap ayat-ayat tentang tema yang sama dari pelbagai surah, atau kepada istilah dan lafaz tertentu dalam al-Qur`an. Lihat Shalâh ‘Abd al-Fattah al-Khâlidî, Al-Tafsir al-Mawdû‘î bayna al-Nazariyyah wa al-Tatbîq, hal. 52-59. 117 Mohamed El-Thâhir El-Misawi, “The Meaning and Scope of al-Tafsir al-Mawdû‘i”, hal. 128-129. 118 Sonia Wafiq, “Manhaj al-Tafsir al-Mawdhû‘i wa al-Hâjah ilayh”, dalam Buhûts Mu`tamar Manâhij Tafsîr al-Qur`ân al-Karîm wa Syarh al-Hadîts al-Syarîf, hal. 654. Selain dua nama tersebut, ada pula yang menyebut nama al-Fayruzabâdî (w. 817 H.) dengan karyanya, Bashâ`ir Dzawî alTamyîz fî Lathâ`if al-Kitâb al-‘Azîz. Lihat ‘Abdullâh Mahmûd Syahâtah, Ahdâf Kulli Sûrah wa Maqâsiduhâ fî al-Qur`ân al-Karîm (Kairo: al-Hay`ah al-Mis}riyyah al-‘Âmmah li al-Kitâb, cet. 3, 1986), vol. 1, hal. 4. 119 Tentang kitab Nadzm al-Durar, ‘Abd al-Fattâh al-Khâlidî berkomentar, “…di dalam kitab tafsir tersebut, [al-Biqâ‘î] memusatkan perhatiannya kepada hubungan dan pertautan antara ayat-ayat dalam satu surah yang sama. [Dengan cara tersebut], sebuah surah menjadi suatu kesatuan yang [bagian-bagiannya] saling berhubungan, saling mendukung, dan terikat satu sama lain”. Lihat al- alKhâlidî, Ta‘rîf al-Dârisîn bi Manâhij al-Mufassirîn (Jedah: Dâr al-Basyîr, 2002), hal. 450. 120 Musthafâ Muslim, Mabâhits fî al-Tafsîr al-Mawdhû‘î (Damaskus: Dâr al-Qalam, 1989), hal. 26 dan Issa J. Boullata, “Sayyid Qutb’s Literary Appreciation of the Qur’ân”, dalam Issa J. Boullata [ed.], Literary Structures of Religious Meaning in the Qur’ân (Surrey: Curzon Press, 2000), hal. 354371. 121 Di antara para pemikir tersebut, terdapat nama-nama seperti Asyraf ‘Alî Tsanâwi, Hamid alDîn al-Farâhî, serta Amîn Ahsan Islâhî di India dan Pakistan; ‘Izzat Darwazah dan Sayyid Qutb di Mesir; serta Muhammad Husayn al-Thabathabâ`î di Iran. Lihat Mustansir Mir, “The sûra as unity: A twentieth century development in Qur’ân exegesis”, dalam dalam G.R. Hawting dan Abdul-Kader A. Shareef [ed.], Approaches to the Qur’ân (London dan New York: Routledge, 1993), hal. 211-224.
63
Pertanyaan yang muncul kemudian adalah: adakah perbedaan corak antara pendekatan yang digunakan oleh Mufassir klasik dengan para mufassir modern dalam memperlakukan surah al-Qur`ân sebagai sebuah unit tematis? Beragam definisi tafsir mawdhû‘î yang dikemukakan oleh banyak ulama dan penulis.122 Berdasarkan eksposisi terhadap beberapa definisi tersebut, El-Thâhir ElMisâwi merumuskan dua ciri utama dari pendekatan Mawdhû‘î dalam tafsir. Pertama, perhatian kepada tema sebagai titik fokus dari kegiatan interpretasi alQur`ân. Kedua, gagasan tentang al-Qur`ân sebagai sebuah kesatuan koheren yang terbentuk dari bagian-bagiannya.123 Selain itu, meski sebagian besar literatur tafsir yang menggunakan metode Mawdhû‘î tidak mengemukakan kerangka epistemologis dan teoretis yang dibutuhkan untuk melakukan tafsir dengan cara tersebut, namun semua literatur itu berangkat dari keprihatinan yang sama: bahwa tafsir tradisional yang bersifat atomistik, yang menafsirkan al-Qur`ân ayat perayat, dianggap tidak lagi memuaskan.124 Dalam hal ini Ibnu ‘Âsyûr termasuk dalam kategori diatas, beberapa buku tafsir yang sering dijadikan rujukan dan studi kritisnya diantaranya tafsir al-Kasyâf karya Zamakhsari, al-Muharrar al-Wajîz karya Ibn ‘Atiyyah, Mafâtih al-ghaib karya Menurut Quraish Shihab, ide tentang surah sebagai sebuah unit tematis baru diwujudkan pertama kali dalam sebuah kitaf tafsir oleh Mahmûd Syaltût pada tahun 1960. Lihat M. Quraish Shihab, Membumikan al-Qur`an, hal. 113. 122 Salah satu definisi tafsir mawdhu‘î yang diajukan oleh Mushtafâ Muslim adalah “Sebuah ilmu yang mengkaji persoalan-persoalan tertentu sesuai dengan al-Maqâshid al-Qur`âniyyah, baik yang dirumuskan dari sebuah surah atau lebih.” Lihat Musthafâ Muslim, Mabâhits fî al-Tafsîr almawdhu‘î (Damaskus: Dâr al-Qalam, 1989), hal. 15-16. Sementara itu, Sonia Wafiq mendefinisikannya sebagai “Sebuah metode (manhaj) dalam penafsiran al-Qur`an yang bertujuan untuk memperlihatkan kesesuaian (munâsabah) antara teks-teks al-Qur`an (al-nushûsh alQur`âniyyah) dalam sebuah surah atau lebih berdasarkan kesatuan tematis yang jelas rambu-rambunya guna menghasilkan sebuah teori, atau paling tidak sebuah pandangan qur`ani, yang membantu tercapainya salah satu atau lebih dari maqâshid al-Qur`ân serta (digunakan untuk) menyelesaikan problem-problem nyata (masyâkil wâqi‘iyyah).” Lihat, Sonia Wafiq, “Manhaj al-Tafsîr mawdhu‘î wa al-Hâjah ilayh”, dalam Buhûts Mu`tamar Manâhij Tafsîr al-Qur`ân al-Karîm wa Syarh al-Hadits alSyarîf, hal. 653-654. 123 Muhammad El-Thâhir El-Misawi, “The Meaning and Scope of al-Tafsir al-Mawdhû‘i”, hal. 128-129. 124 El-Misawi, hal. 125-126. Secara tersirat, hal senada juga diungkapkan oleh al-Khalidî. Lihat Shalâh ‘Abd al-Fattâh al-Khâlidi, Al-Tafsîr al- mawdhu‘î bayna al-Nadzariyyah wa al-Tatbîq, hal. 4248.
64
Fakhrudîn al-Râzi, tafsir
al-Baidhâwi yang merupakan ringkasan dari tafsir al-
Kasyâf , dan Mafâtih al-Ghaib dengan tahqîq yang indah dan tafsir Syihâb al-Alûsi. Demikian pula dengan komentar-komentar at-Thâibi, al-Qazwaini, al-Quthb, dan atTaftazâni atas tafsir al-Kasyâf, serta komentar al-Khafaji atas tafsir al-Baidhâwî. Di samping tafsir Ibnu Sa’ud, tafsir Qurthûbi, dan yang dari tafsirnya Ibnu ‘Atiyyah atTunisi dari penulisan muridnya, al-Ubay. Meskipun sifatnya hanya komentar (ta’lîq), tafsir Ibnu Atiyyah, karena tidak lengkapnya mereka dalam menafsiri semua ayat AlQur`ân maka tidak dapat dikatakan sebuah tafsir tersendiri. Berikutnya yang banyak disoroti adalah tafsir al-Ahkâm karya Al-Imam Muhammad Jarîr at-Thabarî dan kitab Dzurrat at-tanzîl yang diduga karya Imâm Fakhrudîn al-Râzî (544 H) atau kadang diklaim sebagai milik Râghib al-Asfahâni.125 c. Metodologi penafsiran Metodologi tafsir al-Qur`ân secara umum terbagi kepada tiga macam, pertama Tafsir bi al-Ma’tsûr kedua tafsir bi al-ra’yi dan ketiga tafsir bi al-Isyâri (berdasarkan isyarat/indikasi).126 Metode tafsir ini dipahami sebagai seperangkat pedoman dan aturan yang dipilih oleh seorang penafsir untuk melakukan pendekatan terhadap ayatayat al-Qur`ân demi tujuan-tujuan tertentu yang ingin dicapainya.127 Dalam beberapa literatur, metode-metode tafsir yang kerap dibicarakan adalah metode ijmâlî (global), metode tahlîlî (analitis), metode muqârin (komparatif), atau metode mawdû‘î (tematik).128 Bila ditinjau secara menyeluruh, empat metode tafsir diatas sejatinya lebih berurusan dengan bagaimana memilih ayat-ayat al-Qur`ânserta bagaimana mengolah dan menuliskan tafsir atasnya. Metode tafsir yang didefinisikan 125
Ibnu ‘Âsyûr “at-Tâhrîr wa at-Tanwîr” hal. 6-7 Dar-el Tunîsiyah linnasar. T. th. Al-‘akk, ia mengadaptasi dari karya al-Shabûny, al-Tibyân fî ulûm al-Qur’ân, lihat lebih lanjut dalam karya al-‘akk Ushûl al-Tafsîr wa Qawâ‘iduhû, Dâr al-Nafâis, Beirut-Libanon, hal. 35. 127 Nashruddin Baidan, Metodologi Penafsiran al-Qur`ân(Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2000), hal. 2. 128 Nashruddin Baidan, Metodologi Penafsiran al-Qur`an, hal. 4. Al-Khâlidi menyebut empat kategori tersebut dengan “bentuk-bentuk tafsir” (anwâ‘ al-tafsîr)—sesuatu yang didefinisikannya sebagai “rancangan-rancangan (khuthath), rincian-rincian (tafshîlat), serta gaya-gaya penulisan (asâlîb) yang digunakan oleh para mufassir dalam tafsir mereka dan yang kepadanya mereka mengaplikasikan pendekatan (manhaj) mereka masing-masing.” Lihat Salâh ‘Abd al-Fattâh al-Khâlidî, Al-Tafsîr al-Mawdû‘î bayna al-Nazhariyyah wa al-Tatbîq, hal. 27-28. 126
65
sebagai “seperangkat pedoman dan aturan untuk menafsirkan al-Qur`ân” tentu saja memiliki ruang lingkup yang jauh lebih luas dari empat kategori di atas. Dalam hal ini Norman Calder menulis,129 bahwa metode yang digunakan seorang mufassir dapat dianggap lebih penting daripada produk penafsiran yang dia hasilkan, bahwa perbedaan interpretasi lahir terutama akibat perbedaan metode yang digunakan oleh masing-masing mufassir.130 Pertama; Metode tafsir bi al-Ma’tsur (riwâyat); Tafsir yang menggunakan metode ini merujuk pada penafsiran Al-Qur’ân dengan Al-Qur`ân atau penafsiran AlQur’ân dengan al-Hadits melalui penuturan sahabat. Metode ini merupakan dua tasir tertinggi diantara penafsiran yang ada karena mereka (Sahabat) menyaksikan turunnya al-Qur`ân.131 Kedua; Metode tafsir bi al-ra’yi (dirâyat); Jenis tafsir ini juga disebut dengan dirâyah (berdasarkan pengetahuan) atau tafsir bi al-ma’qul bagi para mufassir yang mengandalkan ijtihad dan tidak didasarkan pada riwayat sahabat dan tâbi’în. Sandaran mereka adalah bahasa, budaya arab yang terkandung didalamnya, dan
129
Tulisan Norman Calder diadaptasi oleh Nashr Hamid Abu Zaid dalam disertasinya, kemudian dianalisa kembali oleh Yusuf Rahman melalui teori metode yang digunakan Nasr Hamid, ditulis bahwa “Kualitas-kualitas yang membedakan mufassir satu dengan lainnya terletak pada kesimpulan mereka tentang makna teks al-Qur`an, melainkan pada bagaimana mereka mengembangkan dan menunjukkan teknik-teknik yang menandai keterlibatan serta penguasaan mereka terhadap sebuah disiplin literer.” Lihat Norman Calder, “Tafsir from Tabari to Ibn Kathir: Problems in the description of a genre, illustrated with reference to the story of Abraham”, dalam G.R. Hawting dan Abdul-Kader A. Shareef [ed.], Approaches to the Qur’an (London dan New York: Routledge, 1993), hal. 106. 130 Yusuf Rahman, “The Hermeneutical Theory of Nasr Hamid Abu Zayd: The Analytical Study of His Method of Interpreting the Qur’an” (Disertasi pada Institute of Islamic Studies, McGill University, 2001), hal. 105-106. 131 Tafsir Riwayat atau bi al ma’tsur adalah tafsir yang dikutip dari al Qur’an, Hadits, atsar sahabat dan tabi’in. Lihat: Muhammad Husain al Zahabi, al Tafsîr wa al Mufassirûn, Maktabah Mus’ab bin Umair al Islâmiyah, juz I h.112, lihat juga Lihat Mannâ’ Khâlîl al-Qaththân, Mabâhits fî ulûm al-Qur’ân, Mu’assasah al-Risâlah, Beirut, 1983, hal. 347. lihat ruang lingkup tafsir bi al-Ma’tsur dalam Jalâluddîn ‘Abdur Rahmân bin Abî bakar As-Suyûthi, al-itqân fî ulûm al-qur’ân, jld. 4, hal. 192. diadaptasi dari tafsir Ibn Katsir juz 1, hlm 3. Definisi tentang sahabat dapat dilihat di a’lâm muawwiqîn, jld 4 hal. 116-157. Al-Burhân fî ulûm al-qur’ân, jld.2 hal.172., al-itqân, jld.4 hal. 174181, al-Muwâfaqât, jld.3 hal.369.lihat juga muqaddimah Ibn Shalâh wa mahâsin istilâh hal. 486., Muhammad Husain al Dzahabi, al-Tafsîr wa al Mufassirûn, Maktabah Mus’ab bin Umair al Islâmiyah, juz I h.38-40.
66
pengetahuan tentang gaya bahasa sehari-hari dan kesadaran akan pentingnya sains (pengetahuan) yang diperlukan oleh mereka (mufassir). 132 Istilah ra’yun dekat maknanya dengan ijtihad (kebebasan menggunakan akal) yang berdasarkan atas prinsip-prinsip yang benar, menggunakan akalsehat dengan persyaratan yang ketat. Tidak terikat pada pemikiran dan keinginan (hawa) nafsu dan kecenderungan-kecenderungan lain. Seperti dinyatakan oleh al-qurtubi bahwa barang siapa yang menucapkan sesuatu berdasarkan pikiran atau kesannya tentang Al-Qur’ân atau memberikan isyarat dengan sengaja tentang prinsip-prinsip dasar maka ia patut dicap sebagai penyimpangan dan melakukan kesalahan serta yang bersangkutan adalah pembohong besar.133 Nabi Muhammad diutus oleh Allah bukan sekedar menyampaikan pesanpesan Al-Qur’ân, sekaligus ditugaskan untuk menjelaskannya kepada Umat manusia sebagaimana ditegaskan dalam ayat [44 dan 64 surah 16:Nahl]: ωÎ) |=≈tGÅ3ø9$# y7ø‹n=tã $uΖø9t“Ρr& !$tΒuρ ∩⊆⊆∪ šχρã©3xtGtƒ öΝßγ¯=yès9uρ öΝÍκös9Î) tΑÌh“çΡ $tΒ Ä¨$¨Ζ=Ï9 tÎit7çFÏ9 tò2Ïe%!$# y7ø‹s9Î) !$uΖø9t“Ρr&uρ ∩∉⊆∪ šχθãΖÏΒ÷σム5Θöθs)Ïj9 ZπuΗ÷qu‘uρ “Y‰èδuρ ϵŠÏù (#θàn=tG÷z$# “Ï%©!$# ÞΟçλm; tÎit7çFÏ9
Jadi berdasarkan ayat-ayat diatas dapat dipahami penjelasan yang diberikan oleh Nabi sepanjang melalui periwayatan yang shahih harus diterima karena semua yang disampaikan berasal dari wahyu dan bukan dorongan hawa nafsu [surah alNajm 53:3-4], dan sebaliknya penafsiran selain dari Nabi Muhammad saw. bukan merupakan wahyu ia merupakan sebuah ijtihad yang boleh jadi benar dan tak mustahil salah. Disinilah letak urgensitas penafsiran, dimana mufassir dituntut menguasai
ilmu-ilmu
pengetahuan
diniyyah
terutama
yang
menyangkut
komponen/perangkat tafsir sebelum menafsirkan, tidak hanya itu, ia harus mempunyai prinsip-prinsip tujuan penafsirannya sehingga apa yang dimaksud dengan 132
Muhammad Ali Shabûniy, al-Tibyân fî ulûm al-Qur’ân, Maktabah al-Ghazâli Damaskus 1401 H, hal. 153-155. 133 Muhammad Zafzaf, al-Ta’rîf bi al-Qur’ân wa al-hadits, Maktabah alFalâkh, Kuwait 1984, hal178-180. hadits diriwayatkan oleh Turmûdzi dan Nasâ’i. Dengan redaksi makna ‘barang siapa yang menafsirkan al-Qur’ân berdasarkan fikirannya maka ia akan menempati neraka’.
67
tujuan ideal (Maqâshid al-Qur’ân) akan dapat tercapai secara maksimal, tentunya hal tersebut sebatas kemampuan manusia, demikian Ibn ‘Âsyûr dalam pengantar tafsirnya.134 Dalam kitab Thabaqât al-kubrâ Ibn Sa’ad (w. 230 H) diceritakan bahwa sejarawan Mûsa bin ‘Uqbah dititipi oleh Kuraiyb bin Muslim (w.97 H) ’sepikulan’ onta karangan (tulisan) gurunya Ibnu Abbâs (w. 68 H) –Tarjûman al-Qur’ân-. kemudian disebutkan bahwa ‘Ali bin Abdullâh bin Abbâs (w. 118 H) berkirim surat berkali-kali kepada Mûsa bin ‘Uqbah guna mendapatkan kumpulan karya ayahnya guna ditulis ulang.135 Buah pikiran Ibn Abbâs dalam tafsir banyak yang sampai kepada kita melalui riwayat yang shahîh, terutama melalui jalur ‘Ali bin Abî Thalhah. Dalam tafsir ath-Thabary misalnya terekam sekitar 1000 riwayat melalui jalur ini walaupun, sebagian pakar melemahkannya karena ‘Ali bin abî Thalhah tidak meriwayatkannya secara langsung dari Ibn ‘Abbâs, namun belakangan diketahui “perantara” keduanya melalui murid Ibn Abbas yang tsiqah yaitu Mujâhid (w. 104 H) dan Ikrîmah (w. 105 H) sehingga tuduhan tersebut tidak relevan.136 Secara umum tafsir dengan pendekatan bahasa dan logika berkembang pada murid-murid Ibn Abbâs seperti Sa’id bin Jubair (w. 95 H), Mujâhid. Ikrîmah, alDhahhâk (w. 105 H) dan Atha’ bin Rabah (w. 114 H). Belakangan pada akhir abad kedua Hijriah mulai bermunculan tulisan-tulisan yang mengarah kepada perumusan kaidah-kaidah tafsir al-Qur`ân dan penafsiran secara sintaksis (pendekatan nahwu) mulai diperkenalkan dalam bentuknya yang sederhana.137 Seperti al-Asybah wa al134
Ibn ‘Âsyûr, Al-Tahrîr wa al-Tanwîr, vol. 1, hal. 41-42. lihat juga penelitian yang dilakukan oleh Dr. Muhammad Biltâjî dalam, Umar Ibn al-Khaththâb fî al-Tasyrî’, (Dâr al-Salam li al-Thaba’a wa al-Nasyar wa al-Tawzî’ wa al-Tarjamah) cet-2, 2003 M/1424 H, hal. 35-39. 135 Ibn Sa’ad Thabaqât al-Kubrâ, t.t. jld.5, hal. 216. 136 Ath-Thahâwî, Musykil Atsar, jld. 3, hal. 186. lihat juga komentar Fuat Sezgin dalam Târikh Turats ‘Arabiy, Jld I hal. 180. 137 Muhammad ‘Abid al-Jabiri, Bunyâh al-‘Aql al-‘Arâbi: Dirâsah Tâhlîliyyah Naqdiyyah li Nuzum al-Ma‘rifah fî al-Tsaqâfah al-‘Arâbiyyah (Beirut: al-Dar al-Bayda`, cet. 7, 2000), hal. 16. lihat juga Khâlid ibn ‘Utsmân al-Sabt, Qâwa‘id al-Tafsîr Jam‘ân wa Dirâsatan (Kairo: Dâr Ibn ‘Affân, 1421 H.), hal. 42; dan Khâlid ‘Abd al-Rahmân al-‘Akk, Ushûl al-Tafsîr wa Qâwâ‘iduhu, (Beirut: Dar al-Nafâis, cet. 2, 1986), hal. 32-33. pendekatan nahwu dilakukan oleh Abû aswad As-Du’aliy (w. 69 H), Nashr bin ‘Âshim (w’ 89 H), yahya bin Yamar (w. 129 H), Abu ‘Amr bin al-‘Ila (w. 145), dan Isa
68
Nazhâ`ir fî al-Qur`ân al-Karîm, karya Muqâtil ibn Sulayman (w.150 H); Ma‘ânî alQur`ân, karya al-Farrâ`(w. 207 H.); serta Majâz al-Qur`ân, karya Abu ‘Ubaydah Ma‘mar ibn al-Mutsannâ (w. 215 H.).138 Tetapi orang yang dianggap berperan paling penting dalam meletakkan pondasi bagi perumusan kaidah-kaidah tafsir al-Qur`ân adalah al-Syafi‘i (w. 204 H.) melalui karyanya, al-Risâlah.139 Penafsiran terhadap teks ayat yang dilakukan pada periode tersebut pada dasarnya terbatas pada aspek-aspek harfiah dan dimana tempat ia diturunkan, yang terkadang dilakukan dengan bantuan ayat lain. Jika ayat tersebut menuturkan tentang peristiwa sejarah atau realitas penciptaan maupun kebangkitan, dan seterusnya, maka dalam hal ini tak jarang digunakan sejumlah hadis Nabi saw agar menjadikan arti ayat yang dimaksud menjadi terang dan gamblang. Pertanyaannya adalah; apakah Nabi Muhammad saw. menjelaskan seluruh ayat Al-Qur’ân ? Aktifitas penafsiran al-Qur’ân yang dilakukan oleh para intelektual Muslim, dari generasi salaf hingga kontemporer, bahkan masa yang akan datang selalu berada dalam satu bingkai teoritik yang sama, sebagaimana ditegaskan oleh Andrew Rippin, yakni to explain the text and to explore its ramifications as fully as possible, as well as to make the text understandable.140 Tetapi muncul sebuah persoalan, yakni bagaimana seharusnya seorang muslim menafsirkan al-Qur’ân, sehingga pesan-pesan
bin Umar ats-Tsaqafy (w. 149 H).sayangnya kitab tafsir yang muncul di abad awal sampai pertengahan abad ke 2 hijriah hilang dan tidak sampai kepada kita kecuali dalam bentuk kutipan dibuku-buku Ulama’ yang muncul belakangan. 138 Al-Jabirî, Bunyâh al-‘Aql al-‘Arâbi, hal. 16-17. Dengan karyanya di atas, Muqaâil ibn Sulayman dianggap sebagai salah seorang yang paling awal menulis karya di bidang ‘ulûm Al Qur'ân. Ulama’-ulama’ belakangan, seperti al-Zarkâsyî dan al-Suyûti, mengutip banyak hal dari karyanya itu. Lihat ‘Abdullâh Mahmûd Syahâtah, “Muqâtil ibn Sulayman: Dirâsah ‘an al-Mu`allif” dalam Muqâtil ibn Sulayman, Al-Asybah wa al-Nazhâ`ir fî al-Qur`ân al-Karîm (Kairo: Al-Hay`ah al-Misriyyah al‘Ammah li al-Kitab, cet. 2, 1994), hal. 77. 139 Khâlid Al-‘Akk, Ushûl al-Tafsîr wa Qawâ‘iduhû, hal. 35. Khalid ibn ‘Utsmân al-Sabt menambahkan Ahkâm al-Qur`ân sebagai karya lain al-Syâfi‘i yang memuat kaidah-kaidah interpretasi al-Qur`ân. Lihat Khâlid ‘Ustsmân al-Sabt, Qawâ‘id al-Tafsîr, hal. 42. Al-Jâbiri bahkan menyebut alSyafi‘i dengan al-Risâlah-nya sebagai “peletak pertama aturan-aturan tafsîr al-khitâb al-bayâni dan perintis terbesar (al-musyarri‘ al-akbar) bagi nalar Arab.” Lihat al-Jabiri, Bunyâh al-‘Aql al-‘Arâbî, hal. 17. 140 Andrew Rippin, Muslims; Their Religious Beliefs and Practices, Vol II, (New York; Routledge; 1995), hal. 85.
69
Ilahi yang terekam di dalamnya dapat ditangkap secara baik dan benar. Dalam perkembangannya hingga saat ini, setidaknya ada tiga perbedaan pendapat di kalangan Muslim dalam menafsirkan al-Qur’ân.141 Pertama, Pandangan Quasi - Obyektivis Tradisionalis. Menurut pandangan ini ajaran-ajaran al-Qur’ân harus dipahami, ditafsirkan dan diaplikasikan pada masa kini, sebagaimana ia dipahami, ditafsirkan dan diaplikasikan pada situasi, di mana alQur’ân diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW dan disampaikan kepada generasi muslim awal.142 Umat Islam yang mengikuti pandangan ini, seperti Ikhwân al Muslimîn di Mesir dan kaum Salafi. Pada beberapa negara Islam, berusaha menafsirkan al-Qur’ân dengan bantuan berbagai perangkat metodologis ilmu tafsir klasik, seperti ilmu asbâb al-nûzûl, ilmu munâsabât al - âyât, ilmu tentang ayat-ayat muhkam dan mutasyâbih dan lain-lain dengan tujuan dapat menguak kembali makna obyektif atau makna asal (objective meaning/ original meaning) ayat tertentu. Seluruh yang tertera secara literal dalam alQur’ân, menurut mereka, harus diaplikasikan juga di masa kini dan masa yang akan datang. Bagi mereka pesan utamanya adalah tetap ungkapan literalnya.143 Kedua, Pandangan Quasi - Obyektivis Modernis. Pandangan golongan ini hampir sama dengan pandangan golongan pertama, dalam hal, bahwa mufassir di
141
Beberapa hal yang menyebabkan perbedaan penafsiran: 1) perbedaan bacaan (qira’at), 2) adanya perbedaan macam-macam I’rab meskipun ada kesepakatan bacaan, 3) perbedaan ahli bahasa dalam memaknai sebuah kata, 4) adanya satu kata yang mempunyai makna ganda atau lebih, 5) adanya ambiguitas lafadz; antara mutlaq atau muqayyad, 6) adanya ambiguitas lafadz; antara umum dan khusus, 7) adanya ambiguitas lafadz; antara haqiqat dan majâz, 8) adanya kemungkinan penambahan kata, 9) adanya kemungkinan sebuah hukum itu mansûkh atau tidak, 10) adanya perbedaan riwayat dalam penafsiran yang datang dari Nabi SAW dan generasi salaf al-shalih. Lihat Khâlid Abd al Rahman, Ushûl al-Tafsir Wa Qawâ’iduhû, cet I, (Beirut: Dar al Nafais: 1986), hal 86. 142 Pada masa generasi muslim awal (sahabat) sumber yang digunakan dalam menafsirkan alQur’ân adalah al-Qur’ân, Hadist Nabi, Ijtihâd dan Quwat al Istinbât, dan ahli kitab; Yahudi dan Nasrani. Hanya saja, banyak terjadi manipulasi riwayat yang disandarkan kepada Nabi oleh para tukang cerita. Lihat Muhammad Husein al-Dzahabi, Al-Tafsir wa al-Mufassirûn, juz I, (T.tp.: Mush’ab bin Umar: 2004), hal. 31-38. 143 Golongan ini berpegang kepada pendapat Ibnu Taimiyah yang mengatakan bahwa Rasulullah SAW telah menjelaskan seluruh makna al-Qur’ân kepada para sahabatnya, sebagaimana beliau telah menjelaskan kepada mereka seluruh lafal-lafalnya. Lihat Ibnu Taimiyah, Muqaddimah fi Usul alTafsîr, tahqiq Adnan Z., cet I, (Kuwait: Dar al-Qur’ân: 1971), hal 35.
70
masa kini tetap berkewajiban untuk menggali makna asal dengan menggunakan, di samping perangkat metodis ilmu tafsir, juga perangkat-perangkat metodis lain, seperti informasi tentang konteks sejarah makro dunia Arab saat penurunan wahyu, teoriteori ilmu bahasa, sastra modern dan hermeneutika. Hanya saja, aliran yang dianut oleh Fazlurrahmân dengan konsepnya double movement, Muhammad al-Syâtibî dengan konsepnya al-Tafsîr al-Maqâsidî dan Nasr Hâmid Abû Zaid dengan konsepnya al-Tafsîr al-Târîkhi al-Siyâqi, memandang makna asal (bersifat historis) hanya sebagai pijakan awal bagi pembacaan al-Qur’ân di masa kini; makna asal literal tidak lagi dipandang sebagai pesan utama al-Qur’ân. Bagi mereka, sajanasarjana Muslim saat ini harus juga berusaha memahami makna di balik pesan literal, yang disebut oleh Rahman dengan ratio legis, dinamakan oleh al-Syâtibî dengan alMaqâshidî (tujuan-tujuan ayat) atau disebut oleh Nasr Hâmid Abû Zaid dengan maghzâ (signifikansi ayat). Makna di balik pesan literal inilah yang harus diimplementasikan pada masa kini dan akan datang. Ketiga, Pandangan Subyektivis. Golongan ini menegaskan bahwa setiap penafsiran sepenuhnya merupakan subyektivitas penafsir, dan karena itu kebenaran interpretatif bersifat relatif. Atas dasar inilah, setiap generasi mempunyai hak untuk menafsirkan al-Qur’ân sesuai dengan perkembangan ilmu dan pengalaman pada saat al-Qur’ân ditafsirkan.144
144
Lihat Sahiron Syamsuddin, Integrasi Hermeneutika Hans Georg Gadamer ke dalam Ilmu Tafsir? Sebuah Proyek Pengembangan Metode Pembacaan Al-Qur’ân pada Masa Kontemporer, Makalah dipresentasikan pada Annual Conference Kajian Islam yang dilaksanakan oleh Ditpertais DEPAG RI pada tangal 26-30 November 2006 di Bandung. Masalah obyektifitas penafsiran, baik dari ketiganya tidak ada yang mampu mencapai pada makna teks Al-Qur’ân secara obyektif, mengingat keterbatasan potensi dan berbagai kekurangan yang dimiliki manusia, maka jauh dari memadai untuk mengetahui maksud Tuhan Yang Maha Sempurna dan Obsolut. Lihat Nasr Hâmid Abû Zaid, AlQur’ân, Hermeneutik dan Kekuasaan, terj. Dede Iswadi dkk, cet I, (RQiS; Bandung; 2003), hal 36. Oleh karena itu wajar ketika dikatakan bahwa hasil penafsiran seseorang hanyalah berupa prasangkaprasangka. Untuk selanjutnya pandangan ini menjadi peluang bagi para ahli takwil untuk bergerak lebih bebas dalam menyingkap dan megeksplorasi pesan makna al-Qur’ân. bandingkan dengan tulisan Ahmad Syukri Shaleh dalam [Hermeunetika dan Tafsir al-Qur’ân], Metodologi Tafsir al-Qur’ân Kontemporer dalam pandangan Fazlur Rahman, (Sulthan Thaha Press dengan Gaung Persada Press Jakarta), cet-1. 2007. hlm 43-84
71
Golongan yang terakhir ini meyakini bahwa teks al-Qur’ân adalah rekaman kalâm Allah subhânahu wa Ta’âla yang abadi dan universal, sehingga tak ada keharusan untuk mempelajari asbâb al-nûzûl (konteks turunnya ayat)145 dan sejarah Rasulullah SAW. Bagi mereka cukuplah teks al-Qur’ân berbicara sendiri pada pembacanya, jika sekiranya pembacaan146 harus selalu dikembalikan ke masa lalu; situasi Arab ketika ia diturunkan, maka makna universalitasnya akan berkurang.147 Pandangan seperti ini antara lain dianut oleh Muhammad Syahrûr, yang mana dia tidak lagi tertarik untuk menelaah makna asal dari sebuah ayat atau kumpulan ayat-ayat. Mufassir modern, menurutnya, seharusnya menafsirkan al-Qur’ân sesuai dengan perkembangan ilmu modern, baik itu ilmu eksakta maupun non-eksakta. Syahrûr menegaskan bahwa kebenaran interpretatif terletak pada kesesuaian sebuah penafsiran dengan kebutuhan dan situasi serta perkembangan ilmu pada saat alQur’ân ditafsirkan.148 Ibn Taimiyyah mewakili kelompok pertama berpandangan bahwa Rasulullah telah menafsirkan setiap lafadz dan makna-makna Al-Qur’ân kepada para sahabatnya yang mana hal ini wajib untuk diketahui, sebagaimana firman Allah ;”litubayyina linnâsi mâ nuzzila ilaihim”149
145
Dalam hal ini Syahrûr bukanlah orang pertama yang berpendapat bahwa asbâb al-nûzûl tidak penting dalam penggalian makna asal al-Qur’ân. Pendapat semacam ini sudah ada sejak lama. Setidaknya hal ini terindikasi dari sanggahan para ulama ulûmul qur’ân yang tersaji dalam bab asbâb al-nûzûl, yang kemudian menyajikan pendapat mereka tentang pentingnya mengetahui asbâb al-nûzûl dalam pembacaan al-Qur’ân. Lihat kitab-kitab ulûmul qur’ân bab asbâb al-nûzûl. 146 Muhammad Syahrûr menggunakan istilah “qira’ah atau pembacaan” mengacu pada wahyu yang pertama kali turun. Menurutnya pembacaan adalah mencari dalil (istidlâl), merenungi (ta’âmmul), menemukan (idrâk), memaparkan (isti’radl), dan menganalisa (tahlil), yang mana seorang pembaca, setelah melakukan aktifitas pembacaan ini akan sampai kepada suatu pemahaman apa yang ia baca. Lihat Muhammad Syahrûr, Nahw Ushûl Jadîdah Li al-Fiqh al-Islâmi, (Damaskus; Al Ahali: 2000), cet I, hal. 117. Al Ahali adalah media yang biasa digunakan Syahrûr dalam mempropagandakan pemikirannya di samping TV dan internet. 147 Komaruddin Hidayat, Menafsirkan Kehendak Tuhan, hal. 164. 148 Sahiron Syamsuddin hal 10. bandingkan dengan tulisan Ahmad Syukri Shaleh dalam [Hermeunetika dan Tafsir al-Qur’ân], Metodologi Tafsir al-Qur’ân Kontemporer dalam pandangan Fazlur Rahman, (Sulthan Thaha Press dengan Gaung Persada Press Jakarta), cet-1. 2007. hlm 41-84 149 Ibn Taimiyyah, Muqaddimah fi ushûl tafsîr, hal 9.
72
Pandangan kelompok kedua menyatakan Rasulullah hanya menjelaskan sebagian kecil dari makna Al-Qur’ân kepada sahabat. As-Suyûthi (w.911 H) menguatkan pendapat Al-Khûbi (w. 637 H), bahwa riwayat yang shahih dari Nabi berkaitan dengan penafsiran Al-Qur’ân sangatlah sedikit, bahkan riwayat yang datang dari Nabi tentang persoalan itu pun sangat sedikit.150 Pada periode kedua inilah sudah mulai banyak berkembang dan bermunculan hadits-hadits palsu ditengah-tengah masyarakat. Sementara itu perubahan-perubahan sosial semakin menonjol maka timbullah beberapa persoalan yang belum pernah terjadi pada masa Rasulullah, Sahabat dan Tabi’în.151 Sebuah penafsiran dianggap bernuansa rigid bermula pada studi kajiannya yang mencakup segala sesuatu yang tak terlukiskan dalam wilayah kajian teolog yang ruang lingkup pengetahuannya tidak bersifat mesti (dharûriy), dan tak didapat (muktasab).152 B. Maqâshid Perspektif Ulama’ Salaf dan Khalaf Terdapat dua pandangan dasar yang kemungkinan besar hal ini dijadikan sandaran pemikiran al-Maqâshidî oleh para pakar ushul yaitu makna dibalik teks dan dasar-dasar kemaslahatan (Ma’ânî manshûshah wa ushûl Mashlahiyyah). Kedua komponen disamping yang nampaknya terlihat dalam konsepsi yang ditawarkan Imam al-Juwaini dan al-Ghazali.153 150
Al-Burhân fî ulûm al-Qur’ân, jilid I, hal. 16. lihat biografi al-Khûbi dalam Syadzarât adzDzahâb,, jilid V, hal. 183. lihat juga al-Itqân fî ulûm al-Qur’ân, jld II, hal. 228. 151 Quraish Shihab, membumikan Al-Qur’ân, Bandung Mizan. Cet. 19, hlm 72-73. 152 Tentang perdebatan ini lihat lebih lanjut dalam Abu Ishâk Ibrahîm bin ’Ali al-Shirâzi syarh Luma’,ed. Abd Majîd Turki, (Dâr al-Gharb al-Islami, 1988 vol.I hal.148-152. Abu al-Wâlid bin khalaf al-Bâji, Ihkâm fushûl fî ahkâm al-ushûl, Abd Majîd Turki,ed. (Beirut, Dar al-Gharb al-Islami, 1986 vol.I hal.170-171. Abu Hamid Muhammad bin Muhammad al-Ghazâli, al-Mankhûl min ta’lîqât alUshûl edt. Muhammad Hasan Haytu (Dar al-Fikr Damaskus, 1980 hal. 42-46; lihat juga al-Mustasyfâ min ‘ilm al-Ushûl, vol 2 (Kairo al-Mathba’ah al-‘Amiriyya 1324/1906), I, hal. 10. Wael B. Hallaq, a history of Islamic Legal Theories Cambrigde University Press, cet. 1, 1997, hlm 37-38 153 Lihat Ismaîl Hasani dalam Nazhariyyah al-Maqâshid ‘ind Ibn ‘Âsyûr, (al Ma'had Al‘Â'limiy lil fikri al Islamiy, Herendun USA) cet. I thn. 1995 hal. 41. lihat Maqâshid al Syarî’ah al Islâmiyah hal. 5-6. lihat juga tahqîq dirâsah Muhammad Thâhir al-Mâisâwî dalam Maqâshid al Syarî’ah al Islâmiyah, Dâr el Nafâis- Urdun, 2001. hal. 90-99.
73
Disiplin ilmu Maqâshid telah dibahas oleh pakar ilmu ushûl seperti Abû ’Abdullâh Muhammad ibn ’Ali (at-Tirmîdzî al-Hakîm) pada Abad ke-3 hijriah, yang disinyalir oleh al-Raisyûni (la’allahû aqdamu man wadha’a) sebagai pengkodifikasi pertama peneliti pertama khusus pada kajian Maqâshid al-Syarî'ah, juga pengguna pertama kalimat ”Maqâshid”, hal tersebut tercermin dalam kitabnya ”as-Shalâh wa maqâsidihâ” yang sampai sekarang masih dapat diakses.154 Pakar ilmu Ushul dan Fuqahâ’ dalam memakai istilah Maqâshid al-Syarî’ah ini mereka tidak membatasi makna secara (partikular), namun dengan menggunakan makna general (kulliyat/al-‘Âmmah) yang inheren didalamnya makna
partikular
(juz’iyyat) atau adalah tujuan yang akan dicapai dan rahasia-rahasia (hikmah tasyrî’) yang ditetapkan Allah untuk hambanya dalam setiap cabang hukum dari segala hukum-hukum-Nya (sunnatullah).155 Maqâshid al-Syarî’ah perspektif al-Imam Haramain/al-Juwayni (w.478 H) dibagi menjadi dua, pertama; tujuan-tujuan ideal (Maqâshid al-syar’îyyah) yang tidak tersurat (al-mustaqra’ah ghair al-manshûshah) yakni yang meliputi dasar-dasar kemaslahatan dalam syari’at, kedua; al-Maqâshid al-Syar’iyyah al-Mushtafâdah yakni yang tersirat dan integrated dalam teks syar’iyyah (al-nushûs al-syar’iyyah) yaitu al-Qur’ân.156 Demikian juga dengan al-Ghazâli dalam al-Mushtashfâ fî ’ilm alUshûl, bahwa pandangannya tentang Maqâshid al-syari’ah tidak lepas dari dua unsur: pertama; Maqâshid al-syarî’ah sebagai dasar-dasar kemaslahatan (ka ushûl almashlahiyyah) dan yang kedua; Maqâshid al-syari’ah sebagaimana penjelasan-
154
At-Tirmidzî, âbu ‘Abdullah al-hakim, as-Shalâh wa Maqâshidihâ, tahqîq Husni Nasrun Zaidan, Dâr el Kitâb al-‘Arabiy Mesir, 1965. lihat ulasan Raisûny dalam Nadhâriyyat al Maqâshid 'ind al Imâm al-Syâtibi (The International Institute of Islamic Thought, Virginia-USA. 1995) hal. 40. 155 Lihat Abdul ‘Azîz bin ‘Ali ‘Abd ar-Rahmân bin ‘Ali bin Rabî’ah dalam ‘Ilm Maqâshid alSyâri’ Maktabah Muluk Fahd al-wathaniyyah atsna al-Nasyr, cet. 1 1423 H/2002 M, hal. 19-20. lihat juga al-Ustâdz Allâl al-Fâsî, Maqâshid syarî’ah Islâmiyyah wa makârimuhâ, Maktabah Wihdah al‘Arabiyyah, al-Dâr al-Baidhâ’ 1963, hal. 3. 156 al-Juwayni Abû al-Maâ’lî, al-Burhân fî ushûl al-fiqh, tahqiq Abd al-‘Azîm al-Dayb, (Mesir, Dâr al-Anshar 1400) cet-2, juz 1, hlm 295. Ismaîl Hasani dalam Nazhariyyah al-Maqâshid ‘ind Ibn ‘Âsyûr, hal. 41-45.
74
penjelasan/tujuan yang dimaksud. Nampaknya al-Ghazâli memperkuat pandangan gurunya.157 Maqâshid perspektif al-Râzi (606 H) bertumpu pada dua landasan: pertama; bertolak dari pemilahan illat hukum hukum syari’at, kedua; fokus perhatiannya pada hubungan dan keterpautan pada peralihan dalil-dalil naql (teks) dari dugaan (al dzann) kepada yana pasti (al qath’i).158 Al-Âmidiy (w. 631 H) sebagaimana pendahulunya, al-Juwaynî dan al-Ghazâli. Hal yang baru dalam Maqâshidnya dengan menekankan dasar-dasar kemaslahatan syari’at dalam men-tarjih (menguatkan) diantara analogi-analogi kemudian menjelaskan dan membatasinya pada (hifdz alnafs, al-’aql, al-din, al mâl, dan al nasl).159 al Maqâshid al- syarî’ah perspektif al-‘Izz Ibn ‘abd al-Salâm (w.660 H) adalah penegakan maslahah dan menjauhkannya dari kerusakan (al mafsadah), sebagaimana dikatakan; “Ketahuilah bahwa Allah tidak akan pernah memberlakukan hukum-hukum syari’atnya kecuali untuk kemaslahatan umat manusia yang diperuntukkan sekarang maupun yang akan datang, sebagai bentuk keutamaan bagi makhluknya (tafadldlulan minhu ’ala ’ibâdihi) .”160 157
Al-Ghazâli al-Mustasyfâ min ‘ilm al-Ushûl, (Kairo al-Mathba’ah al-‘Amiriyya 1324/1906), I hal. 286-290. lihat juga Syifâu al-Ghalîl fî bayâni al-Syibhi wa al-makhîl wa masâlik al-ta’lîl (Baghdad Mathba’ah Irsyâd 1971/1390 M) tahqîq Ahmad al-Kubaysî, hal.159. lihat juga Ismaîl Hasani dalam Nazhariyyah al-Maqâshid ‘ind Ibn ‘Âsyûr, hal. 45-47. lihat Abdul Aziz bin ‘Ali Abd ar-Rahmân bin ‘Ali bin Rabî’ah dalam ‘Ilm Maqâshid al-Syâri’ 60-61. 158 Fakhruddin al-Râzî, al-Mahsûl fî ilm ushûl al-fiqh, tahqiq Tahâ Jabiri Fayâdh Alwâni (Mathbû’at Jâmiah al-Imam Muhammad Ibn Saûd al Islâmiyyah) cet-1 juz , hal. 388. lihat juga Ismaîl Hasani dalam Nazhariyyah al-Maqâshid ‘ind Ibn ‘Âsyûr, hal. 49. lihat Abdul Aziz bin ‘Ali Abd arRahmân bin ‘Ali bin Rabî’ah dalam ‘Ilm Maqâshid al-Syâri’ 61-62. 159 Syaifuddîn al-Âmidiy, al-Ihkâm fî ushûl al-ahkâm, (Beirut; Dâr al-Kutub al-‘Ilmiyah 1983) jld 4. hal. 376. lihat juga Ismaîl Hasani Nazhariyyah al-Maqâshid ‘ind Ibn ‘Âsyûr, hal. 49-50. baca juga Abdul Aziz bin ‘Ali Abd ar-Rahmân bin ‘Ali bin Rabî’ah dalam ‘Ilm Maqâshid al-Syâri’ 62-63. 160 Redaksinya sebagai berikut:
»ﺍﻋﻠﻡ ﺃﻥ ﺍﷲ ﺴﺒﺤﺎﻨﻪ ﻟﻡ ﻴﺸﺭﻉ ﺤﻜﻤًﺎ ﻤﻥ ﺃﺤﻜﺎﻤﻪ ﺇﻻ ﻟﻤﺼﻠﺤﺔ ﻋﺎﺠﻠﺔ:ﻗﺎل ﺍﻟﻌﺯ ﺒﻥ ﻋﺒﺩ ﺍﻟﺴﻼﻡ ﺭﺤﻤﻪ ﺍﷲ ﺘﻌﺎﻟﻰ »ﻭﻟﻴﺱ ﻤﻥ ﺁﺜﺎﺭ ﺍﻟﻠﻁﻑ ﻭﺍﻟﺭﺤﻤﺔ ﻭﺍﻟﻴﺴﺭ: ﺜـﻡ ﻗﺎل،«ﻼ ﻤﻨﻪ ﻋﻠﻰ ﻋﺒﺎﺩﻩ ﺘﻔﻀ ﹰ، ﺃﻭ ﻋﺎﺠﻠﺔ ﻭﺁﺠﻠﺔ،ﺃﻭ ﺁﺠﻠﺔ ﻟﻜﻨﻪ ﺩﻋﺎﻫﻡ ﺇﻟﻰ ﻜل ﻤﺎ ﻴﻘﺭﺒﻬﻡ ﺇﻟﻴﻪ« ﺸﺠﺭﺓ،ﻭﺍﻟﺤﻜﻤﺔ ﺃﻥ ﻴﻜﻠﻑ ﻋﺒﺎﺩﻩ ﺍﻟﻤﺸﺎﻕ ﺒﻐﻴـﺭ ﻓﺎﺌﺩﺓ ﻋﺎﺠﻠﺔ ﻭﻻ ﺁﺠـﻠﺔ . 401 ﺹ، ﻟﻪ،ﺍﻟﻤﻌﺎﺭﻑ ﻭﺍﻷﺤﻭﺍل Lihat juga pernyataan al-Qarâfi yang menyatakan diletakkannya syari’at atas dasar kemaslahatan umum, dalam Syarh tanqîh al-fushûl, hal. 427
75
Poin-poin gagasan dan pandangan Tasyrî’î ‘Izz Ibn Abd al-Salâm sebagai berikut, pertama; fitrah manusia yang mampu mewujudkan dan menekankan kemaslahatan, dan sebaliknya, kedua; batas-batas kemaslahatan dan kerusakan (mafsadah)
didunia
yaitu
segala
problematika
dalam
kategori
hukum
mendesak/penting untuk segera diwujudkan (dlarûriyyât, Hâjiyyat, al Tatimmât wa al-Takammulât), ketiga; klasifikasi/susunan kemaslahatan didunia (sebagaimana poin kedua) dan akhirat juga demikian (amal wajib, sunah muakkadah, mandûbât).161 Demikian halnya dengan al-Qarâfî (w. 685 H) yang juga murid dari al-‘Izz Ibn abd al-Salam menekankan pada penegakan perbedaan dalam interaksi sosial masyarakat yang egelitarian (al-tasharrufât al-nabawiyyah), ia mendasarkan pandangan Maqâshid al-syarî’ah-nya pada penjagaan (al-murâ’ât) maksud dan tujuan (al-nushûs) yang tidak sejalan dengan cara dan aplikasinya, implementasi dalam penyampaiannya diupayakan menjelaskan perihal yang dikehendaki dan (maqâmât al-Qadâ’ wa al-Imâmah).162 al-Thûfî (w. 716 H) melihat bahwa menjaga kelestarian maslahah lebih kuat dasarnya dari Ijma’, dengan demikian ia menempati posisi teratas (prioritas) dari ketentuan hukum syara’ (‘adillah al-syar’i), karena [dasar] sesuatu yang lebih kuat dari yang kuat menghasilkan yang kuat (lianna alaqwâmin al-aqwâ Aqwâ).163
ﻭﻗﺎل ﺍﻟﻌﻼﻤﺔ ﺍﻟﻘﺭﺍﻓﻲ، ﻭﻤﺎ ﺒﻌﺩﻫﺎ45 ﺹ، ﻟﻠﺩﻜﺘﻭﺭ ﻤﺤﻤﺩ ﺴﻌﻴﺩ ﺭﻤﻀﺎﻥ ﺍﻟﺒﻭﻁﻲ، ﻀﻭﺍﺒﻁ ﺍﻟﻤﺼﻠﺤﺔ:ﺍﻨﻅﺭ ؛ ﻭﻗﺎل ﺍﺒﻥ ﺘﻴﻤﻴﺔ ﺭﺤﻤﻪ ﺍﷲ427 ﺹ، ﺸﺭﺡ ﺘﻨﻘﻴﺢ ﺍﻷﺼﻭل،"\ \"ﺍﻟﺸﺭﺍﺌﻊ ﻤﺒﻨﻴﺔ ﻋﻠﻰ ﺍﻟﻤﺼﺎﻟﺢ:ﺭﺤﻤﻪ ﺍﷲ ﺘﻌﺎﻟﻰ ، ﺍﻟﻔﺘﺎﻭﻯ ﺍﻟﻜﺒﺭﻯ،"\ ﻭﺘﻘﻠﻴل ﺍﻟﻤﻔﺎﺴﺩ ﻭﺘﻌﻁﻴﻠﻬﺎ، \"ﺠﺎﺀﺕ ﻫﺫﻩ ﺍﻟﺸﺭﻴﻌﺔ ﻟﺘﺤﺼﻴل ﺍﻟﻤﺼﺎﻟﺢ ﻭﺘﻜﻤﻴﻠﻬﺎ:ﺘﻌﺎﻟﻰ . 47 ﺹ، ﻟﻪ،؛ ﺍﻟﺴﻴﺎﺴﺔ ﺍﻟﺸﺭﻋﻴﺔ48/20 161
Al-‘Izz Ibn ‘abd al-Salâm, Qawâid al-Ahkâm fî Mashâlih al-anâm, (Beirut; Lubnân Dâr alJîl 1980) cet-2. hal. 376. lihat juga Ismaîl Hasani Nazhariyyah al-Maqâshid ‘ind Ibn ‘Âsyûr, hal. 5053. baca juga Abdul Aziz bin ‘Ali Abd ar-Rahmân bin ‘Ali bin Rabî’ah dalam ‘Ilm Maqâshid alSyâri’ 63-64. 162 Lihat al-Qarâfi, Syarh tanqîh al-fushûlfî ikhtishâri al-Mahsûl, (Kairo Mesir; Dâ al-Fikr Lithaba’ah wa tawzi’wa al-nasyr 1973/1393 H) cet-1 hal. 397. Ismaîl Hasani Nazhariyyah alMaqâshid ‘ind Ibn ‘Âsyûr, hal. 54-57. 163 Lihat lebih lanjut al-mashlahah fî al-tasyrî’ al-Islâmi wa Najm al Dîn alThûfî, hal. 71. 74, 120. baca juga Abdul Aziz bin ‘Ali Abd ar-Rahmân bin ‘Ali bin Rabî’ah dalam ‘Ilm Maqâshid alSyâri’ 65-66. Ismaîl Hasani Nazhariyyah al-Maqâshid ‘ind Ibn ‘Âsyûr, hal. 60-62. baca lebih lanjut
76
Ibn Taimiyah (w. 728 H) dalam karyanya Majmû’ Fatâwâ ia menekankan bahwa mendasarkan ilmu dengan Maqâshid al-Syarî’ah merupakan pengkhususan fiqh terhadap agama. Kemudian menekankan Maqâshid al khamsah pada peribadatan untuk kelangsungan dan kemaslahatan hidup duniawi dan ukhrawi. Selanjutnya Syaikh al-Islam memfokuskan pada urgensitas permasalahan pada sadd al-Dzarî’ah, solusi dari illat hukum-hukum (ta’lîl al-hukm) kemudian menjelaskannya secara gamblang, selanjutnya memfokuskan pada nilai-nilai maslahah dalam kajiannya (secara makro), dengan memperhatikan pertimbangan, kaidah-kaidah serta alasan penguatannya (wayubayyin mâ yatarajjah wa sabab al-Tarjîh), selanjutnya ia tidak lupa menyebutkan tujuan-tujuan ideal dan hikmah darinya (Maqâshid al-Syarî’ah wa Hikamihi).164 Demikian halnya dengan murid Ibn Taimiyyah, yaitu Ibn Qayyim alJawziyyah (w.751 H) yang mendasarkan Maqâshid al-Syarî’ah pada empat prinsip pokok: pertama; memfokuskan pada penetapan tujuan-tujuan syariat [secara umum], penentuan sebab (illat) hukum dan cara penetapannya, kemudian menjelaskannya. Kedua; memprioritaskan problematika yang berkaitan erat dengan Maqâshid alSyarî’ah, seperti permasalahan sebab hukum (ta’lîl), dan solusi [hukum] Hiyal, Sadd al-Dzarî’ah, yang dijelaskan secara luas dan mendetail. Ketiga; memperhatikan kajiannya pada tujuan-tujuan mukallifîn dan niat pelaksanaannya karena ia memiliki korelasi hubungan yang kuat dengan tujuan-tujuan peletak syari’at (maqâshid alSyâri’). Keempat; ia memusatkan juga perhatian kajiannya terhadap problematika hukum-hukum dan tujuan-tujuan ideal yang hendak dicapai.165
al-Fatâwa Ibn Taimiyyah, ( al Ribath; Maktabah Maâ’rif) 32/324. baca juga al-Qiyâs fî al Tasyrî’alIslâmi, (Beirut, Libanon,; Dâr al-âfâq al-jadîdah) cet-4 1980, hal. 55. 164 Lihat Abdul Aziz bin ‘Ali Abd ar-Rahmân bin ‘Ali bin Rabî’ah dalam ‘Ilm Maqâshid alSyâri’ 64. Ismaîl Hasani Nazhariyyah al-Maqâshid ‘ind Ibn ‘Âsyûr, hal. 58-60. 165 Lihat Ibn al-Qayyim, Miftâh al-Dâr al-Sa’âdah wa Mansyûrah wilâyah al-‘Ilm wa alIdârah, (Mesir, Mathba’ah al-Sa’âdah) 1323 H cet. 1. hal. 2/2. lihat juga Ibn Taimiyyah, I’lâm alMuwaqqiîn ‘an Rabb al-‘Alamin, (Beirut Libanon, Dâr al-Fikr, Mah’baah al-Sa’âdah), tahqîq Muhammad Muhyiddin ‘abd al-Hamîd. Jld 3/14. Lihat Abdul Aziz bin ‘Ali Abd ar-Rahmân bin ‘Ali bin Rabî’ah dalam ‘Ilm Maqâshid al-Syâri’ 66-678. Ismaîl Hasani Nazhariyyah al-Maqâshid ‘ind Ibn ‘Âsyûr, hal. 62-65.
77
Setelah dikemukakan berbagai perspektif Maqâshid al-Syarî’ah diatas, pada bab yang akan datang penulis melanjutkan dengan perbedaan pandangan al-Imam alSyâtibi dengan Muhamamd Thâhir Ibn ‘Âsyûr dalam
Maqâshid al-Syarî’ah,
kemudian akan dejelaskan lebih lanjut pada bab berikutnya. 1) Perbedaan Maqâshid al-Syâtibî dengan Ibnu ‘Asyûr Pandangan umum tentang Maqâshid al-syarî‘ah, seperti diklaim sendiri oleh Al-Syâtibi,166 telah mencapai kemapanan secara sistematis dan metodologis.167 AlSyâtibi (peletak kembali dasar ilmu ushûl) dalam konsep Maqâshid-nya (induktif/istiqra’) bertumpu general untuk mewujudkan konsep partikular, ia tidak saja menandai pergeseran epistemologis di bidang usûl fiqh, melainkan juga di bidang tafsir dan hermeneutika al-Qur`ân.168 166
Lihat al-Syâtibî, Al-Muwâfaqât fi Ushûl al-Syarî’ah (Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, tt.), vol. 1, hal. 70. Bandingkan, ‘Abid al-Jabiri, dengan menyebut apa yang dilakukan al-Syâtibî dalam alMuwâfaqât sebagai i‘âdah tâ`sil al-usul (pendasaran kembali ilmu usul fiqh). Muhammad ‘Âbid alJâbirî, Wijhâh al-Nazâr (Beirut: Markaz Dirâsat al-Wihdah al-‘Arabiyyah, 1994), hal. 57. Istilah ta`sîl al-Ushûl itu sebetulnya berasal dari al-Syâtibî sendiri. Sebelum Ibn Âsyûr mengelaborasi kembali konsep al-Syâtibi, Maqâshid al-syarî’ah telah digunakan al-Tirmidzî al-Hâkim (w. 318 H.), Abû Mansûr al-Mâturîdî (w. 333 H.), Abû Bakr al-Syasyî (w. 365 H.), al-Bâqillânî (w. 403 H.), al-Juwaynî (w. 478 H.), al-Gazâli (w. 505 H.), ‘Izz al-Dîn ibn ‘Abd al-Salâm (w. 660 H.), al-Tûfî (w. 716 H.), dan lain-lain. Ada bermacam-macam pendapat tentang siapakah orang pertama yang mengenalkan konsep Maqâshid al-syarî’ah. Hammâdî al-‘Ubaydi menyebut nama Ibrâhim al-Nakha‘î (w. 96 H.), seorang tâbi‘î, sekaligus guru dari Hammad ibn Sulayman yang kemudian menjadi guru Abû Hanifah. Lihat Hammadi al-‘Ubaydi, Al-Syâtibi wa Maqâshid al-Syarî’ah, hal. 134. Sementara ‘Abd al-Rahmân alKaylânî menganggap al-Juwaynî (w. 478 H.) sebagai orang pertama yang mengenalkan konsep tersebut. Lihat ‘Abd al-Rahmân Ibrâhîm al-Kaylânî, Qawâ‘id al-Maqâshid ‘Inda al-Imâm al-Syâtibi ‘Ardlan wa Dirâsatan wa Tahlîlan (Damaskus: Dâr al-Fikr, 2000), hal. 14, bandingkan dengan apa yang ditulis oleh Ahmad Al-Raisûny dalam nadhariyyât al-Maqâshid ‘Inda al-Imâm al-Syâtibi, al Ma'had Al a'limiy lil fikri al Islamiy cet IV th 1995 hal 39-71. 167 ‘Abd al-Rahmân al-Kaylânî menyatakan bahwa apa yang dilakukan oleh para ulama sebelum al-Syâtibi di bidang Maqâshid al-syarî’ah bernilai sama seperti sebuah pengantar (muqaddimah) jika dibandingkan dengan apa yang ditulisnya dalam al-Muwâfaqât. Lihat ‘Abd al-Rahmân Ibrâhîm alKaylânî, Qawâ‘id al-Maqâshid ‘Inda al-Imâm al-Syâtibi, al Ma'had Al a'limiy lil fikri al Islamiy 1421 H/2000 M hal. 14. Sementara itu, ‘Abd al-Muta‘âli al-Sa‘îdi bahkan membandingkan jasa al-Syâtibî dalam perumusan Maqâshid al-syarî’ah dengan jasa al-Syâfi‘î dalam perumusan usul fiqh. Lihat Hammâdi al-‘Ubaydî, Al-Syâtibî wa Maqâshid al-Syarî’ah, hal. 132. 168 David Johnston mensinyalir bahwa al-Syâtibi membuka kran penafsiran dengan menggunakan metode hermenetik. Lihat David Johnston, “A Turn in the Epistemology and Hermeneutics of Twentieth Century Usûl al-Fiqh”, dalam Islamic Law and Society, Edisi 11, No. 2, Juni 2004, hal. 252-253. Al-Syâtibi memang sering dianggap memberikan inspirasi bagi munculnya orientasi non-tekstual dalam penafsiran al-Qur`ân. Wael B. Hallaq, misalnya, menyatakan bahwa metode induksi yang dirumuskan al-Syâtibi, “yang bergantung kepada penyerapan tujuan dan
78
Ibn ‘Âsyûr (w.1394 H) mengelaborasi konsep Maqâshid yang telah dibangun Al-Syâtibi, namun ia bertolak dari yang konsep lintas batas partikular (tajâwaz almanha al-tajzî’iy...) untuk mewujudkan konsep-konsep yang partikular dalam memahami hukum-hukum dan mencari solusi dari kompleksitas pelbagai problematika
sosial
yang
berkembang
dimasyarakat,
dengan
mendasarkan
(mendahulukan) kepentingan umum atau mayoritas atas individu.169 Konsep ini disinyalir mirip dengan model ijtihad fiqh Târîkhiy seperti yang pernah dilakukan oleh Baqr Shadr dan fazlur Rahmân.170 Maqâshid syarî’ah yang dibangun al-Syâtibi disebut ‘Âbid al-Jâbiri sebagai “I’âdah ta’sîl al-ushûl” (peletakan kembali dasar-dasar ilmu ushul) yang kemudian diikuti oleh muridnya Abdul Majîd Turkiy merupakan titik awal bertumpunya dasar metodologi dalam beristinbath hukum.171
semangat hukum—tanpa membatasi dirinya pada dalil tekstual tertentu…telah membuat teori tersebut menarik bagi sekelompok pemikir modern yang minat utama mereka adalah membebaskan pikiran umat Islam dari belenggu yang terbentuk oleh makna-makna lahiriah yang terkadang bersifat mengekang dari teks-teks yang diwahyukan.” Lihat Wael B. Hallaq, A History of Islamic Legal Theories: An Introduction to Sunni Ushûl al-Fiqh (Cambridge: Cambridge University Press, 1997), hal. 206. ‘Abid al-Jâbirî bahkan menyatakan bahwa al-Syâtibi melakukan modifikasi atas asumsiasumsi dasar epistemologi bayânî—sebuah epistemologi yang salah satu proyek teoretisnya adalah penetapan aturan-aturan interpretasi bagi al-Qur`an, al-khitâb al-mubîn. Lihat Muhammad ‘Âbid alJâbirî, Bunyah al-‘Aql al-‘Arabî: Dirâsah Tahlîliyyah Naqdiyyah li Nuzûm al-Ma‘rifah fî al-Tsaqâfah al-‘Arabiyyah (Beirut: al-Dâr al-Bayda`, cet. 7, 2000), hal. 534-536. Selain itu, ketika Fahmi Huwaydi menyatakan bahwa pembacaan yang benar (al-qirâ`ah al-shahîhah) terhadap al-Qur`an harus mempertimbangkan aspek Maqâshid al-syarî‘ah selain aspek bahasa, dia mendasarkan pendapatnya itu kepada pandangan ‘Abdullâh Darrâz dalam pengantar untuk kitab al-Muwâfaqât, karya al-Syâtibi. Lihat Fahmi Huwaydî, Al-Qur`ân wa al-Sultân (Kairo: Dâr al-Syurûq, cet. 5, 2002), hal. 53-56. 169 Muhammad Thâhir al-Maysâwi, Maqâshid al-syarî’ah al-Islâmiyah, Dâr al-nafâis-Urdun,, 1421 H/2001, hlm 96-100. 170 Seperti ditulis oleh Thâhir al-Maysâwi, bahwa tulisan ini disadur dari Muhammad Syaikh Mahdi Syamsuddîn dalam, al-Ijtihâd fî al-Islam, majalah Ijtihâd (Dâr al-Ijtihâd Beirut)1411/1990 hal. 49-50. lihat lebih lanjut Ijtihâd wa al-tajdîd fî fiqh al-Islâmiy (Beirut: Mu’assasah al-Dauliyyah cet.1 1419 H/1999 ) hal. 73-74. lihat juga karya Baqr Shadr al-Sunan al-Târîkhiyyah fî al-Qur’ân (Beirut: Dâr al-Ta’âruf li al-Mathba’ât. Lihat kemiripan ungkapan Fazlur Rahmân the Major Themes of The Qur’ân, Minneapolis: Bibliotheca Islmamica, 1994. dan buku Rahmân sebelumnya Islam and Modernity, Chicago:The University of Chicago Press, 1984). Bandingkan dengan Hammâdî Ubaidi dalam Ibnu Rusyd wa al-ulûm al-syarî’ah al-Islâmiyah,( Dar-el Fikr al-Arabiy, 1991) h. 99. 171 Lihat Abdul Majid Turki Manâdharat fî ushûl al-Syarî’ah bayna ibn Hazm dan al-Bâjî, oleh Abdul al-Shabûr Syâhin, Beirut Dâr al-Gharb al-Islamiy cet. 1414 H/ 1994, hal 512. lihat juga, ‘Abid al-Jâbiri, Muhammad ‘Âbid al-Jâbiri, Wijhâh al-Nazâr (Beirut: Markaz Dirâsat al-Wihdah al-
79
Terkait dengan pendasaran kembali ilmu (ushûl) inilah terlihat urgensi gagasan Ibnu ‘Âsyûr ketika hendak mengelaborasi pandangan pendahulunya yang disebutnya dengan “pendasaran Ilmu Maqâshid al-Syarî’ah.” Hal ini disinyalir, bahwa teori yang diusung Ibn ‘Âsyûr berusaha menggali dan menemukan cara pandang sejarah secara ilmiah dan metodologis yang digunakan untuk penelitian dan peletakan dasar ilmu Maqâshid al-Syarî’ah yang integral, karena lanjut Ibn ’Âsyûr kajian ilmu Maqâshid ini berbeda dengan kajian ilmu ushul, menurutnya penelitian dari kajian ushûl tidak kembali pada esensi hikmah al-tasyrî’. Namun sebaliknya, ia hanya berputar-putar pada permasalahan istinbath hukum dari nash sharîh melalui kaidah-kaidah yang digunakan pakar (fuqahâ’) untuk beristinbath hukum dari cabang-cabang ataupun sifat-sifat (‘illat) hukum yang diambil dari Al-Qur’ân, sebagai kajian untuk menginterpretasikan lafadz-lafadz yang diyakini sebagai kehendak Tuhan (sebatas kemampuan seorang faqîh dalam berijtihad).172 Pandangan dan gagasan Ibn ‘Âsyûr (w. 1393 H) tentang ilmu Maqâshid alSyarî’ah baginya sangat berhubungan erat dengan penelitian lain, yang mempunyai muara esensi tujuan yang sama yakni penelitian tentang ”Norma-norma/aturan sosial Kemasyarakatan yang Islami” (The rule of Islamic Civilization), dalam pandangan Ibn ‘Âsyûr bahwa pemerhati penelitian tentang tema besar ini membutuhkan kaidahkaidah yang luas, rinci dan mendetail dari kaidah-kaidah pakar ushul fiqh yang ada selama ini. Karena menurutnya; perihal-perihal yang ditampakkan akan lebih elastis
‘Arabiyyah, 1994), cet. 4, hal. 547. baca Tahqîq dirâsah Muhammad Thâhir al-Mâisâwî dalam Maqâshid al Syarî’ah al Islâmiyah, Dâr el Nafâis- Urdun, 2001. hal. 86-95 172 Lihat Abdul Majîd Turkî Manâdharat fî ushûl al-Syarî’ah bayna ibn Hazm dan al-Bâjî, oleh Abdul al-Shabûr Syâhin, Beirut Dâr al-Gharb al-Islamiy cet. 1414 H/ 1994, hal. 361,484. lihat Maqâshid al Syarî’ah al Islâmiyah hal. 5-6. lihat juga tahqîq dirâsah Muhammad Thâhir al-Mâisâwî dalam Maqâshid al Syarî’ah al Islâmiyah, Dâr el Nafâis- Urdun, 2001. hal. 90-99. dikatakan bahwa keterpautan antara kajian Maqâshid al-Syari’ah dan pendasaran ilmu social kemasyarakatan yang egeliter sangat ereat dan kajiannya membutuhkan kaidah-kaidah yang lebih luas dari sementara kaidah-kaidah yang dipakai pakar ushûl fiqh (ahwaju ilâ qawâid awsa’u min qawâid ahl ushul) baca juga Abdul Aziz bin ‘Ali Abd ar-Rahmân bin ‘Ali bin Rabî’ah dalam ‘Ilm Maqâshid al-Syâri’ Maktabah Muluk Fahd al-wathaniyyah atsna al-Nasyr, hal. 41-43. Lihat juga Ismaîl Hasani dalam Nazhariyyah al-Maqâshid ‘ind Ibn ‘Âsyûr, (al Ma'had Al-‘Â'limiy lil fikri al Islamiy, Herendun USA) cet. I thn. 1995 hal. 98-102 dan 113-114.
80
dan
tidak
hanya
sekedar
mengaplikasikan
kaidah-kaidah
syarî’ah
untuk
menyelesaikan problematika hukum dimasyarakat, dengan mengkonversikan dan mengelaborasikannya dengan qiyas yang disinyalir memiliki persamaan muatan teori, namun dengan menyingkap rahasia (hikmah) dibalik itu tidak menjadi utopis.173 Tolok ukur yang menjadi esensi muara dari kajian ini adalah; sejauh mana pencapaian kemaslahatan terealisasikan dalam kehidupan sosial berkemanfaatan secara berkesinambungan?174 Saîd Ramadhân Al-Bûty menambahkan perbedaan pandangan manfaat terjadi pada para filsuf dan psikolog, keduanya mempunyai tolok ukur yang berbeda dengan pakar ushul. Ketika berbicara tentang filsuf dan psikolog (Ulamâ’ al-falsafah wa al-akhlâq), adalah mereka yang memforsir dan menguras pikiran dan pencarian mereka pada materi oriented, dan hanya sebagian kecil dari mereka mengkorelasikannya dengan semangat beragama (sosial kemasyarakatan).175 C. Kebebasan, Kemaslahatan dan batasan-batasannya Hurriyah/ kebebasan secara etimologi sebagaimana ditegaskan Ibn ’Âsyûr dalam karyanya Ushul al-Nidham al-Ijtimâ’i al-Islâmi ia berarti lawan dari 173
Lihat Muhammad Thâhir Ibn ‘Âsyûr, Ushûl Nizhâm al-Ijtimâ’iy fî al-Islam, al-Syirkah alTûnîsiyyah littawzî’ (Tunis) dan Dâr al-Wathaniyah lilkitab (al-Jazâir), 1985, hal.20-21. lihat juga tahqîq dirâsah Muhammad Thâhir al-Mâisâwî dalam Maqâshid al Syarî’ah al Islâmiyah, Dâr el Nafâis- Urdun, 2001. hal. 90-91. 174 Sa'id Ramadhân Al Bûty dalam Dhawâbit al maslahâh fî syarî’ah Islâmiyah (muassasah Risâlah, 1987) hal. 27-28,"Maslahah tidak lain adalah kemanfaatan yang dimaksudkan Allah yang Maha Bijak (Al Hâkim) untuk umat manusia, yang senantiasa dipelihara agamanya, jiwa dan raganya, akal dan keturunannya serta hartanya, -ditetapkan secara hirarkis-, dan kemanfaatan itu adalah ketentraman (keberkahan-penulis-) yang abadi atau menuju -kebahagiaan- yang abadi", lihat juga uraian Al-Imâm Izzuddin 'Abd Al-Salâm seperti ditulis oleh Abdullâh Yahya al-Kamâli dalam "Maqâshid al syarî’ah fî dhau'I fiqh al Muwâzânâh (Dar Ibn Hazm,cet 1 Beirut-Lebanon), hlm 10. mempunyai pandangan "bahwa maslahah dan mudharat baik dunia maupun akhirat; dalam tingkatan â'lâ , âdnâ,- mutâwâssit dan ketiganya terbagi dalam yang muttâfaq (disepakati) dan mukhtâlaf fîh (diperdebatkan). Dan “al-ahkâm fî maslahah al anâm” tahqîq 'Abdul Ghâniy al Dhuqr (damaskus dar athToba', 1992) hlm 27. bandingkan dengan pandangan Syaltût dalam Islam 'Aqîdah wa Syarî’ah , darel Syurûq 1975 ,hlm 496, lihat juga 'Abd. Salam 'Arif mengeksplorasi pandangan hukum Syaltut pembaruan pemikiran hukum Islam (pembaruan dan fakta), LESFI Yoyakarta, cet-1 2003, hlm 177181, lihat, Al-Qaradhâwi, Dirâsah fî fiqhi Maqâshid al syarî’ah bayna al Maqâshid al kulliyah wa al nushus al juzyiyah ( Kairo, Dar al Syuruq cet I 2006 ) hal 19-20. 175 Saîd Ramadhân Al Bûty dalam Dhawâbit al maslahâh fî syarî’ah Islâmiyah (muassasah Risalah, 1987) hal. 29-30.
81
perbudakan dan penghambaan (al-Riqq wa al-’Ubûdiyyah), secara zâhir lafadz ini [mengandung arti] nisbi, karena ia terlepas (al-takhallash) dari unsur penghambaan dan perbudakan. Disisi lain ia dapat dikatakan ia merupakan kebebasan keinginan individu dalam berinteraksi dengan lingkungannya tanpa ada yang menghalanginya [kamâ yasâ’u’ dûna mu’âridl]. Demikian juga Ustadz ’Allâl al-Fâsi melihat bahwa kebebasan
(al-Hurriyyah)
bukan
berarti
manusia
berbuat
semaunya
dan
meninggalkan apa yang diingininya (yatruk mâ yurîd). Akan tetapi, berbuat sesuai dengan keyakinan bahwa dirinya sebagai mukallaf [yang dibebani] dari yang diperbuatnya mempunyai nilai kebaikan bagi kemaslahatan kemanusiaan secara umum [lishâlihi al-basyar ajma’în], Ustadz ’Allâl juga mengklasifikasikan beberapa bentuk
kebebasan
yakni;
Hurriyyatu
al-Îmân,
Hurriyyatu
al-Wathaniyyah,
Hurriyyatu al-Fardliyyah, Hurriyyatu al-Siyâsah, Hurriyyah al-Bahts al-’Ilmiy, dan Hurriyyatu al-’amal.176 Sejatinya makna Hurriyyah telah dipakai dari tahun III Hijriah dengan pemahaman segala pekerjaan yang mampu dikerjakan manusia/yang bersangkutan dengan catatan [pekerjaan] tersebut tidak menghalangi urusan orang lain (amrun ghairihi). Selanjutnya Ibn ’Âsyûr mengalihkan pembicaraan mengenai kebebasan yang beredar dizaman kekinian, yaitu segala perbuatan/pekerjaan yang diinginkan setiap
individu
kenginginannya
[manusia] tersebut
tanpa
sesuai
ada
dengan
[kemungkinan] ukuran
yang
keberadaannya
menghalangi (Bimiqdâri
imkânihi).177 176
Lihat Maqâshid al-Syarî’ah al-Islâmiyah tahqîq dirâsah Muhammad Thâhir al-Mâisâwî dalam Maqâshid al Syarî’ah al Islâmiyah, Dâr el Nafâis- Urdun, 2001. hal. 390-2. lihat juga Thâhir Ibn ‘Âsyûr dalam ushûlu al-Nidhâm al-Ijtimâ’i fî al-Islam, (Syirkah alTunisiyyah littawzî’ wa Dâr al wathaniyyah lilkitab, al-Jazair 1985, hal. 150-1. lihat juga ‘Allâl al-Fâsî, Maqâshid al Syarî’ah al Islâmiyah wa Makârimuhâ, (Maktabah al-Wihdah al-‘Arabiyyah, Dâr al-Baidhâ’)1963/1383, hal. 244256. dari sekian klasifikasi bentuk kebebasan diatas hendaknya berdasarkan keyakinan kepada wahyu [al-Qur’ân], karena kesemuanya mempunyai konsekwensi pertanggung jawaban masing-masing kelak, demikian ‘Allâl al-Fâsî. Baca juga Abdul Aziz bin ‘Ali Abd ar-Rahmân bin ‘Ali bin Rabî’ah dalam ‘Ilm Maqâshid al-Syâri’ Maktabah Muluk Fahd al-wathaniyyah atsna al-Nasyr, hal. 41-43. 177 Lihat juga Thâhir Ibn ‘Âsyûr dalam ushûlu al-Nizhâm al-Ijtimâ’i fî al-Islam, (Syirkah alTunisiyyah littawzî’ wa Dâr al wathaniyyah lilkitab, al-Jazair 1985, hal. 150-1. Lihat Maqâshid alSyarî’ah al-Islâmiyah tahqîq dirâsah Muhammad Thâhir al-Mâisâwî dalam Maqâshid al Syarî’ah al
82
Dalam perjalanannya, problematika kajian hukum Islam (syarî’ah) yang telah disinggung diatas dituntut mampu menyesuaikan konteks, sehingga dalam konteks inilah ia mempunyai muara/tujuan ideal yang hendak dicapai dari Maqâshid alsyarî'ah (maksud-maksud/tujuan hukum) yaitu kemaslahatan manusia secara makro di dunia dan akhirat, dalam entitas tujuannya Ibn ‘Âsyur juga menyebutnya sebagai membangun tujuan-tujuan ideal/utama dalam frame norma-norma hukum ( Maqâshid ‘ala washafi al-Syarî’ah al-A’dham ), ia merupakan fitrah.178 Kemudian Ibn ‘Âsyur mendefinisikannya fitrah itu sendiri sebagai aturan-aturan/norma yang dibuat oleh Allah diperuntukkan untuk setiap makhluk hidup. Definisi ini bersumber dari (surah ar-Rûm [30:30]) yang kemudian ditafsirkan.179
Islâmiyah, Dâr el Nafâis- Urdun, 2001. hal. 390-1. bandingkan dengan ‘Allâl al-Fâsî, Maqâshid al Syarî’ah al Islâmiyah wa Makârimuhâ, (Maktabah al-Wihdah al-‘Arabiyyah, Dâr alBaidhâ’)1963/1383, hal. 244-256., demikian ‘Allâl al-Fâsî. baca juga Abdul Aziz bin ‘Ali Abd arRahmân bin ‘Ali bin Rabî’ah dalam ‘Ilm Maqâshid al-Syâri’ Maktabah Muluk Fahd al-wathaniyyah atsna al-Nasyr, hal. 41-43. 178 Lihat keterangan ini dalam Maqâshid al-Syarî’ah al-Islâmiyyah, (tahqîq Muhammad Thâhir al-Maisawi, Dâr-el-Nafâis-Beirut 2001) hal. 259-261. 179 Lihat penafsiran al-Râzî yang dikutip Ibn’ Asyur dalam Tafsîr al-Kabîr/ Mafâtîh al-Ghayb, (Beirut, (Dâr al-Kutub al-‘ilmiyyah, 1990) Jld 13, Juz 25, hlm 105. ia menafsirka ‘fitrah Allah’ yaitu ketauhidan-Nya, karena Allah –Jualah yang menjadikan adanya fitrah manusia, dan ciptaan Allah tidak akan pernah tergantikan (Lâ tabdîla likhalqillâh), keesaan yang melekat pada sifat wajib bagi Allah. Bandingkan dengan penafsiran yang dilakukan oleh al-Baidhâwi dalam, Anwâr al-Tanzîl wa asrâr alTa’wîl, ia menafsirkannya dengan penciptaannya, dan kemampuan makhluk penciptannya untuk menangkap kebenaran akan agama Islam, dan tidak mampu seseorangpun untuk merubah ciptaan-Nya ini...lihat (Beirut, Dâr al-Kutub al ‘ilmiyyah 1993/ 1413 H) jld-2, hal. 220. Ibn ‘Atiyah dalam Muharrar al-Wajîz fî tasîr al-Kitâb al-‘Azîz, tahqîq ‘Abdul al-Salâm ‘Abd al-Syâfî Muhammad dinyatakan banyak perbedaan pandangan dengan kalimat fitrah ini, yang menurutnya ia dinisbatkan kepada (Beirut, Dâr al-Kutub al ‘ilmiyyah 1993/ 1413 H) juz 4, hal 336
83
Senada dengan Al-Ghazâli dan al-Syâtibi,180 Ibnu 'Âsyûr berpandangan bahwa tujuan utama syariat adalah untuk menjaga dan memperjuangkan tiga kategori hukum, yang disebutnya sebagai Al-Dharûriyyat (primer), Al-Hâjiyyat (sekunder) dan Al-Tahsîniyyat-(terrier), namun baginya belum cukup untuk membuka kran/jalan berijtihad dan menempatkannya/memposisikan dalam kajian yang tepat (wa tuqîmuhâ ‘alâ asâs makîn) atau hematnya (khâssah) penelitian yang memfokuskan tegaknya norma-norma agama untuk memprioritaskan kemaslahatan umat secara general dengan pelbagai problematikanya secara global yang berkaitan dengannya, ini ditekankan kalaupun tujuan umum diletakkannya Syarî’ah untuk memelihara normanorma kemasyarakatan (hifdzu nidhâm al-ummah).181 Maksud/tujuan yang hendak dicapai dari masing-masing kategori tersebut adalah untuk memastikan kemaslahatan umat manusia, baik di dunia maupun akhirat. Karena dasar dan asas syari’at tersebut sudah barang tentu/semestinya mengandung keadilan dan hikmah yang terbaik bagi umat manusia182.
180
Imam Al-Syâtibi pemilik nama asli Ibrahim bin Musa bin Muhammad al-Lâkhumi alGhûrnâti, Abû Ishâq, dia membagi dua model Ijtihad yaitu istinbâti dan tatbîqi, dalam memahami alQur’ân pandangan as-Syâtibi hendaknya maksud/tujuan Syarî’ah dari bahasa arab, uslub-uslubnya, 'am dan khâs, munâsabah ayat dan sûrah, I'jâz, dengan mengetahui dialektika arab maka akan dapat memahami Al-Qur'ân, karena dialektika arab merupakan terjemahan dari Maqâshid as-Syari' itu sendiri (lihat lebih lanjut al-Muwâfaqât 2:65-66 dan 4:324) tahqîq Abdullâh ad-Darrâz dar-el Ma'rifah Beirut. Karena kepiawaiannya dalam berbagai bidang keilmuan ia banyak memperoleh gelar kebesaran seperti al-Hâfidz, al- Jalîl al-Mujtahid. Penulis al-Muwâfaqât dikenal dengan sebutan Bapak Maqâshid Syarî’ah, kepiawaianya dalam materi fiqh, sampai ada suatu ungkapan peletak Ilmu Ushûl Fiqh itu Imâm Syâfi'I dan pengembangannya dilakukan oleh Al-Syâtibi-lihat lebih lanjut dalam Ensiklopedia Hukum Islam, Pt. Ichtiar Baru Van Hoeve Jakarta cet VII h. 1699-0. 181 Lihat kembali dalam A-Muwâfaqât tahqîq dirâsah Abdullâh Darrâz wa I'dâd Ibrahîm Ramadhân, (Beirut, dar el-Ma'rifah cet-2 1416 H/1996) juz 1, hal. 30. , dan lihat kembali Ibnu 'Âsyûr Maqâshid al-Syarî'ah al-Islâmiyah (Dar al-Nafais Linnasar, Urdun 2001) tahqîq M. Thâhir al-Maisâwi hal. 92, 93, 300-2. bandingkan dengan Muqaddimah Ibn Khaldûn tahqîq Durwaeisy al-Juwaydî, (Beirutal-Maktabah al-‘Ashriyyah cet-2 1997/1416 H), hal. 43. ditulis bahwa Maqâshid al-Syarî’ah Fî al-Ahkâm kulluhâ mabniyyatun ‘ala al-Muhâfazah ‘Ala al-‘Umrân. Lihat juga Dirâsat fî fiqh Maqâshid al-Syarî'ah karya Yusuf al-Qaradhâwî.(Dâr-el-Syurûq, 2006), lihat juga tulisan Hammâdî Ubaidi dalam Ibnu Rusyd wa al-ulûm al-syarî’ah al-Islâmiyah,( Dar-el Fikr al-Arabiy, 1991) h. 99. 182 Ibnu ‘Âsyûr Maqâshid al-Syarî’ah al-Islâmiyah, (tahqîq Muhammad Thâhir al-Maisawi, Dâr-el-Nafâis-Beirut 2001) h. 301, Lihat lebih lanjut al-Ghazâli dalam karyanya al-Mustasfâ fi 'ilmi al'ushûl tahqîq Dr. Muhammad Sulaiman Asyqar (Beirut Muassasah ar-Risalah 1417 H/1997) jld. 1 h. 417-421. lihat lebih lanjut uraian Maqâshid syarî’ah dalam sejarah teori hukum Islam terj. Dari A
84
Dharûriyyat (secara bahasa berarti kebutuhan yang medesak/primer), Pandangan Ibnu ‘Âsyûr
mirip dengan taksonomi al-Ghazâli (w.505) dalam al-
Mustasfâ-nya, dan al-Syatibi (w.1388 H) terhadap kebutuhan primer yang harus dipelihara sejalan dengan kemaslahatan yaitu; hifdzu ad-Dîn, an-Nufûs,wa al-'uqûl, wa
al-amwâl,
wa
al-ansâb,
kemudian
al-Qarâfi
dan
Tajuddin
as-Subkî
menambahkan al-a'râdh sebagai sub kategori dharûriyyat, penambahan tersebut ditolak oleh Ibnu 'Âsyûr karena menurutnya (kehormatan/harga diri) termasuk dalam kategori hâjiyyat (sekunder), sebagaimana al-Ghazâli tidak menempatkan a'râdh dalam kategori dharûriyat, menurutnya harga diri telah ditanamkan sejak dini dan telah tertancap kuat dalam kebiasaan, yang kemudian pada perkembangannya dengan memanfaatkan syariat semaksimal mungkin untuk dapat mencapai keutamaannya (harga diri).183 Hâjjiyat (secara bahasa berarti kebutuhan/sekunder), adalah merupakan aspek hukum yang meringankan beban yang teramat berat, sehingga hukum dapat dilaksanakan tanpa beban, tertekan dan terkekang, dan harus ditunaikan/dilaksanakan sesuai karena kebutuhan. Seperti; nikah, kebolehan jual beli dengan cara 'araya yang
history a Islamic legal Theories karya Wael B. Hallaq (oleh E.Kusnadiningrat dan Abdul Haris bin Wahid, Raja Grafindo, 2001) hal. 247-256. 183 Ibnu ‘Âsyûr , Maqâshid al-syarî’ah al-Islâmiyah 306, Hammâdî Ubaydi menambahkan Ibnu Rusyd (lahir 520H/1126M), Ibnu Rusyd wa al-‘Ulûm al-Syarî’ah al-Islâmiyah,(Dâr-el Fikr al-Arabiy, 1991) h.99-101, bahwasannya :"keberlangsungan kehidupan manusia tidak stabil apabila kelima hal diatas tidaklah tercukupi (terselamatkan). Demikian Ibnu Rusyd mengutip pernyataan al-Syâtibi dalam Muwâfaqâtnya juz 1,hal. 13. disisi lain Ibn Rusyd seperti yang ditulis Hammâdî Ubaydî (tahqîq Maqâshid al-Syarî’ah al-Islâmiyah, hal.17) mengadaptasi Ibn Âsyûr yang mengatakan bahwa seorang fakih tentu membutuhkan pemahaman Maqâshid al-Syarî’ah dan belum cukup kalau hanya memiliki keahlian dalam ilmu ushul untuk melakukan penafsiran karena secara global ia hanyalah kumpulan dari segenap kaidah-kaidah yang mengartikulasikan makna lafadz-lafadz dan pemahamannya serta menyingkap makna dibalik teks dengan menggunakan metode qiyâs.
85
menimbulkan resiko,184 kemudian dengan memperingan pelaksanaan ibadah dalam keadaan sakit.185 Tahsîniyyat (secara bahasa berarti sebagai hal penyempurna/terrier) dengan menyempurnakan keadaan dalam berkehidupan yang bermasyarakat, sehingga hidup dengan aman, tentram dan sentausa. Saling bahu-membahu sebagai makhluk sosial yang berperadaban dan berbudi luhur, dengan menciptakan lingkungan yang kondusif. Seperti bersedekah, memerdekakan budak, dll.186
184
‘Araya merupakan jual beli dimana buah belum masak (masih dipohon) namun dijual dengan harga yang sudah masak. Meskipun hukum Islam melarang transaksi jual beli yang mengandung resiko ini, jual beli 'araya diakui tanpa mengabaikan resiko dan ketidak pastian yang meliputinya, Lihat kembali as-Subki, takmîlât al-majmû'; XI hal. 2 185 Lihat kembali Hammâdi Ubaydî, hal.100. seperti dikutip dari Maqâshid al-syarî’ahnya Ibnu 'Âsyûr, hlm 306, ia mengadopsi pandangan al-Syatibi dalam Muwâfaqât hal.326. 186 Ibnu 'Âsyûr Maqâshid al-syarî’ah al-islâmiyah 307, lihat juga Al-Ghazali al-mustasfâ juz 1 hal. 418.lihat lebih lanjut sejarah teori hukum Islam terj. Dari A history a Islamic legal Theories karya Wael B. Hallaq (oleh E.Kusnadiningrat dan Abdul Haris bin Wahid, Raja Grafindo, 2001) hal. 247256.
86
D. Rigiditas dan Elastisitas penafsiran: Generalitas dan Pengujian Teori 1) Pandangan Sarjana Barat tentang Ortodoksi/Rigiditas Sering dikatakan bahwa ortodoksi (selanjutnya disebut rigiditas penafsiran) adalah sesuatu yang asing dalam konteks Islam Rahmatan lil’âlamîn, karena tidak ada dalam Islam sebuah institusi, seperti lembaga gereja misalnya, yang memiliki otoritas untuk menentukan kriteria ortodoksi.187 Tetapi kita bisa dengan cukup aman menggunakan konsep ortodoksi dalam kajian tafsir berdasarkan alasan-alasan berikut. Pertama, Rigiditas penafsiran yang dipahami sebagai sebuah konsep ternyata dapat ditemukan dalam karya para pemikir muslim awal, terutama di bidang teologi dan heresiografi.188 Dalam konteks ini, rigiditas dipahami dalam kerangka pembedaan antara “yang benar” dan “yang salah”. Kajian tafsir pun tidak luput dari kagtegorisasi diatas. Sebagaimana dapat dilihat dengan jelas, literatur-literatur tafsir dan ‘ulûm alQur`ân dipenuhi oleh kriteria-kriteria serta contoh-contoh “deviasi” dalam penafsiran. Hal tersebut menyiratkan adanya sebuah konsep tentang ortodoksi dalam tafsir (tafsir yang rigid). Kedua, proses standardisasi dalam disiplin keilmuan selalu berlangsung sampai pemapanan ilmu yang dimaksud.189 Dalam disiplin keilmuan tafsir misalnya,
187
Karena tidak adanya sebuah institusi dalam Islam yang bisa membuat sebuah doktrin menjadi resmi dan ortodoks, maka Montgomery Watt lebih suka menggunakan istilah “pandangan mayoritas” (the view of the main body) atau “pandangan Sunni” (the Sunnite view). Lihat W. Montgomery Watt, The Formative Period of Islamic Thought (Edinburgh: Edinburgh University Press, 1973), hal. 268. 188 Jika ortodoksi dipahami sebagai upaya untuk membedakan antara keyakinan yang benar dan keyakinan yang salah, maka orang-orang seperti al-Asy‘arî, al-Gazâlî, al-Syahrastânî dan lain-lain pernah mencoba mendefinisikan parameter keislaman yang “benar” dan mengkategorikan sikap-sikap yang bertentangan dengannya sebagai pola keberagamaan yang “salah”. Parameter itu kemudian menjadi acuan dasar untuk memapankan ortodoksi Sunni serta menegaskan heterodoksi kelompokkelompok lain di luarnya, seperti Syi‘ah, Muktazilah, Khawarij dan lain-lain. Lihat Fauzan Saleh, Teologi Pembaruan: Pergeseran Wacana Islam Sunni di Indonesia Abad XX (Jakarta: Serambi, 2004), hal. 77-78. 189 Ortodoksi adalah sebuah fenomena yang tidak saja terjadi dalam bidang agama, tetapi juga terjadi dalam banyak disiplin keilmuan, seperti bahasa dan historiografi. Lihat Ursula Günther, “Mohammed Arkoun: towards a radical rethinking of Islamic thought”, dalam Suha Taji-Farouki [ed.], Modern Muslim Intellectuals and the Qur’an (Oxford: Oxford University Press, 2004), hal. 142.
87
kecenderungan yang sama juga terjadi. Prinsip-prinsip, metode-metode serta terminologi-terminologi tafsir dan ‘ulûm al-Qur`ân telah mengalami proses pemapanan yang berlangsung sekian lama. Standar kemapanan inilah kemudian menjadi arus-utama dan dianut oleh mayoritas ulama tafsir. Adapun setiap pemikiran yang berbeda dari mainstream tersebut cenderung dianggap sebagai ’deviasi/takhrîf’ dari pemahaman yang sudah mapan tersebut. Persoalannya, mungkinkah kriteria ortodoksi/rigiditas sebuah tafsir itu didefinisikan dan dibatasi? Atas dasar apa serta mengapa sebuah teori penafsiran bisa dikategorikan ortodoks/rigid dan bukan heterodoks/elastis? apakah fuqahâ belum menggunakan konsep Maqâshid dalam penafsiran? Bagaimana mungkin kita membatasi sebuah teritori banyak orang, dengan pendapat masing-masing yang berbeda-beda, ingin dianggap sebagai bagian darinya? Berhadapan dengan problem-problem di atas, penelitian ini meyakini bahwa adalah
mungkin
untuk
membatasi
dan
mendefinisikan
struktur
dasar
ortodoksi/penafsiran yang rigid seperti pembatasan terhadap ortodoksi Sunni yang dilakukan oleh Norman Calder misalnya, dalam artikelnya, “The Limits of Islamic Orthodoxy”.190 Hanya saja, mesti diupayakan bahwa pembatasan itu, pertama, bersifat general yang elastis; “general”, dalam arti bahwa ia dituntut untuk mencari prinsipprinsip yang relatif permanen dan tidak berubah dari masa ke masa; “elastis” dalam arti bahwa ia tidak dirumuskan berdasarkan asumsi yang rigid bahwa ortodoksi dibangun sekali dan untuk selamanya serta tidak pula berpretensi untuk menengahi atau mereduksi perdebatan-perdebatan yang mengemuka dalam kajian tafsir sepanjang beberapa abad lamanya. Kedua, pembatasan itu juga diusahakan untuk lebih bersifat sosiologis daripada normatif. Artinya, ia digunakan sekedar untuk menjawab pertanyaan mengapa sebuah teori atau pandangan dalam tafsir diterima oleh komunitas Mufassir sementara teori atau pandangan lain ditolak. Dengan cara 190
Norman Calder, “The Limits of Islamic Orthodoxy”, dalam Farhad Daftary [ed.]. Intellectual Traditions in Islam (London: I.B. Tauris, 2000), hal. 66-86.
88
yang sama, kriteria ’elatis’ tersebut berfungsi menjadi dasar untuk menganalisa mengapa Ibnu ‘Âsyûr
dalam hal ini penting dan diapresiasi dengan cara yang
proporsional dari sebuah tafsir yang rigid, sementara di sisi lain, pendapat-pendapat Ibn ’Âsyûr juga digunakan untuk mendukung dan menjustifikasi ortodoksi. Ketiga, demi menghindari simplifikasi yang berlebihan, upaya penilaian terhadap prinsipprinsip Maqâshid dalam tafsir Ibnu ’Âsyur akan dilakukan kepada masing-masing bagiannya untuk menghasilkan kesimpulan bahwa, prinsip-prinsip Maqâsid dalam tafsir Ibn ’Âsyur bertentangan atau tidak sesuai dengan struktur ortodoksi/penafsiran yang rigid. Norman Calder,191 penelitian ini berpendapat bahwa tidak ada satu pun karya di bidang tafsir yang bisa dianggap memberi kata akhir bagi apa yang disebut ortodoksi /rigiditas penafsiran. Karena itu, penelitian ini tidak mencoba melacak ortodoksi tafsir melalui pandangan atau karya seorang ulama tertentu, melainkan melalui pembatasan terhadap struktur dasar ortodoksi dengan mana deviasi dari ortodoksi/rigiditas itu bisa dinilai. Bertolak dari asumsi tersebut, penelitian ini juga memilih untuk tidak terlalu memusatkan perhatiannya kepada relasi antara ortodoksi/penafsiran yang rigid dan pilihan politik penguasa, melainkan kepada proses diskursif yang berlangsung di antara para ulama tafsir. Dan karena belum ada satu pun literatur yang menguraikan struktur dasar ortodoksi dalam tafsir secara utuh dan sistematis, maka struktur tersebut akan digali, terutama, dari literatur-literatur tafsir dan ‘ulûm al-Qur`ân,192 berdasarkan kerangka teori yang akan diuraikan pada bagian mendatang. Sebuah penafsiran yang rigid agak sulit dibatasi, karenanya penelitian ini memilih untuk mendefinisikan rigiditas dengan memotret munculnya ortodoksi,
191
Norman Calder, “The Limits of Islamic Orthodoxy”, hal. 69-71. Literatur-literatur tafsir dan ‘ulûm al-Qur`ân juga meliputi karya-karya tentang “heresiografi”, perdebatan, serta tipologi tafsir (seperti al-mufassirûn hayâtuhum wa manhajuhum, alIttijâhât al-Munharifah fî Tafsîr al-Qur`ân al-Karîm, Ikhtilaf al-Mufassirîn: Asbâbuhû wa Dawâbituhû, Madzâhib al-Mufassirîn, dan lain-lain), serta karya-karya tentang kaidah dan aturan tafsir (seperti al-Qawâ‘id al-Hisân li Tafsîr al-Qur`ân, Ushûl al-Tafsîr wa Qawâ‘iduhû, dan lain-lain). 192
89
dengan menelusuri tafsir Sufi klasik, dan perdebatan para teolog kelompok-kelompok Syi‘ah, Muktazilah, dan Khawarij. Pendekatan semacam ini dilakukan juga oleh, misalnya, Wael B. Hallaq dalam karyanya, A History of Islamic Legal Theories: An Introduction to Sunni Usul al-Fiqh —yang dimaksudnya dengan “Sunni Usul alFiqh” adalah ushûl fiqh yang dikembangkan oleh sebuah kelompok mayoritas (Sunni) di luar Syi‘ah.193 Selain itu, terma ortodoksi/rigiditas tafsir” menyiratkan bahwa terdapat juga sejenis ortodoksi tafsir dalam kelompok-kelompok lain seperti terlihat pada tafsir Sufi klasik.194 Pada seminar XV diselenggarakan di Al Jazair pada september 1981, kongres tersebut mengerahkan kajiannya pada Al-Qur’ân, kajian tersebut diharapkan dapat membantu untuk merumuskan strategi pengkajian dan berbagai arahan dari yang terpikir yang dipaksakan wacana Islam secara makro.195 Dalam hal ini Arkoen mencatat bahwa metode filologis yang dipraktekkan di barat sejak abad XVI sekalipun, dengan kekayaan (metode) yang luas dipertahankan dalam yang terpikir dan yang tak dipikirkan begitu berkaitan dengan berbagai sumber-sumber (ushûl) wacana islami umum, terutama barkaitan dengan al-Qur’ân dan hadits. Berbagai penolakan itu tidak pernah menggunakan argumen filologis dan historisis dalam pengertian modern. Tetapi senantiasa menonjolkan wewenang naskah-naskah yang sebernarnya menjadi obyek pembahasan ; al-Qur’ân dab Hadits, skema historiografis yang telah dibekukan sejak abad IV/X dibawah tekanan teologi ortodoks. Demikianlah kita melihat cara kerja semua nalar keagamaan.196 193
Hallaq, A History of Islamic Legal Theories, hal. vii. Lihat Michael A.Sells, diterj. Dari Early Islamic Mysticism, oleh D.Slamet Riyadi, (Sufisme Klasik; menelusuri tradis teks Sufi), Mimbar Pustaka Bandung 2003, hal. 88 sampai akhir. 195 Lihat Arkoun Lectures du Coran terj. Hidayatullah ‘Kajian Kontemporer al-Qur’ân (Penerbit Pustaka Bandung 1998) hal.20-21. 196 Diadaptasi dari Lectures du Coran terj. Hidayatullah ‘Kajian Kontemporer al-Qur’ân (Penerbit Pustaka Bandung 1998) hal.20-21., lihat juga berbagai kontroversi yang dilancarkan tanpa henti terhadap karya-karya Joseph Shact An Introduction to Islamic Law,(oxford:clarendon, 1964) dan Ignaz Galdziher. Lihat lebih lanjut ulasannya dalam Faisar Ananda Arfa, sejarah pembentukan Hukum Islam, Pustaka Firdaus cet. Pertama 1996 hlm 5-27. dalam hal yang sama sarjana barat yang 194
90
2) Tekstualisme dan Problematika Linguistik Adalah menarik bahwa lukisan pengalaman-pengalaman mistik kerasulan dalam periode Makkah dan Madinah seperti disinggung dalam Al-Qur’ân (QS. 17:1 ; 53: 1-12 dan 13-18; 81 : 19-25) terlihat adanya ungkapan yang progresif dari cita religio-moral dan pendasaran tata kemasyarakatan dari komunitas muslim yang baru terbentuk, namun kita hampir tak menemukan alusi-alusi apapun dalam Al-Qur’ân tentang pengalaman-pengalaman batin. Hal ini sejalan degan orientasi kesadaran Kenabian dimana pengalaman spritual tidak untuk dijadikan tujuan akhir atau dengan kata lain dinikmati sendiri, tetapi yang utama untuk memberi makna pada tindakan dalam sejarah.197 Dalam spiritualitas Islam dan Syarî’ah-lah bermula dari munculnya gerakan pembaharuan Sufi (ortodoks) bertujuan mengintegrasikan kesadaran mistik dengan syarî’ah Nabi, hal tersebut bermula dari pertengahan kedua abad ke-3 H/9 M dengan kegiatan
tokohnya,
seperti
al-Kharrâz
mengemukakan
subsistensi/survival
(kelanggengan/baqâ) untuk memperluas dan memperbaiki doktrin al-Bustamî tentang ’annihilasi’ (fana’). Apa yang nampaknya ingin diartikulasian dari pencipta doktrin adalah bahwa subsistensi adalah suatu perkembangan spiritual dimana Yuhan mengenugrah manusia dengan penemuan kembali dirinya.198 Dalam Islam setidaknya terdapat Empat fase Spiritualitas Islam; pertama; Fase pra Sufistik yang meliputi AlQur’ân, elemen-elemen ritual yang utama dalam Islam, dan peristiwa Mi’raj Nabi. Kedua; Fase Sufisme periode pertama seperti Hasan Al-Bashrî (w.110 H/728 M), Dzunnûn al-Mishrî (w. 246 H/861 M), Rabi’ah ’Adawiah (w. 185 H/801 M), Abû Yazîd al-Bisthâmi, al-Muhâsibi (w. 243 H/875 M), dan al-Junayd al-Baghdâdi. mendukung keberadaan hokum Islam pada awal hijriah diantaranya, M.M. al-Azami, Noel J. Coulson. SD. Goitein, dan Wael B. Hallaq. Lihat artikel Goitein yang diulas oleh Faisar dalam buku yang sama, 34-53 197 Fazlur Rahmân, Islam, terj.oleh Ahsin Muhammad (Penerbit Pustaka, Bandung cet. 3. 1997, hal. 183-184. 198
Lihat Kasyf al-Mahjûb, oleh Abu ‘Ali al-Hujwirî, karya yang berharga tentang doktrindoktrin Sufi, terj. Inggris R.A Nicholson (Gibb Memorial Studies), hal. 242 dst. Lebih lanjut lihat uraian Rahman dalam Islam, 198-199.
91
Warisan mereka sampai kepada kita melalui sekumpulan ucapan yang terdapat pada karya tulis ulama’ sesudahnya. Tahapan ini berawal dari Hasan Al-Bashrî hingga masa al-Niffâri (w. 354 H/965 M). Ketiga; Fase pembentukan kepustakaan Sufistik yang menunjukkan Sufisme sebagai satu modus kesadaran diri spiritualitas yang meliputi semua aspek kehidupan dan masyarakat. Fase ini bermula dari al-Sarrâj (w. 465 H/ 988 M); hingga masa al-Qusyairi(w. 465 H/ 1074 M). Keempat; Karya-karya gabungan dari para Sufi abad tujuh Hijriah seperti Attar, Rûmî (w. 672/1273 M) dan Ibn ‘Arabi (w. 638/1240 M).199 Kemudian pada abad 4 H/10 M, al-Kalabadzî (w. 385 H/ 995 M) dengan mengutip seorang otorita Sufi (Hallâj) mengatakan; subsistensi (baqa’) adalah maqamât (station) Nabi-nabi yang dianugrahi Tuhan kedamaian dan itegritas (sakinah),karena apapun yang mereka peroleh tidaklah menghalangi mereka untuk melaksanakan kewajiban-kewajiban yang telah diperintahkan Tuhan’.200 Klaim-klaim kaum Sufi diatas yang dijadikan Junaid al-Baghdâdi sebagai sasaran kritik baik dalam batas esoterik maupun praktek lahiriah mereka. Ia tidak menolerir dan menolak konsep Sufi tentang ‘tahapan-tahapan’ dalam kesadaran manusia, dan mengatakan mereka telah mati dalam keadaan menjadi tawanan dari buah
khayalan
mereka.
Sebagai
konsekwensinya
Ia
menjawab
dengan
mengemukakan prinsip bahwa pengetahuan (ilmu) mempunyai prioritas atas gnosis (ma’rifah) dan larangan memiliki prioritas terhadap pembolehan.201 Hasil dari proses doktrin Sufi mengasilkan kategorisasi yang berpasangan antara lain; (1) 199
Michael A.Sells, diterj. Dari Early Islamic Mysticism, oleh D.Slamet Riyadi,(Sufisme Klasik; menelusuri tradis teks Sufi), Mimbar Pustaka Bandung 2003, 22-25. 200 Michael A.Sells, diterj. Dari Early Islamic Mysticism, oleh D.Slamet Riyadi,(Sufisme Klasik; menelusuri tradis teks Sufi), Mimbar Pustaka Bandung 2003, 22-26 diadopsi dari kitab Ta’arruf oleh Kalabâdzî Lihat Rahman dalam, Islam, , terj.oleh Ahsin Muhammad (Penerbit Pustaka, Bandung cet. 3. 1997, hal. 198-199.. 201 Diadopsi dari kitab Ta’arruf oleh Kalabâdzî, Rahman menguraikannya kembali dalam, Islam, terj.oleh Ahsin Muhammad (Penerbit Pustaka, Bandung cet. 3. 1997, hal. 198-199. Penafsiran-penafsiran yang dilakukan Massignon harus dilakukan dengan hati-hati, sebab lanjut Rahman terkadang subyektifitasnya masih terasa kental. Lihat Rahman dalam, Islam, , terj.oleh Ahsin Muhammad (Penerbit Pustaka, Bandung cet. 3. 1997, hal. 198-199.
92
ketidaksadaran dan ‘sadar’ (2) ‘unitas’ dan perbedaan (3) ‘absensi’ dan presensi’(dari diri, dihadapan Tuhan, dan pengalaman mistik). Walaupun para Sufi belum dan tidak mampumerumuskan secara ekslplisit hubungan organis antara kategori-kategori dialektis mereka, namun doktrin mereka secara material memberikan sumbangan kepada penyelamatan hubungan mereka dengan ortodoksi (kompromi adoks) seperti yang dilakukan oleh Ibnu Khâfif (w. 371 H/981 M).202 Tafsir Sufi disinyalir sudah muncul pada akhir abad ke-2, dengan gaya tutur yang tidak linear dan bentuk bahasanya pada awal-awal munculnya diawali dengan kata kunci dari Al-Qur’ân, sebut saja sekumpulan ujaran yang dinisbahkan kepada Imam Ja’far al-Shâdiq (w. 148 H/765 M), tafsir ini memunculkan kontroversial seputar hubungan sufsime dengan syi’ah yang bermula dari ‘Ali (sebagai pemimpin).203 Simbolisme huruf dalam Tafsir Ja’far diawali dengan frase: Dengan nama Allah yang Maha pengasih dan Maha Penyayang,”frase ini dianggap bagian integral dari surah tersebut. Seperti ‘bismi’ (dengan nama). Kemudian huruf pertama pada potongan frase tersebut; ba’, sîn, mîm, dan setiap huruf akan dikaitkan dengan satu kata kunci dengan kata dasar dari ketiga huruf itu.204 Kemudian generasi selanjutnya seorang Sufi yang berdisiplin tinggi; Shal ibn Abdullâh al-Tustari (w.283 H/986 M).205 Karyanya merupakan ucapan-ucapannya yang dikumpulkan oleh muridnya yaitu Muhammad ibn Sâlîm (w. 297 H/ 909 M), pengaruh Sahl terhadap karya-karya Sufi pada masa berikutnya sangatlah dominan 202
L.Masignon dalam recoil de texts inedits, hal. 80. dalam Rahman dalam, Islam terj.oleh Ahsin Muhammad (Penerbit Pustaka, Bandung cet. 3. 1997, hal. 198-199. 203 Diadaptasi dari naskah Paul Nwyia dalam Le tasîr Mysticue Attribute a Ja’far Shâdiq Edition critique, “Melanges de Unicersite Saint Joseph 43 (Beirut, 1968) hal. 181- 23. Nwyia mengumpulkan beberapa karya tafsir yang disandarkan pada Ja’far al-Shâdiq (w. 148/765 M) dari Haqâiq at-Tafsîr karya al-Sulami (w. 412 H/ 1021 M) yang diteliti oleh Nwyia bahwa Ja’far hidup di Madinah selama masa peralihan dari kekhalifahan Bani Umayyah di Damaskus kepada Bani ‘Abbâsiyyaah di Baghdad. 204 B untuk bahasa arab ba’: S untuk bahasa arab Sîn, M untuk bahasa arab Mîm . 205 Muhammad Shal ibn Abdullah al_Tustari, Tafsîr al-Qur’ân al-‘Adzîm (Cairo: Dâr al-Kutub al-Gharbiyyah al-Kubrâ, 1329 H/ 1911). Lebih lanjut lihat Gerhard Bowering, The Mystical Vision of existence in Classical Islam: The Qur’anic Hermeneutics of the Sufi al-Tustari (w. 283 H/ 896 M) (Berlin:Walterde Gruyter, 1980)
93
sehingga ia dipuji karena telah mengungkapkan tema-tema Sufi yang cukup penting diantaranya; perjanjian primordial antara Tuhan dengan manusia (kalimat tauhid), pancaran yang abadi dari cahaya Muhammad (al-Nûr Muhammadî), pandangan yang menyatakan bahwa hanya Tuhan yang berhak untuk mengatakan ‘Aku’ dan pandangan bahwa akhirnya setan akan dibebaskan. Sejatinya al-Tustarî banyak dipengaruhi oleh Sufi periode awal yang cukup terkenal yaitu Dzû al-Nûn al-Mishrî (w. 246 H/861 M). Pada gilirannya, ia banyak mempengaruhi pemikiran beberapa Sufi penting dalam sejarah Sufi seperi al-Junayd, al-Hallâj, dan Muhammad ibn Salim (w. 297 H/ 909 M).206 Penerimaan kepada mukjizat dan kewalian pun disinyalir tumbuh sangat luas pada abad 4 H/10 M, dan bahkan filosof rasional sekaliber Ibnu Sina memberikan ruang dan tempat kepadanya dalam sistem anti-atomisnya, walaupun ia menerangkan mukjizat tersebut sebagai efek ‘alamiah’ dari kelebihan kekuatan pikiran (mind) atas benda (matter). Gerakan pembaharuan Sufisme bermula dari mulai beredarnya hadits-hadits baru pada abad ini 3 dan 4 H/ 10 M ini yang bermuara ganda untuk menggalakan Sufisme dan menariknya pada wilayah ortodoks. Hal ini terlihat semenjak munculnya karya-karya Sufi pada perempat akhir abad 4 H/10 M seperti alLuma’ oleh al-Sarrâj (w. 377 H/987 M) dan pengantar menuju jalan Sufi oleh Kalabâdzî untuk menggalakan Sufisme moderat dengan struktur ide-ide yang konsisten yang menunjang langgengnya ortodoksi/pemahaman rigid atas teks. Kegiatan ini kemudian diikuti pada tahun 438 H/1047 M oleh al-Qusyairî (w.465
206
Lingkungan tempat al-Tustarî hidup dan mengajar telah dijelaskan oleh Bowering (Mystical Vision, hal. XX); adalah al-Tustari seorang penduduk Persia, Privinsi Khurasan, meninggal di Bashrah, kota metropolitan arab yang terletak didataran rendah Irak. Tustari hidup dalam satu wilayah yang selama beberapa abad peradaban Iran dan dinasti Susian tela membatasi dan membuat garis tradisi cultural sepanjang Mesopotamia Utara. Hidupnya sendiri dihabiskan didua wilayah terebut ketika kekhalifahan Abasiyah (abad ke-3 sampai 9 H) menguasai dan menyerap tradisi Iran dan Hellenis kedalam pengaruhnya, kemudian mencampurkannya dengan kebudayaan arab dari peradaban Islam yang baru berkembang.
94
H/1073 M) dengan bukunya ‘Utusan (Risalah) Qusairiyyah’ yang masyhur, sebagai manifesto sintesa antara Sufisme dan theologi ortodoks.207 Kemudian gerakan ini mencapai puncaknya pada masa al-Ghazâli (w. 505 H)Hujjatul Islâm- penulis, Ia tidak hanya membangun kembali (reorientasi) Islam ortodoks, namun juga pembaharu Sufisme, dengan membersihkannya dari unsurunsur tak Islami serta mengabadikannya kepada paham Islam yang ortodoks. Melalui pengaruhnya Sufisme memperoleh restu dai Ijma’(konsensus masyarakat).208 Apabila ilmu ushul fiqh dianggap sebagai metode yang bertanggung jawab atas (dasar) dalam berijtihad untuk memahami Nash al-Qur’ân dan istinbath hukum, maka sedikit sekali celah kesalahan dari ilmu ini yang akan menyebabkan mandegnya Ulama’ dalam berijtihad karena ia merupakan Induk dari ilmu Maqâshid Syarî’ah yang mempunyai tatanan kokoh, sebagai dasar asli dan tumpuan awal penyangga dari sesuatu yang berada diatasnya. Dengan kata lain pengejawantahan integral/general atas konsep-konsep yang partikular dari kaidah-kaidah fiqhiyyah secara khusus. Dengan demikian celah-celah kesalahan diatas berawal/bersumber dari keinginan untuk memperluas cakupan ilmu ushul dengan memasukkan hal-hal yang tidak diperlukan oleh Mujtahid dalam beristinbat hukum.209 Kalupun al-Syâtibî (1388 M) dipandang sebagai pendobrak gagasan kembali Ilmu Ushul menjadi kokoh dengan Maqâshid al-Syarî’ah, seperti yang disinyalir beberapa pakar dan peneliti diatas. Lain halnya dengan Ibn ‘Âsyûr dia meletakkan Maqâshid al-Syarî’ah sebagai ilmu tersendiri tidak lagi menginduk pada ilmu Ushul Fiqh, karena ilmu Maqâshid al-Syarî’ah baginya sangat berhubungan erat dengan 207
Fazlur Rahman, Islam terj. Ahsin Muhammad (Pustaka, Bandung cet. 3. 1997, hal. 200-203. Fazlur Rahman, Islam hal. 202-205. dari sinilah kemudian lahir organisasi Sufi, sampai pada perkembangan sekte dan gerakan pembaharuan modern dan perkembangan modern serta neo modernisme seperti yang diklaim Fazlur Rahmân bahwasanya ia masuk dalam kategori ini. 209 Lihat Ibn Mandzûr (Abû Fadl Jamâluddîn Muhammad ibn Mukrim (w. 117 H) dalam Lisan al-arab “Dâr Lisân al-Arab” Beirut, jld. 3 hal. 128., lihat juga Abû Ja’far Muhammad ibn Jarîr athThabarî (w. 310 H), tafsir ath-Thabarî Jâmi’ al-Bayân ‘an ta’wîl ayy al-Qur’ân, tahqiq Ahmad Mahmûd Muhammad asyakir Dâr al-Ma’arif, Mesir, jld. 3 hal.57. dan Ibn ‘Atiyyah, Muharrar alWajîz fî tafsîr al-kitâb al-‘azîz tahqiq Abdullah al-Anshari dan Sayyid abdul ‘ali Ibrahîm, cet. 1, jld 1 Qatar 1409 H/1988, hal. 487. 208
95
penelitian lain, yang mempunyai muara esensi tujuan sama yakni penelitian tentang” Norma-norma/aturan sosial Kemasyarakatan yang Islami” (The rule of Islamic Civilization), yang menurut kaca mata Ibn ‘Âsyûr, pemerhati penelitian tentang tema besar ini dan (Maqâshid Syarî’ah) membutuhkan kaidah-kaidah yang lebih luas (tidak terikat dengan konversi persepadanan dengan qiyas), rinci dan detail dari kaidahkaidah ushul fiqh.
BAB III
96
PRINSIP-PRINSIP TAFSÎR DAN FORMULASI MAQÂSHID IBN ‘ÂSYÛR Aktifitas penafsiran al-Qur’ân yang dilakukan oleh para intelektual Muslim, dari dulu hingga kini, bahkan masa yang akan datang selalu berada dalam satu bingkai teoritik yang sama, sebagaimana ditegaskan oleh Andrew Rippin, yakni to explain the text and to explore its ramifications as fully as possible, as well as to make the text understandable.210 Tetapi muncul sebuah persoalan, yakni bagaimana seharusnya seorang muslim menafsirkan al-Qur’ân, sehingga pesan-pesan ilahi yang terekam di dalamnya dapat ditangkap secara baik dan benar. A. Prinsip-prinsip dasar penafsiran Ibn ‘Âsyur Dalam kesempatan lain Ibnu Âsyûr menyatakan bahwa terdapat dua karakter mufassir dalam menyikapi tafsir sebelumnya. Pertama; mereka cenderung mengekor (taqlid) pada apa yang didapat dari pendahulunya. Kedua; mereka yang menolak bersikap apriori terhadap tafsir-tafsir yang telah ada sekian abad sebelumnya. Menurut Ibn ‘Âsyûr satu karakter lagi bagi mufassir yang mencoba menjembatani dua karakteristik diatas. Bagi mereka yang masih bertali pada mufassir diatas maka kami akan membersihkan dan menambahkan (melengkapinya), dan hampir tidak pernah kami membuang atau menganulir dari tafsir sebelumnya. Karena lanjut Ibn ‘Âsyûr dengan membuang karya-karya umat yang terpuji berarti telah mengingkari nikmat dan keistimewaan sebelumnya, segala puji bagi Allah Rabbul ‘Âlamin yang telah menunjukkan dan mengukuhkan harapan dan mempermudah jalan kebaikan ini.”211 Sebagai pengantar untuk kitab tafsirnya, Ibn ‘Âsyûr menulis sebuah mukaddimah yang dibaginya menjadi 10 bagian, antara lain;
210
Andrew Rippin, Muslims; Their Religious Beliefs and Practices, Vol II, (New York; Routledge; 1995), hal. 85. lihat Bab II hal 5. 211 Ibnu ‘Âsyûr “al-Tâhrîr wa al-Tanwîr” hal. 7-8
97
Pengantar Pertama Ibnu ‘Âsyûr (1973 M) berbicara tentang tafsir dan ta’wil, dia menegaskan tafsir merupakan ilmu Islam yang pertama, menurutnya orang pertama yang mengkodifikasi tafsir yaitu ‘Abdul Mâlik ibn Juraij (80-149 H). Banyak dari riwayat Ibnu Juraij diambilkan dari Ibn Abbas walaupun figur sekaliber Ibnu Abbas (sahabat) banyak juga yang mengklaim dengan riwayat-riwayat yang tidak jelas jluntrungnya (israiliyyât), hal saling mengklaim dan melegitimasi tafsir dan ta’wîl kelompok ini sudah terjadi pada Ibnu Abbâs.212 Perhatian kepada persoalan-persoalan linguistik itu bermuara pada upaya penetapan pola relasi antara teks dan maknanya. Secara umum, relasi tersebut bersifat tekstualis, dalam arti bahwa pemaknaan apa pun terhadap al-Qur`ân tidak boleh bertentangan dengan teks (al-Qur`ân dan hadits).213 Pada praktiknya kemudian, prinsip tentang tekstualisme dalam tafsir ini bersinggungan dengan, paling tidak, dua hal: takwil dan pembatalan teks (ta‘tîl al-nash).214 Menurut sebagian ulama klasik ta’wil sepadan (makna) dengan tafsir, dimana ta’wil dianggap sebagai tafsir Al-Qur’ân, sama dengan ta’wîl Al-Qur’ân.215 Ta'wîl merupakan sisi lain dalam memotret –dan memahami- cakrawala teks al-Qur'ân, selain ta'wîl terdapat beberapa istilah yang menunjukkan pada pengungkapan makna al-Qur'ân seperti tafsîr, bayân, syarh, dan terjemah. Dari beberapa term tersebut, term
212
Ibnu ‘Âsyûr “at-Tâhrîr wa at-Tanwîr” hal. 10-17 Teks al-Qur`ân bahkan ditempatkan di atas bahasa—bukan bahasa yang menjadi kriteria benar atau tidaknya teks, melainkan teks yang menentukan apakah sebuah kaidah dalam bahasa Arab bisa dianggap benar atau tidak. Lihat G.E. von Grunebaum, “I‘djâz”, dalam C.E. Bosworth, dkk. [ed.], The Encyclopaedia of Islam, WebCD Edition. Bandingkan dengan al-Suyuti, Al-Itqân, vol. 1, hal. 9. 214 Istilah “ta‘tîl al-nash” berasal dari Yûsuf al-Qardâwî. Lihat al-Qardâwî, Dirâsah fi Fiqh Maqâsid al-Syari‘ah: Bayna al-Maqâshid al-Kulliyyah wa al-Nushûs al-Juz`iyyah (Kairo: Dâr alSyurûq, 2006), hal. 4. 215 Muhammad ‘Alî Shabûniy, al-Tibyân fî ulûm al-Qur’ân, Maktabah al-Ghazâli Damaskus 1401 H, hal. 62-63. seperti Mujahid (w.104 H) murid dari Ibnu Abbâs (w. 68 H) –Tarjûman alQur’ân-, yang berpandangan bahwa mayoritas ulama memahami ta’wil sebagai tafsir al-Qur’ân, namun demikian sebagaian ulama’ mempunyai perspektif berbeda antara tafsir dan ta’wîl terdapat perbedaan yang jelas dikalangan mufassir khalaf (kontemporer) kedua istilah ini. Menurut mereka tafsir mengacu pada arti dhâhir ayat-ayat Al-Qur’ân. Sementara ta’wîl mengacu pada bermacammacam kemungkinan makna yang dikandung ayat Al-Qur’ân. 213
98
yang popular atau mendominasi saat ini adalah term tafsir dibanding dengan term ta'wîl dalam memahami makna al-Qur'ân. Meskipun istilah yang mendominasi saat ini adalah istilah tafsir, akan tetapi dalam catatan sejarah istilah ta'wîl yang lebih dahulu muncul dari pada istilah tafsir. Rasulullah Saw. pernah mengungkapkan lafadz tersebut ketika mendo'akan Ibn Abbas (w. 68 H) agar Allah Swt. Memberikan pemahaman dalam hal ta'wîl kepada Ibn Abbas (…allâhumma faqqihhu fî ad-dîn wa 'allimhu at-ta'wîl). Pada masa tâbi' at-tâbi'in, istilah ta'wil lebih populer. Di zaman Imam at-Thabari misalnya -pengarang kitab Jâmi' al-Bayân fi Ta'wil Ayy al-Qur'ân- diterangkan, bahwa lafadz ta'wîl lebih banyak di ulang daripada lafadz tafsir. Ini di buktikan bahwa kata tafsir hanya disebutkan sekali (al-Furqân ayat 33), sedangkan lafadz ta'wîl terulang lebih dari sepuluh kali.216 Ta’wîl dengan segala perdebatan mengenai definisi dan pembatasannya menganut asumsi tentang dua level makna: zhâhir -bâtin, haqîqî-majâzî, qarîb-ba‘îd, muhkam-mutasyâbih, jâzim-muhtamil, atau ma`tsûr-manzûr.217 Dalam pandangan ortodoksi Sunni, pembagian dua level makna ini bersifat biner, dalam arti bahwa kategori yang kedua harus merujuk kepada, dan dibatasi oleh, kategori pertama. Lebih jauh lagi, perumusan makna pada kategori kedua harus selalu dilakukan dalam wilayah yang diizinkan oleh kaidah-kaidah bahasa Arab. Dengan demikian, makna bâtin, majâzî, ba‘îd, mutasyâbih, muhtamil, dan manzhûr hanya bisa diterima apabila ia tidak bertentangan dengan makna zhâhir , haqîqî, qarîb, muhkam, jâzim, dan ma`tsûr serta tidak menyimpang dari aturan-aturan bahasa.218 216
Lihat Mannâ’ Khâlîl al-Qaththân, Mabâhits fî ulûm al-Qur’ân, Mu’assasah al-Risâlah, Beirut, 1983, hal. 327. lihat redaksi ayat yang secara bahasa dalam (QS. 25 :33). Lihat juga Yusuf alQaradhâwi, berinteraksi dengan al-Qur`ân, Gema Insani Press , Jakarta 1999, hal. 233. 217 Tentang konotasi takwil dengan dua level makna ini, lihat al-Dzahabî, al-Tafsîr wa alMufassirûn, vol. 1, hal. 13-16 dan Musâ‘id al-Thayyâr, Mafhûm al-Tafsîr wa al-Ta`wîl wa al-Istinbât wa al-Tadabbur wa al-Mufassir (www.ahlalhadeeth.com), hal. 52-60. 218 Menurut al-Jâbirî, bahkan kelompok Sunni dan Muktazilah sebetulnya sepakat bahwa takwil tidak boleh melanggar batasan-batasan yang ditetapkan dalam bahasa Arab. Perbedaan di antara kedua kelompok tersebut sebetulnya terletak hanya dalam penentuan ayat-ayat mutasyâbihât. Lihat al-Jâbirî, Bunyah al-‘Aql al-‘Arabi, hal. 59-60. Sementara itu, menurut al-Dzahabî, untuk menerima takwil
99
Ta’wîl dalam perspektif Ibnu ‘Âsyûr menyerupai pandangan yang pernah diusung pendahulunya seperti al-Zamakhsyari dan ‘Ali Shabuny, , termasuk alQaththân, sedangkan al-Tsa’labiy, Ibn A’raby, dan Abû Ubaidah, ketiga terakhir ini mereka mengadopsi pandangan Râghib al-Asfahâny yang menyatakan persamaan antara tafsir dan ta’wîl dalam mukaddimah kitab tafsirnya Tahrîr wa al-Tanwîr, sebagian Ulama berpandangan bahwa tafsir menerangkan makna Zhâhir (tersurat) sedangkan Ta’wîl menjelaskan makna mutasyâbih (tersirat), mereka berpandangan bahwa ta’wîl adalah dengan membalikkan makna lafadz dari makna yang tersurat kepada makna lain yang tersirat didalamnya sebagai keterangan atas ayat tersebut dalam hal ini Ibnu ‘Âsyur menyatakan sebagai ma’nâ ushûliy.219 Seperti halnya penafsiran firman Allah ” ”یﺨﺮج اﻟﺤﻲ ﻡﻦ اﻟﻤﻴﺖdengan makna ‘mengeluarkan seekor burung dari telur’ (menetaskan telur) penafsiran seperti inilah yang kemudian disebut tafsir, adapun dengan menafsirkannya ‘mengeluarkan seorang muslim dari lembah kekufuran’ hal ini merupakan ta’wîl , dan masih banyak kemungkinan/ibarat yang lain dalam ta’wîl ini, dikarenakan ta’wîl menyerupai makna awal (tafsir) dan merupakan awal sumber jika dikembalikan kepada tujuan yang dimaksud (ghâyah maqshûdah) dari sebuah lafadh, dan tujuan yang dimaksud dari lafadh ini adalah makna itu sendiri dan makna diatas (ta’wîl) bergantung kepada apa yang dikehendaki oleh Mutakallim (Allah), begitu halnya dengan tafsir, daripadanya tidak disandarkan kecuali terdapat makna yang rinci (logis) yang tersembunyi.220 makna batin, para ulama telah menetapkan dua syarat. Pertama, makna batin itu sesuai dengan makna zahir yang ditetapkan dalam bahasa Arab. Kedua, ada teks yang dengan tegas mendukung keabsahan makna batin tersebut. Lihat al-Dzahabî, Al-Ittijâhât al-Munharifah, hal. 82. 219 Ibnu ‘Âsyur, al-Tahrîr wa al-Tanwîr hal. 15-17. 220 Ibnu ‘Âsyur al-Tahrîr wa al-Tanwîr, hal. 16-17, Lihat perbedaan pandangan Ibn ‘Âsyûr dengan Al-Syâtibî dalam penafsiran “al-kitâb” dalam penafsirannya terhadap ayat “mâ farratnâ filkitâbi min syay’”, dengan tiga kategori prinsipnya Pertama, argumen berdasarkan ayat-ayat al-Qur`ân sendiri, seperti “…Pada hari ini telah Aku sempurnakan agamamu untukmu….” (al-Mâ`idah [5]: 3), “…Tidak ada sesuatu pun yang Kami luputkan di dalam al-kitâb…” (al-An‘âm [6]: 38), serta “…Dan Kami turunkan al-kitâb kepadamu untuk menjelaskan segala sesuatu…” (al-Nahl [16]: 89), dalam AlSyâtibî, Al-Muwâfaqât, vol. 3, hal. 276; dan vol. 4, hal. 10. Al-Syâtibi menyatakan bahwa al-Qur`ân mengandung prinsip-prinsip dasar ajaran Islam, seluruhnya tanpa terkecuali. Memiliki pengetahuan tentang al-Qur`ân sama seperti memiliki pengetahuan tentang syariat Islam secara general, al-Râzî mendukung prinsip tersebut dengan argumen-argumen yang nyaris sama dengan argumen-argumen al-
100
Selanjutnya Ta’wîl disinonimkan dengan interpretasi atau memalingkan makna (reklamasi). Yaitu seseorang mufassir memalingkan makna ayat al-Qur’ân dari berbagai kemungkinan makna yang lain.221 Sebagian Ulama’ menganggap bahwa Ta’wîl sinonim dari tafsir.222 Pada kesempatan yang lain ta’wil juga disebut sebagai tadbîr (meditasi), taqdîr (kontemplasi), dan tafsir (interpretasi).223............ adapun terkait dengan hal ini, ditegaskan dalam Al-Qurân bahwa tidak ada yang (mampu) mengetahui Ta’wîl nya kecuali Allah’ beserta “al-Râsikhûn fi al-‘ilm” (QS. 3:7). Sebuah kutipan dari al-Dzahabî berikut ini memperlihatkan bagaimana dua level makna itu diperlakukan dalam kegiatan interpretasi al-Qur`ân. Setiap makna bahasa Arab yang pemahaman al-Qur`ân tidak bisa dibangun kecuali di atasnya adalah termasuk kategori zhâhir . Maka untuk memahami zhâhir al-Qur`ân, tidak diperlukan syarat tambahan selain menaati kaidah-kaidah bahasa Arab. Setiap makna yang ditarik dari al-Qur`ân secara tidak sesuai dengan kaidah-kaidah bahasa Arab sama sekali bukanlah termasuk tafsir al-Qur`ân…Siapa pun yang memiliki pendapat di luar hal itu, maka pendapatnya tidak dapat diterima. Sedangkan [untuk memahami] makna bâtin, pengetahuan tentang kaidah-kaidah bahasa Arab saja tidak memadai. [Selain kaidah-kaidah bahasa], dibutuhkan juga cahaya yang diletakkan Allah ke dalam hati manusia agar ia bisa memiliki pandangan yang terbuka serta pemikiran yang jernih. Artinya, tafsir bâthin bukanlah sesuatu yang berada di luar kandungan lafadz al-Qur`ân….”224 Akan tetapi orientasi tekstual dalam tafsir itu tidak sama dengan literalisme yang kaku. Ortodoksi Sunni menolak penafsiran yang terlampau literal seperti apa
Syatibî. Lihat Fakhr al-Dîn al-Râzî, Mafâtîh al-Gayb (Beirut: Dâr al-Fikr, cet. 3, 1985), vol. 12, hal. 225-228. Ibn ‘Âsyûr lebih menyetujui pendapat yang menyatakan bahwa makna pada ayat di atas adalah ketentuan Allah di zaman azali, bukan al-Qur`an. Dia juga menyatakan bahwa pilihannya itu berseberangan dengan pilihan al-Râzî dan al-Syatibi. Lihat Muhammad al-Thâhir ibn ‘Âsyûr, AlTahrîr wa al-Tanwîr (Tunis: al-Dar al-Tunisiyyah li al-Nasyr, 1984), vol. 7, hal. 217. Al-Syâtibî, AlMuwâfaqât, vol. 3, hal. 276; dan vol. 4, hal. 10. 221 Muhammad Ali Shabûniy, al-Tibyân fî ulûm al-Qur’ân, hal. 62-63. 222 Muhammad Ali Shabûniy, al-Tibyân fî ulûm al-Qur’ân, hal. 62-63. 223 Muhammad Ali Shabûniy, al-Tibyân fî ulûm al-Qur’ân, hal. 62-63. 224 Al-Dzahabî, Al-Ittijâhât al-Munharifah, hal. 82.
101
yang dilakukan oleh kelompok Zhâhiriyyah.225 Artinya, memang ada pengakuan terhadap konteks, namun pengakuan tersebut hanya dibatasi pada konteks linguistik yang tidak melampaui teks, seperti siyâq al-kalâm dan munâsabah, atau konteks historis yang juga didasarkan pada teks, seperti asbâb al-nuzûl. Sedangkan kontekstualisasi yang melampaui teks cenderung tidak diterima kecuali jika ada teks lain, seperti dalam konsep naskh, yang menguatkannya. Perdebatan tentang teks dan konteksnya itu juga terlihat dalam persoalan ta‘tîl al-nash. Perubahan-perubahan di bidang sosial dan budaya, terutama pada masa modern ini, melahirkan perdebatan mengenai hubungan antara teks al-Qur`ân dengan realitas kehidupan. Pertanyaannya adalah: bagaimana menafsirkan beberapa ayat alQur`ân yang terkesan bertolak belakang dengan perkembangan sosial? Beberapa pemikir muslim modern, seperti Muhammad ‘Âbid al-Jâbirî226 di Maroko, Nasr Hâmid Abû Zayd227 di Mesir, Mohammed Arkoun228 di Prancis, dan A. Muqsith Ghazali229 di Indonesia, berpendapat bahwa lafaz teks bisa dibatalkan berdasarkan
225
Al-Dzahabî, Al-Ittijâhât al-Munharifah, hal. 19. Bandingkan dengan Yûsûf al-Qaradhâwî, Dirâsah fi Fiqh Maqâshid al-Syarî‘ah, hal. 45-50. Bahkan R. Brunschvig menyatakan bahwa jika dibandingkan dengan kelompok-kelompok lain dalam Islam, Zâhiriyyah berada di “batas terjauh dari ortodoksi” (at the furthest limit of orthodoxy). Lihat Abdel-Majid Turki, “al-Zâhiriyya”, dalam C.E. Bosworth, dkk. [ed.], The Encyclopaedia of Islam, WebCD Edition. 226 Secara tersirat, al-Jâbirî menekankan perlunya hukum waris yang terdapat dalam al-Qur`an untuk ditafsirkan dengan mempertimbangkan kondisi sosial, budaya, dan sejarah yang terus berubah. Lihat Muhammad ‘Âbid al-Jâbirî Al-Turats wa al-Hadatsah: Dirâsat wa Munâqasyat (Beirut: alMarkaz al-Tsaqafî al-‘Arabî, 2001), hal. 54-56. 227 Untuk analisis tentang penafsiran Nasr Hâmid Abû Zayd terhadap ayat-ayat yang berbicara mengenai posisi kaum wanita dalam Islam, termasuk tentang hukum waris, lihat Yusuf Rahman, “The Hermeneutical Theory of Nasr Hâmid Abû Zayd”, hal. 181-189. 228 Al-Qaradhâwi, Dirâsah fi Fiqh Maqâshid al-Syarî‘ah, hal. 87. Untuk kajian yang lebih terperinci tentang posisi Arkoun dalam penafsiran ayat-ayat mîrâts, lihat Jilani Ben Touhami Meftah, “Al-Fahm al-Hadatsi li al-Nash al-Qur`ânî: Âyata al-Mîrats Namûdzajan Tatbîqiyyan” dalam Buhûts Mu`tamar Manâhij Tafsir al-Qur`an al-Karim wa Syarh al-Hadîts al-Syarîf (Kuala Lumpur: Dept. of Qur`an and Sunnah Studies, Kulliyyah of IRKHS, IIUM, 2006), hal. 887-894 229 Menurutnya, Maqâshid al-syarî‘ah merupakan sumber hukum pertama dan primer dalam Islam, di atas al-Qur`ân dan hadits. Dengan demikian, jika teks sebuah ayat dalam al-Qur`an bertentangan dengan maqâshid, maka yang harus didahulukan dan diberi prioritas adalah maqâshid, bukan teks. Jika prinsip ini diterapkan dalam tafsir al-Qur`an, maka kontradiksi-kontradiksi antar ayat akan dengan mudah diatasi tanpa harus memaksakan interpretasi yang sewenang-wenang. Lihat A. Muqsith Ghazali, “A Methodology of Qur`anic Text Reading”, dalam ICIP Journal, vol. 2, no. 4, Agustus 2005.
102
maslahat tertentu. Sebagai rujukan, salah satu ulama masa lalu yang sering dikutip mendukung pendapat tersebut adalah Najm al-Dîn al-Tûfi, seorang juris abad 7-8 Hijriah yang bermazhab Hanbali.230 Dengan sruktur Rigiditas yang dibangun di atas prinsip sentralitas teks alQur`ân, tentu saja pandangan tentang keabsahan pembatalan teks al-Qur`ân demi sesuatu di luarnya itu ditolak keras oleh para ulama ortodoks.231 Teks hanya bisa dibatalkan (di-naskh) oleh teks yang lain, baik berupa ayat al-Qur`ân yang lain maupun hadits Nabi, bukan oleh sesuatu di luarnya dan bukan pula oleh maslahat yang tidak memiliki landasan tekstual. Dalam pengantar Kedua Ibnu ‘Âsyûr
memaparkan tentang istimdâd
(perangkat pengetahuan sebagai alat bantu) penafsiran yang sudah ada sebelum ilmu itu ada. Seperti ilmu gramatikal, linguistik arab, ushûl al-fiqh, ilmu kalam, ilmu ma’ânî dan bayân, ilmu badî, peran (majâz), dan syair-syair arab untuk mengenalkan beberapa kosakata al-Qur`ân, al-Qirâ’ât, akhbâr al-‘arab, Ibn ‘Âsyûr juga menggunakan
pendekatan
salaf
(atsar)
yang
mementingkan
sisi
nukilan.
Selengkapnya lihat kembali pada bab 2 tesis ini.232 Pada pengantar Ketiga Ibnu ‘Âsyûr menerangkan tentang keabsahan tafsir tanpa nukilan (ma’tsûr) dan makna tafsir berdasarkan nalar (bi ar-ra’yi). Ibnu ‘Âsyûr menghindari penafsiran dengan akal yang pernah dilarang langsung oleh Nabi Muhammad Shallawwahu ‘alaih wasallam, Abu Bakar r.a pernah juga melarang mereka-reka makna al-Qur`ân. Namun disisi lain dia membolehkannya, dengan dasar bahwa; إن اﻟﻘﺮﺁن ﻻﺗﻨﻘﺪي ﻋﺠﺎﺋﺒﻪbahwa keajaiban Al-Qur’ân tidak akan pernah habis untuk dikaji sampai hari akhir (kiamat), dan tafsir dalam hal ini juga mempunyai
230
Najm al-Dîn al-Thûfî lahir pada tahun 675 H. di Tûfah, sebuah desa yang tidak jauh dari Baghdad, dan meninggal dunia di Hebron pada tahun 716 H.. Karyanya yang kontroversial tentang maslahah adalah Kitab al-Ta‘yîn fiî Syarh al-Arba‘în, atau juga dikenal dengan Risâlah al-Imam alTûfî fî Taqdîm al-Maslahah fî al-Mu‘âmalat ‘ala al-Nash. Lihat W.P. Heinrichs, “al-Thûfî”, dalam C.E. Bosworth, dkk. [ed.], The Encyclopaedia of Islam, WebCD Edition. 231 Al-Qaradhâwî menyebutnya sebagai Ta‘tîl al-nash bi ism al-mashâlih wa al-maqâshid. Lihat al-Qaradhâwî, Dirâsah fi Fiqh Maqâshid al-Syarî‘ah, hal. 85. 232 Ibnu ‘Âsyûr “al-Tâhrîr wa al-Tanwîrhal. 18-27.
103
peranan dalam menyingkap kandungan-kandungan makna didalamnya seiring dengan berkembangnya metode-metode penafsiran al-Qur’ân.233 Dalam hal ini Muhammad Thâhir Ibn ‘Âsyûr memaparkan ungkapan Imam al-Ghazâli dan Al-Qurthûbi yang menyatakan ketidaktepatan dengan mengatakan dari setiap apa yang diutarakan Sahabat dalam tafsir kesemuanya bersumber dari pendengaran langsung atas ungkapan Nabi Muhammad saw. dengan dua alasan; pertama; Nabi Muhammad saw. belum pernah menafsirkan ayat-ayat Al-Qur’ân kecuali hanya sedikit seperti yang disinyalir dari hadits ‘Aisyah yang menyatakan; ﻦ ﺝ ْﺒ ِﺮیْﻞ إیﱠﺎه ﱠ ِ ﻦ آﺘﺎب اﷲ إﻟّﺎ ﺁیَﺎت ﻡﻌ ُﺪ ْودَات ﻋﻠّﻤ ُﻪ ْ ن رﺱُﻮل اﷲ یﻔﺴﱢﺮ ِﻡ َ ;ﻡَﺎآﺎYang dimaksud oleh Ibnu ‘Âsyûr dengan gagasan yang tercela yaitu ketika bersifat betikan ide (khâtir) tanpa dilandasi oleh argumen gramatikal dan linguistik arab yang valid, atau hanya bersifat kecenderungan madzhab saja. Kedua; mereka berbeda pandangan dan pendapat dalam tafsir dalam pelbagai/banyak hal, yang tidak mungkin untuk disatupadukan antar (keduanya). Ibnu ‘Âsyûr mempertegas bahwa tafsir tidak hanya beroperasi pada nukilan (ma’tsûr), hal tersebut akan mempersempit makna dan sumber penafsiran Al-Qur`ân. Sebab nukilan dari sahabat juga tidak banyak melainkan hanya (sedikit).234 Lain halnya dengan pandangan al-Dzahabi Pertama, penafsir meyakini sesuatu lalu membawa lafaz al-Qur`ân untuk mendukung keyakinannya itu. Dengan kata lain, penyimpangan ini terjadi akibat perhatian yang terlampau besar kepada makna dengan mengabaikan lafaz. Kedua, penafsir menginterpretasi al-Qur`ân hanya memperhatikan lafaznya tanpa memperhatikan konteks [kronologis] untuk menyingkap makna leksikal.235 Selanjutnya, Ibn ‘Âsyûr mengadopsi pandangan Syarifuddîn ath-Thiby dalam syarh al-Kasyâf kemudian menjelaskan panjang lebar mengenai makna tafsir berdasarkan nalar (bi al-ra’yi). Dikatakan bahwa pra syarat penafsiran yang shahîh diantaranya; bahwa penafsiran hendaknya sesuai redaksi lafadz dengan tidak 233
Ibnu ‘Âsyûr, al-Tâhrîr wa al-Tanwîr, hal. 28 Ibnu ‘Âsyûr, al-Tâhrîr wa al-Tanwîr” hal. 29-37 235 Al-Dzahabi, Al-Ittijâhât al-Munharifah, hal. 17-19. 234
104
membebani lafadz / bebas dari pembebanan (makna lafadz), serta hendaknya penafsiran tidak berkecenderungan condong terhadap salah satu pandangan/madzhab (partikular) namun harus bersifat general, dan bagi Fakhrudin al-Râzi (shâhib alKasysyâf) mereka yang tidak sependapat dengan pandangan diatas termasuk dalam golongan yang menyimpang /bida’at-tafâsîr.236 Setidaknya terdapat lima jawaban, mengenai syubhat tentang kekhawatiran atas penafsiran berlandaskan nalar perspektif Ibn ‘Âsyûr diantaranya; pertama; yang dimaksud dengan nalar tersebut hanya sebuah ide yang terbersit (khâtir) tanpa landasan dari ketentuan hukum-hukum syari’at dan tujuannya (maqâshid alSyari’ah), kedua; nalar/ide tersebut tidak melihat kesinambungan makna antar ayt yang satu dengan yang lain, ketiga ide/nalar tersebut berkecenderungan pada satu kelompok/madzhab yang mengakibatkan ta’wil dengan nalar yang tidak terkait dengan makna ayat tersurat. keempat; yaitu penafsiran ayat dengan nalar yang berlandaskan redaksi lafadz kemudian mengklaimnya bahwa hasil penafsirannya tersebut tepat tanpa menghiraukan (penafsiran/makna) yang lain dan hal ini sama saja dengan mereduksi ruang dari penta’wil al-Qur’ân itu sendiri, kelima; tujuan dari penalaran tafsirnya (bi al-ra’yi) menafikan kekhawatiran dan kehati-hatian dalam menelaah dan mena’wilkan terkesan dipaksakan (tergesa-gesa), disnilah kelengahan subyektifitas Ulama’ terkait dengan hal ini.237 Pada pengantar Keempat Ibn Âsyûr menjelaskan bahwa penafsir harus mengerti tentang unsur-unsur pembentuk perubahan (baik level individu maupun sosial).238 Diantaranya: pertama, reformasi keyakinan; kedua reformasi etika; ketiga, reformasi legislasi hukum; dan keempat, reformasi politik penyelenggaraan umat. Kemudian dia memaparkan bahwa diantara mufasir ada yang membatasi diri pada hal yang lahiriah saja dari teks, sebagian yang lain mencari kesimpulan dari apa yang berada dibalik teks yang lahiriah itu. Hal inilah yang memungkinkan para pendahulu 236
Ibnu ‘Âsyûr, al-Tâhrîr wa al-Tanwîr hal. 30. Ibnu ‘Âsyûr, al-Tâhrîr wa al-Tanwîr” hal. 31-37, lihat selengkapnya pada bab 2. lihat juga Abdul Qâdir Muhammad Shâlih, al-Tafsîr wa al-Mufassirûn fî al-‘ashr al-Hadîts, hal. 110-119. 238 Ibnu ‘Âsyûr, al-Tâhrîr wa al-Tanwîr hal. 38. 237
105
kita untuk membuat detil-detil hukum. Ibnu ‘Âsyûr
juga menerangkan tentang
hubungan antara Al-Qur`ân dan ilmu pengetahuan. Pada pengantar keempat secara khusus ditulisnya untuk mengkaji tujuan seorang mufassir dalam menafsirkan alQur`ân (fîmâ yahiqqu an yakûna garadh al-mufassir).239 Ibn ‘Âsyûr menyatakan bahwa ada hikmah-hikmah tertentu di balik pilihan Allah untuk menjadikan bahasa Arab sebagai bahasa al-Qur`ân. Namun demikian, kenyataan bahwa al-Qur`ân diturunkan kepada bangsa Arab itu tidak berarti, tulisnya; Bahwa hukum-hukum syariat hanya diperuntukkan bagi mereka atau bahwa ia ditetapkan demi kepentingan-kepentingan mereka belaka. Kenyataan bahwa syariat bersifat umum dan abadi, serta bahwa al-Qur`ân adalah mukjizat yang berlaku terusmenerus sepanjang masa, menolak [kebenaran anggapan] itu.”240 Ibn ‘Âsyûr kemudian merumuskan delapan tujuan dasar (al-Maqâshid alashliyyah) dari diturunkannya al-Qur`ân, yaitu pertama; memperbaiki dan mengajarkan akidah; kedua; mengajarkan nilai-nilai akhlak yang mulia; ketiga; menetapkan hukum-hukum syariat; keempat; menunjukkan jalan kebaikan kepada umat Islam (siyâsah al-ummah); kelima; memberikan pelajaran dan hikmah dari kisah bangsa-bangsa terdahulu; keenam; pengajaran syari’at sesuai dengan perkembangan zaman; ketujuh; al-targhîb wa al-tarhîb; kedelapan; membuktikan kebenaran risalah Nabi Muhammad saw.241 Dengan demikian maka tujuan seorang mufassir adalah; dengan menjelaskan apa yang mampu dipahaminya dari kehendak Allah dalam al-Qur`ân dengan penjelasan sesempurna mungkin (bi atamm bayân), selaras dengan apa yang dikandung oleh maknanya (yahtamiluhû al-ma‘nâ) dan tidak bertentangan dengan lafaznya (walâ ya`bâhu al-lafdz). [Penjelasan itu bisa berupa] segala sesuatu yang dapat menjelaskan maksud dari Maqâshid
239
al-Qur`ân, atau segala sesuatu yang
Ibnu ‘Âsyûr, al-Tâhrîr wa al-Tanwîr, hal. 38-39. Ibnu ‘Âsyûr, al-Tâhrîr wa al-Tanwîr, hal. 38-39 241 Ibnu ‘Âsyûr, al-Tâhrîr wa al-Tanwîr, hal. 40-41 240
106
menjadi dasar bagi pemahaman yang sempurna terhadapnya, atau apa pun yang bisa memerinci dan menjabarkan Maqâshid tersebut….”242 Tentang tafsir saintifik atau tafsir yang menghimpun persoalan-persoalan keilmuan dari berbagai disiplin yang berhubungan dengan tujuan-tujuan al-Qur`ân, menurut Ibn ‘Âsyûr, adalah salah satu dari tiga cara dalam melakukan tafsir atas alQur`ân.243 Ibn ‘Âsyûr mengakui bahwa al-Syâtibî termasuk salah satu penentang paling keras dari tafsir semacam ini, dan bahwa seluruh argumen al-Syâtibî berpusat pada satu prinsip: status al-Qur`ân sebagai sebuah kitab yang diturunkan kepada bangsa yang ummî sehingga pemaknaan apa pun terhadapnya tidak boleh keluar dari batasbatas ke-ummi-an itu.244 Pandangan diatas oleh Ibn ‘Âsyûr dikritisi dengan mengatakan bahwa; “prinsip ini lemah karena enam alasan. Pertama, ia didasarkan pada anggapan bahwa al-Qur`ân tidak bermaksud melakukan transformasi bangsa Arab dari satu kondisi ke kondisi yang lain. Anggapan ini batal berdasarkan apa yang telah kami kemukakan pada bagian sebelumnya. Allah sendiri berfirman, “Itulah sebagian dari berita-berita gaib yang Kami wahyukan kepadamu (Muhammad); tidak pernah engkau mengetahuinya dan tidak [pula] kaummu sebelum ini….” (Hûd [11]: 49).245 Kedua, Maqâshid al-Qur`ân merujuk kepada [prinsip] keumuman dakwah serta bahwa ia merupakan mukjizat yang abadi. Karena itu, al-Qur`ân mesti
242
Ibnu ‘Âsyûr, al-Tâhrîr wa al-Tanwîr hal. 40-43 Dua cara lainnya adalah, pertama, penafsiran yang membatasi diri pada makna-makna dasar (al-Dzâhir min al-ma‘nâ al-ashlî) dan, kedua, penafsiran yang menguraikan persoalan-persoalan hukum, akhlak, teologi, dan sebagainya. Lihat Ibnu ‘Âsyûr, al-Tâhrîr wa al-Tanwîr, vol. 1, hal. 42. 244 Ibnu ‘Âsyûr, al-Tâhrîr wa al-Tanwîr, vol. 1, hal. 44. 245 Redaksi ayatnya; 243
sπt6É)≈yèø9$# ¨βÎ) ( ÷É9ô¹$$sù ( #x‹≈yδ È≅ö6s% ÏΒ y7ãΒöθs% Ÿωuρ |MΡr& !$yγßϑn=÷ès? |MΖä. $tΒ ( y7ø‹s9Î) !$pκÏmθçΡ É=ø‹tóø9$# Ï!$t7/Ρr& ôÏΒ šù=Ï? ∩⊆∪ šÉ)−Fßϑù=Ï9
107
mengandung hal-hal yang bisa dipahami oleh orang-orang yang hidup di masa penyebaran ilmu pengetahuan.246 Ketiga, ketika generasi terdahulu (salaf) menyatakan bahwa keajaibankeajaiban al-Qur`ân tidak ada habis-habisnya (al-Qur`ân lâ tanqadî ‘ajâ`ibuhû), maka yang mereka maksud adalah makna-maknanya. Jika pendapat al-Syâtibî benar, maka keajaiban al-Qur`ân akan berakhir karena jenis-jenis maknanya juga terbatas. Keempat, salah satu mukjizat al-Qur`ân adalah bahwa ia, dengan lafadznya yang singkat (ma‘a îjâz lafdzihî), mampu memuat makna-makna yang tidak mampu dicakup oleh sangat banyak buku. Kelima, kadar pemahaman orang-orang [Arab] yang menjadi objek pertama dari khitâb al-Qur`ân memang hanya terbatas pada makna-makna dasarnya. [Tetapi] di luar makna-makna dasar tersebut, terdapat makna-makna lain yang bisa dipahami oleh orang-orang tertentu dan tidak bisa dipahami oleh orang-orang yang lain. Keenam, tentang anggapan bahwa generasi salaf sama sekali tidak membicarakan hal-hal [di luar batas-batas ke-ummî-an] itu; jika [yang dimaksud dengan hal tersebut adalah] apa pun yang tidak merujuk kepada Maqâshid al-Qur`ân, maka kami sepakat dengan al-Syâtibî. Tetapi, menyangkut halhal yang merujuk kepada Maqâshid al-Qur`ân, kami tidak sepakat bahwa generasi salaf itu hanya berhenti pada makna-makna zhâhir ayat al-Qur`ân.247 Mereka justru memberikan penjelasan, perincian, dan penjabaran tentang ilmu-ilmu yang mereka geluti. Maka tidak ada alasan bagi kita untuk tidak mengikuti jejak mereka dalam disiplin-disiplin ilmu lain yang bertujuan untuk mengabdi pada Maqâshid al-Qur`ân atau untuk menunjukkan luasnya ilmu-ilmu keislaman (al-‘ulûm al-Islâmiyyah). Apa yang berada di luar tujuan tersebut, jika digunakan
untuk
menjelaskan makna al-Qur`ân, maka ia pun termasuk tafsir (tâbi‘ li al-tafsîr) dengan alasan bahwa ilmu-ilmu rasional (al-‘ulûm al-‘aqliyyah) mengkaji hal-ihwal sesuatu sebagaimana adanya (‘alâ mâ hiya ‘alayhi). Sedangkan sesuatu yang melebihi hal itu 246
Ibnu ‘Âsyûr, al-Tâhrîr wa al-Tanwîr, vol. 1, hal. 44-45. Lihat juga Rasyîd Ridhâ dalam Tafsîr Al-Qur’ân, vol. 11. hal. 243. 247 Ibnu ‘Âsyûr, al-Tâhrîr wa al-Tanwîr, vol. 1, hal. 44-45. Lihat juga Rasyîd Ridhâ dalam Tafsîr Al-Qur’ân, vol. 11. hal. 243.
108
[yakni yang tidak digunakan untuk menjelaskan makna al-Qur`ân] tidak dapat dianggap sebagai tafsir, namun ia [bisa menjadi] pelengkap bagi pembahasanpembahasan akademis serta menjadi pembelokan (istithrâd) ilmu pengetahuan demi kepentingan-kepentingan tafsir dengan tujuan agar sumber-sumber pengambilan (muta‘âtâ) tafsir menjadi lebih luas dan mencakup berbagai disiplin ilmu pengetahuan.”248 Kemudian dalam pengantar Kelima, Ibn ‘Âsyûr mengkhususkan berbicara soal konteks turunnya ayat (asbâb an-nuzûl), Ibn ‘Âsyûr mengutip pandangan Ulama’ ushul yang mengatakan; " "ﺍﻟﻌﺒﺭﺓ ﺒﻌﻤﻭﻡ ﺍﻟﻠﻔﻅ ﻻﺒﺨﺼﻭﺹ ﺍﻟﺴﺒﺏdinsinyalir bahwa tidak semua ayat-ayat Al Qur’ân
memiliki kronologi sebab-sebab turunnya ayat, hal ini perlu ditekankan
karena seringkali membuat ragu serta praduga-praduga bahwa Al Qur’ân diturunkan dengan sebab-sebab tertentu, walaupun dimaklumi sebagiannya diketahui melalui proses kronologi sebab-sebab turunnya ayat (tsabatat binnaql), yang kemudian dapat membantu penafsiran dalam memahami pesan-pesan moral Al Qur’ân melalui pintu masuk kronologi tersebut, dari sinilah Ibn ‘Âsyûr mulai mengkritik para Mufassir sebelumnya yang gandrung (berlebihan) dengan konteks turunnya ayat. Dia mengibaratkan bagai mengulur tali kepada orang orang yang tak dikenal, maka akan berakibat fatal. Hal ini disebabkan mereka (mufassir) tidak memilah mana diantara riwayat-riwayat yang dijadikan sandaran kronologis turunnya ayat lemah atau kuat, kategori Perawinya dapat dipercaya atau tidak, sampai pada taraf inilah Ibn Âsyûr menjadikan pertimbangan untuk menfokuskan perhatiannya pada asbâb nuzûl ini.249
248
Ibnu ‘Âsyûr, al-Tâhrîr wa al-Tanwîr, vol. 1, hal. 44-45. coba bandingkan pandangan ini dengan gagasan yang dikemukakan oleh Rasyîd Ridhâ yang mengatakan bahwa tidak masuk akal seorang Nabi yang Ummi yang kita kenal sejarah hidupnya, mampu dengan akalnya atau bisikan hatinya untuk membuat prinsip-prinsip ilmiah itu, yang mana melampaui seua jenis kitab, baik kitabkitab samawi sebelumnya maupun buku-buku karya ilmiah dizaman yang paling maju/global (teknologi), filsafat dan perundang undangan, sekalipun. Yang masuk akal adalah hal tersebut merupakan wahyu dari Allah yang dilimpahkan kepada Nabi terakhir, sehingga tidak dibutuhkan lagi wahyu sesudahnya. Lihat Rasyîd Ridhâ dalam Tafsîr Al-Qur’ân, vol. 11. hal. 243. 249 Ibn ‘Âsyûr, Al-Tahrîr wa al-Tanwîr, vol. 1, hal. 46-.47
109
Al-Syâtibî (W.1388 M)250 mengatakan dalam kitabnya al-Muwâfaqât bahwa mengetahui asbâb al-nûzûl (historical context) adalah wajib bagi orang yang ingin mengetahui makna Al-Qur’ân.251 Artinya mengetahui sebab berarti mengetahui muqtadâ al-hâl.252 Sedangkan mengabaikan asbâb al-nûzûl, akan berimplikasi pada pemaknaan subyektif dan keluar dari apa yang menjadi pesan dan maksud ayat-ayat al-Qur’ân.253 Oleh karena itu, adalah sangat penting harus bagi orang yang ingin menyelami ilmu al-Qur’ân untuk mengetahui adat kebiasaan -secara makromasyarakat Arab; baik itu kebiasaan dalam gaya bicara maupun aktifitas, dan mengetahui situasi-kondisi sosial kemasyarakatan saat wahyu diturunkan, walaupun di sana tidak ada sebab khusus yang mengiringi turunnya wahyu tersebut. Jika hal ini diabaikan, tentu hal yang sulit dihindari adalah hasil penafsiran yang rancu.254 Dalam hal ini Syahrûr mengcounter pandangan al-Syâtibi, dalam buku pertamanya; al-Kitâb wa al-Qur’ân; Qirâ’ah Mu’âshirah ia sampai pada sebuah kesimpulan bahwa asbâb al-nûzûl tidak berlaku bagi al-Qur’ân,255 namun, ia hanya berlaku pada ayat-ayat yang berkaitan dengan hukum dan tafsîl al-kitâb (ayat-ayat muhkamât dan mutasyâbihât).256 250
Ia adalah Abû Ishâq Ibrahîm b. Mûsa b. Muhammad al-Lakhmi al-Garnati Al-Syâtibî. Lihat lebih lanjut Khayr al-Din al-Zirikli, Al-A‘lâm: Qâmûs Târâjim li Asyhâr al-Rijâl wa al-Nisâ` min al‘Arâb wa al-Musta‘ribîn wa al-Mustâsyriqîn, vol. 1 (Beirut: Dar al-‘Ilm li al-Malayin, cet. 9, 1990), hal. 75. Bandingkan dengan ‘Umar Ridhâ Kahhalah, Mu‘jam al-Mu`âllifin: Târâjim Musânnifi alKutub al-‘Arâbiyyah, vol. 1 (Beirut: Dar Ihya` al-Turats al-‘Arabi, 1957), hal. 118. 251 Lihat al-Syâtibî, Al-Muwâfaqât Fî ushûl al-Syarî’ah, juz III, jil, II, (Beirut: Dar al Kutub al Ilmiyah: tth), hal. 258. Ulama-ulama lain yang menyatakan pentingnya pengetahuan terhadap Asbâb al-nûzûl dalam penafsiran al-Qur’ân - dengan gaya bahasa yang mirip dan bahkan sama- bisa ditemukan dalam buku-buku ulûm al-Qur’ân, yang mana tidak terlepas dari pendapat al Wâhidi, Ibnu Taimiyah dan Ibnu Daqîq al ‘Aid. 252 Lihat al-Syâtibî, Al-Muwâfaqât Fi ushûl al-Syarî’ah, hal. 258. 253 Lihat al-Syâtibî, Al-Muwâfaqât Fi ushûl al-Syarî’ah, hal. 261. 254 Lihat al-Syâtibî, Al-Muwâfaqât Fi ushûl al-Syarî’ah, hal. 258.. 255 Istilah “Al-Qur’ân” dalam pandangan Syahrûr tidak sama dengan yang umumnya dipahami kebanyakan orang. Menurutnya al-Qur’ân adalah kalam Allah yang diturunkan satu kali waktu dengan bentuk bahasa Arab pada bulan Ramadlan, sesuai dengan ayat al-Qur’ân al Baqarah: 185 dan al Qadr: 1. Lihat Muhammad Syahrûr, Al-Kitâb wa al-Qur’ân; Qirâ’ah Mu’âsirah, cet VI, (Lebanon: Syirkât al-Matbû’at: 2000) hal. 93. Sementara itu ayat-ayat yang turun secara gradual selama 22 tahun lebih, oleh Syahrûr disebut sebagai Tanzîl al-hakîm. 256 Muhammad Syahrûr, Al-Kitâb wa al-Qur’ân; Qirâ’ah Mu’âsirah, cet VI, (Lebanon: Syirkât al-Matbû’at: 2000) hal. 93.
110
Nashr Hamid Abû Zaid menilai bahwa bagi Syahrur; al-Qur’ân adalah sebuah teks tanpa konteks apapun. Ia adalah teks yang berdiri sendiri tanpa ada keterkaitan dengan sejarah ataupun masyarakat yang menjadi tujuan pewahyuan. Nabi hanyalah seorang penerima, dia tidak memiliki peran selain menerima dan menyampaikan. Perannya hanya terbatas pada cara yang dijalaninya dalam kehidupan sebagai contoh pertama, atau sebagai variasi pertama dari beragam variasi perwujudan al-Qur’ân lainnya. Teks ilahi yang independen secara mutlak semacam ini menentukan aturan penafsirannya hanya didasarkan pada struktur linguistik.257 Dalam perkembangan selanjutnya, yakni dalam bukunya yang keempat; Nahw Usul Jadîdah Li al-Fiqh al-Islâmi, Syahrûr, sebagaimana juga gurunya, mengajak kepada umat Islam untuk menjauhkan asbâb al-nûzûl dari ilmu-ilmu al-Qur’ân.258 Dia juga menganggap bahwa konsep asbâb al-nûzûl dan naskh merupakan cacat terbesar dalam ulûm al-qur’ân, sebagaimana ilmu tajwîd dan ilmu qirâ'at.259 Ia berpendapat bahwa asbâb al-nûzûl, yang jadi pegangan itu, sebenarnya hanyalah menjelaskan sejarah bentuk penafsiran atau pemahaman pada abad ketujuh dan proses interaksi manusia dengan ayat-ayat al-Qur’ân pada saat itu. Sedangkan saat ini, pemahaman atau penafsiran itu sudah tidak diperlukan lagi, karena makna alQur’ân itu eksis pada dirinya sendiri (kainûnah), sehingga ia tidak terikat pada proses perjalanan sejarah (sairûrah). Sementara asbâb al-nûzûl, sebagaimana telah diketahui, terkait erat dengan ruang, waktu dan personal saat itu (terkait proses perjalanan sejarah). Jika berpegang teguh kepada asbâb al-nûzûl dalam memahami Tanzîl al-Hakîm (al-Qur’ân), maka akan menghasilkan suatu pandangan adanya hubungan antara ayat dan sebabnya, sebagai hubungan antara peristiwa sebagai akibat (al-ma’lûl) dan penyebabnya (al-‘illah). Maka, ketika alasan dan sebab ini hilang, maka ayat dan hukum yang ada di dalamnya berubah menjadi ayat yang harus
257
Nashr Hamid Abu Zayd, Mafhûm al-nash: Dirâsah fi ‘ulûm al-Qurân (Beirut: al-Markaz alTsaqafi al-‘Arabi, edisi II, 1994). 258 Muhammad Syahrûr, Nahw Usûl Jadîdah Li al-Fiqh al-Islâmi, hal.93-94. 259 Muhammad Syahrûr, Nahw Usûl Jadîdah Li al-Fiqh al-Islâmi, hal. 230.
111
dipahami secara histories-temporal belaka, sehingga al-Qur’ân tidak lagi Shâlih likulli zamân wa makân.260 Disamping mengabaikan Asbâb al-Nuzûl dalam pembacaan al-Qur’ân, Syahrur juga mengritik asbâb al-nûzûl yang biasa dijadikan pegangan oleh umumnya sarjana muslim dalam menafsirkan al-Qur’ân. Keseriusannya itu, ia wujudkan dalam sub bab khusus yang berisi tentang bukti-bukti kelemahan dan ketidaklayakan asbâb al-nûzûl dimasukkan sebagai bagian dari ulûmul qur’ân. Bukti-bukti itu antara lain; a) adanya doktrin keadilan sahabat yang ditanamkan dalam jiwa umat Islam, dan 2) adanya fanatisme madzhab dan golongan dalam transmisi periwayatan. Hal ini didasarkan pada riwayat-riwayat yang disajikan dalam kitab asbâb al-nûzûl karya alWâhidi dan al-Suyûti. Lebih-lebih karya al-Suyûti merupakan pelengkap kitab karya al-Wâhidi.261 Pandangan Ibn ‘Âsyûr tentang asbâb al-nuzûl ini ia mengadopsi pandangan Ulama’Ushûl yang menyatakan ""اﻟﻌﺒﺮة ﺑﻌﻤﻮم اﻟﻠﻔﻆ ﻻ ﺑﺨﺼﻮص اﻟﺴﺒﺐ, begitu juga ia mengadopsi pandangan al-Wâhidî yang menyatakan bahwa tidak diperkenankan perkataan (penjelasan) mengenai asbâb nuzûl Al-Qur’ân kecuali dengan riwayat (shahih) dan pendengaran langsung dari mereka yang meyaksikan langsung turunnya (ayat-ayat) Al-Qur’ân.”262 Ibn ‘Âsyûr memetakan keshahihan sanad riwâyat yang dapat dipakai dalam menggunakan Asbâb nuzûl menjadi lima bagian: Pertama: bahwasannya maksud dari sebuah ayat bergantung pada pemahaman tujuan/sasaran yang hendak dicapai dan mengetahuinya sesuai pengetahuan ilmu asbâb nuzûl adalah wajib bagi setiap 260
Muhammad Syahrûr, Nahw Ushûl Jadîdah Li al-Fiqh al-Islâmi, hal. 230. Bandingkan dengan pandangan ‘Âbid al-Jâbiri dalam Takwîn ‘Aql al-Arabi, ia menegaskan bahwa jika al-Qur’an dikaji dengan kacamata metodologi ilmiah modern, maka harus meposisikannya sebagaimana teks-teks lainnya. Namun lanjutnya, ia lebih menekankan pada pembacaan atas asbâb al-Nuzûl dan mencari makna ideal sebuah teks “Maqâshid al-Syarî’ah”, karena kedua istilah disamping menekankan pada pembacaan sekitar teks dan motif-motif dari sebuah teks, bukan makna literal teks, tetapi apa yang menjadi tujuan dari teks yang sebenarnya. Kedua istilah ini terkait erat dengan konsep asl dan far’ dalam bahasa yang kemudian metodologinya diaplikasikan al-Jâbiri dalam menafsirkan al-Qur’ân. Lihat Takwîn ‘Aql al-‘Arabi ( Beirut: Markaz Dirâsat al-Wihdah al-‘Arabiyah, 1989), hal. 123. 261 Al-Suyûthi, Lubâb al-Nuqûl Fî Asbâb al-Nûzûl, (Beirut: Dar Ihya’ al ‘Ulum; tth), hal. 13. 262 Ibnu ‘Âsyûr, al-Tâhrîr wa al-Tanwîr” hal. 46-48.
112
mufassir. Seperti penafsiran ayat-ayat yang mubhamât (samar-samar kejelasannya) dibawah ini; " "ﻗﺪ ﺱﻤﻊ اﷲ ﻗﻮل اﻟﺘﻲ ﺗﺠﺎدﻟﻚ ﻓﻲ زوﺝﻬﺎ" "یﺄیﻬﺎ اﻟﺬیﻦ ﺁﻡﻨﻮا ﻻﺗﻘﻮﻟﻮا راﻋﻨﺎ وﻗﻮﻟﻮا اﻥﻈﺮﻥﺎdengan redaksi ayat yang didalamnya terdapat ““ وﻡﻦ اﻟﻨﺎس. Kedua, kejadian-kejadian yang menyebabkan diberlakukannya hukum-hukum syari’ah dan bentuk-bentuk kejadian tersebut tidak menunjukkan globalitas pesan ayat yang kontradiktif dengan keterangan ayat baik dalam kekhususanayat, keumuman dan keterikatan (muqayyad) sebuah ayat, sinkronisasi keterangan sebuah ayat dengan prosesi sebab-sebab turunnya ayat. Ketiga, kejadian-kejadian yang banyak dicontohkan dalam Al-Qur’ân akan tetapi dikhususkan/diperuntukkan pada individu/personal yang dikemudian diterangkan dasar-dasar hukumnya dan balasan bagi mereka yang melanggarnya. Keempat, kejadian-kejadian yang diperbincangkan dalam
Al-Qur’ân
yang
bertautan
dengan
ayat
sebelum
dan
sesudahnya
menggambarkan apa yang telah terjadi pada zaman dahulu para salaf yang maksud ayat tidak lain adalah kejadian-kejadian para salaf tersebut. Dalam hal ini Ibn ‘Âsyûr merujuk pada al-Itqân karya Jalâluddîn al-Suyûthi keterangan didalamnya terdapat banyak contoh tentang hal diatas. Kelima, penjelasan tentang perihal yang global, dengan menerangkan yang mutasyâbihat.263 W. Montgomery Watt berpandangan bahwa kitab al-Wâhidi memiliki banyak cacat, tidak lengkap dan tidak konsisten264. Bahkan hanya memuat riwayat-riwayat yang menceritakan peristiwa-peristiwa yang tanggal kejadiannya tidak diketahui. Agaknya Watt dalam hal ini mengadopsi pandangan al-Suyûti.265 Demikian juga dengan Kenner dalam penelitiannya ia menulis tentang tafsir; bahwa Tuhan menurunkan wahyu dalam konteks yang tidak hampa dari sejarah
263
Ibnu ‘Âsyûr, al-Tâhrîr wa al-Tanwîr” Dar-el Tunisiyah linnasar. T. th. hal. 47-50. W. Montgomery Watt, Bell’s Introduction to the Qur’an, terj. Lillian D. Tedjasudhana (Jakarta: INIS, 1998), hal. 95. 265 W. Montgomery Watt, Bell’s Introduction to the Qur’an, hal. 95. 264
113
manusia, dan interpretasi. Interpretasi terhadap wahyu merepresentasikan unsur kesejarahan yang berlaku di saat itu.266 Belakangan Izzat Darwaza mengelaborasi pandangan pendahulunya dengan menyatakan Al-Qur’ân dan seluruh bagiannya (surat, ayat, dan juz) merupakan satu rangkaian yang sistematis, stilistik,dan kronologis. Makna yang benar, baik temporal maupun siruasional, hukum khusus dan umum menurutnya tidak akan dapat dicapai secara baik/sempurna tanpa mempertimbangkan konteks al-Qur’ân. Dengan melepaskan konteks ayat akan mendistorsi yang bukan hanya makna bahkan tujuan (maqâshid) al-Qur’ân. Disisi lain ia menjelaskan bahwa terkadang rasionalisasi terhadap pewahyuan ayat-ayat tertentu tidak seirama dengan konteksnya. Kepada pembaca ia memperingatkan untuk tidak menerima riwayat secara sembrono. Karena jika asbâb nuzûl itu benar, boleh jadi ada rujukan pada peristiwa yang terjadi sebelum ayat turun. Dan itu tidak berarti bahwa peristiwa tertentu merupakan satu-satunya sebab turunnya ayat.267 Oleh karena itu wahyu tidak saja memiliki transendental yang bersifat abadi dan melampaui peristiwa-peristiwa, tetapi juga mengandung nilai-nilai transhistoris, artinya wahyu diturunkan oleh Tuhan dalam sejarah, karena itu wahyu Tuhan adalah respon yang konkrit terhadap sejarah, terhadap kurun waktu tertentu.268 Pengantar Keenam, Ibnu ‘Âsyûr berbicara panjang soal aneka ragam bacaan (al-qirâ’at), diterangkan bahwa soal perbedaan ini mengandung dua implikasi. Pertama, bacaan yang tidak terkait dengan pemaknaan Al-Qur`ân. Kedua, yang terkait dengan pemaknaan dari beberapa sisi. Pada perbedaan pertama seperti perbedaan dalam pembacaan huruf, harakat, kadar mad, pelembutan (takhlif), 266
Kenner Cragg, The Event of The Qur’an; Islam and Its Scipture, (London: George Allen and Unwin; 1971), hal 17. 267 Setelah menyebutkan asbab nuzul Q.S. al-Mâidah [9]:79 dan Fushilat [41]:22. pada bab empat sambil menunjukkan kelemahan Mufassir awal, dengan bersungguh-sungguh Darwaza menyatakan bahwa banyak riwayat yang sesuai dengan asbâb al-Nuzûl yang diwarnai oleh konflik konvensional dalam masyarakat Muslim, dan karenanya, tidak dapat diterapkan, Lihat ‘Izzat Darwaza, al-Qur’ân al-Majîd (Dâr Gharb al-Islâmi, cet- 2000/1421 H). 217-224. lihat lebih lanjut tulisan Ismail K. Ponawala dalam, Jurnal PSQ (Pusat Studi al-Qur’ân) Vol.1.No.1, Januari 2006 hal. 125-148. 268 Kuntowijoyo, Iman dan Realitas, (Yogyakarta: Shalahuddin Press; 1985), hal 21.
114
penekanan (jahr), dan lainnya. Kesemuanya itu tidak terkait dengan tafsir, inilah yang menjadi anutan pendahulu, diantaranya Abu Ali al-Farisi, penulis “al-Hujjah fi alqirâ’at”. 269 Adapun perbedan yang kedua mencakup perbedaan dalam soal membaca huruf dalam satu kalimat, seperti kalimat “maaliki yaumi ad-din” (dengan bacaan panjang di huruf mim), dan “maliki yaumi ad-din”(pendek diawal) disini Ibnu ‘Âsyûr tidak menegaskan secara gamblang perbedaan tersebut, hanya menekankan bahwa semua itu merupakan keinginan Allah agar tercipta kekayaan makna. Mungkin juga hal tersebut menambah kelenturan struktur kalimat dalam Al-Qur`ân. Seperti halnya cerita Hisyam Ibn Hakim ibn Huzâm dan Sayyidina Umar dalam Shahîh Bukhâri
mendengarkan bacaan Hisyam surat al furqân, selesai shalat keduanya
mengadu kepada Rasulullah maka setelah keduanya membacakan ayatnya Rasulullah tidak menyalahkan keduanya kemudian Beliau bersabda;
"ﺤ ُﺭﻑٍ ﻓﹶﺎ ﹾﻗ َﺭﺃُﻭﺍ ﻤﺎﺘ َﻴﺴّﺭ ِﻤ ﹾﻨ ُﻪ ْ ﺴﺒْﻌ ِﺔ َﺃ َ ﻥ ﻫﺫﺍ ﺍﻟﻘﹸﺭﺁﻥ ُﺃ ﹾﻨﺯِل ﻋﻠﻰ ّ ِﺇ،ﻜﺫﺍﻟﻙ ُﺃ ﹾﻨ ِﺯﹶﻟﺕﹾ..... “Sesungguhnya Al-Qur`ân itu diturunkan dalam tujuh dialek (sab’at ahruf) dan bacalah dengan apa yang termudah menurut (lidah) kalian!.”270 Kemudian pada pengantar Ketujuh, Ibnu ‘Âsyûr memaparkan tentang kisahkisah dalam Al-Qur`ân. Menurutnya (Maqâshid Qasas Al-Qur’ân) itu semua berfungsi bagi kaum muslim untuk menguasai wawasan global tentang dunia, dan memotivasi mereka untuk menjadi penguasanya, sekalipun mereka itu dalam kondisi memmprihatinkan dan berpecah-pecah. Kisah juga mengandung pengertian bahwa
269
Ibnu ‘Âsyûr, al-Tâhrîr wa al-Tanwîr, vol. 1, hal. 55. Ibnu ‘Âsyûr, al-Tâhrîr wa al-Tanwîr, vol. 1, hal. 56. diterangkan juga bahwa redaksi hadits diatas hanya penulis cantumkan sebagian saja, terdapat dua pendapat tentang hadits ini sebagian memandang hadits ini mansukhan dan sebagian Ulama’ melihatnya muhakkaman mereka yang memandang mansukh dari mayoritas Ulama’ antara lain; Abû Bakar Bâqillâni, Ibn ‘Abd al Barr, Abû Bakar Ibn ‘Araby, al Thabarî dan al Thahâwiy, kemudian Ibn Uyainah dan Ibn Wahab keduanya berpandangan bahwa hal tersebut (qirâ’at) merupakan rukhsah dari Allah untuk bangsa arab pada masa keemasan Islam (shadr Islam), dan dihapusnya dialektika mereka dengan dialek Quraisy, ini jiga didukung pendapat Ibn ‘Arabi pengarang kitab Ahkâm al Qur’ân. Lihat lebih lanjut hal. 57-59. 270
115
kekuatan Allah Ta’ala diatas semua kekuatan dan keilmuan Allah diatas segalagalanya.271 Secara etimologi qisas jamak dari kalimat qissah, menurut pakar bahasa al‘azhar al-Qashash (kisah) adalah masdar (kata benda) dari یﻘﺺ- ﻗﺺyang berati mengisahkan/ sebagai cerita dari suatu kejadian yang sudah diketahui sebelumnya. Menurut al-Laits al-Qashash berarti mengikuti jejak.272 Musthafâ Sulaiman memberi pengertian tentang kisah ini dari aspek bahasa berdasarkan redaksi al-Qur’ân (surah Yusuf 12;3) pada redaksi ayat ‘naqushshu’ disana diartikan dengan kami jelaskan kepadamu dengan sebaik-baik penjelasan, sedang pendefinisiannya adalah suatu kepercayaan atas kebenaran sebuah sejarah yang jauh dari kebohongan atau khayalan.273 Demikian juga Sayyid Quthb dalam karyanya Tashwîr al-Fanni fî al-Qur’ân, diterangkan bahwa kisah-kisah dalam al-Qur’ân bukanlah karya seni yang terpisah dalam hal subyek, metode penyajian, dan pengaturan-pengaturan kejadiannya, sebagaimana yang terdapat pada kisah seni bebas yang bertujuan menunaikan penyajianseninya tanpa ikatan tujuan. Kisah adalah satu sarana al-Qur’ân diantara sekian banyak sarananya mempunyai berbagai tujuan kekagamaan. Al-Qur’ân adalah kitab dakwah sebelum segala sesuatunya. Dengan demikian kisah merupakan salah satu sarana al-Qur’ân untuk menyampaikan dakwah ini dan mengokohkannya. Kedudukan kisah dalam hal ini sama dengan gambaran-gambaranyang disajikan tentang hari kiamat, nikmat surga dan azab neraka. Sama dengan bukti-bukti yang diketengahkannya tentang hari berbangkit, untuk menunjukkan kekuasaan Allah. Juga sama halnya dengan syari’at-syari’at yang dirincinya serta tamtsil-tamsil yang dibuatnya, dengan tema-tema lain yang disebutkan dalam al-Qur’ân. Kisah dalam alQur’ân baik temanya, metode penyajiannya, hingga pengaturan-pengaturan 271
Ibnu ‘Âsyûr, al-Tâhrîr wa al-Tanwîr, vol. 1, hal. 64-69. Ibn Mandzûr, Lisân al-‘Arab, hal.345. 273 Musthafâ Muhammad Sulaiman, al-Qishash fî al-Qur’ân al- Karîm, (Qâhirah; Mathba;ah alÂmanah, 1994), cet. Ke-1, hal.16 dan 18. bandingkan dengan Muhamed Ahmad Khalafullah alfann alqashashisy fî al-Qur’ al karîm (Mu’assasah al-intisyâr al-‘Arabiy) edisi ke IV 1999, hal. 147. 272
116
kejadiannya tunduk kepada tuntutantujan-tujuan agama, pengaruh dari ketundukan ini terlihat menonjol melalui ciri-ciri tertentu. Meski begitu, ketundukan total kepada tujuan agama ini tidak akan menghalangi keberadaan karateristik seni dalam penyajiannya,
terutama
keistimewaan
al-Qur’an
yang
terbesar
dalam
menyampaikanungkapan, yaitu tashwîr atau gambaran.274 Dalam karya Mohamed Ahmad Khalafullah yaitu Stories in the holly Qur’ân275 ditegaskan bahwa; esensi tujuan dari kisah-kisah al-Qur’an adalah pengarahan dan penjelasan (taujîhât al-dîniyyah) dari risalah kenabian (mâ jâ’a bihî al-Islâm) dari dasar-dasar aqîdah dan membersihkan dari segala bentuk pengingkaran terhadap pandangan, perkiraan-perkiraan serta pemikiran dan akidah yang melenceng (bâthilah).276 Kisah-kisah dalam perspektif Ibn ‘Asyur adalah suatu informasi mengenai kisah-kisah dalam al-Qur`ân masa lampau (ghâibah) yang terjadi. Kisah-kisah tersebut dijelaskan, bahwasannya ia berfungsi bagi kaum muslim untuk menguasai wawasan global tentang dunia, dan memotivasi mereka untuk menjadi penguasanya, sekalipun mereka itu dalam kondisi memmprihatinkan dan berpecah-pecah. Kisah juga mengandung pengertian bahwa kekuatan Allah Ta’ala diatas semua kekuatan dan keilmuan Allah diatas segala-galanya.277 Tujuan utama (ghardh al-asliy) dari kisah-kisah dalam al-Qur’ân perspektif Ibn ‘Âsyûr antara lain:
274
Sayyid Quthb, Tashwîr al-Fanni fî al-Qur’ân terj. keindahan al-Qur’ân yang menakjubkan, (Jakarta, Rabbâni Press), 2004), cet. Ke-1, hal. 275-276. 275 Lihat karya Muhamed Ahmad Khalafullah, al-Fann al-Qashashiy fî al-Qur’an al-karîm, (Mu’assasah al-intisyâr al-‘Arabiy) edisi ke IV 1999, hal. 149. 276 Muhamed Ahmad Khalafullah, al-Fann al-Qashashiy hal.225 277 Ibnu ‘Âsyûr, al-Tâhrîr wa al-Tanwîr, vol. 1, hal. 64-69. Redaksi ayat-ayat yang menunjukan tentang kisah-kisah dalam Al-Qur’ân;
ﻥ ﹶﻗ ْﺒﻠِﻪِ ﹶﻟﻤِﻥَ ﺍ ﹾﻟﻐﹶﺎ ِﻓﻠِﻴﻥَ{ ]ﺴﻭﺭﺓ ْ ﺕ ِﻤ ﻥ ﹸﻜ ﹾﻨ ﹶ ْ ﻥ َﻭِﺇ َ ﺤ ْﻴﻨﹶﺎ ﺇِﹶﻟ ْﻴﻙَ َﻫﺫﹶﺍ ﺍ ﹾﻟ ﹸﻘﺭْﺁ َ ﺤﺴَﻥَ ﺍ ﹾﻟ ﹶﻘﺼَﺹِ ِﺒﻤَﺎ َﺃ ْﻭ ْ ﻥ ﹶﻨ ﹸﻘﺹﱡ ﻋَﹶﻠ ْﻴﻙَ َﺃ ُﺤ ْ ﹶﻨ ،[3 :ﻴﻭﺴﻑ .[76 :ﻥ {]ﺴﻭﺭﺓ ﺍﻟﻨﻤل َ ﺨ ﹶﺘِﻠﻔﹸﻭ ل َﺃ ﹾﻜ ﹶﺜﺭَ ﺍﱠﻟﺫِﻱ ُﻫ ْﻡ ﻓِﻴ ِﻪ َﻴ ﹾ َ ﺴﺭَﺍﺌِﻴ ْ ﻋﻠﹶﻰ َﺒﻨِﻲ ِﺇ َ ﻥ َﻴ ﹸﻘﺹﱡ َ ﻥ َﻫﺫﹶﺍ ﺍ ﹾﻟ ﹸﻘﺭْﺁ } ِﺇ ﱠ:ﻭﻗﺎل
117
a. Keterabatasan pengetahuan ahli kitab (yahudi dan nasrani) ketika itu, tentang informasi mengenai Nabi-nabi dan kaum-kaum bersama mereka merupakan suatu tantangan yang dahsyat bagi mereka (yahudi dan nasrani) dan sebagai bukti mu’jizat al-Qur’ân bahwa argumentasi mereka lemah atas kaum muslimin, pengecualian bagi mereka yang memiliki pengetahuan yang dalam (al-Râskhûn fî al-‘ilm), (surah Hûd; 49) 278 keterangan tentang inilah yang diklaim Ibn ‘Âsyur bahwa mufassir sebelumnya belum menyebut dan menerangkan manfaat dari kisah-kisah dalam al-Qur’ân. b. Kemanfaatan yang kedua yaitu etika syari’ah (adab al-syari’ah) adalah pengetahuan tentang sejarah masa lalu (syari’at pada masa Nabi-nabi sebelum nabi Muhammad) bahwa disebutkannya kisah-kisah mereka sebagai urgensi syariat islam dengan disebutkannya para pelaku syari’at (bidzikri târikh almusyarri’în), (surah Ali Imrân 3;146)279 c. Diantara urgensi dari kisah-kisah al-Qur’ân, adalah kemanmanfaatan atas pengetahuan mengenai hirarki sejarah secara berurutan (tarattub al-musabbabât) sesuai dengan sebab-musabab diturunkannya al-Qur’ân (asbâbihâ), mengenai baik buruk (suatu urusan), penghancuran dan perubahan (pembangunan) melalui proses, sebagai peringatan dan contoh ( untuk ditiru (litaqtadliya al-ummah wa tahazhzhuri), kemudian ia kutip (surah an-Naml;52)280 d. Diantara manfaat kisah adalah sebagai nasehat diperuntukkan orang-orang musyrikin (ketika itu), bagi mereka yang hidup dan bertemu dengan kaum/golongan yang membangkang terhadap utusan Allah (rasul-rasul) kepada
278 Ibnu ‘Âsyûr, al-Tâhrîr wa al-Tanwîr, vol. 1, hal. 65. Redaksi ayatnya adalah;
َﻥ ﺍ ﹾﻟﻌَﺎﻗِﺒَ ﹶﺔ ِﻟ ﹾﻠ ُﻤ ﱠﺘﻘِﻴﻥ ﺼ ِﺒ ْﺭ ِﺇ ﱠ ْ ﻥ ﹶﻗ ْﺒلِ َﻫﺫﹶﺍ ﻓﹶﺎ ْ ﺕ ﻭَﻻ ﹶﻗ ْﻭ ُﻤﻙَ ِﻤ ﺕ ﹶﺘ ْﻌﹶﻠ ُﻤﻬَﺎ َﺃ ﹾﻨ ﹶ ﺏ ﻨﹸﻭﺤِﻴﻬَﺎ ﺇِﹶﻟ ْﻴﻙَ ﻤَﺎ ﹸﻜ ﹾﻨ ﹶ ِ ﻥ َﺃ ﹾﻨﺒَﺎ ِﺀ ﺍ ﹾﻟ ﹶﻐ ْﻴ ْ ﻙ ِﻤ َ ِﺘ ﹾﻠ 279
Redaksi ayatnya;
ﺴ ﹶﺘﻜﹶﺎﻨﹸﻭﺍ ﻭَﺍﻟﱠﻠ ُﻪ ْ ﻀ ُﻌﻔﹸﻭﺍ َﻭﻤَﺎ ﺍ َ ل ﺍﻟﱠﻠ ِﻪ َﻭﻤَﺎ ِ ﺴﺒِﻴ َ ﻥ ﹶﻜﺜِﻴ ٌﺭ ﹶﻓﻤَﺎ َﻭ َﻫﻨﹸﻭﺍ ِﻟﻤَﺎ َﺃﺼَﺎ َﺒ ُﻬ ْﻡ ﻓِﻲ َ ل َﻤ َﻌ ُﻪ ِﺭ ﱢﺒﻴﱡﻭ َ ﻲ ﻗﹶﺎ ﹶﺘ ﻥ ﹶﻨ ِﺒ ﱟ ْ ﻥ ِﻤ ْ ﻭَ ﹶﻜَﺄ ﱢﻴ (146) ﻥ َ ﺤﺏﱡ ﺍﻟﺼﱠﺎ ِﺒﺭِﻴ ِ ُﻴ 280
Redaksi ayatnya sebagai berikut: [52- 50 :ﻅﹶﻠﻤُﻭﺍ { ﺍﻵﻴﺔ ]ﺍﻟﻨﻤل ﹶﻓﺘِ ﹾﻠﻙَ ُﺒﻴُﻭ ﹸﺘ ُﻬ ْﻡ ﺨﹶﺎ ِﻭ َﻴ ﹰﺔ ِﺒﻤَﺎ ﹶ
118
mereka. Pembangkangan (mereka) terhadap perintah Allah, dan mereka saling menasehati untuk menentang kepada pendahulu mereka. Bagaimana mungkin bumi ini (dapat) diwarisi oleh orang-orang yang shalih? Kemudian Ibn ‘Âsyur mengutip ayat (surah al-a’râf 7: 176, surah yusuf 12: 111, surah al anbiyâ’ 21:105), pada surah terakhir kisah-kisah yang disebut Ibn ‘Âsyûr yaitu para pembohong-pembohong utusan-utusan Allah (rusul), seperti dalam kisah kaumnya Nabi Nûh dan kaum ‘Ad (yang membangkang tidak mempercayai risalah kenabian), ashâbul aikah dan ahl al-rassi.281 e. Dalam hikayah kisah-kisah terdapat sulûk uslûb al-taushîf dan perbincangan (uslûb) masih asing bagi penduduk arab ketika itu, hal baru bagi ilmu balaghah yang banyak mempengaruhi penyair-penyair arab, yang merupakan I’jâz alQur’ân, juga sebagai inspirator ilmu badi’, mereka tidak akan mampu mendatangkan semisalnya (uslub badi’) kecuali dengan (kebiasaan menelaahnya secara mendalam), hal ini terdapat pada kisah-kisah (yang diceritakan al-Qur’ân) seperti keadaan manusia penghuni surga dan neraka kelak, dan mereka yang berada di antara pagar surga (ashâbul a’râf), hal ini terdapat pada surah al-A’râf , sebagaimana telah diterangkan pada mukaddimah sebelumnya mengenai peringatan
atas
kelemahan
mereka
(bangsa
arab),
dari
pertentangan-
282
pertentangan.
f. Manfaat dari kisah-kisah selanjutnya bahwasannya keadaan bangsa arab yang ummiy dan kebodohan, hal tersebut yang menyebabkan petunjuk al-Qur’ân belum mampu mereka tangkap secara logika (rasio)/ mencerahkan mereka, kecuali dengan hal-hal yang kongkrit/ terdeteksi oleh indra manusia (bimâ yaqa’ tahta alhiss).termasuk dari manfaat disebutkannya kisah-kisah ini untuk memperluas pengetahuan (tawsî’ li ‘ilm muslimin) mereka orang-orang muslim karena keberadaan mayoritas umat dan keadaan (mereka sebagai i’tibar-penulis),
281 282
Ibnu ‘Âsyûr, al-Tâhrîr wa al-Tanwîr, vol. 1, hal. 66. Ibnu ‘Âsyûr, al-Tâhrîr wa al-Tanwîr, vol. 1, hal. 66.
119
sebagaimana firman Allah menunjukkan kelalaian mereka sebelum Islam (surah Ibrâhîm :14;45). g. Kemanfaatan ketujuh dari kisah al-Qur’ân yaitu menekankan kepada umat muslimin atas pengetahuan atas keluasan (pengetahuan alam), keberagaman (kelebihan) mereka (umat-umat terdahulu) dampai terhindar dari teka-teki tipu daya mereka. Sebagaimana Allah dalam al-Qur’ân menasehati kaum ‘Ad, dalam (surah fushshilat 41:18). h. Faedah dari kisah ini diharapkan agar tumbuh dalam benak kaum muslimin keinginan kuat (himmah) untuk menguasai alam, sebagaimana umat sebelumnya, dengan tujuan mereformasi dekadensi moralitas orang-orang arab dimana mereka mengorbankan satu sama lain dalam pencapaian suatu kemulyaan(idz radlû minal ‘izzah biightiyâli al-‘arab, liyakhrujû minal khumûli alladzî kâna ‘alaihi al‘arab). 283 i. Manfaat yang kesembilan dari kisah-kisah al-Qur’ân, sebagai penekanan pengetahuan bahwa kekuatan mutlak hanya milik Allah, dan pertolonganAllah bagi mereka yang menolong (agama) Allah, dan jiak mereka berpegang teguh pada persiapan yang matang dan bersandar hanya kepada Allah (untuk menerima petunjuk
Allah),
maka
mereka
(makhluk)
akan
terhindar
dari
penguasaan/eksploitasi orang lain. Sebagaimana al-Qur’an (surah al-anbiyâ’ 21:88).284 j. Dengan megelaborasi qasas al-Qur’ân ini, akan bermanfaat pada signifikansi sejarah peradaban dan syari’ah, yang kesemuanya itu dapat menjadikan pengetahuan tersendiri bagi umat muslim dari kebutuhan primer (yuftaqq adzhân
283
Ibnu ‘Âsyûr, al-Tâhrîr wa al-Tanwîr, vol. 1, hal. 66-67. bandingkan dengan gagasan Muhammad Izzat Darwaza tentang formulasi al-Qasas dalam [al-Qur’ân al-Majîd] fî Muqaddimah alTafsîr al-Hadits,[Kairo; Isa al-Babiy al-Halabiy wa syuraka’uh, 1964/Dar al-Gharb al-Islamiy, 2000 M] cet.2. jilid 1. juz.1 hal. 162-178. 284 Ibnu ‘Âsyûr, al-Tâhrîr wa al-Tanwîr, vol. 1, hal. 67.
120
muslimîn liilmâm bifawâid al-madaniyyah) maupun sekunder.-penulis-, kemudian Ibn ‘Âsyûr mengutip al-Qur’ân (surah yûsuf 12:76)285 Kemudian pengantar Kedelapan, Ibnu ‘Âsyûr berbicara tentang nama, jumlah ayat, susunan, dan nama-nama lain Al-Qur’ân, diterangkannya secara rinci. Dia juga menjelaskan bahwa ayat terpanjang dalam al-Qur’ân adalah ayat surah al-Fath;[48 25] dan surah al-Baqarah; [2:102]. agaknya penulis kitab ini memfokuskan di pengantar kedelapan ini soal susunan atau runtutan ayat. Ibn ‘Âsyûr mengatakan; bahwa itu semua sudah ditentukan oleh Nabi langsung, sesuai dengan turunnya wahyu. Sebagaimana maklum Al-Qur’ân diturunkan secara bertahap (munajjaman) dalam kurun waktu 23 tahun.286 Dalam perspektif Ibn ‘Âsyûr pengertian al-Âyat berarti suatu maksud/ukuran dari redaksi al-Qur’ân yang tersusun (Miqdârun min al-Qur’-ân murakkabun), misalnya “”واﻟﻔﺠﺮ
yang maksud darinya adalah bersumpah dengan dengan waktu
fajar (uqsimu bi al-fajri). Atau disebutnya sebagai sambungan/pertautan (ilhâqan) seperti huruf-huruf muqaththa’ah dalam setiap pembukaan surah (fawâtih al-suwar) .
ﻃﺲ، اﻟﻤﺮ، اﻟﺮhal disamping bersifat tawqîfî juga merupakan sunnah yang diikuti kebenarannya dengan tidak membedakan satu dengan yang lainnya. Bagian ini dinamakan dengan Âyât karena ia temasuk bagian dari al-Qur’ân (min mubtakirâti alQur’ân) dalam al-Qur’ân ayat 7 dari surah Ali Imran [3] redaksinya adalah:
ﺕ ﺤ ﹶﻜﻤَﺎ ﹲ ْ ﺕ ُﻤ ﺏ ِﻤ ﹾﻨ ُﻪ ﺁﻴَﺎ ﹲ َ ل ﻋَﹶﻠ ْﻴﻙَ ﺍ ﹾﻟ ِﻜﺘﹶﺎ َ ُﻫ َﻭ ﺍﱠﻟﺫِﻱ ﺃَﻨﺯdan pada ayat 1 dari surah Hûd [11] yang redaksinya adalah: ﺭ ٍ ﺨﺒِﻴ ﺤﻜِﻴ ٍﻡ ﹶ َ ﻥ ْ ﻥ ﹶﻟ ُﺩ ْ ﺕ ِﻤ ﺼﹶﻠ ﹾ ﺕ ﺁﻴَﺎﺘﹸ ُﻪ ﹸﺜﻡﱠ ﹸﻓ ﱢ ﺤ ِﻜ َﻤ ﹾ ْ ﺏ ُﺃ ٌ ﺃﻟﺭ ِﻜﺘﹶﺎdisebutkan dalam kedua surat disamping
(Ali Imran [3:7] dan Hud [11:1]) redaksi yang
menerangkan tentang Âyât, dinamakan ayat sebagai bukti bahwa redaksi tersebut merupakan wahyu dari sisi Allah yang diwahyukan kepada Nabi Muhammad shallawwah ‘alaih wasallam, karena ia juga mencakup dari batasan paling tinggi dalam kajian balaghah Nazhm al-kalâm. Sebagai bukti bahwa al-Qur’ân bukan buatan 285 286
Ibnu ‘Âsyûr, al-Tâhrîr wa al-Tanwîr, vol. 1, hal. 67. Ibnu ‘Âsyûr, al-Tâhrîr wa al-Tanwîr, vol. 1, hal. 70-92.
121
manusia, sebagaimana ketidakmampuan pakar balaghah dan pakar sastra arab ketika ditantang oleh Nabi untuk mendatangkan surah semisal seperti redaksi al-Qur’ân mereka tidak mampu mendatangkannya, maka dilemahkannya mereka (fa’ajazû ‘an ta’lîfi mitsla sûrah min sûrah).287 Sedangkan al-Sayûthi berpandangan bahwa diantara kesesuaian antara ayatayat dan surat-suratnya serta hubungan yang kuat, keterkaitan dan keterikatan yang kokoh antara ayat-ayatnya dan surat-suratnya merupakan bagian dari tiga puluh lima bentuk ke i’jâz-an al-Qur’ân, kekunikan susunan dan keharmonisan kalimatnya juga termasuk bagian dari I’jâz al-Qur’ân.288 Selanjutnya atas dasar inilah Ibn ‘Âsyûr (w. 1973) menekankan bahwa keterangan tentang ayat redaksinya tidak ditemukan dalam al-Taurah, al-Injîl, ini merupakan kekhususan yang tidak terdapat pada bahasa Ibrâniyyah dan Ârâmiyyah. Berkata Abû Bakar Ibn ‘al-‘Arabi pembatasan-pembatasan ayat termasuk dari mu’dhalâti al-Qur’ân, ada yang panjang dan pendek, terdapat juga yang disela/diputus sebelum akhir, dan ada pula habis sampai konteks pembicaraan selesai (wa minhu mâ yanqathi’u wa minhu mâ yantahî ilâ tamâmi al-Kalâm), demikian juga al-Zamakhsyari ayat-ayat dalam al-Qur’ân merupakan masalah tawqîfî.289 Kemudian Ibn ‘Âsyûr menambahkan agaknya tidak terlampau jauh (lâ yab’adu) penetapan ukuran ayat (an yakûna ta’yîn miqdâru al-Âyah) mengikuti pada kronologis turunnya (taba’an liintihâ i nuzûliha) dan permasalahan yang berkaitan dengannya (wa ammâratihi wuqû’i al-fâshilah).290 287
Ibn ‘Âsyûr, Al-Tahrîr wa al-Tanwîr, vol. 1, hal. 74. Lihat al-Sayûthi, Mu’tarak al-aqrân fî I’Jâz al-Qur’ân (Dâr al-Fikr al-‘Arabi, tt), juz I-III. Ibn al-Hashar dan Ibn al-Anbari juga demikian. keduanya meyakini bahwa susunan letak surat-surat dan ayat-ayatnya (urutan surat sama dengan hubungan ayat dan huruf saling melekat) dan sepenuhnya merupakan petunjuk langsung dari Nabi Muhammad saw. Berdasarkan wahyu. 289 Ibn ‘Âsyûr, Al-Tahrîr wa al-Tanwîr, vol. 1, hal. 75. 290 Ibn ‘Âsyûr, Al-Tahrîr wa al-Tanwîr, vol. 1, hal. 74. keterangan tentang al-fawâshil ia merupakan kalimat-kalimat yang redaksinya menyerupai atau mendekati/mirip dengan jatuhnya huruf yang terakhir ( tatamâtsalu fî awâkhiri hurûfiha aw tataqâraba), dengan dibarengi kemiripan shighat al-nutq, yang kemudian redaksinya diulangi dengan penekanan pengulangan yang merupakan bentuk nadham dalam pelbagai redaksi ayat-ayat yang banyak, yang kebanyakan qarîb min al-asjâ’ fî kalâmi al-Masjû’. Thâhir Ibn ‘Âsyûr menyimpulkan bahwa sesungguhnya al-fawâshil itu kesemuanya sampai 288
122
Dalam (mukaddimah kedelapan); ditulis bahwa al-Sûrah merupakan suatu bagian dari al-Qur’ân (qit’atun min al-Qur’ân) yang ditandai dengan permulaan dan pengakhiran (mu’ayyanatun bimabdain wa nihâyatin) yang keduanya tidak akan pernah berubah, al-sûrah tersebut dinamai dengan nama-nama yang khusus (musammâtun biismin makhsûsin) yang terdiri dari 3 ayat atau lebih yang memiliki tujuan global dengan membawa pesan-pesan makna ayat-ayat dalam surah tersebut. al-sûrah tersebut berkaitan ereat dengan kronologi turunnya ayat (Nâsyiun ‘an asbâb al-Nuzûl), dan juga mengandung keserasian makna-makna antar surah di balik teks (muqtadlayât mâ tasytamilu ‘alaihi min al-ma’ânî al- mutanâsibati). Kemudian penulis juga mengemukakan pandangan mufassir tentang tema tersebut sebagai perbandingan, karena hal tersebut dapat menyingkap urgensi gagasan maqashid dan prinsip tafsirnya, khususnya pada surah al-Baqarah.291 Dalam pengantar Kesembilan, Ibn ‘Âsyûr berbicara tentang makna-makna yang dikandung oleh kalimat-kalimat Al-Qur’ân,. Dia menegaskan, bahwa itu semua pada akhir ayat, walaupun perbincangan (al-kalâm) yang terjadi (al-ladzî taqa’u fîhi) belum sempurna dari maksud dan tujuan (al-ghard) dari konteks pembicaraan tersebut (al-masûq ilahi). Dan jika telah sampai pada tujuan yang dimaksud dari konteks ayat yang diperbincangkan (al-kalâm), dan belum terjadi (sampai tujuannya) ketika habisnya al-fâshilah (rima) maka, pada konteks perbincangan ayat tersebut belum selesai (falâ yakûna muntahâ al kalâm) dan belum menjadi akhir konteks ayat tersebut (nihâyata âyah). Seperti dalam sûrah (Shâd [38:1]): ص واﻟﻘُﺮ ﺁن ذِي اﻟﺬآﺮKeterangan jumlah (‘Adu) ayat disamping menunjukan ukuran ayat yang belum selesai (konteks pembicaraannya) karena penyebab berhentinya adalah al-fâshilah, hal ini sangat jarang ditemukan dalam al-Qur’an.290 Dalam kasus disamping al fawâshil ayatnya terjadi pada pembukaan/ permulaan surah, yang terbangun atas satu huruf terbuka (uqîmat ‘alâ harfin maftûhin) yang disusul dengan alif sebagai bentuk mad kemudian datang setelahnya huruf (ba’dahû alif maddin ba’dahâ harfun), seperti bentuk misal berikut: ،ﺷﻘﺎق ﻋﺠﺎب، آﺬَاب، ﻡﻨﺎص, dan masih banyak bentuk fawâshil misalnya yang terbangun (buniyat) dari huruf yang madhmû musyabba’ bi al-wâwi,ataupun dari huruf berkasrah musyabba’ bi al-Yâ’i al-sâkinah, yang datang setelahnya satu huruf contohnya; ﻡﻦ ﻃﻴﻦ، ﻥﺬیﺮ ﻡﺒﻴﻦ، إذ یﺴﺘﻤﻌﻮن، أﻥﺘﻢ ﻋﻨﻪ ﻡﻌﺮﺿﻮن, dan apabila tujuan yang dimaksud (al-ghardh) sampai pada konteks ayat yang terakhir sedangkan al-fâshilah datang setelahnya maka ayat tersebut belum dapat dikatakan selesai (takûna al-Âyah ghaira muntahiyah) meskipun ayat tersebut masih terlalu panjang, seperti contoh berikut: ﻗﺎل ﻟﻘﺪ ﻇﻠﻤﻚ ﺑﺴﺆال ﻥﻌﺠﺖ "إﻟىﻘﻮﻟﻪ" وﺥﺮّراآﻌﺎ وأﻥﺎب, dari rangkaian ayat disamping menunjukkan jumlah satu ayat. 291 Ibn ‘Âsyûr, Al-Tahrîr wa al-Tanwîr, vol. 1, hal. 84. terdapat redaksi hadits yang menguatkan pandangan ini diriwayatkan Abû Dawûd dari Zubair: ث ُ ل َأﺗَﻰ ا ْﻟﺤَﺎ ِر َ ﻦ اﻟ ﱡﺰ َﺑ ْﻴ ِﺮ ﻗَﺎ ِ ﻋ ْﺒ ِﺪ اﻟﱠﻠ ِﻪ ْﺑ َ ﻦ ِ ﻋﺒﱠﺎ ِد ْﺑ َ ﻦ َأﺑِﻴ ِﻪ ْﻋ َ ﻋﺒﱠﺎ ٍد َ ﻦ ِ ﺤﻴَﻰ ْﺑ ْ ﻦ َی ْﻋ َ ق َ ﺱﺤَﺎ ْ ﻦ ِإ ِ ﺤ ﱠﻤ ِﺪ ْﺑ َ ﻦ ُﻡ ْﻋ َ ﺱَﻠ َﻤ َﺔ َ ﻦ ُ ﺤﻤﱠ ُﺪ ْﺑ َ ﺡ ﱠﺪ َﺛﻨَﺎ ُﻡ َ ﺤ ٍﺮ ْ ﻦ َﺑ ُ ﻲ ْﺑ ﻋِﻠ ﱡ َ ﺡ ﱠﺪ َﺛﻨَﺎ َ ل ﻟَﺎ َأ ْدرِي وَاﻟﱠﻠ ِﻪ َ ﻋﻠَﻰ َهﺬَا ﻗَﺎ َ ﻚ َ ﻦ َﻡ َﻌ ْ ل َﻡ َ ب َﻓﻘَﺎ ِ ﺨﻄﱠﺎ َ ﻦ ا ْﻟ ِ ﻋ َﻤ َﺮ ْﺑ ُ ﺴ ُﻜ ْﻢ { ِإﻟَﻰ ِ ﻦ َأ ْﻥ ُﻔ ْ ل ِﻡ ٌ ﺥ ِﺮ َﺑﺮَا َء َة } َﻟ َﻘ ْﺪ ﺝَﺎ َء ُآ ْﻢ َرﺱُﻮ ِﻦﺁ ْ ﻦ ِﻡ ِ ﻦ اﻟْﺂ َی َﺘ ْﻴ ِ ﺥ َﺰ َﻡ َﺔ ِﺑﻬَﺎ َﺗ ْﻴ َ ﻦ ُ ْﺑ ﻋَﻠ ْﻴ ِﻪ َ ﺻﻠﱠﻰ اﻟﻠﱠ ُﻪ َ ل اﻟﱠﻠ ِﻪ ِ ﻦ َرﺱُﻮ ْ ﺴ ِﻤ ْﻌ ُﺘﻬَﺎ ِﻡ َ ﺷ َﻬ ُﺪ َﻟ ْ ﻋ َﻤ ُﺮ َوَأﻥَﺎ َأ ُ ل َ ﻈ ُﺘﻬَﺎ َﻓﻘَﺎ ْ ﺡ ِﻔ َ ﻋ ْﻴ ُﺘﻬَﺎ َو َ ﺱﱠﻠ َﻢ َو َو َ ﻋَﻠ ْﻴ ِﻪ َو َ ﺻﻠﱠﻰ اﻟﻠﱠ ُﻪ َ ل اﻟﱠﻠ ِﻪ ِ ﻦ َرﺱُﻮ ْ ﺴ ِﻤ ْﻌُﺘﻬَﺎ ِﻡ َ ﺷ َﻬ ُﺪ َﻟ ْ ِإﻟﱠﺎ َأﻥﱢﻲ َأ ﺥ ِﺮ َﺑﺮَا َء َة ِ ﺿ ْﻌ ُﺘﻬَﺎ ﻓِﻲ ﺁ َ ﻀﻌُﻮهَﺎ ﻓِﻴﻬَﺎ َﻓ َﻮ َ ن َﻓ ِ ﻦ ا ْﻟ ُﻘﺮْﺁ ْ ﻈ ُﺮوا ﺱُﻮ َر ًة ِﻡ ُ ﺡ َﺪ ٍة ﻓَﺎ ْﻥ ِ ﻋﻠَﻰ َ ﺠ َﻌ ْﻠُﺘﻬَﺎ ﺱُﻮ َر ًة َ ت َﻟ ٍ ث ﺁیَﺎ َ ﺖ َﺛﻠَﺎ ْ ل َﻟ ْﻮ آَﺎ َﻥ َ ﺱﱠﻠ َﻢ ُﺛﻢﱠ ﻗَﺎ َ َو
123
menyangkut sebagian hubungan antara struktur kalimat, makna dan beberapa persoalan bahasa.292 Bangsa arab diciptakan dengan diberi kemampuan sastra yang tinggi dan pemahaman
[otak]
cerdas.
Sehingga
pujangga-pujangga
mereka
banyak
menggunakan istilah-istilah (majâz) dalam berkomunikasi. Seperti Majaz, Isti’ârah, Tamtsîl, Kinâyah, al- ta’rîdl, wa al-Amtsâl, Isytirâk wa al-Tasâmuh fî al-isti’mâl, alistifhâm fî al-Taqrîr aw al-Inkâr dll. 293 Pengantarnya Kesepuluh, dalam karya tafsirnya mengulas panjang lebar tentang kemu’jizatan Al-Qur`ân. Kemu’jizatan merupakan dasar universal bahwa Al-Qur`ân merupakan mu’jizat Islam dengan menantang para penentangnya, dan memepersilahkannya untuk menandinginya apabila mampu untuk membuat surat semisal Al-Qur`ân, namun Al-Qur`ân pun menjelaskan bahwa manusia tidak akan pernah mampu walaupun diantara mereka terdapat para ahli syair, pakar-pakar bahasa waktu diturunkannya Al-Qur`ân sampai detik ini dan sampai hari dibangkitkannya manusi kelak, tidak akan yang ada yang menandinginya. Inilah konsep yang agaknya banyak dilupakan oleh para ahli tafsir menurut Ibn 'Âsyûr. Yang mana mereka dibuat sibuk oleh detil-detil mu’jizat sembari melupakan pangkal dan akarnya. Ini pula yang menyebabkan mereka berbeda-beda dalam menunjukkan sisi kemu’jizatan AlQur`ân. Sumbangan terpenting dari Ibnu ‘Âsyûr diantara para mufasir ialah ulasannya yang sekilas merangkum tentang bagaimana Al-Qur`ân menjadi pelopor dalam keistimewaan struktur kalimatnya (Îjâz). Dia tidak terikat pada satu bahasa, tapi berbeda-beda dalam satu surah. Bahkan dalam tiap-tiap surah terdapat dialek tersendiri. Sebagian bersifat sinambung dan bagian yang lain tidak sinambung, begitu juga pada variasi awal surahnya.294
292
Ibnu ‘Âsyûr, al-Tâhrîr wa al-Tanwîr, vol. 1, hal. 93-100. Ibnu ‘Âsyûr, al-Tâhrîr wa al-Tanwîr, vol. 1, hal. 93-100. 294 Ibnu ‘Âsyûr, al-Tâhrîr wa al-Tanwîr, vol. 1, hal. 101-121. 293
124
Dalam pandangan Ali Iyâzi dalam karyanya pengantar tentang penafsiran AlQur`ân dan ulûmul Qur’an dalam karya monumental Ibnu ‘Âsyûr ini setara dengan pengantar Ibnu Khaldun (bapak sosiologi) tentang sejarah dalam karyanya AlMuqaddimah.295 B. Maqâshid al-ashliyyah dalam tafsir Ibn ‘Âsyûr Delapan tujuan dasar (al-Maqâshid al-ashliyyah) dari diturunkannya alQur`ân dalam pandangan dan rumusan Ibn ‘Âsyûr antara lain; pertama, memperbaiki dan mengajarkan akidah [yang benar]; kedua, mengajarkan nilai-nilai akhlak yang mulia; ketiga, menetapkan hukum-hukum syariat; keempat, menunjukkan jalan kebaikan kepada umat Islam (siyâsah al-ummah); kelima, memberikan pelajaran dan hikmah dari kisah bangsa-bangsa terdahulu; keenam, menyiapkan umat Islam untuk menerima dan menyebarkan ajaran-ajaran agamanya; ketujuh, al-targîb wa al-tarhîb; kedelapan, membuktikan kebenaran risalah Nabi Muhammad saw.296 Maqâshid alasliyah (8 tujuan dasar) penafsiran dalam tafsir a a. Memperbaiki dan Mengajarkan dasar-dasar Aqîdah Ketika berbicara tentang ‘Aqidah Ibn ‘Âsyûr memulainya dengan menyatakan; bahwa hendaknya Aqidah harus diajarkan dan doktrin dengan benar karena ini merupakan sebab yang paling utama untuk menghiasi serta memperbaiki akhlak umat (li islâhi khalq), karena aqidah yang benar mampu membantu untuk menghilangkan ketidak patuhan diri dari perihal yang tidak berdasar, aqidah juga
295
Gamal al-banna, tafsir al-Qur’an al-Karim baina al-qudama’ wa al—muhadditsin, versi terjemahan dari judul ini oleh Novriantoni dkk. Dalam evolusi tafsir hal 138 Qisthi Press 2004. 296 Ibnu ‘Âsyûr, al-Tâhrîr wa al-Tanwîr, vol. 1, hal. 39-41. bandingkan dengan konsep maqashid al- asâsiyyah (tujuan pokok) al-Qur’ân yang dikemukakan oleh Rasyîd Ridha yang kemudian ia membagi maqâshid al-Qur’an tersebut menjadi sepuluh bagian; pertama; perbaikan tiga sendi agama, yakni iman kepada Allah, iman kepada hari akhirat, dan perbuatan baik (amal shaleh). Kedua; perbaikan pemahaman tentang wahyu dan kerasulan. Ketiga; pemberdayaan potensi diri manusia.keempat; perbaikan hubungan sosial kemasyarakatan dan politik. Kelima; penegasan karakteristik ajaran Islam. Keenam; penjelasan prinsip-prinsip dasar pemerintahan Islam. Ketujuh; perbaikan sistem pengelolaan harta. Kedelapan; perbaikan aturan perang dan perjanjian damai. Kesembilan; pemenuhan hak-hak perempuan. Kesepuluh; pembebasan budak. Lihat lebih lanjut dalam Tafsir al-Qur’ân, vol. 11, hal. 186-255. lihat juga al-Wahyu al-Muhammady (Maktabah al-Islâmî), hal. 29,30, dan 166-340.
125
mampu mensucikan qalb dari gejala-gejala keragu-raguan yang tumbuh (dalam diri) seperti indikasi syirk kepada Allah subhanahû wa Ta’âla dan penyakit hati (al-isyrâk wa al-duhriyyah) dan segala bentuk penyakit yang berkaitan dengan keduanya.297 Dalam hal ini Ibn ‘Âsyûr mengutip surah [QS. Hûd 11:101]; ﺐ ٍ ﻏ ْﻴ َﺮ َﺗ ْﺘ ِﺒ ْﻴ َ ﻲ ٍء ﱠﻟﻤﱠﺎ ﺝَﺎ َء أ ْﻡ ُﺮ رﺑﱢﻚ وﻡَﺎ زَادُوهُﻢ ْ ﺷ َ ن اﷲ ﻡِﻦ ِ ﻦ دُو ْ ﻲ ی ْﺪﻋُﻮن ِﻡ ِ ﻋ ْﻨ ُﻬ ْﻢ ﺁﻟﻬ ُﺘﻬُﻢ اﻟّﺘ َ ﺖ ْ ﻏ َﻨ ْ ﻓﻤَﺎ أ Gharad/maksud dan tujuan dari tafrî’ [klasifikasi] ini yaitu menjelaskan keadaan kaum musyrikin arab (ketika itu) yang menyembah dan mengharap kemanfaatan pada patung dan berhala. Mereka kaum (musyrikin) mengira bahwa dalam beribadah, pendahulu mereka juga menyembah berhala, kemudian dugaandugaan tersebut semakin kuat karena faktor peninggalan dan pengaruh mereka terhadap kaum musyrikin arab setelahnya masih sangat dominan.298 Disandarkannya lafadz ﻵﻟﻬﺘﻬﻢkepada Tuhan-tuhan yang mereka (kaum Musyrikin) sembah dan berharap kemanfaatan dari berhala dan patung-patung sesembahan mereka, sebagai sebab-sebab kerugian mereka bertambah, hal tersebut disebabkan pengaruh dari kepercayaan (I’tiqâd) mereka terhadap berhala dan patungpatung yang mereka jadikan sandaran dan harapan kemanfaatan dari benda yang mereka buat sendiri, walhasil kerugian yang mendalam disebabkan ketamakan mereka dalam menyembah dan mengharap kepada berhala-berhala itu keselamatan dari musibah-musibah yang menimpanya, kemudian ketika mereka mendengarkan peringatan dan ancaman siksa, mereka tidak menghiraukannya dan mereka tidak bertaubat.299 Dalam karya Ibn ’Âsyûr ushûl al Nizhâm al-Ijtimâ’I fî al-Islâmî ditulis; bahwa penelitian yang mengkaji tentang hakikat ketuhanan mampu ditangkap oleh “fitrah” yang terdapat pada setiap individu manusia, hal ini diabadikan dalam al-Qur’ân surat al-A’râf 297
7:172].300 Diterangkan; manusia diciptakan oleh Allah dalam keadaan
Ibnu ‘Âsyûr, al-Tâhrîr wa al-Tanwîr, vol. 1, hal. 40. Ibnu ‘Âsyûr, al-Tâhrîr wa al-Tanwîr, vol. 12, hal. 158-159. 299 Ibnu ‘Âsyûr, al-Tâhrîr wa al-Tanwîr, vol. 12, hal. 159-160. 300 Ibn ‘Âsyûr, Ushûl al-Nizhâm al-Ijtimâ’i fi al-Islâm, hlm 42-45. redaksi ayatnya sebagai berikut; 298
126
sempurna [dari makhluk lain], telah diletakkan [integrated] dalam setiap fitrah [kemanusiaan] suatu power [fikir] untuk menyatakan kebenaran. Yang apabila tumbuh pada perkembangan akidah yang benar maka akal sehatnya akan menerima dan ridha pada norma-norma [al-fikr al mushîb]. Dan sebaliknya apabila tumbuh dengan mainside yang salah, akan mengukuti jalan fikiran yang salah.301 Pada penanaman akidah yang benar akan menumbuhkan pada pola fakir yang positif, dan akan membuahkan perbuatan/ perilaku yang terarah sehingga akan tercapai sebuah kesuksesan duniawi dan ukhrawi.302 b. Penanaman dasar Akhlak Akhlak dalam definisi kamus umum bahasa Indonesia berarti budi pekerti, watak dan tabiat.303 Keterangan mengenai akhlak dalam al-Qur’ân terdapat pada [QS. al-Qalam 68:4] ; ﻈ ْﻴ ٍﻢ ِﻋ َ ﻖ ٍ ﺥُﻠ ُ ﻚ َﻟ َﻌﻠَﻲ َ وإ ّﻥketika Sa’îd ibn Hisyam bertanya kepada ’Aisyah istri Nabi Muhammad shallawwahu ’alaih wasallam tentang akhlak Nabi, ’Aisyah istri Nabi menjawab bahwasannya akhlak Nabi adalah Al-Qur’an. Terdapat pula keterangan dalam kitab Muwatha’ karangan Imam Mâlik;304 sebagai perawi haditsnya dengan redaksi; ق ِ ﺥﻠَﺎ ْ ﻦ ا ْﻟَﺄ َﺴ ْﺡ ُ ﺖ ِﻟُﺄ َﺗ ﱢﻤ َﻢ ﻡﻜﺎرم ُ ُﺑ ِﻌ ْﺜmaksud dan tujuan diutusnya Nabi Muhammad shallawwahu ’alaih wasallam dapat dimaklumi oleh mayoritas bangsa arab pada masa Nabi Muhammad saw. Khususnya Sahabat-sahabatnya.305
¡ !$tΡô‰Îγx© ¡ 4’n?t/ (#θä9$s% ( öΝä3În/tÎ/ àMó¡s9r& öΝÍκŦàΡr& #’n?tã öΝèδy‰pκô−r&uρ öΝåκtJ−ƒÍh‘èŒ óΟÏδÍ‘θßγàß ÏΒ tΠyŠ#u ûÍ_t/ .ÏΒ y7•/u‘ x‹s{r& øŒÎ)uρ ∩⊇∠⊄∪ t,Î#Ï≈xî #x‹≈yδ ôtã $¨Ζà2 $¯ΡÎ) Ïπyϑ≈uŠÉ)ø9$# tΠöθtƒ (#θä9θà)s? χr& 301 302
272.
303
Ibn ‘Âsyûr, Ushûl al-Nizham, hal. 42-57. Ibn ‘Âsyûr, Ushûl al-Nizham, hlm 45-73. lihat juga Ismail Hasani, Nazariyyah...hal. 263-
W.J.S Poerwadarminta, Kamus Umum Bahasa Indonesia, Balai Pustaka, 1995 hal. 25. Ibn ‘Âsyûr, Al-Tahrîr wa al-Tanwîr, vol. 12, hal. 159-160. 305 Lihat penafsiran Ibn ‘Âsyûr, Al-Tahrîr wa al-Tanwîr, vol. 29, hal. 63-65. 304
127
Akhlak [mulia] sebagaimana ditegaskan oleh ustadz ’Allâl al-Fâsi ia dapat dijadikan ukuran [miqyâs] setiap kemaslahatan dan sebagai dasar/pondasi tujuan/maksud dari sekian tujuan-tujuan ideal dalam agama Islam.306 c. Penetapan dan Penjelasan Hukum-hukum Syari’at Penetapan hukum-hukum syariat ini dibagi menjadi dua; pertama; hukum-hukum yang bersifat General (‘Âmmah) dan kedua; Hukum-hukum yang Partikular (khâshshah). Kaitannya dengan ini Ibn ‘Âsyûr mengutip surah [QS. anNisâ’ 4:105] dengan surah [QS.al-Mâidah 5:48].307 Yang bersifat umum yaitu segala interpretasi tentang makna-makna hukum yang diberlakukan/diaplikasikan pada setiap hukum-hukum syari’at atau yang melingkupinya, mempunyai target dan tujuan-tujuan ideal secara general. Ia juga merupakan tumpuan dasar pelestarian norma-norma sosial kemasyarakatan guna mewujudkan kemaslahatan umum.308 Berbeda dengan Maqâshid al-Khâshshah dalam perspektif Ibn ’Âsyûr adalah segala interaksi sosial manusia satu dengan yang lain untuk mewujudkan kemaslahatan umum, dan bermanfaat bagi mereka secara berkesinambungan.309 Pada dasarnya al-Qur’ân telah mengkodifikasi segala bentuk perundangundangan syari’at pada secara global dan general, juga tidak ketinggalan keterangan partikular/juz’iy yang memiliki urgensitas untuk menjelaskan (hukum-hukum syari’at) secara detail. Dalil yang menyatakan keterangan secara general dan
306
‘Allâl al-Fâsî, Maqâshid al-Syarî’ah wa makârimuha, hal. 189. baca juga Ibn ‘Âsyûr, ushûl al-Nizhâm, hlm 74-82. lihat juga Ismail Hasani dalam Nazhariyyah al-Maqâshid, hal. 263-272. 307 Lihat, Al-Tahrîr wa al-Tanwîr, vol. 5 hal. 190-193 dan vol 6 hal. 222-225. 308 Ibn ‘Âsyûr, Ushûl al-Nizhâm, hlm 45-73. lihat juga Ismail Hasani dalam Nazhariyyah alMaqâshid, hal. 231-254. bandingkan dengan Izzat Darwaza berpandangan bahwa makna hukum umum dan khusus, serta keadaan temporal dan situasional dapat dicapai dengan memperhatikan dan mempertimbangkan konteks/kronologis. Disebabkan konflik konvensional yang terjadi dan riwayat yang ditunjukkan mufassir awal banyak yang tidak sesuai dengan relevansi dan kronologis ayat maka tidak dapat diterapkan. Al-Qur’ân al-Majîd, hal. 217-224 309 Ibn ‘Âsyûr, Maqâshid al-Syarî’ah al-Islâmiyah, hlm 51. lihat juga Ismail Hasani dalam Nazariyyah al-Maqâshid, hal. 249-255. bandingkan dengan pendapat Abdul ‘Aziz ibn ‘Abd alRahman al-Rabîah, ‘ ilm Maqâshid al-Syâri’. Hal. 193-196.
128
perjelasan secara detail termaktub dalam surah [QS. an-Nahl 16:89] dan [ al-Mâidah 5:30];310 Maksud dari kedua ayat yang bergaris diatas adalah penyempurnaan (petunjuk) hukum-hukum syari’at secara global yang inheren sebagai pemahaman dan penjelasan didalamnya dengan istinbath hukum dan metode qiyas. Al-Syâtibi berkata; karena al-Qur’ân memang membawa pesan yang mencakup segalanya, dan hukumhukum syari’ah telah sempurna dengan datangnya al-Qur’ân, tidak menjelaskan secara detail perihal hukum-hukum sebelumnya sebelum al-Qurân secara detail akan tetapi pesan-pesan yang terdapat didalamnya menunjukkan generalitas.311 d. Strategi Pemberdayaan Umat (Siyâsah Ummah) Pada etape keempat ini hendaknya mufassir mempunyai pandangan bahwa diturunkannya Al-Qur’an (syari’ah) tidak lain mempunyai tujuan utama/agung yakni kemaslahatan baik secara individu, kelompok, umat (ahwâl fardiyyah, al-jamâ’iyyah, wa al-‘umrâniyyah) serta menjaga kestabilan norma-norma syariat (hifdzu nidzâmihâ), hal inilah yang menjadi pesan utama (maqâshid syari’ah), agar maksud dan tujuan ideal yang hendak dicapai dapat maksimal dan sesuai dengan apa yang dikehendaki ar-Rahmân ar-Rahîm, maka manusia sebagai khalifah dibumi harus mempunyai strategi/konsep (siyasah) mengatur umat. Seperti petunjuk al-Qur’ân untuk menyatukan umat manusia [QS.Ali’Imrân 3:103], dan [QS.al-an’âm 8:159],
310
Ibnu ‘Âsyûr, al-Tâhrîr wa al-Tanwîr, vol. 14 hal. 250-254, vol. hal. 102-108;
| ≈Gt 3 = Å 9ø #$ š ‹ø =n ã t $Ζu 9ø “¨ Ρt ρu 4 Ï ω I σà ≈¯ δ y ’ 4 ?n ã t #´‰‹κÍ − y š /Î $Ζu ⁄ø _ Å ρu ( Ν ö κÍ ¦ Å à Ρ&r ô ΒiÏ Ογ Î Šø =n æ t #‰ ´ ‹γ Î © x π7 Β¨ &é ≅ eÈ .ä ’ûÎ ] ß èy 7ö Ρt Πt θö ƒt ρu ó « x ≅ eÈ 3 ä 9jÏ $ΖY ≈‹u ;ö ?Ï -89:ﺍﻟﻨﺤل- t ϑ Ï =Î ¡ ó ϑ ß =ù 9Ï “ 3 u ³ ô 0ç ρu πZ ϑ y m ô ‘u ρu “‰ Y δ è ρu & z ≈=n ™ ó } M #$ Ν ã 3 ä 9s M à ŠÊ Å ‘u ρu LÉ ϑ y è÷ ΡÏ Ν ö 3 ä ‹ø =n æ t M à ϑ ô ÿo Cø &r ρu Ν ö 3 ä Ψo ƒŠÏ Ν ö 3 ä 9s M à =ù ϑ y .ø &r Πt θö ‹u 9ø #$ 4 u ö î x π> Á | Κu ƒø Χx ’ûÎ § Ü ä Ê ô #$ Ç ϑ y ùs 4 $ΨY ƒŠÏ Ν -3:ﺍﻟﻤﺎﺌﺩﺓ- ÒΟ‹Ïm§‘ Ö‘θàxî ©!$# ¨βÎ*sù 5ΟøO\b} 7#ÏΡ$yftGãΒ 311
Ibnu ‘Âsyûr, al-Tâhrîr wa al-Tanwîr, vol. 1, hal. 40.
129
kemudian diintegrasikan dengan surah [QS.al-anfâl 8:46] dan [QS. Al-syûrâ 42:38].312 ‘Allâl al-Fâsi membagi Siyâsah menjadi dua yaitu pertama; Siyâsah Zâlimah yaitu yang diharamkan syari’at, sementara yang kedua adalah Siyâsah ‘Âdilah yakni yang mengeluarkan kebenaran [al-haq] dalam jurang kezaliman. Banyak mencegah kezaliman, mencegah kerusakan guna mencapai pada tujuan-tujuan syari’at yang ideal (maqâshid al-syarî’ah).313 e. Al-Maqâshid al-Ashliyyah al-Qasas al-Qur’ân Mengenai Qasas al-Qur’ân sebagai pelajaran dan hikmah umat-umat terdahulu Ibn ’Âsyûr menyitir [QS.Yusuf 12: 3]; ∩⊂∪ š =Î Ï ≈ót 9ø #$ z ϑ Ï 9s &Ï #Î 7ö %s ΒÏ M | Ψ2 à β)Î ρu β t #u ö ) à 9ø #$ #‹ x ≈δ y 7 y ‹ø 9s )Î $! Ζu ‹ø m y ρ÷ &r $! ϑ y /Î È Ä Á | ) s 9ø #$ z ¡ | m ô &r 7 y ‹ø =n ã t È ) à Ρt ß tø Υ w
Dan kisah-kisah Al-Qur’ân sebagai peringatan umat setelahnya yang (berbuat) seperti mereka, selain peringatan dan hikmah, terdapat juga pelajaran [bagi mereka yang berfikir].314 [QS. Al-An’âm 6: 90 dan QS. Ibrâhîm 14:45]; 312
Lihat penafsiran Ibnu ‘Âsyûr, al-Tâhrîr wa al-Tanwîr, vol. 4, hal. 29-36; vol. 8, hal. 191194; vol. 10 hal. 29-32; vol. 25 hal. 111-113; Redaksi ayatnya sebagai berikut; Λä s ó 7t ¹ ô 'r sù Ν ö 3 ä /Î θ=è %è t ÷ /t # y 9© 'r ùs [ #! y‰ã ô &r Λ÷ ä Ζ.ä Œø )Î Ν ö 3 ä ‹ø =n æ t ! « #$ M | ϑ y è÷ ΡÏ #( ρã .ä Œø #$ ρu 4 #( θ%è § x ?s ω Ÿ uρ $èY ‹ϑ Ï _ y ! « #$ ≅ È 7ö tp ¿2 #( θϑ ß Á Å Gt ã ô #$ ρu s Ρ'r ùs ‘Í $Ζ¨ 9#$ z ΒiÏ ο; t ø m ã $ x © x ’ 4 ?n ã t Λ÷ ä Ζ.ä ρu $ΡZ ≡θu z ÷ )Î ÿ µÏ FÏ Κu è÷ ΖÏ /Î ∩⊇⊃⊂∪ β t ρ‰ ß Gt κö Es /÷ 3 ä =ª èy 9s µÏ GÏ ≈ƒt #u Ν ö 3 ä 9s ! ª #$ ß iÎ 6t ƒã 7 y 9Ï ≡‹ x .x 3 $κp ]÷ ΒiÏ Ν.ä x‹) ó « x ’Îû Ν ö κå ]÷ ΒÏ M | ¡ ó 9© $èY ‹u Ï© #( θΡç %.x ρu Ν ö κå ]s ƒŠÏ #( θ%è § ùs t % Ï !© #$ β ¨ )Î ∩⊇∈∪ β t θ=è èy ø ƒt #( θΡç %.x $ÿo 3Ï Νκå ♦ã 6mÎ ⊥t ƒã Ν § èO ! « #$ ’
[159:]اﻷﻥﻌﺎم ö ηæ Ζu ÷ /t “ 3 ‘u θ© ä Ν ö δ è ã Βø &r ρu οn θ4 =n Á ¢ 9#$ #( θΒã $%s &r ρu Ν ö κÍ 5hÍ t 9Ï #( θ/ç $f y Gt ™ ó #$ t % Ï !© #$ ρu ∩⊂∇∪ β t θ) à Ï Ζƒã Ν ö γ ß ≈Ζu %ø —y ‘u $ϑ £ ΒÏ ρu Ν 313
‘Allâl al-Fâsî, Maqâshid al-Syarî’ah wa makârimuha, hal. 54-55. baca juga Ibn ‘Âsyûr, ushûl al-Nizhâm, hal. 208 . 314 Ibn ‘Âsyûr, Al-Tahrîr wa al-Tanwîr, vol. 7 hal 354-361; vol. 13 hal. 248-249. bandingkan dengan Izzat Darwaza dalam al-Tafsîr al-Hadits pandangannya tentang narasi patriarkhi, nabi-nabi dan bangsa-bangsa kuno yang disebutkan dalam al-Qur’ân dijelaskan; pertama; bahwa hal tersebut tidaklah asing bagi orang-orang arab, kedua; bukan sebagai model penuturan sejarah, akan tetapi untuk
130
∩ ⊃∪ š ϑ Ï =n ≈èy =ù 9Ï “ 3 t .ø ŒÏ ω )Î θu δ è β ÷ )Î ( #· _ ô &r µÏ ‹ø =n ã t Ν ö 3 ä =è ↔t ™ ó &r ω H ≅%è 3 ν÷ ‰ Ï Ft %ø #$ Ν ã γ ß 1‰ y γ ß 6Î ùs ( ! ª #$ “‰ y δ y t % Ï !© #$ 7 y ×Í ≈¯ 9s ρ' &é ó γ Î /Î $Ζu =ù èy ùs y#‹ø .x Ν ö 6 à 9s š ¨ 6t ?s ρu Ο ó γ ß ¡ | à Ρ&r #( θþ ßϑ=n ß s t % Ï !© #$ Ç 6 Å ≈¡ | Βt ’ûÎ Ν ö Gç Ψ3 s ™ y ρu ∩ ⊆∈∪ Α t $Vs øΒ{ F #$ Ν ã 3 ä 9s $Ψo /ö u Ñ Ÿ ρu Ο
f. Pengajaran syari’at sesuai dengan perkembangan zaman Urgensitas pendasaran ilmu syari’ah dan informatika sebagai ikon dua keilmuan yang saling berkaitan, karena keduanya menjadi mainstream bangsa Arab dari golongan ahlu kitab. Al-Qur’ân menambahkan dengan pengajaran hikmah sebagai barometer rasio/akal dalam berdebat (mujâdalah), dan penjelasan yang benar (shihhatu istidlâl), dari pelbagai dimensi akademis dialogis (bagi mereka yang melenceng/tersesat dari neraca syari’at) dan seruan agar melakukan penelitian yang diniatkan untuk menyingkap hikmah dibalik (al-nadhr).315 Dalam hal ini Ibn ’Âsyûr mengutip [QS. Al Baqarah 2:269]; bab ini memerlukan perhatian dan kajian yang mendalam karena, mampu menyingkap kearifan dalam dalam berpengetahuan (uyûnul ma’ârif), dan membuka tabir mata (hati) pada kebutaan kepada ilmu pengetahuan. Dan sebagai peringatan dan introspeksi atas ilmu yang dianugrahi dengan kemanfaatan untuk orang lain, karena hal ini tidak dimiliki komunitas orang pintar bangsa arab ketika itu. Mereka hanya terpukau dengan kemahirannya yang bersifat eksakta, sedangkan orang-orang bijak diantara mereka juga dianugrahi kecerdasan ilmu-ilmu eksakta dan mereka (orang
menggambarkan moral, mempertajam fokus perhatian dan mendukung pesan-oesan dasarnya, untuk mendukung argumenntasinya ia mengutip surah QS.[ar-Rûm [30]; 9, al-Qashash; [28];58], al-Shaffât [37]; 137-138 dll. Lihat juga‘Ashr al-Nabi, [Dâr al-Yaqshah al-‘Arabiyyah, Damaskus 1960, hal. 466.lihat juga pandangan ‘Aisyah ‘Abd al-Rahmân bint al-Syâthi’, al-Tafsîr al-Bayâni li al-Qur’ân alKarî, (Cairo, 1986), hal. 11-12. 315 Ibn ‘Âsyûr, Al-Tahrîr wa al-Tanwîr, berkaitan dengan ini Izzat menekankan bahwa dalam menyingkap makna yang benar, hukum umum dan khusus, serta keadaan temporal dan situasional dapat dicapai dengan memperhatikan dan mempertimbangkan konteks. Banyak konflik konvensional yang terjadi dan riwayat yang ditunjukkan mufassir awal tidak sesuai dengan kronologis ayat maka tidak dapat diterapkan. Al-Qur’ân al-Majîd, hal. 217-224
131
bijak) bijak dan rendah diri (al-’urafâ’u)... dalam al-Qur’ân (QS. Al-’Ankabût 29:43, dan QS. Az-Zumar 39:9]; serta dengan menyebut [QS. Al Qalam sebagai peringatan atas kelebihan (orang-orang yang melakukan penelitian) dengan menulis.316
g. Motivasi dan Ancaman (Al-Targhîb wa al-Tarhîb) Pada bab ini ibn ‘Âsyûr menekankan, agar mufassir mampu menjelaskan dan merinci nasehat-nasehat, peringatan-peringatan; mengenai ancaman dan kabar gembira, kesemuanya termasuk dalam ayat-ayat yang mengandung janji dan ancaman (alwa’du wa al-wa’îd) Allah bagi umat-Nya. Dan sebagai balasan dan hambatan/tantangan bagi mereka yang membangkang.317 h. I’jâz al-Qur’ân sebagai bukti risalah Kenabian Kebenaran risalah Kerasulan Muhammad saw. Selaras dan didukung oleh bukti-bukti yang melemahkan/melumpuhkan lawan dengan tantangan dan bantahan secara langsung (yatawaqqaf alâ dalâlati mu’jizah ba’da al-tahaddiy). 318 Al-Qur’ân merupakan mu’jizat baik lafadz maupun maknanya, yang terbukti dengan bantahan dan tantangan secara langsung. Mufti Tunis dan syaikh Zaitunah (yang didedikasikan kepada Muhammad Thâhir Ibn ‘Âsyur pada tahun 1932), ketika menjelaskan mengenai kemu’jizatan al-Qur’ân ia menyitir surah [QS. Yûnus 10:38] ∩⊂∇∪ t %Ï ‰ Ï ≈¹ | Λ÷ ä Ψ.ä β)Î ! « #$ β È ρŠß ΒiÏ ΟFç è÷ Ü s Gt ™ ó #$ Ç Βt #( θã ã Š÷ #$ ρu &Ï #Î V÷ ΒiÏ ο; ‘u θ¡ Ý /Î #( θ?è 'ù ùs ≅ ö %è ( µç 1u It ùø #$ β t θ9ä θ) à ƒt Π÷ &r Dan untuk mengetahui kemu’jizatan ini secara detail, pengetahuan mengenai asbâb an-Nuzûl memiliki urgensi sebagai pintu masuk keterangan tentang suasana/keadaan 316
Ibn ‘Âsyûr, Al-Tahrîr wa al-Tanwîr, vol. 3 hal 60-64; vol. 20 hal. 255-256; vol. 23 hal 348351; vol. 29 hal. 57-59 [surah 109:1]. 317 Ibn ‘Âsyûr, Al-Tahrîr wa al-Tanwîr, vol. 1, hal. 40-41. 318 Ibn ‘Âsyûr, Al-Tahrîr wa al-Tanwîr, hal. 41. bandingkan dengan penafsiran Sayyid Quthb dalam Tafsir fî Zhilâl al-Qur’ân yang menyatakan bahwa dalam redaksi surah Yunus 38 tersebut merupakan pengkhususan Allah dalam tematik maupun i’tibariyah. Bahwasannya Nabi Muhamad saw. Yang diutus Allah subhânahu wa Ta’âla, Allah telah menyempurnakan akhlak Nabi Muhammad saw. Dan menjadi tumpuan umat dalam ber-aqîdah ‘Aqîdah dalam aturan/norma-norma kemanusiaan yang mempunyai kaidah-kaidah secara general. Dengan kesempurnaan al-Qur’ân (akhlak Nabi Muhammad) ini menggambarkan hakikat ke-Ilahi-an Allah Rabb ‘Alamîn. Juz 4 hal. 26
132
turunnya al-Qur’ân pada zaman Nabi Muhammad saw. Ketika itu. Pandangan / konsep induktif (istiqrâ’iy) ini seiring dengan pendapat al-Ghazâli dalam karyanya Ihyâ’ ulûmuddîn.319 Ayat diatas diturunkan di Makkah begitu juga surah al-Baqarah 23 dan 24, sebagian tantangan juga dilontarkan kepada mereka (orang kafir) ketika di Madinah, dan mereka dibikin oleh Allah terpukau dengan datangnya Al-Qur’ân, baik dari segi ilmu balaghah, dan hikmah dari hukum-hukum syari’at didalamnya. Tak seorangpun mampu mendatangkan redaksi surat walaupun mereka memanggil pakar-pakar sastra diantara mereka ketika itu atau sampai hari kiamat, bahkan mereka mendatangkan sihir dan tandingan-tandingan yang membahayakan dan menjerumuskan mereka sendiri. Dalam hal ini Nabi berpesan;
ﻭﺍﻟﺴﻴﻑ ﺁﺨﺭﹰﺍ ﻓﻠﻡ ﻴﻌﺎﺭﻀﻭﺍ ﺇﻻ، ﺍﻟﺤﺠﺔ ﺃﻭﻻ- ﺼﻠﻰ ﺍﷲ ﻋﻠﻴﻪ ﻭﺴﻠﻡ- ﻭﻗﺩ ﺠﺭﺩ ﻟﻬﻡ ﺍﻟﻨﺒﻲ ، ﻭﻤﺎ ﺃﻋﺭﻀﻭﺍ ﻋﻥ ﻤﻌﺎﺭﻀﺔ ﺍﻟﺤﺠﺔ ﺇﻻ ﻟﻌﻠﻤﻬﻡ ﺃﻨﻬﻡ ﺃﻋﺠﺯ ﻤﻥ ﺍﻟﻤﻌﺎﺭﻀﺔ، ﺍﻟﺴﻴﻑ ﻭﺤﺩﻩ ﻭﻤﺎ، ﻓﺈﻨﻬﻡ ﻤﺎ ﻓﻌﻠﻭﺍ، } َﻭﻟﹶﻥ ﹶﺘ ﹾﻔ َﻌﻠﹸﻭ ﹾﺍ { ﻤﻌﺠﺯﺓ ﺃﺨﺭﻯ- ﺘﻌﺎﻟﻰ- ﻭﺒﺫﻟﻙ ﻴﻅﻬﺭ ﺃﻥ ﻓﻲ ﻗﻭﻟﻪ . . . ﻗﺩﺭﻭﺍ Dalam tafsir Ma’âlim al-Tanzîl karya Al-Baghawî, dengan mengadopsi pandangan al-Farrâ’ diterangkan bahwa surah Yûnus 38 menerangkan kemu’jizatan al-Qur’an yang ditampakkan langsung oleh Allah Rabb ‘Âlamîn kepada kaum yang membangkang dan menentang risalah kenabian, dan kemu’jizatan al-Qur’an tidak dapat dilepaskan dari Kekuasaan Allah subhanahu wa Ta’âla. Ia juga mengadopsi pandangan Abû Ubaidah yang menafsirkan َأ ْمsebagai ‘ ’ﺍﻟﻭﺍﻭatau
ﺃﻱ, kemudian ﺍ ﹾﻓ ﹶﺘﺭَﺍﻩia tafsirkan dengan akhlak Nabi Muhammad yang mecerminkan isi Al-Qur’ân, dan kalimat ﺭ ٍﺓ ِﻤ ﹾﺜِﻠ ِﻪ َ ل ﹶﻓ ْﺄﺘﹸﻭﺍ ِﺒﺴُﻭ ْ ﹸﻗsebagai bentuk tantangan atas
319
Ibn ‘Âsyûr, Al-Tahrîr wa al-Tanwîr, hal. 41. bandingkan dengan penafsiran Sayyid Quthb dalam Tafsir fî Zhilâl al-Qur’ân yang menyatakan bahwa dalam redaksi surah Yunus 38 tersebut merupakan pengkhususan Allah dalam tematik maupun i’tibariyah. Bahwasannya Nabi Muhamad saw. Yang diutus Allah Subhânahu wa Ta’âla, Allah telah menyempurnakan akhlak Nabi Muhammad saw. Dan menjadi tumpuan umat dalam ber-aqîdah ‘Aqîdah dalam aturan/norma-norma kemanusiaan yang mempunyai kaidah-kaidah secara general. Dengan kesempurnaan al-Qur’ân (akhlak Nabi Muhammad) ini menggambarkan hakikat ke-Ilahi-an Allah Rabb ‘Alamîn. Juz 4 hal. 26
133
ﺴ ﹶﺘ ﹶ ْﻥ ﺍ ِ َﻭﺍ ْﺩﻋُﻭﺍ َﻤ kemampuan mereka untuk menandingi al-Qur’ân, selanjutnya ﻁ ْﻌ ﹸﺘ ْﻡ ditafsirkan dengan mintalah pertolongan kepada mereka yang
ﻥ ﺍﻟﱠﻠ ِﻪ ِ ﻥ ﺩُﻭ ْ ِﻤ
menyembah selain Allah (untuk mendatangkan semisal surah Al-Qur’ân), ﻥ ﹸﻜ ﹾﻨ ﹸﺘ ْﻡ ْ ِﺇ
ﻥ َ ﺼَﺎ ِﺩﻗِﻴkalau kalian memang termasuk golongan orang-orang yang dapat dipercaya.320
320
Ibn ‘Âsyûr, Al-Tahrîr wa al-Tanwîr, hal. 41. bandingkan dengan penafsiran Sayyid Quthb dalam Tafsir fî Zhilâl al-Qur’ân yang menyatakan bahwa dalam redaksi surah Yunus 38 tersebut merupakan pengkhususan Allah dalam tematik maupun i’tibariyah. Bahwasannya Nabi Muhamad saw. Yang diutus Allah subhânahu wa Ta’âla, Allah telah menyempurnakan akhlak Nabi Muhammad saw. Dan menjadi tumpuan umat dalam ber-aqîdah ‘Aqîdah dalam aturan/norma-norma kemanusiaan yang mempunyai kaidah-kaidah secara general. Dengan kesempurnaan al-Qur’ân (akhlak Nabi Muhammad) ini menggambarkan hakikat ke-Ilahi-an Allah Rabb ‘Alamîn. Juz 4 hal. 26
134
C. Maqâshid al-Qur’ân/Asliyyah dan Urgensitasnya bagi ilmu al-Qur’ân Maqâshid al-Qur’ân sebagaimana yang dikemukakan Râsyid Ridhâ dalam karyanya al-Wahyu al-Muhammady, ditulis bahwa ia menguraikan Maqâshid alQur’ân kedalam penafsiran (tafsir al-Manâr dan tafsir al-Qur’ân al-Hakîm), dalam bentuk kaidah-kaidah (qawâ’id), dan prinsip-prinsip dasar [Ushûl], bagi setiap surah dan di akhir penasiran masing-masing surah, setelah lebih dahulu menguraikan kaidah-kaidah dan prinsip-prinsip pada setiap ayat-ayat yang terdapat pada surah.321 Penilaian yang sama juga dilakukan oleh Khalil al-Daghâmin tentang wajibnya berupaya mewujudkan Maqâshid al-Qur’ân ketika mufassir hendak menafsirkan al-Qur’ân. Disini terlihat bahwa Ziyâd Khâlil al-Daghâmin menilai Rasyîd Ridhâ yang sejalan dengan kedua gurunya al-‘Afghâni dan Muhammad ‘Abduh, mereka mewajibkan penerapan Maqâshid al-Qur’ân dan penafsiran alQur’ân. 322 Perlu dijelaskan bahwa yang dimaksud ilmu al-Qur’ân diistilahkan dengan ulûm al-Qur’ân bima’na idhâfi, yakni ilmu al-Qur’ân yang menunjukkan sejumlah pengetahuan yang berkaitan dengan al-Qur’ân ilmu-ilmu al-Qur’ân tersebut antara
321
Râsyid Ridhâ berbicara panjang lebar mengenai Maqâshid al ’asasiyyah (tujuan pokok) sebab yang menjadi sasaran semua kekacauan dan kerusakan, yang mana dikeluhkan oleh intelektual saat ini. Adapun mebahasnya secara lengkap maka tentu tidak tercapai kecuali dalam buku besar atau beberapa buku yang menghimpun kesemua Maqâshid al-Qur’ân yang dilengkapi dengan uraian tentang urgensinya bagi (kajian ilmiah) dan umat manusia, baik didunia maupu akhirat kelak. Hal ini saya uraikan dalam tafsir al-Manâr dengan menampilkan kaidah-kaidah dan prinsip-prinsip dasar setiap surah secara global-general, diakhir penafsirnannya masing-masing setelah terlebih dahulu menguraikannya ketika menjelaskan ayat-ayatnya). Lihat lebih lanjut Muhammad Rasyid Ridhâ, alwahyu al Muhammady (Maktabah al-Islami), hal.29 dan 3. 322 Ibn ‘Âsyûr, Al-Tahrîr wa al-Tanwîr, hal. 41. bandingkan dengan penafsiran Sayyid Quthb dalam Tafsir fî Zhilâl al-Qur’ân yang menyatakan bahwa dalam redaksi surah Yunus 38 tersebut merupakan pengkhususan Allah dalam tematik maupun i’tibariyah. Bahwasannya Nabi Muhamad saw. Yang diutus Allah subhânahu wa Ta’âla, Allah telah menyempurnakan akhlak Nabi Muhammad saw. Dan menjadi tumpuan umat dalam ber-aqîdah ‘Aqîdah dalam aturan/norma-norma kemanusiaan yang mempunyai kaidah-kaidah secara general. Dengan kesempurnaan al-Qur’ân (akhlak Nabi Muhammad) ini menggambarkan hakikat ke-Ilahi-an Allah Rabb ‘Alamîn. Juz 4 hal. 26
135
lain: ‘ilmu tafsîr, ilmu al-qirâ’ât, ilmu al-rasm, ilmu al-asbâb nuzûl, ulûm al-dîn wa al-lughah. 323 Perbincangan dari kajian Maqâshid al-Qur’ân perspektif Ibn ‘Âsyûr (12961393 H- 1879-1973 M),324 dan perkembangan penelitiannya ini bukan saja mengedepankan cara kerja akal dan pemenuhan rasionalitas yang integral, namun dibalik itu juga terbersit ide-ide besarnya untuk mewujudkan kemurnian penafsiran, dan menghindari mereka mufassir yang tidak mengetahui tujuan penafsirannya (min al-Inhâi man yufassiru al-Qur’ân bimâ yadda’îhî bâtinan yunâfî maqshûdu alQur’ân), yang membedakan diantara mereka (al mufassir) adalah konsep dan prinsipprinsip yang mendasari penafsiran (al-Maqâshid allatî nazala al-Qur’ân libayânihâ) untuk menyingkap tujuan-tujuan yang hendak dicapai dalam penafsirannya. Selanjutnya dapat kita diketahui dan dijangkau korelasi suatu penafsiran (al mufassir) dengan tujuan (al-ghâyah) yang hendak dicapai. Dengan cara mengukurnya melalui prinsip-prinsip penafsirannya (miqdâru mâ awfâ min al-Maqshad wa mâ tajâwazahu). Dari sinilah pembaca dapat membedakan mereka yang keluar dari koridor prinsip-prinsip dan tujuan penafsirannya, dan perbedaan dari uraian dan
323
Ibn ‘Âsyûr, Al-Tahrîr wa al-Tanwîr, hal. 41. bandingkan dengan penafsiran Sayyid Quthb dalam Tafsir fî Zhilâl al-Qur’ân yang menyatakan bahwa dalam redaksi surah Yunus 38 tersebut merupakan pengkhususan Allah dalam tematik maupun i’tibariyah. Bahwasannya Nabi Muhamad saw. Yang diutus Allah subhânahu wa Ta’âla, Allah telah menyempurnakan akhlak Nabi Muhammad saw. Dan menjadi tumpuan umat dalam ber-aqîdah ‘Aqîdah dalam aturan/norma-norma kemanusiaan yang mempunyai kaidah-kaidah secara general. Dengan kesempurnaan al-Qur’ân (akhlak Nabi Muhammad) ini menggambarkan hakikat ke-Ilahi-an Allah Rabb ‘Alamîn. Juz 4 hal. 26 324 Ibn ‘Âsyûr, Al-Tahrîr wa al-Tanwîr, hal. 41. bandingkan dengan penafsiran Sayyid Quthb dalam Tafsir fî Zhilâl al-Qur’ân yang menyatakan bahwa dalam redaksi surah Yunus 38 tersebut merupakan pengkhususan Allah dalam tematik maupun i’tibariyah. Bahwasannya Nabi Muhamad saw. Yang diutus Allah subhânahu wa Ta’âla, Allah telah menyempurnakan akhlak Nabi Muhammad saw. Dan menjadi tumpuan umat dalam ber-aqîdah ‘Aqîdah dalam aturan/norma-norma kemanusiaan yang mempunyai kaidah-kaidah secara general. Dengan kesempurnaan al-Qur’ân (akhlak Nabi Muhammad) ini menggambarkan hakikat ke-Ilahi-an Allah Rabb ‘Alamîn. Juz 4 hal. 26.bandingkan dengan Izzat Darwaza dengan gagasannya bahwa al-Qur’ân dibagi dengan al-Ushûl wa al-Wasâil, AlQur’ân al-Majîd, hal. 5-275
136
rincian makna tiap-tiap penafsirannya, yang kemudian mengutarakan kesimpulan beberapa pendapat Ulama’ yang menguasai dari pelbagai disiplin keilmuan. 325 Al-Qur’ân yang diturunkan sebagai kitab petunjuk umat Manusia, demi tercapainya kemaslahatan umat manusia (amra al-Nâs kâfatan) dan sebagai kesejahteraan bagi mereka (rahmatan lahumlitablîghihim murâdullâh minhum). Sebagaiman firman Allah dalam (surah an-Nahl [16:89]).326 Dalam karya tafsirnya at-Tahrîr wa at-Tanwîr Ibn ‘Âsyûr mencoba mengaitkan dan mengelaborasi pokok-pokok prinsip teori Maqâshid-nya dengan penelitian lain yang mempunyai esensi dan muara tujuan yang sama, yakni penelitian tentang ”Peletakan Dasar Norma-norma/aturan sosial Kemasyarakatan yang Islami” (the rule of Islamic Civilization/ushûl al-Nizhâm ijtimâ’i al-Islâmiy). Menurutnya, Hal ini disebabkan karena kajian-kajian teori Maqâshid yang diaplikasikan dalam penafsiran akan mencerminkan dan menghasilkan tujuan-tujuan ideal (Maqâshid al syari’ah al Islâmiyah) yang dimaksud/hendak dicapai. Demikian halnya dengan kajian
yang
mendasarkan
norma/aturan
pada
tatanan
kehidupan
sosial
kemasyarakatan yang sesuai dengan neraca syari’at Islam.327 Dengan demikian, tujuan seorang mufassir hendaknya; menjelaskan apa yang mampu dipahaminya dari kehendak Allah dalam al-Qur`ân dengan penjelasan sesempurna mungkin (bi atamm bayân), selaras dengan apa yang dikandung oleh 325
Ibn ‘Âsyûr, Al-Tahrîr wa al-Tanwîr, hal. 41. bandingkan dengan penafsiran Sayyid Quthb dalam Tafsir fî Zhilâl al-Qur’ân yang menyatakan bahwa dalam redaksi surah Yunus 38 tersebut merupakan pengkhususan Allah dalam tematik maupun i’tibariyah. Bahwasannya Nabi Muhamad saw. Yang diutus Allah subhânahu wa Ta’âla, Allah telah menyempurnakan akhlak Nabi Muhammad saw. Dan menjadi tumpuan umat dalam ber-aqîdah ‘Aqîdah dalam aturan/norma-norma kemanusiaan yang mempunyai kaidah-kaidah secara general. Dengan kesempurnaan al-Qur’ân (akhlak Nabi Muhammad) ini menggambarkan hakikat ke-Ilahi-an Allah Rabb ‘Alamîn. Juz 4 hal. 26 326 Ibn ‘Âsyûr, Al-Tahrîr wa al-Tanwîr hal. 38. redaksi ayatnya sebagai berikut: |=≈tGÅ3ø9$# šø‹n=tã $uΖø9¨“tΡuρ 4 ÏIωàσ¯≈yδ 4’n?tã #´‰‹Íκy− šÎ/ $uΖø⁄Å_uρ ( öΝÍκŦàΡr& ôÏiΒ ΟÎγøŠn=tæ #´‰‹Îγx© 7π¨Βé& Èe≅ä. ’Îû ß]yèö7tΡ tΠöθtƒuρ ∩∇∪ tÏϑÎ=ó¡ßϑù=Ï9 3“uô³ç0uρ Zπyϑômu‘uρ “Y‰èδuρ &óx« Èe≅ä3Ïj9 $YΖ≈u‹ö;Ï? 327
Ibn ‘Âsyûr, Ushûl Nizhâm al-Ijtimâ’iy fî al-Islam hal. 21. lihat juga al-Mâisâwî dalam Maqâshid al Syarî’ah al-Islâmiyah, hal. 90-91.
137
maknanya (yahtamiluhû al-ma‘nâ) dan tidak bertentangan dengan lafadznya (walâ ya`bâhu al-lafdz). [Penjelasan itu bisa berupa] segala sesuatu yang dapat menjelaskan maksud dari Maqâshid al-Qur`ân, atau segala sesuatu yang menjadi dasar bagi pemahaman yang sempurna terhadapnya, atau apa pun yang bisa memerinci dan menjabarkan Maqâshid tersebut….” 328 Bagi Ibn ‘Âsyûr (w. 1973) metode-metode penafsiran yang digunakan pakar tafsir diklasifikasikan menjadi tiga bagian; pertama; penafsirannya hanya memperhatikan sisi yang tampak (al- iqtishâr ‘ala dhahir), dari keaslian makna segi susunannya (min al-ma’nâ al-ashliy littarkîb), dengan penjelasan dan keterangan, hal ini disebutnya sebagai al-ashliy.329 Kedua; perhatian/fokus penafsirannya dengan cara menyingkap makna dibalik teks (istinbâth maknâ min warâ’i al-dhâhir) berdasarkan lafadz-lafadz/susunannya sesuai dengan diksi (dalâlah al lafdz awi al-Maqâm), dan tidak menafikan penggunaan susunan kalimatnya beserta tujuan al-Qur’ân (wa lâ yujâfîhâ al-ist’mâl wa lâ al-Maqshad al-Qur’ân). Hal ini seperti susunan-susunan dan termasuk dari khashâish al-lughah al-‘arabiyyah yang termasuk didalamnya kajian mengenai ilmu balaghah seperti ta’kîd (penekanan) suatu lafadz yang menjelaskan tentang pengingkaran (lawan dialog) (inkâr al-mukhaththab) atau keragu-raguannya. Ketiga;
dimana
penafsirannya
berupaya
menyingkap
masalah-masalah
(problematika) (an yajlib al-masâil) kemudian menarik dan mengaitkannya antara almasâ’il dan makna (limunâsabati baynahâ wa bayna al-ma’nâ), atau bertambahnya pemahaman mengenai makna lafadz yang mendukung, atau sebagai pendukung antara makna al-qurâniy dengan disiplin ilmu pengetahuan yang berkaitan dengannya, sebagai bagian tujuan dari tujuan-tujuan syari’at (maqâshid al-tasyrî’) sebagai tambahan bentuk peringatan darinya, dan juga sebagai bantahan bagi mereka yang mengabaikan (aw liraddi mathâin) dan tidak mengakui keberadaan peringatan tersebut (man yaz’amu annahu yunâfîhi) sebagai esensi hukum syari’at dan sebagaian 328 329
Ibn ‘Âsyûr, Al-Tahrîr wa al-Tanwîr, vol. 1, hal. 41- 42. Ibn ‘Âsyûr, Al-Tahrîr wa al-Tanwîr, vol. 1, hal. 42.
138
kehendak Allah dari keterangan ayat tersebut, namun hanya sebagai tujuan memperluas sebagaimana dikemukakan pada mukaddimah ke -2 pada prinsip tafsir Ibn ‘Âsyûr.330 Pada metode/cara yang kedua telah banyak diklasifikasikan oleh ‘Ulama’ dalam kajian-kajian hukum, demikian juga dalam ilmu akhlak, al Âdab (etika), sebagian besar telah dilakukan penelitiaannya oleh Hujjah al-Islâm al-Ghazali (w.505 H),
mufasir
belum
dapat
dikatakan
ilmunya
mendalam
walaupun
ia
mengklasifikasikan pelbagai keilmuan namun tidak mengintegrasikannya tujuannya dengan Maqâshid al-Qur’âniyyah, karena didalamnya terdapat keterpautan yang erat dengan pelbagai problematika (al-umûr Islâmiyyah) seperti penafsiran firman Allah “Wa kallamallâhû Mûsâ taklîmâ” disebutkan pakar/ahli ilmu kalam dalam penetapan “Kalâm al Nafsi”dengan berbagai keterangan dan alasannya, dan pandangan dari beberapa kalangan madzhab dalam kasus tersebut. Demikian halnya dengan menafsirkan hikayat dalam al-Qur’ân mengenai Nabi Musa dengan Nabi Khidr yang syarat dengan segenap etika antara Mu’allim dan Muta’allim sebagaimana tindakan al-Ghazali. Sejalan dengan ini Ibn ‘Âsyûr mengutip pandangan Ibn al-‘Arabi yang mengatakan; “ia mendiktekan (amlâ ‘alaihâ) pada hikayah tersebut lebih dari 800 problematika (mas’alah).331 Dalam cara yang ketiga berusaha menyingkap persoalan ilmiah dari pelbagai disiplin keilmuan yang bertautan dengan keterangan ayat. Baik dari sebagiannya yang menumbuhkan makna ayat dengan bitalwîhimmâ (apa yang dimaksud ayat). 330
Ibn ‘Âsyûr, Al-Tahrîr wa al-Tanwîr, vol. 1, hal. 42. bandingkan dengan formulasi penafsiran komprehensif yang dikemukakan Izzat Darwaza dalam al-Tafsîr al-Hadits [Dâr al-Gharb al-Islâmiy] hal. 5, ia juga meneliti suatu istilah yang disebutnya dengan ‘metodologi percontohan’ [exemplary methods] dalam memahami al-Qur’an dan tafsirnya sebagai evaluasi atas kontribusinya terhadap hermeneutika al-Qur’ân. Lihat juga Abdullah Saeed mengenai pendekatan penafsiran secara kontemporer dalam Interpreting the al-Qur’ân; towards acontemporary approach,[Routledge; taylor and Francis group] london and Newyork] cet-1 2006, hal.8. 331 Ibn ‘Âsyûr, Al-Tahrîr wa al-Tanwîr, vol. 1, hal. 42. lihat juga prinsip-prinsip yang mendasari Izzat Darwaza dalam penafsiran al-Qur’ân komprehensif dan bernuansa modern, Al-Qur’ân al-Majîd, hal. 5-275
139
Sebagaimana penafsiran “Wa man yu’ti al hikmata faqad ûtiya khairan katsîrâ”disebutkan bahwa klasifikasi ulûm al-hikmah dan kemanfaatannya termasuk pada keterangan ayat yang menyatakan “khairan katsîran”. Hikmah disini bukanlah merupakan makna ashli walaupun ia merupakan disiplin ilmu yang mandiri (istilâhiyyan),
makna
aslinya
tidak
terjangkau
(la
yafûtu),
adapun
klasifikasi/tingkatan ilmu hikmah inilah sebagai akselerasi untuk memahami hikmah tersebut. sebagaimana dalam ayat yang berbunyi “kaylâ yakûna dûlatan bayna alaghniyâi minkum” cabag-cabang/klasifikasi ilmu perekonomian (‘ilm iqtishâdi alsiyâsiy) dan pembagian harta secara umum, seperti syari’at zakat, harta peninggalan (al-mawârîts), dan mu’amalah al murakkabah/ interaksi sosial yang melibatkan harta dan pekerjaan (min ra’si mâlin wa ‘amalin) keterangan disamping menunjukkan keterangan ayat yang bersifat ‘menumbuhkan’ (tûmi’u ilahi al-Âyah îmâ’).332 Urgensi Maqâshid al-Qur’ân akan nampak apabila penafsiran seorang mufassir dibarengi dengan mendasarkan prinsip-prinsip general [keumuman dakwah], selanjutnya prinsip-prinsip tersebut terefleksikan pada aplikasi penafsirannya secara konsekwen. Disinilah keunikan gagasan Ibn ‘Âsyûr terjawab, disisi lain keunikan penelitian ini dalam mengintegrasikan gagasan Maqâshid dan prinsip tafsirnya akan menjadi sebuah kajian tersendiri. Pada bab selanjutnya akan diuraikan tenatng aplikasi maqâshid dalam penafsiran yang dibatasi penulis padaayat-ayat hukum shalat, puasa dan zakat.
332
Ibn ‘Âsyûr, Al-Tahrîr wa al-Tanwîr, vol. 1, hal. 43.
140
BAB IV APLIKASI MAQÂSHID DALAM PENAFSIRAN DAN RESPON AKADEMIK TERHADAPNYA Setelah dikemukakan gagasan Maqâshid dan prinsip-prinsip penafsirannya yang tertuang dalam sepuluh pengantar yang tidak kurang dari 130 halaman, kemudian Ibn ‘Âsyûr (1297-1394 H) -mengkritisi para mufassir- yang tidak mendasari penafsirannya dengan tujuan-tujuan yang hendak dicapai pada penafsirannya. Ia menulis; “hendaknya
seorang mufassir berupaya menjelaskan
tentang apa yang mampu dipahaminya dari kehendak Allah dalam al-Qur`an, dengan penjelasan sesempurna mungkin (bi atamm bayân), selaras dengan apa yang dikandung oleh maknanya (yahtamiluhû al-ma‘nâ) dan tidak bertentangan dengan lafaznya (walâ ya`bâhu al-lafzh). Penjelasannya bisa berupa segala sesuatu yang dapat menjelaskan maksud dari Maqâshid al-Qur`ân, atau segala sesuatu yang menjadi dasar bagi pemahaman yang sempurna terhadapnya, atau apa pun yang bisa memerinci dan menjabarkan Maqâshid tersebut.”333 Urgensi dipilihnya sub judul ayat-ayat hukum karena penulis ingin mengungkap dan membuktikan sejauh mana teori yang dibangun Ibn ‘Âsyûr dalam pengantar tafsirnya pada bab IV mengenai prinsip tafsirnya teraplikasikan secara utuh. Kemudian dikomparasikan dengan penafsiran sebelum dan sesudahnya sebagai dasar untuk memotret sejauh mana perbedaan dan keunikan penafsirannya dengan mufassir lain secara gradual. Selanjutnya penulis memilih dan membatasinya pada bidang ibadah shalat dan zakat dalam surah al-Baqarah. Sebagaimana dititiktekankan Ibn ‘Âsyûr dalam beberapa karyanya, dalam mengungkap kajian ‘ilm Maqâshid al-Syarî’ah, memiliki 333
Ibn ‘Âsyûr, Al-Tahrîr wa al-Tanwîr, vol. 1, hal. 41-42. Maqâshid al-Syarî’ah al-Islâmiyah, (Dâr al-Nafâes Urdun 2001), hal. 390-392. juga Ushûl Nizhâm al-Ijtimâ’i fî al-Islâmi,(Dâr al-Suhnûn li al-Nasr wa al-Tawzî’) 2006. hal. 150-158. lihat juga penelitian yang dilakukan oleh Muhammad Baltâjî dalam, Umar Ibn al-Khaththâb fî al-Tasyrî’, (Dâr al-Salam li al-Thaba’a wa al-Nasyar wa alTawzî’ wa al-Tarjamah) cet-2, 2003 M/1424 H, hal. 35-39.
141
korelasi dan keterpautan yang erat penelitian mengenai pendasaran norma-norma sosial Islam
[Ushûl Nizhâm al-Ijtimâ’î fî al-Islamî], penelitiannya tidak saja
membutuhkan kaidah-kaidah yang lebih luas dan elastis (mimma yaj’alu min aldlarûrî al-bahts ‘an qawâ’id awsa’u), upaya memposisikan manusia secara egaliter (hurriyyah) juga mempunyai porsi dan peluang yang sama, yaitu dalam “kebebasan” sesama makhluk sosial [publik]. Adapun hukum yang dimaksud disini hukum Islam itu sendiri dalam artian ‘Seperangkat norma hukum dari Islam sebagai Agama, yang berasal dari wahyu Allah, Sunah Nabi, tentang tingkah laku manusia mukallaf yang diakui dan diyakini mengikat bagi agama Islam.’334 Upaya-upaya untuk mewujudkan kemaslahatan umat manusia ini terekam dan diabadikan dalam (surah an-Nahl 16:89).335 Tujuan utamanya (Qashdu al-A’lâ) yakni untuk mempertahankan dan memperjuangkan perbaikan secara individu (shalâh alahwâl al fardiyyah) yang bersandar pada perilaku/tabiat dan upaya menjaga kesucian diri (tahdzîb al-nafs wa tazkiyatuha). Targetnya perbaikan keyakinan (shalâh alI’tiqâd), karena i’tiqâd sebagai sumber (masdhar) perbaikan tumpuan dasar etika (alÂdâb) dan berfikir (al-tafkîr). selanjutnya, kesalehan individu tersebut diupayakan semaksimal mungkin untuk memperbaiki perilaku diri (al-sarîrah al-khâshshah) dengan ibadah yang (al-dhâhirah) seperti shalat, dan tidak nampak (al-Bâthinah) seperti; meninggalkan hasud, dengki dan sombong. Perbaikan secara kelompok (al Jamâ’iyyah)
memprioritaskan
kemaslahatan
individu
karena
ia
(fardiyyah)
334
Lihat Amir Syarifuddîn, Ushûl Fiqh, (penerbit Logos, cet-1 1997) hal. 4-5. lihat juga uraian Said Agil Husin, Al-Qur’ân membangun Tradisi Kesalihan Hakiki, (Ciputat Pers Jakarta, cet-1 2002), hal. 230-238. 335 Ibn ‘Âsyûr, Al-Tahrîr wa al-Tanwîr, vol. 1, hal. 38-39. lihat karyanya Ushûl al-Nizhâm alIjtimâ’i fî al-Islâmi, hal. (terbitan Tunis hal. 21/terbitan kerjasama Dar al-Salam Mesir, hlm 38). lihat juga Maqâshid al-Syarî’ah (Dâr al-Nafâis Urdun) cet-2. 2001-1241 H) hal. 113. lihat juga tulisan putra Thâhir Ibn ‘Âsyûr yaitu al-Fâdhil Ibn ‘Âsyur dalam al-Tafsîr wa Rijâluhu, hal. 228., redaksi ayatnya sebagai berikut; |=≈tGÅ3ø9$# šø‹n=tã $uΖø9¨“tΡuρ 4 ÏIωàσ¯≈yδ 4’n?tã #´‰‹Íκy− šÎ/ $uΖø⁄Å_uρ ( öΝÍκŦàΡr& ôÏiΒ ΟÎγøŠn=tæ #´‰‹Îγx© 7π¨Βé& Èe≅ä. ’Îû ß]yèö7tΡ tΠöθtƒuρ ∩∇∪ tÏϑÎ=ó¡ßϑù=Ï9 3“uô³ç0uρ Zπyϑômu‘uρ “Y‰èδuρ &óx« Èe≅ä3Ïj9 $YΖ≈u‹ö;Ï?
142
merupakan bagian dari kelompok. Kemudian kemaslahatan umum secara berkelanjutan (pembangunan) [al-’umrâniyyah], dengan menjaga stabilitas keamanan dan melestarikan ketentraman norma-norma Islam secara gradual, dan upaya mengawal kemaslahatan umum (al-jamâ’iyyah) serta menghindarkannya dari pertentangan yang bersifat temporal, hal ini oleh Ibn ‘Âsyur disejajarkan dengan ilmu umrân dan al ‘ilm al-Ijtimâ’.336 Sebagaimana dijelaskan bahwa tujuan pembumian al-Qur’ân untuk menjelaskan, merinci dan melestarikan tujuan-tujuan agama (mâ yarji’ ilâ hifdz maqâshid al al-dîn) sebagaimana termaktub dalam (surah Shâd 38:29). Ibn ‘Âsyûr memandang bahwa penyingkapan atas kehendak Tuhan (murâdullâh) secara sempurna sangatlah mustahil (karena keterbatasan manusia), namun baginya tujuan dari penelitiannya bersifat mungkin terjadinya (al-imkân al-Wuqû’iy) dengan segala kemampuan dan kompetensi pengetahuan dan bukan atas dasar rasio (al-‘aqly). Walaupun pada akhirnya penelitian (tafsir) tersebut tidak dapat maksimal/sempurna dalam menyingkap kehendak Allah.337 Pembuktian akan kebenaran risalah Nabi Muhammad menjadi prioritas utama dalam kajian penelitian ini, berikut akan penulis kemukakan prinsip-prinsip tafsir (Maqâshid al-ashliyyah) Ibn ‘Âsyûr (1978 M) yang diaplikasikan sebagai landasan dasar dalam penafsirannya.
336
Ibn ‘Âsyûr, Al-Tahrîr wa al-Tanwîr, vol. 1, hal. 38. lihat juga karyanya Ushûl al-Nizhâm alIjtimâ’i fî al-Islâmi, keterangan dan korelasi prinsip-prinsipnya tertuang dalam buku ini sehingga hampir seluruh dari isi buku ini adalah pikiran-pikiran pokok Ibn ‘Asyur dalam mensinergikan dengan karya tafsirnya yang disusunnya selama kurang lebih 40 tahun sehingga dalam rihlahnya tersebut Ibn Âsyûr banyak menjumpai problematika umat yang kemudian memotivasi dirinya untuk menggagas konsep-konsep/aturan masyarakat Islam yang egaliter dan berperadaban yang dikorelasikannya dengan gagasan Maqâshid nya, (Dâr al-Salâm li al-thabâ’ah wa al-Nasyar wa al-tawzî’ wa al-tarjamah dengan Dâr al-Suhûn li al-Nasyar wa al-tawzî’) cet-2. 2006, hal. 41-114. lihat dan baca juga tulisan Ayâd Khâlid al-Thabbâ’, dalam Muhammad Thâhir Thâhir Ibn ‘Âsyûr Allâmah al-Fiqhi wa Ushûlihi wa alTafsîr wa ulûmihi, (Dâr al-Qalam, Damaskus) cet-1 2005 337 Ibn ‘Âsyûr, Al-Tahrîr wa al-Tanwîr, vol. 1, hal. 38-39, lihat dan bandingkan; tentang Maqâshid al-Qur’ân dalam Rasyîd Ridhâ Tafsir al-Qur’ân, vol. 11, hal. 256; lihat juga Rasyîd Ridhâ dalam, al-Wahyu Muhammady, hal. 342-343.
143
A. Aplikasi Maqâshid al-ashliyah pada ayat-ayat Hukum Ismaîl Hasani dalam tesisnya (1993) pada bab Taqshîd al-Nushûsh wa alAhkâm al-Syar’iyyah mensinyalir bahwa al-Syâtibî dan Ibn ‘Âsyûr menggunakan lafadz taqshîd, maksud dan tujuan yang akan dihasilkan adalah; pertama; menyingkap makna dibalik teks dari kehendak peletak Syari’at (Maqâshid al-Syâri’), kedua;
mengungkap
sisi
kemaslahatan
dari
hukum-hukum
syari’at
[yang
diberlakukan].338 Tujuan-tujuan dasar (Maqâshid al-asliyah) pada ayat-ayat hukum (Shalat dan zakat) perspektif Ibn ‘Âsyur didasarkan pada; pertama; menutup batas aurat (satr al-‘Âwrah) bagi mereka yang menunaikan shalat (fî khalwatihi) guna memotivasi diri dan berupaya tidak meremehkan kebiasaan (‘adami al-istikfâf bi al-“Âdât alShâlihah) sebagai pembiasaan dan penekanan atas kehormatan/wibawa [diri]. Kedua; penekanan atas perintah shalat ini (al-‘Ankabût: [29;45]), dimaksudkan untuk kemashlahatan diri (al-Shalâh al-Nafsânî), klasifikasi pembagian waktu shalat dari pagi hingga petang guna memperbaharui aktifitas dzikr (yatajaddadu al-tadzkîr), sedangkan pengulangannya untuk menancapkan ketakwaan dan menjauhkan diri dari berbagai bentuk kemaksiatan sehingga ketakwaan [diri] menjadi miliknya, hendaknya aktifitas shalat [mulai subuh-Isya’] mampu mengeliminir (mamhuwwah) kemaksiatan [diantara waktu shalat subuh dan isya’] dengan kebaikan [yang meliputi] pada waktuwaktu tersebut (Hûd: [11;114]).339 Ketiga; perintah shalat berjamaah [diutamakan di Masjid], selain menegakkan syiar-syiar
Allah
serta
memerangi
dan
menjauhi
kesyirikan,
juga
dapat
menumbuhkan rasa persaudaraan dan perasaan aman, tentram dan kemaslahatan yang menaungi [mereka], sebagai upaya untuk mengeliminir dan mencegah suatu bahaya 338
Lihat Ismaîl Hasani dalam Nazhariyyah al-Maqâshid ‘ind Ibn ‘Âsyûr, (al Ma'had Al‘Â'limiy lil fikri al Islamiy, Herendun USA) cet. I thn. 1995 hal. 133. lihat juga karya ‘Abdul Qâdir Muhammad Shâlih dalam al-Tafsîr wa al-Mufassirûn fî al-‘Ashri al-Hadîts,(Beirut; Dâral-Ma’rifah, 2003, T.th) hal.133-141. 339 Lihat Ismaîl Hasani, Nazhariyyah al-Maqâshid hal. 136-138. lihat dan baca karya ‘Abdul Qâdir Muhammad Shâlih dalam al-Tafsîr wa al-Mufassirûn fî al-‘Ashri al-Hadîts,(Beirut; DâralMa’rifah, 2003, T.th) hal. 133-141.
144
(daf’u al-dlarar). Penekanan tujuan ini persatuan dan persaudaraan umat muslim tercermin kesehariannya pada waktu (shalawat al-khams), setiap minggu sekali pada hari jum’at (shalat al-jumu’ah), setiap tahunnya [shalat idul fitri dan Qurban), sebagai aplikasi dan implementasi (inqidlâ’u) sunnah: (al-Hajj).340 Keempat; keterangan dua raka’at shalat jum’at (al-Jumu’ah:[62;9]), dan duduk diantara dua khutbah boleh jadi dapat menggantikan dua rakaat, sebagaimana Mayoritas pakar fikih. Demikian juga dengan peniadaan bacaan surah pada dua raka’at terakhir merupakan bentuk keringanan/kemudahan yang diberikan Allah (qasd al-Syâ’ri’) pada hambanya dalam penyelesaian [penyempurnaan] sholat (alBaqarah [2:185]). Kemudian Ibn ‘Âsyûr juga menitik beratkan perhatiannya [dalam perintah shalat] dengan [rahasia pembangunan Ka’bah sebagai Kiblat umat Muslim dalam shalat], bahwa dijadikan-Nya umat Islam sebagai penduduk pribumi (takwîn ummah ashîlah), dari anak cucu Nabi Ismaîl as. Yang memiliki sifat kesempurnaan selaku umat yang memiliki kesiapan secara potensial untuk menerima/mengemban (allatî tu’ahhilahâ litalaqqîya) syarî’ah terakhir (syarî’ah al-Khâtimah). Tujuantujannya diantaranya; memperbaiki perilaku (shâlih al-sîrah, al-Ka’bah sebagai simbol (rumzun) ketauhidan, penisbatan dan pengutamaan (umat ashilah) penduduk pribumi dan pengutamaan tempatnya dari yang lain, bukti Kekuasaan Allah sebagai jawaban atas panggilan dan do’a mereka (Taskhîrullâh Ta’âla ijâbata al-Nâs lida’watihâ).341
340
Lihat Ismaîl Hasani, Nazhariyyah al-Maqâshid ‘ind Ibn ‘Âsyûr, hal. 140-142. lihat dan baca kembali tulisan ‘Abdul Qâdir Muhammad Shâlih dalam al-Tafsîr wa al-Mufassirûn fî al-‘Ashri al-Hadîts,(Beirut; Dâral-Ma’rifah, 2003, T.th) hal. 109-152. 341 Sifat disini oleh Ibn ‘âsyûr dibagi menjadi empat yaitu; otak yang cemerlang (jûdatu alAdzhân), kuatnya hafalan (quwwah al-tahfîz), peradaban yang gemilang serta cemerlang (bisâthah alhadlârah), dari norma-norma hukum, dan dijauhkan dari pengaruh sejarah-sejarah umat terdahulu (wa al-bu’d ‘an al-ikhtilâth baqiyyah umam al-Âlam). Al-Tahrîr wa al-Tanwîr, vol. 7, hal. 57, Maqâshid al-Syari’ah al-Islâmiyah, hlm 93. Lihat lebih lanjut dalam tesis Ismaîl Hasani, Nazhariyyah alMaqâshid ‘ind Ibn ‘Âsyûr, hal. 140-141. lihat dan baca juga tulisan ‘Abdul Qâdir Muhammad Shâlih, al-Tafsîr wa al-Mufassirûn fî al-‘Ashri al-Hadîts hal. 109-152.
145
Selanjutnya Ibn ‘Âsyûr juga menekankan bahwa zakat tidak diberikan kepada golongan kafir, tujuannya adalah memprioritaskan umat muslim guna menumbuhkan kebiasaan rasa kekeluargaan dan kesetaraan status sosial.342 Sebagaimana Râsyid Ridhâ, ia menggunakan dan menerapkan Maqâshid alQur’ân dalam penafsiran al-Qur’ân, prinsip-prinsip Maqâshidnya dirumuskan dalam bentuk kesatuan tema (Wihdah al-Mawdhû’al-Suwar) atau tafsir tematik dalam konteks surah-surah al-Qur’ân.343 Demikian halnya yang dilakukan oleh Al-Biqâ’î dalam Nadzm al-Durar fî Tanâsub al-Âyah wa al-Suwar,344 belakangan Sa’îd Hawwa juga mengeksplorasi gagasan ini dalam karya monumentalnya al asas fi al-Tafsîr.345 Dalam konteks penafsiran al-Qur’ân al-Wahdat al-mawdhû’iyyah diartikan sebagai langkah yang ditempuh oleh mufassir untuk menyingkap tema-tema yang terdapat pada suatu surah dalam perspektif ayat-ayatnya yang tersusun secara sistematis, serasi, stylistik, dan memiliki karakter I’jâz guna menghantarkan kepada 342
Yang dimaksudnya kafir disini adalah mereka yang bercampur [kehidupannya] dengan umat muslim sementara tidak diizinkan [agama] (ghayr al-muadzdzîna lahum) mereka termasuk yang konsekwen terhadap janji dan bertanggung jawab dan para tetangga dekat (wa al-Jîrân). Lihat Ismaîl Hasani dalam Nazhariyyah al-Maqâshid ‘ind Ibn ‘Âsyûr, (al Ma'had Al-‘Â'limiy lil fikri al Islamiy, Herendun USA) cet. I thn. 1995 hal. 142. lihat dan baca kembali tulisan ‘Abdul Qâdir Muhammad Shâlih dalam al-Tafsîr wa al-Mufassirûn fî al-‘Ashri al-Hadîts, (Beirut; Dâr al-Ma’rifah, 2003, T.th) hal. 109-152. 343 lihat lebih lanjut dalam Tafsîr al-Qur’ân,vol.5, hal. 269, bandingkan mereka yangmenyebut Rasyid Ridha menafsirkan secara tematik diantaranya Muhammad Ziyad al-Dhaghâmin dalam ‘manhaj’ hal. 202. dan Mahmud Syaltût , an Mahmud Syaltût, Tafsir al-Qur’ân al-Karim (Kairo: Dâr al-Syurûq, 1988), cet. Ke-11. lihat juga tulisan Ahmad al-Syirbasi pandagnannya tentang metodologi tafsir, Qishshah al-Tafsîr, (Kairo: Dâr al-Kalâm, 1962), hal. 164. 344 Nama lengkapnya Burhânuddîn Ibrâhîm bin Umar al-Biqâ’î, Nazhm al-Durar fî Tanâsub alÂyah wa al-Suwar, (Kairo: Dâr al-Kitab al-Islâmi, tt) juz 1. hal. 5-6. bandingkan dengan Mustansir Mir The Sûra as Unity dalam, Approaches to the Qur’ân, dengan mengadopsi gagasan yang dibangun oleh Izz Abd al-Salâm (1181-1262) that the Qur’ân, revealedas it was under extremely diverse circumtances and in period of more than twenty years, could not possibly have continuity an coherence (irtibât). G.R. Hawting and Abdul Kader A. Sharef, Approaches to the Qur’ân, (London and Newyork), hlm .211. 345 Nama lengkapnya Saîd Muhammad Daib Hawwa, lahir pada tahun 1935 di Hamat Suriah. Pada tahun 1987 ia terkena penyakit stroke yang tidak kunjung membaik kemudian pada 1987 ia meninggal dunia di rumah sakit Islam ‘Ammân Yordania. Lihat Sa’îd Hawwa, hâdzihî tajribatî wa hâdzihî syahâdatî, hal. 7 dan 119, lihat juga ‘Asâs fî tafsîr, (Dâr al-Salâm li al-Thabâ’ah wa al-Nasyar wa al-tawzî’) cet.6, 1424 H-2003 M, Jld I. hal.11, lihat juga al-Musytasyar Abdullah al-‘Aqil, mereka yang telah pergi,Tokoh-tokoh Pembangun Pergerakan Islam Kontemporer,(Jakarta al-I’tishâm cahaya umat, 2003) hal. 409. bandingkan dengan Muhammad ‘Ali Iyâzi, al-Mufassirûn Hayâtuhum wa manhajuhum, hal. 136.
146
muara tujuan dan maksud akhir yang hendak dicapai (bulûghan ilâ maqâshid alnihâiyyah).346 Tema-tema dalam al-Qur’ân yang terkesan berserakan tidaklah kontradiktif dan bertentangan, hal ini sejalan dengan pandangan Mahmûd Hijâzi dalam al-Wahdat al-Mawdhû’iyyah fî al-Qur’ân al-Karîm, ia merupakan kesatuan tema yang koheren, padu, dan komprehensif. Kemudian tema-tema yang berkaitan tersebut dikumpulkan pada dari berbagai tempat surat, untuk mengungkap makna dan korelasinya dengan tema umum yang dibahas, guna mewujudkan tujuan yang hendak dicapai.347 Al Dhagâmin berpendapat bahwa al-Wahdat al-Mawdhû’iyyah fî al-Sûrah merupakan suatu integrasi seluruh orientasi yang dalam surah dalam penetapan dan pengukuhan satu tema/topik tertentu dalam surah tersebut, setiap surah yang memuat pikiran pokok menjadi ciri utama surat yang ditetapkan oleh tujuan yang terkonsep didalamnya.348 Alasan penulis mengemukakan sub judul ayat-ayat hukum dalam surat alBaqarah karena surat ini selain merupakan surah terpanjang, ia juga mencakup segala problematika kehidupan seperti temanya yang memprioritaskan pondasi keimanan, dan kriteria orang beriman dengan yang tidak. Kemudian aplikasi konsep dan 346
Imrân Sumaih Nazzâl, al-Wahdat al-Târîkhiyyah li al-suwar al-Qur’ânîyyah, (‘Ammân:Dâr al-Qurrâ’ 1427 H/2006 M), h. 92. bandingkan dengan penafsiran Muhammad Syaltut ia mengelompokkan ayat ayat yang ada dalam surah menurut tujuan poko dan tema-temanya. Kemudian baru ia tafsirkan ayat-ayat sesuai kelompok tujuan atau tema pokoknya masing-masing lihat tafsir alQur’ân al-Karîm, (Kairo: Dâr al –Syurûq, 1988), cet-11. pandangan Ahmad al-Syirbashi dalam, Qisshah al-Tafsîr, mengatakan ‘ada metode lain dalam tafsir yaitu dengan mengungkapkansecara global tema-tama, daksud-maksud dan tujuan-tujuan pokok sura, dan diantara orang yang menonjol dalam menggunakan metode ini adalah Syeikh Syaltût, baik dalam kuliah-kuliahnya maupun tulisantulisannya. (Qisshah Tafsir, (Kairo: Dâr al-Kalaâm, 1962), hal. 164. 347 Muhammad Mahmud Hijâzi, al-Wahdat al-mawdhû’iyyah fî al-Qur’ân al-Karîm, (Zaqâziq: Dâr al-tafsir, 1424 H/ 2004),h. 28-29. bandingkan dengan Ahmad Syarqâwi bahwa Wahdat al mawdhu’ adalah keberadaan satu tema tertentu dalam al-Qur’an yang terebar dalam berbagai tenpat, dalam ragam bentuk yang variatif, yang mengacu pada prinsip-prinsip kesesuaian, sikron, dan harmonis, hubungan antara komponen yang terdapat didalamnya. Seandainya ayat- ayat yang mengusung satu tema tersebut diintegrasikan, akan membentuk struktur bangunan yang kokoh dan akan tercipta satu rajutan simponik yang indah dan mempesona. Lihat Ahmad Muhammad Syarqâwi, al-wahdat al-mawdhû’iyyah li al-Qur’ân al-Karîm, http://www.saaid.net/bahoth/65.zip 348 Ziyâd Khâlil Dhaghâmin, al-Tafsîr al-mawdhû’i wa manhajiyyah al-bahtsi Fîhi (‘Ammân:Dâr al-‘Ammâr 2007 M), hal. 205
147
formulasi penafsirannya (Maqâshid ‘ashliyah) dikomparasikan dengan gagasan penafsiran sebelum dan sesudahnya untuk melihat dan menemukan urgensi/Maqâshid al-ashliyah dalam penafsirannya. Latar belakang dinamakannya surat al-Baqarah secara umum didalamnya diceritakan kisah al-Baqarah dimana Allah memerintahkan Banî Isrâîl ketika itu untuk menyembelihnya sebagai bentuk pengabdian atas perintah Allah, karena buruk sangka mereka kepada Allah dengan pemahaman yang konotatif (sû’u fahmihim) sebagaimana dikisahkan (al baqarah [2;67-71]), dalam pandangan Ibn ‘Âsyûr cerita tentang kisah al Baqarah sebagai pengkhususan yang membedakan (tamyîzan) dari surah-surah yang lain karena terdapat ﺁﻟﻢ،ﺁل. dari beberapa huruf al-muqaththa’ah karena bisa jadi huruf-huruf muqaththa’ah tersebut dijadikan/sebagai nama surat yang diceritakan sebagaimana:
ص، ﻃﻪ، یﺲ, berkaitan dengan ini sabda Nabi
“Innahâ
‘sesungguhnya
sinâmu
al-Qur’ân”
surah
al-Baqarah
merupakan
keistimewaan/puncak al-Qur’ân, dan keistimewaan dari setiap sesuatu (benda) menunjukkan kelebihan, dan ini (surah al baqarah) tidak demikian karena itu ia termasuk pengutamaan (tasyrîf).349 Secara garis besar tujuan dari surah al Baqarah perspektif Ibn ‘Âsyûr dibagi menjadi dua; pertama; bagian yang menerangkan bahwa agama Islam yang tinggi dan melangit (sumuww) menjadi agama yang terpilih dari agama-agama sebelumnya –(sebagai rahmat alam semsesta-penulis), terdapat luhurnya petunjuk didalamnya (‘uluww hadiyyah) dan norma-norma (ushûl) yang mengatur guna perbaikan diri (tathhîrihî al-nufûs), kedua; bagian yang menerangkan serta menjelaskan syari’atsyari’at (norma) agama agar diikuti (liatbâ’ihi) sebagai upaya mewujudkan kemaslahatan sosial masyarakat secara makro (wa ishlâhi mujtamaihim). Pada 349
Ibn ‘Âsyûr, Al-Tahrîr wa al-Tanwîr, vol. 1, hal. 203. Muhammad ‘Abduh dan Râsyid Ridhâ dalam Tafsur al-Manâr ditulis bahwa; surah al baqarah merupakan surah yang terpanjang, ia diletakkan setelah alfatihah merupakan keutamaan terendiri. Kemudian disimpulkan didalamnya terdapat; Dakwah al-Islâm wa ahkâmuhu, wa qawâiduhu, lihat Muhammad ‘Abduh Ta’lîf Râsyid Ridhâ Tafsir al-Manâr (Dâr al-Manâr, cet-2 1366 H 1947 M) Jld. 1, hal. 105-111.
148
keterangan terakhir penulis menemukan konteks kesamaan dengan karya-karya Ibn ‘Âsyûr
dalam peletakan
dasar
Ilmu
Maqâshid
dan
Norma-norma
sosial
kemasyarakatan yang egaliter.350 Surah ini turun setelah Nabi Hijrah ke Madinah. Ayat-ayatnya berjumlah 286 ayat. Begitu banyak persoalan yang dibicarakannya, tidak heran, karena mengingat masyarakat Madinah ketika itu sangat heterogen, baik dalam suku, agama maupun kecenderungan. Misalnya peristiwa yang terekam didalamnya pengalihan kiblat [ayat; 142], atau perintah puasa [ayat; 183], dijadikan sebagai masa awal turunnya surat ini, dan [ayat; 281] sebagai akhir ayat al-Qur’an yang diterima oleh Nabi Muhammad 350
Ibn ‘Âsyûr, Al-Tahrîr wa al-Tanwîr, vol. 1, hal. 203. lihat juga Abdul Ghaffar Abdur Rahîm, al-Imâm Muhammad ‘Abduh wa Manhajuhu fi al-Tafsir,(Kairo:Dâr al-Anshâr, T.th.) hal. 354-357. lihat tahqîq dirâsah Muhammad Thâhir al-Mâisâwî dalam Maqâshid al Syarîah al Islâmiyah, Dâr el Nafâis- Urdun, 2001. hal. 90-99. dikatakan bahwa keterpautan antara kajian Maqâshid al-Syari’ah dan pendasaran ilmu social kemasyarakatan yang egaliter sangat ereat dan kajiannya membutuhkan kaidah-kaidah yang lebih luas dari sementara kaidah-kaidah yang dipakai pakar ushûl fiqh (ahwaju ilâ qawâid awsa’u min qawâid ahl ushûl), juga karyanya Ushûl Nizhâm al-Ijtimâ’î fî al-Islâmi,(DâralSuhûn lo al_nasyar wa al-Tawzî’, 2006) hal.38- baca juga Abdul Aziz bin ‘Ali Abd ar-Rahmân bin ‘Ali bin Rabî’ah dalam ‘Ilm Maqâshid al-Syâri’ Maktabah Muluk Fahd al-wathaniyyah atsna alNasyr, hal. 41-43. bandingkan dengan pendahuluan penafsiran Rasyîd Ridhâ dalam Tafsîr al-Manâr (Dâr alManâr, cet-2 1366 H 1947 M) Jld. 1, hal. 112-121, dia mengatakan dalam kaidah-kaidah yang terdapat dalam surat al-baqarah tidak kurang dari 33 kaidah ditulisnya sebelum mulai menafsirkan surat al baqarah. Kemudian Râsyîd Ridhâ mengatakan: وإﻥﻤﺎ وﻋﺪﻥﺎ، ویﻤﻜﻦ اﻟﺰیﺎدة ﻋﻠﻴﻪ ﺑﺎ اﻟﺘﺄﻡﻞ ﻓﻴﻬﺎ وﺗﺪﺑﺮهﺎ،هﺬا ﻡﺎ ﻓﺘﺢ اﷲ ﺑﻪ ﻋﻠﻲ ﺑﺘﺼﻔﺦ ﺻﺤﺎﺋﻒ اﻟﺴﻮرة دون ﺗﻼوﺗﻬﺎ واﷲ یﻘﻮل اﻟﺤﻖ وهﻮ یﻬﺪي اﻟﺴﺒﻴﻞ،ﺑﺘﻠﺨﻴﺼﻬﺎ ﺑﺎﻹﺝﻤﺎل دون اﻟﺘﻔﺼﻴﻞ Bandingkan juga dengan apa yang ditulis oleh Sayyid Thanthawi dalam al-Tafsîr al-Wasîth, ia menegaskan tujuan-tujuan global dari al-Baqarah dibagi menjadi tiga; pertama; mengenai pondasi keimanan dan kemanfaatan petunjuk-Nya (Âmana bihi wantafa’a bihidâyatihi) yang mengakibatkan kebahagiaan (dunia dan akhirat), kedua: bagian yang ingkar lagi menyombongkan diri (qismun jahada wa istakbara) dan menyukai kejahilan daripada petunjuk-Nya, mereka menjadi menyesal karena tidak mendapatkan kebaikan dan Iman kepada Allah), kemudian bagian ketiga yaitu umat yang diuji oleh Allah mereka adalah golongan buruk kaum Munafik yang menampakkan pertentangan langsung kepada Allah, tidak kuang dari 13 ayat yang menyebutkan kebohongan-kebohongan dan penyakit yangmelekat di hatimereka, kepicikan mereka tersurat dalam surat ini. Lihat lebih lanjut dalam Muhammad Sayyid Thanthâwi, al-Tafsîr al-Wasîth, (Nahdhah Mishr, Mesir cet-1 Januari 1997) hal. 27-36. demikian juga Quraish Shihab, ditulis bahwa al-Baqarah merupakan al-Sinâm yang berarti puncak karena tiada lagi puncak petunjuk setelah kitab suci ini, dan tiada puncak setelah kepercayaan kepada Allah Yang maha Esadan keniscayaan hari kiamat. Ia dinamai juga az-Zahrâ’ berarti terang benderang karena kandungan surah ini menerangi jalan dengan benderang menuju kebahagiaan dunia dan akhirat, serta menjadi penyebab bersinar terangnya wajah siapa yang mengikuti petunjuk-petunjuk surah ini kelak di kemudian hari. Lihat Quraish Shihab, Tafsîr al-Misbâh, Pesan, Kesan dan Keserasian Al-Qur’ân. (Jakarta, Lentera Hati, 2000, cet-1, hal. 82.
149
saw. (dalam sejumlah riwayat disebutkan). Ini berarti bahwa surah al-Baqarah secra keseluruhan turun dalam masa sepuluh tahun. Karena perintah pengalihan kiblat terjadi setelah sekitara 18 bulan Nabi Muhammad saw. berada di Madinah, sedang ayat terakhir yang turun beberapa saat/hari sebelum beliau wafat, tepatnya tanggal 12 rabi’ul awwal tahun 13 Hijriah.351 Al-Zamakhsari (467-538 H) dalam tafsirnya al-Kasysyâf mensinyalir bahwa pada akhir-akhir Surah al-Baqarah merupakan harta benda (kanzun) dibawah singgasana (‘Arsy), sebagaimana hadits dari Ibn ‘Abbâs yang menyatakan; bahwa barang siapa yang membaca surat al-Baqarah pada dua ayat terakhir ini [2:284-287] kafatâhu (dijaga-Nya dari godaan setan dan bencana), dalam redaksi hadits yang lain diterangkan ia (surah al-Baqarah) merupakan sebuah harta benda dari bawah singasana yang diberikan Allah kepada Nabi Muhammad tidak kepada yang lain, berikutnya juga diterangkan dalam hadits yang lain ia juga merupakan harta dari surga, barang siapa yang membacanya setelah (shalat) ‘Isya ia akan diganjar seperti shalat malam. –yang terakhir ini riwayatnya matruk.352 Muhammad Sayyid Thantâwi melihat bahwa selain merupakan surat terpanjang, ia mempunyai Munâsabah dengan surah al-Fatihah yang isinya merupakan dasar-dasar mengenai hukum-hukum ketuhanan dan nilai-nilai ubudiyah sebagai perunjuk jalan yang lurus secara global dan general, kemudian berikutnya surah al-Baqarah menjelaskan dengan memerinci tujuan-tujuan tersebut, sehingga bahasan yang terdapat pada surah al-Fatihah sebagai petunjuk dan pengarahan petunjuk tersebut menjadi jelas. Keutamaan surat ini menjadi ketara disebabkan 351
Ibn ‘Âsyûr, Al-Tahrîr wa al-Tanwîr, vol. 1, hal. 203. bandingkan dengan Rasyîd Ridhâ dalam Tafsir al-Manâr (Dâr al-Manâr, cet-2 1366 H 1947 M) Jld. 1, hal. 112-121 352 Lihat penafsiran al-Zamakhsari dalam al-Kasysyâf, (Dâr al-Kotob al-‘Ilmiyyah, 1995-1415 H) cet-1.hal.329-329. redaksi haditsnya sebagai berikut; ﻦ َأﺑِﻲ ْﻋ َ ﻦ َیﺰِی َﺪ ِ ﻦ ْﺑ ِ ﺡ َﻤ ْ ﻋ ْﺒ ِﺪ اﻟ ﱠﺮ َ ﻦ ْﻋ َ ﻦ َیﺰِی َﺪ ِ ﻦ ِإ ْﺑﺮَاهِﻴ َﻢ ْﺑ ْﻋ َ ﻦ ا ْﻟ ُﻤ ْﻌ َﺘ ِﻤ ِﺮ ِ ﻦ َﻡ ْﻨﺼُﻮ ِر ْﺑ ْﻋ َ ﺤﻤِﻴ ِﺪ َ ﻋ ْﺒ ِﺪ ا ْﻟ َ ﻦ ُ ﺝﺮِی ُﺮ ْﺑ َ ﺡ ﱠﺪ َﺛﻨَﺎ َ ﻦ َﻡﻨِﻴ ٍﻊ ُ ﺡ َﻤ ُﺪ ْﺑ ْ ﺡ ﱠﺪ َﺛﻨَﺎ َأ َ ل َأﺑُﻮ ﻋِﻴﺴَﻰ َهﺬَا َ ﻗَﺎ. ﺥ ِﺮ ﺱُﻮ َر ِة ا ْﻟ َﺒ َﻘ َﺮ ِة ﻓِﻲ َﻟ ْﻴَﻠ ٍﺔ َآ َﻔﺘَﺎ ُﻩ ِﻦﺁ ْ ﻦ ِﻡ ِ ﻦ َﻗ َﺮَأ اﻟْﺂ َی َﺘ ْﻴ ْ ﺱﱠﻠ َﻢ َﻡ َ ﻋَﻠ ْﻴ ِﻪ َو َ ﺻﻠﱠﻰ اﻟﱠﻠ ُﻪ َ ل اﻟﱠﻠ ِﻪ ُ ل َرﺱُﻮ َ ﻗَﺎ: ل َ ي ﻗَﺎ ﺴﻌُﻮ ٍد ا ْﻟَﺄ ْﻥﺼَﺎ ِر ﱢ ْ َﻡ ﺢ ٌ ﺻﺤِﻴ َ ﻦ ٌﺴ َﺡ َ ﺚ ٌ ﺡﺪِی َ
150
beberapa hadits yang menguatkan keistimewaan dari surah yang lain dalam alQur’ân, seperti hadits yang menjelaskan bahwa ‘Rumah yang dibacakan surah ini (al baqarah) tidak akan dimasuki oleh setan, dan sebaliknya rumah yang tidak pernah dibacakan al-Qur’ân didalamnya digambarkan seperti kuburan’. Diriwayatkan oleh; Ahmad, Muslim, al-Tirmidzi, dan al-Nasâ’i dari Abû Hurairah; kemudian terdapat pula hadits oleh Ibn Hibbân dalam shahîh , dari Sahl Ibn Sa’ad yang menerangkan keistimewaan surat ini.353 1) Perintah shalat dan zakat dalam surah al-Baqarah Memahami pengertian satu kata dalam rangkaian satu ayat tidak dapat dilepaskan dari konteks kata tersebut dengan keseluruhan kata-kata dalam redaksi ayat tersebut. karena tujuan (ghardun) ini memiliki nilai tambah dalam keterpautan dalam kajian kequr’anan dan memiliki korelasi yang kuat (ittishâlu al-matîn) dengan dengan penafsiran. Disebabkan instrumen-instrumen yang terkait dengannya (mâ yatahqqaqu fîhi) sangat diperlukan (yuntafa’u bihi) dalam mayoritas tema-tema pada pembuka-pembuka surah (fawâtihu al-suwar) al-Qur’ân, dan ketertautan munâsabah antara satu (ayat/surah) dengan yang lain, sebagai bekal yang cukup bagi mufassir dalam penafsiran.354 353
Lihat Muhammad Sayyid Thanthâwi, al-Tafsîr al-Wasîth, (Nahdhah Mishr, Mesir cet-1 Januari 1997) hal. 27-28. bandingkan dengan pandangan Mutawalli al-Syârâwî dalam Tafsir alSya’râwi, (Dâr akhbâr al-Yaum, Mesir 1991), hlm 91-97) karena ketawadhu’annya al-Sya’râwi menyatakan karyanya bukan sebagai tafsir namun dia menyebut sebagai khawâtir (betikan/interpretasi), dalam surah al-bawarah terdapat pijakan Iman atas risalah (al-Imân bi al-ba’ts), pendasaran metode Da’wah di Makkah, ayat ayat yang turun di Madinah disinyalir sebagai sumber hokum-hukum social Islam, dan hokum Mu’âmalah, disebutkan hikmah al-Qur’ân dan ‘ilmu yang dianugrahkan Allah kepada Nabi Muhammad shallawwah ‘alaih wasallam, kisah penciptaan manusia pertama Adam,kisah Nabi Ibrahim dalam kontemplasinya mencari Tuhan (pengokohan keimanan, dan kisah peletakan bat pertama ka’bah, dan penyampaian tentang musuh Islam yang nyata selain Syetan yaitu Yahudi). Lihat juga Sayyid Quthb dalam tafsirnya Fî Dhilâl al-Qur’ân, (Dâr al-‘arabiyyahBeirut, tt), hlm 24. Sayyid Quthb menyatakan didalamsurah ini digambarkan pondasi keimanan kepadaNabi-Nabi yang diutus kepada mereka dan kitab-kitab yang diturunkannya, dan kaitan pembukaanya dan penutupan terdapat dua sifat yaitu sifat orang-orang mu;min dan Khashâish Iman. 354 Ibn ‘Âsyûr, Al-Tahrîr wa al-Tanwîr Muqaddimah al-Tsâminah, vol. 1, hal. 70. baca dalam mukaddimah sebelumnya (hal. 8) ia mengatakan “amma al-bahtsa ‘an Tanâsub mawâqi al-suwar ba’dlahâ itsri ba’dlin falâ arâhû haqqan alâ al-mufassir“. bandingkan dengan pandangan Abdullah Dirâz dalam, Al-Naba’ al ‘Adzîm, Nazharât al-Jadîdah fî al-Qur’ân,hal. 211. Ia menyatakan bahwa setiap hal dalam al-Qur’an merupakan bentuk kemu’jizatan, kebalaghahan ungkapannya juga mukjizat,
151
Perintah shalat dan zakat sebagai pondasi agama ayat 43 dalam surah AlBaqarah [2]:43);
ﻥ َ ﻭَﺃﻗِﻴ ُﻤﻭْﺍﻟﺼﱠﻼﺓ ﻭَﺁﺘﹸﻭﺍﻟﺯﱠﻜﺎﺓ ﻭَﺍ ْﺭ ﹶﻜ ُﻌﻭْﺍ ﻤ َﻊ ﺍﻟﺭﱠﺍ ِﻜ ِﻌ ْﻴ..... yang artinya kurang lebih; "Dirikanlah shalat, tunaikanlah zakat dan ruku'lah kepada-Ku bersama orang -orang yang ruku.” Adalah perintah melakukan syiar Islam setelah perintah memeluk akidah Islam.355 pola pendidikannya termasuk dari mukjizat, validitas informasinya merupakan mu’jizat, formulasi syariatnya yang abadi adalah mukjizat, ilmu-ilmu didalamnya nafsiyah maupun kauniyah mengenai keduanya adalah mu’jizat, dalam keserasian dan sistematisasi ayat-ayat al-Qur’an dalam bentuk yang kita kenal ini merupakan bentuk kemukjizatan diatas mukjizat. Al-Sayûthi, Tanâsuq al-Durar fî Tanâsub al-Suwar, hal. 69. Lihat juga pandangan Saîd Hawwâ (w.1989) misalnya, mufassir berkebangsaan Siria ini mengatakan bahwa kesatuan dalam dalam ayat atau kelompok ayat adalah keberadaan satu ayat atau satu kelompok ayat dalam surah-surah al-Qur’ân yang memiliki kerunutan dan ketertautan konteks yang sistematis yang terikat dalam satu hubungan yang kuat antara bagian-bagian dalamstruktur ayat atau kelompok ayat tersebut. kemudian Saîd Hawwa berusaha mengelaborasi hubungan bagian satu ayat dengan bagian lainnya. Seperti ketika menafsirkan ayat 148 dari surah al-Nisâ’ [4] yang berbunyi: ∩⊇⊆∇∪ $¸ϑŠÎ=tã $·è‹Ïÿxœ ª!$# tβ%x.uρ 4 zΟÎ=àß tΒ ωÎ) ÉΑöθs)ø9$# zÏΒ Ïþθ¡9$$Î/ tôγyfø9$# ª!$# =Ïtä† ω * Kalimat وآﺎن اﷲ ﺱﻤﻴﻌًﺎ ﻋﻠﻴﻤًﺎklausa yang mengiringi lafal ﻡﻦ ﻇﻠﻢdalam ayat tersebut. Saîd Hawwa melihat bahwa kata ﺱﻤﻴﻌًﺎmengacu kepada pengaduan kepada pihak yang terdzalimi (syakwâ al-madzlûm), dan kata ﻋﻠﻴﻤًﺎsebagai bentuk yang mengacu pada kedzaliman yang dilakukan oleh pihak yang berbuat dzâlim (zulm al-mazlûm). Saîd Hawwa‘Asâs fî tafsîr, (Dâr al-Salâm li al-Thabâ’ah wa al-Nasyar wa altawzî’) cet.6, 1424 H-2003 M, Jld II. hal.1217 355 Lihat lebih lanjut penafsiran ayat ini dalam al-Tâhrir wa al-tânwîr vol 1. hal. 472. bandingkan dengan penafsiran Musthafâ al-Marâghî yang menafsirkan ayat ini dengan gambaran (rûh al-shalâh), setelah ajakan Iman kepada bani Israîl telah disampaikan, kemudian mereka diperintah mengerjakan shalat sebagai amal shâlih dan pondasi iman, dan untuk membersihkan kepribadian mereka (litutahhir nufûsahum) sebagaimana mereka diminta untuk membayar zakat sebagai bentuk syukur dan mempererat hubungan sosial kemasyarakatan, dengan mengeluarkan sebagian hartanya, sebagai bentuk solidaritas kepada sesama (limuwâsâh ‘iyâlullâh wa hum al-fuqarâ’) (antara yang kaya dan miskin saling bergotong royong, dan memberi perlindungan satu dengan yang lain), kemudian alMarâghi menyebutkan hadits ‘al mu’minu lil mu’mini kal bunyân yasyuddu ba’dlahum ba’dlan’ lihat Ahmad Musthafâ al-Marâghî, Tafsîr al-Marâghi, (Syirkah maktabah wa mathba’ah musthafâ libâb al hilabi Mesir) cet-1, 1946 M-1365 H, hal. 99. lihat juga redaksi penafsiran Muhammad ‘Abduh dalam tafsir al-Manâr yang menafsirkan setekah ajakan iman yakin kepada bani isrâîl mereka diminta untuk menunaikan shalat dan membayar zakat sebagai bentuk solidaritas kekeluargaan dan kemaslahatan diantara mereka (muwâsâh l’iyâlihi wa musâ’adah’alâ mashâlihim alltî hiya malâku mashlahatihi) bagi ‘Abduh ketiga perintah diatas tertata rapi secara hirarkis; menunaikan shalat sebagai berntuk pertama yang merupakan rûhul ‘ibadah dan ujian keikhlasan dalam mengerjakannya, kemudian membayar zakat sebagai bentuk penyucian diri dan kekuatan iman, berikutnya ruku’ bersama orang-orang yang ruku’ sebagai gambaran (sûrah) shalat/sebagiannya, sebagai penghambaan diri secara khusu’ dihadapn keagungan-Nya. Lihat Muhammad Abduh dengan ta’lif Râsyid Ridhâ tafsîr al-Manâr (Huqûq thaba’ah wa al-tarjamah mahfûdhah liwaratsatihi/ Dâr al-Manâr 1948/1366 H) cet. 2, hal. 294.
152
Dalam tafsir ayat ini Mahmûd syukrî al-Alûsi (w. 1270 H) menafsirkan dalam karya monumentalnya Rûh al-Ma’ânî diterangkan bahwa shalat dan zakat sudah menjadi maklum (lâm lil’ahdi awi al-jinsi) sebagaimana dilakukan kaum muslimin. Didahulukan perintah shalat karena tujuannya yang utama (lisyumûli wujûbihâ), yaitu dituntut dengan ikhlas dan senantiasa mengharap ridha Allah
(al-tadlarru’
lilhadrah), dan ia merupakan aktifitas tubuh/badan (ibadah) yang paling utama, dan membayar zakat merupakan pembersihan harta dari kotoran dan diri dari sifat kikir.356 Perintah bertunduk (ruku’) setelah perintah zakat, karena shalat orang-orang Yahudi berbeda dengan shalatnya orang-orang Muslim, mereka (Yahudi) tidak menggunakan ruku’ sebagaimana orang muslim. Keterangan selanjutnya tentang “‘al-Râki’în” ada pendapat yang menyatakan mereka adalah para Sahabat Nabi, disisi lain diartikan sebagai isyarat (jins al dhâhir), ruku’/ketundukan merupakan tanda-tanda keridhaan dan meumbuhkan sifat mulia. Sebagai bukti keikhlasan dalam beribadah atas kecintaan kepada sang Khâliq.357 Jadi, ayat "Dan berimanlah (kamu: bani Israil) pada apa yang Aku (Allah) turunkan .....([2] :41)
maksudnya (al-maqshadu) adalah Iman kepada Nabi
Muhammad shallawwâhu ‘alaih wasallam juga kepada perantara wahyu dan tujuannya. Yang menjadi pengantarnya adalah ayat; “Dan ingatlah nikmatku..... .([2]:40), sampai ayat .....maka takutlah kepadaku ([2]:48), yang sementara targetnya (ghâyah) adalah ayat
”Dan berimanlah pada apa yang saya turunkan karena
membenarkan apa yang bersamamu. Kemudian impementasi tujuannya adalah ayat dirikanlah shalat dan tunaikanlah zakat ([2]:43). Dibalik itu juga terdapat larangan dari perbuatan merusak yang dan menghalangi dari hal-hal yang telah diperintahkan, sesuai dengan bentuk perintahnya.358 356
Lihat Syihabuddîn Sayyid Mahmud al-Alûsi, Rûh al-Ma’âni wa sab’ al-Matsâni, (idârah thab’ah al-munîriyyah wa dâr al-Turats al-‘rabiy Beirut Libanon), hlm 248. 357 Al-Alûsi, Rûh al-Ma’âni wa sab’ al-Matsâni, hlm 248-9. 358 Lihat lebih lanjut penafsiran ayat ini dalam al-Tâhrir wa al-tânwîr vol 1. hal. 472. lihat dan bandingkan juga perbedaan penafsiran Ibn ‘Âsyûr dengan Abu Bakar al-‘Arabi mengenai syarat
153
Firman Allah," " وَأﻗِﻴ ُﻤﻮْاﻟﺼﱠﻼةadalah perintah pada pondasi Islam yang paling agung setelah perintah Iman dengan mengucapkan dua kalimat syahadat. Dan sebaliknya (ta’ridl) sindiran kepada orang-orang Munafik, diterangkan bahwasannya iman adalah perjanjian primordial (‘ahdun qalbiyyun) antara (hamba dengan Tuhannya), indikator perjanjian tersebut dengan ucapan (lâ yadullu ‘alaihi illa alnutqa). Ucapan lisan (iman) sesuatu yang mudah. Ia bisa saja diucapkan walau hati tidak membenarkannya, sebagaimana halnya orang-orang munafik yang dilukiskan oleh ayat 8 pada surah ini. Nah untuk membuktikan kebenaran ucapan itu mereka dituntut agar melaksanakan shalat, karena shalat merupakan aktivitas yang menunjukkan keagungan kepada Allah semata, dan sujud kepada-Nya merupakan bukti pengingkaran terhadap berhala-berhala. Demikian juga dengan zakat, karena dengan menyisihkan secara tulus sebagian harta yang dimiliki tidak akan dilakukan kecuali oleh mereka yang percaya kepada hari kemudian, lebih-lebih bila disalurkan kepada upaya pengukhan agama atau menghadapi musuh-musuh Allah dan RasulNya. sebagaimana ayat yang menyebutkan “wa idzâ laqûlladzîna âmanû qâlû âmannâ.........(al Baqarah 2:14).359 Seseorang yang tidak menghubungkan ayat tentang perintah shalat dan zakat dengan ayat sebelumnya yaitu tentang ayat yang menunjukkan syukur atas nikmat (udzkurû ni’matiya allatî an’amtu ‘alaikum.....) dan pelaksanaan janji (promise) antara hamba dengan tuhannya, tidak akan dapat menyingkap tujuan-tujuan ayat (aghrâdh al-âyât), untuk mewujudkannya juga memerlukan instrumen hubungan wudhu sebelum diturunkannya penjelasan dalam surah al-Mâidah [5:6], Abu Bakar al-‘Arabi menafsirkan bahwa wudhu merupakan kebiasaan orang Makkah sebelum adanya ayat yang menjelaskan tentang kewajiban wudhu ini sebelum shalat, karenanya ia ada dan sedah diwajibkan sebelum ayat ini turun, hal ini dibantah oleh Ibn ‘Âsyur yang menyatakan bahwa ditetapkannya ‘ightisâl’ sebelum wudhu, dan Nabi tidak melakukan shalat kecuali mengambil wudhu sebelumnya. Disebutkannya hukum wudhu oleh al-Qur’ân saat itulah mulai diberlakukannya [kewajiban] wudhu sebelum shalat. Lihat perbedaan ini dalam, Abû Bakar Ibn al-‘Arabi, ahkâm al-Qur’ân, tahqîq ‘Ali Mumammah al-Bajâwî,(Dâr al-Ma’rifah) jld. 2. hal. 558. dan Thâhir Ibn ‘Âsyûr, al-Tahrîr wa alTanwîr, (Dâr Tûnîsiyyah linnasar, t.th) juz1. hlm 331. 359 Lihat Thâhir Ibn ‘Âsyûr al-Tâhrir wa al-Tânwîr (QS. Al-Baqarah [2]:40-48), vol. 1 hal. 4724,
154
kronologis (asbâb al nuzûl), karena dengan menggunakan instrumen tersebut akan menghasilkan makna dan rangkaian pemahaman yang jelas dan terperinci.360 Al-Râzi (544-604 H)361 menafsirkan ayat “aqîmû al-shalâh” bahwa Allah menyeru kepada mereka (yahudi) mereka beriman kemudian melarang untuk berbuat keji dan mencampuradukkan yang haq dan bâthil (lubsu al-haq bi al-bâthil) dengan menyembunyikan keterangan risalah kenabian (wa kitmânu dalâil al-nubuwwah ), kemudian disebutkan perintah syari’at dengan suatu keharusan (lazamahum) syari’at bagi mereka seperti shalat ia merupakan ibadah yang paling utama (a’dham al‘Ibâdât al-badaniyah) dan zakat yang merupakan ibadah kekayaan yang paling utama (a’dham al-‘Ibâdât al-Mâliyah).362 Terdapat beberapa keterangan/penjelasan mengenai hal ini: pertama tidak diperbolehkan
mengakhirkan
keterangan
yang
global
dari
waktu
diturunkannya/diwajibkannya (khitâb), setelah keterangan yang disampaikan Nabi Muhammad tentang rukun-rukun shalat, seakan Allah berfirman ’dirikanlah shalat seperti yang kalian ketahui’. Kedua; pandangan golongan mu’tazilah bahwa shalat adalah jenis-jenis syari’ah (asmâ’ syar’iyyah), ia merupakan hal baru dalam ajaran syari’at maka mustahil keberhasilan atas perintah tersebut berhasil sebelum ditetapkannya syari’at. Kemudian mereka berbeda pandangan pada definisi shalat; ada yang berkata secara etimologi shalat berarti doa (al-Du’â’) berkata al-A’syî ;363 yang lain mengatakan shalat berarti suatu keharusan (alluzûm)364, ketiga; firman
360
Lihat Ibn’Âsyûr al-Tâhrir wa al-Tânwîr vol 1. hal. 472. lihat juga Muhammad Ahmad alGharmawiy, al-Islâm fî ‘ashr al-‘ilmiy, Dâr al-Kutub al-haditsah al-Sa’âdah, Kairo, 1978, h. 405. 361 Nama yang dikenal adalah Fakhruddîn, ‘Allâmah alkabiîr dzû al-Funûn Muhammad ibn ‘umar ibn al Husain ibn Hasan ibn ‘Ali al-Taymî al-Bakrî al-Tihbri al-Ashl, al-Râzî lihat dalam ‘sair a’lâm Nubalâ’ (16/54/t.5411), juga dalam Bidâyah wa al- Nihâyah (8/560). Tafsîr al-Fakhru al-Râzi , jld.1.juz 1, hal. 5. 362 Muhammad al-Râzi Fakhruddîn, Tafsîr al-Fakhru al-Râzi, (maktabah al-tawtsîq wa aldirâsât fî Dâr al-Fikr, cet. 1, 2005) jld.1. juz 3, hal. 44. 363 Muhammad al-Râzi Fakhruddîn, Tafsîr al-Fakhru al-Râzi, (maktabah al-tawtsîq wa aldirâsât fî Dâr al-Fikr, 1426 H) cet.1, jld.1. juz 3. hal. 44. redaksi syairnya; وﻗﺎﺑﻠﻬﺎ اﻟﺮیﺢ ﻓﻲ ذﻥﱢﻬﺎ وﺻﻠﻲ ﻋﻠﻲ ِذﻥﱢﻬﺎ وارﺗﺴﻢ،ﻚ ﻡﺜﻞ اﻟﺬي ﺻﻠﻴﺖ ﻓﺄﺗﺼﻤﻲ ﻋﻴﻨًﺎ ﻓﺈن ﻟﺠﻨﺐ اﻟﻤﺮء ﻡﻀﻄﺠﻌﺎ َ ﻋﻠﻴ 364 Muhammad Fakhruddîn al-Râzi, Tafsîr al-Fakhru al-Râzi, (maktabah al-tawtsîq wa aldirâsât fî Dâr al-Fikr 2005 M) jld 1.juz 3. hal. 44 redaksi syair ﻟﻢ أآﻦ ﻡﻦ ﺝﻨﺎﺑﻬﺎ ﻋﻠﻢ اﷲ وإﻥﻲ ﺑﺤﺮﱢهﺎ اﻟﻴﻮم ﺻﺎﻟﻲ
155
Allah dalam surah al-baqarah [2;43] kepada orang Yahudi, menunjukkan bahwasannya mereka tidak mengimani syariat-syari’at yang dibawa oleh Nabi.365 Berbeda dengan pandangan Wahbah al-Zuhaili dalam Tafsîr al-Munîr ia menafsirkan ayat (al Baqarah [2:40-43]) khitâb/redaksi ayat diperuntukkan kepada keturunan Nabi Shalih Ya’kûb as. (putra Nabi Ishak) agar mereka mengikuti jejak orang tua mereka dalam penunaian hak-hak Allah, dan diseru untuk berfikir dan mensyukuri nikmat Allah atas keselamatannya dari provokasi Fir’aun dan bala tentaranya (min al-anjâ’i min fir’aun), dan mereka diseru agar bersyukur atas nikmat yang telah dianugrahkan Allah dengan mengaplikasikan perintah-Nya dengan taat (wasysyukrûllâh ‘alâ ni’amihi biimtitsâli al-awâmirihi wa ithâ’atihi), (dan tidak lupa menjauhi larangan-larangan-Nya-penulis). Larangan untuk berkhianat terhadap perjanjian primordial antara hamba dan Khâliq dengan Iman kepada Allah dan Rasulnya. Selanjutnya dalam perintah shalat al-Zuhaili menulis shalat digambarkan dengan ruku’, ini disebabkan shalatnya Yahudi tidak menggunakan ruku’ (sebagaimana al-Râzi, ‘Abduh dan Râsyid Ridhâ, Ibn ‘Asyûr), dan perintah zakat perintah yang berkaitan langsung dengan shalat. Korelasi antar keduanya shalat sebagai tiang agama untuk menyucikan diri (dari keji dan munkar-penulis)(tazkiyatun nafs), dan zakat sebagi bentuk (amal) untuk
berkata yang ain redaksi shalat diambil dari al mushallî yang berarti kuda (al-faras) yang diikuti sesamanya. 365 Muhammad al-Râzi Fakhruddîn, Tafsîr al-Fakhru al-Râzi, (maktabah al-tawtsîq wa aldirâsât fî Dâr al-Fikr 2005 M) jld 1.juz 3. hal. 45. bandingkan dengan pandangan Abû Hayyân (w. 745 H) dalam, al-Bahru al-Muhîth,(Dâr al-Kutub al-Ilmiyyah, cet-1 2001/1422 H) juz 1. hal. 325-337. Abû Hayyân (w.745 H) menafsirkan bahwa ketiga ayat tersusun sedemikian tepat dan serasi. Hal ini terlihat jelas dengan perintah-Nya pertama kali kepada Bani Israil untuk mengingatkan nikmat Allah yang Dia anugrahkan kepada mereka, karena ini akan mengantar mereka untuk mencintai-Nya dan taat kepadaNya, selanjutnya untuk memenuhi perjanjian primordial yang telah dijalin antara mereka dengan Allah swt. Yang didorong dengan janji Allah untuk untuk memenuhi pula janji-Nya kepada mereka, kemudian diperintahkan-Nya agar takut terhadap mereka takut akan siksa-Nya jika mereka tidak memenuhi janjinya tersebut. dengan demikian perintah untuk memenuhi janji diapit oleh perintah mengingat nikmat anugrah-Nya dan perintah agar takut kepada-Nya. Perintah beriman merupakan perintah meninggalkan kesesatan dan larangan mencampur adukan yang hak dan yang bathil serta menyembunyikan kebenaran dan sekaligus merupakan perintah untuk meninggalkan penyesatan terhadap orang lain.
156
penyucian harta kekayaan, dan keduanya sebagai bentuk syukur atas ni’mat yang telah dianugrahkan Allah.366 Zakat disini mampu menstimulasi tumbuhya asuransi bersama (al-takâful alijtimâ’iy) diantara sesama manusia sebagai (makhluk sosial), si Kaya membutuhkan pertolongan si miskin dalam (suatu hal), demikian juga simiskin membutuhkan bantuan secara materi dari si kaya. Berkata al-Jashshâsh dalam ahkâm al-Qur’ân; bahwa yang dintisarikan dari perintah ayat diatas tidak lain adalah; penunaian shalatshalat fardhu dan mengeluarkan/membayar zakat-zakat yang wajib.367 Perintah shalat dan penunaian zakat adalah perbuatan/amal yang mulia disisi Allah yang menunjukkan keagungan dengan bersujud kepada-Nya, serta berserah diri kepada-Nya. Perbuatan demikian ini tidak dilakukan oleh kalangan musyrik dikarenakan mereka berbuat syirk (yang tampak dengan perbuatannya), sementara ahlu al-kitâb tidak melakukannya (menunaikan ibadah ini) karena kebiasaan (ibadah) mereka berbeda. Diterangkan juga bahwa esensi dari zakat adalah dengan berinfak sebagai pencitraan diri (‘azîzun ‘ala an-nafs), bagaimana seseorang melakukan hal ini sementara dirinya tidak meyakini akan kemanfaatan ukhrawi dari tindakan/perbuatan baik ini, lebih-lebih zakat tersebut dapat sampai kepada kalangan musuh (tawanan) yang dimaksud dalam agama.368
366
Wahbah al-Zuhaili, al-Tafsîr al-Munîr fî al-‘Aqîdah wa al-Syarî’ah wa al-Manhaj, (Dâr alFikr Mu’âsir, Beirut Libanon) juz. 1.jld 1-2, hal. 149-152. lihat juga Ahkâm al-Qur’ân juz 1/24. 367 al-Zuhaili, al-Tafsîr al-Munîr juz. 1.jld 1-2, hal. 149-152. 368 Thâhir Ibn ‘Âsyûr dalam al Tâhrir wa al Tânwîr vol. 1 hal. 473. lihat penafsiran Quraish Shihâb dalam Tafsîr al-Mishbâh, pesan, Kesan dan Keserasian Al-Qur’ân, ( Lentera Hati, cet-1 2000 M) Juz. 1. hal. 165-173. ayat 43 dalam surah al-Baqarah ditafsirkan setelah mengajak untuk memeluk Isam dan meninggalkan kesesatan dan penyesatan, maka perintah utama yang disampaikan setelah larangan itu adalah shalah yakni dengan melaksanakan shalat dengan memenuhi rukun dan saratnya secara bersinambung dan mnunaikan zakat dengan sempurna tanpa mengurangi dan menangguhkan serta menyampaikan dengan baik kepada yang berhak menerimanya. Dua kewajiban pokok ini merupakan rangakaian hubungan yang harmonis dengan sesama manusia. Keduanya ditekankan, sedangkan kekwajiban lainnya dicakup oleh penutup ayat ini, yaitu ruku’lah bersama orang-orang yang ruku’ dalam arti tunduk dan taatlah pada ketentuan-ketentuan Allah sebagaimana dan bersama orang-orang yang taat dan tunduk. Penampilan ayat diatas merupakan susunan yang serasi, yang pada awalnya mengingatkan nikmat-nikmat Ilahi, kemudian guliran akhirnya berisi perintah untuk tunduk dan patuh kepada-Nya.
157
Oleh karena itu perintah menunaikan pondasi (untuk) penguatan agama Islam yaitu shalat dan menunaikan zakat yang targetnya (ghâyah) adalah penunaian perintah beriman. Perbuatan amal/ibadat (shalat dan zakat) tidak akan dapat ditunaikan secara maksimal (lâ yatajasysyamahuma) kecuali mereka benar-benar memiliki integritas dan kualitas keimanan yang benar-bebar kokoh kepada Allah.369 Keterangan ayat mengenai (ketidakseriusan dan faktor kemalasan) orangorang munafik dalam beribadah terekam pada (surah al-Nisâ’ [4:142], surah al-Mâ’ûn [107:3-5]), ditegaskan juga dalam redaksi hadits “shalat isya’ merupakan shalat yang paling berat (penunaiannya) bagi kalangan munafik” Pada keterangan ayat dijelaskan bahwa mereka yang meninggalkan shalat tanpa udzur syar’i dari waktuwaktu yang telah ditetapkan sampai habis masa/waktu shalat, merupakan bukti bahwa mereka meninggalkan shalat (tariku al-Shalâh) sebagai bukti nyata robohnya (intifâ’) iman dalam diri mereka, namun menurut madzhab Maliki (sebagaimana Ibn ‘Âsyûrpenulis) apabila mereka masih mengklaim dirinya beriman maka; boleh diperangi sebatas dan/ sampai (mereka menunaikan shalat), sebagai bentuk pencegahan hal yang berimplikasi pada keburukan dan menjaga stabilitas pemeluk agama itu sendiri. (man’an li-Dzarî’ah hazm al millah).370 Kemudian keterangan ayat selanjutnya menyebutkan ﻦ َ وَا ْر َآ ُﻌﻮْا ﻡ َﻊ اﻟﺮﱠا ِآ ِﻌ ْﻴ merupakan penekanan (ta’kîd) makna shalat, karena praktek shalat orang-orang Yahudi tidak memakai ruku’, sehingga tidak ada alasan/bantahan bagi mereka (yahudi) yang mengaku shalat sebagaimana shalat orang-orang muslim dengan dalil diatas. Kalimat râki’în adalah isyarat dan penjelasan agar prasyarat shalat (rukun,
369
(QS. Al-Baqarah [2]:40-48), lihat lebih lanjut penafsiran ayat ini dalam al tâhrir wa al tânwîr vol. 1 hal. 473 370 lihat l penafsiran ayat ini dalam Ibn’Âsyûr, al-Tâhrir wa al-Tânwîr vol. 1 hal. 473, redaksi ayatnya; 4
158
syarat sah) suatu kelaziman yang harus dilakukan sebelum menunaikan ibadah shalat ini.371 Penafsiran ayat berikutnya (ayat [2:44]) adalah mengecam pemuka-pemuka agama Yahudi yang sering kali memberi tuntunan tetapi melakukan sebaliknya. Kata (al birr) berarti kebajikan dalam segala hal, baik dalam keduniaan dan akhirat, maupun interaksi. Sementara mayoritas pandangan Ulama’ menyatakan bahwa albirr mencakup tiga hal; kebajikan dalam beribadah kepada Allah swt. Kebajikan dalam melayani keluarga, dan kebajikan dalam melakukan interaksi dengan orang lain. Namun apa yang dikemukakan diatas belum mencakup semua kebaikan, karena agama menganjurkan hubungan yang serasi dan seimbang dengan Allah, sesama manusia, lingkungan dan siri sendiri. Segala sesuatu yang berkaitan dan menghasilkan keserasian dalam keempat unsur tersebut adalah suatu kebajikan, demikian Quraish Syihab menambahkan.372 Pada ayat (45:2) ‘ﻦ َ ﺷﻌِﻴ ِ ﺨﺎ َ ﻋﻠَﻰ ا ْﻟ َ ﺼﻠَﺎ ِة َوِإ ﱠﻥﻬَﺎ َﻟ َﻜﺒِﻴ َﺮ ٌة ِإﻟﱠﺎ ﺼ ْﺒ ِﺮ وَاﻟ ﱠ ﺱ َﺘﻌِﻴﻨُﻮا ﺑِﺎﻟ ﱠ ْ ’وَا diterangkan bahwa tujuan utama (al-maqshûdu al-ashliy) ayat ini ditujukan pada Bani 371
Bandingkan dengan penafsiran Muhammad al-Râzi Fakhruddîn, Tafsîr al-Fakhru al-Râzi, (Maktabah al-tawtsîq wa al-dirâsât fî Dâr al-Fikr 2005 M) jld 1.juz 3. hal. 45, yang menafsirkan bahwa ayat yang berbunyi warka’û ma’a al Râki’în disebutkan oleh Allah redaksi ruku’ disini karena shalat Yahudi tidak memakai ruku’ sebagaimana shalat muslimin.disebutkan dua kali perintah pertama menunjukkan penunaian shalat itu sendiri, dan kedua perintah berjama’ah dalam shalat, tujuan dan maksud dari perintah ruku’ adalah ketundukan dan kepatuhan (rukû’ dan khudlû’) dalam definisi bahasa sama. 372 lihat lebih lanjut penafsiran ayat ini dalam al tâhrir wa al tânwîr vol. 1 hal. 474-5. tβθè=÷Gs? öΝçFΡr&uρ öΝä3|¡àΡr& tβöθ|¡Ψs?uρ ÎhÉ9ø9$$Î/ }¨$¨Ψ9$# tβρâß∆ù's?r& ∩⊆⊂∪ tÏèÏ.≡§9$# yìtΒ (#θãèx.ö‘$#uρ nο4θx.¨“9$# (#θè?#uuρ nο4θn=¢Á9$# (#θßϑŠÏ%r&uρ (#θà)≈n=•Β Νåκ¨Ξr& tβθ‘ΖÝàtƒ tÏ%©!$# ∩⊆∈∪ tÏèϱ≈sƒø:$# ’n?tã ωÎ) îοuÎ7s3s9 $pκ¨ΞÎ)uρ 4 Íο4θn=¢Á9$#uρ Îö9¢Á9$$Î/ (#θãΖŠÏètFó™$#uρ ∩⊆⊆∪ tβθè=É)÷ès? Ÿξsùr& 4 |=≈tGÅ3ø9$# ∩⊆∉∪ tβθãèÅ_≡u‘ ϵø‹s9Î) öΝßγ¯Ρr&uρ öΝÍκÍh5u‘ Bandingkan dengan Mushtafâ al-Marâghi menafsirkan (al Baqarah 2:44-46) khitab ini kepada ahl kitab dari golongan (al-ahbâr wa Ruhbân) dimana mereka memberikan nasehat namun mereka tidak melaksanakannya sendiri, menyerukan taat kepada Allah dan Rasul-Nya dan mencegah kemaksiatan namun mereka tidak melaksanakan seruannya sendiri. Lihat lebih lanjut Ahmad Musthafâ al-Marâghî, Tafsîr al-Marâghi, (Syirkah maktabah wa mathba’ah musthafâ libâb al hilabi wa aulâduh Mesir) cet-1, 1946 M-1365 H, hal. 101. bandingkan dengan gurunya Muhammad ‘Abduh tafsîr alManâr ta’lif Rasyid Ridhâ (Huqûq thaba’ah wa al-tarjamah mahfûdhah liwaratsatihi/ Dâr al-Manâr 1948/1366 H) cet. 2, hal. 296. lihat juga Quraish Syihab, Tafsîr al-Misbâh, 174-5.
159
Israil sebagai petunjuk guna membantu mereka melaksanakan segala apa yang diperintahkan oleh ayat-ayat yang lalu. Petunjuk yang dikandung ayat ini sungguh pada tempatnya, karena setelah mereka diajak disertai dengan janji dan ancaman, maka dapat diduga keras bahwa tidak ada lagi jalan masuk bagi setan kedalam hati mereka, tidak ada juga tempatnya untuk mundur bahkan kini mereka telah bersiap siap untuk melaksanakan perintah-perintah Allah. Namun demikian, kebiasaan lama masih memberatkan langkah mereka. Ayat ini menyodorkan resep yang amat ampuh agar mereka dapat melangkah maju menuju kebajikan. Kandungan resep ini adalah shalat dan sabar. Al-Shabr dalam pandangan Ibn’Asyur yaitu menahan diri dari sesuatu yang tidak berkenan dihati, ia juga berarti ketabahan. Imam al-Ghazali dalam karyanya ihya ulûmuddîn mendefinisikan sabar sebagai ketetapan hati melaksanakan tuntunan agama menghadapi rayuan nafsu. Secara umum kesabaran dibagi menjadi dua bagian pokok: pertama; kesabaran jasmani yang berarti menerima dan melaksanakan perintah-perintah keagamaan yang melibatkan anggota tubuh seperti sabar dalam melaksanakan ibadah haji yang mengakibatkan keletihan, atau sabar dalam menerima ujian dan cobaan penyakit, penganiayaan dan semacamnya. Kedua adalah sabar Rohani menyangkut kemampuan menahan kehendak nafsu yang dapat mengantar kepada kejelekan, seperti sabar dalam menahan amarah, ataupun menahan nafsu seksual yang bukan pada tempatnya.373 Kemudian as-shalah dari segi bahasa adalah do’a, dari segi syari’at islam ia adalah suatu “ucapan dan perbuatan tertentu yang dimulai dengan takbir dan diakhiri dengan salam” ia juga mengandung pujian atas limpahan dan anugrah karuniaNya.mengingat Allah dan karunia-Nya akan dapat mengantar seseorang terdorong untuk melaksanakan perintah dan menjauhi larangan-Nya. Serta dapat mengantarnya tabah dalam menerima cobaan atau tugas yang berat. Demikian juga shalat akan dapat 373
Ibn ‘Âsyûr, al Tâhrir wa al Tânwîr vol. 1 hal. 474. Bandingkan dengan penafsiran al-Imâm Abû Abdullah Muhammad Ibn Ahmad al-Anshâri al-Qurtûbi (671 H) dalam, al-Jâmi’u al-Ahkâmi alQur’ân,(Dâr al-kutub al-Ilmiyyah, Beirut Libanon), hal. 252-255.
160
membantu manusia menghadapi segala tugas dan bahkan petaka dengan tegar, tenang dan tabah. Penegasan ayat ini bermakna Mintalah pertolongan dengan mengukuhkan jiwamu dengan sabar yakni menahan diri dari segala tantangan dan ujian hiduppenulis- dan dengan shalat yakni dengan mengaitkan jiwa dengan Allah swt. Serta mermohon kepada-Nya guna menghadapi segala kesulitan serta memikul segala beban karena sesungguhnya yang demikian itu (shalat dan sabar).374 Sesungguhnya ia sungguh berat atau beban yang akan kamu pikul sungguh berat kecuali bagi orang-orang yang khusu’ yaitu orang-orang yang tunduk dan yang hatinya merasa tenteram dengan berdzikir kepada Allah. Ia juga berarti sabar dan shalat harus menyatu sebagaimana diisyaratkan oleh penggunaan bentuk tunggal untuk menuju keduanya (innahâ –إﻥﻬﺎ- sesungguhnya ia, bukan innahumâ - إﻥﻬﻤﺎsesungguhnya keduanya). Ini berarti ketika kita shalat atau bermohon, kita haruslah bersabar dan ketika menghadapi kesulitanpun harus bersabar, dan kesabaran itu harus dibarengi dengan Do’a kepada-Nya.375 Pada penafsiran ayat ini al-Qurtûbi memulainya dengan keterangan; pertama sabar adalah menahan diri (al habsu fi al lughah) dari sesuatu yang tidak berkenan dihati; kedua; Allah memerintah hambanya untuk bersabar dalam melaksanakan keta’atan (al-shabru ‘ala al-Thâ’ah) sebagaimana pandangan al-Ghazali (w.505 H) tentang sabar –penulis. Dan apabila seseorang yang telah bersabar tidak melakukan kemaksiatan maka ia telah bersabar dalam ketaatan. Namun al-Nuhâs menambahkan dengan mengatakan orang yang bersabar atas musibah tidak dikatakan kepadanya sebagai penyabar (shâbirun), namun diakatakan kepadanya bersabar dalam hal ini 374
Lihat Ibn’Âsyûr, al-Tâhrir wa al-Tânwîr vol. 1 hal. 474. lihat juga al-Qurtûbi (671 H) dalam, al-Jâmi’u al-Ahkâmi al-Qur’ân, hal. 252-255.redaksi ayatnya: ∩⊇⊃∪ 5>$|¡Ïm ÎötóÎ/ Νèδtô_r& tβρçÉ9≈¢Á9$# ’®ûuθム$yϑ¯ΡÎ) 375
Ibn’Âsyûr al-Tâhrir wa al-Tânwîr, vol. 1 hal. 474. Bandingkan dengan penafsiran al- alQurtûbi (671 H) dalam, al-Jâmi’u al-Ahkâmi al-Qur’ân, (Dâr al-kutub al-Ilmiyyah, Beirut Libanon), hal. 252-255.
161
(shâbirun ‘alâ kadzâ), adapun sabar dalam arti yang mutlak seperti tertuang dalam surah al Zumar [39:10].376 ketiga; penyebutan shalat disini adalah pengkhususan ibadah shalat dari ibadah yang lain dari segi penekanan/pengulangan, disisi lain ia padu dengan kesabaranpenulis- dan shalat disini dalam ari ta’wil menurut al-Qurtûbi adalah al-syar’iyyah, sebagaimana dalam surah al-anfâl [8:45], al-tsabât dalam ayat tersebut adalah sabar, dan al-dzikr pada ayat tersebut adalah do’a. Keempat; sabar dari segala keburukan (al-adzâ) dan keta’atan menahan hawa nafsu dari pelbagai ujian dan problematika hidup, ini merupakan akhlaqpara Nabi dan orang-orang shaleh. Berkata al-Thabari sesungguhnya iman itu keyakinan dalam hati dan diucapkan oleh lisan dan diimplementasikan seluruh anggota tubuh, bagi mereka yang belum mampu bersabar dalam perbuatan dengan segala konsekwensinya,iman mereka belum kokoh (lam yasthiqq al-îmân bi al-ithlâq). Sabar dalam melaksanakan syariat-syariat agama merupakan pancaran sinar pada tubuh (nadhîr al-ra’s min al-jasadi li al-insâni) tidak akan dapat sempurna kecuali dengan penunaian syariat tersebut.377 Sementara khusyu’ merupakan (sifat) ketenangan hati dan keengganannya mengarah kepada kedurhakaan (sukûn wa inqibâdl ‘an tawajjuhi ilâ al-ibâyah aw al‘isyân). Yang dimaksud orang yang khusyu’ dalam ayat ini adalah mereka yang menekan hawa nafsunya (dzullila nafsuhu wa kasru sûratihâ) dan membiasakan dirinya menerima dan merasa tenang menghadapi ketentuan Allah (serta selalu mengharapkan kesudahan yang baik (wa tathlubu husnu al-‘awâqib) (berkhusnuzhzhan kepada Allah-penulis-). Ia bukanlah orang yang terpedaya oleh nafsu (an lâ taghtarr bimâ tuzayyinuhû al-syahwah), namun senantiasa mempersiapkan dirinya untuk menerima dan mengamalkan kebajikan. Orang yang khusu’ dimaksud oleh ayat adalah mereka yang senantiasa takut lagi mengarahkan pandangannya kepada kesudahan segala sesuatu sehingga dengan 376 377
Al-Qurthûbi, al-Jâmi’u al-Ahkâmi al-Qur’ân, hal. 252-255. Al-Qurthûbi, al-Jâmi’u al-Ahkâmi al-Qur’ân, hal. 252-255.
162
mudah ia meminta bantuan sabar yang membutuhkan tekanan gejolak nafsu dan mudah juga baginya melaksanakan shalat kendati kewajiban ini
mengharuskan
disiplin waktu serta kesucian jasmani, padahal boleh jadi ketika itu ia sedang disibukkan oleh aktifitas (al-isytighâl) yang menghasilkan (bimâ yahwî aw bima yuhashshilu) harta atau kelezatan (mâlan aw ladzdzah).378 Urgensitas penafsiran pada perintah shalat dan zakat ini terlihat ketika tujuantujuan ideal dari shalat diterangkan secara mendetail dan rinci oleh Ibn ‘Âsyûr, sebagaimana dia mengklasifikasikan shalat, sabar, dan khusu’ sebagai pondasi keimanan dalam meraih kesuksesan duniawi maupun ukhrawi. Intisari penafsiran dari ayat diatas sebagai berikut ; penekanan atas pentingnya ibadah shalat dan keutamaannya karena ia merupakan hubungan dialog (shilah wa liqâ) antara hamba dan Pencipta (al-Khâliq), iringan kesabaran juga merupakan satu kesatuan dengan shalat yang tidak dapat dipisahkan, khusu’ adalah dengan membiasakan untuk mendahulukan kewajiban kepada Allah dan memperbarui niat untuk selalu mengharap ridha-Nya.379 2) Perintah puasa dan hikmahnya dalam surah al-Baqarah Setelah dikemukakan panjang lebar pada sub judul pertama tentang al-Sinâm keistimewaan/ (puncak/zahrâ’/terang benderang) surah al-Baqarah, perintah puasa berikut
ini
juga
terdapat
pada
surah
al-Baqarah
[2:183-186],
perintah/ajakan/panggilan mesra ini Kepada setiap orang yang memiliki iman walau seberat apapun.380
378
lihat lebih lanjut penafsiran ayat ini dalam Ibn’Âsyûr al-Tâhrir wa al-Tânwîr vol. 1 hal. 47880. Bandingkan al-Qurtûbi (671 H) dalam, al-Jâmi’u al-Ahkâmi al-Qur’ân,(Dâr al-kutub al-Ilmiyyah, Beirut Libanon), hal. 254-5. 379 Ibn’Âsyûr al-Tâhrir wa al-Tânwîr, vol. 1 hal. 474. 380 Ibn’Âsyûr al-Tâhrir wa al-Tânwîr, vol. 2, hal. 154-160 bandingkan dengan lihat penafsiran Quraish Shihâb dalam Tafsîr al-Mishbâh, pesan, Kesan dan Keserasian Al-Qur’ân, ( Lentera Hati, cet1 2000 M) Juz. 1. hal. 375-376.
163
Kemudian Ibn ‘Âsyûr (w. 1393 H) menjelaskan kewajiban puasa ia merupakan Ibadah (al-râmiyah) untuk melatih dan menyucikan diri. Redaksi perintah Diwajibkan atas kamu ini agaknya tidak menunjuk siapa pelaku yang mewajibkan. Ini untuk mengisyaratkan apa yang diwajibkan ini sedemikian penting dan bermanfaat pagi setiap orang/individu bahkan kelompok, yang seandainya bukan Allah yang mewajibkannya niscaya manusia sendiri yang mewajibkannya, demikian Quraish Shihab dalam Tafsir al-Misbâh.381 Para pakar mendefinisikan puasa sebagai menahan diri, sebagaimana maklum penetapan waktunya, ayat pertama menjelaskan secara global kemudian penjelasan rinci pada redaksi ayat berikutnya sampai [2:87]. Menahan diri dibutuhkan semua orang, kaya miskin, muda tua, lelaki perempuan, sehat atau sakit, orang modern atau primitif masa lalu, bahkan perorangan maupun kelompok, selanjutnya ayat ini menerangkan bahwa kewajiban yang dibebankan itu adalah, sebagaimana diwajibkan pula atas umat terdahulu sebelum kamu. Puasa orang-orang muslim berbeda dengan puasa orang Yahudi dan Nasrani, Budha dalam batasan dan prakteknya tidak sama. Mereka berpuasa berdasar kewajiban yang ditetapkan oleh tokoh-tokoh agama mereka, bukan melalui wahyu Ilahi atau petunjuk Nabi. Pakar-pakar perbandingan agama menyebutkan bahwa orang-orang Mesir kuno pun sebelum mereka mengenal agama samawi-telah mengenal puasa. Dari mereke preaktek puasa beralih kepada orang-orang Yunani dan Romawi. Puasa juga
381
Ibn’Âsyûr al-Tâhrir wa al-Tânwîr, vol. 2, hal. 154-160 lihat penafsiran Quraish Shihâb dalam Tafsîr al-Mishbâh, pesan, Kesan dan Keserasian Al-Qur’ân, ( Lentera Hati, cet-1 2000 M) Juz. 1. hal. 375-376. lihat juga Lihat Ismaîl Hasani dalam Nazhariyyah al-Maqâshid ‘ind Ibn ‘Âsyûr, (al Ma'had Al-‘Â'limiy lil fikri al Islamiy, Herendun USA) cet. I thn. 1995 hal. 142-146, ditulis bahwa tujuan-tujuan puasa perspektif Ibn ‘Âsyûr ada dua; pertama adalah Nafsânî [ruhani] dapat mewujudkan manfaat dalam berperilaku (al-takhalluq) menahan keinginan-keinginan yang disukai, bersabar atas kelezatan [makanan] untuk perut dan al-farj, mengingatkan pada keadaan fakir, memantapkan spiritualitas ruhani diri, menguatkan instink untuk senantiasa mensyukuri nikmat Allah, kedua; Jismânî guna membiasakan dalam penyesuaian manajemen hidup (anzimat al-Ma’âsy), mengistirahatkan pola makan (irâhah Jihâz al-Hadlmî/metabolisme tubuh)guna membangun kesehatan secara optimal.
164
dikenal dalam agama-agama penyembah bintang. Agama Budha, Yahudi, dan kristen demikian juga.382 Ibn Nadhim dalam karyanya “al-Fahrasat” menyebutkan bahwa agama penyembah bintang berpuasa tiga puluh hari dalam setahun, ada pula puasa sunnah sebanyak 16 hari ada juga yang 27 hari. Puasa mereka sebagai penghormatan kepada bulan, kepada bintang Mars yang mereka percayai sebagai bintang nasib, dan demikian juga kepada matahari. Agama Budha dikenal puasa sejak terbit sampai terbenamnya matahari, dan puasa empat hari dalam sebulan, mereka menamainya “uposatha” (hari pertama, sembilan, ke lima belas, dan kedua puluh. Bagi Ibn ‘Âsyûr penafsiran “min qablikum” sebagaiman umat sebelum kalian (Islam datang) seperti Yahudi Puasa orang Yahudi 40 hari, dan dikenal beberapa macam puasa sebagai bentuk penghormatan pada peristiwa-peristiwa penting dalam sejarah mereka, seperti mereka menamai puasa peleburan dosa dengan kabbûr, pada hari kesepuluh bulan ketujuh mereka sebut dengan tisrî dll. Demikian juga dengan agama kristen.383 Ibn ‘Âsyûr (w. 1973) melihat perbedaannya bukan hanya pada praktek, terdapat beberapa tujuan-tujuan (aghrâdlan) dari perbedaan ini: pertama; memperhatikan perintah ibadah ini dengan niat sungguh-sungguh (dalam pelaksanannya/ al-tanwîhi bihâ), yang telah diwajiban Allah sebelum umat muslim tidak lain karena kemanfaatan dan kemaslahatan, serta ganjaran yang besar, karena (ganjaran dan kebaikan didalamnya) sehingga menumbuhkan keinginan yang kuat untuk bertemu/melaksanakan ibadah puasa ini, agar mereka tidak membeda bedakan dengan umat sebelumnya -karena berbeda jauh-. Tujuan kedua; kemiripan/kesamaan perintah puasa dengan umat terdahulu sebagai bentuk peringanan terhadap (tahwînan ‘alâ) kaum muslimin (al mukallifin)
382
Ibn’Âsyûr al-Tâhrir wa al-Tânwîr, vol. 2, hal. 154-160 lihat penafsiran Quraish Shihâb dalam Tafsîr al-Mishbâh, pesan, Kesan dan Keserasian Al-Qur’ân, ( Lentera Hati, cet-1 2000 M) Juz. 1. hal. 375-376. 383 Quraish Shihâb dalam Tafsîr al-Mishbâh, Pesan, Kesan dan Keserasian Al-Qur’ân, ( Lentera Hati, cet-1 2000 M) Juz. 1. hal. 375-376. bandingkan dengan Thâhir Ibn ‘Âsyûr dalam al Tâhrir wa al Tânwîr vol. 2, hal. 157.
165
pada pelaksanaan perintah ibadah puasa ini. Tujuan yang ketiga; pengaruh yang kuat atas (kewajiban puasa sebagaimana umat terdahulu) untuk menunaikan perintah puasa ini dengan optimistis ( dengan do’a harapan) (biquwwah tafawwuq), sebagaimana dilakukan umat terdahulu.384 Penjelasan tentang hikmah dari puasa ini sebagaimana redaksi yang terakhir pada ayat [2:183], keterangan mafûl liajlih pada kalimat آﺘﺐ, dan kalimat ﻞ ّ ﻟﻌ merupakan bentuk istiârah untuk makna “”آﻲ
ataupun bentuk tamtsîliyyah untuk
menggambarkan hikmah dari kehendak Allah atas perintah puasa yaitu menjadi golongan orang-orang yang bertakwa. Taqwa berarti meninggalkan segala bentuk kemaksiatan, terdapat dua kategori kemaksiatan yang harus dijauhi dalam perspektif Ibn ‘Asyur pertama menjauhi hal-hal yang sudah maklum yang menjadikan ketenangan/jernih dalam berfikir (yanja’ fi tarkihi al-tafakkur) seperti; minum khamr, judi, mencuri, ghasb dll. Maka akan bermuara pada hasil yang telah dijanjikan Allah yaitu ‘menjadi orang yang beruntung’-penulis-, dan ancaman bagi mereka yang melakukan perbuatan tersebut. yang kedua; hal ini tumbuh dalam tabiat/karakter manusia yaitu tumnbuhnya syahwat nafsu yang menjadikannya marah, syahwat makan dan yang lain, yang menumbuhkan kekuatan hawa nafsu untuk berbuat ‘maksiat’. Karenanya seorang muslim mu’min hendaknya menjaga dan melindungi dirinya dari kekuatan kadar-kadar hewani ini muncul dengan melakukan puasa
384
Ibn’Âsyûr al-Tâhrir wa al-Tânwîr, vol. 2, hal. 156-157, bandingkan dengan penafsiran alQurtûbi (671 H) dalam, al-Jâmi’u al-Ahkâmi al-Qur’ân,(Dâr al-kutub al-Ilmiyyah, Beirut Libanon) juz 2, hal. 183-184. dengan mengutip hadits Qudsi diriwayatkan Bukhari dan Muslim dari Abi Hurairah: ﻋ ْﻨ ُﻪ َ ﻲ اﻟﱠﻠ ُﻪ َﺿ ِ ﻦ َأﺑِﻲ ُه َﺮ ْﻳ َﺮ َة َر ْﻋ َ ﺐ ِ ﺴ ﱠﻴ َ ﻦ ا ْﻟ ُﻤ ِ ﻦ ا ْﺑ ْﻋ َ ي ﻦ اﻟ ﱡﺰ ْه ِﺮ ﱢ ْﻋ َ ﺧ َﺒ َﺮﻧَﺎ َﻣ ْﻌ َﻤ ٌﺮ ْ ﺣ ﱠﺪ َﺛﻨَﺎ ِهﺸَﺎ ٌم َأ َ ﺤ ﱠﻤ ٍﺪ َ ﻦ ُﻣ ُ ﻋ ْﺒ ُﺪ اﻟﱠﻠ ِﻪ ْﺑ َ ﺣ ﱠﺪ َﺛﻨِﻲ َ ﺢ ِ ﻦ رِﻳ ْ ﻋ ْﻨ َﺪ اﻟﱠﻠ ِﻪ ِﻣ ِ ﺐ ُ ﻃ َﻴ ْ ف َﻓ ِﻢ اﻟﺼﱠﺎ ِﺋ ِﻢ َأ ُ ﺨﻠُﻮ ُ ﺟﺰِي ِﺑ ِﻪ َو َﻟ ْ ﺼ ْﻮ َم َﻓ ِﺈ ﱠﻧ ُﻪ ﻟِﻲ َوَأﻧَﺎ َأ ﻦ ﺁ َد َم َﻟ ُﻪ ِإﱠﻟﺎ اﻟ ﱠ ِ ﻋ َﻤ ِﻞ ا ْﺑ َ ﺱﱠﻠ َﻢ ﻗَﺎ َل ُآﻞﱡ َ ﻋ َﻠ ْﻴ ِﻪ َو َ ﺻﻠﱠﻰ اﻟﱠﻠ ُﻪ َ ﻲ ﻦ اﻟ ﱠﻨ ِﺒ ﱢ ْﻋ َ ﻚ ِﺴ ْ ا ْﻟ ِﻤ Kemudian ia menjelaskan dikhususkannya ibadah puasa ini karena ia milik Allah walaupun semua Ibadah dinisbahkan kepada-Nya, terdapat penekanan pada ibadah puasa ini, dari sekian ibadah yang lainnya. Rahasia tersebut diantaranya; pertama; puasa dapat mencegah dan menahan kelezatan pada diri beserta syahwatnya, hal ini tidak terdapat pada ibadah yang lain. Kedua; adanya rahasia antara (hamba dan Tuhannya) dibalik penunaian ibadah ini yang tidak ditampakkan kecuali bagi-Nya. Karenanya puasa dikhususkan dari sekian ibadah, yang boleh jadi dikerjakannya karena riya’ dan dibuat-buat, sekali lagi terdapat pengkhususan ibadah puasa dari yang lain.
166
sebagaimana mestinya, lebih-lebih seperti puasanya Nabi Dawud ‘alaihi al-shalah wa al-salam.385 Kemudian Ibn ‘Âsyûr menekankan dengan mengutip hadits Nabi “al-Sawmu Junnah” bahwa target yang hendak idcapai adalah ketakwaan, menurut para pakar terdahulu dari golongan (al mâliyyîn dan al-Hukamâ’u al- Isyrâqiyyîn) hikmah puasa menurut mereka yakni meminimalisir dengan upaya penyucian dan menghindarkan dari sifat-sifat Hewani dalam diri semaksimal mungkin (biqadri al-imkân), atas dasar/dikarenakan dalam diri manusia mempunyai dua kekuatan; pertama ia bersifat rohani yang melekat (rûhâniyyah munbatstsah) yaitu perasaan yang meliputi indra manusia, kedua; Hewani yang juga melekat (hayawâniyyah munbatstsah) pada setiap jasmani/anggota tubuh manusia. Karenanya akibat-akibat yang ditimbulkan bersumber dari keduanya karena ketidak seimbangan antara ruhani dan jasmani, untuk mencapai tujuan puasa yang dimaksud hendaknya menyeimbangkan makanan (al-ghidâ’u). Kalaupun kekuatan ruhani
yang dipupuk dengan menyedikitkan
makanan yang masuk, maka sifat-sifat kemalaikatan dalam diri manusia akan muncul bahkan mencapai pengetahuan ma’rifat (mengetahui hal-hal yang tidak mampu dicapai oleh nalar).386
385
Ibn’Âsyûr al-Tâhrir wa al-Tânwîr, vol. 2, hal. 157. bandingkan dengan Quraish Shihâb dalam Tafsîr al-Mishbâh, Pesan, Kesan dan Keserasian Al-Qur’ân, ( Lentera Hati, cet-1 2000 M) Juz. 1. hal. 377. ditulis bahwa kewajiban puasatersebut dimaksudkan agar kamu bertakwa yakni terhindar dari segala macam sanksi dan dampak buruk, baik duniawi maupun ukhrawi. Jangan diduga ia diwajibkan kepadamu sepanjang tahun. Tidak! Malainkan hanya beberapa hari tertentu, dan itupunmasih meliha kondisi kesehatan dan keadaan kalian, karenanya barang siapa diantara kamu yang sakit yang memberatkan baginya puasa, atau menduga kesehatannya akan terlambat pulih bila berpuasa atau benar-benar dalam perjalanan bukan perjalanan yang biasa yang mudah, sehingga ia berbuka, maka wajiblah baginya berpuasa pada hari-hari yang lain, baik berturut-turut maupun tidak, sebanyak hari yang ditinggalkan itu. 386 Ibn’Âsyûr al-Tâhrir wa al-Tânwîr, vol. 2, hal. 159
167
B. Respon akademik terhadap gagasan Maqâshid dan penafsiran Ibn ‘Âsyûr Sebelum penulis mengemukakan pandangan dan penilaian terhadap gagasan Ibn ‘Âsyûr, penulis menemukan satu tulisan tentang pengarang al-Tahrîr wa alTanwîr secara komprehensif, dia adalah Ismaîl Hasani dengan judul Nadhariyyatu alMaqâshid ‘ind Muhammad Thâhir Ibn ‘Âsyûr, dimana ia memaparkan sejarah hidupnya, rihlah ilmiahnya, mulai dari gagasan pendasaran ‘Ilm Maqâshidnya dan prinsip-prinsip penafsirannya, teman dan keluarganya, serta berbagai problematika tentang perjalanan hidupnya, selama masa peralihan (al-Isti’mâr ilâ al-Istiqlâl alSiyâsî).387 Ibn ‘Âsyûr (1296-1394 H/1879-1973 M) dikelompokkan Abdul Ghoffâr ‘Abdul Rahîm dalam Abnâ madrâsâh ‘Abduh, disebutkan dalam pandangannya corak pemikirannya dan penafsirannya sejalan dengan Muhammad ‘Abduh, Ibn ‘Asyûr telah meringkas pendapat dari mufassir klasik dan pandangan pakar tafsir modern (jama’a fîhi khulâshah Ârâ’i al- Sâbiqîn wa zubdatu afkâri al-Mu’âsirîn) yang kemudian dituangkannya dalam penafsiran dengan gaya bahasa sastra (uslûb adabiy) dan keindahan susunannya (wa taqsim ‘ala badî’). Abdul Ghofar Abdur al-Rahîm (guru besar tafsir di Universitas al-Muluk Jeddah) membagi gagasan Ibn ‘Âsyûr menjadi dua kesimpulan besar; pertama bahwa tujuan-tujuan (aghrâduhâ) penafsirannya dipusatkan pada titik tolak dari petunjuk agama yang agung (alQur’ân) sebagai petunjuk, sumber hukum dan sebagai upaya penyucian diri (sammû hâdzâ al-dîn mâ sabaqahû wa uluww hadiyyati wa ushûl tathhîri al-nufûs). Kedua; 387
Lihat Ismaîl Hasani dalam Nazhariyyah al-Maqâshid ‘ind Ibn ‘Âsyûr, (al Ma'had Al‘Â'limiy lil fikri al Islamiy, Herendun USA) cet. I thn. 1995 hal. 75-82. dikutip dari al-Shahabiy al‘Atîq, al-Tafsîr wa al-Maqâshid ind Syaikh Muhammad Thâhir Ibn ‘Asyûr (Dâr Tûnis al-Sanâbil, 1410 H/1989 M) cet-1., hal. 11. Lihat juga dan baca lebih lanjut, Ayâd Khâlid Thabbâ’, ‘Ulamâu wa Mufakkirîn Mu’âshirîn, lanmahâtu min hayâtihim wa ma’rifatun bimu’allafâtihim, (Dâr al-Qalam, Damaskus, cet-1, 2005) hal. 7. lihat juga karya ‘Abdul Qâdir Muhammad Shâlih dalam al-Tafsîr wa al-Mufassirûn fî al-‘Ashri al-Hadîts, ia mengelompokkan Ibn ‘Âsyûr dalam deretan pakar tafsir umum kontemporer (tafsîr al-‘Âm), disejajarkan dengan beberapa Mufassir diantaranya Muhammad Jamaluddin al-Qâsimî dengan karyanya Mahâsin al-Tâ’wîl, dan shafwatu al-Tafâsîr karya monumental ‘Ali al-Shâbûnî.
168
bagian yang menerangkan pokok-pokok syari’at agama sebagai pengawal dalam implementasi kehidupan (liatbâ’ihi) dan memperbaiki aturan-aturan masyrakat secara luas untuk mewujudkan kemaslahatan umum.388 Pandangan Abdul Ghaffâr diatas tidak seluruhnya diamini oleh penulis, terutama pada prinsip-prinsip penafsiran, dan dasar pemikiran antara keduanya terdapat perbedaan yang signifikan, terlihat pada aplikasi Maqâshid al-Qur’ân pada ayat-ayat hukum surah al-Baqarah sebelum sub bab ini.389 Iffat Syarqâwi menyimpulkan bahwa metode yang digunakan Thâhir Ibn ‘Âsyûr dengan karya tafsîrnya ia kelompokkan dalam corak penafsiran dengan nuansa modern,390 dimana Ibn ‘Âsyûr berupaya mengkombinasikan tafsir Riwâyat391 dan tafsir Dirâyat,392 cara ini dipakai pakar tafsir sebelumnya seperti; Fakhruddîn AlRâzi (1209 M/554 H) dalam tafsir al-Kabîr,393 Tafsir Jawâhîr karya Thântâwi Jauharî, Tafsir al-Manâr karya Muhammad 'Abduh (w.1905 M) yang ditulis oleh 388
Disebutkan dalam pengelompokannya Musthafâ al-Marâghî, Syaikh Muhammad Syaltût, Abdullah Darrâz, Muhammad Bâhi, Syaikh Muhammad Muhamamad al-Madanî dll. Lihat Abdul Ghoffâr, Abdurrahîm, Al Imam Muhammad 'Abduh wa mânhâjuhu fî al tafsîr, Mesir: Al markaz Al Arâbi li ats tsaqâfah wal ulûm, 1980, hlm 357. Bandingkan dengan apa yang ditulis oleh Abdullâh Mahmud Syahatah dalam karyanya manhaj al-Imam Muhammad Abduh fi tafsir al-Qur’ân al-karim (Kairo:al Majlis al a’lâli Ri’âyah al funûn wal adab wa al- Ulûm al Ijtimâ;iyyah 1963, hal. 33. dan karyanya yang berjudul ahdâf kulli sûrah wa maqâsiduhâ fî al-Qur’ân al Karîm, (Mesir; Haiah alMishriyyah, 1986), hal. 93-94. 389 Lihat prinsip-prinsip penafsiran Ibn’Âsyûr dalam al-Tâhrir wa al-Tânwîr vol. 1 hal. 38-41. dan lihat gagasan Ibn ‘Asyur dalam peletakan dasar ilmu Maqâshid al- syarî’ah karyanya berjudul Maqâshid al-syarî’ah al-Islâmiyyah, tahqîq Thâhir al-Maisâwi, Dâr al-Nafâis-Urdun 2001, hal. 90-93. bandingkan dengan tafsir al-Manâr juz.1. hlm 36, lihat foot note ke-14. 390 Iffat Syarqâwi, qâdhâya insâniyyah fi ‘âmâl al-mufassirin, Mesir: maktabah Syabâb, 1980 hal 80, lihat juga uraian Ali Iyâzi tentang Ibnu ‘Âsyûr dalam al mufassirun hayâtuhum wa manhajuhum, Mu'assah Thaba'ah wa an Nasyr wizârah al Islâmi, cet-1. hal. 240-246. 391 Tafsir Riwayat atau bi al ma’tsur adalah tafsir yang dikutip dari al Qur’an, Hadits, atsar sahabat dan tabi’in. Lihat: Muhammad Husain al Zahabi, al-Tafsîr wa al-Mufassirûn, Maktabah Mus’ab bin Umair al Islâmiyah, juz I h.112 392 Tafsir Dirâyat atau bi al-Râ’yi adalah tafsir al Qur’ân yang didasarkan pada ijtihad. Lihat: Muhammad Husain al Zahabi, al Tafsîr wa al-Mufassirûn, juz I h.183. 393 Tafsir mafâtih al-Ghayb (al-Kabir) karya al-Imam Fakhruddin al-Razi (544 H) tafsir ini tergolong penafsiran bi al-Ra’y/dirâyah/ma’qul/bi al-ijtihad, tafsir ini mengutamakan penyebutan hubungan antar surah-surah Al-Qur’ân dan ayat-ayatnya satu sama lain, dengan membubuhkan pendapat para filosof, ahli ilmu kalam, sesekali menyimpang ke pembahasan tentang ilmu matematika, filsafat, biologi dan lainnya. Secara global tafsir ar-Razy lebih pantas untuk dikatakan sebagai ensiklopedia dalam ilmu alam, biologi, dan ilmu-ilmu yang berhubungan secara langsung atau tidak dengan ilmu tafsir dan semua ilmu yangmenjadi sarana untuk memahaminya (tafsir ‘Ilmi)
169
muridnya Râsyid Ridhâ (1865-1935), yang ketiganya disinyalir mengembangkan tafsir ‘ilmi, demikian juga Ibn ‘Âsyûr (fî istiâ’nah bi al-nadhariyyâh wa al-kusyûfât al-’ilmiyyah al-haditsah fî tawdîhidalâlah wa ma’âni al-âyâh) namun urgensi dari penelitian ilmiah ini memprioritaskan bahwa pengetahuan al-Qur’ân merupakan pengantar sebagai kitab hidayah bagi akal kepada ketauhidan dan petunjuk hati kepada pemantapan Iman.394 Kemudian Ibn ‘Âsyûr mengelaborasi sumber penafsirannya dengan metode Muqârin dan corak filologik (balâghiah) penulis melihat bahwa gagasan Ibn ‘Âsyûr berbeda dengan pandangan 'Abduh sebagaimana dinyatakan oleh ‘Abdul Ghoffâr Abdur Rahîm. Tafsir Ibn Âsyûr juga memiliki kekhasan dengan menambahkan penjelasan pada makna-makna mufradat (kata demi kata) dalam surah-surah dan ayatayat Al Qur'ân, serta membatasi, meneliti ulang, dan menambahkan/melengkapi dari yang telah dilakukan sebagian mufassir sebelumnya.395 Ahmad Raisuny dalam disertasinya (1995) “Nazhariyyah al-Maqâshid ind alImâm al-Syâtibi” menyebutkan bahwa Ibn ‘Âsyûr tidak hanya
mengelaborasi
gagasan al-Syâtibi, (laisa mujarrada taqdîm “tanbîhât jadîdah wa amtsilati jadîdah”, ia juga memberikan terobosan baru bagi disiplin keilmuan tentang Maqâshid. Kemudian gelar Al-Mu’allim al-Tsâni disematkan kepadanya oleh Ahmad al-
394
Komentar Golziher dalam penafsiran 'ilmi bahwa; "Al Qur'ân mencakup hal segala hakikat ilmiah yang diungkapkan oleh pendapat-pendapat kontemporer (pada masanya), terutama pada bidang filsafat dan sosiologi" lihat mazâhib al tafsir al Islamiy terj.dalam bahasa arab oleh 'Abd Mun'im al Najjâr, al Sunnah Muhammadiyyah, Kairo, 1955, h. 375. lebih lanjut lihat al-Syâtibi dengan komentarnya tentang tafsir ilmiy, muwafaqât,Dar al Ma'rifah, Beirut t.th. Jilid 2 hal. 80-2. dalam penafsiran ilmiy Ibnu Taimiyah juga mengomentari tafsir Ar-Râzi dengan mengatakan mengandung segala sesuatu kecuali tafsir itu sendiri. Kemudian belakangan komentar Ibnu Taimiyyah tersebut diulangi oleh Manna' Al Qatthan yang dinisbatkan pada karya Thanthâwi Jauhari. Lihat dalam mabâhits fi ulûm al-Qur’ân Mannâ’ Khalil al-Qaththân (Studi ilmu-ilmu al-Qur’ân), al-Mansyûrat al‘ashr al-hadits) cet. 3, 1973. 395 Ibn’Âsyûr, al-Tâhrir wa al-Tânwîr al-râbi’ah” hal. 8-9 Dar-el Tunisiyah linnasar. T. th. . perbedaan terebut seperti prinsip dan penafsiranya pada ayat-ayat hokum sebagaimana penulis uraikan, Ibn ‘Âsyur mengeksplorasi dengan teori gradual dan sementara Muhammad ‘Abduh dan Rasyîd Rihâ menggunakan prinsip-prinsip kaidah yang tidak kurang dari 33 (kaidah) yang dituangkanya sebelum menafsirkan sinâm al-Qur’ân atau surat al-Baqarah. Lihat foot note. 14.
170
Raisyûni, karena gagasannya dipandang menjembatani pengkajian maqâshid sebagai pendasaran ilmu Maqâshid al-syarî’ah.396 Ibn ‘Âsyûr (w.1973 M) sebagaimana dikatakan oleh Murid Abid al-Jabiri yaitu abdul Majîd al-Shaghîr bahwa ia telah mengumumkan (yu’linuhâ) cara pandang sejarah ilmiah dan metodologis yang digunakan untuk penelitian dan peletakan dasar ilmu Maqâshid al-Syarî’ah yang berbeda dengan kajian ilmu ushul al-syarî’ah (ushûlul fiqh) yang banyak dipengaruhi pendapat al-Syatibi (w.1388 M), gagasan ini mengelaborasi pandangan al-Syâtibi mengenai Maqâshid yang selama ini menginduk pada ilmu ushul fiqh dengan ilmu Maqâshid al-Syarî’ah. Ibnu ‘Âsyûr melihat bahwa peneliti yang berkecimpung pada ilmu ini membutuhkan kaidah-kaidah yang lebih luas dari sekedar kaidah yang selama ini digunakan pakar ushul (ahwaju ilâ qawâid awsa’ min qawâ’id ahl ushûl fiqh). Mereka yang menggunakan kaidah-kaidah ushul dalam dalam memberikan solusi kemaslahatan dengan memberikan contoh-contoh illat kemaslahatan problematika hukum-hukum kemudian dengan menggunakan metode qiyas untuk mengukur kesamaan (illat), namun tidak memperhatikan esensi dari
kesimpulan
hukum-hukum
(hikmah
al-tasyrî’)
yang
memungkinkan
bertumbuhnya problematika (illat-illat) hukumnya berkembang.397 Setelah melihat beberapa respon akademik dan penilaian terhadap gagasan dan konsep yang dibangun Ibn Âsyur dari konstruksi pemikiran Islam dan tafsirnya, paling tidak dalam prinsip-prinsip tafsirnya telah dituangkan sebelum menafsirkan dalam mukaddimah bab IV (fîmâ yahiqqu an yakûna gharad al-mufassir) hampir dari
396
Ahmad Al Raisyuni, cet IV th 1995 hal 335-341. bandingkan dengan gagasan yang dibangun oleh ustadz ‘Allâl al-Fâsi dalam Maqâshid al-syar’ah al- Islâmiyah wa makârimuha, Mu’assasah ‘Allâl al-Fâsi, wa mathba’ah al-Najâh al- hadîtshah (Dâr al-Baidhâ’, cet-4) 1411 H/1991 M, hlm 5. lihat juga al-Maysâwi Maqâshid al-Syarî’ah al-Islâmiyah , hal. 139. 397 Abdul Majîd Turkî Manâzharat fî ushûl al-Syarî’ah bayna ibn Hazm dan al-Bâjî, oleh Abdul al-Shabûr Syâhin, hal. 361,484 dan 511. lihat Maqâshid al-Syarîah al-Islâmiyah hal. 5-6. lihat juga tahqîq dirâsah al-Mâysâwî dalam Maqâshid al Syarîah al Islâmiyah, hal. 96-99. baca juga Abdul Aziz bin ‘Ali Abd ar-Rahmân bin ‘Ali ‘Ilm Maqâshid al-Syâri’ hal. 41-43. lihat juga Ibn ‘Âsyûr dalam ushûlu al-Nizhâm... hal. 21.
171
setiap bagiannya Ibn ‘Âsyur mengkritik terhadap pemikiran, keyakinan, dan realitas kemasyarakatan yang menyimpang dari petunjuk Al-Qur’ân.398 C. Ibn ‘Âsyûr dan ortodoksi penafsiran Kontemporer Sebagaimana tulisan Abdul Ghaffâr ‘Abdur Rahîm mengelompokkan Ibn ‘Âsyur dalam Abnâ’ Madrasah Abduh, namun setelah penulis menelaah dengan seksama dari metode, corak, dan aplikasi Maqâshid al-Qur’ân dalam penafsirannya memiliki perbedaan sebagaimana penulis sampaikan pada bab sebelumnya, namun penulis juga menguatkan pandangan Abdul Ghaffâr disisi lain, penulis mensinyalir bahwa Muhammad ‘Abduh dan Râsyid Ridhâ selain pernah menjadi guru Ibn ‘Asyûr mereka [berdua] juga pioner dalam mengenalkan pendekatan metode penafsiran yang bercorak sosial kemasyarakatan (adab al-Ijtimâ’iy), yang nampaknya dalam tafsir Ibn ‘Âsyûr juga demikian.399 Demikian juga dengan ‘Abdul Qâdir Muhammad Shâlih dalam al-Tafsîr wa al-Mufassirûn fî al-‘Ashri al-Hadîts, ia mengelompokkan Ibn ‘Âsyûr dalam deretan pakar tafsir umum kontemporer (tafsîr al-‘Âm), disejajarkan dengan beberapa Mufassir diantaranya Muhammad Jamaluddin al-Qâsimî dengan karyanya Mahâsin al-Tâ’wîl, dan shafwatu al-Tafâsîr karya monumentalnya ‘Ali al-Shâbûnî.400
398
Lihat prinsip-prinsip penafsiran Ibn’Âsyûr dalam al-Tâhrir wa al-Tânwîr vol. 1 hal. 38-41. bandingkan dengan prinsip-prinsip Muhammad Rasyîd Ridhâ dalam tafsir al-Manâr juz.11. hlm 104. lihat juga tilisan Mahmud Syahatah, Manhaj al-Imâm Muhammad ‘Abduh fî Tafsîr al-Qur’ân alKarîm, (Kairo:al-Majlis al-A’lâ li Riâyah al-Funûn wa al-adab aw al-Ulûm al-Ijtimâiyyah, 1963), hal.45; lihat juga Quraish Shihab, Studi Kritis, hal. 74. 399 Disebutkan dalam pengelompokannya Musthafâ al-Marâghî, Syaikh Muhammad Syaltût, Abdullah Darrâz, Muhammad Bâhi, Syaikh Muhammad Muhamamad al-Madanî dll. Lihat Abdul Ghoffâr, Abdurrahîm, Al Imam Muhammad 'Abduh wa mânhâjuhu fî al tafsîr, Mesir: Al markaz Al Arâbi li ats tsaqâfah wal ulûm, 1980, hlm 357. Bandingkan dengan apa yang ditulis oleh Abdullâh Mahmud Syahatah dalam karyanya manhaj al-Imâm Muhammad ‘Abduh fi tafsir al-Qur’ân al-Karîm (Kairo:al Majlis al a’lâli Ri’âyah al funûn wal adab wa al- Ulûm al Ijtimâ;iyyah 1963, hal. 33. dan karyanya yang berjudul ahdâf kulli sûrah wa maqâsiduhâ fî al-Qur’ân al Karîm, (Mesir; Haiah alMishriyyah, 1986), hal. 93-94. 400 Lihat lebih lanjut tulisan ‘Abdul Qâdir Muhammad Shâlih (Muhamad Shalih al-Alûsi) dalam al-Tafsîr wa al-Mufassirûn fî al-‘Ashri al-Hadîts, (Dâr al-Ma’rifah Beirut Libanon), cet-1. 2003 M1424 H, hal. 109-152. lihat juga karya al-Fâdhil Ibn ‘Asyûr dalam al-Tafsîr wa rijâluhu, (Kairo; Dâr
172
Pembahasan terpenting untuk diperhatikan mengenai rigiditas/ortodoksi adalah bahwa ortodoksi/rigiditas kerap dihubungkan dengan dinamika sosial, politik, dan budaya pada masa tertentu. Dengan kata lain, sebuah teori, pendekatan, atau asumsi yang pada suatu masa tidak menjadi bagian dari ortodoksi bisa menjadi bagian darinya pada masa yang berbeda; begitu pula sebaliknya. Pada masa mihnah (218-234 H./833-848 M.),401 misalnya, pendapat bahwa al-Qur`ân merupakan sesuatu yang diciptakan (makhlûq) dianggap sebagai bagian dari ortodoksi.402 Sementara pada masa-masa berikutnya, pendapat sebaliknyalah yang dianggap ortodoks. Demikian pula dengan metode tafsir mawdhû‘î. Pada tahun 1967, ketika Muhammad Mahmûd Hijâzî menulis disertasinya yang kemudian diterbitkan dengan judul alWihdah al-Mawdhû‘iyyah fî al-Qur`ân al-Karîm, metode tafsir Mawdhû‘î masih ditolak oleh banyak petinggi Universitas al-Azhar.403 Belakangan, metode ini menjadi legitimasi ortodoks tafsir Sunni. Karya Muhammad Husayn al-Dzahabî al-Ittijâhât al-Munharifah fî Tafsir alQur`ân al-Karim: Dawâfi‘uhâ wa Daf‘uhâ, Analisis terhadap karya ini untuk menarik garis pembatas antara ortodoksi/rigiditas dengan deviasi dalam tafsir. al-Salâm 2007) hal. 242. ia adalah putra dari Thahir Ibn ‘Âsyur yang meninggal sebelum Ibn ‘Asyur wafat (1973) yaitu sekitar tahun 1970. 401 Mihnah adalah sebuah prosedur yang digunakan untuk menguji pendirian teologis seseorang menyangkut persoalan: apakah al-Qur`an diciptakan (makhluq) atau tidak. Prosedur ini diberlakukan oleh khalifah al-Ma`mûn serta dua khalifah lain setelahnya (al-Mu‘tashim dan al-Wâtsiq). Untuk detail yang lebih rinci, lihat M. Hinds, “Mihna”, dalam C.E. Bosworth, dkk. [ed.], The Encyclopaedia of Islam, WebCD Edition (Leiden: Brill Academic Publishers, 2003). Pencabutan dekrit mihnah oleh alMutawakkil pada tahun 234 H./848 M., berikut persekusi balasan yang dilakukan kaum tradisionalis Sunni terhadap kaum rasionalis Muktazilah, kerap dianggap sebagai momentum paling penting bagi terbentuknya ortodoksi Sunni. Lihat W. Montgomery Watt, The Formative Period of Islamic Thought (Edinburgh: Edinburgh University Press, 1973), hal. 253-254. Bandingkan dengan G.H.A. Juynboll, “Sunna”, dalam C.E. Bosworth dkk. [ed.], The Encyclopaedia of Islam, WebCD Edition. Sejak saat itu, lawan politik dan ideologis terkuat kelompok Sunni praktis tinggal kelompok Syi‘ah. Dan tidak berapa lama kemudian, apa yang disebut kelompok Sunni, secara sederhana, menjadi identik dengan sebuah kelompok mayoritas di luar Syi‘ah. Lihat Jonathan P. Berkey, The Formation of Islam: Religion and Society in the Near East, 600-1800 (Cambridge: Cambridge University Press, 2003), hal. 141. 402 J. R. T. M. Peters, God’s Created Speech: A Study in the Speculative Theology of the Mu‘tazilî Qâdhî l-Qudhât Abû l-Hasan ‘Abd al-Jabbâr bn Ahmad al-Hamadânî (Leiden: E. J. Brill, 1976), hal. 1-3. 403 Mohamed El-Thâhir El-Misawi, “The Meaning and Scope of al-Tafsir al-Mawdu‘i: A Comparative Historical Analysis” dalam Papers of the International Conference on the Qur`an and Sunnah: Methodologies of Interpretation, hal. 126-127.
173
Melalui penafsiran-penafsiran yang dianggap menyimpang, kita bisa mengetahui di mana batas-batas terluar dari ortodoksi sekaligus menilai apakah penyimpanganpenyimpangan itu telah cukup terliput dalam pemetaan yang telah dilakukan pada bagian sebelumnya. Al-Dzahabî membagi tafsir menjadi dua: bi al-ma`tsûr dan bi al-ra`y. Penyimpangan dalam tafsir bi al-ma`tsur terjadi akibat kesalahan pada sanadnya. Sementara itu, sebagian besar penyimpangan dalam tafsîr bi al-ra`y terjadi dalam dua hal berikut. Pertama, penafsir meyakini sesuatu lalu membawa lafaz al-Qur`ân untuk mendukung keyakinannya itu. Dengan kata lain, penyimpangan ini terjadi akibat perhatian yang terlampau besar kepada makna dengan mengabaikan lafaz. Kedua, penafsir melakukan interpretasi terhadap al-Qur`ân dengan hanya memperhatikan lafaznya dan mengabaikan konteksnya.404 Dari sini, dapat kita lihat bahwa al-Dzahabî mengembalikan sebagian besar penyimpangan tafsir kepada kegagalan sang penafsir untuk mengapresiasi prinsip orientasi tekstual (prinsip pertama) dalam tafsir al-Qur`ân. Maka ketika al-Sulamî (w. 412 H.) menyatakan bahwa perintah “uqtulû anfusakum” dalam surah al-Nisâ` [4]: 66 bermakna “memerangi hawa nafsu”,405 al-Dzahabî menganggapnya sebagai makna yang “tidak dikehendaki” (gayr murâdah) oleh teks al-Qur`ân.406 Akan tetapi, sebagaimana telah dijelaskan di atas, orientasi tekstual itu tidak sama dengan literalisme. Karena itu, penafsiran kata “mubsirah” dalam surah al-Isrâ` [17]: 59 dengan makna “[unta yang] bisa melihat”, meski sah secara literal, dianggap salah oleh al-Dzahabî lantaran ia tidak memperhatikan konteks ayat (siyâq alkalâm)—konteks yang sepenuhnya digali dari relasi antar bagian teks itu sendiri. Kata “mubsirah” dalam ayat tersebut seharusnya dimaknai sebagai “bukti yang jelas tentang kebenaran kenabian”.407 404
Al-Dzahabi, Al-Ittijâhât al-Munharifah, hal. 17-19. Al-Sulami, Haqâ`iq al-Tafsîr (Beirut: Dâr al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 2001), hal. 154. 406 Al-Dzahabî, Al-Ittijâhât al-Munharifah, hal. 19. 407 Al-Dzahabî, Al-Ittijâhât al-Munharifah, hal. 22. Bandingkan dengan al-Qurthubi, Al-Jâmi‘ li Ahkâm al-Qur`ân (Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, tt.) vol. 1, hal. 27. 405
174
Selanjutnya, al-Dzahabî menguraikan penyimpangan-penyimpangan tafsir yang dilakukan oleh tujuh kelompok, yaitu para penutur dongeng dan kisah (alakhbâriyûn wa al-qushsuas), para ahli nahw yang berafiliasi kepada mazhab nahw tertentu, orang-orang yang tidak memiliki pengetahuan tentang kaidah-kaidah bahasa Arab, kelompok Muktazilah dan Syi‘ah, kelompok Khawârij dan para sufi, para pendukung tafsir saintifik (al-tafsir al-‘ilmî), serta para penyokong gerakan pembaharuan dalam tafsir. Penyimpangan yang dilakukan oleh kelompok al-akhbâriyyûn wa al-qushas sebagian besar disebabkan oleh fakta bahwa asumsi-asumsi teologis yang terkandung dalam penafsiran mereka itu bertentangan dengan apa yang dirumuskan dalam teologi Sunni (bertentangan dengan prinsip ketiga. Maka ketika al-Khâzin (w. 741 H.) mengutip sebuah kisah panjang tentang penderitaan Nabi Ayyûb dalam tafsirnya atas surah al-Anbiyâ` [21]: 73-74,408 al-Dzahabî menyangkal kandungan kisah tersebut dengan menulis, “Al-Qur`ân dan hadits (al-naql) telah menyatakan dengan tegas bahwa para pemimpin pasti memiliki sifat-sifat fisik yang istimewa, yang bisa melekatkan wibawa pada diri mereka….”409 Para penganut mazhab nahw yang fanatik, menurut al-Dzahabî, seringkali mengorbankan riwayat yang sahih demi teori linguistik yang mereka yakini (bertentangan dengan prinsip pertama). Al-Zamakhsyarî (w. 538 H.) dan Ibn ‘Athiyyah (w. 546 H.), dalam tafsir mereka berdua terhadap surah al-An‘âm [6]: 137,410 menolak sebuah qirâ’`ah yang mutawâtir dengan anggapan bahwa qirâ`ah
408
Al-Khâzin, Lubâb al-Ta`wîl fî Ma‘âni al-Tanzîl (ttp.: Dâr al-Fikr, tt.), vol. 3, hal. 268-273. Untuk mendukung pernyataannya ini, al-Dzahabî mengutip surah al-Baqarah [2]: 247, “Dan nabi mereka berkata kepada mereka, ‘Sesungguhnya Allah telah mengangkat Thâlut menjadi raja kalian.’ Mereka menjawab, ‘Bagaimana mungkin Thâlut memperoleh kerajaan atas kami, sedangkan kami lebih berhak atas kerajaan itu daripadanya, dan dia tidak diberi kekayaan yang banyak?’ [Nabi] menjawab, ‘Allah telah memilihnya [menjadi raja] kalian dan memberikan kelebihan ilmu dan fisik.’ Allah memberikan kerajaan-Nya kepada siapa pun yang Dia kehendaki, dan Allah Maha luas, Maha Mengetahui”. Lihat al-Dzahabî, Al-Ittijâhât al-Munharifah, hal. 35-36. 410 Lafadz ayat tersebut adalah sebagai berikut. 409
öΝèδäτ!$Ÿ2tä© öΝÏδω≈s9÷ρr& Ÿ≅÷Fs% šÅ2Îô³ßϑø9$# š∅ÏiΒ 9ÏWx6Ï9 š¨y— šÏ9≡x‹Ÿ2uρ
175
tersebut bertentangan dengan mazhab nahw yang mereka anut.411 Terhadap kecenderungan tersebut, al-Dzahabî menyatakan, “…Tidaklah layak bagi alZamakhsyarî maupun bagi orang lain untuk menjadikan mazhab nahw yang dia anut sebagai penilai kitâbullâh. [Sebaliknya], kitâbullâh adalah sumber yang harus dirujuk dan dijadikan argumen untuk menghakimi setiap pertentangan yang terjadi di antara para ahli nahw.”412 Diskursus penelitian tafsir yang mengkaji Maqâshid sebagai metodenya dengan tujuan dan maksud menyingkap kehendak al-Syâri’ dibalik makna teks perspektif Ibn ‘Âsyûr (w.1393 H), sejajar dengan pengkajian pendasaran normanorma hukum-hukum syari’ah dalam tatanan kehidupan bermasyarakat, dalam pandangan Ibn Âsyûr dibagi menjadi dua tingkatan; pertama; Tujuan-tujuan ideal yang hendak dicapai dalam interaksi sosial kemasyarakatan (Maqâshid), dengan senantiasa melestarikan dan menjaganya serta mengaplikasikannya dalam konteks kehidupan sekarang dan akan datang. Kedua sebagai aspek perantara (wasîlah) yang selalu mengiringi dan mengikuti keadaan dari aspek pertama (Maqâshid) diatas.413 Penafsiran dan prinsip-prinsip yang dibangun Ibn ‘Âsyûr berupaya mewujudkan esensi dari problematika kehidupan sosial dengan tujuan-tujuan idealnya (Maqâshid) dengan (wasîlah) sebagai perantara pada kajian selanjutnya. Kajian mua’malah (tujuan dan segala aspeknya) diatas belum ada yang membahasnya secara mendalam dan rinci, kecuali yang telah diadopsi, seperti kajian yang pernah dilakukan oleh Izz al-Dîn bin ‘Abd al-Salâm dengan kaidah-kaidah-nya, dan mengelaborasinya dengan kajian al-Qarâfî. Kemudian Ibn Âsyûr menyederhanakan kajiannya, nampaknya disejajarkan dengan kajian Sadd Dzarî’ah (menutup celah yang
memungkinkan 411
terbukanya
pintu
kedurhakaan),
karena
terdapat
Al-Zamakhsyarî, Al-Kasysyâf, vol. 2, hal. 66-67 dan Ibn ‘Athiyyah, Al-Muharrar al-Wajîz fî Tafsir al-Kitab al-‘Azîz (Beirut: Dâr al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 1993), vol. 2, hal. 349-350. 412 Al-Dzahabî, Al-Ittijâhât al-Munharifah, hal. 43. 413 Lihat Muhammad Thâhir Ibn ‘Âsyûr, ushûl Nizhâm al-Ijtimâ’iy fî al-Islam, al-Syirkah alTûnîsiyyah littawzî’ (Tunis) dan Dâr al-Wathaniyah lilkitab (al-Jazâir), 1985, hal. 21. lihat juga tahqîq dirâsah Muhammad Thâhir al-Mâisâwî dalam Maqâshid al Syarîah al Islâmiyah, Dâr el NafâisUrdun, 2001. hal. 413.
176
kemiripan/kesamaan, dan disebut demikian karena pencegahan bahaya sebagai perantara dan titik awal bertumpunya untuk mencapai tujuan-tujuan ideal yang dimaksud.414 Bagaimanapun juga Ibn’Âsyûr memiliki kekurangan sebagai mufassir disalah satu sisi, dan tegas dalam artian tidak menolerir misalnya pada mereka yang mengklasifikasikan ketidakrunutan tata letak surah sebagaimana dituangkannya pada mukaddimah, salah satu sisi ini ia dapat dikategorikan pada sebuah pandangan yang rigid, karena Ibn ‘Âsyûr tidak mengemukakan alasan-alasannya kenapa hal itu tidak layak diperbincangkan, disisi lain merupakan kontribusi pada kajian kequr’anan dalam wilayah tidak perlu diperdebatkan (tawqifi).415 Pada akhirnya elaborasi metode kontemporer/kontekstual dalam memahami al-Qur’an terus berkembang sejalan dengan berkembangya informatika dan globalisasi, mulai dengan mengklasifikasi tema-tema secara objektif, kemudian menata, melacak, (waktu maupun tempat) dengan memotret urgensitas asbâb al-nuzûl dalam melikat konteks turunnya ayat, (baik keumuman lafadznya maupun kekhususan sebabnya), penelusuran kemurnian/keaslian arti linguistik, yang kemudian dikonfirmasikan dengan karya-karya tafsir sebelumnya, sementara faham sektarian, dan riwayat berbau isrâiliyyât harus dihindarkan.416
414
Lihat tahqîq dirâsah Muhammad Thâhir al-Mâisâwî dalam Maqâshid al-Syarîah alIslâmiyah, Dâr el Nafâis- Urdun, 2001. hal. 413. 415 Ibn’Âsyûr al-Tâhrir wa al-Tânwîr, vol. 1, hal. 8. lihat juga uraian Ayâd Khâlid Thabbâ’, , ‘Ulamâu wa Mufakkirîn Mu’âshirîn, lanmahâtu min hayâtihim wa ma’rifatun bimu’allafâtihim, (Dâr al-Qalam, Damaskus, cet-1, 2005) hal. 7 416 Lihat ‘Âisyah ‘Abd Al-Rahmân Bint al-Syâthi’, al-Tafsîr al-Bayâni li al-Qur’ân al-Karîm, (Kairo, Dâr al-Ma’ârif , 1968), cet-2, Jld. 1, hal.10. lihat juga Issa J. Boulatta dalam Modern Exegesis: A Study of Bint Shâthi’s Methods”, The Moslem World, vol. 64 (1974), hal. 107. baca juga disertasi Ahmad Syukri Shaleh dalam, Tafsir al-Qur’ân Kontemporer dalam Pandangan Fazlur Rahmân (GP Press dengan Sultan Thaha Press 2007) cet-1, hal. 1-7.
177
BAB V PENUTUP A. Kesimpulan Elaborasi
Maqâshid
1393H/1879-1973
M)
yang
dibangun
tertuang
dalam
Ibn
‘Âsyûr
beberapa
(1296karyanya
dinyatakan bahwa keterpautan antara kajian Maqâshid al-Syarî’ah dan Pendasaran ilmu sosial kemasyarakatan Islam yang egaliter (ushûl Nizhâm al-Ijtimâ’i fî al-Islâmi) sangat erat, kajiannya-pun membutuhkan kaidah-kaidah yang lebih luas dari sementara kaidah-kaidah yang digunakan pakar ushûl fiqh (ahwaju ilâ qawâid awsa’u min qawâid ahl ushûl). Berbeda dengan kajian ilm ushûl yang disinyalir pembahasannya tidak kembali pada esensi Hikmah al-Tasyrî’, ia hanya berputar-putar pada problematika Istinbath hukum dari Nash Sharîh melalui kaidah-kaidah yang digunakan pakar (fuqahâ’) untuk beristinbath hukum, bersumber dari cabangcabang ataupun sifat-sifat (‘illat) hukum yang diambil dari AlQur’an. Hal inilah yang disinyalir penulis mempunyai korelasi dan keterpautan erat antara konsep Maqâshid al-Syari’ah dengan prinsip-prinsip penafsirannya [Maqâshid al-Ashliyyah]. Secara
makro,
karakter/cirikhas
dasar-dasar
penjelasan
fiqhiyyah (yatamayyaz mu’dhami ushûl al-istidlâliyyah) bersandar pada dugaan (al-dzann). Problematika al-Qath’iy dan al-dzannîy sebagai
dasar
[parameter]
perbedaan
dari
argumentasi-
argumentasi (Hujjiyyah), pengaruhnya terefleksi pada kajian fiqh (alladzî in’akasa atsaruhu fî fiqh). Bertolak dari penjelasan tersebut, Ulama
fikih
berupaya
mengeliminir
perbedaan-perbedaan
(argumentasi) sebagai dasar penegasan kaidah-kaidah/bukti-bukti
178
(al-istidlâl)
pada
kerangka
reformulasi
ilmu
ushûl
(fî
ithâri
‘amalihim al-Tajdîdî). Bagi Ibn ‘Âsyûr, pendasaran ilmu Maqâshid sebagaimana proyek ilmiah yang membuka kran/jalan pada orientasi al-syar’î (Masâlik al-tafaqquh) pada pendasaran tujuan ideal sebagai penyatuan pandangan dan gagasan teoritis para Fuqahâ’ (al-tawhîd fî al-tashawwurât al-nazhariyyah li al-Fuqahâ’). Kemudian Ibn ‘Âsyûr merumuskan delapan tujuan dasar (alMaqâshid pertama;
al-ashliyyah) memperbaiki
dari
diturunkannya
dan
mengajarkan
al-Qur`ân, akidah;
yaitu kedua;
mengajarkan nilai-nilai akhlak yang mulia; ketiga; menetapkan hukum-hukum syariat; keempat; menunjukkan jalan kebaikan kepada umat Islam (siyâsah al-ummah); kelima; memberikan pelajaran
dan
hikmah
keenam;
menyiapkan
dari
kisah
umat
bangsa-bangsa
Islam
untuk
terdahulu;
menerima
dan
menyebarkan ajaran-ajaran agamanya; ketujuh; al-Targhîb wa alTarhîb;
kedelapan;
membuktikan
kebenaran
risalah
Nabi
Muhammad saw. Melalui penilaian terhadap prinsip-prinsip tafsir Ibn ‘Âsyur dan gagasan elaborasi Maqâshid-nya dapat diinferensikan, secara lebih spesifik beberapa poin berikut ini; Pertama, Ibn Âsyûr merupakan pioner mufassir kontemporer, karya tafsirnya bersifat Umum dalam artian karyanya dapat dikelompokkan pada pelbagai jenis
penafsiran
tercermin
dari
klasik segi
dengan
resep
pembahasannya
modern, yang
hal
fleksibel.
tersebut Kajian
penafsirannya secara teoritis berupaya mewujudkan elastisitas makna, dengan menghindari penafsiran yang rigid hal ini dapat ditangkap dari asal judul kitab ini [Tahrîr ma’na al-sadîd wa Tanwîr al-‘aql jadîd] . Pendasaran dan upaya penafsirannya (disejajarkan
179
sebagaimana membangun tatanan norma-norma sosial/ushûl alNizhâm al-Ijtimâ’i) guna merealisasikan pencapaian kemaslahatan dalam kehidupan sosial kemasyarakatan berkemanfaatan secara berkesinambungan. Kedua, hendaknya
Ibn
‘Asyûr
tujuan
penafsirannya]
mengingatkan
dan
maksud
didasari
pelbagai
dengan
seorang disiplin
menekankan;
mufassir keilmuan
[dalam mengenai
penafsiran kemudian diaplikasikan; dengan menjelaskan apa yang mampu dipahaminya dari kehendak Allah dalam al-Qur`ân dengan penjelasan sesempurna mungkin (bi atamm bayân), selaras dengan apa yang dikandung oleh maknanya (yahtamiluhû al-ma‘nâ) dan tidak bertentangan dengan lafaznya (walâ ya`bâhu al-lafdz). [Penjelasan
itu
bisa
berupa]
segala
sesuatu
yang
dapat
menjelaskan maksud dari Maqâshid al-Qur`ân, atau segala sesuatu yang menjadi dasar bagi pemahaman yang sempurna terhadapnya, atau apa pun yang bisa memerinci dan menjabarkan Maqâshid tersebut. Ketiga,
Maqâshid
al-Qur`ân
merujuk
kepada
[prinsip]
keumuman dakwah serta bahwa ia merupakan mukjizat yang abadi. Karena itu, al-Qur`ân mesti mengandung hal-hal yang bisa dipahami oleh orang-orang yang hidup di masa penyebaran ilmu pengetahuan, relevansi Al-Qur’ân sebagai kitab petunjuk umat Manusia (shâlih likulli zamân wa makân) semakin kokoh dengan pelbagai pendekatan dan pemahaman [tafsir]. guna
tercapainya
kemaslahatan
umat
Kesemuanya itu
manusia
(amra
al-Nâs
kâfatan), sebagai manifestasi ketentraman dan kesejahteraan hidup yang diperuntukkan mereka [umat Muhammad] sesuai
180
dengan
skenario
kehendak
Allah
[terhadap
makhluk-Nya],
(Rahmatan lahum litablîghihim murâdullâh minhum). Pada akhirnya, kajian Maqâshid al-Qur’ân dalam perspektif Ibn ‘Âsyûr,
dan
perkembangan
penelitiannya
ini
bukan
saja
mengedepankan cara kerja akal dan pemenuhan rasionalitas yang integral, namun dibalik itu juga terbersit ide-ide besarnya untuk mewujudkan
kemurnian
penafsiran,
dan
menghindari
mereka
mufassir yang tidak mengetahui tujuan penafsirannya (min al-Inhâi man yufassiru al-Qur’ân bimâ yadda’îhî bâtinan yunâfî maqshûdu al-Qur’ân), hematnya, bahwa yang membedakan diantara mereka (al mufassir) adalah konsep dan prinsip-prinsip yang mendasari penafsiran (al-Maqâshid allatî nazala al-Qur’ân libayânihâ) untuk menyingkap
tujuan-tujuan
yang
hendak
dicapai
dalam
penafsirannya. Selanjutnya,
suatu
penafsiran
(al-Mufassir)
dapat
kita
jangkau dan diketahui penjelasannya dari korelasi dengan tujuan (al-ghâyah) inheren dan integrated yang hendak dicapai [mufassir] dalam penafsirannya tersebut. Dengan kata lain, mengukurnya melalui prinsip-prinsip penafsirannya (miqdâru mâ awfâmin alMaqshad
wa
mâ
tajâwazahu).
Dari
sinilah
pembaca
dapat
membedakan mereka yang keluar dari koridor prinsip-prinsip dan tujuan penafsirannya, dan perbedaan dari uraian dan rincian makna tiap-tiap penafsirannya, yang kemudian mengutarakan kesimpulan beberapa pendapat Ulama’ yang menguasai dari pelbagai disiplin keilmuan.
B. Saran-saran/Implikasi penelitian
181
Kontribusi Ibn ‘Âsyûr bagi kajian-kajian ilmu tafsir dan pendasaran ilmu Maqâshid masa depan tidaklah terletak pada persoalan apakah dia ortodoks atau heterodoks, tetapi pada konsep dan gagasan teoretis yang guna mewujudkan tatanan disiplin metodologi keilmuan yang integral. Kajiannya mampu mempengaruhi pandangan dan pemahaman komunal cenderung primitive menjadi terbuka, elastis, dan liberal dalam artian [tidak alergi pada disiplin keilmuan & aplikasi metode produk barat], guna mencapai suatu kesimpulan general. Tentunya sejalan dengan upaya mewujudkan kemaslahatan umum/makro, berkesinambungan pada tatanan masyarakat madani, egaliter dan berperadaban secara Islami. Apa yang dilakukan dalam penelitian ini barulah pada tahap elaborasi terhadap beberapa konsep rumusan teoritis tersebut, dan mulai pada tahap pengembangan dan aplikasi. Salah satu yang menarik dari gagasan Ibn ‘Âsyûr adalah konsepsinya tentang keharusan mempertimbangkan kemaslahatan, kebebasan (Hurriyyah) dalam aplikasi teoritisnya. Ia bertitik tolak dari lintas batas yang particular, untuk mewujudkan makna elastis, tidak sekedar menggunakan kaidah-kaidah pakar [ahl] fiqh namun juga mengkorelasikannya pada sebuah “nilai” atau dengan kata lain hikmah al-Tasyrî’. Akan sangat berharga apabila dilakukan penelitian tentang bagaimana menafsirkan sebuah tema dalam al-Qur`an melalui, pertama, pengurutan ayat-ayat tentang tema tersebut secara kronologis, lalu, kedua, kategorisasi ayat-ayat yang bersifat general untuk dijadikan dasar bagi penafsiran ayat-ayat lain yang lebih partikular, untuk kemudian menghasilkan, ketiga, perumusan pandangan al-Qur`an tentang tema yang bersangkutan melalui sebuah analisa interpretatif yang sistematis. Dengan cara tersebut, teori Ibn ‘Âsyûr tentang tajâwaz al-manhâ al-Tajzî’î dalam memahami norma-norma hukum syarî’ah dengan susunan yang berbeda-beda, yang kemudian dapat diaplikasikan, dinilai, serta diuji. Dapat dilakukan penelitian lain yang lebih aplikatif, empirik dengan model bentuk kajian atas pengaruh gagasan Ibn ‘Âsyûr terhadap penafsiran ayat-ayat hukum oleh para ilmuwan dan pemikir Indonesia di masa modern. Kajian tersebut menarik,
182
sebab, Indonesia posisinya [sebagai Negara berkembang], dengan masyarakatnya yang heterogen; mulai agama, ras, suku, gerakan-gerakan dan aliran tertentu didalamnya terakomodir dibawah naungan Republik. Karenanya, hukum Islam dapat diterapkan lebih fleksibel, elastis dan liberal (tentunya tidak menafikan prinsipprinsip Hikmah Tasyrî’) melalui konsep ilmu Maqâshid al-syarî‘ah. Namun perlu pencermatan dan evaluasi [korelasi] dari pandangan Ibn ‘Âsyûr tentang gagasan dan pemahaman teks al-Qur`an (penafsiran), kemudian diinterpretasikan dan digunakan dalam konteks gerakan toleransi dan pengembangan keberagamaan di Indonesia. Mengingat Indonesia mayoritas pemeluknya adalah Islam. Agaknya tidak berlebihan penulis mengutip pandangan Shabbir Akhtar dalam Qur’ân and The Secular Mind, (British Library 2008, hlm. 164). Ia optimis bahwa Indonesia -dengan mayoritas pemeluk agama Islam terbesar di dunia-, disinyalir satu-satunya Negara dan penduduknya [diprediksi] mampu berkembang secara proaktif sinergis sejalan dengan misi dan tujuan-tujuan Syara’ (Maqâshid al-Syarî’ah).
183
DAFTAR PUSTAKA Abd Al-Salam, al-Imam Izzuddin, Abdullah Yahya al-Kamali "Maqâshid al syariah fi dhâu'I fiqh al Muwâzanah” (Dar Ibn Hazm,cet 1 Beirut-Lebanon) --------, Qawâid al-Ahkâm fî Mashâlih al-anâm, (Beirut; Lubnân Dâr al-Jîl 1980) Abduh, Muhammad, Rasalah tawhîd, (Dar al-Ihya’ al-ulum) cet.2 1977 Abdur, Rahmân, ’Abdur Rahîm Ibn Abdullah al-Dirwisy, al-Syarâ’i’al-Sâbiqâh, (Huqûq al-Thaba’ mahfûdzah li al-Mua’llif, Riyadh) Abdurrâhim, ‘Abdul Ghaffar, Al-Imâm ‘Abduh wa manhajuhu fî Tafsîr, Mesir: Al Markaz Al-Arâbi li ats tsaqâfah wal ulum, 1980 Abu Zayd, Naqd al-Khitâb al-Dînî (Kairo: Sina li al-Nashr, edisi Pertama, 1992). Abu Zayd, Nashr Hamid, Mafhûm al-nash: Dirâsah fi ‘ulûm al-Qurân (Beirut: alMarkaz al-Tsaqafi al-‘Arabi, edisi II, 1994) . Al-Akk, Khâlid ‘Abd al-Rahmân, Usul al-Tafsir wa Qawâ‘iduhu, (Beirut: Dar alNafais, cet. 2, 1986) Ali, al-Shirâzi Abu Ishâk Ibrahîm bin syarh Luma’,ed. Abd Majîd Turki, (Dâr alGharb al-Islami, 1988 vol.I Al-Alûsi, Syihabuddîn Sayyid Mahmud, Rûh al-Ma’âni wa sab’ al-Matsâni, Idârah thab’ah al-munîriyyah wa dâr al-Turats al-‘rabiy Beirut Libanon Al-Âmidiy, Syaifuddîn, al-Ihkâm fî ushûl al-ahkâm, (Beirut; Dâr al-Kutub al‘Ilmiyah 1983) Al-Anshari, Zakariya, Al-Hudûd al ‘Anîqah wa al Ta’rifât al Daqîqah, Beirut: Dar al Masyari’,1425 H/ 2004 M. Arkoun, Mohammed, “Rethinking Islam Today” dalam Mapping Islamic Studies, [ed] Azim Nanji Al- Atîq, al-Shahabiy, al-Tafsîr wa al-Maqâshid ‘ind Syaikh Muhammad Thâhir Ibn ‘Asyûr (Dâr Tûnis al-Sanâbil, 1410 H/1989 M) Baidan, Nashruddin, Metodologi Penafsiran al-Qur`an. Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2000.
184
Al-Baidhâwi dalam, Anwâr al-Tanzîl wa asrâr al-Ta’wîl, (Beirut, Dâr al-Kutub al ‘ilmiyyah 1993/ 1413 H) Al-Bâji, Abu al-Wâlid bin khalaf, Ihkâm fushûl fî ahkâm al-ushûl, Abd Majîd Turki,ed. (Beirut, Dar al-Gharb al-Islami, 1986) Balbás, L. Torres dan G.S. Colin. “Al-Andalus”, dalam Bosworth, C.E., dkk. [ed.]. The Encyclopaedia of Islam, WebCD Edition. Leiden: Brill Academic Publishers, 2003. Baltâjî, Muhammad, Umar Ibn al-Khaththâb fî al-Tasyrî’, (Dâr al-Salam li alThaba’a wa al-Nasyar wa al-Tawzî’ wa al-Tarjamah) cet-2, 2003 M/1424 H Al-Banna, Gamal, tafsir al-Qur`ân al-Karim baina al-qudama’ wa al—muhadditsin, (terjemahannya, evolusi tafsir, Qisthi Press 2004 hal 138). Al-Bashri, Abu al-Husayn. Kitab al-Mu‘tamad fi Ushûl al-Fiqh. Damaskus: alMa‘had al-‘Ilmi al-Faransi li al-Dirasat al-‘Arabiyyah, 1964. Bausani, A. “Bab”, dalam The Encyclopedia of Islam, WebCD Edition, 2003. Berg, Herbert. The Development of Exegesis in Early Islam: The Authenticity of Muslim Literature from the Formative Period. Richmond: Curzon Press, 2000. Berkey, Jonathan P. The Formation of Islam: Religion and Society in the Near East, 600-1800. Cambridge: Cambridge University Press, 2003. Al-Biqâ‘i, Burhân al-Din Abû al-Hasan Ibrahim ibn ‘Umar. Nazm al-Durar fi Tansub al-Ayat wa al-Suwar. Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 1995. Boullata, Issa.J. [ed.]. “Sayyid Qutb’s Literary Appreciation of the Qur’an”, Literary Structures of Religious Meaning in the Qur’an. Surrey: Curzon Press, 2000. --------, Books Reviews: Qur’anic Studies: Sources and Methods of Scriptural Interpretation” The Muslim World 67 (1977) --------, Modern Qur’an Exegesis’ A study of bint al-Syâti’ method’. The presents Status of Tafsir Studies’ in The Moslem World, vol. 72, 1982 Al-Bûty, Sa’îd Ramadhân, Dhawâbit al-Maslahah fî Syarî'ah Islâmiyah (muassasah Risalah, 1987) Calder, Norman, “Tafsir from Tabari to Ibn Kathir: Problems in the description of a genre, illustrated with reference to the story of Abraham”, dalam G.R.
185
Hawting dan Abdul-Kader A. Shareef [ed.], Approaches to the Qur’an (London dan New York: Routledge, 1993) Calder, Norman, “The Limits of Islamic Orthodoxy”, dalam Farhad Daftary [ed.]. Intellectual Traditions in Islam (London: I.B. Tauris, 2000) Dahlan, ‘Abdul ‘Aziz (editor) ”Ensiklopedia hokum Islam” (PT. Ichtiar baru van hoeve cet-7 2006) Darrâz, ‘Abdullah, al-Muwâfaqât fî Ushûl al-Syarî‘ah. Beirut: Dar al-Kutub al‘Ilmiyyah, T.th. Dirrâz, Al-Naba` al-‘Azim: Nazarat Jadidah fi al-Qur`ân. Kuwait: Dar al-Qalam, cet. 4, 1977. Darwaza, Izzat Muhammad, al-Tafsir al-Hadîts, Beirut Dâr al-Gharb al-Islâmi, 2000, cet-2 Dhaghâmin Ziyâd Khâlil, al-Tafsîr al-mawdhû’i wa manhajiyyah al-bahtsi Fîhi (‘Ammân:Dâr al-‘Ammâr 2007 M) --------, manhaj Ta’amul ma’a al-Qur’ân fi fikri syeikh Rasyîd Ridhâ,(Universitas Kuwait, dalam Majalah al-syarî’ah wa dirâsat al-Islâmiyyah). Duski. “Metode Penetapan Hukum Islam Menurut al-Syatibi”: Suatu Kajian tentang Konsep al-Istiqrâ` al-Ma‘nawî”. Disertasi pada Program Pascasarjana UIN Syarif Hidayatullah, Jakarta, 2006. Al-Dzahabi, Muhammad Husein, Al-Tafsir wa al-Mufassirûn, juz I, (T.tp.: Mush’ab bin Umar: 2004) Dzirikli, Khayr al-Din Al-A‘lam: Qâmus Tarâjim li Asyhar al-Rijâl wa al-Nisâ` min al-‘Arâb wa al-Musta‘ribin wa al-Mustasyriqin, vol. 1 (Beirut: Dar al-‘Ilm li al-Malayin, cet. 9, 1990) Al-Farmawi, Abd Hayy, “al Bidâyah fi Tafsir al Maudu'I” Kairo, al- Haharah alarabiah, cet. Ke-2, 1977 Al-Fâsî, Ustadz ‘Allâl, Maqâshid Syarî’ah Islâmiyyah wa Makârimuhâ, Maktabah Wihdah al-‘Arabiyyah, al-Dâr al-Baidhâ’ 1963 Fayyûmi, Ahmad dalam al-Misbah mu’jam Arab-arabi (Beirut Maktabah Lubnân, 1990 Fierro, Maribel. “Al-Shatibi”, The Encyclopaedia of Islam, WebCD Edition, 2003.
186
Gätje, Helmut. The Qur'ân and Its Exegesis: Selected Texts with Classical and Modern Muslim Interpretations, terj. Alford T. Welch. Oxford: Oneworld Publications, 1997. Al-Gharmawiy, Ahmad, al-Islâm fî ‘ashr al-‘ilmiy, Dâr al-Kutub al-haditsah alSa’âdah, Kairo, 1978 Ghazali, A. Muqsith. “A Methodology of Qur`anic Text Reading”, dalam ICIP Journal, vol. 2, no. 4, Agustus 2005. Al-Ghazâli, Abu Hâmid, Al-Mustashfâ min ‘Ilm al-Ushûl, Beirut: Mu`assasah alRisalah, 1997. --------, al-Mankhûl min ta’lîqât al-Ushûl edt. Muhammad Hasan Haytu (Dar al-Fikr Damaskus, 1980) --------, Jawâhir al-Qur’ân wa Duraruhu (Beirut: Dâr al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 1988), cet. Ke-1 --------, Syifâu al-Ghalîl fî bayâni al-Syibhi wa al-makhîl wa masâlik al-ta’lîl tahqîq Ahmad al-Kubaysî (Baghdad Mathba’ah Irsyâd 1971/1390 M) Al-Ghazâli, Muhammad, Nahw Tafsîr Mawdhû‘i li Suwar al-Qur`ân al-Karim. Kairo: Dar al-Syuruq, cet. 3, 1997. Goldziher, Ignaz. Madzâhib al-Tafsir al-Islami, terj. ‘Abd al-Halim al-Najjar. Kairo: Maktabah al-Sunnah al-Muhammadiyyah, 1955. Grunebaum, G.E. von. “I‘djaz”, dalam The Encyclopaedia of Islam, WebCD Edition, 2003. Günther, Ursula. “Mohammed Arkoun: “Towards a radical rethinking of Islamic thought”, dalam Suha Taji-Farouki [ed.]. Modern Muslim Intellectuals and the Qur’an. Oxford: Oxford University Press, 2004. Al-Hafanawi, Muhammad Ibrahim. Dirâsat fi al-Qur`ân al-Karîm Kairo: Dar alHadits, T.th. Hallaq, Wael B. “A History of Islamic Legal Theories: An Introduction to Sunni Usul al-Fiqh”. Cambridge: Cambridge University Press, 1997. Hamadah, Farûq, Madkhal ilâ ulûm al-Qur’ân wa al-tafsîr, Maktabah al-Ma’ârif, Rabat Marroco, 1997 Hammâdi Al- 'Ubaidi, Ibn Rusyd wa 'ulûm al-Syarî’ah al Islâmiyah, (Dar el Fikr al'Arabi-Beirut). Hans Whr, a Dictionary of Modern Written Arabic (Beirut Maktabah Lubnân, 1980), cet. Ke-3 Hasan, Muhammad Ali, al-Manâr fî ulûm al-Qur’ân, Dâr al-Arqâm, cet-I, amman
187
Hasani, Ismail. Nadzâriyyah al Maqâshid ind imâm Muhammad Thâhir Ibn ‘Âsyûr, cet-1 th 1995 Hawwa, Sa’îd, al-‘Asâs fî tafsîr, (Dâr al-Salâm li al-Thabâ’ah wa al-Nasyar wa altawzî’) cet.6, 1424 H-2003 M Hayyân, Abû (w. 745 H) dalam, al-Bahru al-Muhîth,(Dâr al-Kutub al-Ilmiyyah, cet-1 2001/1422 H)Hawting, G.R dan Abdul-Kader A. Shareef [ed.], Approaches to the Qur’an (London dan New York: Routledge, 1993) Hidayat, Komaruddin, Menafsirkan Kehendak Tuhan, (Teraju Jakarta) cet.II 1996 Hijâzi, Muhammad Mahmud, al-wahdat al-mawdhû’iyyah fî al-Qur’ân al-Karîm, (Zaqâziq: Dâr al-tafsir, 1424 H/ 2004 Ibn ‘Âsyûr, (tahqiq) Muhammad Thâhir Al-Maisâwi, Maqâshid al syaria'h Al Islâmiyah, (Dar al Nafais Urdun, cet-2 2001) --------, Alaisa al-Shubhu Biqarîb, (Dar-el Tunisiyah li al-Nasyar dan Dâr al-Salâm, cet-1 2006 M/1428). --------, al-Harakah adabiyyah wa al-Fikriyyah fî Tunis, (Kairo; Nasyr Ma’had alDirâsah al-‘Arabiah) --------, “ Al-Tahrîr wa at-Tanwîr” (Dar-el Tunisiyah linnasar. T. th). --------, Ushûl Nidhâm al-Ijtimâ’î, (Dâr al-Suhnûn li al-Nasyar wa al-Tawzî’ 2006) Ibn ‘Âsyûr, Muhammad al-Fâdhil, al-Tafsîr wa Rijâluhu, (Dâr Tûnisiyyah li alNasyr) --------, Tarâjum al-a’lâm (Dâr Tunisiyyah li al-Nasyr) --------, Kasyfu al-Mughtî ‘an al-Maânî wa al- alfâdz al-Wâqi’ah fî alMuwatha’(Syirkah al-Tunisiyyah li al-Tawzî’, 1976 Ibn ‘Atiyah, Muharrar al-Wajîz fî al-Tafsîr al-Kitâb al-‘Azîz, tahqîq ‘Abdul al-Salâm ‘Abd al-Syâfî Muhammad (Beirut, Dâr al-Kutub al ‘ilmiyyah 1993/ 1413 H) Ibn al-‘Arabi, Abû Bakar, Ahkâm al-Qur’ân, (tahqîq ‘Ali Muhammad al-Bajâwî, (Beirut; Dâr al-Ma’rifah) Ibn al-Qayyim, Miftâh al-Dâr al-Sa’âdah wa Mansyûrah wilâyah al-‘Ilm wa alIdârah, (Mesir, Mathba’ah al-Sa’âdah) 1323 Ibn al-Qayyim, Syamsu al-Dîn Abû Abdillah Muhammad bin Abi Bakar, I’lâm alMu’awwiqîn ‘an Rabb al-‘âlamîn, tahqîq ‘Abd Rauf Saîd, (Maktabah Kulliyyah al-Azhariyah 1967)
188
Ibn Khaldûn , al-Muqaddimah (Beirut; Dâr al-Fikr T.th) Ibn Manzhûr (Abû Fadl Jamâluddîn Muhammad ibn Mukrim) (w. 117 H) “Dâr Lisân al-Arab” (Beirut:Libanon) Ibn Rabî’ah, ‘Abdul Azîz bin ‘Ali ‘Abd ar-Rahmân ‘Ilm Maqâshid al-Syâri’ (Riyadh, Maktabah Muluk Fahd al-Wathaniyyah atsnâ al-Nasyr, cet-1 2002 ) Ibn Taimiyyah, al-Fatawa ( al Ribath; Maktabah Maâ’rif) 32/324. baca juga al-Qiyâs fî al Tasyrî’al-Islâmi, (Beirut, Libanon,; Dâr al-âfâq al-jadîdah) cet-4 1980 Ibn Taimiyyah, I’lâm al-Muwaqqiîn ‘an Rabb al-‘Alamin, tahqîq Muhammad Muhyiddin ‘abd al-Hamîd (Beirut Libanon, Dâr al-Fikr, Mah’baah alSa’âdah). Ibn Taimiyyah, Muwâfaqât al-sharîh al-Ma’qûl li shahîh manqûl, Cairo 1321. Ibn, Sa’ad, Thabaqât al-Kubrâ, t.th. jld.5 Ikhwan, Muhammad Nur Kritik Kontemporer Atas Pemikiran Islam: Wacana Baru Filsafat Islam, (Yogyakarta: Fajar Pustaka Baru, 2003) Iyazi, Ali, Al-Mufassirun Hayâtuhum wa Manhajuhum, Mu'assah Thaba'ah wa an Nasyr wizârah al Islâmi, cet-1,1373 H. J.M.S Baljon, Modern Muslim Interpretation Leiden,: E.J.Brill 1968 Al-Jâbiri, ‘Abid, “Nahnu wa al-Turats Qirâ’ah Mu’âsirah fî turâtsinâ al-Falsafî”, (Casablangka:al-Markaz al-Tsaqafi al-‘Arabi, 1986) --------, ‘Abid, Bunyâh al-‘Aql al-‘Arâbi: Dirâsah Tahliliyyah Naqdiyyah li Nuzum al-Ma‘rifah fi al-Tsaqâfah al-‘Arâbiyyah (Beirut: al-Dar al-Bayda`, cet. 7, 2000) --------, ‘Abid, Muhammad ‘Âbid al-Jâbiri, Wijhâh al-Nazâr (Beirut: Markaz Dirâsat al-Wihdah al-‘Arabiyyah, 1994), cet. 4 --------, ‘Abid, Turats wa al-Hadatsah Dirâsah wa al-Munâqasah (Beirut, Markaz alTsaqafî al-‘Arabi, 1991) Jansen, J.J.G, Diskursus Tafsir al-Qur’ân Modern, Tiara wacana, Yogyakarta, 1997 --------, The Interpretation of the koran in modern Egypt, Leiden,: E.J.Brill 1974) Johnston, David, “A Turn in the Epistemology and Hermeneutics of Twentieth Century Usûl al-Fiqh”, dalam Islamic Law and Society, Edisi 11, No. 2, Juni 2004
189
Al-Juwayni Abû al-Maâ’lî, al-Burhân fî ushûl al-fiqh, tahqiq Abd al-‘Azîm al-Dayb, (Mesir, Dâr al-Anshar 1400) cet-2 Kahhalah ‘Umar Ridha, Mu‘jam al-Mu`allifin: Tarâjim Musânnifi al-Kutub al‘Arâbiyyah, vol. (Beirut: Dar Ihyâ` al-Turâts al-‘Arâbi, 1957) Kamalî, S.A.Abu Kalâm Azad’s Commentary on The Qur’ân’, in The Moslem world, vol. 49, 1959 Al-Kaylânî, ‘Abd al-Rahmân Qawâ‘id al-Maqâshid ‘Inda al-Imâm al-Syâtibi, al Ma'had Al a'limiy lil fikri al Islamiy 1421 H/2000 M Khâlid, ibn ‘Utsman al-Sabt, ”Qawâ ‘id al-Tafsir Jam‘an wa Dirâsatan” (Kairo: Dar Ibn ‘Affan, 1421 H.) Al-Khâlidî, Shalâh ‘Abd al-Fattah, Al-Tafsir al-Mawdû‘î bayna al-Nazariyyah wa alTatbîq Makhluf, Husain, Syajarat al-Nûr al-Zakiyyah fî thabaqât al-Mâlikiyyah, (Beirut:Dâr al-Kitab al-’Arabiy, cet, 1, 1349 H Makhlûf, Louis, Munjid fi al-Lughah wa al-A’lam (Beirut Dâr al-Masyriq, 1986) cet. Ke-28 Al-Marâghî, Tafsîr al-Marâghi, (Syirkah maktabah wa mathba’ah musthafâ libâb al hilabi wa aulâduh Mesir) cet-1, 1946 M-1365 H Meftah, Jilani Ben Touhami, “Al-Fahm al-Hadatsi li al-Nash al-Qur`ânî: Âyata alMîrats Namûdzajan Tatbîqiyyan” dalam Buhûts Mu`tamar Manâhij Tafsir alQur`an al-Karim wa Syarh al-Hadîts al-Syarîf (Kuala Lumpur: Dept. of Qur`an and Sunnah Studies, Kulliyyah of IRKHS, IIUM, 2006) Muhajir, Noeng, Metodologi Penelitian Kualitatif, [Yogyakarta: Rake Sarasin2000] . Al-Munawwar, Said Agil Husain, Al-Qur’ân membangun Tradisi Kesalihan Hakiki, (Ciputat Pers Jakarta, cet-1 2002) Naim, Abdullah Ahmed versi (terj.) "Dekonstruksi Syariah" (LKis Yogyakarta cet. IV 2004) Nasuhi, Hamid, Dkk., Pedoman Penulisan Karya Ilmiah (Skripsi, Tesis dan Disertasi), Jakarta: CeQDA Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah, , 2007 M.
190
Al-Qaradhâwi, Yusuf, Dirâsah fî fiqhi Maqâshid al syarî’ah baina al Maqâshid al kulliyah wa al nushûs al juzi’yah ( Kairo, Dâr al Syurûq cet. I 2006 ) --------, Kaifa nata’âmal ma’a al-Qur’ân, diterj. Oleh (gema Insani Press. Cet 1 1999) Al-Qarâfi, Syarh tanqîh al-fushûlfî ikhtishâri al-Mahsûl, (Kairo Mesir; Dâ al-Fikr Lithaba’ah wa tawzi’wa al-nasyr 1973/1393 H) cet-1 Al-Qaththân Mannâ’ Khâlîl, mabâhits fî ulûm al-Qur’ân, Mu’assasah al-Risâlah, Beirut, 1983 Qutb, Sayyid, Fî Zilâl al Qur’ân, (Dar Ihya al Kutub al Arabiyah, t.th). Rahman, Fazlur, Islam and Modernity (University of Chicago Press, 1984) --------, the Major Themes of The Qur’ân, Minneapolis: Bibliotheca Islmamica, 1994. Al-Raisyuni, Ahmad. Nadzâriyyah al Maqâshid ind imâm Al Syatiby, cet IV th 1995 Al-Râzi, Muhammad Fakhruddîn, al-Mahsûl fî ilm ushûl al-fiqh, tahqîq Tahâ Jâbiri Fayâdh Alwâni (Mathbû’at Jâmiah al-Imam Muhammad Ibn Saûd al Islâmiyyah) cet-1. --------, Tafsîr Mafâtih al-Ghayb (al-Fakhru al-Râzi) , (maktabah al-tawtsîq wa aldirâsât fî Dâr al-Fikr, cet. 1, 2005) Ridhâ, Muhammad, Rasyid, Al-Wahyu al Muhammady, (Mesir: Az zahro li al-I’lam al-Araby 1988) --------, Tafsir al Manâr, Beirut: Dar al Kutub al Ilmiyah, 1420 H/ 1999 M. --------, Tafsir al-Qur’ân al-Hakim, (Dar al-Kutub al-‘ilmiyyah, 1999) cet. 1 Rippin, Andrew, Muslims; Their Religious Beliefs and Practices, Vol II, (New York; Routledge; 1995) SG.Vesey- Fitzgerald, "Nature and Sources of the Shari'a" dalam Law in the middle East, Khadduri- Liebensny, T.th. Al-Shabûniy, Muhammad Ali, al-Tibyân fî ulûm al-Qur’ân, Maktabah al-Ghazâli Damaskus 1401 H Shadr, Baqr, Ijtihâd wa al-tajdîd fî fiqh al-Islâmiy (Beirut: Mu’assasah al-Dauliyyah cet.1 1419 H/1999 ) --------, al-Sunan al-Târîkhiyyah fî al-Qur’ân (Beirut: Dâr al-Ta’âruf li al-Mathba’ât) Shâlih, ‘Abdul Qâdir Muhammad, al-Tafsîr wa al-Mufassirûn fî al-‘Ashri alHadîts,(Beirut; Dâral-Ma’rifah, 2003, T.th)
191
Shihab, M. Quraish, Membumikan al Qur’an, Fungsi dan Peran Wahyu dalam Kehidupan Masyarakat (Bandung: Mizan, 2006) --------, Tafsir al-Misbah, Jakarta: Lentera Hati, 2000 --------,Rasionalitas Al Qur’an, Studi Kritis atas Tafsir al Manar”, Jakarta: Lentera Hati1428 H/ 2007 M. Sumaih, Imrân Nazzâl, al-wahdat al-Târîkhiyyah li al-suwar al-Qur’ânîyyah, (‘Ammân:Dâr al-Qurrâ’ 1427 H/2006 M) Al-Suyûthi, Jalâluddîn Abdur Rahmân al-itqân fî ulûm al-qur’ân (Beirut; Maktabah al-Tsaqafiyyah, 1973 ) --------, Bughyah al-Wu’ât fî thabaqât al-lughawiyyîn wa al-Nuhat, tahqîq Abû Fadl Ibrâhîm, (’Isa al-Bâb al-Halabî 1384 H cet-1) --------, Lubâb al-Nuqûl fi asbâb al-Nuzûl (Dar Tunisiyyah li al-Nasyr Tunis 1981) Al-Syâfi'I, Abu Abdullah Muhammad bin Idris, al-Risâlah tahqîq Ahmad Muhammad Syâkir, (Kairo, cet-2 1979) --------, Al-Umm, (Kairo: Maktabah al-Kulliyat al-Azhariah 1961) Syahâtah, ‘Abdullâh Mahmûd Bashâ`ir Dzawî al-Tamyîz fî Lathâ`if al-Kitâb al-‘Azîz, Ahdâf Kulli Sûrah wa Maqâsiduhâ fî al-Qur`ân al-Karîm (Kairo: al-Hay`ah al-Mishriyyah al-‘Âmmah li al-Kitâb, cet. 3, 1986) --------, “Muqâtil ibn Sulayman: Dirâsah ‘an al-Mu`allif”, Al-Asybah wa al-Nadhâ`ir fî al-Qur`ân al-Karîm (Kairo: Al-Hay`ah al-Misriyyah al-‘Ammah li al-Kitab, cet. 2, 1994) Syahrûr, Muhammad, al Kitab wa al Qur’an: Qirâ’ah Mu’asirah ( Damaskus: al ahali li al Tiba’ah wa al Nasyr wa al Tawzi’, 1990) Syaltût, Mahmud tafsir al-Qur’ân al-Karîm, (Kairo: Dâr al –Syurûq, 1988), cet-11. --------, al-Islam ‘Aqidah wa al-Syari'ah’ (Matbaah al-Azhar-Kairo 1951) --------, min Hadyi al-Qur’ân (Dar al-Kutub al-‘arabiy li al-Thaba’ah wa al-Nasyr) --------, ilâ al-Qur’ân al-Karîm (Kairo; al-Idarah al-‘Ammah li al-Tsaqafah alIslamiyyah, t.th.) Syamsuddîn, Muhammad Syaikh Mahdi, al-Ijtihâd fî al-Islam, majalah Ijtihâd (Dâr al-Ijtihâd Beirut)1411/1990 Al-Syârâwî, Mutawalli, Tafsir al-Sya’râwi, (Dâr akhbâr al-Yaum, Mesir 1991) Syarifuddîn, Amir, Ushûl Fiqh, (penerbit Logos, cet-1 1997) Syarqâwi, Ahmad Muhammad, al-wahdat al-mawdhû’iyyah li al-Qur’ân al-Karîm,
192
Syarqâwi, Iffat, Qâdhâyâ Insâniyyah fi ‘amal al mufassirin, mesir: maktabah Syabâb, 1980 Al-Syâtibî, Abû Ishâk, al-I’tishâm tahqîq Muhammad Rasyîd Ridhâ. --------, al-Muw^afaqât fî ushûl al-Syarî’ah, dhabt wa ta’lîq Abdullâh Darrâz, (Beirut; Dâr al-Ma’rifah t.th) Al-Syirbashi Ahmad, Qisshah al-Tafsîr, (Qisshah Tafsir, (Kairo: Dâr al-Kalaâm, 1962) Al-Thabarî, Abû Ja’far Muhammad ibn Jarîr Jâmi’ al-Bayân ‘an ta’wîl ayy alQur’ân, tahqiq Ahmad Mahmûd Muhammad asyakir (Dâr al-Ma’arif, Mesir) Thabbâ’, Ayâd Khâlid, ‘Ulamâu wa Mufakkirîn Mu’âshirîn, lanmahâtu min hayâtihim wa ma’rifatun bimu’allafâtihim, (Dâr al-Qalam, Damaskus, cet-1, 2005) Al-Thahâwî, Musykil Atsar, jld. 3, hlm. 186. lihat juga komentar Fuat Sezgin dalam Târikh Turats ‘Arabiy Thanthâwi, Muhammad Sayyid, al-Tafsîr al-Wasîth, (Nahdhah Mishr, Mesir cet-1 Januari 1997) Al-Tirmidzî, âbu ‘Abdullah al-Hakim, as-Shalâh wa Maqâshidihâ, tahqîq Husni Nasrun Zaidan, Dâr el Kitâb al-‘Arabiy Mesir, 1965. Turkiy, Abdul Majid, Manâdharat fî ushûl al-Syarî’ah bayna ibn Hazm dan al-Bâjî, (Beirut Dâr al-Gharb al-Islamiy cet. 1414 H/ 1994) Ubaidi, Hammâdî dalam Ibnu Rusyd wa al-ulûm al-syarî’ah al-Islâmiyah,( Dar-el Fikr al-Arabiy, 1991) Ursula Günther, “Mohammed Arkoun: ”towards a radical rethinking of Islamic thought”, dalam Suha Taji-Farouki [ed.], Modern Muslim Intellectuals and the Qur’an (Oxford: Oxford University Press, 2004) Ushama, Thameem, Metodologies the Qur’anic Exegesis, terj. Hasan Bashri dan Amroeni, Riora Cipta, Jakarta, 2000 Wafiq, Sonia, “Manhaj al-Tafsir al-Mawdhû‘i wa al-Hâjah ilayh”, Buhûts Mu`tamar Manâhij Tafsîr al-Qur`ân al-Karîm wa Syarh al-Hadîts al-Syarîf Al-Wâjidi, Muhammad Farid, al-Mushaf al-Mufassar (Kairo: Mathâbi Dâr al-Sya’b, 1977), hal. 95.
193
Watt, W. Montgomery, Bell’s introduction to the Qur’ân, (Edinburgh University Press, Edinburgh, 1977) Yunus Mahmud, Kamus Arab- Indonesia (Jakarta:Hidakarya, 1990) Yusuf Hamid Al-Alim, Al-Maqâshid al-‘Âmmah li al-syariah Islâmiyah, (Darul Hadits, Cairo) Zafzaf, Muhammad, al-Ta’rîf bi al-Qur’ân wa al-hadits, Maktabah al-Falâkh, Kuwait 1984 Al-Zamakhsari al-Kasysyâf, (Dâr al-Kotob al-‘Ilmiyyah, 1995-1415 H) Al-Zarkasyi, Imam Abdullah, al-burhân fî ulûm al-Qur’ân , (Mesir, Dâr al- Ihyâ alkutub al-‘arabiy), 1957 Zarqâni Al-, Muhammad ‘Abdu al-Adhîm Manâhil al-Irfân fî ulûm al-Qur’ân, (Kairo:Dâr al-Hadits, 2001) Al-Zuhaili, Wahbah, al-Tafsîr al-Munîr fî al-‘Aqîdah wa al-Syarî’ah wa al-Manhaj, (Dâr al-Fikr Mu’âsir, Beirut Libanon) http://www.saaid.net/bahoth/65.zip http://www.hadielislam.net http://www.tafseer.com http://www.waqfeya.com http://www.dar el-nafaes.com
194