ISSN : 2338-0357 Volume II, NOMOR II, Oktober 2013
Syari’ah
Jurnal Keislaman dan peradaban
Al-’Uqûd Al-Murakkabah Dalam Perspektif Ekonomi Syariah Dr. H. Najamuddin, Lc, MA Teologi Upah Dan Kesejahteraan Buruh Dalam Perspektif Hadis Muhammad Makmun Abha Al-Mashlahah Dalam Pandangan Najmuddin Al-Thufi Qusthoniah Membangun Kekuatan Ekonomi Masjid (Studi Kasus Masjid Taqwa Muhammadiyah Padang) Siti Aisyah, S. EI Zakat Dan Pajak Ahmad Sarbini Kritik Khaled M. Abou El Fadl Terhadap Otoritarianisme Pemikiran Hukum Islam Nasrullah Pemikiran Ekonomi Ibnu Qayyim Putri Apria Ningsih Penerbit: Fakultas Ilmu Agama Islam (FIAI) Universitas Islam Indragiri Tembilahan – Indragiri Hilir – Riau Jln. Baharudin Jusuf No. 10 Tembilahan 29200 Telp : 0768-324918, Fax : 0768-22418. Hp. 0813 655 26 048 Email :
[email protected]
ii
SYARI’AH
Jurnal Keislaman & Peradaban Penerbit: Program Studi Ekonomi Syari’ah Universitas Islam Indragiri Tembilahan Pembina: Rektor Universitas Islam Indragiri Penaggung Jawab/Pengarah; Dekan Fakultas Ilmu Agama Islam Tim Ahli: Dr. Najamuddin, Lc, MA Amaruddin, S. Ag, MA Nurmadiah, S. Pd. I, MA Pimpinan Redaksi: Qusthoniah, S.Ag.,MA Tim Redaksi: Ahmad Fuad, SE.I Ahmad Sarbini, S.Ag, MA Siti Aisyah, S. E. I Distribusi & Sirkulasi: Ali Murtopo, S. Sos. I Nurhayati. S. E Barry Gunawan Editor/Lay-out Ridhoul Wahidi, S.Th.I., MA Alamat Redaksi: Fakultas Ilmu Agama Islam (FIAI) Universitas Islam Indragiri Tembilahan – Indragiri Hilir – Riau Jln. Baharudin Jusuf No. 10 Tembilahan 29200 Telp : 0768-324918, Fax : 0768-22418. Hp. 0813 655 26 048 Email :
[email protected]
Jurnal Syari’ah merupakan jurnal keislaman dan peradaban dengan kajian multidisipliner, terbit dua kali dalam satu tahun (April dan oktober), dikelola oleh program studi Manajemen Pendidikan Islam Fak. Ilmu Agama Islam Universitas Islam Indragiri Tembilahan. Redaksi menerima tulisan yang relevan selama mengikuti petunjuk penulisan yang ditetapkan.
iii
SAJIAN Volume II, No. II, Oktober 2013 SAJIAN (iii) EDITORIAL (iv)
ISSN : 2338-0357
Al-’Uqûd Al-Murakkabah Dalam Perspektif Ekonomi Syariah Dr. H. Najamuddin, Lc, MA (Hal 5) Teologi Upah Dan Kesejahteraan Buruh Dalam Perspektif Hadis Muhammad Makmun Abha (Hal 18) Al-Mashlahah Dalam Pandangan Najmuddin Al-Thufi Qusthoniah (Hal 35) Membangun Kekuatan Ekonomi Masjid (Studi Kasus Masjid Taqwa Muhammadiyah Padang) Siti Aisyah, S. E.I (Hal 51) Zakat Dan Pajak Ahmad Sarbini (Hal 63) Kritik Khaled M. Abou El Fadl Terhadap Otoritarianisme Pemikiran Hukum Islam Nasrullah (Hal 73) Pemikiran Ekonomi Ibnu Qayyim Putri Apria Ningsih (Hal 88)
iv
EDITORIAL Bismillahi Al-Rahman Al-Rahim Puji dan syukur kepada Allah SWT, jurnal Keislaman dan Peradaban Syari’ah Volume II Nomor II Edisi II Oktober 2013 hadir untuk menyapa kembali para pembaca, peminat keislaman dan peradaban. Jurnal dihadapan anda adalah edisi II dari Jurnal Syari’ah yang diharapkan mampu memenuhi salah satu standar dalam penelitian akreditasi Fakultas Ilmu Agama Islam Universitas Islam Indragiri Tembilahan. Lebih jauh jurnal ini diproyeksikan mampu menjawab segala tantangan dari permasalahan yang ada di masyarakat dan dunia Islam, tentu dengan terbitnya Jurnal Syari’ah ini secara kontinyu dapat memberikan konstribusi bagi penyebaran dan pengembangan karya ilmiah intelektual di bidang keislaman dan peradaban. Jurnal Syari’ah Volume II Nomor II Oktober 2013 edisi II ini diawali dengan tulisan Al-’Uqûd Al-Murakkabah Dalam Perspektif Ekonomi Syariah yang ditulis Dr. H. Najamuddin, Lc, MA kemudian tulisan Teologi Upah Dan Kesejahteraan Buruh Dalam Perspektif Hadis yang ditulis Muhammad Makmun Abha dan tulisan Al-Mashlahah Dalam Pandangan Najmuddin Al-Thufi ditulis oleh Qusthoniah. Tulisan selanjutnya Membangun Kekuatan Ekonomi Masjid (Studi Kasus Masjid Taqwa Muhammadiyah Padang) yang ditulis oleh Siti Aisyah, S. EI dilanjutkan tulisan yang berjudul Zakat Dan Pajak oleh Ahmad Sarbini. Tulisan yang berjudul Kritik Khaled M. Abou El Fadl Terhadap Otoritarianisme Pemikiran Hukum Islam ditulis oleh Nasrullah dan terakhir Pemikiran Ekonomi Ibnu Qayyim yang ditulis oleh Putri Apria Ningsih. Dewan redaksi sepenuhnya menyadari, bahwa terdapat berbagai kelemahan dan kekurangan pada penerbitan edisi ini. Maka kasukan dan kritikan dari semua pihak akan kami terima dengan terbuka dan rasa terima kasih.
Tim Redaksi
Al-’Uqûd Al-Murakkabah Dalam Perspektif Ekonomi Syariah Dr. H. Najamuddin, Lc, MA Dosen Ekonomi Syari’ah Fakultas Ilmu Agama Islam (FIAI) Universitas Islam Indragiri Tembilahan Abstrak Al-’uqûd al-murakkabah merupakan salah satu akad kontemporer ملخص dalam perbankan Islam, kendati demikian akad ini lahir dari dunia perhotelan, seperti al-Ijarah muntahiyah bi al-tamlik, Musyarakah أجرة األجير حولtauni مثالي في مفهومakad تبحثMurabahah هذه الرسالةlil Aamir bi mutanaqishah, Ta’min murakkabah, asy-Syira،النبوية dan Ta’jir tamwili. Al-’uqûd akad adalah األحاديث هداية خاللal-murakkabah/Multi وسالمه وسعادته من kesepakatan dua pihak untuk melaksanakan suatu transaksi atau المكتشفات بعضdua الباحث وجدakadالبحث خاللmisalnya ومن muamalah yang meliputi unsur atau lebih, akad jual-beli dengan ijarah, akad jual beli dengan hibah dst. Sehingga موقف اإلسالم ذو األجير في األولى) إن :اآلتيةsemua hak semua عال akibat hukum dari akad-akad gabungan itu,( serta dan kewajiban ditimbulkannya, dianggap satuيستوي kesatuan yang ار كان أمyang عاملي أجي إنسان كمخلوق فيه كل tak dapat dipisah-pisahkan, yang sama kedudukannya dengan akibatالبد لسيده أنakibat أساسية حقوقاdari لألجير )سيدا (الثانية hukum satuإنakad.
وهي أن اليوضع السيد أجيره آلة من،أن يعطيها إياه Key Words : Ekonomi Syariah dan Al-’uqûd al-murakkabah وأن يعطيه أجرته أجرة مناسبة،آالت التصنيع
A. Pendahuluan وأن ال يجعل السيد أجيره عبدا اليستخير،ألعماله
Investasi syariah dapat diartikan sebagai kegiatan menanamkan ، وأن يعامل السيد أجيره أحسن المعاملة،على نفسه modal baik langsung maupun tidak langsung, dengan harapan pada الدنياوية التي الحياة سعادةmendapatkan ار (الثالثة) إن منsejumlah وهلم جkeuntung waktunya nanti pemilik modal an dari hasil penanaman yang tidak إنسان أن يكون لكلmodal اآلخرةtersebut من مزرعات مزرعة هيbertentangan syariah. وتحث،ائجه تكفيل حو به علىInvestasi عمل يستعين Dalamاألحاديث perspektif Islam kegiatan syariah sangat didorong untuk بيده وكلmengembangkan أعمل إنسان هو عملهharta. أحسنSebaliknya, النبوية أن منIslam melarang mendiamkan/menimbun harta (ihtikar),مبرور termasuk بيعmodal sehingga tidak produktif. Dari landasan hukum nampak jelas bahwa investasi atau kegiatan produktif lainnya sangatlah dianjurkan dalam Islam demi tercapainya tujuan syari’ah (maqashid Al-Syari’ah) yaitu kemaslahatan.
)۱ : (المائدة
6
Jurnal Syari’ah Vol. II, No. II, Oktober 2013
Seiring dengan lajunya berkembangan di dunia perbankan, kegiatan transaksi ekonomi Islam berkembang pesat, sehingga bermunculan beragam model transaksi yang tidak dikenal pada masa lalu dan butuh pengkajian secara spesifik. Salah satu diantaranya adalah penggunaan akad ganda atau lebih menjadi satu transaksi, yang dalam fiqih kontemporer disebut al-’uqud al-murakkabah (hybrid contract/multi akad). Multi akad adalah kesepakatan dua pihak untuk melaksanakan suatu muamalah atau transaksi yang meliputi dua akad atau lebih, misalnya satu transaksi yang terdiri dari akad jual-beli dan ijarah, akad jual beli dan hibah dll, sehingga semua akibat hukum dari akad-akad gabungan itu, serta semua hak dan kewajiban yang ditimbulkannya, dianggap satu kesatuan yang tak dapat dipisah-pisahkan, yang sama kedudukannya dengan akibat-akibat hukum dari satu akad. Al-’uqûd al-murakkabah/multi akad ini merupakan perbincangan yang masih hangat dikalangan para cendikiawan muslim untuk menentukan keabsahan hukumnya; pendapat pertama mengatakan hukumnya mubah berdasar kaidah fikih: al-ashlu fi al-mu’amalat alibahah (hukum asal muamalah adalah boleh). Pendapat kedua mengharamkan berdasarkan dengan hadits-hadits yang mengharamkan dua jual beli dalam satu jual beli (bai’ataini fi bai’atin), atau mengharamkan dua akad dalam satu akad (shafqatain fi shafqatin).
B. Pembahasan 1. Pengertian Al-’Uqûd al-Murakkabah/ Multi Akad Kata akad berasal dari kata al-‘aqd, yang berarti mengikat, menyambung atau menghubungkan. Dalam hukum Indonesia, akad di artikan dengan perjanjian. Sedangkan dalam istilah hukum Islam, ada beberapa definisi yaitu: 1. Akad berarti keterkaitan antara ijab (pernyataan penawaran atau pemindahan kepemilikan) dan qabul (pernyataan penerimaan kepemilikan) dalam lingkup yang disyariatkan dan berpengaruh pada sesuatu.1 2. Menurut pendapat ulama Syafi’iyah, Malikiyah dan Hanabilah, yaitu: “Segala sesuatu yang dikerjakan oleh seseorang berdasarkan keinginannya sendiri, seperti waqaf, talak, pembebasan, atau sesuatu 1 Ascarya. Akad dan Produk Bank Syariah PT Raja Grafindo Persada. Jakarta. 2010
Al-’Uqud Al-Murakkabah ... Dr. H. Najamuddin, Lc, MA
7
yang pembentukannya membutuhkan keinginan dua orang seperti jual beli, perwakilan, dan gadai.”2 3. Akad merupakan pertemuan ijab yang diajukan oleh salah satu pihak dengan kabul dari pihak lain yang menimbulkan akibat hukum pada objek akad. Akad adalah tindakan hukum dua pihak. Sedangkan tindakan hukum satu pihak, seperti janji memberi hadiah, wasiat, atau wakaf, bukanlah akad, karena tindakan-tindakan tersebut tidak merupakan tindakan dua pihak, dan karenanya tidak memerlukan qabul. Konsepsi akad sebagai tindakan dua pihak adalah pandangan ahli-ahli hukum Islam modern. Pada zaman pra modern terdapat perbedaan pendapat. Sebagian besar fuqaha memang memisahkan secara tegas kehendak sepihak dari akad, akan tetapi sebagian lain menjadikan akad meliputi juga kehendak sepihak.3 Multi dalam bahasa Indonesia berarti banyak; lebih dari satu; lebih dari dua; berlipat ganda.4 Dengan demikian, multi akad dalam bahasa Indonesia berarti akad berganda atau akad yang banyak, lebih dari satu. Sedangkan menurut istilah fiqih, kata multi akad merupakan terjemahan dari kata Arab yaitu al-’uqûd al-murakkabah yang berarti akad ganda (rangkap). Al-’uqûd al-murakkabah terdiri dari dua kata al-’uqûd (bentuk jamak dari ‘aqd) dan al-murakkabah. Kata ‘aqd secara etimologi artinya mengokohkan, mengikat, menyambung atau menghubungkan5 dan hukum perdata Indonesia diartikan dengan perjanjian. Sedangkan secara terminologi ‘aqd berarti mengadakan perjanjian atau ikatan yang mengakibatkan munculnya sebuah kewajiban.6 Menurut Wahbah Zuhaili ‘aqd adalah pertalian atau perikatan 2 Rachmat Syafe’i, Fiqih Muamalah. Pustaka Setia Bandung. 2006 3 Syamsul Anwar, Hukum Perjanjian Syariah. PT. Raja Grafindo Persada. Jakarta. 2007 4 Tim Penyusun. 1996. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka. hal 671 5 Ahmad Warson Munawwir. 1997. Kamus Al-Munawwir Arab–Indonesia Terlengkap. Surabaya : Pustaka Progresif. hal 953 6 Ttn. 1986. Al-Munjid Fil Lughati. Beirut, Libanon : Darul Masyruq. hal 519
8
Jurnal Syari’ah Vol. II, No. II, Oktober 2013
antara ijab dan qabul sesuai dengan kehendah syariah yang menetapkan adanya akibat hukum pada objek perikatan.7 Kata Al-murakkabah (murakkab) secara etimologi berarti al-jam’u (mashdar), yang berarti pengumpulan atau penghimpunan.8 Kata murakkab sendiri berasal dari kata “rakkaba-yurakkibu-tarkiban” yang mengandung arti meletakkan sesuatu pada sesuatu yang lain sehingga menumpuk, ada yang di atas dan yang di bawah. Sedangkan murakkab menurut pengertian para ulama fiqih adalah sebagai berikut: 1. Himpunan beberapa hal sehingga disebut dengan satu nama. Seseorang menjadikan beberapa hal menjadi satu hal (satu nama) dikatakan sebagai melakukan penggabungan (tarkîb). 2. Sesuatu yang dibuat dari dua atau beberapa bagian, sebagai kebalikan dari sesuatu yang sederhana (tunggal/basîth) yang tidak memiliki bagian-bagian. 3. Meletakkan sesuatu di atas sesuatu lain atau menggabungkan sesuatu dengan yang lainnya. Mencermati tiga pengertian di atas yang memiliki kelebihan dan kekurangan masing-masing untuk menjelaskan makna yang lebih mendekati dari istilah murakkab. Pengertian pertama lebih tepat untuk digunakan karena mengandung dua hal sekaligus, yaitu terhimpunnya beberapa hal dan bersatunya beberapa hal itu yang kemudian menjadi satu pengertian tertentu. Pengertian kedua tidak menjelaskan akibat dari terhimpunnya beberapa hal itu. Meskipun pengertian kedua menyatakan adanya gabungan dua atau beberapa hal, tetapi tidak menjelaskan apa dan bagaimana setelah terjadi penggabungan tersebut. Pengertian terakhir lebih dekat kepada pengertian etimologis, tidak menjelaskan pengertian untuk suatu istilah tertentu. Dengan demikian pengertian multi akad/al-’uqûd al-murakkabah dalam istilah ada beberapa pengertian dari kalangan cendikiawan muslim di antarannya; 1. Menurut Nazih Hammad adalah: “Kesepakatan dua pihak untuk melaksanakan suatu akad yang mengandung dua akad atau lebih --seperti jual beli dengan sewa menyewa, hibah, wakalah, qardh, muzara’ah, 7 Al-Zuhaili. 2004. Al-fiqh al-islâmi .... Juz 4. hal 2918 8 Munawwir. 1997. Kamus Al-Munawwir Arab .... hal 209
Al-’Uqud Al-Murakkabah ... Dr. H. Najamuddin, Lc, MA
9
sahraf (penukaran mata uang), syirkah, mudharabah … dst.-- sehingga semua akibat hukum akad-akad yang terhimpun tersebut, serta semua hak dan kewajiban yang ditimbulkannya dipandang sebagai satu kesatuan yang tidak dapat dipisah-pisahkan, sebagaimana akibat hukum dari satu akad.”9 2. Menurut Al-‘Imrani akad murakkab adalah: “Himpunan beberapa akad kebendaan yang dikandung oleh sebuah akad --baik secara gabungan maupun secara timbal balik-- sehingga seluruh hak dan kewajiban yang ditimbulkannya dipandang sebagai akibat hukum dari satu akad.”10 Penulis dapat menyimpulkan pengertian akad ganda adalah kesepakatan dua pihak untuk melaksanakan suatu muamalah yang meliputi dua akad atau lebih, misalnya akad jual-beli dengan ijarah, akad jual beli dengan hibah dst, sedemikian sehingga semua akibat hukum dari akad-akad gabungan itu, serta semua hak dan kewajiban yang ditimbulkannya, dianggap satu kesatuan yang tak dapat dipisahpisahkan, yang sama kedudukannya dengan akibat-akibat hukum dari satu akad. 2. Macam-macam Akad Ganda/Multi Akad Al-‘Imrani membagi multi akad dalam lima macam, yaitu al’uqûd al-mutaqâbilah, al-’uqûd al-mujtami’ah, al-’uqûd al-mutanâqidhah wa al-mutadhâdah wa al-mutanâfiyah, al-’uqûd al-mukhtalifah, al-’uqûd al-mutajânisah. Dari lima macam itu, menurutnya, dua macam yang pertama; al-’uqûd al-mutaqâbilah, al-’uqûd al-mujtami’ah, adalah multi akad yang umum dipakai.11 a. Akad Bergantung/Akad Bersyarat (al-’uqûd al-mutaqâbilah) Al-mutaqâbila menurut bahasa berarti berhadapan. Sesuatu dikatakan berhadapan jika keduanya saling menghadapkan kepada yang lain. Sedangkan yang dimaksud dengan al-’uqûd al-Mutaqâbilah adalah multi akad dalam bentuk akad kedua merespon 9 Hasanudin. (2009, Mei 28). Multi Akad Dalam Transaksi Syariah Kontemporer Pada Lembaga Keuangan Syariah di Indonesia. Ciputat : UIN Syahid. hal. 3 10 Imrani, Abdullah bin Ahmad Abdullah, al Uqud al Maaliyah al Murakkabah, (Riyad: Dar Kunuz Elshabelia an-Nasr wa Tausi’ 2006) hal. 47 11 Hasanudin, Multi Akad Dalam Transaksi Syariah Kontemporer, Op. cit., hal. 7
10
Jurnal Syari’ah Vol. II, No. II, Oktober 2013
akad pertama, di mana kesempurnaan akad pertama bergantung pada sempurnanya akad kedua melalui proses timbal balik. Dengan kata lain, akad satu bergantung dengan akad lainnya. b. Akad Terkumpul (al-’uqûd al-mujtami’ah) Al-’uqûd al-mujtami’ah adalah multi akad yang terhimpun dalam satu akad. Dua atau lebih akad terhimpun menjadi satu akad. Seperti contoh “Saya jual rumah ini kepadamu dan saya sewakan rumah yang lain kepadamu selama satu bulan dengan harga lima ratus ribu”. Multi akad yang mujtami’ah ini dapat terjadi dengan terhimpunnya dua akad yang memiliki akibat hukum berbeda di dalam satu akad terhadap dua objek dengan satu harga, dua akad berbeda akibat hukum dalam satu akad terhadap dua objek dengan dua harga, atau dua akad dalam satu akad yang berbeda hukum atas satu objek dengan satu imbalan, baik dalam waktu yang sama atau waktu yang berbeda. c. Akad berlawanan (al-’uqûd al-mutanâqidhah wa al-mutadhâdah wa al-mutanâfiyah) Ketiga istilah al-mutanâqidhah, al-mutadhâdah, al-mutanâfiyah memiliki kesamaan bahwa ketiganya mengandung maksud adanya perbedaan. Tetapi ketiga istilah ini mengandung implikasi yang berbeda. Mutanâqidhah mengandung arti berlawanan, seperti pada contoh seseorang berkata sesuatu lalu berkata sesuatu lagi yang berlawanan dengan yang pertama. Seseorang mengatakan bahwa sesuatu benar, lalu berkata lagi sesuatu itu salah. Perkataan orang ini disebut mutanâqidhah, saling berlawanan. Dikatakan mutanâqidhah karena antara satu dengan yang lainnya tidak saling mendukung, melainkan mematahkan. d. Akad berbeda (al-’uqûd al-mukhtalifah) Yang dimaksud dengan multi akad yang mukhtalifah adalah terhimpunnya dua akad atau lebih yang memiliki perbedaan semua akibat hukum di antara kedua akad itu atau sebagiannya. Seperti perbedaan akibat hukum dalam akad jual beli dan sewa, dalam akad sewa diharuskan ada ketentuan waktu, sedangkan dalam jual beli sebaliknya. Contoh lain, akad ijârah dan salam. Dalam salam, harga salam harus diserahkan pada saat akad (fi al-
Al-’Uqud Al-Murakkabah ... Dr. H. Najamuddin, Lc, MA
11
majlis), sedangkan dalam ijârah, harga sewa tidak harus diserahkan pada saat akad. Perbedaan antara multi akad yang mukhtalifah dengan yang mutanâqidhah, mutadhâdah, dan mutanâfiyah terletak pada keberadaan akad masing-masing. Meskipun kata mukhtalifah lebih umum dan dapat meliputi ketiga jenis yang lainnya, namun dalam mukhtalifah meskipun berbeda tetap dapat ditemukan menurut syariat. Sedangkan untuk kategori berbeda yang ketiga mengandung adanya saling meniadakan di antara akad-akad yang membangunnya.Dari pendapat ulama di atas disimpulkan bahwa multi akad yang mutanâqidhah, mutadhâdah, dan mutanâfiyah adalah akad-akad yang tidak boleh dihimpun menjadi satu akad. Meski demikian pandangan ulama terhadap tiga bentuk multi akad tersebut tidak seragam. e. Akad sejenis (al-’uqûd al-mutajânisah) Al-’uqûd al-murakkabah al-mutajânisah adalah akad-akad yang mungkin dihimpun dalam satu akad, dengan tidak memengaruhi di dalam hukum dan akibat hukumnya. Multi akad jenis ini dapat terdiri dari satu jenis akad seperti akad jual beli dan akad jual beli, atau dari beberapa jenis seperti akad jual beli dan sewa menyewa. Multi akad jenis ini dapat pula terbentuk dari dua akad yang memiliki hukum yang sama atau berbeda. f. Akad ganda yang banyak di aplikasikan dalam ekonomi Islam. 1) Ijarah muntahiyah bi al-tamlik (akad sewah menyewah yang berakhir dengan kepemilikan/jual beli) 2) Musyarakah mutanaqishah (akad kerja sama yang berkurang berakhir dengan jual beli kredit) 3) Murabahah marakkabah (akad bagi hasil berganda berakhir dengan jual beli biasa) 4) Ta’min tauni murakkabah (asuransi berganda) 5) Akad Murabahah lil Aamir bi asy-Syira` (Murabahah KPP [Kepada Pemesan Pembelian]/Deferred Payment Sale). 6) Ta’jir tamwili (penggabungan akad jual beli dengan sewah menyewah) walaupun ada sebagaian ulama mengatakan bahwa akad ini sebenarnya adalah al-ijarah muntahiyah bi al-tamlik.
12
Jurnal Syari’ah Vol. II, No. II, Oktober 2013
3. Batasan Dan Standar Multi Akad Para ulama yang membolehkan praktik multi akad bukan berarti membolehkan secara bebas, tetapi ada batasan-batasan yang tidak boleh dilewati. Karena batasan ini akan menyebabkan multi akad menjadi dilarang. Di kalangan ulama, batasan-batasan ini ada yang disepakati dan diperselisihkan. Secara umum, batasan yang disepakati oleh para ulama adalah sebagai berikut: a. Multi akad dilarang karena nash agama Dalam hadis, Nabi secara jelas menyatakan tiga bentuk multi akad yang dilarang, yaitu multi akad dalam jual beli (ba’i) dan pinjaman, dua akad jual beli dalam satu akad jual beli dan dua transaksi dalam satu transaksi Dalam sebuah hadist disebutkan: “Dari Abu Hurairah, Rasulullah melarang jual beli dan pinjaman.” (HR. Ahmad)
Suatu akad dinyatakan boleh selama objek, harga, dan waktunya diketahui oleh kedua belah pihak. Jika salah satu di antaranya tidak jelas, maka hukum dari akad itu dilarang. Imam al-Syafi’i memberi contoh, jika seseorang hendak membeli rumah dengan harga seratus, dengan syarat dia meminjamkan (salaf) kepadanya seratus, maka sebenarnya akad jual beli itu tidak jelas apakah dibayar dengan seratus atau lebih. Sehingga harga dari akad jual beli itu tidak jelas, karena seratus yang diterima adalah pinjaman (‘âriyah). Sehingga penggunaan manfaat dari seratus tidak jelas; apakah dari jual beli atau pinjaman. Ibnu Qayyim berpendapat bahwa Nabi melarang multi akad antara akad salaf (memberi pinjaman/qardh) dan jual beli, meskipun kedua akad itu jika berlaku sendiri-sendiri hukumnya boleh. Larangan menghimpun salaf dan jual beli dalam satu akad untuk menghindari terjurumus kepada ribâ yang diharamkan. Hal itu terjadi karena seseorang meminjamkan (qardh) seribu, lalu menjual barang yang bernilai delapan ratus dengan harga seribu. Dia seolah memberi seribu dan barang seharga delapan ratus agar mendapatkan bayaran dua ribu. Di sini ia memperoleh kelebihan dua ratus. Selain multi akad antara salaf dan jual beli yang diharamkan, ulama juga sepakat melarang multi akad antara berbagai jual beli dan qardh dalam satu transaksi. Semua akad yang men-
Al-’Uqud Al-Murakkabah ... Dr. H. Najamuddin, Lc, MA
13
gandung unsur jual beli dilarang untuk dihimpun dengan qardh dalam satu transaksi, seperti antara ijarâh dan qardh, salam dan qardh, sharf dan qardh, dan sebagainya. Meski penggabungan qardh dan jual beli ini dilarang, namun menurut al-‘Imrâni tidak selamanya dilarang. Penghimpunan dua akad ini diperbolehkan apabila tidak ada syarat di dalamnya dan tidak ada tujuan untuk melipatkan harga melalui qardh. Seperti seseorang yang memberikan pinjaman kepada orang lain, lalu beberapa waktu kemudian ia menjual sesuatu kepadanya padahal ia masih dalam rentang waktu qardh tersebut. Yang demikian hukumnya boleh. Sedangkan larangan penghimpunan dua akad jual beli dalam satu akad jual beli didasarkan pada hadis Nabi yang berbunyi : “Dari Abu Hurairah, berkata: “Rasulullah melarang dua jual beli dalam satu jual beli.” (HR. Malik)
b. Multi akad sebagai hîlah ribâwi Multi akad yang menjadi hîlah ribawi dapat terjadi melalui kesepakatan jual beli ‘înah atau sebaliknya dan hîlah ribâ fadhl. 1) Al-‘înah Contoh ‘inah yang dilarang adalah menjual sesuatu dengan harga seratus secara cicil dengan syarat pembeli harus menjualnya kembali kepada penjual dengan harga delapan puluh secara tunai. Pada transaksi ini seolah ada dua akad jual beli, padahal nyatanya merupakan hîlah ribâ dalam pinjaman (qardh), karena objek akad semu dan tidak faktual dalam akad ini. Sehingga tujuan dan manfaat dari jual beli yang ditentukan syariat tidak ditemukan dalam transaksi ini. Ibn Qayyim menjelaskan bahwa agama menetapkan se seorang yang memberikan qardh (pinjaman) agar tidak berharap dananya kembali kecuali sejumlah qardh yang diberikan, dan dilarang menetapkan tambahan atas qardh baik dengan hîlah atau lainnya. Demikian pula dengan jual beli disyariatkan bagi orang yang mengharapkan memberikan kepemilikan barang dan mendapatkan harganya, dan dilarang bagi yang bertujuan ribâ fadhl atau ribâ nasa’, bukan bertujuan pada harga dan barang.12 12 Ibid., hal. 21
14
Jurnal Syari’ah Vol. II, No. II, Oktober 2013 Demikian pula dengan transaksi kebalikan ‘inah juga diharamkan. Seperti seseorang menjual sesuatu dengan harga delapan puluh tunai dengan syarat ia membelinya kembali dengan harga seratus tidak. Transaksi seperti ini telah menyebabkan adanya ribâ. 2) Hîlah ribâ fadhl Hal ini terjadi apabila seseorang menjual sejumlah (misalnya 2 kg beras) harta ribawi dengan sejumlah harga (misalnya Rp 10.000) dengan syarat bahwa ia – dengan harga yang sama (Rp 10.000) - harus membeli dari pembeli tadi sejumlah harta ribawi sejenis yang kadarnya lebih banyak (misalnya 3 kilogram) atau lebih sedikit (misalnya 1 kilogram). Transaksi seperti ini adalah model hîlah ribâ fadhl yang diharamkan. Transaksi seperti ini dilarang didasarkan atas peristiwa pada zaman Nabi di mana para penduduk Khaibar melakukan transaksi kurma kualitas sempurna satu kilo dengan kurma kualitas rendah dua kilo, dua kilo dengan tiga kilo dan seterusnya. Praktik seperti ini dilarang Nabi, dan beliau mengatakan agar ketika menjual kurma kualitas rendah dibayar dengan harga sendiri, begitu pula ketika membeli kurma kualitas sempurna juga dengan harga sendiri. Maksud hadis di atas, menurut Ibn Qayyim, adalah akad jual beli pertama dengan kedua harus dipisah. Jual beli kedua bukanlah menjadi syarat sempurnanya jual beli pertama, melainkan berdiri sendiri. Hadis di atas ditujukan agar dua akad itu dipisah, tidak saling berhubungan, apalagi saling bergantung satu dengan lainnya.
c. Multi akad menyebabkan jatuh ke ribâ Setiap multi akad yang mengantarkan pada yang haram, seperti ribâ, hukumnya haram, meskipun akad-akad yang membangunnya adalah boleh. Penghimpunan beberapa akad yang hukum asalnya boleh namun membawanya kepada yang dilarang menyebabkan hukumnya menjadi dilarang. Hal ini terjadi seperti pada contoh: 1) Multi akad antara akad salaf dan jual beli Seperi dijelaskan sebelumnya, bahwa Nabi melarang multi akad antara akad jual dan salaf. Larangan ini disebab-
Al-’Uqud Al-Murakkabah ... Dr. H. Najamuddin, Lc, MA
15
kan karena upaya mencegah (dzarî’ah) jatuh kepada yang diharamkan berupa transaksi ribawi. Jumhur ulama melarang praktik multi akad ini, yakni terjadinya penghimpunan akad jual beli (mu’âwadhah) dengan pinjaman (qardh) apabila dipersyaratkan. Jika transaksi multi akad ini terjadi secara tidak disengaja diperbolehkan karena tidak adanya rencana untuk melakukan qardh yang mengandung ribâ. 2) Multi akad antara qardh dan hibah kepada pemberi pinjaman (muqridh) Ulama sepakat mengharamkan qardh yang dibarengi dengan persyaratan imbalan lebih, berupa hibah atau lainnya. Seperti contoh, seseorang meminjamkan (memberikan utang) suatu harta kepada orang lain, dengan syarat ia menempati rumah penerima pinjaman (muqtaridh), atau muqtaridh memberi hadiah kepada pemberi pinjaman, atau memberi tambahan kuantitas atau kualitas obyek qardh saat mengembalikan. Transaksi seperti ini dilarang karena mengandung unsur ribâ. Apabila transaksi pinjam meminjam ini kemudian di sertai hadiah atau kelebihan, tetapi dilakukan sendiri secara sukarela oleh orang yang diberi pinjaman, tanpa ada syarat dan kesepakatan sebelumnya hukumnya halal, karena tidak mengandung unsur ribâ di dalamnya. d. Multi akad terdiri dari akad-akad yang akibat hukumnya saling bertolak belakang atau berlawanan Kalangan ulama Malikiyah mengharamkan multi akad antara akad-akad yang berbeda ketentuan hukumnya dan/atau akibat hukumnya saling berlawanan atau bertolak belakang. Larangan ini didasari atas larangan Nabi menggabungkan akad salaf dan jual beli. Dua akad ini mengandung hukum yang berbeda. Jual beli adalah kegiatan muamalah yang kental dengan nuansa dan upaya perhitungan untung-rugi, sedangkan salaf adalah kegiatan sosial yang mengedepankan aspek persaudaraan dan kasih sayang serta tujuan mulia. Karena itu, ulama Malikiyah melarang multi akad dari akad-akad yang berbeda hukumnya, seperti antara jual beli dengan ju’âlah, sharf, musâqah, syirkah, qirâdh,
16
Jurnal Syari’ah Vol. II, No. II, Oktober 2013 atau nikah. Meski demikian, sebagian ulama Malikiyah dan mayoritas ulama non-Malikiyah membolehkan multi akad jenis ini. Mereka beralasan perbedaan hukum dua akad tidak menyebabkan hilangnya keabsahan akad. Dari dua pendapat ini, pendapat yang membolehkan multi akad jenis ini adalah pendapat yang unggul.13 Larangan multi akad ini karena penghimpunan dua akad yang berbeda dalam syarat dan hukum menyebabkan tidak sinkronnya kewajiban dan hasil. Hal ini terjadi karena dua akad untuk satu objek dan satu waktu, sementara hukumnya berbeda. Sebagai contoh tergabungnya antara akad menghibahkan sesuatu dan menjualnya. Akad-akad yang berlawanan (mutadhâdah) inilah yang dilarang dihimpun dalam satu transaki.14
C. Kesimpulan Multi dalam bahasa Indonesia berarti banyak; lebih dari satu; lebih dari dua; berlipat ganda. Dengan demikian, multi akad dalam bahasa Indonesia berarti akad berganda atau akad yang banyak, lebih dari satu. Sedangkan menurut istilah fikih, kata multi akad merupakan terjemahan dari kata Arab yaitu al-’uqûd al-murakkabah yang berarti akad ganda (rangkap). Al-’uqûd al-murakkabah terdiri dari dua kata al-’uqûd (bentuk jamak dari ‘aqd) dan al- murakkabah. Kata ‘aqd artinya perikatan antara kedua belah pihak atau lebih. Sedangkan kata al-murakkabah (murakkab) secara etimologi berarti al-jam’u, yakni mengumpulkan atau menghimpun atau kesepakatan dua pihak untuk melaksanakan suatu muamalah yang meliputi dua akad atau lebih, misalnya akad jual-beli dengan ijarah, akad jual beli dengan hibah dst, sedemikian sehingga semua akibat hukum dari akad-akad gabungan itu, serta semua hak dan kewajiban yang ditimbulkannya, dianggap satu kesatuan yang tak dapat dipisah-pisahkan, yang sama kedudukannya dengan akibat-akibat hukum dari satu akad. Adapun akad ganda yang banyak diaplikasikan dalam ekonomi Islam seperti, al-Ijarah muntahiyah bi al-tamlik, Musyarakah mutanaq13 Ibid., hal. 23 14 Ibid., hal. 24
Al-’Uqud Al-Murakkabah ... Dr. H. Najamuddin, Lc, MA
17
ishah, Ta’min tauni murakkabah, akad Murabahah lil Aamir bi asy-Syira dan Ta’jir tamwili. Mencermati dua pendapat di atas, maka penulis menyimpul bahwa pendapat yang membolehkan multi akad jenis ini adalah pendapat yang unggul. Adanya larangan multi akad karena penghimpunan dua akad yang berbeda dalam syarat dan hukum menyebabkan tidak sinkronnya kewajiban dan hasil. Hal ini terjadi karena dua akad untuk satu objek dan satu waktu, sementara hukumnya berbeda. Sebagai contoh tergabungnya antara akad menghibahkan sesuatu dan menjualnya. Akad-akad yang berlawanan (mutadhâdah) inilah yang dilarang dihimpun dalam satu transaksi.
DAFTAR PUSTAKA Ahmad Warson Munawwir. 1997. Kamus Al-Munawwir Arab – Indonesia Terlengkap. Surabaya : Pustaka Progresif Al-Zuhaili. Al-fiqh al-islâmi wa adillatuhu. Jakarta : Gema Insani 2011 Juz 4 Ascarya. Akad dan Produk Bank Syariah. PT Raja Grafindo Persada. Jakarta. 2010 Hasanudin. Multi Akad Dalam Transaksi Syariah Kontemporer Pada Lembaga Keuangan Syariah di Indonesia. Ciputat : UIN Syahid 2006 Imrani, Abdullah bin Ahmad Abdullah, al Uqud al Maaliyah al Murakkabah study fiqh Ta’shiliyah wa Tathbiqiyyah. Riyad: Dar Kunuz Elshabelia an Nasr wa Tausi’ 2006 Rachmat Syafe’i, MA. Fiqih Muamalah. Pustaka Setia Bandung. 2006 Syamsul Anwar, MA. Hukum Perjanjian Syariah. PT. Raja Grafindo Persada. Jakarta. 2007 Tim Penyusun. 1996. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka Ttn.. Al-Munjid Fil Lughati. Beirut, Libanon : Darul Masyruq 1986
Teologi Upah Dan Kesejahteraan Buruh Dalam Perspektif Hadis Muhammad Makmun Abha )Mahasiswa Program Pascasarjana Universitas Islam Negeri (UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta
ملخص هذه الرسالة تبحث في مفهوم مثالي حول أجرة األجير
وسالمه وسعادته من خالل هداية األحاديث النبوية، ومن خالل البحث وجد الباحث بعض المكتشفات
اآلتية( :األولى) إن األجير في اإلسالم ذو موقف عال يستوي فيه كل إنسان كمخلوق عاملي أجي ار كان أم سيدا (الثانية) إن لألجير حقوقا أساسية البد لسيده أن
أن يعطيها إياه ،وهي أن اليوضع السيد أجيره آلة من آالت التصنيع ،وأن يعطيه أجرته أجرة مناسبة
ألعماله ،وأن ال يجعل السيد أجيره عبدا اليستخير على نفسه ،وأن يعامل السيد أجيره أحسن المعاملة،
وهلم ج ار (الثالثة) إن من سعادة الحياة الدنياوية التي هي مزرعة من مزرعات اآلخرة أن يكون لكل إنسان
عمل يستعين به على تكفيل حوائجه ،وتحث األحاديث النبوية أن من أحسن أعمل إنسان هو عمله بيده وكل بيع مبرور
Key Words: Hadis, upah, buruh, kesejahteraan, wirausaha
A. Pendahuluan
Hubungan )۱ : antara (agamaالمائدة dan ekonomi dalam Islam tidak bias dipisahkan begitu saja. Keduanya merupakan dua hal yang sangat mendukung antara satu dan yang lain bak dua sisi mata uang. Bah-
Teologi Upah dan Kesejahteraan Buruh ... Muhammad Makmun Abha
19
kan kelahiran Islam sendiri dapat merefleksikan sebuah reformasi yang total terhadap keangkuhan sistem dan peradaban ekonomi yang melekat dalam masyarakat jahiliyyah kala itu.1 Dalam bidang ekonomi, keangkuhan masyarakat jahiliyyah misalnya ini dapat dilihat dari perlakuan yang tidak semestinya terhadap perempuan, penindasan terhadap suku dan klan yang kecil, peminggiran kaum miskin, pemusatan kekuasaan pada kaum aristokrat, ketimpangan ekonomi, dan lain-lain.2 Manusia di muka bumi dituntut untuk mampu menemukan solusi dalam memenuhi kebutuhan hidupnya yang terus berkembang. Manusia sebagai khalifah di bumi ini akan merugi dunia-akhirat manakala ia tidak mampu memanfaatkan kehidupan di dunia ini dengan sebaik-baiknya.3 Dalam sebuah pekerjaan seudah barang tentu terdapat beberapa unsur. Salah satu di antaranya adalah unsur pegawai-buruh, gaji dan majikan. Polemik upah buruh misalnya merupakan salah satu isu yang semakin hangat untuk dipebincangkan. Asumsi dasarnya adalah adanya hubungan yang signifikan antara upah dengan perolehan laba juga adanya tindakan tidak maksimal dari pihak buruh jika upahnya tidak diperhatikan.4 Berlatarbelakang 1 Term ‘jahiliyyah’ menunjuk pada era kehidupan kabilah-kabilah Arab sebelum Rasulullah diangkat menjadi Rasul, yang ditandai dengan ketiadaan petunjuk Allah SWT, seorang Rasul Penerima wahyu, tidak ada pula kitab suci yang menjadi pedoman hidup. Philip K. Hitti, History of The Arabs (London: The Macmillan Press Ltd, 1970), 87. 2 Fazlur Rahman menyebutkan bahwa problem akut yang dihadapi masyarakat Arab pada waktu itu, sebagaimana tampak dalam surat-surat awal al-Qur’an adalah pholitheisme (penyembahan berhala), eksploitasi kaum miskin, permainan kotor dalam perdagangan dan ketiadaan tanggung jawab umum terhadap masyarakat. Problem aktual lain yang juga menjadi ciri kehidupan waktu itu adalah perpecahan dan kecenderungan konflik antar kabilah sehingga mudah sekali berubah menjadi perang yang berkepanjangan. Salah satu contohnya adalah Perang Basus yang berlangsung 40 tahun antara Bani Bakr dan Taghlib yang hanya disebabkan oleh kematian seekor unta. Fazlur Rahman, Islam and Modernity Transformation of an Intellectual Tradition (Chicago: The University of Chicago Press,1982), 3; Abu al-Faraj al-Isfihani, Kitab al-Aghani, vol. 1( Beirut: Mat}ba’ah al-‘Arabiyyah, tt), 140-152. 3 Sudrajat Rasjid.dkk., Kewirausahaan Santri (Bimbingan Santri Mandiri), (Jakarta:Citrayuda, 2005), 43 4 Bambang
Setiadji, Upah Antar Buruh Industri di Indonesia ( Surakarta:
20
Jurnal Syari’ah Vol. II, No. II, Oktober 2013
dari adanya ketimpangan antara konsep ideal dalam islam dan realitas sosial yang jauh dari ideal itulah penulis tertarik untuk membahas dan mengkaji wawasan hadis tentang teologi upah dan kesejahteraan buruh.
B. Buruh; Definisi dan Ruang Lingkupnya Dalam Kamus besar Bahasa Indonesia, buruh dapat diartikan dengan seseorang yang bekerja untuk orang lain yang mempunyai suatu usaha kemudian mendapatkan upah atau imbalan sesuai dengan kesepakatan sebelumnya.5 Upah biasanya diberikan secara harian maupun bulanan tergantung dari hasil kesepakatan yang telah disetujui. Buruh terdiri dari berbagai macam, yaitu: Buruh harian, Buruh kasar, Buruh musiman, Buruh pabrik, Buruh tambang, Buruh tani, Buruh terampil, Buruh terlatih.6
C. Teori Ekonomi Kapitalis dan Sosialis tentang Upah Ada beberapa pendapat yang besar di kalangan ekonom terkait masalah pengupahan. Sebagian ekonom mengatakan upah ditetapkan berdasarkan tingkat kebutuhan hidup, sedangkan yang lainnya menetapkan berdasarkan ketentuan produktivitas marginal. Menurut teori ekonomi konvensional kekayaan akan bertambah searah dengan peningkatan ketrampilan dan efisiensi para tenaga kerja, dan sejalan dengan persentase penduduk yang terlibat dalam proses produksi. Kesejahteraan ekonomi setiap individu tergantung pada perbandingan antara produksi total dengan jumlah penduduk atau yang dewasa ini disebut pendapatan riil per kapita.7 Menurut Adam Smith, pembayaran uang yang terbesar untuk membiayai produksi dan distribusi ialah upah, sewa dan laba. Dengan demikian upah para pekerja tidak dapat dibayarkan seluruhnya sebanyak nilai riil produk yang dihasilkannya, karena sebagian Muhammadiyyah University Press, 2002), hal. 21 5 http://kbbi.web.id/buruh. diakses pada 30 Mei 2013. 6 http://bayuzu.blogspot.com/2012/04/pengertian-buruh.html. diakses pada 30 Mei 2013. 7 George Soule, Pemikiran Para Pakar Ekonomi Terkemuka dari Aristoteles hingga Keynes. Terj, Gilarso (Yogyakarta: Kanisius, 1994), 55
Teologi Upah dan Kesejahteraan Buruh ... Muhammad Makmun Abha
21
dari nilai riil tersebut harus disediakan untuk laba. Laba merupakan unsur mutlak dari sebuah produksi.8 Menurut orang kapitalis, Upah yang wajar menurut mereka, yaitu biaya hidup dengan batas minimum. Mereka akan menambah upah tersebut, apabila beban hidupnya bertambah pada batas yang paling minim. Sebaliknya mereka akan menguranginya, apabila beban hidupnya berkurang. Oleh karena itu, nilai tukar seorang pekerja ditentukan berdasarkan beban hidupnya, tanpa memperhatikan jasa yang diberikan oleh tenaga seseorang. Sedangkan menurut Sosialis, nilai suatu barang harus sama dengan biaya-biaya untuk menghasilkan barang, yang di dalamnya termasuk ongkos tenaga kerja berupa upah alami.9 Kelebihan nilai produktivitas kerja kaum buruh atas upah alami inilah yang disebut Marx sebagai nilai lebih, yang hanya dinikmati oleh para pemilik modal. Makin kecil upah yang dibayarkan pada kaum buruh, makin besar nilai lebih yang dinikmati oleh pemilik modal, yang menurut Marx berarti penghisapan atau eksploitasi dari pemilik modal atas kaum buruh.10 Pada dasarnya teori ini diambil dari ahli ekonomi Kapitalis Adam Smith. Kemudian balas menyerang Smith dengan teori tersebut. Menurutnya, nilai suatu barang harus sama dengan biaya-biaya untuk menghasilkan barang, yang di dalamnya termasuk ongkos tenaga kerja berupa upah alami. Kelebihan nilai produktivitas kerja kaum buruh atas upah alami inilah yang disebut Marx sebagai nilai lebih, yang hanya dinikmati oleh para pemilik modal. Makin kecil upah yang dibayarkan pada kaum buruh, makin besar nilai lebih yang dinikmati oleh pemilik modal, yang menurut Marx berarti penghisapan atau eksploitasi dari pemilik modal atas kaum buruh.11
8 George Soule, Pemikiran Para Pakar Ekonomi,...... 58. 9 Ludwic Von, Sosialism An Economic And Sociological Analysis (USA: Indianapolis, 1973), 143. 10 Frans Magnis, Pemikiran Karl Marx, dari Sosialis Utopis perselisihan Refisionisme (Jakarta:Gramedia, 1999), 185. 11 William A. McEachern, Ekonomi Mikro Pendekatan Kontemporer (Jakarta: Thomson Learning, 2001), 222-223.
22
Jurnal Syari’ah Vol. II, No. II, Oktober 2013
D. Hadis-hadis tentang Upah dan Kesejahteraan Buruh 1. Buruh Bukan Alat Produksi Tidak bisa dipungkiri bahwa Islam sangat menjunjung tinggi kehormatan masing-masing individu. Sehingga dalam persoalan pekerjaan juga tidak bisa dibenarkan jika seorang majika menjadikan buruh atau pegawainya sebagai manusia yang kurang terhormat. Dalam Islam, buruh mendapat tempat yang sangat tinggi sebagai seorang pekerja sebagaimana seorang majikan juga bekerja dengan mempekerjakannya. Di dunia ini semua manusia jika dirunut semuanya adalah buruh bahkan seorang bos dan majikan sekalipun karena terjadinya perputaran proses yang terus menerus. Jika diumpamakan, seorang pegawai pabrik makanan menjadi buruh majikannya, majikan terse but menjadi buruh majikan berikutnya hingga posisi teratas. Orang yang dala posisi teraras ini akan menjadi buruh dari para pembeli makanan tersebut dan seterusnya. Dengan demikian, entitas pekerja baik majikan maupun pegawai atau buruh, keduanya disejajarkan. Dalam hadis disebutkan:
ِ اس ح َّدثََنا ُشعبةُ ح َّدثََنا و ب َ َح َّدثََنا ْ اصل ْاْل ُ َح َد َ َْ َ ٍ آد ُم ْب ُن أَبِي ِإَي َ ي َّ ت أََبا َذر اْل ِغفَ ِار َ َوي ٍد ق َ َق ْ ور ْب َن ُس ُ ال َأرَْي ُ ال َس ِم ْع َ ت اْل َم ْع ُر ِر ض َي اللَّهُ َع ْنهُ َو َعلَْي ِه ُحلَّة َو َعلَى ُغ َال ِم ِه ُحلَّة فَ َسأَْلَناهُ َع ْن َ َّ َّ النبِ ِّي َّ ت َر ُج ًال فَ َش َكانِي ِإلَى َ ََذِل َك فَق ُ ال ِإِّني َس َاب ْب ُصلى الله َ
َّ ِ َّ َّ النبِي َّ ال ِلي ُم ِه ِّ َعَّي ْرتَهُ بِأ َ ََعلَْي ِه َو َسلَّ َم فَق َ صلى اللهُ َعلَْيه َو َسل َم أ َ ِ َ ال ِإ َّن ِإ ْخو َان ُكم َخولُ ُكم جعلَهم اللَّه تَ ْح ان َ َثَُّم ق ُ ُْ َ َ ْ َ ْ َ َ ت أ َْيدي ُك ْم فَ َم ْن َك ط ِع ْمهُ ِم َّما َي ْأ ُك ُل َوْلُيْلبِ ْسهُ ِم َّما َيْلَب ُس َوَال ْ ت َي ِد ِه َفْلُي ُأ َ َخوهُ تَ ْح َّ ِ ِ ِ وه ْم ُ وه ْم َما َي ْغلُبهُ ْم فَأَع ُين ُ وه ْم َما َي ْغلُبهُ ْم فَِإ ْن َكل ْفتُ ُم ُ ُتُ َكلِّف
“Sesungguhnya mereka yang bekerja di bawah (pengawasan)mu adalah ِ عAllah saudaramu. ال ر َع ْن َع ْم ِروmereka ا ِم ْس َعuntuk َح َّدثََنbekerja و ُن َع ْيٍمdenganmu. َح َّدثََنا أَُب َ َام ٍر ق َ ْب ِنmenempatkan Maka jika seorang saudara bekerja di bawah (kepemimpinan) saudara
َّ ِ َّ ان صلَّى اللَّهُ َعلَْي ِه ُ َس ِم ْع َ ت أََن ًسا َرض َي اللهُ َع ْنهُ َيقُو ُل َك َ النبِي ِْ وسلَّم ي ْحتَ ِجم ولَم ي ُك ْن ي ْ َح ًدا أ َ ظل ُم أ َ َ َْ ُ َ َََ َُج َره
Teologi Upah dan Kesejahteraan Buruh ... Muhammad Makmun Abha
23
lainnya, maka merupakan kewajiban atas saudara yang berkuasa untuk memberi makanan yang sama kepada saudara mudanya sebagaimana ia memberi bagian kepada dirinya sendiri dan memberinya pakaian yang sama sebagaimana yang ia pakai dan tidak membebankan terlalu banyak beban kerja pada pundak (pekerja) sehingga mereka menanggung beban terlalu berat. Dan ketika mereka terbebabi terlalu berat, maka hendaknya engkau membantu mereka.” (H.R. al-Bukhari)12
Melihat hadis di atas, dengan jelas bisa diambil sebuah norma bisnis yang ideal dalam islam, yaitu tidak dikenal memposisikan buruh sebagai alat produksi. Buruh yang notabene manusia memiliki sebuah kehormatan asasi yang langsung diberikan oleh Allah layaknya manusia lainnya yang dalam hal ini menjadi majikannya. Jika buruh dianggap sebagai alat produksi sebagaimana yang terjadi dalam sistem ekonomi kapitalis maka dalam hal ini kehormatan manusia sudah disamakan dengan mesin-mesin produksi lainnya yang akan berimbas pada pengerukan keuntungan yang sebear-besarnya oleh sebuah perusahaan dengan tanpa memperhatikan manusia buruh trsebut karena mereka dalam hal ini sudah dianggap sebagai alat produksi. Untuk itulah Islam dengan hadisnya memberikan norma ideal tentang posisi buruh yang sanggat mulia sebagai makhluk pekerja. 2. Hak-hak Asasi dalam Kesejahteraan Buruh a. Mendapatkan Upah yang Layak Dalam dunia bisnis, banyak dijumpai karyawan-karyawan perusahaan dengan gaji rendah, sementara bobot pekerjanya terhitung berat. Mereka lelah dengan pekerjaan, sementara upah yang diterima tidak mampu mengembalikan modal tenaga atau keahlian mereka. Akibatnya, mereka akan menderita baik secara fisik maupun psiokogis. Hal ini oleh Islam tentu tidak dibenarkan. Dalam Islam tidak dibenarkan mengeruk banyak keuntungan dengan menggaji karyawan secara rendah. Upah harus ditentukan sesuai dengan bobot kerjan dan keahlian pegawai. Upah harus ditentukan secara adil dan tidak dilakukan dengan sewenang-wenangnya. Kadar upah buruh yang adil adalah 12 Al-Bukhari, al-Jami’ al-Shahih, hadis no. 2359 dalam CD ROM Mausu’ah alHadits al-Syarif, Edisi II, Global Islamic Company, 2000.
ِر ض َي اللَّهُ َع ْنهُ َو َعلَْي ِه ُحلَّة َو َعلَى ُغ َال ِم ِه ُحلَّة فَ َسأَْلَناهُ َع ْن َ َّ النبِ ِّي صلَّى ِ َ ََذِل َك فَق ُ ال ِإِّني َس َاب ْب ُاللهJurnal َSyari’ahَّ ت َر ُج ًال فَ َش َكاني ِإلَى 24 Vol. II, No. II, Oktober 2013 َّ ِ َّ َّ النبِي َّ ال ِلي ُم ِه ِّ َعَّي ْرتَهُ بِأ َ ََعلَْي ِه َو َسلَّ َم فَق َ صلى اللهُ َعلَْيه َو َسل َم أ َ ِ ان م فَ َم ْنdengan اللَّهُ تَ ْحdan لَهُ ْمkuantitas خ َولُ ُك ْم َج َعbidang َّن ِإ ْخdan ال ِإ َ sudah َثَُّم ق َ َو َان ُك ْمkerja َkualitas َ َكsesuai ْ ت أ َْيدي ُك yang semestinya upah bisa mencukupi tahap minimum keperluanasas أ ُس َوَالmanusia ِم َّما َيْلَبdiُهsuatu َوْلُيْلبِ ْسdaerah َي ْأ ُك ُلtertentu. ط ِع ْمهُ ِم َّما ْ ت َي ِد ِه َفْلُي ُ َ َخوهُ تَ ْح setiap
Dalam satu kesempatan Nabu juga pernah memberikan َّن َكلmembekam ِ بهم فَأatas ِ موهم مdalam وه ْم َع ُين وه ْم تُ َك upah kepada ْآدَمما َيب ْغنِلُب أَهُبِْميفَِإ ِإNabi ُ seseorang ُاسْفتُ ُح َّد ُلَِّّدفُثناMuُاشعَيبْغةلjasanya ْ ْ ُ َ ِ َّ ٍ اْل ب د َح ل اص و ا ن ث د ح ا ن ث ي ح ْ ُ َ َ َ ُ َ َ ُ ْ sebagaimana َ ْ َ َ dalamَ hadis berikut: ُْ ُ َ َ hammad َ َ َ digambarkan
ِ ت أْبَبِان َذعر ِ َالََنا سأِمَبعوتُنعاْيْلٍممعرح َّدث َّ ي َّال َاماٍْلرِغفَقَِار َ وي ٍد َعقَْن َ َ ال َعَأْرمَْيِرُو ْورَنا ْب َنم ْس َعُسر َ َُ ْ َ َ ُ ْ ُ َ قَحدَث َّ ض ِ سر ِمِعت أَنَّسا ر َِّ غ َال ان عي ِْهن صلَّ فَى َسأَْل النمبِهي ُحلَّ َة ََْاللََّنهُاهُ َعل ْ ََ َُ يو َعلَاللْي ِهُ َعُحْنلَّهُة َيقَُووَعُلَلىَك َ ُض َيُ َالل ًهُ َع ْنه ِْ ت َّ َّ النبِ ِّي الِج ُمِإِّن َويلَ ْم َيس ُكَاب ْبن َُي َّ َج َانِرهُي ِإلَى َْح ًدفَا َشأ َك َََوذِلَسلََّكَم يفَقَْحت َظَلرُمُج ًأال ُصلى الله َ
Anas berkata bahwa Nabi Muhammad SAW. pernah melakukan ِالنب َّ ِليseseorang صلَّى ي ال َِسلَّ َم فَقatas ِه َوupah َعلَي ِهbekam ُم َّرتَهُ بِأdan َعَّي أtidak َو َسلَّ َمsekali-kali اللَّ ِهُ َعلَْي ِهbeliau َِّخ َ َ mendzalimi َ َّ َ ْ اه أ ه الل ل ع ج ن م ف م ك ي د َي أ ت ح ت ه الل م ه ل ع ج م ك ان و خ إ َ َ َ ْ َ َ ْ ُ ْ َ ْ َ ُ ُ ُ َ َ َ ْ ُ ُ َ ْ ْ ُه ْم... َ (H.R. ُ al-Bukhari). ُnya. َُّكم جعلَهم اللRasulullah ان ِدي ُك ْم فَ َمِّ ْنIbnu ت أ َْي هُِ تَ ْحal-Asqallani, خ َِو َان ُك ْمpernah hajar ُخاَول َتثَُّمح ق ْ ال ِدِإِه َّنَفْلِإي َ َ َ ِ َ ه َكِمMenurut َ ْ ْ ُ ِ ْ ن ف ل ك ي ال و س ب ل ي ا م م ه س ب ل ي ل و ل ك أ ي م م ه م ع ط ََيmelakuت َّ َّ ْ ْ ْ ْ َ ُ َ ُ َْ َ yang ُ ُ ُ meskipun ُ َ berdebat َ ُ ْ ُ bekam َ bekam kan tentang َ ُ َ َ paraُ ْulama ِ ِ ِ ِ ِ dilakukan hadis َيْلَب ُس َوَالNabi م َّماkarena طَّع ْمهُ م ه ِ َفْلyang ت ِ َيد تَ ْحtampak َخوه ْنُي ك ُ اأْل َيlain ُْنَوهْلُيْلبِعلَ ْيس ِههsebagian ِ َّمْغاِلب َيهْأ َُفكْلُيلredaksi ُ ِ ل م ع ي ا م ه ف ل إ ف ه ب ل غ ا م ع َ َ َ ْ ْ ْ َ ُ bekam. ُ ُ ُ َ Namun ُ ُ َ redaksinya ada pencelaan terhadap َ ُ kesamaan َ ََ َّ ِ ِ ِ adalah bahwa Nabi selalu memberikan upah kepada orang ِ وه ْم ُتُ َكلِّف ُ وه ْم َما َي ْغلُبهُ ْم فَأَع ُين ُ وه ْم َما َي ْغلُبهُ ْم فَإ ْن َكل ْفتُ ُم ُ mem-
bekam beliau. Tidak dijelaskan dengan detail oleh Ibnu hajar bagaimana Rasulullah memberikan upahnya. Apakah ada proses ِatau ال َعatas ْب ِنpemahaman َع ْن َع ْم ِروyang ْس َعرlumrah ح َّدثََنا ِمyang أَُبو ُن َعdiَناdaerh dialogis ََح َّدث َ َام ٍر ق َ ْيٍمberlaku tersebut. Namun upah oleh Nabi dilihat sebagai hak mutlak yang 13 ِ َّضي الل ِ tersebut. tentunya َّ َكانjerih اللَّه علَي ِهsebanding بِي صلَّىdengan الن يقُو ُلpayah ه ع ْنهpegawai ت أَنسا ر سمع
َْ ُ
َُ َ ُ َ َ ًَ ُ ْ َ b. Hak Mendapatkan Perlindungan Kerja ِظ َح ًدا َي ْحتَ ِج ُم َولَ ْم َيal-khamَو َسلَّ َم ْ ُك ْن َيal-daruriyyat Di samping konsepُرهhifz ْ أal-nafs َ ل ُم أdalam َ َج َ
َ
sah, dalam sebuah hadith, Nabi bersabda:
َ ت أ َْي ِدي ُك ْم فَ َم ْن َج َع َل اللَّهُ أ َ ُه ْم ِإ ْخ َو ُان ُك ْم َج َعلَهُ ُم اللَّهُ تَ ْح... َُخاه ط ِع ْمهُ ِم َّما َي ْأ ُك ُل َوْلُيْلبِ ْسهُ ِم َّما َيْلَب ُس َوَال ُي َكلِّفُهُ ِم َن ْ ت َي ِد ِه َفْلُي َ تَ ْح اْل َع َم ِل َما َي ْغِلُبهُ فَِإ ْن َكلَّفَهُ َما َي ْغِلُبهُ َفْلُي ِع ْنهُ َعلَ ْي ِه
13 Ibnu Hajar al-‘Asqallani, Fath al-Bari, Syarh hadis no. 2119 al-Bukhari dalam CD ROM Mausu’ah al-Hadits al-Syarif, Edisi II, Global Islamic Company, 2000.
Teologi Upah dan Kesejahteraan Buruh ... Muhammad Makmun Abha
25
“Para perkerja adalah saudaramu yang dikuasakan Allah kepadamu. Maka barang siapa mempunyai pekerja hendaklah diberi makanan sebagaimana yang ia makan, diberi pakaian sebagaimana yang ia pakai, dan jangan dipaksa melakukan sesuatu yang ia tidak mampu. Jika terpaksa, ia harus dibantu” (HR. Ahmad).
Hadis ini sangat jelas menyatakan bahwa keamanan buruh berada dalam tanggungan para majikan. Kewajiban memberi makanan dan pakaian sebagaimana yang dipakai majikan, jika dipahami dengan pemahaman Isharah al-Nas,14 adalah perintah untuk menyediakan basic need, sebagaimana dibayangkan Maslow. Juga, larangan memaksa melakukan pekerjaan yang mereka tidak mampu dan kewajiban membantu melaksanakan pekerjaan tersebut bisa dipahami sebagai kewajiban memberikan fasilitas dan perlindungan kerja. c. Hak melaksanakan ibadah dengan tetap mendapatkan upah. Dalam sebuah negara demokrasi, melakukan internalisasi terhadap standar, harapan, prinsip, norma, ide dan keyakian yang dipegangnya adalah hak azasi. Ia berhak mengetahui, memahami, dan mengambil tindakan sesuai dengan nilai-nilai yang diyakininya. Dalam konteks seorang buruh muslim, nilai tersebut adalah keimanannya. Keimanan dalam perspektif ini adalah keyakinan pada keesaan Allah yang terbangun jauh sebelum ia dilahirkan, sebagaimana dinyatakan sabda Nabi berikut:
ِق ر ال َر ُسو ُل اللَّ ِه ِّ َع ْن أَبِي َب ْك ٍر َ َال ق َ َض َي اللَّهُ َع ْنهُ ق َ ِ الص ِّدي صلَّى اللَّهُ َعلَْي ِه َو َسلَّ َم َال َي ْد ُخ ُل اْل َجَّنةَ َب ِخيل َوَال َخب َوَال َخائِن َ ِ ِ ون ِإ َذا َ َوَال َسيِّئُ اْل َملَ َكة َوأ ََّو ُل َم ْن َي ْق َرعُ َب َ اب اْل َجَّنة اْل َم ْملُو ُك
ِ َّ ِ ِ َّ يما َب ْيَنهُ ْم َوَب ْي َن ْأ َ َح َسُنوا ف َ يما َب ْيَنهُ ْم َوَب ْي َن الله َع َّز َو َجل َوف )َم َو ِالي ِه ْم (رواه احمد
“Tidak masuk Surga orang pelit, penipu, pengkhianat, dan orang َّبِ ِّي صلSedangkan pelayananannya orang yang َّ جل ِإلَى ول َر ُسjelek ال َيا َعَل ْي ِه َو َسلَّ َم فَقterhadap ى اللَّهمmajikan. الن اء َر ج َyang َ َ ُ َ َ pertama kali mengetuk pintu Surga adalah para buruh yang baik َter-
ت َ َق َ َع َ ص َم َ ص َم َ ت َع ْنهُ ثَُّم أ َ َاد ف َ َال ف ِ ين َم َّرةً (رواه َ َع ْنهُ ُك َّل َي ْوٍم َس ْبع
14 Wahab Khallaf, Ilm Ushul fiqh, 145
ِ ُاللَّ ِه َكم يعفَى ع ِن اْلممل وك َْ َ ُْ ْ
ال ُي ْعفَى َ َاد فَق َ َع َ َع ْنهُ ثَُّم أ
)احمد
26
Jurnal Syari’ah Vol. II, No. II, Oktober 2013 hadap sesamanya, taat kepada Allah, dan kepada majikannya.” (HR Ahmad)15
d. Hak melakukan mogok kerja. Harus diakui, bahwa pemogokan buruh memang persoalan yang َّ diartikan ِق ر ِ يsebagai ٍ ْن أَبِي َب ْكdiri اللَّ ِهkrusial. ال َر ُسو ُل ض الص ِّد َع ِّ رpenarikan َPemogokan َ َ َع ْنهُ قdapat َال ق َُي اللهyang َselama seorang buruh dari pekerjaannya ini dilakukan, denganِ harapan memperoleh َّه علَ ْي ِه وسلyang َّى اللlebih َّصل ةَ َب ِخيل َوَال َخب َوَال َخائنperlakuan ْد ُخ ُل اْل َجَّنatau م َال َيpenghasilan َ ُ َ َ َ َ baik. Pressure ini akan mengakibatkan produksi terhenti, sehingga harga akan naik, ِdan majikan akan mengalami Jawaِ َكkerugian. ِ ون َّ ا ذ إ ك و ل م م ل ا ة ن ج ل ا اب ب ع ر ق ي ن م ل َو أ و ة ل م ل ا ِّئ ي س َوَال َّ ْ ْ ْ َ َ ُ ُ ْ ُ ُ ْ َ َ َ َ َ ْ َ ini, jika kesepakatan َ َ ُ َadalah َtetap tidak ban dari langkah َ tercapai, dengan lock out atau menutup perusahaan. Target dari langkah ِ ِ َع َّز و َج َّلkeinginan ْي َنadalah ْيَنهُ ْم َوَبuntuk يما َب َوَب ْي َن اللَّ ِهmajikan ا َب ْيَنهُ ْمterhadap يم أ ْbuini َ وفmemaksakan َ َح َسُنوا ف َ َ ruh, sebab buruh akan dihadapkan pada dua pilihan yang sama)رواه احمدdisebutkan ( َم َو ِالي ِه ْم sama sulit; tetap kerja atau PHK. Hal Ini sebagaimana dalam hadis berikut:
ول َ ال َيا َر ُس َ ََو َسلَّ َم فَق ت َ َع َ ص َم َ َع ْنهُ ثَُّم أ َ َاد ف
َّ اء َر ُجل ِإلَى صلَّى اللَّهم َعلَ ْي ِه َ النبِ ِّي َ َج ِ ُاللَّ ِه َكم يعفَى ع ِن اْلممل ت َ َوك ق َ ص َم َ َال ف َْ َ ُْ ْ ِ ين َم َّرةً (رواه َ َاد فَق َ َع َ َع ْنهُ ثَُّم أ َ ال ُي ْعفَى َع ْنهُ ُك َّل َي ْوٍم َس ْبع
)احمد
“Seorang laki-laki datang kepada Nabi. Ia bertanya: wahai Rasul, beraseorang buruh layak dimaafkan ِّ (jika ِ ْبkali نpa س ِع ِيد ب ْب ُن الد َم ْش ِقي اْل َوِل ِيدmelakukan اس ْب ُن َعkesalahan). َح َّدثََنا اْل ُ َح َّدثََنا َو ْهia bertanya َ saja. ُ َّبhanya Nabi diam Kemudian lagi, dan Nabipun diam. Untuk pertanyaan yang ketga kalinya, Nabi menjawab: Buruh harus ِ ِالر ْحم ِن ْبن َزْي ِد ْب ِن أَسلَم ع ْن أَب ِ َالسل ِ َّ َّ يه د ب ع ا ن ث د ح ي م ة َّ َّ 16ي َ َ ُ ْ َ َ َ َ ُ ْ dima’afkan,َ walaupun ia melakukan َ kesalahan 70 kali sehari.” َعط
e. Waktu Pemberian Upah َّ َّو ُل اللَّ ِه صلupah, َعلَْي ِهDalam ال َر ُس اللَّ ِه ْب ِن ُع َم َرseorang ْن َع ْب ِدmaَع َ Islam َ َقmenganjurkan َال ق ُى اللهmemberikan َ jikan-atasan untun memberikan upah kepada pegawainya setelah ِ طُوا ْاْلDalam َّ َي ِجtempo ف َن َج َير َع pekerjaan itu selesai ْ أsecepatnya. ْ و َسلَّ َم أseْ قَْب َل أyang َُع َرقُهdengan َُج َره َ buah riwayat disebutkan:
ِ ِ ِ ِ ِ َسوا ٬ق َ َوَرك٬ُاستَ ْكَب َر َم ْن أَ َك َل َم َعهُ َخاد ُمه ْ َما َ ْ ب اْلح َم َار باْل َّ 1988), 16 Ahmad Ibn Hanbal, Musnad al-Imam Ahmad, (Mesir: اDar اعتََق َل َو ْ no. َ َالشاةَ ف َحلََبهal-Ma’arif, 5633 15 Ahmad Ibn Hanbal, Musnad al-Imam Ahmad, (Mesir: Dar al-Ma’arif, 1988), no. 13
ِ ُاللَّ ِه َكم يعفَى ع ِن اْلممل ت َ َوك ق َ َع َ ص َم َ ص َم َ ت َع ْنهُ ثَُّم أ َ َاد ف َ َال ف َْ َ ُْ ْ ِ َّل يوٍمUpah ين َم َّرةً (رواه ى َع َع َ َاد فَق Kesejahteraan َال ُي ْعف َ Buruh َ ثَُّم أ... َُع ْنه َ َس ْبعTeologi ْ َ ْنهُ ُكdan 27 Muhammad Makmun Abha
)احمد
ِّ اس ْب ُن اْلوِل ِيد ب ْب ُن َس ِع ِيد ْب ِن الد َم ْش ِقي َح َّدثََنا َو ْه ُال ق َ ُح َّدنثََناأَبِ اْلي َعَّببك َالص ِّدي َّ ِال رسو ُل اللَّه ِ ِ ٍ ق ه ن ع ه الل ي ض ر ق ر ِّ َْ ْ َع ُ َ َ َ َ َ ُ َْ ُ َ َ ِ ِالر ْحم ِن ْبن َزْي ِد ْب ِن أَسلَم ع ْن أَب يه َّ ََع ِطَّية َّ السلَ ِمي َح َّدثََنا َع ْب ُد َ ُ ْ َ َ َّ ِ ِ ِ َّ صلَّى اللَّهُ َعلَ ْيه َو َسل َم َال َي ْد ُخ ُل اْل َجنةَ َبخيل َوَال َخب َوَال َخائن َ َّ ِ َّال رسو ُل الل ِ ِ ِ صلَّى اللَّهُ َعلَ ْي ِه ه ق ال ق ر م ع ن ب ه الل د ب ع ن َوَعالْ سَيِّْئ الملكْ ِة وأَُوَ َل َمنَ يَق َرع َب ُاب الجَّن ِة ا ون ِإ َذا ك و ل م م ل َ ُ ُ ْ َ ْ َ ْ َ َ ُ َ ْ َ ْ َ ُ َّ َ َ َ َ ْ ُ َ ََ ِ َعطُوا ْاْل َّ َن َي ِج ف َع َرقُه َج َرهُ قَْب َل أ َج َير أ َو َسلَّ َم أ ْ ْ ْ ُ َّ ِ ِ َّ ِ يما َب ْيَنهُ ْم َوَب ْي َن ْأ َ يما َب ْيَنهُ ْم َوَب ْي َن الله َع َّز َو َجل َوف َ َح َسُنوا ف “Berikanlah upah pegawai (buruh), sebelum kering keringatnya.” (HR. ِ ِ ِ ِ واMajah). ِ ما ٬Ibn ق استمَ ْكَب( َرواهَم ْن أَ َك َ َوَرك٬ُاحمد)َل َم َعهُ َخاد ُمه ْ ب اْلح َم َار بِاْل َ َس ْ َْ َوالي ِه
Islam sangat menjunjung tinggi kehormatan dan peran seorang pegawai-buruh. Sehingga Islam mengatur gaji َّ bahwa الشاةَ فَ َحلََبهَا اعتََق َل َو ْ َّ َّ َّ ِ ِ ِ hendaklah dibayarkan setelah pekerjaannya selesai dalam tempo َّ ول ي ب الن ى ل إ ج ر ل اء ج َ ِّ َ ال َيا َر ُس َ َصلى اللهم َعلَ ْيه َو َسل َم فَق َُ َ َ َ yang cepat. Imam Abdurrahman Al-Munawi pernah mengatakan ِ menunda bahwa seseorang gaji ت ص َم اد َع أdiperblehkan ت َع ْنهُ ثَُّم ص َم اللَّ ِه َك ْم ُي ْعفَى ُ َع ِن اْل َم ْملpemberian َ َ ق17وك َفtidak َال ف َ َ َ َ َ َ tepat waktu dengan tanpa alasan. Sehingga penulis melihat bahwa hadis keringat ِ yang (رواهredaksi ين َي ْوٍمmenggunakan ْعفَى َع ْنهُ ُك َّلistilah ال ي اد َ َ“فَقsebelum َ َع ًَم َّرةkering” َ ثَُّم أdiperinَُع ْنه َ َس ْبعadalah si pekerja ungkapan untukُ menunjukkan tahkannya memberikan gaji setelah pekerjaan itu selesai ketika si )احمد pekerja meminta walau keringatnya tidak kering atau keringatnya telah kering. f. ب ِنMendapat Baikيdari ِّ اس ْب ُن اْلوِل ِيد ْب ُن َس ِعPerlakuan ب َم ْش ِقMajikan الد َح َّدثََنا اْل َعَّب ْ ِيدIslam ُ َح َّدثََنا َو ْهagar َ danُ atasan mengajarkan para majikan bersikap yang بberwibawa ِ ِ أَبtawadu’ يه َسلَ َم َع ْن ِنdengan الر ْح َم َّدثََناdan ي َحpembantunya. السلَ ِم َّ ََع ِطَّية َّ ب ُدburuh ْ ْب ُن َزْي ِدmemiliki ْ َعyang ْ ِن أdituntut Seorang majikan etika baik kepada pegawai buruhnya. jika mentang-mentang menَِّه صلTidak َّو ُل اللdibenarkan ِ علَ ْيdanاللَّه ِ ن َع ْب ِد اللَّ ِه ْب ه ى س ر ال ق ال ق ر م ع ن َ َ َ َ ْ َع َ ُ ُ َ ُ َ َ َ jadi atasan dan pimpinan kemudian menggunakan kesempatan tersebut untuk menindas buruh dengan semaunya sendiri.َّ Hal ِ اْل َّ َي ِجmelalui ف َن َج َير َو َسل َم ْ َعطُوا ْ أAbu ْ أbahwa ْ قَْب َل أjalur ُ َع َرقُهhadis ini sebagaimana dalam Hurairah, َُج َره Nabi SAW bersabda:
ِ ِ ِ ِ ِ َسوا ٬ق َ َوَرك٬ُاستَ ْكَب َر َم ْن أَ َك َل َم َعهُ َخاد ُمه ْ َما َ ْ ب اْلح َم َار باْل َّ اعتََق َل الشاةَ فَ َحلََبهَا ْ َو
17 Lihat: Abdurrahman al-Munawi, Faidhul Qodir (Syarh al-Jami’ al-Shaghir), (Beirut: Darul Fikr, 1416H/1996M) jilid 1, hal. 718.
28
Jurnal Syari’ah Vol. II, No. II, Oktober 2013 “Bukan orang yang sombong, majikan yang makan bersama budaknya, mau mengendarai himar (kendaraan kelas bawah) di pasar, mau mengikat kambing dan memerah susunya.” (HR. al-Baihaqi)
g. Reward dan Punishment? Islam menekan semaksimal mungkin sikap kasar kepada bawahan. Seorang majikan berhak memberikan arahan kepada bawahannya terkait pekerjaan yang menjadi tanggungjawabnya. Di waktu yang bersamaan, seorang majikan juga diharapkan dapat memantau pekerjaan bawahannya tersebut dengan baik dan bijaksana. Jika seorang bawahan ternyata melakukan kesalahan maka diingatkan dan diarahkan dengan baik, tidak boleh semena-mena apalagi menzhalimi bawahannya. Nabi Muhammad SAW sendiri sebagai seorang utusan Allah, yang menguasai setengah dunia ketika itu, tidak pernah sama main tangan dengan bawahannya. Reward artinya ganjaran, hadiah, penghargaan atau imbalan. Dalam konsep ekonomi, reward merupakan salah satu alat untuk peningkatan motivasi para pegawai. Selain motivasi, reward juga bertujuan agar seseorang menjadi giat lagi usahanya untuk memperbaiki atau meningkatkan kualitas dan prestasi kerja yang telah dapat dicapainya.18 Hal ini senada dengan hadis berikut:
يد ْب ِن أَبِي ِزَي ٍاد َع ْن َع ْب ِد اللَّ ِه ْب ِن اْل َح ِار ِث َ َح َّدثََنا َج ِرير َع ْن َي ِز َّ ِ َّ َّ ال َكان رسو ُل اللَّ ِه صف َع ْب َد اللَّ ِه ُ صلى اللهُ َعلَْيه َو َسل َم َي َ ُ َ َ َ َق ِ ير ِم ْن َبنِي اْل َعَّب َو ُعَب ْي َد اللَّ ِه َو َكثِ ًا َ اس ثَُّم َيقُو ُل َم ْن َسَب ُق ِإلَ َّي َفلَه ِ ص ْد ِرِه َ ون َعلَى َ ََك َذا َو َك َذا ق َ ون ِإلَْيه فََيقَ ُع َ ُال فََي ْستَبِق َ ظ ْه ِرِه َو )فَُيقَِّبلُهُ ْم َوَيْل َزُمهُ ْم (رواه احمد
“Pada suatu ketika Nabi membariskan Abdullah, Ubaidillah, dan ْنanak-anak س َم ِعي ُل َعpaman َّدثََنا ِإbeliau, ي َح نِي اْلَي ْش ُكKemudian, ِه َش ٍام َي ْعbeliau ُل ْب ُنberkata ََنا ُم َؤ َّم:َح“َّدثBaَّ ِرAl-Abbas. ْ rang siapa yang terlebih dahulu sampai kepadaku, dia akan mendapatkan ini dan itu.” Lalu mereka berlomba-lomba untuk sampai kepada ْب ُن َد ُاوَد أmereka َس َّو ُارmerebahkan َُبو َد ُاود َو ُه َوdiri ال أ َس َّو ٍار أَبِيdan َ diَ قatas َزةbeliau. َ َُبو َح ْمKemudian َ َح ْم َزةpunggung
ِ َِّيرِفي ع ْن عم ِرو ْب ِن ُشع ْي ٍب ع ْن أَب ِ يه َع ْن َج ِّد ِه َ َ َْ َ َ ْ اْل ُم َزني الص ِ َّ صلَّى اللَّهُ َعلَ ْي ِه َو َسلَّ َم ُم ُروا أ َْوَال َد ُك ْم َ َال ق َ َق َ ال َر ُسو ُل الله ِِ ِ َ بِالص اء ْ ين َو ُ اض ِرُب َ اء َس ْب ِع سن ُ وه ْم َعلَْيهَا َو ُه ْم أ َْبَن ُ َّالة َو ُه ْم أ َْبَن
18 Muhammad Kosim, Antara Reward dan Punishment, Rubrik Artikel, Padang Ekspres, Senin, 09 Juni 2008. Hal. 1
Teologi Upah dan Kesejahteraan Buruh ... Muhammad Makmun Abha
29
dada beliau. Kemudian, beliau menciumi dan memberi penghargaan.” (HR. Ahmad)
Dalam hadis Nabi SAW bersabda :
يد ْب ِن أَبِي ِزَي ٍاد َع ْن َع ْب ِد اللَّ ِه ْب ِن اْل َح ِار ِث َ َح َّدثََنا َج ِرير َع ْن َي ِز َّ ِ َّ َّ ال َكان رسو ُل اللَّ ِه صف َع ْب َد اللَّ ِه ُ صلى اللهُ َعلَ ْيه َو َسل َم َي َ ُ َ َ َ َق ِ ير ِم ْن َبنِي اْل َعَّب َو ُعَب ْي َد اللَّ ِه َو َكثِ ًا َ اس ثَُّم َيقُو ُل َم ْن َسَب ُق ِإلَ َّي َفلَه ِ ص ْد ِرِه َ ون َعلَى َ َك َذا َو َك َذا َق َ ون ِإلَ ْيه فََي َق ُع َ ُال فََي ْستَبِق َ ظ ْه ِرِه َو )فَُيقَِّبلُهُ ْم َوَيْل َزُمهُ ْم (رواه احمد “Dari Amr Bin Syu’aib dari bapaknya dari kakeknya berkata: Rasulullah َِش ٍام يعنuntuk ْنSAW ُل َعbersabda, “ََنا ِإ ْس َم ِعيPerintahkanlah ي َح َّدث ب ُن ِهmelakukan َنا ُم َؤ َّم ُلshalat, َّ ي اْلَي ْش ُك ِرanakmu ََح َّدث ْ َ ْ pada saat mereka berusia tujuh tahun, dan pukullah mereka pada saat mereka berusia sepuluh tahun jika mereka meninggalkan ِshalat dan ال أَُبو َح ْمDawud) َس َّو ٍار أَبي ْب ُن َدdalam َس َّو ُارhal و ُه َوtempat َ (HR. ََزةَ قAbu َزةpisahkanlah َ ُاوَد أَُبو َح ْمmereka َ َد ُاودtidur.”
ِ ِّ
ِِ
ٍ
ِ
ِ
ِ
ِ
بيه َع ْن َجدsebagai َب َع ْن أSolusi ن ُش َع ْيPengentasan ي َع ْن َع ْمرو ْب َّي َرف اْل ْ ُم َزني الصdan E. هWirausaha Kemiskinan Pengangguran َّ َّ َّ ِ َّ ِ
ُك ْمPengangguran َسل َم ُم ُروا أ َْوَال َدadalah علَ ْيه َوistilah صلى اللهyang َر ُسو ُلtidak ال ال َ َقbekerja َ َق َ ُ اللهuntuk َ orang sama sekali, sedang mencari kerja, bekerja kurang dari dua hari seِ س ْب ِع ِسberusaha اء هَا َو ُه ْم أ َْبَنatau َعلَْيseseorang وه ْم ين َّال ِة َو َ بِالص lama ْ َوyang ُ اض ِرُب َ نsedang ُ seminggu, َ اء ُ ُه ْم أ َْبَنmendapatkan
pekerjaan yang layak. Pengangguran umumnya disebabkan karena ِ ض ع (رpencari َب ْيَنهُ ْمsebanding ْش ٍر َوفَِّرقُواdenَع ِ اج ْ ِفي اtidak jumlah angkatan)داود kerja ابو atauواه para َ ل َمkerja gan jumlah lapangan kerja yang ada yang mampu menyerapnya. Pengangguran seringkali menjadi masalah dalam perekonomian karena ِ ْاْل َْرdanِفيpendapatan يال َما يِ َش َقِلpengangguran, ا لَ ُك ْم ِفيهَا َم َعاproduktivitas ض َو َج َعْلَن لَقَ ْد َم َّكَّنا ُك ْمmaَو ًadanya dengan syarakat akan berkurang sehingga dapat menyebabkan timbulnya ون kemiskinan dan masalah-masalah sosial lainnya.19 َ تَ ْش ُك ُر Bekerja merupakan suatu ibadah yang wajib. Kewajiban ini pada dasarnya bersifat individual, atau fardhu ‘ain, yang tidak bisa diwakilkan kepada orang lain. Bekerja merupakan salah satu kewajiban bagi setiap Muslim, dan lebih dari itu orang-orang yang senan19 http://id.wikipedia.org/wiki/Pengangguran. diakses pada 30 Mei 2013
30
َّ ِ َّ َّ ال َكان رسو ُل اللَّ ِه صف َع ْب َد اللَّ ِه ُ صلى اللهُ َعلَْيه َو َسل َم َي َ ُ َ َ َ َق Jurnal Syari’ah ِ ير ِم ْن َبنِي اْل َعَّب ق ِإلَ َّي اس ثَُّم َيقُو ُل َم ْن َسَب َو ُعَب ْي َد اللَّ ِه َو َكثِ ًا َ َُفلَهVol. II, No. II, Oktober 2013 ِ ص ْد ِرِه َ ون َعلَى َ َك َذا َو َك َذا َق َ ون ِإلَْيه فََي َق ُع َ ُال فََي ْستَبِق َ ظ ْه ِرِه َو
tiasa mencukupi kebutuhan hidupnya tanpa menggantungkanِّ ke)فَُيقَبلُهُ ْم َوَيْل َزُمهُ ْم (رواه احمد pada orang lain (dari usaha/keringat sendiri) merupakan sebagian dari manusia-manusia yang utama. Setiap manusia memerlukan harta َع ْنdan ُلkekayaan ثََنا ِإ ْس َم ِعيyang ح َّدsekecil ي َي ْعنِي اْلuntuk ِه َش ٍامmencukupi ُم َؤ َّم ُل ْب ُنberbagai َح َّدثََنا َّ َي ْش ُك ِرapapun kebutuhannya. Karenaَhal itu, akhirnya manusia selalu berusaha untuk زة mendapatkan salah adalah ٍ َس َّو َد ُاوَد أَُبو َح ْمapa ْب ُنyang َس َّو ُارiaَوharapkan, و َد ُاود َو ُهdan ال أَُب ْم َزةَ قsatunya ار أَبِي َح َ َ َ َ harta kekayaan, manusia berlomba-lomba bekerja untuk mencukupiِ ِّkebutuhannya. Olehٍ karena itu Islam kemudian mewajibkan ِ ِع ْن أَب ِ َّي َرِفي َع ْن َع ْم ِرو ْب ه د ج ن ع يه ب ي ع ش ن الص اْل ُم َزنِي ُ ْ ْ ْ َ َ َ َ kepada umatnya untuk senantiasa bekerja dalam memenuhi segala kebutuhanhidup mereka. َّ ال رسو ُل اللَّ ِه صلَّى اللَّه علَ ْي ِه ُك ْمSeorang روا أ َْوَال َدmukmin َ َق َال ق َ ُtakut tidak َ mendapatkan ُ َ َpekerjaan ُ َو َسل َم ُمdilarang karena Allah telah menyediakan berbagai kebutuhan manusia unِ ِ اء س ْبtelah ِ اض َّال ِة َو هَا َو ُه ْم أ َْبَنmereka. وه ْم َعلَْي َ بِالص tuk اء ْ ين َو ُ20 رُبSesungguhnya َ ِع سنAllah ُkehidupan َ ُ ُه ْم أ َْبَنmelapangkan bumi dan menyediakan fasilitas, agar manusia dapat berusaha menِ ض داودyang اه ابوdisediakan-Nya اج ِع (رو م ِفيkeperluan cari sebagian dari)rizki َ اْل َمbagi ْ ُوفَِّرقُوا َب ْيَنهmanusia. َ َع ْش ٍر Sebagaimana yang telah dijelaskan Allah melalui firman-Nya:
ِ ولَقَ ْد َم َّكَّنا ُك ْم ِفي ْاْل َْر يال َما ً ض َو َج َعْلَنا لَ ُك ْم ِفيهَا َم َعايِ َش َقِل َ ون َ تَ ْش ُك ُر
“Dan sungguh Kami telah menempatkan kamu di bumi dan di sana Kami sediakan (sumber) penghidupan untukmu. (Tetapi) sedikit sekali kamu bersyukur.” (Q. S. Al-A’raf: 10)21
Sementara itu Rasulullah Muhammad SAW memberikan tuntunan, bahwa salah satu cara yang paling baik dan utama untuk mencukupi kebutuhan hidup adalah lewat hasil pekerjaan dan usaha sendiri. Hal itu sebagaimana sabda beliau:
ِ ول ِ ِ ِ ِ ضي اهلل َع ْنهُ َع ْن رس ال َ َاهلل َعلَْي ِه َو َسلَّ َم ق َُ ُ َ َع ْن اْلم ْق َدام َر َن َي ْأ ُك َل ِم ْن َع َم ِل َي ِد ِه َو ِإ َّن َ َحد ْ اما قَط َخ ْي ًار ِم ْن أ َ َما أَ َك َل أ ً ط َع
ِ نبِ َّي ِ َّ اهلل َداوَد َعلَْي ِه ان َي ْأ ُك ُل ِم ْن َع َم ِل َي ِد ِه (أخرجه َ َ السالَم َك ُ 20 Johan Arifin, Etika Bisnis Islami, (Semarang: Walisongo Press, 2009), hlm.81. )البخري 21 Al-Qur’anul Al-Karim dan Terjemah Bahasa Indonesia, (Kudus: Menara Kudus, 2006), hlm. 151
ِ يد َح َّدثََنا اْلم ْس ُع ودي َع ْن َوائِ ٍل أَبِي َب ْك ٍر َع ْن َعَب َايةَ ْب ِن ُ َح َّدثََنا َي ِز َ يل َيا ٍ يج َع ْن َج ِّد ِه َرِاف ِع ْب ِن َخ ِد ٍ اعةَ ْب ِن َرِاف ِع ْب ِن َخ ِد َ ال ِق َ َيج ق َ َِرف
dan Kesejahteraan ِ Teologi ِ رBuruh ِ ِم ْق َد...َع ْن اْل31 ِ رسUpah ال ول ن ع ه ن ع اهلل ي ض ام َ َاهلل َعلَ ْي ِه َو َسلَّ َم ق ْ ْ َ ُ َ َُ Muhammad َ Abha ُ َ Makmun َن َي ْأ ُك َل ِم ْن َع َم ِل َي ِد ِه َو ِإ َّن َ َحد ْ اما قَط َخ ْي ًار ِم ْن أ َ َما أَ َك َل أ ً ط َع
ِ نبِ َّي ِ َّ اهلل َداوَد َعلَْي ِه ان َي ْأ ُك ُل ِم ْن َع َم ِل َي ِد ِه (أخرجه َ َ السالَم َك ُ )البخري
“Dari Miqdam ra. Dari Rasulullah Saw, beliau bersabda: Seseorang yang baik. ِ وائِ ٍل أَبsendiri, ِituس ُعlebih ٍ ي َب ْكusahanya ةَ ْب ِنmakan ْن َعَب َايdari ر َعhasil ودي َع ْن َح َّدثََناSesungguhnya يد ُ َح َّدثََنا َي ِز22 ْ ( اْل َمH. Nabi Daud as makan dari hasil َusahanya sendiri.” R. Al-Bukhari)
Hadits diatasِ menunjukkan atau ِ ال ِ ج ِّد ِه رbahwa ِbekerja ِْب ِن رberusaha ِ ِ ا ي يل ق ق يج د خ ن ب ع اف ن ع يج د خ ن ب ع اف اع ٍ ِ ٍ ِ َ َ َ َ َ ْ ْ ْ َ َ َ َ َِرف َ َ َةDalam merupakan perbuatan yang sangat mulia dalam ajaran Islam.
Islam bekerja bukan sekedar memenuhi kebutuhan sehari-hari tetapi َّ ِ ِ ِ ِ ِ ِ ع ي ب ل ك و ه د ي ب ل ج الر ل م ع ال ق ب ي ط َ أ ب س ك ل ا َي أ ه الل ول َر ُس َّ ٍ ْ ْ ُ َ ُ َ َ َ ْ َ َmemelihara َ ُ harga juga untuk ْ kemanusiaan yang َ َ diri danُ َmartabat seharusnya dijunjung tinggi. Karenanya dalam Islam bekerja menemٍ رyang ور pati posisi yang teramat mulia. Islam sangat menghargai orang ُ َم ْب bekerja dengan tangannya sendiri. Orang yang bekerja/berusaha untuk mendapatkan penghasilan dengan tangannya sendiri baik untuk mencukupi kebutuhannya sendiri maupun keluarga dalam Islam orang seperti ini dikategorikan jihad fi sabilillah. Seperti yang dicontohkan oleh Nabi Dawud (salah satu pengrajin daun kurma untuk di buat keranjang atau lainnya). Dalam hadits yang diriwayatkan Hakim, Nabi Dawud juga dikenal sebagai pembuat besi. Nabi Idris (penjahit yang selalu menyedekahkan kelebihan dari hasil usahanya setelah digunakan untuk memenuhi kebutuhan hidupnya yang sangat sederhana). Nabi Zakariya dikenal sebagai tukang kayu. Adapun Nabi Musa adalah seorang penggembala.23 Di antara sekian pekerjaan, Islam mengenalkan cara menciptakan lapangan-lapangan pekerjaan yaitu dengan berwirausaha dan berbisnis asal dilandasi dengan cara dan prinsip-prinsip yang halal sebagaimana telah dikaji dalam penelitian ini. Berwirausaha adalah kemampuan untuk menciptakan sesuatu yang baru yang berbeda dari yang lain, atau mampu menciptakan sesuatu yang berbeda dengan yang sudah ada sebelumnya. Imam Ahmad bin Hanbal meriwayatkan hadis berikut: 22 Abi Abdillah Muhammad ibn Ismail al-Bukhori, Matan Al-Bukhori Masykul: Bihasyiyah al-Sindi, juz.2 (Beirut: Dar al-Fikr, tt), hlm. 6 (redaksi hadits). Imam Abu Zakaria Yahya bi Syaraf an-Nawawi, Terjemah Riyadhus Shalihin, jilid. 1, Terj. Achmad Sunarto, (Jakarta: Pustaka Amani, 1999), hlm. 517. 23 M.I.Yusanto dan M. K. Widjajakusuma, Op. Cit., hlm. 46
32
َن َي ْأ ُك َل ِم ْن َع َم ِل َي ِد ِه َو ِإ َّن ْأ جهJurnal (أخرSyari’ah َي ْأ ُك ُل ِم ْن َع َم ِل َي ِد ِه Vol. II, No. II, Oktober 2013
اما قَط َخ ْي ًار ِم ْن َ َحد َ َما أَ َك َل أ ً ط َع ِ نبِ َّي ِ َّ اهلل َداوَد َعلَْي ِه ان َ َ السالَم َك ُ
)البخري
ِ يد َح َّدثََنا اْلم ْس ُع ودي َع ْن َوائِ ٍل أَبِي َب ْك ٍر َع ْن َعَب َايةَ ْب ِن ُ َح َّدثََنا َي ِز َ يل َيا ٍ يج َع ْن َج ِّد ِه َرِاف ِع ْب ِن َخ ِد ٍ اعةَ ْب ِن َرِاف ِع ْب ِن َخ ِد َ ال ِق َ َيج ق َ َِرف الر ُج ِل بَِي ِد ِه َو ُكل َب ْي ٍع َّ ال َع َم ُل ْ َول اللَّ ِه أَي اْل َك ْس ِب أ َ َب ق َ َر ُس ُ طَي ٍ َم ْب ُر ور “Rasulullah ditanya, ‘Wahai Rasulullah, pekerjaan apakah yang paling baik?’ Rasulullah menjawab, ‘Pekerjaan yang paling baik adalah pekerjaan seseorang dengan tangannya sendiri dan setiap jual-beli yang baik (bersih).’” (H.R. Ahmad).
Dengan adanya anjuran untuk bekerja, menjadikan setiap umat Islam harus mencari pekerjaan sesuai dengan bakat dan kemampuan yang dimiliki. Jalan mendapatkan pekerjaan adalah bermacam-macam, namun yang terpenting adalah pekerjaan tersebut harus halal dan sesuai dengan landasan syari’ah Islam. Hal itu harus menjadi pegangan bagi setiap umat Islam dalam menjalani pekerjaan yang ia geluti. Tanpa hal itu, maka apa yang dilakukan akan terasa sia-sia dan tidak akan barokah. Dan tentunya jika bekerja tidak dilandasi dengan semangat keimanan dan ketaqwaan maka yang akan didapat adalah kebahagiaan yang semu.24
F. Kesimpulan Buruh dalam hadis ditempatkan dalam posisi yang tinggi sama dengan manusia lainnya sebagai makluk pekerja. Dalam hal ini majikan dan buruh memiliki posisi yang sama yaitu makhluk pekerja. Sehingga buruh memiliki banyak hak yang perlu dipenuhi majikannya, di antaranya adalah mendapatkan upah yang layak, upah diberikan setelah pekerjaannya selesai, tidak diperbudak, mendapat perlakuan baik dari majikan-atasan serta mendapatkan reward dan punishment. Jika hak-hak itu dipenuhi oleh majikan, maka besar sekali harapan untuk mengurangi ketimpangan kesejahteraan yang selama ini dialami oleh buruh dan majikan. Salah satu di antar hal yang menjadikan hidup sejahtera adalah 24 Johan Arifin, Op.Cit., hlm. 71-75
Teologi Upah dan Kesejahteraan Buruh ... Muhammad Makmun Abha
33
mendapatkan pekerjaan dan sebaliknya pengangguran akan mejadikan seseorang sengsara. Di antara cara pengentasan pengangguran yang dibawa oleh pesan hadis Nabi adalah memiliki etos kerja yang maksimal, memaksimalkan anugerah Allah, memaksimalkan potensi diri dan berwirausaha.
Daftar Pustaka Al-Qur’anul Al-Karim dan Terjemah Bahasa Indonesia. Kudus: Menara Kudus.2006. Arifin, Johan. Etika Bisnis Islami. Semarang: Walisongo Press. 2009. al-‘Asqallani, Ibnu Hajar. Fath al-Bari. dalam CD ROM Mausu’ah alHadits al-Syarif, Edisi II, Global Islamic Company, 2000. Breman, Jen. Menjinakkan Sang Kuli, Politik Kolonial pada awal abad ke 20. Jakarta: Grafitti Press. 1997. Al-Bukhari, Abi Abdillah Muhammad ibn Ismail. Al-Jami’ al-Shahih. Beirut: Dar al-Fikr, tt. Al-Bukhari, al-Jami’ al-Shahih. dalam CD ROM Mausu’ah al-Hadits al-Syarif, Edisi II, Global Islamic Company, 2000. Castle, Lance. Tingkah Laku Agama, Politik dan Ekonomi di Jawa: Industri Rokok Kudus. Yogjakarta: Sinar Harapan. 1982. Frans Magnis, Pemikiran Karl Marx, DARI Sosialis Utopis perselisihan Refisionisme. Jakarta: Gramedia, 1999. Hitti, Philip K., History of The Arabs. London: The Macmillan Press Ltd. 1970. Ibnu Katsir, Tafsir al-Qur’an al-‘Adhim. Beirut: Dar al-Fikr. Tt. al-Isfihani, Abu al-Faraj. Kitab al-Aghani, vol. 1. Beirut: Mat}ba’ah al-‘Arabiyyah. Tt. Al-Jazairi. Aisar al-Tafasir. Beirut: Dar al-Fikr. tt. Kosim, Muhammad. Antara Reward dan Punishment. Rubrik Artikel, Padang Ekspres, Senin, 09 Juni 2008. Hal. 1 McEachern, William A., Ekonomi Mikro Pendekatan Kontemporer . Jakarta: Thomson Learning. 2001. al-Munawi, Abdurrahman. Faidhul Qodir (Syarh al-Jami’ al-Shaghir). Beirut: Darul Fikr. 1416H/1996M.
34
Jurnal Syari’ah Vol. II, No. II, Oktober 2013
al-Nawawi, Imam Abu Zakaria Yahya bi Syaraf. Terjemah Riyadhus Shalihin, jilid. 1, Terj. Achmad Sunarto. Jakarta: Pustaka Amani. 1999. Rahman, Fazlur. Islam and Modernity Transformation of an Intellectual Tradition. Chicago: The University of Chicago Press.1982 Rasjid. Sudrajat., Dkk. Kewirausahaan Santri (Bimbingan Santri Mandiri). Jakarta: Citrayuda. 2005. Setiadji, Bambang. Upah Antar Buruh Industri di Indonesia. Surakarta: Muhammadiyyah University Press. 2002. Soepomo. Pengantar Hukum Perburuhan. Jakarta: Djambatan. 1999. Soule, George. Pemikiran Para Pakar Ekonomi Terkemuka dari Aristoteles hingga Keynes. Terj, Gilarso. Yogyakarta: Kanisius. 1994. al-Thabari, Ibnu Jarir. Jami’ al-Bayan fi Ta’wil Ay al-Qur’an. Tahqiq: Ahmad Muhammad Syakir. Beirut: Dar al-Fikr. Tt. Von, Ludwic. Sosialism An Economic And Sociological Analysis. USA: Indianapolis, 1973. http://id.wikipedia.org/wiki/Pengangguran. diakses pada 30 Mei 2013 http://kbbi.web.id/buruh. diakses pada 30 Mei 2013. http://bayuzu.blogspot.com/2012/04/pengertian-buruh.html. diakses pada 30 Mei 2013.
Al-Mashlahah Dalam Pandangan Najmuddin Al-Thufi Qusthoniah Kaprodi Ekonomi Syari’ah Fakultas Ilmu Agama Islam (FIAI) Universitas Islam Indragiri (UNISI) Tembilahan Abstraks Seluruh hukum yang ditetapkan Allah SWT terhadap hamba-Nya, dalam bentuk suruhan atau larangan yang mengandung mashlahah. Tidak ada hukum syara’ yang sepi dari mashlahah. Semua ulama sepakat tentang adanya kemashlahatan dalam hukum yang ditetapkan Allah SWT. Karenanya mashlahah sangat diperhitungkan oleh mujtahid dalam berijtihad untuk menetapkan hukum suatu masalah yang tidak ditemukan hukumnya baik dalam al-Qur’an, Sunnah Nabi, maupun dalam ijma’. Dalam hal ini, mujtahid menggunakan metode mashlahah dalam menggali dan menetapkan hukum, termasuk Najmuddin Al-Thufi yang beraliran mazhab Hanbali. Mashlahah yang digunakannya bersebarangan dengan Jumhur Ulama, terutama dalam hal jika terdapat pertentangan antara nash dengan mashlahah. Menurut jumhur apabila terjadi pertentangan antara nash dengan mashlahah, maka nash harus didahulukan. Berbeda dengan Najmuddin Al-Thufi yang berpendapat bahwa bila nash dan ijma’ bertentangan, maka harus didahulukan mashlahah daripada nash dan ijma’, terutama hukum yang berkaitan dengan muamalah dan siayasah duniawi.
Key words: mashlahah, Najmuddin Al-Thufi PENDAHULUAN Dalam ilmu ushul fiqh bahasan maqasid al-Syari’ah bertujuan untuk mengetahui tujuan-tujuan yang hendak dicapai oleh perumusnya dalam mensyari’atkan hukum. Tujuan hukum ini merupakan salah satu faktor penting dalam menetapkan hukum Islam. Bila diteliti semua perintah dan larangan Allah semuanya mempunyai hikmah yang mendalam yaitu untuk kemashlahatan manusia, sebagaimana yang terdapat dalam beberapa ayat al-Qur’an. Seluruh hukum yang ditetapkan Allah SWT bagi manusia tidak ada yang sepi dari mashlahah. Seluruh perintah Allah bagi manusia mengandung manfaat untuk dirinya baik secara lansung atau tidak, manfaat itu ada yang dapat dirasakannya pada waktu itu juga
36
Jurnal Syari’ah Vol. II, No. II, Oktober 2013
dan ada yang dirasakannya sesudah itu. Begitu juga larangan Allah untuk dijauhi manusia, dimana dibalik larangan itu terkandung kemashlahatan yaitu untuk terhindarnya manusia dari kerusakan dan kebinasaan. Dalam membahas konsep mashlahah ini, Jumhur ulama membaginya pada tiga bentuk yaitu mashlahah mu’tabarah, mashlahah mulghah dan mashlahah mursalah. Tetapi Najmuddin al-Thufi salah seorang mazhab Hambali menyatakan bahwa pembagian tersebut tidak perlu karena menurutnya tujuan syari’at Islam itu adalah untuk kemashlahatan. Sehingga segala bentuk kemashlahatan harus dicapai tanpa memerincinya. Selain itu, ia juga berpendapat bahwa jika terjadi pertentangan antara mashlahah dengan nash dan ijmak maka kemashlahatan yang harus didahulukan karena ia menopang pendapatnya dengan hadits “la dhirar wa la dharaar”. Untuk mengetahui apa sebenarnya argumen dan landasan berfikir yang digunakan oleh al-Thufi ini, maka dalam tulisan ini akan dikemukakan konsep mashlahah menurut al-Thufi yang meliputi riwayat hidupnya, kondisi sosial keagamaan yang melatarbelakangi lahirnya pemikiran al-Thufi dan analisis terhadap pendapatnya tersebut.
A. Riwayat Hidup Al-Thufi Najamuddin al-Thufi adalah seorang ulama fiqh dan ushul fiqh mazhab Hambali yang dilahirkkan di desa Thufa, Sharshar, Irak.1 Nama lengkapnya adalah Abu al-Rabi’ Sulaiman Ibn Abdu alQawiy ibn Abdul Karim ibn Sa’id. Al-Thufi merupakan nama yang dihubungkan dengan tempat kelahirannya yaitu Thufa.2 Ia lahir tahun 675 H (1276 M) dan wafat tahun 716 H (1316 M).3 1 Abdul Wahab Khallaf, Mashadir al-Tasyri’ al-Islamiy fi ma la Nashsha fi hi, (Kuwait: Dar al-Qalam, 1972), cet ke-3, h. 96 2 Mushtafa Zaid, al-Mashlahah fi al-Tasyri’ al-Islamiy wa Najmuddin al-Thufi, (Mesir: Dar al-Fikr al-Arabi, 1964), cet ke-2, h. 67 3 Terdapat perbedaan pendapat tentang kepastian tahun kelahirannya. Menurut Ibn Hajar al-Asqalani al-Thufi lahir tahun 657 H, sedangkan Ibn Rajab dan Ibn Imad mengatakan bahwa al-Thufi lahir tahun 670 H atau sesudah itu. Adapun Mushtafa Zaid –yang menetapkan tahun kelahiran al-Thufi seperti yang disebutkan di atas-, setelah meneliti berbagai sumber khususnya buku al-Thufi
Al-Mashlahah Dalam Pandangan Najmuddin ... Qusthoniah
37
Al-Thufi adalah seorang ilmuan yang haus terhadap berbagai ilmu pengetahuan sehingga dalam sejarah tercatat bahwa ia pernah balajar fiqh ke Sharshar dengan Syekh Zainuddin Ali ibn Muhammad al-Sarsari al-Buqi, dan pernah juga menghafal kitab fiqh Mukhtashar al-Kharaqi. Setelah pindah ke Bagdad tahun 691 H ia juga sempat menghafal kitab fiqh al-Muharrar fi al-Fiqh al-Hanbali (kitab fiqh rujukan dalam mazhab Hanbali) dan mendiskusikannya dengan Syekh Taqiyuddin al-Zarzirati, ulama Hanbali ketika itu.4 Di samping itu ia juga menghafal kitab al-Luma’ (karangan Ibn Jani) di bidang Bahasa Arab. Ia juga pernah belajar Bahasa Arab pada Abu Abdillah bin Muhammad al-Maushuli dan belajar ushul fiqh pada Nashr al-Faruqi serta belajar Hadits pada Rasyid ibn al-Qasim, Ismail ibn al-Tabbal dan Abdurrahman ibn Sulaiman alHarrani. Kebanyakan gurunya bermazhab Hambali, karenanya tidaklah mengherankan jika al-Thufi dianggap sebagai penganut mazhab tersebut.5 Di samping ilmu-ilmu di atas, al-Thufi juga mempelajari ilmu mantiq, ilmu kalam, hadits, tafsir, faraidh dan ilmu jadal (cara berdiskusi). Berbekal ilmu yang ia kuasai al-Thufi berupaya untuk mengembangkan pemikirannya dan mengajak para ulama dizamannya untuk berpegang teguh pada al-Qur’an dan sunnah secara langsung dalam mencari kebenaran, tanpa terikat pada pendapat orang lain atau mazhab fiqh manapun.6 Berdasarkan keterangan di atas dapat dipahami bahwa alThufi sekalipun bermazhab Hambali tapi ia tidak fanatik mazhab seperti kebanyakan ulama pada masanya. Ia meyakini, kebebasan berfikir dalam batas kemampuan manusia untuk menemukan kesendiri yang berjudul al-Akbar fi Qawaid al-Tafsir. Lihat Ibid., h. 63-69. Mengenai tahun wafatnya terjadi perbedaan pendapat yang mengacu pada tahun 710 dan 716 H. Dalam hal ini Mushtafa Zaid menguatkan pendapat Ibn Hajar, Ibn Imad dan Ibn Rajab yang mengatakan bahwa al-Thufi wafat tahun 716 H. Kesimpulan ini diambil setelah meneliti buku al-Thufi sendiri yaitu Syarh al-Arba’in an-Nawawiyah dan kitab lain. Lihat Ibid., h. 68-69 4 Ibid., h. 70 5 Ibid., h. 70-71. Lihat juga Abdul Aziz Dahlan (ed), Ensiklopedi Hukum Islam, (Jakarta: Ichtiar Baru Van Hoeve, 1996), cet ke-6, h. 1836 6 Nasrun Haroen, Ushul Fiqh I, (Jakarta: Logos, 1996), cet ke-1, h. 124
38
Jurnal Syari’ah Vol. II, No. II, Oktober 2013
benaran adalah sesuatu yang terpuji. Oleh sebab itu, seperti yang dikutip dari Abdurrahman.7 Setelah ia menulis kitab Syarh al-Arba’in al-Nawawiyyah, ia telah menjadi mujtahid mustaqil karena ia mempunyai metodologi ushul fiqh yang baru yaitu mashlahah. Sebagai orang yang menguasai berbagai disiplin ilmu, al-Thufi juga menyumbangkan banyak karya ilmiah, meskipun kebanyakan karyanya masih berbentuk manuskrip yang bertebaran di Timur Tengah seperti Mesir, Irak, Iran dan Turki. Di antara karyanya tersebut adalah: a. Bidang ulumul qur’an dan ulumul hadits, diantaranya al-isyarat al-Ilahiyah ila al-Mabahis al-Ushuliyyah dan Iddah al-Bayan ‘an Ma’ani Umm al-Qur’an. b. Bidang akidah, fiqh dan ushul fiqh antara lain: Bughyah as-Sa’il fi Ummahat al-Masail dan al-Intisyarat al-Islamiyyah fi Daf Syubhah an-Nasraniyyah (bidang ushuluddin). Mukhtasar ar-Raudhah alQadamiyyah dan Ma’arij al-Ushul ila ‘ilm al-Ushul (bidang ushul fiqh) dan ar-Riyad an-Nawadir fi al-Asybah wa an-Nazair dan Syarh Mukhtasar at-Tibrizi (bidang fiqh) c. Bidang sastra Arab di antaranya: Daf al-Malam ‘ain ahl al-Mantiq wa al-Kalam, ar-Risalah al-Alawiyyah fi al-Qawaid al-Arabiyah dan Tuhfah ahl al-Adab fi Ma’rifah Lisan al-’Arab.8 Meskipun di atas terlihat banyak karya-karya yang telah dihasilkannya namun sampai saat ini baru dua karya tulisnya yang sudah di-tahqiq dan dipublikasikan. Sedangkan karyanya yang lain masih berbentuk manuskrip dan sebagian lain belum ditemukan. Diantara karya tersebut adalah: 1. Karyanya yang sudah di-tahqiq dan dipublikasikan yaitu Syarh Mukhtasar ar-Raudah, di-tahqiq oleh Abdullah bin Abdul M uhsin. 2. Karyanya yang sebagian di-tahqiq dan dipublikasikan adalah Syarh al-Arba’in al-Nawawiyyah,di-tahqiq oleh Mushtafa Zaid. 3. Karyanya yang telah di-tahqiq tapi belum dipublikasikan adalah Isyarat al-Ilahiyah Ila al-Mabahits al-Ushuliyyah, di-tahqiq oleh 7 Abd. Rahman, Konsep al-Mashlahah Menurut Najmuddin al-Thufi, Disertasi Doktor dalam Ilmu Agama Islam , (Jakarta: IAIN Syarif Hidayatullah, 1998), h. 5, tidak diterbitkan 8 Abdul Aziz Dahlan (ed), op. cit., h. 1837
Al-Mashlahah Dalam Pandangan Najmuddin ... Qusthoniah
39
Kamal Muhammad Isa.9 Dari sekian banyak karyanya, al-Thufi menonjol di bidang ushul fiqh ketika ia membicarakan konsep mashlahah dalam bukunya Syarh al-Arba’in an-Nawawiyyah. Kontroversi al-Thufi di bidang mashlahah inilah yang membuatnya tetap dianggap vokal sampai sekarang. Dalam membahas konsep mashlahah tersebut, al-Thufi berbeda sekali dengan ulama-ulama lain. Pendapatnya itu sebenarnya dilatarbelakangi oleh kondisi sosial keagamaan yang terjadi pada masanya.
B. Kondisi Sosial Keagamaan Yang Melatarbelakangi Lahirnya Pemikiran Al-Thufi Perkembangan ijtihad mencapai puncaknya dengan terbentuknya konsep ijtihad yang bersifat baku pada masa a’immah alMujtahidin (para imam mujtahid). Masa ini dipandang sebagai masa keemasan Islam di bidang kemajuan ilmu syari’at, yang ditandai dengan munculnya tokoh-tokoh yang utama dibidang ijtihad, seperti imam Abu Hanifah, imam Malik, imam al-Syafi’i dan imam Ahmad bin Hanbal. Dari ijtihad para tokoh ini kemudian timbul mazhabmazhab dalam fiqh, yang masing-masing memiliki pengikut dan pendukung tersendiri. Masing-masing mazhab memiliki rumusan dan tingkatan dalil syara’, yang sebagiannya sama dan sebagian lain berbeda dalam menggali dan menetapkan hukum. Pada periode berikutnya aktifitas ijtihad bertahap mulai menurun. Ruh taklid mulai berkembang di kalangan ulama meskipun sebenarnya mereka memiliki potensi untuk berijtihad secara mandiri. Pada sisi lain, ulama yang belum mencapai derajat mujtahid mengambil alih inisiatif untuk berijtihad. Akibatnya timbul kekacauan dalam bidang hukum dan masyarakat. Dalam suasana demikian timbul gagasan untuk menutup pintu ijtihad dan semua fatwa didasarkan pada pendapat atau ijtihad ulama besar sebelumnya. Hal ini menimbulkan keadaan statis dalam bidang hukum dan berkembangnya sikap taklid dikalangan ulama.10 Sejalan dengan berkembangnya faham taklid, para pendukung dan pengikut masing-masing mazhab mulai memandang tingkatan 9 Abd. Rahman, op. cit., h. 61 10 Ibid.
40
Jurnal Syari’ah Vol. II, No. II, Oktober 2013
dalil syara’ yang dirumuskan para imam mujtahid sebelumnya sebagai pedoman berijtihad yang baku dan tidak boleh berubah. Mereka juga banyak yang berpandangan bahwa kebenaran hasil ijtihad imam tersebut bersifat mutlak. Akibatnya masing-masing pendukung mazhab memandang hasil ijtihad imam mazhabnya yang benar, sedangkan hasil ijtihad mazhab lain kurang benar atau salah.11 Berdasarkan pandangan tersebut secara bertahap kegiatan ulama mulai beralih dari melakukan ijtihad secara mandiri menjadi pendukung mazhab yang fanatik. Hal tersebut sangat merugikan perkembangan ilmu-ilmu agama dan persatuan di kalangan umat Islam dan menimbulkan perpecahan di kalangan umat Islam karena umat Islam saling mengkafirkan. Suasana sosial keagamaan demikianlah yang melatar belakangi munculnya konsep mashlahah al-Thufi. Al-Thufi menyatakan keprihatinan yang mendalam atas rendahnya toleransi perbedaan pendapat dan rasa persaudaraan umat Islam.12 Akar permasalahan terlihat dengan munculnya disintegrasi sosial karena tidak adanya kesamaan pendapat ulama dalam menentukan dalil yang tertinggi untuk menyelesaikan permasalahan hukum yang timbul. Masing-masing mazhab berpegang M. Al-Khudary Beik, Tarikh al-Tasyri’ al-Islamiy, (Mesir: Maktabah al-Tijariyyah al-Kubra, 1970), h. 232-236 pada dalil mereka sendiri yang mereka anggap kuat berdasarkan nash. Seandainya semua mereka berpegang pada dalil tersebut, tentulah akan timbul akibat-akibat negatif yang bermuara kepada perpecahan. Menanggapi hal ini, menurut al-Thufi prinsip pemeliharaan mashlahah merupakan dalil yang disepakati ulama dan berpegang padanya akan menghilangkan perpecahan.
C. Mashlahah Dalam Pandangan Al-Thufi Dilihat dari segi lafaznya, menurut Al-Thufi kata mashlahah mengandung makna “keberadaan sesuatu dalam keadaannya yang sempurna, ditinjau dari segi bahwa fungsi sesuatu itu sesuai dengan
11 M. Al-Khudary Beik, Tarikh al-Tasyri’ al-Islamiy, (Mesir: Maktabah al-Tijariyyah al-Kubra, 1970), h. 232-236 12 Abd. Rahman, op. cit., h. 65
Al-Mashlahah Dalam Pandangan Najmuddin ... Qusthoniah
41
peruntukkannya”.13 Contoh sesuai dengan fungsinya pena cocok untuk menulis dan pedang sesuai dengan fungsinya cocok untuk memotong (menebas). Sedangkan secara terminologi, mashlahah menurut Al-Thufi dapat dilihat dari dua segi, yaitu ‘urf dan syara’. Menurut ‘urf, yang dimaksud mashlahah adalah “sebab yang membawa dan melahirkan keuntungan”, misalnya perdagangan merupakan sebab yang akan membawa dan melahirkan keuntungan.14 Pengertian mashlahah secara ‘urf di atas sejalan dengan pengertian yang terdapat dalam kamus-kamus Bahasa Arab.15 Dapat disimpulkan, secara kebahasaan dan ‘urf, mashlahah berarti manfaat, guna, kebaikan, sedangkan lawannya adalah mafsadah (kerusakan). Dengan demikian, al-Thufi menggunakan kata al-sabab (sebab) dalam defenisinya maka dapat dikatakan bahwa ia mengemukakan defenisi al-mashlahah secara majazi.16 Artinya, menurut Al-Thufi almashlahah bukan saja menunjukkan pengertian manfaat dan kebaikkan tapi juga mencakup sebab-sebab yang melahirkan manfaat dan kebaikkan, karena secara logika dapat dikatakan, sedangkan yang merupakan sebab timbulnya kebaikkan dan manfaatpun dipandang sebagai kemashlahatan, apalagi kebaikkan dan manfaat itu sendiri. Dengan kata lain tidak mungkin al-Thufi menafikan kebaikkan dan manfaat sebagai kemashlahatan, sementara yang menjadi sebab lahirnya kebaikan dan manfaat itu sendiri dipandangnya sebagai kemashlahatan. Adapun mashlahah dalam pengertian syar’i berarti: sebab yang membawa dan melahirkan maksud (tujuan) syar’i baik maksud yang berkaitan dengan ibadah maupun muamalah (al-adah).17 Sejalan dengan defenisi mashlahah secara bahasa dan ‘urf di atas, ia tetap menggunakan “sebab” dalam mengemukakan pengertian mashlahah secara istilah. Hal inipun berarti, dalam menjelaskan pengertian syar’i, ia tetap menggunakan pengertian majazi. Tetapi 13 Musthafa Zaid, op. cit., h. 210 14 Abd. Rahman, op. cit., h. 141 15 Abd. Rahman, op.cit., h. 141 16 Abd. Rahman, loc.cit. 17 Musthafa Zaid, op. cit., h. 211
42
Jurnal Syari’ah Vol. II, No. II, Oktober 2013
meskipun Al-Thufi mengemukakan pengertian dari kata al-mashlahah secara majazi namun hal ini tidak berarti ia menafikan pengertian hakiki dari kata mashlahah secara syar’i. Dari uraian di atas dapat dipahami bahwa kemashlahatan yang dimaksud Al-Thufi adalah kemashlahatan yang sejalan dengan tujuan syara’, bukan kemashlahatan yang hanya didasarkan pada akal semata. Adapun yang dimaksud dengan sesuai syar’i adalah sesuai dengan yang tercantum dalam istilah al-Daruriyyah al-Khamsh yaitu memelihara agama, akal, jiwa, keturunan dan harga diri dan harta. Salah satu tahapan penting dari tahapan-tahapan landasan pemikiran Al-Thufi untuk sampai pada kesimpulan akhir bahwa al-mashlahah merupakan dalil syara’18 terkuat ialah penegasannya bahwa Syar’i (pembuat hukum Allah) sangat mengutamakan pemeliharaan kemashlahatan manusia. Hal ini terlihat dari beberapa dalil yang ia kemukakan, yaitu seperti surat al-Baqarah: 178, al-Maidah: 38, an-Nur: 2 dan lain-lain. Ayat di atas menunjukkan bahwa Allah memelihara kemashlahatan manusia baik dalam bidang jiwa, harta atau kehormatan. Karena ayat tersebut berbicara tentang hukum qishash bagi pembunuh, potong tangan bagi pencuri dan hukum dera bagi pezina. Al-Thufi memahami bahwa pada intinya ajaran yang diturunkan Allah melalui wahyu-Nya adalah untuk kemashlahatan umat manusia. Oleh sebab itu dalam segala persoalan kehidupan manusia, prinsip yang dijadikan pertimbangan adalah kemashlahatan. Hal inipun sejalan dengan pendapat Jumhur Ulama bahwa semua keten18 Pada hakikatnya semua ulama sepakat mengatakan bahwa yang berhak menetapkan hukum hanya Allah., baik melalui al-Qur’an maupun sunnah. Dengan demikian sumber hukum Islam hanya al-Qur’an dan Sunnah, sedangkan ijma’, qiyas dan dalil lainnya hanya merupakan media untuk mengungkapkan hukum yang terdapat dalam al-Qur’an dan Sunnah. Karena itu sebagian ulama membedakan istilah sumber-sumber hukum Islam (mashadir al-Ahkam al-Syar’iyyah) dan dalil-dalil hukum Islam (Adillah al-Ahkam al-Syar’iyyah). Istilah pertama menunjukkan pengertian dalil lain seperti ijma’, qiyas, istihsan dan lainnya. Sementara itu, sebagian besar ulama menggunakan kedua istilah tersebut secara bergantian untuk menunjukan pengertian semua sumber dan dalil hukum Islam. Lihat Ali Hasballah, Ushul al-Tasyri’ al-Islamiy, (Mesir: Dar al-Ma’arif, 1981), cet ke 4, h. 16 dan Abdul Wahab Khallaf, Ilmu Ushul Fiqh, (tt: Dar al-Kauniyah, t.th), h. 20 juga Wahbah al-Zuhaily, Ushul al-Fiqh al-Islamiy, (Damaskus: Dar alFikr, 1989), cet ke-1, h. 417
Al-Mashlahah Dalam Pandangan Najmuddin ... Qusthoniah
43
tuan syarak yang ditetapkan oleh Allah adalah untuk kepentingan manusia. Imam Al-Syatibi19 juga menegaskan bahwa berdasarkan penelitian, semua hukum syara’ ditetapkan untuk kemashlahatan hamba Allah baik kemashlahatan di dunia maupun di akhirat. Bagi Al-Thufi, mashlahah diambil sebagai dalil syar’i hanya dalam bidang muamalah dan adat istiadat. Sedangkan dalam bidang ibadah dan muqaddarah, mashlahah tidak dapat dijadikan dalil. Hal ini terlihat dari apa yang dikemukakannya sebagaimana yang dikutip oleh Abdul Wahab Khallaf, bahwa dalam bidang ushul fiqh Al-Thufi membagi hukum syara’ kepada 2 (dua) bagian, yaitu: a) Hukum Ibadah dan Muqaddarah, yang tidak menjadi lapangan akal untuk memahami maksud/maknanya secara terperinci. Dalam bidang ini yang menjadi dalil tertinggi adalah al-Qur’an, Sunnah dan Ijma’. b) Hukum yang berkaitan dengan muamalah dan siyasah duniawi, yang menjadi lapangan akal untuk memahami maksud/ maknanya.Yang menjadi dalil dalam bidang ini adalah kemashlahatan yaitu menarik manfaat dan menolak kemudharatan.20 Pembagian ini terjadi karena di mata Al-Thufi ibadah merupakan hak yang khusus bagi syar’i, oleh karena itu tidak mungkin mengetahui hak-Nya baik dalam jumlah, cara, waktu maupun tempat itu kecuali berdasarkan penjelasan resmi yang berasal dariNya. Kita tidak mungkin mengetahui berapa jumlah rakaat shalat, bagaimana cara pelaksanaannya, kapan waktunya kecuali melalui al-Qur’an dan Sunnah. Oleh sebab itu manusia harus mengikuti petunjuk Allah, ibarat hubungan seorang tuan dan budaknya. Seorang budak tidak dapat dikatakan patuh pada tuannya melainkan jika ia melaksanakan pekerjaan sesuai dengan yang diperintahkan dan disenangi tuannya. Adapun dalam bidang muamalah, yang menjadi dasar adalah memberikan kemashlahatan dan mamfaat bagi manusia karena manusialah yang lebih mengetahui kemashlahatannya.21 19 Al-Syatibi, Al-Muwafaqat fi Ushul al-Syari’ah, (Mesir: Maktabah al-Tijariyah, tt), juz 2, h. 6 20 Abdul Wahab Khallaf, Mashadir….., op.cit, h. 97 21 Wahbah az-Zuhaily, op.cit., Jil II, h. 818
44
Jurnal Syari’ah Vol. II, No. II, Oktober 2013
Bila dalam ibadah yang menjadi dalil tertinggi adalah al-Qur’an, Sunnah dan Ijma’, maka dibidang muamalah ada dalil lain yaitu mashlahah. Jika menurut Jumhur ulama di waktu terjadi pertentangan antara nash dan mashlahah di bidang muamalah yang menjadi pedoman tetap ketentuan nash, maka menurut Al-Thufi karena ia berpendapat bahwa ruang lingkup mashlahah sebagai dalil adalah masalah muamalah, dalam kasus tersebut dimungkinkan mashlahah mentakhsis ketentuan nash, jika ketentuannya dipandang bertentangan dengan kemashlahatan. Hal ini didasarkan pada hadits berikut. “Dari Sa’id al-Khudri: Tidak boleh menimbulkan kerusakan dan tidak pula diberi kerusakan”. (HR. Al-Hakim, Al-Baihaqi dan Daruquthni)22
Hadits ini bersifat khusus, yang menjadi mukhasis terhadap semua ketentuan syara’ yang mengandung kemudharatan, yang ditetapkan oleh nash secara umum. Selanjutnya makna hadits ini bersifat qath’i karena sanadnya didukung oleh sejumlah dalil alQur’an, Sunnah, Ijma’ dan logika yang semuanya menunjukkan bahwa Allah memelihara kemashlahatan manusia.23 Menurut Al-Thufi mashlahah merupakan hujjah terkuat yang secara mandiri dapat dijadikan sebagai landasan hukum. Dalam membahas konsep mashlahah ini, Al-Thufi tidak membagi mashlahah sebagaimana yang dilakukan oleh Jumhur Ulama. Bagi Al-Thufi, pembagian tersebut tidak perlu ada karena tujuan syari’at Islam adalah untuk kemashlahatan. Sehingga segala bentuk mashlahah harus dicapai tanpa memerincinya seperti perincian Jumhur Ulama. Perbedaan ini terjadi karena, ada empat prinsip yang dianut oleh AlThufi tentang mashlahah, yang menyebabkan pandangannya berbeda dengan Jumhur, yaitu: 1) Akal bebas menentukan kemashlahatan dan kemafsadatan, khususnya dalam bidang muamalah dan adat. Dasar ini membawa implikasi bahwa untuk menentukan sesuatu itu mashlahah atau bukan, cukup digunakan nalar manusia tanpa harus disukung oleh nash. Pandangan ini berbeda dengan Jumhur Ulama yang mengatakan bahwa sekalipun kemashlahatan dan kemafsadatan 22 Abdul Wahab Khallaf, Mashadir…..,op.cit, h. 97 23 Abd. Rahman, op. cit.
Al-Mashlahah Dalam Pandangan Najmuddin ... Qusthoniah
45
itu dapat dicapai oleh akal namun kemashlahatan itu harus mendapat dukungan dari nash dan ijma’ baik bentuk, sifat maupun jenisnya. 2) Mashlahah merupakan dalil mandiri dalam menetapkan hukum. Oleh sebab itu untuk kehujjahan mashlahah tidak diperlukan dalil pendukung karena mashlahah itu didasarkan pada pendapat akal semata. Kehujjahan tidak bergantung pada kesaksian atau konfirmasi nash. 3) Ruang lingkup mashlahah terbatas pada persoalan muamalah duniawi dan adat kebiasaan. Muamalah dimaksudkan untuk memberikan kemashlahatan dan mamfaat kepada manusia. Oleh sebab itu manusialah yang lebih mengetahui kemashlahatannya. Atas dasar ini manusia harus berpegang pada mashlahah ketika bertentangan dengan nash. 4) Mashlahah merupakan dalil syara’ yang terkuat. Mashlahah bukan hanya merupakan hujjah semata ketika tidak terdapat dalam nash dan ijmak tapi juga harus didahulukan atas nash dan ijma’ di saat terjadi pertentangan antara keduanya.24 Berdasarkan keempat dasar ini, Al-Thufi menyusun argumen dari mendahulukan mashlahah atas nash dan Ijma’. Di antara argumen tersebut adalah: 1) Al-Thufi mendahulukan mashlahah atas ijmak karena dalam pandangannya ijma’ itu diperselisihkan kehujjahannya. Sedangkan mashlahah disepakati, termasuk oleh mereka yang menentang ijma’. Ini berarti mendahulukan sesuatu yang disepakati (mashlahah) atas hal yang diperselisihkan (ijma’) lebih utama menurut Al-Thufi. 2) Nash itu mengandung banyak pertentangan. Hal inilah yang menjadi sebab terjadinya perbedaan pendapat yang tercela dalam hukum menurut pandangan syara’. Sedangkan memelihara mashlahah secara substansial merupakan sesuatu yang hakiki, yang tidak diperselisihkan. Dengan demikian, pemeliharaan atau dikehendaki oleh syara’. Jadi berpegang pada yang disepakati lebih utama dari pada pegangan yang menimbulkan bermacam perbedaan. 3) Dalam pandangan Al-Thufi, telah terjadi nash-nash dalam sun24 Musthafa Zaid, op. cit., h. 127-132. Lihat juga Nasrun Haroen, op. cit., h. 126
46
Jurnal Syari’ah Vol. II, No. II, Oktober 2013 nah yang ditentang oleh mashlahah dalam beberapa hal, seperti pendapat Ibn Mas’ud yang bertentangan dengan nash dan ijma’, dalam hal tayammum dengan alasan kemashlahatan (kehatihatian dalam ibadah). Menurut nash dan ijma’ (konsesus) para shahabat, tayammum boleh dilakukan karena sakit dan tidak menemukan air. Akan tetapi Ibn Mas’ud berpendapat bahwa orang sakit tidak boleh bertayammum, sebab jika dibolehkan dikhawatirkan ada orang yang hanya merasa sakit atau dingin sedikit saja telah bertayammum, tidak mau berwudhu’.25
D. Analisis Terhadap Pandangan Al-Thufi Konsep Al-Thufi tentang mashlahah ini haruslah dipahami dalam konteks ushul fiqh, karena ia hanya bermain dalam tataran ushul fiqh belum memasuki tataran fiqh. Ia mengandaikan terjadinya pertentangan antara nash dan ijma’ di satu sisi dengan mashlahah di sisi lain. Kelihatannya pertentangan tersebut tidak pernah terjadi karena ian belum mengungkapkan kasus yang menunjukkan kebenaran pengandaian tersebut. Harus pula ditegaskan bahwa mashlahah yang dimaksudkan Al-Thufi bukanlah mashlahah mursalah yang dipahami oleh Imam Malik. Mashlahah yang dimaksudnya lebih luas daripada mashlahah mursalah tersebut. Selanjutnya Al-Thufi memandang bahwa nash mengalami pertentangan. Pernyataan yang “berbahaya” ini perlu diluruskan, barangkali Al-Thufi tidak bermaksud mengatakan bahwa ayat alQur’an itu saling bertentangan satu sama lain. Sebab bila ia bermaksud demikian, maka ia melanggar ayat al-Qur’an surat an-Nisa’ ayat 82 yang secara jelas menyatakan: “Maka apakah mereka tidak memperhatikan al-Qur’an, kalau al-Qur’an itu bukan dari sisi Allah tentu mereka akan mendapat pertentangan yang banyak di dalamnya.” Barangkali yang dimaksud Al-Thufi adalah adanya ayat yang secara lahiriah seolah-olah bertentangan satu sama lain sehingga menimbulkan perbedaan interpretasi yang akhirnya akan menjadikan nash sebagai tempat perbedaan pendapat. Bila dibandingkan dengan tujuan penetapan hukum yaitu kemashlahatan tentu saja tidak ada perbedaan pendapat. 25 Ibid., h. 227-231
Al-Mashlahah Dalam Pandangan Najmuddin ... Qusthoniah
47
Persoalan lain yang muncul, benarkah tidak ada pertentangan di dalam mashlahah? Ibrahin Hosen mengemukakan contoh pendapat ulama yang saling berbeda karena berbeda dalam melihat mashlahah, di antaranya: • Mashlahah seseorang merampas sesuatu benda. Menurut hukum qath’i benda itu wajib dikembalikan kepada pemiliknya dan jika hilang, ia wajib menggantinya. Yang menjadi persoalan, berapakah ia harus mengganti benda yang dirampasnya itu? Sebagian ulama berpendapat, ia wajib mengganti menurut harga pasar pada hari ketika ia mengganti. Sebagian ulama pula berpendapat menurut harga tertinggi di antara dua harga tersebut. Semua pendapat ini didasarkan pada hadits: “Tidak boleh menimbulkan kerusakan dan tidak pula diberi kerusakan.” • Masalah mendirikan bangunan di atas tanah milik orang lain tanpa izin. Sebagian ulama berpendapat, pemilik tanah berhak membongkar bangunan tersebut tanpa harus mengganti kerugian. Sebagian ulama yang lain berpendapat, pemilik bangunan berhak memiliki tanah yang ada bangunan tersebut dengan jalan membayar harganya kepada pemiliki. Sedangkan pemilik tanah diberikan hak khiyar, mengganti bangunan tersebut jika dibongkar atau menjual tanahnya kepada pemilik bangunan. Berdasarkan kedua contoh di atas, ternyata berpegang pada mashlahah juga menimbulkan perbedaan pendapat. Nilai mashlahah, sebagaimana juga nilai keadilan, adalah universal dan selalu sama tetapi rasa mashlahah sebagaimana rasa keadilan, bergeser dan tergantung pada siapa pemiliki rasa. Untuk mencapai nilai mashlahah terlebih dahulu harus menaiki tangga rasa mashlahah. Kemudian mengenai anggapan Al-Thufi, adanya sunnah yang ditentang oleh (shahabat atas dasar pertimbangan) mashlahah, seperti argument ketiga, haruslah dipahami bahwa sunnah itu ada yang berupa ucapan, perbuatan dan taqrir. Dari sini tentunya tindakan shahabat yang diketahui oleh Nabi dan dibiarkan saja juga termasuk sunnah. Oleh sebab itu harus diteliti apakah kasus tersebut betul dikemukakan oleh Al-Thufi atau dikemukakan oleh orang yang tidak sepaham dengannya. Jika memang dikemukakan oleh Al-Thufi, harus diteliti lagi apakah shahabat tersebut mempunyai pertimbangan lain sehingga tidak “terburu-buru” menyimpulkan bahwa shahabat
48
Jurnal Syari’ah Vol. II, No. II, Oktober 2013
telah menentang sunnah. Bila dilihat kasus Ibn Mas’ud tersebut ia tidak membolehkan orang sakit untuk bertayammum karena kehatihatian dalam ibadah sehingga orang yang karena merasa sedikit sakit tidak mau berwudhu’. Selain dari itu, benarkah menurut Al-Thufi kemashlahatan itu dapat dicapai dengan akal semata terlepas dari petunjuk nash. Kelihatannya hal ini perlu dilihat pada defenisi mashlahah menurut syara’ yang dikemukakan oleh Al-Thufi, yaitu sebab yang membawa pada tujuan Syar’i dalam menetapkan hukum. Dari defenisi ini terlihat bahwa mashlahah itu tidak didasarkan pada akal semata tapi didasarkan pada tujuan syara’ yaitu memelihara agama, jiwa, akal, keturunan dan harta. Oleh sebab itu kebebasan akal dalam menentukan kemashlahatan tetap didasarkan pada tujuan Syar’i. Selanjutnya, benarkah Al-Thufi lebih mengutamakan mashlahah dari pada nash dan ijma’ baik qath’i maupun zhanni?. Pertanyaan seperti ini memang sering ditemukan dalam kebanyakan kitab ushul fiqh. Namun sebagian kitab yang lain menyatakan bahwa AlThufi tidak mendahulukan pemeliharaan kemashlahatan terhadap nash yang khusus dan qath’i.26 Lebih lanjut Amir Syarifuddin menyatakan bahwa yang dimaksud dengan nash dan ijma’ di sini adalah nash yang zhanni baik dari segi wurud maupun dalalahnya dan ijma’ yang lemah.27 Di samping itu, yang dimaksud Al-Thufi dengan mendahulukan mashlahah daripada nash dan ijma’ bukanlah berarti mengabaikan dan meningggalkan nash sama sekali. Namun yang dimaksudkan adalah mendahulukan mashlahah dengan jalan takhsish dan bayan terhadap nash yang zhanni. Hal ini tentu tidaklah bertentangan dengan nash, sama halnya dengan sunnah yang berfungsi sebagai mukhassish terhadap ayat yang umum, mutlak dan global.
E. Kesimpulan Meskipun Al-Thufi bermazhab Hambali tapi ia tidak fanatik mazhab seperti kebanyakan ulama pada masanya. Ia meyakini, kebebasan berfikir dalam batas kemampuan manusia untuk menemukan 26 Wahbah Az-Zuhaily, op. cit., h. 803 27 Amir Syarifuddin, Ushul Fiqh, (Jakarta: Logos, 1999), Jilid II, cet ke-1, h. 335
Al-Mashlahah Dalam Pandangan Najmuddin ... Qusthoniah
49
kebenaran adalah sesuatu yang terpuji. Oleh sebab itu setelah menulis kitab Syarh al-’Arbain al-Nawawiyah ia telah menjadi mujtahid mustaqil karena telah mempunyai metodologi ushul fiqh yang baru yaitu mashlahah. Pendapatnya mengenai mashlahah didahulukan daripada nash dan ijma’, bukanlah bearti ia mengabaikan atau meninggalkan nash dan ijma’ tetapi kedudukan mashlahah itu hanya sebagai bayan takhsish terhadap ayat al-Qur’an. Selain ini mashlahah didahulukan artinya didahulukan dari pada ayat yang zhanni dan ijma’ yang lemah.
Daftar Pustaka Al-Buthi. Muhammad Sa’id Ramadhan. 1972. Dhawabith al-Mashlahah fi al-Syari’ah al-Islamiyah. Beirut: Muassasah al-Risalah. Cet ke-2 Beik. Al-Khudhary. 1970. Tarikh al-Tasyri’ al-Islamiy. Mesir: Maktabah al-Tijariyah al-Kubra Dahlan. Abdul Aziz (ed). 1996. Ensiklopedi Hukum Islam. Jakarta: PT. Ichtiar Baru Van Houve. Cet ke-1 Hasballah. Ali. 1981. Ushul al-Tasyri’ al-Islamiy. Mesir: Dar al-Ma’arif. Cet ke-4 Haroen. Nasrun. 1996. Ushul Fiqh. Jakarta: Logos. Cet ke-1 Hosen. Ibrahim. 1995. Beberapa Catatan tentang Reaktualisasi Hukum Islam. Dalam Kontekstualisasi Ajaran Islam Munawir Syazali. Editor Agus Wahid. (ed). Jakarta: IPHI dan Paramadina. Cet ke-1 Khallaf. Abdul Wahab. 1972. Mashadir al-Tasyri’ al-Islamiy fi ma la Nassha fi hi. Kuwait: Dar al-Qalam. Cet ke-3 ---------- t.th. Ilmu Ushul Fiqh. T.t: Dar al-Kauniyah Ma’luf. Louis. 1987. Al-Munjid fi al-Lughah wa al-A’lam. Beirut: Dar al-Masyriq. Rahman. Abd. 1998. Konsep al-Mashlahah Menurut Najmuddin AlThufi. Disertasi Doktor dalam Ilmu Agama Islam. Jakarta: IAIN Syarif Hidayatullah. Tidak dipublikasikan dan tidak diterbitkan Syarifuddin. Amir. 1999. Ushul Fiqh. Jakarta: Logos. Jil 2. Cet ke-1 Al-Syatibi. T.th. Al-Muwafaqat fi Ushul al-Syari’ah. Mesir: Maktabah
50
Jurnal Syari’ah Vol. II, No. II, Oktober 2013
al-Tijariyah. Juz 2 Zaid. Musthafa. 1964. Al-Mashlahah fi al-Tasyri’ al-Islamiy wa Najm alDin al-Thufi. Mesir: Dar al-Fikr al-’Arabiy. Cet ke-2 Al-Zuhaily. Wahbah. 1986. Ushul al-Fiqh al-Islamiy. Beirut: Dar alFikr. Juz 2
Membangun Kekuatan Ekonomi Masjid
(Studi Kasus Masjid Taqwa Muhammadiyah Padang) Siti Aisyah, S. EI Dosen Ekonomi Islam Fakultas Ilmu Agama Islam UNISI Tembilahan Abstrak Masjid dalam membangun kekuatan ekonomi Masjid seharusnya menjamin komitmen umat Islam sebagai peluang mengatasi masalah rendahnya tingkat kesejahteraan umat, namun tidak menggeser fungsi Masjid yang sebenarnya. Pada Masjid Taqwa Muhammadiyah sudah mulai menggerakan perekonomian Masjid namun belum sepenuhnya Masjid yang mengelola karna ada unsur organisasi yang lebih menonjol, dilihat dari satu sisi Masjid Taqwa Muhammadiyah Padang dapat membantu meningkatkan ekonomi umat dan Masjid namum ketergantungan terhadap organisasi besar yang ada di Sumatera Barat menjadikan Masjid tidak mampu menunjukkan eksistensinya dalam membangun kekuatan ekonomi Masjid.
Key words: ekonomi, masjid
A. Pendahuluan Jika diperhatikan pada sirah Rasulullah Saw, maka akan ditemukan fakta bahwa Masjid memiliki peran yang sangat vital dan signifikan dalam pengembangan dakwah Islam. Rasulullah menjadikan Masjid sebagai sentral utama seluruh aktivitas keumatan. Baik itu dalam aspek tarbiyah (pembinaan) para sahabat, pembentukan karakter para sahabat sehingga mereka memiliki keimanan dan ketakwaan yang sangat kokoh kepada Allah SWT, maupun aspekaspek lainnya termasuk politik, strategi perang, hingga pada bidang ekonomi, hukum, sosial dan budaya. Kegiatan ekonomi mendapat perhatian tersendiri dari Rasulullah Muhammad Saw, sebagai bukti kecil adalah dekatnya lokasi pasar dengan Masjid, sehingga tidaklah mengherankan jika di sekitar lokasi Masjid Nabawi ditemukan pasar, yang hingga sekarang keberadaannya masih tetap terpelihara. Ini membuktikan bahwa ajaran Islam memberikan perhatian pada upaya untuk mengembangkan perekonomian umat.1 1 Irfan Syauqi Beik, Membangun Kekuatan Ekonomi Masjid htm, dalam website
52
Jurnal Syari’ah Vol. II, No. II, Oktober 2013
Upaya memakmurkan Masjid tidak terlepas dari bagaimana mengelola Masjid secara professional. Mengelola Masjid dewasa ini membutuhkan ilmu dan keterampilan manajemen yang diharapkan mampu menjadi acuan dalam menetapkan dan melaksanakan setiap kegiatan Masjid. Pengurus Masjid harus mampu menyesuaikan diri dengan terpaan perubahan dan perkembangan zaman.2 Paradigma pembangunan di abad 20 ini sudah berubah tidak lagi terfokus pada pembangunan berwawasan penduduk. Perkembangan kehidupan masyarakat memiliki ikatan sosial dan tradisi yang baik sebagai modal sosial (sosial capital) dalam ikut mengentaskan kemiskinan dan pengangguran, perlu diberikan kesempatan untuk mengorganisir pergerakan peran Masjid dan pengurus serta masyarakat guna menjamin terpenuhinya kepentingan bersama. Bila diperhatikan tentang kondisi riil di Sumatera Barat ada beberapa Masjid yang sudah mampu menggerakan perekonomian umat. Seperti Masjid Taqwa Muhammadiyah Padang yang berlokasi di pasar raya dalam peranannya memberdayakan kekuatan ekonomi Masjid dengan berbagai pengembangan usaha ekonomi di lingkungan Masjid, sudah ada beberapa usaha ekonomi dilakukan yaitu took buku, pangkas rambut, foto cofy, wartel, BMT, penyewaan toko dan mengumpulkan zakat harta yang akan diberikan dalam bentuk dana pendidikan bagi anak yang tertunda membayar SPP.3 Setelah diketahui peranan dari Masjid di atas, tentunya usaha ekonomi tersebut dapat memberikan dorongan dalam mengembangkan peranan Masjid itu sendiri. Secara lebih rinci, ternyata ada Masjid yang terbatas secara prasarana namun mempunyai peranan sosial ekonomi yang besar dalam masyarakat. Sebaliknya ada juga Masjid yang memiliki prasarana berlimpah namun tidak memperoleh manfaat dari keberadaan Masjid tersebut.
Pesantren Virtual Com.data, diakses tanggal 2 Juli 2007, jam 20:00 2 Jusmawati dkk, Manajemen Masjid dan Aplikasinya, (Padang: Jakarta The Minangkabau Foundation, 2006), h. 5 3 Wawancara dengan Yuzardi Ma’ad, tanggal 3 Maret 2007
Membangun Kekuatan Ekonomi Masjid Siti Aisyah, S. EI
53
B. Metode Penelitian 1. Lokasi Penelitian Yang menjadi lokasi penelitian dalam pembahasan ini yaitunya Masjid yang ada di kota Padang, yaitu Masjid Taqwa Muhammadiyah Jalan Bundo Kandung no.1 Padang. 2. Jenis Penelitian Jenis penelitian yang digunakan adalah penelitian kualitatif yaitu penelitian yang bermaksud untuk memahami fenomena tentang apa yang dialami oleh subjek penelitian misalnya perilaku, persepsi, motivasi, tindakan dan lain-lain secara holistic dan dengan cara deskriptif dalam bentuk katakata dan bahasa, pada suatu konteks khusus yang alamiah dan dengan memanfaatkan berbagai metode ilmiah.4 3. Sumber Data Untuk mendapatkan data dan bahan yang dibutuhkan dalam penelitian ini, penulis menggunakan pendekatan kualitatif untuk menggali data melalui wawancara dan observasi. Yang mana sumber data didapat dari pengurus Masjid yaitu ketua dan pengurus lain yang terlibat aktif dalam pengelolaan Masjid, dengan pertimbangan merekalah yang memiliki ide-ide dan melaksanakan pengelolaan Masjid. Masyarakat di lngkungan Masjid juga dijadikan responden dengan pertimbangan bahwa mereka dapat menjadi sumber informasi yang sangat penting. 4. Teknik Pengumpulan Data Teknik pengumpulan data yang digunakan dalam studi ini terdiri dari: a. Observasi (pengamatan) Observasi adalah suatu cara pengambilan data dengan menggunakan mata, baik dilakukan secara langsung maupun tidak langsung. Yang dimaksud secara langsung adalah subjek pengamatan mengetahui bahwa dia diamati, sedangkan tidak langsung adalah subjek pengamatan tidak mengetahui bahwa dia sedang diamati.5 Di sini, penulis 4 Lexi J. Moleong, 1989 : 6 5 Universitas Indonesia, Makalah Untuk Mata Kuliah Metodologi Penelitian, Teknik dan Metode Pengumpulan Data dalam Penelitian Kuantitatif dan Kualitatif. h. 6
54
Jurnal Syari’ah Vol. II, No. II, Oktober 2013 menggunakan observasi secara langsung, maksuudnya mengamati langsung Masjid yang telah mampu menyediakan sarana dalam pemberdayaan ekonomi masyarakat. b. Wawancara Yang dimaksud wawancara adalah proses memperoleh keterangan untuk tujuan penelitian dengan cara Tanya jawab sambil bertatap muka antara si penanya atau pewawancara (peneliti) dengan si penjawab atau responden dengan menggunakan alat. ( Anto Dajan, 1983 : 34 ). Di sisni, penulis menggunakan wawancara yang bertujuan untuk memperoleh informasi dari semua responden. c. Riset Pustaka Hal ini diperlukan untuk mendapatkan teori-teori mengenai permasalahan pokok yang berguna sebagai penunjang penelitian ini, yaitu buku-buku yang berkaitan dengan masalah penelitian. d. Teknik Analisa Data Proses analisa data dimulai dari menelaah seluruh data yang tersedia dari berbagai sumber, wawancara, pengamatan yang sudah dituliskan dalam catatan lapangan dan sebagainya, kemudian mengadakan analisa data dengan deskriptif.
C. Hasil Penelitian Menurut pengamatan peneliti, jenis-jenis kegiatan ekonomi yang ada di Masjid Taqwa Muhammadiyah Padang meliputi 3 bidang, yaitu bidang jasa, bidang barang dan bidang penghimpunan. 1. Pangkas Rambut Kegiatan ini dikelola oleh suatu badan yang bernama Badan Pengelola Toko Ekonomi Islam Masjid Taqwa Muhammadiyah Padang. Badan ini bertanggung jawab kepada pimpinan wilayah Muhammadiyah Sumatera Barat. Yang mempergunakan jasa ini tidak terbatas kepada warga Muhammadiyah saja, tetapi mencakup masyarakat umum. 2. Balai Pengobatan Balai pengobatan ini bernama Balai Pengobatan K.H Ahmad Dahlan, kegiatan ini dikelola oleh Majelis Kesehatan Pimpinan
Membangun Kekuatan Ekonomi Masjid Siti Aisyah, S. EI
55
Wilayah Muhammadiyah Sumatera Barat. Yang mempergunaka jasa ini adalah masyarakat umum. Waktunya setiap hari kerja dari jam 10.00 s.d 13.00 dengan tenaga dokter bergantian setiap hari. Menyediakan waktu untuk khitanan dikala sekolah libur dan khitanan terhadap mualaf (orang yang baru masuk Islam). 3. Titipan Alas`Kaki Tempat titipan alas kaki ini ada 4 tempat yaitu terdapat pada setiap tangga naik ke lantai II. 4. Bank Perkreditan Rakyat (BPR) BPR ini bernama BPR Nurul Barakah yang berpusat di Lubuk Alung, tetapi membuka hari kerjanya 1 hari dalam seminggu di Masjid Taqwa Muhammadiyah Padang. Kegiatan BPR ini adalah tempat menabung, menerima zakat dan pinjaman kepada para pedagang kecil. Pada awalnya BPR ini akan berpusat di Masjid Taqwa Muhammadiyah Padang. 5. Bimbingan Haji dan Umrah Bimbingan ini dikelola oleh satu badan yang benama “Badan Pneyelenggara Bimbingan Haji dan Umrah Muhammadiyah Sumatera Barat”. Badan ini bertanggung jawab kepada Pimpinan Wilayah Sumatera Barat, yang mempergunakan jasa ini bukan terbatas calon haji dari kota Padang saja, tetapi mencakup seluruh calon haji Sumatera Barat atau luar sumatera Barat. 6. Pengabdian Masyarakat Badan ini bernama Pengabdian Masyarakat Fakultas Syariah Universitas Muhammadiyah Sumatera Barat. Sekretariatnya menempati kantor Fakultas Syariah UMSB, yang sudah pindah tempat kuliah ke kampus baru tahun 1994. Kegiatannya meliputi: konsultasi agama, revisi menentukan arah kiblat shalat, penentuan tahun Hijriah, muzakarah dan penerbitan bulletin. 7. Baitul Mal Wal Tamwil Badan ini bernama “Baitul Mal Wal Tamwil (BMT) Masjid Taqwa Muhammadiyah Padang”. BMT ini adalah kerjasama antara Muhammadiyah dengan Orsat ICMI Padang. Organisasi informal dalam bentuk kelompok simpan pinjam (KSP) atau kelompok swadaya masyarakat (KSM) yang dikelola dengan modal lembaga swadaya masyarakat (LSM). 8. Taman Pendidikan al-Quran (TPA)
56
Jurnal Syari’ah Vol. II, No. II, Oktober 2013
TPA ini dikelola oleh Masjid Taqwa Muhammadiyah Padang, sebelumnya dikelola oleh para pedagang blok A pasar raya Padang statusnya meminjam tempat. Waktu belajarnya adalah malam hari mulai dari sesudah shalat maghrib s.d jam 12.00. 9. Kakus (WC) Umum Salah satu diantara kakus (wc) yang disediakan untuk umum dan untuk orang yang mempergunakannya memberikan sumbangan dengan tidak ditetapkan tarifnya. 10. Parkir Kendaraan Pada hari jumat diadakan parkir kendaraan roda dua dan pada waktu malam dibulan Ramadhan diadakan pula parkir kendaraan roda dua dan roda empat. 11. Bidang Barang a. Toko Buku Toko buku ini dikelola oleh Badan Ekonomi Islam Masjid Taqwa Muhammadiyah Padang, barang yang tersedia adalah buku-buku agama, bahan pakaian dan pakaian siap berupa batik berlambangkan Muhammadiyah A’asyiyah, Pemuda Muhammadiyah, Nasyiatul ‘Aisyiyah (NA), Ikatan Remaja Muhammadiyah (IRM), Lambang pendidikan Muhammadiyah dan juga menyediakan madu lebah. b. Toko Buku Tulis Toko ini menyediakan alat-alat tulis dan juga menghasilkan jasa berupa foto copy, printer computer dan pesanan cetakan. c. Toko Perlengkapan Toko perlengkapan sablon, souvenir cendera mata, madu lebah dan menerima pesanan cetakan dan stempel (biasa dan warna) d. Bulletin Penerbitan bulletin dikelola oleh pengurus Remaja Masjid Taqwa (RISTA) Muhammadiyah Padang, terbit setiap hari jumat, karena bahan diperolah dari rekaman khutbah jumat. 12. Bidang Penghimpunan a. Infaq yang dihimpun setiap jumat dimulai 15 menit sebelum waktu masuk sehingga khatib naik mimbar, oleh anggota jama’ah (suka rela) pada setiap shaf. b. Infaq yang dihimpun diwaktu pengajian, yaitu pengajian se-
Membangun Kekuatan Ekonomi Masjid Siti Aisyah, S. EI
57
belum zuhur, sesudah maghrib, sesudah shalat shubuh dan sesudah shalat ashar. c. Infaq yang dihimpun melalui celengan (jihad), kotak di lantai II dan kotak di tempat pangkas. Suatu fenomena yang terlihat adalah melakukan berbagai kegiatan ekonomi yang berlokasi di lingkungan Masjid. Penulis melihat ada beberapa kegiatan ekonomi pada lantai dasar Masjid Taqwa Muhammadiyah digunakan untuk kegiatan ekonomi yang dapat meningkatkan ekonomi umat Islam khususnya, baik dalam bentuk jasa, barang maupun penghimpunan dana. Pada Masjid Taqwa Muhammadiyah Padang semestinya menjadi model bagi Masjid-masjid lain yang ada di Sumatera Barat dengan adanya kemajuan dalam bidang ekonomi, mampu mengatasi permasalahan dan kebutuhan umat, namun Masjid Taqwa Muhammadiyah belum sepenuhnya mampu berdiri sendiri membangun kekuatan ekonomi Masjid karena Masjid Taqwa Muhammadiyah masih berada di bawah naungan organisasi besar Muhammadiyah.
D. Pembahasan Hasil analisis data dan pengujian hipotesis yang telah dilakuka dalam penelitian ini mengungkapkan bahwa Masjid merupakan salah satu institusi keagamaan yang potensial dikembangkan umat Islam di seluruh pelosok tanah air. Masjid menjadi posisi yang sangat penting dalam upaya membentuk, membina dan mengembangkan nilai-nilai kepribadian Islami kepada individu dan umat. Untuk itu berarti Masjid harus difungsikan secara optimal. (Moh. E. Ayub, 1994 : 7-15) Pada anggaran rumah tangga Dewan Kemakmuran Masjid Indonesia yang terdapat pada bab 1 pasal 1tentang usaha yaitu kesejahteraan dan kemakmuran Masjid dengan : 1. Mengadakan kerjasama dengan badan/organisasi yang bergerak dalam bidang kemesjidan, badan/organisasi yang berlandaskan Islam, instansi-instansi pemerintah dan swasta dalam rangka memakmurkan Masjid. 2. Mengusahakan dana dan bantuan bagi keperluan Masjid dan jamaahnya. 3. Berusaha membina Masjid yang sudah ada dan membantu pem-
58
Jurnal Syari’ah Vol. II, No. II, Oktober 2013
bangunan Masjid di daerah/tempat-tempat tertentu berdasarkan kemampuan yang ada. (Samik Ibrahim, 1977: 20-24) Mengelola Masjid pada zaman sekarang memerlukan ilmu dan keterampilan manajemen. Pengurus Masjid harus mampu meneyesuaikan diri dengan riak perkembangan zaman. Metode/pendekatan , perencanaan, strategi dan model evaluasi yang dipergunakan dalam manajemen modern merupakan alat bantu yang juga diperlukan dalam manajemen Masjid modern. Tak ada alasan untuk mengelak, sebab, bukan saatnya lagi kini pengurus mengandalkan sistem pengelolaan tradisional yang tanpa kejelasan perencanaan, tanpa pembagian tugas, tanpa laporan pertanggungjawaban keuangan dan sebagainya. (Juswarti dkk, 2006: 29). Dana atau uang yang dimiliki Masjid adalah amanat yang harus dikelola dengan baik oleh pengurus Masjid. Dana tersebut sebaiknya tidak untuk dipinjamkan, kecuali jika di dalam naungan Masjid tersebut didirikan koperasi Masjid. Pengeluaran hendaknya dilaksanakan sesuai dengan rencana yang telah ditetapkan bersama melalui rapat pengurus. Makin banyak kegiatan, makin banyak membutuhkan dana. Tanpa dana mustahil kegiatan dapat dilaksanakan. Pada sebagian besar masyarakat, pengelolaan dana/keuangan Masjid relatif sangat rentan manajemennya. Hal ini disebabkan berbagai faktor, antara lain : 1. Kemiskinan 2. Kurang pengetahuan dalam pengelolaan dana 3. Ketidakpercayaan masyarakat 4. Tingkat keimanan dan ketaqwaan yang belum kuat 5. Administrasi keuangan yang tidak rapi Berbagai kelemahan diatas harus diatasi satu persatu, sehingga pengurus Masjid akhirnya mendapat kepercayaan dari jamaahnya . (Mubarok, 1999 : 23-24) Ajaran tentang muamalah untuk mengatur perhubungan sesama manusia, tidak pula kurang pentingnya. Ukuran iman seorang muslim tidaklah cukup dengan ibadahnya belaka, tetapi soal muamalah, social dan ekonomi dijadikan pula oleh Nabi sebagai ukuran yang setepat-tepatnya bagi keimanan seorang muslim. (Abdullah Zaky al Kaaf, 2002 : 11-21) Di kota-kota besar seperti Jakarta, Bandung dan kota lainnya
Membangun Kekuatan Ekonomi Masjid Siti Aisyah, S. EI
59
terlihat fenomena baru yang menunjukkan sebagian Masjid telah menunjukkan fungsinya sebagai tempat ibadah, tempat pendidikan, tempat pemberdayaan ekonomi umat dan kegiatan-kegiatan sosial lainnya. Dengan demikian keberadaan Masjid memberikan manfaat bagi jamaah dan masyarakat lingkungannya. Dari uraian diatas dapat disimpulkan bahwa langkah-langkah yang dapat dilakukan dalam membangun dan merealisasikan potensi kekuatan umat berbasis Masjid dengan : 1. Mendata potensi jamaah Masjid Sudah seharusnya pengurus Masjid memiliki data potensi jamaah masih terbilang sedikit. Kalaupun ada, maka kualitas data yang dimiliki umumnya masih kurang memuaskan. Untuk itu, sebagai langkah awal didalam membangun kekuatan ekonomi Masjid, maka ketersediaan data potensi ini menjadi sebuah keharusan. Data ini paling tidak meliputi data jamaah yang terkategorikan mampu dan tidak mampu dengan standar Masjid. Termasuk persebaran tempat tinggalnya, diversifikasi mata pencaharian masing-masing individu jamaah Masjid, latar belakang pendidikan para jamaah, termasuk data kependudukan lainnya yang bersifat standar. Hal ini dapat dijadikan juga sebagai indikator komitmen yang bersangkutan didalam memakmurkan Masjid. 2. Mendata potensi ekonomi lingkungan sekitar Masjid Mendata potensi ekonomi masyarakat yang tinggal di sekitar Masjid, termasuk menganalisis potensi strategis lokasi Masjid. Tentu saja Masjid yang berlokasi di daerah perumahan yang mayoritas penduduknya bekerja pada sektor jasa akan memiliki potensi yang berbeda dengan Masjid yang berlokasi di wilayah yang didiami oleh mayoritas petani atau nelayan. Analisis yang tepat akan menggiring pada pemilihan aktivitas ekonomi yang tepat. Misalnya, untuk wilayah perumahan yang tidak memiliki toko yang menjual kebutuhan tersebut atau masjid dapat membuka usaha pengadaan pupuk murah bagi petani, apabila ma yoritas penduduk sekitar Masjid adalah petani, namun memiliki kesulitan didalam mendapatkan pupuk murah. Masih banyak lagi contoh lainnya, akan tetapi yang terpen
60
Jurnal Syari’ah Vol. II, No. II, Oktober 2013
ting adalah pihak pengelola Masjid harus mampu menangkap kebutuhan masyarakat sekitar, sehingga ini akan memberikan ruang dan peluang bagi pengembangan aktivitas ekonomi Masjid. Menggandeng mitra yang berasal dari bank syariah, BPRS syariah maupun lembaga keuangan syariah (LKS) non bank lainnya pada langkah selanjutnya, pihak Masjid sebaiknya menggandeng mitra yang berasal dari lembaga keuangan syariah, baik institusi perbankan seperti bank syariah dan BPRS syariah, maupun institusi non bank seperti BMT (Baytul Maal wa at-Tamwil). Hal ini sangat penting untuk dilakukan disamping sebagai syiar dan dakwah, juga untuk menumbuhkan kesadaran berekonomi secara islami bagi masyarakat umum. Pihak Masjid pun akan mendapatkan tambahan sumber pembiayaan bagi kegiatan operasionalnya. Bagi pihak bank syariah, hal ini merupakan peluang dan kesempatan untuk memperluas pasar, dengan menyerap segmen masyarakat sekitar Masjid secara lebih optimal. Bahkan pihak bank pun dapat membuka kantor cabang pembantu atau kas yang alokasi di sekitar Masjid dengan tujuan untuk menjaring nasabah potensial. 3. Memperkuat jaringan ekonomi Masjid lainnya Didalam era global dewasa ini, salah satu sumber kekuatan bisnis adalah terletak pada kekuatan jaringan yang dimiliki, semakin luas jaringan semakin kuat pula bisnis yang dimiliki. Karena itulah, Masjid harus memanfaatkan secara optimal potensi jaringan yang dimilikinya. Jaringan merupakan salah satu sumber kekuatan umat yang harus dikelola dengan baik, sehingga akan memiliki manfaat yang bersifat luas. Pada Masjid Taqwa Muhammadiyah Padang semestinya menjadi model bagi Masjid-masjid lain yang ada di Sumatera Barat dengan adanya kemajuan dalam bidang ekonomi, mampu mengatasi permasalahan dan kebutuhan umat, namun Masjid Taqwa Muhammadiyah belum sepenuhnya mampu berdiri sendiri membangun kekuatan ekonomi Masjid karna Masjid Taqwa Muhammadiyah Padang masih berada di bawah naungan orga nisasi besar Muhammadiyah.
Membangun Kekuatan Ekonomi Masjid Siti Aisyah, S. EI
61
E. Kesimpulan Berdasarkan permasalahan yang telah diuraikan dan data-data yang telah dihimpun dan dianalisa sebelumnya tentang pemberdayaan Masjid dalam meningkatkan ekonomi umat, maka dapat disimpulkan bahwa kegiatan yang dilakukan oleh Masjid Taqwa Muhammadiyah Padang dalam bentuk usaha ekonomi yaitu pangkas rambut, kegiatan ini dikelola oleh Badan Pengelola Toko Ekonomi Islam Masjid Taqwa Muhammadiyah Padang, balai pengobatan, yang bernama Balai Pengobatan K.H. Ahmad Dahlan, penitipan alas kaki, ada 4 tempat yang terdapat pada setiap tangga naik ke lantai II, Bank Perkreditan rakyat, yang bernama BPR Nurul Barakah yang berpusat di Lubuk Alung, tetapi membuka hari kerjanya 1 hari dalam seminggu di Masjid Taqwa Muhammadiyah Padang, bimbingan haji dan umrah, badan ini dikelola oleh badan yang bernama Badan Pneyelenggara Bimbingan Haji dan Umrah Muhammadiyah Sumatera Barat, pengabdian masyarakat, yang bernama Pengabdian Masyarakat Fakultas Syariah Universitas Muhammadiyah Sumatera Barat, parker kendaraan, Baitul Mal Wal Tamwil yang bekerjasama dengan Orsat ICMI Padang, toko buku, yang dikelola oleh Badan Ekonomi Islam Taqwa Muhammadiyah Padang, toko perlengkapan sablon yang menyediakan alat-alat perlengkapann sablon. Kegiatankegiatan ekonomi yang dilakukan di lingkungan masjid merupakan bentuk pemberdayaan masjid dalam miningkatkat ekonomi umat karena masjid menyediakan tempat berbagai kegiatan usaha ekonomi.
Daftar Pustaka Harahaf Sofyan Syafri, Manajemen Masjid, Jogyakarta PT. Dana Bhakti Wakaf, 1993 Universitas Indonesia, Makalah Untuk Mata Kuliah Metodologi Penelitian, Teknik dan Metode Pengumpulan Data dalam Penelitian Kuantitatif dan Kualitatif. Moh.E.Ayub dkk, Manajemen Masjid, Jakarta: Gema Insani Press, 1994 Azizy A. Qodry, Membangun Fondasi Ekonomi Umat, Jakarta: Pustaka
62
Jurnal Syari’ah Vol. II, No. II, Oktober 2013
Pelajar, 2004 Karim Adiwarman, Ekonomi Islam Suatu Kajian Kontemporer, Jakarta: Gema Insani, 2001 Fadhely Mohammad, Meneropong Kehidupan Ekonomi Umat Islam, Jakarta: PT. Golden Terayon Press, 1995 Jusmawati dkk, Manajemen Masjid dan Aplikasinya, Padang: Jakarta The Minangkabau Foundation, 2006 Al Kaaf Abdullah Zaki, Ekonomi dalam Perspektif Islam, Bandung: CV Pustaka Setia, 2002 Karim Adiwarman, Ekonomi Mikro Islam, Jakarta: III T Indonesia, 2003 Dajan Anto, Pengantar Metode Statistik, Jakarta: LP3ES, 1983 Muhadjir Noeng, Metode Penelitian Kualitatif, Yogyakarta: Rake Sarasin, 1989 Ibrahim Samik, Bulletin Dewan Masjid Tk 1 Sumatera Barat, Padang: Percetakan Offset Padang, 1977 Mubarok, Buku Petunjuk Pedoman Pengelolaan Keuangan Masjid, Jakarta: Direktur Jenderal Bimas Islam dan Urusan Haji, 1999 Institut Manajemen Masjid, Manajemen Masjid Praktis, dalam website http/www.immasjid.com.data, diakses tanggal 2 Juli 2007, jam 19:00 Irfan Syauqi Beik, Membangun Kekuatan Ekonomi Masjid htm, dalam website Pesantren Virtual Com.data, diakses tanggal 2 Juli 2007, jam 20:00 Agustianto, Peran Masjid dalam Edukasi Ekonomi, dalam website Pesantren Virtual Com.data, diakses tanggal 2 Juli 2007, jam 20:00 Damsar, Sosiologi Ekonomi, Jakarta: PT.Raja Grapindo Persada, 2000 Amin Mansyur, Fiqh Masjid, Jakarta: Badan Kesejahteraan Masjid,2002 Dahlan Abdul Aziz, Ensiklopedi Hukum Islam, Jakarta: Ictiar Baru Van Hoeve, 1997 Almi Hasan, Kamus Besar Bahasa Indonesia Edisi Ketiga, Jakarta: Balai Pustaka, 1989 Sirojuddin AR, Ensiklopedi Islam 3, Jakarta: Ictiar Baru Van Hoeve, 1997
Zakat Dan Pajak Ahmad Sarbini Dosen Prodi Ekonomi Syariah Fakultas Ilmu Agama Islam UNISI Tembilahan Abstrak Sebagai agama yang lengkap, agama Islam dipercaya tidak hanya berurusan semata-mata dengan Khalik Pencipta Kehidupan, tetapi juga berurusan dengan makhluk yang menjalani kehidupan. Kedua aspek tersebut dikenal dengan “Hablun Minallah” dan “Hablun Minannaas”. Dalam islam, kedua aspek tersebut sama-sama penting, seperti halnya Zakat dan Pajak, keduanya merupakan kewajiban, namun mempunyai dasar berpijak yang berlainan. Zakat berpijak pada hukum Allah swt dalam segala hal ihwalnya, sedangkan Pajak berpijak pada peraturan perundang-undangan yang ditetapkan oleh pemerintah, baik dalam pemungutan maupun dalam penggunaannya.oleh karena itu keduanya harus dijalankan secara serasi, seimbang dan seiring sehingga tujuan pensyariatan islam dan ketentuan pemerintah bisa tercapai untuk menyelesaikan masalah ekonomi di Masyarakat.
Key words: Zakat, Pajak
A. Pendahuluan Salah satu bentuk ibadah yang sangat menonjolkan kepaduan antara aspek Ilahiah dan aspek Insaniah adalah Zakat dan Pajak. Zakat dan Pajak merupakan bagian yang tidak terpisahkan dalam pemenuhan kewajiban baik dalam kehidupan beragama maupun bernegara. Zakat dan Pajak adalah dua istilah yang berbeda dari segi sumber atau dasar pemungutannya. Zakat untuk kepentingan, yang diatur dalam agama Islam. Sedangkan Pajak diatur untuk kepentingan, yang diatur oleh Negara melalui proses Demokrasi yang sah yang ditetapkan dalam undang-undang, namun dari segi sumber atau dasar pemungutannya sama hal sifatnya sebagai upaya mengambil atau memungut dari masyarakat untuk kepentingan sosial. Sebagaimana kita ketahui bahwa Zakat merupakan salah satu rukun Islam yang lima, zakat juga merupakan salah satu kewajiban yang ada di dalamnya. Zakat diwajibkan di Madinah pada bulan
64
Jurnal Syari’ah Vol. II, No. II, Oktober 2013
yawal tahun kedua Hijri.1 Zakat sebagai salah satu rukun Islam yang S lima, yang telah disebutkan dalam Hadis riwayat Bukhari dan Muslim (Yang akan diterangkan kemudian). Sedangkan Pajak, menyangkut kewajiban masyarakat terhadap Negara yang menjadi institusi mayarakat yang dibentuk dan diberi tanggungjawab untuk mengelola kepentingan Negara. Pemungutan Pajak harus mendapatkan persetujuan dari rakyat melalui Undang-undang yang ditetapkan oleh pemerintah, dan semuanya itu adalah untuk kepentingan bersama. Oleh karena itu sering muncul pertanyaan, apakah Zakat dan Pajak mempunyai kedudukan yang sama? Apa persamaan dan perbedaannya? Maka pada tulisan ini, penulis akan mencoba menjawab segala permasalahan tersebut di atas.
B. Pembahasan 1. Sejarah Singkat Tentang Zakat Dan Pajak Dalam Islam Pada masa Nabi Muhammad saw, kewajiban yang berkaitan dengan harta yang diwajibkan kepada umat Islam hanya satu, yaitu Zakat. Kewajiban itu ditetapkan berdasarkan al-Qur’an surat al-Baqarah ayat 110:
“Dan dirikanlah shalat dan tunaikanlah zakat. dan kebaikan apa saja yang kamu usahakan bagi dirimu, tentu kamu akan mendapat pahala sisi Allah. Sesungguhnya melihat apa-apa yang nya pada Alah Maha kamu kerjakan.”
Zakat saat itu merupakan salah satu sumber keuangan Negara, karena Negara yang dibangun oleh Rasulullah saw itu bukan hanya
terdiri dari orang-orang Islam saja, melainkan juga non muslim yang tidak terkena kewajiban zakat, maka sebagai imbangan kewajiban muslim, kepada non muslim membayar zakat terhadap diwajibkan pajak (Jizyah). Kewajiban pajak ini ditetapkan berdasarkan firman Allah SWT dalam QS. Al-Taubah ayat 29:
1 Wahbah al-Zuhayly, al-Fiqh al-Islami Adilatuh, Terj. Agus Effendi dan Bahruddin Fananny (Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, 2000), h. 89
….
Zakat Dan Pajak 65 Ahmad Sarbini
“Perangilah orang-orang yang tidak beriman kepada Allah dan tidak (pula) kepada hari Kemudian, dan mereka tidak mengharamkan apa tidak …. beragama dengan yang diharamkan oleh Allah dan RasulNya dan agama yang benar (agama Allah), (Yaitu orang-orang) yang diberikan AlKitab kepada mereka, sampai mereka membayar jizyah dengan patuh sedang mereka dalam Keadaan tunduk.”
Jizyah ialah pajak per kepala yang dipungut oleh pemerintah Islam dari orang-orang yang bukan Islam, sebagai imbangan bagi keamanan diri mereka.Pada masa Khalifah Umar bin Khattab wilayah Islam telah meluas ke laut daerah Jazirah Arab. Administrasi Negara yang sebelumnya sangat sederhana dirasa tidak memadai untuk mengaturي ِهwilayah yang yang ِ َلUntuk َّصلbesar. ِ ن عمرر ِ ِن ْابlebih ى َّن َر ُس ْوmembenahi َاهللُ َع ْنهُ َما أadministrasi ضى َو َع ْ َاهللَ َعل َ اهللdana َ َ َ ُ dana memadai diperlukan yang tidak sedikit,َ sehingga yang selama ini َّdicukupkan dari sumber zakat, terasa tidakِlagi memadai. ٍ ُبني ْاﻹ ْسالَم َعلَى َخ ْم:ال َو َسلَّ َم ٬ َن الَِالَه ِاال اهلل َ َقmuslim َ َس َشه ْ اد ِة أ ُ Untukُ itulah َpajak diwajibkan kepada penduduk yang َ non yang menggarap tanah pemerintah. mereka ِ َوِا ْيتini٬ kemudian ِ وح ِّج اْلب ْيTetapi ِ َالزكا ِ َالصال ِ َقada ِ َّ . ان ض م ر م و ص و ٬ ت ٬ ة اء ة ام َوِا َّ َ َ َ َ yang masukَ َIslam, ْ َ maka َ di sampingَ kewajiban pajak َ tanah kepada mereka juga dibebankan kewajiban zakat. Jadi umat Islam dihadapkan kepada dua beban kewajiban yaitu zakat dan pajak.2 2. Pengertian Zakat Dan Pajak Zakat menurut bahasa dapat diartikan dengan suci, dan menurut istilah dapat diartikan memperbaiki dan menambah yakni menambah kebaikan dan berkah. Zakat menurut istilah syara’ ialah 2 Rahman Ritonga dan Zainuddin, Fiqih Ibadah (Jakarta: Gaya Media Pratama, 2002), h. 175-176
66
Jurnal Syari’ah Vol. II, No. II, Oktober 2013
nama bagi yang dikeluarkan dari harta atau sesuatu yang telah ditentukan dalam Islam. Harta yang dikeluarkan itu dinamakan zakat karena menyucikan harta, memperbaikinya dan menambah kebaikan atau berkahnya.3 Dari pengertian Zakat di atas, dapat dipahami bahwa zakat memiliki dua dimensi yaitu dimensi ibadah yang dilaksanakan dengan perantaraan harta benda dalam rangka mematuhi perintah Allah SWT dan mengharap pahala dari-Nya dan dimensi social yang dilaksanakan atas dasar kemanusiaan. Pajak, menurut defenisi para ahli keuangan, ialah kewajiban yang ditetapkan terhadap wajib pajak, yang harus disetorkan kepada Negara sesuai dengan ketentuan yang berlaku, tanpa mendapat prestasi kembali dari Negara, dan hasilnya untuk membiayai pengeluaran-pengeluaran umum di satu pihak dan untuk merealisir sebagian tujuan ekonomi, social, politik dan tujuan-tujuan lain yang ingin dicapai oleh Negara.4 Dari definisi pajak terkandung makna bahwa, pajak dipungut oleh Negara (Pemerintah Pusat maupun Pemerintah Daerah) berdasarkan undang-undang yang berlaku. Dapat diambil kesimpulan bahwa zakat dan pajak, keduanya merupakan kewajiban yang harus dibayar, namun mempunyai dasar berpijak yang berlainan. Zakat berpijak pada hukum Allah swt dalam segala ihwalnya, sedangkan pajak berpijak pada peraturan perundang-undangan yang ditentukan oleh Pemerintah baik dalam pemungutan maupun penggunaannya. Pada umumnya, hasil, pajak digunak untuk kepentingan pengaturan jalannya pemerintahan, dalam arti yang berkaitan dengan kepentingan rakyat. Jadi jelas, bahwa zakat untuk kesejahteraan umat dan pajak untuk pembangunan bangsa dan Negara. 3. Kedudukan Zakat Dan Pajak Nabi SAW telah menegaskan di Madinah bahwa zakat itu wajib serta telah menjelaskan kedudukannya dalam Islam, yaitu bahwa zakat adalah salah satu rukun Islam yang lima dan siapa yang meng3 Arsyad Al-Banjari, Syekh Muhammad, Kitab Sabilal Muhtadin, Jil. II. Terj. M. Asywadie Syukur (Surabaya: PT. Bina Ilmu, 2005), h. 745 4 Yusuf Qardawi, Hukum Zakat (Jakarta: PT. Pustaka Litera AntarNusa, 1999), h. 999
Zakat Dan Pajak
Sarbini 67 Ahmad dari wajibnya yang ingkarinyabaik segi atau dari segi jumlah wajib dikeluarkan disepakati maka yang telah oleh para ulama, iadiang gap keluar itu orang yang menge dari agama Islam. Karena enggan luarkan zakat hartanya dapat diperangi dan jumlah zakat yang wajib diambil dengan sekalipun melalui dapat kekerasan dikeluarkannya peperangan.5 Adapun dalil tentang wajibnya zakat ini ditetapkan berdasar kan firman Allah SWT yang berbunyi:
…. …. “….Dan menunaikan zakat…”( QS. Al-Bayyinah:5).
Dalam SWT juga ayat yang lain Allah berfirman:
ِ
….
َّ
ِ
ِ
ِ َو َع اهللَ َعلَ ْيهzakat صلى اهللsebagian َّن َر ُس ْو َلharta َهُ َما أmereka, اهللُ َع ْنdengan َم َرَرض َىzakat ِن ُعitu ن ْابkamu “Ambillah َ dari membersihkan dan mensucikan mereka dan mendoalah untuk merِ َّ ِ اهللَ علَْي ِ ِ ِ َّ ه ى ل ص اهلل ل و س ر ن َ أ ا م ه ن ع ُ اهلل ى ض ر ر م ع ن اب ن ع َ ْ س َ َُش َّأَن َالَِالَه ِاالdoa َْسلَّم قbagi َSesungguhnya َ َوو ٍ itu َ ُالَ ُم َعَلَْىketenteraman eka. ٬ ُاهلل اد ِة ( َخ ْمmenjadi) ُُبَنِ ََيَ ْاﻹ َْس:ال َ jiwa َ َهkamu ْ َ َ َ Atَ mereka. dan Allah Maha mendengar lagi Maha mengetahui.” (QS. َّ ِ ِ َّ ِ ِ ٍ ْ أادة َّم َال ِْاي ال ٬.ان Taubah: ِْسيﻹت ُمالضاهلل103) ُ اء َنوصالَاولَِمهَ ار ٬ َ ى وَخحْم ِّجسالبيَش ِهَت ٬ َالزكاَعِةل وا٬َ الُبِةن:الص ََّ ََووِاقَسلِامَم ق ََ َْ َ َ ْ َْ َ َ َ َ َ ََ َْ َ dalam hadis riwayat ِ َتMuslim َّdan و َح ِّج اْلBukhari ٬ الزكاَ ِة اء َوِا ْي٬ الَ ِةdisebutkan: الص .Di ان َو٬ َب ْي ِتImam َّ َوِاقَ ِام َ ص ْوِم َرَم َض َ َ ِ ِ صلَّى اهللَ َعلَْي ِه َ َو َع ِن ْاب ِن ُع َم َرَرض َى اهللُ َع ْنهُ َما أَ َّن َر ُس ْو َل اهلل ٍ ُبنِي ْاﻹ ْسالَم َعلَى َخ ْم:ال ٬ َُن الَِالَهَ ِاالَّ اهلل َ ََو َسلَّ َم ق َ َس َشه ْ اد ِة أ ُ َ ِ َ وِا ْيت٬ الصالَ ِة ِ ِ َّ اء .ان َّ َوِاقَ ِام َ ص ْوِم َرَم َض َ َو٬ َو َح ِّج اْلَب ْيت٬ الزكاَة َ
“Dari Ibn Umar ra. Bahwasanya Rasulullah saw. Bersabda: Islam didirikan atas lima sendi, yaitu: menyaksikan bahwa tidak ada tuhan melainkan Allah dan bahwa Muhammad adalah utusan Allah, mendirikan shalat, menunaikan zakat, berhaji ke baitullah, dan berpuasa pada bulan ramadhan”HR.Muttafaqun ‘Alaih. (as-Shiddiqi, 1971: 4) 5 Arsyad Al-Banjari, Syekh Muhammad, Kitab Sabilal Muhtadin… h. 745
68
Jurnal Syari’ah Vol. II, No. II, Oktober 2013
Dari ayat dan hadis di atas jelas menunjukkan bahwa kedudukan zakat adalah sebagai ibadah wajib yang tidak hanya berdimensi ritual (pribadi) tetapi juga social. Meski ajaran zakat secara utuh baru diberlakukan pada tahun-tahun terakhir kehidupan Nabi Muhammad SAW, sejak beliau diutus, anjuran menyantuni kaum lemah menjadi perhatian al-Qur’an. Banyak wahyu yang turun pada periode Mekkah yang menyinggung pentingnya institusi zakat. Ajaran tentang zakat merupakan ajaran yang menekankan tentang pentingnya persaudaraan dan rasa kasih saying antarsesama. Konsep zakat menandingi dan bahkan mengulangi semua ajaran-ajaran kesejahteraan social dari ideology mana pun datangnya. Konsep zakat bertitik tolak dari ajaran al-Qur’an bahwa harta benda yang dimiliki adalah amanat Allah dan berfungsi sosial. Disinilah misi Islam menciptakan keseimbangan dalam sisitem ekonomi masyarakat melalui institusi zakat. Karena itu, zakat adalah ibadah yang menjangkau dimensi kehidupan secara luas. Di samping itu, kedudukan kewajiban zakat dalam Islam sangat mendasar dan fundamental. Seiring dengan pengembangan wialayah Islam, kebutuhan newgara akan pendanaan dengan sendirinya bertambah besar dan hal itu tidak mungkin bias dipenuhi hanya dengan zakat. Untuk menutupi kebutuhan itu, lahirlah sebuah gagasan agar Ghanimah (harta rampasan perang) dalam bentuk tanah yang semula pada masa Nabi SAW dan Abu Bakar dibagikan secara Cuma-Cuma kepada para tentara menjadi alternative sumber pendapat Negara. Khalifah Umar selanjutnya menetapkan bahwa ghanimah tidak lagi dibagi-bagikan kepada kaum Muslimin, tetapi dikembalikan kepada Negara. Masyarakat atau rakyat boleh memanfaatkan tanah itu dengan catatan harus membayar retribusi (kharaj). Pada masa Khalifah Usman, sumber pendapat Negara tidak hanay terbatas pada zakat dan kharaj, beliau menetapkan Jizyah. Semula tiga sumber pendapatan tersebut dirasa masih cukup memadai untuk sekedar memenuhi kebutuhan belanja Negara yang diperlukan untuk membiayai pegawai dan tentara serta kebutuhan rutin lainnya. Kondisi ini bertahan cukup lama sampai menjelang era modernisasi. Pada saat Negara Islam harus berpacu dengan Negara-negara lain untuk berusaha membangun negaranya. Hal ini sudah barang tentu membutuhkan pasokan dana yang tidak sedikit. Dari
Zakat Dan Pajak Ahmad Sarbini
69
sini lahirlah gagasan menjadikan pajak sebagai sumber pendapatan baru bari pemerintah. Ulama fiqih kontemporer mengemukakan bahwa ada kewajiban material yang berbentuk pajak itu tidak diragukan keabsahannya, karena ternyata pada waktu ini Negara memerlukan anggaran pendapatan yang besar sekali, yang keseluruhannya tidak mungkin terpenuhi dengan zakat. Pada saat ini dua kewajiban tersebut menyatu dalam diri seorang muslim, bukan saja kewajiban zakat tetapi juga kewajiban pajak sekaligus. Kedua kewajiban tersebut tidak dapat dihindarkan, karena kalau kewabjian hanya berlaku terhadap zakat saja dan bebas dari pajak, maka pemasukan terhadap kas Negara tidak akan mencukupi dan tidak akan dapat memenuhi target penerimaan pendapatan Negara yang dipakai untuk membiayai halhal yang jauh lebih banyak dari apa yang ditentukan dalam zakat. Secara umum ada tiga fungsi pajak bagi Negara yang sedang membangun seperti Indonesia, sebagaiamana dikemukakan Zaki Fuad, mengutip B. Wiwoho, Usman Yatim dan Enny A. Hendargo: 1. Pajak merupakan alat atau instrument penerimaan Negara. Untuk menjalankan tugas-tugas rutin Negara diperlukan biaya, demikian juga dalam rangka melaksanakan pembangunan nasional. Pembiayaan ini terutama berasal dari penerimaan pajak. Dewasa ini pajak sebagian besar dipergunakan untuk pembiayaan rutin, seperti; belanja pegawai, belanja barang, pemeliharaan dan lain-lain. Untuk membiayai pembangunan sebagian berasal dari tabung pemerintah, yakni penerimaan dalam negeri dikurangi pengeluaran rutin. Tabungan pemerintah dari tahun ke tahun harus ditingkatkan sesuai kebutuhan pembiayaan pembangunan yang semakin mendingkat dan ini terutama diharapkan dari sector pajak. 2. Pajak merupakan alat untuk mendorong investasi. Menciptakan iklim investasi yang lebih baik dengan memberikan insentif perpajakan sedemikian rupa sehingga dapat mendorong penoingkatan investasi. 3. Pajak merupakan alat retribusi. Pengenaan pajak dengan tariff progresif dimaksudkan untuk mengenakan pajak yang lebih tinggi pada golongan yang lebih mampu. Dana dyang dipindahkan dari sector swasta ke sektor pemerintajh diper-
70
Jurnal Syari’ah Vol. II, No. II, Oktober 2013 gunakan pertama untuk membiayai proyek-proyek yang terutama dinikmati oleh masyarakat yang berpenghasilan rendah seperti pembangunan Puskesmas, SD Inpres, jaringan irigasi, waduk-waduk, jalan-jalan raya dan sebagainya. Perananan pajak sebagai alat retribusi ini sangat penting, untuk menegakkan keadilan social dan hal ini sejalan dengan prinsip trilogy pembangunan Indonesia.6
4. Persamaan Dan Perbedaan Zakat Dan Pajak Zakat dan Pajak terdapat titik persamaan dan titik perbedaan di antaranya adalah : a. Titik Persamaan Antara Zakat dan Pajak 1) Unsur paksaan dan kewajiban yang merupakan cara untuk menghasilkan pajak, juga terdapat dalam zakat. Bila seorang muslim terlambat membayar zakat, karena keimanan dan keislamannya belum kuat, di sini Pemerintah Islam akan memaksanya, bahkan memerangi mereka yang tidak mau membayar zakat, bila mereka punya kekuatan. 2) Pajak harus disetorkan kepada lembaga masyarakat (Negara) baik pada Perintah Pusat maupun Pemerintah Daerah. Demikian juga Zakat, karena pada dasarnya Zakat itu harus diserahkan kepada Pemerintah sebagai badan yang disebut dalam al-Qur’an Amil Zakat. 3) Di antata ketentuan pajak, ialah tidak adanya imbalan tertentu. Para wajib pajak menyerahkan pajaknya selaku anggota masyarakat. Ia hanya memperoleh berbagai fasilitas untuk dapat melangsungkan kegiatan usahanya. Demikian halnya zakat, adalah selaku anggota masyarakat Islam, Ia hanya memperoleh perlindungan, penjagaan dan solidaritas dari masyarakatnya. Ia wajib memberikan hartanya untuk menolong warga masyarakat dan membantu mereka dalam menanggulangi kemiskinan, kelemahan dan penderitaan hidup, juga ia menunaikan kewajibannya untuk menanggulangi kepentingan umat Islam demi tegaknya kalimat Allah dan tersebarnya dakwah kebenaran di muka bumi, tanpa mendapat prestasi kembali atas pembayaran zakatnya. 6 Abdul Hamid, Fiqih Kontemporer (Jogjakarta: Ar-Ruzz Media, 2011), h. 251-255
Zakat Dan Pajak Ahmad Sarbini
71
4) Apabila pajak pada zaman modern ini mempunyai tujuan ke masyarakat, ekonomi dan politik di samping tujuan keuangan, maka zakatpun mempunyai tujuan yang lebih jauh dan jangkauan yang lebih luas pada aspek-aspek yang disebutkan tadi dan aspek-aspek lain, semua itu sangat besar pengaruhnya terhadap kehidupan pribadi dan masyarakat.7 b. Titik Perbedaan Antara Zakat dan Pajak 1) Zakat adalah kewajiban yang ditetapkan berdasarkan alQur’an dan hadis. Karena itu kedudukannya adalah sebagai ibadah yang memerlukan niat dalam pelaksanaannya. Pajak adalah kewajiban yang ditetapkan berdasarkan Undangundang perpajakan yang ditetapkan oleh penguasa atau pemerintah. Oleh karena itu kedudukannya adalah sebagai kewajiban social yang tidak memerlukan niat. 2) Zakat merupakan kewajiban terhadap agama yang apabila dilanggar mendapat hukuman di akhirat (dosa), sedangkan Pajak merupakan kewajiban terhadap Negara yang apabila dilanggarr mendapat hukuman keduniaan (penjara). 3) Zakat diwajibkan kepada ummat Islam uyang kaya, sedangkan pajak diwajibkan kepada semua rakyat baik muslim maupun nono muslim, baik kaya maupun miskin. 4) Kadar kewajiban zakat ditetapkan berdasarkan al-Qur’an dan Hadis-hadis Nabi SAW, sedangkan kadar kewajiban pajak ditetapkan oleh Negara sesuai dengan kebutuhan. 5) Zakat hanya diserahkan kepada Asnaf yang delapan seperti yang ditetapkan semua warga negara dalam bentuk pembangunan berbagai sarana untuk kemaslahatan bersama. 6) Zakat tidak mungkin dihapuskan meskipun para mustahiknya tidak ada lagi yang membutuhkan, sedangkan pajak mungkin saja dihapuskan tergantung pada pertimbangan pemerintah dan keadaan keuangan Negara.8
7 Yusuf Qardawi, Hukum Zakat… h. 999-1000 8 Rahman Ritonga dan Zainuddin, Fiqih Ibadah, h. 177
72
Jurnal Syari’ah Vol. II, No. II, Oktober 2013
C. Kesimpulan Melaksanakan pembayaran zakat dan pajak sama-sama bernilai ibadah. Kewajiban zakat jelas berdasarkan al-Qur’an dan Hadis, sedangkan kewajiban pajak berdasarkan ijtihad Ulil Amri (pemerintah). Agama pun memerintahkan kita untuk taat kepada Ulil Amri. Karena itu, melaksanakan pajak pada hakikatnya juga melaksanakan perintah agama (sebagai realisasi ketaatan kepada Ulil Amri). Jadi, kewajiban membayar pajak pada hakikatnya juga adalah perintah agama. sama halnya dengan membayar zakat.
Daftar Pustaka Al-Qur’an dan Terjemah. Arsyad Al-Banjari, Syekh Muhammad, Kitab Sabilal Muhtadin, Jil. II. Terj. Prof. H.M. Asywadie Syukur, Lc., Surabaya: PT. Bina Ilmu, 2005. As-Shiddiqi, Muhammad Ibnu ‘Allan. Dalil al-Falihin li Thuruqi Riyadh al-Sholihin. Mekkah al-Mukarramah. 1971. al-Zuhayly, Wahbah, al-Fiqh al-Islami Adilatuh, Terj. Agus Effendi dan Bahruddin Fananny, Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, 2000. Hamid, Abdul, Fiqih Kontemporer, Jogjakarta: Ar-Ruzz Media, 2011. Qardawi, Yusuf, Hukum Zakat, Jakarta: PT. Pustaka Litera Antar Nusa, 1999. Ritonga, Rahman dan Zainuddin, Fiqih Ibadah, Jakartaa: Gaya M edia Pratama, 2002. Yayasan Penyelenggara Penerjemah al-Qur’an, Al-Qur’an Tiga Bahasa, Depok: al-Huda, 2009.
Kritik Khaled M. Abou El Fadl Terhadap Otoritarianisme Pemikiran Hukum Islam Nasrullah Dosen Fakultas Ilmu Agama Islam UNISI Tembilahan Abstrak Kegelisahan sekaligus keberatan terhadap bentuk otoritarianisme CRLO dalam pemikiran hukum Islam yang dilakukan oleh lembaga Fatwa di Saudi Arabia, merupakan suatu keadaan yang dialami oleh salah satu dari intelektual muslim kontemporer saat ini, M. Khaled Abou El Fadl. Dalam menjawab ketidaksetujuannnya itu ia menawarkan suatu metodologi perumusan pemikiran hukum Islam yang ia namakan hermeneutika otoritatif sebagai lawan dari kecenderungan otoritarianisme dalam merumuskan produk hukum Islam. Tawaran mtodologi hermeneutika otoritatif di atas bisa bermanfaat dalam perumusan fatwa yang lebih bersikap pro terhadap kemaslahatan, prinsip-prinsip kemanusiaan, dan peduli terhadap isu emansipasi jender yang telah diabaikan kenyataannya oleh lembaga fatwa tersebut.
Kata Kunci: Otoritarianisme, otoritatif, Hukum Islam, Fatwa
A. Pendahuluan Kemunculan Khaled M. Abou El Fadl dengan salah satu karyanya, telah menunjukkan betapa penting pendekatan hermeneutika bagi studi-studi keislaman, khususnya dalam studi hukum Islam. Hermeneutika menurutnya bukanlah suatu metode pendekatan yang bisa “merusak” tatanan konstruksi studi-studi keislaman, akan tetapi hermeneutika bisa menjadi suatu “pupuk organik” yang dapat menyegarkan dan menyuburkan pemahaman terhadap ilmuilmu keislaman yang telah terbakukan secara formal dalam bentuk teks kitab suci dan kitab-kitab karya para ulama klasik.1 Hermeneutika dipergunakan supaya pemahaman terhadap ilmu-ilmu keislaman itu agar bisa terus dinamis dan hidup dari 1 Khaled M. Abou El Fadl, Atas Nama Tuhan: Dari Fikih Otoriter Ke Fikih Otoritatif. Alih bahasa R. Cecep Lukman Yasin (Jakarta: Serambi, 2004), h. 60
74
Jurnal Syari’ah Vol. II, No. II, Oktober 2013
masa ke masa sesuai perkembangan ruang dan waktu. Hermeneutika diperlukan sebagai metode pendekatan di samping pendekatan dalam tradisi Islam sendiri dan dibantu oleh perangkat metodologi keilmuan mutakhir seperti linguistik, kritik literatur, sejarah, dan ilmu-ilmu sosial humaniora lainnya yang bisa mendukung bagi terciptanya suatu pemahaman yang komprehensif.2 Hermeneutika yang ditawarkan Abou El Fadl adalah suatu pendekatan yang berfungsi sebagai media “negoisasi” antara komponen teks, pengarang, dan pembaca dalam menentukan kompetensi otentisitas teks, penentuan makna dinamis teks, dan komitmen moral pembaca dalam memahami maksud teks.
B. Pembahasan 1. Biografi dan Latar Belakang Kultur Intelektual Khaled M. Abou El Fadl Nama lengkapnya adalah, Khaled Medhat Abou El Fadl. Ia dilahirkan di Kuwait pada tahun 1963 dari kedua orang tuanya yang berdarah Mesir. Pendidikan dasar dan menengahnya ia tamatkan di negeri kelahirannya, Kuwait. Lalu kemudian pendidikannya dilanjutkan di Mesir. Sebagaimana tradisi bangsa Arab yang memegang teguh tradisi hafalan, Abou El Fadl kecil sudah hapal al-Qur’an sejak usia 12 tahun. Ayahnya yang berprofesi sebagai seorang pengacara, sangat menginginkan Abou El Fadl menjadi seorang yang menguasai hukum Islam. Ayahnya sering menguji dengan pertanyaan-pertanyaan seputar masalah hukum. Setiap liburan musim panas, Abou El Fadl menyempatkan menghadiri kelas-kelas al-Qur’an dan ilmu-ilmu syari’ah di Masjid Al-Azhar, Kairo, khususnya dalam kelas yang dipimpin oleh Syeikh Muhammad al-Ghazali (w. 1995), tokoh pemikir Islam moderat dari barisan revivalis yang ia kagumi.3 Sebagai pemuda yang dibesarkan dalam kondisi sosial politik Mesir yang masih labil, Abou El Fadl sebagaimana halnya rakyat Mesir pada umumnya, mengalami kekecewaan akibat kegagalan pan2 Mohammed Arkoun, Al-Fikr al-Ushuli Wa Istihalah at-Ta’sil: Nahwa Tarikh Akhar li al-Fikr al-lslami. Alih bahasa Hasyim Shalih. (Beirut: Dar as-Saqi. 2002), h. 295 3 Zuhairi Misrawi, “Khaled Abou El Fadl Melawan Atas Nama Tuhan”. Jurnal Perspektif Progresif, Edisi Perdana Juli-Agustus, 2005, h. 15-17
Kritik Khaled M. Abou El Fadl Nasrullah
75
Arabisme dalam perang 1967, yang berpengaruh sesudah masa tersebut bagi rakyat Mesir dan bangsa-bangsa Arab pada umumnya.4 Arti kekalahan tersebut, berdasarkan opini umum masyarakat Arab menurut Abou El Fadl, terutama dipengaruhi oleh gurunya Syeikh Jalal Kisyk, sama halnya dengan kekalahan spritual sekaligus intelektual bangsa Arab muslim.5 Walaupun, kemudian kekalahan itu dapat ditebus pada tahun 1973, yang mana akhirnya, masyarakat Arab khususnya bangsa Mesir bersama dengan kelompok Ikhwan Muslimin berhasil mengusir tentara Israel dari daerah Sinai. Tapi, menurut pengamatan Abou El Fadl, kemenangan yang diraih bukanlah suatu kemenangan yang gemilang, namun, lambat laun membawa pengorbanan besar-besaran bangsa Arab. Di satu sisi memang mendatangkan rezeki berlimpah bagi negara Arab penghasil minyak, begitu juga kalangan elit Mesir yang korup. Namun di sisi lain menyebabkan kondisi chaos bagi negara Arab secara umum, baik sosial maupun politik. Kondisi ini juga merambat dalam ruang lingkup keagamaan yang bergeser ke arah tatharruf ad-dini (ekstremisme agama), terutama pusat-pusat intelektual Arab. Tidak terkecuali adalah lembaga Al-Azhar, yang telah dikuasai mainstream konservatisme Islam waktu itu. Pada tahun 1982 Abou El Fadl meninggalkan Mesir, menuju Amerika dan melanjutkan studinya di Yale University, dengan mendalami ilmu hukum. Setelah dalam kurun waktu empat tahun lamanya dalam menempuh studi ia dinyatakan lulus studi bachelor dengan predikat cumlaude. Tahun 1989, ia menamatkan studi magister hukum pada University of Pennsylvania. Atas prestasinya itu ia diterima mengabdi di Pengadilan Tinggi (Suppreme Court Justice) wilayah Arizona, sebagai pengacara bidang hukum dagang dan hukum imigrasi. Dari sini lah kemudian Abou El Fadl mendapatkan kewargane 4 Yudian W Asmin, “Hassan Hanafi Mujaddid Abad Ke-15”. Kata Pengantar buku Hassan Hanafi, Turas dan Tajdid: Sikap Kita Terhadap Turas Klasik. Alih bahasa Yudian W. Asmin. Yogyakarta: Titian Ilahi Press dan Pesantren Pascasarjana Bismillah Press. 2001: xii, Assyaukanie, 1998: 61) 5 Khaled M. Abou El Fadl, Melawan Tentara Tuhan: Yang Berwenang dan Sewenangwenang dalam Wacana Islam. Alih bahasa Kurniawan Abdullah (Jakarta: Serambi Ilmu Semesta, 2003), h. 18
76
Jurnal Syari’ah Vol. II, No. II, Oktober 2013
garaan Amerika, sekaligus dipercaya sebagai staf pengajar di University of Texas di Austin. Kemudian ia melanjutkan studi doktoralnya di University of Princeton. Pada tahun 1999, Abou El Fadl mendapat gelar Ph.D dalam bidang hukum Islam. Setelah itu akhirnya sampai sekarang ia dipercaya menjabat sebagai profesor hukum Islam pada School of Law University of California Los Angeles (UCLA). Abou El Fadl adalah penulis yang produktif, dan karena karyakaryanya tersebutlah, yang melambungkan namanya dan diperhitungkan dalam blantika diskursus intelektual baik di Amerika maupun di dunia Islam. Di antara karya-karyanya yang sudah diterbitkan dalam bentuk buku adalah: Speaking in God’s Name: Islamic Law, Authority and Woman; Rebellion and Violence in Islamic Law; And God Knows the Soldiers: The Authoritative and Authoritarian in Islamic Discourse; The Authoritative and Authoritarian in Islamic Discourses: A Contemporary Case study; Islam and Challenge of Democracy; The Place of Tolerance in Islam; Conference of Books: The Search for Beauty in Islam. Karya-karyanya di atas pada umumnnya sudah banyak yang diterjemahkan ke bahasa Indonesia. Di samping itu tentu masih banyak lagi tulisan-tulisan ilmiah Abou El Fadl yang lain, baik dalam bentuk artikel maupun jurnal ilmiah (Billa, 2005). Di tengah-tengah kesibukannya sebagai Guru Besar Hukum Islam, Abou El Fadl sering diundang dan mengisi seminar, simposium, lokakarya dan talk show di televisi dan radio seperti CNN, NBC, PBS, NPR, dan VOA. Belakangan ia banyak memberikan komentar tentang isu otoritas, terorisme, toleransi dan hukum Islam. Ia juga pernah menjabat Direktur Human Right Watch dan anggota Komisi Kebebasan Beragama, Amerika Serikat.6 2. Kegelisahan Terhadap Konstruksi Otoritarianisme dalam Pemikiran Hukum Islam Secara normatif, teks-teks keagamaan memberikan ruang cukup lebar bagi berbagai variasi pemahaman (multi tafsir/ikhtilaf). Beragam proses pemahaman dan penafsiran bertujuan untuk menguak “kehendak” Tuhan. Karena teks adalah medium otoritatif yang men6 Zuhairi Misrawi, “Khaled Abou El Fadl Melawan Atas Nama Tuhan”. Jurnal Perspektif Progresif, Edisi Perdana Juli-Agustus, 2005, h. 17-20.
Kritik Khaled M. Abou El Fadl Nasrullah
77
dokumentasikan “kehendak” Tuhan, maka setiap penafsir berusaha menggapai hingga mencapai kebenaran otoritatif itu. Dalam posisi segala kemungkinan suatu bentuk penafsiran, maka akan bisa memunculkan beragam penafsiran lain. Sang penafsir bisa saja terkadang terjebak dalam kubangan otoritarianisme atau absolutisme, manakala ia melampaui kewenangan dengan mengidentikkan teks ke dalam sifat dirinya. Dengan pengertian yang lain, sang penafsir tersebut memposisikan diri sebagai “juru bicara” teks atau Tuhan.7 Konsekwensi tak terhindarkan ialah sang penafsir tersebut menutup kemungkinan makna lain, karena memposisikan dirinya telah merepresentasikan makna yang dikehendaki oleh Tuhan. Dalam konteks ini Abou El Fadl menyebut sikap otoritarian sebagai sikap “merampas kehendak Tuhan”. Sinyalemen penutupan pintu ijtihad menurut Abou El Fadl merupakan contoh dinamika sempurna dalam wujud nyata sikap otoritarianisme dalam pemikiran hukum Islam. Dalam istilah yang lain Abou El Fadl menyebutkan bahwa, otoritarianisme adalah tindakan “mengunci” kehendak Tuhan, atau kehendak teks, dalam sebuah penetapan tertentu yang statis, dan menyajikan pendapat itu sebagai sesuatu yang pasti, absolut, dan menentukan.8 Menurut analisa Abou El Fadl, fenomena otoritarianisme dalam pemikiran Islam, khususnya dalam penelitiannya tentang diskursus hukum Islam, merupakan akibat dari kesalahan dalam menempuh prosedural-metodologis yang terkait dengan relasi antara ketiga unsur pengarang, teks, dan pembaca. Seorang pembaca yang mengunci teks dalam sebuah makna tertentu, maka ia telah merusak integritas pengarang dan teks itu sendiri. Sama halnya dengan ungkapan orang yang mengatakan dengan arogannya, “saya tahu apa yang dikehendaki oleh pengarang, dan saya tahu apa yang dinginkan oleh teks, pengetahuan saya bersifat menentukan dan meyakinkan.” Ungkapan ini sekaligus merupakan 7 Mun’im Sirry, Islam, Teks Terbuka dan Pluralisme: Interpretasi atas Interpretasi Khaled Abou El Fadl”. Jurnal Perspektif Progresif, Edisi Perdana Juli-Agustus, 2005 h. 28-34 8 Zuhairi Misrawi, “Khaled Abou El Fadl Melawan Atas Nama Tuhan”. Jurnal Perspektif Progresif, Edisi Perdana Juli-Agustus, 2005, h. 12
78
Jurnal Syari’ah Vol. II, No. II, Oktober 2013
penetapan, akan tetapi hakikatnya mengakhiri peran pengarang dan “membatasi” dinamika dalam konteks penggalian pemahaman dari sebuah teks.9 Dalam dimensi penafsiran otoritarianisme, problem yang paling dominan dan menentukan adalah pada tingkat pembaca (reader). Ketika seorang pembaca berjibaku dengan teks dan menarik kesimpulan hukum atau sebuah pemahaman dari teks tersebut, maka resiko yang dihadapi oleh pembaca adalah pembaca menyatu dengan teks, atau penetapan pembaca akan menjadi perwujudan ekslusif teks tersebut. Dalam proses ini, teks tunduk pada pembaca dan secara efektif pembaca menjadi pengganti teks. Dalam tetaran ini poros objektif teks (otoritatif) dan poros subjektif (pembaca) saling bermain. Memang harus diakui, segala proses penafsiran atau pemahaman tidak bisa dilepaskan dari unsur subjektifisme, apapun bentuknya proses pemahaman yang dilakukan. Baik yang berasal dari individu maupun secara kolektif yang melibatkan sebuah institusi dengan klaim sebagai pemegang hak penafsir kehendak Tuhan. Akan tetapi menurut Abou El Fadl, penafsiran yang terlalu subjektif, bisa jatuh ke dalam jeratan otoritarianisme.10 Abou El Fadl mencontohkan fenomena mutakhir dari praktek otoritarianisme tersebut yang terjadi pada gerakan puritanisme Islam Wahabi. Gerakan yang bermarkas di Saudi Arabia ini mendapat dukungan pemerintah sebagai kekuatan politik, yang tendensinya untuk menutup gerak dinamika teks, sehingga hanya tersisa kebenaran tunggal. Geneologi fundamentalisme dari gerakan teologi dan mazhab-mazhab fiqih yang bersikap anti toleransi dan pluralisme bisa dilacak dari tendensi ini. Mereka baik secara individu maupun kelompok telah merasa memonopoli kebenaran, sementara pendapat orang lain tidak mungkin diakomodasi. Mereka berposisi sebagai pemegang kebenaran dan karenanya berhak untuk melakukan value judgment atas kelompok lain sebagai “tidak Islam”, sesat, kafir dan seterusnya.11 9 Mutamakkin Billa,“Kritik-kritik Khaled M. Abou El Fadl atas Otoritarianisme dalam Diskursus Hukum Islam Kontemporer”, Tesis pada Pascasarjana UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, 2005 h. 90 10 Khaled M. Abou El Fadl, Atas Nama Tuhan: Dari Fikih Otoriter... h. 207 11 Mun’im Sirry, Islam, Teks Terbuka dan Pluralisme… h. 28
Kritik Khaled M. Abou El Fadl Nasrullah
79
Begitu juga yang terlihat menurut Abou El Fadl, dalam bidang hukum Islam dengan produk hukum fatwa yang dikeluarkan oleh lembaga fatwa resmi di Saudi Arabia dengan nama singkatan CRLO (Council for Scientific Research and Legal Opinions). Lembaga yang bersifat ekslusif ini telah mengaku serta mengasumsikan kelompok mereka sebagai wakil dan “juru bicara” Tuhan. Menurut Abou El Fadl, fatwa-fatwa yang dikeluarkan telah banyak yang merendahkankan kedudukan perempuan atau bias jender, yang sangat bertentangan dengan nilai-nilai yang terdapat dalam al-Qur’an itu sendiri yang berisi tentang kesetaraan manusia tanpa memandang jenis kelamin. Ada dua alasan Abou El Fadl yang mendasarinya mengambil produk fatwa-fatwa Wahabi sebagai bahan analisis hermeneutiknya. Pertama, produk intelektual para ahli hukum dari mazhab tersebut melambangkan bentuk otoritarianisme interpretatif. Kedua, mazhab (baca, fumdamentalisme) ini telah menjadi mazhab yang dominan di dunia Islam dewasa ini.12 Menurut Abou El Fadl, seruan mereka kembali kepada Islam murni, (ar-ruju’ ila al-Qur’an wa as-Sunnah) asli, dan tidak berubah, jelas sekali tidak masuk akal. Pendekatan mereka bersifat a historis, terbukti naif dan simplistis. Menurutnya tidak mungkin kembali kepada al-Qur’an dan Sunnah dalam kevakuman dan menafikan pemahaman sahabat, tabi’in dan ulama. Seharusnya dalam kritik Abou El Fadl, kembali kepada keduanya berarti kembali kepada sumber-sumber klasik yang mengomentari konteks dan makna ayat tersebut (asbab an-nuzul dan asbab al-wurud), sekaligus menjelaskan kumpulan dokumentasi teks al-Qur’an, dan kembali kepada sumbersumber klasik yang menghimpun Sunnah, menguji kesahihannya, serta menjelaskan konteks dan menafsirkan hadis-hadis Nabi dan para sahabatnya secara kontekstual. Kecenderungan para ulama Wahabi yang anti tradisi intelektual dan mengambil kesimpulan hukum melalui jalan pintas dengan dalih kembali kepada al-Qur’an dan Sunnah secara tekstual, sehingga metode mereka sangat selektif, tidak sistematis dan oportunis. Yang 12 Romli. M. Guntur, “Membongkar Otoritarianisme Hukum Islam: Memahami Syari’at Sebagai Fikih Progresif”. Jurnal Perspektif Progresif, Edisi Perdana JuliAgustus, 2005, h. 46-48
80
Jurnal Syari’ah Vol. II, No. II, Oktober 2013
lebih parah lagi adalah klaim kebenaran mereka dengan anggapan bahwa hukum inilah yang pasti dan absolut, sebagai kesimpulan hukum yang “dikehendaki” oleh Tuhan.13 Di sinilah sesungguhnya teridentifikasi bahwa tafsiran mereka bersifat otoritarianisme. Kegelisahan ini yang mendorong Abou El Fadl untuk melakukan tawaran metodologi hermeneutika otoritatif sebagai kritik dan “lawan” dari metodologi hermeneutika otoritarianisme, khususnya yang dipakai para ulama Wahabi dan kalangan fundamentalisme Islam pada umumnya. 3. Tawaran Hermeneutika Otoritatif Khaled M. Abou El Fadl Abou El Fadl dalam menawarkan metodologi hermeneutikanya, menyajikan kerangka konseptual untuk membangun gagasan tentang otoritas dan otoritarian dalam Islam. Pembahasan otoritas menurut Abou El Fadl sangat penting karena tanpa otoritas maka kita akan beragama secara relatif, subjektif dan individual. Ada tiga pokok persoalan yang menjadi kunci dalam membuka diskursus yang otoritatif dan otoriter dalam Islam. Pertama, mengenai kompetensi (otentisitas). Yang dimaksud adalah bagaimana mengetahui bahwa suatu perintah adalah benarbenar datang dari Tuhan dan Nabi-Nya. Teks-teks yang memiliki kompetensi dinilai otoritatif, sedangkan yang tidak memiliki kompetensi tidak dinilai sebagai yang otoritatif dan mewakili “suara” Tuhan dan Nabi. Penggunaan teks-teks yang tidak otoritatif akan menjerumuskan manusia pada otoritarianisme. Dalam konteks kompetensi alQur’an, Abou El Fadl menyatakan dengan landasan iman, bahwa al-Qur’an adalah firman-firman Allah yang abadi dan terpelihara kemurniannya. Kompetensi al-Qur’an tidak usah diganggu gugat. Baginya yang relevan adalah bagaimana menentukan dan menggali makna dan pemahaman dari al-Qur’an tersebut.14 Atas dasar itu, persoalan kompetensi (otentisitas) hanya berlaku pada Sunnah, tidak pada al-Qur’an. Kompetensi Sunnah perlu dikaji ulang dan dipertanyakan agar benar-benar otoritatif bisa mewakili “suara” Nabi sebagai sumber otoritas setelah al-Qur’an. 13 Khaled M. Abou El Fadl, Atas Nama Tuhan: Dari Fikih Otoriter... h. 253 14 Khaled M. Abou El Fadl, Atas Nama Tuhan: Dari Fikih Otoriter... h. 128
Kritik Khaled M. Abou El Fadl Nasrullah
81
Abou El Fadl dalam membahas kompetensi Sunnah menggunakan metodologi kritik hadis klasik (mushtalah al-hadis) dari kritik transmisi (naqd as-sanad) dan kritik perawi (ilm ar-rijal dan al-jarh wa ta’dil). Hal yang lebih penting menurut Abou El Fadl, kajian hadis harus menyentuh realitas sejarah. Dengan mengembangkan kajian pada kritik matan (naqd almatn) yang memungkinkan seseorang mengkaji konteks sosio-historis hadis untuk landasan kontekstualisasi pada masa kekinian. Serta yang terpenting juga menurut Abou El Fadl ialah, membaca fenomena dari riwayat hadis dengan berlandaskan kepada, bukan mengatakan bahwa Nabi telah mengatakan sesuatu hadis, tapi peran apa yang dimainkan oleh Nabi dalam sebuah riwayat tersebut.15 Pemahaman peran sosok Nabi itu akan melahirkan perbedaan fungsi pada Sunnah, jika Nabi melakukan sebagai sosok manusia biasa, maka Sunnah itu tidak memiliki otoritas sebagai sumber hukum, namun jika sebaliknya, Nabi memerankan sebagai utusan Tuhan yang harus diikuti, maka Sunnah tersebut memiliki otoritas untuk diikuti. Selain itu Abou El Fadl menegaskan perlu membedakan antara hadis yang mutawatir dan ahad yang berbeda dalam kadar otoritasnya bagi persoalan legislasi dan tindakan hukum. Kedua, mengenai penetapan makna. Yakni bagaimana menetapkan makna dari kehendak Tuhan yang termaktub dalam teks otoritatatif tersebut. Ketika sebuah teks lahir ia telah memiliki eksistensi dan integritasnya sendiri. Teks dalam hal ini bersifat otonom.16 Otonomi teks memberikan kemungkinan pembacaan yang hidup dan memberikan peluang bagi berbagai model pembacaan. Banyak teks yang “mati” di tangan pengarang dan pembaca. Karena itulah hubungan antara pengarang, teks, dan pembaca harus berimbang dan proporsional dalam proses penentuan makna (Palmer, 2003: 98, Bleicher, 2003, Abu Zayd, 1994). Dominasi salah satunya akan mengakibatkan pembacaan yang bersifat otoriter. Manusia di hadapan teks adalah artikulator seka ligus interpretator teks. Memposisikan manusia sebagai subjek, bukan tanpa masalah, malah bisa sebaliknya, dan menjadikan teks san15 Khaled M. Abou El Fadl, Atas Nama Tuhan: Dari Fikih Otoriter... h. 130 16 Mutamakkin Billa,“Kritik-kritik Khaled M. Abou El Fadl atas Otoritarianisme… h. 94
82
Jurnal Syari’ah Vol. II, No. II, Oktober 2013
gat inferior di hadapan subjek pembaca berdasarkan kepentingan dan ideologi yang dibawa oleh pembaca dengan unsur subjektifitasnya. Untuk itu menurut Abou El Fadl, harus dibutuhkan keseimbangan kekuatan yang harus ada antara maksud pengarang, teks, dan pembaca. Atau yang ia istilahkan dengan hermeneutika berbasis negosiasi antara ketiga unsur triadik di atas. Penetapan makna berasal dari proses yang kompleks, interaktif, dinamis, dan dialektis antara ketiga unsur tersebut, tanpa saling mendominasi. Penafsiran yang tepat dalam menentukan makna adalah penafsiran yang menghormati peranan, otonomi, dan integritas teks. Menghormati otonomi teks berarti bertujuan menghindari kooptasi dan otoritarianisme pembaca terhadap teks, sehingga teks bisa ditafsirkan, tentu saja sesuai kaidah dan usaha yang maksimal dan sedalam-dalamnya. Atas dasar itu Abou El Fadl menegaskan gagasan teks yang terbuka (the open text). Al-Qur’an dan Sunnah merupakan sumber yang dinamis dalam menjangkau makna dan relevan di segala tempat dan masa. Teks keduanya bisa saja bersifat statis, tapi isi dan kandungan dari teks tersebut tetap bergerak dan menerima, bahkan menyediakan terhadap bentuk cara penafsiran yang beragam.17 Sebagai teks terbuka, al-Qur’an bukan hanya menghalalkan beragam interpretasi, melainkan juga mendorong proses keterlibatan dinamis, di mana teks mempunyai kedudukan sentral. Dengan kata lain, menempatkan al-Qur’an sebagai teks terbuka, menurut Abou El Fadl, maka al-Qur’an akan tetap relevan dan terus relevan dalam ruang dan waktu yang berbeda (shalih likulli zaman wa makan).18 Selain persolan penetapan makna tersebut, Abou El Fadl juga memaparkan persoalan penting lain, yaitu persoalan pembuktian yang mendasari pengambilan kesimpulan hukum. Pembuktian itu terkait dengan “asumsi dasar” dalam komunitas interpretasi yang berbeda-beda. Ada empat asumsi dasar yang berfungsi sebagai landasan dalam membangun analisis hukum. Yaitu, asumsi berbasis nilai yang lebih bersifat substansi normatif, asumsi berbasis metodologis yang lebih bersifat prosedur ilmiah, asumsi berbasis iman yang lebih bersifat teologis sesuai karakteristik pesan Tuhan dan tujuannya, dan 17 Khaled M. Abou El Fadl, Atas Nama Tuhan: Dari Fikih Otoriter... h. 212 18 Mun’im Sirry, Islam, Teks Terbuka dan Pluralisme… h. 29
Kritik Khaled M. Abou El Fadl Nasrullah
83
terakhir asumsi berbasis akal yang lebih bersifat nalar rasionalistik.19 Ketiga, berkaitan dengan konsep perwakilan dalam Islam. Dalam ajaran Islam, kedaulatan mutlak hanya milik Tuhan, namun di sisi lain, Islam juga memiliki konsep kekhalifahan manusia sebagai perwakilan Tuhan. Akan tetapi pelimpahan wewenang atau otoritas Tuhan kepada manusia akan membuka ruang bagi otoritarianisme, jika tidak dilengkapi syarat-syarat tertentu. Menurut Abou El Fadl ada beberapa prasyarat standar kepada mereka yang disebut sebagai “wakil khusus” Tuhan. Secara umum manusia adalah wakil (khalifah) Tuhan di bumi. Namun pelimpahan wewenang Tuhan selalu diwakili dan dinegoisasi oleh manusia yang akan ditempuh dalam proses pemahaman. Ada lima syarat sebagai pelimpahan otoritas Tuhan kepada manusia sebagai “wakil khusus” dalam tindakan menafsir. Yaitu, pertama, jujur (honesty), dalam memahami perintah Tuhan, kedua, kesungguhan (diligence) dengan dipastikan telah mengerahkan segenap kemampuan rasionalnyanya (ijtihad) dalam memahami perintah Tuhan, ketiga, kemenyeluruhan (comprehensiveness) dengan dipastikan telah melakukan penyelidikan secara menyeluruh untuk memahami kehendak Tuhan, keempat, rasionalitas (rasionality) dengan dipastikan telah melakukan upaya pemahaman dan penafsiran terhadap perintah Tuhan secara rasional, dan kelima, pengendalian diri (selfrestraint) dengan dipastikan upaya yang dilakukan dalam memahami dilandaskan pada sikap batin dengan dasar rendah hati dan pengendalian diri, tidak bersikap emosional dan tendensi ideologis dalam menjelaskan kehendak Tuhan. Berangkat dari metodologi hermeneutika otoritatif inilah, Abou El Fadl mengkritik penafsiran dan sistem pengambilan produk hukum (istinbath al-ahkam) yang tertuang dalam bentuk fatwa yang dikeluarkan oleh CRLO di Saudi Arabia yang merupakan made in lembaga hukum Wahabi sebagai mazhab resmi negara terhadap persoalan penafsiran terhadap perempuan yang bias jender. Yang sangat mengkhawatirkan adalah hasil dari fatwa ini telah tersebar luas di belahan dunia, karena kecanggihan dunia informasi dan teknologi. Lebih-lebih merisaukan lagi adalah dalam konteks masyarakat muslim yang hidup sebagai minoritas yang tinggal di dunia Barat. 19 Khaled M. Abou El Fadl, Atas Nama Tuhan: Dari Fikih Otoriter... h. 227
84
Jurnal Syari’ah Vol. II, No. II, Oktober 2013
Fatwa-fatwa keagamaan yang menyangkut kehidupan perempuan yang dianggap problematis oleh Abou El Fadl antara lain ialah fatwa keagamaan Islam tentang pelarangan-pelarangan perempuan dalam hal; mengunjungi makam suami, perempuan mengeraskan (jahr) dalam berdoa, perempuan menyetir kendaraan, dan perempuan harus didampingi mahram-nya dalam melakukan segala perjalanan dan lain sebagainya. Tentu saja kasus-kasus di atas adalah bentuk pelarangan yang tidak relevan lagi di saat sekarang dengan era keterbukaan dan partisipasi semua kalangan, termasuk perempuan dalam sektor publik. Fatwa-fatwa tersebut dianggap Abou El Fadl sebagai tindakan “perendahan” bahkan sebagai bentuk “penindasan” terhadap perempuan yang tidak dapat ditoleransi dalam konteks saat ini.20 Fatwa-fatwa yang berlindung di bawah dan atas nama teks (nas), telah diklaim, bahwa itulah yang sebenarnya “dikehendaki” oleh Tuhan. Oleh karena itu bersifat absolut dan mutlak harus diikuti, menurut lembaga fatwa Wahabi ini. Begitu juga pendapat atau fatwa keagamaan yang dikeluarkan oleh CRLO dengan pernyataan yang bertendensi misoginis bahwa; perempuan harus berdoa atau melakukan shalat di suatu tempat yang sangat tersembunyi agar tidak tampak oleh laki-laki, perempuan harus menyerahkan jiwa dan raganya kepada suami kapan pun sang suami menghendaki dalam konteks berhubungan badan, keselamatan perempuan di akherat nanti tergantung kepada kepuasan dan keinginan suami dalam hubungan seksual, perempuan akan mengisi sebagai besar atau mayoritas penghuni neraka, perempuan lebih rendah tingkat intelektualnya dari laki-laki, perempuan pembawa sial, dan lain sebagainya.21 Fatwa-fatwa ini dalam kajian Abou El Fadl, jelas telah jatuh pada dimensi penafsiran yang otoriter (despotic). Karena wataknya yang mengklaim sebagai tafsiran yang benar dan tunggal, dan terdapat tindakan “mengunci” teks yang seharusnya bisa dipahami secara terbuka sesuai dengan konteks di mana penafsiran dilakukan, sehingga tidak dimungkinkan lagi adanya penafsiran lain. Di samp20 Amin Abdullah, “Pendekatan Hermeneutik dalam Studi Fatwa-fatwa Keagamaan”. Kata pengantar dalam buku Khaled M. Abou El Fadl, Atas Nama Tuhan: Dari Fikih Otoriter Ke Fikih Otoritatif. Alih bahasa R. Cecep Lukman Yasin. Jakarta: Serambi Ilmu Semesta, 2004 h. vii 21 Khaled M. Abou El Fadl, Atas Nama Tuhan: Dari Fikih Otoriter... h. 325
Kritik Khaled M. Abou El Fadl Nasrullah
85
ing juga pemilihan teks tidak bersifat otoritatif. Sebab hadis-hadis yang dipakai oleh lembaga fatwa CRLO, menurut Abou El Fadl tergolong hadis-hadis kategori misoginis yang bersifat “merendahkan” perempuan. Dalam konteks asumsi berbasis metodologi, baik ilmu tafsir maupun ilmu hadis, banyak ditemukan persoalan mengenai penafsiran yang tepat terhadap ayat-ayat al-Qur’an dan nilai keotentikan hadis-hadis tersebut, baik ditinjau dari segi ‘amm dan khas, mujmal dan muqayyad, nasikh dan mansukh, maupun sanad dan matan sebuah hadis. Hal yang lebih fatal lagi menurut Abou El Fadl adalah terlepasnya penafsiran tersebut dari asumsi-asumsi berbasis iman, nilai, dan akal yang harus menjadi pertimbangan dalam setiap penafsiran apa pun dalam studi-studi keagamaan. Lebih-lebih adalah mengeluarkan fatwa-fatwa keagamaan yang menjadi rujukan dalam pengamalan yang digunakan masyarakat muslim dalam kehidupan keagamaan mereka.22
C. Kesimpulan Fenomena sikap otoritarianisme atau berfatwa atas nama agama dan Tuhan dalam pemikiran Islam, menurut Abou El Fadl banyak terjadi. Sebagaimana dibuktikan dalam penelitiannya yang memfokuskan pada kajian hukum Islam yang telah dilakukan oleh kalangan puritan Wahabi dalam lembaga fatwa CRLO, yang banyak memberikan fatwa yang dianggap sangat bias jender, dengan metode tafsir dan pengambilan hukum (istinbath al-ahkam) yang dalam kriteria Abou El Fadl bersifat otoriter. Proses ini terjadi karena “mendekati” teks tanpa melakukan “negoisasi” makna dan menyatakan suatu ketetapan makna hukum tanpa memberi ruang bagi munculnya interpretasi lain. Interpretasi seperti inilah yang disebut Abou El Fadl sebagai interpretasi yang bersifat otoriter atau dalam pemakaian ideologi penafsiran otoritarianisme. Karena tindakan interpretasi tersebut mengambil ‘hak” Tuhan dan beralih mengambil posisi di mana sang penafsir menjadi “tentara-tentara” Tuhan yang mengklaim tafsirannya adalah otoritatif, absolut, dan sesuai dengan “kehendak” Tuhan. 22 Khaled M. Abou El Fadl, Atas Nama Tuhan: Dari Fikih Otoriter... h. 325
86
Jurnal Syari’ah Vol. II, No. II, Oktober 2013
Dalam konteks inilah Abou El Fadl menawarkan teori hermeneutika otoritatifnya, dalam rangka menghindarkan diri dari penafsiran otoriter. Sebagai sebuah metode tafsir dan hukum, hermeneutika Abou El Fadl, sangat bisa membantu dalam menganalisis dan mendekati bahkan meluruskan bagi penafsiran-penafsiran pada konteks penafsiran ayat-ayat atau hadis-hadis misoginis yang berkonotasi “perendahan” dan “penindasan” yang bias terhadap diri dan kehidupan perempuan. Tawaran Abou El Fadl ini sangat besar kontribusinya terhadap sikap “kritisisme” bagi khazanah keilmuan Islam serta perangkat metodologi dalam proses penafsiran dan penggalian hukum Islam. Terutama bagi pihak yang berurusan dalam lembaga yang berwenang mengeluarkan fatwa-fatwa sosial- keagamaan.
Daftar Pustaka Abou El Fadl. Khaled M. 2003. Speaking in God’s Name: Islamic Law, Authority, and Women. Oxford: Oneworld Publications. ------. 2004. Atas Nama Tuhan: Dari Fikih Otoriter Ke Fikih Otoritatif. Alih bahasa R. Cecep Lukman Yasin. Jakarta: Serambi Ilmu Semesta. ------. 2003. Melawan Tentara Tuhan: Yang Berwenang dan Sewenangwenang dalam Wacana Islam. Alih bahasa Kurniawan Abdullah. Jakarta: Serambi Ilmu Semesta. Abu Zayd. Nasr Hamid. 1994. Naqd al-Khitab ad-Dini. Kairo: Sina li an Nasyr. Abdullah. Amin. 2004. “Pendekatan Hermeneutik dalam Studi Fatwafatwa Keagamaan”. Kata pengantar dalam buku Khaled M. Abou El Fadl, Atas Nama Tuhan: Dari Fikih Otoriter Ke Fikih Otoritatif. Alih bahasa R. Cecep Lukman Yasin. Jakarta: Serambi Ilmu Semesta. Arkoun. Mohammed. 1994. Rethinking Islam: Common Questions, Uncommon Answers. Alih bahasa Robert D. Lee. Oxford: Westview. ----------. 2002. Al-Fikr al-Ushuli Wa Istihalah at-Ta’sil: Nahwa Tarikh Akhar li al-Fikr al-lslami. Alih bahasa Hasyim Shalih. Beirut: Dar as-Saqi.
Kritik Khaled M. Abou El Fadl Nasrullah
87
Asmin. Yudian W. 2001. “Hassan Hanafi Mujaddid Abad Ke-15”. Kata Pengantar buku Hassan Hanafi, Turas dan Tajdid: Sikap Kita Terhadap Turas Klasik. Alih bahasa Yudian W. Asmin. Yogyakarta: Titian Ilahi Press dan Pesantren Pascasarjana Bismillah Press. Assyaukanie. A. Luthfi. 1998. “Tipologi dan Wacana Pemikiran Arab Kontemporer”. Jurnal Paramadina, Vol. I, No. I, Juli-Desember. Billa. Mutamakkin. 2005. “Kritik-kritik Khaled M. Abou El Fadl atas Otoritarianisme dalam Diskursus Hukum Islam Kontemporer”. Tesis pada Pascasarjana UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta. Bleicher. Josef. 2003. Hermeneutika Kontemporer: Hermeneutika Sebagai Metode, Filsafat, dan Kritik. Alih bahasa Ahmad Norma Permata. Yogyakarta: Fajar Pustaka Baru. Misrawi. Zuhairi. 2005. “Khaled Abou El Fadl Melawan Atas Nama Tuhan”. Jurnal Perspektif Progresif, Edisi Perdana Juli-Agustus. Palmer. Richard E. 2003. Hermeneutika: Teori Baru Mengenai Interpretasi. Alih bahaa Musnur Hery dan Damanhuri Muhammad. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Romli. M. Guntur. 2005. “Membongkar Otoritarianisme Hukum Islam: Memahami Syari’at Sebagai Fikih Progresif”. Jurnal Perspektif Progresif, Edisi Perdana Juli-Agustus. Sirry. Mun’im A. 2005. “Islam, Teks Terbuka dan Pluralisme: Interpretasi atas Interpretasi Khaled Abou El Fadl”. Jurnal Perspektif Progresif, Edisi Perdana Juli-Agustus. Wawancara Zuhairi Misrawi dengan Khaled M. Abou El Fadl. 2005. Jurnal Perspektif Progresif, Edisi Perdana Juli-Agustus.
Pemikiran Ekonomi Ibnu Qayyim Putri Apria Ningsih Dosen Ekonomi Syariah Fakultas Ilmu Agama Islam UNISI Tembilahan Abstrak Salah satu pemikir ekonomi Muslim yang terkemuka adalah Ibnu Qayyim al-Jawziyyah. Beliau lahir pada 7 Safar 691H/ 9 Januari 1292M di Damsyik. Bidang ilmu yang dipelajarinya ialah tafsir alQur’an, hadith, usul al-fiqh dan fiqh. Sumbangan pemikiran ekonomi Ibn Qayyim amat besar dalam perkembangan pemikiran ekonomi Islam. Dalam tulisanya, yang menyinggung ada beberapa persoalan berkenaan dengan falsafah ekonomi Islam yaitu konsep manusia Islam (homo islamicus) dan manusia bukan ekonomi (non homo economicus), konsep keadilan dan nilai-nilai etika dalam ekonomi, aktivitas-aktivitas ekonomi, kerjasama dan kesejahteraan buruh, pemilikan harta kekayaan oleh individu dan peranan pemerintah dalam ekonomi. Pemikiran dan teori ekonomi Ibn Qayyim ini masih relevan untuk menyelesaikan berbagai masalah ekonomi dan keuangan sekarang
Key words: Pemikiran Ekonomi, Ibnu Qayyum
A. Pendahuluan Secara historis, konsep dan system ekonomi Islam sudah dipraktekkan pada pelaku ekonomi pada masa-masa awal kehadiran Islam. Mulai dari zaman Nabi Muhammad, para sahabat, tabi’in, sampai para tabi’ tabi’in sudah menerapkan system ekonomi dengan menuju kepada ajaran-ajaran Islam. Dalam masa-masa perkembangan ekonomi yang sangat panjang itu lahirlah ekonom-ekonom Muslim terkemuka, seperti: Abu Yusuf, Muhammad ibn Hasan al-Syaibani, Abu Ubayd, Ibn Qayyim, Ibnu Hazm, dan lain-lain. Pada makalah ini, pemakalah akan menjelaskan salah satu pemikiran ekonomi oleh ekonom-ekonom muslim, yaitu Ibn Qayyim, yang dimulai dengan memaparkan tentang riwayat hidup Ibn Qayyim dan pemikirannya.
Pemikiran Ekonomi Ibnu Qayyim Putri Apria Ningsih
89
B. Pembahasan 1. Riwayat Hidup Ibn Qayyim Nama beliau ialah Shams al-Din Abu `Abd Allah Muhammad b. Abu Bakr b. Sa`ad1 yang terkenal dengan nama Ibn Qayyim2 alJawziyyah.3 Ibn Qayyim lahir pada 7 Safar 691H/ 9 Januari 1292M di Damsyik dan meninggal dunia pada tempat yang sama pada tahun 751H/1350M.4 Beliau dibesarkan dalam keluarga yang mementingkan dan mencintai ilmu pengetahuan. Beliau telah menuntut berbagai bidang pengajian dengan beberapa orang ulama’ terkenal. diantara guru-guru beliau ialah Qadi Sulayman b. Hamzah (m. 711H/1311M), Shaykh Abu Bakr (m. 718H/1318M), al-Majd al-Tunisi (m. 718 H), Abu al-Fath al-Ba’li (m. 709H), al- Saffi al-Hindi (m. 715H), al-Taqi al-Sulayman, Abu Bakr b. `Abd al-Da’im (m. 718H), Abu Basr b. al-Shirazi (m. 723H), `Isa alMut`im (9m.719H), Isma`il Maktum (m. 716H) dan Ibn Taymiyyah (661H–728H/1263M–1328M). Bidang ilmu yang dipelajarinya ialah tafsir al-Qur’an, hadith, usul al-fiqh dan fiqh. Kesungguhan dan ketekunan Ibn Qayyim mempelajari ilmu akhirnya menjadikan beliau terkenal sebagai seorang tokoh dalam bidang fiqh, usul al-fiqh, tafsir, bahasa Arab, ilmu kalam 1 Ibn Kathir (1966), al-Bidayah wa al-Nihayah, Beirut: Maktabah al-Ma`arif, 1966, Vol. 14, h. 234; Ibn `Imad (t.t.), Shadharat al-Dhahab fi Akhbar min Dhahab,Beirut: al-Maktab al-Tijari, Vol. 6, h. 168 2 Terdapat beberapa lagi tokoh yang mempunyai nama yang sama dengan Ibn Qayyim iaitu Ibn al-Qayyim al-Misri, Baha’ al-Din `Aly b. `Isy b. Sulayman alTha`labi al-Misri seorang tokoh Hadith yang meninggal dunia di Mesir pada tahun 710H (Lihat Ibn al-`Imad (t.t.), op.cit., Vol. 6, h. 23; `Iwad Allah Jad al-Hijazi (1972/1392), Ibn Qayyim wa Mawqifuh Min al-Tafkir al-Islami, Kaherah: Majma` al-Buhuth al-Islamiyyah, h. 36), dan Ibn al-Jawzi, Abu al-Faraj `Abd alRahman b. al-Jawzi al-Hanbali, seorang faqih, ahli hadith, dan sejarawan. Beliau dilahirkan pada tahun 510H/1126M. dan meninggal dunia di Baghdad pada tahun 597H/1200M (Ibn Rajab (1953/1372), Dhayl `Ala Tabaqat al-Hanabilah, Kaherah, Vol. 1, h. 399-434). 3 Al-Jawziyyah ialah sebuah sekolah yang dibina oleh Muhyi al-Din b. al-Hafiz Abu al-Farj `Abd al-Rahman al-Jawzi di Bandar Damshik. `Iwad Allah Jad al-Hijazi (1972/1392), op. cit., h. 35. 4 `Umar Rida Kahhalah (1957), Mu`jam al-Mu’allifin, Damsyik: al-Maktabah al`Arabiyyah, Vol. 9. h. 106.
90
Jurnal Syari’ah Vol. II, No. II, Oktober 2013
dan hadis. Malah menurut Ibn `Imad, Ibn Qayyim adalah seorang yang alim dalam bidang tasawuf.5 Beliau juga mempunyai personaliti dan peribadi yang baik yang amat sukar ditandingi oleh orang lain yang semasa dengannya.6 Ibn Kathir (m. 774H/1373M), salah seorang anak muridnya pernah menyatakan bahwa Ibn Qayyim adalah seorang yang kuat beribadat dan peribadi yang disukai waktu itu.7 Beliau menulis: “Aku tidak pernah melihat pada zaman kami ini, orang yang kuat beribadat seperti Ibn Qayyim. Apabila sembahyang, sembahyangnya begitu lama. Beliau memanjang ruku`nya dan juga sujudnya.”8 Selaku seorang ulama’ yang terkenal, Ibn Qayyim mempunyai banyak murid. Diantara muridnya yang masyhur ialah Ibn Kathir tokoh dalam ilmu hadis dan sejarah, Zayn alDin Ibn Rajab al- Hanbali (m. 795H/1397M) seorang tokoh dalam Mazhab Hanbali dan Ibn Hajar al-`Asqalani (m. 852H/1449M) seorang tokoh hadis yang tidak asing lagi.9 2. Pemikiran Ekonomi Ibn Qayyim a) Falsafah ekonomi Islam Ibn Qayyim dalam penulisannya telah menyentuh beberapa persoalan berkenaan dengan falsafah ekonomi Islam yaitu konsep manusia Islam (homo islamicus) dan manusia bukan ekonomi (non homo economicus), konsep keadilan dan nilai-nilai etika dalam ekonomi, aktivitas-aktivitas ekonomi, kerjasama dan kesejahteraan buruh, pemilikan harta kekayaan oleh individu dan peranan kerajaan dalam ekonomi. 1) Manusia Islam Ibn Qayyim menggariskan asas kepercayaan Islam bahwa setiap manusia bertanggungjawab membimbing diri sendiri untuk menjadi hamba Allah yang baik dan Allah SWT merupakan sumber pedoman dan petunjuk. Dalam ekono5 Ibn `Imad (t.t.), op. cit., Vol. 6, h. 168. 6 `Iwad Allah Jad al-Hijazi (1972/1392), op. cit., h. 37 – 39. 7 Ibn Kathir (1953-9/1351-8), al-Bidayah wa al-Nihayah, Kaherah, Vol. 14, h.235. 8 Ibid., Vol. 14, h. 235. 9 H Laoust (1993), “Ibn Qayim al-Jawziyyah”, Encyclopeadia Islam, (New Edition), Vol. 8, London dan Leiden, h. 821 – 82.
Pemikiran Ekonomi Ibnu Qayyim Putri Apria Ningsih
91
mi, manusia ekonomi (homo economicus) digambarkan sebagai manusia yang sifat, gelagat dan tindakannya mementingkan diri sendiri, tamak, dan menjadikan keuntungan sebagai asas penting dalam semua jenis aktivitas ekonomi. Ibn Qayyim menggariskan asas kepercayaan Islam bahwa setiap manusia bertanggungjawab terhadap perbuatannya, dan Allah SWT merupakan sumber yang menjadi pedoman dan petunjuk untuk menuju ke jalan yang betul. Ibn Qayyim menekankan pandangan Islam bahwa hidup di dunia ini adalah ujian dan cobaan dari Allah SWT. Ujian yang dikenakan kepada manusia itu ada dalam bentuk anugerah harta kekayaan atau pun diberikan kehidupan yang susah. Anugerah kekayaan kepada seseorang bukan berarti Allah SWT sayang kepadanya. Demikian juga ujian kemiskinan bukan berarti Allah SWT benci kepada seseorang. Harta kekayaan yang dimiliki oleh manusia bukanlah berarti hidup ini penuh dengan kesenangan.10 2) Keadilan Keadilan adalah teras semua aspek dalam kehidupan. Menurut Ibn Qayyim, keadilan adalah objektif syariah. Karena syariah itu mengandung keadilan, keberkatan dan kebijaksanaan. Persoalan yang berdasarkan dengan keadilan akan menghasilkan keberkatan dan kebajikan 3) Nilai-Nilai Etika Dalam Kegiatan Ekonomi Ibn Qayyim menjelaskan nilai-nilai etika yang baik yang seharusnya diamalkan oleh orang-orang Islam dalam kegiatan ekonomi mereka. Dianntara nilai-nilai etika yang baik tersebut ialah ketaatan kepada Allah SWT, ketaatan kepada agama, sifat baik, jujur dan benar. Apabila nilai-nilai etika tersebut diamalkan dalam kehidupan seharian terutamanya dalam kegiatan ekonomi akan menjauhkan nilai-nilai jahat seperti pembohongan, penipuan dan korupsi. Selanjutnya beliau menjelaskan bahwa akibat sifat suka berbohong ialah melakukan korupsi yang menyebabkan kejayaan tidak tercapai dalam kehidupan. Apabila keadaan ini 10 Ibn Qayyim (1994), `Uddah al- Sabirin wa Dhakhirah al-Shakirin, (ed.), Abu Sahl Najjah, Kaherah: Maktabah al-Iman, h. 194.
Jurnal Syari’ah Vol. II, No. II, Oktober 2013
92
terjadi, kehidupan perekonomian akan cacat termasuk juga aspek-aspek lain dalam kehidupan. Dalam perkataan lain, pembohongan memberi dampak yang besar dalam kehidupan orang-orang Islam.11 Sifat-sifat yang negatif seperti pembohongan, penipuan dan pengeksploitasian serta ketidakjujuran mendorong kepada keadaan yang tidak tenteram dalam kehidupan masyarakat seperti huru-hara, kecurigaan, ketidakstabilan dan kekecewaan. Apabila semua hal tersebut terjadi, kegiatan ekonomi akan menguncup. Sebaliknya nilai-nilai etika yang diamalkan dalam masyarakat akan menyuburkan suasana keyakinan dan jaminan keselamatan dalam masyarakat. Pada masa yang sama, masyarakat akan bekerjasama dalam proses pengeluaran dan kestabilan ekonomi. Dalam perkataan lain pengeluaran barang-barang dan perkhidmatan akan meningkat dan masyarakat akan hidup mewah.12 4) Aktivitas-Aktivitas Ekonomi Berkaitan dengan aktivitas ekonomi, Ibn Qayyim menjelaskan bahwa ekonomi adalah teras kepada kehidupan manusia. Tanpa ekonomi kehidupan akan susah dan keperluan jasmani seharian manusia seperti makanan, minuman, tempat tinggal dan sebagainya tidak boleh dipenuhi. Beliau memberikan banyak contoh umpamanya, bagaimana biji hanya akan dapat dituai dan diperoleh oleh petani dengan melakukan aktivitas pertanian. Ibn Qayyim menekankan bahwa aktifitas ekonomi sangat penting untuk memenuhi kebutuhan manusia, ia menyatakan bahwa hasil yang kita peroleh akan terlihat ketika kita sudah melakukan suatu aktifitas. Seperti kepuasan yang kita peroleh ketika minum air dan memakan makan. Tujuan juga tidak akan tercapai tanpa tindakan dalam hidup ini.13 Ibn Qayyim menyarankan supaya manusia tidak melaku11 Ibn Qayyim (t.t.), Miftah Dar al-Sa`adah, Beirut: Dar al-Kitab al-`Ilmiyyah, Jil. 2, h. 73. 12 Ibid. 13 Abdul Hasan M. Saded dan Aidit Ghazali (ed), Reading in Islamic Economic Though, (Malaysia, Longman, 1992), hal. 159
Pemikiran Ekonomi Ibnu Qayyim Putri Apria Ningsih
93
kan berbagai aktivitas ekonomi yang dilarang oleh Syariah seperti jual beli yang mengandung unsur-unsur gharar, riba dan perjudian.14 5) Kerjasama Ekonomi dan Pembahagiaan buruh Ibn Qayyim menekankan konsep kerjasama dalam ekonomi dan tanggungjawab sosial. Menurut beliau, meskipun manusia itu batak dan terbagi kepada unit-unit yang berbeda, mereka dianggap seperti satu jasad yang bekerjasama antara satu sama lain. Kerjasama ini akan memberikan keuntungan kepada mereka.15 Ibnu Qayyim menekankan kerjasama ekonomi adalah tanggung jawab social. Ibn Qayyim percaya bahwa keberagaman dan perbedaan tingkah laku manusia akan membutuhkan kerjasama dan pembagian kerjasama.16 6) Pemilikan Harta Kekayaan Oleh Individu Dan Campur Tangan Pemerintah Dalam Ekonomi Ibn Qayyim menganjurkan campur tangan pemerintah dalam pemilikan harta kekayaan oleh individu jika individu menggunakan harta kekayaan pada jalan yang bertentangan dengan kemaslahatan masyarakat. Dalam hubungan ini, Ibn Qayyim telah memetik sepotong hadis Rasulullah SAW berkenaan dengan seorang hamba (harta) yang dimiliki bersama oleh beberapa orang kongsi (tuan) hendak dibebaskan oleh salah seorang daripada tuannya dan tuan-tuan yang lain tidak bersetuju dengan pembebasan tersebut. Dalam hal ini Rasulullah SAW memutuskan harga yang adil kepada hamba itu dinilai dan rekan-rekan kongsi yang lain diminta menerima bahagian masing-masing. Selepas itu, hamba berkenaan telah dibebaskan. Selepas menukilkan hadis ini Ibn Qayyim menulis bahawa hadis tersebut menjadi asas kepada peraturan sesuatu harta yang tidak boleh dibahagikan dan dimiliki bersama boleh dijual jika salah seorang daripada para 14 Ibn Qayyim (1996), I`lam al-Muwaqqi`in `an Rabb al-`Alamin, Beirut: Dar alKutub al-`Ilmiyyah, Vol. 1, h. 291. 15 Ibid., Jil. 3, h. 268. 16 Abdul Hasan M. Saded dan Aidit Ghazali, op.cit, hal. 159
94
Jurnal Syari’ah Vol. II, No. II, Oktober 2013 pemiliknya berhasrat untuk menjualnya. Hadith berkenaan juga menyokong prinsip yang dipakai yaitu jika seseorang itu harus dibayar ganti rugi ia hendaklah dalam bentuk harga yang adil.17 Kisah di atas menjelaskan bahwa pemerintah mempunyai hak mengambil sesuatu yang menjadi menjadi milik individu jika pengambilan itu memberikan manfaat yang lebih besar kepada masyarakat dengan membayar ganti rugi yang seadilnya. Konsep pemilikan, kemiskinan dan kekayaan mempunyai hubungan yang erat antara satu sama lain. Dalam hubungan ini, Ibn Qayyim memfokuskan penulisannya dalam pemilikan individu terhadap harta kekayaan serta keharusan campur tangan pemerintah dalam pemilikan tersebut.18
b) Perbandingan Dan Perbedaan Antara Kekayaan Dan Kemiskinan Penyebaran pengaruh tasawuf yang meluas pada masa Ibn Qayyim mengakibatkan masyarakat melupakan kehidupan duniawi dan memfokuskan terus kepada kehidupan akhirat. Paham yang salah ini menyebabkan orang banyak hidup dalam kemiskinan, karena bagi mereka harta kekayaan itu adalah kehidupan dunia yang sementara dan tidak perlu dicari. Untuk membetulkan salah paham ini, Ibn Qayyim berusaha supaya masyarakat Islam waktu kembali kepada ajaran Islam yang sebenarnya yaitu perimbangan antara kehidupan dunia dan kehidupan akhirat. Lebih lanjut lagi supaya masyarakat dapat menyeimbangkan antara pemilikan kekayaan dan kehidupan kemiskinan.19 Ibn Qayyim berpendapat bahwa kekayaan yang dimiliki oleh seseorang itu dapat digunakan untuk melaksanakan semua jenis amalan kebaikan dengan mudah seperti menunaikan haji, jihad, membangun masjid, memberikan hadiah, nikah, pembebasan tawanan, pengeluaran yang wajib dan sunat dan sebagainya. 17 Abdul Hasan M. Saded dan Aidit Ghazali, op.cit, hal. 159 18 Ibn Qayyim (1953), al-Turuq al-Hukmiyyah, Kaherah: Matba`ah al-Sunnah alMuhammadiyyah, h. 245 – 246, 259 – 260. 19 Ibn Qayyim (1994), `Uddah al- Sabirin, h. 257.
Pemikiran Ekonomi Ibnu Qayyim Putri Apria Ningsih
95
Mereka yang sependapat dengan Ibn Qayyim juga berpendapat bahwa semasa nabi Muhammad Saw. banyak contoh-contoh di sahabat yang berkedudukan tinggi terdiri merupakan orang kaya. Dengan kekayaan itu mereka memberikan bantuan dan keterlibatan dalam jihad serta membantu orang-orang Islam yang lain.20 Selanjutnya dalam hal ini Ibn Qayyim berpendapat yaitu “daripada kalangan orang kaya dan orang miskin, yang paling disukai adalah makhluk yang bertaqwa pada Allah dan dia melakukan amalan-amalan baik. Oleh karena itu, orang kaya dan orang miskin adalah sama dalam asas ukuran ini.”21 Dia juga berpendapat bahwa kekayaan dan kemiskinan adalah ciptaan Allah SWT untuk menguji hamba-hamba-Nya siapa yang lebih baik dalam amalan-amalannya.22 Kadang kala Allah Swt. menguji seseorang dengan memberikan kepadanya kekayaan yang melimpah ruah. Pada masa yang lain seseorang itu diuji dengan kemiskinan.23 Ibn Qayyim juga mengingatkan kita supaya tidak keliru dalam memahami antara konsep kemiskinan dan kehidupan yang zuhud di dunia. Zuhud ialah antara nilai Islam yang paling penting yang disalah artikan sebagai pelepasan kekayaan dan perkara-perkara baik dalam kehidupan.24 Dalam tulisannya Madarij al-Salikin, Ibn Qayyim telah mengemukakan berbagai pendapat berkenaan dengan zuhud.25 Beliau dengan tegas mengatakan bahwa zuhud bukan berarti menolak persoalan-persoalan duniawi. Harta benda yang banyak bukan menjadi penghalang kepada seseorang untuk menjadi insan yang warak dalam hidup mereka. Seseorang boleh mempunyai sikap membersihkan diri dan menolak persoalan-persoalan duniawi meskipun ia mempunyai banyak harta kekayaan, dan seseorang juga boleh memiliki sedikit sifat zuhud meskipun ia hidup dalam kemiskinan.26 20 Ibid., h. 257 – 258. 21 Ibid., h. 162. 22 Ibid., h. 176. 23 Ibid., h. 162. 24 Ibn Qayyim (1408/1999), Madarij al-Salikin, Vol. 2, Beirut: Dar al-Kutub al`Ilmiyyah, h. 1. 25 Ibid., h. 16 – 20. 26 Ibid., h. 16 – 20.
96
Jurnal Syari’ah Vol. II, No. II, Oktober 2013
c) Kepentingan Ekonomi Zakat Menurut Ibn Qayyim fungsi zakat ialah untuk membangunkan kualiti kebaikan, persaudaraan dan kebajikan. Atas alasan inilah kadar khusus zakat ditetapkan.. Jumlah pembayaran zakat tidak terlalu banyak yang boleh memenuhi keperluan asas golongan yang tidak berada. Jika kadar bayaran zakat itu tinggi, orang-orang yang kaya berkemungkinan mengelak dengan berbagai cara untuk membayarnya. Jika golongan yang kaya enggan membayar zakat yang diwajibkan kepada mereka dan golongan yang miskin tidak menerima apa yang menjadi hak kepada mereka, fungsi pembayaran zakat seperti diterangkan di atas tidak dapat dicapai.27 Ibn Qayyim menulis bahwa zakat dikenakan kepada setiap jenis harta kekayaan dan kepada setiap barang-barang yang dapat meningkatkan pertumbuhan dan memberikan keuntungan. Barangbarang untuk tujuan penggunaan seperti pakaian, rumah, peralatan, binatang tunggangan dan seumpamanya bebas daripada kewajipan dikenakan zakat. Hanya empat jenis harta saja yang dikenakan zakat yaitu binatang ternak, tanaman dan buah-buahan, emas dan perak serta barang-barang dagangan.28 Terdapat empat kadar zakat yang diambil berat yaitu 20% (1/5), 10% (1/10), 5% (1/20) dan 2.5% (1/40). Ibn Qayyim mengatakan dalam dua tempat dalam penulisan-penulisannya tentang kepentingan dan sebab ekonomi di balik kadar zakat yang berlainan. Menurut beliau, penglibatan buruh adalah pertimbangan yang diambil kira dalam penentuan kadar-kadar itu. Semakin besar jumlah buruh yang terlibat dalam sesuatu proses pengeluaran, semakin kecil kadar zakat yang perlu dibayar dan sebaliknya. Umpamanya kadar zakat ke atas tanaman yang diairi dengan air hujan ialah 10% dan 5% bagi tanaman yang diairi oleh tenaga buruh.29 Selain dari jumlah buruh yang terlibat dalam proses pengeluaran menjadi penentu kadar zakat, Ibn Qayyim juga menjelaskan faktor lain yang menyumbang kepada perkara tersebut. Di antaranya ialah 27 Ibn Qayyim (1996), I`lam al-Muwaqqi`in, Vol. 3, h 195. 28 Ibn Qayyim (1990), Zad al-Ma`ad fi Hadi Khayr al-`Ibad, Vol. 2, Beirut: Muassasah al-Risalah, h. 5. 29 Ibid., h. 6-7.
Pemikiran Ekonomi Ibnu Qayyim Putri Apria Ningsih
97
untuk mewujudkan konsep keadilan dalam ekonomi. Jika semua pemilikan mempunyai kadar zakat yang sama, galakan untuk berusaha dan bekerja akan hilang daripada pemilik-pemilik harta berkenaan. Juga karena kadar peningkatan barang-barang adalah berlainan. Peningkatan dalam tanaman dan buah-buahan adalah lebih daripada peningkatan dalam barang-barang perdagangan. Kadar peningkatan yang berbeda ini memberikan kesan yang berbeda dalam cukai. Dalam hal, ini cukai yang perlu dibayar oleh pengeluaran barang-barang pertanian adalah lebih banyak dibandingkan dengan cukai yang dibayar oleh para pedagang terhadap barang-barang dagangan mereka. Pertumbuhan tanaman yang diairi oleh air hujan adalah lebih banyak dibanding dengan tumbuhan tanaman yang diairi oleh usaha manusia atau terusan atau perigi.30 Abdul Azim Islahi ketika mengulas pendapat Ibn Qayyim menyatakan bahwa pendapat itu mempunyai kebenarannya pada zaman dahulu yang hampir-hampir tidak terdapat industri berskala besar dalam bidang perniagaan. Industri yang wujud dalam industri kebanyakannya hanya dalam bentuk perniagaan kecil. Bentuk pengairan dan pertanian adalah dalam bentuk yang mudah dan tidak kompleks. Tetapi situasinya adalah berlainan dengan masa sekarang. Bentuk perniagaan domestik dan mancanegara adalah dalam skala besar, dan kegiatan pertanian dilakukan menggunakan cara dan teknik yang canggih dan modern. Oleh itu, justifikasi yang dikemukakan oleh Ibn Qayyim tentang perbedaan kadar kewajiban membayar zakat adalah sukar untuk diterima.31 Berkenaan dengan tempoh pembayaran zakat, Ibn Qayyim menulis bahwa zakat boleh dibayar apabila cukup satu tahun pemilikan harta kecuali pada harta kekayaan yang tidak diketahui pemiliknya, zakat akan dikenakan serta merta seperti penemuan harta karun. Sementara dalam hal zakat pertanian, ia akan dikutip pada masa hasil dituai. Waktu satu tahun yang ditetapkan oleh syariah adalah paling sesuai dan memadai untuk pengeluaran zakat. Jika zakat dikeluarkan untuk waktu bulanan dan mingguan, ia akan menje30 Ibid., h. 7. 31 Abdul Azim Islahi (1992), “Economic Thought of Ibn Qayyim”, dalam Abul Hasan M. Sadeq, et al (eds.), Readings in Islamic Economic Thought, Petaling Jaya: Longman Malaysia, h. 162.
98
Jurnal Syari’ah Vol. II, No. II, Oktober 2013
jaskan kemaslahatan pembayar zakat. Sementara jika ia dikeluarkan sekali saja sepanjang hidup, ia akan menjejaskan kebajikan dan kehidupan golongan miskin. Oleh sebab itu, waktu haul setahun qamariyyah adalah sesuai.32 Dalam waktu itu, pemilik harta tersebut boleh menggunakan hartanya pada jalan yang produktif dan mendapatkan keuntungan. Sebaliknya jika zakat dibayar setiap minggu atau bulanan, ia akan menyusahkan para pembayar zakat untuk membuat taksiran pada harta mereka dan bagi negara pula pengurusan kutipan dan tagihan zakat akan menjadi mahal dan sukar.33 Zakat yang dipungut oleh negara akan diberikan pada mereka yang berhak untuk menerimanya. Ibn Qayyim menjelaskan bahwa terdapat delapan golongan yang berhak menerima bahagian zakat sebagaimana yang ditetapkan oleh al-Qur’an. Beliau membagi kepada dua kategori. Kategori yang pertama ialah mereka yang berhak menerima zakat mengikut keperluan yaitu fakir, miskin, riqab dan ibn sabil. Kategori kedua ialah mereka yang menerimanya untuk kegunaan sendiri yaitu amil, mualaf, orang yang berhutang untuk tujuan baik dan mereka yang berjuang fi sabil Allah.34 d) Bunga - Riba Al-Fadl Dan Riba Al-Nasi’ah Ibn Qayyim juga membicarakan persoalan riba yang menjadi teras dalam amalan perbankan dan keuangan konvensional dan beliau menyatakan amalan riba amat bertentangan dengan amalan zakat dan sedekah. Ibn Qayyim memetik ayat 276 dalam surah al-Baqarah:
Allah memusnahkan riba dan menyuburkan sedekah35. Dan Allah
ِ اس ح َّدثََنا ُشعبةُ ح َّدثََنا و ب َ َح َّدثََنا ْ اصل ْاْل ُ َح َد َ َْ َ ٍ آد ُم ْب ُن أَبِي ِإَي َ 33 Abdul Azim Islahi (1992), op. cit., h. 162 – 163. ي أََبا َذZadت ال َأرَْي َّ (ر اْل ِغفَ ِار1990), َ َقVol.وي ٍد َ َق ْ2,ُسh. 9.ور ْب َن ُ al-Ma`ad, ُ ال َس ِم ْع َ ت اْل َم ْع ُر 34 Ibn Qayyim 35 Yang ِmemusnahkan ِ atau َع ْنdimaksud ُحلَّةmemusnahkan ِهdan َال ِمyang ى ُغdimaksud حdengan َّهُ َع ْنهُ َوharta اللsedekah َيituض َرialََو َعلribaلَّةialah َ فdengan ُ َعلَْيهmenyuburkan َُسأَْلَناهberkahnya. meniadakan َّ َّ النبِ ِّي َّ ت َر ُج ًال فَ َش َكانِي ِإلَى َ ََذِل َك فَق ُ ال ِإِّني َس َاب ْب ُصلى الله َ 32 Ibn Qayyim (1990), Zad al-Ma`ad, Vol. 2, h. 8.
َّ ِ َّ َّ النبِي َّ ال ِلي ُم ِه ِّ َعَّي ْرتَهُ بِأ َ ََعلَْي ِه َو َسلَّ َم فَق َ صلى اللهُ َعلَْيه َو َسل َم أ َ
Pemikiran Ekonomi Ibnu Qayyim Putri Apria Ningsih
99
tidakmenyukai setiap orang yang tetap dalam kekafiran, dan selalu berbuat dosa36.
Riba al-fadl diistilahkan juga oleh Ibn Qayyim sebagai riba alkhafi dan riba al-nasi’ah sebagai riba al-jali. Riba al-Fadl terdapat dalam perdagangan enam jenis komoditi yang ditukar sesama komoditi secara tidak sama ukuran atau timbangan dan secara hutang. Keenamenam komoditi tersebut ialah emas, perak, gandum, barli, tamar dan garam.37 Sementara riba al-nasi’ah berlaku pada transaksi hutang wang dengan uang yang dibayar secara tidak sama nilai atau jumlahnya.38 Umpamanya A meminjam RM100.00 daripada B dan B meminta A membayar hutang tersebut dengan jumlah yang lebih umpamanya, RM120.00. Ibn Qayyim melarang amalan semua jenis riba karena ia boleh memberi kesan buruk kepada masyarakat dan menghilangkan perasaan ihsan dan semangat tolong menolong. Sebaliknya ia dapat menimbulkan permusuhan antara individu.39 e) Mekanisme Pasar Dan Penetapan harga Berkenaan dengan mekanisme pasar Ibn Qayyim menjelaskan bahwa pasar hendaklah berlaku secara adil dan kerjasama terpimpin. Unsur-unsur negatif dalam pasar yang dapat mengakibatkan kezaliman kepada para pedagang lain seperti monopoli, sorok, paksaan dan sebagainya hendaklah diawasi oleh pihak pemerintah melalui institusi hisbah dan seumpamanya. Demikian juga dengan penghargaan barang-barang dan perkhidmatan di pasaran, beliau berpendapat ia hendaklah diserahkan pada pasaran yaitu berdasarkan kepada kuasa penawaran dan permintaan di pasar. Jika ia berjalan secara adil, pemerintah tidak boleh campur tangan membuat penetapan harga karena ia dapat menimbulkan ah memperkembangkan harta yang Telah dikeluarkan sedekahnya atau melipat gandakan berkahnya. 36 Maksudnya ialah orang-orang yang menghalalkan riba dan tetap melakukannya. 37 Abdul Hasan M. Saded dan Aidit Ghazali, op.cit, hal. 164 38 Ibid., h. 103 – 104. 39 Ibid., h. 103 – 105.
Jurnal Syari’ah
100 Vol. II, No. II, Oktober 2013
kezaliman kepada mereka yang terlibat dalam pasar. Sebaliknya jika unsur-unsur negatif berlaku seperti kezaliman, paksaan, manipulasi dan sebagainya yang menyebabkan harga di pasar tidak menentu, maka pemerintah harus campur tangan untuk menstabilkan harga barang-barang berkenaan untuk masalah pengguna dan peniaga. Lembaga Al-Hisbah berfungsi untuk menentukan, menyelidiki, memantau, serta mengukur standar dari produk. Lembaga ini juga berfungsi untuk menyelidiki kejahatan-kejahatan dibidang ekonomi dan terjadinya kecurangan.40
C. Kesimpulan Dari hal di atas dapat disimpulkan bahwa sumbangan pemikiran ekonomi Ibn Qayyim adalah amat besar dalam perkembangan pemikiran ekonomi Islam. Beliau adalah seorang tokoh pemikir dan ulama terkenal dalam berbagai bidang disiplin ilmu termasuk ekonomi. Pemikiran beliau dalam ekonomi seperti pasar, harga, nisbah dan sebagainya lebih dahulu dikemukakan dari teori-teori ekonomi yang dicetuskan oleh para sarjana Barat seperti Adam Smith, Alfred Marshal, Maltus dan sebagainya. Pemikiran dan teori ekonomi Ibn Qayyim seperti dijelaskan di atas masih relevan untuk menyelesaikan berbagai masalah ekonomi dan keuangan sekarang.
Daftar Pustaka `Umar Rida Kahhalah (1957), Mu`jam al-Mu’allifin, Damsyik: alMaktabah al- `Arabiyyah, Vol. 9 Abdul Azim Islahi (1992), “Economic Thought of Ibn Qayyim”, dalam Abul Hasan M. Sadeq, et al (eds.), Readings in Islamic Economic Thought, Petaling Jaya: Longman Malaysia. Abdul Hasan M. Saded dan Aidit Ghazali (ed), Reading in Islamic Economic Though, Malaysia, Longman, 1992 H Laoust (1993), “Ibn Qayim al-Jawziyyah”, Encyclopeadia Islam, (New Edition), Vol. 8, London dan Leiden. Ibn `Imad (t.t.), Shadharat al-Dhahab fi Akhbar min Dhahab,Beirut: 40 Abdul Hasan M. Saded dan Aidit Ghazali, op.cit, hal. 169.
Pemikiran Ekonomi Ibnu Qayyim Putri Apria Ningsih 101 al-Maktab al-Tijari Ibn Kathir (1966), al-Bidayah wa al-Nihayah, Beirut: Maktabah alMa`arif, 1966, Vol. 14 Ibn Qayyim (1408/1999), Madarij al-Salikin, Vol. 2, Beirut: Dar alKutub al- `Ilmiyyah. Ibn Qayyim (1953), al-Turuq al-Hukmiyyah, Kaherah: Matba`ah alSunnah al- Muhammadiyyah. Ibn Qayyim (1990), Zad al-Ma`ad fi Hadi Khayr al-`Ibad, Vol. 2, Beirut: Muassasah al-Risalah. Ibn Qayyim (1994), `Uddah al- Sabirin wa Dhakhirah al-Shakirin, (ed.), Abu Sahl Najjah, Kaherah: Maktabah al-Iman. Ibn Qayyim (1996), I`lam al-Muwaqqi`in `an Rabb al-`Alamin, Beirut: Dar al- Kutub al-`Ilmiyyah, Vol. 1. Ibn Qayyim (t.t.), Miftah Dar al-Sa`adah, Beirut: Dar al-Kitab al`Ilmiyyah.
102
Pedoman Penulisan
PEDOMAN PENULISAN 1. Naskah ditulis dalam bentuk essay, berisi gagasan atau analisis konseptual yang orisinil, hasil penelitian, atau book review, dalam bidang ilmu-ilmu keislaman, yang mencakup: Ilmu Ekonomi Syariah, serta pemikiran ke-Islaman. 2. Panjang naskah adalah antara 10-20 halaman kertas kwarto/A.4, diketik dengan 1,5 spasi atau yang setara, dengan margin: kiri dan atas 4 cm, margin kanan dan bawah 3 cm. 3. Naskah diketik dengan menggunakan huruf/font Times New Roman untuk Latin, ukuran 12, dan Tradisional Arabic ukuran l8 untuk tulisan berbahasa Arab, atau ukuran 16 untuk teks Arab kutipan, seperti kutipan pendapat, dan kutipan ayat dan hadis, sedangkan dalam catatan kaki huruf Latin dengan font 10 dan Bahasa Arab dengan font 15. 4. Komponen naskah yang harus ditulis secara jelas secara berurutan adalah a) Judul tulisan, b) Nama penulis, tanpa gelar, dan di sebelah kanan atas nama penulis diberi footnote dengan tanda (*), di dalamnya dijelaskan tentang pendidikan terakhir penulis, tempat tugas, dan bidang studi yang digeluti penulis, serta informasi yang relevan lainnya, c) Abstrak berbahasa asing (Arab-Inggris) atau berbahasa Indonesia (maksimal 100 kata), d) Kata kunci atau key word dari tulisan, e) pendahuluan atau prolog, f) isi (deskripsi dan analisis), dapat dibagi kepada beberapa sub bahasan, g) Kesimpulan, dan h) Daftar rujukan. Jika tulisan yang dikirim adalah hasil penelitian (riset), maka harus ditambah dengan memuat; latar belakang, tinjauan pustaka, tujuan, metode penelitian, dan hasil penelitian. 5. Kutipan harus dijelaskan sumbernya dalam bentuk body note, yang memuat; nama akhir dari pengarang (sesuai dengan nama di daftar rujukan), tahun terbit, nomor jilid/juz buku, dan halaman buku (misalnya; al-Asqalaniy, 2000, VIII: 821). Footnote hanya digunakan untuk tambahan yang sangat perlu. 6. Tulisan harus dilengkapi dengan Daftar Rujukan, yaitu sumber tertulis yang benar-benar digunakan dalam penulisan naskah. Cara penulisan daftar rujukan adalah; nama penulis secara leng-
Pedoman Penulisan
103
kap, bagian akhir dari nama penulis ditulis paling awal, dan antara nama akhir dengan nama selanjutnya diberi batas dengan koma (,); lalu judul buku ditulis italic/miring, kota tempat terbit, nama penerbit, tahun terbit, cetakan ke. Baris kedua dari buku sumber harus dimasukkan ke kanan, sejauh 7 spasi. Misalnya: Al-Zarkasyi, Badru al-Din Muhammad, Al-Burhan fi’Ulum AlQur’an, (Beirut: Dar al-Fikr, 1988), Jilid. I Hitti, Philip K, History of The Arab, Terj. Cecep Lukman Yasin dan Dedi Slamet Riyadi, (Jakarta: Serambi Ilmu Semesta, 2010) 7. Tulisan yang akan mendapat prioritas untuk dimuat adalah yang lulus seleksi oleh tim redaksi menyangkut; a) kebagusan bahasa dan ketikan, b) kesesuaian bidang ilmu dan topik, orisinalitas, kedalaman teori, ketepatan metodologi, ketajaman analisis, inovasi, dan nilai aktual dan/atau kegunaannya, dan c) selama masih tersedia ruang/halaman. Jika ada tulisan yang lulus seleksi dari sisi poin a-b, maka tulisan itu akan dimasukkan untuk edisi berikutnya. 8. Naskah harus disampaikan kepada tim redaksi dalam bentuk print-out dan dilengkapi dengan memberikan hardcopy dalam bentuk CD, atau softcopy melalui flashdisk atau lainnya, atau dengan mengirim ke e-mail;
[email protected]