UPAYA PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA DALAM BANTUAN HUKUM TIMBAL BALIK UNTUK MASALAH PIDANA (MUTUAL LEGAL ASSISTANCE – MLA) TERHADAP PENGEMBALIAN ASET DI LUAR NEGERI HASIL TINDAK PIDANA KORUPSI (STOLEN ASSET RECOVERY) Svetlana Anggita Prasasthi ____________________________________________________________________ Pendahuluan Saat ini tindak pidana korupsi tidak hanya merupakan permasalahan nasional suatu bangsa saja, tetapi sudah menjadi permasalahan internasional. Aset hasil tindak pidana korupsi seringkali terlacak di tempat persembunyian (safe haven) yang melampaui lintas batas wilayah negara dimana tindak pidana dilakukan. Korupsi merupakan suatu fenomena transnasional yang mempengaruhi semua masyarakat dan perekonomian, sehingga kerjasama internasional untuk mencegah dan mengendalikannya serta mengembalikan aset hasil tindak pidana tersebut menjadi sangat penting. Dalam banyak kasus, terdapat aset-aset hasil tindak pidana korupsi, yang sulit dikembalikan karena telah ditransfer dan ditempatkan di luar negeri oleh para pelaku melalui mekanisme pencucian uang dengan maksud untuk menghilangkan jejak. Hal ini mengakibatkan upaya dalam melacak serta mengembalikan aset tersebut menjadi sulit. Para pelaku tindak pidana korupsi mampu melintasi dengan bebas batas yurisdiksi dan geografis antar negara. Sementara, para penegak hukum tidak mudah menembus batasbatas yurisdiksi dan melakukan penegakkan hukum di dalam yurisdiksi negara-negara lain. Karenanya, dalam melakukan proses pengembalian aset hasil tindak pidana korupsi ini, negara-negara di dunia saling melakukan kerja sama internasional, salah satunya dengan memanfaatkan mekanisme bantuan hukum timbal-balik dalam masalah pidana, dalam rangka mempermudah proses pengembalian aset. United Nations Convention Against Corruption (UNCAC) tahun 2003 merupakan terobosan baru dalam pemberantasan tindak pidana korupsi. Salah satu tujuan utama UNCAC adalah memperkuat langkah-langkah pencegahan dan pemberantasan korupsi dengan lebih efisien dan efektif yang memerlukan kerjasama antar negara karena dalam kenyataannya hasil korupsi dari negara ketiga sering ditempatkan dan diinvestasikan di negara lain berdasarkan kerahasiaan bank yang bersifat konvensional. Untuk itu, UNCAC menawarkan mekanisme Asset Recovery sebagaimana tertuang dalam Bab V UNCAC untuk mencegah, melacak dan mengembalikan aset-aset yang diperoleh secara tidak sah baik di dalam negeri maupun di luar negeri. Mekanisme untuk pengembalian aset dapat dilakukan dalam bentuk Mutual Legal Assistance in Criminal Matters (MLA), Civil Litigation dan Non-Conviction Based Forfeiture. Indonesia sendiri telah menjadi negara Pihak dan menggunakan instrumen hukum internasional dalam rangka menangkap pelaku korupsi dan mengembalikan aset hasil korupsi dengan meratifikasi United Nations Convention against Corruption (UNCAC) melalui UU Nomor 7 Tahun 2006. Walaupun demikian, dalam pelaksanaan kerjasama antar negara untuk pengembalian aset hasil tindak pidana korupsi, masih terdapat kendala-kendala yang disebabkan antara lain: sistem hukum yang berbeda, sistem perbankan dan finansial yang ketat dari negara
di mana aset berada, praktek dalam menjalankan hukum, keterbatasan kemampuan teknologi dan perlawanan dari pihak yang hendak diambil asetnya oleh Pemerintah.
Kompleksitas Mekanisme Pengembalian Aset Hasil Tindak Pidana Korupsi dalam Upaya Pemberantasan Korupsi Saat ini upaya pemberantasan korupsi lebih difokuskan pada tiga isu pokok, yaitu: pencegahan (prevention), pemberantasan (eradication), dan pengembalian aset hasil korupsi (asset recovery). Pemberantasan korupsi tidak hanya terletak pada upaya pencegahan maupun pemidanaan para koruptor saja, tetapi juga meliputi tindakan yang dapat mengembalikan ‘kerugian’ keuangan negara akibat dari kejahatan extraordinary tersebut. Karenanya, dalam lingkup penegakan hukum pidana pun pemberantasan korupsi bukan hanya melalui proses penuntutan (prosecution) dan proses peradilan pidana (criminal proceedings) semata, melainkan juga melalui upaya keperdataan (civil proceedings). Upaya pengembalian aset negara ‘yang dicuri’ (stolen asset recovery) melalui tindak pidana korupsi (tipikor) tidak mudah untuk dilakukan. Para pelaku memiliki akses yang luas dan sulit dijangkau dalam menyembunyian maupun melakukan tindak pencucian uang (money laundering) hasil tindak pidana korupsinya dengan pemanfaatan transaksi derivatif yakni melalui transfer-transfer internasional yang efektif. Bahkan sebuah lembaga internasional, Basel Institute on Governance, International Centre for Asset Recovery mengemukakan mengenai hal tersebut bahwa:99 “Asset recovery is a difficult task and is fraught with the complicity of the banks involved, the navigation of a costly international legal labyrinth and the fact that those implicated in public looting are usually those with the most power and influence”.
Persoalan semakin kompleks dengan keberadaan aset yang disimpan pada pusat-pusat keuangan di negara-negara atau yurisdiksi tertentu dan terlindungi oleh sistem hukum yang berlaku di negara tersebut. Negara-negara tersebut bahkan memiliki sejumlah peraturan dan kebijakan keuangan yang protektif sehingga menyulitkan proses hukum negara lain yang ingin melacak dan memulihkan aset-aset yang dicuri tersebut dan ditempatkan di bawah yurisdiksi negara dimana aset tersebut disimpan. Kondisi demikian memudahkan para pelaku tindak pidana korupsi maupun kelompok kejahatan terorganisir lainnya untuk menyimpan aset mereka yang didapatkan dengan melawan hukum. Sejumlah negara yang diduga menjadi tempat penyimpanan aset koruptor seperti Singapura, Australia, Amerika Serikat dan Swiss, memiliki aturan kerahasiaan bank (bank secrecy) yang ketat. Tidak hanya negara-negara yang tergolong maju, negaranegara kecil atau yurisdiksi seperti Hong Kong SAR, Cayman Island, Isle of Man, Guernsey, Karibia dan Bermuda juga menerapkan aturan tersebut. Pada prakteknya, tidak sedikit negara yang mengalami kesulitan untuk mengatasi permasalahan pengembalian aset yang menyentuh ketentuan-ketentuan hukum negara lain, terutama jika negara yang bersangkutan tidak memiliki hubungan kerjasama yang baik dengan negara tempat aset curian disimpan. Kesepakatan tentang pengembalian aset tercapai karena kebutuhan untuk mendapatkan kembali aset-aset hasil tindak pidana 99
Basel Institute on Governance International Center for Asset Recovery. Diakses pada tanggal 13 Juli 2011 dari http://www.baselgovernance.org/icar/
korupsi sebagaimana harus direkonsiliasikan dengan hukum dan prosedur dari negaranegara yang dimintai bantuan. Pentingnya pengembalian aset didasarkan pada kenyataan bahwa tindak pidana korupsi telah merampas kekayaan negara-negara tersebut, sementara sumber daya sangat dibutuhkan untuk merekonstruksi dan merehabilitasi masyarakat melalui pembangunan berkelanjutan. Belajar dari kasus pengembalian aset yang berada dalam yurisdiksi asing, Indonesia menemukan bahwa yurisdiksi negara lain belum tentu menunjukkan outward looking approach; sebaliknya, mereka telah memberlakukan kebijakan yang kaku dan ketat berkaitan dengan rezim mendukung kerjasama internasional terkait rezim pembekuan, penyitaan dan pengungkapan.100 Dikarenakan kompleksitas permasalahan perihal pengembalian aset hasil tindak pidana korupsi dan alternatif mekanismenya yang terdiri dalam bentuk Mutual Legal Assistance in Criminal Matters (MLA), Civil Litigation dan Non-Conviction Based Forfeiture, penulis akan membatasi pembahasan masalah serta rekomendasi hanya pada aspek-aspek sebagaimana tercantum di dalam Pasal 57 UNCAC tentang Pengembalian Aset serta mekanisme pengembalian aset berupa MLA.
Upaya Indonesia Terkait Pengembalian Aset Hasil Tindak Pidana Korupsi melalui Mekanisme Bantuan Hukum Timbal Balik sebagaimana Diatur di dalam UNCAC dan Legislasi Naisonal Pertama-tama, mari kita bahas mengenai konsep asset recovery dan signifikansinya dalam upaya pemberantasan korupsi. Menurut Matthew H. Fleming dalam dunia internasional tidak ada definisi pengembalian aset yang disepakati bersama.101 Patut diketahui bahwa di dalam UNCAC sendiri tidak terdapat pendefinisian yang jelas mengenai pengembalian aset. Fleming melihat unsur-unsur pengembalian aset adalah sebagai berikut: 1. proses pencabutan, perampasan, penghilangan; 2. yang dicabut, dirampas, dihilangkan adalah hasil atau keuntungan dari tindak pidana; 3. salah satu tujuan pencabutan, perampasan, penghilangan adalah agar pelaku tindak pidana tidak dapat menggunakan hasil serta keuntungan-keuntungan dari tindak pidana sebagai alat atau sarana untuk melakukan tindak pidana lainnya. Pengembalian aset tidak hanya merupakan proses saja, tetapi juga merupakan upaya penegakan hukum melalui serangkaian mekanisme hukum tertentu. Paku Utama, konsultan anti-korupsi dari United Nations Organisation for Drugs and Crime (UNODC) Indonesia, mengemukakan definisinya mengenai pengembalian aset, sebagai berikut:102
100
Sebagaimana disampaikan oleh Bapak Havas Oegroseno yang saat itu masih menjabat sebagai Dirjen Hukum dan Perjanjian Internasional Kemlu RI di UNODC Jakarta Talk Series, 2008. 101 Matthew H. Fleming, Asset Recovery and Its Impact on Criminal Behavior, An Economic Taxonomy: Draft for Comments, (London: University College, 2005), hal. 27 102 Paku Utama, Terobosan UNCAC dalam Pengembalian Aset Korupsi Melalui Kerjasama Internasional, diakses pada tanggal 7 Juli 2011 dari: http://hukumonline.com/berita/baca/hol19356/terobosan-uncacdalam-pengembalian-aset-korupsi-melalui-kerjasama-internasional
“Pengembalian aset adalah sistem penegakan hukum yang dilakukan oleh negara korban (victim state) tindak pidana korupsi untuk mencabut, merampas, menghilangkan hak atas aset hasil tindak pidana korupsi dari pelaku tindak pidana korupsi melalui rangkaian proses dan mekanisme. Baik secara pidana maupun perdata, aset yang berada di dalam maupun disimpan di luar negeri, yang dilacak, dibekukan, dirampas, disita, dan dikembalikan kepada negara korban hasil tindak pidana korupsi, sehingga dapat mengembalikan kerugian keuangan akibat tindak pidana korupsi. Termasuk memberikan efek jera kepada pelaku dan/ atau calon pelaku tindak pidana korupsi.”
Beberapa mekanisme dalam melakukan proses pengembalian aset hasil tindak pidana korupsi, yaitu: 1. pelacakan, 2. aset yang sudah dilacak dan diketahui kemudian dibekukan, 3. aset yang dibekukan lalu disita dan dirampas oleh badan berwenang dari negara di mana aset tersebut berada, dan kemudian dikembalikan kepada negara tempat aset tersebut diambil melalui mekanisme-mekanisme tertentu. Sementara itu, bantuan hukum timbal-balik (MLA) merupakan upaya suatu negara untuk memperoleh barang bukti atau menarik kembali barang hasil kejahatan yang berada di luar yurisdiksinya. MLA pada dasarnya adalah suatu mekanisme formal dimana suatu negara dapat meminta negara lain untuk memberikan bantuan guna penyidikan, penuntutan, pengadilan suatu perkara pidana. Dengan diaturnya ketentuan mengenai MLA di dalam UNCAC, maka upaya pengembalian aset diharapkan dapat terlaksana dengan maksimal. Ketika aset-aset hasil tindak pidana korupsi ditempatkan di luar negeri, Negara Peminta yang diwakili oleh penyelidik, penyidik, atau lembaga otoritas dapat meminta kerjasama dengan negara penerima untuk melakukan proses pengembalian aset. Hal ini sesuai dengan apa yang diatur dalam Pasal 46 UNCAC, di mana negara-negara penerima aset harus memberikan bantuan kepada negara korban dalam rangka proses pengembalian aset. MLA merupakan hakikat dari kerja sama internasional dalam pengembalian aset. UNCAC memberikan jalan keluar yang sangat mudah kepada negara-negara korban dalam melakukan proses pengembalian aset.103 UNCAC mewajibkan setiap Negara Pihak untuk memberikan bantuan (timbal balik) mengenai penyidikan, penuntutan dan proses peradilan terkait dengan tindak-tindak pidana yang tercakup di dalam UNCAC kepada para negara korban yang membutuhkan. Dalam hal negara-negara dengan kebijakan serta sistem perbankan yang kaku dan tertutup, UNCAC memberikan kemudahan akses bagi negara-negara korban untuk dapat menelusuri sistem perbankan suatu negara untuk memperoleh informasi atas aset hasil tindak pidana korupsi. Hal ini diatur dengan jelas dalam Pasal 46 ayat (8), dimana Negara Pihak dilarang untuk menolak memberikan bantuan hukum timbal balik dengan alasan kerahasiaan bank. Sementara itu, dalam hal terkait kriminalitas ganda atau double criminality, berdasarkan UNCAC Pasal 46 ayat (9), Negara-negara Pihak dapat menolak untuk memberikan bantuan dengan alasan ketiadaan kriminalitas ganda. Namun demikian, Negara Pihak yang diminta wajib, apabila sejalan dengan konsep-konsep dasar sistem 103
Ibid.
hukumnya, memberikan bantuan yang tidak melibatkan tindakan yang bersifat pemaksaan. Bantuan tersebut dapat ditolak apabila permintaan-permintaan melibatkan hal-hal yang kurang penting (de minimis) atau hal-hal untuk mana kerjasama atau bantuan tersebut diminta dapat diperoleh berdasarkan ketentuan-ketentuan lain dari Konvensi ini. Setiap Negara Pihak dapat mempertimbangkan untuk mengadopsi tindakan-tindakan sedemikian yang dianggap perlu untuk memungkinkannya memberikan bantuan dengan lingkup yang lebih luas dalam hal ketiadaan kriminalitas ganda/dual criminality.
Implementasi Pasal 44 dan Pasal 57 UNCAC tentang MLA dan Pengembalian Aset dalam Hukum Nasional Indonesia serta Perjanjian dan Kerjasama MLA Indonesia dengan Negara Lain Indonesia telah memiliki instrumen nasional, yaitu UU Nomor 1 Tahun 2006 tentang Bantuan Hukum Timbal Balik dalam Masalah Pidana, sebagai dasar pelaksanaan kerjasama MLA dengan negara lain. Kerjasama MLA meliputi bantuan untuk mengidentifikasi dan mencari orang; mendapatkan pernyataan atau bentuk lainnya; menunjukkan dokumen atau bentuk lainnya; mengupayakan kehadiran orang untuk memberikan keterangan atau membantu penyidikan; menyampaikan surat; melaksanakan permintaan penggeledahan dan penyitaan; perampasan hasil tindak pidana; memperoleh kembali sanksi denda berupa uang sehubungan dengan tindak pidana; melarang transaksi kekayaan, membekukan aset yang dapat dilepaskan atau disita, atau yang mungkin diperlukan untuk memenuhi sanksi denda yang dikenakan, sehubungan dengan tindak pidana; mencari kekayaan yang dapat dilepaskan, atau yang mungkin diperlukan untuk memenuhi sanksi denda yang dikenakan, sehubungan dengan tindak pidana; dan/atau bantuan lain yang sesuai dengan UU No. 1 Tahun 2006. Adapun ketentuan di dalam UU tersebut mengecualikan wewenang untuk mengadakan: ekstradisi atau penyerahan orang; penangkapan atau penahanan dengan maksud untuk ekstradisi atau penyerahan orang; pengalihan narapidana; atau pengalihan perkara. UU No. 1 Tahun 2006 menyatakan bahwa status MLA, termasuk MLA yang berhubungan dengan tindak pidana korupsi, dapat dikabulkan tanpa suatu treaty berdasarkan asas resiprositas dan hubungan bilateral yang baik dengan negara peminta bantuan (requesting state). Dalam prakteknya, Indonesia telah melakukan sejumlah kerjasama MLA dengan sejumlah negara tanpa dilandasi perjanjian bilateral mengenai MLA. Kerjasama dapat dilakukan berdasarkan legislasi nasional negara yang bersangkutan. Sejumlah negara juga memiliki regulasi yang mengatur MLA dan/atau ekstradisi dengan negara-negara yang tidak menjadi Pihak dalam perjanjian multilateral. Di bawah skema tersebut, legislasi Negara Diminta biasanya memformulasikan prosedur untuk mengirimkan, menerima, mempertimbangkan dan melaksanakan permintaan. Prosedur ini biasanya sama dengan skema yang diatur di dalam perjanjian multilateral, walaupun biasanya terdapat beberapa persyaratan tambahan. Sebuah negara dapat mengatakan bahwa sebuah negara asing berhak untuk menerima bantuan, atau mereka dapat mempertimbangkan setiap permintaan yang datang berdasarkan case-by-case basis. Terdapat sejumlah pendapat pro dan kontra terhadap kerjasama yang berdasarkan legislasi nasional. Skema tersebut memang lebih cepat dan murah serta lebih mudah
diterapkan dibandingkan treaty. Namun di satu sisi, tidak seperti treaty, legislasi domestik tidak menciptakan kewajiban yang mengikat di bawah hukum internasional. Sebuah negara yang memberlakukan legislasi tersebut tidak memiliki kewajiban internasional untuk membantu negara asing. Negara asing pun tidak berkewajiban memberikan bantuan terhadap negara lain yang memberlakukan legislasi tersebut. Dalam banyak kasus, Negara Diminta akan bekerjasama berdasarkan suatu treaty hanya jika Negara Peminta menyediakan semacam undertaking of reciprocity.104 Adapun Indonesia memiliki perjanjian bantuan timbal-balik dengan negara-negara sebagai berikut:105 1. Australia, 27 Oktober 1995, diratifikasi dengan UU No. 1 Tahun 1999; 2. China, 24 Juli 2000, diratifikasi dengan UU No. 8 Tahun 2006; 3. Korea Selatan, 30 Maret 2002 (masih dalam proses ratifikasi) 4. Hong Kong SAR, 3 April 2008 (masih dalam proses ratifikasi) 5. India, 25 Januari 2011 (masih dalam proses ratifikasi) Dalam lingkup ASEAN, mekanisme yang dapat dilakukan untuk pengembalian harta yang mungkin dilarikan ke yurisdiksi Singapura adalah melalui ASEAN Like-Minded Countries Mutual Legal Assistance Treaty yang telah ditandatangani dan berlaku di negara-negara Asia Tenggara, sebagai berikut Negara Penandatangan dan tanggal berlaku:106 1. Brunei Darussalam 29 November 2004 berlaku 15 Februari 2006 2. Indonesia 29 November 2004 berlaku 4 Juni 2008 3. Laos 29 November 2004 berlaku 20 Juni 2007 4. Malaysia 29 November 2004 berlaku 1 Juni 2005 5. Singapura 20 November 2004 berlaku 28 April 2005 6. Vietnam 29 November 2004 berlaku 25 Oktober 2005 Indonesia sendiri telah meratifikasi perjanjian tersebut melalui Undang-undang No. 15 Tahun 2008 Tentang Pengesahan Treaty on Mutual Legal Assistance in Criminal Matters. Di antara negara-negara ASEAN tinggal Kamboja, Filipina dan Thailand yang sudah menandatangani namun belum meratifikasinya. Perjanjian tersebut mewajibkan para Pihak untuk memberlakukan upaya-upaya MLA seluas apapun antara satu sama lain, dan terkait pada legislasi nasional Negara Diminta. Perjanjian ini mencakup berbagai jenis MLA yang biasa dapat ditemukan di dalam perjanjian-perjanjian bilateral, misalnya hal-hal terkait pengambilan bukti, pencarian dan penyitaan aset. Dalam hal belum ada perjanjian, maka MLA atas dasar hubungan baik berdasarkan asas resiprositas. Target Pemerintah Indonesia dalam pembentukan perjanjian dan melakukan kerjasama MLA adalah negara-negara yang diduga menjadi tempat pelaku tempat pidana korupsi menempatkan aset hasil tindak pidana korupsi dan negara-negara yang menjadi pusat keuangan dunia, yakni Singapura, Swiss, RRT, Hong Kong, Amerika Serikat, Kanada, Inggris dan Uni Emirat Arab. 104
ADB/OECD Anti-Corruption Initiative. Framework for Practice on MLA and Extradition: Mutual Legal Assistance, Extradition and Recovery of Proceeds of Corruption in Asia and the Pacific. 2010. 105 Direktorat Perjanjian Internasional Politik dan Keamanan Wilayah Kementerian Luar Negeri Republik Indonesia. Pointers Upaya Pemerintah RI dalam Pengembalian Aset (Asset Recovery) Hasil Tindak Pidana di Luar Negeri. 2010. 106 Ibid.
Untuk negara-negara non target, UU MLA Indonesia memungkinkan kerjasama tanpa adanya perjanjian tetapi cukup dengan pernyataan akan bekerja sama secara resiprositas, maka bantuan akan dapat diberikan. Selain itu, negara-negara juga dapat meminta bantuan Indonesia melalui kerangka kerja sama MLA di bawah UNCAC dan United Nations Convention against Transnational Organized Crime (UNTOC). The United Nations Convention against Transnational Organized Crime (UNTOC) juga relevan untuk kasus korupsi, namun cakupannya lebih terbatas dibandingkan UNCAC. Indonesia sendiri sudah meratifikasi UNTOC melalui Undang-undang No. 5 Tahun 2009 tentang Pengesahan United Nations Covention Against Transnational Crime. Terkait kerjasama internasional, UNTOC memiliki landasan hukum untuk ekstradisi dan MLA terkait pelanggaran-pelanggaran terhadap hal-hal yang diatur di dalam Konvensi. Sebagaimana UNCAC, UNTOC memiliki beberapa sifat yang sama, contohnya sifatnya yang bertindak sebagai perjanjian di antara para Pihak atau dengan menggunakan perjanjian bilateral yang sudah ada. Memang UNTOC mengatur mengenai kriminalisasi korupsi sebagai kejahatan transnasional dan confiscation of proceeds of crime, namun pengaturan khusus mengenai asset recovery hanya terdapat di dalam UNCAC.107 Terkait permintaan MLA dari Pemerintah Republik Indonesia, tentunya harus melalui mekanisme tertentu yang sudah diatur di dalam undang-undang. Penyampaian permintaan MLA diajukan oleh Menteri Hukum dan HAM RI kepada negara asing secara langsung (apabila telah ditentukan melalui perjanjian bilateral) atau melalui saluran diplomatik, berdasarkan permohonan dari Kapolri atau Jaksa Agung RI atau Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (khusus tindak pidana korupsi). Hal ini tercantum di dalam Pasal 9 UU No. 1 Tahun 2006. Kementerian Hukum dan HAM (Kemenkumham; sebelumnya dinamakan Departemen Kehakiman) merupakan central authority untuk kerjasama internasional dalam persoalan-persoalan kriminal. Fungsi utamanya adalah untuk memproses incoming and outgoing requests. Berdasarkan Pasal 46 ayat (13) UNCAC, setiap Negara Pihak wajb menunjuk badan berwenang pusat yang memiliki tanggungjawab dan kekuasaan untuk menerima permintaan-permintaan bantuan hukum timbal-balik. Outgoing requests untuk ekstradisi dan MLA dibuat oleh Kemkumham berdasarkan permintaan Kejaksaan Agung atau Kapolri. Dalam kasus-kasus korupsi, MLA juga dapat dimintakan oleh Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Permintaan ekstradisi dan MLA dibuat oleh Direktorat Hukum Internasional dari Kemkumham dan di-review melalui pertemuan-pertemuan terkoordinasi antara badan-badan yang relevan seperti KPK, Kepolisian, Kejaksaan Agung, Kemkumham dan Kementerian Luar Negeri. Permintaan MLA sebagaimana pula dengan ekstradisi tetap dikirimkan melalui saluran diplomatik (diplomatic channel). Kemkumham juga memproses permintaan (incoming requests) untuk ekstradisi dan MLA. Permintaan ekstradisi dapat dikirimkan ke Kemkumham melalui saluran diplomatik, sementara permintaan MLA dapat dikirimkan langsung. Dalam menerima suatu permintaan, Kemkumham memverifikasi bahwa permintaannya sesuai dengan legislasi maupun treaty (jika ada) yang relevan. Setelah itu, Kemkumham akan meneruskan permintaan tersebut untuk dieksekusi oleh Kejaksaan Agung dan Kapolri. Direktorat Hukum Internasional Kemkumham memonitor permintaan dengan 107
ADB/OECD Anti-Corruption Initiative, ibid.
berkomunikasi dengan Kepolisian atau Kejaksaan Agung. Semua permintaan yang datang dijaga kerahasiaannya. Terkait pengembalian aset hasil tindak pidana di luar negeri, Pasal 57 UU No. 1 Tahun 2006 menyatakan bahwa Menkumham dapat membuat perjanjian atau kesepakatan dengan negara asing untuk mendapatkan penggantian biaya dan bagi hasil dari hasil harta kekayaan yang dirampas: 1. di negara asing, sebagai hasil dari tindakan yang dilakukan berdasarkan putusan perampasan atas permintaan Menteri; atau 2. di Indonesia, sebagai hasil dari tindakan yang dilakukan di Indonesia berdasarkan putusan perampasan atas permintaan negara asing
Hambatan dan Tantangan Perbedaan sistem hukum sering menyulitkan Pemerintah Indonesia untuk memenuhi syarat-syarat formal yang diminta oleh negara/yurisdiksi yang bersangkutan. Kelambanan proses hukum terhadap kejahatan di Indonesia sebagai akibat kompleksitas persoalan pembuktian serta relatif lemahnya koordinasi internal antar instansi penegak hukum terkait di Indonesia. Sebagaimana diatur dalam Pasal 22 ayat (1) UU No. 1 Tahun 2006, berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap, Jaksa Agung dapat mengajukan permohonan kepada Menteri untuk mengajukan permintaan Bantuan kepada Negara Diminta untuk menindaklanjuti putusan pengadilan yang bersangkutan di Negara Diminta tersebut. Dalam praktek Indonesia, amar Putusan Pengadilan tidak menyebutkan aset pelaku di luar negeri yang perlu dirampas, sehingga kondisi ini mempersulit upaya perampasan terhadap barang sitaan, pidana denda, atau pembayaran uang pengganti. Contoh kasus adalah upaya perampasan aset kasus korupsi ECW Neloe (Bank Mandiri) senilai kurang lebih USD$ 5,5 juta. MLA untuk kasus ini pertama kali diajukan kepada Pemerintah Swiss tahun 2008 untuk kepentingan pelaksanaan eksekusi aset atas putusan perkara korupsi yang telah in kracht. Namun, MLA tersebut tidak dapat ditindaklanjuti mengingat putusan korupsi di Indonesia tidak mengkaitkan tindak pidana korupsi di Indonesia dengan aset di Swiss dan amar putusan tidak mencantumkan adanya perampasan aset di Swiss. Untuk itu, perlu dilakukan penyidikan baru dengan sangkaan tindak pidana pencucian uang. Keterbatasan kemampuan teknologi juga menjadi penghalang, padahal salah satu sifat kejahatan korupsi adalah kemampuan para pelakunya untuk memanfaatkan kemajuan teknologi dibidang perbankan karena transaksinya bersifat rahasia, cepat, mudah dan tidak memerlukan uang kartal. Persoalan lain yang dihadapi adalah terkait Central Authority sebagai salah satu otoritas penting dalam rangka upaya pengembalian harta hasil korupsi yaitu dalam menentukan lembaga yang dipandang tepat untuk melakukan permohonan atau pengembalian hasil korupsi kepada Negara Diminta atau sebaliknya. Indonesia menetapkan Kementerian Hukum dan HAM sebagai central authority untuk pelaksanaan meminta atau memfasilitasi sebagai Negara Diminta bagi negara lain. Berbeda dengan beberapa negara yang central of authority-nya berada pada Department of Justice yang membawahi secara langsung proses penyidikan ataupun penuntutan, Kemkumham lebih berperan sebagai lembaga yang memiliki otoritas administrasi dan tidak memiliki
kewenangan langsung untuk melakukan penyelidikan, penyidikan ataupun penuntutan.108 Selain itu, Kemkumham hanya memiliki hubungan yang terbatas dengan aparat penegak hukum di luar negeri. Sebagai contoh, Kemkumham tidak menyelenggarakan pertemuanpertemuan secara reguler dengan counterpart asing terkait mekanisme kerjasama. Mereka juga kurang berkoordinasi dengan negara lain dalam menyediakan MLA atau ekstradisi dalam kasus-kasus korupsi. Situs internet Kemkumham juga hanya tersedia dalam Bahasa Indonesia dan tidak memberikan informasi apapun terkait kerjasama internasional.
Simpulan Upaya pemberantasan korupsi saat ini tidak hanya dapat difokuskan pada penangkapan para pelaku korupsi secara pidana, tetapi juga melalui usaha-usaha pengembalian aset hasil tindak pidana korupsi yang dilakukan oleh pelaku. Kesuksesan mekanisme MLA dalam hal pengembalian aset korupsi pun sangat tergantung dengan keberhasilan kerjasama antar para Pihak, baik Negara Diminta maupun Negara Peminta. Koordinasi di antara badan-badan terkait di dalam negeri juga sangat penting untuk menunjang keberhasilan proses pengembalian aset. Pengembalian aset hasil tindak pidana korupsi merupakan permasalahan sulit dan kompleks dimana inisiatif-inisiatif terhadap pengembalian aset di Indonesia masih terhitung berada dalam tahap awal. Sebagai contoh, di dalam konteks hukum sendiri di Indonesia belum terdapat penetapan untuk pendefinisian asset recovery. Kemudian dalam hal perampasan suatu aset, diperlukan suatu keputusan pengadilan yang dapat menghubungkan antara aset yang bersangkutan dengan tindak pidana. Hanya saja agar aset tersebut dapat dibekukan dan dikembalikan, diperlukan nama dan keterangan spesifik mengenai aset tersebut, yang seringkali tidak disebutkan di dalam keputusan pengadilan. Hal ini mempersulit proses pengembalian aset hasil tindak pidana korupsi.
Rekomendasi Kebijakan Perlunya meningkatkan efektifitas kinerja task force yang sudah terbentuk, Tim Terpadu Pencari Tersangka dan Terpidana Korupsi, yang terdiri atas anggota dari Kemlu, Kemkumham, Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK), Kepolisian Republik Indonesia (POLRI) dan Kejaksaan Agung yang selama ini merupakan aparat yang memiliki peranan penting dalam pelacakan dan pengembalian aset. Dalam kaitannya dengan tugas dan fungsi Kemkumham sebagai Central Authority, kiranya Kemkumham perlu memaksimalkan perannya sebagai sebuah central authority yang penulis anggap masih kurang efektif. Misalnya, akan sangat membantu bagi negaranegara asing apabila Kemkumham memiliki website berbahasa Inggris yang didedikasikan untuk kepentingan MLA maupun esktradisi, setidaknya memuat informasi mengenai persyaratan yang perlu dipenuhi untuk bekerjasama, legislasi dan treaty yang relevan, serta informasi orang yang bisa dihubungi. Sebagai tambahan, Kemkumham dapat mengembangkan suatu sistem untuk memonitor agar kasus-kasus yang ada dapat
108
Yenti Garnasih. Asset Recovery Act sebagai Strategi dalam Pengembalian Aset Hasil Korupsi, (Jakarta: Jurnal Legislasi Indonesia, 2010), hal. 629.
terus dipantau. Pelatihan dan pendidikan dalam kerjasama internasional untuk staf Kemkumham juga akan sangat berguna. Salah satu institusi pemerintah yang selama ini berperan penting dalam upaya pengembalian aset adalah Kementerian Luar Negeri. Untuk itu, Kementerian Luar Negeri perlu terus meningkatkan perannya terkait Pelaksanaan MLA untuk Asset Recovery. Sampai sejauh ini, Kemlu telah turut membantu semua upaya Pemerintah Indonesia dalam upaya mengembalikan aset hasil tindak pidana di luar negeri, khususnya yang berkaitan dengan hal-hal sebagai berikut: 1. Sebagai chief of negotiator dalam proses mutual legal assistance dan ekstradisi 2. Sebagai saluran diplomatik untuk memfasilitasi semua komunikasi dan pelaksanaan mutual legal assistance dan ekstradisi 3. Penyusunan dan penyampaian permintaan mutual legal assistance dan ekstradisi 4. Pembentukan perjanjian terkait bantuan hukum timbal balik untuk masalah pidana (MLA) baik dalam tingkat bilateral, regional maupun internacional. Kementerian Luar Negeri bersama Kemkumham juga dapat mengambil peran yang lebih aktif dengan berkoordinasi bersama otoritas asing yang berwenang baik dalam kasus-kasus spesifik maupun permasalahan umum. Indonesia juga dapat mempertimbangkan untuk mengadopsi sejumlah prosedur spesifik dalam menangani permintaan-permintaan penting. Misalnya dengan mempertimbangkan agar mengizinkan permohonan penahanan sementara dan permohonan bantuan hukum timbal balik yang bersifat mendesak untuk disampaikan secara elektronik atau melalui faksimili. Hal tersebut sebenarnya disinggung dalam Pasal 10 UU No. 1 Tahun 2006, dimana Menkumham dapat meminta orang yang memberikan pernyataan atau menunjukkan dokumen atau alat bukti lain yang terkait dengan permintaan Bantuan tersebut untuk diperiksa atau diperiksa silang melalui pertemuan langsung atau dengan bantuan telekonferensi atau tayangan langsung melalui sarana komunikasi atau sarana elektronik lainnya dalam tahap penyidikan, penuntutan atau pemeriksaan di pengadilan. Namun undang-undang tersebut beserta Penjelasannya tidak merincikan apakah e-mail dan faksimil dapat dikategorisasikan sebagai alat komunikasi yang formal. Jika keduanya termasuk komunikasi formal, Indonesia dapat mempertimbangkan untuk menerima permohonan mendesak bantuan hukum timbal balik yang disampaikan secara lisan, dengan konfirmasi menyusul secara tertulis. UNCAC Pasal 46 ayat (14) sendiri mengatur bahwa permintaan harus diajukan secara tertulis, atau bilamana memungkinkan, dengan suatu cara yang mampu menghasilkan catatan tertulis dan dalam suatu keadaan mendesak, permintaan dapat diajukan secara lisan, namun harus ditegaskan secara tertulis dengan segera. Dalam hubungan internasional, Indonesia melalui Kementerian Luar Negeri harus aktif menyuarakan aksinya mengenai pemberantasan korupsi di negaranya di dalam forum-forum internasional UNCAC Working Group on Assset Recovery, UNCAC Conference of Parties, atau G20, terutama dalam mendorong Negara-negara Pihak yang selama ini menjadi tempat pelarian dan penyimpanan aset-aset hasil korupsi dari Indonesia untuk mengambil concrete approach dalam memberikan bantuan, seperti memudahkan prosedur, pemberian infromasi secara cepat, dan membuka akses informal. Hal ini menunjukkan komitmen kuat Indonesia dalam pemberantasan korupsi, dengan
harapan untuk mempermudah kerja sama internasional dengan negara-negara lain dalam proses pengembalian aset.