SURVEY OF THE JAVAN WARTY PIG (SUS VERRUCOSUS) ON JAVA AND BAWEAN ISLAND IN INDONESIAN, WITH SUMMARY AND DETAILED SURVEY RESULTS IN ENGLISH
by: Gono Semiadi Erik Meijaard
Pusat Penelitian Biologi-LIPI IUCN/SSC Pigs, Peccaries and Hippos Specialist Group
2004
NOT TO BE CITED WITHOUT CONSULTATION OF AUTHORS
NOTES ON THIS REPORT AND ACKNOWLEDGMENTS In this report we present the results of a survey of Sus verrucosus, the endemic pig of islands of Java and Bawean. As our target audience are both the Indonesian government and other stakeholders, and the international conservation community, we have produced this report in two languages: Indonesian and English. The first section of the report, which is in Indonesian, presents the detailed survey results, and based on this we give recommendations for improved management of S. verrucosus. In the second section of the report, we have summarized the survey results in English, while we give some background information on the species, and provide recommendations. This section also gives a summary of all interviews that we conducted during our surveys. Thus we hope to provide a comprehensive overview of the state of S. verrucosus in the wild and in captivity. We are very grateful to the Gibbon Foundation, Los Angeles Zoo, and Oregon Zoo for their financial sponsoring of the survey. We thank the Indonesian Institute of Sciences (LIPI) for providing the research permits. Thanks to Nanang, Irvan Sidik MSi., Saeful, Wihermanto Ssi. and Hadi Dahrudin for their field assistance. ABSTRACT TO BE WRITTEN
NOT TO BE CITED WITHOUT CONSULTATION OF AUTHORS
i
RINGKASAN Babi kutil atau babi Jawa, Sus verrucosus, merupakan babi liar yang endemik untuk P. Jawa dan sekitarnya. Keberadaan babi ini pernah dikhawatirkan punah pada akhir tahun 1970an, tetapi pada tahun 1981 populasi kecil di lembah Gn. Penanggungan dekat Tretes ditemukan. Survai lanjutan di tahun 1982 pada beberapa lokasi di P. Jawa pada akhirnya menemukan kembali beberapa populasi kecil. Namun demikian keberadaan populasi tersebut demikian terancam oleh karena perburuan dan peracunan oleh masyarakat. Hibridisasi antara S. verrucosus dan S. scrofa sangat mungkin terjadi dan hal ini merupakan ancaman yang cukup serius dalam kelanggengan populasi babi ini. Sejak kebangkitan reformasi politik di tahun 1997 tekanan terhadap keberadaan babi ini semakin meningkat dan menjadi sangat mengkhawatirkan karena penjarahan kawasan hutan. Pada tahun 2000, S. verrucosus telah dimasukkan ke dalam katagori Endangered pada tingkat International berdasarkan perkiraan laju penurunan populasi akibat terpecahnya kantong-kantong habitat dan tingkat eksploatasi hutan, khususnya hutan jati. Namun secara Nasional satwa ini tidak dilindungi. The IUCN/SSC PPHSG Action Plan mengkatagorikan satwa ini sebagai ‘known to be at risk or vulnerable’, karena keterbatasan distribusi dan keterbatasan toleransi pada ekologi dan ancaman terhadap kehancuran habitat, tekanan perburuan dan sedikitnya informasi. Hal ini menjadikan babi ini sebagai jenis yang harus mendapatkan prioritas tinggi untuk tindakan konservasi dan hal tersebut harus dimulai dengan kegiatan survai awal. Hasil survai menunjukkan kecenderungan keberadaan babi kutil yang menurun drastis dibandingkan 20 tahun yang lalu, ketika survai pertama kali dilakukan. Hal ini lebih dikarenakan oleh penurunan habitat yang sesuai untuk babi tersebut, terfragmentasi menjadi kantong-kantong kecil dan terisolasi, selain dari adanya kegiatan perburuan yang terorganisir di masa lampau. Secara menyeluruh sebaran babi kutil pada beberapa kantong habitat di Jawa Tengah dan Timur telah menurun banyak setidaknya sejak delapan tahun yang lalu. Hilangnya populasi babi kutil dapat mencapai antara 40-60% untuk setiap kantong habitat, yang dicirikan dengan semakin jarangnya tingkat pertemuan dengan babi kutil. Di lain pihak, penurunan populasi babi hutanpun (Sus scrofa) banyak terasa di berbagai daerah yang disurvai. Adanya hutan produksi dalam pengelolaan PERHUTANI, dan sedikit hutan masyarakat merupakan habitat yang tersisa bagi babi kutil yang diharapkan dapat diamankan dari kehancuran habitat secara menyeluruh. Namun khususnya pada hutan di wilayah pengelolaan PERHUTANI, rata-rata masa keberadaannya tinggal 15-25 tahun lagi sebelum dilakukan panenan besar-besaran. Adanya beberapa kawasan konservasi (Cikepuh, P. Bawean, Suku Baduy) atau tertutup (P. Nusakambangan) yang juga merupakan habitat babi kutil, perlu diperhatikan dengan seksama, mengingat daerah ini seharusnya merupakan daerah yang paling aman bagi kehidupan satwa liar tersebut. Namun hal utama yang perlu diperhatikan untuk kawasan tersebut adalah kepastian jumlah populasi dari babi kutil yang mendiami kawasan. Keberadaan beberapa ekor babi kutil di penangkaran dari satu sisi merupakan aset yang sangat tinggi, namun dilain pihak perlu dikaji kembali tentang tingkat kemurniannya dan bagaimana program perkembang biakannya. Perubahan status perlindungan babi kutil dari yang tidak dilindungi menjadi dilindungi secara undangundang tampaknya harus segera dipertimbangkan, setidaknya dalam kurun waktu 2-3 tahun mendatang. Untuk itu, sampai informasi mengenai sebaran dan status populasi serta informasi dasar biologi babi ini diperoleh lebih lengkap lagi, untuk sementara waktu status babi kutil dapat dibiarkan apa adanya, tetapi perlu untuk segera dilakukan kegiatan penyuluhan untuk perlindungan baik dalam bentuk pertemuan ataupun penyebaran leaflet pada kalangan yang berhubungan langsung dengan kehidupan dan keamanan populasi babi kutil, seperti pengelola kawasan, perkebunan, perkumpulan pemburu dan masyarakat sekitar habitat.
NOT TO BE CITED WITHOUT CONSULTATION OF AUTHORS
ii
KATA PENGANTAR
Babi kutil atau disebut pula babi Jawa (Sus verrucosus) merupakan jenis satwa liar Indonesia yang tidak dilindungi. Statusnya sebagai babi liar sering diasosiakan sebagai satwa hama. Sangat sedikit masyarakat luas yang memahami adanya dua jenis babi liar (Sus scrofa & Sus verrucosus) di pulau Jawa. Terlebih dengan adanya generalisasi sebutan babi liar sebagai hama, menjadi penghambat di dalam memberikan gambaran yang sesungguhnya tentang keunikan yang ada pada dua jenis babi liar tersebut, Jawa, khususnya pada babi Jawa. Akibat dari kurangnya pemahaman tentang keberadaan jenis babi liar serta semakin terbatasnya habitat babi liar tersebut, menjadikan kelanggengan populasi babi liar di pulau Jawa cukup terancam, terlebih dengan babi Sus verrucosus. Hal ini lebih dikarenakan sejak dahulu, secara populasi, populasinya memang selalu lebih rendah dibandingkan dengan babi liar biasa (Sus scrofa). Untuk itu, sangat penting untuk selalu dilakukan pemantauan mengenai status sebaran dan keberadaan populasinya, mengingat pada tingkat Internasional babi Jawa telah dikatagorikan dalam status Endangered. Harapan dari hasil survai ini adalah dapat dijadikan sebagai pijakan awal di dalam penetapan pengelolaannya lebih lanjut serta menjadi perhatian untuk menjaga kelanggengannya. Keberhasilan survai ini tidak mungkin dapat tercapai tanpa bantuan berbagai pihak. Terima kasih kami sampaikan atas bantuan dana yang diberikan oleh Gibbon Foundation, Los Angeles Zoo dan Oregon Zoo, sehingga memungkinkan untuk melakukan penelitian ini. Terima kasih yang mendalam kami sampaikan pula kepada Pusat Penelitian Biologi LIPI Bogor atas dukungannya serta kepada Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) dan Dirjen Perlindungan Hutan dan Konservasi Alam Departemen Kehutanan di Jakarta yang telah banyak membantu memberikan kemudahan dalam perizinan penelitian. Terima kasih yang tidak terhingga juga kami sampaikan kepada Sdr. Wihermanto Ssi, Hadi Dahrudin, Entol A Saefulalam dan Nanang S yang telah banyak membantu dalam kegiatan di lapang dan Drs. Irva Sidik MSi untuk saransarannya.
Bogor, 28 Maret 2004
Erik Meijaard (IUCN/SSC Pigs, Peccaries and Hippos Specialist Group) Gono Semiadi (Puslit Biologi LIPI Bogor)
NOT TO BE CITED WITHOUT CONSULTATION OF AUTHORS
iii
DAFTAR ISI/TABLE OF CONTENTS NOTES ON THIS REPORT AND ACKNOWLEDGMENTS ..........................................................................i ABSTRACT........................................................................................................................................................i RINGKASAN ................................................................................................................................................... ii KATA PENGANTAR ..................................................................................................................................... iii DAFTAR ISI/TABLE OF CONTENTS ...........................................................................................................iv PENDAHULUAN .............................................................................................................................................1 TUJUAN PENELITIAN ...............................................................................................................................1 METODE ......................................................................................................................................................2 DATA WAWANCARA ....................................................................................................................................3 PROPINSI BANTEN & JAWA BARAT .....................................................................................................3 Kabupaten Pandeglang .............................................................................................................................3 Kabupaten Rangkasbitung........................................................................................................................3 Kabupaten Lebak......................................................................................................................................4 Jakarta.......................................................................................................................................................5 Kabupaten Sukabumi................................................................................................................................6 Kabupaten Cianjur..................................................................................................................................12 Kabupaten Purwakarta............................................................................................................................14 Kabupaten Subang..................................................................................................................................15 Kabupaten Bandung ...............................................................................................................................16 Kabupaten Garut.....................................................................................................................................17 Kabupaten Majalengka ...........................................................................................................................18 Kabupaten Ciamis ..................................................................................................................................21 PROPINSI JAWA TENGAH......................................................................................................................25 Kabupaten Pemalang ..............................................................................................................................25 Kabupaten Batang ..................................................................................................................................27 Kabupaten Semarang..............................................................................................................................28 Kabupaten Blora.....................................................................................................................................29 Kabupaten Wonogiri ..............................................................................................................................32 Kota Yogyakarta.....................................................................................................................................32 Kabupaten Purworejo .............................................................................................................................33 Kabupaten Cilacap..................................................................................................................................34 PROPINSI JAWA TIMUR .........................................................................................................................35 Kabupaten Bojonegoro ...........................................................................................................................35 Kabupaten Mojokerto .............................................................................................................................36 Kota Surabaya ........................................................................................................................................36 P. Madura ...............................................................................................................................................39 NOT TO BE CITED WITHOUT CONSULTATION OF AUTHORS
iv
Kabupaten Gresik (Pulau Bawean).........................................................................................................39 Kabupaten Pasuruan ...............................................................................................................................42 Kabupaten Probolinggo ..........................................................................................................................43 Kabupaten Situbondo .............................................................................................................................43 Kabupaten Banyuwangi..........................................................................................................................44 Kabupaten Jember ..................................................................................................................................46 Kabupaten Lumajang..............................................................................................................................47 Kabupaten Trenggalek............................................................................................................................48 PEMBAHASAN ..............................................................................................................................................50 Deskripsi .....................................................................................................................................................50 Penamaan ....................................................................................................................................................51 Populasi & Distribusi ..................................................................................................................................51 Manajemen ..................................................................................................................................................53 Pemanfaatan ................................................................................................................................................54 Tindak lanjut/ Rekomendasi........................................................................................................................54 DAFTAR PUSTAKA ......................................................................................................................................55 ENGLISH SUMMARY OF SURVEY, BACKGROUND, DISCUSSION AND RECOMMENDATIONS..56 Introduction .................................................................................................................................................56 Methods.......................................................................................................................................................56 Results .........................................................................................................................................................57 Discussion ...................................................................................................................................................60 Conclusions and recommendations .............................................................................................................61 References ...................................................................................................................................................62 APPENDIX: English summary of interviews ..................................................................................................64
NOT TO BE CITED WITHOUT CONSULTATION OF AUTHORS
v
Detailed results of S. verrucosus survey—in Indonesian
PENDAHULUAN
Babi kutil atau babi Jawa, Sus verrucosus, merupakan babi liar yang endemik untuk P. Jawa dan sekitarnya. Diyakini babi ini mulai muncul di Pulau Jawa di awal zaman pleistocine, atau sekitar dua juta tahun yang lampau. Secara taksonomi memang masih ada yang memperdebatkannya, namun terlepas bagaimana posisi dalam taksonominya, babi kutil memang berbeda dengan jenis babi hutan lainnya yang dijumpai di P. Jawa, Sus scrofa (Suripto 2002). Untuk mengetahui status keberadaan babi ini Blouch et al. (1983) dan Blouch (1988; 1993) telah melaporkan hasil survai yang dilakukan tahun 1983 di seluruh Pulau Jawa, termasuk Pulau Bawean, tetapi tidak Pulau Madura. Hasil pengamatannya menunjukkan bahwa S. verrucosus tidak pernah dijumpai di atas 800 m dpl. dan habitat kesukaannya terbatas pada hutan dataran rendah, khususnya hutan pohon jati. Blouch (1993) memperkirakan bahwa babi ini terdapat di Alas Purwo and Taman Nasional Baluran, walau S. Hedges (komunikasi pribadi 16 October 2001) melaporkan tidak dijumpainya babi ini selama tinggal 6,5 tahun disana antara tahun 1991-2000. Tetapi pada tahun 1940, masih dilaporkan keberadaannya di daerah Asembagus, sebelah barat kawasan (Sody 1941). Keberadaan S. verrucosus pernah dikhawatirkan punah pada akhir tahun 1970an, tetapi pada tahun 1981 populasi kecil di lembah Gn. Penanggungan dekat Tretes ditemukan (Whitten et al. 1996). Survai lanjutan di tahun 1982 pada beberapa lokasi di Pulau Jawa pada akhirnya menemukan kembali beberapa populasi kecil. Namun demikian keberadaan populasi tersebut demikian terancam oleh karena perburuan dan peracunan oleh masyarakat. Blouch dan Groves (1990) menyatakan bahwa hibridisasi antara S. verrucosus dan S. scrofa sangat mungkin terjadi dan hal ini merupakan ancaman yang cukup serius dalam kelanggengan populasi babi ini. Sejak kebangkitan reformasi politik di tahun 1997 tekanan terhadap keberadaan babi ini semakin meningkat dan menjadi sangat mengkhawatirkan karena penjarahan kawasan hutan. Pada tahun 2000, S. verrucosus telah dimasukkan ke dalam katagori Endangered pada tingkat International berdasarkan perkiraan laju penurunan populasi akibat terpecahnya kantong-kantong habitat dan tingkat eksploatasi hutan, khususnya hutan jati. Artinya jenis ini menghadapi resiko sangat tinggi terhadap kepunahan di alam bebas karena perkiraan penurunan populasi selama 10 tahun terakhir, terfragmentasinya populasi demikian tinggi serta penurunan yang konstan dalam hal jumlah pada tingkat sub-populasi dan individu dewasa (IUCN 2000). Namun secara Nasional jenis ini tidak dilindungi. The IUCN/SSC PPHSG Action Plan (Oliver 1993) mengkatagorikan jenis ini sebagai ‘known to be at risk or vulnerable’, karena keterbatasan distribusi dan keterbatasan toleransi pada ekologi dan ancaman terhadap kehancuran habitat, tekanan perburuan dan sedikitnya informasi. Hal ini menjadikan babi ini sebagai jenis yang harus mendapatkan prioritas tinggi untuk tindakan konservasi dan hal tersebut harus dimulai dengan kegiatan survai awal. Berdasarkan hal tersebut diatas maka dianggap perlu untuk melakukan kajian terhadap keberadaan populasi babi kutil melalui tahapan awal survai populasi sederhana. Melalui survai ini diharapkan diperoleh gambaran mengenai perubahan kondisi populasi babi dibandingkan dengan tahun 1982, sehingga langkahlangkah lanjutan yang diperlukan dalam rangka konservasi dan pengelolaannya dapat dikembangkan dan ditetapkan.
TUJUAN PENELITIAN Tujuan dari penelitian ini adalah untuk : • •
Mengidentifikasi sisa keberadaan populasi S. verrucosus Mengidentifikasi kisaran populasi, pemanfaatan habitat, tekanan perburuan dan terpecahnya populasi
NOT TO BE CITED WITHOUT CONSULTATION OF AUTHORS
1
Detailed results of S. verrucosus survey—in Indonesian •
Mendapatkan gambaran lanjutan tentang kegiatan yang perlu dilakukan berdasarkan rekomendasi hasil survai
METODE Mengingat pada kegiatan ini tujuan utamanya adalah mendapatkan gambaran awal dari keberadaan babi, maka kegiatan lebih ditekankan pada metode survai dengan tanya-jawab terhadap berbagai pihak yang mempunyai hubungan yang erat dengan perburuan babi atau karena jabatannya berhubungan erat dengan para pelaku pemburu babi. Daerah survai yang dilakukan diawali dengan mengunjungi kembali daerah-daerah kunjungan yang pernah disurvai oleh Blouch et al. (1983), sebagai tahun paling akhir aktifitas survai dilakukan. Selain itu dilakukan kunjungan daerah tambahan berdasarkan informasi yang didapat selama perjalanan survai. Daerah kunjungan meliputi seluruh wilayah yang ada di P. Jawa dan P. Bawean, serta beberapa lembaga konservasi yaitu Kebun Binatang. Wawancara dilakukan melalui metode penggalian informasi pengetahuan tentang biologi babi, perbedaan antar jenis dan habitat sebelum ditekankan pada kondisi populasi sebagai dasar bagi validnya data populasi dan keterangan yang akan dikoleksi. Kegiatan survai dilakukan selama 35 hari kalender pada rentang waktu empat bulan, dimulai sejak bulan April hingga Agustus 2003.
NOT TO BE CITED WITHOUT CONSULTATION OF AUTHORS
2
Detailed results of S. verrucosus survey—in Indonesian
DATA WAWANCARA PROPINSI BANTEN & JAWA BARAT Kabupaten Pandeglang (1) Bpk. Dede Sugandi. 50 thn. Jagawana. Taman Nasional Ujung Kulon. Kabupaten Pandeglang. Sejak bekerja sebagai Jagawana mulai tahun 1983 dan semasa mudanya, keberadaan babi kutil tidak pernah terdengar dan tidak pernah terlihat. Yang ada hanyalah babi hutan biasa yang berwarna hitam, dengan bulu agak panjang berdiri di bagian punggung dan disepanjang pipi ada bulu berwarna putih membentuk garis lurus dari telinga ke pipi. Oleh masyarakat sekitar biasa disebut bagong. Berat badan hanya sekitar 35-50 kg, dalam satu kelompok hanya 3-8 ekor. Bagong dijumpai disekitar G. Honje, daerah semenanjung Ujung Kulon dan di zona inti. Selain itu dijumpai pula di P. Peucang dan P. Panaitan, tetapi tidak ada bagong di P. Handeuleum. Hasil penelaahan terhadap file laporan di kantor Taman Nasional juga tidak mengindikasikan adanya laporan-laporan yang menyebutkan keberadaan babi kutil. Umumnya file yang dilihat adalah dari tahun 1970 kesini. Kesimpulan: Sus scrofa (2) Bpk. Adji Santoso, 35 thn. Staf WWF Proyek Taman Nasional Ujung Kulon. Labuhan. Kabupaten Pandeglang. WWF Indonesia Program telah melakukan foto trapping sejak tahun 1999 hingga 2003 dengan tujuan untuk mendokumentasikan populasi badak Jawa (Rhinoceros sondaicus). Foto trap diletakkan di habitat dimana badak kemungkinan besar berada, meliputi sekitar 70% dari kawasan yang ada di semenanjung Ujung Kulon, termasuk zona inti. Juga di kawasan Gn. Honje yang meliputi sekitar 30% area. Hasil dari foto trap selama empat tahun diperoleh setidaknya 115 foto yang menangkap keberadaan babi hutan. Namun hasil identifitkasi menunjukkan tidak adanya babi kutil. Dari hasil foto menunjukkan berat badan babi berada pada kisaran 40-50 kg dan sedikit sekali yang berbobot > 50 kg. Sekitar 60% dari poupulasi yang terfoto adalah jantan dan individual. Terkecuali beberapa foto yang menunjukkan kelompok babi berjumlah lima ekor. Kesimpulan: Sus scrofa Kabupaten Rangkasbitung (3) Bpk. Abah Hj. Sudin, 65 thn, Koordinator pemburu, Petani, Kp. Padarame, Ds. Sukanegara, Kecamatan Gunung Kancana, Kabupaten Rangkasbitung. Di Desa Sukanegara telah ada organisasi pemburu babi yang disiapkan oleh aparat Desa. Organisasi ini telah berdiri sejak 40 tahun yang lalu, walau pernah vakum selama 1 tahun di tahun 1998. Jumlah pemburu per kelompok sekitar 13 orang dengan 4-6 anjing pemburu dan menggunakan senapan buatan sendiri. Babi diburu karena menjadi hama tanaman ladang berupa jagung, kacang tanah, singkong dan juga sawah. Perburuan dilakukan setiap hari Selasa dan dimungkinkan mendapatkan 1-3 ekor babi. Tetapi sejak 2 tahun terakhir bisa 0-3 ekor. Hasil tangkapan tidak diberikan kepada anjing tetapi diambil oleh penduduk “Baduy luar” atau dilakukan barter dengan hasil bumi masyarakat Baduy luar. Penduduk Baduy luar dikenal senang sekali makan babi liar, selain dari monyet. Oleh sebab itu pada setiap perburuan pasti ada penduduk Baduy luar yang turut serta. Namun ada berita bahwa penduduk Baduy dalam tidak memakan daging babi. Jarak perjalanan ke lokasi perburuan saat ini antara 1-3 jam, dengan daerah sebaran babi yang diburu berada di Gn. (bukit) Bukit Muncas, Gn. Pasir Waluh, Gn. Awijajar, Gn. Palu, Gn. Santri dan Bukit Leuncang. Babi menurut yang bersangkutan ada dua jenis :
NOT TO BE CITED WITHOUT CONSULTATION OF AUTHORS
3
Detailed results of S. verrucosus survey—in Indonesian
a. b.
babi (bedul) pelengking, berwarna kulit kemerahan hitam, berukuran kecil 20-40 kg bedul hideung, dan yang telah sangat tua akan ada warna semacam keputihan/pirang dengan berat badan bisa mencapai 100 kg, umumnya 40-60 kg. Sangat khas karena memiliki benjolan (gagadungan) di pipi kanan kiri dan muka dan terkenal sangat galak, berani menyerang manusia dan anjing pemburu.
Kehidupan kedua jenis babi bisa terlihat bersama-sama. Dahulu satu kelompok bisa mencapai 40 ekor, dengan babi gagadungan ada antara 2-3 ekor dalam kelompoknya. Tetapi sekarang hanya 4-5 ekor babi hitam dan tidak terlihat lagi babi gagadungan sejak dua tahun yang lalu. Musim berahi, dicirikan dengan banyaknya suara pejantan terdengar, dan biasanya banyak terjadi perkelahian antar pejantan yang terjadi antara bulan Mei-Juni. Anak yang lahir sekitar 6 ekor. Untuk membedakan antara kedua jenis ini biasanya melihat pada taring yang besar dan adanya benjolan dimuka sebagai ciri babi gagadungan. Ada perasaan bahwa babi saat ini banyak berpindah lokasi, salah satunya karena tingkat perburuan yang rutin. Bila telah terjadi perburuan besar-besaran, maka babi akan pindah ke Desa tetangga ke Kecamatan Cileles sekitar Ds. Kebancen, Kujangsari. Tengkorak tidak didapat, sebab biasanya orang Baduy luar membelah kepala babi dan membuangnya, untuk kemudian dimakan oleh babi liar. Kesimpulan : Sus scrofa dan Sus verrucosus Kabupaten Lebak (4). Bpk Arsa. ? thn. Kp. Cilajim, Ds. Cipeundeuy, Kecamatan Malingping, Kabupaten Lebak. 15 km dari pasar Malingping, tempat timbunan kayu Perhutani, depan SD Madrasah. Tidak sempat bertemu dengan yang bersangkutan tetapi sempat berbicara dengan istri dan anaknya. Babi sudah 6 bulan tidak diburu karena anjing yang ada di Desa (6 ekor) semuanya mati terkena racun babi yang disebar oleh Desa tetangga, Desa Mekatjaya, Kecamatan Cijato. Racun dibuat dari telur asin dicampur dengan racun hama tanaman. Babi dengan muka berbintil memang dahulu suka dijumpai, tetapi sekarang jarang dilaporkan (terakhir terlihat tahun 1999). Dulu perburuan dilakukan dengan cara memasang perangkap di jalur babi dan ditembak. Kesimpulan : Sus scrofa dan Sus verrucosus (5). Bpk. H Muhammad, 55 thn. Petani, pemburu, Kp. Cilajim, Ds. Cipeundeuy, Kecamatan Malingping, Kabupaten Lebak. 15 km dari Pasar Malingping, tempat timbunan kayu Perhutani. Babi diburu karena menjadi hama bagi petani dan kadangkala ada orang Cina untuk mengajak berburu dengan senapan. Tetapi kedatangan penembak Cina tidak ada lagi sejak 2 tahun terakhir. Racun yang dibuat adalah dari racun tanaman merek “Kolater” yang dicampur dengan telur asin. Babi bisa merusak ½ ha ladang singkong dalam satu minggu. Ketika anjing masih ada perburuan dilakukan setiap hari Minggu atau begitu terlihat ada bekas kunjungan babi. Menurut yang bersangkutan jenis babi ada dua : a. b.
babi biasa dengan warna hitam, berat maksimal 80 kg, muka rata dengan satu kelompok saat ini sekitar 6 ekor. Dikenal dengan sebutan bagong. babi hitam tipis dengan mukanya ada bintil bintil besar (benjol) didaerah pipi dan muka serta hidung. Sangat besar, bisa mencapai 100 kg, tetapi ada yang hanya 50 kg, lebih galak dari yang biasa, dan hidup lebih menyendiri. Keberadaannya saat ini sudah sangat jarang. Dikenal dengan sebutan banen.
Kedua jenis babi ini kadang-kadang sering bertemu tetapi tidak bisa dilihat bagaimana ukuran babi betina yang besar. Musim kawin sekitar bulan April-Mei. Tidak ada tengkorak. Banyak babi hasil buruan yang diminta oleh penduduk Baduy luar. Penduduk Baduy luar juga berburu babi, tetapi lebih banyak mengikuti para pemburu.
NOT TO BE CITED WITHOUT CONSULTATION OF AUTHORS
4
Detailed results of S. verrucosus survey—in Indonesian
Sejak tidak ada kegiatan perburuan terasa sekali gangguan di huma/ladang sangat meningkat dan frustasi. Mereka sangat mengharapkan bantuan pemerintah untuk membasmi babi tersebut. Kesimpulan : Sus verrucosus & Sus scrofa. Jakarta (6). Kebun Binatang Ragunan, Jakarta.Kedatangan babi Sus verrucosus di Kebun Binatang Ragunan tidak begtu jelas kapan, mengingat keeper yang ada saat ini baru mengurus sekitar 6 bulan dan telah berpindah tangan ke tiga keeper. Dari hasil wawancara dengan keeper ke dua diperkirakan setidaknya babi kutil telah ada di Kebun Binatang Ragunan sekitar tahun 1994/1995, dengan jumlah sepasang. Informasi terbatas menyatakan babi ini berasal dari Kebun Binatang Surabaya, tetapi harus di konfirmasikan kembali dengan log book yang ada serta apakah mereka satu darah. Juga perlu dikonfirmasi untuk betina apakah murni verucosus atau hybrid dengan scrofa. Nama daerah yang dicantumkan dalam plakat informasi pengunjung untuk Sus verrucosus adalah babi kutil. Kedua ekor babi ditempatkan dalam kandang bundar, dibelakang kandang eksebisi, berbentuk lingkaran seluas kurang lebih 300 m2, dengan tembok setinggi 2-3 meter. Didalamnya terdapat satu buah pohon yang cukup rindang yang dapat berfungsi sebagai naungan, selain adanya kandang naungan di satu sisi. Lantai berupa tanah dimana ada bagian yang cukup becek (9 m2) dan bagian lain termasuk kering. Disatu sudut merupakan tempat pemberian pakan khusus daging dan disudut lainnya tempat pemberian pakan sayuran. Pemberian pakan dilakukan dalam bentuk buah-buahan seperti pisang, umbi dan sayuran, telah dalam bentuk tercacah. Kadangkala dilakukan pemberian rumput gajah muda. Selain itu dilakukan pula pemberian daging mentah yang merupakan sisa dari makanan harimau/singa yang berada di kandang karantina. Ini menandakan bahwa umur daging yang diberikan telah lebih dari 24 jam saat diberikan pada babi. Jenis daging sisa dapat merupakan daging celeng, yang didatangkan dari Lampung, juga dapat berupa daging sapi, kangguru atau kuda, tergantung apa yang diberikan pada harimau. Tidak dilakukan penimbangan terhadap pemberian pakan, tetapi berupa ukuran “pengki” antara 2-3 pengki, sehari 3 kali, selain dari sisa daging sehari sekali atau tergantung ketersediaan sebagai sisa. Melalui cara pemberian pakan ini terlihat sekali kedua babi terlihat dalam kondisi sangat gemuk. Berat badan untuk keduanya diperkirakan lebih dari 80 kg. Dari pendekatan reproduksi diperoleh keterangan bahwa selama berada di Kebun Binatang Ragunan babi ini baru sekali bunting, tetapi anak mati setelah beberapa hari tanpa sebab yang jelas. Hal ini terjadi tahun 1997/1998. Sejak saat itu tidak terlihat lagi kebuntingan ataupun jantan melakukan kopulasi. Melihat dari kondisi fisik babi tampak sehat, namun termasuk sangat gemuk untuk suatu kondisi siap kawin dan menghasilkan anak. Hingga saat ini belum dilakukan suatu usaha stimulasi untuk kebuntingan. Selain dari babi kutil, ada juga babi jawa biasa (celeng) Sus scrofa, sepasang. Untuk babi ini, walau telah berada 6 tahun lebih, tercatat baru tiga kali melahirkan anak. Pada saat kunjungan induk tengah mengasuh 5 ekor anak babi (umur 3 bulan) dengan jumlah awal anak yang lahir mencapai 7 ekor, namun 2 ekor mati pada umur 1 minggu oleh karena terkaman pejantan. Luas total kandang babi ini sekitar 40 m2 yang terbagi sama besar, satu bagian untuk pejantan dan bagian lain untuk induk dan anaknya, sehingga terlihat sempit untuk induk dan anak babi sebanyak itu. Dibandingkan dengan babi kutil betina, babi celeng betina 30% lebih kecil, dan yang jantan celeng sekitar 25% lebih kecil. Warna kulit dan bulu hitam pekat. Kesimpulan : Sus scrofa & Sus verrucosus
NOT TO BE CITED WITHOUT CONSULTATION OF AUTHORS
5
Detailed results of S. verrucosus survey—in Indonesian
Gambar 1. Sus verrucosus jantan dan betina (?) di Kebun Binatang Ragunan (Foto: G.Semiadi). Kabupaten Sukabumi (7). Bp. Asep Uber (41 thn), petani dan pemburu. Kp. Pasir Kole, Ds. Curugluhur Kecamatan Sagaranten, Kabupaten Sukabumi. Di Ds. Curug Luhur telah lama dilakukan perburuan rutin setiap hari Selasa, yang melibatkan masyarakat desa, berjumlah 20-50 orang. Namun demikian perburuan sendiri (3-5 orang) juga dilakukan secara insidentil. Alat berburu berupa “senapan cuplis” (lokal), tumbak dan anjing (10-20 ekor). Habitat babi yang disukai adalah daerah bersemak yang dekat dengan huma/ladang tumpangsari dengan tanaman hutan setempat. Intensitas perburuan meningkat menjadi 2 kali per minggu saat penanaman hingga panenan dilakukan. Namun demikian sangat jarang memperoleh babi hasil perburuan. Satu bulan hanya mendapatkan 1-5 ekor babi. Babi yang tertangkap biasanya langsung menjadi makanan anjing dan sisanya ditinggalkan di ladang. Ada pendapat yang menyatakan keberadaan daging babi di ladang menjadi deterent babi yang lain, walau pada akhirnya daging babi yang tersisa sebenarnya habis dimakan oleh kelompok babi juga. Nama lokal babi hitam adalah Bagong. Lokasi perburuan sekitar 2 jam perjalanan yang merupakan hutan rakyat dengan tanaman tumpangsari berupa kacang tanah, ketela pohon, jagung dan padi gogo. Tingkat kerusakan yang dilakukan kelompok babi sekitar 100 m2/ malam dengan cara menggaruk perakaran tanaman dan tanah sekitar. Pada kebun pisang biasanya dilakukan pengerukan perakaran dengan maksud mencari cacing, hingga pohon pisang rebah. Hal ini biasa disebut sebagai nyacing. Tempat sarang babi disebut sudung. Menurut yang bersangkutan didaerahnya didapat dua kelompk babi, yaitu a. b.
babi hitam kecil, hanya 40-60 kg, disebut bagong. Jumlah anggota kelompok babi hitam adalah 215 ekor dengan jumlah anak sekitar 3-5 ekor. babi berbadan besar yang biasanya mempunyai bintil-bintil disekitar bawah mata, telinga dan diatas hidung, dengan berat badan dua kali lipat babi hitam. Bintil yang ada di bawah telinga biasa disebut sebagi “gagadungan” dan babi yang memiliki bintil disebut “banen” atau “babi gagadungan”. Ciri khas dari banen adalah biasanya termasuk babi yang telah dewasa, dengan berat diatas 60 kg. Warna bulu agak keputihan/pirang, dada putih/terang.
Dilaporkan sejak dahulu kala jenis babi banen memang ada, tetapi termasuk cukup jarang tertangkap. Relatif ketika di SD (30 tahun yang lalu), populasi babi secara keseluruhan masih sangat banyak, terutama
NOT TO BE CITED WITHOUT CONSULTATION OF AUTHORS
6
Detailed results of S. verrucosus survey—in Indonesian
yang hitam. Dalam sekali perburuan dapat mencapai 20-30 ekor, tetapi saat ini sangat sedikit. Perburuan lebih ditekankan agar babi tidak terlalu sering menyerang tanaman. Hasil perburuan hanya 0-2 ekor/perburuan, dan itupun yang hitam. Telah lebih dari 5 tahun tidak pernah lagi berjumpa atau mendapatkan hasil buruan banen. Tetapi yang bersangkutan berkeyakinan masih ada di hutan rakyat, karena masih suka ada laporan dari anggota pemburu lain. Banen dipercaya hanya berupa babi jantan. Sifatnya sejak dahulu terkenal sangat galak bila dibandingkan dengan babi hitam. Perbedaan badan dengan babi hitam sangat mencolok demikian pula dengan warnanya. Sifatnya soliter, sangat jarang bersatu dengan kelompok babi lainnya. Kalaupun terlihat bersatu dengan babi hitam, hanya di saat musim kawin. Menurut laporan yang bersangkutan daerah babi banen semasa kecil dan hingga sekarang yang dirasakan masih ada adalah selain di desanya, juga di Ds. Bangbayang dan Nangela, Kecamatan Tegalbuleud, serta beberapa desa di Kecamatan Cidolog, Kabupaten Sukabumi. Kesimpulan : Sus scrofa & Sus verrucosus (8) Bpk. Oden, 43 thn, petani, pemburu. Ds. Bangbayang, Kecamatan Tegalbuleud, Kabupaten Sukabumi. Perburuan babi dilakukan karena statusnya sebagai hama. Wilayah perburuan hingga ke Desa Cilantung. Diketahui ada dua jenis babi di wilayahnya, yaitu : a. b.
babi hitam/biasa, dengan berat badan 30-50 kg dengan jantan dan betina tidak jauh berbeda berat badannya. babi banen (dewasa; mentet= kecil) dengan warna bulu kemerahan/pirang, memiliki benjol-benjol di muka, bawah telinga. Entah mengapa babi banen ini cenderung hanya ada pada yang jantan dan belum menemukan pada yang betina. Babi ini termasuk babi yang sangat besar, jauh lebih besar dari yang hitam serta sangat galak. Termasuk babi yang berat, dapat mencapai 50-75 kg.
Pada tahun 1980 satu kelompok babi hitam dapat mencapai 30-40 ekor anggota, tetapi saat ini hanya mencapai 1-5 ekor saja. Sejak tahun 1990an Pak Oden sudah tidak menemukan lagi babi banen, walau dia percaya babi ini masih ada. Beberapa sifat/perilaku dari kedua jens babi ini adalah untuk babi hitam selalu menghindar dari para pemburu, dengan lari lurus tidak bisa berbelok secara mendadak. Sedangkan untuk babi banen larinya bisa sedikit membelok (agak zigzag) dan terkenal suka melawan pemburu dan anjing. Dikenal sebagai babi yang lebih lincah saat berlari dan membela diri. Kecenderungan dari babi banen, mungkin karena berat badannya sehingga tidak kuat lari jauh, maka sering berbalik arah menunggu lawan (anjing, manusia) mendekat untuk kemudian mengejar/ melawan. Sehingga pada zaman dahulu banyak kasus babi banen mudah untuk dikepung oleh anjing. Mungkin oleh karena sifat tidak mampu lari lama dan berani melawan, menjadikan babi ini sangat mudah untuk diburu dibandingkan dengan babi hitam. Dalam hal hidup bersosial, memang suka melihat babi besar (banen??) bersama sama dengan babi hitam, terutama saat menyerang huma dimusim kemarau. Wilayah perburuan semasa kecilnya cukup berjalan selama ½ jam telah masuk ke areal perburuan, tetapi saat ini perlu jarak jalan kaki hingga 7 km untuk memulai aktifas perburuan. Saat ini masih cukup banyak didapat babi hitam di Ds. Cilantung. Kesimpulan : Sus scrofa & Sus verrucosus (9) Bpk “Apeng” Kusnadi. 51 thn. Kepala Resot Suaka Margasatwa Cikepuh. Ds. Gunung Batu, Kecamatan Ciracap. Kabupaten Sukabumi. SM Cikepuh adalah kawasan lindung, dimana pada tahun 1999 sebanyak 4000 ha dirambah, tetapi sejak April 2002 perambah telah berhasil diusir keluar. Dalam kawasan SM ada juga Cagar Alam Cibanteng seluas 447 ha. Disekitar kawasan SM dikelilingi oleh perkebunan besar swasta terdiri atas kelapa dan cacao seluas 2400 ha, selain dari kebun masyarakat. Pada kawasan kebun swasta ini sekitar 25%nya terdapat kegiatan tumpang sari oleh masyarakat sekitar dengan jenis tanaman jagung, padi gogo, ketela pohon dan NOT TO BE CITED WITHOUT CONSULTATION OF AUTHORS
7
Detailed results of S. verrucosus survey—in Indonesian
kacang tanah. Mengingat tanah masyarakat (ladang) berbatasan dengan SM, keberadaan babi disini dapat dikatakan cukup tinggi, karena dipercaya SM merupakan tempat tinggal babi dan malam hari pergi mencari makan ke ladang penduduk. Adanya perburuan babi selain dari statusnya sebagai hama juga karena ada penadah daging babi liar disekitar SM. Oleh sebab itu perburuan babi di Desa tersebut banyak dilakukan, hampir setiap hari. Hasil perburuan adalah antara 0-2 ekor. Satu kelompok pemburu sekitar 5 orang dengan bantuan 2-3 anjing. Rataan berat babi hidup yang ditangkap adalah 30-60 kg, semuanya berwarna hitam. Kegiatan perburuan oleh PERBAKIN terakhir kali dilakukan pada tahun 2000 dan belum ada lagi kegiatan. Diketahui ada tiga jenis babi di wilayah ini : a. b. c.
babi hitam dengan mulut monyong, merupakan kelompok dengan populasi yang terbanyak, sekitar 5-10 ekor/kelompok, berat 20-30 kg. babi dengan mulut yang lebih besar, ternasuk agak jarang dengan berat sekitar 40-60 kg, warna bulu juga hitam, per kelompok 2-5 ekor babi “gadung” yang dicirikan dengan adanya benjolan dibawah telinga dan bawah mata. Termasuk jenis yang berbadan besar (60-70 kg), tetapi sejak tahun 1995an sudah sangat jarang tertangkap. Satu kelompok hanya 1-2 ekor saja dengan sebaran saat ini adalah di blok SM Bentangangin dan Batumasigit. Umumnya hidup di rawa-rawa/berkubang. Selain itu suka diketahui berada di sepanjang teluk Ciletuh dan untuk di luar kawasan konservasi dijumpai di Gn. (Bukit) Arca, Gn. Rangkong dan Gn. Sentul.
Ketiga jenis babi ini selalu hidup terpisah, tetapi ada laporan di musim kawin (Juni) semuanya sering terlihat bergabung. Babi gadung diketahui sebagai raja babi dan selalu menjadi pemimpin dalam rombongan di saat musim kawin. Babi hitam dan mulut lebar banyak dijumpai di daerah yang cukup padat oleh tumbuhan pisang. Tingkat kerusakan oleh gerombolan kelompok babi ini bisa mencapai 1200 m2 dalam satu minggu. Walau babi gadung sudah jarang terlihat, diyakini di dalam kawasan SM masih memungkinkan untuk mendapatkan jenis babi ini. Tetapi dari hasil perburuan di luar kawasan tidak pernah lagi mendapatkan babi gadung sejak 8 tahun ini. Secara keseluruhan semua babi liar disebut “celeng”. Pemburu lainnya yang dikenal adalah Bpk. Anwar, Bpk. Timo di Ds. Kebonwaru dan Bpk. Acun di Ds. Gn.Batu. Teknik berburu adalah dengan kepungan anjing dan senapan, walau dahulu (1990) masih ada yang mengunakan racun dicampur telur. Kesimpulan : Sus scrofa & Sus verrucosus (10) Bpk. Rudi Waro, 70 thn, Pengumpul babi hutan & petani. Kp. Karangsari, Ds. Gn. Batu, Kecamatan Ciracap, Kabupaten Sukabumi. Telah melakukan kegiatan pengumpulan daging babi liar sejak 40 tahun yang lalu dengan dalih melihat banyaknya pemburu babi saat itu yang meninggalkan begitu saja daging babi hasil buruannya. Sebagai orang Menado yang kenal dengan kelompok masyarakat yang memakan daging babi timbul naluri bisnis untuk menjadi penampung daging buruan. Oleh sebab itu, dimasa jayanya perburuan banyak dilakukan karena ada penampung, dimana setiap hari orang mengirimkan antara 2-5 ekor babi dengan jumlah pengirim 5-8 orang/minggu. Saat ini paling-paling seminggu hanya ada 1 ekor yang menjual. Untuk pemasaran dilakukan dalam 2 kelompok, untuk konsumsi manusia daging diasap terlebih dahulu dan untuk peternakan anjing dalam bentuk daging segar. Semuanya dikirim ke Jakarta. Asal pemburu yang datang cukup jauh, hingga ke Kecamatan tetangga, seperti dari Ds. Ciemas. Pembelian daging babi oleh yang bersangkutan berbentuk karkas yang masih terbungkus kulit tetapi tanpa kepala, kaki bawah, dan jeroan, yang saat ini dihargai Rp.2000-Rp.3000/kg. Menurut pandangan Pak Rudi, hanya ada dua jenis babi, yaitu : a.
babi hitam yang kecil dengan berat hidup rata-rata 20-40 kg
NOT TO BE CITED WITHOUT CONSULTATION OF AUTHORS
8
Detailed results of S. verrucosus survey—in Indonesian
b.
babi “gadung” dengan berat hidup mencapai 90 kg, bahkan ada mencapai 150 kg. Warna kulit dari babi gadung adalah coklat kemerah-merahan, dengan sifat perkulitan lebih tipis dibandingkan dengan babi hitam.
Namun sejak lima tahun yang lalu pak Rudi sudah tidak pernah lagi dibawakan babi gadung oleh pemburu. Memang tingkat hasil buruan babi saat ini terasa sekali menurun, tetapi hal ini lebih dikarenakan oleh jumlah pemburu yang semakin menurun dan tidak ada regenerasi. Mungkin karena pendidikan agama semakin baik sehingga banyak pemburu babi yang sengaja meninggalkan pencarian nafkah tambahan lewat menjual daging babi. Sejak menurunnya jumlah pemburu “komersil” yang berburu untuk dijual dagingnya, belum ada kelompok pemberantas babi baru yang hadir dan ini bagi pemilik huma dirasakan semakin banyaknya serangan babi hutan. Daerah sebaran babi yang cukup banyak dahulu adalah di Ds. Tegalubud, Mereleng dan Ciemas (kebun teh). Sifat babi gadung adalah sendirian dan hanya yang jantan yang punya bentol-bentol. Tetapi dalam serangan berkelompok babi gadung suka terlihat diantara rombongan 10-12 ekor dengan semua jenis babi. Berkumpulnya semua babi untuk kawin terlihat disekitar bulan Pebruari-Maret. Ciri khas daging babi liar yang hitam adalah banyak lemak dibandingkan dengan babi gadung. Selain itu dalam berburu ada dua cara, yang hitam harus dalam bentuk diintip sedangkan menghadapi yang gadung harus dengan bantuan anjing dan dikejar. Habitat babi gadung lebih menyukai tegalan, alang-alang dan semak belukar. Nama lain dari babi hitam adalah celeng, begu, bagong, begigi. Babi hitam banyak menyukai wilayah perkebunan kelapa sawit, karena memakan buah-buhan kelapa sawit yang banyak minyak. Betina babi hitam dapat melahirkan anak antara 9-10 ekor. Kesimpulan : Sus scrofa & Sus verrucosus (11). Bpk. Rudi & Pak Herman (?) Ds. Ciemas (dekat pasar, terminal bis, rumah diatas bukit), Kecamatan Jampang Kulon. Kabupaten Sukabumi. Tidak sempat bertemu karena telah pergi pagi-pagi dengan pemburu lain. Hasil wawancara dengan istrinya diketahui daerah kesukaan berburu pak Rudi adalah di Ds. Cikaso dan sepanjang sungai Cikaso, di Kecamatan Jampang Kulon. Juga di Desa Girimukti cukup banyak babi. Tidak tahu jenis babi. Berburu dilakukan dengan senapan melalui dua cara : a. b.
Ngabelor = menggunakan lampu sorot Ngintip = menunggu babi lewat dengan duduk diatas pohon atau bersembunyi diantara semak
Kesimpulan : Sus scrofa (12). Bpk. Enjal. 48 thn. Pegawai Perkebunan PTPN VIII Ciemas, Ds. Ciemas, Kecamatan Jampang Kulon. Kabupaten Sukabumi. Babi yang dijumpai hanya satu jenis yaitu yang hitam, bermuka rata. Berat hidup antara 40-70 kg dan selalu menjadi hama bagi para petani dan perkebunan kelapa yang masih anakan. Kawasan PTPN mencapai 1800 ha tetapi saat ini baru 20% yang ditanami kebun teh dan sisanya berupa tanah kosong yang dimanfaatkan sebagai huma oleh masyarakat. Tahun depan (2004) direncanakan akan ditanami pohon kelapa sawit. Pada 20 tahun yang lampau (1980), ketika perkebunan masih mempunyai kebun kelapa berumur muda, serangan babi demikian tinggi sehingga pihak perkebunan memberikan insentif kepada masyarakat untuk setiap bukti babi yang terbunuh, dengan membawa ekornya dari sekitar kawasan perkebunan akan dibayar Rp. 5.000, (sangat mahal untuk saat itu). Pada saat itu setiap hari setidaknya ada 10-20 ekor babi yang disetorkan, dan sering dengan jumlah 20-40 ekor. Sejak tahun 1995 serangan babi sudah tidak begitu tinggi lagi, mungkin oleh karena semakin dewasanya tumbuhan kelapa atau babi menyebar ke daerah lain. Kesimpulan : Sus scrofa NOT TO BE CITED WITHOUT CONSULTATION OF AUTHORS
9
Detailed results of S. verrucosus survey—in Indonesian
(13). Bpk Ijan, 40 thn. Buruh tani, pemburu. Ds. Loji (Gn. Buleud), Kecamatan Pelabuhan Ratu. Kabupaten Sukabumi. Alat berburu yang dipakai adalah senapan cuplis dan anjing. Satu kelompok pemburu setidaknya 30-40 orang dengan bantuan anjing mencapai 15 ekor. Hasil buruan yang ditangkap langsung dimakan oleh anjing dan sisanya ditinggalkan. Berat babi sekitar 20-40 kg, berwarna hitam dan bermuka rata. Daerah perburuan babi lainnya adalah sekitar Gn (Bukit) Kacapi, Ds. Cikotor, Ds. Cibutun. Kecamatan Pelabuhan Ratu. Beberapa kali (5 tahun yang lalu) mendapatkan babi jantan seberat 80-100 kg, dengan warna punggung kemerahan, tetapi tidak begitu memperhatikan bentuk mukanya. Kesimpulan : Sus scrofa (14). Bpk. Muksin, 67 thn. Pensiunan Kepala SD, Koordinator Pemburu. Ds. Cikelat, Kp. Cikupa, Kecamatan Cisolok, Kabupaten Sukabumi. Perburuan di Ds. Cikelat telah terorganisir sejak 45 tahun yang lalu, karena demikian tingginya serangan babi terhadap perkebunan huma, sehingga banyak lelaki harus bermalam di huma untuk menjaga serangan babi. Pada jaman dulu huma seluas 500 m2 bisa habis dalam semalam walau huma hanya berjarak 500 meter dari rumah. Saat ini semakin jauh jarak berburu, sekitar 2 jam berjalan. Perburuan dilakukan dengan kelompok pemburu sekitar 20 orang/dusun dan dikepung dari beberapa dusun (minimal 3 dusun) sehingga jumlah pemburu mencapai 60 orang. Perburuan dilakukan setiap hari Minggu dengan menggunakan senapan cuplis, anjing dan kadang-kadang menggunakan porog (jaring khusus untuk menangkap babi dari bahan bambu). Dalam jumlah terbatas dahulu ada yang melakukan dengan cara peracunan lewat campuran racun dengan telur asin. Tetapi karena anjing berburu mereka sering jadi korban, peracunan tidak lagi dipakai sejak 5 tahun yang lampau. Dalam pandangannya ada dua jenis babi di desanya : a.
b.
babi hitam/babi hutan/bagong, dengan warna bulu hitam, berukuran kecil hingga besar dengan berat maksimal 50 kg, lebih menyukai hutan lebat/hutan masyarakat. Satu induk dapat melahirkan anak antara 9-12 ekor. Dahulu satu kelompok mencapai 30-40 ekor, tetapi sekarang jarang yang mencapai 20 ekor. babi banen/bagong banen/bagong eurih, dengan warna bulu kemerah-merahan, muka banyak benjol, dengan berat antara 40-70 kg, menyukai daerah perkebunan (teh & karet), tegal atau alangalang. Sifat babi ini lebih galak dibandingkan babi hitam dan sering menyerang anjing, tidak tahan lama berlari bila dikejar dan lebih suka membalik arah melawan anjing. Betina banen lebih besar dari babi hitam betina, dan satu induk melahirkan anak hanya mencapai 5 ekor.
Pada 40 tahun yang lampau populasi kedua jenis babi hampir sama, namun saat ini jenis banen sudah sangat jarang tertangkap. Terakhir kali babi banen tertangkap adalah 6 tahun yang lalu (1997) di Kp. Sirnaresmi, Kecamatan Cisolok, Kabupaten Sukabumi. Daerah padat babi hitam saat ini adalah Ds. Bumisari, Ds. Cipapat, Nagrak, Cikupa, Cikelat, Bangbayan, Ciherang, Cibareno, Gn. Keramat.
pemburu menunggu membentuk ½ lingkaran Arah babi lari Anjing mengejar
NOT TO BE CITED WITHOUT CONSULTATION OF AUTHORS
10
Detailed results of S. verrucosus survey—in Indonesian
Gambar 2. Sketsa posisi penangkapan babi liar dengan menggunakan anjing. Diyakini babi banen masih ada saat ini tetapi sangat sedikit. Hal yang diduga menjadi penyebab penurunan babi banen adalah perkebunan yang banyak diregenerasi (dibuka dengan jenis tumbuhan lain tetapi akhirnya terbengkalai sebelum selesai penanaman) dan semakin banyaknya perburuan. Kehidupan babi banen kadangkala terlihat bercampur dengan kelompok babi hitam tetapi sangat jarang terjadi. Teknik perburuan dilakukan sebagai berikut : a. b. c.
jalur babi diidentifikasi anjing mengejar didepan pemburu mencoba menunggu dari arah perkiraan babi akan lari
Kesimpulan : Sus scrofa & Sus verrucosus (15). Bpk. Kadar Mustafa, 60 thn, usahawan Restoran, Pensiun pegawai perkebunan dan pemburu. Warung Kiara. Ds. Bojongsoka, Kecamatan WarungKiara, Kabupaten Sukabumi. Dalam pandangannya ada dua jenis babi: a. b.
babi berwarna hitam, dengan berat 20-70 kg. Muka rata. Banyak dijumpai dimana-mana. Jumlah anak babi mencapai 8 ekor. babi dengan warna keputihan/pirang dibagian punggung dengan berat badan mencapai 100 kg. Muka mungkin rata, jarang memperhatikan muka. Jenis babi ini lebih menyukai daerah perladangan, menjadi hama kebun pisang, singkong dan kacang tanah. Termasuk populasi dengan jumlah yang jarang. Jumlah anak dari induk dengan ukuran besar hanya mencapai 5 ekor. Terkenal dengan siung (canine) yang sangat panjang dan besar mengarah keluar. Sama dengan gambar yang diperlihatkan (verrucosus).
Babi dikenal mempunyai alur jalan yang tetap, tidak akan keluar dari jalan kelompoknya, sehingga mudah untuk memburu, tinggal memperkirakan posisi mereka saat itu. Pada jaman dahulu, satu kelompok babi bisa mencapai 30 ekor, dimana 5 ekor setidaknya mempunyai ukuran tubuh sangat besar. Perburuan saat itu dilakukan dua minggu sekali, dengan hasil sekitar 5 ekor babi. Hasil perburuan akan selalu habis diberikan pada anjing pemburu. Sekarang mendapatkan kelompok babi dewasa dengan jumlah 10 ekor saja sangat sulit. Kesimpulan : Sus scrofa & Sus verrucosus (16) Bpk. Ubay. 56 thn. Petani dan pemburu, penunjuk jalan Perbakin. Ds. Cirahong, Kecamatan Kalapanunggal, Kabupaten Sukabumi (simpang tiga lewat sedikit pasar Kalapanunggal, tempat ojek). Tidak dapat bertemu karena telah pergi mengantarkan anggota Perbakin. Namun dari istrinya didapat informasi bahwa babi yang biasa ditangkap berukuran kecil berwarna hitam, berkisar antara 20-40 kg. Pak Ubay biasa menangkapnya dengan jaring. Nama lokal Bagong. Kesimpulan : Sus scrofa (17). Bpk. Sukimanto, 51 thn. Komandan Satpam PT. Unocal-Pertamina Geotehrmal. Ds. Kabandungan, Kecamatan Kabandungan, Kabupaten Sukabumi. Ketinggian 1,100 dpl. Menurut pandangan yang bersangkutan ada dua jenis babi : a. b.
babi berwarna kemerah-merahan, dengan berat badan 40-50 kg, moncong muka rata babi coklat kehitaman, berat 40-60 kg, moncong rata
Keduanya hidup terpisah dengan ukuran kelompok 1-6 ekor. Lebih banyak dijumpai di daerah pembuangan tempat sampah perusahaan, didalam kawasan hutan dan kadang masuk ke tanah terbuka. Tingkat
NOT TO BE CITED WITHOUT CONSULTATION OF AUTHORS
11
Detailed results of S. verrucosus survey—in Indonesian
pertemuan dengan babi saat ini menurun tajam bila dibandingkan dengan 5 tahun yang lalu ketika pertama datang. Kawasan hutannya adalah 60% hutan, 40% tanah terbuka dan berdampingan dengan kebun teh. Kesimpulan : Sus scrofa (18). Syahrial Anhar Harahap & M Sakaguchi. Pembantu Peneliti & Peneliti JICA-BCP bidang Mamalia di Gunung Halimun National Park. Sukabumi. Sejak tahun 2001 telah dilakukan penempatan 31 camera traps di wilayah Taman Nasional Gunung Halimun dengan maksud untuk memonitor pergerakan macam tutul (Panthera pardus). Kamera ditempatkan pada jalur yang telah teridentifikasi sebagai jalur macam tutul, dari ketinggian terendah 951 m dpl. hingga tertinggi 1830 m dpl. Babi dapat ditemukan mulai ketinggian 951 m dpl. hingga 1280 m dpl. Populasi babi yang terekam terbanyak adalah pada ketinggi 1050 m dpl (8 ekor), tetapi pada daerah tersebut diketahui tidak pernah dilewati oleh macan. Hasil analisa foto menunjukkan bahwa jenis babi yang terdokumentasi adalah Sus scrofa, dengan jumlah jantan 6 ekor, betina 12 ekor dan unidentified 3 ekor. Hanya ada tiga foto yang menunjukkan betina berjalan dalam kelompok 2, 3 dan 4 ekor, sedangkan selebihnya berjalan sendirian. Kisaran berat badan untuk betina dan yang tidak jelas kelaminnya antara 3040 kg, sedangkan jantan antara 40-50 kg. Hanya ada satu foto yang menunjukkan berat badan jantan lebih dari 70 kg. Masa babi terekam terbanyak adalah antara jam 8:00-10:00 dan 12:00-14:00, sedangkan terendah 16:45-19:45. Tidak ada foto babi yang terekam larut malam hari. Dalam hal warna kulit, terlihat adanya variasi warna dari keabu-abuan dengan bulu sedikit hingga yang hitam gelap dibagian punggung, tetapi agak terang di bagian perut. Pada beberapa ekor ada variasi warna bulu bergaris putih agak lebar dari arah bawah telinga ke pipi menuju tengah hidung. Kesimpulan : Sus scrofa Kabupaten Cianjur (19) Bpk. Suparman, 50 th, Kepala Resort Pemangku Hutan (KRPH) Perhutani Cempaka, Desa Cibarengkak, Kecamatan Cempaka, Kabupaten Cianjur. Wilayah hutan Perhutani yang menjadi tanggung jawabnya adalah termasuk Resort Cempaka, yang meliputi sebagian Kecamatan Campaka Mulia, Cempaka dan Sukanegara, Kabupaten Cianjur, dengan total luas lahan 4,000 ha. Jenis tegakkan yang dipelihara adalah pohon rasamala 55% dan pinus 45% (Pinus mercusii). Kesatuan Resot Pemangku Hutan lainnya yang dekat dengan lokasi adalah Resort Cibeber, meliputi Kecamatan Cibeber dan sebagian Cempaka; dan Resort Hanjuwartimur yang meliputi Kecamatan Sukanagara dan sebagian Cempaka Mulia. Perburuan babi yang banyak dilakukan di kawasan hutan Perhutani oleh masyarakat karena sifatnya sebagai hama dengan merusak tanaman ladang mereka yang berupa tumpangsari. Jenis tanaman tumpangsari yang ditanam meliputi padi gogo, jagung, ketelah pohon dan tomat, sedangkan jenis tumbuhan yang paling banyak diserang adalah ketela pohon dan padi gogo. Serangan babi, yang dikenal dengan sebutan daerah bagong, dimulai sekitar pukul 17:00 dan berlangsung hingga subuh. Sangat jarang dijumpai babi menyerang tegalan pada siang hari. Satu kelompok babi berkisar antara 5-10 ekor dengan induk biasanya terlihat diiringi anak sekitar 5-8 ekor. Pada 20 tahun yang lampau jumlah per kelompok dapat mencapai antara 10-20 ekor. Perburuan babi di wilayah ini biasa dilakukan menggunakan anjing, dengan hasil babi yang tertangkap biasanya langsung menjadi santapan anjing dan sisanya ditinggal di ladang. Tidak pernah dilakukan penjualan daging babi hasil buruan. Pada jaman bapaknya (20 tahun yang lalu) masih sering terlihat adanya babi yang berbulu agak seperti warna bule keputihan dengan berat badan dapat mencapai 120 kg. Namun deskripsi mendalam tidak menunjukkan ke arah Sus verrucossus, mengingat yang bersangkutan tidak begitu memperhatikan bentuk mukanya. Melalui penunjukkan foto babi meyakinkan kalau di wilayahnya tidak ditemukan babi Sus verrucosus sebab tidak ada orang yang pernah membicarakannya. Dilaporkan oleh yang bersangkutan bahwa di wilayah Kecamatan Cibeber masih banyak dilakukan perburuan babi selain oleh penduduk juga oleh pemburu kota. Untuk di hutan wilayahnya saat ini hasil perburuan yang diperoleh dengan cara tradisional memang sangat rendah, sekitar 1-2 ekor per perburuan (seminggu sekali), NOT TO BE CITED WITHOUT CONSULTATION OF AUTHORS
12
Detailed results of S. verrucosus survey—in Indonesian
bahkan cukup sering tidak membawa hasil. Jumlah pemburu sekitar 5-15 orang dibantu anjing sebanyak 25 ekor. Sedangkan sekitar 20 tahun yang lalu populasi terasa lebih banyak, dengan hasil 5-10 ekor per perburuan. Hidupan liar yang masih dijumpai di kawasan hutan perhutani di tiga lokasi Resort adalah monyet (Macaca fascicularis) dan surili (Presbytis comata). Hasil wawancara mengindikasikan bahwa selama 15 tahun sebagai pemburu di wilayah pekerjaannya, hanya ditemukan babi dari jenis Sus scrofa. Walau demikian yang bersangkutan mendeskripsikan adanya dua jenis babi liar disekitar kawasan hutan Perhutani, yaitu : a. b.
yang keputihan dengan berat mencapai 120 kg, muka rata sama seperti babi hitam kecil babi hitam dengan berat antara 25-80 kg, muka rata tidak ada benjolan di sekitar muka.
Kesimpulan : Sus scrofa (20) Bpk. Ayub, ? thn. Petani. Pemburu lokal. Desa Cibarengkak, Kecamatan Cempaka, Kabupaten Cianjur Dekat dengan kantor Perhutani. Tidak berhasil dijumpai saat itu, sedang di ladang, sekitar 1 jam perjalanan. (21) Bpk Eman, 35 thn, petani dan pemburu babi (7 tahun). Kampung Kebon Sereh, Desa Margaluyu, Kecamatan Tanggeung, Kabupaten Cianjur. Yang bersangkutan memelihara seekor babi hutan betina (Sus scrofa) berumur sekitar lima bulan dan telah dipelihara selama tiga bulan. Dilaporkan bahwa di Kecamatan Tanggeung hanya ditemukan satu jenis babi berwarna hitam, kecil dengan berat antara 40-50 kg. Ukuran jantan hanya sedikit lebih besar dari yang betina. Perjumpaan dengan babi yang berukuran sangat besar belum pernah terjadi. Satu kelompok babi berkisar antara 4-6 ekor dengan jumlah anak babi yang lahir hanya 6-8 ekor. Populasi babi yang terasa agak banyak adalah disekitar Gunung (bukit) Gebur dan Gn. Subang, 10 km dari Kampung Kebon Sereh. Jarak perburuan yang terdekat adalah sekitar 2 jam perjalanan. Perburuan oleh penduduk kampung Kebon Sereh dilakukan secara rutin setiap hari Minggu dengan mengerahkan 20-50 orang penduduk dan bantuan 10-15 ekor anjing. Masyarakat memburu babi karena menjadi hama padi huma, kacang tanah dan ketela pohon. Tingkat keberhasilan perburuan sangat rendah antara 0-2 ekor, namun setidaknya walau tidak berhasil mendapatkan babi dengan cara perburuan berkelompok ini cukup menurunkan tingkat serangan babi selama 3-6 hari kemudian. Hasil babi yang tertangkap langsung menjadi santapan anjing dan sisanya ditinggalkan di ladang. Sisa babi mati yang ditinggal akan habis dimakan oleh babi yang ada sehingga tidak pernah terlihat adanya sisa-sisa tengkorak dibekas perburuan. Babi lebih menyukai hutan mahoni (Swietenia mahogani & S. macrovilla) Sarang babi disebut sudung, terbuat dari kumpulan ranting, daun dan rumput kering serta tumbuhan semak kering. Luas sarang mencapai 2-3 m2, dengan ciri dalam keadaan kosong akan terlihat menggelembung dan saat berisi induk dan anak akan terlihat kempes. Satwa liar yang sering dijumpai saat berburu adalah monyet, surili (Presbytis comata; Grizzled-leaf monkey) dan lutung (Trachypithecus auratus; Silver-leaf monkey). Kesimpulan : Sus scrofa (22) Bpk. Uba, 50 thn, petani, pemburu. Kampung Kebon Sereh, Desa Margaluyu, Kecamatan Tanggeung, Kabupaten Cianjur. Sejak dua tahun yang lalu tidak begitu aktif lagi berburu, setelah sekitar 20 tahun melakukannya. Jenis babi yang dijumpai hanya satu jenis, berwarna hitam dengan berat badan sekitar 25-40 kg, dan perbedaan jantan dengan betina tidak begitu besar. Dari pengalaman terakhirnya (thn 2000), dinyatakan bahwa perburuan di daerah Gn. Geber akan menghasilkan babi yang lebih banyak (3-4 ekor/perburuan) dibandingkan dengan berburu di daerah hutan sekitar kampung Karang Sereh (1-2 ekor/perburuan). Dirasakan bahwa walau populasi babi saat ini untuk sekitar Kampung Sereh jauh lebih berkurang dibandingkan dengan 10 tahun yang lalu, namun kerusakan yang ditimbulkan tetap merugikan dan diyakini turunnya populasi babi hanya NOT TO BE CITED WITHOUT CONSULTATION OF AUTHORS
13
Detailed results of S. verrucosus survey—in Indonesian
karena mereka berpindah lokasi ke sekitar pegunungan (perbukitan) di kawasan hutan Perhutani. Ini karena perladangan di kawasan hutan Perhutani semakin meluas dibandingkan dengan 10 tahun yang lalu. Kesimpulan : Sus scrofa (23). Bpk. Itang Suherman, 52 thn, Kepala Resort Pemangku Hutan Perhutani Cipandak, Kec. Cidaun. Kabupaten Cianjur. Kawasan RPH Cipandak merupakan kawasan hutan jati dengan umur pohon 10-15 tahun. Total luas kawasan mencapai 1.439 ha meliputi wilayah Desa Cempaka, Gegerbitung, Warung Kondang dan Cidaun. Babi yang berada di kawasan hutan RPH Cipandak semuanya adalah babi hitam, walau menurut yang bersangkutan ada dua jenis babi, yaitu a. b.
babi (bagong) hitam yang kerdil dengan berat badan 20-40 kg babi berbadan panjang dan ramping dengan berat badan 45-60 kg.
Tidak pernah dijumpai adanya babi dengan muka yang berbisul. Perburuan babi yang dilakukan masyarakat umumnya karena serangan sebagai hama pada ladang mereka. Perburuan sepanjang masa dilakukan 1-2 minggu sekali sebagai hiburan/kesenangan dan hanya dilakukan oleh 2-5 orang pemburu. Selama berburu menggunakan anjing dan alat tumbak, serta kadang-kadang senapan buatan lokal. Tetapi menjelang panenan (20-30 hari sebelumnya) biasanya dilakukan perburuan rutin besar-besaran oleh anggota masyarakat dalam bentuk group 30-50 orang, 1-2 kali perminggu. Namun hasil yang diperoleh hanya 1-2 ekor saja, dan langsung habis dimakan oleh anjing pemburu. Bila tidak dilakukan penanaman maka tidak dilakukan perburuan apapun yang terorganisir. Satu kelompok babi di musim basah dapat mencapai 10 ekor, dimana pada musim kemarau hanya berkisar 2-5 ekor/kelompok. Keberadaan babi di hutan jati (Tectona grandis) mudah dideteksi dengan keberadaannya di daerah yang becek-becek, huma, tetapi menjelang kemarau tiba, babi tampaknya bermigrasi entah kearah mana. Tetapi yang pasti di musim kemarau telapak babi banyak terlihat disepanjang kali yang masih basah. Selain ditemukan di wilayah ini, dilaporkan babi hitam banyak ditemukan di RPH Cikondang (1459 ha), yang melupti wilayah berbatasan dengan perkebunan teh Gn. Rasa, Desa Sukamanah, Ds. Cibeureum Pal II dan Ds. Cirahayu. Daerah lain yang diketahui banyak babi adalah di Desa Ciastana, Kecamatan Cidaun. Kesimpulan : Sus scrofa Kabupaten Purwakarta (24). Bpk. Endang. 50 thn. Petani. Desa Solammulya, Kecamatan Pondoksalam, Kabupaten Purwakarta. Kegiatan berburu telah dilakukan selama lebih dari 20 tahun, dan saat ini dilakukan setidaknya seminggu sekali pada hari Minggu dengan maksud sengaja memberantas babi hutan. Dalam 1 kelompok pemburu terdiri atas 8 orang dengan 10 ekor anjing, dengan alat bantu berupa jaring dan tombak. Perburuan saat ini biasa dilakukan di daerah Gunung Leuweung Datar, Desa Guruduk, sekitar 2 jam perjalanan. Juga ke Desa Taringgul, Kecamatan Wanayasa. Jarang didapat babi dalam keadaan hidup, sebab apabila ada babi, anjing akan mengelilinginya, babi diam dan kemudian ditombak. Babi yang mati kemudian diberikan pada anjing untuk dimakan saat itu juga. Satu kelompok babi saat ini paling banyak 8 ekor dewasa.
NOT TO BE CITED WITHOUT CONSULTATION OF AUTHORS
14
Detailed results of S. verrucosus survey—in Indonesian
Gambar 3. Net penangkap babi dari bahan tali plastik (foto: G.Semiadi). Jenis babi yang dijumpai menurut yang bersangkutan ada tiga jenis : a. b.
c.
babi kanyere, dengan ciri warna hitam, moncong lurus, tinggi badan hanya 40 cm, tinggal di alang-alang dengan jumlah 1-2 ekor/keluarga. babi gagadungan, moncong agak lebar/besar tetapi pendek. Di bagian muka banyak tumbuh kutil dan hanya tumbuh setelah babi dewasa. Berat rata-rata 30-60 kg, tetapi yang paling jago bisa mencapai 150 kg. Hanya jantan yang mempunyai gadung, tetapi tidak tahu seperti apa yang betina. Pada tahun 1961 didapat bagong gagadungan dengan berat sekitar 150 kg, tetapi tahun 1990 hanya berat 50 kg. Menyukai hutan alang-alang. Daerah perjumpaan yang agak sering terjadi di Desa Rancadarat, Kecamatan Pondok Salam. Babi ini senang menyendiri dan diyakini saat ini masih ada tetapi sangat jarang sekali, terlebih dengan berat yang besar (>80 kg). Daging tumbuh dan besar adalah berdasarkan pertumbuhan umur. Hidup lebih menyukai menyendiri tetapi dikenal sangat galak dan agresif untuk menyerang anjing. Kuat bertarung lama dengan anjing, sebelum pasrah karena kecapaian. Babi betina dicirikan dengan moncong yang pendek, tulang kaki besar dengan badan bulat. Yang betina sekitar 50 kg beratnya. bagong kotok, muka warna dan ukuran hampir sama dengan babi kanyere, hanya badannya sangat bau menyerupai bau kotoran ayam (tai kotok). Dijumpai disegala bentuk daratan.
Ada pengalaman pak Haji di Desa Cilinga, Ciluenca, Kecamatan Daragdag/Bojong, Kabupaten Subang, memelihara anak babi hitam kanyere dari berat 2 kg hingga mencapai 50 kg hanya sekitar 10 bulan. Kesimpulan : Sus scrofa & Sus verrucosus Kabupaten Subang (25) Bpk. Encen & Muchsin. 58 thn, Petani. Desa Talagasari, Kecamatan Segalaherang, Kabupaten Subang. Kegiatan berburu bersama-sama temannya (3 orang) hanya dilakukan sebulan sekali, karena populasi babi di desanya memang sudah sangat rendah, sehingga lebih hanya sebagai sarana hiburan dan olah raga. Alat yang dipakai adalah anjing (2 ekor), jaring dan tali kopling untuk menjerat leher babi.
NOT TO BE CITED WITHOUT CONSULTATION OF AUTHORS
15
Detailed results of S. verrucosus survey—in Indonesian
Karena perburuan dilakukan dengan anjing dan jerat leher, maka jarang mendapatkan babi yang hidup. Setiap babi yang mati tertangkap sebagian diberikan pada anjing dan sebagian ditinggalkan. Pada tahun 1993 satu kelompok babi bisa mencapai 30 ekor, tetapi sekarang hanya 3 ekor/kelompok. Jenis babi yang ada a. b.
berwarna hitam dengan bentuk muka lonjong dan lurus. Mudah dijumpai di padang alang-alang atau kebun singkong. Berat badan hanya 40-50 kg. babi dengan muka mempunyai daging, berat bisa mencapai 80-120 kg, tetapi sangat jarang sekali. Terakhir kali terlihat tahun 2001 yang ditembak oleh PERBAKIN Bandung.
Kesimpulan : Sus scrofa & Sus verrucosus Kabupaten Bandung (26). Bpk. Ogi Dahma. > 55 thn. Usahawan. Ketua Perbakin wilayah Jawa Barat. Jl. Jakarta 18 Bandung. Di Indonesia menurut versi Perbakin ada empat jenis babi : a.
b.
c.
d.
Babi pantai, babi cingkring. Berbadan kecil, kurang dari 40 kg, hidup disepanjang tepi pantai Selatan Jawa. Jumlah anggota kelompok 10 tahun yang lalu masih 10-20 ekor, tetapi saat ini hanya 4-5 ekor. Membentuk lubang di dinding tanah untuk beranak atau tidur. Jarak babi berani masuk kedaratan tidak lebih dari 3 km. Babi banen, bijung. Berat yang tua dapat mencapai > 100kg, rata-rata antara kisaran 60-80 kg. Warna bulu keabu-abuan dan hitam. Lebih menyukai alang-alang tetapi mencari makanan di kebun huma (singkong, jagung, kacang). Sekitar 20 tahun yang lalu satu kelompok banen bisa mencapai 30 ekor, terutama di daerah Pameungpeuk, Garut. Babi goteng, dicirikan dengan muka yang banyak ditumbuhi daging dan dijumpai hanya pada yang jantan. Bentuk badan lainnya yang khas adalah punggung seperti kuda, agak melengkung, dada besar tetapi pantat relatif kecil. Ukuran badan sekitar 15% lebih panjang dari banen. Termasuk katagori babi yang paling panjang badannya, paling tinggi badannya dan paling berat. Hasil perburuan PERBAKIN yang pernah tertangkap (10 thn yang lalu) adalah berat tanpa isi perut 140 kg (isi perut sekitar 30 kg). Pada tahun 2002 masih sempat ditembak seekor dengan berat kosong 135 kg di daerah Desa Taraju, Kecamatan Cicombre, Kabupaten Tasikmalaya. Populasi yang agak tinggi dijumpai di Desa Ujungjaya, Kecamatan Cikamura, Kabupaten Sumedang. Anggota kelompok tidak terlau banyak, hanya sekitar 3 ekor/kelompok Saat ini lebih banyak soliter, dihutan terbuka, padang alang-alang dan kebun tanah kering. Termasuk jenis babi yang suka berpetualang. Diperkirakan umur babi ini di alam mencapai 20 tahun. Dirasa jenis ini perlu cepat dikembang biakan di penangkaran karena semakin turun populasinya dan sangat unik untuk pulau Jawa. Babi putih. Hanya dijumpai di kawasan Gn. Kerinci-Seblat (Sumatera). Sangat berat sekali, lebih dari 150 kg berat tubuhnya. Warna tubuh putih kekuningan dengan anggota sekitar 20-30 ekor/kelompok. Sifatnya senang menyerang bersama-sama dalam suatu area mencari makan. Makan daging dan menyerang hewan hidup kadang-kadang seperti anak rusa atau sesama babi dari jenis hitam. Dijumpai pada ketinggi > 900 m dpl. Bulan Nopember-Pebruari banyak terlihat turun gunung. Banyak juga di daerah Bengkulu Utara. Senang menyerang kebun kelapa sawit. Dalam perburuan November 2002, di Bengkulu diperoleh 210 ekor babi dalam satu minggu perburuan, dengan berat kosong mencapai 200 kg.
Tipe pemburu Perbakin adalah 80% menggunakan mobil dan 20% dengan berjalan kaki. Tingkat kerusakan kebun oleh serangan babi cukup besar, sekitar 500 m2/malam/ekor. Luas kubangan bisa mencapai 2 m2 yang dapat dipakai untuk 2 ekor. Secara kasar ukuran sarang yang dibuat adalah sekitar 5 x panjang badan dan lebar 1 x panjang badan. Sarang hanya dipakai untuk induk beranak dengan sifat pintu masuk tidak pernah dipakai untuk pintu keluar. Sifat babi dalam mencari makan adalah makan secara terus menerus dari sore hingga matahari terbit. Kesimpulan : Sus scrofa & Sus verrucosus NOT TO BE CITED WITHOUT CONSULTATION OF AUTHORS
16
Detailed results of S. verrucosus survey—in Indonesian
Kabupaten Garut (27). Bpk. Tasmin. Pegawai Perkebunan PTP VIII Miramare. Desa Simpang, Kecamatan Cibolang. Kabupaten Garut. Kawasan perkebunan karet ini merupakan ladang bagi tempat tinggal berbagai jenis babi dan juga ladang bagi para pemburu kota (PERBAKIN) dan pemburu lokal. Jenis babi yang dijumpai ada tiga jenis : a.
b.
c.
Babi goteng, mempunyai bentuk badan yang panjang serta berukuran besar, berkisar antara 80-120 kg pada yang paling besar. Namun umumnya dijumpai dengan berat badan 50-60 kg. Warna bulu agak kepucatan, banyak bulu yang panjang-panjang di daerah muka. Lebih menyuikai daerah kebun yang banyak ketela pohon dan agak terbuka. Punya ciri khas banyak daging tumbuh di daerah muka. Satu kelompok hanya berjumlah satu jantan dengan 1-2 ekor betina, tetapi paling sering sendirian. Sudah sejak dahulu dikenal dengan jumlah populasi paling sedikit diantara jenis babi yang ada, tetapi saat ini dirasa semakin jarang walau dipercaya masih ada. Sering menjadi target buruan orang kota. Sembilan bulan yang lalu (dari bulan Mei 2002) pernah ditembak oleh orang kota babi goteng dengan berat hidup sekitar 70 kg. Perburuan oleh penduduk dilakukan dengan anjing dan jaring. Babi pijung, panjang badan sekitar 1,2 meter, hampir tidak berbulu dengan warna kulit bule. Satu kelompok 6-8 ekor, tetapi saat ini umumnya hanya berjumlah 4-5 ekor. Lebih menyukai daerah persemakan. Babi cungkring, termasuk jenis babi yang cukup galak juga, berani mengejar manusia. Hidup di pinggir pesisir laut, dengan berat paling tinggi 45 kg. Kepala kecil, dengan bentuk moncong sepeerti cucurut. Dapat dijumpai disepanjang pantai Sancang, dan masuk ke daratan hanya sejauh 1-2 km dari pantai.
Kesimpulan : Sus scrofa & Sus verrucosus (28). Bpk. Endang “Bagong”. Desa Karyasari. Kecamatan Cibolog. Kab. Garut. Tidak ketemu, sedang ke kota. (29). Bpk. Rahmat. Kampung Cikanyere, Desa Sukamukti, Kecamatan Cisompet. Kabupaten Garut. Tidak ketemu, sedang keluar. (30). Bpk. Teteng. 35 thn dengan 6 timnya. Desa Leles, Kecamatan Leles, Kab. Garut. (dijumpai sedang berburu dengan membawa mobil di Desa Neglasari, Kecamatan Cisompet, Kab. Garut, sekitar 80 km dari desanya). Perburuan di desanya di Leles telah berjalan puluhan tahun, sejak zaman kakeknya. Saat ini bagi mereka berburu lebih untuk hiburan diakhir pekan dan untuk persatuan pemuda desanya. Oleh sebab itu mereka lebih suka berburu ke luar dari kampungnya. Lama berburu mencapai waktu seharian penuh, setelah menempuh kendaraan 2-2,5 jam dan jalan kaki 1,5 jam. Dalam perburuan selalu membawa kotak kandang untuk membawa pulang babi liar tangkapannya. Ukuran kandang adalah panjang 120 cm x lebar 60 cm dan tinggi 100 cm, terbuat dari papan kayu. Cara berburu dengan dikejar anjing dan pasang porog atau jaring net. Jumlah pemburu dapat mencapai 30 orang saat ramai, tapi minimal 10 orang dengan bantuan 40 anjing bila ramai, atau sekitar 6 ekor saat jumlah pemburu sedikit.
NOT TO BE CITED WITHOUT CONSULTATION OF AUTHORS
17
Detailed results of S. verrucosus survey—in Indonesian
Gambar 4. Pemburu babi secara tradisional dengan kotak pengangkut babi (foto: G.Semiadi). Dijumpai dua jenis babi, a. b.
babi biasa yang berwarna hitam, berat bervariasi dari 25 kg hingga 100 kg pada yang tua. babi Ibil/babi jajaden atau gagadungan, terkenal dengan daging tumbuhnya di daerah muka. Ukuran tubuh sama besarnya dengan yang hitam, hanya mukanya banyak kutil. Pernah dijumpai setahun lalu di Desa Cirengsok, Kecamatan Cisompet, Kab. Garut dan ada juga disekitar Gn. Gelap, yang berdampingan dengan kebun teh di Desa Neglasari. Banyak pemburu yang agak takut karena dianggap babi jajadian terutama bila berhadapan dengan yang besar sekali, 150 kg, karena galak dan seram bentuk mukanya.
Dimusim hujan cenderung babi mudah ditangkap, karena jejak kaki mudah terlihat dan banyak babi tersebar merata di kebun. Musim kemarau lebih terpencar entah pergi kemana, umumnya ke daerah yang ada mata air. Kesimpulan : Sus scrofa & Sus verrucosus Kabupaten Majalengka (31). Asep Alirahman, Nurhidayat, Endi (± 28-35 thn). Patroli Mandiri (Polhut) Perhutani KRPH Nyalindung, Desa Pugul, Kecamatan Toma. Kabupaten Majalengka. KRPH Nyalindung terdiri atas tanaman jati tua (10-20 thn) dan mahoni (8-15 thn) dan ada bagian yang dipakai untuk kegiatan tumpangsari. Perburuan babi memang terjadi di wilayah hutan milik perhutani dan kampung sekitarnya, khususnya di bulan basah (September-Januari). Perburuan babi biasanya dilakukan seminggu sekali. Tetapi perburuan disini tidak hanya dilakukan untuk membasmi hama babi, melainkan juga dilakukan untuk ditangkap dan dipergunakan sebagai hewan aduan dengan anjing yang lazim disebut “Adu Bagong”. Ada juga perburuan yang dilakukan karena hobi. Penangkapan dilakukan dengan mempergunakan jaring net berbahan tali plastik, atau dengan bantuan anjing. Umumnya pemburu yang masuk ke kawasan hutan adalah penduduk dari Desa Pamulihan, Kecamatan Situraja, Sumedang. Daerah terpadat yang sering menjadi kawasan buru adalah Desa Cadasngampar, Kecamatan Jatigede, yang meliputi KRPH Ciboboko. Tingkat serangan babi hutan pada kawasan tumpangsari memang setiap malam hampir selalu terjadi. Tetapi selama musim tanam umumnya petani menunggui tanamannya, atau setidaknya secara bergilir. Jenis
NOT TO BE CITED WITHOUT CONSULTATION OF AUTHORS
18
Detailed results of S. verrucosus survey—in Indonesian
tanaman yang ditanam adalah padi gogo, kacang tanah dan ketela pohon. Masa kosong penanaman berlangsung selama lima bulan (Juni-September).
Tempat berdiri penonton
Kubangan Pintu masuk babi
3-4 m
Pintu masuk anjing
0.80 – 1 m Gambar 5. Sketsa arena adu bagong. Jenis babi yang dijumpai di kawasan hutan Perhutani ada dua : a. b.
Berbulu hitam, muka lonjong, berat badan 30-50 kg. Satu kelompok babi berjumlah 7-10 ekor, lebih sering berada di daerah yang agak panas dan suka turun ke sawah basah. Berbulu agak kemerahan, termasuk jenis yang agak galak karena berani menyerang anjing, dan kadang-kadang pemburu. Berat badan agak sama dengan yang hitam. Lebih menyukai daerah persemakan dan hutan yang cukup terbuka.
Nama daerah babi selain celeng adalah begu, untuk semua jenis disebut babi hutan. Kegiatan adu bagong yang biasa dilakukan di Kecamatan Situreja adalah sebagai berikut: Pada suatu lingkaran dengan diameter 5-7 meter yang dikelilingi bilik bambu tinggi 1.5-2 meter, dimasukan seekor babi (jantan/betina tergantung mana yang tertangkap di alam), kemudian anjing dimasukan, tergantung dari jenisnya. Bila anjing ras (buldog, helder, pit bull) hanya satu ekor dan bila anjing kampung kecil bisa 2-3 ekor sekaligus. Jumlah babi yang disiapkan pada zaman dahulu bisa mencapai lebih dari 10 ekor, namun saat ini paling banyak 3-4 ekor. Pertandingan satu ronde saat ini berlangsung hanya 3-5 menit, manakala babi telah tergigit oleh anjing, maka anjing di keluarkan dan diganti dengan anjing baru. Namun ada pula pertandingan yang dihentikan sesuai dengan perjanjian, seperti hingga babi terlihat capai atau bila anjing terluka atau capai. Pada zaman dahulu, ketika babi masih mudah ditangkap satu ronde pertandingan dapat mencapai 15-30 menit. Dalam pertandingan bagong ini umumnya pemilik anjing membayar kepada pemilik babi, tergantung jenis anjing yang dipakai. Anjing kampung diharuskan membayar Rp. 5.000-Rp. 10.000/anjing, tetapi untuk anjing ras lebih mahal lagi. Demikian pula penonton diharuskan membayar antara Rp. 1000-Rp. 2000/orang kepada pemilik tanah atau pemilik babi. Disatu sudut biasanya akan dibuatkan suatu tempat kubangan babi. Babi yang capai akibat berkelahi biasanya akan berendam di kubangan sebelum kemudian berkelahi kembali dengan anjing. Kesimpulan : Sus scrofa & Sus verrucosus
(32). Bpk. Ahmad. 42 thn. Petani. Desa Jatitujuh, Kecamatan Tomo, Kabupaten Majalengka.
NOT TO BE CITED WITHOUT CONSULTATION OF AUTHORS
19
Detailed results of S. verrucosus survey—in Indonesian
Kegiatan berburu babi hutan lebih merupakan sarana hiburan selain outputnya untuk memberantas hama babi. Kegiatan perburuan ini telah berlangsung selama beberapa generasi. Mayoritas penduduk adalah petani lahan kering (palawija) dengan mengandalkan tanaman jagung, ubi jalar, kacang tanah dan singkong. Rata-rata luas kebun yang ditanam mencapai 1 ha/petani, tetapi yang berhasil dipanen hanya 3/4nya, dimana sisanya habis oleh serangan babi. Hal ini tetap terjadi walau selalu dilakukan penjagaan pada malam hari khususnya pada saat umur muda dan menjelang panen. Babi hutan mulai banyak turun ke perkebunan dekat pedesaan dimusim kemarau, mengingat dimusim itu babi agak susah mencari sumber air dan makanan di dalam hutan. Serangan ladang oleh babi biasanya terjadi antara jam 19:00-21:00 dan antara 03:00-05:00 pagi, untuk kemudian babi masuk ke hutan lagi. Satu kelompok babi rata-rata antara 1-3 ekor, walau pada 10 tahun yang lampau masih banyak yang dijumpai antara 7-15 ekor. Turunnya jumlah anggota kelompok selain dari perburuan juga banyak babi yang berpindah lokasi karena perluasan daerah tinggal manusia. Apabila petani menemukan jejak babi, maka segera akan memberitahukan masyarakat pemburu sekitar untuk langsung dilakukan perburuan. Satu kelompok pemburu umumnya terdiri atas 5 orang dengan bantuan 3-5 anjing. Selain itu digunakan net perangkap berbahan tali plastik dengan diameter sekelingking, dengan ukuran panjang 4 m, tinggi 1,5 meter dan besar lobang sekitar 10-15 cm. Teknik perburuan adalah sebagai berikut : a. b. c.
jaring dipasang berlawanan arah dari telapak kaki babi hutan anjing menggiring babi hutan kearah jaring berada dimana pemburu menjaga agar babi tidak lari ke arah lain. Setelah babi terperangkap jaring, maka babi ditangkap dengan memegang kaki belakang terlebih dahulu, kemudian diikat semua kaki bersatu.
Apabila yang tertangkap adalah babi betina, biasanya langsung diikat salah satu kaki belakngnya, dengan tali sepanjang 2-3 meter dan kemudian diadu di tempat penangkapan dengan anjing pemburu yang belum terlatih. Dalam pertandingan ini biasanya babi akan diadu hingga mati. Sedangkan apabila yang tertangkap adalah babi jantan biasanya akan dibawa ke kampung untuk kemudian diadu dengan anjing pada arena komersil. Satu ronde pertandingan saat ini tidak lebih dari 5 menit, walau ada yang mencoba hingga 30 menit, tetapi sudah jarang dilakukan. Jenis babi yang ada di kampung adalah : a. b.
warna hitam, moncong agak panjang dengan berat hidup 30-50 kg. warna agak kemerahan, moncong lebih pendek, paling galak, berat 40-70 kg dan cenderung mempunyai fisik yang lebih kuat dibandingkan dengan yang warna hitam. Dibawah telinga dan pipi ada daging tumbuh yang besar, disebut gagadungan. Jenis ini paling dicari para pengadu bagong. Jenis ini sudah sangat jarang sekali saat ini, sudah sekitar 4 tahun tidak mendapatkan berita lagi dari sesama pemburu.
Kesimpulan : Sus scrofa & Sus verrucosus (33). Bpk. Tarsim. 50 thn dan kawan2 pemburu. Ketua Kelompok Pemburu Babi & Petani. Desa Tajur, Kecamatan Cigosong, Kabupaten Majalengka. Babi memang banyak disekitar kampungnya, tetapi perburuan yang dilakukan juga dipakai sebagai ajang hiburan. Dengan personil satu kelompok mencapai antara 15-20 orang serta bantuan 9-15 ekor anjing perburuan biasa dilakukan seminggu sekali, dihari minggu atau libur. Daerah buruan biasanya disekitar Dusun Kuluir, Dusun Cieurih, 1 jam perjalanan dari kampungnya dengan berjalan kaki. Merupakan daerah perkebunan tanah kering dengan campuran persemakan. Perburuan dilalukan dari mulai jam 07:00 ketika berangkat dari kampung dan tiba kembali di tempat sekitar jam 16:00-18:00. Dari hasil perburuan kemungkinan mendapatkan 0 hingga 2 ekor, tergantung keberuntungan. Apabila dapat babi biasanya dilakukan pertarungan antara bagong dengan anjing mereka di kawasan buru sebelum mereka bunuh babinya. Tetapi kadang babi dibawa pulang untuk dipertandingkan di kampung, terutama bila yang tertangkap jantan hidup. Perburuan dilakukan menggunakan jala, tombak/golok dan bantuan anjing. Pada NOT TO BE CITED WITHOUT CONSULTATION OF AUTHORS
20
Detailed results of S. verrucosus survey—in Indonesian
pertarungan antara babi dengan anjing, bila menggunakan anjing ras pertandingan akan berakhir antara 510 menit, terutama pada jenis anjing pitbulls.
Gambar 6. Kelompok pemburu tradisional dengan anjingnya (foto: G.Semiadi) Jenis babi yang dijumpai di kawasan buruan ada dua : a.
b.
babi hutan, dengan ciri moncong agak pendek, bulu agak pirang/kemerahan, kadang agak berwarna kecoklatan, kaki sama besar, dengan ciri khas dibawah telinga dan hidung ada tumbuh daging besar. Biasa disebut sebagai babi gagadungan. Termasuk jenis babi yang paling bagus dipakai untuk bertanding dengan anjing ras karena kuat, gesit dan berani. Cenderung lebih pendek dari babi hitam. Berat sekitar 60 kg yang dewasa, dan sifat gagadungan hanya ada pada yang jantan. Populasi sangat sedikit sejak jaman dahlu dibandingkan dengan babi yang berwarna hitam. Masih sempat dijumpai tahun 2002 dimusim kemarau tetapi tidak sempat tertangkap, di daerah Desa Cieurih. babi hutan dengan badan agak tinggi, berwarna hitam, dengan moncong sedikit lebih panjang, bulu depan lebih sedikit dibandingkan bagian tubuh lainnya, kaki depan lebih besar dibandingkan dengan kaki belakang. Berat > 60 kg pada yang dewasa. Populasi tetap banyak saat ini, satu kelompok sekitar 4-12 ekor, tetapi jarang yang mencapai 12 ekor saat ini.
Perburuan sebenarnya lebih mudah di musim kemarau sebab banyak kawasan semak yang terbuka, tetapi jumlah babi yang dijumpai jauh lebih sedikit bila dibandingkan dengan musim hujan. Kerusakan yang dilakukan selain membalikan tanah juga merusak batang pohon dengan taringnya yang digesekgesekkan untuk mengasah. Kesimpulan : Sus scrofa & Sus verrucosus Kabupaten Ciamis (34). Mansur. 50 thn. Wiraswasta. Citapen, Ciamis. Babi liar masih memungkinkan dijumpai disekitar kaki Gunung Sawal, Kecamatan Kawali/Panjalu. Dapat dicapai lewat Desa Bojongroas, Kec. Kawali. Untuk wilayah Tasikmalaya dapat dijumpai di sekitar daerah Kecamatan Salopa. Babi yang dijumpai, dahulu ketika jaman ayahnya (40 thn yang lalu) ada dua, yang hitam dan yang mempunyai gagadungan. Tidak tahu sekarang. Kesimpulan : Sus scrofa & Sus verrucosus NOT TO BE CITED WITHOUT CONSULTATION OF AUTHORS
21
Detailed results of S. verrucosus survey—in Indonesian
(35). Mang Doli. 55 thn. Kp. Pamalayan, Kecamatan Pamalayan, Kab. Ciamis. Enam bulan yang lalu (Oktober 2002) tertangkap dua ekor babi hitam muda di Kampung Cikiray, Desa Kertaraharja, Kecamatan Cijeunjing. Tetapi tidak tahu bagaimana dengan babi jenis lainnya. Kesimpulan : Sus scrofa (36). Bpk. “Simon” Nasrudin. 42 thn. Pegawai hotel “Cijulang Permai”, Batukaras, di tepi pantai. Desa Batukaras, Kecamatan Cijulang, Pangandaran, Kabupaten Ciamis Selatan. Sudah 15 tahun menjadi pemburu, awalnya berburu untuk membasmi hama terus menjadi hobi. Daerah perburuan terbatas hanya disekitar perbukitan daerah Batu Karas. Dirasakan saat ini penangkapan babi semakin sulit karena dua hal, penurunan populasi babi akibat tingkat perburuan yang tinggi dan populasi yang tersisa semakin terpencar. Dalam satu kelompok pemburu dapat mencapai 20 orang dengan bantuan 5-10 ekor anjing, tumbak dan jaring atau kadang bentuk porog. Sebelum ia bekerja di hotel perburuan dilakukan seminggu sekali, sekarang hanya bila ada liburan saja. Serangan babi selain ke tanaman huma juga ke pohon pisang untuk mencari kumpulan cacing. Tingkat kerusakan kebun oleh seekor babi dalam semalam sekitar 4 x 4 m pada ladang jagung. Jenis babi yang dijumpai di daerah Batukaras ada dua ekor : a.
b.
bentuk yang kecil, berbulu bule, ada benjolan daging lebih di mukanya, dengan berat sekitar 40-60 kg. Sifat kecil tapi galak. Sangat jarang ditemukan sejak dahulu. Kesukaannya daerah terbuka seperti padang alang-alang yang bersemak lebat. Untuk yang tua sekali dan berat, daging tumbuh sangat besar, cenderung mempunyai taring yang lebih besar dibandingkan dengan babi hitam biasa. Disebut celeng goteng/gagadungan bentuk agak besar, berwarna hitam pekat, berbadan lebih besar dari goteng, antara 30-70 kg. Yang jantan biasanya diatas 60 kg. Menyukai daerah dalam hutan, diantara hutan-hutan berkayu (“reunca”). Kesenangannya membongkar tanaman pisang bila tidak ada tanaman huma.
Laporan menyebutkan bahwa dua bulan yang lalu (Pebruari 2003) sempat menemukan satu babi goteng yang cukup besar, tetapi belum tertangkap hingga sekarang. Ditemukan di kawasan hutan Matasari, Batununggal Desa Batukaras. Untuk acara adu bagong, pada 10 tahun yang lalu masih bisa mendapatkan babi goteng dan ini merupakan jenis yang paling baik untuk diadu. Pada saat itu babi yang tertangkap dari Desa Langkap di Tasikmalaya. Sebaran babi goteng ini bisa mencapai Desa Cimerak, Langkaplancar dan Cigugur. Kesimpulan : Sus scrofa & Sus verrucosus (37). Bpk. Ade Fahnidin. 43 thn. Petani. Desa Parakannunggal, Kecamatan Parigi. Kabupaten Ciamis Selatan. Kawasan hutan KRPH Perhutani Ciamis Selatan merupakan kawasan buru. Kegiatan perburuan adalah untuk hiburan sekaligus untuk anjang peningkatan pelatihan anjing-anjing kampung agar terlatih berburu. Perburuan dilakukan seminggu 1-2 kali, hari Selasa dan Sabtu dan ini telah berjalan lebih dari 15 tahun. Rombongan pemburu biasanya terdiri dari 10-30 orang dengan 10-15 anjing kampung. Alat bantu lainnya adalah jaring dengan ukuran 25 m x 2,5 m, serta tombak. Yang paling baik bahan jaring adalah dari nilon karena kuat, panjang tetapi ringan, dibandingkan bahan tali plastik. Desa Parakan dikenal karena pemburunya yang ulet. Dalam kegiatan berburu biasanya mereka patungan dalam hal menyewa alat transportasi (pick-up/UT). Perjalanan kendaraan dari Desa ke lokasi perburuan biasanya 1-1,5 jam. Saat sampai di lokasi, biasanya team anggota pelacak telah berada 1 jam lebih awal guna mencari telapak babi baru. Persiapan pemasangan jaring di lokasi yang diduga ada babinya sekitar 30 menit untuk 4-6 set jaring (total 100-150 meter jaring). Rentangan jaring dipasang mengarah ke lawan datangnya babi, tetapi masih dalam trek/alur babi dan anjing masuk ke kawasan babi mencoba mendorong babi keluar dari daerah persemakan menuju arah dipasangnya jaring. Pada 20 tahun yang lalu masih menggunakan porog, tetapi sudah tidak lagi dipakai. Porog adalah trap babi yang dipasang di setiap alur jalan babi, dengan lingkaran 1 NOT TO BE CITED WITHOUT CONSULTATION OF AUTHORS
22
Detailed results of S. verrucosus survey—in Indonesian
meteran dari bahan bambu dan kebelakangnya dianyam dengan jaring nilon yang mengecil sepanjang 1.01.5 meter. Pada babi yang tertangkap seringkali diadu di tempat dengan maksud meningkatkan keterampilan dan keberanian anjing. Bila babi telah mati oleh karena perkelahian, ditinggalkan, tidak diberikan pada anjing. Biasanya babi mati akan dimakan oleh kawanan babi yang bersembunyi. Apabila diperoleh babi jantan hidup dan cukup besar akan dibawa ke kekampung dengan dimasukan ke dalam kandang kayu berukuran panjang 120 cm, tinggi 80 cm dan lebar 60 cm, untuk kemudian dipakai untuk adu babi.
Panjang 1-2,5 m Diameter 1 m
Gambar 7. Sketsa Porog Yang Biasa Dipakai. Dalam pertandingan adu bagong komersil biasanya saat ini hanya dilakukan pada hari besar seperti lebaran dan 17 Agustusan. Pada saat itu panitia akan mengumpulkan hingga 10 ekor babi dan biasanya pemilik anjing yang diundang adalah dari pemilik anjing ras di kota besar seperti Jakarta, Bandung, Garut, Ciamis dan Tasikmalaya. Jenis anjing ras yang umum dipakai adalah Douberman, herder, pitbulls. Untuk satu kali main (5-10 menit) pemilik anjing ras harus membayar Rp. 10.000 dan anjing kampung Rp. 5000. Pemisahan aduan dilakukan apabila anjing telah sempat menggigit beberapa kali babi atau telah tidak ada lagi kegiatan saling menyerang. Apabila semua anjing telah masuk, baru seekor anjing boleh masuk kedua kalinya. Apabila ada permintaan untuk adu seekor anjing hingga babi mati, biasanya pemilik anjing harus membayar Rp. 200.000- Rp. 400.000/ babi. Jenis babi yang dijumpai ada dua : a.
babi gagadungan Ukuran badan relatif panjang dengan warna kulit agak kemerahan. Bulu bagian muka dan leher relatif lebih panjang dibandingkan di bagian badan kebelakang. Di bagian muka banyak benjolan daging. Berat hidup antara 40-100 kg, dan hanya pada yang jantan. Hidup jarang berkelompok, kalaupun dalam kelompok paling hanya 3 ekor, dimana 2 ekor adalah betina. Menyukai ladang huma. Tidak pernah terlihat bercampur dengan babi celeng hitam.
b.
babi celeng Dearah moncong agak kecil dengan badan agak buntet. Termasuk lincah agak susah diburu dibandingkan dengan babi gagadungan. Berat hidup antara 30-70 kg. Kesukaan di daerah basah dekat sungai kecil.
Pada awal tahun 2002 masih dapat dijumpai babi gagadungan dengan 2 betina, tetapi itu baru terlihat lagi setelah 5 tahun tidak terlihat. Pada 10 tahun yang lalu masih sering terlihat kelompok babi celeng dengan nggota kelompok 12-15 ekor, tetapi sekarang hanya 3-5 ekor/kelompok. Pada jaman dahulu demikian banyaknya babi liar, dalam sebulan bisa mencapai 200 ekor diburu. Sifat merusak babi hutan dalam menyerang adalah dengan mengacak tanah/kebon hingga 3 tempat dalam satu malam. Kesimpulan : Sus scrofa & Sus verrucosus (38). Bpk. Jufri (50 thn) & Bpk. Ano (45 thn). Desa Kertajaya, Kecamatan Parigi, Kabupaten Ciamis. Perburuan yang dilakukan oleh mereka berdua hanya bila ada laporan babi merusak kebun. Kerusakan yang terjadi adalah ½ ha kebun padi gogo rusak dalam 1 malam oleh serangan babi sekitar 5-10 ekor.
NOT TO BE CITED WITHOUT CONSULTATION OF AUTHORS
23
Detailed results of S. verrucosus survey—in Indonesian
Sekelompok babi saat ini hanya sekitar 2-5 ekor. Pada 15-20 thn yang lalu bisa mencapai 15-30 ekor/kelompok. Ukuran jarring adalah panjang 5 meter x tinggi 1, 5 meter x lobang 15 cm. Apabila ada babi tertangkap akan langsung dibunuh, darah babi akan dibasuhkan kemuka anjing dengan maksud agar anjing mendapatkan penciuman badan babi semakin tajam. Tetapi daging babi tidak diberikan pada anjing. Pada 15 tahun yang lalu, di Kecamatan Bangunjaya tidak dapat melakukan pertanian akibat dari tingginya serangan babi. Dalam satu malam bisa mencapai 20-30 ekor babi menyerang satu petak kebun dan perburuan dengan mudah mendapatkan 300 ekor dalam satu bulan. Tetapi hampir semuanya termasuk dalam jenis babi yang hitam biasa. Saat ini perlu pelacakan 2-3 jam sebelum babi dapat diketahui keberadaannya.
Jenis babi yang dijumpai ada dua : a. babi celeng hitam, dengan muka lonjong, kecil dan panjang, berat badan antara 70-80 kg pada yang dewasa. b. babi gagadungan dengan moncong yang agak besar, warna merah dan berat yang tua dapat mencapai 100 kg. Disebut juga celeng goteng, dikenal sebagai babi pemberani karena siap melawan anjing atau manusia. Keberadaan babi goteng memang sejak dahulu kala dikenal jarang terlihat. Pada tahun 2001 sempat tertangkap satu ekor babi goteng. Penyebaran babi goteng ini bisa mencapai Desa Kalipucang, Desa Bagolo, Segara Anakan, dan biasa lari ke rawa. Keadaan biologi reproduksi babi hitam adalah musim kawin sekitar bulan Desember-Januari, yang tertinggi, dan terlihat induk dengan anak di bulan April-Juni. Dalam satu tahun ada 2-3 kali musim kawin untuk babi hitam ini. Sarang babi yang disebut sudung mempunyai luar sekitar 1 m2, dengan sifat kempes berarti ada isinya dan kembung keadaan kosong. Kesimpulan : Sus scrofa & Sus verrucosus (39). Bpk. Ponijo. 65 thn (asal Jawa sudah 50 thn tinggal di Ciamis). Desa Sindangsari, Kecamatan Cimerak, Kab. Ciamis Selatan. Babi saat ini tetapi terpusat di kawasan hutan PTP VIII Cikencreng dengan tanaman kebun kelapa hibrida, Desa Ciparanti, Kecamatan Cimerak. Dahulu (1970’an) dalam satu kelompok berjumlah sekitar 25 ekor, tetapi sekarang paling banyak 10 ekor. Jenis babi yang dijumpai ada dua, babi hitam (30-60 kg) dan babi gagadungan (40-80 kg). Perburuan yang dilakukan umumnya oleh orang kota dengan cara di bloor dengan lampu dari atas mobil, langsung tembak. Sedangkan untuk penduduk asli melakukannya satu bulan dua kali, dengan bantuan anjing. Keberadaan babi gagadungan sangat sedikit, memang sejak zaman dahulu proporsi babi gagadungan sudah lebih rendah dari yang hitam. Pengrusakan yang paling parah oleh babi hitam adalah saat kelapa masih muda selain merusak tanaman coklat muda. Kesimpulan : Sus scrofa & Sus verrucosus (40). Bpk. Jejen. 45 thn. Wiraswasta. Kp. Cipatujuh. Kecamatan Cipatujuh. Kabupaten Tasikmalaya. Yang bersangkutan baru dua setengah tahun lebih jadi pemburu, tetapi sudah menjadi darah daging dengan kegiatan hampir seminggu sekali berburu. Diawali karena ada masa yang bersangkutan menanam kelapa sekitar 1000 kitri di kebunnya, tetapi habis diganggu babi dalam tempo dua bulan. Dalam satu malam bisa rusak sekitar 50 kitri oleh paling banyak 3-6 babi. Akhirnya bergabung dengan kelompok berburu yang telah terbentuk sejak tahun 1960an di kampungnya dan menjadi aktif sekali. Dalam satu kegiatan perburuan peDesaan rombongan bisa mencapai 30-50 orang dengan bantuan anjing. Bila ada serangan babi yang cukup besar (> 20 ekor dalam 3 malam) kegiatan berburu bersama langsung diadakan. Perburuan biasa dilakukan dengan naik mobil sekitar 1 jam dan jalan kaki selama 1 jam lagi. Umumnya daerah buruan saat ini ada di kebun rakyat dengan tanaman jagung, kacang tanah, pisang dan singkong. Alat tangkap yang NOT TO BE CITED WITHOUT CONSULTATION OF AUTHORS
24
Detailed results of S. verrucosus survey—in Indonesian
dipakai adalah jaring. Bila babi telah tertangkap baik yang jantan atau betina, biasanya langsung dibawa hidup-hidup ke Kecamatan untuk dijual ke tukang adu bagong seharga Rp. 400.000/ekor jantan dan lebih murah yang betina. Bila belum ada pembeli babi dimasukan ke kandang sementara hingga ada pembeli. Dalam satu perburuan diperoleh antara 1-3 ekor, jarang lebih. Kalaupun babi diadu ditempat tertangkap, biasanya kaki belakang satu diikat dengan tali 10 meter dan dibiarkan berantam hingga mati (sekitar 1 jam), antara 1 lawan 1. Pada tahun 1960-1980an dalam satu kali perburuan bisa didapat hingga 10 ekor babi, dengan intensitas perburuan sekitar 2 x seminggu. Jenis babi yang dikenal ada tiga jenis : a.
b.
c.
babi hutan/babi eurih, dengan ciri moncong agak panjang, bulu agak pirang, kaki besar, dicirikan dengan telapak kaki yang lebar dibanding babi hutan biasa, khususnya kaki depan. Jalannya menunduk dan agak lamban. Hidup sendirian, terutama didaerah padang ilalang atau kebun terbuka. Termasuk lincah tetapi kurang agresif. Berat badan mencapai 60-70 kg, populasi masih banyak di Desa Cipatujah. Musim kawin biasanya merupakan masa yang paling merusak, yaitu di musim basah, dengan jumlah gerombolan bisa mencapai 35-40 ekor, jumlah ini sekarang sudah sangat jarang. Dipercaya bahwa jarak tempuh perjalanan sebagai satu gerombolan hanya mencapai satu km. Sarang dibuat dari ilalang kering, dengan luas 1-2,5 m2. Luas tempat kubangan sekitar 2 m2 untuk dua babi. Sarang sebenarnya dipakai hanya untuk beranak, sedangkan bila tidak beranak atau pejantan tidur di alam terbuka. babi gunung/gagadungan, dikenal khas karena adanya daging tumbuh di daerah muka. moncong sedikit lebih besar. Jalan lebih lambat dengan warna agak kehitaman, sangat agresif, menyendiri. Selama ini ada enam anjing mati dilawan oleh babi gunung. Jenis ini sangat dicari oleh pengadu bagong, terutama dari daerah Tasikmalaya, Garut, Ciamis, Majalengka, Pangandaran. Cari makan ada yang siang dan malam, tetapi dominan malam. Mayoritas tinggal di sela-sela tebing/dinding tebing tanah. Saat ini masih ada populasi tetapi sangat jarang. Bahkan hingga saat ini (Mei 2003) masih ada satu babi gagadungan yang sedang diburu, telah 7 kali dikejar masih belum tertangkap. Babi ini berada di kawasan Perkebunan Pernas, dekat kampungnya. Babi ini sering mengasah taringnya ke pohon hingga banyak pohon yang mati dengan diameter pohon yang disukai sekitar sebesar paha. Babi ini antara lain dapat dijumpai di Gunung Lutung, Desa Ciandu, Kecamatan Cipatujah, Kecamatan Tasikmalaya. Berat biasanya hanya 50-60 kg, tetapi ada satu dua ekor yang bisa mencapai 100 kg. Tetapi hanya pada yang jantan. Waktu makan biasanya antara jam 19:0003:00 pagi. Jarak berkelana bisa mencapai 2,5 km. Sarang dibuat dengan menggali dinding tanah atau cekungan tebing. babi laut/babi cungkring Bentuk mulut seperti babi eurih, hanya termasuk pendek dengan tinggi hanya 30-40 cm. Warna semu merah, makanannya kepiting darat dan habitatnya di pesisir pantai hingga 3 km ke darat. Bila bertemu manusia akan berbunyi “kring…”. Populasi sedikit, dengan satu kelompok hanya 1-3 ekor. Berat hidup 30-40 kg dan dijumpai disepanjang pantai mulai Cipatujah sampai pesisir pantai Pameungpeuk.
Kesimpulan : Sus scrofa & Sus verrucosus
PROPINSI JAWA TENGAH Kabupaten Pemalang (41) Bpk. Wahidin. 31 thn & Bpk. Taper 55 thn. Buruh & Pengumpul daging celeng. Desa Lenggerong. Kecamatan Bantarbalag, Kabupaten Pemalang (Samping SDN Lenggerong I). Bekerja sebagai pengumpul babi celeng sebagai warisan dari pekerjaan sambilan ayahnya. Dimulai sejak tujuh tahun yang lalu. Celeng yang diterima hampir keseluruhannya (90%) merupakan hasil buruan anggota PERBAKIN dari daerah kota sekitar Pemalang hingga Purwokerto. Diterima ditempat dalam keadaan isi telah dikeluarkan. Selain dirinya, masih ada dua pengumpul lainnya, yaitu Bpk. Taming (kakak dari yang bersangkutan) di Desa Banjardowo dan Bpk. Kusnang di Kecamatan Taming.
NOT TO BE CITED WITHOUT CONSULTATION OF AUTHORS
25
Detailed results of S. verrucosus survey—in Indonesian
Harga terima karkas babi celeng lengkap dengan kulit, tulang, kepala dan kaki saat ini adalah Rp. 3.000Rp. 4.000/kg dan daging celeng yang telah dikuliti dijual sekitar Rp. 10.000/kg. Pada tingkat penjual tongseng harga satu porsi adalah Rp. 10.000 dan pada tukang sate dijual dengan harga Rp. 800-Rp. 1.000/tusuk. Untuk beberapa masyarakat pedagang makanan, ada kepercayaan bahwa tengkorak babi dengan suing (taring) yang besar hampir melengkung mempunyai kekeuatan magis didalam menolak bala jadi-jadian. Babi merupakan hama bagi penduduk tani, mengingat tingkat kerusakan yang dilakukan oleh satu kelompok babi celeng dalam semalam mampu merusak pada tanah kebun/sawah seluas 1 bau (± 5.000 m2). Kerusakan yang terjadi bukanlah tanaman dimakan (terkecuali ubi, singkong dan padi gogo), tetapi tanah yang dikorek oleh mulutnya dalam mencari cacing atau sumber pakan lainnya. Perilaku mengorek tanah ini dilakukan secara acak pada luasan tanah yang sangat besar. Sehingga sering harus dilakukan penyewaan penjaga malam di kebun untuk menghalau babi. Babi hutan disebut celeng atau guik. Dari hasil pantauan yang bersangkutan, babi yang sering ditawarkan dapat dikelompokkan kedalam dua jenis: a.
kelompok dengan bulu agak keputihan/abu-abu berat ada yang dapat mencapai 120 kg, tetapi umumnya berat hidup hanya sekitar 50-60 kg saja. Warna agak keputihan dan abu-abu. Umumnya banyak dihasilkan dari perburuan di daerah Desa Salem pada daerah perbatasan Kota Tegal/Bumiayu, dan Desa Guci, Kecamatan Watukampul, Tegal.
Gambar 8. Hutan jati yang telah dijarah dan dikembangkan pertanian ladang (foto: G.Semiadi). b.
kelompok dengan bulu hitam merupakan kelompok yang paling banyak sebarannya. Ukuran tinggi dan panjang badan hampir sama dengan yang keputihan/abu-abu, hanya kulit/bulu berwarna hitam. Dahulu (± 10 thn, zaman Ayahnya masih jadi pengumpul) satu kelompok sering disebut antara 15-25 ekor, tetapi sekarang mendapatkan jumlah 5-6 ekor./kelompok saat perburuan sudah cukup baik. Sehingga pada zaman dahulu, saat musim berburu tiba, kiriman dalam 3-5 hari sekali dapat mencapai 5-20 ekor. Anak yang terlihat mengikuti induk sekitar 5-8 ekor. Bulan Juni hingga September merupakan saat induk banyak terlihat dengan anaknya. Umumnya banyak dijumpai di hutan sekunder dan perladangan nanas, seperti di Desa Randudongkal, Kecamatan Randudongkal. Moncong termasuk pendek lurus kecil (seperti cecurut), tinggi 80-100 cm, dengan panjang tubuh dari mulut hingga pantat antara 130-150 cm. Di musim hujan babi terlihat sangat gemuk (bulan November-Pebruari).
NOT TO BE CITED WITHOUT CONSULTATION OF AUTHORS
26
Detailed results of S. verrucosus survey—in Indonesian
Kesimpulan: Sus scrofa (42) ? Petani. 50 thn. Desa Beluk. Kecamatan Belik. Kabupaten Pemalang. Babi dirasakan sudah sangat sedikit, artinya sudah tidak lagi menjadi hama tumbuhan mereka di Desa Beluk. Ini berbeda dengan masa 15 tahun yang lalu. Masih ada serangan babi sekitar empat tahun yang lalu tapi hanya dua kali dalam tahun itu dan kerusakan termasuk kecil. Jenis babi yang dikenal ada dua : a.
b.
babi hitam kecil biasa merupakan babi yang terbanyak populasinya dahulu. Beranak paling banyak, 5-7 ekor dan tersering. Bisa dua kali beranak dalam setahun. Satu kelompok pasti lebih dari 10 ekor dulunya. Menyukai daerah yang berpohon teduh untuk tempat tinggal tapi cari makan ke ladang. babi biasa babi yang berwarna agak keabu-abuan kadang merah. Ukuran badan lebih besar sedikit, sekitar 50 kg. Cukup banyak populasinya tetapi tetap dibawah babi hitam kecil biasa, dulu senang diburu oleh pemburu kota.
Hilangnya babi dari kawasan Desa Beluk mungkin karena intensitas tanaman nenas semakin luas dan semakin rapat sehingga tidak nyaman untuk babi mencari makan. Juga karena hutan pohon sekitar pedesaan sudah mulai habis ditebang untuk pengambilan kayu api serta perluasan perkebunan nenas rakyat. Kesimpulan: Sus scrofa Kabupaten Batang (43) Bpk. Djalal. 60 thn & Bpk. Sugi 55 thn. Petani dan pemburu/penunjuk jalan celeng. Desa Ngepos. Kecamatan Subah. Kabupaten Batang. HP 081.325.613.905 Pemburu yang telah dilakukan lebih dari 35 tahun melakukan perburuan secara tradisional. Dahulu aktif berburu tetapi sejak 3-4 tahun yang lalu lebih hanya sebagai penunjuk jalan pemburu PERBAKIN dan berburu secara tradisional hanya dilakukan sekali dua kali setahun. Kawasan perburuan jaman dahulu cukup di hutan jati dan hutan produksi sekitar kampungnya (hanya 5 km dari Desanya, terjauh 10 km bila ingin yang besar). Untuk saat ini sudah sangat jauh ke perbukitan atau masuk hingga kabupaten Blora, bahkan dengan PERBAKIN perlu naik mobil 1-2 jam sebelum dimulai kegiatan perburuan. Bulan berburu yang paling mudah adalah di Nopember-Januari, dengan Desember yang paling tepat. Saat ini perburuan dilakukan dengan menggunakan mobil, dan jarang berjalan kaki jauh masuk ke dalam hutan. Dalam berburu dengan PERBAKIN biasa melakukan peburuan dengan cara diblor (dengan lampu kuat) dan bantuan sejumlah anjing yang disewa sekitar 10-15 ekor dari pemburu lokal. Pada tahun 1991 di Desa Calungan, Kecamatan Subah, kabupaten Batang ditembak babi goteng oleh PERBAKIN dengan berat hidup mencapai 197 kg. Itu merupakan babi goteng terberat yang terakhir terekam. Dalam pandangannya ada tiga jenis babi di wilayah perburuannya:
Populasi Habitat
Deskripsi
Goteng (Sus verrucosus) Agak banyak (2) Hutan jati, persemakan, daerah panas
Wicung (Sus scrofa) Mulai jarang (3) Pinus, daerah agak dingin (perbukitan)
Bulu warna kerbau kemerahan, ada “gembol”/daging tumbuh di daerah bawah telinga, mata dan di hidung Kepala besar, pantat kecil, moncong pendek
Bulu hitam ke hitam gelap, ada garis putih seperti kalung di daerah muka, leher Moncong panjang
Roho (Sus scrofa) Masih banyak (1) Hutan jati, pantai, perladangan, daerah panas Bulu agak kecoklatan dan hitam tidak terlalu hitam
NOT TO BE CITED WITHOUT CONSULTATION OF AUTHORS
27
Detailed results of S. verrucosus survey—in Indonesian
Berat > 70 kg hingga 110 kg pada yang tua. Umumnya yang dijumpai hanya sekitar 50-60 kg saat ini. Terbaik 70 kg Anak loreng hitam kemerahan, tidak ada “gembol”. Tidak tahu umur berapa gembol keluar, tapi biasanya >40kg sudah ada gembol kecil Perut tidak dekat dengan tanah
Perilaku Kelompok
Paling galak 1-2 ekor/kelompok saat ini (jantan). Kelompok musim kawin paling 4-6 ekor Agustus-Desember induk terlihat dengan anak
70-80 kg, dulu banyak yang > 70 kg
40-60 kg
Hitam agak polos, lurik agak tipis
Hitam lorek abu-abu jelas
Perut ada yang hampir menempel tanah, bergayut Merusak 2-3 ekor/kelompok saat ini (dulu >10 ekor)
Perut tidak menempel tanah
--idem--
--idem--
Paling merusak 6-8 ekor/kelompok saat ini (dulu > 15 ekor)
Persepsi pribadi pak Djalal mengenai keadaan babi goteng diwilayahnya adalah jumlah babi tersebut masih ada, terasa turun populasinya tetapi tidak separah penurunan populasi babi wicung. Permasalahannya adalah berat hidup babi goteng yang ditembak sudah sangat jauh lebih kecil/ringan dibandingkan tujuh tahun yang lalu. Diyakini hal ini karena adanya seleksi perburuan terhadap babi goteng, atau mungkin karena babi goteng terberat merupakan babi yang paling mudah dikejar untuk diburu karena tidak berlari terlalu jauh. Hal yang dirasakan akan menjadi penentu hilangnya populasi babi goteng dan yang lainnya adalah hilangnya kawasan hutan jati yang tua. Saat ini umur hutan jati banyak yang diatas 30 tahun dan telah ada pembukaan (panenan) hutan jati dewasa beberapa blok (> 30 ha), selain yang dirambah. Hal ini terasa sekali akibatnya untuk babi-babi yang hidup didaerah hutan jati yang menghilang entah lari kemana. Pada tahun 1991 di Desa Calungan, Kecamatan Subah, kabupaten Batang ditembak babi goteng oleh PERBAKIN dengan berat hidup mencapai 197 kg. Itu merupakan babi goteng terberat yang terakhir terekam. Kesimpulan: Sus scrofa & Sus verrucosus Kabupaten Semarang (44). Bpk. Kasijanto. Staf BKSDA Jateng bagian penerbitan ijin penangkaran. Semarang. Babi memang masih banyak di kawasan hutan jati, tetapi di Bojonegoro dikhawatirkan sudah sangat turun drastis, mengingat kawasan tersebut merupakan daerah terparah dalam kehilangan luasan hutan jati/hutan produksinya yang terjadi sejak tahun 1997 hingga 2001. Di daerah Subah masih banyak dilaporkan babi, dapat menghubungi kepala Resort BKSDA, Bpk. Ngasipna, di daerah Pasar Subah (naik ojek).
NOT TO BE CITED WITHOUT CONSULTATION OF AUTHORS
28
Detailed results of S. verrucosus survey—in Indonesian
Gambar 9. Sus scrofa di Kebun Binatang Semarang (foto: G.Semiadi). Kabupaten Blora (45). Bpk. Kardi. 37 thn. & Bpk. Marsan, 35 thn. Desa Ngiono. Kecamatan Japa. Kabupaten Blora. Berburu telah menjadi mata pencaharian dan kesenangan sebagian penduduk Desa Ngiono. Hal ini karena Desa tersebut dikelilingi oleh hutan jati milik PERHUTANI. Perburuan dilakukan sangat intensif, hampir setiap lima hingga tujuh hari sekali, khususnya dimusim mudah dilakukan perburuan, sekitar akhir musim hujan dan awal musim kemarau. Pada musim susah diburu dilakukan perburuan hanya 1-2 kali sebulan. Jumlah pemburu “komersil” cukup banyak, lebih dari lima group @ 10-16 orang, selain dari pemburu individual (1-3 orang) yang berburu untuk konsumsi sendiri. Jumlah anjing yang dipakai dalam group besar dapat mencapai 20 ekor dan babi yang telah dikepung dimatikan dengan cara ditombak. Harga jual daging babi yang telah bersih adalah Rp. 10.000/kg yang habis dibeli oleh penduduk Desa setempat. Dalam pandangannya di wilayah hutan yang biasa dia lakukan untuk berburu ada dua jenis babi, yaitu : a.
b.
babi goteng babi goteng berwarna hitam (cemeng), tidak terlalu besar yang ada saat ini dibandingkan zaman dahulu yang dapat mencapai 100 kg. Berat hanya sekitar 40-50 kg yang betina dan 60-70 kg yang jantan. Dicirikan dengan adanya gembol di bawah telinga, mata dan diatas hidung. Umumnya termasuk kerdil, hanya setinggi 60-70 cm. Bersifat pemalas, tidak banyak berlari dibandingkan dengan babi abang, sehingga mudah ditangkap. Lebih menyukai daerah persemakan, tetapi banyak diumpai di hutan jati dan daerah panas. Jumlah anak antara 6-8 ekor dengan jumlah kelompok sekitar 10-20 ekor dahulu, tetapi sekarang hanya sampai 1-3 ekor/kelompok. Juni hingga Agustus merupakan musim beranak dengan ciri anak lurik-lurik keabu-abuan. Umumnya banyak menyerang tanaman jagung dan ketela pohon. Daging lebih banyak mengandung lemak dibandingkan dengan babi abang. Sekitar 4-6 bulan (Pebruari-April) yang lalu baru tertangkap satu ekor lagi, tetapi hanya 50 kg. Jumlah babi goteng masih termasuk banyak walau dalam berburu cukup sulit untuk mendapatkannya karena sifatnya yang terpencar. babi abang Warna hitam kemerahan dengan anak terlihat jelas warna merahnya. Berat antara 25-40 kg yang betina dan 40-50 kg yang jantan. Merupakan jenis babi yang paling banyak dengan jumlah angota kelompok bisa mencapai 25 ekor, tetapi umumnya saat ini sekitar 15 ekor. Jumlah anak mencapai 6-8 ekor, dan diketahui suka berkumpul dengan goteng tetapi sebenarnya merupakan jenis yang jarang hidup bersama dengan goteng. Bentuk muka polos tidak ada daging lebihnya (gembol). Dikenal sebagai kelompok babi yang paling merusak kebun rakyat karena jumlahnya yang banyak NOT TO BE CITED WITHOUT CONSULTATION OF AUTHORS
29
Detailed results of S. verrucosus survey—in Indonesian
dalam sekali menyerang dalam semalam. Sifat berlari sangat kencang dibandingkan dengan babi goteng. Lebih menyukai kawasan yang dekat dengan air (lembab). Jumlah masih sangat banyak dan cukup banyak untuk dapat ditangkap. Sekitar 4-5 tahun yang lalu kegiatan peracunan babi masih sangat tinggi, terutama dilakukan oleh Desa tetangga. Tetapi mengingat korban yang kena juga termasuk anjing penduduk dan babi mati tersebar dimana-mana, maka peracunan saat ini telah menurun. Anggota tim berburu, Bpk. Marsan memiliki seekor babi muda yang ditangkap pada umur sekitar dua minggu dan telah dua bulan dipelihara. Kesimpulan: Sus scrofa & Sus verrucosus (46). Bpk. Sutoyo. 53 thn. Mantri Kehutanan Perhutani di Desa Tunjungan, Kecamatan Tunjungan, Kabupaten Blora. Perburuan yang dilakukan di desa tempat tinggalnya lebih merupakan sebagai kegiatan pekerjaaan karena berburu untuk diual hasilnya. Harga jual dilakukan dalam bentuk utuh satu babi diluar jeroannya, dengan harga Rp. 2000/kg. Dahulu (5 tahun lalu) perburuan dilakukan hampir setiap tiga hari sekali, tetapi sekarang hanya 5-10 hari sekali, karena dirasa babi semakin turun atau jauh jangkauan berburunya. Satu kelompok pemburu terdiri atas 4-6 orang dengan anjing mencapai 15 ekor dan ada sekitar 4-5 kelompok di Desanya. Karena sifat berburu untuk dijual, maka pada zaman dulu yang kecil tidak akan diburu, mereka umumnya menetapkan berat >40 kg yang dibunuh agar menguntungkan. Tetapi saat ini perburuan dilakukan apa adanya, kecuali yang masih anak, karena terasa sering pulang tanpa hasil apabila hanya ingin mendapatkan yang besar. Turunnya populasi babi sangat terasa setelah reformasi, mulai tahun 1998 saat banyak blok hutan jati yang dijarah, sehingga tertinggal hanya tanah kosong. Selama masa empat tahun penjarahan mencapai sekitar 175 ha blok hutan jati diwilayahnya yang habis ditebang. Padahal dimasa sulit ekonomi seperti sekarang ini butuh sekurangnya 2-7 tahun baru ada penanaman baru untuk setiap bloknya. Hasil pengamatan pribadinya wilayah hutan jati yang berumur 10-20 tahun cenderung yang paling banyak dihuni oleh babi. Padahal tidak sedikit hutan jati mulai dipanen pada umur 30 tahun. Sistim penanaman hutan jati di Perhutani adalah :
Umur pohon 0-10 tahun 10-15 tahun 15-20 tahun 20-30 tahun 30-40 tahun 40-50 tahun (setiap 10 tahun sekali)
Kegiatan Penanaman dan pembersihan dari gulma Pemeliharaan dan dimulai penjarangan Pemeliharaan dan penjarangan tambahan Penjarangan Penjarangan/panenan Penjarangan/panenan
Menurut pengamatannya dikenal dua jenis babi di wilayah hutannya : a.
b.
babi hitam Berwarna hitam pekat dengan jumlah populasi babi yang terbanyak. Berat sekitar 40-60 kg dan panjang badan (mulut-pantat) tidak ada yang lebih dari satu meter. Kadang ada yang berbulu semacam berkalung warna putih di bagian lehernya. Satu kelompok cukup besar bisa mencapai 10-15 ekor dan banyak merusak. Saat ini merupakan jenis babi yang paling banyak didapat saat berburu. babi kepirangan Warna seperti kerbau (abu-abu) tapi kadang ada campuran kemerahan sedikit dipundaknya pada yang berbadan besar. Dikenal dengan taring yang besar dan ada daging tumbuh di bawah telinga. Sudah sangat jarang terdengar babi ini tertangkap dalam perburuan. Terakhir terdengar adalah tiga bulan lalu (April/Mei 2003) yang ditombak. Berat mencapai 100 kg dan merupakan babi yang tertangkap setelah hampir 13 bulan tidak pernah tertangkap. Dahulu (5-7 tahun lalu) dalam setiap berburu setidaknya bisa diperoleh 1-2 ekor celeng ini. Tinggi badan antara 80-100 cm dan panjang NOT TO BE CITED WITHOUT CONSULTATION OF AUTHORS
30
Detailed results of S. verrucosus survey—in Indonesian
mencapai 120 cm pada yang besar. Hidup terpisah dengan babi hitam dengan satu kelompok jarang mencapai 10 ekor. Menurut pengamatannya sudah mulai langka. Kesimpulan : Sus scrofa & Sus verrucosus
Gambar 10. Anak babi Sus scrofa yang disebut babi abang di Blora (foto: G.Semiadi). (47). Bpk. Rodi. Pemburu tradisional. Dukuh Luwungan, Desa Tunjungan, Kecamatan Tunjungan, Kabupaten Blora. Tidak dijumpai di rumahnya. (48). Bpk. Pangab. 50 thn. Pengumpul hijauan bahan jamu. Desa Kedungtuban, Kecamatan Kedungtuban. Kabupaten Blora. (Berjumpa di KPH Pasarsore, Kecamatan Sambong, Kabupaten Blora). Di wilayahnya ada dua jenis babi, yang masyarakat menyebutnya : a.
b.
babi putih kusam Dikenal sebagai rajanya celeng. Hidup umumnya sendirian. Berat cukup tingi, katanya ada yang mencapai 100 kg, tetapi yang sering didapat hanya sekitar 50-60 kg. Ada warna kemerahan dibagian punuknya. Hidup terpisah dengan babi yang lain dan bila masuk ke ladang tidak begitu merusak seperti babi celeng yang lain. Babi ini dicirikan dengan taring yang melingkar dan daging disekitar muka. Saat ini sudah empat tahun tidak mendengar ada babi ini yang tertangkap. babi hitam Babi celeng yang umum dijumpai dimana-mana. Warna kehitaman, dengan berat cukup rendah hanya 40-60 kg, tetapi suka ada laporan yang mempunyai berat diatas 70 kg. Tinggi badan sekitar 70-90 cm dengan jumlah rombongan antara 2-20 ekor dan beranak antara 7-8 ekor. Populasi babi ini dirasa sama saja sejak dahulu hingga sekarang. Sebab setiap musim panen jagung (November; Januari, Maret) petani selalu dibuat susah oleh serangan babi ini.
Kesimpulan : Sus scrofa & Sus verrucosus (49). Bpk. Mul. 62 thn & Bpk. Rus (50 thn). Desa Ngawenan. Kecamatan Sambang. Kabupaten Blora. (depan Pos Polhut Perhutani Kelapasore).
NOT TO BE CITED WITHOUT CONSULTATION OF AUTHORS
31
Detailed results of S. verrucosus survey—in Indonesian
Biasa berburu hanya di lingkup blok hutan Kelapasore. Tetapi sejak empat tahun lalu sudah tidak berburu lagi, yang telah ditekuni selama lebih dari 20 tahun. Alasannya hutan di blok Perhutani sudah banyak yang gundul dan babi menjadi menghilang. Kalau mau berburupun dengan mendapatkan hasil harus jauh ke blok hutan yang lain, seperti di Desa Ngerandu, Kecamatan Ngerandu. Daerah perburuannya dahulu meliputi blok Omahpayung, Klobong, Balu. Dulu masih memungkin mendapatkan 2-8 ekor untuk semalam berburu dengan dibantu oleh PERBAKIN. Babi yang ada di bloknya dahulu : a.
b.
babi cemeng babi hitam, dengan jumlah anak 4-6 ekor dan kelompok bisa mencapai 20 ekor. Tinggi hanya 70 cm dengan berat sekitar 50-60 kg, jarang mencapai 70 kg. Sangat merusak kebun tetapi sekarang petani merasa lebih aman. babi brengkel dikenal sebagai babi yang menyendiri, bertubuh menyeramkan dengan adanya gembol dan termasuk galak. Berat hampir sama dengan celeng cemeng hanya beda muka ada gembol. Tidak begitu merusak kebun dan juga agak jarang berkumpul dengan babi cemeng. Kalau bersatu akan terlihat jelas dari mukanya dengan tubuhnya yang sedikit lebih besar dan bundar. Mungkin sudah tidak ada lagi di blok hutan daerah perburuannya karena sudah lama sekali tidak mendengar ada yang menangkap. Dahulu (>7 tahun) sekali berburu bisa mendapatkan 2-3 ekor.
Kesimpulan : Sus scrofa & Sus verrucosus Kabupaten Wonogiri (50). ????. 35 thn. Desa Girirejo, Kecamatan Tirtomoyo. Kabupaten Wonogiri. Hutan disekitar desanya sudah lebih dari delapan tahun dibuka sehingga tidak ada lagi serangan babi atau babi yang datang. Kota Yogyakarta (51). Bpk. Palaguna. Kepala Litbang Kebun Binatang Gembira Loka. Yogyakarta. Babi yang ada di KB Gembiraloka hanya ada sepasang dan merupakan babi kutil, khususnya pada yang jantan. Yang betina masih perlu dikonfirmasi kembali. Tidak ada catatan resmi tentang asal usul dan kedatangan babi tersebut, namun setidaknya telah berada di Kebun Binatang sekitar 7-8 tahun. Selama itu belum pernah beranak. Wawancara dengan kurator mengindikasikan babi ini merupakan tangkapan Kebun Binatang Gembiraloka sebagai hasil ekspedisi di daerah Tasikmalaya. Tetapi tidak dapat dikonfirmasikan oleh staf log book. Hasil pengamatan : Babi kutil yang ada sangat mirip dengan babi yang ada di Kebun Binatang Ragunan baik dalam hal warna kulit, besar badan dan tinggi badan. Babi ditempatkan dalam kandang berukuran tidak lebih dari 20 m2 yang disekat dua dan ada bak air yang luasnya hampir setengah dari luasan kandang. Betina tampak agresif sekali apabila didekati oleh jantan, dicirikan dengan betina mengeluarkan suara lengkingan dan mencoba menggigit pejantan. Kedua babi tampak sangat gemuk sekali sehingga selama empat jam pengamatan terlihat hanya berbaring dan berpindah apabila ada gangguan dari pengunjung dengan cara dilempar batu.
NOT TO BE CITED WITHOUT CONSULTATION OF AUTHORS
32
Detailed results of S. verrucosus survey—in Indonesian
Gambar 11. Sus verrucosus jantan dan betina (?) di Kebun Binatang Gembiraloka (foto: G.Semiadi). Untuk Kebun Binatang Gembiraloka babi kutil tidak menjadi target pengembangan populasi karena ketiadaan biaya dan tidak masuk dalam pilihan satwa khusus oleh pihak pengurus Persatuan Kebun Binatang. Kalaupun akan dikembangkan harus dicari terlebih dahulu penyantun dana dan baru dapat dilakukan upaya perbanyakan populasi. Kesimpulan : Sus verrucosus Kabupaten Purworejo (52). ???. 40 thn, Petani. Desa Wonosuko. Kecamatan Kemiri. Kabupaten Purworejo. Sudah lebih dari 10 tahun babi tidak pernah terlihat ada di perladangan petani. Dulu kalaupun ada hanya satu jenis yang berwana hitam, kecil, paling besar 40 kg. Menyukai penyerangan ke perkebunan pisang, ketela dan jagung. Kesimpulan : Sus scrofa (53). Bpk. Tris. 53 thn. Polisi Polsek Bruno. Desa Brunorejo, Kecamatan Bruno. Kabupaten Purworejo. Berburu dimulai 10 tahun yang lampau dalam rangka mendampingi penembak PERBAKIN. Dikenal hanya ada satu jenis, yaitu yang berwarna hitam keabu-abuan. Semakin tua akan semakin pucat warna bulunya, mengarah keputihan. Berat rata-rata 40-55 kg, walau ada yang ditembak dengan berat >80 kg, tetapi sangat sedikit, terutama sejak 5 tahun terakhir tidak ada lagi. Tinggi badan hanya mencapai 70 cm dengan berat 80-90 kg dan yang 40 cm hanya berat 30-45 kg. Dahulu satu kelompok bisa mencapai 15 ekor, tetapi sekarang hanya 3-5 ekor. Sejak adanya perambahan pohon jati di kawasan PERHUTANI mulai tahun 1998 di Desa ini, populasi babi sangat turun drastis sehingga PERBAKIN sudah dua tahun tidak datang lagi. Hal ini karena pada tahun 2001 PERBAKIN sudah tidak pernah mendapatkan babi lagi selama beberapa kali kunjungan. Dahulu kala PERBAKIN hanya mau menembak yang berat > 45 kg dan itu cukup mudah mendapatkannya. Hutan yang tersisa saat ini hanyalah milik PERHUTANI yaitu blok hutan pinus. Tetapi di hutan ini tampaknya babi tidak begitu suka. Masa berburu adalah akhir kemarau mendekati musim hujan. Saat ini perburuan hanya dilakukan secara rombongan dari para petani apabila dirasa serangan babi mulai meresahkan. Tetapi sejak empat tahun yang lalu petani tidak begitu merasakan terlalu terganggu oleh serangan babi, mungkin karena serangan terjadi hanya sesekali saja. Musim kawin di bulan September dan di bulan Pebruari induk terlihat diikuti anak 5-6 ekor. Warna anak adalah lurik merah hitam. Babi celeng disebut andapan.
NOT TO BE CITED WITHOUT CONSULTATION OF AUTHORS
33
Detailed results of S. verrucosus survey—in Indonesian
Kesimpulan : Sus scrofa Kabupaten Cilacap (54). Bpk. Chaerudin. 58 th, Petani. Dusun Bakung, Desa Rejadadi, Kecamatan Cimanggu, Kabupaten Cilacap (perbatasan dengan Banjar). Babi hitam hanya satu jenis, kecil 25-40 kg. Menjadi hama di kawasan hutan tumpangsari. Tidak begitu paham ada jenis babi yang lain. Perburuan dilakukan oleh desa tetangga, Desa Telagasari. Kawasan huma lebih banyak dijaga pada sore hingga subuh pada musim menjelang panen. Kesimpulan : Sus scrofa (55). Bpk. Rusnanto. 55 th. Petani. Desa Negarajati. Kecamatan Cimanggu. Kabupaten Cilacap. Ladang tumpangsari di kawasan hutan KRPH Cimanggu Perhutani oleh masyarakat 40% ditanam dengan kacang tanah, sedangkan sisanya oleh jagung, singkong dan ubi jalar. Jenis hutan yang ditanam adalah pinus dan mahagoni. Disaat musim kemarau babi akan mudah terlihat di kawasan kebun kacang yang belum dipanen, untuk mencari makan dan air minum. Babi dilaporkan senang berkubang saat musim kemarau jadi banyak turun ke daerah sumber air. Penyerangan babi ke ladang dapat mencapai tiga kelompok sepanjang malam, dengan jumlah anggota 2-5 ekor/kelompok. Kerusakan yang ditimbulkan oleh serangan babi adalah sekitar ¼ ha dalam tiga hari. Pemburu lokal berjumlah sekitar 10 orang dengan bantuan anjing 6-9 ekor. Perburuan dilakukan setiap minggu, namun ada 3 orang yang berburu hampir 2-3 kali seminggu karena hobi dan untuk konsumsi sendiri serta dijual. Alat bantu pemburuan selain anjing adalah jaring serta tombak. Perjalanan ke areal berburu sekitar 1,5 jam dengan lama berburu sekitar 6-8 jam untuk memperoleh seekor babi. Tetapi sering juga tidak mendapatkan buruan. Perburuan di siang hari memang lebih susah karena harus mencari babi yang kesiangan. Daging babi umumnya dibawa pulang untuk dijual atau dikonsumsi sendiri. Harga daging babi adalah Rp. 10.000/kg pada penduduk setempat, sedangkan apabila pada pengumpul dijual dengan harga Rp. 5.000/kg. Dilaporkan pada berat hidup 25 kg babi dapat menghasilkan 12 kg daging dan dari 45 kg menghasilkan sekitar 25 kg daging. Masa musim kawin babi hutan adalah Oktober hingga Pebruari, dimana pada musim kemarau merupakan musim beranak. Jumlah anak yang lahir antara 3-7 ekor dan perburuan di musim kemarau biasanya juga menangkap anaknya. Jenis babi yang ada di daerah kawasan hutan ada dua : a. b.
babi hitam berbobot kecil 25-50 kg, jarang mencapai 70 kg. Moncong panjang, sangat licah berlari. babi yang agak kemerahan, bagian belakang dengan bulu yang agak jarang, lebih besar dari yang hitam, antara 40-70 kg, tetapi bisa mencapai 100 kg, dengan daerah muka banyak bisul bisul. Dikenal sebagai babi yang gampang ditangkap karena dianggap lebih malas berlari, walau termasuk babi yang sangat berani melawan anjing atau manusia. Lebih banyak ditemukan sendirian dan hanya yang jantan. Sudah lama sekali (> 10 thn) tidak pernah melihat atau mendengar tentang perjumpaan dengan babi ini diantara kalangan pemburu. Untuk dirinya, terakhir kali menangkap babi ini tahun 1973.
Kesimpulan : Sus scrofa & Sus verrucosus (56). Bpk. Suyanto (LIPI) & Yulianto (BKSDA Cilacap). P. Nusakambangan. Cilacap. Wilayah Pulau Nusakambangan merupakan kawasan tertutup bagi pendatang atau kunjungan, terkecuali atas izin Departemen Kehakiman dan HAM. Sebagian besar terdiri dari karang dan bukit-bukit dengan hutan belukar. Di bagian utara merupakan hutan bakau dan bagian selatan Samudera Indonesia. Babi kutil dipercaya masih dapat dijumpai di kawasan P. Nusakambangan, khususnya di daerah yang berawa yaiut daerah Desa Karanganyar dan Karangtengah. Perburuan liar masih terjadi satu dua kali. Mengingat
NOT TO BE CITED WITHOUT CONSULTATION OF AUTHORS
34
Detailed results of S. verrucosus survey—in Indonesian
merupakan kawasan tertutup, masih perlu dilakukan eksplorasi mendalam ke seluruh wilayah pulau bila memungkinkan. Kesimpulan : Sus scrofa & Sus verrucosus
PROPINSI JAWA TIMUR Kabupaten Bojonegoro (57). Bpk. Budiono 55 thn. Jl. Raya Kapas, Bojonegoro. Merupakan pemberi dua babi verrucosus jantan ke Kebun Binatang Surabaya (KBS). Diakui pada awalnya memiliki tiga ekor anak babi yang dibeli dari daerah Blora, Jawa Tengah dengan tinggi sekitar 30 cm dan satu ekor dari Kecamatan Temayang, Bojonegoro dengan tinggi 40 cm. Namun baru dua bulan setelah dipelihara satu babi asal Blora dan asal Bojonegoro mati, dan sisanya akhirnya diberikan ke KBS. Kondisi kedua daerah dilaporkan sebagai hutan jati yang berhubungan dengan hutan masyarakat. Tetapi didalamnya didapat kebun tumpangsari yang ditanam jagung dan ketela pohon. Ada laporan babi cukup banyak juga di Kecamatan Babalan, dekat Waduk Tretes, Bojonegoro. Selain itu ada juga di hutan Parengan, Kecamatan Parengan, Tuban. Namun dengan adanya perburuan dari orang kota serta peracunan yang tinggi, diyakini populasi babi saat ini sangat turun. Peracunan dahulu banyak dilakukan dengan pemberian “racun celeng” yang biasanya disisipi potassium. Pada saat membeli babi warna tubuh babi adalah abu-abu dan tidak tampak adanya kutil. Babi sempat dipelihara oleh yang bersangkutan selama 6-8 bulan sebelum diserahkan ke KBS di bulan Maret 2002. Penempatan babi saat itu di belakang rumahnya pada tanah seluas 4 x 8 m yang dikelilingi tembok setingi satu meter. Dalam posisi stress babi ternyata mampu untuk melompat pagar yang tinggi satu meter. Pertumbuhan kutil dilaporkan baru terjadi saat berada di KBS pada usia sekitar 17 bulan. Kesimpulan : Sus scrofa & Sus verrucosus (hybrid ?) (58). Subandi. 50 thn. Penggembala. Desa Kedungsari. Kecamatan Temayang. Kabupaten Bojonegoro. (Ditemui di kawasan pengumpulan kayu milik Perhutani di Desa Kedungsari). Dikenal ada dua jenis babi : a.
b.
babi celeng Warna bulu hitam gelap, dengan berat rata-rata 40-60 kg, walau ada yang melaporkan hingga 90 kg. Tinggi badan hanya 50-70 cm dengan anggota kelompok saat ini hanya 8-10 ekor. Dulu diatas 20 ekor satu kelompok. Jumlah anak sekitar 6-8 ekor. babi rokipo Dikenal sebagi babi yang suka menyendiri, muka berkutil, sangat jarang dijumpai, karena merupakan babi tertua. Hidup lebih menyukai daerah tegalan. Sekitar tahun 1964/65 (GESTAPO) babi ini banyak diburu karena beratnya yang sangat tinggi. Berat badan selalu diatas 70 kg dan belum pernah lihat babi mudanya. Dikenal sebagai babi yang malas berlari tetapi berani menghadapi manusia atau anjing. Bulan 2003 pernah ada laporan di Desa Nyandong babi ini terlihat berjumlah dua ekor pada saat yang berbeda. Untuk dirinya ini merupakan berita terbaru setelah 10 tahun tidak pernah mendengar. Dahulu kala didaerah Gn. Piling juga dikenal banyak.
Babi di wilayah Bojonegoro dikhawatirkan telah banyak turun sejak reformasi karena banyak hutan jati yang telah ditebang. Pada kenyataannya laporan resmi Pemda Bojonegro melaporkan bahwa dari sekitar 60.000 ha hutan jati yang ada, saat ini tersisa hanya sekitar 30 .000 ha. Penurunan drastis ini terjadi mulai tahun 1998 hingga 2002. Kesimpulan : Sus scrofa & Sus verrucosus
NOT TO BE CITED WITHOUT CONSULTATION OF AUTHORS
35
Detailed results of S. verrucosus survey—in Indonesian
Kabupaten Mojokerto (59) Bpk. Juwono. 40 thn. Pedagang. Desa Parame, Kecamatan Trawas, Kabupaten Mojokerto. Sejak lebih dari 15 tahun tidak ada lagi berita soal babi atau pemburu yang datang untuk berburu babi. Ini karena Desa telah dikembangkan sebagai kawasan wisata, motel dan villa hingga ke kaki gunung Penanggungan dan perbukitan. Kesimpulan : Tidak ada babi (60) ?. Petani. 60thn. Desa Mbelik. Kecamatan Trawas. Kabupaten Mojokerto. Tidak pernah terdengar ada babi sejak 10-20 tahun yang lalu sebab kawasan dekat dengan gunung Penanggungan telah dibuka menjadi kebun jagung dan perumahan vila. Kesimpulan : Tidak ada babi (61). Bpk. Samin. 50 thn. Petani. Desa Cendoro. Kecamatan Dawer. Kabupaten Mojokerto. Babi yang ada dikawasan hutan jati Perhutani berwarna hitam keabu-abuan dengan tinggi 70 cm, jumlah anggota 3-6 ekor perkelompok dengan 4-5 ekor anak. Jam keluar menyerang kebun masyarakat biasa antara jam 20:00 hingga 03:00. Dahulu petani biasa memberikan racun babi disekitar pagar kebunnya. Kalau disebut turun populasinya memang turun, tetapi hal ini lebih dikarenakan hutan tempat tinggalnya banyak yang sudah ditebang sehingga lari entah kemana. Tidak pernah melihat atau mendengar babi berkutil. Ada dua orang pemburu lokal, Bpk. Usaman dan Bpk. Sarmin, rumah dekat dengan pos jaga hutan di Desa Bakung, Kecamatan Dawer, tetapi tidak dijumpai. Menurut tetangga berburu dengan anjing dilakukan setidaknya satu-dua kali seminggu. Kesimpulan : Sus scrofa Kota Surabaya (62). Bpk. Moh. Sugoto, Muh. Ivan, Supeno, Warsito & Suyono. Kebun Binatang Surabaya. Surabaya. Kebun Binatang Surabaya memiliki lima ekor babi jantan yang menunjukkan ciri verrucosus dengan adanya bintil di daerah muka, bawah telinga dan hidung. Namu dibandingkan dengan verrucosus yang ada di Kebun Binatang Ragunan cukup jauh berbeda dalam hal warna kulit dan ukuran badan. Selain itu masih ada lima ekor betina dewasa dan delapan ekor anak babi yang belum pasti kelaminnya. Kelompok babi tersebut dapat dikelompokkan berasal dari Malang, Blora dan yang tidak diketahui asalnya. Secara rinci penempatan babi di kandang sebagai berikut :
I 1 ekor jantan tua, asal Malang, betina sudah mati. Berat 5060 kg, warna abu-abu
Kandang eksebisi II Dalam kandang isolasi: 1 betina dengan anak 4 ekor anak berumur 2 bulan (lahir 24 April 2003). Induk betina pemberian orang (? Asal), warna abuabu. Pejantan berasal dari turunan pasangan Malang (Kandang I). Berat betina 20-30 kg, sangat kurus baru
III 1 ekor jantan dewasa dengan tampilan Sus verrucosus, berat badan 25-35 kg, warna abu-abu, turunan dari babi asal Malang (kandang I), 3 ekor betina berat 15-25 kg dan 20-25 kg, satu darah dengan yang jantan. Warna abu-abu.
Karantina I II 2 ekor jantan Empat ekor muda dengan anak (? 2 tampilan jantan, 2 verrucosus, betina) umur umur per Juni sekitar 6-9 2003 sekitar 2- bulan, berasal 2,5 tahun. dari kandang Berat badan III, turunan 20-25 kg, dari Malang. warna abu-abu. Berat sekitar Asal dari Blora 10-15 kg. yang dibeli di Warna Bojonegoro mengarah ke pada umur abu-abu.
NOT TO BE CITED WITHOUT CONSULTATION OF AUTHORS
36
Detailed results of S. verrucosus survey—in Indonesian
melahirkan. Tidak jelas jenis babi betina, lebih seperti Sus scrofa karena warna kulitnya serta anak yang berlurik di badannya..
masih kecil, dipelihara oleh Bpk. Budiono, Bojonegoro selama 9-10 bulan dan baru diserahkan ke KBS Maret 2002.
Di kandang luar: 1 ekor jantan dengan tampilan Sus verrucosus, berat badan 30-40 kg, warna abu-abu, dewasa, berasal dari turunan asal Malang (kandang I). 1 ekor betina dewasa, satu darah dengan yang jantan. Warna abuabu Permasalahan utama didalam menelusuri asal usul dan umur babi yang ada di KBS adalah tidak adanya catatan. Dengan demikian tidak dapat dipastikan tentang kemurnian dari verrucosus yang ada. Yang dapat dipastikan hanyalah generasi pertama babi (F-0) terbagi atas asal Malang (± 1995), Bojonegoro/Blora (2002) dan Tidak Diketahui Asalnya (± 2000). Sedangkan populasi terbanyak berasal dari turunan pasangan babi asal Malang, dimana betinanya telah mati. Membandingkan penampilan verrucosus jantan yang ada di KBS dengan yang ada di Kebun Binatang Ragunan (KBR) sangat kontras perbedaannya. Keberadaan populasi babi kutil yang dilaporkan oleh Blouch (1983) tidak diketahui lagi, apakah yang termasuk asal Malang atau tidak. Namun senior Kebun Binatang melaporkan bahwa seingatnya tahun 1970an merupakan tahun pertama babi kutil masuk ke kebun binatang hanya tidak tahu bagaimana perkembangan populasinya. Babi yang ada di KBR menunjukkan warna kemerahan dengan berat badan mencapai lebih dari 80 kg. Dengan demikian sangat sulit untuk menetapkan tentang kemurnian masing-masing kelompok babi. Tidak diketahui dengan pasti apakah semua betina yang ada di KBS adalah verrucosus ataukah scrofa. Namun dari penampilan morfologi dan warna kulit tampak sama persis dengan scrofa, dengan anak yang lahir menampakkan bulu lurik-lurik seperti pada scrofa. Lurik mulai memudar pada umur dua bulan. Sedangkan jantan yang ada di KBS tidak menampakkan adanya bintil-bintil sebelum mencapai usia 15-18 bulan. Hal ini didasarkan pada pengamatan dua jantan muda (hybrid?). Untuk itu perlu dilakukan penelitian berlandaskan molekuler guna memastikan status kemurnian babi yang ada. Pada papan plakat informasi di depan kandang tertulis Celeng Goteng, kebuntingan 120 hari dan beranak 5 ekor. Perbedaan nyata dalam hal penampilan kutil dari dua kelompok babi goteng di KBS adalah : Sangat Tua (Ayah) Dewasa (Turunan) Kutil bawah telinga Besar, berlipat dibagian bawah, 3 Sedang, 3 gumpalan tapi bagian gumpalan tengah tidak begitu tampak Kutil bawah mata Relatif panjang Agak kecil Kutil di tulang hidung Relatif kecil, harus dilihat Besar dengan baik Pakan terdiri atas jagung muda, ubi, singkong dan sedikit sayuran muda berupa kangkung, diberikan dua kali sehari dalam bentuk segar dan terpotong kecil. Performance reporduksi dan biologi lainnya tidak dapat ditampilkan mengingat tidak ada catatan pengamatan yang dilakukan oleh keeper/penanggung jawab. Pada betina yang baru melahirkan dengan empat anak, sebenarnya ketika lahir berjumlah lima ekor, hanya mati
NOT TO BE CITED WITHOUT CONSULTATION OF AUTHORS
37
Detailed results of S. verrucosus survey—in Indonesian
di usia ke tiga kemungkinan akibat terhimpit induk. Induk yang masih menyusui tampak sangat kurus, bulu berdiri dan kusam dengan ambing yang tidak begitu terlihat berisi. Dibagian taxidermi didapat dua buah ofset kepala babi kutil yang menurut kurator merupakan pemberian sekitar 15 tahun yang lampau, tetapi tidak diketahui asalnya. Beberapa ukuran dari kutil di dua ofset tersebut adalah sebagai berikut:
Kutil di daerah hidung Lebar kutil (mm) Tinggi kutil (mm) Jarak dari ujung hidung (mm) Kutil bawah mata Lebar kutil (mm) Jarak dari mata (mm) Jarak dengan kutil hidung (mm) Kutil bawah telinga Jarak dengan telinga (mm) Lebar kutil atas (mm) Lebar kutil tengah (mm) Lebar kutil bawah (mm) Tinggi kutil atas (mm) Tinggi kutil tengah (mm) Tinggi kutil bawah (mm) Jarak kutil mata dengan telinga Catatan
Babi kutil 1
Babi kutil 2
20,85 13,45 100,65
22,25 --97,35
16,55 25,25 147,85
29,25 120,00
39,00 49,15 23,25 21,00 21,55 25,75 28,35 27,45 Rambut telah rontok semua karena usia ofset
50,55 23,95 27,15 Belum tampak ------28,85 Surai tumbuh sangat panjang dari daerah kutil bawah telinga, berwarna hitam. Ada sedikit warna rambut kemerahan dibagian kepala.
Gambar 12. Sus verrucosus hybrid (?) di Kebun Binatang Surabaya (foto: G.Semiadi).
NOT TO BE CITED WITHOUT CONSULTATION OF AUTHORS
38
Detailed results of S. verrucosus survey—in Indonesian
Selain pengukuran pada offset babi, dilakukan pula pengukuran pada empat tengkorak yang dilaporkan merupakan kumpulan babi jantan yang mati di KBS. Hasil menunjukkan bahwa tiga babi 80% mengindikasikan sebagai verrucosus dan satu kemungkinan hybrid. Kesimpulan : Sus verrucosus (hybrid?) (63) Adiknya pak Budi. Toko Senapan Majapahit. Jl. Praban (Blauran). Surabaya. Kedua offset kepala babi (Verrucosus dan bertina scrofa tampaknya) ditembak sekitar 15 tahun yang lalu dari daerah Lumajang. Tetapi tidak tahu dimana tepatnya. Hasil pengamatan pada offset kedua babi adalah sebagai berikut : Sus verrucosus Bulu kemerahan, pirang, tidak terlihat adanya warna hitam pada daerah kepala
Moncong relatif pendek dan membesar ke arah kepala Terdapat kutil dibagian muka, tetapi relatif kecil (menyusut karena offset??) Taring agak sama besar, hanya sedikit panjang yang bagian bawah Leher terlihat besar Cukup banyak surai didaerah muka, khususnya dari daerah kutil Telinga terlihat kecil dibandingkan dengan muka
Sus scrofa Bulu berwarna hitam gelap pada bagian punggung dan sekitar muka. Di bagian leher rambut agak jarang sehingga terlihat hanya warna dasar kulit keabu-abuan Moncong agak panjang sedikit Tidak ada kutil di daerah muka Taring agak sama besar dengan verucosus hanya lebih pendek sedikit Leher terlihat 20% lebih kecil Tidak terlihat adanya bulu surai tetapi bulu di daerah muka terlihat cukup lebat Telinga hampir seimbang dengan besar muka
Kesimpulan : Sus scrofa & Sus verrucosus P. Madura (64). Rahim. 47 thn Staf T.N Baluran asal P. Madura, istri masih di Kabupaten Pamekasan, Madura, pulang dua bulan sekali ke P. Madura. Dipastikan babi kutil tidak ada di P. Madura. Kawasan hutan yang dihuni babi yang diketahui adalah di Desa Jrengi, Kabupaten Bangkalan dengan pohon jati dan di Desanya, Desa Pukong, Kecamatan Pukong, Kabupaten Pamekasan yang masih merupakan perbukitan dengan hutan jati. Warna babi hitam, taring cukup banyak yang panjang tetapi jarang yang mencapai berat 80 kg, hanya sekitar 60 kg, tidak ada kutil. Perburuan sangat jarang dilakukan, sesekali oleh penduduk dan penembak dari kota. Kesimpulan : Sus scrofa Kabupaten Gresik (Pulau Bawean) (65) Ahkam. 37 thn. Petani. Ds. Pudakit Barat, Tampo. Kecamatan Sangkapura. P. Bawean. Perburuan dimulai sejak 10 tahun, yang didasarkan pada hobi. Awalnya yang diburu adalah kera, dengan cara mengejar (memanjat) kera hingga kera turun ke tanah dan diterkam oleh anjing pemburu yang bersangkutan. Sejak lima tahun yang lalu mulai senang berburu babi. Perburuan dilakukan dengan bantuan hanya dua anjing, tetapi umumnya dilakukan dalam satu tim beranggotakan 3-5 orang dengan bantuan 4-5 ekor anjing. Pada tahun 2000 merupakan tahun terakhir dimana perburuan dilakukan demikian intensif, seminggu dua kali. Namun sejak tahun 2001 dirasakan populasi mulai menurun, tidak hanya karena tingkat perburuan tetapi juga babi mungkin menyebar ke gunung lain. Pada tahun itu pula anggota pemburu dari dusun Tampo bubar karena banyak yang pergi menyebrang ke P. Jawa. Namun demikian di dusun lain NOT TO BE CITED WITHOUT CONSULTATION OF AUTHORS
39
Detailed results of S. verrucosus survey—in Indonesian
kelompok pemburu tradisonal masih banyak, tetapi perburuan tidak lagi dilakukan secara rutin. Pada akhirnya sejak pertengahan 2001 berburu hanya dilakukan oleh yang bersangkutan sebulan sekali. Hasil pengamatan yang bersangkutan menyatakan ada dua jenis babi di P. Bawean : 1.
2.
3.
Celeng kombang, dikenal sebagai jenis babi yang paling merusak, hidup di hutan dekat air. Tinggi badan seperti kambing kacang (40-50 cm) dengan berat sekitar 20-50 kg. Mengeluarkan suara yang paling nyaring. Paling sering menyerang sawah basah dan juga ladang kering, dengan menyerang ladang umbi dan singkong. Warna agak kehitam-hitaman bercampur agak abu-abu. Celeng batang. Dikenal sebagai babi berbadan besar, warna bulu lebih hitam dari kombang, tetapi pada umur mudah bulu agak kecoklatan. Berat > 50 kg yang dewasa dengan tinggi badan sedikit lebih dari yang kombang. Babi kutil. Dikenal sebagai babi dengan jumlah yang paling sedikit. Tidak tahu apakah ada yang betina atau seperti apa yang betina. Hal ini dikarenakan yang sering terlihat adalah yang jantan. Ciri khas dengan adanya kutil di sekitar muka dan dikenal sangat ganas. Warna kehitaman abuabu, sedikit ada yang kemerahan di bagian kepala. Berat antara 70-90 kg, tetapi ada juga yang hanya 60 kg. Namun perjumpaan dengan babi kutil muda dirasakan tidak pernah terjadi, sehingga tidak tahu bagaimana rupanya untuk babi kutil muda maupun yang betina. Yang paling tua mempunyai muka yang paling menakutkan dan dikenal sangat tidak takut dengan apapun. Babi kutil lebih banyak diam dan anjing biasanya cepat melarikan diri. Terakhir kegiatan perburuan dan mendapatkan babi ini adalah tahun 1980. Tetapi sejak itu tidak pernah ada lagi yang tertangkap. Namun perjumpaan masih suka terjadi walau sangat jarang sekali. Perjumpaan terakhir terjadi tahun 2000. Ekor termasuk kecil dan polos. Punggung agak cembung bulat. Babi ini tidak pernah turun ke Desa seperti yang dilakukan oleh babi lainnya. Setidaknya saat ini ada satu babi kutil yang sangat besar dan sering terlihat berpindah antara Gn. Besar dengan Gn. Durin (tetapi kemungkinan juga dua babi yang berbeda).
Populasi babi yang terlihat ketika masuk hutan selama tahun 2002 terasa sekali sudah menurun tanpa sebab yang jelas. Dahulu satu kelompok dapat diumpai hingga 12 ekor, tetapi sekarang hanya tiga ekor, itupun jarang berjumpa. Induk babi umumnya melahirkan anak sekitar lima ekor. Luasan sarang, yang disebut sudung, mencapai 1,5 m2. Dalam kegiatan pencarian pakan, sifat yang paling merusak adalah saat mencari cacing, dimana tanah rusak dibalik dengan bagian mulut dan hidung. Daging babi yang mati dibunuh biasanya akan dimakan oleh sesama babi hingga habis. Sebaran babi di P. Bawean adalah di Gn. Batur, Gn. Dedawang dan daerah padang Lanpelem. Juga di sekitar Sumber Lanas kearah Gn. Besar dan Gn. Durin serta disekitar Desa Batulentang. Mengingat sejak tahun 2001 babi dirasa menurun populasinya untuk kawasan tersebut, ada dugaan babi mulai pindah ke selatan yaitu ke daerah Gn. Gadung, Tanah Gresik dan Lanpelem. Diperkirakan babi mempunyai daya jelajah habitat mencapai 3 km setiap harinya. Kesimpulan : Sus scrofa & Sus verrucosus (66). Bpk. Halimi dan Bpk. Sudirman (>55 thn). Bekas pemburu sewaktu muda. Ds. Pudakit Barat, Tampo. Kecamatan Sangkapura. P. Bawean. Kab. Gresik. Dalam pandanga mereka berdua babi di P. Bawean hanya dikenal dua macam, yaitu : a.
b.
babi kumbang, bergerombol, dahulu hingga 20 ekor/kelompok, tetapi sekarang katanya hanya tinggal 3-5 ekor/kelompok. Berukuran badan kecil, sekitar 40-50 kg, berbulu kasar, warna abu-abu kecoklatan serta ada yang agak kemerahan. Tempat tinggal disekitar hutan atau bersemak, dengan jumlah anak dapat mencapai enam ekor. babi kutil, dikenal sebagai babi yang sendirian dengan ciri khas mukanya penuh kutil besar-besar. Belum pernah bertemu dengan babi kutil muda, tetapi selalu yang sudah dewasa/besar dengan berat > 70 kg, dengan kisaran 60-80 kg. Kelompok hanya terlihat paling banyak dua ekor, itupun dengan yang betina. Tetapi tidak jelas apakah betina tersebut dari kelompok lain atau kutil. Postur badan lebih tinggi, dapat mencapai 70 cm dengan badan yang lebih panjang dari babi kumbang dan lebih gemuk. Bulu tampaknya lebih halus dibandingkan dengan babi kumbang. Anak NOT TO BE CITED WITHOUT CONSULTATION OF AUTHORS
40
Detailed results of S. verrucosus survey—in Indonesian
diperkirakan 3-5 ekor, karena belum pernah melihat jelas jantan bersama sama dengan anak. Tetapi pernah melihat jantan betina dan anak bersama-sama. Gambaran perbedaan antara babi kumbang dan babi kutil adalah : Babi Kumbang (Sus scrofa) Moncong seperti cecurut, panjang Badan langsing, tetapi ada juga yang bulat Punggung agak lengkung Tulang kaki lebih kecil Warna keabu-abuan hitam
Babi Kutil (Sus verrucosus) Moncong agak pendek dengan membesar didaerah mulut belakang mengarah ke telinga Badan besar dan bulat Punggung rata Tulang kaki besar Warna abu-abu hitam dan ada sedikit merah dimuka
Kesimpulan : Sus scrofa & Sus verrucosus
Gambar 13. Sus verrucosus jantan dari Lumajang (foto: G.Semiadi). (67). Jasin. 57 thn. Ds. Pudakit Barat, Tampo. Kecamatan Sangkapura, Pulau Bawean. Kab. Gresik. Berburu sudah sejak muda dilakukan tetapi saat ini sudah jarang. Terakhir berburu enam bulan yang lalu. Perbedaan diantara dua babi yang ada sebagai berikut : Babi Kumbang (Sus scrofa) Beranak 5-7 ekor, tetapi yang hidup sampai dewasa tidak lebih dari 3-5 ekor. Sebaran di Gn. Gadung, Gn. Parau, Gn. Dedawang, Gn, Gudul, Gn. Belumbung, Gn. Batu, Gn. Muntaha, Gn. Lodan dan Gn. Durin.
Tinggi dewasa 40-50 cm Berat tidak tahu
Babi Kutil (Sus verrucosus) Tidak tahu persis, mungkin kurang dari 5 ekor, karena hanya melihat sekali jantan dengan betina dan seekor anak agak besar. Gn. Batu, Gn. Muntaha, Gn. Lancang dan kawasan bersemak. Tetapi yang telah tua sering berkelana karena suka ketemu diberbagai Gunung yang berbeda (atau mungkin lebih dari satu ekor??). Tahun 2002 terlihat di Gn. Lancang yang besar sekali Tinggi dewasa 60-70 cm Lebih berat dari kumbang
NOT TO BE CITED WITHOUT CONSULTATION OF AUTHORS
41
Detailed results of S. verrucosus survey—in Indonesian
Perut ada yang hampir menempel tanah Punggung cekung Hitam dan ada garis putih di sekitar leher, pipi Tulang kaki lurus dan ramping Mencari makan disungai, daerah basah dan turun ke ladang/kampung
Perut tidak menempel tanah walau gemuk Punggung rata Bulu merah hitam, di daerah leher banyak bulu dengan tanda khas adanya kutil di sekitar muka Tulang kaki terlihat pendek tetapi besar Mencari makan di hutan dan padang semak
Kesimpulan : Sus scrofa & Sus verrucosus (68) Bpk. Sunan. 60 thn. Ds. Pudakit Barat, Tampo. Kecamatan Sangkapura, P. Bawean, Kabupaten Gresik. Menurut padangannya ada dua jenis babi di P. Bawean, yaitu : a.
b.
babi biasa. Warna hitam keabu-abuan seperti warna kulit kerbau. Di daerah leher suka ada warna garis putih. Berat badan hidup 50-70 kg. Sering melihat induk diikuti oleh anak yang telah cukup besar (20 cm tinggi) berjumlah 3-5 ekor. Badan agak pendek dengan perut ada yang seperti hampir menyentuh tanah. Dijaman mudanya satu kelompok babi bisa mencapai 7-10 ekor tetapi terakhir kali (3 tahun lalu) jarang yang mencapai kelompok tujuh ekor. babi kutil. Selalu terlihat yang jantan, dan belum pernah tahu yang betina dengan pasti. Lebih terlihat banyak sendirian, namun suka mendekati kelompok babi biasa pada musim kering khususnya. Namun tidak tahu apakah kelompoknya, sebab warna kulit sama dengan babi yang biasa, demikian pula ukuran tubuhnya. Dalam kelompok lebih suka dekat dengan babi betina yang bertubuh besar, biasanya berwarna hitam keabua-abuan yang gelap. Paling sering terlihat di wilayah blok hutan jati dan hampir tidak pernah turun ke wilayah kampung. Berat yang dewasa terlihat sangat besar > 100 kg, tetapi ada juga yang agak kecil, sekitar 60-70 kg dengan warna lebih cerah dari yang tua (ada warna hitam keabu-abuan). Bentuk badan bagian anggota depan besar sedangkan bagian belakang agak lebih kecil. Perut relatif lebih panjang tetapi tidak menyentuh tanah. Kutil pada babi yang suka terlihat berukuran cukup besar, khususnya di bagian bawah telinga. Sifatnya tidak terlalu suka berkelana dan anjing pemburu takut dengan babi ini. Kutil berwarna hitam, karena tertutup oleh rambut-rambut yang berwarna hitam. Tahun 1980 merupakan tahun terkahir yang bersangkutan melihat babi kutil mati dibunuh dalam perangkap lubang. Umumnya pada zaman dahulu perburuan dilakukan lewat bantuan perangkap dalam bentuk lubang, jerat leher dan kaki, kemudian berkembang dibantu anjing yang kemudian ditusuk golok panjang (60-70 cm).
Sebaran untuk seluruh babi di P. Bawean adalah di Gn. Lodan, Gn. Aer Celok, Gn. Marban, Gn. Bungkalan dan Gn. Bangsal. Dimasing-masing gunung dahulu suka didiami oleh babi kutil. Walau sekarang sudah tidak berburu lagi, namun dipercaya babi kutil masih ada, sebab pemburu jaman dahulu tidak banyak memburu babi kutil. Walau demikian yang bersangkutan tidak tahu apakah babi muda yang diburu adalah babi kutil, sebab seingatnya jarang sekali mendapatkan babi muda berkutil. Kesimpulan : Sus scrofa & Sus verrucosus Kabupaten Pasuruan (69). ??. 40 thn. Petani. Desa Lumbung, Kecamatan Lumbung. Kabupaten Pasuruan. Babi memang ada, tetapi sangat jarang sekali dan tidak dianggap terlalu sebagai hama. Biasanya bulan Juli sampai September terlihat babi turun dari gunung sekitar ke kawasan kebun masyarakat tetapi jumlahnya sedikit dan jarang. Warna adalah yang abu-abu, termasuk kecil hanya 30-50 kg. Tidak begitu paham dengan populasi, hanya keadaan waktu kecil dan sekarang memang jauh berbeda, mungkin karena telah makin banyak penduduk dan dulu banyak diburu. Tidak pernah mendengar ada babi berkutil. Kesimpulan : Sus scrofa
NOT TO BE CITED WITHOUT CONSULTATION OF AUTHORS
42
Detailed results of S. verrucosus survey—in Indonesian
Kabupaten Probolinggo (70). Bpk. Satroli. 55 thn. Petani. Desa Terpuram, Kecamatan Sumber, Kabupaten Probolinggo. Babi ada dua jenis a.
b.
celeng tapis, termasuk yang paling banyak populasinya, yaitu yang berwarna abu-abu kehitaman. Satu kelompok mencapai antara 3-15 ekor dan senang menyerang jagung serta singkong. Anak terlihat ikut dengan induknya antara 4-8 ekor dengan warna bulu lurik-lurik. Berat badan 40-50 kg, menyukai hutan perkebunan. Pembuatan sudung banyak disukai didaerah hutan pinus. celeng biasa, berat badan ada yang mencapai 100 kg, tetapi jarang. Umumnya sedikit diatas berat celeng tapis yang paling besar (>60 kg?). Juga senang dengan kebun jagung tetapi bergerak lebih sedikit, hanya dengan 3-5 ekor perkelompok dan umumnya semuanya besar-besar. Kata orang merupakan rajanya celeng tapis. Yangbetina juga besar tetapi lebih kecil dari yang jantan.
Perburuan oleh masyarakat tidak begitu rutin dilakukan. Hanya bila ada serangan ke kebun ada bantuan pemburu dengan memasangkan jerat tali kopling untuk bagian lehernya. Baru diperiksa ulang 1-7 hari kemudian atau hingga 14 hari. Bila dapat umumnya telah mati. Kesimpulan : Sus scrofa (71) Bpk. Sanito. 50 thn. Polisi Polres Desa Sumber. Kecamatan Sumber. Kabupaten Probolinggo. Sudah berburu lebih dari 15 tahun. Babi dikenal ada dua jenis : a.
b.
babi lantung Warna bulu hitam, termasuk besar ukuran badan sekitar 80 kg yang terbesar, umumnya sekitar 70 kg, tinggi 80 cm, panjang 100-134 cm dengan anggota 2-3 ekor perkelompok dan semuanya berbadan besar. Pernah melihat induk diiukuti anaknya enam ekor masih berwarna lurik bulunya. Menyukai hutan lebat, khususnya pinus untuk tempat tinggal. babi tapis Merupakan babi terbanyak populasinya, menyukai daerah yang lebih panas (rendah??). Warna bulu coklat kemerahan dan campur hitam abu-abu. Tinggi sebesar anjing kampung (40-50 cm) dan langsing. Panjang badan 80-90 cm. Berat hanya sebesar kambing (30-50 kg). Sebelum tahun 1980, saat PERBAKIN mulai banyak masuk, satu kelompok bisa mencapai 20 ekor, tetapi sekarang hanya tinggal enam ekor/kelompok. Kebun jagung, terlebih ketela pohon, seluas ¼ ha dapat diacak-acak oleh enam ekor babi dalam satu malam hanya untuk mencari cacing dengan sesekali memakan jagung muda atau ketela pohon.
Ciri khas babi saat muda ditumbuhi rambut sesuai dengan warna jenisnya, tetapi semakin tua akan menjadi botak dan taring pada babi besar terlihat panjang melengkung kedalam. Tidak pernah melihat babi berkutil. Kesimpulan : Sus scrofa Kabupaten Situbondo (72) Bpk. Syukur. 43 thn. Petani dan penunjuk jalan pemburu kota. Desa Banyuglugur. Kecamatan Banyuglugur. Kabupaten Situbondo (ujung pagar PLTU Paiton, 400 m). Merupakan daerah berkumpulnya babi liar, terutama saat musim kemarau panjang, karena babi berkumpul mencari daerah yang masih lembab. Babi yang disebut celeng juga banyak dijumpai di Desa Kalisari, Desa Pesisir, Desa Telepung, Desa Selabanteng, Kecamatan Banyuglugur, Kabupaten Situbondo. Babi mulai terlihat keluar dari persembunyian sekitar jam 18:00 dan masuk lagi bila panas matahari mulai terasa (jam 9:00 ??). Perburuan dilakukan dengan dikejar anjing dan jaring. Umumnya perjalanan dibutuhkan dua jam dari Desa Banyuglugur sebelum dapat dilakukan perburuan.
NOT TO BE CITED WITHOUT CONSULTATION OF AUTHORS
43
Detailed results of S. verrucosus survey—in Indonesian
Dahulu, 8-10 tahun yang lalu populasi babi sekitar 9-20 ekor/kelompok tetapi sekarang sekitar setengahnya. Pemburu tradisional ada, tetapi lebih sebagai pemburu hobi, dengan jumlah 4-5 orang perkampung dan anjing 5-6 ekor. Dalam satu Desa bisa mencapai empat kampung. Masa perburuan yang agak mudah mendapatkan hasil adalah bulan Juni-September karena babi biasanya terkonsnetrasi di beberapa tempat basah saja. Bila sudah masuk musim penghujan, babi tersebar merata di hutan sehingga pertemuan hanya dengan kelompok babi dengan anggota sedikit. Daerah yang paling padat babi adalah Bukit Curah Mulang, Gunung Tiang dan Alas Tua, yang merupakan daerah beralang-alang serta ada sedikit ladang jagung. Jenis babi yang dijumpai ada dua, yaitu : a.
b.
celeng hitam termasuk jenis yang berwarna kulit banyak berwarna hitam dengan sedikit keabu-abuan, termasuk berbadan tinggi sekitar 60-70 cm dengan berat badan > 60 kg yang dewasa. Moncong agak pendek dengan kepala besar. Termasuk jenis yang paling banyak dan cukup merusak. celeng merah merupakan celeng dengan warna agak kemerehan dan ada sedikit abu-abu/coklat dan kehitaman di beberapa bagian muka. Termasuk kelompok babi berbadan kecil dengan berat hanya sekitar 30-45 kg pada yang dewasa. Berbunyi “eeekkk…”. Telinga agak lancip, moncong lancip.
Tidak dijumpai babi kutil dikawasan tempat tinggalnya, namun ada juga beberapa ekor babi hitam yang sangat besar seperti gambar foto, namun tidak berbintil dan warna tetap hitam. Kesimpulan : Sus scrofa (73). Sahid. (?) thn. Polisi Hutan. KRPH Bungatan. Desa Bungatan. Kecamatan Bungatan. Kabupaten Situbondo. Merupakan kawasan hutan Perhutani yang ditanami jati. Sejak 10 tahun yang lalu populasi babi sudah menurun. Yang ada hanyalah babi yang berwarna bulu hitam, yang dahulu (dan sekarang) turun ke kehutanan Perhutani saat musim tanam dan panen jagung pada kebun tumpangsari. Tinggi babi sekitar 6070 cm dengan berat hanya 30-50 kg. Satu kelompok saat ini paling 5-8 ekor, padahal dahulu bisa mencapai 30 ekor bahkan lebih. Celeng tabes merupakan satu-satunya jenis babi yang ada, dengan perut yang ramping. Penurunan populasi dirasakan tidak hanya oleh perburuan tradisional saja tetapi juga berpindah karena perluasan kegiatan tumpangsari hutan masyarakat kedaerah yang lebih tenang, jauh menjorok kedalam hutan, serta masih kaya akan sumber air. Sedangkan di hutan ini, mungkin karena telah menjadi hutan tua, air sulit di musim kemarau. Kesimpulan : Sus scrofa Kabupaten Banyuwangi (74). Bpk. Rahim, Tri & Ahmad Toha. Jagawana Taman Nasional Banyuwangi.
Baluran. Bekol. Kabupaten
Babi di T.N Baluran sejak lima tahun yang lalu sudah menurun drastis. Bahkan sejak tahun 2001 di beberapa habitat (termasuk wilayah Guest House Beko) babi sudah tidak tampak lagi. Tidak diketahui dengan jelas apa yang menyebakan babi menjadi hilang, dan diperlukan jawaban secepatnya. Perburuan pada babi hanya terjadi di luar kawasan dimana kebun masyarakat menempel pada hutan kawasan Taman Nasional. Beberapa permasalahan penting yang dihadapi oleh pengelola Taman Nasional adalah : a.
Populasi ajak (Cuon alpinus) sekitar lima tahun yang lalu menunjukkan peningkatan populasi yang meninggi. Saat ini populasi ajak termasuk padat, sekitar 80-100 ekor/kelompok. Peningkatan populasi terasa sekali sejak tahun 2001 mengingat banyak areal yang sekarang dipenuhi oleh kelompok ajak. Pengamatan pada kotoran ajak di lapang menunjukkan bulu rusa (Cervus
NOT TO BE CITED WITHOUT CONSULTATION OF AUTHORS
44
Detailed results of S. verrucosus survey—in Indonesian
b.
timorensis) memegang proporsi yang paling banyak, bahkan tampaknya merupakan pakan satusatunya. Serangan gulma dari kelompok Acacia (Acacia nilotica/ arabica?) telah demikian sangat ekstrim, dimana hampir 40% dari kawasan Taman Nasional tampaknya telah diserang gulma ini. Padang savana Bekol terlihat jelas telah dipenuhi oleh acacia ini.
Dari permasalahan yang dihadapi oleh pihak pengelola, timbul beberapa hipotesa tentang hilangnya babi secara drastis : 1. 2. 3.
Apakah mungkin babi menghindar dari anjing ajak dan lari ke luar kawasan? Apakah mungkin babi telah menjadi mangsa utama ajak sejak lama dan baru teridentifikasi setelah semua menjadi terlambat Apakah mungkin babi pindah lokasi karena gangguan habitat oleh adanya gulma acacia?
Pihak Taman Nasional telah lama meminta bantuan banyak pihak dalam menghadapi permasalahan ini, yaitu gulma acacia, menurunnya babi dan meningkatnya populasi ajak. Dari hasil wawancara dengan para jagawana mendapatkan gambaran bahwa babi di kawasan Taman Nasional ada dua : a.
b.
babi tubuh kecil tinggi 40-50 cm, dengan panjang tubuh 70-90 cm (hidung ke pantat). Warna abu-abu kehitaman dengan berat 30-40 kg. Satu kelompok biasa ditemukan 5-6 ekor, dengan anak 4-5 ekor. Ukuran badan betina lebih kecil dari yang jantan. Taring tidak begitu tampak, dimana jantan mempunyai bulu surai yang tidak begitu lebat di punggung. Banyak dijumpai di sekitar hutan pantai. Tahun 1998 merupakan terakhir kali melihat babi dalam kelompok 10 ekor. Tahun 2002 sekitar delapan km dari Bekol terlihat induk diikuti oleh enam ekor anaknya. babi tubuh besar tinggi 60-75 cm dengan panjang tubuh antara 90-100 cm dan berat badan dewasa >60 kg. Satu kelompok berjumlah 6-8 ekor dengan anak bisa mencapai delapan ekor. Jantan jelas terlihat besarnya dibandingkan dengan yang betina. Sebaran di T.N Baluran dari mulai blok Curah Uling hingga ke kaki Gn. Baluran. Juga dahulu banyak di blok Boma. Pada tahun 2000 pernah berjumpa dengan kelompok enam ekor. Sedangkan di Desa Wanaraja, Kecamatan Banyupukit, Kabupaten Situbondo sering didengar babi dijaring oleh masyarakat mengingat di wilayah tersebut ada perkebunan kapuk.
Kesimpulan : Sus scrofa (75). Bpk. Sianto. 50 thn. Bekas Jagawana T.N Baluran selama 20 thn. Kantor Pusat T.N Baluran. Kabupaten Banyuwangi. Babi di Taman Nasional Baluran dikenal ada dua, yaitu : a.
b.
babi bagong, moncong agak pendek dan besar, hidup didaerah padang terbuka, berkubang di pinggir pantai. Warna bulu hitam keabu-abuan. Populasi jarang terlihat. Tinggi badan 70 cm, berat 60-70 kg dalam beranak enam ekor tapi ada yang bilang mencapai 12 ekor. Hanya tidak tahu berapa yang hidup. babi tapis, sering dijumpai disemak-semak, dikenal paling banyak terlihat. Warna bulu hitam keabu-abuan, bulu agak panjang dibagian kepala sampai ekor. Satu kelompok 5-7 ekor dengan tinggi badan 40-50 cm, anak 5-7 ekor. Berat hanya mencapai 40 kg. Sebaran di T.N Baluran yang terluas.
Tidak tahu pasti mengapa keduanya sekarang menurun drastis dan tidak pernah berjumpa dengan babi semacam verrucosus. Kesimpulan : Sus scrofa
NOT TO BE CITED WITHOUT CONSULTATION OF AUTHORS
45
Detailed results of S. verrucosus survey—in Indonesian
(76). Bpk. ? . Afdeling Perkebunan. 60 thn. Desa Margosugih. Kecamatan Glenmore. Kabupaten Banyuwangi. Babi hanya ada satu jenis, yaitu : Warna hitam, tinggi sekitar 30-40 cm tapi ada yang sangat besar hingga 80 cm tingginya. Panjang badan 90-100 cm. Anak bisa mencapai delapan ekor dengan anggota kelompok bisa mencapai 6-8 ekor. Berat dewasa ada yang mencapai > 70 kg, rata-rata 50-65 kg. Banyak berkeliaran disekitar hutan masyarakat, tetapi dianggap tidak begitu menjadi hama karena tingkat kerusakan termasuk rendah. Umumnya babi terkonsentrasi di kebun coklat milik perkebunan dengan mencari cacing disekitar perakaran pohon. Kesimpulan : Sus scrofa Kabupaten Jember (77). Bpk. ?. 50 thn. Penjaga Kebun PTP 12. Desa Sidomulyo, Kecamatan Silo. Kabupaten Jember. Merupakan perkebunan kopi yang menempel dengan Gn. Gumitir. Jenis babi yang ada hanya satu, yaitu yang berwarna hitam, tinggi 60-70 cm, berat 30-40 kg. Tidak diburu oleh masyarakat lokal, tetapi datang dari kota. Hal ini karena penduduk lebih suka berburu rusa, dan tidak merasa menjadi hama. Keberhasilan pemburu kota dengan tiga senjata dalam semalam antara 0-3 ekor. Datang berburu hanya 2-3 bulan sekali. Tidak pernah melihat babi kutil dan dikonfirmasi dengan empat petani lainnya juga mengatakan tidak ada babi berkutil. Kesimpulan : Sus scrofa (78). Moh. Zikri. 25 thn. Penjaga perkebunan. Desa Bandealit, Kecamatan Bandealit. Taman Nasional Meru Betiri. Kabupaten Jember. Dikenal ada dua jenis babi : a.
b.
babi tapis warna abu-abu kehitamanan dengan berat badan hanya 50-60 kg, rata rata mungkin hanya 40 kg. Merupakan jenis yang paling banyak dengan satu rombongan bisa mencapai 30 ekor saat ini. Tidak diburu karena berada dalam kawasan konservasi Taman Nasional Meru Betiri (TNMB). Namun apabila sudah parah serangan ke perkebunan secara diam-diam juga diburu. Tidak dilakukan peracunan. babi besar warna sama dengan babi tapis, hanya yang membedakan adalah ukuran badannya yang besar, bisa mencapai >80 kg, tapi rata-rata sekitar 65 kg. Merupakan kelompok babi yang sangat sedikit, hanya 2-5 ekor, itupun jarang sekali terlihat satu kelompok yang besar-besar semua. Suka bergabung dengan babi tapis dan terlihat besar sendiri. Ada indikasi sebagai pemimpin babi tapis.
Kesimpulan : Sus scrofa (79). Bpk. Imran & Hapit. 40 thn. Keamanan Perkebunan. Desa Bandealit, Kecamatan Bandealit. Taman Nasional Meru Betiri. Kabupaten Jember. Uniknya perkebunan dan Desa Bandealit adalah berada didalam kawasan Taman Nasional Meru Betiri. Sehingga semua babi yang menyerang kawasan perkebunan atau kebun masyarakat sudah dipahami tidak boleh dibunuh. Dalam satu malam tiga blok kebun (@ 50 x 15 m) bisa dirusak oleh kawanan babi yang mencapai 20-40 ekor. Sebenarnya yang terjadi adalah babi mengorek tanah untuk mencari cacing atau umbi-umbi akar. Tetapi yang terjadi adalah tanaman menjadi rubuh karena diinjak atau didorong oleh moncongnya. Untuk kebun ketela pohon merupakan kebun yang paling dominan diserang. Cukup 4-6 ekor bisa menghabiskan ketela pada luasan 5 x 20 m. Penduduk pasrah pada kenyataan setiap kebun sekitar 4050% akan habis diserang babi sebelum panen dimulai.
NOT TO BE CITED WITHOUT CONSULTATION OF AUTHORS
46
Detailed results of S. verrucosus survey—in Indonesian
Babi yang ditemukan di kebun adalah yang berwarna abu-abu dengan berat paling besar bisa 80 kg, tetapi umumnya 40-70 kg. Satu kelompok besar bisa mencapai 40-50 ekor, rata-rata 20-30 ekor. Anak hanya terlihat yang telah mengikuti induknya, antara 4-6 ekor. Fototrap dari kantor T.N Meru Betiri yang telah dilakukan dua kali (1999, 2001) menunjukkan tidak adanya babi verrucosus, yang ada hanya babi scrofa. Demikian juga hasil komunikasi dan penyampaian gambar verucosus pada masyarakat tidak menunjukkan adanya babi yang berkutil. Dari fototrap terlihat betina terbesar sekitar 60-70 kg, tinggi sekitar 50 cm dengan berat babi muda/anak remaja sekitar 20 kg dan sub-adult sekitar 30-40 kg. Hasil foto trap menunjukkan adanya macan tutul (Panthera pardus) dan kijang (Muntiacus muntjak). Kesimpulan : Sus scrofa (80). (?). Petani. 60 thn. Desa Bandealit (dalam wilayah TNMB), Kecamatan Bandealit. Kabupaten Jember. Satu kelompok babi yang menyerang kebun biasanya 20-30 ekor, namun bisa mencapai 60 ekor, walau agak jarang. Anak sangat banyak, yang baru lahir bisa mencapai delapan ekor. Pada bulan April-Juni induk yang diikuti anak seringkali terlihat. Pada babi yang besar bisa mencapai berat 90 kg dengan tinggi 90-100 cm. Rata-rata besar babi yang ada antara 40-50 kg. Umumnya yang diserang di kebun adalah tumbuhan jagung dan ketela pohon. Walau tahu dilarang dibunuh, tetapi ada saja petani yang membunuh untuk melampiaskan kekesalan. Anak babi disebut genjik, dicirikan dengan adanya warna loreng-loreng saat lahir dan saat masih menyusui/mengikuti induk (sebelum lepas sapih). Satu kelompok babi saat berjalan beriringan biasanya mempunyai formasi, paling depan dipimpin oleh 3 babi besar, ditengah oleh babi kecil/muda/induk dengan anak 7-15 ekor dan dibelakang oleh babi agak besar atau babi besar 3-4 ekor. Pemburuan paling banyak dilakukan oleh penduduk Curahnangka, Kecamatan Curahnangka, Kabupaten Jember, sebagai Desa perbatasan dengan Desa Bandealit (10 km). Namun dalam berburu sering masuk ke kawasan Taman Nasional, sebab merupakan pusat babi liar tinggal. Satu group pemburu antara 3-5 orang dengan 10-15 ekor anjing. Dilakukan perburuan hanya dengan menggunakan tombak. Kesimpulan : Sus scrofa (81). Bpk. Rudi. 50 thn. Pegawai SBKSDA Cagar Alam Nusa Barong. Desa Puger, Kecamatan Puger. Kabupaten Jember. Pulau Nusa Barong merupakan pulau tidak berpenuhi dengan tanah yang berkarang dan berbukit dengan hutan sekunder. Luasan pulau adalah 6100 ha dengan perlindungan utama untuk rusa timor. Dapat ditempuh dengan perahu kecil dari Desa Puger sekitar 2-3 jam. Bulan terbaik mengunjungi kawasan adalah September-Maret. Babi banyak terlihat dari mulai Teluk Kandangan hingga Teluk Bandealit, sepanjang garis lurus 2,5 km dan Teluk Cambuh hingga Tanjung Talak, sepanjang garis lurus 2,0 km. Jenis babi yang ada sepengetahuannya hanya satu jenis, yaitu yang hitam, tinggi hanya 40-50 cm, berat sekitar 50 kg. Satu kelompok hanya 4-5 ekor dengan anak sekitar 3-4 ekor dan mempunyai motif bulu lurik-lurik. Antara bulan 6-9 sering terlihat induk diikuti anak. Tidak tahu banyak mengenai populasi babi mengingat bukan target pengawasan. Pemburu sepengetahuannya hanya masuk diam-diam untuk berburu babi. Itupun penduduk lokal dari Pulau Jawa. Untuk disekitar Desanya, ada pemburu bernama Bpk. Sarman, dengan perburuan dilakukan di Gn. Watungan, Desa Lojejer, Kecamatan Wuluhan, Kabupaten Jember. Didaerah itupun hanya ada babi berwarna abu-abu, berukuran kecil, hanya sekitar 30-60 kg dan panjang badan sekitar 100-120 cm. Kesimpulan : Sus scrofa Kabupaten Lumajang (82). Bpk. Wahono. Polisi. Perumahan Dauan, Sukodono, sebelum ke Desa Gucialit. Kabupaten Lumajang.
NOT TO BE CITED WITHOUT CONSULTATION OF AUTHORS
47
Detailed results of S. verrucosus survey—in Indonesian
Tidak berjumpa dengan yang bersangkutan tapi sempat berbicara dengan istrinya. Menembak sudah lama dilakukan, khususnya ketika tugas di Polres Gucialit, Lumajang, selama 6 tahun lebih. Dirumah ada ofset babi yang jelas menunjukkan Sus scorfa. Semua jenis babi yang biasa dibawa pulang adalah seperti yang diofset. Ada yang memelihara babi hutan yaitu dr. Haribowo, Jl. Depan Batalion Gomblet, Kecamatan Sukodono. Jember. Tetapi tidak sempat mengunjungi. Kesimpulan : Sus scrofa (83). Bpk. Latif. 37 thn. Polisi. Kawan berburu Bpk. Wahono. Polres Gucialit, Kecamatan Gucialit, Kabupaten Lumajang. Pemburu lokal ada dua kelompok @ 3 dan 4 orang dengan anjing masing-masing mempunyai 15 dan 20 ekor. Perburuan lebih sekedar hobi atau bila ada berita babi menyerang kebun dalam jumlah yang besar (>4 ekor) dan perburuan dilakukan hanya pada siang hari. Tingkat keberhasilan antara 0-3 ekor selama satu siang hari. Sedangkan PERBAKIN biasa datang untuk 1-2 malam dan tingkat keberhasilan antara 2-4 ekor. Daerah perburuan adalah sekitar satu km dari Desa, di Desa Sombo, Kecamatan Gucialit yang berdampingan dengan hutan lindung dan produksi milik Perhutani. Hutan perhutani ditanami oleh pinus, damar dan mahoni merupakan tempat yang disukai babi untuk tidur. Daging yang didapat oleh masyarakat biasa dijual ke pengumpul, dengan harga Rp. 5.500/kg dimana kulit masih menempel, dengan jeroan sudah kosong. Jeroan babi biasa diberikan pada anjing saat itu juga. Sejak tahun 1998 dirasakan serangan hama babi sudah menurun dan tidak terlalu banyak keluhan dari petani sejak tahun tersebut hingga kini. Daerah sebaran babi di wilayahnya dimulai dari Desa Talang, Kecamatan Senduro hingga Desa Sombo, Kecamatan Gucialit dengan garis lurus sekitar 35 km. Babi paling banyak dijumpai di hutan produksi dan memakai hutan lindung sebagai tempat berlindung atau membuat sarang. Satu kelompok sekitar 5-8 ekor dan dari dahulu tetap segitu. Anak sekitar 3-6 ekor, dengan tinggi babi dewasa 40-60 cm, panjang 90 cm rata-rata berat 50-70 kg. Ada juga yang mencapai 80 kg tetapi jarang. Warna bulu hitam keabu-abuan seperti warna kulit kerbau, tetapi ada juga yang hitam pekat. Moncong termasuk lancip. Biasa disebut sebagai babi lantung. Untuk babi yang besar, tetapi jarang, tidak ada kutilnya dan tetap berwarna hitam keabu-abuan, hanya mempunyai taring yang besar dan melingkar. Kesimpulan : Sus scrofa Kabupaten Trenggalek (84). ???. 45 thn. Desa Karanggandu. Kecamatan Watulimo. Kabupaten Trenggalek. Di wilayahnya ada dua jenis babi yang semuanya berwarna hitam, hanya : a.
b.
hitam kecil berat badan hanya 20-45 kg, tetapi ada yang melaporkan bisa mencapai 70-80 kg. Jumlah anggota kelompok terbesar, yaitu antara 15-20 ekor dan beranak cukup banyak bisa mencapai 10 ekor. Paling menyukai tanaman jagung dan ubi. Sudah tidak banyak pemburu lagi, mungkin tidak ada regenerasi di desanya. Sedangkan yang paling dianggap hama bukanlah babi, tetapi monyet (Macaca fasicularis) yang selalu menyerang segala bentuk tanaman kebun. Umumnya monyet dan babi berlindung di hutan lindung sekitar pedesaannya. hitam bulu keras Warna bulu hitam dipunggung umumnya berasal dari bulu yang tegak keras agak besar ukuran bulunya. Berat cukup besar, rata-rata diatas 60 kg, tetapi anggota kelompok hanya 5-6 ekor. Tidak pernah dijumpai kelompok dengan anaknya.
Saat ini apabila ada serangan hama babi dan monyet hanya inisiatif bersama para petani untuk menghalaunya, kadang-kadang dibantu oleh pemburu lokal dari daerah lain bila serangan babi cukup tinggi. Kesimpulan : Sus scrofa
NOT TO BE CITED WITHOUT CONSULTATION OF AUTHORS
48
Detailed results of S. verrucosus survey—in Indonesian
Gambar 14. Sus scrofa dari daerah Gucialit (foto: G.Semiadi). (85). ???. 40 thn. Desa Pangguil, Kecamatan Panggul, Kabupaten Trenggalek. Babi disekitar desanya dikenal dua jenis a. yang berwarna abu-abu Mempunyai berat sekitar 50-60 kg, tetapi ada yang bisa mencapai >80 kg, walau sangat jarang sekali. Anggota kelompok antara 12-20 ekor, tetapi dahulu bisa mencapai 40-50 ekor. Walau banyak serangan babi, tetapi sudah tidak ada lagi pemburu lokal. Sudah dua tahun tidak pernah mendengar lagi ada pemburu datang dari kota. b. yang berwarna kemerahan Ukuran badan lebih kecil sedikit, hanya 35-50 kg, dengan jumlah anggota sekitar 6-12 ekor. Muka rata sama seperti babi abu-abu. Banyak menyukai daerah hutan jati dan tegalan. Kesimpulan : Sus scrofa
NOT TO BE CITED WITHOUT CONSULTATION OF AUTHORS
49
Detailed results of S. verrucosus survey—in Indonesian
PEMBAHASAN
DESKRIPSI Persepsi masyarakat pedesaan terhadap jumlah jenis babi yang ada di Pulau Jawa bervariasi dari yang menyatakan hanya ada satu jenis hingga tiga jenis. Umumnya pembagian jenis babi ini didasari atas dua hal, yaitu habitat dan morfologi tubuh babi. Oleh sebab itu ada pendapat bahwa babi yang hidup di pantai adalah berbeda dengan babi yang hidup di padang alang-alang ataupun di hutan. Hasil wawancara dengan responden menunjukkan kesamaan identifikasi terhadap karakteristik babi kutil dibandingkan dengan babi lainnya (Scrofa). Adanya kutil, warna bulu yang merah keemasan, taring yang besar serta berbadan besar merupakan karakteristik morofologi yang paling banyak dikemukakan sebagai seekor babi kutil. Hampir tidak ada responden yang menyatakan babi kutil dewasa berbobot badan kurang dari 50 kg. Dari aspek perilaku, babi kutil dikenal sebagai babi yang tidak kuat berlari jauh, hidup soliter, pemberani dan sangat kuat. Permasalahan yang dijumpai di lapang adalah ketidaktahuan dari mayoritas responden didalam mendeskripsikan betina babi kutil ataupun jantan muda yang belum muncul kutilnya. Seksual dimorfisme dari ukuran badan babi kutil hampir tidak dipahami oleh responden dan banyak yang beranggapan bahwa babi kutil hanya pada yang jantan dan tidak pada yang betina. Ini mudah dipahami mengingat banyak yang beranggapan bahwa babi kutil merupakan babi jantan yang paling dominan dan telah tua, yang kemudian tumbuh kutil. Dalam hal berat badan, mayoritas responden melaporkan pada yang betina dewasa antara 50-60 kg dan jantan dewasa antara 60-70 kg, dengan jantan tua dapat mencapai lebih dari 90 kg. Namun secara umum berat babi kutil jantan dan betina dewasa antara 50-60 kg. Adapun untuk babi biasa (Sus scrofa) responden melaporkan jantan biasanya mencapai berat badan antara 30-50 kg dan betina hanya 20-40 kg. Hasil wawancara dengan pegawai KBS mengindikasikan bahwa babi kutil mulai menampakkan pertumbuhan kutilnya pada umur 17 bulan, pada kisaran berat badan 30-40 kg (n=2), dimana Blouch et al. (1983) melaporkan pada umur dua tahun. Hasil pengukuran pada offset babi kutil di KBS menunjukkan tidak terlalu jauhnya panjang kutil yang berada dibagian mandibula, yaitu 50.55 mm, dibandingkan dengan 60 mm yang dilaporkan oleh Blouch et al. (1983). Kemungkinan perbedaan ini lebih dikarenakan kondisi offset. Perbedaan umum dari dua jenis babi, Sus scrofa dengan verrucosus adalah sebagai berikut
Warna bulu
Sus scrofa Hitam, abu-abu
Berat badan
•= 30-50 kg; •=20-40 kg
Raut muka
Rata, dengan ada garis putih
Perilaku
Bergerombol, jarang soliter
Jumlah kelompok Jumlah anak
10-60 ekor 5-8 ekor, ada yang menyebut 12 ekor Setiap saat
Musim kawin
Habitat
Daerah basah, kering, hutan masyarakat, kebun kelapa sawit, karet, jati, mahoni, cemara
Sus verrucosus Pirang, kemerahan, sedikit hitam di punggung •= 50-60 kg; •=60-70 kg, bisa mencapai >90 kg Bintil di bagian ujung hidung, bawah telinga dan bawah mata Soliter khususnya yang jantan, bersatu saat musim kawin 1-5 ekor < lima ekor Terkonsentrasi Pebruari-Maret, tetapi dijumpai juga sepanjang masa Lebih ke daerah kering, padang alang-alang, kebun kelapa sawit, kelapa, jati, mahoni
NOT TO BE CITED WITHOUT CONSULTATION OF AUTHORS
50
Detailed results of S. verrucosus survey—in Indonesian
PENAMAAN Nama resmi dalam bahasa Indonesia untuk Sus verrucosus ada yang menyebutnya babi Jawa, tetapi tidak sedikit yang menyebutnya babi kutil. Di Kebun Binatang Ragunan papan nama menyebutnya sebagai babi kutil. Sedangkan penamaan dalam bahasa daerah cukup beragam, sesuai dengan daerahnya. Untuk wilayah Jawa Barat babi kutil banyak dikenal dengan nama banen, bagong banen, walau sebagian ada yang menamakannya bagong gagadungan, bedul hideung, bagong eurih, begigi atau begu banen. Untuk anak babi disebut sebagai mentet. Sarang yang dibangun babi disebut dengan sudung. Sedangkan untuk wilayah Jawa Tengah atau Timur babi kutil banyak dikenal sebagai babi goteng, celeng goteng, babi tabes. POPULASI & DISTRIBUSI Sebagaimana yang dilakukan oleh Blouch et al. (1983) hasil survai ini hanya memberikan gambaran sebaran keberadaan babi kutil dan sedikit mengenai kondisi populasi secara umum. Hasil survai dengan mengunjungi daerah yang pernah dikunjungi Blouch et al. (1983) menunjukkan kecenderungan keberadaan babi kutil yang menurun drastis dibandingkan 20 tahun yang lalu. Secara menyeluruh sebaran babi kutil pada beberapa kantong habitat di Jawa Tengah dan Timur telah menurun banyak setidaknya sejak delapan tahun yang lalu. Hilangnya populasi babi kutil dapat mencapai antara 40-60% untuk setiap kantong habitat, yang dicirikan dengan semakin jarangnya tingkat pertemuan dengan babi kutil. Di lain pihak, penurunan populasi babi hutanpun (Sus scrofa) banyak terasa di berbagai daerah yang disurvai. Hal ini terutama dapat terlihat dari tingkat sukses pada setiap perburuan yang semakin jauh menurun dibandingkan masa lalu atau terlihat dari menurunnya jumlah anggota kelompok babi kutil hingga mencapai 60%. Faktor utama penurunan populasi babi kutil di kantong-kantong habitat yang dahulu dikenal banyak populasinya (seperti Blora, Bojonegoro, Glenmore) adalah hilangnya luasan hutan jati sebagai habitat yang paling disukai serta meluasnya perladangan intensif ataupun aktifitas pembangunan perumahan. Penjarahan hutan jati ataupun tanah kosong/ladang mencapai puncaknya di masa Reformasi, di tahun 1997. Tekanan pemburu tradisional ataupun professional pada beberapa tempat memang masih tinggi dan tampaknya hal ini dapat menurunkan secara drastis populasi babi, baik babi hutan ataupun babi kutil. Tiga puluh tahun yang lampau perburuan babi kutil dapat menghasilkan sekitar 20-30 ekor untuk setiap perburuan, namun saat ini untuk mendapatkan seekor babi kutil setelah satu minggu perburuan sering tidak menghasilkan. Sebaran babi kutil di wilayah Jawa Barat (dan Banten) terkonsentrasi di bagian selatan, khususnya sepanjang pantai selatan yang meliputi Kecamatan Tegalbuleud, Ciracap dan Cisolok hingga Pangandaran, dan ke utara sedikit ke arah perbukitan di Kecamatan Sukanegara, Rangkasbitung yang kesemuanya merupakan hutan masyarakat atau perkebunan. Adanya kawasan Konservasi Suaka Margasatwa Cikepuh di Sukabumi dan Cagar Budaya Baduy di Banten merupakan areal yang cukup ideal untuk dipantau lebih seksama lagi tentang keberadaan babi kutilnya serta mempelajari biologinya. Hal ini mengingat kawasan suaka tersebut berfungsi sebagai zona perlindungan dimana di luar kawasan dikelilingi oleh tanah perkebunan rakyat yang berfungsi sebagai ladang pakan babi. Walau tampaknya keberadaan kawasan konservasi ini beresiko tinggi dari penjarahan masyarakat sekitar, namun dalam realitanya masyarakat sekitar kawasan telah paham dan respek akan status kawasan konservasi tersebut, dan hanya memburu babi apabila berada di kawasan ladang mereka. Terlebih dalam kawasan Cagar Budaya Baduy Dalam, tampaknya perlu ada eksplorasi mendalam, bila hal ini memungkinkan untuk dilakukan. Sebaran babi kutil di Jawa Tengah merupakan wilayah yang tersempit dibandingkan dengan sebaran di wilayah lainnya. Babi kutil tampaknya hanya tersisa di dua wilayah yaitu Pulau Nusakambangan dan sekitar Blora dan Batang, namun hal ini perlu mendapat konfirmasi lebi lanjut melalui penelitian yang seksama. Walau Pulau Nusakambangan merupakan kawasan tertutup yang berada di bawah pengawasan Departemen Kehakiman dan HAM, namun dalam kenyataannya wilayah tersebut tidak lepas dari perambahan serta pendangkalan yang akan mengakibatkan hilangnya ekosistim. Proses pendangkalan ini sangat mengkhawatirkan terutama untuk daerah Segara Anakan. Untuk wilayah Blora dan sekitarnya, walau masih dijumpai beberapa blok yang padat dengan hutan jati, namun dalam kenyataannya hutan tersebut termasuk hutan tua dimana panenan besar-besaran mungkin terjadi dalam kurun waktu 10-15 tahun NOT TO BE CITED WITHOUT CONSULTATION OF AUTHORS
51
Detailed results of S. verrucosus survey—in Indonesian
mendatang. Untuk itu mungkin perlu adanya pemantauan dalam hal panenan hutan jati dengan penyediaan habitat bagi babi yang ada di sekitarnya. Sebaran babi kutil di Jawa Timur adalah di daerah yang berbatasan antara wilayah Blora, Bojonegoro dan Mojokerto. Ketiga daerah tersebut dulunya merupakan daerah yang padat akan populasi babi kutil, karena membentuk hutan jati yang cukup padat dan luas. Namun penjarahan yang terjadi antara tahun 1998 hingga 2002 menjadikan daerah tersebut menjadi agak mengkhawartirkan sebagai suatu habitat yang aman bagi babi. Hal ini dikarenakan sisa hutan jati yang masih aman tinggal 50% dan daerah bekas penjarahan belum tahu kapan akan di tanam kembali, sedangkan sisa hutan jati yang ada dikhawatirkan tinggal 15-20 tahun lagi sebelum mulai dipanen. Pulau Bawean merupakan satu-satunya wilayah terisolasi yang bebas dari unsur perambahan yang sangat berat, seperti yang terjadi di daratan Pulau Jawa, sehingga upaya perlindungan babi kutil masih memungkinkan dilakukan dengan tingkat kesuksesan yang lebih tinggi sepanjang masyarakat sekitar mendapatkan penyuluhan untuk perlindungannya. Belum dapatnya dilakukan kunjungan ke pulau Madura merupakan kekurangan dari survey ini maupun saat Blouch et al. (1983). Laporan Sody (1941) menyebutkan bahwa babi kutil dijumpai di daerah pantai dari Sumenep bagian selatan dan juga daerah Djoengke, Sumenep bagian Timur. Pernah ditemukan betina yang dibunuh mempunyai enam foetus dengan berat badan betina sekitar 40 kg. Sedangkan yang jantan bervariasi antara 70-80 kg, namun ada yang mencapai 100 kg. Dari hasil perbandingan tengkorak, dilaporkan adanya perbedaan fisik yang minor antara babi kutil pulau Jawa dengan Madura yaitu pada gigi m2 bagian atas dan bawah. Diluar itu, tidak dijumpai perbedaan lainnya dalam hal ukuran bagian tengkorak lainnya. Perbedaan morfometri antara babi kutil P. Jawa dengan Madura P. Jawa (S.v. verrucosus) N= 20 jantan dewasa 17,6 (min), 18,72 (rataan), 20,4 (max) 14,4 (min), 15,66 (rataan), 16,7 (max)
Perbedaan nyata Lebar M2 (mm) Lebar M2 (mm) Paramater lain (mm) Upper length Condylobasal length Basal length Palatal length Length of premaxillary Length of nasal Nasal breadth at posterior extremities of premaxillaries Zygomatic breadth Least interorbital breadth Parietal constriction Maxillary toothrow 2nd upper molar Upper molar Mandibular toothrow (including p1) (exluding p1) 2nd lower molar
P. Madura (S.v. olivieri) N= 4 jantan dewasa 16,3 (min), 16,85 (rataan), 17,7(max) 13,4 (min), 13,75 (rataan), 14,3 (max) 374 328 317 236 134 193 25
156 64 39 119 21,7 x 17,7 35,7 x 19,0 144 114 21,4 x 14,3
NOT TO BE CITED WITHOUT CONSULTATION OF AUTHORS
52
Detailed results of S. verrucosus survey—in Indonesian
3rd lower molar
39,8 x 16,6
Sumber: Sody (1941).
MANAJEMEN Dari sejak dahulu hingga saat ini babi diburu karena sifatnya sebagai hama, khususnya di kebun masyarakat. Namun tidak sedikit pada daerah perkebunan, disaat tanaman masih muda, hama babi juga menjadi faktor pengganggu. Pengertian kebun masyarakat saat ini sebenarnya telah berbeda dari pengertian masa lalu. Dizaman dahulu, yang dimaksud dengan kebun masyarakat adalah tanah kebun yang benarbenar milik petani, desa atau tanah adat. Namun saat ini maknanya juga adalah kebun yang diurus oleh masyarakat, tetapi lahannya mungkin berupa kebun tumpangsari di tanah perkebunan milik badan usaha (PERHUTANI atau perkebunan swasta). Ini memberikan gambaran bahwa di satu pihak kepemilikan tanah di tingkat petani, desa atau adat semakin menurun dan petani terpaksa mulai menggarap tanah perkebunan atau hutan terbatas, yang aslinya mungkin merupakan habitat babi. Dalam kenyatannya saat ini hampir 70% dari wilayah suatu perkebunan yang memungkinkan dilakukan kegiatan pertanian tumpangsari (agroforestry), akan dilakukan penanaman tumpangsari yang dilakukan oleh penduduk sekitarnya. Pada kebun tumpangsari ini jenis tanaman yang dikembangkan biasanya bersifat tanaman semusim meliputi jagung, ubi, ketela pohon atau padi darat. Pada beberapa daerah tanaman buah seperti semangka, tomat atau sayuran seperti mentimun juga ditanam. Keseluruhan tanaman kebun ini merupakan tanaman yang juga disukai oleh babi. Tingkat kerusakan yang dihasilkan oleh babi sangat beragam, tergantung pada jenis tanaman dan jumlah anggota kelompok babi. Setidaknya kerusakan akan terjadi dengan luasan 100 m2/malam pada kebun pagi gogo serta dapat mencapai 1200 m2/minggunya.
Gambar 15. Sebaran babi kutil yang terfragmentasi di P. Jawa.
Mengingat status babi sebagai hama sudah ada sejak dahulu kala dengan intensitas kerusakan di masa lalu demikian tinggi, maka tidak aneh bila sejak zaman dahulu (> 30 tahun) di desa dengan tingkat serangan babi yang tinggi telah terbentuk kegiatan perburuan yang terorganisir dengan baik dengan aktifitas perburuan yang teratur yang dilakukan oleh masyarakat setempat. Perburuan dan peracunan yang rutin dilakukan di masa lalu serta dibarengi dengan penyempitan habitat yang kemudian terfragmentasi menjadi beberapa kantong habitat yang kecil sebagai dari akibat pembukaan lahan untuk pemukiman dan pertanian/kehutanan menjadi penyebab dari menurunnya populasi babi di banyak daerah. Walau demikian, di beberapa daerah terjadi peledakan populasi babi (umumnya scrofa) sebagai akibat tidak adanya aktifitas perburuan, namun persentasenya sangat rendah.
NOT TO BE CITED WITHOUT CONSULTATION OF AUTHORS
53
Detailed results of S. verrucosus survey—in Indonesian
PEMANFAATAN Sesuai dengan perkembangan zaman, peburuan untuk tujuan pembasmian hama hanya menjadi salah satu bagian dari pengontrolan populasi babi. Perburuan babi saat ini juga dilakukan sebagai salah satu kegiatan olah raga (berburu). Dari hasil perburuan secara tradisional, tidak sedikit babi ditangkap hidup-hidup untuk kemudian dijual ke pengumpul baik untuk kegiatan “adu bagong” maupun dijual sebagai daging konsumsi. Namun tidak sedikit daging babi hasil buruan yang langsung diberikan pada anjing pemburu. Pasar daging babi liar memang sangat kecil, dan lebih sebagai bahan konsumsi ekslusif mengingat ketersediaannya yang sangat terbatas apabila hanya mengandalkan dari hasil perburuan di Pulau Jawa. Bentuk perburuan yang dilakukan diantara kalangan pemburu tradisonal adalah menggunakan tombak, anjing, racun, jaring, porog hingga dengan senjata api. Mengingat efek samping dari penggunaan racun yang semakin sering berkibat fatal juga bagi anjing pemburu atau anjing masyarakat lokal, penggunaan racun semakin lama semakin ditingalkan. Dalm hal ini, untuk suatu daerah yang meninggalkan kebiasaan peracunan tetapi tidak dibarengi dengan peningkatkan aktifitas perburuan aktif, seringkali mengakibatkan terjadinya ledakan kehadiran dan perkembangan populasi babi. TINDAK LANJUT/ REKOMENDASI Gambaran umum dari hasil survai ini menunjukkan bahwa populasi babi kutil telah turun secara drastis dibandingkan dengan masa penelitian Blouch et al. (1983). Hal ini lebih dikarenakan oleh penurunan habitat yang sesuai untuk babi tersebut yang terfragmentasi menjadi kantong-kantong kecil dan terisolasi, selain dari adanya kegiatan perburuan yang terorganisir di masa lampau. Selain itu responden memahami betul bahwa sejak dahulu populasi babi kutil selalu jauh lebih rendah dari babi hutan (scrofa). Namun saat ini populasi babi kutil semakin terasa menurun tajam dengan indikasi tingkat pertemuan dengan babi kutil yang semakin jarang. Tindakan pertama yang perlu dilakukan adalah penentuan beberapa wilayah untuk ditingkatkan pemantauan keberadaan babi kutil serta kondisi populasinya. Adanya hutan produksi, yang umumnya dalam pengelolaan PERHUTANI, dan sedikit hutan masyarakat merupakan habitat yang tersisa bagi babi kutil yang diharapkan dapat diamankan dari kehancuran habitat secara menyeluruh. Namun khususnya pada hutan di wilayah pengelolaan PERHUTANI, rata-rata masa keberadaannya tinggal 15-25 tahun lagi sebelum dilakukan panenan besar-besaran. Dari luasan kawasan hutan yang telah dipanen atau di rambah di zaman reformasi (1997-2000), mengindikasikan total luasan lahan yang telah direboisasi kembali saat ini tidak lebih dari 50%, hal ini dikarenakan keterbatasan dana serta permasalahan konflik kepemilikan dengan masyarakat sekitar. Ini memberikan gambaran bahwa luasan habitat babi di kawasan hutan produksi untuk 20 tahun masa mendatang setidaknya akan berkurang sekitar 50% pula. Untuk itu maka perlu ada pendekatan pada pihak PERHUTANI agar dapat memonitor pola panenan yang akan dilakukan di daerah padat populasi babi (baik scrofa ataupun verucosus), serta mengidentifikasi kemungkinan adanya kawasan/blok yang perlu dibiarkan tanpa gangguan guna penyediaan habitat babi hingga terbentuknya kembali habitat babi disekitarnya sebagai akibat dari panenan. Bagaimana pengaruh dan sebaran babi yang terbentuk setelah terjadinya panenan pada blok hutan jati merupakan hal yang perlu diteliti, khususnya pada daerah blok hutan jati di sepanjang hutan di daerah Bloram, Bojonegoro dan Batang, sebagai daerah yang diyakini padat dengan babi kutil. Keberadaan perkebunan besar untuk tanaman karet, coklat atau teh yang juga merupakan habitat ideal bagi babi perlu menjadi perhatian, seperti di perkebunan sekitar Pameungpeuk. Adanya beberapa kawasan konservasi (Cikepuh, P. Bawean, Suku Baduy) atau tertutup (P. Nusakambangan) yang juga merupakan habitat babi kutil, perlu diperhatikan dengan seksama, mengingat secara teori daerah ini seharusnya merupakan daerah yang paling aman bagi kehidupan satwa liar tersebut. Namun hal utama yang perlu diperhatikan untuk kawasan tersebut adalah kepastian jumlah populasi dari babi kutil yang mendiami kawasan. Apakah wilayah konservasi merupakan habitat tetap atau hanya sebagai perlintasan. Terlebih seperti daerah yang sangat terisolasi seperti P. Bawean, merupakan kawasan yang menarik untuk diteliti akan kepastian masih ada tidaknya babi tersebut serta jumlah populasinya, dan apabila perlu tindakan, kegiatan nyata apa yang perlu dilakukan mengingat statusnya yang hama bagi penduduk sekitar. Keberadaan beberapa ekor babi kutil di penangkaran dari satu sisi merupakan aset yang sangat tinggi, namun dilain pihak perlu dikaji kembali tentang tingkat kemurniannya dan bagaimana program NOT TO BE CITED WITHOUT CONSULTATION OF AUTHORS
54
Detailed results of S. verrucosus survey—in Indonesian
perkembang biakannya. Dalam kenyataannya dari tiga lokasi lokasi penangkaran, dua penangkaran dilaporkan tidak pernah memberikan turunan. Hal ini perlu dikaji dari mulai kemurnian jenis babi yang dipelihara, khususnya yang betina, serta peningkatan manajemen pemeliharaan sehingga babi memungkinkan bereproduksi. Apabila akan dilakukan program perkembang biakan babi di penangkaran, fasilitas yang ada di Surabaya tampaknya cukup memadai, selain kesediaan manajemen dalam rangka pengembangannya. Hal ini melihat pada pengalaman mereka dalam mengembangkan dan memonitor sistim perkawinan yang diterapkan pada babirusa (Babyrousa babyrussa). Dapat dipastikan bahwa babi kutil yang ada di KBRagunan tidak berhubungan dengan yang ada di KBSurabaya, melihat pada perbedaan yang sangat jelas di antara kedua populsi tersebut. Kecenderungannya adalah jantan verrusosus yang ada di KBRagunan dan KBGembiraloka, kalaupun tidak murni, tetapi mempunyai ciri morfologi yang lebih nyata dibandingankan dengan verrucosus yang ada di KBSurabaya. Perubahan status perlindungan babi kutil dari yang tidak dilindungi menjadi dilindungi secara undangundang tampaknya harus segera dipertimbangkan, setidaknya dalam kurun waktu 2-3 tahun mendatang. Babi liar, terlepas dari jenis yang manapun, di masyarakat selalu dikonotasikan sebagai hama pertanian, sehingga dalam rangka perubahan status perlindungannya, perlu sekali dilakukan sosialisasi ke masyarakat sambil mengumpulkan lebih lanjut informasi mengenai sebaran populasi dan biologi babi tersebut. Di alam bebas, pemburu, terlebih lagi masyarakat, seringkali susah membedakan diantara dua jenis babi liar, sehingga akan menjadi kendala utama didalam menerapkan perlindungan satwa liar secara efektif dalam waktu singkat. Untuk itu, sampai informasi mengenai sebaran dan status populasi serta pemahaman biologinya dapat diperoleh lebih banyak lagi, untuk sementara waktu status babi kutil dapat dibiarkan apa adanya, tetapi perlu untuk segera dilakukan kegiatan penyuluhan perlindungan baik dalam bentuk pertemuan ataupun penyebaran leaflet pada kalangan yang berhubungan langsung dengan kehidupan dan keberadaan populasi babi kutil, baik itu pengelola kawasan, perkebunan, pemburu dan masyarakat sekitar habitat babi. Tahap awal yang mungkin dapat dilakukan adalah koordinasi dengan pihak PERBAKIN dan beberapa pemangku hutan produksi akan pentingnya membiarkan babi kutil hidup. Identifikasi suatu wilayah untuk suatu perlidungan total dari perburuan pada babi kutil merupakan alternatif yang paling pragmatis untuk dilakukan dalam waktu dekat, selain dari penelitian dan pengembangan di penangkaran terhadap populasi babi kutil yang telah ada. DAFTAR PUSTAKA Blouch, R. A. 1988. Ecology and conservation of the Javan Warty Pig Sus verrucosus Müller, 1840. Biological Conservation 43:295-307. Blouch, R. A. 1993. The Javan Warty Pig (Sus verrucosus). Pages 129-136 in W. L. R. Oliver, editor. Pigs, peccaries, and hippos. Status survai and conservation action plan. IUCN/SSC Pigs and Peccaries Specialist group and IUCN/SSC Hippos Specialist Group, Gland, Switzerland. Blouch, R. A., and C. P. Groves. 1990. Naturally occurring suid hybrids in Java. Zeitschrift für Säugetierkunde 55:270-275. Blouch, R.A., Laban, B.Y., Susilo, H.D & Atmosoedirdjo, S. 1983. The Javan Warty Pig. Distribution, Status and Prospects for the future. WWF. Bogor. IUCN. 2000. The 2000 Red List of Threatened Species. http://www.redlist.org/. International Union for Conservation of Nature and Natural Resources, IUCN, Gland, Switzerland and Cambridge, United Kingdom. Oliver, W. L. R. 1993. Pigs, peccaries, and hippos. Status survai and conservation action plan. IUCN/SSC Pigs and Peccaries Specialist group and IUCN/SSC Hippos Specialist Group, Gland, Switzerland. Sody, H. J. V. 1941. Tweede bijdrage over de voortplantingstijden der Indische zoogdieren. NederlandschIndische Jager 11:198-201. Sody, H.J.V. 1941. A new race of Sus verrucosus from Madura Island. Treubia 18 (2): 393-394. Suripto, B. A.2002. Babi hutan (Sus sp.) di Pulau Jawa, Masa Lalu, Masa kini dan masa mendatang. Seminar Nasional Biekologi dan Konservasi Ungulata. Prosiding . 229-241. Whitten, T., R. E. Soeriaatmadja, and S. A. Afiff 1996. The ecology of Java and Bali. Periplus Editions, Singapore.
NOT TO BE CITED WITHOUT CONSULTATION OF AUTHORS
55
Summary of S. verrucosus survey results—in English
ENGLISH SUMMARY OF SURVEY, BACKGROUND, DISCUSSION AND RECOMMENDATIONS INTRODUCTION The Javan Warty Pig Sus verrucosus is endemic to Java and associated offshore islands. Hardjasamita (1987) traced back its ancestry to several fossil pig species of Java, and data by Lucchini et al. (in press) and Randi et al. (1996) suggest that the species diverged from its nearest living relative (probably S. barbatus, the Bearded Pig of Borneo, Sumatra, and the Malay Peninsula) some 2 million years ago. The species is thus among the more ancient species of this geologically relatively young island. On Java, S. verrucosus occurs sympatrically with the Indonesian Wild Boar or ‘Banded Pig’, S. scrofa vittatus; S. scrofa is widely distributed throughout Asia and Europe (Oliver et al. 1993). Olivier (1925) mentioned that in West Java both pig species were common and occurred in similar habitats from coastal to montane forests. More recent studies indicated that the two species avoid each other and attain their highest densities where the other species is absent (Blouch 1988, 1993). S. verrucosus was feared to be nearly extinct in the late 1970s, but a small population was found in 1981 on the forested slopes of Mt. Penanggungan near Tretes, East Java (Whitten et al. 1996) (Fig. 1). In 1982, Blouch (1988; 1993) conducted a Java-wide survey of S. verrucosus, which also included Bawean Island, but excluded Madura Island, where the species was historically known to occur (e.g., Sody 1941). Blouch found that S. verrucosus occurred in lowland areas below 800 m a.s.l., where its preferred habitat consisted of extensive areas of lowland secondary vegetation, particularly teak (Tectona grandis) plantations in Central Java characterized by a mixture of trees and grasslands with clumps of bush and heavily disturbed forest [note that there are several museum specimens of S. verrucosus from localities as high as 1,500 m and the upper altitudinal limit of 800 is too low (see van Strien 2001)]. Blouch also found that S. verrucosus frequented coastal forest. S. scrofa on the other hand could be found at all altitudes in most habitats, and seemed to be far more adaptable than S. verrucosus. The survey by Blouch located 32 populations across Java, but he reported that these populations were threatened by hunting and poisoning. Still, Blouch (1988) concluded that, because of the relatively large number of populations, the future of S. verrucosus was safe. A few years later, however, Blouch and Groves (1990) pointed out that hybridization between S. verrucosus and S. scrofa posed an unknown, but potentially serious threat, primarily to the survival of the former species. In 2000, S. verrucosus was listed as Endangered based on an inferred population decline, the fragmentation of habitat, and the levels of exploitation (IUCN 2000). The IUCN/SSC Action Plan (Oliver 1993) accorded the species very high conservation priority, and stressed the urgency of implementing relevant conservation measures — including this survey. Despite this. S. verrucosus remains unprotected under Indonesian law. Considering the above-mentioned threats, and the much-reported decline of Java’s teak forests (e.g., Jakarta Post, 15 August 2001, 22 August 2001, 27 August 2001; Chicago Tribune, 8 July 2001) we considered it likely that the conservation needs of the species had increased, and that the species required active conservation management to survive. The present survey has made a first step towards assessing the present status of S. verrucosus by revisiting all populations that were recorded by Blouch. We here report our findings and provide recommendations for improved conservation management. METHODS We conducted the survey on Java and the island of Bawean, which is situated some 125 km north of Java (see Fig. 1 for survey routes). Presence and absence data for S. verrucosus were primarily gathered by GS and local field assistants, who interviewed local informants and conducted field checks. We realize that there are drawbacks to this interview technique as it is very difficult to assess the accuracy of the given information. Still, as a preliminary survey technique it serves our goal. Our first step was to select what we considered to be the most appropriate people for an interview. Generally, the head of a village was approached, who provided advice on who to interview in the village; generally these were the people who hunted, trapped, or poisoned pigs. We selected people older than 35 years, because they were more likely to have experienced longer-term population trends in pig populations. Also, we talked to the heads of the regional offices of the Indonesian hunting association (PERBAKIN) and to police officials who accompanied and participated actively in hunting excursions. Finally, we talked to farmers who were experiencing problems with pigs in their fields and gardens.
NOT TO BE CITED WITHOUT CONSULTATION OF AUTHORS
56
Summary of S. verrucosus survey results—in English
Figure 1. Java and Bawean Islands, with names of towns and protected areas mentioned in the text; survey routes are indicated by dotted lines. We conducted our interviews in a structured manner, starting with an introduction about our research and noting the interviewee’s name, age, and occupation. We then asked general questions regarding crop damage by pigs, pig hunting, pig poisoning, population trends, group size of pigs, and breeding cycles. Secondly, we asked whether different pig species occurred in the area, and, if so, how many. If interviewees knew of different species, we asked them to describe the physical appearance of each of the species. Then, if it appeared that the interviewee knew S. verrucosus, we showed 6 photographs of pigs (3 of either species on Java) to test whether they could identify the species. All interviews were conducted in local language (Indonesian, Sundanese, Javanese), which GS speaks fluently. If we were unconvinced about the veracity or accuracy of the information we always conducted a second interview in a different, nearby village. Whenever people claimed that S. verrucosus occurred locally we noted the vegetation types in which they were said to occur. In addition to the field surveys, GS also visited all Javan zoos that keep S. verrucosus. GS talked to zoo personnel to gather data about the health, breeding success, sex and age, and other particulars of the animals in captivity. Using vegetation maps at scales 1:500,000 (Peta Lingkungan Laut Nasional, BAKOSURTANAL, 1992) and for some areas 1:50,000 (GONO, GIVE NAME, INSTITUTE, YEAR) we estimated the extent of local distribution ranges of S. verrucosus by drawing minimum convex polygons around localities of reported pig sightings and expanding this with the area of suitable vegetation around a location where the species was said to occur. For this, we also used the vegetation maps provided by MacKinnon (1997). We digitized the estimated distribution ranges of S. verrucosus unto a topographic base map of Java using ArcView 3.2 software (Environmental System Research Institute, Inc). To investigate whether there has been a decline in S. verrucosus populations we assessed the historic distribution range of S. verrucosus by plotting the localities of museum specimens and sightings or kills recorded in the literature (e.g., Olivier 1925, 1928; Franck 1936; Bartels 1937; Sody 1941; Bartels 1942). We also digitized the distribution range as reported by Blouch (1983; 1988) by visually interpreting the location of the remaining S. verrucosus populations on Blouch’s maps. RESULTS During our field surveys we conducted interviews in 85 different locations, of which 4 were zoos. Six interviews did not result in any useful data as the interviewees had no knowledge of pigs. The information from 26 of the 75 field interviews strongly suggested that S. verrucosus was locally present; 39 interviews suggested that S. verrucosus no longer occurred in the area or was locally unknown; in the remaining 10 interviews it was unclear whether S. verrucosus still existed, for instance, when the last reported sighting was 10 years ago, and it was impossible to determine whether the local population was still extant (for details see Semiadi & Meijaard 2004). Our survey also indicated that, between the early 1980s and 2003, 17 of the 32 S. verrucosus populations identified by Blouch (1983) have gone extinct or dropped to levels so low that local hunters fail to obtain the species. In 3 cases we found that S. verrucosus was probably present in locations where Blouch had not found them. Our data suggest that there are about 10 areas on Java and Bawean where S. verrucosus populations survive (Fig. 2), although small groups may exist
NOT TO BE CITED WITHOUT CONSULTATION OF AUTHORS
57
Summary of S. verrucosus survey results—in English
elsewhere: 1. S. verrucosus occurs in the area between Malingping and Rangkasbitung (nr. 1 in Fig. 2), but is rarely encountered. There were no reports of recent kills of verrucosus, but some were shot several years ago. We think that a small population remains. Because S. scrofa is a major agricultural pest, hunting intensity is high; 2. Pigs are common in the area between Sukabumi and the coastal nature reserves of Cikepuh (nr. 2 in Fig. 2), and are considered a major agricultural pest. S. verrucosus, however, is rarely encountered, with two hunters reporting that they had not shot one since 1998. One hunter suggested that over-hunting was the most likely cause of the species’ decline; 3. Interviewees in the area near Purwakarta (nr. 3 in Fig. 2). reported the presence of S. verrucosus between the 1960s and 1990s, with steady declines of the weight of killed animals and numbers of pigs encountered. They now consider verrucosus to be very rare, the latest report being a specimen that was shot in 2001; 4. Our information suggested that near and south of Garut (nr. 4 in Fig. 2) several small populations remain, with a few reported sightings of S. verrucosus in 2002 and just before; 5. Around Majalengka and towards Sumedang (nr. 5 in Fig. 2) interviewees reported recent sightings or killings of S. verrucosus, but all emphasize that the species is now much rarer than in the past. Pigs are much sought after here for illegally organized fights with dogs; verrucosus is traditionally favoured over scrofa as males of the former species are much bigger and more aggressive; 6. A population of S. verrucosus still exists East of Tasikmalaya towards Ciamis (nr. 6 in Fig. 2). There were several reports of recent sightings or killings. Still, people consider verrucosus to be rare in comparison to scrofa; 7. Several interviewees reported recent sightings of verrucosus from the area around Cilacap, Cipatujuh, and Nusa Kembangan NR (nr. 7 in Fig. 2), including some from the Nusa Kembangan Nature Reserve offshore Cilacap, but the species seems to be rare and fragmented into many small populations; 8. S. verrucosus is still relatively common around Subah, generally seen in small groups of 1– 2 animals, but 4–6 animals/group during mating season. Females with young are seen between August and December. Verrucosus has not declined as much as scrofa, but one interviewee expected rapid population declines of the former because teak forests, its prime habitat, are disappearing; 9. S. verrucosus appears to be relatively common around Blora and Bojonegoro (nr. 9 in Fig. 2), and every interviewee was familiar with the species and confirmed its local presence. Still, according to one interviewee, the species used to occur in groups of 10–20 animals, but now only 1–3 animals/group are encounterd. Five to seven years ago, every hunt resulted in the capture of 1–2 verrucosus, or 2–3 according to another informant, but now the species is rarely caught; the most recent one in April/May 2003. One interviewee reported that pigs have especially declined since the fall of President Suharto in 1998, because then local people started to log the state-owned teak forests; and 10. Bawean island is the only area where the subspecies S. v. blouchi occurs. Several interviewees reported the presence of verrucosus on the island, but all sightings predated 2002, and the reports gave the impression that the species was now rare. We did not visit the island of Madura, but one of our interviewees, a park ranger who now works in East Java but spent most of his live on Madura, alleged that S. scrofa still occurred but that there were no records of S. verrucosus from Madura. We found no evidence or indications of extant S. verrucosus populations in any of the national parks (NP) in which we collected information. Blouch (1988) still found evidence of S. verrucosus in the Ujung Kulon NP, but a camera-trapping survey has not found any S. verrucosus among 115 photographs of pigs. A collection of XXX pig skulls and mandibles from Baluran National Park, where S. verrucosus still occurred in the 1970s (Blouch 1983), strongly indicated that only S. scrofa remained (S. Hedges, personal communication to EM). Extensive mammal observations in the Alas Purwo National Park also strongly suggested that S. verrucosus is absent (S. Hedges and M. Tyson, personal communication to EM). A camera-trapping program that was conducted in 1999 and 2001 in Meru Betiri National Park, and reports from several interviewees again suggested the presence of only S. scrofa. Some nature reserves, however, may still contain S. verrucosus, including Cikepuh NR, Cibanteng NR, Nusa Kembangan NR. Finally, there appears to be a population of S. verrucosus in the proposed protected area around the Dieng Mountains in Central Java (Nijman 2001; Veriasa 2002), but we did not visit this area. We found 46 identifiable localities in the historic literature and from museum specimens, and we mapped these to indicate the distribution range of S. verrucosus between ca. 1850 and 1940 (Fig. 2). This shows that the majority of historic records originated from western Java, with only 9 collecting localities (including Bawean and Madura Islands) situated east of 110˚ longitude. Clearly, our sample size is small, but the results do indicate that the species used to be common in the north-west of Java, in an area that presently does not appear to contain any extant populations.
NOT TO BE CITED WITHOUT CONSULTATION OF AUTHORS
58
Summary of S. verrucosus survey results—in English
100
100 kilometers
0
10
1
3
2
Reported to present (2003)
4
be
9
8
5 6
Reported to be absent (2003)
7
Distribution Blouch (1988)
after
Historic distribution
Figure 2. Presence and absence of S. verrucosus according to present survey, Blouch’s surveys in the 1980s, and according to localities of museum specimens collected between 1850 and 1940.
NOT TO BE CITED WITHOUT CONSULTATION OF AUTHORS
59
Summary of S. verrucosus survey results—in English
Most interviewees reported population declines both of S. verrucosus and S. scrofa. High hunting pressure, logging of tree plantations, and dispersal of pigs to other regions were the most important perceived causes of these declines. Hunting appears to be a consistent threat to S. verrucosus and S. scrofa with almost all interviewees considering pigs a major agricultural pest. Pigs are either hunted by village groups or organized hunting groups from PERBAKIN. The main reason for hunting was to control pig populations and thus the damage to croplands. Furthermore, pigs are caught for commercial sales in various areas across the island (e.g., Sukabumi, Rangkasbitung, Pemalang, Blora, and Cilacap). Pig meat is consumed in only a few areas in Java, although there is probably a sizeable demand from Christians (especially ethnic Chinese in towns and cities). In the area between Sumedang, Majalengka, and Ciamis, pigs were captured alive for organized, illegal fights between dog and pigs. These so-called Adu Bagong are old, traditional events (e.g., Buddingh 1859) in which dogs like Dobermans, German shepherds or Pitbull Terriers fight wild pigs in a fenced-off arena. S. verrucosus males are especially sought after because of their large size, considerable aggression, and stamina. We visited 3 zoos that held S. verrucosus to explore opportunities for captive breeding programs. Surabaya zoo is the only one on Java that has successfully bred S. verrucosus. The animals in Surabaya zoo may have hybridized with S. scrofa (EXPLAIN). The animals in the Yogyakarta and Jakarta Zoos had not bred successfully despite animals being kept there for more than XXX years. These animals appeared to be of pure stock; the breeding problem appeared to be that the animals are overfed and overweight, diminishing their capacity to conceive. DISCUSSION One of the problems of surveying Javan pigs is that the two species look rather similar. Adult males of S. verrucosus are somewhat distinct because of their larger size and facial warts, but the females and subadults of S. verrucosus are almost indistinguishable from male and female S. scrofa. Hunters were our best source of information, because they had often closely observed pig specimens and were likely to know the difference between the two Javan pig species. Still, some interviewees thought that S. verrucosus specimens were simply the oldest and most powerful male pigs, and even hunters rarely recognized female S. verrucosus as belonging to that species. This became evident when we realized that 90% of the reported killings of S. verrucosus concerned male animals. This raises the possibility that the species is underreported and that the distribution range as discussed here could be more extensive. Still, as males and females are expected to co-occur, the underreporting of females should not lead to a major bias in presence/absence patterns of the species. When we compare our results to those by Blouch (1983; 1988), as we have done in Fig. 2, the differences between the distribution ranges drawn by us and by Blouch are striking. It is unclear to what extent these differences can be explained by dispersal of S. verrucosus populations, local population decline, or methodological differences between Blouch and us. Our interviews suggest that there is a perceived decline of S. verrucosus, with many interviewees remembering the species from several years or a decade ago, but not having seen it in recent times; also reported bag numbers declined from 3-10 pigs/hunting occasion ‘in the past’ to between zero and two pigs more recently. We therefore think that the differences between our data and those by Blouch can to some extent be explained by a considerable population decline. This is further strengthened by a comparison with the species’ historic distribution (up to 1940); S. verrucosus has disappeared from a large area in north-west Java and probably also from Madura. Methodological differences may also have resulted in different estimates of the extent of the species’ distribution range. Blouch (1988) stated that ‘probable limits of distribution for each population were determined using land use maps accompanied by field checking’. S. verrucosus occurs in a wide range of vegetation and land use types making it hard to assert how far from a reported presence localities the species ranges. We were probably more conservative in drawing distribution ranges and primarily used minimum convex polygons around all localities from where the species has recently been reported. To a lesser extent we relied on the extent of certain vegetation types to determine where the species could occur, because we expected that much of the key vegetation types in which S. verrucosus occurs had decreased since our vegetation maps were made. This methodological difference may be another reason why Blouch’s ranges were much bigger than ours. Another interesting disparity between Blouch’s and our data was that he identified several areas where only S. verrucosus occurred and no S. scrofa. For instance, Blouch (1988; 1993) reported that S. verrucosus but no S. scrofa occurred in the region between the towns of Purwakarta, Subang, and Majalengka, and that the NOT TO BE CITED WITHOUT CONSULTATION OF AUTHORS
60
Summary of S. verrucosus survey results—in English
S. verrucosus population seemed to be stable. Our data suggested that S. scrofa is now the dominant species in that area, while S. verrucosus is rare. Similarly, Blouch (1988; 1993) reported good numbers of S. verrucosus on the southern coastal plain of western Java, especially in the western half of this region where S. scrofa was thought to be absent. Our data suggest that S. verrucosus is now rare and locally absent in this region, suggesting fragmentation of remaining populations; S. scrofa is common throughout that area. In the extensive teak forests between Semarang and Surabaya, S. verrucosus was the only pig species (Blouch 1988, 1993). Our surveys indicated that S. verrucosus still occurs in this region, but in much reduced numbers; S. scrofa is now much more common than S. verrucosus. This information suggests that in many areas S. verrucosus has declined and its place has been taken by S. scrofa. We do not know enough about the ecology of S. verrucosus to propose competitive exclusion as a mechanism for the changing ratios between verrucosus and scrofa, although the available data do allow us to speculate on this. Blouch (1983) suggested that the species are ecologically similar, but that generally scrofa is the more adaptable species with wider ecological amplitude. Our interviews suggest that increased deforestation and high hunting pressure are the main causes of decline in verrucosus —although admittedly evidence for this is lacking. Possibly, S. scrofa is better adapted than S. verrucosus to these pressures. Whether this would be because of different life-history characteristics of the two species or different ecological requirements remains unknown. As suggested by numerous remains of S. scrofa and the absence of remains of S. verrucosus in Holocene cave deposits in two locations in Central Java (Dammerman 1934; van den Brink 1982) the species did not always co-exist in the same areas, suggesting that without significant human pressure the species occupy different ecological niches. Clearly ecological research on S. verrucosus is badly needed to ecological requirements of the two species and why S. verrucosus seems to lose out to S. scrofa.. Since the political upheaval in Indonesia in the late 1990s, the teak forests of Java, which Blouch (1983; 1988) and our results suggested to be prime S. verrucosus habitat have come under increasing threat from illegal logging. Teak theft has been reported from all over Java (e.g., Jakarta Post, 15 August 2001; 22 August 2001; 27 August 2001; and Chicago Tribune, 8 July 2001), especially since the fall of long-term president Suharto and the resulting power vacuum. The state-owned forest company PT Perhutani claimed to have lost US$ 49 million worth of teak trees in 2000 alone because of theft from its forestry concessions in Java (Jakarta Post, 9 June 2001). Also, expansion of housing, road and other infrastructure activities decreased the available area for plantation forestry. In 1989, Java still had some 24,000 km2 of tree crops and estates, which were concentrated in northern Central Java (see maps in Whitten et al. 1996, based on RePPProT 1989, 1990). In 1996, teak forest plantation on Java still amounted to 5,729 km2 (Whitten et al. 1996) NEED MORE QUANTATIVE DATA As mentioned above, pig hunting appears to be another major threat to S. verrucosus. Although rarely reported by our interviewees, Whitten et al. (1996) also suggested that poisoning had taken a great toll among pigs. Many of our interviewees reported that pig pests and concomitant hunting increased after the first half of the 20th century. It is possible that this is related to the demise of what was probably the main natural predator of pigs, the tiger. By 1950, the once common Javan Tiger (Panthera tigris sondaicus) had declined to ca. 25 animals (Boomgaard 2001), and it became extinct in the 1970s. Boomgaard (2001, p. 220-221) stated that in many areas where tigers had been exterminated pigs increased in numbers and became local agricultural pests. This led to the launching of massive pig hunts in which thousands of animals were killed per residency. Since then, in many areas pig hunting has been a routine activity, either for pest control or for recreational hunting. Also, a specific demand for live pigs in some areas for organized fights with dogs adds to the pressure. Finally, the present state of the captive S. verrucosus population appears to be insufficient to safeguard or contribute to the survival of the species. The three captive populations on Java are either not reproducing (Bandung and Jakarta Zoos) or of questionable descent (Surabaya Zoo). What about Poznan Zoo or American Zoos? Considering the apparently precarious condition of the wild population of the two S. verrucosus subspecies, the establishment of one or more well managed captive population is urgent. CONCLUSIONS AND RECOMMENDATIONS Our survey results compared with earlier work suggest that S. verrucosus is rapidly declining. The main reason for this appears to be the destruction of forestry plantations and secondary forests and over-hunting, although additional factors may play a role as well. We suggest the following key activities for the shortterm improvement of the status of wild Javan Warty Pigs: 1. There seem to be no S. verrucosus populations within Java’s national parks, but some remain in nature reserves. Indonesia’s reserves are poorly managed [e.g, \Curran, 2004 #4822; Jepson, 2002 NOT TO BE CITED WITHOUT CONSULTATION OF AUTHORS
61
Summary of S. verrucosus survey results—in English
2.
3.
4.
#2047], and we wonder whether there is much scope for trying to protected the species within the protected area framework, at least not until protected area management has been improved. One exception may be the Cikepuh Wildlife Reserve, as there is apparently little pig poaching here and the reserve includes and is surrounded by key verrucosus habitats. It should be discussed with the government whether this area can be specifically managed for S. verrucosus. Proposals made by Blouch in 1983 included the protection of several key areas but no action has been taken so far [Whitten, 1996 #560], and again we wonder how much the government can contribute to effective verrucosus conservation. Elsewhere, protection of key habitats, i.e. lowland teak plantations and lowland secondary forest may be more likely to succeed in areas that are privately owned or actively managed by the State. Owners and local stakeholders in these forests need to be consulted to see whether there are opportunities for fruitful and effective collaboration. Especially where the management is seeking certification for the sustainable use of teak and other timbers, there may be opportunities to incorporate pig management in these areas. The species is not protected in Indonesia, and hunting them is legal. Whitten et al. [, 1996 #560] suggested that this should remain unchanged. They considered the key to successful verrucosus conservation to be the cadre of sports hunters who have a vested interest in its survival. These are issues that need to be extensively discussed with responsible government agencies, PERBAKIN, local farmers groups and other stakeholders. In relation to this, there is a need to investigate crop damage by S. verrucosus, as it is an important reason why pigs are hunted. We know very little about the biology of S. verrucosus and there is an urgent need for longer-term in situ and ex situ studies of the species, especially its habitat needs, and interactions with S. scrofa. A well-managed captive populations need to be set up soon. Improving the holding facilities and management practices in Jakarta and Surabaya Zoos seem to be the easiest way to achieve this, although in the longer-term it would be safer to also establish zoo populations outside Indonesia.
REFERENCES Bartels, M. 1937. Zur Kenntnis der Verbreitung und der Lebensweise Javanischer Säugetiere. Treubia 16:149-164. Bartels, M. 1942. Nogmaals: "Kenmerkende verschillen tusschen zeugen van wratten- en streepenzwijn". Nederlandsch-Indische Jager 12:6-7. Blouch, R. A. 1983. The Javan Warty Pig. Distribution, status and prospects for the future. World Wildlife Fund, Bogor, Indonesia. Blouch, R. A. 1988. Ecology and conservation of the Javan Warty Pig Sus verrucosus Müller, 1840. Biological Conservation 43:295-307. Blouch, R. A. 1993. The Javan Warty Pig (Sus verrucosus). Pages 129-136 in W. L. R. Oliver, editor. Pigs, peccaries, and hippos. Status survey and conservation action plan. IUCN/SSC Pigs and Peccaries Specialist group and IUCN/SSC Hippos Specialist Group, Gland, Switzerland. Blouch, R. A., and C. P. Groves. 1990. Naturally occurring suid hybrids in Java. Zeitschrift für Säugetierkunde 55:270-275. Brink van den, L. M. 1982. On the mammal fauna of the Wajak cave, Java (Indonesia). Modern Quaternary Research SE Asia 7:177-193. Buddingh, S. A. 1859. Neêrlands-Oost-Indië. Reizen over Java, Madura, Makasser, Saleijer, Bima, Menado, Sangier-eilanden, Talau-eilanden, Ternate, Batjan, Gilolo en omliggende eilanden, Banda-eilanden, Amboina, Haroekoe, Saparoea, Noussalaut, Zuidkust van Ceram, Boeroe, Boano, Banka, Palembang, Riouw, Benkoelen, Sumatra's west-kust, Floris, Timor, Rotty, Borneo's westkust en Borneo's zuid- en oost-kust. Vol. 1. M. Wijt & Zonen, Rotterdam. Dammerman, K. W. 1934. On prehistoric mammals from the Sampoeng Cave, Central Java. Treubia 14:477-486. Franck, P. F. 1936. Iets uit het leven der wilde varkens. De Tropische Natuur 25:44-48. Hardjasamita, H. S. 1987. Taxonomy and phylogeny of the Suidae (Mammalia) in Indonesia. Scripta Geologica 85:1-68. IUCN. 2000. The 2000 Red List of Threatened Species. http://www.redlist.org/. International Union for Conservation of Nature and Natural Resources, IUCN, Gland, Switzerland and Cambridge, United Kingdom. NOT TO BE CITED WITHOUT CONSULTATION OF AUTHORS
62
Summary of S. verrucosus survey results—in English
MacKinnon, J. 1997. Protected areas system review of the Indo-Malayan realm. The Asian Bureau for Conservation Limited, Canterbury, United Kingdom. Nijman, V. 2001. Pigs of the Dieng Mountains in Central Java. Asian Wild Pig News 1:12-14. Oliver, W. L. R. 1993. Pigs, peccaries, and hippos. Status survey and conservation action plan. IUCN/SSC Pigs and Peccaries Specialist group and IUCN/SSC Hippos Specialist Group, Gland, Switzerland. Oliver, W. L. R., I. L. Brisbin, and S. Takahashi. 1993. The Eurasian Wild Pig (Sus scrofa). Pages 112-121 in W. L. R. Oliver, editor. Pigs, Peccaries, and Hippos. Status survey and conservation action plan. IUCN, The World Conservation Union, Gland, Switzerland. Olivier, J. 1925. De wilde zwijnen van Java. Soorten of rassen? - of nog wat anders? De Tropische Natuur 14:145-154. Olivier, J. 1928. De wilde zwijnen van Java. Levenswijs en gewoonten. De Tropische Natuur 17:149-157. Randi, E., V. Lucchini, and C. Hoong Diong. 1996. Evolutionary genetics of the suiformes as reconstructed using mtDNA sequencing. Journal of Mammalian Evolution 3:163-194. Semiadi, G., and E. Meijaard. 2004. Survey of the Javan Warty Pig (Sus verrucosus) on Java and Bawean Island, with English summary and detailed survey results in Indonesian. Pusat Penelitian BiologiLIPI and IUCN/SSC Pigs, Peccaries and Hippos Specialist Group, Bogor, Indonesia. Sody, H. J. V. 1941. A new race of Sus verrucosus from Madoera Island. Treubia 18:393-394. Strien van, N. J. 2001. Indoaustralian mammals. A taxonomic and faunistic reference and atlas. ETI, Amsterdam, The Netherlands. Veriasa, T. O. 2002. Distribusi dan populasi macan tutul (Panthera pardus Linnaeus 1758) di kawasan pegunungan Dieng, Jawa Tengah. YPVI, Semarang, Indonesia. Whitten, T., R. E. Soeriaatmadja, and S. A. Afiff 1996. The ecology of Java and Bali. Periplus Editions, Singapore.
NOT TO BE CITED WITHOUT CONSULTATION OF AUTHORS
63
Translation and summary of interviews—in English
APPENDIX: English summary of interviews What follows is an English summary of the original interviews. The main towns and protected areas mentioned in the text are shown in the maps below. Map of western Java with the names of the main towns and protected areas referred to in the summary below.
NOT TO BE CITED WITHOUT CONSULTATION OF AUTHORS
64
Translation and summary of interviews—in English
Map of eastern Java and Bawean with the names of the main towns and protected areas referred to in the summary below.
nr 1
area Ujung Kulon NP
Pig info S. scrofa. A park ranger who has worked in Ujung Kulon since 1983 has never seen any other pigs but scrofa. These also occur on Peucang and Penaitan Islands, but not
NOT TO BE CITED WITHOUT CONSULTATION OF AUTHORS
Additional info and conclusion Scrofa is locally called “bagong” No verrucosus
65
Translation and summary of interviews—in English
2
Ujung Kulon NP
3
Padarame, Sukanegara, Kec. Gunung Kancana, Kab. Rangkasbitung
4
Cilajim, Cipeundeuy, Malingping, Lebak Cilajim, Cipeundeuy, Malingping, Lebak
5
6
7
8
Information Ragunan Jakarta Pasir Curugluhur, Sagaranten, Sukabumi
Kec. Kab.
Kec. Kab.
from Zoo, Kole, Kec. Kap.
Bangbayang, Kec. Tegalbuleudm Kab. Sukabumi.
on Handeuleum Island. A WWF staff member who has been involved in camera trapping in the park since 1999 reported that no verrucosus were identified on 115 photos of pigs from the Ujung Kulon and Mt. Honje areas. S. scrofa and S. verrucosus. A 40-year-old hunting club exists, that hunts pigs every Saturday because they destroy crop lands; normally 13 people with guns and 4-6 dogs go on hunt. Hunts result on average in between 0 and 3 pigs/hunt; meat is traded with Baduy people (Baduy Luar). Good pig areas are near Mt. Muncas, Mt. Pasir Waluh, Mt. Awi Jajar, Mt. Palu, Mt. Santri, and Bukit Leuncang. Both pig species can occur in one group, which ‘in the old days’ could be as large as 40 animals, of which 2 or 3 would be verrucosus. Nowadays, groups rarely exceed 4-5 animals, and verrucosus is rarely among them. Verrucosus is very rarely seen these days, and not a single one has been killed in the last 2 years. It could be that pigs move away from high hunting pressure S. scrofa and S. verrucosus. Last time a verrucosus was seen was in 1999. No hunting these days, as all 6 hunting dogs in the village had been poisoned by pig baits.
No verrucosus
Verrucosus is locally called Bedul Hideung. Possibly a few verrucosus left, maybe extinct
Possibly a few verrucosus left, maybe extinct
Same location as 17. S. scrofa and S. verrucosus. Pigs are hunted or poisoned because they are pests in crop lands and can destroy 0.5 ha of cassava in one week. Normally poison of the “Kolater” brand is used. Meat is traded with Baduy Luar people. Local people desperately hope for government intervention to help destroy pig population. S. verrucosus is a more solitary species than scrofa, but it is only very rarely seen. Zoo information will be discussed elsewhere.
Verrucosus is locally called “Banen”. Possibly a few verrucosus left, maybe extinct
S. scrofa and S. verrucosus. Every Saturday there is a hunt, generally involving 20-50 people, but sometimes small groups of 3-5 people. Per month they get 1-5 pigs, which are fed to dogs, or the meat is left in crop lands to scare off other pigs. S. verrucosus is now rarely hunted, and the interviewee did not see one killed in the last 5 years. 30 years ago pigs, especially scrofa, were much more common and hunters killed between 20-30 animals/hunt. Verrucosus possibly also around Bangbayang and Nangela villages, Kec. Tegalbuleud. S. scrofa and S. verrucosus. Pigs are hunted as they are pests. In the 1980s hunters often got as many as 30-40 pigs/hunt, now only 1-5. Presence info of verrucosus is based on a killed animal in the early 1990s. S. scrofa still common around Cilantung village.
Verrucosus is locally called babi banen or babi gagadungan. Babi banen is almost a male. Verrucosus runs away in a zig-zag, and often confronts hunters and dogs; scrofa just runs. Possibly a few verrucosus left, maybe extinct Verrucosus is locally called babi banen, or, when still small “mentet”. Possibly a few verrucosus left, maybe extinct
NOT TO BE CITED WITHOUT CONSULTATION OF AUTHORS
Verrucosus is called Babi Kutil
66
Translation and summary of interviews—in English
9
Cikepuh Wildlife Reserve, Gunung Batu,Kec. Ciracap, Kab. Sukabumi
S. scrofa and S. verrucosus, but the latter has only very rarely been seen since 1995; possibly still in the Wildlife Reserve. Almost every day there are pig hunts, generally resulting in 0-2 kills. Wildlife Reserve is 4,000 + Cibanteng Wildlife Reserve = 447 ha, adjacent to 2,400 ha of commercial crops (coconut and cacao). Verrucosus possibly also around Mt. Arca, Mt. Rangkong, and Mt. Sentul.
10
Karangsari, G. Batu, Kec. Ciracap, Ka. Sukabumi
S. scrofa and S. verrucosus. Interviewee has been a commercial hunter for 40 years; used to get 2-5 pigs per day; no he sells about 1/week. Meat is sent to Jakarta for consumption by humans and dogs; costs: 2.000-3,000 Rp/kg (ca. 0.2 US$/kg). For the last 5 years, he has not killed a single S. verrucosus. He thinks it is disappearing because of over-hunting. Scrofa still common around Tegalubud, Mereleng, and Ciemas villages.
11
Ciemas, Kec. Jampang Kulon, Kab. Sukabumi Ciemas, Kec. Jampang Kulon, Kab. Sukabumi
No information
12
13
14
15
Loji, Kec. Pelabuhan Ratu, Kab. Sukabumi Cikelat, Cikupa, Kec. Cisolok, Kab. Sukabumi
Bojongsoka, Kec. Warungkiara, Keb. Sukabumi
Only S. scrofa. Common in coconut plantations where they nest. 20 years ago, plantation owners paid Rp 5,000 (ca. 0.8 US$) per dead pig (needed to bring the tail as proof); then 10-40 pigs were killed each day in the 1,800 ha plantation; since 1995 the pig population has been small. Only S. scrofa. Often hunted by groups of 30-40 people with 15 dogs; meat left for dogS. scrofa also around Mt. Kacapi, and Cikotor and Cibutun villages. 5 years ago a reddish pig was killed of 80-100 kg, but interviewee did not remember seeing warts. S. scrofa and S. verrucosus. 40 years ago, the two species were equally common, but now verrucosus is very rarely captured; the last time that this happened was in 1997 in Sirnaresmi village (Kec. Cisolok). Since 45 years there are organized pig hunts to control pest (one 500 m2 dry rice field could be destroyed in a night). Pigs are now far from houses (2 hours walk). Every Sunday, they are hunted by 20-60 people. Hunters use dogs, guns, and nets. No more poison is used as it often killed dogS. scrofa still occurs around Bumisari, Cipapat, Nagrak, Cikupa, Cikelatm Bangbayan, Ciherang, and Ciberano villages, and Mt. Keramat. S. scrofa and S. verrucosus. Twice a week pigs are hunted generally resulting in 5 kills/hunt. ‘In the old days’ pig groups would consist of 30 animals, whereas now they are only 10 animals in a group.
NOT TO BE CITED WITHOUT CONSULTATION OF AUTHORS
Verrucosus is locally called babi gadung. Always in small groups of 1-2 animals. Mostly in swampy, muddy areas. Poison was used in the 1990s but not anymore. Possibly a few verrucosus left, maybe extinct Verrucosus is locally called babi gadung. Verrucosus sometimes occurred in mixed groups (with scrofa) of 10-12 animals. Copulations take place in FebruaryMarch. Scrofa much fatter than verrucosus. verrucosus most often in dry rice fields, bush and grasslands, not forest; scrofa in coconut plantations. Possibly a few verrucosus left, maybe extinct
No verrucosus
No verrucosus, possibly some in the past, or animals occasionally migrating through area. Verrucosus is locally called babi gadung, babi banen, or banen/bagong eurih. Verrucosus mostly in tea and rubber plantations, dry rice fields or scrubS. verrucosus only give birth to about 5 piglets. Possibly a few verrucosus left, maybe extinct Verrucosus prefers crop lands, banana plantations etc., whereas Sus scrofa is found in all sorts of habitats. S.
67
Translation and summary of interviews—in English
16
17
18
19
20 21
22
23
24
Cirahong, Kec. Kalapanunggal, Kab. Sukabumi Kabandungan, Kec. Kabandungan, Kab. Sukabumi (alt. 1,100 m) Gunung Halimun National Park Perhutani Cempaka, Cianjur
Kebon Sereh, Margalayu, Tanggeung, Cianjur Kebon Sereh, Margalayu, Tanggeung, Cianjur Hutan Perhutani Cipandak, Kec. Cidaun, Cianjur Solammulya, Kec. Pondoksalam, Kab. Purwakarta
No clear information
verrucosus normally has ca. 5 piglets; scrofa 8 or more. Situation unclear. maybe extinct Probably only Sus scrofa
Only S. scrofa, but these populations appear to have sharply declined over the last 5 years.
No verrucosus
Since 2001, 36 camera traps have been used to monitor leopard populations. The cameras were situated in forest areas between 951 and 1,830 m a.s.l. Pigs occurs between 951 and 1,280 m, but only S. scrofa was ever seen on photos. Only S. scrofa, but 15-20 years ago still verrucosus. Pigs almost completely nocturnal. Much hunting for pest control. 4,000 ha of pinus and rasamala.
No verrucosus
No information Only S. scrofa, still common nr. Mt. Gebur and Mt. Subang. Much hunting for pest control; 20-50 people with 10-15 dogs; pigs fed to dogs. Pigs in mahogany forests. Only S. scrofa, Quite common around Mt. Geber where hunters obtain 3-4 animals/hunt; also nr Karang Sereh but here hunters only get 1-2 pigs/hunt. Pigs much less common than 10 years ago. Only S. scrofa. Pigs hunted occasionally by groups of 2-5 people, but sometime by large groups (30-50 people). Pigs fed to dogs. 1,439 ha of teak forest. Pigs also on Mt. Rasa, Sukamanah, Cibeureum, and Cirahayu villages, and also near Ciastana, Kec. Cidaun. S. scrofa and S. verrucosus. Since 20 years, people have been hunting pigs in this area, and they are still hunting every Sunday to control pig population levels. Normally, about 8 people with 10 dogs on the hunt, primarily in the Mt. Leuweung Datas area, near the Guruduk village and also near Taringgul, Kec. Wanayasa. They recognize 3 different pig species: 1. Babi Kanyere, a small (40 cm tall), black pig that lives in groups of 1-2 animals in grassy areas; 2. Bagong Kotok, which is the same size and colour as Babi Kanyere, but smells like chicken manure and lives in the lowlands; the 3rd species is S. verrucosus. In 1961, they killed a 150 kg verrucosus, but in 1990 the weight of a killed verrucosus was only 50 kg [??]. Verrucosus prefers Imperata grasslands with some trees. They are most often encountered near Rancadarat, Kec.
NOT TO BE CITED WITHOUT CONSULTATION OF AUTHORS
Also Macaca fascicularis and Presbytis comata No verrucosus Presbytis comata and Trachypithecus auratus No verrucosus No verrucosus
No verrucosus
Verrucosus is locally called Babi Gagadungan. A small population of verrucosus possibly survives in this area.
68
Translation and summary of interviews—in English
25
Talagasari, Kec. Segalaherang, Kab. Subang.
26
Head of PERBAKIN (regional hunting club) in Bandung
27
Simpang, Cibolang, Garut.
28
Karyasari, Kec. Cibolog, Kab. Garut Cikanyere, Sukamukti, Kec. Cisompet, Kab. Garut. Leles, Kec. Leles, Kab. Garut
29
30
Kec. Kab.
Pondok Salam. Verrucosus is mostly solitary; they still occur but are very rarely encountered. It is a very strong pig, that fights with dogs for much longer than S. scrofa before giving up the ghost. (?) S. scrofa and S. verrucosus. Hunts rarely occur nowadays (once a month with 3 people) as pig populations are at a very low level. Pigs are caught with dogs or snares and generally get killed and are then fed to the dogs. In 1993, one group of pigs could still be as large as 30 animals, but nowadays there are only 3 per group. The last time a verrucosus was seen was in 2001 when a PERBAKIN member shot one. He tells that in Java there are 3 pig species. 1. Babi Pantai (=beach)/Babi Cingkring: small (less than 40 kg), only near beaches in South Java, 10 years still in groups of 1020, but now only 4-5 animals/group, never more than 3 km from the sea; 2. Babi Banen/Babi Bijung = S. scrofa; 3. Babi Goteng (=verrucosus). His PERBAKIN group once killed a verrucosus that weighed 130 kg (disembowelled). In 2002, they shot a 135 kg verrucosus near Taraju village (Kec. Cicombre, Kab. Tasikmalaya), while there is also still a good population near Ujungjaya (Kec. Cikamura, Kab. Sumedang). Verrucosus always in small groups (max 3 animals), but nowadays it is often solitary; mostly in open forest, Imperata grassland, and dry padi fields (not wet rice). He suggested that this species needs to bred in captivity to prevent its extinction in the wild; “it’s a unique Javan species”. S. scrofa and S. verrucosus. Pigs are being hunted by locals and local hunting groups (PERBAKIN). Verrucosus prefers open areas. Group size of verrucosus is a maximum of 1 male and 1 or 2 females, but they are mostly solitary. Already ‘in the old days’ verrucosus was much rarer than the other two pig species, but it is believed that verrucosus still exist in the area. Two other pig species are a large, almost hairless one named Babi Pijung (feral pig??), and Babi Cungkring, a small pig (maximum weight 45 kg), with a snout like a shrew, that lives at most 1-2 km from the sea (normally seen near Sancang beach). No information
A small population of verrucosus possibly survives in this area.
Verrucosus populations probably still occur in the two areas named in the text: near Taraju village (Kec. Cicombre, Kab. Tasikmalaya), and near Ujungjaya (Kec. Cikamura, Kab. Sumedang).
Verrucosus is locally called Babi Goteng. A small population of verrucosus possibly survives in this area.
No information
S. scrofa and S. verrucosus. Regular hunts have taken place in this area for decades (since the days of his granny). Pigs are normally caught and taken to the village in a cage. A verrucosus was seen a year ago near Cirengsok (Kec. Cisompet, Kab. Garut)
NOT TO BE CITED WITHOUT CONSULTATION OF AUTHORS
Verrucosus is locally called Babi Ibil, Babi Jajaden or Babi Gagadungan. A small population of verrucosus
69
Translation and summary of interviews—in English
31
Pugul, Kac. Toma, Kab. Sumedang
32
Jatitujuh, Tomo, Majalengka
Kec. Kab.
33
Tajur, Cigosong, Majalengka
Kec. Kab.
34
Citapen, Ciamis
35
Pamalayan, Kec. Pamalayan, Kab. Ciamis Batukaras, Kec. Cijulang, Pangandaran, Kab. Ciamis Selatan
36
and they also still occur near Mt. Gelap, close to the tea plantations near Neglasari village. Pigs are most easily caught during the wet season as their tracks are very clear. Only S. scrofa. Area has plantation forests of teak and mahogany. Hunting mostly takes place in September-January, as there are no crops outside that season; generally hunts are organized once a week. Pigs are not only hunted for pest control, but they are also captured to be used in fights with dogs (called “Adu Bagong”); pigs fight with bulldogs, pit bull terriers, and German Shepherds, or small village dogs (detailed description of these fights is available). S. scrofa and S. verrucosus. Mostly farmers in this area, who own on average 1 ha of land per household, ¼ of which is destroyed by pigs eating crops. Crops are generally raided between 19.00 and 21.00 and between 03.00-05.00. Pig group sizes are now between 1 and 3 animals, whereas 10 years ago this was still between 7 and 15 animals per group. According to locals this is because of direct hunting pressure and also because pigs have moved elsewhere. Pigs are often caught to be used in dog fights, the females in training sessions with inexperienced dogs, the males in commercial fights. Because verrucosus males are much stronger and ‘meaner’ than scrofa, they are much sought after for dog fights, but verrucosus is now very rarely seen and the last one captured was 4 years ago. S. scrofa and S. verrucosus. Pigs are hunted on weekly basis by 15-20 people and 9-15 dogs, because they destroy crops and trees. They are caught with nets and if females the dogs get to fight and kill it on the spot; if it is a big male, the animal is taken home and used in commercial fights with dogs. S. verrucosus are the best for dog fights because they are bigger, stronger, and more aggressive. The verrucosus population is much smaller than it used to be in ‘the old days’, and much less than scrofa. In 2002 verrucosus (number unknown) was encountered, but not caught near Cieurih village. No local information, but interviewee suggested that there could still be pigs at the foot of Mt. Sawal (Kec. Kawali/Panjalu). In the Tasikmalaya area pigs still occur in the Salopa District. 40 years ago there were still two different pig species, but interviewee couldn’t comment on present situation In October 2002, the interviewee caught 2 S. scrofa, but he did not know about any other pig species S. scrofa and S. verrucosus. Pigs are hunted in the Batu Karas Hills. Pig populations have declined because of high hunting pressure and because they dispersed elsewhere. Hunts occur irregularly, whenever pigs become a pest problem. Two species occur near Batu Karas. S. verrucosus is now very rarely encountered compared to the past. Verrucosus prefers open areas, such as Imperata grasslands and scrubland, whereas
NOT TO BE CITED WITHOUT CONSULTATION OF AUTHORS
probably survives in this area. Not entirely clear, but probably no verrucosus (maybe extinct).
Possibly a few verrucosus left, maybe extinct
Verrucosus is locally Gagadungan. Probably a small population remains.
called
Babi
verrucosus
Not entirely clear, but probably no verrucosus (maybe extinct).
No verrucosus
Verrucosus is locally called Celeng Goteng or Celeng Gagadungan. Very likely, a small verrucosus population survives
70
Translation and summary of interviews—in English
37
Parakannunggal, Kec. Parigi, Kab. Ciamis Selatan
38
Kertajaya, Kec. Parigi, Kab. Ciamis
39
Sindangsari, Kec. Cimerak, Kab. Ciamis Selatan
40
Cipatujuh, Cipatujuh, Tasikmalaya
Kec. Kab.
scrofa prefers forested areas. In February 2003, one verrucosus was seen in the Matasari forest area near Batununggal (Batukaras village), but they had not managed to catch it. S. scrofa and S. verrucosus. For the last 15 years, once or twice of week, pig hunts have been organized (Tuesdays and Saturdays). Hunting parties consist of 10-30 people and 10-15 dogs. Pigs are caught with nets. If small pigs are left to fight with dogs, if big they are taken to the village for commercial dog fights. These fights occur only once or twice a year (often independence day-17 August, or the end of fasting), They try to obtain some 10 pigs for these fights. Fighting dogs are generally brought in from the big cities (Jakarta, Bandung, Garut, Ciamis, and Tasikmalaya). Verrucosus rarely occurs in groups (max. 3 animals, of which 2 are females). Verrucosus prefers dry rice field habitats; it does not mix with S. scrofa. A group of 3 verrucosus (1 male, 2 fem.) was seen in 2002, and the last time before that in 1997. 10 years ago S. scrofa was seen quite often in groups of 12-15 animals, but these days only 3-5 animals/group. “In the old days”, there were a lot more pigs, and in one month up to 200 animals could be killed. S. scrofa and S. verrucosus. Pigs are only hunted when they are causing damage to crop lands; a group of 5-10 pigs can destroy ½ ha of wet rice field per night. 15-20 years ago, pig group sizes were between 15-30 animals, but now only 2-5 animals/group. 15 years ago, farming in the Bangunjaya region was stopped as pigs destroyed too many crops. Hunters could kill as many as 300 pigs per month, pretty much all of them S. scrofa. These days it takes 2-3 hours to even track down one pig. Verrucosus is now rarely seen. They caught one verrucosus in 2001. Verrucosus probably still occurs near the Kalipucang and Bagolo villages and in the Segara Anakan wetlands. S. scrofa and S. verrucosus. Pigs primarily occur in the PTP VIII Cikencreng forest area, near Ciparanti (Kec. Cimerak). Pig group size has declined from 25 in the past to 10 these days. Pigs in this area are hunted by city people who come at night with guns and cars with spotlights, and twice a month by locals who use dogs. S. verrucosus are now very rare, but even ‘in the old days’ they were less common than S. scrofa. S. scrofa and S. verrucosus. Interviewee hunts pigs once a week to keep them out of his coconut plantings. He also joins a local hunting group that has been active since the 1960s. 30-50 people can take part in these organized hunts. They use nets, and pigs are sold for Rp 400,000 (ca. US$ 45) to dog-pig fight organizers. One hunt generally results in 1-3 captures, but in the 1960-1980s they still got as many as 10 animals per hunt (and these were organized twice weekly). Locals now 3 pig species, including scrofa and verrucosus and a third pig that looks like scrofa in the shape of the snout,
NOT TO BE CITED WITHOUT CONSULTATION OF AUTHORS
Verrucosus is locally Gagadungan Probably a small population remains.
called
Babi
verrucosus
Verrucosus is locally called Babi Gagadungan or Celeng Goteng. A small population of verrucosus probably survives in this area.
Verrucosus is locally called Babi Gagadungan. Unclear, a few verrucosus may survive.
Verrucosus is locally called Babi Gagadungan or Babi Gunung (= mountain pig). A small population of verrucosus survives in this area.
71
Translation and summary of interviews—in English
41
Lenggerong, Bantarbalag, Pemalang
Kec. Kab.
42
Beluk, Kec. Belik, Kab. Pemalang
43
Ngepos, Kec. Subah, Kab. Batang
but is smaller, with reddish colours, and occurs only along the coastal strip where it feeds on crabs. It is named Babi Laut (=sea pig) or Babi Cungkring (??). Weighs between 30 and 40 kg, and occurs in groups of 1-3 animals; rarely seen, but mostly along beaches between Cipatujah and Pameungkeuk. Verrucosus is much sought after for dog fights; it feeds primarily during nights, sometimes during daytime. It still occurs in the area, but is very rare. Since May 2003, they have been trying to capture a known verrucosus, but after 7 attempts they still haven’t had success. S. verrucosus primarily occurs in the garden areas around this village, but also near Mt. Lutung (Ciandu village, Kec. Cipatujah, Kab. Tasikmalaya). They make nests by digging into the ground on steep riverbanks or mountainsides. S. scrofa. Pigs are primarily hunted by PERBAKIN members in the area between Pemalang and Purwokerto. Interviewee pays Rp. 3,000–4,000/kg (0.40-0.50 US$/kg) for a killed pig and sells the meat for Rp. 10,000/kg to satay sellers; these sell the satay for Rp. 800–1,000 per skewer (0.10 US$). Also, pig skulls (with canines) are sometimes sold for their purportedly magical properties. Pigs are a major pests in the local rice fields, and can destroy 5,000 m2 per night, mostly when they are rooting for earthworms. There are two pig types in the area; 1. a grey or whitish species, that is mostly between 50 and 60 kg, but sometimes reaches as much as 120 kg; 2. black pigs that are smaller than the previous one. Pig groups sizes used to be between 15 and 25 animals, but now there are rarely more than 5-6 animals in a group. Between July and September females are often seen with young. They fatten up during the rainy season (between November and February). S. scrofa. Pigs are now so rare that they have stopped being an agricultural pest, unlike 15 years ago. There are two pig species: 1. A small, black pig that breeds often (twice a year), with 5-7 offspring each time, and which always occurs in groups > 10 animals; 2. “the normal pig”, which is greyish or reddish, a little bit bigger than the previous species, and also rarer than the other. It used to be a popular hunting object for hunters from towns and cities. S. scrofa and S. verrucosus. Interviewee has been a pig hunter for 35 years, but now primarily assists PERBAKIN when they come hunting. PERBAKIN primarily use cars and spot lights, and sometimes hire dogs from local hunters. Hunting occurs in the teak and other forest plantations. In 1991, PERBAKIN shot a 197 kg verrucosus near the Calungan village (Kec. Subah). There are 3 pig species in the area: 1. Goteng (S. verrucosus); 2. Wicung (S. scrofa); 3. Roho (S. scrofa). Goteng is still relatively common, generally seen in small groups of 1-2 animals, but 4-6 animals/group during mating season. Females with young are seen between August and December. Verrucosus has not declined as much as scrofa, but the interviewee expected rapid
NOT TO BE CITED WITHOUT CONSULTATION OF AUTHORS
GS decided that both pig species in the area appear to be scrofa. No verrucosus (maybe extinct)
GS decided that both pig species in the area appear to be scrofa. No verrucosus (maybe extinct)
It appears that a good-sized verrucosus population survives in this area.
72
Translation and summary of interviews—in English
population declines of the former because teak forests, its prime habitat, are rapidly declining. Note: is it possible that the “Roho” is the female verrucosus? Interviewee is an employee of the Central Java department of conservation. Pigs are declining rapidly because of the disappearance of teak forest. S. scrofa and S. verrucosus. Village is surrounded by teak forests owned by PERHUTANI, the state forest commission. Every 5–7 days a pig hunt is organized, especially at the end of the dry and wet seasons. There are at least 5 commercial hunting groups in the area, each consisting of 10-16 people, while, in addition, there are also individual hunters who hunt for food. Pig meat is sold for Rp. 10,000/kg. There are two pig species: “Babi Goteng” (=verrucosus) and “Babi Abang” (=scrofa)., Verrucosus is a poor runner and relatively easy to catch; primarily occurs in teak forest and scrub areas; produces 6–8 piglets, primarily between June and August; used to occur in groups of 10–20 animals, but now only 1–3 animals/group; 4–6 months ago, a verrucosus was last caught. Scrofa is the more common species in the area, causing more damage to crop lands; scrofa is more dependent on water than verrucosus. The local people used poison until 5 years ago to kill pigs, but because of the many deaths of dogs this has now been stopped. S. scrofa and S. verrucosus. Hunting intensity has declined over the last 5 years from once every 3 days to once every 5–10 days, because of declining pig populations. Pigs are hunted to sell the meat (Rp. 2,000/kg). Before, hunters would select big pigs only, but now the hunt anything, because it is very difficult to find pigs. Pigs have especially declined since the ‘reformasi’ started in 1998 [after the fall of President Suharto], because then teak forests were logged by locals (175 ha of forests logged over the last 4 years). Also, because of the economic problems, fewer teak seedlings are planted now and regeneration is minimal. In the area, there are two pig species: 1. Babi Hitam (=”Black Pig” = S. scrofa); and 2. Babi Kepirangan (=S. verrucosus). Verrucosus is now very rarely caught by hunters, the last one that was shot was in April/May 2003; 5–7 years ago, every hunt still resulted in a capture of 1–2 verrucosus. S. scrofa and verrucosus do not mix. No information
44
Semarang
45
Ngiono, Kec. Japa, Kab. Blora
46
Tunjungan. Tunjungan, Blora
Kec. Kab.
47
Tunjungan. Tunjungan, Blora Kedungtuban, Kedungtuban, Blora
Kec. Kab. Kec. Kab.
S. scrofa and S. verrucosus. Verrucosus mostly occurs by itself. It is nowhere near as much of a pest as is scrofa, which causes far greater damage to crops. For the last 4 years not a single verrucosus has been captured.
Ngawenan,
Kec.
S. scrofa and S. verrucosus. Hunting primarily occurs in the Kelapasore forest,
48
49
NOT TO BE CITED WITHOUT CONSULTATION OF AUTHORS
A population of verrucosus survives here.
Verrucosus is locally called Babi Kepirangan A small population of verrucosus possibly survives
Verrucosus is locally called Babi Putih Kusam (=the lustreless white pig) A small population of verrucosus possibly survives Verrucosus is locally called Babi
73
Translation and summary of interviews—in English
50
51 52
53
54
55
56 57
Brengkel A small population of verrucosus possibly survives
Sambang, Blora
Kab.
Girirejo, Tirtomoyo, Wonogiri. Gembira Loka Yogyakarta Wonosuko, Kemiri, Purworejo Brunorejo, Bruno, Purworejo
Kec. Kab.
although interviewee has not hunted for the last 4 years. Much forest has recently been logged in the PERHUTANI (= state forest) forests, and pigs have almost disappeared, but they can still be found further away in forests near Ngernadu (Kec. Ngerandu). In the past, it was easy to catch 2–8 pigs per night with the help of PERBAKIN. In the past, 2 pig species occurred: Babi Cemeng (=S. scrofa), and Babi Brengkel (=S. verrucosus); the former used to be a much bigger pest than the latter. No recent reports of verrucosus kills or captures, but more than 7 years ago one could still obtain 2–3 verrucosus per hunt. 8 years ago most forest in the area was logged and now there are no signs of any pigs or pig nests.
Zoo,
Zoo information will be discussed elsewhere.
Kec. Kab.
S. scrofa. For the last 10 years, not a single pig has been seen in any of the forest crop lands. Before that only S. scrofa occurred.
No verrucosus
Kec. Kab.
S. scrofa. Hunting started some 10 years ago, when villagers started to accompany PERBAKIN hunters. Pig populations have declined considerably, with group sizes decreasing from 15 to 3–5 animals per group. Since 1998, local teak forests have been logged, and since then pig populations have crashed; PERBAKIN has not been back for the last 2 years, after they had several unsuccessful hunting attempts. The only forest that remains are pine forests and pigs apparently don’t like these. S. scrofa. Interviewee only knows one pig species, which is a local pest in crop lands
No verrucosus
S. scrofa and S. verrucosus. Every week, 10 people hunt with 6-9 dogs, but smaller groups of 3 people hunt about 3 times a week as a hobby and for consumption or selling. They use dogs, nets, and guns. Meat is sold for between Rp. 5,000 and 10,000 per kilo. Pigs mostly mate during the wet season (October – February), and give birth during dry season. Verrucosus is mostly encountered alone, and only males are seen. For the last 10 years there have been no reported sightings of verrucosus and the last one was captured in 1973. They believe that verrucosus still occurs in this island near the villages of Karanganyar and Karangtengah Interviewee gave two verrucosus to Surabaya Zoo. He had originally bought 3 animals in the Blora area and in Temayang (near Bojonegoro). Both these areas have teak plantations where the pigs had been caught. There are also many pigs [unclear which
Verrucosus population extinct in this area
Rejadadi, Cimanggu, Cilacap Negarajati, Cimanggu, Cilacap.
Kec. Kab. Kec. Kab.
Nusakambangan Island, Cilacap. Bojonegero
NOT TO BE CITED WITHOUT CONSULTATION OF AUTHORS
Verrucosus population extinct in this area
probably
Situation unclear (maybe extinct)
probably
A small population of verrucosus possibly survives on this island. A population of verrucosus probably survives in the named areas.
74
Translation and summary of interviews—in English
58
Kedungsari, Temayang, Bojonegoro
Kec. Kab.
59
Kec. Kab.
62
Parame, Trawas, Mojokerto Mbelik, Trawas, Mojokerto Cendoro, Dawer, Mojokerto Surabaya Zoo
63
Surabaya
64
Madura Island
65
Pudakit Barat, Kec. Sangkapura, Bawean Island
60
61
species, possibly verrucosus] in Kec. Babalan, Bojonegoro and in the Parengan Forest, Kec. Parengan, Tuban. All pig population have, however, significantly declined because of hunting by city people and poisoning. S. scrofa and S. verrucosus. Interviewee knows of two pig species: Babi Celeng and Babi Rokipo (=verrucosus). Verrucosus is a more solitary species than scrofa, and it is very rarely encountered. It prefers unirrigated fields for feeding. In 1964/1965, verrucosus was often hunted because of its large size (interviewee claimed that verrucosus always weighs > 70 kg and he has never seen juveniles, which suggests that he is only familiar with male verrucosus). In 2003, two different verrucosus were reported from the area if Nyandong village. In the past it was common on Mt. Piling. Pigs in the Bojonegoro District have declined considerably since the ‘reformasi’ in 1998; according to an official report, teak forest in the district have declined from 60,000 to 30,000 ha [but this could be even less]. For the 15 years there have been reported sightings of pigs, nor had there been any hunting
A population of verrucosus probably survives in this area. Verrucosus is locally called Babi Rokipo
No verrucosus
Kec. Kab.
No reports of pigs for the last 10-20 years
No verrucosus
Kac. Kab.
S. scrofa. It appears from the descriptions that only S. scrofa occurs in this area
No verrucosus
Zoo information will be discussed elsewhere. In 2002, some animals were obtained from the Blora/Bojonegoro area, where presumably a population still exists. In 1995, 2 animals were obtained near Malang, and also there a population may still occur Interviewee owns a stuffed verrucosus head, which was shot about 15 years ago in the Lumajang area Interviewee works in East Java, but grew up on Madura and returns there every two months. He is certain that verrucosus does not occur on Madura. Pigs still occur in teak forest near Jrengi (Kab. Bangkalan) and Pukong (Kab. Pamekasan), where teak forests remain on some hills. Only S. scrofa. Hunting very rarely occurs. S. scrofa and S. verrucosus. Hunts have occurred for the last 10 years, initially for Long-tailed Macaques (Macaca fascicularis), later also for pigs. Since 2000, there has been a marked decline in the pig population, and hunting intensity has now decreased to once monthly hunts. There are 3 pig species on Bawean: 1. Celeng Kombang (=black pig), a small (20-25 kg, 40-50 cm tall), black and grey species that is very
Probably no verrucosus, but worth checking these teal forests, or teak forests elsewhere on the island.
NOT TO BE CITED WITHOUT CONSULTATION OF AUTHORS
A population of verrucosus survives on this island, but in a very low number.
75
Translation and summary of interviews—in English
66
Pudakit Barat, Tampo, Kec. Sangkapura, Bawean Island
67
Pudakit Barat, Tampo, Kec. Sangkapura, Bawean Island
68
Pudakit Barat, Tampo, Kec. Sangkapura, Bawean Island Lumbung, Kec. Lumbing, Kab. Pasuruan Terpuram, Kec. Sumber, Kab. Probolinggo
69
70
71
Sumber, Sumber, Probolinggo
Kec Kab.
72
Banyuglugur, Kec. Banyuglugur, Kab.
destructive in agricultural fields; 2. Celeng Batang, slightly blacker and larger than Celeng Kombang; 3. Babi Kutil (=warty pig = verrucosus), which is much larger than the others and much more aggressive. Last one was obtained in 1980, and none have been caught since then. Very occasionally they are still encountered, the last one in 2000. It rarely comes close to villages, but is occasionally seen on Mt. Besar and Mt. Durin. Pig group sizes [unclear which species] have declined from 12 animals per group to 3. Pigs also occur near Mt. Bataur; the grassy areas near Lanpelem; near Sumber Lanas (towards Mt. Besar and Mt. Durin), along with the area aroung Batulentang village. S. scrofa and S. verrucosus. Two pig species: 1. Babi Kumbang [S. scrofa?], weight 40-50 kg, used to occur in groups of 20, but now only 5 per group, coloured black, grey or reddish; 2. Babi Kutil [S. verrucosus], which is always solitary or occurs in groups of 2, and is never seen with young [probably referring to males only], it has finer hair than scrofa. Interviewee once saw a male, female and 3-5 young veruucosus together. S. scrofa and S. verrucosus. Interviewee has hunted pigs all his life. Scrofa primarily occurs in the following areas: Mt. Gadung, Mt. Parau, Mt. Dedawang, Mt. Gudul, Mt. Belumbung, Mt. Batu, Mt. Muntaha, Mt. Lodan, and Mt. Durin; Verrucosus occurs in Mt. Batu, Mt. Muntaha, Mt. Lancang and surrounding shrubby areas; last one seen in 2002 on Mt. Lancang. S. scrofa and S. verrucosus. Largely repeats information in 44 and 45. Verrucosus is most often seen in teak plantations, and rarely comes close to villages
S. scrofa. Pigs are only very rarely seen and are not an agricultural pest. In the past, between July and September, pigs descended from the mountains to feed in crop lands, but now this is very rare. Interviewee has never heard of a pig with warts S. scrofa. There are two pig species in the area: Celeng Tapis and Celeng Biasa (=the normal pig). The latter is bigger than the former and occurs in smaller groups, but GS concluded that this was also S. scrofa. Hunting occurs only occasionally, and only if there is damage to crop lands. S. scrofa. Interviewee has hunted for 15 years. There are two pig species in the area: Babi Lantung and Babi Tapis, but neither seem to be verrucosus. Before 1980, pigs were very common, but then PERBAKIN started hunting pigs regularly and now they are rarer and group sizes have declined from 20 to 6 animals/ group. S. scrofa. Lots of pigs during the dry season; also near Kalisari, Pesisir, Telepung, and Selabanteng villages. In the wet season pigs are much more solitary. Pigs are hunted
NOT TO BE CITED WITHOUT CONSULTATION OF AUTHORS
A population of verrucosus survives on this island, but in a very low number.
A population of verrucosus survives on this island, but in a very low number.
A population of verrucosus survives on this island, but in a very low number.
No verrucosus
Probably no verrucosus in this area
Probably no verrucosus in this area
Unclear whether verrucosus
there
are
any
76
Translation and summary of interviews—in English
Situbundo
Kec. near NP,
with dogs and nets about 2 hours walking from the villages. 8-10 years ago, pig groups varied between 9 and 20 animals per group, but now it is only about half of that. Best pig hunting areas are around Bukit Curah Mulang, Mt. Tiang, and Alas Tua. There are two species here: 1. Celeng Hitam (=”black pig”) and 2. Celeng Merah (=”red pig”), but the descriptions do not clearly suggest whether verrucosus is one of these two species. S. scrofa. 10 years ago, pig populations suddenly started to decrease; before group sizes were 30 or more animals/group, but now it is only 5-10 animals/group. Population reduction was likely caused by a combination of hunting and habitat destruction. In the last 5 years, pig populations [=S. scrofa only] have drastically declined, and from some areas they have disappeared altogether. Pigs were always very common in this park, and their decline is a mystery. It may be related to a sudden increase in the dhole (Cuon alpinus) population, which increased from just a few sightings in the early 1990s to large groups of dogs at present. A check of dhole faeces suggested that they eat mostly deer at present. Most pig hunting occurs outside the park where people have their crop lands. The park’s people discriminate between two pig species, a bigbodied and a small-bodied one, but neither appear to have verrucosus characteristics. [also, not a single verrucosus skull was found among some 250 pig skulls that were collected in the park between 1992 and 1999 (S. Hedges, pers. comm. To EM)]. Two pig species allegedly occur, Babi Bagong en Babi Tapis, but the descriptions do not suggest that either of them is verrucosus. S. scrofa. Only one pig species occurs, especially in the community forest areas around in the village, where it is common. Pigs are not much of a pest species here and cause little damage to crop lands S. scrofa. One pig species occurs, especially around the coffee fields on the slopes of Mt. Gumitir. Pigs are not hunted by locals, but sometimes (2-3 times a month) city people come to hunt pigs. Locals do hunt deer, but as pig are not a pest they are rarely hunted. The interviewee and 4 other informants had never heard of other pig species or species with warts [, which is surprising, because Blouch found verrucosus in this area in the 1980s]. Two pig species occur, Babu Tapis [see no. 54] and Babi Besar [=big pig]; only difference between the two is their size, and as the ‘species’ often mingle it could be that both types are S. scrofa. The descriptions do not indicate that verrucosus occurs.
Kec. near
This village and its crop lands are located within the national park, so pig hunting is prohibited. Pigs do cause considerable damage to crop lands, with groups of 20-40
73
Bungatan, Bungatan, Situbundo
74
Baluran National Park, Banyuwangi
75
Baluran National Park, Banyuwangi Margosugih, Kec. Glenmore, Kab. Banyuwangi Sidomulyo, Kec. Silo, Kab. Jember
76
77
78
79
Bandealit, Bandealit, Meru Betiri Kab. Jember Bandealit, Bandealit,
Kec. Kab.
NOT TO BE CITED WITHOUT CONSULTATION OF AUTHORS
No verrucosus
No verrucosus
No verrucosus No verrucosus
No verrucosus
No verrucosus
No verrucosus
77
Translation and summary of interviews—in English
Meru Betiri Kab. Jember
NP,
80
Bandealit, Kec. Bandealit, near Meru Betiri NP, Kab. Jember
81
Nusa Barong Nature Reserve, Puger, Kec. Puger. Kab. Jember.
82
Sukodono, Lumajang
Kab.
83
Gucialit, Gucialit, Lumajang
Kec. Kab.
84
Karanggandu. Kec. Watulimo. Kab. Trenggalek
85
Desa Pangguil, Kecamatan Panggul, Kabupaten Trenggalek
animals destroying 3 garden blocks of 50x15 m in one night. The only pig species in the park appears to be S. scrofa. Also, an extensive camera trapping program [to search for Javan Tiger] in 1999 and 2001 only revealed S. scrofa. Pigs are most often seen between April and June when the females have had their young. Pigs are hunted here as they destroy crops of maize and tree seedlings, especially by villagers from Curahnangka. Hunters often enter the national park, as most pigs reside there. Hunting groups most often have 3-5 people and 10-15 dogs. No information on Sus verrucosus. Interviewee is employed as a forest guard in the nature researve. This island reserve has an important population of Cervus timorensis, but also has pigs. There appears to be only one kind of pig, which weighs up to 50 kg and is black; most likely S. scrofa. Hunters from Java illegally enter the reserve to hunt pigs. The pigs around the village (which is on the mainland) are grey, and smallish (up to 30-60 kg); again, most likely S. scrofa. Intended interviewee (a local police officer) was not met. One hunting trophy in the house (see Photo 14 in main text) was clearly S. scrofa, and according to the interviewee’s wife all pigs that her husband shot over the many years were like this one. There are two local hunting groups, each with 3-4 people. Pigs are hunted as a hobby or when they are affecting agricultural crops. Normally 0-3 pigs are shot on a one-day hunt. PERBAKIN also hunts in the area, usually at night, resulting in the shooting of 2-4 pigs. Most hunts occur near forestry plantations. Meat is sold for Rp. 5,500/kg (ca. US$ 0.75/kg). Since 1998, reports of crops damage by pigs have decreased. All pigs appear to be S. verrucosus, which is locally named “babi lantung”. Two pig species apparently occur locally. A small, black pig, most 20-45 kg, but also up to 80 kg. These pigs are becoming scarcer and are no longer significant agricultural pests, unlike Long-tailed Macaques (Macaca fascicularis). The other species, which is of similar size and colour is much more coarse-haired, lives in smaller groups and is rarely encountered with young. Two pig species occur locally: A very rare, grey species, with maximum weight of 80 kg, and a reddish one, with a maximum weight of 50 kg. Neither species have warts on the snout. The smaller species is often seen in teak forests. There are no local hunters, and for the last 2 years no outside hunters have come to this area.
NOT TO BE CITED WITHOUT CONSULTATION OF AUTHORS
Probably no verrucosus
Probably no verrucosus
Probably no verrucosus
Probably no verrucosus
Probably no verrucosus
Probably no verrucosus
78