SURAT KEPUTUSAN BERSAMA MENTERI: KAJIAN ATAS KEBERADAAN DAN KEDUDUKANNYA DALAM SISTEM PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN INDONESIA Guretno Sekar Ningsih dan Sony Maulana Sikumbang Program Studi Ilmu Hukum, Fakultas Hukum Universitas Indonesia Abstrak Penelitian ini membahas dua masalah yang terkait dengan Surat Keputusan Bersama Menteri, yaitu keberadaan Surat Keputusan Bersama Menteri sesuai dengan perkembangan peraturan perundang-undangan serta Kedudukannya dalam Peraturan Perundang-undangan. Pembahasan mengenai Keberadaan dan Kedudukannya dilakukan untuk melihat sejauhmana Surat Keputusan Bersama Menteri memiliki pengaruh dan kekuatan hukum mengikat di masyarakat. Penelitian ini adalah penelitian normatif yang dilakukan melalui pendekatan yuridis yaitu melalui pengkajian literatur-literatur, peraturan perundang-undangan serta perkembangan sejarah didalamnya disertai dengan beberapa contoh Surat Keputusan Bersama Menteri sesuai dengan perkembangan masanya. Dalam perkembangan sistem pemerintahan yang juga mempengaruhi perkembangan sistem peraturan perundang-undangan, keberadaan Surat Keputusan Bersama Menteri juga mengalami perbedaan terutama jika dilihat dari aspek pelaksanaan suatu Surat Keputusan Bersama Menteri. Aspek lainnya yaitu mengenai kedudukan Surat Keputusan Bersama Menteri melalui penafsiran yang berubah setiap pergantian peraturan perundang-undangan. Melihat dari perkembangan sistem peraturan perundang-undangan, keberadaan dan kedudukan Surat Keputusan Bersama Menteri dapat dilihat dari dimana kewenangan pembentukannya didapatkan dan penafsiran undang-undang terhadap Surat Keputusan Bersama Menteri. Kata kunci: Peraturan Bersama Menteri, Peraturan Perundang-Undangan, Surat Keputusan Bersama Menteri
The research mainly discusses about two problems related to Joint Ministerial Decree. First, about existence of Joint Ministerial Decree in accordance to legislation progress. Second, about Joint Ministerial Decree position in the legislations. Discussion about its existence and position are purpose to reviews Joint Ministerial Decree which always related two problems, the force of law and how it will be enforced. This research is normative research use normative juridical approach through reviews of literature, legislations, and its history progress with number of examples of Joint Ministerial Decree inside. In governmental system progress which also affect to legislation system progress, existence of Joint Ministerial Decree has difference progress as well, especially from implementation aspect of Joint Ministerial Decree. Another aspect, about position of Joint Ministerial Decree through interpretation which always changed fits on legislations changes. Through legislations progress, existence and position of Joint Ministerial Decree can be reviews from, forming’s authority and interpretation of legislations against Joint Ministerial Decree. Keywords: Joint Ministerial Decree, Joint Ministerial Regulation, Legislation
Surat keputusan ..., Guretno Sekar Ningsih, FH UI, 2013
2
PENDAHULUAN Latar Belakang Indonesia adalah negara hukum yang pada prinsipnya menghendaki segala tindakan atau perbuatan penguasa mempunyai dasar hukum yang jelas atau ada legalitasnya, baik berdasarkan hukum tertulis maupun hukum tidak tertulis.1 Negara hukum pada intinya menghendaki setiap tindakan maupun kewenangan penguasa tidak melanggar dan sesuai dengan aturan-aturan yang ada. Setiap organ negara dalam bertindak atau menjalankan tugastugasnya harus dilandasi wewenang yang sah, yang diberikan oleh peraturan perundangundangan. Penyelenggaraan pemerintahan harus didasarkan oleh hukum (we matigheid van bestuur = asas legalitas = le principle de la l’egalite de’l administration). Oleh karena itu, setiap organ negara sebelum menjalankan tugasnya harus terlebih dahulu dilekatkan dengan suatu kewenangan yang sah berdasarkan peraturan perundang-undangan.2 Undang-undang merupakan produk hukum yang memberikan landasan bagi Pemerintah dalam mengambil setiap kebijakan untuk kepentingan rakyat. Namun, jalannya pemerintahan tidak dapat hanya berdasarkan kepada undang-undang semata. Hal ini karena undang-undang memiliki cakupan pengaturan yang masih bersifat umum dan perlu diterjemahkan kedalam peraturan-peraturan yang langsung tertuju pada hal-hal yang akan diatur. Salah satu bentuk pelaksanaan dari Undang-Undang adalah kewenangan para menteri dalam membentuk suatu produk hukum. Salah satu produk hukum yang dapat dibentuk oleh para menteri tersebut adalah Surat Keputusan Bersama Menteri. Didalam lembar resminya hanya disebut “Keputusan Bersama” atau “Peraturan Bersama”, namun keberlakuannya didalam masyarakat lebih dikenal sebagai Surat Keputusan Bersama atau SKB.3 Surat Keputusan Bersama bukan merupakan produk hukum baru dalam praktek peraturan perundang-undangan di Indonesia, namun jenis dan keberlakuannya masih mendapatkan perdebatan di masyarakat. Salah satu SKB yang memulai perdebatan di berbagai pihak mengenai jenis dan kedudukannya adalah SKB dua menteri antara Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri No. 9 Tahun 2006-No. 8 Tahun 2006 yang menggantikan SKB No. 01/BER/mdn-mag/1969 tentang Pelaksanaan Tugas Aparatur Pemerintahan dalam 1
Bambang Sutiyoso dan Sri Hastuti Puspitasari, Aspek-Aspek Perkembangan Kekuasan Kehakiman di Indonesia, (Yogyakarta: UII Press, 2005), hal.1. 2
Safri Nugraha,dkk, Hukum Administrasi Negara, (Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia,2007), hal.29. 3 Suherman Toha, dkk, “Eksistensi Surat Keputusan Bersama Dalam Penyelesaian Konflik Antar dan Intern Agama,” (Laporan Akhir Penelitian Hukum, Badan Pembinaan Hukum Nasional Kementerian Hukum Dan Ham RI,2011), hal.26.
Surat keputusan ..., Guretno Sekar Ningsih, FH UI, 2013
3
Menjamin Ketertiban dan Kelancaran Pelaksanaan Pengembangan dan Ibadat Agama oleh Pemeluk-Pemeluknya. Beberapa pendapat muncul untuk menanggapi keberadaan SKB ini. SKB dua menteri ini dianggap sebagai suatu produk hukum yang tidak termasuk dalam peraturan perundang-undangan. Demikian pula tidak ada peraturan yang memberikan legitimasi atas eksistensi SKB. SKB dianggap pula bukan merupakan peraturan perundangundangan. Dengan demikian SKB tidak memiliki kekuatan hukum mengikat.4 Disisi lain Prof. Mahfud MD menganggap bahwa SKB tersebut penting keberadaannya didalam masyarakat dan justru keberadaannya nanti akan membuat keadaan kacau balau karna tidak ada pengaturannya.5 Sejak keberlakuan Undang-Undang Nomor 1 tahun 1950 tentang Jenis dan Bentuk Peraturan yang dikeluarkan oleh Pemerintah Pusat,6 yang kemudian diubah dengan Ketetapan MPRS No. XX/MPRS/1966 tentang Memorandum DPR-GR mengenai Sumber Tertib Hukum Republik Indonesia dan Tata Urutan Peraturan Perundangan Republik Indonesia,7 hingga Ketetapan MPR No. III/MPR/2000 tentang Sumber Hukum dan Tata Urutan Peraturan Perundang-undangan sampai kemudian amandemen yang mengubah hierarki peraturan perundang-undangan dalam Undang-Undang Nomor 10 tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan dan yang terakhir terbentuk dalam Undang-Undang Nomor 12 tahun 2011, dalam perkembangan peraturan perundang-undangan tersebut, Surat Keputusan Bersama tidak pernah jelas diatur, begitu juga dengan bentuk dari Surat Keputusan Bersama yang tidak diatur jelas pengelompokkannya. Melalui alasan ini, banyak yang menganggap keberadaan SKB merupakan suatu produk hukum yang tidak berdasar pembentukannya dan tidak dapat mengikat kedalam masyarakat. Pokok Permasalahan Berdasarkan pemaparan yang telah dikemukakan sebelumnya, pokok-pokok permasalahan pada penelitian ini adalah sebagai berikut: 1. Bagaimana keberadaan Surat Keputusan Bersama Menteri dalam sistem peraturan perundang-undangan di Indonesia? 4 Made Darma Weda “Sekitar SKB tentang http://mirifica.net/printPage.php?aid=2596 diunduh 6 Juni 2013.
Pembangunan
Tempat
Ibadah”
5
“Mahfud MD: Jangan Hapus SKB Pendirian Rumah Ibadah” http://www.republika.co.id/berita/breaking-news/nasional/10/09/16/134805-mahfud-md-jangan-hapus-skbpendirian-rumah-ibadah diunduh 6 Juni 2013. 6
Maria Farida Indrati, Ilmu Perundang-undangan :Jenis, Fungsi, dan Materi Muatan, (Yogyakarta: Kanisius, 2007), hal.70. 7
Ibid.,hal.71.
Surat keputusan ..., Guretno Sekar Ningsih, FH UI, 2013
4
2. Bagaimana kedudukan Surat Keputusan Bersama Menteri dalam hierarki peraturan perundang-undangan di Indonesia? 3. Bagaimana materi muatan yang terkandung dalam Surat Keputusan Bersama Menteri?
TINJAUAN TEORITIS Fungsi dan Karakteristik Peraturan Perundang-Undangan Setiap jenis peraturan perundang-undangan memiliki karakteristik dan fungsi masingmasing, yaitu sebagai berikut: 1. Undang-Undang dan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang. Undang-Undang merupakan peraturan perundang-undangan yang tertinggi yang dibentuk oleh Dewan Perwakilan Rakyat dan Presiden, yang didalamnya telah dapat dicantumkan sanksi pidana dan sanksi pemaksa serta merupakan peraturan yang sudah dapat berlaku dan mengikat umum.8. Sementara Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perpu) dibentuk perihal adanya suatu kegentingan yang memaksa yang pada saat itu Presiden tidak dapat mengaturnya dengan Undang-Undang, yang untuk membentuknya memerlukan waktu yang relatif lebih lama dan melalui prosedur yang bermacam-macam.9 Sama halnya dengan UU, fungsi Perpu adalah: a) menyelenggarakan pengaturan lebih lanjut ketentuan dalam UUD 1945 yang tegas-tegas menyebutnya; b) pengaturan lebih lanjut secara umum aturan dasar lainnya dalam Batang Tubuh UUD 1945; c) pengaturan lebih lanjut ketentuan dalam Ketetapan MPR yang tegas-tegas menyebutnya; d) pengaturan di bidang materi konstitusi, seperti organisasi, tugas, dan susunan lembaga (tinggi) negara, tata hubungan antara negara dan warga negara dan antara warga negara/penduduk timbal balik.10 2. Peraturan Pemerintah. Peraturan Pemerintah merupakan suatu peraturan yang membuat ketentuan dalam Undang-Undang dapat berjalan/dilaksanakan. Karakteristik Peraturan Pemerintah menurut A. Hamid Attamimi yaitu sebagai berikut:11 a) Peraturan Pemerintah tidak dapat dibentuk tanpa terlebih dahulu ada Undang-Undang yang menjadi induknya; b) Peraturan Pemerintah tidak dapat mencantumkan sanksi pidana apabila UndangUndang yang bersangkutan tidak mencantumkan sanksi pidana; c) Ketentuan Peraturan Pemerintah tidak dapat menambah atau mengurangi ketentuan Undang-Undang yang
8
Ibid., hal. 186-187.
9
Ibid., hal. 191.
10
Ibid., hal. 221.
11
Ibid., hal. 195.
Surat keputusan ..., Guretno Sekar Ningsih, FH UI, 2013
5
bersangkutan; d) Untuk menjalankan, menjabarkan, atau merinci ketentuan UndangUndang, Peraturan Pemerintah dapat dibentuk meski ketentuan Undang-Undang tersebut tidak memintanya secara tegas-tegas. Peraturan Pemerintah tidak berisi penetapan sematamata. Sebagai delegasian undang-undang, peraturan pemerintah memiliki fungsi yaitu: a) pengaturan lebih lanjut ketentuan dalam Undang-Undang yang tegas-tegas menyebutnya; b) menyelenggarakan pengaturan lebih lanjut ketentuan lain dalam Undang-Undang yang mengatur meski tidak tegas-tegas menyebutnya.12 3. Peraturan Presiden (Perpres). Dengan adanya kekuasaan pemerintahan yang dimiliki sesuai Pasal 4 ayat (1) UUD NRI Tahun 1945, Presiden dapat mengatur segala sesuatu di dalam Negara RI, hanya saja kekuasaan tersebut memiliki batasan. Dalam hal pembentukan Undang-Undang harus dilakukan bersama dengan Dewan Perwakilan Rakyat, yang merupakan pelaksanaan fungsi legislatifnya sedangkan dalam jalur eksekutif, Presiden dapat membentuk suatu Peraturan Presiden atau dulu dinamakan Keputusan Presiden.13 Fungsi Peraturan Presiden adalah, a) menyelenggarakan pengaturan secara umum dalam rangka penyelenggaraan kekuasaan pemerintahan, fungsi ini adalah kewenangan atribusi dari UUD 1945 kepada Presiden. Fungsi ini merupakan fungsi keputusan Presiden yang merupakan ‘sisa’ dari peraturan perundang-undangan yang tertentu batas lingkupnya yaitu Undang-Undang, Perpu, PP, dan Keputusan Presiden yang merupakan pengaturan delegasian;14 b) menyelenggarakan pengaturan lebih lanjut ketentuan
dalam
Peraturan
Pemerintah
yang
tegas-tegas
menyebutnya;15
c)
menyelenggarakan pengaturan lebih lanjut ketentuan lain dalam Peraturan Pemerintah, meskipun tidak tegas-tegas menyebutnya. 4. Peraturan Menteri. Kewenangan menteri untuk membentuk peraturan menteri bersumber pada Pasal 17 UUD RI Tahun 1945, oleh karena menteri-menteri negara adalah pembantu Presiden yang menangani bidang-bidang tugas pemerintahan yang diberikan padanya.16 Fungsi peraturan menteri adalah sebagai berikut: a) menyelenggarakan pengaturan secara umum
dalam
rangka
penyelenggaraan
kekuasaan
pemerintahan
di
bidangnya,
penyelenggara fungsi ini adalah berdasarkan Pasal 17 ayat (1) UUD 1945 Perubahan dan
12
Ibid., hal. 222.
13
Ibid., hal. 198.
14
Ibid., hal. 224.
15
Ibid.
16
Ibid., hal. 199.
Surat keputusan ..., Guretno Sekar Ningsih, FH UI, 2013
6
kebiasaan yang ada.17 b) menyelenggarakan pengaturan lebih lanjut ketentuan dalam Peraturan Presiden, fungsi ini sifatnya adalah delegasian dari Peraturan Presiden, maka sifatnya adalah pengaturan lebih lanjut dari kebijakan yang oleh Presiden dan dituangkan dalam Peraturan Presiden;18 c) menyelenggarakan pengaturan lebih lanjut ketentuan dalam Undang-Undang yang tegas-tegas menyebutnya; d) menyelenggarakan pengaturan lebih lanjut ketentuan dalam Peraturan Pemerintah yang tegas-tegas menyebutnya. Fungsi pada poin (c) dan (d) adalah fungsi yang lahir dari Undang-Undang Dasar Sementara 1950. Pada masa UUDS, Indonesia menganut sistem parlementer. Dengan adanya pelimpahan kewenangan langsung kepada menteri di dalam sistem ini, maka setiap pelaksanaan Undang-Undang akan diatur lebih lanjut dengan Peraturan Menteri karena menterilah yang bertanggung jawab kepada parlemen untuk setiap peraturan yang dibentuknya.19
Materi Muatan Peraturan Perundang-Undangan UUD 1945 dalam batang tubuhnya memberi petunjuk, bahwa sejumlah materi harus diatur dalam bentuk undang-undang.20 Materi muatan undang-undang yaitu, i) hal-hal yang tegas-tegas diperintahkan oleh UUD dan TAP MPR; ii) yang mengatur lebih lanjut ketentuan UUD; iii) yang mengatur hak-hak asasi manusia; iv) yang mengatur hak dan kewajiban warga negara; v) yang mengatur pembagian kekuasaan negara; vi) yang mengatur organisasi pokok lembaga-lembaga tertinggi/tinggi negara; vii) yang mengatur pembagian wilayah/daerah negara; viii) yang mengatur siapa warga negara dan cara memperoleh/kehilangan kewarganegaraan; ix) yang dinyatakan oleh suatu undang-undang untuk diatur dengan undang-undang. Materi muatan produk hukum yang lainnya adalah sebagai berikut: a. Konstitusi (Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945), menurut Hans Kelsen yaitu: (a) the preambule (pembukaan); (b) determination of the contents of the future statutes (penentuan isi ketentuan-ketentuan pada masa depan); (c) determination of the administrative and judicia function (penentuan fungsi administratif dan yudikatif); (d) the “unconstitutional” law (hukum yang inkonstitusional); (e) constitutional
17
Ibid., hal. 226.
18
Ibid.
19
Ibid., hal.227.
20
A. Hamid Attamimi, “Peranan Keputusan Presiden Republik Indonesia Dalam Penyelenggaraan Pemerintahan Negara.” (Disertasi Doktor Universitas Indonesia, Jakarta, 1990), hal. 212.
Surat keputusan ..., Guretno Sekar Ningsih, FH UI, 2013
7
prohibition (pembatasan-pembatasan konstitusional); (f) bill of rights (perlindungan hakhak); (g) guarantees of the constitution (jaminan-jaminan konstitusi).21 b. Peraturan Pemerintah (PP), yaitu semua materi UU yang perlu dijalankan atau diselenggarakan lebih lanjut, atau dengan kata lain yang perlu diatur lebih lanjut. c. Peraturan Presiden, didalam Pasal 11 UU No. 10 Tahun 2004, materi muatan Peraturan Presiden berisi materi yang diperintahkan oleh Undang-Undang atau materi untuk melaksanakan peraturan pemerintah. Materi muatan keputusan presiden merupakan materi muatan sisa dari materi muatan Undang-Undang dan Peraturan Pemerintah, yaitu materi yang bersifat atribusian, serta materi muatan yang merupakan delegasian dari UndangUndang dan Peraturan Pemerintah.22 d. Peraturan Menteri, menurut A. Hamid S.A., perlu diingat hal-hal berikut:23 a) Kewenangan menteri dalam mengeluarkan peraturan menteri adalah selalu bersifat derivatif dari kewenangan Presiden; b) Undang-undang seyogyanya tidak menetapkan bahwa kententuan-ketentuannya akan diatur lebih lanjut dengan peraturan menteri kecuali apabila memang tidak akan dapat atau tidak akan wajar apabila diatur lebih lanjut dengan peraturan pemerintah atau peraturan presiden; c) Peraturan pemerintah tidak akan mendelegasikan pengaturan lebih lanjut ketentuanketentuannya kepada peraturan menteri kecuali apabila tidak akan dapat atau tidak akan wajar apabila diatur lebih lanjut dengan peraturan presiden. d) Peraturan menteri sebaiknya merupakan peraturan ke dalam kecuali ditugaskan untuk memperinci lebih lanjut suatu ketentuan Perpres. Didalam Pasal 8 ayat (1) UU No. 12 Tahun 2011, peraturan menteri didefinisikan sebagai “…peraturan yang ditetapkan oleh menteri berdasarkan materi muatan dalam rangka penyelenggaraan urusan tertentu dalam pemerintahan.” Sementara yang dimaksud dengan berdasarkan kewenangan adalah “…penyelenggaraan urusan tertentu pemerintahan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.”24
21
H.A.S. Natabaya, Sistem Peraturan Perundang-Undangan Indonesia,(Jakarta: Sekjen dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi RI, 2006), hal. 161. 22
Maria Farida Indrati, Ilmu Perundang-undangan…., hal. 244.
23
Op.Cit.
24
Indonesia (a), Undang-Undang tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan, UU No. 12 Tahun 2011, LN. No. 82 Tahun 2011, TLN No. 5234, Ps. 8 ayat (2).
Surat keputusan ..., Guretno Sekar Ningsih, FH UI, 2013
8
METODE PENELITIAN Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode yuridis normatif. Penelitian ini akan menjelaskan mengenai hierarki dari Surat Keputusan Bersama Menteri berdasarkan peraturan perundang-undangan dan literatur-literatur terkait serta keberadaan dan perkembangannya dalam sistem peraturan perundang-undangan di Indonesia. Metode penelitian tersebut terkait dengan bentuk penelitian yang digunakan dalam penelitian ini, yaitu penelitian eksplanatoris.25 Jenis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data sekunder yaitu data yang diperoleh dari studi kepustakaan,26 diantaranya Undang-Undang No. 12 Tahun 2011 dan Undang-Undang No. 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, maupun produk hukum lainnya yang mengatur tentang peraturan perundang-undangan. Sementara bahan hukum sekunder yaitu bahan-bahan yang memberikan informasi atau hal-hal yang berkaitan dengan isi bahan hukum primer serta implementasinya yaitu melalui buku, laporan penelitian, skripsi, tesis, disertasi dan literatur lain, maupun bahan hukum.27
HASIL PENELITIAN Pada masa awal kemerdekaan telah dikenal adanya Surat Keputusan Bersama (SKB) Menteri. Salah satunya adalah SKB Menteri Agama dan Menteri Pendidikan, Pengajaran dan Kebudayaan (PP & K) tentang pendidikan agama yang mulai diberikan pada kelas IV sampai kelas VI Sekolah Rakyat. Namun situasi keamanan di zaman revolusi yang tidak stabil membuat Surat Keputusan Bersama Menteri tersebut tidak dapat dilaksanakan.28 Surat Keputusan Bersama Menteri baru benar-benar terbentuk dan berlaku di masyarakat pada saat dikeluarkannya Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1950 tentang DasarDasar Pendidikan dan Pengajaran di Sekolah.29 Dalam pasal 20 ayat (2) Undang-Undang tersebut diatur bahwa “Cara menyelenggarakan pengajaran agama di sekolah-sekolah negeri 25 Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, Cet. 3, (Jakarta: Penerbit Universitas Indonesia, 1986), hal. 10. 26
Sri Mamudji, et al., Metode Penelitian dan Penulisan Hukum (Jakarta:Badan Penerbit Fakultas Hukum Universitas Indonesia,2005), hal. 12. 27
Ibid.,hal 31.
28 Ringkasan Laporan Penelitisan Problematika Pendidikan Agama; Penelitian di Sekolah-Sekolah SD, SMP, SMA di Kota Jogjakarta 2004-2006, hal.15 http://edokumen.kemenag.go.id/files/tF8gZUp21284260139.pdf diunduh 10 Mei 2013. 29 Ibid., hal. 17. Saat RIS berakhir dan beralih pada Undang-Undang Dasar Sementara (UUDS) 1950, Undang-Undang ini tetap berlaku namun ditegaskan keberlakuannya melalui Undang-Undang No. 12 Tahun 1954 tentang Pernyataan Berlakunya Undang-Undang No. 4 Tahun 1950 Dari Republik Indonesia Dahulu Tentang Dasar-Dasar Pendidikan dan Pengajaran di Sekolah Untuk Seluruh Indonesia
Surat keputusan ..., Guretno Sekar Ningsih, FH UI, 2013
9
diatur dalam peraturan yang ditetapkan oleh Menteri Pendidikan, Pengajaran dan Kebudayaan, bersama-sama dengan Menteri Agama”, yang kemudian menghasilkan Surat Keputusan Bersama Menteri yang dikeluarkan pada Januari 1951.30 Kewenangan menteri untuk membentuk SKB didelegasikan langsung oleh UU No. 4 Tahun 1950. Hal ini berkaitan dengan sistem pemerintahan yang dianut saat itu yaitu sistem parlementer. Didalam sistem pemerintahan ini, menteri-menteri bertanggung jawab langsung kepada parlemen. Oleh karena itu delegasi pengaturan undang-undang dilimpahkan kepada menteri bukan kepada presiden. Oleh karena kedudukan menteri-menteri yang sangat kuat maka wajar ketika itu menteri-menteri mendapatkan delegasian langsung dari undang-undang untuk mengatur dan mengeluarkan produk hukum. Hal ini juga diperkuat dengan adanya Undang-Undang No. 1 Tahun 1950 tentang Jenis dan Bentuk Peraturan yang dikeluarkan Pemerintah Pusat yang menempatkan kedudukan Peraturan Menteri ada di bawah Peraturan Pemerintah. ASS Tambunan dalam bukunya yang berjudul “MPR, Perkembangan dan Pertumbuhannya, Suatu Pengamatan dan Analisis,” mengatakan bahwa bentuk/jenis peraturan perundang-undangan yang dimuat dalam Tap MPRS No. XX/MPRS/1966 diilhami oleh tulisan Moh. Yamin dalam bukunya yang berjudul “Naskah Persiapan Undang-Undang Dasar”, Moh. Yamin mengatakan bahwa bentuk-bentuk peraturan Negara salah satunya adalah Peraturan dan Keputusan Menteri, yang diterbitkan atas tanggungan seorang atau bersama Menteri. Dengan adanya pernyataan ini bisa diartikan bahwa Muh.Yamin mengakui adanya suatu peraturan atau keputusan yang dikeluarkan bersama oleh beberapa menteri sebagai bentuk peraturan perundang-undangan. Pernyataan Yamin diatas juga menunjukkan bahwa Yamin secara eksplisit hanya menyebut peraturan menteri sebagai salah satu peraturan pelaksanaan yang kemudian diatur dalam Butir II.A Tap MPRS No. XX/MPRS/1966. Pada masa ini, salah satu Surat Keputusan Bersama yang dibentuk yaitu Surat Keputusan Bersama Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri No.01/BER/mdn-mag/1969 tentang Pelaksanaan Tugas Aparatur Pemerintahan Dalam Menjamin Ketertiban dan Kelancaran Pelaksanaan Pengembangan dan Ibadat Agama Oleh Pemeluk-Pemeluknya. SKB tersebut bersifat mengatur dengan nomenklatur “keputusan” terutama yang diatur disini adalah ketentuan mengenai pelaksanaan serta pengawasan pelaksanaan agama oleh kepala 30
Setelah UU dikeluarkan, pemerintah membentuk panitia bersama yang dipimpin oleh Prof. Mahmud Yunus dari Departemen Agama dan Mr. Hadi dari Departemen PP & K, yang menghasilkan sebuah SKB yang dikeluarkan pada Januari 1951 dan pada tanggal 16 Juli 1951, Menteri Pendidikan, Pengajaran, dan Kebudayaan dengan No. 17678/Kab. dan Menteri Agama dengan No. K/I/9180 mengeluarkan peraturan bersama (Surat Keputusan Bersama) tentang pendidikan agama. Lihat Ibid., hal. 18
Surat keputusan ..., Guretno Sekar Ningsih, FH UI, 2013
10
daerah. Contoh lainnya yaitu, Surat Keputusan Bersama Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri No. 1/BER/MDN-MAG/1979 tentang Tatacara Pelaksanaan Penyiaran Agama dan Bantuan Luar Negeri Kepada Lembaga Keagamaan di Indonesia. Pembentukan SKB ini lebih kepada penegasan atau penguatan pengaturan sebelumnya yaitu Keputusan Menteri Agama No. 70 tahun 1978 tentang Pedoman Penyiaran Agama dan Keputusan Menteri Agama No. 77 tahun 1978 tentang Bantuan Keagamaan di Indonesia. Lain halnya dengan Surat Keputusan Bersama Menteri Kehutanan, Menteri Pertanian dan Kepala Badan Pertanahan Nasional No. 364/Kpts-II/90–519/Kpts/HK.050/90–23-VIII1990 tentang Ketentuan Pelepasan Kawasan Hutan dan Pemberian Hak Guna Usaha Untuk Pengembangan Usaha Pertanian. SKB ini merupakan pencabutan dari peraturan sebelumnya yaitu Keputusan Menteri Kehutanan No. 145/Kpts-II/1986 tentang Ketentuan-Ketentuan Pelepasan Kawasan Hutan Untuk Pengembangan Usaha Budidaya Pertanian. Dalam persyaratan pencabutan, produk hukum hanya dapat dicabut dengan produk hukum yang sederajat atau lebih tinggi kedudukannya. Tidak mungkin mengatakan bahwa Keputusan Menteri berada diatas Keputusan Bersama Menteri karena Keputusan Bersama Menteri ternyata dapat melakukan pencabutan terhadap Keputusan Menteri, dan Surat Keputusan Bersama Menteri serta Peraturan Menteri merupakan produk hukum yang dibentuk oleh menteri, maka pejabat yang kedudukannya lebih tinggi dari para menteri adalah Presiden. Contoh lainnya, Surat Keputusan Bersama Menteri Pekerjaan Umum dan Menteri Keuangan No. 44/KPTS/1984-No.215/KMK.01/1984 tentang Perubahan Atas Keputusan Bersama Menteri Pekerjaan Umum dan Tenaga Listrik dan Menteri Keuangan No. 211/KPTS/1974-No.KEP-1189/MK/IV/8/1974 tentang Pelaksanaan Penjualan Rumah Negeri. SKB ini merupakan delegasi tertulis dari Peraturan Pemerintah No. 16 Tahun 1974 tentang Pelaksanaan Penjualan Rumah Negeri, yaitu Pasal 10 PP No. 16 tahun 1974, yaitu: “Pelaksanaan Peraturan Pemerintah ini diatur bersama-sama oleh Menteri Pekerjaan Umum dan Tenaga Listrik dan Menteri Keuangan sebagaimana ditetapkan dalam Pasal 1 Undang-undang Nomor 72 Tahun 1957 tentang Penetapan Undang-undang Darurat Nomor 19 Tahun 1955 tentang Penjualan Rumah-rumah Negeri kepada Pegawai Negeri sebagai Undang-undang.” Pasal 1 Undang-Undang Darurat No. 19 Tahun 1955 sendiri mengatur, “Menteri Pekerjaan Umum dan Tenaga Listrik dengan persetujuan Menteri Keuangan dapat menjual rumahrumah Negeri ... menurut peraturan-peraturan yang ditetapkan oleh Menteri-menteri tersebut.” Undang-Undang No. 19 Tahun 1955 langsung mendelegasikan kewenangan mengatur kepada menteri. Hal ini terkait dengan sistem pemerintahan yang dianut saat itu yaitu sistem
Surat keputusan ..., Guretno Sekar Ningsih, FH UI, 2013
11
parlementer yang memberikan delegasi langsung kepada menteri karena kedudukan menteri yang menjalankan pemerintahan. Namun karena pembentukan peraturan lebih lanjut dilakukan setelah masa sistem parlementer berakhir, maka pengaturan didalam UndangUndang yang tadinya memberikan kewenangan langsung kepada menteri untuk membentuk keputusan bersama menteri harus didelegasikan terlebih dahulu kepada Peraturan Pemerintah dalam hal ini Peraturan Pemerintah No. 16 Tahun 1974. Setelah berakhirnya masa Orde Baru, Tap MPRS No. XX digantikan dengan Tap No. III/MPR/2000. Didalam Pasal 4 ayat (1) Ketetapan tersebut, perihal produk hukum yang dibentuk oleh menteri hanya disebutkan sebatas peraturan atau keputusan menteri. Penyebutan tersebut membuat produk hukum yang diakui yang merupakan produk hukum menteri hanya limitatif pada peraturan menteri dan keputusan menteri. Beberapa contoh SKB yang dibentuk pada masa ini diantaranya: Keputusan Bersama Menteri Energi Dan Sumber Daya Mineral, Menteri Keuangan dan Menteri Perindustrian Dan Perdagangan Republik Indonesia No.1905 K/34/Mem/2001-No.426/Kmk.01/2001 No. 233/Mpp/Kep/7/2001 tentang Ketentuan Impor Pelumas. SKB ini terbentuk dari adanya perintah Keputusan Presiden No. 21 Tahun 2001 tentang Penyediaan dan Pelayanan Pelumas, namun delegasian lebih ditujukan kepada Menteri Perindustrian dan Perdagangan melalui Pasal 6 ayat (3) Keputusan Presiden tersebut, yaitu, “Persyaratan dan tata cara impor sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan ayat (2) diatur lebih lanjut oleh Menteri yang bertanggung jawab di bidang perdagangan.” Di dalam Undang-Undang No. 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan, dalam pasal 1 angka 2 disebutkan “Peraturan Perundang-undangan adalah peraturan tertulis yang dibentuk oleh lembaga negara atau pejabat yang berwenang dan mengikat secara umum.” Di dalam Pasal 7 ayat (4) diatur bahwa “Jenis Peraturan Perundangundangan selain sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diakui keberadaannya dan mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang diperintahkan oleh Peraturan Perundang-undangan yang lebih tinggi”. Sementara didalam penjelasan Pasal 4 ayat (1) disebutkan, “Jenis Peraturan Perundang-undangan selain dalam ketentuan ini, antara lain, peraturan yang dikeluarkan oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat…, Badan Pemeriksa Keuangan, Bank Indonesia, Menteri….” Jika mengacu pada ketentuan pasal 1 angka 2, produk hukum yang dibentuk berdasarkan Pasal 7 ayat (4) tidak dapat ditentukan hanya sebatas pengaturan lebih lanjut dari peraturan perundang-undangan diatasnya. Oleh karena itu yang harus dibedakan adalah, ketentuan Pasal 7 ayat (4) terbatas untuk pengaturan yang mengikat umum.
Surat keputusan ..., Guretno Sekar Ningsih, FH UI, 2013
12
Di dalam UU No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundangundangan sebagai pengganti UU No. 10 Tahun 2004, definisi “peraturan perundangundangan” diartikan sebagai “Peraturan tertulis yang memuat norma hukum yang mengikat secara umum dan dibentuk atau ditetapkan oleh lembaga negara atau pejabat yang berwenang melalui prosedur yang ditetapkan dalam Peraturan Perundang-undangan.” Sementara bentukbentuk peraturan perundang-undangan yang sebelumnya hanya diletakan dalam penjelasan dalam UU No. 10 Tahun 2004, pada UU No. 12 Tahun 2011 diletakkan pada ketentuan Pasal 8 ayat (1), yaitu: “Jenis Peraturan Perundang-undangan selain sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (1) mencakup peraturan yang ditetapkan…Bank Indonesia, Menteri…” dan ketentuan Pasal 8 ayat (2), yaitu: “Peraturan Perundang-undangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diakui keberadaannya dan mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang diperintahkan oleh Peraturan Perundang-undangan yang lebih tinggi atau dibentuk berdasarkan kewenangan.” Selama Surat Keputusan Bersama Menteri memenuhi unsur-unsur diatas, ia dapat dikatakan sebagai peraturan perundang-undangan, mengingat bahwa ketentuan Pasal 8 ayat (1) menyebutkan “Peraturan yang ditetapkan oleh menteri” bukan “Peraturan Menteri” sehingga bentuk-bentuk peraturan yang ditetapkan oleh menteri ini masih dapat diinterpretasikan kembali. Sebelum masa keberlakuan undang-undang tersebut, nomenklatur produk hukum yang berbentuk peraturan maupun yang berbentuk penetapan atau keputusan seringkali tidak dibedakan. Sehingga suatu produk hukum yang dibentuk dengan nama keputusan dapat saja mengatur hal-hal yang bersifat umum. Disatu sisi produk hukum disebut peraturan, disisi lain produk hukum yang lain disebut keputusan namun keduanya adalah produk hukum yang bersifat mengatur.31
PEMBAHASAN Kewenangan Pembentukan Surat Keputusan Bersama Menteri Sebelum mengenal sistem pemerintahan presidensil, Indonesia terlebih dahulu menerapkan sistem parlementer dalam pemerintahannya.32 Dalam sistem pemerintahan kabinet atau parlementer, menteri tunduk dan bertanggung jawab kepada parlemen. Kinerja pemerintahan sepenuhnya ada pada Perdana Menteri. Perdana Menteri yang menjalankan pekerjaan jabatan Presiden sehari-hari jika Presiden berhalangan dalam melaksanakan 31
Diatur dalam Pasal 56 UU No. 10 Tahun 2004 juncto Pasal 100 UU No. 12 Tahun 2012
32
Melalui Konstitusi RIS 1949 dan Undang-Undang Dasar Sementara 1950
Surat keputusan ..., Guretno Sekar Ningsih, FH UI, 2013
13
pemerintahan.33 Dengan adanya kewenangan yang begitu besar, maka tidak mengherankan jika menteri dapat membentuk produk hukum langsung dari delegasian Undang-Undang karena sistem pemerintahan mendukung hal tersebut. Hal ini berbeda dengan sistem presidensil yang dianut setelahnya hingga saat ini. Pemerintahan dalam arti luas mencakup seluruh fungsi yang ada di dalam negara. Hal ini dapat dilihat dari teori trias politica Montesquieu yang membagi pemerintahan ke dalam pembagian eksekutif (melaksanakan undang-undang), legislatif (membentuk undang-undang), dan yudikatif (mengadili).34 Sementara pemerintahan dalam arti sempit adalah pemerintahan yang hanya berhubungan dengan fungsi eksekutif saja. Didalam Pasal 4 ayat (1) UUD NRI Tahun 1945 disebutkan bahwa kekuasaan pemerintahan dilakukan oleh Presiden. Selain itu dalam menjalankan kewajiban pemerintahan, khususnya dalam menentukan politik kenegaraan, di dalam pasal 17 UUD NRI Tahun 1945 disebutkan bahwa tugas Presiden dibantu oleh menteri-menteri negara dan setiap menteri membidangi urusan tertentu dalam pemerintahan. Menteri-menteri negara bukanlah pegawai tinggi biasa, karena setiap menteri membidangi urusan tertentu dalam pemerintahan. Menteri memiliki pengaruh yang besar terhadap presiden dalam menentukan politik negara yang mengenai kementeriannya.35 Walaupun kedudukannya tergantung pada presiden, tetapi menteri-menterilah yang terutama menjalankan kekuasaan pemerintahan (pouvoir executive) di bidangnya.36 Ketentuan lebih lanjut mengenai menteri-menteri negara diatur dalam Undang-Undang No. 39 Tahun 2008 tentang Kementerian Negara. Urusan pemerintahan yang dimaksud dalam UUD 1945 terbagi menjadi tiga, yaitu: 1) Urusan pemerintahan yang nomenklatur Kementeriannya secara tegas disebutkan dalam UUD NRI Tahun 1945.;37 2) Urusan pemerintahan yang ruang lingkupnya disebutkan dalam UUD NRI Tahun 1945;38 Urusan pemerintahan dalam rangka penajaman, koordinasi, dan sinkronisasi program pemerintah.39
33
Republik Indonesia Serikat, Konstitusi Republik Indonesia Serikat, Ps. 72 ayat (1)
34 Titik Triwulan dan Ismu Gunadi Widodo, Hukum Tata Usaha Negara dan Hukum Acara Peradilan Tata Usaha Negara Indonesia, (Jakarta: Kencana, 2011), hal. 57. 35
Ibid., hal. 117.
36
Maria Farida Indrati, Ilmu Perundang-undangan …..., hal. 155.
37 Indonesia (b), Undang-Undang Kementerian Negara, UU No. 39 Tahun 2008, LN No. 166 Tahun 2008, TLN No. 4916, Ps. 4 ayat (2) huruf a 38
Ibid., Ps. 4 ayat (2) huruf b
39
Ibid., Ps. 4 ayat (2) huruf c
Surat keputusan ..., Guretno Sekar Ningsih, FH UI, 2013
14
Dari semua menteri-menteri negara yang disebutkan, menteri negara yang termasuk dalam Lembaga Pemerintah dalam Perundang-undangan adalah hanya menteri-menteri departemen. Menteri Koordinator, dan Menteri Negara tidak merupakan lembaga-lembaga pemerintah dalam perundang-undangan, sebab dalam membentuk perundang-undangan yang berwenang adalah Menteri Departemen. Menteri Koordinator dan Menteri Negara hanya dapat membuat peraturan yang bersifat intern, dalam lingkungannya sendiri, jadi tidak berwenang membentuk peraturan yang mengikat umum.40 Namun kemudian penyebutan Departemen dan Kementerian Negara seperti yang diatur dalam Peraturan Presiden No. 9 Tahun 2005 sudah tidak digunakan lagi, semuanya seragam dengan nama menteri sebagai pembantu presiden.41 Hal inilah kemudian yang diatur dalam Undang-Undang No. 39 Tahun 2008 tentang Kementerian Negara, dan diatur lebih lanjut dengan Peraturan Presiden No. 47 tahun 2009 tentang Pembentukan dan Organisasi Kementerian Negara, Peraturan Presiden No. 24 Tahun 2010 tentang Kedudukan, Tugas, dan fungsi Kementerian Negara Serta Susunan Organisasi, Tugas, dan Fungsi Eselon I Kementerian Negara, serta peraturan lainnya yang mengatur tentang Kementerian Negara. Menurut Maria Farida Indrati, semua kementerian memiliki kewenangan untuk membentuk peraturan yang mengikat umum kecuali kementerian yang non portofolio atau Kementerian Negara. Menteri yang tidak memimpin departemen tidak boleh mengatur umum. Jika kementerian-kementerian itu ingin mengatur umum maka mereka meminta Presiden untuk membentuk Peraturan Presiden atau Undang-Undang. Peraturan perundang-undangan yang dibuat oleh Kementerian Negara dan Kementerian Koordinator atau dalam hal ini jika surat keputusan bersama menteri dibentuk antar kementerian negara atau kementerian koordinator maka peraturan itu hanya berlaku diantara kementerian tersebut.42 Pada prakteknya kewenangan pembentukan produk hukum menteri itu sendiri tidak terbatas pada lingkup kewenangan yang dimiliki masing-masing menteri namun karena perkembangan aspek pemerintahan membuat beberapa surat keputusa bersama menteri dibentuk. Pada kementerian koordinator, kementerian koordinator juga dapat membentuk 40
Maria Farida Indrati, Ilmu Perundang-undangan …..., hal. 141.
41
Menurut Deputi Kelembagaan Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi (Kemenpan-RB) Ismadi Ananda lihat “Tak Ada Lagi Istilah Menteri Negara” http://www.jpnn.com/read/2011/11/03/107346/Tak-Ada-Lagi-Istilah-Menteri-Negara- Diunduh 12 Mei 2013 42
Wawancara dengan Prof. Maria Farida Farida, Hakim Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Jakarta, 28 Mei 2013.
Surat keputusan ..., Guretno Sekar Ningsih, FH UI, 2013
15
surat keputusan bersama dengan menteri yang bukan menteri koordinator tetapi sifat dari surat keputusan bersama menteri tersebut tidak mengikat umum dan hanya sebagai bentuk koordinasi menteri koordinator sesuai dengan fungsinya. Namun untuk kementerian yang menangani urusan pemerintahan dalam rangka penajaman, koordinasi, dan sinkronisasi program pemerintah atau yang dulu dengan nama menteri negara, pembentukan produk hukum surat keputusan bersama yang bersifat peraturan dapat dibentuk selama menteri negara atau menteri yang melakukan koordinasi dan penajaman membentuk surat keputusan bersama dengan departemen yang punya lingkup pemerintahan hingga ke daerah atau yang memiliki pelaksanaan tugas secara nasional.
Karakteristik dan Fungsi Surat Keputusan Bersama Menteri Kewenangan menteri untuk membentuk peraturan menteri bersumber pada Pasal 17 ayat (3) UUD NRI Tahun 1945 yaitu “setiap menteri membidangi urusan tertentu dalam pemerintahan” oleh karena menteri-menteri negara adalah pembantu Presiden yang menangani bidang-bidang tugas pemerintahan yang diberikan. Perbedaan mendasar dari Surat Keputusan Bersama Menteri dan Peraturan Menteri adalah hal yang diatur dalam Surat Keputusan Bersama Menteri lebih luas karena urusan yang diatur mencakup urusan lintas sektoral namun pada hakikatnya keduanya merupakan produk hukum yang dibentuk oleh organ yang sama yaitu menteri. Sama halnya dengan Peraturan Menteri, Surat Keputusan Bersama Menteri juga dapat dibentuk dalam rangka pengaturan lebih lanjut ketentuan didalam Peraturan Presiden. Hal ini dapat dilihat salah satunya dalam Surat Keputusan Bersama Menteri Energi Dan Sumber Daya Mineral, Menteri Keuangan dan Menteri Perindustrian Dan Perdagangan Republik Indonesia No.1905 K/34/Mem/2001-No.426/Kmk.01/2001 No. 233/Mpp/Kep/7/2001 tentang Ketentuan Impor Pelumas, yang dibentuk dari perintah Keputusan Presiden No. 21 Tahun 2001 tentang Penyediaan dan Pelayanan Pelumas, dan Keputusan Bersama Menteri Kesehatan dan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara No. 264A/MENKES/SKB/VII/2003–No. 02/SKB/M.PAN/7/2003 tentang Tugas, Fungsi, dan Kewenangan Di Bidang Pengawasan Obat dan Makanan, yang merupakan delegasian dari Keputusan Presiden No. 103 Tahun 2001 tentang Kedudukan, Tugas, Fungsi, Kewenangan, Susunan Organisasi, dan Tata Kerja Lembaga Pemerintah Non Departemen, yang walaupun tidak disebutkan secara tegas namun perlu dibentuk peraturan lebih lanjut untuk memperjelas dan memperinci ketentuan dalam Keputusan Presiden atau Peraturan Presiden.
Surat keputusan ..., Guretno Sekar Ningsih, FH UI, 2013
16
Fungsi ketiga dan keempat dari Peraturan Menteri adalah sebagai penyelenggaraan lebih lanjut ketentuan dalam Undang-Undang yang tegas-tegas menyebutnya, dan penyelenggaraan ketentuan dalam Peraturan Pemerintah yang tegas-tegas menyebutnya. Dua fungsi dari Peraturan Pemerintah tersebut dapat dilihat dari Surat Keputusan Bersama Menteri Pekerjaan Umum dan Tenaga Listrik dan Menteri Keuangan No. 211/KPTS/1974-No.KEP1189/MK/IV/8/1974 tentang Pelaksanaan Penjualan Rumah Negeri, yang lahir dari delegasian langsung Undang-Undang Darurat No. 19 Tahun 1955 yang berisi penetapan memberikan kewenangan kepada Menteri Pekerjaan Umum dan Tenaga Listrik dengan persetujuan Menteri Keuangan dapat menjual rumah-rumah Negeri, namun karena pembentukan peraturan kemudian dilakukan tidak pada ranah sistem parlementer maka kemudian pembentukan SKB diterjemahkan terlebih dahulu melalui Peraturan Pemerintah No. 16 Tahun 1974 tentang Pelaksanaan Penjualan Rumah Negeri.
Materi Muatan Walaupun Surat Keputusan Bersama Menteri tidak diatur dalam peraturan perundangundangan, tetapi karena merupakan produk hukum menteri, materi muatan yang dimilikinya adalah materi muatan pelaksanaan undang-undang atau kewenangan pemerintahan. Hal ini juga dapat dilihat dalam Undang-Undang No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan yang dalam penjelasan Pasal 8 ayat (1), disebutkan bahwa “Peraturan yang ditetapkan oleh menteri berdasarkan materi muatan dalam rangka penyelenggaraan urusan tertentu dalam pemerintahan.” Sementara didalam lampiran UU No. 10 Tahun 2004 maupun Lampiran UU No. 12 Tahun 2011,43 pendelegasian kewenangan mengatur dari Undang-Undang kepada menteri atau pejabat yang setingkat dengan menteri dibatasi untuk peraturan yang bersifat teknis administratif. Seperti yang telah disebutkan sebelumnya, peraturan yang ditetapkan oleh menteri salah satunya adalah untuk menjalankan pemerintahan, disisi lain materi muatan peraturan presiden juga salah satunya untuk menjalankan kekuasaan pemerintahan, selengkapnya adalah “berisi materi yang diperintahkan oleh Undang-Undang, materi untuk melaksanakan Peraturan Pemerintah, atau materi untuk melaksanakan penyelenggaraan kekuasaan
43 Indonesia (c), Undang-Undang tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan, UU No. 10 Tahun 2004, LN No. 53 Tahun 2004, TLN No. 4389, Lampiran No. 173 jo. Indonesia (a), Undang-Undang tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan, UU No. 12 Tahun 2011, LN. No. 82 Tahun 2011, TLN No. 5234, Lampiran No. 211.
Surat keputusan ..., Guretno Sekar Ningsih, FH UI, 2013
17
pemerintahan.”44 Pembeda diantara keduanya adalah, walaupun peraturan presiden dan peraturan yang ditetapkan oleh menteri (surat keputusan bersama menteri, peraturan menteri) sama-sama mengatur perihal pelaksanaan penyelenggaraan kekuasaan pemerintahan, penyelenggara pemerintahan tertinggi adalah Presiden, seperti yang diatur dalam Pasal 4 ayat (1) “Presiden Republik Indonesia memegang kekuasaan pemerintahan.” Ketentuan Pasal 4 ayat (1) memberikan wewenang kepada Presiden yang luas dan tidak terperinci, sehingga segala pelaksanaan pemerintahannya sedikit banyak tergantung pada Presiden. Namun demikian, tidak berarti bahwa Presiden dapat berbuat sekehendak hati, karena UUD 1945 membatasinya.45 Oleh karena kewenangan pemerintahan presiden yang luas, maka presiden dibantu oleh menteri-menteri negara yang membidangi urusan tertentu dalam pemerintahan. Hierarki Surat Keputusan Bersama Menteri Mengenai kedudukan Surat Keputusan Bersama Menteri apakah berada di atas peraturan menteri ataukah setara/sejajar dengan peraturan menteri dapat diuraikan sebagai berikut: Pertama, dilihat dari pembentuknya, maka Surat Keputusan Bersama Menteri meskipun
dibuat
oleh
beberapa
menteri
atau
pejabat
setingkat
menteri
(lintas
instansi/departemen) namun keputusan untuk membuat Surat Keputusan Bersama Menteri ada di tangan masing-masing menteri. Kedua, meskipun materi muatan yang diatur dalam Surat Keputusan Bersama Menteri pada dasarnya adalah dalam rangka menjalankan bidang pemerintahan yang bersifat lintas kementerian atau dengan kata lain adalah materi muatan dalam rangka menjalankan tugas pemerintahan sebagaimana diatur dalam pasal 4 ayat (1) UUD 1945, namun pelaksanaan dan pertanggungjawabannya tetap berada di masing-masing menteri. Ketiga, sama dengan fungsi peraturan menteri, Surat Keputusan Bersama Menteri memiliki
fungsi:
i)
menyelenggarakan
pengaturan
secara
umum
dalam
rangka
menyelenggarakan kekuasaan pemerintahan di bidangnya; ii) menyelenggarakan pengaturan lebih lanjut ketentuan dalam peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi seperti undangundang dan peraturan pemerintah yang tegas-tegas menyebutnya; iii) menyelenggarakan pengaturan lebih lanjut ketentuan dalam peraturan presiden.46
44
Indonesia (a), Undang-Undang tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan, UU No. 12 Tahun 2011, LN. No. 82 Tahun 2011, TLN No. 5234, Pasal 13. 45
Pendapat Moh. Kusnardi dan Harmaily Ibrahim dalam Moh. Kusnardi dan Harmaily Ibrahim, Pengantar Hukum Tata Negara. 1993 hal. 198 dalam Titik Triwulan dan Ismu Gunadi Widodo, Hukum Tata Usaha Negara dan Hukum Acara Peradilan Tata Usaha Negara Indonesia…., hal. 112. 46
Bayu Dwi Anggoro,”Keputusan Bersama dalam Perundang-Undangan Republik Indonesia” Tesis Magister Universitas Indonesia,Jakarta, 2009, hal. 130-131.
Surat keputusan ..., Guretno Sekar Ningsih, FH UI, 2013
18
Salah satu peraturan menteri yang mengatur mengenai pembentukan produk hukumnya adalah Peraturan Menteri Dalam Negeri No. 68 Tahun 2009 tentang Pembentukan Produk Hukum di Lingkungan Departemen Dalam Negeri. Di dalam pasal 1 angka 8, Surat Keputusan Bersama Menteri dengan nomenklatur Peraturan Bersama Menteri diartikan sebagai peraturan perundang-undangan yang dibuat oleh Menteri Dalam Negeri bersama Menteri lainnya. Didalam Pasal 5 Peraturan Menteri tersebut, Surat Keputusan Bersama Menteri diatur sebagai produk hukum yang bersifat pengaturan bersama dengan Peraturan Menteri, yaitu sebagai berikut: Produk hukum yang ditetapkan oleh Menteri Dalam Negeri yang bersifat pengaturan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 huruf a, meliputi: a. Peraturan Menteri; dan b. Peraturan Bersama Menteri. Oleh karena Surat Keputusan Bersama Menteri digolongkan sebagai produk hukum yang bersifat peraturan, maka penyusunannya mengikuti ketentuan penyusunan peraturan menurut Peraturan Menteri tersebut.
KESIMPULAN 1. Pada dasarnya pelaksanaan Surat Keputusan Bersama Menteri terkait dengan sistem pemerintahan yang dianut. Didalam negara yang menganut sistem pemerintahan parlementer, kedudukan menteri bersifat sentral. Menteri baik sendiri atau bersama-sama memiliki kewenangan penuh untuk mengatur pemerintahan, termasuk juga dalam membentuk peraturan perundang-undangan. Oleh karena itu, pelaksanaan atas UndangUndang selalu mendelegasikan kepada peraturan menteri atau keputusan bersama menteri. Pada sistem parlementer, kedudukan menteri bersifat sentral dalam penyelenggaraan pemerintahan. Oleh karena itu delegasi pengaturan undang-undang dilimpahkan kepada menteri bukan kepada presiden. Sementara di dalam sistem presidensil, kewenangan pemerintahan yang utama dilaksanakan oleh Presiden. Menteri sebagai pembantu Presiden dan kewenangannya merupakan delegasian dari kewenangan Presiden. Keberadaan keputusan bersama menteri sebagai salah satu jenis peraturan perundang-undangan tetap dilanjutkan, walaupun tidak lazim lagi dilakukan pelimpahan langsung pembentukan Keputusan dari Undang-Undang. Hal ini karena dalam sistem presidensil yang memegang kekuasaan utama pemerintahan adalah Presiden, menteri merupakan pembantu Presiden yang mendapatkan pelimpahan kewenangan pemerintahan dari Presiden.
Surat keputusan ..., Guretno Sekar Ningsih, FH UI, 2013
19
2. Kedudukan Surat Keputusan Bersama Menteri sama dengan Peraturan Menteri, yang berbeda adalah aspek pengaturannya merupakan aspek pemerintahan lintas sektoral namun pada hakikatnya keduanya merupakan produk hukum yang dibentuk oleh organ yang sama yaitu menteri. Walaupun lintas sektor dan sama-sama melalui pembentukan tim antardepartemen, namun materi muatan yang diatur didalam Surat Keputusan Bersama Menteri dan Peraturan Presiden hakikatnya berbeda. Kewenangan menteri untuk membentuk peraturan menteri bersumber pada Pasal 17 ayat (3) UUD NRI Tahun 1945 yaitu “setiap menteri membidangi urusan tertentu dalam pemerintahan” oleh karena menteri-menteri negara adalah pembantu Presiden yang menangani bidang-bidang tugas pemerintahan yang diberikan. 3. Secara umum, materi muatan Peraturan Menteri dan Surat Keputusan Bersama Menteri adalah untuk mengatur lebih lanjut peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi dan melaksanakan
penyelenggaraan
urusan
pemerintahan,
dan
urusan
pemerintahan
disesuaikan dengan tugas dan fungsi masing-masing kementerian. Walaupun Surat Keputusan Bersama Menteri tidak diatur dalam peraturan perundang-undangan, tetapi karena merupakan produk hukum menteri, materi muatan yang dimilikinya adalah materi muatan pelaksanaan undang-undang atau kewenangan pemerintahan. SARAN 1. Keseragaman pedoman dalam pembentukan produk hukum menteri untuk menghindari adanya penafsiran-penafsiran yang berbeda pada masing-masing kementerian, dan untuk memperjelas keberadaan Keputusan Bersama Menteri atau Peraturan Bersama Menteri dalam Peraturan Perundang-Undangan Nasional untuk menghindari banyaknya penafsiran dan pemahaman yang berbeda mengenai bentuk Keputusan atau Peraturan Bersama Menteri. Hal ini karena di dalam salah satu Peraturan Menteri yaitu Peraturan Menteri Dalam Negeri, Peraturan Bersama Menteri adalah termasuk dalam salah satu peraturan perundang-undangan. 2. Mengingat keberadaan dan keberlakuan Peraturan Bersama Menteri dalam praktek penyelenggaraan pemerintahan di Indonesia telah diakui, maka sebaiknya keberadaan serta keberlakuannya diatur dalam suatu Undang-Undang yang mengatur mengenai tata cara pembentukan peraturan perundang-undangan.
Surat keputusan ..., Guretno Sekar Ningsih, FH UI, 2013
20
DAFTAR PUSTAKA Buku H.A.S. Natabaya. Sistem Peraturan Perundang-Undangan Indonesia. Jakarta: Sekjen dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi RI. 2006. Indrati, Maria Farida. Ilmu Perundang-undangan :Jenis, Fungsi, dan Materi Muatan. Yogyakarta: Kanisius, 2007. Nugraha,Safri dkk. Hukum Administrasi Negara. Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2007. Mamudji,Sri et al. Metode Penelitian dan Penulisan Hukum. Jakarta:Badan Penerbit Fakultas Hukum Universitas Indonesia,2005. Soekanto,Soerjono.Pengantar Penelitian Hukum Cet. 3. Jakarta: Penerbit Universitas Indonesia, 1986. Sutiyoso, Bambang dan Sri Hastuti Puspitasari. Aspek-Aspek Perkembangan Kekuasan Kehakiman di Indonesia. Yogyakarta: UII Press, 2005. Toha, Suherman dkk, “Eksistensi Surat Keputusan Bersama Dalam Penyelesaian Konflik Antar dan Intern Agama. Laporan Akhir Penelitian Hukum, Badan Pembinaan Hukum Triwulan, Titik dan Ismu Gunadi Widodo. Hukum Tata Usaha Negara dan Hukum Acara Peradilan Tata Usaha Negara Indonesia. Jakarta: Kencana, 2011. Nasional Kementerian Hukum Dan Ham RI. 2011. Peraturan Perundang-undangan Indonesia. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Republik Indonesia Serikat. Konstitusi Republik Indonesia Serikat. _________. Undang-Undang tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan. UU No. 10 Tahun 2004. LN No. 53 Tahun 2004. TLN No. 4389. ________.Undang-Undang Kementerian Negara. UU No. 39 Tahun 2008. LN No. 166 Tahun 2008. TLN No. 4916. ________. Undang-Undang tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan, UU No. 12 Tahun 2011, LN. No. 82 Tahun 2011, TLN No. 5234. Artikel Made Darma Weda “Sekitar SKB tentang Pembangunan Tempat Ibadah”
, diunduh 6 Juni 2013. “Mahfud MD: Jangan Hapus SKB Pendirian Rumah Ibadah” , diunduh 6 Juni 2013. Ringkasan Laporan Penelitisan Problematika Pendidikan Agama; Penelitian di SekolahSekolah SD, SMP, SMA di Kota Jogjakarta 2004-2006 , diunduh 10 Mei 2013. “Tak Ada Lagi Istilah Menteri Negara” , diunduh 12 Mei 2013. Lain-Lain Anggoro,Bayu Dwi.”Keputusan Bersama dalam Perundang-Undangan Republik Indonesia.” Tesis Magister Universitas Indonesia. Jakarta. 2009. Wawancara dengan Prof. Maria Farida Farida, Hakim Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Jakarta, 28 Mei 2013.
Surat keputusan ..., Guretno Sekar Ningsih, FH UI, 2013