BAB I PENDAHULUAN
1.1
Latar Belakang Salah satu masalah ketenagakerjaan yang menjadi isu penting hampir di
seluruh
provinsi
di
Indonesia
adalah
masalah
pengangguran
terbuka.
Pengangguran terbuka tidak dapat dianggap remeh karena hingga saat ini masalah tersebut belum juga dapat diatasi secara tuntas. Jumlah penduduk yang terus bertambah
merupakan
salah
satu
faktor
pemicu
meningkatnya
angka
pengangguran. Peningkatan jumlah penduduk berakibat pada pertambahan jumlah angkatan kerja yang tidak diikuti oleh perluasan kesempatan kerja yang signifikan telah mengakibatkan jumlah pengangguran terbuka meningkat dari tahun ke tahun, tidak terkecuali di Provinsi Jawa Tengah. Paling tidak hal itu tampak dari berita di Koran Suara Karya (2010) sebagaimana dapat dilihat pada box di bawah ini.
Sumber: Suara Karya Online, 2010 Tabel 1.1 Jumlah Pengangguran Terbuka di Provinsi Jawa Tengah (jiwa) Tahun 2007-2010 Tahun 2007 2008 2009 2010
Jumlah Pengangguran Terbuka (jiwa) 1.360.219 1.227.308 1.252.267 1.046.883
Sumber: BPS (dalam Sakernas), 2008-2011 1
Pengangguran erat kaitannya dengan tingkat pendidikan. Semakin tinggi tingkat pendidikan yang ditamatkan seharusnya semakin luas kesempatan kerja bagi angkatan kerja yang bersangkutan sehingga angka pengangguran menurun. Pendidikan merupakan bentuk investasi jangka panjang manusia. Orang dengan pendidikan tinggi diasumsikan memiliki pengetahuan dan kemampuan yang tinggi pula. Semakin tinggi tingkat pendidikan seseorang, maka peluangnya untuk melamar pekerjaan di suatu lapangan usaha semakin besar. Hal ini disebabkan tuntutan perusahaan yang menginginkan tenaga kerja dengan kualitas yang tinggi. Kualitas tenaga kerja ini umumnya dilihat dari tingkat pendidikan yang ditamatkan. Sementara itu kesempatan kerja dan jumlah serta kualitas orang yang digunakan dalam pekerjaan mempunyai fungsi yang menentukan dalam pembangunan. Ini bukan hanya karena tenaga kerja merupakan pelaksana pembangunan, akan tetapi juga karena pekerjaan merupakan sumber pendapatan utama bagi masyarakat (Suroto, 1992). Pendidikan dianggap sebagai sarana untuk
meningkatkan kualitas
sumberdaya manusia. Pendidikan yang baik diharapkan mampu menciptakan kualitas sumberdaya manusia yang baik pula. Namun dalam kenyataannya ada kecenderungan bahwa ada hubungan yang positif antara pendidikan dengan tingkat pengangguran, semakin tinggi pendidikan semakin meningkat pula angka pengangguran terdidik (Sutomo, 1999 dalam Rizky, 2012). Beberapa studi menunjukkan bahwa faktor-faktor penyebab pengangguran tenaga kerja terdidik dapat dikatakan hampir sama di setiap negara, diantaranya adalah krisis ekonomi, struktur lapangan kerja tidak seimbang, kebutuhan jumlah dan jenis tenaga terdidik dan penyediaan tenaga terdidik tidak seimbang, dan jumlah angkatan kerja yang lebih besar dibandingkan dengan kesempatan kerja (Sriyanti, 2009 dalam Rizky, 2012).
Gambar 1.1 Pengangguran Terdidik menurut Provinsi di Pulau Jawa Tahun 2010 2
Sumber: BPS (dalam Sakernas), 2011
Gambar 1.1 menunjukkan bahwa di seluruh provinsi di Jawa, pengangguran terdidik (SLTA ke atas) merupakan persoalan yang serius. Angkatan kerja dengan tingkat pendidikan terakhir SLTA ke atas justru banyak yang menganggur dibandingkan tamatan SD dan SLTP. Hal ini menunjukkan bahwa dalam kenyataannya tingginya tingkat pendidikan memiliki kecenderungan yang positif dengan tingginya tingkat pengangguran. Tingginya tingkat pendidikan tidak lagi menjamin bahwa seseorang dapat dengan mudah terserap dalam pasar kerja. Provinsi Jawa Tengah merupakan provinsi di Pulau Jawa yang memiliki jumlah penganggur terdidik paling banyak ketiga setelah Provinsi Jawa Barat dan Jawa Timur. Artinya, pengangguran terdidik menjadi permasalahan yang serius di Provinsi Jawa Tengah. Pengangguran terdidik merupakan hasil dari investasi pendidikan yang tidak terserap dalam pasar tenaga kerja. Tingginya angka penganggur terdidik ini pada akhirnya akan menghambat pengaruh investasi sumberdaya manusia terhadap pertumbuhan ekonomi (Utami, 2011 dalam Rizky, 2012). Penganggur yang sebagian besar penduduk usia produktif
akan menjadi beban pembangunan karena belum dapat berpenghasilan sendiri. Akibatnya, biaya hidup sehari-hari masih dibebankan pada orang tua. Hal ini menyebabkan meningkatnya pengeluaran keuangan tetapi pendapatan tidak bertambah sehingga laju pertumbuhan ekonomi menjadi terhambat.
Gambar 1.2 PDRB Provinsi Jawa Tengah Atas Dasar Harga Konstan Tahun 2005-2009 Sumber: BPS, 2011 3
Pertumbuhan ekonomi dapat dilihat dari PDRB harga konstan. Nilai PDRB harga konstan di Provinsi Jawa Tengah mengalami kenaikan yang relatif stabil dari tahun 2005 hingga tahun 2009 (lihat gambar 1.2). PDRB ditentukan dari akumulasi pendapatan menurut jenis lapangan usaha. Kondisi perekonomian Provinsi Jawa Tengah yang terus mengalami peningkatan nyatanya masih tetap membuat angka pengangguran terdidik di Jawa Tengah tetap tinggi. Menurut Suroto (1992), secara makro tidak ada pertentangan atau tidak ada hubungan negatif antara jumlah kesempatan kerja dengan pertumbuhan ekonomi. Artinya, semakin tinggi pertumbuhan ekonomi maka semakin tinggi pula kesempatan kerja. Kesempatan kerja tersebut merupakan peluang bagi angkatan kerja untuk masuk ke pasar kerja, sehingga mengurangi jumlah pengangguran. Bank Indonesia Palembang (2006) dalam laporan perkembangan ekonomi dan perbankan Sumatera Selatan mengatakan bahwa terdapat hubungan negatif antara tingkat pertumbuhan ekonomi dan pengangguran. Artinya, semakin tinggi tingkat pertumbuhan ekonomi maka semakin rendah tingkat pengangguran sesuai dengan teori Okun. Berdasarkan teori Okun, jumlah pengangguran di sebuah negara berbanding terbalik dengan tingkat pertumbuhan ekonominya. Berbagai penelitian yang mengkaji hubungan antara pertumbuhan ekonomi dengan tingkat pengangguran justru mendapati hasil yang bertentangan dengan Okun’s law. Dharendra (2006) mengatakan bahwa Okun’s law hanya mendasarkan pada hubungan peningkatan jumlah pengangguran sebagai fungsi dari tingkat pertumbuhan ekonomi. Okun’s law cenderung mengabaikan pertumbuhan jumlah angkatan kerja di sebuah negara. Nasalina Widiastuti (2011) dalam penelitiannya berjudul Analisis Kewilayahan Pengangguran Terbuka dan Pertumbuhan Ekonomi di Provinsi Jawa Tengah Tahun 2007-2009 menyimpulkan bahwa pertumbuhan ekonomi tidak berhubungan dengan pengangguran terbuka. Hubungan memperlihatkan arah positif yang menandakan bahwa semakin tinggi pertumbuhan ekonomi maka angka pengangguran terbuka akan semakin meningkat. Hasil ini sekaligus memberikan gambaran bahwa dalam meningkatkan pertumbuhan ekonomi semata tidak dapat menurunkan pengangguran terbuka. Pertumbuhan ekonomi hanya merupakan salah satu parameter dari pembangunan
4
ekonomi
secara
mempengaruhi
luas.
Masih
pembangunan
terdapat
ekonomi
parameter-parameter khususnya
di
lain
Indonesia,
yang seperti
pemerataan pendapatan dan transformasi kesempatan kerja. Pembangunan ekonomi merupakan suatu proses yang menyebabkan pendapatan perkapita penduduk suatu masyarakat meningkat dalam jangka panjang (Sukirno, 1985 dalam Sudarmono, 2006). Laju pembangunan ekonomi suatu negara ditunjukkan dengan menggunakan tingkat pertambahan Produk Domestik Bruto (PDB). Artinya, pertumbuhan ekonomi menjadi faktor penting yang digunakan untuk mengetahui kondisi pembangunan ekonomi suatu negara. Tujuan dari pembangunan ekonomi antara lain meningkatkan pendapatan per kapita dan menciptakan kesempatan kerja. Pembangunan ekonomi harus mampu mengurangi jumlah pengangguran yang terdapat di negara-negara berkembang. Hal ini dapat tercapai apabila kesempatan kerja lebih cepat berkembang daripada pertambahan tenaga kerja (Sukirno, 1985 dalam Sudarmono, 2006). Ahli ekonomi yaitu Fisher dan Clark (Sukirno, 1985 dalam Sudarmono, 2006) menyatakan bahwa semakin tinggi tingkat pendapatan per kapita suatu negara, maka semakin kecil peranan sektor pertanian dalam menyediakan kesempatan kerja. Akan tetapi sebaliknya, sektor industri semakin penting peranannya dalam menampung tenaga kerja. Transformasi kesempatan kerja dari pertanian ke industri menjadi faktor penting dalam proses analisis pembangunan ekonomi. Faktor lain yang penting dalam analisis pembangunan ekonomi adalah distribusi pendapatan. Sukirno (dalam Sudarmono, 2006) berpendapat bahwa dalam analisis mengenai pembangunan ekonomi, gambaran penting yang perlu diperoleh mengenai keadaan distribusi pendapatan adalah hubungan antara pembangunan ekonomi dengan perubahan distribusi pendapatan itu sendiri. Dengan demikian pemerataan pembangunan
menjadi
faktor
penting
yang
diperlukan
dalam
analisis
pembangunan ekonomi. Pertumbuhan ekonomi Provinsi Jawa Tengah yang meningkat tidak diikuti dengan penurunan angka pengangguran terdidik yang signifikan. Hal ini bertentangan dengan teori Okun yang menyatakan bahwa jumlah pengangguran di sebuah negara berbanding terbalik dengan tingkat pertumbuhan ekonominya.
5
Artinya, ada faktor lain dalam pembangunan ekonomi yang berpengaruh terhadap upaya penurunan angka pengangguran di Jawa Tengah selain pertumbuhan ekonomi. Provinsi Jawa Tengah terdiri dari 6 kota dan 29 kabupaten. Jumlah penganggur terdidik, pertumbuhan ekonomi, dan pemerataan pendapatan ditiaptiap kabupaten / kota berbeda-beda, bahkan keadaannya cenderung timpang atau tidak merata. Ketimpangan ini dapat dilihat dari indeks Gini yang berbeda-beda tiap kabupaten/kota di Provinsi Jawa Tengah. Adanya ketimpangan ini memunculkan suatu pertanyaan besar yaitu bagaimana peran pemerintah pusat dan pemerintah kabupaten/kota dalam mengelola masalah pembangunan ekonomi dan ketenagakerjaan. Pembangunan ekonomi dipengaruhi pula oleh adanya transformasi kesempatan kerja yaitu pergeseran kesempatan kerja dari sektor lapangan usaha yang satu ke sektor yang lain. Bagaimana pengaruh transformasi kesempatan kerja terhadap kondisi pengangguran di Provinsi Jawa Tengah? Permasalahan-permasalahan yang muncul di dalam latar belakang dapat dirumuskan selanjutnya dalam permasalahan penelitian. 1.2
Perumusan Masalah Permasalahan ketenagakerjaan di Provinsi Jawa Tengah dapat dibagi ke
dalam 3 permasalahan utama. Pertama, beberapa penelitian terkait hubungan pertumbuhan ekonomi dan pengangguran menyimpulkan bahwa hubungan keduanya adalah positif. Penelitian ini mencoba untuk meninjau kembali secara lebih spesifik hubungan antara pembangunan ekonomi dengan pengangguran melalui beberapa parameter lain selain pertumbuhan ekonomi, yaitu pemerataan pendapatan dan transformasi kesempatan kerja. Kedua parameter dalam pembangunan ekonomi seperti pemerataan pendapatan dan transformasi kesempatan kerja diharapkan memiliki kepekaan yang lebih sensitif terhadap analisis hubungannya dengan pengangguran terdidik. Dengan demikian dapat diketahui solusi yang tepat untuk menekan angka pengangguran terdidik di Provinsi Jawa Tengah. Kedua, adanya permasalahan ketimpangan pendapatan antarkabupaten / kota di Jawa Tengah khususnya pasca otonomi daerah.
6
Ketimpangan pendapatan dilihat dari indeks Gini yang besarannya berbeda-beda tiap kabupaten/kota. Daerah kota cenderung memiliki indeks Gini yang tinggi sedangkan daerah kabupaten yang belum berkembang memiliki indeks Gini yang relatif rendah. Hal ini akan menimbulkan gap/kesenjangan pendapatan ekonomi antar kota/kabupaten di Provinsi Jawa Tengah. Ketiga, adanya transformasi kesempatan kerja yang mengakibatkan pergeseran kesempatan kerja dari sektor satu ke sektor lain. Adanya pergeseran kesempatan kerja baik pertanian, industri, atau jasa akan berpengaruh pada jumlah angkatan kerja terdidik yang terserap dalam pasar kerja. Dari ketiga sektor tersebut, sektor manakah yang memiliki pengaruh paling besar dalam upaya penekanan jumlah pengangguran terdidik di Provinsi Jawa Tengah. Berdasarkan ketiga permasalahan penelitian tersebut, dapat dirumuskan pertanyaan penelitian sebagai berikut: 1. Bagaimana kondisi pembangunan ekonomi ditinjau dari 3 indikator yaitu laju pertumbuhan ekonomi, pemerataan pendapatan, dan transformasi kesempatan kerja sektor industri, serta kondisi pengangguran terdidik di Provinsi Jawa Tengah tahun 2005-2010? 2. Apakah terjadi pengelompokkan (clustering) wilayah berdasarkan kondisi pembangunan ekonomi dan pengangguran terdidik di Provinsi Jawa Tengah? 3. Bagaimana hubungan antara kinerja pembangunan ekonomi dengan angka pengangguran terdidik di Provinsi Jawa Tengah selama periode 2005-2010? 1.3
Tujuan Penelitian
a. Mengetahui kondisi pembangunan ekonomi ditinjau dari 3 indikator yaitu laju pertumbuhan ekonomi, pemerataan pendapatan, dan transformasi kesempatan kerja sektor industri, serta pengangguran terdidik di Provinsi Jawa Tengah tahun 2005-2010 secara keruangan. b. Menganalisis pola spasial yang akan terbentuk antara pembangunan ekonomi dengan pengangguran terdidik di Provinsi Jawa Tengah. c. Mengetahui hubungan antara kinerja pembangunan ekonomi dengan angka pengangguran terdidik di Provinsi Jawa Tengah selama periode 2005-2010.
7
1.4
Tinjauan Pustaka
1.4.1
Pendidikan dan Pengangguran Terdidik Kesempatan untuk memperoleh pekerjaan lebih terbuka bagi mereka yang
mempunyai tingkat pendidikan lebih tinggi. Dengan kata lain, kesempatan kerja bagi lulusan pendidikan tinggi lebih terbuka, sehingga secara teoritis tingkat pengangguran dari kelompok ini cenderung lebih kecil daripada kelompok yang berpendidikan lebih rendah (Harbison, 1967:31 dalam Mirfani, 1999). Namun demikian, kesempatan kerja itu akan menyempit dengan meningkatnya jumlah lulusan dari tingkat pendidikan yang lebih tinggi (Keyfitz, 1986:7 dalam Mirfani, 1999). Investasi pada pendidikan pada umumnya dilakukan sejak usia anak-anak sampai usia muda karena beberapa alasan. Alasan pertama yaitu biaya pendidikan. Semakin bertambahnya usia maka biaya yang diperlukan semakin besar. Alasan kedua yaitu biaya atau ongkos sosial-psikologis, misalnya opportunity cost. Opportunity cost adalah pendapatan yang diperkirakan diperoleh bila mereka bekerja tetapi tidak diperoleh karena mereka masuk sekolah. Opportunity cost akan meningkat sejalan dengan bertambahnya usia mereka. Alasan ketiga yaitu waktu untuk menikmati perolehan keuntungan dari investasi di sekolah akan pendek bila sekolah dilakukan pada usia tua. Dengan demikian usia kanak-kanak sampai dengan usia muda merupakan usia yang paling tepat untuk investasi di sekolah. Keberhasilan penduduk usia muda dalam menyelesaikan pendidikan sampai tingkat tertinggi belum tentu menjadi jaminan mereka segera mendapatkan pekerjaan. Menurut Sirageldin dan Li (1983, dalam Mirfani 1999), terdapat empat faktor yang menentukan penyerapan lulusan sekolah ke dalam lapangan kerja. Pertama, faktor angkatan kerja yang meliputi rasio antara mereka yang masuk dengan mereka yang keluar dari angkatan kerja. Kedua, kebutuhan spesifik menyangkut jumlah dan karakteristik (termasuk jurusan dan tingkat pendidikan) yang dibutuhkan oleh sektor-sektor produksi. Ketiga, faktor simulasi pendidikan yang menyediakan lulusan untuk jenjang-jenjang pekerjaan menurut tingkat pendidikannya. Besaran dan mutu serta karakteristik lulusan sekolah akan
8
menentukan besaran dan mutu penyediaan tenaga kerja oleh sistem pendidikan yang ada. Keempat, faktor kebijakan terhadap tenaga kerja yang menentukan penempatan lulusan sekolah atau tenaga kerja pada pada matriks sektor, jabatan, wilayah maupun penyebaran geografinya. Menurut Becker (1964, dalam Mirfani, 1999), pasar tenaga kerja tersegmentasi berdasarkan tingkat pendidikan. Ini berarti bahwa mereka yang terdidik lebih cepat terserap ke dalam lapangan pekerjaan daripada mereka yang kurang terdidik. Oleh karena itu, terdapat hubungan yang negatif antara tingkat pendidikan dan tingkat pengangguran. Kenyataannya, menurut Blaug (1973, dalam Mirfani, 1999), dapat terjadi hal yang sebaliknya jika jumlah kelompok terdidik itu bukan hal yang langka lagi. Pengangguran kelompok terdidik menjadi lebih kentara terutama apabila kelompok tersebut terdiri dari kelompok usia muda dan baru keluar dari sekolahnya serta mencari kerja untuk pertama kalinya. 1.4.2
Klasifikasi Wilayah Kuncoro (1996) mengemukakan bahwa alat analisis tipologi daerah
digunakan untuk mengetahui gambaran mengenai pola dan struktur pertumbuhan ekonomi masing-masing daerah. Tipologi daerah pada dasarnya membagi daerah berdasarkan dua indikator utama, yaitu pertumbuhan ekonomi daerah dan pendapatan per kapita daerah. Dengan menentukan rata-rata pertumbuhan ekonomi sebagai sumbu vertikal dan rata-rata pendapatan per kapita sebagai sumbu horizontal, daerah kajian dapat dibagi menjadi 4 klasifikasi, yaitu: Kuadran I Daerah cepat maju dan cepat tumbuh (high growth and high income). Daerah ini merupakan daerah yang memiliki tingkat pertumbuhan ekonomi dan pendapatan per kapita yang lebih tinggi dibanding rata-rata kabupaten/kota di Indonesia. Kuadran II Daerah maju tapi tertekan (high income but low growth). Daerah ini merupakan daerah yang memiliki pendapatan per kapita lebih tinggi tetapi tingkat pertumbuhan ekonominya lebih rendah dibanding rata-rata kabupaten/kota di Indonesia.
9
Kuadran III Daerah berkembang cepat (high growth but low income). Daerah ini merupakan daerah yang memiliki tingkat pertumbuhan ekonomi tinggi tetapi tingkat pendapatan per kapitanya lebih rendah dibanding rata-rata kabupaten/kota di Indonesia. Kuadran IV Daerah relatif tertinggal (low growth and low income). Daerah ini merupakan daerah yang memiliki tingkat pertumbuhan ekonomi dan pendapatan per kapita lebih rendah dibanding rata-rata kabupaten/kota di Indonesia. Tabel 1.2 Klasifikasi Wilayah menurut Tipologi Klassen
Keterangan: r
: rata-rata pertumbuhan ekonomi
y
: rata-rata PDRB per kapita
r1
: pertumbuhan ekonomi kabupaten/kota yang diamati (1)
y1
: PDRB per kapita kabupaten/kota yang diamati (1) Sumber: Kuncoro, 1996 Penelitian ini menggunakan tipologi Klassen dalam pembagian wilayah
Provinsi Jawa Tengah. Namun demikian, variabel yang digunakan bukanlah PDRB perkapita dan pertumbuhan ekonomi. Variabel yang digunakan adalah: Tabel 1.3 Klasifikasi Wilayah menurut Tipologi Klassen dengan variabel KPE dan APT Angka Pengangguran Terdidik (r)
Kinerja Pembangunan Ekonomi (y) y1 > y y1 < y
r1 < r
Maju dan tumbuh cepat
Berkembang cepat
r1 > r
Maju tapi tertekan
Relatif tertinggal
10
Keterangan: r
: rata-rata Angka Pertumbuhan Terdidik (APT) Provinsi Jawa Tengah
y
: rata-rata Kinerja Pembangunan Ekonomi (KPE) Provinsi Jawa Tengah
r1
: APT kabupaten/kota yang diamati (1)
y1
: KPE kabupaten/kota yang diamati (1) Selain tipologi Klassen, penelitian ini juga menggunakan metode overlay
antara peta KPE dengan peta APT di Provinsi Jawa Tengah. 1.4.3
Pembangunan Ekonomi dan Pertumbuhan Ekonomi Pembangunan
ekonomi
didefinisikan
sebagai
suatu
proses
yang
menyebabkan pendapatan per kapita penduduk suatu masyarakat meningkat dalam jangka panjang. Pembangunan ekonomi mempunyai 3 sifat penting yaitu: - suatu proses yang berarti merupakan perubahan yang terjadi terus – menerus; - usaha untuk meningkatkan tingkat pendapatan per kapita; - kenaikan pendapatan per kapita harus terus berlangsung dalam jangka panjang. (Sukirno, 1985) Pertumbuhan ekonomi tidak identik dengan pembangunan ekonomi. Pertumbuhan ekonomi yang tinggi, setidaknya melampaui negara-negara maju pada tahap awal pembangunan mereka, memang dapat dicapai namun diikuti dengan adanya masalah-masalah seperti pengangguran, kemiskinan di pedesaan, distribusi pendapatan yang timpang, dan ketidakseimbangan struktural (Sjahrir, 1986 dalam Kuncoro, 2004). Hal inilah yang memperkuat keyakinan bahwa pertumbuhan ekonomi merupakan syarat yang diperlukan tetapi tidak mencukupi bagi proses pembangunan (Kuncoro, 2004). Pertumbuhan ekonomi hanya mencatat peningkatan produksi barang dan jasa secara nasional, sedangkan pembangunan ekonomi berdimensi lebih luas dari sekedar peningkatan pertumbuhan ekonomi. Suparmoko (2000) mengatakan bahwa pertumbuhan ekonomi merupakan suatu alat untuk mengukur kemajuan dibidang perekonomian yang mampu memberikan kesejahteraan ekonomi yang lebih baik bagi penduduk suatu daerah yang bersangkutan, dengan salah satu parameter pertumbuhan ekonomi berupa
11
Produk Domestik Regional Bruto (PDRB). PDRB adalah nilai seluruh produk dan jasa yang diproduksi di wilayah tersebut tanpa memperhatikan apakah faktor produksinya berasal dari wilayah tersebut atau tidak. Pendapatan yang timbul oleh adanya kegiatan produksi tersebut merupakan pendapatan domestik. Sedangkan yang dimaksud dengan wilayah domestik atau region adalah meliputi wilayah yang berada di dalam wilayah geografis region tersebut (BPS Provinsi Lampung, 2012). PDRB dibedakan menjadi PDRB atas dasar harga berlaku dan atas dasar harga konstan. PDRB atas dasar harga berlaku (at current price) memberikan petunjuk tentang kontribusi atau pangsa dari masing-masing sektor dalam struktur perekonomian daerah. Berdasarkan besarnya kontribusi masing-masing sektor akan dapat pula dijadikan dasar untuk menyusun prioritas kebijakan pembangunan daerah. Indikator yang sangat penting dari pendapatan regional menurut harga yang berlaku adalah pendapatan perkapita (percapita income). Sedangkan perubahan PDRB atas dasar harga konstan (constant price) memberikan gambaran mengenai besarnya pertumbuhan ekonomi suatu region (daerah) secara riil. Artinya pertumbuhan ekonomi tersebut tidak terpengaruh oleh masalah perubahan harga atau inflasi yang terjadi atas barang dan jasa yang diproduksi (BPS Provinsi Lampung, 2012).
1.4.4
Kesempatan Kerja Kesempatan kerja merupakan lapangan usaha dan lowongan kerja yang
tercipta untuk diisi melalui suatu kegiatan ekonomi (produksi). Kesempatan kerja mencakup lapangan usaha yang sudah diisi dan semua lowongan pekerjaan yang belum diisi. Lowongan kerja mengandung arti adanya kesempatan untuk diisi dan inilah yang disebut kebutuhan tenaga kerja (Nasalina, 2011). Menurut Suroto (1992), secara makro tidak ada pertentangan atau tidak ada hubungan negatif antara perluasan kesempatan kerja dengan pertumbuhan ekonomi. Suroto (1992) menjelaskan dengan rumus aljabar bahwa Y = N x Q. Simbol Y mewakili pendapatan masyarakat (PDB), N adalah jumlah orang yang bekerja, dan Q adalah pendapatan rata-rata setiap orang yang bekerja setiap tahun atau produktivitas
12
kerja. Dari rumus tersebut dapat dilihat bahwa makin besar jumlah orang yang bekerja, maka jumlah pendapatan akan semakin besar dan sebaliknya. Hal ini menunjukkan tidak ada pertentangan antara jumlah orang yang bekerja dengan besar PDB. Semakin tinggi pertumbuhan ekonomi maka semakin tinggi pula kesempatan kerja. Kesempatan kerja tersebut merupakan peluang bagi angkatan kerja untuk masuk ke pasar kerja, sehingga mengurangi jumlah pengangguran. Bank Indonesia Palembang (2006) dalam laporan perkembangan ekonomi dan perbankan Sumatera Selatan mengatakan bahwa terdapat hubungan negatif antara tingkat pertumbuhan ekonomi dan pengangguran. Artinya, semakin tinggi tingkat pertumbuhan ekonomi maka semakin rendah tingkat pengangguran.
1.4.5
Indeks Gini dan Ketimpangan Pembangunan Indeks Gini adalah persamaan ukuran ketimpangan dan dapat berbeda-beda
dari nol (persamaan sempurna) sampai satu (ketimpangan yang sempurna). Indeks Gini bernilai antara 0 sampai dengan 1. Jadi indeks Gini yang rendah mengindikasikan bahwa distribusi pendapatan semakin merata, sebaliknya semakin besar indeks Gini mengindikasikan distribusi yang semakin timpang. Secara ekstrim diartikan bahwa indeks Gini sebesar 0 berarti terdapat kemerataan sempurna (setiap orang memperoleh pendapatan yang sama persis) dan indeks Gini sebesar 1 menunjukkan ketidak-merataan sempurna (di mana satu orang memiliki/menguasai seluruh pendapatan totalnya, sementara lainnya tidak memperoleh pendapatan sama sekali) (Todaro, 1983). Kuznets (1955, dalam Todaro, 1983) telah mengemukakan bahwa pada tahap-tahap pertumbuhan awal, distribusi pendapatan cenderung memburuk, namun pada tahap-tahap berikutnya hal itu akan membaik. Observasi inilah yang dikenal dengan hipotesis “U-Terbalik” Kuznets.
13
Williamson (1965, dalam Kuncoro, 2004) meneliti hubungan antara disparitas regional dan tingkat pembangunan ekonomi dengan menggunakan data ekonomi yang sudah maju dan ekonomi yang sedang berkembang. Hasil penelitian tersebut
menyebutkan bahwa selama tahap awal pembangunan,
disparitas regional menjadi lebih besar dan pembangunan terkonsentrasi di daerah - daerah tertentu. Pada tahap selanjutnya yang lebih matang, keseimbangan antar daerah mulai tampak dan disparitas berkurang dengan signifikan. Strategi alokasi anggaran harus mendorong dan mempercepat pertumbuhan ekonomi nasional sekaligus menjadi alat mengurangi kesenjangan / ketimpangan regional (Majidi: 1997:1, dalam Kuncoro, 2004). Proses akumulasi dan mobilisasi sumber-sumber, berupa akumulasi modal, ketrampilan tenaga kerja, dan sumberdaya alam yang dimiliki oleh suatu daerah merupakan pemicu laju pertumbuhan ekonomi wilayah yang bersangkutan. Adanya heterogenitas dan beragam karakteristik suatu wilayah menyebabkan kecenderungan terjadinya ketimpangan antardaerah dan antarsektor ekonomi suatu daerah. Bertitik tolak dari kenyataan itu, Ardani (1992:3, dalam Kuncoro, 2004) mengemukakan bahwa kesenjangan / ketimpangan antardaerah merupakan konsekuensi logis pembangunan dan merupakan suatu tahap perubahan dalam pembangunan itu sendiri. Menurut Myrdal (dalam Kuncoro 2004), perbedaan tingkat kemajuan ekonomi antardaerah yang berlebihan akan menyebabkan pengaruh yang merugikan (backwash effects) mendominasi pengaruh yang menguntungkan (spread effects) terhadap pertumbuhan daerah, dalam hal ini mengakibatkan proses ketidakseimbangan. Pelaku-pelaku yang mempunyai kekuatan di pasar secara normal akan cenderung meningkat bukannya menurun, sehingga mengakibatkan ketimpangan antar daerah (Arsyard, 1999 dalam Kuncoro, 2004). 1.4.6
Transformasi Struktur Kesempatan Kerja Industrialisasi telah mengakibatkan terjadinya transformasi kesempatan
kerja di Indonesia. Pola pertumbuhan ekonomi secara sektoral di Indonesia agaknya sejalan dengan kecenderungan proses transformasi kesempatan kerja
14
yang terjadi di berbagai negara, yaitu terjadi penurunan kontribusi sektor pertanian (sering disebut sektor primer), sementara sektor sekunder dan tersier cenderung meningkat (Kuncoro, 2004). Teori Perubahan Struktural yang dikemukakan
Todaro
(dalam
Kuncoro
2004),
merupakan
teori
yang
menitikberatkan pembahasan pada mekanisme transformasi ekonomi yang dialami oleh negara sedang berkembang, yang semula lebih bersifat subsisten dan menitikberatkan pada sektor pertanian menuju ke struktur perekonomian yang lebih modern dan sangat didominasi oleh sektor industri dan jasa. Sementara Chenery dalam analisis teori Pattern of Development memfokuskan terhadap perubahan kesempatan kerja dalam tahapan proses perubahan ekonomi, industri dan struktur institusi dari perekonomian negara sedang berkembang, yang mengalami transformasi dari pertanian tradisional beralih ke sektor industri sebagai mesin utama pertumbuhan ekonominya. Penelitian yang dilakukan Hollis Chenery tentang transformasi struktural produksi menunjukkan bahwa
sejalan dengan peningkatan pendapatan perkapita,
perekonomian suatu negara akan bergeser dari yang semula mengandalkan sektor pertanian menuju ke sektor industri (Kuncoro, 2004). 1.5
Penelitian Sebelumnya Penelitian Komalik, dkk (1984) yang berjudul Prospek Kesempatan Kerja di
Jawa Tengah 1980 – 1990 bertitik tolak dari permasalahan mendasar yaitu semakin tinggi tingkat pendidikan angkatan kerja maka semakin besar proporsi penganggur terdidik. Penelitian ini bertujuan untuk memberikan gambaran mengenai profil perekonomian, pendidikan sebagai sistem untuk dapat menghasilkan persediaan tenaga kerja terdidik, dan keadaan kebutuhan tenaga kerja dalam 10 tahun terakhir yakni 1980 sampai 1990. Menurut para peneliti, terjadinya pengangguran tenaga kerja terdidik diakibatkan oleh 3 hal antara lain: ketimpangan struktural antara persediaan dan kebutuhan tenaga kerja, program pendidikan profesional dan kejuruan yang regulasi, serta kecenderungan terjadinya penguatan persepsi tentang status kredensial pendidikan untuk bekerja. Komalik dan para peneliti lainnya menggunakan analsisis deskriptif data sekunder
15
terkait keadaan pendidikan di Indonesia sebagai sistem persediaan tenaga kerja dalam kaitannya dengan sistem pelatihan kerja, kualifikasi lulusan, dan faktorfaktor internal lainnya. Hasil dan kesimpulan dari penelitian ini yaitu pengangguran tenaga kerja terdidik disebut sebagai gejala pengangguran struktural. Gejala ini terjadi akibat ketimpangan antara struktur kesempatan kerja dan struktur angkatan kerja menurut pendidikan. Penelitian Sutarno dan Mudrajad Kuncoro (2003) yang berjudul Pertumbuhan Ekonomi dan Ketimpangan antar Kecamatan di Kabupaten Banyumas 1993-2000 bertujuan untuk mengklasifikasikan kecamatan berdasarkan pertumbuhan ekonomi dan pendapatan per kapita, menghitung ketimpangan antarkecamatan, dan membuktikan hipotesis Kuznets tentang U-terbalik apakah berlaku di Kabupaten Banyumas. Alat dan metode yang digunakan dalam penelitian ini antara lain tipologi Klassen, indeks ketimpangan Williamson, indeks ketimpangan entropy Theil, tren, dan korelasi Pearson. Hasil dan kesimpulan yang dihasilkan dalam penelitian tersebut adalah bahwa Kabupaten Banyumas berdasarkan pertumbuhan dan pendapatan per kapita dapat diklasifikasikan menjadi empat kelompok yaitu daerah/kecamatan cepat maju dan cepat tumbuh, kecamatan yang maju tapi tertekan, kecamatan/daerah yang berkembang cepat dan kecamatan/ daerah tertinggal. Pada periode pengamatan 1993 – 2000 terjadi kecenderungan peningkatan ketimpangan. Penelitian ini kemudian dilanjutkan oleh Pramono Hariadi, Arintoko, dan Icuk Rangga Bawono (2006) yang berjudul Ketimpangan Distribusi Pendapatan di Kabupaten Banyumas Jawa Tengah. Tujuan penelitian Pramono, dkk adalah mengetahui ketimpangan distribusi pendapatan di Kabupaten Banyumas Jawa Tengah dengan menggunakan indeks Gini. Hasil yang ditemui sama dengan penelitian Sutarno dan Mudrajad Kuncoro (2003) yaitu terjadi kecenderungan kenaikan ketimpangan distribusi pendapatan antar rumah tangga di Kabupaten Banyumas.
Penelitian
Mulyanto
Sudarmono
(2006)
yang
berjudul
Analisis
Transformasi Struktural, Pertumbuhan Ekonomi dan Ketimpangan Antar Daerah di Wilayah Pembangunan I Jawa Tengah bersumber dari pergeseran peran sektor pertanian digantikan dengan sektor industri yang nampak dari pergeseran
16
sumbangannya terhadap PDRB. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui terjadinya transformasi struktural dan ketimpangan antar daerah di Wilayah Pembangunan I Jawa Tengah. Metode yang digunakan dalam penelitian ini antara lain analisis sumbangan sektor, Location Quotient, Shift Share, Model Rasio Pertumbuhan, Overlay, indeks Wiliamson dan indeks Entropi Theil, serta analisis korelasi Pearson. Hasilnya yaitu Transformasi struktural hanya terjadi di Kabupaten Semarang dan Kabupaten Kendal. Kota Salatiga sektor unggulannya bangunan, pengangkutan, komunikasi, dan jasa. Kab.Demak sektor unggulannya pertanian dan jasa. Kab.Kendal sektor unggulannya pertanian dan industri pengolahan. Kota Semarang sektor unggulannya pengangkutan, komunikasi, keuangan, persewaan, dan jasa perusahaan. Kab. Grobogan dan Kab. Semarang merupakan daerah yang tidak memiliki sektor unggulan kompetitif. Ketimpangan yang terjadi di Wilayah pembangunan I Jawa Tengah semakin membesar atau semakin tidak merata. Hipotesis Kuznets berlaku di Wilayah Pembangunan I Jawa Tengah artinya terjadinya kenaikkan pertumbuhan ekonomi disertai dengan naiknya ketimpangan. Penelitian Nasalina Widiastuti (2011) yang berjudul Analisis Kewilayahan Pengangguran Terbuka dan Pertumbuhan Ekonomi di Propinsi Jawa Tengah Tahun 2007-2009 berlatar belakang dari adanya pertumbuhan ekonomi yang tidak merata yang kemudian menciptakan pengangguran terbuka. Tujuan penelitian ini antara lain mengetahui karakteristik angkatan kerja, kesempatan kerja, dan pengangguran terbuka menurut klasifikasi wilayah di Provinsi Jawa Tengah Tahun 2007, 2008, dan 2009, serta mengetahui hubungan antara pengangguran terbuka dan pertumbuhan ekonomi di Provinsi Jawa Tengah Tahun 2007-2009. Hasil yang didapatkan yaitu pertumbuhan ekonomi tidak berhubungan dengan pengangguran terbuka, sebab pertumbuhan ekonomi diukur dari sektoral lapangan usaha sedangkan pengangguran terbuka diukur dari jumlah total kesempatan kerja yang tidak terisi di lapangan usaha.
17
Tabel 1.4 Penelitian Sebelumnya No.
Nama Peneliti
1.
Komalik, dkk. (Pusat Penelitian Kependudukan UGM, Seri Laporan No.42, 1984)
2.
Sutarno dan Mudrajad Kuncoro (Jurnal Ekonomi Pembangunan Vol. 8 No. 2, Desember 2003 Hal: 97 – 110)
Judul Penelitian Prospek Kesempatan Kerja di Jawa Tengah 1980 1990
Pertumbuhan Ekonomi dan Ketimpangan antar Kecamatan di Kabupaten Banyumas, 1993-2000
Tujuan
Metode Penelitian
Memberikan gambaran mengenai profil perekonomian, pendidikan sebagai sistem untuk dapat menghasilkan persediaan tenaga kerja terdidik, dan keadaan kebutuhan tenaga kerja dalam 10 tahun terakhir. Mengidentifikasi pengaruh pertumbuhan ekonomi dan mengetahui ketimpangannya antarkecamatan di Kabupaten Banyumas.
Analsisis deskriptif data sekunder terkait keadaan pendidikan di Indonesia sebagai sistem persediaan tenaga kerja dalam kaitannya dengan sistem pelatihan kerja, kualifikasi lulusan, dan faktor-faktor internal lainnya.
Pengangguran tenaga kerja terdidik disebut sebagai gejala pengangguran struktural. Gejala ini terjadi akibat ketimpangan antara struktur kesempatan kerja dan struktur angkatan kerja menurut pendidikan.
Analisis kewilayahan tipologi Klassen berdasarkan dua indikator utama, yaitu pertumbuhan ekonomi dan pendapatan atau produk domestik regional bruto per kapita daerah Indeks ketimpangan Williamson dan indeks entropi Theil Hipotesis Kuznets
Berdasarkan tipologi Klassen, Kabupaten Banyumas dapat diklasifikasikan berdasarkan pertumbuhan dan pendapatan per kapita menjadi empat kelompok yaitu daerah/kecamatan cepat maju dan cepat tumbuh, kecamatan yang maju tapi tertekan, kecamatan/daerah yang berkembang cepat dan kecamatan/ daerah tertinggal. Pada periode pengamatan 1993–2000 terjadi kecenderungan peningkatan ketimpangan.
18
Hasil dan Kesimpulan
3.
4.
Pramono Hariadi, Arintoko, dan Icuk Rangga Bawono (Jurnal Ekonomi Pembangunan Hal: 61 – 70) Mulyanto Sudarmono (Tesis, 2006)
Ketimpangan Distribusi Pendapatan di Kabupaten Banyumas Jawa Tengah
Mengetahui ketimpangan distribusi pendapatan di Kabupaten Banyumas Jawa Tengah
Pengambilan sampel dengan kuesioner dengan unit analisis rumah tangga untuk mengetahui pendapatan per kapita Perhitungan indeks Gini
Terjadi kecenderungan kenaikan ketimpangan distribusi pendapatan antar rumah tangga di Kabupaten Banyumas.
Analisis Transformasi Struktural, Pertumbuhan Ekonomi dan Ketimpangan Antar Daerah di Wilayah Pembangunan I Jateng
Menganalisis transformasi struktural yang terjadi di Wilayah Pembangunan I Jawa Tengah Menganalisis sektor – sektor yang mempunyai keunggulan kompetitif dan spesialisasi di Wilayah Pembangunan I Jawa Tengah Menganalisis ketimpangan antar daerah yang terjadi di Wilayah Pembangunan I Jawa Tengah
Sumbangan sektor terhadap PDRB Location Quotient Shift share Model Rasio Pertumbuhan (MRP) Analisis overlay Indeks Williamson dan Indeks Entropi Theil Korelasi
Transformasi struktural hanya terjadi di Kabupaten Semarang dan Kabupaten Kendal. Kota Salatiga sektor unggulannya bangunan, pengangkutan, komunikasi, dan jasa. Kab.Demak sektor unggulannya pertanian dan jasa. Kab.Kendal sektor unggulannya pertanian dan industri pengolahan. Kota Semarang sektor unggulannya pengangkutan, komunikasi, keuangan, persewaan, dan jasa perusahaan. Kab. Grobogan dan Kab. Semarang merupakan daerah yang tidak memiliki sektor unggulan kompetitif. Ketimpangan yang terjadi di Wilayah pembangunan I Jawa Tengah semakin membesar atau semakin tidak merata. Hipotesis Kuznets berlaku di Wilayah
19
5.
Nasalina Widiastuti (Skripsi, 2011)
Analisis Kewilayahan Pengangguran Terbuka dan Pertumbuhan Ekonomi di Provinsi Jawa Tengah Tahun 20072009
Menganalisis hubungan antara ketimpangan antar daerah dengan pertumbuhan ekonomi di Wilayah Pembangunan I Jawa Tengah Mengetahui karakteristik angkatan kerja, kesempatan kerja, dan pengangguran terbuka menurut klasifikasi wilayah di Provinsi Jawa Tengah Tahun 2007, 2008, dan 2009 Mengetahui hubungan antara pengangguran terbuka dan pertumbuhan ekonomi di Provinsi Jawa Tengah Tahun 20072009.
Pembangunan I Jawa Tengah artinya terjadinya kenaikkan pertumbuhan ekonomi disertai dengan naiknya ketimpangan.
Analisis deskriptif data pengangguran terbuka dari Sakernas dan data PDRB Klasifikasi wilayah menggunakan tipologi Klassen
20
Pertumbuhan ekonomi tidak berhubungan dengan pengangguran terbuka, sebab pertumbuhan ekonomi diukur dari sektoral lapangan usaha sedangkan pengangguran terbuka diukur dari jumlah total kesempatan kerja yang tidak terisi di lapangan usaha.
1.6
Kerangka Pemikiran
Provinsi Jawa Tengah menurut kabupaten / kota tahun 2005-2010
Kinerja pembangunan ekonomi
Indikator pembangunan ekonomi
Pertumbuhan ekonomi
Pemerataan pendapatan
Laju pertumbuhan PDRB konstan
Indeks Gini
Transformasi kesempatan kerja
Transformasi struktur kesempatan kerja sektor industri
Skoring dan overlay
Angkatan kerja menurut pendidikan terakhir yang ditamatkan
Peta pembangunan ekonomi
Pengangguran terdidik (SLTA ke atas) di Jawa Tengah tahun 2007-2010
Overlay
Peta pengangguran terdidik
Klasifikasi wilayah
Hubungan antara kinerja pembangunan ekonomi dengan pengangguran terdidik di Provinsi Jawa Tengah tahun 2005-2010
21
1.7
Hipotesis Hipotesis mengenai hubungan antara pembangunan ekonomi, yang terdiri
dari 3 indikator yaitu pertumbuhan ekonomi, pemerataan pendapatan (indeks Gini), dan transformasi kesempatan kerja (penyerapan tenaga kerja semua sektor, sektor pertanian, sektor industri, dan sektor jasa), dengan pengangguran terdidik di Provinsi Jawa Tengah tahun 2005 – 2010 dapat dirinci sebagai berikut: a.
Indeks Gini dengan angka pengangguran terdidik berkorelasi positif, semakin tinggi indeks Gini maka semakin tinggi angka pengangguran terdidik, dan sebaliknya, semakin rendah indeks Gini maka semakin rendah angka pengangguran terdidik;
b.
Transformasi struktur kesempatan kerja dengan angka pengangguran terdidik berkorelasi negatif, semakin tinggi transformasi struktur kesempatan kerja maka semakin rendah angka pengangguran terdidik, dan sebaliknya, semakin rendah transformasi struktur kesempatan kerja maka semakin tinggi angka pengangguran terdidik;
c.
Kinerja pembangunan ekonomi dengan angka pengangguran terdidik berkorelasi negatif, semakin tinggi kinerja pembangunan ekonomi maka semakin rendah angka pengangguran terdidik, dan sebaliknya, semakin rendah kinerja pembangunan ekonomi maka semakin tinggi angka pengangguran terdidik.
22