PERANAN SEKTOR EKONOMI BASIS DALAM MENGURANGI KETIMPANGAN PENDAPATAN ANTARKABUPATEN/KOTA DI PROVINSI JAWA TENGAH (PERIODE TAHUN 2005-2012)
DYAH AYU FAJAR PRABANINGRUM
DEPARTEMEN ILMU EKONOMI FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2014
ii
iii
PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul Peranan Sektor Ekonomi Basis dalam Mengurangi Ketimpangan Pendapatan AntarKabupaten/Kota di Provinsi Jawa Tengah (Periode Tahun 2005-2012) adalah benar-benar karya saya dengan arahan dari pembimbing dan belum pernah diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun yang tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini. Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor. Bogor, April 2014
Dyah Ayu Fajar Prabaningrum NIM H14100044
iv
ABSTRAK DYAH AYU FAJAR PRABANINGRUM. Peranan Sektor Ekonomi Basis dalam Mengurangi Ketimpangan Pendapatan AntarKabupaten/Kota di Provinsi Jawa Tengah (Periode Tahun 2005-2012). Dibimbing oleh MUHAMMAD FINDI A. Penelitian ini menganalisis ketimpangan termasuk besarnya kesejahteraan sosial yang hilang akibat adanya ketimpangan tersebut serta mengidentifikasi sektor ekonomi basis yang berperan dalam mengurangi ketimpangan pendapatan tersebut beserta faktor-faktor yang memengaruhinya. Penelitian ini menggunakan periode analisis dari tahun 2005 sampai 2012 dengan menggunakan analisis indeks williamson, indeks atkinson, metode location quotient, dan regresi data panel melalui microsoft excel dan EViews 6. Hasil dari penelitian ini menunjukkan bahwa ketimpangan pendapatan antarkabupaten/kota di Provinsi Jawa Tengah berada pada taraf tinggi. Sektor ekonomi basis yang berperan paling besar dalam mengurangi ketimpangan pendapatan tersebut yaitu sektor pertanian. Variabel luas panen tanaman bahan makanan (LP), luas lahan teririgasi (LI), jumlah penduduk (JP) berpengaruh positif dan signifikan. Namun untuk jumlah tenaga kerja sektor pertanian (JTK) berpengaruh positif namun tidak signifikan. Kata Kunci: Ketimpangan pendapatan, Provinsi Jawa Tengah, regresi data panel, sektor ekonomi basis.
ABSTRACT DYAH AYU FAJAR PRABANINGRUM. The Role of Economic Base Sector in Reducing the Imbalance of the Income between Regency/City in Province of Central Java (Periods of 2005-2012). Supervised by MUHAMMAD FINDI A. This research analyze the imbalance with the enormity of social prosperity which lost that as the result of the imbalance impact and also to identify economic base sector which has role in reducing the imbalance and also the factors that influence into it. This research uses analyze periods start from 2005-2012 by using such us analysis indeks williamson, indeks atkinson, location quotient method and also use the panel data regression through microsoft excel and EViews 6. The result of this research shows that the income imbalance between a regency/city in Province of Central Java state in high scale. The most responsible economy base sector in reducing the income imbalance is the agriculture sector which is the wide of the plant harvest (LP), irrigation land (LI), the amount of the people (JP) has the positive impact and significant. In the other hand, the amount of the labors in agriculture sector (JTK) have the positive impact but not significant. Keywords : Income imbalance, Province of Central Java, panel data regression, economic base sector.
v
PERANAN SEKTOR EKONOMI BASIS DALAM MENGURANGI KETIMPANGAN PENDAPATAN ANTARKABUPATEN/KOTA DI PROVINSI JAWA TENGAH (PERIODE TAHUN 2005-2012)
DYAH AYU FAJAR PRABANINGRUM
Skripsi sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Ekonomi pada Departemen Ilmu Ekonomi
DEPARTEMEN ILMU EKONOMI FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2014
vi
vii
Judul Skripsi : Peranan Sektor Ekonomi Basis dalam Mengurangi Ketimpangan Pendapatan AntarKabupaten/Kota di Provinsi Jawa Tengah (Periode Tahun 2005- 2012) Nama : Dyah Ayu Fajar Prabaningrum NIM : H14100044
Disetujui oleh
Dr. Muhammad Findi A, M.E. Pembimbing
Diketahui oleh
Dedi Budiman Hakim, Ph.D. Ketua Departemen
Tanggal Lulus:
viii
PRAKATA
Puji syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas segala karunia-Nya penulis dapat menyelesaikan penyusunan skripsi ini. Judul skripsi ini adalah “Peranan Sektor Ekonomi Basis dalam Mengurangi Ketimpangan Pendapatan AntarKabupaten/Kota di Provinsi Jawa Tengah (Periode Tahun 2005-2012)”. Penyusunan skripsi ini merupakan salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Ekonomi pada Departemen Ilmu Ekonomi, Fakultas Ekonomi dan Manajemen, Institut Pertanian Bogor. Tujuan penulisan skripsi ini yaitu untuk menganalisis besarnya ketimpangan pendapatan serta menganalisis sektor basis dan peranannya terhadap pengurangan ketimpangan pendapatan di Provinsi Jawa Tengah. Pada kesempatan ini, penulis ingin mengucapkan terima kasih yang tak terhingga kepada orang tua dan keluarga penulis, yakni Bapak Eko Prabowo, Ibu Yuni Widyastuti, serta adik dari penulis yakni Dody Prabakusuma dan Rizky Ali Munawar, atas segala doa dan motivasi serta dukungan baik moril maupun materiil bagi penulis dalam menyelesaikan skripsi ini. Selain itu, penulis juga mengucapkan terima kasih kepada: 1. Dr. Muhammad Findi A, M.E. selaku dosen pembimbing skripsi yang telah memberikan arahan dan bimbingan baik secara teknis, teoritis, maupun moril dalam proses penyusunan skripsi ini sehingga dapat diselesaikan dengan baik. 2. Dr. Ir. Yeti Lis Purnamadewi, M.Sc Agr selaku dosen penguji utama dan Ranti Wiliasih, M.Si selaku dosen penguji dari komisi pendidikan atas kritik dan saran yang telah diberikan untuk perbaikan skripsi ini. 3. Para dosen, staff, dan seluruh civitas akademika Departemen Ilmu Ekonomi FEM IPB yang telah memberikan ilmu, wawasan serta bantuan kepada penulis selama menjalani studi di Departemen Ilmu Ekonomi. 4. Teman-teman satu bimbingan Annisa Fitra, Desty, Hilman, dan Aprilia yang telah menjadi partner bertukar pikiran dan teman berbagi suka duka dalam penyusunan skripsi ini serta terima kasih untuk setiap kejutannya untuk penulis saat seminar hasil maupun sidang. 5. Sahabat penulis selama tiga tahun Zulfati Rahma, Nindya Shinta, dan Amalia yang telah menjadi partner bekerja sama dalam hal akademik serta tempat berkeluh kesah dan menjadi sandaran penulis saat senang maupun sedih serta Gina Ratna Suminar yang selalu memberikan dukungan dan masukan serta kebersamaannya. 6. Teman-teman terbaik TPB Tuty, Yola, Syafira serta teman-teman kosan Perwira 89 yang sangat kompak Hernita, Puti, Fira, Naya, Retno, Etri. 7. Teman-teman Ilmu Ekonomi 47 yang selalu memberikan keceriaan, warna selama tiga tahun kebersamaan serta masukan kepada penulis. Semoga karya ini bermanfaat. Bogor, April 2014
Dyah Ayu Fajar Prabaningrum
ix
DAFTAR ISI DAFTAR TABEL DAFTAR GAMBAR DAFTAR LAMPIRAN PENDAHULUAN Latar Belakang Perumusan Masalah Tujuan Penelitian Manfaat Penelitian Ruang Lingkup Penelitian TINJAUAN PUSTAKA Pertumbuhan dan Pembangunan Ekonomi Ketimpangan Distribusi Pendapatan Sektor Ekonomi Basis Penelitian Terdahulu Kerangka Pemikiran Hipotesis Penelitian METODE PENELITIAN Jenis dan Sumber Data Metode Analisis GAMBARAN UMUM Keadaan Geografis Provinsi Jawa Tengah Wilayah Administratif Provinsi Jawa Tengah Kondisi Perekonomian HASIL DAN PEMBAHASAN Analisis Ketimpangan Pendapatan Analisis Social Welfare Loss Analisis Location Quotient Peranan Sektor Ekonomi Basis Faktor-faktor yang Memengaruhi Sektor Ekonomi Basis SIMPULAN DAN SARAN Simpulan Saran DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN RIWAYAT HIDUP
v vi vi 1 1 3 5 5 6 6 6 7
9 10 12 14 14 14 14 21 21 22 23 24 24 26 27 31 35 41 41 41 43 45 57
x
DAFTAR TABEL 1 Pertumbuhan ekonomi di Pulau Jawa tahun 2008-2011 2 PDRB per kapita Atas Dasar Harga Konstan 2000 menurut provinsi di Pulau Jawa Tahun 2007-2011 3 PDRB Provinsi Jawa Tengah Atas Dasar Harga Konstan 2000 menurut lapangan usaha tahun 2003-2009 4 PDRB per kapita Atas Dasar Harga Konstan 2000 menurut kabupaten/kota di Provinsi Jawa Tengah tahun 2012 5 Luas wilayah, jumlah penduduk, dan kepadatan penduduk kabupaten dan kota di Provinsi Jawa Tengah 6 Peranan sektor-sektor perekonomian Provinsi Jawa Tengah Atas Dasar Harga Konstan 2000 tahun 2008-2012 7 Indeks Atkinson dan persentase pertumbuhan Provinsi Jawa Tengah tahun 2005-2012 8 Nilai LQ sektor-sektor perekonomian di Provinsi Jawa Tengah Atas Dasar Harga Konstan 2000 periode 2005-2012 9 Sektor ekonomi basis kabupaten/kota di Provinsi Jawa Tengah 10 Indeks ketimpangan pendapatan dengan dan tanpa sektor pertanian di Provinsi Jawa Tengah 11 Indeks ketimpangan pendapatan dengan dan tanpa sektor industri pengolahan di Provinsi Jawa Tengah 12 Indeks ketimpangan pendapatan dengan dan tanpa sektor listrik, gas, dan air bersih di Provinsi Jawa Tengah 13 Indeks ketimpangan pendapatan dengan dan tanpa sektor perdagangan, hotel, dan restoran di Provinsi Jawa Tengah 14 Indeks ketimpangan pendapatan dengan dan tanpa sektor jasa-jasa di Provinsi Jawa Tengah 15 Kontribusi sub sektor pertanian terhadap PDRB sektor pertanian di Provinsi Jawa Tengah 16 Hasil pengujian uji Chow 17 Hasil pengujian uji Hausman 18 Nilai statistik model 19 Matriks korelasi parsial dengan metode deteksi Klein 20 Hasil estimasi model
1 2 3 4 22 24 27 28 30 32 33 33 34 35 36 37 37 38 38 40
DAFTAR GAMBAR 1 Kurva Kuznets “U-Terbalik” 2 Diagram alir kerangka pemikiran 3 Trend ketimpangan pendapatan antarkabupaten/kota di Provinsi Jawa Tengah tahun 2005-2012
8 13 25
xi
DAFTAR LAMPIRAN 1 Nilai ketimpangan pendapatan antarkabupaten/kota di Jawa Tengah tahun 2005 2 Nilai ketimpangan pendapatan antarkabupaten/kota di Jawa Tengah tahun 2006 3 Nilai ketimpangan pendapatan antarkabupaten/kota di Jawa Tengah tahun 2007 4 Nilai ketimpangan pendapatan antarkabupaten/kota di Jawa Tengah tahun 2008 5 Nilai ketimpangan pendapatan antarkabupaten/kota di Jawa Tengah tahun 2009 6 Nilai ketimpangan pendapatan antarkabupaten/kota di Jawa Tengah tahun 2010 7 Nilai ketimpangan pendapatan antarkabupaten/kota di Jawa Tengah tahun 2011 8 Nilai ketimpangan pendapatan antarkabupaten/kota di Jawa Tengah tahun 2012 9 Hasil pengujian dengan model Pooled Least Square untuk mengestimasi faktor-faktor yang memengaruhi pertumbuhan ekonomi sektor pertanian 10 Hasil pengujian dengan model Fixed Effect untuk mengestimasi faktorfaktor yang memengaruhi pertumbuhan ekonomi sektor pertanian 11 Hasil pengujian dengan model Random Effect untuk mengestimasi faktor-faktor yang memengaruhi pertumbuhan ekonomi sektor pertanian 12 Hasil pengujian Chow Test untuk mengestimasi faktor-faktor yang memengaruhi pertumbuhan ekonomi sektor pertanian 13 Hasil pengujian Hausman Test untuk mengestimasi faktor-faktor yang memengaruhi pertumbuhan ekonomi sektor pertanian
45 46 47 48 49 50 51 52 53 54 55 56 56
xii
PENDAHULUAN Latar Belakang Terciptanya masyarakat yang makmur dan sejahtera dapat dicapai dengan memanfaatkan potensi dan sumberdaya yang dimiliki masing-masing daerah. Dengan begitu pembangunan ekonomi di negara berkembang khususnya Indonesia yang pada hakekatnya bertujuan untuk menciptakan pertumbuhan ekonomi yang tinggi, menciptakan distribusi pendapatan yang merata, juga mengurangi tingkat kemiskinan, ketimpangan pendapatan dan tingkat pengangguran serta menciptakan kesempatan kerja akan tercapai (Todaro 2006). Pembangunan ekonomi merupakan suatu proses yang menyebabkan pendapatan per kapita penduduk suatu masyarakat meningkat dalam jangka panjang (Sukirno 2006). Menurut Sukirno 2006 pembangunan ekonomi dapat juga diartikan sebagai serangkaian usaha dalam suatu perekonomian untuk mengembangkan kegiatan ekonominya sehingga infrastruktur lebih banyak tersedia, perusahaan semakin banyak dan semakin berkembang, taraf pendidikan semakin tinggi dan teknologi semakin meningkat. Sementara itu, pertumbuhan ekonomi diartikan sebagai kenaikan GDP tanpa memandang apakah kenaikan itu lebih besar atau lebih kecil dari tingkat pertumbuhan penduduk, atau apakah perubahan struktur ekonomi terjadi atau tidak. Tolakukur keberhasilan pembangunan dapat dilihat dari pertumbuhan ekonomi, struktur ekonomi, dan semakin kecilnya ketimpangan pendapatan antarpenduduk, antardaerah dan antarsektor. Ini berarti bahwa untuk melihat pembangunan ekonomi suatu daerah, dapat dengan membandingkan pendapatan riil daerah yang bersangkutan dari tahun ke tahun dengan indikator yang digunakan adalah PDRB. Dari PDRB, kita dapat melihat seberapa jauh pembangunan telah berhasil menyejahterakan masyarakatnya, dengan kata lain tercipta pemerataan pendapatan. Berikut ini disajikan tabel pertumbuhan ekonomi di Pulau Jawa: Tabel 1 Pertumbuhan ekonomi di Pulau Jawa tahun 2008-2011 (persen) Provinsi 2008 2009 2010 2011 Rata-rata DKI Jakarta 6.23 5.02 6.50 6.71 6.11 Jawa Barat 6.21 4.19 6.20 6.48 5.77 Banten 5.77 4.71 6.08 6.43 5.74 Jawa Tengah 5.61 5.14 5.84 6.01 5.65 DI Yogyakarta 5.03 4.43 4.88 5.16 4.87 Jawa Timur 5.94 5.01 6.68 7.22 6.21 Sumber : BPS, 2011.
Tabel 1 memerlihatkan pertumbuhan ekonomi provinsi-provinsi di Pulau Jawa periode tahun 2008-2011. Pada tahun 2008 Provinsi Jawa Timur berada paling atas dengan rata-rata laju pertumbuhan ekonomi sebesar 6.21 persen. Provinsi DKI Jakarta menempati urutan kedua dengan persentase rata-rata laju pertumbuhan ekonomi sebesar 6.11 persen. Provinsi Jawa Barat dan Banten
2
menempati urutan ketiga dan keempat dengan persentase rata-rata pertumbuhan ekonomi sebesar 5.77 dan 5.74. Jawa Tengah terletak di antara provinsi besar lainnya di pulau Jawa, yaitu Jawa Timur dan Jawa Barat yang sebenarnya mempunyai potensi sumberdaya alam dan sumberdaya manusia yang relatif tidak jauh berbeda. Berdasarkan Tabel 1 dapat dilihat bahwa perbandingan laju pertumbuhan ekonomi Provinsi Jawa Tengah dengan provinsi lainnya dari tahun ke tahun nilainya jauh lebih rendah dibandingkan Jawa Barat, DKI Jakarta, dan Jawa Timur. Perbedaan inilah yang seharusnya dapat mendorong pemerintah untuk lebih mempercepat pembangunan dan pertumbuhan wilayah. Ketimpangan distribusi pendapatan menggambarkan bahwa hanya sebagian kecil masyarakat yang menikmati sebagian besar pendapatan negara. Adanya ketimpangan distribusi pendapatan itu menyebabkan perbedaan yang sangat menonjol antara masyarakat kaya dengan masyarakat miskin sehingga masyarakat miskin terjerat dalam rantai kemiskinan. Penyebab ketidakmerataan antardaerah ini dapat disebabkan oleh perbedaan sumberdaya yang dimiliki, perbedaan sumberdaya manusia, dan perbedaan akses dalam modal (Kuncoro 2004). Golongan masyarakat kaya yang merupakan sebagian kecil dari masyarakat keseluruhan menguasai hampir seluruh perekonomian. Hal ini menjadikan kelompok golongan ini dengan mudah masuk aktivitas ekonomi serta mempunyai pendidikan yang tinggi, kesehatan yang terjamin, keterampilan, dan keahlian khusus sehingga golongan masyarakat kaya dapat menikmati hidup yang lebih baik dengan memiliki hal-hal tersebut. Di sisi lain golongan masyarakat miskin yang tidak memiliki modal, skill yang cukup dan pendidikan yang tinggi, sulit masuk dalam aktivitas ekonomi dan memiliki posisi yang lemah dalam menghadapi golongan lain (Djojohadikusumo 1994). Berikut ini disajikan tabel PDRB per kapita di Pulau Jawa : Tabel 2 PDRB per kapita Atas Dasar Harga Konstan 2000 menurut Provinsi di Pulau Jawa tahun 2007-2011 (ribu rupiah) Provinsi 2007 2008 2009 2010 2011 Rata-rata DKI Jakarta 36,054 37,665 39,083 41,015 43,389 39,441 Jawa Barat 6,718 6,985 7,156 7,451 7,828 7,227 Jawa Tengah 4,959 5,202 5,462 5,773 6,112 5,501 DI.Yogyakarta 5,444 5,643 5,845 6,064 6,345 5,868 Jawa Timur 7,840 8,236 8,602 9,101 9,737 8,703 Banten 6,619 7,877 8,037 8,283 8,624 7,888 Sumber : BPS, 2012.
Berdasarkan Tabel 2 bahwa provinsi di Pulau Jawa yang memiliki rata-rata PDRB per kapita tertinggi tahun 2007-2011 adalah DKI Jakarta yaitu sebesar Rp 39,441,000. Provinsi Jawa Tengah memiliki rata-rata PDRB per kapita terendah di Pulau Jawa jika dibandingkan dengan provinsi lainnya yaitu sebesar Rp 5,501,000. PDRB per kapita Provinsi Jawa Tengah yang lebih rendah dibandingkan provinsi lainnya dapat dikatakan bahwa tingkat kesejahteraan penduduk Jawa Tengah lebih rendah dibandingkan dengan provinsi lain di Pulau Jawa. Rendahnya tingkat kesejahteraan penduduk Provinsi Jawa Tengah tersebut mengindikasikan bahwa terdapat ketidakmerataan distribusi pendapatan antara
3
masyarakat kaya dan masyarakat yang kurang mampu, karena distribusi pendapatan yang tidak merata akan menyebabkan kesejahteraan penduduk yang rendah. Perumusan Masalah Sektor ekonomi basis yang terdapat di antara sektor-sektor perekonomian akan menjadi penyumbang yang besar dalam PDRB suatu wilayah. Sektor ekonomi basis berperan penting dalam perekonomian yang diharapkan mampu menjadi promotor kegiatan usaha ekonomi lainnya karena dinilai mempunyai kontribusi dan potensi yang lebih baik dibanding sektor lainnya. Sektor ekonomi basis yang ada di suatu daerah diharapkan dapat menjadi sektor yang dapat diandalkan dan dapat menjadi penggerak sektor-sektor yang lain. Perlunya mengetahui sektor yang menjadi sektor ekonomi basis yaitu agar pembangunan ekonomi dapat terarah dengan mengembangkan potensi yang tepat. Dalam Tabel 3 dapat dilihat bahwa PDRB Provinsi Jawa Tengah paling besar didominasi oleh tiga sektor, yaitu sektor pertanian, sektor industri pengolahan, dan sektor perdagangan, hotel, dan restoran. Ketiga sektor tersebut menyumbang PDRB terbesar di Jawa Tengah dan di ketiga sektor tersebut menjadi sektor ekonomi basis di Provinsi Jawa Tengah. Ketidakmerataan dalam distribusi pendapatan bukan hanya terjadi di Jawa Tengah, melainkan juga terjadi antarkabupaten/kota di suatu provinsi. Begitu juga ketidakmerataan yang terjadi antarkabupaten/kota di Provinsi Jawa Tengah yang cukup besar. Hal ini dapat dilihat dari nilai PDRB per kapita antarkabupaten/kota di Provinsi Jawa Tengah. Tabel 3 PDRB Provinsi Jawa Tengah Atas Dasar Harga Konstan 2000 menurut lapangan usah tahun 2003-2009 (triliun rupiah) Lapangan Usaha 2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009 Pertanian 27,15 28,6 29,92 31,0 31,8 33,4 34,9 Pertambangan dan Penggalian 1,29 1,33 1,45 1,67 1,78 1,85 1,95 Industri Pengolahan Listrik, Gas dan Air Bersih Bangunan Perdagangan, Hotel dan Restoran Pengangkutan dan Komunikasi Keuangan, Persewaan dan Jasa Perusahaan Jasa-jasa Total Sumber : BPS, 2011.
41,34
43,99
0,98 6,9
1,06 7,44
27,66
28,34
6,21
6,51
4,65 12,94 129,1
46,1 48,18
50,8
53 1 54,13
1,17 7,96
1,34 9,05
1,4 9,64
1,48 10,3
30,05 31,81 33,89 35,62
37,7
6,98
1,25 8,44
7,45
8,05
8,65
9,26
4,82 5,06 5,39 5,76 6,21 6,7 13,66 14,31 15,44 16,4 17,74 19,1 135,7 143,05 150,6 159,1 167,7 175,6
4
Tabel 4 dapat dilihat bahwa PDRB per kapita kabupaten/kota di Provinsi Jawa Tengah sangatlah bervariasi. Permasalahannya adalah PDRB per kapita tersebut tidak merata di seluruh wilayah di Provinsi Jawa Tengah. Hal ini terlihat dari nilai PDRB per kapita tertinggi diduduki oleh Kabupaten Kudus yaitu sebesar Rp 17,043,990. Kabupaten Grobogan merupakan kabupaten dengan nilai PDRB per kapita terendah yaitu sebesar Rp 2,671,936, sehingga Kabupaten Kudus memiliki PDRB per kapita mencapai delapan kali lebih tinggi dari PDRB per kapita Kabupaten Grobogan. Masih terdapat beberapa kabupaten termasuk Kabupaten Grobogan yang memiliki PDRB per kapita jauh dari rata-rata PDRB Provinsi Jawa Tengah yaitu sebesar Rp 5,633,939.5. Hal ini menunjukkan adanya gap yang mengindikasikan bahwa distribusi pendapatan antarkabupaten/kota di Provinsi Jawa Tengah belum merata sehingga ketimpangan pendapatan masih terjadi di Provinsi Jawa Tengah. Tabel 4 PDRB per kapita Atas Dasar Harga Konstan 2000 menurut kabupaten/kota di Provinsi Jawa Tengah tahun 2012 (rupiah) Kabupaten/Kota
PDRB Per Kapita
4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17
Kab.Cilacap Kab.Banyumas Kab.Purbalingga Kab.Banjarnegara Kab.Kebumen Kab.Purworejo Kab.Wonosobo Kab.Magelang Kab.Boyolali Kab.Klaten Kab.Sukoharjo Kab.Wonogiri Kab.Karanganyar Kab.Sragen Kab.Grobogan Kab.Blora Kab.Rembang
15,151,260 3,257,266 3,242,961 3,580,008 2,740,467 4,696,902 2,690,479 3,725,600 4,956,964 4,519,986 6,443,471 3,514,313 7,256,977 3,982,700 2,671,936 2,779,331 4,109,447
18
Kab.Pati
4,192,386
No.
1 2 3
No.
Kabupaten/Kota
Kab.Kudus Kab.Jepara Kab.Demak Kab.Semarang 22 Kab.Temanggung 23 Kab.Kendal 24 Kab.Batang 25 Kab.Pekalongan 26 Kab.Pemalang 27 Kab.Tegal 28 Kab.Brebes 29 Kota Magelang 30 Kota Surakarta 31 Kota Salatiga 32 Kota Semarang 33 Kota Pekalongan 34 Kota Tegal 35 Rata-rata Propinsi Jawa Tengah 19 20 21
PDRB Per Kapita
17,043,990 4,160,397 3,026,089 6,426,370 3,625,860 6,513,515 3,584,419 4,138,309 2,967,912 2,815,768 3,435,379 10,337,809 11,269,881 5,724,888 14,843,950 8,004,723 5,756,156 5,633,939.5
Sumber: BPS, 2013.
Masih timpangnya suatu pendapatan antardaerah diperlukan jalan keluar agar dapat menuju kesejahteraan yang layak bagi masyarakatnya. Gambaran ketimpangan pendapatan seperti ini sangat dibutuhkan oleh pemerintah kabupaten/kota di Provinsi Jawa Tengah agar perencanaan pembangunan daerah dapat ditentukan prioritasnya, khususnya dalam era otonomi daerah saat ini dimana pemerintah kabupaten/kota diberi kesempatan seluas-luasnya untuk menentukan arah kebijaksanaan pembangunan agar tercapai pertumbuhan ekonomi yang tinggi tetapi juga diikuti dengan semakin rendahnya ketimpangan
5
pendapatan, dengan begitu pembangunan ekonomi untuk menuju kesejahteraan masyarakat yang layak dapat tercapai. Berdasarkan pada penjelasan sebelumnya, seperti yang ada pada latar belakang dan perumusan masalah, dimana PDRB per kapita Provinsi Jawa Tengah yang dari tahun ke tahun terus meningkat tetapi PDRB per kapita kabupaten/kota masih terdapat yang lebih kecil dari PDRB per kapita Provinsi Jawa Tengah dan juga masih terdapat beberapa kabupaten/kota yang memiliki PDRB per kapita lebih besar dari PDRB per kapita Provinsi Jawa Tengah. Di sisi lain, PDRB per sektor perekonomian di Provinsi Jawa Tengah terus meningkat. Atas dasar gap yang terjadi tersebut sehingga akan dirumuskan beberapa permasalahan yang akan dikaji dalam penelitian ini, yaitu: 1. Berapa besar tingkat ketimpangan pendapatan antarkabupaten/kota di Provinsi Jawa Tengah? 2. Bagaimana dampak ketimpangan antarkabupaten/kota terhadap kesejahteraan sosial yang hilang (social welfare loss) di Provinsi Jawa Tengah? 3. Sektor apakah yang menjadi sektor ekonomi basis di Provinsi Jawa Tengah? 4. Apakah keberadaan sektor ekonomi basis berperan dalam mengurangi ketimpangan pendapatan antarkabupaten/kota di Provinsi Jawa Tengah? 5. Faktor-faktor apa yang dapat meningkatkan pertumbuhan sektor ekonomi basis sehingga dapat mengurangi ketimpangan pendapatan antarkabupaten/kota di Provinsi Jawa Tengah? Tujuan Penelitian Berdasarkan perumusan masalah di atas, maka tujuan dari penelitian ini adalah: 1. Menganalisis besarnya ketimpangan pendapatan antarkabupaten/kota di Provinsi Jawa Tengah. 2. Menganalisis dampak ketimpangan antarkabupaten/kota terhadap kesejahteraan sosial yang hilang (social welfare loss) di Provinsi Jawa Tengah. 3. Mengidentifikasi sektor potensial yang dapat dikembangkan di Provinsi Jawa Tengah. 4. Menganalisis peran sektor ekonomi basis dalam mengurangi ketimpangan pendapatan antarkabupaten/kota di Provinsi Jawa Tengah. 5. Menganalisis faktor-faktor yang dapat meningkatkan pertumbuhan sektor ekonomi basis untuk mengurangi ketimpangan pendapatan antarkabupaten/kota di Provinsi Jawa Tengah. Manfaat Penelitian Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat bagi: 1. Bagi Pemerintah, sebagai bahan masukan bagi pemerintah atau pihak-pihak terkait yang dapat dijadikan bahan pertimbangan dalam pengambilan keputusan dan perencanaan pembangunan daerah. 2. Bagi Masyarakat, secara umum akan dapat menilai kebijakan yang diambil oleh pemerintah daerah dalam mengatasi masalah ketimpangan distribusi pendapatan di masyarakat.
6
3. Bagi Pembaca, penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangan yang bermanfaat bagi ilmu pengetahuan khususnya bagi para pembaca yang dapat digunakan untuk menambah wawasan untuk penelitian selanjutnya. 4. Bagi Peneliti, sebagai tambahan pengetahuan dan sebagai pengaplikasian ilmu yang di dapat selama perkuliahan. Ruang Lingkup Penelitian Fokus penelitian ini menganalisis ketimpangan pendapatan antarkabupaten/kota di Provinsi Jawa Tengah dengan periode tahun analisis 20052012. Alat analisis menggunakan lima alat analisis yaitu Indeks Williamson untuk menghitung ketimpangan pendapatan daerah. Analisis yang kedua menggunakan Indeks Atkinson untuk mengetahui dampak social welfare loss di Provinsi Jawa Tengah. Alat analisis selanjutnya yaitu dengan Location Quotient untuk mengidentifikasi sektor ekonomi basis di Provinsi Jawa Tengah. Selanjutnya menganalisis peranan sektor ekonomi basis yang berperan dalam mengurangi ketimpangan pendapatan daerah tanpa memasukkan nilai PDRB sektor tertentu kemudian membandingkan dengan ketimpangan pendapatan yang memasukkan nilai PDRB sektor tertentu. Metode yang terakhir menggunakan regresi data panel untuk menganalisis faktor-faktor yang memengaruhi pertumbuhan sektor ekonomi basis. Penelitian ini menggunakan variabel luas panen tanaman bahan makanan (LP), luas lahan teririgasi (LI), jumlah penduduk (JP), jumlah tenaga kerja sektor pertanian (JTK) yang berpengaruh terhadap PDRB sektor pertanian. Pengolahan alat analisis tersebut menggunakan microsoft excel 2010 dan EViews 6.
TINJAUAN PUSTAKA
Pertumbuhan dan Pembangunan Ekonomi Pertumbuhan dan pembangunan ekonomi mempunyai keterkaitan satu sama lain. Pertumbuhan ekonomi didefinisikan sebagai suatu ukuran kuantitatif yang menggambarkan perkembangan suatu perekonomian dalam suatu tahun tertentu apabila dibandingkan dengan tahun sebelumnya. Dengan demikian, untuk menghitung tingkat pertumbuhan ekonomi akan digunakan formula berikut: g=
GDP
GDP
GDP
x 100
Setiap unsur dalam persamaan tersebut dinyatakan di bawah ini: g GDP1 GDP0
= tingat (persentase) pertumbuhan ekonomi = pendapatan nasional riil pada suatu tahun (tahun 1) = pendapatan nasional riil pada tahun sebelumnya (tahun 0)
7
Model pertumbuhan Neoklasik Solow berpegang pada konsep skala hasil yang terus berkurang (diminishing return) dari input tenaga kerja dan modal jika keduanya di analisis secara terpisah, sedangkan jika keduanya di analisis secara bersamaan atau sekaligus, Solow memakai asumsi skala hasil tetap (constant return to scale). Kemajuan teknologi ditetapkan sebagai faktor residu untuk menjelaskan pertumbuhan ekonomi dalam jangka panjang, dan tinggi rendahnya pertumbuhan itu sendiri oleh Solow diasumsikan bersifat eksogen yang dipengaruhi oleh berbagai macam faktor. Model pertumbuhan Neoklasik Solow menggunakan fungsi produksi agregat standar, yaitu: Y = AeμtKαL1-α Y adalah produk domestik bruto, K adalah stok modal fisik dan modal manusia, L adalah tenaga kerja non terampil, A adalah suatu konstanta yang merefleksikan tingkat teknologi dasar, sedangkan eμ melambangkan konstanta tingkat kemajuan teknologi. Adapun simbol α melambangkan elastisitas output terhadap modal (atau persentase kenaikan GDP yang bersumber dari 1 persen penambahan modal fisik dan modal manusia). Hal itu biasanya dihitung secara statistik sebagai pangsa modal dalam total pendapatan nasional suatu negara. Karena α diasumsikan kurang dari 1 dan modal swasta diasumsikan dibayar berdasarkan produk marjinalnya sehingga tidak ada ekonomi eksternal, maka formulasi teori pertumbuhan Neoklasik ini memunculkan skala hasil modal dan tenaga kerja yang terus berkurang (diminishing returns). Menurut model pertumbuhan ini, pertumbuhan output selalu bersumber dari satu atau lebih dari tiga faktor yaitu kenaikan kuantitas dan kualitas tenaga kerja (melalui pertumbuhan jumlah penduduk dan perbaikan pendidikan), penambahan modal (melalui tabungan dan investasi), serta penyempurnaan teknologi (Todaro 2006). Pembangunan ekonomi adalah pertumbuhan ekonomi ditambah dengan perubahan. Artinya, ada tidaknya pembangunan ekonomi dalam suatu negara pada suatu tahun tertentu tidak saja diukur dari kenaikan produksi barang dan jasa yang berlaku dari tahun ke tahun, tetapi juga diukur dari perubahan lain yang berlaku dalam berbagai aspek kegiatan ekonomi seperti perkembangan pendidikan, perkembangan teknologi, peningkatan dalam kesehatan, peningkatan dalam infrastruktur yang tersedia dan peningkatan dalam pendapatan dan kemakmuran masyarakat (Sukirno 2006). Pendapatan per kapita selalu digunakan untuk menggambarkan taraf pembangunan ekonomi yang dicapai berbagai daerah dan tingkat perkembangannya dari tahun ke tahun. Pengertian pendapatan per kapita itu sendiri adalah total pendapatan suatu daerah dibagi jumlah penduduk di daerah tersebut untuk tahun yang sama (Tarigan 2005). Ketimpangan Distribusi Pendapatan Pendapatan penduduk sering tidak merata, pendapatan penduduk dikatakan merata apabila pendapatan terbagikan secara merata kepada seluruh penduduk di wilayah tersebut. Sebaliknya apabila pendapatan regional terbagi secara tidak
8
merata (ada yang kecil, sedang, dan besar) dikatakan wilayah tersebut terjadi ketimpangan dalam distribusi pendapatannya. Teori ketimpangan distribusi pendapatan dapat dikatakan dimulai dari munculnya suatu hipotesis yang terkenal yaitu Hipotesis U terbalik (inverted U curve) oleh Simon Kuznets tahun 1955. Kuznets berpendapat bahwa mula-mula ketika pembangunan dimulai, distribusi pendapatan per kapita akan makin tidak merata, namun setelah mencapai suatu tingkat ketimpangan pendapatan tertinggi dari indeks gini, distribusi pendapatan makin merata. Kurva Kuznets dapat dihasilkan oleh proses pertumbuhan berkesinambungan yang berasal dari perluasan sektor modern. Koefisien Gini
Pendapatan Nasional Bruto Per Kapita Gambar 1 Kurva Kuznets “U-Terbalik” Sumber: Todaro, 2006.
Menurut Todaro (2006), pemerataan yang lebih adil di negara berkembang merupakan suatu kondisi atau syarat yang menunjang pertumbuhan ekonomi. Dengan demikian, semakin timpang distribusi pendapatan di suatu negara akan berdampak negatif terhadap pertumbuhan ekonomi. Ketimpangan pendapatan antardaerah, tergantung dari besarnya jumlah pendapatan yang diterima oleh setiap penerima pendapatan dalam daerah tersebut, baik itu golongan masyarakat maupun wilayah tertentu dalam daerah tersebut. Perbedaan jumlah pendapatan yang diterima itu menimbulkan suatu distribusi pendapatan yang berbeda, sedangkan besar kecilnya perbedaan tersebut akan menentukan tingkat pemerataan pendapatan (ketimpangan pendapatan) daerah tersebut. Oleh karena itu, ketimpangan pendapatan ini tergantung dari besar kecilnya perbedaan jumlah pendapatan yang diterima oleh penerima pendapatan. Timpang atau tidaknya pendapatan daerah dapat diukur melalui distribusi penerimaan pendapatan antar golongan masyarakat ataupun antarwilayah tertentu dimana pendapatan yang diterima wilayah tersebut terlihat pada nilai PDRB per kapitanya. Ketimpangan pendapatan lebih besar terjadi di negara-negara yang baru memulai pembangunannya, sedangkan bagi negara maju atau lebih tinggi tingkat pendapatannya cenderung lebih merata atau tingkat ketimpangannya rendah. Keadaan ini diilustrasikan, bahwa negara-negara maju secara keseluruhan memerlihatkan pembagian pendapatan yang lebih merata dibandingkan dengan negara-negara dunia ketiga yakni negara-negara yang tergolong sedang berkembang.
9
Teori Ekonomi Basis Dalam teori ekonomi basis, perekonomian di suatu daerah dibagi menjadi dua sektor utama, yaitu sektor ekonomi basis dan sektor ekonomi nonbasis. Sektor ekonomi basis adalah sektor yang mengekspor barang dan jasa ataupun tenaga kerja ke tempat-tempat di luar batas perekonomian daerah yang bersangkutan. Di samping barang, jasa, dan tenaga kerja, ekspor sektor ekonomi basis dapat juga berupa pengeluaran orang asing yang berada di daerah tersebut terhadap barangbarang yang tidak bergerak, seperti tempat-tempat wisata, peninggalan sejarah, museum dan sebagainya. Adapun sektor ekonomi nonbasis adalah sektor yang menyediakan barang dan jasa yang dibutuhkan oleh masyarakat yang bertempat tinggal di dalam batas-batas daerah itu sendiri. Sektor ini tidak mengekspor barang, jasa, maupun tenaga kerja sehingga luas lingkup produksi dan daerah pasar sektor nonbasis hanya bersifat lokal (Glasson dalam Priyarsono et al. 2007). Konsep ekonomi basis berguna untuk menganalisis dan memprediksi perubahan dalam perekonomian regional. Selain itu konsep ekonomi basis juga dapat digunakan untuk mengetahui suatu sektor pembangunan ekonomi dan kegiatan basis, yang dapat melayani pasar ekspor. Pengertian sektor ekonomi basis (sektor unggulan) pada dasarnya harus dikaitkan dengan suatu bentuk perbandingan, baik itu perbandingan berskala internasional, regional maupun nasional. Dalam kaitannya dengan lingkup internasional, suatu sektor dikatakan unggul jika sektor tersebut mampu bersaing dengan sektor yang sama dengan negara lain. Suatu sektor dapat dikategorikan sebagai sektor unggulan di lingkup nasional apabila sektor di wilayah tertentu mampu bersaing dengan sektor yang sama yang dihasilkan oleh wilayah lain di pasar nasional atau domestik (Wijaya 2001). Menurut Tarigan 2005, metode untuk memilah kegiatan basis dan kegiatan nonbasis adalah sebagai berikut: a) Metode langsung. Metode langsung dilakukan dengan survei langsung kepada pelaku usaha kemana mereka memasarkan barang yang diproduksi dan dari mana mereka membeli bahan-bahan kebutuhan untuk menghasilkan produk tersebut. Kelemahan metode ini yaitu: pertanyaan yang berhubungan dengan pendapatan data akuratnya sulit diperoleh, dalam kegiatan usaha sering tercampur kegiatan basis dan nonbasis. b) Metode tidak langsung. Metode ini dipakai karena rumitnya melakukan survei langsung ditinjau dari sudut waktu dan biaya. Metode ini menggunakan asumsi, kegiatan tertentu diasumsikan sebagai kegiatan basis dan kegiatan lain yang bukan dikategorikan basis adalah otomatis menjadi kegiatan basis. Metode terakhir adalah metode campuran. Metode ini dipakai pada suatu wilayah yang sudah berkembang, cukup banyak usaha yang tercampur antara kegiatan basis dan kegiatan nonbasis. Apabila dipakai metode asumsi murni maka akan memberikan kesalahan yang besar, jika dipakai metode langsung yang murni maka akan cukup berat. Kebanyakan orang lebih memilih melakukan gabungan antara metode langsung dan metode tidak langsung yang disebut metode campuran. Pelaksanaan metode campuran dengan melakukan survei pendahuluan yaitu pengumpulan data sekunder, kemudian di analisis mana kegiatan basis dan nonbasis. Asumsinya apabila 70 persen atau lebih produknya diperkirakan dijual ke luar wilayah maka maka kegiatan itu langsung dianggap basis. Sebaliknya apabila 70 persen atau lebih produknya dipasarkan di tingkat lokal maka langsung
10
dianggap nonbasis. Apabila porsi basis dan nonbasis tidak begitu kontras maka porsi itu harus ditaksir. Untuk menentukan porsi tersebut harus dilakukan survei lagi dan harus ditentukan sektor mana yang surveinya cukup dengan pengumpulan data sekunder dan sektor mana yang membutuhkan sampling pengumpulan data langsung dari pelaku usaha. Priyarsono et al. ( 2007) mengemukakan bahwa metode terakhir yang lazim digunakan dalam studi empirik yaitu metode LQ (Loqation Quotient). Metode LQ membandingkan antara pendapatan (tenagakerja) di sektor i pada daerah bawah terhadap pendapatan (tenagakerja) total semua sektor di daerah bawah dengan pendapatan (tenagakerja) di sektor i pada daerah atas terhadap pendapatan (tenagakerja) semua sektor di daerah atasnya. Secara matematis nilai LQ dapat dihitung dengan menggunakan rumus sebagai berikut:
/ /
Dimana: = pendapatan (tenagakerja) sektor i pada daerah bawah Sib Sb = pendapatan (tenagakerja) total semua sektor daerah bawah = pendapatan (tenagakerja) sektor i pada daerah atas Sia Sa = pendapatan (tenagakerja) total semua sektor pada daerah atas Jika hasil perhitungan dengan menggunakan rumus di atas menghasilkan nilai LQ>1 maka sektor i dikategorikan sebagai sektor basis. Nilai LQ yang lebih dari satu tersebut menunjukkan bahwa pangsa pendapatan (tenagakerja) pada sektor i di daerah bawah lebih besar dibanding daerah atasnya dan output pada sektor i lebih berorientasi ekspor. Sebaliknya, apabila nilai LQ<1 sektor i diklasifikasikan sebagai sektor nonbasis. Penelitian Terdahulu Penelitian mengenai ketimpangan pendapatan pernah dilakukan oleh (Ponco 2008) untuk mengidentifikasi sektor-sektor basis yang berpotensi menggunakan alat analisis Location Quotient dan menganalisis ketimpangan antar wilayah yang terjadi di Provinsi Papua dengan menggunakan Indeks Williamson. Identifikasi sektor basis dan analisis ketimpangan antar wilayah dilakukan dengan melibatkan peran sektor pertambangan dan tanpa melibatkan peran sektor pertambangan. Hasil yang diperoleh dari penelitian ini bahwa selain sektor pertambangan (LQ=6.02) dan pertanian (LQ=1.01 dan LQ=2.56), sektor basis di Provinsi Papua yaitu sektor bangunan (LQ=1,93), sektor pengangkutan dan komunikasi (LQ=1.68), serta sektor jasa-jasa (LQ=1.67). Berdasarkan hasil analisis ketimpangan antarwilayah, Provinsi Papua pada satu sisi mengalami ketimpangan antar wilayah tingkat menengah (Indeks Williamson 0.4 – 0.69), dan pada sisi lain mengalami ketimpangan antar wilayah yang sangat tinggi (Indeks Williamson>1). Masrukhin (2009) mengidentifikasi konvergensi dan ketimpangan pendapatan di Jawa Barat tahun 2000-2007. Berdasarkan hasil estimasi, tingkat konvergensi bersyarat yang terjadi sebesar – 0.933 < 0 hal ini berarti pendapatan antarkabupaten/kota cenderung konvergen (makin merata) atau daerah miskin
11
tumbuh lebih cepat dari daerah kaya. Hasil analisis data panel dengan menggunakan software EViews 6 menunjukkan bahwa PDRB kabupaten/kota di Jawa Barat dipengaruhi secara positif dan signifikan oleh PAD, PDRB per pekerja, pengeluaran pembangunan pemerintah kabupaten/kota, persentase penduduk yang tamat SMA dan dipengaruhi secara negatif oleh pangsa sektor pertanian terhadap PDRB. Mardiana (2012) mengidentifikasi trend dan tingkat ketimpangan ekonomi antar kabupaten/kota yang terjadi di Provinsi Jawa Timur menggunakan Indeks Williamson, kemudian mengidentifikasi daerah relatif tertinggal dan memacu pertumbuhan ekonomi agar dapat mengurangi ketimpangan antar wilayah menggunakan alat analisis Klassen Typology, serta menganalisis faktor-faktor yang memengaruhi pertumbuhan ekonomi di daerah-daerah miskin agar dapat mengejar ketertinggalan dengan menggunakan metode data panel. Hasil perhitungan tingkat ketimpangan di Provinsi Jawa Timur termasuk taraf tinggi karena nilainya antara 0.52-0.58. Berdasarkan Klassen Typology terdapat enam kabupaten/kota yang masuk daerah maju dan pertumbuhan cepat, sembilan kabupaten/kota yang masuk dalam daerah berkembang cepat, dua kabupaten/kota masuk daerah maju tapi tertekan, dan 21 kabupaten/kota masuk daerah relatif tertinggal. Berdasarkan analisis regresi data panel mengenai faktorfaktor yang mempengaruhi laju pertumbuhan ekonomi daerah relatif tertinggal, kualitas pendidikan, kualitas kesehatan, jumlah pekerja, tabungan dan anggaran pembangunan signifikan berpengaruh terhadap laju PDRB di daerah relatif tertinggal. Retnosari (2006) juga melakukan penelitian tentang ketimpangan tetapi studi kasusnya Provinsi Jawa Barat yang menganalisa pengaruh ketimpangan distribusi pendapatan yang diukur dengan rasio gini terhadap pertumbuhan ekonomi di Provinsi Jawa Barat pada kurun waktu 1992-2004 serta menganalisa pengaruh variabel lain terhadap pertumbuhan ekonomi di Provinsi Jawa Barat. Hasil penelitian menunjukkan bahwa laju pertumbuhan populasi Jawa Barat berpengaruh negatif yang signifikan, investasi dalam negeri periode sebelumnya berpengaruh positif yang signifikan, investasi luar negeri periode sebelumnya berpengaruh negatif yang tidak signifikan, pengeluaran pemerintah Jawa Barat berpengaruh positif yang signifikan, ketimpangan distribusi pendapatan penduduk Jawa Barat berpengaruh positif yang signifikan, dummy otonomi daerah berpengaruh positif yang signifikan, dan dummy krisis ekonomi berpengaruh negatif yang signifikan. Purnamasyari (2010) melakukan penelitian dengan studi kasus yang sama yaitu Provinsi Jawa Barat. Penelitiannya mengukur tingkat kesenjangan pendapatan serta menganalisa trend kesenjangan yang terjadi antar kabupaten/kota dengan menggunakan Indeks Williamson, kemudian menganalisis konvergensi pendapatan agar dapat diketahui kecenderungan pola pertumbuhan ekonomi kabupaten/kota menggunakan alat analisis data panel dan Klassen Typology , dan mengestimasi faktor-faktor yang berpengaruh terhadap Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) kabupaten/kota menggunakan analisis data panel. Hasil perhitungan yang diperoleh selama periode analisis adalah sebagai berikut: berdasarkan Indeks Ketimpangan Williamson pada periode pengamatan tahun 2001-2008 kesenjangan pendapatan kabupaten/kota di Provinsi Jawa Barat
12
tergolong dalam kesenjangan taraf tinggi dengan nilai indeks ketimpangan antara 0.61 sampai 0.69. Berdasarkan analisis konvergensi mutlak, terjadi kecenderungan konvergensi dimana daerah miskin memiliki pertumbuhan yang lebih cepat dari daerah kaya begitupun berdasarkan analisis konvergensi bersyarat, terjadi kecenderungan konvergensi setelah variabel kesehatan dimasukkan ke dalam analisis, dengan pengaruhnya berbanding lurus terhadap pertumbuhan pendapatan per kapita. Berdasarkan Klassen Typology, selama periode analisis kondisi terbaik terjadi pada tahun 2002 dengan kabupaten/kota yang termasuk daerah maju dan pertumbuhan cepat sebanyak 18.18 persen dari jumlah total kabupaten/kota. Kondisi terburuk terjadi pada tahun 2007 dengan kabupaten/kota yang termasuk daerah kurang berkembang sebanyak 63.64 persen dari jumlah total kabupaten/kota di Jawa Barat. Berdasarkan analisis regresi data panel, jumlah penduduk berpengaruh positif secara signifikan terhadap PDRB, pangsa sektor pertanian terhadap PDRB dan pangsa sektor industri terhadap PDRB berpengaruh negatif secara signifikan terhadap PDRB. Variabel indeks pendidikan dan indeks kesehatan tidak berpengaruh secara signifikan terhadap PDRB. Perbedaan penelitian ini dengan penelitian sebelumnya yaitu: menggunakan metode LQ dan Indeks Williamson tidak hanya untuk mengetahui sektor basis dan mengetahui adanya ketimpangan pendapatan. Penelitian ini menyempurnakan penelitian sebelumnya yaitu mengetahui peran dari sektor basis yang sudah diketahui melalui metode LQ serta menganalisis faktor-faktor yang memengaruhi pertumbuhan sektor basis yang paling berperan dengan menggunakan metode regresi data panel. Berbeda dengan penelitian sebelumnya yang menggunakan metode analisis regresi data panel untuk mengetahui faktor-faktor yang memengaruhi pertumbuhan ekonomi. Penelitian ini menggunakan analisis data panel untuk mengetahui faktor-faktor yang memengaruhi pertumbuhan sektor ekonomi basis yang paling berperan mengurangi ketimpangan pendapatan di Jawa Tengah. Penelitian ini juga menambahkan Indeks Atkinson yang digunakan untuk mengetahui besarnya kesejahteraan yang hilang akibat adanya ketimpangan pendapatan. Kemudian penelitian ini juga menggunakan data yang menyertakan sektor migas. Hal- hal di atas yang membedakan penelitian ini dengan penelitian sebelumnya. Kerangka Pemikiran Kondisi perekonomian Provinsi Jawa Tengah disinyalir masih jauh dari kata sempurna, masih terdapat beberapa masalah yang menyangkut perekonomian di Provinsi Jawa Tengah. Salah satu masalah yang terjadi di Provinsi Jawa Tengah menyangkut pembangunan ekonomi daerah yang belum merata, sehingga menimbulkan ketimpangan pendapatan antarkabupaten/kota di Jawa Tengah. Ketimpangan pendapatan yang ada tampak pada belum meratanya PDRB per kapita antarkabupaten/kota di Provinsi Jawa Tengah. Besarnya ketimpangan pendapatan yang terjadi dengan menggunakan perhitungan Indeks Williamson. Adanya ketimpangan tersebut menyebabkan terdapatnya kesejahteraan sosial yang hilang sehingga dapat dihitung besarnya kesejahteraan yang hilang tersebut.
13
Dalam rangka pelaksanaan pembangunan yang berorientasi pada pertumbuhan dan pemerataan maka penting suatu daerah untuk mengetahui sektor lokal yang potensial atau sektor ekonomi basis pada daerah tersebut yang ditujukan untuk mengurangi adanya ketimpangan pendapatan pada daerah tersebut. Untuk dapat mengetahui sektor-sektor ekonomi yang potensial di Provinsi Jawa Tengah, maka dilakukan analisis dengan menggunakan Location Quotient. Perlu untuk mengetahui peran dari sektor ekonomi basis yang sudah ada untuk mengurangi ketimpangan pendapatan dengan cara mengitung ketimpangan pendapatan dengan menggunakan Indeks Williamson tanpa memasukkan nilai PDRB masing-masing sektor ekonomi basis dalam perhitungan tersebut. Nilai Indeks Williamson yang diperoleh akan dibandingkan dengan besarnya nilai Indeks Williamson yang memasukkan nilai PDRB sektor ekonomi basis. Sektor ekonomi basis yang berperan dalam mengurangi ketimpangan pendapatan dapat dilihat pada indeks ketimpangan yang tidak memasukkan PDRB sektor ekonomi basis menunjukkan nilai yang lebih besar dari indeks ketimpangan dengan memasukkan PDRB sektor basis. Dari sektor-sektor ekonomi basis yang sudah didapat melalui Location Qoetient dan sudah dianalisis peranan dari sektorsektor ekonomi basis tersebut, sehingga akan terlihat satu sektor basis yang mempunyai peranan paling besar dalam mengurangi ketimpangan pendapatan. Sektor ekonomi basis yang mempunyai peranan paling besar tersebut akan di analisis faktor-faktor apa saja yang mempengaruhi pertumbuhan sektor tersebut dengan menggunakan regresi data panel. Diharapkan agar sektor tersebut semakin tumbuh dan terus berperan dalam mengurangi ketimpangan pendapatan. Diagram alir kerangka pemikiran dari penelitian ini dapat dilihat pada Gambar 2. Kondisi Perekonomian Jawa Tengah
Indeks Williamson
Analisis Ketimpangan Pendapatan
Indeks Atkinson
Analisis Social Welfare Loss
Keterangan :
Location Quotient
Peran Sektor Ekonomi Basis terhadap Ketimpangan
IW tanpa dan dengan basis
Analisis Faktor-faktor yang Memengaruhi Pertumbuhan Sektor Ekonomi Basis
Regresi Data Panel
Alur Penelitian Metode Analisis Gambar 2 Diagram alir kerangka pemikiran
14
Hipotesis Penelitian Hipotesis yang digunakan merupakan dugaan tanda koefisien variabelvariabel bebas terhadap variabel terikatnya. Dalam analisis faktor-faktor yang memengaruhi pertumbuhan ekonomi sektor pertanian, hipotesis yang digunakan adalah: 1. Luas panen tanaman bahan makanan berpengaruh positif terhadap pertumbuhan ekonomi sektor pertanian. 2. Luas lahan teririgasi berpengaruh positif terhadap pertumbuhan ekonomi sektor pertanian. 3. Jumlah penduduk berpengaruh positif terhadap pertumbuhan ekonomi sektor pertanian. 4. Jumlah tenaga kerja sektor pertanian berpengaruh positif terhadap pertumbuhan ekonomi sektor pertanian.
METODE PENELITIAN
Jenis dan Sumber Data Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data sekunder periode tahun 2005-2012 yang mencakup wilayah kabupaten dan kota di Provinsi Jawa Tengah. Kabupaten dan kota yang dianalisis berjumlah 35, terdiri dari 29 kabupaten dan enam kota. Data yang diperlukan meliputi: (1) Jumlah penduduk per kabupaten/kota di Provinsi Jawa Tengah, (2) PDB per sektor di Indonesia, (3) PDRB per sektor di Provinsi Jawa Tengah, (4) PDRB per sektor masing-masing kabupaten/kota di Provinsi Jawa Tengah. Data lain yang digunakan adalah (5) jumlah tenaga kerja sektor pertanian tahun 2008-2012, (6) luas panen tanaman bahan makanan tahun 2008-2012, (7) luas lahan teririgasi tahun 2008-2012, (8) PDRB sektor pertanian masing-masing kabupaten/kota di Provinsi Jawa Tengah tahun 2008-2012. Sumber data tersebut diperoleh dari: BPS Pusat, BPS Provinsi Jawa Tengah, Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi, jurnal, buku, dan literatur lainnya yang mendukung. Metode Analisis Data Analisis Ketimpangan Pendapatan Ketimpangan antarkabupaten/kota di Provinsi Jawa Tengah dapat diketahui menggunakan Indeks Williamson dengan rumusan sebagai berikut: ∑
.
15
Dimana:
IW Yi fi n
= Indeks Williamson = PDRB per kapita di kabupaten i = PDRB per kapita rata-rata di Provinsi Jawa Tengah = Jumlah penduduk di kabupaten i = Jumlah penduduk di Provinsi Jawa Tengah
Apabila Indeks Williamson semakin mendekati nol maka menunjukkan ketimpangan pendapatan antarkabupaten/kota di Provinsi Jawa Tengah yang semakin kecil, sebaliknya apabila angka Indeks Williamson menunjukkan semakin jauh dari nol maka menunjukkan ketimpangan pendapatan antarkabupaten/kota di Provinsi Jawa Tengah yang semakin melebar. Terdapat kriteria yang digunakan untuk menentukan apakah ketimpangan berada pada taraf rendah, sedang, atau tinggi. Menurut Oshima dalam Soetopo 2009, kriteria tersebut sebagai berikut: a. Ketimpangan taraf rendah apabila indeks ketimpangan kurang dari 0.35. b. Ketimpangan taraf sedang apabila indeks ketimpangan antara 0.35-0.5. c. Ketimpangan taraf tinggi apabila indeks ketimpangan lebih dari 0.5. Analisis Dampak Social Welfare Loss Anthony Barnes Atkinson adalah ekonom Inggris yang mengembangkan ukuran ketimpangan pendapatan yaitu Indeks Atkinson. Ukuran ini mampu menangkap perubahan atau pergerakan pada segmen-segmen yang berbeda dari distribusi pendapatan. Indeks Atkinson menjadi lebih sensitif untuk berubah ketika mencapai nilai mendekati satu. Sebaliknya, ketika mendekati nol Indeks Atkinson menunjukkan bahwa lebih sensitif ke perubahan batas atas distribusi pendapatan. Penghitungan indeks Atkinson dimulai dengan konsep EDE (Equally Distributed Equivalent). EDE adalah level pendapatan dimana jika pendapatan tersebut dihasilkan oleh setiap individu dalam distribusi pendapatan, maka semua individu tersebut dimungkinkan untuk mencapai level kesejahteraan yang sama. Indeks Atkinson menggunakan parameter ketimpangan yang dilambangkan dengan ε. Indeks Atkinson dihitung dengan menggunakan parameter ketimpangan ε yang bervariasi dengan tujuan untuk mendapatkan gambaran kebijakan mana yang paling tepat untuk meminimalisir dampak ketimpangan regional terhadap kesejahteraan masyarakat. Jika pendapatan masyarakat dianalogikan dengan PDRB per kapita kabupaten/kota, berarti penggunaan ε=0 memiliki arti meningkatkan jumlah PDRB per kapita kabupaten/kota terkecil memiliki dampak kesejahteraan sosial yang sama sebagaimana meningkatkan jumlah PDRB per kapita kabupaten/kota terbesar. Untuk ε>0 berarti meningkatkan jumlah PDRB per kapita kabupaten/kota terkecil secara sosial lebih baik dipilih daripada meningkatkan jumlah PDRB per kapita kabupaten/kota terbesar. Parameter kesenjangan ε yang lebih besar menyebabkan peningkatan proporsi yang lebih besar bagi peningkatan PDRB per kapita dari rata-rata PDRB per kapita seluruh kabupaten/kota. Nilai Indeks Atkinson berkisar antara nol sampai dengan satu, dimana satu
16
mengindikasikan kesenjangan yang sangat tinggi dan social welfare loss sebesar 100 persen. Perhitungan Indeks Atkinson adalah sebagai berikut:
1
∑
,
,
1
Dimana: A(ε) = Indeks Atkinson Yi = PDRB per kapita kabupaten/kota Yede = Level pendapatan EDE ε = Parameter ketimpangan n = Jumlah kabupaten/kota = Rata-rata PDRB per kapita Provinsi Jawa Tengah Analisis Location Quotient (LQ) Metode Location Quotient merupakan metode yang digunakan untuk melihat apakah suatu sektor perekonomian merupakan sektor ekonomi basis atau ekonomi nonbasis, dengan cara menghitung perbandingan antara pendapatan di sektor i pada daerah bawah terhadap pendapatan total semua sektor di daerah bawah dengan pendapatan di sektor i pada daerah atas terhadap pendapatan total semua sektor di daerah atas. Secara matematis nilai LQ dapat dirumuskan sebagai berikut:
/ /
Dimana: Sib = pendapatan (tenagakerja) sektor i pada daerah bawah = pendapatan (tenagakerja) total semua sektor daerah bawah Sb Sia = pendapatan (tenagakerja) sektor i pada daerah atas = pendapatan (tenagakerja) total semua sektor daerah atas Sa Dalam penelitian ini yang menjadi daerah bawah adalah kabupaten/kota sedangkan yang menjadi daerah atas adalah Provinsi Jawa Tengah. Jika perhitungan sektor i menghasilkan nilai LQ > 1, maka sektor i merupakan sektor ekonomi basis. Sebaliknya, jika perhitungan sektor i menghasilkan nilai LQ < 1, maka sektor i merupakan sektor ekonomi nonbasis.
17
Analisis Peranan Sektor Ekonomi Basis Terhadap Ketimpangan Pendapatan Hendra (2004) menyatakan bahwa cara yang harus dilakukan untuk melihat peranan sektor basis terhadap ketimpangan pendapatan antar daerah yaitu dengan menghitung ketimpangan pendapatan dengan Indeks Williamson tanpa memasukkan nilai PDRB masing-masing sektor basis dalam perhitungan tersebut. Kemudian nilai Indeks Williamson yang diperoleh akan dibandingkan dengan besarnya nilai Indeks Williamson dengan memasukkan nilai PDRB sektor basis. Apabila setelah sektor basis dikeluarkan dari perhitungan dan tingkat ketimpangan yang diperoleh lebih besar daripada nilai indeks ketimpangan yang memasukkan nilai PDRB sektor basis, maka artinya sektor basis berperan mengurangi ketimpangan pendapatan antar daerah. Besarnya pengurangan ketimpangan dihitung dari selisih kedua nilai dalam satuan persen. Analisis Faktor-faktor yang Memengaruhi Pertumbuhan Sektor Basis Analisis Location Quotient yang dilakukan akan dapat mengetahui sektor basis di Provinsi Jawa Tengah kemudian sektor-sektor basis tersebut akan diuji peranannya dengan menggunakan Indeks Williamson. Di antara sektor-sektor basis tersebut yang mempunyai peran paling besar dalam mengurangi ketimpangan pendapatan akan di analisis faktor-faktor yang memengaruhi pertumbuhan sektor tersebut. Hal ini dilakukan agar sektor tersebut dapat lebih tumbuh dan lebih berperan setelah mengetahui faktor-faktor yang mendukung. Untuk mengetahui faktor-faktor apa sajakah yang berpengaruh nyata terhadap pertumbuhan ekonomi sektor pertanian di Provinsi Jawa Tengah dapat menggunakan analisis regresi data panel. Data panel merupakan kombinasi data cross section dengan time series. Data cross section adalah data yang dikumpulkan dalam satu waktu terhadap banyak individu, sedangkan data time series adalah data yang dikumpulkan dari waktu ke waktu terhadap suatu individu (Gujarati 2006). Menurut Gujarati (2006), keunggulan penggunaan data panel memberikan banyak keuntungan diantaranya sebagai berikut : 1. Data panel mampu menyediakan data yang lebih banyak, sehingga dapat memberikan informasi yang lebih lengkap. Sehingga diperoleh degree of freedom (df) yang lebih besar sehingga estimasi yang dihasilkan lebih baik. 2. Dengan menggabungkan informasi dari data time series dan cross section dapat mengatasi masalah yang timbul karena ada masalah penghilangan variabel (omitted variable). 3. Data panel mampu mengurangi kolinearitas antar variabel. 4. Data panel lebih baik dalam mendeteksi dan mengukur efek yang secara sederhana tidak mampu dilakukan oleh data time series murni dan cross section murni. 5. Dapat menguji dan membangun model perilaku yang lebih kompleks. Sebagai contoh, fenomena seperti skala ekonomi dan perubahan teknologi. 6. Data panel dapat meminimalkan bias yang dihasilkan oleh agregat individu, karena data yang diobservasi lebih banyak.
18
Dalam pendekatan Data panel terdapat 3 pendekatan metode, yaitu metode Pooled Least Squared (PLS), Fixed Effect Model (FEM), dan Random Effect Model (REM). 1.
2.
3.
Pooled Least Squared (PLS) Pendekatan yang paling sederhana dalam pengolahan data panel adalah dengan menggunakan metode kuadrat terkecil biasa atau sering disebut Pooled Least Squared (PLS) dimana menggabungkan (pooled) seluruh data time series dan cross section dan kemudian mengestimasi model dengan menggunakan metode Ordinary Least Square (OLS). N adalah jumlah unit cross section (individu) dan T adalah jumlah periode waktunya. Estimasi pada pendekatan ini diasumsikan bahwa setiap unit individu memiliki intersep dan slope yang sama (tidak ada perbedaan pada dimensi kerat waktu), sehingga pada regresi panel ini data yang dihasilkan akan berlaku untuk setiap individu. Fixed Effect Model (FEM) Metode data panel dengan Fixed Effect Model (FEM) mengasumsikan bahwa perbedaan mendasar antar individu dapat diakomodasikan melalui perbedaan intersepnya, namun intersep antar waktu sama (time invariant). Fixed effect maksudnya bahwa koefisien regresi (slope) tetap antar individu dan antar waktu. Intersep setiap individu merupakan parameter yang tidak diketahui dan akan diestimasi. Menurut Juanda (2009), dalam membedakan intersep dapat digunakan peubah dummy, sehingga metode ini juga dikenal dengan model Least Square Dummy Variable (LSDV). Random Effect Model Random Effect Model (REM) digunakan untuk mengatasi kelemahan model efek tetap yang menggunakan dummy variabel, sehingga model mengalami ketidakpastian. Penggunaan dummy variabel akan mengurangi derajat bebas (degree of freedom) yang pada akhirnya akan mengurangi efisiensi dari parameter yang diestimasi. REM menggunakan residual yang diduga memiliki hubungan antar waktu dan antar individu. Sehingga REM mengasumsikan bahwa setiap individu memiliki perbedaan intersep yang merupakan variabel random.
Pengujian Model Penelitian Pemilihan model yang digunakan dalam sebuah penelitian perlu dilakukan berdasarkan pertimbangan statistik. Hal ini ditujukan untuk memperoleh dugaan yang efisien. Keputusan untuk memilih jenis model yang digunakan dalam analisis panel didasarkan pada dua uji, yakni uji Chow dan uji Hausman. Uji Chow digunakan untuk memutuskan apakah menggunakan Pooled Least Squared (PLS) atau Fixed Effect Model (FEM). Keputusan untuk menggunakan Fixed Effect Model (FEM) atau Random Effect Model ditentukan oleh Uji Hausman.
19
1.
Uji Chow Uji Chow (uji F-statistik) adalah pengujian untuk memilih apakah model yang digunakan Pooled Least Square atau Fixed Effect model. Sebagaimana yang diketahui bahwa terkadang asumsi bahwa setiap unit cross section memiliki perilaku yang sama cenderung tidak realistis mengingat dimungkinkan setiap unit cross section memiliki perilaku yang berbeda. Dalam pengujian ini dilakukan dengan hipotesa sebagai berikut: H0 : α1 = α2 = …= αi (intersep sama) maka model Pooled Least Square H1 : sekurang-kurangnya ada 1 intersep yang berbeda maka model Fixed Effect Dasar penolakan terhadap Hipotesa Nol (H0) adalah dengan menggunakan Fstatistik seperti yang dirumuskan oleh Chow: 1
Dimana: ESS1 ESS2 N T K
2.
= Residual Sum Square hasil pendugaan model pooled least square = Residual Sum Square hasil pendugaan model fixed effect = Jumlah data cross section = Jumlah data time series = Jumlah variabel penjelas
Statistic Chow Test mengikuti distribusi F-statistik dengan derajat bebas (N – 1, NT – N – K) jika nilai Chow Statistics (F-stat) hasil pengujian lebih besar dari F-tabel, maka cukup bukti untuk melakukan penerimaan terhadap Hipotesa Nol sehingga model yang digunakan adalah model fixed effect, dan begitu juga sebaliknya. Pengujian ini disebut sebagai Chow Test karena kemiripannya dengan Chow Test yang digunakan untuk menguji stabilitas parameter (stability test). Uji Hausman Uji Hausman adalah pengujian statistik sebagai dasar pertimbangan kita dalam memilih apakah menggunakan model fixed effect atau model random effect. Seperti yang kita ketahui bahwa penggunaan model fixed effect mengandung suatu unsur trade off yaitu hilangnya derajat bebas dengan memasukkan variabel dummy. Namun, penggunaan metode random effect juga harus memperhatikan ketiadaan pelanggaran asumsi dari setiap komponen galat. Dalam pengujian ini dirumuskan hipotesis yaitu : H0 : E (τit xit) = 0 atau REM adalah model yang tepat H1 : E (τit xit) ≠ 0 atau FEM adalah model yang tepat Sebagai dasar penolakan H0 maka digunakan statistik Hausman dan membandingkannya dengan Chi Square. Statistik Hausman dirumuskan dengan: ′ ( ~χ2 (k) Dimana: M = matriks kovarians untuk parameter β k = degrees of freedom
20
Jika nilai H hasil pengujian lebih besar dari χ2 tabel, cukup bukti untuk melakukan penolakan terhadap H0 sehingga model yang digunakan adalah model fixed effect, begitu juga sebaliknya. Uji Pelanggaran Asumsi Uji pelanggaran asumsi dilakukan dalam rangka menghasilkan model yang efisien, visible dan konsisten. Uji pelanggaran asumsi dilakukan dengan mendeteksi gangguan waktu (time-related disturbance), gangguan antara individu atau antar sektor ekonomi, dan gangguan akibat keduanya. 1. Multikolinearitas Multikolinearitas terjadi jika pada suatu model regresi tak satu pun variabel bebas mempunyai koefisien regresi dari OLS (Ordinary Least Square) yang signifikan secara statistik, walaupun nilai R2 tinggi. Indikasi multikolinearitas tercermin dari nilai t dan F-statistik hasil regresi. Jika banyak koefisien parameter dari t statistik diduga tidak signifikan sementara F hitungnya signifikan, maka patut diduga ada multikolinearitas. Cara mengatasi masalah multikolinearitas antara lain dilakukan dengan menambah jumlah data atau mengurangi jumlah data observasi, menambah atau mengurangi jumlah variabel independennya yang memiliki hubungan linear dengan variabel lainnya, mengkombinasikan data cross section dan time series, mengganti data, dan mentransformasi variabel. 2. Autokorelasi Salah satu asumsi dari model regresi linear adalah bahwa tidak ada autokorelasi atau korelasi serial antara sisaan (εt). Dengan pengertian lain, sisaan menyebar bebas atau Cov (εi,εj) = E(εi,εj) = 0 untuk semua i=j, dan dikenal juga sebagai bebas serial (serial independence). Jika antar sisaan tidak bebas atau E(εi,εj) = 0 untuk i=j maka dapat dikatakan terjadi autokorelasi. Adanya autokorelasi menyebabkan model tidak lagi efisien, standar error bias ke bawah, meskipun model tetap konsisten. (Juanda 2009). Untuk mendeteksi adanya korelasi serial adalah dengan melihat nilai DurbinWatson (DW) dalam EViews. Untuk mengetahui ada atau tidaknya autokorelasi, maka dilakukan dengan membandingkan DW-statistik dengan DW-tabel. Berikut adalah selang statistik Durbin Watson beserta keputusannya: 4 – dL < DW < 4 maka terdapat autokorelasi negatif 4 – dU < DW < 4 – dL maka hasil tidak dapat ditentukan DU < DW < 4-DU maka tidak ada autokorelasi DL < DW < dU maka hasil tidak dapat ditentukan 0 < DW < dL maka terdapat autokorelasi positif 3. Heteroskedastisitas Dalam regresi linear berganda, salah satu asumsi yang harus dipenuhi adalah dimana ragam sisaan (εt) sama atau homogen, atau dengan kata lain Var(εt) = E(εt2) = σ2 untuk tiap pengamatan ke-i dari peubah-peubah bebas dalam model regresi. Jika terdapatnya ragam residual yang tidak konstan pada tiap pengamatan dari peubah-peubah bebas dalam model regresi, dinamakan heteroskedastisitas. Masalah heteroskedastisitas sering terjadi dalam data
21
cross section, namun data juga terjadi pada data time series. Terdapatnya heteroskedastisitas menyebabkan model menjadi tidak efisien, meskipun penduga tidak bias dan konsisten. Adanya heteroskedastisitas menyebabkan dugaan parameter koefisien regresi dengan metode Ordinary Least Squared (OLS) tetap tidak bias, masih konsisten tapi standar errornya bias ke bawah dan penduga OLS tidak lagi efisien (Juanda 2009). Heteroskedastisitas dapat dideteksi dengan beberapa metode pengujian, salah satu diantaranya yaitu uji white, yaitu dengan membandingkan jumlah observasi yang dikalikan R2-nya (obs*R2) dengan χ2 (Chi-Squared)-tabel, bila nilai obs*R2 lebih besar dari χ2 maka terdapat heterokedesitas pada model. Pengolahan data panel dengan menggunakan EViews 6, heteroskedastisitas dapat dideteksi dengan metode General Least Square (GLS). Dengan membandingkan nilai Sum Square Resid pada Weighted Statistics dengan Sum Squared Resid pada Unweighted statistics, maka model tidak melanggar asumsi heteroskedastisitas. Model Perumusan Model untuk Analisis Data Penelitian menggunakan regresi data panel dan diasumsikan dipengaruhi oleh variabel-variabel yang telah ditetapkan. Secara sistematis, model regresi faktor-faktor yang berpengaruh terhadap pertumbuhan ekonomi sektor pertanian di Provinsi Jawa Tengah yaitu: PTNit = α0 + β1LPit + β2LIit + β3JPit + β4JTKit +μit Dimana: PTN = PDRB sektor pertanian di Provinsi Jawa Tengah LP = Luas panen sub sektor tanaman bahan makanan di Provinsi Jawa Tengah LI = Luas lahan teririgasi di Provinsi Jawa Tengah JP = Jumlah penduduk di Provinsi Jawa Tengah JTK = Jumlah tenaga kerja sektor pertanian di Provinsi Jawa Tengah μt = komponen error
GAMBARAN UMUM Keadaan Geografis Provinsi Jawa Tengah Provinsi Jawa Tengah sebagai salah satu provinsi di Pulau Jawa yang diapit oleh dua provinsi besar yaitu Provinsi Jawa Timur dan Provinsi Jawa Barat. Jawa Tengah terletak antara 5°40´ dan 8°30´ Lintang Selatan dan antara 108°30´ dan 111°30´ Bujur Timur (termasuk Pulau Karimunjawa). Sebelah Utara : Laut Jawa Sebelah Timur : Provinsi Jawa Timur Sebelah Barat : Provinsi Jawa Barat Sebelah Selatan : Samudera Hindia dan Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta
22
Wilayah Administrasi dan Penduduk Provinsi Jawa Tengah Tabel 5 Luas wilayah, jumlah penduduk dan kepadatan penduduk kabupaten dan kota di Provinsi Jawa Tengah Luas Daerah (km2)
Jumlah Penduduk
Kab. Cilacap
2138.51
1679864
786
Kab. Banyumas Kab. Purbalingga Kab. Banjarnegara Kab. Kebumen Kab. Purworejo
1327.59 777.65 1069.74 1282.74 1034.82
1603037 877489 890962 1181678 708483
1207 1128 833 921 685
Kab. Wonosobo Kab. Magelang Kab. Boyolali Kab. Klaten Kab. Sukoharjo
984.68 1085.73 1015.07 655.56 466.66
771447 1219371 953317 1153047 848718
783 1123 939 1759 1819
Kab. Wonogiri Kab. Karanganyar Kab. Sragen Kab. Grobogan Kab. Blora
1822.37 772.2 946.49 1975.85 1794.4
946373 838762 875283 1339127 847125
519 1086 925 678 472
Kab. Rembang Kab. Pati Kab. Kudus Kab. Jepara Kab. Demak
1014.1 1491.2 425.17 1004.16 897.43
608548 1219993 807005 1144916 1091379
600 818 1898 1140 1216
Kab. Semarang Kab. Temanggung Kab. Kendal Kab. Batang
946.86 870.23 1002.27 788.95
968383 730720 926325 728578
1023 840 924 923
Kab. Pekalongan Kab. Pemalang Kab. Tegal Kab. Brebes Kota Magelang
836.13 1011.9 879.7 1657.73 18.12
861366 1285024 1421001 1770480 120447
1030 1270 1615 1068 6647
Kota Surakarta Kota Salatiga Kota Semarang Kota Pekalongan Kota Tegal
44.03 52.96 373.67 44.96 34.49
509576 177480 1629924 290347 244632
11573 3351 4362 6458 7093
Total Sumber: BPS, 2013.
32544.12
33270207
1022
Kabupaten/Kota
Kepadatan Penduduk per km2
23
Secara administratif Provinsi Jawa Tengah terbagi menjadi 29 kabupaten dan enam kota dengan Kota Semarang sebagai ibukota provinsi. Berdasarkan Tabel 5, luas wilayah Jawa Tengah sebesar 3.25 juta hektar atau sekitar 25.04 persen dari luas Pulau Jawa (1.70 persen dari luas Indonesia). Luas yang ada terdiri dari 922 ribu hektar (30.47 persen) lahan sawah dan 2.26 juta hektar (69.53 persen) bukan lahan sawah. Jumlah penduduk Provinsi Jawa Tengah tahun 2012 yaitu sebesar 33.270.207 jiwa. Kabupaten Brebes mempunyai jumlah penduduk yang paling besar yaitu 1.770.480 jiwa, diikuti oleh Kabupaten Cilacap 1.679.864 jiwa dan Kota Semarang 1.629.924 jiwa. Kabupaten/kota yang mempunyai jumlah penduduk paling sedikit adalah Kota Magelang 120.447 jiwa. Rata-rata kepadatan jumlah penduduk Jawa Tengah adalah 1022 jiwa per km2. Kepadatan penduduk di kota pada umumnya lebih tinggi jika dibandingkan dengan kepadatan penduduk di kabupaten. Kota Surakarta memiliki kepadatan penduduk tertinggi yaitu 11.573 jiwa/km2, sedangkan kepadatan penduduk paling rendah adalah Kabupaten Blora 472 jiwa/km2. Provinsi Jawa Tengah memiliki sarana penunjang untuk menunjang kegiatan perekonomian dan investasi, di antaranya untuk transportasi udara tersedia Bandara Achmad Yani di Kota Semarang, Bandara Tunggul Wulung di Kabupaten Cilacap, Bandara Dewadaru di Kabupaten Jepara dan Bandara Adi Sumarmo di Kota Solo yang menjadi bandara utama di provinsi ini. Bandara Adi Sumarmo melayani penerbangan domestik dan internasional. Transportasi laut di provinsi ini tersedia Pelabuhan Pekalongan di Kota Pekalongan dan Pelabuhan Tanjung Emas yang terletak di Kota Semarang, yang melayani pelayaran nasional dan internasional. Selain itu di provinsi ini juga tersedia kawasan industri yang dapat meningkatkan perekonomian, seperti Kawasan Industri Terboyo, Kawasan Industri Tugu Wijayakusuma dan Tanjung Emas Export Processing Zone yang berada di Kota Semarang. Kondisi Perekonomian PDRB (Produk Domestik Regional Bruto) merupakan salah satu indikator untuk melihat kondisi perekonomian suatu daerah. Dilihat dari besarnya PDRB di Provinsi Jawa Tengah, sektor perekonomian yang menyumbang PDRB paling besar adalah sektor industri pengolahan, sektor perdagangan, hotel, dan restoran, serta sektor pertanian. Sektor industri pengolahan merupakan sektor penggerak perekonomian Jawa Tengah, pembangunan sektor ini harus menjadi prioritas pembangunan daerah. Dikarenakan sektor ini merupakan sektor yang memberikan kontribusi yang terbesar dalam pembentukkan PDRB Jawa Tengah dari tahun 2008-2012. Pada tahun 2008 peranan sektor ini sebesar 31.68 persen dan tahun 2009 peranan sektor ini turun menjadi 30.82 persen. Pada tahun 2010 dan 2011 peranan sektor industri pengolahan kembali meningkat menjadi 32.83 persen dan 33.06 persen. Selanjutnya pada tahun 2012 nilainya kembali menurun menjadi 32.73 persen. Pada tahun 2012, sektor perdagangan, hotel, dan restoran menyumbang PDRB terbesar kedua yaitu sebesar 22.16 persen. Sektor pertanian menyumbang
24
PDRB terbesar ketiga sebesar 17.41 persen. Sektor listrik, gas, dan air bersih menyumbang PDRB paling kecil hanya 1.12 persen. Tabel 6 Peranan sektor-sektor perekonomian Provinsi Jawa Tengah Atas Dasar Harga Konstan 2000 tahun 2008-2012 (persen) Lapangan Usaha
2008
2009
2010
2011
2012
Pertanian Pertambangan dan Penggalian Industri Pengolahan Listrik, Gas dan Air Bersih Bangunan Perdagangan, Hotel dan Restoran Pengangkutan dan Komunikasi Keuangan, Persewaan dan Jasa Perusahaan Jasa-jasa Sumber: BPS, 2013 (diolah).
19.96 1.10 31.68 0.84 5.75 21.23 5.16
19.89 1.11 30.82 0.84 5.86 21.50 5.27
18.69 1.12 32.83 0.86 5.89 21.42 5.24
17.87 1.11 33.06 0.85 5.91 21.73 5.37
17.41 1.12 32.73 0.86 5.96 22.16 5.45
3.71 10.57
3.81 10.89
3.76 10.18
3.79 10.32
3.89 10.42
HASIL DAN PEMBAHASAN
Analisis Ketimpangan Pendapatan AntarKabupaten/Kota di Provinsi Jawa Tengah PDRB per kapita di sejumlah kabupaten/kota seperti Kabupaten Cilacap, Kabupaten Kudus, dan Kota Semarang yang sangat tinggi menyebabkan adanya ketimpangan pendapatan di Provinsi Jawa Tengah. Tingginya PDRB per kapita di sejumlah kabupaten/kota tersebut disebabkan oleh keberadaan beberapa industri yang menyumbang PDRB pada kabupaten/kota tersebut. Berdasarkan data PDRB di Kabupaten Cilacap, Kabupaten Kudus, dan Kota Semarang terlihat bahwa PDRB di ketiga kabupaten/kota tersebut didominasi oleh sektor industri pengolahan. Di Kabupaten Cilacap pada tahun 2006 sumbangan industri pengolahan terhadap PDRB Kabupaten Cilacap sebesar sebelas miliar rupiah dari 20 miliar rupiah total PDRB Kabupaten Cilacap. Nilai tersebut terbagi dalam industri migas sekitar 9.9 miliar rupiah dan industri nonmigas sekitar 1.5 miliar rupiah yang terbagi beberapa di antaranya industri makanan, minuman, tembakau, tekstil, barang kayu dan hasil hutan, industri kertas, industri pupuk. Kabupaten Kudus pada tahun 2006 juga sumbangan PDRB kabupaten tersebut didominasi oleh sektor industri pengolahan yaitu sebesar enam miliar rupiah dari total PDRB 10 miliar rupiah. Industri pengolahan di Kota Semarang sebenarnya bukan menjadi penyumbang terbesar di PDRB kota tersebut, namun PDRB di kota tersebut didominasi oleh sektor perdagangan, hotel, dan restoran. Di sisi lain, Kota Semarang memiliki beberapa industri yang cukup berperan di antaranya industri garmen, perusahaan manufaktur tekstil PMA.
25
Besarnya ketimpangan pendapatan antarkabupaten/kota di Provinsi Jawa Tengah dapat dihitung dengan menggunakan Indeks Williamson (IW). Indeks Williamson tersebut dapat dihitung dengan menggunakan data PDRB per kapita dengan migas yang diperoleh dengan cara membagi PDRB Atas Dasar Harga Konstan 2000 dengan jumlah penduduk di kabupaten/kota tersebut setiap tahunnya. Adapun hasil perhitungan Indeks Williamson di Provinsi Jawa Tengah dapat dilihat pada Gambar 3.
Indeks Williamson 0.755 0.75 0.745 0.74 0.735 IW 0.73 0.725 0.72 0.715 0.71 2004
2005
2006
2007
2008 2009 2010 2011 Tahun Gambar 3 Trend ketimpangan pendapatan antarkabupaten/kota di Provinsi Jawa Tengah tahun 2005-2012 Sumber: BPS, 2013 (diolah).
2012
2013
Trend ketimpangan pendapatan antarkabupaten/kota di Provinsi Jawa Tengah digambarkan dalam sebuah grafik dalam Gambar 3 yang diperoleh dari perhitungan nilai Indeks Williamson. Grafik dalam Gambar 3 menunjukkan nilai ketimpangan pendapatan yang berfluktuasi dari tahun ke tahun yang mencerminkan adanya perbedaan tingkat ketimpangan pendapatan di Provinsi Jawa Tengah. Nilai Indeks Williamson yang semakin mendekati nol menggambarkan tingkat ketimpangan yang rendah atau pemerataan yang baik. Sementara, apabila nilai Indeks Williamson semakin mendekati satu menggambarkan tingkat ketimpangan yang tinggi. Serta nilai Indeks Williamson dikategorikan ke dalam ketimpangan taraf tinggi apabila nilainya melebihi 0.5. Secara keseluruhan selama tahun analisis yaitu dari tahun 2005 sampai tahun 2012, tingkat ketimpangan paling tinggi terjadi pada tahun 2005 dengan Indeks Williamson sebesar 0.752. Sementara tingkat ketimpangan paling rendah terjadi pada tahun 2012 dengan nilai Indeks Williamson sebesar 0.713. Seperti yang terlihat pada gambar di atas, trend ketimpangan pendapatan tersebut cenderung menurun meskipun terjadi peningkatan pada tahun 2008. Hasil akhir analisis trend ketimpangan menunjukkan nilai sebesar 0.713 pada akhir tahun analisis 2012. Nilai tersebut menunjukkan penurunan yang cukup konsisten apabila dibandingkan dengan tahun awal analisis yaitu 0.752 pada tahun 2005. Sehingga dapat disimpulkan bahwa ketimpangan pendapatan antarkabupaten/kota di Provinsi Jawa Tengah termasuk dalam karakteristik
26
ketimpangan dengan taraf tinggi karena nilai Indeks Williamson pada tahun awal hingga akhir analisis menunjukkan nilai yang lebih besar dari 0.5. Meskipun tergolong dalam taraf ketimpangan yang tinggi, Provinsi Jawa Tengah telah berhasil mengurangi ketimpangan yang terjadi di kabupaten/kota di provinsi tersebut. Analisis Dampak Social Welfare Loss Indeks Atkinson adalah alat analisis selain Indeks Williamson yang berhubungan dengan ketimpangan pendapatan. Perhitungan ini menggunakan indikator ekonomi yaitu indikator PDRB per kapita kabupaten/kota dan rata-rata PDRB per kapita Provinsi Jawa Tengah yang bertujuan untuk mengetahui dampak social welfare loss atau dampak kesejahteraan sosial yang hilang akibat adanya ketimpangan pendapatan setiap individu dalam wilayah kabupaten/kota. Hasil perhitungan indeks Atkinson dapat ditunjukkan oleh Tabel 7 yang menyertakan parameter kesenjangan ε yang bernilai 0.5 sampai dengan 3. Dapat dilihat bahwa persentase ketimpangan cenderung menurun dari tahun ke tahun, meskipun masih mengalami peningkatan pada tahun 2010 dan 2011. Pada tahun 2005 hingga 2008 untuk A(0.5) terjadi penurunan persentase ketimpangan dari 0 persen menurun sebesar 0.24 persen untuk tahun 2008, kemudian mengalami peningkatan pada tahun 2010 sebesar 1.15 persen setelah itu kembali menurun sebesar 1.09 persen pada 2011. Berdasarkan hal tersebut dapat dikatakan bahwa implikasi kebijakan meningkatkan PDRB per kapita kabupaten/kota terkecil dinilai cukup berhasil dan cukup efektif untuk meminimalisir ketimpangan pendapatan. Besarnya persentase untuk A(2) dan A(3) dapat dilihat pada Tabel 7. Oleh karena itu, transfer pendapatan masyarakat untuk meningkatkan PDRB per kapita yang dilakukan pada kabupaten/kota dengan PDRB per kapita terkecil dinilai efektif karena tingkat ketimpangan yang makin menurun dari tahun ke tahun. Hal ini disebabkan karena ketimpangan di Provinsi Jawa Tengah yang tinggi atau cenderung belum merata, sehingga mekanisme transfer pendapatan dinilai efektif meminimalisir ketimpangan jika dilakukan dengan tepat sasaran. Tabel 7 menggambarkan kecenderungan ketimpangan pendapatan yang berfluktuasi ketika ε bervariasi untuk penggunaan data PDRB per kapita. Pola ketimpangan pendapatan untuk ε=0,5, ε=2, dan ε=3 cenderung berfluktuasi pada periode tahun 2005 hingga tahun 2012. Semakin besar ε menunjukkan social welfare loss yang semakin tinggi. Tahun 2005 dengan ε=0.5 Indeks Atkinson sebesar 0.08420 yang berarti terdapat social welfare loss sebesar 8.42 persen dan tidak termanfaatkan untuk dapat menuju ke level kesejahteraan tertinggi dari PDRB per kapita yang ada. Adapun tahun 2006 hingga tahun 2009 social welfare loss menurun dan kembali meningkat pada tahun 2010 menjadi 7.96 persen pada tahun 2011 dan tahun 2012 kembali menurun pada level 7.86 persen. Tahun 2005 dengan ε=2 Indeks Atkinson sebesar 0.24334 yang berarti terdapat social welfare loss sebesar 24.3 persen dan tidak termanfaatkan untuk dapat menuju ke level kesejahteraan tertinggi dari PDRB per kapita yang ada. Adapun tahun 2006 hingga tahun 2009 social welfare loss menurun mencapai
27
0.23047 pada tahun 2009 dan kembali meningkat pada tahun 2010 dan 2011 kemudian tahun 2012 kembali menurun pada level 23.2 persen. Tahun 2005 dengan ε=3 indeks Atkinson sebesar 0.3 yang berarti terdapat social welfare loss sebesar 30 persen dan tidak termanfaatkan untuk dapat menuju ke level kesejahteraan tertinggi dari PDRB per kapita yang ada. Tahun 2006 hingga tahun 2009 social welfare loss menurun mencapai 0.28636 pada tahun 2009 dan kembali meningkat pada tahun 2010 dan 2011 kemudian tahun 2012 kembali menurun pada level 28.8 persen. Tabel 7 Indeks Atkinson dan persentase pertumbuhan Provinsi Jawa Tengah tahun 2005-2012 Tahun
Indeks Atkinson dan Persentase Pertumbuhan A(0,5)
%
A(2)
%
A(3)
%
2005
0.08420
0.00
0.24334
0.00
0.30057
0.00
2006
0.08155
-3.24
0.23719
-2.59
0.29378
-2,25
2007
0.08033
-1.49
0.23456
-1.10
0.29103
-0.93
2008
0.08013
-0.24
0.23362
-0.4
0.28968
-0.46
2009
0.07869
-1.82
0.23047
-1.34
0.28636
-1.14
2010
0.0796
1.15
0.23347
1.3
0.28918
0.98
2011
0.07952
-0.10
0.23382
0.14
0.28982
0.22
2012 0.07865 -1.09 Sumber: BPS, 2013 (diolah).
0.23214
-0.71
0.28810
-0.59
Analisis Sektor Ekonomi Basis di Provinsi Jawa Tengah Penentuan sektor ekonomi basis dan sektor ekonomi nonbasis pada suatu wilayah dengan menggunakan analisis Location Quotient yang diperoleh dengan membandingkan sektor perekonomian yang berupa pendapatan pada tingkat bawah dengan pendapatan pada tingkat atas. Bagi pemerintah dan pemerintah daerah, analisis tersebut sangat penting karena dapat mengetahui sektor ekonomi basis yang dapat dikembangkan dan dapat menjadi prioritas dalam pembangunan suatu wilayah ke depannya. Sektor ekonomi basis di Provinsi Jawa Tengah yang dihitung dengan analisis Location Quotient dengan indikator PDRB Atas Dasar Harga Konstan 2000 di dapat lima sektor ekonomi basis Provinsi Jawa Tengah pada tahun 20052012 yaitu: sektor pertanian, sektor industri pengolahan, sektor listrik, gas, dan air bersih, sektor perdagangan, hotel, dan restoran, serta sektor jasa-jasa. Ke lima sektor ekonomi tersebut dikatakan sebagai sektor basis karena masing-masing sektor ekonomi memiliki nilai LQ lebih besar dari satu. Nilai LQ yang lebih besar dari satu dapat diartikan bahwa sektor-sektor tersebut memiliki peranan yang besar dalam kegiatan ekspor dan memiliki kontribusi yang besar dalam pembangunan perekonomian di Provinsi Jawa Tengah. Dilihat dari sumbangan terhadap PDRB maka sektor industri pengolahan menyumbang PDRB terbesar di Provinsi Jawa Tengah. Hal tersebut dikarenakan tidak sedikitnya keberadaan industri di Jawa Tengah. Kabupaten Cilacap memiliki beberapa industri besar diantaranya: PLTU Karangkandri, pabrik semen Holcim
28
Indonesia Pabrik Cilacap, pabrik Gula Rafinasi, pabrik Tepung Panganmas Inti Persada, Pertamina Refinery Unit IV, Pengolahan Ikan PT Juifa Internasional. Kabupaten Kudus juga memiliki beberapa industri besar antara lain: PT Djarum (industri rokok), industri elektronik, industri kertas dan percetakan. Kota Semarang juga terdapat beberapa industri besar di antaranya: industri garmen, perusahaan manufaktur tekstil PMA, perusahaan pakan ternak, perusahaan PMA Jepang. Tidak sedikitnya jumlah perusahaan besar atau industri besar di Jawa Tengah menjadikan sektor industri pengolahan sebagai salah satu sektor ekonomi basis yang dapat diindikasikan sektor tersebut menjadi sektor andalan ekspor di Provinsi Jawa Tengah. Tabel 8 Nilai LQ sektor-sektor perekonomian di Provinsi Jawa Tengah Atas Dasar Harga Konstan 2000 periode 2005-2012 Tahun
Lapangan Usaha Pertanian
2005
2006
2007
2008
2009
2010
2011
2012
1.442
1.448
1.449
1.460
1.465
1.420
1.398
1.392
Pertambangan dan Penggalian
0.107
0.122
0.129
0.133
0.134
0.138
0.144
0.152
Industri Pengolahan
1.147
1.149
1.167
1.183
1.178
1.272
1.286
1.279
Listrik, Gas dan Air Bersih
1.246
1.257
1.225
1.163
1.073
1.107
1.107
1.123
Bangunan
0.94
0.923
0.918
0.914
0.911
0.909
0.910
0.908
Perdagangan, Hotel dan Restoran
1.252
1.248
1.229
1.215
1.271
1.238
1.225
1.227
Pengangkutan dan Komunikasi
0.782
0.732
0.698
0.648
0.598
0.557
0.549
0.537
Keuangan, Persewaan dan Jasa Perusahaan
0.384
0.389
0.388
0.388
0.397
0.394
0.395
0.403
Jasa-jasa
1.089
1.109
1.120
1.141
1.155
1.081
1.094
1.114
Sumber : BPS Jawa Tengah, 2013 (diolah). Keterangan : dicetak tebal adalah sektor basis
Sektor pertanian menjadi salah satu sektor ekonomi basis di Provinsi Jawa Tengah dari tahun 2005-2012 meskipun nilainya berfluktuatif. Banyaknya kabupaten/kota yang tergolong dalam sektor dominan pertanian mengindikasikan bahwa sektor pertanian secara garis besar termasuk sektor yang diandalkan oleh sebagian besar masyarakat di kabupaten/kota tersebut. Sektor listrik, gas, dan air bersih meskipun memberikan sumbangan terhadap PDRB Provinsi Jawa Tengah paling kecil di antara ke delapan sektor lainnya, namun sektor ini menjadi salah satu sektor ekonomi basis. Hal ini dikarenakan sektor ini menjadi sektor penunjang seluruh kegiatan ekonomi di seluruh sektor perekonomian terutama sektor industri pengolahan. Seluruh masyarakat di Jawa Tengah sudah memanfaatkan energi listrik, air bersih, dan gas dalam kehidupan sehari-hari mereka, sehingga sektor ini terus berkembang ke depannya. Sektor perdagangan, hotel, dan restoran serta sektor jasa-jasa merupakan sektor terakhir yang tergolong sebagai sektor ekonomi basis. Hal ini berarti kedua sektor ini dapat dikembangkan menjadi sektor andalan ekspor di Jawa Tengah. Sektor pertambangan dan penggalian, sektor bangunan, sektor pengangkutan dan komunikasi, serta sektor keuangan, persewaan, dan jasa perusahaan tidak termasuk sektor basis. Hal ini dapat dilihat dari nilai LQ sektor
29
ini lebih kecil daripada satu. Sektor pertambangan dan penggalian belum mampu menjadi sektor ekonomi basis diduga penyebabnya karena sektor ekonomi basis ini hanya dihasilkan dari wilayah tertentu di Jawa Tengah seperti: Kabupaten Cilacap, Kabupaten Kebumen, Kabupaten Temanggung, Kabupaten Purworejo, dan Kabupaten Magelang. Sektor bangunan memiliki nilai LQ yang terus menurun, diduga penyebabnya adalah makin banyaknya penambahan bangunan seperti pertokoan, tempat perbelanjaan di kota-kota besar sehingga peranan kabupaten dan desa semakin menurun. Sektor pengangkutan dan komunikasi belum mampu menjadi sektor ekonomi basis karena diduga sektor ini belum mampu menjadi sektor yang berorientasikan ekspor. Hal tersebut dapat dilihat dari masih buruknya sarana pengangkutan baik darat maupun laut serta masih terdapat beberapa keterbatasan dalam komunikasi dan alat komunikasi di kalangan masyarakat pedesaan yang masih minim pendapatannya. Sektor keuangan, persewaan, dan jasa perusahaan juga belum mampu dijadikan sektor ekonomi basis diduga karena masih banyaknya masyarakat yang belum mempunyai tabungan baik di bank maupun asuransi sehingga sektor ini belum bisa dijadikan andalan di Jawa Tengah. Sektor ekonomi basis di tingkat kabupaten/kota dapat dihitung juga dengan menggunakan analisis yang sama yaitu analisis Location Quotient dengan cara membandingkan indikator perekonomian yaitu PDRB di tingkat bawah yaitu tingkat kabupaten/kota dengan PDRB di tingkat atas yaitu Jawa Tengah. Nilai LQ menunjukkan bahwa sektor ekonomi basis masing-masing kabupaten/kota tidak sama dengan sektor ekonomi basis di Provinsi Jawa Tengah. Hal tersebut dikarenakan masing-masing kabupaten/kota mempunyai potensi daerahnya masing-masing. Sektor ekonomi basis masing-masing kabupaten/kota dapat dilihat pada Tabel 9 di bawah ini:
30
Tabel 9 Sektor ekonomi basis kabupaten/kota di Provinsi Jawa Tengah Sektor Ekonomi Basis
Kabupaten/Kota 2005
2006
2007
2008
2009
2010
2011
2012
Kab. Cilacap
2,3
2,3
2,3,6
2,3,6
2,3,6
2,3,6
2,3,6
2,3,6
Kab. Banyumas
1,2,4,5,7,8,9
1,2,4,5,7,8,9
1,2,4,5,7,8,9
1,2,4,5,7,8,9
1,2,4,5,7,8,9
1,2,4,5,7,8,9
1,2,4,5,7,8,9
1,2,4,5,7,8,9
Kab. Purbalingga
1,5,7,8,9
1,5,7,8,9
1,5,7,8,9
1,5,7,8,9
1,5,7,8,9
1,5,7,8,9
1,5,7,8,9
1,5,7,8,9
Kab. Banjarnegara
1,5,8,9
1,5,8,9
1,5,8,9
1,5,8,9
1,5,8,9
1,5,8,9
1,5,8,9
1,5,8,9
Kab. Kebumen
1,2,8,9
1,2,8,9
1,2,8,9
1,2,8,9
1,2,8,9
1,2,8,9
1,2,8,9
1,2,8,9
Kab. Purworejo
1,2,7,8,9
1,2,7,8,9
1,2,7,8,9
1,2,7,8,9
1,2,7,8,9
1,2,7,8,9
1,2,7,8,9
1,2,7,8,9
Kab. Wonosobo
1,7,8,9
1,7,8,9
1,7,8,9
1,7,8,9
1,7,8
1,7,8,9
1,7,8,9
1,7,8,9
Kab. Magelang
1,2,5,7,9
1,2,5,7,9
1,2,5,7,9
1,2,5,7,9
1,2,5,7,9
1,2,5,7,9
1,2,5,7,9
1,2,5,7,9
Kab. Boyolali
1,4,6,8
1,4,6,8
1,4,6,8
1,4,6,8
1,4,6,8,9
1,4,6,8,9
1,4,6,8,9
1,4,6,8,9
Kab. Klaten
1,2,5,6,8,9
1,2,5,6,9
1,2,5,6,9
1,2,5,6,9
1,2,5,6,9
1,2,5,6,8,9
2,5,6,8,9
2,5,6,8,9
Kab. Sukoharjo
4,6
1,4,6
1,4,6
1,4,6
1,4,6
1,4,6
1,4,6
1,4,6
Kab. Wonogiri
1,7,8,9
1,7,8,9
1,7,8,9
1,7,8,9
1,7,8,9
1,7,8,9
1,7,8,9
1,7,8,9
Kab. Karanganyar
3,4
3,4
3,4
1,3,4
1,3,4
1,3,4
1,3,4
1,3,4
Kab. Sragen
1,4,8,9
1,4,8,9
1,4,8,9
1,4,8,9
1,4,8,9
1,4,8,9
1,4,8,9
1,4,8,9
Kab. Grobogan
1,2,4,8,9
1,2,4,8,9
1,2,4,8,9
1,2,4,8,9
1,2,4,8,9
1,2,4,8,9
1,2,4,8,9
1,2,4,8,9
Kab. Blora
1,2,8
1,2,8
1,2,8
1,2,8
1,2,8
1,2,8
1,2,8
1,2,8
Kab. Rembang
1,2,5,7,9
1,2,5,7,9
1,2,5,7,9
1,2,5,7,9
1,2,5,7,9
1,2,5,7,9
1,2,5,7,9
1,2,5,7,9
Kab. Pati
1,4,5,8
1,4,5,8
1,4,5,8
1,4,5,8
1,4,5,8
1,4,5,8
1,4,5,8
1,4,5,8
Kab. Kudus
3,6
3,6
3,6
3,6
3,6
3,6
3,6
3,6
Kab. Jepara
1,6,7,8
1,6,7,8
1,6,7,8
1,6,7,8
1,7,8
1,6,7,8
1,5,7,8,9
1,5,7,8,9
Kab. Demak
1,5,8
1,5,8,9
1,5,8,9
1,5,8,9
1,5,8,9
1,5,8,9
1,5,8,9
1,5,8,9
Kab. Semarang
3,6
3,4,6
3,6
3,4,6
3,4,6
3,4,6
3,4
3,4
Kab. Temanggung
1,2,4,7,8,9
1,4,7,8,9
1,4,7,8,9
1,4,7,8,9
1,4,7,8,9
1,4,7,8,9
1,7,8,9
1,4,7,8,9
Kab. Kendal
1,3,4
1,3,4
1,3,4
1,3,4
1,3,4
1,3,4
1,3,4
1,3,4
Kab. Batang
1,2,5,9
1,2,4,5,8,9
1,2,4,5,8,9
1,2,4,5,8,9
1,2,4,5,9
1,2,4,5,8,9
1,2,4,5,8,9
1,2,4,5,8,9
Kab. Pekalongan
1,2,4,8,9
1,2,4,8,9
1,4,5,8,9
1,2,4,5,8,9
1,4,5,8,9
1,4,5,8,9
1,4,5,8,9
1,4,5,8,9
Kab. Pemalang
1,2,4,6,8
1,2,4,6,8
1,2,4,6,8
1,2,4,6,8
1,2,4,6,8
1,2,4,6,8,9
1,2,4,6,8,9
1,2,4,6,8,9
Kab. Tegal
2,6,8
2,6,8
2,6,8
2,6,8
2,6,8
2,6,8
2,6,8
2,6,8
Kab. Brebes
1,2,4
1,2,4
1,2,4
1,2,4
1,2,4
1,2,4
1,2,4
1,2,4
Kota Magelang
4,5,7,8,9
4,5,7,8,9
4,5,7,8,9
4,5,7,8,9
4,5,7,8,9
4,5,7,8,9
4,5,7,8,9
4,5,7,8,9
Kota Surakarta
4,5,6,7,8,9
4,5,6,7,8,9
4,5,6,7,8,9
4,5,6,7,8,9
4,5,6,7,8,9
4,5,6,7,8,9
4,5,6,7,8,9
4,5,6,7,8,9
Kota Salatiga
4,7,8,9
4,7,8,9
4,7,8,9
4,7,8,9
4,5,7,8,9
4,5,7,8,9
4,5,7,8,9
4,5,7,8,9
Kota Semarang
4,5,6,7,9
4,5,6,7,9
4,5,6,7,9
4,5,6,7,9
4,5,6,7,9
4,5,6,7,9
4,5,6,7,9
4,5,6,7,9
Kota Pekalongan
4,5,6,7,8,9
4,5,6,7,8,9
4,5,6,7,8,9
4,5,6,7,8,9
4,5,6,7,8,9
4,5,6,7,8,9
4,5,6,7,8,9
4,5,6,7,8,9
Kota Tegal
4,5,6,7,8,9
4,5,6,7,8
4,5,6,7,8
4,5,6,7,8
4,5,6,7,8
4,5,6,7,8
4,5,6,7,8
4,5,6,7,8
Sumber: BPS, 2013 (diolah).
31
Keterangan: 1. Sektor pertanian 2. Sektor pertambangan dan penggalian 3. Sektor industri pengolahan 4. Sektor listrik, gas, dan air bersih 5. Sektor bangunan 6. Sektor perdagangan, hotel, dan restoran 7. Sektor pengangkutan dan komunikasi 8. Sektor keuangan, persewaan, dan jasa perusahaan 9. Sektor jasa-jasa Sektor pertanian merupakan salah satu sektor ekonomi basis di kabupatenkabupaten pada Provinsi Jawa Tengah karena dimiliki oleh 23 kabupaten. Hal ini dikarenakan di tingkat kabupaten, sektor pertanian merupakan sumber sebagian besar masyarakatnya. Berdasarkan sensus penduduk tahun 2010, mata pencaharian yang paling banyak berada pada sektor pertanian yaitu sebesar 42.34 persen. Berdasarkan hal tersebut, sektor pertanian menjadi salah satu sektor andalan sektor ekonomi basis bagi ekspor di tingkat provinsi maupun kabupaten. Pada tingkat kota di Jawa Tengah sektor pertanian tidak menjadi sektor ekonomi basis dari tahun ke tahun di enam kota yaitu Kota Magelang, Kota Surakarta, Kota Salatiga, Kota Semarang, Kota Pekalongan, dan Kota Tegal. Hal ini dikarenakan pada enam kota di Jawa Tengah didominasi oleh sektor sekunder dan sektor tersier dimana luas lahan bukan sawah dua kali lebih besar daripada luas lahan sawah. Bahkan di Kota Surakarta luas lahan bukan sawah mencapai 41 kali lebih besar dari pada lahan sawahnya (BPS Jawa Tengah 2013). Sektor jasa-jasa merupakan sektor ekonomi basis lain yang mendominasi di kabupaten/kota pada Provinsi Jawa Tengah. Sektor jasa-jasa menjadi andalan bagi ekspor baik di tingkat provinsi maupun kabupaten/kota di Jawa Tengah sehingga sektor jasa-jasa menjadi sektor ekonomi basis. Sektor pertambangan dan penggalian serta sektor industri pengolahan tidak menjadi sektor ekonomi basis di enam kota yang ada di Provinsi Jawa Tengah. Hal ini diduga karena enam kota di Jawa Tengah tidak didominasi oleh perusahaan atau pabrik penggalian dan pabrik-pabrik lainnya, tetapi lebih didominasi oleh sentra pusat bisnis. Analisis Peranan Sektor Ekonomi Basis dalam Mengurangi Ketimpangan Pendapatan AntarKabupaten/Kota di Provinsi Jawa Tengah Provinsi Jawa Tengah memiliki lima sektor ekonomi basis, setiap sektor memiliki peranan yang berbeda dalam mengurangi ketimpangan pendapatan antarKabupaten/Kota di Provinsi Jawa Tengah. Peranan sektor ekonomi basis dalam mengurangi ketimpangan pendapatan antarkabupaten/kota di Provinsi Jawa Tengah dapat dianalisis dengan cara menghitung indeks ketimpangan dengan memasukkan PDRB sektor ekonomi basis dengan indeks ketimpangan tanpa memasukkan PDRB sektor ekonomi basis. Setelah itu, akan diketahui selisih indeks ketimpangan yang memasukkan sektor ekonomi basis dengan yang tidak memasukkan sektor ekonomi basis.
32
Besarnya selisih menunjukkan peranan sektor ekonomi basis tersebut dalam mengurangi ketimpangan pendapatan antarkabupaten/kota di Provinsi Jawa Tengah. Perhitungan besarnya peranan masing-masing sektor ekonomi basis dapat dilihat di bawah ini: Peranan Sektor Ekonomi Basis Pertanian dalam Mengurangi Ketimpangan Pendapatan AntarKabupaten/Kota di Provinsi Jawa Tengah Sektor pertanian merupakan satu-satunya sektor primer yang tergolong dalam sektor ekonomi basis. Hasil perhitungan menunjukkan bahwa sektor pertanian memberikan kontribusi yang besar dalam mengurangi ketimpangan pendapatan antarkabupaten/kota di Provinsi Jawa Tengah. Telah diketahui berdasarkan hasil perhitungan bahwa nilai indeks ketimpangan tanpa memasukkan PDRB sektor pertanian lebih tinggi dibandingkan dengan memasukkan PDRB sektor pertanian. Besarnya peranan sektor pertanian dalam mengurangi ketimpangan pendapatan dapat dilihat pada Tabel 10. Tabel 10 Indeks ketimpangan pendapatan dengan dan tanpa sektor pertanian di Provinsi Jawa Tengah Tahun
Indeks Williamson Seluruh Sektor
Indeks Williamson Tanpa Sektor Pertanian
Persentase Perubahan (persen)
2005
0.7527
0.970
28.86
2006 2007 2008 2009 2010
0.7475 0.7414 0.7451 0.7350 0.7232
1.005 0.938 0.940 0.928 0.908
34.44 26.51 26.15 26.25 25.55
0.901 0.890
24.89 24.77
2011 0.7214 2012 0.7133 Sumber: BPS Jawa Tengah, 2013 (diolah).
Indeks ketimpangan pendapatan antarkabupaten/kota di Provinsi Jawa Tengah selama tahun 2005-2012 tanpa memasukkan sektor pertanian berkisar 0.89-1.005, sedangkan apabila memasukkan sektor pertanian nilai indeks ketimpangan berkisar 0.7133-0.7527. Di artikan bahwa sektor ekonomi basis pertanian selama tahun 2005-2012 mampu memberikan kontribusi rata-rata sebesar 27.18 persen dalam mengurangi ketimpangan pendapatan antarkabupaten/kota di Provinsi Jawa Tengah. Peranan Sektor Ekonomi Basis Industri Pengolahan dalam Mengurangi Ketimpangan Pendapatan AntarKabupaten/Kota di Provinsi Jawa Tengah Sektor industri pengolahan merupakan sektor ekonomi basis selama periode analisis tahun 2005-2012 yang menyumbang PDRB Jawa Tengah terbesar. Dilihat dari peranannya dalam mengurangi ketimpangan pendapatan, sektor industri pengolahan justru membuat ketimpangan pendapatan meningkat karena indeks ketimpangan tanpa memasukkan PDRB sektor industri pengolahan nilainya lebih rendah.
33
Pada Tabel 11 terlihat bahwa indeks ketimpangan pendapatan antarkabupaten/kota di Provinsi Jawa Tengah selama tahun 2005-2012 tanpa memasukkan sektor industri pengolahan berkisar 0.519-0.527 sedangkan apabila memasukkan sektor industri pengolahan nilai indeks ketimpangan berkisar 0.7133-0.7527. Di artikan bahwa sektor ekonomi basis industri pengolahan selama tahun 2005-2012 justru meningkatkan ketimpangan pendapatan antarkabupaten/kota di Provinsi Jawa Tengah dengan kontribusi rata-rata sebesar 28.94 persen. Kondisi tersebut diduga karena sektor industri pengolahan ini hanya berpusat pada beberapa wilayah saja seperti: Kabupaten Cilacap, Kabupaten Karanganyar, Kabupaten Kudus, Kabupaten Semarang, dan Kabupaten Kendal. Dengan demikian, sektor industri pengolahan merupakan satu-satunya sektor sekunder yang menyebabkan ketimpangan pendapatan meningkat. Tabel 11 Indeks ketimpangan pendapatan dengan dan tanpa sektor industri pengolahan di Provinsi Jawa Tengah Tahun
Indeks Williamson Seluruh Sektor
Indeks Williamson Tanpa Sektor Industri Pengolahan
Persentase Perubahan (persen)
2005
0.7527
0.521
-30.78
2006 2007 2008 2009 2010
0.7475 0.7414 0.7451 0.7350 0.7232
0.516 0.524 0.521 0.523 0.519
-30.96 -29.32 -30.07 -28.84 -28.23
0.525 0.527
-27.22 -26.11
2011 0.7214 2012 0.7133 Sumber: BPS Jawa Tengah, 2013 (diolah).
Peranan Sektor Ekonomi Basis Listrik, Gas, dan Air Bersih dalam Mengurangi Ketimpangan Pendapatan AntarKabupaten/Kota di Provinsi Jawa Tengah Tabel 12 Indeks ketimpangan pendapatan dengan dan tanpa sektor listrik, gas, dan air bersih di Provinsi Jawa Tengah Tahun
Indeks Williamson Seluruh Sektor
Indeks Williamson Tanpa Sektor Listrik, Gas, dan Air Bersih
Persentase Perubahan (persen)
2005 2006 2007 2008
0.7527 0.7475 0.7414 0.7451
0.755 0.750 0.744 0.785
0.30 0.33 0.35 5.35
0.738 0.726 0.724 0.716
0.40 0.38 0.36 0.37
2009 0.7350 2010 0.7232 2011 0.7214 2012 0.7133 Sumber: BPS Jawa Tengah, 2013 (diolah).
34
Sektor listrik, gas, dan air bersih mampu menjadi sektor ekonomi basis pada tahun analisis 2005-2012 meskipun sektor ini menyumbang PDRB Jawa Tengah terkecil. Diduga sektor listrik, gas, dan air bersih menjadi sektor ekonomi basis dikarenakan sektor ini sangat berperan dalam mendukung keberlangsungan sektor-sektor perekonomian lainnya terutama sektor industri. Jika dilihat dari peranannya dalam mengurangi ketimpangan pendapatan selama periode 2005-2012 keberadaan sektor listrik, gas, dan air bersih sebagai sektor ekonomi basis mampu berperan mengurangi ketimpangan pendapatan di Provinsi Jawa Tengah. Sektor listrik, gas, dan air bersih merupakan sektor sekunder yang mampu mengurangi ketimpangan pendapatan dengan kontribusi rata-rata sebesar 0.98 persen. Peranan Sektor Ekonomi Basis Perdagangan, Hotel, dan Restoran dalam Mengurangi Ketimpangan Pendapatan AntarKabupaten/Kota di Provinsi Jawa Tengah Sektor perdagangan, hotel, dan restoran merupakan salah satu sektor tersier yang tergolong dalam sektor ekonomi basis. Berdasarkan hasil perhitungan bahwa nilai indeks ketimpangan tanpa memasukkan PDRB sektor perdagangan, hotel, dan restoran lebih rendah dibandingkan dengan memasukkan PDRB sektor pertanian. Hasil perhitungan sektor perdagangan, hotel, dan restoran dapat dilihat pada Tabel 13. Tabel 13 Indeks ketimpangan pendapatan dengan dan tanpa sektor perdagangan, hotel, dan restoran di Provinsi Jawa Tengah Tahun
Indeks Williamson Seluruh Sektor
Indeks Williamson Tanpa Sektor Perdagangan, Hotel, dan Restoran
Persentase Perubahan (persen)
2005
0.7527
0.615
-18.29
2006 2007 2008 2009 2010
0.7475 0.7414 0.7451 0.7350 0.7232
0.694 0.685 0.688 0.674 0.661
-7.15 -7.60 -7.66 -8.29 -8.60
0.657 0.646
-8.92 -9.43
2011 0.7214 2012 0.7133 Sumber: BPS Jawa Tengah, 2013 (diolah).
Hasil perhitungan tanpa memasukkan PDRB sektor perdagangan, hotel, dan restoran didapatkan bahwa indeks ketimpangan pendapatan di Provinsi Jawa Tengah mengalami penurunan meskipun masih berada dalam taraf ketimpangan yang tinggi. Selama tahun analisis 2005-2012 indeks ketimpangan tanpa memasukkan PDRB sektor perdagangan, hotel, dan restoran berkisar 0.615-0.694. Sedangkan apabila memasukkan PDRB sektor perdagangan, hotel, dan restoran nilai ketimpangannya berkisar 0.7133-0.7527. Rata-rata kontribusi sektor perdagangan, hotel, dan restoran sebesar -9.49 persen dalam mengurangi ketimpangan pendapatan di Provinsi Jawa Tengah. Dapat di artikan bahwa keberadaan sektor perdagangan, hotel, dan restoran meningkatkan ketimpangan
35
pendapatan di Provinsi Jawa Tengah sebesar 9.49 persen. Hal tersebut diduga karena perkembangan sektor perdagangan, hotel, dan restoran yang besar hanya terjadi di beberapa wilayah seperti: Kabupaten Semarang, Kabupaten Cilacap, Kabupaten Tegal, Kabupaten Klaten, Kabupaten Boyolali, dan Kabupaten Kudus. Peranan Sektor Ekonomi Basis Jasa-jasa dalam Mengurangi Ketimpangan Pendapatan AntarKabupaten/Kota di Provinsi Jawa Tengah Sektor jasa-jasa merupakan sektor tersier terakhir yang menjadi sektor ekonomi basis serta mampu berperan mengurangi ketimpangan pendapatan di Provinsi Jawa Tengah. Sektor ini menjadi satu-satunya sektor tersier yang mampu berperan mengurangi ketimpangan pendapatan di Provinsi Jawa Tengah. Tabel 14 Indeks ketimpangan pendapatan dengan dan tanpa sektor jasa-jasa di Provinsi Jawa Tengah Tahun
Indeks Williamson Seluruh Sektor
Indeks Williamson Tanpa Sektor Jasa-jasa
Persentase Perubahan (persen)
2005 2006 2007 2008
0.7527 0.7475 0.7414 0.7451
0.811 0.808 0.801 0.808
7.74 8.09 8.03 8.44
0.798 0.788 0.787 0.778
8.57 8.96 9.09 9.07
2009 0.7350 2010 0.7232 2011 0.7214 2012 0.7133 Sumber: BPS Jawa Tengah, 2013 (diolah).
Tanpa memasukkan PDRB sektor jasa-jasa didapat nilai indeks ketimpangan berkisar 0.778-0.811 yang lebih besar dibandingkan dengan memasukkan PDRB sektor jasa-jasa yang nilai indeks ketimpangannya berkisar 0.7133-0.7527. Berdasarkan nilai tersebut, didapatkan selisih indeks ketimpangan tanpa PDRB sektor jasa-jasa dengan PDRB seluruh sektor sebesar 8.5 persen. Di artikan bahwa sektor jasa-jasa mampu berperan mengurangi ketimpangan pendapatan di Provinsi Jawa Tengah sebesar 8.5 persen. Analisis Faktor-faktor yang Memengaruhi Pertumbuhan Sektor Pertanian Provinsi Jawa Tengah mempunyai lima sektor ekonomi basis, setelah dianalisis peranan dari kelima sektor tersebut dalam mengurangi ketimpangan pendapatan di Provinsi Jawa Tengah, sektor pertanian mempunyai peranan paling besar yaitu dengan rata-rata kontribusinya sebesar 27.18 persen. Sektor pertanian mempunyai lima sub sektor yaitu sub sektor tanaman bahan makanan, tanaman perkebunan, peternakan dan hasil-hasilnya, kehutanan, dan perikanan.
36
Tabel 15 Kontribusi sub sektor pertanian terhadap PDRB sektor pertanian di Provinsi Jawa Tengah (persen) Sub Sektor Pertanian Tanaman Bahan Makanan Tanaman Perkebunan Peternakan Kehutanan Perikanan
2005 71.87 9.18 11.00 2.31 5.62
2006 71.35 9.2 11.62 1.87 6.11
2007 70.09 9.54 12.66 1.82 5.86
2008 69.92 9.44 13.12 1.65 5.84
2009 69.81 9.60 13.34 1.65 5.57
Sumber: BPS, 2010 (diolah).
Tabel 15 menunjukkan bahwa lebih dari 50 persen PDRB sektor pertanian disumbang oleh PDRB sub sektor tanaman bahan makanan. Hal ini yang menjadi dasar memilih variabel-variabel yang akan di analisis pengaruhnya terhadap pertumbuhan ekonomi sektor pertanian yaitu: luas lahan teririgasi, luas panen tanaman bahan makanan, jumlah tenagakerja sektor pertanian, dan jumlah penduduk. Komoditi yang dimasukkan dalam kategori tanaman bahan makanan dibatasi yaitu padi sawah, padi ladang, jagung, ubi kayu, ubi jalar, kacang tanah, kacang kedele, kacang hijau, bawang merah, bawang putih, kentang, kubis, cabai, tomat, wortel, kacang panjang, buncis, ketimun, bawang daun, sawi, kacang merah, terong, labu siam, kangkung, bayam, jamur, melon, semangka. Pertimbangan hanya menggunakan komoditi-komoditi tersebut di antara banyak komoditi tanaman bahan makanan yang lain dikarenakan satuan dari komoditi tanaman bahan makanan tersebut tidak homogen. Di antara komoditikomoditi tersebut ada yang luas panennya dengan satuan hektar, pohon, dan rumpun. Dari ke tiga satuan tersebut diputuskan untuk mengambil komoditi yang mempunyai satuan luas panennya hektar dikarenakan satuan hektar tersebut lebih mewakili dan lebih spesifik perhitungannya dibandingkan satuan dalam pohon dan rumpun. Satuan dalam pohon dan rumpun tidak ikut dimasukkan dalam analisis dikhawatirkan akan menjadikan hasil analisisnya menjadi tidak baik karena dalam satu komoditi menggunakan satuan yang berbeda-beda. Selain itu satuan dalam pohon dan rumpun untuk satu komoditi dengan komoditi lain dipastikan berbeda-beda struktur pohon dan rumpunnya. Bisa jadi pohon yang besar dengan pohon yang kecil dihitung dalam satu kriteria yang sama. Sehingga dikhawatirkan akan menimbulkan hasil yang tidak baik jika dipaksakan menggunakan satuan-satuan tersebut untuk komoditi-komoditi yang lain. Pengujian kesesuaian model dilakukan dalam dua tahap yaitu membandingkan pooled least square model dengan fixed effect model kemudian dilanjutkan dengan membandingkan fixed effect model dengan random effect model. Pengujian dilakukan dengan variabel bebas yaitu: luas panen tanaman bahan makanan, luas lahan teririgasi, jumlah tenagakerja sektor pertanian, dan jumlah penduduk Provinsi Jawa Tengah. A. Membandingkan pooled least square model dengan fixed effect model Untuk membandingkan pooled least square model dengan fixed effect model dilakukan dengan uji Chow. Dari uji yang dilakukan nilai Fstatistik yang diperoleh yaitu 4.06. Sedangkan nilai F-tabel pada taraf α =5% adalah 0,00. Nilai F-statistik lebih besar dari pada nilai F-tabel, hal ini berarti terdapat heterogenitas individu pada model data panel persamaan pengaruh keempat
37
faktor terhadap PDRB sektor pertanian. Jika dalam model terdapat heterogenitas individu maka fixed effect model akan memberikan hasil yang lebih baik jika dibandingkan pooled least square model. Tabel 16 Hasil pengujian uji Chow Redundant Fixed Effects Tests Equation: Untitled Test cross-section fixed effects Effects Test
Statistic
Cross-section F
4.062395
d.f.
Prob.
(34,100)
0.0000
B. Membandingkan fixed effect model dengan random effect model Untuk membandingkan apakah fixed effect model atau random effect model yang lebih sesuai digunakan, maka dilakukan uji tes Hausman. Statistik uji tes Hausman mengikuti distribusi statistik Chi Square dengan degree of freedom sebanyak jumlah variabel bebas dari model. Berdasarkan hasil estimasi diperoleh nilai probabilitas Chi-Square sebesar 0.0006 lebih kecil dari taraf nyata 0.05 yang berarti tolak H0 sehingga model yang layak digunakan adalah fixed effect model. Tabel 17 Hasil pengujian uji Hausman Correlated Random Effects - Hausman Test Equation: Untitled Test cross-section random effects Test Summary Cross-section random
Chi-Sq. Statistic
Chi-Sq. d.f.
Prob.
19.445605
4
0.0006
Pengujian asumsi dilakukan untuk memastikan bahwa model yang dipilih telah memenuhi asumsi yang telah ditentukan, antara lain: A. Autokorelasi Model yang dipilih harus memenuhi asumsi terbebas dari autokorelasi. Pengujian asumsi ini dilakukan dengan menghitung nilai statistik uji Durbin Watson. Berdasarkan hasil penghitungan, didapatkan nilai statistik Durbin Watson sebesar 2.217, dengan nilai dL sebesar 1.21 dan dU sebesar 1.73, maka nilai statistik Durbin Watson berada pada daerah tidak ada autokorelasi, sehingga dapat diasumsikan model tersebut tidak ada autokorelasi.
38
Tabel 18 Nilai statistik model pengaruh luas panen tanaman bahan makanan, luas lahan teririgasi, jumlah tenaga kerja sektor pertanian, jumlah penduduk terhadap pertumbuhan ekonomi sektor pertanian Weight Statistics R-squared Adjusted R-squared S.E. of regression F-statistic Prob(F-statistic)
0.999975 0.999965 0.013308 102653.0 0.000000
Mean dependent var S.D. dependent var Sum squared resid Durbin-Watson stat
1.052684 2.016011 0.017711 2.217987
B. Multikolinieritas Multikolinearitas merupakan suatu keadaaan dimana terjadinya satu atau dua variabel bebas yang berkorelasi sempurna atau mendekati sempurna dengan variabel bebas lainnya. Terjadinya multikolinearitas dapat dideteksi dengan melihat correlation matrix, jika korelasi antar variabel bebas dalam persamaan regresi kurang dari ǀ 0.8 ǀ (rule of thumbs) maka disimpulkan bahwa dalam persamaan regresi tidak terjadi gejala multikolinearitas, dan sebaliknya jika coefficient matrix > dari ǀ 0.8 ǀ maka disimpulkan pada persamaan regresi terjadi gejala multikolinearitas. Menurut uji Klein bahwa gejala multikolinearitas dapat diabaikan jika nilai R2 hasil regresi tersebut lebih kecil dari nilai R2 hasil perhitungan regresi output terhadap variabel input secara keseluruhan (Maddala 1985). Dari Tabel 18 dapat dilihat bahwa ada coefisient matrix yang lebih besar dari rule of thumbs namun lebih kecil dari koefisien determinasi model sehingga dapat ditarik kesimpulan bahwa model tersebut tidak mengalami masalah multikolinearitas.
Tabel 19 Matriks korelasi parsial dengan metode deteksi Klein LNY LNY LNX1 LNX2 LNX3 LNX4
1 0.995312 0.991887 0.978209 0.992457
LNX1 LNX2 LNX3 LNX4 0.995312 0.991887 0.978209 0.992457 1 0.987812 0.975444 0.992738 0.987812 1 0.949967 0.97589 0.975444 0.949967 1 0.991825 0.992738 0.97589 0.991825 1
R2 hasil perhitungan regresi output : 0.999975
Setelah dilakukan dengan metode ini ternyata R2 dari regresi atas setiap variabel independen terhadap variabel independen lainnya lebih kecil dari nilai R2 hasil perhitungan regresi output terhadap variabel input secara keseluruhan, maka dapat disimpulkan bahwa dalam model tersebut tidak terdapat masalah multikolinearitas. C. Heteroskedastisitas Pelanggaran asumsi heteroskedastisitas seringkali dicurigai muncul pada model penelitian yang menggunakan data cross section seperti pada penelitian ini. Namun, karena dalam mengestimasi kedua model di atas telah diberikan perlakuan cross section weights, serta white heteroscedasticity-consistent standard error and covariance maka asumsi adanya pelanggaran asumsi
39
heteroskedastisitas dapat diabaikan. Pengujian heteroskedastisitas dilihat dari perbandingan nilai sum squared resid Weighted Statistic (0.017711) < nilai sum squared resid Unweighted Statistic (0.064758) sehingga model ini terbebas dari heteroskedastisitas. Untuk mengatasi adanya heteroskedastisitas dalam model, maka metode estimasi yang dipilih diperbaiki dengan metode Generalized Least Squared (GLS) atau disebut metode cross section weight dan white heterokedasticity. Untuk menguji validitas model pengaruh luas panen tanaman bahan makanan, luas lahan teririgasi, jumlah tenagakerja sektor pertanian, jumlah penduduk terhadap pertumbuhan ekonomi sektor pertanian, dilakukan serangkaian uji antara lain: A. Uji F Uji F dilakukan dalam penelitian ini, untuk melakukan uji hipotesis koefisien regresi secara bersamaan. Berdasarkan hasil perhitungan didapatkan nilai Fstatistik sebesar 102653.0, dengan nilai prob(F-statistik) sebesar 0.0000. Dengan demikian diperoleh kesimpulan bahwa variabel independen secara bersama-sama berpengaruh secara siginifikan terhadap variabel dependen, karena nilai F-hitung > F-tabel sehingga kita menolak hipotesis nol. Hal ini diperkuat pula dengan nilai prob (F-statistik) sebesar 0.000. B. Koefisien Determinasi Sesuai dengan teori statistik, dimana nilai koefisien determinasi (R2) mencerminkan seberapa besar variasi dari variabel terikat dapat diterangkan oleh variabel bebas. Model dari persamaan pengaruh luas panen tanaman bahan makanan, luas lahan teririgasi, jumlah tenagakerja sektor pertanian, jumlah penduduk dalam penelitian ini memiliki R2 sebesar 0.999975, yang berarti model mampu menjelaskan variabel PDRB sektor pertanian sebesar 99.9 persen dan sisanya dijelaskan oleh variabel lain di luar model. Setelah dilakukan pengujian dan diperoleh model yang paling sesuai, maka dilakukan estimasi dari persamaan tersebut. Dapat diketahui bahwa semua variabel luas panen tanaman bahan makanan, luas lahan teririgasi, jumlah tenagakerja sektor pertanian, dan jumlah penduduk berhubungan secara positif dengan pertumbuhan ekonomi sektor pertanian. Sehingga hal tersebut sudah sesuai dengan hipotesis penelitian dan teori ekonomi. Variabel jumlah tenagakerja sektor pertanian tidak berpengaruh secara signifikan terhadap pertumbuhan ekonomi sektor pertanian. Hal ini diduga terjadi karena jumlah tenagakerja sektor pertanian berpengaruh terhadap PDRB sektor pertanian tetapi tidak secara langsung. Selain tenagakerja sektor pertanian perlu juga melihat hubungan luas tambak dan luas hutan seperti halnya luas lahan sehingga terlihat bahwa apabila luas tambak, luas hutan, luas lahan tersebut besar maka dapat dikatakan akan menyerap tenagakerja yang besar, kemudian dengan luas lahan, luas tambak, dan luas hutan yang besar serta tenagakerja yang besar tersebut akan berpengaruh positif pada output pertanian yang dihasilkan. Output pertanian yang besar maka akan meningkatkan PDRB sektor pertanian.
40
Tabel 20 Hasil estimasi persamaan pengaruh LP, LI, JP, dan JTK terhadap pertumbuhan ekonomi sektor pertanian di Provinsi Jawa Tengah Variabel Terikat: PDRB Sektor Pertanian Variabel Bebas Koefisien Nilai Statistik t Prob (1) (2) (3) (4) Luas Panen TBM* 0.160435 8.074359 0.0000 Luas Lahan Teririgasi* 0.526720 5.629841 0.0000 Jumlah Penduduk* 0.522279 10.39822 0.0000 Jumlah Tenaga Kerja 0.053932 1.736253 0.0856 Pertanian** R-squared 0.999975 Adjusted R-squared 0.999965 Keterangan: * signifikan pada α = 5%, ** tidak signifikan pada α = 5%
Masing-masing variabel bebas luas panen tanaman bahan makanan, luas lahan teririgasi, jumlah penduduk yang signifikan dapat diinterpretasikan sebagai berikut: 1. Variabel luas panen tanaman bahan makanan dengan koefisien sebesar 0.160435 artinya setiap luas panen tanaman bahan makanan sebesar satu persen akan meningkatkan PDRB sektor pertanian sebesar 0.160435 persen. 2. Variabel luas lahan teririgasi dengan koefisien sebesar 0.526720 artinya setiap luas lahan teririgasi sebesar satu persen akan meningkatkan PDRB sektor pertanian sebesar 0.526720 persen. 3. Variabel jumlah penduduk dengan tingkat elastisitas sebesar 0.522279 artinya setiap jumlah penduduk sebesar satu persen akan meningkatkan PDRB sektor pertanian sebesar 0.522279 persen. Pada Tabel 20 dapat dilihat bahwa ke empat variabel, variabel X2 yang memiliki koefisien paling tinggi, yaitu sebesar 0.526720. Diartikan bahwa variabel luas lahan teririgasi merupakan variabel yang dapat dijadikan strategi kebijakan bagi pemerintah daerah Jawa Tengah untuk meningkatkan PDRB sektor pertanian. Penyediaan sarana irigasi yang baik dan pemanfaatan kembali lahan yang tidak produktif untuk dialokasikan menjadi lahan yang teririgasi secara teknis akan berdampak positif pada peningkatan PDRB sektor pertanian pada jangka panjangnya. Tidak hanya variabel luas lahan teririgasi, variabel jumlah penduduk di Provinsi Jawa Tengah mempunyai koefisien yang tinggi yaitu 0.522279. Hal tersebut sesuai dengan hipotesis penelitian dikarenakan apabila jumlah penduduk di Jawa Tengah secara langsung akan meningkatkan PDRB sektor pertanian karena tidak dapat dipungkiri bahwa kelangsungan hidup semua penduduk sangat bergantung pada pangan yang berasal dari sektor pertanian. Variabel luas panen tanaman bahan makanan berpengaruh signifikan dan positif terhadap pertumbuhan ekonomi sektor pertanian tetapi nilai koefisiennya cukup kecil yaitu 0.160435. Hal tersebut diduga disebabkan karena untuk komoditi tanaman bahan makanan tidak semua komoditi dimasukkan dalam variabel yang dianalisis. Hanya komoditi tanaman bahan makanan yaitu padi sawah, padi ladang, jagung, ubi kayu, ubi jalar, kacang tanah, kacang kedele, kacang hijau, bawang merah, bawang putih, kentang, kubis, cabai, tomat, wortel,
41
kacang panjang, buncis, ketimun, bawang daun, sawi, kacang merah, terong, labu siam, kangkung, bayam, jamur, melon, semangka.
SIMPULAN DAN SARAN Simpulan 1. Tingkat ketimpangan pendapatan antarkabupaten/kota di Provinsi Jawa Tengah selama tahun analisis 2005-2012 berada pada taraf ketimpangan tinggi karena nilainya lebih dari 0.5. Trend ketimpangan pendapatan di Provinsi Jawa Tengah dari tahun ke tahun cenderung menurun. Dari hasil perhitungan tersebut juga mengindikasikan bahwa upaya pemerintah Provinsi Jawa Tengah untuk mengurangi ketipangan pendapatan belum begitu optimal meskipun trendnya cenderung menurun. 2. Berdasarkan analisis Indeks Atkinson dapat disimpulkan bahwa penggunaan parameter kesenjangan yang bervariasi dan makin besar dalam pengukuran Indeks Atkinson di Provinsi Jawa Tengah menunjukkan social welfare loss yang makin tinggi persentasenya. 3. Hasil perhitungan nilai LQ di sembilan sektor perekonomian berdasarkan indikator PDRB atas dasar harga konstan 2000 terdapat lima sektor yang menjadi basis perekonomian Provinsi Jawa Tengah pada tahun 2005-2012 yaitu: sektor pertanian, sektor industri dan pengolahan, sektor listrik, gas dan air bersih, sektor perdagangan, hotel dan restoran, dan sektor jasa-jasa. Hal ini ditunjukkan dari nilai LQ sektor tersebut lebih besar dari 1 (satu) dan berarti bahwa sektor-sektor tersebut berorientasi ekspor. Sektor ekonomi basis di tingkat kabupaten/kota menunjukkan perbedaan yang mencolok yaitu di tingkat kabupaten sektor pertanian menjadi sektor ekonomi basis yang dominan sedangkan di tingkat kota di dominasi oleh sektor sekunder dan tersier. 4. Sektor pertanian merupakan sektor ekonomi basis yang memiliki peranan paling besar dalam mengurangi tingkat ketimpangan pendapatan di Provinsi Jawa Tengah sebesar 27.18 persen. Sektor listrik, gas, dan air bersih serta sektor jasa-jasa hanya berperan kecil dalam mengurangi tingkat ketimpangan pendapatan di Jawa Tengah. Sedangkan sektor industri pengolahan serta sektor perdagangan, hotel, dan restoran justru berdampak negatif sehingga menyebabkan kenaikan ketimpangan pendapatan mencapai 28 persen dan 9 persen. Maka tidak semua sektor ekonomi basis dapat berperan mengurangi tingkat ketimpangan pendapatan di suatu wilayah. 5. Luas panen tanaman bahan makanan (LP), luas lahan teririgasi (LI), jumlah penduduk (JP) memengaruhi pertumbuhan ekonomi sektor pertanian di Provinsi Jawa Tengah. Luas lahan teririgasi mempunyai nilai elastisitas yang terbesar yaitu sebesar 0.52672, berikutnya jumlah penduduk sebesar 0.522279, luas panen tanaman bahan makanan 0.160435. Saran 1. Diperlukan peran dari pemerintah serta pemerintah daerah terkait pemerataan PDRB per kapita di kabupaten/kota yang ada. Salahsatunya adalah dengan
42
meningkatkan kegiatan ekonomi masyarakat atau sentra ekonomi di daerah sesuai dengan potensi daerahnya masing-masing melalui pemberdayaan kegiatan ekonomi masyarakat. Memberikan bantuan operasional kepada daerah yang mempunyai PDRB per kapita rendah serta sarana dan prasarana sehingga diharapkan ketimpangan pendapatan antarkabupaten/kota dapat diminimalisir trendnya. 2. Pemerintah daerah sebaiknya mengembangkan sektor basis yang berdaya saing juga sebaiknya melakukan koordinasi antara rencana investasi pemerintah dan rencana yang akan dilakukan oleh sektor swasta, serta mengoptimalkan kerjasama antardaerah di sekitarnya. Selain itu, pemerintah sebaiknya gencar melakukan upaya pemasaran potensi ekonomi unggulan untuk menarik investor. Yang paling penting, dalam melakukan pengembangan potensi ekonomi lokal pemerintah tetap perlu mempertahankan local wisdom dan mendasarkan pembangunan ekonominya terhadap Kajian Lingkungan Hidup Strategis (KLHS), agar dapat meminimalisir adanya dampak negatif pembangunan terhadap lingkungan. 3. Luas lahan teririgasi sebaiknya lebih menjadi perhatian pemerintah daerah karena sektor pertanian tersebut identik dengan lahan dimana lahan yang teririgasi secara teknis akan sangat mempengaruhi output pertanian yang dihasilkan.
43
DAFTAR PUSTAKA [BPS] Badan Pusat Statistik. Berbagai Tahun Publikasi. Jumlah Penduduk Kabupaten/Kota di Provinsi Jawa Tengah Menurut Lapangan Usaha. Jakarta (ID). BPS. [BPS] Badan Pusat Statistik. Berbagai Tahun Publikasi. Luas Lahan Teririgasi. Jakarta (ID). BPS. [BPS] Badan Pusat Statistik. Berbagai Tahun Publikasi. Luas Panen Tanaman Bahan Makanan . Jakarta (ID). BPS. [BPS] Badan Pusat Statistik. Berbagai Tahun Publikasi. Laju Pertumbuhan di Pulau Jawa. Jakarta (ID). BPS. [BPS] Badan Pusat Statistik. Berbagai Tahun Publikasi. Produk Domestik Bruto Menurut Lapangan Usaha. Jakarta (ID). BPS. [BPS] Badan Pusat Statistik. Berbagai Tahun Publikasi. Produk Domestik Regional Bruto Kabupaten/Kota di Provinsi Jawa Tengah Menurut Lapangan Usaha. Jakarta (ID). BPS. [BPS] Badan Pusat Statistik. Berbagai Tahun Publikasi. Produk Domestik Regional Bruto Sektor Pertanian Menurut Kabupaten/Kota di Provinsi Jawa Tengah. Jakarta (ID). BPS. [BPS] Badan Pusat Statistik. Berbagai Tahun Publikasi. Produk Domestik Regional Bruto Sub Sektor Tanaman Bahan Makanan Menurut Kabupaten/Kota di Provinsi Jawa Tengah. Jakarta (ID). BPS. [BPS] Badan Pusat Statistik. Berbagai Tahun Publikasi. Produk Domestik Regional Bruto Provinsi Jawa Tengah Menurut Lapangan Usaha. Jakarta (ID). BPS. Djojohadikusumo S. 1994. Dasar Teori Ekonomi Pertumbuhan dan Ekonomi Pembangunan, Jakarta: LPES. Gujarati DN. 2006. Dasar-dasar Ekonometrika. Jakarta (ID): Erlangga. Hendra. 2004. Peranan Sektor Pertanian Dalam mengurangi Ketimpangan Pendapatan Antardaerah di Propinsi Lampung [skripsi]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor. Juanda B. 2009. Ekonometrika Pemodelan dan Pendugaan. Bogor (ID): IPB Pr. [Kementrans] Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi. 2008. Jumlah Tenaga Kerja Sektor Pertanian Menurut Kabupaten/Kota di Provinsi Jawa Tengah. Jakarta (ID). Kementrans. Kuncoro M. 2010. Ekonomi Pembangunan. Jakarta (ID): Erlangga. Maddala GS. 1985. Econometrics. Florida: University of Florida. Mardiana SA. 2012. Kondisi Ketimpangan Ekonomi Antar Kabupaten/Kota dan Implikasinya terhadap Kebijakan Pembangunan di Provinsi Jawa Timur [skripsi]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor. Masrukhin. 2006. Konvergensi Pendapatan Antar Kabupaten/Kota di Provinsi Jawa Barat Periode 2000-2007 [skripsi]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor. Ponco ABW. 2008. Identifikasi Sektor Basis dan Ketimpangan Antar Wilayah di Provinsi Papua [skripsi]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor Priyarsono DS, Sahara, Firdaus M. 2007. Ekonomi Regional. Jakarta (ID): Universitas Terbuka.
44
Purnamasyari M. 2010. Analisis Kesenjangan Pendapatan Regional Kabupaten/Kota Periode Tahun 2001-2008 di Provinsi Jawa Barat [skripsi]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor. Retnosari D. 2006. Analisis Pengaruh Ketimpangan Distribusi Pendapatan terhadap Pertumbuhan Ekonomi Jawa Barat [skripsi]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor. Soetopo. 2009. Analisis Ketimpangan Pendapatan Antar Pulau di Indonesia [skripsi]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor. Suhartono. 2011. Struktur Ekonomi Kesempatan Kerja dan Ketimpangan Pendapatan di Provinsi Jawa Tengah [jurnal]. Jakarta (ID): Universitas Terbuka. Sukirno S. 2006. Ekonomi Pembangunan. Jakarta (ID): Lembaga Penerbit FE-UI. Tarigan R. 2005. Ekonomi Regional Teori dan Aplikasi Edisi Revisi. Jakarta (ID): Bumi Aksara. Todaro MP, Stephen CS. 2006. Ekonomi Pembangunan. Jakarta(ID): Erlangga. Wijaya A. 2001. Kajian Ketimpangan Pembangunan Ekonomi Antar Wilayah Indonesia [jurnal]. Jakarta (ID): Pusat Penelitian dan Pengembangan Ekonomi dan Pembangunan. PEP-LIPI.
45
Lampiran 1 Nilai ketiimpangan pendapatan p a antarkabupa aten/kota dii Jawa Tengah Tahun 20055 Kabupaten n/Kota Kab. Cilaccap Kab. Banyyumas Kab. Purb balingga Kab. Banjjarnegara Kab. Kebu umen Kab. Purw worejo Kab. Wonnosobo Kab. Maggelang Kab. Boyolali Kab. Klatten Kab. Sukooharjo Kab. Wonnogiri Kab. Karaanganyar Kab. Sraggen Kab. Grobbogan Kab. Blorra Kab. Rem mbang Kab. Pati dus Kab. Kud Kab. Jepaara Kab. Dem mak Kab. Sem marang Kab. Tem manggung Kab. Kend dal Kab. Bataang Kab. Pekaalongan Kab. Pem malang Kab. Tegaal Kab. Brebbes Kota Maggelang Kota Suraakarta Kota Salaatiga Kota Sem marang Kota Pekaalongan Kota Tegaal
IW = 0.7552
fi/n 0 0.050874157 7 0 0.046544835 5 0 0.026238474 4 0 0.027467353 3 0 0.036722219 9 0 0.021635609 9 0 0.02369937 0 0.035541746 6 0 0.028613093 3 0 0.034617375 5 0 0.025468802 2 0 0.030704689 9 0 0.02535078 0 0.026376978 8 0 0.040547755 5 0 0.025547201 1 0 0.017877258 8 0 0.036879563 3 0 0.023071818 8 0 0.032744566 6 0 0.032559236 6 0 0.027166492 2 0 0.02180222 0 0.027274122 2 0 0.021651987 7 0 0.026091766 6 0 0.041689181 1 0 0.044700529 9 0 0.055130277 7 0 0.003972548 8 0 0.016243047 7 0 0.005347103 3 0 0.043629601 1 0 0.008633301 1 0 0.007584951 1
75486696.806 -1788315.48 -1912062.229 -1617828.751 -2181057.313 -876962.8528 -2124067.911 -1362343.757 -467169.4494 -487491.078 5654225.389 -1736609.456 8828440.5152 -1462263.18 -2204598.189 -2078168.61 -1034539.804 -1163245.344 98857729.148 -971986.6757 -1831160.87 8750660.837 -1358154.001 6282772.4175 -1368896.862 -1108537.309 -2124156.214 -2227782.517 -1741860.817 26733329.506 30801194.69 2203228.7157 71387727.198 18506673.523 -120020.0757
5.69828E+1 5 3 3.19807E+12 3 2 3.65598E+12 3 2 2.61737E+12 2 2 4.75701E+12 4 2 7.69064E+1 7 1 4.51166E+12 4 2 1.85598E+12 2 2.18247E+1 2 1 2.37648E+1 2 1 3.19706E+1 3 1 3.01581E+12 3 2 7.79407E+1 7 1 2.13821E+12 2 2 4.86025E+12 4 2 4.31878E+12 4 2 1.07027E+12 2 1.35314E+12 2 9.77276E+1 9 3 9.44758E+1 9 1 3.35315E+12 3 2 7.65731E+1 7 1 2 1.84458E+12 3.94726E+1 3 1 2 1.87388E+12 1.22885E+12 2 4.51204E+12 4 2 4.96301E+12 4 2 3.03408E+12 3 2 7.14669E+12 7 2 9.4876E+12 9 4854474295 4 1 5.09614E+1 5 3 3.42499E+12 3 2 144048185668
2.899895E+12 1.488854E+11 95927387209 71892222085 1.744688E+11 16639164387 1.066924E+11 65964788629 62444730230 8226734386 81442525664 92599581449 19758584514 56399612448 1.977072E+11 1.100333E+11 19133539453 49903201659 2.255475E+12 30935693578 1.099176E+11 20802237571 40215989619 10765811493 40573195932 32062995692 1.888103E+11 2.211849E+11 1.67727E+11 28390574629 1.544108E+11 259573725.1 2.222343E+12 29568990289 109259836.6
46
Lamppiran 2 Nillai ketimpanngan pendap patan antarkkabupaten/k kota di Jawaa Tenngah Tahunn 2006 Kabuupaten/Kota Kab. Cilacap Kab. Banyumas Kab. Purbalinggaa Kab. Banjarnegarra Kab. Kebumen Kab. Purworejo Kab. Wonosobo Kab. Magelang Kab. Boyolali Kab. Klaten Kab. Sukoharjo Kab. Wonogiri Kab. Karanganyaar Kab. Sragen Kab. Grobogan Kab. Blora Kab. Rembang Kab. Pati Kab. Kudus Kab. Jepara Kab. Demak Kab. Semarang ng Kab. Temanggun Kab. Kendal Kab. Batang Kab. Pekalongan Kab. Pemalang Kab. Tegal Kab. Brebes Kota Magelang Kota Surakarta Kota Salatiga Kota Semarang Kota Pekalongan Kota Tegal
IW = 0.7475
fi/n 0.0503997091 0.0463225984 0.025381529 0.026716241 0.0373993253 0.0222996135 0.0233774427 0.0358339508 0.0288444919 0.0349998274 0.025286339 0.030418802 0.0248449329 0.026611448 0.040968894 0.025786312 0.0177441152 0.036210106 0.023760626 0.032881872 0.0316333182 0.027686788 0.0215997204 0.028765858 0.021013042 0.0260339935 0.041786571 0.043719554 0.054869128 0.004033857 0.0159339533 0.0053221942 0.0456330689 0.0084447084 0.0074228678
82297394.56 -11861914.0166 -11912126.2088 -11619309.1088 -22338866.6666 -9978908.48522 -22228603.4244 -11431088.1055 -5504382.37577 -6606741.346 6880121.5101 -11800362.7966 1120439.072 -11531490.9444 -22349160.4188 -22210813.0666 -11009190.5988 -11152380.9788 98847880.621 -11024961.3422 -11858565.6366 8337767.8565 -11419526.9499 4006768.9854 -11393079.1622 -11149292.051 -22253146.4822 -22283370.2633 -11806216.5677 26609096.742 35546510.387 8188.770586 72274949.601 20066923.471 277455.40741
6.884688E+13 3.466722E+12 3.656233E+12 2.622166E+12 5.4703E E+12 9.582622E+11 4.966677E+12 2.04801E+12 2.544022E+11 3.681355E+11 4.625655E+11 3.24131E+12 1.255388E+12 2.345466E+12 5.518555E+12 4.887699E+12 1.018477E+12 1.327988E+12 9.698088E+13 1.050555E+12 3.454277E+12 7.018555E+11 2.015066E+12 1.65461E+11 1.940677E+12 1.320877E+12 5.076677E+12 5.213788E+12 3.262422E+12 6.807399E+12 1.257777E+13 670559 963.71 5.292499E+13 4.272177E+12 753799 9396.1
3.46968E+112 1.60599E+111 928006238775 700543124556 2.04552E+111 213655346000 1.16093E+111 733997833886 73381928744 128840916005 116965823448 985966517221 311954429664 624162077338 2.26089E+111 1.26036E+111 180687541886 480863654111 2.30432E+112 345439109667 1.09269E+111 194321103118 435195919559 47596277844 407793712661 343954267884 2.12137E+111 2.27944E+111 1.79006E+111 274921009220 2.00483E+111 356867.9231 2.415E+12 360874026666 5599733.1009
47
Lampiran 3 Nilai kettimpangan pendapatan p antarkabuppaten/kota di d Jawa Tengah Tahun 20007 Kabupaten//Kota Kab. Cilacaap Kab. Banyuumas Kab. Purbaalingga Kab. Banjaarnegara Kab. Kebum men Kab. Purwoorejo Kab. Wonoosobo Kab. Mageelang Kab. Boyolali n Kab. Klaten Kab. Sukoh harjo Kab. Wonoogiri Kab. Karannganyar Kab. Srageen Kab. Grobo ogan Kab. Bloraa Kab. Remb bang Kab. Pati Kab. Kuduus Kab. Jeparaa Kab. Demaak Kab. Semaarang Kab. Temaanggung Kab. Kendal Kab. Batanng Kab. Pekallongan Kab. Pemaalang Kab. Tegall Kab. Brebees Kota Mageelang Kota Surak karta Kota Salatiiga Kota Semaarang Kota Pekallongan Kota Tegall
IW = 0.74414
fi/n 0 0.05012854 0 0.04620037 0 0.02538181 0 0.02668748 0 0.03732877 0 0.0222171 0 0.02329958 0 0.03586374 0 0.02880451 0 0.03486233 0 0.02531235 0 0.03026941 0 0.02487508 0 0.02649279 0 0.04096364 0 0.02569184 0 0.01769222 0 0.03605963 0 0.02392932 0 0.03315694 0 0.03166705 0 0.02780767 0 0.02164419 0 0.0289718 0 0.02096674 0 0.02607229 0 0.04196851 0 0.04355398 0 0.05484632 0 0.00408202 0 0.01598371 0 0.00539523 0 0.04597382 0 0.00844162 0 0.0074076
8457253.17 -19011255.895 -19389366.886 -16591666.966 -24193833.367 -944936.4981 -23216444.359 -14622222.751 -529117.3233 -654253.6709 736827.88496 -18363922.616 1230804.838 -15368677.837 -24365844.145 -22830522.312 -10562611.847 -11506100.438 9963268.38 -10799411.417 -19362366.433 862862.00653 -14892766.102 383271.66354 -14644699.978 -11895822.81 -23446622.349 -23365977.142 -18618911.3 2610499.141 3769234.305 -9906.217718 7640038.378 2111016.708 78044.188886
7.15251E+13 3.61428E+12 3.75948E+12 2.75284E+12 5.85342E+12 8.92905E+11 5.39003E+12 2.1381E+12 2.79965E+11 4.28048E+11 5.42915E+11 3.37234E+12 1.51488E+12 2.36196E+12 5.93694E+12 5.21233E+12 1.11569E+12 1.3239E+12 9.92667E+13 1.16627E+12 3.74901E+12 7.44531E+11 2.21794E+12 1.46897E+11 2.14467E+12 1.41511E+12 5.49744E+12 5.45969E+12 3.46664E+12 6.81471E+12 1.42071E+13 988133149.47 5.83702E+13 4.45639E+12 60090895415
3.588545E+12 1.666981E+11 954222301441 734666225465 2.188501E+11 198337762202 1.255586E+11 766880102745 80644258120 149222746329 137442462340 1.022079E+11 376882773419 625774988084 2.433199E+11 1.333914E+11 197339016155 477339506979 2.377538E+12 386770060429 1.18872E+11 207003668190 480005592499 42555874898 449666794041 368995085855 2.300719E+11 2.377791E+11 1.900132E+11 27817776493 2.277083E+11 5294450.7524 2.68835E+12 37619162481 45118887.77
48
Lamppiran 4 Nillai ketimpanngan pendap patan antarkkabupaten/k kota di Jawaa Teengah Tahunn 2008 Kabuupaten/Kota Kab. Cilacap Kab. Banyumas Kab. Purbalinggaa Kab. Banjarnegarra Kab. Kebumen Kab. Purworejo Kab. Wonosobo Kab. Magelang Kab. Boyolali Kab. Klaten Kab. Sukoharjo Kab. Wonogiri Kab. Karanganyaar Kab. Sragen Kab. Grobogan Kab. Blora Kab. Rembang Kab. Pati Kab. Kudus Kab. Jepara Kab. Demak Kab. Semarang ng Kab. Temanggun Kab. Kendal Kab. Batang Kab. Pekalongan Kab. Pemalang Kab. Tegal Kab. Brebes Kota Magelang Kota Surakarta Kota Salatiga Kota Semarang Kota Pekalongan Kota Tegal
IW = 0.7451
fi/n 0.049861324 0.0460775033 0.02538206 0.026658696 0.037264343 0.0221338306 0.0232224942 0.035887942 0.028764108 0.0347226858 0.0253338353 0.0301220709 0.0249000793 0.0263774631 0.040958316 0.0255997683 0.0176443386 0.0359009734 0.0240999172 0.0334334254 0.0317000902 0.0279229017 0.0216991244 0.0291779171 0.0209220519 0.0261004635 0.042151154 0.043388956 0.0548223319 0.0041225954 0.0160227976 0.005469529 0.046319437 0.0084336146 0.0073771395
903 37748.948 -19 950574.589 -19 999611.019 -17 713264.841 -24 487282.913 -936073.7121 -24 427717.632 -15 513111.836 -57 70482.8965 -69 94494.0024 767 7110.5026 -19 906392.958 133 32229.859 -15 553617.151 -25 518870.109 -2355162.691 -10 088848.781 -1177087.622 101 134305.73 -1159466.488 -20 030400.105 848 8312.8221 -15 589820.979 340 0172.5239 -15 546521.348 -12 238123.485 -24 440239.093 -24 404096.972 -19 930995.583 265 57277.447 397 74114.433 -62 2307.12727 794 44781.815 213 33392.375 125 5117.4819
8.16809E E+13 3.80474E E+12 3.99844E E+12 2.93528E E+12 6.18658E E+12 8.76234E E+11 5.89381E E+12 2.28951E E+12 3.25451E E+11 4.82322E E+11 5.88459E E+11 3.63433E E+12 1.77484E E+12 2.41373E E+12 6.34471E E+12 5.54679E E+12 1.18559E E+12 1.38554E E+12 1.02704E E+14 1.34436E E+12 4.12252E E+12 7.19635E E+11 2.52753E E+12 1.15717E E+11 2.39173E E+12 1.53295E E+12 5.95477E E+12 5.77968E E+12 3.72874E E+12 7.06112E E+12 1.57936E E+13 38821788109 6.31196E E+13 4.55136E E+12 156543884282
44.0727E+12 1.753E+11 1.0149E+11 7 7.8251E+10 2 2.3054E+11 1.9398E+10 1.3688E+11 8 8.2166E+10 9 9361300039 1.675E+10 1.4911E+10 1.0947E+11 4 4.4195E+10 6 6.3661E+10 2 2.5987E+11 1.4199E+11 2 2.0918E+10 4 4.9754E+10 2 2.4751E+12 4 4.4948E+10 1.3069E+11 2 2.0099E+10 5.4825E+10 3376536182 5.0036E+10 4 4.0017E+10 2 2.51E+11 2 2.5077E+11 2 2.0442E+11 2 2.9134E+10 2 2.5314E+11 2 21233687.4 2 2.9237E+12 3.8396E+10 115394646
49
Lampiran 5 Nilai kettimpangan pendapatan p antarkabuppaten/kota di d Jawa Tengah Tahun 20099 Kabupaten//Kota Kab. Cilacaap Kab. Banyuumas Kab. Purbaalingga Kab. Banjaarnegara Kab. Kebum men Kab. Purwoorejo Kab. Wonoosobo Kab. Mageelang Kab. Boyolali n Kab. Klaten Kab. Sukoh harjo Kab. Wonoogiri Kab. Karannganyar Kab. Srageen Kab. Grobo ogan Kab. Bloraa Kab. Remb bang Kab. Pati Kab. Kuduus Kab. Jeparaa Kab. Demaak Kab. Semaarang Kab. Temaanggung Kab. Kendal Kab. Batanng Kab. Pekallongan Kab. Pemaalang Kab. Tegall Kab. Brebees Kota Mageelang Kota Surak karta Kota Salatiiga Kota Semaarang Kota Pekallongan Kota Tegall
IW = 0.7335
fi/n 0 0.049594696 6 0 0.045949249 9 0 0.025381868 8 0 0.026629504 4 0 0.037199399 9 0 0.022059414 4 0 0.023150133 3 0 0.035911538 8 0 0.028723279 9 0 0.034591332 2 0 0.025363946 6 0 0.029972223 3 0 0.024926119 9 0 0.026256549 9 0 0.040952287 7 0 0.025503428 8 0 0.017594392 2 0 0.035759855 5 0 0.024269819 9 0 0.033713304 4 0 0.031734242 2 0 0.028050426 6 0 0.021738034 4 0 0.02938752 0 0.020874034 4 0 0.026136571 1 0 0.042333866 6 0 0.043223821 1 0 0.05479939 0 0.004170297 7 0 0.016072083 3 0 0.005544757 7 0 0.046666861 1 0 0.008430509 9 0 0.007335257 7
90527001.651 -19806229.143 -20292661.434 -17479444.133 -25811666.681 -9321733.4384 -25142550.738 -15573776.208 -5508255.9853 -7067244.9087 8119299.4161 -19490003.926 13023667.56 -15415994.398 -25935330.974 -2415416.079 -11129338.042 -11872222.994 103318847.89 -12073990.06 -21129772.209 855301.6215 -16614887.613 3762033.3308 -16140002.573 -12879557.657 -25277884.346 -24588999.949 -19807550.956 27274225.607 42265880.028 -1234099.207 82583889.583 22447330.618 1872366.3484
8.19514E+13 3.92289E+12 4.1179E+12 3.05531E+12 6.66242E+12 8.68947E+11 6.32146E+12 2.42542E+12 3.03409E+11 4.9946E+11 6.59229E+11 3.79862E+12 1.69616E+12 2.37651E+12 6.7264E+12 5.83423E+12 1.23863E+12 1.4095E+12 1.06747E+14 1.45779E+12 4.46465E+12 7.31541E+11 2.76054E+12 1.41529E+11 2.605E+12 1.65883E+12 6.38969E+12 6.04619E+12 3.92337E+12 7.43885E+12 1.7864E+13 155229832361 6.8201E+13 5.03882E+12 355057450163
4.06436E+12 1.80254E+11 1.0452E+11 813613353949 2.47838E+11 191684468631 1.46343E+11 871005585752 87149008888 172769989875 167206658289 1.13853E+11 422787717012 623990036947 2.75462E+11 1.48793E+11 217929960677 504034459413 2.59073E+12 491469942821 1.41682E+11 205200033030 600087737046 41591884723 543769947992 433562257646 2.705E E+11 2.61339E+11 2.14999E+11 310222218286 2.87111E+11 844457712.29 3.18273E+12 424797780709 2571555389.9
50
Lamppiran 6 Nillai ketimpanngan pendap patan antarkkabupaten/k kota di Jawaa Teengah Tahunn 2010 Kabuupaten/Kota Kab. Cilacap Kab. Banyumas Kab. Purbalinggaa Kab. Banjarnegarra Kab. Kebumen Kab. Purworejo Kab. Wonosobo Kab. Magelang Kab. Boyolali Kab. Klaten Kab. Sukoharjo Kab. Wonogiri Kab. Karanganyaar Kab. Sragen Kab. Grobogan Kab. Blora Kab. Rembang Kab. Pati Kab. Kudus Kab. Jepara Kab. Demak Kab. Semarang ng Kab. Temanggun Kab. Kendal Kab. Batang Kab. Pekalongan Kab. Pemalang Kab. Tegal Kab. Brebes Kota Magelang Kota Surakarta Kota Salatiga Kota Semarang Kota Pekalongan Kota Tegal
IW = 0.77232
fi/n 0.0500709458 0.0488004924 0.0266216255 0.0266832665 0.0355819358 0.021475292 0.0233311336 0.0366492466 0.0288735474 0.0344896673 0.0255453069 0.0288685231 0.0255112084 0.0266503878 0.0400413484 0.0255622604 0.0188261596 0.036677873 0.024400782 0.0333884804 0.0322597047 0.0288741527 0.021880416 0.027780232 0.021825386 0.0255897226 0.0388951498 0.0433073643 0.0533543136 0.0033650936 0.015541989 0.0055259976 0.0488049918 0.0088690887 0.0077398991
9215439.221 -2245298.6649 -2264259.8862 -1915247.0061 -2699863.9932 -901784.05552 -2737422.6634 -1756163.3351 -674355.13388 -953659.50029 800293.99956 -2017687.8872 1465403.0086 -1662853.5501 -2753558.2237 -2608791.122 -1377829.7744 -1394136.4413 11033919.04 -1347868.441 -2377776.228 734874.66602 -1839077.4445 751794.6003 -1896872.9975 -1387563.2294 -2499850.175 -2639099.6695 -2063177.0089 4137364.7795 4981782.7771 120694.7001 8487079.895 2176455.4484 109094.20026
8.492 243E+13 5.041 137E+12 5.126 687E+12 3.668 817E+12 7.289 927E+12 8.132 214E+11 7.493 348E+12 3.084 411E+12 4.547 755E+11 9.094 466E+11 6.404 47E+11 4.071 106E+12 2.147 741E+12 2.765 508E+12 7.582 208E+12 6.805 579E+12 1.898 841E+12 1.943 362E+12 1.217 747E+14 1.816 675E+12 5.653 382E+12 5.400 041E+11 3.382 221E+12 5.651 195E+11 3.598 813E+12 1.925 533E+12 6.249 925E+12 6.964 485E+12 4.256 67E+12 1.711 178E+13 2.481 182E+13 14567210852 305E+13 7.203 4.736 696E+12 11901545046
4.30647E+112 2.4201E+111 1.34407E+111 984268132447 2.61097E+111 174640180992 1.74683E+111 1.12547E+111 130675962886 317373534339 163019392445 1.16779E+111 539258448334 732853906332 3.06418E+111 1.74382E+111 346680842220 714837406447 2.92289E+112 615601930667 1.84298E+111 155215960888 740040702991 157137358662 785305137117 498607560002 2.43418E+111 3.00001E+111 2.27917E+111 624959420779 3.82693E+111 76623180.008 3.46106E+112 411683689445 88059429.22
51
Lampiran 7 Nilai kettimpangan pendapatan p antarkabuppaten/kota di d Jawa Tengahh Tahun 2011 Kabupaten n/Kota Kab. Cilacap Kab. Banyyumas Kab. Purb balingga Kab. Banjjarnegara Kab. Kebu umen Kab. Purw worejo Kab. Wonnosobo Kab. Maggelang Kab. Boyolali Kab. Klatten Kab. Suko oharjo Kab. Wonnogiri Kab. Karaanganyar Kab. Sraggen Kab. Grob bogan Kab. Blorra Kab. Rem mbang Kab. Pati Kab. Kuddus Kab. Jepaara Kab. Dem mak Kab. Sem marang Kab. Tem manggung Kab. Kendal Kab. Bataang Kab. Pekaalongan Kab. Pem malang Kab. Tegaal Kab. Brebbes Kota Maggelang Kota Suraakarta Kota Salaatiga Kota Sem marang Kota Pekaalongan Kota Tegaal
IW = 0.72214
fi/n 0.050605 0.048113 0.026308 0.026811 0.035606 0.021325 0.023251 0.036588 0.028698 0.034776 0.02549 0.028486 0.025172 0.026405 0.040335 0.025542 0.018282 0.036728 0.024148 0.034178 0.032717 0.028945 0.021931 0.027832 0.021871 0.0259 0.038738 0.042881 0.05338 0.003633 0.015367 0.005301 0.048567 0.008713 0.007376
9500938.4003 -2315618.6622 -2334453.0094 -1990234.3302 -2811208.8838 -901898.92268 -2851899.1124 -1858989.8833 -679046.82227 -1102928.997 804467.08335 -2075128.2289 1547387.8559 -1659022.4488 -2893160.5533 -2764293.8851 -1457465.2246 -1425391.4432 11272561.886 -1417067.9938 -2497670.3305 759530.79334 -1935034.119 840258.8111 -1969716.1145 -1449902.7716 -2588067.447 -2736904.7713 -2135344.9903 4406188.1009 5335359.4775 100393.97332 8884762.0447 2285276.5779 113323.7533
9.02 2678E+13 5.36 6209E+12 5.44 4967E+12 3.96 6103E+12 7.90 029E+12 8.13 3422E+11 8.13 3333E+12 3.45 5584E+12 4.61 1105E+11 1.21 1645E+12 6.47 7167E+11 4.30 0616E+12 2.39 9441E+12 2.75 5236E+12 8.37 7038E+12 7.64 4132E+12 2.12 242E+12 2.03 3174E+12 1.27 7071E+14 2.00 0808E+12 6.23 3836E+12 5.76 6887E+11 3.74 4436E+12 7.06 6035E+11 3.87 7978E+12 2.10 0222E+12 6.69 9809E+12 7.49 9065E+12 4.55 597E+12 1.94 4145E+13 2.84 4661E+13 10078949847 7.89 939E+13 5.22 2249E+12 12842272986
4.56803E+12 2.57989E+11 1.43372E+11 +11 1.062E+ 2.81387E+11 173466115248 1.89107E+11 1.26441E+11 132330000131 423028551826 164964559328 1.22663E+11 602712661096 726746336817 3.37623E+11 1.95175E+11 388353997092 746217999748 3.06845E+12 686318880481 2.04099E+11 166981330178 821174993989 196502775780 848539440168 544475336553 2.59468E+11 3.212066E+11 2.43398E+11 705398448151 4.37452E+11 534322883.92 3.83387E+12 455018220577 947237007.74
52
Lamppiran 8 Nillai ketimpanngan pendap patan antarkkabupaten/k kota di Jawaa Teengah Tahunn 2012 Kabbupaten/Kotaa Kabb. Cilacap Kabb. Banyumas Kabb. Purbalingg ga Kabb. Banjarnegaara Kabb. Kebumen Kabb. Purworejo Kabb. Wonosoboo Kabb. Magelang Kabb. Boyolali Kabb. Klaten Kabb. Sukoharjo Kabb. Wonogiri Kabb. Karangany yar Kabb. Sragen Kabb. Grobogan Kabb. Blora Kabb. Rembang Kabb. Pati Kabb. Kudus Kabb. Jepara Kabb. Demak Kabb. Semarang Kabb. Temanggung Kabb. Kendal Kabb. Batang Kabb. Pekalongann Kabb. Pemalang Kabb. Tegal Kabb. Brebes Kotaa Magelang Kotaa Surakarta Kotaa Salatiga Kotaa Semarang Kotaa Pekalongann Kotaa Tegal
IW = 0.7133
fi/nn 0.050449154 0.048182357 0.0263374618 0.0267779575 0.0355517603 0.0212294818 0.023187322 0.0366650538 0.0286653774 0.0346657043 0.025550985 0.0284445059 0.0252210604 0.0263308312 0.0402250035 0.025446197 0.0182291079 0.0366669234 0.0242256086 0.034441265 0.032803493 0.029106612 0.0219963194 0.027842478 0.021898812 0.02589001 0.0386623865 0.0427710916 0.0532215178 0.0036620266 0.0153316286 0.0053334502 0.0489990498 0.0087726937 0.0073352885
9517321.3995 -2376672.5584 -2390977.772 -2053930.9927 -2893472.1177 -937037.2992 -2943460.4434 -1908339.4495 -676974.91168 -1113952.7798 809531.66553 -2119626.5511 1623038.133 -1651239.0094 -2962002.6688 -2854608.1126 -1524492.1141 -1441552.9926 11410050.448 -1473541.9919 -2607850.3369 792431.0113 -2008079.4491 879575.72007 -2049520.0075 -1495630.0082 -2666026.7714 -2818170.9944 -2198560.444 4703869.614 5635942.2777 90948.609883 9210010.5558 2370783.7667 122216.6399
9.057794E+13 5.648857E+12 5.716677E+12 4.218863E+12 8.372218E+12 8.780039E+11 8.663396E+12 3.64176E+12 4.582295E+11 1.240089E+12 6.553342E+11 4.492282E+12 2.634425E+12 2.726659E+12 8.773346E+12 8.148879E+12 2.324408E+12 2.078807E+12 1.30189E+14 2.17133E+12 6.800088E+12 6.279947E+11 4.032238E+12 7.736653E+11 4.200053E+12 2.236691E+12 7.10777E+12 7.942209E+12 4.833367E+12 2.212264E+13 3.176638E+13 82716 649630 8.482243E+13 5.620062E+12 14936 6906857
4.57349E+ +12 2.72162E+ +11 1.50778E+ +11 1.12973E+ +11 2.9736E+111 186976782213 2.00894E+ +11 1.33472E+ +11 131318825548 430056073301 167176639996 1.27798E+ +11 664111023377 717319959935 3.53132E+ +11 2.07484E+ +11 425098640041 762014121199 3.15788E+ +12 747210750085 2.23093E+ +11 182774068881 885640141104 215404289970 919866712270 579136058805 2.74527E+ +11 3.39214E+ +11 2.57225E+ +11 801034155582 4.86504E+ +11 44125135.03 +12 4.15558E+ 490507587784 1098293555.7
53
Lampiran 9 Hasil pengujian dengan model PLS (Pooled Least Square) untuk mengestimasi faktor-faktor yang memengaruhi pertumbuhan ekonomi sektor pertanian Dependent Variable: LNPTN Method: Panel EGLS (Cross-section weights) Date: 03/04/14 Time: 13:57 Sample (adjusted): 2009 2012 Periods included: 4 Cross-sections included: 35 Total panel (balanced) observations: 140 Iterate coefficients after one-step weighting matrix White cross-section standard errors & covariance (d.f. corrected)
Variable
Coefficient
Std. Error
t-Statistic
Prob.
LNXLP LNLI LNJP LNJTK C
0.107299 0.747367 0.470146 -0.009426 0.003365
0.036074 0.058827 0.014951 0.031324 0.008614
2.974427 12.70440 31.44630 -0.300926 0.390717
0.0035 0.0000 0.0000 0.7639 0.6966
Weighted Statistics R-squared Adjusted R-squared S.E. of regression F-statistic Prob(F-statistic)
0.999908 0.999905 0.015841 292412.5 0.000000
Mean dependent var S.D. dependent var Sum squared resid Durbin-Watson stat
0.900105 1.441073 0.033625 2.481433
Unweighted Statistics R-squared Sum squared resid
0.999574 0.098239
Mean dependent var Durbin-Watson stat
0.735341 2.536508
54
Lampiran 10 Hasil pengujian dengan model Fixed Effect untuk mengestimasi faktor-faktor yang memengaruhi pertumbuhan ekonomi sektor pertanian Dependent Variable: LNPTN Method: Panel EGLS (Cross-section weights) Date: 03/04/14 Time: 13:58 Sample (adjusted): 2009 2012 Periods included: 4 Cross-sections included: 35 Total panel (balanced) observations: 140 Iterate coefficients after one-step weighting matrix White cross-section standard errors & covariance (d.f. corrected)
Variable
Coefficient
Std. Error
t-Statistic
Prob.
LNLP LNLI LNJP LNJTK C
0.160435 0.526720 0.522279 0.053932 -0.039559
0.019870 0.093559 0.050228 0.031062 0.003596
8.074359 5.629841 10.39822 1.736253 -11.00239
0.0000 0.0000 0.0000 0.0856 0.0000
Effects Specification Cross-section fixed (dummy variables) Weighted Statistics R-squared Adjusted R-squared S.E. of regression F-statistic Prob(F-statistic)
0.999975 0.999965 0.013308 102653.0 0.000000
Mean dependent var S.D. dependent var Sum squared resid Durbin-Watson stat
1.052684 2.016011 0.017711 2.217987
Unweighted Statistics R-squared Sum squared resid
0.999719 0.064758
Mean dependent var Durbin-Watson stat
0.735341 2.363035
55
Lampiran 11 Hasil pengujian dengan model Random Effect untuk mengestimasi faktor-faktor yang memengaruhi pertumbuhan ekonomi sektor pertanian Dependent Variable: LNPTN Method: Panel EGLS (Cross-section random effects) Date: 03/04/14 Time: 13:59 Sample: 2008 2012 Periods included: 5 Cross-sections included: 35 Total panel (balanced) observations: 175 Swamy and Arora estimator of component variances Variable
Coefficient
Std. Error
t-Statistic
Prob.
LNLP LNLI LNJP LNJTK C
0.161544 0.904691 0.338079 0.013994 -0.028659
0.032163 0.040406 0.018903 0.033133 0.011386
5.022643 22.38976 17.88531 0.422360 -2.517054
0.0000 0.0000 0.0000 0.6733 0.0128
Effects Specification S.D. Cross-section random Idiosyncratic random
0.064384 0.016919
Rho 0.9354 0.0646
Weighted Statistics R-squared Adjusted R-squared S.E. of regression F-statistic Prob(F-statistic)
0.998322 0.998283 0.017671 25287.09 0.000000
Mean dependent var S.D. dependent var Sum squared resid Durbin-Watson stat
0.084451 0.426414 0.053085 1.521351
Unweighted Statistics R-squared Sum squared resid
0.996611 0.975942
Mean dependent var Durbin-Watson stat
0.723543 0.082752
56
Lampiran 12 Hasil pengujian Chow Test untuk mengestimasi faktor-faktor yang memengaruhi pertumbuhan ekonomi sektor pertanian Redundant Fixed Effects Tests Equation: Untitled Test cross-section fixed effects Effects Test
Statistic
Cross-section F
4.062395
d.f.
Prob.
(34,100)
0.0000
Lampiran 13 Hasil pengujian Hausman Test untuk mengestimasi faktor-faktor yang memengaruhi pertumbuhan ekonomi sektor pertanian Correlated Random Effects - Hausman Test Equation: Untitled Test cross-section random effects Test Summary Cross-section random
Chi-Sq. Statistic
Chi-Sq. d.f.
Prob.
19.445605
4
0.0006
57
RIWAYAT HIDUP Penulis bernama Dyah Ayu Fajar Prabaningrum lahir pada tanggal 31 Januari 1993 di Sragen. Penulis adalah anak pertama dari tiga bersaudara, dari pasangan Bapak Eko Prabowo dan Ibu Yuni Widyastuti. Pendidikan yang ditempuh penulis yaitu, Sekolah Dasar tahun 1998-2004 di SD Negeri 15 Sragen. Sekolah Menengah Pertama pada tahun 2004-2007 di SMP Negeri 1 Sragen. Sekolah Menengah Atas tahun 2007-2010 di SMA Negeri 2 Sragen. Setelah lulus pada tahun 2010 penulis diterima di Departemen Ilmu Ekonomi, Fakultas Ekonomi dan Manajemen, Institut Pertanian Bogor melalui jalur USMI. Selama menjadi mahasiswa penulis aktif di kegiatan kemahasiswaan,di antaranya sebagai pengurus Himpunan Profesi dan Peminat Ilmu Ekonomi Studi Pembangunan (HIPOTESA) Divisi Research and Development periode 20112012. Penulis juga aktif ikut berbagai kepanitiaan yang diselenggarakan oleh kampus pada acara departemen, yaitu panitia acara HIPOTESA Exhibition in Revolution 2011 sebagai sekretaris II, panitia acara HIPOTESA Exhibition in Revolution 2012 sebagai bendahara I, panitia acara Exchange 2012.