Sumber: Majalah Mitra Pendidikan Kab Bondowoso. POTRET PENDIDIKAN KARAKTER DI INDONESIA Adalah Socrates, filosof Yunani Kuno, yang menjelaskan tujuan utama pendidikan. Menurutnya, yang paling utama dari pendidikan adalah membuat seseorang menjadi “good and smart”. Artinya, manusia yang terdidik seharusnya menjadi orang bijak, yaitu yang dapat menggunakan ilmunya dalam kehidupan sehari-hari, sebut saja untuk hal-hal yang baik (beramal shaleh), dapat hidup secara bijak dalam seluruh aspek kehidupan berkeluarga, bertetangga, bermasyarakat, dan bernegara (Megawangi, 2010). Hanya saja, sampai saat ini, tidak sedikit institusi pendidikan yang ”hanya” bisa membengkakkan tarif pendidikan, membangun sekolah mewah, namun tidak mampu membentuk karakter. Pembentukan karakter sangat erat kaitannya dengan menyiapkan internal/batin individu yang senantiasa berpikir baik, berhati baik, dan bertindak baik. Karena itu, sebuah sistem pendidikan yang berhasil bukanlah pendidikan yang mahal, murah atau bahkan “murahan”, melaikan pendidikan yang membentuk generasi-generasi bangsa yang berkarakter. Kata Dalai Lama, pemimpin spiritual Tibet, untuk menciptakan masyarakat yang penuh kedamaian harus dimulai dari dalam diri setiap individu, yaitu melalui transformasi internal dalam diri setiap insan. Sejatinya, konsep pendidikan karakter telah digagas di awal kemerdekakan. Itu karena, Pancasila sebagai dasar negara dan pandangan hidup, mengandung nilai-nilai karakter serta nilai-nilai luhur yang harus dihayati, dijadikan pedoman, dan diamalkan oleh seluruh warga negara Indonesia dalam hidup dan kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. Lebih dari itu, nilai-nilai Pancasila sepatutnya menjadi karakter masyarakat Indonesia sehingga Pancasila menjadi identitas atau jati diri bangsa Indonesia. Mengingat kedudukan dan fungsinya yang sangat fundamental bagi negara dan bangsa Indonesia, maka dalam pembangunan karakter bangsa, Pancasila merupakan landasan utama. Aneka Ragam Panggilan “Pendidikan Karakter” Pendidikan karakter bisa juga disebut, Pendidikan Moral, Pendidikan Nilai, Pendidikan Religius, dan Pendidikan Budi Pekerti. Masing-masing penamaan kadang-kadang digunakan secara saling bertukaran (inter-exchanging), misal pendidikan karakter juga merupakan pendidikan nilai atau pendidikan relijius itu sendiri (Kirschenbaum, 2000). Sebagai kajian akademik, pendidikan karakter tentu saja perlu memuat syarat-syarat keilmiahan akademik seperti dalam content (isi), pendekatan dan metode kajian. Terminologi ”karakter” itu sendiri sedikitnya memuat dua hal: values (nilainilai) dan kepribadian. Suatu karakter merupakan cerminan dari nilai apa yang melekat dalam sebuah entitas. ”Karakter yang baik” pada gilirannya adalah suatu penampakan dari nilai yang baik pula yang dimiliki oleh orang atau sesuatu, di luar persoalan apakah ”baik” sebagai sesuatu yang ”asli” ataukah sekadar kamuflase. Dari hal itu, maka kajian pendidikan karakter akan bersentuhan dengan etika
yang bersifat universal, seperti kejujuran. Pendidikan karakter sebagai pendidikan nilai menjadikan “upaya eksplisit mengajarkan nilai-nilai, untuk membantu siswa mengembangkan disposisi-disposisi guna bertindak dengan cara-cara yang pasti” (Curriculum Corporation, 2003: 33). Persoalan baik dan buruk, kebajikankebajikan, dan keutamaan-keutamaan menjadi aspek penting dalam pendidikan karakter semacam ini. Soal pendidikan karakter, tentu tidak hanya membantu siswa—seperti disebutkan di atas, tapi juga berkaitan dengan keberadaan suatu bangsa. Sebab, bangsa yang kuat tidak hanya dilihat dari seberapa banyak jumlah personil militernya, seberapa banyak kapal perang dan pesawat tempur yang dipunyai. Demikian pula tidak dilihat, seberapa kaya sumber daya alamnya, yang dilihat terutama adalah watak, karakter, atau moral nasionalnya, sebab sebagaimana dikemukakan Morgenthau (1991), karakter nasional sangat menentukan kekuatan nasional. Karakter nasional atau karakter bangsa menurut De Vos (1968) adalah the enduring personality characteristics and unique life style found among the population of particular national states. Karakter bangsa sebagaimana dikemukakan De Vos menunjukkan ciri-ciri kepribadian yang tetap dan gaya hidup yang unik yang ditemui pada penduduk negara bangsa tertentu. Potret Karakter Masyarakat Indonesia Menurut Ratna Megawangi (Indonesia Heritage Foundation), pelopor pendidikan holistik berbasis karakter, negara ini sebenarnya telah mempersiapkan agar manusia memiliki moral tinggi, yaitu dengan mewajibkan seluruh jenjang pendidikan untuk memberikan contoh sopan santun, baik secara langsung ataupun tidak, seperti pada mata Pelajaran Agama dan Pendidikan Moral Pancasila (PMP). Namun, perilaku manusia Indonesia masih belum sesuai dengan prinsip-prinsip moral yang telah diajarkan. Padahal sejak pendidikan usia dini, anak-anak Indonesia sudah mendapatkan pelajaran agama. Demikian pula ketika di SD sampai SMA dan Perguruan Tinggi, mereka wajib mengikuti pelajaran atau mata kuliah Moral Pancasila dan sejenisnya. Hari ini, kita bisa melihat dengan mata telanjang, betapa “tradisi” mencontek telah mewabah dalam kehidupan pelajar, terutama saat Ujian Nasional (UN). Demikian pula dengan kekerasan antarpelajar, seperti bullying di sekolah, tawuran antar sekolah, termasuk perilaku orang dewasa yang juga senang dengan tawuran antar kampung, tawuran antar supporter maupun pembunuhan berantai. Sementara, peringkat korupsi Indonesia masih berada di posisi keempat di Asia. Dan, jangan kaget! Menurut data BKKBN pada 2008, sebanyak 63% remaja di beberapa kota besar di Indonesia telah melakukan seks pra nikah. Data dari Annisa Foundation 2006 menunjukkan bahwa 42,3% remaja SMP dan SMA di Cianjur, Jawa Barat, melakukan hubungan seks yang pertama di bangku sekolah, dan melakukannya berdasarkan rasa suka dan tanpa paksaan. Persatuan Keluarga Berencana Indonesia (PKBI) mengemukakan fakta dari 37.685 pelaku aborsi, 27% belum menikah dan sudah mengupayakan upaya aborsi terlebih dahulu sendiri, seperti minum jamu, tetapi gagal (www.go4healthylife.com).
Penelitian oleh Pusat Ekologi Kesehatan (Badan Litbang Kesehatan, Depkes RI, 1990) terhadap siswa-siswa SMA di Jakarta dan Yogyakarta menyebutkan bahwa faktor utama yang mempengaruhi remaja untuk melakukan hubungan seks pranikah adalah membaca buku porno dan menonton blue film (54,3% di Jakarta dan 49,2% di Yogyakarta). Adapun motivasi utama melakukan senggama adalah suka sama suka (76% di Jakarta dan 75,6% di Yogyakarta), pengaruh teman, kebutuhan biologis 14-18% dan merasa kurang taat pada nilai agama sebanyak 20-26%. Dari fakta itu semua, ternyata, seluruh pengetahuan agama dan moral yang didapatkan, tidak banyak berdampak terhadap perubahan perilaku manusia Indonesia. Bahkan, yang terlihat adalah begitu banyaknya manusia Indonesia yang tidak konsisten. Apa yang dibicarakan tidak sama dengan apa yang dilakukan. Ini barangkali sama dengan istilah, pagi kedelai, sore tempe. Entah, apakah ini berarti ada kegagalan pada institusi pendidikan kita? Karena sejak PAUD hingga perguruan tinggi, upaya menumbuhkan manusia Indonesia yang berkarakter atau berakhlak mulia, sudah (pernah) dilakukan. Minimal, dari segi isi pelajaran agama dan Pancasila, semuanya bagus. Bahkan kita bisa memahami dan menghafal apa maksud pelajaran tersebut. Demikian pula dengan program-program yang digulirkan untuk penguatan mental dan karakter manusia Indonesia, juga tidak kalah banyak. Ada dana untuk penyelamatan lingkungan hidup, ada pula tontonan gratis film anti korupsi di bioskop, kantin kejujuran di sekolah juga diadakan. Tapi nyatanya, kerusakan lingkungan masih terjadi, korupsi merajalela, serta tidak sedikit dari kantin kejujuran yang ada, malah bangkrut lantaran siswanya sendiri tidak jujur. Hal ini menunjukkan, bahwa untuk menjadikan manusia yang cinta damai, jujur, bertanggung jawab dalam menjaga lingkungan dan kualitas akhlak lainnya, adalah dengan menciptakan manusia-manusia Indonesia yang batinnya hidup, yaitu yang mampu memilih mana yang baik dan benar, mampu mengontrol dorongan-dorongan nafsu ketamakan, berpikir kritis, kreatif, beretos kerja tinggi, dan selalu berinisiatif untuk melakukan kebaikan, serta berusaha untuk semakin lebih baik setiap harinya. Tentu ini merupakan hal yang sulit, namun membangun manusia yang batinnya hidup mutlak diperlukan sebagai fondasi penting bagi terbentuknya manusia-manusia yang berkarakter mulia. Barangkali, dengan penerapan pendidikan karakter yang kini kembali ngetrén, ada dampak signifikan terhadap mentalitas manusia Indonesia, hingga dapat menciptakan manusia-manusia yang berkualitas dan bertanggung jawab. Sebab, kemajuan negara sangat bergantung pada masyarakat yang ada di dalamnya. Semoga. [Redaksi]
Salah satu parameter kebobrokan moral suatu bangsa adalah banyaknya kasus hubungan seks luar nikah. Berikut ini adalah data statistik hubungan seks luar nikah yang dikumpulkan dari berbagai sumber online.
Angka hubungan seks luar nikah
Tahun
42.3 %
2007
44% ~ 54%
2010
Peneliti
Sumber Remaja Cianjur Lakukan Seks Sebelum Nikah 42,3 % Siswi Cianjur Hub Sex Pranikah
BKKBN
Jika tak ada harga dirimu pinjamlah
51% remaja Jabodetabek
2010
BKKBN
Jika tak ada harga dirimu pinjamlah 51 persen remaja Jabodetabek tidak perawan
20 ~ 30%
2000
Boyke Dian Nugraha
Seks bebas perilaku remaja masa kini
16 ~ 20 %
Remaja dan hubungan seksual pranikah
29 %
Di Jawa Barat 29 % remaja melakukan seks luar nikah
18 ~ 46.5%
Tiap tahun remaja seks pranikah meningkat
65%
2011
Pusat Informasi Konseling Remaja
65 % Siswa di Ciawi bogor pernah berhubungan seks
1% ~ 5%
Berkaitan dengan kesehatan reproduksi:
1,3 ~ 20%
Seksualitas remaja di Indonesia
20%
Peningkatan warga Karimun hamil di luar nikah: 20%
6.3% ~10%
KPAI ragukan data BKKBN soal 51% pelajar ngeseks di luar nikah
26%
Aborsi dan pergaulan bebas remaja mengkhawatirkan
5% ~ 7%
1995/1996
Overview adolescent health problems and services
15 ~ 20% remaja usia sekolah
2007
Okanegara
Perilaku Berisiko Mahasiswa
22,6%
2007
Ari Saputra
Perilaku Berisiko Mahasiswa
29.5%
2002
Depkes
Perilaku Berisiko Mahasiswa
34 % dari 2010 yang pacaran
Mutiara, Wanti; Komariah, Maria; Karwati
Gambaran Perilaku Seksual Dengan Orientasi Heteroseksual Mahasiswa Kos Di Kecamatan Jatinangor Sumedang
51 %
2006
Fruity Fun And Safe: Creating a Youth Condom Brand in Christopher H Purdy, Indonesia. Ringkasan dalam DKT Indonesia bahasa Indonesia: Kondom untuk Remaja Indonesia
93% dari mahasiswi
2002
Lembaga Studi Cinta dan Kemanusiaan Survei Keperawanan di serta Pusat Pelatihan Yogyakarta Bisnis dan Humaniora (LSCK PUSBIH)
39% ABG
2011 ?
DKT Indonesia
Mei 2011 DKT Indonesia
39 Persen ABG Indonesia Melakukan Seks Pra-Nikah Waduh, Ogah Gunakan Kondom, Mahasiswa Bandung Tercatat Angka Tertinggi Pelaku Seks Luar Nikah
56%
2008
Kristian Widya Wicaksono
56% Remaja Melakukan Hubungan Sex di Luar Nikah
63%
2009
BKKBN
Astaghfirullah 63 % remaja indonesia berbuat zina
32 %
2010
Komisi Perlindungan 32 Persen Remaja Indonesia Anak Indonesia Pernah Berhubungan Seks
Sumber : Andiono Putra