Alfauzan Amin, Peningkatan Mutu Pendidikan Di Indonesia
169
PENINGKATAN MUTU PENDIDIKAN DI INDONESIA MELALUI PENDIDIKAN KARAKTER
Alfauzan Amin Abstrak; This article aim to redefine meaning of character education that worried in medial of life society, questioning education of character in the schoolarships. Real education represent endeavour to obtain life value, is not number value as a rule in this time, but yielding meaning from every studied knowledge. Acquirement of Meaning become measure from every study process, so that reconstruct new meaning which can give clarification to the educator. Education shall use tes which measuring knowledge domain also afektif domain. Education of Character need correct special method so that target of education can be reached. Among appropriate instructional method is by word method (al-qudwah), inuring method, and praise method and punishmant. Kata Kunci: Mutu, Pendidikan, Karakter A. Pendahuluan Masyarakat Negara dunia pasti ingin agar pendidikan di negaranya dapat menghasilkan generasi penerus yang dapat membawa negaranya kearah perubahan yang lebih baik, begitu pula dengan Indonesia. Pendidikan, sebagaimana dipahami bertujuan sangat mulia, yaitu membentuk manusia menjadi pribadi yang kuat, berkarakter khas, dan akhlak mulia. Dalam konteks Indonesia, tujuan dan fungsi pendidikan telah dirumuskan dengan indahnya dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional. Tiga poin pertama tujuan itu adalah membentuk peserta didik menjadi insan yang beriman, bertakwa, dan berakhlak mulia. Namun kenyataannya, tujuan indah itu terdistorsi menjadi bersifat sangat materialistik-sekularistik. Peserta didik seolah-olah segera melupakan semua petuah guru tentang nilai-nilai kebajikan dan norma agama begitu mereka lulus dari lembaga pendidikan formal. Tidak ada lagi yang tersisa dari nilai dan norma itu kecuali hanya sedikit, karena mereka harus berjibaku dengan kerasnya kehidupan. Dan, mereka harus keluar sebagai pemenang atau setidaknya tidak terpental dari orbit yang normal, lalu menjadi pecundang. Menarik sekali bila kita cermati akhir-akhir ini, banyak petinggi negeri ini yang bicara tentang
169
170
At-Ta’lim, Vol. 11, No. 2, Juli 2012
mendesaknya pelaksanaan pendidikan karakter dan budi pekerti (akhlak mulia) di sekolah dan kampus. Ini bisa dimengerti karena kita mendapati kenyataan betapa hasil pendidikan kita telah melenceng jauh dari yang dicita-citakan. Kita sedih bila melihat atau mendengar berita tentang buruknya perilaku para pelajar atau mahasiswa. Mereka tawuran, terlibat narkoba, bahkan melakukan seks bebas. Sesungguhnya pendidikan karakter dan akhlak mulia harus dimulai dari para pendidik. Mereka harus menjadi contoh dan teladan bagi para peserta didik dalam tutur kata dan tindakan. Namun yang perlu juga diingat, bicara tentang pendidikan karakter dan akhlak mulia tidak lain bicara soal hati. Dan tidak ada yang mengerti soal hati kecuali Allah, Tuhan yang menciptakan manusia. Hanya firman Allah yang bisa menyentuh dan menyinari hati dengan cahaya kebenaran dan petunjuk. Sehingga, manusia kem bali kepada fitrah insaniah yang sebenarnya. "Maka, hadapkanlah wajahmu dengan lurus kepada agama (Allah), (tetaplah atas) fitrah Allah yang telah menciptakan manusia menurut fitrah itu. Tidak ada per ubahan pada fitrah Allah. (Itulah) agama yang lurus, tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui" (QS ar-Ruum [30]: 30). Agar tujuan pendidikan tercapai dan fungsinya juga terealisasi dalam kehidupan praktis, masyarakat Indonesia - yang mayoritas Muslim ini - harus menengok Alquran. Sebab, di sanalah melimpah-ruah `makanan' bagi hati anakanak didik. Pendidikan karakter dan akhlak mulia, baru bisa berhasil bila menjadikan Alquran sebagai pedoman operasionalnya dan perilaku Nabi Muhammad SAW sebagai landasan etikanya.Tanpa itu, rasanya kita seperti meraba dalam ruangan luas yang gelap gulita. Saat ini sudah akrab terdengar kata ‘pendidikan berkarakter’, dan anehnya tak jarang masih juga ada pelaku pendidikan belum memahami arti; pengertian, tujuan, nilai-nilai, prinsip, strategi, metode, dan cara meningkatkan mutu pendidikan di Indonesia melalui pendidikan berkarakter ini. B. Pengertian Pendidikan Karakter Secara bahasa, karakter dapat pula dipahami sebagai sifat dasar, kepribadian, perilaku/tingkah laku, dan kebiasaan yang berpola. Perspektif pendidikan karakter adalah peranan pendidikan dalam membangun karakter
Alfauzan Amin, Peningkatan Mutu Pendidikan Di Indonesia
171
peserta didik. Pendidikan Karakter adalah upaya penyiapan kekayaan batin peserta didik yang berdimensi agama, sosial, budaya, yang mampu diwujudkan dalam bentuk budi pekerti, baik dalam perbuatan, perkataan, pikiran, sikap, perasaan, dan kepribadian. Pendidikan karakter telah menjadi perhatian berbagai negara dalam rangka mempersiapkan generasi yang berkualitas, bukan hanya untuk kepentingan individu warga negara, tetapi juga untuk warga masyarakat secara keseluruhan. Pendidikan karakter dapat diartikan sebagai the deliberate us of all dimensions of school life to foster optimal character development (usaha kita secara sengaja dari seluruh dimensi kehidupan sekolah/madrasah untuk membantu pembentukan karakter secara optimal. Menurut Lickona, karakter berkaitan dengan konsep moral (moral knowing), sikap moral (moral felling), dan perilaku moral (moral behavior) (Zubaedi, 2010: 29). Berdasarkan ketiga komponen ini dapat dinyatakanbahwa karakter yang baik didukung oleh pengetahuan tentang kebaikan, keinginan untuk berbuat baik, dan melakukan perbuatan kebaikan. Berdasarkan tujuan pendidikan nasional, maka pendidikan karakter adalah suatu program pendidikan (sekolah dan luar dekolah) yang mengorganisasikan dan menyederhanakan sumber-sumber moral dan disajikan dengan memperhatikan pertimbangan psikologis untuk pertimbangan pendidikan. Namun dengan adanya Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP), guru-guru memiliki peluang besar untuk menerapkan pendidikan karakter ke dalam masing-masing satuan pendidikan, karena: Pertama, KTSP didefinisikan sebagai kurikulum operasional yang disusun oleh dan dilaksanakan peserta didikan dimasing-masing satuan pendidikan. Kedua, Tujuan kurikulum tingkat satuan pendidikan adalah meletakkan dasar kecerdasan, pengetahuan, kepribadian, akhlak mulia, serta keterampilan untuk hidup mandiri dan mengikutui pendidikan lebih lanjut. Ketiga, Konsep pendidikan karakter terbaca dalam rumusan yang telah dibuat oleh Badan
Standar
Nasional
Pendidikan
(BSNP)
yaitu:
Pendidikan
yang
mengintegrasikan semua potensi peserta didik didik, pengetahuan, kepribadian, akhlak mulia serta keterampilan hidup mandiri dan mengikuti pendidikan lebih
172
At-Ta’lim, Vol. 11, No. 2, Juli 2012
lanjut. Pendidikan karakter yang diterapkan dalam satuan pendidikan kita bias menjadi salah satu sarana pembudayaan dan pemanusian. Menurut Foerster ada empat ciri dasar dalam pendidikan karakter: 1. Keteraturan interior di mana setiap tindakan diukur berdasar hierarki nilai. Nilai menjadi pedoman normatif setiap tindakan. 2. Koherensi yang member keberanian, membuat seseorang teguh pada prinsip, tidak mudah terombang-ambing pada situasi baru atau takut risiko. Koherensi merupakan dasar yang membangun rasa percaya satu sama lain. 3. Otonomi. Di situ seseorang menginternalisasikan aturan dari luar sampai menjadi nilai-nilai bagi pribadi. Ini dapat dilihat lewat penilaian atas keputusan pribadi tanpa terpengaruh atau desakan pihak lain. 4. Keteguhan dan kesetiaan. Keteguhan merupakan daya tahan seseorang guna mengingini apa yang dipandang baik. Dan kesetiaan merupakan dasar bagi penghormatan atas komitmen yang dipilih. ”Orang-orang modern sering mencampur adukkan antara individualitas dan personalitas, antara aku alami dan aku rohani, antara independensi eksterior daninterior. ”Karakter inilah yang menentukan norma seorang pribadi dalam segala tindakannya. C. Tujuan Pendidikan Karakter Tujuan pendidikan karakter adalah mengajarkan nilai-nilai tradisional tertentu, nilai-nilai yang diterima secara luas sebagai landasan perilaku yang baik dan bertanggung jawab. Nilai-nilai ini juga digambarkan sebagai perilaku moral (Zuhchdi, 1999: 39). Pendidikan karakter selama ini baru dilaksanakan pada jenjang pendidikan pra sekolah/madrasah (taman kanak-kanak atau raudhatul athfāl). Sementara pada jenjang sekolah dasar dan seterusnya kurikulum di Indonesia masih belum optimal dalam menyentuh aspek karakter ini, meskipun sudah ada materi pelajaran Pancasila dan Kewarganegaraan. Padahal jika Indonesia ingin memperbaiki mutu sumber daya manusia dan segera bangkit dari ketinggalannya, maka Indonesia harus merombak sistem pendidikan yang ada, antara lain memperkuat pendidikan karakter. Dengan kata lain;
Tujuan pendidikan adalah untuk pembentukan
karakter yang terwujud dalam kesatuan esensial si subjek dengan perilaku dan
Alfauzan Amin, Peningkatan Mutu Pendidikan Di Indonesia
173
sikap hidup yang dimilikinya. Dengan demikian, karakter merupakan sesuatu yang mengualifikasi seorang pribadi. Karakter menjadi identitas yang mengatasi pengalaman kontingen yang selalu berubah. Dari kematangan karakter inilah, kualitas seorang pribadi diukur. D. Tujuan Pendidikan Karakter Tujuan Pendidikan Karakter meliputi: 1. Mendorong kebiasaan dan perilaku yang terpuji sejalan dengan nilai-nilai universal, tradisi budaya, kesepaatan sosial dan religiositas agama. 2. Menanamkan jiwa kepemimpinan yang bertanggung jawab sebagai penerus bangsa. 3. Memupuk kepekaan mental peserta didik terhadap situasi sekitarnya, sehingga tidak terjerumus ke dalam perilaku yang menyimpang, baik secara individu maupun sosial. 4. Meningkatkan kemampuan menghindari sifat tercela yang dapat merusak diri sendiri, orang lain dan lingkungan. 5. Agar siswa memahami dan menghayati nilai-nilai yang relevan bagi pertumbuhan dan pengahargaan harkat dan martabat manusia. E. Nilai-Nilai Pendidikan Karakter Nilai-nilai di bawah ini merupakan uraian berbagai perilaku dasar dan sikap yang diharapkan dimiliki peserta didik sebagai dasar pembentukan karakternya yakni: nilai keutamaan, nilai kerja, nilai cinta tanah air (patriotisme), nilai demokrasi, nilai kesatuan, menghidupi nilai moral, nilai-nilai kemanusiaan. Nilai-nilai di atas diambil sebagai garis besarnya saja, sifatnya terbuka, artinya masih bisa ditambahkan nilai-nilai lain yang relevan dengan situasi sekolah. Misalnya: taqwa kepada Tuhan, tanggung jawab, disiplin, mandiri, jujur, hormat dan santun, kasih sayang, peduli dan kerja sama, percaya diri, kreatif, kerja keras, dan pantang menyerah, keadilan dan kepemimpinan, baik dan rendah hati, toleransi, cinta damai, dan persatuan, dapat dipercaya, rasa hormat dan perhatian, peduli, jujur, tanggung jawab, kewarganegaraan/citizenship, ketulusan, berani, tekun, integritas, jujur, tanggung jawab, disiplin, visioner, adil, peduli, kerjasama.
174
At-Ta’lim, Vol. 11, No. 2, Juli 2012
F. Prinsip Pelaksanaan Pendidikan karakter Pendidikan karakter di sekolah memerlukan prinsip-prinsip dasar yang mudah dimengerti dan dipahami oleh siswa dan setiap individu yang bekerja di sekolah tersebut. Prinsip-prinsip tersebut antara lain: 1. Karaktermu ditentukan oleh apa yang kamu lakukan, bukan apa yang kamu katakan atau kamu yakini. 2. Setiap keputusan yang kamu ambil menentukan akan menjadi orang macam apa dirimu. 3. Karakter yang baik mengandaikan bahwa hal yang baik itu dilakukan dengan cara-cara yang baik, bahkan seandainya pun kamu harus membayarnya secara mahal, sebab mengandung resiko. 4. Jangan pernah mengambil perilaku buruk yang dilakukan oleh orang lain sebagai patokan bagi dirimu. Kamu dapat memilih patokan yang lebih baik dari mereka. 5. Apa yang kamu lakukan itu memiliki makna dan transformatif. Seorang individu bisa mengubah dunia. 6. Bayaran bagi mereka yang memiliki karakter baik adalah bahwa kamu menjadi pribadi yang lebih baik, dan ini akan membuat dunia menjadi tempat yang lebih baik untuk dihuni. G. Strategi dan Metodologi Pendidikan Karakter Proses pembelajaran pendidikan karakter secara terpadu bisa dibenarkan karena sejauh ini muncul keyakinan bahwa anak akan tumbuh dengan baik jika dilibatkan secara alamiah dalam proses belajar. Istilah terpadu dalam pembelajaran berarti pembelajaran menekankan pengalaman belajar dalam konteks yang bermakna. Pengajaran terpadu dapat didefinisikan: suatu konsep dapat dikatakan sebagai pendekatan belajar yang melibatkan beberapa bidang studi untuk memberikan pengalaman yang bermakna bagi peserta didik. Dikatakan bermakna karena dalam pembelajaran terpadu, peserta didik akan memahami konsep yang dipelajari melalui pengalam langsung dan menghubungkannya dengan konsep lain
Alfauzan Amin, Peningkatan Mutu Pendidikan Di Indonesia
175
yang sudah dipahaminya melalui kesempatan mempelajari apa yang berhubungan dengan tema atau peristiwa autentik (alami). Dengan demikian, ciri pendidikan terpadu adalah: (1) berpusat pada peserta didik; (2) memberikan pengalam langsung kepada peserta didik; (3) pemisahan bidang studi tidak begitu jelas; (4) menyajikan konsep dari berbagai bidang studi dalam suatu proses pembelajaran; (5) bersifat luwes, dan (6) hasil pembelajaran dapat berkembang sesuai dengan minat dan kebutuhan peserta didik (Zubaedi, 2010: 268). Integrasi
pembelajaran
dapat
dilakukan
dalam
substansi
materi,
pendekatan, metode, dan model evaluasi yang dikembangkan. Tidak semua substansi materi pelajaran cocok untuk semua karakter yang akan dikembangkan, perlu dilakukan seleksi materi dan sinkronisasi dengan karakter yang akan dikembangkan. Pada prinsipnya semua mata pelajaran dapat digunakan sebagai alat untuk mengembangkan semua karakter peserta didik, namun agar tidak terjadi tumpang-tindih dan terabaikannya salah satu karakter yang akan dikembangkan, perlu dilakukan pemetaan berdasarkan kedekatan materi dengan karakter yang akan dikembangkan. Dari segi pendekatan dan metode meliputi inkulkasi (inculcation), keteladanan (modeling, qudwah), fasilitasi (facilitation), dan pengembangan keterampilan (skill building) (Zuchdi, 46-50).
Inkulkasi (penanaman) nilai
memiliki ciri-ciri: (1) mengomunikasikan kepercayaan disertai alasan yang mendasarinya; (2) memperlakukan orang lain secara adil; (3) menghargai pandangan orang lain; (4) mengemukakan keragu-raguan disertai alasan, dan dengan rasa hormat; (5) tidak sepenuhnya mengontrol lingkungan untuk meningkatkan kemungkinan penyampaian nilai-nilai yang dikehendaki; (6) menciptakan pengalaman sosial dan emosional mengenai nilai-nilai yang dikehendaki secara tidak ekstrem; (7) membuat aturan, memberikan penghargaan, dan memberikan konsekuensi disertai alasan; (8) tetap membuka komunikasi dengan pihak yang tidak setuju, dan (9) memberikan kebebasan bagi adanya perilaku yang berbeda-beda, apabila sampai pada tingkat yang tidak dapat diteriuma, diarahkan untuk memberikan kemungkinan berubah. Pendidikan
176
At-Ta’lim, Vol. 11, No. 2, Juli 2012
karakter seharusnya tidak menggunakan metode induktrinasi yang memiliki ciriciri yang bertolak belakang dengan inkulkasi. Dalam pendidikan karakter, pemodelan atau pemberian teladan merupakan strategi yang biasa digunakan. Untuk dapat menggunakan strategi ini ada dua syarat harus dipenuhi. Pertama, guru harus berperan sebagai model yang baik bagi peserta didik dan anaknya. Kedua, peserta didik harus meneladani orang terkenal yang berakhlak mulia, misalnya Nabi Muhammad saw. Cara guru menyelsaikan masalah dengan adil, menghargai pendapat anak dan mengeritik orang lain dengan santun, merupakan perilaku yang secara alami dijadikan model bagi anak. Inkulkasi dan metode keteladanan (al-qudwah) mendemonstrasikan kepada peserta didik merupakan cara terbaik untuk mengatasi berbagai masalah; orang akan melakukan proses identifikasi, meniru, dan memeragakannya. Dengan metode pembiasaan, seseorang akan memiliki komitmen yang hebat. Pembiasaan dalam penanaman moral merupakan tahapan penting yang seyogianya menyertai perkembangan setiap mata pelajaran. Mengajari moral tanpa pembiasaan melakukannya, hanyalah menabur benih ke tengah lautan, karena moral bukan sekedar pengetahuan, tetapi pembiasaan bermoral. Fasilitasi melatih peserta didik mengatasi masalah-masalah tersebut. Kegiatan-kegiatan yang dilakukan peserta didik dalam melaksanakan metode fasilitasi membawa dampak positif pada perkembangn kepribadian peserta didik. Pembelajaran moral bagi peserta didik akan lebih efektif apabila disajikan dalam bentuk gambar, seperti film, sehingga peserta didik bukan saja menangkap maknanya dari pesan verbal mono-pesan, melainkan bisa menangkap pesan yang multi-pesan dari gambar, keterkaitan antargambar dan peristiwa dalam alur cerita yang disajikan (Mursidin, 2011: 81-82). Penyampaian pesan bahwa narkoba itu harus dihindari - misalnya-, maka tayangan
tentang derita orang-orang yang
dipenjara karena korban narkoba jauh lebih bermakna daripada disampaikan secara lisan, melalui metode ceramah. Namun demikian, bila ingin lebih mendalam tingkat penerimaan mereka, bisa dilanjutkan dengan metode renungan (almuhasabah) setelah terkondisikan dengan baik melalui cerita dalam film yang baru saja ditayangkan.
Alfauzan Amin, Peningkatan Mutu Pendidikan Di Indonesia
177
Kecerdasan, keterampilan, dan ketangkasan seseorang berbeda-beda, sebagaimana perbedaan dalam temperamen dan wataknya. Ada yang memiliki temperamen tenang, mudah gugup atau grogi. Ada yang mudah paham dengan isyarat saja apabila salah dan ada yang tidak bisa berubah, kecuali setelah melihat mata membelalak, bahkan dengan bentakan, ancaman, dan hukuman secara fisik. Sekalipun hukuman pukulan merupakan salah satu metode dalam pendidikan, seyogianya guru tidak menggunakannya sebelum mencoba dulu dengan cara lain. Metode hukuman digunakan untuk menggugah serta mendidik perasaan rabbaniyah, yaitu perasaan khauf (takut) dan khusyu’ ketika mengingat Allah dan membaca Al-Qur’an (Al-Nahlawi, 2007: 232-233, Bandingkan Amin, 1929: 3). Beberapa
keterampilan
yang
diperlukan
agar
seseorang
dapat
mengamalkan nilai yang dianut sehingga berperilaku konstruktif dan bermoral dalam masyarakat. Keterampilan tersebut antara lain: a. Keterampilan berpikir kritis, dengan ciri-ciri sebagai berikut: (1) mencari kejelasan pernyataan atau pertanyaan; (2) mencari alasan; (3) mencoba memperoleh informasi yang benar; (4) menggunakan sumber yang dapat dipercaya; (5) mempertimbangkan keseluruhan situasi; (6) mencari alternatif; (7) bersikap terbuka. b. Keterampilan mengatasi masalah. Masih banyak orang mengatasi konflik dengan kekuatan fisik, padahal cara demikian itu biasa digunakan oleh binatang. Manusia yang menggunakan nilai religius dan prinsip moral dalam penyelesaian masalah kehidupan, perlu diajarkan cara mengatasinya yang konstruktif. Perilaku moral (moral action) dapat dievaluasi secara akurat dengan melakukan observasi dalam jangka waktu yang relatif lama dan secara terus menerus. Pengamat atau pengobservasi harus orang yang sudah mengenal orangorang yang diobservasi agar penafsirannya terhadap perilaku yang muncul tidak salah. Strategi yang diterapkan oleh pendidikan karakter
yaitu dengan
menggunakan strategi terintegrasi dalam mata pelajaran lainnya. Nilai-nilai karakter dapat disampaikan melalui mata pelajaran: agama, pendidikan kewarganegaraan (PKn), pendidikan jasmani dan olah raga, IPS, bahasa Indonesia
178
At-Ta’lim, Vol. 11, No. 2, Juli 2012
dan pengembangan diri. Pendidikan karakter di sekolah lebih banyak berurusan dengan penanaman nilai. Pendidikan karakter agar dapat disebut sebagai integral dan utuh harus menentukan metode yang dipakai, sehingga tujuan pendidikan karakter itu akansemakin terarah dan efektif. Adapun unsur-unsur yag harus dipertimbangkan dalam menentukan metode yang dapat diterapkan dalam pendidikan karakter antara lain: 1. Mengajar, yaitu dengan cara mengajarkan nilai-nilai itu sehingga peserta didik memiliki gagasan konseptual tentang nilai-nilai pemandu perilaku yang bias dikembangkan dalam mengembangkan karakter pribadinya. Keteladanan,
yaitu
suatu
kegiatan
yang
dilakukan
oleh
guru,
kepalasekolah, dan staf administrasi disekolah yang dapat dijadikan sebagai model teladan bagi siswa.Karena siswa akan lebih banyak belajar dari apa yang mereka lihat. 2. Menentukan prioritas, yaitu setiap yang terlibat dalam sebuah lembaga pendidikan yang ingin menekankan pendidikan karakter juga harus memahami secara jernih prioritas nilai apakah yang ingin ditekankan dalam pendidikan karakter dalam satuan pendidikan tertentu. 3. Refleksi, yaitu mengadakan semacam pendalaman, refleksi untuk melihat sejauh mana satuan pendidikan telah berhasil atau gagal dalam melaksanakan pendidikankarakter. Metode-metode yang bisa diterapkan dalam pendidikan karakter misalnya dengan menggunakan pendekatan penanaman nilai (InculcationApproach), perkembangan moral kognitif, analisis nilai (Values Analysis Approach), klarifikasi nilai, pembelajaran berbuat
(ActionLearning
Approach),
Student
Active
Learning,
Developmentally Appropriate Pro Contextual Learning yang dapat menciptakan pengalaman belajar yang efektif dan menyenangkan. H. Penilaian Pendidikan Karakter Penilaian adalah suatu usaha untuk memperoleh berbagai informasi secara berkala,
berkesinambungan,
dan
menyeluruh
tentang
proses
dan
hasil
pertumbuhan serta perkembangan karakter yang dicapai siswa. Tujuan penilaian dilakukan untuk mengukur seberapa jauh nilai-nilai yang dirumuskan sebagai
Alfauzan Amin, Peningkatan Mutu Pendidikan Di Indonesia
179
standar minimal telah dikembangkan dan ditanamkan di sekolah serta dihayati, diamalkan, diterapkan dan dipertahankan oleh siswa dalam kehidupan sehari-hari. Penilaian pendidikan karakter lebih dititik beratkan kepada keberhasilan penerimaan nilai-nilai dalam sikap dan perilaku peserta didik sesuai dengan nilainilai karakter yang diterapkan dan diamalkan dalam kehidupan sehari-hari. Jenis penilaian dapat berbentuk penilaian sikap dan perilaku, baik individu maupun kelompok. Cara penilaian pendidikan karakter pada peserta didik dilakukan oleh semua guru. Penilaian dilakukan setiap saat, baik pada jam pelajaran maupun di luar jam pelajaran, dikelas maupun di luar kelas dengan cara pengamatan dan pencatatan. Instrumen penilaian dapat berupa lemabar observasi, lembar skala sikap, lembar portofolio, lembar check list, dan lembar pedoman wawancara. Informasi yang diperoleh dari berbagai teknik penilaian kemudian dianalisis oleh guru untuk memperoleh gambaran tentang karakter peserta didik. Gambaran menyeluruh tersebut kemudian dilaporkan sebagai suplemen buku rapor oleh wali kelas. I. Peningkatkan
Mutu
Pendidikan
Karakter
Di
Jenjang
Pendidikan Sebagai upaya untuk meningkatkan kesesuaian dan mutu pendidikan karakter, Kementerian Pendidikan Nasional mengembangkan grand design pendidikan karakter untuk setiap jalur, jenjang, dan jenis satuan pendidikan. Grand design menjadi rujukan konseptual dan operasional pengembangan, pelaksanaan, dan penilaian pada setiap jalur dan jenjang pendidikan. Menurut UU No 20 Tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan Nasional pada Pasal 13 Ayat 1 menyebutkan bahwa Jalur pendidikan terdiri atas pendidikan formal, nonformal, dan informal yang dapat saling melengkapi dan memperkaya. Pendidikan informal adalah jalur pendidikan keluarga dan lingkungan. Pendidikan informal sesungguhnya memiliki peran dan kontribusi yang sangat besar dalam keberhasilan pendidikan. Peserta didik mengikuti pendidikan di sekolah hanya sekitar 7 jam per hari, atau kurang dari 30%. Selebihnya (70%), peserta didik berada dalam keluarga dan lingkungan sekitarnya. Jika dilihat dari aspek kuantitas waktu, pendidikan di sekolah berkontribusi hanya sebesar 30%
180
At-Ta’lim, Vol. 11, No. 2, Juli 2012
terhadap hasil pendidikan peserta didik. Selama ini, pendidikan informal terutama dalam lingkungan keluarga belum memberikan kontribusi berarti dalam mendukung pencapaian kompetensi dan pembentukan karakter peserta didik. Kesibukan dan aktivitas kerja orang tua yang relatif tinggi, kurangnya pemahaman orang tua dalam mendidik anak di lingkungan keluarga, pengaruh pergaulan di lingkungan sekitar, dan pengaruh media elektronik ditengarai bisa berpengaruh negatif terhadap perkembangan dan pencapaian hasil belajar peserta didik. Salah satu alternatif untuk mengatasi permasalahan tersebut adalah melalui pendidikan karakter terpadu, yaitu memadukan dan mengoptimalkan kegiatan pendidikan informal lingkungan keluarga dengan pendidikan formal di sekolah. Dalam hal ini, waktu belajar peserta didik di sekolah perlu dioptimalkan agar peningkatan
mutu
hasil
belajar
dapat
dicapai,
terutama
dalam
pembentukan karakter peserta didik. J. Kesimpulan 1. Pendidikan yang hakiki merupakan ikhtiar untuk memperoleh nilai hidup, bukan nilai angka sebagaimana lazimnya saat ini, tetapi menghasilkan makna dari setiap pengetahuan yang dipelajarinya. Pemerolehan makna menjadi ukuran dari setiap proses pembelajaran. Tak ada proses belajar, bila belum menghasilkan rekonstruksi makna baru yang dapat memberikan pencerahan bagi si pembelajar. 2. Dunia pendidikan kita lebih sering menggunakan tes yang mengukur ranah pengetahuan ketimbang untuk mengukur ranah afektif. Soal-soal pada saat ulangan atau ujian nasional pun lebih banyak menuntut kemampuan kognitif daripada mengukur ranah afektif, akibatnya produk pendidikannya, output atau outcome, kurang memiliki moralitas yang baik. Tidak malu melakukan korupsi, tidak takut berbuat dosa dan kesalahan, serta tidak resah bila berbuat kezaliman. 3. Pendidikan karakter memerlukan metode khusus yang tepat agar tujuan pendidikan dapat tercapai. Di antara metode pembelajaran yang sesuai adalah metode keteladanan (al-qudwah), metode pembiasaan, dan metode pujian dan hukuman.
Alfauzan Amin, Peningkatan Mutu Pendidikan Di Indonesia
Penulis :
181
AlfauzanAmin, M.Ag adalah Dosen Tetap Pada Jurusan Tarbiyah Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri (STAIN) Bengkulu. Daftar Pustaka
Abul `Ainain, `Ali Khalil, Falsafah al-Tarbiyat al-Islāmiyah fi al-Qur`ān alKarīm, Cairo: Dar al-Fikr al-`Arabiy, 1980. Al-Abd, Abdullatīf Muhammad, al-Akhlāq fi Al-Islām, Cairo: Universitas Cairo, t.t. Al-Abrasyi, Athiyah, al-Tarbiyah al-Islāmiyah wa Falāsifatuhā, Bairut: Dār alFikr, 1969. Al-Attas, Syed Muhammad Al-Naquib, Konsep Pendidikan dalam Islam, Bandung: Mizan, 1987. Al-Nahlawy, Abd al-Rahman, Ushūl al-Tarbiyah al-Islāmiyah wa Asālibuha fi alBait wa al-Madrasah wa al-Mujtama’, edisi ke-25, Damaskus: Dar alFikr, 2007. Amin, Ahmad, Kitāb al-Akhlāq, Cairo: Dar al-kutub al-Mishriyah, 1929. Ashraf, Ali, “Aim and Objectives of Islamic Education”, dalam Sajjad Husain dan Ali Ashraf (eds), Crisis Muslim Education, Jeddah: Hodder and Stughton King Abdul Aziz University, 1979. Barnadib, Imam, Dasar-Dasar Kependidikan, Jakarta: Ghalia Indonesia, 1996. _______, Filsafat Pendidikan, Yogyakarta: Andi Offset, 1997. Daradjat, Zakiyah, et. al, Ilmu Pendidikan Islam, cet. 9, Jakarta: Bumi Aksara, 2011. Ebel, Robert L., “What are Schools for” dalam Harvey F. Clarizio et all (ed)., Contemporary Issues in Educational Psychology, llyn and Bacon, Inc, Boston, 1977. Knight, George R., Issues and Alternatives in Educational Philosophy, Michigan: Andrews University Press, 1982. Mastuhu, Membumikan Sistem Pendidikan Islam, Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1999. Muchsin, M. Bashori, Moh Sulthon, dan Abdul Wahid, Pendidikan Islam Humanistik, Bandung: Refika Aditama, 2010.
182
At-Ta’lim, Vol. 11, No. 2, Juli 2012
Mursidin, Moral Sumber Pendidikan, Sebuah Formula Pendidikan Budi Pekerti di Sekolah/Madrasah, (Bogor: Ghalia Indonesia, 2011). Zubaedi, Dr. M.Ag, M.Pd, Pendidikan Karakter, 2010. Zuchdi, Darmiyati, Humanisasi Pendidikan, Jakarta: Bumi Aksara, 2009.