STULOS 12/1 (April 2013) 65-96
PENDIDIKAN KARAKTER: TEORI DAN PRAKSIS DALAM PENDIDIKAN KRISTEN DI INDONESIA
Heriyanto
Abstraksi: Penulisan ini membicarakan Pelaksanaan di sekolah sekuler sudah terwujudkan. Melihat juga urgensi pendidikan karakter dalam lembaga pendidikan Kristen. Dasar dari pelaksanaan pendidikan karakter merujuk pada PL dan PB. Pola pendidikan karakter Kristen adalah unik yang mencirikan kehidupan umat Tuhan. Kata kunci: Pendidikan karakter, moral, nilai, budaya, lembaga pendidikan, pendidik, praksis, praktisi pendidikan, pendidikan Kristen.
PENILAIAN AWAL “To educate a person in mind and not in morals is to educate a manace to society” (Theodore Roosevelt). Pernyataan ini seyogyanya menyadarkan para pendidik akan esensi pendidikan yang seharusnya. Munculnya beragam konsep pendidikan yang kian marak dalam dunia pendidikan di Indonesia turut menyumbang keberagaman dampak proses pendidikan yang dihasilkan. Ada yang menginginkan pendidikan berfokus pada kecerdasan otak dan ada pula yang menganjurkan pendidikan lebih mengedepankan aspek moral. Sementara yang lain lebih memilih agar ada integrasi antara kecerdasan otak dengan aspek moral dalam proporsi yang berlainan. Kondisi ini semakin membingungkan ketika masyarakat terlena dengan sebutan sekolah-sekolah dengan klaim “unggulan” yang pada prakteknya tidak mampu menjamin keunggulan karakter yang menyertainya.1 1 Majalah Tempo Edisi Januari 3013, dengan lugas membahas persoalan keberadaan sekolah unggulan dalam kaca mata hukum. Dalam laporannya, Tempo membahas keputusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang membatalkan pasal 50 ayat 3 undang-undang nomor 20
66
PENDIDIKAN KARAKTER
Dalam konteks dimana masyarakat tidak terlalu ambil peduli dengan proses pendidikan yang dimaksud, tak heran jika banyak program pendidikan justru menjauhkan nara didik dari tujuan pendidikan yang diharapkan. Pendidikan yang merupakan agent of change harus mampu melakukan perbaikan karakter peserta didik, demikian kira-kira harapan dari banyak orang. Karenanya, pola dan konsep pendidikan kita perlu direkonstruksi ulang agar dapat menghasilkan lulusan yang menunjukkan karakter mulia (perubahan pikir sekaligus perilaku) sehingga siap menghadapi masa depan dengan segala problemanya. Dengan kata lain, pendidikan harus mampu mengemban misi pembentukan karakter (character building) sehingga peserta didik dapat berpartisipasi dalam mengisi pembangunan di masa depan tanpa meninggalkan nilai-nilai karakter mulia seiring dengan berkembangnya wawasan berpikir mereka.2 Pada prakteknya, sekolah sebagai lembaga pendidikan cenderung mendidik peserta didik cerdas secara kognitif dan sulit mewujudkan pendidikan yang menyertakan aspek moral jika tidak boleh disebut mengabaikan aspek moral. Bagaimana tidak, kini lebih sering masyarakat tahun 2003. Sekitar 1.300 sekolah berstatus rintisan sekolah bertaraf international (RSBI) kehilangan pijakan hukumnya. Dalam pembahasannya, Tempo juga memuat gugatan koalisi pendidikan yang mempertanyaan program pemerintah berkaitan dengan RSBI di sekolah negeri, dengan banyak pertimbangan salah satunya sekolah yang mengadopsi kurikulum negara maju itu dinilai telah melahirkan diskriminasi dan pengastaan dalam pendidikan, ini jelas menabrak juga nilai pendidikan karakter. 2 Dalam artikelnya berjudul “The Character Education Movement” David Clyde Jones mengungkapkan keperhatian dan keprihatinan yang sama dalam konteks pendidikan di Amerika terhadap pendidikan karakter. Ia mencermati, one remarkable trend in American culture over the last decade has been the renewed emphasis on “the content of our character.” Kepekaan dan respon yang cepat terhadap pendidikan karakter telah menjadi trend positif dalam konteks pendidikan di Amerika dari berbagai kalangan. Menurutnya, around the same time, a number of national organizations for character education were launched, notably Character Counts! Coalition (1993) and The Character Education Partnership (1994), which have similar goals and some overlapping membership. Dalam artikelnya ini, ia menegaskan bahwa keperhatian terhadap pendidikan karakter di Amerika telah menjadi gerakan bersama (masal) dari beragam kalangan. David Clyde Jones, The Character Education Movement (Journal Presbyterion: Covenent Theological Seminary Review, Vol. XXVI number 2, (Fall 2000): 84-92.
JURNAL TEOLOGI STULOS
67
dikejutkan oleh ulah sekelompok pelajar yang selama studi justru melakukan tindakan-tindakan amoral dan menabrak nilai-nilai luhur kehidupan. Tawuran pelajar atau mahasiswa, tindak kriminalitas pelajar yang kian meningkat, budaya menyontek, penyalahgunaan obat terlarang, pornografi bahkan pornoaksi yang sengaja diekspos di media internet telah meresahkan banyak kalangan. Kondisi ini diperburuk dengan meningkatnya tindakan korupsi anggota dewan generasi muda yang selama sekolah dulunya amat menentang, kini justru seolah menjadi ciri kehidupan mereka. Kondisi ini hendak menegaskan bahwa penekanan pada kecerdasan kognitif dalam proses pembelajaran di sekolah tidaklah cukup untuk menghasilkan generasi penerus bangsa yang mampu bertindak etis dan meminimalkan krisis moral bangsa ini.3 Pendidikan karakter akhir-akhir ini semakin banyak diperbincangkan di tengah masyarakat Indonesia, terutama oleh kalangan akademisi. Pengabaian nilai-nilai luhur seperti kejujuran, kesantunan, kebersamaan dan religiusitas berdampak masuknya budaya asing yang cenderung hedonistik, materialistik dan individualistik. Akibatnya, nilai-nilai luhur yang dipunyai oleh bangsa ini tidak lagi dianggap penting terutama jika bertentangan dengan tujuan yang ingin diperoleh dalam realitas hidup keseharian. Perubahan nilai luhur dan mulia bangsa ini tidak saja terjadi dalam pendidikan umum namun tak jarang juga nyata dalam pendidikan Kristen. Artikel ini tidak bertujuan untuk mengevaluasi proses pendidikan Kristen yang ada, hingga menemukan konsep dan metode pendidikan karakter yang tepat dan diwujudkan dalam pendidikan karakter di tengah pendidikan Kristen di Indonesia.
3
Tinjauan lembaga ESQ (Emosional Spiritual Quetient adalah lembaga training membentuk karakter) telah mengungkap terjadinya krisis moral yang mengkuawatirkan di tengah masyarakat. Menurut data mereka setidaknya ada tujuh krisis moral antara lain krisis kejujuran, krisis tanggung jawab, tidak berpikir jauh ke depan, krisis disiplin, krisis kebersamaan, dan krisis keadilan. Baca selengkapnya Darmiyati Zuhdi, Pendidikan Karakter (Yogyakarta: UNY Press, 2009) 39-40.
68
PENDIDIKAN KARAKTER
LATAR BELAKANG PEMAHAMAN PENDIDIKAN KARAKTER Pendidikan Karakter: Kontroversi Penyamaan Persepsi. Maraknya tindakan amoral yang dilakukan oleh generasi muda saat ini mau tidak mau menghasilkan keprihatinan mendalam dari semua kalangan. Kondisi ini membawa kesepakatan bahwa sudah saatnya pendidikan karakter dilaksanakan secara sistematis, strategis dan menyeluruh di sekolah sehingga pendidikan karakter menjadi efektif dalam pembentukan pribadi para siswa.4 Gencarnya desakan dan dorongan dari masyarakat akan urgensi pendidikan karakter dalam pendidikan nasional menunjukkan ketidakpuasan masyarakat akan kualitas lembaga pendidikan di Indonesia. Di balik semua ini, harus disadari bahwa membahas gagasan tentang pendidikan karakter tidaklah sesederhana ketika kita mendesakkan atau membicarakannya. Secara etimologis ada yang menjelaskan kata karakter (Inggris: character) berasal dari bahasa Yunani yaitu charassein yang berarti to engrave, kata ini bisa diterjemahkan mengukir, melukis, memahatkan atau menggoreskan.5 Pendapat lain mengatakan bahwa istilah karakter berasal dari bahasa Yunani karaso (cetak biru, format dasar, sidik jari).6 Definisi ini jelas menunjukkan bahwa karakter ternyata telah dibawa oleh manusia sejak hadirnya ke dalam dunia. Dalam penjelasannya tentang definisi karakter, Prof. Dr. Muchlas Samani, mengutip beragam pendapat 4
Menurut Dr. Zubaedi, kondisi krisis dan dekadensi moral ini menandakan bahwa seluruh pengetahuan agama dan moral yang didapatkan di bangku sekolah ternyata kurang berdampak terhadap perubahan perilaku manusia Indonesia. Dr. Zubaedi, Desain Pendidikan Karakter (Jakarta: Prenada Media Group, 2011) 2. 5 Kevin Ryan & Karen E. Bohlin, Building Character in Schools: Practical Ways to Bring Moral Instruction to Life (San Francisco: Jossey Bass, 1999). Apa yang hendak ditekankan oleh mereka adalah bahwa demi pembentukan karakter yang diharapkan diperlukan usaha sengaja layaknya memahat atau melukiskan karakter tersebut atas seorang pribadi. 6 Dalam tradisi Yahudi, para tetua melihat alam (laut) sebagai sebuah karakter. Artinya, sebagai sesuatu yang bebas, tidak dapat dikuasai manusia. Karakter adalah sesuatu yang tidak dapat dikuasai oleh intervensi manusiawi seperti ganasnya laut dengan gelombang pasang dan angin yang menyertainya. Doni Koesoema A, Pendidikan Karakter utuh dan menyeluruh (Yogyakarta: Kanisius, 2012) 55.
JURNAL TEOLOGI STULOS
69
ahli tentang hal ini.7 Kamus besar bahasa Indonesia memberi pengertian karakter dapat kita lihat dalam catatan di bawah.8 Sebagai pembanding, the webster’s dictionary memberikan penjelasan tentang hal ini. 9 Berhadapan dengan ambiguitas etimologi “karakter” ini Mounier mengajukan dua cara interpretasi.10 Menurut Lickona, karakter berkaitan dengan konsep moral (moral knowing), sikap moral (moral felling) dan perilaku moral (moral behavior).11 Berdasarkan ketiga komponen ini dapat ditegaskan bahwa karakter yang baik didukung oleh pengetahuan tentang kebaikan, keinginan untuk berbuat baik dan melakukan perbuatan kebaikan.
7
Salah satu pendapat yang beliau kutip berasal dari Helen G.Douglas, character isn’t inherited. One builds its daily by the way one thinks and acts, thought by thought, action by action. Pengertian lain berasal dari Scerenko, ia mendefinisikan karakter sebagai atribut atau ciri-ciri yang membentuk dan membedakan ciri pribadi, ciri etis dan kompleksitas mental seseorang, suatu kelompok atau suatu bangsa. Prof.Dr. Muchlas Samani dan Drs. Hariyanto, M.S., Pendidikan Karakter (Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2011) 41-43. 8 Kamus besar bahasa Indonesia memberikan definisi karakter sebagai tabiat, sifat-sifat kejiwaan, akhlak atau budi pekerti yang membedakan seseorang dengan lainnya, dan watak. Orang berkarakter berarti orang yang berkepribadian, berperilaku, bersifat, bertabiat, atau berwatak. (kamus besar bahasa Indonesia edisi kedua, 1999). Dalam pemahaman ini karakter dimaknai sebagai nilai unik baik yang terpatri dalam diri dan terejawantahkan dalam perilakunya. 9 Webster’s Dictionary menerangkan character sebagai the aggregate features and traits that form the apparent individual nature of some person or thing; moral or ethical quality; qualities of honesty; courage, integrity, good reputation; an account of the qualities or peculiarities of a person or thing. The new International Webster’s student dictionary. 10 Ia melihat karakter sebagai dua hal: pertama, sebagai sekumpulan kondisi yang telah diberikan begitu saja atau telah ada begitu saja yang lebih kurang dipaksakan dalam diri kita. Karakter seperti ini dianggap sebagai sesuatu yang telah ada dari sananya (given). Kedua, karakter juga dipahami sebagai tingkat kekuatan melalui mana seorang individu mampu menguasai kondisi tersebut. Karakter demikian ini disebut sebagai sebuah proses yang dikehendaki (willed). Doni Koesoema A, Pendidikan Karakter utuh dan menyeluruh (Yogyakarta: Kanisius, 2012) 56-57. 11 Menurutnya, karakter mengalami pertumbuhan yang membuat suatu nilai menjadi budi pekerti, sebuah watak batin yang dapat diandalkan dan digunakan untuk merespon berbagai situasi dengan cara yang bermoral. Kebiasaan pikiran, kebiasaan hati dan kebiasaan perbuatan merupakan ketiga hal yang penting untuk menjalankan hidup yang bermoral dan ketiganya dalah faktor pembentuk kematangan moral. Thomas Lickona, Pendidikan Karakter panduan lengkap Mendidik Siswa menjadi Pintar dan Baik, terj. (Bandung: Nusa Media, 2013) 71-72.
70
PENDIDIKAN KARAKTER
Doni Koesoema, melihat karakter sebagai kondisi dinamis struktur antropologis individu yang tidak mau sekedar berhenti atas determinasi kodratnya, melainkan juga sebuah usaha untuk hidup semakin integral mengatasi determinasi alam dalam dirinya demi proses penyempurnaan dirinya secara terus menerus.12 Senada dengan hal ini, Prof. Dr. Muchlas Samani, menyimpulkan bahwa karakter dimaknai sebagai nilai dasar yang membangun pribadi seseorang, terbentuk baik karena pengaruh hereditas maupun pengaruh lingkungan, yang membedakannya dengan orang lain serta diwujudkan dalam sikap dan perilakunya dalam kehidupan sehari-hari. 13 Pengertian ini dapat dimaknai bahwa karakter identik dengan akhlak. Dengan demikian karakter merupakan nilai-nilai perilaku manusia yang universal meliputi seluruh aktivitas manusia, baik dalam rangka dengan dirinya, dengan sesamanya, bahkan dengan Tuhannya, maupun dengan lingkungannya, yang terwujud dalam pikiran, sikap, perasaan, perkataan, dan perilaku berdasarkan norma agama, hukum, tata krama, budaya/tradisi, dan adat istiadat. Pengertian demikian ini jelas memungkinkan terbentuknya formulasi pendidikan karakter dalam lingkup sekolah. Dengan kata lain, dari konsep karakter inilah muncul konsep pendidikan karakter (character education). Penyelidikan sekilas tentang etimologis “karakter” ini menegaskan bahwa pemahaman tentang karakter tidak hanya berangkat dari pengertian akan istilah, tetapi juga menemukan keberadaan atas karakter itu sendiri. Berkaitan dengan keberadaannya, karakter ternyata secara umum dipahami setidaknya dengan dua konsep: ia telah dibawa dari lahir, kedua merupakan hasil dari didikan. Jika kita menerima karakter itu tidak diwariskan tapi dibawa dari lahir bahkan seperti sidik jari, konsekuensinya adalah sulit rasanya kita merancang apa yang disebut pendidikan karakter di sekolah yang diharapkan dapat mengubah perilaku siswa. Sebaliknya jika kita 12 Sebagai kondisi dinamis, karakter bukanlah produk yang sudah jadi, bukan tempelan atau tambahan dalam diri manusia. Ia merupakan proses, sekaligus hasil yang terus berlangsung menuju keutuhan. Doni Koesoema, Pendidikan Karakter utuh dan menyeluruh, 56-57. 13 Prof. Dr. Muchlas Samani dan Drs. Hariyanto, M.S, Pendidikan Karakter, 43.
JURNAL TEOLOGI STULOS
71
memahami karakter adalah sesuatu tabiat yang dapat diatur dan diciptakan maka memunculkan persoalan baru mengapa banyak pendidik gagal menciptakan pribadi yang sesuai dengan karakter yang diajarkannya? Secara terminologis, makna karakter banyak dibahas dan dikemukakan oleh Thomas Lickona. Dalam penjelasannya, karakter mulia (good character) meliputi hal-hal dasar seperti pengetahuan tentang kebaikan, lalu menimbulkan komitmen (niat) terhadap kebaikan, dan akhirnya benar-benar melakukan kebaikan. Dalam bukunya pendidikan karakter, Lickona memperlihatkan beberapa kualitas moral, ciri karakter yang membentuk pengetahuan moral, perasaan moral dan perbuatan moral (lihat diagram dibawah).14 Melihat rangkaian komponen karakter yang baik berdasarkan diagram ini maka karakter mengacu kepada serangkaian pengetahuan (cognitives), sikap (attitides), dan motivasi (motivations), serta perilaku (behaviors) dan keterampilan (skills).
Menurut banyak praktisi pendidikan, terminologi pendidikan karakter mulai dikenalkan sejak tahun 1900-an. Thomas Lickona dianggap sebagai 14
Thomas Lickona, Pendidikan Karakter panduan lengkap Mendidik Siswa menjadi Pintar dan Baik, terj., 74.
72
PENDIDIKAN KARAKTER
tokoh pengusungnya, terutama ketika ia menulis buku The Return of Character Education dan Educating for Character: How Our School Can Teach Respect and Responsibility. Melalui buku-buku ini, ia menyadarkan dunia Barat akan pentingnya pendidikan karakter.15 Pendidikan karakter menurut Lickona mengandung tiga unsur pokok, yaitu mengetahui kebaikan (knowing the good), mencintai kebaikan (desiring the good), dan melakukan kebaikan (doing the good).16 Tindakan moral menurutnya adalah produk dari dua bagian karakter lainnya.17 Menurut Doni Koesoema, pendidikan karakter adalah usaha sadar manusia untuk mengembangkan keseluruhan dinamika relasional antar pribadi dengan berbagai macam dimensi, baik dari dalam maupun dari luar dirinya, agar pribadi itu semakin dapat menghayati kebebasannya sehingga ia dapat semakin bertanggung jawab atas pertumbuhan dirinya sendiri sebagai pribadi dan perkembangan orang lain dalam hidup mereka berdasarkan nilai-nilai moral yang menghargai kemartabatan manusia.18 Hal ini senada dengan apa yang diungkapkan oleh Lickona.19 Penekanan pada “usaha sadar dan sengaja” merupakan ciri khusus dari praksis pendidikan karakter.20 Pendidikan karakter tidak sekedar mengajarkan 15
Dalam artikelnya yang lain ia juga menyinggung tentang apa maksud pendidikan karakter terkait dengan kebajikan (virtue). Menurutnya, character education is the deliberate effort to teach virtue. Virtues are objectively good human qualities. They are good for the individual (they help a person lead a fulfilling life), and they are good for the whole human community (they enable us to live together harmoniously and productively. Thomas Lickona, dalam Journal of Education, Vol. 179, Number 2, 1997, 64-65. 16 Muchlas Samani dan Hariyanto, M.S, Pendidikan Karakter, 49-50. 17 Thomas Lickona, Pendidikan Karakter panduan lengkap Mendidik Siswa menjadi Pintar dan Baik, 86. Ia menegaskan untuk memahami sepenuhnya apa yang menggerakkan sesorang sehingga mampu melakukan tindakan bermoral atau justru menghalanginya kita perlu melihat lebih jauh dalam tiga aspek karakter lainnya yakni: kompetensi, kemauan dan kebiasaan. 18 Doni Koesoema A, Pendidikan Karakter utuh dan menyeluruh, 57. 19 Menurut Lickona, pendidikan karakter sebagai upaya yang sungguh untuk membantu seseorang memahami, peduli dan bertindak dengan landasan inti nilai-nilai etis. Maka penekanan disini, pendidikan karakter sebagai upaya yang dirancang secara sengaja untuk memperbaiki karakter para siswa. Prof. Dr. Muchlas Samani dan Drs.Hariyanto, M.S, Pendidikan Karakter, 44. 20 Dalam konteks sekolah, menurut Dr. Zubaedi, pendidikan karakter diartikan sebagai the deliberate us of all dimensions of school life to foster optimal character
JURNAL TEOLOGI STULOS
73
mana yang benar dan mana yang salah kepada anak, tetapi juga menanamkan kebiasaan (habituation) tentang yang baik sehingga peserta didik paham, mampu merasakan, dan mau melakukan yang baik, semua ini merupakan usaha secara sengaja dan sadar. 21 Proses pendidikan karakter dipandang sebagai usaha sadar dan terencana bukan usaha yang sifatnya terjadi secara kebetulan. Atas dasar ini, pendidikan karakter adalah usaha yang sungguh untuk memahami, membentuk, memupuk nilai-nilai etika, baik untuk diri sendiri maupun untuk semua warga masyarakat atau warga negara secara keseluruhan. Pendidikan karakter menjadi vital dan tidak ada pilihan lain untuk mewujudkan Indonesia cerdas dan bermoral. Hal ini penting segera direncanakan dan dirancang dalam konteks sekolah menghadapi tantangan regional dan global. Sebagai upaya sengaja, maka diperlukan kecermatan dan evaluasi objektif dalam pelaksanannya pendidikan karakter. Kesadaran akan pentingnya pendidikan karakter yang disebut sebagai gerakan masal dalam konteks Amerika hendaknya menjadi gerakan positif khususnya dalam konteks pendidikan Kristen di Indonesia.
Fungsi, Target dan Tujuan Pendidikan Karakter Apa yang hendak dicapai dalam pelaksanaan konsep pendidikan karakter dalam lingkup sekolah Kristen? Sekolah Kristen harus sadar
development. Dalam kutipannya terhadap definisi pendidikan karakter ia mengutip pendapat David Elkind, pendidikan karakter adalah usaha sengaja (sadar) untuk membantu manusia memahami, peduli tentang dan melaksanakan nilai-nilai etika inti. Demikian juga yang dikatakan oleh William dan Schnaps, pendidikan karakter merupakan berbagai usaha yang dilakukan leh para personel sekolah bahkan yang dilakukan bersama-sama dengan orang tua dan anggta masyarakat untuk membantu anak-anak dan remaja agar menjadi atau memiliki sifat peduli, berpendirian dan bertanggungjawab. Dr. Zubaedi, Desain Pendidikan Karakter, 14-15. 21 Thomas Lickona, Pendidikan Karakter panduan lengkap Mendidik Siswa menjadi Pintar dan Baik, terj., hl. 88. Menurutnya, karakter tidak berfungsi dalam ruang hampa, karakter berfungsi dalam lingkungan sosial. Maka tindakan moral amat dipengaruhi oleh ruang yang mendukungnya, sebuah lingkungan seringkali menindas kepedulian moral kita atau membuat seseorang berani bersikap tindakan bermoral.
74
PENDIDIKAN KARAKTER
benar bahwa keberadaannya tidak dapat dilepaskan dari lingkup konteks budaya bangsa yang didalamnya harus mempertimbangkan nilai-nilai tradisi dan budaya sekitarnya, sekaligus menunjukkan jatidirinya sebagai murid Kristus. Karenanya, dalam perwujudan pendidikan karakter kita harus melihat fungsi pendidikan karakter dalam konteks sekolah. Dr. Zubaedi setidaknya mendaftarkan ada tiga fungsi utama pendidikan karakter.22 Dalam konteks Indonesia, menurut Novan Ardy Wiyani ada sejumlah target yang hendak dicapai dengan diadakannya pendidikan karakter.23 Selain beberapa target ini, praktek pendidikan karakter juga hendaknya merupakan pencapaian target pada perkembangan kecerdasan emosi anak, diantaranya: rasa percaya diri, kemampuan bekerjasama, kemampuan bergaul dalam keanekaragaman, kemampuan berempati, dan kemampuan berkomunikasi. Target internal ini, merupakan capaian yang harus dikaitkan dengan budaya bangsa dalam praktek kongkritnya. Harus diakui, krisis moral bangsa ini telah merobek kebanggaan insan Indonesia pada negerinya. Dalam konteks inilah, pendidikan karakter dapat dijadikan sarana pemulihan emosi dan jatidiri kebangsaan. Pengetahuan yang memadai dalam konteks budaya Indonesia dengan keanekaragamanya ini penting mendapat perhatian oleh pendidik demi merumuskan konsep yang tepat dan cermat bagi pelaksanaan pendidikan karakter. Dengan demikian, pendidikan karakter di Indonesia seharusnya mempertimbangkan nilai-nilai karakter bangsa yang unik dari konsep pendidikan karakter dari lainnya. 24 Nilai-nilai karakter bangsa yang dianggap penting demi 22 Dr. Zubaedi, Desain Pendidikan Karakter, hl.18-19. Pendidikan karakter memiliki tiga fungsi utama: pertama fungsi pembentukan dan pengembangan potensi, kedua fungsi perbaikan dan penguatan (disini dibutuhkan keterlibatan keluarga, stuan pendidikan, masyarakat dan pemerintah), serta ketiga fungsi penyaring. Pendidikan karakter berfungsi memilah budaya bangsa sendiri dan menyaring budaya bangsa lain yang tidak sesuai dengan nilai budaya dan karakter bangsa yang bermartabat. 23 Dalam konteks masyarakat Indonesia, pendidikan karakter harus ditekankan pada upaya mengatasi masalah yang akhir-akhir ini terus berkembang, diantaranya: kepekaan pada solusi kemiskinan dan keterbelakangan, konflik SARA, budaya pembodohan oleh televisi, korupsi yang semakin meluas, dan kerusakan alam. Novan Ardy Wiyani, Manajemen Pendidikan Karakter (Yogyakarta: PT. Pustaka Insan Madani, 2012) 4-15. 24 Pendidikan karakter adalah pendidikan budi pekerti plus yaitu yang melibatkan aspek pengetahuan (cognitive), perasaan (feeling) dan tindakan (action). Tanpa ketiga hal
JURNAL TEOLOGI STULOS
75
terwujudnya tujuan pendidikan karakter telah disusun oleh pusat Balitbang Kemendiknas. Lembaga ini merumuskan beragam nilai berlandaskan budaya bangsa yang hendak dicapai dalam perwujudan tujuan pendidikan karakter dalam lingkup sekolah di Indonesia.
Cakupan pendidikan karakter amatlah kompleks. Selain target yang hendak kita capai juga ada tujuan yang seharusnya kita pikirkan bersama. Dalam kerangka pragmatis, perlulah diperjelas tentang tujuan dari pendidikan karakter. Banyak orang memahami tujuan pendidikan karakter sebagai pengembangan kepribadian dimana pertumbuhan individu sebagai pribadi yang sehat merupakan sasaran akhir.25 Mengutip pendapat Said Hamir Hasan, pendidikan karakter secara terperinci memiliki lima tujuan.26 ini menurut Lickona, pendidikan karakter tidak akan efektif selain harus dilakukan secara sistematis dan berkelanjutan. Melalui hal inilah nara didik diperkenalkan dengan budaya dan persoalan bangsa hingga menumbuhkan kepedulian terhadap usaha perbaikan bangsa. Selain ini, praktek pendidikan karakter di sekolah juga juga akan mengurangi resiko penyebab kegagalan murid disekolah. Ibid, 16. 25 Ada pula yang memusatkan diri pada penanaman nilai moral melalui pengajaran, ada pula yang sekedar mengajak anak untuk menjernihkan nilai moralnya sendiri dan mengambil keputusan atas dasar penjernihan tersebut. Ada pula yang berfokus pada pendidikan rohani, agama atau religiusitas karena menganggap bahwa ketaatan dan kepatuhan pada norma agama itulah yang dapat membuat hidup seseorang lebih berbahagia dan bermakna. Doni Koesoema A, Pendidikan Karakter utuh dan menyeluruh, 34. 26 Pertama, mengembangkan potensi nurani/afektif peserta didik sebagai manusia dan warga Negara yang memiliki nilai-nilai karakter bangsa. Kedua, mengembangkan kebiasaan dan perilaku peserta didik yang terpuji dan sejalan dengan nilai-nilai universal dan tradisi budaya bangsa yang religius. Ketiga, menanamkan jiwa kepemimpinan dan tanggung jawab peserta didik sebagai generasi penerus bangsa. Keempat, mengembangkan kemampuan peserta didik menjadi manusia yang mandiri, kreatif dan
76
PENDIDIKAN KARAKTER
Berdasarkan pembelajaran mengenai tujuan pendidikan karakter, dapat kita tarik kesimpulan bahwa dalam konteks Indonesia pendidikan karakter pada intinya bertujuan membentuk pribadi anak bangsa yang tangguh, kompetitif, berakhlak mulia, bermoral, bertoleran, bergotong royong, berjiwa patriotik, berkembang dinamis, berorientasi ilmu pengetahuan dan teknologi yang semuanya dijiwai oleh iman dan takwa kepada Tuhan berdasarkan Pancasila. Pendidikan karakter sebenarnya tidak dapat dilepaskan dari faktor pendidikan yang membentuknya: jati diri, nilai moral, kepekaan terhadap lingkungan sosialnya, agama, keanekaragaman budaya dan kebanggaannya pada bangsa sendiri. Maka, pendidikan karakter jelaslah merupakan sebuah upaya pembentukan pribadi yang mampu menemukan jati dirinya memahami nilai moral, kebajikan, agama, budaya dan kebanggaan kebangsaan yang dirancang dan dilatih sehingga pribadi yang dihasilkan mampu bertindak sesuai dengan jati dirinya tersebut.27 Pendidikan karakter terkait dengan bidang-bidang lain, khususnya budaya, pendidikan, dan agama. Ketiga bidang kehidupan terakhir ini berhubungan erat dengan nilai-nilai yang sangat penting bagi manusia dalam berbagai aspek kehidupannya. Budaya atau kebudayaan umumnya mencakup nilai-nilai luhur yang secara tradisional menjadi panutan bagi masyarakat. Pendidikan, selain mencakup proses transfer dan transmisi ilmu pengetahuan juga merupakan proses sangat strategis dalam menanamkan nilai dalam rangka pembudayaan anak bangsa. Sementara itu, agama juga mengandung ajaran tentang berbagai nilai luhur dan mulia
berwawasan kebangsaan. Kelima, mengembangkan lingkungan kehidupan sekolah sebagai lingkungan belajar yang amat jujur, penuh kreativitas dan persahabatan dan dengan rasa kebangsaan yang tinggi dan penuh kekuatan (dignity). Dr. Zubaedi, Desain Pendidikan Karakter, 18. 27 Dalam pandangannya, Lickona juga membahas perbedaan antara virtue dan value. Baginya, virtue unlike “values,” don’t change. Justice, honesty and patience always have been virtuees and always will be virtues. Virtues represent objective moral standards that transcend time, culture, and invidual choice. Every virtue has three parts: moral knowledge, moral feeling, and moral behavior. Thomas Lickona, The Character’s role in Character Education, 65.
JURNAL TEOLOGI STULOS
77
bagi manusia untuk mencapai harkat kemanusiaan dan kebudayaannya. Dalam konteks pendidikan karakter di sekolah Kristen diperlukan kecermatan untuk mendesain program ini berdasarkan karakter Kristen. Jika tidak, konsep pendidikan karakter bisa jadi hanya didasarkan pada pengapdosian nilai-nilai luhur/tradisi atas nama budaya yang justru mungkin bertabrakan dengan nilai kekristenan itu sendiri.28 Konsep nilai moral Lickona menjadi relevan bagi pendidikan Kristen guna memilah budaya mana yang sesuai dengan pengajaran Kristen. Apresiasi terhadap budaya hendaknya tidak bertabrakan dengan nilai-nilai pengajaran agama yang dianut peserta didik. Sebaliknya penegasan terhadap nilai-nilai agama, haruslah bijaksana mengingat Indonesia memiliki beragam agama selain keragaman budayanya. Disinilah, dibutuhkan kreativitas dan sensitivitas akademisi Kristen dalam mendesain program pendidikan karakter di sekolahnya.
Asumsi Dibalik Praksis Pendidikan Karakter Evaluasi terhadap hal ini dapat terlihat ketika mempelajari praksis pendidikan karakter. Doni Koesoema dengan baik menjelaskan beberapa asumsi dibalik praksis pendidikan karakter. Menurutnya setidaknya ada 4 asumsi yang terjadi:29 pertama, asumsi membuat mata pelajaran khusus yang berbeda dengan mata pelajaran lain yang sudah ada. Kedua, 28 Dalam penjelasannya mengenai nilai moral, Lickona membagi dua macam nilai: moral dan nonmoral. Nilai moral seperti kejujuran, tanggung jawab dan keadilan mengandung kewajiban. Sementara nilai nonmoral menjukkan apa yang kita ingini dan sukai yang tidak mengandung kewajiban bagi orang lain. Nilai-nilai moral menurutnya dibagi kedalam dua kategori: universal dan nonuniversal. Nilai moral universal seperti memperlakukan orang dengan adil, menghormati kehidupan, kebebasan, kesetaraan, dll. Nilai nonuniversal sebaliknya tidak mengandung kewajiban moral yang universal, misalnya memeluk agama tertentu, melakukan kewajiban ibadah agama tertentu: doa, puasa, memperingati hari besar agama, dll. Thomas Lickona, Pendidikan Karakter panduan lengkap Mendidik Siswa menjadi Pintar dan Baik, terj., 55-60. 29 Dalam penjelasannya, setiap asumsi memiliki konsekwensi logis dalam prakteknya. Baca selanjutnya dalam bukunya pendidikan karakter. Doni Koesoema A, Pendidikan Karakter utuh dan menyeluruh, 10-14.
78
PENDIDIKAN KARAKTER
pengelompokan mata pelajaran tertentu yang sengaja dirancang dengan muatan pendidikan karakter. Ketiga, pendidikan karakter dilaksanakan secara sistematis melalui kebijakan terpusat negara dengan kekuatan memaksa baik dari segi penentuan isi materi maupun praksis di lapangan. Keempat, pendidikan karakter terjadi begitu saja, tidak perlu direncanakan atau diprogramkan karena setiap tindakan mendidik adalah proses pembentukan karakter. Berdasarkan pandangan asumsi di atas, praktisi pendidikan perlu mencermati praksis pendidikan karakter yang ada masuk dalam kategori “asumsi” atau nyata berdampak bagi perilaku siswa. Hal ini memerlukan evaluasi objektif dan kejujuran pelaku pendidikan. Menurut Novan Ardy Wiyani, terdapat beberapa pendekatan yang biasanya dilakukan dalam lingkup pendidikan karakter. Pertama pendekatan komprehensif dalam pendidikan karakter, kedua, pembelajaran terintegrasi dan ketiga, pengembangan kultur sekolah.30 Pada prakteknya, hal ini membutuhkan penilaian dan evaluasi. 31 Karenanya, sesulit apapun dalam rangka penilaian dan evaluasi, proses ini perlu dilakukan guna memberikan jaminan bahwa sebuah proses pendidikan karakter telah memberi dampak yang nyata sebagaimana yang diharapkan.32 30 Dalam evaluasinya, ia menyebutkan bahwa bagi generasi masa lalu, pendidikan karakter yang bersifat indoktrinasi sudah cukup memadai untuk membendung terjadinya perilaku menyimpang dari nrma kemasyarakatan. Namun kini cara ini tidak efektif. Maka diperlukan pendekatan yang komprehensif yang mengandung beberapa aspek: pertama, isinya harus komprehensif meliputi persoalan yang menyangkut pribadi sampai umum, kedua metdenya harus komprehensif (di dalamnya inkulkasi nilai, pemberian teladan, pelatihan soft skill, dll), ketiga pendidikan karakter hendaknya terjadi dalam keseluruhan proses pendidikan (di kelas, ekstrakurikuler, pembimbingan, penghargaan, dll). Dan keempat, pendidikan karakter hendaknya terjadi pula melalui kehidupan masyarakat. Novan Ardy Wiyani, Manajemen Pendidikan Karakter, 27-30. 31 Menurut Prof.Dr. Muchlas Samani, evaluasi terhadap pendidikan karakter harus juga menilai karakter sekolah (komunitas yang peduli dan menghargai), fungsi staff sebagai pendidik karakter, sampai pada implementasi pada kehidupan nyata siswa (jujur, relasi baik, penyelesaian konflik, dll). Prof.Dr. Muchlas Samani dan Drs.Hariyanto, M.S, Pendidikan Karakter, 174-175. 32 Demi efektivitas praksis pendidikan karakter, Doni Koesoema mengusulkan beberapa kriteria penilaian pendidikan karakter, meliputi: criteria tindakan, criteria moral, criteria perfomansi (kinerja) pendidikan, kerjasama dengan lembaga lain serta kedisiplinan. Doni Koesoema A, Pendidikan Karakter utuh dan menyeluruh, 208-220.
JURNAL TEOLOGI STULOS
79
Pendidikan Karakter dalam Sejarah Pendidikan Kristen Proses formulasi pendidikan karakter amat penting untuk dikaji dan dipikirkan praktisi pendidikan Kristen oleh karena kita harus mampu membawa dan menunjukkan keunikan pendidikan Kristen yang kita maksud kepada dunia. Konsepsi mengenai hal ini mendasari pemunculan proses pendidikan yang dapat diklaim sebagai pendidikan Kristen. Menurut Lawrence Cremin, pendidikan adalah usaha sengaja, sistematis dan terus-menerus untuk menyampaikan, menimbulkan atau memperoleh pengetahuan, sikap-sikap, nilai-nilai, keahlian atau kepekaan, juga setiap akibat dari usaha itu.33 Sementara Alfred North Whitehead mendefinisikan pendidikan adalah bimbingan bagi individu untuk memahami seni kehidupan, yang dimaknai sebagai prestasi paling lengkap dari pelbagai kegiatan yang mengekpresikan potensi makhluk hidup ketika berhadapan dengan lingkungannya yang sebenarnya. Kekuatan definisi ini adalah penekanannya pada pendekatan holistik terhadap manusia yang memperhatikan seluruh “seni kehidupan.” Melihat sekilas definisi pendidikan di atas, apa sebenarnya keunikan pendidikan Kristen. Konsepsi istilah pendidikan dalam konteks Kristen memunculkan perdebatan. Ada yang tetap menggunakan istilah pendidikan Kristen (Christian Education), tetapi ada pula yang menekankan istilah pendidikan agama Kristen (Christian Religious Education).34 Tanpa bermaksud mengabaikan perdebatan yang ada, dan 33 Dalam pandangan ini pendidikan selalu mewajibkan kesengajaan, sistematis dan terus menerus. Maka kekuatan lain definisi ini adalah mengarahkan kegiatan pendidikan ke arah manusia yang utuh “pengetahuan, sikap, nilai, keahlian, dan kepekaan seseorang.” Thomas Groom, Christian Religious Education, terj. (Jakarta: PT BPK Gunung Mulia, 2010) 30. 34 Kecaman terhadap penggunaan istilah Pendidikan Kristen (Christian Education) datang dari beragam kalangan. Menurut ajaran Marx maupun Freud, penegasan pemakaian istilah kristen menghalangi timbulnya pembebasan dan kebebasan manusia. Alasan lain, menurut Moran istilah pendidikan Kristen pada umumnya dimengerti sebagai kegiatan yang melaluinya “pejabat-pejabat gereja mengindoktrinasi anak-anak agar mematuhi gereja yang resmi.” Thomas Groom, Christian Religious Education, 35.
80
PENDIDIKAN KARAKTER
dalam kerangka memikirkan kembali efektivitas proses pendidikan Kristen, saya akan menggunakan kedua istilah ini dalam maksud yang sama. Menurut Groom, tujuan pendidikan agama Kristen adalah untuk memampukan orang-orang hidup sebagai orang-orang Kristen yakni hidup sesuai iman Kristen.35 Tujuan semua pendidikan Kristen yakni merespon perintah Yesus: “Karena itu pergilah, ajarlah… Mat. 28:19-20). Bagi Groom, tujuan ini sebagai metapurpose pendidikan agama Kristen. Maka tujuan utama para pendidik agama Kristen adalah untuk menuntun orang-orang keluar menuju ke kerajaan Allah di dalam Yesus Kristus.36 Dalam pemahaman ini, maka sekolah Kristen merupakan suatu wadah yang seharusnya menanamkan, melatih dan membentuk pribadi Kristen yang sesuai dengan karakter Kerajaan Allah.
Peta Konteks Pendidikan Di Indonesia Persoalan Pendidikan di Indonesia Pendidikan karakter kembali menemukan momentumnya belakangan ini; bahkan menjadi salah satu program prioritas Kementerian Pendidikan Nasional (Kemendikbudnas). Telah banyak diskusi baik melalui konferensi atau seminar tentang pendidikan karakter, namun belum banyak terobosan kongkrit dalam memajukan pendidikan karakter. Disatu sisi hal ini amat positif, namun disisi lain ternyata menegaskan perubahan perilaku peserta didik yang perlu mendapatkan pengarahan secara sistematis. Persoalan pendidikan di Indonesia sebenarnya dipicu 35
Apa yang sebenarnya diharapkan dari seorang Kristen dan bagaimana gaya hidup yang demikian dipromosikan telah mengambil ekspresi-ekspresi yang berbeda pada waktu yang berbeda pula. Ibid, 48. 36 Ada tiga alasan menurut Groom yang mendukung alasan ini: pertama dalam kitab suci orang Yahudi, visi kerajaan Allah ditempatkan sebagai visi dan rencana Allah sendiri bagi seluruh manusia dan ciptaan. Kedua, kesinambungan dengan tradisi Yahudi tersebut, Yesus memberitakan kabar baik-Nya dalam konteks kerajaan Allah. Ketiga, meskipun kerajaan Allah sebagai tema utama pemberitaan Kristen mengalami stagnasi di gereja mula-mula, kerajaan Allah telah menjadi yang utama kembali dalam telogi kontemporer. Ibid, 49-50.
JURNAL TEOLOGI STULOS
81
oleh banyak faktor. Factor pertama datang dari kehadiran budaya kota di Indonesia, factor kedua adalah teknologi komunikasi. Dua faktor ini, kini menghasilkan “dunia modern” dengan segala pengaruhnya. Teknologi komunikasi dan informasi memungkinkan para siswa mengakses informasi tanpa batas. Menurut Robby I Chandra, praktisi pendidikan harus peka terhadap perubahan yang ada. Kondisi ini menuntut evaluasi ulang proses pembelajaran: materi, metode dan sensitifitas pada perubahan dunia yang terjadi dengan cepat.37 Dimana letak pendidikan karakter? Setidaknya ada 3 sumber nilai yang perlu ditegaskan: budaya, pendidikan dan agama. Budaya, pendidikan dan bahkan agama boleh jadi mengalami disorientasi karena terjadinya perubahan-perubahan cepat, misalnya, industrialisasi, urbanisasi, modernisasi dan terakhir sekali globalisasi.
Tujuan pendidikan di Indonesia Amanat UUD 1945 amat jelas menentukan Arah dan tujuan pendidikan nasional Indnesia. Tujuan pendidikan adalah peningkatan iman dan takwa serta pembinaan akhlak mulia para peserta didik yang dalam hal ini adalah seluruh warga negara yang mengikuti proses pendidikan di Indonesia. Amanat ini tegas memberikan perhatian besar akan pentingnya pendidikan karakter (akhlak mulia) dalam setiap proses pendidikan demi membumikan nilai-nilai agama dan kebangsaan melalui ilmu pengetahuan dan teknologi bagi peserta didik. Munculnya undangundang tentang sistem pendidikan nasional (sisdiknas), yakni UU no. 20 tahun 2003, menegaskan kembali fungsi dan tujuan pendidikan nasional 37
Dr. Robby I Chandra, Pendidikan Menuju Manusia Mandiri (Bandung: Generasi Infomedia, 2006) 27-43. Dalam pemaparannya, ia mengingatkan para pendidik sadar bahwa kini mereka mendidik di dunia yang berubah cepat. Setidaknya ada 3 paradigma pendidikan yang berkembang: paradigma pertama, menganggap proses pendidikan adalah proses menolong siswa agar potensi terpendam mereka menjadi berkembang penuh. Para pendidik berperan sebagai fasilitator, teladan dan inspirasi siswa. Paradigma kedua, pendidikan dipandang sebagai proses membekali dan melatih siswa dengan kompetensi umum yang dapat mereka gunakan dalam kehidupan sehari-hari atau profesi mereka kelak. Paradigm ketiga, pendidikan dipandang sebagai proses menyiapkan para siswa untuk dapat melakukan rangkaian tugas tertentu.
82
PENDIDIKAN KARAKTER
Indonesia. Penegasan pasal 3 UU adalah pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab. Amanat mulia pendidikan nasional seperti ini menuntut semua praktisi pendidikan memiliki kepedulian yang tinggi akan masalah moral atau karakter.
Pendidikan Karakter dalam perspektif Kristen Praksis pendidikan karakter dalam konteks sekolah Kristen di Indonesia tidak dapat dilepaskan dari arah dan tujuan pendidikan nasional yang telah diamanatkan dalam UUD 1945. Disamping ini, harus juga dipertimbangkan sejarah pendidikan karakter dalam perspektif kristen. Para sejarawan pendidikan Kristen meyakini bahwa pengajaran Kristen saat ini menemukan akarnya pada pendidikan Ibrani (Yudaisme). Menurut Hope S.Antone, setidaknya ada tiga periode utama dalam Alkitab yang perlu ditinjau kembali agar dapat memahami bagaimana pendidikan Kristiani terjadi pada zaman Alkitab. 38 Dalam penjabarannya, Hope S. Antone membahas bahwa Pendidikan pre-exilic yang sebagian dijelaskan dalam kitab Ulangan 6, menyiratkan pola-pola kehidupan keluarga yang kuat sebagai latar belakang utama bagi pemeliharaan iman dan karakter. Pada masa pembuangan dan sesudahnya, Sinagoge menjadi penanda pemeliharaan pengajaran agama yang di dalamnya juga penerusan warisan nilai-nilai kehidupan karakter umat Allah. Dalam Perjanjian Baru pendidikan karakter dapat dilihat dalam dua cara yakni: pertama, menurut cara Yesus yang terwujud dalam tiga metode: pemberitaan langsung, 38
Tiga periode utama tersebut adalah: periode sebelum pembuangan (pre-exilic), peride sesudah pembuangan (post-exilic) dari masa Perjanjian Lama, dan periode Perjanjian Baru. Hope S.Antone, Pendidikan Kristiani Kontekstual, terj. (Jakarta: PT BPK Gunung Mulia, 2010) 17-18.
JURNAL TEOLOGI STULOS
83
perayaan doa dan pelayanan bagi kebutuhan manusia). Kedua, cara murid-murid Yesus yang pertama, terwujud dalam tiga metode juga: perhatian pada kebutuhan manusia, merayakan hubungan yang baru dengan Allah dan pekabaran Injil. Jelaslah kini, pendidikan karakter dalam perspektif Kristen tak dapat dipisahkan dari peran Kristen secara kongkrit pada waktu, kondisi dan tempat sesuai dengan jaman mereka. Sejarah mencatat, kekristenan mula-mula justru amat dihormati oleh karena mereka dikenal sebagai komunitas yang disukai semua orang dan bahkan diikuti oleh banyak orang (Kis. 2:47, tiap hari Tuhan menambah jumlah orang yang diselamatkan). Pembahasan ini menegaskan bahwa konsepsi pendidikan karakter dalam perspektif sejarah Kristen telah berlangsung nyata dalam kehidupan umat Allah. Maka, sejatinya pendidikan karakter telah menjadi ciri umat Allah yang membedakannya dari umat lainnya.
Isu-isu Pendidikan Kristen: problematika dan tantangan39 Disadari atau tidak, Pendidikan Kristen telah mengalami pergeseran baik arah maupun nilai. Pergesaran itu nampak pada dasar, isi dan tujuan pendidikan. Persoalan yang sedang terjadi dengan Pendidikan Kristen masa kini: 1. Pendidikan Agama sebagai benteng moral tidak lagi menjadi hal terdepan. 2. Kekristenan yang menjunjung tinggi finalitas Kristus dan Alkitab, kebanyakan tergeser dari esensi Pendidikan Kristen, oleh sebab pluralitas agama dan pengetahuan. Hingga nyaris menjadi pendidikan tanpa Allah (Godless Education). 3. Nilai-nilai non Kristen bahkan anti Kristen memberikan penekanan 39
Materi ini diambil dari bahan kuliah Sejarah PAK STT Bandung yang diampu oleh Heriyanto, M.Th.
84
PENDIDIKAN KARAKTER
luar biasa di sekolah-sekolah Kristen. 4. Dampak dan pengaruh globalisasi Pendidikan. Dampak globalisasi terhadap dunia pendidikan paling tidak terlihat dalam 3 perubahan mendasar dalam dunia pendidikan. Pertama, dalam perspektif neo-liberalisme, globalisasi menjadikan pendidikan sebagai komoditas dan komersil. Globalisasi mampu memaksa liberalisasi berbagai sektor yang dulunya non-komersial menjadi komoditas dalam pasar yang baru. Menurut C. Leys, Pasar baru bisa muncul kalau memenuhi 4 kriteria: (1) Rekonfigurasi (membentuk ulang) produk dan layanan sehingga memiliki nilai dan layak dijual; (2) Merayu agar orang mau membelinya: (3) Mengubah perilaku melayani kepentingan bersama menjadi usaha untuk menghasilkan laba bagi pemilik modal sesuai dengan mekanisme pasar; dan (4) Adanya jaminan negara terhadap resiko yang mungkin terjadi terhadap modal. Tuntutan pasar ini mendorong perubahan dalam dunia pendidikan. Perubahan tersebut bisa dalam bentuk penyesuaian program studi, kurikulum, manajemen, dll. Komersialisasi pendidikan juga memacu privatisasi lembaga-lembaga pendidikan. Kedua, globalisasi mempengaruhi kontrol pendidikan oleh negara. Sepintas terlihat bahwa pemerintah masih mengontrol sistem pendidikan di suatu negara dengan cara intervensi langsung berupa pembuatan kebijakan dan payung legalitas. Ketiga, globalisasi mendorong delokalisasi dan perubahan teknologi serta orientasi pendidikan. Pemanfaataan teknologi baru disamping membantu akselerasi arus pertukaran informasi, juga telah ikut mendorong menjamurnya sistem pendidikan jarak jauh. Di sini terlihat fenomena delokalisasi, di mana orang-orang belajar dalam suasana yang sangat individual dan menghalanginya untuk berinteraksi dengan tetangga atau orang-orang di sekitarnya. Dipandang dari beragam sisi, kita bisa membuat sebuah generalisasi bahwa kata kunci dari globalisasi adalah: kompetisi. 5. Pendidikan seutuhnya yang terdiri dari aspek Religious, Knowledge
JURNAL TEOLOGI STULOS
85
dan Skill yang seharusnya menjadi satu paket, kini terabaikan dan menjadi humanistic (hanya berpusat pada manusia). 6. Pendidikan Agama Kristen (PAK) telah dijadikan kurikulum dalam pendidikan nasional, namun pelaksanaannya masih belum terasa pada anak didik. Hal ini disebabkan: a. Adanya pemisahan antara masalah iman dengan masalah pengetahuan, sehingga mempersempit wilayah kerja PAK. b. Integrasi antara iman Kristen dan dampaknya bagi perubahan perilaku hidup anak didik belum nampak. c. Falsafah pluralisme yang merendahkan finalitas Kristus dan Alkitab sebagai satu-satunya jalan keselamatan dan standart moral. 7. Carl Henry mengingatkan : ”Generasi kita kini kehilangan kebenaran Allah, realitas pewahyuan Ilahi, isi kehendak Allah, otoritas Firman Allah dan kuasa penebusan-Nya. Kehilangan ini membuat kekristenan membayar mahal yakni kekafiran yang merajalela dalam kehidupan yang mengaku diri sebagai Kristen.” Jika kebenaran Allah yang seharusnya menjadi dasar dari pendidikan karakter terabaikan, tidak heran persoalan karakter dalam pribadi nara didik kristen akan semakin merajalela. Hasil dari teori pendidikan karakter yang diterapkan oleh lembaga pendidikan sekuler terbatas pada pemulihan hubungan dengan pluralitas kemanusiaan, apa yang menjadi keunikan pendidikan karakter Kristen? Jelas, tidak hanya pemulihan antar sesama manusia dan tanggung jawabnya sebagai warga negara tetapi juga menuntun pada pemulihan antara nara didik Kristen dengan Allah dan mampu menunjukkan kesaksian dirinya sebagai umat Allah dalam dunia.
Pelaku Pendidikan Karakter dalam Konteks Pendidikan Kristen, Tiga Faktor Penentu 1. Pendidikan Karakter dalam Keluarga Kristen. Melalui kitab Ulangan 6, keluarga Kristen diperingatkan tanggung jawabnya
86
PENDIDIKAN KARAKTER
mewujudkan pendidikan umat Allah termasuk pendidikan karakter. Peran keluarga yang dimaksud adalah Ayah dan Ibu. Ulangan 6:4-9 diawali perintah Allah agar bangsa Israel melakukan dan memegang teguh segala perintah dan peraturan yang Allah berikan, disertai janji berkat jika mereka setia melakukannya. (ayat 1-3).5 Perintah ini diberikan dalam kaitan persiapan mereka memasuki tanah Kanaan (ayat 3). Maksud dari perintah ini diberikan supaya bangsa Israel melakukannya ketika mereka masuk dan hidup di tanah Perjanjian sehingga mereka mampu menunjukkan keunikan sebagai umat Allah. Dalam tradisi Yahudi kata “syema” disebut sebagai “the fundamental truth of Israel’s religion” and “ the fundamental duty founded upon it.” Maka Ulangan 6:4-9 merupakan patokan bagi keluarga Yahudi yang harus dilaksanakan. “Syema” merupakan merupakan inti dari pengakuan iman bangsa Israel. Dalam perkembangannya “syema” menjadi bagian penting bagi kehidupan bangsa Israel dan menjadi dasar bagi pendidikan kepada anak-anak mereka. Prinsip penting pendidikan anak berdasarkan Ul.6 : pendidikan harus berkaitan dengan pengakuan bahwa Allah itu Esa, pendidikan harus dilakukan dengan serius, harus diajarkan di setiap kesempatan, harus diajarkan dengan prinsip keteladanan, pendidikan harus diberikan sejak Anak-anak dan pendidikan adalah tanggung jawab orang tua. Karenanya, tidak ada satu orangtuapun yang dapat menghindar atau beralasan untuk tidak melakukan peran ini sekalipun dalam keterbatasan mereka.40 Perlu diingat, banyak orang tua gagal dalam pendidikan karakter anak-anaknya karena kesibukan atau justru karena lebih mementingkan aspek kognitif saja. 40
Para ahli pendidikan meyakini bahwa keluarga merupakan agen terdepan dalam pembentukan watak sehat. Mengutip pendapat Virginia Satir, keluarga merupakan pabrik pengolahan kepribadian (peoplemakers), tata nilai dan watak. Dalam keluargalah tata nilai ditanamkan: keluarga membentuk konsep diri (posistif atau negative), keluarga mengajarkan kepada anak cara berkomunikasi (tertutup atau terbuka), keluarga menanamkan disiplin, dan keluarga mendidik anak memainkan peran social mereka. B.S. Sidjabat, Membangun Pribadi Unggul suatu Pendekatan Telogis terhadap Pendidikan Karakter (Yogyakarta: Yayasan Andi, 2011) 23-24.
JURNAL TEOLOGI STULOS
87
2. Pendidikan karakter dalam sekolah Kristen Semua pihak mengharapkan, sekolah dapat benar-benar menjalankan perannya sebagai wadah pendidikan bagi pembentukan pribadi siswanya. 41 Dalam pembahasannya, Lazerson menegaskan ada dua tantangan yang harus dijawab oleh sekolah sebagai wadah pendidikan yakni equality (persamaan) dan Excellence (keunggulan). Sekolah haruslah menanamkan pada siswa sikap persamaan sekaligus penerimaan keunggulan pribadi. 3. Pendidikan Karakter dalam Masyarakat atau Gereja Kebiasaan karakter membutuhkan komunitas yang mendukungnya. Maka, gereja dan komunitas Kristen perlu bersatu untuk memiliki konsepsi dan gerakan yang sama dalam perwujudannya. Komunitas Kristen tidak boleh dianggap hanya sebagai wadah bertemu untuk beribadah semata, komunitas ini harus juga berperan sebagai “community as educator. Kini kita diperhadapkan dengan pekerjaan rumah yang berat di tengah pluralitas pendidikan yang ada. Dalam penjelasannya, Hope S Antone, menggambarkan metode pendidikan Kristiani dari waktu ke waktu. Menurutnya, pada periode Reformasi baik Katolik maupun Protestan melanjutkan pemanfaatan pendidikan di rumah, di gereja (ibadah), pengajaran pastoral, bimbingan iman yang benar dan praktik benar (karakter).42 Gambaran ini menegaskan bahwa pendidikan karakter dalam komunitas, diwarisi dari komunitas Kristen awal, dan terus dipelihara dalam konteks kekristenan. Efektivitas praksis pendidikan Kristen harus menjadi gerakan bersama antara keluarga, sekolah, dan masyarakat. 43 Karenanya, langkah 41
From the beginning, schools had a special role in preparing the next generation for the responsibilities of citizenship. Demikian pernyataan Marvin Lazerson dan kawan-kawan, dalam buku mereka. Marvin Lazerson, An Education of Value the Purpose and Practices f Schools (Cambridge: Cambridge University Press, 1985) 4-5. 42 Hope S.Antone, Pendidikan Kristiani Kontekstual, terj. 21-23. 43 Dalam pemaparannya, B.S.Sidjabat menegaskan orang tua di rumah, guru di sekolah, majelis/diaken dan gembala siding di gereja memiliki peran penting dan mendesak. Mereka semua merupakan pengarah iman (spiritual director) dan pembimbing
88
PENDIDIKAN KARAKTER
pertama yang harus dilakukan adalah menyambung kembali hubungan dan educational networks yang nyaris terputus antara ketiga lingkungan pendidikan ini. Pembentukan watak dan pendidikan karakter tidak akan berhasil selama antara ketiga lingkungan pendidikan tidak ada kesinambungan dan harmonisasi. Sekolah Kristen sebagai Entitas Strategis dalam Implementasi Pendidikan Karakter. Tidak adil rasanya jika kita menumpahkan semua tanggung jawab praksis pendidikan Kristen pada lembaga sekolah Kristen semata. Sebaliknya, tidak bertanggung jawab pula kiranya jika sekolah Kristen sebagai wadah yang dipercaya menanamkan karakter Kristen justru tak mampu mewujudkan perannya. Praksis pendidikan karakter harus menjadi kesadaran tugas mendesak dan tepat guna. Kondisi ini diperparah oleh jaman yang disebut oleh James Davison Hunter sebagai The Death of Character.44 Bagaimana sekolah Kristen memaksimalkan perannya dalam praksis pendidikan karakter? -
Pilar Pendidikan Karakter Pada umumnya terdapat beberapa pilar dalam pendidikan karakter, setidaknya ada 6 pilar yang harus nyata, yakni: 45 trustworthiness (be honest), respect (treat others with respect), responsibility (do what you are supposed to do, fairness (play by the rules), caring (be kind), and citizenship (do your share to make your school and community better. Dengan tidak mengabaikan pilar-pilar pendidikan karakter yang telah ada,
moral (moral guide) bagi pribadi-pribadi dan kelompok yang diasuh dan dibesarkan. B.S.Sidjabat, Membangun Pribadi Unggul suatu Pendekatan Telogis terhadap Pendidikan Karakter (Yogyakarta: Yayasan Andi, 2011) 25. 44 Mengawali bukunya, James Davison Hunter menegaskan: The death of character comes at a time when the call to “renew values” and to “restore character” is especially loud, persistent, universal-not to mention urgent. James Davison Hunter, The Death of Character Moral Education in age without Good or Evil (New York: Basic Books, 2000) 45 David Clyde Jones, The Character Education Movement (Journal Presbyterion: Covenent Theological Seminary Review, Vol. XXVI Fall 2000 number 2, 85.
JURNAL TEOLOGI STULOS
89
pendidikan karakter dalam konteks sekolah Kristen perlu menambahkan kekhususan mereka. David Gill mengusulkan apa yang disebut dengan pembaruan karakter yang diwujudkan dalam prinsip-prinsip praktis. 46 Dalam praksis pendidikan karakter di pendidikan Kristen, semua pilar pendidikan yang ada haruslah menghasilkan tujuan yang ultimat, demikian pendapat Gill, yakni: supaya Allah dimuliakan dengan perubahan karakter kita (Mat. 5:13-16. Kedua, untuk menyatakan kasih kepada sesame manusia dan perubahan karakter itu membawa dampak bagi orang-orang di sekitarnya. Ketiga, dunia “digarami” melalui karakter baik. Keempat, Kristen menghadirkan hidup, terang dan perubahan dunia. Kelima kita sendiri dan orang-orang sekitar akan mendapat berkat. -
Sekolah Kristen sebagai wahana pendidikan karakter. Fungsi transformasi nilai-nilai luhur yang dilaksanakan di sekolah mencakup lima dimensi, yaitu:47 pertama, pendidikan tidak hanya mencakup pengetahuan dan ketrampilan semata tetapi juga sikap, nilai dan kepekaan pribadi. Kedua, peran seleksi (mencakup tidak hanya pemberian sertifikat, tetapi juga melakukan seleksi terhadap peluang kerja). Ketiga, fungsi indktrinasi. Keempat, fungsi pemeliharaan anak. Kelima, aktivitas kemasyarakatan.
4. Pribadi umat Allah yang dihasilkan. Menanggapi maraknya pendidikan karakter yang diusulkan oleh para pakar pendidikan umum, beberapa pemikir Kristiani memberikan pendapat mereka 46
B.S.Sidjabat, Membangun Pribadi Unggul suatu Pendekatan Telogis terhadap Pendidikan Karakter, hl. 284. Prinsip-prinsip pembaruan karakter: pertama, hidup dalam relasi dengan Allah termasuk mengalami perjumpaan pribadi dengan Dia melalui kelahiran baru. kedua, mendengarkan dan menceritakan kisah perbuatan-perbuatan-Nya sebagaimana ditulis dalam Alkitab. Ketiga, mempelajari secara lebih dalam ajaran tentang kebaikan Allah. Keempat, meneladani dan menaati kebaikan Allah. Kelima, bertumbuh dalam komunitas yang beriman kepada Allah dalam Kristus Yesus. 47 Novan Ardy Wiyani, Manajemen Pendidikan Karakter, 35-36.
90
PENDIDIKAN KARAKTER
sebagai arahan kepada praktisi pendidikan dalam mengadopsi konsepsi pendidikan karakter yang ada dan berkembang. Menurut Nicholas Wolterstorff, manusia dipanggil untuk hidup bertanggung jawab kepada Tuhan, dirinya, sesamanya dan terhadap lingkungannya. Pemberontakan manusia pertama membuat manusia jatuh ke dalam dosa, yang selanjutnya melumpuhkan kemampuan manusia untuk hidup bertanggung jawab. Tetapi karena kasih dan kemurahan Allah melalui karya Yesus Kristus di kayu salib. Hasil pembenaran dan pendamaian dengan Allah dalam Kristus inilah yang memunculkan berbagai potensi moral baru. 48 Wolterstorff menegaskan dalam landasan anugerah Allah sematalah pendidikan karakter itu dapat dibangun. Maka ia mengusulkan tiga strategi dalam prakteknya: pertama, dengan jalan pembangkitan kesadaran akan anugerah Allah oleh pendidik (orang tua, guru dan gereja). Kedua, pembangkitan kesanggupan atau ability learning (bersifat dorongan, kesempatan dan pemberian pujian). Ketiga, pembiasaan atau tendency learning (harus ada model). Apa yang diharapkan terjadi dalam pribadi umat Allah dalam pembentukan karakter? Menurut David Gill, pertama memahami dan mempraktikkan kebajikan utama yang sudah dikenal gereja sejak awal yakni keadilan, hikmat atau kebijaksanaan, keberanian dan pengendalian diri. Kedua, memahami dan mengembangkan akhlak utama Kristen sebagaimana disebutkan oleh Paulus: iman, kasih dan pengharapan (1 Kor. 13:13, Kol. 1:4-5, 1 Tes. 1:2-3). Ketiga, menjadikan 8 dasar hidup bahagia menurut Yesus Kristus menjadi dasar kekuatan moral kita (Mat. 5:3-12). 5. Peran guru. Peran guru amat vital terwujudnya praksis pendidikan karakter dalam konteks pendidikan Kristen. Guru sebagai model 48
B.S.Sidjabat, Membangun Pribadi Unggul suatu Pendekatan Telogis terhadap Pendidikan Karakter, hl.272-274. Berkenaan dengan pendidikan karakter, Wolterstoff tidak setuju kepada pandangan humanistis yang menekankan bahwa anak harus diizinkan memilih sikap dan perbuatan moral sesuai kehendaknya.
JURNAL TEOLOGI STULOS
91
pembentukan karakter secara otomatis harus memiliki syarat-syarat yang ketat. Menurut Craig R. Dykstra, The teacher is a person who is intentionally responsible for involving learners in the experience of the repenting, praying, and serving community in such a way that its various aspect might be explored, shared, understood, and participated in. 49 Dalam konteks sekolah, pengajaran nilai hidup, iman dan karakter membutuhkan pendekatan seperti ini: pertama, truth encounter yakni melalui pengajaran verbal atau penyelidikan dan diskusi atas Firman Tuhan. Kedua, power encounter yakni melalui kehadiran dan karya kuasa Allah (jamahan Ilahi). Ketiga, life encounter yakni melalui keteladan hidup sehari-hari, demikian menurut B.S.Sidjabat. figur seorang guru Kristen dengan demikian bukanlah sembarang dan gampangan, ia tidak boleh hanya fasih dalam penyampaian materi, tapi ia harus menghidupi pembaharuan karakter yang dialami secara pribadi bersama Allah hingga hidupnya layak diteladani. 50 Dalam penjelasannya mengenai seni mendidik karakter Kristen, Dr. Stephen Tong menegaskan seorang guru selain meneladani Kristus, ia juga memiliki beberapa aspek penting dalam profesinya: pendidik yang mencintai Tuhan, pendidik yang mencintai kebenaran, dan pendidik yang mencintai murid.51 6. Strategi manajemen pendidikan karakter di sekolah. Banyak pendekatan yang telah dilakukan demi terwujudnya praksis 49
Ibid, hl. 279-280. Maka menurutnya, ada tiga langkah yang harus dilakukan guru dalam pembelajaran watak: pertama, dengan sikap sensitive mengenali peserta didiknya, termasuk konteks kehidupan (tetangga, musuh dan rang asing), kedua, menyediakan sumber-sumber belajar dalam rangka menuntun peserta didik memahami pergumulannya. Ketiga, guru memberanikan peserta didik mengusulkan konsep “jalan keluar” cara menghadapi konflik atau pergumulan moralnya. 50 Penegasan senada juga disampaikan oleh Steven S.Tigner, baginya teacher and other school personnel best promote dispositions in student t make people seriously as a persons by taking students themselves seriously as persons. Indeed, there is no other way to do it. It must be made clear t students that who they are-the persons that they are (and are becoming)-really matters. Steven S.Tigner, Character Education: outline of seven point program, Journal of Education vol.175 number 2, 1993, hl. 13-15. 51 Dr.Mary Setiawani, Pdt Dr. Stephen Tong, Seni mendidik Karakter Kristen (Jakarta: Lembaga Reformed Injil Indnesia, 1995) 78-81.
92
PENDIDIKAN KARAKTER
pendidikan karakter dalam konteks sekolah. Beberapa pola berikut ini dapat dijadikan pertimbangan dalam konteks sekolah Kristen. Thomas Lickona, memberikan diagram strategi praksis pendidikan karakter dalam lingkup sekolah.52
7. Bagi Novan Ardy Wiyani, dalam pendidikan karakter di sekolah, semua komponen harus dilibatkan, termasuk komponen-komponen pendidikan itu sendiri:53 isi kurikulum, proses pembelajaran dan penilaian, kualitas hubungan, penanganan atau pengelolaan mata pelajaran, pengelolaan sekolah, pelaksanaan aktivitas/kegiatan kokurikuler, pemberdayaan sarana dan prasarana, pembiayaan, serta etos kerja seluruh warga sekolah. Lihat diagram berikut: 52 Lickona mengusulkan komponen-komponen yang seharusnya terjadi dalam kelas: 1. The Teacher as caregiver, moral model and moral mentor. 2. Creating a caring classroom community. 3. Moral discipline. 4. Creating a democratic classroom environment. 5. teaching values through the curriculum.6 cooperative learning. 7. The conscience of craft. 8. Ethical reflection. 9. Teaching conflict resolution. Thomas Lickona,The Character’s role in Character Education, Journal of Education, Vol. 179, number 2, 1997, 66-76. 53 Novan Ardy Wiyani, Manajemen Pendidikan Karakter, hl.78-79. Baginya, penerapan pendidikan karakter di sekolah setidaknya dapat ditempuh melalui 4 alternatif strategi secara terpadu: pertama, mengintegrasikan konten pendidikan karakter yang telah dirumuskan ke dalam seluruh mata pelajaran. Kedua, mengintegrasikan pendidikan karakter ke dalam kegiatan sehari-hari di sekolah. Ketiga, mengintegrasikan pendidikan karakter ke dalam kegiatan yang diprogramkan atau direncanakan. Keempat, membangun komunikasi dan kerjasama antara sekolah dengan orang tua peserta didik.
JURNAL TEOLOGI STULOS
93
8. Pendidikan Karakter: Meneladani Kristus dan Pembaharuan dalam Roh Kudus. Keunikan pendidikan karakter Kristen tentu tidak dapat dipisahkan dari teladan Kristus. Sehebat apapun kemampuan manusia tanpa kesadaran anugerah Kristus dan meneladani karakter-Nya hanya akan menghasilkan karakter yang amat humanistic. Apa yang dapat kita teladani dari Yesus Kristus sebagai Guru Agung dalam rangka pendidikan karakter? Menurut B.S. Sidjabat: pertama, Dia mengkomunikasikan kebenaran dan nilai hidup melalui khotbah, percakapan dan Tanya jawab. Kedua, Ia melakukan berbagai tanda dan mujizat untuk menyatakan bahwa kebenaran Allah itu nyata. Ketiga, Dia hidup di tengah banyak orang sebagai teladan. Pribadi pendidik maupun peserta didik seharusnya menjadi komunitas yang mengalami secara pribadi pembaharuan karakter dari Roh Kudus. Dengan demikian, pembaharuan karakter terjadi bukan didasari oleh usaha manusia semata tetapi merupakan pengalaman hidup nyata bersama Tuhan kita.
94
PENDIDIKAN KARAKTER
PENUTUP Gagasan tentang pendidikan karakter kini telah menjadi gerakan bersama dalam konteks pendidikan di Indonesia. Apa yang dapat dilihat sebagai keunikan pendidikan Kristen dalam konteks Indonesia, menjadi pembukti yang dinantikan dunia pendidikan. Anggapan sekolah Kristen sebagai lembaga sekolah yang elit dan ekslusive yang pada gilirannya menciptakan pengastaan dan diskriminasi, sebaiknya segera dihindari. Dibalik semua ini, konsepsi dan praksis pendidikan karakter dalam lingkup sekolah Kristen harus mampu menunjukkan keunikannya. Tujuan akhir pembinaan iman dan moral adalah menuntun orang menjadi murid Kristus (Mat. 28:19-20) dalam arti anak-anak, remaja, pemuda dan orang tua yang percaya, mempercayakan diri dan mengikuti serta menaati pengajaran-Nya dalam realitas kehidupan sehari-hari. Tanpa mengabaikan semua upaya yang dilakukan oleh beragam kalangan untuk mewujudnyatakan pendidikan karakter, tapi jika semua upaya tersebut tanpa intervensi Allah tidaklah sanggup mengubah karakter sejati siswa. Praksis pendidikan karakter dalam konteks komunitas Kristen melibatkan banyak kalangan yang dengannya harus memiliki semangat yang sama dalam perwujudannya. Dibutuhkan upaya, kerjasama dan penyerahan nyata pada Allah agar upaya ini tidak sia-sia belaka. Dalam semua upaya tersebut tidak boleh abai dan lupa esensi pembaharuan karakter dalam pribadi umat-Nya memiliki tujuan yang khas yakni pemberitaan Injil yang menuntun agar orang mengaku percaya dengan hati dan mulutnya dalam kesadaran (Roma 3:24-25), menyadari dan mensyukuri kehadiran Roh Allah dalam hidup kita, serta tujuan akhir perubahan ini adalah menjadi serupa dengan gambar-Nya (2 Kor. 3:17-18) hingga dunia tahu keunikan umat-Nya. Jadi akhirnya, saudara-saudara semua yang benar, semua yang mulia, semua yang adil, semua yang suci, semua yang manis, semua yang sedap didengar, semua yang disebut kebajikan dan patut dipuji, pikirkanlah semuanya itu. Dan apa yang telah kamu pelajari dan apa yang telah kamu
JURNAL TEOLOGI STULOS
95
terima dan apa yang telah kamu dengar dan apa yang telah kamu lihat padaku, lakukanlah itu. Maka Allah sumber damai sejahtera akan menyertai kamu (Fil. 4:8-9).
96
PENDIDIKAN KARAKTER
DAFTAR PUSTAKA
A, Doni Koesoema. Pendidikan Karakter utuh dan menyeluruh. Yogyakarta: Kanisius, 2012. Dr. Chandra, Robby I. Pendidikan Menuju Manusia Mandiri, Bandung: Generasi Infomedia, 2006. Dr. Setiawani, Mary Pdt Dr. Stephen Tong, Seni mendidik Karakter Kristen (Jakarta: Lembaga Reformed Injil Indnesia, Dr. Zubaedi, Desain Pendidikan Karakter. Jakarta: Prenada Media Group, 2011. Groom, Thomas. Christian Religious Education, terj. Jakarta: PT BPK Gunung Mulia, 2010. Hunter, James Davison The Death of Character Moral Education in age without Good or Evil, New York: Basic Books, 2000 Lazerson, Marvin An Education of Value the Purpose and Practices of Schools, Cambridge: Cambridge University Press, 1985. Lickona, Thomas. Pendidikan Karakter panduan lengkap Mendidik Siswa menjadi Pintar dan Baik, terj. Bandung: Nusa Media, 2013. Prof.Dr. Samani, Muchlas dan Drs.Hariyanto, M.S, Pendidikan Karakter. Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2011. Ryan, Kevin & Karen E. Bohlin, Building Character in Schools: Practical Ways to Bring Moral Instruction to Life. San Francisco: Jossey Bass, 1999. Sidjabat, B.S. Membangun Pribadi Unggul suatu Pendekatan Telogis terhadap Pendidikan Karakter, Yogyakarta: Yayasan Andi, 2011 Wiyani, Novan Ardy. Manajemen Pendidikan Karakter, Yogyakarta: PT. Pustaka Insan Madani, 2012 Zuhdi, Darmiyati. Pendidikan Karakter. Yogyakarta: UNY Press, 2009.