I HASIL DAN IV. D PEMB BAHASAN 4 Analisiis Bahan Koomponen K 4.1. Kayu dan Ba ambu Analisis bahan dillakukan mennggunakan Thermogravi T imetri Analyysis (TGA) u untuk
men ngetahui
deekomposisi
termal
p pada
komponen
utam ma
seperti
h hemiselulosa a, selulosa dan d lignin dari d serbuk kayu jati, sserbuk kayu pinus dan s serbuk bamb bu. Hasil annalisis TGA dapat dilihaat pada Gambbar 12.
(b)
(a)
(c) Keterangan :
:
DTG
: DTA D
: TG
Gambar 12 Hasil anaalisis TG/DT TA pada 3 jeenis bahan bbaku: (a). Serrbuk kayu jati, (b). Serbuk kaayu pinus, (cc). Serbuk bbambu.
56
Analisis TGA yang disajikan dalam bentuk termogram menunjukkan bahwa proses penguraian termal pada serbuk kayu jati, kayu pinus dan bambu terjadi dalam tiga tahap, seperti ditunjukkan oleh kurva TG. Ketiga tahap tersebut adalah, tahap pertama merupakan tahap penguraian komponen hemiselulosa. Tahap kedua penguraian komponen selulosa dan tahap ketiga penguraian komponen lignin. Hasil termogram menunjukkan serbuk kayu jati mengalami penguraian termal pada 3 tahap sesuai dengan perubahan garis di kurva. yaitu pada suhu 206.7, 281.3 dan 349.7°C dengan pengurangan massa (weight loss) pada masing-masing tahap sebesar 7.8 , 9.8 dan 40.2% (Gambar 12a). Untuk serbuk kayu pinus pada suhu 227, 320.2 dan 349.7°C dengan pengurangan massa pada masing-masing tahap sebesar 20.4, 26.7 dan 20.3% (Gambar 12b). Serbuk bambu pada suhu 209.8, 281.3 dan 340.2°C dengan pengurangan massa pada masing-masing tahap sebesar 7.3 , 8.4 dan 32.8% (Gambar 12c). Tabel 10 Hasil analisis termal TG serbuk kayu jati, kayu pinus dan bambu Suhu dekomposisi (° C) Bahan baku
Berat hilang (%) Tahap 2
Tahap 3
7.8
9.8
40.2
349.7
20.4
26.7
20.3
340.2
7.3
8.4
32.8
Tahap 1
Tahap 2
Tahap 3
Tahap 1
Serbuk kayu jati
206.7
281.3
349.7
Serbuk kayu pinus
227.7
320.2
Serbuk bambu
209.8
281.3
Penguraian termal secara bertahap terjadi pula pengurangan massa, yaitu banyaknya bahan baku yang tidak terkonversi menjadi produk. Data disajikan pada Tabel 10. Hal ini dikarenakan pengurangan massa terjadi karena bahan baku mengalami proses dekomposisi hemiselulosa, selulosa dan lignin. Ketiga komponen tersebut mengalami dekomposisi pada rentang suhu antara 200-350°C. Oleh karenanya penelitian ini digunakan rentang suhu pirolisis 110-500°C. Pemilihan selang suhu diharapkan dapat
menguapkan air dari bahan dan
menguraikan seluruh komponen berbahaya seperti ter dari ketiga bahan baku tersebut.
57
Suhu dekomposisi hemiselulosa untuk ketiga kayu ini berkisar antara 206.7-227oC. Hasil ini sesuai dengan penelitian Gasparovic et al. (2009). TGA pada pirolisis kayu chip mengalami dekomposisi hemiselulosa pada kisaran suhu 200–380oC. Menurut Bhuiyan et al. (2008) untuk TGA limbah surat kabar, dekomposisi pertama terjadi antara 38-142°C. Suhu dekomposisi selulosa pada ketiga bahan baku penelitian ini berkisar antara 281.3-320 oC erat kaitannya dengan penelitian Gasparovic et al. (2009) dimana dekomposisi selulosa pada kisaran suhu 250-380oC. Menurut Bhuiyan et al. (2008), dekomposisi kedua antara 291-429°C. Suhu dekomposisi lignin untuk ketiga bahan baku penelitian ini berkisar 340-349oC sesuai dengan penelitian Gasparovic et al. (2009), untuk dekomposisi lignin pada kisaran suhu 180-900oC. Bhuiyan et al. (2008), dekomposisi ketiga antara terjadi 657-743 oC. Kandungan hemiselulosa, selulosa dan lignin pada ketiga bahan baku dapat dilihat pada Tabel 11. Tabel 11 Kandungan (% b/b) hemiselulosa, selulosa dan lignin pada serbuk kayu jati, serbuk kayu pinus dan serbuk bambu Kandungan (% b/b) Bahan baku
Hemiselulosa
Selulosa
Lignin
Serbuk kayu jati
27.28
38.65
32.44
Serbuk kayu pinus
14.20
43.69
29.21
Serbuk bambu
39.26
29.78
35.53
Berdasarkan proses dekomposisi diketahui kandungan lignin pada serbuk bambu 35.53% lebih besar dibandingkan serbuk kayu jati 32.44% dan serbuk kayu pinus 29.21% (Tabel 11 dan Lampiran 1). Lignin merupakan salah satu komponen penentu untuk menghasilkan asap cair yang berkualitas (Nurhayati et al. 1997). Kandungan lignin bergantung pada perbedaan jenis bahan baku. Hal ini menunjukkan bahwa struktur lignin kayu pinus hanya tersusun oleh koniferil alkohol saja, sedangkan lignin pada kayu jati tersusun atas koniferil alkohol dan sinapil alkohol dengan perbandingan tertentu (Yaman 2004). Lignin tidak mempunyai unit ulang seperti halnya hemiselulosa dan selulosa, tetapi terdiri atas unit fenolat yang kompleks. Kandungan lignin kayu keras umumnya berkisar 1825%, sedangkan kandungan lignin kayu lunak berkisar antara 25-35% fenil
58
propena dapat disubtitusi posisi α, β, γ ke dalam ikatan C-C (Sakakibara 1991). Komponen kimia yang terdapat dalam asap cair sangat bergantung pada kondisi proses dan bahan baku yang digunakan. Komponen kimia yang telah diidentifikasi pada asap cair antara lain dijumpai senyawa golongan fenol, karbonil, asam-asam karboksilat, furan, hidrokarbon, alkohol dan lakton (Girard 1992). Menurut Fengel dan Wegener (1995), komposisi kimia kayu jati mengandung selulosa 39-57%, hemiselulosa 7-13%, dan lignin 29-39%. 4.2. Produksi Asap Cair secara Pirolisis Proses pirolisis menghasilkan asap cair, ter dan arang. Produksi asap cair dan ter pada penelitian ini dihasilkan melalui proses kondensasi asap yang dikeluarkan dari reaktor pirolisis. Rendemen asap cair yang dihasilkan pada proses pirolisis serbuk kayu jati, serbuk kayu pinus dan serbuk bambu pada setiap suhu untuk waktu total pirolisis 5 jam dengan reaktor listrik dapat dilihat pada Tabel 12 dan Lampiran 2. Tabel 12 Rendemen produk serbuk kayu jati, kayu pinus dan serbuk bambu Suhu pirolisis (° C.) 110 200 300 400 500 Total
Serbuk kayu jati Asap cair Ter 8.27 0.54 17.05 3.01 9.10 2.36 8.35 4.37 1.02 0.93 43.78 11.22
Rendemen produk (% b/b ) Serbuk kayu pinus Serbuk bambu Asap cair Ter Asap cair Ter 10.92 0.97 12.91 1.53 14.46 3.36 18.18 2.13 11.99 4.73 14.94 2.63 11.32 6.39 14.17 8.01 0.92 0.66 1.15 3.29 49.60 16.11 61.34 17.59
Berdasarkan hasil analisis rendemen asap cair dari ketiga jenis bahan baku (Tabel 12), terlihat bahwa rendemen asap cair tertinggi diperoleh dari serbuk bambu sebesar 18.18% pada 200°C, dan ter tertinggi pada 400°C sebesar 8.01%. Hasil TG, degradasi komponen hemiselulosa, selulosa dan lignin berkisar antara 200-400°C. Serbuk kayu jati mengalami dekomposisi termal pada 3 tahap sesuai dengan perubahan garis di kurva, yaitu pada suhu 206.7, 281.3 dan 349.7°C. Sedangkan serbuk kayu pinus mengalami penguraian pada suhu 227, 320.2 dan 349.7°C. Serbuk bambu
pada suhu 209.8, 281.3, dan 340.2°C (Tabel 10).
Komposisi kimia dan produksi asap cair yang dihasilkan tergantung pada kondisi
59
proses (suhu dan waktu) serta komposisi bahan baku. Jadi ada ketergantungan antara rendemen asap cair terhadap suhu pirolisis. Rendemen asap cair tertinggi dari ketiga hasil pirolisis tersebut adalah asap cair dari bambu yang prosentasenya mencapai 61.34%, diikuti asap cair kayu pinus 49.60 % dan asap cair kayu jati 43.78 %. Hal ini mengindikasikan bahwa jumlah rendemen asap cair yang dihasilkan pada proses pirolisis tergantung pada jenis bahan baku yang digunakan. Penelitian lain oleh Tranggono et al. (1997) untuk asap cair tempurung kelapa yang dilakukan pada suhu 350–400°C yaitu sebesar 52.85%. Rendemen asap cair dari batang jagung pada suhu pirolisis 450°C adalah 40.2% (Lv et al. 2010) 4.3.
Identifikasi Komponen Kimia Asap Cair
4.3.1. Analisis GC-MS Analisis GC-MS dilakukan untuk mengetahui jenis-jenis senyawa yang terkandung dalam asap cair. Komponen kimia asap cair serbuk kayu jati, pinus dan bambu dapat dilihat pada Tabel 13-15. Selain kandungan asam, juga terdapat senyawa lain dalam jumlah yang kecil. Senyawa-senyawa lain tersebut adalah senyawa ester, keton, aldehida, alkena, alkana, alkohol, amina, piridin dan lainlain. Secara umum senyawa dapat digolongkan sebagai senyawa asam karboksilat antara lain asam asetat, asam propanoat dan asam benzoat. Kelompok senyawa keton antara lain 2 propanon, aseton, 3 hidroksi 2 butanon dan 1 hidroksi 2 propanon. Kelompok senyawa aldehida adalah asam format, asetaldehida, dan formaldehida. Kelompok senyawa amida antara lain butil isosiamida. Kelompok senyawa piridin antara lain 2,5 dimetil 4 benzil piridin, dan piridin. Kelompok senyawa alkohol antara lain glisidil alkohol, asetol, katekol dan fenol. Kelompok senyawa nitril antara lain asam isosianat. Kelompok senyawa ester antara lain metil asetat, L alanin metil ester, vinil asetat, 1 kloro etil asetat, propil trikloro asetat, dan isopropil etil asetat. Kelompok senyawa alkana antara lain n-butana, isobutana, dan 2 bromo propana. Kelompok senyawa alkana siklik antara lain siklopropana. Hasil ini didukung oleh penelitian Maga (1998) yang melakukan pirolisis
bahan kayu memperoleh air (11-92%), senyawa fenolik (0.2-2.9%),
asam-asam organik (2.8-4.5%), dan karbonil (2.6-4.6%).
60
Senyawa hasil pirolisis asap cair serbuk kayu jati, serbuk kayu pinus, dan serbuk bambu melalui identifikasi hasil GC-MS dapat lihat pada Tabel 13-15 dan Lampiran 21. Tabel 13 memperlihatkan kandungan asap cair yang diperoleh dari hasil GC-MS, yakni dari serbuk kayu jati diperoleh propadiena, metil asetat, 2 propanon, aseton, asam format, asam hidroklorat dan asam asetat. Menurut Grimword (1975), asap cair dari beberapa jenis kayu lain (jati) yang mengandung asam asetat antara 4.27-11.3% dan senyawa karbonil (aseton) 8.57-15.23 %. Senyawa-senyawa hasil pirolisis serbuk kayu jati mengandung p-guaiakol, 2 metoksi 4 propenil fenol, 2 metoksi 4 metil fenol, 3,4,5 trimetoksi toluena dan 1,3 dimetoksi siringol (Fatimah & Nugraha 2005). Senyawa dominan hasil pirolisis kayu sugi dan kayu akasia terdiri atas asam asetat dan vanilin (Kartal et al. 2004). Komposisi kimia asap cair yang mengandung asam, khususnya asam asetat merupakan senyawa turunan dari kelompok senyawa asetil selama pirolisis (Ratanapisit et al. 2009). Tabel 14 memperlihatkan kandungan asap cair yang diperoleh dari hasil GC-MS, yakni dari serbuk kayu pinus diperoleh asam format, propanon, asam asetat, 1,3 benzenadiamina, asam propanoat dan isopropil asetil. Hal ini menunjukkan bahwa komponen asap cair tersebut mengalami proses dekomposisi hemiselulosa dan selulosa. Hasil penelitian ini didukung oleh Francis (1965). bahwa komposisi produk pirolisis kayu pinus pada suhu rendah menghasilkan metanol 0.9%, aseton 0.2 %, metil asetat 0.01%, asam asetat 3.5%, natrium asetat 8.0%, ter 11.8%, dan air 22.3%. Menurut penelitian Aho et al. (2008), komposisi kimia asap cair kayu pinus pada GGM (Galactoglucomannan) adalah asam asetat 6.7%, 1-hidroksi 2- propanon 5.2%, dan 2 metoksi 4-propil fenol 3.5%. Menurut hasil penelitian Wang et al. (2009) identifikasi komponen kimia asap cair dari hasil GC-MS pada pirolisis limbah kayu pinus menghasilkan asam asetat 47.36%, asetol 9.21%, furfural 6.39%. dan 2 metoksi 4-metil fenol 4.71%.
61
Tabel 13 Senyawa hasil pirolisis asap cair serbuk kayu jati pada berbagai variasi suhu hasil deteksi GC-MS No 1
2
3
4
5
Komponen kimia asap cair Ascakaja 110°C Asam format 2 Propanon Metil asetat Asam asetat (Vinegar acid) Propil trikloroasetat Ascakaja 200° C Asam phosfonat Asam format Metil ester Asam asetat (Vinegar acid) Asam hidrozoat Asam farankarboksilat
% Relatif 8.87 32.67 9.16 30.29 0.82 0.87 5.03 5.93 63.03 5.74 4.99
Ascakaja 300° C Aseton Asam asetat (Vinegar acid) 2 propanon, 1 hidroksi Asam hidroklorat 2,5 dimetil 4 benzil piridin 2 kloropirazina
21.18 62.10 2.34 2.57 0.87 1.08
Ascakaja 400° C 2 Aseton Asam asetat (Vinegar acid) Asam isosianat 3.6 di (triflouro asetil)
26.70 60.50 5.70 1.35
Ascakaja 500° C 2 propanon Asam asetat (Vinegar acid) Siklo butilamina Benzopiridin Nonana Furan Silan
14.93 34.35 43.74 2.31 2.16 2.24 2.32
62
Tabel 14 No 1
2
3
4
5
Senyawa hasil pirolisis asap cair serbuk kayu pinus pada berbagai variasi suhu hasil deteksi GC-MS Komponen kimia asap cair Asap kayu pinus 110° C Asam format 2 Propanon Vinil asetat Asam asetat (Vinegar acid) 1 Kloro etil asetat 2 Heptanal 4 Asam pentanoat Asap kayu pinus 200° C L. Alanin etil ester 2 propanon Asam isosianat Asam propanoat Asam asetat (Vinegar acid) Asam etanat Propil trikloroasetat Asam propanoat Asam hidroklorat Asap kayu pinus 300° C L. Alanin etil ester Isopropil etil asetat Asam isosianat Isobutana Asam asetat (Vinegar acid) Asam etanoat Asam hidroklorat Asap kayu pinus 400° C n-Butana 1,3 benzenadiamina Asam asetat (Vinegar acid ) Asam isosianat Asam propanoat Asam benzoat L-stylopina Katekol Asap kayu pinus 500° C Isopropil asetil Asam asetat (Vinegar acid) Asam propanoat 2 Metil 1 propena Asetat 2 propil 1-ol
% Relatif 6.57 35.06 6.03 31.06 1.23 6.77 1.08 2.33 19.40 3.18 6.92 17.01 31.61 3.70 11.95 3.83 4.13 9.02 2.88 5.00 14.09 36.81 2.20 7.26 34.14 19.60 4.82 15.26 1.87 1.83 1.97 25.84 29.91 14.74 1.78 2.35
63
Tabel 15 Senyawa hasil pirolisis asap cair serbuk bambu pada berbagai variasi suhu hasil deteksi GC-MS No 1
2
3
4
5
Komponen kimia asap cair Asap bambu110° C Aseton Isobutana 3 Hidroksi 2 butanon Asam asetat (Bamboo vinegar) Asam isosianat Asam hidroklorida Asam benzoat Asap bambu 200° C Aseton Asam propanoat Metil ester Asam asetat (Bamboo vinegar) Asap bambu 300° C 1 Metoksi 2 propan amina Aseton Isobutana 3 Hidroksi 2 butanon Asam asetat (Bamboo vinegar) Asam Isosianat Butil isosianida Asam benzoat Asap bambu 400° C L-alanin metil ester Metil asetat Asam asetat (Bamboo vinegar) Asetaldehida Asam hidroklrorat Siklopropana Fenol Glisidil alkohol Asap bambu 500°C Piridin Asam asetat (Bamboo vinegar) Asam isosianat Siklo propana 2 bromo propana n butanol
% Relatif 9.88 1.99 12.52 29.71 2.89 4.45 0.66 15.84 17.07 3.44 41.15 6.33 9.88 1.99 12.52 42.05 2.89 18.57 0.66 3.29 2.98 46.30 8.10 1.43 1.89 1.76 2.94 1.42 55.50 8.14 2.35 1.18 16.68
Tabel 15 memperlihatkan kandungan asap cair yang diperoleh dari hasil GCMS, yakni dari bambu diperoleh aseton, asam asetat. asam propanoat, 3 hidroksi 2 butanon, butil isosianida, asetaldehida, asam isosianat dan n butanol. Hal ini
64
menunjukkan bahwa komponen asap cair pada serbuk bambu tersebut mengalami proses dekomposisi hemiselulosa dan selulosa, sehingga diperkirakan banyak asam yang terbentuk. Kandungan holoselulosa dan selulosa serbuk bambu berturut–turut adalah 69.03% dan 29.78%. Menurut Fengel & Wegener (1984), degradasi termal hemiselulosa akan menghasilkan asam asetat, metanol, furfural, aldehida dan keton. Hasil penelitian ini didukung oleh penelitian Alen et al. (1996), yang mendeteksi komponen kimia asap cair kayu Eucaliptus spp termasuk asam asetat, 3-hidroksipropanal, pyranic, furanic dan turunannya. Sedangkan menurut Rowel et al. (2005), senyawa kimia dari asap cair kayu menghasilkan asam asetat 6.7 %, asam format 0.9%, aseton 1.5%, dan asetaldehida 2.3%. Menurut penelitian Vamvuka (2010), senyawa kimia dari fraksi asap cair pada pirolisis biomassa untuk bio-oil menghasilkan asam asetat sebesar 5% dan asam format 3%. Berdasarkan hasil tersebut, dapat diyakini bahwa pada hampir semua asap cair dari berbagai jenis kayu dijumpai adanya senyawa golongan asam. Oleh karena itu, asap cair dapat digunakan sebagai salah satu bahan pengawet alami.. 4.4.2. Analisis PCA Senyawa-senyawa hasil pirolisis kayu jati, kayu pinus dan bambu dapat dikelompokkan berdasarkan sifat kepolaran dengan menggunakan PCA. PCA merupakan teknik analisis data yang diperoleh dari data GC-MS untuk mengidentifikasi senyawa asam, aldehida, keton, alkohol dan asam karboksilat yang berasal dari kayu jati, pinus dan bambu. Teknik ini menentukan jumlah principal component (PC) yang digunakan untuk menentukan penggelompokkan senyawa. Principal component merupakan kombinasi linear dari variabel random. PC tergantung pada matriks covarian. Y1 merupakan variabel yang saling bebas (tidak berkorelasi) dengan nilai variansinya, dimana var (Y1) = I1T ΣI1. Artinya Y1 adalah jumlah senyawa kimia (Si) dikalikan waktu retensi sama. PC1 dengan Y1 yang merupakan kombinasi linear yang mempunyai variansi maksimun. PC2 dengan Y2 mempunyai nilai variansi terbesar kedua.
PC3 dengan Y3 yang
mempunyai nilai variansi terbesar ketiga. Hal ini ditentukan dari scree plot disajikan pada Gambar 13a-c. Berdasarkan nilai eigen untuk asap cair kayu jati dengan PC1, PC2 dan PC3 mampu menjelaskan variasi sebesar 86.1%. Nilai eigen untuk asap cair kayu pinus dengan PC1, PC2 dan PC3 mampu menjelaskan variasi
65
sebesar 83.7%. Nilai eigen untuk asap cair bambu PC1, PC2 dan PC3 mampu menjelaskan variasi sebesar 81.8%. Nilai koefisien 86.1%, 83.7% dan 81.8% merupakan kombinasi linear var iabel senyawa dengan nilai eigenvalue, proporsi dan kumulatif.
ScreePlotofS1, ..., S55
ScreePlotofS1, ..., S61 20
25
15 Eigenvalue
Eigenvalue
20
15
10
10
5 5
0
0 1
5
10
15
20 25 30 35 Component Number
40
45
50
55
1 5
(a)
10
15
20
25 30 35 40 Component Number
45
50
55
(b)
ScreePlot of S1, ..., S71 20
Eigenvalue
15
10
5
0 1 5
10 15 20 25 30 35 40 45 50 55 60 65 70 Component Number
(c) Gambar 13 Scree plot pengelompokkan senyawa pada analisis PCA: (a). Asap cair jati, (b). Asap cair pinus, (c). Asap cair bambu.
66
Tabel 16 Beberapa jenis senyawa dalam kondensat asap cair serbuk kayu jati, serbuk kayu pinus dan bambu Jenis kelompok Asam Ester Keton Aldehid Alkohol Fenol Piridin Alkena Alkana Furan Silan Amina
Jati 16 5 6 0 3 0 2 2 2 0 3 2
Jumlah senyawa (jenis) Pinus Bambu 23 14 7 4 5 4 2 1 3 4 0 1 0 1 2 1 2 9 2 0 0 0 3 8
Hasil GC-MS menunjukkan bahwa asap cair masing-masing sumber memiliki kandungan senyawa yang berbeda. Asap cair kayu jati antara lain mengandung senyawa keton sebanyak (6) jenis, asam (16), alkohol (3), ester (5), amina (2), alkena (2), piridin (2) dan seterusnya. Senyawa-senyawa yang dijumpai pada kondensat asap cair kayu pinus antara lain aldehida (1), asam (23), furan (2), alkohol (3), ester (7), alkena (2), amina (3), dan seterusnya.
Berbagai jenis
senyawa dijumpai pada kondensat asap cair bambu antara lain fenol (1), keton (4), aldehida (1), asam (14), alkohol (4), ester (4), piridin (1), alkena (1), alkana (9) dan seterusnya. Pada Tabel 16, asam merupakan kelompok senyawa volatil yang dominan jumlahnya. Pada kelompok senyawa fenol, asam, ester, keton, alkohol, furan dan seterusnya, kemudian dilakukan proses pemisahan untuk mendapatkan senyawa asam asetat. Hasil penelitian ini didukung oleh penelitian Wang et al. (2009), yang menemukan senyawa asam dari pirolisis kayu pinus sebanyak 2 jenis, kemudian diikuti alkohol (4 ), keton (10), furfural (2), dan furan (2). Menurut Lv et al. (2010), senyawa yang dihasilkan dari pirolisis batang jagung pada suhu 450°C mengandung senyawa keton, furan, karboksilat, asam dan alkohol. Senyawa yang dihasilkan dari pirolisis 2 jenis Tobacco residue (TR1 dan TR2) pada suhu 300, 400, 500, dan 600°C mengandung beberapa kelompok
67
senyawa diantaranya fenol, alkana, alkena, streoid, asam, ester, keton, turunan benzena, dan alkohol (Alkalin & Karagoz 2011). 4.4. Pembentukan Asam Asetat dari Pirolisis Mutu asap cair sangat ditentukan oleh komposisi komponen-komponen kimia yang dikandungnya. Kriteria mutu asap cair baik cita rasa maupun aroma sebagai ciri khas yang dimiliki asap ditentukan oleh golongan senyawa kimia yang dikandungnya. Senyawa-senyawa kimia yang terdapat di dalam asap cair sangat bergantung pada kondisi pirolisis dan bahan baku yang digunakan (Nakai et al. 2006). Pengujian mutu asap cair terdiri atas sifat fisik dan kimia asap cair. Identifikasi senyawa kimia pada asap cair masing-masing bahan baku dilakukan dengan pengukuran pH dan konsentrasi asam asetat. Nilai pH menunjukkan tingkat proses penguraian komponen kimia kayu yang berasal dari komponen hemiselulosa, selulosa dan lignin yang menghasilkan asam organik. Asap cair memiliki nilai pH tertentu, sehingga kualitas asap cair yang dihasilkan sangat tinggi. Secara keseluruhan nilai pH yang rendah akan berpengaruh terhadap nilai awet dan daya simpan produk asap. Nilai pH ascakaja berkisar 3.14-3.70, ascakapin 3.07-3.45 dan ascabam 2.89-3.74. Hasil penelitian ini didukung oleh Lim et al. (2002), bahwa nilai pH asap cair dari kayu karet 2,98. Nilai pH asap cair dari kayu karet pada suhu dibawah 400°C (RW1) adalah 2,93,2. Nilai pH asap kayu karet di atas suhu 400°C (RW2) berkisar 3,16-3,83 (Ratanapisit et al. 2009). Rataan nilai pH dan konsentrasi asam asetat pada ascakaja, ascakapin, dan ascabam dapat dilihat pada Tabel 17 dan Lampiran 3. Tabel 17 Rataan nilai pH pada ascakaja, ascakapin dan ascabam terhadap suhu pirolisis Suhu pirolisis ( °C ) 110 200 300 400 500
Ascakaja
pH Ascakapin
Ascabam
3.14 3.16 3.19 3.38 3.70
3.45 3.30 3.07 3.21 3.45
3.74 2.99 2.89 3.08 3.74
Keterangan : Ascakaja : asap cair serbuk kayu jati, Ascakapin:asap cair serbuk kayu pinus Ascabam ; asap cair serbuk bambu
68
Pada Tabel 17, terlihat nilai pH ascakaja, ascakapin dan ascabam relatif rendah, karena pada proses pirolisis ketiga bahan baku tersebut menghasilkan asam format, asam benzoat dan asam asetat yang menyebabkan nilai pH rendah. Hasil perhitungan menggunakan data GC-MS untuk mendapatkan konsentrasi asam asetat dapat dilihat pada Tabel 18 dan Lampiran 3. Tabel 18 Konsentrasi asam asetat pada ascakaja, ascakapin dan ascabam dari hasil perhitungan analisis GC-MS Suhu pirolisis ( °C ) 110 200 300 400 500
Konsentrasi asam asetat (mol/l) Ascakaja Ascakapin Ascabam 5.09 9.34 9.67 9.81 9.78
5.29 4.10 3.66 3.63 3.82
5.02 6.19 6.49 7.89 7.78
Ket : Ascakaja : asap cair kayu jati, Ascakapin: asap cair kayu pinus, Ascabam ; asap cair bambu
Konsentrasi asam asetat diperoleh dari hasil perhitungan luas area senyawa asam GC-MS. Konsentrasi asam asetat jati meningkat antara suhu 110-200°C. Pada bahan baku bambu, asam asetat naik secara perlahan hingga suhu 400°C, sedang pada bahan baku pinus, pembentukan asam sudah mencapai maksimun pada suhu 110°C. Perbedaan jumlah asam asetat ini kemungkinan disebabkan perbedaan komposisi kayu. Perbedaan lain adalah kayu jati, memiliki kerapatan medium (0.60-0.75 g/cm3), kekuatan ikatan dan dimensinya stabil (Amoako 2004), sedangkan kayu pinus memiliki tesktur halus, bau khas terpentin, strukturnya
tidak
berpori
dan
memiliki
kerapatan
rata-rata
0.55
g/cm3(Martawijaya et al. 1989). Jadi Semakin besar kerapatan bahan baku, maka kualitasnya semakin baik, artinya konsentrasi asam asetat semakin tinggi. Maka semakin tinggi tingkat keasamannya artinya semakin rendah nilai pH dari asap cair tersebut. Mekanisme pembentukan asam asetat secara kimia hasil dari penataan ulang karbon baik yang bersumber dari selulosa, lignin maupun hemiselulosa diawali dengan proses pemutusan dan pemecahan rantai ikatan kimia yang menghasilkan senyawa radikal yang tidak stabil seperti CHO*, CH2OH, OH*, H*, O*, dan C*. Misalnya reaksi antara CHO* dengan CH2OH akan membentuk saling bereaksi
69
membentuk senyawa baru yang stabil seperti CH3COOH, dan senyawa lain juga membentuk senyawa baru seperti COOH, H2O dan H2, sedangkan atom karbon akan mengalami penataan ulang membentuk senyawa aromatik (Pari 2010) ( Gambar 14). Menurut Bryne & Nagle (1997) menyatakan penguapan, penguraian atau dekomposisi kimia kayu pada proses pirolisis terjadi secara bertahap, yaitu pada suhu 100-150°C hanya terjadi penguapan molekul air. Pada suhu 200-240°C, mulai terjadi penguraian hemiselulosa dan selulosa menjadi larutan pirolignat (asam organik dengan titik didih rendah seperti asam asetat, formiat, dan metanol, gas kayu (CO dan CO2), sedikit ter. Pada suhu 240-400°C, terjadi depolimerisasi dan pemutusan ikatan C-O dan C-C. Pada kisaran suhu ini selulosa sudah terdegradasi, lignin mulai terurai menghasilkan ter, larutan pirolignat dan gas CO menurun, sedangkan gas CO, CH4, dan H2 meningkat. Pada suhu lebih dari 400°C, terjadi pembentukan lapisan aromatik dan lignin masih terurai sampai suhu 500°C. Pada suhu di atas 600°C mulai terjadi proses pembesaran luas permukaan karbon. CH2OH O OH
CH2OH
H2C
O O
C
D CH2OH
OH
O
O
A OH O
OH
B
OH OH
OH
O OH
OH
CHO
+ *CH2OH
+ *OH +
*H + *O
+
*C
CH3COOH
*CHO + *CH2OH
HCOOH
*CHO + *OH
H 2O
*OH + *H *H + *H
H2
*C + *O
CO
*C
Gambar 14 Mekanisme pembentukan asam asetat secara kimia hasil dari penataan ulang karbon baik yang bersumber dari selulosa, lignin maupun hemiselulosa (Pari 2010).
70
4.5. Pemisahan Asap Cair Dalam rangka mendapatkan komponen kimia asap cair yang diinginkan dan menghilangkan senyawa–senyawa benzopirena yang berbahaya serta ter, maka dilakukan pemisahan dengan fraksinasi dan destilasi. Asap cair yang digunakan pada penelitian ini adalah yang memiliki kandungan asam asetat tertinggi. Pada kayu jati fraksi hasil suhu 200°C, kayu pinus 110°C dan bambu 400°C. Fraksinasi asap cair bertujuan untuk memisahkan komponen asam dari campuran lain. Fraksinasi dilakukan secara bertahap yang diawali dengan pelarut n-heksana (nonpolar), lalu diikuti dengan pelarut etil asetat (semipolar) dan selanjutnya dengan metanol (polar). Pemisahan untuk memurnikan 3 golongan senyawa yaitu alkana, asam dan alkohol. Produk akhir proses pemisahan ini adalah senyawa asam yang berpotensi sebagai bahan pengawet alami.
(c) (b) (a) Gambar 15 Fraksinasi asap cair dari pelarut n-heksana, etil asetat dan metanol: (a).Serbuk kayu jati, (b). Serbuk kayu pinus, dan (c). Serbuk bambu. Ekstraksi tiga tahap pelarut yang berbeda tingkat kepolarannya akan menghasilkan fraksi-fraksi yang berbeda untuk masing-masing ekstraksi (Gambar 15 dan Lampiran 4). Asap cair cenderung bersifat polar, sehingga saat dilarutkan ke dalam n-heksana, fraksi yang terlarut sangat sedikit. Komponen asap cair kayu pinus yang terlarut dalam etil asetat lebih besar daripada komponen asap cair kayu jati dan bambu. Fraksi jati, pinus dan bambu dalam asap cair larut sempurna sehingga volume terekstraksi yang diperoleh sebesar 50 % (v/v).
71
Tabel 19 Hasil pemisahan dengan ekstraksi dengan pelarut n-heksana, etil asetat dan metanol No 1 2 3
Fraksi asap cair Serbuk jati Serbuk pinus Serbuk bambu
Volume terektraksi ( % v/v) n-Heksana Etil asetat Metanol 3.2 4.3 50 6.2 6.4 50 4.3 3.4 50
Tabel 19 menunjukkan hasil pengamatan dari ketiga hasil rendemen fraksi pada serbuk kayu jati, serbuk pinus, dan serbuk bambu, dimana fraksi terbesar adalah fraksi metanol sebesar 50%. Fraksi yang diambil dari asap cair serbuk kayu jati mempunyai kandungan asam dengan fraksi etil asetat 4.3%, sedangkan fraksi asap cair serbuk kayu pinus mempunyai kandungan asam sebesar 6.4% dan fraksi asap cair bambu mempunyai kandungan asam terbaik sebesar 3.4%. Hasil ini berada pada kisaran yang hampir sama dengan jenis bambu Madake (Phyllostachys bambusoides) dengan fraksi asam 3.09% bambu Moso (Phyllostachys pubescens) dengan fraksi asam 4.41% ( Mu et al. 2003). Tabel 20 Komponen kimia fraksi etil asetat jati, pinus dan bambu Fraksi asap cair Fraksi etil asetat jati
Fraksi etil asetat pinus
Fraksi etil asetat bambu
Komponen kimia Etilen glikol Metil asetat Etil ester Asam asetat (Wood Vinegar ) Vinil asetat Asetol Furan (Pyrazol) 2.5 Dimetoksi furan Etil ester Asam asetat (Wood Vinegar ) Asetol 2 propenil ester Butirolakton n-pentanal Furfuril alkohol Delta Caprolakton Etil alkohol Metil asetat Etil asetat Asam asetat (Bamboo Vinegar ) Asam piruvat Asetol Asam butanoat 2.5 dimetil furan
% relatif 11.76 45.07 21.52 11.14 1.97 3.52 1.39 1.89 11.11 72.42 7.68 0.44 1.60 5.08 1.24 0.43 4.76 6.11 11.06 55.67 2.10 6.17 0.89 2.97
titik didih(°C) 198.93 57 71.06 117.9 72.3 145.5 31.4 67 72.06 117.9 145.5 69 206.89 103 171 215.10 65.2 57 77.06 117.9 213.5 145.5 163.75 93
72
Hasil kromatogram GC-MS (Tabel 20), senyawa paling dominan yang dihasilkan fraksi etil asetat kayu jati, pinus dan bambu adalah asam asetat. Ketiga bahan baku tersebut mengandung senyawa asam asetat yang berpotensi sebagai pengawet alami. Lebih lanjut Bukle et al (1985) menyatakan asap cair yang bersifat asam dapat digunakan sebagai pengawet. Tabel 21 Kandungan destilat dari fraksi etil asetat Pemisahan etil asetat Fraksi etil asetat jati Fraksi etil asetat pinus Fraksi etil asetat bambu
T< 95 °C 17.14 50 42
Rendemen fraksi etil asetat (% v/v) 95 °C< T < 105° C 105° C
Pada Tabel 21 dan Lampiran 4, rendemen fraksi etil asetat yang telah dipisahkan menunjukkan fraksi etil asetat pinus mengandung asam asetat lebih besar dibandingkan dengan fraksi etil asetat jati dan bambu. Pada fraksi etil asetat baik serbuk jati. pinus dan bambu, dimana suhu distilasi yang berbeda dapat menghasilkan rendemen yang berbeda. Hal ini dapat dilihat (Tabel 21) dari rendemen yang semakin kecil seiring dengan peningkatan suhu distilasi. Hal ini menunjukkan pada suhu distilasi 95°C< T < 105°C hampir semua fraksi air yang ada pada asap cair menguap sehingga memperbesar rendemen yang diperoleh. Selanjutnya semakin tinggi suhu destilasi, asap cair yang terpisahkan semakin kecil, sedangkan suhu distilasi 105°C< T < 120°C yang teruapkan tidak lagi mengandung air bebas, melainkan komponen kimia asam asetat sehingga rendemen yang dihasilkan relatif kecil. Berdasarkan hasil tersebut, maka pemisahan fraksi etil asetat jati, pinus dan bambu dengan suhu destilasi antara 95-120°C menghasilkan asam asetat dari asap cair. 4.6. Uji Anti Jamur pada Asap Cair Pengujian sifat anti jamur dilakukan dengan mengukur daya hambat pertumbuhan relatif misela jamur Aspergillus niger dalam media MEA yang telah ditambahkan asap cair dan membandingkan dengan kontrol (tanpa penambahan asap cair). Hasil pengujian sifat anti jamur secara lengkap pada Gambar 16.
73
Hasil uji aktivitas asap cair pada jamur dengan uji difusi sumur terhadap Aspergillus niger menunjukkan bahwa asap cair memiliki aktivitas anti jamur yang cukup tinggi. Hal ini disebabkan asap cair mengandung komponen kimia seperti asam asetat, asam format, asam isosianat, asam benzoat, dan asam propanoat yang berfungsi sebagai anti jamur yang mampu menghambat kapang dengan konsentrasi yang besar. Secara kualitatif aktivitas anti jamur dari suatu ekstrak dapat dilihat berdasarkan zona bening pada media agar yang dihitung diamaternya sebagai daya hambat (Tabel 22). Semakin lebar zona tersebut berarti daya hambat semakin tinggi. Tabel 22 Diamater daerah hambat yang terbentuk Aspergillus niger Fraksi asap cair Jati Pinus Bambu
kontrol -
(a)
Diamater daerah hambat (mm) 2% 4% 6% 8% -
10%v/v 12.4 10.2 8.5
(b)
Gambar 16 Uji aktivitas anti jamur: (a). Kontrol dan asap cair kayu jati, pinus dan bambu, (b). Daya hambat kontrol dan fraksi etil asetat jati. Hasil pengujian aktifitas anti jamur selama 3 minggu menunjukkan bahwa diantara fraksi yang diuji, fraksi etil asetat jati, pinus dan bambu mampu menghambat pertumbuhan jamur Aspergillus niger.
Tabel 22 menunjukkan
bahwa miselium jamur tidak mampu tumbuh pada media yang mengandung fraksi etil asetat kayu jati, pinus dan bambu pada konsentrasi 2-8%(v/v). Fraksi etil asetat jati, pinus dan bambu menunjukkan gejala adanya sifat anti jamur
74
pada konsentrasi 10%(v/v) dibandingkan pertumbuhan jamur pada kontrol. Berdasarkan hasil penelitian ini dapat diambil kesimpulan bahwa fraksi asap cair jati yang mempunyai aktifitas paling tinggi dalam menghambat pertumbuhan jamur Aspergillus niger dengan diamater daya hambat 12.4 mm. Fraksi asap cair pinus mempunyai aktifitas paling tinggi pada konsentrasi 10% dalam menghambat pertumbuhan jamur
Aspergillus niger dengan diamater daya
hambat 10.2 mm. Fraksi asap cair bambu mempunyai aktifitas paling tinggi pada konsentrasi 10% dalam menghambat pertumbuhan jamur Aspergillus niger diamater daya hambat 8.5 mm. Menurut Johansson et al. (1976), beberapa enzim mempunyai aktivitas
ekstracelular yang dikeluarkan oleh jamur yang dapat
menghambat pertumbuhan jamur seperti laccase, cellulase, polygalacturonase dan aryl-β-glucosidase. Mekanisme efek fungsida dari asap cair yang menghambat pertumbuhan jamur karena asap cair tersebut menghambat aktifitas enzim yang dikeluarkan oleh jamur. Enzim berperan dalam mendekomposisi karbohidrat pada media menjadi senyawa-senyawa sederhana yang mudah diabsopsi dan digunakan oleh jamur. Proses senyawa antibakteri dalam menghambat pertumbuhan bakteri, menurut Pelczar et al. (1988) ada beberapa cara yaitu 1). merusak struktur dinding sel dengan cara menghambat proses pembentukannya atau menyebabkan lisis pada dinding sel yang sudah terbentuk, 2). mengubah permeabilitas membran sitoplasma, rusaknya membran sitoplasma akan menyebabkan terhambatnya pertumbuhan sel atau matinya sel, 3) menyebabkan terjadinya denaturasi protein, 4). menghambat kerja enzim di dalam sel, sehingga mengakibatkan terganggunya metabolisme sel. Menurut Pelczar et al. (1988), senyawa kimia yang memiliki sifat antibakteri adalah fenol dan senyawa fenolat, alkohol, halogen, logam berat dan aldehida. Antibakteri alami berdasarkan beberapa penelitian yang telah dilakukan ternyata banyak terdapat pada rempah-rempah. Hal ini disebabkan oleh adanya kandungan minyak atsiri yang terdapat dalam rempah-rempah. Kaitan dalam penelitian ini, bahwa asap cair yang digunakan mengandung senyawa asam sebagai bahan pengawet alami. Lebih lanjut Bukle et al. (1985) menyatakan asap cair yang bersifat asam dapat digunakan sebagai pengawet karena asam berfungsi
75
menurunkan
nilai
pH,
sehingga
dapat
menghambat
pertumbuhan
mikroorganisme. 4.7. Aplikasi Asap Cair pada Ikan dan Tahu Asap cair yang telah diuji anti jamur digunakan untuk pengawet ikan tongkol mampu mengawetkan ikan selama 3 hari, sedangkan pada tahu mampu bertahan selama 9 hari. Komponen kimia asap cair mampu bertahan dari serangan jamur, juga disebabkan pada asap cair mengandung senyawa asam asetat yang berfungsi sebagai zat antikosidan. Pada penelitian ini dilakukan pengujian dengan proses perendaman secara visual, yaitu melihat (mengamati penampilan ikan secara keseluruhan terutama penampilan fisik, mata insang), meraba, menekan dan mencium (bau ikan) (Wibowo 2002). Penggunaan asam asetat jati (5 JEA 20, 5 JEA 40 dan 5 JEA 60), asam asetat pinus (5 PEA, 5 PEA 40 dan 5 PEA 60) dan asam asetat bambu (5 BEA 20, 5 BEA 40. dan 5 BEA 60) dengan konsentrasi 5%. Fraksi etil asetat jati (10 JF 60 ), pinus (10 PF 60) dan bambu (10 BF 60) dengan konsentrasi 10%. Fraksi ekstrak yang digunakan adalah etil asetat, karena mempunyai kandungan asam asetat yang lebih besar dan berpotensi sebagai pengawet. Perlakuan perendaman dengan fraksi etil asetat karena mengandung senyawa asam yang besar. Perlakuan pengujian asap cair dapat dilihat pada Tabel 23. Pengamatan pada percobaan ikan tongkol dilakukan secara visual (Tabel 23). Pada
H-0 (kontrol) dilakukan pengamatan ikan tongkol menunjukkan
kondisi ikan masih segar dan bening (+). Pada pengamatan hari 1 ikan tongkol masih dalam keadaan segar (++). Hal ini masih dilihat dalam keadaan mata yang masih cemerlang dan daging tidak lunak. Kondisi kontrol sudah mengalami penurunan dengan mata ikan sudah tidak lunak, dilihat kenampakan insang yang sudah mulai kusam dan bau ikan yang cenderung mendekati busuk. Ikan yang direndam dengan fraksi asap cair masih menunjukkan tingkat kesegaran yang baik. Hal ini menunjukkan fraksi-fraksi asap cair masih mampu berfungsi sebagai bakteriosidal dan fungisidal. Pada Hari ke 3 kondisi ikan sudah mengalami penurunan dimana mulai terdapat jamur pada permukaan ikan (+).
Hasil
pengamatan setelah hari ke 6 dan ke 9 menunjukkan bahwa ikan tongkol sudah ditumbuhi jamur yang berwarna merah muda dan berbau busuk (-). Hal ini
76
menunjukkan bahwa penambahan asap cair dalam bentuk destilat jati, pinus dan bambu hanya mampu bertahan selama 3 hari saja. Tabel 23 Perlakuan pengujian asap cair pada ikan tongkol dan tahu Simbol Kontrol 5 JEA 20 5 JEA 40 5 JEA 60 5 PEA 20 5 PEA 40 5 PEA 60 5 BEA 20 5 BEA 40 5 BEA 60 10 JF60 10 PF 60 10 BF 60 Kontrol SJ 60 SP 60 SB 60 5 SJ 60 5 SP 60 5 SB 60
Sampel Ikan tongkol Ikan tongkol Ikan tongkol Ikan tongkol Ikan tongkol Ikan tongkol Ikan tongkol Ikan tongkol Ikan tongkol Ikan tongkol Ikan tongkol Ikan tongkol Ikan tongkol Tahu Tahu Tahu Tahu Tahu Tahu Tahu
Jenis asap cair Jati asam asetat Jati asam asetat Jati asam asetat Pinus asam asetat Pinus asam asetat Pinus asam asetat Bambu asam asetat Bambu asam asetat Bambu asam asetat Fraksi jati etil asetat Fraksi pinus etil asetat Fraksi bambu etil asetat Asap cair kayu jati Asap cair kayu pinus Asap cair bambu Asap cair kayu jati Asap cair kayu pinus Asap cair bambu
Lama perendaman (hari i ) 1 3 6 9 ++ ++ + ++ + ++ ++ ++ + ++ ++ ++ + ++ ++ ++ ++ _ ++ ++ _ + + + + + + +++ + +++ ++ + + +++ ++ + +++ ++ + +++ ++ + + +++ ++ + + +++ ++ + +
Keterangan : Tanda +++ = masih segar dan bening. ++ = masih segar dan mulai menyusut + = tidak segar dan - = busuk
Percobaan perendaman tahu dilakukan dengan perendaman asap cair jati (5 SJ 60). pinus (5 SP 60) dan bambu (5 SB 60) pada konsentrasi 5%. Menunjukkan bahwa tahu dengan perendaman asap cair jati, pinus dan bambu mampu bertahan pada hari 1 (+++), mampu bertahan hari ke 3 (++). Pada tahu dengan perlakukan kontrol pada hari 3, 6, dan 9 sudah mengalami pembusukan (-) dibandingkan dengan penambahan asap cair pada tahu pada hari 6 (+) dan hari 9 (+). Ternyata asap cair jati pada tahu dapat bertahan selama 9 hari dibandingkan tahu asap pinus dan asap bambu. Hal ini disebabkan bahwa komponen kimia asap jati memiliki kandungan asam asetat yang lebih banyak dibandingkan dengan asap cair pinus dan asap cair bambu. Perbedaan bahan pembuat asap cair tidak berpengaruh nyata terhadap perlakuan baik dari segi penampakan visual. Secara umum asap cair jati, pinus
77
dan bambu dapat digunakan sebagai bahan pengawet alternatif yang aman untuk di komsumsi. 4.8. Model Kinetika Pirolisis Kinetika pirolisis degradasi termal untuk bahan-bahan lignoselulosa seperti serbuk kayu jati, kayu pinus, dan bambu, umumnya didasari oleh proses perpindahan panas dan massa. Reaksi pirolisis limbah kayu dan bambu sangat dipengaruhi oleh suhu, laju pemanasan dan asal gas pembawa. Menurut Babu (2004), laju pemanasan mempunyai pengaruh nyata terhadap mekanisme reaksi pirolisis. Xiu et al. (2005), pirolisis flash dengan limbah pertanian menghasilkan energi aktivasi pada lignin kraft antara 31-33 kJ/mol dan faktor pre eksponensial 103/detik. Akibat perbedaan struktur lignin, energi aktivasi, dan laju reaksi berubah tergantung jenis bahan baku dan metode perlakuan. 4.8.1. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Kinetika Pirolisis Faktor yang mempengaruhi kinetika pirolisis yang diuji secara khusus dilaksanakan pada kondisi suhu dan waktu seperti ditunjukkan pada Tabel 24 dan Lampiran 5. Tabel 24 Berbagai suhu, waktu pirolisis dan yield asam asetat Suhu (°C) 110 200 300 400 500
Waktu pirolisis (menit) ke Jati Pinus Bambu 28 63 100 145 200
35 80 118 155 190
25 63 85 120 165
Yield asam asetat (% b/b)) Jati Pinus Bambu 5.31 35.99 46.81 55.75 56.40
7.35 12.05 14.94 20.16 20.62
6.15 18.89 28.46 44.82 46.12
Tabel 24 memperlihatkan pengaruh kenaikan suhu pirolisis terhadap waktu tinggal dan yield asam asetat. Yield asam asetat tertinggi diperoleh jati diikuti bambu dan pinus. Untuk suhu yang sama, diperlukan waktu yang berbeda oleh ketiga bahan baku. Hal ini menunjukkan bahwa komposisi hemiselulosa, selulosa dan lignin pada kayu jati, kayu pinus dan bambu yang berbeda. Semakin tinggi suhu pirolisis, maka yield asam asetat semakin besar. Hal ini disebabkan terjadi depolimerisasi dan pemutusan ikatan C-O dan C-C. Pada kisaran suhu yang sama selulosa sudah terdegradasi, lignin mulai terurai menghasilkan ter, larutan
78
pirolignat dan gas CO menurun (Bryne & Nagle 1997). Jumlah asap cair yang dihasilkan sangat tergantung pada jenis bahan baku yang digunakan dan suhu yang dicapai dalam proses. Reaksi kinetika pirolisis dipengaruhi oleh suhu dan waktu tinggal dalam reaktor (Wei et al. 2006). 4.8.2. Model Kinetika Pirolisis Asam Asetat Model kinetika pirolisis terbentuk dalam dua tahap. Tahap pertama adalah mekanisme pirolisis kayu dan bambu, dan tahap kedua adalah produk asam asetat yang diperoleh dari limbah kayu dan bambu yang mengalami reaksi kinetika pirolisis. Model kinetika pirolisis dapat digunakan untuk memprediksi pengaruh laju pemanasan kayu dan bambu terhadap jumlah asap cair. Reaksi ini dianggap sebagai reaksi orde pertama dari model Arrhenius dan Tsamba dalam menentukan energi aktivasi dan faktor pre eksponensial. 4.8.2.1. Energi Aktivasi dan Faktor pre Eksponensial Kinetika pirolisis asam asetat jati, pinus dan bambu berdasarkan hasil analisis persamaan Arrhenius yang disajikan pada Gambar 17a-c dan Lampiran 14. Kinetika pirolisis tersebut digunakan untuk menentukan energi aktivasi dan faktor pre eksponensial.
0 ‐1
0 0
1
2
3
‐1
‐3 ‐4
1
2
‐2 yjt = 1.462x ‐ 7.177 R² = 0.997
‐5
ln k
ln k
‐2
0
‐3 ‐4
y pns= 1.264x ‐ 6.939 R² = 0.985
‐5
‐6
1000/T
(a)
‐6
1000/T
(b)
3
79
0 ‐1 0
1
2
3
ln k
‐2 ‐3 ‐4
y bb= 1.366x ‐ 6.866 R² = 0.982
‐5 ‐6
1000/T
(c) Gambar 17 Hubungan antara ln k terhadap 1000 /T menggunakan model Arrhenius pada perlakuan: (a). Asam asetat jati, (b). Asam asetat pinus, (c). Asam asetat bambu. Gambar 17a-c menyajikan model Arrhenius kinetika pirolisis asam asetat pada suhu 283-773K menghasilkan energi aktivasi rata-rata untuk asam asetat jati 12.16 kJ/mol lebih tinggi daripada asam asetat pinus 10.51 kJ/mol dan bambu 11.36 kJ/mol. Faktor pre eksponensial (A) untuk asam asetat jati 7.64x10-4/menit lebih tinggi daripada asam asetat pinus 9.69x10-4/menit dan asam asetat bambu 1.04x10-4/menit. Hal ini disebabkan nilai konstanta kinetika ((k1, k2, k3, k4 dan k5) asam asetat jati 1.46x10-5 –10.74x10-5/menit lebih tinggi dari konstanta kinetika asam asetat pinus 3.57x10-5 –18.89x10-5/menit dan asam asetat bambu 2.94x10-5– 17.80x10-5/menit). Jumlah asap cair yang dihasilkan sangat tergantung pada jenis bahan baku yang digunakan dan suhu yang dicapai dalam proses. Hal ini sesuai dengan pernyataan yang dikemukakan Djatmiko et al. (1985) bahwa keberadaan senyawa –senyawa kimia dalam asap cair dipengaruhi oleh kandungan kimia dari bahan baku yang digunakan dan suhu yang ingin dicapai pada proses pirolisis. Berkaitan dengan hal tersebut, Byrne & Nagle (1997) mengatakan bahwa penguapan, penguraian atau dekomposisi komponen kimia kayu pada proses pirolisis terjadi secara bertahap, yaitu pada suhu 100-150°C hanya terjadi penguapan molekul air. Pada suhu 200°C mulai terjadi penguraian hemiselulosa; pada suhu 240°C mulai terdekomposisi selulosa menjadi larutan pirolignat, gas CO, CO2 dan sedikit ter. Pada suhu 240-400°C, terjadi proses dekomposisi selulosa dan lignin menjadi larutan pirolignat, gas CO, CH4, H2 dan ter lebih banyak. Pada suhu di atas 400°C terjadi pembentukan lapisan aromatik.
80
0
‐10.5 1
2
3
‐5
‐10
‐15
‐11 0 ln F(x)/T2
ln F(x)/T2
0
y = 2.290x ‐ 16.94 R² = 0.987
1
2
3
‐11.5 ‐12 ‐12.5
y = 1.451x ‐ 14.67 R² = 0.993 1000/T
‐13 1000/T
(a)
(b)
0
ln F(x)/T2
0
1
2
3
‐5
‐10
‐15
y = 2.067x ‐ 16.21 R² = 0.993 1000/T
(c ) Gambar 18 Hubungan antara ln k terhadap 1000 /T menggunakan persamaan model Tsamba pada perlakuan: (a) Asam asetat jati, (b) Asam asetat pinus, (c) Asam asetat bambu. Gambar 18 menunjukkan model kinetika pirolisis asam asetat pada suhu 283-773K menggunakan model Tsamba diperoleh energi aktivasi rata-rata untuk asam asetat jati adalah 19.04 kJ/mol lebih tinggi daripada asam asetat pinus 12.06 kJ/mol dan bambu 17.19 kJ/mol. Faktor pre eksponensial asam asetat jati adalah 7.12x10-4/menit, lebih tinggi daripada asam asetat pinus 3.72x10-3 dan asam asetat bambu 1.50x10-3/menit (Tabel 25 dan Lampiran 14). Faktor yang mempengaruhi lain adalah nilai konstanta kinetika yang berbeda, dimana konstanta kinetika (k1, k2, k3, k4 dan k5) asam asetat jati berkisar antara 2.21x10-5-1.953x10-6/menit lebih tinggi dibandingkan konstanta kinetika asam asetat pinus berkisar antara 2.142x10-5-3.54x10-6/menit dan bambu berkisar antara 2.217x10-5-2.084x106
/menit. Berdasarkan hal tersebut, dapat dikatakan bahwa laju pemanasan (ξ1, ξ2,
ξ3, ξ4 dan ξ5) asam asetat jati berkisar antara 13.68-3.87 K/menit lebih rendah
81
dibandingkan laju pemanasan asam asetat pinus berkisar antara 10.94-4.07 K/menit dan bambu berkisar antara 15.32-4.68 K/menit, sehingga semakin naik suhu pirolisis, maka laju pemanasan semakin turun. Hasil perhitungan energi aktivasi dan faktor pre eksponensial dari pembentukan asam asetat jati, pinus dan bambu dapat dilihat pada Tabel 25. Tabel 25 Menentukan energi aktivasi (Ea) dan faktor pre eksponensial (A) asam asetat jati, pinus dan bambu Produk pirolisis Jati Pinus Bambu
Model Arrhenius Ea (kJ/mol) A (menit-1) 12.16 7.64x10-4 10.51 9.69x10-4 11.36 1.04x10-4
Model Tsamba Ea (kJ/mol) A (menit-1) 19.04 7.12x10-4 12.06 3.72x10-3 17.19 1.51x10-3
Hasil penelitian ini sejalan dengan kajian-kajian tentang energi aktivasi dan faktor pre eksponensial dalam model kinetika pirolisis yang telah dilakukan oleh peneliti sebelumnya. Menurut Abass (2011), energi aktivasi dari pirolisis potongan ban (scrap tires) pada suhu yang tinggi yaitu 390-450°C diperoleh sebesar 5.56 kJ/mol dan faktor pre eksponensial sebesar 6.0 x10-7/menit. Sedangkan menurut Novozhilov et al. (1996), energi aktivasi dari hasil pirolisis jenis kayu pinus sebesar 1.26 x 105 kJ/ mol dan faktor pre eksponensial sebesar 5.1 x 1011/menit. Sedang Murugan et al. (2008), memperoleh energi aktivasi untuk lignin kayu keras 34-284 kJ/mol dan faktor pre eksponensial sebesar 2.22 x103/menit. Menurut Sevim et al. (2006), energi aktivasi dari pirolisis asam borat sebesar 79.85 kJ/mol dan faktor pre eksponential 3.82 x104/menit. Menurut hasil penelitian Di Blasi & Branca (2001), menemukan energi aktivasi dari pirolisis kayu Beech sebesar 152.7 kJ/mol dan faktor pre eksponential 2.63 x1010/menit untuk laju pemanasan 1000 K/menit dengan suhu reaksi kisaran 587-720 K. Berdasarkan hasil tersebut, maka perbedaan nilai energi aktivasi dan faktor pre eksponensial disebabkan peralatan yang digunakan, waktu tinggal, pemanasan, dan suhu pirolisis..
laju
82
4.8.2.2. Kinetika Pirolisis Asam Asetat Jati, Pinus dan Bambu Kinetika pirolisis untuk asam asetat jati. pinus dan bambu berdasarkan hasil analisis persamaan Arrhenius disajikan pada Gambar 19 dan Lampiran 14. Perbandingan nilai ln k terhadap 1000/T pada model Arrhenius dari kinetika pirolisis asam asetat jati, pinus dan bambu menghasilkan nilai energi aktivasi yang diperoleh dari slope sedangkan faktor pre eksponesial yang diperoleh dari intersep. 0 ‐2
0
0.5
1
1.5
2
2.5
3
ln k
‐4 Jati ‐6
Pinus
‐8
Bambu
‐10 ‐12
Gambar 19
1000/T
Perbandingan nilai ln k terhadap 1000/T pada model Arrhenius dari kinetika pirolisis asam asetat jati, pinus dan bambu.
Gambar 19 menunjukkan adanya perbedaan perilaku konstanta kinetika model Arrhenius dari asam asetat jati, pinus dan bambu. Nilai ln k model Arrhenius memperlihatkan pola yang cenderung
menurun dengan semakin
tingginya suhu pirolisis. Hubungan antara suhu pirolisis (x) dan ln konstanta kinetika (y) pada model Arrhenius asam asetat jati adalah y jt = -1.517x – 7.176. bila y =
ln k = -9.4307, maka persamaan regresi -9.4307 = -1.517x-7.176,
sehingga x = 1.4863 atau T =1000/1.4863 = 672.81 K. Maka suhu optimun asam asetat jati Arrhenius = 672.81-273 = 399.81°C. Artinya konstanta kinetika asam asetat jati yang optimal sebesar -9.4307/menit dan dicapai pada suhu pirolisis optimal 399.81°C, dengan nilai koefisien determinasi R2 = 0.997. Nilai R2 menunjukkan adanya korelasi yang kuat pada suhu pirolisis dengan nilai konstanta kinetika asam asetat jati sebesar 99.70%.
Hal ini menunjukkan
83
pembentukan energi aktivasi asam asetat terjadi seiring dengan peningkatan suhu pirolisis. Peningkatan ln k model Arrhenius asam asetat pinus memperlihatkan pola yang cenderung menurun dengan semakin tingginya suhu pirolisis (Gambar 19). Hubungan antara suhu pirolisis (x) dan konstanta kinetika model Arrhenius asam asetat pinus dinyatakan dengan persamaan: y pns = -1.264x -6.938. Bila y pns = ln k = -8.8174, maka persamaan regresi adalah -8.8174 = -1.264x -6.938, sehingga x = 1.4869 atau T =1000/1.4869 = 672.54 K. Maka suhu optimun asam asetat pinus Arrhenius = 672.54-273 = 399.54°C. Hal ini mengandung arti bahwa konstanta kinetika asam asetat pinus yang optimal sebesar -8.8174 /menit dan dicapai pada suhu pirolisis optimal 399.54°C, dengan nilai koefisien determinasi R2 = 0.985. Nilai R2 tersebut menunjukkan adanya korelasi yang kuat. artinya suhu pirolisis memberikan pengaruh terhadap konstanta kinetika asam asetat pinus. sebesar 98.50%. Hal ini menunjukkan pembentukan energi aktivasi asam asetat pinus terjadi seiring dengan peningkatan suhu pirolisis didapatkan adanya perbedaan antara hasil percobaan dan hasil prediksi. Gambar 19 menunjukkan adanya perbedaan perilaku ln k model Arrhenius asam asetat bambu, dimana peningkatan ln k model Arrhenius memperlihatkan pola yang cenderung menurun dengan semakin tingginya suhu pirolisis. Hubungan antara suhu dan konstanta kinetika model Arrhenius asam asetat bambu dinyatakan dengan persamaan: y bb = -1.369x – 6.861. Bila y bb = ln k = 8.8963, maka persamaan regresi adalah -8.8963= -1.369x – 6.861, sehingga x = 1.4867 atau T =1000/1.4867 = 672.63 K. Maka suhu optimun asam asetat bambu Arrhenius = 672.63-273 = 399.63°C. Hal ini mengandung arti bahwa konstanta kinetika asam asetat bambu yang optimal sebesar -8.8963/menit dan dicapai pada suhu pirolisis optimal 399.63°C, dengan nilai koefisien determinasi R2 = 0.982. Nilai R2 tersebut menunjukkan adanya korelasi yang kuat, artinya suhu pirolisis yang memberikan pengaruh terhadap konstanta kinetika asam asetat bambu sebesar 98.2%. Hal ini menunjukkan pembentukan energi aktivasi asam asetat bambu terjadi seiring dengan peningkatan suhu pirolisis. Hasil penelitian ini diperoleh model Arrhenius kinetika pirolisis asam asetat tidak dipengaruhi oleh
84
laju pemanasan, yang menyebabkan nilai konstanta kinetika terhadap kenaikan suhu pirolisis asam asetat jati, pinus dan bambu mengalami kenaikan. Dalam penelitian ini, salah satu faktor yang mempengaruhi kinetika pirolisis adalah laju pemanasan (ξ) yang menyebabkan menggunakan model Tsamba, dimana hubungan ln F(x)/T2 terhadap 1000/T sehingga diperoleh energi aktivasi dan faktor pre eksponensial. Untuk mendapatkan nilai ln k , maka perlu dilakukan perhitungan selisih nilai ln F(x)/T2 terhadap ln R/ξEa. Nilai ln F(x)/T2 dalam kinetika pirolisis untuk model Tsamba asam asetat jati, pinus dan bambu berdasarkan hasil perhitungan persamaan Arrhenius terhadap perubahan suhu pirolisis pada Gambar 20 dan Lampiran 14. 0 ‐2 0
0.5
1
1.5
2
2.5
3
ln F(x)/T2
‐4 ‐6
Jati
‐8
Pinus
‐10
Bambu
‐12 ‐14 ‐16
1000/T
Gambar 20 Perbandingan nilai ln F(x)/T2 terhadap 1000/T untuk model Tsamba dari kinetika pirolisis asam asetat jati, pinus dan bambu Kinetika asam asetat jati model Tsamba dengan persamaan : y jt = 2.290x16.94. Bila y jt = ln F(x)/T2 = -13.5609, maka persamaan regresi adalah -13.5609 = 2.290x-16.94, sehingga x = 1.4756 atau T =1000/1.4756 = 677.69 K. Maka suhu optimun asam asetat jati Tsamba = 6877.69-273 = 404.69°C. Artinya konstanta kinetika asam asetat jati sebesar -13.5609/menit pada suhu optimal 404.69°C, dengan nilai koefisien determinasi R2 = 0.9870. Nilai R2 tersebut menunjukkan adanya korelasi yang tinggi, artinya suhu pirolisis memberikan pengaruh terhadap konstanta kinetika asam asetat jati sebesar 98.70%. Kinetika asam asetat pinus model Tsamba dengan persamaan : y pns = 1.451x -14.67. bila y pns = ln F(x)/T2 = -12.5527, maka persamaan regresi adalah
85
-12.5527 = 1.451 x-14.67, sehingga x = 1.4592 atau T =1000/1.4592 = 685.31 K. Maka suhu optimun asam asetat pinus Tsamba = 685.31-273 = 412.31⁰C. Artinya konstanta kinetika asam asetat pinus sebesar -12.5527 /menit pada suhu optimal 412.31°C, dengan nilai koefisien determinasi R2 = 0.9930. Nilai R2 tersebut menunjukkan adanya korelasi yang kuat, artinya suhu pirolisis memberikan pengaruh terhadap konstanta kinetika asam asetat pinus. sebesar 99.3`%. Kinetika asam asetat bambu model Tsamba dengan persamaan : ybb = 2.069x -16.21. Bila y bb = ln F(x)/T2 = -12.7786, maka persamaan regresi 12.7786 = 2.067x-16.21, sehingga x = 1.4351 atau T =1000/1.4351 = 696.82 K. Maka suhu optimun asam asetat bambu Tsamba = 696.82-273 = 423.82° C. Artinya konstanta kinetika asam asetat bambu sebesar -13.2437 /menit pada suhu optimal 423.82°C, dengan nilai koefisien determinasi R2 = 0.983. Nilai R2 tersebut menunjukkan adanya korelasi yang kuat, artinya suhu pirolisis yang memberikan pengaruh terhadap konstanta kinetika asam asetat pinus sebesar 98.30%. Nilai ln F(x)/T2 untuk model Tsamba kinetika pirolisis asam asetat jati, pinus dan bambu meningkat dengan kenaikan suhu pirolisis. Nilai ln F(x)/T2 model Tsamba meningkat secara proporsional dengan suhu pirolisis. Kedua model ini mempertimbangkan pengaruh suhu pirolisis terhadap konstanta kinetika. Perbedaannya adalah model Arrhenius hanya melihat pengaruh suhu terhadap konstanta kinetika tanpa laju pemanasan. Model Tsamba mempertimbangkan pengaruh suhu pirolisis terhadap laju pemanasan. Menurut Koufapanos et al. (2001), bahwa model kinetika yang disimulasikan dengan nilai terbaik dari konstanta kinetika didapatkan dengan meminimalkan kesalahan kuadrat terkecil untuk model Tsamba. Faktor lain yang mempengaruhi adalah laju pemanasan, dengan nilai ln F(x)/T2 untuk model Tsamba meningkat secara proporsional dengan kenaikan suhu pirolisis. Penelitian ini memperoleh hasil bahwa model Tsamba lebih sesuai daripada model Arrhenius pada laju reaksi asam asetat jati, pinus dan bambu. Kinetika pirolisis untuk model Tsamba menunjukkan ln F(x)/T2 versus 1000/T untuk menentukan nilai Ea dan A. Nilai k diperoleh dari perhitungan ln k yaitu selisih ln F(x)/T2 terhadap ln R/ξEa, dimana faktor yang mempengaruhi adalah laju pemanasan dan
86
suhu pirolisis. Sedangkan model Arrhenius hanya suhu pirolisis yang berpengaruhi dalam kinetika pirolisis. Laju reaksi untuk model Tsamba diperoleh dari hasil perhitungan antara konstanta kinetika (k) terhadap konsentrasi asam asetat, yang mana mendekati nilai laju reaksi hasil percobaan yang diperoleh dari hasil perhitungan antara konsentrasi asam asetat yang berbanding terbalik terhadap waktu pirolisis. Sedangkan model Arrhenius, nilai k relatif lebih kecil daripada hasil percobaan. Sehingga laju reaksinya bertolak belakang. Hubungan laju reaksi asam asetat jati, pinus dan bambu terhadap waktu pirolisis pada model Arrhenius dan Tsamba dapat lihat Gambar 21 dan Lampiran 16.
3.5 Laju reaksi (mol/L.menit)
3 2.5
Jati Percobaan
2
Pinus Percobaan
1.5
Bambu Percobaan
1
Jati Tsamba
0.5
Pinus Tsamba
0 0
200
400
600
800
1000
Bambu Tsamba
Suhu pirolisis (°C)
(a) 16 Laju reaksi (10‐4 mol/L.menit)
14 12 10 8
Jati Arrhenius
6
Pinus Arrhenius
4
Bambu Arrhenius
2 0 0
200
400
600
800
1000
Suhu pirolisis (°C)
(b) Gambar 21 Hubungan laju reaksi terhadap waktu pirolisis (a) Percobaan, dan Model Tsamba, (b) Model Arrhenius untuk asam asetat jati, pinus dan bambu.
87
Gambar 21 menunjukkan adanya perbedaan perilaku laju reaksi hasil percobaan dengan laju reaksi hasil prediksi. Penurunan laju reaksi percobaan memperlihatkan pola yang cenderung menurun dengan semakin tingginya suhu pirolisis. Laju reaksi hasil prediksi menggunakan model Arrhenius untuk pembentukan asam asetat jati, pinus dan bambu menunjukkan perilaku yang berbeda dengan laju reaksi hasil prediksi. Nilai konstanta laju reaksi pada suhu yang berbeda, karena konstanta laju reaksi berbanding lurus dengan laju reaksi, untuk laju reaksi prediksi yang dihasilkan dengan menggunakan model Arrhenius untuk pembentukan asam asetat jati lebih tinggi dibandingkan laju reaksi asam asetat pinus dan bambu. Jika laju suatu reaksi bertambah dengan cepat dengan kenaikan suhu, maka reaksi itu akan terjadi ledakan dan reaksi itu disebut reaksi eksplosif (Holil 2008). Nilai laju reaksi prediksi menggunakan model Tsamba untuk pembentukan asam asetat jati lebih tinggi dibandingkan laju reaksi asam asetat pinus dan bambu. Nilai laju reaksi prediksi lebih mendekati nilai laju reaksi hasil percobaan untuk asam asetat jati dan lebih besar dibandingkan dengan pinus dan bambu, juga terlihat bahwa semakin tinggi suhu pirolisis, nilai laju reaksi percobaan mengalami trend yang menurun yang mendekati nilai laju reaksi hasil prediksi model Tsamba. Hal ini menunjukkan bahwa pembentukan asam asetat jati, pinus dan bambu pada hasil percobaan terjadi seiring dengan peningkatan suhu pirolisis 400-500°C yang sesuai dengan pendekatan yang digunakan dalam hasil prediksi model Tsamba yang disebabkan adanya pengaruh suhu dan laju pemanasan. Oleh karena itu maka laju reaksi pada model Tsamba dapat memperlambat pembentukan asam asetat, bila reaksi lambat menunjukkan nilai konstanta laju reaksi kecil, sebalikya reaksi cepat menunjukkan nilai konstanta laju reaksi besar yang diterapkan pada model Arrhenius. 4.8.3. Waktu Paruh dalam Kinetika Pirolisis Waktu paruh adalah waktu yang dibutuhkan bagi bahan baku (serbuk kayu jati. pinus dan bambu) untuk bereaksi sehingga konsentrasi reaktan
menjadi
setengah dari semula. Waktu paruh asam asetat jati, pinus dan bambu pada model
88
Arrhenius mengalami penurunan dan cenderung mengalami kenaikan model Tsamba terhadap suhu pirolisis dapat dilihat pada Gambar 22 dan Lampiran 7. Waktu paruh asam asetat jati (4.75x104–0.64x104 menit) lebih tinggi dibandingkan waktu paruh asam asetat pinus (1.94x104–0.37x104menit) dan bambu (2.36x104 –0.39x104menit) pada model Arrhenius. Waktu paruh Tsamba asam asetat jati adalah 1.1079-81.5467/menit, lebih tinggi dibandingkan dengan waktu paruh asam asetat pinus yakni 2.4597-44.4325/menit dan bambu yakni 1.1535-55.4518/menit. Waktu paruh dipengaruhi oleh nilai konstanta kinetika (k) yang berorde satu dari persamaan Arrhenius, sehingga apabila nilai k semakin besar maka waktu paruh semakin kecil dan sebaliknya. Waktu paruh Arrhenius (10 4.menit)
5 4 3 Jati Pinus Bambu
2 1 0 0
200
400
600
Suhu pirolisis (⁰C)
Waktu paruh Tsamba ( menit)
(a) 100 80 60 Jati Pinus Bambu
40 20 0 0
100
200
300
400
500
600
Suhu pirolisis (⁰C)
(b) Gambar 22 Hubungan antara waktu paruh terhadap suhu pirolisis (a). Model Arrhenius (b). Model Tsamba untuk kinetika asam asetat jati, pinus dan bambu.
89
Waktu paruh untuk model Arrhenius berada pada kisaran suhu pirolisis 400450°C, dimana produk asam asetat mengalami penurunan di atas suhu pirolisis 400°C. Berdasarkan hasil perhitungan untuk model Arrhenius (Gambar 22 dan Lampiran 15) diperoleh bahwa dekomposisi lignin kayu jati berada pada suhu optimun 404.23°C, sedang dari hasil analisis GC-MS asap cair kayu jati menghasilkan asam asetat 45.86%. Dekomposisi lignin kayu pinus optimun pada 448.45°C dan dari analisis GC-MS asap cair kayu pinus menghasilkan asam asetat 19.60%. Dekomposisi lignin bambu optimun pada 446.59°C dari hasil analisis asap cair bambu menghasilkan asam asetat 46.30%. Hasil perhitungan untuk model Tsamba dari persamaan regresi untuk asam asetat jati
diperoleh y =
2.290x-16.94 diperoleh suhu optimun asam asetat jati Tsamba = 677.69-273°C = 404.69°C. Persamaan regresi untuk asam asetat pinus Tsamba adalah y = 1.451x14.27, maka suhu optimun asam asetat pinus Tsamba = 685.31-273°C = 412.31⁰C. Persamaan regresi untuk asam asetat pinus Tsamba adalah y = 2.067x16.21, maka suhu optimun asam asetat bambu Tsamba = 696.82-273°C = 423.82°C. Hal ini menunjukkan bahwa produk asam asetat yang dihasilkan sangat mempengaruhi nilai konstanta kinetika sehingga waktu paruh yang optimum berada pada kisaran suhu tersebut. 4.9.
Termodinamika Kimia
4.9.1. Konversi Perubahan Nilai Kalor terhadap Perubahan Entropi Nilai kalor terutama ditentukan oleh kandungan air, sedikit abu dan zat terbang maupun ukuran bahan yang dibakar. Keuntungan kayu dan bambu sebagai bahan bakar (arang) karena memiliki kandungan abu dan belerang yang rendah. Untuk serbuk kayu jati, serbuk kayu pinus dan bambu, maka nilai kalor dan entropi arang disajikan pada Tabel 26 Perhitungan diberikan di Lampiran 8 dan 9. Tabel 26 Karakteristik nilai kalor dan entropi arang serbuk kayu jati, pinus dan bambu Suhu pirolisis (° C) 110 200 300 400 500
Nilai kalor (MJ/kg) Jati Pinus bambu 18.73 18.89 18.45 23.77 22.10 22.09 24.92 25.28 24.25 27.37 27.07 26.41 27.92 28.36 26.86
Jati 4.08 4.19 3.62 3.39 3.01
Entropi (J/K.mol) Pinus bambu 4.11 4.01 3.89 3.89 3.68 3.53 3.35 3.27 3.06 2.90
90
Nilai kalor arang untuk ketiga jenis bahan baku di atas cenderung naik pada kenaikan suhu pirolisis. Hasil perhitungan tersebut di atas memperoleh hasil bahwa nilai kalor jati berkisar antara 18.73-27.92 MJ/kg, pinus berkisar antara 18.89-28.36 MJ/kg dan bambu berkisar antara 18.45-26.86 MJ/kg. Nilai kalor pinus lebih tinggi dibandingkan nilai kalor jati dan bambu (Tabel 26 dan Lampiran 9). Hal ini didasarkan pada kondisi proses pembakaran yang menghasilkan panas langsung dalam bentuk praktis yang berbeda dan tergantung pada suhu pembakaran yang digunakan serta jenis bahan baku. Nilai kalor dipengaruhi oleh kadar air, sedikit abu dan zat terbang serta jenis bahan bakunya. Hasil ini sejalan dengan hasil kajian-kajian tentang nilai kalor bahan baku dari proses pirolisis yang telah dilakukan oleh peneliti sebelumnya. Penelitian ini didukung oleh Wang et al. (2009), menunjukkan bahwa nilai kalor limbah kayu pinus yang berasal dari industri pengolahan kayu sebesar 17.2 MJ/kg. Sedangkan nilai kalor campuran sampah kota dan limbah industri dengan pirolisis sebesar 19.87 MJ/kg (Paulucci et al. 2010). Nilai kalor dari kayu pinus dan spruce sebesar 16.6 MJ/kg dan ampas tebu (Bagase) sebesar 15.4 MJ/kg (Demirbas & Balat 2007). Nilai kalor untuk pirolisis Maize Straw sebesar 16.9 MJ/kg dan rumput laut Ulva petruza sebesar 11.5 MJ/kg (Ye et al. 2010), nilai kalor arang kayu berkisar 22.5 (MJ/kg) dan bambu 23.1 MJ/kg (Tippayawong et al. 2010). Perbedaan jenis nilai kalor batu bara Ashland, Afrika selatan dan Sardinian Sulcis sebesar 29.75, 27.44 dan 20.83 MJ/Kg (Franzoni et al. 2010). Perbandingan nilai entropi dari arang dan asap cair ketiga bahan baku pada termodinamika kimia dapat dilihat pada Gambar 23.
Entropi Perpaduan (J/mol)
91
50 0 ‐50 0 ‐100 ‐150 ‐200 ‐250 ‐300 ‐350 ‐400 ‐450
200
400
600
800
1000
Arang Jati Arang Pinus Arang Bambu Asam asetat jati Asam asetat pinus Asam asetat Bambu
Suhu pirolisis (K)
Gambar 23 Perbandingan nilai entropi arang dan asam asetat jati, pinus dan bambu terhadap suhu pirolisis pada termodinamika kimia. Nilai entropi pada ketiga bahan baku cenderung mengalami penurunan terhadap suhu pirolisis. Nilai entropi ketiga jenis arang hampir sama. Sedangkan nilai entropi ketiga asam asetat hampir sama. Hal ini menunjukkan bahwa entropi arang dipengaruhi oleh nilai kalor terhadap suhu pirolisis dengan dS = dq/T, dimana nilai kalor yang dihasilkan dari proses pirolisis menggunakan reaktor listrik, untuk setiap variasi suhu pirolisis dan waktu tinggal, mempunyai nilai kalor yang hampir sama. Oleh karena itu, bahan baku yang digunakan dalam proses pirolisis ini mempunyai komposisi bahan organik sama yaitu kayu jati, pinus dan bambu, sehingga nilai kalor yang hampir sama. Semakin tinggi nilai kalor ketiga arang, maka entropi semakin besar. Artinya kualitas semakin baik karena energi yang dipancarkan semakin baik. Dimana nilai kalor semakin tinggi, maka kadar abu semakin naik, Berdasarkan hasil penelitian ini seperti kadar abu arang bambu berkisar antara 2.77-15.60% lebih tinggi dibandingkan kadar abu arang jati berkisar 1.09-10.82% dan pinus berkisar antara 0.44-1.24%, mendekati hasil penelitian Wang et al. (2009). Analisa proksimat limbah kayu pinus menunjukkan kadar abu 0.30%, dan bahan biomassa yang berasal dari kayu mangga menghasilkan kadar abu 2.5% (Tippayawong et al. 2010). Sedangkan kadar zat terbang bambu dalam penelitian ini berkisar antara 82.75-4.62% lebih rendah dibandingkan zat terbang jati berkisar 83.28-5.08% dan pinus berkisar antara 85.93-15.15%, Menurut penelitian Wang et al. (2009, bahwa zat terbang
92
limbah pinus 77.28%, dan zat terbang kayu mangga 74.7% (Tippayawong et al. 2010). 4.9.2. Perubahan Entalpi (ΔH⁰), Entropi (ΔS⁰) dan Energi Bebas Gibbs (ΔG⁰) Termodinamika kimia untuk proses pirolisis ini memberikan data perubahan entropi, entalpi dan energi aktivasi. Laju reaksi tergantung pada kondisi suhu, konstanta kinetika dan energi aktivasi. Data termodinamika yang diperoleh adalah nilai perubahan entropi, entalpi dan energi bebas Gibbs dapat digunakan dalam menentukan reaksi kesetimbangan (Barin et al. 1973). Perubahan entalpi diperoleh dari nilai energi aktivasi terhadap perubahan suhu
Entalpi Tsamba (J/mol)
dan konstanta gas, dapat dilihat pada Gambar 24 dan Lampiran 19 dan 20. 18000 16000 14000 12000 10000 8000 6000 4000 2000 0
Jati Pinus Bambu
0
200
400
600
800
1000
Suhu pirolisis (K)
Gambar 24 Perubahan entalpi asam asetat jati, pinus dan bambu untuk model Tsamba dalam termodinamika kimia. Gambar 24, secara umum nilai entalpi untuk model Tsamba dari ketiga bahan baku mengalami penurunan dengan kenaikan suhu, dimana perubahan entalpi untuk jati berkisar antara 15.86-12.61 kJ/mol, pinus berkisar antara 8.885.63 kJ/mol dan bambu berkisar 14.01-10.76 kJ/mol. Hal ini disebabkan oleh pengaruh energi aktivasi, dimana nilai energi aktivasi asam asetat jati 19.04 kJ/mol, asam asetat pinus 12.06 kJ/mol dan asam asetat bambu sebesar 17.19 kJ/mol lebih besar dibandingkan nilai perkalian tetapan gas dan suhu pirolisis sebesar (3.184-6.426) kJ/mol sehingga perubahan entalpi bernilai positif.
93
Pada penelitian ini untuk menghitung perubahan ∆H⁰
dimana Ea
tergantung pada suhu pirolisis. Sifat termodinamika suatu sistem yang didefenisikan sebagai ∆H⁰ = Ea-RT. Perubahan entalpi berbanding lurus dengan energi aktivasi. Jika Ea > RT, maka perubahan entalpi bernilai positif pada pembentukan asam asetat jati, pinus dan bambu. Secara umum perubahan entalpi dipengaruhi oleh nilai energi aktivasi dan suhu pirolisis. Jika perubahan entalpi bernilai positif berarti reaksi bersifat endotermik. Hal ini didukung oleh penelitian Adejero et al.(2010), bahwa nilai entalpi untuk AMI, MNDO dan PM3 sebesar 250.66, 325.07, dan 195.01 kJ/mol. Perubahan entalpi untuk pirolisis kayu Bark sebesar 434 J/g lebih tinggi dibandingkan selulosa sebesar 274 J/g (Billbao et al. 1993), nilai entalpi tongkol jagung untuk arang aktif sebesar 6.231 kJ/mol pada suhu 400° C (Bangash & Alam 2007). Perubahan entalpi untuk Cr(III) sebesar 12.64 kJ/mol dengan kenaikan suhu (Mahdavi et al 2011).
0
Entropi Tsamba (J/K.mol)
‐50 0
200
400
600
800
1000
‐100 ‐150
Jati
‐200
Pinus
‐250
Bambu
‐300 ‐350
Suhu Pirolisis (K)
Gambar 25 Perubahan entropi asam asetat jati, pinus dan bambu dengan model Tsamba dalam termodinamika pirolisis. Gambar 25 memperlihatkan bahwa secara umum perubahan entropi untuk model Tsamba dari ketiga bahan baku cenderung mengalami penurunan. Nilai entropi model Tsamba untuk asam asetat jati berkisar lebih kecil dibandingkan entropi asam asetat pinus dan entropi bambu. Hal ini disebabkan oleh pengaruh kondisi proses (suhu pirolisis) dan laju pemanasan yang menyebabkan terjadi penurunan entalpi yang mana dekomposisi selulosa asap cair jati menghasilkan asam asetat, asam format, metil ester dan asam hidronitrat. Pada dekomposisi
94
selulosa asap cair pinus dihasilkan asam asetat, L-alanin etil ester, 2 propanon dan asam propanoat. Dekomposisi selulosa asap cair bambu menghasilkan asam asetat, metil ester dan asam propanoat.
Dalam rangka menghitung entropi
diperlukan data konstanta kinetika dan suhu pirolisis agar diperoleh perubahan entalpi. Jika entalpi bernilai negatif artinya reaksi berlangsung secara spontan dan reaksi eksotermal. sehingga entropi yang dihasilkan bernilai negatif. Hal ini didukung oleh penelitian Adejero et al 2010, bahwa nilai entropi untuk AMI, MNDO dan PM3 sebesar -0.69, 3.367, dan -0.742 J/mol. Perubahan entalpi tongkol jagung untuk arang aktif sebesar -262.10 J/K mol pada suhu 400°C (Bangash & Alam 2007). Selanjutnya Li et al. (2009). mengatakan bahwa perubahan entalpi bernilai positif menunjukkan bahwa proses berlangsung secara spontan dan bersifat endotermik. Perubahan energi bebas Gibbs pada termodinamika kimia pada pembentukan asam asetat jati, pinus dan bambu dengan menghitung nilai perubahan entalpi dan entropi terhadap suhu pada proses pirolisis dapat dilihat pada Gambar 26 dan Lampiran 19 dan 20.
Energi bebas Gibbs (J/mol)
300 250 200 150
Jati Tsamba
100
Pinus Tsamba Bambu Tsamba
50 0 0
200
400
600
800
1000
Suhu pirolisis (K)
Gambar 26 Energi bebas Gibbs asam asetat jati, pinus dan bambu untuk model Tsamba. Gambar 26, menunjukkan bahwa perubahan energi bebas Gibbs asam asetat jati, pinus dan bambu dalam termodinamika kimia cenderung mengalami kenaikan dengan naiknya suhu. Perubahan energi bebas Gibbs pada model Tsamba untuk asam asetat jati berkisar antara 142.11-310.81 kJ/mol lebih tinggi
95
dibandingkan energi bebas Gibbs untuk asam asetat pinus berkisar antara 142.46304.31 kJ/mol dan asam asetat bambu berkisar antara 142.26-308.90 kJ/mol. Hal ini disebabkan perubahan suhu dan entropi (T∆S⁰) lebih besar dibandingkan perubahan entalpi (∆H⁰). Hasil penelitian ini didukung penelitian Adejero et al.(2010), menemukan energi bebas Gibbs untuk AMI sebesar 251.09 kJ/mol dan PM3 sebesar 195.47 kJ/mol. Menurut penelitian Ora et al. (2008), energi bebas Gibbs untuk Sn (II) sebesar 67.092 kJ/mol pada suhu 333 K.
Perbedaan ini
disebabkan mekanisme reaksi pirolisis dalam keadaan transisi dan laju pemanasan dan suhu pirolisis. Nilai parameter termodinamika untuk menghitung perubahan entalpi dan entropi untuk proses sorpsion sebesar 39.3 kJ/mol dan 0.202 kJ/K mol (Wassewar et al. 2009). Dalam kenyataan, bahwa pada suhu 150° C dan dibawah tekanan 2 Mpa, dengan penambahan katalis mampu meningkatkan rendemen metanol mendekati prediksi termodinamika (Mahajjan et al. 1999). Berdasarkan hasil termodinamika ditunjukkan bahwa proses gasifikasi lebih efektif dibandingkan proses pirolisis dalam pembentukan hidrogen dan Syngas (gas CO, CO2, CH4 dan H2) pada campuran batu bara dan biomassa (Franzoni et al. 2010). Secara umum, perubahan energi bebas Gibbs yang bernilai positif semakin tinggi dengan meningkatnya suhu pirolisis, yang diindikasikan bahwa proses pirolisis biomassa (kayu jati, pinus dan bambu) berlangsung secara tidak spontan dengan reaksi endotermik terhadap produk asam asetat yang dihasikan dalam pirolisis. Nilai negatif pada perubahan energi bebas Gibbs ∆G° mengindikasikan bahwa proses absorpsi adalah kemungkinan terjadi (feasible) dan spontan pada semua suhu yang dipelajari. Nilai ∆G° menurun dengan kenaikan suhu yang membuktikan bahwa reaksi tersebut pada suhu yang tinggi (Haron et al. 2009). Nilai positif pada perubahan entalpi untuk Cr (III) dengan proses endotermik, dan nilai negatif pada perubahan energi bebas Gibbs mengindikasikan bahwa kemungkinan terjadi dan proses spontan (Mahdavi et al. 2011). Secara umum reaksi dapat berlangsung, berarti ∆G < 0
dan reaksi kesetimbangan pada
termodinamika dengan suhu kamar tergantung dari pembentukan asam asetat, ternyata reaksinya berlangsung sangat lambat, dimana laju reaksi semakin turun dengan waktu pirolisis dan yield asam asetat semakin naik dengan kenaikan energi bebas Gibbs.
96
4.10. Konversi Bahan Baku menjadi Kandungan Karbon Biomassa Untuk
mengetahui
kandungan
karbon
biomassa,
maka
dilakukan
perhitungan kadar karbon asap cair dan arang pada masing-masing suhu pirolisis. Besarnya kadar karbon pada asap cair dan arang di pengaruhi oleh kandungan senyawa kimia yang ada pada bahan baku tersebut. Kandungan karbon asap cair didapatkan dari perkalian prosentase kadar karbon dengan berat asap cair yang dihasilkan. Sedangkan kandungan karbon arang diperoleh dari prosentase kadar karbon dengan berat arang yang dihasilkan pada variasi suhu pirolisis. Adapun hasil perhitungan kandungan karbon biomassa kayu jati, pinus dan bambu
Karbon Biomassa (% b/b)
disajikan pada Gambar 27 (hasil perhitungan pada Lampiran 11 dan 12). 80 70 60 50 40 30 20 10 0
C‐Bio Jati C‐Bio Pinus C‐Bio Bambu 0
200
400
600
Suhu Pirolisis (⁰C)
Gambar 27 Kandungan karbon biomassa kayu jati, pinus dan bambu. Gambar 27, menunjukkan bahwa kandungan karbon biomassa pada ketiga bahan baku tersebut mengalami kenaikan terhadap kenaikan suhu pirolisis. Dimana kandungan C biomassa (jati) berkisar antara 2.66-71.52% lebih tinggi dibandingkan kandungan C biomassa (pinus) berkisar antara 2.14-67.82% dan bambu berkisar 3.20-63.42%. Potensi karbon dipengaruhi oleh kandungan biomassa. Kandungan selulosa dan lignin yang terkandung di dalam bahan baku tersebut yang mana semakin besar kandungan selulosa, maka kandungan karbon semakin besar. Hasil prosentase karbon terhadap biomassa untuk produk pirolisis dapat dihitung berdasarkan kemampuan serbuk kayu jati, pinus dan bambu dalam menyimpan karbon. Besarnya rata-rata prosentase karbon bervariasi tergantung
97
pada suhu pirolisis. Hasil penelitian ini sejalan dengan kajian-kajian tentang kandungan karbon dalam biomassa yang telah dilakukan oleh peneliti sebelumnya Menurut penelitian (Eka 2010), bahwa bagian batang merupakan bagian yang memiliki potensi pohon yang sangat besar dari total biomassa batang sebesar 75.12%. Hal ini didukung oleh Novita (2010), bahwa biomassa pada bagian batang berkisar antara 68.09-82.28% dari biomassa totalnya, kemudian dikuti oleh daun sebesar 4.17-14.44%, bagian ranting 6.16-10.32%, dan terkecil pada bagian cabang sebesar 7.15-7.45% dari biomassa totalnya. Menurut Limbong (2009) kandungan karbon biomassa dari tanaman Acasia Gassicarpa berkisar antara 15.21-18.69%. Menurut Aditriono (2008), proporsi kandungan karbon terbesar ada pada bagian batang 66%, diikuti oleh cabang 17%, akar 13%, dan daun 4%. Menurut Oki (2008) bagian tubuh pohon memiliki kandungan yang berbeda
Emisi Karbon (%b/b)
antara bagian tubuh pohon dan kandungan karbon akar berkisar antara 10-20%. 90 80 70 60 50 40 30 20 10 0
Emisi Karbon Jati Emisi Karbon Pinus Emisi Karbon Bambu
0
200
400
600
Suhu pirolisis (°C)
Gambar 28 Pengaruh suhu pirolisis terhadap emisi karbon kayu jati, kayu pinus dan bambu. Gambar 28 dan Lampiran 13, menunjukkan bahwa emisi karbon untuk ketiga bahan baku mengalami penurunan dengan kenaikan suhu pirolisis. Kadar emisi karbon jati berkisar antara 82.62-13.65%, lebih besar dibandingkan dengan kadar emisi karbon pinus berkisar antara 85.05-17.12% dan bambu berkisar antara 78.90-18.36%. Hal ini disebabkan oleh berat karbon biomassa yang berbedabeda, dimana jati mempunyai berat karbon berkisar 186.96-928.90 gram lebih besar dibandingkan berat karbon pinus berkisar 144.79-802.60 gram dan bambu berkisar 178.35-690.67 gram. Hal tersebut memperlihatkan bahwa semakin
98
rendah emisi karbon, maka biomassa tersebut semakin baik untuk dipergunakan pada proses pirolisis karena mampu mereduksi jumlah karbon yang dilepas ke udara. Pirolisis biomassa berupa limbah kayu (jati dan pinus) dan bambu menghasilkan karbon 50% artinya biomassa mampu mengurangi emisi karbon kayu jati sebesar 7.48-36.35%, kayu pinus sebesar 17.21-32.88%, dan bambu sebesar 10.21-31.64%, dengan menggunakan teknologi pirolisis yang ramah lingkungan. Hal ini didukung penelitian Budiharto (2009), bahwa total emisi karbon akibat pemanenan kayu secara legal, pengambilan kayu bakar dan kebakaran hutan adalah 35.372 Mega ton karbon. Jika dibandingkan dengan laju pemanenan karbon pada hutan produksi 56.43 Mega ton/tahun. Emisi CO2 yang dihasilkan dari produksi bioarang (kaya C dibentuk dari pirolisis biomassa sebesar 12% (Woolf et al. 2010). Menurut Franzoni et al.(2010), bahwa reduksi emisi karbon yang digunakan dalam pirolisis campuran batu bara dan biomassa sebagai sumber bahan bakar (Fuel) sebesar 41.2%. 4.11. Siklus Karbon melalui Pirolisis Biomassa Siklus karbon biomassa. juga sangat penting bagi menjaga kelestarian keanekaragaman hayati. karena asap cair mengandung senyawa asam yang digunakan mampu mengawetkan makanan, dan arang yang digunakan sumber energi biomassa. Oleh karena itu penelitian ini perlu dikembangkan agar kelestarian lingkungan dan keanekaragaman hayati tetap terjaga, disamping mendapatkan keuntungan ekonomi dan kesehatan bagi lingkungan (Gambar 29). Hutan berperan dalam menyerap CO2. Daur ulang CO2 di dalam hutan didasarkan pada proses fotosintesis dan respirasi. Tanaman berasal dari hutan mengalami proses fotosintesis (6CO2 + H20 + radiasi
C6H12O6 + 6O2), Fungsi
hutan berperan dalam menyimpan karbon. Hutan terdiri dari pohon kayu jati, pinus dan bambu (tali) yang mengandung hemiselulosa, selulosa, lignin dan zat ekstraktif mengalami pertumbuhan dari kecil menjadi besar, kemudian kayu dan bambu ditebang untuk diolah dan dimanfaatkan sebagai bahan rumah tangga, industri kerajinan kayu, bahan bangunan dan lain-lain. Saat ini pemanfaatan limbah kayu dan bambu dikonversi menjadi inorganik karbon dan dikembalikan ke terestial reservoir sebagai karbon sink maka jumlah karbon yang dipindahkan ke ekosistem terestial (hutan) setiap tahunnya bertambah (Gambar 29).
99
Gambar 29 Siklus karbon yang berasal dari limbah kayu dan bambu melalui proses pirolisis yang menghasilkan produk asap cair, arang dan gas. Proses pirolisis menghasilkan produk asap cair, tar, arang, dan minyak atsiri. Bahan baku yang digunakan berupa serbuk kayu jati sebesar 1075.71 gram, serbuk kayu pinus sebesar 968.5 gram dan serbuk bambu sebesar 845.26 gram. Proses pirolisis dengan pengaturan suhu yang dimulai 110-500°C akan menghasilkan rendemen asap cair kayu jati berkisar 1.02-17.05% (berat kering ascakaja berkisar antara 46-492 gram), kayu pinus berkisar 0.92-14.46% (berat kering ascakapin berkisar antara 42.55-119.41 gram) dan bambu berkisar 1,1518,18% (berat kering ascabam berkisar antara 36.54-273.93 gram). Produk arang menghasilkan kayu jati 41.83-83-88.135, kayu pinus 33.45-77.13% dan bambu 30.91-74.18%, dan rendemen ter kayu jati berkisar 0.54-4.36%, kayu pinus 0.666.39% dan bambu 1.53-8.01%. Selanjutnya dilakukan pemisahan asap cair dengan fraksinasi diperoleh fraksi etil asetat serbuk jati sebesar 4.28% (berat kering etil asetat jati 0.470 gram), fraksi etil asetat serbuk pinus sebesar 6.43% (berat kering etil asetat pinus 4.6168 gram), dan fraksi etil asetat serbuk bambu sebesar 3.38% (berat kering etil asetat bambu 2.1058 gram), setelah itu dilakukan proses distilasi untuk memisahkan produk asam asetat dengan senyawa lain yang tidak diinginkan. Diasumsikan bahwa asam asetat jati diperoleh sebesar 5.71% (berat asam asetat 4.669 gram), sedangkan asam asetat pinus fraksi suhu 105°C< T < 120°C sebesar 4.5% (berat asam asetat 1.1069 gram), dan asam asetat bambu dari fraksi suhu 105°C< T < 120°C sebesar 6% (berat asam asetat 1.8301 gram). Hal
100
ini diduga karena adanya bahan hemiselulosa, selulosa dan lignin yang berbeda pada masing-masing kayu jati, kayu pinus dan bambu. Suhu pirolisis mempunyai pengaruhi positif dalam pembentukan produk asap cair (Di Blasi & Lanceta 1997). Jumlah asap cair yang dihasilkan sangat tergantung pada jenis bahan baku yang digunakan dan suhu yang dicapai dalam proses. Struktur lignin kayu pinus hanya tersusun atas unit guaiasil saja dari trans koniferil alkohol, sedangkan stuktur lignin kayu jati tersusun lebih banyak unit guaiasil dan siringil turunan dari trans koniferil dan sinapil alkohol (Yaman 2004). Pirolisis biomassa berupa limbah kayu (jati dan pinus) dan bambu menghasilkan karbon 50% artinya biomassa mampu meningkatkan unsur hara dalam tanah dengan recovery karbon jati sebesar 49.57%, pinus sebesar 49.89%, dan bambu sebesar 49.78%, dengan menggunakan teknologi pirolisis yang ramah lingkungan. Penggunaan asap cair dan arang pada tanaman akan berdampak pada peningkatan karbon yang diikat oleh tanah. Stuktur pori arang memberikan kecocokan habitat untuk membantu perkembangan dalam hubungan simbiotik antara mikroorganisme dan tanaman, yang mana pada akhirnya menghasilkan efek energi pada perbaikan tanah (Ogawa 1999). Pada pirolisis, gas yang dihasilkan terdiri dari CO2, CO, CH4, H2, C2H6, C2H4, senyawa organik lain dan uap air (Yaman 2004). Produk samping dari pirolisis dikembalikan ke dalam tanah dalam bentuk unsur hara (C) yang menyebabkan tanaman menjadi subur dan tumbuh besar sehingga terjadi keseimbangan ekosistem untuk menjaga lingkungan hidup (Lehmann et al. 2006). Hasil penelitian ini memperlihatkan bahwa dari ketiga bahan baku yang digunakan dalam proses pirolisis adalah serbuk kayu jati lebih baik dibandingkan kayu pinus dan bambu. Hal ini disebabkan oleh perbedaan jenis bahan baku, kondisi proses (suhu, waktu dan laju pemanasan) dan yield asam asetat. Faktor lain yang mempengaruhi adalah energi aktivasi asam asetat jati lebih tinggi daripada asam asetat pinus dan asam asetat bambu, waktu paruh asam asetat jati lebih tinggi dibandingkan waktu paruh asam asetat pinus dan asam asetat bambu, perubahan entropi dan energi bebas Gibss jati lebih tinggi dibandingkan pinus dan bambu, nilai emisi karbon jati lebih rendah dibandingkan pinus dan bambu (Tabel 24 dan 25 serta Lampiran 19 dan 20).