SUAMI MELARANG ISTERI BEKERJA MENURUT UNDANG-UNDANG NO.23 TAHUN 2004 TENTANG PKDRT DAN PERSPEKTIF HUKUM ISLAM
SKRIPSI Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Hukum (S.H)
PENULIS: LINA DAMAYANTI NIM. 1112044200014
PROGRAM STUDI HUKUM KELUARGA (A H W A L S Y A K H S H I Y Y A H ) FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM UNIVERSITAS ISLAM NEGRI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA 1437H/2016M
ABSTRAK Lina Damayanti, NIM 1112044200014, SUAMI MELARANG ISTERI BEKERJA DITINJAU DARI UNDANG-UNDANG No.23 TAHUN 2004 DAN PERSPEKTIF HUKUM ISLAM. Konsentrasi Hukum Keluarga. Program Studi Hukum Keluarga (Ahwal AsSyakhsiyyah). Fakultas Syariah dan Hukum. Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta 1438 H/2016 M. Skripsi ini bertujuan untuk mengetahui dan menganalisis Undang-undang No,23 Tahun 2004 tentang PKDRT yang berasaskan kesetaraan gender menurut persperktif Hukum Islam. Serta mengetahui hukum wanita bekerja diluar rumah menurut perspektif hukum Islam. Jenis penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah penelitian kualitatif, penulis melakukan penelitian dengan cara teknik study kepustakaan (library research). Setelah memperoleh data dari berbagai sumber, kemudian penulis analisa dengan menggunakan metode analisis kualitatatif Kesimpulan dari hasil penelitian yang penulis tulis adalah dalam undang-undang No.23 Tahun 2004 tentang PKDRT berasaskan kesetaraan gender tidak adanya tumpang tindih antara laki-laki dan perempuan keduanya merupakan satu kesetaraan dan tidak boleh dibeda-bedakan. Namun dalam Islam kedudukan laki-laki memang dilebihkan satu derajat karena laki-laki secara fitrahnya Allah menganugerahi laki-laki kekuatan jasmani untuk berusaha dalam menghadapi persoalan, dan juga laki-laki mempunyai tanggung jawab finansial dalam keluarga sebagai kepala rumah tangga. Dalam hal lain Islam tidak melarang wanita bekerja diluar rumah, Islam justru menjunjung tinggi kesetaraan antara laki-laki dan perempuan. Dengan kata lain persoalan isteri bekerja di ranah publik seharusnya tidak ada diskriminasi anatara laki-laki dan prempuann. Selain tidak melalaikan kewajibannya dan tidak keluar dari jalur syariat yang sudah ditetapkan Islam Kata Kunci, KDRT, Wanita Bekerja. Dosen Pembimbing
: Prof. Dr. Zaitunah Subhan, MA
Daftar Pustaka
: 1983 - 2016
iv
KATA PENGANTAR Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah memberikan
rahmat,
hidayah
serta
kekuatan
sehingga
penulis
dapat
menyelesaikan skripsi. Shalawat serta salam kita sanjungkan kepada Nabi besar Muhammad SAW beserta keluarga, para sahabat dan umatnya hingga akhir zaman. Dalam proses penyelesaian skripsi ini penulis menyadari bahwa rintangan dan hambatan yang terus menerus datang silih berganti. Berkat bantuan dan motivasi dari berbagai pihak maka segala kesulitan dan hambatan tersebut dapat diatasi dan tentunya dengan izin Allah SWT, serta dengan wujud yang berbedabeda dapat diminimalisir dengan adanya nasihat dan dukungan yang diberikan oleh keluarga dan teman-teman penulis. Pada kesempatan kali ini penulis ingin mengucapkan terimakasih yang tiada terhingga untuk semua pihak yang telah memberikan bantuan baik moril maupun materil sehingga terselesaikannya skripsi ini. Tentunya kepada: 1.
Bapak Asep Saepudin Jahar, MA., selaku Dekan Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.
2.
Bapak Dr. H. Abdul Halim, M.Ag. selaku Ketua Program Studi Hukum Keluarga serta Bapak Arip Purkon, M.Ag. selaku sekretaris Program Studi Hukum Keluarga yang telah bekerja secara maksimal.
v
3.
Prof. Dr Zaitunnah Subhan, M.A selaku Dosen Pembimbing Skripsi yang telah banyak memberi arahan, motivasi, serta petunjuk dalam menyelesaikan skripsi ini dengan baik.
4.
Bapak Dr. H. A Juaini Syukri, Lc, MA selaku penguji I dan Bapak Mara Sutan Rambe, S.HI, MH selaku penguji II yang telah membimbing penulis serta petunjuk dalam menyelesaikan skripsi ini dengan baik.
5.
Seluruh dosen Fakultas Syariah dan Hukum yang telah memberikan ilmuilmu yang tak ternilai harganya, dan seluruh staff dan karyawan perpustakaan Fakultas Syariah dan Hukum, perpustakaan Utama UIN Syarif Hidayatullah Jakarta dan bagian tata usaha Fakultas Syariah yang telah memberikan pelayanan yang terbaik.
6.
Khusus teruntuk Ayahanda (Bpk. Sumaryono dan Ibu (alm) Tumiarni,) Ibu Indriyani Subiah dan mba Kasmiati yang telah memberikan motivasi serta arahan yang tak pernah jenuh serta tiada henti mendoakan penulis dalam menempuh pendidikan. Dan terimakasih juga kepada adik saya Aji Prasetyo, Aurelia Putri Ramadhani, dan Yunita Rahmawati yang telah memberikan semangat dan motivasi kepada penulis sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini dengan baik.
7.
Denny Hartanto yang telah mendampingi dan memberikan semangat, motivasi kepada penulis sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini dengan baik. Tak terkecuali semua sahabat yang terbaik Djulhijah, Muhammad Munawir, Husnul Alfia, dan Rini Sihwidhi. Yang tidak pernah bosan memberikan masukan, saran, motivasi dan menghibur penulis
vi
8.
Kepada sahabat seperjuangan program studi Islamic Family Law 2012 yang telah memberikan saran dan motivasi kepada penulis.
9.
Dan semua pihak yang terkait dengan penyusunan skripsi ini yang penulis tidak bisa sebutkan satu persatu. Semoga Allah senantiasa meridhoi setiap langkah kita. Penulis menyadari bahwa skripsi ini jauh dari kesempurnaan dan banyak yang perlu diperbaiki lebih dalam. Oleh karena itu, saran dan kritik penulis harapkan demi kesempurnaan skripsi ini. Mudah-mudahan skripsi ini dapat bermanfaat bagi penulis khususnya dan setiap pembaca dan umumnya serta menjadi amal baik di sisi Allah SWT. Hanya ucapan terimakasih dan doa yang dapat penulis berikan, semoga setiap bantuan, do’a, motivasi yang telah diberikan kepada penulis mendapatkan balasan yang lebih baik dari Allah SWT dan menjadi catatan kebaikan di akhirat kelak.
Jakarta : 12 September 2016 M 11 Dzulhijjah 1437 H
Penulis
vii
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL ................................................................................... i LEMBAR PENGESAHAN PEBIMBING ................................................ ii LEMBAR PERNYATAAN ........................................................................ iii ABSTRAK ................................................................................................... iv KATA PENGANTAR ................................................................................. v DAFTAR ISI ................................................................................................ vii BAB I
PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah.................................................. 1 B. Permasalahan .................................................................. 5 1. Identifikasi Masalah .................................................. 5 2. Pembatasan Masalah.................................................. 6 3. Perumusan Masalah ................................................... 6 C. Tujuan dan Manfaat Penelitian ....................................... 7 D. Metodelogi Penelitian ..................................................... 7 E. Review Studi Terdahulu.................................................. 10 F. Sistematika Penulisan ..................................................... 12
BAB II
KDRT MENURUT UNDANG-UNDANG NO.23 TAHUN 2004 A. Pengertian Kekerasan Dalam Rumah Tangga................. 14 B. Macam-macam KDRT .................................................... 23 C. Faktor Penyebab Kekerasan Dalam Rumah Tangga....... 27 D. Sanksi Bagi Pelaku KDRT .............................................. 30
BAB III
HAK DAN KEWAJIBAN SUAMI MENURUT HUKUM ISLAM A. Hak dan Kewajiban Suami .............................................. 34 B. Hak dan Kewajiban Istri.................................................. 41 vii
BAB IV
ANALISIS A. Larangan Suami Terhadap Isteri Yang Bekerja Menurut Undang-Undang No.23 Tahun 2004 Tentang PKDRT .. 51 B. Pandangan Hukum Islam Terhadap Isteri Yang Bekerja Di luar Rumah ................................................................ 56
BAB V
PENUTUP A. Kesimpulan ..................................................................... 70 B. Saran ............................................................................... 72
DAFTAR PUSTAKA .................................................................................. 73 LAMPIRAN
viii
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Perkawinan bertujuan untuk menata keluarga sebagai subjek untuk membiasakan pengalaman-pengalaman ajaran agama. Fungsi keluarga adalah menjadi pelaksana pendidikan yang paling menentukan. Sebab keluarga salah satu diantara lembaga pendidikan formal, ibu bapak yang dikenal mula pertama oleh putra-putrinya dengan segala perlakuan yang diterima dan dirasakannya, dapat menjadi dasar pertumbuhan pribadi/kepribadian sang putra putri itu sendiri. 1 Keluarga
Islam
terbentuk
dalam
keterpaduan
antara
ketentraman(sakinah ), penuh rasa cinta (Mawaddah), dan kasih sayang (rahmah). Ia terdiri dari isteri yang patuh dan setia, suami yang jujur dan tulus, ayah yang penuh kasih sayang dan ramah, ibu yang lemah lembut dan berperasaan halus, putra putri yang patuh dan taat serta kerabat yang saling membina silahturahim dan tolong menolong. Hal ini dapat tercapai apabila masing masing anggota keluarga tersebut mengetahui hak dan kewajibannya.2 Membina
keluarga
hingga
mencapai
taraf
kebahagiaan
dan
kesejahteraan yang selalu didambakan oleh setiap pasangan suami isteri sangatlah sulit. Keluarga yang bisa mencapai kebahagian dan kesejahteraan inilah yang disebut dengan keluarga sakinah.
1
Ahmad Tihami dan Sohari Sahrani, Fikih Munakahat (Kajian Fikih Nikah) (Jakarta : Raja Grafindo Persada). h 16. 2 Huzaimah Tahido Yanggo, Massail Fiqhiyah, Kajian Hukum Islam Kontemporer (Bandung : Angkasa, 2005), h 134.
1
2
Kata sakinah itu sendiri menurut bahasa berarti tenang, atau tentram. Dengan demikian, keluarga sakinah berarti keluarga yang tenang atau keluarga yang tentram. Sebuah keluarga bahagia, sejahtera lahir dan batin, hidup
cinta
mencintai
dan
kasih
mengasihi,
dimana
suami
bisa
membahagiakan isteri dan sebaliknya isteri membahagiakan suami. Dan keduanya mampu mendidik anak-anaknya menjadi anak-anak yang shalih dan shalihah. Selain itu keluarga sakinah juga mempu menjalin persaudaraan yang harmonis dengan sanak famili dan hidup rukun dalam bertetangga, bermasyarakat dan bernegara. Itulah wujud keluarga sakinah yang diamanatkan Allah SWT kepada hambanya. Salah satu kunci terjalinnya keluarga sakinah yaitu menjalankan hak dan kewajiban masing-masing. Yang dimaksud dengan hak disini adalah apa saja yang diterima oleh seseorang dari orang lain, sedangkan yang dimaksud dengan kewajiban adalah apa yang mesti dilakukan seseorang terhadap orang lain. Dalam hubungan suami isteri dalam rumah tangga suami mempunyai hak dan begitu pula isteri mempunyai hak. Dibalik itu suami mempunyai beberapa kewajiban dan isteripun juga mempunyai beberapa kewajiban.3 Adanya hak dan kewajiban antara suami dan isteri dalam kehidupan rumah tangga itu dapat dilihat dalam beberapa ayat al-Qur’an dan beberapa hadis Nabi. Contoh dalam al-Qur’an dalam surat al-Baqoroh (2) ayat 228 :
)228 :2/ البقرة)
3
Amir Syarifuddin, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia ( Fiqih Munakahat dan Undang-Undang Perkawinan) (Jakarta : Prenada Media Group, 2009) h 159.
3
Artinya : Bagi isteri ada hak-hak berimbang dengan kewajibankewajibannya secara mak’ruf dan bagi suami setingkat lebih dari isteri. (Qs. Al-Baqarah 228) Adapun kewajiban suami terhadap isterinya dapat dibagi kepada dua bagian. a.
Kewajiban yang bersifat materi yang disebut nafkah
b.
Kewajiban yang tidak bersifat materi Kewajiban suami yang merupakan hak bagi isteri yang tidak bersifat
materi adalah mempergauli isterinya dengan baik. Dan suami harus menjaga ucapan dan perbuatannya jangan sampai merusak atau menyakiti perasaan isterinya.4 Kewajiban Isteri terhadap suaminya yang merupakan hak suami dari isterinya tidak ada yang berbentuk materi secara langsung. Yang ada adalah kewajiban dalam bentuk nonmateri, kewajiban yang bersifat nonmateri itu adalah menggauli secara layak sesuai dengan kodratnya, memberikan rasa tenang dalam rumah tangga untuk suaminya dan memberikan rasa cints dan kasih sayang kepada suaminya dalam batas-batas yang berada dalam kemampuannya, dan taat dan patuh kepada suaminya selama suaminya tidak menyuruhnya untuk melakukan perbuatan maksiat.kewajiban mematuhi suami ini dapat dilihat dari isyarat firman Allah dalam surat an-Nisa ayat 34. Mematuhi suami disini mengandung arti mengukuti apa yang disuruhnya dan menghentikan apa-apa yang dilarangnnya, selama suruhan dan larangannya tidak menyalahi ketentuan agama. Dalam Kompilasi Hukum 4
Amir Syarifuddin, Hukum Perkawinan Islam diIndonesia ( Fikih Munakahat dan Undang-undang Perkawinan) (Jakarta : Prenada Media Group, 2009) h 160.
4
Islam (KHI) disebutkan dalam pasal 79 ayat 1 bahwa suami adalah kepala keluarga dan Isteri Ibu rumah tangga. Hak dan kedudukan isteri seimbang dengan hak dan kedudukan suami dalam kehidupan rumah tangga dan pergaulan hidup bersama dalam masyarakat.5 Dalam pasal 9 ayat 2 menyebutkan bahwa penelantaran juga berlaku bagi setiap orang yang mengakibatkan ketergantungan ekonomi dengan cara membatasi atau melarang bekerja yang layak didalam atau diluar rumah, sehingga korban berada dibawah kendali orang tersebut.6 Berbeda dengan apa yang dicantum dalam Al-quran surat An-nisa ayat 34 : (
)
Artinya : “kaum laki-laki itu adalah pemimpin bagi kaum perempuan, oleh karena Allah telah melebihkan sebahagian mereka (laki-laki) atas sebahagian yang lain (perempuan), dan karena mereka (laki-laki) telah menafkahkan sebagian dari harta mereka. sebab itu Maka perempuan yang saleh, ialah yang taat kepada Allah lagi memelihara diri ketika suaminya tidak ada, oleh karena Allah telah memelihara (mereka) perempuanperempuan yang kamu khawatirkan nusyuznya, Maka nasehatilah mereka dan pisahkanlah mereka di tempat tidur mereka, dan pukullah mereka. kemudian jika mereka mentaatimu, Maka janganlah kamu mencari-cari jalan untuk menyusahkannya. Sesungguhnya Allah Maha Tinggi lagi Maha besar”. Kaum laki-laki adalah pemimpin bagi kaum perempuan, sehubungan dengan daya dan tenaga yang diberikan Allah kepada golongan laki-laki melebihi perempuan, disamping kelebihan kemampuannya untuk memberi 5 6
Kompilasi Hukum Islam (KHI) (Bandung : Fokusindo Mandiri, 2013) .h 36. Undang-undang PKDRT No.23 tahun 2004
5
nafkah dari hartanya. Maka perempuan baik-baik adalah yang ta’at kepada Allah dan mematuhi suaminya, serta memelihara rahasia hubungan intim persuami-isterian sesuai dengan apa yang diperintahkan Allah.7 Kemudian dalam UU No.1 tahun 1974 tentang perkawinan dalam pasal 34 ayat 2: Isteri wajib mengatur urusan rumah tangga sebaik-baiknya. Hal ini sangat berdasar pada Alquran surat An-nisa ayat 34 dan dalam Kompilasi Hukum Islam Bagaimana kaitan kedudukan suami sebagai keluarga dalam Undangundang PKDRT . Berdasarkan uraian tersebut penulis merasa ada pasal dalam UU PKDRT yang tidak sesuai dengan ajaran Islam yakni yang terdapat dalam Alquran. Penulis merasa tergugah untuk mengkaji permasalahan tersebut dalam sebuah skripsi yang akan dilaksanakan dengan judul “Suami Melarang Isteri Bekerja Tinjauan Atas Undang-undang No.23 Tahun 2004 Tentang PKDRT Dari perspektif Hukum Islam. B. Identifikasi Masalah Identifikasi dalam masalah ini adalah : a. Apa saja Hak suami sebagai kepala keluarga menurut hukum Islam ? b. Bagaimana bentuk kekerasan dalam rumah tangga menurut Islam ? c. Apakah perbuatan suami melarang Isteri bekerja diluar rumah termasuk perbuatan KDRT menurut Undang-undang No.23 Tahun 2004 ?
7
Bachtiar Surin, Adz-Zikraa (Terjamaah dan Tafsir Al-Qur’an). (Bandung : Angkasa, 1991) h.340.
6
C. Pembatasan Masalah Dalam Undang-undang No.23 tentang PKDRT pasal 9 ayat 2 disebutkan penelantaraan juga berlaku bagi setiap orang yang mengakibatkan ketergatungan ekonomi, dengan cara membatasi atau melarang bekerja yang dibawah kendali orang tersebut. Dalam undang undang tersebut bertentangan dengan hukum Islam surat An-nisa ayat 34 dan Undang-undang Perkawinan yang didalamnya terdapat pasal yang mengatakan bahwa suami adalah kepala rumah tangga dan Isteri ibu rumah tangga. Untuk mempermudah pembahasan dalam penulisan skripsi ini, penulis membatsai masalah yang akan dibahas sehingga pembahasannya lebih jelas dan terarah sesuai dengan yang diharapkan penulis. Disini penulis hanya akan membahas pasal yang bermasalah dalam Undang-undang KDRT, diantaranya pasal 9 ayat 2 dalam Undang-undang KDRT . D. Rumusan masalah Agar pembahasan tidak terlalu melebar, maka penulis merinci dalam bentuk pertanyaan sebagai berikut : a. Apakah suami melarang Isteri bekerja dapat disebut sebagai bentuk PKDRT menurut Undang-undang No.23 Tahun 2004 ? b. Bagaimana Tinjauan hukum Islam terhadap suami yang melarang Isteri bekerja dikategorikan juga sebagai bentuk KDRT ?
7
E. Tujuan dan Manfaat penelitian 1. Tujuan penelitian Adapun tujuan dari penulisan yang dilakukan adalah untuk : a. Untuk mengetahui apakah perbuatan suami melarang Isteri bekerja disebut sebagai perbuatan PKDRT menurut Undang-undang No.23 tahun 2004. b. Untuk mengetahui tinjauan Hukum Islam terhadap suami yang melarang Isteri bekerja dikategorikan sebagai bentuk kekeradan Dalam Rumah Tangga 2.
Manfaat penelitian Adapun manfaat yang dapat diambil dari penelitian ini diantaranya adalah sebagai berikut : a. Menambah pengetahuan dan wawasan mengenai suami melarang Isteri bekerja bisa disebut KDRT dalam Undang-undang PKDRT b. Memberikan pengetahuan yang jelas Tentang tinjauan hukum Islam meneganai pelarangan Isteri bekerja dikategorikan sebagai bentuk kekerasan KDRT c. Hasil penelitian ini agar dapat dijadikan sebagai acuan untuk penelitian selanjutnya.
8
3.
Metodologi Penelitian Dalam penulisan skripsi ini, ada beberapa aspek metode penelitian yang akan digunakan yaitu : Pendekatan Penelitian
a.
Pendekatan yang digunakan pada penelitian ini adalah pedekatan yuridis normatif,
artinya permasalahan yang ada diteliti
berdasarkan peraturan perundang-undangan yang ada dan literaturliteratur yang ada kaitannya.8 Dengan pendekatan ini dilakukan pengkajian perundang-undangan yang berhubungan dengan tema sentran penelitian ini.9 b. Jenis Penelitian Jenis penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah penelitian kualitatif yakni proses penelitian yang difokuskan untuk menghasilkan data deskriptif berupa kata-kata tertulis maupun lisan dari orang-orang yang dijadikan sumber informasi dan perilaku yang diamati10, untuk penganalisaan data secara non-statistik. c.
Sumber data dan Kriteria Data Penelitian
1. Bahan hukum Primer yaitu: bahan-bahan hukum yang mengikat dalam buku ini adalah Undang-Undang No.23 tahun 2004 tentang PKDRT dan Hukum Islam.
8
Roni Hanitijo soemitro, Metodelogi Penelitian Hukum dan Jarimetri Jakarta : Ghalia Indonesia,1990),h 11. 9 Johnmy Ibrahim, Teori dan Metodelogi Penelitian Hukum Normatif (Jakarta : banyumedia,2008) h. 292 dan 302 10 Nurul Zuhriah, Metode Penelitian Sosial dan Pendidikan Teori-Aplikasi,( Jakarta : PT Bumi Aksara, 2007), h 92.
9
2. Sumber Sekunder yaitu : berupa buku-buku, makalah, seminar, jurnal-jurnal, laporan penilitian, artikel, majalah, situs, testimony, koran maupun blog. 3. Bahan hukum tersier yaitu : bahan yang memberi petunjuk atau penjelasan terhadap bahan hukum primer dan juga sekunder.
11
hukum penelitian ini meliputi Kamus Hukum dan Kamu Besar Bahasa Indonesia d. Teknik Pengumpulan Data Setelah memperoleh data-data dari berbgai sumber, maka penulis akan mengolah data dengan menggunakan teknik studi kepustakaan (library research) yaitu pengidentifikasian secara sistematis dan melakukan analisis terhadap dokumen-dokumen yang memuat informasi yang berkaitan dengan tema, objek, dan masalah penelitian yang akan dilakukan.12 e. Metode Analisis Data Tahap terakhir dalam sebuah penelitian setelah data dikumpulkan adalah analisis data. Tahapan tersebut dilakukan dengan menganalisis data yang telah terkumpul memilih pasal-pasal yang berisi kaidah-kaidah hukum yang mengatur masalah dalam kekedudukan suami menurut Undang-undang PKDRT, dengan tujuan memperoleh suatu kesimpulan dalam penelitian.
11
Johnmy Ibrahim, Teori dan Metodelogi Penelitian Hukum Normatif ( jakarta : banyumedia,2008) hl. 295 dan 296 12 Fahmi muhammad Ahmadi dan Jaenal Aripin, Metode Penelitian Hukum, Lembaga Penelitian.(Jakarta, 2010 ) h 17.
10
Sedangkan kesimpulan ditarik dari metode induktif, yaitu dengan menghimpun data dari konsep-konsep Al-qur’an dan Hadist, serta ditunjang dalam perundang-undangan yang telah diberlakukan. F. Review Studi Terdahulu Dari beberapa literatur skripsi yang berada di perpustakaan Fakultas Syari’ah dan Hukum Syarif Hidayatullah Jakarta. Penulis mengambillnya untuk dijadikan sebuah perbandingan dengan skripsi yang akan ditulis diantaranya : No
Nama Penulis/judul/Tahun
Substansi
Pembeda
1.
M.Zainuddin, Judul : pandangan
Hasil penelitian berupa
Disini penulis
Hukum Islam Terhadap Undang-
skripsi yang membahas
akan Membahas
tentang problematika
tentang suami
tentang penghapusan Kekerasan
kekerasan dalam
melarang isteri
Dalam Rumah Tangga, Fakultas
hubungan seksual
bekerja ditinjau
Syariah dan Hukum- Kepidanaan
“pasutri” dalam
dari Undang-
Islam UIN Syarif Hidayatullah
konteks UU.No23
undang No.23
Jakarta, 2008
tahun 2004 tentang
tahun 2004
penghapusan kekerasan
tentang PKDRT
dalam Rumah Tangga
dari perspektif
memnurut perspektif
hukum Islam dan
Hukum Islam
kedudukan suami
undang
No.23
Tahun
2004
sebagai kepala keluarga menurut
11
Islam dan Undang-undang PKDRT 2.
Hanafiah
Ahmad,
Judul
:
Hasil penelitian berupa
Disini penulis
skripsi ini membahas
akan Membahas
Perbandingan
tentang relevansi
tentang suami
Dengan Undang-undang No.23
penanganan Isteri
melarang isteri
Tahun
Nuzyuz Perspektif
bekerja ditinjau
Undang-undang No.23
dari Undang-
tahun 2004 tentang
Undang No.23
Fakultas Syariah dan Hukum UIN
Penghapusan
tahun 2004
Syarif Hidayatullah Jakarta, 2010
Kekerasan Dalam
tentang PKDRT
Rumah Tangga
dari perspektif
(PKDRT) dengan
hukum Islam dan
pandangan Hukum
kedudukan suami
Islam
sebagai kepala
Penanganan Isteri Nusyuz dalam Hukum
Islam
2004
Tentang
Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah
Tangga
(PKDRT),
keluarga menurut Islam dan Undang-undang PKDRT 3.
Judul : Relevansi Undang-undang No.23
tahun
2004
Tentang
penghapusan Kekerasan Dalam
Hasil penelitian berupa
Disini penulis
Relevansi UU No. 23
akan Membahas
Tahun 2004
tentang suami
12
Rumah Tangga sebagai payung
tentangPenghapusan
melarang isteri
Kekerasan Dalam
bekerja ditinjau
dengan Pandangan Hukum Islam
Rumah tangga
dari Undang-
Tentang Ta’dib. Fakultas Syariah
(PKDRT) sebagai
undang No.23
payung hukum perkara
tahun 2004
perceraian akibat
tentang PKDRT
pelanggaran pasal 116
dari perspektif
KHI dengan hukum
hukum Islam dan
Islam tentang
kedudukan suami
pemberian pelajaran
sebagai kepala
terhadap Isteri Ta’dib
keluarga menurut
Hukum
dan
perkara
Hukum
perceraian
UIN
Hidayatullah Jakarta, 2011
Syarif
Islam dan Undang-undang PKDRT
G. Sistematika Penulisan Agar dalam penulisan skripsi ini menjadi terarah dan
tidak
mengambang, penulis membuat sistematika penulisan yang disusun perbab. Dalam penelitian skripsi ini terdiri dari lima Bab, dan setiap bab memiliki subbab yang menjadi penjelasan dari masing-masing bab tersebut. Skripsi ini diakhiri dengan daftar pustaka yang menjadi rujukan penulis dan penulisan skripsi ini dan lampiran-lampiran. Adapun sistematika penulisan tersebut ialah sebagai berikut :
13
Pendahuluan,Mengenai uraian masalah tekhnis penulisan yakni :
BAB I,
Latar Belakang, Identifikasi Masalah, Pembatasan dan Perumusan Masalah, Tujuan dan Manfaat penelitian, Metode penelitian, Riview Studi Terdahulu, Sistematika Penulisan. BAB II, Pengertian Kekerasan, Kekerasan Dalam Rumah Tangga Menurut Pandangan Islam, Kekerasaan Dalam Rumah Tangga Menurut UU.No.23 tahun
2004
Tentang
PKDRT,
Bentuk-bentuk
Kekerasan
Terhadap
Perempuan, Sanksi-sanksi Kekerasan Terhadap Perempuan. BAB III, Hak dan Kewajiban Suami Isteri Dalam Hukum Islam, Hak dan Kewajiban Suami, Hak dan Kewajiban Isteri BAB IV, Larangan Suami Terhadap Istri Yang Bekerja Menurut UndangUndang No.23 Tahun 2004, Pandangan Hukum Islam Terhadap Isteri Yang Bekerja. BAB V, Penutup, berisi kesimpulan dan Saran
BAB II KDRT Menurut Undang-Undang N0.23 Tahun 2004
A. Pengertian Kekerasan Dalam Rumah Tannga Kekerasan secara terminologis dapat diartikan sebagai perihal yang bersifat (berciri) keras atau perbuatan seseorang atau kelompok orang yang menyebabkan cidera atau matinya seseorang1. Kekerasan adalah bertindak dengan menggunakan cara-cara yang tidak patut dan menggunakan kekuatan fisik yang melanggar hukum yang melukai diri sendiri, orang lain dan lingkungannya.2 Dalam Kamus hukum istilah geweldpleding yang berasal dari kata geweld yang berarti paksaan atau ancaman dengan kekerasan sedangkan geweldpleding bermakna perbuatan dengan kekerasan terhadap diri seseorag atau barang.3 Makhluk Tuhan yang berjenis kelamin perempuan bisa dikatakan rentan terhadap semua bentuk kekerasan, karena posisinya yang lemah (atau dengan sengaja dilemahkan), baik secara sosial, ekonomi, maupun politik.
1
Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa Indonesia, Kamus Besar Bahasa Indonesia (Balai Pustaka : Jakarta,1994), h. 485 2 Abdurahman Wahid dkk, Islam Tanpa Kekerasan, (Yogyakarta: LkiS, 1987) h. 141 3 Simorangkir, dkk, Kamus Hukum (Jakarta : Aksara Baru, 1987) h. 56
14
15
Mula-mula pengertian kekerasan dapat kita jumpai pada pasal 89 Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) yang berbunyi : “ membuat orang pingsan atau tidak berdaya disamakan dengan menggunakan kekerasan. Dari pengertian kekerasan tersebut, beberapa pakar mengungkapkan arti kekerasan. Menurut Dra.Mufidah ch., kekerasan adalah suatu tindakan yang dilakukan oleh seseorang atau sejumlah orang yang berposisi kuat terhadap orang atau sejumlah orang yang berposisi lemah. Berdasarkan kekuatannya baik fisik maupun nonfisik superior dengan kesengajaan untuk menimbulkan rasa derita di pihak yang tengah menjadi objek kekerasan.4 Kekerasan terhadap sesama manusia pada dasarnya berasal dari berbagai sumber, namun salah satu kekerasan terhadap satu jenis kelamin tertentu disebabkan oleh anggapan gender. Kekerasan yang disebabkan oleh bias gender ini disebut gender-related-violence. Di Indonesia, sebelumnya dikenal dengan istilah emansipasi perempuan, yang konotasinya mirip dengan istilah gender, yaitu perjuangan menuntut persamaan hak-hak kaum perempuan dengan kaum pria dalam kehidupan bermasyarakat.5 Bentuk kejahatan bisa dikategorikan sebagai kekerasan gender diantaranya, tindakan pemukulan dan serangan fisik yang terjadi di dalam lingkup rumah tangga.6. Pandangan ketidaksetaraan gender ternyata bisa menimbulkan subordinasi terhadap perempuan. Anggapan bahwa perempuan itu irrasional
4
Mufidah ch, Paradigma Gender, cet II, (Malang : IB Bayu Media, 2004), h. 146 Hasbi Indra, Potret Perempuan Shalehah, (Penamadani : Jakarta, 2005 ) h. 238 6 Moerti Hadiati Soeroso, Kekerasan dalam Rumah Tangga dalam Perspektif Yuridis Viktimologis, (Sinar Grafika : Jakarta, 2011) h. 18 5
16
atau emosional, sehingga perempuan tidak bisa tampil memimpin, berakibat munculnya sikap yang menempatkan perempuan pada posisi yang tidak penting. Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT) menjadi isu penting dalam beberapa dekade terakhir ini, dilatarbelakangi oleh semakin meningkatnya kasus KDRT di dunia dan buruknya efek yang ditimbulkan terhadap perempuan dan anak-anak. KDRT adalah suatu bentuk pelanggaran hak-hak asasi manusia dan kejahatan terhadap kemanusiaan, juga merupakan tindakan diskriminasi setiap individu yang mempumyai hak asasi. Menurut pasal 1 ayat 1 UU No. 39 Tahun 1999 yang dimaksud dengan hak asasi manusia adalah seperangkat hak yang melekat pada hakikat dan keberadaan manusia sebagai makhluk Tuhan Yang Maha Esa dan merupakan anugerah-Nya yang wajib dihormati, dijunjung tinggi dan dilindungi oleh negara, hukum dan pemerintah, dan setiap orang demi kehormatan serta perlindungan harkat dan martabat manusia.7 Sebagai sebuah negara yang menjadikan hukum sebagai panglima, negara wajib melindungi setiap warga negaranya dari segala bentuk kekerasan dan pelanggaran hak-haknya, seperti yang diamanatkan pasal 28 Undang-undang Dasar Negara Kesatuan Republik Indonesia tahun 1945 beserta perubahannya dalam pasal 28G (1) UUD 1945 menyatakan ‘’bahwa setiap orang berhak atas perlindungan diri pribadi, keluarga, kehormatanm,
7
Zainudin Ali, Sosiologi Hukum. (Jakarta : Sinar Grafika 2006), h. 90.
17
martabat dan harta benda yang dibawah kekuasannya serta berhak atas rasa aman dan perlindungan dari rasa ancaman ketakutan untuk berbuat atau tidak berbuat sesuatu yang merupakan hak asasi.’’ Pasal 28H (2) UUD 1945 menyatakan ‘’ setiap orang berhak mendapatkan kemudahan dan perlakuan khusus untuk memperoleh kesempatan dan manfaat yang sama guna mencapai persamaan dan keadilan’’. Selain menjadi tanggung jawab negara, hal tersebut juga menjadi kewajiban masyarakat untuk mencegah terjadinya tindak kekerasan dalam rumah tangga. Hak laki-laki dan hak prempuan sebagai manusia tentunya sama, begitu dengan kewajiban yang harus diembannya masing-masing. Setiap manusia baik laki-laki dan perempuan pada akhirnya memperoleh imbalan yang sesuai dengan perbuatannya masing-masing. Maka, laki-laki dan perempuan memiliki hak-hak asasi yang sama, begitupun dengan kewajibannya.8 Artinya KDRT tidak dapat ditolelir dan di abaikan begitu saja, kasus ini perlu diselesaikan pertama, melalui kekuatan Undang-undang, kedua, pendekatan hukum, ketiga, pendekatan ekonomi dan keempat, pendekatan disiplin Ilmu.9 Kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) adalah pola pemaksaan kehendak atas seseorang terhadap pasangannya dengan menggunakan serangan dan ancaman termasuk penyiksaan secara fisik, mental/emosional, seksual, dan juga penguasaan secara ekonomis. Kekerasan terhadap 8
Kusmana, HAM Menurut Al-qur’an dan Hadist , ( Jakarta : PBB UIN,2003), h 8.
18
perempuan adalah setiap perbuatan berdasarkan pembedaan kelamin yang berakibat kesengsaraan dan penderitaan perempuan secara fisik, seksual, atau psikologis, termasuk ancaman tindakan tertentu, pemaksaan dan perampasan kemerdekaan secara sewenang-wenang baik yang terjadi di depan umum maupun dalam kehidupan pribadi.10 Dampak KDRT secara fisik dapat menyebabkan kecacatan yang tetap dan juga kematian yang berdampak pada psikologis dan sosial dari istri.11 Disahkannya Undang-undang Nomer 23 tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga merupakan moment sejarah bagi bangsa Indonesia, khususnya bagi kaum perempuan dan kelompok masyarakat lainnya yang memiliki kepedulian terhadap masalah kekerasan terhadap perempuan. Menurut Undang-undang Republik Indonesia No. 23 Tahun 2004, Pasal 1 ayat 1, yang dimaksud dengan Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT) adalah setiap perbuatan terhadap seseorang, terutama perempuan, yang berakibat timbulnya kesengsaraan atau penderitaan secara fisik, seksual dan psikologis, dan penelantaran rumah tangga termasuk ancaman untuk melakukan perbuatan, pemaksaan atau perampasan kemerdekaan secara melawan hukum dalam lingkup rumah tangga.12
10
Zaitunah Subhan, Mengagas Fiqih Pemberdayaan Perempuan. (Jakarta : El-kahfi, 2008 ), h. 341 11 Dewi, Nisa Risa, ‘’Kekerasan dalam rumah’’, jurnal diakses pada tanggal 1 Maret 2016 dari http://eprints.unsri.ac.id/1301/ 12 Kumpiady widen, Gender, Kemiskinan (Kdrt). (Jakarta: Mihdada Rahma Press,2011), h. 13
19
Lingkup rumah tangga dalam undang-undang ini meliputi suami, isteri dan anak. Orang-orang yang mempunyai hubungan keluarga dengan orang karena hubungan darah, perkawinan, persusuan, pengasuhan dan perwalian yang menetap dalam rumah tangga tersebut. Orang yang bekerja dipandang sebagai anggota keluarga dalam jangka waktu selama berada dalam rumah tangga yang bersangkutan. Dalam pasal 9 ayat 2 PKDRT menjelaskan tentang kekerasan dalam penelantaran Rumah tangga bagi orang yang mengakibatkan ketergantungan ekonomi dengan cara membatasi dan/atau melarang untuk bekerja yang layak didalam atau diluar rumah sehingga korban berada dibawah kendali orang tersebut. Dari penjelasan Undang-undang di atas dapat dipahami bahwa tindakan seseorang baru dapat diklasifikasikan sebagai kekerasan dalam rumah tangga jika tindakan tersebut menimbulkan kesengsaraan, penderitaan, baik secara fisik, seksual, psikologis, maupun ekonomi, serta dilakukan oleh seseorang terhadap orang lain dalam lingkup rumah tangga. Di Indonesia, secara legal formal ketentuan UU PKDRT diberlakukan sejak tahun 2004, misi Undang-undang ini adalah
sebagai upaya, bagi
penghapusan KDRT. Dengan adanya ketentuan ini, berarti negara bisa berupaya mencegah terjadinya kekerasan dalam rumah tangga, dan melindungi korban akibat KDRT. Penghapusan Kekerasan dalam rumah tangga adalah jaminan yang diberikan oleh negara untuk mencegah terjadinya kekerasan dalam rumah
20
tangga. Menindak pelaku kekerasan dalam rumah tangga, dan melindungi korban kekerasan dalam rumah tangga.13 Persoalan kekerasan terhadap perempuan dan KDRT adalah permasalahan Gender. Gender secara etimologi berarti jenis kelamin. Gender adalah hasil konstruksi sosial-budaya yang membedakan peran prempuan dan laki-laki baik dalam keluarga maupun dalam dalam masyarakat. Perbedaan posisi prempuan dan laki-laki akibat konsep gender tersebut, ternyata menciptakan ketidakadilan dalam bentuk subordinasi, dominasi, diskriminasi yang merupakan sumber atau akar utama munculnya tindakan kekerasan terhadap Perempuan.14 Kekerasan terhadap perempuan adalah setiap perbuatan berdasarkan perbedaan jenis kelamin yang mengakibatkan kesengsaraan dan penderitaan perempuan secara fisik, seksual, dan psikologis. Termasuk ancaman tindakan tertentu, pemaksaan atau perampasan kemerdekaan secara sewenang-wenang, baik dalam kehidupan publik maupun kehidupan pribadi. Kekerasan terhadap perempuan adalah setiap tindakan yang melanggar. Menghambat, meniadakan kenikmatan, dan pengabdian hak asasi perempuan atas dasar gender. Tindakan tersebut mengakibatkan kerugian dan penderitaan terhadap perempuan dalam hidupnya baik secara fisik, psikis, maupun seksual. Termasuk didalamnya ancaman, paksaan, atau perampasan
13
Nursyahid HN 5 ( lima ) Undang-Undang Republik Indonesia ,(Jakarta : Panca Usaha,2007), h. 32-33. 14 Kumpiady Widen, Gender, Kemiskinan (Kdrt).h.16
21
kemerdekaan secara sewenang-wenang, baik dalam kehidupan individu, berkeluarga, bermasyarakat, maupun bernegara.15 Beberapa faktor mendukung dan memungkinkan terjadinya kekerasan terhadap perempuan dalam bentuk prostitusi dan perdagangan perempuan antara lain : 1. Tidak adanya pilihan lain akibat kemiskinan dan pengangguran 2. Lemahnya posisi perempuan akibat kultur dan struktur budaya patriarki; 3. Lemahnya komitmen dan kebijakan negara untuk mencegah dan menanggulangi kekerasan terhadap perempuan, termasuk perdagangan dan prostitusi 4. Banyaknya praktik kolusi antara jaringan pelaku dengan aparat negara, termasuk aparat keamanan. Dalam Fikih, Islam menetang kekerasan dalam rumah tangga yang dilakukan suami kepada istrinya. Baik kekerasan fisik, psikis, sesksual maupun ekonomi (penelataran rumah tangga). hal ini didukung oleh Maqasid al-shariah, khususnya hfz al-nafs ( anti kekerasan fisik dan psikis ), hifz alnasl (anti kekerasan seksual), hifz al-mal (anti kekerasan ekonomi ). Namun demikian, terdapat perbedaan prinsipil antara fikih Islam dengan Undangundang RI Nomor 23 Tahun 2004. Pertama, istilah Kekerasan Dalam Rumah Tangga ( KDRT) dari Undang-undang No.23 Tahun 2004, tidak dikenal dalam hukum Islam. Hukum Islam hanya mengenal istilah tindak pidana ( jarimah), dalam kaitan ini kekerasan dalam rumah tangga termasuk jarimah 15
Zaitunah Subhan, Kekerasan Terhadap Perempuan. (Sewon Bantul : Pustaka Pesantren, 2004), h.11.
22
ta’zir. Kedua, konsep marital rape dalam Undang-undang Nomor 23 Tahun 2004 hanya diterima hukum Islam jika berkaitan dengan hubungan seksual yang dipaksakan suami pada isteri haid, nifas, atau memaksakan anal seks, terutama istri dijual paksa sebagai pelacur untuk kepentingan suami sebagai kekerasan seksual. Ketiga, pukulan suami untuk mendidik isteri yang nuzyuz menurut Fikih Islam bukanlah kekerasan fisik seperti yang dianut dalam Undang-undang No.23 Tahun 2004, Fikih Islam mengklasifikasikan pukulan suami sebagai kekerasakan fisik, jika mengarah kepada penganiayaan kepada isteri yang nuzyus, atau memukul isteri yang tidak nuzyus. Keempat, Fikih Islam membolehkan isteri mengambil nafkah sendiri dari harta suami tanpa sepengetahuan suaminya, sedangkan Undang-undang RI No.23 Tahun 2004 tidak mengatur ketentuan itu. Kelima. Kekerasan dalam rumah tangga pada Undang-undang RI. No 23 Tahun 2004 didasarkan kepada empat asas yaitu : Penghormatan hak asasi manusia, Keadilan dan kesetaraan gender Nondiskriminasi dan Perlindungan korban. Sedangkan hukum Islam menyoroti kekerasan dalam rumah tangga tanpa berdasarkan wahyu yang bertumpu pada maqasid al-shari’ah terutama hifz al-nafs, hifz al-nasl, hifz almal.16 Faktor utama kekerasan yang dominan pada kaum perempuan adanya ketidakadilan gender yang menuntut hak dan kesetaraan peran kaum pria. Dalam hal ini, feminis Muslim mengajukan konsep kesetaraan sebagai jawaban terhadap problem ketidaksetaraan gender tersebut. Asghar, salah satu
16
La Jamaa, ‘’Kekerasan Dalam Rumah Tangga,’’ Ahkam XII, (2013) : h.76.
23
diantaranya, mengajukan konsep kesetaraan antara laki-laki dan perempuan dalam Al-Qur’an yang menurutnya mengisyaratkan dua hal : pertama, pengertian yang umum, harus ada penerimaan martabat kedua jenis kelamin dalam ukuran yang setara. Kedua, orang harus mengetahui bahwa laki-laki dan perempuan mempunyai hak-hak yang setara dalam bidang sosial, ekonomi, dan politik, seperti kesetaraan hak untuk memiliki atau mengatur harta miliknya, tanpa campur tangan pihak lain, kesetaraan hak untuk memilih atau menjalani cara hidup, dan kesetaraan hak dalam tanggung jawab dan kebeasan.17 a) Macam-Macam KDRT Seperti yang telah dipaparkan di atas, secara umum kekerasan terhadap prempuan diklasifikasikan dalam dua bentuk, yaitu : kekerasan fisik dan kekerasan psikologis. Seseorang perempuan bisa mengalami kekerasan fisik atau psikologis atau bisa juga mengalami kedua bentuk kekerasan ini secara bersama. Pengertian klasifikasi tersebut yaitu : pertama kekerasan fisik, adalah segala perbuatan yang menyebabkan rasa sakit, cidera, luka atau cacat pada tubuh atau anggota badan, dan atau menyebabkan kematian, baik dilakukan dengan menggunakan alat atau tanpa alat. Biasanya perilaku ini bertujuan untuk mengotrol, memperlemah, bahkan menyakiti pihak lain. Kedua, kekerasan
17
psikologis
adalah
setiap
perbuatan
atau
ucapan
yang
Asghar Ali Engineer, Hak-hak Perempuan dalam Islam, (Yogyakarta : Yasayasan Bintang Budaya, 1994), h.57.
24
mengakibatkan ketakutan atau hilangnya rasa percaya diri, hilangnya kemampuan untuk bertindak dan perasaan tidak berdaya pada korban.18 Meski tindakan kekerasan baik bentuk fisik maupun nonfisik, keduanya menyebabkan implikasi yang serius bagi kesehatan fisik dan mental seseorang. Demikian juga kekerasan bukanlah salah satu fenomena kriminal semata, melainkan terkait dengan persoalan hukum, etika-moral, kesehatan, serta sosial budaya, politik, dan latar belakang seseorang.19 Bentuk-bentuk Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT) terhadap prempuan yang tertuang dalam Deklarasi penghapusan terhadap prempuan (Declaration on the Elimination of Violence Againts Women ) yang diadopsi Majelis PBB tahun 1993 pada pasal 2 adalah tindakan kekerasan secara fisik,seksual, dan psikologis yang terjadi dalam keluarga, termasuk pemukulan penyalahgunaan seksual atas anak-anak prempuan dalam rumah tangga, kekerasan yang berhubungan dengan maskawin (mahar), perkosaan dalam perkawinan, perusakan alat kelamin perempuan, dan praktik-praktik kekejaman tradisional lain terhadap perempuan diluar hubungan suami-istri, serta kekerasan yang berhubungan dengan eksploitasi. 20 Dari berbagai kasus yang pernah terjadi di Indonesia, bentuk bentuk KDRT dapat dikelompokan menjadi berikut ini.21
18
Faishol Adib dan Farid Muttaqin, Panduan Untuk Pendamping Perempuan Korban Kekerasan Berbasis Pesantren, (Jakarta : Puan Amal Hayati, 2005 ) h. 12-13 19 Zaitunah Subhan, Kekerasan Terhadap Perempuan, h.13. 20 Fathul Djannah dkk, Kekerasan Terhadap Istri,cet II (Yogyakarta : LkiS,2007), h.12 21 Moerti Hadiati Soeroso, Kekerasan dalam Rumah Tangga dalam Perspektif Yuridis-Viktimologis, ( Jakarta : Sinar Grafika, 2011) h. 80
25
1.
Kekerasan Fisik a. Pembunuhan : 1. Suami terhadap istri atau sebaliknya; 2. Ayah terhadap anak atau sebaliknya; 3. Ibu terhadap anak atau sebaliknya ( termasuk pembunuhan bayi oleh ibu) 4. Adik terhadap kakak, kemenakan, ipar, atau sebaliknya; 5. Anggota keluarga terhadap pembantu b. Penganiayaan : 1. Suami terhadap istri atau sebaliknya; 2. Ayah terhadap anak atau sebaliknya; 3. Ibu terhadap anak atau sebaliknya ( termasuk pembunuhan bayi oleh ibu); 4. Adik terhadap kakak, kemenakan, ipar, atau sebaliknya; 5. Anggota keluarga terhadap pembantu c. Kekerasan perkosaan 1. Ayah terhadap anak perempuan; ayah kandung atau ayah tiri dan anak kandung maupun anak tiri; 2. Suami terhadap adik/kakak ipar; 3. Kakak ipar terhadap adik; 4. Suami / anggota keluarga laki-laki terhadap pembantu rumah tangga;
2.
Kekerasan Nonfisik/psikis/Emosional, seperti : a. Penghinaan
26
b. Komentar-komentar yang dimaksudkan untuk merendahkan dan melukai harga diri pihak istri; c. Melarang istri bergaul d. Ancaman-ancaman berupa akan mengembalikan istri ke orang tua; e. Akan menceraikan f. Memisahkan istri dari anak-anaknya. 3.
Kekerasan Seksual a. Mengisolasi istri dari kebutuhan batinya b. Pemaksaan hubungan seksual dengan pola yang tidak dikehendaki atau disetujui oleh istri; c. Pemaksaan hubungan seksual ketika istri tidak menghendaki, istri sedang sakit atau sedang menstruasi d. Memaksa istri menjadi pelacur dan sebagainya.
4.
Kekerasan Ekonomi a. Tidak memberi nafkah pada istri; b. Memanfaatkan ketergantungan istri secara ekonomis untuk mengontrol kehidupan istri; c. Membiarkan istri bekerja untuk kemudia penghasilannya dikuasai oleh suami. Bentuk bentuk Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT) terhadap perempuan menurut Undang-undang No.23 tahun 2004 tentang PKDRT: a.
Kekerasan Fisik yaitu, perbuatan yang mengakibatkan rasa sakit, jatuh sakit, atau luka berat. Misalnya perbuatan memukul, mnempeleng,
27
meninju, menampar, menendang, mendorong, melempar sesuatu, menjambak rambut, mencekik, dan penggunaan senjata tajam. b.
Kekerasan Psikis yaitu, perbuatan yang bersifat verbal yang mengakibatkan ketakutan, hilangnya rasa percaya diri, hilangnya kemampuan untuk bertindak, rasa tidak berdaya, dan penderitaan psikis berat pada seseorang. Misalnya mengejek, mencela, menghina, memaki dengan
kata-kata kotor, mengancam akan menyiksa,
membawa
anak-anak,
pergi
dan
akan
membunuh,
melarang
berhubungan dengan keluarga atau dengan kawan dekat, atau melakukan intimidasi bahkan isolasi. c.
Kekerasan Seksual yaitu, pemaksaan hubungan seksual yang dilakukan terhadap orang, yang menetap dalam lingkup rumah tangga, dan pemaksaan hubungan seksual terhadap salah seorang dalam lingkup rumah tangganya dengan orang lain untuk tujuan komersial atau tujuan tertentu, misalnya pemerkosaan.
d.
Kekerasan Penelantaran Rumah Tangga yaitu, (kekerasan ekonomi , yaitu perbuatan menelantarkan orang dalam lingkup rumah tangganya, padahal menurut hukum yang berlaku baginya atau karena persetujuan atau perjanjian ia wajib memberikan kehidupan, perawatan, atau peemeliharaan kepada orang tersebut. Misalnya : membatasi pemberian nafkah, tidak merawat anak-anak, meningalkan rumah tangga
dengan
tidak
bertanggungjawab,memaksa
mengemis, memaksa anak atau istri melakukan prostitusi.
anak-anak
28
b)
Faktor Penyebab Kekerasan dalam Rumah Tangga Perilaku menyimpang dapat dikategorikan dalam bentuk kejahatan. Untuk mengetahui faktor pendorong atau penyebab seseorang melakukan kejahatan, kita tinjau hal-hal yang terdapat dalam hal krimonologi. Menurut Sutherland dan Cressey, Kriminologi adalah himpunan pengetahuan mengenai kejahatan sebagai gejala masyarakat. Yang termask dalam ruang lingkupnya adalah proses pembuatan perundang-undangan dan reaksi-reaksi terhadap pelanggaran tersebut.22 Peningkatan jumlah kasus kekerasan terhadap perempuan dalam rumah tangga itu diantaranya dilatarbelakangi oleh berbagai faktor, mulai dari faktor internal dan faktor eksternal. Secara internal, KDRT dapat terjadi sebagai akibat dari semakin lemahnya kemampuan adaptasi setiap anggota keluarga diantara sesamanya, sehingga setiap anggota keluarga yang memiliki kekuasaan dan kekuatan cenderung bertindak deterministik dan eksploitatif terhadap anggota keluarga yang lemah. Secara eksternal, KDRT muncul sebagai akibat dari intervensi lingkungan diluar keluarga yang secara langsung atau tidak langsung mempengaruhi sikap anggota keluarga, terutama orangtua atau kepala keluarga, yang terwujud dalam perlakuan eksploitatif terhadap anggota keluarga yang sering kali ditampakkan dalam pemberian hukuman fisik dan psikis yang traumatik baik kepada anaknya, maupun pasangannya. 22
Moerti Hadiati Soeroso, Kekerasan Dalam Rumah Tangga dalam Perspektif Yuridis-Viktimologis. 2011(, jakarta : Sinar Grafika) hlm : 74
29
Menurut Farha Ciecik mengidentifikasi faktor penyebab KDRT ini sebagai berikut: pertama, adanya ketimpangan relasi antara laki-laki dan perempuan baik dirumah tangga maupun dilingkungan publik. Kedua, ketergantungan istri terhadap suami secara penuh, terutama untuk masalah ekonomi, yang menjadikan istri berada dibawah kendali suami. Ketiga, sikap kebanyakan masyarakat terhadap KDRT yang cenderung abai dan mengangapnya sebagai persoalan internal sebuah keluarga. Keempat, pemahaman yang keliru terhadap ajaran agama. 23 Konsep-konsep agama cenderung disalahartikan oleh pihak-pihak tertentu untuk melakukan kekerasan. Misalnya konsep nuzyu, seringkali digunakan sebagai dasar kewenangan suami melakukan pemukulan terhadap istri. Kemudian konsep kepemimpinan laki-laki dalam rumah tangga yang seringkali dimaknai sebagai ketundukan istri terhadap kehendak suami dan sebagai pembenar adanya dominasi suami dalam rumah tangga. Adapun faktor lain yang memicu terjadinya KDRT adalah adanyan budaya patriarki yang masih kuat sehingga laki-laki dianggap paling dominan baik didalam keluarga maupun lingkungan sekitar, himpitan ekonomi keluarga, himpitan masalah kota besar yang mendorong stress, kondisi lingkungan dan pekerjaan yang berat mendorong tingginya tempramental orang.
23
Farha Ciciek, Ikhtiar Mengatasi Kekerasan dalam Rumah Tangga; Belajar dari Kehidupan Rasulullah Saw. (Jakarta: Lembaga Kajian Agama dan Gender, 1999),h.25-27
30
Menurut zastrow dan Browker pada tahun 1984 menyatakan bahwa ada tiga teori utama yang mampu menjelaskan terjadinya kekerasan, yaitu teori biologis, teori frustasi agresi, dan teori kontrol.24 Ada beberapa faktor yang sering dipandang sebagai pemicu KDRT, yaitu25 : a) Problem atau pertengkaran masalah keuangan seringkali dapat menjadi pemicu timbulnya perselisihan di antara suami istri. Gaji yang tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan rumah tangga setiap bulan, sering menimbulkan pertengkaran, apalagi kalau pencari
nafkah
pertengkaran
yang
timbul
utama ketika
adalah suami
suami. kehilangan
Dapat
juga
pekerjaan.
Ditambah lagi adanya tuntutan biaya hidup yang tinggi, memicu pertengkaran
yang
seringkali
berakibat
terjadinya
tindak
kekerasan. b) Cemburu karena isteri bekerja dan memiliki penghasilan dan kedudukan yang lebih tinggi daripada suaminya. c) Problem atau kelainan seksual seperti impotensi, hiperseks, frigid dan sadisme seksual d) Pengaruh miras, narkoba dan perjudian dan hutang e) Pertengkaran tentang anak ketidakserasian cara pandang terhadap pendidikan anak. 24
Rohmat Wahab, Kekerasan dalam Rumah Tangga Perspektif Psikologis dan Edukatif. artikel diakses pada tanggal 4 Maret 2016 dari http ://staff.uny.ac.id 25 Fathul Djannah dkk, Kekerasan Terhadap Istri. cet II(Yogyakarta : Lkis, 2007) h.17
31
c) Sanksi Bagi Pelaku KDRT Sanksi bagi pelaku KDRT menurut undang-undang Nomor 23 tahun 2004 tentang PKDRT terdapat dalam Bab VIII ketentuan pidana pasal 44 yang berbunyi : 1) Setiap orang yang melakukan perbuatan kekerasan fisik dalam lingkup rumah tangga sebagaimana dimaksud dalam pasal 5 ( lima) tahun atau denda paling banyak Rp.15000.000,00 ( lima belas juta rupiah). 2) Dalam hal perbuatan sebagaiman dimaksud pada ayat (1) mengakibatkan jorban mendapat jatuh sakit atau luks berat, dipidana penjara paling lama 10 ( sepuluh) tahun atau denda paling banyak Rp. 30.000.000,00 ( tiga puluh juta rupiah). 3) Dalam hal perbuatan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) mengakibatkan matinya korban. Dipidana dengan penjara paling lama 15 (lima belas) tahun atau denda paling banyak Rp.45.000.000,00 (empat puluh lima juta rupiah). 4) Dalam hal perbuatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh suami terhadap isteri atau sebaliknya yang tidak menimbulkan penyakit atau halangan untuk menjalankan pekerjaan jabatan atau mata pencaharian atau kegiatan sehari-sehari, dipidana dengan penjara paling lama 4(empat) bulan atau denda paling banyak Rp.5000.000,00 ( lima juta rupiah). Pasal 45 1) Setiap orang yang melakukan perbuatan kekerasan psikis dalam lingkup rumah tangga sebagaimana dimaksud dalam pasal 5 huruf b dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun atau denda paling banyak Rp. 9000.000,00 ( sembilan juta rupiah). 2) Dalam hal perbuatan sebagaimana dimasud pada ayat 1 (satu) dilakukan oleh suami terhadap istri atau sebaliknya yang tidak menimbulkan penyakit atau halangan untuk menjalankan pekerjaan jabatan atau mata pencaharian atau kegiatan sehari-hari, dipidana dengan pidana penjara paling lama 4 (empat) bulan atau denda paling banyak Rp.3000.000,00 ( tiga juta rupiah). Pasal 46 (1) Setiap orang yang melakukan perbuatan kekerasan seksual sebagaimana dimaksud pasal 8 huruf a dipidana dengan pidana penjara lama 12 (dua belas) tahun atau denda paling banyak Rp.36.000.000,00 (tiga puluh enam juta rupiah). Pasal 47 (1) Setiap orang yang memaksa orang yang menetap dalam rumah tangganya melakukan hubungan seksual sebagaimana dimaksud dalam pasal 8 huruf b dipidana dengan pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan pidana penjara paling lama 15 (lima belas) tahun atau denda paling sedikit Rp. 12.000.000,00 (dua belas juta rupiah) atau denda paling banyak Rp 300.000.000,00 (tiga ratus juta rupiah). Pasal 48
32
(1) Dalam hal perbuatan sebagaimana dimaksud dalam pasal 46 dan pasal 47 mengakibatkan korban mendapat luka yang tidak memberi harapan akan sembuh sama sekali, mengalami gangguan daya pikir atau kejiwaan sekurang-kurangnya selama 4 (empat) minggu terus menerus atau 1 (satu) tahun tidak berturut-turut, gugur atau matinya janin dalam kandungan atau mengakibatkan tidak berfungsinya alat reproduksi, dipidana penjara paling singkat 5 (lima) tahun dan pidana penjara paling lama 20 (dua puluh) tahun atau denda paling sedikit Rp 25.000.000,00 (dua puluh lima juta rupiah) dan denda paling banyak Rp 500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah).
BABIII HAK DAN KEWAJIBAN SUAMI ISTERI DALAM HUKUM ISLAM A. Hak dan Kewajiban Suami Pengertian hak secara umum adalah suatu ketentuan yang mutlak untuk kita dan penggunaanya tergantung kepada kita sendiri, danapa-apa yang diterima oleh seseorang dari orang lain.Sedangkan menurut etimologi hak berarti menetapkan, keadilan lawan dari kezaliman, kebenaran lawan dari kebatilan. Hak disini adalah apa-apa yang diterima oleh seseorang dari orang lain, sedangkan yang dimaksud dengan kewajiban adalah tanggung jawab menanggung segala sesuatu (kalau terjadi apa-apa boleh dituntut, dipersalahkan, diperkarakan, dan sebagainya). Suami isteri sebenarnya mempunyai tanggung jawab moril dan matteril. Masing-masing suami isteri harus mengetahui kewajibannya disamping haknya. Sebab, banyak manusia yang hanya tau haknya saja, tetapi menggabaikan kewajibannya.1 Masing-masing suami isteri mempunyai hak atas yang lainnya. Hal ini berarti, bila isteri mempunyai hak dari suaminya, maka suaminya mempunyai kewajiban atas isterinya.
Demikian juga
sebaliknya suami mempunyai kewajiban atasi sterinya. Hak tidak dapat dipenuhi apabila tidak ada yang menunaikan kewajiban
1
M. Ali Hasan, Pedoman Hidup Berumah Tangga dalam Islam , (Jakarta : Prenada Media 2013) h.151
34
35
Dalam Al-Qur’an Allah berfirman :
)228:2/ (البقزاة Artinya : ‘’Dan para perempuan mempunyai hak yang seimbang dengan kewajibannya menurut cara yang ma‟ruf. Akan tetapi para suami mempunyai satu tingkatan kelebihan daripada isterinya. Dan Allah Maha Perkasa lagi Maha bijaksana‟‟ (Al-Baqarah : 228 ). Ayat ini menyatakan bahwa perempuan memiliki hak sebagaimana hak laki-laki yang harus ditunaikan perempuan. Begitu perempuan dituntut pada sesuatu, laki-laki pun menghadapi tututan serupa. Dasar yang ditetapkan Islam terkait interaksi antara suami dan isteri serta penataan kehidupan diantara keduanya adalah dasar yang lebih berkaitan dengan fitrah dan tabiat manusia. Sebab, laki-laki lebih mampu dalam melakukan aktivitas, kerja keras, dan usaha untuk mendapatkan penghasilan di luar rumah. Derajat atau tingkatan yang dimaksud yaitu kepemimpinan suami dalam rumah tangganya atau kelebihan suami dalam beberapa hak yang harus dia peroleh. Diantara hak-hak tersebut yaitu hak dicintai, hak disayangi dan dikasihi, hak berdandan dan menikmati hubungan seksual, serta hak untuk bersama-sama dalam kesibukan dan kesusahan seperti yang dialami oleh masing-masing.2 Seorang suami memiliki hak-hak yang merupakan kewajiban bagi isterinya. Dalam konteks ini yang akan dikemukakan adalah kewajiban isteri untuk taat kepada suami. Dasar dari kewajiban seorang isteri ini terkait
2
Zaitunah Subhann, Al-Qur‟an dan Perempuan ( Menuju Kesetaraan Gender dalam Penafsiran. (Jakarta : Prenada Media Group, 2015). h 87.
36
dengan peran kepemimpinan dalam keluarga yang diberikan kepada suami berdasarkan Firman Allah dalam Al-Qur;an surat An-nisa(4) ayat 34 :
(34:4/ )النساء Artinya : „‟kaum laki-laki itu adalah pemimpin bagi kaum perempuan, oleh karena Allah telah melebihkan sebahagian mereka laki-laki telah menafkahkan sebagian dari harta mereka. Sebab itu, maka perempuan yang saleh, ialah yang taat kepadala Allah dan memelihara diri mereka. Perempuan-perempuan yang kamu khawatirkan nuzyusny, maka nasehatilah mereka dan pisahkanlah mereka ditempat tidur mereka, dan pukullah mereka. Kemudian jika mereka mentaatimu, maka janganlah kamu mencari-cari jalan untuk menyusahkannya. Sesungguhnya Allah Maha Tinggi lagi Maha Besar.‟‟ (QS. Surat An-Nisa ayat :34). Menurut Hamka hal yang sama dikemukakan ayat tersebut bukanlah perintah, sehingga laki-laki wajib memimpin perempuan, dan lau tidak dipimpin berdosa. Akan tetapi ayat tersebut bersifat pengkhabaran yakni menyatakan hal yang sewajarnya, dan tidak mungkin begitu. Ayat tersebut menyatakan bahwa laki-laki dilebihkan Allah daripada perempuan. Laki-laki kuat tubuhnya, tegap badanya sedang perempuan lemah.3 Sedangkan menurut Syaikh Muhammad Nawawi bin ‘Umar al-Jawi dalam kitab “Uqud al-Lujjain fi Bayani Huqud az-Zaujain” berpendapat bahwa kaum laki-laki sebagai pemimpin kaum perempuan, maksudnya suami harus menguasai dan mengurus keperluan isteri, termasuk mendidik budi 3
h.69.
Hamka, Kedudukan Perempuan dalam Islam, (Jakarta : Pustaka Panjimas, 1983).
37
pekerti mereka. Allah SWT melebihkan kaum laki-laki atas kaum perempuan (isteri) dalam pernikahan, seperti maskawin dan nafkah.4 Sementara perempuan lebih mampu dalam mengatur dan mengurus urusan rumah tangga, mendidik anak, menyediakan berbagai faktor yang dapat menciptakan kenyamanan rumah tangga, dan ketentraman lingkungan keluarga. Oleh karena itu laki-laki dibebani hal-hal yang sesuai dengannya, dan perempuan dibebani hal-hal yang sesuai dengan tabiatnya.5 Hak-hak mereka dibagi menjadi dua kategori, hak bersama antara suami dan isteri serta hak setiap individu, dalam arti apa yang menjadi hak isteri tidak bisa menjadi hak suami dan begitu juga sebaliknya. 1.
Hak Suami Atas Isteri Diantara beberapa hak suami terhadap isterinya, yang paling pokok adalah6 :
a. Ditaatidalamhal-hal yang tidak maksiat Kewajiban taat kepada suami hanya dalam hal-hal yang dibenarkan agama, bukan dalam hal kemaksiatan kepada Allahswt. Jika suami memerintahkan isteri untuk berbuat maksiat, maka ia harus menolaknya. Diantara ketaatan isteri kepada suami adalah tidak keluar rumah kecuali dengan izinnya. b. Isteri menjaga dirinya sendiri dan harta suami Muhammad Nawawi, Syarh „Uqud al-Lujjain (Keluarga Sakinah) alih Bahasa M. Ali Chasan Umar. (Semarang : Karya Toha Putra, 1994),h. 29. 5 Sayyid Sabiq, Fikih Sunnah 3. cet II ( Jakarta : Cakrawala Publishing, 2011) cet II h. 468. 6 Tihami dan Sohari Sahrani, Fikih Munakahat Kajian Fikih Nikah Lengkap. cet I (Jakarta : Raja GrafindoPersada, 2009) h.158. 4
38
Dalam Al-Qur’anAllah SWT. Menjelaskan bahwa isteri harus bisa menjaga dirinya, baik ketika berada didepan maupun dibelakang suaminya, dan ini merupakan salah satu ciri isteri yang sholihah. (34:4/ )النساء Artinya : „‟Sebab itu maka perempuan yang shaleh, ialah yangtaat kepada Allah lagi memelihara diri ketika suaminya tidak ada, oleh karena Allah telah memeliharannya.‟‟ (Qs. Al-Nisa [4] : 34) Maksud memelihara diri dibalik pembelakangan suaminya dalam ayat tersebut adalah isteri dapat menjaga dirinya ketika suaminya tidak ada dan tidak berbuat maksiat khianat kepadanya, baik mengenal diri maupun harta bendanya. Inilah merupakan kewajiban tertinggi bagi seorang isteri terhadap suami.7 c. Menerima dan menghormati pemberian suami serta mencukupkan Nafkah yang diberikannya dengan baik, hemat dan bijaksana.8 Sebagaimana Firman Allah dalam surat Al-Furqan [25] ayat 67 :
) 67:25/ ن َٰذِلكَ قٌََامًا (الفزقان َ ْوَاَلّذِينَ إِذَا أَ ْن َفقُوا لَمْ يُسْ ِرفُوا َولَمْ َيقْتُرُوا وَكَانَ بَي Artinya : ‘’Dan orang-orang yang apabila membelanjakan (harta) mereka berlebih-lebihan dan tidak pula kikir, tapi adalah ( pembelanjaan itu) tengah-tengah antara yang demikian‟‟. (Qs. AlFurqan: ayat 67). Penjagaan isteri terhadap perilaku ini dianggap sebagai jihad dijalan Allah. Ibnu Abbas ra, meriwayatkan bahwa seorang
perempuan datang
7
Slamet Abidin dan H. Aminuddin, Fikih Munakahat (Bandung :Pustaka Setia 1999
),h. 161. 8
Departemen Agama RI, Modul Keluarga Sakinah , (Jakarta : Dirjen Bimas dan Haji) h.145.
39
kepada Rasulullah Saw. Lantas berkata, wahai Rasulullah, aku ini utusan kaum perempuan untuk menemuimu. Ketentuan jihad ini ditetapkan oleh Allah swt. Bagi kaum laki-laki; jika mereka ditimpa musibah kekalahan maka mereka mendapat pahala, dan jika mereka terbunuh maka mereka hidup di sisi Allah mereka dan mendapat Rezki, sementara kami kaum prempuan menopang mereka, lantas apa bagian kami dari itu ? Rasulullah saw, bersabda,’’sampaikan kepada perempuan yang kamu temui bahwa kepaAllah kepada suami dan pengakuan terhadap haknya setara dengan itu, dan sedikit diantara kalian yang melakukannya. 2. Kewajiban Suami Terhadap Isteri Kewajiban suami terhadap isteri mencakup kewajiban materi berupa kebendaan dan kewajiban nonmateri yang bukan berupa kebendaan.Sesuai dengan penghasilannya, suami mempunyai kewajiban terhadap isteri yaitu memberi nafkah, pakaian dan tempat tinggal, biaya rumah tangga, biaya perawatan, dan biaya pengobatan bagi isteri dan anak dan biaya pendidikan bagi anak.9 Islam mewajibkan suami terhadap isterinya memberikan hak-hak yang harus dipenuhinya sebagai hak isteri. Hak suami tercermin dalam ketaatanya, menghormati keinginannya, dan mewujudkan kehidupan yang tenang dan nikmat sebagaimana yang diinginkan.10 Kewajiban suami yang hakiki dan benar-benar menjadi tanggung jawab yang besar yang harus dipikul
9
Tihami dan Sohari Sahrani, fikih Munakahat Kajian Fikih Nikah Lengkap. h.161. Ali yusuf As-Subki, Fiqh Keluarga Pedoman Berkeluarga dalam Islam.cet I (Jakarta : Amzah 2010) h.143. 10
40
dipundaknya adalah kewajiban memberi nafkah kepada isteri dan anakanaknya baik isterinya berasal dari keluarga kaya apalagi berasal dari keluarga miskin.11 Terdapat dalam firman Allah SWT dalam Al-Qur’an surat al-Baqarah (2) : 233
)222:2/ (البقزاة Artinya : „‟ Para ibu hendaklah menyusukan anak-anaknya selama dua tahun penuh, Yaitu bagi yang ingin menyempurnakan penyusuan. Dan kewajiban ayah memberi Makan dan pakaian kepada para ibu dengan cara ma'ruf. Seseorang tidak dibebani melainkan menurut kadar kesanggupannya. janganlah seorang ibu menderita kesengsaraan karena anaknya dan seorang ayah karena anaknya, dan warispun berkewajiban demikian. Apabila keduanya ingin menyapih (sebelum dua tahun) dengan kerelaan keduanya dan permusyawaratan, Maka tidak ada dosa atas keduanya. Dan jika kamu ingin anakmu disusukan oleh orang lain, Maka tidak ada dosa bagimu apabila kamu memberikan pembayaran menurut yang patut. bertakwalah kamu kepada Allah dan ketahuilah bahwa Allah Maha melihat apa yang kamu kerjakan.‟‟ ( Qs.Al-Baqoroh [2] :233) Menurut Syafi’i, nafkah yang harus diberikan itu ditentukan menurut kemampuan suaminya. Kalau suaminya seorang yang kaya raya maka nafkah yang harus diberikan kepada isterinya harus mengikuti kebuAllah hidup yang biasa dikonsumsi orang-orang kaya pada umumnya. Kalau suaminya termasuk orang miskin maka nafkah yang harus diterima isterinya sesuai dengan kebuAllah sehari-hari orang miskin.
11
Mohammad Asmawi, Nikah dalam Perbincangan dan Perbedaan. ( Yogyakarta : Darussalam, 2004).h. 199.
41
Kewajiban suami terhadap Isteri menurut Kompilasi Hukum Islam terdapat dalam pasal 80 : 1. Suami adalah pembimbing terhadap isteri dan rumah tangganya, akan tetapi mengenai hal-hal urusan rumah tangga yang pentingpenting diputuskan oleh suami-isteri bersama 2. Suami wajib melindungi isterinya dan memberikan segala sesuatu keperluan hidup rumah tangganya sesuai dengan kemampuannya. 3. Suami wajib memberikan pendidikan agama kepada isterinya dan memberi kesempatan belajar pengetahuan yang berguna dan bermanfaat bagi agama dan bangsa 4. Sesuai dengan penghasilan suami menanggung : a. Nafkah, Kiswah dan tempat kediaman bagi isteri; b. Biaya rumah tangga biaya perawatan dan biaya pengobatan bagi isteri dan anak; c. Biaya pendidikan bagi anak 5. Kewajiban suami terhadap isterinya seperti tersebut pada ayat (4) huruf a dan b diatas mulai berlaku sesudah ada tamkin sempurna dari isteri 6. Isteri dapat membebaskan suaminya dari kewajiban terhadap dirinya sebagaimana tersebut pada ayat (4) huruf a dan b 7. Kewajiban suami sebagaimana dimaksud gugur apabila isteri nusyuz.
B. Hak Dan Kewajiban Isteri Dalam kehidupan berumah tangga, suami isteri mempunyai hak masing-masing yang harus dijunjung tinggi dan dipenuhi. Rasulullah SAW telah memberikan gambaran dan penjelasan yang konkret tentang hal tersebut. Konsep hak pada dasarnya sama, bahwa pria dan perempuan sama dalam hal segala sesuatu. Perempuan mempunyai hak seperti yang dimiliki pria dan perempuan mempunyai kewajiban seperti kewajiban pria. Kemudian, laki-laki dilebihi satu derajat, yaitu sebagai pemimpin yang telah ditetapkan sebagai fitrahnya. Dalam hal ini bukan berarti keluar dari konsep persamaan
42
yang telah disamakan dalam hak dan kewajiban, sebab setiap tambahan hak diimbangi dengan tambahan serupa dalam kewajiban.12 Dari Hakim bin Muawiyah RadhiyAllahu Anhu, dari ayahnya, Ia bercerita, aku pernah bertanya,‟‟ Ya Rasulullah, apakah hak isteri salah seorang dari kami ?Beliau menjawab.‟‟ Hendaknya engkau memberikan makan kepadanya jika kamu makan, memberikan pakaian jika kamu memakainy, dan janganlah memukul wajahnya, menjelek-jelekan, dan tidak mengasingkan kecuali didalam rumah.‟‟ (HR. Ahmad, Nasa’i, Ibnu Majah).13 Hak perempuan terbagi menjadi dua hal : hak-hak materil, seperti Mahar dan Nafkah. Mahar merupakan hak-hak isteri yang harus dipenuhi oleh seorang suami, Ibnu Arabi rahimahullah mengatakan bahwa nikah adalah akad yang tak tergantikan, akad antara dua pasang setiap salah sorang dari keduanya menunjukkan pendampingnya, dan memberikan manfaat bagi pendampingnya sebagai pengganti manfaat yang lain. Mahar merupakan kewajiban tambahan yang Allah SWT berikan kepada seseorang suami ketika menjadikannya dalam pernikahan sebuah kedudukan.14 Mahar bukan merupakan harga bagi perempuan, tetapi itu adalah ketentuan dan isyarat untuk memuliakan dan membahagiakannya. Allah SWT berfirman : (4:4/ )النساء
12
Muhammad Albar, Perempuan dalam Timbangan Islam.cet I (Jakarta : Daar AlMuslim, Beirut). h. 18. 13 Syaikh Hasan Ayyub, Fiqih Keluarga, Cet.V, (Jakarta : Pustaka Al-kautsar 2006) . h. 166. 14 Ali yusuf As-Subki, Fiqh Keluarga Pedoman Berkeluarga dalam Islam. h .173.
43
Artinya : ‘’ Berikanlah maskawin (Mahar) kepada perempuan yang kamu nikahi sebagai pemberian dengan penuh kerelaan. Kemudian jika mereka menyerahkan kepada kamu sebagian maskawin itu dengan senang hati, maka makanlah (ambilah) pemberian itu (sebagai makanan) yang sedap lagi baik akibatnya‟‟. (QA.An-Nisa’ (4) : 4) Makna kata an-nihlah dalam ayat diatas, adalah pemberian dan hadiah. Ia bukan merupakan imbalan yang diberikan laki-laki karena boleh menikmati perempuan, sebagaimana persepsi yang telah berkembang disebagian masyarakat. Sebenarnya dalam hukum sipil juga kita dapatkan bahwa perempuan harus menyerahkan sebagian hartanya kepada laki-laki. Namun, fitrah Allah telah menjadikan perempuan sebagai pihak penerima, bukan pihak yang harus memberi.15 Penganut Mazhab Hanafi menetapkan batas minimal mahar adalah sepuluh dirham. Sementara penganut Mazhab Maliki menetapkan tiga dirham, tapi penetapan ini tidak berdasar pada dalil yang layak dijadikan sebagai landasan, tidak pula hujjah yang dapat diperhitungkan.16 Sedangkan mazhab Hanafi berpendapat bahwasannya tidak ada ketentuan terkait besaran nafkah, dan bahwasannya suami berkewajiban memikul kebutuhan isteri secukupnya yang terdiri dari makan, lauk pauk yang dikonsumsi untuk menopang hidup sesuai dengan ketentuan yang berlaku secara umum. Mazhab Syafi’i tidak mengaitkan pendapat besaran nafkah denganbatas kecukupan. Mereka mengaitkan nafkah ditetapakn berdasarkan ketentuan syariat.
15
Yusuf Al-Qardawi, Panduan Fiqih Perempuan,cet I (Yogyakarta: Salma Pustaka, 2004,)h. 151. 16 Wahbah Az-Zuhaili, ‘’ Fiqih Islam wa Adilatuhu jilid 7 .h.437.
44
1.
Hak Isteri Atas Suami a.
Bergaul dengan Isteri dengan baik dan patut. Kewajiban pertama yang harus dipenuhi suami terhadap isterinya
adalah memuliakannya, mempergulinya dengan baik, melakukan iteraksi secara wajar, dan memberikan apa yang dapat diberikan kepadanya untuk membuat hatinya tenang.17 Dalam hidup berumah tangga, banyaknya hal yang harus diperhatikan oleh seorang suami. Isteri memerlukan biaya hidup untuk makan, pakaian dan rumah tempat tinggal, disamping keperluan keperluan lainnya. Namun, hendaknya tuntutan hak atas suami, disesuaikan dengan kemampuan suami. Mengenai hal ini diperintahkan oleh Allah. Sebagaiman firman-Nya : ضلٌُ ُىهَ لِ َتذۡىَبٌُاْ بِبَعۡضِ مَآ ءَاتَيۡتُمٌُ ُىهَ ِإلَآ أَن ُ ۡحّلُ لَكُمۡ أَن تَزِثٌُاْ ٱل ِنسَآءَ َكزۡهٗاۖ ًَلَا تَع ِ َيَٰٓأَيُيَا ٱَلذِيهَ ءَامَنٌُاْ لَا ي ُحشَتٗ مُبَيِنَتٗۚ ًَََاِِزًُ ُىهَ بِٲلۡمَعۡزًُِِۚ َِِن كَزِىۡتُمٌُ ُىهَ َ َعسَٰٰٓ أَن تَكۡزَىٌُاْ َِيۡٔٗا ًَيَجۡ َعّلَ ٱللَو ِ َٰيَأۡتِيهَ بِف )19:4/ َِيوِ خَيۡزٗا كَثِيزٗا (النساء Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, tidak halal bagi kamu mempusakai perempuan dengan jalan paksa dan janganlah kamu menyusahkan mereka karena hendak mengambil kembali sebagian dari apa yang telah kamu berikan kepadanya, terkecuali bila mereka melakukan pekerjaan keji yang nyata dan bergaullah dengan mereka secara patut. kemudian bila kamu tidak menyukai mereka, (maka bersabarlah) karena mungkin kamu tidak menyukai sesuatu, Padahal Allah menjadikan padanya kebaikan yang banyak. (QS. AnNisa : 19) Ayat ini turun sebagai respon dari tadisi buruk yang berkembang saat itu, yaitu seorang perempuan yang ditinggal mati suaminya, menjadi hak walinya baik untuk dinikahi dengan orang lain maupun dinikahi sendiri. 17
Sayyid Sabiq, Fiqih Sunnah III, (Jakarta : Cakrawala Publishing, 2011), h. 446.
45
Namun secara umum ayat ini turun berkenaan dengan perintah mempergauli isteri dengan baik dan tidak menyusahkan. Kata asyara dengan kata jadinya seluruhnya ada 27 kali, sedangkan yang menunjukan arti keluarga adalah istilah asyirah. Sementara perintah mu‟asyarah, mengikuti pola mufa‟alah pada mulanya berarti muhasabah atau pertemanan/ pergaulaun. Dari sinilah mu‟asyarah dimaknai dengan mempergauli, bahkanpihak lain yang dipergauli tersebut ada hubungan perkawinan (isteri), kekerabatan (saudara), atau orang lain tetapi sudah sangat kenal. Sedangkan istilah ma‟ruf yang disebutkan dalam beberapa konteks di atas, seluruhnya berarti kebaikan yang sudah dikenal baik oleh mereka yang tinggal di tempat tersebut. Menurut al- Ashfani, istilah ma‟ruf menyangkut segala bentuk perbuatan yang dinilai baik oleh akal dan syarak. Dari sinilah kemudian muncul pengertian bahwa ma‟ruf adalah kebaikan yang bersifat lokal. Argumentasinya adalah jika akal dijadikan sebagai dasar pertimbangan dari setiap kebaikan yang muncul, maka dalam tataran praktisnya, antara daerah satu dengan yang lainnya pasti berbeda disinil Al-Qur’an membedakan istilah ma‟ruf dengan khair. Dengan demikian, menjadi sangat wajar jika muayarah bil ma‟ruf dalam tataran praktsnya antara daerah satu dengan lainnya juga berbeda. At-Tabari menyatakan, muasyarah bil ma‟ruf pada
prinsipnya
adalah
berakhlak
yang
baik
kepadanya
dan
memperlakukannya sesuai dengan tuntunan agama dan apa yang berlaku dimasyarakat, yakni dengan cara memberikan hak-haknya. Ayat ini juga bisa
46
dipahami sebagai larangan untuk mempergauli isteri dengan pergaulan yag buruk jika ditemukan hal-hal yang buruk 18 Diantara bentuk permuliaan terhadap isteri adalah dengan mengangkat martabatnya dan menghindari tindakan-tindakan yang menyakitina hingga sekalipun dengan kata-kata yang kasar. b.
Mendidik sopan santun Seorang suami hendaknya memperhatikan perilaku isterinya, supaya berlaku sopan santun terutama dalam pergaulan sehari-hari, baik dalam rumah tangga dan anggota msyarakat lainnya. Sebagai pendidik suami harus memperlihatkan sikapnya yang baik untuk dicontoh isterinya. Sebab sebagaimana mungkin seorang suami dapat mendidik isterinya sedangkan dia sendiri tidak berlaku sopan santun dalam pergaulan sehari-sehari. Sedangkan suami harus tau kedudukan dalam rumah tangga sebagai pemimpin keluarga. c. Suami dilarang membuka rahasia isterinya. Seorang suami berkewajiban menjaga nama baik isterinya. Tidak boleh menceritakan kepada orang lain aib dan kekurangan isterinya. Seorang suami akan hilang harga dirinya dan turun martabatnya, sekiranya sempat membeberkan kekurangan isterinya kepada orang lain.19
18
Lajanah Pentasihan Mushaf Al-Qur’an, Tafsir Al-Qur‟an Tematik. cet I (Jakarta : Kamil Pustaka, 2014) h. 47 19 M. Ali Hasan, Pedoman Hidup Berumah Tangga dalam Islam.h.156.
47
2.
Kewajiban Isteri terhadap Suami a. Kewajiban isteri terhadap suami yaitu bersikap taat dan patuh terhadap suami. Dalam segala sesuatunya selama tidak merupakan hal yang dilarang Allah.Memelihara kepentingan suami berkaitan dengan kehormatan dirinya, menghindari dari segala sesuatu yang akan menyakiti hati suami seperti bersikap angkuh, menampakkan wajah cemberut atau penampilan buruk lainnya. Kewajiban hakiki yang harus dijalankan oleh seorang isteri terhadap suaminya adalah melayani dan mematuhi suaminya dalam hal yang berhubungan dengan sebuah ‘’ kedekatan keluarga antara suami dan isteri, sehingga suami benar-benar terhibur dan hatinya selalu bahagia memiliki isteri yang dapat dipertanggung jawabkan20 b. Hormat dan patuh kepada suami dalam batas-batas yang telah ditentukan oleh norma agama dan asusila. Sebagaiman dalam firman Allah didalam surat An-nisa ayat 34 :
)34:4/ ) (النساء
20
Amiur Nuruddin dan Azhari Akmal Tarigan, Hukum Perdata Islam di Indonesia, (Jakarta :Prenada Media, 2004 ).h. 185.
48
Artinya : „‟kaum laki-laki itu adalah pemimpin bagi kaum perempuan, oleh karena Allah telah melebihkan sebahagian mereka laki-laki telah menafkahkan sebagian dari harta mereka. Sebab itu, maka perempuan yang saleh, ialah yang taat kepadala Allah dan memelihara diri mereka. Perempuan-perempuan yang kamu khawatirkan nuzyusny, maka nasehatilah mereka dan pisahkanlah mereka ditempat tidur mereka, dan pukullah mereka. Kemudian jika mereka mentaatimu, maka janganlah kamu mencari-cari jalan untuk menyusahkannya. Sesungguhnya Allah Maha Tinggi lagi Maha Besar.‟‟ (QS. Surat An-nisa [4] ayat :34) Seorang perempuan mempunyai kewajiban untuk senantiasa taat kepada suaminya, kecuali dalam hal kemaksiatan atau yang bertentangan dengan syariat Islam. Yang dimaksud dengan murka suami kepada isterinya disini adalah ketika berada dalam kebenaran, sedang isterinya berada dipihak yang salah. Sebaliknya, jika suami berada dipihak yang salah dan dzalim, maka murkanya tidak berakibat apa-apa pada isterinya. Bahkan Allah akan memberikan pahala kepada isterinya atas kebenarannya.21 Dalam Islam, pernikahan bertujuan untuk melindungi laki-laki dan perempuan dari perbuatan zina. Dan hal itu akan terwujud jika tiap-tiap pihak, baik suami atau isteri saling menunaikan kewajibannya. Oleh karena itu, kaum perempuan (isteri) agar segera memenuhi keinginan suaminya sedapat mungkin meski banyak kesibukan, kecuali jika ada alasan yang tidak dapat dihindari. c.
Mengatur dan mengurus rumah tangga, menjaga keselamatan dan mewujudkan kesejahteraan keluarga. Sebagaimana firman Allah dalam surat Adz-Dzariyat (51) ayat 29 : 21
Syaikh Hasan Ayyub, Fiqih Keluarga. h. 170
49
)22:51/ (الذا رياث. Artinya : „‟Dan segala sesuatu kami ciptakan berpasang-pasangan supaya kamu mengigat akan kebesaran Allah.‟‟(Qs. Adz-Dzariyat [51] ayat 29). Islam telah menyadari bahwa membina rumah tangga merupakan kesepakatan dua belah pihak antara suami dan isteri, oleh karena itu segala sesuatunya harus dimusyawarhkan bersama. Termasuk pula dalam hal ini adalah tata cara pembagian kerja rumah tangga. Pembagian kerja yang bagaiman yang harus dilakukan agar suami isteri bisa mencapai kententraman dalam rumah tangga harus dimusyawarahkan bersama. Kesepakatan harus dibuat agar tidak ada satu pihak yang dirugikan. Dengan menyadari bahwa perkawinan bertujuan untuk mencapai ketentraman kedua belah pihak yang menjalaninya. Maka tidaklah mungkin ini dicapai apabila pembagian kerja dalam rumah tangga tidak adil.22 d.
Menerima dan menghormati pemberian suami serta mencukupkan nafkah yang diberikannya dengan baik, hemat dan bijaksana.23 Sebagaiman dalam firman Allah dalam surat Al-Furqon (25) ayat 67 : )76:25/ (الفزقان Artinya : „‟ dan orang-orang yang apabila membelanjakan (harta) mereka berlebih-lebihan dan tidak( pula) kikir, tapi adalah (pembelanjaan itu), tengah tengah antara yang demikian. (Qs.Al-Furqon ayat 67).
Istiadah, ‘’Membangun Bahterah Keluarga yang Kokoh, (Jakartan : PT. Gramedia Pustaka Utama) h 36. 23 Departement Agama RI, Modul Pembinaan Keluarga Sakinah, ( Jakata : Dirjen Bimas dan Haji, 2000), h. 145. 22
50
Dalam KHI Hak dan Kewajiban isteri diatur dalam pasal 77,78,79,dan pasal 83 yang berbunyi : Pasal 77 1) Suami-isteri memikul kewajiban yang luhur untuk menegakkan rumah tangga yang sakinah, mawwadah, dan warahmah yang menjadi sendi dasar susunan masyarakat. 2) Suami- isteri wajib saling mencintai, saling menolong setia dan memberi bantuan lahir dan bathin yang satu kepada yang lain. 3) Suami-isteri memikul kewajiban untuk mengasuh dan memelihara anakanak mereka, baik mengenal pertumbuhan jasmani, rohani, maupun kecerdasan dan pendidikan agamanya. 4) Suami-isteri wajib memlihara kehormatannya. 5) Jika suami atau isteri melalaikan kewajibannya masing-masing dapat mengajukan gugatan kepada Pengadilan Agama. Pasal 78 1) Suami- isteri harus mempunyai tempat kediaman yang tetap. 2) Rumah kediaman yang dimaksud dalam ayat (1), ditentukan oleh suamiisteri bersama. Pasal 79 1) 2)
3)
1) 2)
Suami adalah kepala keluarga dan isteri . Hak dan kedudukan istro adalah seimbang dengan hak dan kedudukan suami dalam kehidupan rumah tangga dan pergaulan hidup bersama dalam masyarakat. Masing-masing pihak berhak untuk melakukan perbuatan hukum. Pasal 83 Kewajiban Suami Kewajiban utama bagi seseorang isteri ialah berbakti lair dan batin kepada suami didalam yang dibenarkan oleh hukum Islam. Isteri menyelenggarakan dan mengatur keperluan rumah tangga seharihari dengan sebaik-baiknya.
BAB IV ANALISIS
A. Larangan Suami Terhadap Isteri Yang Bekerja Menurut UndangUndang No. 23 Tahun 2004 Tentang PKDRT Perempuan karier adalah perempuan yang bukan hanya bekerja di sektor publik, tetapi juga disektor domestik. Peranannya yang ganda tersebut sering kali memberikan kesibukan yang luar biasa, sehingga kadang-kadang intensitas komunikasi dengan pasangan hidupnya relatif kurang. Komunikasi yang kurang memungkinkan dapat menyebabkan masalah kecil dalam rumah tangga menjadi masalah yang besar jika tidak segera diatasi. Tidak jarang hal ini menimbulkan pertengkaran dan adu mulut, bahkan sampai menimbulkan kekerasan fisik bagi perempuan. Akan tetapi, karena perempuan karier sibuk dengan berbagai aktivitas, maka kadang-kadang keadaan rumah tangga yang dialaminya tidak terlalu dipikirkan, termasuk tidak pernah berpikir adanya KDRT dalam rumahnya.1 Deklarasi Anti Kekerasan Terhadap Perempuan yang disahkan pada Sidang Umum PBB ke 85, pada tanggal 20 Desember 1993, menegaskan bahwa kekerasan terhadap perempuan merupakan pelanggaran hak-hak asasi, dan kebebasan fundamental perempuan. Kekerasan terhadap perempuan menghalangi atau meniadakan kemungkinan perempuan untuk menikmati
1
Antuni Wiyarsih dkk, Survei Terhadap Terjadinya Kekerasan dalam Rumah Tangga (KDRT) Perempuan Karier Di Daerah Istimewa Yogyakarta. 2010 , artikel diakses pada tanggal 22 Juli 2016.
51
52
hak-hak asasi dan kebebasannya. Komnas perempuan merupakan lembaga yang dibentuk sebagai komitmen pemerintah untuk menegakkan hak asasi manusia, khususnya perempuan. Hal ini yang melatarbelakangi pendirian lembaga ini adalah peristiwa kekerasan seksual terhadap perempuan. Gerakan perempuan dan masyarakat sipil mendesak pemerintah Indonesia untuk mendirikan Komnas Perempuan sebagai Lembaga Nasional Hak Asasi Manusia.2 Negara berpandangan bahwa segala bentuk kekerasan, terutama kekerasan dalam rumah tangga adalah pelanggaran hak asasi manusia dan kejahatan terhadap martabat kemanusiaan serta bentuk diskriminasi. Pandangan negara tersebut berdasarkan pada pasal 28 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, beserta perubahannya pasal 28 G ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia menyatakan bahwa ‘’Setiap orang berhak atas perlindungan diri pribadi, keluarga, kehormatan, martabat dan harta benda yang dibawah kekuasannya serta berhak atas rasa aman dan perlindungan dari rasa ancaman ketakutan untuk berbuat atau tidak berbuat sesuatu yang merupakan hak asasi.’’ Pasal 28H (2) UUD 1945 menyatakan ‘’ setiap orang berhak mendapatkan kemudahan dan perlakuan khusus untuk memperoleh kesempatan dan manfaat yang sama guna mencapai persamaan dan keadilan’’. Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan falsafah Pancasila, menjelaskan bahwa setiap warga negara, berhak 2
Berita Komnas Perempuan. Meneguhkan Mekanisme Hak Asasi Perempuan. Edisi 8 Januari 2012. h.1 artikel diakses pada tanggal 21 Juni 2016 jam 14.00
53
mendapatkan rasa aman dan bebas dari segala bentuk kekerasan. Hingga akhirnya dibentuklah Komisi Nasional Anti Kekerasan Terhadap Perempuan (Komnas Perempuan), yang berfokus pada penegakan hak asasi manusia perempuan Indonesia. Perempuan merupakan salah satu Lembaga Nasional Hak Asasi Manusia. Sebagaimana yang diuaraikan pada tujuan pembentukan undangundang
ini, bahwa pemerintah berkeinginan memberikan rasa aman dan
bebas dari segala bentuk kekerasan dan bagi warga negaranya, dan pemerintah menegaskan bahwa kekerasan dalam rumah tangga adalah pelanggaran hak asasi manusia serta kejahatan bagi martabat manusia. Hak untuk rasa aman dan bebas dari ketakutan adalah salah satu bentuk dari Hak asasi individual yang melekat pada pribadi manusia. Sedangkan kebijakan untuk melakukan perlindungan kepada kaum perempuan, menunjukan bahwa peraturan tersebut dipengaruhi paham feminisme.3 Suami melarang Istri bekerja merupakan salah satu tindak Kekerasan dalam Rumah Tangga (KDRT) hal ini berdasar dalam Undang-Undang No.23 Tahun 2004 yang dijelaskan dalam pasal 9 ayat 2 bahwasanya penelantaran juga berlaku bagi setiap orang yang mengakibatkan ketergantungan ekonomi dengan cara membatasi atau melarang bekerja yang layak didalam atau di luar rumah, sehingga korban berada dibawah kendali orang tersebut. Kekerasan dalam Rumah Tangga (KDRT) juga merupakan bentuk pelanggaran hak-hak asasi manusia. Hak laki-laki maupun perempuan tentunya sama sesuai dengan 3
Husni Mubarok, Peran Pemerintah dalam Penyelesaian Kasus KDRT. Artikel diakses pada tangga 19 Juli 2015.
54
kewajiban yang harus ditanggung masing-masing. Setiap manusia baik lakilaki dan perempuan pada akhirnya mendapatkan balasan sesuai dengan apa yang
diperbuatnya
masing-masing.
Maka, laki-laki
dan
perempuan
mempunyai hak asasi yang sama begitupun dengan kewajibannya. Analisa penulis, memang tugas perempuan mengurus dan mengatur segala urusan rumah tangga, tetapi masalah dalam mendidik generasi (anak) tidak dibebankan hanya kepada kaum perempuan. Laki-laki berperan penuh dalam mendidik anak menjadi generasi yang
baik. Baik dan buruknya
perkembangan anak sudah menjadi kewajiban suami maupun isteri. Masa depan generasi bukan hanya bergantung pada kaum perempuan saja melainkan peran laki-laki juga dibutuhkan. Menurut penulis bahwa larangan suami terhadap isteri yang bekerja dapat dikategorikan sebagai Kekerasan Dalam Rumah tangga yang dijelaskan dalam pasal 9 ayat 2 Undang-Undang No.23 Tahun 2004 Tentang PKDRT, dan merupakan pelanggaran hak asasi manusia yang juga dijelaskan dalam pasal 39 ayat 1 Tahun 1999 tentang hak asasi . Kekerasan dalam Rumah Tangga yang mengakibatkan penelantaran rumah tangga yang dijelaskan dalam pasal 9 ayat 2 dikenakan sanksi pidana pada pasal 45 yaitu dipidana dengan pidana penjara paling lama 4 (empat) bulan atau denda paling banyak Rp. 3000.000,00 (tiga juga rupiah).
Perempuan bekerja bukan menjadi faktor utama terjadinya kekerasan dalam rumah tangga, Islam memuliakan manusia tanpa memandang jenis
55
kelaminya dan menjadikan ketakwaan sebagai ukuran kemuliannya. Islam adalah agama yang ramah bagi perempuan meski pada praktiknya perempuan sering sekali mendapat diskriminasi dan Tradisi hukum yang kurang menguntungkan. Meskipun kepemimpinan diberikan kepada kaum laki-laki, akan tetapi sesungguhnya kaum perempuan tidaklah dilarang dari kepemimpinan kecuali dalam kepemimpinan publik dengan syarat dirinya mampu memlihara seluruh adab-adab syar’i ketika keluar rumah. Selagi pekerjaan yang dilakukan perempuan itu masih dalam jangkaun dalam positif tidak menjadi masalah. Islam tidak menerima orang yang berangan-angan dan berpaku tangan. Apa yang dikerjakan perempuan di luar rumah tidak selalu dalam hal negatif. Islam mempunyai sikap yang progresif dan kerja keras, bekerja diwajibkan dilakukan oleh laki laki maupun perempuan Jangan menilai agama Islam dalam satu sudut pandang saja kenyataanya Islam sangat memuliakan perempuan dalam hal kesetaraan. Apabila perempuan dilarang bekerja di luar rumah apalagi pekerjaan itu pekerjaan yang mulia seperti guru yang menyebarkan ilmu kepada generasigenarasi penerus bangs, bagaimana nasib generasi selanjutnya yang kurang akan pengetahuan. Islam sangat memperhitungkan kadar kesetaraan antara laki-laki dan perempuan.
56
B. Pandangan Hukum Islam Terhadap Istri Yang Bekerja di Luar Rumah Membatasi suami sebagai kepala rumah tangga dan isteri sebagai ibu rumah tangga yang semata-mata didasarkan atas jenis kelamin
pada era
seperti ini sangatlah tidak tepat. Menyatakan secara tegas adanya keseimbangan baik dalam hak dan kewajibannya maupun dalam pergaulan hidup bermasyarakat, serta dalam perlakuan di muka hukum. Penetapan
laki-laki lebih tinggi satu derajat dari perempuan ini
bukanlah menunjukan bahwa laki-lai lebih berkuasa dari perempuan, tetapi hanya menunjukan bahwa laki-laki itu adalah pemimpin rumah tangga disebabkan karena terjadinya akad nikah. Akad ini pula suami wajib memberi nafkah
isterinya,
anak
anak
dan
keluarganya,
serta
berkewajiban
menyediakan keperluan-keperluan yang lain yang berhubungan dengan kehidupan keluarga.4 Allah SWT berfirman dalam Qs. An-Nissa : 34 ; )45: (النساء Artinya : kaum laki-laki itu adalah pemimpin bagi kaum perempuan, oleh karena Allah telah melebihkan sebahagian mereka (laki-laki) atas sebahagian yang lain (perempuan), dan karena mereka (laki-laki) telah menafkahkan sebagian dari harta mereka. sebab itu Maka perempuan yang saleh, ialah yang taat kepada Allah lagi memelihara diri ketika suaminya 4
Kamal Muchtar, Asas-Asas Hukum Islam Tentang Perkawinan,(Jakarta : Bulan Bintang, 1988) h. 27.
57
tidak ada, oleh karena Allah telah memelihara (mereka). perempuanperempuan yang kamu khawatirkan nusyuznya, Maka nasehatilah mereka dan pisahkanlah mereka di tempat tidur mereka, dan pukullah mereka. kemudian jika mereka mentaatimu, Maka janganlah kamu mencari-cari jalan untuk menyusahkannya. Sesungguhnya Allah Maha Tinggi lagi Maha besar. At-Thabri dalam tafsirnya menjelaskan ayat al-rijal qawwamu na’ala alnisa, bahwa kepemimpinan laki-laki atas perempuan itu didasarkan atas refleksi kekuatan fisik, pendidikan, dan kewajibannya untuk memenuhi seluruh kewajiban yang ditentukan oleh Allah. Hal ini pula yang menjadi sebab keutamaan laki-laki atas perempuan, seperti tercermin dalam kalimat wa bi ma anfaqu min amwalihim yang ditafsirkan sebagai kewajiban untuk membayar mahar, nafkah dan kifayah. Pada prinsipnya, agama tidak membatasi hak perempuan dalam mengurus seluruh kepentingan publik. Hanya saja perlu disesuaikan dengan kemampuan dan kehormatan perempuan itu sendiri.5 Ada dua alasan yang dikemukakan dari lanjutan ayat diatas dengan pemilihan pria sebagai pemimpin dalam rumah tangga yaitu : a) karena Allah melebihkan sebagian mereka atas sebagian yang lain, dan b) karena mereka (para suami diwajibkan) untuk menafkahkan sebagian harta mereka untuk isteri dan keluarganya . Secara psikologis ada yang berpendapat bahwa perempuan berjalan dibawah bimbingan perasaan, sedang laki-laki dibawah pertimbangan akal. Walaupun demikian tidak tertutup kemungkinan adanya perempuan yang menyamai kaum pria dalam hal kecerdasan, bahkan terkadang melebihinya.6 5
Zaitunah Subhan, Al-Qur’an dan Perempuan Menuju Kesetaraan Gender dalam Penafsira.h. 92. 6 Hasbi Indra dkk, Potret Perempuan Shalehah (Jakarta : Penamadani, 2004). h.103.
58
Dalam Islam perempuan sangat dimuliakan bukan karena ia sebagai seorang ibu semata tapi karena seorang perempuan adalah makhluk yang sempurna sama seperti laki-laki yang mempunyai harkat dan martabat. Hubungan antara laki-laki dan prempuan (suami-isteri) dalam Al-Qur’an digambarkan secara rapi seperti dalam tubuh yang saling mendukung dan mempengaruhi. Islam menjunjung tinggi egaliter (kesetaraan) dengan memposisikan perempuan sebagai makhluk yang memiliki tempat yang sama dihadapan Allah. Mahmud Shaltut berpendapat bahwa. Islam memposisikan perempuan sebagai mitra bagi kaum laki-laki, sehingga Islam memberikan kesetaraan hak dan kewajiban bagi perempuan dan laki-laki. Islam memberikan hak bagi perempuan
dalam
pendidikan,
kehidupan
beribadah,
dan
dalam
menyampaikan pendapat.7 Muhammad Abduh berpendapat bahwa pengangkatan derajat terhadap kaum perempuan dalam tubuh umat Islam belum pernah dilakukan oleh agama-agama samawi sebelumnya. Bahkan ia menyatakan bahwa perempuan Eropa yang klaim memiliki kebebasan dalam menjalankan roda kehidupan masih memiliki batasan-batasan dengan tidak diperkenankan memiliki harta benda tanpa adanya izin dari suami. Pendapat
lebih moderat disampaikan oleh Ibnu Kasir. Dalam
pandangannya ayat tersebut merupakan larangan bagi perempuan khususnya isteri Nabi Saw dan perempuan muslimah lainnya untuk keluar rumah jika 7
Zaitunah Subhan, Al-Qur’an dan Perempuan Menuju Kesetaraan Gender dalam Penafsiran.h.9.
59
tidak ada kebutuhan yang dibenarkan agama, salat di mesjid umpamannya. Dari kelompok musafir kontemporer yang berpandangan seperti diatas diantaranya Wahbah Az-Zuhaili yang menyatakan : ‘’ Hendaklah perempuan tetap tinggal dirumah, jangan sering keluar rumah tanpa ada keperluan yang dibolehkan agama. Sedangkan di antara pemikir muslim kontemporer adalah al-Maududi yang berpandangan seperti di atas. Dalam bukunya al-Hijab seperti dikutip oleh M. Quraish Shihab al-Maududi menyatakan : Tempat perempuan adalah di rumah, mereka tidak dibebaskan dari pekerjaan luar rumah kecuali agar mereka selalu berada dirumah dengan tenang dan hormat, sehingga mereka dapat melaksanakan kewajiban rumah tangga. Adapun kalau ada hajat keperluannya untuk keluar, maka boleh saja mereka keluar rumah dengan syarat memperhatikan segi kesucian diri dan memelihara rasa malu. 8 Diantara ayat yang dapat mengantarkan kepada kesimpulan bahwa seseorang perempuan, lebih khusus lagi adalah isteri, harus tetap tinggal di rumah terdapat dalam surat al-Ahzab ayat 33 : Artinya : dan hendaklah kamu tetap dirumahmu dan janganlah kamu berhias dan (bertingkah laku) seperti orang-orang jahiliyah yang dahulu, dan laksanakanlah salat, tunaikanlah zakat dan taatilah Allah dan Rasulnya. Sesungguhnya Allah bermaksud hendak mengilangkan dosa dari kamu, Lajnah Pentashihan Mushaf Al-Qur’an,Tafsir Al-Qur’an Tematik (Edisi Revisi III). (Jakarta : Kamil Pustaka, 2014).h 50. 8
60
wahai
ahlubait
dan
membersihkan
kamu
sebersih-bersihnya
(al-
Ahzab/33:33). Ada beberapa contoh dari kisah Rosulullah Saw yang mengambarkan bahwa isteri harus tetap didalam rumah. Rosulullah saw penah bersabda kepada Siti Aisyah ‘’janganlah kau keluar rumah dan apabila nanti engkau keluar rumah, lalu ditengah jalan disuatu lembah ada anjing menggongong cepatlah kau kembali bahwasannya itu suatu pertanda engkau di pihak yang salah’’. Ternyata benar yang dikatakan Rosul saw itu tatkala Siti Aisyah mendengar kata-kata Thalhah dan Zubair untuk keluar rumah ikut perang jamal, maka disuatu lembah digonggong oleh anjing maka Siti Aisyah ingin kembali tetapi Siti Aisyah dirayu oleh Thalhah dan Zubair dan disitulah terjadinya perang jamal. Dalam analisa penulis, pandangan Ibnu Katsir tidak bisa dijadikan sebuah acuan yang dapat mengekang hak-hak dan kewajiban seorang perempuan seperti halnya yang dilakukan laki-laki. Bahwasannya seorang perempuan mempunyai hak dan kewajiban yang sama seperti kaum laki-laki, hal ini dijelaskan dalam al-Qur’an surat An-Nisa ayat 32 : )43: (النساء Artinya :
Dan janganlah kamu iri hati terhadap apa yang
dikaruniakan Allah kepada sebahagian kamu lebih banyak dari sebahagian yang lain. (karena) bagi orang laki-laki ada bahagian dari pada ada yang
61
mereka usahakan, dan bagi para perempuan (pun) ada bahagian dari apa yang mereka usahakan, dan bagi para perempuan (pun) ada bahagian dari apa yang mereka usahakan, dan mohonlah kepada Allah sebagian dari karunia-Nya. Sesungguhnya Allah Maha mengetahui segala sesuatu. (Qs. An- Nissa 4 : 32). Dalam surat An-nisa ayat 32 dijelaskan bahwa baik laki-laki dan perempuan diberikan hak yang sama sesuai dengan apa yang mereka usahakan seperti halnya dalam bekerja, beramal maupun berprestasi. Dalam surat An-nisa ayat 124 Allah menjelaskan : )435: ) النساء Artinya : Barang siapa yang mengerjakan amal-amal saleh, baik lakilaki maupun perempuan sedang ia orang yang beriman, maka mereka itu masuk ke dalam surga dan mereka tidak dianiaya walau sedikitpun. (Qs. AnNisa 4 : 124). Dalam ayat di atas penulis berpendapat bahwa perempuan ataupun pria yang mau bekerja di lingkungkan masyarakat yang tergolong dalam pekerjaan yang baik (halal) akan mendapat keberhasilan dan kebahagian yaitu surga. Agama Islam tidak melarang kaum perempuan untuk berkarir di luar rumah karena Islam adalah agama yang menjunjung tinggi kesetaraan baik laki-laki maupun perempuan. Dalam kapasitas manusia sebagi hamba, tidak ada perbedaan antara laki-laki dan perempuan. Keduanya mempunyai potensi dan peluang yang
62
sama untuk menjadi hamba yang ideal. Hamba ideal dalam al-Qur’an biasanya diistilahkan dengan orang-orang yang taqwa (muttaqun). Sebagai agama yang sempurna menurut penulis Islam tidak hanya mengatur perbuatan manusia didalam hubungannya dengan Allah, tapi juga dalam hubungannya dengan dirinya sendiri, sesama manusia dan alam, termasuk didalamnya tentang bekerja yang tampaknya bersifat duniawi. Sedangkan menurut Muhammad Qutub, yang menyatakan bahwa perempuan pada awal zaman Islam pun bekerja, ketika kondisi menuntut mereka untuk bekerja, masalahnya bukan terletak pada ada atau tidaknya hak mereka untuk bekerja, masalahnya adalah bahwa Islam tidak cenderung mendorong perempuan keluar rumah kecuali untuk pekerjaan-pekerjaan yang sangat perlu yang dibutuhkan oleh masyarakat, atau dasar kebuAllah perempuan tertentu. Misalnya kebuAllah untuk bekerja karena tidak ada yang membiayai kebuAllah hidupnya. Bekerja adalah segala usaha maksimal yang dilakukan manusia, baik lewat gerak anggota tubuh ataupun akal untuk menambah kekayaan, baik dilakukan secara perseorangan ataupun secara kolektif, baik untuk pribadi maupun untuk orang lain (dengan menerima gaji). Dalam dunia ekonomi, bekerja merupakan sendi utama produksi selain alam dan modal. Hanya dengan bekerja secara disiplin dan etos yang tinggi, produktivitas suatu masyarakat menjadi tinggi. Semakin tinggi produktivitas, semakin besar
63
kemungkinan bagi masyarakat itu untuk mencapai kesejahteraan dan kemakmuran.9 Perempuan tidak diwajibkan untuk bekerja atau mencari uang dan suami atau saudaranya, jika memang ada hendaknya mendukung dalam segi keuangan dengan kata lain perempuan adalah tanggungjawab negara yang hendaknya disediakan untuk mereka. Hal ini in ditentukan oleh hukum Islam supaya menjaga martabat dan kemuliaan perempuan dan menyelamatkan mereka dari kekurangan, kesengsaraan, dan kehinaan yang mereka pikul agar mendapatkan bekal dalam kehidupan mereka. 10 Perempuan adalah manusia juga sebagaimana laki-laki. Perempuan merupakan bagian dari laki-laki dan laki-laki merupakan bagian dari perempuan, sebagaimana dikatakan Al-Qurr’an :
)496 : (ال عمران Artinya : “Maka Allah mereka memperkenankan permohonannya (dengan berfirman): "Sesungguhnya aku tidak menyia-nyiakan amal orangorang yang beramal di antara kamu, baik laki-laki atau perempuan, (karena) sebagian kamu adalah turunan dari sebagian yang lain. Maka orang-orang
9
cet I
10
Siti Muri’ah, Perempuan Karit dalam Bingkai Islam, (Bandung : Angkasa ) h. 188
Syeikh Muhammad Ghazali, Tafsir Tematik dalam Al-Qur’an. (Jakarta : Gaya Medika, 2004 ), h. 49.
64
yang berhijrah, yang diusir dari kampung halamannya, yang disakiti pada jalan-Ku, yang berperang dan yang dibunuh, pastilah akan Ku-hapuskan kesalahan-kesalahan mereka dan pastilah aku masukkan mereka ke dalam surga yang mengalir sungai-sungai di bawahnya, sebagai pahala di sisi Allah. dan Allah pada sisi-Nya pahala yang baik." (Qs. Ali-Imran : 195) Islam sangat menghargai kerja keras waktu yang berjalan harus dimanfaatkan semaksimal mungkin, bahkan tidak dibenarkan waktu yang dihabiskan dengan ibadah secara berlebihan, demikian kerasnya kualitas kerja. Hal ini sesuai dengan firman Allah SWT. Dalam surat al-Juma’ah 62 : 10 yang berbunyi : ) 41: (الجمعت
Artinya : ‘’ apabila telah ditunaikan shalat, Maka bertebaranlah kamu di muka bumi; dan carilah karunia Allah dan ingatlah Allah banyakbanyak supaya kamu beruntung.’’ (Qs. Al-Jumu’ah 62 : 10). Perempuan mempunyai hak untuk bekerja, sebagaimana pria, meskipun ada persyaratan tertentu. Beberapa Al-Qur’an secara eksplisit memberikan kesempatan yang sama terhadap pria dan perempuan untuk meraih prestasi yang optimal. “ penegasan antara lain berada dalam surat alNahl 16 : 97 :
65
)99 : (النحل Artinya : Barangsiapa yang mengerjakan amal saleh, baik laki-laki maupun perempuan dalam Keadaan beriman, Maka Sesungguhnya akan Kami berikan kepadanya kehidupan yang baik. (Qs. An-Nahl : 97) Dalam ayat tersebut jelas memberikan keluasan kepada Laki-laki dan perempuan untuk aktif dalam berbagai kegiatan, keleluasaan untuk berkarir dalam semua lapangan pekerjaan yang sesuai dengan kodratnya.11 Islam adalah agama yang mendorong pemeluknya untuk bekerja. Islam membenci pengangguran dan orang-orang yang tidak menghargai waktu. Islam mengajarkan pemeluknya tekun bekerja, beraktifitas, disiplin dan beramal shaleh demi kebahagiaan hidupnya. Dalam hal ini, ada beberapa alasan mengapa kaum perempuan diharuskan bekerja. Kaum perempuan diperintahkan untuk beramal shaleh seperti yang diperintahkan kepada kaum laki-laki. Allah SWT berfirman :
(46 :110 / (( الكهف Artinya : katakanlah : sesungguhnya aku ini manusia biasa seperti
kamu, yang diwahyukan kepadaku.’’ Bahwa sesungguhnya Allah kamu itu adalah Allah yang Esa’’. Barangsiapa mengharap perjumpaan dengan 11
Huzaemah T Yanggo, Fikih Perempuan Kontemporer, Cet I (Jakarta : AlMawardi Prima, 2002) h. 155.
66
Allahnya, maka hendaklah ia mengerjakan amal yang saleh dan janganlah ia mempersekutukan seorangpun dalam beribadat kepada Allahnya’’. (Qs. AlKahfi : 110). Jika kita memperbolehkan perempuan berkarir, maka haruslah dengan beberapa syarat dan ketentuan-ketentuan serta batasan-batasan yaitu, menjaga adab perempuan muslimah saat keluar dari rumahnya, dengan menjaga cara berpakaian, berjalan, berbicara, bahkan bergerak.12 Allah berfirmah dalam surat An-Nur ayat 31 :
Artinya : ‘’ katakanlah kepada perempuan yang beriman :’’ Hendaklah mereka menahan pandangannya, dan kemaluannya, dan janganlah mereka menampakkan perhiasannya, kecuali yang (biasa) nampak dari padanya. Dan hendaklah mereka menutupkan kain kudung kedadanya, dan janganlah menampakkan perhiasannya kecuali kepada suami mereka, atau ayah mereka, atau ayah suami mereka, putera-putera mereka. Atau putera-putera mereka, atau saudara-saudara laki-laki mereka, atau puteraputera saudara lelaki mereka, atau putera-putera saudara perempuan 12
Amru Abdul Karim Sa’dawi, Perempuan dalam Fiqih Al-Qur’an. ( Jakarta : Pustaka Al-Kautsar, 2009). H. 271.
67
mereka, atau perempuan-perempuan Islam, atau budak-budak yang mereka miliki, atau pelayan-pelayan laki-laki yang tidak mempunyai keinginan ( terhadap perempuan) atau anak-anak yang belum mengerti aurat perempuan. Dan janganlah mereka memukulkan kakinya agar diketahui perhiasan yang mereka sembunyikan. Dan bertaubatlah kamu sekalian kepada Allah, hai orang-orang yang beriman supaya kamu beruntung. ( Qs. An-Nur : 31). Dengan kata lain persoalan isteri bekerja di ranah publik seharusnya tidak ada diskriminasi antara laki-laki dan perempuan. Selain tidak melalaikan kewajibannya dan tidak keluar dari jalur syariat yang sudah ditetapkan Islam. Selama ini berkembang pola pikir yang membentuk pandangan sterotipe tentang perempuan. Pandangan ini kemudian memuculkan rumusan sepihak mengenai bagaimana hakikat perempuan sebenanrnya. Pada giliranya, hal ini membentuk tingkah laku dan sikap perempuan yang diterjemahkan menjadi kodrat perempuan yang tidak bisa diubah. Pola pikir demikian kuatnya dibentuk dan menjadi semacam ajaran agama yang berkembang subur dalam masyarakat sampai kini. Pandangan semacam ini justru banyak yang disalahartikan oleh sebagian umat Islam. Konsep kesetaraan ini mengisyaratkan dua pengertian. Pertama, Al-Qur’an dalam pengertian umum mengakui martabat laki-laki dan perempuan dalam kesetaraan tanpa membedakan jenis kelamin. Kedua, laki-laki dan perempuan
68
mempunyai hak dan kewajiban yang setara dan sejajar dalam berbagai bidang.13 Dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI) pasal 7914 yang berbunyi : 1). Suami adalah kepala keluarga dan isteri adalah ibu rumah tangga. 2). Hak dan kedudukan isteri adalah seimbang dengan hak dan kedudukan suami dalam kehidupan rumah tangga dan pergaulan hidup bersama dalam masyarakat. 3) Masing-masing pihak berhak untuk melakukan perbuatan hukum . Analisa penulis, dalam KHI dijelaskan dalam pasal 79 bahwasanya lak-laki adalah kepala rumah tangga, dan istri adalah ibu rumah tangga. maksud dalam penjelasan laki-laki adalah kepala rumah tangga karena tanggung jawab dalam keluarga sepenuhnya milik laki-laki, tanggung jawab yang dimaksud adalah berupa nafkah. Karena salah satu kewajiban suami adalah memberikan nafkah untuk keluarganya. Oleh karena itu kedudukan laki-laki dilebihkan satu derajat di atas kaum perempuan karena laki-laki mempunyai tanggung jawab yang besar dalam rumah tangga. sesuai dengan firman Allah surat Al-Baqoroh [2] (228) : )332 : (البقراة Artinya :
‘’ Para isteri mempunyai hak yang seimbang dalam
kewajibannya menurut cara ma’ruf akan tetapi para suami mempunyai satu derajat kelebihan atas mereka (para isteri)’’... (QS. Al-Baqarah [2] : 228).
13
Zaitunah Subhan, Al-Qur’an dan Perempuan Menuju Kesetaraan Gender dalam Penafsiran.h.39. 14 Undang-undang Kompilasi Hukum Islam, (Bandung : Fokusindo Mandiri, 2013), h. 34.
69
Meskipun kedudukan laki-laki dilebihkan satu derajat dari kaum perempuan
karena laki-laki mempunyi kewajiban finansial dalam rumah
tangga sebagai kepala rumah tangga, tetapi kedudukan laki-laki dan perempuan pada hakikatnya di mata Allah itu sama, yang membedakan hanya ketakwaanya saja.
BAB V KESIMPULAN DAN SARAN A. Kesimpulan Dari hasil penelitian dan analisa yang telah diuraikan tentang Suami Melarang Istri Bekerja Tinjauan dari Undang-undang No. 23 Tahun 2004 Tentang PKDRT dari Perspektif Hukum Islam.dapat disimpulkan hal-hal sebagai berikut : 1. Tindakan suami dalam melarang Isteri bekerja merupakan salah satu bentuk KDRT dan pelanggaran hak asasi manusia (HAM).
KDRT
meliputi penderitaan secara seksual, psikologis ataupun penelantaran rumah tangga, didalamnya juga termasuk ancaman-ancaman, pemaksaan, serta pengekangan yang melawan hukum terhadap seseorang terutama perempuan dalam lingkup rumah tangga. Kekerasan terhadap perempuan adalah setiap perbuatan berdasarkan pembedaan jenis kelamin yang mengakibatkan kesengsaraan dan penderitaan perempuan secara fisik, seksual, dan psikologis. Termasuk ancaman tindakan tertentu, pemaksaan atau perampasan kemerdekaan secara sewenang-wenang, baik dalam kehidupan publik maupun kehidupan pribadi. 2. Pada dasarnya, Islam memerintahkan umatnya untuk bekerja keras dalam upaya memenuhi kebutuhan hidupnya, Perempuan bekerja bukan menjadi faktor utama terjadinya kekerasan dalam rumah tangga, Islam memuliakan manusia tanpa memandang jenis kelaminya dan menjadikan ketakwaan sebagai ukuran kemuliaanya. Hak dan kedudukan istri adalah seimbang
70
71
dengan hak dan kedudukan suami dalam kehidupan rumah tangga Bahwa prinsip hubungan dalam keluarga adalah kesetaraan dalam kewajiban atau adanya keseimbangan dan keterpaduan. Penetapan laki-laki lebih tinggi satu derajat dari perempuan ini bukanlah menunjukan bahwa laki-laki lebih berkuasa dari wanita, tetapi hanya menunjukan bahwa laki-laki itu adalah pemimpin rumah tangga disebabkan karena terjadinya akad nikah. Dan karena akad ini pula suami wajib memberi nafkah isterinya, anakanak dan keluarganya, serta berkewajiban menyediakan keperluankeperluan yang lain yang berhubungan dengan kehidupan keluarga.
72
B. Saran-saran Sebagai catatan akhir penulis akan memberikan saran : 1. Masalah Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT) merupakan masalah yang tidak bisa dianggap biasa, seharusnya Undang-undang KDRT menjelaskan maksud dari asas kesetaraan gender itu secara jelas, dan tidak bertentangan dari Hukum Islam yang ada di Indonesia. 2. Seharusnya kaum feminis lebih menelaah dan mendalami secara mendalam tentang KDRT menurut Islam, tidak selalu mendiskriminasi bahwa agama Islam itu agama yang pertama kali timbulnya KDRT terutama kekerasan ekonomi.
DAFTAR PUSTAKA Abidin, Slamet dan H. Aminuddin. Fikih Munakahat. Bandung : Pustaka Setia, 1999. Adib, Faishol dan Farid Muttaqin. Panduan Untuk Pendamping Perempuan Korban Kekerasan Berbasis Pesantren. Jakarta : Puan Amal Hayati, 2005. Ahmadi, Fahmi Muhammad dan Jaenal Aripin. Metode Penelitian Hukum ( Lembaga Penelitian). Jakarta, 2010 Ali, Zainudin. Sosiologi Hukum. Jakarta : Sinar Grafika, 2006. Albar, Muhammad, Wanita Dalam Timbangan Islam. Jakarta : Daar AlMuslim, Beirut. Al-Qardawi, Yusuf. Panduan Fikih Perempuan. Yogyakarta : Salma Pustaka, 2004. Ash-Subki, Ali Yusuf. Fikih Keluarga Pedoman Berkeluarga Dalam Islam. Jakarta : Amzah, 2010. Ash-Shiddieqi, Hasbi. Al-Qur’an dan Terjemahannya ( Jakarta : Departemen Agama RI, 1998. Asmawi, Mohammad. Nikah Dalam Perbincangan dan Perbedaan . Yogyakarta : Darussalam, 2004. Ayyub, Syaikh Hasan. Fikih Keluarga, cet.V. Jakarta : pustaka AlKautsar, 2006. Az-Zuhaili, Wahbah. Fikih Islam Wa adilatuhu jilid VII. Gema Insasi. Berita Komnas Perempuan. Meneguhkan Mekanisme Hak Asasi Perempuan. Edisi 8 Januari 2012. artikel diakses pada tanggal 21 Juni 2016 Ch, Mufidah. Paradigma Gender, cet.II Malang : IB Bayu Media, 2004. Ciciek, Farhah. Ikhtiar Mengatasi Kekerasan Dalam Rumah Tangga (Belajar Dari Kehidupan Rasulullah Saw. Jakarta : Lembaga Kajian Agama dan Gender, 1999. Departemen Agama RI. Modul Keluarga Sakinah. Jakarta : Dirjen Bimas dan Haji, 2000 Dewi, Nisa Risa. Kekerasan Dalam Rumah Tangga, Artikel diakses pada tanggal 1Maret 2006 dari http://eprints.unsri.ac.id/1301/
73
74
Djannah, Fathul dkk. Kekerasan Terhadap Isteri, cet.II. Yogyakarta : LKIS Yogyakarta, 2007. Engineer, Ashgar Ali, Hak-hak Perempuan dalam Islam. Yogyakarta : Yayasan Bintang Budaya, 1994 Ghazali, Syeikh Muhammad. Tafsir Tematik Al-Qur’an. Jakarta : Gaya Medika,2004. Hanani, Silfia. Mengatasi Kekerasan Dalam Rumah Tangga Melalui Institusi Adat Minangkabau. Artikel diakses pada tanggal 1 Maret 2006 Hasan, Muhammad Ali. Pedoman Hidup Berumah Tangga Dalam Islam. Jakarta : prenada Media, 2013. Hn, Nursyahid, dkk. Undang-undang Republik Indonesia Nomer 23 Tahun 2004 Tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT). Jakarta : Panca Usaha , 2004. Hamka. Kedudukan Perempuan Dalam Islam. Jakarta : Pustaka Panjimas, 1983 Indra, Hasbi, Potret Wanita Sholehah. Jakarta : Penamadani, 2005. Ibrahim, Johnmy. Teori dan Penelitian Hukum Normatif . Jakarta : Banyumedia. 2008. Istiadah. Membangun Bahtera Keluarga yang Kokoh. Jakarta : PT.Gramedia Pustaka Utama. Jamaa, La. Kekerasan Dalam Rumah Tangga Menurut Fikih. Ahkam XIII No. 01 ( Januari 2013 : h. 65-80 Kusmana. Hak Asasi Manusia Menurut Al-Qur’an dan Hadist. Jakarta : PBB UIN, 2003. Kompilasi Hukum Islam (KHI). Bandung : Fokusindo Mandiri,2013. Lajanah Pentasihan Mushaf Al-Qur’an, Tafsir Al-Qur’an Tematik. Jakarta : Kamil Pustaka, 2014 Nawawi, Muhammad. Syarh ‘Uqud al-Lujjain (Keluarga Sakinah) alih bahasa M. Ali Chasan Umar. Semarang : Karya Toha Putra, 1994 Nurudin, Amiur dan Azhari Akmal Tarigan,. Hukum Perdata Islam di Indonesia. Jakarta : Prenada Media 2004. Muri’ah, Siti. Wanita Karit Dalam Bingkai Islam, Bandung : Angkasa
75
Muchtar, Kamal. Asas-Asas Hukum Islam Tentang Perkawinan, Jakarta : Bulan Bintang, 1988. Mubarok, Husni, Peran Pemerintah dalam Penyelesaian Kasus KDRT. Artikel diakses pada tangga 19 Juli 2015 Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa Indonesia, Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta : Balai Pustaka, 1994. Qordhawi, Yusuf. Fatwa-fatwa Kontemporer jilid III. Jakarta : Gema Insani Press, 1995. Sa’dawi, Amru Abdul Karim, Wanita dalam Fikih Al-Qur’an. Jakarta : Pustaka Al-Kautsar, 2009. Sabiq, Sayyid. Fikih Sunnah Jilid III, cet.II. Jakarta : Cakrawala Publishing, 2011. Simorangkir, dkk. Kamus Hukum. Jakarta : Aksara Baru, 1987. Soemitro, Roni Hanitijo. Metodelogi Penelitian Hukum dan Jarimetri. Jakarta : Ghalia Indonesia, 1990. Soeroso, Moerti Hadiati. Kekerasan Dalam Rumah Tangga Perspektif Yuridis Viktimologis. Jakarta : Sinar Grafika, 2011. Subhan, Zaitunnah. Mengagas Fikih Pemberdayaan Prempuan. Jakarta : El-Kahfi, 2008. __________, Kekerasan Terhadap Perempuan. Sewon Bantul : Pustaka Pesantren, 2004 __________, Al-Qur’an dan Perempuan (Menuju Kesetaraan Gender dalam Penafsiran. Jakarta : Prenada Media Group, 2015 Surin, Bachtiar, adz-zikraa ( Terjamaah dan Tafsir Al-Qur’an). Bandung : Angkasa, 1991. Syarifuddin, Amir. Hukum Perkawinan Islam di Indonesia (Fikih Munakahat dan Undang-undang Perkawinan). Jakarta : Prenada Media Group, 2009. Tihami, Ahmad dan Sohari Sahrani. Fikih Munakahat (Kajian Fikih Nikah). Jakarta : RajaGrafindo Persada. Undang-undang Kompilasi Hukum Islam, Bandung : Fokusindo Mandiri, 2013 Wahid, Abdurahman, dkk. Islam Tanpa Kekerasan. Yogyakarta : LKIS, 1987.
76
Wahab, Rohmat. Kekerasan Dalam Rumah Tangga Pespektif Psikologis dan Edukatif. Artikel diakses pada tanggal 4 Maret 2016 dari http://staff.uny.ac.id Widen, Kumpiady. Gender Kemiskinan Kekerasan Dalam Rumah Tangga. Jakarta : Mihdada Rahma Press, 2007. Wiyarsih, Antuni dkk. Survey Terjadinya Kekerasan Dalam Rumah Tangga Wanita Karier di Daerah Yogyakarta. 2010 Yanggo, Huzaimah Tahido. Massail Fiqhiyah (Kajian Hukum Islam Kontemporer). Bandung : Angkasa, 2005. __________, fiqih prempuan Kontemporer. Jakarta : Al- Mawardi Prima, 2002 Zuhriah, Nurul. Metode Penelitian Sosial dan Pendidikan Teori Aplikasi. Jakarta : PT. Bumi Aksara, 2008.