VOL. 01 NO. 1 Oktober 2015
ISSN : 2477 - 3131
PEMBERIAN IZIN DARI SUAMI TERHADAP ISTRI YANG BEKERJA PERSPEKTIF HUKUM ISLAM *Oleh: Susiana, MA
Abstract : This journal was conducted to determine how the wife against the husband’s permission to work. In other words how to know Islamic legal review of the lagality of permits husbands against wives who work happens to be an issue that is considered cause diffrences among scholars, some think a wife should work outside the home and there are thought not be in this case the frequent conflicts in the household. The legality oh the husband’s permission is in need at the time of wives out of the house, therefore examines the concept of Islamic law permits a husband to a wife who works. The legality of the permit is in accordance with Islamic law. Keyword : Wives, Legality, and career woman Pendahuluan Dalam Islam pembentukan sebuah keluarga dengan menyatukan seorang pria dan wanita diawali dengan suatu ikatan suci, yakni ikatan perkawinan. Al-Qur’an menamainya dengan kata mitsaqan ghalizhan (janji yang kuat). Ikatan ini mensyaratkan komitmen dari pasangan suami isteri serta perwujudan dan hak-hak serta kewajiban bersama. Hak dan kewajiban seorang suami istri merupakan hal penting yang harus diperhatikan dalam kehidupan berumah tangga. Mengingat keharmonisan sebuah rumah tangga sangat ditentukan sejauhmana kedua pasangan tersebut dapat melaksanakan tugas dan kewajiban masing-masing. Keharmonisan dalam rumah tangga akan terelalisasi selama suami dan istri melaksanakan dan tetap konsisten dengan kewjiban masing-masing. Selama ini gagalnya rumah tangga terjadi lantaran masing-masing tidak mengetahui apa kewajiban dan apa haknya, sehingga karena ketidaktahuan itulah baik suami maupun istri kurang memahami secara jelas apa yang harus dilakukannya. Demikian juga, gagalnya suatu rumah tangga juga disebabkan kedua pasangan hanya memperhatikan hak-haknya saja tampa memperhatikan kewajiban yang seharusnya dilaksanakan. Yang terjadi kemudian adalah ketimpangan dan ketidakseimbangan,
lantaran hak lebih besar dituntut daripada kewajiban yang seharusnya dilaksanakan. Dalam pelaksanaannya, banyak sekali ketimpangan yang terjadi dalam pemenuhan hak dan kewajiban antara suami istri, dimana budaya patriarkhi yang masih mendominasi dunia membuat kesetaraan dalam pemenuhan hak dan kewajiban antara suami dan istri belum dapat terpenuhi dalam arti yang seimbang. Masih tetap saja terjadi ketidaksimbangan antara keduanya. Dewasa ini, banyak perkembangan yang terjadi dalam sebuah rumah tangga. Banyak problematika yang terjadi dalam hubungan suami istri. Dalam perkembangannya Keberadaan dan eksistensi seorang istri tidak hanya dalam wilayah domestik keluarga (kegiatan rumah tangga). Namun, realitas yang berkembang seorang istri banyak yang mengisi hari-harinya dengan aktifitas diluar rumah, baik dalam urusan kerja maupun kegiatan sosial. Dari perkembangan yang cukup signifikan mengenai keberadaan dan peran serta seorang wanita dalam dunia kerja. Secara tidak langsung akan menimbulkan dampak bagi keutuhan rumah tangga yang dijalin. Apalagi ketika menghadapi kenyataan bahwa pendapatan seorang istri lebih besar dari pada seorang suami, dan istri yang lebih banyak mengeluarkan uang untuk menopang biaya kehidupan rumah tangga. Jurnal Tamaddun Ummah - vol. 1
1
VOL. 01 NO. 1 Oktober 2015
Pengertian Izin (suami terhadap istri yang bekerja) Menurut Pendapat Para Ulama Sebagai agama yang kaffah, Islam tidak hanya melingkupi dan mengatur perbuatan manusia dalam hubungannya dengan dirinya sendiri, sesama manusia dan alam, termasuk di dalamnya tentang bekerja yang tampaknya bersifat duniawi. Bekerja adalah segala usaha maksimal yang dilakukan manusia, baik lewat gerak anggota tubuh ataupun akal untuk menambah kekayaan, baik dilakukan secara perseorangan ataupun secara kolektif, baik untuk pribadi ataupun untuk orang lain dengan menerima gaji (Yusuf Qardhawi, 1997:105). Dalam dunia ekonomi, bekerja merupakan sendi utama produksi selain alam dan modal. Hanya dengan bekerja secara disiplin dan etos yang tinggi, produktivitas suatu masyarakat menjadi tinggi, semakin tinggi produktivitas, semakin .besar kemungkinannya bagi masyarakat itu untuk mencapai kesejahteraan dan kemakmuran. Manusia diciptakan Allah SWT. Sebagian makhluk yang mempunyai kebutuhan berupa makan, minum, pakaian, tempat tinggal, dan keturunan. Sementara itu Allah SWT tidak menyediakan kebutuhan-kebutuhan itu dalam bentuknya yang siap makan, siap minum atau siap pakai. Allah SWT menyediakan semua kebutuhan itu, tetapi manusia harus bekerja untuk mendapatkannya, tak terkecuali para nabi. Firman Allah dalam surat Al-Furqan ayat 20 yang berbunyi: “Dan kami tidak mengutus rasul-rasul sebelummu, melainkan mereka sunnguh memakan makan dan berjalan di pasarpasar, dan kami jadikan sebahagian kamu
ISSN : 2477 - 3131
cobaan bagi sebagian yang lain. Maukah kamu bersabar? Dan adalah Tuhanmu Maha melihat.” (Al-Furqan: 20). Namun sudah menjadi sunnatullah bahwa rezeki semua makhluk hidup, sebagaimana terungkap dalam firman Allah SWT: “Dan tidak ada suatu binatang melata pun di bumi melainkan Allah-lah yang memberi rezekinya, dan mengetahui tempat berdiam binatang itu dan tempat penyimpannya. Semua tertulis dalam Kitab yang nyata (Laufu Mahfudz)”. Namun sudah menjadi sunnatullah bahwa rezeki itu baru bisa dicapai melalui bekerja. Al-Qur’an Surat Al-Mulk ayat 15 secara eksplisit menegaskan hal ini: “Dialah yang menjadikan bumi itu mudqah bagi kamu, Maka berjalanlah di segala penjurunya dan makanlah sebahagian dari rezeki-Nya. Dan hanya kepada-Nya-lah kamu (kembali setelah) dibangkitkan”. Seiring dengan itu perlu ditumbuhkankan suatu kesadaran akan pentingnya kapasitas bekerja dengan berusaha bagi setiap individu baik pria maupun wanita, karena wujud kemitraan pria dan wanita berhajat kepada adanya kerjasama dan keterpaduan dalam memikul tanggung jawab mereka. Setelah mencermati berbagai motif bekerja bagi wanita maka penelusuran selanjutnya diarah pada pandangan Islam terhadap bekerja wanita. Sebagaimana termaktub dalam uraian-uraian terdahulu, bahwa wanita mempunyai hak, kewajiban yang sama dengan pria, wanita mempunyai peluang bekerja sebagaimana pria. Cukup banyak ayat Al-Qur’an maupun Hadist Nabi yang memberikan pemahaman esensial : bahwa Islam mendorong wanita maupun pria Jurnal Tamaddun Ummah - vol. 1
2
VOL. 01 NO. 1 Oktober 2015
ISSN : 2477 - 3131
untuk bekerja. Dalam surat An-Nisa’ ayat 32 Allah SWT berfirman: “Dan janganlah kamu iru hati terhadap apa yang dikaruniakan Allah kepada sebagian kamu lebih banyak dari sebagian yang lain. Karena bagi orang laki-laki ada bagian dari apa yang mereka usahakan, dan bagi para wanita (pun) ada bahagian dari apa yang mereka usahakan, dan mohonlah kepada Allah sebagian dari karunia-Nya. Sesungguhnya Allah Maha mengetahui segala sesuatu”. Dari ayat ini dapat dipahami bahwa dalam beribadah maupun berkarya, wanita memperoleh imbalan dan pahala yang tidak berbeda dengan pria. Islam tidak membedakan pengakuan dan apresiasi terhadap kinerja atas dasar jenis kelamin. Bahkan ditegaskan bahwa prestasi akan dicapai jika usaha dilakukan secara maksimal diserta do’a. Dengan demikian, jelaskan kiranya bahwa wanita bisa bekerja dan dapat mencapai prestasi sama dengan pria atau bahkan melabihi, bergantung pada usaha dan do’anya. Penegasan Allah SWT bahwa wanita dan pria diberi hak dan peluang yang sama baik dalam beramal, bekerja maupun berprestasi dapat disimak pula dalam surat An-Nisa’ ayat 124: ”Barangsiapa yang mengerjakan amalamal saleh, baik laki-laki mapun wanita sedang ia orang yang beriman, maka
mereka itu masuk ke dalam surga dan mereka tidak dianiaya walau sedikitpun.” Beberapa ayat al-qur’an tersebut cukup menjadi bukti bahwa ajaran Islam menjunjung tinggi hak-hak wanita. Islam memberikan motivasi yang kuat agar para muslimah mampu bekerja di segala bidang sesuai dengan kodrat dan martabatnya. Islam membebaskan wanita dari belenggu kebodohan, ketertinggalan dan perbudakan. Dengan demikian, Islam memang agama pembebasan dari perbudakan antar manusia maupun hawa nafsunya. Konsep ini selaras dengan prinsip kebebasan yang dianut. Hanya saja, melalui Islam manusia dituntun hidup bebas yang sesuai dengan tuntunan Tuhan (Amanat Nasional, 1999). Masalah yang timbul kini berkaitan dengan keterlibatan wanita dalam dunia kerja yang ruang geraknya di sektor publik, sedangkan di sisi lain wanita sebagai ra’iyah fi baiti zaujiha (penanggung jawab dalam masalah-masalah intern rumah tangga). Dalam hal legalitas izin suami terhadap istri bekerja menimbulkan berbeda pendapat ulama. Menurut Abbas Mahmud Al-Aqqa’d misalnya tidak memperbolehkan wanita (istri) bekerja di luar rumah. Alasannya karena pria telah diberi kelebihan kemampuan dalam menghadapi hidup dari para wanita. Karena itu “kerajaan” wanita terletak di rumah tangga, meskipun ia memiliki kesanggupan intelektual maupun fisik yang sama dengan pria, namun dalam kondisi tertentu wanita harus mundur dariperjuangan hidup selama hamil, melahirkan, dan menyusui anak. Kecuali bila wanita terpaksa harus mencari nafkah sendiri, maka Al-Aqqa’d membolehkannya bekerja. (Abbas Mahmud, Tt: 124). Mustafa al-Siba’i sependapat sependapat dengan Al-Aqqad, yakni membolehkan wanita bekerja manakala tidak ada seseorang yang menjamin nafkah padanya. Itupun hanya pekerjaan-pekerjaan tertentu di rumah terutama bila yang bersangkutan mempunyai anak. (Mustafa AlSiba’i, 1984: 64) Jurnal Tamaddun Ummah - vol. 1
3
VOL. 01 NO. 1 Oktober 2015
Dalam kegiatan sosial maupun politik, meskipun tidak ada larangan secara eksplisit, namun pada masa Rasul Saw dan masa sahabat tidak ada wanita yang berprofesi sebagai politikus. Keterlibatan mereka di medan perang untuk menjadi perawat dan juru masak sekedar partisipasi dan bukan pemegang posisi strategis. Ia beranggapan bahwa wanita yang bekerja di luar rumah, lebih banyak mudharatnya dibandingkan manfaat yang diraihnya, yaitu mendapatkan fitnah yang dapat merusak sendi-sendi kehidupan rumah tangganya. (Mustafa AlSiba’i,1984) Pendapat M. Muthabari meskipun dengan reasoning yang berbeda. Pertama, ia melakukan pemilihan fungsi suami dan istri dalam rumah tangga. Suami berfungsi sebagai pencari nafkah sedangkan istri harus tinggal di rumah untuk mengatur urusan rumah tangga dan pendidikan anak. Kedua, wanita membutuhkan pria dalam masalah material dan finansial, sedangkan pria membutuhkan wanita dari aspek rohani, karena itu wanita dilarang bekerja di luar rumah agar kecantikannya tidak pudar guna menyenangkan suami. (Murtaza Murthabari, 1985:182) Abdurrahman Taj berpendapat bahwa seorang istri bekerjasehari penuh atau sebagian waktu siang, kemudian pada malam hari berada di rumah (suaminya) atau bekerja di malam hari dan menggunakan sisa waktu malamnya bersama suami maka apabila pihak suami wajib memberinya (istri) nafkah, sebaliknya manakala ia (suami)tidak rela maka ia tidak (wajib) pikiran untuk mencegahnya dan manakala istrinya menolak untuk berhenti kerja, maka gugurlah kewajiban suami memberi nafkah. Rafi’at at-Tahtwi menyatakan bahwa tidak perlu ada diskriminasi atau perbedaan dalam memberikan kesempatan memperoleh pendidikan antara anak wanita dan pria, agar dalam mengarungi kehidupannya wanita serasi mengimbangi pria terutama pasangan hidupnya. Dengan pendidikan wanita
ISSN : 2477 - 3131
diharapkan dapat memperoleh pekerjaan yang layak sesuai dengan kemampuan dan kodratnya, sehingga hidupnya produktif, tidak stress atau menjadi penghayal karena terlalu banyak waktu luang yang ia lalui, sehingga menimbulkan kejenuhan dan melahirkan sikap-sikap negatif yang merugikan orangorang yang ada disekitarnya. Menurut Al-Hatimi, wanita boleh saja bekerja, bahkan dibolehkan pula menduduki jabatan strategis atau peranan penting di masyarakat dengan catatan tetap tunduk pada ajaran syari’at yang menghidupi kesuciannya serta tidak menelantarkan peran utamanya sebagai ibu rumah tangga. Pendapatnya ini bertolak dari fakta historis tentang partisipasi para wanita di zaman Nabi Saw. Dalam peperangan, misalnya mengangkat atau ,menyediakan air minum para prajurit, memasak, menyediakan makanan, menjaga, merawat prajurit yang sakit, menjaga dan memelihara kendaraan, memata-matai musuh, menjahit pakaian dan sebagainya. (Moenawar Khalil,1989:81) Berikut beberapa Hadist Nabi yang menikutserta aktivitas wanita pada zaman Nabi Saw yang artinya: ”Hadist dari Aisyah r.a yang menyatakan,”Apabila Rasulullah Saw hendak pergi mengundi semua istriistrinya, maka panah siapa yang keluar dialah yang diajak mendampingi beliau, pada suatu saat beliauy hendak pergi dalam suatu peperangan, keluarlah panah saya dalam undian itu, maka saya pergi mendampngi Rasulullah pada saat itu ayat hijab telah diturunkan.” (H.R.Bukhori dan Muslim) “Dari Rubai binti Mua’awwiz berkata,”Kami pernah bersama-sama Nabi, untuk menyiapkan makan minum, mengobati tentara yang terluka, dan membawa pahlawan-pahlawan yang gugur pulang ke Madinah.” (HR. Bukhori dan Muslim) Jurnal Tamaddun Ummah - vol. 1
4
VOL. 01 NO. 1 Oktober 2015
Tokoh lain yang membolehkan wanita bekerja diluar rumah adalah Al-Sakkhawi yang menyatakan bahwa wanita-wanita yang mempunyai keahlian atau kepandaian tertentu, seharusnya diabdikan kepada masyarakat agar manfaatnya menyebar kepada orang banyak. Jamal Al-Din Muhammad Mahmud sependapat dengan AlSakhhawi bahwa wanita berhak mendapatkan kesempatan untuk bekerja (di sektor publik) apabila yang bersangkutan membutuhkan orang-orang seperti dia (dalam keahlian tertentu) bahwa seharusnya dibuat undangundang yang sesuai dengan hukum Islam untuk melindungi dan menjamin kesejahteraan pekerja-pekerja wanita itu. (Siti Muriah,2010:191) Dampak Legalitas Izin Suami Terhadap istri Yang Bekerja Di masa lampau, wanita masih sangat terikat dengan nilai-nilai tradisonal yang mengakar di tengah-tengah masyarakat. Sehingga jika ada wanita berkarir untuk mengembangkan keahliannya diluar rumah, maka mereka dianggap telah melanggar tradisi sehingga mereka dikucilkan dari pergaulan masyarakat dan lingkungannya. Dengan demikian mereka kurang mendapat kesempatan untuk mengembangkan diri di tengah –tengah masyarakat. Sejalan dengan perkembangan zaman, kaum wanita dewasa ini khususnya mereka yang tinggal di kota-kota besar cenderung untuk berperan ganda bahkan ada yang multi fungsional karena mereka telah mendapat kesempatan yang seluas-luasnya untuk mengembangkan diri sehingga jabatan dan pekerjaan penting di dalam masyarakat tidak lagi dimonopoli oleh kaum laki-laki. Sudah tentu hal itu akan berdampak terhadap sendi-sendi kehidupan sosial, baik positif maupun negatif. a. Dampak Positif 1. Terhadap Kondisi Ekonomi keluarga
ISSN : 2477 - 3131
Dalam kehidupan manusia, kebutuhan ekonomi merupakan kebutuhan primer yang dapat menunjang kebutuhan yang lainnya. Kesejahteraan manusia dapat tercipta manakala kehidupannya ditunjang dengan perekonomian yang baik pula. Dengan berkarir, seorang wanita tentu saja mendapatkan imbalan yang kemudian dapat dimanfaatkan untuk menambah dan mencukupi kebutuhan sehari-hari. 2. Sebagai Pengisi Waktu Pada zaman sekarang ini hampir semua peralatan rumah tangga memakai tekhnologi yang mutakhir, khususnya di kota-kota besar. Sehingga tugas wanita dalam rumah tangga menjadi lebih mudah dan ringan. Belum lagi mereka di rumah akan menjadi sangat berkurang. Hal ini bisa menyebabkan wanita memiliki waktu luang yang snagat banyak dan seringkali membosankan. Maka untuk mengisi kekosongan tersebut diupayakanlah suatu kegiatan yang dapat dijadikan sebagai alat untuk mengembangkan potensi yang ada dalam diri mereka. 3. Peningkatan Sumber Daya Manusia Kemajuan tekhnologi di segala bidang kehidupan menuntut sumber daya manusia yang potensial untuk menjalankan tekhnologi tersebut. Bukan hanya pria bahkan wanitapun dituntut untuk bisa dapat mengimbangi perkembangan tekhnologi yang makin kian pesat.. jenjang pendidikan yang tiada batas bagi wanita telah menjadikan mereka sebagai sumber daya potensial yang diharapkan dapat mampu berpartisipasi dan berperan aktif dalam pembangunan, serta dapat berguna bagi masyarakat, agama, nusa dan bangsanya.
Jurnal Tamaddun Ummah - vol. 1
5
VOL. 01 NO. 1 Oktober 2015
4. Percaya Diri dan Lebih Merawat Penampilan Biasanya seorang wanita yang tidak aktif dinluar rumah akan malas untuk berhias diri, karena ia merasa tidak diperhatikan dan kurang bermanfaat. Dengan berkarir, maka wanita merasa dibutuhkan dalam masyarakat sehingga timbullah kepercayaan diri. Wanita karir akan berusaha untuk mempercantik diri dan penampilannya agar selalu enak dipandang. Tentu hal ini akan menjadikan kebanggan tersendiri bagi suaminya, yang melihat istrinya tampil prima di depan para relasinya. 5. Psikologis Bekerja atau berkarir umumnya diasosiasikan dengan kebutuhan ekonomi-prodiktif. Namun sebenarnya ada kebutuhan lain bagi setiap individu, termasuk wanita yang dapat dipenuhi dengan bekerja. Diantara kebutuhan itu adalah kebutuhan akan pengakuan, penghargaan, dan aktualisasi diri.(Hamka,1973:11) 6. Sosiologis Seringkali dijumpai di perusahaan, adanya pegawai atau karyawan yang menolak dipindahkan atau diberhentikan butuh karena khawatir kehilangan upah atau fasilitas tertentu, tetapi karena tidak ingin berpisah dengan teman kerjanya. Bahkan ia rela tetap dibayar rendah, sedangkan ditempat yang baru gajinya lebih tinggi. Ini menunjukkan bahwa motif ekonomi bukan satu-satunya faktor yang melatarbelakangi seseorang bekrja dan menekuni karir. Dengan bekerja, wanita dapat menjalin ikatan dalam pola interrelasi kemanusiaan. Interrelasi yang merupakan salah satu
ISSN : 2477 - 3131
pengejawantahan fungsi sosial dan status sosial tersebut merupakan unsur penting bagi kesejahteraan lahir dan batin manusia. 7. Religius Berkaitan dengan perspektif pertama (ekonomi), pekerjaan dan karir bagi wanita dapat bernilai religius, sebagai wujud ibadah atau amal saleh. Dalam sebuah hadist yang diriwayatkan al-Tabrani, disebutkan:”Dari Ka’ab bin Ajrah, ia berkata,”Nabi mendatangi seorang pria dan para sahabat melihat bahwa orang itu sangat tekun dan bersemangat. Lalu mereka berkata,”Ya Rasulullah, Apakah bekerjanya orang itu fisabilillah. Kalau ia bekerja demi mencukupkan kebutuhan kebutuhan kedua orang tuanya yang tua renta maka itu fi sabilillah, dan kalau untuk kehormatan dirinya itu fi sabilillah.” Kalau ia bekerja demi mencukupkan kebutuhan dirinya sendiri?Nabi menjawab,”{Pekerjaan itu juga fisabilillah. Tetapi kalau ia bekerja untuk menyombongkan diri atau karena riya maka itu fi sabil al-syaitan.(Janet Zallinger,1978:5)
B. Dampak Negatif Diantara dampak ditimbulkan, antara lain:
negatif
yang
1. Terhadap Anak Seorang wanita kerja biasanya pulang ke rumah dalam keadaan lelah setelah seharian bekerjaan diluar rumah, hal ini secara psikologis akan berpengaruh terhadap tingkat kesabaran yang dimilikinya, baik dalam menghadapi Jurnal Tamaddun Ummah - vol. 1
6
VOL. 01 NO. 1 Oktober 2015
pekerjaan rumah tangga sehari-hari, maupun dalam menghadapi anak-anaknya. Jika hal itu terjadi maka sang ibu akan mudah marah dan berkurang rasa pedulinya terhadap anak. Survey yang dilakukan di negara-negara Barat menunjukkan bahwa banyak anak kecil yang menjadi korban kekerasan orang tua yang seharusnya tidak terjadi apabila mereka memiliki kesabaran yang cukup dalam mendidik anak. Hal lain yang lebih bernahaya adalah terjerumusnya anakanak kepada hal yang negatif, seperti tindak kriminal yang dilakukan sebagai akibat dari kurangnya kasih sayang yang diberikan orang tua, khususnya ibu terhadap anakanaknya. 2. Terhadap suami Di kalangan para suami wanita karir, tidaklah mustahil menjadi suatu kebanggan bila mereka memiliki istri yang pandai, aktif, kreatif, dan maju serta dibutuhkan masyarakat, namun dilain sisi mereka mempunyai problem yang rumit dengan istrinya. Mereka juga akan merasa tersaingi dan tidak terpenuhi hak-haknya sebagai suami. Sebagai contoh, apabila suatu saat seorang suami memiliki masalah di kantor, tentunya ia mengharapkan seseorang yang dapat berbagai masalah dengannya, atau setidaknya ia berharap istrinya akan menyambutnya dengan wajah berseri sehingga berkuranglah beban yang ada. Hal ini tak akan terwujud apabila sang istri pun mengalami hal yang sam. Jangankan untuk mengatasi masalah suaminya, sedangkan masalahnya sendiripun belum tentu dapat diselasaikannya. Apabila seorang istri tenggelam dalam karirnya, pulang sangat lelah, sementara suaminya di kantor tengah menghadapi masalah dan ingin menemukan istri di dalam rumah dalam keadaan segar dan memancarkan senyuman kemesraan, tetapi yang ia
ISSN : 2477 - 3131
dapatkan hanyalah istri yang cemberut karena kelelahan. Ini akan menjadi masalah yang rinyam dalam keluarga. Kebanyakan suami yang istrinya berkarir merasa sedih dan sakit hati apabila istrinya yang berkarir tidak ada ditengah-tengah keluarganya pada saat keluarganya membutuhkan kehadiran mereka. Juga ada keresahan pada diri suami, khususnya pasanganpasangan usia muda karena mereka selalu menunda kehmailan dan menolak untuk memiliki anak dengan alasan takut menganggu karir yang tengah dirintis olehnya. 3. Terhadap Rumah Tangga Kemungkinan negatif lainnya yang perlu mendapat perhatian dari wanita karir yaitu rumah tangga. Kegagalan rumah tangga seringkali dikaitkan dengan kelalalaian seorang istri dalam rumah tangga. Hal ini bisa terjadi apabila istri tidak memiliki keterampilan dalam mengurus rumah tangga, atau juga terlalu sibuk dalam berkarir, sehingga segala urusan rumah tangga terbengkalai.untuk mencapai keberhasilan karirnya, sringkali wanita menomorduakan tugas sebagai ibu dan istri. Dengan demikian pertengkaran bahkan perpecahan dalam rumah tangga tidak bisa dihindarkan lagi. 4. Terhadap Masyarakat Hal negatif yang ditimbulkan oleh adanya wanita karir tidak hanya berdampak terhadap keluarga dan rumah tangga, tetapi juga terhadap masyarakat sekitarnya, seperti hal-hal berikut: a. Dengan bertambahnya jumlah wanita yang mementingkan karirnya diberbagai sektor lapangan pekerjaan, secara langsung maupun tidak langsung telah mengakibatkan meningknya jumlah pengangguran di kalangan pria, karena lapangan Jurnal Tamaddun Ummah - vol. 1
7
VOL. 01 NO. 1 Oktober 2015
pekerjaan yang ada telah diisi oleh wanita. Sebagai contoh, yang sering kita lihat di pabrik-pabrik. Perusahaan lebih memilih pekerja dari kalangan wanita ketimbang pria, karena selain upah yang relatif minim dan murah dari pria, juga karena wanita tidak terlalu banyak menuntut dan mudah diatur. b. Kepercayaan diri yang berlebihan dari seorang wanita karir seringkali menyebabkan mereka terlalu memilihmilih dalam urusan perjodohan. Maka seringkali kita lihat seorang wanita karis masih hidup melajang pada usia yang seharusnya dia telah layak untuk berumah tangga bahkan memiliki keturunan. Selain itu banyak pria yang malu untuk menjadikan wanita karir sebagai istri mereka karena beberapa faktor; seperti pendidikan wanita karir dan penghasilannya yang seringkali membuat pria berpikir dua kali untuk menjadikannya sebagai pendamping hidup. Sementara itu dilain sisi priapria yang menjadi dambaan wanita karir ini kemungkinan karena terlalu tinggi kriterianya sehingga telah berkeluarga dan membina rumah tangga dengan wanita lain. Hal inilah mungkin yang menyebabkan timbulnya enggapan dalam masyarakat bahwa semakin tinggi jenjang pendidikan yang dapat diraih oleh wanita maka semakin sulit pula baginya untuk mendapatkan pendamping hidup. Hikmah Legalitas Izin Suami Terhadap istri Yang Bekerja 1. Meemahami Lingkungan Pekerjaan Setiap wanita yang memiliki karir akan mengerti kesulitan ketika bekerja. Tidak hanya itu, mereka juga akan memahami bila suami pulang malam karena tuntutan profesi. Pria merasa senang ketika istri
ISSN : 2477 - 3131
mengerti keadaannya. Berbeda dengan istri yang lebih sering berada di rumah, dia bisa mudah curiga karena suami terlambat pulang 2. Berbagi Pendapatan Salah satu keuntungan wanita yang bekerja adalah bisa berbagi pendapatan. Istri yang bekerja dapat membantu suaminya menangani masalah keuangan rumah tangga. Hal itu juga bisa mengurangi tekanan terhadap suami agar bekerja lebih keras. Selama tidak melupakan tugasnya sebagai istri dan ibu, istri yang berkarir bisa membuat pernikahan menjadi lebih baik. 3. Tabungan yang Bertambah Bila ada dua penghasilan dalam satu keluarga, otomatis akan menambah tabungan masa depan pasangan. Ini merupakan salah satu alasan pria senang bila istrinya memiliki pendapatan sendiri. 4. Pintar Mengatur Keuangan Wanita yang mempunyai pekerjaan, lebih bisa mengatur keuangannya sendiri serta cenderung tidak menghamburhamburkan uang karena mereka tahu sulitnya mendapatkan penghasilan. Hal ini tidak hanya berpengaruh terhadap kepribadian istri, tapi juga hubungan istri dan suami. Suami akan senang bahwa istri menghargai uang hasil jerih payah sendiri bukan dari orang lain. Perbedaan para ulama terhadap firman Allah SWT: .... “Dan hendaklah kamu tetap di rumahmu dan janganlah kamu berhias dan bertingkah laku seperti orang-orang jahiliyah yang dahulu……”(Q.S. AlAhzab : 33) Jurnal Tamaddun Ummah - vol. 1
8
VOL. 01 NO. 1 Oktober 2015
Ayat ini sering kali dijadikan dasar untuk menghalangi wanita bekerja di luar rumah. Menurut Al-Qurthubi (671 H) dalam tafsirnya mengatakan, “makna ayat di atas adalah perintah untuk menetap di rumah bagi wanita, dan tidak boleh keluar rumah kecuali dalam keadaan darurat” (Novi Hadayati,2010:20). Sebagai agama yang kaffah, Islam tidak hanya melingkupi dan mengatur perbuatan manusia dalam hubungannya dengan dirinya sendiri, sesama manusia dan alam, termasuk didalamnya tentang bekerja yang tampaknya bersifat duniawi. Manusia diciptakan Allah SWT bagian makhluk yang mempunyai kebutuhan berupa makan, minum, pakaian, tempat tinggal, dan keturunan. Seiring dengan itu perlu ditumbuhkan suatu kesadaran akan pentingnya kapasitas bekerja dengn berusaha bagi setia individu baik pria maupun wanita, karena wujud kemitraan pria dan dan wanita berhajat kepada adanya kerjasama dan keterpaduan dalam memikul tanggung jawab mereka. Berbagai motif bekerja bagi wanita diarahkan pada pandangan Islam terhadap pekerja wanita. Sebagaimana termaktub dalam uraian, bahwa wanita mempunyai hak, kewajiban yang sama dengan pria, wanita mempunyai peluang bekerja sebagaimana pria. Dalam Al-Qur’an surat An-Nisa’ ayat 32: ”Dan janganlah kamu iri hati terhadap apa yang dikaruniakan Allah kepada sebahagian kamu lebih banyak dari sebahagian yang lain (karena) bagi orang laki-laki ada bagian dari apa yang mereka usahakan, dan bagi para wanita (pun) ada bagian dari apa yang mereka usahakan, dan mohonlah kepada Allah sebagian dari karunia-Nya. Sesungguhnya Allah Maha mengetahuia segala sesuatu.” Dari ayat ini dapat dipahami bahwa dalam beribadah maupun berkarya, wanita memperoleh imbalan dan pahala yang tidak berbeda dengan pria. Islam tidak memebedakan pengakuan dan apresiasi
ISSN : 2477 - 3131
terhadap kinerja atas dasar jenis kelamin. Bahkan ditegaskan bahwa prestasi akan dicapai jika usaha dilakukan secara maksimal diserta do’a. Dengan demikian, jelas bahwa wanita bisa bekerja dan dapat mencapai prestasi sama dengan pria atau bahkan melebihi, tergantung pada usaha dan do’anya. Penegasan Allah SWT bahwa wanita dan pria diberi hak dan peluang yang sama baik dalam beramal, bekerja maupun berprestasi dapat disimak pula dalam AlNisa’ ayat 124: ”Barangsiapa yang mengerjakan amalamal sholeh, baik laki-laki maupun wanita sedang ia orang yang beriman, maka mereka itu masuk ke dalam surge dan mereka tidak dianiaya walau sedikitpun.” Beberapa ayat Al-Qur’an tersebut cukup menjadi bukti bahwa ajaran Islam menjunjung tinggi hak-hak wanita. Islam memberikan motivasi yang kuat agar para muslimah mampu bekerja di segala bidang sesuai dengan kodrat dan martabatnya. Menurut Mustafa al-Siba’i sependapat dengan al-Aqqad, yakni membolehkan wanita bekerja manakala tidak ada seseorang yang menjamin nafkah padanya. Itupun hanya pekerjaan-pekerjaan tertentu yang relative mudah wajar wajar dan tidak mengandung resiko. Bagi wanita lebih terhormat untuk tinggal dirumah terutama bila yang bersangkutan mempunyai anak. (Mustafa Al-Siba’i,1984:153) Abdurrahman Taj berpendapat bahwa apabila seorang istri bekerja sehari penuh atau sebagian waktu siang, kemudian pada malam hari berada di rumah (suaminya) atau bekerja di malam hari dan menggunakan sisa waktu malamnya bersama suami maka apabila pihak suami rela dengan keadaan tersebut, gugurlah haknya dalam menahan istri agar tinggal di rumah dan ia wajib memberinya (istri) nafkah, sebaliknya manakala ia (suami) tidak rela maka ia tidak (wajib) memberinya (istri) nafkah. Bahkan apabila suami pada mulanya rela istri bekerja Jurnal Tamaddun Ummah - vol. 1
9
VOL. 01 NO. 1 Oktober 2015
ISSN : 2477 - 3131
lantas berubah pikiran untuk mencegahnya dan manakala istrinya menolak untuk berhenti kerja, maka gugurlah kewajiban suami member nafkah.(Murtaza Muthabari) Sementara itu, Al-Hatimi menyatakan bahwa wanita boleh bekerja, bahkan dibolehkan pula menduduki jabatan strategis/ peranan penting di masyarakat dengan catatan tetap tunduk pada ajaran syari’at yang menghidupi kesuciannya serta tidak menelantarkan peran utamanya sebagai ibu rumah tangga. Pendapatnya ini bertolak dari fakta historis tentang partisipasi para wanita dizaman Nabi SAW. Dalam peperangan, misalnya, ”mengangkat atau menyediakan air minum para prajurit, memasak, menyediakan makanan, menjaga, merawat prajurit yang sakit, menjaga dan memelihara kendaraan, memata-matai musuh, menjahit pakaian dan sebagainya (Moenaar Khalil, 1989: 81).
Jurnal Tamaddun Ummah - vol. 1
10
VOL. 01 NO. 1 Oktober 2015
ISSN : 2477 - 3131
Daftar Pustaka Abbas Mahmud, Al-Aqqad, al-Mar’ah Fi AlQur’an, Mesir: Darel Ma’rifat,Tt Hamka, Kedudukan Perempuan Dalam Islam, Cet.I,Jakarta: Pustaka Panjimas, 1973 Janet Zallinger Giele, Women and The Future, New York: The Free Press, 1978 Majalah Amanat Nasional, Edisi Xv tanggal 28 Januari 1999 Moenawar Khalil, Nilai Wanita, Cet.IX, Solo: Ramadhani, 1989 Mustafa Al-Siba’i, Al-Mar’ab Bain Al-Fiqh wa Al-Qanun, Cet.IV, Beirut: Al-Maktab alIslami, 1984 Novi Hidayati, Ternyata Wanita Bukan Makhluk
Lemah,
Bandung:
Kawan
Pustaka, 2010 Siti Muri”ah, Wanita Karir Dalam Bingkai Islam, Bandung, Angkasa, 2010 Yusuf
Qardhawi,
Bicara
Soal
Wanita,
Bandung: Arasy, 2003 Yusuf Qardhawi, Wanita Dalam Fiqh AlQardhawi, Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, 2009 Yusuf Qardhawi, Norma dan Etika ekonomi Islam, Gema Insani Press, 1997
Jurnal Tamaddun Ummah - vol. 1
11
VOL. 01 NO. 1 Oktober 2015
ISSN : 2477 - 3131
Jurnal Tamaddun Ummah - vol. 1
12