STUDI WAYANG TOPENG MALANG LAKON LAHIRE PANJI KARYA MOCHAMMAD SOLEH ADI PRAMONO DARI PADEPOKAN SENI MANGUN DHARMO TUMPANG-MALANG
SKRIPSI
OLEH ASWIN PRATAMA NIM 105251481024
UNIVERSITAS NEGERI MALANG FAKULTAS SASTRA PROGRAM STUDI PENDIDIKAN SENI RUPA AGUSTUS 2012
LEMBAR PERSETUJUAN
Skripsi oleh Aswin Pratama ini telah diperiksa dan disetujui untuk diuji.
Malang, 29 Agustus 2012 Pembimbing I
Dra. Tjitjik Sriwardani M.Pd NIP 19540319 198502 2 001
Malang, 29 Agustus 2012 Pembimbing II
Ike Ratnawati, S.Pd, M.Pd NIP 19820126200501 2 002
LEMBAR PERSETUJUAN DAN PENGESAHAN
Skripsi oleh Aswin Pratama ini telah dipertahankan di depan dewan penguji pada tanggal 28 Agustus 2012
Dewan Penguji
Dra. Tjitjik Sriwardani, M.Pd NIP 19540319 198502 2 001
Ketua
Dra. Hj. Ida S. Herawati, M.Pd NIP 19510228 198002 2 001
Anggota
Ike Ratnawati, S.Pd, M.Pd NIP 19820126200501 2 002
Anggota
Mengetahui, Ketua Jurusan Seni dan Desain
Mengesahkan, Dekan Fakultas Sastra
Drs. Iriaji, M.Pd NIP 19630817 198802 1 001
Prof. Dr. H. Dawud, M.Pd NIP 19590610 198503 1 005
ABSTRAK
Pratama, Aswin. 2012. Studi Wayang Topeng Malang Lakon Lahire Panji Karya Mochammad Soleh Adi Pramono Dari Padepokan Seni Mangun Dharmo Tumpang-Malang. Skripsi, Jurusan Seni dan Desain Fakultas Sastra Universitas Negeri Malang. Pembimbing: (I) Dra. Tjitjik Sriwardani M.Pd (II) Ike Ratnawati, S.Pd, M.Pd. Kata Kunci : wayang topeng, Lahire Panji, M. Soleh, Mangun Dharmo, Malang Wayang Topeng Malang Lakon Lahire Panji merupakan salah satu karya seni warisan leluhur yang mengandung kompleksitas dalam penyajiannya. Peneliti ingin mengkaji wayang topeng tersebut karena di dalamnya terdapat nilai moral dan nilai estetik yang menjadi pangkal pengalaman estetik yang berguna bagi manusia dalam mengaktualisasikan dirinya dalam hubungan sosial bermasyarakat. Penelitian ini dilaksanakan dengan tujuan untuk mendeskripsikan latar belakang penciptaan dan nilai estetik yang terkandung pada Wayang Topeng Malang Lakon Lahire Panji karya Mochammad Soleh Adi Pramono dari Padepokan Seni Mangun Dharmo, Tumpang, Malang. Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif dengan metode deskriptif. Pengumpulan data dilakukan dengan menggunakan teknik wawancara, observasi dan dokumentasi. Untuk menjaga keabsahan data, dilakukan trianggulasi data. Tahap analisis data yang digunakan dalam penelitian ini meliputi reduksi data, penyajian data dan menarik kesimpulan/verifikasi. Berdasarkan hasil penelitian, diperoleh dua kesimpulan hasil penelitian sebagai berikut. Pertama, lewat Lakon Lahire Panji Mochammad Soleh Adi Pramono ingin berupaya memberi sumbangsih dalam hal ajaran-ajaran moral kepada masyarakat, terutama generasi muda yang mulai larut dalam era kekinian yang perlahan menghapus rasa kepemilikan atas budaya bangsa sendiri. Kedua, nilai-nilai estetika tercermin pada beberapa atribut pertunjukan yang dalam hal ini adalah topeng malang dalam Lakon Lahire Panji. Nilai estetik tersebut dapat ditangkap pada adanya pengorganisasian media estetik yang meliputi garis; bentuk dan ruang; warna; dan tekstur, di mana kesemua media estetik tersebut terepresentasi ke dalam hasil tatah dan sunggingan, serta bentuk keseluruhan topeng. Kaidah visualisasi estetik guna mendapatkan kualitas estetik juga diterapkan dalam topeng tersebut. Atribut kualitas estetik seperti kesatuan, keteraturan, dan keberagaman dapat dicapai diantaranya dengan menciptakan keseimbangan, keselarasan, kesebandingan, irama, dan kevariasian lewat penataan media estetik tersebut. Disarankan dari hasil penelitian ini agar pembuat topeng di Padepokan Seni Mangun Dharmo khususnya, serta komunitas Wayang Topeng Malang lain pada umumnya agar terus menggali ide-ide yang bersumber dari nilai estetik tersebut di atas. Nilai estetik tersebut nantinya diharapkan juga memberi pengaruh besar bagi pemerhati dan pelaku seni pertunjukan tradisional untuk terus berkarya guna mempertahankan kelangsungan hidup budaya bangsa Indonesia.
ABSTRACT
Pratama, Aswin. 2012. A Study of Mask Puppet of Malang Story The Born of Panji by Mochammad Soleh Adi Pramono from Padepokan Seni Mangun Dharmo Tumpang-Malang. Skripsi, Jurusan Seni dan Desain Fakultas Sastra Universitas Negeri Malang. Advisors: (I) Dra. Tjitjik Sriwardani M.Pd (II) Ike Ratnawati, S.Pd, M.Pd. Key Words : mask puppet, Lahire Panji, M. Soleh, Mangun Dharmo, Malang, Mask Puppet of Malang Story The Born of Panji is one of heritage arts. By its performance complexity, it contains of the values of morality and esthetic that becomes the root of esthetic experience useful for people in actualizing themselves in the social society. This research purposes to describe the background and the value of esthetic contained in some masks in Mask Puppet of Malang Story The Born of Panji by Mochammad Soleh Adi Pramono from Padepokan Seni Mangun Dharmo Tumpang-Malang. This research used qualitative approach by descriptive method. The collecting data were by interviewing, observation, and documentation. To keep the validity of data, it was used resource triangulation. To analyze the data, it used reducing and setting the data, it was also verification. Based on the result of the research, there were two conclusions. Firstly, by the Born of Panji, Mochammad Soleh Adi Pramono wanted to try to give valuable thing in morality for society especially young generation who took nowdays value too deep – those, slowly but surely, it eliminated the owning of their own culture. Secondly, the values of esthetic showed on some performance, here, Malang mask in the Born of Panji. Those could be taken from the organizing of the esthetic media. They were line; form and space; colour; and texture. They were represented into infaid and feature of the face, also the form of all masks. The rule of esthetic visualization that was to get the quality of esthetic was also used on those masks. The attribute of esthetic qualities such as unity, regularity, and variety could be got by creating the balance, the harmony, the equality, the rhythm, and the variety by the setting of the esthetic media. From the result of the research, it is suggested for the mask makerespecially in Padepokan Seni Mangun Dharmo and generally for other community of Mask Puppet of Malang to keep digging ideas from the values of esthetic above. The values, hopefully, can give great influence for concerning person and artist of tradisional performance to keep working to maintain the existence of Indonesian culture.
KATA PENGANTAR
Bismillahirrahmanirrahim, Alhamdullilahhirrabilalamin Dengan segala kerendahan hati, segala puji dan syukur bagi Allah SWT Yang Maha Pengasih dan Maha Penyayang, atas segala limpahan berkah, hidayah, karunia, dan kemudahan, akhirnya penulis dapat menyelesaikan skripsi dengan judul ―Studi Wayang Topeng Malang Lakon Lahire Panji Karya Mochammad Soleh Adi Pramono Dari Padepokan Seni Mangun Dharmo Tumpang-Malang― sebagai salah satu persyaratan untuk mencapai gelar Sarjana Pendidikan Seni Rupa. Pada kesempatan kali ini penulis menyampaikan rasa terima kasih yang sebesar-besarnya kepada semua pihak yang telah membantu, terutama kepada :
1.
Prof. Dr. H. Dawud, M.Pd, selaku Dekan Fakultas Sastra Universitas Negeri Malang.
2.
Drs. Iriaji, M.Pd, selaku Ketua Jurusan Seni dan Desain Fakultas Sastra Universitas Negeri Malang.
3.
Dra. Tjitjik Sriwardani M.Pd selaku dosen pembimbing I pada penulisan ini, atas arahan dan saran yang benar-benar penulis rasakan sangat membantu guna perbaikan esensi penulisan skripsi ini, serta waktu yang diluangkan bagi penulis selama bimbingan berjalan.
4.
Ike Ratnawati S.pd, M.Pd, selaku dosen pembimbing II, atas bimbingannya dalam perbaikan kepenulisan skripsi ini.
5.
Bapak Mochammad Soleh Adi Pramono selaku pencipta naskah Lakon Lahire Panji yang turut meyakinkan penulis bahwa penulisan skripsi ini bisa selesai dan membekali penulis dengan tabungan budaya dalam melangkah menuju medan pembelajaran sesungguhnya.
6.
Mas Supriono dan anggota Padepokan Seni Mangun Dharmo yang tdak dapat penulis sebutkan satu persatu, yang sangat membantu selama penelitian berjalan.
7.
Dra. Hj. Purwatiningsih M. Pd, selaku dosen pembimbing akademik. Atas dorongan untuk menyelesaikan dan menimba ilmu sebanyak-banyaknya sejak penulis duduk di bangku kuliah.
8.
Dra. Lilik Indrawati, M, Pd, atas saran dan masukan sebelum penelitian ini pada akhirnya berjalan. Serta segenap Dosen pengajar yang sangat berarti bagi penulis dalam proses menabung ilmu dan pengalaman selama perkuliahan berjalan.
9.
Orang tua penulis Endang Astuti dan Pujo Winarno, serta seluruh adikadik yang setia memberikan motivasi demi terselesaikannya penelitian ini.
10.
Teman-teman, mantan-mantan, tetangga-tetangga, serta kerabat yang selalu membantu dan mendo‘akan agar segalanya yang berjalan selalu berakhir baik bagi penulis. Semoga amal serta kebaikan yang telah diberikan mendapatkan balasan
yang sepantasnya dari Allah SWT. Menyadari keterbatasan pengetahuan, referensi, dan pengalaman, penulis mengharapkan saran, dan masukan, demi perbaikan dan pembenahan skripsi ini.
Akhirnya penulis berharap, skripsi ini dapat berguna bagi penulis serta bagi semua pihak yang membutuhkan, dan senantiasa mendapatkan ridha dari Allah SWT. Amien.
Malang, 29 Agustus 2012
Penulis
DAFTAR ISI
Halaman ABSTRAK ........................................................................................................... i KATA PENGANTAR ........................................................................................ iii DAFTAR ISI .......................................................................................................vi DAFTAR GAMBAR .........................................................................................viii DAFTAR LAMPIRAN ....................................................................................... ix BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang ................................................................................ 1 B. Rumusan Masalah ......................................................................... 9 C. Landasan Teori .............................................................................. 9 D. Kegunaan Penelitian ...................................................................... 29 BAB II METODE PENELITIAN A. Pendekatan dan Jenis Penelitian..................................................... 32 B. Kehadiran Peneliti .......................................................................... 34 C. Lokasi Penelitian ........................................................................... 36 D. Jenis-jenis Sumber Data ................................................................. 37 E. Instrumen Penelitian ....................................................................... 38 F. Prosedur Pengumpulan Data .......................................................... 41 G. Analisis Data .................................................................................. 43 H. Pemeriksaan Keabsahan Data ......................................................... 46 I. Tahap-tahap Penelitian ................................................................... 47 BAB III PAPARAN DATA DAN TEMUAN PENELITIAN A. Latar Belakang Penciptaan Wayang Topeng Malang Lakon Lahire Panji ......................................................................... 49 B. Nilai Estetik dalam Topeng Malang Lakon Lahire Panji ......................................................................... 55 BAB IV PEMBAHASAN A. Latar Belakang Penciptaan Wayang Topeng Malang Lakon Lahire Panji ......................................................................... 60 B. Nilai Estetik dalam Topeng Malang Lakon Lahire Panji ......................................................................... 64
BAB V PENUTUP A. Kesimpulan .................................................................................... 73 B. Saran ............................................................................................... 75
DAFTAR RUJUKAN ......................................................................................... 76 PERNYATAAN KEASLIAN TULISAN .......................................................... 79 LAMPIRAN ........................................................................................................ 80
DAFTAR GAMBAR
Gambar
Halaman
2.1 Padepokan Seni Mangun Dharmo.................................................... 36 2.2 Peta Lokasi Padepokan Seni Mangun Dharmo ............................... 37 3.1 Kunjungan dari warga di Padepokan Seni Mangun Dharmo............................................................................... 50 3.2 Pertunjukan Wayang Topeng Malang di Padepokan Seni Mangun Dharmo ............................................................................. 51 3.3 Panji Asmarabangun ........................................................................ 56 3.4 Lembu Mangarang ........................................................................... 57 3.5 Patih Jayabadra ....................................................................................... 58 3.6 Patih Kudanawarsa (tampak samping) ..................................................... 59 3.7 Patih Jaya Kasemba .................................................................................. 59 4.1 Bagian-bagian wajah ................................................................................ 64 4.2 Panji Asmarabangun ................................................................................ 66 4.3 Lembu Mangarang .................................................................................... 67 4.4 Bagian-bagian mata .. ............................................................................... 68 4.5 Patih Jayabadra ......................................................................................... 68 4.6 Patih Kudanawarsa ....................................................................................70 4.7 Patih Jayakasemba .....................................................................................72
DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran 1. Lembar Wawancara I......................................................................... 80 2. Lembar Wawancara II ....................................................................... 90 3. Ruang Lingkup .................................................................................. 95 4. Lembar Observasi .............................................................................. 96 5. Lembar Dokumentasi.......................................................................... 99 6. Riwayat hidup ................................................................................... 130
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Indonesia adalah bangsa yang sarat dengan kemajemukan masyarakatnya. Hal ini berimbas kepada berlimpahnya khasanah budaya dan adat istiadat yang dimiliki Indonesia. Dengan kesadaran dan konsepsi estetikanya, masyarakat turut menempatkan seni pada lembaran adat istiadat dan budaya tersebut. Sebagaimana Marcuse (2004: 221) mengungkapkan bahwa ―.... dalam hidup, nilai-nilai estetik dapat berfungsi sebagai keindahan dan peluhuran kultural ....‖. Dalam perjalanan panjang sejarah bangsa Indonesia, seni pertunjukan tradisional merupakan salah satu representasi nyata dalam memperpanjang nafas adat istiadat dan budaya. Seni pertunjukan tradisional terdapat di berbagai daerah dengan fungsi dan kekhasannya masing-masing. Wibisana dan Herawati (2010: 15) menyebutkan bahwa seni pertunjukan bersifat kompleks, sangat bergantung pada dimensinya, apakah itu seni tari, seni suara, seni rupa, dan lain sebagainya. Dari sekian banyak seni pertunjukan di Indonesia, terdapat seni pertunjukan wayang yang tumbuh dan berkembang sejak dahulu hingga saat ini, di mana seni pertunjukan wayang mewadahi segenap aspek seni tersebut. Sehubungan dengan itu, Djoko Suryo, dkk (1985: 53) dalam Wibisana dan Herawati (2010: 51) menambahkan bahwa: Pada kenyataannya seni pertunjukan Jawa umumnya merupakan seni pertunjukan total teater yang di dalamnya mengandung hampir semua aspek pertunjukan. Contoh yang jelas adalah pertunjukan wayang ...‖.
Wayang sebagai buah akal budi manusia Indonesia, mengalami pertumbuhan dan perkembangan baik wujud maupun isinya. Dinamisnya gerak hidup masyarakat dalam laju kehidupan global yang merupakan tantangan adalah salah satu penyebabnya (Wibisana dan Herawati, 2010: 15). Terkait hal tersebut, lebih lanjut dijelaskan sebagai berikut: Namun kondisi tersebut tidak lantas membuat wayang meninggalkan jati dirinya, karena wayang mempunyai landasan yang kukuh. landasan utamanya adalah sifat hamot, hamong, dan hamemangkat. Hamot adalah keterbukaan untuk menerima pengaruh dan masukan dari dalam dan luar. Hamong adalah kemampuan untuk menyaring unsur-unsur baru dan menyesuaikan dengan nilai wayang yang ada. Untuk selanjutnya diangkat menjadi nilai-nilai yang cocok dengan wayang sebagai bekal untuk bergerak maju sesuai perkembangan masyarakat. Hamamengkat atau mengangkat suatu nilai menjadi nilai baru.
Gejala di atas juga berdampak pada tumbuh dan berkembangnya beberapa jenis seni pertunjukan wayang yang tersebar hampir di seluruh pelosok tanah air. Misalnya di Kalimantan Selatan dikenal adanya Wayang Banjar, di Lombok ada Wayang Sasak, dan Wayang Betawi di Jakarta. Selain itu, jenis-jenis wayang paling banyak ditemukan di Pulau Jawa seperti Wayang Kulit Purwa, Wayang Golek di Jawa Barat, Wayang Beber, Wayang Gedhog, Wayang Krucil, wayang Jemblung di Tulungagung dan Wayang Topeng Malang di Malang. Beragam jenis wayang tersebut merupakan produk-produk budaya lokal yang patut mendapat perhatian demi kelangsungan hidup kebudayaan itu sendiri. Dari sekian banyak jenis seni pertunjukan wayang di atas, fokus dalam penelitian ini adalah Wayang Topeng Malang. Seni pertunjukan Wayang Topeng Malang adalah seni pertunjukan tradisional yang hampir mirip wayang orang, di mana dalam penyajiannya orang atau penari tersebut memakai topeng, dan dialog hanya dilakukan oleh dalang.
Dalam pertunjukan Wayang Topeng Malang dalang adalah pembawa jalan cerita sekaligus pembawa dialog para tokoh wayang topeng. Bentuk pertunjukan Wayang Topeng Malang dijelaskan oleh Hamzruri (2000: 483) dalam Estuvitasari (2008) sebagai berikut: Wayang topeng yaitu kesenian topeng dengan adegan lakon cerita utuh seperti cerita pewayangan dengan pelaku orang memakai topeng tokohtokoh tertentu dipimpin seorang dalang. Maka bentuknya seperti wayang wang di jawa. Bedanya adalah para pelaku pada wayang wang melakukan dialog dan tidak mengenakkan topeng, sedangkan para pelaku wayang topeng tidak melakukan dialog tetapi memakai topeng, dialog dilakukan oleh dalang seperti wayang purwa di Jawa.
Berdasarkan perbedaan dan persamaan tersebut, penelitian ini berupaya mendeskripsikan nilai estetika kerupaan yang terdapat dalam Topeng Malang tersebut. Upaya tersebut tidak terlepas dari strategi trikarsa (pancagatra) sebagaimana yang diungkapkan oleh Wibisana dan Herawati (2012:15) sebagai berikut: Trikarsa adalah tekad untuk melestarikan, mengembangkan dan mengagungkan wayang. Trikarsa dilaksanakan melalui sarana pancagatra, yaitu pelestarian dan pembinaan dalam semua unsur seni wayang: seni pedalangan atau pentas, seni karawitan, seni ripta, seni widya yang mencakup pendidikan serta falsafah, dan seni kriya. Dengan kebijaksanaan ini diharapkan wayang akan dapat terus dikembangkan di tengah-tengah kemajuan zaman yang sangat cepat dan sangat dinamis.
Wayang Topeng Malang merupakan tradisi kultural dan religiusitas masyarakat Jawa semenjak kerajaan Kanjuruhan yang dipimpin oleh Raja Gajayana. pada masa abad ke 8 M. Semula topeng yang terbuat dari batu hanya difungsikan untuk acara persembahyangan. Karena alasan sukarnya mendapatkan riasan, pada masa Raja Airlangga topeng tersebut digunakan untuk menutupi wajah penari (Utomo, 2008).
Pada awalnya, cerita-cerita dalam Wayang Topeng Malang masih mengadopsi cerita-cerita India bernuansa Hindu. Waktu itu Pulau Jawa merupakan area berkembangnya agama Hindu yang datang dari India, maka alur cerita atau lakon yang disajikan diambil dari cerita-cerita India, seperti Ramayana dan Mahabarata. Dominasi sastra India membuat kesusastraan Jawa menyerap dan membumikan nilai-nilai India yang relevan dengan Agama Hindu di tanah Jawa (Utomo, 2008). Cerita Ramayana sendiri merupakan sastra pertama yang berkembang di Jawa. Sebagaimana yang diungkapkan oleh Timoer (1979/1980: 16) sebagai berikut: ―…. sumber lakon permainan wayang topeng yang diistilahkan dengan Atapukan .... dimuat dalam Prasasti Jaha tahun 840 Caka (918). Kiranya dapat kita duga Kakawin Ramayana digubah pada zaman Pemerintahan Raja Balitung tahun 820-832 Caka (898-910 M)‖. Kemudian setelah pusat kerajaan dari Jawa Tengah berpindah ke Jawa Timur muncul sastra baru yaitu Mahabarata yang digubah pada jaman pemerintahan Raja Dharmawangsa (tahun 913-938 Caka atau 991-1016 M). Kemudian menyusul sastra Panji yang diperkirakan pada zaman Kertanegara dari Singosari (1990-1214 Caka atau 1268-1292 M) (Timoer, 1989). Berdasarkan penjelasan di atas, maka dapat diketahui bahwa cerita Panji baru muncul pada masa kekuasaan Kertanegara di Singosari. Sedangkan secara garis besar cerita Panji dijelaskan oleh Berg (1985: 87-88) dan Bandon (1996: 33) dalam kutipan tesis Robby Hidayat (2004:10) sebagai berikut: Panji adalah sebuah lakon yang mengisahkan seorang Pangeran dari Jenggala (Kahuripan) dan seorang putri dari kerajaan Daha (Kediri) yang ditakdirkan untuk menjadi suami istri. Pada permulaan cerita keluarganya mendukung untuk melangsungkan perkawinan itu, tetapi tiba-tiba ada
rintangan, misalnya karena sang pangeran sudah menentukan sendiri kawan hidupnya dan tidak menginginkan seorang wanita lain sebagai istri atau karena sang putri oleh suatu sebab tiba-tiba menghilang dari keraton. Sang pangeran kehilangan kekasihnya yang dikiranya masih hidup. Pada akhirnya keadaan menjadi jernih kembali. Dan sang pangeran dengan sang putri yang rupanya sudah ditakdirkan menjadi lalu melangsungkan pernikahan. Cerita Panji mengisahkan kepahlawanan dan kebesaran ksatria-ksatria Jawa. Terutama pada masa Jenggala dan Kediri, cerita Panji merupakan usaha untuk menandingi cerita versi wayang purwa yang mengisahkan cerita-cerita dari India. Dengan semangat kolonialisasinya Singosari adalah kekuasaan yang mengembangkan kekuasaannya hingga ke Kalimantan dan Melayu. Cerita Panji dimunculkan sebagai identitas kebesaran raja-raja yang pernah berkuasa di tanah Jawa (Utomo, 2008). Secara garis besar latar setting dan tokoh dalam cerita Panji juga dikemukakan oleh Mochammad Soleh Adi Pramono sebagai berikut: Secara umum terdapat beberapa kerajaan dan tokoh dalam cerita Panji antara lain; Kerajaan Jenggala dengan tokoh Prabu Lembu Amiluhur dan Raden Panji Asmara Bangun; Kerajaan Daha dengan tokoh Lembu Amisesa, Gunung Sari, dan Dewi Sekartaji; serta Kerajaan Kediri dengan tokoh Pambelah, Pamecut, Patih Kudamawarsa, Lembu Pati. Sementara itu terdapat beberapa tokoh antagonis seperti Klana Sabrang, Bapang, dan Wadyabala (wawancara dengan Mochammad Soleh Adi Pramono pada tanggal 17 Februari 2011).
Telah disinggung sebelumnya bahwa inti cerita Panji adalah lakon yang mengisahkan pergolakan cinta dan takdir yang telah ditetapkan untuk Panji Asmara Bangun dan Dewi Sekartaji. Namun pokok bahasan dalam penelitian ini adalah latar belakang penciptaan Lakon Lahire Panji serta aspek estetik kerupaan pada topeng beberapa tokoh dalam Lakon Lahire Panji yang mengisahkan bagaimana pangkal dari alur besar Siklus Panji secara umum. Berikut ini adalah
cerita singkat Lakon Lahire Panji yang diceritakan oleh Mochammad Soleh Adi Pramono selaku pencipta naskah Lakon Lahire Panji tersebut: Lakon lahire panji menceritakan segala permasalahan yang terjadi di Jenggala dan Keling (Hindustan). Peristiwa-peristiwa mengamuknya alam yang terjadi di kedua negara tersebut merupakan satu bentuk bahwa manusia sudah tidak lagi peduli dengan tatanan alam. Segala musibah tersebut merupakan tanda-tanda atau gejala bahwa akan turunnya sebuah ksatria (pemimpin) yang akan mengembalikan segala keselarasan jagad (memayu hayuning bawana). Pertalian darah dari kedua kerajaan tadi, alias Amiluhur dan Sakyaningrat, yang nantinya merupakan cikal bakal lahirnya Panji Asmarabangun (wawancara dengan Mochammad Soleh Adi Pramono pada tanggal 17 Februari 2011).
Mochamad Soleh Adi Pramono adalah dalang Wayang Topeng Malang yang biasanya membumbui lakon demi lakon dengan dramatisasi dialog guna melangkahkan imajinasi penonton dalam menggapai beragam pesan yang tersirat. Misalnya dalam Lakon Lahire Panji, dijelaskan Mochammad Soleh Adi Pramono sebagai berikut: Pas Amiluhur selesai mencabut Panji Biru, itu saya berhenti sebentar. Nah, beberapa penonton ada yang diam, ada yang menyeletuk: “waduh buyar iki ceritane”. Pokoknya niatnya mau melihat respon penonton. Kalau dipikir kan benar, kalau Amiluhur mati lalu bagaimana Sakyaningrat atau Setyawati nantinya. Akhirnya saya lanjutkan lagi. Ternyata Sakyaningrat benar-benar melayu (berlari), menghampiri Amiluhur yang sudah tak berdaya. Dan ternyata Amiluhur hanya purapura mati (wawancara dengan Mochammad Soleh Adi Pramono pada tanggal 17 Februari 2011).
Bila mengkaji tentang wawasan tentang seni tentu sangatlah luas. Hal tersebut tidak terlepas juga dari keberadaan karya-karya seni yang beragam. Namun, bila menelusuri jejak-jejak peninggalan manusia masa lampau, dapat kita peroleh gambaran bahwa seni telah tumbuh dan berkembang sejajar dengan perkembangan manusia. Seni sebagai buah karya manusia adalah salah satu unsur
penyusun kebudayaan di belahan dunia mana pun. Seperti yang diungkapkan diungkapkan oleh Koentjaraningrat (1982: 2) sebagai berikut: Unsur-unsur universal itu, yang sekalian merupakan isi dari semua sistem kebudayaan di dunia ini adalah: 1) Sistem religi dan upacara keagamaan 2) Sistem dan organisasi kemasyarakatan 3) Sistem pengetahuan 4) Bahasa 5) Kesenian 6) Sistem mata pencaharian hidup dan 7) Sistem teknologi dan peralatan.
Sepanjang sejarah, manusia tidak lepas dari seni. Karena seni adalah salah satu kebudayaan yang mengandung nilai indah (estetis), sedangkan setiap manusia menyukai keindahan. Seni bukan saja dilihat dari penglihatan semata tetapi dilihat dari keindahan karya tersebut. agar nilai keindaan tersebut dapat diperoleh, maka perlu sebuah pengamatan dan pendalaman terhadap karya seni tersebut. Pengamatan dan pemahaman tersebut dapat dilakukan terhadap bermacam-macam bentuk karya seni, seperti seni musik, seni rupa, seni gerak dan lain-lain. Topeng malang dalm kaitannya dengan penelitian ini adalah sebuah bentuk karya seni rupa yang juga dapat dikaji bentuknya guna mendapatkan sebuah nilai estetik sebagai sumber dari sebuah pengalaman estetik. Sebagaimana kita ketahui bahwa karya seni rupa tradisional tidak terlepas dari ornamen. Susanto (2002:82) menyebutkan bahwa pengertian ornamen adalah hiasan yang dibuat (dengan digambar, dipahat, dicetak) untuk mendukung meningkatkannya kualitas dan nilai pada suatu benda/karya. Ornamen sering dihubungkan dengan ragam hias yang ada. Salah satu jenis ornamen yang berwujud sunggingan pada salah satu topeng dalam Wayang Topeng Malang Lakon Lahire Panji sebagaimana disebutkan dalam naskah adalah sungging penatar jonggrang pathuk sinupiting urang (wawancara Mochammad Soleh Adi Pramono).
Makna topeng sendiri dijelaskan Murgiyanto (1982/1983) dalam Hidayat (2005) sebagai berikut: Esensi roh ilafi roh perantara bersemayam di balik topeng, penonton dan penarinya tidak mengetahui, kalau di dalam (jero) adalah roh yang mengejawantah. Topeng adalah kedok penutup muka penari. Topeng ini juga dapat dimaknai sebagai tabir, yaitu menutup esensi jero. Esensi Jaba dan Jero adalah Panji Asmarabangun itu sendiri. Panji Asmarabangun hadir tidak mewakili dirinya secara pribadi, tetapi dirinya adalah sebagai transmisi yang menghubungkan antara dunia atas dan dunia bawah. Bisa jadi fenomena tersebut yang dipahami oleh Sunan Kalijaga mengembangkan topeng. Karena topeng telah menjadi simbol tentang tabir, orang harus berusaha dan mampu menyingkap takbir , dan mengetahui arti yang sesungguhnya realita.
Wayang Topeng Lakon Lahire Panji beserta nilai estetik yang terkandung di dalamnya merupakan salah satu buah karya bangsa Indonesia. Perhatian lebih sebenarnya dapat menjadi solusi dalam menanggapi krisis kebanggaan berbudaya khususnya, serta kelestarian budaya itu sendiri sebagai perbendaharaan khasanah budaya Nusantara. Dengan adanya Lakon Lahire Panji dalam Wayang Topeng Malang, maka penulis sangat ingin mendeskripsikan latar belakang penciptaan dan nilai estetik yang terdapat pada topeng malang Lakon Lahire Panji dengan cara melakukan studi terhadap karya topeng tersebut. Adapun judul yang dipilih dan sejalan dengan hal tersebut di atas adalah Studi Wayang Topeng Malang Lakon Lahire Panji Karya Mochammad Soleh Adi Pramono Dari Padepokan Mangun Dharmo Tumpang-Malang.
B. Rumusan Masalah Berdasarkan latar belakang di atas maka dikemukakan beberapa rumusan masalah sebagai berikut: 1.
Bagaimana latar belakang penciptaan Wayang Topeng Malang Lakon Lahire Panji karya Mochammad Soleh Adi Pramono dari Padepokan Seni Mangun Dharmo Tumpang-Malang?
2.
Bagaimana nilai estetik yang terdapat pada Topeng Malang Lakon Lahire Panji karya Mochammad Soleh Adi Pramono dari Padepokan Seni Mangun Dharmo Tumpang-Malang?
C. Landasan Teori 1.
Wayang Topeng dalam Seni Pertunjukan
a.
Seni Pertunjukan Indonesia berbentuk gugusan kepulauan dan pulau-pulau kecil di
antaranya. Di berbagai daerah yang membentuk Nusantara tersebut terdapat suku bangsa yang berbeda-beda, sehingga seni budayanya juga berbeda di tiap suku. Sedangkan seni pertunjukan di Indonesia, sejak dahulu hingga kini telah dan selalu berangkat dari suatu keadaan di mana ia tumbuh dalam lingkunganlingkungan etnik yang berbeda satu sama lain (Sedyawati, 1981: 52). Perbedaan ini memperkaya nilai estetik suatu bangsa dan kekayaan budaya suatu bangsa akan memberikan suatu identitas bangsa itu sendiri di depan bangsa-bangsa yang lain di dunia. Seperti yang diungkapkan Bagong (2000: 119) dalam Estuvitasari (2008) bahwa ―Berkesenian dalam lingkup rasa kebangsaan yang tinggi, bahkan
bagi saya berkesenian itu untuk bangsa saya, akan mendorong kemantapan identitas nasional‖. Seni Pertunjukan adalah segala ungkapan seni yang substansi dasarnya adalah yang dipergelarkan langsung di hadapan penonton (Alfian, 2006). Berdasarkan hal tersebut Sujono, dkk. (2003) juga mengungkapkan bahwa seni pertunjukan dibagi dua yaitu seni pertunjukan tradisional dan seni pertunjukan modern atau yang muncul belakangan ini. Bila dilihat dari perkembangannya akan terlihat bahwa seni pertunjukan tradisional kalah berkembang dengan seni pertunjukan modern. Seni pertunjukan tradisional bisa terwujud dalam teater rakyat yang sudah berusia lebih dari 50 tahun. Pertunjukan ludruk, ketoprak, maupun wayang orang dan Wayang Topeng Malang merupakan seni pertunjukan tradisional. Sedangkan seni pertujukan tidak tradisi contohnya konser musik, akrobatik dan sebagainya. Adanya perbedaan seni pertunjukan yang tradisi dan tidak tradisi juga diungkapkan oleh Wibisana dan Herawati (2010: 50) sebagai berikut: Berkembangnya kebudayaan massa seperti televisi, musik populer, boskop, kaset maupun VCD yang selalu berorientasi pada komersial, selalu bercorak hiburan, tidak rumit, bercirikan baru biasanya mengundang penonton yang banyak (lebih disukai). Berbeda dengan seni tradisi yang bercirikan tradisional, rumit, lebih kepada seni sakral justru hanya mengundang sedikit penonton.
Sekarang ini keberadaan seni pertunjukan tradisional sebagai produk dari suatu budaya yang terlahir dari sebuah ide dan gagasan luhur, ternyata juga mengalami perkembangan dan pergeseran sesuai dengan kondisi zamannya. (Wibisana dan Herawati, 2010: 50). Penuangan ide tersebut nyatanya mengalami proses seiring zaman yang juga mengiringi masyarakat pendukungnya. Lebih
lanjut kondisi seperti itu, Edi Sedyawati (1981: 52) menyimpulkan bahwa ―Seni pertunjukan adalah sesuatu yang juga berlaku dalam waktu‖. Dalam kaitannya dengan Wayang Topeng Malang dalam penelitian ini, menjaga eksistensi dan esensi seni pertunjukan tradisional adalah juga merupakan upaya Trikarsa seperti yang dijelaskan sebelumnya. sama halnya dengan memperhatikan fungsi seni pertunjukan tradisional yang mulai terabaikan. Keberadaan fungsi yang hilang dari masyarakat pendukungnya tersebut, ditegaskan dalam pernyataan Wibisana dan Herawati (2010: 53) berikut: Membicarakan keberadaan seni pertunjukan tradisional pada saat sekarang ini sebenarnya sangat memprihatinkan. Mengapa demikian? Sebab banyak sekali kita baca atau kita lihat, keberadaan seni pertunjukan tradisional sangat mengenaskan. Grup-grup kesenian daerah mulai menghilang karena tidak ada faktor penyangganya baik dalam bentuk dana, kemauan atau regenerasinya.
b. Fungsi Seni Pertunjukan Beberapa fungsi seni pertunjukan tradisional (Sedyawati, 1981: 52) dalam lingkungan-lingkungan etnik di Indonesia dapat disebutkan sebagai berikut: Memanggil kekuatan gaib; penjemput roh-roh pelindung untuk hadir di tempat pemujaan; memanggil roh-roh baik untuk mengusir roh-roh jahat; peringatan pada nenek moyang dengan menirukan kegagahan maupun kesigapannya; pelengkap upacara sehubungan dengan peringatan tingkat hidup seseorang; pelengkap upacara sehubungan dengan saat-saat tertentu dalam perputaran waktu; serta perwujudan daripada dorongan untuk mengungkapkan keindahan semata. Berdasarkan uraian tersebut, tampak jelas bahwa dalam rentang sejarahnya yang panjang, seni pertunjukan telah menunjukkan keragaman fungsi yang disandangnya. Keragaman fungsi yang terus berkembang dari waktu ke waktu tersebut lebih lanjut oleh A.M. Hermien Kusmayati (2006), dijelaskan sebagai berikut:
Keragaman fungsi tersebut tidak tersekat mutlak, tetapi seringkali bertumpang tindih. Misalnya, seni pertunjukan yang disajikan untuk kepentingan ritual juga menampilkan nilai-nilai estetis atau seni pertunjukan yang ditampilkan untuk hiburan pribadi juga tidak lepas dari keindahan yang membalut wujudnya.
Bentuk seni pertunjukan tradisional seperti tari-tarian dan upacara-upacara telah muncul sejak zaman prasejarah. Contohnya seperti tarian perang, upacara perkawinan, upacara kematian, upacara untuk menghormati arwah nenek moyang, dan lain sebagainya. Lebih lanjut Wibisana dan Herawati (2010: 53) menyatakan bahwa secara garis besar, nilai-nilai yang terkandung dalam seni pertunjukan tradisional dapat digolongkan sebagai: (1) media pendidikan, (2) media penerangan atau sebagai wadah penyampaian kritik sosial, dan (3) media hiburan atau tontonan. Berdasarkan hal tersebut, maka seni pertunjukan Wayang Topeng Malang juga turut memainkan perannya sebagai media pendidikan dan penyampaian kritik sosial melalui nilai-nilai yang dikandungnya, sekaligus media hiburan bagi masyarakat.
c.
Wayang Topeng Malang Dalam sejarah penyajian wayang topeng, terutama untuk fungsi ritual,
tidak jarang penari topeng sakral sering mengalami trance atau kesurupan. Susungguhnya fenomena seperti inilah yang menadi pesona luar biasa serta kekuatan-kekuatan daya pikat yang menakjubkan. Sebagai kegiatan yang beraura sakral, kekuatan daya tahan seorang penari topeng sering tergantung pada sejauh mana seorang penari memiliki kesaktian atau ilmu sakral (Sunaryana, 2002: 126). Dalam perspektif antropologi, contoh tradisi topeng tersebut di atas adalah suatu
tradisi yang dipengaruhi oleh budaya animisme dan terasa unsur-unsur primitifnya. Begitupun segenap unsur dan elemen dalam Wayang Topeng Malang yang disebutkan sebelumnya, menjadikan seni pertunjukan tersebut sebagai tontonan sekaligus pembawa pesan moral yang saling terkait satu sama lain. Sebagaimana juga ditegaskan oleh Soemanto (2001: 337) bahwa ―struktur dalam sebuah teks, unsur-unsur, elemen, atau anasir yang dirancang sedemikian rupa menjadi utuh, menyatu, atau merupakan kebulatan yang bersifat mengikat. Terdapat aspek yang sangat bertalian erat dengan fokus penelitian ini, yakni lakon. Menurut Waluyo (2003: 4) menyebutkan, bahwa dasar lakon drama adalah konflik manusia. Lakon sendiri merupakan hasil perwujudan dari naskah yang dimainkan (Harymawan, 1988: 23). Lakon yang disajikan pada pertunjukan wayang topeng bersumber pada lakon Panji di berbagai daerah di Jawa berkembang sebagai sastra lisan. Variasi yang berkembang melalui penurunan teks dalam karya sastra adalah dampak meluasnya versi teks yang berjalan secara dikte dari mulut ke mulut. Proses transformasi lisan tersebut menyebabkan naskah dan bahkan teks dengan isi kandungan gagasannya mengalami kekeruhan originalitas. Bila dikaji lebih lanjut dampak tersebut juga menular pada para dalang wayang topeng tidak memiliki pakem atau patokan ... kecuali petunjukpetunjuk dari pendahulunya (Sunaryana, 2002: 51-52). Variasi dan perubahan lakon-lakon yang ada hingga sekarang bisa disebut sebagai bukti pelaksanaan penurunan dan perkembangan cerita sepanjang hidup pengarang (De Haan dalam Suryani, 2012: 50). Keberadaan variasi tersebut terkait dengan Wayang Topeng Malang pada umumnya diterangkan oleh Henri
Supriyanto, penulis buku Wayang Topeng Malangan dalam Utomo (2008) sebagai berikut: Cerita panji itu banyak dikenal dalam sastra lisan yang dikembangkan oleh para seniman dan sastrawan jaman itu. Sehingga nama nama para kesatria itu sulit dijumpai pada gelar gelar resmi dalam dokumen sejarah tulis yang rata rata dibuat oleh para pujangga keraton. ―Nah yang susah itu kita kacau antara gelar dan nama. Jadi panji itu gelar setingkat raden, kemudian penganut jaman Singosari-Majapahit itu budaya totemisme dalam pengertian orang-orang besar itu mengambil nama-nama binatang yang model kepemimpinan dia itu seperti binatang tersebut. Ada kebo Marjuet, kebo ijo, Kebo Anabrang lalu ada lagi Hayam Wuruk, Gajah Mada namanama binatang itu diambil. Kesulitan kita itu dalam sastra ini yang diutamakan adalah tokoh dan tempat, lalu semuanya mengaduk peristiwaperistiwa dan suasana. Karena mengaduk pada suasana akhirnya sastra lesan itu banyak versi. Jadi sastra lesan itu versi mana. Karena yang menjadi juru tutur itu dalang, maka berbeda dalang, ceritanya bergeser. Jadi cerita disini disebut buku itu tidak ada. Yang ada versi ini dan itu‖.
Dalam perjalanan wayang topeng malang, telah banyak juga lahir dalang wayang topeng malang seperti yang diungkapkan oleh Mochammad Soleh Adi Pramono sebagai berikut: Dalang Topeng Malang yaitu Alm. Ki Roesman dari desa Kemulan, Tulus Besar; Ki Tirtonoto dari Kebonsari; Ki Sartas dari Precet; Ki Jono; Alm Mbah Nek dan Alm. Mbah Karimun dari Kedungmonggo; Alm. Mbah Sakri dan Alm. Mbah Noto dari Senggreng; Alm. Pak Rusnadi dari Wiroto; Edi Susanto dari Tamiajeng; Markuat dari Duwet; Pandri dari Gubuk Klakah; Senam dri Kedungmonggo; Tambar dari Nyambeksari, Poncokusumo; Banyakwide dari Singosari dan terakhir saya sendiri.
Di antara sekian banyak dalang Wayang Topeng Malang yang ada di atas, yang akan dibahas dalam penelitian ini adalah salah satu dalang wayang topeng malang yang mengkreasikan Lakon Lahire Panji, sekaligus pendiri Padepokan Seni Mangun Dharmo yaitu Mochammad Soleh Adi Pramono.
d. Wayang Topeng Malang Lakon Lahire Panji Karya Mochammad Soleh Adi Pramono Pada bagian ini akan dijelaskan profil singkat tentang dalang pencipta Lakon Lahire Panji yaitu Mochammad Soleh Adi Pramono, selayang pandang tentang naskah Lakon Lahire Panji, termasuk sekilas tentang Padepokan Seni Mangun Dharmo sebagai lokasi penelitian. Penjelasan lebih lanjut tentang latar belakang penciptaan serta kandungan naskah tersebut akan dibicarakan pada Bab Paparan Data dan Temuan Penelitian selanjutnya. 1.
Mochammad Soleh Adi Pramono dan Padepokan Seni Mangun Dharmo Mochammad Soleh Adi Pramono, S.St lahir pada tanggal 1 agustus 1951
di Dusun Wonomulyo kecamatan Poncokusumo Kabupaten Malang. Setelah menamatkan SMA, beliau melanjutkan menimba ilmu di Konservatori Karawitan Indonesia (KONRI) pada tahun 1976. Setelah belajar di Institut Seni Yogyakarta seusai di KONRI, beliau mulai mempelajari seni Wayang Topeng Malang kepada: Ki Tirtonoto (Paman), Ki Samoed, Ki Karimoen Paryo, Ki Rasimoen, Ki Gimoen, dan Ki Jakimen (Noersya, 2004: 67). Mochammad Soleh Adi Pramono sendiri adalah salah satu keturunan dari seorang penari kasar bernama Ki Roesman. Bersama Ki Rakhim, Ki Samoed dan Ki Tirtonoto mengembangkan wayang topeng di Malang bagian Timur hingga 1970-an (Murgiyanto dan Munardi, 1979/1980: 31). Sebagai upaya meneruskan langkah pendahulunya tersebut, pada tanggal 26 Agustus 1989 Mochammad Soleh Adi Pramono mendirikan padepokan seni Mangun Dharma di Dusun Tulus Besar, yang masih bertahan hingga sekarang. Terlepas dari eksodus beberapa
anggota Padepokan tersebut (seperti keluarnya Pak Buari; Karen Elisabet yang piawai dalam tari beskalan; serta Almarhum Pak Sutrisno selaku pembuat topeng) eksistensi Padepokan Seni Mangun Dharma bisa dikatakan masih berperan penting dalam menumbuhkan mentalitas berbudaya generasi-generasi muda. Beberapa angota Padepokan tersebut sebagian besar merupakan pemudapemuda Tulus Besar yang mempunyai motivasi dalam membangun Padepokan Seni Mangun Dharmo dan kesenian malangan. Nama-nama seperti Supriyono, Akhmadi dan Wayan Glemboh adalah contoh pemuda dengan antusiasme berkesenian yang tinggi, selain beberapa benih loyalitas yang mulai tumbuh lewat anak-anak kecil Desa Wates dan Tulus Besar yang rajin berlatih tari beskalan bersama Mochammad Soleh Adi Pramono. Belum lagi terkadang beberapa mahasiswa dari civitas akademik (dalam dan luar negeri) dan lapisan organisasi masyarakat yang tertarik untuk sekedar meneliti ataupun memang berniat menimba ilmu dan mengangkat kesenian malangan seperti Wayang Topeng, Tari, Wayang Kulit, Mocopat Malangan (Noersya, 2004: 67) . Berkenaan dengan tidak adanya konvensi baku seperti yang dijelaskan Henri Supriyanto (2008) di atas, Lakon Lahire Panji karya Mochammad Soleh Adi Pramono tersebut juga berangkat dari penurunan sastra lisan dari waktu ke waktu. Namun secara singkat, Lakon Lahire Panji tersebut selesai digarap pada tahun 2006. Dibuatnya naskah tersebut tidak terlepas dari masalah kekinian yang menurut Mochammad Soleh Adi Pramono sangat memprihatinkan. Pada awal 2007 akhirnya naskah tersebut dapat dipentaskan pada peringatan 1 Suro di depan Balai Kota Malang di awal 2007, bersamaan dengan Ruwatan Bumi Malang di saat yang sama. Pada kesempatan yang lain, Mochammad Soleh Adi Pramono
juga berkesempatan mementaskan lakon tersebut untuk para pengungsi korban lumpur Lapindo di Sidoarjo. Selain sebagai hiburan, pementasan pertunjukan Wayang Topeng Malang Lakon Lahire Panji di Sidoarjo oleh Mochammad Soleh Adi Pramono merupakan itikad beliau dalam menularkan semangat kepada para pengungsi di Sidoarjo untuk terus berikhtiar dan berserah diri dalam menanggapi cobaan hidup seperti bencana alam lumpur yang menimpa mereka. Salah satu motivasi tersebut dapat tercermin lewat penggambaran bencana alam yang terjadi di tanah Jenggala (salah satunya endhut blegedhaba yang berarti lumpur). 2.
Lakon Lahire Panji Berdasarkan hasil wawancara dengan Mochammad Soleh Adi Pramono,
didapat sebuah sinopsis tentang lakon lahire panji sebagai berikut: Setelah Raja Airlangga wafat, Dyah Kilisuci selaku anak sulung sekaligus penerus tahta kerajaan, tidak ingin menjadi raja dan memilih untuk menjadi Biksuni. Tugas mulia tersebut akhirnya diamanahkan kepada Dewakusuma, yang bergelar Prabu Lembu Amiluhur. Setelah menjadi Raja, Prabu Lembu Amiluhur memiliki beberapa istri. Namun Dyah Kilisuci berkata kepada Prabu Lembu Amiluhur bahwa ia tidak akan mendapatkan keturunan penerus tahta kerajaan jika hanya dari istri-istrinya tersebut. Dyah Kilisuci meminta Sang Prabu untuk ikut dalam sayembara besar di negeri jauh bernama Keling (Kalingga). Hadiah sayembara tersebut adalah putri Raja Kalingga yang cantik jelita bernama Dewi Sakyaningrat. Karena letak kerajaan Kalingga yang jauh maka Prabu Lembu Amiluhur dibantu oleh Jati Pitutur dan Pitutur Jati, dewa yang pernah bersemayam di tempat peristirahatan terakhir Raja Airlangga. Dengan bantuan keduanya Prabu Lembu Amiluhur berhasil menginjakkan kaki di Kalingga. Dewi Sakyaningrat yang cantik jelita ternyata telah menaruh hati pada Prabu Amiluhur saat pertama kali melihatnya di Kalingga. Singkat cerita, dengan bantuan kedua Dewa itulah Prabu Amiluhur pun memenangi sayembara tersebut dan menikah dengan Dewi Sakyaningrat. Dari pernikahan tersebut lahirlah Inu Kertapati atau Panji Asmarabangun (wawancara dengan Mochammad Soleh Adi Pramono pada tanggal 27 Januari 2012).
Selain sinopsis cerita di atas, telah dijelaskan pula sebelumnya bahwa pementasan wayang topeng malang lakon lahre panji juga merupakan pementasan untuk pengungsi di Sidoarjo. Melalui ide ceritanya mochammad Soleh Adi Pramono berusaha memberi semangat kepada para pengungsi untuk tetap tabah menjalani segala cobaan hidup yang sedang menimpa mereka. Topeng malang bukan merupakan topeng biasa yang merupakan wujud manunggaling kawula gusti, di mana topeng disebut sebagai pertautan antara jagat kecil dan jagat besar, sebagaimana yang disebutkan oleh Mochammad Soleh Adi Pramono sebagi berikut:
Panji dan Topeng adalah wujud Manunggaling Kawula karo Gusti. Ceritanya selain misalnya sukmanya Reni yang masuk ke raganya Sekartaji, memang ceritanya jaman dulu itu dikisahkan titis menitis itu memang terjadi, dewa menitis ke manusia seperti Panji sendiri adalah titisan Bethara Wisnu yang nantinya akan memelihara, menjaga tatanan dunia, memayu hayuning bawana tadi. Hidup ini, ada 2 bagian jagat kecil dan jagat besar, nah manusia itu sebenarnya selalu mendapat petunjuk dalam dirinya, dari Tuhan. Berdasarkan hal tersebut, maka topeng mempunyai maksud sebagai pelambang bahwa kebaikan dan kebesaran Tuhan itu sebenarnya ada dalam diri manusia, selain juga pelambang kecilnya manusia di hadapan Tuhan dengan segala kelemahan dan kekurangannya.
3.
Nilai Estetik dalam Topeng Malang Lakon Lahire Panji
a.
Visualisasi Estetik Pada dasarnya manusia menyukai segala sesuatu yang terlihat indah, baik
dan teratur. Hal tersebut disebabkan karena pada dasarnya manusia memiliki daya/impuls estetik (Indrawati, 2004: 3). Daya estetik tersebut juga dapat berada
pada ranah penciptaan karya seni, dimana di dalamnya juga terkandung ide-ide yang melatar belakangi proses penciptaannya. Drs. R.M. Wisnoe Wardhana di dalam Edy Sedyawati (1984: 27) menyebutkan bahwa manusia dikarunai kepekaan rasa keindahan sehingga mempunyai dorongan kuat untuk mengekspresikannya dan mempunyai kemauan untuk mengungkapkan melalui media ungkap sesuai dengan bakatnya masing-masing. Daya estetik yang sifatnya dapat berkembang dan tumbuh tersebut merupakan pangkal dari karya estetik (karya seni). Visualisasi estetik di sini dimaksudkan sebagai susunan atau organisasi yang merupakan ciri yang ditampakkan oleh suatu objek estetik yang tersusun/terorganisasi membentuk sebuah visualisasi yang bermakna (Indrawati, 2004:3). Dengan demikian Topeng Malang sebagai salah satu atribut dalam pertunjukan wayang topeng malang juga merupakan sebuah bentuk karya seni yang juga tersusun dari beragam objek estetik atau media visual seperti garis-garis yang terlihat dari alur pahatan maupun warna, tekstur yang juga bisa dirasakan lewat ukiran, serta prinsip pengorganisasian media visual yang akan dibicarakan lebih lanjut di bawah ini.
b. Kualitas Estetik Kualitas estetik merupakan atribut yang dsandang oleh visualisasi estetik sekaligus menjadi pembeda antara visualisasi estetik yang telah dijelaskan sebelumnya di atas dengan visualisasi non estetik. Menurut Indrawati (2004: 4), atribut tersebut antara lain adalah kesatuan atau kebulatan, keteraturan atau ketertiban, dan keragaman atau keanekaan.
Topeng Malang sebagaimana disebutkan di atas adalah sebuah hasil pengorganisasian beragam media visual yang kesemuanya terbalut dalam kesatuan sebuah karya seni. Kualitas estetik dari topeng malang, sebagaimana karya-karya seni lainnya juga dapat dilihat dari ada tidaknya keteraturan dalam penempatan media visual, kesatuan tiap unsur-unsur pembentuknya , serta keberagaman yang tercermin misalnya lewat kayanya pahatan maupun jenis warna yang dipakai.
c.
Media Visual Menurut Indrawati (2004: 17) media visual adalah unsur pembentuk
sebuah organisasi artistik. Media visual terdiri dari media fisik dan media estetik. Media fisik yang digunakan untuk memvisualisasikan ide perupa, bisa berupa material alam atau produk industri. Sedangkan media estetik adalah unsur-unsur rupa yang dapat diidentifikasi sebagai garis, bentuk dan ruang, warna dan cahaya, tekstur. Berdasarkan uraian di atas, rangsang visual pada Wayang Topeng Malang antara lain terdapat pada topeng yang dipakai penari, yang mengandung media estetik seperti tersebut di atas. 1.
Garis Garis adalah serangkaian titik-titik yang berjajar dan berkesinambungan
atau bekas yang ditinggalkan oleh suatu alat runcing. Garis merupakan suatu unsure penting karena dalam garis kita dapat membentuk bentuk-bentuk, membuat bidang dan dapat menampilkan kesan gerak, juga disebabkan adanya perbedaan-perbedaan garis maka karya desain semakin bervariasi. Garis biasa,
dinamis dan statis, berkelanjutan atau patah-patah, lengkungan atau lurus, lebar atau sempit, terang atau gelap (Murtihadi, 1982:27). Garis dapat memiliki aspek, antara lain : a.
Ukuran : tebal, tipis, panjang, pendek.
b.
Gerak : lurus, melengkung, bergelombang, patah-patah.
c.
Arah : horizontal, vertical, diagonal
d.
Watak : tegas, kuat, kaku, luwes, lembut, ragu-ragu, garang dan sebagainya. Berdasarkan wujudnya terdapat sifat garis, yaitu :
a.
Garis nyata atau disebut garis linier, adalah salah satu sifat garis yang kehadirannya dapat ditangkap dengan mudah.
b.
Garis khayal atau garis semu, adalah garis pada hakekatnya tidak ada, tidak jelas, dan tidak ditangkap secara visual. Garis ini dapat hadir dengan sendirinya sebagai pembatas bidang, bentuk, warna, dan sebagainya (Murtihadi, 1982:27).
2.
Bentuk dan Ruang Kedua unsur ini berkaitan satu sama lain. Sebagaimana yang diungkapkan
oleh Indrawati (2004: 22) bahwa ―membicarakan masalah bentuk tidak dapat dipisahkan dari membicarakan masalah ruang (area)‖. Bentuk hadir karena adanya ruang, sedangkan ruang hadir karena keberadaan bentuk. Lebih lanjut Wong (1986: 7) dalam Indrawati (2004: 22) menjelaskan bentuk dan ruang sebagai berikut: Pada umumnya bentuk berupa sesuatu yang menempati ruang (area), tetapi sebenarnya bentuk dapat juga merupakan ruang kosong yang dikelilingi ruang terisi. Dengan demikian kita dapat mengidentifikasi bentuk sebagai bentuk positif dan bentuk negatif, dan sekaligus akan terbentuk ruang (area) yang dapat diidentifikasi sebagai ruang positif dan ruang negatif.
3.
Warna Alam raya sesungguhnya memiliki warna yang beragam. Warna-warna
tersebut dapat kita tangkap karena adanya cahaya. Sebagaimana yang diuraikan oleh Dramaprawira (2002: 19) bahwa tanpa cahaya kita tidak akan melihat warna. Cahaya terdiri dari seberkas sinar-sinar yang memiliki panjang gelombang yang berbeda-beda serta memiliki getaran-getaran yang frekuensinya berbeda-beda. Bila gelombang tersebut memasuki mata, maka akan terjadi yang disebut sensasi warna. Cahaya membantu dalam menangkap gelombang-gelombang tersebut yang selanjutnya dinamakan warna. Meski terdapat beberapa orang yang dapat merasakan keberadaan warna tidak dengan indera penglihatannya seperti Hellen Keller, seorang tokoh wanita yang tunanetra dan tunarungu yang dapat merasakan warna melalui rabaan dan penciumannya (Sargent, 1964: 19). Hal serupa juga diungkapkan oleh Graves (1959: 321) dalam Dramaprawira (2002: 27) bahwa ―Cahaya adalah penyebabnya, sedangkan sensasi warna adalah akibatnya. Namun sensasi warna bisa juga dsebabkan oleh tekanan keras pada bola mata, karena mabuk atau pusing, atau kilatan listrik‖. Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa sesuai kebermanfaatannya dalam kehidupan (normal) sehari-hari, keberadaan warna dan cahaya tetap merupakan suatu hubungan sebab akibat yang logis sebagaimana yang telah dibuktikan oleh Sir Issac Newton pada tahun 1676 dengan kaca prisma dan spektrum warnanya (Dramaprawira, 2002: 20).
Warna merupakan unsur seni yang menarik perhatian pengamat dibandingkan dengan unsur-unsur seni rupa yang lain. Misalnya sebelum kehadiran unsur bentuk kita sadari, maka kehadiran warna dari bentuk tersebut telah lebih dahulu dapat kita tangkap (Indrawati, 1992:52). Sehubungan dengan hal tersebut, warna yang dimaksudkan dalam penelitian ini adalah warna beserta pencampurannya yang bersifat subtraktif kimiawi, artinya yang berasal dari lingkaran warna pigmen, bukan warna cahaya aditif fisika. Perbedaan kedua pendekatan Faber Birren tersebut terletak pada lingkaran warna pigmen yang cenderung menghasilkan warna gelap apabila semua warnanya dicampur, serta hasil sebaliknya pada lingkaran warna cahaya (Dramaprawira, 2002: 15). Pigmen sendiri adalah pewarna yang bisa larut dalam cairan pelarut. Contoh produk nyata dari pigmen adalah cat-cat dengan cairan pelarut yang beraneka ragam seperti: cat minyak, cat air, cat plakat, akrilik dan sebagainya. Sedangkan warna dari suatu objek yang dicat adalah karakter pigmen atau celip yang bersifat kimiawi atau molekuler (Dramaprawira, 2002: 23). Demikian halnya dengan warna yang terdapat pada topeng malang di Padepokan Seni Mangun Dharmo juga berasal dari bahan pewarna atau pigmen seperti tersebut di atas. Warna-warna tersebut nantinya akan dikaji sehubungan dengan organisasi, karakteristik maupun hubungannya dengan unsur seni yang lain sebagai nilai estetik sebuah topeng. Warna juga memiliki karakter dan simbolisasi warna atau bahasa rupa warna. Karakter warna tersebut oleh Sanyoto sebagai (2009: 54-60) diuraikan berikut:
a.
Kuning Kuning mempunyai karakter terang, gembira, ramah, supel, riang, cerah, hangat. Kuning melambangkan kecerahan, kehidupan, kemenangan, kegembiraan, kemeriahan, kecermerlangan, peringatan dan humor.
b.
Jingga atau Oranye Warna jingga mempunyai karakter dorongan, semangat, merdeka, anugerah, tapi juga bahaya. Warna ini melambangkan kemerdekaan, penganugerahan, kehangatan, keseimbangan.
c.
Merah Warna ini memiliki karakter kuat, cepat, enerjik, semangat, gairah, marah, berani, bahaya, positif, agresif, merangsang dan panas.
d.
Ungu Ungu memiliki watak keangkuhan, kebesaran, dan kekayaan. Ungu merupakan percampuran antara merah dan biru sehingga juga membawa artibut-artibut dari kedua warna tersebut. Ungu adalah lambang kebesaran, kejayaan, keningratan, kebangsawanan, kebijaksanaan, pencerahan. Jubah ungu melambangkan kewibawaan dan ketinggian derajat.
e.
Violet Violet (lembayung) warna yang lebih dekat dengan biru ini memiliki dingin , negatif, diam, melankoli,kesusahan, kesedihan, belasungkawa dan bencana.
f.
Biru Biru memiliki watak dingin, pasif, melankoli, sayu, sendu,sedih,tenang,berkesan jauh, memdalam, dan cerah.. biru melambangkan keagungan, keyakinan, keteguhan iman, kesetiaan, kebenaran,
kemurahan hati, kecerdasan, perdamaian, stabilitas, keharmonian, kesatuan, kepercayaan, dan keamanan. g.
Hijau Hijau mempunyai watak segar, muda, hidup, tumbuh dan beberapa watak lainnya yang hampir sama dengan biru. Hijau melambangkan kesuburan, kesetiaan, keabadian, kebangkitan, kesegaran, kemudaan, keremajaan, keyakinan, kepercayaan, keimanan, pengharapan, kesanggupan, keseimbangan, kenangan, dan kekerasan.
h.
Putih Putih mempunyai watak positif, merangsang, cerah, tegas, dan mengalah. Warna ini melambangkan cahaya, kesucian, kemurnian, kekanak-kanakan, kejujuran, ketulusan, kedamaian, ketenteraman, kebenaran, kesopanan, keadaan tak bersalah, kehalusan, kelembutan, kewanitaan, kebersihan, simpel, kehormatan.
i.
Hitam Watak atau karakter warna hitam adalah menekan, tegas, mendalam dan depresive. Hitam melambangkan kesedihan, malapetaka, kesuraman, kemurungan, kegelapan, kematian, teror kejahatan, keburukan ilmu sihir, kedurjanaan, kesalahan, kekejaman, kebusukan, rahasia, ketakutan, seksualitas, ketidakbahagiaan, penyesalan yang mendalam, amarah, duka cita.
j.
Abu-abu Warna abu-abu ada di antara putih dan hitam, sehingga berkesan ragu-ragu. Warna ini menyimbolkan ketenangan, kebijaksaan, kerendahhatian, keberanian untuk mengalah, turun tahta, suasana kelabudan keragu-raguan.
k.
Coklat Karakter warna coklat adalah kedekatan hati, sopan, arif, bijaksana, hemat, hormat, tetapi sedikit terasa kurang bersih. Warna coklat melambangkan kesopanan, kearifan, kebijaksanaan, dan kehormatan.
4.
Tekstur Indrawati (2004: 33) menyebut bahwa tekstur menunjukkan menunjukkan
karakteristik suatu objek/benda. Jadi setiap bentuk mempunyai permukaan, dan setiap permukaan pasti mempunyai karakteristik tertentu, seperti licin atau kasar, lunak atau keras, polos atau bercorak. Lebih lanjut dijelaskan bahwa terdapat tekstur nyata dan tekstur semu. Sebagai mana dijelaskan sebagai berikut: Tekstur nyata (barik raba) adalah tekstur yang langsung bisa kita rasakan sifat permukaannya melalui rabaan, jadi tekstur nyata merupakan jenis tekstur yang tidak hanya visibel pada mata. Perwujudan tekstur nyata mendekati bentuk relief di atas permukaan dua dimensi. Tekstur semu (barik lihat) adalah kesan sifat/karakter permukaan suatu objek/benda yang bisa kita rasakan tanpa harus meraba. Kesan dan persepsi semacam itu terbentuk akibat asosiasi kita terhadap sifat semacam yang pernah kita raba. c.
Prinsip Organisasi Estetik Karya seni merupakan sebuah organsasi visual yang tersusun dari media
visual. Penyusunan media estetik untuk menuju sebuah visualisasi estetik yang baik, dapat dicapai dengan mengikuti kaidah atau prinsip organisasi estetik (Indrawati, 2004: 41). Uraian tersebut lebih lanjut dijelaskan sebagai berikut: Kaidah/prnsip organisasi bukanlah semacam rumus, melainkan lebih sebagai asas, atau semacam panduan bagi para perupa dalam mencapai atribut kualitas estetik yaitu: kesatuan, keteraturan dan keragaman. Untuk mencapai atribut kesatuan dan keteraturan, dapat dicapai dengan menciptakan keserasian, keseimbangan, kesebandingan, dan irama; sedang untuk mencapai keragaman, dapat dicapai dengan menciptakan irama dan kevariasian (emphasis).
1.
Keselarasan/Keserasian/Harmony Menciptakan keselarasan atau keserasian dalam suatu organisasi visual
akan mendukung tercapainya atribut dasar kualitas estetik yang berupa kesatuan dan keteraturan. Keselarasan atau keserasian dapat dicapai dengan memperbanyak kesamaan dan kemiripan pada media estetik yang dimanfaatkan dalam suatu organisasi visual (Indrawati, 2004: 41). 2.
Keseimbangan (Balance) Keseimbangan yang diciptakan dalam sebuah tata susun akan
mengakibatkan tercapainya keteraturan dan kesatuan sebagai atribut pertama dalam kualitas estetik. Sebuah karya seni yang tidak mengindahkan keseimbangan akan tampak berat sebelah dan bahkan terasa akan jatuh kepada pengamatnya (Indrawati, 2004: 43). Berdasarkan uraian tersebut dijelaskan pula bahwa terdapat dua macam keseimbangan, yaitu: keseimbangan formal (keseimbangan simetris) dan keseimbangan informal (keseimbangan asimetris). Wong (1995: 67) dalam Indrawati (2004: 43-44) kedua keseimbangan tersebut dijelaskan sebagai berikut: Keseimbangan formal sama dengan keseimbangan pada racana tertib. Untuk menjelaskannya, keseimbangan pada racana tertib sama seperti keadaan dua bobot yang sama, yang ditempatkan pada jarak yang sama dari titik tumpu .... keseimbangan informal sama seperti keseimbangan pada racana atertib. Keseimbangan pada racana atertib sama seperti keadaan dua bobot yang tak sama, yang ditempatkan pada jarak yang tak sama dari titik tumpu, yaitu bobot yang lebih ringan lebih jauh dan yang lebih berat lebih dekat, dengan penempatan yang cermat.
3.
Kesebandingan (Proporsi) Menurut Edmund Burke Fieldman dalam Bastomi (1986:99), diungkapkan
bahwa proporsi adalah ukuran yang berhubungan dengan bagian-bagian dalam keseluruhan. Berdasarkan keterangan tersebut dapat diambil kesimpulan bahwa proporsi adalah suatu perbandingan antara bagian-bagiannya sehingga secara keseluruhan merupakan suatu kesatuan yang harmonis. Sehubungan dengan uraian tersebut lebih lanjut Indrawati (2004: 46) menjelaskan sebagai berikut: Kesebandingan mengacu kepada hubungan perbandingan antara bagian dengan bagian, dan antara bagian dengan keseluruhan dalam suatu organisasi visual/tata susun. Baik buruknya kesebandingan atau proporsi, akan ikut menentukan estetika sebuah tata susun, karena proporsi atau kesebandingan yang baik akan menentukan tercapainya atribut dasar kesatuan dan keteraturan.
4.
Ritme atau Irama Menurut Indrawati (2004: 48) ritme adalah rangkaian kesan gerak yang
dapat terasa dalam suatu organisasi visual/tata susun. Ritme/irama dalam suatu organisasi visual terjadi karena penciptaan perulangan (repetation) dari media estetik yang ditata sehingga terasa terjadi gerak (movement), sebagai akibat dari perulangan tersebut. 5.
Kevariasian (emphasis) Pada bagian tertentu dari sebuah organisasi visual sebaiknya diciptakan
kevariasian. Dengan demikian atribut dasar keragaman/keanekaan akan tercapai (Indrawati, 2004: 50). Sebagaimana yang dinyatakan oleh Wong (1995: 57) dalam Indrawati (2004: 50) sebagai berikut:
Kehadiran kevariasian atau emphasis yang diciptakan pada sebuah tata susun akan terkesan merangsang minat, menghidupkan dan menyedapkan .... tujuan penciptaan kevariasian atau emphasis antara lain adalah menarik perhatian, menghilangka kebosanan akibat penciptaan kesamaan, kemiripan, dan perulangan; mengalihkan dan memecahkan keteraturan. Berdasarkan uraian tersebut, maka penciptaan kevariasian juga harus mengindahkan kesatuan dan keteraturan sebagai atribut kualitas estetik yang lain. Sebagaimana yang diungkapkan oleh Indrawati (2004: 50) bahwa ― penciptaan kevariasian yang terlalu banyak dalam sebuah tata susun akan menyebabkan kesan terlalu ramai, membingungkan, bahkan menyebabkan gangguan yang merusak kesatuan‖. Berdasarkan uraian tersebut, menciptakan sebuah pusat perhatian merupakan langkah untuk menghindari rusaknya atribut kesatuan tersebut. Menurut Widjiningsih (1982) dalam Perwitasari (2012) pusat perhatian atau center of interest disebut juga dengan aksen. Aksen merupakan pusat perhatian dalam suatu susunan karena dengan aksen pertama-tama membawa mata pada sesuatu yang penting dalam susunan tersebut, dan dari titik itu baru kebagian yang lain.
D. Kegunaan Penelitian Secara keilmuan, hasil dari penelitian diharapkan dapat mempertajam pengalaman estetik dalam seni pertunjukan tradisional baik Wayang Topeng Malang di Malang secara khusus, maupun seni pertunjukan tradisional lain di beberapa daerah yang lain. Dengan kuatnya arus buruk modernisasi sekarang ini, terutama bagi peserta didik dan generasi muda, nilai estetik tersebut dapat menjadi bekal yang kuat dalam mengasah diri menjadi pribadi yang berwatak dan berbudi
luhur. Dengan tetap berpegang pada nilai estetik tersebut, semoga Indonesia tetap menjadi negara dengan sumber daya manusia yang arif dan bijaksana, menuju pada pembangunan yang lebih baik sebagai definisi dari modernisasi tersebut, tanpa meninggalkan warisan leluhur sebagai jati diri bangsa Indonesia. Adapaun penerapannya di berbagai kondisi serupa, bagi beberapa pihak penelitian ini diharapkan dapat berguna untuk:
1.
Peneliti Belajar mengenal lebih dekat serta menambah pundi-pundi wawasan
tentang kebudayaan Wayang Topeng Malang secara khusus, dan kebudayaan daerah-daerah di Indonesia. Pengalaman dan bekal tersebut di atas kiranya mampu penulis terapkan dalam menjawab kebutuhan akan pembelajaran seni budaya nantinya. 2.
Peneliti Lain Sebagai bahan referensi dalam penelitian di bidang seni dan budaya,
terutama dalam mengkaji nilai estetik sebagai sumber dari pengalaman estetik. Hasil dari penelitian ini dapat dipakai sebagai bahan kajian ulang tentang hasil yang diperoleh peneliti. 3.
Bagi Jurusan Seni dan Desain Universitas Negeri Malang Terkait baik buruknya hasil penelitian ini, tulisan ini bisa digunakan
sebagai bahan analisa dalam bidang penulisan karya ilmiah, serta ukuran seberapa jauh wawasan seni dan budaya yang diserap oleh peneliti selama perkuliahan berjalan.
4.
Bagi mahasiswa Jurusan Seni dan Desain Universitas Negeri Malang Terkait kegunaannya, materi yang terdapat dalam penelitian ini bisa
menjadi bahan rujukan ataupun pembanding dalam hubungannya dengan tugastugas mahasiswa Jurusan Seni dan Desain, yang mengangkat tema sejenis atau setidaknya bersinggungan.
5.
Bagi Masyarakat Sebagai sumber wacana tentang seni pertunjukan Wayang Topeng
Malang. Setelah mengenali nilai estetik yang ada pada naskah Lakon Lahire Panji, diharapkan melalui berbagai itikad positif, masyarakat bisa turut mewarnai pelestarian hasil budaya yang ada. Jika maksud tersebut terlalu berlebihan di era modern ini, paling tidak semoga nilai estetik yang juga bersanding dengan nilainilai luhur pada karya seni budaya, masyarakat selalu ingat bahwa dengan itikad nenek moyang mengemas nilai-nilai luhur tersebut, mereka telah lebih dahulu peduli terhadap anak cucu mereka sekarang.
BAB II METODE PENELITIAN
A. Pendekatan dan Jenis Penelitian Penelitian merupakan cara ilmiah yang digunakan untuk mendapatkan data dengan tujuan tertentu. Dengan cara ilmiah, berarti kegiatan itu dilandasi oleh metode keilmuan dan pendekatan adalah metode atau cara mengadakan penelitian (Arikunto, 2002: 20). Penelitian yang berjudul Studi Wayang Topeng Malang Lakon Lahire Panji Karya Mochammad Soleh Adi Pramono Dari Padepokan Seni Mangundarmo-Tumpang-Malang merupakan suatu kegiatan ilmiah dengan penggambaran latar alamiah tentang latar belakang penciptaan, isi, serta kandungan makna dari naskah Lakon Lahire Panji yang merupakan bagian dari sekian banyak lakon yang terdapat pada Wayang Topeng Malang sebagai suatu keutuhan (entity). Nilai-nilai pendidikan yang tersirat ataupun tersurat dalam naskah Lakon Lahire Panji merupakan tujuan pokok dalam penelitian ini. Terkait tujuan medeskripsikan latar belakang dan nilai estetik yang terdapat dalam Wayang Topeng Lakon Lahire Panji tersebut di atas, maka peneliti menggunakan penelitian deskriptif kualitatif, di mana data-data dikumpulkan dan disajikan segamblang mungkin sesuai situasi sesungguhnya. Sebagaimana diungkapkan oleh Moleong (2007: 11) bahwa penelitian kualitatif berciri deskriptif dikarenakan adanya penerapan metode deskriptif, di mana data yang dikumpulkan adalah berupa kata-kata, gambar, dan bukan angka-angka. Selain itu, semua data yang dikumpulkan berkemungkinan menjadi kunci terhadap apa yang
sudah diteliti. Dalam hal ini segala aspek yang diteliti akan tersaji dan bermuara pada laporan penelitian seperti setiap gambar; hasil observasi dokumentasi terhadap naskah, buku, ataupun kegiatan di Padepokan Seni Mangun Dharmo terkait naskah Lakon Lahire Panji; ataupun hasil wawancara dengan beberapa responden terkait seperti Mochammad Soleh Adi Pramono sebagai pencipta naskah dan Mas Supriyono sebagai pemain kendang dan anggota Padepokan seni Mangun Dharmo. Selanjutnya, Bogdan dan Taylor (1975: 5) dalam Moelong (1990: 3) mendefinisikan metode penelitian kualitatif sebagai prosedur penelitian yang menghasilkan data deskriptif berupa kata-kata tertulis atau lisan dari orang-orang dan perilaku yang dapat diamati. Pendekatan dilakukan dengan pengumpulan kata-kata, tulisan dari orang-orang yang memungkinkan memberi informasi terhadap suatu data dan juga berupa gambaran-gambaran yang memungkinkan menjadi kunci terhadap suatu permasalahan yang ditelti. Dengan demikian laporan penelitian akan berisi kutipan-kutipan data untuk memberi gambaran penyajian laporan tersebut. Data tersebut dapat berasal dari naskah wawancara, catatan lapangan, foto, video, tape, handycam, dokumen pribadi, catatan atau memo, dan dokumen resmi lainnya (Moelong, 1990: 6). Dalam proses kegiatannya, penelitian ini dilakukan bedasarkan pada beberapa pertimbangan bahasa penelitian, sesuai dengan ciri-ciri penelitian kualitatif antara lain: (1) Natural Setting (kondisi apa adanya). Topik penelitian kualitatif diarahkan pada kondisi asli subyek penelitian berada, (2) Permasalahan masa kini, artinya mengarahkan kegiatannya secara dekat pada masalah kekinian, (3) Memusatkan pada deskripsi data yang dikumpulkan terutama berupa kata-
kata, kalimat/ gambar, (4) Bersifat holistik, yakni memandang berbagai masalah selalu di dalam kesatuannya, tidak terlepas dari kondisi yang lain yang menyatu dalam suatu kontrak, (5) Bentuk laporan dengan model studi kasus (Sutopo, 2002: 31-45). Dalam penelitian ini juga digunakan sampel bertujuan (purpossive sample) yaitu beberapa topeng (tokoh) yang terdapat dalam Lakon Lahire Panji. Sampel bertujuan dilakukan dengan cara mengambil subjek bukan didasarkan atas strata, random atau daerah tetapi didasarkan atas tujuan tertentu (Arikunto, 2006: 141). Terdapat beberapa tokoh yang diangkat dalam penelitian ini yaitu: Raden Panji Asmarabangun, Lembu Mangarang, Patih Jayabadra, Patih Kudanawarsa, Patih Jaya Kasemba. Secara garis besar, penelitian ini diarahkan kepada fokus penelitian yaitu nilai estetik yang terdapat pada topeng dalam Wayang Topeng Malang Lakon Lahire Panji. Berdasarkan keperluan tersebut, digunakan pendekatan kualitatif dengan metode deskriptif untuk menggambarkan kondisi alamiah di lapangan seperti dipaparkan sebelumnya.
B. Kehadiran Peneliti Peneliti merupakan instrumen utama (human instrument) dalam pengumpulan data karena peneliti berusaha memahami fenomena sosial dengan membedakan, membandingkan, meniru, dan mengelompokkan objek studi (Patilima, 2005: 67). Dalam penelitian ini peneliti adalah pelaksana penelitian, pengumpul data, serta penganalisa data yang dijaring di lapangan yaitu Padepokan Seni Mangun Dharmo.
Kehadiran peneliti secara langsung harus diutamakan agar peneliti dapat secara langsung mendapatkan data-data yang diperlukan berdasarkan fakta lapangan, dalam hal ini data-data tersebut adalah data yang mengacu pada Wayang Topeng Malang dengan Lakon Lahire Panji. Peneliti tidak melibatkan perantara dalam mendapatkan data, sehingga dapat menganalisa dan menarik kesimpulan dari data yang didapat. Peneliti melakukan observasi dan dokumentasi terhadap beberapa kegiatan seperti rekaman pertunjukan Wayang Topeng Malang Lakon Lahire Panji, baik di Padepokan Seni Mangun Dharmo sendiri, maupun even yang digelar anggota Padepokan Seni Mangun Dharmo di Pasar Minggu pada tanggal 10 April 2012, misalnya. Untuk Lakon Lahire Panji yang dibuat oleh Mochammad Soleh Adi Pramono, adalah bahan dokumentasi dan penerjemahan cerita yang melibatkan Mochammad Soleh Adi Pramono dan beberapa pihak terkait di Padepokan Seni Mangun Dharmo, serta beberapa sumber pendukung. Beberapa data yang dicari juga berasal dari wawancara peneliti dengan responden yang merupakan beberapa anggota Padepokan Seni Mangun Dharmo, antara lain Mochammad Soleh sebagai dalang Lakon Lahire Panji, Mas Supriyono sebagai penggendang, dan beberapa anggota yang lain. Dalam hal ini komunikasi dan interaksi peneliti secara langsung terhadap subyek-subyek tersebut di atas diketahui secara terbuka. Pemeriksaan keabsahan data terutama triangulasi dengan sumber, antara lain akan tercermin lewat usaha pembahasan cerita Lakon Lahire Panji secara bersama di atas, serta hasil wawancara dengan beberapa pihak tersebut terhadap kesamaan temuan data tentang Wayang Topeng Malang Lakon Lahire Panji.
C. Lokasi Penelitian Lokasi penelitian yang dilakukan terletak di Padepokan Seni Mangun Dharmo sekaligus kediaman pencipta naskah Lakon Lahire Panji yaitu Mochammad Soleh Adi Pramono. Padepokan tersebut beralamat di Jl. Mangun Dharma 8, Desa Tulus Besar, Kecamatan Tumpang, Kabupaten Malang. Adapun beberapa alasan lain peneliti memilih Padepokan Seni Mangun Dharmo sebagai lokasi penelitian di antaranya: tempat tersebut merupakan ladang penelitian yang relevan untuk menjaring data-data terkait penelitian ini; beberapa responden atau narasumber lain juga merupakan anggota padepokan tersebut, dan faktor terpenting lainnya adalah naskah Lakon Lahire Panji sendiri berada di Padepokan Seni Mangun Dharmo.
Gambar 2.1 Padepokan Seni Mangun Dharmo (Sumber: http://www.xips2smaneta.blogspot.com, diakses 30 Juli 2012)
Gambar 2.2 Peta Lokasi Padepokan Seni Mangun Dharmo (Sumber: http://www.googlemaps.com, diakses 22 Agustus 2012)
D. Jenis-Jenis Sumber Data Yang dimaksud dengan sumber data dalam penelitian adalah darimana data dapat diperoleh. Data-data tersebut berupa data primer dan data sekunder. Data-data yang terkumpul dari lapangan dipilih dan diklasifikasikan menurut kelompoknya, disusun, kemudian di analisis secara deskriptif perkelompok. Sumber data dalam penelitian ini berasal dari data primer dan data sekunder. 1.
Data Berupa Kata-Kata atau Tindakan Data ini berupa kata-kata atau tindakan orang-orang yang diamati sebagai
sumber data utama. Dalam penelitian ini data tersebut berasal antara lain dari wawancara dengan Mochammad Soleh Adi Pramono sebagai pencipta naskah Lakon Lahire Panji dan Mas Supriono sebagai penggendang dari Pedepokan Seni Mangun Dharmo. Dari beberapa narasumber tersebut dicari data yang berkaitan dengan wayang topeng malang lakon lahire panji, dan topeng sebagai atribut dalam penokohan yang akan dicari nilai estetiknya.
2.
Data Berupa Sumber Tertulis Data ini dikumpulkan peneliti dari sumber-sumber pustaka yang relevan
seperti buku-buku tentang seni pertunjukan tradisional, wayang topeng, kebudayaan, dan sebagainya. Namun, sumber-sumber tersebut juga dapat diperoleh melalui internet, seperti artikel atau jurnal elektronik yang memuat datadata sejenis seperti asal-usul Wayang Topeng Malang dan berita seputar perkembangan Wayang Topeng Malang, khususnya yang berhubungan dengan Lakon Lahire Panji, dan topeng yang dipergunakan sebagai penokohan lakonnya yang akan dicari nilai estetiknya sehubungan dengan penelitian ini. 3.
Data Berupa Dokumentasi Yaitu data dokumenter berupa foto-foto hasil karya, sumber tertulis seperti
naskah. Dokumentasi juga diperlukan untuk potret kegiatan pengumpulan data selama di Padepokan Seni Mangun Dharmo. Namun dalam hal ini yang terpenting dokumentasi ditujukan untuk naskah Lakon Lahire Panji sebagai bahan analisa lebih lanjut untuk mendapatkan kesimpulan terkait dengan tujuan penelitian ini, yaitu latar belakang penciptaan dan nilai estetik yang terkandung dalam topeng yang dipergunakan sebagai penokohan Wayang Topeng Malang Lakon Lahire Panji karya Mochammad Soleh Adi Pramono.
E. Instrumen Penelitian Instrumen yang digunakan dalam penelitian ini adalah pedoman wawancara, pedoman observasi, serta dokumentasi yang dipakai oleh peneliti sendiri karena peneliti adalah sekaligus sebagai perencana, pelaksana pengumpulan data, analisis, penafsir data dan pada akhirnya ia menjadi pelapor
hasil penelitiannya (Moelong, 2007: 168). Terkait dengan hal tersebut, dalam rangka menunjang kelancaran penjaringan data tentang Wayang Topeng Malang Lakon Lahire Panji melalui beberapa instrumen di atas, maka digunakan beberapa pedoman dalam penjaringan data sebagai berikut: catatan lapangan; catatancatatan tertentu yang menarik; catatan kronologis; jadwal penelitian; daftar cek pengamatan; daftar cek dokumentasi; daftar panel atau pengamatan berkala; perekam pembicaraan. Dengan adanya alat-alat pencatatan data tersebut di atas, maka pengamatan di lapangan dapat digolongkan ke dalam observasi sistematis, sedangkan dokumentasi juga memakai pedoman berupa check-list yang memuat hal-hal penting tentang Wayang Topeng Malang Lakon Lahire Panji. Sebagaimana yang diungkapkan oleh Arikunto (2006: 157) bahwa observasi sistematis adalah observasi yang dilakukan oleh pengamat dengan menggunakan pedoman sebagai instrumen penelitian. sedangkan check-list adalah daftar variabel yang akan dikumpulkan datanya. Dalam hal ini, peneliti tinggal memberikan tanda atau tally setiap permunculan gejala yang dimaksud. Maka untuk keperluan pedoman di atas diperlukan beberapa alat bantu fisik dalam memudahkan peneliti menjaring data sesuai dengan pedoman tersebut. alat bantu tersebut adalah sebagai berikut:
1.
Alat Tulis Alat tulis digunakan untuk mencatat segala informasi yang masuk dari
narasumber seperti Mochammad Soleh Adi Pramono, Mas Supriono, serta beberapa pihak-pihak terkait penelitian ini. Alat tulis dalam hal ini adalah pena.
Pena digunakan untuk mencatat data-data berupa data lisan pada saat wawancara tentang Wayang Topeng Malang Lakon Lahire Panji, data-data apa saja yang harus dicatat pada saat observasi di Padepokan Seni Mangundharmo, serta mencatat butir-butir yang masuk dalam daftar dokumentasi.
2.
Tape Recorder Tape recorder dalam Guba dan Lincoln (1981: 203-306) dalam Moleong
(2007: 182) digolongkan ke dalam alat yang dinamakan topeng steno, yakni alat perekam suara dihubungan secara tersembunyi dari tubuh pengamat dengan taperecorder sehingga tidak mengganggu suasana yang diamati. Selain merekam data lisan secara lengkap dalam wawancara tentang Wayang Topeng Lakon Lahire Panji, alat ini juga berfungsi merekam data lisan pada saat melakukan observasi dan dokumentasi berupa beberapa Topeng Malang di Padepokan Seni Mangun Dharmo.
3.
Kamera Digunakan untuk mengumpulkan data-data yang berbentuk gambar.
Termasuk foto wawancara dengan narasumber di Padepokan Seni Mangun Dharmo di atas, kamera juga berfungsi saat peneliti mengabadikan dan mendokumentasikan berbagai hal terkait kepentingan penelitian ini. Hal tersebut berupa dokumen-dokumen yang relevan terkait seperti koleksi beberapa Topeng yang dipergunakan sebagai penokohan dalam Lakon Lahire Panji untuk kemudian dicari nilai estetiknya sehubungan dengan fokus penelitian ini.
4.
Handphone Untuk mengantisipasi rusaknya tape recorder dan kamera, maka
digunakan handphone yang dilengkapi fitur untuk keperluan sejenis. Alat tersebut bisa digunakan sebagai perekam data berupa wawancara lisan dengan Mochammad Soleh Adi Pramono dan Mas Supriyono sebagai narasumber di Padepokan Seni Mangun Dharmo dan juga berfungsi sebagai pengumpul data dalam bentuk gambar topeng yang dipergunakan sebagai penokohan dalam Lakon Lahire Panji.
F. Prosedur Pengumpulan Data Metode yang dilakukan peneliti dalam pengumpulan data dalam penelitian ini yaitu observasi, wawancara dan dokumentasi. Metode tersebut digunakan untuk mendapatkan data-data yang relevan dan akurat sesuai tujuan peneliti. 1.
Observasi Menurut Spradley dalam Sutopo (2002: 66), observasi dalam penelitian
kualitatif sering disebut observasi lapangan pasif. Peneliti langsung melakukan observasi proses di lapangan. Fokus observasi adalah untuk mendapatkan data lebih rinci dengan cara pengamatan. Dalam hal ini hasil observasi berupa data karya Wayang Topeng Malang khususnya Lakon Lahire Panji, rekaman kegiatan latihan pertunjukan dan pertunjukan Wayang Topeng Malang Lakon Lahire Panji yang dikumpulkan oleh peneliti di Padepokan Seni Mangun Dharmo. Pengamatan
terhadap pertunjukan Wayang Topeng Lakon Lahire Panji sebagai suatu kesatuan beberapa unsur seni diperlukan untuk mengidentifikasi nilai estetik yang terdapat dalam Topeng pada Lakon Lahire Panji sendiri. 2.
Wawancara Wawancara merupakan percakapan dengan maksud tertentu yang
dilakukan oleh dua pihak inti yaitu pewawancara yang mengajukan pertanyaan dan terwawancara yang memberikan jawaban atas pertanyaan itu (Moleong, 2005: 186). Jenis wawancara yangdigunakan dalam penelitian ini adalah wawancara terbuka. Jenis wawancara terbuka digunakan dengan maksud bahwa pewawancara dan terwawancara saling mengetahui keberadaan dan status masing-masing, serta tujuan yang hendak dicapai dalam wawancara tersebut. Pada penelitian ini wawancara dilakukan terhadap Mochammad Soleh Adi Pramono sebagai dalang Wayang Topeng Malang Lakon Lahire Panji, anggota Padepokan Seni Mangun Dharmo seperti Mas Supriono dan Mas Akhmadi sebagai penggendang. Wawancara dilakukan untuk mendapatkan data-data terkait seputar latar belakang penciptaan dan nilai estetik yang terdapat pada topeng dalam penokohan Wayang Topeng Malang Lakon Lahire Panji. Dari wawancara tersebut dapat diidentifikasi dan dijaring data-data yang sinergi dengan tujuan penelitian yakni mendeskripsikan latar belakang penciptaan, serta nilai estetik pada topeng yang ada dalam Wayang Topeng Malang Lakon Lahire Panji. 3.
Dokumentasi Penggunaan metode dokumentasi memberikan manfaat yang besar dalam
pengumpulan sumber data. Dokumen sendiri seperti yang diutarakan Guba dan
Lincoln (1981: 228) dalam Moleong (2007:216) ialah bahan tertulis ataupun film. Metode dokumentasi digunakan untuk merekam informasi tentang Wayang Topeng Malang Lakon Lahire Panji yang muncul dalam daftar check-list seperti bahan tertulis dalam penelitian ini sendiri meliputi cerita Lakon Lahire Panji, koleksi Topeng Malang Lakon Lahire Panji, serta sumber pustaka terkait seperti buku-buku yang memuat seni rupa, seni pertunjukan, kebudayaan, sejarah wayang topeng malang, dan lain-lain. Sedangkan film merujuk pada rekaman pertunjukan Wayang Topeng Malang Lakon Lahire Panji, dokumen tentang topeng di Padepokan Seni Mangun Dharmo dan sebagainya. Penggunaan berbagai dokumen tersebut di atas nantinya akan membantu peneliti dalam proses pengelompokan, penafsiran, pengolahan dan analisa data seputar latar belakang dan nilai estetik yang terdapat dalam Wayang Topeng Malang Lakon Lahire Panji. Sebagaimana yang diungkapkan oleh Moleong (2007: 217) bahwa dokumen sudah lama digunakan dalam penelitian sebagai sumber data karena dalam banyak hal dokumen sebagai sumber data dimanfaatkan untuk menguji, menafsirkan, bahkan untuk meramalkan.
G. Analisis Data Analisis data kualitatif sendiri menurut Bogdan dan Biklen (1982) dalam Moleong (2007: 248) adalah upaya yang dilakukan dengan jalan bekerja dengan data, mengorganisasikan data, memilah-milahnya menjadi satuan yang dapat dikelola, mencari dan menemukan pola, menemukan apa yang penting dan apa yang dipelajari, dan memutuskan apa yang dapat diceritakan kepada orang lain. Jika substansi pokok yang hendak dicari dalam penelitian terhadap Wayang
Topeng Lakon Lahire Panji ini adalah latar belakang penciptaan dan nilai estetik yang terkandung di dalamnya, maka berdasarkan definisi tersebut di atas, peneliti berusaha menerjemahkan langkah-langkah yang harus diambil yaitu dengan menggunakan beberapa tahap analisa data yang dirasa sesuai dan mendukung bagi penelitian ini. Tahap analisis data tersebut adalah sebagai berikut: 1.
Reduksi Data Data yang diperoleh di lokasi penelitian (data lapangan) dituangkan dalam
uraian/laporan lengkap dan terperinci. Reduksi data berlangsung terus-menerus selama proses penelitian berlangsung. Data-data didapat antara lain dari wawancara dengan beberapa responden seperti Mochammad Soleh Adi Pramono; dokumentasi beberapa dokumen terkait latar belakang penciptaan Wayang Topeng Malang Lakon Lahire Panji; serta catatan lapangan yang dibuat ketika observasi berlangsung. Data-data tersebut akan dirangkum seiring proses penelitian berlangsung, dipilih dan digolongkan, lalu difokuskan pada hal-hal yang pokok dan dibutuhkan sesuai dengan tujuan penelitian, kemudian dicari tema/polanya. Pada tahap reduksi data ini, seperti sudah dipaparkan sebelumnya, sekalipun langkah pengkajian terhadap naskah Lakon Lahire Panji sudah berlangsung, namun faksimile dan hasil terjemahan harfiah tentang naskah tersebut masih tergolong mentah dan butuh pengolahan lanjutan. Dokumen tersebut digunakan untuk mengecek hubungan isi naskah dengan latar belakang penciptaan Lakon Lahire Panji secara keseluruhan. Untuk kepentingan mencari nilai dan kualitas estetik yang terdapat pada topeng, digunakan beberapa sumber pustaka yang tentang penyususan media visual dan kaidah organisasi visual.
2.
Penyajian Data Penyajian data dimaksudkan agar memudahkan bagi peneliti untuk melihat
gambaran secara keseluruhan/bagian-bagian tertentu dari penelitian (Hasan dkk, 2003: 171) dalam Estuvitasari (2008),. Data-data pada poin reduksi data yang sudah disederhanakan, lebih disederhanakan lagi agar lebih mengarah kepada fokus penelitian. Pada tahap inilah faksimile dan terjemahan harfiah tersebut di atas diolah secara lebih eksplisit, baik alur cerita, penokohan, maupun makna tersirat dari setiap komunikasi yang terbangun antar para tokoh dalam lakon tersebut. Selain itu, dalam kepentingan mendapatkan nilai estetik pada topeng yang dipergunakan pada penokohan Wayang Topeng Malang Lakon Lahire Panji yang ada di Padepokan seni mangun dharmo, beberapa data disajikan dalam bentuk gambar dan foto. Dari data-data tersebut nilai estetik yang terdapat pada organisasi visual Topeng Malang Lakon Lahire Panji dapat ditelusuri.
3.
Menarik Kesimpulan/Verifikasi Langkah ini merupakan langkah terakhir dari proses analisis data pada
penelitian ini. Data yang direduksi dan diorganisasi dalam bentuk kajian di atas kemudian disimpulkan sesuai dengan fokus dan tujuan penelitian. Dalam menganalisa penelitian ini, peneliti menggunakan pendekatan dari teoriteori/pendapat dari para ahli dari beberapa sumber pustaka. Pada tahap ini akan didapat beberapa substansi pokok terkait fokus penelitian, yaitu bagaimana latar belakang lahirnya Lakon Lahire Panji di tangan Mochammad Soleh Adi Pramono, serta nilai estetik yang terkandung di dalam Topeng Lakon Lahire Panji. Langkah
terakhir adalah membulatkan sebuah kesimpulan tentang Lakon Lahire Panji melalui pisau analisa berdasarkan perspektif dan sumber tertulis yang terkait.
H. Pemeriksaan Keabsahan Data Pemeriksaan kesahihan data dilakukan dengan melakukan kriteria kredibilitas. Kriteria kredibilitas dipergunakan untuk membuktikan bahwa dalam data/informasi yang ditemukan di lapangan adalah benar. Upaya untuk menjamin keabsahan data tersebut dilakukan uji validitas dengan cara : 1.
Trianggulasi Trianggulasi adalah teknik pemeriksaan keabsahan data yang
memanfaatkan sesuatu yang lain diluar data itu untuk keperluan pengecekan/sebagai pembanding terhadap data itu. Teknik trianggulasi yang paling banyak digunakan ialah pemeriksaan melalui sumber lainnya (Moleong, 2007: 178). Model trianggulasi yang dipergunakan adalah trianggulasi dengan sumber yakni dengan cara membandingkan dan mengecek balik derajat kepercayaan suatu informasi yang diperoleh melalui waktu dan alat yang berbeda (Patton dan Moleong, 2005: 330). Dalam penelitian ini trianggulasi dilakukan dengan membandingkan informasi atau pun data-data yang diberikan oleh beberapa responden yang terlibat dalam wawancara seperti Mochammad Soleh Adi Pramono sebagai pencipta naskah sekaligus dalang Wayang Topeng Malang Lakon Lahire Panji, Mas Supriono dan Akhmadi sebagai penggendang dari Padepokan Seni Mangun Dharmo. Melalui tahap pengecekan ini diharapkan akan
didapat sebuah keterpaduan data dan informasi tentang Wayang Topeng Malang Lakon Lahire Panji, demi kebenaran dan kesahihan sebuah temuan penelitian. 2.
Pengecekan Referensi Kebutuhan referensi dalam penelitian ini dipenuhi dengan menggunakan
alat berupa format observasi dan wawancara yang diperoleh dari pertanyaanpertanyaan tentang kata kunci yang ditanyakan serta dari tape recorder, kamera atau handphone sebagai alat perekam pada saat wawancara dan observasi.
I.
Tahap-Tahap Penelitian Secara garis besar, keseluruhan penelitian ini dilakukan dengan langkah-
langkah atau tahapan-tahapan penelitian sebagai berikut: 1.
Tahap Awal (Persiapan) Pada tahap awal, hal yang dilakukan adalah dengan studi pendahuluan
berupa pengumpulan topik permasalahan seputar Wayang Topeng Malang, pembuatan judul tentang fokus Lakon Wayang Topeng Malang terkait, pengumpulan referensi yang relevan serta observasi kecil di Padepokan Seni Mangun Dharmo lapangan. Selanjutnya menentukan metode penelitian, ilmu bantu terkait metode yang sebelumnya ditentukan, serta teknik pengumpulan data sekaligus analisisnya secara konseptual. 2.
Tahap Tengah (Pelaksanaan) Pada tahap pelaksanaan, penelitian diarahkan langsung ke lokasi penelitian
guna penjaringan data secara optimal. Penjaringan data tersebut dilakukan antara lain dengan wawancara dengan berbagai pihak di Padepokan Seni Mangun
Dharmo, observasi di lokasi serupa, serta dokumentasi terhadap berbagai sumber yang relevan dengan penelitian ini. 3.
Tahap Akhir (Laporan) Semua data tentang naskah Wayang Topeng Malang Lakon Lahire Panji
kemudian dianalisis dengan metode kualitatif dan pendekatan teori filologi tersebut di atas, untuk selanjutnya didapat sebuah kesimpulan. Langkah terakhir dari rangkaian-rangkaian penelitian ini adalah pembuatan laporan penelitian. Penulisan laporan penelitian tidak terlepas dari keseluruhan tahapan kegiatan dan unsur-unsur penelitian (Moleong, 2007: 348). Berdasarkan hal tersebut laporan penelitian ini akan berisi konteks dan fokus penelitian, ketetapan metode penelitian, data, validasi dan verifikasi temuan penelitian, serta kesimpulan.
BAB III PAPARAN DATA DAN TEMUAN PENELITIAN
Dalam bab ini akan dipaparkan hasil-hasil pengumpulan data dan deskripsi terhadap temuan data yang diperoleh dari hasil observasi dan wawancara terhadap informan sesuai dengan tujuan, yaitu : 1.
Latar belakang penciptaan Wayang Topeng Malang Lakon Lahire Panji karya Mochammad Soleh Adi Pramono dari Padepokan Seni Mangun Dharmo Tumpang-Malang
2.
Nilai estetik yang terkandung dalam Topeng Malang Lakon Lahire Panji karya Mochammad Soleh Adi Pramono dari Padepokan Seni Mangun Dharmo Tumpang-Malang.
A. Latar Belakang Penciptaan Wayang Topeng Malang Lakon Lahire Panji Sebagaimana yang sebagian telah diterangkan sebelumnya, Mochammad Soleh Adi Pramono, adalah salah seorang pendiri Padepokan Seni Mangun Dharmo 1989 silam. Mochammad Soleh Adi Pramono dan Padepokan Seni mengun Dharmo sendiri adalah langkah dalang guna meneruskan para pendahulunya yakni: Ki Tirtonoto (Paman), Ki Samoed, Ki Karimoen Paryo, Ki Rasimoen, Ki Gimoen, dan Ki Jakimen (Noersya, 2004: 67). Tentang peran Padepokan Seni Mangun Dharmo di masyarakat diungkapkan oleh Mas Supriono, anak dari Mochammad Soleh Adi Pramono, sebagai berikut:
Kadang untuk acara hajatan di Tulus besar juga ada. Tapi itu kan perorangan. Ada juga yang memang keinginan kita. Soalnya jarang ada tamu saiki seng teko untuk tanya berjama’ah soal kebudayaan malangan, khususe. Haha.. maksute, yo wong rame teko instansi endi ngono. Lek sampean ndelok gamelan-gamelan di panggung iku lak tek’e wong kampung. Yo ono, anak-anake akeh sing titip. Nyantrik lah itungane. Hasil wawancara tersebut kurang lebih berarti sebagai berikut: Kadang Padepokan Seni Mangun Dharmo juga menerima undangan untuk mementaskan pertunjukan pada hajatan warga, jika itu hajatan perorangan (menikahkan anaknya, sunatan, dan lain-lain). Namun ada yang memang itikad dari anggota padepokan sendiri untuk pentas. Karena sudah jarang ada tamu atau orang-orang dari instansi yang datang untuk mengetahui hal tentang Kebudayaan Malangan, khususnya. Jika anda lihat gamelan-gamelan yang ada di panggung, itu adalah milik warga desa Tulus Besar. Banyak dari mereka yang menitipkan anak mereka di Padepokan untuk belajar (Kebudayaan Malangan).
Gambar 3.1 Kunjungan dari warga di Padepokan Seni Mangun Dharmo (Sumber: http://www.bukitsan.blogspot.com, diakses 22 agustus 2012)
Gambar 3.2 Pertunjukan Wayang Topeng Malang di di Padepokan Seni Mangun Dharmo (Sumber: http://www.pmangundharma.blogspot.com, diakses 22 Agustus 2012)
Beberapa angota Padepokan tersebut sebagian besar merupakan pemudapemuda Tulus Besar yang mempunyai motivasi dalam membangun Padepokan Seni Mangun Dharmo dan kesenian malangan. Nama-nama seperti Supriyono, Akhmadi dan Wayan Glemboh adalah contoh pemuda dengan antusiasme berkesenian yang tinggi, selain beberapa benih loyalitas yang mulai tumbuh lewat anak-anak kecil Desa Wates dan Tulus Besar yang rajin berlatih tari beskalan bersama Mochammad Soleh Adi Pramono. Belum lagi terkadang beberapa mahasiswa dari civitas akademik (dalam dan luar negeri) dan lapisan organisasi masyarakat yang tertarik untuk sekedar meneliti ataupun memang berniat menimba ilmu dan mengangkat kesenian malangan seperti Wayang Topeng, Tari, Wayang Kulit, Mocopat Malangan (Noersya, 2004: 67) . Sebelum sebuah karya seni jadi dan bisa dinikmati, tentunya karya tersebut mengalami sebuah proses yang melatarbelakanginya. Demikian juga dengan cerita Lakon Lahire Panji yang merupakan bagian tubuh seni pertunjukan Wayang Topeng Malang Lakon Lahire Panji. Cerita tertulis tersebut lahir sebagai wadah teks yang turut menyandarkan beberapa alasan tertentu dari sang dalang. Berdasarkan hasil wawancara dengan pencipta cerita Lakon Lahire Panji yaitu Mochammad Soleh Adi Pramono, beliau beritikad untuk menanggapi musibah
bencana alam yang sedang terjadi di beberapa daerah di Indonesia dengan tetap berpayungkan kesenian dan budaya sebagaimana yang beliau ceritakan dalam wawancara di bawah ini: Bencana lumpur di Sidoarjo dan Tsunami di Aceh beberapa waktu silam, adalah derita kemanusiaan yang patut dirasakan juga oleh banyak pihak. Saya, sebagai manusia juga berusaha mengulurkan sumbangsih dalam ironi tersebut, sebagaimana beragam respon yang juga hadir dari beberapa lapisan masyarakat, baik positif atau negatif.
Bagi Mochammad Soleh Adi Pramono, mengapungkan Cerita Panji ke permukaan bukanlah sekedar relevansi antara Jenggala dan Sidoarjo semata. Hal ini beliau ungkapkan sebagai berikut: Hubungannya cerita pertunjukan yang saya buat dan ruwatan bumi tersebut ya kok kebetulan lagi tidak terlepas dari Memayu Hayuning Bawana. Bagaimana menselaraskan dunia (alam). Yaitu jamannya sudah masuk Kali Sengara. Nah maka bagaimana pentingnya Panji di sini, itulah mengapa diangkat lagi. Dengan harapan mudah-mudahan dengan lahirnya Panji lahir pula gagasan-gagasan baru yang akan menjaga tatanan alam ini, khususnya Republik Indonesia. Kebetulan lagi Porong kan masuk Sidoarjo atau buminya Jenggala dahulunya. Sesulit apapun Amiluhur menempuh jalan untuk menunaikan perintah Dewa, toh ternyata banyak bantuan menemaninya. Sepedih apapun penderitaan saudara kita yang mengungsi di beberapa daerah, harapan saya dengan salah satunya pentas di pasar Porong sana, semoga mereka tidak berkecil hati. Hal serupa juga diungkapkan Mas Supriyono sebagai berikut: Memang sulit jika kita sedang dilanda musibah, saya juga bisa merasakan. Panji adalah pemimpin yang ditakdirkan menciptakan kembali keselarasan bumi yang rusak sebelumnya, memayu hayunng bawana tadi. Memang, Endhut Blegedaba sendiri adalah lumpur, tapi kan juga banyak bencana yang lebih dari itu. Makanya Panji dihadirkan agar iman dan moral masyarakat tetap utuh.
Mochammad Soleh Adi Pramono mengemukakan tentang beberapa momen terkait penciptaan cerita Lakon Lahire Panji sebagai berikut:
Pada waktu itu saya bersama rektor Unmer, terus Himpunan Pemerhati Kebudayaan akan mengadakan atau membahaslah, beberapa momen yang akan dipertunjukkan pada waktu memperingati 1 Sura. Nah, kebetulan waktu itu saya punya kesempatan untuk ikut andil. Acaranya antara lain kirab lalu kesenian khas malangan. kesenian khas malangan sendiri dibagi dua waktu itu. Saya mementaskan Topeng Malang, sedangkan Ki Bromono, guru saya mementaskan Wayang Kulit Malangan.
Lebih lanjut Mochammad Soleh Adi Pramono menjelaskan acara ruwatan Bumi sebagai berikut:
Momen tersebut sekaligus dipakai untuk mensucikan Tugu Monumen Pahlawan yang ada di depan Balai Kota sana. Nah, tugu itu ibaratnya Simpang Lima-nya semarang di Malang. Karena memang ada simpang limanya kan? Selain sebagai pusat pemerintahan, di Balai Kota atau di dekat tugu itu ceritanya juga ditemukan situs Mbah Malang, yaitu dibelakang Balai Kota sendiri serta di dekat Dewan Kesenian Malang .... Untuk ruwatan Bumi saya mengambil beberapa sumber yaitu: Sumber Brantas, Sumber Nagan (dekat padepkan Mas Jatikusumo di Bromo), Sumber Biru (tidak jauh dari Padepokan Mas Jatikusumo juga), lalu Banyu Urip, Sumber Semeru, Sumber Bromo, dan Kalisongo (daerah Ngrantas).
Dalam penggarapan cerita Mochammad Soleh Adi Pramono dibantu beberapa pihak dalam hal pengetikan dan pengecekan tulisan. Seperti yang beliau utarakan bahwa ―Selain berbagi pendapat dengan teman-teman penyunting dan padepokan biasanya soal ide saya sendiri, termasuk cerita ini. Supri biasanya juga saya suruh baca, saya ini sudah tua, kadang mata juga tidak begitu awas‖. Hal ini juga ditegaskan oleh Mas Supriyono sebagai berikut: Bapak sering bermusyawarah dengan sesama rekan di Padepokan. Misalnya misalnya almarhum Pak Sutrisno yang membuat topeng. Termasuk yang muda-muda. Tapi kalau untuk urusan cerita lebih sering sharing ke saya. Mungkin karena sama sekolah dhalang. Tapi itu pun sebatas tulisan, inti ceritanya tidak berubah.
Menurut Mochammad Soleh Adi Pramono Topeng dan Panji sendiri adalah wujud Manunggaling Kawula Karo Gusti. Lebih lanjut Mochammad Soleh Adi Pramono menyambung pernyataannya sebagai berikut: Topeng itu perlambang manunggaling kawula karo gusti. Manusia harus eling (ingat) bahwa selain jagat alit (mikrokosmos) masih ada jagat gede (makrokosmos). Hubungan dengan alam dan sesama, serta vertikal dengan Tuhan, itulah cita-cita kehidupan sejati. Legine asmara lan paite urip adalah itu sesuatu yang wajar, karena hidup adalah Cakramanggilingan, terus berputar. Makanya saling mengingatkan adalah penting, sepenting kehadiran Panji, titisan Bethara Wisnu, di Jenggala waktu itu, contohnya.
Pernyataan dari kutipan terakhir di atas menjelaskan bahwa manusia sebenarnya tidak kekurangan petunjuk dalam mengarungi bahtera hidup. Selemah-lemahnya manusia pada titik ketidaksanggupannya, Tuhan selalu ada untuk mengingatkan dan menuntun kepada jalan kebaikan yang Ia gariskan. Lebih lanjut, Mochammad Soleh Adi Pramono mengungkapkan maksud dan harapan terkait cerita Lakon Lahire Panji sebagai berikut: Ya, itu juga. Makanya kalo kita minta itu yo mbok aturan. Jangan kayak Liku yang takut anaknya bakal ga dadi ratu. Orang diberi rahmat Tuhan itu nggak kurang-kurang. Makanya Kilisuci kan bilang ke Padukaliku dan semuanya termasuk Amiluhur: “Ning pada ngertenana beja cilakane manungsa ora kena nerak garise pesthi”. Kalo memang jodohnya, ya mungkin ada jalan anaknya jadi raja, kalo nggak pun ya seng penting wes diusahakan, tapi yo ojo ngoyo. “Yang penting sekarang, urusan negara dan rakyat dulu” Kilisuci gitu. Makna dari hasil wawancara di atas adalah sebagai berikut: Ya, termasuk, jika meminta kalau bisa jangan berlebihan. Jangan seperti Liku yang takut jika anaknya tidak bisa menjadi raja. Tuhan tidak pernah kekurangan dalam memberi hambanya. Maka Kilisuci berbicara kepada Padukaliku, Amiluhur, dan semuanya: tetapi mengertilah semua, untung ruginya manusia, tidak bisa melanggar takdir Tuhan. Jika memang berjodoh, mungkin ada jalan anak Padukaliku untuk menjad Raja, jika tidak, yang penting sudah diusahakan, asal usaha tersebut tidak berlebihan. “yang terpenting sekarang adalah mengurus negara dan rakyat” kata Kilisuci.
Terkait motivasi yang ingin beliau berikan untuk warga korban lumpur, Mochammad Soleh Adi Pramono menjelaskan sebagai berikut: Sesulit apapun Amiluhur menempuh jalan untuk menunaikan perintah Dewa, toh ternyata banyak bantuan menemaninya. Sepedih apapun penderitaan saudara kita yang mengungsi di beberapa daerah, harapan saya dengan salah satunya pentas di pasar Porong sana, semoga mereka tidak berkecil hati. Dengan lahirnya panji semoga akan lahir pula gagasan-gagasan baru yang akan mendamaikan dan mensejahterakan bangsa ini.
Berdasarkan uraian tersebut, pementasan Lakon lahire Panji di Sidoarjo sebenarnya ditujukan untuk menghibur para pengungsi agar tetap tabah menghadapi cobaan yang sedang menimpa mereka.
B. Nilai Estetik dalam Topeng Malang Lakon Lahire Panji Terdapat beberapa pertimbangan dalam penjaringan data di lapangan, yaitu: beberapa topeng di Padepokan Seni Mangun Dharmo sudah menjadi perbendaharaan atau koleksi negara asing, serta rusaknya beberapa dokumen dan rekaman video tentang topeng di Padepokan Seni Mangun Dharmo, maka tokoh yang diangkat dalam penelitian ini adalah Raden Panji Asmarabangun, Lembu Mangarang, Patih Jayabadra, Patih Kudanawarsa, Patih Jaya Kasemba. Dari hasil pengamatan di lapangan didapatkan beberapa tokoh topeng sebagai berikut: 1.
Panji Asmarabangun Bentuk Topeng Panji Asmarabangun merupakan bentuk positif, dengan
bentuk negatif yang terdapat pada rongga pada sepasang mata yang berlubang. Tekstur yang semu dapat dirasakan lewat ukiran ornamen yang dipertegas dengan
warna-warna warna biru langit (sky blue), hijau kekuningan (yellow green) dan emas pada bagian mahkota. Warna-warna tersebut juga mewakili beberapa garis lengkung yang dinamis. Bagian wajah didominasi warna hijau (medium sea green) sebagai warna kulit. Warna hijau adalah bagaimana semestinya alam yang subur (keselarasan jagad) yang akan kembali ditata oleh Panji seiring bencana yang terjadi di Jenggala dan Keling.
Gambar 3.3 Panji asmarabangun (sumber: Koleksi Padepokan Seni Mangun Dharmo)
2.
Topeng Lembu Mangarang Bentuk tatahan membuat wajah Lembu Mangarang lebih menonjol
dibanding Panji Asmarabangun. Bagian bibir terkesan tebal (merah jambu) dan hidung agak mancung, serta dahi yang tidak terlalu lebar. Topeng Lembu Mangarang secara dominan berwarna merah dengan nyala yang sedikit terasa. Beberapa garis ditarik secara patah-patah, dan dikomposisikan pada gradasi biru langit pada bagian mahkota. Hampir tidak terdapat garis yang benar-benar statis
pada topeng ini. Selain rambut kecil bergulung yang mewakili rambut ikal tokoh ini, terdapat garis lengkung yang membentuk kumis di atas otot-otot mulut.
Gambar 3.4 Lembu Mangarang (sumber: Koleksi Padepokan Seni Mangun Dharmo)
3.
Patih Jayabadra Wajah topeng Jayabadra berbentuk lonjong. Warna merah agak gelap
mendominasi bagian wajah, sedangkan warna merah yang lebih menyala mewarnai bagian bibir di atas dagu yang agak lancip sebagai pusat perhatian dari bagian wajah. Motif tumbuhan menghiasi bagian atas wajah yang membentuk mahkota. Perulangan beberapa garis lengkung baik dibagian kanan maupun kiri mahkota membentuk suatu karya sunggingan yang simetris. Gradasi warna hijau juga terjadi pada perulangan tersebut. Beberapa garis lengkung lainnya merupakan garis linear yang membentuk sepasang kelopak mata, alis, kumis, dan rambut mulai dari atas dahi sampai bagian bawah mahkota.
Gambar 3.5 Patih Jayabadra (sumber: Koleksi Padepokan Seni Mangun Dharmo)
4.
Patih Kudanawarsa Pada topeng Kudanawarsa terdapat garis-garis statis yang pendek pada dua
lembar daun berwarna hijau dengan bunga lima kelopak berwarna kuning. Garisgaris statis yang berukuran pendek tersebut bersifat tegas, menyabang di antara satu garis yang lebih tebal sebagai tulang daun. Bagian Wajah beserta mulut dicat dengan warna merah crimson. Rambut-rambut kecil yang terkesan ikal bergulung di pinggir wajah dengan sapuan kehitaman. Bagian lain yang tergolong rambut yang dicapai dengan permainan garis adalah alis yang memiliki ukuran yang cukup tebal, pun simetris. Hidung dibuat agak mancung. Secara keseluruhan topeng ini tidak terlalu memiliki organisasi visual yang beragam.
Gambar 3.6 Patih kudanawarsa (tampak samping) (sumber: Koleksi Padepokan Seni Mangun Dharmo)
5.
Patih Jaya Kasemba Topeng Patih Jaya Kasemba yang lonjong secara dominan memiliki warna
light pink. Warna tersebut juga menyapu bagian yang ditatah sedemikian rupa membentuk hidung. Kelopak mata di sapu dengan garis putih yang lebih tebal. Ketebalan garis yang tidak terasa terlalu luwes jika dibandingkan dengan garis yang mengarah pada bagian bulu mata ini, juga bisa dirasakan sebagai bagian dari bola mata manusia. Beberapa warna yang diwakili oleh garis-garis yang arahnya berlawanan membentuk ornamen pada bagian mahkota.
Gambar 3.7 Patih Jayakasemba (sumber: Koleksi Padepokan Seni Mangun Dharmo)
BAB IV PEMBAHASAN
Berdasarkan hasil penelitian yang telah dipaparkan pada Bab III, maka dalam Bab IV ini akan dibahas hasil penelitian tersebut sesuai dengan variabelvariabel yang diteliti. Variabel-variabel tersebut meliputi: 1.
Latar belakang penciptaan Wayang Topeng Malang Lakon Lahire Panji karya Mochammad Soleh Adi Pramono dari Padepokan Seni Mangun Dharmo Tumpang-Malang.
2.
Nilai estetik yang terkandung dalam Topeng Malang Lakon Lahire Panji karya Mochammad Soleh Adi Pramono dari Padepokan Seni Mangun Dharmo Tumpang-Malang.
A. Latar Belakang Penciptaan Wayang Topeng Malang Lakon Lahire Panji
Dalam beberapa kutipan, nyatanya naskah ini juga mewakili parade bencana alam memilukan di beberapa tahun terakhir di Indonesia. Kalimat yang diungkapkan tokoh Dyah Kilisuci tersebut berbunyi: ―... gunung lahar, banjir bandhang, samodro ngelepi daratan, endhut blegedaba tumeka retuning bawana andadekna bangsa iber-iberan kesrakat‖. Ujaran tersebut tentu berangkat dari memori pahit bahwa gempa di pesisir utara Sumatera dan Tsunami di Aceh, telah membuat Indonesia sebagai negara penyumbang korban terbanyak di antara negara-negara di dekat Samudera Hindia. Lembaran tahun 2006 menyajikan beberapa kisah yang tidak kalah perihnya: menyemburnya lumpur di Sidoarjo;
gempa berkekeuatan 8.6 SR di Nias; serta gempa di Jogjakarta yang sedikitnya merenggut 5.800 korban jiwa pada 27 Mei di tahun tersebut. Berbicara tentang musibah tersebut termasuk menyeret polemik yang mendampinginya, sebut saja: pagelaran demonstrasi yang berujung anarkis, selain beberapa aksi teatrikal dari beberapa lapisan masyarakat dan organisasi massa, pun termasuk para pengungsi di beberapa daerah. Telah disebutkan sebelumya bahwa ―topeng‖ adalah perlambang manunggaling kawula karo Gusti. Kata ―manunggaling‖ tetap akan dipaparkan dalam fungsinya sebagai wahana umat manusia menuju kebaikan, di mana kebaikan itu identik dengan Tuhan, sebagaimana yang diungkapkan oleh Mochammad Soleh Adi Pramono sebelumnya. Manunggaling kawula-Gusti memberikan pengertian pada beberapa hal yang menyangkut tentang asal dan tujuan hidup (sangkan paraning dumadi), di mana dalam mencapainya alam semesta (jagad gedhe) harus terangkum dalam hati dan pikiran manusia (jagad cilik). Dalam hal ini tujuan hidup tersebut adalah Tuhan .... Seperti halnya filsafat curiga manjing warangka, warangka manjing curiga bukanlah persatuan manusia dengan Tuhan hingga manusia sama dengan Tuhan, melainkan ini perumpamaan jiwa dan raga (Endraswara, 2012: 240-242). Berdasarkan keterangan di atas, jalan menuju kebaikan (Tuhan) antara lain terbangun lewat hubungan horizontal manusia dengan sesamanya dan alam. Topeng dalam hal ini menyangkut penjelasan terakhir kutipan di atas. Dalam Kitab Makrifat yang disadur Otto Sukatno Cr (2002), dijelaskan bahwa roh dan tubuh melebur hingga bersifat loro-loroning atunggal yang berarti dua hal yang berbeda tetapi satu juga adanya. Secara garis besar roh dan tubuh manusia dibagi
ke dalam: stula-sharira, lingga sharira, kama rupa, roh-rahmani, karana-sharira, dan roh-ilafi. Karana-sharira sendiri adalah roh nurani yang cenderung membawa manusia ke kejernihan dan kebaikan dalam bertindak. Sedang Roh-ilafi yang bersifat sakral adalah satu-satunya yang menghubungkan diri manusia dengan Tuhan, hingga menumbuhkan cinta kasih yang luar biasa karena getaran untuk selalu dekat dengan Tuhan. Dengan senantiasa bertanya tentang asal-usul (termasuk bersatunya raga dan ruh) dalam perjalanan menuju Tuhan, manusia sejatinya dapat mengambil sebuah jalan lurus dalam setiap segmen kehidupannya dengan tetap membumbui perjalanan tersebut denga kesadaran (eling) akan alasan untuk apa ia diciptakan. Lebih lanjut, sebelumnya telah dijelaskan bahwa Cerita Panji mengisahkan kepahlawanan dan kebesaran ksatria-ksatria Jawa. Terutama pada masa Jenggala dan Kediri, cerita Panji merupakan usaha untuk menandingi cerita versi wayang purwa yang mengisahkan cerita-cerita dari India (Utomo, 2008). Dengan setting beberapa kerajaan di Jawa waktu itu, kenyataan yang ada adalah Cerita Panji memang tidak mentah-mentah lahir dari adaptasi cerita India. Gelar Pahlawan Kebudayaan Nusantara bagi Cerita Panji pada Festival Kebudayaan di Bali tahun 1976 setidaknya mengisyaratkan bahwa Panji benar-benar buah karya yang lahir dari sastrawan dan seniman Jawa. Kembali kepada upaya menjaga keselarasan dan kesejahteraan dunia dalam tajuk memayu hayuning bawana. Dengan lahirnya Lakon Lahire Panji, diharapkan akan lahir pemimpin yang asih, asah, dan asuh, yang tidak membedakan rakyatnya (mahambeg adil paramarta). Dengan lahirnya lakon
lahire panji ini pula, hendaknya dalam keterbatasannya menjalani dan menyikapi legi paite urip (manis pahitnya kehidupan), minimal manusia dapat bertindak sebagai pemimpin bagi dirinya sendiri. Sikap dan tindakan tersebut dapat tercermin dalam hening (kejernihan pikiran dan hati), heneng (penuh pertimbangan), hawas (waspada), eling (ingat kepada Tuhan), dan wicaksana (bijaksana). Sedang kata ―asuh‖ di atas menitikberatkan bagaimana pemimpin dan rakyat secara kolektif bergiat dalam modernisasi tanpa meninggalkan jasa para leluhur. Namun sebelumnya perlu dibatasi bahwa modernisasi bukan berarti mutlak westernisasi, meski westernisasi sendiri adalah kecenderungan tindaktanduk individu yang mungkin melebur dalam modernisasi. Dalam hal ini penulis meminjam pernyataan Koentjaraningrat (1982: 140-142) sebagai berikut: Modernisasi adalah usaha untuk hidup sesuai dengan zaman dan konstelasi dunia sekarang .... Sedang westernisasi adalah usaha meniru gaya hidup orang barat .... Nenek moyang kita di zaman Sriwijaya, dalam usaha modernisasi mereka, menjaga kekhususan mereka dan tidak menjadi orang India, sama seperti Vietnam yang tetap tidak menjadi orang Cina.
Semua hal tersebut di atas kiranya juga dapat menjadi tempat berpijak dalam pencarian rasa hidup sejati (pramana jati). Rasa hidup sejati yang bersumber dari segenap kebaikan, yang sejak lahir telah dianugerahkan Tuhan tersebut adalah cita-cita fundamental manusia yang semestinya harus tetap diupayakan dalam garis hidup yang telah ditentukan (mung saderma nglakoni garising pepesthen).
B. Nilai Estetik dalam Topeng Malang dalam Lakon Lahire Panji Berdasarkan paparan data pada bab sebelumnya maka dalam bab ini akan lebih lanjut dibahas nilai-nilai estetik yang terdapat dalam topeng-topeng tersebut. Raden Panji Asmarabangun, Lembu Mangarang, Patih Jayabadra, Patih Kudanawarsa, Patih Jaya Kasemba.
Gambar 4.1 bagian-bagian wajah (untuk memudahkan pembaca dalam menelaah pembahasan) (sumber: http://www.lidlift.com)
1.
Topeng Panji Asmarabangun Secara garis besar bentuk Topeng Panji Asmarabangun merupakan bentuk
positif, dengan bentuk negatif yang terdapat pada rongga pada sepasang mata yang berlubang. Tekstur yang semu dapat dirasakan lewat ukiran ornamen yang dipertegas dengan warna-warna warna biru langit (sky blue), hijau kekuningan (yellow green) dan emas. Warna-warna tersebut juga mewakili beberapa garis lengkung yang dinamis. Bagian wajah didominasi warna hijau (medium sea green) sebagai warna kulit. Kehadiran warna tersebut sekaligus mengisi lebih dari setengah bentuk
topeng tersebut. Sebuah organisasi visual yang mengarah pada mimik wajah tampak pada beberapa aspek berikut: a.
Sepasang garis linear yang terkesan bergerak seperti arah gerak pada alis/bulu mata manusia pada umumnya. Bagian ujung luar (dekat lateral) agak terangkat naik. Arah gerak garis tersebut mewakili otot yang menggerakkan alis tersebut.
b.
Garis linear kehitaman yang mengelilingi bagian luar bentuk bibir yang berwarna merah. Lebih lanjut arah gerak bagian luar bibir tersebut dapat diidentifikasi sebagai sebuah senyuman.
c.
Terdapat ruang negatif pada sepasang mata yang berongga, dengan garis putih sebagai kelopak mata. Ruang negatif tersebut mengarah pada adanya bentuk negatif bola mata (iris dan pupil). Bagian-bagian otot mata medial dan lateral terletak agak jauh di bawah alis atau bulu mata.
d.
Permukaan yang menonjol dari hasil tatahan merupakan representasi dari hidung, juga dengan warna hijau. Bentuk hidung berada di tengah dengan ukuran batang hidung yang cukup lebar.
Gambar 4.2 Panji asmarabangun (sumber: dokumen Padepokan Seni Mangun Dharmo)
Keseimbangan formal terjadi pada bentuk ukiran keseluruhan. Jika dibagi menjadi dua bagian, masing-masing bagian juga menunjukkan beberapa tiga buah ruang negatif (berongga). Beberapa rupa ornamen yang membentuk mahkota mengalami keselarasan warna polikromatik (Dramaprwira, 2002: 72) dimana warna-warna yang tersusun merupakan campuran warna murni (biru, kuning) dan warna dari deret nilai seperti orange . Di bawah dahi terdapat bidang berbentuk lingkaran lonjong berwarna emas yang agak muncul dari pada permukaan yang merupakan salah satu center of interest, selain bibir yang terlihat menyala berwarna merah (tints) dengan nilai dan intensitas yang cukup tinggi bla dibandingkan dengan hijau yang mendomnasi wajah. 2.
Topeng Lembu Mangarang Topeng Lembu Mangarang secara dominan berwarna merah dengan nyala
yang sedikit terasa. Dengan tingkat kecerahan (nilai) yang lumayan tinggi, bahkan warna ini hampir menyamarkan merah jambu yang melekat pada bibir sebagai bagian dari monokromatiknya. Beberapa garis ditarik secara patah-patah, dan dikomposisikan pada gradasi biru langit pada bagian mahkota. Sebagaimana topeng Malang pada umumnya, ruang negatif tetap melekat pada lubang yang dikelilingi garis dinamis kehitaman yang membentuk bola mata, dengan otot lateral yang sedikit naik. Hampir tidak terdapat garis yang benar-benar statis pada topeng ini. Selain rambut kecil bergulung yang mewakili rambut ikal tokoh ini, terdapat garis lengkung yang membentuk kumis di atas otot-otot mulut.
Gambar 4.3 Lembu Mangarang (sumber: dokumen Padepokan Seni Mangun Dharmo)
Harmonisasi terjalin kuat pada proporsi garis dan warna pada ornamen yang membentuk mahkota sebagai sebuah keseimbangan formal. Keberadaan beraneka bentuk pada ornamen merupakan keberagaman yang cukup baik dan tidak mengacaukan kesebandingan mahkota secara keseluruhan. Bentuk tatahan membuat wajah Lembu Mangarang lebih menonjol dibanding Panji Asmarabangun. Jika bentuk wajah tersebut dipadankan dengan mahkota tersebut, maka akan didapat sebuah keselarasan warna kontras. Bagian bibir terkesan tebal (merah jambu) dan hidung agak mancung, serta dahi yang tidak terlalu lebar.
Gambar 4.4 bagian-bagian mata (untuk memudahkan pembaca dalam menelaah pembahasan) (sumber: http://www.doctorology.net)
3.
Topeng Patih Jayabadra Motif tumbuhan menghiasi bagian atas wajah yang membentuk mahkota.
Perulangan beberapa garis lengkung baik dibagian kanan maupun kiri mahkota membentuk suatu karya sunggingan yang simetris. Gradasi warna hijau juga terjadi pada perulangan tersebut. Beberapa garis lengkung lainnya merupakan garis linear yang membentuk sepasang kelopak mata, alis, kumis, dan rambut mulai dari atas dahi sampai bagian bawah mahkota.
Gambar 4.5 Patih Jayabadra (sumber: dokumen Padepokan Seni Mangun Dharmo)
Wajah topeng Patih Jayabadra masih berbentuk lonjong seperti dua topeng sebelumnya. Warna merah yang agak gelap mengisi hampir sebagian besar bagian wajah. Sedangkan warna merah yang terkesan lebih menyala mengisi bagian bibir di atas dagu yang agak lancip. Dapat dikatakan bagian tersebut merupakan pusat perhatian di antara bagian-bagian yang lain pada wajah. Komposisi warna bibir dan wajah merupakan komposisi selaras monokromatik. Sebuah garis lengkung yang menggambarkan kumis juga terletak pada otot-otot mulut.
4.
Patih Kudanawarsa Terdapat garis-garis statis yang pendek pada dua lembar daun berwarna
hijau (medium sea green) dengan bunga lima kelopak berwarna kuning. Garisgaris statis yang berukuran pendek tersebut bersifat tegas, menyabang di antara satu garis yang lebih tebal sebagai tulang daun. Bentuk bunga berkelopak lima merupakan titik tumpu yang menjadikan kedua lembar daun tersebut mengalami keseimbangan informal. Hal tersebut dapat dirasakan dari luas daun yang hampir tidak sama. Bagian daun yang lebih di atas memiliki tulang daun yang lebih tebal dibanding daun dibawahnya. Bunga kecil berwarna kuning memiliki ruang negatif pada bagian tengahnya. Di dekat sepasang daun yang lebar tersebut, bunga kecil berwarna kuning mengalami perulangan (irama), meski letaknya agak jauh dari bunga sejenis yang menjadi titik tumpu kedua daun tersebut. Bagian Wajah pada topeng Patih Kudanawarsa dicat dengan warna merah (light coral). Rambut-rambut kecil yang terkesan ikal bergulung di pinggir wajah dengan sapuan kehitaman. Bagian lain yang tergolong rambut yang dicapai dengan permainan garis adalah alis yang memiliki ukuran yang cukup tebal, pun simetris. Mulut tetap dicat mengikuti warna kulit wajah yaitu merah crimson. Hidung dibuat agak mancung Secara garis besar topeng kudanawarsa tidak terlalu disusun oleh media visual yang sangat beragam. Kesederhanaan cenderung meliputi bagian demi bagian dalam topeng ini.
Gambar 4.6.Patih kudanawarsa (sumber: dokumen Padepokan Seni Mangun Dharmo)
5.
Topeng Patih Jaya Kasemba Topeng Patih Jaya Kasemba secara dominan memiliki warna light pink.
Sebagaimana pada topeng-topeng seperti di atas. Warna yang mendominasi suatu bentuk topeng, cenderung mendominasi bagian wajah. Segenap media estetik yang menyusun wajah topeng Patih Jaya kasemba dapat diidentifikasi sebagai berikut: a.
Terdapat dua buah garis dinamis yang berlawanan arah. Satu garis merupakan cermin dari garis yang lain (simetris). Kedua garis kehitaman tersebut dapat dirasakan sebagai sepasang alis atau bulu mata. Arah geraknya menjauh dari medial dan lateral di bawahnya. Kedua garis yang saling berlawanan arah tersebut berasal dari sebuah titik pada titik tengah sepasang mata manusia pada umumnya.
b.
Di bawah garis yang berlawanan tersebut di atas, terdapat pula dua buah bentuk yang juga terkesan simetris. Bagian yang dibentuk adalah sepasang mata dengan ruang negatif yang tetap disuguhkan di dalamnya. Sepasang mata tersebut mempunyai luas yang tidak terlalu mengalami kesebandingan
yang baik bila disandingkan dengan bentuk-bentuk lain pada bagian wajah topeng tersebut. c.
Kelopak mata di sapu dengan garis putih yang lebih tebal. Ketebalan garis yang tidak terasa terlalu luwes jika dibandingkan dengan garis yang mengarah pada bagian bulu mata ini, juga bisa dirasakan sebagai bagian dari bola mata manusia pada umumnya yang disebut tunica conjunctiva.
d.
Bagian yang paling menonjol dari permukaan adalah bagian dibuat sedemikian rupa sehingga mengarah pada anatomi hidung. Bagian ini tidak mendapatkan penekanan warna lain selain warna light pink sebagai warna wajah secara umum pada topeng ini. Hidung dibuat agak mancung dan mengerucut pada titik tumpu kedua garis berlawanan yang sebelumnya disebutkan di atas.
e.
Selain bibir yang dicat dengan warna merah yang lebih menyala (terasa baik nilai maupun intensitasnya), pada topeng ini terdapat beberapa bidang berwarna putih yang dapat diidentifikasi sebagai jajaran gigi.
f.
Bentuk wajah secara keseluruhan tetap lonjong, cenderung mengerucut pada bagian bawahnya (dagu).
Gambar 4.7 Patih Jayakasemba (sumber: dokumen Padepokan Seni Mangun Dharmo)
Secara garis besar, topeng-topeng yang mewakili beberapa tokoh dalam lakon lahire panji memiliki karakteristik yang berbeda-beda. Perbedaan paling kentara adalah dari segi pewarnaan wajah. terdapat beberapa ruang dan bentuk yang positif dan negatif dari hasil penatahan kayu menjadi topeng sebagai langkah awal. Warna yang dicat pada topeng sangat beragam sesuai dengan karakteristik topeng-topeng. Garis yang paling banyak dipakai adalah garis lengkung yang terkesan luwes dalam menggambarkan ornamen tumbuh-tumbuhan pada mahkota para tokoh. Tekstur semu dapat dirasakan tanpa meraba permukaan topeng-topeng tersebut. Atribut kualitas estetik seperti kesatuan, keteraturan, dan keragaman telah dicapai dalam visualisasi media visual yang juga mengindahkan asas keselarasan, keseimbangan, kesebandingan, irama, dan kevariasian.
BAB V PENUTUP
A. Kesimpulan Berdasarkan analisis hasil penelitian yang telah dipaparkan pada bab IV, maka dalam bab ini akan dijabarkan suatu kesimpulan dari hasil penelitian secara keseluruhan berdasarkan variable-variabel yang diteliti. Adapun kesimpulankesimpulan tersebut meliputi : 1.
Latar Belakang Penciptaan Wayang Topeng Malang Lakon Lahire Panji Kehadiran naskah Lakon Lahire Panji berangkat dari keinginan
Mochammad Soleh Adi Pramono untuk memberikan semangat kepada para pengungsi di Sidoarjo khususnya, dan korban bencana alam di beberapa daerah yang lain pada umumnya. Selain alasan Sidoarjo yang dahulunya menurut beliau merupakan lokasi kerajaan Jenggala (Dawan, 2010), wujud simpati Mochammad Soleh Adi Pramono tersebut antara lain tercermin pada beberapa nilai-nilai moral yang terdapat dalam Lakon Lahire Panji. Dalam penggarapannya, nilai-nilai moral tersebut diletakkan sedemikian rupa dengan tetap berlandaskan pandangan hidup jawa yang tak lekang dimakan zaman. Diharapkan dengan adanya naskah Lakon Lahirnya Panji ini, akan lahir pula Panji-Panji yang akan mengembalikan dan menjaga keseimbangan dan keselarasan Nusantara, serta pemimpin yang setia membimbing rakyatnya untuk tidak melupakan jasa para leluhur.
Semangat dan motivasi yang bisa disumbangsihkan kepada para pengugsi adalah sebagimana cerita Lakon Lahire Panji berkata bahwa seberat apa pun kesusahan menyelimuti, selalu ada jalan untuk keluar dari keadaan tersebut. Sebuah musibah bukan podium yang tepat untuk menuduh bahwa Tuhan tidak adil, ibarat peribahasa ―aja susah ing panacad”. Dibalik kesulitan pasti ada kemudahan, Tuhan tidak akan membebani hambanya dengan beban yang tak bisa ditanggunggnya. 2.
Nilai Estetik yang Terkandung dalam Topeng Malang pada Lakon Lahire Panji Beberapa gejala yang dapat disimpulkan dari Topeng Malang dalam
Lakon Lahire Panji antara lain adalah bahwa dalam penggarapan topeng tersebut, pembuat topeng masih berpegang pada kaidah-kaidah pengorganisasian media visual yang meliputi media fisik dan media estetik. Visualisasi topeng yang merupakan hasil dari tatahan terhadap kayu sebagai bahan utamanya, serta tata susun media estetik yang diwakili oleh media fisik pada kayu yang sudah ditatah tersebut. Media estetik yang dapat dijumpai tersebut antara lain: garis yang diejawantahkan lewat warna-warna tertentu; bentuk dan ruang (baik positif maupun negatif) yang secara keseluruhan terdapat pada topeng; warna; dan tekstur. Atribut kualitas estetik yang juga tercapai pada pengorganisasian media estetik tersebut adalah kesatuan, keteraturan, dan keragaman. Atribut tersebut dicapai dengan menciptakan keseimbangan, keselarasan, kesebandingan, irama, dan kevariasian lewat penataan media estetik tersebut. Perulangan pada ukiran ornamen merupakan irama yang menuju kepada keteraturan, warna-warna yang
selaras yang ditata sedemikian rupa menunjukkan keberagaman, dan keseluruhan tata susun baik bentuk wajah maupun mahkota yang juga merupakan wujud tercapainya kualitas kesatuan.
B. Saran Adapun saran-saran yang dapat penulis sampaikan dalam skripsi ini adalah kepada beberapa pelaku pertunjukan kesenian tradisional seperti Mochammad Soleh Adi Pramono dan rekan-rekan di Padepokan Seni Mangun Dharmo, maupun masyarakat pendukung kesenian tradisional agar tidak henti-hentinya menghidupkan kesenian tradisional, demi terciptanya langkah pembangunan yang tidak lepas dari pentingnya memiliki budaya sendiri. Belajar dari Lakon Lahire Panji, hendaknya pemimpin dan rakyat berupaya untuk selalu menjaga kelestarian budaya bangsa, mengamalkan nilai pengalaman estetik yang terdapat di dalamnya dengan selalu meluhurkan moral pribadi masing-masing. Kekayaan yang tersirat itulah kiranya sebagai penopang yang mampu membuat semua warga Nusantara manuggal dalam membendung pengaruh buruk bagi dirinya dalam langkah pembangunan menuju masa depan yang lebih baik.
DAFTAR RUJUKAN
Arikunto. S. 2002. Prosedur Penelitian: Suatu Pendekatan Praktek. Jakarta: Rineka Cipta. Arikunto. S. 2006. Prosedur Penelitian: Suatu Pendekatan Praktek (cetakan ke13). Jakarta: Rineka Cipta. Alfian, M. 2006. Seni Pertunjukan Dalam Perspektif Sejarah: Keberadaan Musik Keroncong di Indonesia. Makalah dipresentasikan pada Diskusi Sejarah dengan tema Sejarah Seni Pertunjukan dan Pembangunan Bangsa, Balai Kajian Sejarah dan Nilai Tradisional Yogyakarta pada tanggal 17-18 Mei 2006. Bastomi, Suwaji, 1986, Seni Kriya Apresiasi dan Perkembangannya: Semarang IKIP Semarang Press. Dawan, Lanang. 2010. Kerajaan Jenggala. (Online), (http://www.sejarah-puripemecutan.blogspot.com/2010/01/kerajaan-jenggala.html), diakses 30 Juli 2012. Darmaprawira, W.A. Sulasmi. 2002. Warna: Teori dan Kreativitas Penggunaannya (edisi ke-2). Bandung: ITB. Estuvitasari, D.O. 2008. Analisis Nilai-nilai Pendidikan dalam Wayang Topeng Malang Lakon Panji-Reni karya Mochammad Soleh Adipramono dari Padepokan Seni Mangundarmo Tumpang-Malang. Skripsi tidak diterbitkan. Malang: Pps UM. Harymawan, R.M.A. 1988. Dramaturgi. Bandung: Remaja Rosdakarya. Hidajat, R. 2004. Wayang Topeng Malang di Dusun Kedungmonggo, Kajian Strukturalisme Simbolik Pertunjukan Tradisional di Malang. Surakarta: Thesis S-2 STSI Surakarta (tidak diterbitkan). Hidayat, Robby. 2005. Wawasan Seni Tari, Pengetahuan Praktis Bagi Guru Tari. Malang: Jurusan Seni dan Desain Fakultas Sastra Universitas Negeri Malang. Indrawati, Lilik. 1992/1993. Sruktur Seni 1 (P. Setjoatmodjo, Ed). Malang: OPF IKIP Malang. Indrawati, Lilik. 2004. Nirmana (Organisasi Visual). Malang: Jurusan Seni dan Desain Fakultas Sastra Universitas Negeri Malang. Koentjaraningrat. 1982. (cetakan 9). Kebudayaan, Mentalitas, dan Pembangunan. Jakarta: PT Gramedia. Kusmayati, H. (Ed.). 2006. Fungsi Seni Pertunjukan bagi Pembangunan Moral Bangsa. Makalah dipresentasikan dalam Diskusi Sejarah dengan tema Sejarah Seni Pertunjukan dan Pembangunan Bangsa, Balai Kajian Sejarah dan Nilai Tradisional Yogyakarta, 17-18 Mei 2006.
Marcuse, H. 1970. Cinta dan Peradaban. Terjemahan Baehaqie. 2004. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Moleong, J. Lexy. 1990. Metode Penelitian Kualitatif (cetkan ke-2). Bandung: CV Remaja Rosda Karya. Moleong, Lexy J. 2005. Metodologi Penelitian Kualitatif (cetakan ke-22). Bandung: PT. Remaja Rosdakarya. Moleong, Lexy J. 2007. Metodologi Penelitian Kualitatif (cetakan ke-24). Bandung: PT. Remaja Rosdakarya. Murgiyanto, S. & Munardi A.M. 1979/1980. Topeng Malang. Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Depdikbud-Jakarta. Murgiyanto, S. 1982/1983. Pertunjukan Topeng di Jawa Majalah Analisis Kebudayaan. Th. III Nomor 2 1982/83. Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Murtihadi. 1982. Dasar-Dasar Desain Untuk SMIK. Jakarta: Tema Baru. Pramono, K.S.A. 2004. Paseban: Cikal-bakalipun Kitha Malang Malang (S. Noersya, ed). Malang: Sava Media & Padepokan Sani Mangun Dharma. Patilima, H. 2005. Metode Penelitian Kualitatif. Bandung: CV. Alfabeta. Perwitasari, H.M. 2012. Rias Fantasi Tokoh Raja dalam Cerita Rapunzel pada Pergelaran Tata Rias Fairy Tales of Fantasy. Yogyakarta: Universitas Negeri Yogyakarta. (Online), (http://www.eprints.uny.ac.id/1989/1/Proyek%20Akhir.pdf), diakses 30 Juli 2012. Sanyoto, S.E. 2009. Nirmana (Dasar-dasar Seni dan Desain). Yogyakarta: Jalasutra. Sargent, Walter. 1964. The Enjoyment and Use of Color. New York: Dover Publ. Inc. Sedyawati, E. 1981. Pertumbuhan Seni Pertunjukan. Jakarta: Sinar Harapan. Sedyawati, E. 1984. Tari, Tinjaun dari Beberapa Segi. Jakarta: Pustka Jaya. Sujono, dkk . 2003. Seni Pertunjukan Tradisional. Nilai, Fungsi dan Tantangannya. (Online), (http://www.tembi.net/id/news/baledokumentasi-perpustakaan/seni-pertunjukan-tradisional--nilai--fungsi-dantantangannya-2911.html), diakses 30 Juli 2012. Soemanto, 2001. Bakdi. Jagat Teater. Yogyakarta: Madia Pressindo. Sunaryana, J. 2002. Wayang Golek Sunda; Kajian Estetik Rupa Tokoh Golek. Bandung: Kiblat. Suryani, E.N.S. 2012. Filologi. Bogor: Ghalia Indonesia. Sutopo,HB. 2002. Metodologi Penelitian Kualitatif Dasar Teori dan Terapannya dalam Penelitian. Surakarta : UNS Press. Susanto, Mikke. 2002. Diksi Rupa (Kumpulan Istilah Seni Rupa). Yogyakarta: Kanisius anggota IKKAPI.
Timoer, S. 1979/80. Wayang Topeng Dhalang Jawa Timur, Jakarta: Proyek Sasana Budaya Jakarta, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Timoer, S. 1989. Asal-usul dan Identitas Pertunjukan Wayang Topeng di Jawa Timur. Makalah disajikan dalam Temu Budaya di Kantor Wilayah Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Jawa Timur, 27-28 Februari 1989. Utomo, P.W. 2008. Topeng Malangan: Simbol Pertarungan Berbagai Identitas, (Online), (http://www.averroes.or.id/researh/topeng-malangan-simbolpertarungan-berbagai-identitas-html), diakses 13 Februari 2010. Waluyo, H.J. 2003. Drama Teori dan pengajarannya. Yogyakarta: Hanandita Graha Widya. Wibisana, B. & Herawati, N. 2010. Teater Rakyat Jawa (N.Y. Eti, ed). Klaten: PT Intan Pariwara.
PERNYATAAN KEASLIAN TULISAN Saya yang bertanda tangan di bawah ini : Nama
: Aswin Pratama
NIM
: 105251481024
Jurusan/ Program Studi
: Seni dan Desain/ Pendidikan Seni Rupa
Fakultas/ Jenjang Pendidikan : Sastra/ S-1 Menyatakan dengan sebenarnya bahwa skripsi yang saya tulis ini benar-benar karya saya sendiri, bukan merupakan pengambilalihkan tulisan atau pikiran orang lain yang saya akui sebagai hasil tulisan saya sendiri. Apabila di kemudian hari terbukti atau dapat dibuktikan skripsi ini hasil jiplakan, maka saya bersedia menerima sanksi atas perbuatan tersebut.
Malang, 29 Agustus 2012 Yang membuat pernyataan,
Aswin Pratama
LAMPIRAN 1.
Wawancara I Responden: Mochammad Soleh Adi Pramono (pencipta naskah)
17 Februari 2011, di teras rumah Wates (kediaman sementara Pak Soleh waktu itu). Secara umum siapa sajakah lakon dalam cerita Panji ? Secara umum terdapat beberapa kerajaan dan tokoh dalam cerita Panji antara lain; Kerajaan Jenggala dengan tokoh Prabu Lembu Amiluhur dan Raden Panji Asmara Bangun; Kerajaan Daha dengan tokoh Lembu Amisesa, Gunung Sari, dan Dewi Sekartaji; serta Kerajaan Kediri dengan tokoh Pambelah, Pamecut, Patih Kudamawarsa, Lembu Pati. Sementara itu terdapat beberapa tokoh antagonis seperti Klana Sabrang, Bapang, dan Wadyabala. Apakah ada maksud tertentu dari Anda lewat lakon ini terkait era sekarang? Lakon ini, Lakon lahire panji menceritakan segala permasalahan yang terjadi di Jenggala dan Keling (Hindustan). Peristiwa-peristiwa mengamuknya alam yang terjadi di kedua negara tersebut merupakan satu bentuk bahwa manusia sudah tidak lagi peduli dengan tatanan alam. Segala musibah tersebut merupakan tandatanda atau gejala bahwa akan turunnya sebuah ksatria (pemimpin) yang akan mengembalikan segala keselarasan jagad (memayu hayuning bawana). Pertalian darah dari kedua kerajaan tadi, alias Amiluhur dan Sakyaningrat, yang nantinya merupakan cikal bakal lahirnya Panji Asmarabangun . Tidak bisa dipungkiri, bahwa sekarang orang itu gampang panas, terbukti kan. Niatnya berdemo, tapi malah ruwet. Bentrokan ujung-ujungnya. Nah saya kepingin juga, tapi tentunya dengan cara yang positif. Saya pikir, sebuah kacamata atau cara yang benar-benar netral untuk kondisi sekarang adalah dengan seni. Maka jadilah saya berdalang lakon ini. Adakah semacam lelucon, teka-teki atau hal yang mengarah kepada permainan suasana hati penonton pada adegan yang sedang berlangsung? O, ada. Jati Pitutur pitutur jati itu kan dewa to sebenarnya. Pas Amiluhur selesai mencabut Panji Biru, itu saya berhenti sebentar. Nah, beberapa penonton ada yang diam, ada yang menyeletuk: ―waduh buyar iki ceritane‖. Pokoknya niatnya mau melihat respon penonton. Kalau dipikir kan benar, kalau Amiluhur mati lalu bagaimana Sakyaningrat atau Setyawati nantinya. Akhirnya saya lanjutkan lagi. Ternyata Sakyaningrat benar-benar melayu menghampiri Amiluhur yang sudah tak berdaya. Dan ternyata Amiluhur hanya pura-pura mati. Sebenarnya kisah Pak Sumitra waktu di pementasan acara Kirab tahun 2007, itu tidak ada, di naskah kan juga tidak ada. Tapi di Sidoarjo saya tambahkan. Memang sekedar improv saja sih. Tapi kan berhubungan dengan usahanya Amiluhur. Amiluhur saja kalo tidak
bisa berbahasa Hindustan maka otomatis kesulitan kan? Ya sekalian, kedua adiknya juga belajar pada Pak Sumantri. Ini langkah rasional di sini. Pada adegan terakhir saat Panji Asmarabangun lahir sebenarnya kan saya juga sekaligus menghantarkan Ki Bromono untuk mempertunjukkan lakon Daupe Dewi Sri. Sebenarnya niatnya begitu tok. Cuma Jati Pitutur yang ngomong. Nah mancah itu maksudnya sebuah keadaan cacat karena perbuatan atau sikap seperti itu. Misalnya, saya nyentak anak saya, seorang Ibu memarah anaknya karena sikap anaknya yang ndak punya norma, ngomong sama orang tua dengan kata kasar atau sebagainya. Lha, semua itu seharusnya diruwat. Makanya ada istilah ruwatan. Ya kalo itu kan penonton sebagian sudah tahu bahwa yang selanjutnya pentas yaitu, guru saya, Ki Bromono. Jati Pitutur itu Cuma menghantarkan. Hehe..
27 Januari 2012 10:23 wib (Padepokan Seni Mangun Dharma) Secara singkat bagaimana sinopsis lakon lahire panji? Sebenarnya dalam lakon lahire raden panji itu bercerita tentang Raja Airlangga yang memiliki lima orang anak yaitu Dyah Kilisuci, Dewakusuma, Amijaya, Pengarang, dan Merdadu. Setelah Raja Airlangga wafat, Dyah Kilisuci selaku anak sulung sekaligus penerus tahta kerajaan, tidak ingin menjadi raja dan memilih untuk menjadi Biksuni. Tugas mulia tersebut akhirnya diamanahkan kepada Dewakusuma, yang bergelar Prabu Lembu Amiluhur. Setelah menjadi Raja, Prabu Lembu Amiluhur memiliki beberapa istri. Namun Dyah Kilisuci berkata kepada Prabu Lembu Amiluhur bahwa ia tidak akan mendapatkan keturunan penerus tahta kerajaan jika hanya dari istri-istrinya tersebut. Dyah Kilisuci meminta Sang Prabu untuk ikut dalam sayembara besar di negeri jauh bernama Keling (Kalingga). Isi sayembara tersebut adalah barang siapa yang bisa mencabut Panji Biru yang menancap di bumi Kalingga maka ia akan mendapatkan seorang putri Raja Kalingga yang cantik jelita bernama Dewi Sakyaningrat. Karena letak kerajaan Kalingga yang jauh maka Prabu Lembu Amiluhur dibantu oleh Jati Pitutur dan Pitutur Jati, dewa yang pernah bersemayam di tempat peristirahatan terakhir Raja Airlangga. Dengan bantuan keduanya Prabu Lembu Amiluhur berhasil menginjakkan kaki di Kalingga. Dewi Sakyaningrat yang cantik jelita ternyata telah menaruh hati pada Prabu Amiluhur saat pertama kali melihatnya di Kalingga. Singkat cerita, dengan bantuan kedua Dewa itulah Prabu Amiluhur pun memenangi sayembara tersebut dan menikah dengan Dewi Sakyaningrat. Dari pernikahan tersebut lahirlah Inu Kertapati atau Panji Asmarabangun. 8 agustus 2012 15:43 WIB (Padepokan Seni Mangun Dharma) Secara berurutan adegan dalam lakon lahire panji dibagi ke dalam beberapa adegan, yaitu: Jejer Kerajaan Jenggala, Bubar Kedaton, Adegan Gunung Jambangan, Jejer Negara Keling, Adegan Cabut Panji Biru, Adegan Samudera Hindia, dan terakhir Adegan kodok dengan Prabu Amiluhur. Bisakah Bapak menceritakan secara detail cerita yang ada pada tiap adegan tersebut?
Alur cerita lakon lahire Panji menurut konvensi lakon adalah sebagai berikut: pertama, yaitu jejer pertama, Jejer Kerajaan Jenggala atau jejer kerajaan jawa yang meliputi Kediri, Urawan dan Singosari. Pada jejer ini diceritakan bahwa Dyah Kilisuci datang ke Jenggala dengan maksud memberitahukan bahwa ia menerima wangsit dari Dewa bahwa akan datang kesatria utama yang akan mngendalikan bencana yang ada di Jenggala. Namun pembicaraan ini harus dikemas dengan kehati-hatian agar tidak menyinggung ketiga istri Prabu Amiluhur berkaitan dengan wiji utama yang ternyata lahir lewat sambung darah Amiluhur dengan Sakyanngrat putri dari Hindustan. Menurut kebiasaan kerajaan dahulu akan adanya cross exogamy (perkawinan antar kerabat, agar darah biru tidak mengalir ke luar kerajaan), maka Dyah Kilisuci juga mengajak ketiga adik Amiluhur agar hadir dalam pasewakan guna membahas maksud tersebut. Setelah itu Dyah Kilisuci meminta restu kepada ketiga Putri (praweswari)Amiluhur agar menerima dengan legawa dhawuh dewa tersebut. Di sinilah letak adegan Bubar Kedaton atau Bedol Kedaton. Laju dilanjutkan dengan Adegan Gapuran. Dalam adegan ini diceritakan bahwa Raja Amiluhur bersemedi bersama Dyah Kilisuci dan ketiga adiknya agar maksud sehubungan dhawuh dewa tersebut bisa terlaksana. Sesudah bersemedi Dyah Kilisucimenyarankan amiluhur untuk memnta restu dari Almarhum Raja Airlangga di Gunung Jambangan. Dan ternyata di sanalah ada jalan untuk menuju maksud tersebut, yaitu Jati Pitutur dan Pitutur Jati. Tradisi berziarah atau nyungkem kepada orang yang sudah meninggal sebenarnya termasuk dalam panca darma kehidupan orang Jawa, yaitu Bakti kepada Tuhan YME; bakti kepada orang tua dan mertua, termasuk yang sudah tiada; bakti kepada negara; bakti kepada saudara tua (sekandung); bakti susila (semua makhluk ciptaan Tuhan YME). Jika mempunya maksud baik dengan berziarah meminta restu misalnya, pasti akan dibalas dengan kebaikan juga. Menurut orang Jawa dahulu jika pada hari Senin yang turun adalah 4 dewa, Selasa 3 dewa, Rabu 7 dewa, Kamis 8 dewa, Jum‘at 6 dewa, Sabtu 9 dewa, dan Minggu 5 dewa. Maka orang dahulu akan menyalakan dupa sebanyak jumlah di hari di mana ia menyalakan dupa tersebut. kalo senin berarti 4 batang dupa dan seterusnya. Sebelum bersemedi manusia itu disarankan untuk mencari keindahan, makanya ada istilah manungso nglindung poro. Mencari kindahan tersebut seperti dengan menyalakan lampu-lampu taman, lampu gantungan, lampu duduk dan lampu monyet. Lampu monyet itu ya lampu monyet, bentuk monyet. Selanjutnya yang bersemedi melihat bunga (nungguk), jika bunga yang dilihat tersebut mekar maka akan datang ketentraman dan jika yang dilihat itu layu maka akan datang musibah. Lalu yang akan bersemedi diwajibkan untuk melihat kolam ikan lalu terjun ke dalamnya untuk wudlu, membersihkan diri menuju sangkar pamujan. ―Mengapa kita membutuhkan keindahan? Karena keindahan itu sendiri dekat dengan Gusti. Manusia harus dalam hening dan benar-benar bersih hatinya untuk menghadap dan mengharap pertolongan (wasilah) Tuhan‖. Hal ini berlaku bagi siapa saja dalam tata pemerintahan dahulu. Keindahan berarti warga negara juga telah mengutamakan hidup berdasar Tuhan YME. Karena Tuha itu adalah keindahan itu sendiri. Nah, berarti menyerempet juga ke sila ke-1 Pancasila. Lalu lanjut ke Adegan Awean. Dalam adegan ini seluruh punggawa yang akan mengiringi raja dan kerabat serta yang tidak mengiringi dikumpulkan di alun-alun, ditempat tersebut diumumkan Raja bahwa negara akan dalam keadaan suwung atau sementara kosong sehubungan dengan maksud raja menuju tanah Hindustan.
Maka prajurit disuruh berjaga dengan berbaris enjer pada siang hari dan berbaris mendem pada malam hari. Nah di sini saya coba menghubungkan dengan kota Malang. Di mulai sejak keluarnya Raja menuju daerah Penjagalan, lalu ke utara daerah meubel (Kampung Arab), lalu ke kanan ke daerah Pecinan, berlanjut ke utara lagi, yaitu Klojen Lodhok dan Klojen Templek, berlanjut ke Oro-Oro Ombo, melewati desa Bulak, Cikrak, Bunut, dan Karang Keciput. Nah dulu Alun-Alun Rampal itu bakalnya landasan terbang pada jaman Jepang, Mas. Lanjut lagi ya, yaitu Adegan Grebeg Jawa. Gambaran ringkasnya seluruh prajurit yang mengiringi mengantarkan Prabu Amiluhur, Prabu Amijaya, dan Prabu Mengarang ke tapal batas Kerajaan Jenggala. Ini terdapat pada kalmat kuto wilangun ning raja jenggala. Yang kembali ke kerajaan jenggala hanya Prabu Merdadu bersama seluruh prajurit. Lalu lanjut menuju adegan selanjutnya yaitu Adegan Gunung Jambangan. Ceritanya di Gunung Jambangan terdapat sebuah Pertapaan Jambangan, nah di situ ada makam yang tidak lain tidak bkan adalah makam Raja Airlangga yang bergelar Sri Gentayu. Anehnya ketika teman saya menyaksikan pertunjukan lakon ini, dia menangis dan beberapa waktu kemudian langsung menuju gunung jambangan. Ternyata di sana itu memang ada makamnya mbah siapa itu saya lupa (menurut rakyat desa jambangan). Sekarang Jambangn itu nama desa di Dampit, Mas. Kembali ke adegan gunung jambangan tadi, ceritanya di sana ada punakawannya Batara Wisnu, yaitu Jati Pitutur dan Pitutur Jati. Mereka diberi tugas oleh batara guru untuk mencari momongannya di dunia yang menitis. Jati Pitutur dan Pitutur Jati menjelma sebagai manusia dengan membersihkan pasarean di gunung jambangan tersebut. Karena saking bingungnya mencari momongannya maka mereka melemparkan Panji Biru hingga menancap d tanah hindustan. Kelak barang siapa yang bisa memperoleh Panji Biru tersebut, maka ia adalah jalan untuk menemukan momongan mereka tersebut. lalu rombongan Amiluhur, Amijaya, dan Mengarang tiba dengan sedih karena harus menunaikan dawuhnya dewa, sedangkan mau ke Keling saja tidak tahu harus dengan cara apa. Setelah Jati Pitutur dan Pitutur Jati tahu bahwa amluhur adalah anak dari orang yang mereka bersihkan kuburannya maka Jati Pitutur dan Pitutur Jati ingin membantu Amiluhur. Maka amiluhur diberi mustika yang namanya Wungkal Bener, sejenis ali-ali (cincin) yang dipakai di jempol kaki. Maka dengan sekejap mereka akan sampai di Keling (Hindustan). Jati Pitutur dan Pitutur Jati adalah jawaban dari do‘a dan sungkem tadi. Lalu Amiluhur memakai cincin tersebut, dan kedua adiknya dirangkul dan wuuusssssshh...... masuklah ke Adegan Jalan Menyeberang Laut Utara. Jadi jaman dulu itu orang Jawa percaya bahwa segala usaha yang ditempuh itu tidak selalu berlandaskan rasional. Kadang untuk maksud tertentu ada sisi irasionalnya. Dalam konsep hidup orang jawa ada wisma, curiga (mustika), turangga (kendaraan), kukila (burung), dan wanita (yaaa.... kan kita perlu kawin, Mas. Haha..). Kalau saya misalnya, punya burung sendiri berdasarkan kelahiran saya, yaitu burung gagak. Tapi kan saya takut melihara gagak, ya terkait persepsi buruk tentang gagak itu sendiri kan. Dan untung dewa saya Wisnu. Dan itu masuk wiji tengah. Biasanya orang dengan wiji tengah itu cocoknya bertani, ya seperti saya ini. Namun, meskipun saya berkecimpung di seni, saya masih punya kebon di belakang kok. Meskipun sekarang banyak yang mati tanamannya. Hahaha..jadi orang dulu itu sudah punya pedoman arah dan karier yang cocok buat anak cucunya. Apabila dipaksakan melenceng dari arah tersebut pun nanti kembalinya
akan kesana-sana lagi, paling tidak merasakan. Karena hidup itu sendiri adalah seperti Cakra Manggilingan, terus menerus berputar. Hidup maju atau hidup mundur pun bisa berarti sama, ketemu juga pangkal dan ujungnya. Nah itu filosofinya terkait sisi irasional tadi, yaitu mustika yang diberkan oleh Jati Pitutur dan Pitutur Jati yang namanya Wungkal Bener. Sudah ya? Lalu masuk ke Adegan Di Tepi Pantai Keling. Dalam sekejap Amiluhur telah sampai di tanah Hindustan. Di pesisir negera Keling itulah Amluhur mencari orang Jawa sekaligus guru yang bisa mengajarinya bahasa Hindustan. Akhirnya dia menemukan Sumitra. Dari Pak Sumitra inilah Amiluhur belajar bahasa Hindustan dan mendapatkan kabar tentang adanya wabah penyakit yang tiada obatnya, dikarenakan adanya Panji Biru yang menancap di alun-alun Negara Keling. Makanya untuk hal tersebut diadakan sayembara. Barang siapa yang bisa mencabut Panji Biru tersebut maka akan mendapatkan hadiah seorang Putri Raja. Sumitra tidak menyebutkan nama dari Putri tersebut dikarenakan a hanya seorang nelayan pesisir yang tidak begitu mengerti soal pemerintahan. Adegan Negara Keling sekarang. Diceritakan bahwa raja Hindustan Klana Kalingga Baya dihadap oleh putrinya Sakyaningrat. Sakyaningrat menangis seiring lamaran yang terus menerus datang dari beberapa negara unuk meminangnya, terlebih ia menangis dikarenakan wabah penyakit yang melanda Keling tak kunjung usai. Maka raja segera memerintahkan Patih untuk segera memulai sayembara. Sementara raja-raja sudah banyak yang datang. Lalu semua raja tersebut dikumpulkan di suatu tempat bernama Danaraja, di sana juga diumumkan bahwa Raja dan Putri juga akan menyaksikan jalannya sayembara tersebut. Terkait pagebluk di Keling maupun Jenggala, dari aspek medis, sebuah kekuatan yang bisa diambil dari sini adalah bahwa segala penyakit yang diciptakan itu pasti ada obatnya. Kita harus terus berusaha menjalani hidup yang ibaratnya cakramanggilingan tadi. Kemudian nilai lain yang bisa diambil adalah sikap sabar, rela, menerima, ngalah, sumeh (enak terhadap siapa saja), dan terakhir legawa (menerima apapun keputusan yang ada). Maka ketika Raja memberitahu Sakyanngrat bahwa ia pun tidak tahu apa yang akan terjadi atau siapa yang berhasil mencabut panji biru dan mempersunting dirinya, putri Sakyaningrat hanya menjawab: ―Njjih, saya pasrah, Bapak‖. Kemudian masuk ke dalam adegan kunci yaitu adegan Sayembara Cabut Panji Biru, ringkasnya semua raja yang ikut tdak ada yang berhasil, melihat hal tersebut Amiluhur menjadi ciut nyalinya. Raja-raja yang gagah perkasa saja tidak ada yang berhasil, apalagi Amiluhur yang kurus seperti tiada daya. Badannya kurus karena sering bertapa. Maka amiluhur pun ingat pesan Jati Pitutur dan Pitutur Jati, jika ia menemukan kesukaran yang tidak bisa diatasi, maka injaklah tanah (bumi) maka Jati Pitutur dan Pitutur Jati akan datang membantu. Dalam sekejap Jati Pitutur dan Pitutur Jati sudah berada di dekat Amiluhur. Amiluhur lalu memasuki arena seraya memperkenalkan diri dan niatnya untuk meminang putri. Semua raja tertawa terbahak-bahak. Maka saat Amiluhur akan mencabut panji biru tersebut berbunyilah gendhing kalaganjer. Gendhing Kalaganjer menggambarkan keheningan dan keagungan. Dengan bantuan Jati Pitutur dan Pitutur Jati Amiluhur berhasil mencabut panji biru. Sesuatu yang gaib deiselesaikan secara gaib pula, hal ini misalnya bisa dilihat pada santet atau teluh dan sebagainya. Namun Amiluhur menyadari bahwa keberhasilannya merupakan kehendak dewata Agung. Ia tidak takabur dan tamak. Akhirnya raja merestui amiluhur untuk menjadi menantunya. Namun Klana mancanegara yang lain tidak terima, mereka berpikir
karena Amiluhur merupakan peserta terakhir, maka Amiluhur hanya tinggal menuntaskan pekerjaan berat para rja sebelumnya dengan mudah. Karena mereka juga menginginkan sang putri maka mereka menantang Amiluhur dengan cara laki-laki. Amiluhur yang semula agak gentar dikuatkan oleh Jati Pitutur dan Pitutur Jati. Lawanlah! Ada kami. Maka dalam sekejap Jati Pitutur dan Pitutur Jati menciptakan raksasa dari bayangan masing-masing raja tersebut. maka selesailah perkara yang sebelumnya ditakutkan Amiluhur. Atas restu Raja Klana Kalingga Baya, Amiluhur dan sakyaningrat mendapatkan kehormatan untuk tinggal di Gedong Kuning, seperti sebuah tempat istimewa di kalangan keraton Jogjakarta. Gedong Kuning merupakan tempat kediaman raja dan tempat dipindahkannya panji biru dari alun-alun. Jati Pitutur dan Pitutur Jati yang menyadari akan sesuatu yang aneh terkait Amiluhur, panji biru dan momongan yang mereka cari, menyadari bahwa mereka telah sedikit menemukan titik terang atau jalan untuk menemukan momongan mereka. Namun hal tersebut tidak mereka ungkapkan. Jati Pitutur dan Pitutur Jati hilang dari pandangan Amiluhur dan kerabatnya. Nah sikap rendah diri amiluhur tersebut patut ditiru. Makanya ada kalimat ngono yo ngono, ning ojo ngono. Maksudnya setiap keberhasilan dari setiap usaha pasti ada sesuatu di baliknya. Seperti kekuatan yang dimiliki Amiluhur, itu hanya pembantu untuk menemukan jalan. Smeua itu Dewata atau Tuhan yang berkehendak. Lalu sekitar beberapa bulan sejak berakhirnya sayembara tersebut penyakit yang melanda Keling pun berangsur-angsur hilang. Rakyat bersuka cita. Amiluhur menyampaikan niatnya untuk memboyong Sakyaningrat ke tanah Jawa. Ia menyampaikan kepada rakyat bahwa ia juga harus mengurus negara terkait darmanya sebagai seorang ksatria. Rakyat menangis, Keling seolah tak berdaya menahan keprgian Sakyaningrat. Namun yang terjadi terjadilah. Segenap warga Keling berlapang dada menghormati keputusan Amiluhur. Maka dibuatkanlah rombongan Amiluhur sebuah perahu (kapal) terbesar pada saat itu, perahu terbaik yang dibuat oleh bangsa Keling. Dalam perjalanan di atas perahu tersebut, Amiluhur mengajari Sakyaningrat segala hal tentang Jawa. Dimulai dari bahasa dan sebagainya. Agar apa. Biar Sakyaningrat nantinya tidak kaget terhadap segala sesuatu yang baru yang akan dijalaninya di tanah Jawa. Sesuai dengan slogan desa mawa cara, gendhing mawa pathet, negara mawa wangunan. Di mana bumi dipijak, disitu langit dijunjung. Saat Adegan Jalan Perahu, sakyaningrat melihat sebuah sinar yang muncul di pesisir (hutan) Kahuripan. Ia meminta sang suami untuk menepi. Sakyaningrat penasaran ―cahaya apa itu?‖. Maka menepilah rombongan tersebut. Saat mendekati asal cahaya tersebut, Amiluhur mendapati bahwa cahaya tersebut berasal dari sebongkah batu, watu gilang. Amiluhur pun langsung menendang (nyepak) batu tersebut hingga pecah. Lalu masuk ke dalam Adegan Katak Dengan Amiluhur. Nah ternyata di dalam batu yang pecah tersebut ada katak (cantuka). Sang katak merasa tidak senang dengan perbuatan Amiluhur. Ia mengumpat Amiluhur. ―oooo... begitu to kelakuan seorang raja, mengganggu dengan kasar seseorang yang sedang bertapa, apalagi yang diganggu hanya seekor katak. Saya dengan bangsa saya sendiri tidak pernah begitu. Saya bersumpah jika kelak saya menjadi raja bagi bangsa saya sendiri, saya tidak akan berbuat seperti Anda (seraya menudhing Amiluhur). tak berapa lama si katak pun hilang bersama cahaya yang menyelimutinya. Nah saat hilang tersebut tiba-tiba Sakyaningrat merasa perutnya sakit dan ia jatuh tak berdaya. Ternyata sakyaningrat mengandung. Mengetahui hal tersebut amiluhur senang dan berkata
kepada Amijaya maupun Mengarang jika kelak anakkku lahir harus dijodohkan dengan anak dari saudara-saudaranya. Kembali lagi ke soal perjodohan kerabat di awal tadi. Lalu semua pun pulang ke Jenggala. Beberapa bulan kemudian lahirlah seorang bayi dari hubungan amiluhur dan sakyaningrat, seorang bayi laki-laki yang diberi nama Inu, yang tak lain adalah wiji utama yang dimaksud Dyah Kilisuci sebelumnya. Inu kertapati nama lengkapnya, yang kelak akan dikenal sebagai Panji. Panji Asmarabangun. Pada saat Inu lahir datanglah Pitutur Jati dan Jati Pitutur. Mereka merasa sudah menemukan momongan mereka. Mereka pun meminta kepada Amiluhur agar kelak mereka dapat mengasuh Inu. Pada saat itu memang titis menitis adalah hal yang sering terjadi dalam hubungan vertikal dengan Yang di Atas. Setelah 20 hari kelahiran Panji, di Kediri lahirlah Candrakirana yang kelak akan terlibat dalam kisah asamaranya Panji. Candrakirana sendiri adalah anak dari Amijaya. Pada adegan ini juga diceritakan bahwa Amiluhur melihat orang-orangan catur di hutan kahuripan tersebut. Jati Pitutur menjelaskan bahwa mereka adalah Patih Kudanawarsa (KahuripanJenggala), Patih Jaya Badra (Kediri), Patih Jaca Kasemba (Urawan), dan Patih Jaya Asmitha (Singosari). Tapi keempat-empatnya tidak ada dalam lakon ini, jadi lakon ini Cuma penghantar untuk lakon selanjutnya yang ada keempat Patih tersebut. Selesai, Mas. Sebelumnya Bapak sekilas sudah menjelaskan tentang Kombangan Dalang, lalu apakah maksud dari sebuah Janturan, Pocapan, Sendon, serta Girisa? Apakah hal tersebut merupakan pengantar untuk masuk ke dalam sebuah adegan? Kalo janturan sendiri sebenarnya prolog seorang dalang yang menggambarkan Jejer atau kejadian dengan istana atau kerajaan sebagai latarnya. Lalu kan ada antawacana atau upas pembicaraan atau dialog. Sendhon sendiri sebenarnya adalah suara dalang untuk menggambarkan suatu kejadian. Misalnya untuk berpindah dari satu pathet ke pathet yang lain itu ada sendhon. Nah pathet itu isinya odo-odo di dalam odo-odo ada greget saut dan greget girisa contohnya. Misalnya di greget saut tersebut ada greget saut perang dan greget saut kagok (kaget) dan sebagainya. Ibaratnya sebuah penegasan terhadap satu kejadian. Kalau untuk pocapan, setelah ada jejer untuk menuju ke adegan yang lain biasanya ada pocapan. Pocapan itu semacam pemberitahuan atas perkembangan yang terjadi, semcam penghantar juga, tapi tidak sama dengan janturan. Biasanya bisa untuk menandai satu peristiwa penting. Pocapan biasa juga disebut percekan. Ini bisa didendangkan bisa tidak. Hikmah dinelakang ini semua adalah sesuatu untuk tujuan luhur, jalannya itu biasanya sulit. Tapi itulah proses agar kita terus berusaha. Apakah Nilai-nilai pendidikan yang terkandung dalam Lakon Lahire Panji? Nah, jaman dulu itu kalangan raja-raja mengenal cross exogamy, artinya jangan sampai darah biru itu mengalir keluar kerajaan. Waktu Dyah Kilisuci rawuh (datang) ke Jenggala semuanya diminta kumpul Amiluhur, Amijaya, Mangarang dan Merdhadhu untuk ikut hadir dalam pasewakan atau pertemuan kerabat
kerajaan. Pasewakan, dari kata ―sebok‖ yang artinya duduk. Salah satu maksudnya sebenarnya itu tadi, saat wiji utomo lahir, kalau bisa yang dijodohkan dengan anak-anak dari kalangan sendiri, selain masalah pagebluk (bencana) itu tadi. Waktu Wiku Kapucangan hendak membicarakan masalah dhawuhe Dewa ini, kilisuci berkeinginan untuk mengemas pembicaraan ini dengan hati-hati biar ndak menyinggung ketiga permaisuri. Padukaluku, Mahadewi, Wandan, apa darmamu? Apa baktimu buat Jenggala?Tidak usah kepentingan pribadinya dulu, siapa yang nggak kepingin anaknya sukses, mulya, tapi tahan dulu, liat kondisi negara. Kalo pun yang berhak jadi ya aku ini to ketimbang Amiluhur, la wong aku anak sulung. Cuma aku perempuan, wong saya ini bisanya cuma jadi biksu. Ya untungnya mereka bisa nrima, ―njjih, monggo, monggo‖ Ya, itu juga. Makanya kalo kita minta itu yo mbok aturan. Jangan kayak Liku yang takut anaknya bakal ga dadi ratu. Orang diberi rahmat Tuhan itu nggak kurang-kurang. Makanya Kilisuci kan bilang ke Padukaliku dan semuanya termasuk Amiluhur: ―Ning pada ngertenana beja cilakane manungsa ora kena nerak garise pesthi‖. Kalo memang jodohnya, ya mungkin ada jalan anaknya jadi raja, kalo nggak pun ya seng penting wes diusahakan, tapi yo ojo ngoyo. ―Yang penting sekarang, urusan negara dan rakyat dulu‖ Kilisuci gitu.
9 Agustus 2012 20:03 WIB (Padepokan Seni Mangun Dharma) Bagaimana latar belakang penciptaan naskah Lakon Lahire Panji? Ooo... kalau untuk latar belakang penciptaan itu tanya ke saya seharusnya. Jadi begini. Pada waktu itu saya bersama rektor Unmer, terus Himpunan Pemerhati Kebudayaan akan mengadakan atau membahaslah, beberapa momen yang akan dipertunjukkan pada waktu memperingati 1 Sura. Nah, kebetulan waktu itu saya punya kesempatan untuk ikut andil. Acaranya antara lain kirab lalu kesenian khas malangan. kesenian khas malangan sendiri dibagi dua waktu itu. Saya mementaskan Topeng Malang, sedangkan Ki Bromono, guru saya mementaskan Wayang Kulit Malangan. nah, bagi saya khususnya dan segenap civitas kesenian pertunjukan waktu itu, berpkir bahwa inilah saat yang penting untuk mengangkat cerita Panji. Masalahnya apa, waktu itu sedang marak-maraknya terjadi bencana alam di beberapa daerah. Disambung pula respon yang hadir dari beberapa lapisan masyarakat dan beberapa organisasi dengan adanya demonstrasi, pengggalangan dana dan sebagainya. Nah, kita selaku orang seni juga berupaya bersikap juga dengan cara kesenian. Kebetulan Pak Peni dan beberapa penyumbang dana untuk misi ini berpikir, termasuk saya dan teman-teman pemuda yang lain, untuk momen tersebut sekaligus dipakai untuk mensucikan Tugu Monumen Pahlawan yang ada di depan Balai Kota sana. Nah, tugu itu ibaratnya Simpang Lima-nya semarang di Malang. Karena memang ada simpang limanya kan? Selain sebagai pusat pemerintahan, di Balai Kota atau di dekat tugu itu ceritanya juga ditemukan situs Mbah Malang, yaitu dibelakang Balai Kota sendiri serta di dekat Dewan Kesenian Malang. Maka saya berkesempatan untuk juga terlibat dalam acara Ruwatan Bumi-nya. Waktu itu saya berpikir senang saja. Syukur masih ada dan mungkin jarang-jarang wong gede, pejabat peduli terhadap kebudayaan. Hehe... Untuk ruwatan Bumi saya mengambil beberapa sumber yaitu: sumber Brantas, sumber Nagan (dekat padepkan Mas Jatikusumo di Bromo), Sumber Biru (tidak jauh dari padepokan Mas Jatikusumo juga), lalu Banyu Urip, sumber Semeru, Sumber Bromo, dan Kalisongo (daerah Ngrantas). Hubungannya naskah pertunjukan yang saya buat dan ruwatan bumi tersebut ya kok kebetulan lagi tidak terlepas dari Memayu Hayuning Bawana. Bagaimana menselaraskan dunia (alam). Yaitu jamannya sudah masuk Kali Sengara. Nah maka bagaimana pentingnya Panji di sini, itulah mengapa diangkat lagi. Dengan harapan mudah-mudahan dengan lahirnya Panji lahir pula gagasan-gagasan baru yang akan menjaga tatanan alam ini, khususnya Republik Indonesia. Pertanyaan dibenak saya sebenarnya sebelumnya adalah kenapa seni dan budaya (khususnya Malang) kok tidak bisa ikut dalam memecahkan permasalahan di negeri ini? Maka ketika ada kesempatan kita masuk. Saya buatlah Lahire Panji ini. Sesulit apapun Amiluhur menempuh jalan untuk menunaikan perintah Dewa, toh ternyata banyak bantuan menemaninya. Sepedih apapun penderitaan saudara kita yang mengungsi di
beberapa daerah, harapan saya dengan salah satunya pentas di pasar Porong sana, semoga mereka tidak berkecil hati. Dengan lahirnya panji semoga akan lahir pula gagasan-gagasan baru yang akan mendamaikan dan mensejahterakan bangsa ini.Begitu, Mas. Berselang sesudah momen itu pun, saya sudah punya misi dan akhirnya keturutan untuk menghibur para pengungsi yang kecipratan Endhut Blegedaba, ingat ya? Ya, lumpur yang ada di Porong sana. Kebetulan lagi Porong kan masuk Sidoarjo atau buminya Jenggala dahulunya. Akhirnya waktu itu kita bisa pentas di dekat pasar Porong sana, yang juga mementaskan temen-temen dari Jember, Jombang, dan Surabaya. Niatnya selain memberikan motivasi dan semangat, sekaligus menguatkan hati teman-teman pengungsi bahwa suatu saat InsyaAllah akan datang solusi untuk permasalahan yang ada. Makanya semua membawakan cerita Panji karena apa? Panji dan Topeng adalah wujud Manunggaling Kawula karo Gusti. Ceritanya selain misalnya sukmanya Reni yang masuk ke raganya Sekartaji, memang ceritanya jaman dulu itu dikisahkan titis menitis itu memang terjadi, dewa menitis ke manusia seperti Panji sendiri adalah titisan Bethara Wisnu yang nantinya akan memelihara, menjaga tatanan dunia, memayu hayuning bawana tadi. Hidup ini, ada 2 bagian jagat kecil dan jagat besar, nah manusia itu sebenarnya selalu mendapat petunjuk dalam dirinya, dari Tuhan. Cuma memang dasar dan kelemahan kita sebagai manusia yang banyak mendapat petunjuk dan tuntunan tersebut kadang lupa. Makanya kita yang kebetulan ingat mengingatkan yang lupa, dan kita yang lupa, syukur-syukur diingatkan juga kalo kita sedang lupa, terutama saya. Bila direntangkan panjang lebar, maka akan banyak sekali. Namun secara keseluruhan nilai yang dapat kita ambil dari inti cerita ini adalah sesulit apa pun, jalan itu ada. Tergantung manusianya sendiri apakah ia mau terus atau gampang berputus asa, mau dekat atau mudah lelah dengan skenario Tuhan. Semua itu merupakan proses untuk manusia belajar dan eling. Seperti saya ini juga harus tetap eling. Hehe.. kadang membuat lakon itu susah-susah gampang juga. Saya memang nggak terlau mengerti teknologi juga. Tapi kalo ngetik pake mesin ketik masih bisa, tapi asal kelihatan juga. Makanya buku-buku itu kadang temen-temen yang saya minta tolong nyetakno. Yah, sambil cerita-cerita ngopi, leyeh-leyeh kadang sharing. Mbuh Buari nangdi saiki, jarang mrene, mbien sering kumpul sak Pak Sutrise pisan. Ya gitu itu pokoknya, Mas. Nenek moyang Anda dulu itu juga yang sumbangsih soal candi di Jawa, dadi ga ono alasan aku ga ngekeki ilmu, yo ga nang sampean tok tapi. Hahaha.. Selain berbagi pendapat dengan teman-teman penyunting dan padepokan biasanya soal ide saya sendiri, termasuk naskah ini. Supri biasanya juga saya suruh baca, saya ini sudah tua, kadang mata juga tidak begitu awas. Pri, Nyoh, wocoen sek. Atau iki ewangono padangno garise kalau mau natah topeng. Kan ada masternya. Kadang fotocopy-an itu rada ga jelas juga jadinya.
22 September 2012 15:49 WIB (Padepokan Seni Mangun Dharma) Bisakah Bapak menjelaskan sekilas tentang kelima tokoh yang diangkat dalam penelitian ini, yakni Panji Asmarabangun, Lembu Mangarang, Patih Jaya Badra, patih Kudanawarsa, dan Patih Jaya Kasemba? Panji Asmarabangun adalah wiji utama, anak dari Amiluhur dari Jenggala dengan ibu Sakyaningrat dari Keling. Menjadi raja di Kediri abad ke-9 danbergelar Panji Sepuh. Pembuat Gamelan berlaras pelog. Ahli mendalang, menari, bermain rebab dan karawitan. Kegemarannya sabung ayam. Mempunyai 40 istri boyongan dengan permaisuri Sekartaji atau Candrakirana. Pnji juga dkenal sebagai Pahlawan kebudayaan Nusantara. Lembu Mangarang adalah Raja Urawan, anak ketiga dari Raja Airlangga. Dalam lakon Lahire Panji Lembu Mangarang turut menemani Lambu Amlihur dalam mendapatkan wiji utama di tanah Hindustan yakni dalam lakon dalam lakon Umbul-umbul Gendero Panji. Kalau Patih Jaya Badra, Patih dari Lembu Amijaya ini muncul ketika ada serangan Prabu Klana dari Mentaut. Bersama Panji yang menyamar sebagai Kudawaningpati, mereka berhasil mengusir bala tentara Mentaut. Jayabadra kehidupannya dekat dengan Panji. Sering memberi informasi ketika Kediri diserang musuh. Terkenal dengan sayembara Umbul-umbul Mojopuro. Patih Kudanawarsa dari Kahuripan bergelar Kelaswara.Beliau adalah patihnya Prabu Amiluhur dari kerajaan Jenggala, sekaligus Ayah dari Dewi Anggraeni yang kelak akan terlibat kisah asmara dengan Panji Asmarabngun. Kudanawarsa selalu tampil dalam pimpinan prajurit Jenggala. Tokoh ini berperan besar dalam Sayembara Sodo Lanang. Patih Jaya Kasemba adalah kesayangan Lembu Mangarang yang amat dekat dengan Gunung Sari. Sebagai Patih Urawan tokoh ini pernah muncul dalam lakon Panji menyamar sebagai dalang Karungrungan . 2.
Wawancara II Responden: Mas Supriono (anak Mochammad Soleh Adi Pramono)
Selamat sore, Mas Supriyono. Walaupun saya baru mendapatkan legalitas terkait penelitian saya di Padepokan ini, namun 2 tahun belakangan ini saya akui bahwa eksistensi Anda masih saya rasakan. Itu salah satu alasan saya memilih Anda untuk menjadi narasumber sehubungan dengan penelitian ini. Apakah Anda mempunyai ketertarikan khusus terhadap Wayang Topeng Malang? Atau adakah bakat dan keterampilan khusus yang membawa anda pada Wayang Topeng Malang? Waduh, kalo itu aku se sakjane yo seneng. Yo di sisi lain juga kebutuhan juga. La padepokan kan ga mungkin seterusnya eong-wong iku ae. Ada saatnya nanti regenerasi, yang muda-muda turun tangan. Sepengetahuan saya, Anda adalah penggendang dalam pertunjukan Wayang Topeng Malang bagi Padepokan ini. Sudah berapa lamakah Anda menjadi penggendang? Atau ada bidang lain terkait Wayang Topeng Malang yang sebelumnya Anda tekuni? Kalo ngendang ga juga, la kan masnya juga liat sendiri saya dan teman-teman juga belajar natah di belakang, karo arek-arek cilik iku. Soal penari bapak yang
paling hafal siapa penari-penarinya. Meski Cuma liat postur tubuh biasanya bapak tau. Bagaimana kesan-kesan selama menjadi penggendang? Ya, menghanyutkan kisahnya. Haha.... nggak, nggak. Yo seneng tok pokoke. Adakah sebuah jenjang disiplin ilmu yang juga membekali anda sebelum atau sembari anda berkesenian dalam Wayang Topeng Malang ini? Kalo saya kuliahnya di Solo (Surakarta). Juga ngambil pedalangan. Waktu itu masih STSI Surakarta. Wong luluse bareng dosen sampean Pak Robi koq. Aku S1 Pak Robi S2. Secara pribadi, mana yang lebih Anda senangi, menggelar atau menonton pertunjukan Wayang Topeng Malang? Lek aku asline lebih seneng nontoke sih. Hehe.. secara to, ga perlu repot-repot lenggak-lenggok, ngeplaki kendang, hehe... Pada waktu-waktu apa sajakah biasanya Anda dan Pak Soleh serta rekan-rekan anggota Padepokan menyuguhkan pertunjukan Wayang Topeng Malang? Kalo dulu waktu pedepokan Mangun Dharmo ikut andil dalam event di Padang Panjang, 2003, kebetulan saya nggak ikut. Waktu itu masih kuliah. Cuma kadang Bapak kondho, terus biasalah takon-takon kalo ada saran mungkin seng aku iso mbantu. Kalo temu topeng se Indonesia iku aku ono, kebetulan acaranya yo dek kene. Liane yo koyok dek Pasar Minggu, dek Jago, dek endi. Jadi nggak mestilah, terlepas dari even-even seng biasane dieloki. Kadang untuk acara hajatan di Tulus besar juga ada. Tapi itu kan perorangan. Ada juga yang memang keinginan kita. Soalnya jarang ada tamu saiki seng teko untuk tanya berjama’ah soal kebudayaan malangan, khususe. Haha.. maksute, yo wong rame teko instansi endi ngono. Lek sampean ndelok gamelan-gamelan di panggung iku lak tek’e wong kampung. Yo ono, anak-anake akeh sing titip. Nyantrik lah itungane. Selain Padepokan Seni Mangun Dharmo, kelompok atau komunitas mana sajakah yang biasanya menggelar Wayang Topeng Malang? Ya tentunya banyak ya. Di Pakisaji ada, Glagahdowo, Pijiomno, Kedungmonggo, Jabung mbien yo ono lek nggak salah. Akeh. Apakah Bapak juga turut membangun komunikasi, bertukar pikiran, atau ―belajar bersama‖ pada beberapa komunitas Wayang Topeng Malang di beberapa daerah seperti Kedungmonggo, Pijiombo, atau daerah-daerah lain? Yo tentunya ada. La wong mbien bapak iku dek endi lek ga d pakisaji nyantrike. Nang Mbah Karimoen yo tau. Akeh. Begitupun mereka kalo ke sini juga dalam rangka sama-sama membangun sebenarnya. Jadi seperti semangat barengbareng ngono lho. Termasuk dosen sampean mau, Pak Robi, konco-konco Pakiaji, terus Pak Buari seng saiki wes g nglatih tari d kene yo sek sering mrene. Tentu ada sebuah komunikasi antar orang-orang dalam suatu komunitas tentang sebuah lakon yang akan dipertunjukan pada sebuah kesempatan. Satu contoh komunikasi tersebut yang sementara bisa saya lihat adalah dari latihan dengan frekuensi tertentu. Apakah terdapat beberapa kendala berarti hingga menyebabkan sebuah pertunjukkan Wayang Topeng Malang yang menarik tidak bisa Anda dan kawan-kawan Padepokan Mangun Dharmo capai? Contoh ya, kalo latihan tari biasanya ada 9 penari menarikan tari klana inggris lah secara bareng-bareng. Itu nanti sama Bapak sdipilih yang terbaik. Jadi
proses seleksi masih ada. Tapi, ada juga biasanya seorang penari itu juga dibebankan satu tarian atau lebih. Buat jaga-jaga. Apalagi sekarang Pak Buari sudah ga ada, yang ngelatih otomatis Bapak sendiri. Ngerti Pak Buari se sampean? Seng meranno Klana dek foto Kirab iko lho. Awake gede, rambute dondrong wonge. Kalo kendala jelasnya ada. Seperti kekurangan kostum, perias, atau penari, ataupun masalah kesehatan juga sampek kadang ada yang tiba-tiba absen. Tapi kan biasanya ada rapat, kumpul, musyawarah. Yo nggak seng tuwek tok. Iko wayan ambek dedengkot-dedengkote yo sering melok (rekan-rekan di Mangun Dharmo yan masih remaja). Nah, lewat situ kadang ada saran atau masukan dari masing-masing kepala.
Saya membaca beberapa sumber bahwa cerita Panji cukup berpengaruh dalam perjalanan Wayang Topeng Malang. Apakah padepokan ini juga selalu membawakan cerita Panji? Gini, sampean kan ngambil lakon lahire panji, kenapa koq ga panji reni yang istilahnya sudah sebagian orang tahu dan familiar. Sudah banyak dipublikasikan. Ya itu tadi, saya sih seneng ae, soalnya kan termasuk baru juga garapan ini (Lahire Panji) dimulai dari mungkin yang nggak biasa didengar orang. Di internet ga ada to lakon ini? Ya karena itu. Kalo Panji secara esensi cerita keseluruhan ya terhitung sering lah. Panji-Reni, Lahire Panji, Geger Semeru, sembarang kalir alhamdulillah pernah. Apakah lakon lahire panji merupakan garapan atau sebuah kreativitas bercerita yang benar-benar dibuat oleh Pak Soleh? Terlepas dari keberadaan lakon ini di komunitas lain yang memang saya belum pernah dengar, bukan berarti saya berpendapat bahwa yang melahirkan ini Bapak, jelas bukan kan. Wong ket mbien cerita panji seng sembaragkalire iku wes ono koq. Yo ora? Hehe... jadi semua dalang itu sama sebenarnya. Mereka meneruskan cerita sebelum-sebelumnya yang sudah ada dengan versi mereka. Tapi tetep ada kiblate besare cerita seng diomongno mulut ke mulut iku. Jadi seng sampean garap iki, Lakon Lahire Panji gaweane Pak Soleh, dalam artian versi Pak Soleh. Ngunu. Kebetulan waktu iku ancene jarene arek-arek ono acara Kirab d cedhek Tugu. Terus Bapak nggawe iku, lahire Panji. Lek soal latarbelakang secara pribadi aku ga ngerti, iku kan ruang pribadi banget ya. Yo lek aku dadi sampean. Muleh teko kene sak dalan-dalan kepikiran, nggatung, terus ga iso turu mikir ide opo seng apik, kan yo mungkin ae? Wong aku dewe tau ngerasakno koq.
Terkait Lakon Lahire Panji, apa peran Anda dalam lakon tersebut? tetap menggendang atau memerankan salah satu tokoh, misalnya? Kalo soal peran mungkin belum begitu ya. 2007, kan lakon iki. Waktu Iku pun aku sek sekolah maneh nerusno. Kebetulan ono rejeki ngono lho. Hehe.. tapi bapak mesthi ngandani koq perkembangane piye. Meskipun g utuh lo ya.. saiki mungkin dengan waktu yang agak banyak lah, bisa bantu-bantu natah, ngrawit, nari, iku yo rejeki, rejeki waktu maksute. Lek jodoh ngko ae. Hehe...
Pernahkah secara pribadi Pak Soleh selaku Dalang menceritakan kepada Anda bagaimana beliau menciptakan Lakon Lahire Panji tersebut? Kalo latar belakang sepenuhnya nggak. Yo terkait iku mau, Bapak sering bermusyawarah dengan sesama rekan di Padepokan. Misalnya misalnya almarhum Pak Sutrisno yang dulunya membuat topeng. Termasuk yang mudamuda. Tapi kalau untuk urusan naskah lebih sering sharing ke saya. Mungkin karena sama sekolah dhalang. Tapi itu pun sebatas tulisan, inti ceritanya tidak berubah. Dan lakon lahire panji ini yangsempat diketik itu. Kalo ga salah pas Bapak manggil saya pulang untuk acara apa gitu, tapi bukan Kirab itu tadi.
Siapa sajakah tokoh yang terdapat dalam lakon Lahire Panji tersebut? Setauku, Wiku, Amiluhur, Amijaya, Mengarang, Merdhadhu, bojo-bojone iku (Padukaliku, Dewi, Wandan), Sakyaningrat, Raja Keling, terus klana-klana iku seng teko luar negeri, Bancak-Doyok (Jati Pitutur dan Pitutur Jati), kodhok. Lek patih-patihe koyok kunanawersa ambek panji kan gawe lakon selanjute. Wes iku tok. Kalo ada beberapa tokoh tambahan pun. Itu pasti buat lakon yang sama, tapi di pertunjukan lakon lahire panji yang lain, paling seng dek Sidoarjo iko.
Menurut Anda, adakah alasan atau tujuan tertentu yang hendak disampaikan lewat Lakon Lahire Panji tersebut? Menurutku, podo ae ambek Bapak sakjane. Cek wong-wong dulur awake dewe iki survive. Para pengungsi cek iso tetap tegak endase ngedepi pagebluk iku mau. Istilahnya begini, siapa yang tahan digepuki (secara fisik). Iku baru digepuki, durung bencana-bencana yang lebih besar. Memang sulit jika kita sedang dilanda musibah, saya juga bisa merasakan. Panji adalah pemimpin yang ditakdirkan menciptakan kembali keselarasan bumi yang rusak sebelumnya, memayu hayunng bawana tadi. Memang, Endhut Blegedaba sendiri adalah lumpur, tapi kan juga banyak bencana yang lebih dari itu. Makanya Panji dihadirkan agar iman dan moral masyarakat tetap utuh. Disamping itu juga ya ajaran-ajaran Mbah-mbah mbien ya. Na lek iku ga cukup diomongno seminggu. haha... contoh, selain topeng-topeng yang sekarang sudah kita buat untuk dijual demi kelanjutan finansial padepokan, topeng-topeng yang segaja dipakai untuk pertunjukan itu biasanya ada mantra-mantra dan do’ado’anya. Pak Sutris dulu pun harus menunggu hari kelahirannya saat pengerjaan pertama. Ya terkait nggolek dino sembarang kalire. Mungkin lek sampean pernah kerungu istilah piwulung kaeruh luhur di pakisaji, yo koyok ngono iku. Hal-hal kayak gitu kan sebenarnya sudah masuk. Belum lagi masuk-masuk ke seperti apa pilihan sunggingan, misalnya Sungging penatah Jonggrang patuk sinupit urang, selain namanya itu ya juga do’a.Wes pokoke luas. Cuma kan ga semua orang bisa nerima. Bisa saja dalam beberapa kacamata yang lain hal kayak gitu tidak lagi dipandang baik. Jadi kalo bisa, sampen pada waktu menulis, juga kalau bisa pilih susunan kalimat yang tidak menyinggung siapa pun. Toh, masing-masing kepala kan tidak harus sama.
Bagaimana cara Pak Soleh meletakkan improvisasi ketika beliau Ndalang dalam lakon tersebut? Sak jane seperti biasa yo lek bapak ndalang. Sedikit banyak ada hal yang berubah dan berbau humor opo tegang. Sak ngertiku gending kalaganjer iku. Terus tata bahasane klana-klana luar negeri, dialoge Bancak-Doyok.
Apakah Mas Supriono bisa menceritakan sedikit riwayat hidup Bapak? Mudah-mudahan. Soalnya nggak semuanya saya juga tahu tentang Bapak. Bapak lahir di Wates, Poncokusumo. SD nya di Tumpang, kemudian SMP sama (Tumpang), terus di sekolahku seng mbien iko, KONRI, tapi pas jamanku jenenge dadi SMKI (Sekolah Menengah Karawitan Indonesia). Sempet mergawe se, tapi mek 4 tahun, Kasi Kebudayaan, Depdikbud Malang. Pokoke mari 79 melbu ISI, njumuk seni tari, mari ngono lulus 1984. Lek soal kesenian Malangan, mbien nyantrike yo tau nang Mbah Karimoen di Pakisaji, tapi seng pertama iku Pakdene (Ki Tirtonoto) karo Pak Samud. Sempet dadi dosen tari dek kampuse sampean, tapi maringono metu, jarene Bapak se, la lek ngono kan otomatis cerito se Bapak ya, pengen total d wayang topeng, ludruk, karo jaran kepang, terutama dek Mangun Dharmo kene. Yo ngono se lek sekolah karo nyantrike.
3. NO 1.
Ruang Lingkup Penelitian VARIABEL
Latar belakang penciptaan wayang Topeng lakon Lahire Panji
SUB VARIABEL Ide garapan
INDIKATOR Ide cerita Waktu dan tempat Tujuan Lakon Naskah Tokoh
METODE Observasi Wawancara Dokumentasi
SUMBER DATA Data tertulis: catatan Internet Nara sumber: pencipta Wayang Topeng Lakon Lahire Panji
2.
Nilai estetik dalam Topeng Malang Lakon Lahire Panji
Atribut kualitas Estetik Media estetik
Organisasi estetik
4.
Lembar observasi gambar
Kesatuan Keteraturan Keragaman Garis Bentuk dan ruang Warna dan cahaya Tekstur
Studi
Keselarasan Keseimbangan Kesebandingan Irama Kevariasian
keterangan
Dokumen tentang topeng malang di Padepokan Seni Mangun Dharmo: Buku-buku Internet
Padepokan seni mangun dharmo
Kunjungan warga Turen di Padepokan Seni Mangun Dharmo
Pertunjukan di pelataran belakang panggung Padepokan Seni Mangun Dharmo
Pertunjukan di panggung Padepokan Seni Mangun Dharmo. Tampak duduk di antara pengrawit Ibu Karen Elisabeth Sekar Arum, sekarang sudah kemba.
Pak Buari, dulunya salah satu anggota sekaligus pelatih tari Padepokan Seni Mangun Dharmo.
Ibu Karen Elisabeth Sekar Arum, yang dahulunya turut mengembangkan kesenian malangan bersama Mochammad Soleh Adi Pramono di Padepokan Seni Mangun Dharmo
Tari Grebeg Jawa yang dimainkan di lakon lahire panji
Dialog Pitutur Jati dan Jati Pitutur Sewaktu mencari momongannya di Gunung Jambangan.
Dialog antara Pitutur Jati-Jati Pitutur dan Amiluhur di Gunung Jambangan.
Raja Klana Kalingga bangsa bersama putri dan patih-patihnya dalam pertemuan membahas Sayembara Panji Biru
Tari Klana-klana luar negeri. Ngote, Ngesar, dan Tebar. Tarian berlangsung saat mereka keberatan dengan keputusan Raja Keling Klana Kalingga Bangsa
Lembu Amiluhur dan Sakyaningrat sewaktu Amiluhur mnuruti kehendak istrinya. Adegan terjadi di pesisir Hutan Kahuripan
Raden Panji Asmarabangun
Lembu mengarang, Adik kedua Amiluhur
Patih Jaya Badra yang menemani Lembu Amijaya di Kediri
Patih kerajaan Urawan, Jaya Kacemba.
Patih Kudanawarsa dari Jenggala
5.
Lembar dokumentasi
Hasil Reproduksi Fotografis NASKAH DRAMATARI TOPENG MALANG LAKON: LAHIRE PANJI Di pagelarkan dalam rangka Peringatan hari raya 1 Sura 1940 Di Depan Kantor Balai kota Malang tanggal 27 Januari 2007. Dening: Ki Soleh Adi Pramono. Padepokan Seni Mangun Dharmo Tumpang. JANTURAN JEJER JENGGALA Yanenggih wau pundi kang den perceko; Khidalang kondho buwono manganyutanyut swarane ing swargaloka, meminta sihing bethara. Arsa ambuka sungging penatar jonggrang patuk sinupiting urang, dedasar percekaning sumbreng, ganthaning paesan topeng dedhagane tembung WAH, EKA, ADI, RAJA, DASA, BUWANA. Wah wadhah, eka sewiji, raja, ratu, dasa sepuluh, buwana alam kang cinarita. Nuju ambal warsa EHE 1940, dinten Tumpak cemengan, titisurya ke 7, wuku Tambir, ingkel wong, mangsa kawolu, windurina kunthara Sirna cinatur prahara bumi. Sang Prabu Lembu Amiluhur, lenggah kursi gadhing kencana, lenggek-lenggek koyok gambar winangunan, kairing bucu, cebol, cemani, wungkuk, kang sami nyangking serat epok payung tunggul manik, sinawang saka paseban lir kadya bethara dharma ngejowantah. Ingkang marak pasewakan, kengrayi Lembu Amijaya, Lembu Pengarang, Lembu Merdhadu, kok wantun obah pamulahe yanenggih tumapan wonten. Solahe lir peksi berjangga lelana. Basa peksi pengarane manuk, berjangga glathik, lelana alap-alap, tintrim sedalu kala mangkin. Sepirata getune Sang Prabu krawuhan ingkang Raka Wiku Kilisuci king Kapucangan ingkang tanpa pariwara, nek rinasa notok obahe guwo ponorogo, kayak jeblos-jeblosa. Alon wijile pengendika.... Kombangan dhalang. Yun ayuning murdanengwang, bara tan bara, ana wong ngangsu pikulan banyu, amek geni dedamaran. Randu alas mrambat pare, wong kesot anggayuh lingtang, nggoleki tapaking kuntul nglayang, ngenteni kambange watu item. Prabu Amiluhur
: Mangko dhihin mangko dhihin, tak waspadakna jaiting netra, lekeering wardaya, katareng semu. Kang marak ana ngarsaningyang adikku lembu amijaya, mengarang lan
Amijaya Merdhadhu Kilisuci
Amiluhur
Sendhon 8.
merdhadhu. Aja kurang pamawas nggempal kasatriyanmu, wektu dina iki ora tak piji siji-siji. Merga negara Jengala krawuhan Kakang Mbok biku Kapucangan Dewi Kilisuci. Lenggaha kang prayuga adi.... Nuwun nggih mboten dados prekawis. Namung keng rayi ngaturaken sembah bekti mugi kunjuk kang mas, kang mbok ngaturaken sugeng. : keng rayi mengarang ngaturaken sugeng kang mbok. : sugeng kang mbok, ngaturaken sugeng rawuhipun, sukur bage menawi wonten wekdal pinarak kasatriyan.... : Hong ilaheng, awigena, mastuti sekaring bawana langgeng. Sepira bungahe takiyas, bengi iki, negara jenggala mahargya tanggab warsa enggal. Pada sapatemon karo adi-adiku. Pangabektinira ingsun trima, cinencang ing gelung mayang, dadiya daya nur bahya, cahya nurbuat. Pangabektiku tampanana adi... kejaba saka iku, tekaku ing jenggala kaya enggal-enggal tumeka, karana nek ngrungakna titir-titir, jothok gundame para tani ing pegunungan, apa bener negara jenggala akeh cala weca, silih mangsa, kegawa krudhaning jagat, gunung lahar, banjir bandhang, samodro ngelepi daratan, endhut blegedaba tumeka retuning bawana andadekna bangsa iber-iberan kesrakat. Jebul nek dak wespada nganggo meneping rasa, weninging poncodriyo, ana bab-bab sing kudu di dandani, jumbuh klawan wangsiting bethara, bakal tumurune wiji utama, brahmono sinantriya, kang bisa nyirep prahara bumi Nuswantara. : adhuh Kang mbok wiku, gegunungane kawula jenggala. Mboten sisib sarikma pinara sasra, dhawuh andika. Prekawis kurdhaning alam jenggala kepireng saking gunung penanggungan kedhadak wonten wangsiting bethara. Kawula kedah andandosi Praja supados kiat nampi wijiling wahyu wiji utama. Menggah blakanipun kados pundi kang mbok... Ana pandhita akarya wangsit Mindha ngombang angajab ing tawang Susuh angin ngendi nggone Lawang galihing kangkung Wekasan langit jaladri Isining wuluh wung-wang Lan gigiring punglu Tapake kuntul nglayang Manuk miber uluke ngungkuli langit Kusuma njrahing tawang
Kilisuci
Amiluhur Kilisuci Mahadewi Kilisuci Padukaliku Kilisuci Wandan
Kilisuci
Padukaliku
Kilisuci
Putri 1,2,3
: yo jagat sun pundi datan amrat. Boyo mirah boyo inten, Jenengpara iku tetunggale kawula jenggala, apa kesaguhanmu nalika kawisuda jumeneng nata? : Ngruminiyaken kabetahaning kawula, tan mikir diri pribadi, dedasar sepi ing pamrih, rame ing gawe. : iya bener, yayi Mahadewi, jenengpara minangka ibune wong jenggala. Apa darmane ibu? : wajib sabyantu kakung, ngenthengaken penandhange para kawula. : iya, Padukaliku, apa para ya mikir kawulamu? : inggih, nderek dana driyah, dumateng pakir miskin, yatim ingkang kedah mbetahaken panggulawenthah. : e.... iya. Putri wandan.. apa prasetyamu kanggo negara iki? : dhuh wiku, kula niki tiyang mboten sekolah, pendamelan kula teng pawon. Bebesan kere minggah bale. Bab pamarentah blas kula mboten ngertos. Nanging nek dibetahaken sinuwun sak wanci-wanci kula nggih mboten sulaya. : hem.. he hem.. ya.. ya.., dewi, liku lan wandan. Para kabeh wis ngetokno lelabuhanmu miturut kesaguhan lan pakaryan kang si nandhang. Jejering wanita utama, kang sinebut prameswari ngono murakabi bot ribeting negara. Kawruhana wangsiting bethara, pulung wiji ratu iki ora saka sira kabeh, nanging saka putri raja hindustan. Cethane tak suwun aja pada kabotan, garwamu kudu mengrurah sapurnane asmara gama, asmara nala, asmara tantra lan asmara juwita. Kalamun adikku Amiluhur, bisa mundhut lamaking permada sila ning akrama pepatuhan putri hindustan, mbesuk bisa ngentas penandhange kawula jenggala, temahan nyirep kurdaning alam temah bisa nyawijekna Nuswantara; bakal tata, titi, kerta, raharja, hayu-rahayu salaminya. : bat tobat, tak rajang-rajang kayok brambang, tak iris-iris kayok buncis... kakang mbok, menawi ing tembe turun kula niki dos pundi, menawi mboten dados ratu.. mangka idam-idamane kaum ibu, anake bisa mendhem jero, mikul duwur derajate wong tua.. hara? : hem....liku.... sapa sing kepingin anake ora pingin mulya. Ning pada ngertenana beja cilakane manungsa ora kena nerak garise pesthi. Mrintisa sak kacang ijo, menthenga sak kendhil bunder beja cilakane manungsa ana astane Gusti kang gawe lelabuhan. Nek jan-jane di etung gedhene pengurbanan, sing kudune dadi ratu jenggala rak aku. Aku anak pembayun, ning aku mung duwe drajat biku, aku kudu nglakoni Brahmacari... hara... pikiren. Mula kabeh garwane adiku, mung pasrah karo sing ngukir lelabuhan. : ... eng..enggih, NGGIH! Mangga..
Kilisuci
Amiluhur
: ... lha rak ngono. Iku jenenge putri utomo... balik adiku wong bagus, miluhur. Aja wedi kangelan, enggal sampurnakna asmara juwita, budala nang tanah indi, adikmu mijaya, mangarang, merdhadhu kang njampang lakumu, supaya bisa ngudari takiyas kang ruwet, nyopak watangan putung lan ana kang nyipati alang ujurmu jrone lelaku. Aja lali Nyungkem pasarean rama begawan Sri Gentayu ing gunung Jambangan pernah lerenge Semeru. Mbok menawa oleh margane kautaman, perkara negara sawatara Ingsun lawan garwamu telu kang ngreksa. : sendika kakang mbok, ayo dik derekna pun kakang, lan para kabeh garwaningsun, sangonana teteken budi rahayu, donga slamet, mrih enggal balik jenggala yayi...
(kairing gendhing krucil 8 irama tuk kintungan kangge ngiringi grebeg jawa) ADEGAN GUNUNG JAMBANGAN Pocapan
Girisa
: sigeg gentia kang den perceka. Ingkang wonten gunung jambangan sak kilene gunung semeru. Duk ing nguni sasanane raja jenggala sri gentayu. Nalika kepegatan sih prameswari nata, putrane pada diboyong menyang gunung kono, winarah tata keprajan, serta pangurahe hawa nafsu, sarta darmaning kautaman. Nanging sak mangkin kari petilasan. Sambunge kondho, ana titah asarira brahmana loro, parab jati pitutur lan pitutur jati., mudun saka kayangan nggoleki momongane sing mudun mercapada. Direwangi ngayam alas, nurut terjun kepereng, terjun keparang, mudun gunungreksa muka ketrajang kayumandira jati. Ungker-ungker pange kayu, baris rengket barisane kayu, giro-giro kayu sawo, panggetakan kayu klampis, nata rikma kayu suren, luwih greng sulure randhu alas. Buron wono pating bleber, pating pencolot, murti cecek, sosro gantung cingakan kidang, gumbala gajah. Joyo-joyo macan kang belang wis bejakne kang wanthilan. Kecipuhan sang ajar kekalih nyandak gendera panji biru kumlebetaken ping tri, wis sireping buron wono (gending sapu renggong). : cindhe lare- cindhe lare Gondhok malang ndhok endhogan tole Ndaramu lunga ngendi Peyan poyanan-jarwalanana... Bapak ... adhuh romo morotuwo Ndiko kongkon jarwalanana Reang iki peyang poyonana Manggo kersa
Jati pitutur
Pitutur jati
Jati pitutur Pitutur jati
Jati pitutur
: emping-emping manjer kuning ketampik udhenge gringsing Tole... pitutur jati koyok apa thole lelakone awake dhewe nggoleki momonganmu macan putih suroloyo, direwangi nungguk kuburan kene... yo wis akeh sing nyantrik. Ana nganti duwe anak loro yo ra krasa. La nangdi parane momonganmu thole! : wadhu anak... njinggleng sak rendheng gumun setahun, man... mara tuwa, sekehe grumbul tak piyaki, sekehe warung tak enggoki. Ndoro rajungan kepithing lurik gak ketemu. Nek tak gagas, sing salah sing ngongkon kok. : lho, kok ngono thole! : Genah salah telak man, ngongkon nggoleki mmongane ora didudui papan pernahe, apa arep mubeng jagat, angel ketemu.. wis. Ngene man, rika iku turune dewa, rika digawani tengger wujute panji biru, sing jenenge Tunggul wulung. Iku gawe apa man, nek ora di gunakna. : toblas ayas-ayas.. iyoyo tur.. se tak sawatne panji iki, mbesuk sapa sing nemu panji biru iki ya iku ketemune karo bendara thole...
Greget saut 8
Ugra mangaras ka manika Ke layu yo warsaya Dedeg ingwang guntur tarung Panji wulung sinukarta
Pocapan
: Haieg...ingriku, yai jati pitutur ketindhih ukir galih kalinggacara, sigra nglugas raga ngebar tinggal, matek aji jaya kawijayanira. Daddi punang aji, gendera panji den sawataken amblas ing tanah industan. Praptane amiluhur, amit-amit pasang kaliman tabik kyai kula ingkang dugi..
Jati pitutur Pitutur jati Jati pitutur Pitutur jati
: Tur bareng mamprunge gendera, sajake ana dayoh... : dayohe telu gak memper barek momongane dhewek man : wah iya tole, ndelok tejane beda, iki sajak wingit, : sing siji iki wonge sabar, sing iki, rada kemaki, sing iki rada kereng man.. lha sing iki kenek di utangi man !! : hus.. aja sembrana, iki satriya memba sudra thole, tak takonane, mbok menawa dalane ketemu bendaramu.... Teja-teja sulaksana, tejane sanak kawuryan kang nembe rawuh, Paduka poh sinten... : Ndika poh kweni nopo poh gadhung? Tepangaken kulo poh bosok ... ha...ha ... ganthenge man ... sing loro ngguyu ... hahak : Hong tapak sumarah purba jatining gesang, kula pun miluhur sak enget kula, niki pertapane kanjeng rama sri gentayu, paduka sinten kyai, .. sembah kula.. : hiya..hiya tak tampa, kenalna sing ngganteng dewe iki asmak raden pitutur jati... lha iki gedibalku...
Jati pitutur
Pitutur jati
Amluhur
Pitutur jati
Jati pitutur
: Tur... ja sembrana, asmaku, barang ... kapan koen dadi raden? Raden semelehe a! Nuwun sewu gus nek anak kula niki rada mboten patek bek... Ami luhur : mboten menapa kyai.. tepangaken kula amiluhur puta jenggolo, dene napa ndika bebadra ing petilasanipun tiyang sepuh kula prabu aerlangga!! Jati pitutur+pitutur jati bareng nyembah : adhuh gusti nyuwun ngapunten, paduka sesembahan kula gus.. kula nderek lelampah ng ngriki, ngiras reresik pasarean ... jebul niki pasareane gusti sri gentayu nggih sang aerlangga raja jenggala Miluhur : Paman... ndika niki sinten, dene asal saking pundi .. dene kersa ngrimat pasarean. Jati pitutur : kula niki Jati pitutur, nki yuga kula pitutur jati. Paduka tetiga, kados nandang karuna niki wonten napa? Amiluhur : paman negari kula risak, kathah pagebluk mayangkara. Sedaya kawula gesangipun ajrih karana pangamuke alam. Mula sisan damel kados pundi amrih wal bebendu, ndika kersa ampi pasuwitan kula sekadang, ngangsu kawruh dados cantrik paduka. Jati pitutur : Nggih... wong urip iku darmane lung tinulung-gotong royong nng wonen sarate. Miluhur : Napa pitukone? Jati pitutur : sarate: sepindah sampeyan mpun ngundang paman teng kula, pindho kudu tata basa ngoko teng kula kekalih. Pun, angger purun, ndika resmi dados cantrik ngriki. Miluhur : ya ya kakang, Jati... jane ngono aku iki sedih, ngugemi dhawuhe mbakyuku bku kapucangan, dikongkon nglakoni rabi maneh karo wong tlatah hindustan... mangka adohe nyabrang segara, ora ana kapal... Jati pitutur : walah dalah, pucuk dicinta iwake teka.. nggih den, eng niki ngeten, dina niki wonten negara keling wonten putri juwita. Kathah ingkang ngayunaken. Mumpung dereng kedisikan wong, pean ngrika. Kula namung mitungkas nek klakon daup putri keling, pun lali jawane. Sebab Budaya sing kanggenan Pulung nku mboten wonten sing nandingi Njawaniki. Mongko satriya niku kudu: Ngrungkepi darmane satriya. Kedah gadhah gaman cakranngrat, Dedasar gangsal paugerar, kasanto saning jowo niki badhe ketekan wong monco, nek titik king ramalan, Jaya ing pakewuh, saknki mpun ngancik jaman Kaliyoga. Sing lumadi pitungatus tahun gumanti. Dene Jaman Kali yuga niku wonten 7 jaman pendak satus tahun humanti. 1. Jaman kala buda : jaman prihatin 2. Jaman Kala dora : Jaman mundur 3. Jaman Kaladi Wanara : jaman mokal 4. Jaman Kala Praniti : jaman mandhep 5. Jaman kala tetaka : tekane bongso monco (tionghoa, arab india) th. 1134-1236.
Jaman negara jenggala sing dilakoni niki. Mula pun bener pean kedah sambung darah keturunan kaling bongsa Hindustan. Miluhur : kurang loro apa kakang 6. Jaman kala wisesa : jaman menang-menangan 7. Jaman kala wisaya : jaman klakon. Hutu... anak putu mbenjang nemoni jaman Kali Sengsara. Jaman saya akeh wong pinter, ning kirang prihatine, alam kaprawoso, dening kemajuan. Mula wonten wewangson: SAK BEJA BEJANE WONG LALI, ISIH BEJA WONG ELING LAN WASPADA. Miluhur
Jati pitutur
: kakang, kaya ginugah rasaku, bab sambunge darah Jawa lan hindustan. Nanging apa ya klakon tumeka kana, dene aku ora duwe kapal (baita), mangka prastawa kang teka ing jenggala ora mendha. Sekehe Japa mantra wis ora tumama. : hua .. ha.. ha.. pun kuwatir. Perkara nyabrang samudra, amrih enggal dumugi negara keling, kula sukani Sesotya ingkang nami Wungkal Bener. Ndika damel wonten driji jempol suku. Sedulur ndika, pean rangkul, di gondheli sing kenceng. Piweling kula mbok menawi nemu reh-bot repot sing mboten saget ngatasi, ndika nebek bumi kalih epek-epek asta kering. Badhe wonten pitulungan kang sabyantu..mpun monggo ali-ali niki, pun kesupen sumungkem pasarean keng rama. Mbok menawi enggal kelaksanan mboyong pulunge pulo tanah jawa, tumekane wiji satriya asarira brahmana.
Pocapan
: Haieg.. wus manjing jrone pasarean, mbesem dupa kinarya sampurnane puja, Gya ngagem Sesotya ungkal bener ing jempoling Suku tengen. Jumangkah suku kanan, kang kering ngancik srondhol seprapat jam ngancik sekar enjang kutho wilangun projo keling. Sinigeg ingkang murwa ing kawih. Klono-klono sabrang : inggris, Prancis, Spanyul, portugis lan walondo, kang padha nglamar dewi sekar kedatun keling solahe lir Peksi Dhandhang rebut penclokan. Klana Inggris: iladalah, hua haha . . . . jauh lautan kusebrangi dari daratan englandsampai keling hndustan, tak lain aku ingin menyunting putri keling yang cantik jelita. Apalah artinya aku jadi raja, jika tak berhasil mempersunting putri hindustan. Wah . . . waktu pagi hari, sebelum panas Matahari, ku berangkat sekarang juga . . . . Klana (bapang) : aku kelana dari Prancis. Makananku kara buncis, aku kan menangis, pa bila tiada kawin putri keling manis. Oh juwitaku, tunggulah in kandha kelana prancis....
Klana Belandha : Huahahaha . . . end aku raja dari belandha. Kudengar india negeri yang kaya budaya. Lama ku mimpi ketemu putri keling, jika aku bisa kawin dengannya, ku usung kesenian dari hindia ke belandha, ku buka temu budaya Blanda-hindia . . . hem elok . . . aku berangkat . . . ADEGAN NEGARA KELING. Pocapan : Ketok peteng dhedhet negara keling-tanah hindi. Karono meh tri doso ari ketaman pagebluk penyakit. Merga ing alunalun ketiban gendera panji biru saka gegana. Sang prabu kalingga bangsa, nimbali ingkang putri, kaderekaken dayang-dayang, sinawang lir kadyo ngorek-orek gendera. Mocopat Megatruh. Adhuh tuan, sakyaningrat kyan anakku Bagaimana di lamari Empat puluh raja agung Dan datangnya panji-panji penyakit me-raja lela. Raja
: oh dewata agung, selamatkanlah negeriku keling, anakku sakyaningrat, bagaimana keadaanmu sekarang? Sakyanngrat : . . . baba . . . Sulit melukiskan peristiwa negara dan nasib hamba. Semenjak jatuhnya panji-panji biru, menancap di halaman istana keling, menimbulkan bencana dan wabah penyakit. Banyak kurban penduduk peyakit yang sulit mencari obatnya. Apa yang harus dilakukan baba . . . agar penyakit segera sirna. Prabu kalingga: oh anakku, ibarat berlayar di samodra, mendadak tiada topan dan badai, perahu tenggelam. Awak kapal bingung mencari hidup, dimana sumber hidup itu sekarang, masalahnya. Oh dewa kenapa di jadikan Raja, apabila tiada sabda Pandita ratu. Do‘a, mantra tak dapat menjawab, segala usaha telah di usahakan. Namun wabah terus melanda penduduk keling. Sedangkan, raja raja 40 negara sudah melamar . . . putriku sakyaningrat. Patih
: Amit gusti raja, tiada baik disesali peristiwa ini, pabila tiada cari jalan keluar Pepatah mengatakan, janganlah menangis pabila mnerima kesengsaraan, sebab antara sengsara dan mulya itu pemberianNya. Apabila raja menangis seluruh kerabat istanasampai kawula ikut merasakan. Bukankah semua ini pemberian dewata. Pa bila terus menangis sampai dengan membantah pemberian dewata. Sebaliknya pabila menerima kemulyaan janganlah tertawa keriangan,karena tawa itu terkandhung rasa ego berlebihan, maka kita berani mencoba ada rahasia apa panji biru itu, di cabut tiada dapat.
Raja
Patih Raja
: Patih benar . . . solusinya adalah . . . tercabutnya bendera biru itu. Jika demikian untuk menjaga dari perebutan anakku,kin harus di sayembarakan. Barang siapa ya ng dapat mencabut panji biru di alun-dana aluran, dialah yang berhak menerima putriku sakyaningrat sebagai hadiahnya. : baik gusti pamit mundur, mengumumkan sayembara. : buatkan tempat di ketinggian aku dan anakku menyaksikan
Gurisa serang: riuh rendah rakyat keling Menyaksikan sayembara Gegap gempita swasana negara keling. Gedhe cilik anom tuwa, rebut papan, rebut ruang. Solahe lir dara lelawatan,penonton gumolong anut golongane, Ana kasta waisya kumpul pada waisya, kasta brahmana kumpul padha brahmana, sudra kumpul pada sudra. Raja ngote,ngesar,tebar Inggris,prancis,walanda pada mupu sayembara . . . Klana inggris : salam paduka raja keling perkenankanlah aku raja inggris mencabutnya Klana Prancis: hua haha . . . raja keling ,aku raja bapang dari prancis Hua haha . . . kucoba-coba mencabut panji, panji kucabut putri kurebut . . . tiada bisa, gagal kucabut tunggu jandhanya . . . wuah tak sanggup tua . . Klana Belanda: hoverdom seh. . . sekarang aku raja blanda. Hanya demikian aja nggak . . . uh. Nggak uuk nih. . .wa blaen. . . Amiluhur: Amit ,amit ,tabik tuan agung, perkenankanlah kami mencabut kyai Tunggul Wulung. Sakyanngrat: Baba. . . siapakah gerangan itu baba, gimana kalau tidak dapat mencabutnya, duh dewa mudah-2 an tuan dapat mencabutnya. : rat…rat… kenapa kamu, tadi raja gagah-perkasa tak bergeming sedikitpun, malah tegang… tiba-tiba ada orang kurus kering tak bertenaga gitu kok seperti berharap… Sakyaningrat : Baba… pa bila orang itu tak berhasil, aku turut mati saja baba… Raja : lho gimana rat… ini kan sayembara…siapapun yang berhasil harus kau terimalah… Ami Luhur : wahai tuanku budiman dan para peserta sayembara, perkenankanlah hamba mencabut sekaligus menghancurkan panji biru itu, agar penyakit sirna… Duh mustikaning panji wulung, Nuherang nulenggang, kang Putih mlaya rupane. Sira aja mulang wuruk sudi gawe marang aku, ingsun lanang sejati, tuwa ingsun ketimbang gurumu, kakek moyangmu pada kakek moyangku, ingsun srayane kyai jati pitutur, pitutur jati, cukup semene lelabuhanmu, asalira ora ana balika ora ana, ketiban iduku putih sida sampurna kwandamu… Raja
Swaka
: keseblak sampur sutra dewangga, panji wulung njlebut dadi awu, bareng sirnane penyakit salah wed… Surak mboto rubuh nyarengi gumebruking badan salirane miluhur, kaget Sakyaningrat ngadek nyet mingkis agemanira lumojar ngrungkepi sang jaya ing pakewuh… Sakyaningrat : aduh… kangmas… adik terimakasih kangmas dapat menghilangkan gendera ajaib. Penyakit sembuh kembali… namun tiada sangka kakang meninggalkan adinda… kalau begitu apalah guna hidup hamba… ikut bela pati… (tangan miluhur menangkap Sakyaningrat, ternyata sang putri adalah seperti bidadari elok rupawan… tersenyum sebenarnya dia hanya pura-pura mati) Ami luhur : dhuh juwita, sempurnalah sudah asmara hamba, tiada juga kakang sudi mati, pabila melihat adinda hidup sendiri… yam-yam perjiwatan- rum rum bintarum, orang cantik marilah berbaring di dada kiri, rambutmu kan ku belai… (tiba-tiba jati pitutur dan pitutur muncul saling berpeluka tetapi orang lain tiada tau). Klana ngote, ngeser, tebar merebut sakyaningrat: Hai sang pemenang sayembara, kami jauh-jauh datang ingin ikut sayembara, namun dikau telah memenangkan, jika urusan wanita sekarang aku hendak merebutnya. Ami jaya : he wong legan golek momongan, aja ngrayang kuncane kakang miluhur, iki adike amijaya ayonono. Klana : kurang dihajar engkau… majulah ku patahkan lehermu. Ami jaya : kecocotan!! (nempiling, bersama iringan krucil serang). Pocapan : wauta… iling piwelinge jati pitutur lan pitutur jati, nek nemu reh dikon nebak lemah ping telu. Sareng bantala dipun tebak ping tiga, ana raseksa mbarang ngamuk ngrangsang raja 40 negara. (40 raja kejaring kabeh pinasrahna ami luhur, mulya ical para raseksa bayangan). Ami luhur : gusti sang raja keling, raja raja semua telah teluk, saya serahkan tuan. Raja : adhuh anak, engkau berjasa terhadap Negara keeling, kini ku serahkan putriku menjadi istrimu. Sekarang ku kawinkan, dan kini sudah menjadi hakmu, soal 40 raja terserah kamu, sebagai ucapan sukur, engkau akan ku nobatkan menjadi raja, sebagai penggantiku. Ami luhur : trima kasih ayah. Soal kedhudukan, cukup tanah jenggala. Soal putri tuan akan kami boyong ke jawa. Dan tentang 40 raja ini menjadi telukkan. Setiap setahun harus mennyerahkan upetinya. Dan perkenankan pulang kembali ke masing-masing wilayah. Raja : terimah kasih luhur amat bijaksana. Kapan ananda pulang jawa? Miluhur : sekarang kami pamit, dan adik Sakyaningrat bersama kami. Raja : jika begitu patih, persiapkan kapal besar ke jawa, dan dengan pengawalan panglima keling. Anakku sakyaningrat, pergilah bersama suamimu, sampaikan salam pada keluarga jenggala, hari baik kami berkunjung ke jawa, mulai hari ini persekutuan indiajawa kami mulai. Selamat jalan.
Adegan samodra hindia. Miluhur : adikku, sakyaningrat…kupelajari bahasa jawa. Yang ini apa namanya (sing iki apa jenenge, basa luhure, ingkang menika naminipun… iki irung… mak cethil miluhur nguthek irungu garwane… kang di jiwit anyauri, yang ini apa namanya… ingkang punika janggut…) Sakyaningrat : kang mas, wonten cahya mancorong ing gisik nika sanget ndudut manah kula, manapa lampahe baita saget ka inggiraken ngrika kangmas… Miluhur : pamawase siadi ora kliru, iku tlatah alas kahuripan. Dene cahya iku kaya cahyane wong tapa, paman nangkudha, mara ping girna gisik kana ya paman… Pocapan : laju lampahe perahu laju. Wis tekan gisik pinggire wana kahuripan, bareng pada ndarat, kaget ana watu gilang mawa cahya, angreripih pamintanira sang dewi. Sakyaningrat : kakang mas, kula kepingin ngertos njerone sela punika, mangga kapecaha kakang. Amiluhur : dimas, adikku pada sumingkira sapenggalah, coba tak pecahe watu gilang iki. Swaka : lah ing kana ta wau, kurangane apa wong agung jenggala raja arsa minangkani panuwunan ingkang garwa… sumurub cahya sumunar saka njroning watu gilang, watu den sadhuk ambyar, ana kodhok dindang sak giri suta… Girisa : Peteng dhedhet detan sulaya, Miring : beda laya lampah waluya….. waluyane sang cantuka pinanggihing jatinira…….. Kodhok : ya jagat,ya drajat,ya semat. Enak nggenku mertapa, jrone watu, kok ana raja ora duwe susila, mangka darmane satriya ana 5 perkara : Pracaya Gusti, Susila budi luhur, welas asih. Kenek dadi patuladan, ucapan lan perbuatan Karyawan, sepi ing pamrih rame ing gawe, gampange nindakna Kartening nuswantara. e…..janjiku karo darmaning uripku, Bongso kodhok, mbesuk nek keturutan dadi ratu ing nuswantara, aja nganti duwe watak : cadhok,cadhek,ila-ilane nila khonto. Ami luhur : he,he cantuka…bisa tata jalma, ngundhomono ingsun tan darbe susila, ora welas asih, malah koyo titah cadhok cadhek -ilane nila khonto….dasarmu apa ? Kodhok : Dasarku,pada padha titahe gusti,ana lumakune satra tulis hana caraka,data sawala,padha jayanya, magabathanga. Hana=urip ora kasat mripat,caraka=utusan goib sinebut Nur,ka=karsa,karsane widi,data,utusan wujud nyo ta kesunyatan,da=dat,ta=titah,dat wadahe titah,anjinge kawula gusti—manusa(manu = hyang manu, sa = esa) manungsa nembah
Ami luhur Kodhok Ami luhur Kodhok Ami luhur Kodhok m. luhur Kodhok Luhur Kodhok Luhur
Kodhok Luhur Kodhok Luhur Dhaleng Kodhok Luhur Kodok Luhur
Kodhok Luhur Kodhok Greget saut
Swaka
marang kang anembah,Sawala= kosok balen.Sa=Sukma uripe jiwa,Wa=Wahana,nafsu,la=cipta angen-2 dayane napsu 4. Padha jayanya=Pada di karsakna Pangeran sinandangan poncodriyo,duwena rasa pangrasa ora kaya titah gegabah….sawangen apa kang tak gegem tangan kiwe iki ? ; Cantuka ora perlu ngrukngokna wejangan, sing mbok gegem iku las. : pira cacahe ! ; pitung las : apa maksude ! : anjinge ana dina 7 (soma,anggara,buda,respati,sukra,tumpak dite). : nek tak jupuk siji. : kari sad,panjinge ana agama kadewatan. Menembah dewa nem: : tak buang siji. : Poncodriyo : tak buang maneh sisji. : anjing keblat 4 Purwa-mapan 8ng wetan dumadi jagat wedhak rogo Duksina –kidul-budi,Pracima –Kulon-dumadine roso,Untaralor dumadine sukma. : Kari telu : Surya, condro lan sudama mahanani padhanging jagat : kari loro : Salokane wadhah lawan isi. : haieg…nglaras swara gamelan. : kari piro ? : Dhuh sang cantuka.prayoginipun katetetepaken satunggal kewala : lho apa ana ratu kawirangan ? sisan sampurnakna : kantun eko wejangan lengggahipun wonten telenging tekat. suraosipun mapan ing kalenggahan. Kawontenana ndunyo owah gingsir,Bebasan donya salin salogo kang langgeng naming hyang sukma. : kok sakiki nganggo basa karma, apa sababe sang prabu ? : Sabab las satunggal sampun ical . icale las kantun paduka piyambak pukulun batara wisnu : O… anakku ngger luhur… : serang. Salah muna salah muni Gambar tandna panengeranira Sidik sudirga mencala pati Temah baur , bebere dewane … : kaget jenggirat kahanan jatine Kodhok dindang, koyo koyo tititikannira, wahyu wiji utomo. Kocap ingkang salah tampa …dikira miluhur kawon pembatang tumuli anembah. Penampane mijaya lan mangarang, arsa nedia nirnakna kodhok dindang. Amijaya nyandhak tutuk duwur, mangarang nyandhak tutuk ngisor, sinuwek pada sekala ilan kwandane kodhok,wujud batar wisnu manjing sang amiluhur.
Jati pitutur Miluhur Jati pitutur Jati pitutur Dhalang Miluhur Jati pitutur
Pitutur jati Ami luhur Jati pitutur
Miluhur
Jati pitutur
Nglumpruk tanpa daya sang sakyaningrat…praptane jatipitutur pitutuur jati… : we la kodhok ilang melu kelangan iki…den pada ngertosono, sang kodhok mertopa pados penitisan…nggih niku momongan kula… : ora nyana babar pisan sejatine sang cantuka momongan nira iki garuaku nglumpruk tanpa daya kakang… : …ello…den garwangu arep nglairna jabang bayi, muga muga dadiya satriya tama. Monggo di rukti ngrika… : oh hyang ulun pada winenangin jagat, kula pingin alas kuripan niki di dadosaken Negara… : jlek dados kraton endah ing warna. : kakang iki ana ngendi, alas mara dadi karaton. Iki momongan rika tak dusi banyu ??? : wela cilukba,hahak lo lonthong, sega golong sobo embong ,lepet gulung saba warung, jenang dhedhek kiciran gula,doyanane mara twa. Ondhe ondhe aku dhewe, cakar ayam dulur ipe, ayu suraksurak ….hore,hore,……….. : alas ilang gumantine kraton enggal, dinteniki mangga sineksenan dumadine kraton kahuripan… : ika kok ana pawongan catur cacahe kakang sapa… : la niki jenengih patih Kudanawarsa, dados patih ndika ing kahuripan-jengga. Sing kalih namine patiih Jaya badra pepatihipun rayi ndika Amijaya ing kraton kdhiri, sak mangke nggeh pun gumelar. Ingkang tiga patih jaya kacemba, ingkang mrangkani adimu mangarang, ing kraton Urawan inggih sampun gumelar…Ingkang pungkasan menikah patih Jaya asmita matihi adimu merdhadhu ing praja Singosari, sak niki nggeh pun gumelar. Pitungkas kula, mbenjing nek putrane Kediri urawan, singasari lahir estri, dipun jodhohkaken momongan kula…niki,la sinten niki asmane… : kakang asma kinarya japa…enake sapa kakang…gandheng asal usule saka pitulungan rika, jaya ing pakewuh ing sayimbara Panji biru…tak paring tenget Panji Inukertapati… : gendheng lare raden niki lahire teng perjalanan…klebu janma mancah kedahipun diruwat di tanggapaken wayang lakon rabine wisu lawan dewi sri sumbering pangupa jiwa, dhalam tedhang ki gedhe mbanger inggih bupati surya adiningrat ongka II, Ki Bromono, turun dalang Ki Sastro Amjaya, desa sinpar-Wringin anom Kecamatan Poncokesumo, sesanti hayu rahayua sagung para dumadi. ……Tutup Layar tancep kayon……
TERJEMAHAN NASKAH (SUNTINGAN TEKS)
JEJER JENGGALA Itulah yang dibicarakan: ki dalang memberitahu alam, mengalun-alun suaranya di surga. Meminta rasa kasihan Dewa. Hendak membuka sungging penatar jonggrang, patuk sinupiting urang (do‘a). Berdasarkan dendang pembicaraan, bentuk riasan topeng yang mengandung WAH, EKA, ADI, RAJA, DASA, BUWANA. Wah empat, eka satu, raja ratu, dasa sepuluh buwana alam yang dibicarakan. Pada peringatan tahun EHE 1940 (). Hari Sabtu Wage, tanggal 7, Wuku Tambir, Ingkel Orang, Pranata Wangsa Kedelapan, Windunya Kunthara (0491). Sang raja lembu amiluhur duduk di kursi berbentuk gading emas, meliakliuk seperti gambar bangunan, diiringi Bucu, Cebol, Cemani, Wungkuk (orang cacat) yang membawa perlengkapan sabuk payung Tunggul Manik (payung bersusun tiga bertabur permata), dilihat dari pendapa seperti Dewa Dharma turun ke Bumi. Yang hadir dalam pertemuan raja yaitu adiknya: Raja Amijaya; Raja Pengarang; Raja Merdhadhu, tidak berani bergerak sama sekali. Seperti burung Gelatik di hadapan Rajawali. Seperti Gelatik disambar burung Alap-alap, diam di malam ini. Betapa kecewanya Sang Raja kedatangan Raka Wiku Kilisuci dari Kapucangan tanpa pemberitahuan. Bila dirasakan dalam hati sanubari seperti tembus, pelan-pelan keluar ucapan... KOMBANGAN DHALANG Indahnya di atas saya tidaklah tidak, ada orang mengambil pikulan air, mengambil api memakai obor. Kapuk hutan merambati Pare, orang mengesot menggapai bintang, mencari telapak burung kuntuk yang sedang terbang, menunggu mengapungnya batu hitam. Prabu amiluhur : sebentar dulu sebentar dulu, aku lihat dengan mata yang hampir terpejam, aku rasakan dalam hati, terlihat samar. Yang hadir di hadapanku adalah adikku Lembu Amijaya, Mangarang Dan Merdhadu. Jangan kurang waspada dalam melihat hingga mengganggu kediamanmu. Karena negara jenggala kedatangan Kakang Mbok Wiku Kapucangan Dewi Kilisuci. Duduklah yang nyaman, Dik. Bukan menjadi masalah. Adik hanya menyampaikan sembah bakti, mudah-mudahan dihaturkan untuk Kangmas. Kakang Mbok mengucapkan selamat. Amijaya
: adikmu mangarang menyampaikan selamat, Kakang Mbok
Merdhadhu
: Selamat, Kakang Mbok. Selamat datang. Apabila ada waktu sudilah mampir di kediamanku.
Kilisuci
: Hong ilaheng, awigena, mastuti sekaring bawana langgeng (seperti do‘a). Betapa senangnya hatiku malam ini, negara Jenggala memperingati Ulang Tahun 1 Suro. Bertemu dengan adik-adikku. Sembahmu aku terima. Aku talikan di Gelung Mayang, jadilah kekuatan cahaya sukma, cahaya Tuhan. Do‘a pujiku terimalah, Dik. Di luar dari itu, kedatanganku di Jenggala seperti terburu-buru, karena apabila mendengar pembicaraan orang, pembicaraan para petani di pegunungan, apa benar negara Jenggala banyak salah ucap? Berganti mangsa seiring pergerakan dunia, lahar gunung, banjir bandang, laut menenggelamkan daratan, lumpur datang, sampah dunia menjadikan bangsanya bertebaran terlantar. Apabila saya liat dengan rasa yang dalam, konsentrasi panca indera, ada hal-hal yang harus dibenahi bertepatan dengan sabda Dewa akan turunnya Benih Utama, seorang brahmana yang berjiwa ksatria, yang bisa mengendalikan bencana di Bumi Nusantara.
Prabu amiluhur : aduh, Kakang Mbok yang diagungkan rakyat Jenggala. Tidak salah satu rambut dibagi seribu, kata Paduka. Perkara marahnya alam jenggala terdengar dari Gunung Penanggungan. Tiba-tiba ada sabda Dewa. Saya harus memperbaiki tata pemerintahan supaya kuat menerima wahyu Benih Utama. Tetapi bagaimana jelasnya, Kakang Mbok. Sendhon 8
Ada pendeta memberi wangsit Seperti kumbang yang terbang di angkasa Di manakah angin bersembunyi Dan inti batang kangkung Batas langit dan samudera Isi bambu Wung-wang Serta punggungnya peluru Telapak burung yang terbang Burung terbang mengungguli langit Bunga yang sedang mekar
Kilisuci
: Ya, tidak berat kujunjung dunia. Barang berharga seperti mirah dan intan. Engkau pimpinan rakyat Jenggala. Apa kesanggupanmu ketika dinobatkan menjadi raja?
Amiluhur
: Mendahulukan kebutuhan rakyat, tidak memikirkan diri pribadi, bekerja (berkarya) tidak berdasarkan pamrih.
Kilisuci
: Iya, benar. Yayi Mahadewi, engkau menjadi ibunya orang Jenggala. Apa darmanya seorang Ibu?
Mahadewi
: Wajib membantu suami meringankan beban rakyat.
Kilisuci
: Iya. Padukaliku, apakah engkau juga memikirkan rakyatmu?
Padukaliku
: Iya, ikut memberi kepada yang kekurangan dan anak yatim yang harus membutuhkan perhatian (penghidupan).
Kilisuci
: Eee.... iya. Putri Wandan, apa janjimu untuk negara ini?
Wandan
: Duh, Wiku. Aku ini orang yang tidak bersekolah. Pekerjaanku di dapur. Peribahasanya orang tidak punya yang diangkat naik tahta. Soal pemerintahan aku tidak mengerti sama sekali. Tetapi apabila dibutuhkan Raja sewaktu-waktu aku tidak menolak.
Kilisuci
: Hemmm... iya, iya, Dewi, Liku, Wandan, kamu semua sudah mengeluarkan keikutsertaanmu menurut kesanggupanmu dan pekerjaan yang engkau kerjakan. Jadi wanita utama yang disebut permaisuri itu harus memenuhi berat dan repotnya negara. Ketahuilah, wangsitnya Dewa, benih raja ini tidak keluar dari engkau sekalian. Tetapi dari Putri Hindustan. Jelasnya, aku memintamu jangan keberata. Suamimu harus mencari kesempurnaan asmara gama, asmara nala, asmara tantra dan asmara juwita. Apabila adikku, Amiluhur, bisa memperistri Putri Hindustan dengan landasan jodoh, kelak bisa meringankan penderitaan rakyat Jenggala, membuat berhentinya amarah alam, membuat bersatunya Nusantara, akan hidup sesuai peraturan, kewaspadaan, murah sandang pangan dan selamat selamanya.
Padukaliku
: Bat, tobat, kupotong-potong seperti bawang, kuiris-iris seperti buncis, Kakang Mbok, kelak apabila turun, bagaimana apabila aku tidak jadi raja. Padahal idaman kaum ibu adalah anaknya bisa menjunjung nam orang tua .. hayo?
Kilisuci
: hem... Liku, siapa yang tidak ingin anaknya mulya. Tetapi ketahuilah, untung ruginya manusia tidak bisa menerobos, takdir Tuhan. Sekecil kacang hijau, sebulat kendhil, untung ruginya manusia ada di tangan Tuhan yang membuat kehidupan. Bila sesungguhnya dihitung besarnya pengorbanan, bukankah aku yang seharusnya menjadi raja Jenggala? Aku anak pertama. Tapi aku hanya punya derajat biksu. Aku harus menjalankan Brahmacari... hayo.. pikirkanlah. Untuk itu, semua istri-istri adikku, pasrahlah kepada yang membuat kehidupan.
Putri 1,2,3
: Iya.. iya... silahkan.
Kilisuci
: Nah, begitu. Itu baru namanya Putri Utama. Kembali ke adikku yang tampan, Amiluhur. Jangan takut menghadapi kesulitan, segera sempurnakanlah asmara juwita. Berangkatlah ke tanah Hindustan. Adikmu Mijaya, Mangarang, dan Merdhadhu yang akan menemani langkahmu, agar bisa melonggarkan hari yang
kusut, menyambung gagang yang patah, dan ada yang mengetahui keberadaanmu selama dalam perjalanan. Jangan lupa nyungkem di peristirahatan terakhir Rama Begawan Sri Gentayu di gunung Jambangan, di lereng Gunung Semeru. Barangkali mendapat jalan kebaikan, soal negara sementara aku dan ketiga istrimu yang menjaga. Amiluhur
: Baiklah, Kakang Mbok. Ayo, Dik. Ikut kakang. Dan semua istriku, bekalilah pegangan budi rahayu, do‘a selamat, supaya segera kembali pulang ke Jenggala, Yayi. (teriring Gendhing Krucil 8 irama Tuk Kintungan).
ADEGAN GUNUNG JAMBANGAN Pocapan
:Menyambung pembicaraan, ada dua manusia berjiwa brahmana, bernama Jati Pitutur dan Pitutur Jati. Turun dari kayangan mencari momongannya yang turun ke dunia. Dibantu mencari seperti ayam hutan, menuruni lereng terjal, lereng landai, menuruni Gunung Reksamuka tertimpa kayu Mandira Jati. Kayu yang berbelit-belit, baris yang rapat adalah barisannya kayu, giro-giro kayu Sawo, panggetakan (berderik) kayu Klampis, tatanan rambut kayu Suren, lebih agung akar Kapuk Hutan. Hewan hutan berterbangan, berloncatan, perawakan cicak, seribu kecapung, rusa yang menoleh ketakutan, belalai gajah. Sejaya-jayanya macan belang sudah menjadi keberuntungan bagi yang wantilan. kedua brahmana yang kerepotan lalu mengambil bendera Panji, dikibarkan tiga kali, hingga tenanglah binatang hutan. (Gendhing Sapu Renggo)
Girisa
: Cindhe muda-cindhe muda Gondok (penyakit) yang malang seperti telur, Nak. Tuanmu kemana perginya Engkau terangkanlah... (Empat baris di atas adalah dialognya Semar (dalam hal ini adalah Jati Pitutur)) Bapak ... aduh Bapak mertua Engkau suruh menerangkan Aku ini yang mestinya engkau terangkan Silakan (Empat baris di atas adalah dialognya Bagong (dalam hal ini Pitutur Jati))
Jati Pitutur
: Nak... Pitutur Jati, seperti apa cara kita menemukan momonganmu Macan Putih Suroloyo (Suroloyo adalah nama kayangan dalam pewayangan), Nak? Sudah bersusah-susah menunggui makam ini, sudah ada yang berguru, ada yang sampai
punya dua anak, tidak terasa. Lalu dimanakah gerangan momonganmu, Nak? Pitutur Jati
: Waduh, anak mengamati semusim (musim hujan) heran setahun, Paman Mertua. Semua semak belukar sudah kusibak, semua warung telah aku hampiri, Tuan Rajungan Kepithing Lurik (gelar untuk Panji Asmarabangun maupun Arjuna) tidak juda ketemu. Kalau aku pikir, yang bersalah adalah yang menyuruh kok.
Jati Pitutur
: Lho, kok begitu, Nak?
Pitutur jati
: Nyata-nyata salah total, Paman. Menyuruh mencari momongan tidak ditunjukkan letak keberadaannya, apakah harus mengitari dunia, sulit ketemu. Sudah, begini saja, Paman. Engkau itu keturunan Dewa. Engkau dibekali tanda berwujud Panji Biru yang bernama Tunggul Wulung. Itu untuk apa jika tidak digunakan?
Jati Pitutur
: Toblas ayas ayas. Iya ya, Tur. Coba aku lemparkan Panji Biru ini, kelak siapa yang menemukan Panji Biru ini, itu jalan ketemuanya Tuan, Nak.
Greget saut 8
Runcing mencium ini Sudah mati dalam hati Perawakanku bak pertarungan Kilat Panji Wulung (tunggul wulung) dibicarakan
Pocapan
: Haieg...di situ, Kyai jati pitutur tertndih persoalan yang berat, segera memeras keringat mempertajam penglihatan, membaca mantra Jaya Kawijayanira. Terjadilah bendera panji yang dilemparkan menancap di tanah Hindustan. Kesanggupan Amiluhur, permisi hendak memasang Tuan, Kyaiku datang (wuluk salam)
Jati Pitutur
: Tur, bersamaan kaburnya bendera, sepertinya ada tamu.
Pitutur jati
: Tamunya tiga tidak serupa asuhan kita, Paman.
Jati Pitutur
: Wah, iya, Nak. Melihat aranya berbeda. Ini seperti mengerikan.
Pitutur jati
: Yang satu ini orangnya sabar. Yang ini agak sombong, yang itu agak garang, Paman. Nah, yang ini bisa dihutangi, Paman.
Jati Pitutur
: hush, jangan sembarangan. Ini satria meyerupai sudra , Nak. Biar aku tanyakan, barangkali ini jalan bertemu Tuanmu, aura yang menyilaukan, aura saudara yang belum kukenal, yang baru saja datang, siapakah Paduka? (‗poh’ sebenarnya mengarah ke ‗pun’. Yakni sejenis sastra belokan).
Pitutur Jati
: Engkau buah mangga Kweni atau buah mangga Gadhung? Kenalkanlah aku buah mangga Busuk... ha... ha... tampannya, Paman. Yang dua orang tertawa. Hahak...
Amiluhur
: Hong tapak sumarah purba jatining gesang (sejenis do‘a saat memasuki pasarean atau tempat suci). Aku amiluhur seingatku. Ini pertapaan Kanjeng Rama Sri Gentayu. Siapakah engkau, Kyai? sembah saya.
Pitutur Jati
: Iya.. iya.. aku terima. Kenalkanlah yang paling tampan sendiri ini, namaku Raden Pitutur Jati, nah, ini babuku.
Jati Pitutur
: Tur, jangan sembarangan. Namaku, lagipula... kapan engkau menjadi Raden? Raden Semelehe ya? Permisi kalau anak saya ini tidak begitu penuh, Gus.
Amiluhur
: tidak apa-apa, Kyai. Kenalkanlah aku Amiluhur putra Jenggala, sedang apa engkau berdua di peristirahatan terakhir orang tuaku Prabu Airlangga?
Jati Pitutur dan pitutur Jati bersama-sama menyembah: ya Tuhan maafkanlah. Engkau sembahan kami, Gus. Aku turut membersihkan pemakaman di sini. Ternyata ini peristirahatan terakhir Tuan Sri Gentayu, Sang Airlangga, Raja Jenggala. Amiluhur
: Paman... engkau ini siapa? Berasal dari mana? Mengapa membersihkan pemakaman?
Jati pitutur
: Aku ini Jati Pitutur, ini anakku Pitutur Jati. Tuan bertiga seperti mengalami kesedihan. Ada apa?
Amiluhur
: Paman, negeriku rusak, banyak musibah menyelimuti. Semua rakyat hidupnya cemas karena mengamuknya alam. Maka sekalian dibuat seperti apa agar terbebas dari hukuman, menimba ilmu (ngangsu kawruh) menjadi murid Tuan.
Jati Pitutur
: Ya.. orang hidup itu kewajibannya tolong menolong, gotong royong. Tapi ada syaratnya.
Amiluhur
: Apa yang dibeli itu?
Jati Pitutur
: Syaratnya: setelah engkau telah memanggil Paman kepadaku, kedua kalinya harus memakai tata bahasa kasar kepada kami berdua, sesudah engkau mau, engkau resmi menjadi murid di sini.
Amiluhur
: Ya, ya, Kakang Jati. Sebenarnya begini kesedihanku. kupegang teguh perintah Mbakyuku Biksuni Kapucangan. Aku disuruh
menikah lagi dengan orang kawasan Hindustan. Padahal jauhnya menyeberangi lautan, tidak ada kapal. Jati pitutur
: Walah dalah... pucuk dicinta ulam tiba.. ya, Den, namun begini, hari ini negara Keling ada putri cantik, banyak yang ngayunaken. Sebelum didahului orang, engkau pergilah. Aku hanya berpesan, jika terlaksana menikah dengan Putri Keling, sudah lupa Jawanya. Sebab budaya yang buat anugrah itu tidak ada yang menandingi nyawa ini. Nanti ksatria itu harus: meniduri (dalam arti intim terhadap) kewajibannya ksatria. Harus punya Parang Cakraningrat. Berdasarkan lima paugerar, Jawa ini akan kedatangan orang luar negeri, apabila menilik dari ramalan, berjaya di kesulitan, sekarang sudah menginjak Jaman Kaliyoga. Yang 700 tahun berganti.
Sebab Jaman Kali Yuga itu ada 7 jaman berulang seratus tahun berganti. 8. Jaman Kala Buda : Jaman Prihatin 9. Jaman Kala Dora : Jaman Mundur 10. Jaman Kaladi Wanara : Jaman Mokal 11. Jaman Kala Praniti : Jaman Mandhep 12. Jaman Kala Tetaka : datangnya bangsa asing (tionghoa, arab india) th. 1134-1236. Jaman negara jenggala yang dijalani sekarang. Makanya benar jika engkau harus menyambung darah dengan bangsa Hindustan. Amiluhur
: Kurang dua, apa Kakang?
13. Jaman Kala Wisesa 14. Jaman Kala Wisaya
: Jaman Menang-Menangan : Jaman Klakon.
Hutu... anak cucu kelak menemui Jaman Kali Sengsara. Jaman saya akeh wong pinter, ning kirang prihatine, alam diperkosa, oleh kemajuan. Makanya ada pepatah menyebutkan: SEBERUNTUNG-BERUNTUNGNYA ORANG LUPA, MASIH BERUNTUNG ORANG INGAT DAN WASPADA. Miluhur
: Kakang, seperti tergugah rasaku, sebab pertalian darah Jawa dan hindustan. Tapi apakah bisa terlaksana untuk datang ke sana, sebab aku tidak punya kapal (baita), oleh karena peristiwa di Jenggala tidak mereda. Seluruh Japa Mantra sudah tidak manjur.
Jati pitutur
: Hua .. ha.. ha.. jangan khawatir. Perkara menyeberang samudera, supaya cepat sampai di negara Keling, kuberi cincin (Sesotya) yang bernama Wungkal Bener. Engkau pakai di jempol kaki. Saudaramu engkau rangkul, dipegang dengan erat-erat. Pesanku jika menemukan persoalan yang tidak bisa engkau atasi, pukulah bumi dengan telapak tangan kiri. Akan ada pertolongan
membantu... sudah, silakan dipakai cincin ini, jangan lupa nyungkem (meminta restu) di peristirahatan terakhir Rama. Mudah-mudahan cepat terlaksana membawa kembali pulang benih pulau Jawa, datangnya Ksatria berjiwa Brahmana. Pocapan
:Haieg.. sudah masuk ke dalam pasarean membakar dupa guna kesempurnaan memuja. Segera memakai cincin Wungkal Bener di jempol kanan. Melangkah kaki kanan, yang kiri seperti hendak memanjat. Seperempat jam sampai saat matahari terbit di batas kota kerajaan Keling.
Berhenti bercerita dalam bahasa Kawi. Raja-raja sebrang : Inggris, Prancis, Spanyol, Portugis dan Belanda, yang bersama-sama melamar Dewi Sekar Kedaton Keling tingkahnya seperti burung Gagak berebut hinggapan. Klana Inggris : Iladalah, hua haha . . . . jauh lautan kusebrangi dari daratan Inggris sampai Keling Hindustan, tak lain aku ingin menyunting putri Keling yang cantik jelita. Apalah artinya aku jadi raja, jika tak berhasil mempersunting Putri Hindustan. Wah . . . waktu pagi hari, sebelum panas Matahari, ku berangkat sekarang juga . . . . Klana(bapang) : Aku klana dari Prancis. Makananku kara buncis, aku kan menangis, jika tidak menikh dengan Putri Keling yang manis. Oh Juwitaku, tunggulah aku Klana prancis.... Klana Belandha: Huahahaha . . . dan aku raja dari Belanda. Kudengar India negeri yang kaya budaya. Lama kuimpikan bertemu Putri Keling, jika aku bisa menikah dengannya, akan kubawa kesenian dari India ke Belanda, akan kubuka pertemuan budaya Belanda-India . . . hem bagus . . . aku berangkat . . .
ADEGAN NEGARA KELING. Pocapan : terlihat gelap sekali negara Keling. Karena hampr tiga puluh hari terkena wabah penyakit. Karena di alunalun kejatuhan bendera Panji dari angkasa. Sang Prabu Kalingga Bangsa memanggil putrinya, diikuti dayang-dayang. Seperti ingin mencoret-coret bendera (bendera Panji). Pada titik ini ‗ngorek-orek gendera‘ adalah tanda bagi pengrawit untuk memulai gendhing orek-orek) Mocopat Megatruh. Aduh Sakyaningrat anakku Bagaimana di lamar Empat puluh raja agung Dan datangnya panji, penyakit merajalela.
Raja
: Oh Dewata Agung, selamatkanlah negeriku Keling. Anakku Sakyaningrat, bagaimana keadaanmu sekarang?
Sakyaningrat : . . . Baba . . . Sulit melukiskan peristiwa negara dan nasib hamba. Semenjak jatuhnya panji-panji biru, menancap di halaman istana Keling, timbul bencana dan wabah penyakit. Banyak korban dari penduduk. Penyakit sulit dicari obatnya. Apa yang harus dilakukan agar penyakit segera sirna, Baba? Prabu kalingga: Oh Anakku, ibarat berlayar di samudra, mendadak tiada topan dan badai, perahu tenggelam. Awak kapal bingung mencari hidup. Di mana sumber hidup itu sekarang, masalahnya. Oh Dewa, mengapa aku di jadikan Raja, apabila tiada sabda Pandita Ratu. Do‘a, mantra tak dapat menjawab, segala usaha telah di usahakan. Namun wabah terus melanda penduduk Keling. Sedangkan, rajaraja dari 40 negara sudah melamar . . . Putriku Sakyaningrat. Patih
: Amit gusti raja, tidak baik menyesali peristiwa ini, apabila tidak mencari jalan keluar. Pepatah mengatakan ―janganlah menangis apabila menerima kesengsaraan, sebab antara kesengsaraan dan kemulyaan itulah pemberianNya. Apabila Raja menangis seluruh kerabat istana sampai rakyat ikut merasakan. Bukankah semua ini pemberian Dewata. Tidak baik menangis hingga membantah pemberian Dewata. Sebaliknya apabila menerima kemulyaan janganlah tertawa riang, karena tertawa itu mengandung rasa ego yang berlebihan, maka kita harus berani mencoba. Ada rahasia apakah di balik Panji Biru itu hingga tidak dapat dicabut.
Raja
: Patih benar . . . solusinya adalah . . . tercabutnya bendera biru itu. Jika demikian untuk menjaga dari perebutan anakku , ini harus di sayembarakan. Barang siapa yang dapat mencabut Panji Biru di alun-alun, dialah yang berhak menerima putriku Sakyaningrat sebagai hadiahnya.
Patih
: baiklah, Raja. Aku minta izin untuk mengumumkan sayembara.
Raja
: buatkan tempat di ketinggian agar aku dan anakku menyaksikan sayembara itu.
Gurisa serang: riuh rendah rakyat Keling Menyaksikan sayembara
Gegap gempita suasana negara Keling. Besar kecil, tua muda, berebut ruang berebut tempat. Tingkahnya seperti burung Dara terbang, penonton berkumpul berdasarkan golongannya. Ada kasta Waisya berkumpul sesama Waisya, kasta Brahmana berkumpul sesama Brahmana, Sudra berkumpul sesama Sudra. Raja Ngote, Ngesar,Tebar (nama-nama Raja) Inggris, Prancis, Belanda bersamaan memasuki (mengikuti) sayembara. Klana Inggris : Salam Paduka Raja Keling. Perkenankanlah aku raja Inggris mencabutnya. Klana Prancis : Hua haha . . . Raja Keling, aku raja bapang dari Prancis. Hua... haha . . . kucoba-coba mencabut panji, panji kucabut putri kurebut (seperti lirik lagu) . . . tidak bisa, jika gagal kucabut akan kutunggu jandanya . . . wuah aku tak sanggup menunggu tua . . Klana Belanda: hoverdom seh. . . sekarang aku raja Belanda. Hanya demikian saja tidak. . . uh. Tidak kuat. . .wah, sial. . .(tidak berhasil mencabut Bendera Panji) Amiluhur
: Permisi, permisi, Tuan Agung, perkenankanlah kami mencabut Kyai Tunggul Wulung.
Sakyanngrat : Baba. . . siapakah gerangan itu, Baba? Bagaimana jika ia tidak dapat mencabutnya? Duh, dewa mudah-mudahan Tuan dapat mencabutnya. Raja
: Rat…Rat… kenapa engkau, tadi ada raja gagah perkasa tak bergeming sedikitpun, malah tegang… tiba-tiba ada orang kurus kering tak bertenaga engkau seperti berharap?
Sakyaningrat : Baba… apabila orang itu tak berhasil, aku memilih mati saja, Baba… Raja
: Lho bagaimaa, Rat? ini adalah sayembara…siapapun yang berhasil, terimalah.
Amiluhur
: Wahai, Tuanku Budiman dan para peserta sayembara, perkenankanlah hamba mencabut sekaligus menghancurkan panji biru itu, agar penyakit hilang… Duh, mustika Panji Wulung, Nuherang nulenggang (do’a), yang putih merata rupanya. Engkau jangan mengajari kejelekan kepadaku, aku laki-laki sejati, aku lebih tua dari pada gurumu, kakek moyangmu sama dengan kakek moyangku, aku suruhan Kyai Jati Pitutur, Pitutur Jati. cukup sekian perbuatan baikmu. Asalmu tidak ada, kembalilah tidak ada, terkena ludahku menjadi sempurna ragamu.
Swaka
: Terkena Sampur Sutra Dewangga, Panji Wulung hancur menjadi abu (hiperbola), bersama hilangnya penyakit salah asal …sorak
sorai bergemuruh bersama ambruknya raga Amiluhur ke tanah, Sakyaningrat terkejut, seketika berdiri menyingsingkan pakaiannya yang panjang, lalu berlari merangkul (meniduri) Yang Berjaya Dalam Kesulitan … Sakyaningrat : Aduh… Kangmas… aku berterimakasih engkau dapat menghilangkan bendera ajaib. Penyakit akan sembuh kembali… namun aku tidak menyangka Kakang meninggalkan adinda… kalau begitu apalah guna hidup hamba… aku lebih baik mati … (tangan Amiluhur menangkap Sakyaningrat, ternyata sang putri adalah seperti bidadari elok rupawan… tersenyum. Sebenarnya Amiluhur hanya pura-pura mati) Ami luhur
: Dhuh, Juwita, sempurnalah sudah asmara hamba, tiada juga kakang sudi mati, apabila melihat Adinda hidup sendiri… yam-yam perjiwatan- rum rum bintarum (), Orang Cantik, marilah berbaring di dada kiri, rambutmu kan ku belai… (tiba-tiba jati pitutur dan pitutur muncul saling berpelukan tetapi orang lain tiada tau).
Klana Ngote, Ngeser, Tebar merebut sakyaningrat: Hai Sang Pemenang Sayembara, kami jauh-jauh datang ingin ikut sayembara, namun engkau telah menang, jika ini urusan wanita, aku juga hendak merebutnya. Ami jaya
: Hei.. orang lajang mencari asuhan, jangan merebut kekasihnya Kakang Miluhur, ini adiknya, Amijaya. Kemarilah!
Klana
: Kurang dihajar engkau… majulah ku patahkan lehermu.
Ami jaya
: Banyak bicara!! (menampar kepala, bersama iringan Krucil Serang).
Pocapan
: Itulah ... ingat pesan Jati Pitutur dan Pitutur Jati, apabila menemukan persoalan disuruh memukul tanah tiga kali. Bersamaan itu pula bumi dipukul tiga kali. Keluarlah raksasa yang mengamuk menerjang raja 40 negara. (40 raja terjaring semua diberikan kepada Amiluhur, kemudian hilanglah Raksasa dari bayangan).
Amiluhur
: Tuan, Sang Raja Keling, raja raja semua telah takluk, kuserahkan kepada Tuan.
Raja
: Adhuh anak, engkau berjasa terhadap Negara keeling, kini ku serahkan putriku menjadi istrimu. Sekarang kunikahkan, dan kini sudah menjadi hakmu, soal 40 raja terserah engkau, sebagai ucapan sukur, engkau akan kunobatkan menjadi raja, sebagai penggantiku.
Amiluhur
: Terimakasih, Ayah. Soal kedudukan, cukup tanah Jenggala. Soal putri Tuan, akan kami boyong ke Jawa. Dan tentang 40 raja ini menjadi taklukan. Setiap setahun harus menyerahkan upetinya. Dan perkenankanlah mereka pulang kembali ke masing-masing wilayah.
Raja
: Terimakasih, luhur amat bijaksana. Kapan ananda pulang ke Jawa?
Miluhur
: Sekarang kami minta izin pulang, dan adik Sakyaningrat bersama kami.
Raja
: Jika begitu ... Patih! persiapkan kapal besar ke Jawa, dan dengan pengawalan panglima keling! Anakku sakyaningrat, pergilah bersama suamimu, sampaikan salam pada keluarga Jenggala, hari baik kami akan berkunjung ke Jawa, mulai hari ini persekutuan India-Jawa kami mulai. Selamat jalan..
ADEGAN SAMUDERA HINDIA. Amiluhur
: adikku, sakyaningrat…kupelajari bahasa jawa. Yang ini apa namanya (sing iki apa jenenge, basa luhure, ingkang menika naminipun… iki irung… mak cethil Miluhur nguthek irungu garwane… kang di jiwit anyauri, yang ini apa namanya… ingkang punika janggut…)
Sakyaningrat : Kang Mas, ada sinar mancorong di pesisir itu sangat membuatku penasaran, apa kapal bisa diarahkan ke sana, Kang Mas? Miluhur
: pamawase siadi ora kliru, itu tlatah hutan Kahuripan. Sebenarnya cahaya itu dahayanya orang bertapa. Paman Nahkoda, tolong pinggirkan ke pesisir sana, Paman.
Pocapan
: Lancar berjalannya perahu, sudah tiba di tepi pantai hutan Kahuripan. Ketika bersama-sama mendarat, terkejutlah ada batu Gilang bercahaya. Sang dewi meminta merengek-rengek.
Sakyaningrat : Kakang Mas, aku ingin mengerti isinya, tolong pecahkan, Kakang. Amiluhur
: Dimas, adikku, minggirlah sepenggalah, coba kupecahkan batu Gilang ini.
Swaka
: Lah.. pada waktu itu kekurangannya apa, orang besar Jenggala hendak menuruti permintaan istrinya, melihat cahaya bersinar dari dalam batu Gilang. Batu ditendang hancur, ada Katak Dindang sebesar gunung anakan.
Girisa Miring
: Gelap gulita tak bisa ditolak Berbeda irama berjalan sehat Sehatnya sang katak Bertemulah jati dirinya ……..
Kodhok
: ya jagat,ya drajat,ya semat. Sedang enak aku bertapa di dalam batu, ada raja tanpa etika, padahal darmanya satria ada lima hal : Percaya Tuhan, beretika dan berbudi luhur, belas kasih. Bisa jadi panutan baik ucapan dan perbuatan. Orang yang berkarya, tanpa imbalan akan terus berkarya, mudahnya mengadakan murahnya sandang pangan Nusantara. e…..janjiku terhadap darma hidupku, Bangsa Katak, jika kelak menjadi raja di Nusantara, jangan sampai punya watak : cadhok,cadhek, ila-ilane nila khonto (tidak bisa melihat dengan baik).
Amiluhur
: He,he Katak…bisa bicara, mengumpatku ‗tak punya sopan santun‘, tidak punya rasa kasihan, malah seperti orang yang tidak bisa melihat kebaikan, apa dasarmu (berbicara demikian)?
Kodhok
: Dasarku, sama-sama makhluk Tuhan. Ada perjalanan sastra tulis: ada utusan, tak bisa ditolak, sama-sama berjaya, sama-sama akan bisa mati. Hana=tidak kasat mata, Caraka=utusan goib disebut Nur, Ka=kehendak, kehendak Tuhan, Data=utusan berwujud nyata senyata-nyatanya, Da=dat, Ta=orang, dat wadahnya orang, masuknya manusia dan Tuhan, manusa (manu =Tuhan, sa = esa) manusia menyembah apa yang disembah. Sawala= arti kebalikan, Sa=Sukma, hidupnya jiwa, Wa=sarana, nafsu, La=terciptanya angan-angan, kekuatan nafsu. 4. Padha jayanya=sama-sama dikehendaki Tuhan, yang dilengkapi pancaindera. milikilah perasaan, jangan seperti makhluk yang gegabah ….lihatlah, apa yang kugenggam di tangan kiriku ini?
Ami luhur
: Katak tidak perlu mendengarka wejangan. Yang engkau genggam itu biji padi.
Kodhok
: Berapa jumlahnya?
Ami luhur
: Tujuh biji.
Kodhok
: Apa maksudnya?
Ami luhur
: Masuknya 7 hari (senn, selasa, rabu, kamis, jum‘at, sabtu, minggu).
Kodhok
: Jika kuambil satu?
Amiluhur
: Tinggal enam. Masuknya agama kedewaan, menyembah 6 dewa.
Kodhok
: Kubuang satu.
Luhur
: Pancaindera.
Kodhok
: Aku buang satu lagi.
Luhur
Kodhok
: Masuknya kiblat 4 Permulaan-berada di 8ng timur menjadi jagat jasmani (raga). Selatan-selatan-budi, Barat-barat-terjdinya rasa,utara-utara-terjadinya sukma. : Tinggal tiga.
Amiluhur
: Matahari, bulan, dan bintang yang membuat dunia terang
Kodhok
: Tinggal dua.
Amiluhur
: Antara wadah dan isi.
Dhalang
: Haieg…menyetel suara gamelan.
Kodhok
: Tinggal berapa?
Luhur
: Dhuh sang katak. Sebaiknya dtetapkan satu saja.
Kodok
: Lho apakah sedang ada Raja yang malu? Sekalian sempurnakan.
Luhur
: Tinggal satu wejangan, letaknya di tengah tekad. Artinya bertempat di kursi. Adanya dunia selalu silih berganti, peribahasanya: Dunia berganti cara. Yang tetap hanya hyang sukma (Tuhan).
Kodhok
: kok sekarang memakai bahasa halus, apakah penyebabnya sang Prabu?
Luhur
Kodhok
: sebab sudah hilang sebiji. Hilangnya biji padi, tinggal paduka sendiri, Batara Wisnu Sabab las satunggal sampun ical. icale las kantun paduka piyambak pukulun batara wisnu : O… anakku. Nak, Luhur…
Greget saut
: Serang. Salah uacap di hati salah ucap di mulut Gambar tanda Terang di angkasa berubah mati Terburu-buru bercampur, gelarannya Dewanya …
Swaka
: Terkejut sungguh terkejut akan keadaan sejati Katak Dindang, seperti tandanya, wahyu benih utama. Diceritakan, yang salah penerimaan (persepsi), dikira Amiluhur kalah dalam menebak, kemudian menyembah. Penerimaannya Amijaya dan Mangarang, akan segera membunuh (menghilangkan) Katak Dindang. Amijaya memegang mulut atasnya (mulut katak), Mangarang memegang mulut bawahnya (mulut katak). Saat dirobek, seketika itu hilang raganya sang katak. Wujud Batara Wisnu masuk ke dalam Amiluhur. lemaslah tanpa daya Sang Sakyaningrat ... lalu datanglah Jati Pitutur dan Pitutur Jati.
Jati pitutur
: Hilangnya katak adalah kehilanganku. Den, tolong mengertilah semua, Sang Katak bertapa mencari titisan … itulah asuhanku.
Miluhur
: Tak terkira sama sekali jika sebenarnya sang katak adalah asuhanmu, ini istriku lemas tak berdaya.
Jati pitutur
: …ello…Den, istrimu hendak melahirkan bayi, semoga menjadi ksatria utama. Silakan diurus sana …
Jati pitutur
: Oh Hyang Ulun (Batara) yang berkuasa di jagat, aku ingin hutan Kahuripan ini dijadikan negara …
Dhalang
: Jlek ... jadilah keraton yang indah penuh warna.
Miluhur
: Kakang, kita ada di mana? Hutan tiba-tiba menjadi istana. Iki momongan rika tak dusi banyu ???
Jati pitutur
: Wela ... cilukba, hahak.. lo.. lontong (dalam sastra belokan Jawa, ‗lontong‘ mengarah kepada ‗laki-laki‘), Nasi Golong pergi ke jalan, Lepat Gulung pergi ke warung, Jenang dhedhek ketaburan gula, kesenangannya mertua. Ondhe-ondhe aku sendiri, Cakar Ayam saudara ipar, ayo bersorak ….hore,hore,………..
Pitutur jati
: Hutan hilang berganti istana, hari ini silahkan diresmikan berdirinya istana Kahuripan …
Ami luhur
: Itu kok ada orang-orangan catur, apakah maksudnya, Kakang?
Jati pitutur
: Ini ialah Patih Kudanawarsa, patihmu di Kahuripan-Jenggala. Yang kedua bernama Patih Jaya Badra, patihnya Rayi Amijaya di Kediri, nantinya akan terjadi. Yang ketiga Patih Jaya Kacemba, yang menjadi patih adikmu, Mangarang, di Urawan juga sudah terjadi …yang terakhir adalah Patih Jaya Asmita, menjadi Patih adikmu, Merdhadhu di pemerintahan Singosari, sekarang sudah terjadi. Pesan saya, kelak jika putra Kediri, Urawan, Singasari
melahirkan anak perempuan, jodohkanlah dengan asuhanku ini, lalu ini siapa namanya? Amiluhur
: Kakang, nama memberi do‘a … siapa baiknya, Kakang? Oleh karena asal-usulnya dari pertolongan Paduka, berjaya dalam kesukaran dalam di sayembara Panji Biru…aku beri nama Panji Inukertapati…
Jati pitutur
: GILA, anak Raden ini lahir dalam perjalanan … termasuk manusia mancah (cacat karena perbuatan), seharusnya di-ruwat dipegelarkan Wayang Lakon Menikahnya Wisu dan Dewi Sri sumber kehidupan, Dhalang Tiban Ki Gedhe Mbanger, Bupati Surya Adiningrat II, Ki Bromono, keturunan Dalang Ki Sastro Amjaya, Desa Sinpar-Wringin anom Kecamatan Poncokesumo, sesanti hayu rahayua sagung para dumadi (selamat seluruh yang terjadi). ……Tutup Layar tancep kayon……
Dokumentasi di Padepokan Seni Mangun Dharmo
6.
Riwayat Hidup
Aswin Pratama dilahirkan pada tanggal 20 Januari 1988 di Desa Sumberwaras, Kecamatan Lawang, Kabupaten Malang, sebagai anak pertama ketiga dari lima bersaudara pasangan dari Bapak Pujo Winarno dan Ibu Endang Astuti. Pada umur 1.5 tahun mengikuti jejak keluarga pindah ke Belitong, Provinsi Kepulauan Bangka Belitung. Hobi: membaca, nonton film, dan jalanjalan naik vespa. Pendidikan yang pernah ditempuh adalah TK Perwanida Tanjungpandan (1991-1993), SDN 11 Tanjungpandan (1993-1999), SMPN 3 Tanjungpandan (1999-2002), SMAN 1 Tanjungpandan (2002-2005). Pendidikan tinggi berikutnya ditempuh di Universitas Negeri Malang Fakultas Sastra Jurusan Seni dan Desain Program Studi Pendidikan Seni Rupa.