STUDI Q FEVER PADA TELUR AYAM DI WILAYAH BOGOR DITINJAU DARI ASPEK KESEHATAN MASYARAKAT VETERINER
TRIOSO PURNAWARMAN
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2011
PERNYATAAN MENGENAI DISERTASI DAN SUMBER INFORMASI Dengan ini saya menyatakan bahwa disertasi Studi Q Fever pada Telur Ayam di Wilayah Bogor ditinjau dari Aspek Kesehatan Masyarakat Veteriner adalah karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir disertasi ini.
Bogor, April 2011 Trioso Purnawarman NRP. P18600004
ABSTRACT TRIOSO PURNAWARMAN. Study of Q Fever in Chicken Eggs in Bogor Area : Veterinary Public Health’s Point of View. Under the direction of I WAYAN TEGUH WIBAWAN, FACHRIYAN HASMI PASARIBU and AGUS SETIYONO Every year, Indonesia imports cattle and meat from Australia. Australia is the first country in the world where Query fever (Q fever) disease in abattoir workers was discovered and it is still endemic. Q fever is a disease that can be transmitted through food (foodborne disease) and it is categorized as zoonoses emerging infectious disease. This disease is caused by Coxiella burnetii (C. burnetii), which is an obligate intracellular pathogen, pleomorphic, resistant to physic-chemistry conditions and potentially used as biological weapons. Transmission to humans occurs through inhalation of dust particles from feces, urine and wool; direct infection from infected animals or tissues such as the rest of abortion, the placenta and the blood; and through the digestive tract from consuming unpasteurized milk and eggs. C. burnetii was detected serologically and molecularly in Bali cattle, Brahman cross cattle, sheep and goats in the area of Bali and Bogor. Therefore, it is necessary to do a deeper study about its existence on chicken and eggs in Indonesia. This is important because the research results in Japan, Korea and the Philippines in 2003-2004 showed that 4.2% eggs were positive DNA C. burnetii. This research was aimed (1) to know the existence of the DNA of C. burnetii in eggs, (2) to know the relationship between the presence of C. burnetii with the characteristics of the farm environment (sanitation, personal hygiene and biosecurity), and (3) to determine the sensitivity and specificity of the nested polymerase chain reaction (nested PCR) method compared with PCR to detect the DNA of C. burnetii. Qiao modified method for extracting DNA of C. burnetii in egg yolk is capable to produce a high concentration and high level of DNA purity. Assessment of C. burneti DNA detection in 222 in commercial chicken eggs taken from sector 2 chicken farm and 130 local chicken eggs from sector 4 farm in Bogor area was done. The results shows that there wasn’t any C. burnetii DNA in 352 eggs sample which were tested with nested PCR method. It hadn’t been known the relation between farm environment (sanitation, personal hygiene and biosecurity) and the existence of the DNA of C. burnetii. The sensitivity of nested PCR method to detect the DNA of C. burnetii reached the limit of detection up to 300 pg or it is 50 times more sensitive than PCR. In addition, PCR and nested PCR has high specificity (conserved) to detect C. burnetii. Two pairs of primers OMP1-OMP2 and OMP3-OMP4 are highly sensitive and specific of 21 strains C. burnetii and have been used as diagnostic method for Q fever disease in humans. The results of this study can be used as initial information about the presence of C. burnetii in eggs in Bogor area. In order to determine the infection of C. burnetii in chicken farms, it is necessary to conduct further research, both serological and molecular, in egg-producing regions throughout Indonesia. Further research should be conducted in other poultry eggs such as quail and duck eggs. Besides that, it is necessary to do C. burnetii surveillance in imported cows from Australia so that a guidance control system to face the entry of exotic zoonoses into Indonesia can be compiled. . Key words: Coxiella burnetii, Chicken eggs, sensitivity and specificity, nested polymerase chain reaction.
RINGKASAN TRIOSO PURNAWARMAN. Studi Q Fever pada Telur Ayam di Wilayah Bogor ditinjau dari Aspek Kesehatan Masyarakat Veteriner. Dibimbing oleh I WAYAN TEGUH WIBAWAN, FACHRIYAN HASMI PASARIBU dan AGUS SETIYONO Setiap tahun Indonesia mengimpor sapi dan daging dari Australia. Australia merupakan negara pertama ditemukannya penyakit Query fever (Q fever) pada pekerja rumah potong hewan dan sampai sekarang masih bersifat endemik. Q fever merupakan salah satu penyakit yang dapat ditularkan melalui makanan (foodborne disease) dan dikategorikan sebagai emerging infectious disesase yang bersifat zoonosis. Penyakit ini disebabkan oleh Coxiella burnetii (C. burnetii) yang bersifat obligat patogen intraseluler, pleomorfik, tahan terhadap kondisi psikokimia dan berpotensi digunakan sebagai senjata biologis. Penularan ke manusia terjadi melalui inhalasi partikel debu yang berasal dari feses, urin dan wol yang terinfeksi; kontak langsung dari hewan atau jaringan terinfeksi seperti sisa abortus, plasenta dan darah serta melalui saluran pencernaan karena mengkonsumsi susu dan telur yang tidak dipasteurisasi. Orang yang terinfeksi penyakit Q fever akan memperlihatkan gejala klinis seperti flu (flu like syndrome), pneumonia dan hepatitis. Apabila tidak segera diobati dengan baik sekitar 2-10% akan menjadi endokarditis. Kematian pada kasus kronis dapat mencapai 25-65%, sehingga dari kesehatan masyarakat veteriner perlu mendapatkan perhatian yang serius. C. burnetii sudah terdeteksi secara serologis dan molekuler pada sapi bali, sapi brahman cross, domba dan kambing di wilayah Bali dan Bogor, maka perlu dilakukan studi lebih mendalam tentang keberadaannya pada ayam dan telur di Indonesia. Hal ini penting karena dari hasil penelitian di Jepang, Korea dan Pilipina pada tahun 2003-2004 menunjukkan 4.2% positif DNA C. burnetii pada telur. Di Indonesia, telur merupakan sumber protein hewani yang mempunyai nilai gizi yang tinggi, harganya terjangkau dan gemar dikonsumsi dalam keadaan mentah atau setengah matang. Penelitian ini dilakukan untuk (1) mengetahui keberadaan DNA C. burnetii pada telur, (2) mengetahui hubungan keberadaan C. burnetii dengan karakteristik lingkungan peternakan (sanitasi, higiene personal dan biosekuriti), serta (3) mengetahui sensitivitas dan spesifisitas metode nested polymerase chain reaction (nested PCR) dibandingkan dengan PCR untuk mendeteksi DNA C. burnetii. Modifikasi metode Qiao untuk mengekstraksi DNA C. burnetii pada kuning telur mampu menghasilkan konsentrasi dan tingkat kemurnian DNA yang tinggi. Kajian dilakukan untuk mendeteksi DNA C. burnetii pada 222 butir telur ayam ras yang diambil dari peternakan ayam sektor 2 dan 130 butir telur ayam lokal dari peternakan sektor 4 di wilayah Bogor. Hasil deteksi menunjukkan tidak ditemukan DNA C. burnetii pada 352 sampel telur yang diuji dengan metode nested PCR dan belum dapat diketahui hubungan antara karakteristik lingkungan (sanitasi, higiene personal dan biosekuriti) dengan keberadaan DNA C. burnetii. Sensitivitas metode nested PCR untuk mendeteksi DNA C. burnetii mencapai limit deteksi hingga ≥ 300 pg atau 50 kali lebih sensitif dibandingkan PCR. Selain itu PCR dan nested PCR mempunyai spesifisitas yang tinggi (conserved) untuk mendeteksi C. burnetii. Dua pasang primer OMP1-OMP2 dan OMP3-OMP4 sangat sensitif dan spesifik terhadap 21 strain C. burnetii dan sudah digunakan sebagai metode diagnosa untuk penyakit Q fever pada manusia. Hasil penelitian ini dapat digunakan sebagai informasi awal tentang keberadaan C. burnetii pada telur di wilayah Bogor. Untuk mengetahui adanya infeksi C. burnetii di peternakan ayam, maka perlu dilakukan penelitian lebih lanjut baik secara serologis
maupun molekuler di wilayah-wilayah penghasil telur di seluruh Indonesia dan juga mendeteksi pada telur unggas lainnya seperti telur burung puyuh dan bebek. Disamping itu perlu dilakukan surveilans C. burnetii terhadap sapi-sapi impor asal Australia sehingga dapat disusun pedoman sistim pengendalian menghadapi masuknya penyakit zoonosa baru ke Indonesia. Kata kunci: Coxiella burnetii, telur ayam, sensitivitas dan spesifisitas, nested polymerase chain reaction.
© Hak Cipta milik IPB, tahun 2011 Hak Cipta dilindungi Undang-Undang Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB. Dilarang mengumumkan atau memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB
STUDI Q FEVER PADA TELUR AYAM DI WILAYAH BOGOR DITINJAU DARI ASPEK KESEHATAN MASYARAKAT VETERINER
TRIOSO PURNAWARMAN
DISERTASI Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Doktor pada Program Studi Sains Veteriner
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2011
Penguji luar komisi pada ujian tertutup :
Prof. Dr. drh. Retno D. Soejoedono, MS Dr. drh. Denny Widaya Lukman, M.Si
Penguji luar komisi pada ujian terbuka :
drh. Pudjiatmoko, Ph.D Prof. Dr. drh. Hj. Mirnawati Sudarwanto
Judul Disertasi
: Studi Q Fever pada Telur Ayam di Wilayah Bogor ditinjau
Nama NRP
dari Aspek Kesehatan Masyarakat Veteriner : Trioso Purnawarman : P18600004
Disetujui Komisi Pembimbing
Prof. Dr. drh. I Wayan Teguh Wibawan, MS Ketua
Prof. Dr. drh. Fachriyan Hasmi Pasaribu Anggota
drh. H. Agus Setiyono, MS, Ph.D Anggota
Diketahui
Ketua Program Studi Sains Veteriner
Dekan Sekolah Pascasarjana IPB
Prof. drh. Bambang Pontjo P., MS, Ph.D
Dr. Ir. Dahrul Syah, M.Sc, Agr
Tanggal Ujian : 16 Maret 2011
Tanggal Lulus :
PRAKATA Puji
syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas rahmat, karunia dan
hidayahNya sehingga disertasi ini dapat diselesaikan.
Penelitian ini bertujuan untuk
mengetahui keberadaan mikroorganisma patogen pada pangan asal hewan, khususnya telur yang dapat mempengaruhi keamanan pangan bagi kesehatan masyarakat dengan topik Q Fever pada Telur Ayam di Wilayah Bogor yang belum pernah diteliti di Indonesia. Coxiella burnetii (C. burnetii) sebagai penyebab Q fever merupakan salah satu potensi ancaman besar bagi kesehatan masyarakat veteriner di Indonesia. Penulis mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada Prof. Dr. drh. I Wayan Teguh Wibawan, MS, Prof. Dr. drh. Fachriyan Hasmi Pasaribu dan drh. H. Agus Setiyono, MS, Ph.D selaku pembimbing yang telah memberi perhatian, semangat serta dorongan kepada penulis. Kepada Prof. Dr. drh. Hj. Mirnawati Sudarwanto yang telah membantu memberikan DNA C. burnetii Nine Mile 2 ATCC (NM2) dan masukan perbaikan metode ekstraksi dalam penelitian ini. Terima kasih juga disampaikan kepada Dr. Muharam Saepulloh yang telah membantu penelitian dan Dr. Ir. Etih Sudarnika, M.Si yang memberikan jurnal-jurnal untuk melengkapi disertasi ini.
Kepada Prof. drh.
Bambang Pontjo P. MS, Ph.D selaku ketua program studi Sains Veteriner FKH IPB, Prof. Dr. drh. Retno D. Soejoedono, MS dan Dr. drh. Denny Widaya Lukman, M.Si sebagai penguji luar komisi pada ujian tertutup serta drh. Pudjiatmoko, Ph.D dan Prof. Dr. drh. Hj. Mirnawati Sudarwanto sebagai penguji luar komisi pada ujian terbuka.
Kepada para
kolega staf pengajar dan laboran di Bagian Kesehatan Masyarakat Veteriner FKH IPB; staf dan laboran di Laboratorium Terpadu FKH IPB; staf dan laboran di Laboratorium Terpadu Departemen Ilmu Penyakit Hewan dan Kesehatan Masyarakat Veteriner FKH IPB; staf dan laboran di Balai Besar Penelitian Veteriner serta para peternak ayam di wilayah Bogor yang telah membantu penelitian ini.
Terima kasih dan penghargaan
penulis sampaikan pula kepada kedua orang tua, mertua, drh. Rosy Roselina, Roby Raditia Aryoputranto dan Renardi Purnama Putra, atas perhatian, nasehat serta doanya selama ini. Semoga tulisan ini dapat bermanfaat sebesar-besarnya bagi kesejahteraan dan kesehatan masyarakat.
Bogor, April 2011 Trioso Purnawarman
RIWAYAT HIDUP Penulis adalah anak ketiga dari empat bersaudara putra Bapak Bambang Soeletter dan Ibu Sri Hartini serta dilahirkan di Balikpapan pada tanggal 5 Oktober 1962. Pendidikan dasar sampai menengah atas dijalani di Sekolah Dasar di Palembang Sumatera Selatan tahun 1968-1974, Sekolah Menengah Pertama Perguruan Cikini Jakarta
tahun 1975-1977 dan Sekolah Menengah Atas
Negeri 9 Jakarta tahun
1978-1981. Penulis menyelesaikan studi dokter hewan dari Fakultas Kedokteran Hewan Institut Pertanian Bogor pada tahun 1986. Pada tahun 1986-1988 penulis bekerja pada perusahan perunggasan nasional di sektor pembibitan ayam sebagai manajer produksi. Sejak tahun 1988 diangkat sebagai staf pengajar di Bagian Kesehatan Masyarakat Veteriner, Departemen Ilmu Penyakit Hewan dan Kesehatan Masyarakat Veteriner FKH IPB.
Penulis melanjutkan pendidikan program Magister Sains (Strata 2) di program
pascasarjana IPB bidang Kesehatan Masyarakat Veteriner (KMV) pada tahun 1990-1994. Sejak tahun 2000 melanjutkan pendidikan program Doktor (Strata 3) di Sekolah Pascasarjana IPB bidang Sains Veteriner (SVT). Penulis aktif dalam berbagai kegiatan organisasi selama menjadi siswa di sekolah menengah sampai mahasiswa di perguruan tinggi. Setelah lulus dokter hewan bergabung pada Perhimpunan Dokter Hewan Indonesia dan Perhimpunan Mikrobiologi Indonesia. Pada tahun 1999-2002 menjadi Sekretaris Jenderal Forum Komunikasi Kesehatan Masyarakat Veteriner (Forkom Kesmavet) dan tahun 2002-2006 menjadi koordinator komisi sanitasi lingkungan, Asosiasi Kesehatan Kesehatan Masyarakat Veteriner (Askesmaveti). Pada tahun 2006 sampai sekarang sebagai anggota panitia teknis 67-03 bidang peternakan dan produk peternakan, Direktorat Jenderal Peternakan dan Kesehatan Hewan, Kementerian Pertanian, Republik Indonesia serta pada tahun 2010 sampai sekarang sebagai koordinator bidang organisasi Masyarakat Ilmu Perunggasan Indonesia (MIPI). Beberapa tulisan yang telah dan akan diterbitkan pada beberapa jurnal nasional antara lain tingkat kejadian residu formalin pada daging ayam yang dijual di pasar tradisional di kota Bogor pada Jurnal Medis Veteriner Indonesia serta sensitivitas dan spesifisitas nested polymerase chain reaction untuk mendeteksi DNA Coxiella burnetii pada Jurnal Veteriner, Fakultas Kedokteran Hewan, Universitas Udayana.
DAFTAR ISI Halaman DAFTAR TABEL.…………………………………………………………………........
xiv
DAFTAR GAMBAR.……………………………………………………………………
xv
DAFTAR LAMPIRAN…………………………………………………………………..
xvi
PENDAHULUAN.………………………………………………………………………
1
TINJAUAN PUSTAKA Q Fever.………………………………………………………………………... Morfologi dan Karakteristik Coxiella burnetii..…………………….. Diagnosa Penyakit Q Fever………………………………………....
5 5 8
Q Fever pada Hewan.………………………………………………………... Epidemiologi dan Penyebaran Penyakit..…………………………. Patogenesis Q Fever..………………………………………………. Gejala Klinis.………………………………………………………….
11 11 12 12
Q Fever pada Manusia.……………………………………………………… Epidemiologi dan Distribusi Penyakit……………………………… Q Fever Sebagai Food-borne Disease……………………………. Gejala Klinis.…………………………………………………………. Pengendalian.………………………………………………………...
13 13 15 16 16
Q Fever di Indonesia ………………………………………………………...
19
BAHAN DAN METODE Waktu dan Tempat Penelitian ………………………………………………. Tahapan Penelitian …………………………………………………………...
20 20
DETEKSI Coxiella burnetii PADA TELUR AYAM RAS DAN LOKAL DI WILAYAH BOGOR DENGAN METODE NESTED POLYMERASE CHAIN REACTION Abstrak ………………………………………………………………………… Abstract ………………………………………………………………………... Pendahuluan ………………………………………………………………….. Bahan dan Metode …………………………………………………………… Hasil dan Pembahasan ……………………………………………………… Kesimpulan dan Saran ……………………………………………………….
25 25 25 27 31 34
SENSITIVITAS DAN SPESIFISITAS NESTED POLYMERASE CHAIN REACTION UNTUK MENDETEKSI DNA Coxiella burnetii Abstrak ………………………………………………………………………… Abstract ………………………………………………………………………... Pendahuluan ………………………………………………………………….. Bahan dan Metode …………………………………………………………… Hasil dan Pembahasan ……………………………………………………… Kesimpulan …………………………………………………………………….
35 35 35 37 39 42
PEMBAHASAN UMUM ……………………………………………………………….
43
Halaman KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan.……………………………………………………………………. Saran.…………………………………………………………………………...
50 50
DAFTAR PUSTAKA.………………………………………………………………......
51
LAMPIRAN.……………………………………………………………………………..
58
DAFTAR TABEL Halaman 1 Permintaan dan penyediaan daging serta impor sapi bakalan ………………..
1
2 Pengobatan Q fever pada manusia……………………………………………….
17
3 Kriteria peternakan ayam…………………………………………………………..
33
4 Gambaran sanitasi, higiene personal dan biosekuriti di peternakan ayam sektor 2 dan sektor 4………………………………………………………………..
33
5 Perbandingan sensitivitas PCR dan nested PCR dalam mendeteksi DNA C. burnetii dengan konsentrasi 75 ng/µl sampai dengan 0.03 pg/µl.………….
40
DAFTAR GAMBAR Halaman 1 Filogenik C. burnetii berdasarkan analisa sekuen 16S rRNA………………….
5
2 C. burnetii dengan mikrograf elektron pada pembesaran 75 000 kali……......
6
3 Antigen fase I dan fase II C. burnetii……………………………………………..
7
4 Mekanisme infeksi dan gejala penyakit Q fever pada manusia……………….
17
5 Tahapan penelitian studi Q fever pada ayam di wilayah Bogor.………………
20
6 Hasil deteksi DNA C. burnetii dengan elektroforesis…………………………...
31
7 Sensitivitas PCR dan nested PCR menggunakan konsentrasi DNA C. burnetii 75 ng/ µl sampai dengan 0.03 pg/µl.………………………………
40
8 Uji spesifisitas C. burnetii dengan metode PCR dan nested PCR.…………...
41
DAFTAR LAMPIRAN Halaman 1 Asal sampel telur ayam ras yang berasal dari kabupaten Bogor……………..
59
2 Asal sampel telur ayam lokal yang berasal dari kabupaten dan kota Bogor.......................................................................................................
59
3 Hasil uji nested PCR telur ayam ras yang berasal dari kabupaten Bogor……
60
4 Hasil uji nested PCR telur ayam lokal yang berasal dari kabupaten dan kota Bogor………………………………………………………………………….. 5 Kuesioner untuk peternak…………………………………………………………
61 62
6 Pengelompokan dan pembobotan faktor-faktor yang mempengaruhi sanitasi, higiene personal dan biosekuriti di peternakan……………………….
64
7 Skoring (penilaian) faktor-faktor yang mempengaruhi sanitasi, higiene personal dan biosekuriti di peternakan………………………………………….. 8 Perbandingan metode Qiao dengan modifikasi metode Qiao…………………
65 67
PENDAHULUAN Perkembangan perekonomian Indonesia dewasa ini semakin baik, sehingga permintaan terhadap bahan pangan asal hewan yang aman (safe) dan layak (suitable) juga meningkat. Hal ini dapat dilihat dengan permintaan daging sapi empat tahun terakhir meningkat sebesar 10.7%, yaitu dari 356 863 ribu ton pada tahun 2006 menjadi 399 535 pada
tahun 2009.
Untuk memenuhi
permintaan tersebut, maka impor sapi bakalan meningkat 24.1% dari 218 408 ekor pada tahun 2006
menjadi 271 043 ekor pada
tahun 2009. Data
menunjukkan bahwa Indonesia mengimpor sapi rata-rata tahun
yang
sebagian
besar
berasal
dari
650 000 ekor per
Australia
(Apfindo
2010).
Perkembangan permintaan dan penyediaan daging serta impor sapi bakalan selama empat tahun terakhir disajikan pada Tabel 1.
Tabel 1
Permintaan dan penyediaan daging serta impor sapi bakalan (Apfindo 2010)
Uraian
Permintaan daging (ton) Penyediaan daging dalam negeri (ton) Selisih permintaan penyediaan - Dalam (ton) - Dalam (ekor) Impor bakalan (ekor)
Tahun 2006
2007
2008
2009
356 863
370 813
385 035
399 535
256 831
245 213
249 925
264 446
-100 032 -708 945 218 408
-125 599 -890 147 210 165
-135 109 -957 547 246 988
-135 089 -957 402 271 043
Australia merupakan negara asal dan pertama ditemukannya Query fever (Q fever) pada pekerja rumah potong hewan di Brisbane pada tahun 1935 (Acha dan Szyfres 2003). Sapi bakalan yang di impor dalam jumlah yang banyak, akan menyebabkan masuknya penyakit baru (eksotik) yang dapat menular pada hewan dan manusia ke Indonesia. Q fever merupakan penyakit yang sangat kontagius, berhubungan dengan pekerjaan (occupational disease) dan merupakan salah satu penyakit yang dapat ditularkan melalui makanan (foodborne disease) serta dapat dikategorikan sebagai emerging infectious disease/EID yang bersifat zoonosis (CFSPH 2007; Muramatsu et al. 2006; Vaidya 2008). Di Australia sejak tahun
2
1977 Q fever disease),
termasuk kategori penyakit yang harus dilaporkan (notifiable
sedangkan di Amerika Serikat baru di mulai tahun 1999 (CFSPH
2007). Penyakit ini dapat pada manusia ditularkan melalui inhalasi partikel debu (feses, urin, wol), kontak langsung (plasenta, sisa obortus), makanan (susu, telur) dan air yang terkontaminasi 1-10 organisme (ID 50, yaitu apabila orang terinfeksi 1-10 mikroorganisme Coxiella burnetii, maka 50% dari orang tersebut
akan
menunjukkan gejala penyakit) (Acha dan Szyfres 2003; Anonim 2003). Laporan World Health Organization (WHO) menyatakan bahwa pada tahun 1955 Q fever pertama kali ditemukan di Indonesia pada 188 serum sapi yang diperiksa secara serologis positif mengandung antibodi
C. burnetii
menggunakan metode cappilary tube agglutination test (CAT) (Kaplan dan Bertagna 1955). Penelitian berikutnya dilakukan Rumawas (1976) menunjukkan bahwa dari 323 sampel darah sapi yang diambil dari Bogor, Bandung, Surabaya dan Semarang ditemukan 4 sampel (1.2%) positif antibodi terhadap Q fever menggunakan metode CAT. Vanpeenen et al. (1978) juga melakukan penelitian penyakit Q fever pada pekerja di Indonesia secara seroepidemilogi.
Hasil
penelitian yang dilakukan Ibrahim et al. (1999) memperoleh 20.8-51.9% positif antibodi terhadap spotted fever, 38% positif murine typhus,
tetapi tidak
menemukan Q fever pada serum tikus liar menggunakan metode indirect immunoflourescent antibody (IFA) di Jakarta dan Boyolali. Penelitian selanjutnya dilaporkan Miyashita et al. (2001) pada kasus pneumonia yang diderita oleh seseorang yang pernah tinggal di Indonesia dan ditemukan positif terinfeksi C. burnetii. Hasil seroprevalensi Q fever di Bogor pada domba dan kambing menunjukkan masing-masing sebesar 31.88% dan 20.29% menggunakan metode IFA, sedangkan dengan metode nested polymerase chain reaction (nested PCR) terhadap 245 ekor sapi bali dan brahman cross ditemukan 15 ekor (6.12%) positif DNA C. burnetii serta pada 165 ekor kambing dan domba ditemukan 6 ekor (3.64%) positif DNA C. burnetii di Bali dan Bogor (Mahatmi 2006). Penyakit Q fever pada sapi, kambing dan domba sudah ditemukan di Indonesia, maka kemungkinan penyebaran penyakit ini pada hewan lainnya termasuk unggas, dapat terjadi. Penularan dari hewan ke hewan, baik antara hewan liar ke hewan domestik maupun dari hewan domestik ke hewan domestik lainnya dapat melalui gigitan caplak (Ixodidae spp., Argasidae spp.) dan lalat
3
(Stomoxis sp., Musca sp.) yang bertindak sebagai vektor (Acha dan Szyfres 2003; Maurin dan Raoult 1999; Norlander 2000; Sonenshine et al. 2002). Penyebaran penyakit Q fever dipermudah akibat penataan wilayah subsektor peternakan di Indonesia yang masih belum tertata dengan baik. Di beberapa wilayah di Indonesia, lokasi peternakan sapi, domba dan kambing berdekatan dengan peternakan unggas, sehingga memudahkan terjadinya penularan penyakit Q fever melalui kontak langsung, aerosol, maupun melalui vektor. Penataan peternakan dalam satu wilayah harus tetap memperhatikan sistem pemisahan (zoning) dan jarak antara satu peternakan dengan peternakan lainnya untuk setiap jenis ternak. Studi seroepidemiologi Q fever menggunakan metode CAT terhadap 25 peternakan ayam di distrik Nainital dan Ajmer, di negara bagian Uttar Pradesh dan Rajasthan, India, ditemukan 78 sampel (13.24%) positif antibodi Q fever dengan titer 8 sampai 64. Ayam petelur atau layer (umur lebih dari 6 bulan) lebih tinggi persentase positifnya dibandingkan dengan ayam grower, yaitu 19.74% : 5.55%.
Selain itu dilaporkan bahwa pada pekerja peternakan ayam tersebut
ditemukan positif antibodi Q fever sebesar 27.52% dengan metode CAT (Rarotra et al. 1978).
Hasil penelitian
To et al. (1998) menemukan 2% positif
titer
antibodi C. burnetii menggunakan metode CAT dan 1.1% positif DNA C. burnetii menggunakan metode nested PCR pada ayam di wilayah Fukuoka Jepang. Penelitian yang sama juga dilakukan pada peternakan ayam di Jepang bagian tengah (Aichi, Shizuoka, Mie dan Gifu), didapatkan 7% positif antibodi IgG terhadap C. burnetii, dengan titer berkisar antara 16 sampai dengan 64 dengan metode IFA, tetapi dengan metode nested PCR tidak ditemukan DNA C. burnetii (Muramatsu et al. 2006). Hasil penelitian pada telur ayam yang dilakukan di Jepang, Korea dan Filipina menunjukkan bahwa dari bulan Juli 2003 sampai dengan Juni 2004 didapatkan 179 sampel (4.2%) positif DNA C. burnetii dari 4252 sampel, serta pada mayones yang dilakukan di Jepang dan Kanada dari bulan Maret 2003 sampai dengan Juni 2004 diperoleh 35 sampel (17.5%) positif DNA C. burnetii dari 200 sampel menggunakan metode nested PCR (Tatsumi et al. 2006). Hasil studi di Swiss menunjukkan 17 sampel (4.7%) positif DNA C. burnetii dari 359 sampel susu sapi, tetapi tidak ditemukan DNA C. burnetii pada 81 sampel susu domba, 39 sampel susu kambing dan 504 sampel telur ayam yang diperiksa menggunakan metode nested PCR (Fretz et al. 2007).
4
Data tersebut diatas dapat dijadikan dasar untuk melakukan penelitian tentang keberadaan penyakit Q fever di Indonesia, terutama pada ayam dan bahan pangan asal unggas, khususnya telur. Hal ini penting dilakukan karena sampai saat ini masih banyak masyarakat Indonesia yang gemar mengkonsumsi telur mentah atau setengah matang, karena disebabkan masih adanya kepercayaan bahwa khasiatnya lebih baik bila dimakan dalam keadaan mentah sebagai pelengkap jamu. Pelacakan keberadaan DNA C. burnetii
pada telur
sudah sangat mendesak untuk dilakukan, karena sampai saat ini belum ada studi atau kajian tentang ada tidaknya mikroorganisme C. burnetii dalam telur, sehingga penelitian yang dilakukan benar-benar merupakan sesuatu yang baru di Indonesia. Penelitian ini bertujuan untuk (1) mengetahui keberadaan DNA C. burnetii pada telur, (2) mengetahui hubungan keberadaan C. burnetii dengan karakteristik lingkungan peternakan (sanitasi, higiene personal dan biosekuriti), serta (3) mengetahui sensitivitas dan spesifisitas metode nested PCR dibandingkan dengan PCR untuk mendeteksi DNA C. burnetii. Hipotesis penelitian ini adalah (1) DNA C. burnetii dapat ditemukan pada telur, (2) terdapat hubungan keberadaan C. burnetii dengan karakteristik lingkungan (sanitasi, higiene personal dan biosekuriti), serta (3) metode nested PCR merupakan metode deteksi yang sensitif dan spesifik. Hasil penelitian ini diharapkan dapat (1) memberikan informasi tentang keberadaan DNA C. burnetii pada telur, (2) dapat ditetapkan metode uji yang sensitif dan spesifik terhadap C. burnetii sebagai agen penyebab Q fever, serta (3) dapat digunakan pemerintah sebagai signal awal sistem kewaspadaan dini (SKD), sehingga dapat disusun pedoman cara pengendalian penyakit Q fever di Indonesia.
TINJAUAN PUSTAKA Q Fever Morfologi dan KarakterIstik Coxiella burnetii Nama Query fever (Q fever) pertama kali diusulkan tahun 1937 oleh Edward Holbrook Derrick, setelah adanya gejala demam yang diderita pekerja rumah potong hewan (RPH) di Brisbane Queensland Australia pada tahun 1935. Pada tahun 1938 Herald Rea Cox dan MacFarlane Burnett menemukan penyebabnya, yaitu Rickettsia burnetii (R. burnetii). Berdasarkan analisa sekuen 16S rRNA R. burnetii yang dilakukan Maurin dan Raoult (1999), secara filogenik dekat dengan Francisella tularensis, Legionella pneumophila, Escherichia coli dan Pseudomonas aeruginosa dalam kelompok famili Proteobacteria subdivisi gamma, sedangkan yang lain subdivisi alpha (Rickettsia rickettsii, Erlichia cheffeensis, Bortonella henseloe, Brucella abortus, Afipia felis), subdivisi beta (Alcaligenes faecalis), subdivisi delta (Campylobacter jejuni) dan subdivisi epsilon (Helicobacter pylori). Tetapi karena mempunyai perbedaan diantara kelompok sub divisi gamma, maka Cornelius B. Philip mengusulkan genus tersendiri menjadi Coxiella burnetii (C. burnetii) yang merupakan penghargaan terhadap Herald Rea Cox dan MacFarlane Burnett seperti pada Gambar 1 (Singleton dan Sainsbury 2006). Francisella tularensis Coxiella burnetii Legionella pneumophila
gamma
Escherichia coli Pseudomonas aeruginosa Rickettsia rickettsii Erlichia cheffeensis Proteobacteria
Bortonella henseloe
alpha
Brucella abortus Afipia felis Alcaligenes faecalis
beta
Campylobacter jejuni
delta
Helicobacter pylori
epsilon
Gambar 1 Filogenik C. burnetii berdasarkan analisa sekuen 16S rRNA (Maurin dan Raoult 1999; Singleton dan Sainsbury 2006).
6
C. burnetii bersifat obligat patogen intraseluler, termasuk bacterial like organism, memiliki membran seperti bakteri Gram negatif, namun sulit diamati dengan pewarnaan Gram. Pewarnaan yang bisa digunakan adalah Gimenez dan Stamp (Maurin dan Raoult 1999; Willems et al. 1998; Zhang et al. 2004). C. burnetii adalah mikroorganisme pleomorfik (bentuknya tidak tetap, batang atau kokoid), berukuran lebar 0.2-0.4 µm dan panjang 0.4-1.0 µm, struktur menyerupai spora (spora like), mempunyai bentuk besar (large form/large cell variant) dan bentuk kecil (small form/small cell variant) seperti dilihat pada Gambar 2 (Fournier et al. 1998; Heinzen et al. 1999; Maurin dan Raoult 1999). C. burnetii dapat bereplikasi menjadi dua kali setiap 20-45 jam di dalam vakuola parasitoforus sel eukariot inang (Angelakis dan Raoult 2010).
b k
b
k Gambar 2
C. burnetii dengan mikrograf elektron pada pembesaran 75 000 kali, bentuk kecil (k); bentuk besar (b) (Fournier et al. 1998).
Bentuk besar adalah bentuk vegetatif yang menginfeksi monosit dan sel makrofag, sedangkan bentuk kecil terdapat di ekstraseluler dan diduga sebagai bentuk yang infeksius. C. burnetii memiliki 2 bentuk antigen yakni antigen fase I dan fase II. Antigen fase I ditemukan di alam atau hewan,
sedangkan fase II ditemukan setelah
passage di telur tertunas atau sel kultur. Antigen fase I lebih patogenik dibandingkan dengan fase II. Perbedaan antara kedua bentuk fase antigen ini sangat penting di dalam diagnosa. Antigen fase I mempunyai susunan lipopolisakarida (LPS) yaitu L-vironosa dihidroksistreptosa dan galaktosamin uronil (1.6) glukosamin, bersifat halus dan berperan dalam menentukan patogenitasnya, sedangkan pada fase II terlihat kasar dan tidak ditemukan rantai sakarida vironosa dan hidroksistreptosa, seperti pada Gambar 3 (Fournier et al. 1998).
7
a
b
Gambar 3 Antigen fase I (a) dan fase II (b) C. burnetii (Fournier et al. 1998). Coleman et al. (2004) menyatakan bahwa susunan LPS pada mikroorganisme C. burnetii fase I dan fase II berbeda. Berdasarkan analisa electrospray ionization mass spectrometry menunjukkan bahwa pada fase I dan fase II terdapat lipid A yang sama. Lipid A tersebut tidak dapat mengaktifkan toll like receptor 2 (TLR-2)
dan TLR-4.
Hal ini berbeda dengan lipid A yang berasal dari E. coli yang mampu mengikat TLR-4, sehingga bila ada C. burnetii maka TLR-2 dapat sebagai penentu adanya infeksi dan akan menghambat pertumbuhan mikroorganisme tersebut di dalam sel inang. Pada infeksi Q fever akut, antibodi terhadap antigen fase II lebih dominan dibandingkan dengan terhadap fase I. Namun pada kasus kronik, antibodi terhadap antigen fase I lebih memegang peran penting. Kedua antibodi ini dapat bertahan hingga berbulan-bulan setelah infeksi (Field et al. 2002; Harris et al. 2000). Zhang et al. (2004) menyatakan bahwa sekuen gen AdaA pada protein membran luar merupakan penanda untuk C. burnetii pada kasus akut serta berhubungan dengan faktor patogenitasnya. Menurut CDC (2005) bahwa pada penderita akut Q fever dapat dideteksi dengan meningkatnya antibodi IgG fase II serta IgM fase I dan fase II, sedangkan pada kronis Q fever terlihat peningkatan antibodi IgG dan IgA fase I. Berdasarkan hasil analisa restriction fragment length polymorphism (RFLP) C. burnetii dapat dibagi menjadi 6 grup. Grup I, II, III dihubungkan dengan keganasan pada hewan, caplak atau isolat yang berasal dari manusia yang terinfeksi ke dalam kelompok tipe akut, sedangkan grup IV dan V selalu dikaitkan dengan endokarditis pada manusia yang dikelompokkan dalam tipe kronis.
Grup VI merupakan isolat yang
diperoleh dari rodensia yang belum diketahui patogenisitasnya (Colemen et al. 2004). Pada
hewan percobaan
marmot, infeksi grup I (Nine Mile, African dan Ohio) akan
menunjukkan gejala akut yang jelas, grup V (G dan S) menunjukkan gejala ringan sampai
8
sedang, serta grup IV (Priscilla dan P) dan V (Dugway) tidak memperlihatkan gejala sama sekali. Pada tikus infeksi grup I, IV, V dan VI semua menunjukkan gejala klinis yang jelas (Russell-Lodrigue et al. 2009). Mikroorganisme C. burnetii mempunyai beberapa plasmid, yaitu QpH1, QpRS, QpDG dan QpDV (Maurin dan Raoult 1999). Plasmid QpH1 ditemukan pada grup
I, II
dan III; plasmid QpRS pada grup IV dan V, plasmid QpDG pada grup VI; serta plasmid QpDV pada strain French (Fournier et al. 1998). Hasil analisa genom C. burnetii Nine Mile fase 1 yang sebesar 1 995 275 pb, terdapat beberapa gen yang berpotensi dalam proses adesi dan invasi ke dalam sel inang dan juga mempunyai kemampuan detoksikasi. Ukuran genom dari beberapa strain C. burnetii bervariasi antara 1.5-2.4 Mb (Maurin dan Raoult 1999). Agen penyebab tahan terhadap kondisi psikokimia, seperti lingkungan panas, kering dan tahan terhadap beberapa konsentrasi disinfektan, seperti 0.05% hipoklorit, 5% peroksida dan 1:100 larutan lisol serta glutaraldehid, etanol dan gas formaldehid (CFSPH 2007).
Pada bahan pangan asal hewan dan olahannya C. burnetii dapat
bertahan hidup 1 bulan pada daging yang disimpan dalam cold storage pada suhu -20 ºC, 42 bulan pada susu segar yang disimpan pada suhu 4-6 ºC dan lebih dari 40 bulan pada susu skim (CFSPH 2007). senjata biologis yang
Oleh karena itu C. burnetii dapat dikembangkan sebagai
berpotensi digunakan sebagai ancaman teroris (bioterrorisme)
(CDC 2005; Kagawa et al. 2003; Madariaga et al. 2003).
Diagnosa Penyakit Q fever Diagnosa yang akurat terhadap penyakit Q fever pada hewan dan manusia masih sulit dilakukan karena infeksi agen penyebab penyakit ini umumnya bersifat subklinis serta memilki dua fase antigen yang sangat penting dalam peneguhan diagnosa. C. burnetii merupakan bakteri intraseluler yang pada fase akut dapat ditemukan di dalam darah dan pada fase kronis terakumulasi dalam sel fagosit yang terdapat dalam organ seperti jantung, hati, limpa dan plasenta (Lorenz et al. 1998). Dalam fase akut antibodi terhadap antigen fase II lebih tinggi dibandingkan dengan fase I dan umumnya dapat terdeteksi selama minggu kedua sejak terinfeksi, sedangkan pada fase kronis antibodi terhadap antigen fase I bertahan lebih lama (Setiyono et al. 2005). Metode diagnosa yang tepat harus memperhatikan beberapa faktor, antara lain sensitivitas, spesifisitas, jumlah sampel yang akan diuji, biaya yang diperlukan dan waktu yang dibutuhkan untuk melaksanakan uji.
Sensitivitas berkaitan dengan kemampuan
9
untuk mendeteksi antigen dalam jumlah sedikit atau respon imun yang kecil, sedangkan spesifisitas pengujian berkaitan dengan kemampuan untuk membedakan antigen atau respon imun antigen yang sangat erat hubungannya (Fournier et al. 1998). Beberapa penelitian serodiagnosa memberikan gambaran yang sangat berguna untuk mengetahui seroprevalensi Q fever disuatu daerah secara luas dalam waktu relatif singkat (Setiyono et al. 2008).
Metode serodiagnosa yang telah diterapkan untuk
pemeriksaan Q fever adalah capilary tube agglutination test (CAT), complement fixation test (CFT), enzyme-linked immunosorbent assay (ELISA) dan indirect immunofluorescent antibody (IFA) (Cetinkaya et al. 2000; Setiyono et al. 2005). Penggunaan teknik CAT pernah dilakukan di Indonesia terhadap 323 sampel darah sapi yang diambil dari Bogor, Bandung, Surabaya dan Semarang dan ditemukan 4 sampel (1.2%) positif Q fever (Rumawas 1976). Adesiyun dan Cazabon (1996) mendapatkan 36 sampel (4.8%) positif C. burnetii dari serum darah ayam, sapi, babi, kerbau, domba dan kambing di beberapa rumah potong di Trinidad. Sementara itu hasil penelitian Richards et al. (2003) mendapatkan 2.1% seropositif Rickettsia dengan metode ELISA terhadap penduduk di Kepulauan Gag Irian Jaya. Teknik ELISA dapat digunakan untuk pemeriksaan sampel dalam jumlah banyak, waktu yang singkat dan mempunyai tingkat sensitivitas yang tinggi tetapi spesifitasnya rendah. Adapun kekurangan dari teknik ELISA diantaranya sering menimbulkan reaksi positif palsu.
Hal ini disebabkan karena antigen standar yang digunakan umumnya
dipropagasi dalam sel kultur, sehingga ada kemungkinan antibodi dalam serum berikatan dengan epitop-epitop lain yang ada dipermukaan sel kultur. Reaksi silang yang pernah dilaporkan adalah dengan Microbacterium pneumonia dan Bordetella pertusis (Setiyono et al. 2005; Slaba et al. 2005). Field et al. (2000) membandingkan dua uji serologis untuk mendiagnosa Q fever yaitu teknik ELISA dengan IFA.
Hasil studi tersebut memperlihatkan bahwa
teknik
95%
ELISA
memberikan
sensitivitas
dan
menggunakan IFA sensitivitas 99% dan spesifisitas
spesifisitas
88%,
sedangkan
98%. Penelitian yang sama juga
dilaporkan Setiyono (2003) bahwa ELISA mempunyai tingkat sensitivitas dan spesifisitas masing-masing 93.8% dan 83.3%.
Teknik ELISA baik digunakan untuk tes skrining
dengan jumlah sampel yang banyak dan spesifisitasnya dapat ditingkatkan dengan mengkombinasi dengan IFA. Hasil penelitian yang dilakukan Kennerman et al. (2010) menunjukkan 20% seropositif dari 743 domba (42 flok) yang berumur antara 10-24 bulan di Turki sejak tahun 2001-2004 dengan menggunakan uji ELISA Chekit Q fever (Idexx
10
Laboratories, Broomfield, CO, USA). Penelitian yang sama juga dilakukan oleh Cekani et al. (2008) dengan teknik ELISA menggunakan Chekit Q fever enzyme immunoassay dan memperoleh 9.8% seropositif pada domba dan kambing (dari 1085 ekor) serta 7.9% seropositif pada sapi (dari 571 ekor) di Albania. Metode IFA merupakan metode yang direkomendasikan oleh banyak peneliti untuk mendapatkan gambaran seroprevalensi Q fever secara cepat dan luas. Hal ini didasarkan keunggulan metode IFA antara lain cepat, sensitif, relatif murah serta tidak ditemukan adanya reaksi silang dengan infeksi penyakit lain dan dapat dilakukan untuk jumlah sampel yang banyak. Metode IFA digunakan untuk mendiagnosa Q fever fase akut maupun kronis pada manusia berdasarkan titer immunoglobulin M (IgM), A (IgA) dan G (IgG) yang spesifik terhadap C. burnetii fase I dan II (Fournier et al. 1998; Setiyono et al. 2005). IgM akan berespon awal setelah C. burnetii masuk kedalam tubuh, kemudian setelah dua minggu baru terbentuk IgG dan secara bertahap akan meningkat titernya di dalam darah sampai beberapa bulan dan setelah itu akan menurun (To et al. 1996). Polymerase chain reaction (PCR) merupakan teknik diagnosa yang paling sensitif dan spesifik saat ini. Nested PCR adalah salah satu aplikasi teknik PCR yang banyak digunakan untuk mendeteksi C. burnetii, walaupun masih mempunyai beberapa kelemahan diantaranya perlu ketelitian yang tinggi dalam pengerjaannya, memerlukan primer yang spesifik dan biayanya relatif mahal (Kato et al. 1998; Zhang et al. 1998). Penelitian yang dilakukan terhadap 34 ekor domba menggunakan uji serologis (ELISA dan IFA) serta uji molekuler (PCR) didapatkan 24% positif dengan ELISA, 32% positif dengan IFA dan 44% positif dengan PCR. Dari 7 ekor domba yang seronegatif, dilakukan pengujian dengan PCR dan diperoleh hasil positif. Hal ini menunjukkan bahwa PCR mempunyai sensitivitas lebih tinggi dibandingkan uji serologis (Berri et al. 2001). Perbandingan uji serologis dan molekuler dalam mendiagnosa Q fever fase akut menunjukkan bahwa apabila serum sampel yang diambil satu sampai dua minggu setelah infeksi dapat didiagnosa dengan kedua metode uji. Bila diambil pada minggu ke tiga sampai ke empat sebaiknya menggunakan uji serologis, sedangkan uji molekuler hanya untuk mengkonfirmasi hasil uji yang seronegatif (Fournier dan Raoult 2003). Penegakan diagnosa menggunakan satu uji serologis tidak cukup, diperlukan konfirmasi dengan uji yang memiliki tingkat spesifisitas tinggi. Untuk itu maka hasil positif ELISA dan IFA sebaiknya dikonfirmasi dengan metode PCR (Setiyono et al. 2008).
11
Q Fever pada Hewan Epidemiologi dan Penyebaran Penyakit Beberapa jenis hewan yang dapat terinfeksi C. burnetii antara lain sapi, kambing, domba, anjing, kucing, kuda, kerbau, babi, unta, kelinci, reptil, kodok, burung merpati, kalkun, ayam, bebek, rodensia, ikan dan caplak (Arricau-Bouvery dan Rodolakis 2005; Maurin dan Raoult 1999; Muskens et al. 2007; Parker et al. 2006). Burung dan rodensia merupakan pembawa C. burnetii di alam, sedangkan sapi, kambing dan domba merupakan reservoir utama (Acha dan Szyfres 2003; Kim et al. 2005; Van den Brom dan Vellema 2009). Di beberapa negara, anjing dan kucing juga merupakan sumber utama penularan, hal ini sesuai dengan uji serologis yang mendapatkan seropositif pada anjing dan kucing berkisar antara 15-20% (Buhariwalla et al. 1996; Marrie 2000). Kontaminasi C. burnetii di lingkungan dapat terjadi setelah hewan melahirkan, terutama melalui cairan kelahiran, plasenta, feses dan urin secara terus menerus. Kontaminasi tersebut bisa berlangsung beberapa bulan dan dilaporkan pada kambing lebih lama dibandingkan domba, yaitu selama dua kali masa kebuntingan, oleh karena itu kambing sering menjadi sumber infeksi ke manusia (Arricau-Bouvery dan Rodolakis 2005; Hatchette et al. 2003). Mikroorganisme C. burnetii berkembangbiak dan tumbuh subur di dalam plasenta dan cairan amnion, sehingga pada hewan bunting infeksi Q fever bersifat laten (Kloppert et al. 2004). C. burnetii dilaporkan telah ditemukan pada 40 spesies caplak di dunia, sehingga caplak merupakan sumber penularan antar hewan di alam, dari hewan liar ke hewan pelihara dan diantara hewan pelihara melalui feses caplak yang terinhalasi. Disamping itu penyebaran antar hewan pelihara dapat juga terjadi melalui kontak seksual karena agen penyebab ditemukan pada semen sapi pejantan (Marrie 2000; Maurin dan Raoult 1999). Sethi et al. (1978) melakukan penelitian pada ayam petelur leghorn putih umur 6 bulan, dengan menginfeksikan 2 ml larutan 10% membran yolk sac yang mengandung C. burnetii strain Nine Mile melalui oral dan intra peritoneal. Hasil penelitian tersebut menunjukkan titer antibodi dengan metode CAT mulai meningkat (1:512) pada 13 hari setelah infeksi dan tertinggi (1:1024) pada 30 hari setelah infeksi, kemudian menurun (<1:8) setelah 90 hari infeksi. Ayam-ayam petelur leghorn putih yang terinfeksi C. burnetii tidak menunjukkan gejala klinis sama sekali sampai dengan 90 hari. Pada 90 hari setelah infeksi, C. burnetii tidak ditemukan pada limpa dan hati, tetapi masih dapat diidentifikasi pada ginjal dan ovari.
12
Patogenesis Q fever C. burnetii hidup dan berproliferasi dalam sel inang yaitu lisosom yang bersifat asam. Pada manusia dan hewan target sel utama dari C. burnetii pada monosit atau sel makrofrag. Jika infeksi terjadi melalui pernafasan maka makrofag alveolar berperan aktif terhadap terjadinya infeksi akut, sedangkan bila melalui pencernaan, maka sel kupffer dalam hati yang berperan terhadap infeksi C. burnetii.
Bakteri intraseluler
umumnya menggunakan reseptor spesifik pada sel eukariotik seperti integrin untuk dapat menginvasi sel inang, khusus C. burnetii menggunakan reseptor CR-3. Secara alami C. burnetii fase I mempunyai kemampuan yang lemah untuk menempel pada sel inang melalui monosit ataupun sel makrofag, tetapi mempunyai kemampuan untuk hidup dan bertahan yang kuat bila sudah menembus dan masuk ke dalam sel-sel tersebut. Hal ini disebabkan C. burnetii fase I menghambat reseptor CR-3 dan kemudian mengikat monosit melalui kompleks leucocyte response integrin (LRI) dan integrin associated protein (IAP). Sebaliknya fase II lebih mudah masuk ke dalam monosit atau sel makrofag tetapi secara cepat akan dibunuh melalui phagolisosomal pathway (Baca dan Paretsky 1983). C. burnetii yang masuk ke dalam sel inang secara difusi pasif, akan terperangkap dalam fagosom yang secara cepat akan berdifusi membentuk fagolisosom. Fagolisosom akan membentuk vakuola besar yang dinamakan vakuola lisosomal sebagai tempat persembunyian C. burnetii.
C burnetii dapat beradaptasi dalam fagolisosom dan
berkembang baik dalam vakuola parasitoporus yang mempunyai pH 4.7-5.2 (Baca dan Paretsky 1983). Asam yang terdapat didalam fagolisosom akan mengaktifkan enzim, sehingga sel C. burnetii akan berkembangbiak menjadi bentuk besar (large form/large cell variant) yang resisten setiap 8-12 jam (Maurin dan Raoult 1999). C. burnetii merupakan bakteri asidofilik yang metabolismenya menjadi aktif bila suasana lingkungannya asam atau dengan adanya perubahan pH menjadi asam. Perkembangan C. burnetii dapat dihambat dengan cara meningkatkan pH menjadi basa dengan menambahkan chloroquin.
Suasana asam diperlukan oleh C. burnetii dalam
mendapatkan nutrisi untuk proses metabolisme seperti pembentukan asam nukleat dan asam amino (Maurin dan Raoult 1999).
Gejala Klinis Manifestasi penyakit Q fever pada hewan umumnya tidak menunjukkan gejala klinis atau bersifat asymptomatis. Pada infeksi akut mikroorganisme C. burnetii dapat
13
ditemukan pada paru-paru, hati, limpa dan darah, sedangkan infeksi kronis tidak menunjukkan gejala sama sekali (Maurin dan Raoult 1999). Gejala umum pada ruminansia ditandai dengan anoreksia, rinitis, frekuensi pernafasan meningkat, abortus, retensio plasenta, plasentitis, endometritis, tidak fertil dan beberapa ditemukan lahir dalam keadaan lemah, kecil dan mati (Arricau-Bouvery dan Rodolakis 2005). Pada sapi perah kadang-kadang terlihat pneumonia, sedangkan pada anak domba terjadi diare dan gangguan pernafasan (Van den Brom dan Vellema 2009). Di daerah endemik seperti California USA, kejadian abortus pada domba mencapai 18-55% dan sapi 82%, sedangkan di Kanada 0-35% pada domba dan 33-82% pada sapi (CFSPH 2007). Beberapa peneliti mengatakan bahwa abortus pada domba dan kambing terjadi pada akhir kebuntingan (Van den Brom dan Vellema 2009).
Q Fever pada Manusia Epidemiologi dan Distribusi Penyakit Infeksi Q fever pada manusia seringkali berhubungan dengan pekerjaan (occupational disease), seperti peternak, pembeli dan pengunjung yang datang ke peternakan; dokter hewan; pekerja di peternakan, rumah potong hewan, penyamakan kulit, pengolahan daging, susu dan wol; peneliti dan pegawai laboratorium serta pekerja di kebun binatang (Norlander 2000; Van den Brom dan Vellema 2009). Penularan antar manusia jarang terjadi, tetapi dapat melalui transfusi (darah, sumsum tulang belakang), saliva dan hubungan seksual.
Selain itu dilaporkan bisa
tertular selama menangani keguguran dan outopsi pada manusia (Milazzo et al. 2001). Norlander (2000) melaporkan bahwa insidensi penyakit Q fever di Asia sudah banyak diketahui, yaitu Thailand, Jepang dan Cina. Di Thailand tahun 2003 dilaporkan mencapai 1.3% kasus pada manusia (umur 15-62 tahun, atau rata-rata 42 tahun). Di Amerika Serikat rata-rata 58.4 kasus per tahun dan 67% kasus di California (CFSPH 2007). Menurut NNDSS (2003) antara tahun 1991-2001 di Australia terjadi 6597 kasus atau rata-rata 650 kasus per tahun pada manusia. Di Australia selatan pada tahun 1990 hingga Agustus 2001 dilaporkan terdapat 177 kasus Q fever, yaitu 155 (87.6%) kasus terjadi pada laki-laki dan 147 (83.1%) kasus terjadi pada usia produktif (20-49 tahun). Dari kasus ini, 90 kasus (50.8%) terjadi pada pekerja di pabrik pengolahan daging, diikuti oleh 57 kasus (32.2%) pada pekerja yang kontak dengan hewan. Tercatat 17 kasus (9.6%) terjadi pada pedagang daging dan 13 kasus (7.3%) terjadi pada orang
yang
14
berinteraksi dengan pabrik pengolahan daging (pengunjung, penghubung). Sampai saat ini kasus pada anak-anak belum pernah dilaporkan (CDC 2001).
Laporan lain
menyatakan rasio tertular laki-laki:perempuan adalah 75%:25% dan umumnya penderita berusia lebih dari 40 tahun (Maurin dan Raoult 1999). Hasil penelitian Ergas et al. (2006) menyatakan bahwa penyakit Q fever bentuk akut umumnya terjadi pada musim panas pada penderita yang rata-rata berusia 42.7±17.3 tahun dengan perbandingan rasio lakilaki:perempuan adalah 1.6:1. Pada bulan Mei 2007 terjadi 182 kasus kejadian pneumonia yang disebabkan infeksi C. burnetii di Belanda dan kemudian pada tahun 2008 terdapat 1000 kasus pada manusia dengan gejala seperti demam, lelah, lemah dan berkeringat pada malam hari. Hasil pemeriksaan lebih lanjut ditemukan 65% menderita pneumonia. Infeksi C. burnetii pada manusia tahun 2007 dan 2008 di Belanda dilaporkan disebabkan karena adanya kasus abortus pada peternakan kambing perah.
Adanya kejadian infeksi C. burnetii
tersebut, maka sejak tahun 2008 penyakit Q fever pada ruminansia kecil di Belanda wajib dilaporkan (notifiable disease) (Delsing dan Kullberg 2008; Schimmer et al. 2008). Menurut Rarotra et al. (1978) kasus Q fever juga ditemukan 27.52% positif antibodi C. burnetii pada pekerja peternakan ayam di India, dan sebanyak 6.38% memperlihatkan gejala demam. Pada peternakan ayam tersebut secara serologi juga ditemukan antibodi terhadap C. burnetii. Hal ini menunjukkan bahwa pekerja peternakan ayam beresiko tinggi terhadap infeksi Q fever. Penelitian yang dilakukan di Australia menyebutkan bahwa 30% mereka yang bekerja di peternakan dan RPH berisiko terserang Q fever. Hal yang sama ditemukan pada 58 orang pekerja pada tiga peternakan domba di Italia yang mempunyai seroprevalensi 45-53% positif antibodi C. burnetii (Marrie 2003). Tiga orang wisatawan Jepang yang berasal dari wilayah Hyogo, Tottori dan Aichi merasakan demam, badan pegal dan ngilu pada persendian setelah melakukan perjalanan inspeksi ke peternakan sapi dan RPH di Australia dan New Zealand selama 11 hari pada bulan September 2001. Hasil pemeriksaan laboratorium ditemukan adanya gangguan fungsi hati dan trombositonemia, sedangkan dari pemeriksaan serologi dengan menggunakan IFA maupun ELISA ditemukan peningkatan titer antibodi IgM dan IgG empat kali lipat. Ketiga pasien tersebut didiagnosa Q fever dan sembuh setelah dilakukan pengobatan yang sesuai (Setiyono 2003). Menurut Norlander (2000) beberapa faktor yang mempermudah seseorang terserang Q fever antara lain tidak divaksinasi Q fever dan yang mengalami
15
imunosupresan karena menderita penyakit tertentu, misalnya
AIDS, kanker, limpoma,
tumor, diabetes, hepatitis, gangguan jantung, gangguan ginjal kronis atau penerima transplan organ.
Q Fever sebagai Food-borne Disease Transmisi C. burnetii ke manusia terjadi secara aerosal atau
inhalasi melalui
’fomite’ atau partikel debu yang terkontaminasi sekret kelahiran yang mengering, jaringan plasenta, darah, feses dan urin. Selain itu kontak langsung dengan hewan atau jaringan terinfeksi atau tertular, bulu (wol), kulit, sisa abortus, plasenta, darah, feses, urin serta melalui saluran pencernaan akibat mengkonsumsi susu dan telur yang tidak dipasteurisasi (Acha dan Szyfres 2003; Anonim 2003; Muramatsu et al. 2006). Hasil penelitian menyatakan bahwa apabila sapi perah terinfeksi C. burnetii maka mikroorganisme tersebut dapat ditemukan dalam susu (Maurin dan Raoult 1999; Kim et al. 2005). Hal ini merupakan salah satu sumber penularan dari hewan ke manusia (Rodolakis et al. 2009). Penelitian Hirai et al. (2005) menemukan 131 sampel (53.7%) positif
DNA
C. burnetii dari 244 sampel susu yang dijual di supermarket di Tokyo menggunakan metode nested PCR. Di Swiss ditemukan 17 sampel (4.7%) positif DNA C. burnetii dari 359 sampel susu sapi,
tetapi tidak ditemukan pada susu domba dan kambing
menggunakan metode nested PCR (Fretz et al. 2007). Sejak burung ditetapkan sebagai salah satu host spectrum dari C. burnetii, maka apabila ayam terinfeksi dapat membawa agen penyebab ke manusia melalui telur mentah yang terkontaminasi (Hirai dan To 1998).
Sethi et al. (1978) menemukan bahwa
C. burnetii dapat diisolasi pada selaput kuning telur dari embrio ayam (chicken embryo yolk sac).
Hasil percobaan pada ayam petelur leghorn putih umur 6 bulan yang
diinfeksikan 2 ml larutan 10% membran yolk sac yang mengandung C. burnetii strain Nine Mile secara oral dan intra peritoneal, C. burnetii dapat ditemukan di dalam telur (ditularkan secara transovarial). Hal yang sama juga dilaporkan Sobeslavsky dan Syrucek (1959) bahwa C. burnetii dapat ditularkan secara transovarial setelah unggas (Gallus galus domesticus) diinfeksi mikroorganisme tersebut melalui oral. Penelitian pada telur ayam di Jepang, Korea dan Filipina pada tahun 2003-2004 menemukan 179 sampel (4.2%) positif DNA C. burnetii dari 4252 sampel, serta pada produk mayones di Jepang dan Kanada diperoleh 35 sampel (17.5%) positif dari 200 sampel menggunakan metode nested PCR (Tatsumi et al. 2006). Fretz et al. (2007) juga
16
melakukan penelitian pada 504 sampel telur ayam yang di masuk ke Swiss, dan dilaporkan tidak menemukan DNA C. burnetii pada semua sampel menggunakan metode nested PCR.
Gejala Klinis Orang yang terserang penyakit Q fever umumnya menunjukkan gejala klinik yang tidak spesifik atau asymptomatis (60%), spesifik atau symptomatis (38%) dan beberapa penyakit lainnya (2%), sehingga sulit dibedakan dengan gejala dari penyakit lain. Gejala akut umumnya seperti flu (flue like syndrome), misalnya demam, sakit kepala, berkeringat, menggigil, lelah (fatigue), pegal-pegal, sakit tenggorok, batuk, dada sakit, muntah, diare dan penurunan bobot badan. Penyakit Q fever yang tidak diobati dalam kurun waktu dua minggu, maka dapat berlanjut menjadi pneumonia (30-50%), radang hati (hepatitis), infeksi kulit (kudis), hepatomegali, miokarditis, perikarditis, meningoencefalitis, uveitis, tromboplebitis, artritis, pleuritis dan pankreatitis.
Pada wanita hamil yang
terinfeksi C. burnetii akan mengalami keguguran pada semester pertama atau lahir prematur, bayi dengan bobot badan rendah dan plasentitis pada saat melahirkan (ArricauBouvery dan Rodolakis 2005; CFSPH 2007; Maurin dan Roault 1999). Kematian pada kasus akut dapat mencapai 1-2% (CDC 2005; CFSPH 2007; Delsing dan Kullberg 2008). Apabila 6-12 bulan tanpa pengobatan yang efektif, maka 2-10% (1-5%) dari kasus akut akan menjadi kronis, yaitu endokarditis, infeksi osteoartikular, pneumoni fibrosis, sindrom kelelahan kronis (chronic fatique syndrome) dan masalah kehamilan (Maurin dan Roault 1999; Schimmer et al. 2008). Manifestasi gejala penyakit Q fever pada manusia sangat bervariasi (lihat pada Gambar 4). Kematian pada penderita kasus kronis bisa mencapai 25-65% (bila mempunyai faktor imunosupresan dan atau abnormal valvular). Sindrom kelelahan kronis ditandai dengan sering mengalami kelelahan yang panjang disertai berkeringat pada malam hari, pegal-pegal, sakit di persendian, gelisah dan waktu tidur berubah. Sindrom ini terjadi setelah infeksi akut yang berlangsung lebih dari satu bulan (Arricau-Bouvery dan Rodolakis 2005; CDC 2005; Delsing dan Kullberg 2008). Gambaran darah dari orang yang menderita penyakit Q fever akut ditandai dengan peningkatan laju endap darah, jumlah sel darah putih cenderung rendah sampai normal, trombositopenia serta urinalisis yang abnormal, seperti hematuria, leukosituria, proteinuria (Ergar et al. 2006).
17
1. Jalan masuk : Melalui aerosol dari sapi, kambing atau domba yang terinfeksi 3. Penyakit : Pneumonia Endokarditis Pankreatitis Hepatitis Osteoartritis
2. Penyebaran : Hematogenus (melalui darah)
4. Jalan keluar : Tidak ada pada manusia
Gambar 4
Mekanisme infeksi dan gejala penyakit Q fever pada manusia (CDC 2005).
Masa inkubasi penyakit Q fever bervariasi mulai 2-5 minggu (1-4 minggu) dan beberapa kasus mencapai lebih dari 6 minggu (Maurin dan Roault 1999; CFSPH 2007; Delsing dan Kullberg 2008). Masa inkubasi dipengaruhi oleh dosis infeksi C. burnetii (Maurin dan Roault 1999).
Dilaporkan bahwa orang yang terinfeksi 1-10 sel
mikroorganisme C. burnetii dapat menyebabkan timbulnya gejala klinis (CFSPH 2007).
Pengendalian NNDSS (2003) melaporkan bahwa sejak tahun 2000-2003 dilakukan upaya pencegahan penyakit ini, yaitu melakukan program vaksinasi Q fever pada pekerja di Industri pengolahan daging dan RPH, sedangkan pada tahun 2001-2004 dilaksanakan pada hewan ternak dan pekerja di peternakan (ternak potong dan perah). Vaksin Q fever (Q Vax) dibuat dengan inaktivasi antigen fase I C. burnetii strain Henzerling yang mengandung antigen kompleks LPS-protein dan disuntikkan secara subkutan dengan dosis tunggal sebesar 30 mikrogram per dosis (Ackland et al. 1994; Waag et al. 2002). Vaksin baru dapat diberikan kepada hewan atau manusia apabila hasil tes serologis tidak ditemukan antibodi terhadap Q fever. Hal ini penting karena vaksinasi Q Vax akan dapat menimbulkan kekebalan awal yang optimum (Anonim 2003). Studi yang dilakukan di Australia bagian selatan menunjukkan bahwa durasi vaksin
18
Q Vax dapat memberikan kekebalan pada hewan dan manusia selama lima tahun (Ackland et al. 1994; Waag et al. 2002). Penelitian yang dilakukan Rodolakis et al. (2009) menunjukkan bahwa pemberian vaksin Q fever fase 1 (Coxevax® CEVA Santé Animale Libourne France) pada sapi perah dara, efektif dimulai umur 3-4 bulan (vaksinasi pertama) dan kemudian di booster (vaksinasi kedua) sebelum dilakukan inseminasi buatan untuk memperoleh titer antibodi yang tinggi dan dapat mencegah terjadinya shedding C. burnetii. Pada kejadian penyakit Q fever di Belanda, maka pada akhir tahun 2008 dilakukan pencegahan dengan memberikan vaksin Coxevax® kepada domba dan kambing yang tidak bunting (Delsing dan Kullberg 2008; Schimmer et al. 2008). Penyakit Q fever dapat diobati dengan pemberian antibiotik yang sesuai dengan kejadian penyakit, kelompok umur, dosis dan lama pemberian (lihat Tabel 2). . Tabel 2
Kejadian Penyakit
Pengobatan Q fever pada manusia (Carcopino et al. 2007; Madariaga et al. 2003; Maurin dan Raoult 1999; Nourse et al. 2004; Rolain et al. 2003) Kelompok
Dewasa Akut Wanita hamil Anak-anak Dewasa Kronis
Anak-anak
Pengobatan Doksisiklin 200 mg per hari Fluoroquinolon 200 mg atau pefloksasin 400 mg (3 kali per hari) Rifamisin 1200 mg per hari Trimetoprim 320 mg atau sulfametoksazol 1600 mg per hari Doksisiklin 100 mg per hari Doksisiklin 100 mg per hari Hidroksikloroquin 600 mg per hari Trimetoprim 160 mg atau sulfametoksazol 800 mg per hari
Waktu 14 hari 14-21 hari 21 hari > 5 minggu 10-14 hari > 18 bulan > 18 bulan
Penyakit Q fever dapat disembuhkan apabila pengobatan dilakukan sedini mungkin (Maurin dan Raoult 1999).
Pencegahan penyakit Q fever selain vaksinasi
adalah (1) memberikan edukasi pada individu atau kelompok yang berisiko; (2) disposal (prosedur pemusnahan dengan cara pembakaran dan atau penguburan) dari plasenta, sisa obortus dan fetus; (3) karantina ternak yang akan diimpor; (4) outoclave dan disinfeksi peralatan laboratorium; (5) pasteurisasi susu pada suhu lebih dari 62.7 °C selama 30 menit atau 71.6 °C selama 15 detik dan sterilisasi pada suhu 130 °C selama 5 detik serta pesteurisasi telur pada suhu lebih dari 60 °C selama 6.2 menit atau 61.1 °C
19
selama 3.5 menit dapat membunuh mikroorganisme C. burnetii (CFSPH 2007; Marrie 2000; Mine 2008).
Q Fever di Indonesia Beberapa studi, kajian dan penelitian tentang keberadaan Q fever di Indonesia telah dilakukan sejak tahun 1955 terhadap 188 serum sapi yang diperiksa secara serologis dan ditemukan positif antibodi C. burnetii menggunakan CAT (Kaplan dan Bertagna 1955). Penelitian selanjutnya dilakukan oleh Rumawas (1976) pada 323 sampel darah sapi yang diambil dari Bogor, Bandung, Surabaya dan Semarang dan didapatkan 4 sampel (1.2%) positif antibodi Q fever dengan metode CAT. Penelitian Miyashita et al. (2001) menemukan infeksi Q fever dari penderita pneumonia yang pernah tinggal di Indonesia. Hal yang sama juga dilakukan Richards et al. (2003) dan mendapatkan 2.1% seropositif Rickettsia terhadap penduduk di Kepulauan Gag Irian Jaya menggunakan metode ELISA. Hasil seroprevalensi di Bogor pada domba dan kambing menunjukkan seropositif masing-masing 31.88% dan 20.29% menggunakan metode IFA, sedangkan penelitian pada sapi bali dan brahman cross ditemukan 6.12% positif DNA C. burnetii serta pada kambing dan domba 3.64% positif DNA C. burnetii menggunakan metode nested PCR di Bali dan Bogor (Mahatmi 2006). C. burnetii secara serologis dan molekuler telah ditemukannya pada hewan ruminansia (domba, kambing, sapi) dan juga manusia, sehingga kemungkinan penularan kepada hewan lain dan bahan pangan asal hewan (susu, telur) di beberapa wilayah di Indonesia sudah terjadi. Hal ini didasarkan pada data serologis dan molekuler bahwa C. burnetii sudah ditemukan pada hewan ruminansia di pulau Jawa dan Bali. Dari segi kesehatan masyarakat veteriner, penyakit Q fever dapat dikelompokkan sebagai emerging atau re-emerging zoonosis yang disebabkan C. burnetii (Vaidya 2008). Mikrorganisme ini dilaporkan mampu menularkan sejauh 18.3-20 km dari sumber infeksi yang dibawa oleh angin (oerosal transmission), mempunyai dosis infeksi yang rendah (low infectious dose), stabil di lingkungan dan beberapa kondisi psikokimia (stable in the environment) serta berdasarkan estimasi World Health Organization (WHO) apabila 5 kg C. burnetii disebarkan di suatu wilayah dengan populasi penduduk sebesar 5 juta, maka 125 000 orang akan sakit dan 150 orang meninggal (CFSPH 2007; Marrie 2003).
BAHAN DAN METODE Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian dilakukan dari bulan Juli 2005 sampai dengan Maret 2010. Sampel telur diambil dari peternakan ayam petelur komersial ras (sektor 2) sebanyak 222 butir dan dari peternakan ayam lokal (sektor 4) sebanyak 130 butir di wilayah Bogor. Pengujian sampel telur dilakukan di Laboratorium Terpadu Fakultas Kedokteran Hewan IPB dan Unit Pelayanan Mikrobiologi Terpadu (UPMT) Bagian Mikrobiologi Medik Departemen Ilmu Penyakit Hewan dan Kesmavet FKH IPB. Untuk pengujian sensitivitas dan spesifisitas metode uji dilakukan di Balai Besar Penelitian Veteriner Bogor.
Tahapan Penelitian Penelitian ini pada intinya dibagi atas tiga tahap yaitu tahap verifikasi metode ekstraksi DNA Coxiella burnetii (C. burnetii) dari sampel telur dan alat diagnostik nested polymerase chain reaction (nested PCR); tahap pengujian sampel serta pengujian sensitivitas dan spesifisitas metode. Tahap verifikasi metode ekstraksi DNA C. burnetii dari kuning telur dengan menggunakan modifikasi metode Qiao (2005).
Tahap
selanjutnya melakukan deteksi DNA C. burnetii pada sampel telur yang diambil dari peternakan ayam petelur ras dan lokal dengan metode nested PCR (Zhang et al. 1998). Tahap akhir adalah pengujian sensitivitas dan spesifisitas metode untuk mengetahui batas limit deteksi metode nested PCR yang digunakan. Tahapan penelitian dapat dilihat pada Gambar 5. Verifikasi metode ekstraksi DNA dari telur Akurasi nested polymerase chain reaction (nested PCR) Pengujian sampel telur Sensitivitas dan spesifisitas metode - Informasi keberadaan DNA C. burnetii pada telur - Pedoman cara pengendalian penyakit Q fever di Indonesia.
Gambar 5 Tahapan penelitian studi Q fever pada ayam di wilayah Bogor.
21
Modifikasi Metode Qiao (2005) untuk Mengekstraksi DNA C. burnetii dari Kuning Telur Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui tingkat konsentrasi dan kemurnian DNA C. burnetii
yang diperoleh dari hasil ekstraksi kuning telur menggunakan modifikasi
metode Qiao. Penelitian ini dilakukan dengan mengganti beberapa bahan-bahan untuk ekstraksi seperti PBS (phosphat buffer saline), Tris bufer, Np-40, Tween-20 dan Triton X-100 diganti dengan GenomicprepTM cell-tissue DNA isolation kit (Amersham Biosciences) yang terdiri dari larutan lisis (cell lysis solution), larutan pengendap protein (protein precipitation solution) dan DNA hydration solution.
Modifikasi
metode
Qiao
sudah
diverifikasi oleh Prof. Dr. drh. Mirnawati Sudarwanto di Justus Liebig University Gissen Jerman. Ekstrasi kuning telur dilakukan dengan cara sebelum telur dibuka, kerabang telur didisinfeksi dengan alkohol 70%.
Putih telur dipisahkan dari kuning telur
menggunakan kertas saring steril. 100 µl kuning telur dimasukkan ke dalam mikrotub eppendorf 1.5 ml yang berisi 300 µl larutan lisis (cell lysis solution) dan dihomogenkan dengan vortex.
Tambahkan
5 µl proteinase K (50 mg/ml), dihomogenkan selama
30 detik dan setelah itu diinkubasi 55 ºC dalam waterbath selama 3 jam. Tambahkan 2 µl RNase A solution dan diinkubasi 37 ºC selama 30 menit. Tambahkan 100 µl larutan pengendap protein (protein precipitation solution), dihomogenkan selama 30 detik dan diinkubasi pada temperatur kamar
selama 15
menit. Tambahkan 500 µl kloroform
dingin, dihomogenkan 30 detik dan diinkubasi pada temperatur kamar selama 5 menit. Sentrifus pada 14000 rpm pada suhu 4 ºC selama 5 menit. Sebanyak 300 µl supernatan (lapisan bening) diambil dan dipindahkan ke mikrotub baru. Tambahkan isopropanol dingin, dibolak-balik sampai terlihat benang-benang putih
500 µl
dan disentrifus
14000 rpm pada suhu 4 ºC selama 5 menit. Supernatan dikeluarkan secara hati-hati dengan mikropipet. Endapan putih yang diperoleh ditambahkan 500 µl etanol 70% dingin melalui dinding mikrotub dan disentrifus 14000 rpm pada suhu 4 ºC selama 5 menit. Supernatan
dikeluarkan secara hati-hati dengan mikropipet dan endapan dibiarkan
mengering selama 10 menit pada temperatur kamar. Endapan yang diperoleh dilarutkan dengan 50 µl DNA hydration solution, disimpan dalam refrigerator dan kemudian digunakan sebagai sampel untuk analisa spektrofotometer. Larutan hasil ekstrasi diukur konsentrasi dan kemurnian DNA yang diperoleh. Pengukuran dilakukan dengan cara sebelum digunakan cuvet spektrofotometer dicuci dengan larutan 1 M NaOH, 1 M HCl dan air milli Q.
Larutan DNA dalam mikrotub
22
dikondisikan pada suhu 60 ºC selama 3 menit dan kemudian dihomogenkan agar DNA terlarut secara merata. Setelah disentrifus beberapa detik diletakkan diatas es. Sebanyak 190 µl hydration solution yang telah ditambahkan dengan 10 µl larutan DNA dimasukkan ke dalam spektrofotometer. Untuk menghitung konsentrasi DNA maka digunakan rumus : konsentrasi DNA (µg/ml) = A260 x 50 x 200 (faktor pengenceran), sedangkan tingkat kemurnian DNA dihitung dengan membagi nilai OD 260 dengan OD 280 .
Deteksi C. burnetii pada Telur dengan Metode Nested Polymerase Chain Reaction (Nested PCR) Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui adanya DNA C. burnetii pada telur ayam dengan metode nested PCR. Larutan DNA yang akan digunakan sebagai sampel merupakan hasil pengukuran konsentrasi dan kemurnian DNA menggunakan elektroforesis.
Primer oligonukeotida
yang digunakan adalah produk (Sigma), yaitu primer OMP1 (5’-AGT AGA AGC ATC CCA AGC ATT G-3’), OMP2 (5’-TGC CTG CTA GCT GTA ACG ATT G-3’), OMP3 (5’-GAA GCG CAA CAA GAA GAA CAC-3’) dan OMP4 (5’-TTG GAA GTT ATC ACG CAG TTG3”), yang didisain dari sekuen nukleotida gen com 1 yang mengkode OMP 27 kD. Amplifikasi DNA pertama dilakukan dalam volume 30 µl yang berisi 13 µl air milli Q, 10 x PCR bufer 5 µl dengan konsentrasi MgCl 2 15 mM (Sigma), 5 µl dNTP 2 mM (Vivantis), 0.5 µl primer OMP1 100 µM, 0.5 µl primer OMP2 100 µM, 1 µl Taq DNA polymerase (Vivantis) dan 5 µl sampel DNA. Analisis PCR dilakukan berturut-turut, yaitu temperatur 94 °C, 3 menit (pre-denaturasi), 1 putaran, kemudian denaturasi pada temperatur 94 °C, 1 menit, pelekatan (annealing) pada temperatur 54 °C, 1 menit dan pemanjangan (extention) pada temperatur 72 °C, 1 menit selama 36 kali siklus serta temperatur 72 °C, 4 menit dan hold temperature 4 ºC, 1 putaran dalam DNA thermal cycler. Hasil PCR disimpan pada Amplifikasi kedua yaitu campuran reaksi dan kondisinya sama dengan amplifikasi pertama kecuali primer dan DNA template. Primers digunakan OMP3 dan OMP4 serta 5 µl produk hasil amplifikasi pertama digunakan sebagai DNA template. Kontrol positif adalah 5 µl dari DNA C. burnetii strain NM2 sebagai template dan kontrol negatif tanpa DNA template (ditambah 5 µl air milli Q) disertakan dalam proses PCR. Produk amplifikasi PCR dianalisa dengan elektroforesis menggunakan 2% gel agarose (4 gram agarose ditambahkan ke dalam 200 ml 1 x TAE). Setelah cetakan
23
agarose direndam dengan 1 x TAE, maka ke dalam sumur dimasukkan sampel, kontrol (positif) dan DNA molecular weight standards (100 pb DNA ladder) yang telah dicampur loading dye dengan perbandingan 1:9.
Elektroforesis dijalankan dengan tegangan
100 volt selama 45 menit. Kemudian diwarnai dengan etidium bromida (0.5 µg/ml) selama 30 menit, dilihat hasilnya menggunakan UV illumination
pada 320 nm dan dipotret
dengan kamera polaroid. Hasil nested PCR dinyatakan positif apabila terlihat adanya produk yang spesifik dari primer internal (OMP3-OMP4) yang menghasilkan fragmen 438 pb.
Sensitivitas dan Spesifisitas Nested Polymerase Chain Reaction (Nested PCR) untuk Mendeteksi DNA C. burnetii Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui tingkat sensitivitas dan spesifisitas metode nested PCR dibandingkan dengan PCR untuk mendeteksi keberadaan DNA C. burnetii. Untuk menentukan tingkat optimasi (optimalisasi) nested PCR dan PCR dalam mendeteksi keberadaan DNA C. burnetii, maka pengujian dilakukan dengan mengukur konsentrasi awal DNA menggunakan spektrofotometer. Konsentrasi DNA dibuat menjadi 150 nano gram/µl (ng/µl), sehingga diperoleh konsentrasi akhir dalam reaksi PCR sebesar 75 ng/µl. DNA C. burnetii tersebut diencerkan menjadi 30 ng/µl, 15 ng/µl, 3 ng/µl, 300 piko gram/µl (pg/µl), 30 pg/µl, 3 pg/µl, 0.3 pg/µl dan 0.03 pg/µl. Masing-masing konsentrasi tersebut diamplifikasi dengan menggunakan dua pasang primer (OMP1OMP2 dan OMP3-OMP4) untuk nested PCR dan satu pasang primer eksternal (OMP1OMP2) untuk PCR. Untuk mengetahui tingkat spesifitas metode nested PCR, maka dilakukan pendeteksian terhadap bakteri seperti Brucella abortus ATCC 23452, Escherichia coli ATCC 25922, Pseudomonas aeruginosa ATCC 9027 dan Campylobacter jejuni ATCC 33291. Bakteri-bakteri tersebut merupakan satu kelompok dengan C. burnetii dari famili Proteobacteria. Untuk primer OMP1-OMP2 dan OMP3-OMP4, amplifikasi pertama dilakukan dalam volume 50 µl yang berisi 13 µl air milli Q, 10 x PCR bufer 5 µl dengan konsentrasi MgCl 2 15 mM (Sigma), 5 µl dNTP 2 mM (Vivantis), 0.5 µl primer OMP1100 µM, 0.5 µl primer OMP2 100 µM, 1 µl (5 pg/µl).
Taq DNA polymerase (Vivantis) dan 25 µl sampel DNA
Analisis PCR dilakukan berturur-turut, yaitu temperatur 94 °C, 3 menit
(pre-denaturasi), 1 putaran, kemudian denaturasi pada temperatur 94 °C, 1 menit,
24
pelekatan (annealing)
pada temperatur 54 °C, 1 menit dan pemanjangan (extention)
pada temperatur 72 °C, 1 menit selama 36 kali siklus serta temperatur 72 °C, 4 menit dan hold temperature 4 ºC, 1 putaran menggunakan DNA thermal cycler. Untuk amplifikasi kedua yaitu campuran reaksinya volume 50 µl yang berisi 37 µl air milli Q, 10 x PCR bufer 5 µl dengan konsentrasi MgCl 2 15 mM (Sigma), 5 µl dNTP 2 mM (Vivantis), 0.5 µl primer OMP3 100 µM, 0.5 µl primer OMP4 100 µM, 1 µl Taq DNA polymerase (Vivantis) dan 1 µl produk hasil amplifikasi pertama digunakan sebagai DNA template, sedangkan analisis PCRnya sama dengan amplifikasi pertama. Produk amplifikasi PCR dianalisa dengan elektroforesis menggunakan 2% gel agarose (Vivantis), yaitu sebanyak 4 gram agarose ditambahkan ke dalam 200 ml 1 x TAE. Setelah cetakan agarose direndam dengan 1 x TAE, maka ke dalam sumur dimasukkan sampel, kontrol (positif) dan standar berat molekul DNA (100 pb DNA ladder) yang telah dicampur loading dye dengan perbandingan 1:9. Elektroforesis dijalankan dengan tegangan 100 volt selama 45 menit. Kemudian diwarnai dengan etidium bromida (0,5 µg/ml) selama 30 menit.
Hasilnya dilihat menggunakan
320 nm dan dipotret dengan kamera polaroid.
UV illumination pada
Hasil PCR dinyatakan positif apabila
terlihat adanya produk yang spesifik dari primer eksternal (OMP1-OMP2) yang menghasilkan fragmen 501 pb, sedangkan nested PCR dari primer internal (OMP3OMP4) yang menghasilkan fragmen 438 pb.
DETEKSI Coxiella burnetii PADA TELUR AYAM RAS DAN LOKAL DI WILAYAH BOGOR DENGAN METODE NESTED POLYMERASE CHAIN REACTION (Detection of Coxiella burnetii in Commercial and Native Chicken Eggs by Nested Polymerase Chain Reaction method in Bogor Area) Abstrak Telah dilakukan penelitian untuk mendeteksi DNA Coxielle burnetii (C. burnetii) pada telur ayam ras dan lokal di wilayah Bogor. Deteksi DNA C. burnetii dilakukan dengan metode nested polymerase chain reaction (nested PCR), menggunakan primer eksternal (OMP1, OMP2) dan internal (OMP3, OMP4), didisain dari sekuen nukleotida gen com 1 yang mengkode OMP 27 kD serta digunakan untuk mengamplifikasi fragmen sepanjang 501 pb dan 438 pb. Nested PCR merupakan metode yang sensitif dan spesifik untuk mendeteksi 21 strain C. burnetii. Sebanyak 352 butir telur ayam yang terdiri dari 222 butir telur ayam ras yang diambil dari peternakan ayam ras (sektor 2) dan 130 butir telur ayam lokal yang diambil dari peternakan ayam lokal (sektor 4) di wilayah Bogor. Dari 352 sampel telur ayam yang diperiksa tidak ditemukan adanya DNA C. burnetii. Kata Kunci: nested PCR, Coxiella burnetii, Telur ayam
Abstract A study of detection of DNA Coxiella burnetii (C. burnetii) in commercial and native chicken eggs in Bogor area were conducted. Nested polymerase chain reaction (nested PCR) was used for detection of C. burnetii which consists of external primers (OMP1 and OMP2) and internal primers (OMP3 and OMP4) and was designed from the nucleotide sequence of the com I gene encoding a 27 kDa outer membrane protein and used to specifically amplify a 501 bp and 438 bp fragment. Nested PCR was sensitive and specific for the detection 21 strain of C. burnetii. 352 egg samples, consist of commercial chicken eggs (222 samples) and native chicken eggs (130 samples) were collected from sector 2 and sector 4 poultry farms in Bogor area. No DNA of C. burnetii was detected in all samples by nested PCR method. Key words: nested PCR, Coxiella burnetii, Chicken eggs
PENDAHULUAN Query fever (Q fever) disebabkan oleh C. burnetii yang merupakan mikroorganisme golongan riketsia yang bersifat patogen obligat intraseluler dan zoonosis yang menyebar luas di lima puluh satu negara di dunia (Acha dan Szyfres 2003, Maurin dan Raoult 1999). C. burnetii mempunyai daya tahan lebih dari 1 bulan pada daging yang disimpan dalam cold storage (suhu -20 ºC) dan lebih dari 40 bulan dalam susu skim pada suhu kamar (Marrie 2003).
26
Beberapa jenis hewan yang dapat terinfeksi C. burnetii antara lain sapi, kambing, domba, anjing, kucing, reptil, kodok, burung, rodensia, ikan dan caplak (Parker et al. 2006). Sedangkan sapi perah, kambing dan domba merupakan reservoir utama C. burnetii (Kim et al. 2005). Pada hewan yang terinfeksi C. burnetii, konsentrasi mikroorganisme sangat tinggi pada sekret kelahiran, urin, feses, susu, telur dan wol. Agen penyebab juga ditemukan pada kelenjar ambing, limfoglandula supramamari, uterus dan plasenta (CFSPH 2007). Uterus dan kelenjar ambing merupakan target organ yang diserang pada infeksi kronis C. burnetii. Kontaminasi C. burnetii di lingkungan dapat terjadi setelah hewan melahirkan, terutama dari plasenta yang menjadi penyebab utama penularan penyakit dari hewan ke manusia (Rodolakis et al. 2009). Keberadaan dalam susu telah dilaporkan apabila sapi perah terinfeksi C. burnetii (Maurin dan Raoult 1999; Kim et al. 2005) tetapi transmisi C. burnetii yang terdapat di dalam susu jarang terjadi melalui oral (Arricau-Bauvery dan Rodolakis 2005).
Sejak burung ditetapkan sebagai salah satu host spectrum dari
C. burnetii, maka apabila ayam terinfeksi dapat membawa agen penyebab ke manusia melalui telur mentah yang terkontaminasi (Hirai dan To 1998). Cara penularan lain dapat terjadi secara langsung dari debu terkontaminasi, makanan maupun lewat vektor seperti caplak (Maurin dan Raoult 1999). Pada hewan infeksi C. burnetii umumnya tidak menunjukkan gejala yang khas, seperti abortus pada domba dan kambing, serta gangguan reproduksi pada sapi (Kim et al. 2005). Pada manusia gejala yang terlihat sangat bervariasi, dimana sekitar 60% tidak menunjukkan gejala yang spesifik/asymptomatis, umumnya hanya terlihat gejala akut seperti flu (flue like syndrome), pneumonia atau hepatitis. Apabila tidak diobati secara efektif maka 2-10% dari kasus akut akan menjadi kronis seperti endokarditis, infeksi osteoartikular dan pneumoni fibrosis (CDC 2005; CFSPH 2007). Studi tentang prevalensi C. burnetii pada susu sapi umumnya masih berdasarkan uji serologi, baru beberapa penelitian menggunakan metode PCR, antara lain yang dilakukan Kim et al. (2005) mendapatkan angka prevalensi C. burnetii sebesar 94% pada contoh susu sapi yang di ambil dari tangki susu di Amerika Serikat. Penelitian terhadap 400 contoh susu domba di Turki menunjukkan 3.5% positif DNA C. burnetii (Ongor et al. 2004) serta 4.2% pada contoh telur dan 17.6% pada mayones ditemukan
27
positif DNA C. burnetii di daerah Toyama Jepang (Tatsumi et al. 2006). Penelitian yang dilakukan Sadamasu et al. (2006) tidak menemukan DNA C. burnetii pada 50 sampel mayones komersial yang di jual di Tokyo Jepang dengan metode nested PCR maupun real-time PCR. Tujuan penelitian ini untuk mengetahui keberadaan DNA C. burnetii pada telur ayam ras dan lokal serta ada tidaknya hubungan keberadaan C. burnetii dengan karakteristik lingkungan peternakan (sanitasi, higiene personal dan biosekuriti).
BAHAN DAN METODE Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian dilakukan di Laboratorium Terpadu, Fakultas Kedokteran Hewan Institut Pertanian Bogor pada bulan Juli 2005 sampai dengan Januari 2006.
Bahan dan Alat Penelitian Bahan penelitian ini adalah telur ayam ras dan lokal. GenomicprepTM cell-tissue DNA isolation kit (Amersham Biosciences) yang terdiri dari larutan lisis (cell lysis solution), larutan pengendap protein (protein precipitation solution) dan DNA hydration solution. Alkohol 70%, proteinase K (50 mg/ml), RNase A solution, kloroform, isopropanol, etanol 70%, larutan 1 M NaOH, 1 M HCl dan air milli Q. Primer PCR yang digunakan produk (Sigma), yaitu primer OMP1, OMP2, OMP3 dan OMP4, air milli Q, 10 x PCR bufer, MgCl 2 15 mM (Sigma), dNTP 2 mM (Vivantis) dan Taq DNA polymerase (Vivantis). DNA C. burnetii strain Nine Mile 2 ATCC (NM2) sebagai kontrol positif. Alat yang digunakan adalah mikropipet, vortex, waterbath, inkubator, sentrifus, DNA thermal cycler (Perkin Elmer GeneAmp PCR system 9600 Takara Biomedicals), elektroforesis (BioRad), spektrofotometer, freezer, refrigerator, UV illumination (TM-20 UVP, Inc) dan kamera polaroid.
Metode Penelitian Metode Sampling Metode sampling yang digunakan adalah penarikan contoh acak bertingkat (multistage random sampling) dengan populasi target adalah ayam petelur ras dan lokal
28
yang berumur 6-8 bulan dan berasal dari peternakan yang menejemennya (sanitasi, higiene personal, biosekuriti) buruk dari kecamatan dengan populasi ayam lebih dari 50 ribu ekor. Ukuran sampel adalah 350 sampel telur yang berasal dari wilayah Bogor. Dari 40 kecamatan di Kabupaten dan 6 kecamatan di Kota Bogor, ditetapkan kecamatan dengan kepadatan populasi ayam lebih dari 50 ribu ekor dari masing-masing wilayah dilakukan dengan menggunakan metode acak sederhana. Penetapan peternakan dengan menejemen yang buruk dari masing-masing kecamatan terpilih dilakukan dengan menggunakan metode acak sederhana. Penetapan populasi target pada suatu peternakan dilakukan dengan metode penarikan contoh acak sistematik. Telur diambil dari peternakan ayam petelur ras dan lokal secara aseptis dan dikirim ke laboratorium mengikuti standar prosedur baku pengiriman sampel. Kuning telur selanjutnya digunakan dalam pemeriksaan molekuler. Pada masing-masing peternakan terpilih dilakukan wawancara dan pengamatan dengan menggunakan kuesioner untuk menjaring data sanitasi, higiene personal dan biosekuriti.
Deteksi C. burnetii Pemeriksaan keberadaan DNA C. burnetii dalam kuning telur dengan ekstraksi DNA metode Qiao (2005) dengan beberapa modifikasi.
Kemudian dilakukan analisa
dengan metode nested PCR (Zhang et al. 1998).
Preparasi Sampel Telur Permukaan kerabang telur didisinfeksi dengan alkohol 70% dan putih telur dipisahkan dari kuning telur menggunakan kertas saring steril. 100 µl kuning telur dimasukkan ke dalam mikrotub eppendorf yang berisi 300 µl larutan lisis (cell lysis solution).
Mikrotub dihomogenkan dengan vortex dan ditambah 5 µl proteinase K
(50 mg/ml), dihomogenkan selama 30 detik dan setelah itu diinkubasi 55 ºC dalam waterbath selama 3 jam. Tambahkan 2 µl RNase A solution dan diinkubasi 37 ºC selama 30 menit. Tambahkan 100 µl larutan pengendap protein (protein precipitation solution), dihomogenkan selama 30 detik dan diinkubasi pada temperatur
kamar
selama 15
menit. Tambahkan 500 µl kloroform dingin, dihomogenkan 30 detik dan diinkubasi pada
29
temperatur kamar selama 5 menit. Sentrifus 14000 rpm pada suhu 4 ºC selama 5 menit. Sebanyak 300 µl supernatan (lapisan bening) diambil dan dipindahkan ke mikrotub baru. Tambahkan 500 µl isopropanol dingin, dibolak-balik sampai terlihat benang-benang putih dan disentrifus 14000 rpm pada suhu 4 ºC selama 5 menit. Supernatan dikeluarkan secara hati-hati dengan mikropipet. Endapan putih yang diperoleh ditambahkan 500 µl etanol 70% dingin melalui dinding mikrotub dan disentrifus 14000 rpm pada suhu 4 ºC selama 5 menit. Supernatan dikeluarkan secara hati-hati dengan mikropipet dan endapan dibiarkan mengering selama 10 menit pada temperatur kamar. Endapan yang diperoleh dilarutkan dengan 50 µl DNA hydration solution, disimpan dalam refrigerator dan digunakan sebagai sampel untuk analisa spektrofotometer dan PCR.
Spektrofotometer Cuvet spektrofotometer dicuci dengan larutan 1 M NaOH, 1 M HCl dan air milli Q. Larutan DNA dalam mikrotub dikondisikan pada suhu 60 ºC selama 3 menit dan kemudian dihomogenkan agar DNA terlarut secara merata. Setelah disentrifus beberapa detik diletakkan diatas es. Sebanyak 190 µl hydration solution yang telah ditambahkan dengan 10 µl larutan DNA dimasukkan ke dalam spektrofotometer. Nilai OD 260 , OD 280 dan rasio OD 260 dengan OD 280 dicatat dan kemudian dihitung konsentrasi dan kemurnian DNA.
Primer Nukleotida Primer oligonukeotida yang digunakan adalah produk (Sigma), yaitu primer OMP1 (5’-AGT AGA AGC ATC CCA AGC ATT G-3’), OMP2 (5’-TGC CTG CTA GCT GTA ACG ATT G-3’), OMP3 (5’-GAA GCG CAA CAA GAA GAA CAC-3’) dan OMP4 (5’-TTG GAA GTT ATC ACG CAG TTG-3”), yang didisain dari sekuen
nukleotida gen com 1 yang
mengkode OMP 27 kD (Hendrix et al. 1993; Seshasdri et al. 2003; Zhang et al. 1998).
Amplifikasi DNA Untuk primer OMP1-OMP2 dan OMP3-OMP4, amplifikasi pertama dilakukan dalam volume 30 µl yang berisi 13 µl air milli Q, 10 x PCR bufer 5 µl dengan konsentrasi MgCl 2 15 mM (Sigma), 5 µl dNTP 2 mM (Vivantis), 0.5 µl primer OMP1 100 µM, 0.5 µl
30
primer OMP2 100 µM, 1 µl Taq DNA polymerase (Vivantis) dan 5 µl sampel DNA. Analisis PCR dilakukan berturur-turut, yaitu temperatur 94 °C, 3 menit (pre-denaturasi), 1 putaran, kemudian denaturasi pada temperatur 94 °C, 1 menit, pelekatan (annealing) pada temperatur 54 °C, 1 menit dan pemanjangan (extention) pada temperatur 72 °C, 1 menit selama 36 kali siklus serta temperatur 72 °C, 4 menit dan hold temperature 4 ºC, 1 putaran dalam DNA thermal cycler. Hasil PCR disimpan pada Amplifikasi kedua yaitu campuran reaksi dan kondisinya sama dengan amplifikasi pertama kecuali primer dan DNA template. Primers digunakan OMP3 dan OMP4 serta 5 µl produk hasil amplifikasi pertama digunakan sebagai DNA template. C. burnetii
Kontrol positif adalah 5 µl dari DNA
strain NM2 sebagai template dan kontrol negatif tanpa DNA template
(ditambah 5 µl air milli Q) disertakan dalam proses PCR.
Deteksi PCR Produk amplifikasi PCR dianalisa dengan elektroforesis menggunakan 2% gel agarose (4 gram agarose ditambahkan ke dalam 200 ml 1 x TAE). Setelah cetakan agarose direndam dengan 1 x TAE, maka ke dalam sumur dimasukkan sampel, kontrol (positif) dan DNA molecular weight standards (100 pb DNA ladder) yang telah dicampur loading dye dengan perbandingan 1:9.
Elektroforesis dijalankan dengan tegangan
100 volt selama 45 menit. Kemudian diwarnai dengan etidium bromida (0.5 µg/ml) selama 30 menit, dilihat hasilnya menggunakan UV illumination
pada 320 nm dan dipotret
dengan kamera polaroid. Hasil nested PCR dinyatakan positif apabila terlihat adanya produk yang spesifik dari primer internal (OMP3-OMP4) yang menghasilkan fragmen 438 pb.
Analisis Data Data yang diperoleh dianalisis dan disajikan secara deskriptif dalam bentuk tabel dan grafik. Untuk mengetahui hubungan antara sanitasi, higiene personal dan biosekuriti dengan keberadaan DNA C. burnetii diuji dengan menggunakan Chi-Square (Mattjik dan Sumertajaya 2002).
31
HASIL DAN PEMBAHASAN Deteksi DNA C. burnetii Pada penelitian pendahuluan dilakukan pengujian terhadap 21 sampel darah ayam ras pada peternakan ayam di kecamatan Parung kabupaten Bogor. Hasil pengujian tersebut menunjukkan tidak ditemukan DNA C. burnetii pada semua sampel darah menggunakan metode nested PCR (Firdaus 2007).
Untuk memastikan ada tidaknya
keberadaan DNA C. burnetii pada peternakan ayam, maka dilakukan penelitian lanjutan dengan mengambil 352 sampel telur dari 38 peternakan di wilayah Bogor. Sebanyak 222 telur ayam ras yang berasal dari 29 peternakan ayam sektor 2 dan 130 telur ayam lokal dari 9 peternakan ayam sektor 4 di wilayah Bogor tidak ditemukan DNA C. burnetii. Hasil deteksi DNA C. burnetii dengan elektroforesis dapat dilihat pada Gambar 6.
Gambar 6 Hasil deteksi DNA C. burnetii dengan elektroforesis. (kolom M: DNA Ladder 100 pb, kolom 1: kontrol negatif/dH 2 O, kolom 2: kontrol positif, kolom 3-18: sampel telur)
Konsentrasi dan Tingkat Kemurnian DNA Menurut Sulandari dan Zein (2003) penyerapan sinar ultra violet oleh nukleotida secara maksimal dicapai pada panjang gelombang 260 nm, sedangkan oleh protein dicapai pada panjang gelombang 280 nm. Apabila optical density pada 260 nm (OD 260 ) sama dengan 1, maka konsentrasinya setara dengan 50 µg/ml DNA untai ganda. Untuk menghitung konsentrasi DNA maka digunakan rumus : konsentrasi DNA (µg/ml) =
32
A260 x 50 x 200 (faktor pengenceran). Tingkat kemurnian DNA ditentukan oleh tingkat kontaminasi dalam larutan DNA dan dapat dihitung dengan membagi nilai OD 260 dengan OD 280 . Menurut Colclough et al. (2004) tingkat kemurnian DNA berkisar antara 1.5-2.1. Bila nilai rasio kurang dari 1.5 maka masih ditemukan adanya kontaminasi fenol atau protein dalam larutan DNA.
Sedangkan bila rasio lebih dari 2.1 maka terdapat RNA
dalam larutan DNA. Hasil ekstraksi 222 telur ayam ras didapatkan rata-rata 711.5±237.4
konsentrasi
DNA
µg/ml dengan kemurnian DNA 1.6±0.1, serta dari 130 telur ayam lokal
diperoleh rata-rata konsentrasi DNA 594.0±293.3 µg/ml dengan kemurnian DNA 1.8±0.2. Hasil ekstraksi DNA pada kuning telur dengan modifikasi metode Qiao (2005) diperoleh konsentrasi DNA yang cukup dan tingkat kemurnian DNA yang tinggi. DNA C. burnetii tidak ditemukan pada peternakan ayam sektor 2 disebabkan antara lain karena semua peternakan sudah mempunyai
program pengobatan dan
disinfeksi yang teratur. Hasil ini sesuai dengan data kuesioner yang diperoleh bahwa penggunaan antibiotik (doksisiklin, tetrasiklin dan quinolon) diberikan mulai sejak day old chick (DOC) sampai dengan masa produksi secara berkala. Ketiga antibiotik tersebut digunakan dalam program pencegahan dan pengobatan penyakit.
Doksisiklin dan
tetrasiklin merupakan sediaan antibiotika yang digunakan untuk mengobati Q fever fase akut pada manusia, sedangkan kombinasi doksisiklin dan quinolon untuk mengobati penyakit pada fase kronis (Madariaga et al. 2003; Maurin dan Raoult 1999). Selain itu disinfeksi air, peralatan dan lingkungan secara berkala menggunakan klorin dan ammonium quarternary coumpound (quart) dapat mengurangi atau bahkan membunuh mikroorganisme C. burnetii. Pada peternakan ayam sektor 4 juga tidak ditemukan DNA C. burnetii.
Hasil
kuesioner menunjukkan bahwa di sekitar peternakan tersebut tidak terdapat hewan sapi, domba dan kambing, yang merupakan reservoir utama C. burnetii. Menurut Angelakis dan Raoult (2010) transmisi antar hewan pelihara dapat terjadi karena kontak erat (close contact) atau melalui vektor caplak.
Apabila peternak ayam yang tergolong sektor 4
memiliki atau berlokasi dekat dengan hewan sapi, domba dan kambing, maka penularan penyakit dapat terjadi antar hewan pelihara melalui kontak langsung dengan hewan sakit
33
atau material (cairan amnion, plasenta, urin maupun feses) yang berasal dari hewan yang terinfeksi (Acha dan Szyfres 2003). Hal ini sejalan dengan hasil pengamatan di lapangan, bahwa vektor caplak tidak ditemukan di dalam kandang dan sangkar (nest box) serta di seluruh tubuh ayam ras maupun lokal.
Gambaran Sanitasi, Higiene Personal dan Biosekuriti di Peternakan Telur diambil dari 38 peternakan ayam di wilayah Bogor, terdiri dari 29 peternakan ayam sektor 2 dan 9 peternakan sektor 4. Kriteria peternakan ayam di Indonesia dapat dilihat pada Tabel 3.
Tabel 3 Kriteria peternakan ayam (FAO 2004) Peternakan Ayam Sektor 1 Sektor 2 Sektor 3 Sektor 4
Kriteria Skala Usaha Industri terintegrasi/ komersial besar Produksi komersial/komersial kecil Produksi komersial/komersial kecil Peternakan ayam lokal
Populasi (ekor) 20 000-500 000
Biosekuriti
1 000-20 000 1 000-20 000 1-10
Tinggi Rendah Rendah
Tinggi
Pemilihan peternakan ayam sektor 2 sudah dapat mewakili peternakan ayam sektor 1 dari kriteria tingkat biosekuriti yang tinggi.
Hal yang sama juga terhadap
peternakan ayam sektor 4 yang mewakili peternakan ayam sektor 3 dari kriteria tingkat biosekuriti yang rendah. Berdasarkan hasil kuesioner yang dijaring dari 38 peternakan didapatkan persentase gambaran sanitasi, higiene personal dan biosekuriti di peternakan seperti pada Tabel 4. Secara umum gambaran sanitasi di peternakan ayam sektor 2 tergolong kategori baik sampai sedang (13.8-79.3%) dan hanya sebagian yang buruk (6.9%), sedangkan sektor 4 tergolong buruk (100%). Hal ini disebabkan karena kondisi lokasi peternakan sangat dekat dengan pemukiman dan jarak antar kandang satu dengan yang lain kurang dari satu kali lebar kandang. Selain itu kondisi kandang, tempat pakan, tempat minum, lingkungan kandang, sumber air dan ventilasi belum memenuhi persyaratan sesuai
34
dengan pedoman beternak ayam yang baik dan benar (good farming practices). Gambaran higiene personal di peternakan ayam sektor 2 tergolong kategori sedang sampai buruk (13.8-86.2%), yaitu kelengkapan kerja (baju seragam, sepatu bot, masker) belum diterapkan pada semua peternakan, sarana cuci tangan belum tersedia dan pemeriksaan kesehatan bagi karyawan belum dilakukan secara berkala, sedangkan pada sektor 4 gambaran higiene personal umumnya buruk (100%).
Tabel 4 Gambaran sanitasi, higiene personal dan biosekuriti di peternakan ayam sektor 2 dan sektor 4 Peternakan Ayam Sektor 2
Jumlah Peternakan Ayam 29
Sektor 4
9
Kategori
Sanitasi (%)
Baik Sedang Buruk Baik Sedang Buruk
13.8 79.3 6.9 0 0 100
Higiene Personal (%) 0 13.8 86.2 0 0 100
Biosekuriti (%) 20.7 79.3 0 0 0 100
Penerapan biosekuriti di peternakan ayam sektor 2 umumnya baik sampai sedang (20.7-79.3%), hal ini didukung dengan tindak sanitasi dilakukan sebelum masuk peternakan dan kandang. Selain itu program pengobatan, vaksinasi dan disinfeksi telah disusun dalam bentuk program dan dilaksanakan dengan baik.
Untuk
sektor 4
pelaksanaan biosekuriti tergolong buruk (100%), sehingga ayam mudah terinfeksi berbagai penyakit dan dapat mengakibatkan kontaminasi mikroba ke dalam telur secara transovarial melalui induk ayam (vertikal) maupun lingkungan yang tercemar (horizontal).
KESIMPULAN Kesimpulan yang didapat dari penelitian ini adalah (1) DNA C. burnetii tidak ditemukan pada 352 sampel telur yang berasal dari peternakan ayam petelur ras dan petelur lokal di wilayah Bogor dan (2) belum dapat diketahui hubungan antara karakteristik lingkungan peternakan sektor 2 dan 4 (sanitasi, higiene personal dan biosekuriti) dengan keberadaan DNA C. burnetii.
SENSITIVITAS DAN SPESIFISITAS NESTED POLYMERASE CHAIN REACTION UNTUK MENDETEKSI DNA Coxiella burnetii (Sensitivity and Specificity of Nested Polymerase Chain Reaction for Detection of Coxiella burnetii DNA) Abstrak Telah dilakukan penelitian sensitivitas dan spesifisitas penggunaan nested polymerase chain reaction (nested PCR) untuk mendeteksi keberadaan DNA Coxiella burnetii (C. burnetii). Nested PCR menggunakan primer eksternal (OMP1, OMP2) dan internal (OMP3, OMP4), didisain dari sekuen nukleotida gen com 1 yang mengkode OMP 27 kD serta digunakan untuk mengamplifikasi fragmen sepanjang 501 pb dan 438 pb. Nested PCR mempunyai tingkat sensitivitas 50 kali lebih tinggi dibandingkan dengan PCR yang hanya menggunakan primer eksternal. Hasil uji sensitivitas didapat limit deteksi nested PCR menggunakan DNA murni mencapai 300 pg/µl. Berdasarkan uji spesifisitas, nested PCR hanya dapat mendeteksi DNA C. burnetii dan tidak terjadi hibridisasi silang dengan DNA Brucella abortus, Escherichia coli, Pseudomonas aeruginosa dan Campylobacter Jejuni. Nested PCR sudah digunakan sebagai metode diagnosa untuk penyakit Q fever yang disebabkan oleh C. burnetii. Kata Kunci: nested PCR, Coxiella burnetii, sensitivitas dan spesifisitas
Abstract A sensitivity and specificity of nested polymerase chain reaction (nested PCR) to detect Coxiella burnetii (C. burnetii) DNA were studied. The primer system which consists of external primers (OMP1 and OMP2) and internal primers (OMP3 and OMP4), was designed from the nucleotide sequence of the com I gene encoding a 27 kDa outer membrane protein and used to specifically amplify a 501 bp and 438 bp fragment. This nested PCR assay was 50 fold as sensitive as that using PCR external primer. The Nested PCR has a detection limit as low as 300 pg/µl. Specificity studies showed that nested PCR could only detect C. burnetii DNA and didn’t happened cross hybridization with Brucella abortus, Escherichia coli, Pseudomonas aeruginosa and Campylobacter Jejuni DNA. Nested PCR has been used for diagnostic method of C. burnetii as agent of Q fever disease. Key words: nested PCR, Coxiella burnetii, sensitivity and specificity
PENDAHULUAN Query fever (Q fever) merupakan penyakit zoonosa yang sangat infeksius, menyebar luas hampir di seluruh dunia, menginfeksi orang yang berhubungan dengan pekerjaaannya (occupational hazard) dan dapat ditularkan melalui makanan (foodborne disease) (Vaidya et al. 2008). Penyakit ini disebabkan oleh C. burnetii yang bersifat obligat intraseluler, termasuk bacteria like organism, gram negatif dan berbentuk pleomorfik (bentuknya tidak tetap,
36
batang atau kokoid), berukuran lebar 0.2-0.5 mikron dan panjang 0.4-1.0 mikron, mempunyai 2 bentuk yaitu besar (large form/large cell variant) dan kecil (small form/small cell variant) yang diduga sebagai bentuk yang infeksius (Fournier et al. 1998; Heinzen et al. 1999). C. burnetii memiliki 2 bentuk antigen yakni antigen fase I dan fase II. Fase I ditemukan di alam atau hewan (patogenik), sedangkan fase II ditemukan setelah dibiakkan di telur tertunas atau sel kultur (kurang patogenik) (Angelakis dan Raoult 2010; Maurin dan Raoult 1999). Agen penyebab tahan terhadap kondisi lingkungan panas, kering dan tahan terhadap beberapa disinfektan sehingga dapat bertahan hidup hingga 30 hari pada sputum kering, 120 hari pada debu, 49 hari pada urin kering marmut, 19 bulan pada feses caplak dan 12-16 bulan pada wol (CFSPH 2007). C. burnetii peka terhadap 0,05% hipoklorit, 5% peroksida, 1:100 larutan lisol, glutaraldehid, etanol, gas formaldehid, iradiasi dengan sinar gamma serta pemanasan susu pada suhu pasteurisasi lebih dari 62.7 °C selama 30 menit atau 71.6 °C selama 15 detik dan pesteurisasi telur pada suhu lebih dari 60 °C selama 6.2 menit atau 61.1 °C selama 3.5 menit (CFSPH 2007; Mine 2008). Penularan dari hewan ke manusia melalui inhalasi fomite atau partikel debu (feses, urin dan wol), kontak langsung (plasenta dan sisa abortus) atau makanan (susu, daging, telur dan air) yang terkontaminasi 1-10 organisma (Acha dan Szyfres 2003; Angelakis dan Raoult 2010; Anonim 2003; CFSPH 2007). Sedangkan penularan dari manusia ke manusia dapat terjadi melalui transfusi darah dan kontak seksual (Milazzo et al. 2001). Orang yang terserang penyakit Q fever umumnya menunjukkan gejala klinik yang asymptomatis (60%), symptomatis (38%) dan beberapa penyakit lainnya (2%), sehingga sulit dibedakan dengan gejala penyakit lain. Gejala akut umumnya seperti flu (flue like syndrome), misalnya demam, sakit kepala, berkeringat, menggigil, lemas (fatigue), pegalpegal, sakit tenggorokan, batuk, dada sakit, muntah, diare dan sakit perut. Masa inkubasi penyakit ini berkisar antara 1-4 minggu. Apabila dua minggu tidak diobati penyakit ini dapat berlanjut menjadi pneumonia (30-50%), radang hati (hepatitis), miokarditis, perikarditis, meningoensefalitis dan plasentitis (pada wanita). Kematian pada kasus akut dapat mencapai 1-2% (CDC 2005; CFSPH 2007). Apabila penyakit Q fever yang bersifat akut berlangsung selama 6-12 bulan tanpa pengobatan yang efektif, maka 2-10% dari kasus tersebut akan menjadi kronis, seperti
37
endokarditis, infeksi osteoartikular dan pneumonia fibrosis. Kematian pada penderita kasus kronis bisa mencapai 25-65% (bila mempunyai faktor imunosupresan), sehingga dari segi kesehatan masyarakat veteriner, penyakit Q fever perlu mendapat perhatian yang serius (CDC 2005). Diagnosa yang tepat secara klinis terhadap Q fever sangat sulit dilakukan karena tidak ada gejala klinis yang khas pada hewan maupun manusia. Untuk itu diperlukan teknik diagnosa laboratorium yang tepat serta didukung peralatan yang memadai. Diagnosa C. burnetii dapat dilakukan menggunakan uji serologis maupun melalui pendekatan molekuler menggunakan teknik PCR (Fournier et al. 1998).
Beberapa
metode serodiagnosis yang telah diterapkan untuk pemeriksaan Q fever adalah enzymelinked immunosorbent assay (ELISA), capilary tube microagglutination, complement fixation test (CFT) dan indirect immunofluorescent antibody (IFA). Diagnosis paling akurat terhadap Q fever adalah dengan metode nested PCR (Setiyono et al. 2005; Zhang et al. 1998). Tujuan penelitian ini untuk mengetahui tingkat sensitivitas dan spesifisitas metode nested PCR dibandingkan dengan PCR untuk mendeteksi keberadaan DNA C. burnetii.
BAHAN DAN METODE Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian dilakukan di Laboratorium Balai Besar Penelitian Veteriner (BBalivet) Bogor pada bulan Februari sampai dengan Maret 2010.
Bahan dan Alat Penelitian DNA murni yang digunakan dalam penelitian ini adalah DNA C. burnetii Nine Mile 2 ATCC (NM2) (Staatliches Untersuchungsamt Hessen, Standort Gieβen, Jerman) dan Brucella abortus ATCC 23452, Escherichia coli ATCC 25922, Pseudomonas aeruginosa ATCC 9027 dan Campylobacter jejuni ATCC 33291. Bahan untuk PCR adalah 2 pasang primer, yaitu OMP1-OMP2 eksternal (Sigma) dan OMP3-OMP4 internal (Sigma), air milli Q, PCR bufer (Sigma), MgCl 2 15 mM (Sigma), dNTP 2 mM (Vivantis), TaqTM DNA polymerase (Vivantis), ethidium bromide dan agarose (Vivantis)
38
Alat yang digunakan adalah mikropipet, GeneAmp®PCR System 9700 (Applied Biosystem), elektroforesis (BioRad), spektrofotometer (NanoDrop, ND 1000), freezer, refrigerator, UV illumination (TM-20 UVP, Inc) dan kamera polaroid.
Metode Penelitian Untuk menentukan tingkat optimasi (optimalisasi) PCR dan nested PCR dalam mendeteksi keberadaan DNA C. burnetii, maka pengujian dilakukan dengan mengukur konsentrasi awal DNA menggunakan spektrofotometer. Konsentrasi DNA dibuat menjadi 150 nano gram/µl (ng/µl), sehingga diperoleh konsentrasi akhir dalam reaksi PCR sebesar 75 ng/µl. DNA C. burnetii tersebut diencerkan menjadi 30 ng/µl, 15 ng/µl, 3 ng/µl, 300 piko gram/µl (pg/µl), 30 pg/µl, 3 pg/µl, 0.3 pg/µl dan 0.03 pg/µl. Masing-masing konsentrasi tersebut diamplifikasi dengan menggunakan satu pasang primer (OMP1OMP2) untuk PCR dan dua pasang primer eksternal (OMP1-OMP2) dan primer internal (OMP3-OMP4) untuk nested PCR. Untuk mengetahui tingkat spesifitas metode nested PCR, maka dilakukan pendeteksian terhadap bakteri yang menyebabkan gangguan reproduksi seperti kejadian abortus pada ruminansia, yaitu B. abortus dan beberapa bakteri yang dalam satu famili Proteobacteria, yaitu E. coli, P. aeruginosa dan C. jejuni.
Primer dan Amplifikasi DNA Primer oligonukeotida yang digunakan adalah produk (Sigma), yaitu primer OMP1 (5’-AGT AGA AGC ATC CCA AGC ATT G-3’), OMP2 (5’-TGC CTG CTA GCT GTA ACG ATT G-3’), OMP3 (5’-GAA GCG CAA CAA GAA GAA CAC-3’) dan OMP4 (5’-TTG GAA GTT ATC ACG CAG TTG-3”), yang didisain dari sekuen nukleotida gen com 1 yang mengkode OMP 27 kD dan digunakan untuk mengamplifikasi fragmen sepanjang 501 pb dan 438 pb (Hendrix et al. 1993; Seshasdri et al. 2003; Zhang et al. 1998). Untuk primer OMP1-OMP2 dan OMP3-OMP4, amplifikasi pertama dilakukan dalam volume 50 µl yang berisi 13 µl air milli Q, 10 x PCR bufer 5 µl dengan konsentrasi MgCl 2 15 mM (Sigma), 5 µl dNTP 2 mM (Vivantis), 0.5 µl primer OMP1100 µM, 0.5 µl primer OMP2 100 µM, 1 µl Taq DNA polymerase (Vivantis) dan 25 µl sampel DNA. Analisis PCR dilakukan berturur-turut, yaitu temperatur 94 °C, 3 menit (pre-denaturasi), 1 putaran, kemudian denaturasi pada temperatur 94 °C, 1 menit, pelekatan (annealing)
39
pada temperatur 54 °C, 1 menit dan pemanjangan (extention) pada temperatur 72 °C, 1 menit selama 36 kali siklus serta temperatur 72 °C, 4 menit dan hold temperature 4 ºC, 1 putaran menggunakan DNA thermal cycler. Untuk amplifikasi kedua yaitu campuran reaksinya volume 50 µl yang berisi 37 µl air milli Q, 10 x PCR bufer 5 µl dengan konsentrasi MgCl 2 15 mM (Sigma), 5 µl dNTP 2 mM (Vivantis), 0.5 µl primer OMP3 100 µM, 0.5 µl primer OMP4 100 µM, 1 µl Taq DNA polymerase (Vivantis) dan 1 µl produk hasil amplifikasi pertama digunakan sebagai DNA template, sedangkan analisis PCRnya sama dengan amplifikasi pertama.
Deteksi PCR Produk amplifikasi PCR dianalisa dengan elektroforesis menggunakan 2% gel agarose (Vivantis), yaitu sebanyak 4 gram agarose ditambahkan ke dalam 200 ml 1 x TAE. Setelah cetakan agarose direndam dengan 1 x TAE, maka ke dalam sumur dimasukkan sampel, kontrol (positif) dan standar berat molekul DNA (100 pb DNA ladder) yang telah dicampur loading dye dengan perbandingan 1:9. Elektroforesis dijalankan dengan tegangan 100 volt selama 45 menit. Kemudian diwarnai dengan etidium bromida (0.5 µg/ml) selama 30 menit, hasilnya dilihat menggunakan UV illumination pada 320 nm dan dipotret dengan kamera polaroid. Hasil PCR dinyatakan positif apabila terlihat adanya produk yang spesifik dari primer eksternal (OMP1-OMP2) yang menghasilkan fragmen 501 pb, sedangkan nested PCR dari primer internal (OMP3-OMP4) akan menghasilkan fragmen 438 pb.
HASIL DAN PEMBAHASAN Sensitivitas PCR Hasil uji nested PCR menunjukkan bahwa tingkat optimasi menggunakan satu pasang primer eksternal (OMP1-OMP2) hanya mempunyai kemampuan mendeteksi keberadaan DNA C. burnetii 15 ng (15000 pg), sedangkan dengan dua pasang primer eksternal (OMP1-OMP2) dan primer internal (OMP3-OMP4) memiliki kemampuan mendeteksi hingga 300 pg (lihat Tabel 5 dan Gambar 7). Penggunaan dua pasang primer OMP1-OMP2 dan OMP3-OMP4 lima puluh kali lebih sensitif dibandingkan dengan satu pasang primer OMP1-OMP2 (lihat Tabel 5 dan
40
Gambar 7),
sedangkan Ogawa et al. (2004) menyatakan primer OMP1-OMP2 dan
OMP3-OMP4 sepuluh kali lebih sensitif dibandingkan dengan primer CB1 dan CB2. Nested PCR lebih sensitif dibandingkan dengan PCR. Hal ini disebabkan karena nested PCR menggunakan produk hasil PCR dari primer eksternal yang diamplifikasi kembali menggunakan primer internal sehingga dengan konsentrasi yang rendahpun, DNA C. burnetii dapat dideteksi. Selain itu Nested PCR tidak menghasilkan target yang non spesifik, sedangkan dengan uji PCR masih terdeteksi adanya target yang non spesifik yaitu pada pita 150 pb (Gambar 7). Menurut Zhang et al. (1998) satu sel bakteri C. burnetii setara dengan konsentrasi DNA 5 fg, sehingga bila diperoleh 300 pg maka sensitivitas metode nested PCR dapat mendeteksi sebanyak 6 x 104 sel bakteri.
Hal ini sejalan dengan penelitian yang
dilakukan Tatsumi et al. (2006) bahwa pada sampel telur dengan konsentrasi bakteri antara 104 sampai dengan 106 dapat dideteksi dengan metode real time PCR (quantitative PCR test).
Tabel 5
Perbandingan sensitivitas PCR dan nested PCR dalam mendeteksi DNA C. burnetii dengan konsentrasi 75 ng/µl sampai dengan 0.03 pg/µl
Konsentrasi DNA 75 ng/µl 30 ng/µl 15 ng/µl 3 ng/µl 300 pg/µl 30 pg/µl 3 pg/µl 0.3 pg/µl 0.03 pg/µl
PCR + + + -
nested PCR + + + + + -
Dari penelitian yang dilakukan Ogawa et al. (2004) menunjukkan bahwa primer OMP1-OMP2 dan OMP3-OMP4 dapat mendeteksi sebanyak 6 sel bakteri per tabung PCR atau setara dengan 2 x 102 sel bakteri per sampel. Primer CB1 dan CB2 hanya dapat mendeteksi 60 sel bakteri per tabung PCR atau setara dengan 2 x 103 sel bakteri per sampel. Hirai et al. (2005) telah mengembangkan metode nested PCR untuk mendeteksi C. burnetii pada telur yaitu dengan menambahkan 3.2 x 101 sel bakteri C. burnetii ke dalam 1 gram kuning telur.
41
a Gambar 7
b
Sensitivitas PCR (a) dan nested PCR (b) menggunakan konsentrasi DNA C. burnetii 75 ng/µl sampai dengan 0.03 pg/µl. (kolom M: DNA ladder 100 pb).
Penelitian selanjutnya mendapatkan limit deteksi C. burnetii
dengan metode
3
nested PCR pada pangan asal hewan yaitu 10 sel per 1 ml susu sapi atau domba, 102 sel per
1 ml susu kambing dan 102 sel per 15 mg kuning telur (Fretz et al. 2007), serta 5
x 102 sel bakteri per 50 gram mayones (Sadamasu et al. 2006). Selain itu primer yang didisain dari sekuen nukleotida gen com 1 lebih sensitif dibandingkan dengan sepasang primer Q3-Q5 dan Q4-Q6 untuk mendeteksi C. burnetii pada sampel serum darah dengan metode nested PCR (Zhang et al. 1998).
Spesifisitas PCR Hasil uji spesifisitas menggunakan satu pasang primer eksternal (OMP1-OMP2) maupun dua pasang primer eksternal (OMP1-OMP2) dan primer internal (OMP3-OMP4) menunjukkan spesifik untuk mendeteksi DNA C. burnetii (conserved). Hal ini dapat dilihat dengan adanya pita spesifik pada DNA C. burnetii dan tidak terjadi hibridisasi silang (cross-hybridization) dengan DNA B. abortus, E. coli, P. aeruginosa dan C. jejuni (lihat Gambar 8). Hal ini menunjukkan bahwa bakteri B. abortus yang dapat menyebabkan gejala klinis yang sama dengan C. burnetii seperti abortus pada ruminansia dan beberapa bakteri dari kelompok famili Proteobacteria sub divisi gamma (E. coli, P. aeruginosa) dan delta (C. jejuni) tidak terjadi amplifikasi silang (cross amplification), sehingga penggunaan primer OMP1-OMP2 dan OMP3-OMP4 sangat spesifik untuk mendeteksi DNA C. burnetii. Hasil penelitian Ogawa et al. (2004) juga menunjukkan bahwa terdapat pita yang spesifik dari C. burnetii dibandingkan 12 bakteri lain (Staphylococcus aureus, Streptococcus
pyogenes,
Pseudomonas
aeruginosa,
Legionella
pneumophila,
42
Haemophilus Mycobacterium
infuenzae, Streptococcus pneumoniae, Mycobacterium tuberculosis, intracellulare,
Mycobacterium
avium,
Mycobacterium
kansasii,
Mycobacterium gondonae, Chlamydia pneumoniae) dengan menggunakan primer eksternal (OMP1-OMP2) dan primer internal (OMP3-OMP4).
a
b
Gambar 8 Uji Spesifisitas DNA C. burnetii dengan metode PCR (a) dan nested PCR (b). (kolom 1: kontrol negatif/dH 2 O, kolom 2: B. abortus, kolom 3: E. coli, kolom 4: P. aeruginosa, kolom 5: C. jejuni, kolom 6: C. burnetii dan kolom M: DNA ladder 100 pb). Primer ini sangat sensitif dan spesifik terhadap 21 strain C. burnetii dan sudah digunakan sebagai metode diagnosa laboratorium yang akurat dalam mendeteksi C. burnetii pada fase akut Q fever (Ogawa et al. 2004; Zhang et al. 1998). Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa sensitivitas metode nested PCR sangat memadai untuk mendeteksi keberadaan DNA C. burnetii dengan konsentrasi ≥ 300 pg, sehingga pada bahan pangan asal hewan seperti telur yang mengandung DNA C. burnetii dengan konsentrasi < 300 pg tidak dapat terdeteksi.
KESIMPULAN Metode nested PCR merupakan metode yang sensitif dan spesifik untuk mendeteksi keberadaan DNA C. burnetii. Tingkat sensitivitas metode nested PCR menggunakan primer eksternal (OMP1OMP2) dan primer internal (OMP3-OMP4) memiliki kemampuan mendeteksi DNA C. burnetii hingga konsentrasi ≥ 300 pg. Metode nested PCR mempunyai spesifisitas yang tinggi (conserved) untuk mendeteksi DNA C. burnetii.
PEMBAHASAN UMUM Sampai dengan tahun 2006 ada beberapa penelitian serologi tentang penyakit Query fever (Q fever) di Indonesia. Tahun 1955 ditemukan positif pada 188 serum sapi mengandung antibodi Coxiella burnetii (C. burnetii)
(Kaplan dan
Bertagna 1955). Selanjutkan oleh Rumawas (1976) menemukan 1.2% positif antibodi Q fever dari darah sapi yang diambil dari Bogor, Bandung, Surabaya dan Semarang serta 2.1% seropositif Rickettsia terhadap penduduk di Kepulauan Gag Irian Jaya menggunakan ELISA (Richards et al. 2003). Terakhir baru pada tahun 2006 ditemukan 31.88% dan 20.29% seropositif pada domba dan kambing di Bogor menggunakan IFA, serta secara molekuler pada sapi bali dan brahman cross ditemukan 6.12% serta 3.64% positif DNA C. burnetii pada kambing dan domba di Bali dan Bogor menggunakan metode nested PCR (Mahatmi 2006). Data penelitian terhadap keberadaan C. burnetii sebagai penyebab penyakit Q fever di Indonesia adalah nyata secara serologi dan molekuler, walaupun masih perlu dibuktikan dengan melakukan isolasi dan identifikasi mikroorganisme C. burnetii. Di Indonesia Q fever termasuk penyakit eksotik yaitu penyakit zoonosa yang belum ditemukan atau dilaporkan terjadi di Indonesia (Komnas FBPI 2010). Q fever adalah penyakit zoonosa yang penyebarannya ada dimana-mana di seluruh dunia kecuali New Zealand. Sejak tahun 1999-2004 dilaporkan terjadi 18 kasus pada hewan seperti domba, kambing, kucing, anjing dan hewan liar di 12 negara di dunia (Angelakis dan Raoult 2010).
Penyakit Q fever sangat mudah
menyebar dan tidak menutup kemungkinan masuk ke Indonesia melalui lalu lintas hewan, produk hewan, dan manusia antar negara sebagai penyakit menular baru yang sebelumnya tidak pernah ada (emerging infectious diseases/EID).
Sampai
saat ini Indonesia masih mengimpor sapi sekitar 650 000 ekor per tahun dan sebagian besar dari Australia (Apfindo 2010).
Hal inilah yang perlu diwaspadai
mengingat Q fever pertama sekali ditemukan di Australia dan sampai sekarang penyakit ini masih bersifat endemik di Australia. Penanganan zoonosis kedepan tidak hanya terbatas pada zoonosis yang sudah ada di Indonesia, yang lebih penting adalah bagaimana mencegah masuknya zoonosis yang EID dari negara-negara lain ke Indonesia. Untuk itu pengendalian
44
penyakit menular baru harus dilakukan secara holistik dan terpadu dengan melakukan pelayanan kesehatan hewan, kesehatan masyarakat veteriner dan kesehatan lingkungan secara konsisten (Komnas FBPI 2010). Menurut Muramatsu et al. (2006) Q fever diketahui juga sebagai salah satu penyakit yang dapat ditularkan melalui makanan (food-borne diseases). Selain itu dilaporkan bahwa infeksi C. burnetii pada ayam bersifat transovarial (menular dari induk ayam melalui telur).
Walaupun di dunia masih sedikit laporan tentang
keberadaan C. burnetii pada ayam dan produknya, tetapi telur dan olahannya belakangan ini diduga (suspected) menjadi sumber penularan Q fever pada manusia di Jepang. Untuk itu perlu dilakukan penelusuran lebih lanjut tentang keberadaannya di dalam telur di Indonesia. Infeksi C. burnetii pada peternakan ayam umumnya dikaitkan dengan umur ayam, dimana makin tua umur ayam peluang ditemukannya C. burnetii makin besar. Hal ini sejalan dengan laporan (Muramatsu et al. 2006) yang menyatakan bahwa ayam petelur yang berumur 545-766 hari (77.9-109.4 minggu) mempunyai resiko terinfeksi C. burnetii lebih besar, yaitu ditemukan 7% positif dari 100 sampel darah dengan titer antibodi (IgG) berkisar 16-64 dengan metode IFA. Hal ini disebabkan karena ayam petelur yang dipelihara di peternakan dalam periode waktu yang lama (layer) akan beresiko terpapar C. burnetii lebih tinggi dibandingkan dengan ayam periode starter-grower akibat kontak langsung dari ternak lain yang terinfeksi atau melalui vektor caplak. Caplak bertindak sebagai vektor C. burnetii yang dapat menularkan agen penyakit Q fever dari hewan liar ke hewan domestik maupun dari hewan domestik ke hewan domestik lainnya. Penularan dari hewan ke manusia melalui vektor caplak secara langsung sangat jarang terjadi. Tetapi penularan melalui material atau makanan yang terkontaminasi feses caplak yang terinfeksi C. burnetii dapat terjadi karena konsentrasi C. burnetii sangat tinggi pada feses caplak yang terinfeksi. C. burnetii mengalami multiplikasi di dalam lisosom sel epitel usus caplak (Sonenshine et al. 2002).
Caplak Ixodidae spp. dan Argasidae spp. berperan
penting sebagai vektor C. burnetii pada sapi dan unggas, karena hewan-hewan tersebut merupakan induk semang dari stadium dewasa caplak. Induk semang dari larva dan nimfa caplak-caplak tersebut adalah hewan liar seperti rodensia, logomorphs dan marsupials (Acha dan Szyfres 2003; Angelakis dan Raoult 2010).
45
C. burnetii dalam tubuh caplak berada pada fase I yang sangat infeksius serta mempunyai daya tahan terhadap lingkungan yang panas dan kering (Maurin dan Raoult 1999). Mekanisme penularan C. burnetii oleh vektor caplak ke caplak lainya dapat secara horizontal dengan co-feeding yaitu transmisi terjadi ketika dua caplak atau lebih menghisap darah hewan yang sama.
Jika salah satu caplak terinfeksi
C. burnetii maka akan menulari ke caplak yang lain. Secara vertikal dapat terjadi melalui telur (transovarial). Untuk memelihara kelangsungan hidup C. burnetii maka harus melalui transmisi transstadial pada induk semang antara (hewan liar). Penularan C. burnetii dari caplak ke hewan domestik dapat dibagi menjadi transmisi secara horizontal dan vertikal. Secara horizontal dapat melalui saliva (salivarian transmission) dan melalui feses (stercorarian transmission). Caplak yang terinfeksi akan mengandung C. burnetii
di dalam saliva dan feses.
Pada saat caplak
menggigit hewan akan timbul respon mengaruk-garuk atau mengesek-gesekan kulit sehingga saliva dan feses masuk ke dalam tubuh hewan tersebut (Edman 2004; Hill dan Donald 2005). Pada penelitian ini sebanyak 222 butir telur ayam ras dan 130 butir telur ayam lokal yang diambil dari ayam yang berumur 6-8 bulan (24-32 minggu) di wilayah Bogor tidak ditemukan adanya C. burnetii dengan metode nested PCR. Dasar penetapan umur ayam tersebut adalah pada umur tersebut ayam petelur sudah mencapai puncak produksi. Pada masa puncak produksi umumnya ayam petelur akan mengalami berbagai masalah antara lain stres dan penyakit. Stres akan merangsang kelenjar pituitari mengeluarkan adeno-corticosteroid hormone (ACTH).
Peningkatan ACTH di dalam darah akan mengakibatkan penurunan
metabolisme tubuh dan merusak jaringan limfoid. Kerusakan jaringan limfoid akan menyebabkan atropi jaringan dan menurunkan aktivitas sel T. Aktivitas sel T yang menurun, maka akan mengakibatkan terjadinya gangguan pada sistim kekebalan tubuh sehingga ayam mudah terinfeksi penyakit. Beberapa kemungkinan DNA C. burnetii tidak ditemukan pada telur ayam ras dan lokal yaitu pertama, penggunaan antibiotika golongan quinolon dan doksisiklin sering diberikan sejak dari day old chick (DOC) sampai menjelang masa produksi pada peternakan ayam ras.
Antibiotika golongan quinolon dan doksisiklin
merupakan antibiotika yang digunakan di dalam pengobatan Q fever fase akut
46
maupun kronis (Maurin dan Raoult 1999). Kedua adalah tingkat invasi C. burnetii pada ayam sangat kecil sekali sehingga tidak terdeteksi dengan metode nested PCR. Hal ini sejalan dengan penelitian Muramatsu et al. (2006) yang menyatakan bahwa bila ditemukan prevalensi C. burnetii di suatu wilayah berkisar 1-3% dan juga titer antibodi C. burnetii sangat rendah pada ayam maka apabila dideteksi dengan metode nested PCR hasilnya akan negatif. Kemungkinan lain adalah belum adanya penularan C. burnetii dari sapi, kambing atau domba sebagai reservoir utama ke unggas melalui vektor caplak. To et al. (1998) melaporkan bahwa infeksi C. burnetii pada burung di wilayah Jepang terjadi karena dipelihara dan makan disekitar atau dekat dengan ternak yang terinfeksi.
Hal ini sejalan dengan hasil pengamatan
dilapangan bahwa ternak sapi, kambing maupun domba tidak ada di sekitar lokasi peternakan ayam petelur ras maupun lokal serta tidak ditemukannya caplak di dalam kandang dan juga pada tubuh ayam petelur tersebut. Prinsip dasar PCR adalah memperoleh target DNA yang banyak dengan bantuan oligonukleotida sintetik yang sesuai sekuen target dengan menggunakan enzim polymerase DNA.
Peningkatan secara eksponensial dari target DNA
diperoleh setelah dilakukan denaturasi (denaturation), perlekatan primer (primer annealing) dan perpanjangan (extension) oleh polymerase DNA (Latchman 1995). Menurut Meena et al. (1995) keberhasilan teknik PCR ditentukan berdasarkan konsentrasi (optimalisasi) magnesium klorida (MgCl 2 ), kalium klorida (KCl), deoxyribo-nucleotide-triphosphat (dNTP), Taq polymerase, primer, pH, suhu perlekatan (annealing temperature) dan siklus (cycles). Teknik PCR yang digunakan pada penelitian ini adalah nested PCR yang menggunakan dua pasang primer.
Penggunaan metode nested PCR sangat
bermanfaat manakala konsentrasi C. burnetii dalam sampel tidak mencukupi untuk dideteksi dengan PCR. Tingkat sensitivitas menggunakan dua pasang primer (OMP1-OMP2) dan (OMP3-OMP4) mampu mendeteksi DNA C. burnetii hingga 300 pg/µl. Jika konsentrasi DNA C. burnetii di dalam telur ayam ras maupun lokal ≥ 300 pg/µl atau setara dengan 6 x 104 sel bakteri dapat dideteksi dengan nested PCR. Beberapa penelitian sebelumnya yang dilakukan oleh Ogawa et al. (2004) menunjukkan bahwa primer OMP1-OMP2 dan OMP3-OMP4 dapat mendeteksi sampai dengan 2 x 102 sel bakteri per sampel.
Hirai et al. (2005) telah
mengembangkan metode nested PCR hingga mampu mendeteksi C. burnetii
47
sampai 3.2 x 101 sel bakteri per 1 gram kuning telur. Tetapi dengan metode real time PCR (quantitative PCR test) konsentrasi bakteri C. burnetii 104-106 pada sampel telur baru dapat terdeteksi (Tatsumi et al. 2006). Perbedaan hasil dengan peneliti lain mungkin karena pada penelitian ini dilakukan optimasi MgCl 2 , yaitu dengan melakukan titrasi sehingga diperoleh konsentrasi MgCl 2 dalam reaksi PCR yang optimal. Titrasi MgCl 2 diperlukan untuk meningkatkan sensitivitas uji. Konsentrasi MgCl 2 dalam reaksi PCR harus optimal. Bila tidak optimal, pita (band) yang dihasilkan akan kabur (smear) bahkan tidak ada sama sekali. Kalau menggunakan kit, konsentrasi MgCl 2 sudah tetap dan tidak bisa diubah. Hasil uji spesifisitas diatas menunjukkan penggunaan satu pasang (OMP1OMP2) atau dua pasang primer (OMP1-OMP2 dan OMP3-OMP4) dapat mendeteksi C. burnetii secara spesifik (conserved) dan tidak terjadi hibridisasi silang (crosshybridization) dengan B. abortus, E. coli, P. aeruginosa dan C. jejuni. Hal ini sejalan dengan penelitian Ogawa et al. (2004) yang menunjukkan adanya pita yang spesifik dari C. burnetii dibandingkan 12 bakteri lain (Staphylococcus aureus, Streptococcus pyogenes, Pseudomonas
aeruginosa, Legionella pneumophila, Haemophilus
infuenzae, Streptococcus pneumoniae, Mycobacterium tuberculosis, Mycobacterium intracellulare, Mycobacterium avium, Mycobacterium kansasii, Mycobacterium gondonae, Chlamydia pneumoniae) dengan metode nested PCR. Primer OMP1-OMP2 dan OMP3-OMP4 sangat sensitif dan spesifik serta telah digunakan sebagai metode diagnostik laboratorium yang cepat dan akurat untuk mendeteksi DNA C. burnetii (Ogawa et al. 2004; Zhang et al. 1998). Primer yang didisain dari sekuen nukleotida gen com 1 tersebut lebih sensitif dibandingkan primer CB1 dan CB2 serta sepasang primer Q3-Q5 dan Q4-Q6 untuk mendeteksi C. burnetii (Ogawa et al. 2004; Zhang et al. 1998) Walaupun hasil penelitian keberadaan DNA C. burnetii belum ditemukan pada telur di wilayah Bogor, tetapi tetap perlu diwaspadai mengingat keberadaan C. burnetii secara serologis dan molekuler sudah ditemukan pada ternak sapi (bali, brahman cross), domba dan kambing (Mahatmi 2006). Penularan mikroorganisme ini dapat terjadi kapan saja dari ternak ruminansia yang terinfeksi ke ternak lain. Hal tersebut tergantung dari keanekaragaman jenis ternak, kepadatan populasi ternak keberadaan vektor, jumlah bakteri dan tingkat biosekuriti di suatu wilayah.
48
Menurut Angelakis dan Raoult (2010) apabila sapi dimasukkan ke dalam wilayah endemik Q fever, maka 40% dari sapi tersebut akan terinfeksi dalam kurun waktu enam bulan.
CFSPH (2004) melaporkan bahwa ternak ruminansia yang
terinfeksi akan mengeluarkan (shedding) C. burnetii ke lingkungan sebanyak 109 bakteri per gram plasenta pada saat melahirkan atau abortus dan akan mengkontaminasi tanah, debu dan air. Kontaminan yang terdapat pada tanah dan debu akan terbawa oleh angin sejauh lebih dari 805 meter, sedangkan pada air dapat menyebar melalui irigasi sawah, kali dan sungai. Dilaporkan bahwa 75% EID dalam 20 tahun terakhir, disebabkan oleh mikroorganisme patogen yang dapat menginfeksi manusia (zoonosis) dan 1415 mikroorganisme patogen pada manusia yang telah diketahui, 61.6% bersumber dari hewan (CDC 2005). Untuk itu perlu pengendalian yang sistematis dengan menerapkan konsep One World One Health (OWOH), yaitu konsep tentang penanganan masalah kesehatan yang dikaitkan antara kesehatan manusia (human health), kesehatan hewan (animal health) dan kesehatan lingkungan (ecosystem health) dalam satu kesatuan. OWOH mengutamakan suatu pendekatan interdisiplin dan lintas sektoral dalam pengendalian penyakit, diantaranya surveilans dan monitoring penyakit. Belajar dari pengalaman menangani zoonosis di Indonesia, maka prioritas pengendalian penyakit harus pada sumbernya, yakni hewan. Untuk itu perlu dibangun sistem kesehatan hewan nasional (siskeswanas) yang terpadu dengan koordinasi yang kuat dari pemerintah pusat sampai daerah. Pengendalian zoonosis tidak dapat dipisahkan dari pengawasan keamanan pangan (food safety), seperti Q fever yang dapat ditularkan ke manusia akibat mengkonsumsi pangan asal hewan (foodborne disease). Aspek pengaturan dan pengawasan peredaran bahan pangan asal hewan di dalam negeri serta masuknya bahan pangan dari luar negeri (impor) harus diperketat dan dikoordinasikan dengan sebaik-baiknya diantara institusi terkait. Pemasukan hewan dan produk hewan akan berdampak terhadap resiko masuknya mikroorganisme patogen atau penyakit hewan menular/zoonosis ke Indonesia.
Bila hal tersebut terjadi, maka akan
mempengaruhi kesehatan hewan, kesehatan manusia, kesehatan lingkungan dan perekonomian nasional.
Oleh sebab itu penerapan sanitary-phytosanitary (SPS)
yang mengacu pada standar OIE Terrestrial Code serta penerapan analisa resiko (risk analysis) perlu dilakukan bagi negara impor.
49
Untuk menjamin kesinambungan pengendalian zoonosis, peran serta swasta dan masyarakat menjadi kunci keberhasilan dengan membangun kesadaran masyarakat (public awareness) dalam rangka mencegah dan mengendalikan zoonosis berbasis masyarakat (community based zoonoses control) secara terus menerus. Disamping itu perlu adanya komunikasi, informasi dan edukasi antara pemerintah, swasta dan masyarakat tentang pengendalian zoonosis. Pengendalian zoonosis
di dalam negeri sudah sangat mendesak, oleh
karena itu perlu dilakukan (1) penataan wilayah (zoning) usaha peternakan yang serumpun (ruminasia/unggas) dalam suatu kawasan sesuai dengan peruntukkannya dan dengan jarak antar peternakan yang sesuai peraturan perundang-undangan yang berlaku; (2) kegiatan monitoring dan surveilans terpadu dengan melibatkan laboratorium kesehatan maupun laboratorium veteriner yang mempunyai fasilitas biosafety level 2 (BSL 2) dan BSL 3 di beberapa wilayah di Indonesia, sehingga dapat dirumuskan sistim pengendalian menghadapi EID yang tertuang dalam sebuah pedoman; serta (3) mewujudkan kelembagaan bidang zoonosis yang yang bersifat multidisiplin dan multisektor yang bertugas mengkoordinasikan antar kementerian teknis dan lembaga-lembaga lain yang terkait dalam pencegahan dan pengendalian zoonosis di Indonesia.
KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa DNA Coxiella burnetii (C. burnetii) tidak ditemukan pada telur ayam ras dan lokal di wilayah Bogor. Belum dapat diketahui hubungan antara karakteristik lingkungan peternakan (sanitasi, higiene personal dan biosekuriti) dengan keberadaan DNA C. burnetii. Modifikasi metode Qiao untuk mendeteksi DNA C. burnetii pada telur ayam ras dan lokal dapat menghasilkan konsentrasi DNA yang cukup dan tingkat kemurnian DNA yang tinggi. Metode nested polymerase chain reaction (nested PCR) mampu mendeteksi DNA C. burnetii pada konsentrasi ≥ 300 pg. Metode nested PCR 50 kali lebih sensitif dibandingkan dengan PCR untuk mendeteksi DNA C. burnetii. Metode nested PCR mempunyai spesifisitas yang tinggi (conserved) untuk mendeteksi C. burnetii.
Saran Penelitian lebih lanjut perlu dilakukan untuk mendeteksi keberadaan DNA C. burnetii pada telur ayam yang berasal dari pembibitan (grand parent stock, parent stock) serta budidaya (ras, lokal) di beberapa wilayah sentra-sentra penghasil telur ayam di Indonesia. Perlu dlakukan penelitian terhadap DNA C. burnetii pada jenis telur unggas lainnya seperti telur burung puyuh dan telur bebek. Perlu dilakukan pengawasan terhadap masuknya telur konsumsi dari negara tertular C. burnetii. Perlu dilakukan pengawasan terhadap masuknya sapi, domba dan kambing dari negara-negara endemik khususnya Australia terhadap infeksi C. burnetii sebagai penyebab Q fever. Perlu disusun pedoman cara pengendalian penyakit Q fever di Indonesia sebagi antisipasi adanya kasus di masa mendatang.
DAFTAR PUSTAKA Acha PH, Szyfres B. 2003. Zoonoses and Communicable Diseases Common to Man and Animals, Vol II. 3rd ed, Chlamydioses, Rickettsioses and Viroses. Washington : Pan American Health Organization hlm 16-27. Ackland JR, Worswick DA, Marmion BP. 1994. Vaccine Prophylaxis of Q Fever : A Follow up Study of the Efficacy of Q Vax (CSL) 1985-1990. The Med J Aust 160(11):704-708. Adesiyun AA, Cazabon EPI. 1996. Seroprevalences of Brucellosis, Q Fever and Toxoplasmosis in Slaughter Livestock in Trinidad. Revue Élev Méd Vét Pays Trop 49(1):28-30. Angelakis E, Raoult D. 2010. Q Fever. Vet Microbiol 140:297-309. [Anonim]. 2003. Q Fever Agent-Potential Terrorist Threat-Detected in Food. 2nd JapanUS. Security Strategy Conference for Food Safety and Security, Washington : 20-25 Nov 2003. [Apfindo] Asosiasi Pengusaha Feedlot Indonesia. 2010. Menuju Swasembada Daging tahun 2014. Makalah disampaikan pada pertemuan Koordinasi Komisi Bibit dan Pakar, Direktorat Jenderal Peternakan Departemen Pertanian Republik Indonesia. Bandung : 8-10 Juni 2010. Arricau-Bauvery N, Rodolakis A. 2005. Is a Q Fever an Emerging or Re-Emerging Zoonosis?. Vet Res 36(3):327-349. Baca OG, Paretsky D. 1983. Q Fever and Coxiella burnetii : A Model for Host-Parasite Interaction. Microbial Rev 47(2):127-149. Berri et al. 2001. Relationship between the Shedding of Coxiella burnetii, Clinical Sign and Serological Responses of 34 Sheep. Vet Record 148:502-505. Buhariwalla F, Cann B, Marrie TJ. 1996. A dog-related Outbreak of Q Fever. Clin Infect Dis 23:753-755. Carcopino X, Raoult D, Bretelle F, Boubli L, Stein A. 2007. Managing Q Fever during Pregnancy the Benefits of Long-Term Cotrimoxazole Therapy. Clin Infect Dis 45:548-555. [CDC] Communicable Diseases Control. 2001. Q Fever. Government of South Australia : Department of Health. [CDC] Centers for Disease Control and Prevention. 2005. Q Fever. Georgia USA : National Center for Infectious Diseases, Division of Viral and Rickettsial Diseases, Viral and Rickettsial Zoonoses Branch, Atlanta. Last review hlm 1-5.
52
Cekani M, Papa A, Kota M, Velo E, Berxholi K. 2008. Report of a Serological Study of Coxiella burnetii in Domestic Animal in Albania. Vet J 175:276-278. Cetinkaya et al. 2000. Seroprevalence of Coxiellosis in Cattle, Sheep and People in the East of Turkey. Vet Record 146:131. [CFSPH] Center for Food Security and Public Health. 2007. Q Fever. Ames Iowa USA : Iowa State University College of Veterinary Medicine. Last update hlm 1-6. Colclough T et al. 2004. National Genetics Reference Laboratory. Academic Unit of Medical Genetics and Regional Genetics Service. Manchester : Saint Mary’s Hospital. Coleman SA, Fischer ER, Howe D, Mead DJ, Heinzen RA. 2004. Temporal Analysis of Coxiella burnetii Morphological Differentiation. Bacteriol 186(21):7344-7353. Delsing CE, Kullberg BJ. 2008. Q Fever in The Netherlands : a Concise Overview and Implications of The Largest on going Outbreak. Neth J Med 66:365-367. Edman JD. 2004. Arthropod Transmission of Vertebrate Parasite. Di dalam : Medical Entomology. Netherlands : Kluwer Academic Publisher. Ergas D, Keysari A, Edelstein V, Sthoeger ZM. 2006.. Acute Q Fever in Israel : Clinical and Laboratory Study of 100 Hospitalized Patients. IMAJ 8:337-341. [FAO] Food and Agricultural Organization. 2004. Primary Production Farming Systems in Rural or Urban Settings on FAO Recommendation on Prevention, Control and Eradication of Highly Pathogenic Avian Infuenza (HPAI), htpp://www.fao.org/ag/againfo/subjects/en/health/diseasecards/ 27septrecomm. pdf. [28 Mei 2006]. Field PR et al. 2000. Comparison of a Commercial Enzyme Linked Immunosorbent Assay with Immunofluorescence and Complement Fixation Test for Detection of Coxiella burnetii (Q fever) Immunoglobulin M. J Clin Microbiol 38(4):1645-1647. Field PR, Santiago A, Chan SW. 2002. Evaluation of a Novel Commercial Immunoglobulin G for Q Fever Prevaccination Screening and Diagnosis. J Clin Microbiol 40(9):3526-3529. Firdaus G. 2007. Deteksi DNA Coxiella burnetii pada Darah Ayam Ras Di Kecamatan Parung Kabupaten Bogor dengan Metode PCR [Skripsi]. Bogor : Fakultas Kedokteran Hewan, Institut Pertanian Bogor. Fournier PE, Marrie TJ, Raoult D. 1998. Diagnosis of Q Fever. J Clin Microbiol 36(7):1823-1834. Fournier PE, Raoult D. 2003. Comparation of PCR and Serology for Early Diognosis of Acute Q Fever. J Clin Microbiol 41(11):5094-5098.
53
Fretz R, Schaeren W, Tanner M, Baumgartner A. 2007. Screening of Various Foodstuffs for Occurrence of Coxiella burnetii in Switzerland. Int J Food Microbiol 116:414418. Harris RJ, Storm PA, Lloyd A. 2000. Long-Term Persistence of Coxiella burnetii in the Host after Primary Q Fever. Epidemiol and Infect 124:543-549. Hatchette T, Campbell N, Hudson R, Roault D, Marrie TJ. 2003. Natural History of Q Fever in Goat. Vector-borne Zoon Dis 3:11-15. Heinzen RA, Hackstadt T, Samuel JE. 1999. Developmental Biology of Coxiella burnetii. Trends in Microbiol 7(4):149-154. Hendrix LR, Mallavia LP, Samuel JE. 1993. Cloning and Sequencing of Coxiella burnetii Outer Membrane Protein Gene com I. Infect and Immunol 61:470-477. Hill C, Donald A. 2005. Tick Borne Rickettsioses. Clin Microbiol Rev 18:719-756. Hirai A et al. 2005. Investigation of Coxiella burnetii Contamination in Commercial Milk and PCR Method for The Detection of Coxiella burnetii in Egg. Shokukin Eiseigaku Zasshi 46(3):86-92. Hirai K, To H. 1998. Advance in the Understanding of Coxiella burnetii Infection in Japan. J Vet Med Sci 60:781-790. Ibrahim IM et al. 1999, Serosurvey of Wild Rodent for Rickettsioses (Spotted Fever, Murine Typhus and Q Fever) in Java Island, Indonesia. Eur J Epidemiol 15(1):8993. Kagawa FT, Wehner JH, Mohindra V. 2003. Q Fever as a Biological Weapon. Seminar in Respiratory Infections 18(3):183-195. Kaplan MM, Bertagna P. 1955. The Geographical Distribution of Q Fever. Bull WHO 13:829-860. Kato K, Arashima Y, Asai S. 1998. Detection of Coxiella burnetii Specific DNA in Blood Samples from Japanese Patients with Chronic nonspecific Symptoms by Nested Polymerase Chain Reaction. FEMS Immunol and Med Microbiol 21:139-144. Kennerman E, Rousset E, Gölcü E, Dufour P. 2010. Seroprevalence of Q Fever (Coxiellosis) in Sheep from the Southern Marmara Region, Turkey. Comp Immun Microbiol Infect Dis 33:37-45. Kim SG, Kim EH, Lafferty CJ, Dubovi E. 2005. Coxiella burnetii in Bulk Tank Milk Samples in United States. Emerg Infect Dis 11:619-621. Kloppert et al. 2004. Coxiella burnetii als Zoonoseerreger unter besonderer Berücksichtigung der Lebensmittelhygiene. Dtsch Tierärztl Wschr 111:321-323.
54
[Komnas FBPI] Komite Nasional Pengendalian Flu Burung dan Kesiapsiagaan Menghadapi Pandemi Infuenza. 2010. Penguatan Sistem Koordinasi Penanganan Zoonosis di Indonesia. Jilid ke-3. Jakarta. Latchman DS. 1995. PCR Amplification in Pathology : Principle and Practice. New York : Oxford University Press hlm 1-16. Lorenz H, Jager C, Willems H, Baljer G. 1998. Detection of Coxiella burnetii from Different Clinical Specimens especially Bovine Milk on the Basis of DNA Preparation with Silica Matrix. Appl Environ Microbiol 64(11):4234-4237. Madariaga MG, Rezai K, Trenholme GM, Weinstein RA. 2003. Q Fever : a Biological Weapon in Your Backyard. Lancet Infect Dis 3(11):709-721. Mahatmi H. 2006. Studi Q Fever pada Ruminansia di Wilayah Bogor dan Provinsi Bali Menggunakan Metode Nested-Polymerase Chain Reaction dan Uji Indirect Immunofluorescent Antibody [disertasi]. Bogor : Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. Marrie TJ. 2000. Coxiella burnetti (Q Fever). In : Mandell Gerald M, Bennett J, Dolin R. Principles and Practice of Infectious Diseases, 5th edition; 2043-2050. New York : Churchill Livingstone. Marrie TJ. 2003. Coxiella burnetii Pneumonia. J Eur Respir 21:713-719. Matjik AA, Sumertajaya IM. 2002. Perancangan Percobaan dengan Aplikasi SAS dan Minitab. Bogor: Jurusan Statistika FMIPA IPB, IPB Press. Maurin M, Raoult D. 1999. Q Fever. Clin Microbiol Rev 12(4):518-553. Meena H, Mahbubani, Asim K. 1995. Application of PCR Methodology in Clinical Diagnostics: PCR Technology, Current Innovation. CRC Press Inc.:308-324. Milazzo A et al. 2001. Sexually Transmitted Q Fever. Clin Infect Dis 33(3):399-402. Mine Y. 2008. Egg Bioscience and Biotechnology. Wiley-Interscience. New Jersey : A John Wiley and Sons, Inc. Publication. Miyashita N et al. 2001. A Case of Coxielle burnetii Pneumonia in an Adult. Nihon Kokyuki Gakkai Zasshi Rev 39(6):446. Muramatsu Y et al. 2006. Seroepidemiologic Survey of Coxiella burnetii and Attempt to Detect Coxiella DNA in Aged Non-Laying Chickens in a Prefecture of Japan where Poultry Farmimg Prospers. J Vet Med Sci 68(9):1007-1008. Muskens J, Mars MH, Franken P. 2007. Q Fever : an Overview. Tijdschr Diergeneeskd 132:912-917. [NNDSS] National Notifiable Diseases Surveillance System. 2003. National Q Fever Management Program. Australian : Government Department of Health and Ageing.
55
Norlander L. 2000. Q Fever Epidemiology and Pathogenesis. Microb and Infect 2(4):417424. Nourse C et al. 2004. Three Cases of Q Fever Osteomyelitis in Children and a Review of Literature. Clin Infect Dis 39:e61-e66. Ogawa M et al. 2004. Evaluation of PCR and Nested PCR Assays Currently used for Detection of Coxiella burnetii in Japan. SA J Trop Medic Publ Health 35(4):151154. Ongor H et al. 2004. Detection of Coxiella burnetii by Immunomagnetic Separation-PCR in the Milk of Sheep in Turkey. Vet Rec 154:570-572. Parker NR, Barralet JH, Bell AM. 2006. Q Fever. Lancet 367:679-788. Qiao Y. 2005. Detection Methods of Coxiella burnetii in Raw Eggs and Mayonnaise. Japan : The Institute for Preventive Medicine against Zoonosis. Rarotra JR, Yadav MP, Sethi MS. 1978. Sero-Epidemiology of Q Fever in Poultry. Avian Dis 22(1):167-169. Russell-Lodrigue et al. 2009. Coxiella burnetii Isolates Cause Genogroup-Specific Virulence in Mouse and Guinea Pig Models of Acute Q Fever. Infec and Immun 77(12):5640-5650. Richards A et al. 2003. Serologic Evidence of Infection with Erlichiae and Spotted Fever group Rickettsiae among Residents of Gag Isand Indonesia. Am J Trop Med Hyg 68:480-484. Rodolakis A et al. 2009. Investigation of Humoral and Cellular Immunity of Dairy Cattle after One or Two Year of Vaccination with a Phase I Coxiella Vaccine. Proc Vaccinol 1:85-88. Rolain JM, Mallet JM, Raoult D. 2003. Correlation between Serum Doxycycline Concentrations and Serologic Evolution in Patients with Coxiella burnetii Endocarditis. J Infect Dis 188(9):1322-1325. Rumawas I. 1976. Some Zoonosis and the Possibilities of Q Fever in Indonesia, Conference of the Singapore Veterinary Association, Singapore : October, 22-24, 1976, hlm 16-21. Sadamasu K et al. 2006. Development of Effective Detection Method for Coxiella burnetii in Mayonnaise by Real Time PCR and Investigation of C. burnetii Contamination in Commercial Mayonnaise in Tokyo. Shokukin Eiseigaku Zasshi 47(1):1-8. Schimmer et al. 2008. Large on going Q Fever Outbreak in The South of The Netherland. Eur Surveill 13:18939. Seshasdri R et al. 2003. Complate Genome Sequence of the Q Fever Pathogen Coxiella burnetii. PNAS 100(9): 5455-5460.
56
Sethi MS, Singh B, Yadav MP. 1978. Experimental Infection of Coxiella burnetii in Chicken:Clinical Symptoms, Serologic Response and Transmission through Egg. Avian Dis 22(3):391-395. Setiyono A. 2003. Pengembangan Teknik ELISA untuk Diagnosis Zoonosa. Seri Pengetahuan : Berita IPTEK; 18 Februari 2003.
Penyakit
Setiyono A et al. 2005. New Criteria for Immunofluorescent Assay for Q Fever Diagnosis in Japan. J Clin Microbiol 43:5555-5559. Setiyono A, Handharyani E, Mahatmi H. 2008. Seroprevalensi Q Fever pada Domba dan Kambing di Wilayah Jawa Barat. JITV 13(1):61-66. Singleton P, Sainsbury D. 2006. Dictionary of Microbiology and Moleculer Biology. 3rd ed. England : John Wiley and Sons, Ltd. Slaba K, Skultety I, Toman R. 2005. Efficiency of Various Serological Techniques for Diagnosing Coxiella burnetii Infection. Acta Virol 49(2):123-127. Sobeslavsky O, Syrucek L. 1959. Transovular Transmission of C. burnetii in the Domestic Fowl (Gallus gallus domesticus). J Hyg Epidemiol. Microbiol Immunol 3:458-464. Sonenshine DE, Lane RS, Nicholson WL. 2002. Medical and Veterinary Entomology. USA : Academic Press. Sulandari S, Zein MSA. 2003. Panduan Praktis Laboratorium DNA. Bogor : Bidang Zoologi, Pusat Penelitian Biologi, Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia. Tatsumi N, Baumgartner A, Qiao Y, Yamamoto I, Yamaguchi K. 2006. Detection of Coxiella burnetii in Market Chicken Eggs and Mayonnaise. Annu NY Sci 1078:502505. To H et al. 1996. Q Fever Pneumonia in Children in Japan. J Clin Microbiol 34:647-650. To H et al. 1998. Coxiellosis in Domestic and Wild Birds from Japan, J Wildlife Dis 34(2):310-316. Vaidya VM, Malik SVS, Kaur S, Kumar S, Barbuddhe SB. 2008. Comparison of PCR, immunofluorescence Assay, and Pathogen Isolation for Diagnosis of Q Fever in Human with Spontaneous Abortions. J Clin Microbiol 46(6):2038-2044. Van den Brom R, Vellema P. 2009. Q Fever Outbreaks in Small Ruminant and People in the Netherlands. Small Ruminant Res 86:74-79. Vanpeenen PF, Gundelfinger BF, Koesharjono C, See R. 1978. Sero-epidemiological Evidence for Occupational Exposure to Q Fever in Indonesia. J Occup Med 20(7):488-489. Willems H, Cornelie J, George B. 1998. Physical and Genetic Map of The Obligate Intracellular Bacterium Coxiella burnetii. J Bacteriol 180(15):3816-3822.
57
Waag DM et al. 2002. Comparative Efficacy and Immunogenicity of Q Fever ChloroformMethanol Residue (CMR) and Phase I Celluler (Q-Vax) Vaccine in Cynomolgus Monkeys Challenged by Aerosal. Vacc 20(19-20):2623-2634. Zhang GO et al. 1998. Clinical Evaluation of New PCR Assay for Detection of Coxiella burnetii in Human Serum Samples. J Clin Microbiol 36:77-80. Zhang GO, Kiss K, Seshasdri R, Hendrix LR, Samuel JE. 2004. Identification and Cloning Antigens of Coxiella burnetii. J Infect Immun 72(2):844-852.
LAMPIRAN
59
Lampiran 1 Asal sampel telur ayam ras yang berasal dari kabupaten Bogor No. 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11. 12. 13. 14. 15. 16.
Wilayah Kabupaten
Kecamatan Cibinong Bojong Gede Jonggol Caringin Mega Mendung Cileungsi Parung Kemang Gunung Sindur Rumpin Dramaga Nanggung Leuwiliang Parung Panjang Tenjo Cigudeg
Jumlah
Jumlah Telur (butir) 15 15 12 6 6 6 30 13 48 18 6 6 12 6 5 6 222
Lampiran 2 Asal sampel telur ayam lokal yang berasal dari Kabupaten dan kota Bogor No. 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9.
Wilayah Kabupaten
Kota
Kecamatan Cileungsi Nanggung Cibungbulang Cibening Ciampea Babakan Madang Ciomas Dramaga Bogor Tengah Jumlah
Jumlah Telur (butir) 5 9 15 14 27 15 21 4 20 130
60
Lampiran 3
Hasil uji nested PCR telur ayam ras yang berasal dari kabupaten Bogor
No.
Kecamatan
Nama Farm
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12
Cibinong
Nurmadi Farm Surya Farm Tajur Halang Farm Kalisurya Farm Santosa Wijaya Farm Maseng Farm Dara Molek Farm Tunas Harapan Farm Eka Farm Scorpio Farm Lanny Indra Farm Chaidir Darmawan Farm Robert Wijaya Farm Erianti Farm Wijaya Farm Nirwana Farm Yasindur Farm Trio Farm Niken Farm Kosasih Farm Apoi Farm Ujang Farm Arta Kencana Jaya Farm Parung Panjang Farm Kadasiru Farm Bumi Harapan Makmur Farm Barokah Farm Suka Raksa Farm 29
13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27
Bojong Gede Jonggol Cigombong Mega Mendung Cileungsi Parung
Kemang Gunung Sindur
Rumpin
Dramaga Nanggung Leuwiliang Parung Panjang Tenjo Cigudeg
28 29 Jumlah
Jumlah Telur (butir) 9 6 6 9 12 6 6 6 12 12 6 13
Hasil Uji
6 12 6 12 6 6 6 6 6 6 6 12 6 5 6
Negatif Negatif Negatif Negatif Negatif Negatif Negatif Negatif Negatif Negatif Negatif Negatif Negatif Negatif Negatif
6 6 222
Negatif Negatif
Negatif Negatif Negatif Negatif Negatif Negatif Negatif Negatif Negatif Negatif Negatif Negatif
61
Lampiran 4
No. 1. 2.
Hasil uji nested PCR telur ayam lokal yang berasal dari kabupaten dan kota Bogor
Wilayah
Kecamatan
Kabupaten
Cileungsi Nanggung
3.
Cibungbulang
4.
Cibening
5.
Ciampea
6.
Babakan Madang
7.
Ciomas
8. 9.
Kota Jumlah
Dramaga Bogor Tengah
Nama Peternak Sukirman Tatang Ajat S Rahmat Tanu Handi Kusnadi Rusli Soleh Faisal Nur Hasan Emi Aswan Tono Jaya Ujang Ahmad Enoh Acep Emuh Alih Nenah Nana Jamilah Agung Yudi Taryadi Sudarwo
Jumlah Telur (butir) 5 4 5 2 4 4 5 4 3 4 3 3 5 4 5 5 5 3 2 4 2 3 1 5 4 6 6 4 20 130
Hasil Uji Negatif Negatif Negatif Negatif Negatif Negatif Negatif Negatif Negatif Negatif Negatif Negatif Hegatif Negatif Negatif Negatif Negatif Negatif Negatif Negatif Negatif Negatif Negatif Negatif Negatif Negatif Negatif Negatif Negatif
62
Lampiran 5 Kuesioner untuk peternak I.
Data umum
1.
Nama Peternak
: ................................................................................
2.
Nama Peternakan
: ................................................................................
3.
4.
Alamat Peternakan 3.1 Kelurahan 3.2 Kecamatan Pendidikan
II.
Data khusus (diisi dengan wawancara dan pengamatan)
1. 2. 3.
Populasi ayam : ………………........ekor Ayam umur 24 – 32 minggu :……………….........Flok Lokasi peternakan □ Jauh dari pemukiman □ Dekat dari pemukiman
4.
Jarak antar kandang
5.
Sanitasi 5.1 Kandang 5.2 Tempat pakan 5.3 Tempat minum 5.4 Egg tray/baki telur 5.5 Lingkungan kandang 5.6 Sumber air
6.
Ventilasi kandang
7.
Higiene personal 7.1 Pakaian kerja (baju seragam, sepatu bot, masker dll) □ Ada □ Tidak ada 7.2 Sarana cuci tangan □ Ada □ Tidak ada 7.3 Pemeriksaan kesehatan karyawan □ Ada □ Tidak ada
8.
Biosekuriti 8.1 Tindak sanitasi sebelum masuk ke peternakan □ Ada □ Tidak ada 8.2 Tindak sanitasi sebelum masuk ke kandang □ Ada □ Tidak ada 8.3 Program vaksinasi □ Ada □ Tidak ada 8.4 Program pengobatan □ Ada □ Tidak ada
:
: ................................................................................ : ................................................................................ : □ SD □ SLTP □ SLTA □ Perguruan Tinggi
□ > Dari lebar kandang □ Selebar kandang □ < Dari lebar kandang □ Baik □ Sedang □ Buruk □ Baik □ Sedang □ Buruk □ Baik □ Sedang □ Buruk □ Baik □ Sedang □ Buruk □ Baik □ Sedang □ Buruk □ PAM □ Sumur dalam > 30 m □ Sumur dangkal ≤ 30 m □ Baik □ Buruk
63
Sebutkan jenis antibiotik yang sering digunakan : .......................................................................................................... ......................................................................................................... ......................................................................................................... .......................................................................................................... .......................................................................................................... .......................................................................................................... 8.5 8.6
8.7
9.
Program disinfeksi kandang/peralatan □ Ada □ Tidak ada Kandang pullet dan produksi dalam satu lokasi peternakan □ Ya □ Tidak kalau Ya. sebutkan jaraknya ................m Kandang sapi, kambing dan domba dekat dengan lokasi peternakan □ Ya □ Tidak kalau Ya. sebutkan jaraknya ................m
Keberadaan Ektoparasit 9.1 Ektoparasit yang dijumpai □ Lalat □ Caplak □ Kutu □ lain-lain, sebutkan .................................................................. 9.2 Kerapatan relatif □ Lalat, ..................... □ Caplak, ...................... Enumerator
Nama Tanda tangan
Peternak
64
Lampiran 6
Pengelompokan dan pembobotan faktor-faktor yang mempengaruhi sanitasi, higiene personal dan biosekuriti di peternakan
I Sanitasi No. 1. 2. 3. 4. 5. 6.
Faktor yang mempengaruhi Kandang Tempat pakan Tempat minum Egg tray/baki telur Lingkungan kandang Sumber air
Bobot 2 1 1 1 1 2
II. Higiene Personal No. 1. 2. 3.
Faktor yang mempengaruhi Pakaian kerja (seragam, sepatu bot, masker) Sarana cuci tangan Pemeriksaan kesehatan karyawan
Bobot 2 3 3
III. Biosekuriti No. 1. 2. 3. 4. 5. 6.
Faktor yang mempengaruhi Tindak sanitasi sebelum masuk peternakan Tindak sanitasi sebelum masuk kandang Program vaksinasi Program pengobatan Program disinfeksi kandang dan peralatan Kandang pullet dan produksi dalam satu lokasi
Bobot 3 3 3 3 3 2
Keterangan bobot : 1. 2. 3.
Paling sedikit memberikan pengaruh terhadap terjadinya kontaminasi pada telur Memberikan pengaruh terhadap terjadinya kontaminasi pada telur Paling banyak memberikan pengaruh terhadap terjadinya kontaminasi pada telur
65
Lampiran 7 No. 1. 2.
3
4. 5.
6.
7.
Skoring (penilaian) faktor-faktor yang mempengaruhi sanitasi, higiene personal dan biosekuriti di peternakan
Faktor yang mempengaruhi Lokasi peternakan Jauh dari pemukiman Dekat dari pemukiman Jarak antar kandang > Dari lebar kandang Selebar kandang < Dari lebar kandang Sanitasi 3.1 Kandang Baik Sedang Buruk 3.2 Tempat pakan Baik Sedang Buruk 3.3 Tempat minum Baik Sedang Buruk 3.4 Egg tray/baki telur Baik Sedang Buruk 3.5 Lingkungan kandang Baik Sedang Buruk 3.6 Air PAM Sumur dalam > 30 m Sumur dangkal ≤ 30 m Ventilasi kandang Baik Buruk Higiene personal 5.1 Pakaian kerja (baju seragam, Ada sepatu bot, masker dll) Tidak ada 5.2 Sarana cuci tangan Ada Tidak ada 5.3 Pemeriksaan kesehatan Ada karyawan Tidak ada Biosekuriti 6.1 Tindak sanitasi sebelum Ada masuk ke peternakan Tidak ada 6.2 Tindak sanitasi sebelum Ada masuk ke Kandang Tidak ada Biosekuriti 7.1 Program vaksinasi 7.2 Program pengobatan
Ada Tidak ada Ada Tidak ada
Nilai 2 1 3 2 1 3 2 1 3 2 1 3 2 1 3 2 1 3 2 1 3 2 1 2 1 2 1 2 1 2 1 2 1 2 1 2 1 2 1
66
7.3 Program disinfeksi kandang dan peralatan 7.4 Kandang pullet dan produksi dalam satu lokasi peternakan
Ada Tidak ada Tidak Ya
Keterangan penilaian : 1.
Jika ada 2 kondisi : Nilai 1 : Banyak menimbulkan kontaminasi mikroba pada telur Nilai 2 : Sedikit menimbulkan kontaminasi mikroba pada telur
2.
Jika ada 3 kondisi : Nilai 1 : Banyak menimbulkan kontaminasi mikroba pada telur Nilai 2 : Agak banyak menimbulkan kontaminasi mikroba pada telur Nilai 3 : Sedikit menimbulkan kontaminasi mikroba pada telur
2 1 2 1
67
Lampiran 8 Perbandingan metode Qiao dengan modifikasi metode Qiao Metode Qiao - Kuning telur disaring dengan kertas saring steril - 100 µl kuning telur + 100 µl PBST, sentifus dan endapan dicuci lagi dengan PBST. - Endapan dicuci dengan Tris buffer yang mengandung Np40, Tween 20 dan Triton X-100, bekukan pada 80 ºC selama 20 menit dan cairkan kembali - Tambahkan proteinase K dan inkubasi 56 ºC dalam waterbath selama 2 jam - Tambahkan RNAase dan inkubasi 37 ºC selama 20 menit
- Tambahkan kloroform dan sentrifus pada 13000 rpm selama 5 menit.
- Supernatan + isopropanol dan sentrifus 13000 rpm selama 5 menit
- Endapan + etanol 70% dan sentrifus 13000 rpm selama 5 menit. - Endapan yang diperoleh dilarutkan dengan TE
Modifikasi metode Qiao - Kuning telur disaring dengan kertas saring steril - 100 µl kuning telur + 300 µl larutan Lisis dan homogenkan dengan vortex
- Tambahkan 5 µl proteinase K (50 mg/ml), homogenkan selama 30 detik dan inkubasi 55 ºC dalam waterbath selama 3 jam - Tambahkan 2 µl RNAase A solution dan inkubasi 37 ºC selama 30 menit - Tambahkan 100 µl larutan pengendap protein (protein precipitation solution), homogenkan selama 30 detik dan inkubasi pada temperatur kamar selama 15 menit. - Tambahkan 500 µl kloroform dingin, homogenkan 30 detik dan inkubasi pada temperatur kamar selama 5 menit. Sentrifus pada 14000 rpm pada suhu 4 ºC selama 5 menit. - 300 µl supernatan+ 500 µl isopropanol dingin, bolak-balik sampai terlihat benang-benang putih dan sentrifus 14000 rpm pada suhu 4 ºC selama 5 menit - Endapan putih + 500 µl etanol 70% dan sentrifus 14000 rpm pada suhu 4 ºC selama 5 menit. - Endapan yang diperoleh dilarutkan dengan 50 µl DNA hydration solution