STUDI PEWARISAN SIFAT TOLERANSI ALUMINIUM TANAMAN SORGUM MANIS [Sorghum bicolor (L.) Moench]
ISNAINI
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2010
PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis dengan judul Studi Pewarisan Sifat Toleransi Aluminium Tanaman Sorgum Manis [Sorghum bicolor (L.) Moench] adalah karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk karya apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam daftar pustaka di bagian akhir tesis ini.
Bogor, Februari 2010
ISNAINI NIM A 253070051
ABSTRACT ISNAINI. Study of Aluminum Tolerance Inheritance of Sweet Sorghum [Sorghum bicolor (L.) Moench]. Under direction of TRIKOESOEMANINGTYAS and DESTA WIRNAS. Sweet sorghum [Sorghum bicolor (L.) Moench] is actually not Indonesian origin but it has a big potential to be grown and cultivated in this country as the solution to food and energy crisis owing to its wide adaptability and other advantages. Al toxicity is one of limiting factors in agriculture development in Indonesia. Further research on sorghum breeding is needed especially to search for genotypes that can be grown and cultivated in acid soil with Al toxicity. The successes in the sorghum breeding program to obtain adaptable varieties in Al stress is determined by selecting the appropriate breeding method. The objective of this research was to study inheritance of Al tolerance of sweet sorghum by analysis of F2 distribution, the genetic components and heritability of the four generation of sorghum to determine the effective and efficient method in breeding program for sorghum tolerance to Al. The four populations in this research were UPCA S1 (P1, susceptible parent) and Numbu (P2, tolerant parent), F1 and F1 reciprocal and F2. This research was also to develop selection criteria for Al tolerance in sorghum breeding and selection based on yield character for food and bio-ethanol. The crosses of parental, F1, F1R and F2 generation were established in University Farm of IPB and UPTD Tenjo from June 2008 to June 2009. The study of Al tolerance inheritance in nutrient culture was conducted in green house of University Farm of IPB from July-August 2009. The study of Al tolerance inheritance in field was conducted in UPTD Tenjo from July-November 2009. Selection was applied to 600 genotypes of F2 generation. Based on reciprocal analysis, all of characters are controlled by nuclear genes and their inheritance in not affected by maternal cytoplasm. The distribution of F2 genotype is indicating continuous with skewnesses which indicate that all characters are polygenics. All characters of Al tolerance in seedling stage i.e. root length, root and shoot dry weight were controlled by additive gene action with contribution by complementary epistasis gene except shoot length that is controlled by additive gene action with duplicate epistasis gene. Plant height in field experiment is controlled by additive gene action. Plant weight, total of biomass weight, ear length and total of grain weight are controlled by additive gene action with complementary epistasis gene. In F2 generation, there are transgresive segregants. All characters had broad sense heritability from medium to high. Based on heritability value, pedigree selection is the most effective selection method in breeding program for sorghum tolerance to Al. Multi-characters selection is more effective in F2 selection both for food and bio-ethanol. Keywords: Sorghum, inheritance, quantitative traits, Al tolerance, differential selection
RINGKASAN ISNAINI. Studi Pewarisan Sifat Toleransi Aluminium Tanaman Sorgum Manis [Sorghum bicolor (L.) Moench]. Dibimbing oleh TRIKOESOEMANINGTYAS dan DESTA WIRNAS. Sorgum manis [Sorghum bicolor (L.) Moench] merupakan salah satu jenis tanaman yang sangat potensial dalam pemecahan masalah krisis pangan dan energi. Sorgum manis ideal untuk dikembangkan di Indonesia karena tanaman ini mempunyai kesesuaian yang tinggi untuk dikembangkan di lahan kering. Namun lahan kering di Indonesia didominasi oleh tanah yang bereaksi masam. Karena itulah perlu dilakukan program pemuliaan untuk memperoleh varietas yang mampu beradaptasi terhadap cekaman Al ditentukan oleh pemilihan metode pemuliaan yang tepat sehingga kegiatan pemuliaan dapat menjadi efektif dan efisien. Sampai sejauh ini informasi mengenai pewarisan toleransi keracunan Al pada tanaman sorgum manis masih sangat sedikit. Tujuan penelitian ini adalah untuk memperoleh informasi mengenai pewarisan sifat toleransi Al pada tanaman sorgum manis. Tujuan lainnya adalah memperoleh karakter untuk seleksi pemuliaan sorgum yang toleran Al serta memperoleh genotipe-genotipe toleran Al melalui seleksi pada generasi F2 di tanah masam. Percobaan dimulai dengan pembentukan populasi melalui persilangan antara tetua peka cekaman Al (UPCA S1) dan tetua toleran cekaman Al (Numbu) sejak bulan Juni 2008-Juli 2009 di KP Cikabayang University Farm (UF) IPB dan UPTD Lahan Kering Tenjo, Dinas Pertanian dan Kehutanan Kabupaten Bogor. Studi pewarisan sifat toleransi Al pada karakter stadia bibit pada kondisi tercekam Al dengan menggunakan metode kultur hara, dilakukan rumah kaca KP Cikabayan, UF IPB sejak bulan Juli 2009Agustus 2009. Studi pewarisan karakter agronomi dan hasil pada kondisi tercekam Al di lapang dilaksanakan di UPTD Tenjo sejak bulan Juli 2009November 2009. Seleksi genotipe sorgum toleran Al dilakukan pada populasi F2 yang ditanam pada percobaan lapang. Hasil analisa uji-t pada populasi F1 dan F1R diketahui bahwa pada kondisi cekaman Al, gen yang mengendalikan karakter fase bibit, karakter agronomi dan karakter hasil terdapat pada gen-gen inti dan pewarisannya tidak dipengaruhi tetua betina. Analisa sebaran frekuensi genotipe F2 menunjukkan bahwa semua karakter pengendali toleransi tanaman sorgum terhadap cekaman Al bersifat poligenik. Semua karakter toleransi Al yang berhubungan dengan stadia bibit yaitu panjang akar, bobot kering akar dan bobot kering tajuk dikendalikan aksi gen aditif dengan pengaruh gen epistasis komplementer kecuali pada karakter panjang tajuk yang memiliki aksi gen aditif dengan pengaruh gen epistasis duplikasi. Karakter agronomi dan hasil hanya karakter tinggi tanaman yang dikendalikan oleh aksi gen aditif. Karakter bobot batang, bobot total biomassa, panjang malai dan bobot biji per tanaman terdapat aksi gen aditif dengan pengaruh aksi gen epistasis komplementer. Hasil analisa sebaran frekuensi genotipe F2 juga menunjukkan terdapat keragaman yang besar pada populasi F2 yang merupakan zuriat hasil persilangan dari tetua genotipe toleran Al dan genotipe peka Al dan terdapat terdapat segregan transgresif pada semua karakter-karakter yang diuji dengan nilai melebihi nilai kedua tetua. Nilai
heritabilitas arti luas untuk semua karakter toleransi Al yang berhubungan dengan pertumbuhan akar maupun karakter agronomi cekaman Al tergolong sedang hingga tinggi sehingga metode seleksi yang dapat digunakan dalam seleksi galur sorgum dengan toleransi terhadap Al dapat menggunakan metode pedigree sebagai metode seleksi yang paling efektif. Seleksi pada populasi F2 untuk keperluan pangan menghasilkan nilai diferensial seleksi yang lebih tinggi jika seleksi dilakukan berdasarkan bobot biji per tanaman dan tinggi tanaman dibandingkan jika hanya berdasarkan bobot biji per tanaman. Seleksi pada populasi F2 sebagai bahan bioetanol menghasilkan nilai diferensial yang lebih tinggi apabila seleksi dilakukan berdasarkan kedua karakter bobot biji per tanaman dan bobot batang segar secara bersamaan dibandingkan dengan seleksi yang dilakukan dengan menggunakan karakter tunggal. Kata Kunci: Sorgum, pewarisan karakter kuantitatif, toleransi Al, diferensial seleksi
© Hak Cipta Milik IPB, tahun 2010 Hak Cipta dilindungi Undang-undang Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik atau tinjauan suatu masalah; dan sebagian pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh Karya tulis dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB
STUDI PEWARISAN SIFAT TOLERANSI ALUMINIUM TANAMAN SORGUM MANIS [Sorghum bicolor (L.) Moench]
ISNAINI
Tesis sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada Mayor Pemuliaan dan Bioteknologi Tanaman
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2010
Penguji Luar Komisi pada Ujian Tesis : Dr Ir Yudiwanti WE Kusumo, MSi
Judul Tesis : Nama NRP
: :
Studi Pewarisan Sifat Toleransi Aluminium Tanaman Sorgum Manis [Sorghum bicolor (L.) Moench] ISNAINI A 253070051
Disetujui Komisi Pembimbing
Dr. Ir. Trikoesoemaningtyas, MSc. Ketua
Dr. Desta Wirnas, SP. MSi. Anggota
Diketahui Ketua Mayor Pemuliaan dan Bioteknologi Tanaman
Dr. Ir. Trikoesoemaningtyas, MSc.
Tanggal Ujian:
Dekan Sekolah Pascasarjana
Prof. Dr. Ir. Khairil A. Notodiputro, MS.
Tanggal Lulus :
PRAKATA Puji syukur penulis panjatkan ke hadirat Allah SWT atas segala karuniaNya sehingga penelitian dan penulisan tesis dengan judul Studi Pewarisan Sifat Toleransi Aluminium Tanaman Sorgum Manis [Sorghum bicolor (L.) Moench] ini dapat diselesaikan dengan baik. Tesis ini merupakan tugas akhir sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Master Sains di Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor. Penelitian dan penulisan tesis ini dapat diselesaikan berkat bantuan dari Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi, Departemen Pendidikan Nasional Republik Indonesia melalui beasiswa BPPS tahun 2007-2009 dan Hibah Penelitian Tim Pascasarjana-HPTP tahun 2008-2010. Penulis mengucapkan terima kasih yang tulus dan penghargaan yang tidak terhingga kepada: 1. Tim BPPS, Dirjen Pendidikan Tinggi, Departemen Pendidikan Nasional RI yang telah memberikan beasiswa kepada penulis untuk mengikuti program Master di IPB. 2. Dr. Ir. Trikoesoemaningtyas, MSc. selaku Ketua Komisi Pembimbing atas bimbingan dan perhatian selama penulis menempuh pendidikan di IPB dan selama pelaksanaan penelitian serta penulisan tesis ini. 3. Dr. Desta Wirnas, SP. MSi. selaku Pembimbing Tesis Kedua yang telah memberikan bimbingan dan pengarahan selama kegiatan penelitian dan penulisan tesis. 4. Prof. Dr. Ir. Sriani Sujiprihati, MS. selaku Kepala Bagian Laboratorium Genetika dan Pemuliaan Tanaman, Departemen Agronomi dan Hortikultura IPB, yang telah memberikan kesempatan yang sangat berharga dan rekomendasi kepada penulis untuk mendaftar di Sekolah Pascasarjana IPB. 5. Prof. Dr. Ir. Bambang S Purwoko, MSc., Prof. Dr. Ir. Supiandi Sabiham, MAgr., Prof. Dr. Ir. MA Chozin, MAgr. dan Dr. Ir. Sobir, MSi. yang telah berkenan memberikan izin dan rekomendasi kepada penulis untuk mendaftar di Sekolah Pascasarjana IPB. 6. Dr. Ir. Yudiwanti WE Kusumo, MSi. sebagai penguji luar komisi pada saat ujian akhir tesis atas saran-saran untuk perbaikan tesis ini.
7. Kepala dan staf UPTD Lahan Kering Tenjo, Dinas Pertanian dan Kehutanan Kabupaten Bogor. 8. Dosen-dosen Departemen Agronomi dan Hortikultura IPB, yang telah memberikan ilmu dan pengetahuan tiada batas kepada penulis selama menempuh pendidikan di IPB. 9. Ayahanda Asmawi Bakrie dan Ibunda Asmarawati MA Bakrie, Abang Hendri Afrizal dan Dang Nur Asmi Hayati, SPdI, Abang Syafrizal, SH. dan Dedek Aidil Syah Putra atas semua doa, dukungan dan curahan kasih selama penulis menyelesaikan pendidikan. 10. Sahabat tersayang, Fifin N Nisya, SP. MSi., (semangat, Sir! biar kita lanjut ke project berikutnya), Genta Atmaja, SP. (atas sponsorship perbanyakan tesis), Novy Anggraini, SP. MM., Effi Noverya, SPi., Melinda T Wulan, SP., I Gst Ayu Dwi Putri Mayasari, SP., Rahdini Safitri, SSi. dan Yenni Rahmawati, SE. (my bfs forever!) atas semua kebersamaan dan dukungan. 11. Rekan-rekan satu tim HPTP (Ir. Sungkono, MP., Ir. Karlin Agustina, MSi., Sumiyati, SP. dan Rahmansyah Darmawan, SP.), rekan-rekan PBT 2007 (Heni Safitri, SP. MSi., Amin Nur, SP. MSi., Siti Noorohmah, SP. MSI., Nurwanita E Putri, SP. MSi., Yussi Arisandi, SP. MSI., Alfin Widiastuti, SP. MSi., Rokhana Faizah, SP. MSi. dan Hairin Dalimunthe, SP. MSi.) dan Ayunda Dian Novita, SP. atas semua kebersamaan dan bantuan. 12. Seluruh pihak yang tidak dapat penulis sebut satu per satu yang banyak membantu menyelesaikan studi dan penelitian penulis. Akhir kata, penulis berharap semoga karya ilmiah ini dapat memperkaya keilmuan dan bermanfaat bagi semua.
Bogor, Februari 2010
ISNAINI
RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan di Kota Bengkulu pada tanggal 17 Januari 1984 dari Bapak Asmawi Bakrie BA dan Ibu Asmarawati MA Bakrie. Penulis merupakan putri ketiga dari empat bersaudara. Penulis menempuh pendidikan dasar di SD Negeri 20 Kota Bengkulu pada tahun 1990 -1996, dilanjutkan dengan SLTP Negeri 2 Kota Bengkulu (1996-1999) dan dilanjutkan ke SMU Negeri 2 Kota Bengkulu (1999-2002). Tahun 2002 penulis diterima di Program Studi Pemuliaan Tanaman dan Teknologi Benih, Departemen Agronomi dan Hortikultura Institut Pertanian Bogor melalui jalur Undangan Seleksi Masuk IPB (USMI) dan lulus pada tahun 2007. Penulis berkesempatan melanjutkan program master pada Mayor Pemuliaan dan Bioteknologi Tanaman, Sekolah Pascasarjana IPB pada tahun 2007 atas Beasiswa Pendidikan Pascasarjana dari Direktorat Pendidikan Tinggi Departemen Pendidikan Nasional Republik Indonesia. Karya ilmiah yang merupakan bagian dari tesis penulis telah dipresentasikan dalam Simposium dan Kongres Nasional VI Perhimpunan Ilmu Pemuliaan Indonesia (PERIPI) pada bulan November 2009 dengan Judul Genetic Variation, Heritability and Gene Action of Sorghum [Sorghum bicolor (L.) Moench] in Nutrient Solution.
DAFTAR ISI Halaman DAFTAR TABEL …………….………………………………………… xv DAFTAR GAMBAR …………….……………………………………… xvii DAFTAR LAMPIRAN ……….………………………………………… xix PENDAHULUAN …………….………………………………………… Latar Belakang …………….…………………………………………. Tujuan …………….……………………………………….…………. Hipotesis ………………………………………………………………
1 1 4 4
TINJAUAN PUSTAKA ………………………………………………… Sorgum Manis [Sorghum bicolor (L.) Moench] ……………………... Mekanisme Toleransi terhadap Aluminium …………………………. Pemuliaan bagi Lingkungan Bercekaman …………………………… Arah Program Pemuliaan Tanaman Sorgum ………………………… Metode untuk Mempelajari Pola Pewarisan Sifat …………………… Pewarisan Toleransi terhadap Aluminium ……………………………
6 6 8 11 13 22 26
BAHAN DAN METODE ………………………………………………. Bahan Tanaman ……………………………………………………… Waktu dan Tempat …………………………………………………… Pewarisan Karakter Toleransi Al pada Stadia Bibit …………………. Pewarisan Karakter Agronomi dan Hasil pada Kondisi Tercekam Al ………………………………………………………………………… Seleksi Genotipe F2 Sorgum Toleran Cekaman Al ………………….. Analisis Data ………………………………………………………….
28 28 28 28
HASIL DAN PEMBAHASAN …………………………………………. Pewarisan Karakter Toleransi Al pada Stadia Bibit …………......... Pengaruh Tetua Betina terhadap Karakter Toleransi Al pada Stadia Bibit ……………………………………………………….. Sebaran Frekuensi Genotipe Generasi F2 Karakter Toleransi Al pada Stadia Bibit …………………………………………………. Pendugaan Komponen Ragam dan Nilai Heritabilitas Arti Luas Karakter Toleransi Al pada Stadia Bibit …………………………. Pewarisan Karakter Agronomi dan Hasil pada Kondisi Tercekam Al ………………………………………………………………………… Pengaruh Tetua Betina Karakter Agronomi dan Hasil ………….. Sebaran Frekuensi Genotipe Generasi F2 Karakter Agronomi dan Hasil ……………………………………………………………… Pendugaan Komponen Ragam dan Nilai Heritabilitas Arti Luas Karakter Agronomi dan Hasil …………………………………….
33 34
29 30 30
37 38 42 45 48 48
53
Seleksi Genotipe F2 Sorgum Toleran Cekaman Al ………………….. 55 KESIMPULAN DAN SARAN …………………………………………. 59 Kesimpulan …………………………………………………………... 59 Saran …………………………………………………………………. 59 DAFTAR PUSTAKA …………………………………………………… 60 LAMPIRAN …………………………………………………………….. 71
DAFTAR TABEL
Halaman 1
2
3
4
Rata-rata Tetua P1 (UPCA S1), P2 (Numbu), Generasi F1 dan F2 Hasil Persilangan Sorgum Varietas UPSA-S1 dan Numbu pada Cekaman Aluminium di Kultur Hara ………………………………….
35
Pendugaan Pengaruh Tetua Betina Hasil Persilangan Sorgum Varietas UPCA-S1 dan Numbu pada Cekaman Aluminium di Kultur Hara …...
38
Nilai Skewness, Aksi Gen, Nilai Kurtosis Genotipe F2 Hasil Persilangan Sorgum Varietas UPCA-S1 dan Numbu pada Cekaman Aluminium di Kultur Hara …………………………………………….
42
Nilai Pendugaan Komponen Ragam dan Heritabilitas Arti Luas Hasil Persilangan Sorgum Varietas UPCA-S1 dan Numbu pada Cekaman Aluminium di Kultur Hara …………………………………………….
44
5
Rata-rata tetua P1 (UPCA S1), P2 (Numbu), F1 dan F2 Hasil Persilangan Sorgum Varietas UPCA-S1 dan Numbu pada Cekaman Aluminium di Lapangan ………………………………………………. 47
6
Pendugaan Pengaruh Tetua Betina Hasil Persilangan Sorgum Varietas UPCA-S1 dan Numbu pada Cekaman Aluminium di Lapangan ……... 48
7
Nilai Skewness, Aksi Gen, Nilai Kurtosis Genotipe F2 Hasil Persilangan Sorgum Varietas UPCA-S1 dan Numbu pada Cekaman Aluminium di Lapangan ………………………………………………. 52
8
Nilai Pendugaan Komponen Ragam dan Heritabilitas Arti Luas Hasil Persilangan Sorgum Varietas UPCA-S1 dan Numbu pada Cekaman Al di Lapangan …………………………………………………………… 54
9
Kemajuan Seleksi Berdasarkan Karakter Bobot Biji per Tanaman Hasil Persilangan Sorgum Varietas UPCA-S1 dan Numbu pada Cekaman Aluminium di Lapangan ……………………………………
56
10 Kemajuan Seleksi Berdasarkan Karakter Bobot Biji per Tanaman Hasil dan Tinggi Tanaman Persilangan Sorgum Varietas UPCA-S1 dan Numbu pada Cekaman Aluminium di Lapang an ………………...
56
11 Kemajuan Seleksi Berdasarkan Karakter Bobot Batang Hasil Persilangan Sorgum Varietas UPCA-S1 dan Numbu pada Cekaman Al di Lapangan …………………………………………………………… 57
12 Kemajuan Seleksi Berdasarkan Karakter Bobot Biji per Tanaman dan Bobot Batang Hasil Persilangan Sorgum Varietas UPCA-S1 dan Numbu pada Cekaman Aluminium di Lapangan ……………………... 57
DAFTAR GAMBAR Halaman
1
2
Bagan Alir Penelitian Studi Pewarisan Toleransi Al Tanaman Sorgum Manis [Sorghum bicolor (L.) Moench] ………………………………..
5
Penampilan UPCA S1 dan Numbu (kiri) dan F1/F1 Resiprokal Hasil Persilangan Sorgum Varietas UPCA S1 dan Numbu (kanan) pada Cekaman Al di Kultur Hara …………………………………………...
36
3
Penampilan Generasi F2 Hasil Persilangan Sorgum Varietas UPCA S1 dan Numbu pada Cekaman Al di Kultur Hara ………………………... 36
4
Grafik Sebaran Frekuensi Panjang Tajuk Populasi F2 Hasil Persilangan Sorgum Varietas UPCA S1 dan Numbu pada Cekaman Aluminium di Kultur Hara …………………………………………….
40
5
Grafik Sebaran Frekuensi Panjang Akar Populasi F2 Hasil Persilangan Sorgum Varietas UPCA S1 dan Numbu pada Cekaman Aluminium di Kultur Hara ……………………………………………………………. 40
6
Grafik Sebaran Frekuensi Bobot Kering Tajuk Populasi F2 Hasil Persilangan Sorgum Varietas UPCA S1 dan Numbu pada Cekaman Aluminium di Kultur Hara …………………………………………….
41
Grafik Sebaran Frekuensi Bobot Kering Akar Populasi F2 Hasil Persilangan Sorgum Varietas UPCA S1 dan Numbu pada Cekaman Aluminium di Kultur Hara …………………………………………….
41
Penampilan Tanaman dan Malai UPCA S1 (P1) dan Numbu (P2) di Lapangan ………………………………………………………………
46
7
8
9
Penampilan Tanaman dan Malai F1 dan F1 Resiprokal Hasil Persilangan Sorgum Varietas UPCA S1 dan Numbu di Lapangan …… 46
10 Penampilan Tanaman dan Malai F2 Hasil Persilangan Sorgum Varietas UPCA S1 dan Numbu di Lapangan ………………………….
46
11 Grafik Sebaran Frekuensi Tinggi Tanaman Populasi F2 Hasil Persilangan Sorgum Varietas UPCA S1 dan Numbu pada Cekaman Al di Lapangan ……………………………………………………………
50
12 Grafik Sebaran Frekuensi Bobot Batang Populasi F2 Hasil Persilangan Sorgum Varietas UPCA S1 dan Numbu pada Cekaman Al di Lapangan ……………………………………………………………… 50
13 Grafik Sebaran Frekuensi Bobot Biomassa Total Populasi F2 Hasil Persilangan Sorgum Varietas UPCA S1 dan Numbu pada Cekaman Al di Lapangan ……………………………………………………………
51
14 Grafik Sebaran Frekuensi Panjang Malai Populasi F2 Hasil Persilangan Sorgum Varietas UPCA S1 dan Numbu pada Cekaman Aluminium di Lapangan ………………………………………………. 51 15 Grafik Sebaran Frekuensi Bobot Biji per Tanaman Populasi F2 Hasil Persilangan Sorgum Varietas UPCA S1 dan Numbu pada Cekaman Aluminium di Lapangan ………………………………………………. 52
DAFTAR LAMPIRAN
Halaman 1
Komposisi Larutan Hara Steinberg yang telah dimodifikasi (Ohki 1987) …………………………………………………………………... 70
2
Daftar Hasil Analisis Contoh Tanah Lapang UPTD Lahan Kering Tenjo …………………………………………………………………..
71
3
Kriteria Kondisi Lahan Kering Masam Tenjo, Jasinga ……………….
72
4
Deskripsi Varietas Numbu …………………………………………….
73
5
Deskripsi Varietas UPCA S1 ………………………………………….
74
6
Daftar Genotipe Terpilih Hasil Seleksi Berdasarkan Karakter Bobot Biji per Tanaman Hasil dan Tinggi Tanaman Persilangan Sorgum Manis Varietas UPCA-S1 dan Numbu pada Cekaman Aluminium di Lapangan ………………………………………………………………
75
Daftar Genotipe Terpilih Hasil Seleksi Berdasarkan Karakter Bobot Biji per Tanaman dan Bobot Batang Hasil Persilangan Sorgum Manis Varietas UPCA-S1 dan Numbu pada Cekaman Aluminium di Lapangan ………………………………………………………………
76
7
71
PENDAHULUAN Latar Belakang Sorgum manis [Sorghum bicolor (L.) Moench] merupakan salah satu tanaman pangan utama dunia. Hal ini ditunjukkan oleh data mengenai luas areal tanam, produksi dan kegunaan tanaman ini di dunia yang menempati peringkat ke-lima setelah gandum, padi, jagung dan barley (Murty et al. 1994). Tanaman sorgum merupakan sumber pangan utama di Afrika yang dikonsumsi lebih dari 300 juta penduduknya (Rajvanshi dan Nimbkar 2001). Pemanfaatan sorgum lainnya adalah produk olahannya berupa roti, bubur, bahan minuman (bir dan sirup) serta gula atau jiggery (ICRISAT 1996). Tanaman sorgum manis merupakan salah satu jenis tanaman yang sangat potensial dalam pemecahan masalah krisis pangan dan energi. Berkaitan dengan program diversifikasi pangan di Indonesia, tanaman sorgum sangat potensial untuk dijadikan sebagai bahan pangan utama sumber karbohidrat karena memiliki kandungan nutrisi yang tinggi (Yudiarto 2006). Beberapa kandungan nutrisi yang dimiliki sorgum melebihi kandungan yang dimiliki penghasil karbohidrat utama (beras) yaitu protein, lemak, kalsium, besi, fosfor dan vitamin B-1 (Departemen Kesehatan RI 1992). Batang dan biji sorgum dapat dikonversi menjadi bioetanol melalui proses fermentasi (Reddy dan Dar 2007). Sorgum memenuhi tiga syarat utama yang sangat diperlukan untuk diproduksi menjadi bahan bakar non-fosil yaitu tidak berkompetisi dengan tanaman pangan, produktivitasnya tinggi dan biaya produksinya rendah (Medco Energi 2007). Produktivitas sorgum sebagai bahan baku bioetanol lebih tinggi dibandingkan tanaman yang umum digunakan sebagai bahan baku bioetanol di Indonesia seperti tebu, ubi kayu, jagung dan gula bit (Medco Energi 2007). Sorgum memiliki daya adaptasi agroekologi yang luas, tahan terhadap kekeringan, produksi tinggi, kebutuhan input lebih sedikit serta lebih tahan terhadap hama dan penyakit dibanding tanaman pangan lain (Hoeman 2007). Sorgum dapat tumbuh di dataran rendah hingga dataran tinggi mencapai 1500 m
72
di atas permukaan laut dan dapat ditanam di daerah tropis atau subtropis. Tanaman sorgum memiliki toleransi tinggi terhadap kekeringan dan kondisi iklim yang berbeda-beda (FAO 2002; Hoeman 2007). Selain itu tanaman sorgum memiliki toleransi terhadap cekaman abiotik dan dapat dibudidayakan dengan hasil yang cukup baik. Sorgum manis ideal untuk dikembangkan di Indonesia karena tanaman ini mempunyai kesesuaian yang tinggi untuk dikembangkan di lahan kering. Lahan kering di Indonesia mencapai 144 juta hektar. Di antara luas lahan kering yang tersedia, baru sekitar 55.6 juta hektar atau sekitar 29.4% yang telah digunakan sebagai lahan pertanian (BPS 2001). Berdasarkan bentuk wilayah (topografi) sekitar 31.5 juta ha merupakan lahan kering dengan topografi yang datar berombak (kemiringan lereng < 8 %) dan sesuai untuk dibangun perkebunan sorgum. Dengan demikian lahan kering merupakan salah satu sumberdaya lahan yang mempunyai potensi besar untuk pembangunan pertanian, baik tanaman pangan, hortikultura, perkebunan maupun peternakan. Kendala yang dihadapi dari potensi lahan kering di Indonesia adalah sebesar 99.5 juta hektar (69.1%) dari total lahan kering tersebut merupakan tanah yang bereaksi masam (Hidayat dan Mulyani 2002). Lahan kering masam dicirikan dengan pH < 5.0 dan kejenuhan basa < 50% (Hidayat dan Mulyani 2002). Lahan kering masam juga ditandai oleh tingginya konsentrasi Aluminium (Al), terutama Al3+, yaitu bentuk Al yang dianggap paling beracun bagi tanaman (Marschner 1995). Konsentrasi Al pada larutan tanah mineral berkisar di bawah 1 mg/l (±37 µM) pada pH ≥ 5.5 dan akan meningkat dengan penurunan pH tanah. Konsentrasi Al3+ pada taraf tersebut dapat dengan cepat menghambat pertumbuhan akar (Carver and Ownby 1995). Lahan bertanah masam juga mengalami defisiensi P akibat terikatnya P oleh Al yang menyebabkan P menjadi tidak tersedia bagi tanaman. Toksisitas Al pada tanaman serealia dapat menurunkan hasil antara 28-63% dari kapasitas optimumnya (Sierra et al. 2005). Aktivitas Al menyebabkan pertumbuhan akar sorgum terhambat hingga 30% untuk tetua toleran dan mencapai 45% pada populasi bersegregasi sorgum yang digunakan (Caniato et al. 2007).
73
Menurut Marschner (1995), terdapat dua model pendekatan yang dapat digunakan untuk mengatasi tanah marjinal yaitu dengan pendekatan bermasukan tinggi melalui penerapan agroteknologi seperti pengapuran dan pemupukan, serta dengan pendekatan bermasukan rendah melalui program pemuliaan tanaman yang diarahkan untuk mendapatkan varietas yang adaptif. Bellon (2001) menyatakan bahwa penggunaan varietas toleran Al merupakan pilihan terbaik dalam mengatasi permasalahan keracunan Al karena pengapuran terlalu mahal dan tidak efektif dalam mengatasi kemasaman tanah pada lapisan tanah yang lebih dalam. Keberhasilan program pemuliaan untuk memperoleh varietas yang mampu beradaptasi terhadap cekaman Al ditentukan oleh pemilihan metode pemuliaan yang tepat sehingga kegiatan pemuliaan dapat menjadi efektif dan efisien. Dalam upaya tersebut perlu diketahui informasi mengenai kendali genetik karakterkarakter yang akan diperbaiki (Roy 2000; Chahal and Gosal 2003). Sampai sejauh ini informasi mengenai pewarisan toleransi keracunan Al pada tanaman sorgum manis masih sangat sedikit. Program pemuliaan sorgum toleran Al diawali dengan pembentukan populasi dasar dengan variasi genetik yang tinggi sebagai bahan pemuliaan. Populasi dasar yang memiliki variasi genetik tinggi akan memberikan respon yang baik terhadap seleksi karena akan memberikan peluang besar untuk mendapatkan genotipe dengan gabungan sifat-sifat yang diinginkan. Kegiatan selanjutnya adalah menyeleksi galur-galur/varietas-varietas dari koleksi yang dimiliki untuk memperoleh galur/varietas sorgum yang toleran Al. Seleksi pada sorgum akan menunjukkan kemajuan genetik yang tinggi jika sifat yang dilibatkan dalam seleksi mempunyai heritabilitas yang tinggi. Jika nilai heritabilitas tinggi, sebagian besar variasi fenotipe disebabkan oleh variasi genetik, maka seleksi akan memperoleh kemajuan genetik (Bernando 2002). Seleksi terhadap sifat yang mempunyai nilai heritabilitas tinggi dapat dilakukan pada generasi awal, sedangkan untuk sifat yang menunjukkan nilai heritabilitas rendah, seleksi dilakukan pada generasi akhir (Zen 1995).
74
Tujuan Penelitian Tujuan penelitian ini adalah untuk 1. Memperoleh informasi mengenai pewarisan sifat toleransi Al pada tanaman sorgum manis. 2. Memperoleh karakter untuk seleksi sorgum yang toleran Al. 3. Memperoleh genotipe-genotipe toleran Al melalui seleksi pada generasi F2 di tanah masam.
Hipotesis Penelitian Hipotesis yang digunakan dalam penelitian ini antara lain 1. Karakter-karakter pengendali toleransi Al pada sorgum manis baik stadia bibit maupun karakter agronomi dan hasil dikendalikan oleh gen-gen yang terdapat di inti. 2. Karakter-karakter pengendali toleransi Al pada sorgum manis baik stadia bibit maupun karakter agronomi dan hasil bersifat poligenik. 3. Karakter-karakter pengendali toleransi Al pada sorgum manis baik stadia bibit maupun karakter agronomi dan hasil dikendalikan oleh aksi gen aditif. 4. Terdapat karakter yang dapat dijadikan sebagai kriteria seleksi pemuliaan sorgum yang toleran Al. 5. Terdapat genotipe sorgum generasi F2 toleran terhadap cekaman Al.
75
Plasma Nutfah Seleksi Adaptasi Tanah Masam Dept. AGH IPB
Seleksi Produktivitas Bioethanol B2TP-BPPT
Galur Toleran
Galur Peka
Hibridisasi / Persilangan
F1/F1R Selfing F2
Studi Pewarisan Sifat Toleransi Al di Lapangan
Studi Pewarisan Sifat Toleransi Al di Kultur Hara
Analisis Data
Seleksi Individu pada Generasi F2 (segregan)
Genotipe F2 Toleran Al
Informasi Kendali Gen dan Parameter Genetik Pewarisan Toleransi Al pada Sorgum Karakter Seleksi pemuliaan sorgum yang toleran Al
Gambar 1 Bagan Alir Penelitian Studi Pewarisan Toleransi Al Tanaman Sorgum Manis [Sorghum bicolor (L.) Moench].
76
TINJAUAN PUSTAKA Sorgum Manis [Sorghum bicolor (L.) Moench] Sorgum manis [Sorghum bicolor (L.) Moench] merupakan tanaman dari famili Gramineae (Poaceae), subfamili Panicoideae dan genus Andropogon (Rukmana dan Oesman 2001). Daerah asal penyebaran tanaman sorgum baik spesies liar maupun spesies budidaya terbesar ditemukan di Afrika (Grubben dan Partohardjomo 1996) untuk selanjutnya tumbuh dan berkembang di berbagai daerah seperti India, Nigeria, Argentina, Meksiko dan Sudan (ICRISAT 1996). Keunggulan tanaman sorgum adalah sangat efisien dalam penggunaan air. Hal ini disebabkan karena sorgum memiliki sistem perakaran yang halus dan pertumbuhan akar agak dalam sehingga memungkinkan penyerapan air yang cukup intensif (Rismunandar 1989). Sistem perakaran sorgum terdiri dari akarakar seminal (akar-akar primer) pada dasar buku pertama pangkal batang, akar koronal (akar-akar pada pangkal batang yang tumbuh ke arah atas) serta akar-akar udara. Tanaman sorgum dapat membentuk perakaran sekunder berukuran dua kali lipat dari akar sekunder jagung (Rukmana dan Oesman 2001). Doggett (1970) menyimpulkan bahwa pada endodermis akar sorgum terdapat endapan silika yang berfungsi mencegah kerusakan akar pada kondisi kekeringan. Batang tanaman sorgum berbentuk silinder, beruas-ruas dan berbuku-buku (ICRISAT 1996). Setiap ruas memiliki alur yang letaknya berselang-seling. Batang sorgum memiliki sel-sel parenkim atau seludang pembuluh yang diselubungi oleh sebuah lapisan keras. Beberapa varietas sorgum dapat membentuk cabang dan memiliki anakan (Rukmana dan Oesman 2001). Menurut Martin (1970) banyaknya anakan yang berkembang tergantung faktor genetik, jarak tanam, kelembaban tanah, fotoperiodisme, vigor tanaman dan waktu tanam. Ukuran diameter batang bervariasi antara 0.5 sampai 5 cm. Begitu juga dengan tinggi tanaman bervariasi dari 0.5 sampai 4 m (Murty et al. 1994). Tinggi tanaman dipengaruhi oleh jumlah buku, panjang ruas batang, panjang tangkai malai, panjang malai dan faktor genetik (Doggett 1970). Perpanjangan buku pada
77
tanaman sorgum dikendalikan oleh empat lokus gen Dwarf yaitu Dw1, Dw2, Dw3 dan Dw4 (House 1985). Daun tanamam sorgum terdiri dari helai daun dan pelepah daun dengan panjang helai daun mencapai 30-135 cm dan lebar daun maksimum 13-15 cm. Menurut Rismunandar (1989) daun sorgum dilapisi sejenis lilin yang agak tebal berwarna putih, berfungsi untuk menahan atau mengurangi penguapan air dari dalam tanaman sehingga toleran terhadap kekeringan. Bunga sorgum tersusun dalam bentuk malai dengan banyak bunga pada setiap malai sekitar 1500-4000 bunga. Bunga sorgum akan mekar teratur dari cabang malai paling atas hingga ujung malai paling bawah. Malai sorgum memiliki tangkai yang tegak atau melengkung, berukuran pendek atau panjang dan bentuk malai dari agak kompak sampai terbuka, oval, kerucut, ramping panjang atau piramida (Murty et al. 1994). Biji sorgum berbentuk kariopsis atau karnel yaitu buah berbiji tunggal dengan kulit buah (pericarp) yang bersatu dengan kulit biji. Warna, ukuran dan bentuk biji sorgum beragam. Kulit biji dapat berwarna putih, krem, kekuningan, merah atau coklat. Biji sorgum dapat berbentuk bola, bentuk seperti buah pear dan gepeng pada salah satu bagiannya. Bobot 100 biji sorgum berkisar 0.75-7.5 gram (Murty et al. 1994). Waktu yang diperlukan biji sorgum untuk mencapai berat kering maksimal tergantung pada kondisi pertumbuhan, biasanya 25-55 hari setelah antesis dengan kadar air 25-35% (Doggett 1970). Menurut Rismunandar (1989) malai sorgum dapat dipanen rata-rata setelah tanaman berumur 90-120 hari. Tanaman sorgum mampu tumbuh di daerah tropis maupun subtropis mulai dari dataran rendah hingga dataran tinggi sampai ketinggian 1500 m di atas permukaan laut (Rismunandar 1989). Kondisi yang optimum untuk tanaman sorgum adalah daerah bersuhu 20-30 oC, kelembaban rendah dan curah hujan 375425 mm selama tanaman masih muda hingga mencapai umur 4-5 minggu. Sorgum dapat tumbuh di hampir setiap jenis tanah. Sorgum merupakan tanaman C4 yaitu spesies tanaman yang menghasilkan empat karbon (asam malat dan aspartat) sebagai produk awal penambatan CO2
78
dalam proses metabolisme. Tanaman jenis ini memanfaatkan kedua sel mesofil dan sel seludang berkas untuk menambat CO2 sehingga jenis tanaman C4 menjadi sangat efisien dalam fotosintesis. Produk yang dihasilkan sel mesofil berupa asam malat dan asam aspartat dengan cepat ditransfer ke sel seludang berkas dan asam tersebut mengalami dekarboksilasi dengan melepaskan CO2 yang selanjutnya ditambat oleh Rubisco untuk diubah menjadi 3-PGA (asam fosfogliserat). Tanaman C4 juga memiliki sel seludang berkas yang lebih tebal dibandingkan dengan sel seludang pada tanaman C3 sehingga mengandung lebih banyak kloroplas, mitokondria dan organel penting lainnya dalam proses fotosintesis (Salisbury dan Ross 1992; Taiz dan Zeiger 2002). Tanaman C4 juga mampu berfotosintesis lebih cepat pada penyinaran tinggi dan suhu panas sehingga mampu menghasilkan biomassa yang lebih banyak dibandingkan tanaman C3 (Salisbury dan Ross 1992). Pada tanaman sorgum, selain memiliki mekanisme fotosintesis yang efisien juga memiliki mekanisme fisiologi lainnya antara lain permukaan daun yang dilapisi lilin sehingga dapat mengurangi laju transpirasi dan mempunyai sistem perakaran yang ekstensif (House 1985). Hal ini membuat produktivitas biomassa sorgum lebih tinggi dibandingkan tanaman C4 sejenis yaitu jagung (Hoeman 2007). Penelitian Borrel et al. (2005) menemukan bahwa tanaman sorgum efisien dalam penggunaan radiasi dan transpirasi karena memiliki gen pengendali stay-green sejak fase pengisian biji yang berhubungan dengan kandungan nitrogen daun spesifik. Fenomena ini mampu memperlambat proses senescen pada daun sorgum sehingga mampu mempertahankan batang dan daun tetap hijau meskipun pasokan air sangat terbatas (Seetharama dan Mahalakshmi 2006; Borrel et al. 2006). Mekanisme Toleransi terhadap Aluminium Lahan kering masam dicirikan dengan pH < 5.0 dan kejenuhan basa < 50% (Hidayat dan Mulyani 2002). Tanah masam juga ditandai oleh tingginya konsentrasi Aluminium (Al), terutama
Al3+, yaitu bentuk Al yang dianggap
paling beracun bagi tanaman (Marschner 1995). Aluminium dapat mempengaruhi
79
morfologi, fisiologi dan ekspresi gen tanaman. Cekaman Al menyebabkan terganggunya penyerapan hara tanaman (Adam et al. 1999). Meningkatnya konsentrasi Al terlarut menyebabkan penyerapan unsur-unsur hara berkurang sehingga pada akhirnya mengakibatkan terjadinya defisiensi hara antara lain Ca, P, K Mg dan hara mikro seperti seng, tembaga dan molybdenum. Terganggunya penyerapan secara langsung disebabkan kerusakan membran sel akar. Akumulasi Al dapat menyebabkan kebocoran membran, mengurangi kandungan K dalam jaringan ujung akar dan merusak viabilitas protoplasma karena Al dan membran plasma akar membentuk ikatan polimer sehingga terjadi kerusakan pada membran dan kebocoran K dari sel akar (Matsumoto et al. 1992). Kerusakan akar akibat cekaman Al juga disebabkan terjadinya penebalan ujung akar dan akar cabang. Penelitian Caniato et al. (2007) memperlihatkan bahwa aktivitas Al menyebabkan pertumbuhan akar sorgum terhambat hingga 30% untuk tetua toleran dan mencapai 45% pada populasi bersegregasi sorgum yang digunakan. Penelitian Yamamoto (1992) mendapatkan hasil bahwa toksisitas Al pada tembakau menyebabkan tanaman kekurangan hara dan juga mengubah struktur dan fungsi membran plasma serta menghalangi pembelahan sel pada ujung-ujung akar. Kelarutan Al yang tinggi secara tidak langsung berpengaruh terhadap proses-proses fisiologi dan metabolisme tanaman. Terganggunya penyerapan hara menyebabkan ketersediaan unsur hara menurun sehingga pertumbuhan tajuk tanaman menjadi tertekan (Marschner 1995). Polle dan Konzak (1990) menjelaskan bahwa kerusakan akar oleh Al menyebabkan terganggunya hara dan meningkatkan
kepekaan
terhadap
kekeringan
sehingga
mempengaruhi
pertumbuhan dan produktivitas tanaman. Mekanisme toleransi terhadap Al dapat dikelompokkan menjadi mekanisme eksternal dan mekanisme internal (Taylor 1991; Sopandie 2006). Tanaman yang memiliki mekanisme eksternal mampu mencegah Al masuk ke dalam simplas dan bagian metabolik yang sensitif. Mekanisme ini dapat dicapai antara lain dengan imobilisasi Al pada dinding sel dan selektivitas plasma membran terhadap Al, induksi pH di rizosfir atau apoplas akar, sekresi senyawa
80
organik pengkelat Al. Penelitian Pineros dan Kochian (2001) pada pewarnaan akar dengan hematoxylin menunjukkan bahwa jagung yang toleran Al mampu melakukan akumulasi Al pada lapisan sel bagian luar tudung akar sebagai upaya penahanan Al masuk ke dalam jaringan. Peningkatan pH rizosfer pada larutan/media merupakan salah satu indikator toleransi tanaman terhadap cekaman Al. Beberapa penyebab penurunan pH pada zone perakaran: 1) Pelepasan ion H akibat absorpsi kation > anion, 2) Pelepasan dan hidrolisis CO2, 3) Pelepasan ion-ion H dari gugus karboksil asam poligalakturonat dan sisa-sisa asam pektat dan 4) Ekskresi proton-proton dari mikroorganisme-mikroorganisme yang berhubungan dengan akar. Tanaman yang memiliki mekanisme toleransi dengan mengubah pH di daerah perakaran akan meningkat pH larutan hara sehingga tanaman mampu menurunkan kelarutan dan toksisitas Al (Sasaki et al. 1997). Percobaan pada metode kultur hara menunjukkan bahwa genotipe toleran pada tanaman jagung, gandum, barley dan padi mengalami peningkatan pH larutan serta terjadi penurunan kelarutan dan toksisitas Al (Caniato et al. 2007; Furukawa et al. 2007). Menurut Hayes (1990), peningkatan pH rizosfer akan meningkatkan ketersediaan unsur hara seperti P dan menurunkan ketersediaan Zn, Cu, Fe, Mn dan Al. Penelitian Delhaize et al. (1995) pada tanaman kedelai menunjukkan bahwa genotipe toleran mampu meningkatkan pH rizosfer dua kali lipat dibandingkan dengan genotipe peka. Kenaikan pH akan mengurangi kelarutan Al, toksisitas dan melepaskan ikatan dengan P. Tanaman toleran mampu menghasilkan asam organik yang dapat mengkelat Al dan mencegah pengikatan Al-P dalam akar (Delhaize et al. 1993; Furukawa et al. 2007). Ujung akar tanaman yang toleran Al selain mengeksudasi asam organik juga mampu mengeksudasi fosfat organik. Hal ini merupakan proses alami hara P dan bagian dari keseimbangan hara P dalam tanaman (Pellet et al. 1996). Detoksifikasi Al oleh fosfat karena terbentuknya ikatan kompleks AlP (Delhaize et al. 1993). Tanaman jagung dan gandum toleran mampu mengeksudasi fosfat organik lebih banyak dibandingkan tanaman peka (Pellet et
81
al. 1995 dan 1996). Mekanisme eksternal menyebabkan kandungan Al dalam jaringan menjadi rendah. Tanaman dengan mekanisme internal memiliki daya toleransi untuk mengakumulasi Al dalam sel sehingga kandungan Al dalam jaringan tinggi. Mekanisme resistesi internal dicapai dengan pengkelatan Al oleh asam organik dalam sitosol, kompartementasi Al di vakuola, memproduksi protein pengikat Al serta produksi dan peningkatan enzim yang tahan Al. Senyawa organik pada tanaman toleran Al mampu melakukan kompleks atau bahkan kelat (menjepit) Al sehingga dapat mengurangi kelarutan Al (Hayes dan Swift 1990; Tan 1993). Senyawa organik pada tanaman peka Al tidak efektif melakukan kompleks atau mengkelat ion logam, salah satunya disebabkan karena jumlah yang dihasilkan tidak mampu untuk menetralkan atau mengusir Al (Sopandie et al. 2003; Kasim et al. 2001). Anion organik pada barley mengaktifkan Al-effluks dari akar dan berkorelasi dengan toleransi Al (Furukawa et al. 2007). Caniato et al. (2007) menyatakan bahwa mekanisme fisiologi toleransi Al pada sorgum berdasarkan pengkelatan Al di rizosfer oleh malat yang dilepas dari apikal akar dan mencegah logam mencapai situs sensitif di dalam akar. Tanaman teh merupakan salah satu tanaman yang menghasilkan asam organik/polifenol yang dapat menawarkan racun Al dengan cara mengkelatnya (Matsumoto dan Sasaki 2002). Aluminium berikatan dengan catechin di dalam daun muda dan pucuk, sedangkan pada daun tua ditemukan adanya kompleks aluminium-asam fenolik dan asam alumoniumasam organik. Pemuliaan bagi Lingkungan Bercekaman Lingkungan
bercekaman
adalah
lingkungan
sub
optimum
bagi
pertumbuhan dan produksi tanaman. Lingkungan sub optimum merupakan lingkungan yang beragam dan tidak sama tingkat cekamannya. Tujuan pemuliaan untuk perbaikan produktivitas tanaman pada lingkungan bercekaman ditentukan oleh tingkat cekaman pada lingkungan target (Sopandie et al. 2004; Sopandie 2006).
82
Perbaikan produktivitas tanaman di lahan bercekaman dapat dilakukan melalui perbaikan potensi hasil untuk mendapatkan varietas berdaya hasil tinggi dan perbaikan daya adaptasi tanaman untuk mendapatkan varietas yang toleran (Accevedo dan Fererres 1993). Menurut Baker (1993), produktivitas tanaman pada kondisi bercekaman ditentukan oleh potensi hasil tanaman serta daya adaptasi tanaman terhadap cekaman. Upaya untuk meningkatkan produktivitas tanaman pada kondisi cekaman ringan atau sedang dilakukan melalui perbaikan potensi hasil dan pembentukan idiotype breeding (Romagosa dan Fox 1993). Perbaikan potensi hasil dapat dilakukan melalui perbaikan kapasitas fotosintesis dan respirasi untuk meningkatkan biomassa tanaman dan perbaikan sink capacity dan partisi fotosintat (Accevedo dan Fererres 1993). Upaya pembentukan idiotype breeding dilakukan dengan mengembangkan kombinasi karakter yang mendukung fotosintesis, pertumbuhan dan produksi tanaman (Sopandie 2006). Melalui pembentukan idiotype breeding, pemulia akan memperoleh gambaran yang jelas dalam menyeleksi karakter tanaman yang mendukung peningkatan potensi hasil (Romagosa dan Fox 1993; Sopandie 2006). Upaya untuk meningkatkan produktivitas tanaman pada kondisi cekaman berat dilakukan melalui peningkatan adaptasi tanaman (Romagosa dan Fox 1993). Pada lingkungan dengan cekaman berat terdapat interaksi genotipe dengan lingkungan baik interaksi yang bersifat kuantitatif maupun interaksi yang bersifat kualitatif. Interaksi genotipe dengan lingkungan yang bersifat kuantitatif tidak menyebabkan perubahan rangking genotipe. Genotipe yang unggul pada satu lingkungan tetap unggul pada lingkungan yang berbeda. Interaksi genotipe lingkungan yang bersifat kualitatif merupakan kendala dalam pemuliaan bagi lingkungan bercekaman berat karena mengakibatkan perubahan rangking genotipe (Ceccareli 1996). Genotipe berdaya hasil tinggi pada satu lingkungan bisa mengalami penurunan hasil yang cukup tajam pada lingkungan berbeda akibat pengaruh cekaman (Romagosa dan Fox 1993; Roy 2000; Bernardo 2002; Chahal dan Gosal 2003).
83
Seleksi pada lingkungan bercekaman harus dilakukan di lingkungan target sehingga dapat memaksimalkan ekspresi gen-gen yang mengendalikan daya hasil maupun daya adaptasi tanaman terhadap cekaman (Ceccareli et al. 2007). Seleksi pada kondisi bercekaman dapat dilakukan berdasarkan fenotipe, marka molekular dan gabungan antara fenotipe dan marka molekuler (Bernardo 2002). Seleksi berdasarkan fenotipe menjadi sulit karena nilai heritabilitas yang rendah dan adanya interaksi antara genotipe dan lingkungan yang bersifat kualitatif. Untuk meningkatkan efisiensi seleksi maka seleksi dapat dilakukan menggunakan marka molekuler. Marka molekuler yang terpaut dengan QTL atau yang mengendalikan daya hasil pada kondisi bercekaman serta QTL yang mengendalikan toleransi terhadap cekaman merupakan salah satu marka yang dapat dijadikan alat bantu seleksi (Forster et al. 2000; Hussain 2006). Arah Program Pemuliaan Tanaman Sorgum Tanaman sorgum manis merupakan salah satu jenis tanaman yang sangat potensial dalam pemecahan masalah krisis pangan dan energi. Kebutuhan terhadap tanaman ini terus meningkat (Grassi 2001). Konsekuensinya adalah perbaikan hasil dan kualitas sangat perlu dilakukan. Secara umum, tanaman sorgum manis yang diinginkan adalah tanaman sorgum yang memiliki indeks panen yang tinggi, produktivitas yang tinggi, stabilitas hasil, resisten terhadap penyakit dan memiliki toleransi terhadap cekaman abiotik seperti tidak sensitif terhadap photoperiodisme, kelembaban tinggi, toleran kekeringan dan lahan masam (Baenziger 2006). Ketersediaan bahan bakar tidak terbarukan (berbasis fosil) saat ini semakin terbatas menyebabkan kebutuhan akan sumber energi yang terbarukan (biofuel) menjadi penting. Penggunaan bioetanol dapat mengurangi emisi gas rumah kaca sampai 12% (Reddy dan Dar 2007). Dari tahun ke tahun kebutuhan terhadap bioetanol semakin meningkat. Sorgum merupakan salah satu tanaman yang dapat menjadi bahan baku industri bioetanol karena batang dan juga bijinya dapat dikonversi menjadi bioetanol melalui proses fermentasi (Yudiarto 2006; Reddy dan Dar 2007). Selain produktivitasnya yang tinggi dan biaya produksi yang
84
rendah, tanaman sorgum tidak berkompetisi dengan tanaman pangan. Saat ini produsen bioetanol yang menggunakan sorgum masih didominasi oleh Amerika Serikat, Cina, Afrika Selatan dan India (Dirjen Tanaman Pangan 2007). Sorgum memenuhi persyaratan sebagai bahan baku bioetanol antara lain dapat tumbuh dalam berbagai agroekologi, lebih tahan penyakit dan memerlukan input produksi yang relatif sedikit jika dibandingkan dengan tanaman penghasil bioetanol lainnya. Rasmusson (1987) menjelaskan bahwa ideotipe merupakan sifat yang diharapkan dapat ditingkatkan potensi genetik hasilnya. Pemuliaan ideotipe didefinisikan sebagai metode yang digunakan dalam pemuliaan untuk meningkatkan potensi genetik karakter yang diinginkan dengan memodifikasi karakter tersebut secara spesifik (Roy 2000). Arah pemuliaan sorgum untuk produksi bioetanol diarahkan pada perbaikan karakter-karakter produksi bioetanol yaitu karakter malai dan batang. Tanaman sorgum memiliki efisiensi fotosintesis yang tinggi yaitu 2.5% dengan efisiensi fotosintesis maksimum pada beberapa jam tertentu dalam siklus harian mencapai 27% (Grassi 2005). Perbaikan efisiensi fotosintesis diharapkan dapat meningkatkan produksi biomassa sorgum sehingga produktivitas bioetanol juga akan meningkat. Alkohol diperoleh dari nira bagian batang sorgum. Kualitas nira sorgum manis setara dengan nira tebu, kecuali kandungan amilum dan asam akonitat yang relatif tinggi (Sirappa 2003). Kandungan amilum yang tinggi tersebut merupakan salah satu masalah dalam proses kristalisasi nira sorgum sehingga gula yang dihasilkan berbentuk cair. Untuk mengatasi masalah tersebut, pengembang ideotipe dapat diarahkan pada penurunan kandungan amilum dari kadar awal. Bioetanol juga diperoleh dari bagian malai. Sirappa (2003) menjelaskan bahwa biji sorgum mengandung 65-71% pati yang dapat dihidrolisis menjadi gula sederhana. Gula sederhana yang diperoleh dari biji sorgum selanjutnya dapat difermentasi untuk menghasilkan alkohol. Menurut Somani dan Pandrangi (1993) dalam Sumarno dan Karsono (1996), setiap ton biji sorgum dapat menghasilkan
85
384 liter bioalkohol. Seleksi berdasarkan bobot biji per tanaman diharapkan akan diperoleh perbaikan produksi malai surgum. Kelebihan lain adalah manfaat ganda tanaman sorgum yang dapat digunakan dalam memenuhi kebutuhan pangan dan pakan. Sorgum manis merupakan salah satu tanaman pangan dunia dengan luas areal tanam, produksi dan kegunaan tanaman ini di dunia yang menempati peringkat ke-lima setelah gandum, padi, jagung dan barley (Murty et al. 1994). Tanaman sorgum merupakan sumber pangan utama di Afrika yang dikonsumsi lebih dari 300 juta penduduknya (Rajvanshi dan Nimbkar 2001). Pemanfaatan sorgum lainnya adalah produk olahannya berupa roti, bubur, bahan minuman (bir dan sirup) serta gula atau jiggery (ICRISAT 1996). Berkaitan dengan program diversifikasi pangan di Indonesia, tanaman sorgum sangat potensial untuk dijadikan sebagai bahan pangan utama sumber karbohidrat karena memiliki kandungan nutrisi yang tinggi (Yudiarto 2006) Beberapa kandungan nutrisi yang dimiliki sorgum melebihi kandungan yang dimiliki penghasil karbohidrat utama (beras) yaitu protein, lemak, kalsium, besi, fosfor dan vitamin B-1 (Sirappa 2003). Kandungan
tannin
pada
beberapa
jenis
sorgum
cukup
tinggi
(0,40−3,60%), sehingga hasil olahannya kurang enak. Sumarno dan Karsono (1996) menyarankan untuk mengatasi masalah ini melalui teknologi pengolahan kulit dan lapisan testa dengan pengikisan (penyosohan). Pendekatan melalui program pemuliaan dapat dilakukan melalui perakitan sorgum dengan kandungan tannin rendah. Keberadaan tannin pada sorgum sulit terdeteksi dan tidak tergantung pada warna biji (House 1985). Sorgum memenuhi syarat gizi dan faktor biofisik untuk dijadikan jalan keluar dalam krisis pangan dan dalam rangka perbaikan gizi masyarakat, sehingga pengembangan varietas sorgum dengan level vitamin, mineral dan protein tinggi harus dilakukan. Sorgum memiliki kandungan glutin sorgum sangat rendah (Graybosch 1992) sehingga sorgum dikembangkan sebagai bahan pangan premium untuk keperluan diet pada penderita diabetes dan diet pada penderita alergi glutin (Hoeman 2008).
86
Pemanfaatan sorgum sebagai pakan ternak yaitu biji sorgum untuk bahan campuran ransum pakan ternak unggas, sedangkan batang dan daun sorgum (stover) untuk ternak ruminansia (Hoeman 2007). Kandungan lemak sorgum yang relatif tinggi dapat dimanfaatkan untuk meningkatkan bobot ternak. Dengan demikian, pemilihan ideotipe dapat diarahkan pada perakitan genotipe yang memiliki kandungan lemak tinggi. Penggunaan biji sorgum dalam ransum pakan ternak bersifat suplemen (substitusi) terhadap jagung karena nilai nutrisinya tidak berbeda dengan jagung, namun karena kandungan tannin yang cukup tinggi membuat rasa pakan biji sorgum menjadi pahit (Sirappa 2003). Menurut Koentjoko (1996), kandungan tanin dalam ransum di atas 0,50% dapat menekan pertumbuhan ayam, dan apabila mencapai 2% akan menyebabkan kematian (Rayudu et al. 1970) sehingga salah satu ideotipe yang dapat dikembangkan dalam program pemuliaan sorgum untuk keperluan pakan adalah menurunkan kadar tannin pada lapisan aleuron biji. Potensi daun sorgum manis sekitar 14−16% dari bobot segar batang atau sekitar 3 ton daun segar/ ha dari total produksi 20 ton/ha. Soebarinoto dan Hermanto (1996) melaporkan bahwa setiap hektar tanaman sorgum dapat menghasilkan jerami 2,62 + 0,53 ton bahan kering. Konsumsi rata-rata setiap ekor sapi adalah 15 kg daun segar/hari (Direktorat Jenderal Perkebunan 1996). Dengan demikian pengembangan sorgum sebagai tanaman pakan ternak (forage sorghum) dapat dilakukan dengan meningkatkan potensi hijauan sorgum. Borrel et al. (2006) menjelaskan kondisi stay green pada tanaman sorgum dipengaruhi oleh efisiensi penggunaan radiasi dan transpirasi yang tinggi. Penelitian sorgum selain mengarah pada perbaikan sifat agronomi dan kualitas sebagai sumber pangan, pakan dan bahan baku bioetanol, juga diarahkan pada peningkatan produktivitas antara lain dengan perakitan sorgum yang memiliki daya adaptasi luas dengan produktivitas tinggi namun memerlukan input relatif rendah, peningkatan ketahanan terhadap hama dan penyakit tanaman serta toleransi terhadap kondisi marjinal (kekeringan, salinitas dan lahan masam). Arah pemuliaan sorgum dalam peningkatan komponen hasil dan produktivitas dapat dilakukan dengan memanfaatkan galur-galur murni dan hibrida (Institute of
87
Agricultural Sciences at Xinxian-Shanxi 1972). Hasil panen pada hibrida sorgum berkorelasi dengan berat malai. Poelman dan Sleper (1996) menerangkan bahwa program pemuliaan sorgum untuk daya hasil tinggi memerlukan faktor-faktor yang mempengaruhi pertumbuhan tanaman seperti umur tanam, sensitifitas terhadap fotoperiode, resistensi terhadap kerebahan dan resistensi terhadap cekaman (biotik maupun abiotik). Karakter agronomi seperti tinggi tanaman, jumlah daun dan produksi biji dapat digunakan sebagai indikator tahan kekeringan. Grassi et al. 2004 menjelaskan bahwa daya adaptasi sorgum terhadap kekeringan berhubungan dengan mekanisme efisiensi penggunaan air. Penelitian yang dilakukan Di Fonzo et al. (1999) diketahui bahwa luas area hijau daun pada fase generatif meningkatkan produksi biji. Genotipe dengan kemampuan stay-green pada tanaman pangan seperti jagung, sorgum dan gandum, lebih aktif berfotosintesis selama masa pengisian biji. Hal serupa juga dijelaskan oleh van Oosterom et al. (1996), bahwa karakter stay-green merupakan komponen toleransi terhadap kekeringan pada fase akhir pembungaan sorgum. Sorgum dengan fenotipe staygreen mengakumulasi lebih banyak gula pada batang baik selama maupun setelah fase pengisian biji. Karakter stay-green merupakan karakter penting dalam perakitan varietas sorgum manis toleran kekeringan dan juga dapat digunakan dalam aplikasi pemuliaan lainnya. Penurunan produktivitas tanaman pada tanah masam terutama dialami oleh jenis tanaman semusim (annual plant) dengan sistem perakaran yang dangkal (Kochian et al. 2004). Pada kondisi tercekam kemasaman, pertumbuhan tajuk akan terhambat yang ditunjukkan oleh pertumbuhan yang kerdil (Marschner 1995). Hal ini disebabkan oleh terhambatnya akses air dan nutrisi karena pertumbuhan akar yang terhambat. Sistem perakaran merupakan salah satu karakter yang dapat digunakan tanaman untuk mengurangi toksisitas Al dan meningkatkan kemampuan tanaman dalam memanfaatkan unsur hara. Strategi untuk meningkatkan produktivitas tanaman di lingkungan bercekaman adalah melalui program pemuliaan tanaman yang didukung oleh pemahaman tentang aspek fisiologi adaptasi tanaman (Sopandie 2006).
88
Pengembangan sorgum yang memiliki toleransi terhadap Al diperlukan upaya mengembangkan varietas-varietas sorgum yang beradaptasi pada kondisi agroekologi lahan bercekaman Al.
Varietas
sorgum
toleran Al telah
dikembangkan di beberapa negara (Kochian et al. 2004), tetapi di Indonesia saat ini belum dikembangkan, karenanya pengembangan varietas sorgum toleran tanah masam sangat diperlukan. Pemahaman tentang mekanisme adaptasi dan kendali genetiknya dapat membantu meningkatkan efektivitas seleksi galur-galur sorgum toleran Al. Indonesia bukan merupakan daerah origin sorgum, namun tanaman sorgum di Indonesia sebenarnya sudah sejak lama dikenal. Perkembangan sorgum di Indonesia tidak sebaik padi dan jagung karena masih sedikit daerah yang memanfaatkan tanaman sorgum sebagai bahan pangan. Budidaya, penelitian dan pengembangan tanaman sorgum di Indonesia masih sangat terbatas (Hoeman 2007). Salah satu penyebab keterbatasan tersebut adalah tidak tersedianya benih varietas unggul sorgum. Hal inilah yang menyebabkan keragaman genetik yang tersedia masih sangat terbatas. Peningkatan keragaman genetik sorgum dapat dilakukan melalui introduksi, hibridisasi, mutasi dan bioteknologi maupun kombinasi antara metode-metode tersebut. Varietas sorgum yang terdapat di Indonesia sebagian besar merupakan introduksi dari International Crop Research Institut for Semi-Arid Tropics (ICRISAT) dan dari beberapa negara seperti India, Thailand dan Cina. Setelah melalui proses pengujian adaptasi dan daya hasil selama beberapa generasi, beberapa varietas introduksi tersebut telah dilepas oleh Departemen Pertanian Republik Indonesia sebagai varietas sorgum unggul nasional antara lain UPCA, Keris, Mandau, Higari, Numbu, Kawali, Badik, Gadam dan Sangkur (Dirjen Bina Produksi Tanaman Pangan 2003). Teknik hibridisasi atau persilangan buatan dapat menimbulkan keragaman baru melalui rekombinasi yang terbentuk dari alela-alela yang berasal dari tetuatetua persilangan. Persilangan dapat menghasilkan keragaman baru yang tidak ditemukan pada genotipe kedua tetuanya karena adanya rekombinasi (Baenziger 2006). Setelah melalui segregasi akan terbentuk populasi yang mempunyai
89
keragaman genetik lebih tinggi. Dengan hibridisasi, keragaman yang dibentuk dapat diarahkan sesuai dengan sasaran program pemuliaan, berupa gabungan karakter-karakter unggul yang ada di tetua-tetua persilangan. Persilangan buatan dapat melibatkan semua bentuk genotipe, varietas dari suatu spesies yang sama atau antar spesies yang berbeda. Berdasarkan pengelompokan genotipe ini persilangan buatan dapat dikelompokkan menjadi (1) Intervarietal yaitu persilangan yang melibatkan tetua-tetua berupa kultivar dari spesies yang sama (Harlan dan de Wet 1971), (2) Interspesifik yaitu persilangan yang melibatkan tetua yang berasal dari dua spesies yang berbeda dari genus yang sama (Harlan dan de Wet 1971), (3) Intergenerik yaitu persilangan yang melibatkan tetua-tetua yang berasal dari spesies dari genus yang berbeda (Greene dan Morris 2001) dan (4) Introgressi yaitu persilangan yang melibatkan tetuatetua yang berasal dari spesies yang berbeda dengan tujuan untuk memindahkan satu atau beberapa gen saja dari tetua spesies liar ke spesies budidaya (Gepts 2002). Tipe persilangan yang paling umum dilakukan adalah tipe persilangan intervarietal, karena rekombinasi gen dapat terjadi lebih mudah dan tanpa hambatan reproduksi. Persilangan yang melibatkan spesies tanaman yang berbeda mempunyai kendala pada hambatan reproduksi sehingga memerlukan teknik khusus. Pemilihan tetua sangat penting diperhatikan dalam hibridisasi karena menentukan keberhasilan dari tujuan persilangan yang diinginkan. Tetua yang digunakan dalam persilangan harus membawa karakter unggul yang diinginkan (Sutjahjo et al. 2005). Selain itu, salah satu atau kedua tetua memiliki adaptasi dan penampilan agronomis yang baik dan juga antara tetua mempunyai jarak kekerabatan yang jauh sehingga dapat menghasilkan keragaman genetik yang tinggi pada turunannya. Sumber keragaman untuk seleksi tetua persilangan dapat diperoleh dari koleksi plasma nutfah yang ada atau jika tidak ada dapat diintroduksikan dari wilayah lain. Sutjahjo et al. (2005) menjelaskan bahwa plasma nutfah yang menjadi sumber keragaman bagi seleksi tetua dapat terdiri dari varietas komersial, galur-galur elit hasil pemuliaan (breeding lines), varietas lokal atau landrace dan
90
spesies liar. Varietas komersial adalah varietas yang telah ditanam luas dan diterima baik oleh petani. Galur-galur elit hasil pemuliaan (breeding lines) adalah yaitu galur-galur terpilih dengan sifat-sifat unggul tetapi belum dilepas sebagai varietas. Varietas lokal atau landrace yaitu kultivar hasil seleksi petani yang mempunyai keunggulan dalam adaptasi terhadap cekaman lingkungan tertentu seperti kekeringan, tanah masam, salinitas atau tanah gambut sulfat masam, sedangkan spesies liar adalah spesies bukan budidaya namun mempunyai sifatsifat yang diinginkan dan akan digunakan dalam persilangan dengan spesies budidaya. Jika keragaman dari karakter yang dikehendaki tidak dapat ditemukan dalam koleksi plasma nutfah, maka keragaman dapat diperoleh melalui mutasi induksi (Ahloowalia et al. 2004). Aisyah (2006) menjelaskan bahwa mutasi adalah perubahan materi genetik yang terjadi secara mendadak dan bersifat permanen akibat perlakuan radiasi atau bahan kimia (mutagen fisik atau kimia). Keragaman yang ditimbulkan oleh mutasi tidak dapat diduga arahnya (van Harten 1998). Peningkatan keragaman lainnya dapat dilakukan dengan melalui pendekatan bioteknologi antara lain embryo rescue (Comeau et al. 1992), manipulasi kromosom sitoplasma (Fedak 1999; Jauhar dan Chibbar 1999) atau manipulasi kromosom molekular dengan transformasi genetik (Zhong 2001). Kegiatan selanjutnya adalah proses seleksi dan pengujian selama beberapa generasi hingga diperoleh galur-galur harapan dengan karakter yang diinginkan. Sorgum termasuk kelompok tanaman yang melakukan penyerbukan sendiri dengan persentase menyerbuk silang sebesar 6% (Poehlman dan Sleper 1996). Sasaran yang hendak dicapai pada program pemuliaan tanaman menyerbuk sendiri adalah sifat unggul dan tanaman homozigot (Poespodarsono 1988). Metode seleksi yang digunakan untuk tanaman menyerbuk sendiri seperti sorgum dapat dilakukan pada populasi yang heterogen dan pada populasi bersegregasi (Trikoesoemaningtyas, bahan kuliah 2007). Seleksi pada populasi heterogen dilakukan dengan metode seleksi massa dan seleksi galur murni, sedangkan pada populasi bersegregasi, seleksi dapat dilakukan dengan metode adalah pedigree, bulk, silang balik, single seed descent dan double haploid.
91
Metode pedigree banyak digunakan untuk seleksi pada karakter kualitatif atau karakter kuantitatif yang mempunyai nilai heritabilitas yang tergolong tinggi sehingga seleksi dapat dilakukan pada generasi awal (Moreno-Gonzales dan Cubero 1993; Roy 2000; Chahal dan Gosal, 2003). Metode pedigree merupakan metode yang paling sering digunakan dalam pemuliaan sorgum (House 1985). Kelebihan metode pedigree antara lain hanya keturunan dari tanaman unggul saja yang dilanjutkan, menghemat lahan karena jumlah tanaman tiap generasi semakin sedikit dan silsilah dari galur diketahui (Sutjahjo et al. 2006). Namun pada metode ini banyak genotipe akan terbuang pada saat masih bersegregasi, sedangkan genotipe tersebut mungkin akan mempunyai fenotipe yang baik pada generasi lanjut setelah seluruh gen-gen aditif terfiksasi dan juga pencatatan yang dilakukan setiap generasi memerlukan banyak tenaga dan ketelitian yang tinggi dalam mencatat dan menyimpan data silsilah. Metode silang balik (back cross) diterapkan dengan tujuan memasukkan satu atau dua karakter pada varietas atau genotipe yang sudah mempunyai daya adaptasi atau karakter agronomi yang sudah baik (Stoskopf et al. 1993; Roy 2000; Chahal and Gosal 2003; Sutjahjo et al. 2006). Metode silang balik bertujuan untuk memperbaiki kultivar yang sudah mempunyai karakter agronomi dan adaptasi yang baik, tetapi kekurangan satu atau beberapa karakter saja, misalnya pemuliaan untuk memperbaiki resistensi terhadap penyakit dari varietas unggul komersial yang diadopsi luas. Tujuan dari silang balik berulang dengan tetua recurrent adalah untuk meningkatkan proporsi gen tetua recurrent. Metode silang balik dilaksanakan dengan menyilangkan kembali F1 dengan tetua yang mempunyai sifat agronomi baik sebagai tetua berulang (recurrent parent) untuk beberapa generasi. Untuk itu metode silang balik memerlukan tetua recurrent dengan sifat agronomi baik. Umumnya tetua recurrent merupakan varietas unggul komersial yang diadopsi secara luas oleh petani. Metode silang balik hanya memperbaiki satu sifat tetapi tidak dapat meningkatkan potensial hasil dari varietas yang ada. Metode bulk dan single seed descent umum digunakan untuk seleksi pada karakter kuantitatif atau karakter yang mempunyai nilai heritabilitas yang
92
tergolong rendah atau sedang sehingga seleksi dilakukan pada generasi lanjut yaitu F5 atau F6. Prinsip kedua metode ini adalah upaya menangani populasi bersegregasi selama beberapa generasi secara bersama-sama sampai mencapai tingkat homozigositas yang diinginkan sebelum melakukan seleksi terhadap individu tanaman. Generasi F1 sampai F4 pekerjaan tidak terlalu berat, karena pada generasi tersebut tidak dilakukan seleksi. Dalam metode single seed descent hanya satu benih yang diambil secara acak dari setiap tanaman untuk ditanam pada generasi berikutnya (Stoskopf et al. 1993; Roy 2000; Chahal dan Gosal 2003; Sutjahjo et al. 2006). Metode untuk Mempelajari Pola Pewarisan Sifat Karakter-karakter yang diekspresikan tanaman dibedakan atas karakter kualitatif dan karakter kuantitatif. Karakter kualitatif seperti warna dan bentuk bunga, bentuk dan warna biji, penampilannya sangat sedikit dipengaruhi oleh faktor lingkungan. Karakter-karakter ini akan mempunyai penampilan yang tetap pada berbagai lingkungan yang berbeda (Stoskopf 1993). Hal ini dapat terjadi karena karakter-karakter ini dikendalikan oleh gen-gen yang mempunyai pengaruh yang sangat besar terhadap penampilan/fenotipe (gen mayor), sehingga pengaruh lingkungan terhadap karakter tersebut kecil. Karakter kualitatif memiliki keragaman yang dapat dengan mudah dikelaskan dan pewarisan karakternya mengikuti hukum pewarisan sifat Mendel (Roy 2000) yaitu menurut Hukum Segregasi, di mana alel-alel dari pasangan gen bersegregasi (berpisah) satu dengan lainnya ke dalam gamet dan Hukum Perpaduan Bebas yaitu pada waktu pembentukan gamet, salah satu pasangan gen berpadu secara bebas dengan pasangan gen lainnya. Fenotipe dari karakter kualitatif dapat dikelaskan dengan jelas. Keragaman karakter kualitatif dapat dibedakan berdasarkan aksi gen yang mengendalikan karakter tersebut (Stoskopf 1993; Chahal dan Gosal 2002). Karakter kualitatif dapat dikendalikan oleh satu gen yang mempunyai aksi dominan, over dominan atau kodominan, yang merupakan bentuk interaksi alela dalam lokus/gen yang sama. Dominansi adalah bentuk interaksi antar alel yang
93
menyebabkan alela pasangannya dalam lokus yang sama tertekan ekspresinya. Alela yang terekspresi disebut alela dominan sedangkan alela yang tertekan ekspresinya disebut alela resesif. Jika dominansi bersifat penuh, maka ekspresi aksi gen dominan akan menyebabkan genotipe dengan alela heterozigot mempunyai fenotipe yang sama dengan bentuk homozigot dominannya. Jika dominansi tidak bersifat penuh, maka genotipe heterozigot akan mempunyai fenotipe yang berada di antara fenotipe genotipe homozigot dominan dengan homozigot resesif. Aksi gen dominan dapat terjadi dalam bentuk overdominansi, di mana genotipe heterozigot akan mempunyai fenotipe yang melebihi genotipe homozigot dominan. Fenomena ini umumnya terlihat pada karakter yang berhubungan dengan ukuran dan viabilitas. Epistasis terjadi jika dua gen berinteraksi mengatur karakter yang sama dan interaksi tersebut melibatkan alela dari lokus yang berbeda. Epistasis dapat menyebabkan timbulnya fenotipe yang berbeda dari fenotipe yang disebabkan oleh interaksi antar alela dalam lokus yang sama, sehingga menyebabkan terjadinya perubahan dalam nisbah fenotipe di generasi F2. Karakter-karakter kuantitatif seperti karakter yang berhubungan dengan pertumbuhan tanaman atau hasil panen, umumnya merupakan karakter-karakter yang sangat dipengaruhi oleh lingkungan (Roy 2000). Karakter kuantitatif dikendalikan oleh banyak gen di mana pengaruh masing-masing gen terhadap penampilan karakter (fenotipe) lebih kecil dan bersifat aditif. Gen-gen tersebut secara bersama-sama mempunyai pengaruh yang lebih besar dari pengaruh lingkungan (Roy 2000). Gen-gen yang demikian disebut gen minor. Aksi gen minor ditentukan oleh bentuk interaksi yang terjadi baik interaksi antar alel pada lokus yang sama. Untuk karakter kuantitatif maka interaksi antar alela dapat terjadi dalam bentuk interaksi aditif dan dominan maupun interaksi antar alel pada lokus yang berbeda (epistasis). Jumlah gen yang banyak menyebabkan keragaman fenotipe dari karakter kuantitatif tidak dapat dikelaskan dengan jelas dan cenderung membentuk sebaran yang kontinyu. Seleksi terhadap karakter kuantitatif tidak didasarkan pada visual tetapi pada hasil analisis stastistik.
94
Pemulia harus memilih metode yang paling efektif dan efisien dalam pelaksanaan seleksi untuk menghemat waktu, tenaga dan biaya. Pemilihan metode dilakukan melalui analisis pewarisan dengan menghitung potensialitas dari persilangan yang dilakukan (Roy 2000). Analisis harus dilakukan sejak generasi awal menggunakan data tetua dan data dari generasi awal. Roy (2000) menjelaskan terdapat beberapa pendekatan yang dapat dilakukan dalam memprediksi tingkat kepotensialitas persilangan yaitu dengan melihat penampilan tetua, analisa rata-rata generasi atau dengan analisa diallel. Metode analisa penampilan tetua merupakan metode analisis yang paling sederhana karena tidak menggunakan analisis genetik namun pendugaan pewarisan hanya didasarkan pada penampilan kedua tetua dan progeni F1 dengan hipotesis semua karakter dikendalikan oleh aksi gen aditif. Hubungan antara nilai tengah kedua tetua dan F1 tidak hanya tergantung pada tipe penyerbukan tanaman saja, namun juga tergantung pada sejarah materi genetik yang digunakan (Chahal dan Gosal 2002). Beberapa karakter penampilan tetua dapat digunakan sebagai prediktor hasil persilangan. Keberadaan epistasis akan dihilangkan dengan cara menggunakan komponen karakter yang kompleks, sedangkan efek dominansi akan dikurangi melalui selfing (Roy 2000). Keberadaan pautan tidak akan berpengaruh pada rata-rata populasi jika epistasis telah ditiadakan. Kelemahan dari metode ini adalah asumsi aksi gen aditif pada karakter yang kompleks tidak selalu dapat terpenuhi karena adanya faktor interaksi lingkungan dan atau genetik. Selain itu potensialitas hasil persilangan yang tinggi hanya dapat diperoleh dari tetua dengan nilai yang tinggi juga, sehingga pemilihan tetua menjadi sangat penting. Analisa rata-rata generasi merupakan salah satu cara yang dapat digunakan untuk menduga peran aksi gen aditif, dominan atau interaksi terhadap ekspresi suatu karakter (Roy 2000). Analisa rata-rata generasi juga dapat digunakan untuk menentukan metode seleksi varietas yang akan dihasilkan. Jika aksi gen aditif yang paling besar perannya maka seleksi dalam populasi akan efektif mengakumulasi gen-gen aditif yang diinginkan. Varietas yang dihasilkan berupa galur murni. Jika aksi gen dominan yang paling besar perannya, seleksi antar
95
populasi. Dalam melakukan pendugaan aksi gen suatu populasi dengan analisis rata-rata generasi, populasi yang digunakan harus mengikuti asumsi kedua tetua homozigot, pola pewarisan diploid, tidak ada keterpautan gen, tidak ada pengaruh tetua betina, tidak ada interaksi antara genotipe dengan lingkungan, interaksi hanya terjadi antara dua gen dengan dua alela (Allard 1960). Analisa rata-rata generasi menggunakan populasi P1, P2, F1/F1R, BC1 dan BC2, untuk itu digunakan dua macam metode pendugaan, yaitu (1) Scaling Test (Uji Skala), yang menduga aksi gen dan model genetik dengan menguji sejumlah generasi secara terpisah dan (2) Joint Scaling Test (Uji Skala Gabungan), menduga aksi gen dan model genetik dengan menguji sejumlah generasi secara bersama-sama, dan memungkinkan dilakukannya uji kesesuaian model genetik. Pada uji skala, pendugaan model genetik dan komponen dari ratarata generasi dapat dilakukan dengan menggunakan skala yaitu A, B, C dan D. Sedangkan pada uji skala gabungan, model diuji dengan uji kebaikan sesuai terboboti dan dapat digunakan untuk menduga parameter m (rata-rata), d (pengaruh aksi gen aditif), h (pengaruh aksi gen dominan) dan interaksinya. Dalam analisis silang diallel, pendugaan parameter genetik sudah dapat dilakukan pada F1, tanpa harus membentuk populasi F2, BCP1 ataupun BCP2, seperti pada teknik pendugaan parameter genetik menggunakan pendekatan enam populasi. Sebaran gen pengendali sifat di dalam tetua-tetua dan pendugaan batas tertinggi fenotipe jika semua gen mengumpul dalam suatu individu bisa dipelajari. Analisis silang diallel juga harus memenuhi beberapa asumsi seperti yang di kemukakan oleh Allard (1960) yaitu terjadi segregasi diploid, tidak ada perbedaan antara persilangan resiprokal, tidak ada interaksi antara gen–gen yang tidak satu alel, tidak ada multialelisme, tetua homozigot dan gen–gen menyebar secara bebas di antara tetua. Analisa dengan menggunakan metode diallel dapat dilakukan dengan dua pendekatan yaitu pendekatan Hayman dengan melakukan studi pewarisan dan pendekatan Griffing dengan menghitung daya gabung umum (DGU) dan daya gabung khusus (DGK). Daya gabung umum yang lebih besar daripada daya gabung khusus menunjukkan bahwa aksi gen aditif lebih berperan dalam mengendalikan sifat
96
tersebut dibandingkan aksi gen non-aditif. Sebaliknya daya gabung khusus yang lebih besar dibandingkan daya gabung umum menunjukkan bahwa aksi gen non aditif lebih berperan dalam mengendalikan suatu sifat daripada aksi gen aditif. Menurut Roy (2000) daya gabung umum merupakan penduga terhadap ragam aditif. Sementara daya gabung khusus merupakan penduga ragam non aditif (dominan dan epistasis). Umumnya pendekatan Griffing diarahkan untuk mempelajari kemampuan daya gabung umum (general combining ability/GCA) dan kemampuan daya gabung khusus (specific combining ability/SCA). Namun demikian, pendekatan Griffing dapat juga untuk mempelajari aksi gen, ragam aditif, ragam dominan, heritabilitas arti luas dan heritabilitas arti sempit. Pewarisan Toleransi terhadap Aluminium Setiap tanaman mempunyai ketahanan yang berbeda terhadap keracunan Al (Wirnas et al. 2002). Sifat toleransi terhadap cekaman Al dketahui dikendalikan secara genetik. Menurut Tisdale dan Nelson (1975) sifat toleransi tanaman terhadap lingkungan sub optimum dipengaruhi oleh faktor genetik dan faktor lingkungan. Hal ini didukung oleh Chaubey dan Senadhira (1994) yang menyatakan bahwa keragaman yang diamati dalam adaptasi tanaman terhadap tanah masam dikendalikan secara genetik walaupun ekspresinya dipengaruhi oleh lingkungan. Kedua faktor ini mempengaruhi penampilan fenotipe (Falconer and Mackay 1996). Keadaan lingkungan yang berubah-ubah dan seleksi alam akan memaksakan dan menyebabkan menonjolnya sifat yang memungkinkan tanaman tersebut mampu menyesuaikan diri dalam keadaan yang sangat kompetitif (Jain 1982). Salasar et al. (1995) mengatakan bahwa toleransi pada lahan masam pada jagung dikendalikan oleh gen inti. Sifat ketenggangan terhadap Al tidak diturunkan secara sederhana dengan model satu atau dua gen, tetapi atas pengaruh gen poligenik (Zhang et al. 1999). Berbagai studi menunjukkan bahwa gen yang mengendalikan sifat ketenggangan Al sangat kompleks sehingga dapat memberikan pengaruh pada pewarisan sifat yang berbeda pula. Hal ini diperkuat oleh Jagau (2000) yang menyimpulkan bahwa terdapat interaksi antar gen sehingga sifat ketenggangan aluminium ini
97
dikendalikan secara poligenik. Menurut Zhang et al. (1999), toleransi terhadap Al pada triticale disebabkan oleh efek aditif dan dominan. Karakter toleransi Al pada triticale dikendalikan oleh sepasang sampai tiga pasang gen (poligenik). Begitu juga hasil penelitian Bianchi-Hall (1998) pada tanaman kedelai toleransi terhadap Al juga dikendalikan oleh poligen. Kajian pewarisan sifat yang menggunakan kriteria pertumbuhan akar ditemukan bahwa sifat ketenggangan Al dikendalikan oleh sekelompok gen dan diwariskan secara kuantitatif. Penelitian Khatiwada et al. (1996) menunjukkan bahwa panjang akar relatif (PAR) yang tinggi pada tanaman padi dikendalikan oleh gen aditif dominan, tetapi lebih banyak karena pengaruh gen aditif sehingga karakter PAR menunjukkan dominansi parsial dan dikendalikan oleh sekelompok gen. Dengan demikian gen-gen aditif diketahui cukup berperan dibandingkan pengaruh gen-gen non-aditif yang diketahui melalui nilai heritabilitas arti sempit yang tinggi (Khatiwada et al. 1996). Penelitian pewarisan toleransi Al pada triticale menunjukan bahwa ekspresi toleransi Al dikendalikan oleh aksi gen aditif dan dominan, serta terdapat juga interaksi non alelik (epistasis) dalam hasil persilangan tetua toleran dan peka (Zhang et al. 1999). Sifat kemampuan tumbuh kembali dari akar yang tercekam Al tidak diwariskan mengikuti model aditif-dominan karena adanya pengaruh interaksi gen yang cukup besar (Zhang et al. 1999). Ninamango-C´ardenas (2003) menyatakan bahwa toleransi Al pada jagung dikendalikan oleh efek dominan dan aditif. Hasil penelitian Magalhaes et al. 2004 menunjukkan bahwa toleransi Al pada sorgum dikendalikan oleh sebuah lokus mayor tunggal, AltSB. Kendali toleransi terhadap cekaman Al oleh lokus mayor tunggal serupa pada tanaman barley (Tang et al. 2000; Raman et al. 2002; Raman et al. 2003), gandum (Raman et al. 2005) dan rye (Miftahudin et al. 2002).
98
BAHAN DAN METODE Bahan Tanaman Bahan tanaman yang digunakan pada pewarisan karakter toleransi Al pada stadia bibit dan pewarisan karakter agronomi dan hasil pada kondisi tercekam Al adalah varietas UPCA S1 dan Numbu, masing-masing sebagai tetua peka dan toleran terhadap cekaman Al, F1/F1R dan F2 hasil persilangan kedua tetua. Waktu dan Tempat Pembentukan populasi F1, F1R dan F2 dilakukan di Kebun Percobaan (KP) Cikabayan University Farm IPB dan Kebun UPTD Lahan Kering Tenjo, Dinas Pertanian dan Kehutanan Kabupaten Bogor dari bulan Juni 2008-Juli 2009. Penelitian studi pewarisan toleransi Al karakter stadia bibit di kultur hara dilakukan di Rumah Kaca KP Cikabayan University Farm IPB dari bulan Juli – Agustus 2009. Penelitian studi pewarisan toleransi Al di lapang dilakukan di Kebun UPTD Lahan Kering Tenjo dari bulan Juli-November 2009. Pewarisan Karakter Toleransi Al pada Stadia Bibit Studi pewarisan karakter toleransi Al pada stadia bibit di kultur hara dilakukan menggunakan bahan tanaman yang terdiri dari 20 tanaman P1, 20 tanaman P2, 20 tanaman F1, 20 tanaman F1R, 120 tanaman F2. Benih sorgum sebelumnya dikecambahkan terlebih dahulu pada media sekam bakar steril lembab. Setelah kecambah memiliki 2 lembar daun dengan panjang akar yang seragam dipindahkan ke media larutan hara Steinberg yang telah dimodifikasi (Ohki 1987). Komposisi larutan hara yang digunakan ditampilkan dalam Tabel Lampiran 1. Konsentrasi Al yang digunakan 148 µM. pH larutan diatur pada kisaran 4.0 dengan menggunakan 1.0 M HCl atau 1.0M NaOH. Batang kecambah tersebut dibalut dengan gabus busa lunak kemudian dimasukkan ke lubang-lubang styrofoam yang telah disiapkan dan diapungkan pada larutan hara dalam pot.
99
Pengukuran dan penyesuaian pH dilakukan setiap hari dan diberi aerasi supaya Al dan hara tidak mengendap. Air yang hilang akibat transpirasi diganti dengan menambahkan aquades setiap hari dengan pH tetap dipertahankan sekitar 4.0±0.1 dengan penambahan 1.0 M HCl atau 1.0M NaOH. Pemanenan dilakukan pada hari ke 14 saat tanaman mencapai fase pertumbuhan lima daun (tahap dua). Tanaman dipanen dan dikeringkan dengan oven pada suhu 60 oC selama 2 x 24 jam kemudian ditimbang berat keringnya. Pengamatan yang dilakukan pada penelitian ini dilakukan pada karakter; 1. Karakter panjang akar (cm), yaitu diukur dari pangkal sampai ujung akar dilakukan pada akhir percobaan. 2. Panjang tajuk (cm), yaitu diukur dari pangkal batang sampai ujung batang dilakukan pada akhir percobaan. 3. Bobot kering akar (gram), yaitu dilakukan pada hari ke 14 dengan cara dikeringkan pada oven 60oC selama 2 hari. 4. Bobot kering tajuk (gram), yaitu dilakukan pada hari ke 14 dengan cara dikeringkan pada oven 60oC selama 2 hari. 5. Nisbah panjang tajuk/akar (%). 6. Nisbah bobot kering tajuk/akar (%). Pewarisan Karakter Agronomi dan Hasil pada Kondisi Tercekam Al Bahan tanaman dalam percobaan ini terdiri dari 40 tanaman P1, 40 tanaman P2, 40 tanaman F1, 40 tanaman F1R, 600 tanaman F2. Penanaman dilakukan di lahan masam dengan pH berkisar 4.26-4.34 (sangat masam) dan kejenuhan Al 33% dengan cara tanam benih langsung pada lubang tanam yang telah ditugal. Jumlah benih yang dimasukkan ke lubang tanam sebanyak 1 (satu) benih per lubang, dengan jarak tanam 70 cm x 15 cm. Pupuk dasar diberikan pada saat tanam dengan dosis Urea 150 kg/ha, SP-18 200 kg/ha, dan KCl 100 kg/ha. Urea diberikan dua kali, yaitu 2/3 diaplikasikan pada saat tanam dan 1/3 sisanya diaplikasikan setelah tanaman berumur 7 (tujuh) minggu. Pengamatan dilakukan pada saat panen terdiri dari pengamatan pada karakter;
100
1. Tinggi tanaman (cm), diukur pada batang utama mulai dari permukaan tanah sampai ujung malai. 2. Bobot batang (gram), yaitu bobot total batang segar baik batang utama dan batang sekunder tanpa malai dan akar. 3. Bobot total biomasa (gram), yaitu bobot total tanaman segar yang terdiri dari akar, batang, daun, dan malai yang masih terdapat biji. 4. Panjang malai (cm), diukur mulai dari pangkal hingga ujung malai, dilakukan pada waktu panen. 5. Bobot biji per tanaman (gram), yaitu bobot seluruh biji yang terdapat pada setiap malai tanaman yang terdapat pada batang utama maupun percabangan. 6. Indeks panen, yaitu perbandingan antara berat biji per malai dengan berat total biomassa per tanaman. Seleksi Genotipe F2 Sorgum Toleran Cekaman Al Bahan tanaman yang digunakan dalam percobaan ini terdiri 600 tanaman F2 hasil persilangan UPCA S1 (tetua peka) dan Numbu (tetua toleran). Penanaman dilakukan di lahan masam dengan 4.26-4.34 (sangat masam) dan kejenuhan Al 33% dengan cara tanam benih langsung pada lubang tanam yang telah ditugal. Jumlah benih yang dimasukkan ke lubang tanam sebanyak 1 (satu) benih per lubang, dengan jarak tanam 70 cm x 15 cm. Pupuk dasar diberikan pada saat tanam dengan dosis Urea 150 kg/ha, SP-18 200 kg/ha, dan KCl 100 kg/ha. Urea diberikan dua kali, yaitu 2/3 diaplikasikan pada saat tanam dan 1/3 sisanya diaplikasikan setelah tanaman berumur 7 (tujuh) minggu. Seleksi dilakukan pada 10% individu terbaik berdasarkan : 1. Pemilihan 10% individu terbaik berdasarkan karakter bobot biji per tanaman dan karakter tinggi tanaman. 2. Pemilihan 10% individu terbaik berdasarkan karakter bobot biji per tanaman dan bobot batang segar.
101
Analisa Data Analisa data yang diperoleh dari kedua percobaan meliputi pengujiaan keberadaan pengaruh tetua betina, uji kenormalan sebaran data dan frekuensi genotipe generasi F2, analisis komponen ragam dan perhitungan nilai heritabilitas arti luas serta perhitungan nilai diferensial seleksi pada generasi F2. Keberadaan pengaruh tetua betina pada pewarisan sifat toleransi Al sorgum dilakukan dengan membandingkan nilai tengah dari generasi F1 dan resiprokalnya dengan menggunakan uji t. Jika terdapat perbedaan nyata di antara kedua generasi F1, hal ini menunjukkan terdapat pengaruh tetua betina. Jika tidak terdapat pengaruh tetua betina, maka kedua generasi dapat digabung dalam analisis selanjutnya. Pengujian pengaruh tetua betina dilakukan dengan bantuan perangkat lunak Microsoft Excel dan Minitab versi 12.0. 2. Uji kenormalan sebaran data dan frekuensi genotipe generasi F2 dilakukan untuk masing-masing karakter menggunakan uji kenormalan Shapiro-Wilk dengan bantuan perangkat lunak Microsoft Excel dan Minitab versi 12.0. 2. Apabila distribusi sebaran F2 kontinu maka pewarisan karakter tersebut kuantitatif (poligenik) sedangkan apabila distribusi sebaran F2 tidak kontinu maka pewarisan sifat tersebut bersifat kualitatif. Kenormalan data dilihat dari nilai kemenjuluran (skewness) dan kurtosis. Menurut Roy (2000), apabila nilai skewness dan kurtosis yang diperoleh; skewness = 0, sebaran normal
= aksi gen aditif
skewness < 0, terdapat kemenjuluran
= aksi gen aditif dengan terdapat
atau sebaran tidak normal skewness > 0
pengaruh epistasis duplikat = aksi gen aditif dan terdapat pengaruh epistasis komplementer
Kurtosis = 3, bentuk grafik sebaran mesokurtic Kurtosis < 3, bentuk grafik sebaran platykurtic
= karakter dikendalikan oleh banyak gen
Kurtosis > 3, bentuk grafik sebaran leptokurtic
= karakter dikendalikan oleh sedikit gen.
102
Pendugaan komponen genetik meliputi pendugaan nilai komponen ragam yaitu ragam fenotipe (σ2p), ragam lingkungan (σ2e), ragam genetik (σ2g) dan Koefisien Keragaman Genetik (KKG). i
( Xi )
Ragam fenotipe (σ2p)
=
Ragam Lingkungan (σ2e)
=
Ragam genetik (σ2g)
= σ2p - σ2e
n 1
n 1
= σ2F2
Koefisien keragaman genetik (KKg) = Hasil pendugaan komponen ragam genetik digunakan untuk menduga heritabilitas arti luas (broadsense heritability) yang dihitung dengan rumus
Nilai heritabilitas dikategorikan tinggi bila h2bs > 50%; sedang bila h2bs terletak antara 20% - 50%; dan rendah bila h2bs < 20% (Mangundidjojo, 2003). Genotipe terpilih berdasarkan persentase seleksi 10% akan digunakan untuk ditanam pada siklus seleksi selanjutnya. Penghitungan diferensial seleksi dilakukan dengan perhitungan yang diterangkan oleh Baihaki (2000) terdiri dari; Rataan awal
= nilai rataan seluruh populasi F2
Rataan tanaman terseleksi
= nilai rataan dari semua individu-individu terpilih
Diferensial seleksi
= Rataan tanaman terseleksi - Rataan awal
di mana :
Persentase Seleksi
= 10 %
103
HASIL DAN PEMBAHASAN Budidaya tanaman sorgum di Indonesia masih sangat terbatas (Hoeman 2007). Keterbatasan tersebut salah satu disebabkan oleh tidak tersedianya benih varietas unggul sorgum. Tanaman sorgum bukan merupakan tanaman asli Indonesia sehingga keragaman genetik yang tersedia masih sangat terbatas. Salah satu upaya peningkatan keragaman genetik sorgum adalah dengan melakukan persilangan dari sumber plasma nutfah yang tersedia. Kegiatan selanjutnya adalah proses seleksi dan pengujian selama beberapa generasi hingga diperoleh galurgalur harapan dengan karakter yang diinginkan. Keberhasilan program pemuliaan untuk memperoleh varietas yang mampu beradaptasi terhadap cekaman Al ditentukan oleh pemilihan metode pemuliaan yang tepat sehingga kegiatan pemuliaan dapat menjadi efektif dan efisien. Untuk itu diperlukan informasi mengenai kendali genetik karakter pengendali toleransi Al. Informasi tersebut diperoleh melalui pewarisan toleransi tanaman sorgum terhadap keracunan Al baik karakter agronomi maupun karakter-karakter penunjang lainnya. Dalam penelitian ini telah dilaksanakan percobaan pewarisan toleransi Al pada stadia bibit dan percobaan pewarisan pada karakter agronomi serta karakter hasil. Pewarisan karakter stadia bibit dilakukan pada media kultur hara dalam kondisi tercekam Al bertujuan untuk mengetahui pewarisan toleransi terhadap cekaman Al pada karakter pertumbuhan akar. Pewarisan karakter agronomi dan hasil dilaksanakan di lahan masam bertujuan untuk mengetahui pewarisan toleransi terhadap cekaman Al pada karakter-karakter agronomi. Pelaksanaan percobaan pada lingkungan yang bercekaman diharapkan supaya gen-gen pengendali toleransi Al pada sorgum akan terekspresi (Wallace dan Yan 1998). Informasi yang telah diperoleh meliputi informasi mengenai keberadaan pengaruh tetua betina, analisis ragam dan aksi gen pengendali karakter pada fase bibit dan karakter agronomi serta nilai diferensial seleksi genotipe-genotipe toleran Al.
104
Pewarisan Karakter Toleransi Al pada Stadia Bibit Percobaan studi pewarisan toleransi Al pada stadia bibit bertujuan memperoleh informasi mengenai kendali genetik karakter toleransi Al pada fase bibit dan pada pertumbuhan akar. Percobaan dilaksanakan di rumah kaca dalam kondisi lingkungan terkendali untuk mengurangi pengaruh lingkungan selain dari cekaman Al. Cekaman Al pada media kultur hara diberikan 2 hari setelah tanaman dipindahkan dari media perkecambahan. Pengamatan dilakukan pada saat tanaman memasuki fase pertumbuhan kedua (fase lima daun). Menurut Vanderlip dan Reeves (1972), tanaman sorgum pada saat fase lima daun mengalami perkembangan akar yang cepat. Pemberian cekaman pada fase ini akan dengan cepat menurunkan pertumbuhan sehingga ideal untuk melakukan pengamatan perkembangan tanaman (Vanderlip dan Reeves 1972). Pengamatan pada tahap awal pertumbuhan diharapkan dapat mengurangi kompleksitas pewarisan sifat dalam keadaan tercekam Al karena pada umur tanaman ini proses fisiologi yang terjadi masih sederhana (Wallace dan Yan 1998). Hasil pengamatan pada penelitian ini menunjukkan bahwa tanaman UPCA S1 sebagai tetua peka pada kondisi tercekam Al memiliki performa tajuk pendek, daun kecil dan meruncing (tajam) dengan akar yang pendek, merah dan tebal, sedangkan Numbu sebagai tetua toleran memiliki performa tajuk tumbuh normal, daun berbentuk pita dengan akar yang panjang, putih dan rimbun (Gambar 2). Populasi F1 dan F1R memiliki penampilan tajuk yang tumbuh normal, berdaun seperti pita dengan akar yang panjang, berwarna kemerahan dan agak menebal (Gambar 2). Nilai tengah dari masing-masing generasi ditampilkan pada Tabel 1. Numbu memiliki nilai tengah yang lebih tinggi dibandingkan dengan UPCA S1 pada semua karakter fase bibit. Populasi F1 memiliki nilai tengah yang berada di antara kedua tetua.
105
Tabel 1 Rata-rata Tetua UPCA S1 (P1), Numbu (P2), Generasi F1 dan F2 Hasil Persilangan Sorgum Varietas UPSA-S1 dan Numbu pada Cekaman Aluminium di Kultur Hara Rata-rata UPCA S1
Rata-rata Numbu
Rata-rata F1
Panjang Tajuk (cm)
23.48 ±2.77
41.75 ±5.17
36.63 ±6.63 38.10 ±9.28
Panjang Akar (cm)
7.45 ±2.49
17.09 ±3.21
15.74 ±5.03 16.62 ±8.28
Bobot Kering Tajuk (g)
0.10 ±0.02
0.24 ±0.10
0.20 ±0.09 0.32 ±0.18
Bobot Kering Akar (g)
0.04 ±0.01
0.07 ±0.03
0.09 ±0.09 0.10 ±0.04
Nisbah Tajuk/Akar
3.41 ±0.97
2.52 ±0.57
2.52 ±0.73 2.71 ±1.09
Bobot Tajuk/Akar
2.75 ±0.35
3.44 ±0.58
2.71 ±0.61 3.48 ±2.82
Karakter
Rata-rata F2
Dari total 120 tanaman F2 yang diamati terdapat keragaman baik pada penampilan akar maupun tajuk (Gambar 3). Individu yang toleran memiliki tajuk dan akar yang menyerupai tetua toleran (Numbu) yaitu tajuk tumbuh normal, daun berbentuk pita dengan akar yang panjang, putih dan rimbun, sedangkan individu yang peka memiliki penampilan menyerupai tetua peka (UPCA S1). Beberapa individu pada generasi F2 juga memperlihatkan penampilan tajuk dan akar yang melebihi tetua toleran. Individu yang peka diidentifikasikan dari penampilan tajuk yang tidak tumbuh normal. Marschner (1995) menjelaskan pada kondisi tercekam kemasaman, pertumbuhan tajuk akan terhambat yang ditunjukkan oleh pertumbuhan yang kerdil. Hal ini disebabkan oleh terhambatnya serapan hara dan air karena kerusakan akar yang terhambat. Individu sorgum yang peka memiliki akar yang pendek dan tebal. Penelitian Delhaize et al. (1993) pada tanaman gandum di kultur hara menunjukkan bahwa cekaman Al menyebabkan penurunan pertumbuhan akar hingga 50%. Keragaman lain yang terjadi pada beberapa individu F2 adalah individu yang memiliki penampilan tajuk menyerupai tetua toleran dengan akar rimbun tetapi dengan warna akar yang merah (menyerupai tetua UPCA S1).
106
F1 UPCA S1
F1R
Numbu
Gambar 2 Penampilan Kedua Tetua, UPCA S1 (P1) dan Numbu (P2) (kiri); Penampilan F1/F1 Resiprokal Hasil Persilangan Sorgum Varietas UPCA S1 dan Numbu (kanan) pada Cekaman Al di Kultur Hara.
Gambar 3 Penampilan Beberapa Generasi F2 Hasil Persilangan Sorgum Varietas UPCA S1 dan Numbu pada Cekaman Al di Kultur Hara. Kerusakan akar akibat cekaman Al juga disebabkan terjadinya penebalan ujung akar dan akar cabang. Penelitian Caniato et al. (2007) memperlihatkan bahwa aktivitas Al menyebabkan pertumbuhan akar sorgum terhambat hingga 30% untuk tetua toleran dan mencapai 45% pada populasi bersegregasi sorgum yang digunakan.
107
Pengaruh Tetua Betina terhadap Karakter Toleransi Al pada Stadia Bibit Salah satu asumsi yang harus dipenuhi dalam pendugaan aksi gen yang mengendalikan suatu karakter adalah tidak ada pengaruh tetua betina dalam pewarisan karakter tersebut (Allard 1960). Keberadaan pengaruh tetua betina pada karakter menyebabkan gen-gen tidak bersegregasi bebas karena pewarisan gengen pada turunannya akan mengikuti tetua betina sehingga nisbah segregasi tidak mengikuti nisbah Mendel. Keberadaan pengaruh tetua betina juga dapat menyebabkan karakter yang dianalisis tidak dapat dipetakan pada kromosom dan kelompok keterpautan tertentu (Yunianti dan Sujiprihati 2006). Keberadaan pengaruh tetua betina pada karakter toleransi Al pada stadia bibit diuji dengan membandingkan nilai tengah F1 dengan F1R pada setiap karakter yang diamati. Berdasarkan hasil uji-t pada penelitian ini, tidak terdapat perbedaan antara F1 dengan resiproknya dari semua karakter yang dihitung sehingga diketahui bahwa tidak terdapat pengaruh tetua betina pada karakterkarakter tersebut (Tabel 2). Hal ini menunjukkan bahwa keenam karakter pada percobaan kultur hara dikendalikan oleh gen-gen yang terdapat pada inti sel dan pewarisannya tidak dipengaruhi oleh gen-gen pada sitoplasma tetua betina. Pada karakter yang dikendalikan oleh gen sitoplasma, F1 hasil persilangan berbeda dengan F1 hasil persilangan resiprokalnya. Apabila suatu karakter dikendalikan oleh gen-gen yang terdapat pada inti sel maka diharapkan pendugaan nilai ragam, aksi gen dan heritabilitas tidak mengandung bisa dan kedua tetua dapat samasama berpotensi baik sebagai tetua jantan maupun tetua betina. Selain itu, dalam perhitungan data selanjutnya F1 dan F1R dapat digabung. Penelitian Eticha et al. (2005) juga menemukan tidak terdapat pewarisan sitoplasmik pada populasi F1 dan resiprok jagung pada studi pewarisan toleransi Al di media kultur hara. Hal serupa juga ditemukan dalam penelitian tanaman padi mengenai pewarisan sifat efisiensi K dan pewarisan sifat efisiensi N dalam keadaan tercekam Al di kultur hara (Trikoesoemaningtyas 2002; Jagau 2000). Selanjutnya rata-rata F1 dan resiprokalnya dapat digabungkan untuk analisa lebih lanjut.
108
Tabel 2 Pendugaan Pengaruh Tetua Betina Hasil Persilangan Sorgum Varietas UPCA-S1 dan Numbu pada Cekaman Aluminium di Kultur Hara Karakter
Rata-rata F1
Rata-rata F1R
P-Value
Panjang Tajuk (cm)
36.230 ±8.6
36.850 ± 5.5
0.802tn
Panjang Akar (cm)
14.770 ±4.8
16.250 ± 5.2
0.357tn
Bobot Kering Tajuk (g)
0.214 ±0.1
0.197 ± 0.1
0.572tn
Bobot Kering Akar (g)
2.682 ±0.2
2.430 ±0.03
0.363tn
Nisbah Tajuk/Akar
0.106 ±0.9
0.075 ± 0.6
0.429tn
Nisbah Bobot Tajuk/Akar
2.973 ±0.8
2.576 ± 0.4
0.11 tn
Ket: tn = tidak nyata pada taraf 5% uji-t
Sebaran Frekuensi Genotipe Generasi F2 Karakter Toleransi Al pada Stadia Bibit Beberapa karakter agronomi penting seperti hasil, ukuran biji, bobot biomassa, ketahanan terhadap cekaman biotik dan toleransi terhadap cekaman abiotik dikendalikan oleh banyak gen dengan efek yang kecil. Efek karakter ini dinamakan karakter poligenik. Pewarisan pada karakter yang poligenik dinamakan pewarisan kuantitatif. Efek gen secara individual tidak dapat dilacak sehingga pada karakter yang poligenik tidak dapat dikelompokkan (Chahal dan Gosal 2002). Keberadaan gen mayor penyusun sifat kuantitatif dapat dilacak dengan beberapa pendekatan yaitu menganalisis distribusi multimodal, silang balik yang diikuti dengan seleksi, analisis ketidaknormalan distribusi, analisis keragaman, analisis kemiripan tetua-anak dan analisis segregasi (Falconer and Mackay 1996). Prinsip Hukum Mendel meski pun dapat digunakan pada karakter yang poligenik namun tidak dapat menjelaskan mengenai pola distribusi yang kontinyu tersebut. Dari data karakter stadia bibit generasi F2 hasil persilangan UPCA S1 dan Numbu dapat diperoleh informasi mengenai aksi gen dengan menganalisis sebaran genotipe yang dimiliki. Kenormalan sebaran data diukur dari nilai skewness dan kurtosis. Data menyebar normal jika mempunyai nilai skewness sama dengan nol. Kenormalan sebaran data diukur dari nilai skewness yang
109
menunjukkan kemenjuluran data. Nilai skewness bernilai positif jika data menjulur ke kanan dan bernilai negatif jika data menjulur ke kiri. Grafik analisis sebaran F2 memperlihatkan bahwa semua karakter pada fase bibit bersifat kontinyu (Gambar 4 - Gambar 7). Hal ini menunjukkan bahwa semua karakter pada percobaan ini dikendalikan oleh banyak gen atau bersifat poligenik. Pantalone et al. (1996) menyatakan bahwa data yang bersifat poligenik mempunyai sebaran normal dan bersifat kontinyu. Nilai kurtosis menunjukkan kemendataran sebaran data terhadap data normal. Roy (2000) menyatakan bahwa data yang menyebar normal memiliki kurtosis = 3. Pada perhitungan dengan menggunakan program Minitab, nilai tersebut telah dikonversi menjadi = 0 untuk data yang menyebar normal. Nilai kurtosis yang positif mengindikasikan bahwa distribusi memiliki puncak yang lebih tajam, pundak kurva yang lebih sempit dan ekor yang lebih lebar daripada distribusi normal dan grafik sebaran disebut leptokutric. Nilai kurtosis yang negatif menandakan bahwa distribusi memiliki puncak yang lebih datar, pundak kurva yang lebih lebar dan ekor yang lebih sempit dibandingkan dengan distribusi normal dan grafik sebaran dinamakan platykurtic (Minitab Inc 2000). Karakter panjang tajuk dan bobot kering tajuk pada penelitian ini memiliki nilai < 0 (berbentuk platykurtic), menunjukan bahwa pada kedua karakter tersebut dikendalikan oleh banyak gen (Gambar 4 dan Gambar 6). Sedangkan karakter panjang akar dan bobot kering akar memiliki nilai kurtosis >0 (berbentuk leptokurtic) berarti karakter-karakter tersebut dikendalikan oleh sedikit gen (Gambar 5 dan Gambar 7). Penelitian Zhang et al.(1999) pada triticale di kultur hara menunjukkan terdapat sebaran yang kontinyu pada toleransi Al yang menunjukkan bahwa pewarisan toleransi Al pada triticale diwariskan dengan sistem poligenik. Hal serupa juga ditemukan pada penelitian populasi double haploid padi yang menunjukkan bahwa sifat toleransi Al dikendalikan oleh sistem poligenik (Nguyen 2002).
110
Gambar 4 Grafik Sebaran Frekuensi Panjang Tajuk Populasi F2 Hasil Persilangan Sorgum Varietas UPCA-S1 dan Numbu pada Cekaman Aluminium di Kultur Hara.
Gambar 5 Grafik Sebaran Frekuensi Panjang Akar Populasi F2 Hasil Persilangan Sorgum Varietas UPCA-S1 dan Numbu pada Cekaman Aluminium di Kultur Hara.
111
Gambar 6 Grafik Sebaran Frekuensi Bobot Kering Tajuk Populasi F2 Hasil Persilangan Sorgum Varietas UPCA-S1 dan Numbu pada Cekaman Aluminium di Kultur Hara.
Gambar 7 Grafik Sebaran Frekuensi Bobot Kering Akar Populasi F2 Hasil Persilangan Sorgum Varietas UPCA-S1 dan Numbu pada Cekaman Aluminium di Kultur Hara.
112
Tabel 3 Nilai Skewness, Aksi Gen, Nilai Kurtosis dan Bentuk Grafik Sebaran Genotipe F2 Hasil Persilangan Sorgum Varietas UPCA-S1 dan Numbu pada Cekaman Aluminium di Kultur Hara Karakter
Skewness
Aksi Gen
Kurtosis
Keterangan
Panjang Tajuk
-0.3198
Aditif+epistasis duplikasi
-0.3172
Dikendalikan banyak gen
Panjang Akar
0.7234
Aditif+epistasis komplemeter
0.1696
Dikendalikan sedikit gen
Bobot Kering Tajuk
0.2975
Aditif+epistasis komplemeter
-0.1894
Dikendalikan banyak gen
Bobot Kering Akar
0.7435
Aditif+epistasis komplemeter
0.5393
Dikendalikan sedikit gen
Uji
kenormalan
dengan
menggunakan
Metode
Shapiro-Wilks
menunjukkan bahwa karakter pada stadia akar tanaman sorgum dalam kondisi tercekam Al tidak menyebar normal ditunjukkan dengan adanya kemenjuluran data. Karakter panjang tajuk memiliki nilai skewness < 0.5 dan negatif. Hal ini menunjukkan bahwa karakter panjang tajuk memiliki sebaran genotipe mendekati normal dan dikendalikan oleh aksi gen aditif dengan pengaruh aksi gen epistasis duplikat (Gambar 4). Karakter panjang akar, bobot kering tajuk dan bobot kering akar masing-masing memiliki sebaran data yang menjulur ke kanan (nilai skewness positif) (Gambar 5-7). Dengan demikian pada ke empat karakter tersebut dikendalikan oleh aksi gen aditif dengan pengaruh epistasis komplementer. Menurut Falconer dan Mackay (1996), data yang bersifat kontinyu, tetapi tidak menyebar normal dapat disebabkan oleh pengaruh lingkungan yang besar atau interaksi genotipe dengan lingkungan. Pendugaan Komponen Ragam dan Nilai Heritabilitas Arti Luas Karakter Karakter Toleransi Al pada Stadia Bibit Sebelum menetapkan metode seleksi yang akan digunakan perlu diketahui berapa besarnya keragaman genetik,
karena keragaman genetik sangat
mempengaruhi keberhasilan suatu proses seleksi dalam pemuliaan tanaman (Pinaria et al. 1995). Keragaman genetik yang luas memberikan peluang seleksi terhadap suatu karakter berlangsung efektif (Ruchjaningsih et al. 2000).
113
Keragaman karakter kuantitatif dapat diukur dengan menjumlahkan simpangan nilai hasil pengamatan hasil masing-masing genotipe terhadap nilai tengah populasi. Keragaman yang dapat diamati dari suatu populasi disebut keragaman fenotipik (Vp). Keragaman fenotipik dipengaruhi oleh keragaman faktor genetik (VG) dan keragaman akibat faktor lingkungan (VE) (Allard 1960 dan Kearsey 1993). Nilai ragam fenotipe, ragam lingkungan, ragam genetik karakter stadia bibit pada kondisi tercekam Al ditampilkan oleh Tabel 3. Karakter panjang tajuk memiliki nilai ragam fenotipe dan ragam genotipe tertinggi dibandingkan dengan nilai ragam karakter lainnya. Menurut Makmur (1992), efektif atau tidaknya seleksi terhadap suatu populasi, tergantung dari keragaman yang disebabkan faktor genetik yang nantinya diwariskan kepada keturunannya dan seberapa jauh keragaman hasil yang disebabkan oleh lingkungan tumbuh tanaman. Populasi tetua galur umum (P1 dan P2) serta keturunannya (F1) bersifat homogen sehingga keragaman yang timbul pada populasi tersebut hanya disebabkan oleh faktor lingkungan. Generasi F 2 memiliki ragam genetik populasi sangat besar akibat segregasi gen. Oleh sebab itu, keragaman yang timbul pada populasi F2 tidak hanya disebabkan oleh faktor lingkungan melainkan juga oleh faktor genetik. Seleksi untuk sifat-sifat yang diinginkan dapat dilakukan pada populasi ini karena pada generasi F2 memiliki keragaman tertinggi. Ukuran keragaman genetik dapat dinyatakan dalam koefisien keragaman genetik (KKG). Menurut Zen et al. (1995) nilai koefisien keragaman genetik membantu pengukuran diversitas genetik pada suatu sifat dan melengkapi cara dalam membandingkan keragaman genetik di dalam sifat-sifat kuantitatif. Semua karakter yang diamati pada percobaan di kultur hara memiliki keragaman genetik yang sempit ditunjukkan dari nilai koefisien keragaman genetik (KKG) 0% 6,56% (Tabel 4). Seleksi kurang efektif bila dilakukan pada karakter yang memiliki keragaman genetik yang sempit (Chahal dan Gosal 2003).
114
Tabel 4 Nilai Pendugaan Komponen Ragam dan Heritabilitas Arti Luas Hasil Persilangan Sorgum Varietas UPCA-S1 dan Numbu pada Cekaman Aluminium di Kultur Hara Karakter
σ2p
σ 2e
σ2g
KKg (%)
h2bs
Kriteria
Panjang Tajuk
86.05
26.15 59.90
6.56
69.61
tinggi
Panjang Akar
68.55 13.945 54.61
6.26
79.67
tinggi
Bobot Kering Tajuk
0.03
0.01
0.03
0.13
80.30
tinggi
Bobot Kering Akar
0.002
0.003
0.00
0.00
~
-
Nisbah Tajuk/Akar
1.20
0.60
0.60
0.66
50.08
sedang
Bobot Tajuk/Akar
7.93
0.28
7.65
2.36
96.49
tinggi
Ket : σ2p (ragam fenotipe), σ2e (ragam lingkungan), σ2g (ragam genetik), KKG (koefisien keragaman genetik) dan h2bs (heritabilitas arti luas)
Perbandingan antara nilai ragam genetik (VG) terhadap nilai ragam fenotipik (Vp) dari suatu sifat tanaman merupakan nilai heritabilitas (h2). Berdasarkan hasil penelitian ini diperoleh informasi bahwa semua karakter yang diamati mempunyai nilai heritabilitas arti luas tergolong tinggi selain karakter nisbah tajuk/akar yang menunjukkan nilai heritabilitas dalam arti luas yang sedang (Tabel 4). Oleh sebab itu kelima sifat tersebut lebih banyak dikendalikan oleh faktor genetik dibandingkan dengan faktor lingkungan (Poehlman dan Sleper 1996). Nilai heritabilitas merupakan tolok ukur pendugaan keefektifan seleksi. Nilai duga heritabilitas yang tinggi dari suatu karakter mengindikasikan bahwa seleksi terhadap karakter tersebut dapat dimulai pada generasi awal, namun jika karakter memiliki nilai heritabilitas sedang hingga rendah lebih baik diseleksi pada generasi lanjut.
115
Pewarisan Karakter Agronomi dan Hasil pada Kondisi Tercekam Al Pelaksanaan percobaan di lapangan bertujuan untuk memperoleh informasi mengenai kendali genetik pada karakter agronomi tanaman sorgum terhadap toleransi Al. Hasil analisis tanah menunjukkan bahwa pH tanah di lahan pengujian berkisar 4.26-4.34 (sangat masam) dengan kejenuhan Al 33% (Tabel Lampiran 2). Kondisi lingkungan yang demikian diharapkan dapat menyebabkan gen-gen pengendali toleransi Al akan terekspresi. Numbu merupakan varietas sorgum nasional yang dilepas oleh Pemerintah pada tahun 2001. Varietas ini merupakan varietas introduksi dari India. Hasil penapisan ketahanan genotipe sorgum di lahan masam menunjukkan bahwa varietas Numbu termasuk pada kelompok sorgum yang toleran lahan masam (Sungkono, tidak dipublikasikan). Numbu sebagai tetua toleran Al tidak mengalami gangguan pertumbuhan meskipun ditanam di lahan dengan cekaman Al (Gambar 8). Penampilan daun hijau berbentuk pita dan memiliki malai yang kompak dengan warna sekam coklat muda dan biji berwarna krem. pada penelitian ini varietas Numbu menunjukkan memiliki mekanisme stay-green karena mampu mempertahankan kehijauannya hingga akhir fase pengisian biji. Mekanisme stay-green yaitu kemampuan tanaman mempertahankan kehijauan sehingga lebih aktif berfotosintesis selama masa pengisian biji. Borrel et al. (2006) menjelaskan kondisi stay-green pada tanaman sorgum dipengaruhi oleh efisiensi penggunaan radiasi dan transpirasi yang tinggi. UPCA S1 merupakan varietas introduksi dari Filipina dan dilepas oleh Pemerintah sebagai varietas nasional tahun 1972. UPCA S1 memiliki malai yang kompak dengan sekam berwarna hitam dan biji berwarna coklat. Varietas ini memiliki kepekaan terhadap lahan masam. UPCA S1 mengalami pertumbuhan yang terhambat, terlihat dari tinggi tanaman yang lebih pendek dibandingkan dengan Numbu (Gambar 8). Database yang dimiliki oleh Departemen Pertanian RI (Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian 2004) memperlihatkan bahwa tinggi tanaman UPCA S1 dan Numbu tidak berbeda (Tabel Lampiran 4). Penampilan individu mulai mengalami senesence (penuaan) daun setelah tanaman memasuki fase generatif dan pengisian biji yang terlihat dari daun mulai
116
mencoklat dan mengering. Dengan demikian dapat diduga bahwa UPCA S1 tidak memiliki mekanisme stay-green.
Numbu
UPCA S1 UPCA S1
Numbu
Gambar 8 Penampilan Tanaman dan Malai Sorgum Varietas UPCA S1 (P1) dan Numbu (P2) di Lapangan.
F1R
F1
F1R
F1
Gambar 9 Penampilan Tanaman dan Malai F1 dan F1 Resiprokal Hasil Persilangan Sorgum Varietas UPCA S1 dan Numbu di Lapangan.
Gambar 10 Penampilan Tanaman dan Malai F2 Hasil Persilangan Sorgum Varietas UPCA S1 dan Numbu di Lapangan.
117
Penampilan F1 hasil persilangan UPCA S1 dan Numbu ditampilkan pada pada Gambar 9, sedangkan nilai rata-rata F1 ditampilkan pada Tabel 5. Dari gambar 9 diketahui bahwa tanaman F1 memiliki tinggi tanaman berada di antara kedua tetua. Begitu juga dengan warna malai sekam dan biji. Sekam pada generasi F1 berwarna coklat muda dengan semburat hitam. Tabel 5 memperlihatkan bahwa karakter tinggi tanaman, bobot batang, bobot biji per tanaman dan indeks panen memiliki rata-rata di antara kedua tetua, sedangkan karakter bobot total biomassa dan panjang malai memiliki rata-rata lebih rendah dibandingkan dengan kedua tetua. Tabel 5 Rata-rata Tetua Sorgum Varietas UPCA S1 (P1), Numbu (P2), F1 dan F2 Hasil Persilangan Sorgum Varietas UPSA-S1 dan Numbu pada Cekaman Aluminium di Lapangan Karakter Tinggi Tanaman (cm)
Rata-rata UPCA S1
Rata-rata Numbu
Rata-rata F1
Rata-rata F2
172.67 ± 17.38 229.41 ± 15.12 191.06 ±
19.37 189.29 ± 33.09
Bobot Batang (g) 250.16 ± 91.73 468.59 ± 198.52 256.31 ±
82.30 240.22 ± 173.35
Bobot Total Biomassa (g)
407.37 ± 137.73 678.24 ± 275.75 405.06 ± 143.80 343.37 ± 242.34
Panjang Malai (cm)
23.25 ±
Bobot Biji per Tanaman (g)
56.49 ± 17.57
Indeks Panen
0.15 ±
2.18
0.04
23.65 ±
1.51
20.72 ±
2.73
75.62 ± 23.92
74.92 ±
23.10
0.18 ±
0.09
0.12 ±
0.03
17.77 ±
5.09
47.93 ± 42.91 0.14 ±
Populasi bersegregasi F2 hasil persilangan UPCA S1 dan Numbu memiliki penampilan beragam. Keragaman meliputi karakter kualitatif yaitu sekam dan biji, juga kemampuan mempertahankan kehijauan daun setelah fase generatif. Selain itu juga terdapat individu yang tidak mencapai fase generatif yang dikarenakan oleh lambatnya pertumbuhan tanaman sehingga tidak mampu bersaing dengan tanaman lainnya dan juga terdapat individu yang mampu tumbuh baik tetapi tidak
0.10
118
membentuk malai. Individu ini pertumbuhan berhenti pada saat terbentuk fase daun bendera. Pengaruh Tetua Betina terhadap Karakter Agronomi dan Hasil Dalam studi pewarisan sifat harus memenuhi salah satu asumsi bahwa karakter tersebut diwariskan oleh gen yang terdapat di inti tanpa ada pengaruh dari tetua betina (Allard 1960). Hasil analisa data menunjukkan bahwa tidak terdapat perbedaan nilai tengah antara F1 dan F1R untuk semua karakter di percobaan lapangan (Tabel 6). Hal ini berarti bahwa karakter-karakter tersebut dikendalikan oleh gen-gen yang terdapat pada inti sel dan diwariskan secara merata kepada zuriatnya. Hasil penelitian Vargas-Duque et al. (1994) mengatakan bahwa toleransi pada lahan masam pada jagung juga dikendalikan oleh gen inti. Tabel 6 Pendugaan Pengaruh Tetua Betina Hasil Persilangan Sorgum Varietas UPCA-S1 dan Numbu UPCA-S1 dan Numbu pada Cekaman Aluminium di Lapangan Karakter
Rata-rata F1
Rata-rata F1R
P-Value
Tinggi Tanaman (cm)
190.9 ± 19.8
191.3 ± 19.2
0.931tn
Bobot Batang (g)
262.5 ± 72.8
249 ± 93.2
0.569tn
Bobot Total Biomassa (g)
410 ±134.8
400 ±155.9
0.809tn
Panjang Malai (cm)
20.9 ±
3.2
20.56 ± 27.2
0.667tn
Bobot Biji per Tan (g)
74.9 ± 22.9
75 ±24.02
0.985tn
0.2 ± 0.03
0.201 ± 0.13
0.315tn
Indeks Panen
Ket: tn = tidak nyata pada taraf 5% uji-t,
Sebaran Frekuensi Genotipe Generasi F2 Karakter Agronomi dan Hasil Sebaran frekuensi genotipe karakter agronomi sorgum pada kondisi cekaman Al di lapangan (Gambar 11 – Gambar 15) menunjukkan pola distribusi yang kontinyu sehingga diduga karakter-karakter tersebut bersifat poligenik. Analisa kenormalan menggunakan Metode Shapiro-Wilks dapat digunakan untuk memperoleh nilai kurtosis dan skewness dari distribusi populasi. Semua karakter
119
agronomi dan hasil yang diamati pada 2 hasil persilangan UPCA S1 dan Numbu memiliki nilai kurtosis > 0, sehingga diduga dikendalikan oleh sedikit gen. Skewness merupakan pendugaan statistik untuk mengetahui kemenjuluran sebaran data. Hasil pengujian kenormalan sebaran data karakter agronomi sorgum pada kondisi cekaman Al menunjukkan bahwa karakter agronomi sorgum tidak menyebar normal kecuali karakter tinggi tanaman. Karakter tinggi tanaman memiliki nilai skewness yang hampir mendekati nol (Gambar 11). Data yang memiliki sebaran yang normal memiliki nilai skewness = 0 (Roy 2000). Dengan demikian dapat diduga bahwa karakter tinggi tanaman sebagian besar dikendalikan oleh aksi gen aditif. Karakter lainnya yaitu bobot batang, bobot total biomassa, panjang malai dan bobot biji per tanaman memiliki kemenjuluran data pada sebaran populasi F2. Hasil analisis dengan Metode Shapiro-Wilks menunjukkan nilai skewness keempat karakter tersebut tidak sama dengan 0 sehingga dapat diduga pada keempat karakter tersebut selain terdapat aksi gen aditif juga terdapat interaksi alel dari lokus yang berbeda (epistasis). Lebih lanjut Roy (2000) menjelaskan bahwa sebaran data menjulur ke kanan, nilai skewness yang diperoleh akan positif. Sebaran yang demikian menunjukkan bahwa aksi gen epistasis yang terjadi adalah epistasis komplementer. Sebaliknya jika sebaran data yang menjulur ke kiri, nilai skewness yang diperoleh akan negatif dan menunjukkan bahwa pada karakter tersebut terdapat aksi gen epistasis dominan. Dengan demikian, epistasis yang terjadi pada karakter bobot batang, bobot total biomassa, panjang malai dan bobot biji per tanaman adalah epistasis komplementer.
120
Gambar 11 Grafik Sebaran Frekuensi Tinggi Tanaman Populasi F2 Hasil Persilangan Sorgum Varietas UPCA-S1 dan Numbu pada Cekaman Al di Lapangan.
Gambar 12 Grafik Sebaran Frekuensi Bobot Batang Populasi F2 Hasil Persilangan Sorgum Varietas UPCA-S1 dan Numbu pada Cekaman Al di Lapangan.
121
Gambar 13 Grafik Sebaran Frekuensi Bobot Biomassa Total Populasi F2 Hasil Persilangan Sorgum Varietas UPCA-S1 dan Numbu pada Cekaman Al di Lapangan.
Gambar 14 Grafik Sebaran Frekuensi Panjang Malai Populasi F2 Hasil Persilangan Sorgum Varietas UPCA-S1 dan Numbu pada Cekaman Aluminium di Lapangan.
122
E
Gambar 15 Grafik Sebaran Bobot Frekuensi Biji per Tanaman Populasi F2 Hasil Persilangan Sorgum Varietas UPCA-S1 dan Numbu pada Cekaman Aluminium di Lapangan. Tabel 7 Nilai Skewness, Aksi Gen, Nilai Kurtosis dan Bentuk Grafik Sebaran Genotipe F2 Hasil Persilangan Sorgum Varietas UPCA-S1 dan Numbu pada Cekaman Aluminium di Lapangan Karakter
Skewness
Aksi Gen
Kurtosis
Keterangan
Tinggi Tanaman -0.0481
Aditif
0.7154
Dikendalikan sedikit gen
Bobot Batang
2.3222
Aditif+epistasis Komplementer
12.8569
Dikendalikan sedikit gen
Bobot Biomassa 2.7810 Total
Aditif+epistasis Komplementer
16.9694
Dikendalikan sedikit gen
Panjang Malai
0.4450
Aditif+epistasis Komplementer
0.9153
Dikendalikan sedikit gen
Bobot Biji per 2.7225 Tanaman
Aditif+epistasis Komplementer
14.9934
Dikendalikan sedikit gen
Karakter agronomi sorgum menunjukan terdapat fenomena segregasi transgresif di mana variasi pada generasi F2 diketahui berada di luar kisaran kedua tetua. Segregasi transgresif terjadi karena persilangan antara kedua tetua yang memiliki nilai tengah yang jauh. Keberadaan segregan transgresif dalam kaitan untuk seleksi sangat menguntungkan karena nilai segregan yang diperoleh akan menjadi bahan seleksi yang melebihi nilai tetua. Populasi dobel haploid hasil
123
persilangan padi toleran dan peka Al memperlihatkan terdapat transgresif segregan pada populasi F2 yang dianalisis (Nguyen 2002). Pengaruh genetik menyebabkan data menyebar normal, sedangkan pengaruh lingkungan menyebabkan data mempunyai nilai skewness positif atau data menjulur ke kanan, sehingga seleksi akan memberikan kemajuan genetik yang lebih rendah daripada yang diharapkan. Bari (1998) menyatakan bahwa sebaran data yang menyimpang dari sebaran normal sangat berpengaruh terhadap proses seleksi pada generasi berikutnya terutama pada karena pengukuran kemajuan genetik yang dihitung berdasarkan asumsi bahwa data menyebar normal. Pendugaan Komponen Ragam dan Nilai Heritabilitas Arti Luas Karakter Agronomi dan Hasil Ketersediaan populasi tanaman yang memiliki keragaman yang tinggi sangat diperlukan dalam pengembangan suatu varietas dan keberhasilan seleksi sangat ditentukan oleh adanya keragaman yang dikendalikan faktor genetik (Roy 2000). Nilai ragam fenotipe, ragam lingkungan, ragam genetik karakter agronomi dan hasil pada kondisi tercekam Al ditampilkan pada Tabel 6. Semua karakter agronomi selain panjang malai memiliki nilai ragam baik ragam fenotipe, ragam genetik dan ragam lingkungan yang sangat tinggi. Hal ini diduga karena adanya pengaruh lingkungan yang sangat besar. Nilai koefisien keragaman genetik (KKG) karakter bobot batang dan bobot total biomassa tergolong agak sempit, sedangkan karakter lainnya tergolong sempit. Menurut Heliyanto et al. (1998), kriteria koefisien keragaman genetik (KKG) yaitu sempit (0% - 25%), agak sempit (26% - 50%), agak luas (51% 75%) dan luas (di atas 76%). Nilai KKG yang tinggi menunjukkan peluang terhadap usaha-usaha perbaikan yang efektif melalui seleksi dan dapat memberikan keleluasaan dalam pemilihan genotipe-genotipe yang diinginkan, maupun melalui penggalian kombinasi-kombinasi genetik baru (Rachmadi et al.1990). Menurut Amilin et al. (1995) dengan KKG yang tinggi, variabilitas sifat yang diamati menjadi lebih luas sehingga dapat meningkatkan kemajuan genetik
124
hasil seleksi. Singh (2004) menjelaskan bahwa variasi genetik terjadi karena adanya gen-gen yang bersegregasi dan interaksinya dengan gen-gen lain. Tabel 8 Nilai Pendugaan Komponen Ragam dan Heritabilitas Arti Luas Hasil Persilangan Sorgum Varietas UPCA-S1 dan Numbu pada Cekaman Al di Lapangan σ2e
σ2g
301.88
793.12
5.10
72.43 tinggi
Bobot Batang
30051.32 18198.78 11852.53
20.01
39.44 sedang
Bobot Total Biomassa
58728.74 38561.11 20167.63
26.79
34.34 sedang
Karakter Tinggi Tanaman
Panjang Malai Bobot Biji per Tan Indeks Panen
σ2p 1095.00
KKg (%)
h2bs
Kriteria
25.86
4.82
21.03
0.89
81.35 tinggi
1841.26
471.47
1369.79
11.28
74.39 tinggi
0.01
0.00
0.01
0.03
64.48 tinggi
Ket : σ2p (ragam fenotipe), σ2e (ragam lingkungan), σ2 g (ragam genetik), KKG (koefisien keragaman genetik) dan h2bs (heritabilitas arti luas)
Berdasarkan Tabel 8, hasil penelitian toleransi Al tanaman sorgum di lapangan diperoleh informasi bahwa semua karakter yang diamati mempunyai nilai heritabilitas arti luas berkisar sedang (karakter bobot batang dan bobot total biomassa) dan tinggi (karakter tinggi tanaman, panjang malai dan bobot biji per tanaman). Seleksi akan efektif pada karakter yang memiliki nilai heritabilitas tinggi karena pengaruh lingkungan sangat kecil sehingga faktor genetik lebih dominan. Karakter dengan nilai heritabilitas tinggi seleksi dapat dilakukan pada generasi awal, sedangkan untuk karakter dengan heritabilitas sedang dan rendah dilakukan pada generasi lanjut (Zen et al. 1995). Dengan demikian, karakter yang diamati dalam penelitian ini dapat digunakan sebagai karakter seleksi dalam pembentukan galur sorgum manis yang toleran Al.
125
Seleksi Genotipe F2 Sorgum Toleran Cekaman Al Tujuan seleksi adalah untuk memperoleh peningkatan frekuensi gen-gen yang diinginkan pada generasi berikutnya. Berdasarkan Tabel 4, hasil penelitian toleransi Al tanaman sorgum di lapangan diperoleh informasi bahwa semua karakter yang diamati mempunyai nilai heritabilitas arti luas berkisar sedang (karakter bobot batang dan bobot total biomassa) hingga tinggi (karakter tinggi tanaman, panjang malai dan bobot biji per tanaman). Populasi F2 merupakan populasi yang bersegregasi dan memiliki tingkat keragaman tertinggi. Seleksi telah dapat dilakukan pada individu-individu di generasi F2 dengan harapan akan diperoleh calon-calon galur harapan sorgum yang memiliki toleransi sejak awal seleksi. Seleksi untuk karakter kuantitatif dijelaskan dalam perubahan/perbaikan nilai tengah dari generasi (progeny generation) yang diturunkan dari individuindividu hasil seleksi (tetua terpilih/selected parents/parental population melalui perhitungan kemajuan genetik yaitu dengan menghitung nilai diferensial seleksi. Diferensial seleksi merupakan selisih nilai tengah antara populasi hasil seleksi dengan populasi dasarnya (Roy 2000). Diferensial seleksi menunjukkan superioritas dari individu-individu yang terpilih dibandingkan populasi dasarnya. Seleksi pada penelitian ini dilakukan dengan tujuan pembentukan galurgalur sorgum manis untuk keperluan pangan dan bioetanol. Seleksi untuk pemenuhan kebutuhan pangan diharapkan diperoleh kemajuan genetik pada karakter malai. Sorgum yang diinginkan memiliki ideotipe bobot biji per tanaman yang besar. Selain itu juga diperlukan tanaman yang tidak terlalu tinggi untuk mempermudah pemanenan. Tabel 9 menunjukkan nilai diferensial seleksi apabila seleksi hanya dilakukan hanya berdasarkan karakter bobot biji per tanaman. Seleksi dengan dengan intensitas seleksi 10% diharapkan akan meningkatkan karakter bobot biji per tanaman sebesar 68.65 g pada generasi berikutnya. Karakter tinggi tanaman juga mengalami peningkatan sebesar 36.24 cm. Hal ini tidak dibutuhkan dalam pengembangan sorgum sebagai bahan pangan. Untuk itu perlu dilakukan seleksi berdasarkan dua karakter yaitu bobot biji per tanaman dan tinggi tanaman.
126
Tabel 9 Kemajuan Seleksi Berdasarkan Karakter Bobot Biji per Tanaman Hasil Persilangan Sorgum Varietas UPCA-S1 dan Numbu pada Cekaman Aluminium di Lapangan Karakter
Rata-rata Populasi Awal
Rata-rata Terseleksi
Diferensial Seleksi (SD)
Tinggi Tanaman (cm)
189.29 ±
33.09
225.54 ±
33.95
36.24
Bobot Batang (g)
240.22 ±
173.35
449.60 ±
269.25
209.38
Bobot Total Biomassa (g)
343.37 ±
242.34
669.00 ±
391.39
325.63
Panjang Malai (cm)
17.77 ±
5.09
22.21 ±
3.97
4.44
Bobot Biji per Tan (g)
47.93 ±
42.90
116.58 ±
50.24
68.65
0.14 ±
0.10
0.21 ±
0.11
0.08
Indeks Panen
Tabel 10 Kemajuan Seleksi Berdasarkan Karakter Bobot Biji per Tanaman Hasil dan Tinggi Tanaman Persilangan Sorgum Varietas UPCA-S1 dan Numbu pada Cekaman Aluminium di Lapangan Karakter
Rata-rata Populasi Awal
Tinggi Tanaman (cm)
189.29 ±
33.09
Bobot Batang (g)
240.22 ±
Bobot Total Biomassa (g)
Rata-rata Terseleksi 30.03
8.94
173.35
398.46 ± 170.10
158.24
343.37 ±
242.34
450.10 ± 257.57
106.73
Panjang Malai (cm)
17.77 ±
5.09
23.21 ±
5.67
5.44
Bobot Biji per Tan (g)
47.93 ±
42.90
113.54 ±
47.81
65.61
0.14 ±
0.10
0.19 ±
0.14
0.05
Indeks Panen
198.23 ±
Diferensial Seleksi (SD)
Seleksi dengan dua karakter disebut seleksi multikarakter. Seleksi berdasarkan bobot biji per tanaman dan tinggi tanaman diharapkan memperoleh peningkatan bobot biji dengan tanaman yang tidak terlalu tinggi. Hasil seleksi terhadap dua karakter tersebut menyebabkan peningkatan bobot biji per tanaman sebesar 65.61 g dengan nilai diferensial seleksi untuk karakter tinggi tanaman hanya 8.94 cm (Tabel 10).
127
Tabel 11 Kemajuan Seleksi Berdasarkan Karakter Bobot Batang Hasil Persilangan Sorgum Varietas UPCA-S1 dan Numbu pada Cekaman Al di Lapangan Karakter
Rata-rata Populasi Awal
Rata-rata Terseleksi
Diferensial Seleksi (SD)
Tinggi Tanaman (cm)
189.29 ±
33.09
221.92 ±
40.16
32.63
Bobot Batang (g)
240.22 ±
173.35
592.25 ±
216.89
352.03
Bobot Total Biomassa (g)
343.37 ±
242.34
812.13 ±
351.22
468.76
Panjang Malai (cm)
17.77 ±
5.09
20.91 ±
4.30
3.14
Bobot Biji per Tan (g)
47.93 ±
42.90
93.25 ±
75.60
45.32
0.14 ±
0.10
0.10 ±
0.06
-0.04
Indeks Panen
Tabel 12 Kemajuan Seleksi Berdasarkan Karakter Bobot Biji per Tanaman dan Bobot Batang Hasil Persilangan Sorgum Varietas UPCA-S1 dan Numbu pada Cekaman Aluminium di Lapangan Karakter Bobot Biji per Tan
Rata-rata Populasi Awal
Rata-rata Terseleksi
Diferensial Seleksi (SD)
47.93 ±
42.90
136.06 ±
68.20
88.13
Bobot Batang
240.22 ±
173.35
671.57 ±
279.11
431.35
Tinggi Tanaman
189.29 ±
33.09
249.21 ±
26.87
59.92
Bobot Total Biomassa
343.37 ±
242.34
992.67 ±
428.06
649.30
Panjang Malai
17.77 ±
5.09
23.06 ±
2.41
5.29
Indeks Panen
0.13 ±
0.10
0.14 ±
0.02
0.00
Seleksi sorgum untuk keperluan bioetanol diharapkan diperoleh galur tanaman yang memiliki malai dan atau bobot batang yang besar. Tabel 11 menampilkan nilai diferensial seleksi pada seleksi berdasarkan bobot batang segar. Seleksi sebanyak 10% menyebabkan bobot batang meningkat sebesar 352.03 g dari rata-rata sebelumnya. Seleksi berdasarkan karakter ini juga meningkatkan bobot biji per tanaman sebesar 45.32 g. Nilai diferensial seleksi berdasarkan dua karakter agronomi sorgum yaitu bobot batang dan bobot biji
128
pertanaman ditampilkan pada Tabel 12. Seleksi pada 10% populasi F2 meningkatkan rata-rata karakter bobot biji per tanaman sebesar 88.13 g sekaligus meningkatkan bobot batang sebesar 431.35 g.
129
KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan Berdasarkan hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa pada kondisi cekaman Al, gen yang mengendalikan karakter fase bibit, karakter agronomi dan karakter hasil terdapat pada gen-gen inti. Semua karakter pengendali toleransi tanaman sorgum terhadap cekaman Al bersifat poligenik. Semua karakter toleransi Al yang berhubungan dengan stadia bibit yaitu panjang akar, bobot kering akar dan bobot kering tajuk dikendalikan aksi gen aditif dengan pengaruh gen epistasis komplementer kecuali pada karakter panjang tajuk yang memiliki aksi gen aditif dengan pengaruh gen epistasis duplikasi. Karakter agronomi dan hasil hanya karakter tinggi tanaman yang dikendalikan oleh aksi gen aditif. Karakter bobot batang, bobot total biomassa, panjang malai dan bobot biji per tanaman terdapat aksi gen aditif dengan pengaruh aksi gen epistasis komplementer. Terdapat keragaman yang besar pada populasi F2 yang merupakan zuriat hasil persilangan dari tetua genotipe toleran Al dan genotipe peka Al. Pada populasi F2 terdapat segregan transgresif pada semua karakter-karakter yang diuji dengan nilai melebihi nilai kedua tetua. Nilai heritabilitas arti luas untuk semua karakter toleransi Al yang berhubungan dengan pertumbuhan akar maupun karakter agronomi cekaman Al tergolong sedang hingga tinggi. Seleksi pada populasi F2 berdasarkan dua karakter lebih efektif dibandingkan dengan seleksi berdasarkan satu karakter dalam meningkatkan diferensial seleksi sorgum manis untuk keperluan sebagai bahan pangan dan bahan bioetanol. Saran Berdasarkan hasil penelitian ini, metode pedigree dapat digunakan sebagai metode pemuliaan yang efektif dalam perakitan kultivar sorgum manis unggul toleran Al. Semua karakter yang diamati, baik karakter pertumbuhan akar maupun karakter agronomi dapat dijadikan sebagai karakter seleksi dalam pemilihan galur-galur sorgum manis toleran Al.
130
DAFTAR PUSTAKA Accevedo E, Fereres E. 1993. Resistance to abiotic stress. Di dalam: Hayward MD, Bosemark NO, Romagosa I, editor. Plant Breeding: Principles and Prospect. London: Chapman and Hall. hlm 281-313. Ahloowalia BS, Maluszynski M, Nichterlein K. 2004. Global impact of mutationderived varieties. Euphytica 135:187–204. Aisyah SI. 2006. Mutasi Induksi. Di dalam: Sastrosumarjo S, editor. Sitogenetika Tanaman. Bogor: Fakultas Pertanian IPB. hlm159-178. Allard RW. 1960. Principles of Plant Breeding. First Edition. New York: John Wiley & Sons. 483p. Amilin A, Setiamihardja R, Baihaki A, Karmana HH. 1995. Pewarisan heritabilitas dan kemajuan genetik ketahanan terhadap penyakit antraknosa pada persilangan cabai rawit x cabai merah. Zuriat 6 (2) : 78-80. Atokple IDK. 2007. Sorghum and millet breeding in West Africa in practice. Council for Scientific and Industrial Research. Ghana.11p. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. 2004. Database Varietas Tanaman Pertanian Indonesia. Bogor: Departemen Pertanian RI. Baenziger PS, Russell WK, Graef GL, Campbel BTI. 2006. Improving Lives: 50 Years of Crop Breeding, Genetics, and Cytology. Crop Sci. 46:2230–2244 Bahar H, Zen S. 1993. Parameter genetik pertumbuhan tanaman, hasil dan komponen hasil jagung. Zuriat 4(1): 4-7. Baihaki A. 2000. Teknik Rancang dan Analisis Penelitian Pemuliaan. Diktat Kuliah. Fakultas Pertanian Universitas Padjadjaran. Baker RJ. 1993. Breeding methods and selection indices for improved tolerance to biotic and abiotic stresses in cool season food legumes. Euphytica 73 (12): 67-72. Baligar VC, Pitta GVE, Gama EEG, Schaffer RE, Bahia Filho AF.DeC, Clark RB. 1997. Soil acidity effects on nutrient use efficiency in exotic maize genotypes. Plant Soil 192: 9-13. Bari A, Sjarkani M, Sjamsudin E. 1974. Pengantar Pemuliaan Tanaman. Departemen Agronomi Faperta. IPB. Bogor. 124 hal. Bari A. 1998. Pengujian sebaran frekuensi hasil padi dan dalam tumpang sari padi dengan jagung dan ubi kayu. Comm. Ag. 4(1):41-45. Bellon MR. 2001. Participatory methods in the development and dissemination of new maize technologies. In: Pingali PL. editor. CIMMYT 1999–2000 World Maize Facts and Trends. Meeting World Maize Needs: Technological pportunities and Priorities for the Public Sector. CIMMYT, Mexico, DF, pp. 4–20.
131
Bernardo R. 2002. Breeding for Quantitative Traits in Plants. Woodbury, Minnnesota: Stemma Press. Bianchi-Hall CM, TE Carter, Jr, TW Rufty, C Arellano, HR Boerma, DA Ashley, and J. W. Burton. 1998. Heritability and resource allocation of aluminum tolerance derived from soybean PI 416937. Crop Sci. 38:513–522. Biro Pusat Statistik. 2007. Statitika Indonesia. Jakarta: Badan Pusat Statistika. Borrel AK, Oosterom EV, Hammer G, Jordan D, and Douglas A. 2005. The physiology of ‘stay-green’ in sorghum. Hermitage Reasearch Station, University of Queensland, Brisbane. Borrel AK, Jordan D, Mullet J, Klein P, Klein R, Nguyen H, Rosenow D, Hammer G, Douglas A and Hanzell B. 2006. Discovering stay-green drought tolerance genes in sorghum: A multidisciplinary approach. Hermitage Reasearch Station, University of Queensland, Brisbane. Caniato FF, Guimaraes CT, Schaffert RE, Alves VMC, Kochian LV, Borem A, Klein PE and Magalhaes JV. 2007. Genetic diversity for aluminum tolerance in sorghum. Theor Appl Genet 114:863–876. Carver BF, Ownby JD. 1995. Acid soil tolerance in wheat. In: Sparks DL, editor. Advances in Agronomy. Academic Press, Inc., San Diego. Pp 117-173. Ceccarelli S. 1996. Adaptation to low/high input cultivation. Euphytica 92: 203214. Ceccarelli S, Erskine W, Humblin J and Brando S. 2007. Genotype by environment interaction and international breeding program. ICRISAT. New Delhi. Chahal GS, Gosal SS. 2003. Principles and Procedures of Plant Breeding: Biotechnological and Conventional Approaches. Kolkata: Narosa Publishing House. Chaubey CN, D Senadhira. 1994. In Yeo AR and Flower TJ, editors. Soil Mineral Stresses: Approach to Crop Improvement. Monograph in Theoritical and Applied Genetics. Berlin: Springer-Verlag. Comeau A, Nadeau P, Plourde A, Simard R, Mae O, Kelly S, Harper L, Lettre J, Landry B, St . Pierre CA. 1992. Media for the in ovule culture of proembryos of wheat and wheat-derived interspecific hybrids or haploids. Plant Sci. 81:117–125. DelhaizeE, Craig S, Beaton CD, Bennet RJ, Jagadish VC and Randall PJ. 1993. Aluminium tolerance in wheat (Triticum aestivum L.). Plant Physiol 103: 685-693. Delhaize E, PR Ryan. 1995. Aluminum toxicity and tolerance in plants. Plant Physiol. 107: 31 5-321 Departemen Kesehatan RI. 1992. Daftar Komposisi Bahan Makanan. Bhrata. Jakarta. 57 hal.
132
Di Fonzo N, Flagella Z, Campanile RG, Stoppelli MC, Spano G, Rascio A, Russo M, Trono D, Padalino L, Laus M, De Vita P, Shewry PR, Lawlor D and Troccoli A. 1999. Resistance to abiotic stresses in durum wheat: Which ideotype?. CIHEAM - Options Mediterraneennes. 215-225. Dirjen Perkebunan. 1996. Sorgum manis komoditi harapan di [ropinsi kawasan timur Indonesia. Risalah Simposium Prospek Tanaman Sorgum untuk Pengembangan Agroindustri, 17−18 Januari 1995. Edisi Khusus Balai Penelitian Tanaman Kacang-kacangan dan Umbi-umbian No.4-1996: 6−12. Dirjen Bina Produksi Tanaman Pangan. 2003. Program Pengembangan Sorgum. Maros:. Departemen Pertanian RI. Dirjen Tanaman Pangan. 2007. Pengembangan Sentra Produksi Sorgum. Maros: Direktorat Budidaya Serealia. Doggett H. 1970. Sorghum. London: Longmans. 403p. Eticha D, The C, Welcker C, Narro L, Staß A, Horst WJ. 2005. Aluminiuminduced callose formation in root apices: inheritance and selection trait for adaptation of tropical maize to acid soils. Field Crops Research 93: 252– 263 Falconer DS, Mackay TFC. 1996. Introduction to Quantitative Genetics. John Wiley and Sons Inc, New York. FAO. 2002. Sweet Sorghum in Chine. Spotlight 2000. Fedak, G. 1999. Molecular aids for integration of alien chromatin through wide crosses. Genome 42:584–591. Forster BP, Ellis RP, Thomas WTB, Newton AC, Tuberosa R, This D, El-Enein RA, Bahri MH, Ben Salem M, 2000. The development and application of molecular markers for abiotic stress tolerance in barley. Experimental Botany 51 (342):19-27. Furukawa J, Yamaji N, Wang H, Mitani N, Murata Y, Sato K, Katsuhara M, Takeda K, Ma, JF. 2007. An aluminum-activated citrate transporter in barley. Plant Cell Physiol 48: 1081-1091. Gepts P. 2002. Review and interpretation: a comparison between crop domestication, classical plant breeding and genetic engineering. Crop Sci. 42:1780–1790 Grassi G. 2001. Sweet sorghum: one of the best word food-feed energy crop. Latin America Thematic Network on Bioenergy (LAMNET). Grassi G, Tondi G, Helm P. 2004. Biomass and agriculture: sustainability, market and policies. Paris: OECD Publication Service. 13p. Grassi G. 2005. Technologies of liquid biofuels production in Europe. European Biomass Industry Association (EUBIA). 24p.
133
Graybosch RA. 1992. High molecular weight glutenin subunit composition of cultivars, germplasm and parents of U.S. red winter wheat. Crop Sci. 32:1151–1155. Greene SL, Morris JB. 2001. The case for multiple-use plant germplasm collections and a strategy for implementation. Crop Sci. 41:886–892. Griffing B. 1950. An analysis of quantitative gene action by contrast parent regression and related technique. Genetics 35: 303-321. Grubben GJH, Partohardjomo S. 1996. PROSEA Edisi 10. Bogor. Harlan JR, deWet MJ. 1971. Toward a rational classification of cultivated plants. Taxon 20:509–517. Hayes MHB, Swift RS. 1990. Genesis, isolation, composition and structures of soil humic substances. In: de Booth MF, Hayes MHB, and Herbilon A, editor. Soil colloids and their associations in aggregates. Plenum Press. New York. P: 245-305. Heliyanto B, Purwati, Marjani dan Budi. 1998. Parameter genetic komponen hasil dan hasil serat aksesi kenaf potensial. Zuriat 9(1): 6-13. Hidayat A, Mulyani A. 2002. Lahan Kering untuk Pertanian. Dalam: Teknologi Pengelolaan Lahan Kering. Puslitbang Tanah dan Agroklimat. Departemen Pertanian. Hoeman S. 2007. Peluang dan Potensi Pengembangan Sorgum Manis. Makalah pada workshop “Peluang dan Tantangan Sorgum Manis sebagai Bahan Baku Bioetanol”. Dirjen Perkebunan, Departemen Pertanian, Jakarta. 10 hal. House LR. 1985. A guide to Sorghum Breeding. 2nd Ed. International Crops Research Institut for Semi-Arid Tropics (ICRISAT). India. 206p. Hussain SS. 2006. Molecular breeding for abiotic stress tolerance: drought perspective. Proc Pakistan Acad Sci 43 (3): 189-210. International Crops Research Institute for Semi-Arid tropics [ICRISAT]. 1996. A Guide to the Sorghum Breeding.ICRISAT. India. Institute of Agricultural Sciences at Xinxian, Shanxi. 1972. Sorghum hybrids: Development, multiplication and cultivation. China Science Press, Beijing. Iqbal S, Ariq M, Tahira M, Ali M, Anwar M, Sarwar M. 2003. Path coefficient analysis in different genotypes of soybean (Glycine max (L.) Merr). Pakistan Journal of Biological Sciences 6 (12): 1085-1087. Jagau Y. 2000. Fisiologi Pewarisan Efisiensi Nitrogen dalam Keadaa Cekaman Aluminium pada Padi Gogo (Oryza sativa L.) [Disertasi]. Bogor: Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. Jain JP. 1982. Statistical Technique in Quantitative Genetics. Tata Mc Graw-Hill Publishing Company Ltd, New Delhi.
134
Jauhar, P.P., and R.N. Chibbar. 1999. Chromosome-mediated and direct gene transfers in wheat. Genome 42:570–583. Kamprath E. 1980. Soil acidity in well-drained soils of the tropics as a constrain to food production. In priorities for aleviating soil related constrain to food production in the tropics. Los Banos: IRRI. Kochian LV, Hoekenga DAO. 2004. How do crop plant tolerance acid soils? Mechanism of aluminum tolerance and phosphorus efficiency. Ann. Rev. Plant Biol. 55: 459-193. Kasim N, D Sopandie, S Harran, M Jusuf. 2001. Pola akumulasi dan sekresi asam sitrat dan asam malat pada beberapa genotipe kedelai toleran dan peka aluminium. Hayati. 8(3):58-61 Kearsey MJ. 1993. Biometrical Genetics in Breeding. In: Hayward MD, Bosemark NO and Romagosa I, editors. Plant Breeding; Principles and Prospect. London; Chapman and Hall. Keltjens WG. 1988. Short term effects of Al on nutrient uptake. H efflux, root respiration and nitrate reductase activity of two sorghum genotypes differing in Al-susceptibility. Comm. Soil Sci. Plant Anal. 19:1155-1163. Khatiwada SP, Senadhira D, Cerpena AL, Zeigler RS and Fernandez PG. 1996. Variability and genetic of tolerance for aluminum toxocity in rice. Theoretical and Applied Genetics 93: 738-744. Kobayashi Y, Koyama H. 2002. QTL analysis of Al tolerance in recombinant inbred lines of Arabidopsis thaliana. Plant Cell Physiol 43:1526–1533. Kochian LV, Hoekenga OA and Pineros MA. 2004. How do crop plants tolerate acid soils? Mechanisms of aluminum tolerance and phosphorous efficiency. Annu Rev Plant Biol 55:459–493. Koentjoko. 1996. Sorgum untuk makanan ternak unggas. Risalah Simposium Prospek Tanaman Sorgum untuk Pengembangan Agroindustri, 17−18 Januari 1995. Edisi Khusus Balai Penelitian Tanaman Kacang-kacangan dan Umbi-umbian No. 4-1996: 213−216. Ma JF, Ryan PR and Delhaize E. 2001. Aluminum tolerance in plants and the complexing role of organic acids. Trends Plant Sci 6:273–278. Ma Jf, Hiradate S. 2000. Form of aluminum for uptake and translocation in buckwheat (Fogopyrum sculentum Moench). Planta 211:355-360. Magalhaes JV, Garvin DF, Wang Y, Sorrells ME, Klein PE, Schaffert RE, Li L, Kochian LV. 2004. Comparative mapping of a major aluminum tolerance gene in sorghum and other species in the Poaceae. Genetics 167:1905– 1914. Makmur A. 1992. Pengantar Pemuliaan Tanaman. PT. Rineka. 79hal. Makmur A. 2003. Pemuliaan Tanaman bagi Lingkungan Spesifik. IPB PressProgram Pascasarjana IPB. 53hal.
135
Mangoedidjojo W. 2003. Dasar-dasar Pemuliaan Tanaman. Yogyakarta: Penerbit Kanisius. 182 hal. Marschner H. 1995. Mineral Nutrition of Higher Plants. 2nd edition. London: Academics Publisher. Martin JH. 1970. History and Classification of Sorghum. In: Wall JS and Ross WM, editors. Sorghum Production and Utilization. Westport :The Avi Publishing. 702 p. Matsumoto H, Yamamoto , Kasai M. 1992. Change of some properties of the plasmamembrane enriched fraction of barley roots related to Aluminum stress: membranes associated ATP-ase, aluminum and calcium. Soil Sci. Plant Nutrition. 38: 411-419. Medco Energi. 2007. Kesimpulan Workshop “ Peluang dan Tantangan Sorgum Manis sebagai Bahan Baku Bioetanol”. Dirjen Perkebunan, Departemen Pertanian. Jakarta. Miftahudin, Scoles GJ, Gustafson JP. 2002. AFLP markers tightly linked to the aluminum-tolerance gene Alt3 in rye (Secale cereale L.). Theor Appl Genet 104:626–631 Moreno-Gonzales J, Cubero JI. 1993. Selection strategies and choice of breeding methods. In: Hayward MD, Bosemark NO, Romagosa I, editors. Plant Breeding: Principles and Prospect. London: Chapman and Hall. hlm 281-313. Murty DS, Tabo R, Ajayi O. 1994. Sorghum Hybrid Seed Production and Management. ICRISAT, India. Nguyen VT, Nguyen BD, Sarkarung S, Martinez C, Paterson AH and Nguyen HT. 2002. Mapping of genes controlling aluminum tolerance in rice: comparison of different genetic backgrounds. Mol Genet Genomics 267: 772–780. Ninamango-Ca´rdenas FE, Guimara˜es CT, Martins PR, Parentoni SN, Carneiro NP, Lopes MA, Moro JR, Paiva E. 2003. Mapping QTLs for aluminum tolerance in maize. Euphytica 130:223–232. Ohki K. 1987. Aluminum stress on sorghum growth and nutrient relationships. Plant and Soil 98: 195-202. Pantalone VR, Burton JW and Carter TE. 1996. Soybean fibrous root heritability and genotipic correlations with agronomic and seed quality traits. Crops Science. 36: 1120-1125. Pellet DM, Grunes Dl, Kochian LV. 1995. Organic acid exudation as an aluminum-tolerance mechanism in maize (Zea mays L.). Planta 196: 788795 Pellet DM, Papernik LA, Kochian LV. 1996. Multiple aluminum-resistance mechanism in wheat. Plant Physiol. 122: 591-597.
136
Pinaria A, Baihaki A, Setiamihardja R dan Daradjat A. 1995. Variabilitas genetik dan heritabilitas karakter-karakter biomassa 53 genotipe kedelai. Zuriat. 6(2): 88-92. Pineros MA, Kochian LV. 2002. A patch-clamp study on the physiology of aluminum toxicity and aluminum tolerance in maize. Identification and characterization of Al+3 induced anion channels. Plant Physiol 125: 292305. Poehlman JM, Sleper DA. 1996. Breeding Field Crops. 4 th. Iowa State University Press/Ames. Iowa. 494p. Poespodarsono S. 1988. Dasar-dasar Ilmu Pemuliaan Tanaman. Pusat Antar. Universitas Institut Pertanian Bogor. Bogor. 169 hal. Polle EA, Konzak CF. 1993. Genetics and breeding of cereals for acid soil and nutrient efficiency. In: Balligar VC, Duncan RR, editors. Crop as Enhancers of Nutrient Use. San Diego: Academic Press. 81-131. Rachmadi M, Hermiati N, Baihaki A dan Setiamihardja R. 1990. Variasi genetik dan heritabilitas komponen hasil dan galur harapan harapan kedelai. Zuriat 1 (1) : 48-51. Rajvanshi AK, Nimbkar N. 2001. Sweet sorghum R&D at the Nimbkar Agriculture Research Institut (NARI). NARI, India. Raman H, Moroni JS, Sato K, Read BJ, Scott BJ. 2002. Identification of AFLP and microsatellite markers linked with an aluminium tolerance gene in barley (Hordeum vulgare L.). Theoritical and Applied Genetics 105: 458464. Raman H, Karakousis A, Moroni JS, Raman R, Read B, Garvin DF, Kochian LV, Sorrells ME. 2003. Development and allele diversity of microsatellite marker linked to the aluminium tolerance gene Alp in barley. Aust. J. Agri. Res. 54:1315-1321. Raman H, Zhang K, Cakir M, Appels R, Garvin DF, Maron LG, Kochian LV, Moroni JS, Raman R, Imtiaz M, Drake-Brockman F, Waters I, Martin P, Sasaki T, Yamamoto Y, Matsumoto H, Hebb DM, Delhaize E, Ryan PR. 2005. Molecular characterization and mapping of ALMT1, the aluminiumtolerance gene of bread wheat (Triticum aestivum L.). Genome 48:781– 791 Raralage, Malkanthi DR, Moritsugu M, Tokoyama K. 1995. Effects of low pH and Al on absorption and translocation of some essential nutrient in excised barley roots. Soil Sci. Plant Nutr. 41:253-262. Rasmusson DC. 1987. An evaluation of ideotype breeding. Crop Sci. 27:1140. Rayudu, G.V.N., R. Cadirvel, P. Vohra, and F.H.Kratzer. 1970. Toxicity of tannic acid and its metabolits of chickens. Poultry Sci. 49.
137
Reddy BVS, Dar WD. 2007. Sweet sorghum for bioethanol. Makalah pada workshop “Peluang dan Tantangan Sorgum Manis sebagai Bahan baku Bioetanol”. Dirjen Perkebunan, Departemen Pertanian. Jakarta. 8 hal. Rismunandar. 1989. Sorgum Tanaman Serba Guna. Bandung: Sinar Baru. 62hal. Romagosa I, Fox PN. 1993. Genotipe x environment interaction and adaptation. In: Hayward MD, Bosemark NO, Romagosa I, editora. Plant Breeding: Principles and Prospect. London: Chapman and Hall. hlm 373-390. Roy D. 2000. Plant Breeding: Analysis and Exploitation of Variation. Calcutta: Narosa Publishing House. Ruchjaniningsih, Imran A, Thamrin M dan Kanro MZ. 2000. Penampilan fenotipik dan beberapa parameter genetik 8 kultivar kacang tanah pada lahan sawah. Zuriat. 11(1): 8-14. Rukmana H, Oesman Y. 2001. Usaha Tani Sorgum. Jakarta: Kanisius. 40 hal. Saleem M, Chowdory MA, Khasif M, Khaliq M. 2005. Inheritance pattern of plant height, grain yield and some leaf characteristic of spring wheat. International Journal of Agriculture and Biology (7) 6: 1015-1018. Salisbury FB, Ross CW. 1992. Plant Physiology. Ed ke-4. Wadsworth Pub. Co. Samuel T, Kucukakyuz K, Zachary MR. 1997. Al partitioning pattern and root growth as related to Al sensitivity and Al tolerance in wheat. Plant Physiol. 113:527-534. Sasaki M, Yamamoto Y, Ma JF, Matsumoto H. 1997. Early events induced by Aluminium stress in elongating cells of wheat root. Soil Sci. Plant Nutr. 43(5):1009-1014. Seetharama N, Mahalakshmi V. 2006. Field and laboratory screening for drought tolerance in sorghum. ICRISAT, India. Shen, Ma JF. 2002. Compartementation of Aluminium in leaves of an Alaccumuator, Fagopyrum esculentum Moench. Planta 215:394-398 Shivaguru M, Paliwal K. 1993. Differential Al-tolerance in some tropical rice cultivar: I. Growth performance. J. Plant Nutr. 16: 1705-1716. Sierra J, Laontainem HO, Dufourm L, Meunier A, Bonhomme R and Walcker C. 2005. Nutrient and assimilate pertitioning in two tropical maize cultivars in relation to their tolerance to soil acidity. Article in Press Field Crops Research. 16p. Silva MP, Junior AT, Rodrigues R, Pereira MG, Viana AP. 2004. Genetic control on morphogenetic traits in snap bean. Journal of Brazilian Archives of Biology and Technology (47) 6: 855-862. Singh P. 2004. Quantitative Genetics at a Glance. Kalyani Publisher 138 pp. Singh RK, BD Chaudary. 1979. Biometrical Methods in Quantitative Genetics Analysis. New Delhi: Kalyani Publisher.
138
Sirappa MP. 2003. Prospek pengembangan sorgum di Indonesia sebagai komoditas alternatif untuk pangan, pakan dan industry Jurnal Litbang Pertanian, 22(4). 133-140 Soebarinoto dan Hermanto. 1996. Potensi jerami sorgum sebagai pakan ternak ruminansia. Risalah Simposium Prospek Tanaman Sorgum untuk Pengembangan Agroindustri, 17− 18 Januari 1995. Edisi Khusus Balai Penelitian Tanaman Kacang-kacangan dan Umbi-umbian No. 4-1996: 217−221. Sopandie D, Trikoesoemaningtyas, Sulistyono E, Heryani N. 2003. Pengembangan kedelai sebagai tanaman sela : Fisiologi dan pemuliaan untuk toleransi terhadap naungan. Laporan Penelitian Hibah Bersaing. Dirjen Dikti. Sopandie D, Trikoesoemaningtyas, Khumaida N. 2004. Pembentukan varietas unggul kedelai toleran naungan: fisiologi, genetik, dan molekuler adaptasi terhadap intensitas cahaya rendah. Usulan Penelitian Hibah Penelitian Tim Pascasarjana. Dirjen Pendidikan Tinggi. Mendiknas Sopandie D. 2006. Perspektif Fisiologi dalam Pengembangan Tanaman Pangan di Lahan Marjinal. [Orasi Ilmiah Guru Besar Tetap Fisiologi Tanaman]. Bogor: Fakultas Pertanian-Institut Pertanian Bogor. Stanfield WD. 1983. Theory and Problems of Genetics. Second Edition. Mc. Graw-Hill. New York. Strickberger MW. 1976. Genetics 2 nd. New York: Macmillan Publ. Co. 914p. Stoskopf NC, Tomes DT, Christie BR. 1993. Plant Breeding: Theory and Practice. San Fransisco: Westview Press. Sumarno dan S. Karsono. 1996. Perkembangan produksi sorgum di dunia dan penggunaannya. Risalah Simposium Prospek Tanaman Sorgum untuk Pengembangan Agroindustri, 17−18 Januari 1995. Edisi Khusus Balai Penelitian Tanaman Kacang-kacangan dan Umbi-umbian No. 4-1996: 13−24. Sutjahjo SH, Sujiprihati S, Syukur M. 2005. Diktat Kuliah Pengantar Pemuliaan Tanaman. Bogor: Departemen Agronomi dan Hortikultura, Fakultas Pertanian IPB. 199hal. Taiz L, Zeiger E. 2002. Plant Physiology. 3 rd Edition. Sinauer Associates, Inc. Publishers. Sunderland, Massachusetts. 690p. Tan KH. 1993. Principles of Soil Chemistry. 2nd Edition. Marcell Dekker, Inc. 362p. Tang Y, Sorrells ME, Kochian LV, Garvin DF. 2000. Identification of RFLP markers linked to the barley aluminum tolerance gene Alp. Crop Sci 40:778–782. Taylor GJ. 1991. Current views of aluminum stress response; the physiological basis of tolerance. Curr Topics Plant Biochem Physiol. 10: 57-93.
139
Tisdale SL, WL Nelson. 1975. Soil fertility and fertilizers. 3 rd Edition. New York: The MacMilan Company Inc. Trikoesoemaningtyas. 2002. Fisiologi dan pewarisan sifat efisiensi kalium dalam keadaan aluminium pada padi gogo (oryza sativa l.) [tesis]. Bogor: Sekolah Pasca Sarjana, Institut Pertanian Bogor. Trikoesoemaningtyas. 2007. Materi Kuliah Interaksi Hara. Mayor Agronomi dan Hortikultura, Sekolah Pascasarjana IPB. Vanderlip RL, Reeves HE. 1972. Growth Stages of Sorghum [Sorghum bicolor, (L.) Moench.]. Agron J 64:13-16 Van Harten AM. 1998. Mutation Breeding: Theory and Practical Applications. Cambridge University Press. Cambridge. Van Oosterom EJ, Jayachandran R, Bidinger FR. 1996. Diallel analysis of the stay-green and its component in sorghum. Crop Breed. Gen. & Cytol. 36: 549-555 Vargas-Duque J, Pandey S, Granados G, Ceballos H and Knapp E. 1994. Inheritance of tolerance to soil acidity in tropical maize. Crop Sci 34:5054. Wahyuni T S, R Setiamihardja, N Hermiati dan K H Hendroatmodjo. 2004. Variabilitas genetik heritabilitas dan hubungan antara umbi dengan beberapa karakter kuantitatif dari 52 genotipe ubi jalar di Kendal Payak, Malang. Zuriat. 15(2): 109-117. Wallace DH, Yan W. 1998. Plant Breeding and Whole-System Crop Physiology: Improving Crop Maturity, Adaptation and Yield. CAB International. Oxon-UK. 390p. Watanabe T, Osaki M, Yoshihara T, Todano T. 1998. Distribution and chemical speciation of aluminum in the Al accumulator plant, Melastroma malabatricum L. Plant Soil 201: 165-173. Watanabe T, Osaki M. 2002. Mechanism of adaptation to high Aluminium condition in native plant species growing in acid soil: a review. Commun Soil Sci Plant Anal 33:1247-1260. Wirnas D, Makmur A, Sopandie D dan Aswidinnoor H. 2002. Evaluasi ketenggangan galur padi gogo terhadap cekaman aluminium dan efisiensi penggunaan hara kalium. Bul. Agron 30(2):39-44. Yamamoto YT, Ono K, Mametsuka K, Kasai M, Matsumoto H. 1992. Growth inhibition by aluminum is alleviated by phosphate starvation in culture tonacco cell. Osaka: Yamada Science Foundation. Yudiarto MA. 2006. Pemanfaatan sorgum sebagai bahan baku bioetanol. Balai Besar Teknologi Pati. Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT). Lampung.
140
Yunianti R, Sujiprihati S. 2006. Pewarisan Ekstrakromosomal. Di dalam: Sastrosumarjo S, editor. Sitogenetika Tanaman. Bogor: Fakultas Pertanian IPB. hlm 179-194. Zen S, Bahar H dan Arizal. 1995. Parameter Genetik Padi Sawah Dataran Tinggi. [Prosiding Simposium Pemuliaan Tanaman III]. Jember: Perhimpunan Ilmu Pemuliaan Indonesia. Zhang X, Jessop RS and Ellison F. 1999. Inheritance of root regrowth as an indicator of apparent aluminum tolerance in triticale. Euphytica 108: 97– 103, 1999. Zhong GY. 2001. Genetic issues and pitfalls in transgenic plant breeding. Euphytica 118:137–144.
141
LAMPIRAN Lampiran 1. Komposisi Larutan Hara Steinberg yang Telah Dimodifikasi (Ohki 1987) Bahan Kimia
Konsentrasi (mM)
Bahan Kimia
Konsentrasi (µM)
NH4NO3
0.24
H3BO3
6.6
(NH4)2SO4
0.03
MnSO4.4H20
5.1
K2HPO4
0.097
ZnSO4.7H2O
0.61
K2SO4
0.088
CuSO4.5H20
0.16
KNO3
0.38
Na2MoO4.2H20
0.1
Ca(NO3)2.4H20
1.27
FeSO4.7H20 (sebagai FeEDTA)
45
Mg(NO 3)2. 4H20
0.27
AlCl3
NaCl
0.14
148
142
Lampiran 2. Daftar Hasil Analisis Contoh Tanah Lapang UPTD Lahan Kering Tenjo.
143
Lampiran 3. Kriteria Kondisi Lahan Kering Masam Tenjo, Jasinga Jenis analisis
Jumlah
Kriteria
pH
4,26-4,45
(Sangat masam)
C%
1,04
(rendah)
N%
0,08
(sangat rendah)
C/N (cmol(+)/kg)
13
(sedang)
P-Bray 1 (mg/kg)
0,08
(sangat rendah
K (cmol(+)/kg)
0,06
(sangat rendah)
Ca (cmol(+)/kg)
4,45
(rendah)
Mg (cmol(+)/kg)
2,36
(sangat tinggi)
Na (cmol(+)/kg)
0,07
sangat rendah)
KTK (cmol(+)/kg)
14,87
(rendah)
KB (%)
47
sedang)
% Kejenuhan Al
33
(tinggi)
144
Lampiran 4. Deskripsi Varietas Numbu Tahun pelepasan
:
2001
Asal
:
India
Umur Berbunga 50%
:
69 hari
Umur Panen
:
100-105 hari
Hasil Rata-rata
:
3.11 ton/ha
Sifat Tanaman
:
Tidak beranak
Tinggi Tanaman
:
187 cm
Bentuk Daun
:
Pita
Jumlah Daun
:
14 lembar
Kedudukan Tangkai
:
Di pucuk
Sifat Malai
:
Kompak
Bentuk Malai
:
Ellips
Panjang Malai
:
22-23 cm
Sifat Sekam
:
Menutup sepertiga bagian biji
Warna Sekam
:
Coklat muda
Warna Biji
:
Krem
Bobot 1000 biji
:
36-37 gram
Sifat Biji
:
Bentuk bulat lonjong, mudah rontok
Ukuran Biji
:
4.2; 4.8; 4.4
Kerebahan
:
Tahan
Serangan Hama Aphis
:
Tahan
Penyakit Karat
:
Tahan
PEnyakit Bercak Daun
:
Tahan
Kadar Protein
:
9.12%
Kadar Lemak
:
3.94%
Kadar Karbohidrat
:
84.58%
145
Lampiran 5. Deskripsi Varietas UPCA S1 Tahun pelepasan
:
1972 (no silsilah 116B)
Asal
:
Filipina (1970)
Umur Berbunga 50%
:
68-80 hari
Umur Panen
:
105-110 hari
Hasil Rata-rata
:
4.0-4.9 ton/ ha
Sifat Tanaman
:
Tidak beranak, tidak bercabang, tahan rebah
Tinggi Tanaman
:
180-210 cm
Bentuk Daun
:
Pita
Jumlah Daun
:
14-17 helai
Kedudukan Tangkai
:
Sifat Malai
:
Bentuk Malai
:
Panjang Malai
:
22-26 cm
Sifat Sekam
:
Menutup sepertiga bagian biji, berbulu halus
Warna Sekam
:
Warna hitam
Warna Biji
:
Coklat
Bobot bij permalai
:
40-45 gram
Jumlah Biji per malai
:
+/- 3400 butir
Bobot 1000 biji
:
25 gram
Sifat Biji
:
Bulat, mudah rontok, agak sulit disosoh
Kadar Protein
:
9.25 %
Kadar Lemak
:
3.6%
Kadar Karbohidrat
:
64.25%
Setengah kompak, tegak, berbentuk pyramid terbalik
146
Lampiran 6. Daftar Genotipe Terpilih Hasil Seleksi Berdasarkan Karakter Bobot Biji per Tanaman Hasil dan Tinggi Tanaman Persilangan Sorgum Varietas UPCA-S1 dan Numbu pada Cekaman Aluminium di Lapangan
No.
No Genotipe
1
Bobot Panjang Total Malai Biomassa 680 20.5
Bobot Biji per Tan 110.77
Tinggi Tanaman
Bobot Batang
Indeks Panen
UN-75
220
443
2
UN-80
226
452
733
23
105.57
0.14
3
UN-84
223
703
1083
28
154
0.14
4
UN-85
.
555
884
.
130.67
0.15
5
UN-160
183
600
821
19
81.54
0.10
6
UN-240
267
629
848
23
94.12
0.11
7
UN-244
271
598
833
24
110.34
0.13
8
UN-380
237
440
670
25
112.29
0.17
9
UN-381
239
698
1098
29
140
0.13
10
UN-382
293
550
777
22.8
100.29
0.13
11
UN-385
248
625
924
23
116.36
0.13
12
UN-386
258
721
1101
24
174
0.16
13
UN-390
262
610
841
20.5
106.09
0.13
14
UN-391
306
1755
2551
22
398.78
0.16
15
UN-393
262
631
822
23
129
0.16
16
UN-394
241
574
776
22.5
84.43
0.11
17
UN-395
245
691
1056
23
108.43
0.10
18
UN-397
264
1120
1705
24
188
0.11
19
UN-399
251
497
793
23.5
94.18
0.12
20
UN-401
270.5
494
666
21.5
103
0.16
21
UN-561
242
675
1155
19
193
0.17
22
UN-566
225
597
913
24
153
0.17
23
UN-567
223
761
.
23
101.76
.
0.16
147
Lampiran 7. Daftar Genotipe Terpilih Hasil Seleksi Berdasarkan Karakter Bobot Biji per Tanaman dan Bobot Batang Hasil Persilangan Sorgum Varietas UPCA-S1 dan Numbu pada Cekaman Aluminium di Lapangan Bobot Total Biomassa
Panjang Malai
Bobot Biji per Tan
443
680
20.5
110.77
0.17
226
452
733
23
105.57
0.14
UN-84
223
703
1083
28
153.77
0.14
4
UN-160
183
600
821
19
81.54
0.10
5
UN-240
267
629
848
23
94.12
0.11
6
UN-244
271
598
833
24
110.34
0.13
7
UN-380
237
440
670
25
112.29
0.17
8
UN-381
239
698
1098
29
140.29
0.13
9
UN-382
293
550
777
22.8
100.29
0.13
10
UN-385
248
625
924
23
116.36
0.13
11
UN-386
258
721
1101
24
173.97
0.16
12
UN-390
262
610
841
20.5
106.09
0.13
13
UN-391
306
1755
2551
22
398.78
0.16
14
UN-393
262
631
822
23
129.34
0.16
15
UN-394
241
574
776
22.5
84.43
0.11
16
UN-395
245
691
1056
23
108.43
0.10
17
UN-397
264
1120
1705
24
187.97
0.11
18
UN-399
251
497
793
23.5
94.18
0.12
19
UN-401
270.5
494
666
21.5
103
0.15
20
UN-561
242
675
1155
19
192.82
0.17
21
UN-566
225
597
913
24
152.82
0.17
No.
No Tinggi Bobot Genotipe Tanaman Batang
1
UN-75
220
2
UN-80
3
Indeks Panen