PRODUKSI BIOHIDROGEN MENGGUNAKAN SORGUM MANIS (Sorghum bicolor (L.) Moench) OLEH Enterobacter aerogenes ADH-43 PADA REAKTOR PACKED-BED
ETTY TRI WIDYASTUTI
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2011
PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis Produksi Biohidrogen Menggunakan Sorgum Manis (Sorghum bicolor (L.) Moench) oleh Enterobacter aerogenes ADH-43 pada Reaktor Packed-Bed adalah karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam daftar pustaka di bagian akhir tesis ini.
Bogor,
April 2011
Etty Tri Widyastuti NIM P051080061
ABSTRACT
ETTY TRI WIDYASTUTI. Biohydrogen Production Using Sweet Sorghum (Sorghum bicolor (L.) Moench) by Enterobacter aerogenes ADH-43 in a Packed-Bed Reactor. Under direction of KHASWAR SYAMSU and MAHYUDIN ABDUL RACHMAN Biohydrogen as gas produced from the activity of microorganisms is an environmentally friendly alternative energy because the production process does not require large energy and combustion results only in the form of water vapor and heat without producing waste that can pollute the environment. This research aims to produce H2 through fermentation with sweet sorghum (Sorghum bicolor (L.) Moench) as a main substrate using Enterobacter aerogenes ADH-43 in continuous mode at packed bed bioreactor. This research was conducted by the anaerobic fermenting E. aerogenes ADH-43 in medium containing about 4.27% total sugar in the anaerobic packed bed reactor that was operated in batch mode at first stage to find the value of specific growth rate of cells which was them used to determine the dilution rate (D). Dilution rates tested in this study were: D = 0.10, 0.15 and 0.20/ h. During fermentation the temperature was controlled at 37 ± 1oC. Cultivation were carried out until steady state in which the amount of H2 produced, pH, and OD (optical density) were constant. Fermentation at each D was carried out with three replications. Observations and analysis were done by measuring pH, OD, cell dry weight, total sugar, reducing sugar content, organic acid content and the amount of gas. In batch mode, H2 flow rate obtained was 8.26 L H2/L substrate and yield of 3.79 mol H2/ mol total sugar, whereas in continuous mode D = 0.15/ h was found to be optimum with a yield of 0.67 mol H2/ mol total sugar and H2 production of 10.56 ml H2/ min (1.41 L H2/ L h; 62.84 mmol / L h). As a comparison using molases as a main substrate, D=0,15/ h produced a smaller yield of 0.46 mol H2/ mol total sugar and H2 production was 7.79 ml H2/ min (1.04 L H2/ L h and 46.42 mmol H2/ L h).
Keyword: Enterobacter aerogenes ADH-43, biohydrogen, sorghum, packed bed bioreactor
RINGKASAN ETTY TRI WIDYASTUTI. Produksi Biohidrogen Menggunakan Sorgum Manis (Sorghum bicolor (L.) Moench) oleh Enterobacter aerogenes ADH-43 pada Reaktor Packed-Bed dibawah bimbingan KHASWAR SYAMSU dan MAHYUDIN ABDUL RACHMAN. Biohidrogen sebagai gas yang dihasilkan dari aktifitas mikroorganisme merupakan energi alternatif yang ramah lingkungan karena dalam proses produksinya tidak memerlukan energi yang besar dan hasil pembakarannya hanya berupa uap air dan panas tanpa menghasilkan limbah hasil pembakaran yang dapat mencemari lingkungan. Penelitian ini bertujuan untuk memproduksi H2 melalui fermentasi dengan substrat nira sorgum manis (Sorghum bicolor (L.) Moench) menggunakan sel Enterobacter aerogenes ADH-43 dalam bioreaktor packed bed sistem sinambung. Penelitian ini dilakukan dengan memfermentasikan secara anaerob E. aerogenes ADH-43 pada medium yang mengandung gula total sorgum 4,27% dalam bioreaktor packed bed. Penelitian dilakukan pada sistem curah terlebih dahulu untuk mendapatkan nilai laju pertumbuhan spesifik maksimum sel yang digunakan untuk menentukan laju dilusi (D). Laju dilusi yang dicobakan pada penelitian ini adalah D=0,10; 0,15; dan 0,20 /jam. Kemudian dikultivasikan pada sistem sinambung. Selama kultivasi suhu dikontrol pada 37±10C. Kultivasi dilakukan hingga steady state dimana jumlah gas H2 yang dihasilkan, pH, dan OD (optical density) konstan. Kultivasi pada masing-masing D diulang sebanyak tiga kali. Pengamatan dan analisa dilakukan dengan mengukur pH, OD, berat kering sel, kadar gula total, kadar gula reduksi, kandungan asam organik dan jumlah gas. Pada kultur curah diperoleh laju alir H2 sebesar 8,26 L H2/ L substrat dan rendemen sebesar 3,79 mol/ mol gula total, sedangkan pada kultur sinambung D=0,15/ jam merupakan kecepatan dilusi yang optimum dengan rendemen sebesar 0,67 mol/ mol gula total dan produksi H2 sebesar 10,56 ml H2/ menit (1,41 L H2/ L 62,84 mmol/L per jam). Sebagai pembanding, pada D yang sama pada medium tetes tebu diperoleh 7,79 ml H2/ menit (1,04 L H2/ L substrat per jam dan 46,42 mmol H2/ L per jam dengan rendemen 0,455 mol H2/ mol substrat). Kata kunci: Enterobacter aerogenes ADH-43, biohidrogen, nira sorgum, packed bed reaktor
©Hak Cipta milik IPB, tahun 2011 Hak Cipta dilindungi Undang-Undang Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis dalam bentuk apapun tanpa izin IPB
PRODUKSI BIOHIDROGEN MENGGUNAKAN SORGUM MANIS (Sorghum bicolor (L.) Moench) OLEH Enterobacter aerogenes ADH-43 PADA REAKTOR PACKED-BED
ETTY TRI WIDYASTUTI
Tesis Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada Program Studi Bioteknologi
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2011
Penguji Luar Komisi pada Ujian Tesis: Prof. Dr. Ir. Ani Suryani, DEA.
Judul Tesis
Nama NIM
: Produksi Biohidrogen Menggunakan Sorgum Manis (Sorghum bicolor (L.) Moench) oleh Enterobacter aerogenes ADH-43 pada Reaktor Packed-Bed : Etty Tri Widyastuti : P051080061
Disetujui Komisi Pembimbing
Prof. Dr. Ir. Khaswar Syamsu, M.Sc Ketua
Dr. Mahyudin Abdul Rachman, APU Anggota
Diketahui
Ketua Program Studi Bioteknologi
Dr. Ir. Suharsono, DEA
Tanggal Ujian: 20 April 2011
Dekan Sekolah Pascasarjana
Dr. Ir. Dahrul Syah, M.Sc.Agr
Tanggal Lulus:
1
BAB I . PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Ketergantungan dunia akan bahan bakar fosil, selain berakibat pada semakin
menipisnya
cadangan
bahan
bakar
tersebut,
penggunaannya
menyebabkan terjadinya pemanasan global sebagai dampak emisi gas rumah kaca dari pembakaran yang dihasilkan. Gas hidrogen (H2) merupakan salah satu energi yang bersih karena pembakarannya hanya menghasilkan uap air dan panas serta tidak meninggalkan emisi karbon. Gas ini merupakan energi masa depan yang menjanjikan baik dari aspek sosial, ekonomi, maupun lingkungan. Gas H2 dapat dihasilkan melalui proses elektrolisis air, reformasi termokatalitik terhadap senyawa organik yang kaya dengan kandungan H 2 dan proses-proses biologi. Proses produksi H2 secara biologi (biohidrogen) dapat dilangsungkan pada tekanan dan suhu normal, sehingga memerlukan energi lebih sedikit daripada cara kimia atau elektrokimia. Produksi biohidrogen biasanya melibatkan mikroorganisme atau enzim (Hawkes et al. 2002). Produksi H2 dapat dilakukan melalui fermentasi anaerobik gelap dan terang. Produksi H2 melalui fermentasi gelap dilakukan oleh bakteri anaerob, yang tumbuh pada kondisi gelap pada substrat yang kaya karbohidrat. Karbohidrat yang digunakan sebagai substrat dapat berupa glukosa, isomer heksosa atau polimer dalam bentuk pati atau selulosa dengan jumlah rendemen H2 yang berbeda per mol glukosa tergantung jalur fermentasi dan produk akhirnya. Jika asam asetat sebagai produk akhir, maka secara teori dihasilkan maksimum 4 mol H2 per mol glukosa. Jika butirat sebagai produk secara teori dihasilkan 2 mol H2 per mol glukosa (Levin et al. 2004). Keunggulan produksi H2 melalui fermentasi gelap adalah (1) tidak memerlukan energi matahari, (2) berbagai limbah/tanaman energi dapat digunakan, dan (3) teknologi reaktor yang sederhana (Hallenbeck & Ghosh 2009), sedangkan kelemahannya adalah sensitif terhadap akumulasi produk akhir (Van Groenestijn et al. 2002). Berbagai substrat organik telah diakui potensial dalam fermentasi H 2. Penggunaan substrat/bahan baku yang merupakan bahan pangan dapat menghambat keberhasilan program ketahanan pangan, sehingga perlu dicari
2
alternatif bahan baku yang bukan merupakan bahan pangan utama. Biomassa sorgum manis mengandung gula fermentasi sehingga merupakan bahan mentah yang berpotensi untuk fermentasi dalam produksi H2. Sorgum manis (Sorghum bicolor (L.) Moench) merupakan tanaman tahunan asli tropis yang adaptif di daerah panas dan kering maupun dapat beradaptasi di daerah sedang dan sub tropis dan memiliki produksi biomasa yang tinggi. Batang sorgum manis mengandung gula, yaitu 55% sukrosa (berat kering) dan 3,2 % glukosa (berat kering) serta mengandung selulosa 12,4 % dan hemiselulosa 10,2% (Billa et al. 1997). Kandungan sukrosa, glukosa dan fruktosa akan meningkat setelah antesis (Almodares & Hadi 2008). Penelitian produksi gas H2 menggunakan substrat sorgum yang dilakukan Antonopoulo et al. (2007) dihasilkan 2,61 mol H2/mol glukosa, sedangkan Ntaikou et al. (2008) memperoleh 2,52 mol H2/mol glukosa. Prihandana dan Hendroko (2007) mengemukakan bahwa produktivitas sorgum manis dalam menghasilkan bioetanol lebih besar (5.500-6.000 l/ha/th) dibanding tebu (5.000-6.000 l/ha/th) maupun tetes tebu (800-900 l/ha/th). Mikroba penghasil H2 pada fermentasi gelap terbagi menjadi dua yaitu anaerob fakultatif misalnya Escherichia coli, Enterobacter serta Citrobacter dan anaerob obligat misalnya clostridia, methylotrophic mathanogens serta bakteri rumen. Kultur bakteri anaerob fakultatif penghasil H2 yang telah banyak dipelajari adalah Enterobacter aerogenes (Tanisho & Ishiwata 1994). Menurut Tanisho et al. (1987) bakteri ini tidak memiliki hambatan tekanan parsial H2 saat gas H2 dihasilkan. Bakteri E. aerogenes ADH-43 mampu menghasilkan 1,59 mol H2/mol gula total pada sistem Batch Stired Tank Reactor (BSTR) dan 1,84 mol H2/mol gula total pada sistem Continuous-flow Stirred-Tank Reactor (CSTR) (Liasari 2009). Sistem CSTR merupakan sistem kontinyu yang umum digunakan pada penelitian produksi H2. Kelemahan dari reaktor ini adalah sulit menjaga biomassa penghasil H2 pada level yang tinggi pada Hydraulic Retention Time (HRT) yang singkat akibat struktur dalamnya yang menyebabkan operasinya tidak stabil dan terbatasnya laju produksi H2 (Saraphirom & Reungsang 2010). Selain itu menurut Grady et al. (1999) penggunaan pengaduk pada reaktor mengonsumsi energi listrik yang besar. Energi yang diperlukan untuk mencampur limbah anaerob pada
3
reaktor berkisar 85-105 kw/1000m3. Menurut Rahman (2001) kesinambungan pada proses pembentukan H2 dipengaruhi oleh laju produksi dan hasil akhir sehingga kerapatan sel dalam bentuk padat yang terbentuk dalam bioreaktor sangat dibutuhkan. Reaktor Packed Bed (PBR) tanpa pengaduk memungkinkan terbentuknya sel yang rapat dan padat pada dasar reaktor. Keuntungan penggunaan PBR yang didesain dengan mengalirkan medium/substrat dari bawah reaktor dan produk dikeluarkan di sebelah atas (Gambar Lampiran 1) adalah diharapkan sel mampu membentuk flock (self flocculation) akibat adanya gaya gravitasi, sehingga massa sel akan terkumpul di bawah. Semakin lama waktu fermentasi masa sel akan bertambah sehingga diharapkan produk yang dihasilkan akan semakin banyak. Peningkatan laju dan rendemen produksi H2 dengan proses yang ekonomis merupakan suatu tantangan dalam produksi H2. Pemanfaatan sumber karbon dari biomassa yang tidak berkompetisi dengan bahan pangan diharapkan dapat menjadi alternatif dalam mengatasi permasalahan energi. 1.2 Perumusan Masalah Permasalahan emisi CO2 yang disebabkan oleh pembakaran bahan bakar fosil diharapkan dapat diatasi dengan penggunaan H2 yang lebih ramah lingkungan. Produksi H2 secara biologis dapat dilakukan dengan menggunakan substrat yang memiliki kandungan gula fermentasi yang tinggi tanpa menyaingi industri pangan. Penggunaan subtrat tetes tebu selama ini bersaing dengan industri penyedap makanan, bioetanol dan pakan ternak. Nira sorgum diharapkan mampu menggantikan tetes tebu sebagai substrat dalam produksi H2. Reaktor CSTR yang sebelumnya digunakan kurang ekonomis karena memerlukan energi yang besar untuk menggerakkan pengaduk. Penggunaan PBR diharapkan lebih ekonomis dalam produksi H2. 1.3 Tujuan Penelitian Berdasarkan perumusan masalah di atas, tujuan yang ingin dicapai dalam penelitian ini secara umum adalah memproduksi H2 melalui fermentasi dengan substrat nira sorgum manis (Sorghum bicolor (L.) Moench) menggunakan sel
4
Enterobacter aerogenes ADH-43 dalam bioreaktor packed bed sistem kontinyu, sedangkan secara khusus penelitian ini bertujuan untuk mencari nilai D (dilution rate) optimum untuk mendapatkan produksi H2 tertinggi serta membandingkan produksi H2 pada medium nira sorgum dengan medium tetes tebu. 1.4 Hipotesis Hipotesis yang diuji dalam penelitian ini adalah nira sorgum dapat digunakan sebagai substrat pada produksi H2. Pada pemanfaatan nira sorgum sebagai substrat pada sistem sinambung, terdapat nilai optimum D dalam menghasilkan produksi H2 tertinggi. Nira sorgum dapat dijadikan sebagai pengganti tetes tebu dalam produksi H2. 1.5 Manfaat Penelitian Gas H2 yang dihasilkan dari penelitian ini diharapkan dapat menjadi bahan bakar yang ramah lingkungan. Biomassa yang digunakan dalam penelitian ini adalah bahan yang dapat diperbaharui dan berpotensi menghasilkan gas H2. 1.6 Ruang Lingkup Penelitian Ruang lingkup penelitian ini adalah: 1. Menganalisa bahan baku yang digunakan untuk mengetahui kandungan gula total dan gula reduksi 2. Mengoperasikan kultivasi pada reaktor packed bed dengan sistem curah untuk mengetahui laju pertumbuhan spesifik maksimum sel 3. Mengoperasikan kultivasi pada reaktor packed bed dengan sistem sinambung pada laju dilusi yang berbeda untuk mendapatkan gas H2 maksimum 4. Laju dilusi yang menghasilkan gas H2 tertinggi digunakan untuk mengoperasikan kultivasi pada medium tetes tebu sebagai pembanding.
5
II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Gas Hidrogen Gas Hidrogen (H2) merupakan gas yang tidak berwarna, tidak berbau, mudah terbakar dan tidak beracun pada suhu dan tekanan atmosfer. Di alam, hidrogen merupakan elemen yang berlimpah tapi hampir tidak ada di atmosfer sebagai molekul tunggal. Gas H2 sangat ringan, jika tidak terkombinasi dengan unsur lain akan saling berbenturan dan terkeluarkan dari lapisan atmosfer. Di bumi H2 banyak ditemukan sebagai senyawa (air) yang atom-atomnya berikatan dengan atom oksigen. Secara gravimetri, H2 memiliki densitas energi tertinggi dari semua jenis bahan bakar yang pernah dikenal. Gas ini memiliki kandungan energi tertinggi (143 Gjton-1) per unit H2 (Boyles 1984), kompatibel dengan proses elektrokimia dan satu-satunya bahan bakar yang tidak memiliki ikatan secara kimia dengan karbon sehingga, pembakaran H2 tidak akan menimbulkan efek rumah kaca, penipisan lapisan ozon atau hujan asam karena pembakarannya hanya menyisakan uap air dan energi panas di udara (Bolton 1996). 2.2 Produksi H2 Gas H2 dapat diproduksi dalam berbagai proses, termasuk elektrolisis air, reformasi termokatalitik dari komponen organik yang kaya kandungan H 2 dan proses-proses
biologis.
Produksi
H2
secara
biologis
menggunakan
mikroorganisme merupakan teknologi yang banyak dikembangkan. Sistem biologi menyediakan berbagai pendekatan untuk menghasilkan H2, misalnya: biofotolisis langsung, fotofermentasi dan fermentasi gelap ( Das & Verizoglu 2001). Tabel 1 Sekilas produksi Bio-H2 dengan proses mikroba Proses Mikroba
Reaksi Umum
Mikroba
Direct Biophotolysyis
2 H2O + cahaya H2 + O2
Mikroalga
Photofermentation Indirect Biophotolysis Water gas shift Reaction
CH3COOH+2H2O+ cahaya 4H2 + CO2 12 H2O + cahaya 12H2 + 6O2 CO + H2O CO2 + H2
Two phase Fermentation
C6H12O6 + 2H2O 4H2 + 2CO2+2CH3COOH CH3COOH CH4 + CO2 C6H12O6 + 6 H2O 12 H2 + 6 CO2
Purple bacteria Alga, Cyanobakteri Fermentatif bakteri Photosintetik bakteri Fermentative Methanogenik Fermentatif Fermentation
High-yield dark
Mahyudin dan Koesnandar (2006)
6
Keuntungan produksi H2 secara fermentasi adalah produksinya yang cepat dan operasinya sederhana. Substrat yang digunakan dapat berupa limbah organik, sehingga jika dibandingkan dengan produksi hidrogen melalui proses fotosintesis maka cara fermentasi lebih mudah dikerjakan dan digunakan secara luas. Beberapa faktor yang mempengaruhi keberhasilan fermentasi produksi hidrogen adalah konsentrasi substrat, inhibitor, suhu, pH dan kecepatan dilusi (Wang & Wan 2009). Bakteri fermentasi memerlukan substrat seperti glukosa dan atau sukrosa untuk memperoleh energi untuk pertumbuhan dan pemeliharaan dan produksi beberapa intermediet hasil samping berupa asam organik, alkohol dan hidrogen selama proses metabolisme (Ren et al. 2006). Karbohidrat, terutama glukosa adalah substrat untuk fermentasi H2. Selain itu,
pati,
selulosa,
limbah
organik
juga
dapat
digunakan.
Beberapa
mikroorganisme seperti Enterobacter, Clostridium dan E. coli dapat menghasilkan H2. Produk akhir dan jumlah H2 yang dihasilkan sangat variatif tergantung jalur yang digunakan mikroorganisme (Levin et al. 2004, Nath & Das 2004). Rute fermentasi dalam produksi H2 diawali dari konversi glukosa menjadi piruvat dan NADH melalui glikolisis oleh bakteri anaerob maupun fakultatif anaerob (Hellenbeck 2005). Menurut Tanisho et al. (1998) terdapat jalur produksi H2 melalui jalur NADH, dimana H2 dihasilkan oleh reoksidasi NADH sebagaimana reaksi di bawah: NADH + H+ H2 + NAD+ Selama proses glikolisis, saat glukosa dikonversi menjadi piruvat dihasilkan NADH dengan reaksi sebagai berikut: C6H12O6+2NAD+ 2CH3COCOOH + 2NADH +2H+ Wang dan Wan (2009) berpendapat bahwa produksi H2 melalui fermentasi merupakan proses yang sangat kompleks dan banyak faktor yang mempengaruhi diantaranya inokulum, substrat, tipe reaktor, nitrogen, fosfat, ion logam, suhu dan pH. Zhang et al. (2009) mengemukakan bahwa produk fermentasi anaerob pada jalur pembentukan hidrogen oleh E. aerogenes adalah piruvat, suksinat, laktat, 2 3 butanediol (BD), asetat, etanol, CO2 dan H2 (Gambar 1). Menurut Rahman et al. (1997) etanol, BD dan laktat terbentuk melalui kopling oksidasi NADH sehingga
7
untuk meningkatkan produksi H2 dimungkinkan dengan memblokir jalur piruvat ke etanol, BD dan laktat.
Gambar 1 Pola metabolisme anaerob E. aerogenes (Zhang et al. 2009) Gas H2 diproduksi melalui pembentukan asam piruvat secara anaerobik selama katabolisme. Karbohidrat dapat berupa monosakarida tapi juga bisa berupa polimer seperti pati, selulosa atau xilan. Berbagai substrat organik telah diakui potensial dalam fermentasi H2. Noike dan Mizuno (2000) serta Yu et al. (2002) menyebutkan bahwa beberapa bentuk limbah organik seperti limbah padat seperti jerami padi hingga limbah cair seperti limbah pabrik gula dan anggur telah digunakan untuk produksi H2. Nira sorgum manis, Miscanthus hidrolisat, lumpur kertas bahkan limbah organik domestik telah diuji berpotensi diaplikasikan untuk produksi H2 (Claassen et al. 2002). 2.3 Enterobacter aerogenes Enterobacter
aerogenes
(E.
aerogenes)
termasuk
dalam
kelas
Enterobacteriaceae yang merupakan bakteri anaerob fakultatif yang mampu menghasilkan H2. Bakteri ini memiliki ciri-ciri berbentuk batang dengan lebar 0,6-1,0 μm dan panjang 1,2-3,0 μm, gram negatif, menghasilkan koloni dengan bentuk smooth, berflagela, motilitas (dapat bergerak), dan suhu pertumbuhan
8
optimum 37oC. Bakteri tersebut menghasilkan H2 melalui proses metabolisme secara fermentatif yang diawali glikolisis. Rahman et al. (1997) mengisolasi E. aerogenes HU-101 dari lumpur metana dan melakukan mutasi dengan senyawa NTG (N-methyl-N’-nitro-Nnitrosoguanidine) sehingga dihasilkan mutan E. aerogenes AY-2 dengan produksi H2 sebanyak 1,5 kali lebih tinggi dibanding wildtype. Bakteri ini memiliki kemampuan menggunakan sumber karbon yang luas dan tidak memiliki sifat penghambatan produksi H2 pada tekanan H2 yang tinggi. Tanisho dan Isiwata (1994) mengemukakan bahwa E. aerogenes memiliki laju evolusi H2 yang lebih tinggi dibanding mikroorganisme fotosintetik. Bakteri E. aerogenes ADH-43 merupakan mutan ganda hasil mutasi dari mutan E. aerogenes AY-2 menggunakan mutagen Ethyl Methane Sulfonate (EMS) sehingga terjadi perubahan jalur metabolisme yaitu produksi asam laktat lebih rendah dari sebelumnya, dan memiliki produktifitas H 2 lebih tinggi yaitu sebesar 20% dari nilai produksi mutan E. Aerogenes AY-2 pada skala vial botol 50 ml (Said 2007). 2.4 Sorgum Manis sebagai Substrat dalam Produksi H2 Substrat biasanya berupa karbohidrat yang merupakan sumber karbon dan energi bagi bakteri penghasil hidrogen, sehingga sangat berpengaruh dalam pertumbuhan bakteri dan fermentasi produksi hidrogen. Sorgum manis (Sorghum bicolor (L.) Moench) merupakan tanaman tahunan asli tropis yang dapat beradaptasi di daerah sedang (temperate) dan sub tropis serta memiliki produksi biomasa yang tinggi (Gambar Lampiran 3). Batang sorgum manis mengandung gula, yaitu 55% sukrosa (berat kering) dan 3,2 % glukosa (berat kering), juga mengandung selulosa 12,4 % dan hemiselulosa 10,2% (Billa et al. 1997). Kandungan sukrosa, glukosa dan fruktosa akan meningkat setelah bunga mekar (Almodares & Hadi 2008). Panen batang dilakukan pada saat kemasakan optimal, pada umumnya terjadi pada umur 16 – 18 minggu (112 – 126 hari), sedangkan biji umumnya matang pada umur 90 – 100 hari. Oleh karena itu biji dipanen terlebih dahulu (Sumantri 1993).
9
Tanaman
sorgum
merupakan tanaman
graminae
yang
memiliki
taksonomi1) sebagai berikut: Kingdom
Plantae
Subkingdom
Tracheobionta
Superdivision
Spermatophyta
Division
Magnoliophyta
Class
Liliopsida
Subclass
Commelinidae
Order
Cyperales
Family
Poaceae (Grass)
Genus
Sorghum
Spesies
Sorghum bicolor
Menurut Suranto2) kelebihan sorgum manis dibanding tebu sebagai berikut: tanaman sorgum memiliki produksi biji dan biomass yang jauh lebih tinggi dibanding tanaman tebu; adaptasi sorgum jauh lebih luas dibanding tebu sehingga sorgum dapat ditanam di hampir semua jenis lahan, baik lahan subur maupun lahan marjinal; tanaman sorgum memilki sifat lebih tahan terhadap kekeringan, salinitas tinggi dan genangan air dibanding tanaman tebu; kebutuhan air untuk tanaman
sorgum hanya sepertiga dari tanaman tebu; sorgum
memerlukan pupuk relatif lebih sedikit dan pemeliharaannya lebih mudah daripada tanaman tebu; laju fotosintesis dan pertumbuhan tanaman sorgum jauh lebih tinggi dan lebih cepat dibanding tanaman tebu; menanam sorgum lebih mudah, kebutuhan benih hanya 4,5–5 kg/ha dibanding tebu yang memerlukan 4.500–6.000 kg stek batang; umur panen sorgum lebih cepat yaitu hanya 3-4 bulan, dibanding tebu yang dipanen pada umur 7 bulan; dan sorgum dapat diratun sehingga untuk sekali tanam dapat dipanen beberapa kali.
1
http://www.gramene.org/species/sorghum/sorghum_taxonomy.html, diakses 29 Maret 2011
2
http://www.batan.go.id/patir/_berita/pert/sorgum/sorgum.html, diakses 29 Maret 2011
10
Menurut penelitian Praj Industries Limited3) perbandingan sorgum dengan tebu adalah sebagaimana terlihat pada Tabel 2. Tabel 2 Perbandingan sorgum dengan tebu Parameter
Tebu
Sorgum
Siklus Pemanenan
9-14 bulan
4 bulan
Siklus dalam setahun
1
2
Kebutuhan air
100%
65-70%
Kebutuhan Pupuk
100%
35-40%
Produksi batang MT/ha/siklus
65-80
42-55 untuk 1 siklus/th (84-110 untuk 2 siklus/th)
Konsentrasi gula fermentasi pada batang
10-14
9-12
Yield gula fermentasi, MT/ha/siklus
6.0-10.5
3.6-6.2 untuk 1 siklus /th (7.2–12.4 untuk 2 sikus/tahun)
Yield Etanol (dengan dasar 100%) liter/ha/siklus
3400-6000
Ampas MT/ha/siklus dengan kelembaban 50%
19-24 (30% berat tebu)
2020-3500 untuk 1 siklus/th (4000-7000 untuk 2siklus /th) 10-14 untuk 1 siklus/ th (25% pada batang) ( 20-28 untuk 2 siklus /th
Perbandingan antara komposisi nira sorgum manis dengan nira tebu berdasarkan sumber dari Direktorat Jendral Perkebunan (1996) adalah sebagai tertera pada Tabel 3. Tabel 3 Perbandingan antara komposisi nira sorgum manis dengan nira tebu Komposisi Brix (%) Sukrosa (%) Gula reduksi (%) Gula total (%) Amilum (ppm) Asam akonitat (%) Abu (%)
Nira sorgum
Nira tebu
13,60 – 18,40 10 – 14,40 0,75 – 1,35 11 – 16 209 - 1.764 0,56 1,28 – 1,57
12 – 19 9 – 17 0,48 – 1,52 10 – 18 1,50 – 95 0,25 0,40 – 0,70
Sorgum merupakan tanaman yang mempunyai banyak kegunaan. Hampir seluruh bagian dari tanaman sorgum seperti biji, tangkai biji, daun, batang dan akar dapat dimanfaatkan. Di Indonesia saat ini terdapat beberapa varietas sorgum yang dikembangkan. Total terdapat 9 jenis varietas yang dijadikan varietas sorgum unggulan Indonesia yaitu : UPCA, Keris, Mandau, Higari, Badik, Gadam, 3
Brosur PRAJ: Sweet Sorghum to Ethanol, Technology, Plant and Mechinery, www.praj.net/media/sweetsorghum.pdf, diakses 29 Maret 2011
11
Sangkur, Numbu dan Kawali. Sirappa (2003) mengemukakan data produktivitas daerah-daerah penghasil
sorgum yang teridentifikasi pada tahun 2003
diperlihatkan pada Tabel 4. Tabel 4 Produktivitas sorgum di Indonesia Tempat
Luas tanam (ha)
Produksi (t)
Produktivitas (t /ha)
Jawa Tengah Jawa Timur DI Yogyakarta Nusa Tenggara Barat Nusa Tenggara Timur
15.309 5.963 1.813 30 26
17.350 10.522 670 54 39
1,13 1,76 0,37 1,80 1,50
2.5 Bioreaktor- Packed Bed Reaktor Berbagai tipe bioreaktor digunakan dalam menghasilkan H 2, diantaranya batch (Van Ginkel et al. 2001; Logan et al. 2002; Oh et al. 2003), fed-batch (Chin et al. 2003), continuous-flow stirred tank (Fang & Liu 2002; Hussy et al. 2003), saturated packed-bed column reactors (Rachman et al. 1998; Yokoi et al. 1997; Chang et al. 2002; Palazzi et al. 2002; Lee et al. 2003), dan upflow granulated reactors (Liu & Fang 2003). Efisiesi konversi glukosa menjadi H2 dalam penggunaan continuous-flow reactors adalah 1,9–2,4mol H2/mol glukosa (Lay 2001; Ueno et al., 2001dan Fang & Liu, 2002). Pada penelitian lain, dilaporkan bahwa produksi H2 secara kontinyu mencapai 2.7 mol H2/glukosa dengan menggunakan kultur Clostridium butyricum dan Enterobacter aerogenes (Yokoi et al. 2002). Barros et al.(2010) mengemukakan upflow anaerobic sludge blanket (UASB), anaerobic packed bed reactor(APBR) dan anaerobic fluidized bed reactor(AFBR) diyakini lebih baik dari CSTR karena memiliki kemampuan mempertahankan biomassa dalam reaktor. Menurut Hawkes et al.(2007) pada sistem ini mikroorganisme dipertahankan dengan mengimobilisasi melalui pembentukan biofilm atau granul dan dijaga dalam suspensi oleh kekuatan gaya geser dari aliran keatas sisa reaksi. Ren et al. (2010) menambahkan bahwa bioreaktor packed bed merupakan salah satu sistem dengan laju H2 yang tinggi. Produksi H2 dapat ditingkatkan dengan meningkatkan retensi biomassa dengan sistem imobilisasi sel melalui penempelan permukaan, flokulasi dan penjerapan sel.
12
Menurut Grady et al. (1999) penggunaan pengaduk pada reaktor mengkonsumsi energi listrik yang besar. Energi yang diperlukan untuk mencampur limbah anaerob pada reaktor berkisar 85-105 kw/1000m3 sedangkan Rachman
(2001)
mengemukakan
bahwa
kesinambungan
pada
proses
pembentukan H2 dipengaruhi oleh laju produksi dan hasil akhir sehingga kerapatan sel dalam bentuk padat yang terbentuk dalam bioreaktor sangat dibutuhkan. Reaktor Packed Bed (PBR) tanpa pengaduk memungkinkan terbentuknya sel yang rapat dan padat pada dasar reaktor.
13
BAB III. BAHAN DAN METODE 3.1 Waktu dan Tempat Penelitian dilakukan di Laboratorium Teknologi Bioindustri LAPTIAB BPPT Puspitek Serpong antara bulan Desember 2009 – Oktober 2010. 3.2 Organisme, Medium dan Kondisi Pertumbuhan Enterobacter aerogenes ADH-43 berasal dari koleksi Laboratorium Teknologi Bioindustri BPPT (bakteri ini merupakan mutan ganda hasil mutasi dari mutan E. aerogenes AY-2 menggunakan mutagen Ethyl Methane Sulfonate (EMS). Pada bakteri tersebut terjadi perubahan jalur metabolisme produksi asam laktat yang lebih rendah dari sebelumnya dan memiliki produktifitas H2 lebih tinggi yaitu sebesar 20% dari nilai produksi mutan E. aerogenes AY-2 pada skala vial botol 50 ml (Said 2007). Bakteri E. aerogenes ADH-43 dipelihara pada medium kompleks (per 100 ml) dengan komposisi 0,5 g ekstrak khamir, 0,5 g tripton, 1 ml unsur makro {(NH4)2SO4, MgSO4.7H2O, CaCl2.2H2O, Co(NO3)2.6H2O, Fe(NH4)2SO4.6H2O}, dan 1 ml unsur mikro {Na2Se03, NiCI2, MnCl2.4H2O, H3BO3, AlK(SO4)2.12 H2O, CuCl2.2H2O, Na2EDTA.2H2O dan nicotinic acid} dan dimasukkan dalam botol kemudian dilarutkan dalam aquades hingga volume 90 ml. Selanjutnya dihomogenkan dengan pengaduk bermagnet dan pH diatur menjadi 6,8 dengan penambahan NaOH 0,1N. Sterilisasi dilakukan dalam autoklaf pada suhu 1210 C selama 15 menit. Media yang sudah steril dan dingin ditambahkan 10 ml larutan glukosa (1% (w/v) glukosa) dan 10 ml buffer fosfat pH 6,8 yang juga sudah disterilisasi (Liasari 2009). 3.3 Nira Sorgum dan Tetes Tebu Sorgum yang digunakan dalam penelitian ini adalah sorgum manis (Sorghum bicolor (L.) Moench) varietas numbu berasal dari B2TP BPPT Lampung. Nira diperoleh melalui pengepresan batang sorgum yang dipanen pada umur 60 hari. Penelitian ini menggunakan tetes tebu sebagai kontrol. Tetes tebu ini berasal dari PG Pekalongan (Gambar Lampiran 5).
14
3.4 Medium Preculture, Starter dan Medium Kultivasi Medium preculture dibuat dengan komposisi yang sama dengan medium pertumbuhan, sedangkan starter dibuat dengan komposisi sama dengan medium pertumbuhan, namun glukosa 1% diganti dengan nira sorgum atau tetes tebu dengan kadar gula total akhir sebesar 2,14% (setengah dari kadar medium kultivasi). Hal yang sama dilakukan pada medium klutivasi dengan kadar gula total 4,27% (Liasari (2009). 3.5 Reaktor Packed Bed Reaktor yang digunakan adalah packed bed dengan volume kerja 450 ml dan total volume 900 ml, dengan dimensi tinggi total 60 cm, diameter 4 cm. Reaktor dilengkapi dengan mantel air yang dihubungkan dengan pemanas air agar suhu terjaga pada 37oC±1oC. Medium segar dimasukkan menggunakan pompa peristaltik dengan laju alir yang sama dengan sisa medium yang dikeluarkan dari reaktor. 3.6 Percobaan pada Kultur Curah Percobaan dilakukan dengan menumbuhkan E. aerogenes ADH-43 pada medium pre culture selama 3 jam, kemudian dipindahkan ke starter selama 8 jam (OD=±0,83) selanjutnya dipindahkan ke reaktor. Selama percobaan pengambilan contoh dilakukan tiap jam hingga jam ke-4 dan tiap 2 jam hingga jam ke-24. Gas yang terkumpul pada respirometer dicatat. Percobaan diulang sebanyak tiga ulangan. 3.7 Percobaan pada Kultur Sinambung Percobaan dilakukan dengan terlebih dahulu menumbuhkan E. aerogenes ADH-43 pada precultur selama 3 jam, starter selama 8 jam (OD=±0,83). Medium kultivasi dimasukkan dalam reaktor menggunakan pompa peristaltik. Setelah mencapai akhir fase log (OD=±0,83), medium segar dialirkan secara kontinyu. Suhu dikontrol dengan menggunakan sirkulasi air hangat dari waterbath (Memmert) pada suhu 37±1ºC. Gas di tangkap oleh Ca(OH)2 kemudian dialirkan ke respirometer yang berisi larutan NaCl jenuh. Kecepatan aliran medium
15
kultivasi divariasi berdasarkan pertumbuhan spesifik maksimum sel pada kultur curah. Pada kecepatan yang optimum menghasilkan H2 dipilih untuk dibandingkan dengan medium yang mengandung substrat dari tetes tebu. Masingmasing perlakuan diulang sebanyak tiga ulangan. Data hasil penelitian dianalisis ragam dengan ANOVA dan diuji lanjut dengan uji tukey 5%. 3.8 Metode Analisa Penentuan komposisi hidrogen dengan kromatografi gas, sedangkan asam organik dan alkohol ditentukan dengan HPLC (Hitachi L 5025). Total gula ditentukan dengan metode anthron (Lampiran 6) sedangkan gula reduksi ditentukan dengan metode DNS (Lampiran 7). Nitrogen total dianalisa dengan metode Kjedahl (Lampiran 8). Biomassa ditimbang (Sartorius) berat keringnya dengan mengambil 5 ml sampel dan disentrifugasi (Mini spin Appendorf) pada 6000 rpm selama 5 menit, supernatan dipisahkan (diambil pelletnya) kemudian disimpan dalam oven (Memmert) pada suhu 60º C selama 20 jam (hingga beratnya stabil). Supernatan yang diperoleh digunakan untuk analisa gula total, gula reduksi dan analisa asam organik dan alkohol produk kultivasi.
16
3.9 Skema Kultivasi pada Reaktor Packed Bed Media Kompleks 75 ml
Dimasukkan dalam Erlenmeyer 250ml pH ditetapkan 6.8 dipanaskan pada waterbath 100oC selama 10 menit didinginkan dengan kristal es sampai suhu 25oC sterilkan pada suhu 121oC selama 15 menit dinginkan sampai suhu 25oC masukkan dalam fermentor steril semprot dengan gas N2
10% pre culture (OD=±0.82)
10% starter cair (v/v)
Media Kompleks steril + substrat
45 ml buffer phospat steril pH=6,8
Media kultivasi
dikultivasi dengan sistem kontinyu pada suhu 37oC dengan D: 0,10; 0,15; 0,20 /jam Analisa awal dan akhir kultivasi: H2 pH OD/massa sel Total gula Gula reduksi
Gas H2
17
BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Gambaran Umum 4.1.1 Komposisi Bahan Baku Hasil analisa bahan baku yang terdiri dari gula total, gula reduksi dan N total disajikan pada Tabel 5. Tabel 5 Hasil analisa kimiawi nira sorgum dan tetes tebu Jenis Analisa
Gula Total Gula Reduksi N Total
Analisa (%) 7,233±0,673 1,206±0,071 0,41±0,047
Sorgum Referensi (Dirjen Perkebunan 1996) 11-16 0,75-1,35 -
Tetes Tebu Analisa Referensi (%) (Paturau, 1982) 29,88±2,959 30-40 9,75±0,243 20 0,48±0,140 4,5
Dari hasil analisa gula total nira sorgum diperoleh nilai yang relatif rendah. Hal ini sangat dipengaruhi faktor usia tanaman saat pemanenan. Pada umur panen yang terlalu muda, gula total yang diperoleh akan rendah dan gula reduksinya tinggi. Menurut Channappagaudar et al (2006) gula total meningkat dari 75 hari tanam hingga 120 hari tanam, sedangkan gula reduksi semakin menurun disebabkan dimanfaatkan untuk beberapa reaksi metabolisme dan sebagai sumber energi. Berdasarkan Tabel 5 diatas, diperkirakan sorgum dipanen pada umur kurang dari 75 hari tanam. Kadar N yang diperoleh pada tetes tebu relatif rendah jika dibandingkan referensi. Variasi komposisi sumber bahan ini sangat dipengaruhi oleh kondisi tanah, iklim, varietas dan kematangan tanaman saat dipanen, juga kondisi pengolahan di pabrik sebelum digunakan sebagai substrat fermentasi. Menurut Judoamidjojo et al. (1989) komposisi tetes tebu tergantung pada bahan baku (tebu) dan proses pembuatan gula. Tetes tebu merupakan produk musiman dengan komposisi yang bervariasi. Kadar N pada nira sorgum tidak dapat dibandingkan karena belum ditemukan referensi hal tersebut. Perbandingan komposisi C dan N pada nira sorgum adalah 17,64. Perbandingan C dan N yang relatif rendah pada nira sorgum dipengaruhi varietas dan umur sorgum saat dipanen. Perbandingan komposisi C dan N pada tetes tebu adalah 62,25. Sumber N yang ditambahkan dalam 100 ml medium adalah yeast ekstrak dan tripton sebanyak 0,5 g yang masing-masing mengandung 10% dan
18
13,2% N total. Total penambahan N dalam medium adalah 0,116% sehingga pada medium nira sorgum nilai C/N menjadi 13,75 dan pada tetes tebu menjadi 50,13. 4.1.2 Penggunaan Reaktor Packed Bed Bioreaktor packed bed dirancang dengan dua lapisan kaca (Gambar Lampiran 1). Lapisan dalam memiliki diameter 4 cm dan lapisan luar (sebagai mantel air) dengan diamater 6 cm. Tinggi reaktor keseluruhan 60 cm, sedang tinggi medium dalam reaktor adalah 30 cm dengan volume total 900 ml dan volume kerja 450 ml. Reaktor dilengkapi dengan lubang inlet di bagian bawah yang dihubungkan dengan selang bercabang dua, dimana satu cabang untuk memasukkan medium segar dan cabang yang lain sebagai pengeluaran sampel pada fase kultur curah. Reaktor ini memiliki lubang pengeluaran gas di atas yang dihubungkan dengan penangkap gas yang berupa larutan Ca(OH)2 dengan konsentrasi 5% yang berfungsi untuk memisahkan gas CO2 dan gas H2. Gas H2 yang dihasilkan akan masuk ke respirometer. Respirometer berupa dua buah gelas ukur 1000 ml dan 250 ml. Gelas ukur 1000 ml diisi dengan larutan NaCl jenuh dan gelas ukur 250 ml dipasang dengan posisi terbalik sebagaimana terlihat pada Gambar Lampiran 2. Larutan NaCl dalam respirometer ini ditera hingga batas 750 ml. Gas yang dihasilkan akan menekan larutan NaCl jenuh sehingga volume gas akan terukur melalui skala gelas ukur. Penggunaan larutan NaCl jenuh bertujuan agar gas H2 yang akan diukur tidak terlarut dalam cairan. Reaktor dilengkapi dengan mantel air yang dihubungkan dengan pemanas yang suhunya konstan pada temperatur pertumbuhan sel optimum (37º±1ºC). Reaktor ini tidak dilengkapi dengan kontrol pH dan akibatnya selama kultivasi pH mengalami perubahan sesuai dengan kondisi lingkungan. Reaktor ini tidak dilengkapi dengan pengaduk sebagaimana pada stirred tank reactor akibatnya medium tidak tercampur (homogen). Proses alir pada reaktor ini kontinyu tanpa pengadukan (unmixed flow reactor), dengan pola aliran fluida searah dengan sumbu pipa yang berkecepatan sama di seluruh penampang pipa. Keuntungan reaktor ini adalah konstruksi yang sederhana, tidak ada pengaduk mekanis dan volume yang diperlukan untuk konversi kimiawi minimum
19
(sedikit). Pada kultivasi sistem kontinyu, aliran medium dari inlet dapat menekan medium yang sudah terfermentasi ke atas dan keluar melalui selang outlet, sedangkan biomassa sel tetap tinggal dalam reaktor akibat adanya gaya gravitasi. Namun reaktor ini hanya dapat digunakan untuk sel tertentu yang tidak mengalami hambatan dalam menghasilkan produk akibat tanpa pengadukan. 4.1.3. Kultivasi 4.1.3.1. Pertumbuhan Sel Metode evaluasi populasi sel pada penelitian ini dilakukan secara langsung dengan menghitung berat kering sel. Metode ini digunakan untuk memantau dan mengkaji fenomena pertumbuhan. Laju pertumbuhan ditetapkan berdasarkan evolusi konsentrasi yang dapat dinyatakan dalam konsentrasi biomassa (g massa sel kering per satuan volume). Pertumbuhan sel secara curah disajikan pada Gambar 2.
Gambar 2 Kurva pertumbuhan E. aerogenes ADH43 pada medium nira sorgum selama 24 jam. Sumber karbon yang digunakan dalam kultivasi adalah nira sorgum yang mengandung gula kompleks. Gula sederhana yang berupa glukosa akan segera dikonsumsi oleh mikroba, sedangkan gula kompleks akan dipecah terlebih dahulu oleh enzim pemecah gula kompleks menjadi gula sederhana. Aktivitas ini digambarkan dengan kurva pertumbuhan yang berbentuk diauksik, dimana terdapat dua fase eksponensial. Menurut Yuwono (2007) jika jasad renik ditumbuhkan pada medium yang mengandung dua macam sumber karbon yang
20
berbeda kompleksitas molekulnya, maka pertumbuhannya akan menunjukkan pola diauksik. Pada pertumbuhan diauksik, sumber karbon yang lebih mudah dimetabolisme akan digunakan terlebih dahulu. Setelah sumber karbon yang pertama habis, sel akan memasuki fase stasioner, sampai suatu ketika laju pertumbuhannya akan meningkat lagi. Pada fase pertumbuhan yang kedua, jasad renik akan menggunakan sumber karbon yang lebih kompleks. Sa’id (1987) menambahkan bila sumber energi dan karbon yang terdapat dalam medium beragam, maka pada satu waktu tertentu hanya satu substrat karbon yang digunakan. Glukosa sebagai sumber karbon yang mudah dicerna akan digunakan terlebih dahulu. Apabila medium tumbuh memiliki beberapa substrat karbon, maka akan terdapat seri fase pertumbuhan yang masing-masing diikuti dengan kecepatan pertumbuhan menurun. Kurva pertumbuhan dengan memperlihatkan beberapa seri fase eksponensial sangat umum dijumpai pada fermentasi di industri yang menggunakan medium komplek. 4.1.3.2. Uji Stabilitas Mutan Mutan E. aerogenes ADH-43 diseleksi dengan menumbuhkan pada media yang mengandung NaBr, NaBrO3 dan indikator TTC. Pada mutan yang menghasilkan asam laktat rendah akan membentuk koloni warna merah. Koloni ini kemudian ditumbuhkan pada medium kompleks dan difermentasikan untuk membentuk gas H2. Kestabilan gas H2 yang dihasilkan dapat diketahui dengan mengulang fermentasi hingga lima generasi. Pada uji kestabilan mutan hingga lima generasi diperoleh jumlah gas yang relatif stabil dengan rataan 401,26 ml/24 jam atau 16,72 ml/jam. Berdasarkan uji ragam dan uji tukey pada taraf 5% tidak berbeda nyata, sehingga dapat dikatakan mutan ini masih stabil. 4.1.3.3. Proses Kultivasi Kultivasi dilakukan diawali dengan pembuatan inokulum E.aerogenes ADH-43 pada medium pertumbuhan dengan substrat glukosa 1%. Pada saat OD (optical density) mencapai 0,83 (±3 jam) dipindahkan ke medium starter, yaitu medium biakan yang mengandung konsentrasi sumber karbon setengah dari
21
medium kultivasi dan volume 10% dari volume medium kultivasi. Starter dipindah ke medium kultivasi saat akhir fase pertumbuhan eksponensial saat sel aktif melakukan metabolisme (saat OD=0,83 (± jam ke-8)). Penggunaan starter bertujuan agar inokulan dapat beradaptasi dengan medium yang akan digunakan. Proses kultivasi diawali dengan menjalankan sistem curah hingga akhir fase eksponensial (saat OD=0,83; ± jam ke-8) lalu dialirkan medium baru. Gas H2 mulai terdeteksi setelah jam ke-5 saat akhir fase lag dan awal fase penyesuaian ketika terjadi reproduksi seluler. Gas terdeteksi dari adanya gelembunggelembung yang terlihat pada medium kultivasi dan terbentuknya uap air pada bagian atas reaktor. Setelah gas memenuhi semua ruangan dalam reaktor, maka gas akan menekan keluar reaktor dan akan terukur oleh respirometer. 4.1.3.4. Penggunaan Reaktor Packed Bed untuk Produksi Gas H2 Reaktor packed bed (PBR) untuk produksi H2 cocok jika digunakan pada proses kontinyu. Fluida akan mengalir dengan pola aliran sumbat mengarah sejajar dengan sumbu reaktor dengan kecepatan yang sama di seluruh penampang reaktor. Pada reaktor ini diasumsikan tidak terjadi difusi aksial dan pencampuran balik (backmixing). Medium pengumpan yang dialirkan dari bawah reaktor akan bereaksi dengan sel yang mengumpul pada dasar reaktor akibat adanya gaya gravitasi dan tidak adanya pengadukan, sehingga dapat meningkatkan efisiensi penggunaan substrat. Substrat yang sudah terdegradasi akan terdorong ke atas oleh medium pengumpan dan akan keluar dalam bentuk hasil metabolit (asam organik dan alkohol). Gas yang terbentuk akan keluar dan ditangkap oleh respirometer. Pada laju dilusi tertentu, akan menghasilkan produk yang optimum. Pada laju dilusi yang lebih kecil dari pertumbuhan spesifik, maka akan terjadi penumpukan sel dalam reaktor yang dapat menghambat pertumbuhan sel akibat terbatasnya substrat dan adanya akumulasi produk metabolit (asam organik dan alkohol), sedangkan jika kecepatan dilusi lebih cepat dibanding pertumbuhan spesifik sel, maka akan terjadi (washout) atau sel tercuci keluar bersama sisa medium kultivasi. Show et al. (2007) menyatakan bahwa PBR memiliki kelemahan pada turbulensi hidrolik yang rendah sehingga kultur mikroba mengalami resistensi
22
transfer massa yang mengakibatkan menurunnya tingkat konversi substrat dan produksi H2. Menurut Kumar dan Das (2001) produksi H2 dan konversi substrat pada PBR dapat ditingkatkan dengan resirkulasi (daur ulang) medium. 4.1.3.5. Penggunaan Nira Sorgum sebagai Substrat Indonesia memiliki puluhan tumbuhan yang dapat diolah untuk menghasilkan gas penghasil energi. Sorgum merupakan salah satu tanaman energi (Prihandana & Hendroko 2009). Batang sorgum manis yang diperas akan menghasilkan nira yang memiliki kadar gula yang hampir sama dengan nira tebu (Dirjen Perkebunan 1996).
Penggunaan nira sorgum sebagai substrat untuk
produksi gas H2 lebih praktis, karena hanya melalui proses pengepresan tanpa perlakuan awal (pretreatment). Penggunaan nira sorgum sebagai substrat memiliki beberapa kelemahan, diantaranya karena nira sorgum memiliki kadar gula yang setara dengan medium tumbuh mikroba (11-16 %) sehingga mudah terkontaminasi. Kelemahan lain adalah batang sorgum yang telah dipanen harus segera diperas. Pengepresan yang tertunda dari saat panen akan mengurangi jumlah nira yang diperoleh karena batang menjadi kering karena air mengalami penguapan. Penyimpanan pada suhu dingin (-20oC) dianjurkan (Ntaikou et al. 2008). 4.1.3.6. Pembentukan Flokulan Sel Menurut Rahman (2001) kesinambungan pada proses pembentukan H 2 dipengaruhi oleh laju produksi dan hasil akhir sehingga sangat dibutuhkan kerapatan sel dalam bentuk padat yang terbentuk dalam bioreaktor. Penggunaan reaktor packed bed tanpa pengaduk bertujuan agar sel terkumpul pada dasar reaktor akibat gaya gravitasi dan membentuk flokulan. Pada kasus ini flokulan belum terbentuk karena pengoperasian hanya dilakukan dalam 1 HRT hingga steady state akibatnya jumlah sel yang dihasilkan dan diendapkan di dalam reaktor belum mampu membentuk flokulan. Perlu dilakukan pengujian untuk HRT yang lebih lama sehingga sel mampu membentuk flokulan. Lu et al. (2005) menyatakan bahwa bioflokulan dihasilkan oleh mikroorganisme selama pertumbuhannya. Keuntungan bioflokulan adalah dapat
23
terdegradasi secara biologis, tidak berbahaya dan tidak menghasilkan polutan sekunder pada degradasi intermedietnya. 4.2 Kultivasi pada Kultur Curah Kelebihan kultivasi pada kultur curah adalah pengoperasiannya lebih mudah dan fleksibel. Kultivasi sistem ini digunakan dalam penentuan potensi susbtrat organik dalam menghasilkan H2 (Guo et al. 2010). 4.2.1. Pertumbuhan Enterobacter aerogenes ADH-43 Sistem kultur curah mewakili pertumbuhan pada lingkungan yang tertutup, dimana sel ditumbuhkan dalam reaktor yang mengandung medium pertumbuhan dibawah kondisi optimum (suhu, pH, potensial redoks) hingga beberapa komponen esensial dalam medium habis atau lingkungan berubah karena akumulasi toksik, perubahan pH dan lain-lain (Scragg 1991). Selama kultivasi produksi H2, konsentrasi substrat, H2, metabolit terlarut dan bakteri mengalami perubahan secara reguler. Pertumbuhan E.aerogenes ADH-43 selama 24 jam ditampilkan pada Gambar 3.
Gambar 3 Penentuan laju pertumbuhan spesifik maksimum sel (µ maks) E.aerogenes ADH-43 pada medium nira sorgum. Laju pertumbuhan spesifik (µ) bersifat tidak konstan dan tergantung pada kondisi lingkungan fisik dan kimiawinya. Nilai maksimum (µ maks) dicapai pada kondisi suplai nutrien dan substrat masih berlebih serta konsentrasi zat-zat penghambat masih rendah (Rehm & Reid 1981).
24
Menurut Mangunwidjaya dan Suryani (1994) laju pertumbuhan spesifik maksimum (µ maks) adalah koefisien arah kurva dengan persamaan Ln x = f(t). Berdasarkan kurva di atas pada saat substrat berupa gula sederhana (glukosa) diperoleh nilai µ maks sebesar 0,198/jam (fase eksponensial 1) dan µ maks pada fase eksponensial 2 sebesar 0,119/jam saat substrat berupa gula kompleks (terjadi pemecahan gula kompleks menjadi gula sederhana). Pertumbuhan spesifik pada fase eksponensial 2 lebih kecil dibanding pada fase eksponensial 1. Hal ini karena mulai terbentuknya produk antara dari pertumbuhan fase eksponensial 1. Nilai laju pertumbuhan sel spesifik ini kemudian dijadikan dasar untuk penentuan laju dilusi (D=dilution rate) pada kultur sinambung, yaitu
dengan D: laju dilusi (/jam), F: laju alir (L/jam) dan V: volume kerja (L) Berdasarkan persamaan di atas, maka kecepatan pompa untuk mengalirkan medium segar dapat ditentukan. 4.2.2 Perubahan pH dan Kadar Gula Selama Kultivasi Kontrol pH penting untuk mempertahankan pH yang optimum selama kultivasi. Pada sistem curah terjadi peningkatan keasaman (pH semakin menurun) dengan semakin meningkatnya jumlah sel seperti yang terlihat pada Gambar 4. Penurunan pH disebabkan oleh semakin meningkatnya jumlah sel. Semakin banyak sel yang dihasilkan, maka produk yang berupa asam organik bertambah sehingga suasana medium menjadi asam yang berakibat pada penurunnya pH. Pada jam ke-18 terjadi penurunan biomassa sel karena mulai memasuki fase kematian, sedangkan pH terlihat meningkat kembali. Meningkatnya pH ini diduga karena mulai terakumulasinya butandiol (BD) yang dihasilkan selama kultivasi. Menurut Johansen et al (1975) BD terbentuk dari piruvat dengan asetolaktat dan asetoin sebagai intermediet dan pada jalur ini organisme mampu mengalihkan produksi asam ke pembentukan komponen netral (alkohol).
25
Gambar 4 Gambar hubungan pH dengan berat kering sel pada sistem curah. Derajat keasaman merupakan faktor penting pada kultivasi produksi H 2, karena mempengaruhi aktivitas bakteri dan keadaan ionisasi pada komponen aktif dari sel dan substrat (Mu et al. 2007). Derajat keasamam optimum untuk menghasilkan H2 dari karbohidrat adalah kisaran pH sekitar 4,5 - 6,0 (Das dan Veziroglu 2001; Hawkes et al. 2002). Rendahnya pH dapat menghambat pertumbuhan bakteri dan menghambat kemampuan mendegradasi substrat. Penghambatan oleh rendahnya pH dapat berpengaruh terhadap konsentrasi gula dalam kecepatan degradasi gula. Akumulasi asam organik dalam medium pertumbuhan dapat menghambat kecepatan pertumbuhan sel dan membatasi rendemen produksi H 2 secara anaerob. Konsekuensinya adalah durasi reaksi produksi H2 menjadi relatif pendek dan rendemen H2 terbatas oleh akumulasi asam organik (Melis dan Melnicki 2006). Hal ini terlihat setelah jam ke-18 ketika sel mengalami kematian dan laju produksi H2 terhenti.
Gambar 5 Gambar hubungan pH dengan konsumsi gula reduksi dan gula total pada sistem curah.
26
Pada Gambar 5 terlihat semakin lama waktu kultivasi maka gula reduksi dan gula total semakin menurun. Hal ini disebabkan sel mengonsumsi gula sebagai sumber karbon sehingga jumlahnya semakin berkurang. Konsumsi karbon menghasilkan asam organik yang menyebabkan semakin menurunnya pH selama proses kultivasi. Pada jam ke-18 terlihat pH tidak menurun tetapi semakin naik hingga jam ke-24. Hal ini disebabkan selain menghasilkan asam organik (asam asetat dan asam laktat), bakteri juga menghasilkan alkohol (etanol dan BD) yang terakumulasi pada medium. Menurut Johansen et al. (1975) pembentukan BD mampu mengalihkan produksi asam ke pembentukan komponen netral (alkohol). Asam asetat memegang peranan dalam pembentukan BD dengan cara menginduksi tiga enzim yang berperan dalam pembentukannya (enzim pembentuk asetolaktat pH 6, asetolaktat dekarboksilase dan asetil (asetoin) reduktase) mengaktifkan pembentuk asetolaktat pH 6, dan meregulasi keseimbangan antara asetoin dan BD. Peningkatan pH pada jam ke-18 diduga akumulasi asam asetat menginduksi pembentukan BD, sehingga pH mengalami kenaikan. Pada jam ke-18 hingga jam ke-24 konsumsi gula masih berlangsung, namun konsumsi gula ini tidak digunakan untuk produksi gas H 2, tetapi digunakan sel untuk memproduksi asam organik (asetat dan laktat) dan alkohol (etanol dan BD).
Gambar 6 Gambar hubungan berat kering sel dengan konsumsi gula total dan gula reduksi pada sistem curah. Pada Gambar 6 terlihat bahwa semakin banyak jumlah sel yang terbentuk, gula total dan gula reduksi yang tersisa semakin sedikit (semakin banyak konsumsi gula). Pada akhir kultivasi terlihat sisa substrat (gula reduksi
27
dan gula total) masih ada (gula reduksi=0,25% dan gula total = 1,50%), sedangkan sel mulai memasuki fase kematian. Hal ini diduga karena adanya akumulasi senyawa metabolit berupa asam organik dan alkohol yang menghambat pertumbuhan sel dan penyerapan substrat oleh sel. Akumulasi senyawa metabolit ini dapat diatasi dengan menjalankan kultivasi menggunakan kultur sinambung. 4.2.3 Pembentukan Gas H2 selama Kultivasi Pada Gambar 7 terlihat bahwa gas H2 mulai terbentuk pada jam ke-6, dimana saat dimulainya fase eksponensial (awal log fase). Pada jam ke-6 ini pembentukan gas H2 paling tinggi (10,74 ml/menit) dan terus menurun hingga akhirnya terhenti pada jam ke-18. Pembentukan gas H2 yang tinggi pada fase eksponensial disebabkan karena pada fase tersebut pertumbuhan sel paling cepat. Pada fase stasioner pembentukan gas relatif stabil (8,43 – 8,08 ml/menit). Pada jam ke-18 pembentukan gas terhenti karena sel mulai masuk pada fase akhir stationer ke fase kematian, dan semakin banyaknya asam organik dan alkohol yang diakumulasi dalam medium sehingga menghambat pertumbuhan sel. Melis dan Melnicki (2006) menyatakan bahwa akumulasi asam organik pada medium tumbuh menyebabkan penghambatan pada laju pertumbuhan dan terbatasnya produksi H2.
Gambar 7 Gambar hubungan berat kering sel dengan laju alir gas H2 pada sistem curah.
28
Gambar 8 Gambar hubungan pH dengan laju alir gas H2 pada sistem curah. Pada Gambar 8 terlihat bahwa semakin menurunnya pH 5,7 (pada jam ke6) hingga pH 5,2 (pada jam ke-18) menunjukkan penurunan produksi gas H2. Pada kisaran pH ini sel masih mampu menghasilkan gas H2 meskipun rendah, namun pada jam ke-18, saat pH naik akibat akumulasi alkohol (etanol dan BD), gas H2 tidak diproduksi lagi, karena sel sudah masuk pada tahap akhir stationer dan tahap kematian sel. Setelah jam ke-12 terlihat bahwa produksi gas H2 semakin menurun karena sel telah memasuki fase stationer. Selain itu, pH lingkungan juga semakin menurun (pH=5,47). Bowles dan Elefson (1985) menyatakan bahwa menurunnya pH yang disebabkan oleh meningkatnya pembentukan metabolit (asam dan alkohol) hingga dibawah 5,5 akan berpengaruh terhadap kecepatan produksi H 2 karena rusaknya kemampuan sel menjaga pH internal, sehingga dapat menghasilkan rendahnya tingkat ATP intraseluler yang menghambat pengambilan glukosa. Bakteri produksi H2 sangat sensitif terhadap perubahan pH karena mempengaruhi aktivitas hidrogenase pada jalur metabolisme (Kataoka et al. 1997; Heyndrick et al. 1986). Hidrogenase adalah salah satu enzim yang mengkatalisis reduksi proton menjadi H2 (Vignais et al. 2006). Menurut Khanal et al (2004) pH merupakan parameter penting pada produksi biohidrogen oleh Clostridium dengan produk antara (volatile fatty acid) sebagai pengendali reaksi hidrogenase. Aktivitas dan periode ekspresi hidrogenase secara langsung mempengaruhi metabolisme bakteri penghasil H2, sehingga berpengaruh terhadap laju pembebasan dan rendemen H2 (Li et al. 2006).
29
Gambar 9 Gambar hubungan konsumsi gula total dan gula reduksi dengan laju alir gas H2 pada sistem curah. Pada jam ke-0 hingga jam ke-5 gas H2 yang diproduksi sangat sedikit (belum terdeteksi dalam respirometer). Konsumsi gula pada jam ini sebagian besar digunakan untuk pertumbuhan sel. Pada jam ke-18 konsumsi gula masih berlangsung yang digunakan untuk produksi asam organik dan etanol, tetapi menghambat terbentuknya gas H2. Laju produksi gas H2 tertinggi terjadi pada jam ke-6, namun terus
menurun hingga jam ke-18. Penurunan ini terjadi akibat
adanya akumulasi asam organik dan alkohol yang membuat suasana medium menjadi asam, sehingga sel terhambat dalam menyerap sumber karbon (Bowles & Elefson 1985). Setelah jam ke-18 terlihat bahwa produksi gas terhenti karena pengaruh akumulasi asam organik dan alkohol yang menghambat sel dalam memproduksi gas H2. Jalur sintesis H2 sensitif terhadap konsentrasi H2 dan penghambatan produk akhir. Ketika konsentrasi H2 meningkat, sintesis H2 menurun dan jalur metabolik berpindah ke produksi laktat, etanol, aseton, butanol atau alanin dari pemanfaatan substrat (Levin et al. 2004). Gula total dan gula reduksi hingga akhir kultivasi tidak habis, karena sel sudah mengalami fase kematian Dengan adanya akumulasi asam organik, kemampuan sel dalam menjaga pH internal terganggu sehingga tingkat ATP seluler menjadi rendah dan penyerapan glukosa menjadi terhambat. Gula total yang tersisa adalah 35,25% (1,504 % gula total (w/v)) sedang gula reduksi sebanyak 24,41% (0,25 % gula reduksi (w/v).
30
Gambar 10 Gambar hubungan perubahan biomassa sel dan perubahan produk H2 terhadap perubahan substrat pada sistem curah. Menurut Mangunwidjaya dan Suryani (1994) rendemen biomassa-substrat (Yx/s) dan rendemen H2-substrat (Yp/s) dapat dihitung melalui kurva dimana (XX0)=f(S0-S), sehingga Y x/s merupakan koefisien arah; demikian juga (PP0)=f(S0-S), dimana Y p/s merupakan koefisien arah. Berdasarkan Gambar 10 diperoleh Yp/s sebesar 0,048 g H2/g substrat, sedangkan Yx/s diperoleh 0,222 g biomassa/g susbtrat. Rendahnya rendemen H2 disebabkan karena produk yang dihasilkan selama kultivasi tidak hanya H2, melainkan juga metabolit lain seperti asam organik (asam laktat dan asetat) dan alkohol (etanol).
Gambar 11 Hubungan biomassa sel (g/L) dan volume gas H2 (L/L) dengan waktu(jam) pada sistem curah. Gas H2 terbentuk pada jam ke-5 (Gambar 11) dan terdeteksi pada jam ke-6 (awal fase logaritmik 2) kemudian terus meningkat dan pada jam ke-16 mulai terlihat stasioner. Hal yang sama ditemui pada pertumbuhan sel yang mengalami fase logaritmik 2 dimulai pada jam ke-6 hingga jam ke-12, lalu fase penurunan hingga jam ke-14 dan jam ke-16 memasuki tahap stasioner. Mangunwidjaya dan
31
Suryani (1994) mengemukakan bahwa apabila laju pembentukan produk berbanding lurus dengan laju pertumbuhan sel, maka dapat dikatakan pola pembentukan produk berasosiasi dengan pertumbuhan sel. Tabel 6 Ringkasan penelitian produksi gas H2 melalui kultur curah Mikrobia E. cloacae IIT-BT 08 E. aerogenes E. aerogenes ADH 43 Klebsiella oxytoca HP1 The anaerobic mixed culture E. aerogenes ADH 43
Sumber Karbon Sukrosa (10g/L) Molases (sukrosa 2%) Molases 2%
Laju alir H2
Rendemen H2
Referensi
660 mL/L/jam
6 mol/mol sukrosa
Kumar et al. (2000)
138 mL/L/jam
1,5 mol/mol sukrosa
Tanisho et al (1994)
9,24 L H2/L
2,99 mol/mol molases
Liasari (2009)
Glukosa 1%
87,5 ml/L jam
1,0 mol/mol glukosa
Minnan et al (2005)
Sorgum;25 g/L gula total
6897 ml/L
2,22 mol H2/mol hexose
Saraphirom& Reungsang (2010)
Sorgum; 4,2% gula total
8,26 L H2/L 458,66 ml/L/jam
3,79 mol/mol gula total, atau 5,92 mol H2/mol sukrosa atau 10,53 mol H2/mol glukosa
Penelitian ini
Pada Tabel 6 terlihat bahwa rendemen H2 pada penelitian ini jika dibandingkan dengan penelitian sebelumnya menunjukkan rendemen yang cukup tinggi. Penelitian ini menghasilkan 5,92 mol H2/mol sukrosa, hampir sama dengan penelitian Kumar et al. (2000) yang menghasilkan 6 mol H2/mol sukrosa. Bahkan jika dibandingkan Minnan et al. (2005) yang menggunakan glukosa sebagai substrat, penelitian ini menghasilkan rendemen yang lebih tinggi, yaitu 10,53 mol H2/mol glukosa. Laju alir H2 yang dihasilkan penelitian ini cukup tinggi yaitu 458,66 ml/L/jam, sedikit lebih rendah dibandingkan Kumar et al. (2000), namun jauh lebih tinggi dibandingkan Minnan et al. (2005) dan Tanisho et al (1994). Ini menunjukkan bahwa nira sorgum berpotensi sebagai substrat dalam produksi gas H2. Produksi ini kemungkinan dapat ditingkatkan jika dilakukan optimasi kadar gula total sebelum dilakukan penelitian. Saraphirom dan Reungsang (2010) menyebutkan bahwa produksi hidrogen potensial spesifik (Ps) meningkat pada konsentrasi 20-25 g/L kemudian menurun disebabkan adanya penghambatan substrat. Laju alir produksi H2 pada penelitian ini lebih rendah (8,26 L H2/L substrat) jika dibandingkan penelitian Liasari (2009) (9,24 L H2/L substrat), namun mendapatkan rendemen yang lebih tinggi yaitu 3,79 mol H 2/mol substrat dibandingkan penelitian Liasari (2009) yaitu 2,99 mol H 2/mol substrat. Laju produksi gas H2 yang tinggi pada penelitian Liasari (2009) karena menggunakan
32
tetes tebu sebagai substrat. Meskipun konsentrasi gula total yang digunakan sama, namun kandungan N pada tetes tebu dan nira sorgum berbeda, akibatnya perbandingan C dan N pada kedua medium berbeda. Optimasi perbandingan C dan N diperlukan berdasarkan pendapat Wan dan Wang (2009) bahwa C/N dan C/P merupakan faktor mendasar dalam fermentasi produksi H 2. Reid dan Rehm (1983) menambahkan bahwa pada lingkungan fisik dan kimiawi berbeda, maka kecepatan pertumbuhan sel akan berbeda.
Kecepatan pertumbuhan sel
berpengaruh terhadap laju produksi H2. Alasan kedua adalah penelitian Liasari (2009) mengunakan reaktor berpengaduk, sehingga substrat dan sel dalam reaktor tercampur sempurna. Menurut Wan dan Wang (2009) tipe reaktor merupakan salah satu faktor yang berpengaruh dalam produksi H2. Namun menurut Grady et al. (1999) bahwa penggunaan pengaduk pada reaktor mengkonsumsi energi listrik yang besar. Energi yang diperlukan untuk mencampur limbah anaerob pada reaktor berkisar 85-105 kw/1000m3 sehingga tidak efisien. Produksi H2 yang tinggi dan ekonomis lebih diharapkan. 4.3 Kultivasi pada Kultur Sinambung Laju dilusi (dilution rate = D) merupakan faktor yang sangat penting pada produksi H2 yang kontinyu karena mempengaruhi pada kemampuan bakteri untuk mendegradasi substrat dan mempengaruhi proses kultivasi produksi H 2. Wang dan Wan (2009) menyatakan bahwa laju dilusi berpengaruh pada produksi H 2, konsentrasi substrat, biomassa dan metabolit terlarut. Menurut Rahman (1989) pada fermentasi sistem kontinyu larutan nutrien steril dalam volume tertentu ditambahkan ke dalam fermentor secara kontinyu, dan pada saat yang sama larutan yang berisi sel dan produk-produk metabolisme dikeluarkan dari fermentor dengan volume yang sama. Penambahan medium baru dengan kecepatan yang sesuai dapat menghasilkan keadaan steady state dimana pembentukan sel-sel baru sama dengan sel-sel yang dikeluarkan dari fermentor. Pada keadaan steady state konsentrasi sel, laju pertumbuhan, konsentrasi nutrien dan konsentrasi produk tidak mengalami perubahan dengan bertambahnya waktu fermentasi. Hal ini senada dengan pernyataan Stanbury dan Whitaker (1984)
33
bahwa pada kondisi steady state, laju pertumbuhan spesifik sel ditentukan oleh laju dilusi. Pada kondisi ini pembentukan sel baru sama dengan sel yang keluar pada reaktor, konsentrasi nutrisi, konsentrasi sel, laju pertumbuhan dan konsentrasi produk tidak berubah walaupun waktu fermentasi makin lama. Hasil kultivasi nira sorgum oleh E. aerogenes ADH-43 adalah biomassa sel, gas H2, dan metabolit berupa asam organik dan alkohol. Pada D yang sebanding dengan laju pertumbuhan spesifik maksimum sel, maka akan diperoleh produksi H2 yang paling optimum. 4.3.1. Produksi Biomassa Sel Menurut Rahman (1989), pada fermentasi sistem kontinyu, laju pertumbuhan spesifik sel dipengaruhi oleh rasio antara laju aliran medium dan volume kultur. Rasio ini disebut laju dilusi (D). Perubahan konsentrasi sel setelah waktu tertentu dinyatakan sebagai, Dx ---Dt
=
Sel yang tumbuh
-
Sel yang keluar
atau, Dx ---Dt
=
µx
-
Dx
Pada keadaan steady state konsentrasi sel konstan sehingga Dx ---- = 0 Dt
µx
=
Dx
µ
=
D
Jadi dalam keadaan steady state laju pertumbuhan spesifik dipengaruhi oleh laju dilusi. Pada D yang rendah hampir semua substrat digunakan oleh sel mikroba, sedang pada D yang tinggi melebihi µmaks, sel-sel mikroba keluar keseluruhannya dari sistem fermentasi akibat aliran medium yang terlalu cepat. Tiap laju dilusi menghasilkan biomassa sel yang berbeda. Pertumbuhan spesifik sel pada kultur sinambung dapat diduga dari laju dilusinya. Pada Gambar 12 terlihat laju dilusi 0,10/jam diperoleh pertumbuhan sel paling sedikit (3,58 g/L), dan ketika laju dilusi ditingkatkan menjadi 0,15/jam, pertumbuhan sel meningkat (3,81 g/L). Namun saat dinaikkan menjadi 0,20/jam pertumbuhan sel
34
menjadi menurun (3,61 g/L). Laju pertumbuhan sel tergantung pada lingkungan fisik dan kimiawi (Reid & Rehm, 1983). Laju dilusi merupakan lingkungan fisik yang mempengaruhi pertumbuhan sel.
Gambar 12 Berat kering sel, pH, konsumsi gula reduksi dan konsumsi gula total pada sistem sinambung. Pada laju 0,10/jam terlihat bahwa sel belum optimum pertumbuhannya. Pada laju alir yang rendah terjadi akumulasi asam organik dan alkohol sebagai hasil metabolisme. Akumulasi ini menyebabkan pH menjadi asam yang menghambat pertumbuhan sel. Menurut Bowles dan Elefson (1985), menurunnya pH yang disebabkan oleh meningkatnya pembentukan metabolit (asam dan alkohol) hingga dibawah 5,5 akan berpengaruh terhadap kecepatan produksi H2 karena kemampuan sel menjaga pH internal menjadi rusak, sehingga dapat menghasilkan rendahnya tingkat ATP intraseluler yang menghambat pengambilan glukosa. Pada laju 0,15/jam terlihat bahwa pertumbuhan sel paling tinggi dibandingkan pada laju dilusi lain yang dicobakan pada penelitian ini. Hal ini diduga karena pada laju tersebut mendekati laju pertumbuhan sel spesifik maksimum sel, sehingga kecepatan degradasi substrat sebanding dengan kecepatan pembentukan sel baru. Pada laju 0,20/jam pertumbuhan sel kembali turun. Hal ini kemungkinan karena sel mengalami wash out akibat kecepatan pergantian substrat lebih cepat dibanding laju pertumbuhan spesifik maksimum sel, sehingga saat medium diganti dengan medium baru, sel yang keluar bersama medium belum tergantikan oleh sel-sel yang baru.
35
4.3.2. Perubahan pH Wang dan Wan (2009) menyatakan bahwa pH merupakan faktor penting yang mempengaruhi aktivitas bakteri dan produksi H2. Hal ini disebabkan pengaruh aktivitas hidrogenase pada jalur metabolisme. Perubahan pH pada level tertentu dapat menurunkan kemampuan bakteri dalam menghasilkan H 2. Hal serupa disampaikan oleh Kataoka et al. (1997) bahwa pH berpengaruh secara langsung pada aktivitas hidrogenase. Li et al.(2006) menambahkan bahwa aktivitas hidrogenase secara langsung mempengaruhi metabolisme bakteri penghasil H2 dan berpengaruh terhadap laju dan rendemen H2. Pada Gambar 12, terlihat bahwa banyaknya biomassa sel sebanding berbanding terbalik dengan pH. PadaD=0,15/jam dimana biomassa sel tertinggi (3,81 g/L), pH terlihat paling rendah (5,61), demikian juga pada D=0,10/jam (5,74) dan D=0,20/jam (5,67). Hal ini dipengaruhi semakin banyak sel, maka produksi asam organik juga lebih banyak, sehingga suasana menjadi lebih asam. Laju pertumbuhan tergantung pH, karena pH mempengaruhi fungsi membran, enzim dan komponen sel lainnya (Rehm & Reid 1981). Tergantung bakteri dan medium yang digunakan, fermentasi menghasilkan sejumlah asam organik yang terakumulasi dalam medium yang dapat menghambat kecepatan pertumbuhan dan membatasi rendemen H2 secara anaerob, konsekuensinya produksi H2 menjadi singkat dan rendemen menjadi terbatas karena akumulasi asam organik (Melis & Melnicki 2006). Derajat keasaman merupakan faktor penting dalam proses anaerobik, karena tidak hanya berpengaruh pada rendemen produksi H2, namun dapat mengubah hasil samping dan pada kultur campuran dapat membuat struktur komunitas mikroba menjadi berubah (Ginkel et al. 2001). Pada pH rendah, asetat dan butirat yang dominan, sedangkan etanol, laktat, propionat dan caproat akan terlihat pada pH lebih tinggi (Fang & Liu 2002). 4.3.3. Konsumsi Gula Pada Gambar 12 terlihat bahwa konsumsi gula total dan gula reduksi pada D=0,10/jam adalah berturut-turut 15,21 g/L dan 6,02 g/L, lebih rendah dibanding D=0,20/jam (23,52 g/L dan 7,48 g/L), dan paling tinggi adalah D=0,15/jam (24,86
36
g/L dan 8,15 g/L). Hal ini dapat dijelaskan karena gula merupakan sumber energi utama bagi sel, maka makin banyak sel yang terbentuk (pada D=0,15/jam), maka makin banyak gula yang terkonsumsi. Namun demikian, analisa ragam menunjukkan bahwa konsumsi gula reduksi pada D=0,15/jam menunjukkan konsumsi tertinggi yang signifikan. Sedangkan konsumsi gula total, meskipun D=0,15/jam menunjukkan konsumsi terbanyak, namun tidak berbeda secara signifikan dengan konsumsi gula total pada D=0,2/jam. Tabel 7 Efisiensi pemanfaatan sumber karbon pada sistem sinambung Laju Dilusi (D)
Gula Total Terkonsumsi (g/L)
Efisiensi (%)
D=0,10/jam D=0,15/jam D=0,20/jam
15,21±0,99 24,86±1,26 23,52±0,94
35,62±2,33 58,22±2,88 55,08±1,67
Berdasarkan Tabel 7, laju dilusi 0,15/jam menunjukkan konsumsi gula tertinggi dan efisiensi paling tinggi dalam memanfaatkan sumber karbon dibanding pada laju dilusi yang lain. Hal ini menunjukkan bahwa pada laju ini sel optimum dalam memanfaatkan sumber karbon. Pada D=0,10/jam konsumsi substrat paling rendah, diduga karena adanya akumulasi asam organik yang menyebabkan pH medium menjadi rendah, sehingga menghambat penyerapan sumber karbon oleh sel. Laju dilusi pada D=0,20/jam memiliki efisiensi pemakaian substrat lebih rendah jika dibandingkan D=0,15/jam. Hal ini diduga karena sebelum sel mampu mengonsumsi sumber karbon secara efisien, medium sudah tergantikan oleh medium baru. Efisiensi substrat yang rendah pada PBR menurut Show et al.(2007) disebabkan karena PBR dioperasikan pada turbulensi hidrolik yang rendah sehingga kultur mikroba mengalami resistensi transfer masa yang mengakibatkan menurunnya tingkat konversi substrat dan produksi H2. Kumar dan Das (2001) menambahkan bahwa produksi H2 dan konversi substrat dapat ditingkatkan dengan resirkulasi (daur ulang) medium.
37
4.3.4. Produksi Asam Organik dan Alkohol
Gambar 13 Asam organik dan alkohol hasil kultivasi secara sinambung. Gottschalk (1986) mengemukakan bahwa metabolisme E. aerogenes mengikuti jalur Embden Meyerhoff yaitu diawali dari glikolisis yang menghasilkan piruvat kemudian diikuti jalur fermentasi yang menghasilkan campuran asam fermentasi yaitu konversi piruvat menjadi asetat, etanol, CO 2, H2, asetoin dan 2,3 butandeol. Hasil analisa HPLC menunjukkan komposisi metabolit asam organik dan alkohol sebagaimana terlihat pada Gambar 13 dimana produksi etanol mendominasi fermentasi nira sorghum oleh E. aerogenes ADH-43 dengan hasil tertinggi dicapai pada D= 0,15/jam (0,153 mol) diikuti D=0,10/jam (0,143 mol) dan D=0,20/jam (0,121 mol). Asam laktat diproduksi paling tinggi pada D=0,15/jam yaitu 0,179 mol diikuti D=0,10/jam yaitu 0,091 mol dan D=0,20/jam yaitu 0,047 mol. Asam asetat diproduksi sangat kecil yaitu pada D=0,10/jam sebesar 0,031 mol, pada D=0,15/jam hanya 0,006 mol dan pada D=0,20/jam adalah 0,009 mol. Komposisi metabolit ini memiliki tren yang mendekati hasil penelitian Said (2007) dimana
E. aerogenes ADH-43 yang ditumbuhkan pada medium
gliserol menghasilkan asam laktat 0,012 mol/mol gliserol, asam asetat tidak terdeteksi, sedangkan etanol 0,328 mol/mol gliserol. Pada proses ini diharapkan terjadi penurunan produksi asam laktat yang disebabkan oleh defisiensi laktat dehidrogenase. Penurunan aktivitas enzim laktat dehidrogenase ini membuat jumlah NADH bebas dalam sel meningkat dan dapat digunakan sebagai koenzim pembentukan senyawa lain, misalnya H2, tetapi etanol juga dapat terbentuk. Menurut Nath dan Das (2004), apabila pembentukan metabolit yang berupa asam
38
organik dan alkohol terhambat, maka konsentrasi NADH dapat meningkat, sehingga produksi H2 juga dapat meningkat. 4.3.5. Produksi Hidrogen
Gambar 14 Produksi H2 dalam L/L substrat/jam; mmol/L/jam; dan ml/menit pada sistem sinambung. Berdasarkan Gambar 14 produksi H2 tertinggi terlihat pada D=0,15/jam. Hasil analisa ragam menunjukkan bahwa produksi H2 pada D=0,15/jam terlihat paling tinggi secara signifikan. Tingginya jumlah H2 disebabkan jumlah sel yang dihasilkan paling tinggi yang diimbangi dengan besarnya substrat (gula) yang terkonsumsi juga paling banyak. Ini menunjukkan bahwa D=0,15/jam adalah laju yang optimum dalam produksi gas H2 pada penelitian ini. Pada D=0,10/jam dan D=0,20/jam sel mampu menghasilkan gas H 2 meskipun lebih rendah. Pada D=0,10/jam terlihat bahwa produksi H2 tidak efisien karena berdasarkan Gambar 13 jumlah mol asam asetat paling tinggi (0,031 mol). Asam asetat menyebabkan pH menjadi turun. Rendahnya pH menyebabkan kemampuan sel menyerap sumber karbon menjadi kecil, sehingga produk (gas H2) yang dihasilkan menjadi turun. Demikian halnya dengan D=0,20/jam. Pada laju ini asam asetat yang dihasilkan adalah 0,009 mol, lebih tinggi dibanding D=0,15/jam (0,006 mol). 4.3.6. Rendemen (Yield) Pada
bioproses,
menurut
Mangunwidjaya
dan
Suryani
(1994)
pertumbuhan mikroba dipandang sebagai suatu reaksi kimia yang mengendalikan
39
sintesis penyusun biomassa yang diperolah pada akhir kultur secara global. Proses ini mengikuti prinsip kekekalan massa yang dinyatakan dalam reaksi kimia sebagai berikut: Substrat mikroba+produk Berdasarkan persamaan diatas, maka dapat ditentukan rendemen biomassa (Yx/s) dan produk (Yp/s) yang terbentuk. Pada kultivasi nira sorgum oleh E aerogenes ADH43 diperoleh hasil sebagaimana terlihat pada Gambar 15.
Gambar 15
Rendemen produk (gas H2) dan metabolit selama kultivasi sinambung.
Pada ketiga perlakuan kecepatan dilusi yang berbeda, rendemen etanol (Ye/S) dan asam laktat (Yal/S) lebih mendominasi dibandingkan produksi gas H 2 dan rendemen asam asetat (Yaa/S). Rendemen gas H2 (YH2/S) paling tinggi pada D=0,15/jam, diikuti D=0,10/jam dan D=0,20/jam. Pada perlakuan D=0,10/jam diperoleh YH2/S sebesar 0,55 mol H2/mol substrat; Yal/S sebesar 1,52 mol asam laktat/mol substrat; Yaa/S sebesar 0,52 mol asam asetat/mol substrat dan Ye/S sebesar 2,38 mol etanol/mol substrat. Pada perlakuan D=0,15/jam diperoleh YH2/S sebesar 0,67 mol H2/mol substrat; Yal/S sebesar 1,94 mol asam laktat/mol substrat; Yaa/S sebesar 0,06 mol asam asetat/mol substrat dan Ye/S sebesar 1,63 mol etanol/mol substrat. Pada perlakuan D=0,20/jam diperoleh YH2/S sebesar 0,49 mol H2/mol substrat; Yal/S sebesar 0,53 mol asam laktat/mol substrat; Yaa/S sebesar 0,10 mol asam asetat/mol substrat dan Ye/S sebesar 1,38 mol etanol/mol substrat.
40
Kecilnya YH2/S pada perlakuan D=0,15/jam kemungkinan dipengaruhi karena dominasi produksi asam laktat 1,940 mol asam laktat/mol substrat dan etanol 1,628 mol etanol/mol substrat yang memanfaatkan NADH sehingga menghambat terbentuknya gas H2. Zhang et al.(2009) menyatakan bahwa produksi H2 oleh E aerogenes sangat tergantung pada NADH dan NAD+. Hal ini memperkuat penyataan Tanisho dan Ishiwata (1994) bahwa jalur NADH memegang peranan dalam produksi H2. Gas H2 ini dihasilkan oleh E aerogenes ADH-43 melalui pembebasan elektron pada oksidasi metabolik dengan bantuan enzim dehidrogenase dimana enzim ini berinteraksi dengan NADH untuk menghasilkan gas H 2. Senyawa NADH dihasilkan pada proses katabolisme glukosa menjadi piruvat melalui jalur glikolisis. Konversi piruvat menjadi menjadi alkohol dan asam organik melibatkan oksidasi NADH, sehingga pembentukan gas H2 akan terhambat jika oksidasi NADH banyak digunakan untuk pembentukan alkohol dan asam organik. Antonopoulo et al. (2011) melaporkan bahwa semakin meningkat konsentrasi karbohidrat menyebabkan metabolisme bakteri bergeser ke arah produksi alkohol sedangkan produksi H2 menjadi turun. Pada penggunaan substrat nira sorgum dengan konsentrasi 9,89-17,5 g/L menunjukkan hasil yang meningkat dengan rendemen maksimum 0,74 mol H2/mol glukosa. Hasil penelitian ini jika dikonversi ke glukosa sebagai substrat, menghasilkan 1,40 mol H 2/mol glukosa, lebih besar dibanding penelitian Antonopoulo et al.(2011). Namun penelitian ini hanya menggunakan gula reduksi sebesar 8,80 g/L (Tabel 9), sehingga perlu optimasi konsentrasi substrat berdasarkan gula reduksi. Pada D=0,20/jam terlihat bahwa baik YH2/S maupun rendemen asam organik dan alkohol kecil. Hal ini dipengaruhi oleh laju dilusi yang lebih cepat dibandingkan kecepatan sel dalam menyerap sumber karbon, sehingga produk metabolit yang dihasilkan menjadi rendah. Selain itu pada laju ini akumulasi asam organik dan alkohol juga rendah akibat laju dilusi yang cepat dalam penggantian medium baru. Nilai YH2/S yang rendah disebabkan produksi asam organik dan etanol cukup tinggi. Ginkel et al.(2005) mengemukakan bahwa rendemen biohidrogen dihambat oleh produksi asam-asam selama proses fermentasi.
41
Gambar 16 Rendemen biomassa sel (Yx/s) pada sistem sinambung. Biomassa sel merupakan salah satu produk bioproses. Pada Gambar 16 terlihat Yx/s terbesar pada D=0,10/jam yaitu 59,72 g/L biomassa/mol substrat diikuti D=0,20/jam sebesar 41,07 g/L biomassa/mol substrat dan terkecil D=0,15 sebesar 40,53 g/L biomassa/mol substrat. Besarnya nilai Yx/s pada D=0,10/jam disebabkan karena konsumsi substrat yang kecil sehingga faktor pembaginya menjadi kecil (Yx/s =Δx/Δs) sedangkan D=0,15/jam menunjukkan Yx/s yang paling kecil karena konsumsi substrat yang paling besar. Kecilnya Yx/s pada D=0,15/jam berarti proses lebih banyak untuk menghasilkan produk (gas H2 asam organik dan alkohol) dibandingkan pembentukan sel. 4.4 Perbandingan Hasil Kultivasi Sorgum dan Tetes Tebu pada D=0,15/jam Pada D=0,15/jam kultivasi nira sorgum oleh E aerogenes ADH-43 menunjukkan produksi gas H2 paling tinggi yaitu sebesar 62,84 mmol/L/jam dan YH2/S sebesar 0,660 mol H2/mol substrat. Kecepatan dilusi 0,15/jam dianggap optimum, sehingga dapat dibandingkan dengan substrat yang berasal dari tetes tebu dengan konsentrasi gula total awal yang sama (4,267%) pada D yang sama.
42
Gambar 17 Perbandingan berat kering, pH, gula reduksi dan gula total pada substrat nira sorgum dan tetes tebu. 4.4.1 Produksi Biomassa, pH dan Konsumsi Gula Tabel 8 Perbandingan komposisi medium nira sorgum dan tetes tebu dalam g/L medium Komponen Nira Sorgum Tetes Tebu Gula Total 42,7 42,7 Gula Reduksi 8,80 14,0 N Total 2,4 0,68 Pada Gambar 17 terlihat bahwa baik berat kering, perubahan pH dan konsumsi gula reduksi menunjukkan hasil yang hampir sama, sedangkan konsumsi gula total pada tetes tebu lebih besar (27,55 g/L) dibanding nira sorgum (24,86 g/L). Pada Tabel 8 tersaji bahwa meskipun gula total pada nira sorgum dan tetes tebu sama, namun kandungan gula reduksinya berbeda. Tingginya kandungan gula reduksi pada tetes tebu menyebabkan pertumbuhan selnya lebih cepat. Reid dan Rehm (1983) menyebutkan bahwa pertumbuhan sel tergantung pada lingkungan fisik dan kimiawi. Hommel dan Ratledge (1993) menambahkan bahwa mikroba pada umumnya mampu beradaptasi dengan baik pada gula sederhana, selain itu komposisi medium pertumbuhan juga berpengaruh. Derajat keasaman pada medium nira sorgum lebih rendah (5,61) dibanding pada tetes tebu (5,71). Hal ini dipengaruhi oleh akumulasi asam organik dan alkohol yang dihasilkan selama kultivasi (Gambar 18). Pada nira sorgum dihasilkan asam organik dan alkohol lebih banyak dibandingkan pada tetes tebu, sehingga akumulasi ini menyebabkan menurunnya pH. Hal ini diduga karena tetes tebu memiliki komposisi kimiawi yang berbeda dengan nira sorgum sehingga
43
penurunan pH yang terjadi pada kedua medium ini juga berbeda. Wang dan Wan (2009) melaporkan bahwa konsentrasi organik dalam medium mempengaruhi distribusi metabolit selama kultivasi. Akutsu et al.(2009) dan Gavala et al.(2006) menambahkan bahwa dominasi jalur fermentasi untuk mendegradasi gula berbeda karena perbedaan lingkungan dan kondisi operasi misalnya pH, HRT dan konsentrasi substrat. Konsumsi gula total dan gula reduksi pada tetes tebu (27,55 g/L dan 8,18 g/L) lebih besar dibanding nira sorgum (24,86 g/L dan 8,15 g/L). Konsumsi substrat yang besar digunakan untuk membentuk biomassa sel (gambar 17) tetapi tidak digunakan untuk pembentukan asam organik dan alkohol (Gambar 18) maupun pembentukan gas H2 (Gambar 19). Dominansi pembentukan substrat ke arah pembentukan biomassa disebabkan adanya perimbangan C dan N pada medium tetes tebu yang lebih besar dibandingkan medium nira sorgum dan juga kandungan gula reduksi pada tetes tebu yang lebih tinggi, sehingga mudah untuk diserap sel (Hommel & Ratledge 1993). Menurut Wang dan Wan (2009) nitrogen merupakan komponen penting penyusun protein, asam nukleat dan enzim yang berperan dalam pertumbuhan bakteri penghasil H2. Khalil et al.(2009) menambahkan bahwa mikroflora memerlukan tambahan nitrogen yang cukup untuk metabolisme selama fermentasi. Nilai perbandingan C dan N pada kultur murni diperlukan untuk mengoptimasi produksi H2 dari substrat organik. Muligan dan Gibbs (1993) melaporkan bahwa nitrogen diperlukan mikroba selama fase pertumbuhan, produksi dan stasioner. Tabel 9 Efisiensi pemanfaatan substrat pada medium nira sorgum dan tetes tebu Jenis Substrat
Gula Total Terkonsumsi (g/L)
Efisiensi Pemanfaatan Substrat (%)
Nira Sorgum Tetes Tebu
24,86±1,26 27,55±4,91
58,22 64,52
Efisiensi pemanfaatan substrat pada tetes tebu lebih besar dibandingkan pada nira sorgum (Tabel 9), namun produksi gas H2 pada tetes tebu lebih kecil (Gambar 19). Hal ini diduga karena perbandingan C dan N pada nira sorgum dan tetes tebu berbeda. Optimasi C dan N diperlukan untuk mendapatkan efisiensi pemanfaatan substrat dan produksi gas yang optimum.
44
Konsumsi gula total pada medium tetes tebu lebih banyak dibandingkan pada medium nira sorgum. Hal ini disebabkan gula reduksi yang terdapat dalam gula total lebih banyak (Tabel 8). Menurut Hommel dan Ratledge (1993) mikroba lebih mudah mengonsumsi gula sederhana. Hal ini menyebabkan pemanfaatan substrat menjadi lebih efisien. 4.4.2 Produksi Asam Organik dan Alkohol Produksi asam organik dan alkohol pada substrat nira sorgum lebih tinggi dibandingkan pada tetes tebu. Pada medium nira sorgum mampu dihasilkan asam laktat 0,179 mol, asam asetat 0,006 mol dan etanol 0,153 mol, sedangkan pada substrat tetes tebu hanya dihasilkan asam laktat sebesar 0,025 mol serta asam asetat dan etanol dalam jumlah yang tidak terdeteksi. Adanya asam laktat, asam asetat dan etanol menyebabkan pH medium nira sorgum menjadi lebih rendah dibanding medium tetes tebu. Hommel dan Ratledge (1983) melaporkan bahwa keterbatasan sumber N menyebabkan aktivitas enzim yang terlibat dalam pembentukan metabolit menjadi terhambat. Akutsu et al.(2009) dan Gavala et al.(2006) melaporkan bahwa dominasi jalur fermentasi dalam mendegradasi glukosa berbeda disebabkan perbedaan lingkungan dan kondisi operasi (pH, HRT dan konsentrasi substrat). Perbedaan kandungan gula reduksi dan N dalam medium tetes tebu dan nira sorgum diduga menjadi penyebab perbedaan komposisi metabolit yang dihasilkan.
Gambar 18 Produksi asam organik dan alkohol pada kultivasi nira sorgum dan tetes tebu.
45
4.4.3 Produksi H2 Produksi H2 pada substrat nira sorgum lebih tinggi dibandingkan tetes tebu yaitu pada sorgum mampu menghasilkan 10,56 ml H2/menit; 1,41 L H2/L substrat per jam dan 62,84 mmol H2/L per jam,sedangkan pada tetes tebu hanya mampu menghasilkan 7,79 ml H2/menit; 1,04 L H2/L substrat per jam dan 46,42 mmol H2/L per jam. Tingginya biomassa sel yang dihasilkan oleh substrat tetes tebu pada kultivasi tidak menyebabkan tingginya gas H2 yang dihasilkan. Menurut Hallenback dan Banermann (2002) Produksi H2 yang rendah disebabkan fakta bahwa mikroorganisme penghasil H2 telah berkembang jalur metabolismenya ke arah pertumbuhan sel dibanding produksi H2.
Gambar 19 Produksi gas H2 pada kultivasi menggunakan substrat nira sorgum dan tetes tebu Ren et al. (2006) menyatakan bahwa laju produksi H2 dipengaruhi oleh karakteristik produk fermentasi (seperti etanol dan asetat). Maksimum rendemen terjadi pada saat perbandingan etanol dan asetat sekitar 1 sesuai dengan perbandingan NAD+ dan NADH + H+ pada jalur fermentasi yang dilalui. Jika keseimbangan tersebut dirusak, proses fermentasi menjadi tidak stabil sehingga kemampuan mikroorganisme dalam menghasilkan H2 menjadi terhambat. Berdasarkan pendapat ini, jumlah etanol dan asetat pada tetes tebu tidak terdeteksi, sehingga laju produksi H2 tidak maksimum. Pada nira sorgum, perbandingan etanol dan asetat adalah 25,5 (0,153 mol/0,006 mol) sehingga laju alir H2 pada medium ini belum maksimum. Rendahnya produksi H2 juga disebabkan C dan N dalam medium tetes tebu dan nira sorgum yang berbeda. Berdasarkan penelitian Lin dan Lay (2004)
46
perbandingan C dan N yang efektif pada produksi hidrogen oleh campuran mikroflora adalah 47, sedangkan Khalil et al. (2008) menemukan perbandingan C dan N 70 mampu menghasilkan H2 yang maksimum oleh C. acetobutylicum. Muligan dan Gibbs (1993) menambahkan bahwa nitrogen diperlukan oleh mikroba selama fase pertumbuhan, produksi dan stationer. Rendahnya N pada tetes tebu menyebabkan rendah pula H2 yang dihasilkan selama kultivasi. 4.4.6 Rendemen
Gambar 20 Rendemen gas H2, asam laktat, asam asetat dan alkohol pada medium nira sorgum dan tetes tebu. Rendemen pembentukan gas H2 (YH2/S) pada nira sorgum 0,668 mol H2/mol substrat lebih besar dibandingkan pada tetes tebu 0,455 mol H2/mol substrat. Nilai YH2/S tetes tebu yang rendah akibat konsumsi substrat yang tinggi dan produksi H2 yang rendah. Pada nira sorgum YH2/S yang diperoleh lebih tinggi karena produksi H2 lebih tinggi dan substrat yang dikonsumsi lebih rendah. Menurut Wang dan Wan (2009) faktor yang mempengaruhi produksi H 2 adalah konsentrasi substrat, inhibitor, temperatur, pH dan laju dilusi. Faktor ini mempengaruhi degradasi substrat, pertumbuhan bakteri penghasil H 2, produksi H2 dan produksi metabolit terlarut. Pada medium tetes tebu tidak dilakukan optimasi laju dilusi, sehingga sedikitnya H2 yang diperoleh diduga selain akibat perbandingan C dan N, perbedaan kadar gula reduksi, juga laju dilusi yang tidak optimum. Nilai Yal/s pada nira sorgum (1,904 mol asam laktat/mol substrat) lebih tinggi dibandingkan pada tetes tebu (0,245 mol asam laktat/mol substrat), sedangkan Yaa/s pada nira sorgum adalah 0,064 mol asam asetat/mol substrat dan
47
Ye/s pada nira sorgum sebesar 1,628 mol etanol/mol substrat. Pada tetes tebu jumlah asam asetat dan etanol tidak terdeteksi.
Gambar 21 Rendemen biomassa sel pada substrat nira sorgum dan tetes tebu Meskipun jumlah sel yang dihasilkan oleh kultivasi nira sorgum lebih kecil (3,81 g/L) dibandingkan oleh tetes tebu (4,00g/L), namun Yx/s yang dihasilkan lebih besar pada nira sorgum (40,53 g/L biomassa/ mol substrat) disebabkan konsumsi gula total maupun reduksi nira sorgum lebih kecil dibandingkan tetes tebu (gambar 21). Nilai Yx/s tetes tebu (39,22 g/L biomassa/ mol substrat) lebih rendah karena konsumsi substrat yang tinggi. Konsumsi substrat ini digunakan untuk pembentukan sel, bukan produksi H2 sebagaimana dinyatakan Hallenbeck dan Banermann (2002). Pada Tabel 10 terlihat bahwa hasil penelitian ini menunjukkan nilai Y H2/s lebih rendah diantara kultur sinambung yang lain. Hal ini disebabkan karena substrat yang digunakan berlainan dengan konsentrasi yang beragam. Pada penelitian ini tidak dilakukan optimasi konsentrasi substrat, sehingga kemungkinan konsentrasi nira sorgum yang digunakan bukan konsentrasi optimum dalam menghasilkan H2. Demikian juga dengan penelitian Liasari (2009) yang tidak melakukan pemisahan gas H2, maka jika dibandingkan dengan data yang sama, rendemen jauh lebih kecil. Hal ini diduga karena perbandingan C dan N nira sorgum dan tetes tebu berbeda, sehingga optimasi C/N diperlukan untuk dapat diperoleh produksi H 2 tertinggi. Perbedaan produksi H2 pada penelitian ini disebabkan karena tipe dan konsentrasi substrat yang berbeda, perbandingan C dan N yang berbeda sebagaimana yang dinyatakan Fan et al. (2006). Bila dibandingkan dengan penelitian Rahman (1998) yang menggunakan glukosa sebagai sumber karbon, penelitian ini menunjukkan produksi H 2 yang lebih
48
tinggi. Hal tersebut menunjukkan bahwa nira sorgum berpotensi sebagai substrat dalam produksi gas H2.
Tabel 10 Ringkasan penelitian sebelumnya pada kultur sinambung Reaktor
CSTR PBR PBR CSTR PBR
PBR
Mikrobia
E. aerogenes ADH-43 Mikroba anaerob dari limbah sintetis E. aerogenes AY-2 Kultur campuran dari lumpur Enterobacter cloacea DM 11
E. aerogenes ADH-43
Sumber Karbon
Yield
Dilution Rate (/jam)
Referensi
Molases 4,2%
1,84 mol/mol molases**
0,30/ jam
Liasari (2009) Leite Jose et al (2006)
Glukosa 0,2%* dalam Limbah Sintetis Glukosa 1,5%*
2,48 mol/mol glukosa
0,5 HRT
58 mmol H2/L per jam
0,67/jam
Glukosa 0,2%*
2,1 mol/mol glukosa
HRT (6jam)
Molases 1% (w/v)
85,77mmol/L per jam
D=0,45/ jam
Nath, et al. 2005
Sorgum 4,2% gula Total
0,67 mol H2/mol gula total (62,84 mmol/L jam) (atau 1,40 mol gas/mol gula total)**atau 1,4 mol H2/mol glukosa atau 1,29 mol H2/mol sukrosa
D=0,15/ jam
Penelitian ini
Rahman (1998) Fang and Liu (2002)
*konversi dari data asli **data sebelum dipisahkan oleh GC
Pada Tabel 10 terlihat bahwa PBR mampu menghasilkan gas H 2 yang tinggi. Bila dibandingkan dengan penelitian lain, rendahnya nilai YH2/s disebabkan substrat yang digunakan berbeda, demikian juga konsentrasinya. Penggunaan PBR dengan substrat gula sederhana (glukosa) menunjukkan Y H2/s yang tinggi hingga 2,48 mol H2/mol glukosa (Laite Jose et al. 2006), karena sel lebih mudah mengonsumsi substrat tersebut dibandingkan gula kompleks yang harus dipecah terlebih dahulu menjadi gula sederhana. Selain itu Laite Jose et al. (2006) menggunakan tipe PBR horizontal, dengan perbandingan volume total dan volume kerja 2480:850. PBR yang digunakan pada penelitian ini menggunakan perbandingan volume total dan volume kerja 900:450. Jika dibandingkan dengan penelitian Nath et al. (2005) yang menggunakan molases 1% (w/v), terlihat bahwa laju alir H2 pada penelitian ini lebih rendah. Hal ini disebabkan penelitian Nath et al. (2005) menggunakan reaktor dengan matrik dari lignoselulosa sebagai matriks penyokong sel.
BAB V. SIMPULAN DAN SARAN 5.1. Simpulan Berdasarkan hasil analisis yang telah diuraikan pada hasil dan pembahasan, maka dapat disimpulkan bahwa: 1. Nira sorgum dapat
digunakan sebagai substrat
dalam produksi
biohidrogen. 2. Nilai
D=0,15/jam
merupakan
laju
dilusi
yang
optimum
dalam
menghasilkan H2 dengan rendemen sebesar 0,67 mol/mol gula total dan laju alir 10,56 ml H2/menit; 1,41 L H2/L per jam; 62,84 mmol/L per jam. 3. Nira sorgum dapat menggantikan tetes tebu sebagai substrat dalam produksi H2 dengan hasil yang lebih tinggi pada D=0,15/jam. 5.2. Saran 1. Optimasi konsentrasi gula total dilakukan sebelum produksi gas H 2 dilakukan. 2. Perlu dilakukan penelitian mengenai pengaruh C/N terhadap jumlah H 2 yang dihasilkan.
50
DAFTAR PUSTAKA Almodares A, Hadi MR. 2009. Production of bioethanol from sweet sorghum. A review. African J. Agric.Research. 4(9): 772-80. Akutsu Y, Lee DY, Li YY, Noike T. 2009. Hydrogen production potential and fermentative characteristic of various substrate with different heatpretreated natural microflora. Int. J. Hydrogen Energy 34:5365-72. Antonopoulo G, Gavala HN, Skiadas IV, Angelopoulos K, Lyberatos G. 2011. Effect of substrate concentration of fermentative hydrogen production from sweet sorghum extract. Int. J. Hydrogen Energy 36:4843-57. Antonopoulo G, Ntaikou I, Gavala HN, Skiadas IV, Angelopoulos K, Lyberatos G. 2007. Biohydrogen production from sweet sorghum biomass using mixed acidogenic cultures and pure cultures of Ruminococcus albus. Global Nest. 9: 144-51. Apriantono A, Fardiaz D, Puspitasari NL, Sedarnawati, Budiyanto S. 1989. Petunjuk Laboratorium Analisis Pangan. Bogor: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi, Pusat Antar Universitas Pangan dan Gizi Institut Pertanian Bogor. Barros AR, Amorim ELC, Reis CM, Shida GM, Silva EL. 2010. Biohydrogen production anaerobic fluidized bed reactor: Effect of support material and hydraulic retention time. Int. J. Hydrogen Energy 15:1179-88 Billa E, Koullas DP, Monties B, Koukios EG. 1997. Structure and composition of sweet sorghum stalk components. Industrial Crops and Products 6: 297302. Bolton JR. 1996. Solar photoproduction of hydrogen. Sol Energy 57:37-50. Bowles LK, Elefson WL. 1985. Effect of butanol on clostridium acetobutylicum. Appl. Environ. Microbiol. 50: 1165-70. Boyles D. 1984. Bioenergy -Technology Thermodynamics and Cost. Willey. New York. Channappagaudar BB, Bradar NR, Patil JB, Hiremath SM. 2007. Assesment of sweet sorghum genotypes for cane yield, juice characters and sugar levels. Karnataka. J. Agric. Sci. 20(2): 294-6. Chin HL, Chen ZS, Chao CP. 2003. Fedbatch operation using Clostridium acetobutylicum suspension culture as biocatalyst for enhancing hydrogen production. Biotechnol. Prog. 19:383-8.
51
Das D, Veziroglu TN. 2001. Hydrogen production by biological process: a survey of literature. Int J Hydrogen Energy 26: 13-28. Direktorat Jenderal Perkebunan. 1996. Sorgum manis komoditi harapan di propinsi kawasan timur Indonesia. Risalah Simposium Prospek Tanaman Sorgum untuk Pengembangan Agroindustri, 17−18 Januari 1995. Edisi Khusus Balai Penelitian Tanaman Kacang-kacangan dan Umbi-umbian No.4-1996: 6− 12. Fan KS, Kan N, Lay J. 2006. Effect of hydroulic retention time on anaerobic hydrogenesis in CSTR. Bioresourse Technol. 97:84-89 Fang HH, Liu H. 2002. Effect of pH on H2 production from glucose by a mixed culture. Bioresource Technol. 82 (87-93). Gavala HN, Skiadas IV, Ahring BK. 2006. Biological hydrogen production in suspensed and attaced growth anaerobic reactor system. Int. J. Hydrogen Energy 31:1164-75. Ginkel SV, Logan BE. 2005. Inhibition of biohydrogen production by undissociated acetic and butiric acid. Environ. Sci. Technol. 39:9351-6. Ginkel SV, Sung S, Lay J. 2001. Biohydrogen production as a function of pH and substrat concentration. Environ Sci Technol; 35(24):4726-30. Gottschalk G. 1986. Bacterial Metabolism. 2nd eds. New York. Springer. Grady CPL, Daigger GT, Lim HC. 1999. Biological wastewater treatment, 2nd ed. Marcel Dekker. New York. Guo XM, Trably E, Latrille E, Carrere H, Steyer J P. 2010. Hydrogen production from agricultural waste by dark fermentation: A review. Int. J. Hydrogen Energy 30: 1-14. Hallenbeck PC, Banermann JR. 2002. Biological hydrogen production: fundamental and limiting process. Int. J. Hydrogen Energy 27: 1185-93. Hallenbeck PC, Ghosh D. Advances in fermentative biohydrogen production: the way forward. Review. Trends in Biotechnol. 2009 27(5): 287-297. Hawkes FR, Dindale R, Hawkes DL, Hussy I. 2002. Suistainable fermentative biohydrogen : challenges for process optimization. Int J. Hydrogen Energy 27 : 1339 – 1337. Heyndrickx M, Vansteenbeeck A, de Vos P, de Lay J. 1986. Hydrogen gas production from continous fermentation of glucose in a minimal medium with Clostridium butyricum. Syst. Appl. Microbiol. 8:239-44.
52
Hommel RK, Ratledge C. 1993. Biosynthetic mechanism of low molecular weight surfactants and their precusor molecules in biosurfactans. Marcel Deccker Inc. New York. Hussy I, Hawkes FR, Dinsdale R, Hawkes HL. 2005. Countinous fermentative hydrogen production from sucrose and sugarbeet. Int J. Hydrogen Energy 30: 471-483. Johansen L, Bryn K, Stormer F. 1975. Physiological and biochemical role of butanediol pathway in Aerobacter (Enterobacter) aerogenes. J. Bacteriology 123 ( 3) : 1124-30. Kataoka N, Miya A, Kiriyama K. 1997. Studies on hydrogen production by continous culture system of hydrogen-producing anaerobic bacteria. Water Sci. Technol. 36(6-7):41-7. Khalil MS, Alshiyab HSS, Yusoff WMW. 2009. Media Improvement for hydrogen production using C acetobutylicum NCIMB13357. American J. Appl. Sci. 6(6): 1158-68. Khanal SK, Chen WH, Li L, Sung SW. 2004. Biological hydrogen production: effect of pH and intermediete product. Int. J. Hydrogen Energy 29: 112331. Kumar N, Das D. 2000. Enhancement of Hydrogen Production by Enterobacter cloacae IIT-BT 08. Process Biochemistry 35:589-593. Leite Jose AC, Fernandes BS, Pozzi E, Barboza M, Zaiat M. 2008. Application of an anaerobic packed bed reactor for the production of hydrogen and organic acid. Int J Hydrogen Energy 33: 579-86. Levin DB, Pitt L, Love M. 2004. Biohydrogen Production: Prospects and limitation to practical application. Int J. Hydrogen Energy 29(2): 173-85. Liasari Y. 2009. Produksi Biohidrogen oleh bakteri mutan Enterobacter aerogenes ADH-43 dan Bacillus pumillus ASP8 menggunakan berbagai jenis biomassa dan aplikasinya ke fuel cell sebagai penghasil listrik. Tesis. Program studi Teknologi Hasil Pertanian Progran Pascasarjana Universitas Brawijaya. Malang. Tidak dipublikasikan. Lin CY, Lay CH. 2004. Carbon/Nitrogen ratio Effect on fermentative hydrogen production by mixed microflora. Int J. Hydrogen Energy 29: 41-45. Li QB, Xing PF, Ren NQ. 2006. Hydrogen production and enzyme activity of acidophilic strain X-29 at different C/N ratio. Environ Sci. 27 (4):810-4.
53
Liu X, Ren N, Song F, Yang C, Wang A. 2008. Review. Recent Advances in fermentative biohydrogen production. Progress in Natural Sci. 18:253-8. Logan BE, Oh SE, Kim IS, van Ginkel S. 2002. Biological hydrogen production measured in batch anaerobic respirometer. Environ. Sci. Technol 36: 253035. Lu WY, Zhang T, Zhang DY, Li CH, Wen JP, Du LX. 2005. A novel bioflocculant produced by Enterobacter aerogenes and its use in defecating the trona suspension. Biochemical Engineering Journal 27 :1–7 Mahyudin AR, Koesnandar. 2006. Biohydrogen Production: prospect and limitations to practical application. Akta Kimindo vol 1 no 2 : 73-78. Mangunwidjaja D, Suryani A. 1994. Tekonologi Bioproses. Penebar Swadaya. Jakarta. McDuffie NG. 1991. Bioreactor Design Fundamentals. Butterworth-Heinemann. USA. Melis A, Melnicki MR. 2006. Integrated biologycal hyrogen production. Int J Hydrogen Energy 31: 1563-73. Minnan L, Jinli H, Xiobin W, Huijuan X, Jinzao C, Chuannan L, Fengzhang Z, Liangshu X. 2005. Isolation and characterization of a high Hydrogen production strain Klebsiellaoxytoca HP1 from a Hot Spring. Research in Microbiol 156: 76-81. Mulligan CN, Gibbs BF. 1993. Factor influencing the economics of biosurfactants. In Kosaric (ed). Biosurfactant Production Properties Applications. Marcel Dekker Inc. New York. Mu Y, Wang G, Yu HQ. 2007. Kinetic approach to aerobic hydrogen-producing process. Water Res 41(5):1152-60. Nath K , Das D. 2004. Improvement of fermentative hydrogen production: various approaches. Appl. Microbiol. Biotechnol 65: 520-529. Nath K, Kumar A, Das D. 2006. Effect of some environmental parameter of fermentative hydrogen production by Enterobacter cloacae DM11. Can. J. Microbiol. 52: 525-32. Ntaikou I, Gavala HN, Kornaros M, Lyberatos G. 2008. Hydrogen production from sugars and swewwt sorghum biomass using Ruminococcus albus. Int J Hydrogen Energy 33: 1153-63.
54
Oh SE, Van Ginkel S, Logan BE. 2003. The relativeness of pH control and heat treatment for enhancing biohydrogen gas production. Environ. sci.& technol. 37 (22): 5186-90. Paturau. 1982. By Product of the Cane Sugar Industry. Elsevier Scientific Publishing Company, Amsterdam. Prihandana R, Hendroko R. 2008. Energi Hijau: Pilihan Bijak Menuju Negeri Mandiri Energi. Penebar Swadaya. Jakarta. Rachman, MA, Furutani Y, Nakashimada Y, Kakizono T, Nishio N. 1997. Enhanced hydrogen production in altered mixed acid fermentation of glucose by Enterobacter aerogenes. J. Ferm. and Bioeng. 83, 358-363. Rachman MA. 2001. Hubungan antara pH kultur dan aktivitas hidrogenase pada produksi H2 mutan Enterobacter aerogenes. Hayati 8 (1) : 15-17. Rahman A. Pengantar Teknologi Fermentasi. Bahan Pengajaran. 1989. Departemen P&K, Dirjen Dikti-PAU Pangan dan Gizi IPB. Second university Development Project IBRD Loan 2547-IND. Rehm HJ, Reid G. 1981. Biotechnology. Vol I. Microbial Fundamental. Verlag Chemi Gmbh, Weinheim. Reid G, Rehm HJ. 1983. Biotechnology Vol III. Industrial Microbiology. AVI Publishing Company Inc. Westport. Conecticut. Ren N, Li J, Li B, Wang Y, Liu S. 2006. Biohydrogen Production from molases by anaerobic fermentation with a pilot scale bioreactor system. Int J. Hydrogen Energy31:2147-2157. Said A. 2007. Perlakuan Ethyl Methane Sulfonate (EMS) pada Enterobacter aerogenes untuk Peningkatan Produksi Gas Hidrogen (H2). Skripsi Departemen Biologi FMIPA UI. Depok. Tidak dipublikasikan. Sa’id EG. 1987. Bioindustri, Penerapan Teknologi Fermentasi. PT Mediyatama Sarana Perkasa. Jakarta. Saraphirom P, Reungsang A. 2010. Optimazion of biohydrogen from sweet sorghum syrup using statistical methods. Int. J. Hydrogen Energy 30: 1-10. Show KY, Zhang ZP, Tay JH, Liang DT, Lee DJ, Jiang WJ. 2007. Production of hydrogen in a granular sludge-based anaerobic continous stirred tank reactor. Int. J. Hydrogen Energy 32:4744-53.
55
Sirappa MP. 2003. Prospek pengembangan sorgum di Indonesia sebagai komoditas alternatif untuk pangan, pakan dan industri. Jurnal Litbang Pertanian 22(4): 133-140. Sumantri A. 1993. Pedoman Teknis Budidaya Sorgum Manis sebagai Bahan Baku Industri Gula. Kerjasama Direktorat Jenderal Perkebunan dengan Pusat Penelitian Perkebunan Gula Indonesia. Tanisho S, Kuromoto M, Kadokura N. 1998. Effect of CO2 removal on hydrogen production by fermentation. Int J. Hydrogen Energy 23 (7): 559-63. Tanisho S, Ishiwata Y. 1994. Continuous H2 production from molasses by the bacterium Enterobacter aerogenes. Int. J. Hydrogen Energi 19(10), 807812. Tanisho S, Suzuki Y, Wakao N. 1987. Fermentative hydrogen evolution by Enterobacter aerogenes strain E.82005. Int J. Hydrogen Energy 12: 623627. Ueno Y, Haruta S, Ishii M, Igarashi Y. 2001. Characterization of a microorganism isolated from the effluent of hydrogen fermentation by microflora. J. Biosci. Bioeng 92: 397-400. Van Groesnestijn JW, Hazewinkel JHO, Nienoord M, Bussmann PTJ. 2002. Energy aspects of biological hydrogen production in high rate bioreactors operator in the thermophilic temperature range. Int J Hydrogen Energy 27: 1141-7. Vignais PM, Magnin JP, Willison JC. 2006. Increasing biohydrogen production by metabolic engineering. Int J Hydrogen Production 31: 1478-83. Wang J, Wan W. 2009. Factor influencing fermentative hydrogen production: A Review. Int J Hydrogen Energy 34: 799-811. Yu HQ, Zhu ZH, Hu WR, Zhang HS. 2002. Hydrogen Production from rice winery wastewater in an upflow anaerobic reactor by using mixed anaerobic cultures. Int J Hydrogen Energy 27: 1359-65. Yuwono, T . 2007. Biologi Molekuler. Penerbit Erlangga. Jakarta. Zang C, Ma K, Xing XH. 2009. Regulation of hydrogen production by Enterobacter aerogenes by external NADH and NAD+. Int J Hydrogen Energy 34: 1226-32.
Tabel Lampiran 1. Data hasil pengoperasian reaktor packed bed pada kultur curah. Jam Ke0 1 2 4 6 8 10 12 14 16 18 21 24
OD
Biomassa (gr/L)
0,219±0,001 0,380±0,02 0,407±0,012 0,427±0,012 0,462±0,005 0,704±0,009 0,846±0,016 0,882±0,028 0,843±0,047 0,838±0,056 0,833±0,047 0,833±0,068 0,827±0,081
1,982±0,202 2,811±0,877 2,950±0,359 3,053±0,192 3,233±0,260 4,479±0,810 5,210±0,331 5,396±0,132 5,194±0,131 5,169±0,161 5,143±0,163 5,143±0,273 5,112±0,246
pH
Kadar Gula Reduksi (%)
Kadar Gula Total (%)
6,29±0,16 6,27±0,08 6,05±0,32 5,77±0,18 5,70±0,12 5,69±0,23 5,58±0,53 5,47±0,38 5,35±0,21 5,27±0,22 5,20±0,12 5,19±0,13 5,29±0,45
0,880±0,385 0,877±0,546 0,851±0,370 0,846±0,493 0,841±0,087 0,808±0,153 0,775±0,427 0,772±0,518 0,736±0,435 0,661±0,296 0,513±0,434 0,294±0,428 0,250±0,234
4,267±0,282 4,106±0,623 3,919±0,572 3,890±0,960 3,369±0,677 3,243±0,692 3,166±0,251 3,093±0,571 2,959±1,569 2,842±0,952 2,790±0,507 1,786±0,627 1,504±0,470
Volume gas H2 (L H2/L substrat) 1,432±0,147 1,232±0,193 1,169±0,115 1,131±0,078 1,123±0,065 1,093±0,077 1,077±0,132 -
Flowrate H2 (ml/menit)
Yield (mol/mol substrat)
10,741±1,099 9,236±1,449 8,773±0,859 8,484±0,583 8,426±0,486 8,195±0,579 8,079±0,986 -
3,791±0,237
Rata-rata Flowrate= total flowrate/18 jam =61,93 ml/menit: 18 jam =3,44 ml/menit Flowrate/L substrat = 3,44 ml/menit*1000ml/450ml = 7,64 ml/L/menit = 458,66 ml/L per jam Catatan= % gula total = g/100 ml dikonversikan ke g/L sehingga % gula total*10 Persentase gula total sisa = (1,504/4,267)*100% = 35,25% Persentase gula reduksi sisa = (0,250/0,880)*100% = 28,41% 62
56
1. Pembuatan larutan stok medium 1.1 Buffer fosfat 0.4 M; pH 6.8; 60 ml (10x) 1. sebanyak 23.22 g K2HPO4 ditambahkan akuades hingga 300ml 2. sebanyak 18.14 KH2PO4 ditambahkan akuades hingga 300ml 3. sebanyak 22.86ml larutan K2HPO4 ditambahkan dengan 37.14 ml larutan KH2PO4 pH ditepatkan hingga 6,8 1.2 Unsur makro (100x) Sebanyak 10 g (NH4)2SO4; 2,5 g MgSO4.7H2O; 0,21 g CaCl2.2H2O; 0,29 Co(NO3).6H2O dan 0,39 Fe(NH4)2SO4.6H2O ditambahkan akuades hingga 100 ml. 1.3 Unsur mikro 1. Unsur mikro A (10.000x) Sebanyak 0,262 g Na2SeO3 dan 0,034 g NiCl2.6H2O ditambahkan akuades hingga 100 ml. 2. Unsur mikro B (100x) Sebanyak 0,5 g MnCl2.4H2O; 0,1 g H3BO3; 0,016 g AlK (SO4)2.12 H2O; 0,001 g CuCl2.2H2O; 0,5536 g Na2EDTA.2H2O dan 0,002 nicotinic acid ditambahkan akuades hingga 100 ml. 3. Unsur mikro lengkap (100x) Sebanyak 1 ml larutan unsur mikro A ditambahkan 99 ml unsur mikro B. 2. Pengukuran Yield Asam Organik dan Alkohol Pengukuran asam organik dilakukan dengan HPLC, sebanyak 1 ml contoh disentrifugasi dengan kecepatan 6000rpm selama 5 menit. Supernatan yang diperoleh disaring dengan mikrofilter 0,2µm. Larutan standar 100mM diinjeksi ke HPLC diikuti injeksi contoh. Konsentrasi contoh diketahui dengan rumus: Konsentrasi Contoh
Area contoh = --------------Area standar
Produksi Asam Organik
=
X
Mol asam organik ---------------------Mol substrat
Konsentrasi standar
57
3. Seleksi dan Uji Stabilitas Mutan 1. Pembuatan media agar untuk seleksi mutan: a. Pembuatan media agar steril dengan melarutkan sebanyak 0,5 gram yeast ekstrak; 0,5 gram tripton; 1 ml mikro elemen; 1 ml makro elemen dan 2 gram agar dalam 60 ml akuades lalu disterilisasi pada suhu 121oC selama 15 menit. Media yang sudah steril ditambahkan buffer fosfat pH 6,8 sebanyak 10 ml dan glukosa 10% (w/v) sebanyak 10 ml. b. Pembuatan larutan NaBr (1,9551 gr dalam 10 ml akuades) dan NaBrO3 (2,8671 gr dalam 10 ml akuades) c. Pembuatan TTC ( 2,3,4,-triphenyltetrazolium chloride) 1% (1 gr dalam 100 ml akuades) d. Media agar steril serta larutan NaBr dan NaBrO3 yang steril dicampurkan dan ditambahkan TTC 1% steril sebanyak 2.5 ml e. Campuran media agar tersebut dituang pada petri steril ±15 ml, ditunggu sampai agar membeku lalu diwrapping dan disimpan terbalik. 2.
Tuang 0,1 ml preculture yang sudah diencerkan hingga pengenceran 10-4 pada medium agar diatas dan disebar merata dengan spatel drygalski.
3.
Tutup dan biarkan medium meresap hingga sempurna, lalu balik dan inkubasi selama 48 jam pada suhu 37oC.
4.
Koloni berwarna merah yang tumbuh pada medium agar diambil menggunakan tusuk gigi steril dan ditumbuhkan dalam cawan petri yang berisi medium kompleks dengan metode spot plate. Koloni dicuplik ke dalam cawan petri berisi medium yang dibagi dalam 12 bagian lalu ditumbuhkan dalam inkubator 37oC
5.
Bakteri mutan terseleksi ditumbuhkan dalam botol serum yang mengandung 50 ml media komplek dan diinkubasi pada suhu 37 oC 120 rpm selama 24 jam. Pada akhir fermentasi gas H2 diukur dengan respirometer dan dicatat volume gas yang dihasilkan. Fermentasi diulang 5 generasi untuk mengetahui kestabilan produksi gas yang dihasilkan.
58
4. Perhitungan Berat Kering Sel a) Tabung mikro (mikro cup) di oven pada suhu 60 oC selama 20 jam hingga beratnya stabil. Timbang dan catat berat awalnya. b) contoh sebanyak 5ml di sentrifuse pada kecepatan 6000 rpm selama 5 menit. c) Supernatan dibuang dan pelet dalam tabung mikro dioven selama 20 jam pada suhu 60oC d) Sebelum ditimbang, dimasukkan ke desikator ± 30 menit e) Timbang dan catat berat akhirnya. f) Berat kering sel = (berat akhir-berat awal)/volume contoh 5. Analisa pH Analisa pH dilakukan dengan menggunakan pH-meter a) Contoh yang telah dihomogenkan (medium fermentasi) diambil sekitar 5 ml dan ditempatkan dalam beaker glass ukuran 5 ml b) Sebelum digunakan, alat dikalibrasi menggunakan buffer pH 7 dan 4 lalu dibersihkan dengan aquades selanjutnya dilakukan pengukuran pH sampel c) Setiap kali akan mengukur pH contoh yang lain, sebelumnya pH-meter dibersihkan dengan aquades 6.
Analisis Kadar Gula Total (Apriantono, et al., 1989) a) Pereaksi yang digunakan adalah pereaksi anthron 0.1% dalam asam sulfat pekat, larutan glukosa standart 0.2 mg/ml larutan glukosa; a) Kurva standar dibuat dengan memipet ke dalam tabung reaksi blangko 0,0; 0.2; 0.4; 0.6; 0.8; dan 1,0 ml larutan glukosa standar. Lalu diambahkan akuades hingga total volum masing-masing tabung reaksi 1,0 ml, kemudian ditambahkan dengan cepat 5 ml pereaksi anthron ke dalam masing-masing tabung reaksi dan tabung ditutup dan kocok. Setelah itu dipanaskan dalam air mendidih selama 12 menit, selanjutnya didinginkan dengan cepat menggunakan air mengalir dan pindahkan ke dalam kuvet dan baca absorbansinya pada λ 630 nm. Absorbansi yang diperoleh diplotkan pada grafik untuk memperoleh persamaan linier y=ax+b.
59
b) Langkah berikutnya adalah penetapan sampel dengan melakukan persiapan sampel: sampel ditimbang dan ditambahkan akuades 100 ml, kemudian disaring dengan kertas saring kemudian diambil 1 ml sampel tersebut dan ditambahkan akuades hingga pengenceran 100 x. Dilakukan tahapan penambahan anthron sampai pembuatan kurva lagi dan ditentukan total gula dalam sampel dari persamaan kurva standar 7. Analisis Gula Reduksi b) Metode yang dipakai pada analisis gula reduksi adalah metode DNS. Pembuatan reagen DNS dilakukan dengan melarutkan 5gr DNS dan 8 gr NaOH dalam 150ml akuades (larutan A). Sebanyak 150 gr potasium sodium tartrat dilarutkan dalam 200ml akuades dengan dipanaskan (larutan B). Larutan A dan Larutan B dicampur dan ditambahkan 500ml akuades hingga larut. Larutan DNS disimpan pada botol gelap dan pada suhu dingin. c) Kurva standar DNS dilakukan dengan membuat larutan D-glukosa 2000 ppm, kemudian dibuat seri pengenceran 0, 200, 400, 800, 1200, 1600 dan 2000 ppm masing-masing 1 ml. Kemudian ditambahkan 3 ml DNS dan dipanaskan pada 100oC selama 5 menit. Setelah dingin diencerkan 5x dan diukur dengan spektrofotometer pada panjang gelombang 540nm. Absorbansi yang diperoleh diplotkan pada grafik untuk memperoleh persamaan linier y=ax+b. d) Penetapan sampel dilakukan dengan menambahkan 1 ml sampel dengan 3 ml DNS dan selanjutnya sama seperti pada pembuatan kurva standar. Absorbansi yang diperoleh diplotkan pada persamaan regresi, sehingga diperoleh konsentrasi yang ditentukan. 8. Analisa N total Penetapan kadar N total dilakukan dengan metode Kjeldahl. Metode yang digunakan adalah sebagai berikut: a) Sebanyak 8 ml sampel ditimbang (beratnya dicatat) dimasukkan dalam tabung kjeldahl bersama 0,4 gr selen dan 5 ml H2SO4 pekat lalu didestruksi hingga berwarna hijau jernih (kurang lebih 2 jam);
60
b) Setelah sampel dingin, ditambahkan 20 ml NaOH 30% kemudian didestilasi denga destilat ditampung pada erlenmeyer yang berisi 10 ml asam borat 2% yang ditambah indikator BCGMR (Bromcresolgreen Metil Red) hingga volume destilat mencapai 100ml; c) Hasil destilasi dititrasi dengan HCL 0,01 N hingga berwarna pink. d) Volume HCl dicatat untuk menghitung kadar N dengan rumus: Vol HCl sampel-Vol HCl Blanko
Kadar N
= ---------------------------------1000 x berat sampel
x N HCl x 14 x 100%
9. Pengukuran gas H2 Pengukuran
jumlah
gas
hidrogen
dilakukan
dilakukan
dengan
menggunakan respirometer. Selang respirometer dihubungkan dengan selang dibagian atas fermentor. Gas CO2 dan H2 yang terbentuk akan mengalir melalui selang tersebut ke erlenmeyer yang berisi Ca(OH) 2. Gas CO2 akan bereaksi dengan Ca(OH)2 membentuk CaCO3 sedangkan gas H2 akan mengalir ke tabung respirometer yang berisi NaCl jenuh. Reaksinya sebagai berikut: CO2(g)+Ca(OH)2(l)-CaCO3(s) +H2O Jumlah H2 yang dihasilkan ditunjukkan oleh perbedaan volume larutan NaCl antara dua silinder pada respirometer. Volume H2 yang terukur dihitung berdasarkan perbedaan volume yang terjadi akibat tekanan gas H2 antara silinder luar dan silinder dalam. Perhitungan produksi gas H2 adalah sebagai berikut: a. Mol H2= pV/RT pada STP volume=mol x 22,4 L/mol Mol H2 pada STP= Volume/(22,4 L/mol) b. Mol Substrat= massa substrat (g)/MR substrat c. Produkstivitas (Yield) Mol H2/mol Substrat Contoh perhitungan volume gas H2: Selisih NaCl pada silinder besar dan silinder kecil = 200ml Jari-jari silinder besar (rSB) = 3,04 cm Jari-jari silinder kecil (rSK) = 1,68 cm Maka banyaknya H2 yang terukur oleh respirometer adalah: Volume silinder: πr2t dimana
61
t silinder besar Volume SB ---------------Π(rSB)2
Volume SK
= =
=
t silinder kecil Volume SK ---------------Π(rSK)2t Volume SB ---------------(r SB)2
X
(r SK)2
200 ml ----------------- X (1,68)2 (3,04)2 Gas H2 yang terukur = Volume SB-Volume SK =
=
61 ml
= 200 ml – 61 ml =139 ml 10. Perhitungan Gas H2 dalam reaktor Volume gas H2 (dalam reaktor berukuran 900 ml yang berisi 450 ml substrat) =
Vol Gas H2 yang terukur + 450ml ---------------------------------------450ml
=
(139+450)ml --------------450ml
=
1,31 L H2/L substrat
11. Mol H2 =
Vol Gas H2 (L) -------------------- = 22,4
1,31 --------------- = 22,4
0,0584 mol H2
12. Mol Substrat Asumsi: dalam medium nira sorgum mengandung gula reduksi (glukosa) dan sukrosa (dalam 100ml) Misal Total Gula yang terkonsumsi = 20 g Gula reduksi yang terkonsumsi = 5 g Jadi sukrosa terkonsumsi = 20 – 5 = 15 g Mol Glukosa
=
Glukosa terkonsumsi ------------------------MR
=
5 -----180
=
0,0278 mol
Sukrosa terkonsumsi 15 ------------------------- = ------ = 0,0348 mol MR 342 Mol Substrat=Mol sukrosa+ Mol Glukosa = 0,0278 + 0,0348 = 0,0626 mol Mol sukrosa
=
63
Tabel Lampiran 2. Data hasil pengoperasian reaktor packed bed kultur sinambung pada D=0,1/jam dengan substrat nira sorgum. D = 0,1
ul 1
ul 2
ul 3
Rataan
Sdev
BK
3,450
3,532
3,769
3,583
0,166
PH
5,70
5,75
5,77
5,74
0,036
Gula Reduksi
0,298
0,255
0,281
0,278
0,022
Gula Total
2,859
2,67
2,709
2,746
0,100
ml/jam H2
617,114
557,431
545,494
573,347
38,371
5,82
6,25
5,99
6,02
0,217
Gula Reduksi Terkonsumsi (g/L) Gula Total Terkonsumsi (g/L)
14,08
15,97
15,58
15,21
0,998
359,099
324,369
317,423
333,630
22,328
L H2/L substrat
0,798
0,721
0,705
0,741
0,05
mol H2
0,036
0,032
0,031
0,033
0,002
mol glukosa
0,032
0,035
0,033
0,033
0,001
mol sukrosa
0,024
0,028
0,028
0,027
0,002
mol substrat
0,056
0,063
0,061
0,060
0,003
Y H2/S (mol H2/mol substrat)
0,593
0,536
0,525
0,552
0,04
61,071
55,936
61,462
59,489
3,084
ml/jam H2 (stlh GC)
Y X/S (g/L biomassa/mol substart) mol As Laktat
0,091
mol As Asetat
0,031
mol Etanol
0,143
Y AL/S
1,616
1,445
1,488
1,516
0,089
Y Aa/S
0,547
0,490
0,504
0,514
0,030
Y E/S
2,525
2,259
2,326
2,370
0,138
64
Tabel Lampiran 3. Data hasil pengoperasian reaktor packed bed kultur sinambung pada D=0,15/jam dengan substrat nira sorgum. D=0,15 BK (g/L)
ul 1
ul 2
ul 3
Rataan
Sdev
3,846
3,789
3,795
3,810
0,031
5,63
5,6
5,6
5,61
0,017
Gula Reduksi (g/100ml)
0,036
0,078
0,081
0,065
0,025
Gula Total (g/100ml)
1,651
1,902
1,79
1,781
0,126
1142,33
1046,84
1076,68
1088,62
48,843
8,440
8,020
7,990
8,150
0,252
PH
ml/jam H2 Gula Reduksi Terkonsumsi (g/L) Gula Total Terkonsumsi (g/L)
26,160
23,650
24,770
24,860
1,257
664,722
609,154
626,519
633,465
28,428
L H2/L substrat
1,477
1,354
1,392
1,408
0,06
mol H2
0,066
0,060
0,062
0,063
0,003
mol glukosa
0,047
0,045
0,044
0,045
0,001
mol sukrosa
0,052
0,046
0,049
0,049
0,003
mol substrat
0,099
0,090
0,093
0,094
0,004
Y H2/S (mol H2/mol substrat)
0,702
0,643
0,661
0,669
0,05
38,966
41,984
40,603
40,518
1,511
ml/jam H2 (stlh GC)
Y X/S (g/L biomassa/mol substart) mol As Laktat
0,179
mol As Asetat
0,006
mol Etanol
0,153
Y AL/S
1,811
1,980
1,913
1,901
0,085
Y Aa/S
0,057
0,062
0,060
0,059
0,003
Y E/S
1,546
1,690
1,633
1,623
0,073
65
Tabel Lampiran 4. Data hasil pengoperasian reaktor packed bed kultur sinambung pada D=0,2/jam dengan substrat nira sorgum. D=0,2 BK (g/L)
ul 1
ul 2
ul 3
Rataan
Sdev
3,583
3,614
3,645
3,614
0,031
5,62
5,65
5,74
5,67
0,062
Gula Reduksi (g/100ml)
0,121
0,143
0,132
0,132
0,011
Gula Total (g/100ml)
2,002
1,815
1,928
1,915
0,094
790,197
700,671
748,418
746,429
44,796
7,590
7,370
7,480
7,480
0,110
PH
ml/jam H2 Gula Reduksi Terkonsumsi(g/L) Gula Total Terkonsumsi(g/L)
22,650
24,520
23,390
23,520
0,942
459,816
407,721
435,505
434,347
26,067
L H2/L substrat
1,022
0,906
0,968
0,965
0,06
mol H2
0,046
0,040
0,043
0,043
0,003
mol glukosa
0,042
0,041
0,042
0,042
0,001
mol sukrosa
0,044
0,050
0,047
0,047
0,003
mol substrat
0,086
0,091
0,088
0,088
0,002
Y H2/S (mol H2/mol substrat)
0,518
0,459
0,491
0,489
0,029
41,570
39,678
41,387
40,879
1,043
ml/jam H2 (stlh GC)
Y X/S (g/L biomassa/mol substart) mol As Laktat
0,047
mol As Asetat
0,009
mol Etanol
0,121
Y AL/S
0,540
0,511
0,529
0,527
0,015
Y Aa/S
0,107
0,102
0,105
0,105
0,003
Y E/S
1,400
1,325
1,371
1,365
0,038
66
Tabel Lampiran 5. Data hasil pengoperasian reaktor packed bed kultur sinambung pada D=0,15/jam dengan substrat tetes tebu. D=0,15 Tetes Tebu BK (g/L) PH Gula Reduksi (g/L) Gula Total (g/L) ml/jam H2 Gula Reduksi Terkonsumsi(g/L) Gula Total Terkonsumsi(g/L)
ul 1
ul 2
ul 3
Rataan
Sdev
3,789
3,851
4,361
4,000
0,314
5,61
5,77
5,74
5,706667
0,085
2,65
2,96
3,01
2,873333
0,195
19,82
10,03
15,52
15,12333
4,907
879,722
831,975
700,671
804,122
26,370
8,407
8,097
8,047
8,183667
0,195
22,85
32,64
27,15
27,54667
4,907
511,910
484,126
407,721
467,919
15,344
L H2/L substrat
1,138
1,076
0,906
1,039
0,12
mol H2
0,051
0,048
0,040
0,046
0,005
mol glukosa
0,047
0,045
0,045
0,045
0,001
mol sukrosa
0,042
0,072
0,056
0,057
0,015
mol substrat
0,089
0,117
0,101
0,102
0,014
Y H2/S (mol H2/mol substrat)
0,498
0,471
0,396
0,453
0,052
42,603
32,986
43,366
39,652
5,785
0,212
0,246
0,246
0,033
ml/jam H2 (stlh GC)
Y X/S (g/L biomassa/mol substart) mol As Laktat
0,025
Y AL/S
0,278
Tabel Lampiran 6. Data hasil uji stabilitas mutan. Generasi 1 2 3 4 5
Jumlah Gas (ml/24jam) 409,934±14,735 389,096±4,912 406,461±0,000 413,407±9,823 387,359±7,367
Rataan
401,251
Standar Deviasi
8,854
67
Tabel Lampiran 7. Data komposisi gas hasil Kromatografi gas (GC).
No 1. 2. 3.
Nama Komponen H2 N2 CO2
Konsentrasi (%) 58,19 5,41 36,41
68
Tabel Lampiran 8. Hasil analisa statistik pada kultur sinambung ANOVA Sum of Squares L H2/L substrat
Mol H2
Mol H2/Mol substrat
ml H2/jam
mmol H2/L/jam
Berat Kering
pH
Konsumsi Gula Reduksi
Between Groups Within Groups Total Between Groups Within Groups Total Between Groups Within Groups Total Between Groups Within Groups Total Between Groups Within Groups Total Between Groups Within Groups Total Between Groups Within Groups Total Between Groups Within Groups Total
Konsumsi Gula Total
Between Groups Within Groups Total
Yield Biomassa
Between Groups
Yeld Asam Laktat
Within Groups Total Between Groups Within Groups
Yield Asam Asetat
Total Between Groups Within Groups Total
Yield Etanol
Between Groups Within Groups Total
df
Mean Square
,690
2
,345
,020
6
,003
,709
8
,001
2
,001
,000
6
,000
,001
8
,050
2
,025
,006
6
,001
,056 139692,5 87 3972,329 143664,9 16
8
1374,530
2
687,265
39,068 1413,598
6 8
6,511
,091 ,059 ,149 ,025 ,011 ,036
2 6 8 2 6 8
7,117
F
Sig.
105,501
,000
80,934
,000
23,936
,001
105,499
,000
105,549
,000
,045 ,010
4,623
,061
,013 ,002
6,927
,028
2
3,559
87,294
,000
,245 7,362
6 8
,041
163,974
2
81,987
71,011
,000
6,927
6
1,155
170,902
8
700,516 26,424 726,940
2 6 8
350,258 4,404
79,531
,000
3,018
2
1,509
295,899
,000
,031 3,048
6 8
,005
,376
2
,188
619,376
,000
,002
6
,000
,378 1,634 ,052
8 2 6
,817 ,009
94,874
,000
1,685
8
2
69846,293
6
662,055
8
Multiple Comparisons Tukey HSD Dependent Variable
(I) dilution rate
(J) dilution rate
L H2/L substrat
D=0,10/jam
D=0,15/jam D=0,20/jam D=0,10/jam
D=0,15/jam D=0,20/jam Mol H2
D=0,10/jam D=0,15/jam D=0,20/jam
Mol H2/Mol substrat
D=0,10/jam D=0,15/jam D=0,20/jam
ml H2/jam
D=0,10/jam D=0,15/jam
D=0,20/jam D=0,10/jam D=0,15/jam D=0,15/jam D=0,20/jam D=0,10/jam D=0,20/jam D=0,10/jam D=0,15/jam D=0,15/jam D=0,20/jam D=0,10/jam D=0,20/jam D=0,10/jam D=0,15/jam D=0,15/jam D=0,20/jam D=0,10/jam D=0,20/jam
D=0,20/jam
D=0,10/jam D=0,15/jam
Mean Difference (I-J)
Std. Error
Sig.
95% Confidence Interval
Lower Bound -,666333(*) -,224000(*) ,666333(*)
Upper Bound ,046686 ,046686 ,046686
Lower Bound ,000 ,007 ,000
Upper Bound -,80958 -,36724 ,52309
Lower Bound -,52309 -,08076 ,80958
,442333(*) ,224000(*) -,442333(*) -,029667(*) -,010000(*) ,029667(*) ,019667(*) ,010000(*) -,019667(*)
,046686 ,046686 ,046686 ,002373 ,002373 ,002373 ,002373 ,002373 ,002373
,000 ,007 ,000 ,000 ,013 ,000 ,000 ,013 ,000
,29909 ,08076 -,58558 -,03695 -,01728 ,02239 ,01239 ,00272 -,02695
,58558 ,36724 -,29909 -,02239 -,00272 ,03695 ,02695 ,01728 -,01239
-,117333(*) ,062000 ,117333(*)
,026327 ,026327 ,026327
,010 ,123 ,010
-,19811 -,01878 ,03655
-,03655 ,14278 ,19811
,179333(*) -,062000 -,179333(*) -299,834667(*) -100,717000(*) 299,834667(*) 199,117667(*) 100,717000(*) -199,117667(*)
,026327 ,026327 ,026327 21,008806 21,008806 21,008806 21,008806 21,008806 21,008806
,001 ,123 ,001 ,000 ,007 ,000 ,000 ,007 ,000
,09855 -,14278 -,26011 -364,29545 -165,17779 235,37388 134,65688 36,25621 -263,57845
,26011 ,01878 -,09855 -235,37388 -36,25621 364,29545 263,57845 165,17779 -134,65688
69
70
mmol H2/L/jam
D=0,10/jam D=0,15/jam D=0,20/jam
Berat Kering
D=0,10/jam D=0,15/jam D=0,20/jam
pH
D=0,10/jam D=0,15/jam D=0,20/jam
Konsumsi Gula Reduksi
D=0,10/jam D=0,15/jam D=0,20/jam
Konsumsi Gula Total
D=0,10/jam D=0,15/jam D=0,20/jam
Yield Biomassa
D=0,10/jam D=0,15/jam D=0,20/jam
Yeld Asam Laktat
D=0,10/jam
D=0,15/jam D=0,20/jam D=0,10/jam D=0,20/jam D=0,10/jam
-29,743333(*) -9,996667(*) 29,743333(*) 19,746667(*) 9,996667(*)
2,083478 2,083478 2,083478 2,083478 2,083478
,000 ,007 ,000 ,000 ,007
-36,13602 -16,38935 23,35065 13,35398 3,60398
-23,35065
D=0,15/jam D=0,15/jam D=0,20/jam D=0,10/jam D=0,20/jam D=0,10/jam D=0,15/jam D=0,15/jam D=0,20/jam D=0,10/jam D=0,20/jam D=0,10/jam D=0,15/jam D=0,15/jam D=0,20/jam D=0,10/jam D=0,20/jam D=0,10/jam D=0,15/jam D=0,15/jam D=0,20/jam D=0,10/jam D=0,20/jam D=0,10/jam D=0,15/jam D=0,15/jam D=0,20/jam D=0,10/jam D=0,20/jam D=0,10/jam D=0,15/jam D=0,15/jam
-19,746667(*) -,226333 -,030333 ,226333 ,196000 ,030333 -,196000 ,13000(*) ,07000 -,13000(*) -,06000 -,07000 ,06000 -2,130000(*) -1,460000(*) 2,130000(*) ,670000(*) 1,460000(*) -,670000(*) -9,650000(*) -8,310000(*) 9,650000(*) 1,340000 8,310000(*) -1,340000 18,972000(*) 18,447333(*) -18,972000(*) -,524667 -18,447333(*) ,524667 -,384667(*)
2,083478 ,080807 ,080807 ,080807 ,080807 ,080807 ,080807 ,03496 ,03496 ,03496 ,03496 ,03496 ,03496 ,164857 ,164857 ,164857 ,164857 ,164857 ,164857 ,877332 ,877332 ,877332 ,877332 ,877332 ,877332 1,713482 1,713482 1,713482 1,713482 1,713482 1,713482 ,058306
,000 ,070 ,926 ,070 ,112 ,926 ,112 ,023 ,192 ,023 ,275 ,192 ,275 ,000 ,000 ,000 ,016 ,000 ,016 ,000 ,000 ,000 ,344 ,000 ,344 ,000 ,000 ,000 ,950 ,000 ,950 ,001
-26,13935 -,47427 -,27827 -,02161 -,05194 -,21761 -,44394 ,0227 -,0373 -,2373 -,1673 -,1773 -,0473 -2,63583 -1,96583 1,62417 ,16417 ,95417 -1,17583 -12,34189 -11,00189 6,95811 -1,35189 5,61811 -4,03189 13,71457 13,18990 -24,22943 -5,78210 -23,70477 -4,73277 -,56356
-13,35398 ,02161 ,21761 ,47427 ,44394 ,27827 ,05194 ,2373 ,1773 -,0227 ,0473 ,0373 ,1673 -1,62417 -,95417 2,63583 1,17583 1,96583 -,16417 -6,95811 -5,61811 12,34189 4,03189 11,00189 1,35189 24,22943 23,70477 -13,71457 4,73277 -13,18990 5,78210 -,20577
-3,60398 36,13602 26,13935 16,38935
D=0,15/jam D=0,20/jam Yield Asam Asetat
D=0,10/jam D=0,15/jam D=0,20/jam
Yield Etanol
D=0,10/jam D=0,15/jam D=0,20/jam
D=0,20/jam D=0,10/jam D=0,20/jam D=0,10/jam D=0,15/jam D=0,15/jam D=0,20/jam D=0,10/jam D=0,20/jam D=0,10/jam D=0,15/jam D=0,15/jam D=0,20/jam D=0,10/jam D=0,20/jam D=0,10/jam D=0,15/jam
,990000(*) ,384667(*) 1,374667(*) -,990000(*) -1,374667(*) ,454333(*) ,409000(*) -,454333(*) -,045333(*) -,409000(*) ,045333(*) ,747000(*) 1,004667(*) -,747000(*) ,257667(*) -1,004667(*) -,257667(*)
,058306 ,058306 ,058306 ,058306 ,058306 ,014220 ,014220 ,014220 ,014220 ,014220 ,014220 ,075763 ,075763 ,075763 ,075763 ,075763 ,075763
,000 ,001 ,000 ,000 ,000 ,000 ,000 ,000 ,043 ,000 ,043 ,000 ,000 ,000 ,033 ,000 ,033
,81110 ,20577 1,19577 -1,16890 -1,55356 ,41070 ,36537 -,49797 -,08897 -,45263 ,00170 ,51454 ,77220 -,97946 ,02520 -1,23713 -,49013
1,16890 ,56356 1,55356 -,81110 -1,19577 ,49797 ,45263 -,41070 -,00170 -,36537 ,08897 ,97946 1,23713 -,51454 ,49013 -,77220 -,02520
* The mean difference is significant at the .05 level.
71
72
L H2/L substrat Tukey HSD N dilution rate D=0,10/jam
Subset for alpha = .05
1
2 3 3
D=0,20/jam D=0,15/jam
3
1
,74133 ,96533
3
Sig.
1,000 1,000 Means for groups in homogeneous subsets are displayed. a Uses Harmonic Mean Sample Size = 3,000.
1,40767 1,000
Mol H2 Tukey HSD N dilution rate D=0,10/jam D=0,20/jam D=0,15/jam Sig.
Subset for alpha = .05
1
2 3 3 3
3
1
,03300 ,04300
1,000 1,000 Means for groups in homogeneous subsets are displayed. a Uses Harmonic Mean Sample Size = 3,000.
,06267 1,000
Mol H2/Mol substrat Tukey HSD N dilution rate D=0,20/jam D=0,10/jam
Subset for alpha = .05
1 3 3 3
D=0,15/jam Sig.
2 ,48933
1
,55133
,66867 ,123 1,000 Means for groups in homogeneous subsets are displayed. a Uses Harmonic Mean Sample Size = 3,000. ml H2/jam Tukey HSD N dilution rate D=0,10/jam D=0,20/jam D=0,15/jam
Subset for alpha = .05
1 3 3
3
1
434,34733
633,46500 1,000 1,000 1,000 Means for groups in homogeneous subsets are displayed. a Uses Harmonic Mean Sample Size = 3,000. Sig.
3
2 333,63033
73
mmol H2/L per jam Tukey HSD N dilution rate D=0,10/jam D=0,20/jam D=0,15/jam Sig.
Subset for alpha = .05
1 3
2 33,09667
3 3
3
1
43,09333 62,84000
1,000 1,000 Means for groups in homogeneous subsets are displayed. a Uses Harmonic Mean Sample Size = 3,000.
1,000
Berat Kering Tukey HSD Subset for alpha = .05
N Kecepatan Dilusi D=0,1 D=0,2 D=0,15 Sig.
1
1 3,58367 3,61400 3,81000 ,070 Means for groups in homogeneous subsets are displayed. a Uses Harmonic Mean Sample Size = 3. 3 3 3
pH Tukey HSD N Kecepatan Dilusi D=0,15
Subset for alpha = .05
1 3 3 3
D=0,2 D=0,1 Sig.
2 5,6100 5,6700
1 5,6700 5,7400
,275 ,192 Means for groups in homogeneous subsets are displayed. a Uses Harmonic Mean Sample Size = 3. Konsumsi Gula Reduksi Tukey HSD N Kecepatan Dilusi D=0,1 D=0,2 D=0,15 Sig.
Subset for alpha = .05
1 3 3 3
2 6,02000
3
1
7,48000
1,000 1,000 Means for groups in homogeneous subsets are displayed. a Uses Harmonic Mean Sample Size = 3.
8,15000 1,000
74
Konsumsi Gula Total Tukey HSD N Kecepatan Dilusi D=0,1
Subset for alpha = .05
1
2 3 3
D=0,2 D=0,15
1
15,21000 23,52000
3
24,86000 1,000 ,344 Means for groups in homogeneous subsets are displayed. a Uses Harmonic Mean Sample Size =3. Sig.
Yield Biomassa Tukey HSD N Kecepatan Dilusi D=0,15 D=0,2 D=0,1 Sig.
Subset for alpha = .05
1 3 3 3
2 40,51767 41,04233
1
59,48967 ,950 1,000 Means for groups in homogeneous subsets are displayed. a Uses Harmonic Mean Sample Size = 3.
Yeld Asam Laktat Tukey HSD N Kecepatan Dilusi D=0,2
Subset for alpha = .05
1 3
D=0,1
2 ,52667
3 3
D=0,15 Sig.
3
1
1,51667 1,000
1,000
1,90133 1,000
Means for groups in homogeneous subsets are displayed. a Uses Harmonic Mean Sample Size = 3. Yield Asam Asetat Tukey HSD N Kecepatan Dilusi D=0,15 D=0,2 D=0,1 Sig.
Subset for alpha = .05
1 3 3
2 ,05933
3
1
,10467
3
1,000 1,000 Means for groups in homogeneous subsets are displayed. a Uses Harmonic Mean Sample Size = 3.
,51367 1,000
75
Yield Etanol Tukey HSD N Kecepatan Dilusi D=0,2 D=0,15 D=0,1
Subset for alpha = .05
1 3 3
2 1,36533
3
1
1,62300
3
Sig.
1,000 1,000 Means for groups in homogeneous subsets are displayed. a Uses Harmonic Mean Sample Size = 3.
2,37000 1,000
Tabel 9. Hasil uji statistik perbandingan medium nira sorgum dan tetes tebu ANOVA
Berat Kering Sel (g/L)
Between Groups Within Groups Total
pH
Gula Reduksi Terkonsumsi (g/L)
Between Groups Within Groups Total Between Groups Within Groups Total
Gula Total Terkonsumsi (g/L)
ml H2/L substrat/Jam
Between Groups Within Groups Total Between Groups Within Groups Total
L H2/L substrat/Jam
Between Groups Within Groups Total
mol H2
Between Groups Within Groups
mol H2/mol substrat
gr/L Biomass/mol substrat
mol asam laktat/mol substrat
Total Between Groups Within Groups Total Between Groups Within Groups Total Between Groups Within Groups Total
Sum of Squares ,054
1
Mean Square ,054
,199
4
,050
,253 ,014 ,015 ,029
5 1 4 5
,002 ,203 ,204
df
F 1,092
Sig. ,355
,014 ,004
3,721
,126
1 4 5
,002 ,051
,034
,864
10,827 51,320 62,148 41108,217 7437,946 48546,163 ,203 ,037
1 4 5 1 4 5 1 4
10,827 12,830
,844
,410
41108,217 1859,486
22,107*
,009
,203 ,009
22,047*
,009
,240
5
,000 ,000
1 4
,000 ,000
19,208*
,012
,000 ,068
5 1
,068
36,943*
,004
,007 ,076 1,125
4 5 1
1,125
,063
,814
71,503
4
17,876
72,628
5
4,114 ,017 4,130
1 4 5
987,438*
,000
,002
4,114 ,004
76
Tabel 10. Hasil uji statistik stabilitas mutan ANOVA Hasil Gas H2
Between Groups Within Groups Total
Sum of Squares 1182,044 392,004
df 4 5
1574,048
Mean Square 295,511 78,401
F 3,769
Sig. ,089
9
Multiple Comparisons Dependent Variable: Hasil Gas H2 Tukey HSD
(I) generasi
(J) generasi
generasi 1
generasi 2 generasi 3 generasi 4
generasi 2
generasi 3
generasi generasi generasi generasi generasi
5 1 3 4 5
generasi 1 generasi 2 generasi 4 generasi 5
generasi 4
generasi 1 generasi 2 generasi 3
generasi 5
generasi 5 generasi 1 generasi 2 generasi 3 generasi 4
Mean Difference (I-J)
Std. Error
Sig.
95% Confidence Interval
20,83795 3,47299
8,85443 8,85443
,265 ,993
Upper Bound -14,6816 -32,0466
Lower Bound 56,3575 38,9926
-3,47299 22,57445 -20,83795 -17,36496 -24,31094 1,73650 -3,47299 17,36496 -6,94598
8,85443 8,85443 8,85443 8,85443 8,85443 8,85443 8,85443 8,85443 8,85443
,993 ,216 ,265 ,395 ,176 1,000 ,993 ,395 ,925
-38,9926 -12,9451 -56,3575 -52,8845 -59,8305 -33,7831 -38,9926 -18,1546 -42,4656
32,0466 58,0940 14,6816 18,1546 11,2086 37,2561 32,0466 52,8845 28,5736
19,10145 3,47299 24,31094 6,94598
8,85443 8,85443 8,85443 8,85443
,324 ,993 ,176 ,925
-16,4181 -32,0466 -11,2086 -28,5736
54,6210 38,9926 59,8305 42,4656
26,04744
8,85443
,144
-9,4721
61,5670
-22,57445
8,85443
,216
-58,0940
12,9451
-1,73650 -19,10145 -26,04744
8,85443 8,85443 8,85443
1,000 ,324 ,144
-37,2561 -54,6210 -61,5670
33,7831 16,4181 9,4721
77
Hasil Gas H2 Tukey HSD Subset for alpha = .05
N Generasi generasi 5 generasi 2 generasi 3 generasi 1 generasi 4 Sig.
1 2 2
1 387,3598 389,0963
2
406,4612
2 2
409,9342 413,4072 ,144
Means for groups in homogeneous subsets are displayed. a Uses Harmonic Mean Sample Size = 2,000.
78
Gambar Lampiran 1. Skema bioreaktor
Gambar Lampiran 2. Skema respirometer, pengukuran gas H 2.
Said (2007)
79
Gambar Lampiran 3. Reaktor Packed Bed
Keterangan: A: fermentor packed-bed
B
B: respirometer C: Ca(OH)2
A
C
D: pemanas air dengan sirkulasi E: feeding F: penampung effluent G: pompa periltastik
F
E
D
G
Gambar Lampiran 4. Kebun sorgum di subang
80
Gambar Lampiran 5. a Koloni E. aerogenes; b. E aerogenes ADH43 pada pengenceran 107
Gambar lampiran 6. a. Nira sorgum hasil pengepresan; b tetes tebu